Ceritasilat Novel Online

Menembus Kabut Berdarah 1

Suro Bodong 17 Menembus Kabut Berdarah Bagian 1


MENEMBUS KABUT BERDARAH
Oleh Barata ? Penerbit Wirautania, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Serial Suro Bodong
dalam kisah Menembus Kabut Berdarah Wirautama, 1991
128 Hal.; 12. 18 "m.; SB. 01.0391.50.14
1 Membelalak mata Suro Bodong melihat tiga mayat terkapar di tepi sungai. Tubuh
mereka biru, tanpa luka, tanpa goresan apa pun. Bajunya utuh, yang satu lagi
tanpa baju, karena diduga sedang mandi. Tak ada tanda-tanda bekas perkelahian di
situ. Tak ada darah setetes pun yang memercik. Suro Bodong berdebar-debar, bukan
lantaran belum makan seharian, melainkan karena ia tahu persis, bahwa ketiga
mayat itu adalah warga Kesultanan Praja.
"Tubuh membiru. ." gumam Suro sambil garuk-garuk kumis. "Tak ada darah, tak ada
luka, bahkan tak ada nyawanya.. ! Gila! Siapa yang melakukan pembunuhan ini" Apa
yang terjadi di kesultananku selama aku pergi?"
Mata Suro yang tadi membelalak, kini menyipit memandang arah jauh. Ia melihat
ada dua sosok tubuh yang terkapar di dekat tanggul Segera ia melompat dan buruburu mendekatinya. Wah, benar!
Ada mayat lagi. Garuk-garuk kumis lagi! Bingung lagi! Gumamnya memanjang lagi
Kali ini yang ditemui adalah mayat perempuan. Dua perempuan yang satu muda yang
satu tua. Yang muda mati dalam keadaan mata mendelik dan mulut menganga, sepertinya dalam
ketakutan yang amat mengerikan. Mayat itu masih memeluk bakul berisi pakaian
yang habis dicuci. Demikian pula perempuan tua, juga memeluk bakul berisi
pakaian yang belum sempat dicuci. Tapi, perempuan tua itu mati dengan mata
terpejam, seakan tidak perduli lagi dengan keadaan sekeliling, juga tidak
perduli kalau kain di pahanya tersingkap ke atas semua. Suro Bodong hanya
menggumam "Hem...mayat tidak tahu tala susila.. !"
Sebenarnya di dalam hati Suro ia menyimpan segudang kegeraman. Merinding juga
bulu kuduknya. Tetapi, ia tak mau menuruti perasaan itu. Yang paling kuat mengganggu
otaknya adalah pertanyaan: Ada apa sebenarnya" Apa yang terjadi dengan kelima
mayat itu" Mengapa mereka mati tanpa meninggalkan jejak untuk memburu
pembunuhnya"
Makin berdebar hati Suro Bodong ketika ia menuruni tanggul sungai. Di bawah
tanggul itu adalah persawahan yang luas. Padi masih menguning, sebentar lagi
pasti akan mencapai masa panen.
Tentu saja di persawahan itu banyak petani dan keluarganya yang mengurus padi,
menghalau burung-burung, atau memburu tikus sawah.
Tetapi, kali ini mereka diam saja. Tidak ada yang menghalau burung, tidak ada
yang menarik tali penggerak orang-orangan yang dipasang di tengah sawah. Tidak
ada yang gesit memburu tikus sawah.
Semuanya diam. Tergeletak tak bernyawa. Ada yang di pematang sawah, ada yang di
gubuk, ada yang di tengah sawah, terbenam di lelumpuran. Wow.. ! Cukup
mengerikan pemandangan di situ. Banyak mayat yang semuanya terdiri dari rakyat
Desa Klampis. Suro tahu, Desa Klampis adalah desa yang masuk dalam wilayah
Kesultanan Praja, di mana mertua Suro Bodong yang menjabat sebagai sultan di
situ, dengan gelar Sultan Jurujagad. Tapi Suro tidak tahu, mengapa rakyat Desa
Klampis banyak yang mati dalam keadaan membiru, mulut ternganga,dan sebagian
besar mata mereka mendelik bagai memandang kengerian sebelum kematian mereka.
Suro Bodong memandang dari tempat tinggi. Matanya menyusuri persawahan yang
penuh dengan mayat di sana-sini. Celana ungu dan baju merah lengan panjang yang tidak
pernah dikancingkan itu dibiarkan dihembus angin. Melambai. Sama halnya dengan
rambut yang panjang tak teratur kecuali diikat kain merah, itu juga melambai.
Juga karena angin. Tapi, Suro yakin, mayat-mayat itu terjadi bukan karena angin.
Pasti ada sesuatu yang sangat ajaib, yang telah menyerang Desa Klampis. Wabah"
Belum tentu. Keracunan" Bisa jadi. Mistik" Guna-guna" Sihir" Yah, mungkin juga
karena itu mereka mati seenaknya, tanpa memikirkan tempat empuk atau bersih.
Yang lebih membuat merinding lagi, adalah ketika Suro memasuki pedesaan
tersebut. Perumahan penduduk masih utuh. Tanaman-tanaman juga utuh. Tetapi, manusia dan
hewan mati semua. Di sana sini ada mayat. Di sana sini mayat membelalak
ketakutan dengan mulut ternganga.
Wajah dan tubuh mereka membiru, bagai dicekik hantu raksasa.
"Edan! Apa yang membuat mereka ketakutan begini" Apa yang mereka lihat, sehingga
sampai jadi mayat pun masih dalam ketakutan" Bah! Dasar mayat-mayat penakut!"
Suro Bodong melangkah pelan, memperhatikan mayat-mayat itu. Ngeri dan sedih
bergumul dalam hatinya, tapi ditahannya mati-matian. Bukan mati beneran. Setiap rumah
diteliti, setiap tempat diperhatikan. Tak ada jejak pembunuh kecuali kengerian
pada wajah mayat mereka. Iih.. . Suro jadi merasa ngeri sendiri dan semakin
merinding. Ia seperti ada di alam kematian. Neraka!
"Gila...! Tak satu pun ada yang hidup! Keterlaluan sekali, mati saja serempak.
Tak ada yang pingsan atau sekarat satu pun. Bahkan.. ! Hiiih.. !" Suro gemas dan
menendang bangkai kambing yang mati dengan mata membelalak juga.
"Kambing pun ikut menakut-nakuti aku. Brengsek! Bagaimana mungkin orang satu
desa mati semua"! Mana tak ada jejak yang bisa dilacak! Tak ada.. "
"Ziiiiinggg. .! Juuuuub. .!"
Suro Bodong dengan gesit merundukkan kepala ketika sebatang tombak melesat ke
arahnya dan menancap di salah satu dinding papan sebuah rumah.
"Hei, apa-apaan kalian, hah"!" hardik Suro Bodong.
Dua orang prajurit berseragam keprajuritan kesultanan sedang berdiri menghadapi
Suro Bodong. Mereka tanpa mengenakan baju, kecuali celana biru dan sabuk merah
mengikat kain putih yang melilit. Salah satu masih memegang tombak, di samping
ada golok di setiap pinggang mereka. Suro Bodong garuk-garuk kumisnya yang
tebal. Mendekati mereka yang diam dengan sikap berdiri kedua kaki merenggang
sedikit, pertanda siap tempur. Suro tahu, mereka para prajurit kesultanan di
bagian depan, artinya yang bertugas di bagian luar benteng kesultanan. Tetapi,
sikap mereka yang bermusuhan dengan Suro itu sangat membingungkan.
"Kenapa kalian tahu-tahu menyerangku, hah"!" bentak Suro. Bentakan itu tidak
mendapat jawaban kata, melainkan sebuah tikaman tombak dengan cepat dihunjamkan
ke perut Suro Bodong.
"Hiiiiaaatt...!"
Suro Bodong buru-buru berkelit ke samping, sekalipun berhasil tergores ujung
tombak pada bagian pinggangnya. Sebuah luka yang ringan, tapi ini sangat
menjengkelkan Suro Bodong.
"Bangsat kau! Apa mau kalian sebenarnya, hah" Apa kalian tidak kenal siapa
aku"!"
"Yang kami kenal, kau adalah iblis! Serang dia!" teriak yang sudah tidak
memegang tombak.
Dan, yang memegang tombak pun melayang sambil mengarahkan ujung tombak ke dada
Suro Bodong. Dalam keadaan bingung dan ragu-ragu, Suro Bodong menghentakkan tangan kanannya
ke samping depan, menangkis tombak itu. Kemudian kakinya segera melesat ke depan
dalam bentuk tendangan samping.
"Konyol kalian.. ! Hiaaat. .!"
"Plaak. .!"
Tendangan itu mengenai wajah orang yang menyerangnya. Orang tersebut
terpelanting ke kiri dan sempoyongan. Suro diam, tidak mau menyerang lagi, sebab
itu sama saja ia menyerang anak buahnya sendiri.
"Kalian ini gila apa sinting, hah" Kalian kan tahu, aku Suro Bodong! Menantu
kanjeng sultan, dan senopati di Kesultanan Praja ini"! Mengapa kalian
menyerangku"!"
"Jangan banyak bacot, Wong Edan.. ! Terimalah jurus pencabut nyawa ini,
hiaaahhtt...!"
Sebilah golok dihunus, kemudian orang yang tidak membawa tombak itu mengibaskan
goloknya ke samping depan.
"Wees.. !"
Kalau saja Suro Bodong tidak melengkungkan badan ke belakang, pasti lehernya
akan terbabat golok tajam itu. Untung ia segera melengkung ke belakang, lalu
menggerakkan kakinya di depan, menendang lengan pemegang golok. Orang itu sempat
sempoyongan sedikit, tapi Suro Bodong cepat bertindak memberi sebuah pukulan
telak di bawah ketiak orang itu, sehingga orang itu mengaduh kesakitan.
"Hei, dengar, ya.. " Aku. .!"
"Hiaaat...! Mampus kau.. !"
Suro Bodong baru mau bicara, tapi kaki pemegang tombak tiba-tiba melayang dan
menghentak punggung Suro Bodong dengan keras, sehingga Suro Bodong pun terpaksa
berjumpalitan di tanah. Lalu, sebelum ia bangkit, sebuah tombak dilemparkan
dalam jarak dekat
"Juuub.. !"
Nyaris Suro Bodong tertusuk tombak pada bagian lambungnya. Untung saja ia segera
berguling ke kanan, sehingga tombak tersebut menancap dalam di tanah. Orang yang
tadi melemparkan tombak segera mencabut goloknya juga, kemudian hendak menyerang
Suro yang sudah bangkit berlutut
"Hentikan. .!" teriak Suro.
"Hiaaat...!"
"Hentikan seranganmu, tolol!"
Suro Bodong maraup tanah lembut dan menyiramkan ke wajah orangitu.
"Makan tuh tanah..!"
Orang itu kelabakan karena matanya kelilipan banyak butiran tanah. Ia menebasnebaskan goloknya dengan ngawur, tapi Suro Bodong diam saja di tempat lain.
Heran sekali ia melihat kedua prajurit yang pantasnya menjadi anak buahnya kini
sedang menyerang dengan sungguh-sungguh.
"Tunggu.. !" Suro Bodong menggerakkan tangannya ke samping kiri, karena seorang
pemegang golok yang lain hendak menyerangnya. "Tunggu dulu kalau mau
menyerangku! Aku harus tahu lebih dulu, apa kesalahanku" Apakah kalian mengira
aku yang membunuh mayat-mayat orang Desa Klampis ini" Apakah kalian menuduhku
sebagai pembantai rakyat tak berdosa" Bah.. ! Jangan konyol kalau kaian punya
pikiran begitu! Justru aku baru saja datang dan tidak tahu masalah kematian
mereka! Aku yang seharusnya bertanya kepada kalian, ada apa di Kesultanan Praja
sebenarnya" Apa yang terjadi" Mengapa rakyat Klampis dibantai sebegini kejamnya"
Siapa pelakunya" Siapa"!"
"Sebaiknya kau bersiap bergabung dengan mayat-mayat itu. Hiaat...!" Orang itu
nekad menyerang Suro lagi. Suro hanya menghindar dengan menggeram-geram. Mau
dilawan, teman sendiri.
Tidak dilawan, nyawanya terancam. Susah!
"Brengsek.. !"
"Buuuugg. .!"
Sebuah tendangan Suro yang dilancarkan dengan tubuh berputar, tepat mengenai
perut lawan. Ketika itu lawan sedang hendak membacoknya dari belakang. Tetapi, tiba-tiba
sebuah pukulan pun dirasakan oleh Suro Bodong pada bagian pipi.
"Uuuuh. .!" Suro memekik kaget dan sedikit sakit. Ia sempat bagai terbuang
wajahnya karena pukulan itu. Ia ingin mengusap bekas pukulan tersebut, tetapi
golok orang itu melesat bagai ditusukkan ke arah leher kanan. Suro Bodong segera
berguling ke samping tanpa perduli menggilas salah seorang mayat penduduk yang
ternganga dari tadi itu.
"Rupanya mereka tak boleh diajak main-main. . " gerutu Suro Bodong sambil
memandang mayat yang dalam posisi miring berhadapan muka dengannya.
"Jangan mendelik terus, kucolok matamu!" Suro geram sendiri dengan mayat yang
matanya melotot itu.
Tendangan dari lawan datang dengan cepat. Suro menangkis dalam posisi masih
merebah setengah tengkurap. Tangan kanannya yang dipakai menangkis tendangan itu, namun
tiba-tiba kakinya bergerak menyengkat kaki lawan, sehingga orang itu terjengkang
jatuh. Suro Bodong buru-buru mengangkat mayat yang ada di sampingnya, lalu
dibantingkan menjatuhi orang yang disengkatnya tadi.
"Dekap mayat itu.. ! Huuuh.. !"
Teman musuhnya melayang dalam satu serangan bersalto. Suaranya memanjang,
"Ciaaat.. !"
Dengan ringan, tubuh Suro Bodong melesat ke atas dalam sekali hentakan kaki.
Tubuh Suro berhasil melebihi tubuh lawan yang bersalto. Dan, seketika itu kaki
kanan Suro menjejak ke bawah, tepat mengenai tengkuk kepala lawan yang bersalto
"Uuuuuhgg...!"
Orang itu jadi memekik karena napasnya bagai tersumbat batu. Ia malahan jatuh
tanpa posisi yang benar. Wajahnya membentur batu dan tanah. Suro pun mendarat
dan segera menghentakkan kaki kanannya dengan kuat ke punggung orang itu.
"Modar kowe...!"
"Aaaahk...!"
orang itu menjerit kesakitan, karena tlang punggungnnya patah seketika. Ia
menggeliat dan meraung-raung sambil berusaha memegangi pinggang belakangnya.
Salah seorang yang tadi dijatuhi mayat, segera melesat sambil mengacungkan
goloknya. Suro Bodong siap menghadang orang itu. dengan memiringkan badannya ke
kanan, golok yang ditebaskan berhadil lolos ke samping Suro. Tapi secepat itu,
kaki kanan Suro menendang ke depan sambil ia melonjak dan jatuh dalam posisi
balik, membelakangi lawannya. Lawannya itu meraung-raung juga, karena ternyata
tendangan putar Suro Bodong telah berhasil membuat retak tulang rusuk lawan. Itu
yang membuat lawan menjerit dan meringis-ringis, sekalipun ia masih berusaha
menyerang Suro Bodong dengan lemparan goloknya.
Suro Bodong melompat ke samping ketika dilempat pakai golok. Kalau ia tidak
melompat ke samping, maka jidatnya yang sedikit lebar itu akan terbelah menjadi
dua bagian. Dan, hal itu kurang disukai Suro Bodong. Ia lebih baik melompat ke
samping, lalu kaki kanannya menendang lagi punggung orang tersebut.
Orang itu terpental menjatuhi tubuh temannya yang sudah patah tulang
punggungnya. Yang dijatuhi semakin berteriak keras, sama juga dengan yang
menjatuhi. Raung kesakitan mereka berlarut-larut, dan Suro Bodong tidak mau
menyudahinya dengan kematian.
Suro mendekati mereka, setelah senjata salah seorang ditendang gagangnya dan
melesat di tempat jauh. Kegeraeman dan kemarahan Suro Bodong ditahannya kuatkuat. Suro penasaran, ingin mengetahui apa sebab mereka menyerangnya.
"Coba katakana dengan jujur, apa yang membuat kalian memusuhiku, hah"! "
Kedua orang itu saling mengerang kesakitan dan meringis-ringis. Suro menjambak
rambut salah seorang dari mereka, yaitu yang tulang rusuknya retak. Ia melotot
dalam jarak dekat sambil berteriak:
"Kenapa kalian menyerangku, bah"! Siapa yang suruh"!"
"Cuiih. .!"
Busyet! Suro diludahi dengan berani!
"Plaaak. .!"
Keras sekali Suro Bodong menampar wajah orang yang meludahinya itu. Kemarahannya
memuncak. Orang itu pun dihantam kuat-kuat hingga tiga giginya loncat dari
mulut. Berdarah! Syukur!
"Ditanya baik-baik malah meludahi. ."!" gerutu Suro, "Kau pikir mukaku ini
jamban"!" Suro mengusap wajahnya dengan baju merahnya. la tak perduli orang yang
rompal giginya itu meraung rauug dengan histeris. Ia jengkel sekali. Kalau tidak
ingat, mereka masih prajurit kesultanan, yang berarti juga masih sebagai anak
buahnya, sudah tentu sudah dibunuh Suro dari tadi.
"Kau telah menjadi penghianat, ya"!" bentak Suro lagi. "Kau sudah tidak setia
dengan sultanmu"!"
Kedua orang itu masih mengerang kesakitan, terutama yang hancur mulutnya karena
dipukul keras-keras oleh Suro.
"Bangkai Busuk.. ! Tak ada yang mau mengaku!" geram Suro Bodong. Kemudian, ia
segera menendang orang yang patah tulang punggungnya. Orang itu mengaduh dan


Suro Bodong 17 Menembus Kabut Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendongakkan wajah sambil memejamkan mata kuat-kuat.
"Jawab pertanyaanku, atau kalian kubunuh sekarang juga...!"
Suro Bodong menghela nafas, menahan diri. Lalu, dengan suara tidak terlalu
keras, ia bertanya lagi:
"Siapa yang menyuruhmu menyerangku, hah" Jawab"!"
"Aaaak. . aaak.. uuukhh.. !"
"Juub.. !"
Tiba-tiba sebilah pisau melesat dan menancap di punggung orang itu. Mulut yang
menganga ingin mengatakan kata itu jadi tersekat, serak. Nafasnya yang
tersendat-sendat dan orang itu pun mati tanpa sempat menjawab pertanyaan Suro.
"Bangsaaat.. !" teriak Suro marah sekali. Ia melirik ke kanan kiri dengan liar,
mencari siapa pelempar pisau tadi. Dari mana arahnya, tak jelas. Di mana
posisinya, juga sulit ditentukan. Yang jelas dari arah belakang korban, sebab
pisau itu melesat dan menancap di belakang korban.
"Keluar kau, Bajingaaan.. !" teriak Suro Bodong dibuat senewen oleh keadaan itu.
Matanya semakin bergerak liar dan buas. Ia berjalan cepat mendekati sebuah sisi
rumah, tapi hanya ada mayat dua orang penduduk di sana.
"Aaaaakkkh.. !"
Terdengar pekikkan maut dari orang yang hancur mulutnya akibat pukulan Suro
Bodong tadi. Segera Suro menghampiri orang tersebut, dan ternyata jantungnya sudah dihunjam
pisau seukuran sejengkal. Pisau yang sama dipakai untuk membunuh orang yang mati
baru saja tadi.
"Hiiiiaaaahhh. .!"
Suro berteriak dan mengamuk. Ia menghentakkan kedua lelapak tangannya ke segala
penjuru dengan kedua kaki renggang dan merendah. Sebuah cahaya bagai percikan
api keluar dan kedua lelapak tangan itu.
"Blaaar.. ! Blaaar. .! Blaaar. .!"
Pukulan tenaga dalamnya dilampiaskan ke pohon-pohon yang ada di sekitar situ.
Pohon-pohon itu tak satu pun yang tahan berdiri Semua tumbang dan merubuhi
beberapa rumah, serta beberapa mayat penduduk. Angin kencang datang ketika itu,
dan bunyi ledakan yang menggelegar membuat beberapa genting rumah melorot
sendiri, tanpa ada yang melorotkan.
"Keluar kau kalau memang jantan.. ! Keluaaar..!"
Terus terang, Suro jadi seperti orang gila. Atau memang sudah gila dari dulu,
entahlah! Yang jelas, ia mengamuk tak karuan, lari sana lari sini, mencari orang
yang melemparkan pisau secara sembunyi-sembunyi.
Nafas Suro Bodong terengah-engah. Ia sangat kecewa, karena tak dapat mengorek
keterangan dari kedua lawannya itu. Ia sangat marah, karena ada musuh yang
bersembunyi dan berusaha menutup rahasia dengan membunuh temannya sendiri.
Sekarang di mana orang itu" Ini yang membuat Suro Bodong benar-benar jengkel.
"Kraak. .!"
O, ada suara kayu papan yang patah. Arahnya di samping rumah berdinding bambu.
Suro Bodong segera melesat lari ke sana. Tapi, tiba-tiba berhenti. Pasti lawan yang
bersembunyi akan menghindar ke arah lain. Sebab itu Suro Bodong segera mengambil
arah lain. Arah yang berlawanan, memutari sebuah rumah untuk mencapat rumah
bambu. "Berhenti. .!" teriak Suro Bodong. Ia menemukan orang berpakaian celana merah
dan baju rompi kuning. Ia tahu siapa orang itu. Karena orang yang dipanggil
tidak mau berhenti, melainkan malah berlari cepat, maka Suro Bodong pun
menggunakan ilmu peringan tubuh; berlari dengan lompatan-lompatan ringan, dan
tahu-tahu sudah menghadang orang yang diburunya.
"Wasdi.. !" sapa Suro dengan nafas terengah-engah.
Orang yang dipanggil Wasdi itu menjadi tegang, ia mundur-mundur, mencari
kesempatan untuk menghindari Suro.
"Kalau kau lari, kubunuh kau dengan pedangku!" Sekalipun Suro tidak terlihat
membawa pedang, namun Wasdi tahu, bahwa Suro punya pedang yang tersimpan di
dalam daging lengan kirinya.
Pedang Urat Petir. Oh, sangat berbahaya!
"Apa maksudmu membunuh dua teman kita itu, hah"!'
Wasdi kebingungan. Menggeragap. Ia sangat takut berhadapan dengan Suro Bodong.
Padahal, biasanya memang Wasdi senang bercanda dengan Suro. Sebab, Wasdi adalah
orang yang paling sering diajak Suro untuk berjalan keliling wilayah, mengadakan
patroli keamanan. Wasdi ini seorang pengawal yang ditugaskan menjadi pimpinan
prajurit pintu gerbang. Apabila Sultan Jurujagad ingin keluar dari benteng
kesultanan, Wasdilah yang menyiapkan pasukan berjajar di sepanjang pintu
gerbang. Tapi, mengapa sekarang sikapnya menjadi begitu aneh; memusuhi Suro"
"Wasdi, katakan yang sebenarnya, siapa yang menyuruh mereka berdua, termasuk
kamu, untuk menyerang aku?"
Wasdi masih tergagap-gagap dengan bingung. Ia sangat tegang, sedang Suro sudah
bersikap lunak, supaya tidak menakutkan Wasdi.
"Ayolah, katakan saja...! Kau tidak akan celaka, sebab aku akan melindungimu.. !
Katakan, mengapa kalian menyerangku, dan siapa yang membunuh penduduk Desa
Klampis ini?"
Tiba-tiba Wasdi mencabut pisau panjang, mirip sebuah pedang yang biasa dijadikan
senjata andalannya. Ia memegang pisau itu dengan kedua tangan, dan ujung
ditempelkan ke bulu dada. Ia menggeram, dan Suro tahu, Wasdi mau bunuh diri.
Kini, Suro yang menjadi tegang.
"Wasdi.. ! Jangan bodoh kamu! Jangan mau mati di tangan sendiri! Tidak indah,
tahu"!"
"Aaaahkk. .!"
"Wasdiii.! Bangsat kauuu.. !"
2 Gila. Edan. Sinting. .!
Wasdi nekad bunuh diri, daripada menyebutkan apa-apa. Wasdi lebih baik mati,
daripada memberi sedikit keterangan kepada Suro Bodong.
Aneh. Sungguh aneh dan menjengkelkan sekali, sehingga ketika Suro tahu Wasdi
mati, ia menginjak-injak mayat Wasdi dengan kegeraman yang membuat matanya
mendelik-delik.
Rahasia apa sebenarnya yang ditutupi oleh Wasdi, sampai-sampai ia tega membunuh
dirinya sendiri" Siapa yang menjadi tuannya" Mengapa Wasdi begitu setia, dan
juga kedua pengawal yang dikenal Suro itu" Tak mungkin mereka lupa siapa Suro
Bodong. Bagaimana dengan penghianatan"
Nah, ini agak masuk akal. Barangkalai Wasdi dan kawan-kawannya berkhianat kepada
Kesultanan Praja, sehingga ketika mereka berhadapan dengan Suro Bodong, maka
mereka merasa berhadapan dengan musuh. Lalu, penghianatan model apa yang
dilakukan Wasdi dan kawan-kawan itu" Apa ada hubungannya dengan mayat-mayat
penduduk Desa Klampis"
Sambil melangkah dengan penuh kekesa-an dan kebingungan, Suro Bodong sebentarsebentar menengok ke belakang, kalau kalau ada yang menguntitnya. Ia semakin
mempercepat langkah, karena hasratnya ingin bertemu dengan sultan dan istrinya
sendiri yang menjadi anak sultan itu semakin kuat.
Rindunya kepada sang istri, membuat Suro Bodong sempat menepiskan kegelisahannya
tentang Wasdi dan kawan-kawan. Kini, yang ada dalam hatinya adalah ingin segera
bertemu dengan Nyi Mas Sendang Wangi, istri Suro itu.
Tertegun Suro ketika dalam jarak beberapa meter dari pintu gerbang kesultanan,
ia dihadang oleh lima prajurit kesultanan. Kelima prajurit itu sangat
dikenalnya. Nama-nama mereka juga tercatat dalam benak Suro Bodong. Hanya saja,
kali ini mereka menghadang Suro, berjajar dan menampakkan sikap bemusuhan dengan
Suro Bodong. Tak ada senyum keramahan sedikit pun di wajah-wajah mereka.
Aneh. "Mau ke mana kau"!" hardik salah seorang prajurit itu, seakan tidak mengenal
Suro Bodong. Suro tidak langsung menjawab. Ia garuk-garuk kumisnya sambil memandang penuh
keheranan kepada mereka.
"Jawab.. ! Mau ke mana"!" bentak prajurit yang bernama Wangun. Kelihatannya
mereka tidak main-main. Wah, gawat. Kenapa jadi begini"
"Kalian bertanya kepada siapa, hah"!" Suro berlagak angkuh, merasa dirinya
benar, "Kalian tidak tahu siapa aku" Tidak tahu?"
"Jawab pertanyaanku, mau ke mana kau, Setan!" bentak Wangun, dan membuat Suro
Bodong makin membelalakkan mata.
"Busyet.. ! Berani juga mereka menyebut Suro: Setan! Padahal biasanya mereka
sangat menghormat, membungkuk-bungkuk dan menuruti perintah Suro Bodong. Ah,
kenapa sekarang mereka begitu berani"
Suro garuk-garuk kumis sebentar; ia masih menampilkan sikap kalemnya. Dalam hati
ia berkata, "Pasti ada yang tak beres. .! Mereka tidak bersalah!"
"Hei, monyet.. ! Kenapa diam saja"! Jawab pertanyaan kami; mau ke mana kau dan
apa perlumu datang ke mari, ha"!"
Wah, wah, wah. . . ini sudah keterlaluan.
Masa' Suro dipanggil; Monyet"! Kurang pantas kan" Beruk, itu mungkin agak
pantas, tapi juga tetap menyakitkan hati Suro.
"Teman-teman. . aku ingin bertemu dengan istriku. !" Suro masih bersuara kalem.
Ia melipat tangannya di dada, tapi tangan kirinya garuk garuk kumis.
"Siapa istrimu"!"
Kok pertanyaannya begitu" Suro Bodong berkerut dahi. Masih dengan usaha
memperpanjang masa sabarnya, Suro menjawab dengan suara wajar-wajar saja:
"Istriku, Nyi Mas Sendang Wangi, anak Kanjeng Sultan!"
"Siapa namamu"!"
Sebenarnya Suro malas menjawab, tapi ia ingin mencoba untuk mengetahui akhir
dari keanehan itu.
"Namaku; Suro Bodong. Senopati Kesultanan Praja dan menantu Kanjeng Sultan
Jurujagad!"
"Kami tidak mempunyai senopati! Kami tidak pernah mendengar namamu. Kanjeng
Sultan tidak punya menantu Suro Bodong, dan Nyi Mas Sendang Wangi juga tidak
mempunyai suami seperti tokek lapar begini.. !"
Mendidih darah Suro Bodong mendengar penuturan prajurit yang dikenalnya bernama
Pandung. "Hei, Ndung. .! Kalau bicara jangan asal cuap di depanku, ya" Becanda bolelboleh saja, tapi jangan keiiwat batas begitu?"
"Aku tidak sedang bercanda, Kunyuk!" jawab Pandung.
Prajurit yang bernama Kasmo segera mencabut goloknya dari sarung yang terselip
di pinggang, lalu berkata:
"Pergi! Tinggalkan wilayah kami, atau mati kurajang seperti daun tembakau!"
Wah, galak sekali manusia ini" Pikir Suro yang menganggap mereka belum apaapanya jika dibandingkan dengan ilmu dan kesaktian Suro. Aneh sekali kalau
mereka berani menantang dan menghina Suro syperti itu. Apa alasannya dan apa
sebabnya" Haruskah Suro Bodong melayani penghinaan itu"
"Sreeet.. ! Sreet. .!"
Masing-masing mulai mencabut senjatanya. Dua orang masih setia memegangi tombak.
Kali ini tombak diacungkan ke arah Suro Bodong, dan mereka bergerak mengepung
Suro dengan sorot mata bernafsu untuk membunuh. Gila!
"Bunuh dia...!" Wangun memberi komando kepada teman-temannya, kemudian dua
pemegang tombak menyerang Suro dari arah kanan dan kiri.
"Hiiiiaatt...!" Suro Bodong melompat ke depan menghindari hunjaman tombak.
Ketika ia baru saja melompat, tahu-tahu Pandung menyambutnya dengan kibasan
golok ke samping kanan. Suro Bodong terpaksa berkelit ke kiri. "Breet.. !"
Untung hanya bajunya yang robek disambar tebasan golok Pandung. Dan, hal itu
membuat Suro makin kebingungan, sebab ternyata mereka menyerangnya dengan
sungguh-sungguh.
Kalau saja Suro mau, sekali gebrak mereka berlima akan mati. Bukan hanya kalah.
Mati! Jurus Bidadari Pagi bisa saja membuat tubuh mereka retak-retak, lalu
hancur. Juga, Siulan Celengnya bisa saja membuat telinga mereka berdarah, dan
isi kepalanya hancur. Mereka akan mati. Belum lagi kalau Suro mau menggunakan
jurus Tapak Geninya, uuh. . bisa jadi mereka hangus seperti arang raksasa.
"Matilah kau, hiiiaaat.. !"
"Wes! Wees. .!" Dua kali Wangun mengibaskan pedang berbentuk golok ke arah dada
Suro Bodong. Tetapi, dengan gesit Suro Bodong menghindarinya. Tubuhnya
melengkung ke belakang, kemudian miring ke kiri, sehingga tebasan golok itu
meleset dari dadanya. Hanya saja, tanpa diduga-duga, sebuah tendangan menghentak
kuat pinggang belakang Suro.
"Aaaakh.. !" Suro Bodong memekik dengan tubuh limbung. Sebuah tombak menghunjam
ke perutnya, kaki Suro segera bergerak menendang ke atas, dan tepal sebelum
tombak itu menyentuh perutnya sudah tertendang ke atas. Tombak naik, pemiliknya
maju ke depan, tangan Suro menghantam dua kali beruntun.
"Huuugggh.. !"
Orang itu meringis kesakitan, tak bisa bernafas setelah dadanya dihantam dua
kali oleh Suro Bodong. Golok Pandung pun bergerak cepat bagai hendak membelah
pundak Suro. Namun, sebelum golok itu berkelebat lagi karena lolos tidak
mengenai sasaran, kaki Suro Bodong masuk ke leher Pandung dengan tendangan
samping. Kaki itu buru-buru ditarik kembali, karena Pandung membeliakkan matanya
sambil mengibaskan goloknya ke depan dada. Kalau terlambat menarik kembali, maka
kaki Suro jelas akan terpotong oleh ketajaman golok tersebut.
"Manusia manusia bodoh...!" teriak Suro. "Berhentilah menyerangku! Berhenti!
Kalian bisa mati, tahu...!"
Tak satu pun ada yang menghiraukan teriakan itu. Naluri mereka seakan sudah
berubah menjadi naluri membunuh. Tombak dilemparkan kuat-kuat dari belakang
Suro, ketika Suro menghadapi Wangun. Ia terkena tendangan samping Wangun
sehingga tubuh Suro melayang ke samping. Tapi, itu sangat menguntungkan Suro,
karena dengan bergeraknya tubuh ke samping, maka tombak yang diarahkan kepadanya
jadi lolos, tidak menancap di punggung Suro, melainkan menancap di lambung
Wangun."Aaaaahk.. !"
Wangun mendelik, tombak itu terbenam dalam dan ia rubuh sambil berusaha mencabut
tombak itu. Sayang, terlambat. Sebelum ia berhasil mencabut tombak, nyawanya
telah lebih dulu melayang entah ke mana."Edaaaaan.. ! Kaliantelah membunuh
temansendiri! Lihat itu Wangun. .!Lihaaaat.. !"teriakSuro Bodong yang
kebingungan, sebab ia masih saja diserang oleh keempat prajurit tersebut. Ia
masih saja harus menghindar ke sana sini, tapi tidak berani memberikan serangan
yang berbahaya.
"Keterlaluan. .! Setan mana yang merasuki raga kalian!?" Suro mencaci maki
sambil menangkis dan menghindar dari serangan teman sendiri. Kakinya menendang
ke kanan dan kiri dalam sekali lompat, dan mengenai kedua wajah lawannya yang
ada di sampingnya. Pada saat itu, Pandung juga melayang dengan gerakkan membacok
kepala Suro. Masih di udara. Suro mencoba menangkis jurus bacok Pandung dengan
tangan kiri. Dan, ketika ia membungkuk dalam tangkisannya, tangan kanannya
menyodok ke atas, tepat mengenai dagu Pandung.
"Aaaaooooh...!" Pandung memekik, lalu jatuh seenaknya, tanpa posisi yang benar.
Ketika kaki menyentuh tanah, Suro Bodong buru-buru menghentakkan kaki ke depan,
tepat masuk ke dada Pandung. Yang ditendang pun menjadi batuk-batuk dengan mata
mendelik. Seorang pembawa tombak menghunjamkan senjatanya ke pinggang Suro Bodong setelah
tombak itu lebih dulu diputar-putarkan di depan wajahnya. Dengan gesit, Suro
Bodong melengkungkan punggungnya, kemudian dengan gerakan cepat dan kuat ketiak
Suro Bodong menghimpit tombak tersebut.
"Haaap...!"
Tombak dijepit dengan ketiak kiri, sementara tangan kanan segera menghantam
wajah lawannya dengan keras. Lawan yang sibuk mencabut tombak jadi kewalahan dan
mengaduh-aduh. Kemudian Suro Bodong memutar tubuh dalam keadaan masih menghimpit
tombak, dan kakinya menjejak ke belakang, tepat mengenai dada lawannya, sehingga
lawan jatuh terpental. Tombaknya lepas, dan kini menjadi milik Suro Bodong.
"Trang. .!" Tombak mengibas pada saat sebuah golok menebas ke arah leher Suro
Bodong. "Hentikan pertarungan ini! Hentikan.. !" teriak Suro.
Masih saja mereka tidak mau menghentikan pertarungan tersebut. Suro menggeram
jengkel. Ia membuang tombak, lalu sebuah rencana dijalankan. Tangannya mengibas
ke sana sini dengan cepat. Dua jarinya menghentak, menyodok bagian bawah ketiak
lawan. "Huuup...!"
Totokan jalan darah itu tepat pada sasaran dan membuat orang tersebut diam
bagaikan patung.
Sambil menghindari tebasan golok yang lain, Suro Bodong bergerak dengan cepat
menotok beberapa orang lagi, sehingga akhirnya semua yang bertarung
mengeroyoknya jadi diam terpaku bagaikan patung bernyawa. Mereka hanya bisa
terengah-engah dengan mata kedip-kedip, namun tak berhasil bergerak sedikit pun.
Bahkan untuk menggerakkan bibirnya pun mereka tak sanggup.
"Manusia-manusia dungu! Bodoh! Masa' dengan seorang senopati kalian senekad
itu"! Hemm.. !


Suro Bodong 17 Menembus Kabut Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rasakan kalau sudah begini. Hanya petir yang akan mampu menggerakkan tubuh
kalian, itu pun kalau tidak terlanjur hangus tersambar petir.. !"
Suro Bodong menghempaskan nafas. Menyibakkan rambutnya yang sempat meriap ke
wajah, kemudian ia meninggalkan mereka yang diam, kaku, bagaikan patung lilin. Langkah
Suro tegap, penuh kedongkolan. Masuk ke gerbang kesultanan dan berhenti mendadak
lagi, karena di balik pintu gerbang kesultanan telah berdiri delapan prajurit
berjajar, memagari langkah, menghadang Suro Bodong dengan senjata masing-masing
di tangan. Wajah mereka tak ada yang ramah sedikit pun. Semuanya dingin.
Tegang. Tapi menampakkan sikap permusuhannya yang sengit. Tak biasanya Suro
menghadapi kenyataan seperti ini di dalam kesultanannya sendiri.
"Apa-apaan ini sebenarnya, hah"! Apa-apaan. .!" teriak Suro Bodong dengan sangat
kesal. Mereka tidak menjawab, kecuali justru menyiagakan diri; bersiap menghadapi
serangan dari Suro.
"Aku senopati di kesultanan ini! Mengapa kalian menyambutku dengan sikap
bermusuhan"!
Salah apakah aku, hah" Salah apaaaaa...!" Suara Suro sempat membuat salah
seorang prajurit rubuh karena lututnya amat gemetar. Lalu, ia diangkat dengan
tangan kiri oleh temannya, dan ditusuk perutnya dengan pedang.
"Mati saja kau daripada takut! Hiiih.. !"
"Aaaaakh.. !" Orang itu pun meregang dan mati. Suro Bodong terbengong melibat
kenyataan itu. "Edan.. !" geram Suro Bodong. Matanya memandang sekeliling dengan jalang.
"Aku ingin bertemu dengan istriku, Nyi Mas Sendang Wangi.. !" gertak Suro
Bodong. "Keluar.. !" Orang yang dikenal Suro bernama Jalu itu membentak Suro juga.
"Apa" Istriku sedang keluar"!"
"Kau! Keluar kau, jangan membuat kegaduhan di sini!"
"Hei, aku tidak membuat kegaduhan!" Suro Bodong berjalan mendekat, dan barisan
itu mundur dua langkah.
"Aku datang ke mari, karena di sinilah aku tinggal!"
"Kami tidak mengenal siapa kamu!" kata salah satu dari mereka. Wajahnya begitu
kaku, menyimpan benci.
"Aku Suro Bodong!" teriak Suro dengan jengkelnya.
"Kami tidak mengenal Suro Bodong! Pergi, atau kucincang kau di sini!"
"Bangsat!" geram sekali Suro kepada mereka. Ada beberapa orang prajurit, maupun
mereka yang bekerja sebagai abdi dalem kesultanan. Tetapi, mereka hanya
menyaksikan dari jarak jauh, seakan mereka juga tidak mengenai Suro Bodong. Ini
benar-benar aneh! Aneh sekali!
"Mungkin aku harus bertindak keras saat ini!" katanya sambil melangkah maju, dan
mereka segera membuat satu lingkaran, mengepung Suro Bodong. Sementara itu,
beberapa prajurit juga ikut mencabut senjatanya dari tempat-tempat tertentu,
siap menghadapi amukan Suro Bodong.
"Baik. Kutunjukkan bahwa aku memang Suro Bodong, senopati perang di kesultanan
ini.. !" Suro siap siaga pasang kuda-kuda, dan hendak mengeluarkan beberapa jurus
mautnya. Tetapi, tiba-tiba dari arah bangsal paseban, ruang pertemuan, terdengar
suara berseru di serambi itu:
"Tangkap dia dan laksanakan hukum gantung di depan umum!"
Suro kaget mendengar suara itu. Bukan hukum gantungnya yang membuat kaget, tapi
siapa yang bicara itu yang membuatnya gemetar. Ia memandang dengan menyipitkan
mata Oh, benar.. ! Yang bicara itu adalah mertuanya sendiri. Sultan Jurujagad.
Gemetar Suro melihat Sultan Jurujagad yang dulunya sangat sayang kepadanya, kini
berubah sikap menjadi benci. Bahkan tega memerintahkan untuk menangkap dan
menggantung menantunya sendiri. Patih Danupaksi juga ada di samping Sultan
Jurujagad. Tak ada kesan ramah di wajahnya.
Demikian juga, Demang Sabrangdalu, berdiri tegar bagai mendampingi sultan di
sebelah kirinya. Juga beberapa prajurit yang pernah bekerjasama dengan Suro
dalam peristiwa Geger Pusaka Matsuri: Ginan Sukma, Arya Somar, Dodot Pamasar dan
yang lain-lainnya. Semua berdiri di depan sultan, pada baris tangga bawah,
seakan siap menjadi pagar bahaya bagi sultan.
Suro Bodong menyipitkan mata dengan hati perih. Mereka tak ada yang berwajah
ramah. Semua bagai memendam benci, memancarkan naluri membunuh. Ini jelas suatu
pukulan telak bagi Suro Bodong. Jiwa Suro yang remuk oleh sikap mereka. Seumurumur dia belum pernah melakukan endapan kesedihan seperti ini. Seumur-umur belum
pernah Suro merasa dicekam kepedihan dan kelemahan mental seperti saat ini.
"Apa tak ada yang mengenal diriku"!" suara Suro lemah.
Tak ada suara yang menjawab. Hening. Suasana semakin tegang bagi Suro Bodong
sendiri. Haruskah ia melawan orang-orang yang pernah dicintai dan pernah mencintainya"
"Tangkap dia...!" perintah Ki Patih Danupaksi.
"Sreeek.. !"
Semua tombak disiagakan, terarah ke Suro Bodong. Mereka melangkah setapak demi
setapak. "Aku terpaksa.. !" kata Suro pelan, kemudian ia meraba tangan kanannya. Semua
orang tahu, itu pertanda pedang Urat Petir akan dicabut.
Semua prajurit mundur dalam ketegangan. Suro berhenti dalam menggerakkan tangan
kanannya. Ia tak jadi mencabut pedang pusakanya, karena dari arah samping
bangsal paseban muncul seorang perempuan yang cantik, berhidung bangir dan
berbibir kuncup mawar. Suaranya terdengar lantang:"Kenapa mundur"! Tangkapsaja
dia!" Nyi Mas Sendang Wangi. Oh, dia juga membenci Suro Bodong. Ia sepertinya tidak
mengenal siapa Suro. Ia tidak lagi merasa sebagai istri tercinta dari sang
senopati. Oh, Gusti!
Suro Bodong menjadi lemas. Terbengong dalam kebingungan. Semua orang juga
bengong. Ada kebimbangan, antara menangkap atau membiarkan masalah itu ditangani
orang-orang atas; sebangsa Arya Somar, Ginan Sukma, Patih Danupaksi atau yang
lainnya. "Kanjeng. .!" Suro Bodong melangkah mendekati sultan, dan ternyata para prajurit
tak ada yang berani menangkapnya. Hanya saja, Arya Somar, Ginan Sukma dan yang
lainnya bergegas maju selangkah, seakan membatasi ruang gerak.
"Kanjeng, kenapa semua orang kesultanan ini memusuhi saya" Bahkan istri saya:
Sendang Wangi, juga memusuhi saya" Sebenarnya apa kesalahan saya, Kanjeng
Sultan?" "Jangan bicara sembarangan. Orang Asing!" kata Sultan. "Sejak kapan aku
menikahkan kamu dengan putriku Sendang Wangi?"
"Sejak kapan"!" Suro Bodong berkerut dahi. "Mengapa sampai ada pertanyaan
seperti itu"
Bukankah sultan sendiri yang mengawinkan saya dengan Sendang Wangi"!"
"Arya Somar. .! Tangkap dia.. !" Arya Somar dan Ginan Sukma bergegas menghampiri
Suro. Gemetar sekali hati Suro. Lemas. Ketika pedang Aryo Somar diacungkan di leher
Suro Bodong, Suro hanya diam. Memandang istrinya dengan mata redup.
"Aku Suro Bodong, Arya Somar.. ! Apa kau lupa"!" Suro bicara dengan lemas. Ginan
Sukma yang menyahut:
"Siapa Suro Bodong itu" Apa keistimewaanmu" Apa kau pikir kami ini leluhurmu"!"
"Aku. . . pernah diangkat sebagai senopati di kesultanan ini, cobalah kau ingatingat itu!"
"Tunjukkan kesaktianmu sebagai seorang senopati!" kata Arya Somar, lalu ia
mengambil jarak untuk mengajak bertarung dengan Suro. Tetapi, Suro Bodong
menggelengkan kepala dengan lemas.
"Tidaaak. .!"
Ginan Sukma rnemukul wajah Suro Bodong dengan keras, dan Suro Bodong kelabakan
sambil menahan sakit. Ia tak mau membalas pukulan itu. Ia masih mencuri pandang
ke arah Sendang Wangi.
Sedih. Pahit sekali liurnya. Perih hatinya.
"Senopati apa"! Senopati tahi kucing.. "!" gerutu Arya Somar yang kemudian
memanfaatkan kakinya untuk menendang perut Suro Bodong.
"Huuuug.. !" Suro Bodong menunduk dan membungkuk menahan rasa sakit.
"Hiiiiiat.. !" Dodot Pamasar melayang dalam satu lompatan dan wajah Suro Bodong
pun terdongak ke atas karena telak menerima tendangan dari Dodot Pamasar. Hidung
Suro berdarah, dan bibirnya pun pecah. Suro terpelanting jatuh, namun dengan
susah payah ia bangkit kembali.
"Ini sama saja penghinaan, Dodot...!" Suro bicara dengan pelan sekali.
"Hiiiaaat...!"
"Plaakkk. .!" Pukulan Dodot membuat mata Suro menjadi memar, membengkak biru.
Suro Bodong mengerang kesakitan. Tapi, kaki Arya Somar menendang pinggangnya
dengan keras, sampai-sampai Suro terguling-guling di tanah.
"Siapkan tiang gantungan!" seru Ki Patih Danupaksi.
"Seret ke penjara, dan selekasnya laksanakan hukum gantung terhadap orang asing
itu!" tambah Demang Sabrangdaiu.
"Demang Sabrangdalu. .!" seru Suro. "Aku bukan orang asing di sini! Bukan! Aku..
." "Diam. .!"
"Ploook...!" Telapak tangan Ginan Sukma menghentak keras di wajah Suro Bodong.
Sepertinya ia tidak pernah kenal sama sekali dengan Suro Bodong. Seketika itu
Suro Bodong mengerang kesakitan, dan mulutnya mengeluarkan darah.
Sambil terbungkuk-bungkuk, Suro diseret oleh Arya Somar dan Ginan Sukma.
"Lepaskan aku. .! Lepaskan.. !"
Sekalipun sepuluh kali Suro meronta, namun tak ada gerakkan yang bersifat
menyerang. Salah seorang prajurit ada yang memukulnya dengan gagang tombak dari
belakang. Suro kesakitan dan mengaduh-aduh tanpa ada yang berbelas kasihan
sedikit pun. Suro bagai tak punya daya. Nalurinya punya pertentangan, antara
melawan atau menurut mati di tiang gantungan. Namun, satu hal yang meletup di
dalam hatinya adalah kabur! Lari, menghindari permusuhan dengan orang-orang yang
ia cintai. Oh, apa sebenarnya yang terjadi pada diri manusia-manusia kesultanan
ini" Kenapa"
3 Sekali ini ia terpaksa bertindak. Sedikit perlawanan dilakukan Suro Bodong. Ia
berhasil lolos dari kepungan prajurit kesultanan. Kemudian, dengan ilmu tenaga
peringan tubuh ia melompati tembok benteng kesultanan yang tak begitu tinggi
itu. Seorang penjaga di sudut benteng mengejarnya dengan satu lemparan tombak.
Suro merundukkan badan, tombak lolos, Suro melompat ke bawah. Keluar dari dalam
benteng kesultanan.
"Kejar dia! Tangkap.. !"
Suara itu dikenal Suro Bodong. Pasti suara Patih Danupaksi yang selama ini
bersikap baik kepadanya. Kenapa Patih Danupaksi begitu berambisi untuk menangkap
Suro, itu tak sempat dicari jawabannya. Bagi Suro, yang penting lari! Lari
menjauh, menghindari bentrokan dengan mereka. Ilmu peringan tubuh banyak
membantunya dalam berlari dengan cepat, bagai kilasan angin tak tentu arah.
Beruntung sekali Suro berhasil lolos dari kejaran mereka. Sekalipun ia masih
diliputi kedongkolan, keresahan dan kesedihan, tetapi ia sudah berani berhenti
dan beristirahat dari pelariannya.
Ia yakin, para pengejar itu tidak lagi mengikutinya. Tertinggal amat jauh, dan
bahkan bisa jadi mereka telah kehilangan jejak Suro Bodong. Tak ada yang tahu,
bahwa Suro Bodong sekarang sudah berhasil berada di lereng bukit, di bawah
sebongkah batu berongga mirip goa. Batu itu hanya cukup untuk menaungi dua tiga
orang, dan memang bukan sebuah goa. Hanya sebuah rongga batu besar. Masuknya pun
harus merunduk. Tapi di situ terasa aman. Tenang. Suro dapat merenung beberapa
saat. Ternyata tak satu pun jawaban pasti yang ditemukan Suro Bodong. Yang ada hanya
kepastian: bahwa ia telah terusir dari Kesultanan Praja. Sebab apa" Entah! Ia
sendiri sampai tertidur nyenyak sekali di dalam rongga batu itu. Karena capek
dan pusingnya otak memikirkan nasib dirinya, Suro sampai tak sadar kalau ia
telah tertidur semalaman di dalam rongga batu.
Perutnya lapar. Itu yang dirasa. Ia harus mencari sesuatu yang bisa dimakan.
Jagung" O, tak mungkin ada jagung di lereng seperti itu. Agak tandus, banyak
bebatuan. Tapi, ada juga beberapa pohon sebagai pengayom keteduhan. Suro Bodong
melangkah mencari bahan yang bisa dimakan sambil otaknya masih berputar-putar,
bertanya-tanya dalam hati: mengapa sampai istrinya sendiri bagai sudah tidak
mengenalinya"
Beberapa saat kemudian, Suro Bodong tertarik oleh sebuah suara, seperti
seruling, tapi sedikit serak. Ia menggerakkan kepalanya miring ke kiri, seakan
sengaja membuka pendengarannya untuk menangkap suara tersebut. Semakin jelas.
Arahnya ada di sebelah kanannya. Ia melangkah dan menyimak suara itu.
O, bukan suara seruling, melainkan suara orang merintih. Jauh, tapi angin telah
membawanya ke telinga Suro. Tak jelas, dan tak dapat dibayangkan keadaan orang
itu. Hanya saja, Suro tahu, orang yang merintih itu pasti dalam keadaan perlu
bantuan. Suro Bodong berkerut dahi semakin tajam. Matanya sedikit membelalak melihat
seorang perempuan dalam keadaan kedua kakinya ditindih batu besar sedangkan kedua
tangannya diikat pada sebuah pohon yang berjarak satu langkah. Tangan itu
terentang, dan ternyata tangan itu adalah tangan seorang permpuan cantik.
Tubuhnya bagai telentang begitu saja di tanah. Pakaiannya tercabik-cabik. Kedua
kakinya sama-sama dihimpit batu besar yang tak gampang digeser oleh manusia
biasa. Perempuan itu cantik, tapi karena wajahnya pucat dan bibirnya membiru,
maka kecantikannya itu pun terselubung.
Suro menabahkan diri sambil mendekati perempuan itu. Ia menyapa seenaknya saja:
"Hai.. !" Tangannya melambai sedikit. Senyum Suro pun mekar sejimpil.
"Ooh.. tolong. . tolonglah aku ." rintih perempuan itu.
"Kenapa kamu?" Suro jongkok di samping perempuan itu, memperhatikan dari jarak
paling dekat. "Kok mau begini?"
"Uuh. . aku tak tahan. Tolonglah. "
" Apanya?"
Perempuan itu agaknya semakin dongkol melihat ketololan Suro yang pongah-pongah.
Ia semakin merintih.
"Lekas, tolonglah aku. Singkirkan batu yang menindih kakiku itu. Aduuuh. .
kumohon dengan hormat tolonglah!"
"Batu itu mau diapakan?"
"Disingkirkan, Goblok!" jerit perempuan itu tak sabar.
Suro tersenyum genit. Mencubit dagu perempuan itu.
"Jangan galak-galak. Kalau aku lari, siapa yang mau menolongmu," katanya.
"Sudahlah, jangan menggodaku dulu Aku tak tahan menderita sakit begini.
Tolonglah aku, Pendekar Tampan. .!"
"Alaaaah. . pakai bilang: Pendekar Tampan segala.. .'" Suro bersungut-sungut.
"Minta tolong ya minta tolong saja, tidak perlu pakai tampan-tampanan. Eh, kalau
aku mau menolongmu, upahnya apa?"
"Terserah. .! Terserah kamu mau minta upah apa! Ohh. . lekaslah, jangan banyak
omong.. !"
"Upahnya apa dulu.. "!"
"Uang.. . ! Aku punya uang banyak!"
"Aku tidak butuh uang. Uangku lebih banyak dari uangmu."
"Perhiasan. .! Kuberi kau perhiasanku dan.. ."
"Ah, untuk apa perhiasan" Aku selalu gatal-gatal kalau memakai perhiasan."
"Makanan. .!"
"Aku baru saja makan ubi mentah. Sudah kenyang!"
"Habis apa yang kau minta" Apa yang kau mau" Tolonglah aku. Lekas. Apa yang kau
mau akan kuusahakan. .!"
"Betul" Sumpah?"
"Iya. Apa yang kau mau akan kuusahakan.. !"
Suro Bodong bergegas bangun, kemudian garuk-garuk kumis sebentar seraya
memandangi batu besar seukuran dua kali tubuhnya sendiri. Wah, agaknya cukup
berat. Suro mencoba mendorongnya.
Perempuan itu makin merintih kesakitan jika batu bergerak-gerak.
Nafas Suro Bodong terengah-engah setelah dua kali gagal mendorong batu tersebut.
"Uuuuuhhh. .!" Suro ngeden dengan kedua tangan mencoba mendorong batu tersebut.
Tapi, batu itu masih juga belum bisa disingkirkan dari atas kaki perempuan yang
mengaduh-aduh sejak tadi. Sekali lagi, Suro mencoba mendorong batu.
"Holopis kuntul baris, huuuuggh. .!" Wajahnya memerah karena menahan nafas dan
menguras tenaga. Ia sempat bicara kepada perempuan itu:
"Hei, ayo bantu aku! Jangan enak-enakan di situ. .!"
"Auuuh. .! Bagaimana aku bisa membantumu. .! Aaah!"
"Ngos, ngos, ngos...! Nafas Suro Bodong seperti orang habis lari keliling
gunung. Ia jatub terduduk dengan lemas. Ia mengatur natas yang terengah-engah.
Perempuan itu sempat berkata dalam merintih:"Bagaimana bisa berhasil, batu itu
kau dorong ke arah pohon, terganjal.. ! Kau tidak akan bisa mendorongnya, karena


Suro Bodong 17 Menembus Kabut Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada pohon yang menghalang. Jangan dari kiri, doronglah dari atas tubuhku. . !"
"O, iya, ya...! Pantas susah didorong, terganjal pohon! Sama saja aku berusaha
mendorong batu sambil merubuhkan pohon sebesar itu. Huuh. .! Kenapa dari tadi
kau tidak berkata begitu, Tolol!"
"Kupikir kau orang cerdik, tidak tahunya.. "
"Jangan menghina. Nanti kutinggal pergi, kau!"
Suro Bodong mengulangi mendorong batu itu dari atas tubuh perempuan. Hampir saja
ia berdiri menginjak perut perempuan itu. Namun, ia segera diingatkan, bahwa
sebaiknya kedua kaki Suro melangkahi tanah itu, baru mendorong batu. Suro yang
bingung tujuh keliling itu akhirnya tetap tidak berhasil mendorong batu,
sementara perempuan yang kedua kakinya tertindih batu semakin kesakitan dan
merintih terus.
"Batu setan...!" umpatnya sambil duduk lagi di samping perempuan tersebut. Matanya
sesekali memperhatikan perempuan itu, sesekali memandang batu yang sukar
digulingkan. Keringat Suro bercucur membasahi kumis dan digarukuya lagi kumis
itu. "Kelihatannya aku tak sanggup. Batu itu setan betul!"
"Pantas kau bilang begitu. Kau benar!"
"Benar bagaimana?" Suro agak kaget
"Batu itu memang batu setan "
"Ah, mana ada batu setan! Mana mau setan jadi batu?" Suro menyangkal pendapatnya
sendiri secara tidak langsung.
"Ya. Batu itu.. uuuh batu itu memang batu setan. Latungga memberi kekuatan batu
tersebut untuk menyiksaku "
"Siapa?"
"Latungga...! Ohh. . sakitnya...!"
"Latungga itu siapa" Nama binatang apa?"
"Latungga adalah musuhku. Pengawal setia dari Rajawana, yang sedang dalam
pengejaran kami."
"Wah ,agaknya kau terlibat urusan rumit ya?"
"Uuuh. . Aduuuuhhh. .!" Perempuan itu merintih lagi, terengah-engah lagi.
Wajahnya semakin pucat. Ada darah yang merembas di bagian kaki yang tertindih
batu. Kasihan. "Jadi, semua ini yang melakukan Latungga?"
"Ya. Dua hari yang lalu aku dikalahkan dengan cara seperti ini. . "
"Dua hari yang lalu" Jadi, kau sudah dua hari begini?"
"Iya. Ohh. . tolung usahakan menyingkirkan batu itu!"
"Sudah kucoba. Tapi, gagal.. .!"
"Latungga memang keji, sama kejinya dengan Rajawana. Dan, ia mampu menyiksaku
dengan batu setan itu. Ia pasti telah menyalurkan tenaga dalamnya di batu itu
sehingga sukar untuk digulingkan. .!"
"Tenaga dalam" Oh, dia sakti, ya" Punya tenaga dalam?"
"Sakti sekali."
"Aku juga sakti. Aku juga punya tenaga dalam."
"Nyatanya kau tak bisa menggulingkan batu itu.. . ooh.. ."
"Siapa bilang," kesombongan Suro muncul. "Aku bisa saja menghancurkan batu itu
dengan tenaga dalamku. Lihat ini, ya"!" Suro bergegas bangkit.
Suro menggerakkan kedua tangannya ke atas dengan lamban sekali. Kaki kanannya
terangkat dan maju ke depan, kemudian badannya meliuk agak membungkuk dengan
tangan melambai ke kiri keduanya. Semua dilakukan dalam gerakan gemulai, pelanpelan sekali. "Aduuh. . Sudahlah jangan menari-nari.. tolonglah aku ini. Menarinya nanti saja,
aaauuuhhh. .!"
Perempuan itu dongkol sekali melihat Suro Bodong menari-nari.
Gerakkan Suro Bodong terhenti, ia tersinggung. Lalu, setengah menghardik ia
berkata: "Ini bukan tarian ledek, tahu"! Ini yang namanya juius Gerakan Bidadari Pagi!
Jurus! Bukan tarian!" "Ooh.. oohh. . maaf. Lanjutkan.. !"
"Lanjutkan, lanjutkan. .!" gerutu Suro. "Mengganggu ketenangan pikiran saja kau
ini. Huuuh.. !"
Setelah menggeram jengkel, Suro mengulangi gerakkannya tadi. Memang dilihat
sepintas, gerakkan itu mirip sekali dengan gerakkan orang menari. Pakai
berjingkat jingkat segala dengan satu kaki, memutar-mutar sambil mangayun
seperti burung terbang.
Tapi ketika kedua tangan menghentak ke depan bagai memercikkan air dari
jemarinya, terlihat ada semacam percikan cahaya yang menerpa bain besar itu.
Berkilap cahaya memercik, kemudian batu itu merasap tipis. Tak lama kemudian,
mulai geripis. Sebagian rontok. Retak-retak. Dan, akhirnya batu itu pun hancur
dengan butiran-butiran kerikil yang paling kecil.
"Aaaaauuuhhhhh....!" Perempuan itu merintih dan mengaduh, mungkin untuk yang
terakhir kalinya. Artinya, ia telah bebas dari batu, dan rasa sakitnya tidak
bertambah, hanya bertahan saja. Yang dikhawatirkan adalah kebusukan pada luka di
kedua kaki yang telah membuat beberapa tulang jari kakinya patah, juga mata
kakinya yang geser dari posisinya.
"Ooh, ooh. .! Terima kasih. .! Terima kasih...!"
"Aku juga sakti kan" Memang cuma Latungga yang bisa menjadi orang sakti"
Hemm. .!" Suro mencibir bangga.
"Kau... kau memang sakti. Tapi, coba lepaskan tali yang mengikat kedua tanganku
ini.. ! Cobalah, barangkali dengan kesaktianmu kau juga akan bisa melepas atau
memutusnya."
"Ah, ini kan tali akar biasa...!" Suro Bodong menarik tali akar itu, hendak
memutusnya. Namun, tiba-tiba ia terpental ke belakang, nyaris membentul batang
pohon. "Bruuuk. .!" Ia jatuh terduduk dan terbengong-bengong.
"Gila...! Kenapa aku terpental, ya?"
Perempuan itu menjawab, "Latungga juga memagari tali ini dengan ilmu tenaga
dalamnya."
"Ah, masa' tali saja diberi tenaga dalam.. "!" Suro bergegas meraih tali
pengikat tangan perempuan itu. Besarnya separoh dari kelingking, terbuat dari
akar beringin. Secara wajar, tali itu mudah saja diputuskan dengan kekuatan yang
ada pada diri Suro Bodong. Ada sisa tenaga dalam untuk menarik tali. Tetapi,
ketika Suro mencoba memutuskannya lagi, ternyata ia bahkan terlempar lebih jauh
dari semula. Punggungnya pun membentur pohon dan ia mengaduh sambil menyeringai
kesakitan. Perempuan cantik yang pucat pasi itu hanya telentang saja, tak bisa banyak
bergerak, karena kakinya luka parah dan kedua tangannya terentang ke atas dalam
ikatan masing-masing. Ia hanya menoleh ke arah jatuhnya Suro dan berkata:
"Cobalah dengan kesaktianmu.. !"
"Uuuh. .! Tali iblis!" gerutu Suro. "Kau punya senjata tajam"!"
"Pedangku jatuh di bawah pohon randu kembar itu!"
Suro Bodong memandang pohon randu kembar. Dua pohon berjajar dalam bentuk dahan
dan cabang sama persis. Ia segera bergegas ke sana. Dan, memang ditemukan sebtlah
pedang runcing, ujungnya berbentuk segi tiga, kedua sisinya tajam. Pedang itu
mempunyai gagang dari perak yang dihiasi dengan batuan merah delima. Bagian
ujung gagang terdapat batu hijau zambrud. Kalau benar itu pedang perempuan
tersebut, pasti perempuan itu bukan perempuan sembarangan.
"Jangan sembarangan menggunakan pedangku," kata perempuan itu. "Kalau patah atau
somplak, kau harus ganti!"
"Apakah pedang ini sudah pernah dipakai memotong besi?"
"Belum. Pedang itu tak bisa untuk memotong besi, tapi kekuatan yang terpancar
dari dalamnya dapat memotong gunung menjadi lima bagian."
"Hebat! Bagaimana cara penggunaannya?"
"Hanya aku yang bisa."
"O, kalau begitu, gunakanlah sendiri untuk memotong tali pengikat tanganmu ini!"
"Kau gila!"
"Kau yang gila! Sudah ditolong pakai mengancam lagi! Boleh apa tidak pedang ini
kupakai memotong tali ilu"!"
"Silahkan. Tapi, aku sangsi kau dapat memotongnya dengan menggunakan pedang itu.
Cobalah dulu... "
Suro Bodong ke bagian atas perempuan tersebut. Tali yang melintang itu
ditebasnya dengan pedang tersebut. "Beet. .!"
"Aooob...!" Suro Bodong terpental lagi, bahkan kali ini melambung tinggi dan
jatuh di semak-semak berduri. Ia menjerit kesakitan sambil memegangi pedang itu.
"Iblis.,.! Kunyuk kurap.. !"
Ia mencaci-caci sendiri sambil ke luar dari semak-semak. Perempuan itu ingin
tertawa, tetapi rasa sakit di kakinya begitu kuat, sehingga ia hanya tersenyum
tawar di sela seringai sakitnya.
"Latungga ilmunya banyak! Ia termasuk orang berbahaya," ujar perempuan itu
lirih. Suro menyahut:
"Ah, siapa bilang" Aku akan mampu menundukkan ilmunya. Apalagi hanya dua utas
tali itu, huhh. . keciiil.. !"
"Kalau kau terpental terus, tiga kali, itu bukan kecil namanya. Tapi. . "
"Eit, jangan menghinaku kalau kau mau bebas."
"Baik. Baiklah, aku tidak bicara apa-apa. Tapi, tolong hati-hati menggunakan
pedang itu. Mahal...!"
Suro Bodong bersungut-sungut tak jelas gerutuannya. Tapi, mata perempuan itu
dapat melirik ke samping dengan jelas, apa yang dilakukan Suro bodong. Saat itu,
pedang berujungsegi tiga runcing itu diputar-putarkan ke atas kepala tujuh kali.
Kemudian pedang itu dihentakkan lurus ke langit.
Beberapa saat kepala Suro Bodong mendongak ke atas juga, seperti ada yang dibaca
dalam hati. Kedua kakinya merenggang lurus, kedua tangannya memengangi gagang
pedang. Sesaat kemudian, Suro Bodong menghentakkan kaki kanannya tujuh kali, dan
kaki kirinya tujuh kali.
Lalu, pedang yang menjulur ke langit itu dikibaskan dengan kedua tangan ke arah
kedua tali yang mengikat tangan perempuan tersebut. Tiba-tiba dari ujungnya yang
runcing, pedang itu mengeluarkan sinar merah sebesar jarum. Dua kali sinar merah
itu melesat dan mengenai dua tali.
"Taar.. ! Taaar.. !" Dua kali letusan terdengar akibat benturan dua sinar dengan
tali tersebut. Kemudian tali akar itu pun putus, dan tangan perempuan itu pun bebas sudah.
"Hebat.. !" ujarnya lirih. "Aku tak pernah melihat kesaktian di dalam pedang itu
seperti tadi."
"Hei, bukan pedangmu ini yang sakti, tapi aku!" Suro menepuk dadanya satu kali.
Lalu ia terbatuk sebentar karena tepukan dadanya terlalu keras.
"Ini pedangmu. .!" Suro menyodorkan pedang itu.
"Terima kasih. Aku mengucapkan banyak terima kasih kepadamu, Tuan Pendekar,
sebab.. ."
"Alaaah. . ndak usah pakai tuan-tuanan. Panggil saja namaku Suro Bodong!" Lalu,
Suro garuk-garuk kumisnya.
"Nama yang cukup indah," kata perempuan itu dengan keadaan masih lemas. Lunglai.
"Ndak usah pakai memuji namaku. Aku tahu nama itu cukup jelek dan kurang enak
didengarkan anak bayi, tapi aku senang memakai nama itu. O, ya... kau sendiri
punya nama apa tidak"
Atau... barangkali waktu kau lahir orang tuamu lupa memberimu nama?"
"Aku punya nama," Perempuan itu tersenyum tipis, karena masih menahan sakit.
"Orang tuaku memberiku nama cukup panjang."
"Siapa" Mudah-mudahan aku suka dengan namamu," Suro bicara tegas, dalam posisi
jongkok di samping perempuan.
"Namaku. Cindradani Paramisyyari Dhamayanti. . "
"Sudah, sudah, sudah. .!" Suro memotong pembicaraan. "Belum selesai namamu kau
sebutkan semua, aku sudah pusing tujuh keliling mengingat-ingatnya. Begini saja,
kau kupanggil Pipit saja, ya?"
"Pipit" Namaku tidak memakai Pipit."
"Iya. Tapi, kau. . kau lucu dan manis seperti burung pipit."
"Tapi, aku bukan burung pipit. Aku tidak mau memakai nama itu."
"Mau sajalah... ! Mau, ya" Pipit saja, ya?"
"Tidak mau! Panggil aku Cindra. Itu saja sudah cukup "
"Pipit, ndak mau" Enak Pipit saja!" bujuk Suro.
Cindradani menggeleng.
"Ya, sudahlah! Pipitku tidak laku tidak apa, asal orangnya bisa laku," gumam
Suro Bodong. "Hei, mau ke mana kau?" seru Cindradani ketika Suro beranjak pergi. "Mau ke
mana, Suro?"
"Pergi! Tugasku kan sudah selesai menolongmu."
"Ada satu tugas lagi. Tolonglah. . Ini yang terakhir."
Suro bersungut -sungut dan berbalik mendekati Cindradani. "Tugas apaan?"
"Kakiku akan membusuk. Lukanya terlalu parah. Mungkin akan membusuk sampai ke
atas, dan terus ke atas, lalu aku akan mati pelan-pelan. Tolong.. !" Cindradani
menyerahkan pedangnya kembali kepada Suro Bodong.
"Apaan ini?"
"Tolong potonglah kakiku itu, biar aku tidak mati dalam kebusukan yang
menyiksa."
"Ah, gila kau!"
"Potonglah, Suro. Tolong. .!"
"Kalau kakimu kupotong, nanti kakimu putus lho.. !"
"Yah, yang namanya dipotong tentunya putus! Tapi itu lebih baik daripada aku
dalam kebusukan menunggu kematianku!" kata Cindradani dengan hati sedih.
"Potonglah!"
Suro gelisah. Memandangi kaki Cindradani yang sebetulnya berbetis indah, mulus
dan cantik sekali dipandangnya. Sayang sekali kaki itu rusak keduanya. Berlumur
darah dan banyak luka yang mengerikan. Jelas banyak bagian tulang yang remuk.
Suro jadi bimbang menuruti perintah Cindradani.
"Ayolah, Suro. . jangan merasa tak tega. Kau telah menyelamatkan aku jika kau
memotong kedua kakiku dengan pedang itu. Dan aku rela buntung kaki dengan
tebasan pedangku itu."
"Aku. . .aku belum pernah memotong kakiku sendiri. Jadi, aku bingung, bagaimana
cara memotongnya."
"Potong saja seperti kau memotong sebatang bambu."
"Tak bisa, Dani. Tak bisa. Sebab,.. aku memang belum pernah memotong bambu."
"Tapi.. . kaki ini tetap harus dipotong, Suro. Jika aku terhindar dari
kebusukan, maka aku masih ada harapan untuk mengejar Rajawana, yang mungkin
sedang mencari seorang jagoan dari Kesultanan Praja. Kudengar begitu."
"Rajawana"! Mencari jagoan Kesultanan Praja" Siapa dia?" Suro Bodong berkerut
dahi dengan keheranan dan ketegangannya.
4 Terus terang, Suro Bodong tak tega kalau harus memotong kaki indah itu.
"Bagaimana kalau kusembuhkan saja. Yah, anggap saja percobaan. Siapa tahu bisa
sembuh betul." "Apa kaubisa?"
"Apa kau percaya?"
Setelah termenung sesaat, Cindradani berkata, "Sembuhkanlah. Kuliliat ada
kesaktian di dalam dirimu.?"O, ya" Aku malahtidakmelihatnya."
Akhirnya, Suro Bodong mengambil langkah begitu. Menyembuhkan luka dan sakit pada
diri Cindradani adalah hal yang paling mudah daripada harus memotong kaki cantik
itu. Maka ketika Suro Bodong meludahi telapak tangannya tujuh kali, digosok
gosokkan dan dihentakkan pada luka di kaki, Cindradani menjerit sekuat-kuatnya.
Apalagi ketika ia diurut kakinya oleh Suro Bodong, wah...
jeritannya bagai irama maut di alam neraka, histeris sekali.
Tetapi itu hanya sebentar, dan tak memakan waktu lebih dari sepuluh helaan
nafas. Cindradani terbengong dan terheran-heran melihat kakinya menjadi mulus.
Mulus sekali. Tanpa luka, tanpa noda darah dan sungguh merupakan peristiwa ajaib
yang pernah ia alami. Luka pada kaki itu sepertinya sebuah lumpur yang membalur
dan gampang hilang. Juga rasa sakit nya pun tak ada. Hilang. Lenyap entah ke
mana. Cindradani terkagum-kagum oleh kehebatan Suro Bodong yang semula dianggap
main-main. Kakinya dalam waktu singkat sudah dapat dipakai untuk berdiri, malah
bisa untuk melonjak-lonjak. Sayang, pakaian Cindradani sudah tak karuan,
tercabik-cabik, sehingga ia tak bisa berbuat dengan bebas. Ia lebih sering
menutup bagian dadanya yang menjadi polos karena kainnya robek ke sana sini.
Mereka akhirnya berjalan bersama, karena Suro Bodong tertarik dengan nama
Rajawana yang konon mencari jagoan dari Kesultanan Praja. Apa yang telah
dilakukan Rajawana di Kesultanan Praja"
Dari mana dia, dan mengapa mencari jagoan dari Kesultanan Praja" Ini yang perlu
diketahui Suro Bodong. Sebab itu, tak ada jeleknya jika ia mengikuti Cindradani
untuk mengorek banyak keterangan.
Mereka menemukan rumah gubuk sederhana. Mungkin milik seorang pelani kangkung
yang ada di kaki bukit. Sayang sekali suami istri yang di sekitar rumahnya mempunyai
kebun kangkung itu dalam keadaan terluka, dan tanpa nafas. Barangkali ada


Suro Bodong 17 Menembus Kabut Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seseorang yang manaruh dendam atau kemarahan, sehingga kedua petani suami istri
itu dibantainya begitu saja. Mayatnya tidak dimakamkan selayaknya.
Cindradani menggumam ketika memeriksa mayat kedua petani suami istri itu.
"Latungga yang melakukannya."
"Latungga"! Orang yang bermusuhan denganmu itu?" tanya Suro yang belum tahu
persis siapa Latungga.
Kucing Suruhan 2 Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok Manusia Kelelawar 1

Cari Blog Ini