08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 20
Agung Sedayu. Meskipun demikian, Agung Sedayu masih belum membalas serangannya.
Demikianlah dua orang yang pada beberapa malam sebelumnya telah bertempur melawan Glagah Putih, maka merekatelah mendapat lawan seorang-seorang.Bahkan seo rang diantara lawan mereka adalah Agung Sedayu. Karena itu-maka keduanya seakan-akan benar benar telah terperangkap kedalam jebakan.
Namun dalam pada itu, kawan-kawan kedua orang itupun telah bersiaga pula menghadapi segala kemungkinan. Enam orang yang berdiri berpencaran.
Sejenak kemudian, beberapa orang pengawal terpilih dari Tanah Perdikan Menoreh telah mendekati mereka. Dengan senjata ditangan dan sangat berhati-hati para pengawal itu maju selangkah demi selangkah.
Seorang diantara keenam orang yang berpihak kepada1 Pajang itupun kemudian menggeram. Katanya Marilah, siapakah yang ingin mati pertama"
Dua orang pengawal mendekatinya. Seorang diantara mereka berkata "Menyerahlah. Kau tidak mempunyai kesempatan. Jika kami berdua tidak mampu menangkapmu, maka dalam sekejab akan datang sepuluh orang yang siap untuk menghancurkanmu."
"Jangankan hanya sepuluh orang pengawal -jawab orang itu"seratus orang pengawal aku persilahkan untuk datang. Aku akan membunuh mereka seorang demi seorang dengan memenggal lehernya hingga orang yang keseratus."
Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia berusaha untuk melihat kawan kawannya yang berdiri berhadapan dengan lawan yang lain. Namun dalam kerema-ngan malam yang dapat dilihatnya hanyalah orang yang berdiri terdekat saja. Itupun jaraknya berapa langkah dise-berang kotak-kotak sawah.
Namun pengawal itu yakin, bahwa tidak seorangpun diantara mereka yang memasuki Tanah Perdikan itu luput dari perhatian, karena di tempat itu ternyata hadir pula orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Diantara mereka adalah Ki Gede sendiri.
Karena itu, maka perhatian pengawal itu sepenuhnya ditujukan kepada orang yang dihadapinya.
Sesaat kemudian, maka justru orang Pajang itulah yang berkata" Pergi sajalah. Aku kasihan melihat wajahmu yang gelisah. Apakah kau sedang mencari atau menunggu kawan-kawanmu yang kau katakan sepuluh orang itu. Pengawal itu menggeram. Tanpa menjawab apapun juga, maka kedua orang pengawal itupun bergeser menjauh. Sementara senjata mereka telah teracu. Dan ujung tombak pendek.
Tetapi orang Pajang itu benar-benar tidak gentar. Dengan pedangnya yang besar, iapun telah bersiap menyongsong serangan kedua orang pengawal itu. Bahkan kemudian pedangnyalah yang bergerak menyentuh satu diantara kedua ujung tombak itu.
Sejenak kemudian, maka pertempuran telah mulai berkobar. Kedua orang pengawal terpilih itu dengan cepat berusaha untuk menguasai lawannya, seorang yang dianggap bekerja untuk pihak yang memusuhi Mataram, yang karena itu juga memusuhi Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan orang itu merupakan satu diantara mereka yang mencari keterangan tentang kekuatan Mataram di Menoreh dan kekuatan Menoreh sendiri.
Namun kedua orang itu terkejut ketika ternyata mereka benar-benar telah membentur batu. Ternyata orang itu tidak hanya sekedar mengancam, bahwa kedua orang itu tidak akan berarti apa-apa baginya.
Dengan kemampuan yang sangat tinggi, maka orang itu dengan cepat telah mendesak ke dua orang pengawal Tanah Perdikan itu.
Yang terjadi ditempat-tempat lain ternyata tidak jauh berbeda. Para pengawal Tanah Perdikan menjadi terkejut ketika mereka kemudian membentur lawan-lawan mereka.
Yang terdengar kemudian adalah orang Pajang itu tertawa. Ia melihat kedua orang lawannya menjadi bingung. Bahkan berloncatan mundur.
"Nah"berkata orang Pajang itu"dengan cara itukah kalian akan menangkap kami" Karena itu sebaiknya kalian berpikir untuk kedua dan ketika kalinya. Adalah sia-sia sa ja meskipun kalian akan mengajak sepuluh atau duapuluh orang bertempur bersama kalian. Justru dengan demikian hanya akan menambah kematian saja. Dan kematian itu akan membenahimu di akerat nanti. Karena kaulah yang menyeret mereka keambang kematiannya."
Kedua pengawal yang bertempur melawannya tidak menjawab. Tetapi keduanya telah mengerahkan kemampuan mereka untuk mengimbangi kemampuan lawannya.
Tetapi usaha itu sia-sia. Tidak ada kesempatan yang dapat dilakukan oleh kedua orang pengawal itu. Bahkan sejenak kemudian, seorang diantara kedua pengawal itu terkejut ketika tombaknya yang berusaha mematuk dada telah disentuh oleh kekuatan yang tidak terlawan, sehingga tombaknya itu telah terloncat dari tangannya. Sementara itu, orang Pajang itupun sudah siap untuk meloncat dan menikam pengawal itu di dadanya.
Namun pengawal Tanah Perdikan yang lain tidak membiarkan kawannya terbunuh. Karena itu, maka dengan serta merta iapun telah meloncat pula dan menjulurkan tombaknya kearah dada orang Pajang itu pula.
Tetapi orang Pajang itu mampu bergerak sangat cepat melampaui kecepatan gerak orang Tanah Perdikan itu. Karena itu, demikian orang itu meloncat maju, maka justru orang Pajang itu telah bergeser sambil merendah. Namun dalam pada itu pedangnyalah yang terjulur, sehingga justru bukan ujung tombak pengawal itu yang menusuk dada lawannya, namun ujung pedang itulah yang telah mengoyak pundaknya.
Pengawal itu menggeram. Perasaan sakit yang sangat telah menyengat pundaknya yang terluka sehingga tangannya justru bagaikan menjadi lumpuh.
Yang terdengar kemudian adalah orang Pajang itu tertawa .
Sejenak orang yang bekerja untuk Pajang itu berdiri bertolak pinggang pada sebelah tangannya sedangkan tangannya yang lain mengacukan tombaknya sambil berkata disela-sela suara tertawanya"Nah, kalian berdua akan segera mati. Cepat, sebelum kalian mati, panggil kawan-kawanmu. Berteriaklah atau lontarkan isyarat apapun juga untuk kepentingan itu."
Kedua orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu termangu-mangu. Seorang yang terluka dipundaknya itu berdesah, sementara kawannya yang kehilangan tombaknya itu berdiri termangu-mangu.
"Kalian sudah tidak me lpunyai kesempatan untuk hidup"berkata orang yang bekerja untuk Pajang itu"seandainya kalian tidak memulainya dan melarikan diri sebelum mengacukan senjata kalian, maka kalian akan aku biarkan. Sekarang kalian sudah terperangkap oleh kesombongan kalian. Karena itu, kalian berdua harus mati."
Kedua pengawal itu termangu-mangu. Sementara itu, orang yang terluka dan mengeluarkan banyak darah itu merasa tubuhnya menjadi semakin lemah, sementara kawannya sudah tidak bersenjata lagi.
"Jangan menyesal. Bersiaplah untuk mati. Jika kalian ingin berdoa, inilah kesempatanmu yang terakhir"bentak orang yang bekerja untuk Pajang itu.
Kedua orang pengawal itu menjadi semakin tegang. Namun dengan gerak naluriah, maka ujung tombak orang yang terluka itupun tiba-tiba saja telah teracu siap menyongsong serangan lawannya.
Orang Pajang itu tertawa. Katanya"He, kau masih akan melawan aku" Jangan gila dan jangan membuat saat matimu sangat pahit."
Tetapi tombak pendek itu tetap teracu kearah orang Pajang itu.
Dalam padaitu, sebenarnyalah orang yang bekerja untuk Pajang itu sudah siap untuk benar-benar membunuh kedua orang pengawal yang termangu-mangu. Yang akan menjadi sasaran pertamanya adalah orang yang sudah tidak bersenjata tetapi belum terluka itu, karena menurut perhitungannya, orang yang terluka itu tidak akan lagi dapat berlari cepat, karena darahnya sudah terlalu banyak mengalir.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja orang itu menjadi tegang. Selagi ia sudah siap untuk meloncat menikam pengawal yang sudah tidak bersenjata lagi itu, ia telah mendengar desir langkah kaki mendekati.
Dalam keremangan malam, ketika ia berpaling, maka dilihatnya sesosok tubuh kekar dari balik batang-batang padi yang subur di kotak sawah sebelah.
"Setan. Seorang lagi yang agaknya ingin mati."geram orang yang bekerja untuk Pajang itu.
Tetapi jawabnya sangat mengejutkan. Suara itu adalah suara seorang perempuan"Tidak. Aku tidak ingin mati. Aku hanya ingin melihat kau yang mati atau berlutut diba-wah kaki para pengawal Tanah Perdikan ini."
"Gila. Apa maksudmu. Kedua pengawal ini sekejap lagi akan mati Atau kau ingin sekedar menarik perhatianku agar kedua orang ini sempat lari?"bertanya orang yang sudah siap untuk membunuh itu. Lalu"Dan kau menganggap bahwa karena kau seorang perempuan maka aku akan membunuhmu"
"Bukan. Bukan begitu. Kedua orang pengawal itu tidak akan lari. Mereka akan menunggu kau berlutut atau kau mati terkapar disawah ini. Darahmu akan menjadi pupuk sehingga sawah yang sekarang kau rusakkan tanamannya itu kelak akan menjadi subur."terdengar suara perempuan itu lagi.
"Persetan. Siapa kau?"bertanya orang yang bekerja untuk Pajang itu.
Sosok tubuh yang ternyata seorang perempuan itu menjadi semakin dekat, sehingga orang yang bekerja untuk Pajang itu menjadi yakin bahwa ia berhadapan dengan seorang perempuan meskipun ia mengenakan pakaian seorang laki-laki.
Sejenak kemudian perempuan itu menjawab"Namaku Sekar Mirah"
"Sekar Mirah"ulang orang yang bekerja untuk Pajang itu.,
Kedua pengawal yang telah hampir menjadi putus asa itu tiba-tiba telah menemukan satu harapan. I lampir diluar sadarnya pengawal yang terluka itu berdesis"Perempuan itu adalah isteri Agung Sedayu."
"Isteri Agung Sedayu"sekali lagi orang yang bekerja untuk Pajang itu mengulang. Namun kemudian katanya"Persetan dengan isteri Agung Sedayu. Yang namanya ngambar arum adalah Agung Sedayu. Apakah dengan demikian isterinya juga menjadi mampu olah kanura-gan?"
"Kau benar"sahut Sekar Mirah"namun demikian aku juga akan mencoba, apakah kau dijangkiti pula oleh kemampuan yang ada didalam diri kakang Agung Sedayu. Jika ilmu kanuragan itu bagaikan penyakit menular, maka ilmu itu aku harap sudah menular padaku."
"Anak setan"geram orang yang bekerja untuk Pajang itu"marilah jika kau juga ingin mati meskipun kau masih muda dan ternyata meskipun tidak begitu jelas, aku menganggapmu seorang perempuan cantik. Tetapi sayang, dalam peperangan seperti ini, kecantikan tidak ada artinya, jika itu akan kau pergunakan untuk melumpuhkan perlawananku. "
" Aku tidak merasa cantik " jawab Sekar Mirah " tetapi aku akan menangkapmu sebagaimana akan dilakukan oleh kakang Agung Sedayu jika ia ada di sini. "
"Persetan, marilah. Biarlah kedua pengawal itu melarikan diri jika mereka sempat. Tetapi membunuhmu bukan pekerjaan yang akan memakan waktu lebih dari sekejap"orang yang bekerja untuk Pajang itu hampir berteriak.
Tetapi Sekar Mirah yang sudah berdiri berhadapan dengan orang itu mulai menggerakkan tongkat baja putihnya sambil berdesis"Kita akan bertempur."
"Apa yang kau bawa?"bertanya orang yang bekerja untuk Pakang itu.
"Tongkat. Hanya sebuah tongkat. Inilah senjataku"jawab Sekar Mirah.
Orang itu termangu-mangu. Dipandanginya tongkat yang berkilat-kilat itu dengan jantung yang berdegupan.
Menurut pengertiannya, tongkat baja putih itu adalah senjata yang sangat ditakuti pada masa kegarangan prajurit Jipang. Namun orang yang bekerja untuk Pajang itu tidak tahu pasti, apakah pemegang tongkat itu juga mempunyai kemampuan menggunakan seperti masa-masa yang telah lewat itu.
Namun diluar sadarnya orang itu bertanya " He, tongkat baja putihmu itu apakah juga berkepala sebagaimana pernah aku dengar tentang tongkat baja putih. "
Sekar Mirahpun kemudian menjulurkan kepala tongkatnya yang berwarna kekuning-kuningan. Meskipun tidak begitu jelas didalam keremangan malam, namun kulit orang itu meremang, Tongkat itu berkepala tengkorak yang terbuat dari jenis logam yang berbeda dengan tongkat yang berwarna putih itu.
" Kepala tongkat itu tentu berwarna kekuning-kuningan " desis orang itu didalam hatinya.
Meskipun demikian orang itu masih belum yakin bahwa yang dihadapinya adalah seseorang yang memang memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan kemudian katanya " Agaknya suamimu telah merampas tongkat itu dari tangan orang yang berhak, dan memberikan kepadamu. Kau sangka bahwa dengan bersenjata tongkat baja putih itu kau akan dengan sendirinya mempunyai kemampuan untuk menggerakannya ?"
" Sudahlah " jawab Sekar Mirah " jangan hanya berbicara saja. Waktuku tidak terlalu banyak. Aku harus segera menangkapmu dan menyerahkannya kepada Ki Gede, atau jika terpaksa, aku memang akan membunuhmu saja. "
" Persetan " geram orang yang bekerja untuk Pajang itu. Pedangnyalah yang kemudian bergerak terayun-ayun mengerikan.
Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak menjadi cemas. Bahkan ia masih sempat berkata kepada kedua pengawal itu " Obatilah luka dipundak itu. Darahmu jangan terlalu banyak mengalir, agar kau tidak mengalami akibat yang lebih buruk. Biarlah orang ini aku selesaikan. "
Sikap Sekar Mirah yang meyakinkan itu memang membuat orang yang bekerja untuk Pajang itu menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika Sekar Mirah kemudian mulai memutar tongkat baja putihnya sambil berdesis " Tongkat ini bukan dari kakang Agung Sedayu. Tetapi aku terima dari guruku. "
" Omong kosong " orang itu berteriak untuk mengusir kegelisahan dihatinya.
Sekar Mirah tidak menjawab lagi. Orang yang bekerja untuk Pajang itupun telah meloncat menyerangnya pula. Dengan pedangnya yang besar, orang itu berusaha untuk menjajagi kemampuan Sekar Mirah yang mengaku mendapat tongkat itu dari gurunya.
Namun bagaimanapun juga Sekar Mirah harus melayani lawannya dengan hati-hati. Sekar Mirah belum mengetahui secara pasti tingkat kemampuan dan kekuatan lawannya yang sesungguhnya. Karena itu, maka iapun tidak membenturkan senjatanya langsung. Tetapi dengan tangkas Sekar Mirah meloncat kesamping sambil menangkis serangan pedang yang besar itu.
Namun lawannya tidak melepaskannya. Dengan sigapnya ia memutar pedangnya yang besar itu seperti memutar lidi. Ayunan mendatar menyambar Sekar Mirah setinggi lambung.
Sekali lagi Sekar Mirah meloncat menghindar. Dan sekali lagi
ia menjajagi kekuatan lawannya dengan menyentuh ayunan pedang yang besar itu dengan tongkat baja putihnya.
Sentuhan itu memang terasa telah menggeser arah pedang lawannya. Meskipun tidak tepat benar, namun dengan demikian Sekar Mirah dapat mengira-irakan tingkat kekuatan ayunan pedang lawannya. Namun Sekar Mirahpun sadar, bahwa ayunan itu tentu belum merupakan puncak dari kekuatannya.
Sejenak kemudian pertempuran itupun menjadi semakin cepat dan semakin seru. Beberapa kali Sekar Mirah sudah mencoba membenturkan tongkat baja putihnya, sehingga iapun menjadi semakin yakin akan tingkat kekuatan dan kemampuan lawannya.
Lawannyapun merasakan benturan-benturan kecil yang terjadi. Namun justru jantungnya menjadi semakin cepat berdetak. Ternyata bahwa perempuan itu memang memiliki ilmu yang tinggi. Tangannya dengan trampil menggerakkan dan memutar tongkat baja putihnya. Namun dalam benturan-benturan yang terjadi, perempuan itu ternyata juga memiliki kekuatan yang sangat besar.
Sekali-sekali orang yang bekerja untuk Pajang itu menggeram. Sekar Mirah bukan lagi sebagaimana dua orang pengawal yang terkejut dan bahkan kehilangan tombaknya. Namun justru Sekar Mirahlah yang telah membuatnya beberapa kali terkejut.
Sementara itu, ditempat-tempat lain, pertempuranpun terjadi semakin sengit. Para pengawal memang mengalami kesulitan menghadapi orang-orang yang dibawa oleh orang Kepandak yang sedang bertempur melawan Glagah Putih itu. Ternyata orang Kepandak itu telah memilih beberapa orang kawannya yang memiliki ilmu yang tinggi untuk menjaga segala kemungkinan yang terjadi karena ia telah bertempur dengan Glagah Putih pada saat ia datang ke Tanah Perdikan itu beberapa hari yang lalu.
Namun dalam pada itu, para pengawal telah berusaha untuk bertempur dalam kelompok-kelompok yang lebih besar. Beberapa isyarat memang telah terdengar. Para pengawal yang terdesak berusaha memanggil kawan-kawannya untuk membantunya.
Pengawal yang semula bertempur dengan lawan Sekar Mirah itupun telah mendengar isyarat-isyarat dari kawan-kawannya. Karena itu, maka setelah ia mengobati kawannya yang terluka, katanya
" Apakah aku harus tinggal disini, atau aku dapat membantu kawan yang lain Sekar Mirah " "
Sekar Mirah yang masih bertempur melawan orang yang bekerja untuk Pajang itu menjawab " Tinggalkan aku. Aku akan menyelesaikan orang ini. Jika mungkin aku akan menangkapnya hidup-hidup. Tetapi jika tidak, apaboleh buat. Aku akan membunuhnya. "
Omong kosong " geram lawannya dengan marah.
C Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi dengan tangkas ia meloncat menghindar ketika pedang lawannya yang besar itu menyambarnya. Bahkan Sekar Mirah tidak membiarkan ia diburu oleh serangan-serangan ujung pedang yang besar itu. Karena itu, justru Sekar Mirahlah yang kemudian mengayunkan tongkat baja putihnya mendatar.
Lawannya tertegun. Ia mengurungkan langkahnya. Bahkan iapun kemudian telah surut selangkah.
Sekar Mirahpun kemudian justru melangkah maju. Keduanya-pun telah berhadapan kembali dengan senjata masing-masing yang bergetar didalam genggaman.
Ketika senjata-senjata itu mulai terjulur dan terayun silang-menyilang, maka pertempuranpun kembali membakar jantung kedua orang yang menjadi semakin panas oleh darah mereka yang mendidih.
Sekar Mirah yang kemudian telah menemukan tataran kemampuan lawannya, telah menentukan langkah-langkah yang akan dapat mengakhiri pertempuran itu. Bahkan Sekar Mirah itu telah berkata kepada diri sendiri " Jika orang ini tidak menyembunyikan ilmu simpanan yang masih akan dilepaskan, maka aku berharap bahwa aku akan dapat menangkapnya hidup-hidup. "
Tetapi Sekar Mirah menyadari, bahwa menangkap orang itu hidup-hidup bukanlah satu pekerjaan yang mudah.
Dalam pada itu, di bagian lain dari arena yang berpencar itu, Ki Gede sendiri masih harus turun kemedan ketika ia melihat para pengawal mengalami kesulitan. Dengan tombak pendeknya Ki Gede mendekati seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, namun yang mampu mengatasi tiga orang pengawal sekaligus.
" Luar biasa " desis Ki Gede " ternyata yang datang ke Tanah Perdikan Menoreh adalah sekelompok orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. "
" Persetan. Siapa kau " " bertanya orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu.
" Siapapun aku, tetapi sudah jelas, bahwa aku datang untuk menangkapmu " jawab Ki Gede " nah, menyerahlah. Jika kawan-kawanku di Tanah Perdikan ini menjadi marah dan membunyikan isyarat yang dapat mengundang pengawal dari lingkungan yang lebih luas lagi, maka kalian akan mengalami nasib yang buruk. Karena itu, Tanah Perdikan hanya menyiapkan sekelompok kecil pengawal saja agar kalian tidak berhadapan dengan sekelompok orang yang tidak terkendali. Dengan jumlah yang terbatas, maka pimpinan kelompok pengawal yang berusaha untuk menangkap kalian tidak akan bertindak diluar kendali. "
Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu menggeram. Sementara itu Ki Gede berkata pula " Sebenarnyalah bahwa kami memang agak salah hitung. Kami tidak mengira bahwa yang akan datang mengunjungi Tanah Perdikan ini terlalu banyak. Ternyata yang datang melampaui perhitungan kami. Meskipun demikian, kami masih tetap ingin membatasi persoalan ini diantara sekelompok kecil pengawal saja, agar kalian tidak menjadi sasaran kemarahan mereka apabila kalian berhadapan dengan jumlah yang terlalu besar dan yang sulit dikendalikan. "
" Jangan membual. Jika kau tidak mau mengatakan siapa kau sebenarnya, maka bukan salahku jika kau akan mati tanpa aku kenal lebih dahulu. " geram orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu.
" Coba, aku ingin tahu, apakah kau juga bersedia mengatakan siapakah kau sebenarnya " " bertanya Ki Gede.
" Persetan. Aku dapat menyebut s,eribu nama. Karena itu tidak ada gunanya jika aku mengatakannya " jawab orang itu.
" Nah, kita mempunyai beberapa persamaan. Karena itu, marilah kita lupakan saja, siapapun aku dan siapapun kau. Yang penting, aku harus menangkapmu karena kau memasuki Tanah Perdikan ini dengan maksud buruk. " berkata Ki Gede kemudian.
Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu menjadi marah. Karena itu, maka iapun segera bersiap untuk bertempur melawan Ki Gede yang membawa sebatang tombak pendek.
Ki Gedepun tidak berbicara lebih panjang lagi. Iapun ingin segera menangkap orang itu dan membawanya kerumahnya. Karena itu, maka sejenak kemudian ujung tombaknyapun telah merunduk. Tangan kanannya menggenggam landean tombak itu erat-erat, sementara tangan kirinya mengatur arah dan keseimbangan.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itu telah terlibat keda-lam pertempuran yang semakin lama semakin cepat. Namun orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu terkejut. Ketika ia melawan tiga orang pengawal, ia masih sempat tertawa mengejek sambil berloncatan. Namun kemudian ia harus menahan gejolak jantungnya ketika senjatanya membentur landean tombak lawannya yang tidak menyebut namanya itu.
Bahkan sejenak kemudian orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu menyadari, bahwa ia telah terjebak menghadapi seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Dalam pada itu, Ki Gede yang mempunyai cacat pada kakinya, yang kadang-kadang terasa sakit apabila ia terlibat dalam pertempuran yang menuntut tata gerak yang terlalu banyak dari kakinya yang cacat itu, telah berusaha menyesuaikan diri. Ki Gede seolah-olah telah menemukan satu cara tersendiri untuk mengatasinya dengan mengatur tata gerak pada ilmunya yang semakin ma -tang.
Dengan sikap dan tata geraknya itu, maka Ki Gede akan dapat mencegah kesulitan yang dapat timbul pada kakinya itu.
Sementara itu, Glagah Putih masih bertempur dengan sengitnya. Dibeberapa tempat yang lain, para pengawalpun bertempur dalam kelompok-kelompok yang lebih besar. Dua orang diantara mereka yang semula bertempur melawan orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu telah meninggalkan Ki Gede, sementara yang seorang lagi, masih tetap tinggal untuk mengamati keadaan. Dua orang kawannya yang meninggalkan Ki Gede itu telah bergabung dengan para pengawal yang lain yang ternyata memang memerlukan bantuan.
Dengan demikian pertempuran yang tersebar itupun menjadi semakin sengit. Kelompok-kelompok pengawal yang bertempur dengan orang-orang yang bekerja untuk Pajang itu harus bekerja keras untuk dapat bertahan. Lawan-lawan mereka ternyata adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Hanya Sekar Mirah dan Ki Gede sajalah yang dapat mengimbangi mereka tanpa kesulitan disamping Agung Sedayu. Glagah Putih ternyata harus berjuang dengan mengerahkan kemampuannya. Namun seperti yang telah terjadi, ternyata bahwa akhirnya ia berhasil mendesak lawannya. Tekanan-tekanannya menjadi semakin berat sehingga lawannya tidak akan lagi dapat berpengharapan untuk dapat mempertahankan dirinya.
Dalam pada itu, maka ada beberapa orang yang belum melibatkan diri dalam pertempuran itu, justru adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga, Ki Widura dengan dua orang pengawal yang menemani mereka masih berdiri termangu-mangu. Namun merekapun kemudian mengetahui, bahwa di beberapa lingkaran pertempuran, pengawal yang hanya terbatas itu mengalami kesulitan.
Namun dalam pada itu, selagi mereka dengan berdebar-debar menunggu perkembangan keadaan untuk menentukan langkah berikutnya, maka tiba-tiba orang-orang itu terkejut. Ada sesuatu yang menarik perhatian mereka.
" Tunggulah disini " desis Kiai Gringsing.
" Aku pergi bersamamu " dengan serta merta Kiai Jayaraga menyahut. Lalu " karena Ki Widura tidak menyatakan keinginannya, maka biarlah Ki Widura tinggal disini. Jika terjadi sesuatu, biarlah Ki Widura mengatasi persoalannya. "
" Aku juga ingin ikut " sahut Ki Widura.
" Terlambat " jawab Kiai Jayaraga sambil tersenyum " akulah yang lebih dahulu menyatakannya. "
Ki Widura tidak dapat memaksa. Karena itu maka katanya " Baiklah, silahkan. Tetapi jangan terlalu lama. "
Kiai Gringsing dan Kiai Jayaragapun segera melenting dan dalam sekejap keduanya telah hilang dari tempatnya.
Kedua pengawal yang ada ditempat itu pula menjadi termangu-mangu. Mereka dicengkam oleh keheranan melihat kedua orang tua itu begitu saja hilang dari penglihatan mereka.
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga telah melihat sesuatu melintas dengan cepat didaerah penglihatannya. Karenaitu.maka dengan kecepatan yang sulit dilihat dengan mata wadag, keduanya berusaha untuk menyusul.
Namun ternyata bahwa keduanya seolah-olah telah kehilangan sasaran. Yang mereka lihat dalam sekilas itu seakan-akan begitu saja telah hilang di daerah pertempuran yang terpencar itu.
" Kita harus menemukannya " berkata Kiai Gringsing " aku menjadi curiga, justru dalam keadaan seperti ini. "
Kiai Gringsing mengangguk. Dengan kemampuan ilmu yang ada pada mereka maka berusaha untuk mengetahui, dimanakah sasaran yang mereka cari itu.
" Kita berpisah " desis Kiai Gringsing.
" Ya. Yang kita cari tidak akan keluar dari lingkungan pertempuran ini " sahut Kiai Jayaraga.
Demikianlah keduanya kemudian berpisah. Dengan hati-hati kedua orang itu berusaha mendekati lingkaran-lingkaran pertempuran. Agaknya yang mereka lihat melintas sekilas itu akan berada disalah satu lingkaran pertempuran itu.
Ketika Kiai Gringsing menjadi semakin dekat dengan sekelompok pengawal yang bertempur melawan salah seorang diantara pendatang itu, ia menjadi terkejut. Kiai Gringsing melihat beberapa pengawal berdiri termangu-mangu.
" Apa yang terjadi " " bertanya Kiai Gringsing.
Para pengawal itu terkejut. Demikian tiba-tiba saja Kiai Gringsing ada didekat mereka.
" Kiai " jawab salah seorang pengawal yang berdiri termangu-mangu itu " lawan kami tiba-tiba saja telah terbunuh. "
" Kenapa " " bertanya Kiai Gringsing.
" Kami tidak tahu. Justru kami sedang berjuang untuk bertahan dari tekanannya yang semakin berat, maka sekilas kami melihat sesuatu bergerak, demikian cepatnya melintas. Sejenak terjadi benturan antara lawan kami dengan bayangan yang tiba-tiba saja telah melibatkan diri itu. Dan yang tiba-tiba kami ketahui maka lawan kami telah terbunuh. " jawab pengawal itu pula.
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia berkata " Baiklah. Berhati-hatilah. "
Demikian bibir Kiai Gringsing terkatub, maka iapun telah melenting dan hilang dalam kegelapan.
Ketika ia bertemu dengan Kiai Jayaraga, maka keduanya telah melihat peristiwa yang hampir sama.
" Demikian cepatnya ia melakukan pembunuhan itu. Dalam waktu yang terhitung pendek, dua orang telah terbunuh. Dua orang yang berilmu tinggi " gumam Kiai Gringsing.
" Mungkin yang nampak meiintas sekilas itu orang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Tetapi mungkin juga orang yang memiliki ilmu setingkat dengan orang yang terbunuh itu. Namun karena ia telah menyerang dengan tiba-tiba saja disela-sela pertempuran yang terjadi antara orang yang terbunuh itu dengan para pengawal, maka orang yang terbunuh itu tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat banyak. " sahut Kiai Jayaraga.
" Tetapi menilik kecepatannya bergerak " berkata Kiai Gringsing lebih lanjut.
Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Ia tentu memiliki kecepatan gerak yang luar biasa. "
" Mungkin sekarang orang-orang yang memasuki Tanah Perdikan ini sudah terbunuh semuanya. Jika demikian, kesempatan untuk mendapatkan keterangan dari mereka telah tertutup. " berkata Kiai Gringsing.
Kedua lorang tua itu mengangguk-angguk. Namun kecemasan membayang diwajah mereka. Bahkan Kiai Jayaraga bergumam " Apakah ada kesengajaan untuk menghapuskan jejak "_
Kiai Gringsing mengangguk. Jawabnya " Memang mungkin
" Tetapi jangan dibiarkan. Kita harus berusaha untuk berbuat sesuatu. Jika ia telah membunuh semua orang, maka kita tangkap orang itu sendiri. " berkata Kiai Jayaraga.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya " Orang itu tentu akan terhalang jika ia akan membunuh juga lawan Ki Gede, Sekar Mirah atau barangkali Agung Sedayu, jika mereka juga terlibat, atau di arena yang mereka amati. "
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk pula. Desisnya " Marilah.
Keduanyapun kemudian telah bergeser pula dari tempatnya. Ketika mereka melihat arena yang lain, maka seorang lagi telah diketemukan mati. Para pengawal yang bertempur melawan mereka mengatakan bahwa seorang yang tidak mereka kenal telah meloncat memasuki arena dan dengan serta merta telah membunuh orang yang memasuki Tanah Perdikan itu untuk kepentingan Pajang.
" Cepat, apakah pada yang lain, terutama pada Ki Gede sendiri juga terjadi hal seperti itu. " " desis Kiai Gringsing.
Keduanyapun dengan tergesa-gesa telah berusaha untuk melihat arena pertempuran yang lain.
Beberapa langkah kemudian mereka berhenti. Mereka masih melihat Ki Gede bertempur melawan salah seorang dari orang-orang yang memasuki Ta!nah Perdikan Menoreh. Tetapi orang itu sudah hampir tidak berdaya lagi. Ki Gede memang memiliki ilmu yang lebih tinggi dari lawannya. Namun seperti yang dikehendakinya, maka Ki Gede ingin menangkap lawannya itu hidup-hidup.
" Orang itu agaknya tidak berani mengganggu Ki Gede " berkata Kiai Gringsing " mudah-mudahan masih ada satu dua orang yang tetap hidup. "
" Kita iihat ditempai yang ditentukan untuk pertemuan itu. Glagah Putih dan Agung Sedayu ada disana. " berkata Kiai Jayaraga.
Keduanyapun dengan cepat telah menuju ketempat yang ditentukan untuk mengadakan pertemuan antara orang Kepandak dan orang Tanah Perdikan itu. Ditempat itu akan dapat ditemui Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Ketika mereka mendekati tempat itu, maka yang dilihatnya masih bertempur adalah Glagah Putih. Orang Tanah Perdikan yang diumpankan untuk memberikan keterangan kepada orang Kepandak itu masih berdiri dengan tegangnya. Sementara Agung Sedayu telah menyelesaikan pertempurannya. Lawannya telah terduduk dan tidak berdaya lagi untuk bangkit.
Namun ternyata disamping mereka masih ada seorang lagi yang membuat jantung kedua orang itu berdebar-debar. Raden Rangga.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Agung Sedayu dan Raden Rangga yang melihat kehadiran merekapun segera menyambutnya, sementara Glagah Putih telah sampai pada tahap-tahap terakhir dari pertempurannya.
Ketika Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga telah berdiri ber hadapan dengan Agung Sedayu dan Raden Rangga, maka Kia Gringsingpun berdesis " Kenapa hal itu kau lakukan, Raden " "
" Bukankah aku membantu orang-orang Tanah Perdikan ini yang mengalami kesulitan " Aku tahu, bahwa tidak semua orang harus mati karena mereka harus memberikan keterangan. Tetapi tidak perlu semuanya. Dari delapan orang, maka tiga atau ampat orang telah cukup untuk dimintai pertanggungan jawab dan keterangan tentang tingkah laku mereka. " berkata Raden Rangga.
" Tetapi apa salahnya jika kita dapat menangkap mereka semuanya hidup-hidup. Mereka akan kami serahkan kepada Mataram. Semakin banyak orang yang dapat memberikan keterangan, maka akan semakin banyak pula bahan yang kita dapatkan untuk menentukan sikap Mataram terhadap Pajang. " berkata Kiai Gringsing.
Tetapi Raden Rangga tertawa. Katanya " Itu hanya akan menambah pekerjaan kalian. Kenapa kalian harus menangkap mereka hidup-hidup jika jelas mereka telah melakukan kesalahan "
" Seperti yang sudah dikatakan oleh Kiai Gringsing " berkata Kiai Jayaraga " keterangan mereka sangat diperlukan. Mungkin keterangan yang diketahui oleh seorang diantara mereka tidak sama dengan keierangan yang diketahui oleh orang lain. "
" Tetapi mungkin pula mereka berbohong " bantah Raden Rangga.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Memang sulil untuk berbicara dengan Raden Rangga. Karena itu, tiba-tiba saja ia bertanya " Tetapi bukankah Raden Rangga harus menjalani hukuman yang diberikan oleh ayahanda Raden " "
Semua sudah lampau. Aku sudah dibebaskan."jawab Raden Rangga.
Kenapa Raden dibebaskan" bertanya Kiai Gringsing.
Waktu hukuman memang sudah lampau jawab Raden Rangga.
Tidak dengan syarat" bertanya Kiai Gringsing
pula. " Ah cerdiknya Kiai. Kiai tentu akan bertanya, apakah aku harus berjanji untuk tidak mengulangi perbuatanku. Aku memang berjanji dan aku memang tidak melakukannya lagi. Aku ti dak lagi menangkap harimau dan melepaskannya dihalaman orang. Jika aku membunuh orang-orang itu, bukankah tidak termasuk janji
yang aku ucapkan, bahwa aku tidak akan mengulangi perbuatanku
"_ " Tanggapan Raden memang tajam sekali. Aku memang ingin bertanya seperti itu, dan Raden sudah menduganya. Sehingga dengan ketajaman tanggapan Raden atas kata-kata orang lain, tentu Raden tanggap akan perintah ayahanda Raden. Apa yang dimaksud dengan jangan diulangi lagi. Bahwa pengertiannya bukan pengertian wantah seperti yang angger katakan itu. Sebenarnyalah angger mengatakan tidak seperti yang sebenarnya angger ketahui " berkata Kiai Gringsing kemudian.
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum masam.
Dipandanginya Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga berganti-ganti. Namun kemudian seolah-olah mengelak
Raden Rangga berkata " Glagah Putih masih belum selesai. "
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berpaling kearah Glagah Putih bertempur. Glagah Putih memang masih belum selesai. Tetapi akhir dari pertempuran itu sudah pasti. Lawannya sudah tidak mampu lagi untuk memberikan perlawanan yang berarti, sementara Glagah Putihpun telah mengurangi tekanannya atas lawannya.
" Aku sudah berpesan, agar ia tidak membunuh lawannya " berkata Agung Sedayu.
Raden Rangga berpaling kearah Agung Sedayu. Namun kemudian iapun berkata " Aku hanya membunuh mereka yang tidak mempunyai lawan yang seimbang. Aku tidak akan membunuh lawan Ki Gede, lawan Agung Sedayu, juga lawan Glagah Putih dan Sekar Mirah. Menurut pendapatku, ampat orang itu sudah cukup banyak untuk diperas keterangannya. Empat orang yang lain, tidak akan dapat memberikan lebih banyak dari ampat orang yang masih hidup itu.
" Jadi Raden sudah membunuh keempat orang itu " " bertanya Agung Sedayu.
Raden Rangga memandanginya dengan tajamnya. Kemudian iapun mengangguk sambil menjawab " Ya. Aku sudah membunuhnya. Aku merasa cemas melihat para pengawal yang mengalami kesulitan. "
" Tetapi mereka akan dapat mengatasi keadaan " berkata Agung Sedayu " kelompok-kelompok yang tidak mungkin lagi dapat mengatasi lawannya, tentu akan memberikan isyarat. "
" Kalian terlalu percaya kepada para pengawal yang terlalu berbangga akan kemampuan diri mereka yang masih terlalu dangkal " jawab Raden Rangga.
Kiai Gringsing bergeser setapak. Sementara itu Glagah Putih telah tidak lagi mendapat perlawanan sama sekali. Lawannya telah kehilangan kemampuan dan kekutannya. Anggauta badannya menjadi lemah dan sendi-sendinya rasa-rasanya menjadi bagaikan terlepas. Beberapa luka terdapat ditubuhnya. Sementara nafasnya bagaikan saling memburu tanpa dapat dikendalikan lagi.
Glagah Putihpun kemudian memerintahkan lawannya yang sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi, dan menyatakan diri menyerah itu untuk duduk disebelah lawan Agung Sedayu yang sudah menyerah lebih dahulu.
" Ampat kawanmu telah mati " berkata Raden Rangga seperti dengan sengaja mengancam orang itu.
Wajah orang itu menjadi tegang. Namun sambil tertawa Raden Rangga berkata " Jangan takut bahwa kau juga akan dibunuh. Tanah Perdikan ini masih memerlukan mulutmu untuk menjawab. Karena itu maka kau akan tetap hidup. "
Kedua orang yang sudah tidak berdaya itu tidak mengucapkan sepatah katapun. Namun mereka memang masih belum ingin dicekik sampai mati.
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian telah terdengar perintah Ki Gede lewat seorang pengawal yang menungguinya, bahwa setiap pengawal supaya mengamati keadaan.
" Beri aku laporan segera. Aku ada disini " berkata Ki Gede.
Pengawal itupun kemudian telah meninggalkan Ki Gede dan menemui kawan-kawannya. Memang tidak terlalu cepat, karena ia masih harus mencari dimana kawan-kawannya berada. Namun dengan beberapa petunjuk dari para pengawal yang ditemuinya bersama Ki Widura, maka pengawal itupun telah menemukan kawan-kawannya.
Laporan yang diterima oleh Ki Gede memang mengejutkan. Lawan Ki Gede yang sudah tidak berdaya lagi, ternyata jatuh pingsan. Tetapi ia tidak mati. Karena Ki Gede memang tidak ingin membunuh lawannya sebagaimana telah disepakati sebelumnya, karena mereka memerlukan keterangan dari orang-orang itu.
Tetapi ternyata bahwa ampat orang diantara mereka yang mendatangi Tanah Perdikan itu telah mati terbunuh. Semua laporan menyatakan, bahwa telah hadir seseorang yang tidak dikenal. Sementara pembunuhan itu dilakukan dengan tiba-tiba dan bagi para pengawal peristiwa itu merupakan satu rahasia yang tidak dapat disingkapkannya.
" Kiai Gringsing telah datang pula mendekati kami " lapor
salah seorang pengawal " dan kami juga telah memberitahukan apa yang telah terjadi. "
" Apa yang dilakukan oleh Kiai Gringsing kemudian " " bertanya Ki Gede.
Dengan serta merta Kiai Gringsing telah meninggalkan kami pula. Agaknya Kiai Gringsing berusaha untuk menemukan orang itu. " jawab pengawal itu.
Ki Gede menjadi tegang. Jika orang-orang itu terbunuh, maka mereka tidak akan mendapat keterangan tentang usaha mereka. Meskipun setidak-tidaknya seorang diantara mereka masih hidup, namun yang hidup itu mungkin hanya mengetahui serba sedikit persoalan yang dihadapinya, karena ia bukan orang yang mendapat tugas langsung dari Pajang.
Karena itu, maka Ki Gedepun bertanya Bagaimana dengan mereka yang berada ditempat yang ditentukan bagi pertemuan yang seharusnya dilakukan antara orang Tanah Perdikan ini dengan orang Kepandak itu"
" Kami belum melihat mereka " jawab salah seorang pengawal " tetapi kami yakin bahwa Glagah Putih dan Agung Sedayu akan dapat menyelesaikan mereka tanpa membunuhnya, kecuali jika tiba-tiba saja pembunuh yang diselubungi rahasia itu juga melakukannya. "
Ki Gede menjadi berdebar-debar. Namun dalam pada itu, beberapa orang pengawal telah datang menghadap Ki Gede sambil membawa seorang diantara orang-orang yang mendatangi Tanah Perdikan itu bersama Sekar Mirah. Ternyata seorang pengawal telah menemui Sekar Mirah dan menyampaikan perintah Ki Gede yang sambung-bersambung diantara para pengawal.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam ketika Ki Gede melihat bahwa seorang lagi diantara orang-orang yang datang ke Tanah Perdikan itu masih hidup.
