Ceritasilat Novel Online

Gajah Kencana 30

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 30


orang-orang Wukir Polaman itu menawan para pandita candi
Tigawangi dan mereka menyaru jadi pandita disitu. Setelah
rencana mereka untuk menculik patih Iswara dan
rombongannya, mereka anggap berhasil, lalu para pandita itu
akan dikembalikan lagi ke candi Tigawangi untuk
mempertanggung jawabkan tuduhan sebagai penculik patih
Iswara apabila Daha akan mengirim pasukan untuk menyerbu
candi Tigawangi" "O, sungguh cerdik sekali rencana mereka itu?" seru Dipa.
Tetapi sesaat kemudian ia bertanya agak meragu "tetapi
bagaimana paman resi yakin kalau orang-orang yang
memanggul tubuh para pandita itu, orang-orang Wukir
Polaman?" "Ketika berhadapan dengan dia yang menyaru sebagai resi
Mingala serta anakbuahnya yang menyamar pandita, jelas
kuperhatikan bagaimana tegap dan kekar tubuh mereka. Beda
dengan yang tampak pada para pandita dan brahmana
umumnya" Dipa mengangguk. Diam-diam ia kagum atas ketelitian resi
bungkuk itu "Lalu bagaimana langkah kita sekarang ?"
"Kita kembali ke candi, menyambut kedatangan patih
Iswara dengan pasukannya" kata resi Kadipara.
Demikian keduanya segera menuju ke candi Tigawangi lagi.
Untuk menghindari jangan sampai berpapasan dengan orangorang Wukir Polaman yang diduga tentu akan kembali ke guha
tempat tawanan prajurit-prajurit Daha, resi Kadipara dan Dipa
berjalan melingkar jalan di lereng bukit. Suatu perjalanan yang
memakan waktu lebih lama.
Dengan mengambil jalan panjang itu, memang mereka
terhindar dari orang-orang Wukir Polaman. Tetapi perjalanan
itu ternyata tak menguntungkan. Karena malam kelam dan
pekat, resi Kadipara dan Dipa agak bingung ketika harus
memilih sebuah simpang dua. Dan sial pula karena pilihannya
keliru sehingga mereka tersesat makin jauh dari Tigawangi.
Hal itu baru diketahui resi Kadipara setelah hari terang tanah.
Keduanya segera bergegas gegas lari kembali ke arah
selatan. Tepat dikala surya sudah naik agak tinggi, barulah
mereka tiba di Tigawangi.
Pemandangan pertama yang menyengat pandang mata
keduanya yalah berkerumunnya prajurit-prajurit berkuda
memenuhi halaman candi. Dan makin dekat makin tampak
jelas bahwa prajurit-prajurit itu prajurit Daha.
Tiba-tiba di muka candi, kedua orang itu cepat tertarik
perhatiannya pada serombongan pandita yang berjumlah
berpuluh orang tengah tegak berjajar jajar menghadapi
sebuah tandu yang dipikul oleh delapan lelaki perkasa. Di
belakang tandu yang berhias mewah itu, berpuluh prajurit
tegak dengan senjata terhunus.
"Hamba resi Karpala, ketua para pandita penghuni candi
Tigawangi" kata seorang pandita tua. Ia menghadap ke arah
tandu dan rupanya sedang menjawab pertanyaan orang yang
berada dalam tandu. "Resi Karpala, mengapa engkau menghadang perjalanan
rombongan patih Iswara semalam?"
Resi tua itu terbeliak "Sama sekali kami tak merasa berbuat
demikian, gusti patih ..."
"Seorang brahmana pantang berbohong. Katakan, di mana
engkau pada saat itu?"
"Kami tak ingat suatu apa, gusti patih. Tatkala bangun,
ternyata hari sudah pagi dan aku bersama para pandita segera
menuju ke candi untuk melakukan sembahyang"
"Hm, masih engkau tak mau bicara terus terang?" seru
orang dalam tandu yang bukan lain adalah patih Iswara yang
sesungguhnya. Dia telah tiba di candi itu dengan sebuah
pasukan yang gagah perkasa.
"Kami tak bohong" seru resi tua itu.
"Adakah kekerasan harus perlu ditindakkan terhadap kaum
pandita yang menjunjung kesucian?"
"Kekerasan" Untuk kesalahan apakah maka kami harus
menderita tindak kekerasan itu?"
"Prajurit, tangkap para pandita itu dan ikatlah tangan
mereka!" seru patih Iswara karena tak dapat menguasai
rangsang kemarahannya. Berpuluh prajurit gagah perkasa itu segera menyerbu dan
tak berapa lama para pandita itu telah diringkus. Kedua
tangan mereka diikat. Patih Iswara menggeram "Untuk yang terakhir kali, kuberi
kesempatan kepada kalian supaya memberi keterangan yang
sebenarnya di mana beradanya rombongan prajurit Daha yang
mengiring patih Iswara palsu semalam?"
Resi Karpala tertegun "Gusti patih, demi Batara Agung, resi
Karpala tak bohong. Memang semalam kami para pandita
candi itu terlena dalam tidur yang mengasyikkan. Kami tak
tahu apa-apa yang terjadi di candi ini ....."
"Prajurit, deralah setiap pandita
cambukan" seru patih Iswara.
dengan lima buah Prajurit-prajurit itupun segera melolos cambuk. Pada saat
mereka mengangkat cambuk hendak dihajarkan ke tubuh
pandita-pandita itu, sekonyong konyong terdengar sebuah
teriakan yang nyaring "Tahan, berhenti dahulu ...."
Dan serempak dengan teriakan itu, dua sosok tubuh berlari
lari menghampiri ke halaman candi dan langsung menghadap
ke muka tandu. "Gusti patih" seru salah seorang diantara kedua pendatang
itu atau yang ternyata Dipa dan resi Kadipara "hamba hendak
mempersembahkan keterangan ke hadapan gusti"
Sejenak terkejut juga patih Iswara karena kemunculan
kedua orang itu. Tetapi demi mengetahui bahwa salah
seorang ternyata prajurit Dipa, hilanglah kecemasannya. "O,
engkau prajurit Dipa. Katakanlah apa yang hendak engkau
unjukkan kepadaku" Kini jelaslah dalam nada ucapannya, patih Iswara telah
percaya penuh kepada Dipa.
"Gusti" kata Dipa "para pandita di candi ini tak bersalah.
Harap gusti berkenan membebaskan mereka dari dera hukum"
Patih Iswara kerutkan alis "Mengapa engkau berkata
begitu" Bukankah jelas rombonganmu semalam telah
diperdaya oleh mereka?"
"Maaf, gusti" kata Dipa "bukan hamba melainkan paman
resi Kadipara ini yang harus menderita kesulitan berhadapan
dengan Pandita-pandita di sini"
"O, inikah resi Kadipara yang engkau sebut-sebut itu ?" seru
patih Iswara seraya beralih pandang kea-rah resi bungkuk itu.
"Benar, gusti" kata Dipa. Iapun lalu menuturkan peristiwa
semalam ketika di tengah jalan dihadang resi Kadipara yang
kemudian lalu mengganti ia sebagai patih Iswara palsu.
"Hamba bersembunyi di dalam kereta" kata Dipa lebih
lanjut "ketika melihat pandita ke luar dari asrama menuju ke
candi, hamba segera menduga bahwa tentu telah terjadi apaapa pada diri rombongan prajurit Daha. Bergegas gegas
hamba menyelinap masuk ke dalam asrama. Hamba lihat para
prajurit telah menggeletak rubuh. Langsung hamba
menghampiri Gubar dan terus menghantamnya pingsan ...."
"Karena hamba lihat dialah yang memberitahu kepada
pandita yang bertugas melayani rombongan prajurit supaya
pandita itu segera memberitahu ke candi"
"Dia yang memberitahu?" patih Iswara makin terbeliak.
Tiba-tiba resi Kadipara menyelutuk "Benar, gusti patih.
Memang Gubar menjadi kaki tangan mereka. Dialah yang
mendesak supaya diperbolehkan minum tuak bagi prajurit
prajurit itu. Ternyata seperti yang kuduga, tuak itu memang
mengandung obat bius sehingga prajurit-prajurit paduka tak
sadarkan diri lagi" "Keparat" patih Iswara menggeram "tak pernah kusangka
bahwa Gubar yang patuh dan rajin melakukan perintah itu
ternyata orang mereka. Di mana dia dan prajurit-prajurit Daha
itu?" Kembali Dipa menuturkan apa yang disaksikan selama
mengikuti perjalanan pandita-pandita palsu mengangkut
prajurit-prajurit Daha itu ke sebuah guha rahasia"
"Tetapi mengapa resi tak terbawa oleh mereka?" tiba-tiba
patih Iswara mengajukan pertanyaan.
Resi Kadipara menjawab "Atas usul Dipa yang cerdik, kami
telah menemukan siasat bagus. Gubar kami hias sebagai diri
gusti patih lalu kami rebahkan di ruang peraduan yang
diperuntukkan gusti patih. Tentulah dia di bawa oleh kawanan
pandita palsu itu ke dalam guha"
"Bagus" seru patih Iswara gembira "dengan begitu orangorang Wukir Polaman itu tentu akan menggigit jari karena
yang mereka bawa itu "bukan patih Iswara melainkan Gubar,
kaki tangan mereka sendiri"
"Semoga demikian" kata resi Kadipara.
"Oleh karena itu" kata Dipa "para pandita itu memang tak
mengetahui apa yang telah terjadi di candi Tigawangi ini.
Mereka tentu juga telah dibius sehingga tak sadar, kemudian
dibawa ke dalam guha rahasia itu. Setelah berhasil membawa
rombongan prajurit Daha, barulah para pandita itu dibawa
kembali ke candi ini. Perhitungan mereka memang tepat
karena gusti tentu akan marah dan menindak para panditapandita itu"
Patih Iswara membenarkan "Tanpa penjelasan yang engkau
berikan ini, sudah tentu kecurigaan kami akan jatuh pada
mereka." Kemudian patih Iswara memberi perintah kepada prajurit
supaya melepaskan, ikat tangan para pandita itu "Para pandita
sekalian, harap jangan menyesalkan tindakanku tadi. Tuantuan tentu telah mendengar penuturan prajurit Dipa ini
tentang apa yang telah terjadi di candi sini. Orang-orang
Wukir Polaman telah mengacau ketenangan candi Tigawangi
dan hendak menculik diri kami."
Para pandita itu mengiakan dan mengucapkan doa syukur
kepada patih Iswara dan Dipa.
"Dimanakah letak guha rahasia itu?" tanya patih Iswara
sesaat kemudian "orang-orang Wukir Polaman tentu masih
berada di sana, hayo, kita sergap mereka"
Dengan Dipa dan resi Kadipara sebagai penunjuk jalan
maka patih Iswara membawa pasukannya menuju ke guha
rahasia tempat persembunyian orang Wukir Polaman. Mereka
hendak menghancurkan orang-orang Wukir Polaman dan
menolong prajurit-prajurit Daha yang ditawan.
Tak berapa lama tibalah mereka di guha itu. Patih Iswara
segera memerintahkan pasukannya untuk mengepung guha
itu, kemudian ia menyuruh bekel prajurit Bantala untuk
menyuruh orang-orang Wukir polaman itu ke luar
menyerahkan diri. "Hai, orang-orang Wukir Polaman, keluar dan serahkan
dirimu. Guha ini telah dikepung ketat oleh pasukan Daha" seru
bekel Bantala yang tegak di mulut guha dengan menghunus
pedang. Namun tiada jawaban dari dalam guha.
"Hai, kalian dengar tidak, orang-orang Wukir Polaman!
Keluar dan serahkan dirimu baik-baik agar hukuman-mu
ringan. Kalau kalian membangkang, gua ini akan kami serbu !"
Bantala mengulang seruannya.
Namun sampai diulang sampai beberapa kali tetap guha itu
sunyi senyap, tiada kedengaran suara apa-apa.
"Baik" akhirnya Bantala kehabisan sabar "guha ini akan
kami bakar" Kemudian bekel itu menghadap patih Iswara memberi
laporan dan memohon idin untuk melepas api ke dalam guha.
Patih Iswara diam-diam mempertimbangkannya.
"Ki bekel" seru Dipa "kurasa mereka tentu sudah melarikan
diri sehingga tak kedengaran suara jawaban apa-apa"
Patih Iswara mengangguk "Kemungkinan memang begitu.
Pada waktu kalian menuju ke candi Tigawangi, mereka tentu
sudah tiba kembali di guha ini. Dan rasanya mereka cepat
dapat mengetahui siapa sesungguhnya yang mereka kira
sebagai diriku itu" "Jika demikian, mereka tentu belum jauh" sambut Bantala.
Tiba-tiba Dipa memperoleh akal "Akan kutinjau arah lari
mereka" habis berkata anakmuda itu terus lari menghampiri
sebatang pohon yang tinggi. Ia memanjat pohon itu dapat ia
melepas pandang bebas ke-segenap penjuru. Tetapi ternyata
ia tak berhasil melihat rombongan orang Wukir Polaman.
Dipa turun kembali dan melaporkan semua hasil
pengamatannya dari puncak pohon kepada patih Iswara.
Patih Iswara segera memberi perintah supaya menyerbu.
Bekel Bantala bersama selusin prajurit yang gagah berani
segera masuk ke dalam guha. Dengan langkah berhati-hati
dan waspada, mereka songsongkan perisai ke muka untuk
melindungi diri dari setiap kemungkinan yang berbahaya. Ulah
mereka tak ubah seperti berburu ke sarang harimau. Tegang
regang, genting meruncing.....
Untuk mencapai dalam guha yang hanya duapuluhan
langkah itu, rasanya lebih lama dan sukar daripada mendaki
sebuah tebing gunung yang curam. Mereka menyadari bahwa
orang-orang Wukir Polaman itu memang ksatrya-ksatrya yang
sakti dan gagah berani. Demikian pula ketika hampir mendekati ujung lorong,
mereka makin tegang. Walaupun bekel Bantala dan prajuritprajurit pilihan itu sudah acapkali menghadapi pertempuran
besar dan kecil, namun dalam keadaan dan saat seperti itu,
tetap mereka dicengkam rasa ketegangan yang cemas.
Bekel Bantala siapkan perisai dan pedang lalu bagaikan
gerak kucing melompat, ia menerjang masuk ke dalam ruang
guha. Gaya dan ulahnya amat beringas macam harimau ke
luar kandang. Dan serempak dengan itu selusin prajuritpun
menyusul berhamburan loncat menyerbu ke dalam.
Ah .... walaupun Bekel Bantala merasa malu sendiri tetapi
diapun bernapas legah karena ternyata ruang itu sunyi
senyap, tiada seorang musuhpun juga. Namun kelonggaran
napas yang menghimpit dadanya itu hanya sekejab saja
karena pada lain kejab pandang matanya segera tertumbuk
pada suatu pemandangan yang mengejutkan.
Berpuluh-puluh prajurit yang mengenakan ragam keprajuritan Daha, menggeletak di lantai. Tangan dan kaki
diikat, mulut pun diikat dengan secarik kain kepala. Ada yang


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telentang, tengkurap dan tumpang tindih malang melintang.
Kemudian mata bekel itu makin menyalang lebar ketika
melihat sesosok tubuh yang menyerupai patih Iswara rebah
berlumuran darah. Cepat-cepat bekel Bantala menghampiri
dan memeriksanya. Dada orang itu telah membengkah sebuah
lubang bekas tusukan, darah memerah di seluruh tubuhnya.
Baru ia hendak menjamahnya, sesosok tubuh prajurit yang
menggeletak tak jauh dari tempat itu tampak meronta-ronta
bergeleparan. "Kakang Madraka" seru Bantala demi melihat wajah orang
itu. Cepat ia memberi pertolongan, membuka tali pengikat kaki
tangan dan mulutnya. Prajurit-prajurit anakbuahnya pun juga
menolong orang-orang yang terpedaya menggeletak di tanah
itu. "Kakang, gusti patih ...." baru Bantala hendak menanyakan
orang yang berlumuran darah itu, Madraka pun sudah cepat
menukas "Dia Gubar, bukan gusti patih Iswara"
"Gubar?" Bantala menegas heran.
"Ya, Gubar itu ternyata kaki tangan orang-orang Wukir
Polaman. Tetapi dia berjasa juga kepada kita" menerangkan
Madraka. "Bagaimana?" tanya Bantala masih kurang jelas. Madraka
lalu menuturkan peristiwa yang terjadi dalam guha itu
"Ternyata pada waktu aku membuka mata, aku dan prajuritprajurit anakbuahku sudah berada dalam guha ini dengan kaki
dan tangan terikat. Tiba-tiba datanglah berpuluh orang
dengan membekal senjata. Salah seorang dari mereka,
menghampiri kepada patih Iswara itu. Mereka menyadarkan
patih yang masih pingsan. Tetapi secepat patih itu sadar, dia
terus berteriak. "Aku bukan patih Iswara, aku Gubar ........"
Orang itu terkejut sekali. Ia membuka tali ikatan Gubar.
Dan setelah bebas, Gubar lalu mencabut janggut dan
pakaiannya. Seketika menjadilah dia Gubar sesungguhnya.
"Celaka, mengapa engkau ?" teriak orang itu.
"Aku sendiripun tak tahu mengapa aku tiba-tiba menjadi
patih Iswara" Gubar juga heran.
Tepat pada saat itu muncullah seorang lelaki muda yang
terus berseru gopoh "Celaka, pasukan Daha hendak
menyerang tempat ini !"
Laporan itu mengejutkan mereka. Salah searang yang
bertubuh pendek dan setengah tua segera memerintahkan
supaya prajurit-prajurit Daha dibunuh kemudian mengajak
kawan-kawannya lolos dari terowongan rahasia.
Seorang lelaki tinggi besar yang rupanya menjadi algojo
dari gerombolan Wukir Polaman menghunus pedang terus
hendak mulai membunuh seorang prajurit Daha. Tetapi
sekonyong-konyong Gubar membentaknya
"Jangan mengganggu jiwa mereka. Kita sudah gagal, lebih
baik jangan meninggalkan dosa besar dan cepat meloloskan
diri!" Pedang orang itu tersiak dan orangnyapun terdorong
mundur "Keparat, engkaulah yang menjadi gara-gara
kegagalan ini, Gubar!" teriak orang itu seraya membacok.
Gubar melawan dan berhasil menghantam orang itu tetapi
beberapa kawan mereka segera menerjang Gubar dengan
hujan tikaman. Tiba-tiba seorang lelaki muncul dan dengan
terengah-engah melaporkan, pasukan Daha sudah dekat!"
Sebuah tusukan pedang menyebabkan Gubar rubuh terkulai
bermandi darah. Dan karena memburu waktu, mereka tak
sempat lagi membunuh bekel Madraka dan anakbuahnya.
Demikian bekel itu mengakhiri ceritanya
"Andai tiada Gubar, kami tentu sudah dibunuh"
"Kakang, Gubar itu seorang kaki tangan mereka, bagaimana
kita katakan dia berjasa?" kata bekel Bantala menyanggah lalu
menuturkan apa yang terjadi di candi.
Bekel Madraka termenung. Setitik pun ia tak menyangka
bahwa Gubar yang menjadi orang kepercayaannya itu ternyata
orang Wukir Polaman. Namun ia menghela napas pula "Ah,
betapapun, Gubar telah menyelamatkan jiwaku dan berpuluh
kawan-kawannya. Dia tentu menyadari kesalahannya dan
hendak menebus dosa"
"Dari terowongan manakah mereka melarikan diri?" tanya
Bantala pula. Bekel Madraka mengatakan bahwa dinding guha itu
mempunyai sebuah pintu rahasia. Bekel Bantala hendak
mencari pintu rahasia itu tetapi dicegah Madraka. "Baik jangan
mencarinya. Andaikata bertemu, pun berbahaya sekali kalau
kita mengejar jejak mereka. Siapa tahu kalau terowongan
rahasia itu telah diperlengkapi dengan alat-alat atau binatang
yang berbahaya,ular misalnya?"
Bantala mengangguk. Memang kemungkinan itu dapat
terjadi. Orang-orang Wukir Polaman terlalu licin dan cerdik
untuk dibinasakan. Kemudian kedua bekel dan prajurit-prajurit itupun keluar
menghadap patih Iswara dan memberi laporan apa yang telah
terjadi. "Orang-orang Wukir Polaman mengalami kegagalan, Gubar
menebus dosa dan kita selamat dari bahaya. Kesemuanya itu
adalah berkat jasa dari ...." tiba-tiba patih Iswara berpaling
dan memandang kian kemari "hai, kemanakah prajurit Dipa
dan resi Kadipara?" Sekalian orang terkejut mendengar ucapan patih Purusa
Iswara. Saat itu baru mereka teringat akan Dipa dan resi
Kadipara, dua orang yang telah berjasa menyelamatkan
pembunuhan terhadap patih Daha dan rombongannya.
Berpuluh prajurit itu sibuk mencari ke sekeliling namun Dipa
dan resi Kadipara tak berhasil diketemukan. Kedua orang itu
hilang tanpa meninggalkan pesan suatu apapun.
(oodw.kz:mchoo) JILID 24 I RAME ING GAWE, SEPI ING PAMRIH. Suatu ulasan dari watak
seorang yang berbuat, bekerja dan
berdharma dengan penuh semangat
dan pengabdian, tanpa mengharap
serta jauh dari keinginan mendapat
sesuatu. Rame ing gawe, dapat dijumpai
pada orang yang suka bekerja,
bersemangat kerja dan menyadari
arti kerja bagi kehidupannya. Bagi
alam kehidupan sekelilingnya. Masyarakat, bangsa dan negaranya. Bahkan bagi sesama titah
manusia. Tidaklah sukar untuk mencamkan, menghayati kata2 itu
dalam kenyataan dan pelaksanaannya. Apabila tiada kata Sepi
ing Pamrih. Keinginan, merupakan salah sebuah unsur yang
membentuk jiwa insan manusia sesuai dengan kodratnya.
Yang menjadikan manusia tetap menjadi insan yang tidak
sempurna dengan segala kekurangan dan kelemahannya.
Bagaimana mungkin Pamrih atau Keinginan itu dapat
dihilangkan dari mahkota hati manusia.
Pamrih, mempunyai lingkaran yang luas. Sesuatu yang
mengandung keinginan, buruk atau baik, suci atau kotor,
adalah suatu pamrih. Memang lebih utama dan mulia, apabila
keinginan itu bersifat baik daripada buruk. Bersifat suci
daripada kotor. Namun baik atau buruk, apabila hal itu mengandung
keinginan hati, itupun suatu pamrih. Demikian halnya dengan
resi Kadipara dan Dipa. Keduanya berkeinginan untuk
menyelamatkan patih Dyah Purusa Iswara. Keduanya
berkeinginan pula untuk memberantas kejahatan yang akan
dilakukan pejuang2 Daha. Suatu keinginan yang baik dan
mulia dari resi Kadipara dan Dipa.
Untuk melengkapi sifat2 keresiannya maka Kadipara pun
memberantas keinginan atau pamrih yang mungkin akan
timbul apabila menghadapi pujian dan imbalan dari patih
Iswara dalam bentuk hadiah dan pangkat. Hal itu disadarinya
sebagai suatu penyemuan warna dari tujuan yang telah
dilakukannya. "Dipa ikut aku" resi Kadipara menggamit lengan anakmuda
itu seraya berkata dengan amat pelahan sekali.
Saat itu Dipa sedang menumpahkan perhatian pada
prajurit2 yang dititahkan patih Iswara untuk menyerbu ke
dalam guha. Ia terkejut mendengar bisikan resi Kadipara.
Namun ia mengikuti juga langkah resi yang bertubuh bungkuk
itu, menyelinap di antara celah kesibukan prajurit2 dan
ketegangan suasana. Di sebuah tempat yang sunyi dan sudah agak jauh dari
tempat rombongan prajurit Daha, barulah resi Kadipara
lambatkan langkah memberi kesempatan kepada Dipa untuk
berjalan menjajarinya. Dipa heran mengapa resi itu tetap berjalan saja. Namun ia
tak berani menanyakan. Setelah melintas sebuah gcrumbul
pohon, merekapun menyusur sebuah jalan yang merentang
turun ke sebuah jalan besar.
"Dipa" sesaat kemudian tiba2 meluncurlah sebuah kata dari
mulut resi bungkuk itu. Dan walaupun sudah siap menanti
sejak beberapa saat, namun Dipa masih terkejut juga. Dan
belum lagi ia mengiakan, resi itupun sudah melanjut kata
"tahukah engkau ke mana kita akan pergi ?"
"Tidak" sahut Dipa "ke mana saja?"
"Majapahit" kata resi Kadipara.
Tergetar pula hati Dipa walaupun getar kejutnya kali ini
bercampur keheranan "Ke Majapahit ?" ulangnya.
"Ya" "O" desuh Dipa.
"Heran engkau ?"
"Ya" "Mengapa?" "Apa sebab paman resi hendak ke Majapahit... oh, silahkan
paman lanjutkan perjalanan ke pura itu sendiri" tiba2 Dipa
hentikan langkah. Resi Kadipara ikut berhenti "Engkau tak ikut?"
"Tidak, resi" Kali ini resi Kadipara yang mengerut dahi, serunya
"Mengapa?" "Aku hendak mencari paman brahmana Anuraga"
"O" desuh Kadipara "mungkin dia sudah ke Majapahit"
"Ke Majapahit ?" teriak Dipa terbelalak.
Resi Kadipara segera menuturkan apa yang didengar dari
mulut anakbuah Wukir Polaman tentang diri brahmana
Anuraga itu. Brahmana itupun menderita nasib seperti Dipa,
diikat pada punggung kuda dan dilepaskan ke arah selatan"
"O" Dipa mendesuh kaget "kalau begitu tentu ke arah
Lodaya. Aku harus lekas2 mencarinya. Terima kasih, resi"
"Hai, hendak ke mana engkau" resi Kadipara terkejut
karena Dipa terus hendak melangkah pergi.
Cepat disambarnya lengan anakmuda itu.
"Mencari paman Anuraga" sahut Dipa "bukankah dia
dilepaskan ke arah selatan?"
"Ya" kata resi Kadipara "tetapi akhirnya dia tentu tertolong
dan kemungkinan tentu menuju ke Majapahit"
Dipa nyalangkan mata, mencurah pandang ke arah wajah
resi bungkuk itu. Seolah menuntut keterangan "Bagaimana
paman resi tahu hal itu?"
Resi Kadipara lepaskan cekalan tangannya dan berkata
dengan tenang "Setelah mendapat keterangan dari anakbuah
Wukir Polaman itu, segera kutajamkan indera pengawasan
dalam menung semedhi. Dan hasilnya, sepanjang jalan yang
menuju ke Lodaya, tiada kuketemukan barang seorang
manusia yang terikat di atas punggung kuda"
"O, paman resi hanya mengambil kesimpulan atas dasar
penyelidikan dalam semedhi saja?" Dipa bertanya agak
meragu. "Dipa" seru resi itu dengan nada sarat "adakah engkau tak
percaya akan keteranganku" Sesungguhnya dalam ilmu
Semedhi itu, kita dapat menginjak pada berbagai tataran alam
niskala. Suatu alam kehampaan yang bulat murni, bebas lepas
tiada berpangkal dan ujung, tiada berbatas pagar. Jangankan
hanya jarak sedekat jalanan ke arah selatan itu. Bahkan ke
arah jarak jauh yang tertutup gunung, terpisah lautan, pun
indera pengawasan itu akan dapat mencapainya ..."
Resi itu berhenti sejenak untuk mengatur napas, lalu
"Sesungguhnya hal itu, merupakan rahasia alam yang
keramat. Dan pantanglah bagi para wikutama atau resi
brahmana yang luhur, untuk membukakan rahasia alam itu
dengan semena-mena. Namun demi ketenangan hatimu, Dipa,
akupun terpaksa telah melakukan semedhi itu. Percayalah nak,
pamanmu brahmana itu telah selamat dan kini mudahmudahan dia telah berada di Majapahit"
Dipa tertegun, menatap wajah resi itu dan serta merta
menghaturkan terima kasih.
"Lalu hendak ke mana engkau. Dipa?" tegur resi Kadipara
pula. Dipa tertegun sejenak "Ke Majapahit mencari paman
Anuraga" "Tak perlu" kata resi Kadipara "akulah yang
mencarinya. Lebih baik engkau pulang ke Kahuripan"
akan Dipa hendak menghaturkan terima kasih pula tetapi resi
itupun sudah ayunkan langkah. Kini Dipalah yang gugup.
Cepat ia meluncur ke muka, merghadang jalan, "Paman resi,
apakah engkau hendak berangkat saat ini juga?"
Resi Kadipara hentikan langkah "Ya" sahutnya.
"Tanpa mengucap sepatah kata minta diri kepada gusti
patih Purusa?" Dipa menegas.
"Tak perlu" "Mengapa?" Dipa kerutkan alis "bukankah kita akan
dianggap orang yang tak kenal tata santun?"
Resi bungkuk itu mendesuh "Hm, tata santun" Ya, memang
tata santun merupakan adat naluri yang hidup dalam
pergaulan hidup kita. Tetapi tahukah engkau siapa yang mula
pertama mengajarkan kita untuk bertata santun itu" Misalnya
seperti tadi engkau mengucapkan terima kasih kepadaku
karena aku memberitahukan tentang diri brahmana Anuraga
itu kepadamu. Demikian pun tentu engkuu lakukan terhadap
siapa saja yang memberi sesuatu, baik benda maupun nasehat


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau pertolongan kepadamu"
Dipa terlongong mendengar pertanyaan itu. Memang ia tak
menyangka bahwa ia tak mengerti dari mana asal-usul tata
santun dalam bentuk ucapan dan tingkah laku yang selama ini
ia lakukan. "Tidak tahu" ia gelengkan kepala lalu balas
menanyakan hal itu kepada Kadipara. Ia benar2 tertarik akan
penjelasan resi itu. Di luar dugaan, resi Kadipara gelengkan kepala. "Aku
sendiri pun tak tahu, bilakah orang pertama kali mengucapkan
terima kasih kepada orang apabila menerima sesuatu. Dan
bukan melainkan soal itu saja. Pun masih banyak hal-hal
dalam kehidupan pergaulan hidup kita. Kita tak tahu apa yang
kita ucapkan dan lakukan dalam naluri tata santun maupun
adat istiadat. Karena kita hanya menerima saja apa yang para
orang2 tua kita wariskan kepada kita"
"Tetapi bukankah kesemuanya itu merupakan warna indah
dalam kehidupan kita, semisal keindahan bunga dalam sebuah
taman?" sanggah Dipa.
Resi Kadipara tertawa "Benar, anakmuda. Memang
kehidupan kita tampaknya lebih meriah indah dengan
berhiaskan segala tata susila itu. Tetapi seringlah Keindahan
itu menyilaukan pandang mata dan perasaan hati kita. Kita
anggap bahwa bunga itu untuk memperindah taman. Agar
sedap pandang mata kita dan nyaman perasaan hati. Tetapi
apakah sesungguhnya makna daripada keindahan bunga itu
dalam pandang mata dan hati kita?"
Dipa terkesiap. Ia harus hati2 memberi jawaban agar
jangan terulang lagi seperti tadi. Dengan mengajukan
pertanyaan tentang asal usul ucapan terima kasih, ia duga resi
itu tentu tahu. Tetapi ternyata resi itu sendiripun tak tahu.
"Kurasa" katanya dengan hati2 "tiada lain makna dari
tumbuhnya bunga2 itu kecuali untuk memperindah taman dan
hati manusia?" "Bukan hanya itu belaka" resi Kadipara gelengkan kepala
"masih banyak makna hidup bunga itu. Ada yang dapat
dijadikan ramuan obat ramuan wewangi dan lain2 yang belum
diketahui. Dan yang penting, bagi pohon bunga itu sendiri,
bunga adalah alat pembiakan. Oleh karena itu pohon berusaha
untuk berbunga seindah mungkin, agar pembiakan itu cepat
berhasil, baik melalui pembuahan maupun melalui penyerapan
kumbang dan burung. Mengertikah engkau, Dipa?"
"Tahu, paman resi" kata Dipa "tetapi tak mengerti apa yang
paman hendak wejangkan dalam persoalan itu"
Resi Kadipara tertawa. "Bagus, anakmuda" serunya "engkau mengatakan tahu
tetapi tak mengerti. Engkau jujur. Karena sesungguhnya tahu
dan mengerti itu memang berbeda. Engkau tahu bahwa pohon
itu berbunga tetapi tak mengerti apa makna bunga itu bagi
sang pohon. Engkau pun tahu bahwa bunga itu indah
dipandang tetapi engkau tak mengerti apa makna dari
keindahan itu" "Benar, paman resi"
"Jelasnya, pohon berbunga bukan melainkan untuk
memperindah taman, pun untuk mengembang biakkan
jenisnya. Agar dunia ini penuh dengan jenis pohon bunga
yang indah. Demikian pula dengan tata susila yang engkau
dan kita warisi dari orang2 tua itu. Bukan sekedar untuk
memperindah kehidupan dan menyedapkan pendengaran,
tetapi yang penting ucapan2 dan rangkaian kata2 itu akan
benar2 menyentuh hati nurani. Bagi yang mengucap, benar2
supaya menghayati arti daripada ucapannya itu dengan
menyadari kekurangan2 kita dan memperbaiki kelemahan2
kita. Dan bagi yang menerima ucapan itu hendaknya benar2
menghayati, bahwa bukan ucapan itu yang penting, tetapi
makna daripada perbuatannya itu. Bahwa adat hidup itu yalah
tolong menolong. Dan setiap pertolongan hendaknya lepas
dari suatu pamrih mendapat balas atau imbalan. Menolong, itu
sudah jamak bagi mereka yang layak harus ditolong. Jangan
menolong karena mendapat balas" mempunyai maksud tertentu untuk Kini tersadarlah Dipa apa yang dimaksud resi bungkuk itu.
"Itulah sebabnya maka paman resi tak mau menghadap gusti
patih Iswara ?" "Engkau cerdas, anakmuda" kata Kadipara "memang
demikianlah sikapku. Aku menolong karena aku merasa wajib
untuk menolong seorang patih kerajaan yang hendak dibunuh
oleh sebuah gerombolan. Aku tak menginginkan negara Daha
akan kacau karena terbunuhnya seorang patih. Yang
menderita dari kekacauan itu tak lain tentulah rakyat. Setitik
pun aku tak mengharapkan balas dari patih Daha. Bahkan
ucapan terima kasihnya pun aku tak memerlukan."
Dipa menganggukkan kepala dan mengiakan dalam hati.
Makin menggunduk rasa kagumnya terhadap peribadi resi
bungkuk punggung itu. "Apa artinya anggukan kepalamu itu, anakmuda?" tiba2
pula resi itu menegur. Dipa terbeliak, sahutnya. "Aku kagum atas pendirian paman
resi" "Salah" seru resi Kadipara.
Dipa menyalangkan mata lebar2 sehingga dahinya penuh
keriput2 keheranan. "Salah" Bukankah pendirian paman itu
luhur?" "Heh, heh" Kadipara tertawa mengekeh "engkau telah
menikam aku, Dipa" Dipa makin terkejut. Benar2 ia tak mengerti apa maksud
resi itu. Dan benar2 ia serasa diombang ambingkan dalam
gelombang keheranan yang tak menentu.
"Paman resi" katanya sesaat setelah dapat menenangkan
perasaannya "aku benar2 bingung memikirkan ucapan paman.
Paman telah berbuat tanpa memikirkan pamrih apa2. Salahkah
kalau aku mempersembahkan rasa kagum kepada paman?"
"Salah" sahut Kadipara pula.
"Di mana letak kesalahanku, paman resi?"
"Pada pernyataanmu itu. Karena pernyataan itu merupakan
tikaman yang menyakiti hatiku"
"Tikaman" Bagaimana mungkin pernyataanku menaruh
kekaguman kepada paman itu merupakan tikaman yang
menusuk perasaan hati paman?" seru Dipa agak keras
"sukalah paman memberi penjelasan"
Melihat Dipa agak ngotot, tersenyumlah resi bungkuk itu
"Karena dengan begitu engkau telah melumuri tindakanku itu
dengan suatu pamrih. Pamrih supaya mendapat rasa
kagummu" "Sama sekali tidak" teriak Dipa.
"Buktinya engkau telah memberikan pernyataan semacam
itu. Bukankah hal itu serupa dengan ucapan terima kasih dari
patih Daha" Hanya bedanya dia berterima kasih dan engkau
menyatakan kagum. Namun kedua-duanya, memercikkan
bintik2 pamrih dalam tindakan itu"
Dipa tercengang, katanya kemudian "Lalu bagaimana aku
harus bertindak, paman resi" Apakah aku harus diam saja ?"
"Diam?" seru resi itu "engkau seorang manusia, mengapa
engkau akan berdiam diri seperti sebuah patung ?"
Hampir Dipa melonjak dan memekik sekuat-kuat agar
kesesakan yang menghimpit rongga dadanya dapat
menghambur keluar. Bagaimana tidak ! Bicara salah, diam pun
keliru. Lalu bagaimana yang benar" Ia pejamkan mata,
mengendapkan darah yang serasa menggelinjang di seluruh
tubuhnya. Sesaat kemudian barulah ia dapat berkata dengan
nada agak reda. "Lalu bagaimana aku harus berbuat, paman
resi ?" "Engkau tak tahu bagaimana harus berbuat?"
"Jika tahu, taklah aku menyibukkan paman dengan
pertanyaan semacam itu" kata Dipa agak mengkal.
Resi Kadipara tertawa "Baik, kuberitahu. Yang benar
engkau harus memaki aku!"
Untuk kesekian kalinya mata Dipa membelalak lebar2
seolah-olah kurang jelas penglihatannya terhadap wajah resi
Kadipara yang berada di hadapannya. "Memaki" Ah, janganlah
paman resi berolok olok kepadaku"
"Siapa yang berolok-olok ?" sahut Kadipara dengan nada
bersungguh "aku berkata dengan sesungguhnya. Engkau
harus memaki aku" "Mengapa ?" seru Dipa penuh keheranan.
"Karena aku masih belum bersih dari pamrih dalam
tindakanku menolong patih Daha itu"
"Paman resi dengan setulus hati telah menyelamatkan gusti
patih Iswara. Dan paman resi pun terus pergi tanpa menemui
gusti patih pula karena kuatir akan mendapat balas jasa.
Bahkan paman resi pun menolak untuk menerima sepatah
ucapan terima kasih dari gusti patih. Bagaimana paman resi
masih mengatakan bahwa paman tetap belum bersih dari
pamrih" Pamrih apakah yang masih terkandung dalam hati
paman?" "Dipa" tiba2 berkatalah resi Kadipara dengan nada sarat
"barang siapa tahu dan melakukannya, dia tak terlepas dari
sesuatu. Kalau yang dilakukan itu suatu kejahatan, dia tak
terlepas dari dosa. Kalau yang dilakukan itu suatu kebaikan,
dia pun tak terlepas dari pamrih. Beda halnya dengan orang
yang tidak tahu. Kalau dia berbuat salah, dia tak salah. Kalau
dia berbuat baik, dia benar2 sepi dari pamrih"
Dipa seperti berada dalam gumpalan kabut tebal. Ia
kehilangan arah dan ketajaman pandang mata bahkan
kesadaran pikiran. Ia benar2 tak mengerti apa yang dimaksud
oleh resi tua itu. "Paman resi, dalam kabut yang tebal, masih
aku dapat melihat walaupun secara samar2. Tetapi
mendengar ucapan paman resi itu, aku benar2 kehilangan
arah" "Begini maksudku Dipa" kata resi Kadipara "aku tahu bahwa
berbuat sesuatu tanpa pamrih itu, adalah baik dan luhur.
Dengan pengertian itu akupun melakukan usaha untuk
menyelamatkan patih Daha dari pembunuhan. Dan kemudian
aku segera pergi karena aku tahu bahwa apabila aku
menginginkan balas, berarti aku memiliki pamrih. Jadi aku
sudah memiliki pengetahuan, kepergianku tanpa pamit kepada
patih Daha itu supaya aku dapat membebaskan diri dari
pamrih. Dan kutahu pula bahwa berbuat sesuatu tanpa pamrih
itu, adalah baik dan luhur. Karena sudah terisi dengan
pengertian itu, bukankah hatiku sudah cemar dan tak bersih
dari pamrih lagi?" "Apakah pamrih paman resi?" seru Dipa.
"Apa pamrihku?" ulang resi Kadipara "sudah jelas.
Bukankah berbuat tanpa pamrih itu, suatu tindak yang luhur"
Nah, itulah pamrihku. Pamrih yang terselubung dalam sutera
tanpa pamrih." "Oh" desuh Dipa menghela napas panjang. Kini tahulah ia
apa yang dimaksud oleh resi itu. Tanpa pamrih dari tindakan
resi Kadipara itu ternyata mengandung pamrih. Karena resi itu
sudah mengerti makna daripada berbuat tanpa pamrih.
"Lalu bagaimana yang dapat disebut benar2 bebas dari
pamrih itu, paman resi?" tanyanya.
"Mereka yang bebas dari pengetahuan apa makna daripada
perbuatan yang baik, dialah yang benar2 dapat disebut
sebagai tanpa pamrih" kata resi itu dengan lantang "maka
didalam berbuat sesuatu yang engkau anggap baik, lakukanlah
dengan setulus hati. Jangan engkau mengisikan hatimu
dengan sesuatu khayalan".
"Lalu apakah tujuan kita melakukan kebaikan itu, paman
resi" Bukankah kita takkan terbebas dari suatu tujuan?" tanya
Dipa. "Bebaskan dirimu dari angan2 untuk suatu tujuan. Lakukan
dan berbuatlah kebaikan itu. Karena jika engkau terikat oleh
suatu tujuan, engkau akan menjelang peristiwa dalam
perasaan. Engkau akan gembira apabila tujuanmu tercapai.
Tetapi engkaupun tentu kecewa apabila gagal. Dan karena
terikat oleh tujuan2 itu, maka tidak murni lagilah kebaikan2
yang engkau lakukan itu"
Dipa tertegun lalu pejamkan mata. Ia merenungkan dan
mengunyah sari2 dari ucapan resi itu. Dan sesaat kemudian,
berserulah ia "Baik, paman, akan kusimpan kata2 paman ....
hai .......... !" Dalam pada berkata-kata itu Dipa pun membuka mata.
Tetapi alangkah kejutnya ketika tak mendapatkan resi itu
berada di hadapannya lagi. Dan ketika memandang ke muka
ternyata resi itu sudah berada di ujung hutan. Kemudian
lenyap. Dipa menghela napas panjang.
(oodw.kz:mchoo) II HUJAN mencurah deras. Buas dan liar. A ngin menderu-deru
amat perkasa. Kilat halilintar pun memekik-mekik hendak
merobek angkasa. Pura Wilwatikta seolah-olah hendak
dijadikan tumpuan kemurkaan alam.
Maka timbullah reka tafsiran dalam hati rakyat Majapahit.
Apakah gerangan yang akan terjadi. Bukankah hujan yang
marah, angin yang membuas dan halilintar yang mengamuk
itu, suatu pertanda akan timbulnya sesuatu dalam kerajaan
Majapahit" Demikian dalam mengamankan diri di rumah
masing2, masih sempat pula orang mereka reka, menafsirnafsir dan meramai-ramai. Merangkai suatu pengadaan
menurut tafsiran pikiran masing2.
Ada yang menafsirkan, hujan prahara itu sebagai lambang
dari pemerintahan baginda Jayanagara akan selalu dilanda
kekacauan, huru hara dan pemberontakan.
Ada pula yang membuat tafsiran bahwa hal itu
menunjukkan kemurkaan para Dewata atas kemalangan nasib
yang diderita patih amangkubumi Nambi dan beberapa mentri
senopati. Mereka dibinasakan baginda karena difitnah
memberontak. Sementara ada juga yang memberi tafsiran yang berdasar
pada tanda2 alam, bahwa kerajaan Majapahit bakal
mengalami suatu peristiwa yang menggemparkan.
Di samping itu masih terdapat lain2 tafsiran yang dihubunghubungkan dengan peristiwa hujan prahara besar yang
sedang menimpa pura Wilwatikta. Demikian naluri yang hidup
di kalangan rakyat Majapahit pada masa itu. Dan naluri itu
pada umumnya tak lepas dari alam kehidupan agama yang
dianut masing2.

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun bebas dari segala tafsir reka yang tergenggam
dalam hati tiap2 orang, hujan, angin dan kilat yang tengah
melanda di bumi pura Majapahit itu, memang luar dari
biasanya. Dan setiap hal yang terjadi di luar dari kebiasaan,
tentu akan menimbulkan bermacam tafsiran.
Hanya yang nyata, hujan, angin dan halilintar itu mencurah
dengan bebas. Curahan air hujan dan deru tiupan angin, tiada
membedakan istana raja dengan pondok kaum Sudra, gedung
mentri senopati dengan rumah kaum pekerja, rumah mewah
dari si kaya dengan publik si miskin. Semua dilanda dan
dihempas. Adil nian hujan dan angin itu. Namun keadilan
mereka hanya menuntut suatu syarat. Bahwa yang kuat dan
kokoh akan mampu bertahan. Yang lemah dan rapuh akan
tumbang. Mereka takluk pada yang kuat dan kokoh bukan
pada yang mewah dan indah.
Demikian hujan dan angin itu mencurah dan menyapu.
Membersihkan debu2 atap rumah dan gedung, membasahi
bumi dan menghanyutkan kotoran2. Mereka tak mengerti dan
tak menghiraukan tafsiran lain yang mengatakan bahwa
kemurkaan alam itu adalah suatu firasat bahwa suasana panas
dan tegang yang mencengkam pura kerajaan akan segera
lenyap. Bahwa akan berlangsung suatu pembersihan kepada
yang jahat dan hianat. Yang culas dan yang kejam. Yang
bersalah dan yang ingkar .....
Namun hingar bingar kemurkaan alam di luar itu, tidaklah
mempengaruhi suasana dalam sebuah gedung besar yang
terletak dalam lingkungan daerah tempat kediaman para
mentri dan narapraja yang berpangkat tinggi. Beberapa orang
yang berpakaian sebagai pembesar tinggi, sedang duduk
mengelilingi sebuah meja. Lampu besar yang tergantung di
tengah2 meja tampak tak dinyalakan. Penerangan dalam
ruang itu hanya dari lampu2 kecil di empat sudut ruang. Tidak
terlampau gemilang namun cukup terang untuk mengetahui
liuk kerut wajah orang. Tujuh orang lelaki setengah tua tengah berhadapan dalam
wajah yang tegang. Rupanya mereka tengah memperbincangkan suatu masalah yang amat gawat. Dan
menilik bahwa perundingan itu dilakukan pada malam hari di
ruang sebuah gedung yang pintunya dijaga ketat oleh
beberapa penjaga, jelas perundingan itu tentulah bersifat
rahasia. Lelaki yang daduk di tengah pada sebuah kursi besar
berselubung sutera merah, rupanya menjadi pimpinan
perundingan. Tiada yang luar biasa pada wajah orang itu
kecuali sepasang bola matanya yang bersinar tajam walaupun
berada dalam kelopak daging yang agak cekung ke dalam.
"Hari ini kuterima laporan bahwa rakryan Nambi telah gugur
bersama beberapa mentri lainnya" kata lelaki bertubuh kurus
itu "ini berarti bahwa peperangan di Lumajang segera akan
selesai" "O" desuh seorang lelaki bertubuh agak gemuk "kasihan
rakryan Nambi. Berpuluh-puluh tahun ia mengabdi kepada
kerajaan Majapahit, akhirnya ia harus menderita hari2 terakhir
yang begitu mengenaskan"
"Ho, adakah tuan kasihan kepadanya, ra Banyak?" tegur
lelaki bertubuh kurus. "Ra Kuti" seru lelaki yang disebut Banyak itu kepada lelaki
bertubuh kurus, "lepas dari segala bagaimana pendirian
rakryan mahapatih itu dengan selera kita tetapi yang jelas, dia
adalah seorang mentri negara yang telah mengabdikan diri
selama berpuluh tahun. Kedudukan sebagai mahapatih yang
dicapainya itu, membuktikan kesetyaan dan kecakapannya.
Betapapun halnya, aku Banyak, dapat menghargakan
peribadinya sebagai seorang kawan maupun lawan"
"Benar, ra Banyak" tiba2 pula seorang lelaki lain yang
duduk di sebelah ra Banyak ikut berseru, "aku Tanca pun
dapat menghargai seorang lawan yang perwira. Kematian
rakryan Nambi bukan suatu gugurnya daun kering yang
berhamburan sia2 di atas tanah, melainkan bagaikan
rubuhnya sebuah gunung yang mengguncangkan seluruh
persada tanah air" "Tetapi dia mati sebagai pemberontak, ra Tanca" seru
seorang kawannya yang setengah rambutnya sudah
menyanjung uban. "Rakyat mendengar keterangan itu dari keputusan dewan
kerajaan yang mengatakan bahwa mahapatih Nambi telah
memberontak tanpa mendengar keterangan dari mahapatih
Nambi. Sesungguhnya suatu keputusan sefihak" jawab ra
Tanca. "Tetapi ra Tanca" seru orang yang separoh rambutnya telah
beruban itu pula "bukankah keputusan itu berasal dari usul
Dharmaputera yang kekuasaannya menyerupai Saptaprabu"
Dan bukankah tuan sendiri termasuk salah seorang dari
ketujuh Dharmaputera itu, ra Tanca ?"
"Tuan benar, ra Yuyu" ra Tanca mengiakan, "tetapi kiranya
tuanpun tentu masih ingat akan peristiwa lahirnya keputusan
itu, bukan" Jika tuan lupa, aku bersedia untuk mengulangnya.
Rasanya keputusan Dharmaputera tidaklah murni. Adalah
karena melihat gelagat baginda Jayanagara telah termakan
oleh hasutan hasutan patih Aluyuda, terpaksalah kita
mengikuti hembusan angin dan mengajukan usul keputusan
itu. Cobalah tuan renungkan, ra Yuyu" kata ra Tanca pula
"andai kita berpegang pada pendirian menyangsikan tindakan
hianat dari mahapatih Nambi, tentulah kita akan kehilangan
kekuasaan dan pengaruh kita kepada baginda. Tentu baginda
akan makin menaruh kepercayaan bulat kepada patih
Aluyuda" Demikian sanggahan yang dilantangkan ra Tanca. Ra Tanca
salah seorang anggota dari Dharmaputera kerajaan Majapahit
yang telah dilantik baginda Jayanagara. Berkewajiban menjaga
pusat pemerintahan dan menjaga ketetapan mahkota.
Dharmaputera itu beranggota tujuh orang yakni ra Kuti, Semi,
Pangsa, Wedeng, Yuyu, Tanca dan Banyak. Merupakan
sebuah badan penasehat dan orang kepercayaan baginda
yang diangkat dalam sebuah kedudukan yang istimewa pada
susunan negara. SAPTAPRABU sebuah dewan yang beranggota tujuh orang
pula tetapi anggotanya terdiri dari para putera, pangeran
saudara baginda, bahkan ibunda ratu. Sedangkan Dharmaputera terdiri dari narapraja tua yang menjadi
kepercayaan baginda. Sekalipun demikian, pengaruh dan
kekuasaan Dharmaputera itu hampir mendekati dengan
Saptaprabu. Ketujuh orang yang tengah mengadakan perundingan itu
memang ra Kuti dan kawan-kawannya yang tergabung dalam
Dharmaputera. Perundingan bertempat di gedung kediaman ra
Kuti yang dijaga ketat sekali. Dan keketan itu diperketat pula
oleh turunnya hujan angin yang dahsyat sehingga amanlah
perundingan itu dari intaian musuh. Demikian anggapan ra
Kuti dan kawan-kawannya. Mereka dapat bicara dengan
bebas. "Cukup" tiba2 ra Kuti berseru "apapun yang terjadi pada diri
mahapatih Nambi, telah terjadi. Dan kini mahapatih itupun
telah gugur. Bukanlah untuk mengadakan penilaian atas diri
mahapatih itu, melainkan tindakan2 yang harus kita lakukan
sehubungan dengan peristiwa itulah yang akan kita
rundingkan di sini" Suasana segera diselubungi oleh getar-getar perhatian
keenam anggota Dharmaputera. Memang mereka telah berisi
bekal kesadaran akan pentingnya perundingan di gedung
kediaman kepala Dharmaputera malam itu.
"Kami menantikan pandangan tuan, ra Kuti. Karena tuanlah
kami anggap sebagai tetua yang dapat memberi petunjuk2
yang tepat" seru beberapa anggota Dharmaputera.
"Baiklah, para adi sekalian" seru ra Kuti, "namun aku lebih
senang apabila tuan2 memberi pandangan lain yang lebih
baik. Ataupun sanggahan2 untuk menguji saranku"
Keenam Dharmaputera itu mengiakan.
"Dengan gugurnya mahapatih Nambi, jelas huru-hara di
Lumajang itupun segera akan padam. Baginda akan pulang,
demikian pula dengan patih Aluyuda. Selama dalam
pertempuran itu, telah kuterima laporan dari orang2 kita,
bahwa patih Aluyuda sangat giat sekali memberi rencana dan
mempersiapkan siasat bahkan ikut langsung memimpin
barisan. Suatu gejala bahwa baginda makin menaruh
kepercayaan besar kepada patih ilu, mukin tampak jelas ...."
"Hm, Aluyuda memang pandai sekali mengambil hati
baginda" seru Semi "untunglah aku selalu menghindari
berhadapan dengan pasukan kerajaan. Tetapi rupanya
Aluyuda itu memang licin sekali. Berulang kali ia berusaha
memancing aku ke luar. Dengan begitu dapatlah ia
mempersembahkan laporan kepada baginda akan kehadiranku
di Lumajang ikut dalam rombongan mahapatih Nambi."
"Adakah baginda tak tahu kalau tuan berada dengan
rombongan mahapatih Nambi?" seru ra Wedeng.
"Baginda tentu mendapat laporan dari Aluyuda tetapi
rupanya Aluyuda masih belum yakin karena selama itu aku
selalu bersikap hati-hati menjaga diri dalam suatu penyamaran
dan persembunyian. Kemudian dengan suatu alasan yang
dapat diterima, akupun segera tinggalkan Lumajang untuk
menggabungkan diri pada pasukan Wiraraja. Tetapi diam2 aku
segera meloloskan diri, pulang ke pura sini"
"Setelah pulang ke pura kerajaan, baginda tentu akan
mengadakan perobahan dalam tata susunan pemerintahan.
Mahapatih Nambi telah tewas dan kedudukannya harus
diganti. Siapa pula yang akan baginda angkat menggantikan
jabatan itu ?" "Aluyuda" serempak keenam Dharmaputera itu memberikan
suara. "Aluyuda dianggap berjasa besar dalam gerakan menumpas
pemberontakan di Lumajang" kata ra Kuti, "dan sejak
memegang jabatan patih pura kerajaan, hubungan baginda
dengan patih itu tak kurang erat dari hubungan baginda
dengan Dharmaputera. Demikian pula dalam soal kepercayaan. Maka bukan mustahil baginda akan menjatuhkan
pilihan kepada diri Aluyuda untuk mengganti mahapatih Nambi
daripada menunjuk salah seonng dari Dharmaputera"
"Benar ra Kuti" tanggap ra Banyak. "Aluyuda memang
cerdik dan licin benar. Andai baginda memiliki rencana untuk
mengangkat salah seorang Dharmaputera menggantikan
rakryan Nambi sebagai mahapatih, Aluyuda tentu akan
berusaha kemati-matian untuk menggagalkan. Mungkin pula
Aluyuda akan menggunakan alasan yang seolah mengandung
itikad baik bahwasanya Dharmaputera itu jelas memberi
manfaat dan sangat penting dalam susunan pemerintahan.
Hendaknya Dharmaputera itu tetap dipertahankan keutuhannya sedang kedudukan mahapatih supaya diberikan
kepada lain orang yang baginda anggap cakap dan setya.
Dengan demikian baginda akan memiliki dua buah badan
kepercayaan yang ulung. Dharmaputera yang luas
pengetahuan dan pengalaman serta seorang mahapatih yang
cakap dalam mengemudikan pemerintahan"
"Benar" ra Yuyu memberi dukungan suara, "mungkin dalam
perjalanan pulang ke pura nanti, patih Aluyuda tentu sudah
mengemukakan hal itu kepada baginda agar baginda masih
tercengkam dalam kesan-kesan pada jasa Aluyuda selama
dalam peperangan di Lumajang itu. Aluyuda scorang yang
pandai mengambil manfaat dari setiap kemungkinan yang
diperolehnya" "Dengan begitu jelas bahwa kembalinya baginda bersama
patih Aluyuda ke pura kerajaan, tak menguntungkan
kedudukan Dharmaputera" kata ra Kuti pula "lalu bagaimana
pandangan adi sekalian untuk menghadapi kesemuanya itu?"
Berkata ra Wedeng, "Kita harus lebih merapatkan
penjagaan, meningkatkan kewaspadaan dan mempertajam
kesiap siagaan. Demi menghadapi setiap kemungkinan yang
tak kita harapkan" "Hal itu sudah menjadi pekerjaan kita setiap saat" sambut
ra Banyak, "tetapi yang kita hadapi saat ini, suatu perobahan
baru, hendaknya kitapun mengambil langkah baru juga"
Ra Kuti mengangguk "Benar, ra Banyak. Lalu bagaimana
menurut pendapat tuan?"
"Momok yang akan mengancam diri kita, bukan lain yalah
Aluyuda itu" kata raBanyak "kepadanya-lah tindakan kita harus
diarahkan. Ibarat mengobati orang sakit, kita harus tahu apa
dan di mana penyakitnya. Bukankah demikian ra Tanca?"
Agak gelagapan juga ra Tanca yang termasyhur sebagai
tabib itu mengangguk "Benar"
"Bagaimana andaikata penyakit itu sudah parah sekali?"
tanya ra Banyak pula. "Apa maksud tuan?"
"Misalnya lengan kita tergigit ular beracun dan bisa itu
mengancam jiwa kita?" seru ra Banyak.
"Tiada lain jalan daripada harus memotong lengan itu. Jika
tidak, kita tentu mati" sahut ra Tanca.
"Benar" sambut ra Banyak bersemangat seraya memandang
kearah ra Kuti dengan berkilat kilat, "cara itu lah ra Kuti, yang
kuanggap dapat diterapkan dalam masalah yang kita hadapi"
Ketua Dharmaputera itu terkesiap lalu mencurah pandang,
menuntut penjelasan. "Aluyuda adalah ular beracun yang mengancam jiwa kita"
ra Banyakpun segera memberi tanggapan, "tiada lain obat
kecuali memotongnya ...."
"Benar!" teriak ra Pangsa yang beradat agak berangasan
"membiarkan ular berbisa itu hidup, berarti akan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membinasakan berpuluh jiwa manusia"
Ra Wedeng, ra Yuyu dan ra Semipun memberikan suara
dukungan. "Bagaimana pendapat anda, ra Tanca?" setelah
memperhatikan bahwa dari ketujuh Dharmaputera, lima orang
telah setuju untuk menindak patih Aluyuda maka bertanyalah
ra Kuti kepada ra Tanca yang tak mengeluarkan pernyataan
apa2 itu. Dalam banyak hal, ra Kuti memang lebih mendengar
usul dan pandangan ra Tanca yang dianggapnya lebih hatihati dan tepat.
Tenang sekali anggota Dharmaputera yang ahli dalam ilmu
pengobatan itu menyahut, "Anggota tubuh yang terkena
gigitan ular berbisa, memang dapat dipotong agar racun
jangan mengalir ke jantung. Dalih dalam pengobatan ini
memang tepat. Tetapi kurasa kuranglah layak apabila hendak
diterapkan pada masalah yang kita hadapi"
Ra Banyak, Pangsa, Wedeng, Yuyu dan Semi terbeliak.
Serempak mereka menghambur pandang mata ke arah ra
Tanca. "Sukalah tuan menjelaskan" seru ra Kuti.
"Kita tahu bahwa patih Aluyuda memang seekor ular
beracun tetapi sayangnya dia telah menjadi binatang
kesayangan raja. Apabila ular itu mati, bukankah raja akan
murka?" ra Tanca mengurai penjelasan, "kecuali tuan2
sekalian dapat menggambarkan suatu rencana yang hebat,
dapat membunuh ular itu tanpa menimbulkan kemurkaan
baginda" Beberapa anggota Dharmaputera, terutama ra Banyak,
tertegun. "Memang kemungkinan matinya Aluyuda akan menimbulkan
kemurkaan baginda. Tetapi biarlah baginda menumpahkan
kemurkaan pada yang membunuhnya" kata ra Binyak sesaat
kemudian. "Bukankah kita yang membunuhnya?" tegur ra Tanca
"Jika demikian, kita pasti akan dihukum mati oleh baginda"
sahut ra Banyak "mengapa sebodoh itu menyatakan bahwa
kita pembanuhnya" Ra Tanca, masakan tuan lupa akan
peristiwa Ken Arok membunuh Tunggul Ametung dahulu" Ha,
ha ......." Tanca terbeliak. Demikian pula ra Kuti.
"Maksudmu kita harus menggunakan siasat meminjam
tangan?" Tanca menegas.
"Aluyuda memang cerdik dan licin, lagi ganas. Tetapi
sepandai pandainya tupai melompat, sesekali pasti akan jatuh
juga. Katakan bahwa tupai terlalu membanggakan kelincahan
tubuhnya sehingga ia berani juga melompat kearah batang
pohon yang licin karena tertimpa air hujan. Apabila orang
marah karena tupai itu mati, biarlah pohon itu yang
dipenggalnya" Tanca terdiam. Tiba2 ra Kuti melantang ucap "Ra Banyak, bagus nian
rencanamu untuk mencontoh tindakan Ken Arok waktu
membunuh Tunggul Ametung. Tetapi pada hematku, masih
terbentang suatu jurang perbedaan antara keadaan Ken Arok
dengan kita. Tiada seorangpun, termasuk Tunggul Ametung
sendiri, yang menduga bahwa Ken Arok mencintai Ken Dedes
dan berniat untuk membunuh Tunggul Ametung. Dan yang
jelas keris milik Ken Arok itu memang berada di tangan Kebo
Ijo ketika Tunggul Ametung terbunuh. Dengan demikian
bersihlah Ken Arok dari tuduhan sebagai pembunuh"
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, "Tetapi semua
mentri narapraja, bahkan baginda sendiri, tahu bahwa
Dharmaputera dan patih Aluyuda itu tak cocok pendiriannya.
Bahwa terbunuhnya patih Aluyuda pasti melekatkan
Dharmaputera kepada tuduhan sebagai pembunuhnya karena
merasa iri atas kenaikan pangkat Aluyuda sebagai mahapatih"
"Jika Ken Arok dapat membebankan tubuh itu kepada Kebo
Hijo, mengapa kita tak dapat mencari seorang pembunuh
yang kemudian kita bunuh juga?" seru ra Banyak.
Beberapa orang Dharmaputera kedengaran mendesuh dan
mendesah. Ucapan2 ra Banyak itu mulai bergetar pada dinding
serabut hati mereka. Namun dikala pikiran mereka mulai
merenung dan menimang, siapa gerangan yang sesuai untuk
melakukan rencana itu dan bagaimana kiranya rencana itu
layak dilakukan, sekonyong-konyong melantanglah suara ra
Tanca dengan keras. Dan terkejutlah anggota2 Dharmaputera
yang lain. "Rencana itu memang bagus" seru ra Tanca, "tetapi
mengapa harus dilakukan secara sedemikian cepatnya"
Mengapa tidak menunggu saja apabila hubungan antara
baginda dengan Aluyuda sudah mulai buruk, baru kita lakukan
rencana itu?" "Tidak, ra Tanca, tidak" seru ra Banyak, "kita harus
melakukan rencana itu secepat mungkin. Ya, sekarang atau
tidak untuk selamanya. Apabila terlalu lama, pengaruh dan
kekuasaan Aluyuda tentu makin berakar dan sukar dilawan"
"Kita Dharmaputra juga berkuasa tinggi, mengapa takut
kepada patih Aluyuda?"
"Bukan soal takut, ra Tanca" kata ra Banyak, "tetapi segala
sesuatu janganlah kita meninggalkan perhitungan. Lebih baik
kita mendahului dari pada didahului Aluyuda" kemudian ra
Banyak beralih memandang ra Kuti dan berseru "manakala
tuan telah menghimpun keputusan dari segenap Dharmaputera, akulah yang sanggup tuan serahi untuk
melakukan tugas itu"
"Bagus, ra Banyak. Bersediakah anda untuk melakukan
pekerjaan yang berbahaya itu?" seru raKuti.
"Masihkah tuan menyangsikan
berseru anggota Dharmaputera itu.
kemampuan Banyak?" Kuti tertawa gembira, "Ha, ha, Dharmaputera merasa
berbahagia mempunyai seorang warga yang sepemberani
anda, ra Banyak. Tetapi benarkah tuan berani mengorbankan
jiwa untuk melakukan suatu pekerjaan yang besar?"
Sekalian Dharmaputera terkesiap. Demikian pula ra Banyak.
Apa yang tersembunyi di balik kata2 ketua Dharmaputera itu"
"Ra Binyak tak pernah menjilat kembali ludahnya" seru
Banyak. "Bagus, ra Banyak" seru ra Kuti makin meninggi "jika
demikian mengapa anda hanya berbuat setengah setengah
saja, ra Banyak?" Ra Banyak terbelalak "Apa maksud tuan?"
"Sudah terlanjur basah, mengapa tuan tak sekalian mandi
saja?" Mata ra Banyak makin menyalang.
"Aluyuda bukanlah biangkeladi yang sesungguhnya" seru ra
Kuti "andai dia dapat mati terbunuh, belumlah aman bagi
Dharmaputera untuk mengenyam kekuasaan. Dharmaputera
masih di bawah perintah baginda ...."
"Ra Kuti" serempak mencurahlah teriakan beberapa
anggota Dharmaputera tertuju pada ucapan ra Kuti "apa
maksud tuan?" "Mencabut keladi mengapa tak sekalian sampai pada
biangnya" seru ra Kuti "jika kita ingin mengenyam kekuasaan
dan kebesaran hidup, kita harus menjadi penguasa yang
tertinggi di kerajaan Majapahit. Dan apabila kita ingin
memperoleh kekuasaan itu, sekaranglah saat yang terbaik!"
"Ra Kuti" teriak keenam Dharmaputera itu serempak.
"Raden Adityawarman sedang berada di Kahuripan. Aluyuda
sedang mengikuti baginda di Lumajang. Baginda telah
menyerahkan kekuasaan pemerintahan di tangan Dharmaputera. Mengapa Dharmaputera tak memanfaatkan
keadaan yang menguntungkan ini. Lenyapkan baginda
Jayanagara, tumpas Aluyuda!"
"Tetapi ra Kuti" teriak ra Tarca yang tak setuju membentuk
tindakan keras pada saat itu "bagaimana mungkin para mentri
narapraja dan rakyat pura kerajaan akan mendukung tindakan
tuan?" Ra Kuti tertawa penuh kegembiraan "Jangan resah, ra
Tanca. Mentri, senopati dan seluruh rakyat Majapahit pasti
mendukung tindakan Dharmaputera. Pertama, baginda
Jayanagara bukanlah raja keturunan darah Majapahit yang
murni. Ibunda gusti ratu Indreswari itu seorang puteri Malayu.
Kedua, tindakan baginda untuk menumpas mahapatih Nambi
dan beberapa mentri setya, suatu tindakan yang lalim dan
sewenang wenang. Baginda termakan hasutan patih Aluyuda.
Dua tandasan itu sudah cukuplah untuk membangkitkan
kepatuhan para kawula dan mendapat dukungan dari para
mentri senopati. Masih pula kita kemukakan suatu dalih bahwa
demi menyelamatkan kerajaan Majapahit dari kekacauan dan
kemerosotan kewibawaan, raja Jayanagara dan Aluyuda harus
disingkirkan. Rasanya ketiga dalih itu akan cukup kuat untuk
menjadi landasan gerakan kita ..."
Suasana hening serentak. Keenam Dharmaputera terpukau
mendengar uraian ra Kuti. Tak pernah mereka menyangka
akan dihadapkan dengan masalah segawat itu. Membunuh
patih Aluyuda masih ringan dan dapat dijangkau. Tetapi
membunuh raja Jayanagara,
bukan olah2 akibatnya. Suatu
tindakan yang benar2 harus
dipikirkan semasak-masaknya hingga sampai kepada setiap
kemungkinan yang akan timbul
dari akibat pembunuhan itu.
Dan rupanya mereka merasa
terlalu cepat untuk menghadapi
persoalan itu sehingga untuk
baberapa lama belum juga terdengar salah seorang memberikan suaranya. "Ah, mengapa anda sekalian
diam saja?" seru ra Kuti dengan
nada yang tenang namun pandang matanya jelas
memancarkan sinar berkilat-kilat, "setiap pekerjaan tentu
menanggung akibat. Bahkan hidup kita inipun sudah
merupakan suatu akibat dari kehidupan kita yang dahulu. Jika
takut akibat, janganlah hidup" tampak ra Kuti melantang
dengan berapi-api. "Seorang lelaki harus berani bertindak menciptakan suatu
karya besar. Karya besar itu telah menghadang di hadapan
kita, hanya tinggal tunggu keberanian kita untuk
melaksanakannya. Adi sekalian" makin melengking tinggi nada
ra Kuti "kita termasuk manusia yang dikasihi dewata. Hanya
kita bertujuh dari sekian puluh juta rakyat Majapahit yang
berhasil mencapai puncak tangga kekuasaan. Dharmaputera
diangkat langsung oleh baginda sebagai sebuah badan
penasehat dan kepercayaan. Setingkat lagi kita mendaki,
tentulah kita akan mencapai puncak kekuasaan yang tertinggi
dalam kerajaan Majapahit. Sudahkah adi sekalian merasa puas
dengan tingkat yang kita capai sekarang ini" Tidakkah adi
sekalian tak ingin melangkah naik setingkat lagi" Bukankah
tingkat yang tertinggi itu terbentang di hadapan kaki kita"
Bukankah keadaan saat ini sangat menguntungkan sekali"
Apakah adi sekalian hendak menyia-nyiakan kesempatan yang
begini bagus?" Bagai halilintar yang merobek-robek angkasa maka
berdentinganlah kata2 ra Kuti itu menggetar dinding hati para
Dharmaputera. Pikiran mereka jauh melambung ke angkasa.
Membayangkan peristiwa yang akan dihadapinya itu .......
Merebut tahta kerajaan! "Tuan2 Dharmaputera yang terhormat" seru ra Kuti pula
setelah menunggu beberapa saat belum juga seorangpun dari
keenam kawannya itu menyatakan pendapat "adakah tuan2
masih ragu2" Ingin aku mendengarkan apakah yang menjadi
keraguan anda itu" Rupanya keenam Dharmaputera itu terlalu bersikap hati2
untuk lebih dahulu mengeluarkan pendapat. Mereka hendak
menunggu pendapat. bagaimana kawannya akan mengutarakan Ra Kuti dapat menyelami isi hati mereka. Cepat ia berpaling
ke arah para Dharmaputera yang duduk di sebelah muka pada
samping kanan. Ia hendak mengajukan pertanyaan menurut
urutan tempat duduk. "Ra Semi" serunya "apa kata tuan?"
Ra Semi telah menyadari bahwa kehadirannya di Lumajang
bersama dengan rombongan mahapatih Nambi, mungkin telah
terdengar oleh baginda. Sekalipun bukti2 belum meyakinkan
tetapi laporan itu tentu akan menimbulkan kecurigaan baginda
kepada dirinya. Serentak ia teringat akan dorongan semangat
yang dilantangkan ra Kuti tadi.
"Karena sudah terlanjur basah, lebih baik kita mandi sekali"
serunya "aku setuju dengan usul tuan, ra Kuti"
"Terima kasih" kata ra Kuti lalu melanjutkan pertanyaan "ra
Pangsa, silahkan" "Aku setuju dengan syarat agar gerakan ini direncanakan
dengan seksama dan cepat agar jangan sampai menimbulkan
pertumpahan darah besar" kata Pangsa.
Ra Kuti mengangguk "Soal itu nanti kita rencanakan
bersama dengan teliti. Baiklah, lalu apa kata tuan, ra
Wedeng?" "Dalam gerakan ini yang penting adalah kekuatan" sahut
Wedeng "sebelum aku memberi suatu pernyataan, ingin aku
mendapat keyakinan, adakah nantinya segenap mentri dan
narapraja dan senopati akan mendukung gerakan kita?"


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ra Kuti tertawa "Jangan kuatir, ra Wedeng. Untuk mentri2,
tak perlu kita gentarkan. Dalam lingkungan para senopati, aku
telah menanam orang. Apabila terdapat senopati yang
menentang, kita akan menyingkirkannya"
"Dapatkah keterangan tuan ini menjadi pegangan bagi
Wedeng?" "Selama mengepalai Dharmaputera, bukan hanya mengurus
soal-soal pemerintahan dan memberi nasehat kepada baginda
raja, pun yang penting aku telah menyusupkan pengaruh ke
segenap lapisan, baik di kalangan narapraja maupun para
senopati. Percayalah, dalam landasan itu, aku telah memiliki
pengaruh yang kuat" Ra Wedengpun mengiakan. Kemudian ra Kuti bertanya pula kepada ra Yuyu.
Dharmaputera yang ini pun meminta kepastian dari pengaruh
dan kekuatan ra Kuti di kalangan narapraja dan senopati.
Dengan landasan itu barulah ia memberikan persetujuannya.
"Adi ra Tanca" seru ra Kuti "tentulah adi tiada lain pendapat
kecuali seperti para adi yang lain, bukan "
Ra Tanca tertawa pelahan "Inginkah tuan mendapatkan
suara Tanca yang senada dengan para kawan-kawan tadi"
Sepanjang pengalamanku, ramuan obat yang terdiri dari
berbagai jenis, barulah dapat memancarkan khasiat yang
hebat. Tidak demikian dengan obat yang hanya terdiri dari
sejenis ramuan saja"
Ra Kuti terkesiap, serunya sesaat kemudian "Benar,
memang lebih banyak jenis ramuannya, lebih manjurlah obat
itu. Asal saja, jenis ramuan itu benar2 merupakan suatu
paduan yang satu dan sesuai. Nah, silahkan tuan
mengutarakan pendapat tuan"
"Dalam pandangan sebagai seorang tabib, aku selalu
memikirkan akibat dari setiap obat yang kuberikan kepada si
sakit. Karena setelah meminum ramuan obat itu, seluruh
tubuh kita tentu akan tergenang oleh khasiat jamu itu. Semisal
perut yang sakit, tujuan obat itu yalah menyembuhkan bagian
perut. Tetapi sering kita kurang memperhatikan bahwa napas
atau saluran2 lain pada tubuh si penderita itu juga mengidap
penyakit. Obat perut itu ada kalanya akan menyebabkan
penyakit2 pada lain bagian tubuhnya, merangsang dan
kambuh pula ...." "Demikian pula dengan gerakan yang hendak kita lakukan
ini" kata ra Tanca setelah berhenti sejenak "kita akan merebut
tahta kerajaan tetapi bagaimana dengan akibat gerakan itu"
Bukankah Kahuripan dan Daha takkan tinggal diam" Belum
terhitung lain2 daerah2 lain yang menjadi kekuasaan
Majapahit, antara lain Matahun, Wengker, Tuban, Madura dan
para bupati2 pesisir. Sudahkah kesemuanya ini tuan pikirkan?"
"Betapapun dahulu Ken Arok mampu juga untuk merebut
kedudukan akuwu Tumapel" bantah ra Kuti.
"Jaman Majapahit sekarang beda sekali dengan jaman Ken
Arok dahulu. Ken Arok dahulu hanya menghadapi musuh dari
Daha. Tetapi Majapahit jauh lebih besar dan luas daripada
kerajaan Tumapel itu. Perkembangan Majapahit, dimulai sejak
raja Kertanagara menjadi raja di Singasari, telah meluas
sampai ke negeri atas angin jauh di seberang lautan. Adalah
atas kewibawaan rahyang ramuhun baginda Kertarajasa, raja2
tanah seberang tunduk kepada Majapahit. Apabila terjadi
perebutan kekuasaan di pura Majapahit, bukankah mereka
akan berhamburan melepaskan diri " Bukan mustahil pula
mereka akan berbondong bondong menyerang Majapahit!"
"Ra Tanca, jangan menyamarkan hal2 yang belum
ketentuan. Kesamaran itu hanya memperlemah kemauan saja.
Pendek kata, tiada lain pilihan lagi bagi Kuti kecuali harus
maju. Rawe rawe rantas, malang2 putung ....."
Seiring dengan ucapan ra Kuti itu terdengarlah suara orang
berbatuk dan sesosok tubuhpun menyelinap ke dalam ruang
perundingan. "Hai, engkau Karang Betutu!" teriak ra Kuti demi melihat
siapa yang muncul "mengapa engkau berani lancang masuk ke
mari!" "Maaf, gusti" sahut orang tinggi besar yang disebut Karang
Betutu itu. Dia adalah kepala prajurit penjaga gedung
kediaman ra Kuti "hamba hendak menghaturkan sebuah berita
penting" Ra Kuti terkejut. Cepat ia suruh kepala penjaga itu maju
"Katakan lekas, berita apa"
"Seorang utusan dari Lumajang ...."
"Siapa" Dari baginda?" cepat ra Kuti menukas. Karang
Betutu mengiakan "Benar, gusti. Utusan itu menyerahkan
sepucuk surat dari baginda"
"Apa yang engkau katakan kepadanya " Bukankah dia
hendak menghadap aku?" tanya ra Kuti.
"Tidak, gusti" sahut Karang Betutu "dia mengatakan harus
lekas2 kembali ke Lumajang malam ini juga maka hanya
menyerahkan surat ini kepada hamba supaya dihaturkan ke
hadapan paduka. Penting sekali, katanya"
Ra Kuti segera meminta sampul itu. Setelah memberi
isyarat supaya kepala penjaga itu ke luar, ia segera membuka
sampul dan membacanya. Seketika pucatlah wajah kepala
Dharmaputera itu. Tubuhnya gemetar keras .....
Keenam Dharmaputera terperanjat sekali melihat perobahan airmuka ra Kuti. Dan berdebarlah hati mereka
terbawa oleh ketegangan ra Kuti
"Ra Kuti ..." Ra Semi memberanikan diri hendak bertanya. Tetapi baru
sepatah kata, ra Kutipun sudah berbangkit dari tempat duduk
lalu tergopoh-gopoh lari ke luar. Makin bingung dan heran
sekalian anggota Dharmaputera itu dibuatnya. Merekapun
serempak mengikuti ke luar.
"Karang Betutu" teriak ra Kuti seraya menghampiri ke
tempat penjaga pintu "mana orang yang menyerahkan surat
tadi ?" "Dia" Mengapa, gusti?" Karang Betutu terkejut.
"Jangan bertanya mengapa! Lekas bilang, di mana dia
sekarang !" hardik ra Kuti dengan mata meluap-bara.
"Dia sudah pergi, gusti ...."
"Ke mana, lekas tangkap !" ra Kuti membentak dan
mencengkeram leher Karang Betutu, mengguncangguncangkan sekerasnya, "sebar semua penjaga untuk
menangkap, tahu !" Ia mendorong tubuh kepala penjaga itu
ke belakang. Karang Betutu tersurut selangkah. Ia heran mengapa ra
Kuti marah kepadanya. Namun ia tak berani berlambatlambat. Segera ia ajak kawan kawannya mencari orang itu.
Dengan wajah merah padam kembalilah ra Kuti masuk ke
dalam ruang. Keenam Dharmaputera makin heran atas sikap
ketua Dharmaputera itu. Maka bertanyalah ra Tanca
"Ra Kuti, apakah gerangan isi surat dari baginda sehingga
tuan sedemikian tegang tampaknya ?"
Ra Kuti tak segera menyahut melainkan mendesuh lebih
dahulu "Hm, tak apa2 hanya baginda menitahkan kepada kita
supaya segera mempersiapken penyambutan atas kembalinya
pasukan Majapahit dari Lumajang"
"O, hanya itulah titah baginda" Tetapi mengapa tuan amat
tegang dan gelisah, ra Kuti ?" seru ra Banyak.
Ra Kuti mengangguk sarat "Ya, demikianlah. Adakah tuan
tak tahu makna apa yang tersimpul dalam titah itu ?"
Ra Banyak terlongong "Makna" Bukankah hal itu
merupakan suatu titah biasa dari seorang raja yang kembali
dari medan pertempuran dengan membawa kemenangan ?"
"Hm" desuh ra Kuti "tidak begitu dangkallah kita harus
menyelaminya. Di balik daripada titah itu jelas mengunjukkan
bahwa ada suatu ketergegasan dari langkah baginda untuk
segera pulang ke pura Majapahit. Dan lebih daripada itu, kita
segenap Dharmaputera dititahkan untuk menyambut sampai
di luar pura. Bukankah kita layak bercuriga bahwa rupanya
ada gejala baginda telah mencium bau tentang gerak gerik
kita selama ini?" "Jika begitu" seru ra Semi "lebih baik kita cepat bertindak
melaksanakan rencana kita"
Tiba2 ra Kuti menolak "Tidak, kita telah kedahuluan oleh
musuh2 dalam selimut sehingga baginda telah mengetahui.
Dalam hal ini .........." ketua Dharmaputera itu berhenti,
merenung beberapa saat lalu berkata pula, "Sidang malam ini,
lebih baik kita akhiri dulu sampai di sini"
"Tanpa suatu keputusan?" seru ra Semi yang di ikuti pula
oleh kerut dahi sekalian Dharmaputera yang lain.
"Ya, untuk malam ini" kata ra Kuti dalam nada yang dalam
"besok atau lusa akan kuundang tuan2 sekalian hadir di sini.
Mudah-mudahan kita sudah mempunyai keputusan yang
tegas. Adakah kita akan melanjutkan rencana ini atau akan
membatalkannya" Keenam Dharmaputera itu masih belum lepas dari rasa
heran dan bingung atas sikap ra Kuti yang tiba2 saja telah
merobah pendiriannya. Mereka masih ingin meminta
penjelasan lebih lanjut apa gerangan isi surat dari baginda itu.
Namun saat itu ra Kuti sudah berbangkit dari tempat duduk
dan melangkah ke pintu. Suatu isyarat bahwa ia
mempersilahkan keenam kawannya pulang. Terpaksa keenam
Dharmaputera itupun pulang dengan membawa berbagai
pertanyaan dalam hati. Setelah memastikan bahwa keenam orang itu sudah pergi,
ra Kuti lalu mengunci ruang dan mengeluarkan pula sampul
surat dari baginda. Ia mengambil lampu dan menebarkan
surat itu lalu membacanya pula dengan teliti.
Tuan2 Dharmaputera: Betapapun hendak tuan2 selimuti perundingan rahasia itu,
kami tetap tahu semua. Tuan2 lupa meneliti, bahwa di dalam
selimut itu terdapat kutu2 busuk. Tak mungkin tuan dapat
melaksanakan rencana tuan yang jahat itu ... !
Surat itu tak bertanda nama pengirimnya. Namun jelas
tentu berasal dari musuh2 Dharmaputera.
Merah wajah ra Kuti. Setelah diulang dan diteliti pula
dengan seksama, surat itupun dilipat dan dimasukkan pula
dalam baju. Ra Kuti bercengkerama dalam renung dan menung.
Benaknya bertebaran kesegenap alam ingatannya. Bukankah
surat itu mengatakan bahwa ia telah mengenakan 'selimut
yang berkutu busuk'" Jelasnya, terdapat musuh dalam selimut
di kalangan Dharmaputera. Apabila hal itu benar, jelaslah
rencana yang dirundingkan tadi, sudah diketahui oleh fihak
musuh. "Tetapi siapakah gerangan musuh dalam selimut itu?" ra
Kuti bertanya-tanya dan mencari-cari dalam renungan,
"mungkinkah di antara mereka berenam itu memiliki hati
hianat. Ah, kita telah bersumpah untuk mengenyam suka,
membagi duka. Dan selama ini, ku-wawas tiada seorangpun
dari mereka yang mengunjuk gejala2 menyeleweng"
"Bedebah!" tiba2 ra Kuti melantang, "surat ini hanya suatu
siasat untuk mengadu domba, memecah belah Dharmaputera
belaka. Mengapa aku terkecoh dengan surat semacam itu
.........." Ra Kuti cepat menghapus semua bintik2 kecurigaan yang
menebar dalam hatinya. Tatkala ia berada di ambang
kesimpulan bahwa surat itu hanya suatu siasat musuh untuk
memecah belah Dharmaputera tiba2 terdengarlah ledakan
sedahsyat halilintar menyambar. Bumi bergetar, langitpun
bagai runtuh..... Ra Kuti terhempas dari renungan dan kesimpulan yang
sudah hampir mengendap itupun ikut berantakan pula, "Ah,
perobahan alam sukar diduga. Demikian pula halnya dengan
hati manusia. Siapa tahu bahwa di kalangan Dharmaputera itu
memang benar terdapat musuh dalam selimut" Peristiwa
halilintar itu suatu pelajaran yang bagus. Di musim terang,
memang alam tenang dan gemilang sehingga orang lupa
bahwa sesungguhnya di langit itu tetap berawan. Dan awan2
itu sesungguhnya unsur2 yang membentuk hujan. Selekas
hujan turun maka halilintar pun tentu akan mengunjuk diri.
Bukankah hal semacam itu tiada mustahil terjadi pada anggota
Dharmaputera" A h ...."
Demikian sifat dari ra Kuti, ketua dari Dharmaputera yang
cerdik dan licin itu. Cerdik, memang merupakan sifat yang
paling menggembirakan pada manusia. Namun jika kecerdikan
itu diresapi pula oleh sifat2 licin maka lahirlah sifat lain lagi.
Sifat curiga, berprasangka dan cemburu. Demikian halnya
dengan peribadi ra Kuti. Dia seorang yang cerdik tetapi licin
sehingga menjadilah dia seorang yang berprasangka dan
gemar mereka-reka kecurigaan.
Di kala ketua Dharmaputera itu sedang terbuai dalam
lautan prasangka yang tiada berpangkal dan berujung,
sesosok tubuh dalam pakaian hitam sedang berjalan dengan
gegas tangkas. Dia adalah orang yang menyerahkan sampul
surat kepada Karang Betutu tadi.
Hujan belum juga berhenti walau pun tidak selebat tadi dan
hanya gerimis rintik2. Orang itu menyusur lorong gelap di
celah celah bangunan gedung para menteri. Setelah tiba
dijalan, iapun makin mempercepat langkah, setengah berlari.
Rupanya dia tahu bahwa gedung ketua Dharmaputera itu
tentu akan memerintahkan penjaga-penjaga untuk mengejarnya. Karena berpakaian serba hitam maka terlindunglah dia dari
pengamatan pandang mata orang. Setelah hampir mendekati
alun2 ia menyelinap ke sebuah lorong kecil dan terus
menyusup dalam kegelapan.
Tak lama kemudian ia berhenti di depan sebuah pagar
tembok belakang dari sebuah gedung besar. Ia mengeluarkan
secarik kain hitam lalu menyelubungkan ke tampang mukanya.
Dari batas hidung sampai ke bawah janggut, tertutup dengan
kain selubung hitam. Hanya bagian mata yang masih
kelihatan. Kemudian ia menengadah memandang puncak
pagar batu yang menjulang tiga tombak tingginya.
Ia anggukkan kepala, melolos sabuk pinggangnya. Sabuk
pinggang itu bukan terbuat dari kain atau kulit, melainkan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merupakan segulung tali. Ujung tali diikat dengan sebuah kait besi. Setelah
mengayun-ayunkan tali berujung kait itu beberapa jenak, tiba2
ia melontarkannya ke puncak pagar batu. Crek, ujung kait pun
melekat pada lamping bagian puncak pagar batu itu. Ia
menarik-nariknya untuk menyelidiki adakah kait itu benar2
telah mengait puncak pagar batu dengan kokoh. Setelah
memperoleh kepastian, orang itupun segera mulai memanjat.
Dengan bantuan tali yang telah mengait lamping puncak,
dapatlah orang itu mencapai puncak pagar batu. Ia
menyimpan pula tali berujung kait itu lalu dengan suatu gerak
loncatan yang berhati-hati sekali, ia melayang turun ke dalam
halaman...... Hampir tak kedengaran suaranya ketika kaki orang itu tiba
di atas tanah. Sebuah halaman belakang dari gedung besar
yang tegak menganak bukit dengan megahnya.
"Ih ......." tiba2 ia mendesuh kejut ketika melihat segunduk
benda hitam tegak di bawah sebatang pohon nagasari yang
rindang daunnya, "manusiakah itu?"
Memang gunduk hitam yang tegak di bawah pohon itu
menyerupai dengan sosok tubuh seorang manusia. Tetapi ia
masih sangsi. Karena bentuk benda hitam itu berbeda dengan
potongan tubuh orang kebanyakan. Bagian punggungnya
meliuk bungkuk. "Setan?" serentak timbullah suatu perasaan seram yang
meregangkan bula ronanya "ah, tidak! Tak mungkin dalam
halaman belakang gedung kediaman ra Tanca terdapat
sesosok setan ......." ia membantah khayalannya sendiri.
Dipandangaya lekat2 sosok hitam yang berada tiga empat
tombak di sebelah muka. Dan mulailah ia cenderung untuk
menduga bahwa sosok hitam itu merupakan tubuh seorang
manusia. Setelah menenangkan perasaan dan mengemasi diri
dengan kesiap siagaan, iapun melangkah ke arah sosok hitam
itu. Seiring dengan penghentian dirinya kira2 empat lima
langkah dari sosok hitam itu, kesannya pun makin mengikat
kesimpulan bahwa sosok hitam itu memang benar seorang
insan manusia. Tetapi seorang manusia yang bungkuk
punggung. "Ah ......." diam2 ia menghela napas lega walaupun masih
belum bebas dari kecemasan. Bukankah kehadiran orang itu di
situ, menunjukkan tanda bahwa orang itu sudah mengetahui
perbuatannya menyelundup masuk ke halaman belakang dari
gedung kediaman ra Tanca" ia sudah memilih bagian halaman
yang paling belakang sendiri. Pikirnya,, tentu tak mungkin
para penjaga di muka gedung akan mengetahui jejaknya. Apa
pula malam sudah amat larut dan habis turun hujan lebat.
Tetapi ah, ternyata perhitungannya itu telah gagal. Orang
yang berdiri di hadapannya itu tentulah salah seorang penjaga
gedung. "Siapa engkau ..." seru orang itu dengan nada terkekang
agar jangan sampai menimbulkan gema suara yang keras.
"Hm, layaknya akulah yang menegurmu" sahut orang itu
dengan nada sedingin hawa malam itu.
"Engkau salah seorang penjaga gedung ini?" orang itu tak
menghiraukan dan tetap ajukan pertanyaan.
"Hm, walaupun aku bukan anggota kelompok penjaga
gedung ini tetapi aku seorang yang wajib menjaga keamanan
gedung ini dari gangguan penjahat semacam engkau" kata
orang itu. "Siapa engkau?" seru orang itu pula.
"Engkau sendiri siapa?" balas orang bungkuk itu.
"Kedatanganku kemari bukan untuk melaporkan nama
tetapi untuk melaksanakan sebuah tujuan" sahut orang
berkerudung kain hitam itu pula.
"Hm, tak punya nama?" dengus orang bungkuk itu.
"Punya" gumam orang itu "tetapi tidak untuk kulaporkan
kepadamu" Orang bungkuk itupun terkesiap. Dipandangnya orang
berkerudung kain hitam itu lekat2. Dua buah sinar mata
beradu tajam. Mulut orang bungkuk mendesuh pelahan, orang
berkerudungpun mendesis. Keduanya merasakan, sinar mata
lawan setajam pisau yang menikam uluhati. Baik orang
bungkuk dan orang berkerudung itu sama2 terkejut dalam
hati. "Ki sanak" tegur orang bungkuk itu "apa. maksudmu tengah
malam buta masuk ke halaman gedung ini?"
"Bukankah gedung ini tempat kediaman ra Tanca?" tidak
menyahut tetapi orang berkerudung itu balas bertanya.
"Siapa yang hendak engkau cari?"
"Ra Tanca" "Hm, memang benar di sini" kata orang bungkuk "hendak
membunuhnya ?" Orang berkerudung itu terkesiap. Tegas keterangan orang
bungkuk itu, jelas pula nadanya mengumandangkan suatu
penguasaan ilmu Prana yang tinggi.
"Tidak" sahut orang berkerudung "jika hendak membunuhnya, tak perlu aku harus main sembunyi secara
pengecut" Orang bungkuk mendesuh "Hm, rupanya engkau bukan
sembarang penjahat. Ya, tetapi kunamakan engkau begitu
karena cara kedatanganmu memang seperti kaum penjahat
malam" Orang berkerudung itu tertawa ringan "Terserah. Karena
apabila orang keliru menyangka, yang malu bukan yang
disangka tetapi yang menyangka"
"Lalu apa maksudmu ke mari?" ulang orang bungkuk pula.
"Aku hendak mengambil ramuan obat milik ra Tanca"
Orang bungkuk itupun terkesiap.
"Untuk siapa?" tegurnya.
"Seorang kawanku yang menderita luka parah" sahut orang
berkerudung itu "harus ditolong dengan segera"
"Mengapa tak minta obat itu kepada Tanca?" Orang
berkerudung terkesiap. Mengapa orang bungkuk menyebut ra
Tanca dengan langsung tanpa sebutan menghormat. Tidak
demikian kebiasaan para penjaga gedung kediaman seorang
mentri apabila menyebutkan tuannya. Siapakah gerangan
orang bungkuk itu" Ditatapnya wajah orang itu dan segera ia
mendapat kesan bahwa orang bungkuk itu seorang lelaki tua
berwajah sunyi. "Adakah ra Tanca di rumah?" ia balas menegur.
"Apakah dia tak di dalam rumah?" si bungkuk balas
bertanya. "Masakan engkau tak tahu?"
"Jika tahu masakan aku bertanya!" sahut si bungkuk pula.
"Hm, aneh" gumam orang berkerudung "engkau tinggal di
lingkungan gedung ini, mengatakan kalau mempunyai
kewajiban untuk melindungi keamanannya, tetapi tak tahu dia
berada dalam gedung atau tidak"
Orang bungkuk itu menghela napas "Hm, aku mempunyai
cerita sendiri. Tak perlu engkau tahu"
Orang berkerudung itu terkesiap. Diam2 timbul suatu
persangkaan dalam hatinya, bahwa orang bungkuk itu tentu
mempunyai hubungan dengan ra Tanca. Namun ia tak sempat
untuk menyelidiki. Kawannya yang menderita luka itu harus
segera ditolong. '"Ya, memang ra Tanca tak berada di rumah. Saat ini dia
sedang menghadiri rapat rahasia di gedung kepala
Dharmaputera" sahutnya cepat "itulah sebabnya aku
menempuh jalan belakang"
Orang bungkuk itu mendesuh pelahan.
"Dan andaikata aku bertemu dengan ra Tanca, belum tentu
dia mau memberikan obat itu" kata orang berkerudung itu
pula. "Mengapa?" si bungkuk kerutkan kening "dia seorang tabib
yang suka menolong orang"
"Kudengar begitu" sahut orang berkerudung muka "tetapi
tentu tidak untuk kawanku yang seorang ini"
"Mengapa?" makin heran orang bungkuk itu.
Orang berkerudung muka itu mendesuh. "Jangan terlalu
jauh bertanya, ki sanak. Cukup kukatakan, bahwa ra Tanca
tentu menganggap kawanku itu seorang musuh"
"Musuh" Dan engkau juga?"
"Begitulah" sahut orang berkerudung muka "kami memang
musuh dalam arti kata berlainan pendirian dengan ra Tanca
dan Dharmaputera" "O" desuh orang bungkuk itu "dengan begitu engkau
hendak mencuri obat dari Tanca?"
"Terserah engkau mengatakan bagaimana" sahut orang
berkerudung "asal tujuan dari pencurian itu bukanlah untuk
mencuri harta benda melainkan untuk mengobati orang yang
terancam maut" Orang bungkuk itu berdiam diri, termenung beberapa saat.
"Kiranya keteranganku sudah jelas. Dan maaf, akupun tak
dapat lebih lama berada di sini. Hari sudah mendekati fajar,
aku segera akan mengambil obat itu" kata orang berkerudung
seraya hendak ayunkan langkah.
"Tunggu" orang bungkuk mengisar langkah ke tengah
"andaikata engkau tak berjumpa dengan aku, akupun takkan
bertindak apa2. Tetapi setelah aku tahu hal ini, akupun tak
dapat berpeluk tangan"
Orang berkerudung "Maksudmu?" menyurut ictengah langkah "Aku cenderung setuju atas tujuanmu datang ke gedung ini.
Tetapi engkau pun harus menyetujui tindakanku sebagai
pelindung keamanan rumah ini. Kita masing2 mempunyai
tujuan dan kewajiban"
"Tetapi pendirian kita berlawanan arah"
"Kalau memang begitu, apa daya" Tetapi hal itu tidaklah
mengurangkan sifat dari cara2 kita menyelesaikannya" kata
orang bungkuk itu tenang.
"O, engkau menghendaki penyelesaian
penjahat?" seru orang berkerudung itu.
secara kaum Orang bungkuk itu terkesiap, menatap lawan, serunya
"Bukan cara penjahat tetapi cara ksatrya"
Orang berkerudung tertawa "Bukankah engkau tadi
menyebut aku penjahat" Ah, sudah, waktu sudah mendesak.
Bagaimana kehendakmu?"
"Disebut ksatrya bukan melainkan hanya sifat2 peribadinya
yang luhur, tetapi pada umumnya dia tentu memiliki ilmu jaya
kawijayan yang tinggi. Jika kuminta engkau membatalkan
maksudmu dan kembali pulang saja, engkau tentu tak mau,
bukan?" "Itulah beratnya menolong seorang kawan yang sedang
terancam jiwanya. Betapapun yang akan kualami, terpaksa
akan kuhadapi" sahut orang berkerudung.
"Itu seorang ksatrya" seru orang bungkuk itu "dan akupun
juga harus menetapi kewajibanku sebagai pelindung gedung
ini" "Ya, kutahu" "Oleh karena itu, kita harus menyelesaikan dengan cara
yang lazim bagi kaum ksatrya. Marilah kita tunjukkan, siapa
yang berhak untuk melaksanakan kewajibannya. Kalau engkau
lebih sakti, silahkan engkau melaksanakan tujuanmu. Tetapi
kalau engkau kurang sakti, silahkan pulang"
Orang berkerudung mengangguk "Baiklah" ia-pun segera
berkemas mempersiapkan diri.
Tiba2 orang bungkuk itu tertawa "Ah, tak perlu dengan
gerak perkelahian yang menghabiskan tenaga dan waktu.
Bukankah engkau tergesa-gesa hendak mendapatkan obat
itu?" Orang berkerudung mengiakan "Benar, percepat saja
penyelesaian ini" "Baik" sahut orang bungkuk "sebelumnya kita memang tak
kenal mengenal dan tiada mempunyai dendam permusuhan
suatu apa. Hanya karena kita masing2 terikat oleh kewajiban
maka kitapun terjerat dalam lingkaran pertentangan. Oleh
karena itu, cara-nya pun jangan sampai menimbulkan
pertumpahan darah. Dua kali aku akan bergerak. Yang
pertama, untuk menerkam tubuhmu. Kalau kain penutup
mukamu dapat kusambar, engkau kalah. Tetapi kalau engkau
mampu menghindar, engkau menang. Dan kedua, kalau
engkau mampu menerima sebuah pukulanku, engkaupun
menang" "Apa maksudmu" Aku harus diam saja menerima
pukulanmu?" orang berkerudung meminta penjelasan.
"Bukan" jawab orang bungkuk "engkau boleh menangkis"
"O, baiklah" kata orang berkerudung.
Orang bungkuk itupun tak mau bicara lagi. Setelah
berkemas diri, ia terus loncat menerkam orang. Sepasang
tangan berayun, kesepuluh jari menebar dan terkejutlah orang
berkerudung itu. Serasa mukanya dibayangi oleh berpuluhpuluh jari tangan yang hendak menyambar kain penutup
mukanya. Orang berkerudung itu terkejut. Ia tak menyangka bahwa
orang tua bungkuk yang tampaknya berwajah ketolol-tololan
itu, ternyata memiliki kesaktian yang sedemikian tinggi. Ia
pernah mengenal suatu ilmu permainan pedang yang disebut
Gebyar-sayuta. Pedang dapat berhamburan laksana hujan
mencurah, sinarnya macam gebyar sayuta atau Sejuta petir.
Tetapi itu ilmu permainan pedang. Dan yang dimainkan oleh
orang bungkuk itu, bukan pedang melainkan sepasang
tangannya. Sekalipun begitu, kilatan jari2 tangannya itu tak
kalah lebatnya dengan taburan sejata pedang.
Namun orang berkerudung itu tak sempat melanjutkan
penilaian terhadap lawan, karena saat itu jari2 orang tua
bungkuk itu sudah hampir menjamah kain kerudung yang
menutup mukanya. Untunglah pada saat akan menerima
serangan, ia sudah mengemasi diri, mengerahkan ilmu Prana
untuk memusatkan arus inti tenaga ke arah Cakram Manipura


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau pusat pusar. Pengerahan itu berarti, ia dapat menggunakan inti tenaga
ke arah yang dikehendakinya.
Dalam perjanjian pertama itu, ia tak dibenarkan untuk
menangkis. Hanya boleh menghindar saja. Dan karena
berpuluh bayang2 jari tangan orang bungkuk itu sudah
sedemikian dekat, tak mungkinlah baginya untuk menghindar.
Kain kerudung penutup mukanya pasti akan dapat disambar
orang itu. Dan hal itu berarti ia kalah. Suatu kekalahan yang
akan membawa akibat penting bagi keselamatan jiwa
kawannya. Secepat terlintas suatu daya dalam benaknya maka iapun
segera menghamburkan gemboran yang dahsyat sekali,
sedahsyat aum harimau lapar mencium darah. Orang bungkuk
itu terkejut. Hanya sekejab mata rasa kejut itu menggetar
tetapi serempak dengan itu, jari2 tangannya pun serasa
terdampar oleh gelombang angin yang bertenaga kuat.
Sedemikian kuat angin itu melanda sehingga jari2
tangannyapun terhenti. Ia terkejut lagi. Cepat2 ia kerahkan
tenaga untuk melanjutkan gerak jarinya ke muka dan ternyata
berhasil. "Uh ...." ia mendesuh dalam hati ketika kesepuluh jari
tangannya itu menerpa angin kosong. Cepat ia menarik pulang
tangannya dan memandang ke muka. Ah, orang berkeruduug
itu tampak tegak beberapa langkah di sebelah muka. Sesaat ia
terlongong-longong .... "Ki sanak, engkau hebat benar" serunya pada lain, saat
setelah menyadari apa yang terjadi "engkau lulus dalam ujian
pertama. Belum pernah kulihat ilmu Senggoro-macan seperti
yang engkau lancarkan tadi"
Orang berkerudung itu tertawa datar "Ah, jangan keliwat
menyanjung. Gerakan kesepuluh jarimu itupun jauh lebih
dahsyat dari ilmu pedang Gebyar-sayuta. Akupun belum
pernah menyaksikan ilmu semacam permainanmu tadi, ki
sanak" "Ho, marilah kita berhemat kata dulu, ki sanak" seru orang
bungkuk itu "segeralah engkau bersiap untuk menerima
pukulanku" Setelah mengetahui gerak tata kelahi orang bungkuk itu,
orang berkerudung segera memiliki pengetahuan bahwa dia
sedang berhadapan dengan seorang yang berilmu tinggi.
"Heran" diam2 ia menggumam dalam hati "siapakah
gerangan lelaki bungkuk ini " Mengapa ia tinggal di bagian
belakang jauh dari gedung kediaman ra Kuti " Menilik sikap
dan umurnya, kemungkinan besar dia tentu bukan penjaga
gedung. Tukang kebun" Ah, tetapi mengapa dia menyebut ra
Kuti dengan nama Kuti saja ...."
Tiba2 benak orang berkerudung itu terlintas sesuatu "Ih,
dia mirip seorang resi pertapa ...."
Namun belum sempat ia melanjutkan renungan untuk
menilai orang bungkuk itu, tiba2 terdengar orang bungkuk itu
berseru "Ki sanak, engkau harus menggunakan seluruh ilmu
kepandaianmu untuk menghindar atau menangkis pukulanku.
Karena terus terang, pukulanku ini akan kulambari dengan
tenaga penuh" "Baiklah, silahkan" sahut orang berkerudung itu seraya
berkemas-kemas. Orang bungkuk itu tegak berdiam diri. Tampak dadanya
berombak-ombak keras, makin lama makin pelahan sehingga
tenang lagi. Sirapnya pernapasan yang dilancarkan dengan
ilmu Prana, berganti dengan perobahan cahaya airmukanya
yang makin tampak sarat dan makin gelap. Kemudian warna
mukanya itu berangsur-angsur terang dan makin terang,
akhirnya sunyi. Kemudian tampak dia mulai menggerakkan kedua
tangannya. Telapak tangan kiri terbuka, diajukan ke samping
perut, telapak tangan kanan diletakkan di atas lutut kanan.
Setelah itu tiga buah jari tangan kanan yaitu jari tengah,
manis dan kelingking dijulingkan ke atas. Ibu jari melekat
pada jari telunjuk membentuk sebuah lingkar, kemudian
diajukan ke muka dan tiba2 diputar melingkar lingkar dengan
deras sekali .... "Witarkamudra ....... !" tiba2 pula orang berkerudung itu
berseru kaget dan cepat pula ia mengangkat tangan kanan ke
atas kepala dan tangan kiri ditekuk ke muka dada.
Belum pula hilang kejut orang berkerudung itu menyaksikan
tata sikap lawan pada waktu melancarkan pukulan, tiba2 pula
orang bungkuk itu menarik tangan kanan ke samping
lambung, lalu mendorongkan kedua tangannya ke muka ....
"Darmacakramudra ....... !" teriak orang berkerudung makin
kejut. Dan serempak dengan itu iapun segera menyerempaki
dengan menghantamkan tangan kanannya.
Darrrr .... Terdengar letupan keras macam bukit karang meledak
ketika angin pukulan kedua orang itu saling beradu di udara.
"Rajah Kalacakra .......... !" orang bungkuk itu memekik
kaget dan cepat loncat mundur beberapa langkah. Dadanya
berombak keras, napas memburu-buru dan wajahnyapun
tampak pucat. "Engkau siapa......." teriaknya terengah-engah.
"Jangan bicara dulu, lekas engkau bersemedhi melakukan
ilmu Prana. Tenangkan napas dan darahmu yang bergejolak"
seru orang berkerudung. Orang bungkuk itu memercikkan pandang keraguan.
"Ah" orang berkerudung itu menghela napas "lepaskanlah
pikiranmu. Seorang ksatrya wajib menghargai seorang
ksatrya. Silahkan engkau beristirahat dulu, aku takkan
mengganggumu" Wajah orang bungkuk itu merekah cerah. Iapun segera
duduk, pejamkan mata dan bersemedhi menjalankan ilmu
Prana atau pernapasan. Entah berselang beberapa lama,
ketika ia membuka mata, dilihatnya orang berkerudung itu
masih tegak di tempatnya semula, memandangnya dengan
pandang mata ramah. "Siapa engkau, ki sanak" orang bungkuk itupun mengulang
kembali pertanyaannya. "Mengapa engkau perlu mengetahui namaku ?" Balas orang
berkerudung. "Engkau memiliki ilmu sakti Rajah Kalacakra" kata orang
bungkuk itu "suatu pertanda bahwa engkau bukan orang
sembarangan. Sepanjang ingatanku, hanya seorang dua orang
yang memiliki ilmu sakti itu"
"Apa kepentinganmu mengetahui hal itu?" tanya pula orang
berkerudung dalam nada yang hambar.
Orang bungkuk itu menghela napas "Apabila benar engkau
mempunyai hubungan dengan orang itu, aku harus minta
maaf kepadamu" "Siapa yang engkau maksudkan ?"
Orang bungkuk itu tak menyahut melainkan melanjutkan
pertanyaan "Apa hubunganmu dengan Mahisa Sora ?"
"Siapa Mahisa Sora itu ?"
"Seorang senopati gagah perkasa yang menjadi orang
kepercayaan raden Wijaya"
"O, Lembu Sora?" orang berkerudung menegas.
"Ya, mungkin sama" sahut orang bungkuk
"Mahisa dengan Lembu sama artinya. Dan diapun terkenal
pula dengan sebutan Ken Sora"
Orang berkerudung terkesiap, tertegun beberapa jenak lalu
menyahut "Aku tak kenal kepadanya"
"Ah, tak mungkin" seru orang bungkuk itu "bagaimana
mungkin engkau memiliki ilmu sakti Rajah kalacakra itu
apabila tiada mempunyai hubungan dengan Mahisa Sora?"
"Bagaimana engkau dapat menarik kesimpulan begitu, ki
sanak" kata orang berkerudung "adakah engkau mempunyai
hubungan erat dengan Mahisa Sora?"
"Ya" orang bungkuk itu mendesah "kita bersahabat baik
ketika dia berguru pada maharesi Kaneka di gunung"
Orang berkerudung itu terkesiap. Terlintas dalam benaknya
bahwa yang dihadapinya itu bukan seorang bungkuk biasa
melainkan seorang manusia yang mempunyai latar kehidupan
yang hebat. Mungkin dia tunggal guru dengan Mahisa Sora,
pikirnya. "Siapakah ki sanak ini?" akhirnya tak tertahan pula
keinginan hatinya untuk mengetahui nama orang bungkuk itu.
Di luar dugaan orang bungkuk itu dengan serta merta
menerangkan namanya "Namaku Kadipara. Karena aku tinggal
menyepi di gunung, orang menyebutku sebagai resi Kadipara.
Sesungguhnya aku merasa malu kepada diriku karena tak
layak menerima sebutan resi itu"
"Ah, tuan terlalu merendah diri" kata orang berkerudung.
"Dan siapakah engkau?" tiba2 resi Kadipara balas melontar
pertanyaan. Orang berkerudung itu mengerut dahi, berkabut sangsi.
"Ah, tetapi kalau engkau keberatan untuk memberitahukan
nama, akupun tak memaksa" resi Kadipara menyusuli kata2.
"Aku Anuraga, tuan resi" tiba2 orang berkerudung itu
menjawab. Rupanya ia malu hati atas kejujuran orang.
Mendengar nama itu, wajah resi Kadipara mengerut kejut
"Anuraga?" "Ya" "Bukankah engkau seorang brahmana?"
"Benar" "Ah ..." tiba2 resi Kadipara menyurut mundur beberapa
langkah "benarkah aku berhadapan dengan brahmana
Anuraga ?" "Ah" desuh "adakah aku menyangsikan sendiri?" Anuraga harus diriku "Sekali lagi" seru resi
Kadipara "kenalkah tuan
dengan seorang anakmuda bernama Dipa?" "Dia sahabatku" seru Anuraga terkejut "adakah
resi menjumpainya?" "Ah ......" resi bungkuk itu
mendesah "hampir saja terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Benar, ki brahmana, aku memang bertemu dengan
anak muda itu. Dia menceritakan tentang dirimu"
"O" seru Anuraga "di mana ki resi bertemu" Dan di
manakah anak itu sekarang?"
"Agak panjang juga ceritanya. Saat ini menjelang dinihari.
Tiada baik berjemur di luar. Sering turun embun upas" kata
Kadipara "mari kita bicarakan dalam pondokku"
Anuraga terkesiap. Ia memang tak meragukan lagi itikad
baik dari resi bungkuk itu. Namun iapun teringat akan
tujuanrya mencari obat untuk kawannya "Tetapi resi ...." ia
meragu "aku perlu memperoleh obat"
Resi Kadipara mencurah tatap pandang ke arah brahmana
muda itu, mengulum tawa lusuh "Tanca mempunyai simpanan
bermacam-macam obat. Obat obat itu ditaruh di suatu ruang
yang amat rahasia. Sukarlah kiranya engkau hendak
menemukan tempat itu. Dan andaikata menemukan
tempatnya, adakah engkau dapat mengetahui mana2 ramuan
yang sesuai untuk pengobat luka kawamu itu" Apakah engkau
hendak mengambil semua simpanan obat di situ?"
Anuraga terkesiap. "Dan jangan lupa pula. Sekalipun Tanca tiada di dalam
gedung, penjagaan di situ tak pernah berkurang ketatnya"
kata Kadipara pula. Anuraga makin terbeliak. "Biarlah kucobanya" beberapa jenak kemudian Anuraga
berkata. Kadipara gelengkan kepala "Sia sia ...."
"Sia-sia?" Anuraga mengulang cemas "lalu bagaimana
dengan kawanku?" "Jika engkau percaya kepadaku" kata resi itu tenang2
"marilah kita beristirahat di pondokku ......."
"Tetapi resi" Anuraga meragu "bagaimana dengan kawanku
nanti?" "Percayakan kepadaku" kata resi bungkuk itu seraya
ayunkan langkah tanpa mengacuhkan adakah Anuraga mau
mengikuti langkahnya atau tidak.
Anuraga tertegun. Dahinya mengerut pertimbangan. Ia
mempunyai kesan baik terhadap reii bungkuk itu. Dan kesan
itu menimbulkan suatu kepercayaan terhadap orang itu.
Sejenak kemudian, iapun gerakkan langkah, mengikuti
Kadipara. Anuraga berhadapan dengan sebuah kesan bahwa ia
berada dalam sebuah ruang pondok papan yang bersahaja.
Tetapi ada sebuah hal yang menyenangkan hatinya. Bahwa
lepas dari penghuninya yang bungkuk dan ketolol tololan tak
acuh itu, ternyata ruang pondok itu cukup bersih. Walaupun
peralatan hanya terdiri dari sebuah balai2 tidur, sebuah kursi
kayu dan sebuah dingklik panjang dan sebuah meja. Pelita
yang terletak di atas meja masih memancarkan cahaya yang
redup. Setelah duduk berhadapan dengan tetamunya, resi
Kadipara segera membuka pembicaraan "Engkau tentu ingin
tahu siapa diriku?" "Semoga resi memberitahukan kepadaku, apabila tiada
berkeberatan" "Sama sekali tidak. Karena hal itu bukan suatu rahasia dan
tidak pula menyakiti diriku. Semisal engkaupun tentu tak
merasa sakit apabila mempertunjukkan wajah yang
sebenarnya" "Perlukah?" "Mungkin melonggarkan nada pembicaraanmu" Anuraga tak
membantah. Segera kain hitam yang menyelubungi muka,


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilolosnya. "Ah" Kadipara mendesah "tak kusangka bahwa brahmana
Anuraga yang sakti itu, seorang muda yang tampan"
Anuraga tersipu-sipu "Adakah kaum resi dan brahmana itu
masih mengutamakan bentuk lahiriyah " Bukankah kita insan
hidup ini, lahir dalam keadaan yang sama dan akan mati
dalam sifat yang sama pula" Yang kaya, yang miskin, yang
mulia yang hina, yang kuat yang lemah, yang ayu yang buruk
dan yang bagus yang jelek, akhirnya kelak akan menjadi
seperangkat tulang2 kerangka"
"Di dalam kelahiran ini, sifat2 lahiriyah itupun masih
diperlukan. Kesehatan, kebersihan dan pemeliharaan diri,
masih diperlukan agar kita dapat meningkatkan usaha
membersihkan pikiran dan mensucikan jiwa. Dan brahmana
muda, janganlah engkau menyiksa dirimu berkelebihan karena
hal itu berarti engkau mengabaikan karunia dewata atas
dirimu" jawab Kadipara.
Anuraga mengangguk. "Jangan meremehkan pula harkat hakiki daripada hidup
dengan bayang2 Keakhirannya. Jangan memperlemah daya
hidupmu dengan bayang2 bahwa hidup itu tiada kekal, tiada
abadi. Saat ini engkau masih hidup, hiduplah menurut
kewajaran hidup itu. Dan apabila kelak engkau harus mati,
matilah menurut kewa-jarannya. Karena ketahuilah brahmana
muda, bahwa sesungguhnya Hidup itu sudah serba sempurna.
Hanya kita insan manusia yang belum mengesahui dengan
jelas, apakah sesungguhnya rahasia kesempurnaan hidup itu"
Anuraga mengangguk pula. "Memang" resi itu masih melanjutkan pula uraiannya
"bahwa sesuai dengan sifat fana dari alam kehidupan ini, tiada
sesuatu yang kekal dan abadi. Aku, engkau dan semua
manusia, kelak tentu mati dan menjadi seperangkat tulang
kerangka yang menyeramkan. Tetapi sesungguhnya tidaklah
mati tubuh, mati pula jiwanya. Jiwa yang diluhurkan hati budi
dan amal dharma. Dia akan hidup terus dalam hati manusia2
yang masih hidup" Untuk kesekian kali, A nuraga mengangguk makin dalam. Ia
tak menyangka bahwa dari diri seorang resi yang
berpunggung bungkuk, akan mendengar serangkai uraian
falsafah hidup yang bersahaja namun bagaikan sebuah
mutiara yang terlepas dari untaian. Walaupun berhamburan di
tanah lumpur namun tetap berkilau.
"Tiada minuman yang layak kuhidangkan kepadamu kecuali
air dingin dalam kendi diatas meja itu. Silahkan minum apabila
haus" "Terima kasih" ucap Anuraga "air adalah sumber kehidupan
seluruh makhluk. Air pula yang menjadi salah satu unsur
tubuh kita. Dan air itulah inti dari segala minuman. Bagaimana
tuan mengatakan air dalam kendi itu bukan suatu minuman
yang layak" Minuman apakah yang tuan anggap layak itu,
wedang, nira, tuak atau minuman keras lainnyakah?"
Resi Kadipara mengangguk tak dapat membantah. Ia
tertawa. "Yang penting kedatanganku kemari bukanlah untuk
menikmati minuman melainkan untuk mendengar keterangan
yang tuan hendak ceritakan kepadaku" kata Anuraga pula.
"O, baiklah, aku akan berceritera" kata resi Kadipara. Iapun
lalu menuturkan pengalamannya bersama Dipa ketika
menghadapi orang2 Wukir Polaman yang hendak menghadang
perjalanan patih Dyah Purusa Iswara ke Majapahit"
"Bagus" berulang kali Anuraga berseru memuji tindakan resi
Kadipara bersama Dipa itu. Dan pada akhir cerita, bertanyalah
ia "Lalu kemanakah anak itu sekarang?"
"Kita membagi tugas" kata resi Kadipara "dia kembali ke
Kahuripan dan aku ke Majapahit. Masing2 melaksanakan
tujuannya. Hanya disamping itu akupun telah menyanggupi
kepadanya untuk menyelidiki keadaan diri tuan"
Anuraga mengucap terima kasih atas perhatian resi itu
kepada dirinya. Kemudian ia beranjak pada pertanyaan lebih
lanjut "Mengapa ki resi tinggal di bagian belakang gedung
kediaman ra Tanca" Apakah hubungan tuan dengan ra
Tanca?" Dengan terus terang resi Kadipara menerangkan
"Sesungguhnya aku tentu masih tinggal menyepi di gunung
manakala aku tak terdorong oleh suatu petunjuk gaib yang
kuterima dalam persemedhianku. Untuk melaksanakan
petunjuk gaib itu maka akupun turun menuju ke pura
Majapihit. Tiba di pura ini, tiba2 akupun teringat bahwa aku
masih mempunyai seorang anak kemanakan yang bernama
Tanca. Sudah berpuluh tahun dia menetap di pura Majapahit"
Berhenti sejenak resi itu melanjutkan pula "Alangkah
kejutku ketika mendapat keterangan dari seseorang bahwa
Tanca itu adalah seorang mentri kerajaan yang telah diangkat
baginda sebagai anggota Dharmaputera. Hampir kubatalkan
niatku untuk berkunjung kepadanya ...."
"Mengapa resi ?" selutuk Anuraga.
"Aku seorang resi gunung, lagi pula cacat tubuh, bagaimana
seorang mentri besar seperti Tanca akan mau menerimaku ?"
"Ah, ki resi masih belum dapat melepaskan diri dari
belenggu2 lahiriyah. Dan tuanpun lupa bahwa resi, pandita
dan brahmana itu mempunyai kedudukan tertinggi dalam
kasta. Bagaimana tuan merendahkan diri berhadapan dengan
ra Tanca betapa tinggi kedudukannya sebagai seorang mentri"
"Engkau benar, brahmana" kata Kadipara, "sesaat aku
hampir tenggelam dalam rasa rendah diri sesaat itu pula
terpecik dalam benakku hal2 seperti yang engkau katakan itu.
Segera kuayunkan langkah mencari gedung kediaman Tanca"
"Tetapi hal itu bukan karena aku ingin meminta bagian dari
kenikmatan hidup yang diperoleh Tanca" kata Kadipara pula
"melainkan karena terdorong oleh suara gaib itu"
"O, suara gaib?" walaupun sudah mendengar resi Kadipara
menyebut hal itu, namun masih juga Anuraga menegas.
Bagi resi Kadipara tidaklah sukar untuk mengetahui apa
yang tersembul dalam penegasan brahmana muda itu. Jelas
brahmana itu hendak meminta penjelasan namun tak berani
mengatakan terus terang. "Ya, suara gaib yang mengatakan supaya aku ke pura
Majapahit dan mencari sebuah kitab pusaka. Kitab yang berisi
ilmu kesaktian dan ilmu obat obatan yang tiada taranya"
"O, sudahkah resi menemukannya?" tanya Anuraga.
"Mudah-mudahan" sahut Kadipara. Anuraga tertegun
mendengar jawaban yang kabur maksudnya itu. Ditatapnya
wajah resi itu dengan pandang bertanya.
"Aku segera paksakan langkah menuju ke gedung Tanca"
tanpa menghiraukan tuntutan Anuraga, resi itu melanjutkan
ceritanya "ah, sial, penjaga gerbang gedung ini telah
menyangka aku seorang pengemis dan mengusirku dengan
kekerasan. Tetapi kepala penjaga bertubuh tinggi besar dan
yang kemudian kuketahui bernama Karang Betutu, terkejut
setengah mati ketika tak mampu mendorong tubuhku. Dua
tiga kawannya segera maju membantu. Pun mereka merah
padam karena tak dapat mendorongku pergi ..."
Anuraga mengangguk. Ia percaya apa yang dikatakan resi
itu tentu tak bohong. Resi itu memang seorang sakti yang
terpendam. "Karena malu, marahlah Karang Betutu. Dia ayunkan
tinjunya yang besar kearah kepalaku. Kukisar-kan kepalaku
dan kutepuk bahunya, menasehati supaya dia jangan suka
memukul orang. Seketika menjeritlah penjaga tinggi besar itu.
Dia terbungkuk-bungkuk berjongkok ke tanah"
"Ah, suatu pelajaran yang baik untuk seseorang yang
bertindak mengandalkan kekuatan" seru A nuraga.
"Beberapa penjaga gedung segera berhamburan menyerang aku. Aku tetap tak mau melayani mereka dan
hanya menghindar saja. Tetapi beberapa penjaga yang
mencabut senjata dan menyerang, terpaksa kuberinya sedikit
hajaran. Mereka menjerit-jerit dan memekik-mekik setiap kali
terkena tamparan tanganku"
Berhenti sejenak, resi itupun melanjutkan "Akhirnya hiruk
pikuk dipintu gedung itu telah menarik perhatian Tanca. Dia
melangkah ke luar untuk menyaksikan apa yang terjadi. Ketika
melihat diriku, Tancapun terkejut. Serta merta ia memberi
hormat dan menyebut aku sebagai paman. Kemudian
membawaku masuk. Dengan terus terang kuceritakan
Rumah Bercat Putih 7 Satu Tiket Ke Surga Karya Zabrina A. Bakar Pusaka Rimba Hijau 2

Cari Blog Ini