08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 31
" Kepadaku ?" bertanya Glagah Putih.
" Ya. Bukankah kau berniat untuk meningkatkan ilmu-- mu" " bertanya Raden Rangga.
" Ya. Aku kira setiap orang yang menekuni olah kanura-gan ingin meningkatkan ilmunya " jawab Glagah Putih.
" Baiklah " berkata Raden Rangga " kau harus bekerja keras untuk mendapatkan ilmu. Kau harus menjalani laku. Dengan laku maka ilmu yang tinggi itupun akan menjadi milikmu
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Sementara itu Raden Rangga berkata selanjutnya " Kau tidak dapat mengalami sebagaimana aku alami. Tetapi ternyata bahwa ilmu yang aku terima didalam mimpi itupun seakan-akan merupakan mimpi bagiku. Seakan-akan aku tidak berhak untuk menentukan sendiri, bagaimana ujud dan bentuk ilmu yang aku inginkan. Tetapi aku memiliki ilmu yang tiba-tiba saja telah ada di dalam diriku. Jika pada suatu saat ilmu itu harus tanggal dari tanganku, maka ilmu itu akan tanggal, bahkan batas itu rasa-rasanya sudah dekat. Bukan saja ilmuku yang tanggal, tetapi juga umurku.Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya " Bukankah hal itu berlaku bagi aku dan barangkali juga orang-orang yang lain yang menuntut ilmu.
Kami tidak dapat memilih ujud dan bentuk ilmu. Tetapi ilmu itu kami terima sebagaimana yang diberikan oleh guru. "
"Tetapi ada satu masa dari babak-babak yang kita lewati. Jika pada suatu saat terasa kita tidak sesuai dengan ilmu itu, maka kita masih mempunyai pilihan. Minta agar kita mendapatkan ilmu yang lain, atau kita tinggalkan guru itu, dan berguru kepada orang lain. " berkata Raden Rangga.
Tetapi Glagah Putih masih saja termangu-mangu. Karena itu, maka Raden Ranggapun berkata " Apakah kau berpikir tentang kesetiaan kepada seorang guru ?" Jika kita benar-benar telah sesuai, maka kita memang harus dan wajib tunduk dan setia kepada seorang guru. Tetapi jika tidak, misalnya, guru itu tiba-tiba saja mengajarkan kepada kita untuk meninggalkan jalan kebenaran, maka kita tidak harus dan wajib setia kepadanya. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi iapun bertanya " Apakah Raden tidak dapat berbuat seperti itu ?"
" Tidak " jawab Raden Rangga sambil menggeleng " tetapi beruntunglah aku, bahwa yang aku alami tidak memaksaku untuk berada dilingkungan orang-orang jahat meskipun tanpa sengaja aku sering melakukan kesalahan yang dapat dihukum sebagai orang jahat."
Glagah Putihpun mengangguk-angguk pula. Sementara itu Raden Ranggapun berkata " Karena itu, berbuatlah sesuatu untuk mendapatkan ilmu. Kerja keras mengatasi kesulitan-kesulitan. Dan aku mendapat petunjuk bahwa ada jalan yang dapat kau tempuh untuk meningkatkan ilmumu. Pada alas yang sudah kau miliki, maka dengan laku kau akan meningkat pada tataran yang lebih tinggi."
" Apa yang harus aku lakukan " " bertanya Glagah Putih.
Menurut petunjuk yang aku terima pada saat aku menghubunginya didalam mimpi, kau harus menjalani laku yang cukup berat " berkata Raden Rangga.
" Petunjuk siapa ?" bertanya Glagah Putih.
" Petunjuk seseorang yang mirip ibuku " jawab Raden Rangga " dan yang memang mengaku sebagai ibuku."
Glagah Putih menarik nafas. Dengan nada datar ia bertanya " Apakah Raden sudah pernah bertanya kepada ibunda, apakah ibunda memang pernah hadir didalam mimpi ?"
" Ibunda tidak menyadari, bahwa ibunda pernah hadir didalam mimpi. Ibuku memang seorang yang sederhana sebagaimana pernah aku beri tahukan " jawab Raden Rangga. Meskipun kemudian ia tambahkan " meskipun ayahanda ibuku, jadi kakekku, adalah seorang pertapa pula. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Raden Rangga berkata " Nah, apakah kau bersedia menjalani laku itu" " Berendam didalam belumbang ini tiga hari tiga malam. Mungkin kau belum sempat mempersiapkan diri terutama secara batin. Tetapi itu tidak apa-apa. Jika kau sekarang bertekad untuk melakukannya, maka aku akan membantumu. "
Glagah Putih tidak segera menjawab. Ia memang mejadi ragu-ragu.
Untuk beberapa saat Raden Rangga menunggu. Namun karena Glagah Putih tidak segera menjawab, maka Raden Ranggapun berkata " Cepatlah ambil keputusan. Matahari telah terbit. Kau harus menyadari bahwa ilmu hanya dapat dijangkau dengan kerja keras. Tanpa berbuat sesuatu ilmu itu tidak akan melekat padamu. Jangan memperkatakan aku lagi. Aku sudah menjelaskan apa yang terjadi atasku. Tetapi bagi seseorang yang dalam keadaan sewajarnya, maka ia harus bekerja keras, berprihatin dan tekun. Bahkan seandainya dengan laku ini kau mencapai sesuatu, maka kau masih harus tetap bekerja keras untuk mengembangkannya didalam dirimu, kemudian mengamalkannya. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya dengan ragu " Aku belum minta ijin kepada kakang Agung Sedayu bahwa aku akan kembali setelah tiga hari lagi."
" Jangan merengek seperti bayi. Kau sudah menjadi dewasa. Kau lebih tua dari aku menurut ukuran umur kewadagan. Kau tidak perlu lagi, setiap kali minta petunjuk kepada kakakmu. Kau harus sudah dapat mengambil keputusan sendiri. " jawab Raden Rangga.
" Kakang Agung Sedayu sebagai guruku. Justru Kiai Jayaraga " berkata Glagah Putih menegaskan.
" Kau tidak akan mempelajari unsur-unsur baru pada ilmumu. Kau tidak akan menyerap ilmu lain dan kemudian menyatukan dengan ilmu yang kau terima dari Agung Sedayu maupun Kiai Jayaraga. Tetapi laku yang akan kau tempuh tiga hari itu akan meningkatkan apa yang sudah ada didalam dirimu. Itu saja. " sahut Raden Rangga.
Glagah Putih masih termangu-mangu. Namun tiba-tiba didalam dirinya telah bergejolak darah mudanya. Rasa-rasanya ia memang ingin melakukan sesuatu.
Karena itu, maka iapun kemudian berkata " Aku akan melakukannya. Tetapi Raden berjanji membantu aku?"
" Apa" Menyediakan makan dihari pertama ?" bertanya Raden Rangga " aku akan membawa tiga buah pisang raja buat hari pertama, karena hal itu memang diijinkan."
" Terima kasih " jawab Glagah Putih " tetapi yang penting, aku mohon pertolongan Raden untuk memberitahukan ke pada kakang Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga bahwa aku ada disini."
" Ah, kau masih seperti kanak-kanak. Aku juga ayahanda Panembahan Senapati, bahwa eyang Sultan di Pajang dan aku masih dapat menyebut seribu nama lagi, menjalani laku bukan hanya tiga hari tiga malam. " jawab Raden Rangga " Agung Sedayu sendiri sudah terlalu sering menjalani laku yang berat. Aku kira juga Kiai Jayaraga. Biar mereka akhirnya mengetahui dengan sendirinya, apa yang sudah kau lakukan disini."
Glagah Putih termangu-mangu. Ia merasa cemas, bahwa Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga terpaksa mencarinya. Tetapi iapun didorong oleh satu keinginan untuk melakukan sesuatu yang akan dapat memberikan arti kepadanya.
Namun akhirnya Glagah Putih itu tidak mau melepaskan kesempatan itu. Katanya " Baiklah Raden. Aku akan menerima kesempatan ini. Terserah kepada Raden, apa yang akan Raden lakukan. Raden sudah mengetahui keadaanku dan persoalanku."
" Bagus " sahut Raden Rangga " lakukanlah. Berendam didalam belumbang kecil ini selama tiga hari tiga malam. Mungkin dimalam hari udaranya akan menjadi sangat dingin. Airnya-pun terasa bagaikan membeku. Tetapi kau harus mampu mengatasinya Jika kau gagal, maka kau ternyata bukan seorang laki-laki harapan bagi masa depan. Karena sebenarnyalah bahwa kau termasuk seseorang yang harus mengisi masa yang akan datang dengan amal dari ilmumu."
" Aku akan melakukannya dengan segenap kemampuan yang ada padaku. Berhasil atau tidak berhasil. " jawab Glagah Putih.
" Lakukanlah dengan doa " berkata Raden Rangga " kau akan mendapat kekuatan dari Yang Maha Agung jika kau bersandar kepada-Nya."
" Aku akan melakukannya " jawab Glagah Putih.
Glagah Putihpun kemudian menanggalkan pakaiannya, kecuali celananya yang panjangnya hampir sampai kelutut berwarna hitam. Sejenak ia memandang berkeliling.Pepohonan yang sangat rimbun. Pohon preh raksasa dan pepohonan perdu. Be berapa batang pohon air yang batangnya ditumpu oleh akarnya yang mencuat diatas permukaan belumbang, namun dirimbuni dengan dedaunan batang perdu.
" Belumbang ini tidak terlalu dalam " berkata Raden Rangga " tetapi menurut penglihatan naluriku, dekat dibawah pohon preh itu, airnya cukup dalam untuk membenamkan seluruh tubuhmu, kecuali kepalamu."
Glagah Putih tidak menjawab. Namun ia telah memusatkan segenap nalar budinya, berdoa kepada Yang Maha Murah agar ia mendapat bimbingan menjalani laku untuk meningkatkan ilmu yang telah lebih dahulu dikurniakan kepadanya.
Perlahan-lahan Glagah Putih turun kedalam air, menyibak batang ilalang, batang nipah dan pepohonan perdu yang lain mendekati pohon preh raksasa.
Belumbang kecil itu memang tidak dalam. Mirip dengan daerah rawa-rawa. Namun airnya ternyata jernih meskipun kotor oleh dedaunan. Bahkan sekali-sekali Glagah Putih melihat gejolak air karena seekor ikan yang besar meloncat keudara.
Sebenarnyalah dibelumbang itu terdapat banyak sekali ikan. Tetapi agaknya tidak banyak orang yang mengetahui, bahwa digumuk kecil itu terdapat sebuah belumbang, karena belumbang itu tertutup rerungkutan.
Memang ada semacam kengerian dan keragu-raguan di hati Glagah Putih. Ia harus memasuki tempat yang sangat rimbun dan liar. sekali-sekali ia tertegun jika dilihatnya gerumbul dide-pannya bergerak. Yang paling dicemaskannya justru seekor ular. Gigitan seekor ular akan dapat mematikannya dalam beberapa saat jika ular itu adalah ular berbisa tajam seperti seekor ular weling, welang atau bahkan sejenis ular bandotan yang sangat tajam bisanya.
Namun akhirnya Glagah Putihpun pasrah kepada sumber hidupnya.
Raden Rangga memandangi saja Glagah Putih yang melangkah perlahan-lahan ke batang preh raksasa itu. Agaknya Raden Rangga melihat juga bahwa Glagah Putih semula merasa agak ragu. Karena itu maka iapun berkata lantang " Glagah Putih. Jika kau memang sudah berniat, jangan ragu-ragu. Keragu-raguan hanya akan mendatangkan malapetaka saja bagimu. Lakukanlah dengan mantap dan pasrah. Kau akan menemukan apa yang kau cari dalam permohonan. "
Glagah Putih berpaling. Tetapi ia tidak menjawab. Ia me langkah terus ke arah batang preh raksasa itu.
Sebenarnyalah bahwa air dibawah pohon preh raksasa itu memang agak dalam. Glagah Putihpun kemudian seakan-akan telah hilang ditelan gerumbul-gerumbul liar didalam belumbang itu. Jika seseorang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka ia tidak akan melihat bahwa seorang telah terendam diri dalam belumbang itu setinggi lehernya.
Glagah Putih yang berdiri didalam air itupun kemudian telah menyilangkan tangannya di dadanya. Menurut perasaannya air didalam belumbang tidak terlalu dingin. Ia tidak tahu, apakah sebabnya Sementara itu mataharipun mulai memanjat naik dilangit.
" Nah " berkata Raden Rangga " lakukanlah dengan mantap. Doamu tentu akan didengar. Dalam laku ini, kau mendapat keringanan dihari pertama dan kedua, karena kau diperkenankan makan tiga buah pisang jenis apapun. Aku akan mencarikannya untukmu. Tetapi dihari ketiga kau benar-benar harus pati gen i "
Glagah Putih tidak menjawab. Dengan sepenuh hati ia mulai mengatur perasaan dan nalarnya. Meskipun agak sulit, namun akhirnya Glagah Putih sampai juga kepuncak pemusatan nalar budinya, karena sebelumnya ia sama sekali tidak bersiap-siap untuk melakukannya.
Karena itulah, maka Glagah Putih tidak lagi menghiraukan apapun yang ada di sekitarnya. Glagah Putih seakan-akan tidak terasa ketika beberapa ekor ikan yang cukup besar mengerumuninya, bahwa mulai menyentuh tubuhnya.
Raden Rangga yang melihat Glagah Putih sudah menjadi mapan, maka iapun telah bergeser menjauh. Tetapi seperti yang dikatakannya. Ia telah berusaha untuk membantu Glagah Putih Ia meninggalkan gumuk itu pergi mencari pisang yang akan dapat diberikannya kepada Glagah Putih pada hari yang pertama dan yang kedua.
Ketika Raden Rangga telah berada di jalan yang agak banyak dilalui orang, maka iapun telah bertanya, apakah didekat tempat itu terdapat pasar.
Ternyata Raden Rangga tidak perlu berjalan terlalu jauh. Memang tidak terlalu jauh terdapat sebuah pasar padukuhan yang meskipun tidak begitu besar, tetapi dipasar itu ternyata telah dijual beberapa tandan pisang.
Raden Ranggapun telah membeli dua sisir pisang raja dan dibawanya kegumuk kecil yang jarang sekali dikunjungi orang itu. Ia menepati janjinya, menyediakan pisang untuk Glagah Putih Bahkan ternyata Raden Rangga tidak meninggalkan belumbang kecil itu. Iapun telah mencari tempat untuk menunggui Glagah Putih yang sedang berendam diri.
Raden Rangga itupun telah duduk disebuah batu yang cukup besar Ternyata meskipun ia tidak sedang menjalani laku, tetapi ia berniat untuk berada digumuk itu sampai Glagah Putih menyelesaikan laku selama tiga hari tiga malam Namun karena Raden Rangga hanya sekedar berada ditempat itu tanpa ikatan, maka kadang-kadang Raden Rangga itupun telah berjalan-jalan disekitar gumuk itu melihat-lihat semacam gerumbul-gerumbul perdu liar yang jarang disentuh kaki manusia itu.
Didalam gerumbul-gerumbul perdu itu, ternyata masih terdapat beberapa jenis binatang liar, tetapi bukan binatang buas. Didalam gerumbul-gerumbul yang terdapat disatu lingkungan yang agak luas disekitar gumuk itu masih terdapat beberapa kelompok rusa jenis kecil yang berkeliaran. Ternyata rusa itu ditengahi teriknya matahari, pergi kebelumbang diatas gunung itu untuk sekedar minum.
Raden Rangga menjadi heran. Apakah tidak ada seorang-pun yang pernah melihat rusa itu berkeliaran didalam gerumbul-gerumbul perdu itu, sehingga tidak ada seorang pemburupun yang pernah berburu dipadang itu.
Namun ternyata bahwa rusa-rusa itu hidup dalam kelompok-kelompok yang nampaknya tidak banyak terganggu. Sementara itu rusa-rusa itu tidak akan kehabisan makanan selama padang rumput yang diseling dengan gerumbul-gerumbul perdu liar itu masih belum dibabat oleh tangan manusia.
Pada hari yang pertama, Raden Rangga telah memberikan tiga buah pisang raja kepada Glagah Putih Karena menurut Raden Rangga makan tiga buah pisang masih dibenarkan, maka Glagah Putihpun di hari pertama telah makan tiga buah pisang raja. Demikian juga dihari kedua. Namun dihari ketiga seperti dikatakan oleh Raden Rangga, Glagah Putih harus pati geni. Sama sekali tidak makan dan tidak meneguk air belumbang itu sekalipun.
Sementara itu Raden Rangga sendiri, selama tiga hari juga hanya makan pisang, meskipun jumlahnya lebih banyak dari yang dimakan Glagah Putih.
Ketika Glagah Putih memasuki hari ketiga, maka ia memang merasakan perubahan telah terjadi pada dirinya. Air yang segar itu seakan-akan telah menyusup sampai ketulang sungsumnya. Meskipun Glagah Putih sama sekali tidak meneguk air dihari ketiga, tetapi lehernya serasa selalu basah dan bahkan perutnyapun sama sekali tidak terasa lapar.
Glagah Putih sendiri memang merasa aneh. Laku itu sama sekali tidak terasa terlalu berat. Meskipun ia sudah memasuki hari ketiga, namun badannya masih terasa cukup segar dan kuat.
Namun ketika matahari sampai kepuncak langit dihari ketiga itu memang terasa satu perubahan telah terjadi. Air belumbang yang segar itu seakan-akan telah berubah menjadi semakin lama semakin hangat.
Menurut perasaan Glagah Putih, maka sinar mataharipun bagaikan panasnya api yang memanggangnya dari langit, sementara air tempatnya berendam itupun semakin panas pula.
Glagah Putih terpaksa mengerahkan daya tahannya untuk tetap tidak beranjak dari tempatnya.
Untuk beberapa saat lamanya Glagah Putih memang menjadi gelisah. Namun kemudian ia telah menemukan kembali keseimbangan nalar dan budinya. Ketika ia memperhatikan pepohonan dan kedaunan yang berada di belumbang itu, ternyata tidak sehelai daunpun yang menjadi layu, bahkan batang-batang flalangpun tetap tegak ditempatnya. Karena itu, maka menurut penalarannya, maka pepohonan itu tidak tersentuh oleh panas sebagaimana dirasakannya.
Dengan demikian maka Glagah Putihpun menjadi semakin pasrah diri. Ia menjalani laku tidak untuk satu keinginan yang buruk. Tetapi ia mendasarkan niatnya kepada landasan petujuk gurunya Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga didalam angan-angan, ucapan dan tingkah laku.
Matahari yang beredar dilangit masih saja serasa memanggangnya. Sementara airpun masih terasa panas. Namun Glagah Putih tidak beranjak dari tempatnya. Ia masih berdiri tegak didalam air selain kepalanya dengan tangan bersilang didadanya.
Sementara itu, mendekati tahap akhir dari laku Glagah Putih maka Raden Ranggapun telah menungguinya ditepi belum
bang. Tetapi ia sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi dengan Glagah Putih. Yang dilihatnya, Glagah Putih masih tetap berada ditempatnya, sementara air belumbang itupun sama sekali tidak nampak terjadi perubahan.
Bahkan Raden Rangga itu sempat berbaring diatas sebuah batu besar melingkar seperti udang dan untuk beberapa saat tertidur nyenyak.
Glagah Putih masih harus berjuang melawan perasaan panas yang menggigit tubuhnya. Tetapi penalarannya mampu mengatasi rasa panas yang menurut perhitungannya adalah bahwa mengatasi perasaan panas itu merupakan laku yang harus dijalani pada tahap-tahap akhir.
Ternyata penalaran Glagah Putih serta mengerahkan daya tahan tubuhnya itu sangat menolongnya. Dengan demikian ia dapat bertahan dan tidak meninggalkan tempatnya betapapun ia merasa terpanggang oleh panasnya bara api dilangit dan panasnya air yang bagaikan mendidih.
Beberapa saat kemudian, maka mataharipun telah turun semakin rendah Panasnya api yang menerpa wajah Glagah Putihpun terasa menjadi semakin susut. Apalagi ketika matahari itu kemudian tenggelam dibalik cakrawala.
Raden Rangga yang sudah terbangun sempat melihat Glagah Putih yang masih berada ditempatnya Tetapi dihari terakhir, Raden Rangga tidak dapat membantunya sama sekali.
Betapapun juga, ternyata telah tumbuh kegelisahan juga di-hati Raden Rangga itu. Meskipun ia mendapat jaminan tentang keselamatan Glagah Putih dari ibunya yang sering dijumpainya didalam mimpi, namun keadaan lingkungan serta kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi karena kelemahan wa-dag Glagah Putih, telah membuatnya semakin cemas. Karena itu, meskipun Raden Rangga tidak menjalani laku seperti Glagah Putih, tetapi rasa-rasanya iapun tidak dapat menelan pisang yang masih tersisa yang ada padanya.
Tubuh Glagah Putih terasa segar ketika matahari itu kemudian terbenam Air belumbang itupun tidak lagi merebusnya, karena sejalan dengan titik-titik embun yang turun dari dedaunan, airpun menjadi dingin.
Tetapi ketika lewat tengah malam, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Air yang dingin itu semakin dingin. Bahkan kemudian seakan-akan air itupun telah membeku menjepit tubuhnya yang terendam didalamnya. Nafasnyapun kemudian merasa menjadi sesak terhimpit oleh air yang seakan-akan menjadi beku.
Glagah Putihpun harus berjuang pula mengatasi rasa dingin dan berjuang untuk mengatur pernafasannya dengan sebaik-baiknya. Dengan susah payah Glagah Putih perlahan-lahan mampu menguasai pernafasannya dan mengalir dengan teratur meskipun dadanya masih terasa tertekan oleh air yang bagaikan membeku itu.
Dengan ketabahan hati serta perasaan yang mapan, Glagah Putih sama sekali tidak mengelakkan laku terakhir itu. Dalam kelamnya malam maka ia tetap berdiri sambil menyilangkan tangannya didada. Doanya menjadi semakin khusuk memancar dari dasar hatinya yang paling dalam. Memohon kepada Yang Maha Agung untuk mendapat kekuatan menjalani laku terakhirnya dalam ungkapan permohonannya untuk menemukan kekuatan didalam dirinya bagi pengabdian yang mungkin dapat dilakukannya.
Namun air yang serasa membeku itu kemudian telah menghimpitnya semakin kuat. Dinginnya airpun menjadi semakin menggigit sampai ketulang sungsum. Bahkan darahnyapun rasa-rasanya telah hampir membeku pula, sehingga seakan-akan jantungnya menjadi semakin lambat berdetak.
Glagah Putih yang mengerahkan segenap daya tahannya untuk melawan dingin yang membeku itu, justru telah pasrah. Kegelisahannya perlahan-lahan telah mengendap dan bahkan akhirnya Glagah Putih itu memejamkan matanya dalam sikapnya. Tidak ada lagi yang mencemaskannya. Tidak ada lagi yang ditakutinya. Dan akhirnya tidak ada lagi yang menyulitkannya.
Dalam pasrah maka semuanya seakan-akan telah terjadi atas dirinya. Glagah Putih tidak meronta melawannya. Tidak lagi menggeretakkan giginya didalam kebekuannya.
Namun ternyata bahwa segala-galanya telah lewat. Langit-pun menjadi merah oleh cahaya fajar. Satu kerja yang keras telah dilakukan sebagai ungkapan permohonannya. Dan Glagah Putih telah menyelesaikannya.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa air yang dingin membeku itu perlahan-lahan telah mencair kembali. Dengan penuh keyakinan Glagah Putih melangkahi kerja kerasnya dengan tuntas. Pasrah kepada Yang Maha Pen-cipta. Dan justru pasrah itulah tumpuan kekuatannya. Sama sekali bukan pasrah dalam pengertian putus-asa.
Ketika matahari terbit di Timur, Glagah Putih memandang alam sekelilingnya. Cahaya matahari pagi yang cerah seakan-akan telah menari-nari didedaunan yang bergerak-gerak disentuh angin lembut.
Betapa segarnya udara pagi pada saat-saat terakhir dari laku yang sedang dijalaninya.
Tetapi Glagah Putih masih menunggu. Sebagaimana ia turun kedalam air bisa tiga hari tiga malam yang lalu, maka ia menunggu matahari naik beberapa tapak. Sementara itu, Glagah Putih telah kembali memusatkan nalar budinya, mengucapkan sokur kepada Penciptanya, bahwa ia telah selesai dengan selamat.
Baru sejenak kemudian, ketika terdengar suara Raden Rangga memanggilnya. Glagah Putih mulai menggerakkan tangannya mengurai silang tangan didadanya itu
Namun Glagah Putih harus melakukannya dengan sangat berhati-hati. Setelah tiga hari tiga malam ia bersikap, yang hanya diantara beberapa kali menerima dan memakan pisang dihari pertama dan kedua, rasa-rasanya tangan dan kakinya memang menjadi beku pula.
Tetapi perlahan-lahan semua anggauta tubuhnyapun kemudian bergerak. Selangkah demi selangkah Glagah Putih pergi ketepi menyibak rimbunnya daun perdu dan rapatnya batang ilalang.
Baru ketika Glagah Putih naik kedarat, rasa-rasanya tubuhnya menjadi sangat lemah. Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Namun dengan memusatkan kemampuannya maka Glagah Putih berhasil berdiri tegak.
" Ada apa dengan kau " " bertanya Raden Rangga Meskipun ada semacam kecemasan dihati anak itu, tetapi ia kemudian justru berkata " He, apakah kau akan menjadi pingsan " " Kau harus malu kepada dirimu sendiri.
Bukankah kau laki-laki " Tiga hari tiga malam bukan apa-apa. Aku pernah berendam ampat puluh hari ampat puluh malam. "
Glagah Putih berusaha untuk tidak kehilangan keseimbangannya dan bertahan untuk tetap tegak dan sadar sepenuhnya, betapapun perasaan yang aneh menjalari tubuhnya. Bahkan Glagah Putih itu masih sempat bertanya " Kapan Raden melakukannya " "
" Didalam mimpi " jawab Raden Rangga sambil tersenyum Namun kemudian ia menyambung " Ayahanda pernah menjalani laku tiga hari tiga malam, berendam, bergantung sekaligus pada sebatang dahan dan pati geni penuh. Demikian ayahanada keluar dari lakunya, ia masih mampu berjalan jauh dan cepat kembali ke rumah. "
Hampir Glagah Putih menjawab " Itu bedanya antara aku dan Panembahan Senopati dimasa mudanya " Tetapi kata-kata itupun seakan-akan telah ditelannya kembali dan tidak pernah diuncapkan. "
Tetapi Glagah Putih tidak kehilangan keseimbangan. Tidak jatuh tertunduk dan apalagi pingsan. Dengan segenap tenaga yang tersisa Glagah Putih melangkah mendekati Raden Rangga Namun ketika kelelahan benar-benar mencengkamkannya, maka iapun telah duduk diatas sebuah batu yan besar.
Raden Ranggapun kemudian mendekatinya. Ia masih mempunyai beberapa buah pisang. Sebuah diantaranya diberikannya kepada Glagah Putih sambil berkata " Makanlah. Mudah-mudahan akan dapat membuatmu menjadi segar."
Glagah Putih memandang Raden Rangga sekilas. Kemudian pisang itu diterimanya dan dimakannya.
Raden Ranggapun kemudian telah makan sebuah pisang pula, karena dalam ketegangan iapun sebelumnya tidak makan sama sekali.
Glagah Putih setelah memakan pisang dan kemudian minum seteguk air, merasa tubuhnya menjadi semakin segar. Meskipun demikian. Raden Rangga masih menganjurkannya untuk beristirahat beberapa saat sambil menjemur pakaiannya yang basah.
Raden Rangga sama sekali tidak mengganggu Glagah Putih yang kemudian benar-benar beristirahat. Ia berbaring diatas rerumputan yang mulai kering oleh panasnya matahari pagi.
Tetapi Glagah Putih tidak ingin tertidur. Jika keadaannya sudah menjadi semakin baik, maka Raden Rangga tentu akan mengajaknya kembali ke Mataram.
Raden Rangga yang masih mempunyai dua buah pisang lagi, telah memberikannya sebuah kepada Glagah Putih sambil berkata " Makanlah satu lagi. Sebentar lagi pakaianmu akan kering. Dan dengan demikian kita akan dapat berjalan. Mungkin kau akan merasa sangat letih, tetapi jika sampai di Mataram, maka kita akan dapat beristirahat sepanjang kapanpun yang kita kehendaki."
Glagah Putih menerima pisang itu dan memakannya pula. Sementara iku pakaiannya yang basahpun telah menjadi semakin kering di panasnya matahari yang menjadi semaki tinggi.
Ternyata bahwa dua buah pisang iku membuat tubuh Glagah Putih menjadi semakin segar. Karena itu ketika pakaiannya yang basah telah benar-benar menjadi kering, maka keduanyapun telah berkemas untuk meninggalkan tempat itu.
Tetapi sementara itu Raden Rangga masih sempat menanyakan pendapat Glagah Putih tentang tempat itu.
" Disini banyak terdapat rusa-rusa kecil " berkata Raden Rangga " tetapi tentu ada sebabnya bahwa tempat ini tidak pernah didatangi pemburu. "
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun Raden Rangga berkata " Kita akan menuruni gumuk kecil ini dari sisi yang lain. Kita akan melihat dipadang perdu ini terdapat banyak rusa-rusa kecil. Tempat ini memberikan ruang yang sangat menguntungkan bagi jenis binatang itu. Tetapi anehnya, disini tidak ada pemburu dan tidak ada jenis binatang buas yang sampai disini.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu mereka berduapun telah melangkah kesisi gumuk itu.
Ketika mereka menuruni sisi gumuk itu, maka sudah terlihat beberapa ekor rusa dari jenis yang kecil berkeliaran. Mereka dengan tenangnya makan rerumputan dan dedaunan perdu.
Keduanya memang mengejutkan rusa-rusa itu, sehingga berlarian memencar. Namun rusa-rusa itupun kemudian telah berkumpul lagi ditempat yang tidak begitu jauh untuk makan dengan lahapnya.
" Nampaknya mereka memang hidup dengan tenang " berkata Glagah Putih.
Beberapa lama keduanya memperhatikan binatang-binatang kecil itu. Sedangkan kaki mereka melangkah terus diantara gerumbul-gerumbul perdu. Disisi lain gerumbul-gerumbul perdu itu menjadi semakin lebat. Beberapa pohon yang besar nampak satu dua tumbuh terpencar.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Raden Rangga telah terkejut ketika ia melihat yang disangkanya pokok sebatang pohon yang berwarna kehijau-hijauan. Dengan serta merta ia berdesis " Glagah Putih, lihat. "
Glagah Putihpun tertegun. Ia memang sudah melihat pokok sebatang pohon yang aneh itu. Tetapi semula ia tidak begitu memperhatikan.
" Kau lihat" " bertanya Raden Rangga.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Langkahnyapun tiba-tiba telah tertegun.
Sekilas Glagah Putih berpaling kearah Raden Rangga dengan tatapan mata yang aneh. Raden Rangga segera menangkap perasaan Glagah Putih. Karena itu, maka iapun segera memberi penjelasan " Jangan kau kira itu bentuk semu. Aku tidak sedang bermain-main sekarang. Dan bukankah kau mampu membedakan dengan penglihatan ilmumu antara yang semu dan yang tidak " "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Bukan ujud semu. Semula aku tidak begitu tertarik pada ujud itu. Aku kira sejenis batang pohon yang roboh yang dibayangi oleh dedaunan perdu. Tetapi ternyata ujudnya menjadi sangat menarik setelah kita menjadi semakin dekat.
" Tunggulah disini " berkata Raden Rangga.
" Raden akan kemana " " bertanya Glagah Putih.
" Aku akan melihat dari dekat. Mudah-mudahan kita tidak salah lihat. " jawab Raden Rangga.
Glagah Putih tidak dapat mencegahnya. Raden Ranggapun kemudian melangkah dengan hati-hati mendekatinya. Disibak-kannya batang-batang dan ranting-ranting perdu.
Beberapa langkah dari benda yang didekatinya. Raden Rangga berhenti. Iapun memberikan isyarat kepada Glagah Putih untuk mendekat.
Glagah Putihpun kemudian mendekatinya pula. Dengan wajah tegang iapun kemudian bergumam " Benarkah yang kita lihat " "
" Lihatlah kemari " panggil Raden Rangga.
Ketika Glagah Putih mendekat, maka iapun menarik nafas dalam-dalam Dibelakang segerumbul perdu yang lebat dan rimbun, didapatinya selingkar ular yang sangat besar. Ternyata sebagian dari tubuhnya yang menjelujur dengan bagian ekornya berada dibawah sebongkah padas, nampaknya dari jarak yang agak jauh bagaikan sepotong batang kayu yang sudah lumutan diantara rimbunnya semak-semak.
