Ceritasilat Novel Online

Menembus Kabut Berdarah 2

Suro Bodong 17 Menembus Kabut Berdarah Bagian 2


"Ya. Pasti Latungga yang membantai kedua orang ini."
"Darimana kau tahu persis kalau yang melakukan Latungga?" desak Suro Bodong.
"Masing-masing mayat tidak mempunyai hati. Perutnya robek, dan isi perutnya
berhamburan ke luar. Lihallah, kedua mayat ini sudah tidak mempunyai bagian
dalam perut yang disebut hati."
"Kenapa itu?"
"Rajawana setiap bulan purnama selalu memakan hati manusia, sedikitnya lima
buah. Itu kebiasaan yang dilakukan. Dan, Latungga, pengawalnya yang setia itu,
selalu berhasil mencarikan hati manusia dengan cara membunuhnya dari jarak jauh.
Merobek perut korban dari jarak jauh, dan mengambil hati korban tanpa ia harus
menyentuhnya. Hati itu terbang sendiri, menuju dimana Rajawana berada."
"Kejam.. !" geram Suro Bodong. "Siapa itu Rajawana?"
"Sebaiknya kita kuburkan saja dulu kedua mayat ini. Barangkali kita bisa memakai
gubuknya untuk beristirahat sementara waktu." ujar Cindradani, dan Suro menurut.
Gubuk itu sangat sederhana. Dindingnya terbuat dari belahan kayu hutan. Tak ada
kamar satu pun di dalamnya. Meja, bangku dan balai-balai menjadi satu dalam
ruangan tunggal itu. Juga tempat memasak ada di bagian belakang yang punya pintu
tembus keluar. Petani kangkung itu agaknya hidup damai bersama istrinya dalam
rumah yang sangat sederhana itu. Tak banyak barang berharga yang mampu terjual
dengan harga tinggi, kecuali selembar selimut, yang barangkali hanya mampu
ditukar dengan beras seperempat beruk, yaitu ukuran beras terbuat dari kelapa
kering. Satu hal yang menyenangkan Suro adalah adanya beberapa jagung mentah,
yang agaknya dicalonkan sebagai benih untuk masa tanam jagung mendatang.
Kesukaan Suro Bodong adalah jagung bakar. Dan, ketika ia melihat ada jagung
tergantung dalam satu rombongan, ia segera membakarnya lima buah, sementara itu,
Cindradani mencari-cari pakaian yang cocok untuk dikenakan.
"Bagaimana kalau aku mengenakan pakaian ini?"
Cindradani berdiri di samping Suro Bodong yang sedang membakar jagung. Suro
Bodong tersenyum dan menelan air liurnya sendiri. Matanya nakal ketika melihat
Cindradani mengenakan celana lelaki komprang warna hitam, dan baju lengan
panjang juga warna hitam, tapi sebagian kancingnya sudah tak ada. Tinggal
kancing bagian bawah yang ada, sehingga bagian dadanya tersingkap sedikit,
menampakkan kepulihan kulit yang membusung padat itu.
"Hei, nakal sekali matamu!" Cindradani buru-buru merapatkan belahan baju bagian
atas sambil tersipu-sipu.
"Bagaimana" Pantas kukenakan?"
Wow...! Tak ada waktu bagi Suro Bodong untuk memberi komentar. Ia sudah
tenggelam dalam kekagumannya. Kagum melihat kecantikan Cindradani yang memiliki
mata kecil tapi bukan sipit.
Berbulu lentik dan beralis tebal teratur. Hidung yang bangir itu sangat serasi
dengan bentuk leher yang jenjang. Apalagi ditambah potongan rambut yang panjang
sepunggung itu diikat menjadi satu ke samping, dengan sisa rambut dibiarkan
jatuh melalui pundak kanan ke dadanya. Duuuhhhh.. ! Lelaki mana yang mau
berkedip melihat kecantikan itu.
"Husy! Kok seperti orang kesurupan begitu!" Cindradani bersungut-sungut.
Suro Bodong nyengir. Garuk-garuk kumis sebentar. Nyengir lagi.
"Ih, kamu malah menakutkan aku," kata Cindradani seraya pergi ke meja, menuang
air kendi. "Apa tak ada pakaian lain?"
"Ada. Kebaya dan kain. Tapi, aku tidak suka memakai kebaya dan kain. Kurang
bebas gerakkanku," jawab Cindradani.
"Ooooo...." Suro manggut-manggut tanpa memandang Dani.
"Apa kau tak suka iku mengenakan pakaian ini?"
"Oooo...."
"Husy! Aku bertanya! A o, a o melulu!"
Malam dibiarkan tenggelam ditelan sepi. Suro Bodong asyik menikmati jagung
bakarnya. Cindradani duduk di alas balai-balai bertikar lusuh. Ada bantal sederhana dari
kain sarung. Cindradani mendekap bantal itu, sementara Suro Bodong duduk di
bangku panjang depan meja. Kaki kanannya diangkat satu dan tangannya sibuk
memetik-metik biji jagung. Nyala lampu minyak sangat kecil, sehingga suasana di
dalam gubuk tidak begitu terang. Namun justru itu yang disukai Suro Bodong.
Romantis, kalau kata zaman sekarang. Hanya suasana romantis. Sikap dan tindakan
mereka, memang tidak romantis. Mereka duduk berjauhan. Suro Bodong sendiri tidak
mau banyak bertingkah, karena yang ia butuhkan saat ini adalah keterangan
tentang siapa Rajawana dan apa hubungannya dengan orang-orang Kesultanan Praja"
"Rajawana bekas seorang raja di daerah Tibet, ia terusir dari sana, dan bersama
Latungga ia mendirikan satu pemerintahan di Ligor. Pemerintahan gelap. Ia
berhasil menguasai biara-biara dan dijadikan markas keangkaramurkaan.. ."
"Tentunya Rajawana seorang yang sakti, ya?"
"Ya. Sakti. Tapi, ia punya banyak musuh. Salah satu musuhnya adalah Dewala
Tumba." "Siapa itu Dewala Tumba?" tanya Suro sambil nyamuk-nyamuk makan jagung bakar.
"Dewala Tumba adalah rajaku."
"Oooooo..."!" Suro menatap Cindradani. "Kau.. . prajuritnya?"
"Ya. Aku dan lima orang pilihan lainnya bertugas mengejar Rajawana..."
"Lima orang" Lalu, yang lain ke mana?"
Dengan perasaan sedih, Cindradani menjawab, "Mati di tangan Rajawana dan
Latungga. "Hanya kamu yang hidup?"
"Hanya aku, itu pun aku terpaksa melarikan diri lebih dulu, untuk mengatur
siasat berikutnya."
"Hebat! Aku hormat dengan keberanianmu"
"Aku tidak perlu hormatmu."
Suro agak tersinggung, namun ia segera tidak perduli dengan kata-kata itu.
"Apakah sebelumnya Rajawana telah dikalahkan oleh pihakmu, sehingga ia terpaksa
melarikan diri?"
"Begitulah. Semua anak buahnya habis, k-cuali pengawal setianya yang bernama
Latungga. Ketika melihat pasukannya sudah morat marit dan habis, Rajawana melarikan diri
ke tanah Melayu, lalu ke tanah jawa ini. Tetapi kami harus tetap mengejarnya."
"Kenapa ?"
"Pusaka kami dicuri dia."
"Pusaka apa?"
"Cakrabaya.. !"
"O, pusaka jenis apa itu?"
"Panah. Satu panah akan dilepaskan dan bisa menjadi seribu panah. Salah satu
anak panah itu akan kembali lagi sehingga jumlah anak panah Cakrabaya menjadi
tetap lima batang. Dan, itu yang harus kubawa pulang ke negeriku. Dengan panah
pusaka itu, kami tak pernah dikalahkan oleh kaum pendatang yang hendak menyerang
negeri kami."
"Hmmm.. ." Suro Bodong menggumam panjang dan mengangguk anggukkan kepala.
Sejenak gaiuk-garuk kumis, sejenak menyuap biji jagung ke mulut.
"Lalu, kau tadi menyebut-nyebut jagoan dari Kesultanan Praja. Apa maksudnya?"
pancing Suro Bodong tanpa ia harus menyebutkan bahwa ia bekas orang Kesultanan Praja.
"Banyak para biksu, pendeta agung, yang mengatakan, bahwa Rajawana berusaha
mencari jagoan dari tanah jawa, yang berasal dari Kesultanan Praja. Pendekar itu
dikenal oleh banyak orang.
Kesaktiannya sudah cukup kondang sampai ke seberang tanah Melayu. Aku tak tahu
namanya, tapi aku tahu bahwa pendekar sakti itu mempunyai sebuah pusaka yang
bernama Pedang Urat Petir"
"Deg!"
Jantung Suro bagai disodok dengan siku ketika Cindradani menyebutkan nama pedang
pusakanya. Suro semakin menutup diri. Ia ingin tahu apa yang akan terjadi
terhadap usaha Rajawana. Ia tahu, dirinya itulah yang dicari Rajawana dan sedang
dibicarakan oleh Cindradani. Justru karena itu, Suro Bodong semakin bersikap
bloon. "Untuk apa Rajawana mencari pemilik Peeking Urat Petir?"
"Menurut beberapa perkiraan dan ramalan para ahli, Rajawana bisa mengalahkan
raja-raja di Ligor maupun di Tibet, kalau ia berhasil memperbudak Pendekar Urat
Petir yang dijuluki Pendekar Tujuh Keliling itu. Jadi, usaha Rajawana sekarang
adalah memperbudak Pendekar Tujuh Keliling dari Kesultanan Praja, untuk kemudian
memerintahkan pendekar itu menyerang raja-raja di Utara. Jelas, sssaran utamanya
adalah negeriku sendiri. Yang Mulia Dewala Tumba akan dibunuh oleh Pendekar
Tujuh Keliling, yang memiliki pusaka paling sakti."
"Menurutmu, apa yang terjadi kalau benar Rajawana berhasil menguasai Pendekar
Tujuh Keliling itu?"
"Semua raja di Tibet, Ligoi, bahkan mungkin sampai ke Calcuta dan Lhasa, akan
ditundukkan. Sriwijaya pun akan ditundukkan oleh Pendekar Tujuh Keliling, yang menurut kabar,
dia mampu mengalahkan satu kerajaan dengan dirinya satu orang saja."
"Apakah.. Pendekar Tujuh Keliling itu sakti?" pancing Suro yang sama saja ingin
mengetahui pendapat orang tentang dirinya, sebab dirinya itulah Pendekar Tujuh
Keliling. Cindradani menjawab dengan polos, seakan membanggakan Pendekar Tujuh Keliling.
"Wwooow...! Sakti sekali! Ia dapat berubah ujud menjadi tujuh rupa, bahkan kabar
yang kudengar terakhir ia bisa menjadi raksasa yang mampu mengalahkan satu
kerajaan. Ilmu kita ini belum ada sekuku hitamnya, kalau kau mau tahu!"
Suro tersenyum, dipuji dan disanjung secara tak langsung. Kalau saja Cindradani
tahu, bahwa Pendekar Tujuh Keliling itu Suro sendiri, mungkin ia tak berani
sepolos itu dalam bicaranya. Ah, enak juga mendengar pujian dari seseorang yang
tak tahu bahwa yang dipuji ada di depannya.
"Dani," kala Suro setelah mendekat dan duduk di tepian balai-balai bambu. "Kalau
menurutmu, apakah Rajawana akan berhasil menguasai Pendekar Tujuh Keliling?"
"Kemungkinan besar akan terjadi demikian. Ia punya banyak cara licik. Karena
itu, sebelum Rajawana berhasil menguasai Pendekar Tujuh Keliling, sebelumnya aku
harus sudah berhasil menguasainya."
"Kalau pendekar itu, tidak berhasil kau kuasai?"
"Dia akan kubunuh secara diam-diam."
"Dibunuh"!" Suro Bodong berdiri, hampir saja ketahuan kalau dia merasa
ditantang. Untung ia segera mengendorkan ketegangannya dan menyadari keadaannya.
"Kau kaget?"
"Ya," jawab Suro. "Karena... karena aku tak menyangka kau punya keberanian
sebesar itu "
"Keberanianku ini semata-mata hanya nekad. Daripada aku kembali ke negeriku
tanpa Pusaka Cakrabaya, aku lebih baik mati di tanah orang."
"Ck, ck, ck..." Suro Bodopg menggeleng. "Baiklah, sekarang yang ingin kutanyakan:
kira-kira cara apa yang dipakai Rajawana untuk menguasai atau menundukkan
Pendekar Tujuh Keliling itu?"
"Hemmm. Cindradani merenung sesaat, Suro memperhatikan wajah cantik dalam
kerutan dahi dan keremangan sinar lampu minyak. Ih, indah sekali lho.
"Mungkin dia akan mengajak bertanding dengan satu perjanjian. Atau... ia akan
menculik seseorang yang menjadi kekasih pendekar itu. Misalnya istri, orang tua,
anak, muridnya, atau entah apanya. Dengan menculik orang yang dicintai pendekar
itu, maka pendekar itu mau tak mau akan tunduk terhadap perintah Rajawana, sebab
Pendekar Tujuh Keliling tentunya tak mau orang yang dicintainya terluka atau
mati di tangan Rajawana."
"Ooooo.... begitu " Suro Bodong menggumam dan manggut-manggut lagi. Lalu,
benaknya menerawang kepada orang-orang kesultanan yang memusuhinya. Sayang
sekali, sikap mereka berubah demikian aneh dan menampakkan permusuhan dengan
Suro. Andai saja tidak, mungkin Suro sudah bersiap siaga menghadapi Rajawana
yang bisa jadi akan menculik istrinya, atau bahkan mertuanya sendiri: Sultan
Jurujagad. "Kenapa kau jadi melamun begitu?" tegur Cindradani
"Aku memikirkan di mana Rajawana sekarang berada. Sedang apa dia" Apakah dia
sudah berhasil menaklukkan Pendekar Tujuh Keliling itu" Atau sedang berusaha
menculik salah satu orang penting di Kesultanan Praja?"
"Sebenarnya pada masa purnama begini, kita dapat mencari Rajawana dengan mudah."
Suro bergegas, semangat. "Bagaimana caranya?"
"Berdiri di tempat tinggi, dan menunggu saat ada sinar merah membara melesat ke
suatu arah. Itulah tempat Rajawana berada."
"Maksudmu bagaimana?" Suro menjadi linglung.
"Sinar merah membara itu adalah hati manusia yang diterbangkan oleh Latungga ke
tujuan Rajawana berada. Di mana sinar merah membara yang seperti gumpalan lahar
itu hilang, di situlah Rajawana berada."
"Sampai berapa lama hal itu bisa kita perhatikan?"
"Yah. . selama ada rembulan, saat itulah nafsu Rajawana membara. Nafsu memakan
daging hati manusia."
Kepala Suro manggut-manggut lagi. Jagung habis. Ia membuang jonggol jagung ke
pojok ruangan."Apakahkaumasihberminatmengejar Rajawana?"
"Tentu! Kalau aku sudah sedikit enak badan, sebentar lagi aku juga akan keluar
rumah, mencari tempat tinggi."
"Kau sudah hampir mati oleh Latungga. Apa kau tak jera?"
"Mati itu tugas! Tugas manusia itu mati. Tinggal kapan ia bisa menyelesaikan
tugas, itu tergantung manusianya sendiri. Bagaimanapun juga, setiap manusia
pasti akan mampu menyelesaikan tugas itu, yakni: mati!"
"Tapi.. . baiklah. Sekarang kita tidak bicara soal mati. Kita bicara
perlawananmu dengan Latungga. Kalau kau melawan Latungga saja sudah kewalahan
dan hampir mati, bagaimana kau bisa mengalahkan Rajawana?"
"Aku tahu kelemahan Rajawana."
"Apa itu?" Suro Bodong bersemangat.
"Ia akan mati jika ditikam duburnya!"
"Ah, yang bener. .!" Bibir Suro menyong ke depan. "Dari mana kau tahu kalau
kelemahan Rajawana ada di duburnya?"
Setelah menunduk, diam beberapa lama, murung sesaat, lalu terdengarlah jawaban
dari Cindradani dengan lirih:
"Aku istrinya."
"Hah.. .!?" Suro Bodong terpekik. Mata membelalak, mulutnya 'nyablak', mirip
ikan mas koki kehabisan oksigen.
"Kamu istri dari Rajawana"!" Suro mengulang tegas.
Cindradani mengangguk, bagai merasa malu. Menyembunyikan wajah di tepian bantal
lusuh. Suro Bodong memandangnya tiada berkedip. Tak disangka perempuan secantik dia
menjadi istri Rajawana yang lalim dan serakah itu.
"Aku bertemu dengan dia, ketika ia bermaksud menguasai Jalan Sutera. Keluargaku
tertawan, dan aku bersedia menjadi istrinya asal keluargaku dibebaskan. Memang,
keluargaku dibebaskan, lalu aku menjadi istrinya. Tapi dua hari kemudian, anak
buah Rajawana membantai habis keluargaku, sehingga aku pun berontak. Aku
berhasil melarikan diri, dan bergabung dengan Dewala Tumba.
Kemudian aku minta diutus sebagai pengejar Rajawana, ketika Rajawana berhasil
meloloskan diri dengan membawa Pusaka Cakrabaya. Dan. . selama dua malam aku
bersama Rajawana, tak sengaja aku tahu letak kelemahannya, yaitu di pantat.
Dubur! Hal ini terjadi ketika aku menaruh tusuk konde, tanpa sengaja diduduki
Rajawana, dan ia menjadi marah-marah, terlontarlah kata tentang kelemahannya
itu." Diam. Sepi. Malam begitu hening. Suro Bodong masih melompong memperhatikan
Cindradani yang menunduk antara malu dan sedih. Sesaaat, terdengar lagi suara
perempuan cantik yang mengagumkan hati Suro itu.
"Enam tahun aku berpisah dengan Rajawana, dan kali ini aku hanya ingin bertemu
dengannya. Bukan dengan Latungga. Dengan Rajawana! Dan sudah kusiapkan pedang untuk menikam
duburnya. Sebab, andai ia ditikam selain dari duburnya, dalam waktu singkat luka itu akan
terkena angin dan kering seketika. Sembuh seperti sediakala. Jadi, kalau mau
membunuhnya adalah pada bagian dubur.
Kalau kau bertemu dengannya, jangan sekali-sekali bertarung menghadap ke Utara,
karena jika kau berada di Selatan, maka panah Cakrabaya akan dilepaskan dan
menjadi seribu panah menghunjammu.
Rahasia panah itu, adalah jika dilepaskan menghadap ke Selatan, ia akan menjadi
seribu panah. Tetapi, jika dilepaskan tidak menghadap Selatan, ia hanya akan
kembali ke asalnya, tanpa memecah menjadi seribu buah."
"Apa kau yakin aku akan menghadapi Rajawana?"
"Kalau kau ingin membantuku, kau pasti berhadapan dengan Rajawana."
"Apa kau dengar aku ingin membantumu?"


Suro Bodong 17 Menembus Kabut Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Firasatku mengatakan begitu, karena kau banyak bertanya tentang Rajawana."
Jawaban Cindradani bagai sukar dielakkan dari perasaan Suro Bodong. Akhirnya
Suro tersenyum tipis setelah garuk-garuk kumis, lalu termenung beberapa saat.
Andai Cindradani tidak turun dari dipan bambu, Suro pasti masih termenung.
Sebab, yang ia pikirkan adalah: bagaimana menyelamatkan orang-orang Kesultanan
Praja dari ancaman Rajawana. Dan, apakah hal itu perlu ia lakukan, sementara
orang-orang Kesultanan Praja sendiri sudah memusuhinya, membencinya, bahkan
hendak menggantungnya tanpa ia tahu apa kesalahan yang ia lakukan"
"Mau ke mana, Dani?"
"Mencari tempat tinggi."
"Apakah aku perlu ikut?"
Cindradani tersenyum manis. "Kau seperti anak kecil saja. Itu menandakan sifat
minta diperhatikan dari orang lain, Suro."
"Aku hanya bertanya, tidak minta diperhatikan. Sebab, kalau aku harus ikut, aku
sangsi." "Sangsi kenapa?"
"Aku harus pergi untuk beberapa saat. Ada yang perlu kuselesaikan dulu, sebelum
aku menemui Rajawana, membantumu. Jelas?"
Cindradani manggut-manggut. "Apakah malam ini juga kau akan pergi menyelesaikan
urusanmu?"
"Ya. Tapi, aku pasti akan kembali di sini. Bukankah malam purnama masih beberapa
hari lagi"
Kita bisa bebas mencari Rajawana dan membunuhnya."
"Aku senang mendengar semangatmu! Tapi, aku ingin tahu, di mana atau ke mana kau
akan pergi?" "Ke.. KesultananPraja, menemuiPendekar Tujuh Keliling."
"Ooooh..."!" Cindradani membelalak. "Aku ikut kamu saja!"
Wah, gimana, ya" Repot juga ini.
5 Apa tujuan Suro Bodong kembali ke Kesultanan Praja" Tak lain hanya ingin
menyelidiki, sampai di mana ruang gerak dan kesempatan yang diperoleh Rajawana
dalam upaya menguasai Pendekar Tujuh Keliling. Tentunya, Rajawana tahu,
bagaimana cara yang baik untuk menguasai jagoan Praja. Tentunya Rajawana
melakukan sesuatu; misalnya penculikan terhadap seseorang dari Praja. Siapa yang
akan diculik" Ini yang perlu diketahui Suro Bodong. Kalau ternyata Nyi Mas
Sendang Wangi, istri Suro, yang diculik, wah. . perang sampai mati pun Suro
tidak pernah menolak.
"Tunggu dulu," cegah Cindradani ketika mereka melangkah menyusuri malam.
"Ada apa?"
"Kau tahu betul apa tidak jalan menuju Kesultanan Praja?"
"Tahu," jawab Suro agak ketus, merasa disepelekan. Hampir saja ia ingin berkata,
"Aku ini orang Kesultanan Praja dan yang bergelar Pendekar Tujuh Keliling." Ya,
hampir dia berkata begitu. Namun, mulutnya segera ditutup rapat-rapat, hatinya
menahan diri untuk tidak bicara demikian. Biarlahanti saja Cindradani tahu siapa
dirinya sebenarnya.
"Ya, sudah. Kalau memang kamu tahu, tak apa. Berarti kita tidak akan kesasar."
"Kita mendaki bukit itu dan turun di lereng balik bukit, itu sudah dekat dengan
Kesultanan Praja," tutur Suro Bodong.
"Lewat mana saja, terserah kamulah. Aku memang tidak tahu di mana arah
Kesultanan Praja itu."
Rembulan menyinari malam, menembus kegelapan yang sunyi. Cindradani melangkah di
samping kiri Suro Bodong. Rambutnya yang panjang diikat dan ditaruh ke depan
bergerak-gerak bagai membelai-belai dadanya. Sesekali sempat pula Suro melirik,
namun sempat juga kakinya tersandung batu atau akar pepohonan.
"Syukur. . !" gerutu Cindradani. "Makanya punya mata jangan suka dipakai melirik
nakal." Suro Bodong tertawa pendek dan pelan. Malu.
"Apa terhadap perempuan lain kau juga suka begitu?" tanya Cindradani.
"Begitu, bagaimana?" yuro Bodong berlagak bego.
"Suka melirik nakal!"
"Yah, sekali tempo. Kadang-kadang saja.. !"
"Wah, mata keranjang juga kamu, ya?"
"Yah, sekali tempo, Kadang-kadang saja mata keranjang. Tapi tidak selamanya
mataku seperti keranjang, kan?"
Cindradani sempat tertawa pelan, tapi cubitannya tidak lagi bisa dikatakan
pelan, karena Suro meringis kesakitan.
Mereka mendaki bukit dalam cahaya lentera malam. Sang purnama. Dalam waktu
beberapa saat, mereka sudah mencapai puncak bukit, tempat Suro Bodong menemukan
rongga batu yang bisa dipakai untuk beristirahat. Di puncak itu, tak ada pohon,
sehingga pemandangan dapat menjalar luas ke bawah.
Luas dan lega. Ada kerlip-kerlip di sana sini. Bukan sekedar kunang di atas
persawahan, namun juga lampu-lampu desa yang menyala.
"Nah, di sana itu. . di tempat yang terang itulah tempat yang akan kita tuju,"
ujar Suro Bodong.
"O, itu yang namanya Kesultanan Praja?"
"Ya. Itu. Tempatnya cukup benderang. Ada tiga desa yang masuk dalam wilayah
Kesultanan Praja, di samping empat desa yang ada di sekitar pusat pemerintahan
Praja." "Uuuh. . nafasku tipis juga mendaki sebegitu tinggi. Sedangkan kau, kelihatannya
tak seberapa capek, juga tidak terlalu terenga h-engah."
"Aku sudah biasa naik turun gunung. Dulu aku bekas orang gunung. Bekas
pengembara dan. . "
Suro berhenti. "Hei, lihat itu. .!" Cindradani menuding ke arah jauh. "Lihat bola merah membara
itu.. !" Suro Bodong terbengong dengan mata memandang tajam. Ia menyaksikan sendiri
gerakkan semacam benda merah membara yang bergerak dari suatu arah. Melesat mirip meteor.
Dan, mata Suro semakin membelalak, setelah ia tahu, benda merah membara itu
masuk atau menghilang di tempat yang terang. Suro masih tertegun, nyaris tak
percaya dengan penglihatannya. Cindradani berseru lagi.
"Nah, itu lagi.. ! Lihat, bergerak dengan cepat seperti batu kawah yang
dilemparkan, bukan?"
"Gilaa...!" gumam Suro lirih,
"Itulah hati manusia, yang dibetot dari tempatnya oleh ilmu yang dimiliki
Latungga. Hati manusia itu dikirim ke tempat di mana Rajawana berada. Dan, lihat
lagi... benda itu menghilang di tempat yang sama, bukan."
"Gilaaaa..!" gumam Suro lagi seperti orang linglung.
"Pasti nanti akan ada lagi benda yang sama, dari arah yang berbeda tapi
menghilangnya di tempat yang sama."
"Gilaaa...!"
"Kau melihatnya, Suro?"
"Gilaaa...! "
"Husy!" tangan Cindradani menepak punggung Suro Bodong yang bagai terkesima
melihat peristiwa itu.
"Wajar kalau kau terheran-heran melihat hal itu, sebab baru kali ini kau
saksikan sendiri, bukan?""Dani, bukanmelesatnyabenda
ituyangmembuatkuherandangugup. . "
"Gugup" Kau gugup?"
"Ya," jawab Suro masih seperti orang menerawang, memandang tempat lenyapnya
benda tersebut.
"Kenapa kau sampai gugup" Baru melihat keanehan Rajawana kau sudah gugup.
Apalagi kalau melihat semua kesaktian Rajawana, apakah kau mampu untuk kencing
berdiri?" "Bukan kesaktian Rajawana yang membuatku gugup."
"Lalu apa?"
"Hilangnya benda itu!"
"Hilangnya?"
"Yah. . benda itu hilang persis di tempat yang terang itu, bukan" Dan, itulah
yang dinamakan Kesultanan Praja!"
"Astaga.. "!" Cindradani juga membelalakkan mata. Pedang tanpa sarung masih
digenggam di tangan, seakan ia seorang prajurit yang siap tempur.
"Kalau begitu, Rajawana sudah berada di Kesultanan Praja dan.. dan.. ." Sekarang
Cindradani kelihatan tegang.
"Rajawana memang sudah berada di sana. Pasti ia mencari Pendekar Tujuh Keliling,
yang kau ceritakan tadi."
"Ya, ya.. benar. Tapi, apakah ia akan semudah itu menemui Pendekar Tujuh
Keliling?"
"Tidak begitu mudah. Orang tersebut sukar ditemui, kecuali oleh perempuan."
"O, jadi.. jadi pendekar itu suka dengan perempuan?"
Suro mengangguk dan menahan senyum kakunya. Ia berkata tanpa memandang
Cindradani: "Hanya perempuan yang bisa memancing dia keluar! Hanya perempuan, apalagi
secantik kamu."
"Kalau begitu, biarlah kupancing dia keluar, lalu kita ajak berembuk di gubuk
kita tadi. Bagaimana?"
Suro Bodong menghela nafas. "Tak perlu," jawabnya lemas.
"Kenapa tak perlu?" desak Cindradani ingin tahu.
"Karena.. . karena dia jago merayu perempuan."
"Lalu?"
"Lalu, ya lalu." Suro bagai tidak bisa bicara lagi. Cindradani berkerut dahi
memandang Suro yang kelihatah tegar di keremangan cahaya bulan. Lelaki berkumis
tebal dengan rambut panjang tak terurus itu menggaruk-garuk kumisnya, seperti
menjadi suatu kebiasaan baginya. Cindradani sedikit menyimpan kecurigaan, kenapa
Suro berkata begitu. Kemudian, dengan mendesak dan rasa ingin tahu yang besar,
Cindradani bertanya lagi.
"Kalau pendekar itu pintar merayu perempuan, kenapa?"
"Bahaya."
"Bahaya bagaimana?"
"Ya, pokoknya berbahaya!"
"Jelaskan!"
Suro Bodong agak jengkel. Kemudian dengan nada kesal ia menjawab.
"Kau bisa terpikat olehnya, kau bisa jatuh dalam pelukannya. Dan, biasanya,
perempuan yang sudah jatuh dalam pelukan dia, jarang yang mau melepaskan."
Cindradani mencibir.
"Enak saja kau ngomong!"
"Itu kenyataan," kata Suro Bodong.
"Kalau memang kenyataan," Cindradani memandang arah terang di bawah sana.
"Berarti itu suatu keberuntungan bagi kita!"
"Bagimu keberuntungan," Suro menggerutu. "Bagiku mungkin malapetaka!"
Cindradani tersenyum, lalu tertawa pelan. Angin malam menyapu rambutnya,
menggerai-gerai lembut. Mereka berdiri tegak, dengan kaki sedikit merenggang.
Suro Bodong melipat kedua tangannya di dada, Cindradani mencantolkan kedua
jempol tangannya di ikat pinggang dari kain kuning. Dari bawah bukit, mereka
tampak seperti sosok bayangan malaikat pencabut nyawa. Angker, dan menyeramkan.
"Kalau Pendekar Tujuh Keliling mampu kusekap, lengket denganku. Maka, aku dapat
dengan mudah membunuh Rajawana. Setidaknya dia juga mau membantu kita
memusnahkan Rajawana dan Latungga. Iya, kan?"
"Pendekar itu jelek wajahnya!"
"Jelek tak jadi soal. Kamu saja jelek, tapi aku masih mau berteman denganmu."
"Orang cantik seperti kamu, sayang kalau jatuh dalam pelukan orang jelek."
"Ah, yang jelek kan rupanya. Hatinya belum tentu jelek."
Sebenarnya ada debar-debar kebanggaan di hati Suro mendengar ucapan Cindradani
itu. Tetapi, Suro tetap menahannya, dan belum ingin mencetuskan siapa dirinya.
"Aku akan turun menemui jagoan Kesultanan Praja."
"Jangan!" cegah Suro.
"Kenapa?"
"Kita tahu kalau Rajawana ada di sana. Kita tantang saja besok. Malam ini,
biarlah berlalu.
Percuma saja kita datang tanpa persiapan rencana yang matang. Kesultanan Praja
sudah dikuasai Rajawana."
"Lalu..?"
"Yah, sekarang lebih baik kita siapkan tenaga untuk besok. Kita bertarung
dengannya. Tapi sebelumnya, kita kembali ke gubuk kita, dan bertarung melawan.,.
melawan.. ." Suro menggeragap kebingungan, karena Cindradani menatapnya nanar.
"Demi dendamku kepada Rajawana, akan kuberikan apapun yang kau minta, asal kau
bantu aku membunuhnya," bisik Cindradani yang manis. Keredupan cahaya gubuk itu
membuat Suro Bodong makin terlena.
"Kau tak menyesal bergumul denganku, Cindradani?"
"Apalah artinya perempuan seperti aku, yang sudah dirusak kehormatannya oleh
Rajawana, yang sudah ditipu dan dibantai keluarganya" Kurasa tak ada lagi yang
perlu kupertahankan. Hanya satu sikap yang akan mempertahankan harga diriku,
yaitu: bunuh Rajawana!"
"Akan kau tikam sendiri dia?"
Ya." "Dan mungkin kau akan kutikam lebih dulu?"
"Suro... " Apa maksudmu?" bisik Cindradani.
"Malam ini juga, kutikam kau lebih dulu dengan kemesraan dan. . dan. . "
"Tikamlah.. ! Lekas, aku sudah tak sabar. .!"
Gubuk bergetar, karena irama di dalamnya sungguh menggetarkan persendian. Malam
yang sepi diterobos oleh hamparan nafas yang memburu dan pekikkan kecil yang
terlontar dari mulut Cindradani. Suro Bodong tidak perduli siapa Cindradani,
yang ada dibenaknya adalah wajah Sendang Wangi. Ya, istri yang membencinya,
ternyata mampu membuat Suro Bodong terbakar gairahnya.
Meletup-letup hasratnya. Cindradani menerima semua itu sebagai pelampiasan
kejantanan yang mengagumkan.
Hampir tak sempat Cindradani berhenti sejenak pun untuk melonggarkan pernafasan,
karena malam yang menghembuskan udara dingin itu semakin memacu erangannya,
semakin pula membakar jeritannya, bagai alam samudra yang membawa ia ke tengah
segara. Terayun-ayun dipermainkan ombak, terbuai lelap dibelai bisikan surga.
"Renggutlah semuanya, Suro.. ." Sebaris kata lirih sempat diulang-ulang, sampai
malam menjadi beralih dini. Suro Bodong dipeluknya kuat-kuat, sementara
keringatpun tak dihiraukan membasahi tikar lusuh dan tubuh mulus. Cindradani
bagai memperoleh semangat lebih besar untuk membunuh Rajawana. Kesegaran
badannya terpenuhi, dan mendesak dendam untuk segera membunuh.
Pagi yang segar. Langkah mereka semakin segar. Gerak mereka selincah semalaman.
Bukit di daki tanpa merasa kelelahan. Dan, mereka melaju terus menuju Kesultanan
Praja. Ada kesan terburu-buru di hati Cindradani. Suro Bodong tidak setuju
ketika Cindradani mengemukakan alasannya:
"Aku khawatir, Pendekar Tujuh Keliling itu sudah dipengaruhi Rajawana, dan
bertekuk lutut menjadi budaknya. Kita akan terlarnbat nantinya."
Tidak mungkin! Pendekar itu tidak mungkin bertekuk lutut kepada Rajawana."
"Kenapa kau yakin begitu?"
"Bukankah katamu pendekar itu sakti?"
"Memang. Tetapi, Rajawana punya banyak jurus-jurus licik yang mampu membuat
orang sakti manapun bertekuk lutut padanya."
"Akan kubuktikan kalau ada orang sakti yang tak mampu bertekuk lutut pada
Rajawana, sekalipun ia menggunakan jurus-jurus liciknya."
Cindradani menghela nafas, seakan pasrah kepada pendapat Suro Bodong. Langkahnya
semakin bersemangat. Tetapi, terpaksa berhenti mendadak. Hal itu dilakukan
karena Cindradani melihat dua orang berkuda sedang menghadang di depan jalan
mereka. "Hemm. . Baderi Darus dan Emandanu. . " gumam Suro pelan.
Cindradani berkerut dahi, heran. "Siapa mereka itu?"
"Orang-orang Kesultanan Praja."
"Oh, kita telah dihadang lebih dulu. Kau mengenal dia?"
"Ya. Baderi Darus yang bersenjata panah itu. Lihat, ia mulai mengambil busur
panahnya dari punggung. Ia memang seorang pemanah unggulan. Dan, yang hanya
bersenjata pedang itu adalah Emandanu. Dia seorang ahli senjata rahasia, juga
menguasai segala senjata, penjinak jebakan maut."
"Mereka bersikap memusuhi kita."
"Mereka akan menyerang kita, Dani. Bersiaplah, dan hati-hati dengan Emandanu,
setiap gerakkan tubuhnya dapat meluncurkan senjata tajam; bintang bersudut
delapan." "Aku tak gentar sedikit pun Suro. Aku sudah siap membunuh siapapun yang
menghalangiku!"
"Jangan bunuh dia, Dani, sebab. . " Belum selesai bicara, Suro Bodong lelah
lebih dulu melesat ke samping karena anak panah diluncurkan dari atas punggung
kuda.

Suro Bodong 17 Menembus Kabut Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Awas, Dani. .! Menghindar saja.. !" teriak Suro Bodong. Sementara itu, kuda
mereka semakin maju. Emandanu mengibaskan tangan kanannya dari ketiak ke depan.
Pada saat itulah, meluncur dua benda berkilat. Logam yang melesat cepat ke arah
Cindradani. "Ciiiaaat.. !"
Cindradani melompat sambil menangkis dua benda tersebut dengan kibasan pedangnya
ke kanan dan ke kiri.
"Triiing! Triiingg.. !"
Baderi Darus membidikkan anak panahnya kembali ke arah Suro Bodong. Pada saat
itu, Suro Bodong sedang bergerak hendak menghindari terjangan kuda Emandanu.
Dengan lompatan tinggi, Suro Bodong berhasil menangkap anak panah dari lawannya,
namun juga sekaligus kakinya menendang kuat ke arah lengan Emandanu. Emandanu
keh-langan keseimbangan, sebab ia harus memperhatikan tebasan pedang Cindradani.
Akhirnya, ia pun terjatuh dari punggung kuda dan mengaduh-aduh karenanya.
Pedang Cindradani berkelebat hendak merobek dada Emandanu. Tetapi, gerakkan siku
Suro Bodong membuat lengan Cindradani tersentak ke samping dan tak jadi membabat
dada Emandanu. "Apa apaan kau, Suro.. .! Brengsek!"
"Jangan bunuh dia! Jangan. .! Eh, awaaaas.. !"
Suro Bodong menubruk Cindradani hingga mereka berguling-guling di tanah. Kalau
hal itu tak dilakukan, maka punggung Cindradani akan terkena anak panah Baderi
Darus. Semakin bingung saja Cindradani menghadapi sikap Suro Bodong, yang kelihatannya
melindungi lawan, namun juga menjaga keselamatan Cindradani.
"Menjauhlah! Biarlah kuhadapi mereka!" teriak Suro.
"Apa maumu sebenarnya"!"
"Menjauhlah. Lekas, Dani.. ! Lekas. .!" Suro kalang kabut sendiri dan serba
bingung jadinya.
Sebatang kayu terpaksa diambil Suro Bodong dan dikibaskan ke belakang, karena ia
tahu Emandanu sedang melemparkan senjata rahasianya. Gerakkan Suro Bodong
sungguh tepat. Dua senjata berbintang sudut delapan menancap pada baiang kayu
kering itu. Kemudian, dengan cepat kaki Suro Bodong menghentak ke samping dalam
gerak setengah memutar tubuh.
" Aaaaaooowww...!"
Emandanu memekik sambil terpental karena dagunya terkena tendangan Suro Bodong.
Sementara itu, Baderi Darus membidikkan anak panahnya ke tubuh Cindradani. Seet.
.! Anak panah melesat dengan cepat, tetapi Cindradani mengibaskan pedangnya
dalam tiga putaran beruntun.
"Traaak. .!" Anak panah berhasil dipatahkan sebelum sampai ke lehernya. Pada
saat itu, Cindradani bagai tak punya kesabaran lagi. Ia menghentakkan pedangnya
ke depan setelah meludahi ujung pedang itu. Dengan kedua tangan, pedang
dihentakkan ke depan, dan tiba-tiba bagai sebuah gumpalan lahar cair yang kental
melesat ke arah Baderi Darus. Dengan sedikit terlambat, Baderi menghentakkan
kudanya untuk menghindar. Tetapi kuda itu meringkik dan melonjak kesakitan,
sebab benda lembek seperti bara panas itu melekat di paha belakangnya. Membakar
kulit kuda hingga mengepulkan asap dan bau daging hangus. Tentu saja kuda
tersebut melonjak-lonjak dan Baderi Darus terpental dari punggung kuda.
"Kubunuh kau, Bajingaaaan.. !" teriak Baderi Darus seraya menghambur mencabut
pedangnya ke arah Cindradani.
"Traang. .! Traang. .! Traaaang.. !"
Kedua pedang beradu. Cindradani juga lincah bermain pedang, mengibaskan ke kanan
kiri, atas bawah. Baderi Darus bagai sulit mendapat kesempatan untuk menggores
bagian tubuh Cindradani.
Malahan, kali ini ia terpental, karena tanpa diduga kaki Cindradani melesat
sambil membalikkan badan ke belakang. Kaki itu mengenai dada Baderi hingga
membuat Baderi Darus mendelik sambil terpental beberapa langkah dari tempatnya.
Emandanu seperti orang yang belum pernah mengenal Suro Bodong. Ia membabi buta
dalam serangannya. Pedangnya diayunkan berulangkali sambil ia melompat dan bersalto
menyerang Suro Bodong. Sekalipun Suro tanpa pedang, namun ia sempat menghindari
tebasan pedang Emandanu.
Hanya saja, pada satu kesempatan, Suro terpaksa terpental menabrak pohon, lalu
pipinya tergores ranting kecil dan berdarah. Itu akibat pinggang Suro sempat
ditendang Emandanu dengan telak dan kuat, sehingga Suro Bodong kehilangan
keseimbangannya.
"Modar kau sekarang, Hiaaat.. !"
Suro Bodong yang masih bersandar pada batang pohon itu diserang Emandanu dengan
pedang yang meluneur lurus ke arah dada Suro Bodong. Cepat sekali Suro Bodong
berkelit ke kiri, dan pedang itu pun terbenam di batang pohon. Kesempatan baik
bagi Suro untuk menyodorkan sikutnya ke bagian bawah ketiak, agak ke belakang
sedikit, "Haaah.. !"
"Dug. .!"
Dan, seketika itu, Emandanu mendelik, wajahnya terangkat ke atas, menyeringai
sakit. Tangan kirinya ke atas, sedang tangan kanannya berusaha mencabut pedang.
Kaki kanannya ditekuk, sedang kaki kirinya lurus ke belakang. Ematidanu diam,
kaku. Ya begitu itu. Ia terkena totokan jitu dari siku Suro Bodong. Ia tak dapat
bergerak, sekalipun mengedipkan mata.
"Maaf, Kawan.. ! Terpaksa kulakukan demi keselamatan kita bersama...!" ujar Suro
Bodong. "Hiaaattt...!" jetitan Baderi Darus mengagetkan Suro Bodong. Lelaki berkumis
tipis itu menyerang Cindradani dengan gerakkan bersalto. Cindradani sudah
meludahi ujung pedangnya lagi, kemudian dihentakkan pedang itu ke arah Baderi.
Melesat cairan kental yang membara bagai lahar gunung ke arah Baderi Darus
"Hiiiaaattt...!" Suro bodong yang terkejut segera melompat dengan kaki kanan
lurus ke samping, dan tepat menghajar tubuh Baderi. Tubuh itu terpental ke arah
lain, sehingga selamat dari serangan Cindradani Cairan kental seperti lahar itu
menempel pada pohon, lalu pohon itu pun terbakar kendati tanpa api yang menyalanyala. "Lagi-lagi kau menyelamatkan musuh!" teriak Cindradani dengan kesal.
"Jangan bunuh dia! Lihat, yang itu pun tidak kubunuh!"
"Kenapa" Kenapa kau begitu, hah"!"
Suro Bodong belum menjawab, tapi ia telah melompat karena tahu-tahu Baderi
meluncurkan panahnya ke arah Suro Bodong. Tanpa disengaja, Suro Bodong bersalto
lima kali dalam lompatannya.
Dan, secara dengan sendirinya, maka itu berarti Suro telah menggunakan jurus
Luing Ayan-5. Ketika ia mendaratkan kaki ke tanah, maka tubuhnya sudah berubah menjadi lelaki
tua, kakek berambut putih dengan jubah warna putih semua. Di tangannya memegang
tongkat berujung tengkorak kecil. Rambut putih, mata sipit dan kumis yang putih
pula itu membuat Cindradani terbelalak seketika.
Ia tertegun seperti orang bego, menyaksikan kaki lelaki tua itu berkelebat ke
belakang dan tepat mengenai wajah Baderi Darus yang hendak mengibaskan pedangnya
dari arah belakang.
Baderi Darus sempoyongan sambil memekik kesakitan. Mulutnya berdarah. Dan, ia
dalam keadaan limbung. Lelaki tua itu menggunakan kesempatan emas untuk menyodokkan
ujung tongkatnya ke punggung Baderi Darus. Rupanya sodokkan itu tepat mengenai
urat nadi jalan darahnya, sehingga Baderi Darus tertotok oleh lelaki tua
tersebut.Tubuhnya menjadi lemas, lunglai, seperti cucian basah. la hanya
merintih dengan suara pelan dan tak dapat bergerak apa-apa.
Cindradani gemas kepada Baderi, ia segera mengayunkan pedangnya dari atas ke
bawah, hendak membelah kepala Baderi Darus. Tetapi, tongkat kakek berjubah hijau itu
bergerak cepat,
"Traaang. .!" Menghadang kibasan pedang Cindradani.
"Jangan bunuh dia...!"
"Siapa kau sebenarnya!" gertak Cindradani. Matanya memandang tajam pada kakek
tua itu. "Aku Rekso Upo. .!"
"Siapa itu Rekso Upo, aku tidak kenal!"
"Aku sendiri tidak kenal, apa lagi kamu!"
"Kubunuh kau kalau bicara seenaknya di depanku!"
"Aku. . sebenarnya Suro Bodong. Aku telah berubah menjadi seperti ini, karena
aku tak sengaja mengeluarkan jurus Luing Ayan-5. Wah, aku bisa berubah macammacam, seperti yang kau ceritakan di gubuk itu, karena akulah Pendekar Tujuh
Keliling yang kau cari-cari itu... "
Cindradani terbelalak lebar-lebar dengan mulut terperangah. Rekso Upo cengar
cengir seperti orang membanggakan diri, jalannya dibuat gagah, kendati masih
sering terbatuk-batuk sesekali.
"Aku. . aku tidak percaya...!" Cindradani tegang dalam kebingungannya yang
sangat menyiksa jiwanya"Tidak percayakalauakuseoranglelaki?"
"Bukan itu! Aku tidak percaya kalau kau Pendekar Tujuh Keliling!"
"Ya, sudah. Kalau begitu aku juga tidak percaya kalau aku ini Pendekar Tujuh
Keliling.. ." Rekso Upo bicara seenaknya. Ujud ketuaannya sangat kontras dengan
lagaknya yang masih seperti anak muda.
Cindradani merasa dipermainkan, segera ia menggerakkan pedangnya. Ujung pedang
ditempelkan ke leher kanan Rekso Upo seraya ia menggertak:
"Katakan dengan jujur, siapa kau, hah"!"
"Menurutmu siapa aku?"
Cindradani dalam kebingungan yang menjengkelkan. Ia menghentak sendiri. Gemas.
Tak jadi menodongkan senjata. Ia kemudian duduk di sebuah batu yang ada tak jauh
dari tubuh Emandanu yang menjadi seperti patung itu. Ia merenung sedih dan kesal
sendiri. Rekso Upo berjalan dengan santai, bagai anak muda ingin merayu
pacarnya. "Aku Suro Bodong, yang semalam saling berpacu nafas denganmu, Dani. . "
Cindradani sedikit tersentuh hatinya, karena hanya Suro Bodonglah yang
memanggilnya dengan sebutan nama: Dani! Ia memandang Rekso Upo sampai beberapa
lama dalam keheranan.
"Benarkah, kau Suro Bodong?" Suara Cindradani lirih.
"Sumpah! Demi ikan ayam panggang! Aku Suro Bodong yang dijuluki Pendekar Tujuh
Keliling dari kesultanan Praja!"
"Tapi.. . mengapa kedua orang Kesultanan ini menyerangmu?"
"Inilah yang kubingungkan. Semua orang sekesultanan, bahkan sultanku sendiri,
istriku sendiri, membenciku habis-habisan. Mereka sepertinya tidak mengenal aku
sama sekali!"
"Hem.. kalau begitu Rajawana telah menjalankan kelicikkannya. Ia membuat
pandangan dan pikiran semua orang kesultanan berubah. Mereka yang membencimu,
jadi semakin benci, dan yang menyukaimu juga menjadi benci! Rajawana yang bikin
ulah seperti ini!"
6 Mata Cindradani memandang ke langit ketika mereka telah meninggalkan tempat
pertarungan dengan Emandanu dan Baderi.
"Lihat, langit menjadi kemerah-merahan, kan?"
"Apa tandanya itu?" tanya Rekso Upo. "Itulah pengaruh yang menggganggu pikiran
manusia." "Pengaruh?"
"Rajawana punya ilmu kesaktian yang mampu membuat manusia berpikiran terbalik.
Salah satu yang pernah kudengar dari orang-orang persilatan, ia mampu membuat
orang benci menjadi suka, orang suka menjadi benci. Ia mampu merubah udara yang
segar menjadi beracun. Racun itu tidak selalu memakan, namun bisa jadi hanya
merubah pikiran manusia. Kurasa, Rajawana telah menciptakan iklim baru di
kesultananmu, sehingga langit menjadi kemerah-merahan, tidak putih bejsih. Itu
tanda bahwa udara yang dihirup orang satu negeri dapat mempengaruhi perubahan
pikirannya."
"Oooo.... pantas istriku sendiri membenciku dan tidak mengenalku, bahkan minta
supaya aku dihukum gantung!"
"Itulah kekejaman Rajawana yang licik."
"Lalu, bagaimana dengan orang satu desa yang mati dalam keadaan seolah-olah
sangat ketakutan"
"Rajawana mencoba pengaruh racun udara. Mungkin sebelum digunakan uiituk
membungkus alam Kesultanan Praja, ia coba lebih dulu untuk satu desa. Jika
ternyata orang satu desa mati, maka ia menggunakan cara lain untuk membuat orang
kesultanan tidak mati, namun alam pikirannya berubah."
"Hemm. . " Rekso Upo manggut-manggut. "Pantas orang Desa Klampis mati semua.
Mungkin di sanalah ia mencoba kekuatan iblisnya itu. .!"
"Kau tak merubah dirimu menjadi Suro Bodong lagi?" kata Cindradani setelah
beberapa saat mereka membisu.
"Nanti saja. Kalau sekarang aku merubah ujiidku menjadi Suro Bodong, prajurit
kesultanan akan mengenaliku, dan mereka akan melampiaskan kebenciannya kepadaku.
Tapi, dengan keadaan seperti ini, orang tak banyak tahu, siapa aku."
Kini, Cindradani yang manggut-manggut, memahami maksud Suro Bodong. Sekalipun ia
merasa tak enak berjalan bersama lelaki tua berambut dan berkumis putih, namun
ia bisa segera menyisihkan perasaan seperti itu. Bahkan hatinya mulai tumbuh
kebanggaan dan kelegaan, bahwa selama ini sebenarnya dia sudah berhasil memikat
Pendekar Tujuh Keliling. Ini suatu kelegaan bagi Cindradani, sebab dengan begitu
Rajawana akan gagal memperbudak Pendekar Tujuh Keliling yang disebut sebagai
jagoan Kesultanan Praja.
Tiba-tiba tangan Cindradani menggeret tangan Rekso Upo ke rimbunan pohon.
"Ada apa?"
"Ssssstt...! Lihat lelaki yang berjalan menuju ke sana itu.. . Lihat. . "
"Ya, aku melihat seorang perempuan sedang berjalan dengan tegap."
"Ah, dasar rabun! Dia bukan perempuan. Dia lelaki."
"O, ya" Lalu, apa maksudmu?"
"Itu yang namanya Latungga...!" bisik Cindradani.
"Ooooh...!" Rekso Upo manggut-manggut. "Dia sedang menuju ke arah alun-alun."
"Pasti untuk menemui Rajawana."
"Kalau begitu, kita cegat saja dia!"
"Jangan! Buang-buang waktu!"
"Tak apa! Kita cegat dan kita penggal kepalanya, lalu kita tendang ke alun-alun
untuk memancing keluarnya Rajawana dari dalam kesultanan. Kalau tidak begitu,
agak sulit juga memancing keluarnya Rajawana. Belum tentu ia mau melayani kita.
Sebab ia merasa sudah berhasil menguasai orang-orang kesultanan, dan ia mengira
aku akan bertekuk lutut menjadi budaknya."
"Hem.. . apakah.. . apakah kau sanggup mengalahkan Latungga" Aku pernah nyaris
mati di tangannya ia sakti dan kejam!"
"Ah, itu soal kecil. Aku sendiri bisa mengatasinya!"
Rekso Upo yang tua tapi masih bergerak lincah itu segera memotong jalan.
Menghadang arah tujuan Latungga. Sedangkan Cindradani mengikuti dari belakang.
Dan, ketika lelaki separoh baya berkumis tipis dengan tubuh tegap tanpa baju itu
membelok ke suatu likungan, Rekso Upo telah menghadangnya. Ia terkekeh-kekeh
memandang Latungga dengan seringai ketuaannya. Latungga menampakkan
kedongkolannya.
"Setan tua.. ! Mau apa kau menghadangku, hah"!"
"Mau apa, ya. Hmmm. .?" Rekso Upo memikir bagai ingin menyebutkan sesuatu.
"Aku mau rujak.. !" Rekso Upo tak serius.
"Bangsat! Kau pikir aku penjual rujak"!"
"Rujak nyawa, he, he, he. .!" Seenaknya saja Rekso Upo kalau bicara.
Cindradani muncul di belakang Rekso Upo. Kemunculannya itu membuat Latungga yang
berwajah kaku menjadi terbelalak kaget.
"Kuntilanak busuk. .!" cacinya. "Masih hidup juga kau"! Kukira sudah di alam
kubur!" "Kau dulu yang ke sana, baru aku menyusulmu!" jawab Cindradani dengan berani,
sebab ia punya andalan yaitu Rekso Upo. Latungga tidak tahu siapa kakek tua itu.
"Apa mau kalian berdua, hah?" Latungga memegang gagang pedangnya, siap dicabut.
Rekso Upo terkekeh sebentar, lalu berkata.
"Yang kami mau, rujak nyawamu.. ! Serah kan nyawamu untuk kami rujak! Karena
selama ini kau telah menjadi pembunuh paling keji! Kau ambil hati manusia tak
berdosa, dan kau berikan kepada Rajasinga.. !"
"Uusy! Rajawana.. !" bisik Cindradani.
"Aku dulu pernah kena raja singa, jadi maunya bicara begitu terus," bisik Rekso
Upo. "Kalian benar-benar cari mampus. Hiaaattt...!" Latungga mengibaskan pedangnya
dengan cepat ke arah leher Rekso Upo. Dengan melompat ke belakang sedikit, Rekso
Upo menghadang pedang memakai tongkatnya yang dipegang dengan kedua tangan. Kaki
Latungga maju menendang lurus ke depan, kaki Rekso Upo menghentak ke atas
menyusul gerakkan kaki lawan. Betis Latungga terkena tendangan keras, hingga
Latungga terpelanting ke belakang, lalu jatuh telentang.
"Alaaaa... ini semua sama saja berkelahi sama kambing jalang. Nafsu besar


Suro Bodong 17 Menembus Kabut Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerakkan kurang, he, he, he.. !" Rekso Upo sengaja memancing kemarahan Laiungga
dengan hinaan seperti itu. Sementara, Cindradani hanya diam saja, menjauh di
bawah pohon, menyaksikan kehebatan gerakkan Rekso Upo yang sangat cepat, di luar
daya tangkap penglihatan mata manusia
Latungga menggerakkan pedangnya ke kiri dan ke kanan, semacam sebuah jurus
pembuka. Rekso Upo diam saja, bertopang tongkatnya. Seakan ia menyaksikan sebuah atraksi
silat gaya aneh.
Latungga tiba-tiba berputar seperti gangsing, cepat sekali. Dan tiba-tiba, ia
berhenti dengan pedang dilepaskan ke arah Rekso Upo. Tongkal Rekso bergerak
hendak menangkis, tapi tidak jadi. Justru ia melompat ke kiri menghindari pedang
itu, yang ternyata telah berubah menjadi ular kobra berkepala tiga.
"Aaaah. .!" Cindradani menjerit ketakutan, sekalipun ular kobra berkepala tiga
itu tidak mengejarnya, melainkan mengejar Rekso Upo, Tubuh lelaki tua itu
melesat ke atas menghindari serangan ular berkepala tiga yang ganas. Pada saat
ia melayang, ia telah menghentakkan tongkatnya ke bawah. Jauh dari ular
tersebut. Tetapi, nyatanya ketiga kepala ular itu jadi remuk seketika terkena
hawa sodokkan tongkat Rekso Upo. Latungga membalalak penuh kemiarahan. Ular itu
berubah menjadi pedang yang remuk gagangnya.
"Baiklah, Monyet tua.,.! Kalau kau memang sakti, pandanglah mataku! Kalau kau
tahan memandangnya, aku akan mengabdi kepadamu seumur hidupku. .!" kata Latungga
dengan kedua tangan mengepal.
"Jangan tatap matanya!" teriak Cindradani. "Aku dikalahkan dengan cara itu!"
"Diam kau, Monyet betina.. ! Hiaaattt.. !" Latungga menggerakkan telapak
tangannya ke samping pinggang, agak maju. Kemudian ada sinar perak kemilau yang
memancar mengenai Cindradani, sehingga perempuan itu menjerit bagai kepanasan
dan sempoyongan maju bagai tersedot oleh kekuatan itu.
"Plaak. .!" Tongkat Rekso Upo melesat dan menampar pelipis Latungga Tongkat itu
bagai bisa menjadi panjang sendiri dalam seketika. Padahal jarak Rekso Upo
dengan Latungga lebih dari tiga kali ukuran tongkat. Hebat! Tua-tua berani
nekad! Latungga terguling-guling dengan kepala berlumur darah. Pukulan tongkat itu
begitu keras dan cepat sekali. Kali ini, Rekso Upo memburu Latungga dengan
gerakkannya yang gesit dan lincah. Ia melompat, dan berdiri di depan Latungga.
Tubuhnya bergerak ke samping kiri dengan merendah, sementara ujung tongkatnya
digerakkan dengan kuat ke arah leher Latungga.
"Haaap...!"
Gerakkan itu singkat. Tepat. Cepat, dan seperti kilat. Mata Cindradani yang
berkunang-kunang akibat tenaga dalam Latungga tadi tak sempat memperhatikan
gerakan tongkat tersebut. Tahu-tahu ia mendelik sendiri melihat kepala Latungga
telah menggelinding, terpisah dari lehernya.
"Suro..."! Apa yang telah kau lakukan"!"
Rekso Upo menjawab santai, "Yah, sekedar potong bebek angsa, Dani.. !" kemudian
ia terkekeh-kekeh menghampiri Cindradani. "Hei, kau tak apa-apa, bukan?"
"Hanya sedikit pusing. Kalau kau terlambat bertindak, maka hatiku akan
secepatnya tersedot oleh kekuatannya dan dikirim ke Rajawana."
"Ah, tapi hatimu masih, kan" Masih melekat di hatiku juga kok. he, he, he. .!"
Dengan bangga, Rekso Upo menenteng kepala Latungga. Ia melangkah ke alun-alun,
di depan pintu gerbang kesultanan ia berhenti didampingi Cindradani. Ia berseru
kepada pengawal yang berdiri di depan pintu gerbang.
"Hei, pengawal. .! Panggil orang yang bernama Rajawana! Beritahu padanya, Rekso
Upo menunggu di sini, membawa bingkisan untuknya! Jelas"!"
Tentu saja beberapa prajurit berlarian. Mereka ngeri melihat kepala manusia
ditenteng-tenteng seperti durian busuk. Mereka segera melaporkan hal itu kepada
sultan. Sementara, Rekso Upo dan Cindradani menunggu di luar dengan sikap tak
sabar. Beberapa prajurit telah mengepung alun-alun, karena mereka yakin akan
terjadi suatu pertarungan besar. Paling tidak usaha untuk menangkap orang tua
dan seorang perempuan canlik itu. Mereka tak ada yang tahu kalau orang tua
berambut putih dan berjubah hijau itu adalah Suro Bodong. Tak begitu jelas
kebencian di wajah mereka, namun andai mereka tahu, orang itu adalah Suro
Bodong, sudah tentu mereka akan brutal dan menyerbunya.
Sultan dan beberapa pejabat kesultanan lainnya muncul dari pintu gerbang dengan
pengawalan ketat. Nyi Mas Seudang Wangi juga ada di sana. Dan, hati Rekso Upo
jadi gemetar melihat istrinya berdiri di samping lelaki tak dikenal. Lelaki itu
mengenakan celana merah dan baju lengan panjang juga merah berhias benang emas.
Ia mengenakan rangkapan rompi panjang yang ketat dengan badan, warnanya biru
muda. Tubuhnya sedang-sedang saja. Tetapi ia mempunyai pedang emas yang
disandang di pinggangnya, dan busur serta anak panah ada di punggungnya.
Kumisnya tipis, matanya kecil, sadis.
"Itu dia yang bernama Rajawana... yang mengenakan pakaian merah dan rompi
biru. .! Hati-hati dengan panahnya. Itu panah pusaka kami. Ingat, jangan
menghadap ke Utara kalau bertanding melawannya! Dia akan melepas kan anak panah
itu, dan anak panah satu akan menjadi seribu! Susah dihindari!" bisik Cindradani
kepada Rekso Upo. Yang dibisiki hanya menggumam lirih. Segera Rekso Upo
berteriak dari alun-alun.
"Siapa yang bernama Rajawana..."! Majuuuu.. ! Ada pembagian jatah untukmu.
Ini. .!" "Weeeeerrr...!" Kepala Latungga dilemparkan begitu saja, dan jatuh menggelinding
di depan Sultan Jurujagad. Semua orang jadi tegang, mundur dan menyeringai
ngeri. Kepala Latungga itu tepat berada di depan Rajawana. Menggeramlah lelaki
bertampang bengis itu, kemudian menataplah ia pada lawannya di alun-alun
berumput hijau itu.
Rekso Upo masih berteriak dengan serak, "Itu jatah buat kamu, Rajasinga.. !
Jatah perang.. !"
"Ini sebuah tantangan yang amat memalukan!" geram Rajawana yang sempat
menggetarkan hati sultan sendiri.
Ketika Rajawana maju ke alun-alun, Rekso Upo berbisik, "Hati-hati, Dani.. . jaga
jarak. Kau hanya boleh memanfaatkan waktu dan peluang yang terbaik untuk
membunuhnya!"
Cindradani mundur beberapa langkah, namun matanya tetap terarah kepada Rajawana.
"Siapa kau, Babi Peot..."! Berani-beraninya kau memenggal kepala Latungga,
hah. ."!" Rajawana bergerak menyamping, mencari posisi supaya dirinya berada di
arah Utara, sehingga dengan demikian ia akan dapat memanah lawannya yang ada di
Selatan. Tapi, agaknya Rekso Upo tidak tolol. Ia juga bergerak menyamping, dan
tidak mau berada di Selatan.
"Rajasinga...! Sudah saatnya kau berhadapan denganku!" kata. Rekso Upo sambil
mengatur posisi agar tidak di Selatan. "Kalau kau ingin seperti pengawal setiamu
itu, aku siap mengerjakannya sekarang!"
'Babi panggang kau.,.!" bentaknya
"Kau panggangan babi. .!" bentak Rekso Upo.
"Hiiiiaaattt...!" Tiba-tiba dari telapak tangan Rajawana keluar semacam batu
hitam yang melesat cepat ke arah Rekso Upo. Tangan Rekso Upo yang mengibaskan
tongkat bergerak cepat, tahu-tahu batu hitam sebesar buah duku itu terpental ke
atas dan meledak di sana. Ledakkannya sempat membuat telinga menjadi pengang.
Rajawana sendiri tak sempat melihat gerakkan tongkat Rekso Upo. Ia segera
melompat ke arah kanan Suro Bodong yang berujud Rekso Upo itu. Tetapi, Suro
Bodong atau Rekso Upo segera melompat ke sampingnya sehingga ia tidak berada di
posisi Selatan. Diam-diam, Cindradani mengikuti setiap gerakkan Rajawana, sebab
ia juga tidak mau berada di Selatan musuh yang bekas suaminya itu.
"Kubeset kulit tuamu sekarang juga, Monyet peot.. !" geram Rajawana seraya
mencabut pedangnya.
"Sreeet.. !" Pedang emas itu memancarkan kemilau kuning emas yang menyilaukan.
Ketika ia melompat sambil mengibaskan pedang, keluarlah jarum-jarum kecil yang
terarah bagai pagar melayang.
Semuanya bagai hendak menyekap Rekso Upo. Dengan gerakkan cepat, Rekso Upo
melompat dan memutar tongkatnya seperti kipas angin yang berputar dengan cepat
sekali. Begitu ia mendaratkan kaki, semua jarum telah menempel di tongkat itu
dengan rapi, seperti berbaris dari atas ke bawah.
"Rekso. .! Awas, dia berada di Utaramu!" teriak Cindradani.
Kaget sekali Rekso melihat Rajawana sudah berada di sebelah Utaranya, bahkan
sedang menyiapkan busur dan anak panah Cakrabayanya. Secepatnya Rekso bersalto ke
belakang, tinggi, berguling tujuh kali melewati kepala Rajawana. Ketika Rekso
menjejakkan kakinya ke tanah, ujudnya telah berubah menjadi pendekar tampan,
berpakaian perak, berwajah halus, lembut, dan menyandang pedang di punggungnya.
Rambutnya yang indah telah diikat dengan rantai emas bermata merah delima.
Dialah Suro Bodong, yang sudah berubah ujud menjadi Panji Bagus, karena bersalto
di udara sebanyak tujuh kali. Dan, itulah jurus Luing Ayan-7 yang digunakannya.
Cindradani tertegun beberapa saat melihat perubaban Rekso Upo menjadi Panji
Bagus, pendekar tampan yang menggetarkan hati setiap wanita. Namun, Cindradani
buru-buru membuang khayalannya.
Ia harus bersiaga pula menghadapi serangan Rajawana sewaktu-waktu.
Rajawana sempat tertegun ketika berpaling ke belakang, dan ternyata sesosok
lelaki tampan sudah berdiri di belakangnya. Ia tak jadi memanah, sebab itu siasia. Lawannya ada di Utara. Ia meletakkan panahnya kembali ke punggung, dan
segera mencabut pedang emasnya. Namun, sebelum ia sempat mencabut, Panji Bagus
telah bergerak lebih dulu mengibaskan pedang dari punggung ke arah kepala
Rajawana. Pedang itu bagai hanya gagangnya saja, sedangkan mata pedangnya tampak
seperti samar-samar karena cahaya ungu yang berpijar-pijar indah itu. Pedang
Urat Petir dikibaskan dan membuat pundak Rajawana terkoyak sebagian.
"Aaaaahhh.. !" Rajawana memekik keras. Namun, ia tetap mencabut pedangnya
kembali, dan dikibaskan ke dada Panji Bagus.
"Traaang. .!" Pedang beradu. Tak lama kemudian diketahui, bahwa pedang emas itu
patah menjadi tiga bagian. Rajawana terbengong dengan tegang sekali.
Namun, beberapa saat kemudian, ganti Panji Bagus yang terbengong melihat luka di
pundak telah hilang. Kering dan seperti sediakala kembali. Tak ada luka. Hebat!
Tubuh Rajawana bagai tak bisa dilukai. Luka sedikit, sembuh secepatnya. Inilah
yang diceritakan Cindradani. Memang benar. Bahkan Pedang Urat Petir pun tak
mampu melukai sampai berlarut-larut. Rajawana kembali segar dan siap bertarung
kembali. Sia-sia saja menurut Panji Bagus jika melawan Rajawana dengan cara
seperti itu. Ia segera menggunakan jurus Pedang Colok. Pedang yang memancarkan cahaya ungu
indah itu ditusuk-tusukkan ke tempat kosong, ke arah depan, tujuh arah gerakkan.
Setelah itu, Panji Bagus mengibaskan pedang dari jarak tujuh langkah.
"Weesss.. !" Ada sinar tipis yang melesat dari tepian pedang, tak terlihat mata.
Sinar itulah yang merobek mata Rajawana sehingga melengkinglah suaranya
menjerit-jerit.
"Bangsat.. ! Aku buta...! Aaaaah.. . biadab kauuuu. .!"
Rajawana buta. Meraba, menggeragap, mengibaskan pedang tanpa aturan, sementara
itu Panji Bagus tetap menjaga jarak.
"Aaaauuuhh. . perih. . ! Perih sekali, bangsaaat!. .!"
Panji Bagus memberi isyarat dengan kerlingan mata kepada Cindradani. Kemudian ia
berguling ke kanan beberapa kali, dan kakinya menghentak ke atas, kena pada alat
vital Rajawana itu. Semakin menjerit ia, tubuhnya terlonjak ke atas, dan sekali
lagi Panji Bagus melesat ke atas juga, menendang Rajawana dengan keras.
"Aaaaooooow...!"
Rajawana terlempar di udara beberapa meter. Saat itu, Cindradani bergerak
menghadang melambungnya tubub Rajawana. Dan tepat ketika tubuh itu bendak turun ke bawah
dalam posisi tak dapat menjaga keseimbangan, Cindradani menggerakkan pedangnya
ke atas kuat-kuat:
"Hiiiaaattt...!! " Suara teriakkannya melengking panjang, bagai pelampiasan
sebuah dendam kesumat.
"Aaaaaaahhh.. !"
Rajawana menjerit, menggema dan mendirikan bulu kuduk. Pedang Cindradani tepat
menancap di dubur Rajawana tanpa ampun lagi. Dan hampir separoh pedang yang
masuk ke dalam dubur itu.
Cindradani tidak mencabutnya Rajawana menggelepar dengan teriak mengerikan.
Banyak orang yang menutup telinga karena tak tahan mendengar jeritan yang amat
mengerikan itu. Sampai akhirnya, Rajawana pun lemah. Berkelejot. Kejel-kejet.
Kemudian meregang, menghembuskan natas, dan mau takmau ia mati dengan dubur
tertancap pedang.
"Kaukah Suro Bodong juga..."'" lanya Cindradani dengan menitikkan air mata
kegembiraan. "Ya. Aku Suro Bodong, Rekso Upo tadi, dan.... sekarang inilah ujudku dalam
pengaruh ilmu Luing Ayan 7. Aku, Panji Bagus.. !"
"Ohoo... Suroooo...!" Cindradani mendekap Panji Bagus kuat-kuat. Tangisnya
tangis kegembiraan yang tak mampu lagi ditahannya dalam hati. Panji Bagus
mencium kening Cindradani seraya berbisik, "Sudah selesai, Dani. . ! Semuanya
sudah kembali menjadi nyata.. !"
"Suro...!" teriak Ki Palih Danupaksi sambil berlari-lari. "Apa yang terjadi,
hah" Ada apa" Ke mana saja kau"!"
"Panji.. ." bisik Cindradani. "Awan merah telah lenyap, itu pertanda istrimu
telah menunggu. . "
Panji mengecup kening sekali lagi.
Kemudian, alam pun menjadi riuh. Mereka bagai baru saja menyongsong pagi dan
terbangun dari tidurnya.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Suling Emas Dan Naga Siluman 10 Si Racun Dari Barat See Tok Ouw Yang Hong Tay Toan Karya Jin Yong Keris Pusaka Nogopasung 4

Cari Blog Ini