08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 5
Ki Tumenggung Purbarana tersenyum. Katanya, "Mereka tidak memerlukan tempat yang baik, mereka adalah prajurit yang dapat saja berada di segala medan. Karena itu, biarlah mereka mencari tempat sendiri."Demikianlah maka Ki Tumenggung telah membawa pasukannya memasuki padepokannya. Sebagaimana dikatakan oleh Ki Tumenggung, maka para pengikutnya itupun kemudian telah tersebar di halaman dan kebun di seluruh padepokan. Mereka duduk-duduk di bawah pepohonan. Perjalanan yang mereka tempuh adalah perjalanan yang melelahkan. Tetapi dua hari pertama dari pengembaraan mereka yang akan memakan waktu tidak terbatas itu bukannya awal yang segar. Mereka harus sudah mulai dengan menahan haus dan lapar. Namua ketika mereka bermalam di hutan yang membentang di seberang Kali Regunung, mereka sempat berburu binatang hutan.
Demikianlah, maka putut yang menerima kedatangan Ki Tumenggung itupun kemudian telah pergi ke Sanggar. Dengan hati-hati ia memasuki Sanggar yang tidak terlalu terang. Sebagaimana biasanya, maka putut itu duduk di sudut sanggar sambil menunggu. Bukannya putut itu yang harus berbicara lebih dahulu. Tetapi putut itu menunggu gurunya bertanya kepadanya.
Setelah duduk sejenak, barulah terdengar suara gurunya, "Ada apa Pradapa?"
Putut itu mengangkat wajahnya Dilihatnya gurunya masih duduk di sebuah tonggak. Sepotong kayu glugu.
"Guru," berkala putut itu, "padepokan kita telahmenerima tamu."
"Siapa?" bertanya gurunya.
"Ki Tumenggung Purbarana," jawab pulut itu.
"Purbarana?" jawab gurunya, "dengan siapa ia datang kemari" Sudah lama sekali ia tidak pernah menjenguk padepokan ini."
Putut Pradapa memandang gurunya sejenak. Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya kembali sambil menjawab, "Guru, Ki Tumenggung datang bersama pasukannya."
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara hambar ia bertanya, "Apakah ia sedang bertugas?"
"Aku kurang tahu guru. Pasukannya memang membawa perbekalan dan senjata selengkapnya," jawab putut itu.
Gurunya mengangguk-angguk. Tetapi sama sekali tidak terbersit kegembiraan di wajahnya ketika ia mendengar bahwa muridnya yang telah lama tidak berkunjung ke padepokannya itu datang. Muridnya yang telah memanjat dalam jenjang keprajuritan di Pajang dan menjadi seorang Tumenggung.
Namun demikian gurunya itupun berkata, "Katakanlah kepadanya, Aku sebentar lagi akan datang"
"Baik guru," jawab putut itu.
Putut Pradapa kemudian telah meninggalkan sanggar. Ditemukannya Ki Tumenggung Purbarana yang berada di pendapa padepokan itu. Sementara prajurit-prajuritnya tersebar di bawah pepohonan yang rimbun.
"Bagaimana dengan guru?" bertanya Ki Tumenggung Purbarana.
"Aku lelah menyampaikannya. Sebentar lagi guru akan datang," jawab Putut Pradapa.
"Apa yung sedang dilakukan di sanggar?" bertanya Purbarana.
"Samadi," jawab putut itu.
Purbarana termangu-mangu sebentar. Namun ia tidak bertanya lagi.
Dalam pada itu, sepeninggal Putut Pradapa, gurunya telah kembali ke dalam dunia heningnya, dipusatkannya nalar budinya, memanjatkan doanya, semoga semuanya diberi jalan terang.
"Jangan lepaskan hamba dari tuntunan Yang Maha Agung dan jauhkanlah hamba dari segala godaan," mohon guru Purbarana itu di dalam doanya.
Sejenak kemudian, maka guru Purbarana itupun telah turun dari tempat duduknya. Perlahan-lahan ia melangkah keluar dari sanggarnya yang remang-remang.
Ketika ia membuka pintu, cahaya matahari mulai menjamah wajahnya. Terasa cahaya itu sangat menyilaukannya.
Demikianlah setelah menutup pintu sanggarnya, maka guru Ki Purbarana itupun melangkah perlahan-lahan menuju ke pendapa. Nampak ada kerisauan di dalam hatinya, justru muridnya yang sudah lama tidak pernah datang berkunjung itu mengunjunginya. Apalagi ketika dilihatnya para pengikut muridnya dengan aenjata di tangan bertebaran di halaman dan kebun padepokannya.
"Guru," Ki Tumenggung Purbarana dengan telah tergesa-gesa menyongsongnya dan turun dari pendapa, ketika ia melihat gurunya selangkah demi selangkah mendekati pendapa itu.
Ki Tumenggung Purbarana irtupun kemudian menerima salam gurunya dan mencium tangannya sambil berkata, " Aku mohon maaf guru, bahwa sudah terlau lama aku tidak datang menghadap."
"Tidak apa anakku. Aku tahu bahwa kau sedang sibuk. Apalagi pada saat-saat terakhir ini." jawab gurunya.
"Ya guru," berkata Ki Tumenggung pula, "rasa-rasanya aku tidak mempunyai waktu untuk duduk barang sekejap. Persoalan yang aku hadapi terasa sangat pelik dan memerlukan perhatian yang merampas segala waktuku."
"Ya, ya," gurunya mengangguk-angguk, "marilah, duduklah kembali di pendapa."
Ki Tumenggungpun kemudian mengikuti gurunya naik kembali ke pendapa dan duduk kembali di atas sehelai tikar pandan yang putih.
"Kedatanganmu sangat mengejutkan," berkata gurunya, "kau diikuti oleh sepasukan yang membawa perbekalan dan senjata lengkap."
"Ya guru," jawab Ki Tumenggung, "aku sedang bertugas."
Gurunya mengangguk-angguk, katanya, "Aku sudah menduga bahwa kau sedang bertugas."
"Ya, dan aku mohon ijin untuk beristirahat di padepokan ini barang satu dua hari," berkata Ki Tumenggung.
"Silahkan anakku," jawab gurunya, "padepokan ini adalah padepokanmu pula. Tetapi justru dengan demikian kaupun mengetahui, bahwa yang ada di padepokan ini tentu tidak dapat memadai bagi seluruh pasukan yang datang bersamamu. Mungkin tempatnya tidak mencukupi, mungkin jika dihidangkan, rnakanan dan minuman yang kurang memenuhi selera kalian."
Ki Tumenggung Purbarana tertawa. Katanya, "Kami adalah orang-orang yang terbiasa berada di segala medan. Karena Itu, apapun yang ada di padepokan ini sudah terlalu mencukupi bagi kami. Bahkan kamipun akan dapat berusaha untuk mencari dan menyelenggarakan makan kami sendiri Bukankah di sebelah padepokan ini ada hutan yang lebat yang mana menyimpan berbagai jenis binatang buruan" Dengan demikian maka kami tidak akan dengan cepat mengeringkan lumbung padepokan ini."
Gurunya rnengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, "Tugas apakah yang sedang kalian lakukan sekarang ini?"
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Nanti malam aku akan berceritera panjang. Sekarang, parkenankanlah kami beristirahat."
Gurunya mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Beristirahatlah. Para cantrik akan menjamu kalian betapapun sederhananya. Sementara itu jika kalian ingin berburu di hutan itu, silahkan. Hutan itu memang masih menyimpan binatang buruan yang berlebihan."
"Ya, guru," jawab Ki Tumenggung, "beberapa orang diantara kami memang sedang berada di hutan itu. Sebentar lagi mereka akan datang sehingga para cantrik tidak usah bersusah payah menyediakan lauk buat kami. Jika mereka sudah menanak nasi, biarlah lauknya kami membuatnya sendiri."
Gurunya mengangguk-angguk. Tetapi agaknya Tumenggug Purbarana memang tidak tergesa-gesa ingin menyampaikan sesuatu maksud kepadanya.
Karena itu, gurunyapun tidak menanyakan lagi tugas-tugas apa yang sedang diemban oleh Purbarana
Tetapi gurunya bukannya orang yang tidak memiliki panggraita yang tajam, apalagi ternyata bahwa gurunya itu pun memiliki kemampuan mengurai setiap peristiwa dengan cermat.
Tetapi gurunya memang menunggu sampai saatnya Purbarana itu akan berbicara tentang dirinya.
Beberapa saat kemudian maka Purbarana dan orang-orangnya telah menikmati hidangan yang disuguhkan oleh para cantrik. Sementara itu beberapa orang yang berburu ke hutan telah kembali membawa beberapa ekor binatang buruan. Dengan demikian maka merekapun segera menyalakan api dan menjadikan binatang buruan itu lauk yang nikmat.
Demikianlah, maka sebagaimana dikatakan oleh Ki Tumenggung Purbarana, maka ketika malam mulai menyelubungi padepokan itu, Ki Tumenggung telah menghadap gurunya untuk menyampaikan suatu yang dianggapnya penting.
Dengan tidak disaksikan oleh siapapun juga, maka di pringgitan Purbarana berkata kepada gurunya, "Guru, Aku tidak dapat melihat ketidak adilan yang berkembang di Pajang sekarang ini."
"Maksudmu kuasa Adipati Wirabumi?" bertanya gurunya.
"Wirabumi hanya wayang yang digerakkan oleh Panembahan Senapati," jawab Ki Purbarana.
"Jadi maksudmu, ada ketimpangan di dalam kekuasaan Penambahan Senapati, khususnya yang dilaksanakan olah Wirabumi di Pajang?" bertanya gurunya pula.
"Sebenarnya tidak hanya di Pajang, tetapi di mana mana. Karena itu, maka kuasa Panembahan Senapati memang harus ditentang," jawab Purbarana.
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Sudah terlalu lama rakyat mengalami ketidak pastian. Karena itu maka sebenarnya sudah tiba waktunya bagi rakyat Mataram untuk mendapat kesempatan hidup dengan tenang. Membangun negeri dan kehidupan mereka masing-masing."
"Sikap yang terlalu tergesa-gesa," desis Purbarana, "guru, jika kita tidak bergerak sekarang, rnaka kuku kekuasaan Loring Pasar yang sekarang menyebut dirinya Panembahan Senapati itu akan semakin mencengkam daerah yang luas di bekas tlatah Majapahit. Karena itu maka kita harus dengan cepat menghancurkan kekuasaan itu."
"Purbarana," berkata gurunya kemudian, "apa yang akan kau pergunakan untuk menentang kekuasaan Mataram" Mataram memiliki kekuatan yang dapat mengalahkan kekuatan Pajang pada waktu kedua pasukan itu berhadapan di pinggir Kali Opak Apalagi harus diakui, bahwa kekuatan perang pada waktu itu didukung oleh kekuatan di luar batas keprajuritan. Ada beberapa puluh padepokan yang terlibat dalam satu janji harapan, bahwa padepokan-padepokan itu akan menjadi Tanah Perdikan jika kekuasaan Majapahit lama itu akan dapat lahir kembali.
Ki Tumenggung Purbarana mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berkata, " Guru hal seperti itu tidak dapat terjadi jika Kangjeng Sultan sendiri memang tidak dengan sengaja menyerahkan kekuasaan Pajang kepada Mataram. Kangjeng Sultan yang memaksa untuk memimpin sendiri peperangan rtu, dengan kuasanya telah menahan pasukan yang berada di dalam induk gelar Pasukan Pajang sendiri, selain pasukan khusus yang berada di sayap. Pasukan dari Jipang, dan Tuban dan dari Kadipaten lain tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan demikian maka hanya sebagian kecil saja dan Kekuatan Pajang yang bertempur menghadapi Mataram."
"Bukankah dengan demikian berarti bahwa Kangjeng Sultan memang sudah melihat, bahwa pulung kraton akan berpindah ke Mataram," berkata gurunya.
"Tidak," jawab Ki Tumenggung, "yang terjadi adalah satu permainan yang licik. Karena itu, maka aku akan menghimpun kekuatan untuk menghadapi Mataram yang sebenarnya sangat ringkih. Namun akupun mengakui bahwa dalam tahap pertama aku tidak akan dapat menghadapi Mataram langsung sebagaimana Pajang. Tetapi aku mempunyai cara yang sudah aku perhitungkan baik-baik. Aku akan menghancurkan unsur-unsur kekuatan Mataram, baru kemudian Mataram akan runtuh dengan sendirinya. Apalagi jika Madiun benar-benar dibayangi oleh kekecewaan yang tidak terkekang. Maka pertempuran antara Mataram dan Madiun akan membuat Mataram semakin lemah."
"Lalu apa maksudmu dengan kedatanganmu di padepokan ini?" bertanya gurunya.
"Guru, sebagaimana guru mengetahui, bahwa baik di Tanah Perdikan Menoreh, maupun di Sangkal Putung, ada kekuatan kekuatan yang sulit untuk diatasi. Aku tidak silau memandang Agung Sedayu dan Swandaru. Aku juga tidak cemas menghadapi Pasantenan dan Mangir. Bagelen dan Kedu akan aku jadikan landasan kekuatan, mengimbangi kekuatan di sebelah Timur yang berpusat di Madiun," berkata Ki Tumenggung. "Namun yang membuat aku berprihatin adalah orang yang disebut Kiai Gringsing dan Ki Gede Menoreh itu sendiri."
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku mengerti Purbarana. Kau akan menyerang Tanah Perdikan Menoreh atau Sangkal Putung. Tetapi menurut perhitunganmu di Sangkal Putung ada Kiai Gringsing sementara di Tanah Perdikan Menoreh terdapat Ki Gede Menoreh. Kau akan minta kepadaku untuk membantumu, melawan Kiai Gringsing di Sangkal Pulung dan membunuh Ki Gede Menoreh di Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin juga kau ingin aku menghadapi Ki Gede Pasantenan dan Ki Wanabaya, begitu?"
Purbarana mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tertawa kecil sambil menjawab, "Ya, begitulah guru. Sementara aku sendiri akan mampu numbunuh Agung Sedayu dan Swandaru."
Tetapi gurunya rnenggelengkan kepalanya. Katanya, "Ingat Purbarana. Agung Sedayu mampu membunuh Tumenggung Prabadaru. Apakah kau sudah melupakannya" Menurut pengamatanku, kau tidak memibki kemampuan setingkat dengan Prabadaru.
Purbarana memandang gurunya dengan wajah yang tegang. Sambil menarik nafas ia bergumam seakan-akan kepada diri sendiri, "Aku tidak yakin, bahwa Prabadaru memiliki ilmu yang lebih baik dari aku."
