Ceritasilat Novel Online

Gajah Kencana 18

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 18


Sedangkan bagi kaum muda yang kebanyakan belum
menghayati apa arti daripada pemandian suci itu kecuali
hanya menerima dan melaksanakan apa yang diajarkan oleh
para kaum tua, hari itu merupakan suatu upacara yang
menggembirakan. Mereka akan dapat menikmati mandi di laut
bebas, melihat alam pemandangan Kuta yang indah, bertemu
dengan beribu orang dari berbagai pelosok. Suatu hari yang
benar2 baru dan lain daripada hari2 panjang dalam kehidupan
di desa kelahirannya. Upacara pemandian Molis itu suci sifatnya. Tetapi ada
kalanya sifat suci itu, kurang dihayati oleh mereka2 yang tidak
meresapi arti mandi itu. Kelompok-kelompok yang sering
terhinggap oleh pemikiran semacam itu, kebanyakan adalah
para muda. Lelaki maupun perempuan, perjaka ataupun
perawan. Ada pula diantara gadis itu, menyembunyikan suatu
maksud berupa permohonan dalam batin kepada Batara
Baruna atau Dewa Laut, agar dirinya dipermandikan dari
segala kotoran jasmaniah dan rohaniah, sehingga
terpancarlah cahaya kecantikan pada tubuhnya. Semoga
cahaya itu akan cepat mengundang para muda yang telah
ditakdirkan oleh batara agung sebagai jodoh mereka.
Demikian kelakar dari kawanan gadis remaja yang saat itu
tengah berenang makin ke tengah. Mereka terdiri dari enam
dara yang cantik dan lincah.
Apabila sifat nakal itu hanya dimiliki oleh anak laki, kiranya
tidak benar. Anak2 perempuan, dara2 dan gadis2, pun akan
tumbuh sifat kenakalannya apabila berkelompok dalam jumlah
banyak. Demikian dengan dara Shanti dan kawan-kawannya
yang tengah membenam diri di laut. Mereka tinggal di Kuta.
"Shanti" tegur salah seorang kawannya "mengapa Nyoman
tak tampak ?" Shanti, sidara berambut ikal mayang menyeringai "Maruni,
mengapa tanya kepadaku " Carilah dia dan tanya padanya
sendiri ?" "Ih" Maruni tertawa "jangan pura-pura. Siapakah yang tak
kenal Raja Lasem dan burung gagak dari Kuta . Hi, hi, jika
bukan Nyoman, tak ada kiranya pemuda lain yaug sanggup
memerankan tarian Raja Lasem. Dan tak ada dara di bumi
Kuta yang mampu melincahkan tarian burung gagak seperti
dara Shanti" Beberapa kawannya tertawa gelak-gelak. Rupanya olok2
Maruni itu memang mengena. Karena malu Shanti lalu
menyelam kedalam air. Melihat itu Maruni segera berseru
pelahan kepada kawan-kawannya. "Hayo, kita tinggalkan dia."
Iapun segera mendahului berenang. Kawan-kawannyapun
mengikuti. "Mari kita menyelam, agar dia bingung mencari kita" tiba2
Maruni mendapat pikiran untuk mempermainkan Shanti.
Kelima dara itupun segera menyelam ke dalam laut.
Mereka gemar mandi di laut dan pandai berenang.
Persangkaan mereka memang tepat. Shanti tentu bingung
manakala ia timbul lagi di permukaan air dan tak melihat
kawan-kawannya. Tetapi sayang dia tak pernah timbul lagi
sehingga olok olok kawan-kawannya itupun tak menimpah
dirinya. Dan kawan kawannya itupun tak sempat juga untuk
melihat bagaimana ulah dan kerut wajah Shanti apabila timbul
di permukaan air. Mereka pun tak pernah timbul pula dari
bawah air. Hanya seorang yang dapat meluncur ke atas
permukaan air lagi, yalah Maruni. Maksudnya hendak
mengolok Shanti supaya bingung, ternyata dia sendiri yang
bingung. Ia tak melihat keempat kawannya, tidak pula Shanti.
"Ah, mungkin mereka balas memperolok diriku dan sudah
berenang ke daratan" setelah beberapa saat memandang ke
sekeliling penjuru, akhirnya ia tiba pada kesimpulan begitu dan
berenanglah ia menuju ke tepi. Namun dicarinya ketempat
mereka menimbun pakaian, juga tak tampak kawan2 itu.
"Ah, mungkin mereka hendak menggoda aku" gumam
Maruni lalu mengenakan pakaian dan menunggu.
Saat itu surya mulai merebah ke barat. Orang2 pun sudah
mulai naik ke daratan dan Maruni makin gugup. Kemanakah
gerangan kelima kawannya itu " Mengapa diantara orang2
yang naik kedarat itu tak tampak mereka berlima. Begitu pula
diantara orang2 yang masih mandi, tidak seorang pun dari
kelima kawannya itu tampak.
"Adakah ..." Maruni tak berani melanjutkan kata-katanya.
Karena pada hari suci seperti hari itu, tak baik untuk berbicara
yang buruk. Namun ia melanjutkan kata2 itu dalam hatinya,
"Adakah mereka mendapat kecelakaan di laut ?"
Kecemasan Maruni meningkat. Ia mulai gelisah, kemudian
bingung dan gugup. Karena sampai orang orang itu sudah
selesai naik kedarat semua, belum juga kelima kawannya itu
tampak. "Jelas mereka tentu mendapat kecelakaan" akhirnya
ia memberanikan diri untuk mengikat kesimpulan. Ia segera
lari menuju ke tempat lurah Sugriwa untuk melaporkan
peristiwa itu. Gede Puja keluar menyambut. Pemuda itu terkejut
mendengar laporan Maruni. Bergegas ia memanggil
anakbuahnya untuk diajak menuju ke tempat peristiwa.
Mereka segera menurunkan beberapa perahu dan sampan
mendayung ke tengah laut. Tetapi tak juga melihat kelima
gadis itu atau pun juga sosok mayat mereka. Puja
memerintahkan anakbuahnya mendayung ke tempat armada
perahu prajurit Sriwjaya. Dengan memberi isyarat, akhirnya
Puja dinaikkan ke perahu nayaka Sidempu.
Saat itu armada Sriwijaya bergerak kembali ke tempat
mereka berlabuh semula. "Ah, tidak, ki Puja" kata Sidempu setelah menerima
pertanyaan Puja apakah anakbuah Sidempu melihat mayat
lima orang gadis yang mendapat kecelakaan waktu mandi di
laut "kami mentaati permintaan ki lurah untuk menyingkir dari
tepi pantai. Sama sekali kami tak melihat barang sesosok
tubuh manusia di permukaan laut"
Puja tak mempunyai alasan untuk mencurigai mereka. Ia
segera minta diri untuk melanjutkan pencariannya lagi. Namun
sampai surya lenyap dari permukaan laut, tetap ia tak
menemukan kelima gadis itu.
"Mengapa Puja ?" tegur lurah Sugriwa demi melihat
puteranya pulang dengan bermuram durja.
Puja segera menceritakan laporan ni Maruni tadi, serta
usahanya untuk mencari tetapi sia2. Ia menghempaskan
tubuhnya keatas sebuah balai2 lalu menghela napas. "Baru
pertama kali ini sepanjang sejarah Kuta, upacara Molis telah
berlumuran dengan korban"
Ni Tari keluar. Ia menjerit lalu menangis ketika mendengar
cerita Puja. "Ah, Batara Agung, mengapa mereka menderita
nasib sedemikian rupa " Adakah Batara Agung murka kepada
kami ?" Lurah Sugriwa juga berduka atas peristiwa itu. Namun ia
berusaha untuk menghibur puterinya. "Sudahlah Tari, jangan
berkelarutan engkau merintih duka. Jika memang demikian
yang dikehendaki Batara Baruna, apa daya kita kecuali harus
menengadahkan kepala melepaskan mereka dengan doa puji
agar mereka diterima di Nirwana"
Walaupun lengking tangisnya berhenti namun belum reda
juga isak ni Tari. Kelima gadis itu adalah kawannya juga.
Mereka sering menari bersama dalam pesta upacara yang
sering diadakan di Kuta. Ia tak nyana bahwa ia harus berpisah
dengan mereka secara sedemikian menyedihkan.
"Sudahlah, nini," lurah Sugriwa menghibur pula "hal itu
masih belum pasti. Besok kita larjutkan mencari mereka lagi.
Malam ini bersiaplah engkau dalam acara tari untuk
menghormat kedatangan utusan Majapahit"
Ni Tari terkejut. "Adakah ayah sudah memutuskan hal itu
?" Lurah Sugriwa mengangkat muka, mencurah pandang
kepada puterinya, "Ya, mengapa, Tari ?"
Ni Tari pejamkan kelopak matanya yang bagus, menghela
napas. "Ah, tak apa apa, rama"
"Adakah sesuatu yang memberatkan hatimu, nak?" masih
ayah itu hendak menyelami perasaan puteri yang dikasihinya.
Namun Ni Tari tak menjawab, bahkan menunduk. Melihat
itu lurah Sugriwa makin gugup. "Nini, mengapa engkau
tampak bermuram durja dalam menanggapi soal penyambutan
utusan dari Majapahit itu " Katakanlah, nak, bagaimana
pendapatmu ?" Pelahan-lahan Tari mengangkat muka, sinar matanya
yang bening memancar kilau bintang kejora. Namun sinar
kemilau itu seolah terselubung kabut halimun yang dingin.
"Rama, apakah rama tak marah apabila aku
menghaturkan pendapatku ?"
hendak "Ah, Tari, sejak kecil sampai berangkat dewasa,
pernahkah engkau menerima kemarahan rama. Pernahkah
rama menyelentik engkau, apalagi memukulmu." lurah
Sugriwa menatap wajah puterinya, "katakanlah, Tari, mungkin
rama setuju mungkin tidak. Tetapi yang pasti rama takkan
marah kepadamu." "Baik, rama" kata Tari "sesungguhnya rama, Tari tak dapat
menemukan jawaban, mengapa kita harus menghormat
utusan itu, rama" "O" desuh lurah Sugriwa dengan nada longgar, "sudah
jamak bagi peradaban kita orang Bali, bahwa kita harus
menjamu setiap tetamu dengan baik. Karena aku seorang
nayaka kerajaan Bedulu yang ditugaskan untuk menjaga
keamanan Kuta, maka wajiblah aku menghormat kedatangan
utusan dari kerajaan Majapahit, Tari."
"Ah" Tari mendesah "benar, rama. Tetapi menurut
keterangan kakang Puja, utusan itu bukan dari Majapahit,
melainkan dari tanah Sriwijaya"
Lurah Sugriwa terkesiap sejenak, lalu menyahut, "Benar,
Tari. Tetapi mereka dibawah titah kerajaan Majapahit.
Kedatangan mereka bukan atas nama Sriwijaya tetapi atas
nama kerajaan Majapahit"
Puteri mengangguk. "Benar, rama. Memang serupa tetapi
berbeda." Lurah Sugriwa terbeliak pula. "Apa maksudmu, Tari ?"
"Serupa, karena kedatangan mereka itu tak lain bertujuan
untuk menitahkan baginda di Bedulu supaya menghaturkan
sembah bakti kepura Majapahit. Berbeda, karena yang
berlabuh di Kuta ini, adalah pasukan Sriwjaya dan yang
menuju ke Gianyar itu pasukan Majapahit"
"Bagaimana engkau tahu hal itu, Tari ?"
Tari tertegun diam. Wajahnya tampak mengernyit
keraguan. Melihat itu lurah Sugriwa segera menegurnya.
"Katakanlah, Tari. Apapun yang hendak engkau unjuk
kehadapanku, aku tak marah. Rama hanya dapat marah
apabila engkau belajar dusta"
Ni Tari mengangguk. "Tari tak pernah bohong, tak ingin
berdusta, rama. Siang tadi, seorang pengalasan datang
membawa surat kakang Teja, menerangkan tentang hal
mengenai kedatangan orang2 Sriwijaya dan pesan supaya
aku harus hati2 menjaga diri"
"Dia tidak mengirim berita apa2 kepadaku ?" tanya lurah
Sugriwa.. Ni Tari pelahan sekali gelengkan kepala. "Mungkin dia
takut kepada rama. Rama, apakah benar2 engkau benci
kakang Teja" Lurah Sugriwa mendesuh, "Hm, anak itu memang keras
kepala dan sukar menerima kata2 orang tua. Aku tak
menyukai sifatnya yang pemalas itu."
"Tetapi apakah rama membenci benar2 kepada kakang
Teja" Tari mengulang pertanyaannya.
Lurah Sugriwa menatap puterinya, "Tari, apakah perlu
kujawab pertanyaanmu itu."
"Ah, rama, kasihanlah pada kakang Teja" kata dara itu
dengan nada mulai mengembang isak.
Melihat itu lurah Sugriwa cepat berkata, "Tari,
dengarkanlah. Engkau tentu ingin mendengar jawabku atas
pertanyaanmu itu, bukan " Bukan rama tak mau menjawab,
melainkan merasa bahwa saat ini engkau tentu belum dapat
menghayati arti jawabanku itu. Andai kujawab, bahwa aku
tidak memberci kakangmu Teja, dalam hati engkau tentu tak
percaya, karena nyatanya aku telah mengusirnya pergi dan
tak pernah mencarinya. Jika kujawab bahwa aku benci
kepadanya, engkau tentu bersedih, bahkan mungkin engkau
akan mengatakan rama ini seorang ayah yang kejam.
Bukankah begitu, Tari ?"
Tari tak menyahut melainkan memandang wajah ayahnya.
"Apa yang terkandung dalam hati seorang tua terhadap
putera puterinya, belum tiba masanya engkau dapat
menghayati sekarang. Kelak apabila engkau sudah menjadi
orangtua, barulah engkau mampu meresapinya. Cukup
kiranya kuberikan sepetik kata untuk menamsilkan perasaan
bati seorang tua terhadap anaknya dan kebalikannya.
Orangtua ibarat mata dan anak ibarat kaki. Kalau kaki terantuk
batu, tertusuk benda tajam dan menderita kesakitan, maka
matapun menangis. Namun kalau mata yang sakit, kaki tetap
tak ikut menderita, tetap melonjak-lonjak. Cukuplah kiranya
jawabanku itu. Tari, kutahu kakangmu Teja itu amat kasih
kepadamu. Maka engkaupun wajib menurut apa pesannya.
Memang berjaga diri, harus engkau lakukan setiap hari,
bahkan setiap detik, sepanjang hidupmu" lurah Sugriwa
mengakhiri persoalan yang satu untuk beralih ke soal yang
lain. "Baik, rama" sahut Tari "dan kiranya apa yang
dikemukakan kakang Teja tentang prajurit2 yang singgah di
Kuta ini, benar bukan ?"
"Memang benar" lurah Sugriwa mengiakan "namun
sebagai rakyat yang beradab, selama tetamu itu tak
mengunjuk sikap permusuhan, wajiblah kita terima."
"Benar, rama" kata ni Tari pula "tetapi kurasakan ada
suatu kejanggalan dalam peristiwa ini. Kuingat sudah lama
sekali, kerajaan Bedulu tak terikat hubungan apa2 dengan
kerajaan Jawadwipa. Mengapa kali ini kerajaan Majapahit
mengirim pasukan kemari, bahkan membawa prajurit2 dari
Sriwijaya pula " Apakah maksud mereka, rama ?"
Diantara ketiga anaknya, walaupun lahir perempuan tetapi
lurah Sugriwa tahu bahwa Tari itu berotak tajam dan gemar
mendengar cerita tentang sejarah kerajaan Bali. Sering


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puterinya itu mengemukakan pendapat yang diluar dari alam
pikirannya, daya pencapaiannya. "Patih yang mengepalai
perutusan tak menerangkan hal itu kepadaku. Dia hanya
mengatakan hendak menghadap bagi nda di Bedulu untuk
menyampaikan titah raja Majapahit"
"Tetapi kita dapat merabanya, rama" kata Tari "suatu
perutusan yang membawa maksud baik, tentu hanya terdiri
dari beberapa mentri dan narapraja, jumlahnyapun tentu tidak
besar. Tetapi perutusan Majapahit kali ini, diiring dengan
prajurit yang berjumlah besar. Tidakkah kita layak mencurigai
itikat baik mereka ?"
Lurah Sugriwa terbeliak. Diam2 ia seperti tersadar dan
mengakui kebenaran ucapan puterinya. Namun ia berusaha
untuk menghibur. "Ah, Tari, soal itu kita serahkan saja kepada
keputusan baginda. Aku hanya seorang nayaka, apapun yang
baginda titahkan, tentu kulaksanakan."
"Ah, janganlah rama berpandangan begitu" bantah Tari
"kerajaan Bedulu benar milik baginda tetapi bumi tumpah
darah seluruh kawula termasuk kita sekeluarga. Kita wajib
menjaga ketenteraman bumi ini, rama."
"Ya" lurah Sugriwa mengangguk "memang benar. Lalu
bagaimana maksudmu, nini ?"
"Aku mempunyai suatu firasat bahwa kedatangan utusan
Majapahit itu tentu tak membawa maksud baik kepada
kerajaan Bedulu" kata ni Tari "tetapi itu hanya firasat,
kenyataannya mari kita nantikan."
Lurah Sugriwa mengangguk. Dalam hati ia memang
membenarkan ucapan puterinya.
"Rama" tiba2 ni Tari berkata pula, "bagaimanakah
pandangan rama pribadi, adakah baginda di Bedulu akan
berkenan menerima amanat yang dibawa perutusan Majapahit
itu ?" Lurah Sugriwa terbeliak. "Tetapi aku belum jelas amanat
apakah yang akan disampaikan perutusan Majapahit itu, Tari.
Bagaimana aku dapat menyatakan sesuatu ?"
"Rama" seru ni Tari "amanat itu tak lain adalah menitahkan
baginda Bedulu supaya menghadap kepura Majapahit"
"Bagaimana engkau tahu akan hal itu, Tari ?" seru lurah
Sugriwa terkejut. Ni Tari menerangkan bahwa hal itu terjadi secara tak
sengaja ketika tiba2 seorang bujang perempuan datang
memberitahu kepadanya tentang percakapan antara beberapa
prajurit yang menginap dirumah lurah "Roro, prajurit2 itu
kurang ajar, tidak sopan. Mereka memperbincangkan diri roro"
kata bujang perempuan itu.
"Ah, jangan percaya kepada omongan bujang, Tari" tukas
lurah Sugriwa. "Memang tidak, rama" sahut Tari "tetapi aku membuktikan
sendiri Kuajak bujang itu ke tempat para prajurit yang
dimaksudkan itu. Disitu kudengar mereka berbicara dengan
asyik sekali. Salah seorang prajurit mengatakan bahwa ia
mengharap patih Dipa yang akan menghadap baginda di
Bedulu itu gagal dan raja Bedulu akan marah lalu menyerang
utusan Majapahit. Salah seorang prajurit lain mengatakan,
kemungkinan besar baginda di Bedulu akan menolak untuk
menghadap raja Majapahit. Pendapat itu didukung oleh
beberapa prajurit lain yang menyatakan raja Bedulu tentu
merasa terhina dengan kedatangan perutusan Majapahit itu
dan pertempuran tentu akan pecah. Mereka amat gembira
sekali mengharapkan peristiwa itu. Tahukah rama apa
sebabnya ?" Lurah Sugriwa gelengkan kepala.
"Mereka mengharapkan peperangan agar dapat merebut
wanita2 Bali dan terutama ..." ni Tari tak melarjutkan katakatanya. Ia menunduk tersipu-sipu.
"Terutama siapa ?" lurah Sugriwa memandang lekat2 pada
puterinya "apakah ... engkau ?" sesaat rupanya lurah itu
menyadari apa maksud puterinya.
Ni Tari tidak menyahut melainkan mengangguk. Lurah
Sugriwa termenung-menung. Ia menyadari bahwa dengan
mengundang prajurit2 itu menginap di kelurahan, memang
suatu hal yang tak menguntungkan. Ia menyadari pula bahwa
dengan mempunyai seorang anak perempuan yang cantik,
hanya akan mengundang bahaya. Pikirannya jauh melayanglayang,
mencari suatu cara bagaimana hendak menyelamatkan puterinya dari ancaman yang kemungkinan
akan terjadi itu. "Itulah sebabnya mengapa kukatakan bahwa peringatan
kakang Teja itu tepat sekali" kata Tari.
Mendengar itu seketika lurah Sugriwa seperti disadarkan,
"Apakah kakangmu Teja tidak mengatakan akan pulang ?"
"Tidak" kata ni Tari. Kemudian cepat gadis itu dapat
menanggapi apa yang terkandung dalam pertanyaan
ramanya, "rama maksudkan, akan menyuruh kakang Teja
membawa aku ke kuil di Bukit ?"
"Selama prajurit2 itu masih berada di Kuta, kurasa untuk
sementara waktu engkau tinggal bersama kakangmu Teja.
Lebih baik kita menjaga diri daripada harus tertimpah sesuatu
yang tak kita inginkan"
"Jika demikian, besok akan kusuruh seorang pengatasan
untuk mengabarkan hal itu kepada kakang Teja" kata ni Tari.
"Atau yang lebih tepat lagi" sambut lurah Sugriwa, "esok
akan kusuruh kakangmu Puja mengantar engkau ke bukit."
"Baik, rama" kata ni
perjamuan malam nanti ?"
Tari "lalu bagaimana dengan
"Karena sudah terlanjur mengundang mereka, terpaksa
kita harus melangsungkan" kata lurah Sugriwa.
0o-dw-mch-o0 II LEGONG merupakan tarian yang paling tenar di Bali.
Suatu tarian yang indah, halus dan agung. Tarian itu
mengisahkan sebuah cerita dalam dongeng atau cerita
dongeng yang diujudkan dalam bentuk tarian.
Banyak sekali cerita2 dongeng yang dapat dilakukan
dalam bentuk tari tarian. Tetapi yang sering dimainkan adalah
ceritera tentang Raja Lasem yang pergi berperang. Dalam
perjalanan menuju ke medan laga, seekor burung gagak
terbang melintas diatas kepala raja itu. Menurut kepercayaan,
burung gagak dianggap sebagai lambang alamat buruk. Tiba2
burung gagak itu menyerang raja Lasem dengan maksud
menghalangi baginda. Raja murka lalu menitahkan supaya
burung gagak dibunuh. Kemudian raja melanjutkan perjalanan,
bertempur dengan ratu Syaitan yang jahat dan berakhir raja
kalah dan binasa. Demikian pada malam itu, untuk menghormat dan
menghibur kedatangan pasukan Sriwijaya sebagai utusan
kerajaan Majapahit maka lurah Sugriwa telah mengadakan
perjamuan yang dimeriahkan dengan tarian Legong dengan
mengambil ceritera Raja Lasem, burung gagak dan ratu
Syaitan. Raja Lasem diperankan oleh ni Tari, burung gagak oleh
Maruni dan ratu Syaitan oleh gadis ni Rendang. Demikian
rencana lurah Sugriwa. Tetapi ternyata tiba pada waktunya, ni
Maruni tak muncul. Dan lebi h terperanjat pula lurah Sugriwa
ketika mendengar tentang hilangnya kelima gadis ketika
sedang mandi di laut. "Puja" kata lurah itu kepada puteranya yang sulung
"sudahkah engkau melakukan penyelidikan ke kapal prajurit2
Sriwijaya itu ?" Gede Puja mengatakan sudah tetapi tak menemukan hasil
sesuatu apa. "Adakah engkau tak melihat sesuatu yang
mencurigakan pada mereka ?" tanya lurah Sugriwa.
Puja gelengkan kepala, "Tidak rama" Pada saat itu ni Tari
muncul "Rama, sampai saat ini Maruni belum juga datang "
Apakah kemungkinan dia tak mau datang ?"
"Apa alasannya ?" balas lurah Sugriwa.
"Ah, cukup beralasan, rama" kata ni Tari, "hilangnya kelima
kawan itu sangat mengganggu pikiranku apalagi Maruni yang
terlibat mengalami peristiwa itu. Dia tentu bersedi h sekali."
"Ya, akupun juga gelisah" kata lurah Sugriwa, "tetapi
kegelisahan itu tak boleh mengabaikan lain hal yang sudah
menjadi tanggung jawab kita, misalnya acara tari yang hendak
kita hidangkan dalam perjamuan malam ini"
"Rama, aku hendak mencari Maruni" tiba2 Puja berkata.
Tetapi lurah Sugriwa mencegah, mengatakan tak perlu.
"Biar, rama" kata ni Tari "soal tarian dapat kita persirgkat,
cukup menghidangkan adegan raja Lasem bertempur
melawan ratu Syaitan."
Sejenak lurah Sugriwa merenung kemudian menyetujui.
Dalam pada itu ketika Puja melangkah keluar, maka Tari pun
mengikuti, "Kakang Puja, kemanakah engkau hendak mencari
Maruni ?" "Ke pantai" sahut Puja.
"Bagus, kakang" seru ni Tari kemudian dengan nada
berbisik ia menyatakan keraguannya tentang hasil
penyelidikan yang dilakukan Puja siang tadi. "Kakang Puja,
apakah kakang bersedia melakukan rencanaku?"
"Apakah itu ?" Puja kerutkan dahi.
"Aku tetap tak percaya bahwa hilangnya kelima gadis itu
karena kecelakaan" kata Tari. "kurasa kapal prajurit2 Sriwijaya
itu layak dicurigai. Tetapi mereka menolak kedatangan kakang
dengan mengatakan tak tahu tentang gadis2 itu. Bukankah
kakang tak diberi kesempatan untuk menggeledah perahu
mereka ?" Puja serentak hentikan langkah, menatap wajah adiknya.
"Tari, engkau benar. Memang aku percaya begitu saja apa
keterangan mereka. Ya, memang harus diselidiki lagi perahu2
itu. Kalau perlu kita geledah dengan paksa ..."
Tari tersenyum hambar. "Ah, tidak semudah itu kakang.
Mereka terdiri dari prajurit2 perang yang bersenjata lengkap.
Bagaimana kakang hendak menghadapi mereka ?"
Puja tertegun pula. "Hanya ada sebuah cara, kakang Puja" kata Tari "yalah
dengan cara bersembunyi melakukan penyelidikan itu.
Bawalah beberapa orang yang pandai menyilam untuk
mendekati perahu mereka. Jika mungkin, siapkan alat kait dan
tali untuk naik ke perahu mereka. Jika tidak mungkin, cukup
bersembunyi di samping perahu, mendengarkan pembicaraan
mereka. Kakang tentu dapat bertindak menurut gelagat
bagaimana baiknya" Cerahlah seketika wajah Puja. "Bagus, Tari. segera akan
kulakukan rencanamu itu"
"Hati-hati, kakang" Tari mengantar pesan.
Dalam perjamuan, ni Tari tampak kurang bersemangat
dalam membawakan tariannya. Namun Arya Kembar, Arya
Lembang dan perwira2 Sriwijaya yang menyaksikan, tak
kunjung henti menghambur puji. Kei ndahan dan kehalusan
gerak tari Legong yang dibawakan oleh gerak jari jemari ni
Tari yang melentik lentik bak duri landak, kelemasan tubuhnya
yang ramping meliuk liuk dalam gerak yang lemah gemulai,
bagaikan bulir batang padi yang berguncang rebah tegak
dihembus angin. Dan yang paling mempesona semangat para
senopati, dan perwira Sriwijaya adalah wajah dara itu.
Seketika melayang-layanglah semangat mereka dibuai khayal
indah. Pada waktu kecil, Arya Damar dan Arya Lembang pernah
mendengar cerita dari orang2 tua, bahwa suramnya pamor
kerajaan Sriwijaya adalah karena mustika istana Sriwijaya
telah dibawa ke Majapahit. Kala itu karena masih kecil, Arya
Lembang tak tahu dan menanyakan mustika apakah yang
telah diangkut orang Majapahit itu" Pertanyaan itu dijawab
oleh yang bercerita, seorang bujang tua dari keluarga Arya
Lembang, bahwa mustika itu adalah sepasang puteri dari
baginda Tribuana Mauliwarman yang bernama Dara Petak
dan Dara Jingga. Kecantikan dari kedua puteri baginda itu, terutama Dyah
ayu Dara Petak, tiada keduanya di seluruh kerajaan Sriwijaya.
Bahkan di seluruh penjuru jagad. Sejak kedua puteri itu lahir
maka kerajaan Sriwijaya telah mencapai kejayaan dan
kemegahan. Kedua puteri itu merupakan mustika kerajaan
Sriwijaya yang memancarkan sinar kejayaan keseluruh jagad"
kata bujang tua itu. "Ah, secantik-cantik manusia tentu masih kalah dengan
bidadari" bantah Arya Lembang yang sering mendengar kata
orang bahwa bidadari itu luar biasa cantiknya. Pada hal ia
sendiri belum tahu bagaimanakah sesungguhnya yang
dianggap cantik itu. "Eh, bagaimana engkau" bujang tua bersungut sungut "aku
berani bersumpah, kalah cantiklah bidadari di kahyangan
dengan dyah sang Ayu Candra Dewi dan sang ayu Kembang
Dadar" "Jika demikian, wajiblah puteri Sriwijaya itu kita rebut
kembali agar kerajaan Sriwijaya tetap jaya" kata Arya
Lembang. "Tidak mungkin, raden" kata bujang tua "puteri Candra
Dewi telah diambil permaisuri oleh raden Wijaya yang
kemudian menjadi baginda raja Majapahit yang pertama"
"Apakah raja Majapahit itu masih hidup ?"
"Sudah wafat" jawab bujang tua tetapi sekarang telah
diganti oleh puteranya yang bernama Jayanagara, putera dari
puteri Candra Dewi juga"
"Kita boyong saja puteri itu. Bukankah dia berasal dari
Sriwijaya ?" bantah Arya Lembang.
Bujang tua gelengkan kepala lalu masuk kedalam,
meninggalkan Arya Lembang dalam cengkaman kesan.
Terpercik dalam relung hati anak itu suatu kesan bahwa jika
hendak mengembalikan kejayaan kerajaan Sriwijaya, puteri
Cindra Dewi harus diboyong kembali ke Sriwijaya. Kesan itu
dibawanya sehingga ia berangkat dewasa.
Teringat akan pujian bujang tua terhadap kecantikan puteri
Candra Dewi atau Dara Petak, timbullah suatu keheranan.
Mungkinkah puteri Candra Dewi itu lebih cantik dari ni Tari,
puteri lurah Sugriwa, yang saat itu tengah menari dalam tari
Legong yang indah gemulai " Dulu ketika masih kecil ia tak
mengerti bagaimana wanita yang disebut cantik itu. Tetapi kini
ia sudah tahu dan menurut penilaiannya, ni Tari itu amat


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menonjol sekali kecantikannya. Benarkah puteri Candra Dewi
tiada tara kecantikannya sehingga melebihi bidadari " Ah,
diam2 ia tertawa dalam hati. Bujang tua itu tak pernah
mengembara ke lain negeri dan mungkin jarang melihat wanita
cantik sehingga pandangan dan dunianya sesempit katak
dalam tempurung. Demikian ia menarik kesimpulan.
Renungannya tergetar lenyap ketika seorang dara
menghaturkan hidangan minuman dan mempersilahkannya
minum. Bau tuak yang harum2 sedap segera berhamburan
menusuk hidung ketika dara itu menuangkan kendi ke dalam
cawan. Dengan gembira ia segera menyambuti cawan dan
meneguknya habis. "Ah, harum sekali tuak bali ini" serunya
memuji. Dara itu tak menjawab melainkan tersenyum dan
menuangnya lagi. Sehabis meneguk, Arya Lembang
menyelimpatkan pandang ke samping. Dilihatnya Arya
Damarpun tengah dilayakni oleh seorang dara manis.
Berpaling ke kiri dilihatnya beberapa perwira pun tengah
minum. Memandang ke muka, prajurit2 anakbuahnya yang
duduk dijajaran kursi pun tengah menikmati tuak.
"Ki lurah, sungguh nikmat benar tuak ini" seru Arya Damar
kepada tuan rumah "dari bahan apakah?"
Lurah Sugriwa menerangkan bahwa tuak di Bali terbuat
dari macam2 bahan. Ada yang dari brem, ada yang dari legen
atau air sari bunga kelapa, ada pula dari singkong, ketan dan
lain2. Arak yang dihidangkan malam itu, khusus dari bahan
brem yang sudah tersimpan sampai beberapa tahun.
Rupanya Arya Damar, Arya Lembang dan prajurit2
anakbuahnya merasa gembira sekali malam itu. Mereka
minum sepuas-puasnya sambil tak pernah melepaskan
pandang matanya kearah tari Legong yang dibawa ni Tari.
Tuak, betapapun ringannya, tetap mengandung daya
perangsang. Menghangatkan tubuh dan memperkeras aliran
darah, kadang ada juga yang membangkitkan nafsu. Demikian
tuak yang dinikmati ki senopati dan prajurit2 Sriwijaya itu. Arya
Damar yang lebi h tua dan biasa minum, memang masih dapat
bertahan. Tetapi Arya Lembang sudah menampakkan gejala2
mabuk. Wajahnya merah dan lidahnya mulai lincah bicara.
Dan dalam keadaan mabuk itu maka tercurahlah apa yang
terkandung dalam hati. Arya Lembang mulai memuji-muji
kecantikan ni Tari. "Huh, paman Lubuk itu ludah tua, tak tahu
pengalaman. Mana mungkin terdapat wanita Sriwijaya yang
lebih cantik dari gadis Bali ini" pikirannya mulai merambang.
Tiba2 pada saat itu pertunjukan tari telah tiba pada adegan
Raja Lasem rubuh tertampar jari2 beracun dari raja Syaitan.
Seketika Arya Lembang loncat ke tengah gelanggang,
menghantam raja Syaitan yang diperankan ni Rendang
sehingga gadis, itu terhuyung-huyung rubuh ke belakang.
Kemudian ia memeluk Raja Lasem atau ni Tari. "Ah, apakah
engkau terluka, gadis jelita?"
Ni Tari terkejut sekali. Ia hendak meronta tetapi terlambat.
Kedua lengan Arya Lembang yang kokoh telah mendekap
tubuhnya. Pada saat ia hendak berontak, tubuhnya pun telah
diangkat oleh Arya Lembang. Lurah Sugriwa terperanjat
sekali, demikian dengan beberapa orang kelurahan. Mereka
serempak hendak maju menyerang Arya Lembang. Ni
Rendang ditampar sehingga rubuh pingsan, sudah
menimbulkan kemarahan orang2 kelurahan Kuta. Kemudian
ditambah pula dengan tingkah ulah Arya Lembang yang
memeluk dan mengangkat tubuh ni Tari, tak mungkin lagi
mereka mengendalikan diri. Mereka merasa terhina. Mereka
tak menghiraukan apa akibatnya lagi, hinaan itu harus dibalas,
bahkan kalau perlu dengan tebusan darah.
"Barang siapa berani maju, akan kubunuh" seru Arya
Lembang seraya menghunus pedang.
Seorang lelaki bertubuh kekar, orang kepercayaan lurah
Sugriwa yang terkenal pembesani, segera melantang.
"Hendak engkau pengapakan ni Tari itu ?"
"Akan kubawa ke kapal dan kubawa ke Sriwijaya menjadi
isteriku" seru Arya Lembang. Sepasang matanya merah,
mulutnya berbusa. Gemparlah suasana perjamuan di pendapa kelurahan.
Arya Damar terkejut tetapi sebelum ia sempat bertindak,
beberapa prajurit Sriwijya telah mencabut senjata dan
berhamburan mengepung lurah Sugriwa dan orang2
kelurahan. "Lembang....." teriak
Arya Damar yang cemas menyaksikan peristiwa tak terduga-duga itu. Tetapi sebelum ia
sempat melanjutkan kata katanya, Arya Lembang sudah
menjawab, "Kakang Damar, jangan cemas, akulah yang
bertanggung jawab semua peristiwa di sini!"
Walaupun sebagai pimpinan teratas, tetapi dalam
kenyataan karena Arya Lembang yang membawa prajuritprajurit Sriwijaya itu maka dialah yang lebih besar
pengaruhnya pada pasukan Sriwijaya. Pernyataan panglima
Sriwijaya itu cukup memberi
peringatan bagi Arya Damar,
bahwa seluruh anak buah pasukau Sriwijaya tentu berdiri di belakang Arya Lembang. Torong, orang tinggi besar yang menjadi kepercayaan lurah, tak dapat menahan kemarahan lagi. Dengan nekad ia menerjang prajurit yang menghadang di mukanya. Tetapi prajurit itu sudah siap.
Segera ia menyongsong dengan tombaknya. Torong masih dapat menghindar ke samping lalu menerkam tombak
prajurit itu, didorong dengan sekuat tenaga. Prajurit itu terkejut
sekali ketika merasakan tenaga Torong yang besar. Ia
terdorong ke belakang sampai lima langkah. Tetapi serempak
pada saat itu, ujung tombak dari lain prajurit telah bersarang
padi paha kiri Torong. Torong menjerit, lepaskan tombak yang
hampir berhasil direbutnya, mendekap paha dan meraung
raung kesakitan. Lurah Sugriwa mencabut keris, menikam seorang prajurit
yang menghadang didepannya. Tetapi prajurit itu cukup
waspada. Ia menyisih lalu gerakkan tangkai tombak
menghantam kepala lurah Sugriwa. Gerakan itu amat cepat
dan karena jarak amat dekat, lurah Sugriwa tak menyangka
dan tak sempat menghindar. Untung ia masih dapat
menundukkan kepala sehingga bahunya nya yang terkena
sabatan tangkai tombak. Sekalipun demikian cakuplah
membuat lurah yang sudah setengah tua itu terhampar jatuh.
Untunglah beberapa pengalasan kelurahan segera menyambuti tubuhnya. "Hayo, siapa lagi yang berani mengganggu ..." belum
sempat Arya Lembang melantangkan tantangannya,
sekonyong-konyong pemuda yang mengenakan dandanan
sebagai pedanda atau pandita loncat ke tengah gelanggang,
tepat di belakang Arya Lembang. Karena Arya Lembang
tengah menghadap ke arah orang2 kelurahan, demikian pula
dengan prajurit2 anakbuahnya, maka mereka tak tahu sama
sekali akan kedatangan pedanda muda itu. Selain datang dari
arah belakang pun gerakannya hampir tak mengeluarkan
suara. Dan selekas berada di belakang Arya Lembang dengan
sebuah gerak yang amat cepat, pedanda muda itu
mencengkeram bahu Arya Lembang dan menekannya.
"Anh ..." Arya Lembang menjerit kejut dan kesakitan.
Sedemikian besar rasa sakit yang menyerang tulang bahu
Arya Lembang sehingga ia kehilangan tenaga. Tubuh ni Tari
pun menumpah ke lantai. Prajurit2 itu terkejut dan serempak berpaling karena
mendengar jerit kesakitan senopati Arya Lembang. Alangkah
kejut mereka ketika melihat Arya Lembang telah dikuasai oleh
seorang pedanda muda. Belum sempat mereka berbuat
sesuatu, terdengarlah pedanda muda itu berseru dengan nada
yang penuh kemarahan. "Kalian berani maju selangkah, orang
ini tentu kuremas hancur tulangnya"
Arya Lembang benar2 tak berdaya dalam cengkeraman
pedanda muda itu. Arya Damar marah sekali. Ia mencabut
pedang. "Hm, tindakanmu itu hanya akan mengorbankan jiwa
kawanmu ini!" seru pedanda muda itu.
"Siapa engkau!" seru Arya Damar.
"Aku Made Teja, putera lurah Sugriwa!" sahut pedanda
muda itu. "Engkau hendak membunuh senopati Arya Lembang yang
memimpin armada Sriwijaya?" seru Arya Damar sengaja
menekankan kekuatan Sriwijaya untuk menggetarkan nyali
pedanda Teja. "Hal itu tergantung dari engkau dan anakbuahmu" sahut
Teja. Arya Damar kerutkan dahi, "Apa maksudmu?"
"Ada empat kesalahan yang kalian lakukan terhadap kami"
kata pedanda Teja, "pertama, sebagai utusan dari kerajaan
Majapahit yang hendak memaksa raja kami untuk
menghaturkan sembah ke pura Majapahit?"
Arya Damar terkejut, "Bagaimana engkau tahu?" serunya.
"Adalah karena kami hanya kawula, adalah karena ayah
hanya seorang nayaka yang wajib tunduk pada titah raja maka
kesalahan kalian yang pertama yang sesungguhnya
merupakan hinaan bagi seluruh kawula Bali, kami
pertangguhkan" jawab Teja yang bukan merupakan jawaban
dari pertanyaan Arya Damar, "kedua ...."
"Bagaimana engkau tahu hal itu?" Arya Damar mengulang
pertanyaannya. "Hm" desuh pedanda Teja "yang penting benar atau tidak
hal itu. Mengapa engkau mengherankan sesuatu yang
menjadi kenyataan. Salah seorang prajurit dalam armada
Sriwijaya itulah yang mengatakan kepadaku. Kesalahan kalian
yang kedua" pedanda Teja melanjut "prajurit2 kalian di perahu
itu telah menculik lima gadis desa ini dikala mereka sedang
mengadakan permandian suci di laut ...."
Kali ini benar2 Arya Damar tersengat kejut. "Jangan bicara
sekehendak hatimu! Kulihat dandananmu seperti seorang
pandita tetapi mengapa mulutmu gemar menghambur fitnah?"
Pedanda muda itu menatap wajah Arya Damar tajam2
kemudian ujarnya, "Lepas dari diriku ini siapa, tetapi sejak
kecil aku tak pernah berbohong dan memang ayahku tak
pernah mengajar aku berdusta. Apa yang kukatakan, memang
berbukti. Sekarang juga kalau kita memeriksa ke perahu2 itu,
tentulah terdapat kelima gadis yang hilang"
"Bagaimana kalau tidak ada?" masih Arya Damar tak mau
menyerah. "Bunuhlah aku!" sahut pedanda Teja serentak "tetapi
apabila terbukti?" "Akan kuhukum prajurit2 yang bersalah itu" sahut Arya
Darrar. Pedanda Teja melanjutkan "Yang ketiga, kalian telah
bertindak liar, berani merampas adikku Tari. Kemudian yang
keempat, kalian telah melukai orang-orang ponggawa
kelurahan dan ayahku. Nah, tidakkah keempat kesalahan itu
cukup untuk kuambil tindakan?"
Arya Damar menimang. Orang-orang kelurahan dapat
dihadapi prajurit-prajurit pengiringnya. Yang menjadi persoalan
adalah Arya Lembang yang dikuasai pedanda muda itu.
Apabila ia bertindak keras, dikuatirkan pedanda muda itu akan
melaksanakan ancamannya. Kehilangan seorang Arya
Lembang, berat sekali artinya bagi pasukan Sriwijaya dan
tidak sesuai dengan imbalan jiwa seorang pedanda. Akhirnya
ia mengambil keputusan. "Baiklah, ki sanak, perbuatan yang
engkau tuduhkan kepada kami itu memang benar. Tetapi hal
itu kami lakukan di luar kesadaran dan karena pengaruh tuak.
Engkau sebagai seorang pedanda harus maklum akan hal itu"
Arya Damar berhenti sejenak untuk menyelidik tanggapan
Teja. Tampak anakmuda itu hanya mendesuh. "Oleh karena
itu, demi memelihara suasana persahabatan diantara kita,
sukalah engkau melepaskan adi Lembang yang engkau
kuasai itu" "Hanya begitu?" tanya Teja.
Arya Damar merentang mata "Lalu apa maksudmu?"
"Tuan" seru pedanda Teja "menilik busana dan wibawa
tuan, tuan tentu senopati atau pimpinan prajurit prajurit
Sriwijaya" "Benar, aku tumenggung Arya Damar yang ditugaskan
memimpin pasukan Majapahit ke Bali"
"Tumenggung Arya Damar" seru pedanda Teja. Arya
Damar terkesiap namun Teja tak terpengaruh dan melanjut
"sebagai pimpinan, tuan adalah yang dipertuan dalam
pasukan Sriwijaya. Tetapi di Kuta sini, kamilah yang berkuasa.
Kami hanya tunduk pada kekuasaan baginda di Bedulu.
Adakah tuan sudah merasa cukup hanya dengan
penyelesaian begitu saja. Bagaimana dengan kelima gadis
yang tertawan di perahu itu" Bagaimana dengan ayahku dan
seorang pengatasan yang menderita luka itu?"
Arya Damar kerutkan dahi dan tak puas atas sikap Teja.
"Ya, kutahu, kedudukanku adalah sebagai tetamu. Tetapi yang
kuanggap sebagai tuan rumah adalah lurah Sugriwa, bukan
engkau. Jika aku meminta maaf, pun kepadanya, bukan
kepadamu." Teja tertawa hambar. "Aku tak menginginkan pernyataan
maaf, melainkan suatu tindakan nyata dari pembebasan
kelima gadis itu dan supaya tuan segera mengangkat sauh
tinggalkan bandar Kuta"


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lepaskan adi Arya Lembang dulu!" teriak Arya Damar
yang mulai tak sabar. "Tidak" sahut Teja dengan tegas "sebelum kelima gadis itu
dibebaskan, aku pun tak dapat melepaskan senopati ini"
"Pedanda" seru Ai ya Damar marah "engkau seorang
pedanda dan aku seorang senopati. Brahmana dan ksatrya
terikat oleh keutamaan untuk memegang janji. Lepaskan
senopati kami dan akan kulepaskan kelima gadis itu jika
benar2 mereka berada di dalam perahu kami. Ini janjiku"
Teja termenung sejenak. Sesaat kemudian ia berseru
kepada beberapa bujang untuk mengangkut ni Tari ke dalam.
Setelah itu baru ia berkata, "Baik, aku peicaya pada janji
seorang senopati" ia lepaskan tangan dan menyurut mundur.
Arya Damar cepat menghampiri Arya Lembang,
"Bagaimana keadaanmu, adi?" tegurnya sesaat melihat Arya
Lembang masih tegak memejamkan mata.
Sampai beberapa saat baru Arya Lembang membuka
mata dan berseru, "Tidak apa-apa, kakang" kemudian ia
berpaling menghadap kearah Teja "engkau manusia pengecut,
engkau keparat !" Terkejut Teja mendengar hamun makian itu. "Jangan
bermulut kotor! Masih ringan apabila aku hanya bertindak
begitu terhadap dirimu" kemudian ia berseru kepada Arya
Damar. "Tuan, bagaimana janji tuan. Lekaslah selesaikan
peristiwa ini" "Tidak ada janji!" bentak Arya Lembang. Rupa dia malu
sekali karena dirinya telah dicengkeram tak berdaya di
hadapan prajurit2 pengiringnya, "serahkan jiwamu sebelum
kuambil tindakan keras"
Teja terbeliak. "Apa katamu" Senopati Arya Damar telah
mengucapkan janji hendak melepaskan kelima gadis yang
ditawan di perahu. Mengapa engkau hendak merusak
suasana perjanjian ini ?"
"Sudahkan engkau menagi h janji kepada kakang
tumenggung Arya Damar" seru Arya Lembang "tetapi aku tak
pernah berjanji kepadamu. Saat ini kalau engkau minta janji
kepadaku, akupun dapat memberi. Nah, dengarkanlah, aku
berjanji hendak mengambil jiwamu!"
"Wahai, orang Sriwijaya" sambut pedanda Teja
"demikianlah martabat dari seorang senopati" Yang seorang
telah memberikan janjinya, yang seorang menyangkal.
Siapakah sesungguhnya yang menjadi pimpinan pasukan
Sriwijaya itu?" "Sudah tentu kakang tumenggung Arya Damar" sahut Arya
Lembang "apapun yang telah dijanjikan kepadamu, tentu akan
dipenuhi kakang tumenggung. Tetapi akupun akan memenuhi
janjiku kepadamu tadi, mencabut nyawamu"
"Engkau hendak ingkar janji pemimpinmu!"
"Sama sekali tidak" sahut Arya Lembang "karena
pendirianku sejak kecil sampai menjadi senopati, akan
menghukum setiap manusia yang berbuat licik. Aku benci
dengan manusia pengecut seperti engkau"
"Engkau berani menganggu adikku!" seru Teja.
"Aku tidak mengganggunya tetapi hendak ku bawanya
pulang kujadikan isteriku. Bukankah keluargamu akan lebih
bahagia mendapat menantu seorang senopati?"
"Adikku sudah mempunyai kekasih. Kutahu dia tak mau
menikah dengan orang mancanagara!"
"Itu katamu, bukan kata gadis itu," masih Arya Lembang
membantah. Teja geram sekali. "Hm, adakah begitu cara orang
Sriwijaya, tingkah seorang senopati yang dihormati para
prajurit, memperistri anak gadis orang dengan membawa lari
secara paksa?" "Huh" dengus Arya Lembang marah, "begitukah cara
orang Bali, apabila seorang pemuda menyerang orang" Jika
memang seorang ksatrya, mengapa engkau menyerang aku
dari belakang" Bakankah itu cara seorang pengecut yang
licik?" Teja balas tertawa menghina, "Adakah perlu untuk
memberlakukan seorang manusia hina dengan cara seorang
ksatrya?" "Engkau pengecut!" teriak Arya Lembang.
"Untuk menghadapi seorang perampok gadis!" karena tak
tahan dimaki, akhirnya meluncurlah kata2 Teja yang kasar.
Sudah tentu Arya Lembang tak
kemarahannya. Dia adalah seorang
pasukan besar. Bagaimana mungkin ia
di hadapan prajurit2 anakbuahnya.
bertanding secara ksatrya!"
kuasa lagi menahan senopati dari sebuah dapat bertahan, dimaki "Keparat, hayo, kita
Arya Damar kuatir kalau terjadi sesuatu atas diri Arya
Lembang maka cepat ia mencegah. "Adi Lembang, mengapa
harus bertindak begitu?"
Sesungguhnya dalam kata2 Arya Damar itu terselip suatu
peringatan halus bahwa tak perlulah Arya Lembang berbuat
begitu, cukup memerintahkan prajurit2 pengiring untuk
menangkap Teja. Ia sendiri menghindari mengeluarkan
perintah itu karena sudah terlanjur berjanji kepada Teja. Yang
dapat dan kuasa serta bebas memberi perintah kepada prajurit
pengiring adalah Arya Lembang. Tetapi rupanya Arya
Lembang tak dapat menangkap isyarat yang diberikannya.
Atau mungkin karena masih berdarah panas, Arya Lembang
hendak menunjukkan kegagahannya dihadapan para
pengiringnya. "Harap kakang tumenggung jangan kuatir. Menghadapi
seekor lalat, cukup dengan menggerakkan sebuah jari tangan
saja" kata Arya Lembang dengan nada bangga.
Pedanda Teja tak mengucap sepatah kata. Ia tegak
bersiap dengan sikap tenang. Kemudian Arya Lembang
berkata pula, "Adakah engkau benar2 bersedia menghadapi
aku?" "Tidakkah engkau melihat bahwa aku masih berada di
sini" Jika takut, tentulah aku sudah mundur" sahut Teja.
"Bagus" seru Arya Lembang "untuk menghindari tuduhan
bahwa aku seorang senopati menghina seorang pedanda,
maka cobalah engkau katakan dengan cara apa kita lakukan
pertandingan ini?" "Aku seorang murid pedanda" sahut Teja "yang diajar
tentang ilmu ajaran agama, bukan ilmu berkelahi. Dalam hal
ini aku tak mempunyai permintaan apa2 dan hanya menurut
saja apa yang engkau kehendaki"
Arya Lembang terkesiap atas ketenangan pemuda itu.
Diam-diam ia menduga bahwa pemuda itu tentu memiliki ilmu
yang digdaya. Jika tidak, tak mungkin seorang diri dia berani
tampil menguasai seorang senopati, seorang diri pula berani
menghadapi rombongan pengiring senopati yang berjumlah
duapuluh orang. Namun rasa angkuh dan mengagulkan diri
dari Arya Lembang, cepat menindas semua getar2
kecemasannya. Ia merasa telah menyelesaikan ilmu
kedigdayaan dari gurunya seorang sakti dari pertapaan di
Talangbetutu, Palembang. Dan dari kedigdayaan itulah maka
ia berhasil diangkat sebagai senopati dan dipercayakan untuk
memimpin pasukan Sriwijaya ke Majapahit. Sudah banyak
musuh yang dihadapi dan dirubuhkannya, mengapa ia harus
gentar menghadapi seorang pedanda desa"
Tumbuhnya kepercayaan pada diri sendiri, memancarkan
keangkuhannya sebagai seorang senopati. Serentak ia
berseru, "Jika aku kalah, aku bersedia bunuh diri di
hadapanmu" "Tidak perlu" seru Teja "aku tak menghendaki jiwamu,
cukup jika engkau bebaskan kelima anak gadis itu dan
tinggalkan bandar ini"
"Tetapi bila aku menang, apa katamu?" balas Arya
Lembang. "Terserah kepadamu"
"Akupun tak menghendaki jiwamu tetapi cukup jika dapat
memperoleh gadis Tari sebagai isteriku" sahut Arya Lembang.
Teja hanya mendengus dan mempersilahkan Arya
Lembang segera mulai menyerangnya. Demikian setelah
putus pembicaraan, kedua anakrnuda itupun lalu mulai
berbicara dengan bahasa pertempuran. Serangan pertama
dibuka oleh Arya Lembang yang mengarahkan tinjunya ke
dada lawan. Tetapi ternyata serangan itu hanya bersifat
penjajagan. Maka selekas Teja mengisar ke samping, segera
Arya Lembang menghentikan tinju dan mengganti dengan
sebuah terkaman ke bahu. Namun Teja tiba2 mengendap ke
bawah dan balas menerkam lambung. Arya Lembang terkejut,
cepat ia loncat mundur. Babak permulaan itu mengejutkan sekalian prajurit2
pengiring Arya Lembang. Demikian pula Arya Damar. Ia tak
menyangka bahwa pedanda muda itu ternyata memiliki ilmu
kanuragan yang mengejutkan.
Arya Lembang tertawa dingin. Segera ia merobah gaya
serangannya dengan loncat menerkam dan menerjang. Ia
mengandalkan akan kedua tangannya yang keras. Oleh
gurunya ia mendapat latihan keras dalam ilmu pukulan
sehingga tulang2 tangannya amat keras sekali. Sampai pada
tataran tertentu, dapatlah ia menghantam pecah seekor kepala
kerbau. Krak ..... pada saat yang tak menyempatkan untuk
menghindar, Teja terpaksa menyongsong pukulan lawan.
Letupan dua kerat tulang yang saling beradu keras,
meruntuhkan keluhan dalam hati kedua lawan itu. Teja
merintih dalam hati karena lengannya serasa patah. Namun
kerut wajahnya tak kuasa menyembunyikan rasa sakit itu
hingga tampak kerut wajahnya meliuk-liuk. Sedangkan Arya
Lembang juga mengeluh dalam hati karena tinjunya telah
terdampar oleh tenaga yang dahsyat sehingga ia tersurat
mundur setengah langkah. Adu kekerasan tenaga itu telah memberi gambaran akan
nilai kekuatan keduanya. Dalam hal kerasnya tulang, nyata
Arya Lembang lebih unggul. Tetapi dalam hal tenaga, Teja
lebih menang. Keduanya cepat dapat mengetahui kelemahan
lawan dan kelemahan dirinya sendiri. Kini Arya Lembang
melancarkan serangan yang gencar. Ia memaksa lawan
supaya mengadu pukulan. Tetapi Teja pun tahu. Ia tak mau
terperangsang oleh serangan gencar dari lawan. Ia lebih
banyak melonjak dan melincah untuk menghindar dan mencari
kesempatan untuk balas menyerang.
Pertempuran pun berjalan makin seru. Arya Lembang
memang gagah perkasa. Dia difihak yang menyerang dan
tampak Teja sibuk mempertahankan diri. Kegiatan Arya
Lembang makin meningkat ketika prajurit2 pengiringnya
bersorak sorai memberi dorongan semangat.
Makin lama Teja makin terdesak. Diam2 ia memuji
kedigdayaan senopati muda dari Sriwijaya itu. Dalam pada itu
diam2 diapun menimang suatu keputusan. Apabila selalu
difihak yang diserang niscaya pada suatu saat, mungkin ia
terkena atau lambat menghindar, tentulah akan menderita
kekalahan. Sebelum hal itu terjadi baiklah ia menggunakan
siasat, memancing lawan supaya menerkamnya. Pada saat itu
ia tak perlu menguatirkan tinju lawan yang keras dan dapat
balas menerkam lawan. Apabila terjadi terkam menerkam,
jelas ia tentu dapat mengatasi lawan karena ia lebi h kuat
dalam kekuatan tenaga. Sesaat ia hendak melaksanakan rencananya, tiba2 dari
arah belakang terdengar lengking teriakan memanggil
namanya, "Kakang Teja ..." Teja cepat dapat mengenali nada
itu sebagai suara adiknya, ni Tari. Ia pun berpaling karena
ingin melihat bagaimana keadaan Tari. Memang walaupun
termasuk seorang anak yang nakal, pemalas dan suka
berkelana, tetapi Teja paling mengasi hi adiknya. Demikian
pula ni Tari, ia paling sayang akan kakaknya yang kedua itu.
Kesempatan itu dapat diketahui Arya Lembang. Ia tak mau
mensia-siakan peluang itu. Dengan sekuat tenaga, ia
menghujamkan tinju ke dada Teja.
"Kakang, dia hendak memukulmu ..." ni Tari menjerit keras
ketika melihat betapa seram wajah Arya Lembang dikala
mengayunkan tinju itu. Teja terkejut dan menyadari. Hendak loncat menghindar
sudah tak sempat, hendak menangkispun terlambat. Dalam
keadaan berbahaya ia masih berusaha untuk mengisar tubuh
ke samping. Duk .... bahu kirinya termakan tinju Arya
Lembang. Seketika itu pula Teja terdampar ke belakang dan
rubuh. Arya Lembang menyeringai. Ia cepat loncat
menghampiri dan menginjak dada Teja.
"Kakang ..." ni Tari menjerit pula dan hendak lari
menerkam Arya Lembang. Ia tak menghiraukan suatu apa
lagi, adakah ia nanti dibunuh atau di pukul Arya Lambang.
Tetapi sebelum langkah diayun, tiba2 terdengar Arya
Lembang memekik kejut dan terpelanting jatuh.
Ternyata Teja telah mendapat kesempatan baik walaupun
harus menderita kesakitan. Ketika kaki Arya Lembang berayun
hendak menginjak dadanya, dengan kecepatan yang tak
terduga, Teja segera menyambar kaki senopati itu, terus
disentakkan sekuat-kuatnya. Dan selekas Arya Lembang
rubuh, Tejapun melenting bangun dan mencekik tengkuk
senopati itu lalu tubuhnya diangkat tinggi siap hendak
dilontarkan, "Tunggu!" Arya Damar serentak berseru cemas "jika
engkau berani membunuhnya, duapuluh ribu prajurit Sriwijaya
yang berada dalam perahu akan kuperintahkan untuk
meratakan bandar Kuta ini"
"Teja, turunkanlah!" tiba2 terdengar pula seseorang
berseru nyaring. Teja mengenali suara itu sebagai kakaknya,
Gde Puja. Pelahan lahan wajahnya yang merah membara
mulai meredup dan tangannya pun mulai menurunkan tubuh
Arya Lembang. "Teja, lepaskanlah dia" seru Puja pula kepada adiknya.
Teja berpaling kearah kakaknya. "Mengapa, kakang"
Adakah engkau takut akan akibatnya" Akulah yang
bertanggung jawab semua ini"
"Bukan, adikku" kata Puja "lepaskan, mereka tentu segera
angkat kaki dari sini"
Teja tertawa tak bersuara, "Tak mungkin, kakang. Mereka
mengandalkan prajuritnya yang berjumlah puluhan ribu"


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biarlah, Teja, percayalah kepadaku. Mereka tentu akan
bergegas tinggalkan tempat kita"
Rupanya Puja mempunyai pengaruh juga kepada adiknya.
Teja pun melepaskan tubuh Arya Lembang ke lantai dan
pelahan-lahan beringsut mundur ke tempat ni Tari.
"Ki tumenggung Arya Damar" seru Puja "kunasehati
lekaslah tuan membawa senopati Arya Lembang dan
pengiring2 tuan kembali ke perahu"
"Mengapa, ki sanak?" Arya Damar heran.
"Saat ini orang orangku tengah melubangi bagian bawah
dari perahu2 tuan. Tak berapa lama lagi perahu2 tuan itu
berlubang dan akan digenangi air ....."
"Ki sanak!" teriak Arya Damar seperti terpagut ular.
"Ki tumenggung, waktu amat berharga. Jika tuan tak lekas
kembali, perahu-perahu tuan tentu kemasukan air dan
tenggelam di perairan Kuta"
Arya Damar marah sekali. "Jika anakbuahku mati, kalian
sekeluargapun akan kupenggal kepala semua"
Puja tertawa "Sekalipun ayam, kalau ayam Bali juga sukar
disembelih. Apa pula kami manusia Bali. Tetapi ingat, ki
tumenggung, mati keluarga Sugriwa masih layak untuk
duapuluh ribu prajurit2 Sriwijaya. Karena walaupun dapat
berenang ke tepi, tetapi telah kusiapkan rakyat dan orang
orangku untuk menyambut mereka dengan anakpanah"
Tergetar hati Arya Damar mendengar kata2 itu.
Sesungguhnya ia tak mengerti tentang hilangnya kelima gadis
itu. Menilik keterangan pedanda Teja dan Puja, ia curiga
memang prajurit2 Sriwijaya di perahu itulah yang melakukan.
Sebagai seorang yang bertanggung jawab atas keselamatan
prajurit2 Sriwijaya, sudah barang tentu Arya Damar tak
menghendaki apa yang diucapkan Puja itu akan terlaksana. Ia
menimang lebi h lanjut, bahwa kelima gadis itu tiada artinya
dengan keseluruh pasukan Sriwijaya yang dibawanya. "Baik,
Puja" akhirnya ia mengalah "engkau harus percaya bahwa aku
tak tahu menahu tentang perbuatan anakbuahku yang berada
di dalam perahu karena selama ini aku menginap di rumah
ayahmu" "Itulah sebabnya maka akupun melarang adikku Teja
untuk mencelakai senopati Arya Lembang dan masih memberi
kesempatan kepada ki tumenggung untuk melepaskan gadis2
itu" sahut Puja. "Baik" akhirnya Arya Damar menerima "mari kita ke pantai"
ia mengajak sekalian pengiringnya. Karena
kuatir menimbulkan persoalan lagi maka Arya Damar memberi
perintah supaya Arya Lembang jangan diberi pertolongan
melainkan diangkat ke perahu.
Bukan kepalang marah Arya Damar ketika mengetahui
perbuatan prajurit Rakata dan kawan kawannya yang telah
membawa kelima gadis Kuta yang sedang mandi di laut.
Rakata mengatakan bahwa ia telah mendapat idin dari
pratyaya Sebuku. Arya Damar menitahkan supaya pratyaya
Sebuku dan prajurit-prajurit yang bersalah itu dihukum mati.
"Mereka telah melanggar peraturan pasukan sehingga
menyebabkan senopati mendapat hinaan orang Kuta" kata
Arya Damar. Dengan menjatuhkan hukuman mati itu, Arya Damar
hendak menegakkan kewibawaan peraturan prajurit dan
sekalian kewibawaannya sendiri. Tetapi ia tak menyadari
bahwa walaupun tampaknya prajurit2 itu takut dan taat tetapi
ada beberapa yang tak puas terhadap tindakan Arya Damar
yang dianggap takut kepada orang Kuta. Salah seorang yang
tak puas itu adalah perwira Sidempu. Ia malu karena
mendapat teguran dari Arya Damar bahwa sebagai seorang
perwira, ia tak mampu menguasai anakbuahnya. Memang
Rakata dan beberapa prajurit itu, termasuk anakbuah
Sidempu. Shanti dan keempat kawannya telah diantar dengan
perahu kecil ke daratan dan Arya Damar pun menuntut supaya
lubang2 pada perahu2 itu ditutup. Setelah semua perbaikan
selesai, Arya Damar memerintahkan armada berangkat ke
timur. Mereka hendak pindah dari Kuta ke Sanur.
Pertemuan kelima gadis dengan kawan-kawannya yang
telah menunggu di pantai berlangsung dalam suasana
mengharukan dan gembira. "Ketika sedang menyelam, tiba2 kaki kami seperti ditarik
orang. Kami meronta tetapi tak berhasil bahkan karena
terminum air kamipun pingsan. Ketika sadar ternyata kami
sudah berada di atas sebuah perahu besar, dikerumuni oleh
beberapa prajurit yang memandang kami dengan tertawa"
demikian keterangan kelima gadis itu.
"Lalu ?" tanya Puja.
Kelima gadis itu merah mukanya. Shanti menjawab
dengan kemalu maluan, "Mereka teramat kurang ajar sekali.
Ah, kami berlima telah dijadikan bulan-bulanan kekurang
ajaran mereka. Karena malu aku nekad hendak loncat ke
dalam laut tetapi tertangkap. Kedua tangan dan kakiku diikat.
Mereka hendak merusak kehormatanku" wajah Shanti makin
merah dan menunduk, "tetapi mereka saling berebut dan
akhirnya terjadi perkelahian. Perkelahian itu menimbulkan
keributan besar sampai kemudian pemimpin mereka turun
tangan. Kami berlima ditempatkan disebuah tempat yang
dijaga oleh beberapa prajurit"
"Untuk apa?" tanya Puja pula.
"Kami dijadikan sebagai tawanan. Menurut percakapan
beberapa prajurit penjaga itu, pemimpin mereka hendak
menjadikan kami sebagai barang hadiah kepada siapa nanti
yang dalam peperangan berjasa paling besar" kata Shanti
"tetapi semalam telah terjadi perobahan yang berbahaya.
Penjaga membuka pintu dan hanya mengeluarkan aku
seorang. Katanya, aku akan dibawa ke tempat pemimpin
mereka. Aku tak mau dan melawan tetapi apa dayaku.
Akhirnya aku dapat diikat dan dipanggul prajurit itu. Ketika
berjalan melalui lorong geladak tiba2 sesosok bayangan hitam
menyerang prajurit itu. Setelah prajurit itu rubuh lalu diikat
pada tiang dan kemudian ia membawa aku ke dalam tempat
tutupan lagi. Dia pesan supaya aku dan kawan2 waspada.
Besok tentu akan dibebaskan"
"Siapakah orang itu?" tiba2 ni Tari bertanya.
"Made Teja" seru Shanti lalu berpaling mengobarkan
pandang mencari "ah, kemanakah kakang Teja?"
Tari pun terkejut demikian pula dengan Puja dan beberapa
orangnya. Jelas tadi Teja ikut dalam rombongan mereka ke
pantai tetapi mengapa saat itu ia tak tampak. Seorang lelaki
tua dalam rombongan itu segera tampil dan menyerahkan
sepucuk surat kepada Puja. Puja cepat membacanya dan
menghela napas. "Ah, anak itu sudah kembali ke pura Ulu Atu" kata Puja
"dia jugalah yang mengajarkan kepadaku tentang rencana
melubangi dasar kapal orang Sriwijaya. Dan dia pula yang
menolong kelima gadis itu"
"Ya" kata ni Tari "jika kakang Teja tak muncul saat itu, aku
tentu sudah dibawa ke perahu orang Sriwijaya. Rama harus
diberitahu hal ini agar janganlah membenci kakang Teja"
"Bukan hanya itu saja" sambut Shanti "kami berlima telah
bersepakat akan beramai-ramai menghadap Made Teja di
pura Ulu Atu dan menghaturkan sesaji pada para dewa di kuil
itu" Rencana Shanti itu cepat mendapat sambutan gegap
gempita dari sekalian orarg. Mereka akan merencanakan
menghaturkan sesaji besar-besaran ke pura Ulu Atu dan
beramai ramai akan menghaturkan terima kasih kepada Made
Teja sebagai pahlawan kota Kuta.
Apabila rombongan rakyat yang membawa kelima gadis itu
bersuka ria menuju ke kelurahan, adalah Arya Damar tampak
bermuram durja di atas perahu. Tak lama kemudian Arya
Lembang pun tersadar. Rupanya karena marah, Teja telah
mencengkeram tengkuk senopati itu kuat2 sehingga Arya
Lembang tak dapat bernapas dan pingsan.
Senopati muda itu terkejut manakala mendapatkan dirinya
berada dalam perahu. Segera ia lari keluar dan mendapatkan
Arya Damar yang masih bertopang dagu.
"Kakang Damar, bagaimana ini?" serunya.
"Kita menuju ke lain bandar" jawab Arya Damar "kita kalah
janji dengan orang Kuta"
Atas permintaan Arya Lembang, Arya Damar pun
menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi. Ketika
mendengar tentang hukuman mati yang dijatuhkan pada
Sebuku dan beberapa prajurit, Arya Lembang terkejut, "Ah,
apakah hukuman itu tidak terlalu berat bagi mereka?"
Arya Damar cepat menindas sesuatu yang mungkin
menimbulkan ketidak puasan hati Arya Lembang. "Adi
Lembang, mereka telah melanggar peraturan keprajuritan.
Kedua, mereka telah mencontreng muka pimpinan tanpa
pimpinan mengetahui apa yang telah mereka lakukan"
0odw-mcho0 Alun alun keraton Bedulu penuh dengan prajurit2 dari
kelompok2 pasukan Bedulu yang mengenakan beraneka
ragam pakaian dan senjata. Mereka tegak berjajar dalam
kelompok barisan masing2.
Sepanjang jalan dari pintu gapura ke pendapa agung,
penuh dengan bermacam juada, umbul2 dan petaka-petaka,
diseling dengan hiasan daun janur dalam bermacam bentuk
dan corak. Sepasukan prajurit bhayangkara dengan senjata tombak
terhunus, tegak berjajar di pintu pendapa. Gamelan bertalu
nyaring melagukan irama penyambutan tamu agung ketika
perutusan Majapahit yang dikepalai patih Dipa tiba.
Patih Kebo Warung yang merangkap juga sebagai
senopati pasukan Bedulu, menyambut kedatangan rombongan
patih Dipa dengan upacara adat. Setelah itu maka kedua patih
itupun segera masuk ke pendapa agung, langsung menuju ke
balairung. Diam2 patih Dipa terkesan oleh penyambutan yang
dilakukan kerajaan Bedulu. Mereka telah menyambut dengan
layak dan meriah. Namun di balik kemeriahan itu, ada sesuatu
yang menimbulkan serangkai kesimpulan. Kemeriahan itu,
bukan suatu kemeriahan suasana pesta penyambutan
melainkan lebi h cenderung pada kemeriahan suasana
perkemasan perang. Ia terkejut ketika melihat bahwa patih
Kebo Warung tidak mengenakan busana kebesaran sebagai
seorang patih, melainkan sebagai seorang senopati. Demikian
pula dengan para hulubalang, nayaka dan prajurit2.
Dan kejut patih Dipa makin meningkat manakala ia
berhadapan dengan baginda Pasung Rigih yang saat itu
mengenakan busana kebesaran yang cemerlang. Baginda
duduk di sebuah singgasana bertatah ratna mutu manikam.
Singgasana itu terletak di atas sebuah persada dari batu
marmar hijau yang berukirkan delapan ekor naga bermahkota,
kepala dan ekor kedelapan ular naga itu terjalin satu sama
lain. Di kanan kiri baginda, tegak dua orang pengawal yang
bertubuh tinggi besar. Baginda dihadap oleh segenap mentri nayaka dan
hulubalang kerajaan. Suatu pasewakan atau perapatan besar
telah dilangsungkan dalam menerima utusan kerajaan
Majapahit. Setelah mengunjuk hormat maka patih Dipa dan
rombongan, dipersilahkan duduk di hadapan raja. Patih Dipa
membawa duapuluh pengawai termasuk ketiga anakmuda
cucu dari empu Kapakisan. Selesai menghaturkan sembah,
maka raja Bedulu lalu menitahkan supaya patih Dipa
menghaturkan maksud kedatangannya.
Setelah menyampaikan salam keselamatan dari baginda
Jayanagara maka patih Dipa pun menghaturkan pula firman
baginda yang termaktub dalam sepucuk surat kepada raja
Bedulu. "Patih Kebo Warung, terimalah surat itu dan bacalah" titah
raja Bedulu. Kebo Warungpun segera menerima surat itu dan
mulai membaca. Isinya tak lain suatu amanat dari baginda
Jayanagara di Majapahit untuk raja Bedulu dan seluruh rakyat
Bali, agar selalu mendapat rahmat dan petunjuk dewata dalam
menjalankan kebijaksanaan memerintah kerajaan Bedulu.
Dalam mendengarkan pembacaan itu, patih Dipa diam2
memperhatikan tanggapan terutama dari raja lalu para mentri
dan suasana dalam perapatan agung saat itu. Dilihatnya raja
Bedulu tenang2 saja mendengar bunyi surat itu, seolah
mendengar suatu berita yang sepi.
Kemudian patih Kebo Warung melanjutkan :
Bahwa hubungan yang erat antara kerajaan Jawadwipa
dengan Bali yang dilahirkan sejak jaman kerajaan Panjalu,
tumbuh sampai pada jaman Singasari, hendaknya
berkembang terus hingga kini, antara kerajaan Majapahit
yang tegak jaya dibawah kebijaksanaan kami, Jayanagara
yang bertegak nama penobatan sebagai Isywara Sundara
pandiadewa, yang telah mempersatukan daerah kerajaan
Panjalu: Daha, Jenggala serta Kahuripan, dan daerah
kekuasaan meliputi seluruh nuswantara. Bahwa hendaknya raja Pasung Rigih yang telah mendapat restu
kami untuk memerintah di kerajaan Bedulu, Bali, dapat
melaksanakan hubungan itu dengan berkunjung ke pura
Majapahit menghadap kami. Agar hubungan yang telah
tumbuh selama berabad abad itu tetap kekal dan sejahtera
dalam naungan kami. Semoga Dewata Agung melimpahkan berkah.
Tertanda Jayanagara, Wil watiktanata bergelar abiseka Sri Isywara
Sundarapandiadewa. Pada saat Kebo Warung selesai membaca, maka
terdengarlah raja Pasung Rigih berbatuk-batuk, cahya
wajahnyapun bertebar merah. Suasana hening lelap sehingga
terdengar nafas2 yang memburu keras dari para mentri
nayaka yang berada dalam ruang balairung itu.
Patih Dipa cepat menanggapi bahwa suasana mulai
meningkat tegang. Yang jelas, ia memperhatikan bagaimana
patih Kebo Warung dalam membacakan kalimat2 terakhir


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada surat itu, telah berganti nada. Penuh kemarahan dan
cemoh. "Baginda" seru patih Kebo Warung sambil menghunjuk
sembah "hamba telah selesai melakukan titah paduka. Mohon
paduka menurunkan titah lebih lanjut kepada hamba"
"Adakah harus kuberikan titah lagi kepadamu, patih ?" seru
raja Pasung Rigih. Patih Kebo Warung terkesiap.
"Paduka belum melimpahkan titah, gusti" sembah patih itu
pula. Raja Bedulu tertawa, "Kebo Warung, cobalah engkau
jawab pertanyaanku. Engkau seorang patih, patih dari
kerajaan manakah engkau ini ?"
Patih Kebo Warung terbeliak. Namun dijawabnya juga,
"Sudah tentu dari kerajaan paduka di Bedulu gusti"
"Adakah Majapahit?" kerajaan Bedulu itu dibawah kekuasaan "Tidak, gusti" sahut patih Kebo Warung dengan tegas
"sepengetahuan hamba, kerajaan Bedulu sudah berdiri
beratus tahun dengan bebas dan berdaulat"
"Benarkah ini surat dari raja Majapahit yang mengatakan
bahwa kerajaan Majapahit kekuasaannya meliputi daerah
seluruh nuswantara?"
"Raja Majapahit bebas mengatakan demikian, gusti" sahut
patih Kebo Warung "tetapi hamba tak merasa bahwa kerajaan
paduka di Bedulu ini, dibawah naungan Majapahit"
"Layakkah jika aku, rajamu, harus menghadap raja
Majapahit?" "Sangat tidak layak, gusti" sahut patih Kebo Warung
dengan serentak "karena hal itu merupakan suatu titah agar
paduka mengakui raja Majapahit sebagai maharaja yang
memberi naungan kepada kerajaan Bedulu"
"Adakah sudah engkau pertimbangkan segala akibat dari
jawabanmu itu, Kebo Warung?"
"Hamba lahir, dibesarkan dan mengabdi pada kerajaan
Bedulu. Seluruh jiwa dan raga hamba adalah milik Bedulu.
Akan hamba serahkan demi membela kerajaan Bedulu"
Raja Pasung Rigih tertawa. "Jika engkau sudah menyadari
akan kesemua itu, adakah yang masih akan kutitahkan
kepadamu lagi?" Kebo Warung terbeliak, "adakah paduka maksudkan
supaya hamba menolak isi surat raja Majapahit itu, gusti?"
serunya bergopoh memberi sembah.
"Hm" desuh raja Pasung Rigih "apakah perlu harus
kukatakan lagi" Kecuali engkau menghendaki rajamu tunduk
kepada Majapahit" "Baik, gusti" setelah memberi sembah kepada raja maka
patih Kebo Warung segera berpaling menghadap patih Dipa.
"Ki patih, surat dari baginda raja di Majapahit telah kami
terima. Jelas sudah maksudnya. Tetapi yang mulia baginda
raja kami, tidak berkenan meluluskan titah bagi nda di
Majapahit. Karena, pertama baginda raja kami tak merasa
terikat oleh suatu keharusan untuk menghadap ke pura
Majapahit. Kedua kali, baginda raja kami ingin menikmati
ketenangan dan kesejahteraan dalam kerajaan Bedulu.
Baginda tak ingin melakukan perjalanan keluar yang jauh."
Patih Dipa yang sejak tadi mengikuti percakapan antara
raja Pasung Rigih dengan patih Kebo Warung, terkejut dan
cepat dapat menduga bahwa raja Pasung Rigih tentu akan
menolak titah raja Majapahit. Soal penolakan adalah hak bagi
raja Pasung Rigih untuk menentukan. Tetapi patih Dipa tak
setuju akan sikap dan cara raja Bedulu itu memperlakukan
seorang utusan. "Adakah demikian jawaban baginda Bedulu?"
"Ya, demikian" jawab Kebo Warung.
"Tetapi ki patih" kata patih Dipa, "surat itu dari baginda
Majapahit kepada baginda di Bedulu. Apapun titah jawaban
dari baginda Bedulu, selayaknyalah kalau ditulis pula agar
dapat kuhaturkan kebawah duli baginda di Majapahit"
Kebo Warung tertegun. Memang pernyataan patih
Majapahit itu benar. Namun jelas sudah bahwa raja Bedulu
telah menyerahkan kekuasaan untuk menolak isi surat dari
Majapahit. Tak mungkin raja Bedulu akan meluluskan untuk
membalas dengan surat. Ia harus mengatasinya sendiri.
"Ki patih" kata Kebo Warung "bahwa kami hormati tuan
sebagai duta nata Wilwatikta, adalah sudah suatu
penghormatan yang besar apabila menilik bunyi surat baginda
Majapahit yang sedemikian terhadap bagi nda raja kami. Maka
jika baginda Bedulu tak berkenan membalas surat dan cukup
dengan kata2 saja, kiranya sudah layak"
Patih Dipa menyanggah, "Tetapi yang berucap itu adalah
tuan, ki patih, bukan baginda raja Bedulu sendiri"
Merah wajah patih Kebo Warung mendengar kata-kata
patih Dipa. Ia merasa terhina, "Maksud ki patih, kata-kataku itu
tiada tuan anggap ?"
Beberapa nayaka dan hulubalang tampak memberingas.
Berpuluh puluh pandang mata mereka mencurah kearah diri
patih Dipa. Namun patih Dipa tetap bersikap tenang. "Ki patih"
serunya dengan nada yang tak berobah "kedatangan ke
Bedulu ini membawa rasa persahabatan dan kedamaian. Dan
aku hanyalah sebagai duta dari sang nata Majapahit. Apabila
baginda di Bedulu tak berkenan melimpahkan sepucuk surat
balasan, tidakkah layak apabila aku memohon sepatah titah
dari baginda sebagai jawaban yang akan kuhaturkan kepada
baginda di Majapahit?"
"Baginda raja Pasung Rigih telah melimpahkan kekuasaan
kepadaku untuk menjawab," seru patih Kebo Warung.
"Maaf, ki patih" kata patih Dipa, "tuan rupanya salah faham
dengan perkataanku. Surat itu dari baginda raja Majapahit,
seyogya baginda di Bedulu yang menjawab"
"Surat itu dikuasakan kepada ki patih sebagai duta, apa
salahnya kalau baginda raja Bedulu juga menguasakan
kepadaku, patih Bedulu, untuk memberi jawaban ?"
Patih Dipa terkesiap. Memang sepintas, kata-kata patih
Bedulu itu beralasan. Tetapi sesungguhnya hal itu merupakan
suatu hal yang diada-adakan. Bukankah raja Bedulu sudah
hadir di balairung, mengapa tak mau langsung memberi titah
kepadanya" Bukankah sikap raja Bedulu terlalu congkak"
Hampir saja meluaplah kemarahan patih Dipa. Tetapi pada
lain kejab ia mengakui bahwa surat dari baginda Jayanagara
itu memang dapat menyinggung perasaan seorang raja.
Bahwa raja Bedulu bersikap keras, memang sukar
dipersalahkan. Namun sebagai seorang narpati atau utusan
seorang raja, patih Dipapun harus melaksanakan titah.
Betapapun apabila sudah tak mungkin diselesaikan dengan
jalan damai, ia terpaksa harus melakukan titah baginda untuk
menggempur Bedulu. "Ki patih" serunya "tak mungkin baginda di Majapahit akan
mengirim surat sedemikian isinya apabila dahulu sebelumnya
tiada hubungan suatu apa antara kerajaan Jawadwipa dengan
Bedulu" Patih Kebo Warung tertawa, "O, mungkin hal itu terjadi
pada jeman prabu Kertanagara dari Singasari. Tetapi kini
Singasari sudah lenyap dan di Jawadwipa telah berganti
beberapa kerajaan. Jika Majapahit menginginkan hubungan
dengan Bedulu, haruslah hubungan itu atas dasar
persahabatan, bukan suatu naungan Majapahit kepada
Bedulu" Patih Dipa mengangguk, "Benar. Tetapi kerajaan
Majapahit menginginkan untuk mempersatukan nuswantara.
Karena hanya dengan persatuan dan kesatuan itu, kita akan
kuat dan jaya" "Mengapa tidak Bedulu yang menjadi pimpinan persatuan
itu?" balas Kebo Warung.
"Ki patih" seru patih Dipa "jangan kita terhanyut dalam
rangsang perasaan tetapi hendaknya kita melihat kenyataan.
Ini urusan negara, urusan rubuh tegaknya seluruh bangsa.
Bagaimana mungkin Bedulu dapat menguasai seluruh
nuswantara" Majapahit dapat memenuhi syarat2 kepemimpinan itu. Daerahnya luas, memiliki rakyat berjuta-juta
dan pasukan perang yang kuat"
Mata patih Kebo Warung membelalak lebar. Ia marah
sekali mendengar ucapan patih Dipa yang dianggapnya
menghina kerajaan Bedulu. Namun sebelum ia sempat
menumpah kata2, tiba2 raja Pasung Rigih berseru, "Hai
utusan Majapahit, jangan engkau lancung mulut. Walaupun
kecil, tetapi kerajaan Bedulu diperintah oleh raja dari Bali yang
aseli. Tidak seperti halnya Majapahit, rajanya bukan aseli
keturunan orang Majapahit atau Singasari atau kerajaan lain di
Jawa-dwipa yang lampau"
Merah telinga patih Dipa mendengar hinaan raja Bedulu itu
kepada baginda Jayanagara, "Ayahanda baginda adalah
ksatrya Majapahit aseli"
"Tetapi ibunya puteri Malayu !" seru raja Bedulu.
"Tetapi jelas baginda Majapahit itu putera Majapahit sejati"
"Hai, utusan Majapahit, dengarkanlah" raja Bedulu mulai
murka "kerajaan Bedulu sebuah kerajaan yang bebas
merdeka. Bedulu menolak campur tangan lain kerajaan yarg
hendak menguasai Bedulu. Apalagi apabila kerajaan itu
diperintah oleh raja yang berdarah keturunan dari lain negara"
Seketika suasanapun tegang. Beberapa prajurit yang
menjaga balairung itu, mulai merabah tangkai senjata masing2
demi melihat wajah patih Dipa merah padam.
"Dengan demikian, paduka menolak isi surat dari baginda
Majapahit ?" tiba2 patih Dipa mengulang penegasan.
"Sudah cukup jelas pendirianku" sahut raja Bedulu.
"Baik, gusti" kata patih Dipa "jika demikian hamba mohon
diri akan kembali kepasukan hamba"
Raja Bedulu terkejut, "Adakah engkau membawa pasukan
kemari ?" Patih Dipa mengiakan. "Apa titah-rajamu ?"
"Apabila paduka tak berkenan meluluskan titah baginda
raja Majapahit maka hamba diberi wewenang untuk
menyerang kerajaan Bedulu" kata patih Dipa dengan tenang,
mantap dan tak gentar. Raja Bedulu, patih Kebo Warung dan seluruh mentri
nayaka kerajaan Bedulu terkejut. Terdengar hiruk pikuk suara
menggeram. "Hm" raja Bedulu mendengus "engkau percaya akan
mampu mengalahkan kerajaan Bedulu?"
"Hamba hanya melakukan titah bagi nda junjungan hamba.
Dan hamba akan melaksanakan titah itu sebaik-baiknya, gusti"
kata patih Dipa. Merah padam wajah raja Bedulu seketika. Rupanya Kebo
Warung tak kuasa lagi menahan kemarahannya. Sebelum
mendapat titah raja, ia sudah berseru memberi perintah
kepada para hulubalang, "Tangkap utusan Majapahit itu!"
Para hulubalang dan kelompok prajurit bhayangkara yang
bersenjata lengkap serentak berhamburan menghampiri patih
Dipa. Berpuluh-puluh ujung pedang dan tombak mengarah
kepada patih Dipa. "Serahkan dirimu ....... !"
-dwkz-mch-ismoKe jilid 41
MANGGALA MAJAPAHIT Gajah Kencana Oleh : S. Djatilaksana (SD. Liong)
Sumber DJVU : Koleksi Ismoyo
http://cersilindonesia.wordpress.com/
Convert, Edit & Ebook : MCH & Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info http://cerita-silat.co.cc/
JILID 41 I TAKUT merupakan bayang-bayang yang mempunyai kaitan dengan rangkaian2 kesan dan khayalan. Apabila kita dapat
membebaskan diri dari segala kesan akan peristiwa
yang kita alami, kemudian
menghapus pikiran2 dari kelanjutan bayang2 peristiwa itu, kiranya rasa
takut itu takkan membayang
lagi pada hati kita. Takut, seperti lain2 derita perasaan, akan mengejar dan membayangi pikiran kita apabila kita berusaha untuk melarikan diri. Namun
apabila kita berhenti menghadapinya, mencari sebab musabab
rasa takut itu dalam keheningan pikiran kemudian
mengosongkan hati kita dari segala kesan dan kesimpulan,
takutpun akan hilang. Ataupun kalau masih menggunduk, tak
lain hanya merupakan bayang2 yang hampa.
Karena sejak kecil sudah mendengar cerita orang2 tua
bahwa yang disebut setan dan hantu itu mahluk yang
menyeramkan dan hitam warnanya, bahwa bangsa setan dan
hantu itu tinggal ditempat yang gelap, yang sepi, yang seram
dan keluarnya tentu pada malam hari, dan dan lain2. Maka


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesan2 itu akan dibawa dan melekat pada pikiran anak hingga
dia dewasa bahkan menjadi orang tua. Dia takut berjalan di
tempat gelap pada malam hari. Dia takut lewat di tempat yang
sepi atau seram macam di tempat pekuburan.
Kesan dari apa yang didengarnya mengenai setan dan
kelanjutan dari kesimpulan dan rangkaian pemikirannya
bahwa setan itu suka mencekik orang, suka minum darah
manusia dan lain2, menjadikan orang itu seorang manusia
yang takut pada bayang2 hitam, takut berjalan ditempat gelap.
Karena bayang2 rasa takut itu berasal dari bayang2 pikirannya
sendiri, selama ia tak mau menghentikan dan menghapusnya,
dia tetap akan dikejar dan dibayangi rasa ketakutan. Pada hal
sejak kecil sampai tua, belum pernah sekali saja melihat setan
dengan mata kepala sendiri. Dia melihat bukan dengan mata
tetapi dengan khayal pikirannya.
Rasa takut, bukan terbatas terhadap setan atau hantu, pun
terhadap lain2 hal yang menyebabkan kita takut. Demikian
seperti yang dialami patih Dipa dikala menghadap raja Bedulu.
Patih Dipa juga terserang beberapa macam rasa takut.
Sebagai seorang panglima angkatan laut Majapahit, ia belum
mempunyai pengalaman sama sekali. Baru pertama kali itu ia
berlayar di lautan. Sebagai seorang duta sang nata, ia takut
karena belum pernah memangku jabatan semacam itu.
Sebagai senopati dari angkatan perang gabungan, pasukan
Majapahit dan Sriwijaya, ia-pun belum pernah. Belum
mempunyai pengalaman dalam memimpi n suatu pasukan,
apalagi yang sebesar itu. Sumber dari pada rasa takut yang
mencengkam hatinya itu. tak lain adalah karena rasa kuatir
akan gagal. Kegagalan itu akan berakibat besar. Apabila ia
harus mati dalam kegagalan itu, iapun rela dan menerima.
Tetapi ia takut apabila kegagalan itu akan menghancurkan
kewibawaan kerajaan Majapahit. Hancurnya kewibawaan
Majapahit tentu menimbulkan akibat2 yang lebih parah.
Kekalahan Majapahit dari kerajaan Bedulu itu pasti akan
mencanangkan ledakan yang akan menggempa daerah2
kekuasaan Majapahit. Akan membangkitkan adipati2 di
pesi.sir dan daerah2 yang tak suka kepada baginda, untuk
berontak melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Bayang2 takut timbul dari kesan setelah ia mengalami
peristiwa pemberontakan Dharmaputera. Betapa perasaannya
kala ia harus mengawal baginda meloloskan diri dari
kepungan pemberontak. Kesan itu tumbuh dan berkembang
suatu rangkaian bayang2 lebih lanjut bahwa demikianlah
jadinya apabila kerajaan Mijapahit sampai diserbu oleh
mereka yang tak suka kepada baginda, termasuk adipati2
pesisir. "Dipa, ada kalanya batin kita tersibak oleh suatu peristiwa
sehingga kita mengalami kekacauan batin, keruh pikiran dan
kegelisahan. Ibarat air bah, jangan engkau bendung.
Percuma. Tentu akan bobol bendungan itu. Tetapi carilah
penyebab dari banjir itu pada sumber sungai. Usaha untuk,
melarikan diri atau menghindar dari kegelisahan itu hanya
ibarat bendungan yang engkau lakukan pada air bah. Hanya
sementara sifatnya. Setiap kali bendungan itu longsor maka
air bah atau rasa kegelisahan itu akan meluap lagi. Tetapi
apabila engkau menghadapinya, mencari tahu sebab
penyebab dari kegelisahanmu itu, engkau tentu akan
menemukannya. Disitu, tanpa perlu engkau bendung atau
hindari lagi, engkau tentu terbebas dari rasa gelisah."
Demikian pesan brahmana Anuraga yang selalu dikenang
Dipa dikala ia menghadapi kesulitan dan kegelisahan.
"Mengapa aku dicengkam rasa takut?" mulailah ia
bertanya jawab "karena aku kuatir gagal sehingga
mendatangkan malapetaka pada kerajaan Majapahit"
Kemudian bertanya pula, "Mengapa aku takut gagal" jawabnya
"karena aku tak punya pengalaman"
"Benarkah itu" Benarkah aku tak punya pengalaman sama
sekali" Jika tak punya pengalaman, mengapa aku diangkat
baginda sebagai duta, dipercayakan memimpin armada
Majapahit?" "Ah, bagi nda tentu menilai pekerjaanku selama menjabat
patih di Kahuripan dan Daha. Aku tak merasa mempunyai
pengalaman tetapi orang menganggap aku sudah berpengalaman" katanya lebih lanjut. Kemudian ia bertanya
pula "Apakah sesungguhnya pengalaman itu?" Dan renungan
mencapai suatu titik pengertian bahwa pengalaman itu adalah
kesan dari sesuatu yang kita rasakan, lihat, dengar dan
mengalami, kemudian kita hayatkan dalam suatu kesimpulan
yang dapat kita jadikan pedoman. Walaupun sifat suatu hal
atau peristiwa itu berbeda satu sama lain sehingga tak dapat
pengalaman dari sebuah peristiwa kita terapkan pada lain
peristiwa yang walaupun sama keadaannya, namun paling
tidak pengalaman dari sesuatu yang lampau dapat membantu
untuk menyelesaikan peristiwa yang kita hadapi.
Setelah tiba pada titik penyimpulan itu, hati patih Dipa
serasa longgar, pikiranpun terang. Berlayar di laut walaupun
berbeda dengan berkelana di darat, tetapi cara untuk
menempuh dan sifat kewaspadaan dalam perjalanan itu, pada
hakekatnya sama. Memimpi n pasukan perang, walaupun beda
dengan memimpi n pemerintahan tetapi sifat kepemimpinan itu
pada galibnya pun sama. Sebagai duta menghadap raja
Bedulu walaupun lain sifat tugasnya dengan menghadap
baginda di Majapahit, tetapi sifat melaksanakan dan jcara
melakukannya, pada umumnya sama. Jika ternyata banyak
terdapat persamaan dengan apa yang telah dan pernah
dilakukan selama ini, mengapa ia harus takut dan gelisah
menghadapi tugas ke Bedulu"
Selaput lapis kabut yang meremangi pikiran patih Dipa
berhamburan lenyap pula. Dan akhirnya kini pikirannya pun
mulai cerah. "Tetapi bagaimana kalau aku gagal
melaksanakan tugas ini?" masih keraguannya membantah.
"Jika engkau ingat akan tugasmu, kau tak boleh ragu2
dalam menjalankan dharma itu. Karena untuk ksatrya, tiada
kemuliaan yang lebih agung daripada menjalankan
kewajibannya dalam medan perang" demikian pernah demang
Suryanata menceritakan tentang wejangan Sri Kreshna ketika
mendampingi Arjuna di medan perang Kurusetra. Dan demang
Suryanata menambahkan pula, "Berbahagialah ksatryaksatrya yang mendapat kesempatan menunaikan dharmanya.
Karena untuk mereka seolah-olah pintu gerbang nirwana telah
terbuka." Tersibak pula hati Dipa ketika teringat akan kata2 dari
demang Suryanata. Tetapi masih setitik keraguan karena ia
belum menemukan jawaban tentang pertanyaannya itu
'bagaimana kalau aku gagal' "
Dalam mengheningkan cipta, mengendapkan segala
gejolak pikirannya, akhirnya bertemu juga ia dengan sesuatu
yang dapat memecahkan pertanyaannya itu.
Kalau tak salah ingat, kala itu ia hendak menuju ke pura
Wilwatikta dan bertemu dengan paman Brahmana Anuraga.
Dalam membekali keteguhan hati dalam menghadapi apapun
yang dialaminya, brahmana Anuraga berkata, "Lakukanlah
pekerjaan tanpa menghiraukan apa akan hasilnya. Janganlah
hasil pekerjaan itu yang mendorong engkau mau bekerja,
akan tetapi juga jangan lalu engkau menganggur karena tidak
memikirkan apa hasilnya. Tetapi bekerjalah dengan penuh
pengabdianmu tetapi jangan terikat. Sebab kalau hatimu
terikat maka engkau tentu akan menguatirkan akan kegagalan
atau mengharap akan hasilnya. Kekuatiran akan menimbulkan
kebimbangan dan kebimbangan akan melahirkan tekad yang
bercabang-cabang dan simpang siur"
Meresapi arti daripada bekal wejangan brahmana
Anuraga, barulah patih Dipa dapat menemukan jawaban
daripada pertanyaannya tadi. Bukan berhasil atau gagal yang
harus dibimbangkan tetapi melaksanakan tugas itu dengan
sepenuh tenaga dan pikiranlah yang wajib diutamakan.
Sederhana sesungguhnya hal yang ditemukan patih Dipa
dalam renungannya namun besar artinya bagi jiwa dan
pikirannya dalam menentukan langkah, baik memimpin
armada Majapahit maupun berhadapan dengan raja Bedulu...
Dan-sikap itu dipegangnya, teguh ketika patih kerajaan
Bedulu, Kebo Warung memerintahkan prajurit2 keraton Bedulu
untuk menangkap dirinya. Patih Dipa membawa empatpuluh prajurit dan ketiga
pemuda cucu empu Kapakisan menuju ke Bedulu. Tetapi ia
telah mempersiapkan segala sesuatu dengan seksama.
Dahulu ketika dalam perjalanan mencari paman brahmana
Anuraga ke pura Majapahit, Dipa telah bertemu dengan
seorang bungkuk yang ternyata bernama resi Kadipara. Atas
petunjuk dari resi bungkuk itu maka perjalanan patih Daha,
Purusa Iswara telah berhasil diselamatkan dari sergapan
orang2 Wukir Polaman. Sejak itu resi Kadipara dan Dipa
bersahabat baik. Sampai kemudian bertemu pula keduanya di
pura Majapahit. Kala itu resi Kadipara berada di kebun
belakang dari gedung kediaman ra Tanca. Dia sebenarnya
paman dari tabib sakti itu tetapi karena agak malu maka Tanca
menempatkan resi Kadipara di kebun belakang. Hal itu
kebalikannya bahkan menyenangkan hati resi bungkuk itu.
Karena tujuannya ke pura Majapahit mencari Tanca tak lain
karena ia hendak mencari kitab pusaka peninggalan seorang
pangeran Singasari yang melarikan diri setelah Si ngasari
diduduki pasukan Daha. Pangeran itu sesungguhnya seorang
yang berilmu tetapi karena tak disukai oleh raja Kertanagara,
ia seolah diasingkan. Ia memiliki tujuh buah kitab ilmu
kesaktian yang disebut Sapta Graha. Untuk menyelamatkan
kitab itu dari tangan musuh, ia telah memendamnya di sebuah
hutan yalah hutan Terik yang kemudian dibuka dan dijadikan
pura Majapahit oleh raden Wijaya.
Waktu pura Majapahit geger karena pemberontakan
Dharmaputera, kemudian pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Dipa dan ra Kuti dibunuh rakyat,
keluarganya pun melarikan diri. Dipa pernah bertemu dengan
resi Kadipara di kebun belakang gedung kediaman ra Tanca.
Ia teringat akan resi bungkuk dan pergilah ia mencarinya ke
kediaman ra Tanca. Tetapi resi itu telah menghilang.
Beberapa tahun kemudian ketika ia menjabat sebagai patih
Daha, tiba2 pengawal keputihan menghaturkan sebuah
buntalan, ketika dibuka ternyata berisi sejilid kitab Sapta
Graha serta secarik surat yang berbunyi amat ringkas, yakni
Resi Kadipara. Serentak ia lari keluar untuk mencari resi itu
tetapi sudah tak tampak. Ia kerahkan pengawal2 kepatihan
untuk mencari, namun resi bungkuk itu hilang lenyap seperti
ditelan bumi. Isi kitab itu memuat ilmu barisan perang atau gelar
barisan. Serentak ia teringat akan keterangan resi Kadipara
dahulu bahwa Sapta Graha itu terdiri dari tujuh buah kitab.
Jika yang diberikan kepadanya hanya sebuah, tentulah resi itu
masih menyimpan yang enam buah atau mungkin belum
dapat menemukan yang enam itu. Ia heran mengapa resi itu
menghadiahkan kepadanya kitab tentang ilmu barisan.
Adakah resi itu dapat mengetahui bahwa kelak ia akan
menjabat sebagai seorang senopati perang. Pikirnya. Ia
memang gemar belajar segala ilmu. Cepat ilmu pelajaran
tentang gelar barisan perang itu menarik perhatiannya. Ia
sendiri tak tahu apa kegunaannya ia belajar kitab semacam itu
tetapi ia merasa senang bertambah ilmu kepandaian.
Demikian ketika hendak berangkat ke Bedulu, ia telah
berunding dengan tumenggung Gajah Para. Bahwa menilik
tugas yang dititahkan baginda Majapahit, kemungkinan raja
Bedulu tentu akan menolak. Dan penolakan itu sudah tentu
berarti akan pecah pertempuran. Maka kepada tumenggung
Gajah Para ia menekankan bahwa apabila dalam waktu tiga
hari ia tak kembali, Gajah Para supaya membawa anak
pasukan menyerang Bedulu. Dan untuk memelihara jangan
sampai putus hubungan, maka patih Dipa memerintahkan
supaya di-sepanjang jalan Gianyar ke Bedulu itu, disiapkan
suatu mata-rantai agar setiap berita dapat disampaikan
dengan cepat. Dua kelompok barisan masing2 terdiri, dari lima puluh
prajurit, ditempatkan di desa Tegallinggah dan desa Kutri yang
letaknya disebelah utara dan selatan dari jalan besar yang
merentang dari Gianyar ke Bedulu. Kemudian kepada
tumenggung Gajah Para ia memberi perintah, apabila terjadi
sesuatu yang tak diinginkan, antara lain raja Bedulu sampai
menawannya, supaya tumenggung Gajah Para menyerang
Bedulu dengan separoh dari jumlah pasukan di Gianyar. Yang
separoh, supaya bersembunyi, berusaha mencari jalan ke
pura Bedulu dan terus menyergap keraton.
Selesai menurunkan perintah, patih Dipa lalu mengajak
empat puluh prajurit beserta ketiga cucu empu Kapakisan
menghadap raja Bedulu. Tiba di luar pura, patih Dipa
memecah pengiringnya pula. Sepuluh orang prajurit dengan
dikepalai Banyak Ladrang, menyelimpat jalan ke barat Bedulu,
bersembunyi di gua Gajah. Lalu sepuluh orang prajurit lagi
dengan dipimpin Banyak Wukir supaya bersiap-siap di pura
Yeh Pulu, sebelah selatan Bedulu. Sepuluh prajurit bersiap di
muka pura. Apabila melihat sesuatu yang mencurigakan
dalam keraton, atau secepat mendapat berita, harus lekas2
menghubungi prajurit2 yang berada di pos sepanjang jalan
Bedulu-Gianyar. Cara para prajurit di pos masing2 itu-pun
diatur secara berantai. Apabila prajurit di pos terdepan
mendapat berita, ia harus cepat2 menyampaikan pada prajurit
pos kedua, kemudian harus kembali pada pos semula. Begitu
pula prajurit pos kedua setelah menyampaikan berita pada
prajurit pos ketiga, harus segera kembali ke pos kedua lagi.
Demikian prajurit pos ketiga, keempat, kelima dan selanjutnya
sampai ke markas besar di Gianyar.
Sementara patih Dipa bersama Banyak Kawekas dengan
pengiring sepuluh orang prajurit, masuk ke dalam pura
menghadap raja. Diam-diam patih Dipa telah mempersiapkan
gelar barisan Supit Urang. Ia dan sepuluh prajurit yang
menghadap raja itu sebagai mulut, Banyak Ladrang yang
berada di gua Gajah sebagai supit kiri, Banyak Wukir yang
berada di pura Yeh Pulu sebagai supit kanan. Kesepuluh
prajurit yang berada di muka pura sebagai belalai dan Gajah
Para di Gianyar sebagai kepala. "Gelar Supit Urang"


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gumamnya seorang diri "untuk menjepit orang2 Bedulu apabila
mereka menjadi lawan. Dan apabila mereka benar2
menyerang keluar sampai ke Gianyar, telah kusediakan
pasukan bersembunyi yang kuperintahkan untuk menyergap
pura Bedulu. Gelar itu kumaksudkan sebagai barisan Emprit
Neba, menyerbu pertahanan musuh dikala musuh tak
menyangka-nyangka." Setelah merasa menyiapkan diri dengan hati2, maka patih
Dipa dengan kesepuluh prajurit dan Banyak Kawekas telah
menghadap raja, menyerahkan surat dari baginda
Jayanagara. Setelah membaca surat, raja Bedulu murka,
memerintahkan patih Kebo Warung untuk menangkap patih
Dipa. Melihat berpuluh prajurit pengawal keraton berhamburan
mengajukan tombak ke arah patih dan menyerukan supaya
patih ini menyerah, Banyak Kawekas serentak hendak
berbangkit, demikian pula dengan kesepuluh prajurit pengiring
patih Dipa. Mereka hendak melindungi patih Dipa. Tetapi patih
Dipa memberi isyarat tangan supaya mereka jangan bergerak.
Kemudian dengan tenang patih Dipa menyahut. "Apa maksud
kalian?"" "Kami diperintah gusti patih untuk menangkap tuan" seru
seorang prajurit keraton.
"Jangan cernas" seru patih Dipa "aku takkan menyulitkan
tugasmu. Tetapi aku perlu hendak bicara dengan gustimu"
Prajurit2 itu terkesiap kemudian saling berpandangan.
"Ki patih?" patih Dipa pun tak menghendaki ketegangan
mencengkam suasana, "apakah kesalahanku?"
"Engkau jelas hendak menyerang kerajaan Bedulu.
Engkau dan rajamu terlalu menghina baginda kami" sahut
patih Kebo Warung. Patih Dipa menanggapi dengan tenang tetapi tegas. "Ki
patih, sebagai seorang utusan, aku telah melaksanakan titah
yang telah kuterima dan akupun telah bicara dengan
sejujurnya. Memang titah baginda Majapahit, memerintahkan
supaya aku melakukan penyerangan apabila baginda Bedulu
menolak undangan ke Majapahit. Dan inipun telah kukatakan
dengan terus terang karena aku harus melakukan kewajiban.
Dan karena itu pula aku akan melakukan penyerangan secara
terbuka dan terang agar kerajaan Bedulu mengetahui dan
mengadakan persiapan"
Patih Dipa berhenti sejenak untuk meneliti kesan.
Dilihatnya patih Bedulu itu mencurah perhatian maka iapun
melanjutkan pula, "Sebenarnya aku dapat tak mengatakan hal
itu agar aku diperkenankan meninggalkan keraton Bedulu.
Kemudian kusiapkan pasukanku dan terus melakukan
penyerangan. Bukankah dengan cara itu aku lebih leluasa
untuk merebut kemenangan ?"
"Hm, ketahuilah patih Majapahit" seru Kebo Warung
"pasukan kerajaan Bedulu selalu siap bertempur menjaga
kerajaan. Hari ini musuh datang, hari ini juga kami sudah siap
untuk menghancurkan mereka?"
"Bagus ki patih" seru patih Dipa "memang sedemikianlah
seharusnya balatentara itu. Setiap saat siap untuk menghalau
musuh yang datang menyerang. Baiklah, ki patih, walaupun
engkau tak dapat menghargai kejujuranku, tetapi akupun
takkan menarik pulang kata-kataku tadi. Aku terpaksa harus
melakukan tugasku" Kebo Warung tertawa mencemoh. "Sayang, engkau tak
sempat melakukan tugasmu, ki patih"
"O, maksudmu tetap rombongan pengiringku ?"
hendak menawan aku dan "Sebagaimana engkau, akupun hanya melakukan titah
junjunganku" kata Kebo Warung.
"Ki patih" seru patih Dipa pula tanpa menderita perobahan
nada "tahukah apa kedudukanku saat ini?"
Kebo Warung mendcsuh "Aku bukan anak kecil."
"Tetapi kukuatir, tuan tak dapat membedakan kedua tugas
yang terletak pada diriku" kata patih Dipa "karena jelas tuan
hendak menangkap aku atas dasar bahwa aku hendak
mempersiapkan pasukan untuk menyerang Bedulu. Pada saat
ini, aku belum memimpin pasukan dan masih melaksanakan
tugas sebagai duta sang nata. Sejauh pengertianku,
betapapun buruk dan tak disetujui maksud perutusan itu, tetapi
utusan itu sendiri hanya sebagai seorang petugas yang
melakukan kewajibannya. Kurang layak apabila diperlakukan
semena-menanya. Ki patih pasti ingat akan tindakan baginda
Kertanagara dari kerajaan Singasari dahulu yang telah
mencap dan menghina utusan dari raja Tartar sehingga raja
itu murka lalu mengirim pasukan perang untuk menghukum
baginda Singasari" "Hm" desuh Kebo Warung "engkau hendak menggertak ?"
"Sama sekali tidak, ki patih" seru patih Dipa "aku hanya
menceritakan suatu peristiwa yang nyata dan serupa dengan
keadaan saat i ni. Aku tidak memohon keringanan apa2 hanya
memikirkan kebaikan kerajaan Bedulu."
"O, engkau masih memikirkan kebaikan dari kerajaan yang
hendak engkau serang?" Kebo Warung mencemoh.
"Dimana perundingan tak dapat mencapai penyelesaian,
perang ada kalanya tak dapat dihindarkan. Tetapi perang
secara ksatrya, sekalipun kalah, tetap mendapat kehormatan.
Yang, kumaksud dengan memikirkan kepentingan kerajaan
Bedulu yalah demi menjaga keluhuran nama kerajaan tuan.
Dan kedua demi menjaga jangan sampai kerajaan Majapahit
marah dan mengirim pasukan besar-besaran untuk membalas
hinaan yang tuan limpahkan pada utusannya"
Kebo Warung menyeringai "Sama saja. Kami membebaskan utusannya, Majapahit juga tetap menyerang.
Tidak membebaskan, pun akan menyerang"
"Hm, ki patih tetap hendak menawan diriku?"
"Apakah kau akan melawan?" balas Kebo Warung.
Patih Dipa gelengkan kepala "Aku takkan melawan, ki
patih. Tetapi paling lambat besok pagi, pasukan Majapahit
tentu akan menyerang pura ini untuk membebaskan aku"
"Ho, engkau kira bumi Bedulu itu sebagai padang rumput
yang lapang dan mudah diinjak-injak kaki orang Majapahit?"
nada patih Kebo Warung mulai keras.
"Jika demikian" kata patih Dipa dengan nada sarat "tuan
menyulut api sendiri. Bersiap-siaplah menghadapi kebakaran.
Silahkan menangkap kami"
Beberapa prajurit keraton Bedulu segera menggiring patih
Dipa dan rombongannya ke luar. Patih Kebo Warung
memerintahkan agar tawanan Majapahit itu ditempatkan di gua Gajah dan dijaga keras. Demikian
setelah senjata prajurit2
rombongan patih Dipa dilucuti, mereka lalu di masukkan ke dalam gua Gajah. Dipilihnya gua Gajah sebagai tempat tawanan utusan Majapahit adalah dengan pertimbangan bahwa tempat itu sangat sesuai sekali. Mulut gua hanya selebar tiga depa dan
tingginya setinggi orang berdiri. Dengan demikian sukarlah bagi tawanan untuk
meloloskan diri dari penjagaan. Kedua kali, Kebo Warung
memang mempunyai rencana untuk menyembunyikan
tawanan itu dari serangan pasukan Majapahit apabila hendak
merebutnya. Dan terakhir, apabila Bedulu sampai diduduki
pasukan Majapahit, dengan mudah ia dapat membunuh
tawanan itu. Kebo Warung telah membuat perhitungan yang teliti.
Sebagai pimpinan pasukan kerajaan Bedulu ia mendapat
kepercayaan penuh dari raja. Pengaruhnya besar sekali dalam
kerajaan Bedulu. Dia memang cakap dalam memimphi
pemerintahan dan membentuk pasukan kerajaan. Berwatak
keras dan digdaya. Hanya satu yang buruk dalam sifatnya, dia
bertabiat tinggi hati dan pemarah.
Raja Bedulu menolak tunduk pada Majapahit, bahkan
menitahkan supaya patih Dipa dan rombongannya ditangkap
dan ditawan di gua Gajah.....
Ketika mendengar bahwa dirinya dan rombongan
pengiringnya akan ditempatkan di gua Gajah, diam2 patih
Dipa girang dalam hati. Dalam menghadapi keadaan yang
runcing, patih Dipa dapat membawa diri untuk menyesuaikan
keadaan. Ia mencegah Banyak Kawekas dan prajurit2
pengiringnya melawan karena ia tahu bahwa perlawanan itu
akan sia2. Pasukan Bedulu jauh lebih besar jumlahnya. Dalam
menghadapi bahaya yang penting bukan harus menerjang
bahaya itu tetapi mencari jalan bagaimana dapat terlepas atau
mengatasi bahaya itu. Dalam menghadap raja Bedulu, ia
sudah dapat merenungkan tentang kemungkinan2 akibatnya
maka sebelumnya telah diatur persiapan2 yang perlu. Jika ia
melawan pada saat itu berarti ia tak percaya pada persiapan2
yang telah diaturnya sendiri. Akibat yang lebi h lanjut,
anakbuah pasukan Majapahit tentu akan kehilangan pimpinan,
kehilangan arah yang harus diturut.
Disamping hal2 yang telah direnungkan itu, patih Dipa tak
melupakan juga akan hal2 yang tak terduga-duga terjadi
secara kebetulan. Ia telah memerintahkan Banyak Ladrang
bersama sepuluh orang prajurit bersembunyi di sekitar gua
Gajah. Bukankah mereka tentu akan berusaha untuk
melepaskan rombongan kawan-kawannya yang
dalam gua itu" Tentu. Pikirnya penuh kepercayaan.
ditawan Setelah prajurit2 membawa pergi rombongan patih Dipa
maka Kebo Warung pun memohon titah lebih lanjut kepada
raja Bedulu. Raja Bedulu bertanya "Bagaimana pendapatmu,
ki patih" "Gusti" kata Kebo Warung, "jelas sudah bahwa Majapahit
bertekad hendak menguasai kerajaan paduka. Menurut
laporan dari tuha Gianyar, sebagian besar pasukan Majapahit
berlabuh di Gianyar. Yang menuju ke Bedulu menghadap
paduka, hanya patih dan pengiring2 yang kecil jumlahnya.
Hamba kuatir, gusti, bahwa mereka telah mengatur rencana
untuk menyerang kerajaan paduka"
"Itu sudah jelas" ujar baginda "patih Majapahit sudah
mengakui hal itu. Sekarang bagaimana engkau akan
bertindak?" Berkata patih Kebo Warung dengan tegas. "Jelas sudah
bahwa Majapahit hendak menginjak-injak kewibawaan
kerajaan paduka. Hamba, patih Kebo Warung dan seluruh
pasukan serta rakyat Bedulu, akan membaktikan darah dan
jiwa kebawah duli paduka dan kepada bumi Bedulu yang kami
cintai" "Setitik pun aku tak menyangsikan kesetyaanmu kepada
kerajaan, ki patih" titah baginda pula.
"Hamba akan mengerahkan seluruh pasukan untuk
menumpas orang2 Majapahit itu, sebelum mereka sempat
menginjakkan kaki di bumi kerajaan paduka yang suci ini" kata
patih Kebo Warung pula. Raja Pasung Rigih terdiam sejenak kemudian berkata,
"Menilik mereka berani datang ke tanah Bali, tentulah mereka
telah mempersiapkan pasukan yang kuat. Dan kulihat patih
Majapahit tadi, tenang dan tegas, memiliki wibawa
kepemimpinan. Kemungkinan dia tentu telah mempersiapkan
rencana yang hebat" Kebo Warung berwatak tinggi hati. Mendengar rajanya
memuji patih Majapahit, dalam hati ia tak puas. Maka
berserulah ia dengan lantang, lupa bahwa saat itu ia sedang
berhadapan dengan raja junjungannya, "Memuji keunggulan
patih Majapahit berarti paduka meremehkan patih paduka
sendiri, gusti. Sesungguhnya patih yang semuda itu tentu
masih kurang pengalaman. Memang dia memiliki sikap dan
raut muka yang luar biasa tetapi bukanlah hal itu akan
menjamin bahwa dia tentu lebih hebat dari patih paduka. Dan
pula saat ini dia telah hamba masukkan ke dalam gua Gajah
dan dijaga keras. Tak mungkin dia mampu keluar memimpin
pasukannya" Raja Pasung Rigih tahu bahwa patih Kebo Warung itu
memang berwatak berangasan, mudah tersinggung. Ia tak
mau menegur patih itu karena hanya akan menimbulkan
perasaan yang kurang baik, kemungkinan akan dapat
meruntuhkan semangatnya. Saat itu Bedulu memerlukan
senopati yang berani dan pasukan yang gagah untuk
menghalau orang Majapahit. Sama-sama mengucap mengapa
tak mengucapkan kata-kata yang dapat membangkitkan
semangat" Kebo Warung gagah perkasa dan kesetyaannya
telah teruji. Dia pun ditaati prajurit2 kerajaan. Dia merupakan
tulang punggung kerajaan Bedulu dan tulang itu harus
ditegakkan agar kerajaan tetap jaya. "Ah, jangan engkau salah
sangka Kebo Warung" ujar baginda "bukan maksudku hendak
memuji kekuatan lawan, melainkan dengan mengetahui
kekuatan lawan itu, kita dapat berhati-hati?"
Kebo Warungpun tersadar bahwa dia sedang berhadapan
dengan raja maka tergopoh ia memohon ampun atas
ucapannya yang kasar. "Apa yang paduka titahkan tentu akan
hamba junjung. Sekarang juga akan hamba kerahkan pasukan
untuk menghancurkan induk pasukan mereka di Gianyar.
Mereka tentu tak menduga dan mengira patih mereka masih
berada di dalam keraton Bedulu. Jika mereka mengetahui


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

patih mereka sudah ditawan, tentu mereka segera bersiap.
Oleh karena itu hamba mohon perkenan gusti untuk
mengerahkan semua pasukan kerajaan"
Raja Pasung Rigih merenung. Sesaat kemudian ia berkata
pula "Tetapi dengan mengerahkan semua pasukan itu ke
Gianyar, tidakkah pura Bedulu akan kosong?"
"Hamba rasa tidak, gusti" kata patih Kebo Warung?"
mereka belum siap karena belum mengetahui tentang
peristiwa patih mereka. Jika hamba serang mereka dengan
serempak, mereka tentu berantakan. Hamba akan pecah
pasukan kerajaan menjadi beberapa bagian dan mengurung
mereka, agar mereka putus hubungan dan kehabisan
ransum." Raja Pasung Rigih merenung sejenak kemudian berkata,
"Baiklah, ki patih, kuserahkan saja bagaimana tindakanmu
hendak menghalau musuh. Yang penting aku hanya berpesan,
hati-hatilah dalam menghadapi orang2 Majapahit itu"
Kebo Warung menghaturkan terima kasih lalu mohon diri.
Langsung dia menuju ke alun-alun mengumpulkan seluruh
prajurit. Di hadapan beribu prajurit Bedulu, Kebo Warung
langsung berbicara sendiri. "Prajurit-prajurit dan para perwira
kerajaan Bedulu. Saat ini aku berhadapan dengan kamu
sekalian, bukan sebagai patih tetapi sebagai senopati
kerajaan, pimpinanmu. Saat ini kerajaan Bedulu telah
kedatangan musuh dari Majapahit yang hendak menguasai
bumi kita. Baginda junjungan kita dengan tegas menolak
permintaan yang hina itu dan menitahkan kita untuk
menghalau orang2 Majapahit dari permukaan bumi tanah air
kita. Saat ini kita semua, dari pucuk pimpinan sampai ke
bawah, dari senopati, perwira, bintara, tamtama sampai
kepada prajurit, dituntut oleh kerajaan akan kesetyaan dan
pengabdian kita. Dituntut oleh bumi yang kita cintai untuk
menyerahkan jiwa dan raga kita. Apakah kamu bersedia ?"
Seketika menggelegarlah suara yang gegap gempita
menyambut pernyataan patih Kebo Warung dengan
pernyataan yang menggelora. Kebo Warung puas. Ia tahu
bahwa harus digelorakan semangatnya agar mereka
bertempur dengan gagah berani. Pun mereka harus diisi
dengan pengertian tentang tujuan mereka berperang agar
lebih mantap pula tekad dan pengabdian mereka. Kebo
Warung tahu bagaimana harus menyalakan semangat juang
prajurit-prajuritnya. Kemudian ia mulai mengatur barisan.
Kebo Warung mempunyai lima hulubalang, berpangkat
tumenggung. Mereka yalah Kebo Puring, Sukanda, P utut Oka,
Ardadali dan Jungkung Mada. Kesemuanya gagah perkasa
dan digdaya. Kebo Warung pun membagi pasukan kerajaan
menjadi lima barisan. "Tumenggung Kebo Puring, bawalah seribu prajurit pilihan,
menjadi cucuk barisan terdepan. Tumenggung Putut Oka
dengan seribu prajurit, mengikuti di belakang barisan pertama,
atau menjadi leher dari barisan Garuda Nglayang yang
kususun ini. Tumenggung Sukanda dengan seribu prajurit
menjadi sayap kiri barisan, tumenggung Ardadali dengan
seribu prajurit menempati sayap kanan barisan. Aku akan
menempati di bagian kepala dan tumenggung Jungkung Mida
berada di ekor atau belakang barisan. Juga dengan seribu
prajurit. Sisa prajurit2 kuserahkan kepada tumenggung Werda
untuk menjaga pura" Demikian patih Kebo Warung telah mengatur pasukannya.
Dia hendak menyusun gelar barisan Garuda Nglayang untuk
menyerang pasukan Majapahit yang berada di Gianyar.
"Penyerangan akan kita lakukan pada malam hari"
menambahkan patih Bedulu itu pula "harus tunggu perintah
agar dapat dilakukan secara serempak?"
Juga tak lupa patih itu memberi pesan agar berita tentang
penawanan patih Majapahit jangan sampai terdengar orang
Majapahit. Selesai memberi tugas, patih Kebo Warung membubarkan
sidang tentara yang diperintahkan berkemas-kemas.
Menjelang petang, pasukan akan berangkat ke Gianyar.
Sesaat patih Kebo Warung sedang beristirahat, tiba2
masuklah seorang pengawal menghadap, "Gusti, prajurit
peronda telah menangkap seorang mata2 Majapahit"
Kebo Warung terkejut, "Bawa dia kemari!" serunya. Tak
lama masuklah dua orang prajurit Bedulu dengan mengiring
seorang lelaki yang kedua tangannya diikat, "Gusti" seru salah
seorang prajurit setelah menghaturkan hormat "ketika hamba
menjaga gapura selatan, hamba curiga melihat seorang lelaki
yang aneh. Dia berpakaian seperti orang Bali tetapi gerak
geraknya mencurigakan. Ketika kami tegur dia malah bingung
dan mempercepat langkahnya masuk ke dalam pura. Kami
kejar dan kami tanya, ternyata dia tak dapat berbahasa Bali
maka diapun hendak kami tangkap. Tetapi dia melawan.
Akhirnya setelah terjadi perkelahian yang cukup seru, kami
berhasil menangkapnya dan menghaturkan ke hadapan
paduka" Kebo Warung memandang orang itu dengan tajam.
Segera ia dapat mengetahui bahwa orang itu bukan orang dari
Bedulu melainkan orang Majapahit. Kedua prajurit Bedulu itu
menantikan pemeriksaan dengan tegang. Apa yang dilakukan
patih Kebo Warung tak lepas dari perhatian mereka. Diam2
mereka pun menduga bahwa patih Kebo Warung tentu akan
menjatuhkan hukuman bunuh kepada mata2 itu. Dikalangan
prajurit sudah cukup mengenal bagaimana tindakan2 patih
Kebo Warung yang keras dan tak kenal ampun apabila prajurit
melanggar peraturan. Terhadap mata2 musuh, jelas tentu
akan lebih bengis lagi. Pikir kedua prajurit itu.
Tetapi mereka agak terkesiap ketika mendengar ucapan
dan nada patih Kebo Warung dikala menegur orang Majapahit
Wanita Iblis Pencabut Nyawa 1 Goosebumps - 51 Teror Monster Salju Mengganasnya Siluman Gila Guling 1

Cari Blog Ini