" Orang itu keras kepala " berkata Sekar Mirah " hampir saja aku kehilangan kesabaran dan membunuhnya. "
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya " Baiklah. Kita akan menemui Agung Sedayu dan Glagah Putih. "
" Bagaimana dengan orang-orang ini " " bertanya seorang pengawalnya.
" Seorang dapat pergi bersama kita ke tempat Agung Sedayu menunggu " jawab Ki Gede " yang pingsan biarlah dirawat para pengawal. Tetapi hati-hati. Jika ia sadar, jangan sampai ia sempat melepaskan diri. Bawa orang itu langsung ke rumahku. "
" Baik Ki Gede " jawab seorang pemimpin pengawal yang ada ditempat itu.
Dengan demikian maka Ki Gedepun segera meninggalkan tempat itu bersama Sekar Mirah diikuti oleh beberapa pengawal membawa seorang tawanan. Sementara orang yang pingsan itupun segera mendapat perawatan dari para pengawal. Namun demikian, ternyata para pengawal itu cukup berhati-hati. Karena jika orang itu sadar, la akan dapat berbuat sesuatu yang tidak dikehendaki. Karena itu, untuk mengurangi kemungkinan pahit, maka orang itupun telah diikat tangannya dengan ikat kepalanya sendiri. Jika ia akan memberontak, maka masih ada kesempatan untuk menjinakkannya, meskipun seandainya ia mampu mematahkan ikatannya.
Sejenak kemudian, maka merekapun telah berkumpul ditempai Agung Sedayu menunggu orang-orang Kepandak yang ternyata benar-benar telah datang. Ki Gedepun kemudian mengetahui, bahwa yang telah membunuh orang-orang yang datang ke Tanah Perdikan. itu dan bekerja untuk Pajang adalah Raden Rangga.
" Tidak banyak gunanya kita menyesali apa yang telah terjadi " berkata Ki Gede kemudian " marilah, kita akan kembali. Biarlah mayat-mayat itu diselenggarakan sebaik-baiknya. Kita akan berbicara dirumah. "
" Kami persilahkan Raden Rangga untuk singgah " berkata Agung Sedayu " kita akan berbicara apa yang sebaiknya kita lakukan, karena pada saatnya kita harus menyerahkan orang-orang itu ke Mataram dan sekaligus mempertanggung jawabkan mereka yang terbunuh dipeperangan. "
Raden Rangga menjadi tegang sesaat. Tetapi iapun kemudian berkata " Maaf, aku tidak dapat singgah. Aku harus segera kembali. "
" Lalu bagaimana dengan akibat sikap Raden " " bertanya Agung Sedayu. " apa yang harus kami katakan " "
" Jangan mempersulit persoalan " berkata Raden Rangga " bukankah tidak akan ada masalah jika kalian mengatakan, bahwa orang-orang itu terbunuh dipeperangan. Atau barangkali kalian ingin melihat aku dikurung lagi bukan hanya sepekan tetapi sebulan oleh ayahanda " "
" Bukankah dengan demikian Raden menyadari, bahwa seharusnya Raden tidak melakukannya " " bertanya Agung Sedayu.
Raden Rangga tertawa. Namun kemudian iapun menjawab " Terserahlah kepada kalian, apa yang akan kalian katakan kepada ayahanda. Jika aku harus dikurung lagi, maka aku justru mendapat kesempatan khusus untuk meningkatkan ilmuku. "
Agung Sedayu tidak sempat menjawab, karena Raden Rangga itupun kemudian meloncat sambil berkata " Selamat malam. Maksudku malam ini adalah baik. Aku ingin membantu kalian. "
Suaranya mengumandang digelapnya malam. Sementara orangnya seakan-akan telah hilang dari pandangan.
Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsing berkata " Sudahlah. Memang sulit untuk mengendalikannya. Mudah-mudahan jika umurnya meningkat, ia akan menemukan sikap yang lebih dewasa. "
" Satu gejolak yang kadang-kadang dapat berbahaya " gumam Agung Sedayu.
Dan tiba-tiba saja iapun telah teringat kepada seorang anak muda lain yang bernama Rudita yang mempunyai watak yang sama sekali bertolak belakang dengan Raden Rangga.
Demikianlah, maka sekelompok orang itupun telah meninggalkan tempat itu menuju kerumah Ki Gede dj padukuhan induk. Bagaimanapun juga kelompok itu telah menarik perhatian orang-orang yang menyaksikannya. Anak-anak muda di gardu-gardu menjadi heran, kenapa mereka tidak mengetahui bahwa sesuatu telah terjadi. Bahkan Ki Gede sendiri, orang-orang tua yang ada di
ApMI"99 61 Tanah Perdikan itu, Agung Sedayu suami isteri dan beberapa pengawal telah terlibat didalamnya.
" Apa yang telah terjadi " " bertanya seorang pengawal kepada kawannya.
" Besok kau akan tahu " jawab kawannya yang ikut dalam kelompok pengawal untuk menangkap orang-orang yang datang ke Tanah Perdikan itu.
" Tetapi.kami tidak mendengar isyarat apapun juga " berkata pengawal di gardu itu " apakah kami tidak mendengarnya dan apakah kami telah menjadi lengah " "
" Tidak apa-apa " jawab pengawal yang ikut bersama Ki Gede " jangan cemas. Persoalannya memang dibatasi. Kau tidak bersalah. Kawan-kawan pengawal yang lain yang tidak mengetahui persoalan ini juga tidak bersalah. "
Pengawal itu termangu-mangu. Tetapi bahwa persoalannya dibatasi telah sedikit memberikan ketenangan kepadanya. Bukan karena kesalahannya atau kelengahannya maka ia tidak mengetahui bahwa telah terjadi sesuatu di Tanah Perdikan itu.
Beberapa saat kemudian, maka sekelompok orang-orang itupun telah sampai dirumah Ki Gede. Beberapa orangpun telah menempatkan para tawanan di sebuah bilik di gandok, dengan penjagaan yang kuat. Tidak hanya dipintu gandok, tetapi juga dibelakang gandok telah diletakkan para pengawal untuk mengawasi tiga orang yang memiliki ilmu yang tinggi itu. Namun kemudian seorang lagi telah ikut pula dimasukkan kedalam bilik itu.
Dengan demikian, maka keempat orang yang masih hidup diantara mereka yang memasuki Tanah Perdikan itu telah lengkap dikumpulkan di gandok rumah Ki Gede dengan penjagaan yang kuat, karena keempat orang itu termasuk orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi.
Namun untuk mencegah hal-hal yang tidak diharapkan, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan orang-orang tua yang menjadi tamunya, masih juga tetap berada di rumah Ki Gede.
Sambil duduk-duduk di pendapa, mereka agaknya telah membicarakan perkembangan hubungan antara Pajang dan Mataram yang agaknya kurang cerah, bahkan pada saat-saat terakhir nampaknya Pajang telah melakukan persiapan-persiapan yang justru akan dapat memancing pertentangan menjadi semakin tajam.
" Kami di sini tidak mengerti " berkata Ki Gede " apa yang sebenarnya di kehendaki oleh Pajang. Apakah Pajang hanya sekedar ingin mempertahankan isi gedung pusaka dan gedung perbendaharaan agar tetap berada di Pajang dan dimiliki oleh Adipati Pajang, atau Pajang memang tidak mengakui kedudukan Mataram yang menggantikan Pajang sebagai pusat pemerintahan di Tanah ini.
- Memang persoalannya kurang jelas " sahut Kiai Gringsing " Tetapi yang kita lihat, pertentangan batin antara Mataram dan Pajang telah menjadi semakin tajam
- Kita akan mendapat beberapa keterangan dari orang-orang yang berhasil kita tangkap malam ini " berkata Ki Gede.
" Mudah-mudahan mereka dapat diajak bicara " desis Agung Sedayu.
" Kita akan memaksa mereka berbicara " sahut Sekar Mirah " mau tidak mau. Mungkin kita perlu memberikan sedikit tekanan. Tetapi jika kitadapatmemberikan keyakinan kepada mereka bahwa mereka tidak akan dapat mengelak, maka tekanan wadag aku kira tidak perlu dilakukan. "
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya " Biarlah mereka beristirahat. Kitapun akan sempat beristirahat sejenak. Besok pagi kita akan bertanya kepada mereka, sementara kawan-kawannya yang di bunuh oleh Raden Rangga akan dapat dikuburkan. Pada saatnya kita memang harus memberikan laporan kepada Mataram meskipun kita akan menemui kesulitan dengan sikap
Raden Rangga. Jika kita berterus terang, mungkin kita akan dianggap bersalah jika pada suatu saat Panembahan Senapati mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit bagi Tanah Perdikan Menoreh menanggapi sikap Raden Rangga. Karena itu, maka Agung Sedayu pun menjadi ragu-ragu untuk menentukan sikap.
Namun sementara itu Ki Gede berkata " Baiklah. Besuk kita akan membicarakannya setelah kita mendengar serba sedikit keterangan dari orang-orang yang telah memasuki Tanah Perdikan ini. Apakah yang sebaiknya kita lakukan. Juga tentang laporan yang harus kita sampaikan kepada Mataram Sisa malam ini masih dapat kita pergunakan untuk sekedar beristirahat. "
" Jika demikian, biarlah aku mohon diri Ki Gede " berkata Sekar Mirah " Jika kakang Agung Sedayu masih perlu tinggal di sini, biarlah aku kembali bersama Glagah Putih. Sedangkan Kiai Gringsing, Paman Widura dan Kiai Jayaraga, terserah kepada mereka bertiga. "
Ki Gede mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Sekar Mirah juga masih harus mengurusi rumah tangganya. Apalagi di rumahnya masih ada beberapa tamu yang memerlukan pelayanannya. Karena itu, maka katanya " Baiklah Sekar Mirah. Mungkin kau perlu mempersiapkan segala sesuatu di rumah. Tetapi aku memang memerlukan Agung Sedayu agar ia tinggal sampai besok di sini. "
Demikianlah maka Sekar Mirahpun kemudian minta diri, sementara Glagah Putih pun telah di nasehatkanuntuk beristirahat pula.
" Pulanglah. Kau dapat beristirahat. Mungkin besok kau diperlukan lagi"berkata Agung Sedayu.
Sementara itu, ternyata Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga dan Ki Widura telah ikut pula bersama Sekar Mirah.
Mereka di persilahkan untuk beristirahat di rumah Agung Sedayu karena di rumah Ki Gede malam itu menjadi sangat sibuk.
Ternyata malam sudah tidak begitu panjang lagi. Meskipun demikian, orang-orang yang letih masih sempat -beristirahat sejenak. Pengawalan orang-orang yang di kurung di rumah Ki Gede itu diserahkan kepada para pengawal yang bertugas di padukuhan induk. Namun mereka mendapat pesan dengan sungguh-sungguh, bahwa orang-orang yang di kurung itu adalah orang-orang yang berbahaya. Tetapi sementara itu Agung Sedayu pun telah beristirahat di serambi gandok sehingga jika diperlukan, ia akan dapat dengan cepat bertindak.
Kesibukan di sisa malam itu tidak hanya terjadi di halaman rumah Ki Gede. Ternyata di banjarpun telah terjadi kesibukan. Para pengawal telah membawa beberapa sosok mayat ke banjar untuk dikuburkan dengan wajar di keesokan harinya.
Karena itulah, maka ketika kemudian matahari terbit maka para pengawalpun telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menguburkan korban yang telah dibunuh oleh Raden Rangga semalam.
Namun sementara itu, di rumah Ki Gedepun telah terjadi kesibukan tersendiri. Ketika matahari mulai naik, maka Ki Gede telah duduk di pendapa bersama Agung Sedayu. Mereka akan mulai dengan mendengarkan keterangan dari orang-orang yang di kurung di gandok.
" Apakah kita menunggu Kiai Gringsing dan yang lain-lain" - bertanya Ki Gede.
" Kita" dapat saja mulai Ki Gede. Nanti, jika ada persoalan yang perlu kita bicarakan, kita bicarakan dengan mereka, setelah mereka datang"jawab Agung Sedayu.
Ki Gede mengangguk-angguk. Kemudian di perintahkannya seorang pengawal untuk membawa seorang di antara orang-orang yang berada di gandok itu untuk menghadap ke pendapa.
" Bawalah pertama-tama orang Kepandak itu " berkata Ki Gede.
"Baik Ki Gede " Jawab Pengawal itu.
Sejenak kemudian maka para pengawal telah membawa orang Kepandak yang ada di gandok itu menghadap. Orang yang telah dikalahkan oleh Glagah Putih.
08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu, ketiga orang yang lain masih tetap berada di gandok. Pengawalan atas mereka sama sekali tidak mengendor, karena para pengawal sadar, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang berilmu. Dinding bagi mereka hampir tidak berarti, karena mereka akan dengan mudah memecahkannya. Karena itu, maka pengawalan atas gandok itu terdapat di setiap langkah di seputar gandok itu.
Tiga orang pengawal menggiring orang Kepandak itu dengan senjata teracu.
" Marilah Ki Sanak " Ki Gede mempersilahkan orang Kepandak itu naik ke pendapa dan duduk bersamanya.
Orang Kepandak itu mengerutkan keningnya. Suara Ki Gede terdengar ramah. Sementara itu, yang duduk bersama Ki Gede adalah Agung Sedayu.
Tanpa menjawab orang itupun kemudian naik ke pendapa dan duduk di hadapan Ki Gede dan Agung Sedayu.
Ki Gede memandang wajah orang itu dengan saksama, sementara orang itu telah menundukkan kepalanya.
" Aku ada beberapa pertanyaan yang ingin Ki Sanak jawab dengan baik " berkata Ki Gede " aku yakin bahwa Ki Sanak dapat membantu kami dalam hal ini. "
Orang itu tidak menjawab. Sementara Ki Gede bertanya " Apakah benar bahwa orang Tanah Perdikan Menoreh yang kau datangi itu masih ada hubungan darah dengan Ki Sanak" "
Orang itu mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah Ki Gede yang sama sekali tidak menunjukkan kesan kegarangannya. Karena itu, maka orang Kepandak itu tidak merasa mendapat tekanan untuk menjawab sebagaimana seharusnya. Tetapi ketika ia melihat Agung Sedayu yang duduk di sebelah Ki Gede, maka iapun menjadi berdebar-debar. Meskiiun Agung Sedayu juga tidak nampak bengis dan menakutkan, namun orang itu menyadari, betapa tinggi ilmu orang itu.
Sejenak orang itu termangu-mangu. Baru kemudian ia menjawab " Ya Ki Gede. Yang masih berhubungan darah adalah justru isterinya. "
Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya " Jika demikian, maka kau telah menghubungi orang yang kau yakini akan dapat membantumu dalam tugasnu. Bukan kah orang Tanah Perdikan Menoreh yang kau hubungi itu memang benar bersedia membantumu" "
Orang Kepandak itu memandang Ki Gede sekilas dan kemudian memandang Agung Sedayu pula sejenak. Pertanyaan Ki Gede membingungkannya, karena ia tidak tahu kemana arah pertanyaan itu.
Namun ia terpaksa pula harus menjawab " Ya Ki Gede. Orang Tanah Perdikan yang aku hubungi itu mula-mula bersedia untuk membantu. Namun kemudian ia telah mengkhianati aku. Agaknya ia telah memberitahukan ke datanganku kepada KiGede,sehingga Ki Gede telah menjebakku. "
" Tetapi bukankah kedatanganmu yang pertama di Tanah Perdikan ini sudah diketahui oleh Glagah Putih sehingga kau telah bertempur melawannya" Tetapi karena kau telah bertempur berpasangan melawan anak-anak itu, maka Glagah Putih tidak berhasil menangkapmu waktu itu. " berkata Ki Gede " sehingga seandainya saudaramu itu tidak melaporkan kedatanganmu, maka kedatanganmu sebenarnya sudah di ketahui. "
" Tetapi anak itu tidak tahu siapakah yang telah aku hubungi. Ia melihat aku diluar dinding padukuhan induk. Bagaimana mungkin ia dapat mengetahui rencanaku dengan sebaik-baiknya"jawab orang Kepandak itu.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Di pandanginya Agung Sedayu sambil berkata " Katakan, agar orang ini mengerti apa yang telah terjadi. "
Agung Sedayu memandang orang itu sekilas ketika orang itu memandanginya pula. Namun orang itupun segera menundukkan wajahnya yang tegang.
Sejenak Agung Sedayu masih memandanginya. Baru kemudian ia mulai menceriterakan apa yang telah terjadi sebenarnya dengan Glagah Putih yang menyaksikannya keluar dari rumah orang tanah Perdikan Menoreh yang di hubunginya.
" Nah, kau akan menjadi jelas " berkata Agung Sedayu " kedatanganmu memang sudah diketahui. Orang Tanah Perdikan itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali membantu kami untuk menangkapmu. "
" Ia telah berkhianat kepada Tanah Perdikannya dan kepadaku " berkata orang Kepandak itu.
" " Dan kau telah berkhianat pula kepadanya. Bukankah kau justru akan memdunuhnya setelah kau mendapat keterangan tentang keadaan Tanah Perdikan ini" Seharus-nya'kau memberikan uang sebagaimana kau janjikan tXTkata Agung Sedayu kemudian.
" Aku tidak pernah berbuat baik terhadap pengkhianat " jawab orang Kepandak itu " kepada Tanah Kelahirannya ia sudah mau berkhianat. Apalagi kepadaku dan kepada sanak kadangnya di Kepandak. Dan ternyata dugaanku benar. Orang itu telah berkhianat kepadaku, Jika ia tidak berkhianat, maka kalian tentu tidak akan tahu di mana aku akan menemuinya dan kapan. "
" Orang itu tidak berkhianat kepada Tanah Perdikan ini. " berkata Agung Sedayuu ia memang khilaf untuk sesaat. Namun kemudian kesadarannya bahwa ia adalah anak Tanah Perdikan ini telah menentukan sikapnya. Kekhilafannya itupun bukan sesuatu yang dapat dianggap pengkhianatan, karena sebenarnya ia lebih banyak di dorong oleh perasaan takut terhadap ancamanmu, bahwa kau akan mengorbankan sanak kadangnya yang ada di Kepandak daripada uang yang kau janjikan kepadanya. "
- Omong kosong " jawab orang itu " ia menuntut uang itu setelah ia memberikan keterangan tentang pasukan khusus Mataram dan tentang pengawal Tanah Perdikan ini. "
" Dan kau mengtahui apa yang sebenarnya dilakukan waktu itu sebagaimana telah terjadi " sahut Agung Sedayu.
Orang Kepandak itu terdiam. Iapun menyadari bahwa pada saat itu orang yang bernama Agung Sedayu itu telah bersembunyi dan mengintip apa yang dilakukan. Karena itu, maka ia merasa tidak ada gunanya untuk mengatakan apapun juga, karena Agung Sedayu telah melihatnya sendiri.
Karena orang itu tidak segera menjawab, maka Ki Gedelah yang kemudian berkata " Nah, sekarang aku ingin bertanya. Siapakah yang telah memerintahkanmu untuk datang ke Tanah Perdikan ini" "
Orang itu termangu-mangu, sementara Ki Gede berkata " Tentu bukan karena maksudmu sendiri. Kau hanyalah sekedar orang upahan. Karena itu, makatidak seharusnya kau berahasia. Kecuali jika kau memang seorang Senapati Pajang yang dengan penuh keyakinan berjuang untuk satu tujuan tertentu. Jika demikian maka kau harus mengorbankan nyawamu untuk tetap berpegang kepada rahasia yang kau simpan di dalam dirimu. Apapun yang kau alami, dan dengan cara apapun yang dilakukan untuk memeras keteranganmu, kau tidak akan mengucapkan sepatah katapun yang akan dapat membuka rahasia itu."
Orang Kepandak itu menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika Ki Gede berkata " Tetapi mungkin kaupun akan berlagak seperti orang Pajang yang berkeyakinan. Jika demikian, maka kamipun akan mempersiapkan sebuah cara untuk memeras keteranganmu. Sudah tentu tidak dengan duduk-duduk di pendapa dan berbincang seperti laku seorang sahabat. Meskipun aku tahu, bahwa jika kau ingin di sebut sebagai pejuang yang berkeyakinan akan kebenaran perjuangannya|tidakakan mengatakan sesuatu, tetapi kamipun akan membuktikan, apakah benar kau akan dapat tetap bertahan untuk berdiam diri jika kami sudah mengetrapkan cara kami memeras keterangan dari mulutmu. Kami tidak akan merasa kehilangan jika kau kemudian terpaksa harus mati karena kau tidak kuat mengalami tekanan kewadagan. Masih ada tiga orang yang dapat kami peras dengan cara yang berbeda-beda. "
Keringat dingin telah membasahi punggung orang itu. Bahkan di kening, di dahi dan di seluruh tubuhnya. Sambil menyeka keringat yang mengembun di keningnya, orang itu berkata"Jangan Ki Gede lakukan. Tidak ada gunanya. Aku memang tidak begitu banyak mengetahui. Bukan karena aku ingin menjadi seorang pahlawan seperti yang Ki Gede katakan, Apalagi jika aku mati karena tekanan kewadagan itu.
Tiga orang kawanku yang masih hidup itu tidak akan dapat mengatakan apa-apa karena mereka memang tidak tahu apa-apa. "
" Segala sesuatunya tergantung kepada sikapmu " berkata Ki Gede " jika kau bersikap bersahabat, maka akupun akan mempertimbangkan cara yang baik untuk berbincang. Tetapi jika kau adalah seorang prajurit yang jantan, maka akupun akan menentukan satu sikap sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan yang terancam kedudukannya. Namun yang perlu kau ketahui, bahwa sejak muda aku adalah orang yang kasar. "
Kegelisahan menjadi semakin membayang di wajah orang itu. Tangannya menjadi semakin sering menyeka keringatnya. Sekali-sekali ia bergeser di tempatnya sambil berdesah.
" Nah " berkata jKi Gede " apakah kau akan menjawab atau tidak~pertanyaanku" Siapakah yang telah memerintahkan kau datang ke Tanah Perdikan ini untuk mengetahui kekuatan pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan ini serta kekuatan pengawalnya" "
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya "Aku telah dihubungi oleh Ki Tumenggung Wiladipa. "
" Ki Tumenggung Wiladipa" " ulang Ki Gede " sebut ciri-ciri orang yang bernama Wiladipa itu. Apakah ia sudah setua aku" Bagaimanakah ujud tubuhnya" "
Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalau katanya " Ya Ki Gede. Menurut dugaanku, umurnya tentu sudah setua Ki Gede. Tubuhnya tinggi kurus. Dahinya sempit dan kedua matanya nampaknya terlalu dalam di bawah dahinya itu."
" Katakan, apalagi yang kau ketahui tenang ciri-ciri orang itu" " bertanya Ki Gede mendesak.
Orang Kepandak itu berusaha untuk mengingat-ingat. Ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat ingkar. Daripada ia harus mengalami perlakuan yang sangat pahit, maka lebih baik baginya untuk bieirkata terus-terang.
" Ciri lain yang nampak jelas, tangan kirinya terlalu pendek di banding dengan tangan kanannya "jawab orang Kepandak itu.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam Kemudian katanya " Sejak kapan Wiladipa menjadi seorang Tumenggung" "
Orang Kepandak itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya " Aku tidak tahu Ki Gede. Yang aku ketahui orang itu telah menyebut dirinya Tumenggung Wiladipa. "
" Jadi Ki Wiladipa kini berada di Pajang" " desis Ki Gede.
Orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayupun nampaknya ingin tahu, siapakah orang yang di sebut Ki Wiladipa yang agaknya sudah dikenal oleh Ki Gede sebelumnya. Tetapi Arung Sedayu tidak tergesa-gesa menanyakannya. Meskipun ia ingin segera mengetahui, namun ia merasa perlu untuk menunggu orang Kepandak itu selesai di periksa oleh Ki Gede.
Tetapi ternyata bahwa orang Kepandak itulah yang bertanya " Apakah Ki Gede sudah mengenal Ki Wiladipa sebelum menjadi Tumenggung" "
Tetapi Ki Gede tidak merasa perlu menjawab pertanyaan itu. Karena itu, maka katanya " Katakanlah, Ki Wiladipa adalah seorang Tumenggung. Perintah apakah yang di jatuhkan kepadamu dan janji apa sajakah yang diberikan kepadamu" "
Orang Kepandak itu termangu-mangu. Tetapi kembali ia menyadari bahwa tidak ada gunanya baginya untuk mengelakkan diri dari jawaban pertanyaan itu. Karena itu, maka katanya " Aku harus mengetahui kekuatan Mataram dan pendukung-pendukungnya, termasuk Tanah Perdikan Menoreh. "
" Mana saja yang di maksud dengan pendukung
Mataram" Apakah terhitung para Adipati di pesisir dan daerah Bang Wetan" "bertanya Ki Gede.
Orang Kepandak itu termangu-mangu. Di pandanginya Agung Sedayu dan Ki Gede berganti-ganti. Untuk beberapa saat ia hanya berdiam diri saja.
" Kenapa kau tidak menjawab" " bertanya Ki Gede pula.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya"Aku kurang mengerti Ki Gede. Tetapi menurut pembicaraan yang sering aku dengar, maka para Adipati di pesisir Utara dan di Bang Wetan tidak perlu di khawatirkan. Mereka mempunyai sikap sendiri-sendiri. Agaknya merekapun tidak segera mengakui Mataram. "
" Apakah dengan demikian berarti bahwa Pajang ingin mandiri dengan membiarkan para Adipati itu berdiri sendiri-sendiri tanpa ikatan atau Pajang ingin menjadi pusat kekuasaan para Adipati itu. Jika demikian apakah Pajang merasa memiliki kekuatan untuk melawan para Adipati" " bertanya Ki Gede pula.
Orang itu termangu-mangu. Dengan suara bergetar ia menjawab"Aku tidak tahu, aku benar-benar tidak tahu. "
Ki Gede memandang orang itu dengan tajamnya, sehingga;keringat yang mengalir di tubuh orang Kepandak itu menjadi semakin deras.
Namun kemudian Ki Gede tersenyum sambil berkata " Aku percaya bahwa kau tidak tahu. Kau memang sekedar orang upahan, sehingga yang kau ketahui memang sangat terbatas. Hanya orang-orang yang ikut ber-tanggungjawab sajalah yang mengetahui persoalan-persoalan yang lebih rumit dari sekedar mendapat perintah untuk membunuh. "
Orang Kepandak itu memang merasa terhina. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu, karena yang di ketahuinya memang terbatas.
Karena orang Kepandak itu terdiam, maka Agung Sedayu kemudian bertanya " Ki Sanak. Bagaimana ceritanya, bahwa kau telah berkenalan dengan Ki Tumenggung Wiladipa" Di mana kau mulai mengenalnya dan sejak kapan" "
Orang Kepandak itu termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya " Sebelumnya aku memang belum mengenalnya. "
" Jika demikian apakah mungkin Ki Wiladipa dengan tiba-tiba saja memanggilmu dan memberikan perintah kepadamu dengan upah yang banyak untuk mengamati kekuatan Mataram" Apakah Ki Tumenggung itu dapat mempercayai seseorang yang baru saja di kenalnya" " bertanya Agung Sedayu.
Seseorang telah memperkenalkan aku dengan Ki Tumenggung"jawab orang Kepandak itu.
"Seseorang itu siapa" desak Agung Sedayu.
Orang itu tidak segera menjawab. Ada semacam keragu-raguan memancar di wajahnya, sehingga justru karena itu iapun telah terdiam beberapa saat.
" Apakah kau menganggap bahwa orang itu perlu di rahasiakan" " bertanya Agung Sedayu.
Orang itu masih berdiam diri. Namun ia nampak menjadi semakin gelisah.
" Baiklah " berkata Agung Sedayu " sampai saat ini pertanyaan-pertanyaan kami kau jawab dengan lancar. Tetapi agaknya satu pertanyaan kami yang terakhir telah membuatmu ragu-ragu. Apakah dengan demikian berarti bahwa kami harus mempergunakan cara lain untuk bertanya?"
" O " orang itu tergagap. Kegelisahannya membuat keringatnya semakin banyak mengalir. Pakaiannya telah menjadi basah seperti orang itu tengah bekerja berat di panasnya matahari.
"Tidak " suaranya sendat " aku tidak ingin merahasiakan sesuatu. "
" Karena itu, katakan " berkata Agung Sedayu kemudian. Orang Kepandak itu memang tidak dapat berbuat lain. Katanya " Seorang prajurit Pajang telah mengenal aku sejak lama. Ia ingin memberikan jalan, agar aku juga dapat di terima menjadi seorang prajurit. Jalan itu adalah yang telah aku tempuh sekarang. "
" Jadi kau ingin menjadi prajurit Pajang" Sementara tugas yang sangat berat yang kau lakukan sekarang ini sekedar hanya ingin di angkat menjadi prajurit dan bukan untuk mendapat upah" "desak Agung Sedayu.
Orang itu menunduk dalam-dalam. Jawabnya " Kedua-duanya. Aku ingin mendapat keduanya. "
" Nah, siapakah orang yang memang sudah kau kena) itu" " bertanya Agung Sedayu pula.
" Sebenarnya tidak penting bagi kalian, karena kalian tentu belum mengenalnya. Dan agaknya orang itu bukan orang penting. Ia hanya mengenal Ki Tumenggung karena ia termasuk salah seorang perwira bawahannya yang mengetahui rencana Ki Tumenggung untuk menghimpun keterangan tentang kekuatan Mataram. Adalah kebetulan juga bahwa prajurit itu telah mengenal kami, karena iapun orang Kepandak. Tetapi sudah lama berada di Pajang " jawab orang Kepandak itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sebenarnya ia mempercayai keterangan orangitu. Tetapi ia masih juga ingin di anggap garang. Karena itu, maka iapun membentak"Sebut namanya. "
" Baik. Baik " orang itu tergagap " namanya Wiranaya. "Wiranaya" Apakah itu memang namanya sejak ia berada di Kepandak" "
" Tidak, nama itu adalah namanya sebagai prajurit. Nama aslinya Tunda, " jawab orang Kepandak itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Nama itu memang tidak penting. Tetapi agaknya masih ada keinginan pada orang Kepandak itu untuk melindungi keluarga Tunda di Kepandak, karena jika nama itu dan keluarganya diketahui oleh Mataram, maka orang Kepandak itu mengira bahwa keluarganya di Kepandak akan dapat ikut dilumuri dengan kesalahan yang pernah dilakukan oleh Tunda yang kemudian bernama Wiranaya.
Tetapi ternyata bahwa ia tidak dapat mengelak untuk menyebut nama itu. Jika ia berusaha melindunginya dengan rapat, maka ia sendiri mungkin akan mengalami nasib yang buruk.
Dengan demikian, maka apa yang diketahui oleh orang Kepandak itu sudah dikatakannya. Memang tidak banyak. Tetapi satu hal yang sangat menarik perhatian Ki Gede adalah nama Wiladipa. Nama yang pernah dikenalnya. Tetapi sama sekali bukan Tumenggung di Pajang. Sejak masa Sultan Hadiwijaya memerintah Pajang, tidak seorang pun yang dikenalnya bernama Wiladipa di Pajang. Memang mungkin ia tidak mengenal seorang perwira Pajang yang jumlahnya tentu banyak sekali. Tetapi agaknya ia dapat menanyakan kepada orang Mataram apakah mereka pernah mengenal Wiladipa.
Karena itu, maka keterangan orang Kepandak itu untuk sementara dianggapnya telah cukup. Karena itu, maka Ki Gedepun kemudian bertanya kepada Agung Sedayu"Apakah masih ada yang ingin kau tanyakan" "
Agung Sedayu menggeleng. Katanya " Untuk sementara sudah cukup Ki Gede. Mungkin nanti atau besok aku mempunyai pertanyaan-pertanyaan lagi.
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah. Biarlah orang ini di kembalikan kedalam biliknya. "
Dua orang pengawalpun kemudian telah membawa orang itu kedalam biliknya namun dengan pesan " Bawa yang lain kemari. "
Orang Kepandak itu mengerutkan keningnya. Sementara itu Ki Gede berkata " Keteranganmu sudah cukup. Tetapi aku hanya ingin mendengar apakah orang lain dapat mengatakan seperti yang kau katakan itu. "
Orang Kepandak itu menjadi tegang. Tetapi ia tidak mengatakan apapun juga.
Demikianlah, ketika para pengawal membawa orang Kepandak itu masuk kedalam biliknya, maka seorang dian-tara keduanya telah menunjuk orang yang duduk disudut untuk dibawa menghadap Ki Gede.
Dengan segan orang itu berkata " Buat apa aku harus menghadap. Jika Ki Gede ingin mendapat keteranganku, biarlah ia datang kemari. "
" Jangan memancing persoalan " berkata pengawal itu " mungkin kau memang memiliki kelebihan dari aku jika kita harus bertanding seorang melawan seorang. Tetapi tidak akan terjadi hal seperti itu. Kau adalah tawanan yang dapat diperlakukan sebagai tawanan. Diluar ada sekelompok pengawal yang siap memperlakukan kau dengan kasar. Jika kau berusaha melawan, di pendapa ada Ki Gede dan Agung Sedayu. "
"Persetan dengan Agung Sedayu"geram orang itu.
" Baiklah " berkata pengawal itu. Sambil berpaling ia berkata kepada pengawal yang berada di pintu. "katakan kepada Agung Sedayu. Seorang diantara para tawanan minta di jemput karena ia merasa memiliki kelebihan dari Agung Sedayu itu. "
" Tutup mulutmu " teriak tawanan itu " aku tidak berkata seperti itu. "
" Jika kau segan diperlakukan dengan kasar oleh para pengawal di bawah pengamatan Agung Sedayu, bangkitlah dan berjalanlah ke pendapa. " geram pengawal yang menjadi marah atas tingkah laku orang itu.
Licik. Pengecut " pengawal itu bergeremang. Tetapi iapun kemudian bangkit dan berjalan ke pintu.
Pengawal itu memandanginya dengan wajah yang tegang. Kemudian katanya dengan nada yang berat"Aku minta di antara kalian tidak ada yang masih berusaha untuk menyombongkan diri seperti ini. Tidak ada gunanya, selain mempersulit keadaan diri sendiri. "
Orang-orang yang lain yang tertawanTidak menjawab. Merekapun menyadari, tidak ada gunanya untuk menyombongkan diri dalam keadaan seperti itu. Bagaimanapun juga mereka akhirnya harus tunduk kepada perintah para pengawal, i Meskipun seorang dengan seorang para pengawal itu tidak akan mampu mengatasi mereka, tetapi yang ada di rumah Ki Gede itu tidak hanya ada empat orang pengawal. Tetapi beberapa puluh, masih ditambah dengan Agung Sedayu dan Ki Gede sendiri.
Orang yang merasa dirinya terhina oleh sikap pengawal itu, namun yang akhirnya harus juga berdiri dan berjalan ke pendapa, tidak dapat berbuat sesuatu ketika di lihatnya Agung Sedayu dan Ki Gede ada juga di pendapa. Betapapun juga ia harus mengakui, bahwa di hadapan kedua orang itu, ia tidak akan dapat menyombongkan dirinya. Karena itu, maka iapun kemudian berjalan sambil menundukkan kepalanya. Di belakangnya dua orang pengawal mengikutinya dengan tombak yang menunduk.
" Marilah Ki Sanak " Ki Gede mempersilahkan. Justru karena tidak terdapat nada yang bermusuhan, maka orang itu terkejut karenanya. Ki Gede itu tidak membentaknya dan memandanginya dengan bengis. Demikian pula Agung Sedayu.
Dengan ragu-ragu orang itupun naik ke pendapa dan duduk di hadapan Ki Gede dan Agung Sedayu dengan kepala tunduk.
Seperti sikapnya kepada orang pertama, maka Ki Gede dan Agung Sedayupun mengajukan beberapa pertanyaan kepada orang itu. Namun agaknya yang diketahuinya tidak lebih banyak dari orang yang pertama, karena kehadiran nya di Tanah Perdikan itu adalah atas permintaan orang pertama dengan janji untuk mendapatkan upah uang.
" Aku tidak berhubungan dengan siapapun juga kecuali dengan orang Kepandak itu " berkata orang yang kedua di hadapkan kepada Ki Gede itu.
Ki Gede mengangguk-angguk. Ia percaya, bahwa orang itu memang tidak banyak mengetahui tentang keadaan Pajang yang bersikap lain terhadap Mataram itu.
Demikian pula orang-orang yang lain. Mereka sekedar orang yang dijanjikan untuk mendapatkan pembagian upah jika tugas orang Kepandak itu berhasil. Namun yang terjadi atas mereka adalah sebaliknya. Mereka justru telah tertawan dan empat orang kawan mereka ternyata telah terbunuh.
Dengan demikian, dari keterangan orang-orang yang tertawan itu yang paling menarik perhatian Ki Gede adalah orang yang bernama Wiladipa. Untuk itu maka Ki Gede harus berusaha untuk mendapatkan keterangan lebih banyak lagi.
*** Jilid 191 KETIKA kemudian matahari menjadi semakin tinggi, maka Ki Gedepun minta kepada Agung Sedayu untuk menjemput Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga dan yang terpenting adalah Ki Widura .Seseorang yang pernah menjadi seorang Senapati Pajang pada masa kajayaan Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Apakah Ki Widura pernah mengenal seorang perwira Pajang yang bernama Wiladipa.
Karena rumah Agung Sedayu tidak jauh dari rumah Ki Gede, maka sejenak kemudian, orang-orang yang dijemputnya itupun telah berada pula dipendapa.
Sementara itu Ki Gedepun telah menyatakan pertanyaannya tentang orang orang bernama Wiladipa itu kepada Ki Widura.
" Wiladipa bukan seorang Senapati Pajang pada masa pemerintahan Kangjeng Sultan Hadiwijaya " jawab Ki Widura " aku memang mengenal seseorang yang bercama Wiladipa. Juga seorang prajurit. Tetapi ia berkedudukan di Demak. "
" Pengenalanku atas orang yang bernama Wiladipa itu seperti juga Ki Widura " berkata Ki Gede " aku mengenal seseorang yang bersama Ki Wiladipa sebagai seorang Senapati Demak. Tetapi memang ada satu kemungkinan bahwa Ki Wiladipa itu kini berada di Pajang. "
" Mungkin sekali " jawab Ki Widura " tetapi apakah ada hubungannya dengan kehadiran orang-orang Pajang itu di Tanah Perdikan ini" "
" Ki Tumenggung Wiladipalah yang mengatur mereka " jawab Ki Gede.
Ki Widura mengangguk-angguk. Lalu katanya " Tetapi aku sudah terlalu lama meninggalkan lapangan keprajuritan. Mungkin Ki Gede dapat berhubungan dengan Ki Lurah Branja-ngan, atau mungkin lebih jelas lagi Ki Widura dapat berbicara dengan Untara. Meskipun Untara labih banyak tidak berada di Kota Raja pada waktu itu, karena ia bertugas di luar Kota Raja dan berkuasa di daerah Selatan, tetapi aku kira ia banyak juga mengenal perwira-perwira Pajang. "
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata " Tetapi jika yang aku kenal itu adalah Ki Wiladipa yang benar-benar berada di Pajang sekarang ini, maka orang itu harus mendapat perhatian khusus. "
" Kenapa" " bertanya Kiai Gringsing.
" la adalah orang yang memiliki keinginan dan jangkauan yang tidak terbatas. Perasaannya bergejolak seperti air yang mendidih. Ia labih banyak berbangga tentang dirinya sendiri dan yang labih buruk lagi, ia terlalu mementingkan dan yang labih buruk lagi, ia terlalu mementingkan dirinya sendiri pula. Jika ia dari Demak berada di Pajang, tentu bukannya tanpa maksud. " berkata Ki Gede.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Kemudian katanya " Apakah Ki Gede menghubungkan kehadiran orang itu di Pajang dengan kemelut yang terasa semakin panas sekarang ini" Ki Gede mengangguk, jawabnya " Agaknya memang demikian. Jika semula, Mataram dapat berharap Pajang menjadi perisai utama jika Madiaun bergolak, maka keadaan justru jauh berbeda. Justru Pajang sendiri yang bergolak sekarang ini.
Kiai Gricgsing mengangguk-angguk. Katanya " Memang
ada baiknya Ki Gede berhubungan secepatnya dengan Ki Lurah Branjangan dan apalagi Untara. Dengan demikian, maka Ki Gede akan dapat menyusun laporan yang akan berguna bagi Mataram menghadapi Pajang. Sebenarnya Panembahan Senapati sangat menghargai putera menantu Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang diberinya kesempatan untuk berada di Pajang atas pendapat beberapa orang yang berpengaruh di Demak. Namun agaknya kehadirannya di Pajang tidak membawa ketenangan dalam hubungannya dengan Mataram. Mungkin Adipati Pajang itu sendiri tidak terlalu bernafsu untuk menentang Mataram.
Namun kehadiran orang-orang Demak di Pajang itu mungkin berpengaruh atas sikapnya. "
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah. Yang paling cepat dapat aku hubungi adalah Ki Lurah Branjangan. Namun aku benar-benar ingin mendapat keterangan tentang Wiladipa itu, karena Wiladipa yang aku kenal di Demak itu bukannya orang yang dapat dianggap menguntungkan bagi lingkungannya. "
Demikianlah untuk beberapa saat mereka masih harus berbincang. Namun kemudian Kiai Gringsing berkata " Jika Ki Gede akan pergi ke barak, marilah. Aku ingin ikut serta. "
" Baiklah Kiai " jawab Ki Gede " aku akan berkemas sejenak. "
Dengan mengajak Agung Sedayu, maka Ki Gede dan Kiai Gringsingpun telah pergi ke barak pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan, sementara Kiai Jayaraga dan Ki Widura untuk sementara telah diserahi ikut mengawasi orang-orang yang ditawan di gandok.
Kedatangan Ki Gede di barak itu memang telah mengejutkan Ki Lurah Branjangan. Dengan segera Ki Gedepun dipersilahkan untuk masuk kedalam sebuah ruang yang khusus bagi Ki Lurah untuk menerima tamu-tamunya yang khusus pula.
Ketika mereka sudah duduk disebuah amben bambu yang dialasi dengan tikar pandan yang putih, maka Ki Gedepun telah memberitahukan apa yang terjadi di Tanah Perdikan semalam.
" Aku juga sudah mendapat laporan Ki Gede berkata Ki Lurah " tetapi belum jelas. Kami hanya tahu, bahwa semalam tentu telah terjadi sesuatu. Ada beberapa sosok mayat vang dikuburkan pagi ini. Jika Ki Gede tidak datang kemari, maka mungkin aku atau pembantuku akan datang kerumah Ki Gede untuk mendapatkan keterangan tentang peristiwa yang telah terjadi semalam. "
" Yang kemudian menarik perhatianku, salah seorang diantara mereka yang datang itu telah menyebut nama Ki Tumenggung Wiladipa yang telah memerintahkan mereka datang ke Tanah Perdikan ini, bahkan ke daerah-daerah yang dianggap mendukung Mataram, untuk mengetahui kekuatan yang ada di daerah itu. " berkata Ki Gede.
Ki Lurah pun mengangguk-angguk. Sementara Ki Gedepun telah memberitahukan pula bahwa ampat orang yang terbunuh itu adalah karena tingkat Raden Rangga.
Ki Gede yang tertarik kepada nama Wiladipa itupun kemudian bertanya " Apakah Ki Lurah mengenalnya" "
KI Lurah Branjangan mendengarkan semua keterangan Ki Gede dengan saksama, lapun tertarik pula kepada nama Ki Tumenggung Wiladipa. Bukan karena ia sudah mengenalnya, tetapi justru karena nama itu belum pernah didengarnya selama ia berada di Pajang.
Karena itu maka iapun kemudian menjawab " Aku belum pernah mengenalnya sebelumnya Ki Gede. Mungkin Wiladipa adalah orang baru di Pajang, sehingga orang-orang yang sudah lama meninggalkan Pajang seperti aku, belum pernah mengenalnya. "
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya " Mungkin orang itu benar orang yang pernah aku kenal. Tetapi tidak di Pajang. Aku mengenal seseorang yang bernama Wiladipa sebagai seorang prajurit Demak. Sebagaimana juga Ki Widura pernah mengenalnya. "
" Memang mungkin " jawab Ki Lurah " beberapa orang Demak memang berada di Pajang menurut pendangaranku. Agaknya diantara mereka terdapat seseorang yang bernama Wiladipa itu. "
Ki Gede berpaling kearah Kiai Gringsing sambil berkata " Jadi, apakah sebaiknya kita mencoba menghubungi Untara untuk memperlengkap laporan kita " "
" Agaknya memang lebih baik " jawab Kiai Gringsing " Untara adalah seorang Senapati yang berada dalam lingkungan keprajuritan Pajang sampai saat terakhir. "
" Tetapi mungkin Untarapun tidak mengenalnya " berkata Ki Lurah
" Jika demikian, maka akan menjadi lebih jelas bagi kami, bahwa di Pajang memang terdapat beberapa orang pemimpin prajurit dari Demak, sehingga mereka mempunyai pengaruh yang kuat atas Adipati Pajang. " berkata Kiai Gringsing.
Ki Gede dan Ki Lurah mengangguk-angguk. Dengan nada datar Ki Lurah berkata " Agaknya masih ada juga orang-orang Demak yang tidak ikhlas melihat perkembangan pemerintahan sejak dari Demak ke Pajang dan kemudian ke Mataram sekarang ini. Orang itu tentu orang-orang tua, setua Sultan Hadiwijaya itu sendiri. "
" Ya. Jika Wiladipa itu benar Wiladipa yang aku kenal, ia sudah setua aku. Sudah setua Sultan Hadiwijaya " berkata Ki Gede " Tetapi pengaruhnya tentu akan menyentuh anak-anak muda dan prajurit-prajurit muda yang ada di Demak dan Pajang. Bahkan Adipati Demak. Sehingga mereka telah mengambil langkah-langkah yang dapat membakar hubungan antara Pajang dan Mataram. "
" Memang sebaiknya Ki Gede segera menyampaikan laporan itu kepada Mataram, agar Mataram tidak terlambat mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Persoalannya bukan persoalan yang sederhana. Yang akan menjadi taruhan adalah kelangsungan hidup Mataram itu sendiri. Mungkin Pajang mengharap untuk dapat menyaingi Mataram dengan dukungan beberapa orang Adipati. Apalagi beberapa buah pusaka dan benda-benda berharga masih berada di Pajang, sehingga dengar, demikian maka Adipati Pajang menganggap bahwa wahyu keraton tentu masih berada di Pajang. " berkata Ki Lurah Branjangan.
" Setidak-tidaknya pendapat itu karena pengaruh orang-,orang Demak yang ada di Pajang. " desis Kiai Gringsing.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Memang demikian agaknya. Karena itu, maka aku harus menyiapkan pasukan ini lagi untuk menghadapi segala kemungkinan setelah pasukan khusus ini sempat beristirahat beberapa lamanya. "
" Agaknya persiapan itu memang diperlukan " berkata Ki Gede mendahului perintah dari Panembahan Senapati. Tetapi jika perhitungan ini benar, maka yang akan terjadi tentu akan menyangkut pasukan ini pula. "
Ki Lurah mengangguk-angguk pula sambil berdesis " Ya. Tetapi tentu bukan hanya pasukan khusus ini saja. Tetapi tentu juga kekuatan yang mendukung berdirinya Mataram akan menjadi landasan kekuatan Mataram. Meskipun jika Pajang berhasil menghimpun beberapa Kadipaten untuk bersatu menentang Mataram, Mataram harus benar-benar berjuang dengan mengerahkan segenap kekuatan yang ada, karena sebenarnyalah jumlah kekuatan Mataram masih belum terlalu besar. "
" Tetapi Mataram berdiri dengan melalui perjuangan yang berat. Karena itu, Mataram akan mampu mempertahankan kehadirannya sebagai pemimpin atas Tanah ini. " berkata Kiai Gringsing.
Dengan demikian, maka Ki Gedepun merasa cukup mendapatkan tambahan keterangan tentang orang yang bernama Wiladipa itu dan keterangan Ki Gede justru telah menggerakkan Ki Lurah untuk bersiap-siap mendahului perintah Panembahan Senapati.
Agaknya orang yang bernama Wiladipa itu benar-benar orang yang pernah dikenalnya sebagai seorang perwira di Demak. Dengan segala macam gejolak keinginannya yang melambung tinggi, maka memang tidak mustahil bahwa orang itu telah berusaha mempengaruhi Adipati Pajang. Jika Pajang mampu mengangkat kedudukannya menjadi pimpinan tertinggi pemerintahan di Tanah ini mendesak Mataram, maka ia tentu akan mendapat kedudukan yang jauh lebih baik dari kedudukannya yang telah diperolehnya di Demak dan kemudian di Pajang.
Sejenak kemudian, maka Ki Gede dan Kiai Gringsingpun telah meninggalkan barak pasukan khusus itu. Sambil berkuda kembali, Ki Gede bertanya " Apakah kita masih mungkin
mendapat keterangan dari orang lain " "
" Selain Untara maksud Ki Gede " " bertanya Kiai Gringsing pula.
" Ya. Selain Untara " jawab Ki Gede.
" Aku tidak melihatnya " berkata Kiai Gringsing. Lalu " Sementara Untarapun aku kira hanya akan dapat memberikan keterangan sebagaimana diberikan oleh Ki Lurah. Meskipun demikian kita dapat mencobanya. Mungkin sebagai seorang perwira Pajang, Untara juga pernah berhubungan dengan Ki Tumenggung Wiladipa selagi Ki Tumenggung itu masih bertugas di Demak. "
_Jika deimikian, kita akan pergi ke Jati Anom " berkata Ki Gede pula. " Kita akan menemui Untara. "
" Ya. Sebaiknya aku mempunyai kawan untuk kembali ke padepokan kecilku. "
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya " Tetapi apakah keperluan Kiai di Tanah Perdikan ini telah selesai " "
" Aku tidak mempunyai satu kepentingan yang mengikat " berkata Kiai Gringsing " aku telah berada di Tanah Perdikan ini untuk waktu yang cukup lama. Serta telah melihat kemampuan seorang anak yang masih sangat muda, namun benar-benar diluar batas kemampuan nalar untuk menilai ilmunya.
-Raden Rangga " " bertanya Ki Gede.
" Ya. la memang memiliki ciri-ciri ilmu dari satu masa yang sekarang sudah sangat jarang. Tidak ada seorang guru yang akan mampu menuntunnya sehingga pada umurnya ia memiliki kemampuan yang demikian tingginya. Pada suatu saat orang-orang menjadi heran akan kemampuan Agung Sedayu pada umurnya yang masih terhitung muda pada waktu itu. Mungkin juga orang menjadi heran melihat Glagah Putih sekarang memiliki ilmu yang sudah pantas untuk diketengahkan dalam dunia olah kanuragan. Namun ternyata anak yang masih terlalu muda dan bernama Raden Rangga itu memiliki kemampuan jauh lebih tinggi dari Agung Sedayu dan Glagah Putih pada umur yang sama. " berkata Kiai Gringsing.
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya "Menurut pendengaranku, ayahandanyapun merasa sulit untuk mengatasi tingkah lakunya. Mudah-mudahan ia tidak menimbulkan persoalan di Tanah Perdikan ini, karena sependengaranku, ia se -ring berada disini dan bermain-main dengan Glagah Putih. "
" Ia kawan baik Glagah Putih " berkata Kiai Gringsing
" dan akupun yakin, ia menghormati Agung Sedayu meskipun jika ia menginginkan, mungkin saja ia berbuat sesuatu yang aneh-aneh disini. Tetapi mudah mudahan tidak dilakukannya.
Ki Gede mengangguk-angguk pula. Katanya " Tetapi agaknya selama ini ia memang tidak berbuat apa-apa disini selain mengadakan latihan bersama Glagah Putih. "
Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Tetapi iapun kemudian berbicara tentang rencana Ki Gede untuk pergi ke Jati Anom untuk bertemu dengan Untara.
Ketika mereka memasuki rumah Ki Gede di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, maka mereka telah bersepakat untuk dalam waktu yang dekat pergi sesuai dengan rencana mereka.
" Kita akan membawa Agung Sedayu " berkata Ki Gede
" dengan demikian aku akan mempunyai kawan kembali ke Tanah Perdikan ini. "
" Lalu bagaimana dengan tawanan-tawanan itu " " bertanya Ki Gede.
" Aku dapat menitipkannya di barak pasukan khusus atau menyerahkan mereka kepada Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah.
" jawab Ki Gede. " Yang lebih aman adalah menitipkan mereka di barak pasukan khusus. Namun dengan keterangan bahwa mereka masih belum kita serahkan. Mungkin kita masih memerlukan mereka. " berkata Kiai Gringsing kemudian.
Demikianlah, maka ketika mereka telah berada di rumah Ki Gede serta duduk diantara para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh, termasuk Kiai Jayaraga dan Ki Widura, Ki Gedepun telah menyatakan niatnya untuk pergi ke Jati Anom dan berbicara dengan Untara.
" Jika Ki Gede tidak dapat meninggikan tanah Perdikan, biarlah aku saja yang pergi " berkala Agung Sedayu.
Tetapi Ki Gede menggeleng. Katanya " Aku akan pergi untuk beberapa hari saja. Aku percayakan Tanah Perdikan ini kepada para pemimpin yang akan dikawani oleh Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah. Disamping mereka,maka aku akan minta agar Ki Lurah Branjangan ikut mengawasi keadaan Tanah Perdikan Sementara itu, maka para tawanan akan aku titipkan kepada Ki Lurah di barak pasukan khusus. "
Para pemimpin Tanah Perdikan itu tidak berkeberatan. Di Tanah Perdikan itu ada Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah, bahkan Glagah Putihpun telah memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Apalagi jika pasukan khusus Mataram di tanah Perdikan itu bersedia membantu pula untuk mengamati ketenangan dan ketenteraman Tanah Perdikan itu.
Untuk beberapa saat Ki Gede masih berbincang tentang rencana keberangkatannya. Sehingga akhirnya mereka bersepakat untuk berangkat selang sehari kemudian. Waktu yang sehari itu akan dipergunakan oleh Ki Gede untuk menghubungi dan bahkan sekaligus menyerahkan oleh Ki Gede untuk menghubungi dan bahkan sekaligus menyerahkan para tawanan kepada Ki Lurah Branjangan.
" Kami menitipkan mereka " berkata Ki Gede.
" Baiklah Ki Gede. Kami akan mengawasi orang-orang itu. Jika Ki Gede kembali dan memerlukan mereka setiap saat, mereka akan kami serahkan kembali. " jawab Ki Lurah Branjangan.
" Jika laporan kami telah lengkap, maka merekapun akan kami.serahkan kepada Mataram " berkata Ki Gede kemudian.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Jawabnya " Mudah-mudahan perjalanan Ki Gede ke Jati Anom menghasilkan kesimpulan yang Ki Gede harapkan tentang orang-oran^ itu."
Demikianlah, yang sehari itu sempat dipergunakan Ki Gede untuk mengatur segala sesuatunya. Sekar Mirahlah yang kemudian akan banyak dihubungi oleh para pemimpin Tanah Perdikan selama Ki Gede tidak ada, di bantu oleh Kiai Jayaraga, seorang yang dianggap memiliki kemampuan yang tinggi dan pengetahuan yang cukup.
Ketika pada saat yang ditentukan, matahari terbit di Timur,
Ki Gede telah bersiap untuk berangkat bersama Kiai Gringsing
yang akan kembali ke padepokan kecilnya serta mencari kesempatan
untuk mempelajari dan mengurai perkembangan ilmu Raden Rangga
diikuti oleh Ki Widura dan Agung Sedayu.
Kepada anak laki-lakinya, Widura memberikan beberapa pesan agar anaknya tidak memilih jalan yang salah. Demikian juga Agung sedayu telah memberikan beberapa petunjuk kepadanya. Bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi anak-anak muda Tanah Perdikan.
Juga kepada sekar Mirah Agung Sedayu memberikan pesan-pesannya, agar Sekar Mirah dapat membantu dengan sebaik-baiknya para pemimpin dan tetua Tanah Perdikan Menoreh.
Sejenak kemudian, setelah segalanya siap, maka iring-iringan kecil itupun meninggalkan rumah Ki Gede di Tanah Perdikan Menoreh. Sekar Mirah, Glagah Putih dan Kiai Jayaraga telah melepas mereka di rumah Ki Gede pula.
Perlahan-lahan iring-iringan itu menyusuri jalan padukuhan induk. Beberapa orang yang melihat mereka memberikan hormat. Mereka pada umumnya sudah mendengar, bahwa Ki Gede akan pergi ke Jati Anom .Tetapi tidak banyak orang yang tahu. apakah keperluan Ki Gede yang sebenarnya.
Tetapi orang-orang diluar padukuhan induk, masih banyak yang bertanya-tanya ketika mereka melihat Ki Gede bersama beberapa orang meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Namun Ki Gedepun hanya sekedar menjawab, bahwa ia akan melepaskan lelah untuk dua tiga hari dengan sebuah perjalanan yang tidak terlalu panjang.
" Aku ingin melupakan kesibukanku untuk dua tiga hari di padepokan Kiai Gringsing " jawab Ki Gede ketika seseorang bertanya kepadanya diperjalanan menjelang perbatasan.
Orang-orang itu hanya mengangguk-angguk saja. Mereka tidak bertanya lebih jauh dari pengertian mereka atas jawaban Ki Gede.
Sejenak kemudian, maka Ki Gedepun telah sampai di tepian Kali Praga dengan selamat. Tidak banyak persoalan yang mereka jumpai di penyeberangan. Bahkan Ki Gede sempat melerai dua orang yang bertengkar karena masing-masing memang memiliki sedikit kesombongan didalam diri. Ketika keduanya saling memandang selama mereka berada di atas rakit, maka tiba-tiba saja keduanya menjadi marah dan merasa pandangan mata itu sebagai penghinaan dan bahkan tantangan.
" Memang aneh " berkata Ki Gede kepada keduanya " tidak ada sepatah katapun yang terlontar dari mulut kalian sebelumnya. Namun kalian sudah merasa ditantang satu sama lain.
" Orang itu memandang aku seperti memandang seekor serigala " geram yang seorang.
" Dia yang memandangku dengan tatapan mata burung hantu " teriak yang lain.
" Lihat " berkata Ki Gede " kalian tidak hanya berdua diatas rakit ini. Orang-orang lain, terutama perempuan-perempuan yang akan pergi atau pulang dari pasar itu menjadi ketakutan. Dan apakah keuntungan kalian jika kalian berkelahi karena sebab yang tidak jelas " Bukankah kalian hanya akan mendapat kesulitan saja dan barangkali justru kesakitan " "
Kedua orang itu tidak menjawab. Masing-masing telah melemparkan pandangan mata mereka ke arus Kali Praga yang berwarna kecoklatan. Tetapi yang seorang masih saja menggeram menahan marah.
" Sebaiknya kita mencari teman diperjalanan " berkata Ki Gede kemudian.
Memang tidak ada jawaban. Yang seorang agaknya tidak lagi mempersoalkan.Tetapi yang seorang justru menggeretakkan giginya.
Agung Sedayulah yang memperhatikan orang itu. Karena itu, ia masih juga mencemaskannya, bahwa jika mereka naik ketepian, orang yang marah itu akan mengambil sikap yang tidak dikehendaki. Sehingga pertengkaran masih akan dapat timbul.
Ternyata yang dicemaskan Agung Sedayu itu benar-benar terjadi.
Demikian orang-orang yang berada diatas rakit itu turun dan membayar beaya penyeberangan masing-masing, maka tiba-tiba saja orang yang masih marah itu telah dengan serta-merta mereka menyerang, sehingga beberapa orang telah menjerit karenanya.
Orang yang tidak menyadari bahwa serangan itu akan datang demikian tiba-tiba justru ketika ia merasa bahwa persoalannya sudah selesai, benar-benar terkejut. Ia sama sekali tidak sempat untuk mengelak sehingga karena itu, maka iapun telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terguling.
Namun sebenarnyalah Agung Sedayu melihat, bahwa yang menyebabkan orang itu terlempar, bukan saja karena ia tidak bersiap menghadapi kemungkinan itu, tetapi orang yang menyerang itu memang memiliki tenaga yang cukup besar.
Beberapa orang yang turun dari rakit itu, termasuk Ki Gede, Ki Widura dan Agung Sedayu berusaha untuk mencegah perkelahian itu berkepanjangan, sementara itu orang yang terjatuh itupun berusaha untuk dapat bangkit dan berdiri.
Tetapi orang yang marah itu sama sekali tidak menghiraukannya. Seorang laki-laki yang berusaha memegangi lengannya telah dikibaskannya. Bahkan sekaligus ditendangnya sehingga orang itu berteriak kesakitan. Seorang anak muda yang lain, yang menyekapnya dari belakang, telah mengalami nasib yang buruk. Sambil membungkuk orang itu meraih kepala anak muda yang menyekapnya. Kemudian dengan satu hentakkan anak muda itu terlempar lewat diatas kepala orang yang marah itu.
Untunglah, bahwa Agung Sedayu bertindak cepat. Dengan serta merta iapun berusaha untuk menangkapnya, sehingga anak muda itu tidak terbanting jatuh ditanah dengan kerasnya, karena dengan demikian akan dapat mematahkan tulang punggungnya.
Sementara itu, orang yang mula-mula diserang itupun telah berdiri tegak. Tetapi menurut pengamatan Agung Sedayu, keduanya sama sekali tidak seimbang. Karena itulah, maka ketika beberapa orang sudah dikibaskannya, Agung Sedayulah yang berusaha mencegahnya. Sambil berdiri dihadapan orang
itu Agung Sedayu berkata " Sudahlah Ki Sanak. Bukankah kalian tidak terlibat dalam satu persoalan vang berat " Bukankah kalian sekedar salah paham dan kemudian membuat kalian masing-masing tersinggung " "
" Minggir " geram orang yang marah itu " aku akan membunuhnya.
" Apakah cukup alasan bagimu Ki Sanak, bahwa dengan demikian kalian akan membunuh " " bertanya Agung Sedayu.
" Persetan " teriak orang itu " jika kau tidak mau ming gir juga, maka kaupun akan mati. "
Agung Sedayu sempat berpaling. Orang yang telah bangkit dan tertatih-tatih berdiri itu ternyata menjadi ketakutan melihat sikap orang yang mendendamnya.
DENGAN demikian maka Agung Sedayupun mengerti, jika terjadi juga perkelahian, maka perkelahian itu tentu bukan perkelahian yang seimbang Agaknya orang yang baru saja tegak dengan susah payah itu, memang bukan seorang yang mampu berkelahi meskipun ia harus membela diri ketika seseorang marah kepadanya karena salah paham itu.
Karena itu, maka Agung Sedayupun berkata " Ki Sanak. Lihatlah. Orang itu agaknya sudah tidak lagi mempersoalkan apa yang baru saja terjadi. Sebaiknya kalian saling memaafkan dan dengan demikian persoalan kalian telah dihapuskan. "
" Diam " orang itu justru membentak " aku memang ingin menyelesaikan persoalan. Tetapi dengan caraku. "
" Orang itu sudah menjadi ketakutan " berkata Agung Sedayu " jika demikian baiklah, biarlah orang itu minta maaf kepadamu. Mungkin ia tidak berkeberatan. Dengan demikian maka sudah tidak akan ada lagi persoalan diantara kalian dimanapun kalian bertemu. " minta maaf dan persoalan telah selesai " orang itu bergumam. Namun tiba-tiba ia berteriak " Tidak. Aku harus membuktikan bahwa persoalan memang sudah selesai. Aku memang akan menyelesaikannya. Melawan atau tidak melawan. Setidak tidaknya aku akan dapat meninggalkan bekas kemenanganku atas orang itu. "
" Apa yang kau maksud " " bertanya Agung Sedayu.
" Aku dapat mematahkan tangannya atau kakinya. Itu sudah cukup meskipun aku dapat mematahkan lehernya. Dengan cacatnya ia akan selalu merasa dirinya kecil dan seharusnya ia tidak berani menentang mataku. " jawab orang itu.
Agung Sedayu menarik nafas sambil menggeleng. Katanya " Jangan sewenang-wenang. Kau harus memaafkan orang yang mengaku bersalah kepadamu. Dengan demikian kau akan dapat menunjukkan kebesaran jiwamu. Bukan dengan penyelesaian sebagaimana kau maksudkan. Sebab hal itu justru akan mengundang persoalan yang lebih besar lagi. "
" Persetan " geram orang itu " minggir, atau kaulah yang akan aku patahkan tangan dan sekaligus kakimu, agar kaupun tidak menjadi sombong dan mengajari aku dengan sikap hidup seperti itu. "
Agung Sedayu termangu-mangu. Beberapa orang yang bersama-sama naik diatas rakit masih berdiri dengan wajah yang tegang, melihat apa yang akan terjadi kemudian Perempuan dan anak-anak menjadi ketakutan. Tetapi mereka masih belum beranjak pergi.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun berkata " Ki Sanak. Jika kau terlalu berpegang kepada harga diri yang berlebi han seperti itu, maka kau tentu akan banyak mendapat lawan. Sebaiknya kau menyadari, bahwa hubungan diantara sesama memang memerlukan keikhlasan untuk saling memberi dan menerima. "
" Cukup " orang itu berteriak semakin keras. Lalu " aku akan menghitung sampai tiga. Jika kau masih tetap berada disi-tu, maka kaulah yang pertama-tama akan mengalami nasib buruk. Bukan orang yang sombong yang telah berani menentang mataku itu. "
" Maaf Ki Sanak. Aku tidak akan minggir. Aku ingin mencegah kalian berkelahi tanpa alasan yang kuat. Apalagi dengan niatmu untuk membunuh atau membuatnya cacat hanva karena kalian saling memandang diatas rakit itu. " jawab Agung Sedayu.
Orang itu memandang Agung Sedayu dengan mata yang bagaikan menyala oleh kemarahan yang menghentak-hentak isi dadanya. Sambil menggeretakkan giginya ia beringsut maju. Dengan suara gagap oleh kemarahan ia berkata " Jadi kaulah yang akan mengalami nasib yang sangat buruk itu " "
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun telah mempersiapkan diri. Ia tidak mengetahui, seberapa tinggi ilmu orang itu. Karena itu, maka ia harus menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Kiai Gringsing dan Ki Gede serta Ki Widura hanya dapat memandangi peristiwa yang bakal terjadi itu. Namun mereka yakin bahwa Agung Sedayu tidak akan terseret kedalam arus perasaannya seperti laki-laki yang dihadapinya itu. Agung Seda yu tentu akan dapat menimbang mana yang baik dilakukan dan mana yang tidak. Karena itu maka merekapun tidak mencegah usaha Agung Sedayu untuk mengurungkan perkelahian itu.
Dalam pada itu, laki-laki yang marah itu agaknya sudah ti dak dapat mengekang dirinya lagi. Tiba-tiba saja iapun telah meloncat menyerang sebagaimana dilakukan atas orang yang dianggapnya terlalu sombong karena berani memandangi matanya sebagaimana ia melakukannya.
Tetapi Agung Sedayu sudah bersiap. Dengan demikian, maka serangan itu tidak banyak berarti bagi Agung Sedayu. Sambil bergeser selangkah, ia memiringkan tubuhnya, sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenainya.
Namun agaknya orang yang menyerangnya itu memang memiliki bekal olah kanuragan. Karena itu, demikian ia menyadari bahwa sasarannya telah bergeser, maka iapun telah bergeser pula. Kakinya yang terjulur itupun kemudian telah berubah arah. Sambil menggeliat maka kaki itupun telah ber putar mendatar setinggi lambung. Tumit orang itu sudah siap menghentak lambung Agung Sedayu.
Tetapi Agung Sedayu mampu berbuat jauh lebih cepat dari orang itu. Karena itu, ketika kakinya berputar dan bertumpu pada kakinya yang lain, Agung Sedayu telah membalas sera ngan itu. Tidak terlalu bersungguh-sungguh. Tetapi dengan ce pat ia menggamit kaki lawannya yang dipergunakan sebagai tumpuannya berputar.
Orang itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat berbuat banyak. Tiba-tiba saja kakinya yang berputar itu menjadi oleng, serta kakinya yang lain, yang menjadi tumpuan putarannva justru te lah terangkat. Sejenak kemudian orang itupun telah jatuh terbanting ditanah .Tubuh dan pakaiannya yang basah oleh keringat menjadi sangat kotor oleh pasir tepian bercampur debu.
Orang itu mengumpat dengan kasarnya. Dengan serta mer-ta ia bangkit berdiri sambil mengibaskan pakaiannya. Namun dari matanya telah memancar sorot kemarahan yang tidak terhingga.
Orang orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi berdebar-debar. Mereka melihat gejolak perasaannya yang membara.
" Aku memang akan membunuh " orang itu menggeram " tetapi justru kaulah yang akan aku bunuh. "
" Baiklah " berkata Agung Sedayu " kita akan bertaruh sebelum kita berkelai. "
" Bertaruh apa" " bertanya orang itu " jangan memperpanjang waktu sambil menunggu orang lain datang membantumu. Siapapun yang berani mencampuri persoalanku akan aku hancurkan sampai lumat. "
" Aku tidak akan minta pertolongan orang lain " sahut Agung Sedayu, lalu " bukankah kita masing-masing seorang laki-laki. "
" Apa maksudmu" bertanya orang itu.
" Kita akan bertaruh. Karena kita laki-laki jantan, maka kita akan menepati janji dalam pertaruhan itu " jawab Agung Sedayu.
" Kita bertaruh apa" " orang itu bertanya pula.
" Jika aku kalah, terserah kepadamu. Apa yang akan kau lakukan. Tetapi jika kau yang kalah, maka kau harus minta maaf kepada orang yang telah kau serang dengan tiba-tiba. Kalian berdua harus saling memaafkan dan persoalannya harus dianggap selesai. Kecuali jika kau pengecut dan bukan laki-laki
sejati " jawab Agung Sedayu.
" Tutup mulutmu " bentak orang itu.
" Aku ingin mendengar, apakah kau menerima taruhan itu" " Agung Sedayulah yang bertanya.
08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Baik. Jika aku menang, aku dapat memperlakukan kau dan orang cengeng itu sekehendakku. Aku akan mematahkan tangan dan kaki kalian. Jika aku kalah, maka aku akan menganggap persoalannya telah selesai. " jawab orang itu.
Golok Naga Kembar 2 Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib Pusaka Negeri Tayli 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama