Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 13

08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 13


Karena itulah, maka Agung Sedayu pun kemudian memutuskan untuk tidak memberitahukan keadaan Sekar Mirah kepada gurunya dan juga kepada Ki Demang di Sangkal Putung.
Ki Gede menanyakan hal itu, maka Agung Sedayupun menjawab sebagaimana dikatakan oleh Sekar Mirah, bahwa ia tidak ingin mengejutkan dan mungkin merepotkan ayahnya.
Dengan demikian, maka obat yang kemudian diberikan kepada Sekar Mirah adalah obat yang sudah ada pada Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa obat itu pun telah memadai, sehingga Sekar Mirah tidak memerlukan pertolongan para tabib yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, Kiai Bagaswara yang telah membunuh murid saudara seperguruannya meskipun ia tidak bermaksud melakukannya itu, masih juga berada di rumah Agung Sedayu bersama Kiai Jayaraga. Rumah yang tidak terlalu luas, namun cukup untuk menempatkan orang orang tua itu di dalam bilik yang sempit.
Tetapi agaknya kematian Tumenggung Purbarana itu berpengaruh juga atas perasaan Kiai Bagaswara. Untuk beberapa lama ia menjadi perenung. la lebih senang duduk menyendiri sanbil membayangkan peristiwa yang telah terjadi atas saudara seperguruannya dan atas murid saudara seperguruannya itu yang telah dibunuh dengan tangannya.
"Kematian yang pahit" setiap kali Kiai Bagaswara itu bergumam bagi dirinya sendiri.
Bahkan setiap kali Kiai Bagaswara itu menimang keris Kiai Santak yang kemudian disimpannya. Seaakan tidak ada orang yang akan berhak menerima warisan itu. Murid saudara seperguruannya yang lain ang pantas untuk menerima warisan itu telah terbunuh pula oleh Purbarana dan orang orangnya. Bahkan seakan akan seisi padepokan itu telah dimusnakannya.
Dalam kekeruhan nalar itu, Kiai Bagaswara berusaha membayangkan orang orang yang pernah dikenalnya. Yang ada di rumah itu adalah Kiai Jayaraga, Agung Sedayu, Sekar Mirah yang sedang sakit, dan Glagah Putih.
Menurut pendapatnya Kiai Jayaraga adalah seorang yang sudah seusia dengan dirinya, serta memiliki ilmu yang tinggi, sehingga ia tidak memerlukan apapun lagi. Agung Sedayu pun ternyata seorang yang luar biasa. Tanpa senjata apapun Agung Sedayu akan terlalu sulit untuk dapat dikalahkan. Apalagi ternyata kemudian Kiai Bagaswara mengetahui, bahwa Agung Sedayu sebenarnya telah memiliki sejenis senjata yang jarang dipergunakan oleh orang lain. Cambuk yang nggegirisi. Apalagi di tangan anak muda yang berilmu tinggi sekali itu. Sementara itu, Kiai Bagaswara pun mengetahui, bahwa Sekar Mirah telah memiliki pula pusaka peninggalan gurunya, sebatang tongkat baja putih yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Meskipun sifat dan watak tongkat baja putih Sekar Mirah berbeda dengan sifat dan watak keris Kiai Santak yang garang, namun dengan kemampuan yang mendasar dari ilmu perguruan Sumangkar, maka Sekar Mirah merupakan orang yang jarang ada duanya. Putaran tongkat baja putih yang mampu rnelindungi dirinya bagaikan putihnya kabut yang menyelubungi seluruh tubuh serta kepala tengkorak yang kekuning kuningan itu merupakan pertanda akan keperkasaan ilmu yang dimiliki oleh pewaris perguruan Sumangkar, sehingga dalam kejayaannya, Mantahun saudara seperguruan Sumangkar, pernah dianggap memiliki nyawa rangkap" sebagaimana para pewaris yang lain.
Orang yang lain, adalah seorang anak muda yang bernama Glagah Putih. Seorang anak muda yang ternyata telah tumbuh dengan mengherankan sekali di dalam dunia kanuragan. Anak itu telah dapat mengimbangi kemampuan Warak Ireng.
Kiai Bagaswara yang sedang merenung itu menarik nafas dalam dalam.
"Anak itu bukan murid saudara seperguruanku." berkata Kiai Bagaswara.
Tetapi rasa-rasanya Kiai Bagaswara tidak mempunyai keinginan untuk mewarisi keris itu dan memberikannya kepada murid-muridnya sendiri. Keris itu rasa rasanya terlalu garang, sehingga orang yang tidak memiliki ketebalan dan keteguhan budi, maka keris itu akan dapat menyeret pemiliknya kedalam pilihan yang salah. Agak berbeda dengan sifat senjata yang dimilikinya, yang juga diterimanya dari gurunya sebagaimana Kiai Santak. Luwuknya memiliki watak yang lebih halus, meskipun kekuatan yang tersimpan di dalamnya tidak kalah garangnya dari keris Kiai Santak.
"Apakah aku berhak memikirkan kemana Kiai Santak akan diwariskan" pertanyaan itu tiba tiba timbul di dalam dirinya.
Namun memang tidak ada orang lain yang lebih berhak daripada dirinya untuk merawat dan mendapatkan keris yang bernama Kiai Santak itu.
Di luar, sadarnya, ingatan Bagaswara selalu terkait kepada anak muda yang bernama Glagah Putih itu. Tetapi ia tidak dapat dengan serta merta menyerahkan keris itu kepadanya, karena hal itu mungkin justru akan menyesatkannya. la harus-berbicara dengan Kiai Jayaraga, guru anak itu dan Agung Sedayu yang juga pernah menjadi saluran pewarisan ilmu kepadanya.
Keragu-raguan yang sangat ternyata telah mencengkam jantung Kiai Bagaswara. Bahkan kemudian sambil menarik nafas dalam dalam ia berkata, "Seandainya aku mendapat kesempatan untuk membawa anak itu ke padepokan barang satu dua tahun, agaknya aku akan dapat melihat kemungkinan kemungkinan yang ada di dalam diri anak itu."
Namun Kiai Bagaswara menyadari, bahwa hal itu tidak akan mungkin dapat dilakukannya. Glagah Putih agaknya telah lekat benar dengan Agung Sedayu, meskipun ia kemudian berguru kepada Kiai Jayaraga.
Meskipun demikian, Kiai Bagaswara tidak melepaskan keinginannya untuk mengetahui lebih banyak tentang Glagah Putih. Tetapi ia pun menyadari, bahwa ia tidak akan dapat terlalu lama berada di Tanah Perdikan Menoreh. la harus segera kembali ke padepokannya, karena ia mempunyai beberapa orang murid yang tentu menunggunya.
Setelah persoalannya dengan Tumenggung Purbarana selesai, maka sudah seharusnya ia kembali padepokan dan memanggil para cantrik yang pernah dimintanya untuk meninggalkan padepokan.
Tetapi waktu yang singkat, selama ia berada di Tanah Perdikan Menoreh itu dipergunakannya untuk mengenal Glagah Putih sebaik-baiknya. la mencoba untuk banyak berbicara dengan anak muda itu. Dengan demikian, ia mendapatkan sedikit gambaran tentang sikap anak itu menghadapi perkembangan dan tantangan keadaan. Bahkan atas ijin Kiai Jayaraga, maka Kiai Bagaswara sekali-sekali ikut hadir di dalam sanggar dan kadang-kadang juga di lingkungan alam terbuka yang tersendiri untuk melihat hubungan antara guru dan muridnya, serta untuk mengetahui tingkat ilmu Glagah Putih yang sebenarnya.
Kiai Bagaswara benar-benar kagum atas anak muda itu. Tetapi pengenalannya yang pendek belum menentukan penilaian yang benar atas anak itu.
"Anak itu memang luar biasa" desisnya setiap kali. Anak yang masih sangat muda, yang bahkan di malam hari, dalam keadaan yang senggang, anak itu masih juga pergi ke sungai untuk menangkap ikan dengan membuka pliridan. Jika ia pulang dari gardu-gardu perondan, maka ia singgah di sungai dan bersama pembantu Agung Sedayu yang kadang-kadang sudah menunggu, ia telah menutup pliridan dan menangkap ikannya. Kadang-kadang Glagah Putih memang membawa ikan hampir sekepis penuh, sehingga ikan itu dapat dipergunakannya untuk lauk pada saat ia makan pagi.
Namun ternyata kegemeran Glagah Putih menangkap ikan itu mempunyai perkembangan tersendiri. la bukan saja senang membuka dan kemudian menutup pliridan. Tetapi kadang-kadang ia meninggalkan gardu peronda dan berjalan menyusuri sungai tanpa tujuan, selain mengikuti aliran air ke hilir. Baru kemudian setelah ia berjalan jauh sekali, maka ia kembali lagi ke udik, sehingga kadang-kadang pembantu Agung Sedayu marah kepadanya, karena ia terlambat datang.
"Besok kau tidak perlu menunggu aku" berkata Glagah Putih, "aku dapat ikut membuka. Tetapi mungkin aku akan datang terlambat waktu menutupnya."
"Kemana saja kau perg" Aku mencarimu di gardu, ternyata kau tidak ada." berkata pembantu Agung Sedayu.
"Tidak hanya ada satu gardu disini" berkata Glagah Putih, "tetapi kadang-kadang aku harus berlatih bersama guru."
"Kiai Jayaraga ada di rumah semalam. Tetapi kau tidak" bantah pembantu Agung Sedayu itu.
Glagah Putih hanya tersenyum saja. Ditepuknya punda anak itu sambil berkata, "Aku berusaha untuk datang tidak terlambat besok.
Anak itu masih saja memberengut. Tetapi ia tidak menjawab.
Kebiasaan itu pun tidak luput dari pengamatan Kiai Bagaswara. Gurunya, Kiai Jayaraga sengaja memberikan kesempatan kepada Glagah Putih untuk melakukannya. Meskipun Kiai Jayaraga belum pernah menanyakan hal itu langsung kepada Glagah Putih, tetapi Kiai Jayaraga telah dengan sengaja mengurang waktu-waktu latihan di malam hari.
Agung Sedayu yang juga mengetahui perkembangan kegemaran Glagah Putih untuk berada di sungai itu pun mengikutinya dengan berbagai harapan, meskipun juga ada sedikit kecemasan. Namun ia sendiri dan guru Glagah Putih pada saatnya tentu akan memberikan pengarahan.
Namun laku yang ditempuh Glagah Putih itu memang memberikan kedalaman pada ilmu nya, sebagaimana pernah dilihat oleh Agung Sedayu. Kadang-kadang tanpa disadari, seseorang memang mendapatkan satu kekuatan yang melampaui kekuatan orang kebanyakan. Kurnia itu akan cepat dikembangkan menjadi kekuatan yang luar biasa.
Soalnya kemudian, apakah kekuatan jiwani orang itu teguh atau tidak, justru setelah ia merasa memiliki sesuatu, sehingga ia dapat mempergunakan kurnia itu sebagaimana seharusnya.
Sementara itu, Agung Sedayu masih juga merawat Sekar Mirah yang terluka di bagian dalam tubuhnya. Tetapi dari hari kehari, keadaannya telah berangsur baik. Sekar Mirah sudah tidak lagi harus selalu berbaring dipembaringan. Bahkan pada saat-saat tertentu ia sudah berada di sanggar, mengatur pernafasannya untuk membantu mempercepat kesembuhan luka di dalam dirinya. Dengan demikian maka sedikit demi sedikit, perasaan sakit dan nyeri itu pun telah berkurang. Bahkan untuk melakukan tugasnya sehari-hari sebagai perempuan, luka di dalam dirinya itu sudah tidak terasa lagi.
Dengan demikian, maka Sekar Mirah sudah mulai sibuk lagi di dapur. Bahkan kadang-kadang ia sudah melatih diri untuk menimba air dan membawa kelenting ke dapur.
Jika Glagah Putih dengan tergesa-gesa ingin membantunya, maka Sekar Mirah itupun berkata, "Jika aku memanjakan tubuhku, maka luka di dalam ini tidak akan segera sembuh. Biarlah aku melatih diri sehingga dengan demikian justru akan dapat mengatasi kesulitan pada tubuhku."
Glagah Putih hanya dapat menarik nafas. Tetapi hal itu merupakan petunjuk baginya, bahwa ia tidak boleh pula bermanja-manja, agar tubuhnya menjadi terlatih dan trampil.
Dalam pada itu, Kiai Bagaswara yang masih saja sering merenung, kecuali jika ia berhadapan dengan Glagah Putih, tidak dapat mencegah keinginannya untuk ikut serta membantu perkembangan anak muda yang sangat menarik perhatiannya itu. Setiap kali ia selalu berbantah dengan dirinya sendiri tentang keris Kiai Santak.
"Apakah jika keris Kiai Santak itu akan serahkan kepada anak itu akan dapat berakibat baik baginya atau justru sebaliknya?" pertanyaan itu selalu membayanginya sehingga sulit baginya untuk menentukan langkah yang paling baik yang pantas dilakukan terhadap keris itu dan terhadap Glagah Putih.
Keragu-raguannya itulah yang telah membuat Ki Bagaswara untuk berada di Tanah Perdikan lebih lama lagi. Sehingga dengan demikian maka ia mendapat kesempatan iebih banyak untuk semakin mengenal Glagah Putih.
Ternyata menurut penilaian Kiai Bagaswara, Glagah Putih bukan saja lekat kepada Agung Sedayu, tetapi anak itu benar-benar patuh. Sehingga dengan demikian, maka menurut perhitungan Kiai Bagaswara, mana yang baik bagi Agung Sedayu, akan menjadi baik juga bagi Glagah Putih.
Dari beberapa orang terdekat, maka Kiai Bagaswara mendapat beberapa keterangan tentang sifat-sifat Agung Sedayu dan sifat-sifat Glagah Putih. Sebagaimana diperhitungkan, bahwa sifat kedua orang anak muda itu mempunyai beberapa persamaan, meskipun bukan berarti bahwa Glagah Putih telah kehilangan satu pribadi yang seharusnya ia miliki.
Di samping persamaan itu, ternyata ada juga beberapa perbedaannya. Justru pada saat-saat keduanya dihadapkan kepada satu persoalan yang harus dengan cepat mengambil keputusan. Agung Sedayu biasanya terlalu lambat, sabaliknya Glagah Putih kadang-kadang terlalu cepat mengambil sikap, sehingga dengan demikian, tidak jarang, Glagah Putih telah mengambil sikap yang salah.
Namun hal itu sangat dipengaruhi oleh gelombang perasaan masing-masing serta Glagah Putih yang masih sangat muda, sehingga ia masih kurang menimbang atas persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Tetapi secara utuh, Kiai Bagaswara menilai Glagah Putih adalah anak muda yang jujur, berani mengambil sikap dan menyadari bahwa dirinya adalah sebutir debu yang amat kecil di antara alam semesta yang terbentang tanpa batas, yang diciptakan atas Kuasa yang tidak dapat dijangkau oleh nalar, karena Kuasa itu adalah Yang Maha Kuasa.
Meskipun demikian Kiai Bagaswara tidak segera mengambil keputusan untuk berbicara dengan Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu tentang niatnya untuk menyerahkan pusaka keris Kiai Santak yang sudah menjadi tidak bertuan itu. Namun Kiai Bagaswara masih akan menunggu beberapa saat, sementara ia akan kembali ke padepokannya lebih dahulu.
"Mungkin aku akan mendapat terang dihati, sehingga aku akan dapat mengambil keputusan yang paling baik bagi segala pihak" berkata Kiai Bagaswara di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka Kiai Bagaswara itupun telah mengambil keputusan untuk minta diri kepada Ki Gede untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
"Kami mengucapkan terima kasih" berkata Ki Gede, "dengan keterangan dan petunjuk Kiai, maka Tanah Perdikan ini telah terlepas dari malapetaka yang sangat mengerikan."
"Ternyata kita dapat saling menolong di dalam hal ini" sahut Kiai Bagaswara tanpa Tanah Perdikan Menoreh, aku tidak akan dapat membuat perhitungan dengan Purbarana. Meskipun sebenarnya aku tidak ingin membunuhnya, namun kematiannya akan berarti bagi ketenangan Mataram."
"Mudah-mudahan untuk seterusnya, kita akan dapat selalu saling menolak" berkata Ki Gede.
Demikianlah maka Kiai Bagaswara itu pun telah minta diri pula kepada para pemimpin Tanah Perdikan yang lain. Kepada Kiai Jayaraga, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih. Juga kepada Ki Lurah Branjangan di barak pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.
"Begitu tergesa-gesa?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Segala sesuatunya telah selesai di sini. Bukankah persoalannya telah menjadi persoalan Mataram?" sahut Kiai Bagaswara.
"Ya" jawab Ki Lurah, "namun demikian, bukankah Kiai dapat beristirahat di Tanah Perdikan ini untuk melihat-lihat kesibukannya disaat-saat tenang.?"
Kiai Bagaswara hanya dapat tersenyum sambil berkata, "Terimakasih Ki Lurah. Pada satu saat, aku tentu akan datang lagi ke Tanah Perdikan ini."
Orang-orang Tanah Perdikan memang tidak dapat menahannya lagi. Kiai Bagaswara itu pun kemudian meninggalkan Tanah perdikan itu di pagi hari berikutnya, pada saat matahari mulai naik.
Sebagaimana saat ia datang, maka ia pun pergi seorang diri menyusuri jalan-jalan di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan kemudian dengan mendaki lereng bukit di ujung Utara Tanah Perdikan, Kiai Bagaswara pun telah keluar dari tlatah Perdikan Menoreh.
Sebagaimana para perantau yang lain, maka tempat bermalam sama sekali tidak menjadi persoalan bagi Kiai Bagaswara. Dimanapun ia dapat berhenti untuk beristirahat.
Kepergian Kiai Bagaswara terasa meninggalkan kesan yang aneh bagi Glagah Putih. Orang tua itu banyak merenung. Tetapi jika ia berhadapan dengan Glagah Putih, maka orang itu menjadi banyak berbicara, berbincang dan kadang-kadang menanyakan beberapa hal yang bagi Glagah Putih agak sulit untuk dijangkau dengan pengertiannya. Namun sejauh-jauh dapat dilakukan, maka ia mencoba untuk mengerti pernbicaraan dengan Kiai Bagaswara itu.
"Orang itu sangat baik" berkata Glagah Putih kepada diri sendiri. Lalu katanya pula di dalam hati -menarik juga ajakannya untuk tinggal di padepokannya. Tetapi aku harus menyelesaikan pelajaranku dari Kiai Jayaraga. Baru kemudian, pada saat-saat aku mengembangkannya, aku akan dapat keluar dari rumah ini untuk mencari pengalaman."
Sementara itu, Kiai Bagaswara telah menempuh perjalanan yang sangat panjang. Bukan hanya sekali ia bermalam di jalan. Sehingga perjalanan itu akan sangat melelahkan bagi orang kebanyakan. Tetapi agak berbeda bagi Kiai Bagaswara yang telah mengalami tempaan wadag dan jiwanya menghadapi keadaan yang paling sulit sekalipun, sehingga ia tidak merasa lelah sama sekali.
Namun satu pukulan telah terjadi atas perasaannya, Ketika ia mendekati padepokannya, maka hatinya menjadi berdebar-debar. la tidak melihat bangunan-bangunan yang ditinggalkannya. Namun yang ada tidak lebih dari ladang ilalang dan belukar.
"Apa yang telah terjadi dengan padepokanku?" bertanya Kiai Bagaswara di dalam hatinya.
Namun Kiai Bagaswara yang kemudian melihat-lihat bekas padepokannya itu rnenemukan jawaban. Padepokannya telah menjadi abu.
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. la tidak dapat menyalahkan siapapun juga. la tahu bahwa Purbarana yang kecewa pada saat ia datang dengan pasukannya, serta usaha Kiai Bagaswara mempengaruhi beberapa orang di antara mereka, telah menjadikan Tumenggung itu kehilangan pengekangan diri.
Karena itulah, maka Ki Tumenggung Purbarana telah membakar habis semua bangunan yang ada di padepokan itu.
Tetapi akhirnya Kiai Bagaswara berkata kepada diri sendiri, "Tidak ada gunanya disesali. Biarlah yang terjadi itu terjadi. Sengaja atau tidak sengaja, Purbarana telah memetik buah dari pohon yang ditanamnya sendiri."
Karena itulah, maka Kiai Bagaswara tidak lagi merenungi semak-semak yang tumbuh di atas abu rumahnya yang berserakan di antara keping-keping batu yang bertaburan.
Ketika kemudian malam tiba, maka seperti yang dilakukan selama diperjalanannya, maka ia pun bermalam di udara terbuka. Berselimut embun yang dingin. Namun justru terasa segar di tubuh orang tua itu.
"Besok aku harus mencari salah seorang cantrik yang terdekat" berkata Kiai Bagaswara.
la mulai mengingat rumah cantrik-cantriknya seorang demi seorang. Sebagaimana seorang bapa maka Kiai Bagaswara mengenal anak-anaknya dengan baik. Juga tempat tinggal mereka, hingga setiap saat ia akan dapat menemuinya.
Ketika fajar di keesokan harinya, maka Kiai Bagaswara itu pun telah membenahi dirinya. la masih harus menempuh perjalanan lagi kerumah salah seorang cantriknya yang paling dekat.
Namun orang tua itu tidak lagi mengeluh. la berjalan di dalam segarnya udara pagi. Matahari yang tersembul diatas cakrawala telah melontarkan cahayanya yang cerah.
Kiai Bagaswara mengangkat wajahnya ketika ia mendengar seekor burung liar bernyanyi. Gembira sekali, sehingga Kiai Bagaswara pun tersenyum pula karenanya.
Namun matahari itu pun memanjat langit semakin tinggi. Ketika matahari hampir mencapai puncaknya, maka terasa keringat membasahi tubuh orang tua itu. Tetapi ia berjalan terus.
Kedatangannya di rumah seorang cantriknya telah mengejutkan cantrik itu. Dengan tergesa-gesa ia mempersilahkan Kiai Bagaswara untuk naik kependapa.
"Semuanya telah lewat" berkata Kiai Bagaswara kepada cantrik itu.
"Apakah Ki Tumenggung Purbarana tidak akan kembali?" bertanya cantrik itu.
"Tidak. la tidak akan kembali. Untuk selama-lamanya" jawab Kiai Bagaswara.
Cantrik itu mengerutkan keningnya. Dengan penuh pertanyaan ia menatap wajah Kiai Bagaswara, yang kemudian berkata, "Anak itu telah terbunuh di peperangan."
"Telah terjadi pertempuran?" bertanya cantrik itu pula.
"Ya. Di Tanah Perdikan Menoreh." jawab Kiai Bagaswara, "Ki Tumenggung Purbarana terbunuh. Dua orang kawannya tak dapat berbuat banyak. Seorang terbunuh dan yang lain menyerah. Sedangkan dua orang yang memiliki kemampuan diluar jangkauan nalar telah terbunuh pula oleh Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu."
"O" cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika kemudian Kiai Bagaswara menceriterakan pertempuran itu dengan singkat.
"Ki Tumenggung yang mempunyai banyak kelebihan itu akhirnya mati dengan tanpa arti sama sekali " desis cantrik itu, "sayang sekali."
Kiai Bagaswara mengangguk-angguk. Katanya, "jika saja tenaganya dapat dipergunakan sebaik-baiknya, maka ia tidak akan mengalami peristiwa yang sangat pahit itu. Bahkan mungkin ia akan dapat disebut namanya di setiap hari pasewakan di Mataram untuk mengenang jasa yang pernah dibuatnya."
"Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya" berkata Kiai Bagaswara.
Cantrik itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, "Jadi, apakah Kiai menghendaki kami kembali ke padepokan?"
"Ya" jawab Kiai Bagaswara, "tetapi kerja yang berat telah menanti kita."
"Kenapa?" bertanya cantrik itu.
Kiai Bagaswara pun kemudian memberitahukan apa yang telah terjadi dengan padepokannya.
Cantrik itu menjadi tegang. Dengan wajah yang merah ia berkata, "0, ternyata Ki Tumenggung adalah orang yang berhati iblis."
"Sudahlah. Jangan mengumpat orang yang telah tidak ada lagi. Adalah menjadi tugas kita untuk bekerja, dan kita memang akan bekerja keras untuk membangun padepokan itu kembali" berkata Kiai Bagaswara.
Cantrik itu mengangguk-angguk, sementara Kiai Bagaswara selanjutnya, "Pergilah kepada kadang-kadangmu. Panggil mereka kembali ke padepokan Kita akan membangun sebuah padepokan yang lebih manis dari yang telah menjadi abu itu."
"Baik Kiai. Silahkan Kiai tinggal dirumah ini barang satu dua malam. Aku akan memanggil saudara-saudaraku untuk bersama-sama membangun padepokan itu kembali." berkata cantrik itu.
Kiai Bagaswara termangu-mangu sejenak: Namun kemudian ia berkata, " Aku akan berada di padepokan. Jika dalam waktu dua atau tiga hari kadang-kadangmu sudah berkumpul, maka kita akan segera mulai."
"Tetapi, bagaimana dengan Kiai" Dua atau tiga hari di halaman terbuka padepokan kita yang sudah hancur?" bertanya cantrik itu. Lalu katanya, "Tetapi, jika Kiai berada disini maka Kiai akan tinggal bersama keluargaku. Baru setelah saudara-saudara berkumpul, maka aku akan memberitahukan hal itu kepada Kiai."
Tetapi Kiai Bagaswara tersenyum. Katanya, "Apa salahnya aku ada di halaman terbuka di padepokan, karena aku memang merupakan bagian dari padepokan itu."
Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. la mengerti, bahwa ia tidak akan dapat mencegah Kiai Bagaswara. Karena itu, maka ia pun hanya dapat mengiakan perintah yang harus dilakukannya, memanggil para cantrik yang lain.
Namun demikian, Kiai Bagaswara itu bermalam juga semalam dirumah cantrik itu, karena di pagi berikutnya, keduanya akan berangkat bersama-sama, tetapi kearah yang berbeda. Kiai Bagaswara akan kembali ke padepokan, sementara cantrik itu akan memanggil saudara-saudaranya.
Di pagi hari berikutnya, keduanya telah berangkat. Kiai Bagaswara mengucapkan terima kasih kepada keluarga cantrik itu karena ia sudah diperkenankan untuk berada di rumah itu semalam.
Demikianlah cantrik itu pun telah dengan tergesa-gesa berjalan secepat dapat dilakukan untuk pergi ke rumah para cantrik yang lain. Bukan satu perjalanan yang dekat. la harus menempuh perjalanan setengah hari untuk mencapai rumah saudaranya yang paling dekat. Namun setelah ia mencapai cantrik yang kedua, maka ia akan dapat segera pergi ke padepokan, sementara kadangnya itu akan meneruskan menghubungi para cantrik yang lain, beruntun, sehingga dengan demikian maka berita tentang padepokan itu akan menjadi lebih cepat sampai.
Perjalanan Kiai Bagaswara agak lebih panjang dari perjalanan cantrik itu. Tetapi hari itu juga, Kiai Bagaswara telah berada di padepokannya lagi, yang telah berubah menjadi lapangan ilalang dan perdu.
Dengan wajah yang suram Kiai Bagaswara mengamati keadaan padepokannya itu berkeliling. Ia mulai mereka-reka, apa yang akan mula-mula dilakukannya. la tidak perlu menunggu para cantrik itu datang. Besok pagi-pagi ia sudah dapat mulai menebangi pohon-pohon bambu dan mungkin membersihkan pepohonan perdu. Jika kemudian para cantrik datang, maka kerja pun akan segera dimulai.
Malam itu, Kiai Bagaswara berbaring di bawah sebatang pohon jambu air yang rimbun. Setelah membersihkan rerumputan di bawah pohon itu, maka ia pun menganyam sebuah ketepe dengan belarak yang di ambilnya dari sebatang pohon nyiur.
Namun lewat tengah malam Kiai Bagasrawa terkejut. Dalam tidur, ia sempat mendengar desir langkah di ladang ilalang itu, bahkan suara-suara ranting perdu yang berpatahan.
Perlahan-lahan Kiai Bagaswara bangkit. Dilihatnya sesosok tubuh yang berdiri tegak ditengah-tengah padepokan yang sudah menjadi abu itu. Bahkan Kiai Bagaswara telah mendengar isak yang memelas.
Barulah Kiai Bagaswara mengerti. Yang berdiri di dalam keremangan malam itu adalah cantriknya. Demikian cepat ia menyusul, sehingga Kiai Bagaswara mengerti, bahwa cantrik itu setelah mencapai saudaranya yang pertama, dengan tergesa-gesa telah kembali menuju langsung kepadepokan tanpa beristirahat sama sekali.
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun mendeham sambil melangkah mendekat.
Cantrik itu terkejut. Dengan serta merta ia pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
"Inilah aku" berkata Kiai Bagaswara, "jika kau tidak mengenal aku dalam kegelapan, maka kau tentu mengenali suaraku."
"Kiai" desis cantrik itu.
"Ya. Kemarilah. Tetapi kau tidak perlu menangis. Apakah ada gunanya" Apalagi kau adalah seorang laki-laki." berkata Kiai Bagaswara.
"Aku tidak dapat menahan gejolak perasaanku" berkata cantrik itu, "betapa memelasnya padepokan ini."
"Apakah dengan menyesali segala peristiwa ini kita akan dapat menyelesaikan persoalan" Aku mengerti, bahwa setiap orang dapat menyesal, kecewa dan perasaan lain seperti itu. Tetapi yang penting kemudian adalah, bagaimana kita mengatasinya."
Cantrik itu mengangguk. la pun berusaha untuk menahan diri. Namun ia tidak berhasil menyembunyikan isaknya yang satu-satu masih terdengar.
"Beristirahatlah" berkata Kiai Bagaswara, "aku mengerti, bahwa kau sudah menempuh satu perjalanan yang teramat panjang. Kau tentu letih, dan barangkali justru setelah kau beristirahat kau akan merasa lapar. Tetapi kau harus bertahan sampai esok. Baru kita akan mendapatkan makanan. Mungkin kita masih menemukan beberapa batang pohon ketela pohung di bagian belakang padepokan ini. Besok kita akan dapat memanggangnya."
Cantrik itu mengangguk. Kemudian berkata Kiai Bagaswara, "beristirahatlah di atas ketepe yang aku anyam sore tadi. Aku memanjatnya sendiri pohon nyiur yang paling rendah itu, dan mengambil satu pelepah untuk aku jadikan ketepe itu."
"Sudahlah Kiai. Biarlah Kiai mempergunakannya. Aku dapat tidur di mana saja. Di bawah pohon nangka itu pun aku dapat tidur. Apalagi aku memang lelah sekali." jawab cantrik itu.
"Ada dua kemungkinan" berkata Kiai Bagaswara, "kau akan segera tidur nyenyak, atau justru tidak dapat tidur sama sekali."
Cantrik itu mengangguk. Jawabnya, "Ya Kiai. Tetapi agaknya aku akan dapat tidur dengan nyenyak malam ini. Mudah-mudahan besok ada di antara saudara-saudaraku yang datang untuk mulai dengan kerja apa pun yang dapat kita lakukan."
Kiai Bagaswara mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Baiklah. Mudah-mudahan kau benar-benar dapat beristirahat."
Ketika kemudian Kiai Bagaswara kembali ke pembaringannya, sehelai ketepe anyaman belarak, maka cantrik itu pun telah pergi ke belumbang. Tetapi ia mengurungkan untuk mencelupkan kakinya yang rasa-rasanya telah membengkak oleh kelelahan. Belumbang itu nampaknya telah menjadi sangat kotor, sehingga mungkin ada semacam binatang yang berbisa.
Karena itu, maka ia pun telah pergi ke sumur. Tetapi senggot sumur itu sudah rusak, sehingga tidak lagi dapat dipergunakan untuk menimba air.
Dengan demikian, maka cantrik itu tidak lagi berusaha untuk membasahi kakinya. Rasa-rasanya kakinya tidak lagi dapat dibawanya ke sungai yang berjarak beberapa puluh patok. Sehingga cantrik itu pun kemudian telah duduk bersandar sebatang pohon tidak terlalu jauh dari Kiai Bagaswara yang berbaring.
"Sumur itu bagaikan sumur mati" berkata Kiai Bagaswara.
"O" cantrik itu berdesis, "Kiai belum tidur?"
"Belum. Agaknya aku memang tidak mengantuk." berkata Kiai Bagaswara.
"Akulah yang mengantuk sekali berkata cantrik itu."
"Tidurlah" jawab Kiai Bagaswara.
Cantrik itu tidak berbicara lagi. la benar-benar ingin tidur untuk mengurangi perasaan letih yang menggigit.
Ternyata seperti yang dikatakannya, sejenak kemudian cantrik itu memang sudah tertidur sambil bersandar sebatang pohon. Terdengar nafasnya menjadi semakin teratur.
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa para cantrik padepokan itu masih merasa mempunyai ikatan yang kuat dengan padepokannya. Ketika cantrik itu melihat, betapa padepokannya telah menjadi debu, maka ia tidak dapat menahan gejolak perasaannya.
Namun dalam pada itu, ketika suasana malam menjadi semakin sepi, hampir diluar sadarnya, Kiai Bagaswara telah meraba keris yang dibawanya, Kiai Santak Keris yang mempunyai watak yang garang dan kuat. Jika pemiliknya tidak memiliki kepribadian yang kuat melampaui watak keris itu, maka pemiliknyalah yang telah hanyut dalam kegarangan keris itu tanpa kendali. Tetapi sebaliknya, bagi seorang yang berpribadi kuat dan watak yang mantap, maka keris itu akan memberikan arti yang sangat besar baginya. Keris itu akan dapat merupakan senjata yang nggegirisi.
Setiap Kali Kiai Bagaswara menyentuh keris itu, maka ia selalu teringat kepada Glagah Putih. Seorang anak muda yang tumbuh menjadi dewasa dengan kemampuan yang luar biasa.
Sekilas Kiai Bagaswara sempat memperhatikan padepokannya yang sudah menjadi rata. Baru kemudian ia berkata kepada dirinya sendiri, "Aku akan minta Kiai Jayaraga tinggal beberapa lama disini sambil membawa Glagah Patih bersamanya. Mudah-mudahan keduanya dan Agung Sedayu tidak berkeberatan. Aku harus mencobanya sehingga aku tidak dihambat oleh sekedar dugaan-dugaan saja. Bahkan mungkin keduanya akan merasa gembira dengan rencanaku itu."
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. la benar-benar ingin datang kembali ke Tanah Perdikan Menoreh jika padepokannya telah siap untuk meminta agar Kiai Jayaraga bersedia tinggal untuk sementara di padepokannya bersama glagah Putih.
Dengan demikian, maka Kiai Bagaswara pun kemudian dapat melepaskan diri dari angan-angannya yang bergejolak tentang keris Kiai Santak. Meskipun masih belum pasti, tetapi rasa-rasanya ia sudah melihat jalan yang akan dilaluinya.
Sejenak kemudian maka Kiai Bagaswara itu pun telah memejamkan matanya. Setelah terbangun karena kedatangan seorang cantriknya, maka ia pun telah tidur kembali untuk beberapa saat di ujung malam yang tersisa.
Ketika Kiai Bagaswara kemudian terbangun, maka langit pun telah menjadi merah. Seekor burung kecil bersiul di cabang pohon jambu air di atasnya.
Perlahan-lahan Kiai Bagaswara bangkit. Suasana pagi telah mulai terasa. Sejuk sekali.
Ketika a berpaling kepada cantrik yang tidur bersandar sebatang pohon, maka dilihatnya dilihatnya cantrik itu masih tidur nyenyak sekali. Agaknya ia merasa terlalu letih.
"Biar saja ia memuaskan istirahatnya" berkata Kiai Bagaswara kemudian.
Kiai Bagaswara pun kemudian meninggalkan cantrik yang masih tertidur nyenyak itu untuk pergi ke sungai. Beberapa lama ia berada di sungai itu. Namun ketika ia kembali ke padepokannya yang sudah rata dengan tanah, cantrik itu masih tertidur di tempatnya.
Kiai bagaswara tersenyum. Tetapi ia tidak ingin mengganggunya. Demikian lelapnya cantrik itu tertidur, sehingga cahaya matahari yang kemudian jatuh ke wajahnya tidak kuasa membangunkannya.
Namun akhirnya cantrik itu menggeliat juga. Bahkan kemudian ia terkejut dan dengan tergesa-gesa meloncat bangun. Ternyata matahari sudah tinggi.
Dengan gelisah cantrik itu memandang berkeliling. la menjadi berdebar-debar ketika ia melihat, Kiai Bagaswara telah mulai melihat-lihat rumpun bambu untuk memilih bambu yang sudah tua yang sudah pantas untuk ditebang.
"Maaf Kiai" berkata cantrik itu sambil berlari-lari mendekati Kiai Bagaswara, "tidurku terlalu nyenyak."
"Aku tahu, kau terlalu letih. karena itu, aku tidak mengganggumu" berkata Kiai Bagaswara.
"Tetapi, aku minta diri untuk pergi ke sungai sebentar" minta cantrik itu.
"Pergilah" jawab Kiai Bagaswara.
Berlari-lari cantrik itu pergi ke sungai. Dan kemudian berlari-lari pula ia kembali ke padepokan, sementara itu Kiai Bagaswara telah memberikan tanda-tanda pada beberapa batang pring petung yag sudah pantas untuk ditebang.
Tetapi keduanya belum mulai dengan menebang pering wulung itu. Mereka masih memilih yang manakala yang cukup tua untuk membangun satu padepokan yang baru, sambil menunggu beberapa orang cantrik yang lain yang akan segera datang pula.
Sebenarnyalah, maka pada hari itu telah datang dua orang cantrik yang lain. Seterusnya mendekati tengah malam telah datang lagi dua orang. Demikian berturut-turut di hari berikutnya sehingga padepokan itu telah menjadi ramai kembali oleh para cantrik. Meskipun pada umumnya mereka terkejut melihat padepokan mereka yang telah menjadi abu, namun Kiai Bagaswara telah memberikan beberapa nasehat kepada para cantrik itu, agar mereka tidak menjadi kehilangan pegangan dan mengeluh berkepanjangan.
Di hari-hari berikutnya, maka padepokan itu menjadi sibuk. Kiai Bagaswara sendiri telah memimpin para cantrik untuk membangun kembali padepokan mereka yang telah hancur. Dengan menilik bekas dari padepokan mereka yang telah hancur. Dengan menilik bekas dari padepokan mereka yang lama, maka mereka berusaha untuk dapat membangun padepokan seperti yang telah hangus itu.
Dengan penuh gairah maka para cantrik itu bekerja menurut ketrampilan mereka masing-masing. Ada yang menganyam kepang, gedeg dan ada yang memiliki kecakapan lebih baik dari kawan-kawannya sehingga bersama dengan Kiai Bagaswara mereka telah merencanakan tulang-tulang setiap bangunan dari pering petung yang besar dan kokoh.
Sementara para cantrik di padepokan itu bekerja keras, maka di Tanah Perdikan Menoreh, Glagah Putih pun telah bekerja keras pula untuk meningkatkan ilmunya. Tetapi Glagah Putih juga tidak melupakan tugas-tugasnya di tanah Perdikan diantara anak-anak muda yang bekerja keras meningkatkan kesejahteraan Tanah Perdikannya.
Namun di malam hari. Glagah Putih masih juga mengikuti kegemaran selain mencari ikan. Menelusuri sungai dan kadang-kadang berendam sampai menjelang saat menutup pliridan di dini hari.
Beberapa puluh malam telah dilakukannya hal seperti itu tanpa jemu. Memang kadang-kadang ada juga malam-malam yang dipergunakannya untuk kepentingan yang lain. Tetapi sebagian besar malam-malamnya telah dihabiskannya di sepanjang sungai.
Dalam saat-saat terakhir, ternyata Kiai Jayaraga telah mulai mencampuri hubungan antara Glagah Putih dan sungai itu. Sekali-sekali Kiai Jayaraga telah menanyakan, apa saja yang dilakukannya jika ia berada disungai di malam hari.
Glagah Putih berceritera terus terang. Baik kepada Kiai Jayaraga maupun kepada Agung Sedayu, bahwa sekali-sekali ia berendam di kedung kecil ditikungan sungai. Sekali-sekali ia berlari-lari di tebing dan sekali-sekali berloncatan di antara bebatuan.
"Tetapi menarik sekali bermain-main di sungai itu kakang" berkata Glagah Putih kepada Agung Sedayu, "rasa-rasanya aku mendapatkan satu-satunya yang dapat membantu perkembangan ilmuku, sehingga rasa-rasanya di saat-saat aku berlatih di tepian, di atas pasir yang basah dengan mudah aku dapat mengembangkan ilmu yang sudah aku kuasai.
Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih berceritera selanjutnya, "Tebing sungai, bebatuan dan arus sungai itu rasa-rasanya telah membantu aku."
"Apa hubungannya dengan tebing sungai dan bebatuan?" bertanya Agung Sedayu.
"Lereng yang sangat miring dan bebatuan itu memberi aku banyak kesempatan untuk berlatih menguasai keseimbangan, kecekatan dan ketrampilan sehingga rasa-rasanya aku mendapat kawan berlatih yang sangat baik. Batu-batu padas yang tidak begitu keras di lereng sungai itu memberi kesempatan kepadaku untuk melatih kekuatan tanganku sementara gemericik air yang mengalir di sela-sela bebatuan memberikan beberapa petunjuk dan gagasan-gagasan untuk mengolah dan mengembangkan ilmu yang telah aku kuasai, mengalir seperti air sungai yang mampu menyusup di antara bebatuan dan slangkrah-slangkrah yang menghalangi jalannya, namun dalam keadaan yang paling gawat, maka puncak kekuatan air itu benar-benar nggegrisi. Banjir bandang akan dapat menghanyutkan rintangan yang tidak diperkirakan sebelumnya."
Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu mengangguk-angguk. Glagah Putih telah melihat kekuatan yang tersembunyi dalam alam itu dan mengungkapkan bagi kepentingan perkembangan ilmunya.
"Baiklah Glagah Putih" berkata Kiai Jayaraga, "aku tidak berkeberatan sama sekali dengan usahamu meningkatkan ilmumu dengan cara itu. Tetapi hati-hatilah. Kau harus dapat menyaring, gagasan-gagasan yang tumbuh setelah kau melihat keadaan di sekitarmu tidak boleh dipengaruhi oleh gambaran-gambaran hitam yang akan dapat timbul. Kau harus tetap berpegangan kepada petunjukku dan nasehat kakangmu Agung Sedayu. Pada suatu saat, aku akan melihat, apa yang kau lakukan di pinggir sungai itu selain berendam diri."
"Aku akan senang secali jika guru bersedia bersama kakang Agung Sedayu menelusuri sungai itu" berkata Glagah Putih.
"Hal itu tentu pernah juga dilakukan oleh kakangmu Agung Sedayu" berkata Kiai Jayaraga.
Glagah Putih berpaling kepada Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu hanya tersenyum saja tanpa memberikan jawaban apapun juga.
Namun dalam pada itu, di malam-malam berikutnya Glagah Putih masih juga melakukan sebagaimana pernah dilakukannya. Tetapi tanpa disadarinya, dua orang ternyata telah mengamatinya. Kiai Jayaraga dan agung Sedayu. Mereka melihat bagaimana Glagah Putih bermain-main dengan alam. Bagaimana ia memanfaatkan alam untuk mengembangkan ilmunya. Tetapi ia masih belum mampu menyadap kekuatan yang ada di sekitarnya untuk memperkuat tenaga cadangan yang memang sudah ada didalam dirinya.
"Luar biasa" desis Agung Sedayu pada suatu saat, "ternyata anak itu mampu menguasai kemungkinan-kemungkinan yang sulit untuk dibayangkan sebelumnya."
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi sampai saat ini ia berlatih dengan wajar sekali. Perkembangan ilmunyapun ternyata wajar dalam ketidak wajarannya."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. la masih belum menangkap maksud Kiai Jayaraga. Namun Kiai Jayaraga yang sudah berambut putih itu berkata, "Agung Sedayu. Glagah Putih telah bekerja keras untuk mengembangkan ilmunya. Karena itu, maka perkembangan ilmunya seakan-akan meloncat terlampau cepat dari kewajaran seseorang menuntut ilmu. Dialasi dengan kecerdasan dan kemampuannya menangkap sesuatu maka Glagah Putih benar-benar seorang anak muda yang aneh dalam perkembangan ilmunya. Tetapi perkembangan ilmunya itu sendiri berlangsung dengan wajar menurut tataran-tataran yang seharusnya. Glagah Putih tidak mendapatkan kemampuannya dengan alas kekuatan yang tidak wajar."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. la mengerti dengan gamblang apakah yang dimaksudakan oleh Kiai Jayaraga. Karena itu maka iapun kemudian berkata, "Mudah-mudahan ia tetap pada pribadinya."
"Aku akan berjuang" berkata Kiai Jayaraga "kali ini aku tidak mau gagal. Murid-muridku yang terdahulu telah mengambil jalan sesat. Kali ini muridku harus memenuhi keinginanku. Bukan sekedar karena aku memaksakannya, tetapi aku harapkan kepribadian yang sesuai dengan keinginanku itu tumbuh dari dalam dirinya sendiri. Adalah wajar sekali jika aku dan orang-orang tua lainnya berusaha mengarahkannya. Buka memaksakannya, sehingga akan menjadi beban bagi anak muda itu, yang pada suatu saat akan mungkin diletakannya."
"Ya Kiai" berkata Agung Sedayu. "Kita akan berbuat sejauh dapat kita lakukan."
Kiai Jayaraga tidak menjawab. la sempat memperhatiakn bagaimana Glagah Putih memanfaatkan bebatuan, pasir dan batu padas dilereng tebing sungai untuk mengembangkan kemampuannya.
Namun dalam pada itu, selagi Glagah Putih berloncatan di tepian di antara bebatuan dan sekali-sekali meloncat kekarang tebing yang hampir tegak itu, tiba-tiba saja ia merasa terganggu. Firasatnya mengatakan kepadanya, bahwa seseorang sedang mengamatinya dengan saksama.
Tetapi orang itu bukan Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu. Bahkan ternyata Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu juga terkejut ketika ia melihat seorang anak yang masih terlalu muda berdiri bertolak pinggang di atas sebongkah batubesar di tengah-tengah sungai yang tidak begitu besar itu.
Glagah Putih terkejut. Ia tidak tahu kapan anak muda itu datang. Karena itu, maka ia pun kemudian berdiri tegak dengan kesiap siagaan sepenuhnya. Mungkin anak yang masih terlalu muda itu mempunyai maksud yang kurang baik atau mungkin ia bukan orang kebanyakan yang dapat mengganggunya.
"Apakah ia anak yang masih terlalu muda atau barangkali seorang yang bertubuh kerdil" bertanya Glagah Putih didalam hatinya.
Ternyata pertanyaan itu tumbuh pula dihati Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu yang mengamati kehadiran orang itu dari jarak yang lebih jauh dari Glagah Putih.
Namun ketajaman penglihatan Agung Sedayu kemudian dipusatkannya kepada orang yang berdiri di atas batu itu. Ternyata menurut penglihatan Agung Sedayu, bayangan itu benar-benar seorang anak yang masih sangat muda. Lebih muda dari Glagah Putih.
"Anak itu masih sangat muda bisik" Agung Sedayu. "Siapa?" bertanya Kiai Jayaraga.
"Aku belum begitu mengenalnya. Tetapi rasa-rasanya aku memang pernah melihatnya" jawab Agung Sedayu.
"Kau mempunyai ketajaman ingatan melampaui setiap orang" berkata Kiai Jayaraga, "kau tidak akan pernah melupakan sesuatu yang pernah kau lihat."
"Jika aku berbuat untuk itu, maka aku memang akan dapat mengingatnya. Tetapi tidak semua yang pernah tersentuh oleh pandanganku akan terpahat dihatiku. Mungkin aku pernah melihat sesuatu yang tidak dengan sengaja aku simpan di dalam ingatan. Maka seperti orang lain, maka aku akan melupakannya." jawab Agung Sedayu, "tetapi agaknya terhadap anak ini aku memang pernah melihatnya."
Keduanya pun kemudian saling berdiam diri. Mereka menunggu apa yang akan terjadi.
Glagah Putih yang melihat seseorang berdiri mengawasinya itu pun kemudian melangkah mendekat sambil bertanya, "Siapa kau?"
Anak yang memang masih sangat muda itu tertawa. Katanya, "Kau tidak perlu tahu siapa aku. Aku hanya sedang mengagumimu. Ternyata kau memiliki ilmu yang sangat tinggi."
"Jangan memuji" jawab Glagah Putih, "aku tidak mempunyai kelebihan apa pun dari orang lain. Tetapi siapa kau?"
Anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Aku adalah, keluarga Panembahan Senapati. Jika kau ingin tahu tentang aku, pergilah ke Mataram. Kau akan mengenali aku di antara para kadang sentana."
Glagah Putih termangu-mangu. Namun ia bertanya, "Jika kau keluarga istana Mataram, kenapa kau berada di sini pada malam hari seperti ini?"
"He, kau bertanya begitu" Satu pertanyaan yang bodoh sekali" sahut orang itu, "apakah kau tidak pernah mendengar apa yang pernah dilakukan oleh Panembahan Senapati itu sendiri" la adalah putera meskipun angkat, dari Sultan Hadiwijaya. Dan diwaktu mudanya ia berada di segala tempat."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau benar. Tetapi apakah dengan demikian berarti bahwa kau adalah putera atau keluarga terdekat dari Panembahan Senapati?"
"Aku adalah keluarganya terdekat. Tetapi aku berada di tempat yang jauh. Baru beberapa saat aku berada di Mataram, karena ibuku memang tidak berada di Mataram sejak semula." jawab anak muda itu.
"Siapa ibumu?" bertanya Glagah Putih.
"Juga pertanyaan yang bodoh" berkata anak itu. Lalu, "Sudahlah, teruskan latihanmu. Kau akan mendapat kemajuan yang sangat pesat."
Glagah Putih termangu-mangu. Anak itu masih terlalu muda. Lebih muda dari dirinya sendiri. Tetapi ucapannya bukan ucapan anak-anak sebagaimana ujudnya.
Oleh gejolak perasaannya menghadapi anak muda yang aneh itu, maka Glagah Putih justru termangu-mangu. Untuk beberapa saat ia berdiri mematung memandangi anak muda yang masih berdiri tegak diatas sebongkah batu.
"He, kenapa kau memandang aku seperti itu?" bertanya anak muda itu.
Glagah Putih bagaikan terbangun dari satu lamunan yang mencengkam. Dengan serta merta ia menjawab, "Sikapmu aneh."
"Apa yang aneh?" bertanya anak muda itu.
"Nampaknya kau masih terlalu muda dan sedang tumbuh menjelang dewasa. Tetapi sikapmu, kata-katamu dan barangkali juga ilmumu sama sekali tidak mencerminkan kemudaanmu. Atau barangkali kau sudah berumur tua, tetapi masih berujud sebagaimana ujudmu karena kau mempunyai sesuatu yang dapat membuatmu bertahan pada ujud di satu tataran usia?" bertanya Glagah Putih.
"Jangan berbicara macam-macam" jawab anak muda itu, " sebagaimana kau lihat, maka aku memang sedang menginjak masa dewasa. Tetapi tidak terasa ada satu kelainan padaku. Ilmuku pun bukan ilmu yang pantas dipamerkan, karena aku tidak memiliki kemampuan apapun juga."
"Baiklah. Katakan kau memang masih terlalu muda. Masih sentana dekat dari Panembahan Senapati. Kemudian, apalagi yang kau kehendaki" " bertanya Glagah Putih.
"Kau memang pemimpi yang bingung. Aku tidak menghendaki apa-apa. Kau dengar. Aku tak menghendaki sesuatu yang mungkin dapat mengganggumu" jawab anak muda itu, "aku tidak apa-apa. Aku sedang berjalan-jalan dan menemukan kau sedang berlatih. Apalagi?"
"Jika demikian, maka tidak ada persoalan diantara kita" berkata Glagah Putih, "silahkan, jika kau ingin meneruskan perjalanan."
"Sudah aku katakan. Aku akan berhenti disini melihat kau berlatih" berkata anak muda itu.
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Aku tidak akan berlatih lagi. Aku ingin beristirahat."
"Ah, jangan begitu. Kau tidak usah malu. Bukankah kita tidak saling mengenal secara pribadi. Besok kita sudah tidak akan saling bertemu lagi, atau mungkin secara kebetulan seperti ini. Tetapi kita mempunyai daerah sendiri-sendiri sehingga kita akan tidak selalu dapat berhubungan." berkata anak muda itu.
Tetapi seperti sikap anak muda itu maka Glagah Putih pun menjawab, "Aku tidak mau. Jangan memaksa. Kau tidak berkepentingan dengan latihan-latihanku."
JILID 185 ANAK MUDA itu tertawa. Katanya, "Kau memang sangat menarik. Ayolah. Berlatihlah. Kita tidak usah merasa segan. Kau tidak tahu namaku, dan aku tidak bertanya siapa namamu."
Tetapi Glagah Putih tetap menggeleng. Katanya, "Tidak mau. Aku tidak akan meneruskan latihan. Aku akan pulang. Sebelumnya aku masih harus membuka pliridan."
"Waktunya masih lama" jawab anak muda itu, "Kau membuka pliridan menjelang dini hari. Atau barangkali kau mempergunakan cara seperti yang pernah juga kau lihat, membuka pliridan dua kali dalam semalam. Tengah malam dan menjelang dini hari. Memang kadang-kadang hasilnya lebih baik, tetapi dapat juga hanya membuang-buang waktu saja karena hasilnya tidak lebih baik dari hasil yang didapat dengan cara sekali saja membuka pliridan itu."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ternyata anak muda itu mengerti juga serba sedikit tentang pliridan.
Namun dalam pada itu, sebelum Glagah Putih menjawab, anak muda itu sudah mendahului, "Tetapi lupakan pliridan itu. Sekali lagi aku minta, berlatihlah."
"Tidak" jawab Glagah Putih, "aku sudah letih."
"Jangan keras kepala. aku dapat menjatuhkan perintah kepadamu, karena aku keluarga dekat Panembahan Senapati." berkata anak muda itu.
"Mungkin kau memang keluarga dekat Panembahan Senapati" jawab Glagah Putih, "tetapi bukan kewajibanku untuk menjalankan perintahmu."
Anak itu tertawa. Tiba-tiba saja ia bergerak. Sulit untuk dimengerti, karena tiba-tiba saja ia sudah berdiri beberapa langkah di hadapan Glagah Putih, di tepian sungai yang berpasir dan berbatu-batu meskipun kakinya masih terendam di air sungai yang tidak begitu besar itu.
"Ki sanak" berkata anak muda yang agaknya memang masih lebih muda dari Glagah Putih, "jika kau tidak mau melakukan perintahku, maka aku akan memaksamu. Kau mengerti?"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. la tahu apa yang akan dilakukan oleh anak muda itu.
Tetapi Glagah Putih merasa bahwa ia sudah memiliki bekal yang cukup. la telah berhasil menempatkan dirinya pada tataran seorang pemimpin padepokan dari golongan hitam yang ditakuti, Warak Ireng.
Karena itu, maka dengan tatag dan tidak gentar Glagah Putih berkata, "Jangan melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan perselisihan. Jika kau ingin melihat aku berlatih, maka biar aku lakukan lain kali. Aku sering berada di tempat ini. Tetapi sekarang aku tidak mau apa pun yang akan kau lakukan."
"Ah, kau memang terlalu bodoh" berkata anak muda itu, "jika aku menyerangmu dan menyakitimu, maka kau tentu akan membela diri. Bukankah dengan demikian kau sudah melakukan apa yang aku kehendaki untuk melakukan latihan itu?"
"Tetapi kau terlihat di dalamnya sehingga kau bukan sekedar menonton. Kita akan berkelahi. Itulah artinya" jawab Glagah Putih.
"0, kau memang aneh. sekali waktu kau nampaknya sangat dungu, tetapi tiba-tiba kau menjadi cerdik." anak muda itu tertawa "baiklah. Meskipun aku terlibat tetapi aku akan sempat melihat kemampuanmu. Setidak-tidaknya dengan ukuran ilmuku yang tidak banyak berarti."
Glagah Putih mengumpat didalam hati. Tetapi ia sadar sepenuhnya, bahwa anak muda itu bukan orang kebanyakan menilik sikapnya, kata-katanya dan tingkah lakunya.
Justru karena itu, maka ia pun telah bersiap. Meskipun sebenarnya ia tidak ingin berkelahi, tetapi agaknya anak muda itu benar-benar ingin memaksanya. Bahkan sebenarnyalah bahwa dengan demikian Glagah Putih merasa akan mendapat kesempatan untuk mencari perbandingan ilmu.
