Ceritasilat Novel Online

Gajah Kencana 22

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 22


demang Surya, pandita Padapaduka, eyang Panangkar dan
beberapa orangtua yang pernah dijumpainya, mereka
mengajarkan bahwa melakukan kewajiban itu adalah mulia.
Pernah dahulu ketika masih di desa Madan Teda, ia
mendengar cerita dari beberapa orangtua tentang seorang
ksatrya gagah perkasa keturunan Pandawa yang disuruh
gurunya untuk mencari "sarang angin` di tengah laut. Ksatrya
itupun melakukan hal itu dengan sepenuh hati dan keyakinan.
Akhirnya, walaupun perintah gurunya itu sesungguhnya
bermaksud hendak mencelakainya, namun kesungguhan hati
dan kemantapan tekadlah yang menyebabkan ia mendapat
rahmat yang luar biasa. Bertemu dengan Sanghyang Ruci
yang memberinya iimu wejangan dan kesaktian, kemudian
mendapat isteri puteri raja naga laut"..
Walaupun cerita itu dibawakan secara merambang oleh
orang desa yang hanya mendengarkan dari mulut ke mulut,
namun makna dari cerita itu telah berkesan dalam sanubari
Dipa, si Gajah. Demikianpun ketika Puranti, adik Puranta, yang disuruh ki
demang Saroyo untuk menyampaikan pesan kepada Dipa agar
malam itu Dipa melakukan tugas meronda keamanan kota,
Dipa menyambutnya dengan wajah berseri.
Pada pandang pertama bertemu dengan Dipa, puranti
terkesan. Sepanjang ingatannya belum pernah ia melihat
wajah yang sedemikian mengesan dalam hatinya. Seketika ia
teringat sesuatu yang dialaminya beberapa waktu yang lalu.
Paristiwa itu seperti membayang pula dalam pelupuknya.
Suatu peristiwa yang hampir dilupakan karena keanehannya
yang tak dapat ia pecahkan.
Peristiwa yang dialaminya itu bukan suatu kenyataan
melainkan hanya sebuah impian belaka dikala sehabis sesuci
diri dengan mandi keramas dan membakar sesaji sebagaimana
ia lakukan pada tiap hari-hari tertentu untuk memohon berkah
pada Hyang Jagadnata menurut apa yang dicita-citakan
sebagai seorang anak gadis.
Malam itu pekat dan makin pekat karena ditandai oleh awan
tebal dan guruh suara yang sebentar-sebentar mendengungdengung laksana bunyi sangkala dari pasukan langit yang
akan menyerbu bumi. Namun hal itu tak setitikpun
menyurutkan langkah Puranti untuk menghaturkan sesaji dan
memohon doa. Demang Saroyo mempunyai seorang putera dan seorang
puteri. Ada dua macam perkembangan yang tumbuh dihati
demang itu, dalam kasih sayangnya terhadap kedua anaknya.
Harapan sebagai seorang ayah, ia letakkan pada diri Puranta
agar puteranya kelak dapat menjadi manusia yang berguna,
berpangkat dan bernama. Tetapi kasih sayang, tertumpahkan
pada diri Puranti. Ia berbangga hati karena Dewata tentu
mengaruniai seorang puteri yang cantik, cerdas dan teguh
imam menjalankan ibadat. Namun tidaklah perangai Puranti berobah berkemanjaan
dalam genangan kasih ayah-bundanya itu. Ia tetap
membawakan sikap yang bersahaja, manis budi dan ramah
tutur kepada setiap orang, baik tetamu ayahnya maupun para
orang gajihan dan segenap rakyat kademangan. Ketekunan,
kepatuhan dan kesucian hati Puranti untuk menjalankan
ibadah keagamaannya, menjadikan ia seorang puteri demang
yang memiliki kewibawaan. Dipatuhi orang, bukan karena
pangkat dan kekuasaan ayahnya melainkan karena
kewibawaan dalam kesederhanaannya. Dihormati orang bukan
karena takut tetapi karena rasa sayang dan cinta akan
keperibadian gadis itu. Walaupun tumbuh dalam keluarga
seorang demang yang gemar akan kesenangan minum dan
wanita dan mempunyai kakak yang terkenal binal kelakuan di
luaran, namun tidaklah mengurangkan kesemarakan gadis
Puranti yang menyerbakkan keharuman bagi nama demang
Saroyo dan segenap rakyat kademangan.
Setelah selesai menunaikan sesaji dan memanjatkan doa
permohonannya kepada Dewata, Puranti baru masuk tidur.
Demiklan kebiasaannya, belum tidur apabila belum lewat
tengah malam. Tetapi ia selalu bangun pagi sekali. Tak mau ia
memanjakan diri dalam kelelapan tidur yang berkelebihan.
Malam itupun ia bermimpi. Suatu mimpi yang aneh yang
pernah dialami sepanjang hidupnya. Dalam mimpinya itu,
seperti kademangan timbul kegaduhan karma dilanda angin
besar. Tiba2 muncullah seekor gajah yang masih muda. Setiba
gajah, anginpun lenyap. Rakyat gempar. Hendak ditangkapnya
gajah itu tetapi gajah itu ngamuk. Karena marah, rakyatpun
beramai- ramai melempari batu, memukul dengan kayu
bahkan ada yang menusuk dengan tombak. Tetapi gajah itu
tak menghiraukan dan makin mengamuk. Rakyat lari tunggang
langgang. Mereka tak mampu mencegah amukan gajah yang
merusak kebun, merubuhkan rumah dan melanda apa yang
merintangi langkahnya menuju ke gedung ki demang. Ki
demang memerintahkan untuk melepaskan anakpanah. Tetapi
beratus-ratus anakpanah bagaikan membentur dinding baja,
berhamburan jatuh ketika mengenai tubuh gajah itu. Ki
demang dan seluruh keluarganya kecuali hanya Puranti
seorang yang segera melangkah keluar.
Aneh. Ketika melihat Puranti, serta merta gajah itu
mendekam ke tanah dan mengacungkan belalainya seperti
hendak memberi salam. Puranti makin heran melihat sinar
mata binatang itu tampak jinak dan pasrah. Didekatinya gajah
itu. Gajah itu menundukkan kepala. Melihat itu, Puranti makin
berani. Ia mengulurkan tangan, mengusap kepala binatang
itu. Begitu tersentuh jari Puranti yang halus, seketika gajah
itupun lenyap menjadi seorang anakmuda. Puranti menjerit
kaget dan lenyaplah anakmuda itu beserta impiannya. Puranti
terjaga. Saat itu terkilas dalam benak Puranti, betapa miriplah
pemuda berasal dari perwujutan gajah dalam mimpinya ini
dengan penjaga baru dalam gedung kademangan yang saat
itu berada di hadapannya.
"Rara, apakah hendak memberi perintah kepada hamba" "
seru Dipa dengan hormat manakala dilihatnya puteri demang
itu tegak termangu-mangu sampai beberapa lama.
Puranti agak terkejut, serunya "Engkau orang pangabsan
baru di kademangan ini?"
Dipa mengiakan. "Nama?" "Dipa si Gajah ....."
"Ih".." Puranti
namamu Gajah?" mendesuh kejut "engkau Gajah ?" "Benar, orang2 memberi nama begitu kepada hamba."
"Mengapa?" "Kata mereka, hamba mirip dengan gajah."
"Ih, apanya yang mirip?"
"Tenaga hamba, rara. Tetapi setengahnya ada yang
mengatakan bahwa hamba memiliki roman muka tubuh dan
langkah kaki seperti gajah."
"Ah ...." tak tahu Puranti apa yang harus di ucapkan. Ada
suatu kesan dalam hatinya. Ia seadiripun merasa heran
mengapa ia tiba2 saja merasa kasihan kepada penjaga baru
itu. Perasaan itu diselubungi pula oleh peristiwa dalam
mimpinya. Dan kesan lain pada pertemuan pertama itu, ia
melihat wajah si Gajah Dipa itu seperti memancarkan sinar
yang terang. Wajah yang memantulkan perjalanan haridepan
yang gemilang. Adakah hal itu dirasakan oleh lain orang,
Puranti tak tahu. Tetapi yang jelas, ia mempunyai perasaan
dan pandangan begitu. Alangkah beda dengan beberapa pemuda kawan Puranta
yang sering berkunjung ke kademangan. Terlebih pula Jaka
Damar, putera Rangga Tanding itu. Mereka putera orang
orang berpangkat, kaya dan cakap. Tetapi mengapa ia tak
mempunyai kesan. Dan meagapa ia tak kuasa menolak kesan
yang hinggap dalam sanubarinya ketika berhadapan dengan
Dipa" Ah, entah, entahlah. Ia tak tahu.
Puranti tersipu merah wajah. Mengapa ia harus memikirkan
mengapa ia harus merangkai mimpi itu dengan panjaga
kademangan yang berada di hadapannya." Ah, makin
menebar merah pipi gadis itu manakala ia menyadari dirinya
sebagai seorang anak perempuan, puteri seorang demang.
"Kakang Dipa ......." cepat ia berseru untuk mengenyahkan
perasaan yang menghinggapi pikirannya, "rama sakit dan
minta kakang supaya malam itii meronda keamanan pura."
"0 " Dipa terkesiap "ki demang sakit" A h, baiklah."
"Dengan siapa. kakang biasa melakukan ronda itu?"
"Bersama kakang Sura."
"Apakah kakang tak takut berkeliling daerah pura yang
begitu luas" " tanya Puranti pula.
"Itu sudah menjadi kewajiban hamba."
Puranti mengangguk lalu katanya pula "Kudengar rama
menceritakan kakang amat kuat sekali, dapat mengalahkan
paman Gajah Barong yang petkasa."
"Hanya secara kebetulan sajalah hamba dapat menjatuhkannya. Sesungguhnya dia jauh lebih perkasa dari
hamba." Puranti makin bertambah kagum karena Dipa seorang yang
rendah hati. Ia hendak menanyakan asal usal penjaga baru itu
tetapi sekonyong- konyong muncullah Puranta. Wajah pemuda
itu memberingas geram ketika melihat adiknya asyik bercakap
cakap dengan Dipa. Kemarahannya cepat menumpah pada
Dipa. "Hai, penjaga, mengapa
engkau berani sekurang ajar
itu mengajak bicara. adikku
Puranti?" tegurnya dengan
mata berapi-api seolah hendak menelan Dipa. Belum Dipa menyahut, Puranti sudah mendahului,
"Aku yang mengajaknya
bicara, kakang. Menyampaikan titah rama agar dia malam ini melakukan ronda." Sesunggubnya Puranta sudah tahu hal itu karena ki
demang telah mengatakannya. Namun ia memang akan
mencari alasan untuk mendamprat Dipa yang dibencinya.
"Hm, kalau bicara dengan puteri ki demang harus
menghormat, jangan petantang petenteng seperti manusia
liar!" Dipa tak mengerti mengapa ia harus menerima dampratan.
Namun ia menduga bahwa putera ki demang itu tentu masih
mendendam kepadanya. Betapapun ia harus tahu diri dan
mengiakan saja. "Kakang!" agak sedikit keras Puranti berseru, "kurasa dia
tak bersikap kurang adat. Dia hanya menjawab apabila
kutanya." "Paranti, diam engkau!" bentak Puranta makin panas, "aku
hanya memberi peringatan kepadanya supaya tahu adat di
kademangan ini. Sudahlah, hayo engkau lekas masuk! "
Paranti tahu bagaimana perangai kakangnya itu. Kalau ia
membantah, tentulah kakangnya akan bertambah marah. Dan
kemarahannya itu tentu akan ditumpahkan pada Dipa,
sekalipun jelas bahwa penjaga itu tak bersalah. Maka tanpa
mengucap sepatah katapun, ia terus melangkah ke dalam
gedung. "Hm, ingat, kalau engkau berani bicara lagi dengan adikku,
tentu kuhajar!" Puranta memberi peringatan lalu berjalan
keluar. Dipa termangu-mangu. Makin keras dugaannya bahwa
putera demang itu mendendam kepadanya. Ia tersenyum.
Dibenci karena bertindak benar, dimusuhi karena melakukan
tugas kewajiban, setitik pun takkan meruntuhkan nyalinya,
takkan merobah pendiriannya. Sajenak ia terlongong pula
manakala wajah Puranti terbayang di pelapuknya. Mengapa
puteri demang itu bersikap sedemikian baik kepadanya.
"Dipa," tiba2 ia terkejut mendengar seseorang berkata dan
bahunya ditepuk. Cepat Dipa berpaling dan didapatinya Sura
lah yang berdiri di belakangnya dengan tersenyum, "tak perlu
engkau pikirkan kata-kata den Puranta tadi Dipa. Sudah jelas
den Puranta mendendam kepadamu. Marilah kita berkemaskemas untuk tugas malam nanti. Bukankah ki demang
menitahkan kita meronda?"
Dipa mengiakan. Keduanya segera menuju keluar, menemui
beberapa kawannya untuk menyerahkan tugas2 penjagaan
kademangan. Demikian malam itu Dipa dan Sura melakukan
ronda keamanan lagi. Saat itu masih jauh dari tengah malam ketika mereka tiba
di ujung kota, tiba2 mereka mendengar jeritan seorang
perempuan. Dalam malam gelap dan sunyi, jeritan itu amat
berkumandang. "Kakang Sura, adakah tiap malam terjadi
penculikan dan pemaksaan pada kaum wanita" Mengapa tiap
kali kita meronda, selalu mengalami peristiwa begitu, kakang?"
tanya Dipa. Sura tak lekas menyahut. "Bagaimana kakang?" Dipa mengulangi pertanyaannya.
"Hm, kurasa memang aneh," kata Sura sesaat kemudian
"kurasa mustahil kalau tiap malam terjadi hal semacam itu.
Karena selama ini ki demang tak pernah membawa orang
tangkapan yang melakukan perbuatan begitu."
"Lalu?" Dipa kerutkan kening.
Berkata Sura dengan pelahan "Kurasa ada sesuatu yang tak


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajar, Dipa," tiba2 ia berkata agak tegang "bila kujatuhkan
dugaan bahwa jeritan itu adalah suatu perangkap dari orang
yang mendendam kepada kita, adakah engkau dapat
menyetujui?" Dipa terkesiap, ujarnya "Siapakah yang memusuhi kita" Eh,
apakah kakang duga putera ki rangga dan putera ki demang
itu masih mendendam kepada kita dan merekalah yang akan
menyiasati kita, eh .... tetapi apa tujuan mereka hendak
mempedayai kita, kakang?"
"Ah, Dipa, sudah barang tentu putera ki rangga itu tak
pernah dapat melupakan engkau. Bila jeritan itu memang
benar suatu perangkap, jelas mereka hendak menganiaya
engkau " "Tetapi kakang, bagaimana mereka tahu kalau malam ini
kita yang meronda?" tukas Dipa.
"Hah, mengapa engkau lupa pada diri den Puranta"
Bukankah dia tahu kalau malam ini engkau akan melakukan
ronda bersama aku" "
"0 " Dipa mendesuh kejut "mungkinkah begitu" "
"Mudah mudahan tidak," sahut Sura "tetapi baiklah kita
berhati hati agar jangau terperosok dalam perangkap."
Dipa mengiakan "Baik, kakang, marl kita ketempat jeritan
itu." Jeritan itu terasal dari sebuah gerumbul lebat sedikit di luar
pura. Ketika memasuki gerumbul pohon, Dipa dan Sura makin
terkejut ketika mendengar pekik kemarahan dan langkah2 kaki
yang sarat, kadang berloncatan sehingga merimbulkan bunyi
berisik dari daun-daun yang terhunjam pukulan serta sepakan.
Dipa bertukar pandang dengan Sura "Perkelahian?" bisik
Dipa. Sura pun mengangguk. Mereka lalu maju dengan
berjungkat-jungkat agar jangan menimbulkan suara yang
dapat mengejutkan orang2 itu.
Makin dekat makin jelas suara bentakan dan bahkan deru
napas yang bekejar-kejaran memburu keras. Nafas yang
bernada kemarahan dan penyaluran tenaga keras. Dipa dan
Sura segera menempatkan diri di balik sebuah gerumbul
semak pohon2. Ketika mereka mulai menyiak daun dan
memandang kemuka, mereka pun terkejut. Diatas tanah
lapang yang tak berapa luas dan tak amat datar, tampak tiga
orang lelaki tengah berkelahi deagan belasan orang
berpakaian hitam. Mulut mereka ditutup kain selubung warna
hitam. Walaupun hanya bertiga namun mereka dapat memberi
perlawanan yang seru. Dipa menggamit lengan Sura dan Sura pun dapat
menangkap isyarat itu. Ia gelengkan kepala sebagai jawaban
tak kenal siapa orang2 yang sedang bertempur itu.
Dipa berpaling pula mencurahkan pandang kearah
perkelahian itu. Ia mendapat kesan bahwa gerombolan orang
berpakaian dan berselubung mulut warna hitam itu tentulah
kawanan penjahat. Hampir jatuhlah dugaannya bahwa
peristiwa itu suatu peristiwa pembegalan. Tetapi tiba2
matanya tertumbuk akan seorang wanita yang duduk
bersandar pada sebatang pohon di tepi tempat perkelahian. Ia
berpaling memandang Sura yang berada di sampingnya.
"Kakang Sura, engkau lihat wanita di bawah pohon itu?" Dipa
berbisik. Sura mengangguk, "Ya ".. agak membingungkan juga.
Ketiga orang itu yang membawa wanita itu lalu diserang oleh
belasan orang berpakaian hitam atau kebalikannya ?"
"Hm, kita tunggu dulu," sahut Dipa "tetapi kurasa ketiga
lelaki itu bukan penjahat."
Dugaan Dipa memang tak jauh dari kenyataan. Tak berapa
lama terdengarlah sebuah suara bengis "Hayo kawan2,
bunuhlah ketiga manusia yang usil tangan ini."
Salah seorang dari ketiga orang yang dikeroyok yalah yang
bertubuh agak pendek gemuk, memekik "Keparat, gerombotan
penjahat yang suka menculik wanita, kalianlah yang akan kami
basmi! " Gerombolan yang mulutnya bertutup kain hitam itu
menghunus senjata bindi dan tongkat besi. Mereka segera
menyerang ketiga orang itu dengan gencar. Tiba2 si gemuk
tadi menjerit karena bahunya terhantam bindi dari belakang.
Melihat tubuh si gemuk terhuyung ke muka, penyerangnya
terus hendak menghunjamkan bindinya lagi.
"Jangan melukai pamanku!" pada saat penyerang itu
mengangkat bindi hendak diayunkan, tiba2 salah seorang dari
ketiga orang yang paling muda dan bertubuh ramping, dengan
cekatan sekali berputar langkah seraya lepaskan sebuah
tendangan. Plak ...... ujung kakinya tepat melanda lambung
penyerang itu. Bindi terlepas jatuh dan orangnya pun rubuh
menyusur tanah. Melihat seorang kawannya rubuh, kawanan orang yang
mengenakan kain penutup mulut warna hitam dan yang
jumlahnya tak kurang dari dua belas orang, serempak
memburu pemuda itu. "Berhenti!" tiba-tiba terdengar teriakan yang keras dan
lantang. Karena terkejut, sesaat mereka serempak berhenti
bertempur. Tetapi demi melihat yang muncul dari batik
gerumbul itu Dipa dan Sura, me:eka memekik-mekik gempar.
Memang setelah mengetahui keadaan kedua belah fihak
yang berkelahi itu dan karena melihat pemuda itu hendak
diserang oleh belasan orang, Dipa tak dapat berpeluk tangan
lebih lama. Serentak ia loncat keluar dan berteriak
memerintahkan mereka berhenti.
"Diam! " bentak Dipa "kalian penjahat-penjahat harus
serahkan diri, akan kami bawa ke kademangan."
"Serang!" teriak salah seorang dari kawanan berpakaian
hitam itu. Bagaikan tawon dijolok sarangnya, berhamburanlah
belasan orang itu menyerang Dipa dan pemuda itu.
Sura lebih cerdik. Cepat ia menyambar bindi dari orang
yang rubuh termakan kaki pemuda itu lalu dibolang-balingkan
untuk menghalau penyerangnya. Tidak demikian dengan Dipa
dan pemuda itu. Walaupun Dipa membawa senjata pedang
dan mungkin pemuda itu juga, tetapi keduanya tak mau
mencabut senjata dan hanya berlincahan menghindar kesana
kemari. Dipa diam-diam terkejut melihat gerak kaki yang, dilakukan
pemuda itu. Demikianpun pemuda itu juga heran melihat
gerak tata kaki yang dimainkan Dipa. Keduanya dapat
bergerak dengan lincah, cepat dan tepat sehingga tak ada
sebatang senjata dari kawanan penjahat itu yang dapat
menyentuh tubuh keduanya.
"Aduh?"" tiba2 Sura menjerit kesakitan dan terhuyunghuyung rubuh. Ternyata pada saat ia menyambut serangan
seorang penjahat dari depan, tiba2 punggungnya dihantam
tongkat besi oleh seorang penjahat yang berada
dibelakangnya. Sura rubuh merintih-rintih mendekap
kepalanya. Rupanya pukulan pada punggungnya itu sangatlah
kerasnya sehingga ia berguling-guling ditanah agar rasa
sakitnya berkurang. Melihat itu marahlah Dipa. Andai Sura rubuh karena tak
kuat menahan pukulan atau kurang lincah menghindar
serangan, ia dapat menerima. Sura harus bertanggung sendiri
karena memang ia masih kurang kepandaiannya. Tetapi
bahwasanya Sura menderita pukulan serangan gelap dari
belakang, Dipa tak merelakan. Dan memang kawanan
penjahat yang selalu mengganggu keamanan itu harus
dibasmi, paling tidak harus mendapat hajaran yang layak.
untuk hal-hal itulah kemarahan Dipa akan dicurahkan.
"Pengecut kamu! " teriak Dipa. Ia tak dapat dan belum
pernah memaki orang. Maka iapun hanya dapat menaki
pengecut. Dan itu merupakan kata-makian yang pertama kali
meluncur dari mulutnya. Makian itupun diserempaki dengan
sebuah loncatan. Orang itu terkejut melihat gerakan loncat Dipa yang lincah.
Cepat ia menyambutnya dengan kedua bindi, menghantam
muka dan menghantam lambung. Dan ketika Dipa menarik diri
kebelakang, dikejarnya dengan sebuah tendangan keras,
bum". dia bergerak cepat tetapi Dipa lebih cepat pula. Sedikit
mengisar tubuh untuk memberi luang kepada tendangan
orang, secepat kilat ia menyerempaki dengan sebuah gerak
menyangga kaki orang keatas. Dengan demikian hilanglah
keseimbangan tubuh orang itu karena kakinya terangkat ke
udara dan jatuhlah ia seperti dibanting. Dipa cepat
mengangkat sebdah kakinya, hendak diinjakkan ke muka
orang. Ia gemas sekali kepada orang itu. Hendak
dihancurkannya muka penyerang itu. Tetapi entah bagaimana
pada saat ia melihat wajah orang itu menampil rasa ketakutan
yang ngeri, runtuhlah hatinya. Injakan kaki yang telah
dilambari dengan tenaga penuh itu, tak boleh tidak tentulah
akan membuat wajah orang itu hancur.
Tengah ia meragu, sekonyong-konyong setiup angin
berhembus keras. Angin yang berhawa panas, meregangkan
bulu roma. Angin yang beda dengan apa yang biasa ia rasakan
di alam terbuka. Karena tak sempat menyelidik penyebab
hembusan angin itu, Dipa pun melakukan penghindaran diri
dengan sebuah loncatan ke belakang.
Wut, sebagai ganti Dipa maka tempat dimana ia berdiri,
telah berisi sesosok tubuh yang tengah mengayunkan bindi.
Andai Dipa tak menyingkir, tentulah ia yang menjadi sasaran
bindi orang itu. Dan ternyata secepat itu pula Dipa pun sudah
loncat di belakang penyerangnya, mencengkeram tengkuk lalu
disentakkan ke belakang sekuat-kuatnya.
Baik pemuda tampan maupun gerombolan penjahat yang
memakai selubung muka warna hitam itu, terperanjat ketika
menyaksikan kekuatan Dipa. Tak pernah mereka menyangka
bahwa seorang muda yang tak mengunjuk tanda2 sebagai
seorang kuat, ternyata memiliki tenaga yang sedemikian
hebat. Orang yang disentakkan ke belakang itu, tak ubah
seperti layang2 putus tali, melayang-layang dan terlempar ke
dalam gerumbul semak pada jarak beberapa puluh depa.
Dengan rubuhnya orang berhasillah Dipa menyelesaikan
dua orang penjahat. Kemudian pemuda tampan itupun
merubuhkan dua orang. Baru empat orang yang rubuh namun
cukuplah membuat gerombolan bertutup muka itu pecah nyali.
Tiba2 terdengar salah seorang bersuit keras dan pada lain saat
gerombolan itupun berhamburan melarikan diri, meninggalkan
beberapa kawannya yang masih pingsan.
Dipa tak mau mengejar melainkan cepat menghampiri ke
tempat Sura yang masih merintih kesakitan. Demikian pun
pemuda tampan itu. Dia dan kawannya lebih mengutamakan
menolong kawannya yang rebah di tanah daripada mengejar
gerombolan penjahat. Sura menderita luka patah tulang pada
persambungan lengan bahunya. Tetapi tak membahayakan
jiwanya. Demikian pun dengan kawan dari pemuda itu.
Setelah memberi pertolongan untuk mengurangkan rasa
sakit kedua orang yang terluka itu, Dipa pun mempunyai
kesempatan untuk berkenalan dengan pemuda tampan dan
kawannya. Pemuda, itu mengaku bernama Kerta dan dan
kawannya Suta serta Naya. Mereka berasal dari desa
Sagenggeng terletak Singasari. Dipa pun memperkenalkan diri
lalu Sura. "Kedatangan kami ke Kahuripan ini hanyalah sekedar
hendak melihat sayembara yang akan diadakan oleh sang Rani
menerangkan pemuda Kerta.
"Sayembara" "Dipa heran.
"Eh, apakah engkau tak mendengar bahwa beberapa hari
lagi di alun2 Kahuripan akan diselenggarakan sayembara
bertanding melawan banteng?"
Dipa makin terkejut. Ia memang tak pernah mendengar hal
itu, "0," desisnya "aku tak mendengar hal itu. Apakah tujuan
sang Rani menyelenggarakan sayembara semacam itu ?"
"Menurut pengumuman yang menjelaskan
tujuan sayembara itu. Pertama, untuk merayakan ulang tahun
penobatan puteri Tribuanatunggadewi sebagai Rani Kahuripan.
Kedua, untuk memilih calon bhayangkara keraton Kahuripan.
Bahkan kalau ada kemungkinan akan dipersembahkan ke
Majapahit sebagai bhayangkara. Dan ketiga, untuk menghibur
rakyat Kahuripan." "0" kembali Dipa mendesuh "adakah tuan juga akan
memasuki sayembara itu ?" tanyanya. Kerta tertawa, "Akan
kulihat suasananya. Apabila tenagaku mencapai, tiada
halangan kalau aku ikut. Tetapi sesungguhnya aku lebih
senang untuk menonton saja."
"Ah, tuan merendah diri," kata Dipa "kurasa tuan tentu
mampu mengalahkan banteng itu."
Dipa mempunyai kesan baik terhadap diri pemuda tampan
halus bahasa dan rendah hati itu. Menilik roman wajahnya, ia
mendapat kesan bahwa pemuda itu tentu bukan dari kalangan
rakyat biasa. Kemungkinan tentu putera orang berpangkat
atau priagung. Namun karena pemuda itu tetap mengaku
sebagai pemuda desa, Dipa pun tak mau mendesak.
"Karena terhambat hujan maka malam baru tiba di sini dan
secara tak terduga mendengar wanita disergap kawanan
penjahat ....." berkata demikian Kerta mengeliarkan pandang
mata mencari wanita tadi. Tetapi ternyata wanita itu tak
tampak "aneh, ke manakah gerangan wanita itu ?"
Dipa heran juga tetapi cepat ia teringat akan
pembicaraannya dengan Sura tali. Kalau memang suatu
perangkap, jelas wanita itu tentu ikut melarikan diri bersama
gerombolan penjahat2 itu. Kemudian pikiran Dipa teringat pula
akan keempat penjahat yang pingsan. Pikirnya ia hendak
mengangkut mereka ke kademangan untuk diperiksa. Tetapi
pada lain kilas teringat pula akan kenyataan yang ada. Apabila
keempat orang memang orang suruhan Joko Damar ataupun
Puranta ataupun pula putera2 orang berpangkat, sia2 belaka
penangkapan itu. Ki demang tentu tak berani menindak
mereka. "Ya, ke manakah wanita itu?" Dipapun ikut bertanya
sekedarnya. "Huh, manasia tak kenal budi tak tahu menerima kasih. Kita
yang menolong sampai babak belur, dia yang ditolong malah
diam2 pergi tanpa mengatakan apa2 "gerutu Sura.
Kerta tersenyum, "Ah, jangan paman Sura mempunyai
pikiran begitu. Kewajiban kita adalah menolong, bukan untuk
mengharap terima kasih. Mungkin ada suatu alasan mengapa
wanita itu diam2 telah pergi."
Dipa makin berkesan kepada pemuda itu. Ia pun setuju
akan pendapatnya. Beberapa saat kemudian ia mengajak
pemuda itu masuk ke dalam pura dan Dipa bersama Sura pun


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melanjutkan perjalanan. Mengenai beberapa penjahat yang
masih pingsan, Dipa mengatakan, "Biarlah, nanti mereka tentu
akan sadar dan pulang sendiri."
Kesan pun bertemu kesan. Dipa mempunyai kesan baik
terhadap pemuda itu. Kerta pun mengandung kesan
mendalam terhadap Dipa. Hanya Joko Damar yang menggigit jari.
O0dw0O II "Puranta " pada malam itu, beberapa hari sejak peristiwa
menderita sakit perut, demang Saroyo memanggil puteranya.
Agak terkejut juga pemuda itu dikala berhadapan dengan
ayahnya karena jarang sekali ki demang memanggil apabila
tiada urusan penting. "Rama sudah makin tua," kata demang Saroyo melanjutkan
kata- katanya "dan orangtua tentulah akan mati, Puranta," ia
berhenti pula, menatap wajah puteranya. Tampak Puranta
agak pucat dan berdebar-debar. Betapapun ia berusaha
menduga-duga apa yang terkandung dalam ucapan sang
ayah, namun ia belum menemukan titik2 pengungkapan. "Ya,
rama," akhirnya ia hanya melumasi dengan kata pengiaan
yang ringkas. "Sudah menjadi suatu harapan dan keindahan dari setiap
orangua bahwa sebelum menutup mata, dapat melihat putera
dan puterinya menjadi orang. Jelasnya menjadi orang yang
lengkap." Mulailah tampak titik2 penunjuk arah dalam hati Puranta,
walaupun masih samar2. Dan engkau belum seorang manusia
lengkap, Puranta" menyusuli pula ki demang, "engkau masih
seorang diri, masih, masih belum mempunyai pasangan hidup
sebagai manusia yang lengkap"."
"0" desuh Puranta setelah jelas akan persoalan
dibawakan ayahnya, "tetapi rama, aku masih muda,
belum mempunyai kepandaian dan pengalaman
memangku seorang wanita. Bukankah hanya mendjadi
keladi yang hidup pada dahan pohon, menjadi
tanggungan rama saja"."
yang masih untuk ibarat beban Demang Saroyo tersenyum "Jangankan hanya engkau
berdua dengan isteri, sekalipun engkau memberikan rama
beberapa orang cucu, rama masih sanggup memelihara?""
"Ah, aku malu, rama," Puranta menggeliat ucap "bagaimana
pandangan wanita calon isteriku itu apabila bersuami seorang
yang masih minta makan kepada orangtuanya. Bukankah akan
merosot martabatku di matanya?"
Demang Saroyo mengangguk "Pambekmu mulia, sikapmu
perwira, Puranta. Memang demikianlah seharusnya seorang
pria yang akan memangku kewajiban sebagai suami. Dan
sekarang rama ingin bertanya kepadamu, Puranta. Adakah
engkau sudah mempunyai cita2 arah hidupmu" Ya, pekerjaan
atau jabatan apakah yang engkau cita-citakan" "
Puranta tertegun "Rama aku masih bingung. Masih belum
mempunyai gambaran dari cita2 hidup."
"Bilakah engkau akan memiliki hal itu, Puranta?" desak
demang Saroyo. "Ini ".. ini tergantung dan keadaan perkembangan jiwaku,"
rupanya Puranta mulai terdesak sehingga jawabannya pun
penuh keragu-raguan. "Puranta, rama ingin bertanya. Perkembangan dalam
pikiranmu itu, harus engkau kembangan ataukah engkau
menunggu perkembangan itu tumbuh sendiri?"
"Perkembangan dalam jiwa dan pikiran, adalah sesuatu
yang sukar dipaksakan. Harus tumbuh dan berkembang secara
wajar," sahut Puranta.
"Pernahkah engkau ke sawah melihat petani bercocok
tanam " " tanya demang Saroyo. Puranta mengiakan.
"Apakah kesanmu. Padi itu tumbuh sendiri atau petani yang
menumbuhkannya?" Puranta tercengang. Akhirnya ia menyambar apa yang
dapat dikemukakan sebagai sanggahan "Tetapi padi lain
halnya dengan pikiran orang."
"Memang bendanya lain tetapi sifat dan hakekatnya sama.
Bukan padi dan pikiran itu yang harus kita tinjau persoalan,
melainkan sifat dan hakekat dari pada pertumbuhan itu," kata
demang Saroyo, "bahwa sesuatu adakah hal itu mengenai
padi, pikiran, jiwa dan lain2, harus ditumbuhkan dengan
gerak, dan kemauan. Apabila kita tidak berkemauan, maka
tiadalah gerak, tiadalah pertumbuhan, tiadalah terjadi sesuatu
perobahan atau hasil. Dan ingatlah Puranta, bahwa kita
manusia ini dikaruniai daya pikiran yang tinggi, daya kemauan
yang hebat. Pikiran adalah mahkota tertinggi dari kerajaan
badaniyah manusia. Dan kemauan itu, senjata yang ampuh
untuk melaksanakan perintah pikiran. Tanpa pikiran dan
kemauan, kita ini tak lebih dan sebuah tonggak yang berjiwa!
" Puranta termangu. "Engkau mengatakan belum mempunyai gambaran cita2
hidup. Pada hal sesungguhnya engkau sudah hidup. Dapatkah
kita hidup tanpa gambaran hidup" Adakah karena engkau
masih memanjakan dirimu dalam kesenangan tanpa
memikirkan bagaimana sarana mencapai kesenangan itu,
darimana memperoleh sumber untuk menikmati kesenangan
itu" Adakah hal itu disebabkan karena segala apa sudah
tersedia, karena engkau masih mempunyai sandaran ayah dan
ibu yang dapat memenuhi kebutuhanmu" Kalau benar
demikian, apakah beda hidupmu sekarang dengan engkau
sudah beristeri tetapi masih ikut pada orangtua sebagaimana
engkau lukiskan ibarat tanaman keladi yang tumbuh pada
lahan pohon itu" "
Puranta menjadi makin tersumbat kerongkongannya.
"Puranta, janganlah engau salah faham bahwa rama tak
berkenan hati memelihara dan memberi kebutuhan hidupmu.
Sama sekali tidak," kata demang Saroyo pula "karena hal itu
sudah menjadi kewajiban orangtua untuk memelihara,
merawat dan mendidik putera puterinya. Tetapi kulihat,
engkau sudah dewasa, usiamu pun sudah cukup menjadikan
engkau bukan lagi seorang anak, tetapi seorang laki2. Oleh
karena itu, ingin rama menyempurnakan pengasuhan dan
didikan rama kepadamu itu, agar engau dapat berdiri sendiri.
Tidak ada lain tujuan rama, kecuali itu. Karena tiada suatu
kebahagian yang lebih besar bagi orangua, dan pada
kebahagiaan melihat putera puterinya sudah dapat menjadi
orang menjadi orang yang penuh berdiri di atas kakinya
sendiri. Walaupun dalam hati masih ingin membantah, tetapi
Puranta sukar menemukan sesuatu yang dapat diperbantahkan. la diam saja.
"Dengan demikian, janganlah engkau menunggu sampai
gambaran cita-cita itu tumbuh dan datang padamu sendiri,
tetapi engaulah yang harus mencipta dan menumbuhkan citacita itu. Mumpung ayah masih hidup, tentulah rama dapat
membantu untuk melaksanakan cita-citamu itu."
Puranta mengangguk pelahan "Ya."
"Kurasa setelah kesadaran itu bertahta dalam sanubarimu,
tentulah engkau dapat mengutarakan apa yang menjadi
gambaran cita-citamu itu."
Puranta menelan ludah, sesaat kemudian baru menjawab
agak tersekat, "Maaf, rama, berilah waktu beberapa hari
kepadaku untuk mengkaji dan menemukan hal itu."
Demang Saroyo tersenyum. Walaupun belum memperoleh
jawaban tetapi ia merasa sudah mendapat kemenangan di
dalam memberi penyadaran pada puteranya.
"Baiklah, Puranta. Lalu sekarang, rama ingin bertanya
kepadamu. Adakah selama ini engkau sudah mempunyai
pandangan atau sekurang-kurangnya kesan terhadap seorang
kenya yang mencocoki hatimu" Katakanlah, Puranta, kalau
kenya, kenya mana, dara mana, kalau puteri, puteri mana
yang engkau inginkan. Mumpung rama masih hidup, angger,
tentu rama akan dapat melaksan akannya. Ah, puteraku,
betapa rindu rama dan ibumu untuk menimang cucu."
"Rama ... " seru Puranta terkejut "aku belum mempunyai
pandangan kearah itu. Ijinkanlah Puranta uutuk menemukan
cita-cita hidup lebih dahulu seperti yang rama anjurkan tadi.
Soal memangku seorang wanita, biarlah kita pertangguhkan
pada lain waktu. Manusia hidup tentu mempunyai jodoh,
masakan rama perlu menguatirkan diri Puranta ?"
Kali ini Puranta yang menang angin. Apa yang di ucapkan
ayahnya, dikembalikan pula untuk menangkis desakan
ayahnya dalam soal perkawinan.
"Hm, kalau memang begitu pendirianmu, rama pun takkan
memaksa. Tetapi hendaknya alasan itu bukan suatu alasan
untuk menutupi kenakalanmu diluaran, untuk mempertahankan kesenanganmu pada hal yang tidak-tidak."
"Baik, rama." Demang Saroyo berhenti sejenak sebelum mulai
melanjutkan percakapan dengan puteranya. Beberapa saat
kemudian, baru ia berkata pula, "Puranta, ada sesuatu berita
yang ingin kusampaikan kepadamu. Bahwa berkenaan dengan
memperingati hari ulang tahun penobatan puteri Tribuanatunggadewi sebagai Rani Kahuripan maka sang Rani
berkenan mengadakan pesta perayaan. Sudah tentu bakal
datang tetamu agung dari pura Tikta Sripala, Daha dan lainlain tempat. Tetapi yang penting sang Rani hendak menghibur
rakyat Kahuripan atas kesetyaan mereka terhadap sang Rani.
Diantara pesta perayaan itu akan diadakan sebuah acara yang
menarik yalah adu banteng. Bukan banteng diadu dengan
banteng tetapi manusia dengan banteng. Ksatrya yang dapat
mengalahkan banteng itu akan diberi hadiah besar dan
diangkat menjadi bhayangkara keraton Kahuripan atau
kemungkinan ..... " "Kemungkinan bagaimana, rama?"
"Ah" demang Suroyo menghela napas. Pandangan matanya
meruntuh ke wajah puteranya "Kemungkinan itu menurut
pandangan rama, amat luas. Dengan menjadi bayangkara
keraton, berarti dia akan lebih sering tampak dan dekat
dengan sang Rani. Dan ...... dan sang Rani itu, engkau tentu
sudah mengetahui bersuami ...." angger, masih puteri, masih belum "Oh " Puranta mendesuh tertahan "rama maksudkan ....."
"Benar, Puranta " cepat demang Saroyo menukas "alangkah
beruntung ksatrya yang dapat mengalahkan banteng dan
diangkat menjadi bhayangkara itu. Dengan lebih dekat pada
sang Rani, bukan suatu hal yang langka apabila akan terjalin
sesuatu dalam hubungan mereka. Bukankah, hubungan yang
dekat dan rapat itu akan menimbulkan sesuatu ?"
"Maksud rama, ada harapan menjadi suami dari sang Rani "
" Puranta menegas "Jangan engkau ucapkan dulu hal itu, Puranta," bergegas
demang Saroyo berseru "karena hal itu ibarat meniti anak
tangga ke atas langit. Suatu hal yang tipis sekali
kemungkinannya. Namun setipis kulit bawang sekalipun
kemungkinan itu, selama masih ada yang dikata kemungkinan,
tentulah bukan suatu kemungkinan yang tak mungkin. Bukan
kemungkinan yang hampa ibarat si pungguk merindukan
bulan, tetapi kemungkinan didalam kemungkinan yang
mungkin bagai 'mendapat durian runtuh'. Si pungguk memang
tak mungkin dapat mencapai rembulan. Tetapi untuk
'mendapat durian runtuh', bukanlah suatu hal yang tak
mungkin!" "Ah, betapakah bahagia ksatrya itu! " seru Puranta dihanyut
oleh luapan perasaan yang tak terkendalikan.
"Dan kebahagiaan kepadamu, Puranta." itu ingin benar "Rama ..." Puranta menjerit.
rama harapkan "Tidak ada seorang orangtua yang meletakkan harapan
jelek kepada puteranya. Setiap orangtua tentu mengharap
agar puteranya kelak menjadi manusia yang utama, yang
berpangkat, yang ternama. Dan sama-sama meletakkan
harapan, apa salahnya kalau rama mengharapkan hal itu
terjadi pada dirimu, angger. Adakah hal itu terlaksana atau
tidak, semata mata tergantung pada dirimu peribadi, pada
peruntunganmu dan pada ketentuan yang dianugerahkan
Dewata kepadamu"."
"Duh, rama ..."
"Puranta, mengapa engkau mengeluh dan merintih
sesambat " Keluhan dan rintihan itu pantulan dari jiwa yang
lemah, jiwa yang menyerah. Bukankah engkau belum
mencoba, belum pula berusaha. Mengapa engkau harus
merintih-rintih lebih dulu?"
"Tetapi hal itu terlampau berat sekali bagi Puranta."
"Berat ringan, mudah dan sukar tergantung pada perasaan
orang itu sendiri. Bukankah Ken Arok hanya anak orang biasa,
bahkan seorang anak haram. Tetapi mengapa dia dapat
meraih Ken Dedes, isteri Tunggul Ametung akuwu Tumapel,
lalu merebut kekuasaan dan menobatkan diri menjadi raja
Singosari" Adakah suatu hal yang berlebih-lebihan dan
mustahil apabila Puranta putera demang Saroyo, dapat


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersanding dengan Rani Kahuripan" Adakah demang Saroyo
lebih rendah kastanya dan orangtua Ken Arok" Adakah
Puranta lebih buruk muka dari Ken Arok" Tidak, Puranta.
Demang Saroyo, kepala penjaga keamanan pura Kahuripan,
seorang demang yang ternama dan berkedudukan tinggi.
Puranta, seorang pemuda yang cakap dan digdaya. Mengapa
engkau merintih-rintih merendahkan dirimu sendiri ?"
"Rama, Ken Arok itu adalah titah kesayangan Jawata. Dia
dikaruniai serba kelebihan oleh Hyang Widhi. Dan Puranta
hanya seorang manusia biasa yang kebetulan dilahirkan
sebagai putera demang."
"Puranta! " teriak demang Saroyo tinggi2 "tiada kelemahan
pada hati manusia dari pada orang yang menganggap dirinya
lemah. Tiada kehinaan yang lebih hina daripada orang yang
menghina dirinya sendiri. Dan engkau menghina, menganggap
lemah dirimu sendiri. Ketahuilah hai, putera demang Saroyo,
titah di mayapada itu adalah sama2 dikasihi oleh Hyang Widhi.
Kenyataan bahwa ada beberapa orang yang dikaruniai
kelebihan dalam beberapa hal, bukanlah karena Hyang Widhi
lebih kasih kepada orang itu. Tetapi adalah hasil usahanya
yang lebih keras dan lebih yakin daripada orang lain. Misalnya,
orang yang melakukan tapabrata, apabila benar2 dilambari
dengan kesucian hati dan kemantapan pikiran, tentulah akan
terlaksana seperti yang dicita-citakan. Tak perlu jauh2,
Puranta. Misalnya, darimanakah engkau mempunyai kelebihan
dalam ilmu kedigdayaan itu" Bukankah karena ketekunanmu
belajar dan berlatih?"
Puranta mengangguk. "Nah, setelah engkau menyadari apa dan bagaimana
keadaan peribadimu apabila engkau benar2 berusaha keras.
Sekarang rama hendak mengeluarkan isi hati rama, harapan
rama kepadamu. Dalam sayembara berkelahi melawan
banteng itu, kuharap engkau ikut. Berusahalah sekuat
tenagamu agar engkau dapat memenangkan sayembara itu.
Agar engkau dapat dipilih menjadi bhayangkara keraton. Agar
kelak engkau dapat mengganti kedudukan rama. Ya, apabila
permohonan rama diluluskan oleh Dewata, agar engkau dapat
...." "Rama " cepat Puranta menukas agar ucapan ki demang
yang terakhir itu tak sempat meluncur keluar "bilakah
sayembara itu akan dilangsungk an?"
"Besok lima hari lagi, jatuh pada hari Soma Putih," sahut ki
demang "bukankah engkau setuju untuk ikut?"
"Baikiah, rama," kata Puranta lirih, seolab-olah masih
merambang. Hal itu diketahui juga oleh ki demang yang segera memberi
teguran lagi. "Puranta, segala sesuatu tergantung pada dirimu
sendiri. Jika engkau merasa samar akan dirimu, tentu akan
memar juga segala tindakanmu. Kebalikannya apabila engkau
percaya pada diriku, engkau tentu akan jaya. Hanya itulah
pesan rama. Camkanlah! "
"Baik rama." "Nah, sekarang engkau boleh tinggalkan aku. Persiapkanlah
dirimu dalam latihan yang keras. Doa rama selalu
menyertaimu, angger."
Puranta meninggalkan tempat itu dengan langkah yang
agak gontai. Sesungguhnya ia tertarik dan berkesan juga akan
ucapan ramanya. Tetapi ia tak yakin kalau dapat mengalahkan
seekor banteng. Tiba tiba ia teringat sesuatu, "Ya, aku harus
menghadap guru ke gunung Penanggungan untuk memohon
ilmu aji Bledeksanga."
Setelah menentukan keputusan, maka iapun segera
mengambil kuda dan menuju ke gunung Penanggungan
menghadap gurunya seorang wiku yang sakti.
Sepeninggal Puranta dari hadapannya, ki demang tampak
berseri-seri wajahnya. la masih duduk di serambi. Berbagai
pikiran melalu-lalang dalam benaknya, "Hm, anak itu sudah
besar. Jika tak kutusuk dengan ucapan-ucapan yang keras, dia
tentu tak sadar dan tetap mengumbar kesenangan diri saja
....." "Ya, kutahu dia memiliki ilmu yang digdaya. Mudah
mudahan dapat mengalahkan banteng itu. Alangkah senang
hatiku apabila dia diangkat menjadi bhayangkara keraton. Dan
.. ah, bagaikan memeluk rembulan, apabila harapanku itu
terkabul ... " Demang Saroyo memanjakan diri dalam lamunan yang
gembira. Gembira karena mempunyai harapan kepada
puteranya "Hai ..." tiba tiba entah bagaimana demang itu
menjerit. Prang .... serempak terdengarlah suara berkerontang
nyaring macam cawan yang jatuh ke lantai...
Demang Saroyo terkejut dan berpaling. Ah, kiranya Puranti
sedang tegak terlongong-longong memandang kepadanya!
Tangan anak itu masih mencekal sebuah penampan, sedang di
sekeliling kakinya berhamburan keping-keping cawan dan teko
yang pecah berantakan di lantai.
"Rama ".." seru dara itu sesaat kemudian, "mengapa rama
tiba-tiba memekik begitu rupa sehingga aku terkejut dan
minuman rama jatuh berantakan dilantai."
Melihat puteri kesayangannya, demang Saroyo tersenyum
walaupun sedikit dipaksakan. "Ah, rama tak tahu kalau engkau
datang, Puranti. Tak apalah, suruh bujang menyapu lantai dan
ambilkan minuman yang baru lagi. Eh, tunggu dulu Puranti,"
tiba tiba demang Saroyo berseru mencegah ketika melihat
Puranti berputar tubuh hendak masuk. Dara itupun berhenti
"Mengapa, rama?"
"Kemanakah kakangmu Puranta?"
"Entah, rama. Ia mengambil kuda dan hanya meninggalkan
pesan kepada para penjaga kalau hendak kegunung
Penanggungan." "0, kesana" A h, mungkin dia hendak menghadap gurunya."
"Mengapa rama?"
Demang Saroyo batuk-batuk sebentar lalu menjawab, "Dia
hendak ikut dalam sayembara bertanding lawan banteng."
"Ih," Puranti agak terkejut "siapakah yang membuka
sayembara itu?" Ki demang lalu menceritakan tentang sayembara itu dan
tujuannya. "1h, mengapa kakang Puranta hendak ikut" Bukankah
berbahaya berkelahi dengan banteng itu" Apakah rama
mengidinkan?" bertubi tubi Puranti mengajukan pertanyaan
kepada ayahnya. Ki demang termangu. Di langit hati demang itu mulai berkabut awan. Awan yang
mengandung hujan sesal. Walaupun rasa sesal itu belum
menebal, namun sudah mulai menampakkan warna kelabu.
Sesaat berhembus pula sang pawana dan awan tipis itupun
tersiak-siak. "Puranti, lain kakangmu beda pula dirimu. Kakangmu
Puranta seorang anak laki dan engkau anak perempuan. Anak
laki lebih luas penjangkauannya, lebih besar kalangannya.
Semasa kecil engkau sering mainan dengan kawan-kawanmu
dan sering menyanyikan lagu-lagu dolanan. Apa nama lagu
itu, rama lupa. Tetapi rama masih ingat akan sebaris kata
katanya yang mengatakan begini "mumpung gede rembulane,
mumpung embar kalanganne"`. Kata kata itu sesungguhnya
mengandung suatu ajaran kepada kaum muda terutama anak
laki. Selagi rembulan besar, mengatakan bahwa masa muda
itu adalah ibarat rembulan besar, sedang dalam masa yang
gilang gemilang, tenaga, pikiran, semangat dan cita cita masih
penuh. Dan jembar ka'angane yalah menyatakan tentang
luasnya kalangan dan lapangan yang dapat dicapai oleh para
muda .... " Ki demang berhenti sejenak, lalu melanjutkan pula "Saat ini
kakangmu Puranta tepat dalam keadaan "gede rembulane,
jembar kalangane". Ibarat matahari sedang menjulang
ditengah. Biarlah dia meraih apa yang dapat diraihnya.
Sayembara bertanding melawan seekor banteng merupakan
pintu untuk melangkah ke arah hari yang gemilang. Jika
menang, kakangmu akan diangkat menjadi bhayangkara,
kemungkinan menjadi senopati. Bukankah keluarga kita akan
bangga dan nama kita akan makin menjulang?"
"Tetapi rama, bertanding melawan banteng itu besar
bahayanya!" Puranti tetap bercemas.
"Puranti, sesuatu yang besar ganjarannya tentu besar
bahayanya. Rama sendiripun tidak begitu mudah meraih
kedudukan menjadi kepala penjaga keamanan pura Kahuripan
dan pangkat demang ini. Banyak penderitaan dan jerih payah
yang harus kualami lebih dahulu. Dan tak perlu engkau
terlampau mencemaskan hal itu, puteriku. Kakangmu Puranta
sudah dewasa, tentu sudah dapat membawa diri. Apabila tak
sanggup menghadapi banteng itu, dia tentu dapat menyingkir
keluar gelanggang." "Tetapi aku tetap cemas, rama. Aku ingin ikut rama melihat
pertandingan itu," kata Puranti.
"Hah?" ki demang melongo "engkau anak perempuan,
mengapa mau ikut melihat tontonan yang ngeri itu" Dan
Puranti, bangsal para narapraja, senopati dan priagung, hanya
terisi oleh kaum pria. Tak ada wanita yang melihatnya kecuali
sang Rani. Tak lazim para priagung melihat pertandingan
semacam itu bersama garwanya. Apabila engkau ikut rama,
bukankah engkau akan menjadi tontonan juga ?"
"Apakah rakyat yang menyaksikan pertandingan itu semua
orang lelaki?" "Rakyat memang lebih bebas. Tentu ada juga orang2
perempuan yang akan melihat. Beda dengan para priagung
yang terpancang oleh adat naluri."
"Kalau begitu, bukanlah lebih babas menjadi rakyat biasa.
Mengapa rama suka menjadi narapraja dan mengapa pula
rama mengharapkan kakang Puranta memperoleh pangkat ?"
"Eh, engkau ini bagaimana Puranti," demang Saroyo
geleng2 kepala "setiap orang tentu ingin mendapat pangkat,
menjadi priagung. Pertama, karena rasa pengabdian kepada
negara dan sang Rani: Kedua karena mendapat penghormatan
dan kehidupan yang nikmat. Dan terakhir, karena martabat"..
nama dan keluarganya akan luhur. Oleh karma itu Puranti,
bukan melainkan terhadap kakangmu Puranta, kekudangan
rama dan ibumu itu tertuju, pun juga terhadap dirimu. Engkau
sudah remaja, ibarat kuntum bunga yang tengah mekar.
Mekarlah wahai puteriku, tunjukkanlah kegemilangan masa
mekarmu bagai kuntum melati yang ayu dan agung, putih
bersih. Semerbaklah dan keharumanmu sebagai lambang
puttri rama. Semoga doa rama diluluskan Dewata, agar kelak
engkau dipersunting oleh priagung yang luhur dan meluhurkan
nama orangtuamu." "Ah, rama ...." Puranti tersipu-sipu merah.
0o-dw-mch-o0 III Pagi itu Dipa dikejutkan oleh kedatangan Puranti. Sudah
beberapa kali, ia bertemu dengan puteri ki demang namun
setiap kali ia selalu seperti seorang gagu. Ia merasa bingung
untuk mencari kata2 dan apabila melihat ia tegak seperti
patung, Puranti pun tersenyum geli dan menegurnya. Baru
setelah itu Dipa merasa kerongkongannya terbuka dan dapat
bicara. Sesungguhnya Dipa pernah mempunyai kawan seorang
anak perempuan yalah Indu. Dengan anak perempuan cucu
demang Surya itu ia dapat bergaul akrab. Tetapi entah
bagaimana, apabila berhadapan dengan Puranti, ia seperti
bingung dan kehilangan diri.
Ada dua sebab yang menjadi sumber kelainan sikapnya
terhadap Indu, dengan sikapnya terhadap Puranti. Indu
dianggapnya sebagai kawan tetapi Puranti dipandangnya
sebagai puteri dari tuannya.
Dipa memang tahu menempatkan diri. Tetapi yang jelas
rasa rendah diri, masih belum terkikis habis dari sanubarinya.
"Kakang Dipa," sebagaimana biasanya, Puranti terpaksa
menegur lebih dahulu ketika melihat Dipa hanya termangumangu. Tampak Dipa sedikit menggeleparkan kepala seperii
burung yang mengibaskan kepala karena tetesan air hujan
"ada sedilat keperluan yang hendak kukatakan kepadamu,
kakang." "Silahkan memberi perintah, rara," sahut Dipa.
"Hari ini di alun2 Kahuripan akan diadakan keramaian
benar. Akan diselenggarakan sayembara untuk mengalahkan
banteng. Apakah engkau tak tertarik untuk melihat " "
"Ah, rara, aku harus
kademangan," jawab Dipa.
melakukan tugas menjaga "Apakah yang engkau jaga?"
"Keamanan dan keselamatan rakyat kademangan dan
keluarga ki demang."
"Termasuk diriku ?"
Dipa mengiakan. "Kakang, kalau aku ingin melihat pertandingan itu, apakah
kurang aman bagiku?"
Dipa mengiakan "Benar, rara. Apabita seorang puteri pergi
seorang diri, memang tak layak dan tak aman."
"Lalu bagaimana cara aku dapat melihat?"
Dipa merenung sejenak lalu mengatakan "seyogyanya
Puranti ikut pada ki demang."
"Ah, rama tak mengidinkan. Katanya tak lazim seorang
puteri ikut menonton pertandingan yang sengeri itu."
"Ya, memang demikian."
"Engkau mengatakan bahwa tak layak dan tak aman
apabila seorang gadis keluar seorang diri. Mengapa ?"
"Banyak gangguan. Maaf, kebanyakan anak2 muda apabila
melihat gadis berjalan seorang diri, tentu usil mulut,
mengganggunya dengan ucapan2 yang kadang tak senonoh."
Puranti tersenyum "Ya, benar. Lalu bagaimana kepergian
gadis itu aman dan terhindar dari gangguan semacam itu" "
"Harus ada yang mengantar."
"Itulah kakang, permintaan yang hendak kukatakan
kepadamu. Aku ingin melihat pertandingan orang melawan
banteng. Selama ini dan mungkin sepanjang hidupku, belum
tentu aku mempunyai kesempatan untuk menyaksikan
sayembara semacam itu. Aku minta engkau berdua dengan
paman Sura mengantar aku ke alun-alun."
Dipa agak gemetar mendengar kata2 gadis itu. Bukan
karena ia tak pernah berjalan mengiring seorang gadis tetapi


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena teringat akan ancaman Puranta supaya jangan berani
mendekati Puranti. Disamping itu, bagaimana kata ki demang
nanti apabila mengetahui hat itu.
"Bagaimana, engkau tak berselia?" tanya Puranti.
"Bukan tak bersedia tetapi aku benar-benar takut kepada
den Puranta dan ki demang."
"Aku yang minta kepadamu dan akulah yang bertanggung
jawab kalau mereka marah. Aku ingin menyaksikan
pertandingan itu maka kuminta engkau bersama paman Sura
mengantarkan agar jangan ada yang berani mengganggu aku.
Engkau tak bersalah bahkan telah menunaikan tugas menjaga
keselamatan dari leluarga ki demang. Bukankah begitu?"
Dipa terdiam. Ia tak menyangka bahwa permintaan puteri
demang itu akan sedemikian. Bila menolak ia kuatir Puranti
akan nekad pergi seorang diri. Apabila terjadi hal yang tak
diinginkan atas diri gadis itu, bukankah ia sebagai penjaga
keluarga demang Saroyo tentu akan mendapat teguran
bahkan mungkin hukuman dari ki demang" Namun kalau ia
meluluskan permintaan Puranti ?"". ah, akhirnya ia
menemukan keputusan. Ya, terpaksa ia harus mengantar
puteri demang itu. Ia akan mengajak Sura. Ia hanya
melakukan kewajiban yang diminta oleh Puranti. Apabila
Puranta atau ki demang marah, ia bersedia menerima
kesalahan bahkan kalau perlu, relalah ia ditepas dari
pekerjaannya. "Baiklah rara," akhirnya ia menyatakan kesediaannya.
Demikian bersama Sura ia segera mengiring puteri demang
menuju ke alun-alun Kahuripan.
Hari masih pagi namun sudah ramailah alun-alun keraton
Kahuripan. Rakyat berbondong-bondong datang dan
memenuhi lingkaran batas yang dijaga oleh prajurit-prajurit
yang bersenjata tombak dan perisai. Di muka pendapa keraton
didirikan bangsal yang saat itu sudah penuh dengan para
mentri, narapraja, senopati, demang, buyut dan lurah dari
seluruh desa ditelatah Kahuripan. Bahkan dari Daha datanglah
sang Rani, Haji Rajadewi Maharajasa, adinda dari Rani
Kahuripan. Demikian pula dari Majapahit karena baginda
Jayanagara sedang memimpin pasukan untuk menggempur
Lumajang, maka dikirimkanlah mentri Arya Tadah sebagai
utusan nata. Tak ketinggalan pula raja Wengker pun mengirim
putera mahkota raden Wijayarajasa, untuk memenuhi
undangan Rani Kahuripan. Bangsal yang berhias rangkaian janur beraneka warna,
berpatamkan kain warna warni dan bertonggak umbul-umbul
dan panji dari Kahuripan dan kerajaan2 yang mengirim
utusan, tampak megah meriah ditingkah surya pagi yang
cerah. Para putera raja, priagung dan tetamu2 yang
memenuhi bangsal, berpakaian indah berhias ratna permata
yang berkilau kilauan. Selama pertandingan belum di mulai,
merekalah yang menjadi sasaran pandangan mata rakyat
Kahuripan yang memenuhi sepanjang lingkungan alun-alun.
Tak henti-hentinya rakyat memuji akan kecakapan wajah dari
para putera priagung itu.
Beberapa waktu kemudian, suara percakapan dari para
tetamu2 agung itu sikap seketika tatkala Rani Kahuripan puteri
Tribuanatunggadewi tiba. Bagaikan barisan dewa2 yang
tengah menyambut kehadiran sang mahadewi Uma, raja
puteri yang memerintah para dewi di Suralaya, maka berdirilah
para tetamu agung itu menghormat kehadiran Rani Kahuripan.
Demikian setelah sang Rani hadir dan para tetamu duduk
tenang, tak berapa lama pertandinganpun dimulai.
Suasana yang hening, tiba2 meledak gempar pada saat
sekelompok pemuda berbaris jalan ke muka bangsal agung.
Tampik sorak menggelegar di delapan penjuru, mengelu elu
para pemuda yang akan bertanding melawan banteng. Mereka
tegak berjajar di muka bangsal lalu memberi hormat kepada
sang Rani dan para tetamu agung. Setelah itu mereka berdiri
di bawah bangsal. Sesuai dengan urutan yang telah ditentukan
sebelumnya, maka majulah seorang pemuda bertubuh kekar
ke gelanggang. Terlebih dahulu dia menghadap ke arah
bangsal dan memberi hormat kepada sang Rani, setelah itu
baru ia melangkah ke tengah lapangan.
Beberapa kejab setelah pemuda itu tegak di tengah
lapangan maka terdengarlah bunyi gong bertalu nyaring.
Seekor banteng dihalau masuk ke dalam gelanggang. Gegap
gempita sorak sorai para penonton demi melihat banteng itu
amat perkasa. Seekor banteng jantan yang tampaknya masih
liar dan bertenaga dalisyat. Sepasang tanduknya, agak
melengkung ke atas, tajam dan ujungnya mengkilap. Mulut
binatang itu tak henti hentinya mendengus-dengus, hidungnya
menghambur percikan air campur uap.
Diam2 pemuda itu gentar hatinya. Namun ia harus
menghadapi kenyataan dan mengatasinya. Dengan langkah
sarat dan mata mencurah lekat pada binatang itu, ia
melangkah pelahan-lahan menghampiri. Banteng pun rupanya
tahu akan kedatangan pemuda. Sifat2 keliarannya yang masih
menonjol, mempercepat gerak binatang itu untuk bersiap.
Setiap binatang lain maupun manusia yang akan mendekati,
tentu stgera disambut dengan sikap yang memberingas.
Demikian kebiasaannya tatkala masih di dalam hutan,
demikian pula pada saat itu.
Pemuda itu berhenti beberapa langkah di muka banteng.
Iapun mengambil sikap bersiap diri.
Hati segenap rakyat di sekeliling alun-alun yang telah
tertaut dalam gelombang ketegangan dan arus -debar was
was, pecah bagaikan gelembung air tertiup angin ketika
banteng perkasa itu bergerak maju menerjang pemuda itu.
Pemuda itu amat tangkas. Berkisar ke samping, secepat kilat
ia ayunkan tangan menghantam kepala banteng .....
Kehimpitan rasa tegang yang menyaksikan tandang
pemuda yang amat tangkas itu. Mareka sudah siap untuk
menggelorakan sorak sorai. Dan memang sorak-sorai itu tetap
berhamburan bagai arus sungai Brantas dikala bah. Tetapi
nadanya beda. Bukan sorak-sorai menyongsong kemenangan
si pemuda melainkan lebih banyak menyerupai lolong
kawanan serigala di tengah malam. Ngeri, seram.
Ternyata pada saat pukulan pemuda itu berayun
menghunjam kapala banteng, binatang itu memiliki naluri
yang tajam. Cepat ia menyurut mundur dan songsongkan
tanduk menyambut pukulan. Crek....... pemuda itu menjerit
ngeri ketika telapak tangannya tertembus ujung tanduk.
Secepat itu pula banteng yang berbulu hitam kelabu,
mengendapkan kepala lalu menjulang ke atas. Tetapi sabelum
tanduk bersarang di perut, pemuda itupun sudah rubuh. Luka
pada telapak tangan sedemikian rupa sehingga ia pingsan.
Seorang lelaki setengah tua, berlari-lari menghampiri
banteng dan membentak "Hai, binatang, hayo, lawanlah aku
Gedug Maruta dari tanah Panjalu!"
Dia bertubuh tinggi besar, gagah perkasa. Godek tebal,
kumis lebat sebesar kepal dan dada bidang berhias padang
bulu yang subur, makin menambah keseraman sikapnya.
Suaranya yang mengguntur, memikat perhatian banteng
tertumpah kepadanya. Binatang itu pun makin tampak liar
setelah tanduknya berbasah darah pemuda tadi. Darah itu
mengalir ke bawah, membentuk aliran2 merah yang
melingkar-lingkar mukanya. Makin seram tampaknya.
Rupanya banteng itu banyak menghadapi lawan ketika
masih berkeliaran di hutan. Nalurinya bertempur tajam.
Agaknya pula ia mengetahui bahwa orang tinggi besar yang
menggagah di hadapannya saat itu, beda dengan pemuda
lawannya yang pertama tadi. Maka binatang itupun segera
menundukkan kepala, mengarahkan tanduk ke muka lalu lari
menerjang lawan. Gedug Maruta pun sudah bersiap. Ia tak mau menghindar
melainkan dengan gerak loncatan harimau, menerkam kedua
tanduk binatang itu terus hendak diputarnya. Tetapi banteng
itupun memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya. Tak mudah
bagi lawan hendak melaksanakan maksudnya. Keduanya
saling bertahan, saling mengerahkan tenaga untuk
mendorong. Kembali rakyat yang menyaksikan pertempuran itu tegang
regang. Tiba2 terdengar suara mengaduh dan memaki dari
mulut seseorang, "Aduh ....... keparat, aduh mengapa engkau
mencekik leherku ...... "
Jeritan itu memaksa penonton berpaling. Tampak seorang
lelaki tengah mencekik leher seorang kawannya yang berada
di samping. Dan lelaki yang dicekik lehernya itu berusaha
untuk menyiak tangan orang itu, bahkan kakinya ikut bergerak
mendupak perut orang yang mencekiknya. Plak, karena
perutnya tersepak, orang itupun lepaskan cekakalannya. Kini
dia yang mendekap perut dan memaki-maki, "Jahanam, aduh,
mengapa engkau menendang anuku ......."
"Mengapa engkau mencekik leherku!" balas orang yang
dicekik tadi. "Tidak kena apa-apa. Perasaanku tegang sekali sehingga
tanpa kusadari tanganku ikut gerakan si Gedug, mencekik
lehermu ...... " "Ha, ha, ha, ha"." pecahlah gelak tertawa dari penonton2
yang mengetahui peristiwa itu. Mereka tak mengacuhkan
kedua orang itu lagi dan cepat berpaling ke tengah
gelanggang. Ternyata peristiwa semacam itu tak hanya dibagian tempat
terjadinya peristiwa kedua orang itu. Pun di ujung jajaran
penonton sebelah utara, terjadi juga. Karena tak kuasa
menahan luapan rasa tegang yang mencengkam hatinya,
seorang lelaki tiba2 menerkam kepala seorang penonton yang
berada di mukanya, lalu dibenamkan ke bawah sekuatkuatnya. Sudah tentu orang itu, seorang yang sudah agak tua,
menjerit-jerit minta tolong. Hari itu masih pagi, tiada hujan
tiada angin, tetapi mengapa tiba2 ia rasakan bumi yang
dipijaknya amblong dan kepalanya seperti ditindih batu besar
sehingga tubuhnya meluncur ke bawah ...
Duk?". tiba2 sebuah tinju melayang kedada orang yang
mendekap kepala orangtua itu "Bedebah, mengapa engkau
menyiksa bapakku!" teriak seorang pemuda dengan wajah
merah padam. Pukulan pemuda itu membuat orang iiu terhuyung-huyung
ke belakang. Untunglah karena membentur tubuh beberapa
penonton, dia tak sampai rubuh. Orang itu pun marah dan
hendak balas memukul. Tetapi dapat dilerai oleh beberapa
penonton. "Aku merasa tegang sekali sampai ikut menirukan
tangan Gedug Maruta yang hendak menekan kepala banteng
ke bawah," masih orang itu membela diri dari tuduhan putera
orangtua yang menjadi korbannya tadi.
Dilain seberang juga terjadi sedikit kegaduhan ketika
seorang penonton tiba2 meninju punggung seorang lelaki
yang berdiri di depannya. Duk ..... tersungkurlah lelaki itu
menimpah beberapa penonton yang berada di mukanya.
Hampir orang yang meninju tanpa alasan itu hendak dipukuli
orang banyak. Disertai permintaan maaf, orang itu memberi
penjelasan bahwa ia benar tak sadar karena dicengkam rasa
tegang yang meluap-luap. Diseberang jajaran penonton sebelah timur, di sela-sela
jajaran penonton, terdapat beberapa pemuda. Dan di
antaranya terdapat ptla seorang dara cantik. Pada saat
ketegangan suasana pertempuran itu memuncak, tiba2 salah
seorang pemuda itu mendekap tubuh perawan cantik itu.
Maksudnya hendak di peluk. Apabila nanti ditegur orang2 ia
hendak memberi alasan karena tak sadar akibat dilanda
ketegangan. Tetapi sebelum ia sempat melaksanakan
maksudnya, sebuah tangan telah mencengkeram bahunya dan
terus diremas sekuat-kuatnya
"Aduh ........." pemuda itu menjerit kesakitan dan
menjongkok ketanah. "Hm, jangan kurang susila kepada anak
puteri," seru orang yang meremas bahu seraya lepaskan
tangannya. Seorang pemuda yang bertubuh agak pendek
tetapi padat. Tiba2 anakmuda yang kesakitan itu melonjak bangun lalu
memukul. Tetapi baru dia gerakkan tangan pemuda bertubuh
padat tadi sudah mendahului mendorongnya ke belakang.
Anak muda terhuyung huyung berapa langkah dan merubuhi
kawan-kawannya. Mereka serempak menghampiri pemuda
yang membela dara itu. Tetapi pemuda itu tegak menggagah
dalam sikap bersiap. Entah bagaimana, rupanya kawanan
anakmuda itu gentar melihat sinar mata yang berwibawa kuat
dari pemuda bertubuh padat itu. Beberapa anak muda itu
hentikan langkah. "Kakang Dipa, sudahlah, jangan berkelahi. Mari kita pindah
ke lain tempat," tiba2 dara itu berseru kepada pemuda
pembelanya. Memang pemuda itu bukan lain Dipa bersama
Sura yang mengawal Puranti melihat sayembara.
Sebenarnya Dipa tak gentar tetapi demi mengingat
keamanan Puranti dan memikirkan pula tentulah puteri
demang itu akan ketakutan kalau melihat orang berkelahi,
maka iapun menurut. Mereka bertigapun segera pindah ke lain
tempat dimana jarang terdapat penonton2 dari kalangan anak
muda. Pada saat itu keadaan pertempuran di tengah gelanggang
telah mengalami perobahan. Bledug Maruta berbasil menekan
kepala banteng ke bawah. Namun tampak jelas betapa merah
padam wajahnya karena terlampau lama dalam ketegangan
mengerahkan tenaga. Apabila ia tekun menekuk kepala
binatang itu sampai menyentuh tanah, tentulah ada
kemungkinan ia dapat menundukkannya. Tetapi rupanya ia
tak mempunyai kesabaran sedemikian besarnya. Merasa dapat
menekan kepala banteng ke bawah, ia hendak menyudahi adu
tenaga itu dengan sebuah pukulan ke arah kepala. Ia yakin
pukulannya tentu dapat meremukkan kepala binatang itu atau
setidak-tidaknya dapat merubuhkannya.
Tetapi apa yang terjadi sungguh diluar persangkaan. Bledug
Maruta yang sudah melangkah diambang kemenangan itu
terpaksa harus menelan kekalahan yang pahit. Pada saat ia
mengangkat tangan kanan untuk menghantam, tiba2 karena
merasa tenaga yang menekan kepalanya berkurang, banteng
itu menjungkatkan tanduknya dengan sepenuh tenaga
Sebelum tinju tiba dikepala banteng, tanduk binatang itu
sudah bersarang ke perutnya. Seketika Bledug Maruta
menjerit dan rubuh berlumuran darah.
Melihat darah yang betwarna merah, banteng itu makin liar.
Ia hendak menanduk Bedug Maruta lagi tetapi sekonyong
konyong seorang pemuda bertubuh padat kekar berlari-lari


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketengah gelanggang terus menarik ekor binatang itu ke
belakang. Dengan demikian terhindarlah Bedug Maruta dari
bahaya maut. Pemuda itupun loncat menyerinap ke muka,
menerkam kedua tanduk banteng dengan tangan kiri lalu
tangan kanan menghantam kepala binatang itu. Plak, gerakan
yang dilakukan serba cepat oleh pemuda itu, mengejutkan
banteng. Dan rupanya pukulan itupun menimbulkan rasa sakit
pada binatang itu. Namun juga menimbulkan kemarahannya
yang meluap-luap. Ia meronta sekuat-kuatnya dari cekalan
tangan si pemuda lalu menerjangnya.
Banteng jantan yang perkasa itu ditangkap dari hutan di
daerah Kahuripan. Apabila orang, dia itu seorang pemuda
yang sedang mekar tenaganya. Gerakannya gesit, napas
panjang, tenaga kuat dan masih berdarah liar, cepat
mengamuk. Pemuda itu diterjangnya rubuh lalu diterjang lagi.
Walaupun tak menderita luka berdarah seperti kalau ditanduk,
namun diinjak-injak oleh seekor banteng yang seberat dua
tiga orang, membuat pemuda itu tak ingat apa2 lagi, rebah
pingsan ditanah. Demikian berturut-turut tentu keluar seorang jago setiap
kali ada yang rubuh. Tak kurang dari sepuluh orang yang
gagah dan kuat, tampil ke tengah gelanggang. Tetapi mereta
gagal mengalahkan banteng itu. Malah kekalahan itu ada yang
harus ditebus dengan luka dan darah. Sampai sekian -jauh,
belum juga banteng jantan itu dapat ditundukkan. Mulailah
penonton bertanya tanya apakah tiada seorang ksatrya yang
mampu mengalahkan binatang itu. Mereka-tak dapat
menemukan jawaban kecuali hanya mengharap dan
mengharap. Sementara itu banteng tegak di tengah lapangan.
Beristirahat sambil menunggu kedatangan lawan baru.
Matanya berkeliar mengelilingkan pandang, seolah hendak
bertanya kepada ribuan manusia yang berjajar jajar memenuhi
lapangan. "Hayo kamu manusia manusia, siapa lagi yang
berani maju melawan aku."
Rupanya sifat bangga, congkak, angkara, hadigang
hadigung, tidak saja dimiliki oleh manusia, pun binatang juga
mempunyai naluri sedemikian. betapa ayam jantan berkokok
nyating dan panjang apa bila habis hertempur mengalahkan
lawan, betapa kawanan kera menggerak-gerakkan tangannya
dan lain2. Demikianpun banteng itu.
Tantangan banteng jantan yang dilontarkan kepada rakyat
Kahuripan melalui pandang matanya yang menyala-nyala
mengandung ejek itu, cepat sekali sudah mendapat sambutan.
Seorang pemuda bagus berkulit kuning, melangkah ke tengah
gelanggang dengan ayunan langkah yang tenang.
"Kakang Puranta, kakang ...... " tiba2 Puranti berpaling dan
mencekal tangan Dipa yang berdiri di belakang. Getaran hati
yang mencengkam dara itu rupanya menyerbak cepat sekali
sehingga ia tak dapat menguasai diri dan tanpa sadar
mencekal tangan Dipa. Pantulan gerak dari seseorang yang
menderita rasa kejut, kadang memang melakukan sesuatu
yang di luar kesadarannya.
Dipa pun tersentak kaget. Ketika tersentuh oleh jari jemari
ba runcing bulu landak dari dara Puranti, serasa ada suatu
aliran hawa panas yang mengalir laksana gelombang laut.
Secepat kilat aliran hawa panas itu merangsang naik, melanda
dan menghantam jantungnya. Dek ?".. detak jantungnya
serasa berhenti, darah membeku dan badan pun terasa dingin.
Memang rasa tegang dan kejut dapat melepaskari pikiran
dari rasa sadar. Demikian Puranti. Tak seujung rambut pun ia
bermaksud menjamah tangan Dipa. Tidak setitik pun dara itu
mengandung pikiran yang kurang lurus. Ia mencekal tangan
Dipa dalam kewajaran rasa kejut dan tegang karena melihat
kakangnya muncul di gelanggang. Bahkan tangan Dipa yang
berobah dingin itupun tak dirasakan oleh Puranti karena
perhatiannya tertumpah pada Puranta.
"0, den Puranta ikut juga .... " hanya beberapa patah yang
terucap dari mulut Dipa. Dibiarkannya saja tangannya dicekal
Puranti. Bahkan karena ia merasa gembira tetapi karena ia tak
mau menyinggurg perasaan puteri demang itu. Apabila ia
menarik tangannya, Puranti tentu menyadari apa yang tengah
dilakukannya dan tentu akan tersipu sipu malu.
Dan memang tanpa Dipa melakukan hal itu, Puranti pun
segera menyadari sendiri. Ia lepaskan cekalannya. "Apakah
tidak berbahaya bagi kakang Puranta?"
Dipa cepat menghibur "Den Puranta gagah dan sakti. Ia
tentu dapat menghadapi banteng itu. Dan andaikata merasa
terancam, dia tentu dapat melepaskan diri dari bahaya."
"Bagaimana apabila kakang Puranta tak dapat meloloskan
diri dari bahaya?" Puranti tetap menginginkan suatu
keterangan yang dapat meredakan kecemasan hatinya.
"Tentu ada orang baru yang akan muncul ke gelanggang,"
kata Sura. "Ya, benar, setiap kali seorang. penantang kalah, tentu
segera muncul seorang penantang lain untuk mengalihkan
perhatian binatang itu." Dipa menambah keterangan.
"Kalau tak ada lagi pemuda yang berani masuk ke
gelanggang" Bukankah kakang Puranta akan menjadi korban
keganasan binatang itu" " Puranti makin meningkat
kecemasannya. Dipa dan Sura bungkam tak dapat menjawab.
"Kakang Dipa," kata puteri demang itu, "apakah engkau
membekal senjata pedang atau parang" "
"Tidak, rara," sahut Dipa agak. kaget "tetapi kakang Sura
membawa senjata." Puranti berpaling pedangmu." "Paman Sura, aku hendak pinjam Sura terbeliak "Untuk apa, rara?"
"Apabila kakang Puranta terancam bahaya dan tak ada
yang menoloug, aku hendak terjun ke dalam gelanggang dan
menusuk banteng itu."
Dipa dan Sura tersengat kaget "Jangan, rara, jangan,
berbahaya sekali ......."
"Lalu siapa yang akan manyelamatkan kakangku?"
"Ah" Dipa mendesah, "apabila rara memberi perintah,
akupun sanggup untuk melakukan hal itu."
"Tetapi berbahaya sekali."
"Apakah kalau rara yang melakukan tak akan lebih
berbahaya lagi" "Dipa balas bertanya.
"Untuk menyelamatkan kakang Puranta aku tak takut
menerjang bahaya," sahut dara itu dengan mantap.
Dipa kerutkan dahi, tertawa pelahan "Yang dikata
menyelamatkan itu yalah kita dapat membawa orang yang
hendak kita selamatkan itu lepas dari bahaya dan kita
sendiripun selamat. Tetapi apabila yang hendak kita
selamatkan itu tetap tak selamat bahkan diri kita sendiri
terancam bahaya, adakah hal itu sesuai."
"Yang panting, kita bertindak. Dan jangan memperhitungkan hasilnya serta jangan pula memikirkan
kepentingan diri kita."
Dipa hanya tersenyum mendengar sanggahan puteri
demang itu. Sesungguhnya ucapan dara itu masih terdapat
lubang2 kelemahan namun Dipa tak mau membantah karena
kuatir akan menyinggung perasaan dara itu "Benar, rara,
akupun takkan mempethitungkan hasil dan kepentingan diriku
apabila nanti harus menolong den Puranta. Tetapi semoga den
Puranta dapat mengalahkan banteng itu dan jangan sampai
mengalami hal-hal yang tak diinginkan."
Setelah mendapat janji Dipa, Purantipun agak tenteram
hatinya. Ia memandang pula ke gelanggang.
Di tengah gelanggang telah berlangsung pertempuran yang
mengasyikkan. Puranta berlompatan menghindari terjangan
banteng dengan gerak yang lincah, tangkas dan gesit.
Berulang kali penonton harus menahan napas apabila Puranta
melakukan suatu gerak penghindaran yang mendebarkan.
Banteng menanduk dan panghindaran yang dilakukan Puranta
itu tidak melompat sampai baberapa langkah ke samping
kanan atau kiri ataupun ke belakang, melainkan hanya
mengisar tubuh sedikit ke samping sehingga tubuhnya hanya
terpisah beberapa jari dari tanduk banteng.
Sorak sorai beralun-alun tinggi rendah bagai guruh yang
memekik mekik di angkasa. Hujan tepuk pujian mencurah ke
gelanggang, kepada anakmuda bagus yang sedang
berlincahan memainkan amarah sang lawan, banteng perkasa
yang telah merobohkan beberapa jago tadi. Suasana di
bangsal tetamupun tak kurang hiruk memikuk. Para tetamu
dan priagung bertanya-tanya siapakah gerangan pecanda
yang hebat itu. "Putera ki demang Saroyo," beberapa tetamu yang
kebetulan. duduk dekat dengan orang yang kenal demang itu,
memperoleh jawaban. "Hebat benar putera ki demang Saroyo itu," terdengar
ucapan2 yang memuji terlontar dari mulut Para tetamu. Dan
ketika sanjung pujian terdengar o!eh ki demang yang juga
berada dalam bangsal, merahlah wajahnya dengan seri
kegirangan dan kebanggaan seorang ayah.
Semula tatkala melihat puteranya muncul di gelanggang,
hati ki demang kebat kebit bukan main. Sudah hampir sepuluh
orang, yang kuat, yang perkasa, yang sakti, tak mampu
menundukkan banteng itu. Bagaimana mungkin Puranta dapat
melawannya " Tetapi setelah menyaksikan betapa tandang
puteranya menghadapi banteng itu, bagai awan tertiup angin,
cerahlah hati demang itu. Dari cemas berganti gembira lalu
meningkat bangga. Pujian memang sedap didengar, nikmat dirasakan. Namun
dibalik hati yang membahagiakan itu, tersembul pula suatu
garis yang memancang, menelungkupi orang yang terpuji itu
dalam lingkungan alam sesuai yang didambakan pujian itu.
Setiap gerak, setiap tindak, setiap ucap dan setiap segala
sesuatu yang menyimpang dari garis2 yang ditentukan oleh
Pujian itu, cepat akan menimbulkan rasa kecewa, rasa tak
puas bahkan kadang meningkat pada rasa kemarahan dan
cemohan dari orang yang memuji. Demikianlah pertanggungan jawab yang mengiring setiap pujian. Jadi
menerima pujian tak lepas dari menerima tuntutan tanggung
jawab untuk mempertahankan, memelihara dan menjaganya.
Disamping itu pula, kadang bahkan tak jarang, pujian itu
membawa akibat2 yang kurang baik bagi yang dipuji manakala
tak dapat menyadari akan pertanggungan jawab dari hikmah
pujian itu. Akibat2 yang kurang baik itu antaranya dapat
menjerumuskan orang pada rasa congkak, tinggi hati dan
mabuk lalu kehilangan sifat keperibadiannya. Mabuk tuak
dapat membuat pikiran limbung, kesadaran merana. Demikian
pula dengan mabuk pujian, akan membuat orang terbuai
dalam alam kebanggaan, kecongkakan dan ke-Aku-an. Pujian
adalah semisal gula. Gula manis rasanya tetapi apabila
terlampau banyak, gula itu berobah pahit. Demikian pula
pujian. Puranta pun tertimpah oleh akibat dari sanjung pujian yang
tak dapat dikuasainya. Akibatnya dia dikuasai oleh pujian itu.
Sifat pujian itu yalah mengemukakan sesuatu yang lebih.
Sesuatu yang luar biasa. Apabila tak bijak mengendalikan,
mudah menjurus kearah sifat sombong. Dan sifat sombong
itu, mengabaikan kewaspadaan, memanjakan kelengahan,
bertepuk kepuasan. Puranta ingin mengunjukkan kesaktiannya
melawan banteng perkasa. Dia berhasil dan dihujani tepuk
pujian yang hebat. Lalu dia basah kuyup dengan pujian itu.
Akibatnya ia menggigil kedinginan. Adakah hujan pujian itu
yang menyebabkan atau adakah dia sendiri yang salah karena
enggan menyelesaikan usahanya menghadapi banteng itu.
Yang dia merasa nikmat dan bangga menerima tepuk sorak
yang menggema. Ia bersantai-santai mempermainkan
lawannya agar sorak pujian itu tetap mengangkasa.
Setelah berulang kali terjangannya selalu menemui tempat
kosong, lama kelamaan semangat banteng itu tampak
mengendor. Gerakannya pun makin lamban, tidak manerjang
dengan lari deras melainkan dengan berjalan belaka. Sudah
sepuluh orang yang dihadapinya. Dan untuk menghadapi
setiap lawan, banteng itu harus mengerahkan tenaga dan
kekuatan. Mungkin dia sudah lelah atau mungkin dia merajuk
karena kali ini, berhadapan dengan Puranta, ia selalu gagal
menerjangnya. Selama lima hari Puranta menghadap gurunya di gunung
Penanggungan, ia berhasil menerima ajaran ilmu Bledek sanga
atau Petir-sembilan. Sebuah pukulan yang daya kesaktiannya
dapat menghancurkan batu. Namun oleh karena terpancang
oleh waktu, Puranta harus bergegas kembali ke pura
Kahuripan agar tak terlambat mengikuti sayembara. Lima hari
terlalu singkat untuk mempelajari ilmu semacam Bledeg
sangat dengan sempurna. Latihan Puranta masih jauh dari
sempurna. Tetapi disamping itu, ia mendapat juga ajaran dari
gurunya cara2 untuk menghadapi banteng yang akan
dilawannya itu. Berkat petunjak gurunya, dapatlah Puranta
menguasai lawannya. Setelah sekian lama mempermainkan lawan dan setelah
melihat bahwa banteng itu sudah mulai menurun semangat
kelahinya, akhirnya Puranta hendak menyudahi pertempuran
itu. Dihampirinya banteng yang rupanya sudah tak mau
bergerak lagi itu melainkan hanya berdiri tegak ditempat. Saat
itu jaraknya hanya tinggal tiga langkah dan banteng itu tetap
tak mau bergerak. Selangkah lagi dan selangkah lagi maka
berhadapanlah Puranta rapat-rapat dengan lawan. Banteng itu
tetap diam dan Puranta makin dapat hati. Pelahan-lahan
Puranta mengulurkan tangan kiri, ah, tangannyapun sudah
menjamah tanduk dan banteng itu tetap diam. Puranta tak
ragu2 lagi bahwa binatang ini tentu sudah kehabisan tenaga


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka tangan kanannyapun segera ikut menjulur mencengkeram tanduk. Kini kedua tangannya memegang
sepasang tanduk dan mulailah ia, menekannya ke bawah.
Banteng yang beberapa saat tadi seekor binatang yang liar
dan buas, saat itu tampak amat jinak. Binatang itu menurut
saja, kepalanya ditekan ke bawah. Ketika Puranta lepaskan
tangan kanan, banteng itupun menunduk walaupun hanya
ditekan oleh tangan kiri putera demang itu. Puranta tidak lagi
menghapus keraguannya, pun bahkan ia benar2 sudah yakin
bahwa banteng itu sudah menyerah. Segera ia mengangkat
tangan kanannya ke atas dan melambai-lambai pada rakyat
yang memenuhi sekeliling alun-alun.
Tampik sorak menggegap gempita. Rumput2 yang
menghias gelanggang tampak berguncang guncang dihembus
getaran pekik sorak yang menggelegar.
Puranti pun berpaling ke belakang, "Kakang Dipa, paman
Sura, hebat benar kakang Puranta. Ah, tak kukira dia
sedemikian sakti. Rama dan ibu tentu bangga sekali ...... "
Belum puteri demang itu menyelesaikan kata2 kegembiraan
hatinya, sekonyong konyong Dipa memekik keras "Rara,
lihatlah .... ! " Dan serempak pada saat itu pula, meledaklah
jerit pekik segempar gunung rubuh. Dari rakyat yang
menonton di dekat sekelilingnya dan dari segenap penjuru.
Puranti terkejut dan cepat berpaling ke arah gelanggang.
Seketika menjeritlah dara itu "Oh, kakang Puranta ..... !" Dan
serentak puteri demang itu terus hendak menerobos ke
gelanggang. "Jangan, rara," cepat Dipa berseru mencegah. Dan
sebagaimana yang dialami Puranti beberapa saat tadi, karena
dirangsang rasa kejut yang hebat, Dipa pun tak sadar. Ia
menyambar lengan Puranti untuk menghentikan langkah gadis
itu.. "Kakang ...." Puranti berpaling dan berterlak. Namun
sempat ia mengutarakan maksudnya, Dipa pun sudah loncat
ke gelanggang. Dengan beberapa lompatan, cepat ia sudah
tiba dihadapan banteng. Yang menjadi kehiruk-pikukan segenap rakyat yang
berjajar-jajar memenuhi sekeliling alun2. Pula yang
menyebabkan Puranti nekad hendak terjun ke tengah
gelanggang, tak lain karena peristiwa yang terjadi di
gelanggang itu. Pada saat Puranta mengangkat tangan dan
melambaikan tangan kepada lapisan rakyat, sekonyongkonyong banteng jantan itu menguak dan memancungkan
tanduknya ke atas dengan sekuat-kuatnya. Ternyata binatang
itu bukanlah kehabisan tenaga sesungguhnya melainkan
sedang mengumpulkan tenaga. Sesaat merasa tekanan tangan
Puranta pada kepalanya itu mulai ringan, banteng itupun
segera menyerempakkan seluruh tenaga, menanduk perut
Puranta, menghancurkan lawan yang sombong itu.
Puranta terkejut. Bukan sekedar kejut, tetapi suatu kejut
yang belum pernah dihayatinya. Suatu getaran kejut, yang
seolah menghentikan peredaran darah dan debaran jantung.
Dan memang rasa kejutnya saat itu, merupakan kejut yang
membawa maut. jiwanya dipertaruhkan dalam kejut itu. Ia
sudah kehilangan kemungkinan untuk menghindari tanduk
lawan, kehilangan waktu untuk menyiapkan sesuatu yang
dapat menyelamatkan diri. Satu-satunya daya yang dapat ia
lakukan, dan itupun sebagai akibat wajar dari gerak orang
apabila menderita serangan, yalah cepat2 menarik tangan
kanan untuk menghantam kepala lawan.
Plak, pukulan aji Bledeg sanga melancar tepat mengenai
kepala banteng. Tetapi karena pukulan itu dilancarkan tanpa
persiapan lambaran tenaga-murni, begitu pula karena hanya
baru lima hari ia berlatih ilmu itu. sekalipun tepat mengenai
kepalanya, namun banteng itu tetap dapat menerjangkan
tanduknya. Untunglah walaupun tak berhasil memecahkan
kepala banteng, tetapi pukulan itu dapat menghambat laju
tanduk yang hendak merobek perutnya. Dengan pukulan itu
perut Puranta selamat tetapi benturan gerak kepala banteng
dengan tinju, menyebabkan tulang lengan Puranta patah,
lengannya berdarah dan orangnya pun terlempar jatuh
terjerembab sampai beberapa langkah ...
Puranta, jago yang diduga bahkan hampir dapat dipastikan,
dapat mengalahkan benteng jantan, ternyata pada detik2
penyelesaian terakhir harus mengalami kegagalan yang pahit.
Ibarat orang menumpuk batu, pada waktu batu itu sudah
tertumpuk tinggi dan hampir selesai, tetapi ketika meletakkan
batu terakhir, di puncak tumpukan itu. tiba2 berhamburanlah
batu2 yang bertumpuk di bagian bawah. Dan segenap rakyat
yang menyaksikan peristiwa tak terduga-duga itupun berteriak keras, bukan teriakan pujian lagi melainkan teriak
yang merupakan jeritan ngeri.
Puranta belum sempat bangun dan andaikata dapat
bangun, pun tentu gerakannya lambat karena luka2 yang
dideritanya itu. Tetapi banteng itu sudah lebih cepat
menerjang. Juga banteng mempunyai naluri tajam bagaimana
harus bertindak menghadapi lawan yang rubuh.
Pada saat2 yang menegangkan itu, sekonyoig-konyong
sesosok tubuh kecil berlarian ketengah gelanggang. Dengan
sebuah gerak ayunan tubuh yang tangkas dan cepat, orang itu
pun sudah loncat menerkam tanduk banteng lalu ditahannya
dengan sekuat tenaga. Kembali suasana di sekeliling gelanggang hening seketika.
Orang pun menahan napas masing2 untuk mencurahkan
perhatian kepada perjuangan pendatang baru yang berusaha
menghentikan amukan banteng itu. Saat itu Dipa, demikian pendatang baru itu, berjuang kemati-matian. Walaupun dia masih belum dapat memutar tanduk banteng namun berkat tenaganya yang luar biasa,
dapatlah ia menghentikan gerak terjangan binatang itu.
Keduanya saling mengerahkan kekuatan untuk mendorong lawan. Makin lama tampak kepala binatang itu makin menghadap ke bawah. Dan orangpun mulai membayang kesan bahwa pendatang anakmuda itu berhasil. Harapan para
penonton mulai tercurah kepada Dipa. Semoga anakmuda itu
lebih berhasil dari putera demang yang saat itu masih rebah di
tanah. Namun harapan itupun bagai awan terhembus angin, ketika
tiba2 banteng itu menyerudukkan kepalanya ke atas dengan
amat kuatnya. Sedemikian kuat rupanya binatang itu
mengerahkan tenaganya sehingga tangan Dipa terasa sakit,
lalu melentuk tak kuasa menahan cekalannya dan akhirnya
tubuhpun terlempar ke udara.
Jerit teriak rakyat bergema pula.
Walaupun kehilangan keseimbangan tubuh sehingga
terlempar ke udara tetapi Dipa tak sampai kehilangan
kesadaran pikiran. Di tengah udara waktu masih melambung,
sempat pula Dipa menyelinapkan pandang matanya ke arah
banteng. Tampak binatang itu agak menundukkan kepada,
mengarahkan tanduk siap untuk menyambut pula tubuh Dipa
yang akan meluncur turun. Dipa pun menyadari akan bahaya
maut yang menunggu di bawah. Apabila ia melayang turun,
tak mungkin ia dapat menghindar atau menangkis sambutan
tanduk. Maka ia harus berusaha meluncur ke lain tempat.
Dengan seluruh sisa tenaga yang masih dimilikinya, ia
bergeliatan dan berhasil melencengkan tubuh, meluncur ke
atas punggung banteng .....
Banteng itu rupanya tahu pula akan siasat Dipa, cepat ia
mengisar kaki untuk mengarahkan tanduknya.
Tetapi serempak dengan gerakannya mengisar diri,
sekonyong-konyong dari ujung timur jajaran penonton,
seorang lelaki muda loncat ke dalam gelanggang dan sepesat
kijang lari ia sudah tiba di hadapan banteng. Banteng yang
tengah memandang ke atas mengarahkan perhatian pada
Dipa, rupanya tak menyadari kehadiran lelaki muda itu. Dan
ketika pun ia menyadari, namun sudah terlambat. Tiba2 lelaki
muda itu ayunkan kepalan tangannya menghantam kepala
banteng itu. Prak ....... terdengar bunyi menderak yang keras
macam tulang hancur. Dan tiba2 benteng itu terkulai ke
bawah, makin kebawah dan akhirnya rubuh ke tanah,
menggelepar- gelepar dan menggeliat-geliat keras sehingga
tanah lapangan itu berhamburan muncrat ke empat penjuru.
Krek "... Dipa meluncur turun tepat menginjak perut
banteng itu. Seketika banteng itupun berhenti dari gerak
peregangan jiwanya. Injakan kaki Dipa yang meluncur dari
udara itu, mematahkan tulang2 rusuk binatang itu. Secepat
pula Dipa loncat ke samping dan tegak di tanah.
"0, engkau kakang Kerta," serunya demi mengetahui siapa
lelaki muda yang menghantam kepala banteng itu. Ia segera
lari menghampiri lelaki muda yang berwajah tampan itu dan
serta merta ia memberi hormat seraya mengucap terima kasih
atas pertolongannya. "Ah, adi Dipa, mengapa engkau memiliki anggapan
demikian," pemuda yang memang bukan lain adalah Kerta
yang dijumpai Dipa sedang bertempur dengan gerombolan
berkerudung hitam, cepat menegur dan mencegah tindakan
Dipa, "bukankah engkau pernah juga meringankan bebanku
dikala aku menghadapi gerombolan berkerudung hitam itu"
Bukankah sudah selayaknya apabila aku membalas budi
pertolonganmu itu?" Keduanya bersalam tangan dan tertawa mesra.
"Kakang Kerta, hebat nian pukulanmu tadi," Dipa masih
lanjut menumpahkan kekagumannya "andaikata aku tahu
sebelumnya bahwa engkau juga berada di sekeliling
gelanggang aku tentu malu turun ke gelanggang."
Kerta manepuk-nepuk bahu Dipa, serunya tertawa
"Sesungguhnya akulah yang harus malu hati. Pikiranku
terkecoh oleh pandang mata sehingga kuanggap engkau
terancam bahaya. Ternyata engkau dapat ..... "
"Ah, kakang muncul pada saat yang tepat," tukas Dipa
"walaupun memang aku hendak berusaha untuk menyelamatkan diri tetapi mungkin gagal karena banteng itu
tajam sekali nalurinya."
Kedua sahabat itu bercakap-cakap sendiri bagai berada di
tempat yang senggang. Mereka lupa bahwa saat itu berada di
tengah gelanggang yang disaksikan oleh beribu ribu pasang
mata. Bahkan disaksikan pula para priagung dari berbagai
daerah dan dihadiri oleh Rani Kahuripan.
Tiba2 sangkakala membahana riuh rendah kemudian
diakhiri dengan dengung gong yang menggema, menggetarkan bumi. Kerta dan Dipa terkejut ketika sebuah
kelompok prajurit menghampiri ke tempat mereka.
"Ki demang Saroyo menitahkan kalian berdua menghadap,"
kata salah seorang prajurit.
Kerta bertukar pandang deagan Dipa, lalu menjawab "Maaf,
kami berdua bukan peserta dalam sayembara ini. Adalah
karena melihat kawanku ini terancam bahaya maka akupun
terpaksa tampil ke gelanggang."
"Kami diperintahkan membawa kalian ke hadapan ki
demang. Apapun yang kalian hendak katakan, silahkan di
hadapan ki demang saja," kata prajurit itu pula.
Terpaksa Kerta dan Dipa menurut. Keduanya dibawa ke
hadapan demang Saroyo yang berada di muka bangsal agung.
"Dipa, mengapa engkau tak menjaga di kademangan tetapi
berada dialun-alun?" tegur demang Saroyo.
"Hamba disuruh puteri ki demang untuk mengawalnya
melihat sayembara di alun-alun ini," jawab Dipa.
"0, Puranti juga menonton" " desuh demang Saroyo "anak
itu memang keras hati benar. Ya, akan kutanyakan kepadanya
benarkah engkau disuruh mengawal."
Kemudian demang Saroyo beralih kepada Kerta
"Engkau siapa anakmuda" "
Kerta pun segera memberi keterangan nama dan tempat
asalnya serta maksud tujuannya ke Kahuripan
"Sesungguhnya hamba tak berminat ikut dalam sayembara.
Adalah karena melihat kawan hamba terancam bahaya,
terpaksa hamba turun ke gelanggang."
Demang Saroyo mengamati pemuda dari Sagenggeng tanah
Singasari itu dengan seksama. Didapatinya pemuda itu amat
cakap dan berwajah agung. Beda dengan pemuda
kebanyakan. Setelah pemuda itu selesai memberi keterangan
maka demang Saroyo pun berkata lebih lanjut, "Engkau amat
gagah dan sakti, anakmuda. Tetapi engkau bukan peserta
sayembara. Dan lagi pula, engkaupun melanggar peraturan
sayembara. Yalah, banteng itu harus dikalahkan oleh seorang


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peserta. Tak boleh dikerubuti. Maka sebagai ganti daripada
ganjaran karena engkau dapat membunuh banteng itu,
engkau akan menerima hukuman karena telah lancang
membunuh binatang yang diperuntukkan sasaran pokok dari
sayembara itu! Kerta terkesiap, Dipapun terkejut "Ki Demang hamba
mohon, hukuman itu dialihkan kepada diri hamba. Yang
lancang melanggar peraturan sayembara, adalah hamba.
Kakang Kerta hanya menolong hamba belaka."
"Hm, tetapi yang membunuh banteng itu adalah dia, bukan
engkau!" "Hamba mohon untuk, mewakili kakang Kerta menerima
hukuman itu. Dan apabila hamba sendiripun akan dihukum,
biarlah hamba pikul seluruhnya."
"Jangan engkau membantah keputusanku. Dia yang
membunuh banteng itu, bukan engkau!" hardik demang
Saroyo. Entah bagaimana, selama bekerja di kademangan Dipa
seorang pengalasan yang patuh dan pendiam. Tetapi pada
saat itu, tiba2 dia menampakkan keberanian dan ketegasan,
"Ki demang, apabila kakang Kerta dihukum, Dipa pun mohon
dihukum juga!" Kerena dapat membunuh banteng, Kerta dan Dipa menjadi
buah perhatian segenap lapisan rakyat. Walaupun dengan
matinya banteng itu, sayembara pun bubar tetapi rakyat
masih tetap belum mau meninggaikan alun-alun. Rupanya
mereka masih ingin menyaksikan bagaimana kelanjutan dari
kedua orang muda yang menimbulkan kegemparan itu. Pada
umumnya rakyat menduga kedua pemuda itu tentu akan
menerima ganjaran karena keberanian dan kesaktiannya.
Dibawanya kedua anakmuda ke hadapan demang Saroyopun
diikuti dengan penuh perhatian oleh rakyat. Sayang karena
jaraknya jauh, mereka tak dapat menangkap pembicaraan
demang Saroyo dengan kedua anakmuda itu. Mungkin apabila
mereka mendengar pembicaraan itu, tentulah akan terjadi
sesuatu...Jelas rakyat memuji dan mengagumi keduanya.
Keputusan ki demang itu, tentu tak dapat diterima oleh rakyat.
Para tetamu agung dibangsal kehormatan pun mengikuti
juga gerak gerik kedua muda itu di hadapan ki demang.
Beberapa tetamu yang duduk tak jauh dari ki demang,
mendengar juga keputusan yang dijatuhkan demang itu.
Serentak timbullah kegaduhan dari sementara tetamu karena
tak puas atas keputusan demang Saroyo. Namun mereka
menyadari kedudukannya sebagai tetamu. Walaupun tak
setuju namun merekapun tak berani ikut campur.
Rupanya suasana yang agak hiruk itu menarik pula
perhatian sang Rani. la segera menitahkan ki Rangga Tanding
untuk memanggil demang Saroyo. Ketika demang itu
menghadap, maka Rani Kahuripan pun bertanya tentang
pembicaraan ki demang dengan kedua orangmuda itu. Agak
terkejut beberapa mentri, narapraja dan priagung ketika
mendengar keputusan yang dijatuhkan demang Saroyo
kepada kepada kedua anakmuda itu. Sang Rani sendiripun
agak terkejat juga. Namun ia cukup bijaksana untuk
mengambil langkah. Walaupun dalam hati taksetuju tetapi tak
mau sang Rani segera menghapus keputusan demang Saroyo.
Ia tak mau menyinggung perasaan orang, sekalipun demang
itu adalah orang sebawahannya.
"Panggil mereka kemari, paman demang," akhirnya sang
Rani memberi titah. Ia ingin mendengar sendiri alasan mereka
turun ke gelanggang dan lancang membunuh banteng.
Tampak dengan diiring o!eh sekelompok prajurit, masuklah
Kerta dan Dipa ke dalam bangsal, menghadap sang Rani.
Seluruh mata menteri narapraja Kahuripan dan para tetamu
agung, mencurah ke arah kedua anakmuda yang hebat itu.
Tiba2 seorang priagung muda yang duduk pada jajaran
tetamu utusan dari lain daerah, serentak berbangkit dari
tempat duduk, melangkah ke muka menyongsong kedua
anakmuda itu "kakang Wardhana, engkaukah?"
Kerta terkesiap. Dan lebih terkejut pula ketika ia
mengetahui siapa priagung muda itu. Sejenak beringsut-ingsut
seperti hendak menyembunyikan diri akhirnya dia terpaksa
berkata, "Ah, dimas Wijaya, engkau hadir juga?"
Keduanya saling berpelukan bagai dua-orang sahabat karib
yang sudah lama tak berjumpa. Para tetamu dan mentri
Kahuripan terbeliak lalu timbul kesan mengagumi ketampanan
kedua pemuda itu. Sungguh serasi benar, bagai saudara
sekandung. Priagung muda yang disebut Wijaya itu adalah pangeran
Wijaya dari Wengker. Pangeran anom yang bakal
menggantikan kedudukan ayahanda raja Wengker.
Sesaat kemudian kedua pemuda bangsawan itupun
menyadari bahwa saat itu mereka sedang berada di bangsal
agung, dihadapan Rani Kahuripan. Buru2 mereka lepaskan diri
dan menghadap sang Rani. Rani Kahuripan mendengar teguran pangeran Wijaya
kepada pemuda yang dipanggil menghadap itu. Raden Wijaya
adalah putera raja dengan demikian sahabatnya itupun
keturunan orang bangsawan, sekurang-kurangnya putera
mentri. yang berpangkat tinggi. Ketika pemuda itu sudah
berada di hadapannya barulah sang Rani terkejut, serunya, "0,
engkau Kerta ....." Kerta mengunjuk sembah "Benar, gusti, hamba Kerta."
"Dan engkau Dipa," seru sang Rani pula kepada Dipa. Dipa
pun tersipu sipu mengunjuk hormat.
"Kerta" ujar raja puteri Kahuripan itu "engkau kenal dengan
pangeran Wijaya dari kerajaan Wengker itu?"
"Raden Wijaya itu adalah kawan hamba "
"0" Rani Kahuripan terkesiap. Pangeran anom Wijayarajasa
itu adalah putera mahkota dari kerajaan Wengker. Dan ia
masih ingat bahwa Kerta itu mengaku berasal dari desa
Sagenggeng. Bagaimana mungkin seorang pemuda desa
dapat berkenalan dengan seorang putera raja"
Rani Kahuripan seorang raja puteri yang memiliki naluri
tajam dan perasaan halus. Dengan naluri keputeriannya, ia
seolah mendapat kesan bahwa dalam diri pemuda Kerta itu
tentu tersembunyi suatu rahasia. Seri wajahnya yang berseri
terang, memantulkan suatu kelainan wibawa dari pemuda
yang kebanyakan. Demikian pun apabila menilik gerak gerik
dan tutur bahasanya, tidaklah mencerminkan peribadi seorang
pemuda desa. Entah bagaimana timbullah suatu keinginan
yang tak disadari, untuk mengetahui siapa sebenarnya
pemuda dari Sagenggeng itu.
Namun perasaan halus dari rani Kahuripan itu tak
menghendaki suatu tindakan yang dapat menyinggung
perasaan orang. Ia tak mau langsung menyatakan tak percaya
kepada keteraagan pemuda itu karena hal itu mungkin dapat
menimbulkan rasa malu pada Kerta. Maka dicarinya akal untuk
mendapatkan keterangan dari lain fihak. Dan sasarannya jatuh
pada pangeran anom Wijaya. Dimintanya pangeran dari
Wengker itu menghadap. "Raden,". bagaimanakah raden kenal pada pemuda ini?"
tanyanya ketika pangeran Wengker itu menghadap
Mendengar itu pangeran Wijaya agak heran. Mengapa tiba2
sang Rani menginginkan keterangan tentang diri Kerta. Ah,
mungkin sang Rani hendak memberi ganjaran pangkat kepada
pemuda itu karena berhasil merubuhkan banteng.
Di lain fihak, pemuda Kerta itu tampak gelisah duduknya. Ia
bingung bagaimana mencari akal untuk memberi isyarat
kepada raden Wijaya itu agar jangan mengatakan siapa
dirinya. Namun tak ketemu juga akal itu.Karena terpaksa,
iapun batuk2. Mudah-mudahan pangeran dari Wengker itu
karena mandengar ia batuk2 akan berpaling kearahnya. Dan di
situlah ia nanti akan melepaskan isyarat mata.
Tetapi yang diharap itu tak pernah terlaksana. Rupanya
karena sedang menghadap sang Rani, pangeran Wijaya tak
sempat pula untuk berpaling. Dan pula, pangeran itu hanya
menyangka bahwa kebetutan saja pemuda Kerta itu batuk2
tetapi tak mengandung maksud apa2 "Gusti," ia memberi
sembah kepada Rani Kahuripan "sudah bertahun-tahun hamba
kenal dengan kakangmas Kertawardhana itu."
Walaupun sudah diduga bahwa apa yang akan diperoleh
dari pangeran Wijaya itu tentu suatu keterangan yang luar
biasa mengenai diri Kerta, namun apa yang didengarnya
ketika pangeran Wengker itu menyebut nama Kertawardhana,
menyebabkan sang Rani terbeliak kejut "Siapa namanya" " ia
mengulang. "Wardhana, gusti."
"Ah, tentulah juga putera seorang priagung berpangkat
tinggi." "Bukan melainkan hanya pangkat tinggi, gusti, tetapi lebih
dari itu." Sang Rani makin terkejut "Siapa ?"
"Putera dari paman Cakradara, akuwu dari Tumapel yang
dahulu, gusti." "O," Rani Kahuripan makin meridesuh kejut "mengapa dia
mengaku bernama Kerta"
"Memang namanya yang lengkap raden Kertawardhana,
gusti," kata raden Wijaya pula.
Diam2 giranglah hati sang Rani mendapat keterangan itu.
Apa yang diduganya memang benar. Namun sebagai seorang
raja puteri, tak mau ia mengunjukkan rasa girang itu
berkemanjaan pada wajahnya "Ah, raden Wardhana ....."
"Mohon diampunkan kesalahan hamba, gusti," raden
Kertawardhana cepat berdatang sembah, "bukan maksud
hamba hendak menyelubungi diri dengan keterangan yang
palsu, bukan pula hamba hendak menodai kepercayaan
paduka. Tetapi hamba gemar berkelana menjelajah desa dan
pura, melintasi gunung dan rimba. Hamba mendapat
pengalaman dan kesan, bahwa lebih leluasa kiranya apabila
hamba bersalin nama sebagai pemuda desa."
"Tetapi degan tindakan itu, raden tentu banyak mengalami
kesulitan selama mengunjungi daerah Kahuripan."
"Sekali-kali tidak, gusti," sahut raden Kertawardhana "pada
hemat hamba, kesulitan2 itu dapat mendekatkan hamba pada
sesuatu yang sebenarnya."
"Apakah kesan raden selama bercengkerama di Kahuripan?"
tanya sang Rani pula. "Banyak kesulitan yang indah hamba peroleh, gusti. Hamba
katakan indah karena kesulitan itu telah mendekatkan hamba
kepada kenyataan yang terdapat dalam mimpi hamba
sebagaimana hamba pernah haturkan dahulu."
"0, mimpi raden tentang matahari kembar itu?"
"Benar, gusti "
Rani Kahuripan tersipu-sipu merah wajahnya. Nalurinya
yang tajam segera dapat menyelami apa yang terkandung
dalam ucapan putera bekas raja Tumapel itu. Secercah sinar
gemilang, merekah dalam sanubari raja puteri itu. Namun ia
menyadari bahwa saat itu sedang berada dalam bangsal
agung dihadap oleh segenap mentri Kahuripan dan para tamu
agung dari berbagai daerah. Tak boleh kewibawaannya
terlelap oleh khayal betapa yang membahagiakan pun jua.
"Mengapa raden turun ke gelanggang membunuh banteng
?" cepat Rani alihkan pembicaraan. Dan raden Kertawardhana
pun segera menuturkan perkenalannya dengan Dipa.
"0, demikiankah Dipa." seru Rani kepada Dipa.
Dipa mengiakan. "Jika demikian engkau bekerja pada demang Saroyo,
bukan" " Dipa pun berdatang sembah mengiakan pula.
"Mengapa" Bukankah dahulu telah kuberimu sebentuk
cincin. Setiap waktu engkau datang ke Kahuripan, engkau
harus lekas menunjukkan cincin itu kepada paman rangga
yang akan membawamu menghadap kepadaku. Bukankah
engkau sudah berjanji, Dipa?"
Dipa agak gemetar. Memang ia merasa bersalah karena tak
memenuhi janji kepada sang Rani. Namun hal itu terjadi diluar
kemampuan dan keinginannya.. Bagaimanakah ia harus
mempersembahkan keterangan kepada raja puteri Kahuripan "
Apabila ia menerangkan apa yang telah terjadi, tentulah
demang Saroyo akan mendapat teguran. Pada hal ia tak
menginginkan hal serupa itu akan terjadi "Duh, gusti, mohon
paduka berkenan melimpahkan ampun kepada diri hamba.
Hamba merasa rendah dihadapan paduka maka hamba pun
menerima saja titah ki demang untuk mengabdi di
kademangan." Sejenak Rani Kahuripan mengerling pandang ke arah
demang Saroyo "Demang Saroyo, mengapa engkau tak
mempersembahkan anak itu kepadaku tetapi engkau pakai dia
di kademangan?" "Mohon diampuni kesalahan hamba, gusti. Hamba
memerlukan seorang anakmuda yang berani dan jujur untuk
menguasai keamanan pura Kahuripan."
"0, langkah yang baik paman demang," ujar Rani "tetapi
tahukah engkau siapa Dipa itu?"
"Tidak gusti, hamba tak tahu."
"Ketahuilah demang Saroyo, Dipa itu sejak beberapa lama,
sudah kuangkat sebagai prajurit Kahuripan," kata sang Rani
lain menuturkan secara singkat bagaimana dahulu Dipa telah
menolong ratha sang Rani yang hampir menjerumus ke dalam
lembah. Saat itu hari siang tetapi demang Saroyo seperti bermimpi.
Mimpi buruk di siang hari. Dua peristiwa sekaligus menghantui
pikirannya. Bahwa pemuda Kerta ternyata raden Kertawardhana putera akuwu Tumapel yang dahulu. Bahwa
Dipa, pengalasan yang bekerja padanya, ternyata seorang
yang berjasa kepada Rani Kahuripan. Dan kedua-duanya
karena membunuh banteng, hendak diberinya hukuman.
Wajah demang itu tampak pucat tak berdarah. Ia menyadari
bahwa menyembunyikan Dipa untuk kepentingan kademangan
merupakan suatu tindak kesalahan yang terancam hukuman.
Namun kesemuanya telah terjadi dan ia tak dapat berbuat
apa2 kecuali pasrah diri kepada keputusan sang Rani.
"Paman demang," ujar Rani Kahuripan pula "puteramu tadi
memang gagah tetapi akhirnya gagal juga untuk mengalahkan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banteng, Bahkan dia terancam maut manakala Dipa tak keluar
ke gelanggang. Dan munculnya raden Wardhana ke
gelanggangpun karena hendak menolong Dipa. Adakah paman
demang tetap hendak melangsungkan keputusan paman
untuk memberi hukuman kepada mereka ?"
"Tidak gusti," serta merta demang itu menghatur sembah
"mereka lebih layak diberi ganjaran dari pada menerima
hukuman. Dan hambapun merasa bersalah karena tidak
menghaturkan Dipa kepada paduka."
"Gusti" cepat pula Dipa berdatang sembah, "hamba
sendirilah yang menginginkan menjadi pengalasan di
kademangan itu. Karena hamba menyadari tak punya
pengalaman apa2 maka hamba hendak memulai dari bawah
agar kelak tidak canggung lagi bila hamba mengabdi kepada
paduka." Rani Kahuripan tertawa... Ia tahu maksud Dipa yang
hendak melindungi demang Saroyo. Ia pun menjatuhkan
hukuman kepada demang Saroyo., Kemudian ia menitahkan
Dipa supaya dua hari kemudian, setelah perayaan selesai,
menghadap ke keraton. Dan saat itu Dipa diperkenankan
pulang tetapi raden Kertawardhana dipersilahkan berada
dalam bangsal para tetamu agung untuk mengikuti upacara
dan perjamuan besar dalam keraton.
Demikian Dipa mohon diri dari hadapan Rani Kahuripan lalu
bergegas-gegas kembali ke alun alun untuk mendapatkan
Puranti dan Sura. Saat itu sayembara sudah dinyatakan
ditutup, rakyat pun berbondong-bondong pulang. Betapalah
kejut Dipa ketika tak menemukan Puranti dan Sura
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
ditempatnya tadi. Tentulah mereka sudah pulang, pikirnya.
Dan ia segera ayunkan langkah menuju ke kademangan.
Surya sudah condong ke barat. Dipa berjalan menyongsong
sinar surya yang gemilang. Langit pun cerah secarah hatinya
yang saat itu merekah, menjelang hari yang akan membawa
dirinya ke suatu alam kehidupa baru.
Apapun yang akan terjadi, apapun yang akan dialami dan
betapapun hari depan yang akan dijelang, tidaklah merisaukan
hatinya. Hatinya tenang, pikiran mengendap dan pendiriannya
mantap. Bahwa titah itu hanya kuasa berdaya upaya, Gusti
Yang Maha Agung yang kuasa menentukan segalanya ......
O0=dw-mch=0O JILID 18 I "Ingatlah baik-baik, hai,
Arjuna. Bahwa arus hawa nafsu seringkali menjatuhkan
juga orang2 alim yang sungguh2 berusaha membulatkan pikirannya dan
menghanyutkan pikiran baik
itu dengan kekerasan."
Demikian ujar Sri Krishna
ketika menjawab pertanyaan
Arjuna di medan perang Kurusetra sesaat Arjuna tibatiba hatinya bimbang karena
harus berperang melawan resi Bhisma dan pandita Druna. Dan Dipa mendengar ujar2 itu dari demang Suryanata
apabila demang itu bercerita kepada cucunya, sidara Indu.
"Benarkah hawa nafsu itu merupakan musuh yang terbesar
dari manusia ?" seringkali Dipa bertanya pada diri sendiri.
"Akulah salah satu dari korban hawa nafsu manusia2 yang
tergabung dalam Dharmaputera itu" di akhir cerita, demang
Suryanata ingin memberi bukti dari kebenaran ucapan di atas.
Dipa mengangguk. Namun dalam hati anak itu masih belum
yakin, selama ia belum banyak menjumpai hal-hal yang sesuai
dengan ujar-ujar itu. Tatkala itu, iapun bprtanya kepada demang Surya, apakah
yang disebut hawa nafsu. "Hawa nafsu adalah Keinginginan yang berlebih-lebihan,
keinginan yang tidak wajar sehingga untuk mencapai
Keinginan itu, sering manusia menggunakan kekerasan,
kebohongan, kepalsuan, kekejaman dan seribu satu macam
cara yang tidak layak," jawab demang Surya. Rupanya
demang itu menggunakan kata-kata yang sederhana agar
Dipa dapat menangkap maksudnya.
Dan sejak ia berkelana, memang selalu saja ia melihat,
mendengar dan mengalami berbagai bentuk tingkah ulah
manusia yang selalu menimbulkan peristiwa2 dalam
kehidupan. Hal itu lebih dirasakannya, manaka)a ia tiba di
sebuah kota yang banyak penduduknya, di pusat kerajaan.
Dan kesemuanya itu, menjadikan bekal pengalaman yang
berharga bagi Dipa. Melalui cermin pengalaman hidup itulah
maka Dipa makin memperoleh penerangan dan kematangan
jiwa. Ia banyak belajar dari pengalaman manusia dan
kehidupan daripada dari kitab2. Dan memang ia tak banyak
kesempatan untuk menuntut ilmu dalam kitab-kitab itu.
"Pengalaman itu adalah guru yang terbaik, anakku,"
demikian ujar pandita Padapaduka "kajilah pengalamanpengalaman yang engkau alami itu, tentu engkau akan
memperoleh pelajaran2 yang berguna dan bermarfaat."
Dipa selalu memperhatikan, melihat, mendengar dan
mengolah kesan serta kesimpulan dari setiap peristiwa yang
dialami atau yang terjadi di sekelilingnya. Kehidupan
margasatwa di hutan belantantara, kesuburan padi dan jetai di
ladang, ketenasingan suasana pemujaan dalam candi dan
rumah suci, ketekunan bekerja dari para tuha dan juru serta
kesibukan rakyat di kota memburu kehidupan. Tak luput dari
perhatian dan pemikirannya.
Tanpa disadari anak itu berangkat dalam alam kedewasaan
usia dan jiwa serta pengalaman. Dan pengalaman itulah yang
selalu menjadi pegangan ia menghadapi suatu peristiwa dan
persoalan. Itulah sebabnya pula, ketika hendak menolong
Bayangan Berdarah 11 Fear Street - Cewek Baru The New Girl Love Me Twice 2

Cari Blog Ini