"Jadi kau tidak yakin Purbarana," sahut gurunya. "Kau belum memiliki tingkat kemampuan sebagaimana Ki Tumenggung Prabadaru"
"Guru sengaja membuat hatiku kecil atau mungkin guru bermaksud agar aku tidak merasa terlalu besar berhadapan dengan Agung Sedayu sehingga aku menjadi lengah?" bertanya Purbarana.
"Aku memang ingin mengatakannya. Maksudku jelas, agar kan tidak meneruskan niatmu yang dapat membuat rakyat Pajang menjadi sernakin menderita," jawab gurunya. "Sebaiknya kita semuanya memberi kesempatan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senapati. Anak siapa pun juga orang itu, tetapi ia sekarang memimpin pemerintahan di Mataram yang menggantikan kedudukan Pajang."
"Guru," berkata Ki Tumenggung Purbarana, "aku tidak mau membuat kesalahan sekarang ini yang akan dapat menjadi semakin besar dan akibatnya akan mencekik anak cucu kita. Aku tidak mau dikutuk dalam kuburku kelak dan oleh anak cucu, bahwa semasa hidupku aku tidak dapat berbuat sesuatu yang berarti bagi mereka, sehingga hidupku adalah sia-sia belaka."
"Kau memandang masa depan dengan cara yang salah anakku. Sebenarnya kau dapat melihat ke masa depan yang panjang dari sudut yang lain," berkata gurunya. Lalu, "Kau justru akan dianggap sebagai seorang yang tidak memberi kesempatan kepada masa depan untuk dibenahi sekarang. Kau telah rnerampas waktu dan kesempatan yang sebenarnya akan dapat lebih berarti daripada sekedar saling berperang. Saling membunuh dan dengan demikian maka dendam akan tumbuh tanpa dapat dikendalikan sampai ke anak cucu kita.
"Guru sekarang menjadi sangat lemah," berkata Ki Purbarana, "mungkin usia guru yang semakin tua membuat guru kehilangan gairah perjuangan," desis Ki Tumenggung Purbarana.
"Mungkin Purbarana," jawab gurunya, "tetapi mungkin kaulah yang terlalu bernafsu menuruti satu sikap yang tidak kau kaji kebenarannya. Kau condong untuk melakukan satu tindak kepahlawanan sebagaimana sifat seorang kesatria. Tetapi tujuan dari sikap kepahlawananmu itu kabur dan bahkan bertentangan dengan makna kepahlawanan itu sendiri dalam arti yang luas dan merata."
Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Katanya dalam nada yang berat, "Nampaknya guru tidak sependapat dengan rencanaku."
"Anakku," berkata gurunya dengan nada yang dalam, "aku memang berusaha untuk memperingatkanmu, bahwa langkah yang kau ambil adalah langkah yang kurang menguntungkan. Baik bagimu sendiri maupun bagi rakyat Pajang dan yang kemudian dipimpin oleh Panembahan Senapati di Mataram. Sebaiknya kau melihat dengan sudut pandangan yang lebih luas dari kepentinganmu dan golonganmu."
Wajah Ki Tumenggung yang tegang menjadi semakin tegang. Bahkan dengan nada yang semakin keras ia bertanya, "Jadi guru tidak melihat satu gelora perjuangan dari langkah-langkahku sekarang ini?"
Gurunya termenung sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Purbarana, cobalah kan renungkan. Apa yang akan dapat kau lakukan" Seandalnya kau akan menempatkan dirimu melawan para Senapati di Mataram, apakah kau mengharap bahwa aku akan dapat menghadapi Panembahan Senapati" Mungkin aku memiliki keberanian untuk melakukannya. Tetapi itu akan sia-sia. Aku akan mati sebagai seorang pemberon
Balas " On 30 Juli 2009 at 17:32 Yudi Said:
Lanjutkan Gurunya termenung sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Purbarana, cobalah kan renungkan. Apa yang akan dapat kau lakukan" Seandalnya kau akan menempatkan dirimu melawan para Senapati di Mataram, apakah kau mengharap bahwa aku akan dapat menghadapi Panembahan Senapati" Mungkin aku memiliki keberanian untuk melakukannya. Tetapi itu akan sia-sia. Aku akan mati sebagai seorang pemberontak dan namaku akan selalu dicaci oleh keturunan kita di masa datang. Jangankan Panembahan Senapati itu sendiri, sedangkan orang yang mampu membunuh orang yang disebut Kakang Panji di Prambanan itupun tidak akan mungkin dapat aku atasi. Padahal jumlah orang orang yang berilmu tinggi diantara kita jauh lebih sedikit dari jumlah yang ada di Mataram. Apalagi jika dihitung dengan Sangkal Putung, Tanah Perdikan Menoreh, Pasantenan, Mangir dan jangan lupa Adipati Wirabumi di Pajang dan Adipati Jipang, Pangeran Benawa."
Gejolak di dada Ki Tumenggung hampir tidak terkendali. Dengan nada semakin keras ia berkata, "Guru membayangkan kekerdilan diri. Sudah kukatakan, kita tidak akan melawan mereka bersama-sama. Sementara itu, aku akan dapat minta bantuan paman Warak Ireng, paman Bagaswerdi, paman Linduk dan beberapa pemimpin padepokan lain. Bukankah paman Bagaswerdi adalah adik seperguruan guru dan paman Warak Ireng dan paman Linduk sangat menghormati guru."
Wajah gurunyalah yang kemudian menjadi tegang. Katanya, "Aku tidak sependapat bahwa kau berhubungan dengan Warak Ireng dan Linduk . Aku masih hormat kepada adik seperguruanku Bagaswara di Tegal Payung."
"Guru, segala cara akan aku tempuh untuk memenangkan perjuangan ini," jawab Purbarana
"Sebagaimana dilakukan oleh kakang Panji," desis gurunya.
"Ya," jawab Purbarana tegas.
"Itulah yang terasa sangat pahit bagiku, anakku. Dengan mempergunakan segala cara, maka kau sudah keluar dan paugeran hidup seorang kesatria. Karena dengan demikian rnaka kau akan dapat berbuat licik dan palsu. Bahkan kau akan terlempar keluar dari angger-angger hidup dalam hubungan kita dengan yang Maha Agung. Karena itu aku tidak akan dapat membenarkan segala cara. Memutihkan segala warna sebagaimana warna itu sendiri," berkata gurunya.
"Aku tidak perduli," geram Ki Tumenggung Purbarana. Namun kemudian suaranya merendah, "Maafkan aku guru Tetapi gelora di dalam dada ini rasa-rasanya sudah tidak terkendalikan lagi. Dan aku memang sudah bersumpah untuk tidak akan menyembah Panembahan Senapati, anak dari Sela keturunan pidak pedarakan yang berhasil menjilat kaki Hadiwijaya."
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya muridnya dengan sorot mata yang memancarkan belas kasihan. Karena itu, maka katanya kemudian, "Anakku, sebenarnya aku menaruh harapan kepadamu. Kau adalah muridku yang memiliki kesempatan paling baik untuk masa depan. Tetapi kau memang pantas dikasihani. Sebagai seorang guru ahu menjadi sangat prihatin melihat langkah yang kau ambil sekarang ini, karena seolah-olah aku melihatmu bagaikan seorang anak-anak yang bermain di tepi Jurang."
"Aku bukan orang yang pantas dibelas kasihani," Ki Tumenggung Purbarana hampir berteriak.
"Jika yang mengatakan hal itu bukan gurumu, kau memang dapat merasa tersinggung. Tetapi selama kau masih menganggap aku gurumu, maka kau akan berusaha untuk mengerti," jawab gurunya dengan sareh. Lalu katanya, "Anakku, meskipun aku tidak menyaksikan apa yang terjadi di Prambanan yang letaknya cukup jauh dari padepokan ini, tetapi aku sudah mendengar semuanya yang terjadi. Karena itu jangan kau ulangi kegagalan yang sudah terjadi berpuluh kali. Kau masih mempunyai kesempatan untuk kembali ke dalam Lingkunganmu di Pajang. Aku kira Adipati Wirabumi akan dapat mengerti jika kau berkata berterus-terang tentang keadaanmu."
Wajah Purbarana menjadi merah. Dengan suara yang bergetar olah gejolak perasaannya yang tertahan-tahan ia berkata, "Guru, sudah aku katakan. Aku pantang melangkah surut meskipun aku akan menjadi bangkai sekalipun."
Dahi gurunya berkerut semakin dalam. Katanya, "Purbarana, kau adalah muridku. Sudah tentu aku mengasihimu seperti ankku sendiri. Aku merasa bahwa sebagaimana murid-muridku yang lain, adalah bagian dari hidupku sendiri. Tetapi kali ini aku ternyata bersikap lain. Kau dapat saja bersumpah akan menentang Mataram sampai mati. Tetapi jika benar terjadi pertentangan dengan kekerasan maka bukan hanya kau yang akan mati. Jika hanya kau saja, tanah ini tidak akan meratap dengan sedih. Tetapi yang mati biasanya adalah justru putera-putera terbaik. Itulah yang pantas ditangisi."
"Tetapi guru pernah berkata, bahwa setiap perjuangan tentu akan menaburkan korban," jawab Purbarana.
"Benar anakku. Tetapi bukan korban yang sia-sia," jawab gurunya.
"Itulah kesalahan guru, karena guru menganggap bahwa perjuanganku adalah perjuangan yang tak berarti, sehingga korban yang jatuhpun guru anggap tidak berarti pula," geram Ki Tumenggung. Namun kemudian suaranya menjadi bernada keras, "Tetapi aku tidak akan mundur Aku minta guru membantu aku. Aku ingin mendengar jawaban guru."
Gurunya termangu-mangu sejenak. Namun sambil bernafas dalam sekali ia berkata, "Kau memang pantas untuk dikasihani."
"Cukup!" tiba-tiba saja Purbarana membentak, "ketika aku datang aku membawa harapan antuk dapat memenangkan perjuangan ini. Tetapi ternyata guru telah berkhianat."
Wajah gurunyalah yang menjadi merah. Namun hanya sekilas, karena sejenak kemudian, maka dengan tarikan nafas dalam-dalam, ia bedesis, "Aku maafkan kata-katamu anakku, karena hal itu kau ucapkan oleh dorongan perasaan yang tidak tertahankan. Tetapi apakah kau tahu arti sebenarnya dari sebuah pengkhianatan?"
Betapapun sabarnya gurunya, tetapi Purbarana benar-benar telah dibakar oleh kekecewaan yang tidak tertahankan. Dengan lantang ia berkata, "Tentu aku tahu pasti guru. Kau adalah contoh dari seorang pengkhianat yang baik. Karena itu sekali lagi aku bertanya, kau bersedia atau tidak?"
Gurunya menggeleng sambil menjawab, "Jangan memaksa aku anakku. Bahkan aku akan selalu berusaha mencegahmu. Aku ingin melihat pembunuhan dan pembantaian di antara sanak kadang sendiri ini diakhiri. Aku ingin melihat kita bersama-sama dalam keadaan tenang dan damai sempat membangun bagi diri kita masing-masing dan bagi hidup bebrayan."
"Cukup. Aku tidak perlu sesorahmu. Apakah guru menyadari, apa yang dapat aku lakukan di sini dengan pasukan segelar sepapan ini?" geram Purbarana.
"Kau mau apa anakku" Sudah lama aku menunggu kapan kau datang sambil membawa seikat sadak kinang, atau setangkai buah-buahan sebagai oleh-oleh buat orang tua. Namun yang kau lakukan jauh berbeda dengan yang aku harapkan," jawab gurunya.
"Segalanya tergantung dari sikap orang tua itu sendiri. Jika kau tahu diri maka aku tentu akan datang dengan oleh-oleh tidak hanya seikat sadak kinang atau setangkai buah-buahan. Tetapi aku akan membawa sepedati penuh. Tetapi guru bukan orang tua yang pantas dihormati. Dengar sekali lagi, aku datang dengan pasukan segelar sepapan. Betapapun tinggi ilmu guru, tetapi aku dapat memaksa guru untuk berbuat sebagaimana aku kehendaki," ancam Ki Tumenggung Purbarana.
Tetapi gurunya justru tersenyum. Katanya, "Kau jangan main-main seperti itu dengan orang tua. Mungkin aku memang akan mati jika kau ingin membunuhku dengan kekuatan seribu tangan dan seribu ujung senjata. Tetapi kau tahu, bahwa aku tidak mudah untuk kau perlakukan seperti itu. Meskipun mungkin ada seseorang yang akan melihat mayatku, para cantrik, cokol, manguyu, jejanggan dan para putut di sini, tetapi merekapun akan menemukan lebih dari separo orang-orangmu akan terbakar hidu-hidup oleh api yang akan dapat aku pancarkan kepada mereka. Dan kau adalah orang pertama yang akan mati di sini. Aku memang tidak berkeberatan jika kita mati bersama. Kita akan bersama-sama mengarungi alam hening, dalam kekosongan nafas dan denyut nadi, menghadap Tuhan Yang Maha Agung. Tetapi aku tentu tidak akan dapat memohon bagimu, maaf dan pengampunan atas segala dosa-dosamu."
Wajah Purbarana menjadi merah padam. Tetapi iapun kemudian menyadari, bahwa ia memang tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap gurunya. Bahkan mungkin pasukannyapun tidak akan mampu melakukan tekanan apapun kepada orang tua itu.
Ketika itu maka Purbarana tidak dapat menjawab sama sekali. Wajahnya yang merah oleh gejolak perasaannya justru telah menunduk.
"Purbarana, cobalah untuk memahami kata-kataku. Karena aku akan berbuat seperti yang akan kau lakukan. Jika kau benar-benar ingin rnemaksaku maka akupun akan benar-benar berbuat seperti yang aku katakan. Bahkan aku akan berusaha dengan cara apapun juga untuk mencegah, agar kau tidak akan membakar tanah yang sudah parah ini dengan api peperangan yang baru. Karena dengan demikian, maka yang akan mengalami penderitaan adalah rakyat kecil yang tidak banyak mengetahui persoalannya."
Purbarana tidak menjawab lagi. Kepalanya masih saja tunduk. Ia mencoba mendengarkan kata-kata gurunya dangan saksama.
"Nah, renungkanlah. Dan katakan, apakah yang akan kau lakukan selanjutnya," berkata gurunya.
Purbarana menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa gurunya tidak hanya sekedar menakut-nakutinya.
Gurunya adalah orang memiliki ilmu dan keteguhan hati. Karena itu apapun yang akan dilakukan-nya, namun ia tidak akan dapat memaksa gurunya berbuat sebagaimana yang dikehendakinya.
Karena itu, maka dengan suara lemah Purbarana menjawab, "Ampun guru. Aku mengerti semua keterangan guru."
"Lalu apa yang akan kau lakukan?" bertanya gurunya.
"Aku akan berusaha untuk menguasai diri sendiri," jawab Ki Tumenggung Purbarana.
Kening gurunya nampak berkerut. Dengan nada meninggi gurunya bertanya, "Jadi kau akan mengendalikan dirimu dan kemudian mencegah peperangan?"
"Ya guru. Aku akan berusaha. Aku akan mengendalikan para pengikutku, agar mereka tidak kehilangan kepercayaan kepadaku dan kemudian sependapat dengan aku mengurungkan peperangan."
"Bagus. Kau benar-benar anakku, Muridku, dan seorang kasatria yang jujur. Jika demikian, maka kau akan merupakan salah satu dan sekian banyak orang yang ikut menciptakan ketenangan di tanah Ini. Justru dalam keadaan yang sangat memerlukannya," berkata gurunya.
Ki Tumenggung Purbarana tidak menyahut. Namun kepalanya masih tetap saja menunduk dalam-dalam.
Beberapa saat kemudian gurunya masih memberinya beberapa petunjuk untuk dapat mengendapkan segala gejolak perasaan yang kadang-kadang bagaikan membakar jantung. Namun dengan menyadari dirinya dalam bubungannya dengan sesama dan dengan Tuhannya, maka gejolak perasaan itu akan dapat diatasinya.
Dalam pada itu maka gurunyapun kemudian berkata, "Baiklah Purbarana sekarang kau sebaiknya beristirahat sajalah. Kau sempat merenungi persoalanmu dan keadaanmu. Bahkan keadaan rakyat yang masih saja dibayangi kepahitan akibat dari peperangan. Meskipun ajang peperangan pada waktu itu berada di Prambanan, tetapi penderitaan yang disebabkan karena peperangan itu justru telah tersebar ke segala penjuru. Karena akibat peperangan tidak hanya sekedar terjadi di arena. Yang terbunuh di peperangan yang terbanyak justru bukan orang-orang Prambanan. Penyediaan bahan makanan diambil dari daerah-daerah subur yang mungkin jauh dari Prambanan dengan mengosongkan lumbung-lumbung di tempat-tempat itu. Dengan demikian yang basah oleh air mata karena peperangan yang telah kehilangan suami, kehilangan anak dan sanak saudara telah terpencar sampai ke ujung daerah Pajang. Dan yang kemudian mengalami kesulitan panganpun terpencar di daerah yang luas."
Ki Tumenggung Purbarana mengangguk-angguk. Sejenak ia termangu-mangu, namun kemudian dari sela-sela bibirnya terdengar suaranya dalam nada rendah, "Baiklah guru, aku mohon diri untuk beristirahat.
"Pergilah," jawab gurunya, "pandai-pandailah memberi penjelasan kepada orang-orangmu. Mudah-mudahan merekapun dapat mengerti."
Ki Tumenggung itu mengangguk. Kemudian ia pun bergeser meninggalkan ruangan itu.
Namun sekilas ia sempat melihat sebilah keris yang besar terselip di punggung gurunya. Keris yang pernah dikenalnya dahulu sebagai pusaka gurunya yang memiliki tuah yang sangat besar. Dengan keris itu gurunya seakan-akan mampu membelah gunung dan mengeringkan lautan. Ilmu kebal yang betapapun kuatnya, rnaka ujung keris itu akan mampu menembusnya. Ketajaman warangannya membuat setiap sentuhan berarti maut.
"Kiai Santak," desis Ki Tumenggung Purbarana di dalam hatinya, "Keris yang tidak pernah terpisah dari tubuh guru. Dengan keris itu, pasukanku sama sekali tidak akan berarti. Seperu yang dikatakan guru, seandainya guru dapat juga terbunuh karena lawan yang berlipat seribu kali, namun separo dari lawan-lawannya tentu akan mati juga. Bukan saja karena guru memiliki ilmu yang mampu membakar lingkungannya, tetapi keris itu adalah perlambang dari keperkasaannya."
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian KiTumenggung Purbaranapun telah meninggalkan gurunya dengan kepala tunduk. Berulang kali ia berusaha untuk menelaah nasehat gurunya. Namun setiap kali ia telah kehilangan makna dari kata-kata gurunya itu.
Malam itu Purbarana berbaring dengan sangat gelisah. Dadanya seakan-akan tengah membara. Dinginnya malam serasa bagaikan panasnya uap air yang sedang mendidih.
Malam itu sendiri mengalir dengan lambatnya. Bintang-bintang yang tergantung di langit bergeser perlahan-lahan. Sementara itu jengkerik yang berderik melagukan kegelisahan di keheningan malam.
Sekali-kali di hutan yang tidak terlalu jauh dari padepokan itu masih terdengar aum seekor harimau yang marah karena kehilangan buruannya.
Dan malampun berdenyut dengan nadi kehidupannya sendiri yang terhenti di siang hari, tetapi mulai berputar kembali sesaat setelah matahari terbenam.
Ketika matahari kemudun mulai membayang, maka Ki Tumenggung Purbarana telah terbangun pula. Ketika ia pergi ke pakiwan, dilihatnya gurunyapun baru saja membersihkan dirinya.
Jantung Ki Tumenggung Purbarana terasa berdenyut semakin cepat. Ketika gurunya tersenyum kepadanya, maka iapun mengangguk hormat. Namun kemudian terasa tubuhnya bergetar.
Segalanya telah dipersiapkannya dengan masak. Orang-orang yang ditunjuknya telah melakukan tugas masing-masing. Sehingga dengan demikian maka rencananya tentu akan berlangsung sebagaimana dikendakinya.
Setelah membersihkan diri, maka Ki Tumenggung Purbaranapun telah membenahi pakaiannya, Iapun segera bersiap sebagaimana seorang yang siap untuk turun ke medan. Tetapi Ki Tumenggung tidak segera meninggalkan biliknya.
Dengan gelisah ia berjalan hilir mudik di dalam biliknya yang tidak terlalu luas. Sekali-sekali ia menjengukkan kepalanya ke pintu. Namua pintu itupun kemudian kembali ditutupnya lagi.
Dalam pada itu, tiba-tiba padepokan kecil itu menjadi gempar. Di ruang dalam terdengar beberapa orang cantrik yang berlari-lari sambil berteriak, "Panembahan, Panembahan."
Ki Tumenggung Purbarana meloncat keluar. Dengan sigapnya ia berlari ke ruang dalam. Dengan kekuatannya yang sangat besar ia menguak beberapa orang cantrik yang berdiri di pintu bilik gurunya.
"Minggir, ada apa?" teriak Ki Turnenggung.
Ketika ia meloncat masuk maka iapun tiba-tiba telah tertegun. Dilihatnya gurunya terbaring di amben bambu. Dari mulutnya keluar cairan berwarna merah kehitaman. Sementara itu di tangannya masih tergenggam bumbung obat yang belum sempat diminumnya.
"Guru!" Ki Tumenggung Purbarana mengguncang tubuh gurunya. Tetapi tubuh itu telah membeku. Ketika Ki Tumenggung Purbarana melekatkan telinganya ke dada orang itu, maka iapun menggeleng lemah sambil berdesis, "Guru telah meninggal."
Namun tiba-tiba wajahnya menjadi liar. Dipandanginya para cantrik dan para pengikutnya yang ada di dalam ruangan itu serta yang berjejal di pintu. Dengan suara bergetar ia berkata, "Siapa yang telah berbuat curang ini" Siapa" Siapa yang telah membunuh guru dengan cara yang sengat licik."
Para cantrik menjadi ketakutan. Selangkah demi selangkah mereka mundur. Sementara itu. Ki Tumenggung Purbaranapun segera meloncat ke nampan yang terletak di ats dingklik kayu. Di atasnya terdapat sebuah teko berisi air panas dan di sebelahnya terdapat beberapa potong gula kelapa. Sebagaimana biasa, gurunya di pagi hari duduk di amben bambu itu sambil minum minuman panas sebelum ia turun ke halaman atau ke sawah untuk bekerja.
Sejenak Ki Tumenggung Purbarana mengamati minuman itu. Namun tiba-tiba ia menggeram, "Racun. Tentu racun di dalam minuman ini."
Adalah di luar dugaan semua orang yang hadir di ruang itu, ketika tiba-tiba saja Ki Tumenggung telah menarik seorang cantrik yang berdiri termangu-mangu. Sambil menyodorkan bumbung minuman panas itu ia membentak, "Minum! Minum!"
Cantrik itu menjadi gemetar. Tetapi tangan Ki Tumenggung bagaikan tarikan kekuatan seekor kerbau liar, sehingga cantrik itu tidak mampu untuk bertahan berdiri di tempatnya.
"Minum!" teriak Ki Tumenggung.
"Tidak," jawab cantrik itu, "bukankah minuman itu beracun."
"Dari mana kau tahu" Apakah kau memang telah meracun guru?" bentak Ki Tumenggung.
Wajah cantrik itu menjadi putih seperti kapas. Namun ketika Purbarana mengguncang tubuhnya, maka cantrik itu tidak dapat melawan.
"Kita akan membuktikan, apakah guru memang telah dikhianati," teriak Ki Purbarana. "Jika benar telah terjadi pengkhianatan terhadap guru, maka semua cantrik akan aku bunuh tanpa ampun."
"Tidak!" teriak cantrik itu, "tidak seorangpun yang akan berkhianat."
"Tetapi guru telah diracun. Atau buktikan, bahwa guru tidak meninggal karena racun," teriak Ki Tumenggung Purbarana.
Cantrik itu sama sekali tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Sementara itu kawan-kawannyapun telah menggigil pula melihat kemungkinan yang akan dapat terjadi pada kawannya itu. Sementara di pintu, prajurit pengikut Ki Tumenggung berdiri dengan senjata siap di tangan.
Namun dalam pada itu, ketika Ki Tumenggung hampir saja menuangkan minuman yang tersisa ke dalam mulut cantrik itu, tiba-tiba saja seorang telah berusaha menyibak. Di luar pintu terdengar suara, "Minggir, Aku akan melihat keadaan guru."
"Siapa orang itu?" bertanya Ki Purbarana.
Beberapa orang berpaling. Tetapi mereka tidak segara melihat, siapa yang berdiri di luar pintu.
Namun dalam pada itu para prajurit yang ada di luar pintu melihat Putut Pradapa berdiri tegak dengan wajah yang merah membara.
"Beri aku jalan," berkata Putut Pradapa, "aku ingin melihat keadaan guru."
"Kenapa baru sekarang kau datang?" bertanya seorang prajurit.
"Aku berada di sawah ketika peristiwa ini terjadi. Aku mmendengar laporan bahwa guru telah meninggal akibat keracunan yang sangat tajam, sehingga guru tidak sempat minum obat yang tentu akan dapat menyelamatkan jiwanya," jawab Putut Pradapa, "bahkan ketika aku langsung menuju ke dapur ternyata juru patahan yang biasa membuat minuman bagi guru telah meninggal pula. Juga karena keracunan. Sekarang aku mendengar Tumenggung Pubarana memaksa seorang untuk minum sisa minuman guru. Aku tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Apalagi jika yang akan dipaksa minum itu adalah seorang cantrik."
"Kau mengigau," bentak seorang prajurit.
"Aku mendengar Ki Tumenggung berteriak memaksa seseorang untuk minum," jawab Putut Pradapa.
"Omong kosong," jawab prajurit itu.
"Beri jalan," berkata Putut Pradapa.
"Tidak seorangpun boleh masuk," jawab prajurit itu.
Sorot mata Putut itu bagaikan melontarkan lidah api yang menjilat tatapan mata para prajurit, sehingga para prajurit itupun di luar sadar mereka telah melemparkan pandangan mereka menyamping.
Dalam pada itu, putut itupun tidak lagi menghiraukan para prajurit. Meskipun beberapa ujung senjata teracu, namun putut itu melangkah terus, sehingga diluar sadar, para prajurit itupun telah menyibak.
Para cantrik yang di dalam akhirnya melihat juga putut itu masuk. Rasa-rasanya mereka telah tersiram air dingin dalam panasnya terik matahari yang membakar. Cantrik yang berada di tangan Ki Tumenggung tiba-tiba sa ja telah meronta, sehingga berhasil melepaskan diri dari pegangan Ki Tumenggung yang tidak mengira hal itu akan dilakukan. Dengan serta merta cantrik itupun kemudian berlari dan seakan-akan bersembunyi di belakang putut yang dianggapnya sebagai saudara tuanya.
Sejenak putut itu berdiri berhadapan dengan Ki Tumenggung Purbarana. Dengan tajamnya Ki Tumenggung memandangi wajah putut itu. Namua putut itupun sama sekali tidak menundukkan wajahnya.
"Di rnana kau selama ini?" bertanya Ki Tumenggung.
"Aku berada di sawah," jawab putut itu.
"Kau pantas dicurigai," Ki Tumenggung hampir berteriak.
Tetapi putut itu menjawab dengan suara berat, "Jangan mencoba mendahului tuduhanku. Tidak seorangpun dapat diyakinkan bahwa aku telah membunuh guru."
"Ia juga guruku. Aku adalah murid yang lebih tua darimu. Aku lebih berhak untuk berusaha memecahkan pengkhianatan ini dan menangkap orang yang dengan licik telah membunuh guru," geram Ki Tumenggung Purbarana.
"Minggirlah," berkata putut itu dengan suara berat, "aku akan melihat guru."
"Kau meracunnya. Kemudian kau pergi ke sawah setelah membunuh orang yang menyediakan minuman buat guru," suara Ki Tumenggung bergetar, "sekarang, kaulah yang harus minum sisa minuman guru unluk meyakinkan, bahwa guru memang telah diracun."
"Jangan bodoh," sahut putut itu, "dari kejauhan aku telah mengetahui bahwa guru telah diracun. Apalagi yang harus dibuktikan" Kecuali jika kau ingin rnencoba untuk minum racun itu pula.
"Sekarang beri aku seorang di antara cantrik-cantrikmu. Biarlah ia mencicipi racun itu. Kita akan segera mengetahui, apakah minuman itulah yang membuat guru dalam keadaan seperti itu," berkata Ki Tumenggung.
"Jangan mengada-ada Ki Tumenggung," jawab putut itu pula, "semuanya sudah jelas. Guru memang terbunuh oleh racun. Yang biasa membuat minuman guru pun telah mati oleh racun. Bukankah semua sudah jelas. Yang perlu diketahui kemudian adalah siapa yang telah membubuhkan racun itu, bukan membuktikan bahwa di dalam minuman itu terdapat racun."
"Kita harus melangkah setapak demi setapak. Kita akan membuktikan dahulu, apakah minuman itu beracun. Baru melangkah ke pengamatan berikutnya. Karena itu suruhlah cantrik itu untuk minum sisa minuman guru ini."
"Jangan kau suruh cantrik ini," jawab putut itu pula, "semuanya sudah jelas tentang racun itu. Tetapi jika kau masih juga ingin membuktikan, suruhlah seorang prajuritmu melakukannya."
"Gila!" teriak Ki Tumenggung Purbarana. "Akulah yang sekarang memerintah di sini. Bukan kau."
"Aku adalah putut di sini," jawab Putut Pradapa dengan jantung yang berdenyut semakin cepat. "Aku justru mencurigaimu. Seseorang melihat salah seorang prajuritmu berada di dapur. Mula-mula tidak ada kecurigaan atas orang itu. Tetapi setelah peristiwa ini terjadi, maka aku jadi curiga."
"Jangan mengigau," geram Ki Tumenggung.
"Sekarang suruh semua prajuritmu berdiri berjajar. Cantrik yang melihat orangmu berada di dapur itu akan dapat mengenalinya. Kemudian orang itu kita usut dengan sungguh-sunggub," berkata Putut Pradapa.
"Kau jangan mengada-ada. Akulah yang mengarnbil sikap. Semua orang harus tunduk kepadaku," Ki Tumenggung hampir berteriak.
"Aku mempunyai wewenang. Minggir, aku akan melihat keadaan guru. Jangan berbuat sesuatu yang dapat mempertebal kecurigaanku. Aku tetap pada pendirianku untuk berusaha mengenali orang yang berada di dapur menjelang dini hari, sebelum juru minuman itu menghidangkan minuman kepada guru sebagaimana dilakukannya setiap hari. Meskipun orang yang berada di dapur itu berpura-pura minta minum tetapi yang terjadi kemudian merupakan bukti pengkhianatannya. Agaknya orang itu tidak berdiri sendiri," berkata Putut Pradapa. "Karena itu menepilah. Aku harus memberikan keterangan kepada para cantrik dan penghuni padepokan ini semuanya. Baik yang ada di ruang ini, maupun yang berada di luar. Karena itu minggirlah."
Ki Tumenggung Purbarana termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, "Cepatlah. Tetapi jangan berbuat sesuatu yang dapat menyeretmu ke dalam mala petaka."
Putut Pradapa sama sekali tidak menghiraukannya. Ia melangkah maju mendekati gurunya yang terbaring diam. Noda-noda yang biru kehitam-hitaman telah tumbuh di wajah kulitnya. Terutama di lehernya dan di dadanya.
Namun dalam pada itu, di luar pengamatan Ki Tumenggung, Putut Pradapa telah meraba tikar di bawah bantal gurunya. Wajahnya menjadi semakin tegang. Tangannya sama sekali tidak menyentuh pusaka gurunya yang tidak pernah terpisah, yang selain berada di punggungnya, biasanya berada di bawah bantalnya. Bahkan di sisinyapun keris itu tidak ada pula."
Karena itu, maka putut itupun sadar, bahwa selain pembunuhan, maka telah terjadi perampokan atas pusaka gurunya yang sangat tinggi nilainya. Bukan saja karena pendoknya memang terbuat dari emas dan ukirannya bertreteskan intan berlian, namun tuah keris itu benar-benar menggetarkan orang-orang yang berniat buruk kepadanya. Keris itu perlambang keperkasaan gurunya yang luar biasa.
Gejolak jantung Putut Pradapa hampir tidak tertahankan lagi. Namun ia masih berusaha untuk mempergunakan nalarnya. Ia tidak boleh hanyut dalam arus angan-angan saja sehingga ia kehilangan jalan untuk menemukan yang dicarinya.
"Aku harus menemukannya, apapun yang dapat terjadi atasku," berkata Pulut Pradapa didorong oleh kesetiaannya kepada gurunya. Kematian gurunya dan hilangnya pusaka yang bernama Kiai Santak itu benar-benar satu malapetaka yang harus dibelanya sampai tarikan nafasnya yang terakhir.
Untuk sejenak Putut Pradapa itu justru bagaikan membeku. Namun iapun kemudian berpaling ketika ia mendengar Ki Tumenggung Purbaranaberteriak, "Cukup! Apa katamu tentang guru?"
Putut Pradapa berdiri tegak menghadap ke arah Ki Tumenggung Purbarana. Dengan wajah yang merah membara ia berkata, "Aku menuntut kematian guru dan akan mengusutnya sampai tuntas."
"Jangan banyak bicara. Suruh cantrikmu yang bermata seperti mata burung hantu itu untuk minum sisa minuman guru. Dengan demikian semua orang yakin bahwa guru memang telah diracun. Dan aku mencurigaimu justru pada saat guru meninggal kau tidak ada di tempat. Agaknya kau sudah merencanakan pengkhianatan ini sejak lama. Kedatanganku telah kau pergunakan sebagai satu kesempatan yang baik sekali untuk menghilangkan jejak," geram Ki Tumenggung.
Tetapi Putut Pradapa dengan tegas memotong, "Cukup. Perintahkan semua prajuritmu untuk berbaris. Seseorang akan dapat mengenali, siapakah di antara mereka yang berada di dapur sebelum minuman guru dihidangkan seperti biasa."
"Tidak perlu," jawab Ki Tumenggung, " kau tidak barhak mengatur usaha untuk menemukan pembunuh guru, karena aku sudah menemukannya. Kau."
"Dengar Ki Tumenggung," berkata Putut Pradapa, "prajurit-prajuritmu tentu tidak mengenal kebiasaan guru sebagaimana guru minum minuman panas di pagi hari di biliknya. Kau tentu mengenal kabiasaan itu. Dan kau perintahkan salah seorang prajuritmu untuk melakukan rencanamu."
"Tutup mulutmu! Aku dapat memerintahkan prajurit-prajuritku menangkapmu, menyeretmu ke halaman dan menggantungmu," teriak Ki Tumenggung Purbarana.
"Kau dapat saja mempergunakan kesewenang-wenanganmu dalam kelicikan yang memalukan. Apalagi kau seorang prajurit yang seharusnya mengenal arti kejantanan," jawab Putut Pradapa.
Namun kemarahan menghentak jantungnya ternyata tidak tertahankan lagi, sehingga ia berkata, "Ki Tumenggung, kau dengan licik telah menuduh aku. Sementara aku berkeyakinan bahwa kaulah yang telah membunuh guru, langsung atau tidak langsung, sekaligus merampok puasaka guru yang paling berharga. Kiai Santak. Karena itu, maka untuk membersihkan nama kami masing-masing, marilah kita berhadapan sebagai dua orang laki-laki. Darah kitalah yang akan menentukan, siapakah di antara kita yang telah membunuh guru. Meskipun seandainya aku harua mati terbunuh, betapapun aku tidak melakukan pembunuhan, maka biarlah tanggung jawab itu dilimpahkan pada pundakku.
"Gila," teriak Ki Tumenggung Purbarana, "apakah kau sedang mengigau?"
"Tidak. Aku menantangmu berperang tanding," jawab Putut Pradapa tegas.
"Apakah yang kau katakan itu sudah kau pikirkan?" bertanya Ki Tumenggung.
"Aku tidak perlu memikirkannya," jawab Putut Pradapa, "demi kesetiaanku kepada guru."
"Dengar, Aku dan kau adalah seudara seperguruan. Aku berguru lebih dahulu dan aku mempunyai unsur-unsur pelengkap jauh lebih banyak setelah aku menjadi seorang Tumenggung. Nah, bukankah dengan demikian kau hanya sekedar membunuh diri saja?" geram Ki Tumenggung.
"Apapun yang akan terjadi. Aku sudah bertekad untuk berperang tanding," berkata Putut Pradapa.
Ki Tumenggung Purbarana menjadi semakin buas. Tiba-tiba saja ia berteriak kepada prajurit-prajuritnya, "Siapakan arena, Putut ini akan membunuh diri."
Sejenak kemudian, maka di halaman padepokan itupun telah disiapkan sebuah arena untuk berperang tanding. Tidak ada guwar lawe atau patok bambu. Yang ada di seputar arena itu adalah batas lingkaran prajurit pengkut Ki Tumenggung Purbarana. Sekelompok cantrik bertumpul di satu sisi. Namun jumlah mereka terlalu sedikit dibandingkan dengan para prajurit dari Pajang yang sedang mengembara sambil membawa dendam yang membara di jantung mereka.
Tetapi Putut Pradapa tidak menghiraukan lingkaran di seputar arena itu. Siapapun yang berdiri memagari medan, yang menjadi pusat perhatiannya adalah Ki Tumenggung Purbarana.
Sesaat kemudian, kedua orang yang mengambil keputusan untuk berperang tanding itupun telah berdiri berhadapan di arena. Ki Tumenggung Purbarana sekilas memandang berkeliling. Dilihatnya para pengikutnya berdiri tegak rnelingkari arena dengan wajah yang tegang, sementara Putut Pradapa berdiri tegak bagaikan tertancap ke dalam bumi.
Keduanya sama sekali tidak membawa senjata apapun. Mereka mempercayakan diri kepada ilmu masing-masing yang memiliki kemampuan melampaui senjata kebanyakan.
Namun dalam pada itu. Ki Tumenggung masih juga bertanya, "He Putut gila, kenapa kau tidak membawa senjata apapun" Cobalah menggenggam senjata. Ujung senjatamu tidak akan dapat melukai kulitku."
Putut Pradapa memandang Ki Tumenggung itu dengan tajamnya. Katanya, "Kalau kau ingin membawa senjata, ambillah senjatamu. Aku tidak akan mempergunakan senjata. Aku lebih percaya kepada ilmu yang diberikan guru kepadaku daripada senjata apapun juga, kecuali Kiai Santak. Tetapi Kiai Santak itu sudah hilang dirampok orang dengan cara pengecut yang licik."
Ki Tumenggung Purbarana rnanggeretakkan giginya, ia benar-benar merasa dihina olah seorang Putut padepokan kecil. Sedangkan ia sendiri adalah seorang Tumenggung yang memimpin sepasukan prajurit.
Karena itu, maka iapun kemudian berteriak, "Bersiaplah. Kau merasa dirimu terlalu besar. Tetapi kau akan cepat menyesali kesombonganmu itu. Mayatmu akan segera terkapar dan para cantrik akan meratapimu, karena agak nya kau dianggap sebagai cantrik tertua di padepokan ini.
"Jika aku harus mati, aku tidak akan rnenyesal sama sekali," jawab putut itu.
"Dan seorang demi seorang, cantrik-cantrik yang dungu itu akan aku paksa minum sisa minuman guru, agar mereka tahu, bahwa pengkhianatan yang telah kalian lakukan harus ditebus dengan mahal sekali."
"Jika benar kau lakukan, maka kau tidak ubahnya seperti seekor serigala," geram putut itu.
"Katakanlah, bahwa aku menjadi lebih buas dari serigala," jawab Ki Tumenggung, "tetapi semua itu aku lakukan karena kesetiaanku kepada guru."
"Apapun yang kau katakan, tetapi jangan berkata tentang kesetiaan. Aku menjadi muak," bentak putut itu.
Wajah Ki Tumenggung menjadi semakin membara. Kemarahan di dadanya terasa semakin menghentak-hentak. Karena itu, maka katanya kemudian, "Bersiaplah. Bersiaplah. Aku tidak akan memberimu peringatan lagi."
Putut pradapa tidak menjawab, Iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan . Ia sadar, bahwa Ki Tumenggung Purbarana adalah saudaranya seperguruan. Bahkan saudara tua yang mungkin memiliki pengalaman yang lebih luas.
"Tetapi aku lebih dekat dengan guru," berkata Putut Pradapa, "mudah-mudahan ilmu yang sudah aku terima, akan mampu mengimbangi ilmu Tumenggung yang tamak itu."
Sejenak kemudian keduanya mulai bergeser. Sesaat kemudian Ki Tumenggung Purbarana mulai meloncat menyerang. Agaknya ia masih ingin menjajagi kemampuan adik seperguruannya yang tiba-tiba telah berani menempatkan dirinya menjadi lawannya.
Putut Pradapapun menyadari sikap itu. Karena itu maka iapun masih ingin mengetahui pula. apakah ia pada saatnya akan mampu menghadapi ilmu puncak saudara tua seperguruannya itu.
Namun Putut Pradapa tidak lagi merasa cemas apapun yang terjadi. Ia merasa wajib untuk membela kematian gurunya, bahkan seandainya iapun harus mati pula.
Ki Tumenggung ternyata mulai dari tataran yang terlalu rendah. Ia menganggap bahwa Putut Pradapa masih anak ingusan.
Tetapi ternyata dugaan itu keliru. Putut Pradapa bukan lagi sekedar anak ingusan. Dalam kesempatan yang terbuka, ternyata Putut Pradapa sempat mengenai lengan Ki Tumenggung.
"Gila," geram Ki Tumenggung, "kau berani mengotori tubuhku dengan kekasaran kulitmu, anak padepokan?"
Putut Pradapa tidak menyahut. Tetapi ia sadar bahwa dengan demikian Ki Tumenggung akan manjadi semakin marah dan akan mengerahkan kemampuannya lebih besar lagi.
Sebenarnyalah, sentuhan serangan putut itu telah memanasi darah Ki Tumenggung. Iapun bergerak semakin cepat. Loncatan-loncatannya menjadi semakin panjang dan ayunan tangannyapun menjadi semakin kuat.
Tetapi Putut Pradapa tidak ingin membung waktu terlalu banyak. Apapun yang akan terjadi, biarlah segera terjadi. Jika ia harus mati terkapar di halaman padepokannya karena membela kematian gurunya, maka biarlah hal itu segera terjadi.
Karena itu maka Putut Pradapalah yang meningkatkan ilmunya lebih cepat. Serangannya datang membadai. Seakan-akan tangannya telah berkembang dan sanggup menggapai lawannya dari segala arah.
"Anak setan," geram Ki Tumenggung, "kau kira dengan demikian aku akan mengagumimu?"
Putut Pradapa berdiam diri saja. Serangan-serangannyalah yang justru menjadi semakin cepat. Tanpa rnangucapkan sepatah katapun ia telah memaksa untuk meningkatkan perang tanding itu.
Ki Tumenggungpun akhirnya tidak lagi ragu-ragu. Ia sadar, bahwa anak padepokan itu ternyata merasa memiliki bekal yang cukup. Karena itu, maka iapun kemudian telah bertekad untuk segara sampai ke puncak ilmunya.
Semakin lama maka keduanyapun telah bertempur semakin garang. Benturan-benturan tidak lagi dapat dihindari. Tumenggung Purbarana memang memilikikemampuan yang tinggi. Ayunan tangannya bagaikan melontarkan badai yang rnendera Putut Pradapa. Tetapi Putut Pradapa itu rasa-rasanya mampu menghujamkan diri beralaskan kekuatan bumi. Dorongan kekuatan yang besar dari lawannya seakan-akan sama sekali tidak mengguncangkan tubuhnya.
Namun Ki Tumenggung masih memiliki kekuatan yang dapat melampaui deru badai yang sedang mengamuk. Ketika dengan garangnya Ki Tumenggung itu meloncat, tangannya mengembang dan kemudian berputar dalam ayunan yang mengarah ke kepala lawannya, maka tangan itu seakan-akan bagaikan membara.
Putut Pradapa melihat merahnya bara pada telapak tangan lawannya. Ia menyadari betapa dahsyatnya ilmu itu. Jika tangan itu menyentuh tubuhnya, maka kulitnya akan terbakar dan terkelupas.
Karena tu, dengan cepat, ia bergeser sambil memiringkan tubuhnya. Ketika tangan terayun sejengkal di depan tubuhnya, maka Putut itu justru meloncat mundur. Namun tiba-tiba saja iapun telah menyerang dengan dahsyatnya. Sebagaimana dilakukan oleh Ki Tumenggung Purbarana, maka telapak tangan Pulut Pradapa itupun telah membara pula.
"Anak iblis," geram Ki Tumenggung. Tetapi dengan tangkas ia sempat menghindar. "Kau sempat memiliki ilmu itu pula."
Putut Pradapa tidak menjawab. Tatapi lapun segera memburu dengan loncatan panjang. Sekali lagi tangannya terayun menyambar kening. Tetapi sekali lagi Ki Tumenggung sempat menghindarinya.
Dengan demikian, maka pertempuran yang terjadi antara Putut Pradapa dan Ki Tumenggung Purbarana itu sudah merambah ke daerah benturan ilmu yang tinggi. Mereka tidak lagi bertempur beradu tenaga dan kemampuan rnelepaskan tenaga cadangan, tetapi mereka sudah meningkat lebih tinggi lagi.
Dengan ilmu masing-masing, maka pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Tangan-tangan mereka yang berkembang bagaikan empat ekor burung kamamang dengan tubuh dan bulu-bulu yang membara, terbang berputaran. Setiap sentuhan berarti kulit yang terkelupas dan daging yang menghitam hangus.
Sementara itu, para prajurit Pajang yang menjadi pengikut Ki Tumenggung Purbarana rnenyaksikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar. Bagi mereka Ki Tumenggung Purbarana adalah lambang dari kekuatan yang tidak ternilai . Seandainya Ki Tumenggung Purbarana mendapat kesempatan yang luas sebagaimana Ki Turnenggung Prabadaru di medan ketika melawan Mataram, maka ia akan dapat menjadi imbangan kekuatan. Ki Tumenggung Purbarana telah ditarik justru berada di induk pasukan, di bawah pimpinan Adipati Wirabumi yang kemudian memerintah Pajang.
Namun demikian, anak padepokan yang sehari-hari dikenal sebagai putut yang hidup di dalam kotornya lumpur persawahan itu, ternyata mampu rnengimbangi kemampuan ilmu Ki Tumenggung Purbarana.
Dalam pada itu, para cantrikpun berdiri termangu-mangu. Mereka mengerti, bahwa Putut Pradapa telah menerima semua dasar ilmu dari gurunya meskipun masih harus dikembangkan. Karena itu, maka merekapun berpengharapan, agar Putut Pradapa mampu mengalahkan Senapati dari Pajang, yang menurut dugaan para cantrik, orang itulah yang sudah berkhianat terhadap gurunya sendiri.
08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan tegang, baik para pengikut Ki Tumenggung Purbarana maupun para cantrik, menyaksikan pertempuran yang menjadi semakin sengit. Dengan nafas yang kadang-kadang tertahan, mereka melihat keduanya saling menyerang dan saling msnghindar. Desak-mendesak dan dera-mendera dengan ilmu lasing-masing.
Dalam ketegangan itu, baik Ki Tumenggung Purbarana maupun Putut Pradapa telah merangkaikan ilmu mereka. Kemudian bukan hanya tangan-tangan mereka sajalah yang membara, tetapi tubuh-tubuh merekapun menjadi seakan-akan berasap. Udara di sekitar arena itupun menjadi semakin lama semakin panas, sehingga kedua belah pikah menyaksikan pertempuran itu telah bergeser surut, sehingga lingkaran perternpuran itupun menjadi semakin lebar.
Sementara itu, Ki Tumenggung Purbarana dan Putut Pradapa yang memiliki ilmu dari sumber yang sama itupun benar-benar telah menyentuh puncak ilmu meraka. Lontaran-lontaran pukulan dari jarak tertentu dengan memancarkan kekuatan panasnya api telah mmyambar-nyambar. Namun keduanya memang memiliki kecepatan gerak yang mampu melontarkan diri mereka untuk menghindari serangan-serangan itu.
Dengan demikian, maka di arena itu, panasnya api telah saling menyambar seperti pertempuran antara lidah api di udara. Meskipun para prajurit dan para cantrik tidak melihat, tetapi mereka dapat merasakan, bahwa pertempuran yang terjadi di arena itu adalah pertempuran yang sangat dahsyat antara dua orang yang berilmu tinggi.
Karena itu, maka lingkaran arena itupun menjadi semakin lama semakin luas. Mereka yang menyaksikan pertempuran itu sudah bergeser semakin jauh.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbaranapun telah merubah cara yang dipergunakannya. Ia tidak lagi mempercayakan diri pada lontaran-lontaran ilmunya. Tetapi ia ingin langsung mengenai lawannya dengan wadagnya yang telah membara. Ki Tumenggung ingin mengelupas kulit lawannya dan membakar dagingnya sehingga menjadi abu.
Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun kemudian berusaha untuk bertempur pada jarak yang lebih dekat. Sarangan-serangannya telah diberatkan pada serangan-serangan wadag. Tangannya kembali berputaran menyambar-nyambar.
Sementara itu, kemampuan keduanya melepaskan ilmu yang disadapnya dari panasnya api justru telah membakar mereka berdua, sehingga keringat bagaikan terpearas dari tubuh mereka. Tetapi keduanya memang memiliki daya tahan yang sangat besar, sehingga keduanya masih tetap bertempur dalam tataran ilmu yang tertinggi.
Dengan kamampuan Ki Tumenggung meluluhkan unsur-unsur ilmu yang berhasil disadapnya selama ia menjadi prajurit di Pajang, maka ia memiliki kemampuan lebih baik dalam pertempuran berjarak dekat. Ia memiliki kecepatan gerak dan unsur-unsur yang tidak dikenal oleh Putut Pradapa. Dengan menahan udara yang memanasi tubuhnya, maka Ki Tumenggung itu hampir berhasil menembus benteng pertahanan Putut Pradapa dengan sentuhan tangannya yang hampir mengenai tubuh lawannya.
Putut Pradapa bergeser surut. Namun Ki Tumanggung sama sekali tidak memberinya kesempatan. Dengan tangkasnya ia meloncat memburu. Serangannya datang demikian cepatnya.
Putut Pradapa berusaha untuk menghindari serangan lawannya. Ketika tangan Ki Tumenggung yang membara itu menyambar keningnya, maka ianun berhasil bergeser selangkah ke samping sambil menarik kepalanya sehingga tangan Ki Tumenggung itu terayun di sisi telinganya tanpa menyentuhnya.
Kegagalan itu telah membuat Ki Tumenggung mempersiapkan serangannya yang baru. Sekali ia berputar kemudian kakinyalah yang terbang mendatar.
Dengan sadar Putut Pradapa melihat serangan kaki itu. Tetapi ia sama sekali tidak bergeser. Sehingga meskipun Ki Tumenggung merasa bahwa kakinya telah mengenai lawannya, tetapi Putut Pradapa tergetarpun tidak. Bahkan dengan serta merta Putut Pradapa itpun dengan kecepatan yang sangat tinggi telah menyerang Ki Tumenggung yang berusaha untuk menarik serangan kakinya.
Ki Tumanggung tarkejut, dengan gugup ia melontarkan diri menghindar sehingga iapun kemudian telah jatuh berguling di tanah.
Tetapi Ki Tumenggung Purbarana memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Dengan cepat ia berhasil melenting berdiri. Sehingga ketika Putut Pradapa memburunya, ia sudah siap melawannya.
Putut Pradapa terhenti. Sekilas dipandanginya wajah Ki Tumenggung yang tegang. Namun kemudian terdangar Ki Tumangguag itu berdesis, "Lembu Sekilan."
Putut Pradapa tidak menjawab. Ternyata Ki Tumenggung menebak dengan tepat. Putut Pradapa memiliki ilmu Lembu Sekilan. Dengan demikian serangan kaki Ki Tumenggung tidak menggetarkannya.
Ki Tumenggung kemudian menyadari. Tetapi iapun sadar, bahwa betapapun tebalnya Lembu Sekilan, namun ilmu itu tidak akan dapat menahan serangan ilmunya. tangannya yang membara tidak akan dapat ditahan dengan ilmu Lembu Sekilan. Seandainya tangannya itu membentur juga, maka ilmu Lembu Seklan itu akan dapat ditembusnya. Karena tangannya yang membara itu melancarkan serangan ilmunya yang nggegirisi, yang tidak tersalur pada telapak kakinya. Karena itu, maka kakinya tidak mampu rnenemnbus ilmu Lembu Sekilan itu.
Sejenak kemudian, dengan kemarahan yang menghentak dadanya, Ki Tumenggung telah meloncat menyerang Putut Pradapa ia tidak lagi akan mempergunakan kakinya dan bagian-bagian tubuhnya yang lain, karena ia menyadari, serangan yang demikian tidak akan ada gunanya.
Karena itu. maka yang selanjutnya terayun-ayun adalah telapak tangannya yang membara, sekali-sekali diselingi dengan kekuatan ilmunya dari panasnya daya api yang terlontar dan menyambar-nyambar.
Dalam pada itu, ternyata Putut Pradapa yang meskipun masih lebih muda dalam tataran perguruan dari Ki Tumenggung Purbarana namun masih memiliki kelebihan. Meskipun ia datang lebih akhir tetapi ia selalu dekat dengan gurunya. Ia adalah murid yang tekun, rajin dan setia. Karena itu, maka pada dasarnya Putut Pradapa sudah menguasai semua ilmu dari perguruannya meskipun masih harus dikembangkannya.
Karena itulah, maka ternyata kemudian, bahwa dalam pertarungan ilmu, Putut Pradapa memiliki kelebihan selapis dari Ki tumenggung Purbarana.
Dengan demikian, maka lambat laun Ki Tumenggung itupun menjadi semakin terdesak. Dalam gerak naluriah, kadang-kadang Ki Tumenggung masih juga mempergunakan kakinya. Tetapi serangan kaki itu sama sekali tidak berarti bagi Putut Pradapa yang ternyata memiliki ilmu Lembu Sekilan yang mempunyai kemampuan mirip dengan ilmu kebal.
Sementara itu, para prajurit dan para cantrik melihat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di peperangan itu. Mereka melihat, bahwa Ki Tumenggung Purbarana mulai terdesak dalam benturan-benturan ilmu yang mereka sadap dari perguruan yang sama. Bahkan bagi Ki Tumenggung Purbarana, ilmu itu telah dilengkapi dengan pengalaman yang lebih luas dan unsur-unsur dari dasar ilmu yang lain.
Namun satu kenyataan telah terjadi. Ki Tumanggung Purbarana menjadi semakin terdesak. Serangan-serangannya sama sekali tidak berhasil menahan tekanan Putut Pradapa yang marah karena kehilangan gurunya.
Panasnya api dan sentuhan telapak tangan yang membara, membuat Ki Tumenggung kehilangan kesempatan. Betapapun juga ia mampu bergerak dengan kecepatan yang tinggi namun pada satu saat ternyata telapak tangan Putut Pradapa sempat menyentuh lengannya.
Ki tumenggung mengumpat keras-keras. Kulit lengannya memang lelah terkelupas bagaikan tersentuh baja yang membara.
Meskipun demikian, luka itu sama sekali tidak barpengaruh. Ia masih saja bertempur dengan garangnya. Serangan-serangannya masih tetap berbahaya dan sekali-sekali menahan gerak Putut Pradapa.
Dalam keadaan yang demikian, maha Ki Tumenggungpun akhirnya sampai pada puncak kemampuannya. Ketika ia merasa tidak lagi mampu rnengimbangi kecepatan gerak dan serangan-serangan yang membadai, maka Ki Tumenggungpun justru telah rnengambil satu sikap perlawanan yang menggetarkan.
Dengan satu loncatan panjang maka Ki Tumenggung telah mengambil jarak. Dengan serta merta, maka iapun telah berdiri tegak. Satu kakinya ditariknya sedikit ke belakang, sementara kakinya yang depan ditekuknya sedikit pada lututnya. Kedua telapak tangannyapun kemudian dijulurkannya menghadap ke depan, langsung menghadap ke arah lawannya.
Putut Pradapa terkejut melihat sikap itu. Karena itu, maka dengan, tergesa-gesa iapun segera melakukan hal yang sauna. Dengan sigapnya ia berdiri tegak. Satu kakinya ditariknya agak ke belakang, sementara kakinya yang di depan ditekuknya sebagaimana dilakukan oleh Ki Tumenggung Purbarana. Demikian pula kedua tangannya. Kedua telapak tangannya telah dijulurkan ke depan, menghadap langsung ke arah Ki Tumenggung Purbarana.
Putut Pradapa hampir saja terlambat. Demikian ia sampai ke puncak pengerahan ilmunya, ia mulai merasa serangan lawarnya itu melandanya. Dari kedua telapak tangan Ki Tumenggung Purbarana seakan-akan telah berhembus angin prahara yang membawa arus panas.
Para prajurit dan para cantrik sempat melihat, betapapun tipisnya, semacam kabut yang mengalir dari telapak tangan itu. Kabut yang mengalir tidak terlalu cepat. Tetapi akibat aliran kabut itu, bagaikan prahara yang menyemburkan api dari mulut kepundan gunung Merapi.
Serangan itu telah menggetarkan pertahanan Putut Pradapa. Tetapi untunglah, bahwa ia tidak terlalu terlambat. Meskipun rasa-rasanya kulitnya bagaikan tersiram air yang mendidih, tetapi ia masih mampu bertahan.
Sekejap kemudian, maka terjadilah satu hal yang sama dari kedua telapak tangan Putut Pradapa. Asap yang mengalir ke arah Ki Tumenggung, sehingga kedua arus itu telah berbenturan.
Namun karena Putut Pradapa rnelontarkan ilmunya kemudian, maka benturan antara dua kekuatan itu terjadi lebih dekat pada kedua telapak tangan Putut Pradapa.
Dalam pada itu, kedua orang saudara seperguruan itu telah mengerahkan segenap kemampuan ilmu yang ada pada mereka. Mereka tidak lagi berusaha mengekang diri. Keduanya benar-benar ingin membinasakan lawan mereka, meskipun lawan itu adalah saudara sendiri, yang menyadap ilmu dari sumber yang sama.
Untuk beberapa saat benturan yang terjadi itu bagaikan mencapai satu titik keseimbangan. Seakan akan kedua kekuatan tu sama kuatnya.
Para prajurit dan para cantrik memperhatikan benturan kekuatan itu dengan jantung yang berdegupan. Mereka menyaksikan satu ujud pertempuran yeng tidak mereka mengerti. Namun mereka melihat seakan-akan benturan kekuatan itu merupakan ujud dari keseimbangan kemampuan kedua orang saudara seperguruan itu.
Untuk beberapa saat lamanya keduanya mengerahkan puncak ilmu masing-masing. Ternyata yang kemudian berasap bukan saja telapak tangan mereka yang seakan-akan mengepulkan kabut tipis yang mengalir dan saling membentur. Namun kemudian tubuh-tubuh merekapun seakan-akan telah berasap pula.
Dalam pada itu keduanya keduanya benar-benar telah sampai, ke puncak kemampuan, berturan ilmu itu telah mengalami parubahan. Titik benturan itu seakan-akan telah bergeser perlahan-lahan sekali. Namun kemudian terhenti sejenak. Bahkan surut kembali beberapa lapis.
Namun yang kemudian nampak lebih banyak, benturan itu telah bergeser ke arah Ki Tumenggung Purbarana.
Para prajurit pengikut Ki Tumenggung Purbarana menjadi tegang. Mereka menyadari, bahwa jika benturan itu bergeser ke arah Ki Tumenggung maka berarti bahwa kekuatan Ki Tumenggung telah didesak oleh kekuatan Putut Pradapa.
Meskipun demikian para prajurit itupun masih berpengharapan. Karena setiap kali titik benturan yang bergeser itu telah terhenti, bahkan bergeser ke arah yang berlawanan, ke arah Putut Pradapa.
Tetapi bagaimanapun juga, yang terjadi adalah satu kenyataan. Benturan kekuatan itu bergeser mendekati Ki Tumenggung Purbarana.
Ki Tumenggung Purbarana sendiri telah rnengrahkan segenap tenaga, kemampuan dan ilmunya untuk tetap bertahan. Namun kekuatan Putut Pradapa itu bagaikan mendesak tanpa dapat terlawan.
Putut Pradapa yang darahnya bagaikan mendidih dibakar oleh kemarahannya itupun telah semakin menghentakkan kekuatannya. Baginya. Ki Tumenggung memang harus dihukum karena ia telah membunuh gurunya, langsung atau tidak langsung, bahkan adalah guru Ki Tumenggung itu sendiri.
Karena itu, maka pada saat-saat terakhir, Putut Pradapa benar-benar telah mengambil satu keputusan, untuk segera menyelesaikan perkelahian itu dan menghancurkan Ki Tumenggung Purbarana.
Ki Tumenggung akhirnya tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Kekuatan ilmu Putut Pradapa semakin mendesaknya. Meskipun ia masih tetap berdiri di tempatnya, bahkan telapak kakinya perlahan-lahan seakan-akan semakin dalam terbenam di kulit bumi, namun benturan asap yang seakan-akan memancar dari telapak tangannya itu telah bergeser semakin mendekatinya.
Ki Tumenggung yang mengenal ilmu itu dengan baik, mengerti sepenuhnya. Jika benturan itu kemudian menyentuh telapak tangannya, maka kekuatan ilmu itu akan meledak di dalam dirinya, sehingga bagian dalam tubuhnya akan terkoyak menjadi sayatan daging dan tulang.
Karena itu, maka Ki Tumenggung tidak ingin hal itu terjadi.
Sementara itu maka puncak ilmu yang berbenturan itu seakan-akan telah memancarkan panas pula, bukan saja ke arah mereka sedang bertempur tetapi juga mereka yang berada lurus pada garis serangan. Karena itu, maka udara yang panas itu bagaikan berhembus pula menyentuh mereka yang berdiri di luar arena, meskipun mereka sudah menyibak semakin jauh. Apalagi mereka yang berada di garis lurus di belakang Ki Tumenggung dan di belakang Putut Pradapa.
Sementara itu, Ki Tumenggung Purbarana ternyata tidak mungkin lagi bertahan atas desakan kekuatan ilmu Pulut Pradapa. Namun Ki Tumenggung sama sekali tidak ingin membiarkan tubuhnya kemudian meledak dan menjadi sayatan daging dan tulang.
Karena itu, maka di saat terakhir maka Ki Tumenggung itu harus menemukan satu langkah yang akan dapat menyelamatkannya.
Dalam pada itu, benturan itu merambat seperti siput, tetapi pasti menuju ke arah telapak tangan Ki Tumenggung Purbarana.
Namun, demikian benturan itu kurang sejengkal dari telapak tangannya, tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu telah berteriak dengan lantanng, "Wiyat, berikan kepadaku cepat!"
Teriakan Ki Tumenggung itu mengejutkan orang-orang yang mendengarnya. Bahkan Putut Pradapapun terkejut. Nampaknya ada sesuatu yang akan terjadi dalam pertempuran itu.
Kesempatan yang sekaligus itu telah dipergunakan oleh Ki Tumenggung Purbarana. Dengan cepat ia melepaskan serangannya dan berguling justru ke arah prajuritnya yang menyibak.
Putut Pradapa terhentak sejenak kehilangan sasarannya. Kemampuan ilmunya yang terlepas dari benturan dengan ilmu KiTumenggung telah memancar jauh pada garis serangannya. Untunglah bahwa orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu telah menyibak.
Sikap Ki Tumenggung itu membuat. Putut Pradapa termangu-mangu sejenak. Namun yang sejenak itu telah merubah segala-galanya. Ternyata seoreng prajurit yang bernama Wiyat telah rneloncat maju ke arah Ki tumenggung Purbarana. Di tangannya tergenggam sebilah keris yang besar yang kemudian disambar dengan cepatnya oleh Ki Tumenggung. Keris Kiai santak.
Putut Pradapa terkejut bukan buatan. Namun hal itu telah terjadi, bahwa Kiai Santak telah berada di tangan Tumenggung Purbarana.
Segalanya menjadi semakin jelas bagi Putut Pradapa. Ia yakin, bahwa Ki Tumenggung selain membunuh juga telah mencuri pusaka itu. Karena itu, maka Ki Tumenggung itu harus dihancurkannya.
Dalam pada itu, maka dengan serta merta, Putut Pradapa telah kembali ke dalam sikapnya. Dalam sekejap maka ilmunya telah memancar menyambar Ki Tumenggung. Tetapi ternyata Ki Tumenggung sempat meloncat menghindar. Bahkan yang terdengar kemudian adalah teriakan ngeri dari mulut Wiyat. Ia tidak memiliki kemampuan bergerak dan daya tahan seperti Tumenggung Purbarana. Karena itu, maka sentuhan kekuatan ilmu Putut Pradapa telah menghantam tubuh Wiyat yang kemudian bagaikan meledak dan kemudian terkapar di tanah. Mati.
Terasa jantung Pradapa berdesir. Ia tidak sengaja membunuh orang lain kecuali Tumenggung Purbarana. Namun ia tidak dapat menghindari kematian yang mengerikan itu.
Sementara itu, Ki Tumenggung sendiri telah meloncat ke arah Putut Pradapa. Demikian cepat, sehingga Putut Pradapa tiba-tiba saja sudah berhadapan dengan Ki Tumenggung.
Namun Putut Pradapa masih juga melancarkan serangannya dengan mengacukan tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah sasarannya.
Tetapi sekali lagi Ki Tumenggung sempat mengelak. Bahkan tiba-tiba saja Ki Tumenggung telah menyerang Putut Pradapa dengan keris Kiai Santak. Keris gurunya yang mempunyai tuah yang besar bagi pemiliknya. Namun keris itu sendiri memang sebuah senjata yang sangat berbahaya. Setiap sentuhan tajam keris itu akan berarti mauti karena waranganya yang sangat keras.
Buku 180 Serangan keris itu telah mendebarkan jantung Putut Pradapa. Karena itu, maka Putut itupun telah berloncatan surut. Namun Ki Tumenggung sama sekali tidak melepaskannya. Dengan sigapnya Ki Tumenggung selalu memburunya. Jika Putut itu terlepas barang sekejap, maka ia akan sempat membangun serangan dengan ilmunya yang sangat dahsyat lewat kedua telapak tangannya yang mengembang.
Serangan keris Kiai Santak itu benar benar telah merubah keseimbangan pertempuran. Kecuali keris itu sendiri memang keris pilihan dan jarang ada duanya, ternyata bahwa pengaruh keris itu sebagai pusaka gurunya, telah mencengkam jantung Putut Pradapa. Meskipun ia sadar sepenuhnya bahwa keris itu berada ditangan orang yang pantas dibinasakan, tetapi berhadapan dengan keris itu ra"sa rasanya Putut itu berhadapan dengan gurunya.
Dengan demikian maka Putut Pradapapun semakin lama menjadi semakin terdesak. Serangan lawannya yang cepat dan kuat, tidak memberinya kesempatan untuk menyerangnya dengan ilmunya yang luar biasa. Sehingga dengan demikian, maka Putut itu harus bertempur dengan beralaskan kekuatan dan ketrampilan ilmu kanuragannya. Namun justru karena lawannya menggenggam senjata yang mempunyai pengaruh langsung bagi jiwanya, maka Putut Pradapapun dengan cepat telah terdesak.
Sebenarnyalah bahwa kemampuan dan ilmu Putut Pra"dapa masih berada selapis diatas Ki Tumenggung meskipun Ki Tumenggung itu lebih dahulu berguru. Tetapi Putut Pra"dapa yang selalu dekat dengan gurunya dan usahanya yang bersungguh sungguh tanpa mengenal lelah, telah memiliki kemampuan melampaui kakak seperguruannya.
Namun saat itu Ki Tumenggung telah menggenggam keris Kiai Santak. Keris yang sangat dihormati oleh Putut Pradapa itu sendiri.
Karena itu, maka betapapun juga perlawanan Putut Pradapa, maka perbawa keris itu tidak mampu dihindarinya. Ketika Ki Tumenggung memburunya dengan se"rangan yang datang bagaikan amuk badai yang dahsyat, Putut Pradapa tidak mampu menghindari semua serangan itu. Jantungnya berdegup keras, ketika terasa lengannya tergores keris Kiai Santak.
Dengan serta merta Putut Pradapa meloncat jauh surut. Tetapi Ki Tumenggung tidak memberinya kesempatan. Ia sadar, bahwa jika Putut itu berhasil mengambil jarak, maka ia tentu akan dapat menyerangnya dengan il"munya yang dashyat itu.
Serangan Ki Tumenggung ternyata telah mengejarnya ke mana saja Putut itu berusaha menghindar.
Para prajurit pengikut Ki Tumenggung Purbarana yang semula menjadi cemas, telah bersorak dengan serta merta. Mereka bagaikan orang yang bangkit dari kehilangan harapannya.
Namun dalam pada itu para cantriklah yang menjadi semakin cemas. Mereka melihat Ki Tumenggung selalu memburu Putut Pradapa dengan keris Kiai Santak.
Sebenarnya Putat Pradapa akan mampu bertahan, jika jiwanya tidak dicengkam oleh pengaruh keris itu sendiri. Betapapun ia berusaha dengan sadar melawan Ki Tumeng"gung, namun keris itu masih saja selalu membayanginya, sehingga akhirnya Putut Pradapa itu benar benar telah ter"desak.
Segores luka ditubuhnya telah memberikan isyarat kepadanya, bahwa iapun harus ikut bersama gurunya, menghadap Yang Maha Pencipta. Kembali ke Alam asalnya untuk selama lamanya.
Kemampuan warangan pada keris Kiai Santak benar benar tajam. Sesaat kemudian, Putut Pradapa telah merasakan, bahwa tubuhnya menjadi gemetar. Betapapun ia berusaha, namun geraknya menjadi semakin lamban, sehingga justru karena itu, maka Keris Kiai Santak itu kemudian telah melukainya sekali lagi. Lebih dalam dan lebih panjang menyayat kulit di dadanya.
Putut Pradapa terdorong surut. Namun ia tidak lagi berusaha untuk menghindar. Ketika Ki Tumenggung meloncat maju dan menikam dadanya dengan keris itu. Putut Pradapa sama sekali tidak menghindarkan dirinya.
Tikaman itu benar benar menentukan. Bukan saja ka"rena warangan keris itu. Tetapi keris itu memang menghunjam sampai ke jantung, sehingga demikian keris itu ditarik, maka Putut Pradapapun telah terjatuh ditanah.
Putut Pradapa sama sekali tidak mengeluh. Meskipun ia sempat berdesis. Tetapi kemudian nafasnyapun terhenti.
Jantung para cantrik bagaikan mclcdak melihat kematian Putut Pradapa yang seakan akan menjadi wakil gurunya di padepokan itu. Apalagi kematian Putut Pradapa itu disebabkan oleh tangan saudara tuanya yang telah berkhianat. Yang telah mombunuh gurunya dan merampas pusakanya. Pusaka yang tidak ada duanya. Dan dengan pusaka itu pula ia mengakhiri perlawanan Putut Pradapa.
Sejenak para cantrik itu termangu mangu. Namun adalah diluar dugaan para pengikut Ki Tumenggung Purbarana. Mereka mengira bahwa kematian Putut Pradapa adalah pertanda berakhirnya perlawanan di padepokan itu.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya, para cantrik yang mencintai gurunya dan kakak seperguruannya yang dianggapnya sebagai wakil gurunya itu, seakan akan telah membuat mereka kehilangan akal. Tidak ada yang menjatuhkan perintah di antarapara cantrik itu. Namun tiba tiba saja, hampir bersamaan, para cantrik itu telah mengamuk. Dengan senjata apa saja yang dapat mereka gapai, maka mereka telah menyerang para prajurit pengikut Ki Tumenggung Purbarana yang ada di dekatnya. Bahkan sebagian dari para cantrik itu sempat mencabut senjata prajurit prajurit itu sendiri, karena para prajurit itu sama sekali tidak menduga, bahwa hal itu akan terjadi.
Dua orang cantrik yang sudah meningkat dan di anggap sebagai jejanggan di padepokan itu, adalah orang orang pertama yang telah mengamuk bagaikan seekor banteng yang terluka. Dua orang jejanggan itu sudah memiliki ilmu yang memadai. Meskipun ia masih belum mencapai kemampuan sebagaimana Putut Pradapa. Namun tiba tiba saja lima orang prajurit telah terkapar di tanah.
Ki Tumenggung untuk beberapa saat justru terpukau oleh peristiwa yang tidak di sangka sangka itu. Namun agaknya Ki Tumenggung seakan akan telah kehilangan akal pula, sehingga terdengar ia berteriak nyaring, " Tumpas semua perlawanan. "
Para pengikutnya tidak berpikir lebih panjang, maka para pengikut ki Tumenggungpun segera melakukan perintah itu.
Jumlah para pengikut Ki Tumenggung memang cukup banyak. Karena itu, maka mereknpun segera berhasil menguasai medan. Meskipun demikian mereka tidak segera berhasil memadamkan pertempuran karena setiap orang cantrik telah bertekad untuk bertempur sampai mati sebagaimana gurunya dan Putut Pradapa
Dengan demikian, maka padepokan itupun bagaikan telah dibakar oleh api kemarahan yang tidak terkendali. Kedua belah pihak bertempur tanpa mengingat apapun lagi kecuali untuk membunuh lawan masing masing.
Ternyata bahwa para cantrik yang mengamuk itu benar benar telah mendebarkan jantung Ki Tumenggung. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa kematian gurunya dan Putut Pradapa telah mnyeret lebih dari dua puluh orangnya yang terbunuh pula. Namun dengan kegarangan sekelompok serigala lapar, maka para cantrik itupun seorang demi seorang telah terkapar pula di buminya. Padepokan kecil tempat mereka setiap hari dengan tekun menuntut ilmu dan bekerja bagi kehidupan mereka.
Perlahan lahan api pertempuran yang mengerikan itupun berhasil dipadamkan oleh para pengikut Ki Tumenggung. Tetapi korban di antara mereka yang jatuh benar benar di luar dugaan. Lebih dari duapuluh orang terbunuh dan lebih banyak lagi yang terluka.
" Orang orang gila " geram Ki Tumenggung. Namun di dasar hatinya yang paling dalam terbersit juga satu kekaguman akan kesetiaan para cantrik itu. Ternyata tidak seorang cantrikpun yang masih tetap hidup. Mereka bertempur sampai orang yang terakhir.
Dengan wajah yang kusut Ki Tumenggung menyaksikan orang orangnya mengumpulkan kawannya yang terluka dan yang terbunuh. Mereka tidak dapat membiarkan saja mereka dalam keadaannya. Karena itu, maka beberapa orang diantara para pengikut Ki Tumenggung yang memiliki sedikit pengetahuan tentang obat obatan telah dikerahkan untuk merawat kawan kawan mereka yang terluka.
Sementara itu, merekapun tidak dapat pula membiarkan tubuh para cantrik yang terbunuh bertebaran di halaman dan dikebun padepokan. Karena itu, maka mere"kapun telah membuat sebuah lubang kubur yang besar untuk mengubur para cantrik yang bertempur dengan gagah berani sampai orang yang terakhir.
Namun bagaimanapun juga, Ki Tumenggung masih juga menaruh hormat kepada gurunya. Karena itu, maka gurunyapun telah dikuburkannya terpisah dari para cantrik. Dengan sepotong kayu, Ki Tumenggung telah memberikan tanda pada kubur gurunya di belakang padepokan itu.
Tetapi karena itu, maka Ki Tumenggung tidak segera dapat meninggalkan padepokan itu. Ia harus menunggu beberapa orangnya sembuh dari luka lukanya. Ia tidak dapat meninggalkan mereka, karena jumlah orang orang nya telah menjadi jauh susut.
Yang terjadi di padepokan itu, sama sekali tidak diketahui oleh orang lain. Padepokan itu memang terletak di tempat yang terpencil. Meskipun bukan berarti bahwa padepokan itu sama sekali tidak berhubungan dengan orang luar, tetapi hubungan itu terjadi pada keadaan keadaan yang tertentu saja. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang terjadi di padepokan itu tidak dengan cepat menjalar ke daerah di sekitarnya. Apabila letak pade"pokan itu memang agak terpencil dari lingkungan padukuhan padukuhan.
Meskipun demikian, rasa rasanya jiwa Ki Tumeng"gung tidak dapat tenang berada di padepokan itu. Ia selalu diganggu oleh ingatan tentang gurunya yang dibunuhnya dengan racun. Tentang Putut Pradapa yang memiliki ilmu nggegirisi. Namun yang kemudian terkubur bersama jasadnya sebelum ilmu itu bermanfaat bagi kehidupan. Bahkan Ki Tumenggungpun tidak dapat melupakan barang sejenak, mayat para cantrik dengan kesetiaannya yang tinggi, terbujur lintang di halaman dan dikebun padepokan itu.
Tetapi bagaimanapun juga Ki Tumenggung Purbarana harus menahan diri. Orang orangnya yang terluka parah masih memerlukan waktu unluk dapat pergi meninggalkan padepokan itu. Sehingga bagaimanapun juga, Ki Tumenggung masih harus tinggal untuk beberapa saat lamanya.
Ternyata bahwa akibat pertempuran antara para pengikutnya dan para cantrik itu benar benar cukup parah. Kekuatan Ki Tumenggung yang tidak terlalu besar itu telah susut.
Meskipun demikian, api dendam yang menyala di hati Tumenggung Purbarana sama sekali tidak susut seba"gaimana kekuatan yang ada padanya.
Dengan beberapa orang pemimpin kelompoknya ia setiap kali membicarakan langkah langkah yang akan di ambilnya setelah mereka dapat meninggalkan padepokan kecil yang telah berubah menjadi neraka yang mengerikan itu.
" Kita dapat berhubungan dengan paman Bagaswara di Tegal Payung. Kitapun dapat berbicara dengan Warak Ireng dan Lindut yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, tetapi karena sikapnya yang berbeda dengan sikap beberapa orang pengikut kakang Panji, maka mereka berdua tidak mau hadir di Prambanan " berkata Purba"rana.
Seorang perwira yang berambut putih menggeleng lemah sambil berkata " Ki Tumenggung, jika Ki Tumeng"gung sependapat dengan aku, jangan pergi ke Warak Ireng dan Linduk. Mereka adalah orang orang licik yang sama sekali tidak berpegangan pada satu paugeran hidup yang dihormati. Bagi mereka, apa saja dapat mereka lakukan jika hal itu mereka kehendaki. Meskipun secara pribadi aku belum mengenal mereka, tetapi aku sudah pernah mengenalnya mereka dari pamanku yang sekarang sudah tidak ada lagi. "
Ki Tumenggung termangu mangu sejenak. Namun kemudian katanya " Jangan dikungkung oleh pendapat seseorang yang belum pasti kebenarannya. Tetapi camkan. Berhadapan dengan orang yang licik, maka kitapun harus berbuat seperti itu pula. Aku yakin bahwa pasukan kita lebih besar dan lebih kuat dari isi padepokan Warak Ireng dan Linduk. Sementara itu, aku akan dapat mengimbangi kemampuan keduanya apalagi dengan keris Kiai Santak. Karena itu, pada saatnya, jika mereka memang berbahaya, maka mereka akan kita binasakan. Tetapi sementara itu, mereka akan sangat berarti bagi kita. Ki Tumenggung itu berhenti sejenak. Lalu " Tetapi bagaimana dengan paman Bagaswara" "
" Bagaimana jika paman Ki Tumenggung itu sudah mendengar peristiwa yang terjadi di padepokan ini" " bertanya Perwira berambut putih itu.
" Tidak seorangpun diantara para cantrik yang lolos. Tidak akan ada orang yang sempat menyampaikan persoalan ini kepada paman Bagaswara " jawab Ki Tumeng"gung. Lalu " Paman Bagaswara adalah seorang yang sangat baik kepadaku. Bahkan dahulu, aku sangat diman jakannya. Mudah mudahan ia masih bersedia berbuat demikian sekarang ini dalam bentuk yang lebih dewasa dan berarti. "
Para pemimpin kelompoknya hanya mengangguk angguk. Namun mereka semuanya merasa, bah"wa yang telah terjadi di padepokan ini adalah satu peris"tiwa yang sangat berkesan dihati mereka. Kesetiaan para cantrik itu ternyata melampaui kesetiaan prajurit. Para cantrik itu sama sekali tidak mengenal menyerah sampai orang yang terakhir. Bahkan yang terluka dan tidak mam"pu memberikan perlawanan telah membiarkan dirinya mati tanpa berusaha untuk mengobatinya sama sekali.
Dari hari ke hari, para prajurit yang terluka telah berangsur sembuh. Beberapa orang yang parah ternyata tidak lagi berhasil diselamatkan, sehingga masih saja ada kawan kawan mereka yang dengan hati yang sangat berat terpaksa diserahkan kepada bumi di padepokan kecil dan terpencil itu.
Namun akhirnya, saal yang mereka tunggu tunggu itupun telah datang. Para prajurit yang terluka telah men"jadi sembuh dan mampu untuk melanjutkan perjalanan. Masih ada beberapa yang masih belum pulih sama sekali bahkan masih ada yang harus berjalan sambil bertelakan tongkat. Namun mereka sudah dapat meninggalkan pade"pokan yang selalu memberikan mimpi yang sangat buruk.
Demikianlah, ketika keadaan memang sudah memungkinkan. Ki Tumenggung telah memanggil beberapa orang pemimpin kelompok dan orang orang yang pantas untuk diajak bebricara tentang rencananya lebih lanjut.
" Kita harus segera mulai " berkata Ki Tumenggung " mula mula aku akan menghadap paman Bagaswara. Baru kemudian kita bertemu dengan Warak Ireng dan Linduk. Mungkin paman akan dapat memberikan bebe"rapa petunjuk untuk menghadapi kedua orang ini setelah kita tidak memerlukan mereka lagi. "
" Baiklah Ki Tumenggung " sahut salah seorang perwiranya " segala sesuatu akan dapat kita bicarakan sete"lah kita bertemu dengan paman Ki Tumenggung itu. Nampaknya paman Ki Tumenggung itu juga seorang yang mempunyai wawasan yang luas. "
" Ya. Wawasannya mengenai hubungan antara Pajang dan Mataram, tentu lebih luas paman Bagaswara. Ia adalah bekas Senapati pada akhir kekuasaan Demak. Iapun pernah mengalami kekecewaan justru karena Demak kemudian pindah ke Pajang. Pada saat pemerintahan kemudian berada di tangan Sultan Hadiwijaya anak Pengging itu. " berkat Ki Tumenggung " Sehingga dengan demikian, paman Bagaswara telah memilih hidup di sebuah padepokan kecil di Tegal Payung. Padepokan sebagaimana padepokan ini. "
" Jika demikian, maka satu satunya jalan yang paling baik kita tempuh sekarang adalah menemui paman Ki Tumenggung. " berkata salah seorang pemim"pin kelompoknya " apapun yang akan dikatakannya, akan dapat kita jadikan bahan untuk menentukan langkah langkah berikutnya. "
Hanya jika sesuai dengan jalan pikiran kita " potong Ki Tumenggung dengan serta merta " jika paman menolak rencana kita, maka ia akan mengalami nasib seba"gaimana guru sendiri. Aku tidak mau seorangpun merintangi rencanaku. "
Para perwira yang menjadi pengikut Ki Tumeng"gung itu tidak menjawab lagi. Agaknya Ki Tumenggung benar benar ingin melaksanakan rencananya. Apapun yang merintanginya akan dihancurkannya. Bahkan guru"nya sendiri telah dibunuhnya. Bukan hanya itu, tetapi Ki Tumenggung telah mengambil pula pusaka gurunya yang disebut Kiai Santak. Sebilah keris yang besar, melampaui ukuran keris kebanyakan.
Dalam pada itu, maka para pengikut Ki Tumenggung Purbarana itupun telah membenahi diri. Barang barang yang akan mereka bawa telah mereka siapkan. Bahkan mereka sempat mengumpulkan beberapa macam barang yang ada di padepokan itu, yang menurut mereka akan dapat mereka pergunakan di perjalanan mereka yang panjang.
" Kita akan segera mulai dengan satu perjalanan yang seakan akan tidak berbatas. Kita akan menjelajahi lembah dan ngarai, lereng lereng pegunungan dan jurang jurang yang terjal. Kita mengembara dengan membawa satu cita cita yang luhur. Tetapi kita tidak tahu, kapan kita akan selesai " berkata Ki Tumenggung Purbarana " tetapi kita berharap bahwa daerah Timur pun akan segera berkobar api pemberontakan melawan Mataram. Sementara kita akan mendapat tempat pijakan yang lebih mapan, sehingga kita akan dapat melawan Mataram dengan lebih mantap "
Para pengikutnya mengangguk angguk. Mereka memang sudah mantap sebagaimana Ki Tumenggung Purbarana.
Sementara itu Ki Tumenggungpun berkata " Jika hasil perjuangan ini tidak dapat kita nikmati sekarang, maka anak cucu kita akan mengenyam, bahkan mereka akan mengucap terima kasih, bahwa kita sekarang sudah berjuang bagi masa depan. "
Para pengikutnya masih mengangguk angguk. Tetapi seorang prajurit muda bertanya kepada diri sendiri " Apakah aku kira kira juga akan mempunyai anak cucu" Sampai saat ini aku belum sempat kawin. Jika besok aku mati di peperangan, maka aku tentu tidak akan mempunyai anak cucu. "
Tetapi prajurit itu tidak menanyakannya kepada siapapun juga, karena dengan demikian pertanyaannya itu akan dapat menumbuhkan kesan yang kurang baik.
Namun dalam pada itu, beberapa orang perwira yang ikut bersama Ki Tumenggung Purbarana telah menyadari sepenuhnya, bahwa pada satu saat kelompok itu tentu akan berubah bentuknya. Pada saat kesulitan kesulitan datang satu demi satu, pada akhirnya kelompok itu akan menjadi sekelompok orang yang dibenci dan ditakuti.
" Tetapi jika Ki Tumenggung Purbarana berhasil mendapatkan daerah landasan, keadaan akan berbeda " berkata para perwira itu di dalam hatinya.
Meskipun demikian, perasaan kecewa, kebencian dan dendam telah mencengkam jantung mereka. Kemenangan Mataram benar benar satu peristiwa yang sangat menyakitkan hati.
Namun di samping mereka itu, terdapat pula bebe"rapa orang perwira muda yang di dalam darahnya mengalir satu keinginan untuk bertualang. Untuk mengalami satu peristiwa yang dahsyat yang akan dapat mereka ceriterakan sebagai satu kebanggaan dalam pengalaman hidup mereka. Namun ada juga yang memang di dalam dirinya memencar watak yang tidak terpuji.
Demikianlah, maka pasukan itu memutuskan untuk meninggalkan padepokan kecil itu di dini hari mendatang.
Malam yang terakhir di padepokan itu telah mereka lampaui dengan berbagai macam gambaran tentang petualangan yang akan mereka lakukan. Pertempuran demi pertempuran akan mereka masuki. Darah dan kebencian akan selalu mewarnai perjalanan mereka. Dengan sen"jata didalam pelukan, mereka akan memasuki daerah demi daerah. Berbicara dan sedikit membual tentang masa depan. Jika diketemukan kesepakatan, maka mere"ka akan mendapat sejumlah kawan baru. Tetapi jika tidak, maka yang terjadi adalah pertumpahan darah.
Satu satu kawan kawan mereka akan rontok seperti daun kering dicabang pepohonan. Tetapi mereka berharap bahwa ada tunas tunas yang tumbuh untuk menggantikan mereka yang telah runtuh.
Meskipun bayangan masa depan nampaknya sangat suram, tetapi Ki Tumenggung dan orang orangnya tidak berputus asa. Mereka telah membenahi diri mereka sen"diri dengan tugas yang sangat berat. Tetapi juga sesuatu yang dapat memperkaya penglihatan mereka tentang kehidupan dari segi tertentu.
Ketika fajar menyingsing, maka para pengikut Ki Tumenggung yang berada di padepokan itu telah siap. Sekelompok pasukan yang cukup besar. Dengan tekad bulat mereka akan menuju ke Tegal Payung, menemui Ki Bagaswara. Adik seperguruan dari guru Ki Tumenggung Purbarana.
Demikian orang terakhir meninggalkan padepokan itu, maka padepokan itu benar benar telah berubah men"jadi satu kuburan yang luas. Sepi dan lengang. Tidak ada lagi tanda tanda kehidupan kecuali hijaunya pepohonan. Binatang peliharaan yang ada di padepokan itu telah habis sampai telur ayam yang terakhir. Apalagi lembu dan kambing.
Yang kemudian nampak bergerak gerak di pade"pokan itu adalah dedaunan yang ditiup angin, di atas kuburan yang menyimpan seluruh cantrik, manguyu, jejanggan dan Putut Pradapa. Juga guru mereka yang sangat mereka kasihi. Bahkan beberapa orang prajurit pengikut Ki Tumenggung.
Ki Tumenggung Purbarana yang meninggalkan pade"pokan itu, masih juga sempat berpaling. Tetapi regol halaman padepokan yang terbuka itu benar benar bagai"kan regol sebuah kuburan yang sepi lengang.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam dalam. Namun diluar sadarnya ia bergumam kepada diri sendiri, bahwa pada suatu saat, ia ingin kembali melihat padepokan yang telah berubah menjadi neraka itu. Bagaimanapun juga, gurunya telah dikuburnya di tempat itu juga, sehingga masih terasa adanya keterikatan antara dirinya dan pade"pokan sepi itu.
Iring iringan itupun kemudian menelusuri jalan sempit menerobos hutan yang tidak begitu lebat menuju kejalan terbuka yang berhubungan dengan padukuhan padukuhan diluar padepokan itu. Dengan demikian maka iring iringan itu akan muncul di jalan yang sering dilalui oleh orang orang yang pergi dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain.
Tetapi Ki Tumenggung Purbarana sudah tidak peduli lagi. Peristiwa yang terjadi di padepokan gurunya, telah membuat dirinya semakin membenci. Dendamnya kepada orang orang Mataram bagaikan tersiram minyak sehingga menyala semakin besar didalam dadanya. Bah"kan rasa rasanya iapun telah membenci semua orang yang begitu mudahnya tunduk kepada orang orang Mata"ram pada saat Pajang dikalahkan. Demikian mudahnya, padahal kekuatan Pajang masih cukup besar seandainya orang orang Pajang sendiri mempunyai keberanian untuk berbuat sesuatu.
Wirabumi dan Benawa tidak ubahnya seperti kelinci kelinci cengeng yang tidak berani berbuat apa apa sepeninggal Sultan Hadiwijaya. Padahal Wirabumi dan Benawa memiliki kekuatan yang tentu akan dapat mengimbangi kekuatan Mataram. Keduanya adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Terutama Pangeran Benawa.
"Tetapi Pangeran Benawa hatinya tidak lebih besar dari biji sawi" berkata Ki Tumenggung itu di dalam hati"nya.
Dengan demikian, maka Ki Tumenggung tidak lagi menghiraukan apapun juga. Ia tidak peduli lagi apabila pasukannya itu akan menakut nakuti orang orang yang melihatnya dan padukuhan padukuhan yang dilewatinya.
"Aku harus bertemu dengan paman Bagaswa"ra" berkata Ki Tumenggung itu di dalam hatinya "kemu"dian aku harus bertemu dengan orang orang lain yang akan dapat memperkuat kedudukanku. Arah yang paling baik menurut perhitunganku saat ini adalah Tanah Perdikan Menoreh. Mendudukinya dan kemudian menjadikan tempat itu sebagai alas pijakan sebelum aku meluaskan daerah pengaruhku. Jika tidak mungkin, maka aku harus cepat menemukan sasaran baru. Mungkin Sangkal Putung, mungkin Mangir. Tetapi letak Mangir terlalu dekat dengan pusat pemerintahan Sutawijaya. Sulit bagiku untuk mendapat kesempatan menyusun diri."
Ternyata beberapa orang pembantunya sependapat dengan rencananya itu. Pasukan khusus Mataram di Ta"nah Perdikan Menoreh akan menjadi sasaran utama, dan harus dihancurkan lebih dahulu. Tanpa pasukan khusus, maka Tanah Perdikan Menoreh tidak akan dapat berbuat apa apa. Jika ada orang orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan itu maka pasukan Ki Tumenggungpun akan membawa orang orang berilmu tinggi.
"Agung Sedayu yang disebut sebagai orang yang tidak terkalahkan dan yang telah berhasil membunuh Ki Tumenggung Prabadaru, tidak akan mampu melawan tuah keris Kiai Santak. Mungkin kemampuan ilmuku ma"sih selapis dibawah Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi Ki Tumenggung Prabadaru tidak mempunyai keris Kiai San"tak" berkata Ki Tumenggung Purbarana di dalam hatinya.
Dalam pada itu, sebenarnyalah iring iringan itu telah menumbuhkan berbagai pertanyaan dihati orang orang yang bertemu di jalan jalan padukuhan. Bahkan beberapa orang menjadi ketakutan dan bersembunyi di balik regol halaman.
Tetapi anak anak yang masih belum mengenal bentuk iring iringan seperti itu justru telah berderet di pinggir jalan untuk melihat sepasukan prajurit dengan senjata lengkap dan perbekalan, berjalan dengan cepat melintasi padukuhan mereka.
Anak anak itu tidak melihat kesan yang buram di wajah wajah para prajurit itu. Anak anak itu tidak mampu membaca nyala api dendam yang membakar jantung orang orang yang beriringan melintasi padukuhan mereka.
Tetapi iring iringan itu sama sekali tidak mengganggu orang orang lewat dan anak anak yang menonton mere"ka di pinggir pinggir jalan. Bahkan iring iringan itu sama sekali tidak berpaling ketika mereka melintasi sebuah pasar yang ramai di pinggir sebuah padukuhan.
Namun demikian, iring iringan itu telah membuat orang orang yang ada di pasar itu menjadi gelisah. Bah"kan ada satu dua orang yang dengan serta merta telah mengumpulkan dagangan mereka, yang apabila terjadi sesuatu, siap untuk diangkut keluar pasar itu.
" Siapakah mereka?" hampir setiap orang saling bertanya.
Tidak seorangpun yang dapat menjawab. Hanya seo"rang tua yang berambut putih berkata kepada orang o"rang disekitarnya "Aku mengenali pakaian mereka. Pakaian itu adalah pakaian prajurit Pajang. Tetapi sudah tidak lengkap lagi. Ada diantara mereka yang tidak lagi mengenakan tanda tanda khusus dari kesatuannya. Bah"kan ada diantara mereka yang sudah mengenakan baju yang lain."
"Jadi siapakah mereka itu?" bertanya seseorang.
Orang tua itu menggeleng. Namun akhirnya ia menjawab "Mungkin satu pasukan yang meninggalkan ke satuannya. Nampaknya mereka sudah kehilangan cirri ciri keprajuritan mereka dalam sikap dan tingkah laku."
Orang orang yang berada disekitar orang tua itu mengangguk angguk. Orang tua itu memang pernah tinggal di Pajang untuk beberapa lamanya ketika ia masih muda. Meskipun ia tidak menjadi seorang prajurit, tetapi ia menghamba kepada seorang perwira prajurit Pajang, sehingga ia mengenali beberapa sifat dan watak prajurit Pajang.
Tetapi Ki Tumenggung Purbarana sama sekali tidak mempedulikan tanggapan orang orang yang melihat iring iringannya dengan pertanyaan didalam dada mereka. Apapun yang mereka katakan, Purbarana sama sekali tidak peduli. Ia hanya ingin segera sampai ke Tegal Payung. Menghadap paman gurunya dan menyampaikan kesulitan kesulitan yang dialaminya. Menurut dugaannya, pamannya akan lebih mengetahui sikapnya dari pada gurunya sendiri.
Karena itu, maka iring iringan itu berjalan terus disepanjang jalan bulak dan padukukan. Mereka melewati pinggir pinggir hutan dan kadang kadang menyilang pa"sar yang ramai.
Tetapi iring iringan itu tidak dapat mencapai tujuan pada satu hari saja. Karena itu, maka ketika malam mulai turun, iring iringan itu telah berhenti di sebelah banjar padukuhan.
Seisi padukuhan menjadi gelisah. Tetapi nampaknya orang orang bersenjata yang akan bermalam di banjar itu tidak akan berbuat buruk terhadap rakyat padukuhan itu. Karena itu, maka meskipun ada juga kecemasan, namun penduduk padukuhan itu berusaha untuk menerima me"reka dengan wajar. Bahkan dengan serta merta bebahu padukuhan itu berhasil mengumpulkan beras untuk menjamu orang orang bersenjata yang bermalam di banjar mereka, meskipun hanya sekedar dengan jangan gori.
Bebahu padukuhan yang pada malam hari itu sempat berbicara dengan Ki Tumenggung Purbarana, tanpa berprasangka buruk telah bertanya, pasukan yang dibawanya itu akan bertugas kemana saja.
Untuk sesaat Ki Tumenggung bingung juga untuk menjawab. Namun kemudian ia berhasil menemukan jawaban "Ki Sanak. Setelah perang berakhir, maka keadaan pemerintahan ternyata masih belum mapan benar. Ada segolongan orang yang ingin memanfaatkan keadaan ini untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Me"reka mempergunakan saat saat kosong ini untuk merampas dan merampok. Orang orang itu sadar, bahwa para prajurit Mataram maupun Pajang dan Jipang sedang sibuk membenahi diri, sehingga mereka tidak sempat untuk menjaga dan melindungi rakyatnya, apalagi yang letaknya agak jauh dari Kota Raja seperti ini. Karena itulah, maka kami mendapat tugas untuk menganglang. Bukan hanya batas Kota Raja. Tetapi kami harus mengelilingi daerah Pajang untuk mengamati keadaan. Semen"tara itu kami mendengar bahwa didaerah Tegal Payung terdapat segerombolan orang yang dengan tegas mendirikan satu gerombolan untuk merampok. Mereka terdiri da"ri bekas bekas prajurit yang terdesak dari medan perang. Namun mereka segan untuk kembali ke kesatuan mereka setelah perang berakhir."
Bebahu padukuhan itu mengangguk angguk. Namun katanya " Kami masih belum mendengar hal itu terjadi di Tegal Payung."
"Bukankah Tegal Payung masih agak jauh dari padukuhan ini?" bertanya Ki Purbarana.
"Ya. Hampir sehari perjalanan. Tetapi perjalanan yang lamban" jawab bebahu itu. Kemudian "Tetapi jika benar terjadi seperti yang Ki Sanak katakan, kami tentu mendengarnya. Di pasar, orang saling berhubungan. Sementara berita semacam itu akan cepat tersebar."
"Sokurlah jika hal itu tidak benar" jawab Ki Tu"menggung Purbarana "dengan demikian tugas kami menjadi ringan. Kami adalah prajurit Pajang yang mendapat tugas khusus dari Mataram yang sekarang berkuasa lewat Adipati Pajang, Wirabumi, untuk menumpas gerombolan itu. Karena itu, jika gerombolan itu memang tidak ada, maka kami akan segera dapat kembali ke Pa jang."
Bebahu itu mengangguk angguk. Sama sekali tidak ada kecurigaan di hatinya. Bebahu itu memang melihat pakai"an keprajuritan. Tetapi ia tidak memahami ciri ciri dan tanda tanda khusus dari prajurit Demak. Karena itu, iapun tidak tahu bahwa orang orang yang bermalam di banjar itu sudah tidak mengenakan pakaian prajurit yang lengkap.
Dengan demikian, maka pasukan Ki Tumenggung Purbarana itu dapat tidur dengan nyenyak di banjar, meskipun hanya dengan lembaran tikar yang dibentang kan di pendapa banjar. Mereka tidur dalam deretan dari sisi sampai kesisi yang lain, berderet dalam beberapa bujur melintang. Apalagi mereka letih dan lapar, maka makan yang mereka dapat dari padukuhan itu terasa nikmat sekali.
Pertarungan Dikota Chang An 1 Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng Cinta Cewek Pengintai 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama