Ceritasilat Novel Online

Gajah Kencana 2

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 2


oleh beberapa prajurit lain. Mereka mengaduh dan mengerang
untuk menghamburkan rasa sakit yang selama beberapa
waktu ditahannya tadi. "Keparat .... jahanam .... bedebah ...."
namun makian dan sumpah serapah segera menumpah ruah
laksana arus air terjun. Bhoga juga tak kurang dendamnya. Dan diapun harus
menghadapi keluh derita anakbuahnya.
"Ki Bhoga" seru salah seorang prajurit "mengapa engkau
relakan daun telinga kita di gedung Dharmaputera itu ?"
Demikian suara tuntutan dari beberapa prajurit. Bahkan ada
salah seorang yang masih muda tak segan2 mengeluh, "Ah, ki
Bhoga, di antara kelompok kita ini, akulah yang paling
bernasib malang" "Mengapa?" seru Bhoga.
"Sepekan lagi aku hendak melangsungkan pernikahan
dengan seorang gadis cantik. Aduh, bagaimana malulah aku
sebagai seorang mempelai yang hanya bertelinga sebuah ini.
Kalau gadis itu masih mau menerima diriku, itu masih tak
mengapa. Bagaimana kalau ia malu dan membatalkan
pernikahan itu?" Seorang yang mengeluhkan suatu penderitaan akan merasa
berkurang rasa deritanya apabila mendengar lain orang lebih
menderita dari padanya. Demikian dengan beberapa prajurit
itu. Demi mendengar keluhan prajurit perjaka itu, serasa
berkurang rasa derita mereka. Bahkan ada yang tertawa pula,
"Supaya adil, jika mempelai lelaki hilang telinganya sebelah kiri
maka mempelai perempuan harus hilang telinganya yang
sebelah kanan. Supaya berimbang" demikian mereka
berkelakar. "Kawan-kawan" tiba2 Bhoga berseru sarat "aku merasa
bertanggang jawab atas petaka yang kalian derita. Sekarang
kita putuskan saja. Bagaimanapun keputusan kalian, aku
menurut dan akan melaksanakan dengan jiwa raga"
Terkejut sekalian anak prajurit demi mendengar kata2
Bhoga yang disertai penyerahan jiwa raga itu. Mereka segera
meminta Bhoga menjelaskan maksudnya.
"Kita kembali ke gedung kediaman ra Kuti, membakar dan
menyerbu gedung itu. Atau kita pulang melapor pada
junjungan kita. Cobalah kalian putuskan"
Beberapa saat prajurit itu tak menjawab. Kemudian prajurit
perjaka tadilah yang membuka suara, "Ki Bhoga, apabila kita
hendak mengamuk, mengapa baru sekarang hendak kita
lakukan" Bukankah lebih baik pada waktu kita terkepung
dalam gedung rakryan Dharmaputera itu" Oleh karena sudah
terlanjur meninggalkan gedung rakryan itu, lebih baik kita
cepat pulang menghadap gusti kita"
Beberapa prajurit mendukung pernyataan prajurit perjaka
itu. "Baik, karena kalian memutuskan begitu, marilah kita cepat
pulang. Tetapi kuharap kalian jangan mengeluhkan rasa tak
puas karena pengorbanan yang telah kita derita"
Demikian kcduabelas prajurit itu segera melanjutkan
perjalanan lagi. Tiba di sebuah lorong, tiba2 Bhoga hentikan
langkah "Biluk ke kanan" ia memberi perintah.
Kedua belas prajurit itu terkejut "Mengapa?" seru salah
seorang. Mereka seharusnya mengambil jalan lurus ke muka.
"Jalan!" seru Bhoga sembari ayunkan langkah. Beberapa
saat kemudian baru kepala prajurit itu berkata dengan suara
agak pelahan "aku mempunyai firasat bahwa perjalanan kita
ini telah diketahui dan di ikuti secara diam2 oleh orang
bawahan ra Kuti. Mudah-mudahan firasatku itu tidak benar.
Tetapi benar atau tidak benar, kita harus tetap menggunakan
siasat untuk mengaburkan perhatian lawan"
"Ke mana langkah kita ini?" tanya salah seorang prajurit
dengan nada berbisik. "Gedung kademungan"
Prajurit itu terkejut "Bukankah gedung kademungan sudah
tutup pada waktu begini?"
"Serahkan padaku" sahut Bhoga singkat "malam ini kita
tidur di kademungan"
Tiba di pintu regol gedung demung Samaya, Bhoga segera
mendapatkan prajurit yang menjaga gedung itu. Rupanya
Bhoga sudah kenal dengan kepala penjaga. Setelah bicara
beberapa saat, ia menyerahkan sebuah bungkusan kepada
kepala prajurit di situ. Kemudian bersama keduabelas
anakbuahnya, Bhogapun meneduh di lingkungan kademungan. Memang yang diduga Bhoga itu benar. Ra Kuti telah
menitahkan beberapa anakbuah penjaga untuk membayangi
jejak rombongan Bhoga. Benarkah Bhoga itu kembali ke
kademungan atau ke lain tempat. Ra Kuti memang cerdik dan
licin. Ia masih tetap menaruh kecurigaan pada rombongan
Bhoga. "Gusti" kata pengalasan yang diutus untuk mengikuti
perjalanan rombongan Bhoga itu "memang keduabelas prajurit
tadi pulang ke kademungan"
Ra Kuti mengangguk lalu menyuruh orang itu ke luar.
Seorang diri kepala Dharmaputera itu merenung. Beberapa
hari yang lalu, ia telah menerima surat dari patih A luyuda yang
memberi peringatan halus, bahwa tampaknya baginda
Jayanagara mulai meneliti keadaan Dharmaputera. Menurut
laporan dari seorang nayaka yang ikut baginda ke Lumajang,
bahwa rakryan Semi ternyata ikut serta dalam rombongan
mahapatih Nambi ke Lumajang. Maka hendaknya para
Dharmaputera mempersiapkan jawaban apabila dititahkan
menghadap baginda. Demikian isi surat patih Aluyuda itu.
Kini terjadilah peristiwa demung Samaya mengirim anak
prajurit untuk menyampaikan surat kepada ra Semi. Tidakkah
suatu keganjilan bahwa menyampaikan surat harus dilakukan
oleh sekelompok prajurit bersenjata dan pada w aktu malam "
Tidakkah hal itu mengandung suatu kelanjutan daripada isi
surat itu" "Penangkapan ......." tiba2 ra Kuti tersentak ketika terlintas
pada suatu kesimpulan, "ya, hanya dengan kelanjutan itulah
maka baru surat itu diantar dalam keadaan begitu
menyimpang dari adat kebiasaan. Karena biasanya, surat
cukup diantar oleh seorang dua orang hamba pengalasan"
"Apabila hal itu benar suatu langkah penangkapan, jelas
bahwa jejak ra Semi ketika berada di Lumajang telah bocor
dan disampaikan kepada baginda" pikir ra Kuti lebih lanjut.
Pada pemikiran itu, serentak timbullah keinginannya untuk
mengetahui isi surat kepada ra Semi itu. Ia berharap mudahmudahan kecemasannya itu tidak benar.
Ra Kuti mengamat-amati sampul surat dari demung Samaya
kepada ra Semi. Saat itu tangannyapun sudah bergetar
hendak mencabikkan sampul itu. Tetapi tiba2 timbul pula lain
gagasan "Ah, lebih baik segera kuberikan kepadanya agar kita
dapat merundingkan langkah yang perlu"
Kepala Dharmaputera itu segera beranjak dari tempat
duduk dan terus masuk ke dalam. Pintu2 ditutupnya erat2 dan
lampu2 pun dipadamkannya. Setelah menunggu beberapa
saat sehingga keadaan benar2 sunyi senyap, barulah ia
melangkah ke dalam ruang peraduannya. Ia mendorong
sebuah meja batu marmar. Seketika terbukalah sebuah lubang yang merupakan
terowongan menuju ke sebuah ruang rahasia di bawah tanah.
"Kakang Kuti" seru seorang lelaki yang cepat berbangkit
dari tempat duduk "apakah ada sesuatu yang penting?"
Ra Kuti mengangguk seraya menempatkan diri pada sebuah
kursi di hadapan orang itu "Ya, memang ada sebuah berita
penting untukmu, adi" ia mengeluarkan sampul dari baju dan
menyerahkan kepada orang itu.
"Ra Semi, surat dari demung Samaya untukmu"
Orang yang disebut ra Semi itu terkejut "Demung Samaya
mengirim surat kepadaku?" ulangnya seraya menyambut
sampul itu "siapakah yang disuruh mengantarkan surat ini ke
mari" Mengapa mereka tahu bahwa aku berada di sini?"
Ra Kuti lalu menuturkan apa yang telah terjadi dalam
gedung kediamannya beberapa saat tadi "Aku masih belum
percaya bahwa mereka orang suruhan demung Samaya. Telah
kuperintahkan seorang anakbuahku untuk mengikuti mereka.
Ternyata mereka memang masuk ke gedung kademungan"
"O" desuh ra Semi.
"Apabila hal itu benar" kata ra Kuti pula, "maka aku harus
berkesan bahwa cara dan waktu pengiriman surat itu
mengandung kelanjutan yang tak baik bagi dirimu, adi Semi"
"Maksud kakang, demung Samaya hendak mengadakan
penangkapan terhadap diriku?" cepat ra Semi dapat
menanggapi pikiran kawannya.
"Benar" jawab ia Kuti "oleh karena itu harap adi segera
membuka surat itu untuk kita ketahui bagaimana bunyinya"
Ra Semi mengiakan. Ia membuka sampul dan membaca.
Seketika pucatlah wajahnya. Segera ia serahkan surat itu
kepada ra Kuti. Ra Kuti pun berubah seri wajahnya demi
selesai membaca. "Bagaimana pendapat kakang rakryan?"tanya ra Semi.
"Aneh" gumam ra Kuti "demung Samaya menerima titah
baginda supaya mengundang Dharmaputera rakryan Semi ke
kademungan untuk memberi keterangan tentang sesuatu hal
yang penting ..." "Ya, aneh benar isi surat itu" sambut ra Semi "mengapa
baginda tak langsung memanggil kakang rakryan membawa
aku menghadap baginda" Mengapa harus disalurkan kepada ki
demung Samaya" Tidakkah hal itu sudah merupakan setengah
keputusan dari baginda bahwa ki demung Samaya dalam
kedudukannya sebagai mentri yang membawahi seluruh
pasukan Majapahit, diberi wewenang untuk memeriksa aku"
Wajah ra Kuti makin muram "Memang isi surat itu samar2
bunyinya. Tetapi kemungkinan yang paling besar, memang
seperti yang adi uraikan itu. Baginda telah menerima laporan
tentang kehadiran adi mengikuti rombongan mahapatih Nambi
di Lumajang. Maka baginda lalu menyerahkan kepada demung
Samaya untuk memeriksa adi"
Ra Semi mengangguk sarat.
"Dalam hal itu memang patih Aluyuda pernah memberi
peringatan kepadaku supaya bersiap-siap menghadapi
pertanyaan baginda mengenai peristiwa adi itu" kata ra Kuti
pula. "Ya, memang kurasakan adanya suatu gejala dari fihak
yang belum kita ketahui, untuk meniup niupkan pula peristiwa
kehadiranku di Lumajang. Pada hal sudah hampir dua tahun
peristiwa itu sirap"
"Peristiwa itu apabila terbongkar memang dapat
menggoncargkan kedudukan Dharmaputera" kata ra Kuti lalu
termenung diam. Setelah menunggu beberapa saat, berkatalah ra Semi
"menurut pandangan kakang rakryan, fihak manakah kiranya
yang akan berusaha untuk menumbangkan pengaruh
Dharmaputera itu?" Rupanya ra Kuti memang tengah merenungkan hal itu.
Maka cepat pula ia dapat menjawab, "Menurut wawasanku,
fihak yang dekat pada baginda hanyalah dua, yakni patih
Aluyuda dan kita Dharmaputera. Memang masih terdapat lain.
fihak yang menentang Dharmaputera. Tetapi kemungkinan
laporan atau usaha2 untuk menyampaikan peristiwa adi di
Lumajang kepada baginda itu, tidaklah sebesar kesempatan
yang ada pada patih A luyuda"
"Ya, benar" sambut ra Semi.
"Tetapi mengapa patih Aluyuda sedemikian baik hati untuk
memberi peringatan kepada kita?" kata ra Kuti.
Ra Semi menghela napas "Dalam hal itu, janganlah kita
terpengaruh oleh sesuatu kesan. Orang dapat menciptakan
kesan dengan suatu budi kebaikan yang bersiasat. Harimau
dikenal dari suaranya bukan dari kulitnya. Karena walaupun
dia berselimut kulit domba, suaranya tetap harimau raja hutan
yang ganas" "Benar, adi" sahut ra Kuti "tetapi menurut pengamatanku
selama ini, patih Aluyuda selalu bersikap rendah hati kepada
Dharmaputera. Dalam setiap memutuskan sesuatu masalah
dalam rangka tugasnya selama mewakili sebagai mahapatih,
dia selalu meminta pertimbangan kepada Dharmaputera"
"Menerka ayam di dalam telur, adalah sukar. Tetapi masih
lebih sukar untuk menduga hati manusia: Patih Aluyuda itu
kita kenal dan terkenal sebagai seorang manusia yang licin.
Seorang ahli bicara yang memiliki mulut bermadu tetapi
berhati empedu. Menurut perasaanku, perlulah kita selidiki
gerak gerik orang itu"
"Di antara kemungkinan-kemungkinan yang mungkin,
memang beratlah kemungkinan yang ada pada patih Aluyuda.
Soal itu kita akan mengatur langkah yang perlu untuk
menyelidikinya. Tetapi yang penting, bagaimanakah tindakan
kita untuk menghadapi surat ini"
"Menurut hematku, surat ini masih meragukan. Oleh karena
itu, baiklah untuk sementara aku takkan memenuhi panggilan
itu" "Lalu bagaimana kalau demung Samaya menanyakan hal itu
kepadaku?" "Untuk menghindari bertemu dengan demung itu, baiklah
kakang rakryan pura2 sakit dan minta obat kepada ra Tanca.
Dalam kesempatan bertemu dengan dia, baiklah kakang
rakryan meminta kepadanya untuk mengundang kawan2 kita
berkumpul, memusyawarahkan persoalan ini"
Ra Kuti mengangguk. "Benar, adi. Persoalan ini memang gawat sekali. Anggauta
Dharmaputera harus mengadakan rapat rahasia untuk
menentukan langkah. Jika perlu kita ...."
"Maksud kakang rakryan ?" Semi menegas.
"Ibarat kata orang 'karena sudah terlanjur basah, baiklah
mandi sekali'....." =o-dwkz-mch-o= JILID 27 I SAKIT merupakan gejala yang tak sehat. Baik secara
badaniah maupun batiniah. Ada
suatu bagian dari susunan tubuh


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita yang menderita dan timbullah rasa sakit. Ada suatu
hal yang menimbulkan keresahan, kecemasan, kegelisahan dan kesedihan dalam pikiran kita. Lalu tumbuhlah rasa sakit dalam hati
kita atau sakit batiniah.
Apakah jenis sakit yang dapat dikata paling sakit sendiri"
Setengah orang mengatakan. Sakit yang paling sakit yalah
orang yang ditinggal harta. Akan menjadi ibarat daun di
tempat sampah. Demikian pandangan hidup dari kaum pemuja
keduniawian. Mendambakan harta benda di atas segala. Pada
hal harga dari diri orang itu, apabila dinilai menurut ukuran
benda, tidak lebih hanya seharga barang yang dibawanya ke
dalam liang kubur. Setengah orang pula mengatakan bahwa sakit yang
tersakit sendiri yalah apabila ditinggal oleh sang kekasih. Oleh
orang2 yang paling dicintainya, entah ayah bunda saudara
atau sahabat. Pada hal dunia ini fana, tidak langgeng sifatnya.
Jangankan dengan orang yang kita kasihi, bahkan dengan
jasad kita peribadi, kelak kita tentu harus melepaskannya.
Lalu apa yang dapat dianggap sakit yang paling sakit itu"
Anggapan, penilaian dan atau perasaan, berlandas dari
pikiran, bersumber dalam hati. Dengan demikian karena
pikiran dan perasaan hati manusia itu tidak sama satu dengan
lain, maka anggapan, penilaian dan perasaan tentang sakit
yang dideritanya pun berbeda pula.
Penganggapan sakit yang paling sakit, timbul apabila kita
mengadakan dan merasakannya dengan perasaan yang kita
adakan menurut pengadaan pikiran kita. Pikiran dan perasaan
batin kitalah yang mengadakan dan meniadakan hal itu.
Siapa luka siapa menyiuk, siapa sakit siapa mengaduh.
Demikian kata sebuah peribahasa. Artinya, barang-siapa
berbuat kesalahan atau kejahatan, dialah yang akan
menanggung segala akibat dari perbuatannya itu.
Dan biasanya orang yang berbuat tentu cepat merasa
cemas apabila mendengar dan melihat sesuatu yang
menghantui perbuatannya. Demikian yang terjadi pada
Dharmaputera, khususnya ra Kuti dan ra Semi.
Atas persepakatan ra Kuti maka berangkatlah ra Semi ikut
serta dalam rombongan narapraja dan senopati yang
mengikuti mahapatih Nambi ke Lumajang. Tujuannya yalah
hendak mengikuti perkembangan di Lumajang. Banyak hal
yang dapat dilakukan Semi. Mengirim laporan rahasia kepada
ra Kuti agar pada saat2 yang menentukan dapat diambil suatu
keputusan. Menunjang gerakan Nambi atau membantu
baginda menumpas mereka. Suatu langkah, menginjakkan
kedua kaki pada dua buah perahu.
Demikian selalu yang dilakukan ra Kuti. Ia gemar
menggunakan siasat pagar makan tanaman. Atau, orang yang
memelihara sesuatu tetapi dia sendiri yang akan merusaknya.
Tetapi fihak patih Aluyuda yang memiliki sejumlah besar
mata dan telinga, cepat dapat mencium jejak ra Semi. Namun
tak mudahlah untuk membongkar rahasia itu. Ra Kuti terlalu
cerdik untuk menyelubungi peristiwa dengan tindakan2 yang
tak kenal ampun. Siapa yang tahu bahwa ra Semi telah berada
di Lumajang pada saat terjadinya peperangan, kecuali jika
orang itu sudah binasa di medan perang, maka dia tentu akan
diancam, dibayangi hantu maut, dikekang kebebasan
geraknya, bahkan kalau perlu dilenyapkan.
Berkat tindakan yang gesit dari ra Kuti yang tak sayang
mengeluarkan beaya dan menggunakan kekuasaan, akhirnya
dapatlah ra Semi diselamatkan dari tuduhan ikut pada
golongan mahapatih yang dituduh memberontak. Dua tahun
lamanya, ra Semi berhasil menyelundup kembali ke pura
Majapahit. Di bawah naungan kekuasaan Dharmaputera, ia
selamat dari tuntutan apa pun.
Saingan yang terberat dari Dharmaputera adalah patih
Aluyuda. Kedua fihak itu sama2 memiliki nafsu keinginan besar
untuk berkuasa. Apabila Aluyuda sangat merindukan
kedudukan mahapatih. Ra Kuti dan golongannya, menginginkan turunnya baginda Jayanagara dari tahta
kerajaan. Kedua belah fihak menyadari bahwa fihak yang satu
merupakan saingan. Tetapi sering pula, demi kepentingan
pelaksanaan rencana masing2, mereka harus berbaik. Bahkan
dapat bekerja sama. Walaupun untuk hal2 yang tertentu itu,
mereka terpaksa harus menutupi tubuh yang berkulit harimau
dengan pakaian bulu domba yang halus.
Untuk melaksanakan tujuannya mencapai kedudukan
mahapatih, tak segan pula Aluyuda harus merendahkan diri
untuk mengambil hati golongan Dharmaputera. Tetapi hal itu
bukan berarti ia melepaskan pengintaiannya mencari
kelemahan Dharmaputera. Peristiwa ra Semi ikut menyertai
mahapatih Nambi ke Lumajang, tetap masih merupakan bahan
penyelidikan yang amat berharga bagi patih Aluyuda. Dan
untuk memaksa Dharmaputera mau memberi jalan yang
lapang dalam usahanya mencapai kedudukan mahapatih,
Aluyuda pun menggunakan siasat musang berbulu ayam.
Dilepaskannya suatu peringatan yang berselubung itikad baik
bahwa rupanya baginda samar2 telah mendengar kabar
selentingan tentang beradanya ra Semi pada mahapatih di
Lumajang. Diperingatkannya agar ra Kuti bersiap siap
menghadapi kemungkinan pertanyaan hal itu dari baginda.
Suatu langkah siasat yang baik tetapi yang cukup
membuat ra Kuti dan ra Semi tak enak makan tak nyenyak
tidur. Suatu langkah yang memaksa kedua pemuka
Dharmaputera itu harus bersyukur kepada patih Aluyuda dan
harus merasa seperti menerima budi. Suatu siasat pula yang
mematikan ruang gerak kedua Dharmaputera itu dalam
usahanya menanamkan pengaruh kepada baginda.
Memang kedua pemuka Dharmaputera itu dihantui rasa
kegelisahan dan kecemasan. Sehingga terpaksa ra Kuti harus
memberi suara dukungan ketika baginda bertanya pendapat
tentang keputusannya hendak menyerahkan kedudukan
mahapatih kepada Aluyuda.
"Bedebah si Aluyuda" ra Semi menggeram ketika
mendengar keterangan ra Kuti tentang keputusan baginda itu
"adakah kakang melihati suatu tanda2 bahwa baginda bersiap
hendak mengusut tentang peristiwa diriku di Lumajang itu ?"
"Masih sukar untuk diraba" jawab ra Kuti "hanya sejauh ini
baginda memang tak pernah me-nyinggung soal itu walaupun
sepatah jua" "Hm, mungkinkah hal itu hanya suatu siasat dari si
Aluyuda belaka untuk memojokkan kedudukan Dharmaputera
dan memaksa kakang supaya memberi suara dukungan untuk
pencalonannya sebagai mahapatih?"
Ra Kuti mengangguk. "Untuk setiap kemungkinan, selalu mungkin" jawabnya
"demikian pula dengan tafsiran adi terhadap langkah Aluyuda"
ia berhenti sejenak menghela napas "tetapi kita harus ingat
bahwa si Aluyuda itu seorang manusia yang licik dan kejam.
Setiap waktu apabila melihat Dharmaputera membahayakan
kedudukannya, dia tentu tak segan untuk menghaturkan
laporan tentang peristiwa di Lumajang itu ke hadapan
baginda." Ra Semi terkesiap. "Benar, kakang Kuti" katanya sejenak kemudian "memang
dia ingin memegang kelemahan kita. Dengan pegangan itu ia
akan menguasai Dharmaputera"
Ra Kuti hanya mengangguk lirih.
"Tetapi kakang Kuti" kata ra Semi pula "adakah kakang
percaya bahwa Aluyuda telah memiliki bukti2 tentang diriku di
Lumajang itu " Ataukah dia hanya mendengar kabar
selentingan lalu ditiupnya kabar2 itu sebesar besarnya
sehingga dapat dipakainya sebagai alat untuk mematahkan
nyali kita ?" "Hm" ra Kuti kerutkan dahi.
"Keraguanku dalam hal itu, kakang" masih ra Semi
melanjutkan ulasannya "peristiwa Lumajang hingga kini sudah
berlangsung dua tahun. Demikian pula beradaku kembali di
pura kerajaan sini. Mengapa baru pada akhir2 ini berita itu
mulai tersebar hangat pula sebagaimana dilantangkan oleh
Aluyuda?" "Telah kukatakan adi Semi" jawab ra Kuti "bahwa dalam
membahas sesuatu, segala kemungkinan dapat menimbulkan
kemungkinan. Memang akupun mempunyai keraguan juga
seperti yang adi katakan itu. Tetapi sebagaimana adi ketahui,
Aluyuda itu memang manusia yang amat keranjingan. Jika
tidak masakan dia mampu menjalankan siasat yang licin untuk
menjatuhkan mahapatih Nambi. Tidakkah adi masih ingat,
bahwa kejatuhan rakryan Sora, Gajah Biru dan beberapa
mentri negara Majapahit, karena siasat licik dari si Aluyuda?"
"Dan kiranya mendiang mahapatih Nambi pun telah
terkena siasat dursila dari bedebah itu" seru ra Semi "ya,
kuingat, walaupun aku tak mau tampil ikut menyambut, tetapi
beberapa menteri dan senopati yang berada di Lumajang
pernah menerima kunjungan Aluyuda yang katanya diutus
baginda untuk menitahkan rakryan Nambi supaya jangan
tergesa pulang ke pura kerajaan sebelum sakit ayahanda
rakryan Nambi sembuh. Tetapi ternyata beberapa waktu
kemudian, kerajaan telah mengirim pasukan untuk menangkap
rakryan Nambi dan mentri2 itu"
"Tidakkah mahapatih Nambi dan mentri2 yang
menyertainya di Lumajang itu, mengadukan Aluyuda kepada
baginda ?" "Mungkin bertindak begitu" kata ra Semi "tetapi
keterangan itu hanya kuperoleh dari beberapa orang yang
sudah mendapat tekanan dari Aluyuda. Mereka tak mau
dihadapkan sebagai saksi tetapi mau juga memberi sedikit
ungkapan tentang peristiwa itu. Ternyata pada waktu baginda
memimpin sendiri pasukan untuk menggempur Lumajang,
lagi2 Aluyuda lah yang tampil sebagai penasehat bahkan
dipercaya untuk memberi perintah kepada pasukan kerajaan
...." "Kakang Kuti tentu percaya Aluyuda dapat melakukan hal
itu, bukan?" "Ya" sahut ra Kuti.
"Nah, setelah mendapat kepercayaan, maka Aluyuda pun
memerintahkan untuk melakukan serangan besar-besaran ke
kubu pertahanan Lumajang. Aluyuda telah memberi perintah
rahasia kepada beberapa tamtama, agar membunuh saja
semua mentri2 tawanan itu ......"
"Juga terhadap mahapatih Nambi?" sela ra Kuti.
"Tidak terkecuali bahkan justeru mahapatih itu yang
diutamakan" jawab ra Semi.
"O" desuh ra Kuti.
"Dan kakang tak tahu bagaimana
melaksanakan rencananya itu?"
kejam Aluyuda Ra Kuti gelengkan kepala "Bagaimana?"
"Dia masih tak mempercayai sepenuhnya kepada tamtama
yang diberi tugas itu. Diam2 ia masih mengirim sebuah
kelompok barisan pemanah yang ditugaskan menyusup masuk
ke dalam kubu orang Lumajang dan menghujani anakpanah"
"O, betapa kejam si bedebah itu" seru ra Kuti.
"Itulah patih A luyuda, kakang!"
"Adi" seru ra Kuti "dapatkah adi mengusahakan keerangan
itu sebagai bukti yang dapat kita miliki untuk menggencet
Aluyuda" Di manakah orang yang memberi keterangan itu"
Kita ambil dia dan melindunginya"
"Sebenarnya beberapa waktu yang lalu, aku berniat
hendak merundingkan hal itu dengan kakang" kata ra Semi
"tetapi ketika aku berkunjung kepadanya untuk memperoleh
keyakinan akan keterangannya, orang itu sudah meninggal"
"Hai, meninggal?" ra Kuti terkejut "karena sakit atau ...."
"Ya, memang meninggal karena terserang sakit perut.
Tetapi aku tetap curiga akan kematiannya yang secara
mendadak itu" "Keranjingan benar si Aluyuda itu" ra Kuti menggeram "dia
gesit sekali bertindak untuk melenyapkan saksi mulut"
Demikian pembiciraan yang berlangsung antara kedua
pemuka Dharmaputera, sebelum peristiwa pada malam rumah
kediaman ra Kuti didatangi oleh bekel Bhoga dengan dua belas
prajurit. Dalam perundingan selanjutnya dicapai kata sepakat.
Untuk sementara waktu baiklah ra Semi bersembunyi dahulu.
Tetapi rupanya hal itu tak lepas dari penciuman fihak
lawan yang memang berhidung tajam. Maka pada malam yang
tak terduga duga itu, datanglah Bhoga dengan anakbuahnya
hendak menggeledah gedung rakryan Kuti.
Walaupun Bhoga mengatakan bahwa ia diutus oleh
demung Samaya, namun kecurigaan kedua rakryan itu
terhadap patih Aluyuda tetap memancar. Maka diam2 ra Kuti
telah memerintah orangnya untuk mengikuti perjalanan
Bhoga. Tetapi alangkah kejutnya ketika pengalasan itu
kembali melaporkan kepada ra Kuti bahwa Bhoga dan
anakbuahnya memang pulang ke kadernungan.
Akhirnya kedua pemuka Dharmawangsa itu memutuskan
untuk memanggil para warga Dharmaputera berkumpul


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merundingkan masalah itu.
Keesokan harinya ra Kuti mengirim pengalasan
menghadap baginda, memohonkan idin kepada baginda agar
berkenan memberi libur barang beberapa hari kepada ra Kuti
karena sakit. Sedang ra Kuti sendiri segera berangkat menuju
ke tempat kediaman ra Tanca, seorang tabib pandai yang
menjadi warga Dharmaputera.
"O, maaf, kakang ra Kuti" sambut nyi Tanca "suami hamba
pagi2 ini telah dititahkan menghadap baginda"
Ra Kuti terbeliak. "Urusan apa?" tanyanya.
"Entahlah" sahut nyi Tanca.
Ra Kuti menatapkan pandang mata ke arah wanita muda
yang menjadi isteri ra Tanca. Hampir kepala Dharmaputera itu
tak sempat memperhatikan bahwa pagi itu nyi Tanca tampak
berseri-seri dan cantik. Pikiran ra Kuti melimpah tumpah pada
diri suami wanita itu "Adakah baginda gering ?"
"Entahlah" jawab nyi Tanca "mungkin tidak"
"Bagaimana engkau tahu, nyi Tanca" meluncurlah luap
keheranan dari mulut kepala Dharmaputera itu.
Nyi Tanca terkesiap, tersipu sipu menunduk. Ia merasa
telah kelepasan kata. Namun secepat itu ia menyadari bahwa
ra Kuti tentu tengah menunggu jawaban. Maka cepatlah ia
mengangkat muka "Karena pada hari itu aku dititahkan
menghadap ke keraton"
"O, tentulah gusti Ratu Indreswari perlu akan dika" ra Kuti
melontar dugaan. "Bukan, ra Kuti" sahut nyi Tanca agak tergugu.
"Siapa ?" ra Kuti kerutkan kening.
Keriput dahi wanita itu agak meliuk sebelum memberi
keterangan "Baginda sendiri ...."
"Ah" ra Kuti mendesah agak kejut juga "tentulah mengenai
suatu urusan penting maka baginda menitahkan adi ke
keraton itu" Nyi Tanca agak jengah "Dikata penting, pun boleh. Tidak
pentingpun, boleh" Mulai mengembang rasa keheranan ra Kuti. Bahkan rasa
heran itu mulai terbaur percik2 kecurigaan. Ditatapnya pula
wajah nyi Tanca dengan pandang bertanya.
"Penting karena hal itu mengenai kesehatan baginda.
Tidak penting karena sesungguhnya masalah itu bukan layak
jatuh pada diriku" kata nyi Tanca.
"Bagaimanakah jelasnya, nyi Tanca ?"
"Baginda menitahkan supaya aku menghaturkan ramuan
obat untuk sakit yang diderita beliau"
"Baginda gering " Penyakit apakah yang diidap baginda ?"
"Tidak berat tetapi amat mengganggu baginda" kata nyi
Tanca "setiap malam baginda sukar beradu. Kepala sering
pening, semangatpun lemah"
"Ah" kembali ra Kuti mendesah napas. Hampir pikirannya
menjangkau pada suatu penafsiran tetapi ia belum berani
memastikan "lalu mengapa baginda tidak menitahkan adi ra
Tanca untuk menghaturkan ramuan obat, melainkan engkau,
nyi Tanca?" "Demikianlah pernyataan yang kupersembahkan di
hadapan baginda, ra Kuti" jawab nyi Tanca "tetapi baginda
mengatakan bahwa penunjukan atas diriku itu terjadi pada
mimpi baginda. Dalam mimpi itu seorang dewa telah
mengatakan bahwa penyakit baginda hanya dapat
disembuhkan apabila diobati oleh isteri ra Tanca"
"O" desus ra Kuti "mungkin sajalah. Karena engkau tentu
dapat juga meramu obat, bukan?"
"Tuan salah, ra Kuti" jawab nyi Tanca "walaupun aku
menjadi isteri ra Tanca, tetapi aku tak mengerti ilmu ramuan
obat-obatan" "O, tidakkah engkau mengatakan hal itu kepada baginda?"
"Ah, sudah" jawab nyi Tanca "tetapi baginda mengatakan.
Bukan soal mengerti atau tak mengerti ilmu ramuan obat,
melainkan ramuan obat itu harus dibuat oleh isteri ra Tanca.
Apapun ramuan itu, akan menjadi suatu sarana penyembuhan
penyakit baginda. Sabda baginda, itu ilham yang
dianugerahkan dewa dalam mimpinya"
Ra Kuti terdiam sejenak. "Nyi Tanca terpaksa menerima, bukan?" tegurnya sesaat
kemudian. "Apa daya, tuan" jawab nyi Tanca "sebagai seorang
kawula, lebih pula sebagai isteri seorang Dharmaputera, aku
harus menerima titah baginda"
Ra Kuti mengangguk "Ya, tidakkah nyai merundingkan hal
itu kepada adi Tanca?"
"Sebenarnya demikian" jawab nyi Tanca "tetapi terpaksa
tak dapat kulakukan"
"Hah " Mengapa?"
"Baginda menitahkan bahwa perihal
diketahui ra Tanca ...."
itu, tak boleh "Aneh" seru ra Kuti terkejut "tidakkah ra Tanca akan
bertanggungjawab pula apabila misalnya engkau keliru
memberi ramuan sehingga menyebabkan baginda bertambah
parah?" "Benar" nyi Tanca mengangguk. Rupanya baru saat itu ia
menyadari akibat yang diperingatkan ra Kuti.
"Adakah nyai menerima titah baginda itu tanpa suatu
penimbangan?" bertanya pula ra Kuti.
Suara nyi Tanca agak bergetar "Pertimbanganku hanya
bersandar pada rasa kewajiban seorang kawula, seorang isteri
Dharmaputera, terhadap junjungannya. Baru saat ini
terungkap bayang2 seperti yang tuan uraikan."
"Setelah hal itu termasuk dalam pemikiran adi" kata ra Kuti
"adakah pertimbangan dan pendirianmu takkan berobah?"
"Memang seharusnya akan kupertimbangkan adakah aku
harus memberitahu kepada ra Tanca" kata nyi Tanca "tetapi
bagaimana kalau baginda mengetahui hal itu ?"
Ra Kuti tertawa renyah. "Nyi Tanca" katanya "seorang suami wajib menjadi
pelindung isteri. Seorang isteri wsjib mengabdi kepada
suaminya. Engkau memberitahu hal itu kepada ra Tanca,
berarti engkau telah menjalankan pengabdianmu kepada
suami. Wajib lah isteri itu memberitahu setiap persoalan yang
dialaminya kepada sang suami. Jika engkau merahasiakan hal
itu, kubercemas hati nyai, bahwa ra Tanca akan marah apabila
mengetahui hal itu" "Mengapa harus marah?" tanya nyi Tanca.
"Seorang suami yang dilanggar hak kesuamiannya, tentu
mudah tersinggung perasaannya. Apalagi kalau dalam hal
sang isteri mengalami persoalan dengan lain pria. Mudahlah
hati suami memercik rasa cemburu ...."
Nyi Tanca tertawa. "Ah, terlalu jauh nian tuan menjangkau pengandaiannya
itu, ra Kuti" seru nyi Tanca "tidakkah ra Tanca akan menyadari
bahwa yang memberi titah kepadaku itu adalah baginda"
Layakkah dia memiliki rasa cemburu?"
Ra Kuti hendak menjawab tetapi isteri ra Tanca itu sudah
mendahului pula "Dan betapalah malu hatiku apabila aku
merasa bahwa di balik dari titah baginda itu tersembunyi suatu
keinginan terhadap diriku" Ah, ra Kuti, malu benar rasa hati
hamba apabila memiliki rasa demikian. Sejak kecil tiap hari
aku selalu bercermin dan mengetahui jelas betapa bentuk raut
muka yang melekat di atas batang tubuhku ini, ah ...... tak
mungkin sang Nata binatara itu akan .... kepada diriku"
Ra Kuti tersenyum kecil. "Memang benar perasaan yang engkau kandung itu, nyi
Tanca" kata kepala Dharmaputera dengan tenang "tetapi ada
kalanya sesuatu yang kita dambakan dalam kedudukan yang
agung itu, tak selalu bergemerlap seperti yang kita
bayangkan. Pada galibnya, seorang rajadiraja seperti sang
prabu Jayanagara pasti dapat mcmpersunting puteri jelita pilih
tanding yang manapun jua. Siapa yang kuasa menolak
kehendak baginda?" Sejenak kepala Dharmaputera itu berhenti mengambil
napas seraya menyelinapkan pandang ke arah yang empunya
rumah. "Nyi Tanca" katanya sesaat pula "bukankah tiap hari
engkau menggulaikan hidangan untuk ra Tanca?"
Nyi Tanca heran mendengar pertanyaan itu namun ia
menganggukkan pengiaan. "Adakah setiap hari hidangan itu sama ?"
"Sudah tentu tidak"
"Adakah suamimu itu selalu meminta hidangan yang
lezat2, lauk pauk ikan saja?"
Dengan masih tak mengerti arah pertanyaan sang tetamu,
nyi Tanca menjawab "Ra Tanca memang aneh. Dia gemar
hidangan yang lezat terutama lauk pauk dari ikan ayam dan
itik. Tetapi kadangkala dia menghendaki makanan yang
aneh2. Makanan rakyat di desa, misalnya sayur mayur diramu
dengan sambal kelapa, ikan laut kering dibungkus dengan
daun pisang atau dipepes dan lain2 yang tak layak bagi
hidangan seorang Dharmaputera"
"Itulah, nyai" ra Kuti bergelak tawa "sifat2 manusia
memang pembosan. Tentu ingin mencoba sesuatu yang lain.
Demikian pula dengan sifat kepriaan yang menghayati diri
baginda. Sampai kini baginda tak mau meminang puteri cantik
untuk permaisuri tetapi gemar memanjakan selera terhadap
kaum wanita" "Tetapi tuan ra Kuti" kata nyi Tanca "bukankah baginda
akan merasa rendah diri apabila berhasrat pada isteri seorang
bawahannya" "Dalam soal selera, memang terdapat keanehan juga. Ada
orang berselera pada wanita yang dinilai dari perawakannya,
tinggi, langsing, gemuk atau semampai. Ada pula yang
berselera menurut penilaian wajahnya, kulitnya bahkan
rambutnya. Di antara selera2 itu ada suatu selera yang aneh
yalah terhadap wanita yang masih bersuami. Memang
perbuatan itu dikatakan merusak pagar ayu. Tetapi memang
terdapat jenis manusia lelaki yang memiliki selera demikian.
Pada hal ia mempunyai harta dan kekuasaan untuk mencari
wanita yang masih perawan"
"Dengan demikian tuan hendak cenderung untuk
membayangkan kesan, bahwa di balik titah baginda terhadap
diri hamba itu, tersembunyi sesuatu maksud?"
"Semoga tidak, nyi Tanca" cepat ra Kuti menyambut
"terpaksa aku harus berbicara panjang lebar begini, tak lain
mudah-mudahan engkau mendapat bekal pengertian tentang
kaum pria dan sifat-sifatnya. Karena aku sendiri seorang lelaki
maka dapat menyelami kaum jenisku"
"Terima kasih ra Kuti" kata nyi Tanca lalu mohon diri
hendak mengambilkan minuman.
"Tak perlulah, nyi Tanca" buru2 ra Kuti mencegah "karena
sampai hari telah sekian tinggi belum juga ra Tanca pulang,
aku hendak pergi ke lain tempat saja. Hanya tolong sampaikan
kepada ra Tanca agar malam ini suka berkunjung ke
kediamanku" Demikian setelah melepaskan kepergian kepala Dharmaputera maka masuklah nyi Tanca ke dalam peringgitan
gedung kediamannya. Ia mulai merenungkan pembicaraan
dengan Kuti tadi. "Memang agak aneh tindakan baginda itu. Mengapa harus
aku yang meramukan obatnya. Tetapi bagaimana kalau
sampai keliru" Bukankah besar sekali tanggungjawabku ?"
Demikian tak henti-hentinya nyi Tanca merenungkan
persoalan itu dan akhirnya ia harus memilih, memberitahu
kepada ra Tanca atau tidak.
"Ah ...." tiba2 ia mengeluh "bukankah ra Kuti sudah
mengetahui hal itu" Sekalipun aku tak memberitahu,
bukankah ra Kuti dapat menyampaikan hal itu kepada kakang
Tanca" Dan apabila kakang Tanca mendengar, jelas dia tentu
menuduh aku tak setya. Maka lebih baik kuberitahukan hal itu
kepadanya saja" "Tetapi bagaimana dengan pesan baginda supaya jangan
memberitahukan hal itu kepada siapa saja bahkan kepada ra
Tanca sekalipun?" tiba2 nyi Tanca tersentak oleh pertanyaan
yang melintas dalam benaknya "ah, baiklah kurundingkan hal
itu kepada kakang Tanca"
Keputusan itu telah menenangkan perasaan nyi Tanca.
Tetapi suatu rasa heran2 cemas cepat menyibak pula
ketenangan hatinya. "Mengapa sampai tengah hari belum juga
kakang Tanca pulang" Bukankah biasanya sebelum tengah
hari dia tentu sudah mengundurkan diri dari hadapan
baginda?" Sepengunyah sirih kemudian, ia terkejut ketika penjaga
pintu regol menghadap dan memberitahukan tentang
kedatangan seorang nayaka utusan dari sang prabu. Bergegas
gegas segeralah nyi Tanca ke luar menyambut
Seorang prajurit berpangkat bekel segera memberi hormat
kepada nyi Tanca dan menyampaikan berita dari ra Tanca.
Bahwa karena dititahkan baginda, pagi itu juga ra Tanca
berangkat ke Daha untuk menolong patih Daha yang sedang
menderita sakit gawat. "Gusti Tanca tak sempat pulang dan mengutus hamba
untuk menghaturkan keterangan ini kepada tuan" bekel
prajurit itu menyudahi tugasnya.
Masih termenung-menung nyi Tanca walaupun bekel
utusan keraton itu sudah lenyap dari pandang mata.
Pikirannya bercabang menumbuhkan dua buah peristiwa. Ia
terkejut ketika menyadari bahwa penjaga pintu masih berdiri
menunggu di samping kiri.
"Tutuplah, kakang" katanya kepada penjaga pintu "dan
beritahu kepada setiap tetamu yang akan berkunjung ke mari
bahwa gusti Tanca tiada di rumah, sedang melakukan titah
baginda ke Daha" Penjaga itu serta merta mengiakan.
Gedung kediaman Dharmaputera ra Tanca, amat teratur
dan sedap dipandang. Walaupun gedungnya tiada berapa
besar tetapi halaman muka pendapa cakup lebar, penuh dihias


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tanaman bunga. Di bawah perawatan dan penyusunan
tangan seorang wanita yang gemar akan seni keindahan,
gedung tabib yang termasyhur itu, dapat menimbulkan
suasana yang mengesankan hati.
Sebuah kolam yang ditengahnya berhias arca seorang
bidadari berdiri di atas naga berkepala sembilan. Setiap kepala
naga mulutnya menyemburkan air ke dalam kolam. Ikan2 hilir
mudik mendayung diri, berkejar-kejaran di celah kelopak
bunga teratai yang menghias permukaan kolam.
Namun kesemuanya itu tidaklah memikat perhatian nyi
Tanca yang tengah terbenam dalam kemenungan.
"Heran" gumamnya dalam hati "mengapa kedua peristiwa
itu hampir berkait dan seolah merupakan kelanjutan antara
yang satu dengan yang lain. Pada hal jarang kalau tak dapat
dikatakan tak pernah, baginda khusus menitahkan ra Tanca ke
luar daerah untuk memberi pertolongan pada orang sakit.
Pada umumnya, si penderita itulah yang memerlukan datang
berkunjung ke mari ...."
Nyi Tarca seorang wanita yang tiada pengalaman bergaul
dan seorang wanita yang masih bersih pikiran. Tak pernah ia
menyangka ataupun membayangkan betapa liku2 siasat
seorang pria yang tengah mengarahkan hasrat hatinya
terhadap seorang wanita. Dan andaipun ia memiliki
pengetahuan semacam itu, masih ia tak berani untuk
menjatuhkan dugaan terhadap baginda Jayanagara.
Bahkan bayang2 renungannya itu seakan awan terhembus
angin dikala ia teringat akan titah baginda yang telah
disanggupkannya. Nanti menjelang penerangan lampu
dinyalakan, ia harus menghadap baginda ke keraton untuk
mempersembahkan ramuan obat.
Pemikiran tentang kepergian secara mendadak dari
suaminya, cepat terhapus oleh kegugupan akan kesanggupannya kepada baginda "Ah, ramuan apakah yang
harus kupersembahkan kepada baginda?"
Terbayang akan kemurkaan baginda apabila ia sampai tak
dapat menetapi kesanggupannya, hati nyi Tanca makin gelisah
resah. Cepat ia berbangkit dan menuju ke ruang tempat
penyimpanan obat dari ra Tanca. Tetapi ah, pintu ruang itu
dikunci erat2. Melemparkan diri ke atas sebuah kursi, ia berkeluh kejah
"Ah, mengapa aku tak pernah tertarik perhatian untuk
mempelajari ilmu pengobatan dari kakang Tanca....."