Anak muda itupun kemudian telah bersiap-siap pula. la ingin memancing perkelahian untuk mengetahui tataran kemampuan Glagah Putih. Sementara itu Glagah Putih pun telah dapat memperkirakan, bahwa anak muda itu memiliki ilmu yang pantas disejajarkan dengan ilmunya atau bahkan melampauinya;karena sebelumnya anak muda itu telah menyaksikan ia berlatih.
Sejenak kemudian anak muda itu melangkah maju sambil berkata, "Nah, sekali lagi aku minta kau meneruskan latihan. Jika tidak maka kita akan ber kelahi."
Tetapi jawab Glagah Putih ternyata adalah jawaban anak muda pula. Katanya, "Aku lebih senang berkelahi, karena dengan demikian aku tidak sekedar menjadi letih sendiri sedangkan kau hanya sekedar menonton saja."
Namun adalah di luar dugaan bahwa anak muda itu justru tertawa berkapanjangan. Katanya, "Kau memang menarik. Aku tidak mempunyai kawan yang menyenangkan seperti kau. Tetapi kita memang harus berkelahi. Baru kita menentukan apakah kita akan berkawan atau justru untuk selanjutnya kita akan saling mendendam."
"Aku tidak di ajari mendendam oleh guruku" berkata Glagah Putih.
"0, kau kambuh lagi menjadi dungu" geram anak muda itu, "kau kira mendendam harus diajari oleh orang lain" Anak-anak kecil pun sudah pandai mendendam karena dendam adalah sifat manusia."
"Terserahlah" berkata Glagah Putih, "aku tidak sempat mengurai kebenaran kata-katamu. Tetapi aku memang lebih senang untuk berkelahi. Bersiaplah."
"O. Justru kau yang mendesak" desis anak muda itu.
Glagah Putih tidak menghiraukan lagi. Anak muda itu tidak akan memberinya kesempatan untuk memilih. Karena itu, maka dengan demikian Glagah Putih ingin mempercepat benturan ilmu itu, apa pun yang akan terjadi."
Sejenak kemudian kedua orang anak muda itu sudah bersiap. Anak muda yang tidak mau disebut namanya itu telah meloncat semakin dekat. Namun Glagah Putih yang kemudian mulai bergeser menyamping sambil menggerakkan tangannya menggapai lawannya.
Bukan satu serangan. Tetapi Glagah Putih hanya sekedar memancing gerak anak yang mesih terlalu muda itu.
Anak muda itu bergeser pula selangkah. Namun tiba-tiba saja ia telah meloncat maju sambil mengulurkan tangannya. Agaknya anak itu telah benar-benar mulai dengan satu serangan, meskipun serangan itu sama sekali tidak berbahaya.
Dengan demikian maka kedua orang anak muda itu sudah mulai terlibat dalam satu perkelahian. Nampaknya mereka memang belum bersungguh-sungguh. Tetapi semakin lama ilmu mereka pun menjadi semakin meningkat. Gerak mereka menjadi semakin cepat sedangkan tenaga merekapun menjadi semakin kuat.
Keduanya adalah anak-anak muda. Karena itu, maka keduanya masih banyak dipengaruhi oleh gejolak perasaan mereka masing-masing.
Di atas tebing, Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu menyaksikan perkelahian itu dengan jantung yang berdebar-debar. Mereka langsung dapat melihat bahwa keduanya memiliki gerak dan sikap yang mantap. Mereka pun mampu bergerak dengan kecepatan yang semakin lama semakin tinggi melampaui kecepatan gerak orang-orang kebanyakan karena kemampuan landasan ilmu mereka masing-masing.
"Mereka menjadi semakin keras" desis kiai Jayaraga.


08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita harus bersiap untuk melerainya" sahut Agung Sedayu, "jika anak-anak muda itu menjadi kehilangan pengekangan diri, maka mungkin sekali akan menjadi sangat berbahaya bagi mereka."
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Namun ia pun menjadi cemas. Justru karena itu, maka ia pun kemudian mengikuti perkelahian itu dengan sungguh" sungguh.
Anak muda yang datang kemudian itupun telah berusaha dengan kecepatan yang sangat tinggi untuk menyentuh tubuh Glagah Putih sebagaimana dilakukan oleh Glagah Putih. Namun usaha mereka masih belum berhasil. Keduanya masih belum dapat menyentuh tubuh lawan apalagi menyakitinya.
Namun dengan demikian maka keduanya selalu berusaha untuk meningkatkan ilmu mereka, semakin lama menjadi semakin tinggi. Gerak kaki mereka menjadi semakin cepat, sementara tenaga merekapun menjadi semakin kuat pula. Dengan demikian maka benturan-benturan kekuatanpun menjadi sering terjadi. Bahkan kedua anak muda itu justru ingin saling menjajagi.
Tetapi ketika perkelahian itu masih juga belum menunjukkan perubahan keseimbangan, maka keduanya seakan-akan menjadi tidak sabar lagi. Mereka tidak ingin perkelahian itu melampaui dini hari. Apalagi sampai matahari terbit dan hari menjadi siang.
Karena itu, maka keduanya pun semakin meningkatkan ilmu mereka. Dengan demikian maka Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu pun menjadi semakin cemas. Keduanya tidak lagi sekedar saling menjajagi, namun keduanya agaknya telah menjadi benar-benar berkelahi. Tidak sebagaimana memiliki ilmu yang tinggi.
Karena itulah, maka keduanya pun kemudian saling menyambar, saling menyerang dan mendesak. Dalam kecepatan gerak yang semakin meningkat, maka serangan-serangan mereka pun telah mulai menyentuh tubuh lawan meskipun baru sekedar pada kulitnya. Tetapi semakin lama sentuhan-sentuhan itupun terasa menjadi semakin keras.
"Kau memang luar biasa" desis anak muda yang ingin menilai kemampuan Glagah Putih itu.
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian menyerang seperti sikatan.
Kecepatan gerak Glagah Putih ternyata tidak mengejutkan lawannya yang sejenak kemudian telah mengimbangi dengan kecepatan yang sama pula.
Dengan demikian maka perkelahian itupun menjadi sema kin seru. Kedua belah pihak telah mulai merambah kedalam puncak ilmu masing-masing.
Glagah Putih mencoba untuk mengurung lawannya dengan loncatan-loncatan panjang, namun dengan tiba-tiba saja ia telah memotong gerak dan langsung menyerang ke arah dada.
Tetapi lawannya sempat menggeliat. Dengan gerak yang pendek ia menghindar. Tetapi tiba-tiba saja kakinya berputar dengan cepat mendatar bertumpu pada tumit kakinya yang lain.
Glagah Putih lah yang kemudian harus menghindar. Tetapi tenaga cadangannya yang telah dikerahkannya sempat melontarkan tubuhnya selangkah, sehingga putaran kaki lawannya tidak menyentuhnya.
Lawannya itu mengerutkan keningnya. Ternyata Glagah Putih memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi saranganya.
Tetapi ternyata bahwa lawannya masih belum sampai kepuncak kemampuannya yang sebenarnya. Ketika keduanya terlibat dalam perkelahian yang cepat, maka lawannya telah menunjukkan kemampuan yang sulit diimbangi oleh Glagah Putih hanya dengan kecepatan geraknya.
Karena itu, meskipun Glagah Putih tidak berniat buruk, maka ia pun telah menghentakkan ilmunya untuk melindungi dirinya.
Glagah Putih terkejut ketika ujung jari lawannya sempat mengenai pundaknya. Hanya ujung jari. Tetapi rasa-rasanya pundaknya telah tersentuh oleh sepotong besi baja, sehingga untuk sesaat tangannya bagaikan menjadi lumpuh.
Dengan loncatan panjang Glagah Putih mengambil jarak. Namun dengan demikian Glagah Putih telah mengerahkan ilmunya pula. Tubuhnya serasa rnengembang, sementara darahnya bagaikan bergejolak. Terasa sesuatu bergetar di dalam dirinya, mengalir sampai ke ujung kukunya.
Dengan demikian, maka Glagah Putih benar-benar telah sampai kepuncaknya ilmunya. Sebuah kekuatan yang tumbuh di dalam dirinya bagaikan desakan air yang ditahan oleh bendungan. Semakin keras arus air itu, maka bendungan pun menjadi semakin terdesak, sehingga jika bendungan itu pecah, arus kekuatan air yang terbendung itu akan melanda dengan dahsyatnya.
Sejenak kemudian keduanya berloncatan kembali. Serangan Glagah Putih bagaikan arus banjir yang datang menyapu apa saja yang menghalanginya.
Dengan segenap kekuatan dan kemampuan ilmunya, Glagah Putih telah menyerang lawannya mengarah ke lambung dengan kakinya. Tetapi ketika lawannya bergeser rnenyamping, kaki Glagah Putih telah berputar setengah lingkaran. Demikian telapak kakinya itu menyentuh tanah, maka kakinya yang lain telah terangkat lurus menyamping. Demikian cepatnya sehingga lawannya tidak sempat mengelak.
Anak muda yang tidak sempat mengelak itu telah melindungi lambungnya dengan sikunya menyamping pula sambil sedikit merendah.
Yang terjadi kemudian adalah satu benturan yang dahsyat. Kekuatan Glagah Putih yang bagaikan arus air bah dari bendungan yang pecah itu telah menghantam lawannya dengan kekuatan yang luar biasa.
Namun ternyata bahwa kekuatan arus air yang sangat besar itu telah membentur seonggok batu karang yang bagaikan berakar sampai ke puncak bumi.
Dua kekuatan yang sangat besar telah berbenturan dan saling mendorong. Keduanya telah tergeser selangkah surut. Namun ternyata bahwa anak yang masih terlalu muda itu memiliki kelebihan dari Glagah Putih. Kaki Glagah Putih yang membentur siku lawannya yang melindungi lambung itu terasa bagaikan patah.
Untuk sesaat Glagah Putih berusaha menguasai keseimbangannya. Dengan segenap kemampuan yang ada, ia mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa sakit pada kakinya itu. Namun demikian Glagah Putih masih menyeringai oleh sengatan rasa sakit.
Dalam pada itu, lawannya justru tertawa berkepanjangan. Meskipun menurut imbangan kekuatan, wajar seharusnya kaki Glagah Putih memiliki tenaga yang lebih besar dari siku lawannya, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Glagah Putih yang menjadi kesakitan sementara lawannya sama sekali tidak merasakan sesuatu meskipun ia juga terdorong selangkah surut.
"Gila" geram Glagah Putih.
Anak yang masih terlalu muda ita kemudian berkata, "Kau memang luar biasa. Kekuatanmu hampir sebesar kekuatan seekor kerbau jantan yang paling liar. Kau berhasil menggoyahkan pertahananku schingga aku terdorong selangkah surut. Aku belum pernah mendapat serangan dengan kekuatan sebesar itu."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dengan demikian ia menyadari bahwa lawannya memang memiliki kekuatan yang melampaui kekuatannya.
Jika demikian, maka untuk selanjutnya, Glagah Putih tidak dapat berusaha menguasai lawannya dengan mengandalkan kepada kekuatannya. la harus mempergunakan kelebihannya yang, lain. la harus memusatkan ilmunya untuk mendorong kecepatan gerakrrya, sementara itu dengan getaran di dalam dirinya ia harus berusaha melemahkan pertahanan lawan. Jika ia berhasil mengenai lawannya dengan mengerahkan getaran yang terdapat di dalam dirinya, yang mengalir sampai ke ujung kukunya, maka getaran itu akan menyusup dan memperlemah ketahanan tubuh lawannya. Meskipun kekuatan ilmu itu belum dikenal sepenuhnya oleh Glagah Putih sendiri, tetapi secara naluriah ia merasakan bahwa ia dapat melakukannya.
Namun ketika Glagah Putih sudah siap untuk menyerang, terdengar anak muda itu berkata, "Cukup. Latihan kita sudah cukup lama. Aku sudah berhasil memancingmu untuk berlatih karena kau tidak mau melakukannya sendiri."
Wajah Glagah Putih menjadi tegang. la merasa bahwa sekat dari latihan itu tidak menguntungkannya, seakan-akan ia jauh lebih buruk dari lawannya.
Karena itu, maka katanya, "Kita sudah terlanjur mulai. Aku belum merasa lelah. Kita akan dapat meneruskannya."
"Tidak perlu, "jawab anak muda itu "aku tahu, kau luar biasa."
Tetapi yang kemudian sulit untuk mengendalikan diri adalah justru Glagah Putih. Karena itu, maka dengan suara lantang ia berkata, "Anak muda. Semula aku sudah menyatakan berkeberatan. Tetapi kau telah memaksa aku untuk memberikan perlawanan, karena kau telah menyerang aku. Sekarang kau berusaha untuk menghindar. Tetapi akulah yang jatan. Aku akan memaksamu untuk berkelahi terus. Melawan atau tidak melawan aku akan menyerangmu."
"Jangan begitu Ki Sanak" jawab anak muda itu, "yang kita lakukan sudah cukup. Karena itu, maka kita tidak perlu meneruskannya, agar kau tidak akan menyesal. Aku senang melihat ilmumu yang tinggi. Pada suatu saat kita akan dapat bertemu lagi. Sebenarnya lah aku tidak mempunyai kawan yang sebaya, atau katakanlah agak lebih besar seperti Ki Sanak, yang dapat aku ajak bermain-main seperti ini."
"Terserah kepadamu anak muda" jawab Glagah Putih, "akulah yang akan menyerangmu, kemudian."
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putih sudah bersiap sepenuhnya untuk meryerangnya.
"Tunggu" berkata anak muda itu, "seharusnya kau tidak kehilangan pengamatan diri. Jika kau kehilangan pengendalian diri, maka kita akan benar-benar berkelahi. Padahal aku ingin kita akan berkawan untuk seterusnya karena aku memang tidak mempunyai kawan.
Tetapi Glagah Putih tidak menghiraukannya. Iapun dengan langkah panjang meloncat menyerang anak muda itu.
Anak muda itu terkejut. Glagah Putih benar-benar menyerangnya. Sebagaimana anak muda itu memulai tanpa menghiraukan Glagah Putih, maka yang terjadi kemudian adalah Glagah Putih pun menyerangnya tanpa menghiraukannya.
Tetapi Glagah Putih terkejut ketika anak muda itu tiba-tiba saja sudah tidak berada di tempatnya. Ia pun mampu meloncat dengan loncatan yang panjang sebagaimana dilakukan oleh Glagah Putih, sehingga dengan demikian, maka ketika Glagah Putih merasa kehilangan lawannya, kemudian mengedarkan pandangannya, maka dilihatnya anak muda itu berdiri beberapa langkah daripadanya. Dalam jarak yang sama sebagaimana saat sebelum ia menyerang.
"Sudah aku katakan" berkata anak muda itu, "kita akhiri permainan kita. Aku sudah mengetahui tingkat kemampuanmu. Luar biasa. Aku senang sekali, sehingga kita akan dapat berkawan. Kau dengar" Sebelum aku bertemu denganmu, aku tidak pernah mempunyai seorang kawan, anak muda yang meskipun agak lebih tua sedikit dari aku, yang dapat aku ajak bermain seperti ini.
"Persetan" potong Glagah Putih sambil menyerang.
Tetapi sekali lagi, anak muda itu sudah tidak berada di tempatnya. Bahkan ia sudah berdiri diatas sebongkah batu di tempat yang agak ketengah dari sebuah sungai yang tidak begitu besar itu.
Tetapi agaknya Glagah Putih benar-benar telah kehilangan pengendalian diri, sehingga ia pun kemudian berusaha untuk mendekati anak muda itu sambil bersiap-siap untuk menyerangnya.
Dalam pada itu, ternyata Kiai "Jayaraga dan Agung Sedayu menjadi cemas melihat sikap Glagah Putih. Anak muda itu menurut pengamatan keduanya bukan anak muda yang terlalu lembut. Ketika anak muda itu memaksa Glagah Putih untuk berkelahi, Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu dapat menduga, bahwa anak muda itu memiliki sifat yang agak condong menuruti kehendaknya sendiri. Agaknya anak muda itu benar-benar senang mendapat seorang kawan bermain, sehingga ia masih menahan diri. Tetapi jika anak itu menjadi marah, mungkin akibatnya akan pahit bagi Glagah Putih.
Agung Sedayu pun kemudian berdesis, "Kiai, agaknya sudah saatnya kita melerai. Kita harus mengekang Glagah Putih yang benar-benar merasa tersinggung oleh sikap anak muda itu. Tetapi jika ia terus mendesaknya, mungkin anak muda itu akan berbuat sesuatu yang tidak diduga oleh Glagah Putih."
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sependapat. Karena itu, marilah kita berusaha untuk menarik perhatian mereka, terutama anak muda itu."
Agung Sedayu mengangguk. Namun ia sadar, bahwa ia harus segera berbuat sesuatu sebelum terlanjur.
Ketika Glagah Putih melangkah semakin dekat dari anak muda itu, maka Agung Sedayu telah melangkah menuruni tebing. Bukan sebagai seorang yang berilmu tinggi, tetapi ia benar-benar sebagaimana orang kebanyakan menuruni tebing sungai yang curam.
Kaki Agung Sedayu yang berdesir di batu padas telah menarik perhatian anak muda itu dan Glagah Putih. Karena malam yang gelap, maka Glagah Putih tidak segera mengenali siapakah yang telah menuruni tebing. Namun menilik sikapnya, maka orang itu adalah orang kebanyakan.
Sementara itu, anak muda yang baru saja berkelahi melawan Glagah Putih itupun berdiri termangu-mangu. Untuk sesaat ia hanya berdiri saja mematung.
"Siapa?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Namun sementara itu, seorang lagi telah menuruni tebing dengan cara yang sama sebagaimana dilakukan oleh Agung Sedayu.
Glagah Putih bergeser selangkah. la tidak mau membelakangi anak muda yang berdiri di atas batu, namun ia harus memperhatikan kedua orang yang dilihatnya menuruni tebing dalam keremangan malam itu.
Namun ketika kedua orang itu sudah berdiri diatas pasir, maka Glagah Putih pun segera mengenali mereka.
Karena itu, hampir diluar sadarnya ia berdesis, "Kakang Agung Sedayu dan guru."
Agung Sedayu masih belum menyahut. Namun tiba-tiba terdengar suara tertawa yang memanjang, "Jadi di sini hadir pula Agung Sedayu" seorang anak muda yang namanya melonjak sampai menggapai langit"
"Aku bukan anak muda lagi" sahut Agung Sedayu
Kau masih muda meskipun kau sudah kawin Sudah tentu aku Iebih muda dari umurmu dan aku memang belum kawin. berkata anak muda yang berdiri di atas batu itu.
Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam dalam. Namun kemudian perhatiannya tertuju kepada Glagah Putih. Katanya, "Glagah Putih. Aku sependapat dengan anak muda ini. Aku kira permainan kalian sudah cukup lama. Masing-masing tclah mendapat kesempatan untuk menjajagi kemampuannya. Dan ternyata bahwa kemampuanmu masih berada di tataran yang lebih rendah dari ilmu anak muda ini.
Wajah Glagah Putih menjadi merah. Untunglah malam yang gelap telah melindungi sehingga wajahnya yang merah itu tidak nampak oleh anak muda yang mengalahkannya. Tetapi Agung Sedayu yang berdiri dekat dengan kemampuan pandangan mata yang tajam, dapat melihat kegelisahan di wajah Glagah Putih.
Sementara itu Agung Sedayu berkata lanjut, "Adalah satu keberanian jika seseorang melihat kelemahannya sendiri,. Mereka yang tidak berani melakukannya, maka ia telah menginjak kejalan yang salah dalam pengembangan ilmunya selanjutnya.
Glagah Putih menundukkan wajahnya. la memang tidak dapat ingkar bahwa ia tidak akan mampu mengimbangi ilmu lawannya yang masih lebih muda daripadanya itu.
Dalam pada itu, anak muda yang beridiri di atas batu itupun berkata, "Satu ajaran yang luar biasa. Aku menjadi semakin yakin bahwa kau akan menjadi seorang yang luar biasa." Anak muda itu berhenti sejenak, lalu, "He, siapa namamu" Glagah Putih" Bukankah Agung Sedayu memanggilmu demikian?"
Glagah Putih menjadi ragu-ragu. Namun kemudian iapun menjawab, "Ya, namaku Glagah Putih."
"Terima kasih. Pertemuan kita sampai di sini hari ini. Aku berniat untuk bertemu lagi pada kesempatan lain. Aku memerlukan seorang kawan yang dapat diajak bergurau tetapi juga dapat diajak berkelahi. Dan agaknya aku akan mendapatkannya di Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah kau juga senang mencari ikan dan berjalan menyusuri arus sungai?" anak muda itu berhenti sejenak, lalu, "Nah, kita akan berpisah."
Anak muda itu tidak menunggu jawaban. Tetapi ia mulai bergerak meloncati bebatuan,.
"He, siapa namamu?" bertanya Glagah Putih.
"Cari aku di Mataram" jawab anak muda itu. Tubuhnya sudah tidak kelihatan, tetapi suaranya masih bergema, "aku adalah tunas dari sekuntum bunga yang dipetiknya dari Kalinyamat."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun anak muda itu benar-benar sudah hilang.
Agung Sedayu bergeser selangkah, sementara Kiai Jayaraga hanya berdiri termangu-mangu.
"Anak itu tentu tumbuh dalam ketidak wajaran" berkata Kiai Jayaraga, "ia memiliki sesuatu yang mungkin hadir ke dalam dirinya tanpa dikehendakinya. Aku belum pernah melihat tata gerak dan sikap yang demikian meyakinkan dan mengagumkan."
Meskipun nampaknya ia sudah mengerahkan segenap kemampuannya, tetapi agaknya masih ada yang tersembunyi di dalam dirinya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia mulai mengingat apa yang pernah dikenalinya tentang Raden Sutawijaya.
Agung Sedayu itu pun menarik nafas dalam-dalam. la memang pernah mendengar apa yang terjadi atas Raden Sutawijaya itu sebelum ia diangkat menjadi Senapati Ing Ngalaga di Mataram. Raden Sutawijaya telah berhubungan dengan salah seorang dari dua orang gadis kemanakan Ratu Kalinyamat.
"Jika demikian, maka anak muda itu adalah putera Panembahan Senapati" tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis.
"Dari mana kau mendapat kesimpulan itu" bertanya Kiai Jayaraga.
"Salah seorang kemenakan Ratu Kalinyamat yang diambil oleh Panembahan Senopati yang waktu itu masih bernama Mas Ngabehi Loring Pasar agaknya telah berputra seorang atau lebih. Tetapi anak muda ini adalah anak dari puteri itu" jawab Agung Sedayu.
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih bertanya dengan gelisah, "Jadi, anak muda itu benar-benar putera Panembahan Senopati?"
"Ya" jawab Agung Sedayu, "menilik sikapnya aku percaya."
"Apakah hal itu dapat berakibat buruk bagiku?" "bertanya Glagah Putih pula.
"Aku kira tidak" jawab Agung Sedayu "anak itu bukan anak yang cengeng, yang hanya dapat mengadu kepada ayahandanya atau justru mendendam dan ingin membalas. Dalam permainan ini ia menunjukkan kelebihannya, sehingga karena itu, maka ia tidak akan berbuat sesuatu yang dapat menyulitkanmu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun hatinya yang panas karena ternyata ia tidak mampu mengimbangi kemampuan lawannya, telah menjadi dingin. Ia merasa bahwa wajar sekali jika ia dapat dikalahkan oleh putera Panembahan Senapati meskipun anak itu masih lebih muda daripadanya.
Selagi Glagah Putih merenungi peristiwa itu yang baru saja terjadi, maka Kiai Jayaraga pun berkata, "Ambillah manfaat dari permainanmu dengan anak muda itu. Kau dapat melihat kelebihan yang ada padanya. Kau dapat mempelajarinya dan dapat kau sesuaikan dengan bekal yang memang sudah ada didalam dirimu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Aku tidak melihat sesuatu yang rumit. Tetapi sebagian tidak dapat aku mengerti, apa yang telah dilakukannya. Namun anak muda itu memang luar biasa."
"Ia tentu akan menemuimu kembali" berkata Agung Sedayu, "jangan kau sia-siakan. Kau dapat berlatih bersamanya. Agaknya latihan-latihan yang demikian akan banyak memberikan arti bagimu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan ia benar-benar kembali kakang,. Aku akan sangat berterima kasih. Aku sekarang sudah mengetahui siapakah anak muda itu, sehingga aku akan dapat menyesuaikan diriku menghadapinya."
"Baiklah," berkata Agung Sedayu kemudian, "kita dapat meninggalkan tempat ini. Kita akan kembali dan membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi kemudian. Mudah-mudahan untuk seterusnya akan dapat bermanfaat bagi Glagah Putih."
"Tetapi" potong Glagah Putih kemudian, "aku akan singgah untuk menutup pliridanku."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mencegahnya. Glagah Putih masih saja terikat dengan pliridannya. Meskipun kesenangannya bermain di sungai itu telah memberikan banyak manfaat baginya.
Karena itu, maka Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu lah yang kemudian mendahului kembali pulang, sementara Glagah Putih masih saja menelusuri sungai itu untuk pergi ke pliridannya.
Ketika ia sampai kepliridannya itu, maka seorang anak yang lain telah menunggunya. Pembantu di rumah Agung Sedayu.
"Aku kira kau tidak datang lagi" berkata pembantu itu.
Glagah Putih tersenyum. Katanya Sudah aku katakan. Jika aku tidak datang sementara fajar sudah mendekat, maka kau dapat menutupnya sendiri. Bukankah kau dapat melakukannya."
"Tentu saja aku dapat melakukannya. Tetapi aku ingin kau ikut serta menutup dan kemudian menangkap ikannya." jawab anak muda itu.
Glagah Putih tertawa. Tetapi ia pun kemudian mengambil cangkul yang dibawa oleh anak muda itu. Dengan tangkasnya, maka Glagah Putih pun telah menutup pliridannya sementara pembantunya sibuk memasang icir.
Ternyata malam itu, mereka telah beruntung. Ada beberapa puluh ekor ikan telah memasuki icir yang mereka pasang. Ada enam ekor ikan lele yang besar sementara di dalam icir itu terdapat pula beberapa ekor belut.
Ketika mereka membuka icir dan menuangkan isinya, pembantu Glagah Putih itu berteriak, "He, ada beberapa ekor belut. Aku senang sekali ikan belut"
"Kakang Agung Sedayu tentu akan memilih ikan lele. Kita memang bernasib baik hari ini. Lebih banyak dari kemarin" berkata Glagah Putih.
"Jauh lebih banyak" jawab pembantunya.
"Kita memang sedang beruntung. Kita akan makan besar hari ini. Beras padi bulu itu sudah ditumbuk kemarin oleh mbakayu Sekar Mirah. Tentu hari ini sudah ditanak. Kita akan makan nasi hangat padi bulu dan ikan lele serta belut." berkata Glagah Putih.
Kita akan menutup rumpon. "tiba-tiba pembantunya itu memotong, "sekaligus kita akan berbujana hari ini."
"Ah, biarlah kita ambil lain kali. Hari ini kita sudah cukup mendapat lauk. Mungkin mbokayu Sekar Mirah yang kemarin memetik mlandingan itu akan membuat bothok hari ini." jawab Glagah Putih.
Pembantunya tidak menjawab lagi. Keduanya pun kemudian membenahi alat-alatnya dan kemudian meninggalkan tepian sebelum matahari terbit.
Namun dalam pada itu, di luar pengetahuan pembantunya, sungai itu telah memberikan arti yang lain bagi Glagah Putih. Bukan sekedar pliridan dan rumpon yang menghasilkan ikan. Tetapi di sepanjang sungai itu, ia dapat menemukan sesuatu yang lebih berarti bagi masa depannya.
Glagah Putih menyadari, bahwa anak muda itu tidak akan setiap malam berada di sungai itu. Tetapi Glagah Putih masih tetap berharap bahwa pada suatu ketika ia akan dapat menemuinya lagi.
Ketika matahari kemudian terbit, Glagah Putih dan pembantunya itu telah berada di rumah. Setelah meletakkan kepis ikannya yang hampir penuh, maka Glagah Putih dan nembantunya pun dengan tergesa-gesa telah mengerjakan tugas mereka. Mengisi jambangan di pakiwan, membersihkan halaman dan kandang serta pekerjaan-pekerjaannya sehari-hari.
Tidak ada perubahan apa pun yang terjadi pada Glagah Putih. Ia melakukan tugas-tugasnya seperti biasa. Namun pada saat-saat tertentu ia sempat juga merenungi anak muda yang menjumpainya di tepian.
Malam-malam berikutnya mendorong Glagah Putih untuk lebih banyak berkeliaran di sepanjang sungai. Ia. berlatih semakin tekun bersama alam di sekitarnya. Bebatuan, tebing sungai, pasir dan batu padas.
Meskipun sudah beberapa malam Glagah Putih bermain di sungai, tetapi anak muda itu tidak juga datang, Glagah Putih tidak menjadi jemu. Baginya, ada atau tidak ada kawannya, maka ia akan berlatih terus. Demikian, dilakukannya di tepian itu, sebagaimana dilakukannya pula di sanggar bersama Kiai Jayaraga. Bahkan kadang-kadang Kiai Jayaraga pun telah membawa Agung Sedayu mendaki bukit sebagaimana memang sering dilakukannya.
Seperti ia bermain-main di tepian, maka demikian pula Glagah Putih bermain-main diatas bukit bersama dengan gurunya.
Dalam banyak hal, Glagah Putih benar-benar telah mendapat kemajuan, Gurunya yang menjadi yakin, bahwa muridnya yang seorang ini tidak akan dengan mudah terguncang dun tersesat kedalam dunia yang tidak dikehendaki, maka ia tidak terlalu berhati-hati untuk mewariskan ilmunya kepada Glagah Putih.
"Guru bukan satu-satunya jalur yang mempengaruhi kehidupan seseorang" berkata Kiai Jayaraga di dalam dirinya, "orang tuanya, lingkungannya akan sangat berpengaruh juga. Menurut pengamatanku, Agung Sedayu suami isteri yang menjadi ganti orang tua Glagah Putih serta pada pergaulan Glagah Putih sehari-hari, tidak nampak bayangan yang akan dapat menjadi buram didalam hidupnya. Sedangkan anak muda yang menemuinya disugai itu pun tentu bukan anak muda yang akan menyeretnya melakukan tindakan yang tercela. Apalagi Agung Sedayu meyakini bahwa anak itu memang putera penembahan Senapati.
Karena itu, maka tataran demi tataran telah dituangkannya ke dalam perbendaharaan ilmu Glagah Putih. Namun demikian Kiai Jayaraga tidak kehilangan perhitungannya bahwa ia tidak boleh menuangkan melampaui ruang yang tersedia sehingga jika demikian, maka mungkin yang dituangkannya itu akan menjadi tumpah.
Dengan kesungguhan dan ketekunan, Glalah Putih menempa diri. Ternyata hasilnya cukup menggembirakan gurunya. Pada saat-saat tertentu maka gurunya berhasil melihat kemajuan yang dicapai oleh satu-satunya muridnya.
Sementara itu kebiasaan Glagah Putih untuk bermain di pinggir sungai masih saja dilakukannya. Meskipun tidak dinyatakannya, namun setiap kali ia memang mengharap kehadiran seseorang. Anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Ketika langit mendung dan bintang-bintang bersembunyi di balik awan yang kelabu, Glagah Putih berjalan bersama pembantunya turun ke sungai dalam kegelapan malam. Dengan cangkul dipundak dan sebuah icir, mereka berjalan menuruni tebing.
Sejenak kemudian, keduanya sibuk membuka pliridan dan memasang icir. Namun ketika Glagah Putih menengadahkan kepalanya iapun berkata Langit gelap. "He, apakah kita juga membuka pliridan pada malam begini."
"Icir itu sudah terlanjur kita pasang" berkata pembantunya.
"Tetapi jika banjir datang, maka icir itu akan hanyut. Kita akan kehilangan icir dan isinya sekaligus." jawab Glagah Putih.
Tetapi pembantunya menggeleng. Katanya, "Lihat, dedaunan bergoyang semakin cepat. Belum tentu hujan turun."
"Ya. Jika mendung itu tersapu oleh angin. Tetapi jika angin ini bertiup rendah, maka hujan yang akan turun justru hujan yang sangat lebat" jawab Glagah Putih.
"Tetapi hujan itu bukan hujan di daerah pegunungan. Sungai ini tidak akan banjir. Meskipun hujannya lebat sekali diiringi oleh angin dan prahara. Aku berani bertaruh, bahwa sungai tidak akan banjir malam ini meskipun di sini ada hujan betapa pun lebatnya. berkata pembantunya.
"Kau mau bertaruh apa?" bertanya Glagah Putih. "Ujung rambut" jawab pembantunya itu.
Glagah Putih mendorong kening anak itu symbol berdesis, "Jika nanti banjir terjadi, maka kau akan aku cukur gundul."
Namun demikian, Glagah Putih masih tetap bekerja membuka pliridannya.
Ketika kerja itu selesai, maka Glagah Putih berkata, "Pulanglah. Aku akan mandi sebentar."
Anak muda itu memandang Glagah Putih dengan penuh pertanyaan. Namun agaknya ia tidak mau seIalu berteki-teki. Karena itu, maka ia pun bertanya. "Sebenarnya apa saja yang kau kerjakan di sungai ini di hampir setiap malam" Kau selalu tidak pulang sebelum membuka pliridan."
"Aku tidak selalu berada di sungai ini" jawab Glagah Putih, "kadang-kadang aku naik dan berada di gardu-gardu bersama anak-anak muda Tanah Perdikan. Tetapi kadang-kadang aku memang berjalan-jalan menelusuri sungai"
Pembantuya itu tidak bertanya lagi. Ia tetap tidak mengerti apa yang dikatakan dan apalagi yang dilakukan oleh Glagah Putih.
Dengan demikian, maka Glagah Putih telah meninggalkan pliridannya dan berjalan ke arah hilir, menyusuri sungai.
Ketika ia sampai di tikungan. maka iapun berhenti. Di tempat yang sepi, yang tidak banyak di kunjungi orang. apalagi di malam hari. Glagah Putih mulai berlatih sebagaimana sering dilakukannya.
Tetapi ketika ia mulai dengan meningkat kepada pengerahan tenaga radangannya, terasa air mulai menitik. Angin masih juga berhembus. Bahkan rasa-rasanya semakin cepat. Tetapi titik-titik hujan pun turun semakin deras pula.
Meskipun demikian Glagah Putih lidak menghentikan latihannya. Ia justru mengerahkan kemampuannya semakin tinggi. Loncatan-loncatannya semakin panjang. dan sekali-sekali kakinya melekat pada tebing yang miring.. Dengan tangkas kakinya terlontar melintasi tepian berpasir, kemudian berpijak pada batu-batu yang basah dan licin. Namun Glagah Putih mampu mempertahankan keseimbangannya di samping kemampuannya bergerak dengan cepat.
Ketika kemudian hujan bagaikan ditumpahkan dari langit, maka Glagah Putih sampai kepada puncak latihannya. Namun dalam pada itu, pasir tepian menjadi basah
Meskipun demikian, justru karena itu, maka daerah itu menjadi arena latihan yang semakin baik bagi Glagah Putih. Lereng tebing yang licin itu memberikan satu pengalaman baru bagi kemungkinan gerak kakinya. Berbeda dengan bebatuan yang licin oleh lumut yang kehijau-hijauan.
Namun selagi Glagah Putih tenggelam dalam latihan di dalam hujan yang lebat di gelapnya malam, maka lamat-lamat di sela-sela suara hujan yang gemuruh, ia mendengar seseorang tertawa nyaring.
GIagah Putih mendengar suara tertawa itu. Tetapi dalam gelapnya malam dan hujan yang lebat sekali, ia tidak melihat sesuatu yang agak jauh dari dirinya. Meskipun ia sudah berlatih mengamati sesuatu di dalam gelapnya malam, namun ternyata bahwa ia tidak melihat seseorang.
Namun baru kemudian ketika kilat memancar di langit, ia melihat di atas sebuah batu di tengah-tengah sungai yang tidak begitu besar itu, seseorang berdiri tegak sambil bertolak pinggang.
Seorang anak muda yang ia yakin bahwa anak muda itu adalah anak muda yang pernah datang kepadanya be"berapa hari yang lalu. Justru karena itu, maka Glagah Putih telah berhenti. la berdiri diatas pasir tepian di lebatnya hujan yang bagaikan tercurah dari langit.
"Luar biasa. Latihan menunjukkan, bahwa kau adalah anak muda yang sangat tekun. Dalam waktu dekat maka ilmumu sudah nampak meningkat" berkata anak muda yang berdiri di atas batu itu.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Kau dapat melihat, bagaimana aku berlatih."
"Ya kenapa?" bertanya anak muda itu.
"Dalam hujan yang lebat di gelapnya malam begini?" bertanya Glagah Putih pula.
"He, apakah kau tidak melihat aku?" bertanya anak muda itu.
"Aku melihatmu ketika kilat memancar. Sesudah itu tidak lagi, selain gelapnya malam juga curahan air hujan di depan pelupuk mataku." jawab Glagah Putih.
"Omong kosong" jawab anak muda itu "kau tepat menghadap kepadaku."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Yang terdengar kemudian adalah gemuruhnya air hujan dan angin yang menjadi semakin besar. Pepohonan berguncang bagaikan diputar oleh kekuatan raksasa. Dedaunan yang tidak lagi dapat berpegangan pada tangkainya telah berhamburan dibawa arus angin yang kencang.
Baru sejenak kemudian Glagah Putih menjawab, "Aku mendengar suaramu. Dan ketika cahaya kilat memancar aku melihatmu."
Anak muda itu tertawa. Tetapi ketika langit menjadi benderang oleh oleh cahaya kilat, ternyata anak muda itu sudah berpindah tempat.
"Gila" geram Glagah Putih. Namun demikian ia masih tetap berdiri di atas pasir tepian.
Sekilas Glagah Putih teringat akan satu kemungkinan bahwa sungai itu akan banjir. Tetapi sebenarnya ia sependapat dengan pembantunya bahwa mendung tidak sampai memanjat lereng pegunungan, sehingga seandainya terjadi hujan prahara sekalipun, maka sungai kecil itu tidak akan banjir, meskipun mungkin airnya akan naik."
Karena itu, maka Glagah Putih masih saja berdiri di tepian, sementara anak muda itu berkata sambil tertawa, "He, bukankah kau lihat aku disini?"
"Ya" Jawab Glagah Putih, "ketika kilat memancar."
Suara tertawa anak muda itu semakin berkepanjangan. Namun tiba-tiba terdengar suaranya, "Glagah Putih, bersiaplah. Aku akan menyerangmu."
Glagah Putih bergeser mundur. Tetapi ia benar-benar tidak melihat apa-apa. Dalam kelamnya malam yang bagaimanapun juga, Glagah Putih masih dapat melihat meskipun lamat-lamat.
Tetapi ketika hujan lebat turun di kelamnya malam, maka ia benar-benar tidak melihat sesuatu pada jarak selangkah.
Glagah Putih memang bersiap. Tetapi ia tidak melihat anak muda itu meloncat dengan cepat dan kemudian dengan ujung jarinya menyentuh dada Glagah Putih.
Glagah Putih terkejut. Tetapi ia terlambat. Ketika ia melihat bayangan yang bergerak di lebatnya hujan, maka dadanya telah terasa tersentuh ujung jari.
Glagah Putih menyadari, bahwa jika yang dilakukan oleh anak muda itu serangan yang sebenarnya, maka ia tentu sudah terlempar dan terbanting jatuh. Mungkin lebih parah dari sekedar jatuh di pasir tepian.
"Bersiaplah" terdengar suara itu, "kenapa kau diam saja. Aku masih menyentuhmu dengan ujung jari. Tetapi nanti aku akan benar-benar menyerangmu dengan tinju."
Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Tetapi ia benar-benar telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. la tidak saja mempergunakan penglihatannya yang tidak dapat menjangkau pada jarak selangkah, tetapi ia pun mempergunakan pendengarannya sebaik-baiknya.
Dengan demikian ketika serangan yang berikutnya datang, Glagah Putih dapat menangkap desir di pasir tepian yang basah di sela-sela bunyi hujan. Bunyi yang tiba-tiba terdengar asing itu diartikan langkah anak muda yang menyerangnya itu.
Dengan tanpa melihat orangnya, maka Glagah Putih masih belum dapat mengambil arah untuk menghindari serangan itu. Namun demikian bayangan itu mulai nampak, maka dengan cepat" Glagah Putih berusaha menghindar.
Tetapi jaraknya sudah terlalu pendek, sehingga Glagah Putih tidak mempunyai kesempatan. Karena itu, ia menahan serangan anak muda itu dengan menangkisnya.
Ternyata serangan itu datang terlalu keras. Glagah Putih yang dengan sengaja dan sedikit kebingungan berusaha melindungi dirinya dengan menyilangkan tangannya di dadanya, ia tidak sempat memperhatikan kemungkinan bahwa satu kekuatan yang sangat besar telah melandanya.
Tubuh Glagah Putih bagaikan terdorong oleh kekuatan raksasa yang m elemparkannya dari tempatnya berdiri. Untunglah bahwa mereka berada di tepian yang beralaskan pasir. Sebagaimana Glagah Putih terlempar dan terbanting jatuh, maka tulang iganya tidak terasa terlepas dari dadanya.
Namun Glagah Putih yang kemudian berguling beberapa kali, dengan tangkasnya telah meloncat berdiri. Kali ini Glagah Putih tidak mau sekedar menjadi sasaran. Karena itu, maka ia pun telah merendah dan siap untuk bergerak. Bahkan ia telah melakukan ancang-ancang yang dalam sekejap dapat melepaskan kekuatan cadangannya yang besarnya berlipat ganda dari kekuatannya sendiri.
Namun gelapnya malam dan hujan yang tercurah itu benar-benar telah mengganggu pandangannya. Meskipun demikian sekali lagi ia berusaha melengkapi kekurangannya itu dengan pendengarannya.
Demikian sejenak kemudian terdengar desir itu lagi dari sisi kanan. Karena itu, maka Glagah Putih tidak lagi menunggu lawannya itu menyerangnya. Tetapi dengan serta merta, Glagah Putihlah yang mendahului penyerang anak muda itu.
Anak muda itu memang terkejut. la tidak menduga bahwa Glagah Putih akan sempat mempunyai perhitungan yang cermat justru ia sendiri tidak melihat dalam jarak selangkah.
Ternyata bahwa serangannya itu dapat mengenai sasarannya. Kaki Glagah Putih telah mengenai lambung anak muda itu. Anak muda yang lengah karena kelebihannya.
Sejenak anak muda itu terhuyung-huyung oleh dorongan yang sangat besar yang mengenai lambungnya, sehingga anak muda itu menyeringai menahan sakit. Namun sayang sekali, bahwa Glagah Putih tidak dapat melihat apa yang terjadi itu. Meskipun ia mengerti, bahwa anak muda itu akan terlempar jatuh, tetapi ia tidak segera tahu apa yang dilakukan oleh lawannya itu.
Anak muda itu memang terjatuh. Tetapi seperti saat Glagah Putih terjatuh beralaskan pasir tepian. Rasa-rasanya pasir itu tidak menyakitinya. Tetapi hentakan kaki lawannya pada lambung itulah yang terasa menyakitinya.
Tetapi anak muda itu mengerti, bahwa hal itu dilakukan oleh Glagah Putih karena Glagah Putih tidak sempat melihat lawannya di lebatnya hujan dan gelapnya malam berbaur.
Sementara itu Galagah Putih sendiri menjadi termangu-mangu. la tidak mendengar apa-apa lagi kecuali bunyi hujan yang gemuruh. la tidak mendengar suara anak muda yang telah dikenalinya, sehingga justru karena itu telah timbul kecemasan di dalam dirinya, bahwa serangannya itu akan melukai bagian dalam tubuh anak muda itu.
Karena itu, maka Glagah Putih pun telah bergeser ke arah kakinya menyentuh anak muda itu. Beberapa langkah ia bergerak.
Tetapi ternyata bahwa ia tidak menemukan sesuatu. Anak muda itu tidak terbaring di atas pasir yang basah, disiram oleh air hujan yang deras bagaikan ditumpahkan dari langit.
"Anak itu sudah pergi" desis Glagah Putih.
Untuk beberapa saat Glagah Putih termangu-mangu. Namun sejenak kemudian ia mulai mendengar suara tertawanya lagi. Di sela-sela suara tertawanya ia berkata, "Kau memang luar biasa. Aku tidak mengira bahwa kau sempat menyerang aku. Agaknya di samping mempergunakan penglihatanmu, kau juga memanfaatkan pendengaranmu. Suara yang lain dari gemuruhnya hujan dan angin, telah memberitahukan kepadamu, bahwa aku ada di sana."
Glagah Putih tidak segera menjawab. Namun ia menyadari sepenuhnya bahwa anak muda itu akan dapat menyerangnya setiap saat.
Satu kelebihan yang menentukan, bahwa anak muda itu mampu melihatnya meskipun mungkin juga hanya sekedar bayangan yang samar-samar. Tetapi ia sama sekali tidak dapat melihatnya.
"Glagah Putih" terdengar suara anak muda itu, "hati-hatilah. Aku akan segera mulai lagi. Lambungku yang terasa sangat sakit kini telah berkurang, sehingga aku akan dapat mulai lagi dengan permainan ini."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia harus berhati-hati. la harus benar-benar mempergunakan segala indera yang dapat dipergunakannya di dalam kelamnya malam dan hujan angin yang keras.
Sejenak kemudian, maka kedua anak muda itu telah mulai lagi dengan latihan mereka, yang mereka sebut sebagai satu permainan.
Ternyata dengan pertolongan pendengarannya yang tajam, Glagah Putih dapat mengurangi tekanan lawannya, meskipun setiap kali ia dapat dikenainya. Namun sekali-sekali Glagah Putih pun mampu menyongsong anak muda itu dengan serangan yang tiba-tiba yang dapat mengenai dan mendorong anak muda itu surut ke belakang.
Demikianlah latihan itu berlangsung dalam keadaan yang khusus.
Namun ternyata bahwa keadaan itu telah menjadi satu arena latihan yang baru bagi Glagah Putih. Dalam keadaan yang demikian Glagah Putih lebih banyak mempergunakan telinganya untuk mengetahui arah kedatangan anak muda itu.
Semakin lama, maka Glagah Putih menjadi semakin mengenali cara-cara yang semula dilakukannya karena keadaan yang memaksa. Tetapi lambat laun, maka ia merasa bahwa pendengarannya merupakan satu alat yang sangat berguna baginya untuk mengenali keadaan di sekitarnya pada saat-saat yang khusus. Bahkan dengan latihan-latihan yang tekun maka di samping alat penglihatannya, maka dalam keadaan yang bagaimana pun juga, pendengarannya akan dapat dipergunakan sebaik-baiknya.
Sementara itu, hujan pun menjadi semakin lebat dan angin menjadi semakin kencang. Pepohonan diguncang bagaikan batang-batang ilalang.
Sementara itu, kedua anak muda itu pun masih saja bertempur dengan cepat dan sama sekali tidak menghiraukan hujan dan prahara itu.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Glagah Putih terkejut. la mendengar suara yang lain lagi. Gemuruh itu bukan gemuruhnya hujan.
"Banjir" tiba-tiba saja Glagah Putih berteriak.
"Ya banjir. He apakah kau baru tahu. Cepat, naik ke atas tebing" terdengar suara anak muda itu.
Sekali kilat memancar, maka Glagah Putih melihat anak muda itu telah berdiri di atas tebing.
Dengan tergesa-gesa Glagah Putih meloncat ke tebing sungai. Dalam gelapnya malam dan hujan, Glagah Putih berusaha untuk mendaki lereng yang licin.
Jantungnya berdenyut ketika ia merasa tubuhnya disentuh air. Namun dengan cepat ia berhasil bergeser dan merangkak semakin tinggi. Sehingga akhirnya ia pun berhasil mencapai tanggul.
Namun iapun terkejut ketika tiba-tiba saja tangannya telah menyentuh sepasang kaki. Dalam kegelapan iapun kemudian melihat lamat-lamat anak muda itu telah berdiri di atas tanggul itu pula. Bergeser beberapa langkah dari tempatnya semula.
"Kau terlambat mengetahui bahwa banjir itu datang" desis anak muda yang berdiri di atas tanggul sambil bertolak pinggang itu.
Glagah Putih pun kemudian berdiri di atas tanggul pula. Suara gemuruhnya banjir di bawah kakinya mernbuatnya meremang. Jika ia terlambat sekejap saja, maka satu kemungkinan yang pahit dapat terjadi. Mungkin ia akan hanyut dibawa arus. Betapapun tinggi ilmunya, namun sudah pasti bahwa ilmu itu tidak akan dapat dipergunakannya untuk melawan arus selain untuk mendorong kemampuannya berenang. Tetapi banjir yang besar mempunyai tenaga yang tidak terbatas. Bahkan melampaui kekuatan yang manapun juga yang pernah dikenalnya.
"Aku tidak menduga bahwa sungai ini akan hanjir" desis Glagah Putih.
"Kenapa kau mempunyai dugaan begitu?" bertanya anak muda itu.
"Mendung itu tidak sampai ke lereng perhukitan. Hujan ini aku sangka hanya yang turun di daerah ini saja meskipun lebat sekali. Ternyata bahwa hujan ini tentu turun pula di Iereng bukit, sehingga dapat menumbuhkan banjir." berkata Glagah Putih.
"Ya. Banjir yang cukup besar" berkata anak muda itu, "tetapi lain kali aku ingin menjajagi kekuatan banjir."
Glagah Putih termangu-mangu. Katanya, "Bukankah hal itu akan sangat berbahaya?"
"Kita harus berhati-hati" jawab anak muda itu, "dalam segala hal kita memang harus berhati-hati."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi dalam kegelapan itu ia merenungi banjir yang semakin lama menjadi semakin besar. Meskipun dalam penglihatan Glagah Putih yang nampak hanyalah kegelapan melulu, tetapi suara banjir itu telah membuat gambaran di dalam angan-angannya. Banjir yang cukup besar.
Meskipun ia masih berdiri didekat anak muda yang baru saja mengajaknya berlatih, namun Glagah Putih masih juga teringat kepada pliridannya.
Selagi Glagah Putih merenung, tiba-tiba saja anak muda yang berdiri di sampingnya itu bertanya, seakan-akan ia mengetahui apa yang direnungkannya, "Bagaimana dengan pliridanmu?"
"Tentu hanyut bersama dengan tambaknya. Besok aku harus memperbaikinya" berkata Glagah Putih.
"Memperbaiki pliridan yang rusak oleh banjir akan sama saja dengan membuat baru" berkata anak muda itu.
"Ya. Aku memang akan membuat yang baru" jawab Glagah Putih.
Dalam pada itu, maka kedua anak muda itu masih saja berdiri di atas tanggul. Baru sejenak kemudian anak itu berkata, "Aku akan pulang. Besok pagi menjelang fajar aku harus berada di rumah."
Glagah Putih termangu-mangu. Namun hampir di luar sadarnya iapun, bertanya, "Bagaimana jika Kali Praga juga banjir" Apakah para tukang satang berani membawamu menyeberang?"
"Tentu" jawab anak muda itu, "tukang satang menggantungkan penghidupannya pada sungai, banjir atau tidak banjir."
"Tetapi jika banjir deras, aku kira mereka tidak akan berani menyeberang. Apalagi membawa penumpang, karena para tukang satang itu harus mempertanggung jawabkan keselamatan para penumpang itu."
"Ya. Tetapi mereka sudah terbiasa melakukannya betapapun besar air Kali Praga." jawab anak muda itu.
Ternyata anak muda itu benar-benar meninggalkan Glagah Putih yang kemudian berdiri seorang diri di atas tanggul. Banjir di bawah kakinya masih terdengar gemuruh, melampaui gemuruhnya hutan dan angin.
Untuk beberapa saat Glagah Putih termangu-mangu. Namun ia pun kemudian telah meninggalkan tebing sungai itu dan kembali kerumah Agung Sedayu.
Kepada Agung Sedayu dikatakannya, bahwa ia baru saja bertemu dengan anak muda yang pernah mereka kenal yang menjumpai mereka di pinggir sungai.
"Yang mengaku keluarga dekat Panembahan Senapati" bertanya Agung Sedayu.
"Ya" jawab Glagah Putih yang masih terlalu muda.
Agung Sedayu mengangguk-angguk, ia teringat kepada anak muda yang pernah datang menemui Glagah Putih d sungai itu. Anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi.
Sementara itu Glagah Putih pun telah berceritera pula, apa yang terjadi di pinggir sungai, sampai saatnya banjir yang besar telah menghentikan mereka.
Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Mereka mengerti Glagah Putih mulai tertarik pada latihan-latihan untuk mempertajam pengamatan inderanya. Penglihatannya, pendengarannya mungkin juga pada satu saat penciumannya.
"la akan mengarah kepada satu kemungkinan untuk menekuni ilmu Sapta Pangrungu, Sapta Pandulu dan Sapta Pangganda" berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun ternyata bukan hanya Agung Sedayu yang berpikir demikian, Kiai Jayaraga pun berpendapat bahwa Glagah Putih akan sampai kepada ilmu itu si suatu saat.
Namun keduanya masih berdiam diri tentang kemungkinan itu, meskipun Agung Sedayu sendiri telah menguasainya.
Latihan yang dilakukan oleh Glagah Putih dalam hujan yang lebat sehingga kakinya berpijak pada pasir yang basah dan lereng yang licin, memang telah memberikan satu tanggapan tersendiri dari gurunya.
"Satu latihan yang sangat baik" berkata Kiai Jayaraga.
Namun dalam pada itu, Kiai Jayaraga telah memperbincangkan dengan Agung Sedayu tentang kehadiran anak muda itu. Nampaknya ia merasa mempunyai satu kesesuaian dengan Glagah Putih, sehingga pada suatu saat ia datang lagi. Pada saat lain, maka anak muda itu tentu akan datang pula menemui Glagah Putih.
"Nampaknya anak itu tidak berpengaruh buruk atas Glagah Putih sampai saat ini" berkata Kiai Jayaraga yang menjadi jera karena tingkah laku murid-muridnya yang terdahulu. Karena itu, maka ia menjadi sangat berhati-hati mengamati tingkah laku muridnya yang satu itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sependapat Kiai. Tetapi kita tidak boleh melepaskannya. Kadang-kadang kita harus juga melihat apa yang mereka lakukan. Sementara itu, aku ingin pergi ke pada Ki Lurah Branjangan. Mungkin ia tahu, siapakah putera salah seorang gadis dari Kalinyamat yang kemudian menjadi isteri Mas Ngabehi Loring Pasar itu."
Kiai Jayaraga agaknya sependapat. Katanya, "Mungkin Ki Lurah memang mengetahuinya. la sering pergi ke Mataram dalam tugasnya sebagai Panglima Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Barangkali ia pernah mendengar seorang putera Panembahan Senapati yang memiliki kesenangan mirip dengan ayahnya, mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menempa dirinya dengan laku yang jarang ditempuh oleh orang lain."
"Jika demikian" berkata Agung Sedayu "semakin cepat semakin baik. Besok aku akan bertemu dengan Ki Lurah Branjangan di baraknya."
Demikianlah, sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu, maka di hari berikutnya. ia telah minta diri kepada isterinya dan kepada Kiai Jayaraga untuk pergi ke barak pasukan khusus, sementara Glagah Putih menyempatkan diri pergi ke sawah.
"Mudah-mudahan kau mendapat keterangan tentang anak itu" berkata Kiai Jayaraga.
Agung Sedayu yang sudah tidak lagi selalu datang di barak itu setiap hari ternyata mendapat sambutan yang baik dari mereka yang tinggal di barak itu. Beberapa orang perwira telah menyongsongnya dan mempersilahkan untuk masuk keruang khusus hagi mereka. Sejak pertempuran yang terjadi di Tanah Perdikan itu melawan pasukan Ki Tumenggung Purbarana rasa-rasanya mereka belum mendapat kesempatan untuk berbicara dan berkelakar seperti yang pernah mereka lakukan.
"Kau sendiri saja Agung Sedayu" bertanya Ki Lurah.
"Ya. Aku hanya sekedar singgah" jawab Agung Sedayu. "Nampaknya kau sibuk sekali akhir-akhir ini. Kau jarang sekali melihat-lihat Tanah Perdikan disini ini." Berkata salah seorang perwira.
"Disini sudah ada kalian" jawab Agung Sedayu " pencaruh kalian cukup besar bagi para petani. Bukankah kalian sering juga memberikan beberapa petunjuk kepada mereka?"
"Tetapi hanya kadang-kadang saja." jawab perwira itu. "Anak-anak Menoreh yang tinggal di barak ini tentu akan berhuat demikian bagi Tanah ini" berkata Agung Sedayu.
Lembah Nirmala 23 Pengemis Binal 13 Dendam Ratu Air Pendekar Guntur 2

Cari Blog Ini