" Bukan main " desis Glagah Putih.
" Kau lihat kepalanya " " bertanya Raden Rangga.
Kepala ular itu berada dilingkaran sebagian dari tubuhnya. Namun nampaknya ular itu sedang tidur.
" Ya Itulah agaknya jawab dari pertanyaan Raden Rangga " berkata Glagah Putih. Raden Rangga mengangguk-angguk. Agaknya ular yang besar itulah yang telah menakut-nakuti orang yang ingin berburu. Seandainya ada orang yang mengetahui dipadang perdu sekitar gumuk Payung itu banyak rusa jenis kecil, merekapun tidak akan berani berburu ditempat itu. Agaknya demikian pula binatang buas yang lain.
Namun tiba-tiba Raden Rangga bertanya " Tetapi kenapa rusa-rusa kecil itu tidak ketakutan dan lari kepadang rumput yang lain dipinggir hutan itu " "
" Raden " berkata Glagah Putih " agaknya rusa-ruea kecil itu sudah mengenal sifat seekor ular raksasa. Ular itu hanya akan makan setelah ia menjadi lapar. Padahal ular itu jarang sekali merasa lapar. Mungkin empat lima bulan sekali baru ia makan. Nah, barangkali Raden dapat meng-ira-ira, bahwa dalam jangka waktu yang sekian, rusa ini sudah bertambah berapa saja. "
" Bukan kenapa tidak habis " jawab Raden Rangga " yang aku tanyakan kenapa tidak takut. "
" Itulah jawabnya " sahut Glagah Putih " rusa itu tidak perlu takut, karena ular itu jarang sekali bangun. Mungkin dalam beberapa bulan rusa itu mengalami ketakutan sekali disaat ular itu lapar. Itupun tidak lama, karena setelah ular itu menangkap seekor dari rusa itu, maka ia akan tidur lagi. "
Raden Rangga mengangguk-angguk. Tetapi katanya tiba-tiba. " Aku akan membunuhnya dan mengambil kulitnya. "
" Jangan Raden " jawab Glagah Putih " ular itu terlalu besar. Bahkan agaknya ular itu bukan sejenis ular sawah yang tidak berbisa. Aku tidak tahu jenis ular apa yang kita jumpai sekarang. "
" Nampaknya ular itu jenis ular air. Tetapi air belumbang itu terlalu kecil untuk berendam, sehingga ia lebih senang berada dibawah pepohonan " berkata Raden Rangga " lihat, tubuhnya yang licin dan berwarna hijau.
" Warna kemerahan dipunggungnya agak mencemaskan Raden " desis Glagah Putih.
" Kau menganggap bahwa ular itu berbisa tajam " "
sahut Raden Rangga. " Ya Raden " desis Glagah Putih " meskipun tidak setajam ular bandotan. "
Raden Rangga tersenyum. Katanya " Aku tidak takut seandainya ular itu memiliki bisa setajam ular bandotan. Bukankah ular itu baru tidur?" Aku dapat membunuhnya sebelum ular itu terbangun ".
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya " Apakah keuntungan Raden dengan membunuh ular itu"Radeh Rangga terdiam. Tetapi kemudian ia berdesis " Setiap kali ular itu akan makan seekor diantara rusa-rusa kecil itu. Jika ular itu mati, maka rusa-rusa itu tidak akan lagi berkurang seekorpun. "
" Tetapi akan datang bahaya yang lain " jawab Glagah Putih " mungkin seekor harimau lapar dari hutan sebelah. Mungkin sekelompok serigala, dan yang lebih rakus lagi dari binatang buas itu adalah para pemburu. Jika tidak ada yang ditakuti lagi, maka para pemburu, dari yang tua sampai yang anak-anak akan datang ke padang ini sambil membawa busur dan anak panah. Bahkan ada yang sekedar membawa jerat atau membuat perangkap dengan membuat lubang yang dalam. Dalam waktu yang dekat, maka rusa-rusa itu akan segera punah. "
Raden Rangga mengerutkan keningnya Namun kemudian iapun tersenyum Katanya " Kau benar Glagah Putih. Agaknya ular itu justru mengamankan rusa-rusa itu dari kepunahan. Setiap pemburu yang pernah melihat ular itu akan tidak berani lagi datang kemari. Bahkan kawan, - kawannya yang pernah mendapat ceriteranya, yang tentu akan tersebar. _
" Karena itu, marilah " berkata Glagah Putih " kita tinggalkan tempat ini ".
Raden Rangga mengangguk. Tetapi nampaknya masih ada sesuatu yang ingin dilakukan.
" Apa lagi Raden " " bertanya Glagah Putih.
" Aku ingin melihat ular itu bangun " berkata Raden Rangga.
" Pada saatnya ia akan bangun. Ular itu tentu baru saja makan dan kemudian tidur untuk beberapa lama.Biarlah ular tidak terganggu. Jika ular itu marah, mungkin Raden tidak akan menjadi ketakutan, atau jika terpaksa Raden dapat membunuhnya. Tetapi jika ular itu kemudian memasuki padukuhan yang dihuni orang " " berkata Glagah Putih.
Raden Rangga termangu-mangu. Tetapi akhirnya iapun menangguk-angguk. Katanya " Marilah. Sebenarnya ular itu akan dapat menjadi permainan yang menyenangkan.
" Raden memang aneh " berkata Glagah Putih " satu saat Raden bersikap sangat mapan dan memberikan petunjuk-petunjuk seperti seorang panembahan. Tetapi satu saat Raden benar-benar dihinggapi kenakalan anak-anak. namun anak-anak yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. "
" Ah " desah Raden Rangga. Namun tiba-tiba saja wajahnya menjadi muram. Katanya " Baiklah. Aku harus menempatkan diri. Waktuku tidak banyak lagi. "
Glagah Putih terkejut mendengar kata-kata Raden Rangga yang lebih banyak sebagai satu keluhan. Dengan nada dalam Glagah Putih berkata " Jangan berpikir terlalu jauh Raden. "
Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun Kemudian katanya " Marilah kita kembali ke Mataram. "
Keduanyapun kemudian meninggalkan ular yang sedang tidur dengan nyenyak itu. Namun sekali-sekali Raden Rangga nampaknya masih termangu-mangu. Ia harus menekan keinginannya bermain-main dengan ular besar itu.
Sebelumnya Raden Rangga jarang sekali nenekan keinginannya seperti itu. Apa yang tergerak dihatinya, dilakukannya. Namun pada saat-saat terakhir, ia mulai berusaha untuk mengekang keinginan-keinginan yang bergelonjak itu, meskipun kadang-kadang terloncat pula langkahnya yang lepas dari kekangan itu.
Ketika mereka kemudian lepas dari padang perdu dan melintasi padang rumput yang agak luas diseling oleh semaksemak dan ilalang mereka mendekati sebuah jalan kecil setapak. Menyusuri jalan itu mereka sampai kejalan yang lebih besar menuju sebuah padukuhan.
" Jalan ini menuju ke pasar " berkata Raden Rangga " aku melalui jalan ini pergi kepasar untuk membeli pisang. "
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Sementara itu Raden Ranggapun berkata " Nah, bukankah kau merasa lapar" Tanpa makan lebih dahulu, maka perjalanan kita akan menjadi sangat lambat. "
" Aku merasa segar " desis Glagah Putih " bukankah aku sudah makan pisang dan cukup beristirahat" "
" Jika demikian akulah yang merasa lapar. Aku yang tidak sedang menjalani laku, harus hanya sekedar makan pisang selama tiga hari " berkata Raden Rangga.
" Jika demikian terserah kepada Raden " berkata Glagah Putih.
" Marilah, kita akan singgah di pasar itu sejenak. Pasar kecil, tetapi ada juga orang berjualan nasi " berkata Raden Rangga. Lalu " Tetapi ingat, jangan panggil namaku. "
" Jadi bagaimana aku harus memanggil " " bertanya Glagah Putih.
" Panggil aku kakang " jawab Raden Rangga.
" Siapakah yang lebih tua diantara kita " " tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya.
" O " Raden Ranggapun tertawa " aku tidak tahu, kenapa aku merasa lebih tua daripadamu. "
" Raden kadang-kadang memang bersikap jauh lebih dewasa dari ujud Raden " berkata Glagah Putih " tetapi kadang-kadang memang bersikap seperti kanak-kanak "
Raden Rangga masih tertawa. Lalu katanya " Baiklah. Panggil aku tole saja.Bukankah kau nampak lebih tua dari aku"
Glagah Putihpun tertawa pula. Katanya " Rasa-rasanya lidahkulah yang tidak dapat mengucapkan. Tole adalah panggilan buat anak-anak yang sering mengembala sapi atau anak-anak yang menyabit rumput di padang. "
" Tetapi juga bagi saudara muda laki-laki " sahut Raden Rangga.
Glagah Putih menarik nafas. Lalu katanya " Raden, apakah ada orang yang percaya jika aku menyebut Raden sebagai adikku. Kulitku terlalu hitam dibandingkan dengan Raden. "
Raden Rangga tertawa. Katanya " apakah warna kulit dapat menjadi pertanda apakah dua orang bersaudara atau tidak" "
Glagah Putih tersenyum Tetapi iapun kemudian berkata " Baiklah. Aku akan memenuhi perintah Raden. Tetapi bukankah dengan demikian aku tidak akan kena kutuk" "
" Jika kau kena kutuk, kau akan berjalan terbalik. Kepalamu ada dibawah dan kakimu ada diatas. " jawab Raden Rangga. Namun katanya kemudian " Tetapi dengan demikian, kau akan mendapat uang banyak. Kau akan dapat menyelenggarakan pertunjukan yang menarik dengan caramu berjalan.
Glagah Putih masih saja tersenyum. Namun ia masih berdiam diri.
Sementara itu, mereka berjalan semakin mendekati sebuah pasar sebagaimana dikatakan oleh Raden Rangga. Pasar yang tidak terlalu besar. Tetapi didalamnya terdapat sebuah kedai kecil yang menjual makanan dan minuman.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Glagah Putih memang merasa lapar. Karena itu, maka iapun merasa kebetulan bahwa Raden Rangga benar-benar mengajaknya singgah di kedai itu.
Kedai itu memang hanya sebuah kedai yang kecil. Itulah sebabnya maka tempat duduknyapun hanya terdiri dari dua buah lincak bambu wulung yang tidak terlalu panjang.
Glagah Putih dan Raden Rangga duduk disalah satu
dari kedua lincak itu. Keduanyapun kemudian memesan minuman dan dua pincuk nasi.
Ketika keduanya sedang menunggu, maka datanglah ampat orang laki-laki yang bertubuh tegap, berwajah kasar dan keempatnya menyandang golok dilambung. Golok yang tidak terlalu panjang, tetapi cukup besar.
Glagah Putih mengerutkan keningnya melihat sikap keempat orang itu. Sementara itu, Raden Ranggapun hanya memandangi mereka sekilas. Lalu perhatiannya tertuju lagi kepada penjual nasi yang sedang menyenduk nasi baginya dan bagi Glagah Putih
Kedua anak muda itu tiba-tiba terkejut ketika dua orang diantara keempat orang bertubuh tegap itu membentak " Pergi monyet kecil. "
Raden Rangga berpaling kearah kedua orang itu, sementara dua orang lainnya telah duduk di lincak yang sebuah. Kedua orang yang telah duduk itu tanpa menghiraukan kawannya telah memungut beberapa jenis makanan dan mengunyahnya dengan lahapnya.
Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Ia tahu benar sifat Raden Rangga. Namun adalah diluar dugaannya, bahwa tiba-tiba saja Raden Rangga telah bangkit berdiri dan bergeser sambil bergumam " Kita pindah saja kakang.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang kearah penjual nasi. Namun agaknya penjual itupun menjadi ketakutan. Karena itu maka ia tidak dapat mencegahnya. Yang dapat dilakukannya hanyalah sekedar mendorong dua buah dingklik kecil dari kayu kepada kedua anak muda itu " Duduklah disini. Pagi-pagi jika pembeliku berkerumun banyak, mereka juga duduk di dingklik-ding-klik kecil ini. "
Raden Rangga nampaknya tidak berkeberatan sama sekali. Iapun kemudian duduk di sebuah dingklik, sementara Glagah Putihpun melakukannya pula. Ternyata bahwa penjual nasi itu memang mempunyai persediaan beberapa buah dingklik kayu.
Ketika Raden Rangga dan Glagah Putih telah berpindah tempat, maka kedua orang itupun duduk pula diatas lincak bambu. Seperti kawan-kawannya merekapun kemudian mengambil beberapa jenis makanan dan sekaligus memesan minuman.
Tetapi karena penjual itu sudah terlanjur menyenduk nasi untuk Glagah Putih dan Raden Rangga, maka nasi itupun kemudian diserahkannya kepada kedua anak muda yang duduk diatas dingklik kayu itu.
Namun agaknya hal itu membuat orang-orang yang kasar itu tidak senang. Karena itu, seorang diantaranya berkata " He, bukankah aku juga lapar. "
Penjual nasi itu sama sekali tidak menjawab. Ia sudah banyak mengenali sifat dan kebiasaan orang-orang yang silih berganti membeli nasi di kedainya. Jenis keempat orang itu telah dikenalnya. Mereka tentu kasar yang menakutkan.
Karena itu, maka ia lebih baik diam, namun kemudian dilayani saja dengan sebaik-baiknya sebagaimana mereka kehendaki.
Tetapi kedua pincuk nasi itu tetap diserahkannya kepada Glagah Putih dan Raden Rangga.
" He, kau tuli" " teriak salah seorang diantara keempat orang itu " aku juga lapar. Aku perlu nasi segera.
" Ya, ya Ki Sanak " penjual itu mulai gagap " nasi itu terlalu sedikit untuk Ki Sanak. Pincuk itu terlalu kecil. Tetapi kedua anak-anak itu memang tidak mempunyai uang cukup untuk membeli nasi yang lebih banyak dan dengan lauk yang lebih baik. "
Keempat orang kasar itu tidak menyahut. Namun ketika mereka melihat Glagah Putih dan Raden Rangga menerima pincuknya, maka tiba-tiba salah seorang dari keempat orang itu telah melemparkan sepotong wajik klethik ke nasi Raden Rangga.
Raden Rangga melihat tangan yang bergerak itu. Ketajaman penglihatannyapun melihat bahwa orang itu tidak melemparkan sepotong makanan itu dengan wajar. Karena itu, maka Raden Rangga tidak mau kehilangan nasinya. Iapun telah menerima sepotong makanan itu dengan tenaga cadangannya.
Tangan Raden Rangga merasa tekanan yang sangat besar. Untunglah bahwa ia telah mempergunakan tenaga cadangannya, sehingga ia masih mampu mengatasi desakan wajik yang dilemparkan oleh orang itu dengan lambaran ilmunya. Agaknya orang itu ingin membuat kawan-kawannya tertawa jika mereka melihat nasi anak-anak muda itu telah ditumpahkannya.
Tetapi yang terjadi adalah lain. Ketika wajik itu mengenai pincuk yang berisi nasi ditangan Raden Rangga, maka Raden Rangga telah membangkitkan tenaga cadangannya. Karena itu, wajik itupun telah jatuh didalam pincuk tanpa menimbulkn persoalan.
Orang yang melemparkan wajik itu terkejut. Nasi ditangan Raden Rangga sama sekali tidak tumpah. Bahkan daun tempat nasi itupun sama sekali tidak dapat dikoyakkannya.
Karena itu, maka orang itupun segera mengetahui, bahwa anak muda itu bukan anak muda kebanyakan. Kekuatannya yang dilambari dengan tenaga cadangannya itu sama sekali tidak mampu menggoyahkan tempat nasi ditangan anak muda itu. Meskipun kekuatan yang dipergunakan belum seluruh kemampuan yang ada padanya, tetapi bahwa kekuatan itu nampaknya sama sekali tidak berpengaruh, adalah sangat mengejutkannya.
Namun orang itu sama sekali tidak menunjukkan gejolak perasaannya. Ia seakan-akan tidak mengalami sesuatu yang telah menyentuh perasaannya.
Namun Raden Rangga menyadari, bahwa orang itu tentu tidak akan berdiam diri. Orang itu tentu akan melakukan sesuatu lagi untuk mencobanya atau mungkin Glagah Putih.
Karena itu, maka Raden Rangga itupun telah memberikanisyarat kepada Glagah Putih. Ia mengedipkan matanya sambil menunjuk wajik yang dilemparkan oleh orang bertubuh tegap itu diluar pengetahuan orang yang melemparkannya.
Semula Glagah Putih tidak mengerti maksud Raden Rangga. Namun Raden Rangga itupun berdesis " Hati-hati. "
Ternyata meskipun tidak jelas, orang yang melemparkan makanan ke tempat nasi Raden Rangga itu mendengarnya juga Karena itu, maka iapun mengerti, bahwa salah seorang diantara kedua anak muda itu telah memberikan isyarat kepada yang lain.
" Gila " geram orang itu didalam hatinya. Karena itulah maka orang itu telah ingin mencobanya sekali lagi.
Dengan kekuatan yang lebih besar, maka iapun telah melemparkan sepotong makanan ke tempat nasi, bukan Raden Rangga, tetapi Glagah Putih.
Namun Glagah Putih yang telah mendapat peringatan dari Raden Rangga, telah menjadi lebih berhati-hati. Ketika ia melihat sesuatu meluncur ketempat nasinya, maka iapun telah bersiap untuk menerimanya.
Glagah Putih memang terkejut mengalami tekanan yang sangat berat. Tetapi untungiah bahwa ia masih mampu mengatasinya sehingga seperti yang terjadi atas Raden Rangga, maka nasinya sama sekali tidak menjadi tumpah karenanya.
Bahkan dengan nada yang memelas Glagah Putih berkata " Terima kasih Ki Sanak. "
Wajah orang itu menjadi merah. Ia benar-benar yakin, bahwa kedua orang anak muda itu bukan anak-anak muda kebanyakan yang gemetar ketika dibentaknya untuk berpindah tempat.
Karena itu, maka iapun tiba-tiba telah bangkit berdiri sambil membentak " He, monyet-monyet kecil. Siapakah kalian"
Kawan-kawan orang itu terkejut melihat sikapnya Bahkan seorang diantara ketiga kawannya itu berkata " Apa yang kau lakukan" " Kenapa kau perhatikan monyet-monyet kecil itu"
" Setan alas " geram orang yang bangkit itu " kalian telah berusaha memamerkan kekuatan kalian he" "
Kawan-kawannya menjadi semakin heran. Apalagi ketika kawannya yang marah itu membentak " Berdirilah Kalian berdua tidak usah duduk di dingklik kecil dan berpura-pura ketakutan. Kalian agaknya dengan sengaja telah menantang aku he" " He " seorang kawannya mendekatinya " apakah kau mengigau" "
" Tidak, kedua tikus ini telah menghina aku - jawabnya dengan nada marah.
" Apa yang telah dilakukannya" " bertanya kawannya.
" Keduanya berani menolak pemberianku " jawab orang
itu. " Bukankah anak itu mengucapkan terima kasih atas pemberianmu itu" " bertanya kawannya pula.
" Kaupun telah menjadi dungu " bentak orang itu " ia mampu mempertahankan tempat nasinya. "
Barulah kawannya mengerti maksudnya. Karena itu, maka iapun mengangguk-angguk. Katanya " Aku mengerti sekarang. Jadi kedua anak ini telah berani memamerkan kemampuannya kepadamu" "
" Ya " jawab orang yang marah itu.
Kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya " Sebaiknya kau tidak usah berteriak-teriak begitu. Kau pukul saja kepalanya. Jika kepalanya itu tidak retak, maka kau sebaiknya mengaku kalah saja. "
Orang yang marah itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia memang melangkah mendekat. Dengan kakinya orang itu telah menyerang Glagah Putih yang masih saja makan, seolah-olah ia tidak mendengar bentakan-bentakan orang yang sedang marah. Namun sebenarnyalah dengan makan serba sedikit Glagah Putih memang ingin memulihkan kekuatannya sepenuhnya setelah beberapa hari ia tidak makan selain beberapa buah pisang yang diberikan oleh Raden Rangga.
Orang itu menjadi semakin terkejut. Ternyata kakinya sama sekali tidak menyentuh anak muda itu. Namun sikap Glagah Putih memang sangat menyakitkan hati Setelah beberapa lama ia bergaul dengan Raden Rangga, maka agaknya Glagah Putih itupun telah melakukan permainan yang justru membuat orang yang marah itu semakin marah.
Ternyata bahwa Glagah Putih telah meloncat menghindar. Tetapi ia masih tetap berjongkok sambil menyuapi mulutnya dengan nasinya.
Kemarahan orang itu tidak dapat ditahankannya lagi. Dengan serta merta iapun telah meloncat memburu Glagah Putih dan sekaligus menyerangnya dengan garang.
Glagah Putih tidak dapat bermain-main terus. Menghadapi orang yang marah itu Glagah Putih memang harus berdiri. Dengan satu loncatan panjang maka iapun telah mengambil jarak. Namun sesuap nasi masih sempat ditelannya.
" Setan alas " geram orang itu. Sekali lagi orang itu meloncat menyerang dengan garangnya.
Tetapi Glagah Putihpun ternyata telah bersiap. Justru pada saat orang itu meloncat menyerang, maka pengaruh sifat-sifat Raden Rangga telah muncul lagi pada Glagah Putih. Dengan tangkas ia menghindar, dan bahkan dengan cepatnya, diluar duga
an orang yang menyerang itu, Glagah Putih telah melontarkan tempat nasinya, justru tepat mengenai wajah orang yang menyerangnya.
" O " Raden Rangga berteriak. Anak itu menjadi kegirangan sehingga dengan serta merta iapun telah meloncat berdiri dan justru berlari mendekat sambil membawa nasinya
yang masih belum dihabiskannya.
Orang yang dikenai wajahnya oleh Glagah Putih itu rasa-rasanya jantungnya akan pecah oleh kemarahan yang tidak tertahankan lagi. Apalagi ketika ia melihat anak muda yang seorang lagi menjadi sangat kegirangan melihat wajahnya. Sambil menggeretakkan giginya, maka orang itupun telah meloncat justru menyerang Raden Rangga.
08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi ternyata ketajaman panggraita Raden Rangga telah memperingatkannya. Demikian orang itu menyerang, maka Raden Ranggapun telah menunggu dengan hampir tidak sabar. Sekali lagi tempat nasi anak muda itu telah tertimpuk kewajah nya.
" Anak demit " orang itu berteriak. Kemarahannya benar-benar akan memecahkan dadanya. Karena itu, maka tanpa berpikir panjang telah menarik goloknya yang besar meskipun tidak terlalu panjang.
Ketiga orang kawannya menyaksikan kejadian itu dengan jantung yang terguncang. Ada keinginan mereka untuk mentertawakan kawannya. Tetapi ternyata merekapun telah merasa tersinggung pula oleh tingkah laku kedua orang anak muda itu.
Karena itu, maka ketiganyapun tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika kawannya telah mencabut goloknya, maka ketiga orang itupun telah mencabut goloknya pula.
" Jaga mereka agar tidak melarikan diri " teriak orang yang marah sekali itu " aku sendiri akan membunuh mereka berdua. "
Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa Raden Rangga dan Glagah Putih.
Kemarahan telah membakar jantung keempat orang bertubuh tegap dan bertingkah laku kasar itu. Apalagi mereka telah memegang golok ditangan mereka.
Yang menjadi ketakutan adalah penjual nasi itu. Ia menjadi gemetar dan tubuhnya seakan-akan tidak mau lagi digerakkannya. Bahkan yang menjadi gempar adalah seluruh pasar yang memang tidak begitu besar itu. Beberapa orang telah berlari-larian cerai berai tanpa tujuan.
Tiga orang kawan dari orang yang wajahnya dikotori oleh Glagah Putih dan Raden Rangga itu tidak mau membiarkan seorang kawannya bertempur melawan keduanya. Merekapun ingin ikut mencincang anak-anak yang menurut penilaian mereka benar-benar pantas untuk dicincang ditengah-tengah pasar itu.
Tetapi ternyata kemudian, bahwa tidak mudah untuk melakukannya. Kedua anak muda itu ternyata telah melenting meninggalkan kedai itu dan mengambil tempat yang agak luas.
" Kita bermain disini Ki Sanak " ajak Raden Rangga. Keempat orang itupun telah berlari memburu dengan
golok teracu. Sementara Raden Rangga telah tertawa lagi.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih tiba-tiba telah men-jadi cemas. Karena itu, maka iapun telah berbisik " Raden, bukankah Raden tidak akan membunuh lagi" "
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Lalu katanya " Kau yang membuat persoalan. "
" Kenapa aku" " bertanya Glagah Putih.
" Kaulah yang lebih dahulu menipuk wajah orang itu dengan nasimu " jawab Raden Rangga.
" Ya. " desis Glagah Putih " tetapi aku tidak ingin membunuh. "
" Bagaimana jika justru kaulah yang dibunuh" " bertanya Raden Rangga.
" Jika itu yang harus terjadi, apa boleh buat " jawab Glagah Putih.
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun jawabnya " Bagiku, lebih baik membunuh jika harus dibunuh. "
GLAGAH Putih tidak dapat berbuat sesuatu jika Raden Rangga memang ingin melakukannya. Tetapi ia masih mencoba memperingatkannya, "Apakah Raden lupa kepada pesan ayahanda?" Kedua anak muda itu tidak sempat berbicara lebih lama lagi. Keempat orang itu telah melangkah mendekati seperti seseorang yang sedang merunduk kelinci. Suara tertawa Raden Ranggalah yang meledak. Katanya, "Kenapa kalian merangkak setapak demi setapak. Meloncat sajalah dan menusukkan golok kalian kearah dada kami." "Persetan." geram orang yang sedang marah itu. Beberapa saat kemudian keempat orang itu menebar dan mengepung Glagah Putih dan Raden Rangga. Sementara itu Raden Rangga masih sempat bertanya, "Bagaimana dengan tubuhmu" Apakah kau sudah mendapatkan kesegarannya kembali?" "Meskipun belum sepenuhnya, namun rasa-rasanya aku sudah siap." jawab Glagah Putih. "Bukankah kau sempat menyuapi mulutmu?" bertanya Raden Rangga pula. "Ya. Nasiku hampir habis." jawab Glagah Putih. Raden Rangga tidak bertanya lagi. Dua buah pisang sebelumnya telah dimakan oleh Glagah Putih. Karena itu, maka agaknya tubuhnya tidak akan banyak mengganggunya lagi, setelah ia beristirahat dan makan barang sedikit serta minum minuman hangat. Demikianlah, maka keempat orang yang mengepung kedua anak muda itupun raenjadi semakin rapat. Golok merekapun telah teracu sementara orang yang merasa terhina itu meng-geram, "Sebutlah nama ayah ibumu untuk yang terakhir. Sebentar lagi kalian akan dicincang dan bangkaimu akan menjadi makanan anjing liar di pasar ini." Glagah Putih memandang wajah Raden Rangga sekilas. Ia melihat wajah anak muda itu cerah. Karena itu, Glagah Putih berharap bahwa Raden Rangga tidak menjadi marah dan kehilangan pengendalian diri. Dengan demikian maka Raden Rangga itu tidak akan membunuh lawannya. Sementara itu Raden Rangga ternyata masih sempat bertanya, "Ki Sanak. Siapakah sebenarnya kalian dan kenapa kalian mencoba mengganggu kami yang sedang makan?" "Anak demit." geram orang yang marah karena wajahnya menjadi kotor, "Kau tidak usah bertanya tentang kami. Menyerahlah agar kami tidak memperlakukan kalian seperti anjing kurapan." Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Jika mereka sempat berbicara panjang, maka Raden Rangga akan dapat menjadi marah dan membunuh mereka. Karena itu, maka Glagah Putih telah bergeser maju untuk memancing perkelahian. Sebenarnyalah, Glagah Putih berhasil menggelitik salah seorang diantara mereka. Dengan serta merta orang itu meloncat menyerang Glagah Putih dengan goloknya. Namun Glagah Putih sempat mengelak dengan suatu loncatan kecil. Tetapi pada saat itu orang yang lain telah menyerangnya pula dengan garangnya. Sekali lagi Glagah Putih terpaksa meloncat. Serangan kedua orang itu sama sekali tidak mengenainya. Sementara itu, dua orang yang lain lagi telah menyerang Raden Rangga itu. Tetapi Raden Rangga ternyata mempunyai sikap yang lain dari sikap Glagah Putih. Jika Glagah Putih masih juga menghindari serangan-serangan kedua lawannya, maka Raden Rangga tiba-tiba saja telah menghindar sekaligus menyerang. Hanya masing-masing sekali ia menyentuh kedua lawannya. Namun kedua lawannya itu telah terbanting jatuh dan mengerang kesakitan. Punggung mereka terasa telah patah, sehingga tidak segera dapat bangkit kembali. Demikian cepatnya Raden Rangga menyelesaikan perkelahian itu. Sementara Glagah Putih masih saja melingkar-lingkar menghindari serangan yang datang susul menyusul. "Cepat." geram Raden Rangga, "kau belum mempergunakan segenap kemampuanmu. Satu kesempatan untuk mencoba, apakah yang kau lakukan itu berpengaruh atau tidak." Glagah Putih termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja memang timbul satu keinginan untuk berbuat sesuatu, yang mungkin dapat dipergunakannya untuk mengetahui, apakah memang terjadi perubahan pada dirinya. Karena itulah, maka Glagah Putih telah mengerahkan tenaga yang ada di dalam dirinya. Tetapi ia tidak ingin kehi"langan kekang dan dengan tidak sengaja membunuh lawan"nya. Karena itu, maka lambaran kekuatannya tidak diper"gunakannya untuk memukul lawannya, tetapi sekedar dipergunakannya untuk mendorong kecepatannya bergerak. Sebenarnyalah Glagah Putih terkejut. Ternyata ia mampu melepaskan kekuatan yang sangat besar. Kece"patannya bergerakpun telah meningkat berlipat. Karena itulah, maka kedua lawannya telah menjadi bingung. Tanpa dapat melawan, maka serangan Glagah Putihpun telah mengenai mereka dipunggung, sehingga keduanya telah terdorong dan terbanting jatuh pula tertelungkup. Adalah tidak sengaja bahwa kedua orang itu wajahnya telah penuh dengan debu yang melekat bahkan segumpal tanah telah masuk kedalam mulut mereka. Keduanya berusaha untuk dengan cepat melenting bangun. Tetapi keduanya telah menyeringai kesakitan. Punggung merekapun merasa sakit seperti kedua orang kawannya yang melawan Raden Rangga. Ternyata keempat orang itu tidak mampu untuk segera bangkit. Golok mereka telah melenting terlepas dari tangan. "Nah." berkata Raden Rangga, "apakah kau merasakan perbedaan itu?" "Ya. Memang ada perubahan." jawab Glagah Putih. "Nah, sekarang kita tinggal mencekik mereka seorang demi seorang." berkata Raden Rangga. "Jangan." tiba-tiba salah seorang diantara mereka memohon, "kami mohon ampun." "Siapa yang memohon?" bertanya Raden Rangga. "Kami, semuanya." jawab orang itu. Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Glagah Putih yang juga menjadi gelisah. Katanya, "Bagaimana pendapatmu" Berapa orang diantara mereka yang akan dibunuh dan berapa yang akan diampuni?" "Kamii semuanya memohon ampun." hampir ber-bareng mereka berempat telah memohon. Raden Rangga tertawa. Katanya, "Menarik sekali melihat ampat orang laki-laki garang mohon ampun dengan hampir menangis." Keempat orang itu terdiam. Tetapi mereka menjadi semakin berdebar-debar melihat tingkah laku anak-anak muda yang nampaknya meledak ledak menurut keinginannya sesaat. Karena itu, maka kemungkinan yang paling buruk itupun dapat terjadi dengan tiba-tiba jika terjadi perubahan-perubahan sikap dari mereka. Namun tiba-tiba saja Raden Rangga itu membentak, "Siapa kalian he?" Tidak seorangpun yang menjawab. Namun sekali lagi Raden Rangga membentak, "Siapakah kalian" Jika tidak ada yang menjawab, maka kami menentukan bahwa kalian adalah penjahat-penjahat yang pantas dicincang di pasar ini. Biar bangkai kalian dimakan anjing liar seperti yang ingin kalian lakukan atas kami." "Kami mohon ampun." desis yang tertua diantara mereka, "Kami benar-benar mohon ampun." "Jika demikian, sebut, siapakah kalian." bentak Raden Rangga, "Jika kalian tidak mau mengatakannya, maka kalian benar-benar akan mati disini." Yang terdengar adalah desah nafas. Tetapi mereka tidak akan dapat mengelakkan diri untuk menjawab pertahyaan Raden Rangga itu. Karena itu, maka ketika Raden Rangga sekali lagi memben"tak mereka, maka seorang diantara mereka menjawab, "Anak-anak muda yang baik. Aku kira, tidak ada gunanya kami berbohong. Kami memang orang-orang yang dianggap hidup dalam lingkungan yang hitam. Kami adalah orang-orang yang disebut gegedug dari Tempuran." Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berdesis "Jadi kalianlah yang disebut Ampat orang gegedug dari Tempuran itu" Memang sangat menarik. Tetapi aku tidak mengira bahwa gegedug dari Tempuran itu tidak lebih dari laki-laki cengeng seperti ini." Keempat orang itu tidak menjawab sama sekali. Mereka benar-benar merasa tidak akan mampu berbuat apa-apa atas kedua orang anak muda yang perkasa itu. "Baiklah." berkata Raden Rangga, "setelah aku mengetahui siapakah kalian, maka aku akan dapat mengikuti perkembangan cara hidup kalian. Apakah kalian masih akan tetap berkeliaran seperti sekarang atau tidak." "Kami berjanji untuk tidak melakukannya lagi." jawab salah seorang diantara mereka. "Meskipun aku tidak yakin bahwa janji yang diucapkan oleh orang seperti kau ini dapat dipercaya sepenuhnya, tetapi kali ini aku memang akan membiarkan kalian untuk hidup." berkata Raden Rangga, "karena bagiku tidak akan menemui kesulitan untuk menelusuri tingkah laku kalian. Kecuali aku selalu berkeliaran, akupun mempunyai seribu pasang mata un"tuk mengawasi kalian kemanapun kalian melakukan kejahatan." Raden Rangga berhenti sejenak, lalu, "Nah, aku akan menghidupi kalian. Tetapi aku minta imbalan." "Imbalan apa yang kalian maksud?" bertanya salah seo"rang diantara keempat orang itu. "Kalian harus menjaga lingkungan disekitar gumuk kecil yang ditumbuhi pohon raksasa itu." berkata Raden Rangga. Wajah orang-orang itu menjadi pucat. Seorang diantara mereka bertanya, "Apakah maksud Ki Sanak?" "Kalian harus menjaga, agar lingkungan itu tidak berubah. Tidak boleh seorangpun yang berburu disana atau sekelompok orang yang akan merubah lingkungan itu." berkata Raden Rangga. Orang tertua diantara keempat orang gegedug itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Anak muda. Tidak akan ada orang yang berani merubah lingkungan itu. Juga tidak akan ada orang yang berani berburu di dalamnya." "Kenapa?" bertanya Raden Rangga. "Ditempat itu, terdapat seekor ular raksasa yang menungguinya. Seorang petani yang pernah melihat dan mengejar seekor rusa telah hilang dan tidak pernah kembali. Seorang gembala juga pernah hilang bersama beberapa ekor kambingnya. Setelah itu, tidak ada yang berani memasuki lingkungan itu. Baru kemudian diketahui bahwa dilingkungan itu terdapat penunggunya, seekor ular raksasa." jawab gegedug itu. Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Bagus jika kalian dan banyak orang sudah mengetahui tentang seekor ular raksasa yang ada di lingkungan Gumuk kocil yang menurut pendengaranku bernama Gumuk Payung. Karena dengan demikian, maka lingkungan itu untuk sementara tentu tidak akan berubah." "Ya. Gumuk itu memang bernama Gumuk Payung." jawab salah seorang dari keempat orang itu, "selain seekor ular raksasa di Gumuk itupun terdapat banyak lelembut yang menungguinya." Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun katanya, "Tetapi ular itulah yang dapat dilihat dengan mata wadag. Nah, jika demikian agaknya akan lebih baik. Tetapi menjadi tugas ka"lian untuk memtelihara lingkungan itu. Ular itu tidak boleh pergi dan rusa itu tidak boleh berkurang satupun." "Tetapi rumah kami tidak terlalu dekat dengan Gumuk itu. Kami tinggal di Tempuran." jawab seorang diantara mereka. "Aku tahu dimana letak Tempuran." bentak Raden Rangga. "Tempuran tidak begitu jauh dari tempat ini. Apalagi kalian nampaknya memang sering berkeliaran disini seperti sekarang ini." Orang itu masih akan menjawab. Tetapi kawannya menggamitnya sambil berkata, "Kami akan melakukan sejauh jangkauan kemampuan kami." "Kalian harus melakukannya sebaik-baiknya." berkata Raden Rangga, "atau kami akan datang untuk memenggal kepalamu atau mengikatmu di lingkungan Gumuk Payung sehingga kalian akan menjadi mangsa ular raksasa itu." "Kami akan berusaha anak muda." jawab orang tertua diantara keempat orang itu. Namun kemudian iapun bertanya, "Tetapi siapakah sebenarnya anak muda ini?" "Tidak ada orang yang mengetahui tentang kami berdua." jawab Raden Rangga, "siapa yang mengetahui tentang kami dan mengenali kami adalah pertanda bahwa hidupnya sudah sampai keujungnya. Nah, siapakah diantara kalian yang begitu mendesak ingin tahu siapakah kami berdua?" Keempat orang itu terdiam. "Nah, sekarang bangkitlah dan berdirilah. Ambil golok kalian yang jatuh dan berjalanlah dengan kepala tengadah. Tetapi jika kalian masih mengulangi tingkali laku kalian, maka kalian tentu akan sangat menyesal. Juga jika kalian tidak mau memenuhi permintaan kami, mengawasi lingkungan Gumuk Payung itu." berkata Raden Rangga kemudian. Keempat orang itu memang berusaha untuk bangkit. Namun mereka memandang berkeliling, apakah banyak orang menyaksikan keadaan mereka atau tidak. "Kalian tidak usah malu seandainya ada orang yang melihat keadaan kalian." berkata Raden Rangga, "kalian harus mengakui apa yang memang pernah terjadi atas kalian dan apa yang harus kalian lakukan." Keempat orang itu tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah mereka merasa malu jika orang-orang dipasar itu me"lihat keadaan mereka. Tetapi keempat orang itu tidak dapat berbuat apa-apa dihadapan kedua anak muda yang menurut mereka adalah anak-anak muda yang aneh. Terutama yang lebih muda diantara keduanya. "Nah, sekarang kami akan pergi." berkata Raden Rangga, "sekali-kali aku pesankan. Jaga agar ular itu tidak pergi." "Bagaimana mungkin dapat kami lakukan." jawab salah seorang diantara keempat orang itu, "tetapi kami akan berusaha." "Jika tidak ada gangguan yang memasuki lingkungan itu, maka ular itu tentu tidak akan pergi." jawab Raden Rangga. Keempat orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka tidak dapat ingkar dan mengelak. "Sudahlah." berkata Raden Rangga, "kami akan meninggalkan tempat ini. Pada saat lain kami akan berada disini lagi. Atau dimana saja yang kami kehendaki. Jangan merasa lepas dari pengawasan kami." Raden Rangga tidak menunggu jawaban. Iapun kemu"dian memberikan isyarat kepadu Gluguh Putih untu meninggalkan tempat itu. Namun keduanya masih sempat untuk singgah diwarung tempat mereka singgah dan membeli minuman dan makanan. Raden Rangga dan Glagah Putih dengan tenang telah menghitung harga minuman dan makanan yang telah mere"ka pesan. Bahkan yang aneh bagi pemilik kedai itu, yang juga membuat keempat orang Gegedug dari Tempuran itu tidak mengerti, bahwa makanan dan minuman yang telah mereka pesanpun telah dibayar pula oleh anak muda yang aneh itu. "Mereka mempunyai banyak uang." berkata salah seorang gegedug itu. Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan nada datar seorang diantara mereka berkata, "Apakah kita akan merampoknya?" Ketiga orang kawannya sempat tersenyum, betapapun pedihnya. Yang tertua diantara mereka berkata, "Kita te"lah membentur batu karang. Dan sejak saat itu, nama Gege"dug dari Tempuran sudah harus dihapuskan jika kita masih ingin mempunyai umur yang lebih panjang." Orang yang pertama itupun mengangguk-angguk. Ka"Tanya, "kebesaran nama itu sudah tamat. Anak-anak kecil itu agaknya memang anak-anak demit penunggu Gumuk Payung. Mereka tentu bukan anak-anak sewajarnya. Atau bahkan mereka adalah anak-anak ular yang menunggui ara-ara perdu itu." "Siapapun mereka, kita tidak dapat berbuat apa-apa." desis yang tertua diantara keempat orang itu. Keempat orang itupun kemudian hanya dapat menyaksikan langkah-langkah kedua orang anak muda yang meninggalkan penjual nasi di kedai itu. Kedua anak muda itu sama sekali tidak berpaling kearah mereka. Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putih setelah membayar harga makanan dan minuman yang telah mereka pesan dan bahkan juga yang telah dipesan oleh Gegedug dari Tempuran itu, telah meninggalkan pasar menjadi lengang karena orang-orang yang ada dipasar itu telah berlari-lariari pergi. Keempat orang yang telah dikalahkan oleh Raden Rangga dan Glagah Putih itupun kemudian telah meninggalkan pasar itu pula. Tetapi mereka tidak lagi berjalan dengan kepala tengadah. Meskipun mereka masih membawa golok dilambung, namun mereka merasa bahwa mereka tidak akan dapat lagi melakukan sebagaimana sering mereka lakukan sebelumnya. Glagah Putih berjalan bersama Raden Rangga dengan langkah yang tidak terlalu cepat, menyusuri jalan yang lengang menjauhi pasar yang sudah sepi pula. Namun keduanya mengerti bahwa beberapa orang laki-laki telah menuju ke pasar itu pula. Agaknya mereka mendengar tentang apa yang telah terjadi. Tetapi mereka tidak ingin terlibat langsung, karena persoalannya menyangkut ampat orang yang dikenal oleh beberapa orang bahwa mereka adalah Ampat orang Gegedug dari Tem"puran. Tetapi ketika mereka telah sampai kepasar ternyata pasar itu benar-benar telah menjadi sepi. Gegedug itupun telah meninggalkan pasar itu pula. Yang dilakukan oleh orang-orang padukuhan itu adalah mengamankan barang-barang dan dagangan yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Namun satu-satu pemilik itupun telah kembali lagi untuk mengurus barang-barang. Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putih telah berjalan semakin jauh. Matahari yang semakin panas rasa-rasanya telah meluncur terlalu cepat. "Apakah kau merasa letih." bertanya Raden Rangga. "Tidak Raden." jawab Glagah Putih, "aku merasa cukup segar." "Syukurlah." berkata Raden Rangga kemudian, "kau baru saja menyelesaikan laku yang berat. Kemudian menyelesaikan persoalan orang-orang Tumpurun Itu." "Tetapi tubuhku sama sekali tidak merasa terganggu setelah aku beristirahat sejenak dan makan secukupnya pagi ini." jawab Glagah Putih. Namun kemudian katanya, "Tetapi yang terpikir olehku, mungkin kakang Agung Sedayu menjadi cemas." Raden Rangga tersenyum. Katanya, "Kau bukan anak-anak yang masih harus disusui. Kau harus mencoba untuk dapat menentukan sikapmu sendiri." "Aku mengerti Raden." jawab Glagah Putih, "tetapi bukankah wajar jika kakang Agung Sedayu menjadi gelisah, karena seharusnya aku sudah kembali tetapi ternyata belum." "Kau menyesal?" bertanya Raden Rangga. "Bukan maksudku mengatakan demikian." jawab Glagah Putih, "aku hanya mengatakan kalau kakang Agung Sedayu mungkin gelisah menunggu." Raden Rangga mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berdesis, "Ya. Mungkin orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh memang gelisah menunggu. Tetapi bukan"kah kau akan segera kembali sehingga kegelisahan itupun akan segera berakhir." Glagah Putih mengangguk sambil menyahut, "Ya Raden. Mudah-mudahan aku justru dapat memberikan kebanggaan kepada kakang Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga. Merekapun tentu akan berterima kasih kepada Raden." "Kau akan menunjukkan sesuatu kepada mereka. De"ngan demikian kepergianmu tidak dianggap tidak berarti." berkata Raden Rangga. Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia akan mencoba untuk menjelaskan apa yang telah terjadi atasnya kepada Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga kelak. Dalam pada itu, sebenarnyalah Agung Sedayu, Kiai Jayaraga, Sekar Mirah dan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh menjadi gelisah. Glagah Putih telah meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh melampaui waktu yang disebutkannya sebelumnya. Bahkan sudah jauh lewat. "Kiai." berkata Agung Sedayu, "bagaimana kalau aku pergi ke Mataram untuk mencarinya?" Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata, "Kita pergi bersama-sama. Yang mencemaskan aku, bukannya bahaya yang mungkin menimpa anak itu, karena anak itu sudah mempunyai bekal yang dalam keadaan wajar, sudah dapat melindungi dirinya.Tetapi yang mencemaskan aku, jika ia dibawa oleh Raden Rangga untuk melakukan permainan yang mungkin dapat membawanya kedalam kesulitan. Raden Rangga ada"lah putera Panembahan Senapati, sehingga bagaimanapun juga, orang akan mempertimbangkan kedudukan ayahandanya. Berbeda dengan Glagah Putih." Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sependapat. Karena itu, maka sebaiknya kita pergi ke Mata"ram. Menurut pendengaranku, Raden Rangga berada di istana Ki Patih Mandaraka. Tidak diistana ayahandanya." Dengan demikian maka Agung Sedayu dan Kiai Jayaragapun telah bersepakat untuk berangkat esok pagi-pagi. Hari itu mereka menyempatkan diri untuk minta diri kepada Ki Gede Menoreh. "Jangan terlalu lama." berkata Ki Gede, "aku sudah menjadi semakin tua. Tidak ada yang dapat melakukan tugas-tugasku selain kau dan isterimu, Agung Sedayu. Kalian berdua adalah pengganti anakku Pandan Wangi dan suaminya Swandaru yang mempunyai kewajibannya sen"diri di Kademangan Sangkal Putung." Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil menjawab, "Kami akan cepat kembali Ki Gede. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu dengan Glagah Putih." Ki Gede tidak mencegah mereka, karena sebenarnya iapun menjadi cemas bahwa Glagah Putih tidak segera pulang. Demikianlah, maka malam itu, Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga telah berkemas Agung Sedayu telah mninberikan beberapa pesan kepada Sekar Mirah untuk selalu mendampingi Ki Gede Menoreh yang nampaknya memang menjadi semakin tua. Apalagi cacat dikakinya menjadi semakin terasa. Jika udara malam terasa dingin menggigit, atau jika gerimis semalaman menyiram bumi Tanah Perdikan Meno"reh, kaki terasa semakin sakit. "Kapan kakang kembali?" bertanya Sekar Mirah. "Aku harus bertemu dengan Glagah Putih." berkata Agung Sedayu, "jika ia tidak berada di Mataram, maka kami akan berusaha untuk menelusuri perjalanannya. Jika ia pergi bersama Raden Rangga, mungkin keduanya akan dapat melakukan permainan yang dapat menyulitkan banyak orang." "Bagaimana jika tidak seorangpun yang dapat menunjukkan, paling tidak arah kepergian mereka?" bertanya Sekar Mirah. "Kami mungkin memang akan mengalam kesulitan." jawab Agung Sedayu, "tetapi kami akan berusaha. Justru kami mengenal sifat dan watak Raden Rangga. Jika sifat itu menjalar kepada Glagah Putih, maka akibatnya akan menyulitkan juga." Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak men"cegah kemungkinan bahwa Agung Sedayu akan pergi untuk waktu yang tidak terbatas. Tetapi malam itu, Glagah Putih telah berada di istana Ki Mandaraka Seperti biasanya Glagah Putih tidur disanggar bersama Raden Rangga. Sanggar yang agak lain dengan kebanyakan sanggar yang pernah dilihat oleh Glagah Putih. "Tidurlah." berkata Raden Rangga, "jika besok kau ingin kembali keTanah Perdikan, kembalilah mungkin kau benar, bahwa Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga menjadi gelisah." Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, "Baiklah Raden. Tetapi tolong, usahakan agar aku tidak selalu terbangun oleh mimpi." "Tidak, tentu tidak. Bukankah sebelum kita berangkat, kau tidak lagi diganggu oleh mimpi?" bertanya Raden Rangga. Glagah Putih mengangguk sambil tersenyum. Namun pada saat yang demikian, justru ketika kedua"nya telah berbaring, datang seorang utusan dari Ki Patih Mandaraka untuk memanggil Raden Rangga. "Tidur sajalah dahulu." berkata Raden Rangga, "aku akan menghadap eyang Mandaraka." "Kenapa Ki Mandaraka memanggil Raden." ber"tanya Glagah Putih. "Biasa saja." jawab Raden Rangga, "aku harus berceritera apa yang aku lakukan selama aku pergi. Tidak ada apa-apa. Jika eyang marah kepadaku, biasanya eyang tidak memanggilku, tetapi eyanglah yang datang ke bilik ini. Marah dan memberikan hukuman." Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi Raden Rangga justru tertawa saja. Ketika Raden Rangga keluar iapun masih berpesan, "Tidur sajalah. Aku tidak lama." Glagah Putih termangu-mangu. Namun iapun kemu"dian mengangguk sambil berdesis, "Cepatlah kembali Raden. Tetapi apakah aku tidak akan mimpi?" Raden Rangga tersenyum, sementara Glagah Putihpun tersenyum pula. Sejenak kemudian maka Raden Ranggapun telah meninggalkan Glagah Putih sendiri di dalam sanggarnya yang aneh. Beberapa saat Glagah Putih memperhatikan ke"adaan di sekelilingnya. Tetapi rasa-rasanya kulitnya telah meremang. "Aneh." berkata Glagah Putih, "aku terbiasa berada dimana saja pada malam hari. Bahkan turun kesungai dan ketempat yang jarang dilalui orang. Tetapi aku tidak pernah merasa gelisah seperti didalam bilik yang bernih dan terang yang menjadi sanggar Raden Rangga ini." Glagah Putih mencoba menenangkan dirinya. Iapun kemudian berbaring sambil menatap langit-langit. Tetapi ia tidak mampu untuk mengatasi ketegangan yang serasa semakin mencengkam, sehingga karena itu, maka iapun tidak dapat memejamkan matanya dan apalagi tidur nyenyak. Dalam ketegangan itu, maka jantungnya serasa berdenyut semakin cepat ketika ia mendengar suara seperti berdesing lewat dilangit-langit bilik itu. Tidak hanya sekali. Tetapi beberapa kali. Dalam kegelisahan itu, akhirnya Glagah Putih justru telah bangkit dan duduk disudut bilik sambil memperhatikan keadaan disekitarnya. Namun ia sadar sepenuhnya bahwa ia adalah tamu Raden Rangga. Karena itu, ia tidak akan mengalami se"suatu. Meskipun demikian, rasa-rasanya ia telah berada dida"lam satu bilik yang sangat asing. Ketika tiba-tiba saja Glagah Putih melihat cahaya yang berwarna kebiru-biruan disudut, seluruh tubuhnya bagaikan dijalari kaki-kuki binatang-binatang kecil. Namun cahaya itupun segera hilang dan tidak meninggalkan bekas apapun juga. "Kenapa sebelumnya aku tidak pernah melihat dan mendengar seperti ini?" bertanya Glagah Putih kepada diri sendiri. Namun yang dijawabnya sendiri pulu, "Mung"kin karena Raden Rangga sendiri hadir didalam bilik ini." Untuk beberapa saat Glagah Putih harus bertahan dalam ketegangan. Namun akhirnya ia justru menemukan ketenangannya. Segala sesuatunya menjadi tanggung jawab Raden Rangga, sehingga karena itu, Ia tidak perlu mempersoalkan apa saja yang ada didalam bilik itu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia masih melihat sepeletik cahaya yang memancar dari langit-langit diatas pembaringan Raden Rangga. Namun cahaya itupun segera lenyap. Suara berdesingpun masih juga kadang-kadang terdengar. Namun Glagah Putih seakan-akan sudah tidak menghiraukannya lagi. Ia memang melihat dan mendengar, namun ia tidak lagi digelisahkan karenanya. Dengan tenang Glagah Putih duduk bersandar dinding. Kedua tangannya bersilang didadanya. Matanya tidak terpejam, Bahkan diperhatikannya segala sesuatu yang ada di"dalam bilik itu. Demikian pula dengan telinganya. Beberapa saat kemudian, maka terdengar langkah memasuki bilik disebelah. Glagah Putihpun mendengar Raden Rangga mendeham. Sejenak kemudian langkah kakinya berdesir mendekati pintu sanggar. Glagah Putih cepat membaringkan dirinya. Tetapi ketika pintu terbuka, maka iapun menggeliat sambil berdesis, "Raden lama sekali meninggalkan aku dalam ketegangan." "Kenapa?" bertanya Raden Rangga. "Besok akan aku ceriterakan. Bukankah Raden sudah mengantuk sekarang ini?" bertanya Glagah Putih. "Kau lihat mataku. Bukankah masih bening?" ber"tanya Raden Rangga. Lalu, "Tetapi baiklah. Kita akan tidur sekarang. Kau tentu masih letih dan besok apakah kau jadi akan kembali ke Tanah Perdikan." "Ya. Aku sudah terlalu lama pergi." jawab Glagah Putih. "Baiklah. Kita akan segera tidur." berkata Raden Rangga yang kemudian berbaring pula di pembaringanya. Namun sejenak kemudian Glagah Putih masih bertanya, "Apa kata Ki Patih Mandaraka?" "Seperti yang aku duga. Tidak apa-apa kecuali bertanya tentang apa yang sudah aku kerjakan beberapa hari ini. Aku telah melaporkan semuanya. Juga tentang kemungkinan yang terjadi atas dirimu." jawab Raden Rangga. Glagah Putih tidak menyahut lagi. Ia ingin mencoba untuk dapat beristirahat. Namun yang menggelitik hatinya kemudian adalah bahwa sampai saat itu Raden Rangga sama sekali tidak menyebut seekor kuda yang tegar yang akan diberikannya kepadanya. Tetapi Glagah Putih tidak sampai hati untuk menanyakannya. Untuk beberapa saat Glagah Putih masih mengamati keadaan bilik itu. Tetapi ia tidak lagi mendengar dan me"lihat sesuatu. Demikian Raden Rangga masuk, maka sang"gar itu telah menjadi tenang. Malampun menjadi semakin larut. Yang terdengar kemudian adalah bunyi cengkerik dan bilalang di halaman. Sekali-kali suara angkup yang ngelangut memetik di kejauhan. Lalu hilang lagi ditelan oleh suara-suara malam. Glagah Putihpun kemudian telah tertidur. Raden Rangga sempat memperhatikannya. Namun iapun kemu-dian memejamkan matanya sehingga beberapa saat iapun telah tertidur pula. Menjelang pagi hari, keduanya telah terbangun. Setelah membenahi diri, maka Glagah Putihpun mengulangi pernyataannya, bahwa hari itu ia akan mohon diri untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh setelah beberapa lama ia berada di Mataram termasuk di Gumuk Payung. "Baiklah. Tetapi kau harus minta diri kepada eyang Mandaraka." berkata Raden Rangga. "Tetapi ketika aku datang, begitu saja aku memasuki istana ini." sahut Glagah Putih. Raden Rangga termenung sejenak. Namun kemudian katanya, "Tetapi eyang mengetahui bahwa kau ada disini." Glagah Putih tidak dapat mengelak. Iapun kemudian berbenah diri untuk menghadap Ki Mandaraka. Mandi dan berpakaian rapi sebagaimana seseorang akan menghadap Pepatih di Mataram. Sambil berjalan menuju keserambi samping disebelah longkangan maka Glagah Putihpun sempat menceriterakan apa yang dilihat dan didengarnya di dalam sanggar Raden Rangga semalam, ketika Raden Rangga sedang dipanggi oleh Ki Patih Mandaraka. Raden Rangga hanya tersenyum saja. Bahkan tiba-tiba saja ia bertanya, "He, apakah sebenarnya keperluanmu datang kemari?" Glagah Putih terkejut mendengar pertanyaan itu. Justru untuk sesaat ia terdiam. Namun kemudian iapun menjawab, "Hanya sekedar memenuhi permintaan Raden agar aku datang kemari." Raden Rangga mengangguk-angguk. Tetapi ternyata ia tidak mengatakan apapun tentang seekor kuda. Namun Glagah Putih tidak juga dapat menanyakannya. Sejenak kemudian, maka merekapun telah memasuki longkangan. Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun Raden Ranggapun kemudian berkata, "Tunggulah. Duduklah diamben kayu itu. Aku akan menyampaikannya kepada eyang Mandaraka, bahwa kau akan mohon diri." Glagah Putihpun kemudian duduk disebuah amben yang tidak terlalu besar. Diatasnya dibentangkan tikar pandan yang putih bersih. Sementara Raden Ranggapun telah memasuki ruang dalam lewat pintu samping. Beberapa saat Glagah Putih menunggu. Agaknya hari masih terlalu pagi. Tetapi ternyata bahwa Ki Patih Mandaraka sudlah bangun dan duduk diruang dalam, menghadapi semangkuk minuman panas. Peluhnya telah membasahi seluruh tubuhnya. Bukan oleh minuman panas itu. Tetapi sejak dini hari, Ki Patih Mandaraka sudah berada didalam sanggarnya. Baru saja Ki Patih selesai dan kemudian minum minuman hangat. Ketika Raden Rangga menemui Ki Patih, maka Ki Patihpun bertanya, "He, kau sudah nampak rapi, apakah kau akan pergi?" "Tidak eyang." jawab Raden Rangga, "Glagah Putih yang aku katakan itu akan mohon diri. Ia berada di serambi sekarang." "O" Ki Patih mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baik. Aku akan menemuinya diserambi." "Silahkan eyang." sahut Raden Rangga. Keduanyapun kemudian keluar keserambi. Ketika Ki Patih Mandaraka akan duduk, maka Raden Rangga justru berkata, "Aku akan berada di dalam bilikku, Glagah Putih. Jika kau selesai, aku menunggumu." Glagah Putih termangu-mangu. Ia justru menjadi gelisah untuk menghadap Ki Patih Mandaraka sendiri. Namun Ki Patihlah yang menjawab, "Baiklah. Tinggalkan anak ini bersamaku." Raden Ranggapun kemudian meninggalkan Glagah Putih sendiri sementara Ki Patihpun telah duduk diamben itu pula. Glagah Putih perlahan-lahan telah beringsut dan berusaha untuk turun dan duduk dilantai. Tetapi adalah diluar dugaannya bahwa Ki patih telah mencegahnya, "Jangan beringsut, Duduk sajalah disitu." Glagah Putih masih juga beringsut. Namun sekali lagi ia mendengar Ki Patih itu berkata, "Aku menghendaki kau duduk ditempatmu." Glagah Putih tidak berani bergeser lagi. Tetapi keringatnyalah yang kemudian membasahi seluruh tubuh dan pakaiannya. "Jangan merasa segan." berkata Ki Patih, "aku yang menghendaki kau duduk disitu. Tidak apa-apa. Kita akan berbicara tanpa ketegangan karena jarak diantara kita." Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia sudah lebih dahulu dicengkam ketegangan. "Glagah Putih." berkata Ki Mandaraka kemudian, "biarlah aku yang mulai." Ki Patih itu berhenti sejenak, lalu katanya. "Apakah hari ini kau akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh?" "Hamba Ki Patih. Hamba akan kembali ke Tanah Per"dikan Menoreh." jawab Glagah Putih sambil menunduk. "Sudah berapa hari kau berada disini?" bertanya Ki Patih pula. Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, "Hampir sepekan yang lalu hamba datang kemari Ki Patih. Hamba mohon ampun bahwa saat itu ham"ba tidak menghadap Ki Patih dan mohon dengan resmi perkenankan untuk berada diistana ini." Ki Patih Mandaraka tertawa. Katanya, "Aku tidak mempersoalkannya Glagah Putih. Bukankah kau menjadi tamu cucuku Raden Rangga" Jika kehadiranmu diketahu apalagi bersama Raden Rangga, maka artinya sama saja bahwa aku telah mengetahuinya pula." Glagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara Ki Patih berkata selanjutnya, "Nampaknya Rangga merasa dapat menyesuaikan diri dengan kau. Ia hampir tidak mempunyai seorang kawanpun. I a sendiri sebenarnya telah terpisah dari tataran umurnya, sehingga karena itu nampak ada jarak diantara ujud dan sifat serta wataknya yang didukung oleh kemampuannya yang luar biasa." Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Mandaraka berkata selanjutnya, "Kebetulan sekali Rangga meninggalkan kau seorang diri. Sebenarnyalah aku ingin berpesan kepadamu. Cobalah membujuknya agar Rangga tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Permainan yang dapat mengganggu orang lain dan tingkah laku yang meledak-ledak. Meskipun pada saat terakhir aku melihat ia sudah sedikit mulai berubah, tetapi mungkin sifat-sifatnya itu akan kambuh dengan tiba-tiba." Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sedangkan Ki Mandaraka berkata pula, "Aku minta tolong kepadamu. Sementara itu, akupun berusaha dengan cara lain. Ia kini senang sekali memelihara kuda sebagaimana ayahandanya. Mudah-mudahan kegemarannya itu dapat mengurangi tingkah lakunya yang menghentak-hentak itu." Glagah Putihpun kemudian mengangguk dalam-dalam sambil menyahut, "Hamba akan mencobanya Ki Patih." Ki Patih Mandaraka menarik nafas panjang sambil berdesis, "Terima kasih. Mudah-mudahan kau dapat mempengaruhinya. Namun aku jutru berpesan kepadamu jangankau yang terpengaruh olehnya." Glagah Putih sekali lagi mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, "Hamba Ki Patih. Hamba akan berusaha." Namun dalam pada itu, Glagah Putih mulai bertanya kepada diri sendiri, apakah ia memang tidak terpengaruh oleh sifat dan watak Raden Rangga yang kadang-kadang sangat nakal sehingga dapat menimbulkan persoalan pada orang lain. Tetapi Glagah Putih merasa dirinya sudah lebih besar dan lebih tua menurut ujud dan umur kewadagannya. Tetapi Raden Rangga sering mengatakan, bahwa ia mempunyai dunia, umur dan masa hidup yang rangkap. Didunia mimpinya waktu sudah berjalan lebih lama dari dunia wadagnya, sehingga karena itu, maka kadang-kadang Raden Ranggapun bersifat sebagai seorang yang dewasa penuh yang dapat memberikan beberapa petunjuk kepadanya. Namun kadang-kadang Raden Rangga masih bersifat kekanak-kanakan. Nakal dan sulitnya didukung oleh kemampuan yang sangat tinggi. Glagah Putih mengangkat wajahnya ketika Ki Patih kemudian berkata, "Baiklah Glagah Putih, jika kau akan kembali ke Tanah Perdikan, salamku buat Ki Gede, buat Agung Sedayu dan buat semua orang di Tanah Perdikan. Mudah-mudahan Ki Gede selalu dalam keadaan sehat se"hingga dapat melakukan tugasnya dengan baik. Sementara itu Agung Sedayu akan dapat membantunya sebagaimana diharapkan. Jika kau pada suatu saat bertemu dengan Kiai Gringsing, salamku buat orang yang menjadi semakin tua itu." "Hamba Ki Patih. Hamba akan sampaikan semua pesan Ki patih." jawab Glagah Putih. "Nah, pergilah ke bilik Rangga. Jika ia tidur lagi, bangunkan saja. Biar ia kehilangan mimpinya yang kadang-kadang merenggutnya dari dunia wantahnya." berkata Ki Pa"tih Mandaraka. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Meskipun ia tidak pasti, tetapi ia menangkap sesuatu yang terbersit dari kata-kata Ki Patih bahwa Ki Patih agak kurang senang terhadap dunia mimpi Raden Rangga. Bahkan Ki Patih itupun kemudian berkata, "Kau tentu pernah mendengarnya tentang mimpi-mimpi Rangga itu." "Hamba Ki Patih." Glagah Putih tidak dapat menjawab lain. Demikianlah maka Glagah Putih sekali lagi mohon diri un"tuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, sementara Ki Patih telah memberikan beberapa pesan yang dapat dibawanya kem"bali kepada Ki Gede dan Agung Sedayu. Namun ketika Glagah Putih beringsut, Ki Patih itupun ber"kata, "Tunggulah. Aku mempunyai sesuatu bagimu." Glagah Putih termangu-mangu. Untuk beberapa saat ia justru terdiam. Sementara itu Ki Patihpun telah masuk keruang dalam. Ketika Ki Patih keluar dari ruang dalam, maka ia telah membawa sebuah ikat pinggang kulit yang sangat bagus. "Ikat pinggang ini tidak ada yang memakainya disini." berkata Ki Patih, "pakailah. Kau tentu pantas memakainya." Glagah Putih mengangguk hormat sambil menerima ikat pinggang itu. Katanya, "Hamba mengucapkan beribu terima kasih. Ikat pinggang ini terlalu baik untuk hamba." "Tidak. Kau patas memakai ikat pinggang itu. Ikat ping"gang itu termasuk ikat pinggang yang murah. Kau lihat, timangnya hanya terbuat dari besi baja. Kulitnya memang kulit buaya. Tidak ada batu-batu berharga." Glagah Putih memperhatikan ikat pinggang itu dengan seksama. Ia melihat sesuatu yang agak berbeda dengan kebanyakan ikat pinggang. Juga ikat pinggang yang dipakainya. Ikat pingang itu agak lebih panjang. Namun ujungnya tidak selebar tubuh ikat pinggang itu sendiri. Bahkan terdapat hiasan-hiasan tertentu meskipun terbuat dari besi baja putih. Sementara pada tubuh ikat pinggang itupun ter"dapat hiasan-hiasan yang terbuat dari besi baja pula. Gambar-gambar dan bahkan akhirnya Glagah Putih melihat tulisan-tulisan dan huruf-huruf. "Pergunakan ikat pinggang itu jika kau senang." berkata Ki Patih, "kau termasuk salah seorang harapan bagi masa datang. Terutama bagi Tanah Perdikan Menoreh, meskipun kau bukan dilahirkan di Tanah Perdikan itu. Tetapi bahwa kau berada dimanapun dibumi Mataram, nampaknya memang tidak ada perbedaan. Bahkan seandainya kau berada di pesisir Utara sekalipun." Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi sesuatu terasa bergejolak didalam dadanya. "Kakang Agung Sedayu atau Kiai Jayaraga akan dapat menjelaskan kepadaku, apakah arti dari keseluruhan ikat ping"gang ini." berkata Glagah Putih didalam hatinya. Sejenak kemudian, setelah mengucapkan berulang kali terima kasih yang tidak terhingga, maka Glagah Putihpun meninggalkan serambi itu menuju ke bilik Raden Rangga yang berada dibagian belakang istana Ki Patih itu. Namun Glagah Putih menjadi berdebar-debar ketika ia melihat di halaman, didepan bilik Raden Rangga terdapat seekor kuda yang tegap tegar. Berkulit warna sawo agak keabu-abuan. Raden Rangga tersenyum ketika ia melihat Glagah Putih berjalan dengan terheran-heran melihat kuda itu. Dengan suara lantang Raden Rangga berkata, "Bukankah aku berjanji untuk memberimu seekor kuda?" Kegembiraan melonjak dihati Glagah Putih. Namun ia berusaha untuk mengekangnya. Sambil mengangguk hormat ia berkata, "Aku mengucapkan terima kasih Raden. Terima kasih yang sebesar-besarnya." "Seberapa besar?" bertanya Raden Rangga. "Tidak terhingga" jawab Glagah Putih. Raden Ranggapun tertawa. Katanya, "Kau pulang dengan kuda ini. Mudah-mudahan kau ketemu lagi dengan tukang satang yang membawamu menyeberang pada saat kau berangkat." Glagah Putih mengamati kuda itu dari segala arah. Kuda itu memang seekor kuda yang sangat bagus. "Apakah kau senang dengan kuda itu?" bertanya Raden Rangga, "kuda itu adalah salah satu diantara beberapa ekor kudaku yang terbaik. Tetapi kau harus banyak memperhatikan kuda itu. Kau harus memperhatikan makannya agar tidak terlambat dan tidak kurang dari apa yang di makannya disini. Minumnya dan pemeliharaannya agar kuda itu tetap menjadi kuda yang baik." "Aku akan berusaha Raden." jawab Glagah Putih sam"bil menepuk lambung kuda yang tegar itu. "Apakah kau sudah mohon diri kepada eyang Manda"raka?" bertanya Raden Rangga. "Sudah Raden. Malahan aku mendapat bekal dari Ki Patih Mandaraka berupa ikat pinggang ini." jawab Glagah Putih sambil menunjukkan ikat pinggang pemberian Ki Man"daraka. Raden Rangga mengamati ikat pinggang itu sejenak. Lalu katanya, "Ikat pinggang yang bagus. Kau dapat mempergunakannya sebagai senjata dalam keadaan yang terpaksa." Raden Ranggapun tiba-tiba telah meloncat sambil memutar ikat pinggang itu dengan memeganginya dibagian ujungnya yang lebih sempit dari tubuh ikat pinggang itu. Beberapa saat Raden Rangga mempermainkan ikat pinggang itu. Lalu ketika ia berhenti, maka katanya, "Kau perlukan waktu dua tiga hari untuk menyesuaikan diri dengan senjata itu. Meskipun ikat pinggang ini dari kulit, tetapi hiasan-hiasan baja itu akan melindungi tubuh ikat pinggang itu dari jenis senjata apapun, sehingga kau dapat mempergunakan melawan pedang yang pal"ing tajam sekalipun. Apalagi dengan kemampuan bermain, maka senjata lentur semacam ikat pinggang itu tidak akan langsung membentur senjata lawan. Kecuali jika kau memper"gunakan ilmumu untuk menegakkan ikat pinggang itu dan mempergunakannya sebagai lembaran baja yang utuh." Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Hari ini aku benar-benar mendapatkan kurnia yang besar sekali. Sehelai ikat pinggang dan seekor kuda yang tegar." "Selebihnya, kau telah meningkatkan kemampuanmu dengan berendam di belumbang selama tiga hari tiga malam itu." berkata Raden Rangga. "Ya. Dengan demikian maka aku telah mendapatkan banyak sekali selama aku berada di Mataram kali ini." berkata Glagah Putih. Raden Rangga tersenyum. Lalu katanya, "Apakah kau juga ingin mendapat bekal uang." Glagah Putih tertawa. Katanya. "Terima kasih Raden. Bukankah aku anak seorang saudagar yang kaya raya, yang membayar tukang satang dua kali lipat." Raden Ranggapun tertawa berkepanjangan. Katanya, "Apakah aku harus mengganti uang yang sudah kau berikan kepada tukang satang itu" " "Raden sudah menggantinya dengan seekor kuda." jawab Glagah Putih. Raden Rangga masih tertawa. Namun kemudian katanya, "Nah, jika kau akan kembali ke Tanah Perdikan, mumpung hari masih pagi." Glagah Putihpun kemudian mohon diri. Ikat pinggangnya itupun telah disimpannya pula disebuah bungkusan kecil ber"sama selembar ganti pakaiannya dan digantungkannya pada pelana kudanya. "Aku mohon diri Raden." berkata Glagah Putih kemu"dian. "Hati-hatilah dijalan." pesan Raden Rangga yang tiba-tiba saja menjadi bersungguh-sungguh, "aku akan datang ke Tanah Perdikan pada saat-saat tertentu disisa kesempatanku yang sempit." "Ah" desah Glagah Putih, "kenapa Raden berkata begitu?" Raden Rangga itu tiba-tiba telah tertawa lagi. Katanya, "Jangan kau coba untuk berpacu sebelum kau terbiasa dengan kuda itu. Kau akan dapat dilemparkannya jika kau tidak berhati-hati." "Aku akan berhati-hati." sahut Glagah Putih kemudian. Demikianlah, maka Glagah Putihpun telah menuntun kuda itu keluar halaman istana Ki Patih Mandaraka lewat pintu gerbang samping, diantar oleh Raden Rangga sampai ke jalan disisi istana itu. Para pengawal yang melihat Glagah Putih menuntun kuda itu keluar halaman istana Ki Patih Mandaraka lewat pintu gerbang samping, diantar oleh Raden Rangga sampai ke jalan disisi istana itu. Para pengawal yang melihat Glagah Putih menuntun seekor kuda yang tegar saling berbisik, "Hadiah yang sangat berharga bagi seorang pengembara." "Anak itu bukan pengembara." sahut kawannya ia datang dari Tanah Perdikan Menoreh. "Tetapi tentu seorang petualang juga seperti Raden Rangga." jawab yang pertama. Kawannya tidak menyahut lagi. Merekapun kemudian menyaksikan Glagah Putih dengan tangkasnya meloncat kepunggung kuda itu. "Kau nampak gagah sekali, seperti seorang Senopati perang yang menyandang kemenangan." berkata Raden Rangga. "Seperti." sahut Glagah Putih. Raden Ranggapun tertawa pula. Demikianlah, maka Glagah Putihpun telah meninggalkan istana Ki Patih Mandaraka dengan seekor kuda yang tegar. Keinginannya untuk memiliki seekor kuda yang baik ternyata telah terpenuhi. Namun seperti pesan Raden Rangga, ia tidak berpacu terlalu cepat sebelum terbiasa dengan kuda yang besar itu, agar ia tidak dilemparkan dari punggungnya. Glagah Putih yang berada dipunggung kuda yang besar itu memang merasa seperti seorang prajurit yang memenangkan perang. Orang-orang yang berpapasan dijalan nampak terlalu kecil. Bahkan kuda-kuda yang lainpun nampak jauh lebih buruk dari kuda yang dinaikinya itu. Sehingga diluar sadarnya, Glagah Putih itupun tersenyum sendiri. Ketika Glagah Putih sudah keluar dari pintu gerbang kota, maka kudanya berlari agak cepat. Namun Glagah Putih masih tetap menjaga agar kuda itu tidak berpacu. Sekali-sekali Glagah Putih memang memperhatikan orang yang sedang berpapasan. Menurut perasaannya semua orang telah memperhatikan kudanya sangat bagus itu. Namun Glagah Putih juga sempat berkata kepada diri sendiri, "Tetapi jika orang-orang itu mengetahui bahwa kuda ini adalah kuda pemberian, maka mereka tidak akan kagum lagi." Demikianlah, maka Glagah Putihpun telah menempuh jalan yang paling banyak dilalui orang yang pergi kearah yang sama. Karena itu maka jalan itupun termasuk jalan yang cukup ramai, yang menghubungkan ke jalan penyeberangan Kali Praga yang paling banyak dilewati untuk menghubungkan daerah yang berseberangan yang dipisahkan oleh Kali Praga itu. Beberapa buah rakit selalu hilir mudik membawa penumpang dari seberang keseberang. Beberapa orang yang berpapasan dengan Glagah Putih memang mengagumi kuda yang dipergunakannya. Apalagi orang-orang yang memang gemar akan kuda. Namun di"antara mereka ada yang justru menjadi curiga. Kepada kawannya orang itu berkata, "Dari mana anak itu men"dapat seekor kuda yang begitu besar dan tegar?" Kawannya mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia menjawab, "Jarang sekali terdapat seekor kuda yang begitu bagus. Kalau saja anak itu mau menjualnya, aku mau membelinya." "Ah kau." desis orang yang pertama, "cobalah ber"tanya, apakah kuda itu dijual atau tidak." Kawannya tertawa. Jawabnya, "Anak itu akan dapat menjadi marah." Keduanya memang tertawa. Seorang lagi kawannya juga tertawa. Katanya, "Kuda itu memang bagus sekali." Glagah Putih tidak mendengar pembicaraan itu. Tetapi ia merasa perhatian orang-orang itu banyak tertuju kepadanya, sebagaimana orang-orang lain. Dengan derap yang mantap kuda Glagah Putih itu berlari menyusuri jalan-jalan bulak yang panjang, namun cukup ramai menuju ke penyeberangan di Kali Praga. Namun agaknya kuda itu belum terbiasa dengan sebatang sungai yang besar berarus cukup deras dengan air berwarna lumpur. Namun dengan lunak dan hati-hati Glagah Putihpun menuntun kudanya, membelainya di lehernya sambil membisikkan kata-kata lembut, membujuk agar kuda itu tidak meronta. Nampaknya kuda itu mengerti sikap Glagah Putih. Bahkan seolah-olah kuda itu mengerti kata-kata yang diucapkannya. Karena itu, maka kuda itu sama sekali tidak melawan ketika Glagah Putih menuntunnya naik keatas sebuah rakit. Tukang satang yang membawa Glagah Putih itu menyeberang dengan kudanya bersama-sama dengan bebe"rapa orang agaknya dapat mengenalinya lagi. Adalah kebetulan bahwa ia telah menumpang rakit yang sama dengan rakit yang dipergunakannya menyeberang ketika ia berangkat ke Mataram. "Kau itu tuan." berkata salah seorang tukang rakit yang semakin yakin bahwa Glagah Putih adalah anak seorang saudagar kaya, "tuan telah membeli seekor kuda yang sangat bagus dan tentu sangat mahal harganya." Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Apalagi bersamanya terdapat banyak orang yang bersama-sama menyeberang. Tetapi tukang satang itu tidak menghiraukannya. Bahkan iapun masih bertanya, "Berapa tuan membeli kuda yang tidak ada duanya itu?" Glagah Putih terpaksa menjawab, "Aku tidak membe"linya. Aku tinggal mengambil dirumah paman." "O" tukang satang itu mengangguk-angguk, "paman tuan tentu juga seorang yang kaya raya seperti ayah tuan." Glagah Putih tidak menjawab. Iapun kemudian justru beringsut. Beberapa orang yang bersamanya memang memperhatikannya. Menilik pakaian yang dikenakannya, anak muda itu termasuk seorang kebanyakan. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa anak muda itu adalah seorang yang kaya raya. Tetapi menilik kuda yang dibawanya, maka kuda itupun tentu seekor kuda yang sangat mahal. Apalagi sikap tukang satang yang seakan-akan telah mengenalinya dengan baik. Seorang yang berusia pertengahan abad yang duduk disebelah Glagah Putih itu tiba-tiba telah bertanya, pula, "Darimana anakmas mengambil kuda itu" Apakah paman anakmas tinggal di Mataram." Glagah Putih menjadi ragu-ragu. Jika ia menjawab, mungkin pertannyaanya justru akan berkepanjangaan. Ka"rena itu, maka iapun berusaha untuk memutuskan pembi"caraan dengan jawaban pendek "Ya." Orang dipertengahan abad itu mengangguk-angguk. Tetapi ia menganggap bahwa Glagah Putih bukan seorang anak muda yang ramah. Karena itu, maka iapun memang tidak bertanya lebih lanjut. Untuk beberapa saat orang-orang yang ada di rakit itu justru terdiam. Glagah Putihpun kemudian berdiri sambil memandangi air yang mengalir dibawah rakit yang meluncur keseberang. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan tepian di seberang. Glagah Putih memang tidak memperhatikan tepian diseberang. Ia lebih banyak merenungi air yang mengalir. Jika ia mengangkat wajahnya dan bertemu pandang dengan orang-orang yang ada disekitarnya, mungkin akan datang lagi pertanyaan-pertanyaan yang pada satu saat akan sulit untuk dijawab. "Ada baiknya untuk menjadi seorang yang tinggi hati barang sejenak." berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Tetapi ketegangan dihati Glagah Putih itu tidak berlangsung lama. Sebentar kemudian rakit itupun telah mendekati tepian. Ketika Glagah Putih menuntun kudanya turun, maka iapun telah membayar upah penyeberangannya bersama kudanya. Tetapi seperti saat ia lewat beberapa hari yang lalu, justru di dini hari, maka iapun telah membayar lipat. Beberapa puluh kali ia menyeberang dengan rakitku, ia selalu membayar lebih. "Terima kasih tuan muda." berkata tukang satang itu dengan gembira. Bahkan ia sempat berkata kepada orang-orang lain, "Tuan muda ini selalu membayar lipat. Beberapa puluh kali ia menyeberang dengan rakitku, ia selalu membayar lebih." Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Bahkan kemu"dian mulai terasa panas ketika orang-orang yang men-dengar keterangan tukang satang itu memandanginya. Namun iapun kemudian telah melangkah pergi sambil menuntun kudanya yang tegar dan besar itu. Tetapi adalah diluar dugaannya, ketika tiba-tiba saja seseorang telah mengikutinya. Ketika Glagah Putih berpaling, orang itupun mengangguk hormat sambil berkata, "Angger. Tunggulah sebentar." Glagah Putihpun berhenti sejenak. Ketika orang yang mengikutinya itu sudah berada disebelahnya, maka kata"nya, "Marilah. Aku hanya ingin berjalan bersama-sama sambil mengamati kuda angger yang sangat bagus itu." "O." Glagah Putihpun mengangguk-angguk. "Ma"rilah. Ki Sanak akan pergi ke mana?" "Aku akan pergi ke Banyu Asin." jawab orang itu. "O." Glagah Putih mengangguk-angguk, "disebelah Tanah Perdikan?" "Ya ngger. Perjalananku masih jauh." jawab orang itu. Glagah Putih masih saja mengangguk-angguk. Semen"tara itu mereka telah berjalan menjauhi Kali Praga. "Kudamu bagus sekali ngger." berkata orang yang mengaku akan pergi ke Banyu Asin, "sebenarnya kau akan pergi ke mana?" "Aku akan pergi ke Tanah Perdikan Ki Sanak. Aku memang tinggal di Tanah Perdikan Menoreh." jawab Glagah Putih. Orang itu menebarkan pandangannya kesekelilingnya. Dengan nada datar ia berkata, "Kalau begitu kau sudah hampir sampai ngger." "Ya Ki Sanak. Sebentar lagi kita akan memasuki daerah Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi jarak ketempat tinggalku masih beberapa ribu patok lagi." jawab Glagah Putih. Sejenak orang itu terdiam. Ia berjalan saja di sebelah Glagah Putih. Sekali-sekali orang itu meraba kuda yang masih dituntun oleh Glagah Putih sambil mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, setelah mereka berjalan cukup jauh, Glagah Putihpun berkata, "Maaf Ki Sanak. Aku harus mendahului Ki Sanak, karena aku sedikit tergesa-gesa." "O" orang itu mengangguk-angguk, "kau akan naik kuda itu?" "Ya Ki Sanak." jawab Glagah Putih, "saudaraku tentu telah menunggu." "Dimanakah kau tinggal?" bertanya orang yang mengaku akan pergi ke Banyu Asin itu. Tanpa berprasangka Glagah Putih menjawab. "Di induk padukuhan." Orang itu mengangguk-angguk. Lulu katanya, "Silahkan ngger. Beruntunglah kau mendapatknn seekor kuda yang sangat bagus." Glagah Putih tersenyum. Iapun kemudian melompat kepunggung kudanya dan sekuli lagi ia mengangguk kepada orang yang mengagumi kudanya itu. Tetapi demikian Glagah Putih menjauh orang itu ter"senyum sambil berkata, "Aku harus memiliki kuda itu. Tidak sulit untuk mencari seekor kuda yang sangat bagus di induk padukuhan Tanah Perdikan Menoreh." Untuk beberapa saat orang itu masih memperhatikan Glagah Putih diatas punggung kudanya yang tegar itu. Namun kemudian orang itupun telah mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak ingin ke Banyu Asin di sehelah Tanah Perdikan, tetapi ia memang seorang petualang yang selalu berkeliaran dimanapun yang mungkin terdapat sasaran perampasan maupun jika perlu perampokan. Sebenarnyalah bahwa orang itu tidak sendiri. Tetapi kawan-kawannya masih menunggunya ditepian. Dengan demikian maka orang yang diikutinya tidak akan mencurigainya. Karena itu, ketika Glagah Putih menjadi semakin jauh, orang itupun telah melangkah kembali ke tepian untuk menemui kawan-kawannya. Tiga orang kawannya masih berada ditepian. Mereka duduk diatas pasir sambil memandangi orang-orang yang naik turun rakit yang hilir mudik. Orang yang telah mengikuti Glagah Putih itupun kemu"dian duduk pula bersama mereka. Dengan wajah cerah orang itu berkata, "Anak itu tinggal di padukuhan induk. Kita kapan saja akan dapat mengambil kudanya. Tidak akan sulit untuk mencarinya. Berapa besarnya padukuhan induk itu?" Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun se"orang diantara mereka bertanya, "Kenapa tidak kita ambil saja langsung dari tangannya tadi?" "Suasananya tidak menguntungkan. Jalan ini terlalu ramai untuk melakukan kekerasan terhadap seseorang." jawab kawannya. "Bukankah mudah sekali melakukannya?" bertanya orang yang pertama. "Tetapi jika terjadi perlawanan, maka mungkin sekali akan dapat melibatkan beberapa orang. Tukang-tukang satang yang merasa berhutang budi itu akan dapat membantunya. Mungkin kawan-kawannya akan ikut pula beramai-ramai." jawab orang yang mengikuti Glagah Putih itu. Kawannya terdiam. Iapun dapat membayangkan apa yang mungkin terjadi. Meskipun mungkin mereka berempat dapat mengatasinya dan kemudian menyingkir, tetapi akibatnya akan dapat menjadi terlalu panjang karena korban tentu akan jatuh terlalu banyak untuk seekor kuda sa"ja. "Baiklah." berkata kawannya, "kita akan mencari dimanakah letaknya padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kita harus berhati-hati, karena di Tanah Perdikan Menoreh terdapat para pengawal yang pilihan menurut pendengaranku." "Ya. Kita memang harus berhati-hati. Tetapi kita akan dapat mencari jalan untuk mengambil kuda itu. Mungkin di kandangnya, mungkin kita menunggu di jalan-jalan padukuhan jika kuda itu sedang dipergunakan." sahut orang yang telah berbicara dengan Glagah Putih itu. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba saja salah seorang diantara mereka berkata, "Kuda itu hanya seekor. Jika ada diantara kita memiliki kuda itu, maka kita justru akan merasa tidak serasi lagi. Yang seekor itu tentu akan melebihi yang lain." "Jangan bodoh." sahut orang yang mengikuti Glagah Putih, "tidak seorangpun yang akan mempergunakan kuda itu. Tetapi kuda itu akan dapat kita tukarkan dengan dua ekor kuda biasa yang sudah termasuk baik." Kawannya tidak menjawab lagi. Namun merekapun kemudian bersepakat untuk meneruskan perjalanan. Tidak dengan tujuan yang pasti. Tetapi pada satu saat, mereka akan pergi ke Tanah Perdikan dan mencari kuda yang tegar itu di padukuhan induk. Sementara itu Glagah Putih yang sudah mulai terbiasa dengan kudanya, berusaha untuk berjalan lebih cepat. Meskipun demikian Glagah Putih masih tetap mengendalikan kudanya untuk tidak berpacu terlalu cepat. Namun dalam pada itu, Glagah Putih yung menyusuri bulak panjang menuju ke pedukuhan induk Tanah Perdikan itu mengerutkan keningnya ketika dari kejauhan iu melihat dua orang berkuda menuju ke arah yang berlawanan. Se"makin lama menjadi semakin jelas bahwa dua orang ber"kuda itu adalah Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga. Sementara itu Kiai Jayaraga dan Agung Sedayupun telah melihat seorang penunggang kuda yang menempuh perjalanan yang berlawanan. Merekapun segera dapat mengenalinya, bahwa penunggang kuda itu adalah Glagah Putih. Masih dalam jarak yang agak jauh, Agung Sedayu sudah tersenyum sambil berkata kepada Kiai Jayaraga. "Ternyata Raden Rangga memenuhi janjinya." "Ya" jawab Kiai Jayaraga, "kuda yang sangat bagus. Padahal selama ini kita yang berada di Tanah Perdikan telah menjadi sangat gelisah." Agung Sedayu tersenyum. Memang terbersit kebanggaan di dalam hatinya melihat adik sepupunya duduk diatas punggung kuda yang besar dan tegar itu. Beberapa saat kemudian, ketika jarak antara mereka tinggal beberapa langkah saja, maka mereka telah menarik kekang kudanya. Demikian kuda-kuda itu berhenti, maka Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga telah meloncat turun. De"ngan demikian maka Glagah Putihpun telah turun pula. Agung Sedayu tidak menanyakan keselamatan Glagah Putih lebih dahulu. Tetapi yang mula-mula dilihatnya ada"lah kuda yang tegar itu. "Kuda yang sangat bagus." desis Agung Sedayu. "Itulah yang dijanjikan Raden Rangga." jawab Glagah Putih. Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil mengamati kuda itu. Sementara Kiai Jayaraga memandang dengan kagum. Kuda seperti itu memang jarang nampak di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan agaknya tidak seorangpun di Tanah Perdikan yang memilikinya. Baru kemudian Agung Sedayu sambil menarik nafas dalam-dalam bertanya, "Bagaimana dengan kau sendiri?" "Baik kakang." jawab Glagah Putih, "bagaimana dengan kakang, Kiai dan keluarga di Tanah Perdikan." "Kami merasa gelisah karena kau tidak datang sebagaimana direncanakan." desis Kiai Jayaraga. "Maaf Kiai." jawab Glagah Putih, "Raden Rangga mempunyai rencananya sendiri." "Aku sudah mengira." desis Agung Sedayu, "karena itu, kami telah pergi untuk menyusulmu. Bahkan jika perlu kami akan mencarimu yang tentu telah diajak bertualang oleh Raden Rangga." "Tetapi kami tidak berbuat sesuatu yang dapat merugikan orang lain kakang. Kami memang bertualang. Tetapi justru ditempat yang tidak dihuni orang." sahut Glagah Putih. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi serba sedikit ia dapat menangkap maksud Glagah Putih. Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun kemudian berkata, "Marilah kita kembali. Mungkin kau mempunyai ceritera yang cukup panjang." "Ya kakang. Aku akan dapat berceritera panjang tentang petualanganku mengikuti Raden Rangga." jawab Glagah Putih. Merekapun kemudian telah meloncat kembali kepunggung kuda masing-masing. Sementara itu Kiai Juyaraga berkata, "Kau nampak lain diatas punggung kudu itu." "Justru kudanya yang lebih menarik perhatian." jawab Glagah Putih. Kiai Jayaraga tersenyum. Agung Sedayupun tersenyum pula. Katanya, "Kau didepan, Gluguh Putih. Tetapi jangan dipacu agar kami tidak ketinggalan." Glagah Putihlah yang kemudian tersenyum sambil menjawab, "Aku masih belum berani memacu kuda ini kakang. Aku belum memahami benar tabiatnya, sehingga karena itu, aku masih harus berhati-hati sekali." Demikianlah mereka telah meneruskun perjulanan, sementara Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga telah mengurungkan niatnya untuk pergi ke Mataram. Ketika seorang anak muda melihat Glaguh Putih lewat diatas punggung kuda yang tegar itu, dengan serta merta berteriak, "He, kudamu." Glagah Putih mengangguk. Anak muda yang sering berada dibendungan bersamanya itu telah mengagumi kudanya pula, meskipun ia bukan seorang yang sering berhubungan dengan kuda. Anak muda itu berdiri termangu-mangu ketika ketiga orang berkuda itu lewat dihadapannya. "He" desis Glagah Putih, "jangan tidur disitu." Anak muda itu tergagap. Katanya, "Glagah Putih. Darimana kau dapat kuda itu?" Glagah Putih tertawa sambil melambaikan tangannya. Sementara itu kudanya telah berlari menjauhi anak muda yang berdiri bagaikan membeku itu. Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga yang berkuda dibelakang Glagah Putih memandang anak muda itu sambil ter"senyum. Tetapi anak muda itu sama sekali tidak menghiraukan mereka. Baru ketika Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga mulai menjauh, anak muda itu sadar, bahwa dua orang yang lain telah lewat pula dihadapannya, sementara itu ia sama sekali tidak menyapanya. Semakin dekat dengan padukuhan induk, maka sema"kin sering mereka berpasangan dengan orang-orang yang pergi kesawah. Dengan demikian maka Glagah Putihpun menjadi semakin sering pula harus menjawab pertanyaan-pertanyaan kawan-kawannya. Namun beberapa saat kemudian, mereka bertigapun telah mendekati regol halaman rumah Agung Sedayu. Tiba-tiba Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Sekar Mirahpun tentu kagum melihat kudanya yang tegar. Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah terkejut mendengar kehadiran ketiga orang itu. Ketika mendengar suara orang dihalaman maka iapun bertanya kepada pembantunya, "Siapa yang datang?" "Glagah Putih." jawab pembantunya itu. "O." Sekar Mirahpun segera bangkit dan keluar kehalaman lewat pintu samping. Glagah Putih tentu sudah bertemu dengan Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga di jalan, karena keduanya belum terlalu lama berangkat menuju ke Mataram. Ketika Sekar Mirah kemudian melihat Glagah Putih yang menuntun kudanya, maka seperti yang disangka oleh Glagah Putih, maka Sekar Mirahpun berdesis, "Bukan main. Itulah kuda yang kau dapat dari Mataram?" "Ya" sahut Glagah Putih berbangga, "Raden Rangga benar-benar telah memberi aku seekor kuda sebagaimana dijanjikannya." Sekar Mirahpun ternyata lebih tertarik kepada kuda itu dari pada mempertanyakan keselamatan Glagah Putih. Menurut Sekar Mirah agaknya kedatangan Glagah Putih itu sudah merupakan pernyataan dari keselamatannya. Namun setelah mengamati kudu itu sejenak, maka Sekar Mirahpun bertanya kepada Agung Sedayu. "Kakang bertemu dengan anak ini di jalan?" "Ya. Dengan demikian, aku telah mengurungkan perjalananku." jawab Agung Sedayu. "Jika kita tidak mengurungkannya, siapakah yang akan kita cari kemudian?" tiba-tiba suja Kiai Jayaraga menyela. Agung Sedayu tersenyum, sementara sambil tertawa Sekar Mirah menyahut, "Mungkin Raden Rungga?" Kiai Jayaraga tertawa pula. "Marilah." berkata Sekar Miruh kemudian kepada Glagah Putih, "kau tentu berangkat pagi-pagi dari Mata-ram. Untunglah bahwa kakangmu tidak berangkat terlalu pagi, karena ia masih harus melihat air yang tiba-tiba tidak naik dibendungan." Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi iapun men"jawab, "Seandainya kakang Agung Sedayu berangkat pagi-pagi, kitapun tentu akan bertemu. Jika tidak di sebelah Barat Kali Praga, mungkin dipenyebrangan atau di sebelah Timur Kali Praga. Kecuali jika rakit yung aku tumpangi berselisih dengan rakit yang ditumpungi kakang Agung Sedayu pada jarak yang terlalu jauh." Sekar Mirahpun mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Marilah. Kau agaknya belum makan pagi." Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ditambatkannya kudanya pada sebatang pohon dihalaman samping, disebelah kuda yang dipergunakan oleh Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga. Glagah Putih yang singgah sebentar di pakiwan itupun kemudian duduk diruang dalam bersama Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah. Sementara ketika pembantu rumah itu menghidangkan minuman, Glagah Putih sempat bertanya, "Bagaimana dengan pliridan kita?" "Rusak berat," jawab pembantu itu. "Kenapa?" bertanya Glagah Putih. "Entahlah. Mungkin anak-anak nakal itu mendendam atau mungkin ada persoalan lain yang aku tidak tahu." jawab pembantunya itu. "Mungkin air naik dan merusak tanggul?" bertanya Glagah Putih pula. "Tidak. Bekasnya pasti dirusak oleh seseorang." jawab anak itu. "Jadi kita tidak dapat lagi memungut ikan dimalam hari?" desak Glagah Putih. "Aku sudah memperbaikinya." anak itu berhenti se"jenak, "he, kau pergi kemana saja selama ini" Jika aku menunggumu, maka untuk beberapa hari kita tidak mendapat ikan." Glagah Putih hanya tersenyum saja. Sementara itu, anak itu berkata, "Marilah, kita lihat pliridan itu. Masih memerlukan beberapa perbaikan." "Aku masih letih." jawab Glagah Putih sambi tersenyum. "Kau pergi keluar beberapa hari, tahu-tahu kau pulang sambil mengeluh keletihan." desis anak itu, "bukankah itu salahmu sendiri." Glagah Putih tertawa. Katanya, "Baik. Baiklah. Nanti sebentar kita pergi ke sungai." Pembantu Agung Sedayu itupun kemudian meninggalkan Glagah Putih, sementara yang lain hanya tersenyum saja melihat tingkah laku anak yang lugu itu. Sementara Glagah Putihpun tidak ingin membuatnya kecewa. Setelah Glagah Putih sempat meneguk minuman hangat dan menelan beberapa potong makanun, maka mulailah Agung Sedayu bertanya tentang kepergiannya. "Kau hanya minta ijin untuk satu dua hari." berkata Agung Sedayu, "karena itulah kami menjadi gelisah disini." "Aku sudah mengira." jawab Glagah Putih, "tetapi aku tidak dapat menolak ajakan Raden Rangga." Agung Sedayupun mengangguk-angguk.
Breaking Dawn 4 Pembunuhan Di Sungai Nil Death On The Nile Karya Agatha Christie Iblis Dan Bidadari 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama