Ceritasilat Novel Online

Gajah Kencana 11

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 11


Demikian pula perasaan yang terkandung dalam hati setiap
mentri dan senopati"
"Gusti demung" sambut bekel Dipa "jika hanya gusti
seorang diri yang tak mampu menunaikan tugas, memang
layaklah gusti mengandung perasaan demikian. Tetapi dalam
peristiwa pemberontakan kali ini, memang Dharmaputera telah
mengatur persiapan sedemikian rupa, sehingga menindak
seluruh mentri dan senopati supaya tak dapat masuk ke
keraton" "Sekalipun demikian, bekel" kata demung Samaya "kami
tetap merasa malu dan kecewa. Oleh karena itu kami hendak
mengadakan upacara penyambutan yang besar dan meriah
sebagai tanda persembahan maaf kepada seri baginda, di
samping sebagai tanda kesetyaan kami ke bawah duli sang
nata" Bekel Dipa tertegun. Ia dapat menyelami perasaan
demung itu. Namun iapun tak dapat melepaskan pemikirannya
untuk menjaga keselamatan sang nata.
"Maka menurut pendapatku" kata demung Samaya pula
"sebaiknya kita tempuh langkah begini. Kepergianmu kembali
ke Bedander, akan diiring sebuah pasukan prajurit pilihan agar
dapat membantu tugasmu menjaga keselamatan seri baginda.
Kemudian sesuai apa yang dinyatakan gusti kanuruhan tadi,
iring-iringan ratha kencana dan barisan kehormatan untuk
menyambut seri baginda akan berangkat dua hari kemudian"
"Dan sudah tentu pula" demung itu menambahkan
"sepanjang jalan antara pura Majapahit dengan desa Bedander
akan kami siapkan penjagaan yang kuat. Pendek kata, seluruh
prajurit pura kerajaan akan kukerahkan untuk menjaga
keselamatan baginda"
Mendapat jaminan itu, bekel Dipa dapat menerima.
Sebagai seorang bawahan sudah tentu ia harus membatasi diri
untuk tidak terlalu mengekang kehendak mentri atasannya.
Sekalipun ia seorang utusan nata dan telah berhasil
menggagalkan rencana Dharmaputera, namun tidaklah ia mau
menonjolkan diri dengan kedudukan dan jasa.
Rencana yang dikemukakan demung Samaya itu disetujui
oleh para mentri dan senopati. Setelah menetapkan bahwa
bekel Dipa harus berangkat lebih dahulu pada besok pagi
bersama pasukan prajurit pilihan maka kanuruhan Anekakan
segera mengakhiri sidang paseban.
Keempat mentri yang tergolong dalam Panca ri Wilwatikta
itu segera sibuk untuk melakukan tugas masing2. Besok sehari
suntuk, semua persiapan harus sudah selesai dan besok lusa,
rombongan mentri harus sudah menuju ke Bedander untuk
menyambut baginda. Surya sudah condong di balik cakrawala barat di-kala bekel
Dipa ayunkan langkah menuju ke rumah bekel Asadha. Sejak
sidang paseban dilanjutkan dibawah pimpinan kanuruhan
Anekakan, rakyat pun sudah bubar dan bekel itu tak melihat
bayangan brahmana Anuraga dan kawan2 lagi.
Mengenangkan peristiwa yang berlangsung pagi tadi di
paseban Balai Ksatryan, teringatlah bekel Dipa akan beberapa
hal. Di antaranya tindakan para kawula yang bersorak
gemuruh dalam menyambut, menjawab dan mendukung
setiap keakhiran dari pidatonya. Saat itu karena diliputi oleh
rasa tegang, ia tak sempat memperhatikan gerak gerik ratusan
rakyat yang berkerumun di sekeliling Balai Ksatryaan. Tetapi
kini terbayanglah peristiwa itu pula dan serentak ia
mempunyai kesan bahwa gerakan para kawula itu seolah
seperti diatur dan digerakkan oleh suatu pimpinan.
"Ah, tentulah paman Anuraga dan kawan2 Gajah Kencana
yang giat untuk menganjurkan dan mendorong para kawula
itu" akhirnya ia menarik kesimpulan "bantuan itu sungguh
amat berharga sekali. Jika tiada mereka, kemungkinan
kesudahan dari rapat paseban itu takkan berlangsung seperti
sekarang. Adalah karena sorak sorai dari rakyat maka ra Kuti
dan Dharmaputera harus menahan diri untuk tidak secara
semena-mena melarang aku. Dan karena bantuan semangat
itu, nyaliku bertambah besar, pikiranku bertambah terbuka
dan pembicaraankupun bertambah mengena"
Kembali bekel itu membayangkan beberapa adegan yang
berlangsung dalam ruang paseban ketika dengan lantang dan
tegas ia mencanangkan siapa biangkeladi yang sesungguhnya
dari pemberontakan itu. Tunjuk hidung itu takkan berhasil
apabila tak dibantu oleh gerakan rakyat yang berada di
sekeliling paseban. Demikian pula waktu ra Kuti dan
Dharmaputera mengamuk, walaupun harus jatuh beberapa
korban tetapi rakyatlah yang menyelesaikan mentri-mentri
pemberontak itu. Demikian pula halnya dengan mahapatih
Aluyuda yang harus menyerahkan jiwa ditangan rakyat.
Bekel Dipa pun melihat jelas bahwa lelaki yang
menyentakkan tubuh mahapatih Aluyuda ketika hendak
menganiaya ra Semi, bukan lain adalah brahmana Anuraga
yang berpakaian secara rakyat kecil. Dengan demikian jelas
bahwa paman brahmana itu bersama kawan-kawan, telah
berjuang keras di luar paseban.
Kini perjuangan untuk menggagalkan rencana Dharmaputera telah berhasil. Titah baginda supaya keamanan
pura Majapahit dapat dipulihkan, pun telah terlaksana. Di
mana para mentri dan seluruh narapraja kerajaan, ialah yang
berjasa. Mereka mendengar ia berpidato dengan berapi-api,
melihatnya ia bertempur melawan ra Kuti dan menyaksikan
betapa menonjol sekali peranannya dalam merebut kembali
pura kerajaan dari tangan Dharmaputera.
Tetapi bekel Dipa sendiri tersipu-malu, malu untuk
menerima dan mengaku bahwa kesemuanya itu adalah
jasanya. Ia tak mau dan mengharuskan diri untuk tidak
mengaku segala jasa itu adalah miliknya. Karena suatu
pengakuan, mengandung sifat kemilikan, pamrih dan
keinginan. Dan pada hakekatnya memang ia merasa telah
mendapat bantuan besar dari paman brahmana Anuraga dan
kawan2 Gajah Kencana yang bekerja secara diam2.
Diam-diam ia menghela napas. Bukan napas dari
hamburan kekecewaan karena ia merasa tak berhak mengaku
bahwa jasa itu miliknya semua. Bukan pula napas dari rasa
kegembiraan karena membayangkan jasa-jasa yang akan
diperolehnya. Melainkan napas dari suara hati nurani yang
mendambakan rasa kagum serta mengindahkan kepada
paman brahmana Anuraga dan kawan2 pejuang Gajah
Kencana. Mereka berjuang dengan segenap jiwa dan raga.
Mereka berjuang secara bersembunyi. Bukan karena takut
diketahui orang tetapi karena hendak menghindari suatu
pemberian jasa. Karena apabila telah terikat oleh jasa dan
ganjarannya, mereka kuatir sifat perjuangannya akan berobah
warna. Bagi mereka, perjuangan itu suatu kewajiban dari
setiap putera Majapahit untuk menjaga dan menegakkan
kerajaan Majapahit. Mereka merasa wajib memberi, bukan
menuntut suatu apa. Memberi secara ikhlas, secara wajib.
Bukan membeli karena menginginkan sesuatu.
"Ah, perjuangan mereka lebih mulia dari aku" berkata
bekel Dipa dalam hati. Aku seorang bekel prajurit
bhayangkara. Aku terikat kewajiban untuk bekerja. Walaupun
aku juga ingin menyatukan kewajiban tugas dengan
pengabdian, tetapi sifat perjuangan paman brahmana dan
kawan2 Gajah Kencana itu lebih bersih selapis. Mereka lebih
luhur" Suatu rasa rendah diri segera bertebaran memenuhi
rongga hati bekel Dipa. Ia merasa apa yang dicapainya pagi
tadi dalam rapat paseban, masihlah tidak memadai dengan
bhakti perjuangan dari paman brahmana Anuraga dan kawan2
Gajah Kencana. "Ah" tiba2 ia tersentak oleh suatu pikiran lain "pengabdian
itu satu, perjuangan itupun tunggal. Tetapi baik pengabdian
maupun perjuangan mempunyai berbagai cara dan jalan.
Setiap orang dapat membhaktikan pengabdian dan
perjuangannya dalam bidang masing- masing. Petani berjuang
dan berbhakti kepada negara melalui pengolahan sawah,
usaha2 meningkatkan hasil pengeluarannya. Narapraja dapat
membhaktikan perjuangannya melalui penataan piaja,
mengatur dan memperbaiki bidang tugas masing-masing.
Prajurit pun dapat berbhakti melalui perjuangannya sebagai
prajurit bhayangkara negara dan rakyat. Masing-masing dapat
berjuang dan berbhakti dalam bidang masing2. Dapat
dikatakan berbhakti, apabila bertujuan demi kepentingan
negara dan rakyat. Dan berlandaskan pada kejujuran hati,
kebersihan pikiran dan kebijaksanaan tindakan"
Bekel Dipa menghembuskan setiup napas yang menyesak
dada. Ia merasa agak lapang pikirannya.
"Selama aku menjabat sebagai bekel bhayangkara dalam
keraton Tikta Sripala, kurasakan diriku berada dalam sebuah
sumber air yang bergelombang keras. Banyak sekali
pengetahuan, pengertian tentang seluk beluk ketata prajaan
yang kudengar dan kutampung. Banyak sekali aku bertemu
dengan para gusti mentri, senopati yang berpangkat tinggi.
Merekalah yang mengemudikan roda pemerintahan. Akupun
mendapat kesan bahwa dari pusat pemerintahan itulah
seluruh peraturan, undang2 dan perobahan2 mengenai
pemerintahan kerajaan Majapahit yang luas wilayahnya,
diolah, diatur dan disalurkan"
"Dengan ikut serta mengabdikan diri dalam pusat
pemerintahan itu berarti pula dapat membhaktikan tenaga,
pikiran dan perjuangan kita kepada negara dan rakyat" masih
pikiran bekel Dipa melayang lebih jauh dan makin jauh. Tanpa
disadari ia telah menyusup jauh ke angkasa. Melayang-layang
di antara bintang kemintang yang bergemerlapan di langit.
Ingin ia mengetahui rahasia besar yang tak pernah
diungkapkan orang. Apakah bintang kemintang itu" Dari
manakah benda2 yang memancar sinar kemilau itu pula" Dan
untuk apakah mereka memancarkan sinar di angkasa "
"Hai, bekel Dipa, hendak kemana engkau!" tiba2 ia
tersentak gelagapan dari lamunannya ketika mendengar
seseorang berseru menegurnya. Cepat ia berpaling.
Saat itu hari sudah menjelang petang. Bintang masih
samar2 menampakkan diri di cakrawala. Pandang mata Dipa
yang terhenyak dari lamunan masih samar2 pula sehingga
belum melihat jelas siapa yang menegurnya itu. "Hendak ke
rumah bekel Asadha. Siapa engkau ?" sahutnya seraya balas
bertanya. "Gila" seru orang itu pula "ke rumah bekel A sadha ?"
Bekel Dipa terkejut mendengar nada orang itu
mengandung sesuatu penyesalan. "Siapa engkau" cepat ia
mengulang tegurnya. "Eh, bekel Dipa. Apakah engkau sudah rabun" Siapa aku
dan apakah tempat ini?" seru orang itu pula seraya tertawa.
"Oh, paman Asadha, engkaulah !" serta menyalangkan
mata dan setelah segar dari lamunan bekel Dipapun segera
berseru girang. "E, engkau ini bekel Dipa. Masakan sudah tiba di rumahku
engkau masih tetap berjalan terus. Bahkan engkau hampir tak
mengenali diriku. Apakah engkau sedang melamun?"
Bekel Asadha segera mengajak bekel Dipa masuk ke dalam
rumah. Lampu pun sudah mulai dipasang di ruangan.
"Engkau tentu lelah" kata tuan rumah "beristirahatlah lebih
dulu. Akan kusiapkan makan malam"
Setelah membersihkan diri dan beristirahat beberapa
waktu, akhirnya bekel Dipa makan malam bersama tuan
rumah. "Paman" kata bekel Dipa "mengapa paman brahmana
Anuraga dan kawan2 tak berada di sini?"
Sambil menjemput ikan, bekel Asadha menyahut "Ah,
mereka memang manusia2 aneh. Janganlah merisaukan
mereka" Bekel Dipa terkesiap "Maksud paman?"
"Ki brahmana Anuraga dan raden Hesthidono, Parandiman
telah meninggalkan pura Majapahit ..."
"Paman!" teriak bekel Dipa sehingga nasi yang berada
dalam malutnya berhamburan keluar "paman brahmana dan
kawan2 telah pergi dari pura kerajaan?"
Sambil membantu bekel Dipa untuk membersihkan meja
dari hamburan nasi, bekel Asadha menjawab
"Benar, bekel Dipa, menjelang sore, mereka datang kemari
untuk pamit" "Kemanakah mereka?"
"Ki brahmana tak mengatakan apa2, melainkan hendak
melanjutkan perjalanan lagi karena masih ada lain tugas yang
harus diselesaikannya"
"Ah" bekel Dipa mendesah dan termenung-menung
memikirkan tindakan paman brahmana Anuraga yang
sedemikian aneh. Tetapi serentak ia teringat bahwa
kemungkinan paman brahmana memang masih menghadapi
tugas yang perlu diselesaikan, "paman Asadha, adakah paman
brahmana meninggalkan suatu pesan untukku?"
"O, benar, bekel" sahut bekel Asadha "ki brahmana pesan
agar engkau tetap melanjutkan perjuanganmu mengabdi
kepada kerajaan Majapahit"
"Hanya itu paman?" bekel Dipa menegas.
"Ya" "Ah" kembali bekel Dipa mendesah. Ia meletakkan
pinggang ke meja dan menyudahi makannya. Ia tak
mempunyai selera untuk makan lagi. Tingkah laku brahmana
Anuraga dan kawan2 Gajah Kencana meninggalkan suatu
kesan yang amat mencengkam benaknya.
"Hai, mengapa sudah" Apakah sudah kenyang?" tegur
bekel A sadha. "Sudah, paman, terima kasih" sahut bekel Dipa, "adakah
paman brahmana meninggalkan apa2 lain lagi kepadaku?"
Sambil menelan nasi yang memenuhi mulut, bekel A sadha
gelengkan kepala "Tidak, bekel"
Bekel Dipa termenung-menung. Pikirannya kembali
membayangkan hakekat perjuangan dan gerak gerik Gajah
Kencana dalam garis perjuangannya. Garis perjuangan Gajah
Kencana membujur lurus dalam pengabdian. Tujuannya jelas,
membela negara Majapahit.
Terpecik suatu titik terang ke dalam sanubari bekel Dipa.


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia merasa kecil diri apabila memandang pengabdian dari
pejuang2 Gajih Kencana. Iapun makin menghayati betapa luas
cara dan sifat perjuangan itu. Dan makin tumbuh berakar
dalam lubuk hatinya rasa cinta terhadap negara Majapahit.
Makin besar rasa tanggung jawabnya terhadap hakekat
perjuangan. "Bekel Dipa" tiba2 bekel Asadha menegur "mengapa
engkau termenung-menung saja?"
Makan malam sudah selesai dan mereka duduk bercakap
cakap. Tetapi bekel Dipa hanya berdiam diri.
"Apabila aku memikirkan sepak terjang paman brahmana
Anuraga dan kawan2 Gajah Kencana, serasa teringat pula aku
akan ucapan mahapatih Aluyuda dalam rapat paseban pagi
tadi" "O, yang mana?"
"Tentang tamsil burung garuda yang diucapkannya.
Burung garuda terbang melalang di angkasa tinggi. Penuh
keperkasaan dan kejantanan. Tetapi burung pipit hanya
terbang rendah. Garuda makan dari hasil perjuangannya
menerkam kambing, ular ataupun binatang-binatang lain.
Burung pipit makan bulir2 padi di sawah. Burung garuda
merajai angkasa, menghancurkan setiap burung atau binatang
yang tampak menghalang pada pandang matanya. Burung
pipit burung kecil, terbang berkawan hanya sekedar mencari
makan. Sangat beda garuda dengan pipit, walaupun mereka
sama2 termasuk jenis burung"
"O" bekel Asadha mengernyit dahi "apa maksudmu
membawa-bawa perbedaan garuda dengan pipit ?"
"Jenis burung tak banyak beda dengan jenis manusia2
seperti kita ini, paman bekel" kata bekel Dipa "sama2 titah
Dewata, sama2 insan manusia tetapi tidak samalah sifat dan
jiwanya. Ada yang berjiwa seperti burung garuda, tidak sedikit
pala yang berjiwa seperti burung pipit"
Bekel Asadha makin meliukkan jidat "Kemana-kah tujuan
kata katamu, bekel Dipa" Memang manusia tak sama sifat dan
jiwanya" "Itulah paman bekel" sambut bekel Dipa, "yang menjadi
pertanyaan hatiku. Pertanyaan yang sampai saat ini belum
juga menemukan jawabannya"
"O" kata bekel Asadha kemudian tertawa, "pertanyaan itu
sesungguhnya tak perlu menyibukkan pikiranmu. Karena
jawabnyapun sederhana, mudah dan sukar"
Kini bekel Dipa yang mengernyit dahi. Dipandangnya bekel
Asadha dengan pandang bertanya.
"Ya, memang demikian, bekel muda" kata tuan rumah
"sudah hampir limapuluh tahun umurku. Tak .pernah
kurisaukan soal hidup sebagai burung garuda ataupun sebagai
burung pipit, Aku hidup karena hidup. Dan karena hidup maka
aku hidup. Aku hidup menurut apa yang aku hidup....."
"Nanti dulu, paman" tukas bekel Dipa "cobalah paman
terangkan rangkaian kata2 paman yang terakhir itu. Aku agak
bingung" "Aku hidup karena hidup" kata bekel Asadha, "itu sudah
jelas. Bagaimana aku hidup saat ini kalau tidak karena aku ini
hidup" Dan karena hidup maka saat ini aku hidup. Ini pun
jelas" kata bekel Asadha, "aku hidup menurut apa yang aku
hidup bermakna bahwa aku harus menyadari kenyataan
hidupku. Saat ini aku hidup sebagai seorang bekel prajurit. Itu
hidupku dan aku harus hidup menurut keadaan hidup itu,
menurut kenyataan hidup"
"Adakah paman puas dengan keadaan hidup paman
sekarang?" "Kepuasan ibarat samodera yang luas. Hanya kenyataan
menjadi tepiannya. Tanpa tepi, air samodera akan
menggenangi jagad kita. Apakah aku puas dengan keadaanku
sekarang" Jawabnya pun sederhana. Mengapa aku harus
puas" Mengapa aku harus tak puas" Puas, tak puas. Aku tak
puas dengan keadaan hidupku sekarang. Tetapi aku puas
karena kenyataan keadaan yang sekarang ini telah
menghidupkan aku selama hampir setengah abad. Jadi bagiku,
keadaan hidupku sekarang ini kurasakan sebagai puas yang
tak puas, tidak puas yang puas"
"O, puas dan tidak puas itu tergantung dari perasaan kita
sendiri, bukan?" "Demikian kata orang yang bijaksana" kata bekel Asadha
"tetapi aku orang awam, bekel muda. Bagi perasaanku, aku
memang tak puas dengan keadaan hidupku. Aku ingin naik
pangkat, akupun ingin menikmati hidup yang lebih baik dari
sekarang. Aku ingin yang lain2. Tetapi sebagai seorang yang
sadar pula, aku harus melihat kenyataan. Keinginan itu ibarat
samudera dan Kenyataan itu tepinya. Jadi agak beda sedikit
dengan para arif bijaksana bahwa kepuasan itu tergantung
dari perasaan kita sendiri. Tetapi aku membatasi kepuasan itu
dengan Kenyataan, bukan dengan perasaan. Karena aku
kuatir, perasaan itu sukar ditindas. Bahkan sering dipaksakan
sehingga apabila kita lengah, perasaan itu akan meletus, akan
meluap seperti bengawan Brantas di musim hujan"
"Tetapi keadaan atau yang paman katakan sebagai
kenyataan itu, dapat kita robah, bukan?"
"Justeru itulah yang kumaksud dengan 'kepuasan yang
tidak puas ' itu. Aku tak puas dengan keadaan hidupku. Tetapi
aku harus puas dengan kenyataan hidupku saat ini"
Bekel Dipa menghela napas. Makin bertambah pula
perbendaraan pengalaman dan pengetahuannya akan
keadaan hidup. "Oleh karena itu, bekel muda" kata bekel Asadha lebih
lanjut "jangan hendaknya engkau mengagumi burung garuda
dengan keperkasaannya terbang tinggi di angkasa. Jangan
pula engkau meremehkan burung pipit. Mereka telah
menghayati kenyataan masing2 dan mengembangkan
kemampuan mereka dalam lingkungan kenyataan. Tetapi
mengapa tiba2 saja engkau mengangankan burung garuda
dan burung pipit?" Bekel Dipa terperangah, "Aku membayangkan sepak
terjang paman brahmana Anuraga dan kawan2 Gajah Kencana
itu. Timbul suatu pengangan-angan untuk mengiaskan mereka
sebagai burung garuda yang bebas dan perkasa. Kemudian
akupun berpaling kepada diriku, seorang bekel yang sekecil
burung pipit. Betapa jauh beda antara sifat perjuangan Gajah
Kencana dengan apa yang telah kulakukan selama ini"
O" bekel Asadha mendesuh "jika demikian pakailah
pandangan hidupmu 'puas yang tidak puas, tidak puas yang
puas '. Hiduplah dalam kenyataanmu saat ini. Usahakan dan
kembangkanlah kemampuanmu. Tak perlu engkau memikirkan
dirimu seekor burung pipit atau garuda. Kembangkanlah daya
kemampuanmu sebaik-baiknya dan tanpa engkau sadari,
sayapmu tentu akan tumbuh kuat dan besar. Burung pipit
sekalipun dirimu saat ini, kelak engkau tentu akan menjadi
burung garuda juga. Apa yang terjadi kelak, tergantung pada
usahamu sekarang. Dan sekarang ini tak lain adalah
kenyataan" Bekel Dipa mengangguk- angguk.
"Berbicara soal burung garuda dengan pipit pula,
kesemuanya isu hanya menurut pandangan masing2. Tetapi
kenyataan, belum tentulah garuda itu sebebas burung pipit.
Garuda terkenal sebagai burung yang perkasa, yang buas. Tak
ada jenis burung lain yang mau berkawan. Mereka takut akan
keganasan burung garuda itu. Karenanya dia akan seorang
diri, hidup dalam lingkungan tersendiri pula. Tak tahu alam
kehidupan yang luas. Beda dengan burung pipit. Dia amat luas
menyelami kehidupan alam, bebas memasuki daerah
kediamam burung2 lain, membawa kedamaian dan
ketenangan" Diam2 bekel Dipa pun mengakui kebenaran dari pada
ucapan tuan rumah. Untuk menyelami kehidupan yang luas,
tidaklah ia harus bersikap sebagai burung garuda yang
perkasa dan buas tetapi harus seperti burung pipit yang
damai. Dalam perjuangan untuk mengabdi negara, iapun
harus dapat menyerap sampai pada lapisan bawah. Tidak
hanya terbatas pada kalangan atas.
Timbul pula suatu kesimpulan bahwa apa yang akan
ditempuhnya itu setujuan lain nada dengan pejuang-pejuang
Gajah Kencana. Gajah Kencana berjuang secara diam2, ia
akan berjuang tampil dalam pemerintahan. Kelainan nada itu
akan merupakan gabungan nada yang serasa, butuh
membutuhkan dan bantu membantu.
Bekel Dipa pun dapat menyelami asal keturunan paman
brahmana Anuraga dan para pejuang Gajah Kencana.
Demikian pula sejarah perjuangan ayah mereka. Dapat
dimaklumi apabila merela tak mau berjuang secara terbuka.
Demikian pula iapun sukar untuk menggabungkan diri ke
dalam wadah Gajah Kencana karena asal keturunan dan
sejarah hidupnya. Sebagaimana dengan burung garuda dan
burung pipit yang harus hidup dalam kenyataan, iapun harus
hidup pala dalam lingkungan2 kenyataan.
"Paman Asadha" katanya kepada tuan rumah "banyak
terima kasih atas petunjuk yang paman berikan kepadaku"
Bekel Asadha tertawa, "Ah, akupun menerima petunjuk itu
dari pengalaman hidup. Dan kuminta, janganlah tergesa
engkau percaya ataupun menerima keteranganku tadi.
Perjalanan hidupmu mungkin terlainan dengan perjalanan
hidupku. Pengalamanku jangan engkau jadikan garis mati
pada pengalaman2 yang engkau akan alami kelak"
"Tetapi ada satu hal yang sama bahwa kita harus hidup
dalam kenyataan, berani menghadapi kenyataan dan
bertanggung jawab atas kenyataan. Bukankah demikian,
paman bekel?" sambut Dipa.
Keesokan harinya, siaplah bekel Dipa di Balai Prajurit.
Empat puluh prajurit bertubuh kekar dan bersenjata lengkap
telah tegak berjajar di halaman Balai Prajurit itu. Tak berapa
lama, demung Samaya pun tiba. Di hadapan keempat puluh
prajurit itu, demung Samaya memberi pesan singkat.
"Prajurit2 sekalian. Kamu kuperintahkan mengiring ki bekel
Kerta Dipa menuju ke tempat peristirahatan baginda. Kamu
harus tunduk pada semua perintah ki bekel. Jagalah
keselamatan seri baginda dengan segenap jiwa ragamu.
Barangsiapa melanggar peraturan keprajuritan, akan dihukum
mati" Setelah demung Samaya menyerahkan kepemimpinan
pasukan itu kepada bekel Dipa maka bekel Dipa pun segera
berangkat meninggalkan pura.
Ada suatu perasaan yang menghuni dalam hati bekel
muda itu. A dakah itu karena perasaan hatinya sendiri ataukah
memang benar begitu, ia tak tahu. Tetapi yang nyata, ia
melihat langit amat cerah, surya memancar lebih gemilang.
Sekeliling penjuru tampak terang, benda-benda yang singgah
dalam pandang matanya tampak lebih meriah. Sedemikian
meriah sehingga ia merasa dapat melihat lekuk liuk pokok2
pohon yang tumbuh di sepanjang jalan, gurat2 kelopak bunga,
serabut pada kuncup bunga dan putik2 buah. Bahkan bencah
pada jalan yang dilalui, tampak jelas pula.
Ia tak tahu mengapa pagi itu pandang matanya terasa
amat terang, pikirannya bening dan semangatnya segar,
hatinya lapang. Teringat ia dikala malam itu mengiringkan seri
baginda lolos dari pura kerajaan, menyusup di tengah2
kegelapan malam tanpa suatu tujuan tertentu. Betapa tegang
taat itu, betapa lapang saat sekarang. Ia menyadari bahwa
perasaan yang di kenyam pada hari itu adalah suatu akibat
dari perasaan yang diderita beberapa hari yang lalu. Ia merasa
lapang hati, karena mengalami ketegangan, tahu apa
sesungguhnya tegang itu. Ia merasa terang pikiran karena
tahu dan mengalami saat2 pikirannya amat gelap.
Dengan demikian jelas, apa yang dialami saat itu adalah
akibat dari apa yang diderita beberapa hari yang lalu. Dengan
demikian pula, apa yang dilakukan hari itu akan menentukan
apa yang akan dikenyam hari esok dan kelak. Dan timbul pula
suatu kesan bahwa perjuangan itu penuh dengan taburan
duri2 kesukaran dan penderitaan. Adakah dapat melalui duri2
kesukaran dan rintangan itu, tergantung pada ketahanan,
keuletan dan kegigihan daya juang masing2. Dan adakah
setelah melalui berbagai kesulitan dan rintangan kemudian
mencapai puncak tujuan, akan dapat mengenyam hasil2
perjuangan, belumlah dapat dipastikan. Hanya yang nyata,
perjuangan telah selesai. Ia harus merasakan kenikmatan dari
hasil perjuangan itu, walaupun ia sendiri andaikata tidak
pernah mengenyam. Karena perjuangan itu bukanlah untuk
kepentingan diri peribadi semata. Tetapi demi menyingkirkan
segala rintangan, membasmi semua perintang, pengacau dan
pengganggu. Agar jalan rata, kesejahteraan tumbuh. Bagi
negara, untuk seluruh rakyat.
Makin mendalam kesan bekel Dipa akan arti dan hakiki
daripada perjuangan itu. Perjuangan itu suatu pengabdian.
Jauh dari mengabdi dan kenikmatan kepentingan peribadi.
Perjuangan itu suatu pengorbanan. Tulus dan ikhlas, luhur dan
suci. Diambang mulut desa Bedander, bekel Dipa melihat rakyat
desa berjajar jajar membentuk diri dalam suatu barisan yang
rapat. Di deretan depan, terdiri dari anak2 muda yang
menghunus senjata tajam, parang, bendo, kapak, beliung dan
golok. Di belakang mereka tampak jajaran lelaki2 setengah
tua. Juga membawa beberapa macam senjata tajam.
Pemandangan itu memberi kesan bahwa di bawah pimpinan
buyut Bedander, rakyat desa itu telah mengadakan penjagaan
yang ketat sekali untuk melindungi seri baginda.
Ketika melihat bahwa pasukan yang datang itu dipimpin
bekel Dipa, merekapun bersorak gembira.
"Di mana ki buyut?" tanya bekel Dipa.
"Ki buyut tak pernah meninggalkan tempat peristirahatan
gusti mentri" kata salah seorang yang menjadi pimpinan
barisan penjaga keamanan desa.
Bekel Dipa terkesiap tetapi secepat itu ia teringat bahwa
kehadiran baginda di desa itu memang dirahasiakan oleh
buyut desa. Kepada rakyat, buyut hanya mengatakan bahwa
seorang mentri kerajaan sedang singgah di desa itu. Untuk
melindungi keselamatannya, desa dijaga keras siang dan
malam. Tiba2 terdengar suara orang bersorak, dari arah kanan
dan kiri jalan. Belasan orang muncul dengan membawa busur.
"Ah, mereka adalah kawan2 yang oleh ki buyut telah dilatih
sebagai barisan pemanah dan ditugaskan untuk bersembunyi


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di mulut desa. Apabila musuh yang datang akan kita sambut
dari muka, kanan dan kiri dengan hujan panah" menerangkan
orang yang menjadi pimpinan penjaga.
Diam2 bekel Dipa memuji atas kecerdikan ki buyut
mengambil langkah penjagaan. Tetapi belum bekel Dipa
membuka mulut, terdengar pula beberapa suara berisik yang
keras dan bergoncangnya dahan2 pohon. Pada lain kejab
beberapa sosok tubuh, meluncur dari pohon2 yang tumbuh di
sekeliling tempat itu. "Mereka adalah kawan kita juga yang bertugas sebagai
pengawas. Itulah sebabnya sebelum ki bekel tiba, kami sudah
tahu akan kedatangan pasukan ki bekel dan kamipun segera
menyiapkan penjagaan yang kuat di sini. Merekalah yang
memberi tahu kepada kami" kembali orang yang menjadi
pimpinan penjagaan itu memberi keterangan.
"Ki buyut sungguh cermat sekali" puji bekel Dipa.
Kemudian ia menerangkan bahwa pasukan yang dibawanya itu
adalah pasukan kerajaan untuk mengawal gusti mentri. Ia
minta menghadap buyut desa.
Kepala penjaga desa mengerut kening dan bertukar
pandang dengan beberapa kawannya. Kemudian berkata
"Maaf, ki bekel, harap suka tunggu dulu. Akan kami suruh
seorang untuk melaporkan pada ki buyut"
"Mengapa perlu melapor" Bukankah aku dapat menghadap
ki buyut sendiri" bekel Dipa heran.
"Maaf, ki bekel, itu perintah yang kami terima dari ki
buyut" sahut orang itu "bahwa siapa pun juga yang datang ke
desa ini supaya ditahan di sini dan harus lekas memberi
laporan kepada ki buyut"
"Tetapi aku adalah bekel prajurit yang mengawal gusti
mentri. Masakan aku terkena juga akan larangan itu?"
"Siapapun juga harus ditahan, kata ki buyut" sahut orang
itu "maaf, aku harus mentaati perintah buyut kami"
"Ah, engkau salah" seru bekel Dipa "perintah itu tentu
hanya ditujukan kepada orang yang tak dikenal. Masakan
kalian tak percaya kepadaku?"
"Maafkan, ki bekel"
"Apakah engkau tak takut mendapat marah dari ki buyut?"
"Aku hanya menjalankan perintah" sahut orang itu dengan
mantap. Bekel Dipa tak mau memaksa ataupun bersitegang leher.
Ia mau menunggu. Tak berapa lama tampak ki buyut dengan
diiring beberapa orang bergegas menuju ke mulut desa "O, ki
bekel, selamat datang!"
Bekel Dipapun tersipu membalas hormat.
"Mengapa ki bekel tak segera masuk ke dalam desa?"
"Kami disuruh tunggu oleh kepala penjaga" Mendengar itu
buyut pun berpaling dan menegur kepala penjaga tadi dengan
marah "Eh, Karsa, mengapa engkau tahan juga ki bekel
dengan rombongannya ?"
"Aku hanya melaksanakan perintah tuan"
"Tetapi engkau tentu kenal siapa ki bekel ini, masakan
engkau kenakan juga perintahku itu kepadanya?"
"Ki buyut, dia benar. Dia telah melakukan tugas dengan
penuh tanggung jawab" serentak bekel Dipa berseru
"demikianlah hendaknya seorang yang mematuhi perintah
tugasnya!" Bekel Dipa tak marah atau membenci kepada Karsa,
kepala penjaga desa. Kebalikannya ia malah suka dan memuji
sikap orang itu. Tegas dan patuh tanpa memandang bulu.
Bekel Dipa dan rombongan prajurit pura kerajaan segera
dibawa masak ke dalam desa. Pertemuan bekel Dipa dengan
seri baginda Jayanagara, penuh dengan suasana haru dan
sukacita. Demi mendengar laporan bekel Dipa tentang
peristiwa yang telah terjadi di pura kerajaan, seri baginda
terkejut. Baginda tak menyangka sama sekali bahwa mentri2
yang paling dipercaya, Dharmaputera, ternyata hendak
memberontak dan merebut tahta. Mahapatih Aluyuda yang
dipercaya, pun ternyata seorang penghianat dan pengacau.
Hanya ada sebuah hal yang berkenan menghibur hati seri
baginda. Bahwa para kawula pura kerajaan masih tetap setya
raja dan bahwa sebagian besar narapraja pun masih tetap
patuh dan setya. Mendengar laporan bekel Dipa tentang penyambutan2
yang akan diselenggarakan oleh segenap mentri, senopati dan
narapraja pura kerajaan, baginda bermula tak berkenan.
Tetapi setelah bekel Dipa menjelaskan betapa meluap
perasaan mereka untuk mempersembahkan tanda bhakti
kesetyaan kepada seri baginda, barulah baginda berkenan
meluluskan. Demikian hari itu desa Bedander seolah berobah seperti
persidangan keraton ketika rombongan mentri, senopati dan
narapraja kerajaan Majapahit, menghadap baginda Jayanagara
di rumah kediaman buyut Bedander. Saat itu barulah rakyat
desa mengetahui bahwa yang bersemayam beberapa hari di
desa mereka ternyata seri baginda sendiri. Gemetarlah mereka
karena ketakutan. Baginda Jayanagara amat berkesan atas penyambutan,
penjagaan dan kesetyaan buyut serta rakyat Bedander selama
ini. Sebagai rasa terima kasih, baginda telah berkenan
memberi hadiah besar kepada buyut dan membebaskan desa
Bedander dari pemungutan pajak.
Pura Wilwatikta seolah tergetar oleh sorak lorai seluruh
kawula, ketika menyambut ratha kencana yang dinaiki seri
baginda Jayanagara memasuki gapura. Sangkakala meraungraung
di angkasa, genderang mendengung-dengung menggetarkan bumi, seisi pura bergegap meriah dan gembira
ria. "Dirgahayu seri nata Jayanagara!"
"Dirgahayu seri baginda Jayanagara !"
Pekik pujian itu bergema di sepanjang jalan, di rumah2
penduduk, di bangsal pertemuan, di pendapa, di puri keraton
Tikta-Sripala, di kuil dan di candi2.
Pura Majapahit seolah tergenang dalam lautan sukacita,
upacara2 pemanjatan doa dan pesta2 perayaan berlangsung
selama tujuh hari tujuh malam.
0o-dwkz-mch-o0 JILID 35 I MAHARAJA Adiraja Parameswara sri Wiralanda-gopala atau
baginda Jayanagara, telah kembali ke para Wilwatikta dan
bersemayam pula dalam keraton Tikta Sripala.
Kejutan yang timbul dari pemberontakan Dharmaputera ra
Kuti, telah meninggalkan kesan yang amal mendalam dalam
sanubari baginda. Kesan yang menyimpulkan suatu kenyataan
bahwa dalam pemerintahan pura kerajaan masih belum bersih
benar dari mentri-mentri, nayaka, golongan yang berkelompok
menentang kekuasaan baginda.
Walaupun sejak berakhirnya peristiwa rakryan Nambi di
Lumajang, baginda telah mengambil langkah untuk
membersihkan tubuh di pemerintahan pusat namun ternyata
yang dianggap benih itu masih kotor. Bahkan sangat kotor.
Dharmaputera, rakryan yang sangat dipercayai, telah
menggunting dalam lipatan, merencanakan pemberontakan
untuk merebut kekuasaan kerajaan.
Peristiwa itu hampir mengaburkan kepercayaan baginda
terhadap para mentri, narapraja dan orang2 yang berada
disekelilingnya. Tetapi ada suatu percikan sinar dalam hati sang nata.
Sinar yang menerangi batin baginda pada saat baginda sedang
dirundung kegelapan dari musibah pemberontakan Dharmaputera. Selama menetap di desa Bedander,
mengenyam hari2 yang panjang dan malam2 yang sunyi,
baginda telah berhasil mencapai suatu pengendapan. Dan
pengendapan batin itu memantulkan kejernihan hati,
keheningan pikiran. Pengendapan itu tak lain dari suatu
pencerminan diri. Pada umumnya setiap kesalahan, orang tentu akan
mencari dan menimpahkan kepada orang lain. Bahwa
kesalahan itu, hanya dilakukan lain orang dan bahwasanya
pula dirinya berada di luar lingkaran kesalahan itu. Sedikit
sekali orang yang mengakui dan menempatkan diri ke dalam
kisar lingkaran kesalahan itu.
Selintas pandang, pemberontakan di pura kerajaan itu
merupakan suatu tindak hianat yang dilakukan oleh orang2
yang bersalah. Bahwa biangkeladi dan komplotan pemberontak itulah yang bertanggungjawab atas segala
kesalahan yang dilakukannya. Bahwa kaum pemberontak itu
berani menyulut huru hara untuk menggulingkan raja
merupakan suatu kenyataan yang tak dapat dibantah.
Demikian pula dengan kesalahan dan dosa mereka.
Semula bagindapun dilingkupi oleh rasa2 demikian. Rasa2
dari kemarahan, kegeraman, kebencian. Kemudian berganti
dengan rasa sedih, kecewa dan malu. Di mana rasa
kewibawaan tersinggung maka rasa keangkuhanpun meluap.
Dan rasa keangkuhan itulah yang mengalirkan berbagai rasa2
yang berdentam-dentam menggetar dinding sanubari baginda.
Tetapi manakala guncangan gempa itu sudah mencapai
puncak kedahsyatannya maka gempa itupun berangsur-angsur
reda dan lenyap. Demikian yang dialami baginda. Setelah
getar-getar kemarahan dan kekecewaan itu mencapai
puncaknya maka berangsur-angsurlah
menurun dan mengendap. Lumpur kemarahan dan kotoran kekecewaanpun
lenyap dan tampaklah keheningan air serta kejernihan
pandang. Apabila kita memandang ke permukaan air yang
hening dan hening, maka tampaklah wajah kita memantul di
permukaan air itu. Demikian yang dapat ditemukan baginda
dikata kekeruhan hati dan kericuhan pikiran telah mengendap
hening. Baginda segera terbayang akan diri peribadinya.
Bercermin diri, segera akan tampak wajah kita. Segera
akan dapat terlihat adakah rambut kita kusut, adakah wajah
kita kotor dan lain2 yang tak sedap pada tubuh kita. Dikala
bercermin diri itulah baginda dapat melihat keadaan diri
baginda, kekurangan, kesalahan dan kekhilafan yang telah
baginda lakukan selama ini.
Pertama-tama tertumbuklah penyelaman baginda akan
asal-usul diri baginda. Bukan salah baginda apabila baginda
dilahirkan dari seorang ibu yang berdarah keturunan raja
Malayu. Tetapi nyatanya asal keturunan itu telah menimbulkan
berbagai rasa tak puas pada golongan2 tertentu. Tetapi
disamping terdapat golongan2 yang tak puas itu, tak sedikit
pula golongan2, mentri2 dan senopati yang taat dan setya
kepada baginda. Dengan demikian asal keturunan beginda,
belumlah merupakan suatu alasan yang mutlak mengapa
mentri2 narapraja yang sudah lama mengabdi kepada
kerajaan, sekarang harus memberontak.
"Lalu apakah yang menyebabkan mereka tak kunjung
menghentikan rasa tak puas terhadap diriku?" baginda
bertanya- tanya dalam hati.
Seorang raja adalah seorang junjungan, seorang yang
dijunjung ucapannya, di junjung pula kewibawaannya.
Kewibawaan lahir dari warna ucapan dalam persesuaiannya
dengan laku perbuatannya. Satunya kata dengan perbuatan,
menimbulkan kewibawaan, memancarkan keperibadian.
Apabila perenungan baginda tiba pada titik penyelaman itu
maka agak tersipu-sipulah wajah baginda kemerah-merahan
karena tebaran darah yang menghangat. Dalam hal
mengemudikan pemerintahan, baginda merasa telah
menunaikan kewajiban sebaik-baiknya sesuai tuntutan
kedudukan beliau sebagai seorang raja. Tetapi apabila
baginda membayangkan tentang perangai dan adat lakunya,
serentak beliaupun terbayang akan kegemarannya.
Baginda Jayanagara tak mengetahui mengapa dalam
tubuh baginda mengalir darah yang hangat, keinginan yang
merangsang selalu. Baginda tak tahu adakah hal itu terjadi
dalam pertumbuhan jasmaniah sebagai seorang muda ataukah
karena mewarisi darah keturunan dari mendiang ayahanda
baginda Kertarajasa. Baginda tak tahu. Yang diketahui dan
dirasakan baginda, baginda merasa senang apabila bersanding
dengan wanita. Baginda merasa mendapatkan sesuatu
kepuasan dalam diri wanita. Baginda menemukan suatu rasa
keindahan dan kenikmatan tersendiri pada diri wanita. Baginda
seorang penggemar wanita, seorang penyayang dan pemuja
wanita. Baginda menemukan bahwa dalam diri wanita itu
terpancar segala sumber keindahan, kenikmatan, kebahagiaan
dan kecerdasan. Tetapi dibalik kegemaran dan kesayangan akan wanita itu,
bukanlah baginda ingin menyerahkan diri, menyerahkan
kebebasan dan mendambakan kehidupan dan alam pikirannya.
Baginda ingin bebas laksana sang kumbang yang bebas
berterbangan menghisap sari madu dari kuntum bunga yang
bermekaran di taman bunga.
Bunga merupakan penghias taman, penyedap mata dan
memeriahkan kehidupan alam. Bunga akan mekar sepanjang
masa, dari kuntum ke kuntum dari keindahan ke keindahan.
Tiada kunjung layu, tiada sepi kesegaran, tiada mengenal
masa. Kumbang merupakan jenis serangga yang paling
bahagia. Nafasnya, harum bunga. Hidangannya madu bunga.
Zat hidupnya, sari bunga. Dunianya, kehidupan bunga.
Kegemaran akan wanita itulah yang dirasakan baginda
Jayanagara sebagai suatu kebutuhan sebesar kewibawaan
baginda sebagai raja negara Majapahit. Kesanjungan akan
seni keindahan yang dihayati pula kaum wanita itulah yang
menyebabkan baginda sampai saat itu belum berkenan untuk
mengikatkan diri pada seorang permaisuri.
"Ah" tiba2 baginda mendesah "karena melihat kegemaran
itu maka Aluyuda dapat memanfaatkannya"
Seketika teringatlah baginda akan patih Aluyuda yang
telah mati terbunuh rakyat. "Dia seorang manusia yang haus


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuasa, mabuk pangkat. Dia banyak menimbulkan keruwetan
dan kesulitan pada kerajaan. Dia pun banyak mengorbankan
jiwa beberapa mentri tua yang setia. Dia jahat ...." sejenak
baginda berhenti "tetapi dibalik langkah2 kejahatannya,
Aluyuda masih berusaha untuk memberi imbalan kepadaku.
Dia mewajibkan diri untuk menghaturkan kesenangan2 yang
kugemari. Tetapi Dharmaputera itu " Ah, mereka lebih licin,
lebih licik. Mereka hanya mempersembahkan ucapan2 yang
manis tetapi anyir, ketaatan tetapi pembangkangan, kesetyaan
yang berisi penghianatan, air susu yang mengandung tuba"
Teringat pada pemberontakan Dharmaputera, makin
melanjutlah renungan baginda akan detik2 dari hari2 yang
mendebarkan, penuh ketegangan yang lengang. Ah ....
baginda menghela napas. Andai tiada seorang bekel muda
yang bernama Kerta Dipa, tentulah sejarah Majapahit akan
berlainan hari itu. Merenungkan perihal diri bekel muda Kerta Dipa, baginda
pun makin mendalam penilaiannya. Di antaranya asal mula
kedatangan bekel muda itu ke keraton Tikta-Sripala. Bukankah
bekel muda itu persembahan dari Rani Kahuripan dikala
baginda mengadakan pembersihan di kalangan keraton,
membubarkan pengawal2 keraton yang lama dan mengganti
dengan susunan pengawal yang baru" Peristiwa itu
berlangsung setelah peristiwa Lumajang selesai.
Dan makin berlanjutlah perhatian baginda tertumpah pada
bekel muda Dipa yang telah berjasa besar itu. Sejak kembali
ke pura kerajaan, bagindapun telah membebaskan bekel muda
itu dari tugas. Baginda memberi cuti selama dua bulan kepada
bekel muda itu agar dapat bersenang-senang diri. Bebas tugas
bukan berarti memperhentikan dari jabatan dalam
pemerintahan melainkan dibebaskan dari tugas sebagai bekel
bhayangkara keraton dan selanjutnya akan diberi suatu
kedudukan baru yang sesuai dengan jasanya.
"Ah, makin jauh dari apa yang hendak kurenungkan" tiba2
baginda menyadari bahwa yang hendak beliau nilai adalah
hubungan diri baginda dengan pemberontakan Dharmaputera
dan kemelut suasana tak tenteram di pura kerajaan. Buru2
baginda mengemasi pula pikirannya dan mengarah pada
persoalan yang hendak dituju,
"Jelas sudah bahwa kesenangan itu tak boleh
menelantarkan kewajiban" kata baginda dalam renungannya
"kesenangan tiada batasnya. Hanya aku sendiri yang mampu
membatasi kesenangan itu"
Demikian berjanji baginda kepada diri sendiri. Baginda
telah menyadari benar, bahwa menyerahkan seluruh
kewajiban dan tugas pemerintahan kerajaan kepada mentri,
bahkan yang paling dipercaya pun, bukan cara yang layak.
Pertama, merosotkan kewibawaan baginda dalam pandangan
para mentri narapraja. Kedua, menjauhkan baginda dari
urusan2 pemerintahan. Dan ketiga, mendorong baginda untuk
lebih memanjakan diri dalam kesenangan. Kesemuanya itu
mengandung bahaya. Hilangnya mahapatih Nambi dan
beberapa mentri senopati tua, adalah berkat baginda terlalu
percaya kepada patih Aluyuda. Timbulnya pemberontakan di
pura kerajaan pun karena baginda terlalu percaya kepada
Dharmaputera. Percaya memang suatu sifat yang jujur, bersih dan utama.
Bukan salah kepercayaan itu telah diberikan kepada Aluyuda
ataupun Dharmaputera. Tetapi salah manusianya, Aluyuda
dan Dharmaputera, yang tak mengerti akan makna
kepercayaan. Mereka memanfaatkan kepercayaan baginda
untuk kepentingan diri sendiri, untuk memperkuat kedudukan
golongannya. Antara Percaya dengan Manusia, memang dua
hal yang berbeda tetapi satu. Karena sifat manusia dengan
kemanusiawiannya itu adalah suatu kepercayaan yang luas.
Dan Percaya itu sendiri pada hakekatnya merupakan suatu
pengungkapan rasa yang baik.
Tetapi kebanyakan ternyata memang antara Manusia dan
Percaya itu dibedakan secara harfiah maupun jiwa daripada
kata2 itu. Percaya tetap merupakan pernyataan sifat baik.
Sedang manusia itu tetap manusia dengan segala kekurangan
dan nafsu keinginannya. Dalam dipercaya dan menerima
kepercayaan, hanya terdiri dari satu nada, Ihklas. Keihklasan
yang bersih dan tulus didalam memberi kepercayaan dan
menerima kepercayaan. Setitikpun terpecik oleh nafsu dan
pamrih maka tidaklah akan murni lagi sifatnya. Dan apabila
sudah berwarna dengan rasa pamrih dan nafsu keinginan,
maka terjerumuslah orang yang menerima kepercayaan itu
dalam rayuan kepercayaan. Aluyuda dan Dharmaputera
termasuk orang2 yang menerima kepercayaan tetapi merusak
kepercayaan itu. Demikian setelah menilai-nilai apa yaag telah dilakukan
selama ini, akhirnya baginda menarik suatu kesimpulan.
Bahwa ia harus menunaikan kewajiban sebagai seorang raja
lebih dahulu, baru kemudian bersenang-senang. Baginda akan
melangsungkan kepercayaan pada para mentri dan narapraja
tetapi suatu kepercayaan yang dikendalikan dan selalu ditilik.
Bukan lagi kepercayaan yang bulat lepas tanpa suatu
penilikan. Baginda menderita pengalaman yang pahit akibat
pemberontakan Dharmaputera itu tetapi baginda pun
memperoleh pengalaman yang baik untuk menyusun sikap
dan langkah selanjutnya dalam mengemudikan tampuk
pimpinan kerajaan. Setiap kemalangan sesungguhnya merupakan suatu
berkah terselubung, apabila kita dapat menarik sari2 pelajaran
dan penilaian akan kemalangan itu. Sekurang-kurangnya akan
membawa manusia kepada suatu pengendapan pemikiran,
merenung sebab musabab daripada kemalangan itu dan apa
hubungan dirinya dengan peristiwa itu. Hasil yang paling
rendah yang kita peroleh, adalah merupakan langkah untuk
mawas diri. Dan di dalam mawas diri itu yang penting
dibutuhkan suatu keberanian untuk mengakui kesalahan dan
kelemahan, menyadari dan memperbaikinya.
Baginda Jayanagara telah mengambil langkah2 untuk
memperbaiki pula susunan pemerintahan kerajaan. Baginda
memilih mentri yang bersih dari pengaruh golongan yang
manapun. Karena pengaruh golongan Aluyuda cukup besar,
demikian pula pengaruh Dharmaputera, sukar untuk memilih
mentri2 yang selama ini tinggal di pura kerajaan. Sedikit atau
banyak merekapun tentu terpetak oleh warna pengaruh2 itu.
Hanya mentri yang telah terbukti kesetyaannya dan bebas dari
pengaruh2 golongan, akan dapat dipercayakan untuk
memimpin tampuk pemerintahan.
Akhirnya pilihan baginda jatuh pada Arya Tadah, seorang
patih tua dari Kahuripan. Seorang patih yang tua usia, sabar,
bijaksana. Selama pergolakan mengemelut di pura kerajaan,
Kahuripan berusaha untuk membebaskan diri dari pengaruh2
golongan itu. Demikian pula patih Arya Tadah. Ia lebih suka
mencurahkan diri untuk membangun keranian Kahuripan,
meningkatkan kehidupan para kawula, menegakkan keamanan, mengembangkan budaya dan agama.
Baginda memperoleh kesan baik atas diri Dipa, bekel yang
diajukan oleh Rani Kahuripan menjadi calon bhayangkara pura
Tikta Sripala. Diam2 bersemayam dalam hati baginda suatu
kesan bahwa mentri nayaka yang berasal dari Kahuripan itu
memiliki nilai tinggi dalam kesetyaan dan menunaikan tugas.
Arya Tadah jujur dan setya. Golongan2 yang menentang
maupun mendukung raja tak berhasil mengajaknya masuk ke
dalam golongan mereka. Sungguhpun demikian, tetapi
merekapun tidak membenci ataupun memusuhinya. Arya
Tadah dianggap bukan membahayakan mereka. orang yang berbahaya dan Pilihan baginda kepada narapraja tua itupun didasarkan
pertimbangan lain, bahwa langkah perbaikan dari kekurangan2
yang baginda lakukan dalam pemerintahan selama ini, baginda
akan mempergiat dan menggairahkan pembangunan negara,
meningkatkan hasil pengeluaran dan memajukan kemakmuran. Mengembangkan penyebaran agama, membangun sarana2 perhubungan antar daerah Mandalika
dengan pusat kerajaan. Baginda menyadari bahwa sejak naik di tahta singgasana,
selalu tempat pergolakan, pemberontakan dan peperangan.
Kini pergolakan telah hilang, pemberontakan lenyap dan
peperangan selesai. Biang keladi dari peristiwa2 itu telah
terbunuh. Di pusat pemerintahan pun telah bersih. Maka
sudah tibalah saatnya untuk membangun negara, memajukan
kemakmuran dan kesejahteraan.
Demikianlah pertimbangan2 baginda dalam memilih Arya
Tadah sebagai mahapatih untuk menggantikan kedudukan
yang sejak ditinggalkan rakryan Nambi, telah diisi oleh patih
Aluyuda. Dan ternyata pengangkatan itu telah mendapat
sambutan yang baik dari kalangan narapraja maupun kawula.
Mereka tahu Arya Tadah itu seorang mentri tua yang setya
dan selalu memikirkan kepentingan negara. Bukan seorang
ahli negara yang cemerlang tetapi seorang pembangun negara
yang gigih. Akan halnya diri bekel muda Dipa, bagindapun telah
mempersiapkan rencana untuk mengangkat bekel muda itu
kepada kedudukan yang lebih tinggi. Baginda melihat bakat2
yang menonjol pada diri bekel muda itu. Bagindapun telah
menghayati kesetyaannya, keberanian, ketegasan dan
kelincahan berpikir dari bekel muda itu. Selama menyingkir
dari huru hara di pura kerajaan, banyak nian hal2 yang
baginda temukan pada keperibadian bekel itu.
0o-dwkz-mch-o0 Dua bulan lamanya bekel Dipa mendapat cuti bebas dari
tugas kewajibannya sebagai bekel bhayangkara keraton
Majapahit. Ia tak tahu apakah kelak akan diangkat pula
sebagai bekel bhayangkara atau akan ditempatkan pada lain
kedudukan. Adakah ia akan mendapat kenaikan pangkat atau
ganjaran yang besar. Ia pun tak tahu. Dan memang ia tak
ingin tahu. Bekel Dipa berusaha untuk membebaskan diri dari setiap
pengetahuan tentang pangkat dan kedudukan yang akan
dianugerahkan baginda kepadanya. Beberapa kawan
mengatakan bahwa ia pasti akan diganjar pangkat
tumenggung atau paling tidak demang. Ada pula yang
mengatakan bahwa menilik jasa bekel Dipa yang tak ternilai
besarnya itu, bukan mustahil kalau baginda akan
mengganjarnya rumah dan tanah.
"Jangan lupa kepada kami, ki Dipa" beberapa kawan dari
kelompok bhayangkara bergurau "apabila kelak engkau
menerima ganjaran dari sang nata."
Setiap kali mendengar kata2 itu, bekel Dipa hanya tertawa
sunyi. Sesunyi hatinya dari harapan keinginan apa2. Ia merasa
apa yang telah dilakukan itu sudah menjadi tugas
kewajibannya. Sudah selayaknya, bukan suatu jasa. Ia merasa
malu dalam hati apabila merasa dan menganggap tindakannya
itu suatu jasa. Malu hati kepada kawan2 Gajah Kencana yang
tak pernah mendengung-dengungkan tentang jasa mereka.
Diam2 ia mamutuskan suatu rencana apabila kelak
dititahkan menghadap baginda. Ia akan menolak setiap
anugerah yang akan baginda berikan.
Apapun yang akan terjadi, ia tak cemas ataupun gelisah.
Karena ia sudah mengosongkan pikiran dari rasa harap dan
ingin. Pernah ia mendengar paman brahmana Anuraga
memberi uraian bagaimana untuk menghilangkan kecemasan
dan kegelisahan pikiran. "Lakukan saja segala dharma hidupmu menurut apa yang
harus engkau lakukan" kata brahmana Anuraga "janganlah
engkau membekali pikiranmu dengan rasa ingin atau harap.
Karena apabila batin dan pikiranmu sudah terikat oleh rasa
ingin dan harap, segera engkau akan menjelang kecemasan
dan kegelisahan" "Tetapi paman" sanggah Dipa "bagaimana kita dapat
menghapus rasa ingin dan harap salama kita masih
mempunyai pikiran dan cita2 " Bukankah menginginkan dan
mengharapkan sesuatu yang baik itu tiada akan merusak
pikiran kita?" Brahmana Anuraga mengangguk.
"Benar Dipa, memang manusia berisi dua unsur penggerak
hayat. Pikiran dan perasaan. Selama masih mempunyai atau
dikuasai oleh kedua unsur itu, tentu sukar untuk
menghapusnya. Tetapi hendaknya kita menyadari bahwa
dalam keadaan begitu, kita akan kehilangan kedudukan kita
sebagai tuan dari pada pikiran dan perasaan kita. Cobalah
engkau katakan, Dipa. Apakah engkau yang harus tunduk
kepada pikiranmu atau pikiranmu yang harus taat kepadamu?"
"Tetapi paman" seru Dipa pula "bukankah pikiranku itu
juga aku sendiri?" Brahmana Anuraga tersenyum.
"Sepintas rasa, memang demikian Dipa" sahutnya "tetapi
cobalah engkau renungkan. Siapa yang menggerakkan
pikiranmu itu" Adakah pikiranmu itu dapat bergerak sendiri
tanpa ada sesuatu kekuatan yang menggerakkan" Ah,
memang sukar untuk menjelaskan hal itu kepadamu pada saat
sekarang ini. Mudah-mudahan kelak engkau dapat
menemukan jawaban itu dan menghayatinya"
Dipa marasakan ada sesuatu yang benar seperti diucapkan
paman brahmana itu tetapi ia belum dapat menemukan
apakah sesuatu itu. "Jangan engkau paksakan dirimu untuk mencari hal itu,
Dipa" seru brahmana Anuraga demi melihat anakmuda itu
kerutkan dahi "suatu pemaksaan hanya melahirkan sesuatu


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang hanya seperti yang engkau khayalkan atau menurut
ciptama sendiri. Biarlah kesemuanya itu berjalan seiring
dengan pengalaman hidup yang engkau alami dan hayati
nanti" Dipa mengangguk. "Adakah mengandung harapan baik itu suatu hal yang
mengganggu pikiran" Tanyamu" seru brahmana Anuraga pula
"arti mengandung itu adalah berisi. Dan sesuatu yang berisi,
akan berbau. Karena engkau sudah mengandung harapan,
tentu engkau akan mengharap bagaimanakah buahnya. Sudah
tentu engkau segera akan terbelenggu pula oleh lain harapan
bahwa buah itu hendaknya yang baik, yang sesuai dengan apa
yang engkau harapkan. Belenggu Harap dan Ingin itu segera
akan menjerumuskan engkau dalam kegelisahan, kecemasan
yang mengganggu pikiranmu. Sebelum buah itu keluar, lebih
dahulu engkau sudah tersiksa oleh gangguan'' harap dalam
pikiranmu itu. Akhirnya, buah itu pasti akan keluar. Apabila
sesuai dengan harapanmu engkau tentu gembira. Tetapi kalau
tidak, engkau pasti kecewa. Bukankah kesemuanya itu hanya
merupakan duri2 gangguan yang menusuk pikiranmu belaka"
Mengapa tidak engkau bebaskan diri dari ingin dan harap,
betapapun baik Ingin dan Harap yang engkau miliki itu"
Bukankah engkau akan mengenyam suatu ketenangan"
Bukankah engkau takkan menderita kekecewaan jika
menghadapi hal2 yang tak pernah menyelimpat dalam
harapanmu" Adakah hasil itu baik atau buruk, bagimu
merupakan suatu kenyatakan yang harus engkau terima tanpa
rasa genibira ataupun kecewa"
Saat itu Dipa hanya termangu-mangu. Tetapi kini di dalam
menghadapi saat2 keputusan baginda Jayanagara, terasa
betapa tepat ucapan paman cara brahmana di kala itu. Oleh
karena itu iapun berusaha untuk mengosongkan diri dari
segala Ingin dan Harap. Dan nyatanya pikiran Dipa pun terasa
tenang dan sedap. Ia mempergunakan masa cuti untuk menyelami kehidupan
rakyat di pura kerajaan. Tetapi ia harus menghadapi hal2 yang
mengganggu pikiran dan perasaan hatinya. Setiap kali
mengenal dirinya bekel muda yang pernah berpidato di rapat
paseban, segera berbondong bondonglah rakyat mengerumuninya. Undangan untuk singgah ke rumah mereka,
bertubi tubi menjelangnya. Mereka memandang Dipa seolah
seorang pahlawan. Dalam keadaan demikian, ricuhlah pikiran
Dipa. Ia dapat menghargai perasan para kawula itu tetapi
menerima undangan mereka berarti seluruh masa cutinya
akan dihabiskan untuk bertamu dari satu kelain rumah. Itupun
tak mengapa. Tetapi dengan tindakan itu, tak sempat lagi ia
untuk menyelami keadaan kehidupan rakyat.
Ada pula suatu perasaan yang mengerikan bagi Dipa.
Dengan menerima sanjung dan penghormatan dari para
kawula itu, ia mencemaskan dirinya akan terhanyut dalam laut
pujian dan sanjungan. Ia akan dipuja dan dihormati sebagai
seorang pahakwan yang berjasa. Ia takut akan tenggelam
dalam lautan itu dan lupa diri. Ia takut pula pikirannya akan
penuh dengan rasa bangga sebagai seorang pahlawan
berjasa. Dan apabila pikiran sudah berisi dengan perasaan itu,
maka hatipun segera bangkit untuk menurut keinginan,
meminta imbalan jasa. Dan sekali batin sudah terkuasai oleh
keinginan semacam itu, maka segala pandang hidup, alam
pikiran dan tingkah ulahnya tentu akan berobah sesuai dengan
perasaannya sebagai seorang yang berjasa. Seorang yang
mewajibkan negara dan kawula harus menghormati, harus
membalas jasanya. Dan apabila sudah meningkat pada rasa
'mengharuskan' itu, maka berbahaya keadaan dirinya.
Tidak, tidak! Hatinya meronta, pikiran menolak. Ia harus
tetap sebagai seorang bekel bhayangkara. Ia harus tetap pada
kemurnian peribadinya. Bahwa apa yang dilakukan itu hanya
suatu wajib. Dan masih banyak wajib yang harus dihadapinya
pada masa2 mendatang. Selama hayat masih dikandung
badan, wajib dan tugas itu tak pernah habis, tak kunjung
reda. Jika ia sudah tenggelam dalam laut kebanggaan,
bagaimana mungkin ia akan dapat menanggulangi tugas2
kewajibannya yang masih tak terhitung banyaknya itu"
Akhirnya ia hentikan langkah untuk berjalan-jalan
menyelami keadaan hehidupan rakyat dalam pura Majapahit.
Kini ia hendak arahkan tangkah menuju ke rumah orang2
tertentu. Hal itu bukan berarti ia memilih kasih, bukan pula
memandang derajat dan kedudukan, tetapi ia menghendaki
untuk menambah pengetahuan dau pengalaman. Kepada
mereka, orang arif bestari itulah tempat ia meneguk
pengetahuan, mengaji pengalaman.
Dalam menggali lubuk ingatannya, teringatlah ia akan
seorang tua yang berbudi dan bijaksana. Demang Suryanata,
demang tua yang menjadi eyang dari gadis Indu.
Ia merasa berhutang budi kepada demang Surya karena
pernah di tolong dan tinggal beberapa waktu dengan demang
itu di tengah hutan. Kemanakah gerangan demang tua itu.
Langkah segera diayun untuk menyelidiki berita jejak demang
tua itu. Pertemuan terakhir dengan demang itu terjadi ketika
demang Surya berada di rumah yang disediakan ra Kuti. Kini
baru bekel Dipa menyadari bahwa sesungguhnya saat itu
demang Surya berada dalam penahanan ra Kuti. Tetapi ketika
untuk yang kedua kali ia menjenguk, ternyata demang tua itu
sudah pergi ke daerah selatan. Sejak itu karena kesibukan2
tugas, Dipa tak pernah mendapat kesempatan untuk mencari
berita demang itu. Waktu luang selama cuti itu, memberi peluang untuk
menyelidiki diri demang tua itu. Tetapi beberapa kalangan
yang dihubunginya, menyatakan tak tahu tentang demang itu.
Dan memang ia teringat bahwa ketika untuk yang kedua
kalinya mengunjungi demang Surya di rumah kediaman yang
disediakan oleh ra Kuti, penjaga rumah itu mengatakan bahwa
demang Surya bersama seorang prajurit menuju ke Blitar.
Peristiwa itu terjadi beberapa tahun yang lampau dan
sampai sekarang ternyata demang Surya tiada kabar beritanya
lagi. Namun Dipa tak putus asa. Ia berusaha untuk
menghadap pada mentri2 yang berkuasa. Antaranya empu
Anekakan, demung Samaya, tumenggung Nala, rangga Jalu
bahkan menghadap juga ia kepada sang arrya raja parakrama
dang acarrya Agraya, dharmmadhyaksa ring Kasyiwan. Dan
sang arrya dhiraya dang acaryya Scmenaka, dharmmadhyaksa
ring Kasogatan. Kesemuanya tak memberi hasil yang diharapkan mengenai
diri demang Surya. Hanya banyaklah bekel Dipa mendapat
pengetahuan serta pengalaman berguna dalam pembicaraan
dengan mereka. Mereka mempunyai kesan baik terhadap
bekel muda itu. Ada suatu kesan yang menyenangkan hati bekel Dipa
ketika ia menghadap dang acarrya Samenaka, dharmmadhyaksa ring Kasogatan dari kerajaan Majapahit.
Sekeluarnya dari pendapa dalam, bertemulah ia dengan
seorang muda yang menarik perhatiannya. Ternyata pemuda
itu bukan lain adalah putera dari dang acarrya Samenaka yang
memperkenalkan diri dengan nama Prapanca.
Bekel Dipa terkejut ketika mendengar uraian kata dari
pemuda itu. Luas sekali pengetahuannya dalam ilmu
Kasogatan (Buddha), jauh pandangannya mengenai hubungan
agama itu dengan perkembangan kemajuan negara Majapahit.
Uraiannya dibawakan dalam kata2 yang tersusun rapi. Indah
dan jelas. Hampir bekel Dipa tak percaya bahwa anak muda
yang tak berapa jauh usia dari dirinya, ternyata mampu
membahas soal2 agama dan praja dengan tajam dan tepat.
Bekel Dipa mendapat kesan bahwa di dalam diri anak muda
putera dang acarvya Samcnaka itu akan lahir seorang
pujangga besar. Bahkan lebih besar dari ramanya.
Untuk menyelami lebih jauh tentang pandangan pemuda
Prapanca, bekel Dipa pun mengajukan sebuah pertanyaan,
"Tuan, bagaimanakah pendapat tuan mengenai perkembangan agama2 dalam kerajaan Majapahit" Tidakkah
tuan sependapat dengan hamba bahwa agama Syiwa
berkembang jauh lebih maju dari yang lain2?"
"Menurut kenyataan yang terdapat dewasa ini, kerajaan
Majapahit menganut tiga aliran agama atau yang disebut Tri
paksi. Yakni, aliran Syiwa, Budha dan Brahmana. Tetapi oleh
karena jumlah penganut aliran Brahmana itu tak banyak maka
Syiwa dan Budhalah merupakan aliran agama yang paling
besar dan luas dalam kersjaan Majapahit" kata Prapanca.
"Apabila ki bekel bertanya, aliran mana yang paling
berkembang" kata Prapanca pula "maka menurut kenyataan
yang terdapat dalam kerajaan Majapahit dewasa ini, aliran
Syiwa lah yang lebih berpengaruh dan besar. Aliran Syiwa
banyak dianut oieh kalangan atas, para mentri dan narapraja.
Bahkan baginda yang bersemayam sekarang ini, lebih
cenderung untuk memperhatikan kemajuan aliran agama
Syiwa" Bekel Dipa terkesap. "Bagaimana tuan dapat menarik kesimpulan demikian"
Bukankah pada galipnya kedua aliran agama itu hendak
dipersatukan dalam suatu wadah aliran Tantrayana ?"
Prapanca mengangguk, "Benar, ki bekel. Memang kerajaan
telah berusaha sebaik-baiknya untuk membangun candi,
vihara dan sudharmma atau rumah2 suci. Dan penganut2
aliran Budha boleh bersembahyang di candi Syiwa,
penganut Syiwa dapat melakukan sembahyang di candi
Mahayana. Tetapi ada suatu kecenderungan untuk menduga,
bahwa kerajaan, mentri2 narapraja yang berkuasa di
pemerintahan sekarang, lebih memperhatikan pada perkembangan aliran Syiwa. Menilik susunan hakim2
Darmadikarana yang mengurus soal2 agama maka lima orang
pamegat yakni pamegat Tirwan Dang acarrya Ragawijaya
Panji Sahasa, pamegat Kandamuhi Dang Acarrya Wisywanata
Panji Paragata, pamegat Manghuri Dang Acarrya Hanata,
pamegat Pamotan Dang Acarrya Darmaraja dan pamegat
Jambi Dang Acarrya Syiwanata, adalah dari aliran Syiwa.
Sedang dharmadyaksa masing2 satu untuk Kasyiwan dan
Kasogatan" Bekel Dipa diam2 terperanjat bahwa anakmuda itu dapat
meneliti susunan hakim2 dan dhyaksa urusan agama Syiwa
dan Buddha dengan terperinci.
"Tuan" bekel Dipa memberanikan diri bertanya "adakah
sesuatu pada kedua aliran agama itu hingga menyebabkan
yang satu lebih tersebar luas dari yang lain?"
Prapanca tertawa. "Ki bekel" katanya "kita tak terpaut banyak dalam usia.
Aku penganut agama Buddha. Jika kukatakan tentang hal itu,
kukuatir kesimpulan2 yang kuberikan itu terpengaruh oleh
alam pikiranku, oleh agama yang kuanut. Dan tidak baik untuk
mengatakan lain aliran agama itu buruk"
Sejenak pemuda Prapanca itu memandang lekat2 pada
wajah bekel Dipa. Timbul percikan sinar pada gundu matanya
ketika memperhatikan gurat2 lekukan potongan wajah bekel
itu. Prapanca tersipu-sipu ketika bekel Dipa mengangkat muka
memandangnya. "Ki bekel, marilah kita memawas dan meniti apa yang telah
berlangsung pada waktu yang lampau, dan apa yang sedang
terjadi pada masa ini. Kupercaya engkau, ki bekel, tentu
mampu menyelami keadaan itu. Aku tak mau mendahului
merangkai suatu kesimpulan dan memang tak dibenarkan
untuk hal itu karena dikuatirkan setiap pandanganku akan
berbau alam pikiranku dalam agama yang kuanut. Kuserahkan kepadamu, ki bekel, kelak engkau tentu dapat
mengetahui sendiri. Hanya sepatah yang dapat kuhaturkan
kepadamu. Bahwa pada umumnya di kalangan keluarga raja,
mentri dan narapraja sangat mendukung aliran Syiwa"
Bekel Dipa tak mau mendesak. Ia tahu bahwa putera
dharmadhaksa ring Kasogatan itu seorang pemuda yang tajam
pikirannya dan luas pandangannya. Pesannya itu tentu
mengandung sesuatu jawaban dari soal yang ia tanyakan. Ia
akan merenungkan hal itu.
Dalam pembicaraan selanjutnya, bekel Dipa terkejut ketika
mendengar anak muda itu dapat memberi jawaban dari setiap
pertanyaan yang diajukan. Baik tentang ketata-prajaan
maupun tentang urusan agama dan kehidupan rakyat.
Tetapi Prapanca sendiripun tak kurang kejutnya ketika
menerima pertanyaan2 yang diajukan bekel muda itu. Belum
pernah ia menerima pertanyaan sekian banyak soal yang
menyangkut seluruh bidang kehidupan negara dari mulut
seseorang. Seorang bekel pasukan bhayangkara yang masih
muda tetapi mengapa memperhatikan juga soal2 yang
meliputi bidang yang seluas itu.
Bahkan bekel Dipa pun bertanya juga tentang cara2 untuk
memajukan kerajaan Majapahit menjadi sebuah negara besar
dan berkuasa. Maka Prapancapun menjawab. "Yang penting
adalah persatuan dan kesatuan dalam tubuh kita. Persatuan
itu merupakan kekuatan menuju ke arah cita2 yang engkau
inginkan. Kerajaan Majapahit sejak di bawah perintah baginda
Jayanagara selalu diganggu oleh

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekacauan dan pemberontakan sehingga tak sempat untuk menyusun
kekuatan. Maka yang penting tubuh pemerintahan harus
disatukan, bersih dari segala gangguan dalam"
Demikian setelah berlangsung cukup lama, percakapan antara dua orang muda yang kelak akan
menghias lembaran sejarah
Majapahit dengan karya2 yang gemilang, telah berakhir. Ketika bekel Dipa sedang berjalan di sebuah lorong, ia
tertarik perhatiannya akan
seorang muda yang berjalan
bergegas-gegas menyelimpat diantara orang2 yang berada dijalan.
Bagi bekel Dipa, bukan karena sikap orang itu yang sedemikian gegas yang menarik
perhatiannya. Karena tentu mempunyai urusan penting
mengapa orang itu berjalan bergegas. Tetapi adalah potongan
tubuh dan pakaian orang itu yang cepat memikat
perhatiannya. Walaupun berjalan menuju ke arah muka
sehingga hanya punggungnya yang tampak tetapi bekel Dipa
serasa pernah melihat orang itu. Saat itu hari sudah petang.
Bekel Dipa sesungguhnya hendak pulang ke asrama. Sehari
suntuk ia ke luar dan malam itu ia hendak beristirahat di
asramanya. Terlintas sesuatu dalam benak bekel muda itu. Samar2 ia
ingat siapa pemuda itu. Namun sebelum berhadapan dan
melihat wajahnya dengan jelas, ia belum berani
memastikannya. Mengapa ia berjalan sedemikian gegasnya"
Kemanakah tujuannya" Serentak bekel Dipa-pun teringat akan
peristiwa di rapat paseban Balai Ksatryan yang lalu. Makin
merenung makin timbullah keinginannya untuk mengikuti jejak
orang itu. Sesungguhnya ia enggan untuk mengikati langkah
orang secara diam2. Sesungguhnya pula ia hendak
menggunakan masa cutinya untuk mengadakan kunjungan
kepada sahabat2 dan menghadap para priagung yang
dikenalnya. Ia tak mau melibatkan diri dalam soal2 yang tak
berguna. Segera ia hentikan langkah dan terus berjalan membiluk
ke arah kiri. Tetapi beberapa langkah kemudian, hatinya
menggugat. Dia seorang bhayangkara keraton, bhayangkara
negara. Seorang prajurit harus tetap seorang prajurit dalam
waktu bertugas maupun cuti. Seorang bhayangkara harus
tetap menjaga dan melindungi negara dari kekacauan dan
gangguan keamanan. Seorang prajurit bhaayangkara tak
pernah mengenal berhenti dalam tugas2 yang tercantum
dalam kedudukannya. Betapapun orang tadi amat mencurigakan dan,patut dicurigai gerak-geriknya. Dan
bukankah dia tersangkut dalam peristiwa rapat paseban "
Bekel Dipa mendesah dan cepat berputar langkah
memburu jejak orang tadi. Tetapi orang itu sudah lenyap. Dipa
makin gugup. Diayunkan langkahnya secepat orang berlari.
Tiba di sebuah persimpangan, baru ia melihat orang itu
tengah berjalan menuju ke timur istana. Saat itu cuaca makin
gelap, malam mulai menebarkan selimut hitam. Bekel Dipa
menjaga pada jarak duapuluh tombak jauhnya dari orang itu.
Dan diapun bersikap hati2 agar tidak diketahui orang itu.
Jalan makin sunyi, terutama diarah timur dari keraton
tempat kediaman para mentri kerajaan yang berpangkat
tinggi. Orang itu menyusur lorong dengan langkah cepat.
Bekel Dipa makin curiga. Tiba2 orang itu berhenti di muka
sebuah gedung besar. Setelah memandang sejenak, ia
menghela napas. Pintu regol tertutup rapat dengan sebuah
kunci rantai yang kokoh. Dicobanya untuk mendorong namun
daun pintu tak berkisar sedikitpun juga. Orang itu segera
mengeluarkan sebatang pedang lalu hendak menahas rantai
pintu. Tetapi entah bagaimana tiba2 ia batalkan niatnya dan
menyarungkan pedangnya lagi.
Kini ia berjalan mengitari pagar tembok yang setinggi dua
tombak. Akhirnya mengeluarkan pula sebatang pisau belati.
Setelah mengambil sikap, ia segera loncat ke atas dan cepat
menancapkan belati ke tembok pada ketinggian satu tombak.
Kemudian dengan belati yang menancap ke tembok sebagai
pegangan, tubuhnya mengayun ke atas dan meraih puncak
tembok. Setelah mencabut belati, ia melekatkan seluruh tubuh
pada puncak tembok. Sejenak memandang ke dalam
lingkungan pagar tembok, ia segera loncat ke bawah.
Gerak-gerik orang itu tak lepas dari pengamatan bekel
Dipa. Cara orang itu masuk ke dalam pagar tembok yang
setinggi itu, cukup mengejutkan bekel Dipa. Lebih terkejut
pula ia ketika mengetahui bahwa gedung itu adalah bekas
kediaman mahapatih Aluyuda. Saat itu gedung telah
diperintahkan ditutup. Belum diketahui baginda akan
menitahkan mentri siapa untuk menempati gedung itu.
Makin meningkat pertanyaan dalam hati bekel Dipa.
Mengapa orang itu masuk ke dalam gedung bekas kediaman
patih Aluyuda" Apakah tujuannya. Jelas gedung itu sudah
kosong, mengapa dia tetap memasukinya" Untuk mencari
jawaban, bekel Dipa memutuskan ikut masuk ke dalam
gedung. Tetapi ia tak membekal belati, tali atau alat lain untuk
mendaki pagar tembok. Untuk loncat ke atas pagar tembok
yang setinggi itu, ia merasa tak mampu. Setelah mencari akal,
akhirnya ia berjalan mengintari pagar tembok dan akhirnya
berhasil menemukan sebatang pohon brahmastana yang
tumbuh tak berapa jauh dari pagar tembok itu. Dilihatnya
pohon brahmastana itu tinggi dan rindang. Segera ia mencari
akar pohon yang bergelantungan dari dahan, menjulai ke
tanah. Setelah beberapa saat memilih yang berasal dari dahan
tinggi sehingga akarnya cukup panjang, maka segera ia
bersiap siap. Ia menarik akar itu ke arah batang pohon,
Dipegangnya ujung akar erat2 kemudian ia menjejakkan
kakinya pada batang pohon. Seperti diayun, maka tubuhnya
segera meluncur ke arah pagar tembok, ketika tepat
melampaui di atasnya, iapun segera melepaskan akar itu dan
tepat hingga di atas pagar tembok. Setelah itu ia loncat turun
ke dalam halaman gedung. Pintu telah terbuka secara paksa. Dengan langkah hati2 ia
menyusup masuk ke dalam gedung. Berdebar juga hainya
karena merasa telah memasuki kediaman orang tanpa idin.
Demikian pula ia mencemaskan kemungkinan orang tadi
berlari ke luar. Karena itu ia harus meningkatkan kesiagaan.
Ruang tengah gelap dan ia harus berjalan hati2 agar
jangan melanggar perabot2 di situ. Kemudian menuju ke
ruang belakang. Dengan begitu ia harus lebih berhati-hati
karena lebih mendekati ke tempat orang itu. Dari ruang muka,
hingga ke ruang belakang sesungguhnya hanya beberapa
puluh tombak jauhnya tetapi ia harus menggunakan waktu
hampir sejam lamanya. Di samping gelap, pun ia harus
berjalan hati2 sekali agar jangan menerbitkan suara.
Tiba di ruang belakang ia masih tak menemukan orang itu.
Ah, apakah ia masuk ke dalam salah sebuah bilik" Pikirnya.
Tetapi sepanjang pengamatannya, tak tampak salah sebuah
bilik yang terbuka. Akhirnya setelah bimbang beberapa saat, ia
melanjutkan langkah ke belakang. Tiba di dapur, ia tetap tak
melihat suatu apa. Kemudian ia melanjutkan sampai ke
halaman belakang lalu menuju ke kebun yang terletak di
belakang gedung. Baru tiba di pintu kebun, ia mendengar
suara orang bertengkar. Cepat ia
bersembunyi di balik sebatang pohon.
menyelimpat daa Dalam kegelapan malam, ia melihat tiga sosok tubuh
sedang tegak berhadapan. Salah seorang yalah orang yang
diikuti jejaknya tadi "Hm, bagus Kebo Taruna" seru salah seorang yang
bertubuh kecil "engkau telah menghianati ki patih A luyuda"
"Kakang Wirudha" sahut orang tadi yang disebut Kebo
Taruna "aku tidak menghianati melainkan mengatakan hal
yang sebenarnya" "Ho, mengatakan hal yang sebenarnya padahal
keteranganmu itu merupakan suatu kesaksian yang
memberatkan diri ki patih?" seru orang yang dipanggil
Wirudha. "Ya, memang demikian" sahut Kebo Taruna "dan hal itu
sesuai dengan tuntutan seluruh kawula pura kerajaan"
"Keparat!" tiba2 Wirudha memaki "persetan dengan
tuntutan para kawula. Mereka tak tahu apa2. Itu hanya
perbuatan golongan yang menentang ki patih saja"
"Ah, kakang Wirudha" sahut Kebo Taruna pula "perbuatan
ki patih Aluyuda memang sudah mencapai batas yang
terpuncak. Cobalah kakang bayang kan, selama paman patih
Aluyuda menjabat pangkat patih, bukankah di pura karajaan
selalu bergetar dengan kekeruhan dan kegentingan. Siapakah
yang menyulut peperangan di Mandana, siapa pula yang
menyalakan api peperangan di Lumajang" Cobalah kakang
renungkan, bagaimana keadaan kerajaan Majapahit karena
dilanda oleh gangguan2 itu " Bukankah kemajuan negara
terhambat, keamanan terganggu dan kesejahteraan makin
merosot?" Wisudha tertawa cemooh. "Bukan hanya ki patih Aluyuda
sendiri yang harus dibebankan tanggung jawab atas segala
kekacauan itu, antara lain golonganmu, Kebo Taruna"
Kebo Taruna terbeliak "Golonganku" Ah, janganlah kakang
menghambur fitnah rendah"
"Fitnah adalah hal yang tidak benar, pada hal yang
kukatakan ini adalah juatu kenyataan. Mengapa engkau
menuduh aku menghambur fitnah?"
"Katakanlah, siapa yang kakang maksudkan dengan
golonganku itu ?" "Gajah kencana!" seru Wirudha.
"Gajah Kencana?" ulang Kebo Taruna lalu tertawa
"bagaimana kakang dapat mengatakan aku ini warga Gajah
Kencana?" "Bicara dan sikapmu, pandangan dan perbuatanmu adalah
suara dan pendirian Gajah Kencana"
Kebo Taruna tertawa memanjang.
"Kakang Wirudha" serunya "tidak mudah untuk diterima
sebagai warga Gajah Kencana. Dan tidak mudah orang rela
masuk menjadi warga Gajah Kencana. Mereka berjuang tanpa
pamrih, tak mengharap balas, tak menginginkan kedudukan
maupun harta benda. Aku merasa diriku tak layak menjadi
warga perhimpunan itu"
"Gajah Kencana terdiri dari putera2 menteri dan senopati
kerajaan Majapahit. Dan engkau Kebo Taruna adalah putera
dari mendiang Kebo Anabrang senopati prabu Kertarajasa.
Bagaimana tak mungkin engkau diterima menjadi warga Gajah
Kencana?" Tiba2 Kebo Taruna mengerat dahi "Kakang Wirudha, tak
usah berbanyak kata. Aku bukan warga Gajah Kencana. Aku
bertindak terhadap paman patih adalah karena kesadaranku
sendiri sebagai seorang putera Majapahit yang sedih melihat
perkembangan negara Majapahit selalu terganggu oleh
hambatan2 yang dilakukan paman patih Aluyuda. Penghianat,
adalah orang yang menghianati pada negara, bangsa dan
suatu pendirian yang luhur. Menghianati seorang penghianat,
bukanlah penghianat melainkan membuka kedok penghianat
itu" "Jika engkau tahu bahwa ki patih Aluyuda itu seorang
penghianat, mengapa engkau rela menyerahkan dirimu dalam
asuhannya" Mengapa engkau rela menerima hadiahnya,
memakan nasi dan menikmati kenikmatan hidup yang
diberikannya kepadamu" Tidakkah ulahmu itu jauh lebih
rendah dari seekor anjing yang betapapun kotornya, masih
tetap setya kepada tuannya?" seru Wirudha pula.
"Raden Wiruda" tiba2 orang bertubuh tinggi besar yang
berdiri di sisi Wirudha berkata "kiranya tak perlu raden
membuang lidah. Terhadap seorang penghianat, hanya
matilah hukumannya" Wirudha melirik kearah orang tinggi besar itu "Sabar,
kakang Gagak Bongkol. Memang pada akhirnya dia harus
menerima hukumannya. Tetapi sebelum itu hendak kujelaskan
dahulu kedosaannya agar kelak kalau mati, jangan dia menjadi
setan penasaran yang suka mengganggu orang"
Kebo Taruna melirik ke arah orang tinggi besar itu. Ia tahu
siapa Gagak Bongkol itu, seorang kadehan patih Aluyuda yang
diberi tugas sebagai algojo pembunuh. Dengan pembicaraan
itu, Kebo Taruna segera menarik kesimpulan bahwa saat itu ia
akan berhadapan dua orang lawan yang akan bertindak secara
kekerasan terhadap dirinya.
"Kebo Taruna" berkata Wirudha pula "betapapun engkau
hendak menyangkal, tetapi dalam kenyataan engkau telah
mempercepat terbunuhnya ki patih Aluyuda, orang yang
banyak melepas budi kepadamu, mengasuh dan melindungi
engkau selama ini. Walaupun ki patih sudah tiada, namun aku
dan kakang Gagak Bongkol masih hidup dan takkan
membiarkan perbuatanmu"
"Maksud kakang ?" tanya Kebo Taruna walaupun dalam
hati sesungguhnya sudah dapat menduga apa yang tersirat
dalam kata2 orang. "Engkau tentu sudah maklum akan hukum bagi seorang
penghianat, Kebo Taruna?"
"Sudah" sahut Kebo Taruna "seorang penghianat harus
dibunuh. Tetapi menghianati seorang penghianat, bukan
penghianat!"

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wirudha tertawa muak. "Terserah ganjaran apa yang hendak diberikan raja
Majapahit kepadamu. Pujian apa yang hendak disanjungkan
kawula Majapahit di hadapanmu. Tetapi bagi ki patih Aluyuda
dan kami orang2 kadehan yang pernah menikmati kenikmatan
hidup yang dilimpahkannya selama ini, tetap menganggapmu
sebagai penghianat. Menghianati kawan, golongan dan
seorang junjurgan yang pernah melepas budi kepadamu !"
"Jangan engkau menyinggung nyinggung soal budi,
kakang Wirudha?" seru Kebo Taruna dengan wajah
bersungguh "tahukah engkau apa yang sesungguhnya layak
disebut budi itu?" "Omongan anak kecil!" hardik Wirudha "engkau makan
nasinya, engkau minum wedangnya, engkau tidur dan engkau
mengenakan pakaian pemberiannya, engkau dimanjakan
dalam kesenangan yang engkau gemari, engkau diberi uang
dan dianggap sebagai putera sendiri. Adakah itu bukan budi?"
"Ha, ha, ha" Kebo Taruna tertawa "jika paman patih
memelihara seekor anjing, bukan karena paman patih kasihan
kepada anjing itu, melainkan karena hendak menggunakan
tenaganya untuk menjaga rumah, untuk menyalak apabila
gedung kepatihan dimasuki penjahat. Adakah perbuatan
paman patih. memelihara anjing itu juga dianggap budi?"
"Setan!" Wirudha menggeram "engkau manusia bukan
anjing. Tentu saja berbeda, kecuali engkau menganggap
derajatmu serupa dengan anjing"
"Yang lebih buruk dari itu" sambut Kebo Taruna dengan
tetap tenang "adalah manusia2 yang pikiran dan hatinya
seperti anjing. Yalah yang hanya mengekor dan menjilat jilat
kaki tuannya yang memberi makan dan hidup kepadanya.
Entah tuannya itu seorang yang baik budi atau seorang jahat
ataupun seorang penghianat. Anjing akan tetap patuh dan
bersimbah di bawah telapak kakinya. Siapa orang2 macam
begitu, tentulah engkau sudah maklum sendiri, kakang
Wirudha" Merah padam wajah Wirudha mendengar kata2 tangkisan
dari Kebo Taruna. Nadanya tenang tetapi maknanya menikam
uluhati. Terutama uluhati Wirudha yang merasa terkena.
Sebelum Wirudha sempat menumpahkan kata2 balasan
yang lebih pedas, Kebo Taruna sudah mendahului, "Jika
kakang menganggap derajatku serupa dengan anjing, aku
masih dapat menerima. Karena aku tunduk dan menurut pada
paman Aluyuda yang mengasuh dan melindungi diriku. Tetapi
aku tak mau menjadi mahluk yang lebih rendah dari anjing
buduk yang menjilat-jilat kaki tuannya tanpa membedakan
siapakah diri tuannya itu, seorang penghianatkah atau seorang
baik. Kakang bebas untuk memaki diriku sebagai anjing yang
tak kenal budi tuannya, tetapi akupun bebas untuk tidak
menjadi anjing buduk tetapi anjing serigala"
Wirudha kerutkan dahi. "Anjing serigala" Layak sekali, hatimu memang sekejam
serigala!" serunya. "Ya, serigala menerkam setiap orang, baik orang jahat
maupun orang baik. Karena binatang itu berhak untuk
mempertahankan hidupnya, kebebasannya. Tidak seperti
anjing buduk yang kusebutkan tadi!"
"Apa alasanmu menerkam ki patih Aluyuda?"
"Telah kukatakan, jika engkau menggolongkan diriku
sebagai anjing, aku ingin menjadi anjing serigala. Akupun
ingin mempertahankan hidup dan kebebasanku. Pertanyaan
kakang, kukembalikan kepada kakang. Apa alasan paman
patih memelihara aku" Karena kasihan" Bukankah kerajaan
telah melimpahkan imbalan untuk mencukupi hidup
keluargaku" Apa yang dikasihani pada diriku" Kuatir aku
dibunuh oleh kawan2 paman Rangga Lawe" Mengapa
menguatirkan hal itu, bukankah rama Kebo Anabrang juga
telah dibunuh paman Lembu Sora?"
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Wirudha memandang tajam pada kerut dan sikap Kebo
Taruna. "Kujelaskan" kata Kebo Taruna pula "bahwa mengandung
pamrihlah paman patih merawat aku itu. Aku hanya digunakan
sebagai senjata untuk menjatuhkan paman Lembu Sora dan
kawan-kawannya. Akupun dijadikan alat untuk memata-matai
gerak gerik para mentri dan narapraja terutama mahapatih
Nambi. Sebagai putera dari rama Kebo Anabrang aku tentu
diterima bergaul dengan para mentri. Mereka memperlakukan
diriku dengan baik bahkan sering terpancing keluar kata2
rahasia hatinya terhadap kerajaan, baginda atau seseorang
mentri. Dan hal2 semacam itulah yang diwajibkan paman
patih kepadaku untuk memberi laporan agar dia dapat
mengetahui gerak gerik dari setiap mentri dan senopati
kerajaan. Adakah budi yang mengandung pamrih mencari
keuntungan itu layak disebut budi?"
"Ha, ha" Wirudha tertawa mencemoh "tetapi mengapa
sampai bertahun-tahun engkau menikmati pemberian makan
dan kenikmatan hidup dari ki patih" Kemudian setelah
mengetahui bahwa nasib ki patih dalam keadaan berbahaya,
engkau menjerumuskan sekali dia ke dalam lembah
kematian!" "Kakang Wirudha" sahut Kebo Taruna dengan nada
mantap "kala itu aku masih kecil, belum dapat membedakan
warna kuning emas dengan kuning loyang. Dan paman patih
adalah seorang yang pandai bicara bermulut madu. Bahkan
baginda sendiripun terpikat oleh kemanisan mulutnya. Kukka
dia memang benar2 memperhatikan nasibku dan seorang
sahabat baik dari ramaku. Sehingga sampai terbunuhnya
paman Lembu Sora, aku makin menaruh kepercayaan penuh
bahwa paman Aluyuda benar2 kasih kepadaku. Tetapi dengan
semakin meningkat umurku serempak dengan semakin jelas
tugas2 yang harus kulakukan, mulailah aku menyadari bahwa
diriku ini tak lebih hanya digunakan sebagai alat belaka"
Tiba2 Wirudha menukas "Itu tak lebih dari suatu
kelayakan. Engkau menerima budi dan engkau memberikan
imbalan melakukan permintaannya"
"Aku tak membantah" kata Kebo Taruna "bahwa aku harus
membalas pemberian paman patih selama itu. Tetapi hati
nuraniku meronta dan menuntut supaya aku kembali kepada
peribadiku. Kebo Taruna adahh putera Keto Anabrang,
senopati Pamalayu dari kerajaan Majapahit yang termasyhur
namanya sampai di luar negara. Bahwa puteranya, tak dapat
menyamai kewibawaan nama ayahnya, memang kuakui.
Harimau tentu beranak harimau. Tetapi sukar bagi manusia
untuk meniru harimau. Bapaknya seorang senopati, belum
tentu anaknyapun seorang senopati yang semasyhur
bapaknya" Kebo Taruna berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi
"Bahwa aku tak dapat meraih kemasyhuran sebagai ayahku,
aku menerima nasib. Tetapi aku tak mau menjatuhkan nama
ayahku. Aku tak mau mencontreng arang pada nama ayahku
yang cemerlang itu. Itulah pendirianku sekarang dan sampai
akhir hayatku !" "Apa yang engkau maksudkan itu " Jelaskan!" seru
Wirudha. "Baik" jawab Kebo Taruna "perintah paman Aluyuda
supaya aku memata-matai gerak gerik para mentri dan
senopati kerajaan, merupakan suatu bantuan dan pegangan
penting bagi paman patih dalam usahanya menjatuhkan
mereka untuk kemudian setingkat demi setingkat akan
meraih kedudukan mahapatih yang diidam-idamkan itu.
Kejatuhan mahapatih Natnbi dan rombongan mentri yang
menyertai ke Lumajang, pun tak lepas dari tangan berdarah
paman patih Aluyuda"
"Jangan menyembur fitnah beracun kepada orang yang
sudah meninggal !" bentak Wirudha.
Kebo Taruna menyalangkan mata dan berseru dengan
geram. "Fitnah" Setiap hal yang memburukkan paman patih,
cepat sekali engkau tanggapi sebagai fitnah. Pada hal seluruh
kawula kerajaan sudah menghukum paman patih sebagai
seorang penghasut yang membahayakan negara dan
membunuh beberapa mentri kera-rajaan yang setya. Aku tidak
melontar fitnah. Karena jelas aku telah disuruh paman patih
untuk mencegat perjalanan rombongan mahapatih di
Kedungpeluk dan memaksa buyut desa itu supaya bekerja
sama dengan aku meracuni rombongan mahapatih"
"Apa buktinya!" tegur Wirudha.
"Tanyakan kepada paman patih di akhirat!" balas Kebo
Taruna yang sudah mulai geram.
Merah padam muka Wirudha. Gagak Bongkol yang sejak
tadi diam saja, tiba2 menggeram keras. "Kebo Taruna, jangan
bermulut lancang !" Kadehan yang menjadi algojo dari mendiang patih A luyuda
menyalangkan mata dan mengepalkan tinjunya kencang, siap
hendak menghajar Kebo Taruna. Tetapi Wirudha cepat
memberi isyarat mencegah. Ia masih perlu untuk menggali
keterangan dari mulut pemuda itu lebih dahulu sebelum turun
tangan. "Htn" dengus Wirudha menekan kemarahannya, "jadi
tindakanmu menghianati ki patih itu timbul setelah engkau
menyadari bahwa perbuatan ki patih itu berbahaya?"
"Ya." "Engkau mengatakan dirimu sebagai seorang putera
senopati utama. Seharusnya engkau menjunjung keutamaan
budi. Engkau sudah merasa menerima budi
kebaikan selama bertahun-tahun dari ki patih, jika pada satu saat
engkau menyadari bahwa tindakan ki patih itu tidak baik dan
tak harus kita turut, engkau boleh meninggalkannya tanpa
perlu harui menikam punggungnya dikala dia sedang dalam
terancam bahaya. Kutanya kepadamu, utamakah laku itu, hai
Kebo Taruna" Masihkah engkau menepuk dada sebagai putera
dari seorang senopati yang termasyhur?"
"Yang wajib mengatakan tindakanku itu utama atau tidak,
adalah kerajaan, baginda dan seluruh-kawula Majapahit. Aku
sendiri tak berani mengatakan apa2 terhadap diriku. Lebih
pula seorang yang menganut pendirian paman patih secara
membabi buta" "Hm" Wirudha mendesuh pula dan bahu Gagak Bongkol
bergetar-getar menekan kemarahan.
"Jika tak terjadi suatu apa, memang demikian yang akan
dan telah kulakukan. Aku meninggalkan kepatihan. Tetapi
ketika mendengar bahwa paman patih hendak melancarkan
gerakan membasmi Dharmaputera dan beberapa mentri,
bangkitlah semangatku untuk membantu negara. Biarlah aku
dicaci sebagai seorang manusia yang tak kenal membalas
budi, biarlah aku dihina sebagai seorang penghianat, tetapi
aku wajib harus menyelamatkan negara Majapahit dari
kekacauan besar yang hanya akan memperlemah kekuatan
negara. Inilah pendirianku"
"Tetapi ternyata bukanlah ki patih yang menggerakkan
pemberontakan hendak merebut kekuasaan kerajaan itu,
melainkan Dharmaputera sendiri. Tidakkah engkau harus malu
dan menyesal karena telah mendengar dan percaya pada
mulut seorang Dharmaputera yang menemuimu?"
"Tidak" sahut Kebo Taruna tegas "karena nyata2 dalam
peradilan selanjutnya, paman patih memang terbukti menjadi
biangkeladi dari kekeruhan dan kebinasaan dari mentri2 yang
setya. Bagindapun menyetujui tindakan yang dilakukan para
mentri dikala mengadili kedosaan paman patih."
Wirudha merah mukanya. Namun ia tetap menahan
gejolak kemarahannya. Betapapun ia tetap menganggap Kebo
Taruna telah menghianati patih Aluyudha, patih yang menjadi
sandaran dari para pejuang Daha untuk melaksanakan
pembalasan dendam kepada kerajaan Majapahit. Wirudha
sendiri ingin melakukan pembalasan dendam rakyat Daha,
menurut cara tersendiri. Ia seorang warga Wukir Polaman
yang berhasil menyelundup ke pura kerajaan sebagai seorang
kadehan patih Aluyuda. Ia dan Gagak Bongkol bertugas secara
rahasia untuk menyelidiki gerak-gerik mentri2 dan senopati
kerajaan. Pada saat huru hara meletus di pura kerajaan, ia bersama
Gagak Bongkol sedang melakukan tugas patih Aluyuda untuk
mempersiapkan suatu rencana kekacauan di Daha. Patih
Aluyuda mendengar bahwa walaupun pura kerajaan sudah tak
pernah dikunjungi oleh putera2 priagung yang hendak
mempersembahkan peminangannya terhadap kedua puteri
Tribuanatunggadewi dan Haji Mahadewi, namun sejak puteri
Tribuanatunggadewi diangkat sebagai Rani Kahuripan dan Haji
Maha-dewi menjadi Rani Daha, para pemuda priagung itu
secara bersembunyi beralih menginjakkan kaki ke kedua
keranian itu. Timbul dalam pikiran patih Aluyuda agar hubungan sang
prabu Jayanagara dengan kedua puteri yang sudah membaik
itu, akan retak lagi. Keretakan itu akan membebankan baginda
dalam kesulitan dan akhirnya baginda tentu menyerahkan
kepercayaan dan kekuasaan kepadanya. Sebagai mahapatih
yang baru diangkat, ia hendak menunjukkan suatu karya,
suatu jasa. Dengan demikian kepercayaan baginda akan jatuh
bulat kepadanya. Dharmaputera akan tersisih ke samping.
Maka dikirimlah Wirudha dan Gagak Bongkol ke Daha
untuk menyelidiki kebenaran berita yang mengatakan bahwa
raden Kuda Amerta dari Wengker, sering berkunjung ke
keraton Daha menghadap puteri Maha-dewi. Apabila hal itu
benar, maka patih Aluyuda segera akan mempersembahkan
laporan kepada baginda dan baginda tentu murka dan
menurunkan titah untuk melarang pemuda itu, bahkan
menangkapnya. Rani Daha tentu memberi suatu tanggapan
terhadap titah larangan itu. Di situlah timbulnya keretakan
yang akan memberi peluang bagi Aluyuda untuk meraih
kekuasaan dan kepercayaan yang lebih penuh dari baginda.
Ketika sedang melakukan penyelidikan di Daha, kedua
orang itu terkejut mendengar tentang pecahnya huru hara di
pura kerajaan. Namun mereka tak berhasil mendapat
keterangan siapa yang menggerakkan pemberontakan itu dan
apa tujuannya. Wirudha bersangsi, tetap menetap di Daha
atau akan kembali ke pura kerajaan. Tetapi dari orang2 yang
kebetulan baru tiba dari pura Majapahit, ia mendapat laporan
lebih lanjut bahwa keadaan pura kerajaan masih diselubungi


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kegelapan dan kegentingan yang gawat. Orang2 dari luar
daerah dilarang masuk ke dalam pura. Terpaksa Wirudha
memutuskan untuk tinggal beberapa waktu di Daha lagi
sekalian untuk melanjutkan penyelidikannya.
Beberapa hari kemudian, mereka baru memutuskan pula
ke pura. Memang keadaan di pura kerajaan sudah tenang
tetapi apa yang mereka dengar dari cerita orang, benar2
mengejutkan sekali. Hampir mereka tak percaya akan berita
itu. Berita yang mengatakan tentang rapat paseban Balai
Ksatryan yang menjatuhkan hukuman kepada Dharmaputera
dan patih Aluyuda, serta tindakan rakyat yang telah
membunuh mentri-mentri itu.
"Kakang Gagak Bongkol" kata Wirudha "keadaan sangat
berbahaya bagi kita apabila kita menampakkan diri secara
terang-terangan. Kemungkinan kita yang dianggap sebagai
kadehan ki patih akan ditangkap, mungkin akan dihukum
bahkan dibunuh" Gagak Bongkol, algojo yang berlumuran darah, tergetar
juga hatinya. Ia hanya mendesuh geram.
"Sebaiknya kita menyembunyikan diri dalam penyamaran
ataupun ke tempat salah seorang kawan. Suasana saat ini
benar2 gawat, kita harus berhati-hati untuk menjaga segala
kemungkinan" kata Wirudha pula.
Gagak Bongkol mengiakan. Mereka lalu menuju ke rumah
seorang kawan warga Wukir Polaman yang menetap di pura
kerajaan. Pragota namanya. Dari Pragota, Wirudha mendapat
keterangan yang lebih jelas dan terang tentang peristiwa yang
telah terjadi dalam pura Wilwatikta selama ini.
Setelah beberapa waktu menyembunyikan diri, malam itu
Wirudha mengajak Gagak Bongkol keluar. Kepada Pragota,
Wirudha memberi alasan hendak jalan2 melihat lihat suasana.
Tetapi di tengah jalan ia berbisik kepada Gagak Bongkol,
"Kakang Bongkol, kita menuju ke gedung kediaman ki patih
Aluyuda" "Untuk apa ?" Gagak Bongkol terbeliak.
"Ki patih Aluyuda sudah terbunuh dan saat ini kita
terkatung-katung tanpa pijakan. Perjuangan untuk merubuhkan kerajaan Majapahit tetap harus berjalan, tetap
harus kulaksanakan. Mari kita mencari harta peninggalan ki
patih. Harta itu akan kugunakan untuk meneruskan
perjuangan kita" Gagak Bongkol terkejut. "Gusti patih telah dibunuh rakyat, gedung kediamannya
tentu juga diserbu rakyat. Paling tidak tentu sudah ditutup
oleh pemerintah" katanya.
"Kita lihat" sahut Wirudha seraya lanjutkan langkah.
Apa yang diduga Gagak Bongkol ternyata benar. Gedung
kediaman Mahapatih A luyuda telah ditutup. Keluarganya entah
diamankan kemana. Tetapi bagi Wirudha hal itu tak penting.
Aluyuda sudah meninggal, apa manfaatnya ia mencari
keluarga mahapatih itu. Bahkan usaha pencaharian semacam
itu akan menimbulkan akibat yang berbahaya. Apabila
ketahuan prajurit2 yang berwajib, tentu ditangkap. Yang
penting adalah ki patih Aluyuda, dia sudah meninggal tetapi
harta kekayaannya masih dapat dan harus dimanfaatkan.
"Tak apa" kata Wirudha kepada Gagak Bongkol "justru
lebih baik karena kita dapat leluasa mencari harta itu"
"Tetapi adakah raden tahu tempat penyimpanannya"
Tidakkah harta peninggalan itu sudah dibawa oleh keluarga
gusti patih?" Wirudha menggeleng, "yang dibawa hanya beberapa
bagian saja. Sebagian besar harta itu masih berada di gedung
ini" "Raden tahu tempatnya?" Gagak Bongkol makin bergairah.
Wirudha terkejut dalam hati. Ia memperhatikan suatu
kejutan yang bernada lain dalam ucapan orang itu. Ia kenal
Gagak Bongkol sebagai kadehan yang terpercaya oleh patih
Aluyuda untuk melenyapkan musuh-musuhnya. Iapun tahu
keberanian dan kedigdayaan Gagak Bongkol, demikian pula
dengan sifat keberangasan dan ketololannya. Namun ia belum
jelas akan peribadi Gagak Bongkol yang sebenarnya, kejujuran
dan keluhuran budinya. Tetapi ia sudah menanamkan suatu
prasangka terlebih dahulu, bahwa sifat seorang manusia yang
menjadi algojo pembunuh tentu kejam, ganas dan serakah.
Dan bukankah sifat2 itu akan memancarkan ancaman bahaya
apabila berhadapan harta kekayaan yang berlimpah
jumlahnya" Gagak Bongkol heran mengapa Wirudha diam saja. Ia
mencurahkan pandang mendesak. Tetapi sebelum sempat
membuka mulut, Wirudha sudah mendahului, "Tahu pasti,
tidak" katanya "tetapi hanya samar2 ingat saja"
"Apa maksud raden?"
"Ketika itu sudah tengah malam. Aku kebetulan bermalam
di gedung kepatihan. Aku terbangun karena hendak buang air.
Ketika menuju ke belakang, tiba2 aku terkejut mendengar
suara benda menggetar bumi. Malam amat sunyi, gelap
memekat. Setelah menajamkan pandang beberapa saat, baru
dapat kutembus kabut kegelapan dan melihat bahwa sosok
tubuh yang sedang berjongkok di tanah dan mengayunkan
iinggis itu adalah ki patih Aluyuda sendiri"
Aneh. Pikirku. Mengapa pada waktu selarut malam seperti
saat itu, paman mahapatih menggali lubang di kebun
belakang. Serentak timbul reka jawaban dalam benakku.
Tentu bukan suatu benda yang tak bernilai atau tak berharga
mengapa paman mahapatih sampai turun tangan sendiri.
Tentulah paman Aluyuda sedang menanam sesuatu benda
pusaka, senjata atau kitab, bahkan mungkin harta permata
yang tak ternilai jumlahnya. Saat itu ingin kusapa tetapi pada
lain saat cepat2 kubasmi keinginan itu. Dengan bekerja pada
waktu tengah malam yang sunyi tentulah paman Aluyuda
menghendaki agar pekerjaan itu tak diketahui oleh siapapun
juga. Paman Aluyuda tentu marah terhadap orang yang tahu
apalagi menyapanya. Kemarahan seorang yang sedang
berkuasa besar seperti dia, merupakan bahaya besar.
"Itulah pengetahuanku tentang kemungkinan disimpannya
harta kekayaan paman Aluyuda dalam kebun belakang in;,
kakang Bongkol. Dimana letaknya yang tepat, aku sidah tak
ingat jelas. Maka kukatakan masih harus kita cari lagi"
Wirudha mengakhiri penuturannya.
"Jika demikian, marilah kita segera mulai membongkar
tanah kebun ini" habis berkata Gagak Bongkol terus mencabut
pedang dan hendak mulai menggali tanah.
"Tunggu dulu, kakang Bongkol" cepat Wirudha mencegah
"sebelum bekerja, aku ingin merundingkan sesuatu dengan
engkau" Gagak Bongkol mengerut dahi. "Berunding" Soal apa
raden?" "Begini kakang Bongkol" kata Wirudha dengan nada datar
"setelah paman Aluyuda meninggal, kita ibarat anak ayam
kehilangan induk, sapu lidi lepas dari ikatannya. Kita tercerai
berai tanpa pimpinan. Hanya dua pilihan yang kita hadapi.
Maju atau mundur" Gagak Bongkol yang agak lamban pikirannya, makin
meliukkan kerut dahinya lebih dalam. "Maaf, raden, Gagak
Bongkol ini seorang tolol, mohon raden suka memberi
penjelasan" "Beginilah maksudku, kakang" kata Wirudha "setelah
paman Aluyuda meninggal, kita harus mengambil keputusan.
Melanjutkan perjuangannya atau mengundurkan diri dari
gelanggang percaturan negara. Engkau tentu akan bertanya,
mengapa aku mengajukan pertanyaan begitu. Ya, kita saat ini
memang sudah menginjak pada tingkat keadaan begitu. Nah,
cobalah kakang jawab?"
Tanpa banyak pikir lagi Gagak Bongkol serentak memberi
pernyataan hendak tetap melanjutkan perjuangan mahapatih
Aluyuda. "Bagus, kakang" kata Wirudha "setelah keputusan engkau
ambil, engkaupun wajib menjawab pertanyaanku ini.
Bagaimanakah caranya kita melanjutkan perjuangan itu "
Waktu paman mahapatih masih hidup dan berkuasa, kita
bekerja di bawah perintahnya. Tetapi sekarang" Siapakah
yang kita turut" Bagaimana cara2 kita berjuang itu ?"
Gagak Bongkol terperangah. Beberapa saat ia tak mampu
memberi jawaban sampai pada akhirnya ia serahkan hal itu
kepada Wirudha. "Setiap perjuangan tentu harus memiliki tujuan,
menggariskan arah. Untuk melaksanakan dan menegakkan
arah dan tujuan itu, perlu pimpinan yang benar2 bertanggung
jawab dan dapat memberi pimpinan tentang cara dan sarana
mencapai arah tujuan itu. Adakah kita saat ini sudah
mempunyai pimpinan baru lagi" Ataukah kita sudah merasa
mampu untuk bekerja terpisah secara sendiri2" Jika tidak, kita
harus memilih pimpinan dengan tugas pertama mengumpulkan sisa2 pengikut paman Aluyuda yang masih
setya dan masih tetap hendak melanjutkan perjuangan paman
Aluyuda" Gagak Bongkol garuk2 kepala. "Ya, ya, benar. Memang
harus ada pimpinan. Terserah bagaimana raden hendak
mengaturnya, aku hanya menurut saja"
"Baik, kakang Bongkol" kata Wirudha "setelah mendengar
pernyataanmu, maka akulah yang akan memegang pimpinan
itu. Aku akan berusaha untuk mengumpulkan sisa pengikut
paman Aluyuda yang masih hidup dalam pura kerajaan ini.
Lebih dulu akan kubentuk dan kususun kekuatan kemudian
baru kelak kutentukan garis2 cara perjuangan kita lebih lanjut"
Kembali Gagak Bongkol mengiakan.
Dalam rangka itulah, kakang Bongkol, maka kutekankan
kepadamu saat ini bahwa tujuan kita untuk mencari harta
peninggalan paman patih dalam kebun ini, bukan hendak
kugunakan untuk kepentinganku peribadi, melainkan untuk
membeayai perjuangan kita. Jelas engkau, kakang Bongkol?"
Gagak Bongkol tak lekas menyahut, tidak pula ia memberi
anggukan kepala tanda setiju. Hal itu sempat pula
diperhatikan Wirudha. Putera rakryan demung Mapanji
Wipaksa yang menggantikan kedudukan demung Wiraraja
semasa kerajaan Singasari dahulu, segera dapat menembus isi
hati Gagak Bongkol. "Bagaimana pendapatmu, kakang Bongkol?" tegurnya
menyelidik. Gagak Bongkol menghela napas. "Ah, sudah bertahun
bahkan belasan tahun, aku mengabdi kepada gusti patih
Aluyuda. Ketika gusti Aluyuda masih menjabat patih, akupun
begini keadaanku. Menjadi algojo, disuruh membunuh orang
yang dibenci gusti Aluyuda. Kemudian setelah gusti Aluyuda
naik pangkat menjadi mahapatih, ah, keadaan dan
kedudukankupun tetap begini.
Paling2 aku hanya janji muluk dari gusti patih bahwa kelak apabila gusti sudah mukti
wibawa, aku akan diangkat sebagai demang. Tetapi sebelum
janji itu dilaksanakan, gusti patih telah tiada. Semasa gusti
patih hidup, keadaanku begini. Sesudah gusti patih meninggal,
jika aku masih tetap begini, itu sudah baik, aku sudah
bersyukur. Tetapi kemungkinan besar tentu akan lebih
buruklah keadaanku" "Hm, lalu maksud kakang?"
"Gusti patih, raden dan aku, walaupun sama2 berjuang
dalam satu wadah dan satu tujuan, tetapi kepentingan kita
berbeda-beda. Gusti patih mempunyai kepentingan untuk
meraih kedudukan mahapatih. Raden mengandung hasrat
untuk membalas dendam terhadap kerajaan Majapahit yang
telah melupakan budi Singasari. Sedang aku, hanya bekerja
karena harus bekerja"
"O" desuh Wirudha "siapa yang mengharuskan kakang
bekerja itu?" "Perut, raden" sahut Gagak Bongkol "bukan hanya satu ini"
ia menunjuk pada perutnya sendiri "tetapi masih ada enam
perut lagi yang harus kuisi"
"O" Wirudha mendestih pula "keluarga kakang?"
"Ya" jawab Gagak Bongkol "seorang ibu yang sudah tua,
seorang isteri dan empat orang anak yang masih kecil2.
Merekalah yang mengharuskan aku bekerja apapun juga.
Bahkan aku terpaksa harus menerima tugas gusti patih untuk
menjadi pembunuh orang. Jika tiada mereka, aku tak perlu
harus bekerja begini"
Kesan cepat mengembang dalam benak Wirudha bahwa
Gagak Bongkol itu seorang yang kasar dan berterus terang.
"Bekerja adalah suatu kewajiban yang baik. Mencari makan
untuk menghidupi anak isteri adalah suatu kewajiban yang
layak. Tak perlu kakang resah dan mendesah ataupun gelisah.
Itu sudah menjadi kewajiban manusia hidup"
"Hm" dengus Gagak Bongkol "jika memang demikian
keadaannya, akupun takkan mendesah. Tetapi tidak demikianlah kenyataannya. Janganlah gusti patih yang telah
tertimbun oleh kenikmatan dan kemewahan hidup, bahkan
raden sendiri, entah berapa kali lipat hidup mewah dari pada
diriku?" "Ah, keadaan setiap orang memang berbeda, kakang"
"Adakah raden hendak maksudkan itu sudah garis kodrat
menurut ajaran Syiwa atau karma menurut ajaran Buddha?"
Wirudha mengernyit dahi, "Sudahlah, kakang, terima
sajalah segala pemberian Hyang Widdhi dengan hati yang
lapang. Kodratkah atau Karmakah, tak perlu engkau risaukan,
yang penting bekerjalah dan berbuatlah kebaikan agar engkau
mendapat jalan hidup yang terang"
"Ha, ha. ha" tiba2 Gagak Bongkol tertawa keras tetapi
seketika itu juga ia dibentak Wirudha, "gila engkau, jangan
tertawa begitu keras, berbahaya kalau terdengar orang!"
Gagak Bongkol terkejut dan menyadari kekhilafannya,
"Maaf, raden. Aku tertawa karena geli mendengar ucapan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

raden. Jika raden suruh aku bekerja dengan sungguh2 itu
mudah dapat kuterima. Tetapi kalau raden suruh aku berbuat
kebaikan, ha, ha, raden hanya ibarat menyuruh serigala
menggembalakan anak kambing. Tidakkah raden tahu bahwa
tangan Gagak Bongkol ini sudah berlumuran darah manusia2
yang telah menjadi korbannya?"
Wirudha terkesiap. Tetapi pada lain kejab iapun berkata
dengan nada tenang, "Membunuh dan membunuh, tidaklah
sama. Membunuh karena wajib, misalnya dalam peperangan,
tidaklah berdosa. Membunuh karena dendam, merampas
hartanya, isterinya atau benda milik orang lain, itu dosa.
Engkau membunuh mereka karena engkau melakukan tugas
pekerjaan dari paman patih untuk melenyapkan musuhmusuhnya. Janganlah engkau menganggap dirimu berlumuran
dosa, kakang" "Tidak raden" tiba2 Gagak Bongkol membantah, "aku tak
setuju dengan uraian raden itu. Membunuh itu tetap berdosa"
"Jika orang itu membunuh jiwa lain orang, jika dia seorang
penjahat yang gemar membunuh orang, kemudian dia
ditangkap dan dihukum mati, apakah itu dosa" Engkau hanya
pelaksana dari hukuman itu, kakang Bongkol"
"Tidak" Gagak Bongkol membantah lagi, "jika memang
demikian keadaannya, aku setuju. Tetapi bukankah gusti patih
menitahkan aku membunuh beberapa orang, bukan atas nama
pemerintah, bukan pula melalui peradilan yang layak" Tetapi
hanya untuk kepentingan diri peribadi gusti patih sendiri"
Adakah orang2 yang telah kubunuh karena menurut anggapan
gusti patih merupakan musuh2 yang berbahaya itu, benar2
seorang yang jahat, yang telah membunuh orang, yang
menghianati kerajaan" Tidak, raden. Sepanjang pengetahuanku, banyak korban2 itu narapraja yang jujur,
yang baik dan yang setya"
Wirudha terpanah oleh ucapan Gagak Bongkol yaug dalam
cara keterus terangannya, mengandung kenyataan yang
benar. Kini ia mulai bingung apa tujuan Gagak Bongkol.
"Apabila kakang beranggapan demikian, terserah sajalah.
Tetapi apa sesungguhnya maksud kakang ?"
"Tak lain, raden" kata Gagak Bongkol agak mengendap "di
samping akan tetap ikut dalam perjuangan yang raden himpun
nanti, akupun menginginkan sesuatu untuk kepentingan hidup
keluargaku" "Hm, kakang menghendaki harta peninggalan paman patih
itu?" "Ya" sahut Gagak Bongkol serentak "aku ingin mendapat
bagian untuk kepentinganku. Jangan seluruhnya diserahkan
pada kepentingan perjuangan yang akan raden susun itu ...."
"St! Ada orang datang!" tiba2 Wirudha menukas dan
mempertajam pendengarannya. Dalam kesunyian
malam, sayup2 ia mendengar derap langkah kaki orang berjalan
menuju ke kebun belakang. Wirudha segera menggamit
lengan Gagak Bongkol untuk diajak bersembunyi di balik
sebatang pohon besar. Derap kaki itu makin lama makin terdengar dekat dan
jelas. Tak lama kemudian sesosok tubuh menyembul dari pintu
dan melangkah ke dalam kebun. Sambil berjalan pelahanlahan, pandang mata orang itu mencurah ke tanah seperti
sedang meniti sesuatu. Tiba2 ia berhenti di muka sebuah
gerumbul, sejenak memandang tanah lalu mencabut pedang
yang terselip di pinggangnya. Tetapi baru ia hendak
berjongkok menghunjamkan pedang ke tanah, sekonyongkonyong ia dikejutkan oleh suara bentakan yang menyambar
dari belakang, "Bagus, Kebo Taruna"
Orang itu memang orang yang sedang diikuti secara diam2
oleh bekel Dipa. Diapun memang Kebo Taruna. Kebo Taruna
terkejut dan berpaling. Kemudian dari percakapan yang
dilakukan dengan Wirudha, timbullah perbantahan yang
sengit. Demikian asal mula mengapa ketika bekel Dipa tiba di
kebun, ia melihat Kebo Taruna tengah bertengkar mulut
dengan Wirudha dan Gagak Bongkol.
"Baiklah Kebo Taruna" akhirnya Wirudha menyudahi
perbantahannya mengenai tuduhan yang dilancarkan kepada
Nona Berbunga Hijau 1 Goosebumps - 25 Serangan Mutan Bertopeng Meet Sennas 4

Cari Blog Ini