02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 16
barulah orang2 itu dapat disadarkan. Ia menyadari pula bahwa
patrem Nagandini tadi tentu membentur pusaka Gada Inten
yang diselipkan dalam baju sehingga patrem itu putus. Dan
teringat akan pusaka itu timbullah nyali patih Dipa. "Aku tidak
ingin bermusuhan, tetapi akupun tidak menolak permusuhan
dari mereka yang hendak memusuhi Daha. Aku mengulurkan
tangan persahabatan dengan Wukir Polaman untuk membina
kesejahteraan bumi Daha. Tetapi akupun siap mengangkat
tangan untuk membasmi mereka apabila mereka hendak
mengganggu keamanan Daha. Beginilah isi dadaku, terserah
kepada kalian!" Orang2 Wukir Polaman terkesiap memandang sikap patih
itu dikala melantangkan ucapannya. Wajahnya seolah
memancarkan suatu cahaya kewibawaan yang sukar
ditentang, sinar matanya berkilat-kilat menerkam uluhati dan
mulutnya mengerutkan suatu pendirian yang kokoh. Suasana
hening seketika, seolah semangat orang2 Wukir Polaman itu
terhisap oleh keperibadian patih Dipa yang mempesonakan.
Windu Janur gelisah seperti terdampar ditengah
samudera. Berhenti akan mati tenggelam, melanjut harus
merenangi lautan yang jauh dari tepi. Jika ia berkeras
memerintahkan anakbuahnya untuk menyergap patih Dipa,
tentu akan terjadi pertumpahan darah yang besar dengan
kemungkinan besar pula fihaknya akan menderita kekalahan,
kawan2 banyak yang menjadi korban. Namun untuk
melepaskan patih Daha itu, ia takut akan menerima hukuman
dari pimpinan dan cemohan dari anakbuahnya.
"Windu Janur" tiba2 brahmana Kendang Gumulung
berseru pula, "jika engkau meluluskan permintaanku tadi, aku
bersedia menyerahkan diriku supaya dihadapkan kepada
pimpinan kita. Tetapi jika engkau menolak, Kendang
Gumulung takkan kepalang tanggung, karena sudah dituduh
berhianat, aku akan menjadi penghianat untuk membantu
patih Daha ini" "Juga aku!" Nagandini melengking seraya tampil ke muka
dan tegak di samping Kendang Gumulung.
Terdengar berisik yang mengumandang di kalangan
rombongan orang2 Wukir Polaman. Suara berisik itu sirap
tiba-tiba ketika seorang pemuda muncul dan menyusup dari
belakang barisan, terus menghampiri Windu Janur, membisiki
beberapa patah kata. Tampak wajah Windu Janur berobah
agak pucat namun ia mengangguk juga.
Kemudian orang itu hendak menyelinap pergi lagi tetapi
tiba2 ia terkejut ketika mendengar suara orang berseru
memanggil namanya, "Kakang Nagantara!"
Orang itnpun berpaling, "Hai engkau Nagandini! Mengapa
engkau di sini?" "Aku hendak mengunjungi makam rama, kakang" kata
Nagandini kepada pemuda itu yang bukan lain adalah
kakangnya yang kecil, Nagantara.
Melihat Nagantara, Kebo Angun-angun serentak berobah
cahaya mukanya. Nagantara merupakan kawan dalam
perjuangan, lawan dalam asmara. Kentari, adik Windu Janur,
lebih cenderung memilih Nagantara dari pada dirinya. Saat itu
ia melihat suatu kesempatan untuk menyudutkan Nagantara
dalam kesulitan. "Nagantara, nini Nagandini mengadakan
pertemuan dengan Silugangga di lembah ini. Engkau tentu
masih ingat siapa Silugangga, bukan?"
Kelancangan mulut Kebo Angun-angun menimbulkan
kemarahan Nagandini. "Kakang Angun-angun, kakang
Nagantara masih belum rabun penglihatannya, masih tahu
bahwa kakang Silugangga berada di sini. Bukankah engkau
bermaksud hendak mempersulit kakang Nagantara" Tidak!
Soal kakang Silugangga sepenuhnya menjadi tanggung
jawabku, kakang Nagantara tak tahu menahu soal itu. Dia
sibuk merawat Kentari yang sakit"
Merah wajah Kebo Angun angun mendengar teguran
Nagandini yang tajam itu. Semua kawan-kawan tahu
hubungan antara Kebo Angun-angun, Kentari dan Nagantara.
Rupanya Windu Janur tak menghendaki timbul
perbantahan yang tajam lagi. Ia segera memberi isarat kepada
Nigantara supaya melanjutkan tugasnya. Kemudian setelah
Nagantara meninggalkan tempat itu maka Windu Janur
berseru kepada patih Dipa, "Ki patih, jangan engkau terlalu
meremehkan Wukir Polaman. Dan hendaknya jangan pula
engkau memiliki anggapan bahwa orang Wukir Polaman takut
kepadamu. Adakah engkau kira bahwa berpuluh-puluh warga
Wukir Polaman yang berada di sini tak mampu untuk
menandingi kedigdayaanmu?"
"Jauh sekali dari maksudku dalam anggapan itu" seru patih
Dipa, "seperti telah kukatakan aku menghormati sifat dan
pendirian Wukir Polaman, walaupun aku tak setuju"
"Demikian pula pendirian kami" balas Windu Janur "Wukir
Polaman menerima apa yang engkau canangkan panjang
lebar tadi. Tetapi hal itu bukan berarti kami tentu menyetujui.
Dan selama akan kami sampaikan usulmu itu kepada
pimpinan Wukir Polaman, kamipun akan memegang teguh
sifat keksatryaan. Kali ini engkau boleh kembali ke pura Daha,
takkan kami ganggu. Tetapi apabila kelak pada lain
kesempatan kita bertemu lagi, kami akan memperlakukan
engkau sebagai seorang mentri musuh yang harus ditangkap
ataupun dibunuh" "Baik" sahut patih Dipa. Sebenarnya iapun tak ingin
membentur dengan kekerasan pada orang2 Wukir Polaman.
Karena kekerasan itu, bukan suatu cara yang sempurna untuk
menyelesaikan persoalan, kecuali memang sudah tiada jalan
lain. Lalu bertanya, "Bagaimana dengan ki brahmana ini?"
"Itu urusan Wukir Polaman, jangan
mencampuri hak kami!" seru Windu Janur.
engkau ikut Brahmana Kendang Gumulung cepat berpaling kepada
patih Dipa. "Ki patih, kebaikan tuan telah kubalas. Silahkan
tuan kembali ke pura. Soal diriku, harap jangan tuan
cemaskan. Aku tetap seorang pejuang Daha, baik diterima
kembali atau ditolak oleh Wukir Polaman. Mungkin pada lain
kesempatan, kita akan berdiri di fihak yang bertentangan"
"Ah, soal itu dapat kumaklumi" sahut patih Dipa "yang
penting bagaimanakah diri tuan saat ini"
"Ki patih" sahut brahmana Kendang Gumulung "sekali
kuminta janganlah tuan meresahkan diriku. Aku anggauta
Wukir Polaman, aku akan menghadap pimpinan untuk
mempertanggung jawabkan semua tuduhan yang menimpa
diriku" "Tetapi mereka tentu akan mencelakaimu, ki brahmana"
seru patih Dipa. Belum Kendang Gumulung sempat menjawab, Nagandini
pun sudah mendahului, "Harap ki patih jangan mencemaskan.
Aku akan menyertai kakang brahmana menghadap pimpinan
kami" Patih Dipa mengangguk. Diam2 ia terkesan pada sikap
Nagandini yang begitu amat setya kepada pemuda yang
dikasihinya. Kehampaan perasaan hatinya akan kasih seorang
wanita, hampir lenyapnya kepercayaan atas kesetyaan wanita
akibat dari apa yang telah dideritanya selama ini, tergetar
kembali. Adakah ia salah menilai kesetyaan seorang wanita"
Sikap Nagandini terasa bagai embun yang mencurah pada
kelopak bunga asmara yang telah melayu dalam hatinya.
Tetapi cepat ia menghapus kenangan itu karena tak ingin akar
yang sudah layu itu akan tumbuh kembali sehingga
menghisap air yang kini ia peruntukkan untuk menyuburkan
sebuah tanaman baru dalam hati sanubarinya. Bukan
tanaman pohon bunga yang akan memekarkan kuntum bunga
cantik dan harum, melainkan batang pohon jati yang keras dan
berguna kepada kehidupan negara, rakyat dan manusia.
"Tetapi bagaimana nini kalau ki brahmana akan dibunuh
mereka?" masih ia menyatakan kecemasannya.
Kali ini brahmana Kendang Gumulunglah yang mendahului
Nagandini memberi jawaban, "Ki patih, telah kukatakan bahwa
aku adalah anggauta Wukir Polaman. Jika aku sampai
dihukum mati, aku puas mati ditangan kawan kawanku sendiri.
Tetapi kupercaya keadilan dan kebenaranlah yang akhirnya
akan berbicara" Sebenarnya patih Dipa merasa heran atas dirinya
mengapa begitu besar perhatiannya kepada brahmana
Kendang Gumulung. Walaupun ia tahu bahwa brahmana itu
sesuugguhnya bernama Silugangga dan putera dari Sagara
Wilotan salah seorang senopati kerajaan Daha-Jayakatwang
dahulu, tahu pula bahwa Silugangga itu seorang anggota
Wukir Polaman yang menentang kerajaan Daha-Majapahit,
namun ia merasa kasihan kepada brahmana itu. Setiap
peristiwa yang tak adil, cepat mengetuk pintu hatinya untuk
segera melangkah keluar dan membela yang benar. Ia tak
memandang adakah peristiwa itu terjadi di kalangan kawan2
sendiri ataupun dalam kalangan lawan. Namun setelah
mendapat jawaban dari brahmana Kendang Gumulung dan
penegasan dari Nagandini, terpaksa ia harus melepaskan
keinginannya untuk mencampuri urusan mereka lebih lanjut.
"Baiklah, jika ki brahmana mengatakan begitu" akhirnya ia
menarik diri. Kemudian ia berpaling pula kepada Windu Janur
dan rombongan orang Wukir Polaman, "Orang2 Wukir
Polaman, brahmana ini, tidak kukenal dan tidak ada hubungan
apa2 dengan diriku. Hanya secara kebetulan sajalah karena
melihat dia sedang dikeroyok oleh beberapa orang Wukir
Polaman maka aku membelanya. Kini dia menyatakan rela
menyerahkan diri menghadap pimpinan kalian. Aku tak berhak
mencampuri urusan kalian. Hanya dalam landasan sebagai
seorang pejuang, seorang ksatrya dan seorang manusia yang
menjunjung keadilan dan kebenaran, ingin kutitipkan sebuah
harapan kepada kalian. Adililah brahmana ini seadil adilnya
atas dasar bukti2 yang nyata. Tetapi menurut wawasanku,
seorang patih dari kerajaan yang kalian musuhi, dia tak layak
berhianat. Dia seorang pejuang yang setya"
Patih Dipa berhenti sejenak untuk menyelidiki kesan pada
sikap2 orang Wukir Polaman, kemudian melanjutkan pula,
"Dan sekali lagi kuulurkan tanganku kepada Wukir Polaman.
Marilah kita bersahabat. Jangan kita mengabdikan diri untuk
berjuang pada hal2 yang telah lampau. Kita hidup bukan untuk
mengenang yang lampau, bukan pula mengembalikan masa
yang telah tiada. Tetapi marilah kita berjuang untuk
menegakkan masa kini, membangun kehidupan masa kini dan
berjuang untuk masa kini. Lihatlah betapa gemilang sang
surya menyinari bumi kita, jangan kita rusakkan bumi yang
akan merekah subur di bawah sinar sang surya itu. Tetapi
marilah kita mengusahakannya, menanaminya dan membangunnya agar menjadi suatu negara yang besar daa
jaya, untuk warisan dan kebanggaan kepada anak cucu kita
yang akan datang. Nah, sampai jumpa, kawan2 Wukir
Polaman" Tanpa menunggu jawaban mereka, patih Dipa ayunkan
langkah dengan kepala menegak memandang ke muka.
Berpuluh puluh pasang mata orang Wukir Polaman mengikuti
derap langkah patih Dipa yang tegap. Debur langkah
meningkah bumi, seolah debur genderang yang membahana
dalam hati sanubari para anakbuah Wukir Polaman. Mereka
merasa bahwa apa yang dilantangkan patih itu memang
benar. Tetapi setiap orang malu untuk menyatakan hal itu.
Rasa malu itu datang akibat bayang2 rasa takut, Takut apabila
mengatakan hal itu, mereka akan dianggap sudah berobah
kiblat, paling tidak tentu dicemohkan oleh kawan kawannya.
Karena masing2 dibayang-bayangi oleh perasaan semacam
itu maka tiada seorangpun yang berani mengutarakannya
kecuali hanya memendam perasaan itu dalam hati
sanubarinya. Memang untuk menyatakan sesuatu yang berbeda dengan
anggapan orang banyak, memerlukan suatu keberanian yang
tersendiri. Hanya orang yang benar2 bebas dari pamrih, akan
dapat memiliki keberanian itu. Pamrih untuk menyelamatkan
diri dari kemarahan, tuduhan dan ejekan orang.
0o-dwkz-mch-o0 II Tindakan yang telah dilakukan patih Dipa untuk
menghadapi orang2 Wukir Polaman, tidak diketahui Rani
Daha, tidak pula oleh segenap mentri narapraja keranian
Daha. Tetapi tindakan itu telah menimbulkan kegemparan di
kalangan Wukir Polaman. Ketika rombongan anakbuah Wukir Polaman dibawah
pimpinan Windu Janur menghadap pimpinan, mereka heran
disertai rasa kejut ketika melihat perobahan sikap pimpinan
Wukir Polaman. Berpesan pimpinan itu kepada sekalian
anggauta Wukir Polaman. "Jangan kalian bertindak sendiri,
sebelum mendapat perintahku. Patih Daha yang sekarang ini,
walaupun masih muda, tetapi merupakan seorang lawan yang
berat bagi kita. Setiap tindakan yang tidak diperhitungkan,
hanya akan membawa kehancuran bagi Wukir Polaman"
Terkejut sekalian anakbuah Wukir Polaman mendengar
kata2 pimpinan mereka. Belum pernah selama ini mereka
mendengar kata2 semacam itu meluncur keluar dari mulut
pimpinan mereka. Adat kebiasaannya, pemimpin itu tentu berapi-api
membangkitkan semangat para anggauta Wukir Polaman
menelanjangi keburukan dan kelemahan mentri, senopati dan
narapraja Majapahit. Kemudian memberi petunjuk-petunjuk
penting untuk melakukan rencana yang telah dipersiapkan
dalam rangka mengacau pemerintahan Majapahit. Sepanjang
pengetahuan mereka, baru pertama kali itu pimpinan mereka
menyatakan suatu penilaian yang tinggi terhadap seorang
mentri kerajaan Majapahit.
Memang anakbuah Wukir Polaman yang berada di
Lembah Trini Panti tak mengetahui apa yang sebenarnya telah
terjadi dalam markas. Dan mengapa pula tiba2 pimpinan
mereka mengunjuk perobahan sikap.
Satu-satunya yang mengetahui persoalan itu hanyalah
Nagantara seorang. Saat itu ia sedang menuju ke markas
untuk menghadap pimpinan. Sekonyong-konyong di sebuah
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerumbul di tempat yang sepi, dia dihadang oleh seorang
brahmana muda, tampan dan berwibawa.
"Apakah maksud tuan menghadang perjalanan hamba, ki
brahmana" seru Nagantara dengan sikap menghormat selayak
ia harus memperlakukan seorang brahmana.
"Anakmuda" seru brahmana itu dengan tenang, "kutahu
bahwa engkau seorang warga Wukir Polaman" ia berhenti
sejenak, melihat kesan pada wajah Nagantara yang tampak
terkejut, "tetapi janganlah engkau cemas. Wukir Polaman
sebuah himpunan putera putera bekas mentri senopati Daha
yang tetap setya kepada tanah airnya"
Wajah Nagantara tampak cerah. "Adakah ki brahmana
tinggal di telatah Daha?"
"Aku seorang brahmana pengembara. Tempatku tiada
menentu, dimanapun kuanggap sebagai tempatku" jawab
brahmana itu, "tempat bukan menjadi dasar untuk
menimbulkan pertentangan. Karena Daha, Singasari dan
Majapahit itu pada hakekatnya adalah bumi nuswantara kita."
Nagantara menatap brahmana itu lekat2. Cepat ia
mendapat kesan bahwa ia sedang berhadapan dengan
seorang brahmana yang tajam bicara, luas pandangan
"Lalu apakah maksud tuan mencegah perjalananku?"
tanyanya pula. "Aku mempunyai sedikit kepentingan yang memerlukan
bantuanmu, sanggupkah engkau menolongku, anakmuda?"
tanya brahmana itu. "O" desuh Nagantara, "apabila hal itu terjangkau pada
kemampuanku, sudah tentu aku akan melakukannya dengan
senang hati" Brahmana itu tertawa, "Benar" ia mengangguk, "memang
demikianlah pada umumnya orang akan mengatakan
manakala menghadapi permintaan tolong orang. Tetapi,
memang ganjil" "Ganjil?" Nagantara agak terbeliak
"salahkah jawaban semacam itu?"
lalu menegas, "Ganjil bukan berarti salah. Aku tak mengatakan salah,
melainkan ganjil" kata brahmana itu masih mengulum senyum.
"Lalu bagaimanakah yang layak?"
"Menyebut tentang kemampuan, sukar diperoleh garis
lingkarannya. Orang lain mampu, tetapi mungkin ia tak
mampu. Itu mengenai soal tenaga. Belum apabila tertumbuk
pada suatu rasa dalam ikatan persahabatan, kekeluargaan
dan tugas. Jelas kemampuan orang itu berbeda satu sama
lain. Dia bisa, tetapi bisa tidak. Dengan demikian sekuat
kemampuan itu bukan suatu kesediaan yang menjamin.
Tidakkah demikian, anakmuda?"
Tersipu sipu merah muka Nagantara. Tak pernah ia
memikirkan rangkaian kata2 yang diucapkannya tadi karena
hal itu umum dikatakan orang.
"Tak perlu engkau malu, anakmuda" kata brahmana itu
pula, "itu hanya soal kecil. Dan memang banyak sekali soal2
kecil dalam kehidupan kita, sering kita lakukan, ucapkan dan
tiru, tanpa kita mengetahui apa sesuugguhnya hal itu. Kita
hanya menerima saja apa yang diwariskan oleh orangtua, apa
yang hidup di masyarakat ramai"
"Jelekkah perbuatan itu, ki brahmana" Adakah hidup kita
akan terancam karena kita melakukan hal itu ?" tanya
Nagantara mulai tertarik akan ucapan brahmana itu dan
mendesak lebih jauh. Brahmana tampan itu tertawa, "Jelek dan baik, itu sesuatu
yang belum dapat dipastikan. Tergantung dari pandangan dan
anggapan orang, menurut penilaian dan perasaan orang
sendiri. Memang kadang, penentuan jelek dan baik itu menjadi
kabur dilanda arus adat kebiasaan yang hidup dalam
kehidupan masyarakat. Adakah hidup kita terancam karena
tindakan kita meniru segala dari orangtua dan leluhur yang
lalu" Kurasa ancaman itu tiada apabila kita merasa tak ada,
namun akan ada jua apabila kita mengadakannya. Karena
ancaman itu sesuatu yang menyentuh perasaan, maka
perasaanlah yang menentukan ada tiadanya"
"Tetapi bukankah sudah berabad leluhur kita hidup sampai
menurunkan kita saat ini, tanpa kehidupan mereka menderita
karena mereka mewarisi adat hidup, dari keturunan ke lain
keturunan ?" "Benar" sahut brahmana muda itu, "memang hidup itu tak
memerlukan segala adat istiadat. Karena adat istiadat itulah
yang mengatur hidup. Dia diciptakan manusia untuk mengatur
hidup yang tiada akhir. Tanpa peraturan adat istiadat, hidup itu
tetap ada. Tetapi tanpa hidup, adat istiadat tiada"
Makin tergores lebih dalam kesan hati Nagantara
mendengar uraian brahmana itu. Tetapi sesaat kemudian ia
teringat pokok pembicaraan. Maka bertanyalah ia, apa
sesungguhnya yang diinginkan brahmana itu dari dirinya.
"Begini, anak muda" kata brahmana itu, "aku hendak minta
tolong kepadamu supaya menyampaikan suratku ini kepada
pimpinanmu" "Apakah isinya, ki brahmana?" tanya Nagantara.
Brahmana itu tertawa, "Anakmuda, adakah peraturan
dalam himpunan Wukir Polaman itu beda dengan
lain"himpunan?"
"Maksud ki brahmana?" Nagantara terbeliak.
"Surat itu khusus diperuntukkan pimpinan Wukir Polaman.
Adakah Wukir Polaman mengidinkan surat semacam itu
diketahui juga oleh anggautanya" Jika demikian, akan
kupersilahkan engkau membacanya"
"Ah" Nagantara mendesuh, wajahnya makin merah,
"kumaksudkan apabila tuan bermaksud buruk, maka akupun
tak dapat melaksanakan permintaan tuan"
"Walaupun engkau sudah berjanji akan menolong sekuat
kemampuanmu ?" cepat brahmana itu menukas, "itulah apa
yang kukatakan tadi. Sekuat kemampuan benar2 bukan suatu
jaminan. Baiklah, anakmuda, surat itu tidak berisi suatu hal
yang membahayakan Wukir Polaman. Tetapi seperti yang
kukatakan tadi, bahaya atau tidak, itu tergantung pada orang
yang menilai. Nah, serahkan saja kepadanya, katakan dari
seorang brahmana yang ingin bersahabat dengan Wukir
Polaman" Nada brahmana yang mengesankan dan perintahnya yang
meyakinkan itu sukar bagi Nagantara untuk menolak. Setelah
menerima surat itu dan disimpan dalam bajunya, ia bertanya
pula, "Ki brahmana, adakah tuan suka untuk mengabulkan
permintaanku?" "O" desuh brahmana itu, "engkau akan minta imbalan,
anakmuda?" "Bukan" sahut Nagantara, "hanya sekedar akan bertanya,
tentulah ki brahmana tak keberatan, bukan ?"
Brahmana itu tertawa pula. "Kutahu apa yang engkau
inginkan, anakmuda. Bukankah engkau hendak bertanya
namaku?" Nagantara terbeliak kejut. Bagaimana brahmana itu dapat
mengetahui isi hatinya. "Benar" namun ia mengangguk juga.
"Aku brahmana Anuraga, anakmuda. Nah, mudahmudahan kelak kita dapat berjumpa lagi" habis berkata
brahmana itu terus ayunkan langkah meninggalkan Nagantara
dalam kelongongan yang tak bertepi,
"Siapa nama brahmana yang menyerahkan surat ini?"
sesaat membaca surat yang diserahkan Nagantara berserulah
pimpinan Wukir Polaman. Sukar untuk mengetahui perobahan
wajahnya karena wajahnya itu bukan wajah yang aseli
melainkan suatu wajah buatan terbuat daripada kulit, yang
dibuat sedemikian rupa, sehingga menyerupai wajah manusia.
Bedanya wajah buatan itu tak dapat menampilkan kerut lipatan
dahi. Sekalipun begitu, getar2 nada suaranya, jelas
mengalami suatu pengekangan dari keresahan hati.
"Brahmana Anuraga" sahut Nagantara. Setelah menghadap pimpinan ia segera menyerahkan surat dari
brahmana itu. "Anuraga?" ulang pimpinan itu makin membias nada tinggi,
"bagaimana engkau tahu?"
Nagantara lalu menceritakan pertemuannya dengan
brahmana yang minta tolong kepadanya supaya menyerahkan
sepucuk surat kepada pimpinan Wukir Polaman. Atas
pertanyaannya, brahmana itu mengaku bernama Anuraga.
Sampai beberapa saat pimpinan itu berdiam diri, kemudian
bertanya, "Tahukah engkau akan isi surat ini?"
Nagantara menggelengkan kepala.
"Adakah brahmana itu tak menceritakan apa2 tentang
surat ini kepadamu?"
"Tidak" jawab Nagantara "kecuali hanya sepatah pesan
bahwa ia ingin bersahabat dengan Wukir Polaman"
"Hm" pimpinan itu mendesuh. Diam. Sesaat kemudian ia
berkata, "Silahkan engkau menunggu di luar. Akan
kupertimbangkan surat ini. Nanti kupanggilmu"
Setelah Nagantara keluar, pimpinan itu menghela napas,
menebarkan surat itu dan mengamatinya sepenuh perhatian.
"Mengganggu keselamatan jiwa patih Daha, akan
berhadapan dengan seluruh kekuatan Gajah Kencana,"
pimpinan Wukir Polaman mengulang baca dalam hati. Ia
menimang-nimang. Baru saja ia meluluskan permintaan
Anggoro untuk mengirim rombongan warga Wukir Polaman ke
lembah Trini Panti, menangkap Silugangga dan patih Daha
yang sekarang. Ia memang tahu bahwa patih Daha itu masih
muda tetapi giat sekali memimpi n pemerintahan Daha.
Ada suatu kesan yang menimbuni benaknya. Bahwa
Majapahit tentu tak kekurangan mentri dan senopati yang
cakap, yang digdaya. Tetapi mengapa memilih seorang patih
yang masih muda usia. Tentu patih itu mempunyai kelebihan
yang menonjol sehingga baginda Majapahit sampai
mengeluarkan keputusan itu. Dan berita2 yang didengarnya,
patih itu dahulu menjabat kepala bhayangkara yang mengawal
baginda lolos dari pura. Kemudian diangkat sebagai patih
Kahuripan lalu dipindah ke Daha. Kemudian ia cenderung
untuk menduga bahwa patih itu tentu seorang anggauta Gajah
Kencana. Atau pun jika bukan, tentulah seorang yang
didukung oleh orang2 Gajah Kencana. Hal itu dapat ditilik dari
pernyataan dalam surat brahmana itu bahwa seluruh kekuatan
Gajah Kencana akan menuntut balas kepada mereka yang
mengganggu jiwa patih itu.
Pemimpin itu merenung lebi h lanjut. Menilai kekuatan
Wukir Polaman dan memperhitungkan kekuatan Gajah
Kencana. Dalam peristiwa-peristiwa yang telah terjadi selama
ini, baik di dalam telatah keraton Daha maupun di Majapahit,
secara langsung belum pernah terjadi bentrokan antara
himpunan Wukir Polaman dengan warga Gajah Kencana.
Secara jujur pimpinan. Wukir Polaman tak mengetahui betapa
besar kekuatan warga Gajah Kencana itu. Akan tetapi, yang
jelas dalam setiap peristiwa besar maupun kecil, pengaruh
kekuatannya tentu terasa. Apabila himpunan Wukir Polaman
gelap akan keadaan mereka, kebalikannya mereka tentu
sudah tahu akan kekuatan himpunan Wukir Polaman, sudah
pula memperhitungkan kelanjutan dari pertanyaan surat
mereka. Demikian pimpinan Wukir Polaman itu merangkai
kesimpulan. Lawan yang harus ditumbangkan adalah kerajaan
Majapahit, bukan Gajah Kencana. Mengapa ia harus bertindak
terhadap patih Dipa apabila hal itu akan menimbulkan akibat
besar yang akan dilancarkan Gajah Kencana. Bukankah
dalam surat itu Gajah Kencana jelas menyatakan akan
mengerahkan seluruh kekuatan mereka untuk menuntut
balas" Dengan pertimbangan bahwa perjuangan Wukir Polaman
jangan sampai berantakan hanya karena mengganggu jiwa
seorang patih Daha yang tak mempunyai peran penting dalam
kerajaan Majapahit, akhirnya pimpinan Wukir Polaman
mengutus Nagantara ke lembah Trini Panti dan meminta
supaya Windu Janur melepaskan patih Dipa dan menarik
rombongan anakbuah Wukir Polaman pulang.
Tanpa bertempur, tanpa mengangkat senjata, tanpa
menggunakan kekerasan, tanpa diketahui oleh siapa-pun,
brahmana Anuraga dapat menyelamatkan patih Dipa dari
bahaya. 0o-dwkz-mcho0 JILID 39 I SEJAK patih Dipa memegang
pimpinan pemerintahan di Daha,
suasana negeri itu berangsur
angsur aman. Suatu hal yang
menimbulkan keheranan dan kekaguman para narapraja, terutama mentri2 tua. Kekacauan2
yang sering timbul selama mendiang patih Arya Tilam berkuasa, ki ni sudah reda. Ataupun
kalau masih ada, hanyalah merupakan perkara penyamunan,
pencurian dan pembunuhan. Perkara2 itu kebanyakan hanya berkisar pada urusan
perorangan, tiada menyangkut kepentingan keranian.
Keheranan para mentri dan narapraja tua itu memang
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak mengherankan. Karena mereka tak pernah membayangkan bahwa dalam tindakan untuk mengatasi
kekacauan keamanan, patih muda itu telah memilih sasaran
yang tepat yakni himpunan Wukir Polaman. Dan dalam
menghadapi orang2 Wukir Polaman, patih Dipa telah bertindak
sedemikian jauh, berani mempertaruhkan jiwa menghadapi
berpuluh anakbuah Wukir Polaman.
Patih Dipa yang kala itu tengah duduk di kebun belakang
pada malam bulan susut terkejut sendiri, "Adakah aku
menghela napas?" bertanya ia dalam hati karena ia merasa
tak menghela napas tetapi desah napas itu jelas terdengar.
Disekeliling kebun sunyi senyap, hening lelap. Malampun
makin tinggi, bintang kemintang belum memenuhi cakrawala.
Kemudian ia melanjutkan renungan. Demikianlah
kegemarannya apabila ia luang dan apabila malam kelam. Ia
lebih menyenangi malam yang kelam daripada malam2 terang
cuaca. Dalam malam yang gelap dan kelam, ia merasa dunia
ini benar2 hampa dari segala peristiwa, hening dari segala
hiruk-pikuk. Dalam kehampaan dan keheningan itulah ia
merasa lebi h nyaman mengembarakan pikiran dalam alam
renungan. Ia senang merenung tetapi bukan karena ia seorang
pelamun. Baginya, merenung dan melamun, tidak sama.
Melamun, membebaskan pikiran berkelana keseluruh alam.
Tanpa batas waktu, tanpa dinding lapisan peristiwa. Melamun
dapat membayangkan hal yang belum tiba atau yang sudah
lampau. Membayangkan pula suatu yang sering melampaui
batas kemungkinan. Beda halnya dengan merenung. Dan ia
membatasi renungannya dalam dua lapis lingkungan.
Pertama, lingkungan tentang apa yang telah dikerjakan hari
itu. Adakah sesuatu yang masih kurang atau salah dalam
langkah tindakannya selama hari itu. Pernah ia mengatakan
bahwa gurunya itu adalah Kesalahan. Dari kesalahan itu, ia
akan memperbaiki diri menuju ke arah yang sempurna.
Kemudian lapisan kedua, yalah merenungkan apa2 yang akan
dikerjakan esok hari. Melamun itu ibarat kuda liar yang
membinal atau awan di langit yang tertiup angin. Merenung itu
mempunyai sasaran dan arah.
Merenung tentang kaitan tindakannya dengan orang Wukir
Polaman, pikirannya berhamburan memercikkan berbagai
kesan. Ia menganggap bahwa pejuang2 muda Wukir Polaman
itu memang penuh semangat pengabdian dan kesetyaan
terhadap bumi kelahirannya. Namun alam pemikiran mereka
masih belum berobah, masih menerima apa yang diwariskan
oleh orangtua mereka. Bahwa Daha itu ditindas Singasari,
bahwa Daha dikuasai Singasari. Bahwa Daha harus
merobohkan Singasari. Bahwa orang2 tua mereka
mewariskan pesan itu kepada putera puteranya, masih dapat
dimengerti karena mereka adalah insan2 yang pernah
mengenyam kebesaran Daha dan masih tebal naluri
kebanggaannya akan pangkat dan kedudukan mereka.
Tetapi jaman telah berobah dan keadaan telah memberi
kenyataan. Bahwa adanya warisan itulah yang menyebabkan
negara selalu dirundung peperangan. Bahwa setelah timbul
negara baru, negara Majapahit, maka haruslah DahaSingasari itu lebur dalam sebuah kesatuan. Hal itu
sesungguhnya bukan baru karena kesatuan itu berasal dari
sumber sebelum terciptanya Daha Jenggala, yalah Panjalu.
Jika Panjalu dapat mempersatukan dan dapat diterima
sebagai suatu kesatuan Daha Jenggala, betapa tidak
Majapahit" Jelas rakyat Daha, rakyat Jenggala itu hanyalah
suatu perbedaan yang sengaja diadakan. Sesungguhnya
mereka adalah rakyat yang hidup didataran tinggi sungai
Brantas dan dikelilingi oleh barisan gunung. Apa beda Panjalu
dengan Majapahit" "Negara harus satu" ia melanjutkan lebih jauh dalam
renungannya" karena sejarah telah membuktikan, pecahnya
Panjalu menjadi dua negata Daha-Jenggala, hanya
menimbulkan peperangan dan kesengsaraan. Dan mengapa
anak2 muda Daha itu menelan saja apa yang diwariskan
mendiang orangtua mereka?"
Meniti persoalan itu, ia berhadapan dengan lapisan kabut
dari bermacam peristiwa dan keadaan. Ada suatu penemuan
yang memercik dalam renungannya, namun ia masih ragu2
akan kebenarannya. Percikan penemuan itu memaksa dia
harus mengenang kembali kearah sejarah yang lampau.....
"Siapakah pendiri dari kerajaan Panjalu yang menjadi
sumber dari timbulnya kerajaan Daha dan Janggala itu"
Airlangga, menantu prabu Dharmawangsa, rajakula Kerajaan
di dataran sungai Brantas.
Kemudian Airlangga demi memikirkan agar kedua
puteranya hidup rukun, kerajaan Panjalu dipecah dua, Daha
dan Jenggala. Tetapi ternyata sejak itu, kebalikannya malah
selalu timbul peperangan antara kedua negara itu. Akhirnya
muncullah Ken Arok anak seorang rakyat kecil yang
membunuh akuwu Tumapel, mengalahkan raja Kertajaya dari
Daha lalu mengangkat diri sebagai rajakula kerajaan
Singasari" Tiba pada pemikiran itu, terlintaslah benak patih Dipa akan
tampilnya seorang anak rakyat, kecil dalam sejarah kerajaan
di bumi Panjalu. Bagaikan badai di angkasa, Ken Arok telah
menyapu keturunan Airlangga lalu mendirikan sebuah
kerajaan baru yakni Singasari. Kemudian terjadi peristiwa
yang menyedihkan dikalangan kerajaan Singasari. Peristiwa
bunuh membunuh di antara putera2 Ken Arok yang pada
hakekatnya berkisar pada rebutan tahta.
Dalam merenung lebi h tenang pula, berjumpalah patih
Dipa akan suatu kenyataan yang menjadi sumber peperangan
dan kekacauan negara selama ini. Tahta kerajaan, suatu tahta
yang memberi kenikmatan hidup dan kekuasaan. Putera2
keturunan raja, berjuang keras untuk memperebutkannya.
Kemudian para mentri, senopati dan para narapraja, juga
berlaku keadaan itu. Bukan tahta yang mereka rebutkan,
melainkan pangkat dan kedudukan. Karena pangkat
memberikan mereka kenikmatan hidup. Oleh karena itu
mereka berjuang kemati-matian untuk mempertahankannya.
Percik terang makin menghapus kabut yang meremang
pengawasannya. Tahta dan kedudukan, merupakan masalah
besar dalam hidup manusia. Menghayati kenikmatan hidup
dalam kedudukan itu maka orangtua mereka, yakni para
mentri senopati dan narapraja kerajaan Daha Jayakatwang,
telah menanamkan pesan mereka kepada para puteraputeranya agar melanjutkan perjuangan untuk membangkitkan
kerajaan Daha dari tindasan Majapahit. Kiranya hanya tujuan
itulah yang terselubung dalam pesan orang-orang tua itu.
Bahwa dalam pesan, mereka menekankan Daha itu adalah
bumi kelahiran mereka, bahwa pemuda2 itu harus memiliki
rasa cinta kepada tanah airnya, hanyalah suatu alasan yang
sempit. Adakah tanah air mereka itu hanya seluas bumi
kerajaan Daha saja" Tidakkah nuswantara itu jauh lebi h luas
daripada bumi Daha" Dengan demikian makin jelas, bahwa bukan rasa cinta
tanah air sesungguhnya yang mereka tanam ke dalam dada
putera-puteranya itu, melainkan karena mereka tetap tak rela
untuk melepaskan kenikmatan dari kedudukan mereka kepada
lain orang, melainkan kepada anak dan cucu mereka. Itu kalau
mungkin. Dan kemungkinan itu hendak mereka mungkinkan
dalam kemungkinan yang semungkin harapan mereka kepada
putera puteranya. Jika tidak demikian, mengapa mereka menentang
persatuan yang secara kebetulan saja telah dibangun oleh
raden Wijaya, rajakula Majapahit. Jika Erlangga itu putera
seorang puteri Bali dan menantu prabu Dharmawangsa,
tidakkah raden Wijaya itu juga berdarah keturunan raja dan
juga menantu dari prabu Kertanagara" Tidakkah baginda
Jayanagara yang sekarang ini juga keturunan puteri
Indreswan dari kerajaan Sriwijaya"
Apabila menerima pertanyaan2 itu dari dan kepada dirinya
sendiri maka patih Dipa pun hanya memejamkan mata.
"Ah ....." Untuk yang kedua kalinya, ia terkejut pula. Ia hanya
memejamkan mata dan diam2 menghela napas dalam hati.
Tetapi mengapa terdengar desah suara napas berhembus"
Adakah perasaan dalam hati itu dapat memancar ke luar
tanpa disadarinya" Sekali lagi ia memandang ke sekeliling.
Tetap sunyi senyap, tetap hening lelap.
Kembali pikirannya dilarut dalam kehanyutan renungannya. Jika para mendiang mentri-mentri, senopati dan
narapraja tua dari kerajaan Daha Jayakatwang meninggalkan
pesan kepada para putera-puteranya, itu memang, dapat
dimengerti. Mereka merasa kehilangan kedudukan, mereka
merasa tertindas oleh kerajaan Majapahit. Tetapi adakah
putera2 mereka itu merasakan penderitaan yang sebesar
diderita orangtua mereka" Tidak. Keranian Daha-Majapahit
memperlakukan rakyat Daha seperti rakyat Majapahit.
Mengumumkan berlakunya undang2 yang sama, menyediakan dana pembangunan yang sama, bahkan
susunan pemerintahanpun sama antara pusat pemerintahan di
Majapahit dengan Daha. Dalam keadaan seperti itu, mengapa
para putera dari mentri2 kerajaan Daha-Jayakatwang itu tak
menyadari" "Ya" tiba2 patih Dipa tersentak dari lamunannya,
kesadaran dan penyadaran. Perjuangan para muda Dalam
Wukir Polaman itu berlandaskan pada suatu cita2. Oleh
karena itu maka harus dihadapi dengan penyadaran. Bahwa
cita2 mereka itu berlandaskan sesuatu yang sempit, sesuatu
landasan yang usai, yang takkan membawa bumi nuswantara
kearah kebesaran dan kejayaan"
Kemudian ia teringat akan peristiwa dengan anak-buah
Wukir Polaman di lembah Trini Panti yang lalu. Adakah
tawarannya telah disampaikan dan dipertimbangkan oleh
pimpinan mereka, ia tak tahu. Tetapi jelas ada dua kenyataan
yang agak membuatnya heran dan tak mengerti sampai saat
itu juga. Pertama, mengapa sebabnya tiba2 Windu Janur menerima
tawarannya dan menarik anakbuahnya meninggalkan lembah
itu" Kedua, mengapa dalam waktu akhir2 ini, keamanan Daha
berangsur-angsur pulih baik sekali"
"Ah" Terdengar pula desah orang menghela napas. Dan kali ini
patih Dipa jelas menyadari bahwa dia tak merasa mendesah,
baik dalam hati maupun di mulut. Serentak ia mempertajam
pandang matanya menyusup dan menyusur dalam kabut
kegelapan yang menyelimuti sekeliling kebun. "Hai"serentak ia
melonjak dan loncat ke pintu kebun.
Pintu itu tak berdaun, melainkan sebuah gapura yang
terbuka. Kanan kiri gapura dihias dengan dua buah patung
seorang raksasa penunggu. Adalah pandang mata patih Dipa
yang tajam segera melihat bahwa di balik salah sebuah
patung itu bersembunyi sesosok kepala manusia. "Hai,
siapakah yang bersembunyi di balik patung itu!" tegurnya.
"Aku ki patih" terdengar sebuah suara yang pernah dikenal
oleh patih Dipa, serentak muncul pula sesosok tubuh
berpakaian serba hitam. "Engkau Mahendra?" tegur patih Dipa pula. Orang itu
tertegun. Agaknya ia terkejut melihat ketajaman ingatan patih
muda itu. Walaupun belum melihat wajah, tetapi cepat dapat
mengenal suaranya sekalipun perkenalan mereka belum
berapa lama. Namun ia mengiakan. "Benar, ki patih, aku
Mahendra" "Mengapa engkau bersembunyi dalam taman sini?" tegur
patih Dipa. "Maaf, ki patih" sahut Mahendra "aku
mengganggu ketenanganmu."
tak berani "Dan engkau hanya mendesah napas?"
"Sampai tiga kali, ki patih" cepat Mahendra menanggapi.
Patih Dipa sudah agak mengenal watak pemuda itu. Cara2
ia berkata dan membawa sikap. Maka iapun segera bertanya,
"Lalu apa maksudmu datang kemari?"
"Hendak menyampaikan sebuah pesan kepada ki patih"
sahut Mahendra. "Pesan?" ulang patih Dipa "dari siapa?"
"Seorang brahmana"
"O" patih Dipa makin terpikat perhatiannya "siapakah
brahmana itu?" "Brahmana Anuraga"
"Hai" serentak patih Dipa berteriak dan melonjak ke
hadapan Mahendra "siapa namanya?" ia menegas.
"Ki brahmana Anuraga"
"Ah" patih Dipa mendesah napas "kenalkah engkau
kepada beliau?" Mahendra gelengkan kepala, "Belum. Tetapi aku menaruh
kepercayaan penuh kepadanya. Ada sesuatu yang
mempesonakan pada dirinya. Dia memiliki kewibawaan yang
halus. Tidak memaksa orang harus mengindahkan tetapi
orang itu sendiri yang merasa harus mengindahkan"
Patih Dipa mengangguk-angguk senang. Apa yang
dikatakan Mahendra memang dirasakannya juga. Jika
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
berhadapan dengan paman brahmana itu, ia tentu mendapat
sesuatu yang pada saat itu baru ia menyadari kalau masih ada
kekurangannya. Dan selalu ia merasakan suatu sifat yang
aneh pada diri paman brahmana itu. Apabila ia sedih, tentu
dapat bangkit kegembiraannya. Apabila ia putus asa, tentu
akan timbul semangatnya. Namun apabila ia marah, tentu
akan reda kemarahannya. Baik senang atau susah, marah
atau gembira, panas atau dingin, apabila berhadapan dan
bercakap-cakap dengan paman brahmana itu, patih Dipa
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merasa setiap perasaannya yang meluap itu akan kembali
mengendap pada titik semula.
"Lalu apa pesan brahmana itu?" tanyanya kemudian.
"Dua macam" sahut Mahendra "pesan dengan lisan dan
dengan surat." "O, katakanlah apa pesan beliau"
"Memang yang pertama, brahmana itu meminta supaya
aku menyampaikan pesan lisannya. Baru kemudian
menerimakan surat" kata Mahendra. Setelah berkemas
sejenak ia memulai "Brahmana Anuraga mengatakan tindakan
ki patih di lembah Trini Panti itu terlalu gegabah. Hendaknya
peristiwa semacam itu jangan sampai terulang kembali.
Berbahaya" Patih Dipa terbeliak. Ia tak menyangka bahwa peristiwa di
lembah Trini Panti itu diketahui juga oleh paman brahmana.
Diam2 ia mengakui memang peringatan paman brahmana itu
tepat. Dan ia tahu apa yang tersembul dalam peringatan itu.
"Baik" katanya, "memang aku kurang perhitungan. Tetapi
bagaimana brahmana itu tahu tentang peristiwa di lembah
Trini Panti ?" "Bukan melainkan tahu tetapi pun
menolongmu, ki patih" kata Mahendra.
telah bertindak Patih Dipa tersentak kaget. "Menolong aku" Bagaimana
cara brahmana itu menolongku?"
"Brahmana itu memang luar biasa" kata Mahendra, "pada
waktu itu sesungguhnya aku juga berada di antara anakbuah
Wukir Polaman yang datang ke lembah Trini Panti. Melihat ki
patih terancam bahaya, aku gelisah bukan main. Aku bingung
mencari akal bagaimana untuk menyelamatkan ki patih. Tiba2
aku mendapat pikiran. Diam2 aku menyelinap pergi dari
rombongan mereka. Apabila ki patih renungkan, tentulah akan
teringat baiwa pada tebing karang di atas lembah itu terdapat
segunduk batu besar. Nah, kesitulah aku menuju dan
bersembunyi di belakang batu besar itu. Rencanaku, apabila ki
patih akan diserbu oleh seluruh anakbuah Wukir Polaman,
akan kudorong batu itu supaya jatuh ke arah mereka. Kurasa
mereka tentu akan berhamburan bubar dan ki patih mendapat
kesempatan untuk lolos"
"Ah, engkau telah melakukan hal itu, Mahendra?" seru
patih Dipa terkejut "terima kasih, raden"
"Ah, ki patih" seru Mahendra, "janganlah tuan berterima
kasih kepadaku karena bukan akulah yang menolong tuan
tetapi ki brahmana itu. Karena pada saat aku bersiap siap
dibalik batu itu, tiba2 muncul seorang brahmana, masih muda
dan tampan, berwibawa. Ia memberi isyarat supaya aku
datang kepadanya. Kemudian ia berkata, "Raden, tak perlu
raden berjaga dibalik batu ini. Ki patih sudah selamat.
Anakbuah Wukir Polaman tentu takkan mengganggunya" Aku
terkejut dan meminta penjelasan tetapi ia mengatakan bahwa
waktu amat mendesak, ia hanya minta tolong menyampaikan
pesan peringatannya tadi kepada ki patih serta sepucuk surat
ini" Patih Dipa masih termangu ketika Mahendra menyerahkan
sepucuk surat "Ki patih, inilah surat dari ki brahmana itu"
Patih Dipa terkejut dan segera menerima lalu
membukanya. Beberapa saat ia mengangguk-angguk kepala.
"Surat ki brahmana ini meminta, agar aku memperhatikan
keadaanmu, raden" Kini giliran Mahendra yang terbeliak, "Memperhatikan
keadaanku" Apa yang harus diperhatikan pada diriku?"
Patih Dipa tersenyum, "Pengorbananmu cukup besar bagi
keranian Daha. Bahkan terlalu besar bagi keluhuran nama
keluargamu sehingga paman patih Tilam sampai jatuh sakit"
"Sudahlah" seru Mahendra "jangan ki patih mengungkat
hal itu lagi. Rama sudah mengetahui tindakanku"
Tiba2 wajah patih Dipa berobah sungguh2 "Tetapi
bagaimanapun keranian Daha takkan melupakan jasamu,
raden Mahendra. Begini, raden, aku akan menghadap baginda
dan menghaturkan tentang peristiwa dirimu. Akan kumohon
kepada baginda supaya engkau dapat diangkat sebagai
nayaka atau narapraja di pura Majapahit. Pertama, sebagai
penghargaan atas jasamu terhadap Daha. Kedua, untuk
mengamankan dirimu dari pembalasan orang Wukir Polaman."
"Ah, tidak ki patih" sambut Mahendra "apa yang telah
kulakukan bukanlah suatu pengorbanan, melainkan suatu
kewajiban sebagai seorang kawula kerajaan yang ingin
melihat negara aman sejahtera. Akupun tak mengharap balas
apa2. Kedua; soal pembalasan orang Wukir Polaman, sudah
jauh hari kupikirkan. Aku tak gentar dan dapat membawa
diriku" Namun patih Dipa gelengkan kepala, "Tidak, raden
Mahendra, engkau boleh mengatakan begitu, tetapi aku
sebagai patih keranian Daha, takkan mengabaikan apa2 yang
telah engkau persembahkan kepada Daha. Engkau tak boleh
mendendam masa mudamu dalam lingkungan hidup
terancam. Raden, engkau harus pancarkan sinarmu untuk ikut
serta menggemilangkan negara Majapahit"
"Ah" Mahendra mendesah "setiap orang mempunyai garis
hidup sendiri2, ki patih. Di pura Majapahit sudah penuh
dengan mentri2 cendekiawan, senopati2 gagah perkasa, tak
mungkin kekurangan dengan orang2 semacam diriku"
"Tidak, raden Mahendra" seru patih Dipa "memang benar
setiap orang mempunyai garis hidup sendiri2, tetapi
bagaimana engkau tahu akan garis hidupmu ?"
Mahendra terperangah, "Ya, beginilah garis hidupku ini, ki
patih" "Tidak benar!" seru patih Dipa pula "siapa sebelumnya
yang mampu mengatakan bahwa raden Mahendra putera
gusti patih Arya Tilam, akan hidup dalam keadaan seperti saat
ini" Bukankah setiap orang sebelumnya akan mengatakan
bahwa garis hidup raden itu memang beruntung. Putera
seorang patih, tentu kelak akan menjadi narapraja kerajaan.
Bukankah demikian, raden?"
"Itu aku sendiri yang menginginkan. Bahkan kesalahan
rama atau siapapun juga" sahut Mahendra.
Patih Dipa mengangguk. "Nah, itulah yang kumaksudkan.
Nasib tergantung dari kita sendiri. Jangan kita pagari diri kita
dengan garis hidup atau nasib. Karena apa yang dikata garis
hidup atau nasib itu adalah akibat dari apa yang telah kita
lakukan. Dan mengapa harus menghiraukan soal garis hidup"
Bukankah wajib manusia itu berdaya dan berusaha" Jika
raden sudah membunuh diri raden sendiri dengan tombak
nasib, bukankah raden melanggar kodrat hidup" Bukankah
raden meremehkan jerih payah orangtua raden yang telah
melahirkan dan mendidik raden selama ini" Bukankah pula
raden tidak menerima kasih atas keagungan Hyang Batara
Agung yang telah memberikan hidup dan kehidupan kepada
raden" Demikian pula apabila raden sudah merendahkan diri
raden sebagai manusia yang tak berguna dan bernasib
malang. Itu berarti raden menghina anugerah agung dari
Hyang Maha Widdhi" Mahendra terlongong longong memandang patih yang
masih muda itu. Umurnya tak banyak terpaut dari dirinya tetapi
saat itu ia merasa seperti seorang anak kecil yang berhadapan
dengan seorang guru. "Raden Mahendra" berkata patih Dipa pula "tiada benda di
mayapada ini yang tak berguna. Demikian pula dengan insan
manusia. Tiada manusia yang tak berguna. Demikianpun bagi
kerajaan Majapahit. Tiada seorang kawula yang tak berguna
kepada negara karena negara dengan kawula itu adalah ibarat
ikan dengan air. Adakah di dunia ini terdapat negara tanpa
kawula dan kawula yang tak bernegara?" sejenak memandang
Mahendra yang masih terpukau, patih Dipa melanjut pula
"raden, engkau masih muda, gagah, berani dan setya. Kurasa
bukan di tempat persembunyian dan penyamaran seperti saat
ini raden berada. Tetapi raden harus tampil diantara barisan
pejuang yang menjadi bhayangkara Majapahit"
Masih Mahendra terdiam. "Pada suatu kesempatan tentu akan kumohonkan kepada
baginda tempat yang layak bagimu, raden" kata patih Dipa.
Mahendra menghela napas, "Ah, ki patih, aku tak dapat
mengambil keputusan, kuserahkan saja kepadamu. Tetapi
selama ini aku akan tetap menyamar dan bergaul dengan
orang2 Wukir Polaman. Agar setiap saat dapat kuberikan
laporan kepsdamu" Patih Dipa mengangguk, "Baik, raden, tetapi yang penting
berusahalah untuk menyadarkan alam pikiran mereka bahwa
Majapahit itu adalah suatu kesatuan dari Daha-Singasari
Kahuripan. Dan kesatuan itu akan berkembang meluas hingga
meliputi seluruh nuswantara. Hanya dengan kesatuan dan
persatuan itu, negara akan kuat dan jaya. Kita telah berkaca
pada masa yang lampau, mari kita berusaha sebaik-baiknya
hari ini. Dan besok surya pasti bersinar gilang-gemilang"
0odwo0 Terjalinnya kerjasama antara patih Dipa dengan Mahendra
telah membawa manfaat kepada langkah2 yang ditentukan
oleh patih Dipa dalam memulihkan keamanan Daha.
Dalam memegang pimpinan pemerintahan, patih Dipa
berusaha untuk berpegang pada landasan ajaran yang selama
ini diresapinya dalam pengalaman hidup.
Pertama, ia berusaha untuk mengutamakan sifat widjna
atau berlaku bijaksana penuh hikmah dalam menghadapi
soal2 yang gawat, sehingga oleh kebijaksanaan itu segala
kegawatan dan bahaya dapat lenyap dan ketenteraman
kembali dengan sempurna. Dalam hal ini pernah pada suatu ketika, melihat suasana
pura Tikta-Sripala makin keruh karena pertentanganpertentangan antar golongan yang mendukung raja dan yang
menentang raja, serta golongan luar yang hendak menarik
keuntungan dalam kekeruhan itu antara lain orang2 Wukir
Polaman, maka dengan bernafsu berkatalah Dipa kepada
brahmana Anuraga, "Paman Anuraga, keadaan ini tak boleh
dibiarkan berlarut larut. Jika sudah tahu jelas siapa musuh2
kerajaan, mengapa kawan2 Gajah Kencana tidak serentak
bergerak untuk menumpas mereka?"
Maka menjawablah brahmana Anuraga, "Siapakah mereka
itu, Dipa" Adakah mereka itu musuh kita dari negara lain"
Tidak, Dipa, mceka adalah kawula Majapahit juga, sebangsa
dengan kita. Hanya jalan pikiran dan penilaiannya yang
berlainan. Kelainan dalam hal pendirian dan penilaian itulah
yang kita tentang dan kita lawan. Bukan dengan kekerasan,
melainkan dengan kebijaksanaan. S ur a di ra ja ya ni ngr at,
leb ur de ni ng pa nga stuti . Daripada dengan kekerasan
yang hanya mengakibatkan pertumpahan darah di antara kita
sama kita sehingga hanya melemahkan kekuatan diri sendiri,
lebih utama kita tindak dengan kebijaksanaan yang
berhikmah" Berpegang pada pesan paman brahmana itulah maka
patih Dipa menghadapi anakbuah Wukir Polaman dengan
penuh kesabaran dan penyadaran. Kemudian kepada
Mahendra iapun berpesan untuk melaksanakan kebijaksanaan
itu dalam usahanya menyirap gerakan Wukir Polaman.
Sifat kedua yang dijalankannya yalah apa yang disebut
sar jja wo pasa ma yaitu selalu membawa tingkah laku yang
mengunjukkan kerendahan hati, bermuka manis, tulus dan
ihklas, lurus dan sabar. Dalam hal itu ia selalu berpegang
pada petunjuk dan nasehat beberapa orangtua yang
dihormatinya. Bahwa kesombongan dan kecongkakan itu
hanya akan mengundang permusuhan dan kehancuran.
Pernah dalam kesempatan ketika masih di hutan, demang
sepuh Surya pernah menceritakan tentang sejarah raja2 di
Singasari. Antara lain prabu Kertajaya atau Dandang Gendis
dari kerajaan Daha yang terlalu bersikap hadigang ha-digung,
memperlakukan kaum brahmana dan pandita semenamenanya, akhirnya dapat dikalahkan oleh Ken Arok atau sri
Rajasa sang Amurwabhumi. Juga prabu Kertanagara dari
kerajaan Singasari, karena terlalu menunjukkan sifat lupa diri,
ahangkara dan menolak segala nasehat mentri2 yang setya,
akhirnya dihancurkan oleh prabu Jayakatwang dari Daha.
Sebagai kelengkapan dari sifat sarjjawopasama itu iapun
bersikap diwj aji ta , selalu menjaga hubungan baik dengan
orang dan selalu siap mendengarkan pikiran dan pendapat
mereka, walaupun tidak setuju. Tak mau
kehendaknya sendiri dalarn menjalankan
keranian Daha. Ia selalu menghormat dan
pendapat dan saran2 dari para narapraja
mereka yang tergolong mentri2 tua.
ia membawa pemerintahan mendengarkan lain, terutama Dengan mengembangkan sikap dan sifat2 itu, cepat sekali
patih Dipa menawan rasa suka para mentri dan narapraja tua.
Mereka merasa didengar nasihatnya, merasa diterima usuusulnya dan merasa mendapat kebebasan untuk bertindak
dan mengembangkan tugas dalam bidangnya masing2.
Suasana pemerintahan di keranian Daha, berjalan dengan
cerah dan menggembirakan. Para mentri2, tua sekalipun usia
mereka, namun masih bergairah semangatnya.
Setelah keamanan berangsur-angsur baik, maka usaha
patih Dipa diarahkan pada dua hal. Pertama, pembangunan
dan usaha2 untuk meningkatkan kehidupan para kawula.
Kedua, melancarkan penyuluhan dan penerangan kepada
rakyat bahwa pemerintah Majapahit tidak mengadakan
perbedaan antara kawula Daha, kawula Singasari dan kawula
Majapahit. Semua satu dan harus bersatu. Semua adalah
kawula Majapahit dengan satu negara yalah Majapahit. Untuk
melaksanakan pernyataan itu, patih Dipa mengangkat orang2
Daha untuk menduduki jabatan di pemerintahan. Diberikannya
mereka tanggung jawab yang penuh, tentang keamanan dan
kesejahteraan rakyat. Sehingga mereka harus menghayati
bahwa setiap gangguan keamanan itu, hanya akan
menimbulkan kerugian pada para kawula Daha.
Beberapa tahun kemudian terasalah buah dari tindakan
patih Dipa itu. Daha sudah bukan merupakan daerah yang
rawan lagi. Orang2 Wukir Polaman tampak seolah
menghentikan gerakannya. Dalam hal itu memang terjadi
suatu perbantahan yang cukup sengit di-kalangan mereka.
Ada sebagian yang cenderung akan buah pandangan patih
Dipa yang lebih luas jangkauannya. Tetapi ada pula sebagian
yang masih tetap bersikeras mempertahankan pendiriannya,
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pendirian Wukir Polaman semula. Akhirnya pimpinan Wukir
Polaman mengambil jalan tengah. Untuk sementara
menghentikan kegiatannya untuk memberi kesempatan pada
patih Dipa dan menilai hasil2 pemerintahannya terhadap
kehidupan kawula Daha. Kebijaksanaan dan kecakapan patih Dipa dalam
mengemudikan pemerintahan Daha itu terdengar juga oleh
patih mangkubumi Arya Tadah di pusat pemerintahan
Majapahit. Patih Dipa memang sering dipanggil ke pura
Majapahit ataupun ia pada waktu2 tertentu datang sendiri ke
Majapahit untuk memberi laboran kepada patih mangkubumi
tentang keadaan pemerintahan Daha. Hubungan keduanya
pun makin lebi h erat. Banyak sekali patih Dipa menerima
petunjuk dan nasehat dari mentri sepuh itu. Kebalikannya
patih mangkubumi Arya Tadah pun amat berkesan pada patih
muda itu. Makin tumbuh rasa sayang, makin besar rasa
kepercayaannya. Keadaan dalam pura kerajaan makin tenang, walaupun
masih ada suatu gerakan yang dilancarkan oleh golongan2
tertentu, namun kekuatan mereka tidak berarti. Sejak
ditumpasnya pemberontakan Dharmaputera keadaan susunan
pemerintahan telah banyak mengalami perobahan. Pangeran
Adityawarman tak diperkenankan kembali ke Kahuripan lagi
melainkan diangkat sebagai wredamenteri atau menteri
praudhatara, lebih tinggi kekuasaannya daripada patih
mangkubumi. Pangkat itu hanya dijabat oleh orang yang
bijaksana dan berdarah keturunan luhur. Adityawarman, putra
dari puteri Dara Jingga, saudara dari Dara Petak yang kini
bernama ratu Indreswari, ibunda baginda Jayanagara. Adalah
karena asal keturunan yang masih dekat dengan ratu
Indreswari dan baginda Jayanagara maka atas usul ratu
Indreswari, pangeran Adityawarman itupun menjabat mentri
dalam keraton. Sesungguhnya pengangkatan itu berbau suatu tindakan
untuk memperkokoh kedudukan ratu Indreswari dalam
kekuasaan di keraton Majapahit. Karena tiada mentri atau
senopati yang lebi h dapat dipercaya oleh ratu itu daripada
putera kemanakannya sendiri. Dan karena patih mangkubumi
Arya Tadah itu sudah tua, maka dalam banyak hal mengenai
keputusan yang penting dalam pemerintahan, selalu ratu
Indreswan meminta pendapat dan persetujuan dari
Adityawarman. Tetapi walaupun berkuasa, Adityawarman seorang yang
bijaksana. Tidaklah dengan kekuasaannya itu ia bersikap
tinggi hati, sewenang-wenang kepada mentri2 dan senopati
bawahannya. Dia dikenal baik oleh rakyat dan disegani oleh
para mentri. Pengaruh Adityawarman dikalangan keraton itu sejalan
dengan tujuan ratu Indreswari untuk memperkuat kedudukannya. Kemudian berdatanganlah pula beberapa
pemuda dari Pamelekehan atau Sriwijaya yang masih ada
hubungan keluarga dengan ratu Indreswari, antara lain Arya
Kembar, Arya Warak, Arya Damar. Atas desakan ibunda ratu
Indreswari, akhirnya baginda Jayanagara terpaksa menerima
mereka dan mengangkat sebagai tumenggung.
Arya Kembar cepat mendapat kepercayaan dari ratu
Indreswari. Dalam peristiwa Indu Salupi yang lalu, Arya
Kembar lah yang dititahkan sang ratu untuk membunuh Indu
itu. Hilangnya golongan mahapatih Nambi, patih Aluyuda dan
golongan Dharmaputera Kuti dan Semi, bukan berarti bahwa
di pura Tikta-Sripala sudah bersih dari golongan2 yang hendak
memperkuat kekuasaannya. Memang golongan yang
menentang baginda Jayanagara sudah lumpuh kalau tak
boleh dikata sudah tak berarti. Kini golongan pendukung
bagindalah yang kuat. Golongan itu mempunyai tulang
punggung ratu Indreswari.
Karena merasa telah melahirkan seorang putera yang
kemudian diangkat sebagai putera mahkota dia kemudian
menggantikan tahta kerajaan, maka ratu Indreswari yang
dahulu bernama Dara Petak itu terkenang akan pesan
kakeknya, Demang Lebar Daun yang menjadi patih
amangkubumi dari kerajaan Sriwijaya.
Pada masa itu baginda Kertanagara dari kerajaan
Singasari mengirim pasukan Pamalayu di bawah pimpinan
senopati Mahesa Anabrang untuk mengadakan hubungan
dengan negara2 Malayu. Mengadakan hubungan itu
sesungguhnya hanya suatu ulasan yang halus, karena pada
hakekatnya, Singasari hendak menundukkan mereka.
Beberapa raja2 Malayu sudah tunduk di bawah pasukan
Pamalayu. Hanya Sriwijaya sendiri yang masih belum
diserang. Kemudian Singasari mengirim pula sebuah pasukan yang
dipimpin raden Wijaya dan beberapa mentri ke Sriwijaya.
Pertama untuk memberi sebuah arca Amogasiddhi yang indah
kepada Sriwijaya selaku tanda persahabatan. Dan kedua,
untuk meminang kedua puteri baginda Mauliwarman dari
Sriwijaya, yakni puteri Dara Petak dan Dara Jingga yang
termasyhur cantik. Yang menjadi patih mangkubumi kerajaan Sriwijaya
adalah Demang Lebar Daun yang juga menjadi ayah mentua
dari baginda Mauliwarman. Demang Lebar Daun seorang ahli
negara yang pandai. Ia menyadari bahwa kekuatan Sriwijaya
pada saat itu tidak memadai untuk menghadapi serangan
pasukan Singasari. Maka diputuskan untuk menyerahkan
kedua puteri baginda. "Cucuku Dara Petak dan Dara Jingga" kata Demang itu
kepada kedua puteri, "ketahuilah. Kesemuanya itu memang
menjadi garis Yang Maha Kuasa. Janganlah kalian bersedih.
Pengorbanan kalian takkan sia-sia. Kelak kerajaan Jawadwipa
tentu jatuh kepada anak keturunan kalian" kata Demang Lebar
Daun. Dan nujum neneknya, Demang Daun Lebar itu, memang
tepat. Karena Singasari diserang oleh prabu Jayakatwang dari
Daha, akhirnya sebelum sempat mempersunting puteri dari
Sriwjaya itu, baginda Kertanagara sudah gugur dalam
pertempuran. Dara Petak diperisteri oleh raden Wijaya yang
kemudian setelah dinobatkan sebagai baginda Kertarajasa,
puteri Dara Petakpun dinobatkan sebagai ratu Indreswari.
Puteranya, Jayanagara, diangkat sebagai pengganti raja
Majapahit. Sedangkan Dara Jingga pulang dan menikah
dengan seorang raja Malayu dan berputera pangeran
Adityawarman. Membayangkan akan peristiwa itu, makin yakinlah ratu
Indreswari bahwa keturunan dari raja Sriwijaya lah yang akan
berkuasa di kerajaan Majapahit. Kekuasaan ratu Indreswari
makin kuat setelah mempunyai orang kepercayaan antara lain
Adityawarman, Arya Kembar, Arya Warak, Arya Damar,
Banyak Wide dan beberapa mentri senopati.
Beberapa kali dalam kunjungan menghadap patih
mangkubumi Arya Tadah, patih Dipa cepat dapat mencium
suatu rasa keluhan dalam nada ucapan patih mangkubumi itu.
"Paman patih" akhirnya memberanikan diri juga.patih Dipa
untuk menyelam kedalam lubuk kerisauan patih mangkubumi,
"hamba hendak menghaturkan sebuah permohonan
kehadapan paman patih. Adakah paman patih berkenan untuk
meluluskan?" "Eh, mengapa berganti nada dalam ucapanmu itu, patih
Dipa" tegur patih mangkubumi Arya Tadah "katakanlah, aku
selalu terbuka untuk memberi keterangan kepadamu"
Patih Dipa menghaturkan terima kasih lalu memulai
pertanyaan. Ia mengatakan karena sudah bertahun-tahun
berada di Kahuripan kemudian pindah ke Daha maka ia tak
tahu jelas tentang keadaan pura Majapahit.
"Apa yang hendak engkau mintakan keterangan
kepadaku?" tanya patih mangkubumi Arya Tadah.
"Dahulu di pura Tikta-Sripala terdapat beberapa golongan,
yang menentang dan yang mendukung baginda. Adanya
golongan2 itu maka suasana pura kerajaan selalu ricuh dan
tak tenang. Sehingga akhirnya meletuslah pemberontakan
Dharmaputera. Adakah kini setelah pemberontakan itu lenyap,
masih terdapat pula golongan2 itu, paman?" tanya patih Dipa.
"Suka dan tak suka itu, sudah kodrat perasaan manusia.
Ada yang suka tentu ada yang tak suka" kata patih
mangkubumi itu, "walaupun tentunya masih tetapi golongan
yang menentang itu, hampir tak tampak kekuatannya. Hanya
golongan yang mendukung bagi ndalah yang makin besar
kekuatannya" "Jika demikian akan kuat dan sejahteralah baginda
memerintah kerajaan Majapahit" seru patih Dipa.
Patih mangkubumi Arya Tadah menghela napas.
Patih Dipa agak terkesiap, "Adakah sesuatu
merisaukan pikiran paman?"
yang Arya Tadah mengangguk. "Golongan yang mendukung
baginda itu makin tampak berkuasa dan menguasai
pemerintahan" "O" desuh patih Dipa.
"Aku sebagai patih mangkubumi tetapi tidak bebas
mengambil keputusan. Untunglah baginda sering berkenan
menyetujui usul dan laporanku"
Patih Dipa terbeliak. Ada sesuatu keganjilan yang
dirasakan dalam keterangan patih mangkubumi itu. Seolah
terasa bahwa baginda harus perlu turun tangan ikut
mencampuri urusan yang menjadi bidang kewajiban para
mentri. "Bukankah pendukung2 baginda itu makin banyak dan
besar kekuasaannya sehingga baginda akan lebih kokoh,
paman patih?" Patih mangkubumi Arya Tadah tertawa hambar.
"Tampaknya sepi ntas memang demikian tetapi kenyataannya
berlainan. Baginda tak senang dengan pengaruh golongan
yang makin terasa hendak menguasai pemerintahan itu"
"Aneh" guman patih Dipa "apakah alasan baginda, paman
patih?" "Ki patih" kata patih mangkubumi Arya Tadah "ibunda
baginda adalah puteri Indreswari yang berasal dari kerajaan
Sriwijaya. Tetapi ayahanda baginda yalah rahyang ramuhun
sri baginda Kertarajasa, pangeran dari Singasari dan rajakula
Majapahit. Dalam hubungan keturunan darah itu, baginda
Jayanagara sekarang ini lebih merasa sebagai raja Majapahit
daripada darah Malayu. Baginda tidak senang dengan adanya
beberapa pengaruh yang hendak melingkupi pemerintahan itu"
Patih Dipa mengangguk dalam2. "Jika demikian wajiblah
kita mengabdi sepenuh jiwa raga. Memang di kala berada di
desa Bedander, akupun mempunyai banyak kesempatan
menghadap baginda. Pada suatu hari baginda mengeluh
bahwa dalam menerima mahkota kerajaan Majapahit, baginda
belum sempat menikmati. Baginda harus membersihkan dulu
sisa-sisa pemerintahan ayahanda baginda Kertarajasa, yang
penuh dengan pertentangan. Kedalam, harus membersihkan
rongrongan dalam tubuh pemerintahan, keluar harus
menindas daerah2 yang hendak memberontak. Pendirian
baginda, benar2 pendirian seorang raja Majapahit"
Demikian pembicaraan dengan patih mangkubumi Arya
Tadah itu memberi gambaran yang lebih jelas kepada patih
Dipa akan keadaan dalam pura Majapahit saat itu. Ia sangat
perihatin terhadap baginda. Ia tahu bahwa baginda itu seorang
junjungan yang keras dalam memegang tampuk kerajaan.
Iapun tahu betapa keinginan baginda untuk membersihkan
kerajaan dari gangguan-gangguan golongan yang pada
hakekatnya hanya ingin berebut kekuasaan belaka. Tetapi
betapapun, pengaruh ibunya ratu Indreswari amatlah besar.
Dalam banyak hal bagi nda terpaksa mengalah. Adalah untuk
melipur kekesatan hatinya itu maka bagi nda lari kearah
kegemarannya akan wanita.
"Ah, keadaan ini harus dicegah agar kerajaan Majapahit
jangan sampai berlarut-larut tenggelam dalam kekuasaan
golongan darah dari Malayu," patih Dipa duduk termenungmenung di kebun belakang, sebagaimana adat kebiasaannya
apabila ia sedang memikirkan sesuatu persoalan negara,
"paman patih mangkubumi Arya Tadah sudah tua dan tiada
berpengaruh dalam keraton" ia menghela napas panjang
dikelarutan malam yang kelam saat itu. Namun kesesakan
dadanya tak berkurang walaupun napas sudah dihembuskan
keluar. Menghela napas hanya sekedar menyelimpatkan diri
dari sesuatu yang tegang, sesuatu yang mencengkam
perasaan. Tetapi bukan penyembuh dari kesulitan yang
sedang dihadapinya. Ia tetap terhampar dalam renungan yang
tiada bertepi. Entah sampai berapa lama ia tenggelam dalam renung
pemikiran, namun belum juga ia bertemu dengan titik-titik
penemuan. Ia makin resah, kemudian gelisah. Butir-butir
keringat mulai mengalir di kepala dan tubuh, Tempat yang
diduduki pun terasa panas, Serentak ia berbangkit hendak
berjalan untuk melepas dan menyejukkan kepalanya yang
panas. Ketika berbangkit dan berpaling, serentak mendeburlah
hatinya, Percikan butir2 peluh di kepala dan tubuh serasa
membeku, dan peluh yang hendak mengucur dari lubang
kulitpun menyurut masuk kembali. Dan melonjaklah ia dalam
pekik kejut. "Paman Anuraga ..."
Kiranya mata patih Dipa telah tertumbuk dengan sesosok
tubuh yang menggunduk tegak dalam kegelapan. Jaraknya
hanya beberapa langkah dari tempat ia duduk tadi. Ia terkejut,
kagum disamping agak malu.
"Ah, ki patih" seru orang itu tenang "dalam suasana malam
sesunyi ini, tiap bunyi suara, apalagi pekik teriakan, tentu
cepat mengundang perhatian para peronda dan penjaga
kepatihan" "Ah, paman Anuraga" patih Dipa menghela napas
"maafkan aku, paman, karena tak tahu untuk menyambut
kedatangan paman" "Napasmu berhembus mantap, engkau tekun sekali
berlatih ilmu Prana. Sayang pencurahan pikiranmu masih
belum mengendap" kata pendatang itu yang ternyata memang
brahmana Anuraga. Patih Dipa mengiakan. Berhadapan dengan paman
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
brahmana yang dihormatinya itu, ia selalu merasa ada sesuatu
kekurangan dalam dirinya. Dan dengan penuh kejujuran ia
selalu mengakui apa yang ditunjukkan paman brahmana itu
memang benar. "Tentulah sudah bertahun-tahun engkau menjalankan ilmu
Prana. Dalam pemusatan pikiran dan pengendapan rasa,
engkau sudah mencapai kemajuan pesat" kata brahmana
Anuraga pula "apabila pikiranmu sampai risau seperti yang
kulihat tadi, tentulah ada sebab-sebabnya. Tak mungkin
engkau akan bersikap begitu apabila tak menghadapi suatu
persoalan yang berat"
Patih Dipa mengiakan. Kemudian ia mempersilahkan
brahmana Anuraga duduk agar ia dapat menceritakan seluruh
persoalan yang dihadapinya.
"Rupanya kerajaan Majapahit tak henti-hentinya mengalami coba Hyang Widdhi, paman" patih Dipa mulai
membuka penuturannya "setelah pemberontakan Dharmaputera selesai, kini tampaknya kerajaan sedang
dibayangi suatu kekuatan yang hendak menguasai
pemerintahan. Menurut penilaian, kekuatan itu apabila
berhasil, akan menimbulkan suatu perobahan besar pada
tujuan dan landasan kerajaan Majapahit"
"O, teruskan" tenang2 brahmana Anuraga menanggapi.
"Jika kekacauan dan pemberontakan yang lalu timbul dari
golongan yang tak puas dan menentang bagi nda, adalah kini
golongan2 yang mendukung baginda itulah yang akan
meluaskan pengaruhnya untuk menguasai pemerintahan" kata
patih Dipa lalu menuturkan pembicaraannya dengan patih
mangkubumi Arya Tadah. "Paman, bagaimana pendapat paman tentang soal itu"
tanya patih Dipa. "Dan bagaimana pandanganmu sendiri, patih Dipa?"
brahmana Anuraga balas bertanya.
"Pandanganku akan kuletakkan pada garis penilaian
kerangka kerajaan Majapahit" kata patih Dipa "Pertama,
golongan2 yang menentang baginda dan memberontak
dahulu, hanya tidak puas atas diri seri baginda Jayanagara
karena baginda dianggap bukan keturunan puteri kerajaan
Singasari. Diantara golongan2 itu, terdapat dua pendirian.
Yang hendak menobatkan gusti puteri Tribuanatunggadewi
sebagai raja puteri yang sah dari kerajaan Majapahit. Dan
yang hendak menjadikan kerajaan Majapahit sebagai haknya
atau lebih jelas merebut mahkota kerajaan ...."
"Kedua" setelah berhenti sejenak patih Dipa melanjutkan
"adalah suatu perobahan suasana kerajaan yang terselubung.
Maksudku, suatu pergantian dari kerajaan Majapahit yang
dibangun oleh putera2 Majapahit, menjadi Majapahit yang
dikuasai oleh beberapa keluarga raja Sriwijaya."
"Tetapi bukankah kerajaan Majapahit masih langsung
berdiri?" Anuraga bertanya tenang.
"Masih berdiri tetapi sudah tidak semurni asalnya" jawab
patih Dipa. "Apa bedanya, ki patih?"
Tiba2 wajah patih Dipa tambah memberingas dan
berkatalah ia dengan nada yang mantap. "Paman, dalam
penderitaanku semasa kanak2, ingin kuserahkan jiwa ragaku
untuk mengabdi kepada rakyat. Aku telah merasakan betapa
derita yang dikenyam oleh kaum papa miskin, rakyat golongan
Sudra. Agar aku tak menderita lagi, akupun harus
melenyapkan derita yang dialami lain orang. Agar derita itu
enyah dari bumi kita, agar bumi kita ini merupakan suatu
tempat yang sejahtera, mengayomi dan membahagiakan
seluruh kawulanya. Agar seluruh nuswantara inipun dapat
mengenyam kehidupan yang bahagia"
Brahmana Anuraga mengawasi sikap patih Dipa dengan
penuh perhatian. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya
dikala melihat patih Dipa sedang melantangkan isi hatinya
saat itu. Ia melihat suatu kedewasaan dalam alam pikiran patih
Dipa, melihat suatu kemantapan dalam pendirian hidupnya,
melihat pula pesona yang memancar pada wajahnya. Anuraga
terkesiap. "Setelah tumbuh dewasa dalam pengembaraan, aku
mendapat suatu pendirian. Pendirian yang mengumandangkan suara hati nuraniku. Bahwa untuk
melaksanakan cita2 itu, aku harus mengabdikan diri kepada
negara. Hanya melalui perjuangan dalam pemerintahan maka
cita2 untuk merobah dan memperbaiki kehidupan para kawula
itu akan dapat terlaksana. Akupun segera mengabdikan diri
kepada kerajaan ...."
"Dalam pengabdian itu makin tumbuhlah rasa cintaku
kepada negara dan kawula. Ingin aku memerangi penderitaan
yang dirasakan para kawula, ingin kuperbaiki tingkat dan
kesejahteraan hidup mereka. Ingin aku melihat kerajaan
Majapahit tumbuh sebagai negara yang besar dan jaya.
Kemudian ingin kuratakan kebahagiaan dan kesejahteraan itu
kepada seluruh kawula di nuswantara. Ingin kulenyapkan
peperangan di antara kita dengan kita, ingin kulihat para
kawula diseluruh nuswantara bersatu dalam kesatuan, dalam
sebuah negara yang besar dan jaya ...."
Brahmana Anuraga tetap tenang memandangnya.
"Mengapa kita harus menyibukkan diri untuk saling
bertentangan, saling bunuh membunuh, saling tindas
menindas. B ukankah bumi kita yang indah, sawah dan ladang
yang subur, hutan belantara yang luas, gunung2 yang megah,
menanti kita untuk menggarapnya, untuk membangunnya,
untuk menciptakannya menjadi suatu taman inderaloka yang
indah. Di mana tiada lagi penderitaan hidup, dimana tiada lagi
kemiskinan dan kelaparan, di mana tiada lagi dendam
permusuhan. Yang ada hanyalah sawah ladang yang penuh
subur dengan padi2 yang menguning, kota dan desa yang
ramai dengan perdagangan, rakyat yang hidup aman tenteram
menikmati kehidupan dan menunaikan ibadah kepercayaan
masing2, dimana candi dan tempat2 rumah suci
mengumandangkan kesahduan doa puji, di mana pura
kerajaan berhias bangunan2 yang bergelimangan dalam
kemegahan dan kesemarakan, di mana para mentri, narapraja
selalu berwajah senyum dan gelak tawa mencerah kehidupan"
"Cintaku kepada negara dan rakyat, menjadi jiwaku.
Pengabdianku kepada negara dan rakyat, menjadi pendirian
hidupku. Majapahit adalah jiwaku, ragaku, tanah kelahiranku,
alam kehidupanku, bumi penampung jasadku. Bagiku hanya
satu negara, kerajaan Majapahit, untuk Daha, Singasari,
Kahuripan dan seluruh nuswantara!"
Brahmana Anuraga memandang tajam. Betapa menyala semangat yang menggelora pada wajah Dipa dikala melantangkan isi
hatinya. Sesaat tampak patih
muda itu lupa bahwa ia sedang berhadapan dengan paman brahmana. Lupa pula
bahwa saat itu sedang berada dalam kesunyian malam yang makin larut, makin nyenyap. Ada suatu keanehan yang terasa pada
tanggapan kalbu brahmana Anuraga. Bahwa seolah dahi
patih muda yang dikenalnya
sebagai Dipa dahulu itu, saat
itu memancarkan suatu sinar terang. Raut wajah Dipa yang
cukup difahaminya sejak masih kecil saat itu terasa lain
bentuknya, lebih merekah besar, penuh wibawa. Dikelembutan
angin malam yang berhembus di sekeliling kebun itu, terasa
kesejukan sendu yang membiaskan suatu bau harum
bagaikan bunga2 bertebaran dari udara. Memandang ke
cakrawala, dilihatnya bintang kemintang memancar makin
terang, makin gemilang "Aneh" tiba2 meluncur kata2 dari
mulut brahmana Anuraga dikala menyaksikan pemandangan
kala itu. Ia seperti menghayati suatu kekuatan gaib yang
menyelubungi angkasa, mencurah turun ke
bumi, menelungkup! kebun belakang dari gedung kepatihan dan
berhamburan menebarkan bisik2 kelembutan angin yang
syahdu serta ganda harum yang menyerbak kalbu.
Brahmana Anuraga tersentak, "Adakah dewa2 mendengar,
menjadi saksi dan merestui cita2 anakmuda itu?" denyut
jantungnya bertebaran meluapkan suara hatinya.
"Paman, maafkan Dipa" tiba2 brahmana Anuraga
tersentak pula oleh suara patih Dipa "aku lupa diri sehingga
tak mengindahkan kehadiran paman di sini"
"Dipa" kata brahmana Anuraga setelah mendapat
kesadaran pula "hidup itu memang suatu dharma. Dan tiada
dharma yang lebih tinggi daripada dharma kepada sesama
titah manusia. Kecintaanmu terhadap para kawula, terhadap
sesama manusia, agar mereka hidup bahagia dan sejahtera,
merupakan dharma manusia yang luhur dalam kemanusiawianmu. Memang benar, ki patih. Jika engkau tak
ingin menderita, engkau harus mengenyahkan derita itu,
supaya derita itu lenyap. Tetapi tidaklah cukup apabila hanya
deritamu yang hilang, apabila masih terdapat orang lain yang
menderita, berarti derita itu masih hidup di dunia. Engkau
masih terancam akan tertimpah oleh derita itu. Engkau harus
membantu untuk mrnghilangkan derita orang, agar derita itu
benar2 terbasmi dari dunia"
Kini ganti patih Dipa yang mencurah pendengarannya.
"Engkau tentu masih ingat apa yang pernah kukatakan
kepadamu tentang laku dan pendirian ksatrya Arjuna bukan?"
Dipa mengangguk, "Ya, paman. Yasa wirya donira
sukaningrat kininkinnira. Keahlian rohani dan keahlian duniawi,
dicapainya untuk keselamatan dan ke bahagiaan dunia"
"Bagus, ingatanmu tajam sekali, ki patih" seru brahmana
Anuraga "itulah yang disebut 'mangayu hayuning bawana',
dharma luhur dari seorang ksatrya, dharma utama dari insan
manusia. Bahkan Hyang Batara Wisnu harus berulang kali
menitis kemayapada demi untuk mengayu hayuning bawana,
menegakkan kebenaran dan memberantas kelaliman. Dari
prabu Harjunasasrabahu, menitis ke Ramabargawa, lalu
Rawiwijaya, kemudian pada Batara Krisna. Bukankah tak lain
karena perlu untuk menyelamatkan umat manusia dari
kehancuran nafsu angkara murka yang menjelma dalam diri
prabu Rahwanaraja, kaum Korawa dan lain2. Juga ajaran
Biiddha, percaya akan Sang Hyang Buddha yang berulang kali
akan menitis ke dunia demi untuk menyelamatkan insan
manusia dari cengkeraman nafsu2 jahat?"
Patih Dipa mengangguk. "Dipa" tiba2 brahmana Anugara berseru agak tajam
"engkau tahu asal usul diriku ?"
"Paduka adalah putera gusti Adipati Tuban Rangga Lawe,
raden" "Benar" jawab brahmana Anuraga tanpa terkecoh oleh
kelainan ucapan Dipa "dan tentulah engkau tahu siapa diriku
saat ini?" "Sang brahmana Anuraga yang hamba hormati" sahut pula
patih Dipa. "Ki Dipa" kata Anuraga "jauh dari maksudku menonjolkan
asal keturunan diri peribadi dan kedudukan diriku saat ini.
Melainkan untuk menandaskan bahwa apa yang kuucapkan ini
berlandaskan suatu pengalaman yang nyata. Bahwa dalam
asal keturunan sebagai seorang ksatrya dan kini sebagai
seorang brahmana, aku memiliki suatu kesan, meresapi suatu
pendirian. Bahwa penggolongan manusia hidup itu bukanlah
dari kekastaannya, bukan kekayaan, bukan keturunan, bukan
kepangkatan dan bukan dari lingkungan hidupnya. Tetapi dari
sesuatu yang berada dalam dirinya. Sesuatu yang menjadi
mustika hidup seseorang, yalah jiwa. Kasta, adalah
penggolongan dari asal keturunan dan kedudukan seseorang
dalam masyarakat. Bersifat keduniawian. Kaya miskin, juga
penggolongan yang berlandaskan kebendaan lahiryah atau
keduniawian. Tetapi jiwa, bebas dari penggolongan yang
diciptakan manusia. Apabila dalam jiwa itu terdapat
penggolongan maka yang menggolongkan adalah dirinya
sendiri, buah ciptaan daripada amal perbuatannya sendiri"
Berhenti sejenak maka brahmana itu melanjutkan pula,
"Jelasnya, ki Dipa, ukuran nilai manusia itu bukan dari asal
keturunan, bukan dari pangkat kekayaan bukan pula dari
jubah kepanditaannya, melainkan dari martabat jiwanya"
Entah sudah berapa kali patih Dipa menerima wejangan
dari brahmana Anuraga. Namun setiap kali mendengar, ia
tetap merasa seperti seorang dahaga yang tengah meneguk
air sejuk, selalu merasa kurang dan ingin meneguk lagi.
Demikian pula pada saat itu. Ia merasa setiap patah kata
paman brahmana itu bagai menyusup ke dalam urat dan
tulang, menyungsum dan mendarah. Makin menambah
semangat dan kekuatan batin.
"Ki patih, tiada dharma ksatrya yang lebih luhur daripada
mengabdi untuk kepentingan manusia dan mangayu hayuning
bawana...." demikian wejangan brahmana Anuraga untuk
menempa kejiwaan patih Dipa dalam menghadapi tugas2
besar dari negara Majapahit.
"Tiap orang mempunyai lingkungan hidup sendiri2,
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempunyai tugas dan kewajiban sendiri pula. Engkau, Dipa,
kini seorang patih Daha. Walaupun engkau merasa berasal
dari keturunan Sudra, tetapi nyatanya engkau seorang patih,
seorang yang berhak digolongkan ksatrya. Mengapa" Karena
engkau telah berjuang dalam pengabdianmu terhadap raja
dan negara. Maka tanggalkan rasa rendah dirimu sebagai
kaum Sudra, karena nyatanya kini engkau seorang ksatrya
dan memang jiwamu jiwa ksatrya. Maka pupuk dan
kembangkanlah jiwa ksatryamu itu. Jiwa ksatrya sebagaimana
yang dianut oleh sang Arjuna dalam dharmanya untuk
mengayu hayuning bawana. Bukankah ini sesuai dengan
jeritan jiwamu yang engkau lantangkan tadi?"
"Benar, paman" sahut patih Dipa. Sejenak ia berhenti
untuk mengemasi pernapasannya. Kemudian ia berkata pula,
"apa yang paman tanyakan kepadaku tentang pandanganku
terhadap keadaan pura Majapahit dewasa ini maka aku tak
dapat menerima kehadiran dari suatu kekuasaan lain kerajaan
yang hendak menguasai kerajaan Majapahit. Majapahit harus
murni dan bersih, bebas, berwibawa dan jaya"
"Lalu maksudmu?" tanya brahmana Anuraga.
"Apakah kawan2 dari Gajah Kencana tidak sependapat
dengan wawasanku bahwa saat inilah waktunya untuk
bergerak membersihkan kekuasaan yang hendak mencengkeram kewibawaan Majapahit?"
"Benar, kita memang harus bertindak agar tak terlambat"
"Dalam hal itu, paman" cepat patih Dipa menyambut "aku
hendak mohon petunjuk paman, bagai manakah langkah yang
harus kuarahkan" "Keamanan di Daha sudah mulai pulih. Mahendra dan
beberapa warga Gajah Kencana telah kutugaskan untuk
mengawasi gerak-gerik orang Wukir Polaman" kata Anuraga
"dengan demikian engkau mempunyai banyak peluang waktu.
Nah, pergunakanlah peluang itu untuk mendekatkan dirimu ke
pura Majapahit. Baginda dan patih Arya Tadah, merupakan
sasaran pokok yang harus engkau bantu"
Patih Dipa mengiakan. Ketika ia hendak meminta
penjelasan lebi h lanjut tentang cara2 pendekatan itu,
dilihatnya paman brahmana tampak pejamkan mata. Rupanya
tengah merenungkan sesuatu. Patih Dipa tak jadi bertanya.
Beberapa saat kemudian baru kedengaran brahmana
Anuraga berkata, "Ki Dipa" katanya "saat ini jabatan patih pura
Majapahit belum terisi. Sebaiknya engkau dapat menjabat
kedudukan itu agar engkau lebih dapat memiliki kesempatan
untuk menyusun kekuatan. Namun untuk mencapai
kedudukan itu, harus terbentang sebuah jembatan, berupa
suatu jasa besar yang engkau lakukan" ia berhenti pula
"kurasa jembatan itu mempunyai kemungkinan untuk
diciptakan" "O" seru patih Dipa "jika demikian mohon paman suka
menguraikan" "Ternyata golongan2 kerabat ratu Indreswari dari Sriwijaya
yang kini mulai giat tampil dalam pusat pemerintahan di
Majapahit, menarik perhatian dan keperihatinan orang. Bukan
hanya engkau seorang yang mencemaskan hal itu tetapi
rasanya orang2 Bali pun mulai menampakkan sikap tak puas"
"O" desuh patih Dipa. Ia terkejut mengapa paman
brahmana itu dapat mengetahui tentang suasana di kerajaan
Bali. Namun sebelum ia menyatakan rasa keheranannya itu,
brahmana Anuraga sudah mendahului" dalam pengembaraanku ke berbagai tempat telatah Majapahit,
akupun tiba juga di telatah Belambangan. Aku telah bertemu
dan mendengar keterangan dari percakapan orang2 bahwa
raja Bali telah mengirim utusan untuk memperbincangkan
keadaan di pura kerajaan dengan adipati Belambangan.
Secara halus, raja Bali telah mengajak adipati untuk
melepaskan diri dari pengaruh kerajaan Majapahit, selama
mentri2 yang berasal dari kerajaan Sriwijaya itu masih
memegang tampuk pimpinan di pusat pemerintahan"
"Lalu bagaimana sikap adipati Belambangan?" tanya patih
Dipa. "Dalam penyelidikan yang kulakukan lebih mendalam" kata
brahmana Anuraga "sejak timbulnya peperangan di Lumajang
dan tewasnya mahapatih Nambi, adipati2 di pesisir tenggara
antara lain Belambangan, Sadeng, Keta, tak puas dengan
pemerintahan baginda Jayanagara. Mereka menganggap
baginda terlalu dipengaruhi oleh mentri2 yang hianat. Belum
sempat, mereka melangkah pada suatu perundingan
membentuk persekutuan, patih Aluyuda, Dharmaputera Kuti
dan kawan2, telah ditumpas. Untuk beberapa waktu, adipatiadipati tetap tunduk pada pemerintahan baginda. Kini
merekapun mendengar juga tentang suasana dalam pura
kerajaan tentang berkuasanya orang2 dari kerajaan Sriwijaya.
Tambahan pula raja Pasung Rigih dari kerajaan Bedulu di Bali
mengirim hulubalangnya yang bernama Kebo Warung ke
Belambangan. Rasanya perundingan mereka itu harus
mendapat tanggapan yang sungguh2"
Patih Dipa mengangguk-anggukkan kepala.
"Maka menurut pendapatku adalah demikian" kata
Anuraga pula "rundingkanlah dengan patih mangkubumi Arya
Tadah, kemungkinan supaya baginda berkenan mengangkat
engkau sebagai patih Majapahit"
"Ah" patih Dipa mendesah kejut "apakah alasannya"
Tanpa suatu landasan, tentu sukar bagi baginda untuk
melakukan tindakan itu"
Brahmana Anuraga tersenyum "Tidak, ki patih, baginda
berkuasa penuh untuk mengangkat siapapun juga. Namun
bagi engkau, memang kurang leluasa apabila hanya diangkat
begitu saja. Maka rencanaku begini. Agar patih mangkubumi
mengusulkan kepada baginda untuk mengirim utusan ke
Bedulu, menitahkan raja Pasung Rigih menghadap ke pura
Majapahit" "O" segera patih Dipa dapat menyelami kelanjutan dari
persoalan itu "apabila raja Bedulu tak mau menghadap ?"
"Supaya patih mangkubumi mengusulkan kepada baginda
untuk mengirim pasukan ke Bedulu. Dan engkau supaya
diangkat sebagai pimpinan pasukan itu. Nah, disitulah engkau
akan mendapat kesempatan untuk membangun jasa yang
akan menjembatani langkahmu masuk ke pura Majapahit"
Dalam menanggapi saran brahmana Anuraga itu terkilas
bermacam penilaian dan kesan dalam benak patih Dipa.
Lepas dari pengetahuannya tentang ilmu kejiwaan dan
falsafah agama, ternyata brahmana Anuraga juga seorang ahli
siasat yang cemerlang. Walaupun sudah bertahun tahun
mengenal diri paman brahmana itu namun patih Dipa masih
belum dapat memahami peribadi brahmana Anuraga. Yang
diketahuinya jelas, brahmana itu seorang pemimpin pejuang2
yang membela kepentingan Majapahit. Usul paman brahmana
Anuraga, diterima baik oleh patih Dipa. Dalam kesempatan dikala hendak berpisah, patih Dipa masih meminta agar
brahmana Anuraga dan kawan2 Gajah Kencana tak
menegakan ia berjuang seorang diri.
"Gajah Kencana adalah pengawal negara Majapahit.
Majapahit berdiri, Gajah Kencana hidup. Majapahit runtuh,
Gajah Kencana lenyap" brahmana Anuraga memberi janji.
Pada suatu hari patih Dipa menghadap patih mangkubumi
Arya Tadah. Ia hendak mengajukan usul seperti yang
dikemukakan brahmana Anuraga.
"Ki patih, sungguh kebenaran sekali engkau datang"
sambut patih mangkubumi Arya Tadah "ada sebuah berita
yang perlu kukatakan kepadamu"
Patih Dipa memberi hormat dan meminta keterangan.
"Engkau tentu tahu bahwa sejak setengah tahun yang lalu
pangeran Adityawarman telah diutus bagi nda menuju ke
negeri Cina untuk mengadakan hubungan lagi sejak hubungan
kedua negara itu terputus pada jaman baginda Kertanagara
yang lampau" Patih Dipa mengiakan. "Beserta pangeran itu, ikut serta pula beberapa senopati
kerajaan Majapahit" lanjut Arya Tadah "dan sejumlah pasukan
yang kuat. Dalam pengiriman itu bermula aku harus
bertentangan dengan beberapa mentri karena beda pendirian.
Aku tak setuju atas langkah bagi nda itu. Kukatakan bahwa hal
itu akan memperlemah kekuatan Majapahit. Pertama,
pangeran Adityawarman itu seorang mentri yang pandai dan
bijaksana, diperlukan sekali untuk kepentingan dalam negeri.
Kedua, hubungan dengan negara Cina itu, hanya akan
mengulangi tindakan raja Kubilai Khan terhadap raja
Kertanegara dahulu, mengharuskan baginda menghaturkan
upeti. Tetapi beberapa mentri golongan Arya Kembar
menyetujui tindakan baginda"
"Rupanya mereka hendak mencari jasa, agar kekuasaan
mereka dalam pemerintahan Mijapahit makin kokoh" seru
patih Dipa. "Jika hanya begitu, itu masih ringan. Artinya, memang
mereka sudah melakukan hal itu sejak beberapa tahun yang
lalu" kata patih mangkubumi "tetapi saat itu penilaianku
bahkan lebi h buruk dari itu, ki patih. Kunilai tindakan baginda
itu karena didesak oleh golongan mentri2 dari Sriwijaya yang
tujuannya tak lain hendak meminjam kekuatan Kubilai Khan
untuk menyerang Majapahit supaya hancur"
"Apa manfaatnya, paman patih mangkubumi" Bukankah
lebih enak apabila mereka mengenyam kedudukan tinggi
dipusat pemerintahan Majapahit yang sekarang?" tanya patih
Dipa. Patih mangkubumi Arya Tadah menghela napas, "Ah,
tiada seorangpun yang tahu mengapa beberapa pangeran dari
Sriwijaya yang masih menjadi kerabat dari gusti ratu
Indreswari itu berbondong-bondong datang ke pura Majapahit.
Adakah kedatangan mereka itu hanya sekedar untuk mencari
pangkat dan kedudukan di Majapahit saja" Ataukah memang
diutus oleh kerajaan Sriwijaya"
"Andaikata diutus Sriwijaya, paman patih mangkubumi,
apakah kiranya tujuan mereka?" tanya patih Dipa pula.
"Ketahuilah, ki patih. Dengan menyerahkan kedua puteri
Dara Petak dan Dara Ji ngga kepada utusan Singasari dahulu,
berarti bahwa Sriwijaya gentar terhadap Singasari, tunduk
pada kekuasaan Singasari. Sudah tentu mereka masih
mendendam. Menunggu suatu kesempatan untuk balas
menghancurkan Majapahit. Untuk melaksanakan hal itu
mereka menggunakan beberapa siasat halus. Dari aliran
keturunan darah, sampai menguasai pemerintahan lalu
hendak meminjam tangan negara lain untuk menghancurkan
Majapahit" Patih Dipa terkesiap. Tak pernah ia merangkai suatu
penyelaman yang sedemikian dalam seperti penilaian patih
mangkubumi itu. Jika benar demikian, kerajaan Majapahit
benar2 dalam tebing kehancuran. "Tetapi paman patih
mangkubumi" serunya tak kuasa menahan luap perasaannya
"tidakkah baginda menyadari hal itu" Jika demikian, paman
patih mangkubumi, aku bersedia mempertaruhkan pangkat
dan kedudukanku, bahkan jiwa dan ragaku untuk menghadap
baginda dan menjelaskan tentang bahaya2 yang mengancam
kerajaan baginda" "Apakah engkau berani melakukan tindakan itu, patih
Dipa?" "Kupertaruhkan segala apa yang ada pada diriku, paman
patih mangkubumi" sahut patih Dipa dengan bergelora.
"Tetapi bagaimana andai baginda tetap menolak?" tanya
patih mangkubumi Arya Tadah.
Seketika berobahlah wajah patih Dipa. Dadanya tampak
berkembang kempis. "Tetapi bagaimanapun aku akan
berusaha sekuat tenaga untuk menjelaskan kepada baginda"
"Jika andaikata baginda tetap kukuh pada keputusannya?"
Patih Dipa menghela napas "Jika keadaan memang
menghendaki, tiada lain jalan kecuali kita harus menyusun
kekuatan untuk menghadapi setiap kemungkinan yang tak
diharap" "Bagus, patih Dipa" tiba2 patih mangkubumi Arya Tadah
berseru seraya menepuk bahu patih muda itu "hatiku merasa
senang sekali melihat sifat satya aprabu yang engkau miliki.
Hanya di tangan mentri-mentri seperti dikau, ki patih, kerajaan
Majapahit akan menjadi negara yang kuat dan jaya. Ah" Arya
Tadah menghela napas "aku sudah tua, ki patih, cepat atau
lambat tentu harus ada yang mengganti. Namun aku berjanji
kepada diriku sendiri, selama belum menemukan pengganti
yang tepat, aku takkan mengundurkan diri dari pemerintahan.
Karena jika aku mengundurkan diri hanya karena merasa tua,
tentulah kekuasaan dalam kerajaan makin jatuh ke tangan
golongan mereka" "Benar, paman" kata patih Dipa "keadaan makin memberi
gambaran yang tak menggembirakan. Dan dalam hal ini
seluruh kawula Majapahit hanya berpaling kearah paman patih
mangkubumi. Seluruh harapan mereka tercurah kepada
paman" "Aku sudah tua, patih Dipa" patih mangkubumi tua itu
mengeluh "tak mungkin, walaupun hasrat menyala-nyala,
ragaku yang sudah tua itu dapat menanggulangi beban berat
yang tersandang pada bahuku. Satu-satunya orang yang
kuharapkan dapat mewakili bebanku itu tak lain hanyalah
engkau ki patih" "Paman patih mangkubumi ...." teriak patih Dipa tertahan
"bagaimana mungkin, paman. Aku"..." patih Dipa hendak
mengatakan bahwa dirinya berasal dari keturunan rakyat kecil,
bagaimana mungkin ia akan memegang jabatan yang tertinggi
dalam pemerintahan Majapahit" Jabatan itu hanya dapat
dijabat oleh mereka yang berasal dari keturunan priagung.
Namun tiba2 ia teringat akan wejangan paman brahmana
Anuraga yang belum lama berselang, bahwa janganlah ia
dihinggapi oleh suatu rasa rendah diri karena rendah
keturunan. Karena yang nyata dan jelas, bukan soal rendah
tingginya keturunan, bukan kaya miskinnya dan bukan
pangkat dan kedudukannya, melainkan jiwa keperibadianlah
yang menentukan nilai martabat seseorang itu.
"Ki patih" cepat patih mangkubumi Arya Tadah menukas
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"ibarat orang naik tangga, engkau sudah berada setingkat
dibawah titian tangga yang teratas, mengapa engkau takut
untuk mencapai titian yang paling atas, ki patih?"
Patih Dipa terkesiap. "Kutahu jiwamu, peribadimu dan pendirian hidupmu" kata
patih mangkubumi tua itu pula "hanya apabila kelak engkau
dapat menjabat sebagai patih mangkubumilah engkau akan
mampu untuk melaksanakan segala cita-citamu untuk
meluhurkan kejayaan negara Majapahit"
"Duh, gusti patih mangkubumi yang mulia, padukalah
sesembahan hamba yang hamba hormati" tiba2 patih Dipa
menghaturkan sembah kepada patih mangkubumi itu.
"Eh, mengapa engkau, patih Dipa?" patih mangkubumi
Arya Tadah agak terkejut melihat sikap Dipa.
Patih Dipa menundukkan kepala. Patih mangkubumi pun
dapat menanggapi sikap patih muda itu. Bahwa patih Dipa tak
dapat menghaturkan persembahan kata apa2, melainkan
menyerahkan segala apa kehadapan patih mangkubumi.
"Patih Dipa" patih mangkubumi berkata pula "pembicaraan
kita ini sesungguhnya berguna dan tidak berguna"
Patih Dipa mengangkat mangkubumi Arya Tadah. kepala memandang patih "Keputusan baginda telah dilaksanakan, pada setengah
tahun yang lalu pangeran Adityawarman bersama sejumlah
pengiring telah berangkat ke negeri Cina. Dengan demikian
sesungguhnya tiada guna kita memperbincangkannya lagi.
Namun ada juga gunanya karena dengan pembicaraan itu,
dapatlah kuberitahukan segala persoalan yang telah terjadi di
pura kerajaan. Dan yang penting, aku telah mengatakan isi
hatiku dan engkaupun telah mencurahkan pendirianmu"
Patih Dipa hanya mengiakan saja.
"Dan masih ada suatu hal yang perlu kukatakan
kepadamu" ujar patih Arya Tadah pula, "bahwa kita sering
menganggap diri kita pintar, apa yang kita nilai dan duga
tentulah benar. Tetapi ternyata ada kalanya, kita harus
mengakui bahwa sesungguhnya kita ini masih bodoh, masih
sering melakukan kesalahan"
Karena tak mengerti ujung pangkal dari apa yang
dikatakan patih mangkubumi itu, patih Dipa pun hanya
termangu-mangu heran. Kemudian ia mengajukan permintaan
agar patih mangkubumi suka memberi penjelasan.
"Tak lain, engkau terutama aku ini" kata patih mangkubumi
itu "telah salah menafsirkan tindakan baginda dalam mengutus
pangeran Adityawarman ke negeri Cina"
"Oh" patih Dipa mendesuh
sesungguhnya maksud baginda?"
kejut "lalu apakah "Dua hari yang lalu" menerangkan patih mangkubumi "aku
telah dititahkan menghadap baginda. Aku diterima baginda
disebuah ruang tersendiri yang tiada pengawal keraton dan
lain2 orang. Di situlah baginda menguraikan apa yang baginda
lakukan selama ini. "Paman Tadah," kata baginda "bukan aku
tak dapat menerima buah pikiranmu dikala di perapatan agung
aku memutuskan mengirim kakang Adityawarman ke negeri
Tartar. Tetapi terpaksa aku harus berkeras menjalankan
keputusanku agar tiada seorangpun yang tahu apa yang
kumaksudkan dalam keputusan itu. Pertama paman, aku
hendak mengurangi kekuatan daripada sanak keluarga ibunda
ratu yang dewasa ini hampir memegang seluruh kekuasaan di
pura kerajaan. Kemudian yang penting, paman, telah
kudengar tentang laporan2 yang mengatakan bahwa raja
Bedulu di Bali hendak bersepakat dengan para adipati di
pesisir tenggara untuk melepaskan diri dari kekuasaan
Majapahit. Engkau tahu paman Tadah, apa alasan mereka
hendak bertindak begitu?"
"Sepanjang pengetahuan yang hamba peroleh, gusti, raja
Bedulu dan para adipati itu tak puas karena pemerintahan
pura kerajaan paduka telah dikuasai oleh beberapa mentri
yang berasal dari kerajaan Sriwijaya"
"Benar, paman Tadah" baginda bersabda "memang baik
sekali tujuan mereka itu. Namun tujuan itu sudah lepas dari
sumber asalnya dan sudah makin meluas. Kutahu, paman,
bahwa sejak peristiwa peperangan di Lumajang, para adipati
di telatah Belambangan tak puas dengan tindakanku. Kini
mereka mempunyai alasan yang lebih kuat lagi untuk
menghapus keluhuranku. Dengan adanya beberapa pangeran
dari Sriwijaya yang memegang kekuasaan dalam pemerintahan di pura kerajaanku, mereka mempunyai
landasan yang kuat sekali untuk mengatakan bahwa aku
sudah dipengaruhi oleh sanak keluarga ibunda ratu dari
Sriwijaya. Bahwa semakin jelas kerajaan Majapahit selama i ni
sudah tak murni lagi. Dukungan mereka makin mencurah lagi
kepada golongan2 yang menentang diriku duduk di atas
singgasana karena aku dari keturunan darah seorang puteri
Sriwijaya. Ini berbahaya sekali, paman Tadah. Ibarat lelatu,
apabila tak lekas dilenyapkan tentu menjadi bara api yang
besar" "Soal duduknya beberapa sanak ibunda ratu di pusat
pemerintahan, aku sudah mengetahui dan menyadari. Dan
aku, terutama kuberikan janjiku kepadamu paman, pasti
sanggup mengatasi hal itu. Jayanagara adalah putera dari
ayahanda baginda Kertarajasa. Walaupun ibundaku puteri dari
Malayu, walaupun raja Sriwijaya itu masih eyangku sendiri,
tetapi Majapahit bukan Sriwijaya. Majapahit adalah sebuah
kerajaan yang harus lebih besar dan berkuasa dari Sriwijaya
dan kerajaan kerajaan di Malayu dan di Nuswantara paman"
"Gusti adalah junjungan dan sesembahan dari seluruh
kawula Majapahit. Seluruh kawula Majapahit taat dan setya
kepada paduka" kata patih Arya Tadah.
"Paman Tadah" kata baginda pula "keputusanku mengirim
kakang Adityawarman mempunyai dua maksud, Pertama,
seperti yang telah kukatakan tadi, untuk mengurangi kekuatan
mereka. Dan kedua, untuk memancing sikap dari raja bedulu
dan para adipati di pesisir tenggara. Mereka tentu mengira
bahwa kekuatan di pura kerajaan tentu sudah kosong setelah
kakang Adityawarman pergi. Nah, disitulah akan kulihat,
bagaimana sikap mereka yang sesungguhnya. Dari kadehan
yang khusus kutugaskan untuk menyelidiki ke pesisir
tenggara, telah datang menghaturkan laporan bahwa rupanya
beberapa dipati telah setuju menerima ajakan raja Bedulu.
Oleh karena itu sebelum mereka sempat bertindak, akan
kudahului mengirim sebuah pasukan kerajaan untuk mengajak
mereka menghadap ke Majapahit"
"Tetapi gusti" kata patih mangkubum "tidakkah lebi h
bijaksana apabila paduka lebih dahulu mengutus seorang
mentri untuk menitahkan mereka menghadap ke Majapahit "
Apabila mereka menolak, barulah paduka mengirim pasukan
untuk menangkap mereka"
"Terlambat, paman" ujar baginda "apabila utusan itu
berangkat pulang ke Majapahit, mereka mempunyai
kesempatan untuk bersiap-siap. Tetapi apabila sekaligus
kukirim seorang senopati dengan sebuah pasukan kerajaan,
mereka tentu tak sempat bersiap dan tentu akan ikut
menghadap kepadaku" Patih mangkubumi Arya Tadah hanya menyerahkan hal itu
kepada keputusan baginda.
"Maksudku, aku akan menitahkan patih Dipa yang saat ini
menjabat patih di Daha, supaya memimpin pasukan itu untuk
menangkap raja Bedulu. Bagaimana pendapat paman
Tadah?" Arya Tadah terkejut. Tetapi diam2 ia gembira karena hal
itu akan membuka kesempatan bagi patih Dipa untuk masuk
ke pura Majapahit. Ia menghaturkan persetujuannya.
"Demikian ki patih" patih mangkubumi Arya Tadah
mengakhiri keterangannya "apa yang baginda titahkan
kepadaku" "Ah, paman patih mangkubumi, apakah diri hamba ini
sehingga bagi nda berkenan menitahkan nama hamba ...."
"Patih Dipa" tiba2 patih mangkubumi Arya Tadah berkata
dengan nada yang tandas "saat ini negara sangat
membutuhkan mentri2 yang setya, yang berani dan yang
penuh bertanggung jawab. Saat ini merupakan batu ujian
bagimu, ki patih. Bebaskan dirimu dari rasa rendah diri, dari
rasa was was. Hanya satu jawaban yang harus engkau
nyatakan. Engkau bersedia megabdikan jiwa ragamu kepada
negara atau tidak." Patih Dipa tersentak kaget. Selama dibawah bimbingan
patih mangkubumi sepuh itu, ia selalu menerima petunjuk dan
nasehat yang halus dan bermanfaat. Belum pernah ia
mendengar patih mangkubumi itu melantangkan ucapan yang
bernada sekeras saat itu. Serentak iapun teringat akan pesan
paman brahmana Anuraga agar supaya ia bersikap dan
bertindak sebagai seorang ksatrya. Ksatrya yang selalu tampil
paling depan untuk menghadapi musuh dan bahaya.
"Paman patih mangkubumi, hamba serahkan jiwa raga
hamba dibawah perintah tuanku" segera ia memberi
pernyataan. Patih mangkubumi tertawa senang, "Bagus, ki Dipa, jika
demikian tidak salahlah wawasanku. Tidak sia-sialah
harapanku. Baik, ki patih, akan kupersiapkan segala sesuatu
untukmu. Lakukanlah tugasmu dan kelak akan kuusulkan,
supaya engkau dipindah ke pura Majapahit. Jika kali ini tak
salah penilaianku, rasanya memang demikian maksud
baginda dalam rencananya untuk mengangkat dirimu. Baginda
telah mengetahui peri-badimu dan rasanya saat ini baginda
membutuhkan tenagamu pula, ki patih"
Diam2 patih Dipa membenarkan
mangkubumi, namun sudah tentu ia
mengutarakan. penilaian sungkan patih untuk "Kurasa dalam beberapa hari lagi, baginda tentu akan
menurunkan titah. Maka bersiaplah, ki patih, agar
pemerintahan di Daha tetap berjalan lancar selama engkau
tinggalkan" demikian patih mangkubumi mengakhiri pembicaraannya. Beberapa hari kemudian dalam kesibukan mengatur
pemerintahan di Daha, tiba2 patih Dipa mendengar berita
tentang kedatangan pasukan dari Sriwijaya. Sebuah armada
yang terdiri dari lima buah perahu besar dan memuat tak
kurang dari sepuluh ribu prajurit Sriwijaya, telah berlabuh di
bandar Ganggu. Bergegas patih Dipa menuju ke pura Majapahit, langsung
menghadap patih mangkubumi Arya Tadah.
"Memang benar, ki patih" kata patih mangkubumi dalam
menyambut kedatangan patih Dipa "Sriwijaya telah mengirim
pasukan ke Majapahit"
"Ah" patih Dipa mendesah "apakah tujuan mereka, paman
patih mangkubumi?" "Pasukan Sriwijaya itu dipimpin oleh senopati yang
bernama Arya Lembang, katanya masih mempunyai ikatan
keluarga dengan Arya Damar. Akupnn ikut hadir di kala
baginda menerima senopati Arya Lembang di keraton"
"O, apakah keterangan yang dipersembahkan senopati itu
kebawah duli baginda?" agaknya patih Dipa dirangsang gesa.
"Pada waktu pangeran Adityawarman menuju ke negeri
Tartar, beliau sempat untuk singgah di Sriwijaya. Menurut
keterangan pangeran Adityawarman, kerajaan Majapahit
dewaja ini sedang giat membangun. Namun selalu mengalami
gangguan2 dari golongan2 yang menentang baginda. Karena
harus mencurahkan kekuatan untuk membasmi beberapa
pemberontakan, terpaksa Majapahit kurang dapat melaksanakan pembangunan dengan lancar. Pangeran
Adityawarman menyatakan keperihatinannya. Beliau memuji
baginda Jayanagara sebagai seorang raja yang tegas dan
berani." Berhenti sejenak, patih mangkubumi melanjutkan pula.
"Rupanya keterangan dan keperihatinan pangeran Adityawarman itu telah menyentuh hati raja Sriwijaya. Baginda
Jayanagara adalah cucu dari raja Mauliwarman, oleh karena
itu raja Sriwijaya ikut perihatin juga atas keadaan di Majapahit.
Betapapun raja Sriwijaya itu tak rela apabila baginda
Jayanagara sampai diganggu oleh para pemberontak. Oleh
karena itu, demikian persembahan kata dari Arya Lembang di
hadapan baginda Jayanagara, raja Sriwijaya telah berkenan
mengirim sebuah pasukan untuk membantu baginda
Jayanagara menenteramkan negaranya"
Patih Dipa terkejut mendengar keterangan itu. Bukankah
hal itu dapat dipandang suatu penghinaan bagi keluhuran
nama baginda" Adakah baginda Jayanagara tak mampu untuk
mengatasi kesulitan yang timbul di kerajaannya" Adakah
Sriwijaya itu lebih kuat daripada Majapahit" Demikian berbagai
penilaian yang menghuni dalam benak patih Dipa. Dan letupan
dari isi hatinya segera terpancar pada sinar matanya yang
mencurah kearah patih mangkubumi. "Adakah baginda
berkenan menerima mereka, paman patih mangkubumi?"
"Kemudian senopati Arya Lembang menyerahkan dua
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pucuk surat kehadapan baginda. Sepucuk untuk baginda dan
yang satu untuk gusti ratu Indreswari. Oleh baginda Arya
Lembang disuruh beristirahat selama beberapa hari di
Majapahit" "Apakah isi surat itu, paman patih?" tanya patih Dipa yang
hampir tak kuasa menahan rangsang keinginan tahu.
"Entahlah, bagi nda tak memberitahu kepadaku. Rupanya
baginda masih mempertimbangkan keputusan" kata patih
mangkubumi. Patih Dipa menghela napas. "Ah, apa yang kita cemaskan
ternyata hampir mendekati kenyataan, paman patih. Tidakkah
tindakan raja Sriwijaya jelas mengandung suatu maksud
tertentu?" "Serahkan saja kepada baginda, ki Dipa"
"Bagaimana apabila baginda
mereka?" tanya patih Dipa.
berkenan menerima Patih mangkubumi Arya Tadah mengerut dahi "Ki Dipa,
sabda pandita ratu. Ucap seorang raja itu telah disaksikan
para dewa, didengar bumi dan langit. Baginda Jayanagara
telah bersabda, bahwa beliau adalah putera rahyang ramuhun
Kertarajasa, pendiri kerajaan Majapahit. Beliau adalah raja
Majapahit dan kerajaan Majapahit harus membawahi raja2 di
seluruh nuswantara. Nah, ki patih, ucapan bagi nda itu harus
menjadi pedoman bagi kita. Tak mungkin bagi nda akan
membawa kerajaan Majapahit kearah yang lain. Kita harus
percaya, ki patih" Patih Dipa mengiakan dan segera mohon diri. Namun ia
tak terus pulang ke Daha melainkan berjalan-jalan untuk
mengunjungi beberapa mentri senopati yang menjadi kenalan
baik. Pertama ia mengunjungi rumah kediaman demung
Samaya. Dalam pembicaraan, demung Samaya juga menyatakan
kekuatirannya terhadap kedatangan prajurit dari Sriwijaya itu.
"Adakah gusti tak mengajukan pendapat tentang hal itu ke
hadapan baginda?" Demung Samaya menghela napas. "Suasana dalam
pemerintahan pura Majapahit, berbeda daripada sebelum
terjadi pemberontakan Dharmaputera. Kini baginda lebih
banyak ikut serta memberi keputusan dalam berbagai langkah
yang diambil oleh kerajaan"
"Ah, seyogyanya memang demikianlah bagi seorang
junjungan" kata patih Dipa.
"Bukan begitu maksudku, ki patih" sanggah demung
Samaya "engkau tentu mengetahui betapa suasana dalam
pura kerajaan dewasa ini. Hampir kekuasaan dan jabatan
yang penting2 dipegang oleh beberapa pangeran keluarga
gusti ratu Indreswari. Itulah sebabnya maka baginda giat untuk
mengurus sendiri soal2 pemerintahan"
"Adakah karena baginda gembira atas bantuan2 dari
mentri2 sanak keluarga raja itu?"
Demung Samaya menghela napas pula. "Ah, kebalikannya, ki patih. Menurut wawasanku, baginda tak
senang dengan golongan mereka itu maka baginda-pun
langsung turun tangan dalam urusan pemerintahan"
Demikian pula kesan pembicaraan patih Dipa ketika
berkunjung ke gedung kediaman rangga Jalu dan tumenggung
Nala. Mereka mengeluh tentang suasana pemerintahan di
pura kerajaan, adanya golongan keluarga ratu Indreswari dari
Sriwijaya yang mulai tampil dalam pimpinan pemerintahan dan
sikap baginda Jayanagara.
Kepada mentri2 itu patih Dipa secara tak langsung
mengajukan dan mendapat jawaban bahwa suasana pura
kerajaan masih belum tenteram walaupun sudah dibersihkan
dari mentri2 yang memberontak. Ibarat api, bara itu masih
belum padam. Apabila angin berhembus, bara itu akan
menyala pula. Dan apabila tak waspada api itu akan
menimbulkan kebakaran yang lebih parah pada kerajaan
daripada peperangan di Dharmaputera. Lumajang dan pemberontakan Kesan2 dalam pembicaraan itu menumbuhkan rangkaian
kesimpulan dalam pemikiran patih Dipa. Paling tidak ada tiga
golongan yang menyelubungi gelanggang percaturan untuk
menguasai pemerintahan pura kerajaan. Pertama, beginda
dan mentri2 yang setia kepada raja. Kedua, golongan sanak
gusti ratu Indreswari yang berasal dari Sriwijaya. Dan ketiga,
golongan yang tak puas dan hendak menentang baginda.
Golongan ketiga ini, sesungguhnya tak puas akan orang2 dari
Sriwijaya itu, kemudian rasa tak puas itu dialih dan
ditumpahkan kepada baginda.
Dan mengenai keadaan mentri narapraja, Dipa mendapat
kesan bahwa mereka pada umumnya tetap setya kepada
kerajaan dan memiliki suatu rasa kesatuan untuk membela
kerajaan dari ancaman musuh.
Dikala merenungkan rangkaian kesimpulan itu, kaki patih
Dipa pun tiba di pintu gapura. Tiba-tiba ia teringat akan bekel
Asadha. Segera ia mengalihkan langkah ke rumah bekel itu.
Bekel Asadha menyambutnya dengan agak terkejut, "Ah, gusti
patih" tersipu-sipu bekel itu memberi hormat.
"Paman Asadha" kata patih Dipa setelah duduk "janganlah
kakang berlebih-lebihan menghormati diriku"
"Tetapi gusti patih seorang patih dan aku seorang bekel,
bagaimana ...." "Sudahlah, paman Asadha, sebut saja ki patihlah atau
namaku" tukas patih Dipa "janganlah kita menegangkan
suasana persahabatan dengan sikap membedakan pangkat
dan kedudukan. Yang penting, kita sudah bersahabat lama
dan harus tetap bersahabat, maukah engkau paman Asadha?"
Bekel Asadha mengangguk. Diam2 ia memuji akan
kerendahan hati sahabatnya itu. Dulu sama2 seorang bekel,
kini walaupun sudah naik pangkat sebagai patih, namun tetap
ia bersikap sederhana. Setelah menanyakan tentang keadaan
keselamatan keluarga tuan rumah maka patih Dipa mulai
bertanya tentang beberapa kawan yang sering berkunjung ke
rumah bekel Asaddha. Asaddha menerangkan bahwa sejak lama brahmana
Rahasia Arca Budha 1 Sapta Siaga 03 Memecahkan Rahasia Kapak Merah Maryamah Karpov 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama