Ceritasilat Novel Online

Gajah Kencana 6

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 6


Keinginan yang baik dan Keinginan yang buruk"
"Ho, engkau menyindir aku, wong ayu" Rara Sindura
tersipu-sipu menyembah "Duh gusti, sama sekali hamba tak
bermaksud dan tak berani menyinggung, keagungan paduka.
Paduka raja junjungan seluruh kawula Majapah it dan hamba
hanya seorang wanita desa ".
"Jangan mengatakan hal itu lagi, Sindura" seru baginda
"akupun t akkan marah w alaupun andaikata engkau menyindir
diriku. Sekalipun engkau menyangkal, tetapi aku dapat
membaca isi hatimu. Bukankah engkau hendak menggolongkan bahwa keinginanku mengambil dirimu sebagai
permaisuri itu, sebagai Keinginan yang buruk" "
"Duh, gusti, mohon paduka sudi mengampuni kesalahan
hamba ... " "Tetapi, Sindura" kata baginda tanpa menghiraukan
pernyataan Sindura "buruk dan baik itu tergantung pada
penafsiran masing2. Engkau mengatakan keinginanku itu
buruk tetapi kuanggap keinginanku itu baik "
"Gusti" kata Sindura memberanikan diri. Ia menyadari
bahw a percakapan saat itu penting sekali artinya maka ia
harus berusaha untuk menundukkan atau sekurang-kurangnya
mengendapkan maksud Jayanagara terhadap dirinya "Buruk
dan baik memang tergantung pada penilaian masing2 orang.
Tetapi penilaian yang t epat, harus berpijak pada Keadilan dan
Kebenaran " "Eh, Sindura, bukankah Keinginanku hendak mempersunting dirimu itu, bertujuan untuk membahagiakan
engkau" Burukkah keinginan itu" "
"Duh gusti yang hamba muliakan" kata Sindura "semisal
yang hamba katakan tadi, belum tentu sibuta akan bahagia
hidupnya setelah ia dapat melihat dan menikmati sinar
matahari itu. Demikian pula halnya dengan diri hamba. Hamba
kuatir diri hamba yang hina ini akan silau dengan kedudukan
yang setinggi langit itu sehingga hati hamba akan di-koyak2
oleh rasa Keinginan yang berkemanjaan "
"Itu hanya rasa kekuatiran dalam hatimu, Sindura" jawab
baginda "dan rasa kuatir itu belum cukup mencermin kan
Kenyataannya. Belum tentu sibuta yang engkau katakan itu
akan menderita. Itu hanya suatu kemungkinan. Padahal yang
dikata Kemungkinan itu bukanlah hanya satu, tetapi ada
beberapa. Maka kalau sibuta mungkin menderita, tentulah dia
juga mungkin bahagia. Demikian pula dengan dirimu. Kalau
engkau kuatir mungkin akan silau pada kedudukan tinggi dan
tersiksa oleh rasa keinginan, bukankah ada kemung-kinan juga
engkau akan bahagia pada kedudukan tinggi itu d.m
mengenyam kenikmatan dari keinginanmu" Di-amani kedua
kemungkinan itu, aku dapat memastikan bahwa kemungkinan
yang kedua it u yang lebih benar. Karena apa" Karena engkau
pasti akan kuajak hidup mukt i wibawa. Apapun yang engkau
pinta, pasti akan kuwujutkan. Asal jangan memint a bintang
dan rembulan saja " Sindura benar2 keputusan kata2 menghadapi baginda
Jayanagara, Sejenak merenung, berkata pula ia dengan nada
tersekat "Tetapi baginda . . . hamba benar2 bingung dan
terkejut.... "Lalu maksudmu" "
"Bila paduka berkenan, hamba mohon paduka suka
memberi waktu bagi hamba untuk memikirkan persoalan in i
dengan tenang " "Eh, engkau hendak mint a waktu berpikir" "
"Benar, gusti. Apabila hamba ini masih gadis, tentu saat ini
juga hamba dapat memberi keputusan. Tetapi diri hamba in i
seorang wanita-pelarangan, wanita yang sudah bersuami.
Maka hamba mohon waktu untuk memikirkan hal itu semasakmasaknya agar segala tindakan hamba nanti, takkan menodai
keluhuran paduka " "Ah, Sindura, Sindura" desah baginda "mengapa engkau
perlu menyiksa pikiranmu sedemikian rupa" Sudah kukatakan,
engkau cukup mengatakan sepatah kata kesediaan dan segala
apa akulah yang bertanggung jawab "
"Baginda" Sindura cepat menanggapi "dalam hal
perjodohan, bukanlah semudah orang membeli palapa. Karena
dalam perjodohan itu, bukan rupa bukan harta yang
mene.itukai, tetapi kecocokan hati yang menjadi syarat utama
.... " "Aku sudah cocok. Bahkan kecocokan hatiku kepadamu,
wong ayu, semisal bengawan Brant as yang meluap jauh ke
laut " Sesungguhnya Rara Sindura mengkal sekali terhadap raja
yang benar2 sudah kalap. Namun ia tak berani menyatakan
perasaannya kecuali menangis dalam hati.
"Duh, gusti, perjodohan adalah t erangkapnya sepasang pria
dan wanit a. Dua insan yang bersedia mempersenyawakan dua
raga dalam satu jiwa, dua jiwa dalam satu raga. Oleh karena
itu maka perpaduan itu ha-rus terjadi pada kedua belah fihak
.... " "Eh, apakah engkau tak setuju, Sindura" Apakah yang
kurang padaku " "
"Duh, gusti, paduka seorang raja gung binatara yang
dikasihi dewata. T iada yang kekurangan pada paduka. Tetapi
telah hamba haturkan t adi, bahwa perjodohan itu bukan atas
dasar rupa dan harta melainkan kecocokan hati "
"Apakah engkau tak cocok padaku, wong ayu" "
"Justeru itu, gusti, maka hamba mohon waktu untuk
berpikir. Agar hamba benar2 yakin atas keputusan hamba "
"Bagaimana andaikata tak kukabulkan permohonanmu itu
?" tanya Jayanagara.
Saat itu bagi Sindura amat penting sekali artinya. Saat yang
akan menentukan nasibnya. Maka tanpa ragu lagi, berserulah
ia "Hamba rela kehilangan jiwa ..... "
Jayanagara terkesiap. Setitikpun ia tak menyangka bahwa
Sindura memiliki tekad yang sedemikian. Diam2 ia, kagum
atas keperibadian wanit a ayu itu. Ia menyadari, jika ia
memaksa, Sindura pasti akan melaksanakan pernyataannya.
Dan hal itu berarti suatu kerugian baginya. Pikirnya iebih
lanjut "Ah, masakan dia akan dapat lolos dari tanganku.
Walaupun aku seorang raja yang berkuasa, namun aku harus
menunjukkan suatu tindakan yang benar2 dapat mengambil
hatinya " "Beberapa lama waktu yang engkau kehendaki untuk
berpikir itu ?" tanyanya sesaat kemudian.
"Tiap hari Brehaspasti hamba akan berpuasa memohon
petunjuk kepada dewata. Tujuh kali hari Brehaspati hamba
akan berpuasa dan setelah itu baru hamba dapat memberi
keputusan " "Aduhai, Sindura !" teriak Jayanagara t erkejut "betapa lama
waktu yang engkau mint a itu! Tujuh kali hari Brehaspati
berarti empat puluh sembilan hari atau satu setengah candra
lebih empat hari. Duh, duh, mungkin Jayanagara akan menjadi
kerangka hidup pada saat itu. Bagiku, sehari kurasakan seperti
set ahun lamanya. Empatpuluh sembilan hari sama dengan
empat puluh sembilan tahun. Ah, pada saat itu aku tentu
sudah menjadi seorang kakek yang pikun. Jangan
Sindura,jangan begitu lama ! "
"Habis bulan Caitra, pada awal bulan Wesaka, gusti "
"Ah, saat ini baru tanggal lima suklapaksa bulan Caitra,
masih kurang duapuluh lima hari. Terlalu lama, Sindura, masih
terlalu lama bagiku" seru Jayanagara.
Sindura menenung sesaat lalu berkata "Setelah tanggal
limbelas suklapaksa dan tanggal satu kresnapaksa, gusti "
Suklapaksa dan Kresnapaksa adalah cara h itungan tanggal
raja jaman M;japahit. Tiap bulan tanggal satu sampai dengan
tanggal limabelas disebut Suklapaksa. Tanggal enambelas
sampai tigapuluh dikebut Kresnapai tigapuluh disebut
Kresnapaksa. Tanggal satu pada jeman itu orang menyebut
tanggal satu Suklapaksa. Sedang tanggal enambelas,
dikatakan tanggal satu Kresnapaksa. Tanggal tigapuluh
disebut tanggal limabelas Kresnapaksa.
Sedang bulan dalam set ahun tetap dibagi duabelas bulan
dengan urutan nama : Ceitra, Wesaka, Yestha, Asadha,
Srawana, Bdadra, Asuyi, Kartika, Magasyira, Posya, Magha,
Phalguna. "Itu berarti sepuluh hari lagi aku harus menunggu. Ah, aku
tak tahan, wong ayu.... "
"Sesaptawara, gusti "
"Amboi, tujuh hari berarti tujuh tahun bagiku, Sindura.
Mungkin tubuhku bersusut kurus "
Sindura mendongkol sekali. Namun terpaksa ia menekan
perasaannya. Masakan memint a waktu berpikir dalam satu
sapt awara atau seminggu saja, baginda Jayanagara tetap
enggan meluluskan. "Gusti, hamba mohon waktu sepancaw ara saja "serunya.
"Lima hari cukup panjang, Sindura. Mungkin kepalaku akan
menderita gempa akibat urat syarafku melingkar-lingkar
seperti hendak meletus. Ingat Sindura, penantian jawabanmu
itu bagiku sehari laksana setahun lamanya "
Rara S indura mendesuh di mulut , geram di hati. Ia hampir
putus asa menghadapi raja yang sudah dimabuk kepayang itu.
Namun iapun harus mempunyai pendirian yang teguh.
Betapapun halnya, ia harus mint a waktu. Jika ditolak, ia harus
berani mempertaruhkan nyawanya.....
"Duh gusti, untuk yang terakhir hamba hendak mohon agar
paduka suka memberi waktu berpikir kepada hamba "
"Berapa lama engkau hendak mint a lagi" "
"Triwara, gusti" kata Sindura. Akhirnya ia menuntut w aktu
sebanyak triwara atau tiga hari.
Kali in i baginda Jayanagara tertegun dan tak memberi
sanggahan suatu apa. Menilik Sindura kali in i nada suara
Sindura memancarkan kemantapan hatinya yang bulat, pula
mengingat bahwa waktu tiga hari itu tidak lama, akhirnya mau
juga baginda mengalah "Baiklah, kali ini aku bersedia memberimu kelonggaran.
Bilakah engkau dapat memberi jawaban itu " "
"Malam ini adalah hari Aditya putih, maka triwara yang
hamba pinta itu dimulai besuk pagi hari Soraa merah lalu
Anggara kuning dan kemudian Buddha hitam. Jawaban hamba
akan hamba haturkan pada hari Brehaspati pancawarna, gusti"
Pada jeman itu Saptawara atau ketujuh hari dalam
seminggu, dinimakan Aditya (Ahad), Soma (Senin), Anggara
(Selasa), Buddha (Rabu), Brehaspati (Kamis), Sukra (Jum'at)
dan Sanaisara (Sabtu). Sedang Pancawara atau kelima hari
pasaran, disebut: Merah (pahing), Kuning (pon), Hitam
(w age), Pancaw arna (kliwon) dan. Putih (legi). Maka hari
Buddha hitam yang disebut Sindura itu berarti Rebo wage.
"Mengapa tidak dihitung mulai malam in i dan berakhir pada
hari Anggara kuning. Lalu hari Buddha hitam engkau sudah
dapat memberi keputusan! Mengapa harus pada hari
Brehaspati, Sindura ?" masih baginda Jayanagara hendak
menawar. Rupanya terpaut satu hari saja, dirasakan berat
dalam hati raja itu. "Tidak, gusti" seru Rara Sindura dengan tegas "mengapa
hamba menentukan hari Brehaspati panca-warna hamba
sudah dapat menghaturkan jawaban, adalah karena pada hari
Buddha hitam pada waktu malam itu adalah saat para dewadewa mengadakan permusyawarahan. Dan pada saat itulah
hamba akan memanjat-kan doa kepada para dewa itu agar
melimpahkan petunjuk kepada hamba "
"O" desus baginda
pengetahuan itu " "
"dari mana engkau memperoleh Rara Sindura menyembah "Dahulu ketika hamba masih
seorang gadis kecil, ayah hamba telah mengundang seorang
brahmana untuk mengajar hamba ilmu sastera dan
pengetahuan2 yang berguna. Brahmana guru hamba itulah
yang mengajarkan pengetahuan tentang hari Sapt awara dan
Pancawara serta maknanya "
"O" baginda hanya mengangguk-angguk, lalu serunya pula
"Sindura, jangan lupa, sebutkanlah dalam doamu kepada para
dewa itu, bahwa yang hendak mempersunting dirimu itu
adalah Jayanagara. Mohon para dewa berkenan merestui"
"Semoga, gusti" kata Sindura, kemudian menyimpuhkan
sepasang tangannya menyembah "ampun gusti. Karena
malam sudah larut , hamba hendak mohon diri kembali kebilik
hamba. Dan hamba pun mohon agar gusti juga berkenan
masuk ketempat peraduan dalam keraton agar kesehatan
paduka tak terganggu"
Ucapan Sindura yang terakhir itu benar2 seperti membetot
hati baginda. Raja itu tertawa girang "Baik, wong ayu, tidurlah
engkau agar jangan terkena angin malam yang dingin. Dan
akupun akan kembali ke dalam keraton"
"Terima kasih, gusti "Rara S indura kembali ber-datang
sembah lalu berbangkit dan ayunkan langkahnya.
"Sindura!" baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba
Sindura terkejut mendengar seruan baginda. Ia berhenti dan
berpaling menghadap ke arah baginda.
"Kita nanti jumpa lagi dalam imp ian ... "
Rara Sindura menggeram dalam hati. Ia t ak mau menyahut
melainkan menyembah selaku jawaban lalu berput ar tubuh
dan lanjutkan langkah. Ia merasa bag inda raja masih tegak
berdiri di tempatnya. Rupanya ba-ginda itu masih enggan
lepaskan pandang matanya untuk mengantar kepergiannya.
Beberapa saat mudian ia mendengar baginda menghela napas
panjang dan berkata seorang diri. Tetapi tak kedengaran apa
yang dicakapkan raja itu. Ia deraskan langkah, agar cepat
terhindar dari pandang baginda. Tetapi rasanya sang kaki
amat sarat dibawa jalan. Tiba2 setiup angin berhembus kencang. Di cakrawala
bermunculan gumpal2 mega putih tercampur. awan hitam.
Bagaikan selaksa barisan berkuda menyerbu musuh, gumpal2
awan itu berpacu deras kearah rembulan. Dan pada lain kejab,
rembulanpun teraling lapisan tabir hitam. Cahayanya yang


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

putih mengkilap laksana perak, pun ikut lenyap. Dan taman
saripun meremang gelap. Diam2 Sindura bersyukur kepada awan yang telah
menolong mengalingi d irinya dari sasaran pandang baginda.
Cepat ia menyelinap masuk ke dalam gedung tempat yang
diperuntukkan untuknya selama tinggal dalam keraton, la
hempaskan tubuhnya ke atas pembaringan dan menangis.
"Oh, kakang Lampeyan" sedunya mengisak "mengapa
engkau sampai hati meninggalkan isterimu dalam keraton"
Apakah engkau tak tahu siapa raja Jayanagara itu " Atau
memang engkau lebih berat pangkat dan kedudukan daripada
isterimu" Duh pukulun yang maha agung, tolonglah hamba
dari keadaan bahaya ini ...
." Demikian ia menangis dan meratap. Memohon pertolongan kepada Dewata dan siapa saja yang ia anggap dapat memberi pertolongan. Akhirnya ia berhenti menangis lalu menghampiri
jendela. Direntangnya daun
jendela. Ternyata diluar halaman, rembulan sudah memancar sinar gemilang lagi. Namun ia tak mempunyai selera sama sekali untuk menikmati bulan purnama malam itu. Hatinya gundah kelana, resah
gelisah. Tiba2 ia tersentak kaget dari kepukauan karena mukanya
tertampar setiup angin malam yang dingin. Serentak timbullah
secercah harapan. Dan mulailah bibirnya merekah meluncurkan kata2 yang bergetaran nada2 rawan.
"Duhai, pawana Bayuputera, engkau melanglang buana,
menjelajah pura, menyusup desa. Engkau tentu tahu dimana
suamiku Kuda Lampeyan saat ini berada. Bawalah hamba duh
batara Bayu ketempat suami hamba .. . atau berilah hamba
azimat agar dapat terbang melanglang buana, mencari suami
hamba .... " Anginpun menyerbak. berhembus. Bunga2 bergetar. Bau harum "Duh, angin perkasa, apabila engkau berkeberatan atas
permohonanku itu, tolong sampaikan saja pesanku ini kepada
suamiku Kuda Lampeyan . . . Bahwa saat ini isterinya yang
berada dalam keraton sin i, se-dang terancam kesuciannya.
Duhai, pawana langlang buana, tolonglah . . . tolong
sampaikan pesanku itu kepadanya ... "
Tiba2 raja rembulan meredup tersalut gumpal2 kabut awan
yang tipis. Anginpun berhenti berhembus. Sunyi senyap di
seluruh penjuru alam. Alam seolah-olah ikut bela sungkawa
atas kesedihan Rara Sindura.
Tiba2 angin berhembus lembut semilir. Dan dalam keadaan
sadar tak sadar, sayup2 telinga Sindura seperti terngiang
suara b isik2 halus "Sindura, apa guna engkau merint ih ratap
kepada suamimu yang t iada menentu beradanya itu. Apa yang
engkau hadapi dan bakal menimpah dirimu itu, suatu
kenyataan yang berbahaya. Tiada manusia yang sanggup
menolong kesusahanmu itu kecuali d irimu peribadi.
Berusahalah Sindura untuk mencari daya upaya. Mintalah
pertolongan kepada orang yang benar2 dapat menolongmu.
Bukan seperti suamimu yang tiada engkau ketahui tempatnya
.." Rara Sindura tersentak dari lamunannya. Ia me-mandang
keseluruh penjuru namun tiada dilihatnya ba-rang seorang
manusiapun juga. Lalu siapakah yang membisiki telinganya
tadi" Ia termenung dan mengunyah bisikan halus tadi. Ah,
memang benar.Yang penting bukan bersedih dan melamun
tetapi harus mencari akal mengatasi penderitaannya.
o***dw***o II RARA SINDURA baru terlena pada saat ayam2 hutan yang
dipelihara d i Mandapa keraton, berkokok sahut-sahutan.
Selama tinggal di keraton, Rara Sindura telah dilayani oleh
lima orang dayang, yani nyai Sagopa, Cempaka, Wuni,
Mandira dan nyai Badra. Kelima dayang itu masing2
mempunyai tugas berlainan dalam melayani Sindura. Nyai
Sagopa yang melayani busana, nyai Cempaka h idangan, nyai
Wuni mengurus soal berhias dan kedua dayang Mandira dan
Badra yang mengiringkan barang kemana sicant ik pergi.
"Ah, semalam den ayu tentu tidur larut malam sehingga tak
sari-sarinya bangun begini siang" kata nyai Sagopa ketika
mempersiapkan busana untuk Rara Sindura.
"Benar, nyai, semalam aku memang tak dapat tidur"
"Mengapa?" "Ah, tak apa2 hanya mataku tak mau kubawa tidur"
"Ah, den ayu tentu memikirkan apa2"
Diantara kelima dayang itu, nyai Sagopalah y ang paling t ua
umurnya. Seorang dayang yang ramah dan halus tutur
bahasanya. Sindura memiliki kesan baik terhadap dayang
setengah tua itu "Ya, benar, nyai. Hatiku resah"
"O, den ayu tentu terkenang memikirkan suami den ayu
yang sedang melawat jauh sekali. Tetapi dia sedang
menjalankan tugas sang prabu, tak perlu kiranya den ayu
menyiksa diri memikirkannya. Kelak kalau kembali ke pura,
baginda tentu akan menganugerahi pangkat yang tinggi" nyai
Sagopa berusaha menghibur. Lalu mempersilahkan si jelita
berganti busana yang telah disediakan.
Memandang kearah seperangkat pakaian warna merah
muda yang indah itu, tiba2 Sindura kerutkan sepasang alis
"Tidak nyai Sagopa, aku tak suka pada pakaian itu"
"Eh, apakah den ayu ingin baju yang warna hijau pupus.
Ah, den ayu tentu akan tampak bertambah cantik apabila
mengenakan pakaian w arna itu"
Namun Sindura tetap menolak. Walaupun nyai da-yang itu
menawarkan beberapa warna pakaian yang disediakan untuk
Sindura, namun wanit a cantik itu tetap menolak.
"Ah, kalau den ayu tak mau, hambalah yang bakal
menerima kemurkaan baginda"
"Mengapa?" "Karena sejak den ayu tinggal dalam keraton, baginda
khusus menitahkan supaya menyediakan pakaian yang indah2
untuk den ayu" Rara Sindura menghela napas "Ah, nyai, simpan sajalah
semua pakaian indah itu. Apabila baginda memurkaimu,
katakanlah bahw a aku sendiri yang menolak karena tak suka
mengenakan pakaian seindah itu"
"Lalu apakah den ayu tak salin busana?"
"Mudah, nyai, tak usah engkau pikirkan" jawab Sindura
"aku akan tetap memakai pakaianku sendiri"
"Baginda tentu murka, den ayu"
"Terserah nyai" jawab Sindura "sesuai dengan hatiku, aku
takkan terkecuh pada semua pakaian yang indah"
"Duh, rara ayu, kalau tuan berkeras demikian berarti tak
menghendaki Sagopa melayani di sini"
"Mengapa" " Sindura mengeriputkan dahi.
"Baginda tentu murka dan mengganti hamba dengan lain
orang " "O" desis Sindura. Ia merenung dan dapat me-ngerti
kecemasan dayang setengah tua itu. Akhirnya ia berkata
"Baiklah, nyai, aku mau berganti pakaian itu tetapi pakaianku,
tetap akan kupakai di sebelah dalam"
Nyai Sagopa gelengkan kepala. Namun ia terpaksa tak
dapat berbuat apa2. Setelah nyai Sagopa keluar maka
masuklah nyai Cempaka dengan membawa alat2 rias. Tetapi
Sindura cepat menyambutnya "Taruhlah disitu nyai, aku nanti
dapat berhias sendiri"
Nyai Cempaka terpaksa melakukan perint ah dan terus
melangkah keluar. Sepengunyah sirih lamanya ma-ka
masuklah nyai Wuni dengan membawa sebuah bokor berlapis
emas, penuh dengan hidangan dan minuman. Setelah
meletakkan di meja, iapun mempersalahkan Sindura dahar.
"Tidak nyai " Sindura gelengkan kepala "pagi ini aku tak
mempunyai selera makan. Baw alah kembali makanan itu"
Nyai Wuni terkesiap. Dicurinya sebuah pandang ke wajah
wanita cantik itu. Dilihatnya kelopak mata Sindura itu agak
membenjul. Dibawah pelapuknya berlipat lekukan memanjang.
Dayang itu makin terkejut. Jelas Sindura tentu habis menangis
semalam. Sejenak mere-nung tahulah dayang it u apa yang
mungkin dirasakan jelita itu "Den ayu, baiklah dahar sedikit2
untuk menjaga kesehatan"
"Tidak, nyai, mulai hari ini aku berpuasa"
"Ih" desis nyai Wuni terkejut "mengapa den ayu ?" dayang
itu tiba2 menghampiri kedekat Sindura lalu berkata dengan
berbisik "Den ayu, apakah hamba dapat menolong kesulitan
den ayu?" Rara S indura memandang dayang itu dengan pan-dang
menyelidik. N amun t iada sesuatu yang ia ketemukan pada diri
dayang itu. "Den ayu ..." kembali nyai Wuni berbisik makin lirih "gusti
mahapatih Nambi menugaskan hamba untuk menjaga den
ayu. Apabila perlu sesuatu, hamba dapat menyampaikan
kepada gusti mahapatih"
Rara S indura terkejut "Jadi engkau ..."
"Pelahan sedikit den ayu" cepat nyai Wuni menukas
"dinding dan lantai di istana sin i, berhias telinga dan mulut .
Hendaknya kita berhati-hati. Ya, den ayu, gusti mahapatih
Nambilah yang menarahkan hamba di sini. Beliau tahu bahwa
den ayu pasti akan mendapat kesulitan"
Diam2 Sindura bergirang dalam hati. Nyata paman dari
suaminya itu tak berpeluk tangan membiarkan ia dalam
lingkungan bahaya. Sekalipun begitu, Sindura tetap tak mau
lekas2 percaya. Ia harus mengekang perasaannya dan
menyelidiki dayang itu lebih lanjut "Nyai, dengan cara
bagaimana engkau hendak menghubungi paman rakryan
Nambi ?" "Begini, den ayu" kata nyai Wuni yang dapat menduga akan
kesangsian Sindura terhadap dirinya "adakah gusti mahapatih
tak pernah menuturkan tentang keadaan keraton Majapahit
sin i?" "Tidak, nyai" Dengan bisik2 dayang itu segera menuturkan tentang
keadaan keraton Majapahit yang penuh gejolak dan
pertentangan. Masing2 fihak yang mempunyai kepentingan
dan tujuan terhadap Majapahit, yang buruk maupun baik,
menanam orang dalam lingkungan keraton.
Rara Sindura mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia
tak sangka bahw a ia terbenam dalam tempat yang penuh
gelombang pertentangan, tempat yang menjadi kedung
buaya, ular dan harimau yang set iap saat akan terkammenerkam. Setelah mendapat gambaran keadaan, kemudian
Sindura. mengulang pertanyaan pula, cara yang akan
ditempuh dayang itu untuk meng-hubungi mahapatih.
"Gusti mahapatih telah menugaskan beberapa anggauta
bhayangkara keraton untuk mengawasi tindakan baginda.
Melalu i dialah, pesan den ayu akan hamba sampaikan kepada
gusti mahapatih" "O" Rara S indura mendesis lirih. Betapa besar keinginannya
untuk segera mengirim berita kepada mahapatih Nambi,
namun Sindura menyadari betapa berbahaya tindakan itu.
Sekali tertangkap, bukan saja dayang dan bhayangkara itu
akan dihukum, pun rakryan Nambi akan t ersangkut pula. Maka
bertanyalah Rara Sindura untuk memperoleh kepastian" Nyai
Wuni, siapakah nama dari bhayangkara yang ditugaskan
paman rakryan Nambi itu?"
"Kebo Lembana, den....." bisik dayang itu "seorang
bhayangkara yang bertubuh tinggi besar dan berkepandaian
tinggi. Dia sebenarnya ditugaskan di puri keputrian. Maka
hamba harus ke sana menjumpainya"
Menilik pernyataan Nyai W uni yang begitu tegas dan lancar,
berkuranglah kecurigaan Rara S indura kepadanya "Nyai,
adakah nyai Sagopa, Cempaka. Mandira dan Badra itu juga
menjadi kawanmu yang ditugaskan paman mahapatih?"
Dayang itu gelengkan kepala "Tidak, den ayu, hamba hanya
bekerja seorang diri. Walaupun mereka berempat merupakan
rekan2 dayang tetapi mereka t ak tahu tentang tugas rahasia
yang hamba sandang ...."
"Mungkin mereka juga bekerja untuk lain fihak, nyai "
selutuk Rata Sindura. "Benar, den ayu" sambut nyai Wuni "hamba menduga
begitu tetapi sampai saat ini belum mengetahui jelas keadaan
mereka. Yang terang, kalau mereka benar bekerja untuk fihak
luar, tentu bukan untuk gusti mahapatih. Oleh karena itu
hamba mohon agar den ayu berhati-hati terhadap mereka,
jangan sekali-kali menumpahkan sesuatu pernyataan kepada
mereka" Rara S indura hanya mengangguk. Namun dalam ha-ti ia
berkata lain. Apabila perlu, demi untuk mengatur siasat, ia
hendak menggunakan juga keempat dayang itu.
"Den ayu, sekiranya den ayu perlu hendak menghubungi
gusti mahapatih, silahkan den ayu memberi pesan agar nant i
malam hamba dapat menjumpai ki Kebo Lembana"
Setelah merenung sekian lama, akhirnya Rara S indura
memutuskan untuk menempuh jalan itu. Ia sudah tiada daya
lain, kecuali coba2 menggunakan tenaga dayang itu "Nyai,
soal ini amat penting sekali dan berbahaya pula. Apabila


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertangkap, engkau, ki Kebo Lembana bahkan paman
mahapatih, akan menanggung akibat yang tak menyenangkan. Maka sebelum kukatakan pesan itu, lebih dulu
aku hendak memint a janjimu, nyai!"
"Baik, den ayu, hamba berjanji akan menjaga erat2 rahasia
itu. Apabila sampai tertangkap, hamba sendiri yang akan
menanggung segala akibatnya"
"Paterilah janjimu itu dengan sebuah sumpah, nyai"
"Baik, den ayu. Jika hamba berhianat dan berhati culas
hendak mencelakai den ayu, biarlah para dewa mengutuk diri
hamba mati t ak berkalang kubur!"
Legahlah hati Rara Sindura saat itu. Menurut ajaran
brahmana yang menjadi gurunya dahulu, sumpah itu
mempunyai daya-kekuatan yang gaib. Karena disaksikan oleh
bumi dan langit serta para dewa.
Setelah mendapat kepastian yang meyakinkan, maka
Sindura segera menyampaikan pesannya "Nyai, sampaikan
pada paman mahapatih bahw a saat ini aku sedang terancam
bahaya. Baginda memaksa aku supaya mau diambil
permaisuri. Dan beliau hanya mau memberi waktu tiga hari
kepadaku untuk berpikir. Apa dayaku seorang wanita, nyai.
Apabila tiada pertolongan selama tiga hari itu, aku tentu
dipaksa bag inda untuk menurut i kehendaknya. Tetapi aku
lebih baik mati daripada menuruti kehendaknya. Maka mohon
paman Nambi suka menolong aku" Nyai Wuni berjanji akan
melaksanakan pesan itu agar sampai pada mahapatih.
Kemudian ia mohon diri "Eh, mbakyu Wuni, mengapa lama benar engkau berada di
dalam" Apa sajakah yang engkau bicarakan dengan den ayu
Sindura ?" ketika keluar, nyai Wuni segera ditegur oleh nyai
Mandira dan Badra. "Ah, rupanya den ayu sedang berduka. Ia tak mau dahar
sehingga aku harus menggunakan waktu panjang untuk
membujukma supaya mau dahar"
"Berduka " Aneh ..." sambut nyai Badra "mengapa harus
berduka " Bukankah tiada sembarang wanit a di seluruh telatah
Majapah it yang ketiban pulung seperti den ayu " Bukankah
seharusnya ia berbahagia karena hendak diinginkan baginda
?" nyai Mandira berusaha untuk memancing keterangan dari
mulut nyai Wuni. Tetapi dayang pengurus hidangan itu cepat
mengalihkan pembicaraan "Entah aku tak tahu. Itu urusannya,
bukan urusanku" "Benar, di" sahut nyai Badra "sudah tentu baginda
menginginkan wanita secantik dia, bukan macam kita ini . . .
eh, andaikata engkau mengambil tempat den ayu Sindura,
bagaimana sikapmu ?"
"Eh, engkau ini pandai mengada-ada saja, mbakyu Badra"
nyai Wuni menggerutu "apa perlunya kita membuat
pengandaian " Kalau aku menjadi den ayu Sindura sungguh2,
barulah aku mau mengasah otak untuk mempertimbangkan
keputusan. Bukankah kita ini hanya dayang2 keraton yang
terkungkung dalam dinding tembok istana yang tinggi" Dan
bukankah kita ini sudah separoh umur, mengapa masih
memikirkan soal2 begitu ?"
Nyai Mandira tertawa "Eh, mbakyu Wuni, bukankah dahulu
engkau pernah muda " Bukankah dahulu engkaupun pernah
dipinang oleh pria" Jangan, pura2 alim, mbakyu. Kita semua
ini kaum w anita. Perasaannya sama, sama pula kebutuhannya
...." "Eh, adi Mandira" tegur nyai Wuni agak keras "jangan
menyamaratakan kaum wanita seperti air laut yang tentu
sama asinnya. Memang rambut wanita itu sama hitamnya,
tetapi pikirannya tidaklah sama . ."
Nyai Mandira tertawa makin merenyah "Ah, mbakyu ini,
mengapa pura2 alim" S iapa ya, yang sering kasak kusuk
dengan prajurit bhayangkara di istana itu" Hi-hik..."
Nyai Wuni terkejut. Adakah hubungannya dengan Kebo
Lembana dalam rangka menyampaikan laporan kepada
mahapatih sudah diketahui orang terutama nyai Mandira" Ah,
sungguh berbahaya nyai Mandira ini. Diam diam nyai Wuni
menimang dalam hati. Namun cepat ia menghapus getar air
mukanya dan dengan tenang menyahut
"Siapa bilang aku kasak-kusuk dengan prajurit bhayangkara
keraton" Apakah engkau pernah menyaksikan dengan mata
kepala sendiri" Nyai Mandira, jangan menghambur fitnah
kepada orang lain yang tak sefaham dengan tindakanmu"
Kalau engkau hendak berhubungan dengan prajurit
bhayangkara yang manapun, silahkan. Aku takkan
mengganggu usik dan takkan melaporkan pada para gusti"
Nyai Mand ira tertawa. Nadanya mengandung ejek kepada
nyai W uni. Kemudian berseru "Nyai W uni, memang benar aku
merangkai tindakan begitu dengan prajurit2 bhayangkara.
Tetapi aku bersifat jujur terus terang, tidak berpura-pura
seperti ...." "Eh, mengapa kalian bertengkar" Apakah yang kalian
ributkan itu?" tiba2 pintu terentang dan muncullah Rara
Sindura menegur dayang2 itu.
Nyai Wuni, Mandira dan Badra cepat memberi hormat
kepada jelita itu. Walaupun mereka tahu bahwa Sindura itu
hanya seorang anak buyut, tetapi karena baginda Jayanagara
hendak mengambilnya sebagai permaisuri, merekapun amat
menghormat sekali kepada Rara Sindura "Maafkan, den ayu,
kami tidak ber-tengkar melainkan hanya bergurau belaka".
cepat-cepat nyai Wuni memberi keterangan lalu mohon diri
untuk membawa bokor hidangan itu ke luar.
Sementara nyai Mandira dan Badrapun segera maju ke
hadapan Kara Sindura "Den ayu, apakah pagi ini den ayu t ak
bercengkerama dalam taman. Kami berdua siap mengiring den
ayu, setiap saat" "Tidak, nyai berdua" sahut Sindura "hari ini aku lelah dan
ingin membenam diri beristirahat dalam gedung saja. Kalian
boleh bebas hari in i"
Nyai Mandira bn tukar pandang dengan nyai Badra lalu
memberi hormat "Baik, den ayu, silahkan den ayu masuk ke
dalam gedung. Apabila memerlukan kepada diri kami berdua,
kami selalu siap menant i disini"
Rara S indura mengangguk lalu masuk kembali ke dalam
ruang gedung Kediamannya. Ia tak dapat lepaskan diri dari
berbagai pemikiran yang menghuni dibenaknya. Adakah nyai
Wuni itu dapat dipercaya" Dapatlah pesan itu tiba pada
mahapatih Nainbi" Bagaimana tindakan mahapatih itu nanti"
Bagaimana ia harus ber-tindak apabila dalam waktu tiga hari
itu tak kunjung datang pertolongan dari mahapatih" Ah, seribu
satu pertanyaan menghantui kepalanya.....
Cepat sekali Batara Surya sudah hampir tiba d i
peraduannya. Petangpun mulai menebarkan selimut nya yang
gelap. Pada kesempatan mengantarkan hidangan malam
untuk Sindura, maka nyai Wuni memberi keterangan bahwa
pesan Sindura itu sudah diberikan kepada ki Kebo Lembana
agar disampaikan pada mahapatih.
"Ki Kebo Lembana terkejut mendengar pesan den ayu. Ia
mengatakan akan segera menyampaikan kepada gusti
mahapatih" kata nyai Wuni memberi laporan. Setelah itu ia
berkata pula "tetapi ki Kebo Lembana titahkan aku supaya
mengamat-amati keempat kawanku, nyai Sagopa, Cempaka,
Mandira dan Badra. Ki Lembana menaruh kecurigaan kalau
mereka berempat itu menjadi kaki t angan fihak luar"
Sindura mendengar dengan penuh perhatian. Cepat ia
sudah merancang rencana. Namun tak mau ia memberitahukan lebih dulu kepada nyai Wuni "Baik, nyai,
akan kut unggu saja bagaimana tindakan paman mahapatih
nant i. Yang kuminta agar engkau tetap waspada untuk
menjaga agar rencana it u dapat berjalan lancar"
Nyai W uni mengiakan lalu mint a diri. Ketika berada seorang
diri, Rara Sindura melanjutkan usahanya untuk merangkai
rencana. Akhirnya ia memanggil nyai Mandira dan nyai Badra
"Nyai dayang berdua, apakah yang kalian perhatikan pada
diriku?" Kedua dayang itu terkesiap heran. Tak tahu mereka apa
yang dimaksud Sindura. Tetapi nyai Badra yang lebih tua,
cepat dapat menjawab "Apakah ndoro ayu maksudkan
perobahan yang tampak pada diri ndoro?"
"Hm, begitulah" sahut Rara Sindura .
"Kalau hal itu yang den ayu maksudkan, maka jelas kami
lihat bahwa pagi ini den ayu t ampak lesu dan bermuram durja
seperti orang yang sedih"
"Benar, nyai" sebabnya?" kata Sindura "tahukah engkau apa "Maaf, den ayu, apabila Badra menghaturkan kata-kata
yang menyinggung perasaan den ayu" kata nyai Badra
"menurut pandangan dan perasaan nyai Badra, kemurungan
den ayu itu tentulah disebabkan karena den ayu terkenang
akan suami den ayu" "Bagaimana engkau dapat menduga demikian?"
"Ah, itu amat mudah. Nyai Badrapun seorang wanit a dan
pernah muda juga. Pada waktu dahulu menjadi temanten
baru, wah . .. setiap hari kami berdua hanya posah pasihan
saja, ibarat mimi dan mint una tak mau berpisah sekejab
matapun jua. Den ayu juga masih sepasang mempelai baru.
Bahwa tiba2 den ayu dipisahkan dengan suami den ayu,
tentulah dapat hamba bayangkan betapa perasaan den ayu . .
." Rara Sindura tertawa hambar "Memang benar apa yang
engkau katakan itu, nyai Badra. Namun masih ada soal lain
yang lebih menyiksa dari itu"
Nyai Badra dan Mandira terbeliak. Namun jelas bahw a kejut
mereka itu tidak wajar melainkan dibuat-buat "Lalu soal
apakah yang menyebabkan den ayu merasa tersiksa batin?"
seru nyai Badra. "Berapa lamakah kalian bekerja di keraton sini?" tanya
Sindura. "Sudah sepuluh warsa, den ayu" kata kedua dayang itu
"sejak baginda Jayanagara masih kecil, kami berdua sudah
menjadi dayang keraton"
"O, kalau begitu kalian tentu kenal akan sifat dan peribadi
baginda, bukan?" "Kenal baik, den ayu"
"Nah, apakah benar bahwa baginda itu seorang raja yang
gemar wanita cantik?"
Kembali nyai Badra dan nyai Mandira saling bertukar
pandang. Sesaat kemudian barulah nyai Mandira menjawab
"Bagi kaum pria, sudah jamak lumrahnya kalau senang
akan wanit a cantik, den ayu. Itu sudah pembawaan kodrat
Alami, semisal kumbang tentu suka pada kembang. Apalagi
baginda seorang raja yang masih muda belia. Kata orang,
darah orang muda it u masih bergelora keras ..."
"Aku tak memerlukan keterangan tentang hal2 lain, yang
kut anyakan adakah baginda Jayanagara itu seorang raja yang
gemar paras cant ik?" cepat Sindura mengerat kata2 dayang
itu. "Benar .... den ayu" nyai Mandija gelagapan dan menyahut
serentak "memang baginda amat gemar sekali dengan
wanita2 ayu" "Hm" desuh Sindura "lalu dapatkah engkau membayangkan
bagaimana keadaanku di sini?"
Nyai Badra tertawa "Ah. begitukah yang dimaksud, den ayu.
Kami sudah jelas sekarang apa yang menjadi keresahan hati
den ayu. Bukankah baginda, maaf, den avu, hendak
mengandung keinginan kepada ..."
"Y a, begitulah" cepat Sindura menukas "inilah yang
menyebabkan aku tersiksa bagai seekor ikan yang
terperangkap dalam jaring si nelayan. Apa dayaku seorang
wanita lemah, menghadapi seorang raja yang besar
kekuasaannya?" "O . . ." terdengar mulut nyai Badra mengeluh
berkepanjangan. Kemudian ia alihkan pandang mata kepada
nyai Mandira -bagaimana pendapatmu nyai?"
"Den ayu Sindura adalah menantu kemanakan dari gusti
mahapatih Nambi. Sebaiknya gusti mahapatih yang berusaha
memberi pertolongan. Tetapi ah . . . kurasa sukar juga.
Pertama, tak mudah untuk menyampaikan laporan pada gusti
mahapatih. Dan kedua kali baginda tentu marah sekali apabila
gusti mahapatih berani mencegah kehendaknya"
"Kalau begitu, den ayu sudah tiada harapan ter-tolong
lagi?" t anya nyai Badra.
"Tetapi mengapa harus ditolong" Bukankah den ayu
Sindura jauh lebih bahagia apabila meluluskan kehendak
baginda?" sahut nyai Mandira.
"Mandira, jangan lancung mulut!" bentak Rara Sindura agak
marah "w alaupun aku berasal dari desa dan meskipun
suamiku itu hanya seorang pemuda biasa, namun dia set ya
mencintai diriku. Maka akupun akan menetapi dharmaku
sebagai wanita utama. Miskin sekalipun suamiku, tetapi aku
akan merasa lebih bahagia menjadi isterinya daripada diamb il
permaisuri oleh baginda"
"Duh, den ayu, luhur benar pendirian den ayu itu. Maafkan
kesalahan nyai Mandira " dayang itu tersipu-sipu menyembah
"jika memang sedemikian bulat tekad den ayu hendak
mempertahankan kesucian, nyai Mandira bersedia membant u
usaha den ayu" "Bagaimana cara yang hendak engkau tempuh?"
"Ini ... . ini ... . belum dapat hamba pikirkan" sahut nyai
Mandira "semoga nanti hamba berjumpa dengan seseorang
yang sanggup dan mampu menolong den ayu"
"Apakah engkau tak dapat menyampaikan pesanku kepada


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paman mahapatih?" tanya Sindura.
"Maaf, den ayu, hamba tak dapat"
"Dan bagaimana dengan engkau, nyai Badra?" Sindura
alihkan pertanyaan. "Ampun, den ayu, hambapun tak kuasa melakukan hal itu.
Tetapi .... cobalah nant i akan hamba usahakan pertolongan
itu" Demikian set elah mengetahui bahwa kedua dayang itu
ternyata bukan orang yang ditanam mahapatih Nambi di
keraton, Sindura lalu suruh mereka keluar.
"Mbakyu, Badra, adakah sudah engkau pikirkan siapa2kah
yang engkau pandang dapat menolong den ayu Sindura itu ?"
tanya nyai Mandira setelah ber-dua dengan nyai Badra.
"Ah, memang tak mudah"
"Lalu mengapa tadi engkau menyanggupi mengusahakan pertolongan kepadanya?"
akan "Ah, itu hanya suatu tata kesusilaan belaka. Dimana kita
harus berusaha menghibur dan membesarkan hati orang yang
sedang dilanda kesusahan" sahut nyai Badra.
"O, jadi engkau belum mempunyai gambaran orang yang
engkau anggap dapat memberi pertolongan itu, mbakyu
Badra" Nyai Badra gelengkan kepala "Belum, adi Mandira. Dan
apakah engkau sudah mempunyai rencana ?"
"Aku ?" nyai Mandira menghela napas "juga belum,
mbakyu. Aku tak mempunyai hubungan pada siapapun juga.
Dan memang mustahil sekali apabila para gusti dan rakryan
itu mau percaya pada diriku seorang dayang sahaya begini"
Tiba2 nyai Badra berkata "Ah, karena kit a sudah terlanjur
berjanji kepada den ayu Sindura, kiranya tak enak hati kalau
kita tak berbuat apa-apa. Adakah berhasil atau gagal tetapi
pokoknya kita sudah mengusahakan"
"Baiklah, lalu bagaimana tindakan kita sekarang?" tanya
nyai Mandira. "Begini, adi" kata nyai Badra "k ita atur secara bergilir. Jika
aku berjaga di sin i, engkau yang pergi mencari hubungan.
Kemudian engkau jaga di sini dan aku yang pergi
mengusahakan hubungan itu. Masing2 mendapat waktu
selama dua jam. Bagaimana, apakah engkau setuju?"
Nyai Mandira set uju. Kemudian diputuskan bahwa nyai
Badra yang jaga di situ lebih dulu dan nyai Mandira yang pergi
mencari hubungan. Selekas nyai Mandira pergi, nyai Badra
segera masuk ke dalam ruang kediaman Rara Sindura.
"Eh, nyai Badra, mengapa tak kupanggil, engkau masuk
kemari" Apakah ada urusan penting?" tegur Rara,Sindura.
Nyai Badra tersipu-sipu memberi hormat "Harap den ayu
suka memberi maaf atas kelancangan hamba masuk kemari.
Memang ada urusan penting yang hendak hamba haturkan
kepada den ayu" "O" desis Rara S indura lalu menyuruh dayang itu duduk.
Setelah itu ia menyuruhnya menjelaskan maksud kedatangannya. "Urusan ini tak lain mengenai persoalan yang menimpah diri
den ayu. Setelah hamba pikir2, teringatlah hamba akan
seseorang yang mempunyai kemungkinan mampu menolong
den ayu" "O, siapakah dia?"
Nyai Badra tak lekas menyahut melainkan mengajukan
pertanyaan "Den ayu, dengan cara bagaimanakah pertolongan
yang tuan kehendaki itu?"
"Hm" desis Sindura pelahan "sudah tentu cara yang dapat
melepaskan diriku dari gangguan baginda. Karena terus
terang, aku tak sanggup meluluskan keinginan baginda, nyai"
"Pada hemat hamba" kata nyai Badra "hanya dua jalan
yang dapat ditempuh. Pertama, mengusahakan jalan untuk
menganjurkan baginda agar baginda berkenan membatalkan
maksudnya. Karena hal itu akan menimbulkan kegemparan
dikalangan para gusti narapraja dari para kawula.
Kemungkinan dapat menurunkan martabat baginda. Tetapi ah
. . . siapakah yang kuasa dan berani melaksanakan anjuran itu
kepada baginda" Rasanya sukar ..."
"Lalu jalan yang kedua?" seru Sindura.
"Jalan kedua itu merupakan cara yang terakhir t etapi penuh
bahaya. Yalah, membawa den ayu lolos dari keraton sini ..."
tiba2 nyai Badra hent ikan kata-katanya dan memandang
Sindura untuk menyelidik kesan.
Rara S indura termenung diam sampai beberapa saat.
Akhirnya ia berkata tenang "Memang pernyataanmu itu benar.
Akan kupertimbangkan hal itu. Tetapi nyai Badra, dapatkah
engkau memberi gambaran tentang akibat2 kelanjutannya dari
jalan kedua itu?" "Memang jalan kedua itu selain mengandung bahaya, pun
membawa akibat2 yang mengandung bahaya juga. Pertama,
di dalam membawa den ayu keluar dari keraton ini, harus
melalu i penjagaan barisan keraton yang ketat. Apabila
diket ahui mereka, orang yang menolong den ayu itu tentu
akan dibunuh. Juga andaikata dia berhasil membawa den ayu
keluar, pastilah baginda akan murka dan akan mengerahkan
pasukan untuk mencari jejaknya. Dalam keadaan itu, den
ayupun harus menyembunyikan diri supaya tak diketemukan
dan dibawa mereka ke dalam keraton sini lagi. Sampai berapa
lama den ayu menyembunyikan diri itu, tergantung pada
perobahan suasana" Rara S indura merenung diam. Sampai beberapa lama masih
ia belum membuka mulut. "Bagaimanakah keputusan, den ayu?" karena sudah cukup
lama menant i, akhirnya nyai Badra mengulang pertanyaan.
"Nyai Badra, aku terpaksa tak dapat menerima jalan kedua
itu" "Mengapa, den ayu?" nyai Badra terkesiap.
"O, itukah yang menjadi pertimbangan den ayu?" seru nyai
Badra "tetapi hamba rasa hal itu tak perlu den ayu risaukan.
Yang akan hamba minta bantuan itu tentulah orang yang
sudah rela berkorban, orang yang benar2 bersungguh hati
hendak menolong den ayu . ."
"Siapakah kiranya orang itu?" tukas Sindura.
"Ah, saat ini belum dapat hamba pastikan orangnya
sehingga belum dapat hamba katakan namanya. Tetapi yang
jelas orang itu adalah salah seorang dari golongan yang tak
suka kepada baginda Jayanagara"
"Eh, mengapa engkau hendak mengadakan hubungan
dengan orang golongan itu" Adakah engkau sendiri juga tak
menyukai baginda, nyai?"
"Bukan demikian yang hamba maksudkan den ayu" buru2
nyai Badra menyusuli keterangan "pertama sebagai sesama
kaum w anita, hamba ikut perihatin atas peristiwa malang yang
menimpali den ayu. Dan dalam membela nasib den ayu itu.
mau tak mau hamba harus berdiri difihak yang menentang
tindakan raja. Dalam lain2 hal, sudah tentu hamba tetap setya
pada kerajaan dan raja"
Rara S indura termenung. "Den ayu, waktu tiga hari itu amatlah singkat dan cepat"
kata nyai Badra pula "hanya ada dua pilihan bagi den ayu.
Ikhlas menerima keinginan baginda atau menolaknya. Jika
menolak, seyogyanya den ayu dapat lekas2 mengambil
keputusan. Nasib den ayu tergantung pada keputusan itu"
Rara Sindura d iam2 menimang. Memang apa yang
dikatakan dayang it u, tepat dengan kenyatan yang
menyelubungi dirinya. Memang melalu i nyai Wuni, ia sudah
mengirim pesan kepada rakryan Nambi. Tetapi bagaimana
akibatnya andaikata mahapatih itu tak berdaya untuk
menolong dirinya" Bukankah ia harus menghadapi dua macam
nasib: menyerah pada keinginan raja atau bunuh diri. Maka
apakah ruginya bila ia menerima tawaran dari nyai Badra yang
akan mengusahakan pertolongan dari lain fibak" Dari fihak
manapun bantuan itu akan terjadi, bukanlah soal. Pokok ia
dapat terlepas dari belenggu paksaan baginda Jayanagara.
Dengan pertimbangan itu maka ia memberi jawaban
"Baiklah, nyai. Tetapi lebih dulu aku hendak mengetahui siapa
dan dengan cara bagaimana pertolongan itu akan
berlangsung. Setelah itu, baru dapat kuputuskan menerima
atau tidak" Nyai Badra mengiakan lalu mint a diri dari hadapan Sindura.
Tetapi baru tiba diambang pintu, Sindura menyuruhnya
berhenti dulu "Adakah lain pesan yang den ayu hendak
berikan kepada hamba?" tanya nyai Badra.
"Bukan pesan melainkan akan bertanya sedikit hal
kepadamu, nyai" kata Sindura "apakah engkau akan bekerja
sendiri atau bersama dengan keempat nyai dayang kawanmu
itu?" Nyai Badra terkejut. Ia seperti disadarkan dari kelalaian.
Cepat ia masuk dan menghampiri kehadapan Sindura, katanya
dengan berbisik lirih "Urusan ini hamba pandang gawat sekali
maka hamba akan bekerja seorang diri. Berbahaya kiranya
kalau bekerja sama dengan keempat kawanku itu. Suatu
rahasia itu sifatnya harus tertutup rapat. Bila d iketahui
beberapa orang, akan besarlah kemungkinannya bocor. Den
ayu, hamba mohon usaha hamba ini supaya dirahasiakan dari
ke-empat nyai dayang itu. Hati orang sukar diduga, den ayu"
Rara Sindura memberi kesanggupannya. Setelah menunggu
diluar gedung beberapa saat lagi maka muncullah nyai
Mandira "Bagaimana adi, berhasilkah usahamu ?"
"Nihil" sahut nyai Mandira seraya mengangkat bahu "aku
tak dapat menemukan orang yang kupandang dapat
melakukan pertolongan kepada den ayu Sindura. Cobalah
sekarang engkau yang berusaha dan aku yang menjaga di
sin i" Setelah memastikan bahwa nyai Badra sudah keluar dari
lingkungan gedung, tiba2 nyai Mandirapun masuk ke dalam
menemui Rara Sindura. Pun serupa dengan nyai Badra, maka t erjadilah percakapan
antara Sindura dengan dayang Mandira. Dan int i dari
pembicaraan itu, pun tak jauh bedanya dengan nyai Badra
tadi. Nyai Mandirapun sanggup hendak mengusahakan
pertolongan untuk membebaskan Sindura dari bahaya
diganggu raja. Dan Sindurapun memberi jawaban serupa
dengan jawaban yang telah diberikan kepada nyai Badra tadi.
"Den ayu, hanya satu hal yang hamba mohon kepada den
ayu. Yalah hendaknya den ayu jangan menceritakan
kesanggupan hamba ini kepada keempat nyai dayang itu
karena hamba t ak percaya kepada mereka" kata nyai Mandira
mengakhiri penemuannya. Rara Sindurapun memberi kesanggupannya. Kini ia mulai
dapat gambaran jelas akan hubungan keempat nyai dayang
itu. Tampaknya mereka sangat erat satu sama lain, tetapi
ternyata masing2 saling tak mempercayai kepada kawannya.
Iapun menduga bahwa fihak yang akan dihubungi nyai
Mandira itu tentu berbeda dengan fihak yang akan dihubungi
nyai Badra dan nyai W uni. Kemungkinan nyai Sagopa dan nyai
Cempakapun ten-tu akan menyatakan kesediaannya untuk
menolong. Tetapi fihak yang akan dimint ai bantuan oleh
kedua dayang itu, tentulah lain dengan fihak yang akan
dihubungi nyai W uni, nyai Badra dan nyai Mandira.
"Eh, kelima dayang itu ternyata mempunyai sandaran
sendiri2. Dengan demikian, di dalam pura kerajaan in i
terdapat beberapa golongan yang menyukai dan membenci
raja" diam2 Rara Sindura membuat kesimpulan.
Tepat seperti yang diduga, maka pada malam hari, ketika
berduaan dengan nyai Sagopa yang membawa ganti busana
kepada Sindura, dayang itupun segera memikat Sindura dalam
pembicaraan tentang keadaan dirinya dengan baginda
Jayanagara. Tetapi berlawanan dengan nada ketiga nyai dayang yang
sanggup mencarikan pertolongan agar Sindura dapat lolos dari
keraton, nyai Sagopa dayang yang paling tua umurnya di
antara kelima dayang itu, malah menganjurkan agar Sindura
menerima saja keinginan baginda Jayanagara.
"Apa yang kurang pada baginda, den ayu. Seorang raja
yang masih muda usia, berkuasa dan luhur derajatnya.
Siapakah wanita discluruh kerajaan Majapah it yang tak
mengiri akan rejeki luar biasa dari den ayu itu?"
"Nyai Sagopa, aku seorang wanita yang sudah dewasa dan
sudah menikah. Jangan mempersamakan diriku seperti anak
kecil yang meluap kegirangan karena terpikat oleh barang
mainan kanak2 dan uang! Aku tak butuh dengan harta
permata yang berlimpah ruah. Tak memimpikan derajat luhur
disembah para kawula. Yang kukehendaki hanyalah
kebahagiaan cinta seorang suami. Dan kebahagiaan itu sudah
kuperoleh dari suamiku. Sungguh nista wanit a yang berpikiran
seperti engkau ini nyai. Adakah kebahagiaan seorang wanita
itu hanya diukur oleh pangkat yang tinggi, kedudukan yang
luhur dan harta benda yang berlimpah-limpah?"
Nyai Sagopa tersipu merah mukanya mendengar dampratan
tajam dari wanita jelita itu. Ia tak dapat berbuat suatu apa
kecuali hanya menghela napas dan mengingau seorang diri
"Ah, wanita it u hanya ibarat bunga. Masa gemilang dari
kembang yalah apabila sedang mekar. Dan ketentuan nasib
dari kembang itupun juga dikala ia sedang mekar itu. Apabila
dipetik oleh tangan yang jahat atau yang tak bertanggung
jawab, kembang itu tentu akan cepat layu dan rontok. Tetapi
apabila beruntung direnggut oleh tangan yang mulia,
kembang itu akan makin berseri g ilang gemilang dan
menghamburkan bau wangi yang semerbak . . ."
"Sudahlah, nyai, aku tak mau ganti busana dan silahkan
engkau lekas tinggalkan aku seorang diri" kata Sindura
setengah mengusirnya. Demikianpun ketika nyai Cempaka melakukan tugas
mempersiapkan alat2 rias untuk Rara Sindura. Dayang itupun
berusaha menawarkan jasa untuk menolong Rara Sindura.
Bahkan tanpa ragu2 lagi dayang itu mengatakan bahwa ia
bekerja untuk patih Aluyuda. Apabila Sindura set uju dan patih
Aluyuda mau membantu, tentu mudahlah pertolongan itu


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilaksanakan. "Bagaimana hubungan gusti patih dengan baginda?" t anya
Sindura. "Erat sekali" jawab dayang Cempaka "baginda menaruh
kepercayaan besar kepada gusti patih"
"Tetapi mengapa gusti patih hendak menolong aku"
Bukankah tindakannya itu berarti menentang baginda"
Nyai Cempaka terkesiap, pada lain saat ia cepat menjawab
"Hal itu hamba tahu, den ayu. Tetapi jelas, gusti patih telah
memerint ahkan hamba di sini untuk menjaga den ayu. Gusti
patih mengatakan apabila den ayu menemui kesulitan dan
membutuhkan pertolongan, gusti patih bersedia untuk
membantu" Diam2 Rara Sindura mengangguk dalam hati. Ia merasa
melihat setitik harapan. Nyata bahwa baginda itu dilingkungi
oleh mentri dan nayaka yang dalam hati, tak menyukai raja.
Iapun merasa terkejut penuh haru, bahwa ternyata terdapat
sekian banyak fihak yang bersedia untuk menolong dirinya.
Semangat hidup wanita it u menyala pula. Ia berjanji, akan
mempertekun pua-sanya untuk memint a nugraha dari para
dewata. "Baik, nyai" katanya kemudian "akupun setuju menerima
bantuan dari gusti patih Aluyuda. Tetapi pertama-tama,
kuminta agar gusti patih suka mengusahakan jalan tenang.
Artinya, supaya gusti patih menempuh cara untuk
menyadarkan baginda. Mengingat gusti patih baik sekali
hubungannya dengan baginda, kiranya anjurannya tak
mustahil akan d idahar baginda. Dan apabila jalan itu tak
berhasil, kuserahkan saja bagaimana langkah yang hendak
diambil gusti patih untuk menolong aku"
Sebelum mohon diri, nyai Cempakapun mengajukan
permohonan, agar Sindura jangan mengatakan perundingan
itu kepada keempat nyai dayang lain.
Walaupun sudah mendapat kesanggupan dari keempat
dayang, namun malam itu Sindura tetap tak tidur sampai
hampir menjelang ayam berkokok. Ia makin mempertekun
semedhinya untuk memohon berkah kepada Hyang Wisesa,
agar pertolongan yang masih merupakan janji itu, benar2
akan terlaksana dengan lancar dan selamat.
Keesokan harinya, belum terjadi sesuatu. Keempat dayang
itu belum memberi laporan lagi tentang usaha mereka.
Malamnya, barulah Rara Sindura menerima beberapa
keterangan yang tegas. Nyai Wuni mengeluh berkepanjangan "Ah, celaka, den ayu.
Ki Kebo Lembana sampai hari in i belum pulang dari
melaksanakan tugas yang diberikan oleh puteri Triabuanatunggadewi. Hamba terpaksa belum dapat menyampaikan pesan den ayu kepada gusti mahapatih Nambi"
Nyai Cempaka masuk dengan laporan yang tegas "Den ayu,
sungguh beruntung sekali. Gusti patih Aluyuda berkenan
meluluskan permint aan den ayu. Besok beliau hendak
menghadap baginda dan akan memberi nasehat"
"Bagaimana kalau gagal?" t anya Sindura.
"Besok petang, gusti patih akan memberi kabar lagi kepada
hamba" kata dayang itu.
Nyai Mand irapun menghadap dengan membawa keterangan
yang lebih menggembirakan lagi "Den ayu, orang yang hamba
anggap dapat memberi pertolongan itu, telah menyanggupi.
Besuk malam yalah malam terakhir dari perjanjian den ayu
kepada baginda, mereka akan datang kemari unt uk membawa
den ayu lolos dari keraton! "
Rara Sindura tergetar. Walaupun ia sudah set uju dengan
cara itu namun tatkala mendengar rencana itu akan
dilaksanakan, tak urung hatinya berdebar tegang2 takut. Ia
menyadari bahw a peristiwa itu tentu akan menimbulkan
kegemparan besar di pura kerajaan.
Hari ketiga, petang hari nyai Cempaka menghadap dengan
membawa berita, bahwa pagi tadi patih Aluyuda sudah
menghadap baginda dan berusaha untuk menghaturkan
penyadaran. Tetapi rupanya baginda t etap pada pendiriannya
hendak mempersunting Rara Sindura "Oleh karena itu maka
gusti patihpun terpaksa menempuh jalan kedua yalah
mengirim orang untuk membawa den ayu lolos dari keraton
sin i" Rara S indura tertegun. Sudah ada tiga fihak yakni dari fihak
yang dihubungi nyai Badra, fihak nyai Mandira dan kini nyai
Cempaka yang juga telah mendapat berita dari patih Aluyuda
bahw a patih itu akan menolongnya "Ah, bagaimana kalau
utusan dari ketiga fihak itu datang pada waktu yang
serempak" Fihak mana yang harus kuturut?" diam2 Rara
Sindura merasa resah. Namun beberapa saat kemudian, ia menghibur diri "Ah,
walaupun berbeda golongan tetapi mereka sama tujuan, yalah
hendak menolong aku keluar dari istana in i. Fihak manapun
yang lebih dulu datang dan membawa aku pergi, rasanya fihak
yang lain tentu akan bersyukur dan mengalah. Maka baiklah
kulihat saja fihak mana yang datang lebih dulu, dialah yang
akan kuturut...." "Den ayu" tiba2 ia d ikejutkan oleh suara nyai Cempaka
"gusti patihpun menyampaikan pesan, demi berhasilnya
rencana nanti malam maka dimint a den ayu suka menyamar
dan mengenakan kerudung muka warna hitam. Hal itu demi
menghindari kesulitan yang timbul dari prajurit2 penjaga
keraton" "O, baiklah" sahut Rara S indura "cara itu memang baik
juga" Kemudian setelah malam tiba, barulah nyai Wuni muncul
menghadap Rara Sindura "Den ayu, ki Kebo Lembana baru
saja pulang dari diut us tuan puteri Tribuanatunggadewi. Ketika
hamba tanyakan, ki Lembana mengatakan belum menerima
perint ah apa2 dari gusti mahapatih. Maka kuminta ia segera
menuju kc gedung kediaman gusti mahapatih Nambi. Namun
sampai saat ini, dia belum datang lagi"
"Lalu bagimana aku harus bertindak?" tanya Sindura.
Nyai Wunipun bingung "Hambapun belum menerima
keterangan. Tetapi hamba seyogyakan supaya den ayu
bersiap-siap saja malam ini"
Memang t iada lain jalan bagi Sindura kecuali begitu. Fihak2
yang dihubungi nyai Badra, nyai Mandira dan nyai Cempaka,
akan bertindak malam in i. Ia berharap mahapatih Nambilah
yang menolong lebih dulu.
Demikian Sindura menunggu datangnya sang ma-lam
dengm hati yang gundah. Rasanya malam selambat bekicot
merayap. Ia seperti tersiksa batin sehingga tak kuasa
menenangkan pikiran bersemedhi memohon berkah kepada
Hyang Wisesa. Pikirannya selalu dihantui bayang2 yang seram.
Hatinya setegang samudera yang tengah diamuk badai
prahara. Malam itu adalah malam Bhuda hitam dan besok hari
Brehaspati pancawarna, ia harus memberi jawaban kepada
raja Jayanagara. Kalau malam itu tiada dapat lolos dari puri
keraton, besok ia harus menghadapi dua pilihan: menyerah
pada raja atau bunuh diri.
Membayangkan tindakan bunuh diri itu, pilulah hati Sindura.
Belum genap sang candra menyurut sebagai saksi
pernikahannya dengan Kuda Lampeyan. Belum hilang bekas
paes dan kerik rambutnya sebagai mempelai. Belum pudar
harum bedak mangir yang melumur tubuhnya. Belum dingin
kehangatan dekap pelukan sang suami, atau ia harus
mengakhiri hidupnya, meninggalkan segala kenangan
bahagia..... 0oo"dw-oo0 III "Oh, baginda, ampun gusti karena hamba tak lekas2
menyambut kunjungan paduka" patih Aluyuda tersipu-sipu
berjongkok mencium kaki baginda Jayanagara yang
melangkah masuk ke gedung kediaman patih itu.
"Ah, tak apa paman" kata baginda "memang akupun tak
mempunyai keperluan penting suatu apa. Entah bagaimana
malam in i hatiku gelisah maka diam2 aku datang tanpa lebih
dulu memberitahu kepadamu"
Dengan penuh hormat, patih Aluyudapun mengiringkan
baginda masuk ke dalam ruang gedung kediamannya. Saat itu
sudah malam hari namun gedung kepatihan seolah-olah mandi
dengan cahaya lampu penerangan. Baginda dipersilahkan
duduk di sebuah kursi mewah beralas bulu harimau.
Sedangkan patih Aluyuda. duduk bersika di atas permadani
warna merah. "Gusti" kata patih Aluyuda menghatur sembah pula "adakah
paduka berkenan melimpahkan berkah kepada hamba untuk
menghaturkan minuman dan sirih?"
"Baik, Aluyuda, bawakan tuak yang baik dan sirih yang
muda" ujar baginda. Patih Aluyuda lalu memanggil dayang sahaya supaya
membawakan bokor minuman terbuat dari emas serta tuak,
beram dan sirih. Tak berapa lama dayang itupun segera
menghaturkan apa yang diperint ah gustinya.
Setelah menerima persembahan piala kencana berisi tuak,
baginda lalu meneguknya "Ah, nikmat benar tuakmu, paman
Aluyuda. Dari manakah engkau memperoleh tuak seharum
ini?" "Hamba memperolehnya dari Daha, gusti" kata Aluyuda
"yalah ketika dahulu hamba diutus untuk ikut dalam
rombongan mahapatih meninjau Daha, patih Daha telah
memberikan tuak seguci kepada hamba. Katanya tuak itu
termasuk barang simpanan yang kuna sekali yalah pada jaman
prabu Jayakatwang" Kembali bag inda meneguk piala emas berisi tuak lalu
mencicipi beram "Ah, enak juga beram ini, paman. Apakah
juga buatan dari Daha?"
"Benar, gusti. Tuak dan beram itu pemberian patih Daha
kepada hamba. Silahkan, gusti, minum sepuas-puasnya"
"Benar, paman" ujar baginda "memang sedap dan lemak
benar tuak dan beram ini. Segar rasanya sendi t ulang2 ku dan
menggeloralah darahku membangkitkan pula semangatku
yang lesu masai t adi, paman"
Aluyuda tertawa merenyah. Memang ia pandai mengambil
hati junjungannya sehingga disayangi baginda "Ampun gusti"
katanya seraya menyembah "hamba ingin sekali untuk
menerima curahan perasaan gundah yang paduka katakan
tadi. Apakah sebabnya paduka bermuram hati?"
"Ah, paman, ingin benar aku merangkai sajak untuk
mencurahkan isi kalbuku, tetapi ah sayang, aku tak
mempunyai perasaan seni"
"Ah, gusti" kata Aluyuda "untuk merangkai sajak-seloka dan
menjadi penyair pujangga, hamba rasa tak perlu memiliki
perasaan seni. Silahkan paduka bermenung dan menjernihkan
pikiran, niscaya lambat laun paduka tentu akan merasa
sebagai seorang seni penyair ...."
"Aku mengagumi prabu Jayabaya yang termasyhur sebagai
seorang pujangga dan penyair besar. Eh, kudengar engkau
faham akan buah karya sang prabu Jayabaya itu paman?"
tiba2 Jayanagara berkata.
"Ampun gusti" patih Aluyuda menghatur sembah "hamba
memang pemuja dari buah karya sang prabu Jayabaya. Tetapi
pengetahuan hamba dalam hal itu, hanyalah setipis kulit
bawang, gusti" "Ah, engkau tentu merendah diri, paman" kata Jayanagara
"tapi syair Jayabaya itu bagaimana bunyinya, paman"
"Baginda Jayabaya meramalkan bahw a negeri Jawadwipa
ini ...." "Ah, bukan ramalannya yang kumaksudkan" tukas baginda
"tetapi syairnya, paman. Cobalah paman nyanyikan syair sang
prabu itu. Minum tuak sambil mendengar orang berdendang
syair, memang suatu kenikmatan yang meresapkan hati"
"Mana2 titah gusti, tentu akan hamba junjung" kata patih
Aluyuda "hanya saja hamba mohon ampun sekiranya suara
hamba yang seperti genderang pecah itu akan membisingkan
paduka saja" "Tak apa, paman"
"Baiklah, gusti, hamba akan menyanyi syair Jayabaya
menurut kemampuan hamba"
Maka patih yang sudah setengah tua usia itupun segera
mengalunkan suaranya, melagukan syair prabu Jayabaya
dalam bahasa Kawi: Duk tka ri jaba mangke Kapanggih rakanira
Radhen Sudamala ngrangkul mangke
Pukulan datengeng asrama Lumarnpah sarwya kakanten.
Tika ring patamon mangke Marek srakanira
Lingira radhen Sadewa halinggih
apapanganten mangke Wenten andika pakanira Tumutur hatcr marangke ....
Ternyata patih Aluyuda memiliki suara yang cukup merdu.
Dan rupanya meresap sekali ia mencurahkan perasaannya
sehingga matanya terpejam-pejam menyanyikan syair itu.
Baginda memuji "B agus paman, suaramu lunak dan merdu.
Betapa ingin kudapat bernyanyi seperti engkau. Saat ini hatiku
benar2 gembira. Seolah-olah tekanan yang menindih
perasaanku, terasa agak longgar"
"Gusti" kata patih Aluyuda "apakah sebenarnya yang
paduka resahkan. Bagilah kepada hamba gusti, agar hamba
dapat meringankan perasaan paduka"
Jayanagara tertawa "Sesungguhnya keresahanku itu tak
mengandung kesedihan, melainkan ketegangan, paman. Rasa
tegang itulah yang membuat hatiku gelisah tak keruan"
"Soal apa, gusti?"
"Malam ini adalah malam terakhir dan besok Rara S indura
harus memberi jawaban kepadaku, paman"
"O, soal itu, gusti" seru Aluyuda "kiranva tak perlulah
paduka harus menyiksa perasaan. Sudah barang tentu Sindura
akan menurut pada paduka. Masakan ia mampu lari ke mana!


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukankah ia sudah berada dalam keraton" Ibarat sudah
berada dalam jaring, tak mungkin ikan itu akan lolos dari
tangan nelayan" "Ha, ha, ha" Jayanagara tertawa "tetapi engkau tak tahu
bagaimana peribad i Sindura itu. Dia mempunyai peribad i yang
luar b iasa, seluar biasa dengan kecantikannya yang tiada
taranya itu!" Aluyuda menyembah "Dalam hal apakah Rara Sindura,
paduka katakan mempunyai keperibadian yang luar biasa?"
"Dia tegas-tegas menolak tindakan vang bersifat paksaan.
Artinya, dia rela bunuh diri jika kupaksa menuruti kehendakku.
Dia berkeras mint a waktu tiga hari untuk berpikir. Kalau tak
kululuskan dia hendak bunuh diri. Bukankah sayang sekali
kalau w anita secantik Sindura hendak bunuh diri?"
"Benar gusti" Aluyuda menanggapi "wanita cantik seperti
sebuah permata, sukar sekali mendapatkannya. Paduka
memang amat bijaksana benar karena berkenan meluluskan
permint aannya. Dengan begitu, dia tentu tertarik akan
kelapangan hati tuanku. Gusti, wanita itu memang makhluk
yang aneh. Seringkah rupa yang cakap, harta benda dan int an
permata tak dapat memikat hatinya. Tetapi justeru tindakan
yang bijak dan kata2 yang halus, akan menjatuhkan iman
mereka" "Ah, kata-katamu it u memang t epat" seru baginda "akupun
sering heran pada diriku. Mengapa aku seorang raja gung
binatara, sering kali mendapat penolakan dari wanita yang
kukehendaki. Kubertanya pada diriku sendiri, apakah yang
kurang pada diriku" Kin i setelah mendengar kata-katamu tadi.
terbukalah hatiku " "Memang demikianlah halnya, tuanku. Wanita itu
berperasaan halus maka harus dengan kelemtutan ia
ditundukkan" "O" desus baginda seraya meneguk tuak pula "Aluyuda,
apabila Rara Sindura ratu kembang itu dapat kurenggut
madunya, kiranya engkaulah yang berjasa besar, Tetapi
apakah besok pagi, ia akan memberi keputusan menyerahkan
diri kepadaku, paman?"
"Ah, gusti, mengapa paduka masih meragukan hal itu?"
sahut patih Aluyuda "siapakah wanita di seluruh Majapahit
yang tak suka menjadi permaisuri baginda, raja sesembahan
seluruh kawula Majapah it?"
"Tetapi bagaimana dengan suaminya, Kuda Lampeyan nanti
paman" " tanya baginda pula.
Aluyuda tertawa kecil "Soal Kuda Lampeyan itu amatlah
mudah diselesaikan, gusti. Hamba pandang Kuda Lampeyan
itu seorang muda yang bernafsu besar untuk mengejar
pangkat dan kedudukan tinggi. Pada hemat hamba, baiklah
paduka menganugerahi pangkat kedudukan kepadanya.
Disamping itu, untuk mengunjuk kemurahan hati, baginda pun
berkenan meluluskan dia untuk memilih puteri yang manapun
dalam telatah kerajaan sebagai pengganti Rasa Sindura"
"Hm, benar ..."
"Bahkan bila memilih puteri hamba, hambapun sedia
menyerahkan kepadanya juga"
"Bagus, paman" seru baginda. Tetapi kegembiraan baginda
itu cepat terhapus "tetapi bagaimana kalau dia menolak semua
anugerahku itu?" "Hm" patih Aluyuda mendengus "Kuda Lampeyan adalah
seorang kawula. Apabila dia menolak, berarti menent ang raja.
Gitik "pentung yang paduka canangkan itu, harus dijatuhkan
pada dirinya. Dia harus lenyap dari bumi, gusti"
Jayanagara termenung Memang yang dianjurkan patih itu
sesuai dengan suara hatinya. Namun segelap-gelap
pikirannya, ia masih menyadari akan kedudukannya sebagai
raja. Dalam peristiwa itu, bukanlah Kuda Lampeyan yang
melakukan kesalahan, melainkan Kesalahan yang memperlakukan Kuda Lampeyan. Bukanlah suatu tindakan
yang tercelah apabila setelah merebut isterinya lalu
membunuh Kuda Lampeyan"
Rupanya patih Aluvuda tahu apa yang terkandung dalam
hati baginda. Maka cepat ia menghaturkan sembah "Gusti,
apabila tuan meluluskan, soal menyingkirkan Kuda Lampeyan,
harap paduka serahkan pada hamba. Hamba akan mengatur
rencana penyingkiran itu sedemikian rupa sehingga nama
keluhuran paduka takkan terbawa-bawa"
Seketika cerahlah wajah raja itu "Paman Aluyuda, engkau
benar2 t ahu melayani keinginanku. Terserah padamu, paman.
Jasamu pasti akan mendapat balas yang setimpal"
"Ah, gusti, hamba tak mengharap suatu balas. Karena apa
yang hamba lakukan itu adalah hanya pengabdian hamba
sebagai seorang patih kerajaan"
Tatkala baginda Jayanagara masih berada di gedung
kepatihan, minum tuak dan bercakap-cakap dengan patih
Aluyuda hingga larut malam. Digedung keputren tempat
kediaman Rara Sindura telah terjadi peristiwa yang cukup
menghebohkan. Menjelang tengah malam, tiba2 nyai Mandira menyelundup
masuk ke dalam ruang tempat kediaman Rara Sindura "Den
ayu ..." serunya berbisik.
"Engkau... Mandira "Sindura terkejut.
"Benar, den ayu hamba nyai Mandira. Orang itu telah
datang dan siap menunggu di luar pintu. Untuk menyiasati
para penjaga, orang itu mohon den ayu suka menyamar
sebagai seorang . . . bhayangkara" kata dayang itu seraya
menghaturkan sebuah buntalan pakaian.
"Aku harus menyaru sebagai seorang prajurit penjaga
keraton?" Sindura menegas penuh sangsi.
"Ah, hanya untuk sarana menempuh pengawasan para
penjaga keraton. Setelah lolos dari keraton, dapatlah den ayu
membuang pakaian itu lagi"
"Berapa orang yang akan membawa aku?" tanya Sindura
pula. "Dua orang. Yang seorang ikut aku masuk kemari dan yang
seorang menunggu di pintu gapura besi utara"
"Apakah mereka orang suruhan paman mahapatih?"
"Bukan den ayu. Mereka adalah orang W ukir Polaman yang
menentang baginda Jayanagara"
"Wukir Polaman" Siapakah mereka?" tanya Sindura penuh
keheranan. "Maaf, den ayu, untuk menceritakan hal itu memerlukan
waktu yang panjang. Pada hal saat in i set iap detik amatlah
berharga. Sebaiknya kelak den ayu tanyakan sendiri
keterangan kepada mereka. Tetapi yang dapat hamba
haturkan, mereka it u jelas menentang baginda dan bersedia
membantu menyelamatkan den ayu. Waktu amat berharga,
harap den ayu segera berkemas berangkat ..."
Rara Sindura tak sempat merangkai penilaian lebih lanjut.
Ia harus bertindak memperjuangkan nasib atau tinggal di
keraton menyerahkan nasib. Maka ia masuk ke dalam bilik dan
tak berapa lama muncul dalam pakaian seorang bhayangkara
yang memakai ikat Kepala. Setelah itu ia segera mengikuti
nyai Mandira. "Ki Ant aka, inilah den ayu Sindura" kata nyai Mandira ketika
menghampiri seorang lelaki tinggi besar dalam pakaian
bhayangkara, di luar pintu.
"Den ayu, hamba, Antaka" kata orang it u sembari memberi
hormat kepada Rara Sindura. Kesan yang tak menyenangkan
pada pandang pertama dari Rara Sindura terhadap orang itu,
cepat terhapus lenyap ketika orang itu berlaku begitu
menghormat kepadanya "Ah, paman, aku merasa berterima kasih kepadamu
sekalian" sahutnya. Ia mengajak segera berangkat.
"Hm, harap bersabar beberapa jenak, den ayu" sahut orang
itu lalu beralih memandang nyai Mandira
"Nyai, di dalam langkah menyelamatkan den ayu Sindura,
bukan hanya mendasarkan atas keberanian dan kegagahan,
pun juga harus menggunakan siasat. Dalam rangka mengatur
siasat untuk tak menimbulkan kecurigaan orang, sebaiknya
engkau menyaru sebagai den ayu Sindura dan tinggal dalam
gedung keputren itu"
"Hai, apakah tak berbahaya?" teriak nyai Mand ira t erkejut.
"Peristiwa ini bukanlah peristiwa kecil, melainkan suatu
peristiwa yang bukan olah2 hebatnya. Dan segala siasat t elah
kami atur dengan cermat. Lakukanlah apa perint ahku. Hanya
untuk semalam ini saja nyai menyaru jadi den ayu Sindura,
agar para dayang dan penjaga tetap mengira bahw a den ayu
masih berada dalam gedung. Besok pagi2 engkau sudah boleh
dan bahkan harus lekas2 ke luar dari gedung itu dan lepaskan
penyamaranmu" Nyai Mandira mengiakan. Setelah dayang itu masuk ke
dalam gedung, orang yang menamakan diri ki Ant aka itu
segera mengajak Sindura menuju ke pintu gapura utara.
Ketika melalu i sebuah bangunan gedung, tiba2 dari tempat
yang gelap di samping gedung itu, muncul dua sosok tubuh
"Sapara dan kakang Brehaspati?" tegur Antaka.
Terdengar suara mengiakan dari kedua lelaki yang muncul
itu seraya balas bertanya "Bagaimana?"
"Berhasil!" sahut Antaka seraya berpaling ke arah Rara
Sindura "den ayu sudah ikut bersama aku"
Kedua orang yang disebut Sapara dan Brehaspati itu segera
memberi hormat kepada Rara Sindura "Selamat datang di
alam bebas, den ayu"
Rara Sindura menghaturkan terima kasih. Kemudian Ant aka
menyelut uk "Bagaimana hasil kalian?"
"Beres juga" sahut Sapara "mereka telah kami ikat dan
sumbat mulutnya" "Bagus" sambut Antaka "mari kita menuju pintu gapura"
Sambil berjalan, Antaka memberi tahu kepada Sindura
bahw a mereka sedang menghampiri pintu gapura yang dijaga prajurit "Kita nant i
menyaru jadi penjaga yang
bertugas mengganti giliran
jaga. Oleh karena itu kami
harap den ayu jangan gentar
dan berdirilah berjajar dengan
kakang Brehaspati. Bersikaplah seperti seorang
prajurit yang tegak gagah"
Rara S indura mengiakan. Setelah hampir mendekati pintu gapura, mereka segera berjalan dua2. Antaka di muka
bersama Sapara dan Sindura di belakang bersama Brehaspati.
Pintu gapura yang terbuat dari besi itu, setiap malam t entu
dijaga oleh empat orang prajurit bersenjata.
Prajurit Yastha adalah kepala penjaga gapura pada malam
itu "Heran, saat ini belum t engah malam, mengapa penjagaan
sudah diganti ?" "Itu perint ah bekel Asadha" sahut Antaka dengan lancar
"beliau mendapat laporan bahw a malam ini akan terjadi
penculikan kepada den ayu Sindura, wanita cantik yang
hendak diinginkan baginda. Maka bekel Asadha segera
menentukan siasat penjagaan. Semua pesnjaga keempat pintu
gapura keraton, akan diganti gilirannya secara mendadak.
Setiap orang yang lewat pintu gapura harus ditangkap kecuali
yang dapat menyebutkan kata2 sandi"
"Apakah kata2 sandi itu?" tanya prajurit Y astha.
"Maaf, kami dilarang mengatakan kepada lain orang. Kalian
dimint a supaya berkumpul di balai prajurit Manguntur untuk
menerima perint ah penting"
Prajurit Y astha tertegun. Rupanya ia masih bersangsi dalam
hati. Karena selama bertahun-tahun men-abat prajurit
bhayangkara yang menjaga pintu gapura, baru pertama kali
itu ia menghadapi peristiwa seaneh saat itu."
"Y astha, ini perint ah ki bekel Asadha. Mengapa kalian tak
lekas melaksanakan " Ingat sumpah kita sebagai prajurit,
harus tunduk pada perint ah atasan !" seru Antaka dengan
nada yang keras. Yastha gelagapan. Cepat ia memberi isyarat kepada ketiga
kawannya lalu berbaris menuju ke balai Mangunt ur.
Setelah mereka lenyap, barulah Antaka tertawa mengejek
"Huh, prajurit2 tolol! . . . " tiba2 ia bertanya kepada Sapara
"Bagaimana dengan keempat prajurit yang kalian ringkus itu "
Apakah tiada kemungkinan mereka dapat lolos dan melapor
pada lurah prajurit?"
"Jangan kuatir, kakang Antaka" jawab Sapara "mereka telah
kami ikat kencang pada pohon bramasthana, mulutnya kami
sumbat dengan kain" "Mana kudanya ?" kata Antaka pula.
"Kita hanya sediakan dua ekor kuda. Mari kita
mengambilnya" kata Sapara. Mereka berjalan menuju ke
sebuah hutan. Dua ekor kuda tegar tertambat pada sebatang
pohon. Yang seekor kuda putih dan seekor hitam.
"Bagus, Sapara, kalian t elah bekerja baik sekali" puji Ant aka
seraya melepas kuda yang berbulu putih
"Aku dan den ayu Sindura akan naik kuda ini dan engkau
Sapara, naiklah kuda yang hitam"
"Eh, bagaimana dengan aku ?" tanya Brehaspati.
"Harap kakang kembali masuk ke dalam keraton. Kakang
seorang prajurit bhayangkara. Apabila ikut pada kita, diri
kakang tentu lekas diket ahui dan kakang-pun tentu akan
ditangkap. Maka baiklah kakang melakukan t ugas seperti biasa
agar jangan menimbulkan kecurigaan mereka. Disamping
kakang dapat mengikuti setiap perkembangan dalam istana"
Brehaspati anggap kata2 Antaka itu memang beralasan
maka iapun segera melakukan perint ah masuk lagi ke dalam
keraton. Memang ia adalah seorang anggauta bhayangkara
keraton. Demikian kuda putih dan hitam itu segera mencongklang
pesat, menembus kesunyian malam. Dalam kelegahan karena
dapat lolos dari keraton, Rara S indura tak urung mengandung
kesangsian kepada kedua orang yang membawanya it u


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paman hendak membawa aku kemana saja ?" t anyanya.
"Ke gunung Polaman" sahut Antaka.
"Mengapa ke sana?" tanya Sindura pula.
"Untuk menyembunyikan dirimu agar jangan sampai jatuh
ke tangan raja Jayanagara lagi" sabutnya "di sana kita
mempunyai sebuah makam sebagai tempat berlindung yang
pelik dan t ak mudah diketahui orang"
"Makam ?" Rara Sindura terkejut "makam siapa ?"
"Prabu Jayakatwang !"
"Oh" Rara Sindura mendesuh kejut "paman, jika engkau
benar2 hendak menolong aku, bawalah aku pulang ke desa
asalku di Mandana" "Sindura, di dalam keraton engkau berkuasa memerintah
para dayang t etapi di sini akulah yang berkuasa!" sahut orang
itu dengan nada galak. Sindura terbeliak. Ia tak mengira sama sekali bahw a sikap
Antaka yang begitu hormat dan merendah kepadanya, dalam
sekejab saja sudah berobah scpsrti bumi dan langit bedanya.
Pertama, Antaka sudah tak mau menyebut dengan panggilan
den ayu lagi. Dan Kedua, nadanyapun berganti keras "Ah,
adakah aku terjatuh ke tangan golongan orang jahat?" ia
mulai menimang dalam hati.
"Tidak, paman, aku hendak pulang ke Mandana saja!"
serunya. "Hm, Sindura, jangan banyak t ingkah!" bentak Antaka "aku
bukan Jayanagara yang gila kecant ikan tetapi aku adalah
orang Wukir Polaman yang akan menghancurkan kerajaan
Majapah it. Barang siapa berani menentang perint ahku, tentu
kubunuh!" Tersirap darah Rara Sindura penuh kengerian. Ia menyadari
bahw a saat itu dirinya berada dalam genggaman manusia2
bengis. Jika ia berkeras kepala, tentu akan dibunuh "Ah, lebih
baik kupura-pura ikut mereka. Begitu ada kesempatan, aku
tentu akan melarikan diri" pikirnya.
Ada dua peristiwa penting yang terjadi pada malam itu.
Pertama, peristiwa yang akan menimpah perjalanan Sindura
dan kedua orang Wukir Polaman itu. Dan kedua, peristiwa
yang terjadi dalam keraton Majapahit.
Peristiwa dalam keraton, merupakan rangkaian rencana
penculikan Sindura yang akan dilakukan o leh beberapa fihak.
Tepat sepengunyah sirih dari kepergian Sindura maka di
gedung tempat kediamannva, muncullah seorang prajurit
bhayangkara pula yang langsung masuk ke dalam ruang.
"Den ayu, hamba adalah ut usan gusti patih Aluyuda untuk
membawa den ayu ke luar dari keraton"
Sosok tubuh berkerudung muka yang duduk di atas kursi itu
menggeliat tak menyahut lalu berbangkit dan terus
menghampiri bhayangkara. Bhayangkara itupun tak menaruh
syak wasangka apa2. Ia yakin wanita itu tentulah Rara
Sindura. Tiba di halaman taman, tiba2 sesosok tubuh kurus
menyembul ke luar dari balik pohon kesara "Bagaimana ki
Srengga?" tegurnya. "Den ayu Sindura mau ikut , tetapi rencana kita belum
sempurna, nyai" Yang muncul itu bukan lain adalah nyai Cempaka. Dayang
yang bekerja pada patih Aluyuda itu mengerutkan alis "Apa
yang belum sempurna?"
"Untuk mengamankan rencana membebaskan den ayu ini,
kuminta engkau menyamar sebagai den ayu Sindura dan
berada dalam gedungnya. Dengan demikian para dayang dan
penjaga tentu tak menyangka bahwa den ayu sudah lolos"
Nyai Cempaka terkejut. Beberapa saat kemudian ia
membuka mulut "Ah, apakah hal itu tak berbahaya"
Bagaimana andaikata ada fihak lain yang datang hendak
membawa den ayu" Bukankah mereka akan menumpahkan
kemarahan kepadaku?"
"Tidak nyai" Srengga memberi jaminan "gusti patih Aluyuda
adalah seorang yang cerdik dan ahli merancang rencana.
Apalagi beliau mendapat kepercayaan dari baginda. Rasanya
hampir tiada kemungkinan bahwa lain fihak akan berusaha
untuk menyelamatkan den ayu. Tetapi andaikata hal itu benar
terjadi, kiranya engkaupun tak perlu khawatir, nyai. Kami pasti
akan berusaha sekuat tenaga untuk menolongmu"
Mendapat jaminan demikian, besarlah hati nyai Cempaka.
Ia segera melakukan apa yang diperintah bhayangkara
Srengga. Dan Srenggapun segera mengajak Sindura. Mereka
menuju ketimur. Tiba di panggung tinggi yang lantainya
berlapis batu putih, Srengga lanjutkan langkah menyusur
deret gedung yang berhimpit membujur ke selatan. Ia
menyeberang kemuka bangunan gedung itu, t erus menyusur
sebuah jalan dan tiba d i alun2. Rupanya Srengga faham
dengan keadaan keraton dan tahu sekali akan penjagaan pada
malam itu. Sedikitpun ia tak menemui rint angan suatu apa.
Jalan yang dilalu i itu, sepi penjaga.
Wanita yang dikira Rara Sindura itu, seperti yang dituturkan
di atas, adalah dayang nyai Mandira. Sesungguhnya ia terkejut
dan gemetar ketakutan pada saat membayangkan apa yang
akan terjadi pada dirinya nant i sesaat bhayangkara Srengga
itu mengetahui siapa sebenarnya Sindura yang dibawanya itu.
Namun nyai Mandira cepat sekali sudah memperoleh pikiran
bagaimana ia harus menjawab apabila
pertanyaan Srengga atau patih Aluyuda nanti.
menghadapi Dayang itu segera tenangkan perasaannya. Untuk menjaga
jangan sampai menimbulkan kecurigaan pada bhayangkara
Srengga, nyai Cempaka mengunci mulut rapat2, tak mau
bicara apa2. "Den ayu, kita menuju kegedung kepatihan" kata Srengga
di tengah perjalanan "gusti patih telah menyediakan tempat
persembunyian yang pelik untuk den ayu"
"Hm . . ." desuh nyai Mandira pelahan. Namun hal itu
diartikan suatu pernyataan setuju oleh Srengga. Ia segera
membawa wanita itu keluar dari lingkungan keraton.
Tak lama kemudian, muncul pula nyai Wuni beserta Kebo
Lembana "Den ayu, ki Kebo Lembana inilah yang akan
membawa den ayu" kata nyai W uni.
Saat itu ruang tidur Sindura gelap gulita. Rupanya hmpunya
dimatikan. Dari dalam kamar terdengar suara mendesis tak
jelas yang bernada mengiakan. Dan pada lain saat sesosok
tubuh berkerudung kain hitampun muncul dari kamar itu.
Tanpa menyelidik lagi, nyai Wunipun segera berkata kepada
Kebo Lembana : "Ki Lembana, kuserahkan den ayu kepadamu.
Harap menjaganya baik2 dan serahkan kepada gusti
mahapatih" "Sudah tentu nyai" sahut Kebo Lembana "tetapi aku
memerlukan bantuanmu, nyai"
"Apa?" nyai Wuni agak terkejut "sudah tentu aku patuh
akan perint ah gusti mahapatih"
"Begitulah seharusnya, nyai" seru Kebo Lembana "dalam
menolong orang kita harus berkorban. Seperti yang kita
lakukan malam in i. Aku harus menembus
ketat untuk menyerahkan den ayu kepada
diutus gusti mahapatih, di luar istana.
menyelamatkan den ayu kesuatu tempat.
nyai, aku mint a jasa bantuanmu"
penjagaan yang pegalasan yang Dia yang akan Pun kepadamu, "Katakanlah, ki Lembana"
Apa yang dikatakan Kebo Lembana itu ternyata mengenai
rencana untuk mengamankan tindakan membebaskan Rara
Sindura. Dan ternyata rencana itu serupa dengan rencana
yang telah dilakukan Antaka dan Srengga. Yani menyuruh nyai
Wuni menyaru seba-gai Rara Sindura dan tinggal di bilik
peraduannya. Adakah rencana itu secara kebetulan sama dengan orang2
pesuruh Wukir Polaman dan Patih Aluyuda" Tidak!
Memang baik W ukir Polaman, patih Aluyuda dan mahapatih
Nambi, memang tergolong ahli merancang siasat. Tipu
muslihat, kelicinan dan kelicikan, merupakan sant apan bagi
mereka. Maka dalam mengatur siasat untuk mengaman kan
penculikan Sindura itu, mereka secara tak disadari, telah
melakukan t indakan yang sama.
Semula nyai Wuni terkejut dan gemetar mendengar
perint ah Kebo Lembana. Ia takut memikirkan akibatnya.
Tetapi setelah Kebo Lembana memberi janji untuk
menolongnya apabila sampai terjadi sesuatu pada dirinya,
barulah dayang itu berani
"tetapi kumint a ki Lembana menjaga secara bersembunyi di
luar gedung keputren agar segera dapat bertindak apabila ada
ba-haya. Karena apabila ada fihak lain yang datang dan tahu
bahw a aku yang menyamar sebagai den ayu Sindura, mereka
tentu akan membunuhku Kebo Lembana memberi kesanggupan. Setelah dayang itu
masuk ke dalam gedung kediaman Rara Sindura, barulah ia
membawa Rara Sindura palsu itu menuju ke pintu gapura
barat. Ternyata para penjaga pintu gapura barat itu ada-lah
orang-orangnya mahapatih Nambi. Maka dengan leluasa Kebo
Lembana dapat menyelundupkan Rara S indura ke luar. Di luar
sudah siap menunggu seorang pengalasan ut usan mahapatih
Nambi. Setelah menyerahkan Rara S indura kepada orang itu,
Kebo Lembana pun kembali masuk ke dalam keraton lagi.
Tak berselang berapa lama, muncul pula nyai Badra
bersama seorang lelaki berpakaian bhayangkara, menuju
kegedung kediaman Rara Sindura.
"Den ayu, inilah ut usan yang hendak membawa den ayu
keluar dari keraton" seru nyai Badra setengah berbisik.
Nyai Cempaka yang menggantikan diri Rara Sindura,
mengeluh dan memaki dalam hati "Uh, setan alas, mengapa si
Badra t ak mau, menyebut siapakah yang mengutus orang itu .
. . ?" Ia hendak bertanya tetapi takut kalau suaranya dikenal
oleh nyai Badra. Maka terpaksa ia hanya mendesis pelahan
lalu melangkah keluar. Ruangan gedung gelap dan nyai Badrapun tak menyangka
sama sekali bahw a wanita yang terbungkus kain hitam dan
berkerudung muka itu, bukan Rara Sindura.
Walaupun setiap hari nyai W uni selalu mengantar hidangan
kepada Rara Sindura, namun setelah selesai menghaturkan
hidangan, iapun tentu t erus keluar lagi. Tak pernah ia berada
dalam ruang sampai lama, apa-lagi pada malam hari.
Brak .... aduh . . . tiba2 terdengar bunyi benda beradu
disusul dengan suara mengaduh dari mulut nyai Wuni.
Ternyata karena kurang faharn akan letak2 perabot ruang
ditambah pula karena gelap, maka t ak terduga2 lambung nyai
Wuni telah membentur ujung meja. Karena kerasnya
benturan, ia sampai menjerit kesakitan.
"Hai, mengapa . . ." orang yang hendak membawa Rara
Sindura keluar keraton itu, tak berapa jauh dari tempat nyai
Wuni. Ia terkejut mendengar jeritan mengaduh dari wanita
yang hendak dibawanya keluar itu. Secepat kilat ia
menyambar tangan nyai W uni terus ditariknya.
Maksud orang itu hendak menolong tetapi akibatnya malah
makin membuat nyai Wuni t erkejut sekali. Ia tengah meringis
kesakitan atau tiba2 tangannya dipegang oleh lima buah jari
yang kasar dan keras, maka menjeritlah dayang it u "Tolong...
lepaskan tanganku!"nadanya kejut2 kesakitan.
Serempak pada saat orang itu lepaskan cekatannya, nyai
Badra membentak keras "Hai, engkau bukan den ayu
Sindura!" Serasa terbanglah semangat nyai Wuni ketika menyadari
bahw a dirinya telah diketahui nyai Badra. Belum sempat ia
mengembangkan pikiran untuk menghadapi pertanyaan, tiba2
orang lelaki berpakaian prajurit itu, melonjak kaget "Apa" Dia
bukan Rara Sindura?"
Dan secepat kilat, ia sudah menyambar tangan nyai Wuni
pula terus ditarik kearahnya "Siapa engkau?" bentaknya
seraya gerakkan tangan kiri untuk mencabut kain hitam yang
mengerudungi muka nyai Wuni.
"Oh, engkau Wuni ... " teriak nyai Badra tertahan.
"Benar, nyai Badra, aku memang Wuni, aduh. .. . " belum
selesai nyai Wuni berkata, ia sudah menjerit kesakitan karena
rambutnya dijambak prajurit itu.
"Lekas bilang, siapa engkau" Kalau berani membangkang,
kepalamu tentu akan kupelint ir putus!" bentak prajurit itu pula
dengan geram. "Y a, ya, aku hendak bilang tetapi lepaskan dulu tanganmu
itu!" sahut nyai W uni "Kalau engkau t ak mau, akupun t ak sudi
bicara sekalipun engkau bunuh"
"Lepaskan, ki Bangah" nyai Badrapun ikut memint a. Orang
itu segera leprskan tangannya.
Setelah mengatur napasnya yang memburu keras karena
kejut dan sakit, nyai Wuni segera membuka mulut "Mbakyu
Badra, bukankah engkau hendak mencari den ayu Sindura?"
"Hm" desis nyai Badra "dimana den ayu?"
"Den ayu telah dibawa seorang lelaki yang berpakaian
seperti prajurit bhayangkara keraton. Sebelum pergi, orang itu
memaksa aku supaya menyaru dan menggantikan den ayu di
sin i ..." "Prajurit bhayangkara yang mana .. " prajurit yang datang
bersama nyai Badra itu cepat menukas gopoh.
"Entah, aku belum kenal. Menurut pengakuannya kepada
den ayu yang dapat kudengar, katanya prajurit itu utusan
rakryan Kut i ...." "Keparat, jangan memfitnah!" bentak prajurit itu marah.
"Memfitnah " Aku hanya mengatakan kata2 keterangannya
saja" sahut nyai W uni.
"Tak mungkin!" teriak prajurit itu.
"Mengapa tak mungkin ?" seru nyai W uni.
"Karena akulah yang diutus oleh rakryan Kuti..."
"Ki Lembu Bangah!" tukas nyai Badra cepat2. Namun sudah
terlanjur prajurit itu mengatakan siapa dirinya. Dan nyai
Wunipun sudah mendengarnya.
Memang nyai Wuni itu seorang dayang yang cerdik.
Sebenarnya ia tak tahu siapa prajurit yang dibawa nyai Badra
itu. Maka dipancingnya prajurit itu dengan kata2 tadi. Kini nyai
Wuni dapat mengetahui dengan fihak mana, nyai Badra
bekerja.

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hih" ia tertawa ewa "jadi engkau bekerja pada rakryan
Kut i, mbakyu Badra ?"
"Engkau bohong, Wuni. Tak mungkin orang yang membawa
lari den ayu Sindura itu, memaksamu dengan kekerasan
supaya engkau mau menyaru jadi den ayu Sindura !"
"Bagaimana engkau dapat memastikan hal itu?" balas nyai
Wuni. "Itu mudah sekali diket ahui" nyai Badra tertawa mengejek.
Ia cepat menyadari bahw a dirinya telah termakan siasat nyai
Wuni" bahwa mulutmu tak disumbat dan engkau bebas
bergerak, itu sudah suatu bukti. Dan yang jelas engkau tentu
bersekutu atau sekurang-kurangnya tahu siapa bhayangkara
yang membawa pergi den ayu Sindura itu"
"Hm,engkau benar2 Wanita yang licin. Engkau alihkan
tuduhanku tadi dengan rangkaian dakwaan ... " diam2 nyai
Wuni memaki nyai Badra. "Memang tujuan penculik itu, supaya aku bebas bergerak
sehingga tak menimbulkan kecurigaan dayang2 di sin i"
sahutnya. "Sudah, jangan banyak mulut!" tiba2 prajurit itu
membentak seraya hendak menyambar tangan nyai W uni pula
"ayo, engkau mengaku atau akan kupatahkan lenganmu !"
Jika tadi karena gelap, nyai Wuni telah membentur ujung
meja sehingga tertangkap basah oleh prajurit yang dibawa
nyai Badra, adalah sekarang, ia memperoleh keuntungan dari
ruang yang gelap itu. Cepat ia menyurut mundur lari ke
jendela dan membuka daun jendela.
Ketika prajurit itu memburu, nyai Wuni cepat ber-seru
dengan tertawa hina "Engkau mau menyiksa diriku" Hm,
lihatlah di balik gerumbul pohon di halaman itu. Sekali aku
menjerit, tentu akan berhamburanlah para prajurit
bhayangkara kemari untuk menangkapmu dan nyai Badra"
"Hm, jangan engkau coba mengancam aku!" prajurit itu
menghardik. "Mengancam" Kalau ingin bukti, lihatlah" nyai, Wuni terus
lontarkan sebuah cawan t embikar keluar jendela. Trang . . .'
caw an itu berderang pecah di tanah.,
"Lihatlah itu!" kata nyai Wuni seraya menun-juk keluar.
Ketika, mata prajurit itu memandang kearah yang ditunjuk
nyai Wuni, ia terbeliak kaget. Sesosok tubuh hitam tampak
bergerak-gerak dari balik gerumbul pohon di halaman.
"Sudah percayakah sekarang" Apabila aku menjerit, mereka
tentu akan menyerbu gedung dan menangkapmu. Apabila
engkau yakin dapat mengatasi mereka, silahkan engkau
mempersakiti diriku ini dan menangkapku Apabila engkau
yakin dapat mengatasi mereka, silahkan bunuh aku ..."
Prajurit itu menggeram. Tetapi nyai Badra cepat
menghunjam kata "Ih, belangmu kelihatan Wuni! Engkau
mengatakah tak tahu siapa yang membawa pergi den Ayu
Sindura. Tetapi nyatanya engkau sudah mempersiapkan
segala sesuatu untuk menghadapi set iap kemungkinan yang
akan terjadi pada dirimu! Ah, aku bukan seorang anak kecil
nyai Wuni. Jelas engkau tahu dan bahkan ikut mengatur
peristiwa penculikan itu!"
Nyai Wuni terkesiap. Ia bermaksud hendak menggertak
prajurit yang hendak mengancam jiwanya itu. Tetapi hal itu,
secara tak disadari, telah membuka kedoknya sendiri. Tetapi
untunglah dalam saat2 yang terdesak itu, ia tak sampai
kehilangan faham "Mbakyu Badra, aku mau membuka rahasia,
tetapi aku menuntut syarat darimu"
Mendengar itu nyai Badra tak berani segera memberi
pernyataan melainkan berpaling kearah prajurit yang
dibawanya itu dengan pandang bertanya. Prajurit itu
menganggukkan kepalanya. Dan nyai Badra pun segera
berpaling kepada nyai W uni pula "Baik, nyai Wuni, katakanlah
syaratmu itu" "Kita, fihak yang kubantu dan fihak yang engkau bantu,
ibarat maaf, anjing yang berebut tulang tetapi dagingnya
dilarikan serigala. Mungkin fihakku dan fihakmu, karena
sesuatu alasan, sukar untuk berserekat dan kerjasama. Maka
syarat yang kuajukan itu yalah: Pertama, kita ini tak perlu
kerjasama tetapi pun jangan saling bermusuhan. Kedua, kita
harus menjaga rahasia diri kita dengan teguh. Artinya,
hubungan kita sehari-hari janganlah terpengaruh karena
adanya peris-tiwa in i. Aku bersumpah takkan mengatakan
rahasiamu da" engkaupun harus bersumpah takkan
membocorkan rahasiaku. Setuju?"
Nyai Badra anggap usul itu dapat diterima. Namun ia tak
berani mengambil keputusan sendiri dan mengail pertanyaan
kepada si prajurit melalu i pandang mata.
Sebenarnya saat itu prajurit itupun sedang menimangnimang ucapan nyai Wuni tadi. Sesungguhnya ia lebih suka
melenyapkan dayang it u agar jangan membocorkan rahasia.
Tetapi ternyata nyai Wuni telah mengadakan persiapan lebih
dahulu. Ia anggap untuk sementara waktu, lebih baik
menerima. Maka kembali ia memberi isyarat setuju.
"Baik adi Wuni" kata nyai Badra "kami set uju usulmu itu.
Tetapi bagaimana aku dapat mempercayai pernyataanmu
takkan membuka rahasia in i?"
Dayang Wuni segera mengangkat sumpah. Kemudian ia
mint a nyai Badrapun mengucapkan sumpah. Setelah sama2
mengikrarkan sumpah maka nyai Badra mendesak lagi
kesediaan nyai Wuni untuk mengatakan fihak mana yang
dihubungi itu. Sejenak nyai Wuni memandang kesekeliling. Tingkahnya
seperti orang yang ketakutan apabila pembicaraannya
didengar orang. Setelah itu baru ia berkata setengah berbisik
"Wukir Polaman ..."
Nyai Badra terbeliak kaget. Tetapi cepat2 ia tenangkan diri
dan mengangguk "Baiklah"
Dayang itu segera mengajak prajurit berlalu. Sepeninggal
mereka, tampak mulut nyai wuni merekah senyum ewa
"Biarlah mereka saling terkam menerkam sendiri . . ."
Dayang itu segera menuju keluar halaman dan menemui
Kebo Lembana. Dengan bisik2 ia menceritakan apa yang telah
dialami beberapa saat tadi. Kebo Lembana menunjukkan
jempol tangannya selaku memuji ke-cerdikan dayang itu. Nyai
Wuni tersenyum bangga. . Memang dayang itu tak menyadari bahwa dirinya dan Kebo
Lembanapun telah termakan siasat fihak yang datang
mendahului mereka dan membawa Rara Sindura lolos ....
Kesunyian malam d i pedesaan diluar puri kerajaan tiba2
terpecah oleh derap kuda mencongklang pesat di-sepanjang
jalan. Dua ekor kuda putih dan hitam seolah-olah berpacu
menembus kelelapan sang malam. Kuda putih dinaiki oleh
seorang lelaki dan seorang wanita. Sedang kuda bulu hitam
hanya memuat seorang penunggang lelaki.
"Kakang Antaka" tiba2 penunggang kuda hitam berseru
"sudah beberapa jam kita mencongklang pesat dan kartika
Agrapun sudah, condong ke barat. Tak lama t entu sudah fajar.
Mengapa kita tidak berhenti barang sejenak untuk meluangkan
istirahat bagi kuda kita" Tidakkah tunggangan kita akan
kehabisan tenaga?" Memang ketiga orang it u adalah rombongan Antaka yang
membawa Rara Sindura "Jangan, Sapara" sahut Antaka
"tempat ini belum jauh dari puri kerajaan. Apabila mereka
mengetahui bahwa yang mereka dapatkan itu hanya salah
seorang dayang, tentu mereka akan marah dan mengejar kita.
Nanti saja set elah lewat fajar, barulah kita berhenti "Siapakah yang engkau maksudkan mereka it u, kakang ?"
seru Sapara pula. Sambil tetap melarikan kudanya kencang, Antaka berseru
"Aku tak dapat memastikan golongan yang mana. Tetapi dari
kawan-kawan kit a yang berada dalam keraton, aku dapat
keterangan bahwa memang ada beberapa golongan yang siap
bergerak untuk menculik Sindura ini. Kalau dugaan mereka tak
salah, kemung-kinan besar dari fihak mahapatih Nambi,
rakryan Kut i, pati Aluyuda dan Gajah Kencana. ..."
"O" desuh Sapara "mahapatih Nambi, rakryan Kut i, Gajah
Kencana, memang ada kemungkinan. Tetapi masakan patih
Aluyuda juga akan ikut bergerak. Bukankah dia yang
menganjurkan raja Jayanagara untuk mengundang Kuda
Lampeyan dan Sindura ke istana dan akhirnya raja jatuh hati
pada Sindura?" "Ah, engkau Sapara" gumam Antaka "disitulah letak kunci
persoalan itu. Patih Aluyuda berkeinginan keras untuk merebut
kedudukan mahapatih dari tangan rakryan Nambi. Maka ia
mengumpan baginda dengan Sindura yang cantik. Maksud
Aluyuda, karena Sindura ini isteri dari kemanakannya, tentulah
mahapatih Nambi akan marah. Kemarahan Nambi itu akan
dijadikan alasan Aluyuda untuk menghasut baginda agar
menindak ra-kryan Nambi. Tetapi ternyata rakryan Nambi tak
mengadakan tindakan apa2. Aluyuda makin ngotot. Dia tentu
akan bergerak menculik Sindura. Apabila Sindura hilang,
tuduhan raja t entu akan jatuh pada diri Nambi dan tentu akan
menghukumnya" "O, cerdik juga patih Aluyuda itu ...."
"Tetapi kaum kita tak menganggap patih itu sebagai lawan
berat. Yang masuk hitungan kita yalah gerombolan Gajah
Kencana itu. Kita tak mengetahui siapa anggauta gerombolan
itu, tetapi pengaruh dan tindakan mereka untuk merint angi
rencana kita, selalu terasa. Hm, mereka benar2 menyerupai
gerombolan setan yang tak kelihatan"
"Kakang, mengapa kita mendahului membawa wanita itu "
Bukankah lebih menguntungkan kalau kita tak bertindak
melainkan hanya melihat saja bagaimana golongan2 itu akan
saling berebut melarikan Sindura" Mereka pasti saling hantam
menghantam dan setelah menyelesaikan mereka"
mereka lemah, baru kita Antaka mendengus "Memang terkandung rencana itu dalam
pemikiran kita. Tetapi kita kuatir, apabila gerombolan Gajah
Kencana yang berhasil melarikan Sindura ini. Tentu persoalan
itu akan diselesaikan dengan aman dan memuaskan fihak2
yang tersangkut. Ingat Sapara, Gajah Kencana itu pendukung
kerajaan Majapahit" "Lalu tujuan kita membawa wanita it u ?"
"Dengan hilangnya wanita ini dari keraton secara tak
diket ahui orang, tentulah akan timbul kecurigaan dan tuduh
menuduh diantara golongan2 itu. Dan yang terutama, raja
tentu akan murka, pikirannya kalut dan kacaulah roda
pemerint ahan Majapahit...."
Sapara mendesus dan diam2 Rara Sindura mencatat semua
pembicaraan itu dalam hati; Kini mulai teranglah pikirannya
akan semua peristiwa yang telah terjadi. Ia telah menjadi
korban dari beberapa golongan yang saling merongrong
kewibawaan Majapahit. Sayup2 terdengar suara ayam hutan berkokok dan
cakrawala bang wetanpun mulai memburat merah. Suatu
tanda persiapan dari kehadiran sang fajar. Hampir setengah
malam mereka melarikan kuda sekencang angin. Angin sepoisepoi berlembah embun, mulai menabur muka. Bulu2
romapun meregang dingin .
Seyojana mata memandang hanya keremangan malam
menjelang tersingkap fajar, mencengkam empat keliling
penjuru. Gelap pekat, sunyi senyap.
"Kakang Antaka, dimanakah kita akan beristirahat?" Sapara
mengulang pertanyaannya. "Melint as bulak hutan ini dan mengarungi bukit yang
menggunduk di sebelah muka itu, mudah-mudahan kita akan
tiba di sebuah desa" sahut Antaka.
"Ah, kalau begitu kita segera akan mengaso" sambut
Sapara dengan gembira. "Tidak" sahut Antaka serempak "kita lanjutkan sampai ke
candi Jcdong baru mengaso bahkan kalau perlu kita berhenti
di hutan. Tetapi jangan di desa karena mudah menimbulkan
perhatian orang" Sapara hanya mendengus tetapi tak berani membant ah.
Memang yang ditugaskan oleh himpunan Wukir Polaman itu
adalah Ant aka dan ia hanya sebagai pembantu saja.
Saat itu mereka telah melint asi bulak hutan dan mulai
menempuh bukit. Setelah menuruni bukit samar2 jauh d i
sebelah muka, tampak menggunduk gerumbul pohon yang
menandai sebuah desa. Kedua kuda putih dan hitam it u kuda
yang tegar dan kencang larinya.
Tak berapa lama merekapun masuk ke dalam desa. Jalan
dalam desa itu masih sunyi, rumah2pun masih tertutup rapat.
Mereka lanjutkan perjalanan keluar dari desa itu terus menuju
ke timur. Menjelang fajar, t ampak sebuah bangunan candi menjulang
di tengah tanah lapang. Jaraknya masih dua tiga pemanah.
Berkata Antaka "Itulah candi Jedong, aku kenal dengan
brahmana kepala candi. Kita nanti singgah di situ"
Tepat pada saat tiba di muka pintu candi, mereka
mendengar suara orang mengalunkan doa. Rupanya para
murid dalam candi itu sedang melakukan sembahyang. Antaka
tak berani gegabah masuk. W alaupun ia kenal dengan kepala
candi tetapi ia tak berani mengganggu mereka. Setelah
mereka selesai mendambakan sembahyang, pagi barulah
Antaka melangkah masuk. "O, ki Antaka" seorang brahmana muda menyambut
dengan nada kejut2 heran "tentulah tuan mempunyai
keperluan penting datang sepagi ini ke candi kami"
"Aku hendak berjumpa dengan brahmana Satmaka" jawab
Antaka "tolong laporkan kedatangan kami kepada beliau"
Sejenak brahmana muda itu memandang silih berganti
kepada Antaka, Sapara dan Rara Sindura. Sepasang alisnya
tampak mengerut "Baik, harap tuan tunggu sebentar, aku
akan masuk menghadap guru"
Brahmana muda itu masuk ke dalam candi dan tak berapa
lama keluar lagi untuk mempersilahkan Ant aka masuk.
Seorang brahmana tua yang putih rambutnya muncul
menyongsong kedatangan rombongan Antaka "Ah, sepagi ini
ki Antaka sudah tiba di candi kami, adakah sesuatu keperluan
yang andika inginkan dari aku?"
"Ki brahmana" kata Ant aka "kami tak. me-ngandung suatu
keperluan kecuali hanya ingin mohon beristirahat beberapa
waktu di candi ini. Kami habis melakukan perjalanan jauh"
"Silahkan ki Ant aka" sambut brahmana Satmaka sambil
melirik sejenak kearah Rara Sindura "candi kami selalu terbuka


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk yang ingin melepas keletihan, kelaparan, dahaga dan
membutuhkan pertolongan.."
"Terima kasih ki brahmana. Inilah isteriku" kata Antaka
memperkenalkan Rara Sindura dan Sapara kepada brahmana
itu. Satmaka memberi hormat kepada Sindura dan Sapara.
Sindura terbeliak mematung. Ia benar2 terkejut mendengar
kata2 Antaka yang mengaku ia sebagai isterinya. Kemudian
wajahnya menebar warna merah dan terus hendak berseru.
Tetapi t iba2 Antaka yang berdiri di samping, cepat menyelut uk
"Ki brahmana, apabila tuan tak keberatan, kami ingin segera
...." "Baiklah ki Antaka" cepat Satmaka menukas karena tahu
apa yang diinginkan tetamunya itu. Kemudian ia berseru
memanggil seorang brahmana muda "Wilupa, antarkan ketiga
tetamu itu kepondok asrama, dan layan i mereka sebaikbaiknya."
Brahmana muda itu mengiakan lalu membawa ketiga
tetamu menuju kebagian ruang belakang, keluar pintu candi
terus menuju ke sebuah hutan kecil. Di situ terdapat beberapa
pondok papan "Karena dalam candi hanya untuk bersujud dan
melakukan upacara2 doa sembahyangan, maka tiada tempat
untuk menerima tetamu. Bapak guru telah mendirikan asrama
pondok ini untuk tempat tinggal para murid2. Silahkan
beris-tirahat di sin i"
"Terima kasih, ki brahmana muda" kata Antaka. Brahmana
muda itu membuka pintu dari dua buah ru-ang pondok.
Setelah mempersilahkan ketiga tetamunya masuk, iapun pergi
untuk menyediakan minuman.
"Mengapa engkau mengatakan aku sebagai isterimu?"
setelah tiada orang, Rara Sindura menegur. Namun Antaka
hanya tertawa lebar "Ah, hanya pura2 saja agar jangan
menimbulkan kecurigaan brahmana di sini. Masakan
sungguh2?" Sindura mint a sebuah bilik dan suruh kedua orang Wukir
Polaman itu tidur dilain bilik.
"Uh, mengapa begitu" Bukankah engkau isteriku, ha, ha,
ha. . . ." Antaka berolok-olok. Ia mulai bermain ucap kasar dan
kotor. Tiba2 wajah Sapara berobah merah "Kakang, jangan
berolok-olok demikian!"
Antaka terkesiap lalu menghambur tawa "Ha, ha, rupanya
engkau cemburu, Sapara"
Sapara cepat menyangkal "Tidak, aku tidak cemburu
melainkan hanya berjaga diri. Jangan sampai kelepasan kata
sehingga jejak kita diketahui brahmana di sin i"
Sindura tak mengacuhkan mereka. Dengan marah, ia terus
masuk ke dalam b ilik mengunci pintunya. Tak berapa lama,
brahmana muda Wilupa datang membawakan minuman dan
sekedar hidangan. Diam2 brahmana muda itu heran mengapa
wanita yang disebut sebagai isteri oleh Antaka, tidur dalam
sebuah bilik sendiri. Namun brahmana itu segan bertanya.
Habis meletakkan minuman di meja, ia terus melangkah
keluar. Tiba2 ia terkejut karena lengannya digamit tetamu wanita
itu. Ketika berpaling, dilihatnya w anita cantik itu mengatupkan
jari ke mulut. Brahmana Wilupa gemetar. Walaupun sudah berumur
duapuluh tahun lebih, namun tak pernah ia bersentuhan
dengan wanit a. Apalagi wanita secantik Sin-dura. Darahnyapun mendebur keras. Belum sempat ia membuka
mulut , dilihatnya si cant ik membuat gerakan tangan.
Maksudnya mint a bicara empat mata dengan brahmana muda
itu. Bulu roma Wilupa menggelinjang. Hampir ia tak percaya
apa yang diisyaratkan Sindura itu. Hatinya berdebar cemas. Ia
seorang brahmana dan Sindura seorang wanita yang sudah
bersuami. Seorang pria, walau seorang pendetapun, dilarang
bicara d itempat sepi dengan wanita yang sudah bersuami.
Dalam undang2 perbuatan itu disebut S t r i s a n g g r a h a n
a atau menjamah isteri orang lain. Lebih2 seorang pendeta
atau brahmana.Jika berbuat begitu, dianggap hilang sifat
kependetaan atau kebrahmanaannya.
Wilupa cepat memandang wajah Sindura. Maksudnya
hendak menggelengkan kepala menolak. Tetapi ketika
pandang matanya tertumbuk pada mata Sindura, terbeliaklah
brahmana itu. T ampak bola mata wanita itu digenangi airmata
yang berlinang-linang. Wajahnya sayu teriba-iba. Seketika
kekerasan hati W ilupa untuk menolak, larut luluh bagai garam
dibuang ke laut. Wilupa lupa akan segala ajaran kebrahmanaannya. Lupa ia akan bunyi undang2 tentang
St risanggrahana. Y ang mengisi benaknya adalah suatu pesona
yang melarut kan segala kesadaran hati dan pertimbangan akal
pikirannya. Dan diluar kesadaran ia tak kuasa mencegah
kepalanya mengangguk setuju. Kemudian disusul dengan
gerakan tangan, memberi isyarat agar wanita itu pergi ke
hutan di belakang asrama. Ia akan menunggu di sana. Rara
Sindura menyembah selaku berterima kasih.
Tak berapa lama set elah brahmana muda itu pergi maka
dari sebelah bilik terdengar suara orang mendengkur. Diam2
Sindura girang. Ia yakin yang mendengkur itu t entulah kedua
orang Wukir Polaman: Setelah menunggu beberapa saat lagi
untuk memastikan bahwa kedua orang itu sudah benar2 t idur
lelap, barulah dengan hati2 Sindura membuka pintu dan
melangkah keluar. Unt unglah saat itu para murid2 brahmana
yang berada dalam asrama berkumpul di candi. Maka dapatlah
Sindura leluasa menuju ke belakang asrama. Ternyata
brahmana Wilupa pegang janji. Ia sudah menunggu di balik
semak2 pohon. "Duh, sang brahmana, aku hendak mint a pertolongan tuan"
kata Sindura dengan nada rawan.
Wilupa makin terbelalak. Bukankah wanit a itu isteri Antaka,
mengapa minta tolong kepadanya dan tidak kepada
suaminya" Melihat brahmana muda itu kerutkan dahi, Sindurapun lalu
menceritakan tentang dirinya dan peristiwa yang sedang
dihadapinya. "O, ki Antaka itu bukan suamimu?" Wilupa mendesus
penegasan. Sindura dengan nada sungguh2 menyatakan
bukan isteri Antaka. Brahmana Wilupa termenung sampai
beberapa saat baru ia membuka mulut "Lalu apakah maksud
andika sekarang ini?"
"Ki brahmana" kata Sindura tersedu "aku seorang wanita
lemah yang sedang menderita kesusahan. Sepasang raga
dirantau, pisah suami, jauh sanak saudara. Tiada tempat
meneduh yang setenang candi, tiada sumber kasih yang
seagung kasih Hyang Widdhi, tiada laut kerelaan yang sebesar
dharma amal kaum brahmana dan pendeta. Duhai, ki
brahmana, Sindura telah meneduh di bawah naungan candi
Syiwa. Hatiku merasa tenteram dan harapankupun timbul
pula. Ku-percaya ki brahmana dan sekalian brahmana dalam
Sejengkal Tanah Sepercik Darah 14 Sepasang Garuda Putih Seri Keris Pusaka Sang Megatantra 5 Karya Kho Ping Hoo Pembalasan Rikma Rembyak 1

Cari Blog Ini