Sudah lazim bahwa setiap penyesalan itu tentu datang
kemudian. Tetapi kurang tepat apabila dikatakan bahwa sesal
kemudian tiada guna. Karena rasa sesal itu timbul dari rasa
kesadaran akan kesalahan yang telah dilakukan. Ada pula rasa
sesal itu tak pernah dimiliki oleh orang2 yang gelap hatinya,
sehingga mereka tak pernah merasa bahwa perbuatannya itu
salah. Oleh karena itu, menyesal atau menyadari kekeliruan itu
berguna juga untuk langkah selanjutnya. Kesadaran akan
kekeliruan, merupakan titik tolak ke arah benar.
Rasa bimbang, bingung dan gelisah, menimbulkan kabut
kegelapan dalam pikiran. Demikian yang sedang dialami oleh
nyi Tanca. Makin bimbang, makin goncang. Makin bingung,
makin bingung, makin gelisah makin berpayah-payah. Dan
sebagaimana hal dengan letusan gunung berapi, apabila
magma atau kerak bumi sudah mencapai puncak pendidihan
maka akan meletuslah lava atau lahar panas, disertai pula
dengan hamburan kabut abu yang menjulang tinggi ke
angkasa. Namun sesuatu yang telah mencapai puncak
kedahsyatannya tentu segera akan turun dan mengendap ke
bawah pula. Ledakan kebingungan nyi Tanca, dilakukan dengan gerak
tubuhnya yang diayun sang kaki mondar mandir di ruang
dalam. Walaupun memecahkan persoalan itu bukan dengan
cara bcjalan mondar mandir melainkan harus dengan pikiran.
Namun gerak kaki itu membantu melemaskan urat2 kepalanya
yang meregang tegang dan akhirnya karena kaki letih,
tubuhpun ikut lunglai, diiring pula dengan mengendapnya
pikiran yang bingung. Kembali nyi Tanca menghempas diri ke atas sebuah kursi,
letih dan lunglai. Sambil beberapa waktu ia memanjakan diri
dalam keheningan. Denyut kepalanya pun mulai mengendor
dan tenang. Tenang pikiran, tenang hati dan tenang puta bayang2
yang melayang di cakrawala renungan. Yang tampak tiada lagi
kecemasan untuk melaksanakan titah baginda, melainkan
hari2 yang penuh ketenangan selama bertahun-tahun ia
bersuami ra Tanca..... Sedemikian tenang dan bahagia. Bahkan ketenangan
suasana rumah tangganya sedemikian mencengkam sehingga
menyerupai kesenyapan. Tenang dalam arti kata bahwa sejak
hidup dengan ra Tanca, tak pernah suaminya itu marah
ataupun mengucap kata2 kasar walaupun sepatah jua. Tak
pernah meluncur ucapan menegur dari mulut ra Tanca
walaupun ia sebagai seorang isteri sering terlambat bangun
pagi dari suaminya yang sudah mengurung diri dalam ruang
perpustakaan tempat penyimpan kitab2 ilmu pengobatan.
Hampir dapat dikata bahwa ra Tanca terlalu tekun
membenam diri dalam mengaji dan menggali ilmu pusaka
tentang ramuan dan daun obat. Sibuk pula suaminya itu
menerima orang2 yang menderita sakit yang datang meminta
obat. Hampir suaminya itu tiada waktu luang untuk menikmati
kebahagiaan kehidupan suami isteri.
"Menolong sesama manusia adalah filsafih hidupku, yayi"
kata ra Tanca "rupanya dewata merestui anugerah kepadaku
ilmu ramuan obat untuk menolong dan meringankan beban
penderitaan sesama manusia"
"Adakah tiada keinginan lain dalam hati kakang dalam
membina kehidupan kita, kecuali uutuk menolong manusia
yang menderita sakit ?"
"Aku merasa berbahagia mempunyai seorang isteri yang
bijak dan mengerti diriku seperti engkau, yayi" tiap kali selalu
ra Tanca mengalih jawaban atas pertanyaan sang isteri yang
ingin mendambakan kehidupan rumah tangga.
Ada kalanya ra Tanca begitu sibuk dan gelisah sehingga
lupa makan, apabila menghadapi suatu penyakit baru yang
dibawa pengunjungnya Bila tak berhasil menemukan ramuan obatnya, ra Tanca
duduk termenung menung sampai berjam jam. Dan ada
kalanya menyikap diri dalam ruang, pantang makan pantang
minum, bersemedhi memohon restu kepada dewata.
Ada kalanya dia ke luar berjalan jalan di tempat yang sepi
"Hai ...." tiba2 tersentaklah nyi Tanca dari renungannya ketika
membayangkan kelakuan suaminya. Bukankah sering pula
suaminya itu menuju ke kebun belakang untuk menemui
pamannya resi Kadipara "
Resi Kadipara yang bertubuh bungkuk dan buruk muka,
ditempatkan di kebun belakang oleh ra Tanca. Bagi resi tua
yang sudah sepi hatinya, penempatan itu malah merupakan
suatu kebahagiaan yang terselubung. Karena di kebun
belakang yang luas dan penuh dengan pohon2 itu, ia dapat
leluasa mengheningkan cipta.
Agak terkejut ketika resi bungkuk yang tengah duduk
menikmati cakrawala surya senja hari, melihat kedatangan nyi
Tanca, menantu kemanakannya. "Ah, tiada sari sarinya
engkau datang ke kemari, nini" tegur resi Kadipara "tentulah
ada sesuatu yang penting"
"Semoga tak mengganggu ketenangan paman resi" sahut
nyi Tanca seraya mengambil tempat duduk menghadapi resi
itu. "Ah, sama sekali tidak" jawab resi Kadipara "aku selalu
senggang, tiada pekerjaan yang penting kecuali membersihkan kebun ini"
Setelah mengendapkan perasaannya yang tegang,
mulailah nyi Tanci berbicara, "Paman, ada sebuah hal yang
ingin kubicarakan dengan paman"
Nyi Tanca lalu menuturkan apa yang dialaminya dengan
titah baginda. "Sebenarnya hendak kukatakan hal itu kepada
kakang Tanca tetapi hari ini kakang Tanca diutus baginda ke
Daha untuk menolong sakit patih Daha. Itulah sebabnya aku
hendak mohon pertolongan paman untuk membuatkan
ramuan obat itu yang nanti petang harus kuhaturkan ke
hadapan baginda" Kadipara berdiam diri sampai beberapa saat.
"Bagaimana paman?" ulang nyi Tanca.
"Setiap macam obat hanya tertuju pada suatu penyakit.
Dan penyakit itu harus diketahui sumbernya. Sama2 kepala
pening, tidak dapat tidur, semangat lunglai, beda sumbernya
pun beda pengobatannya"
Nyi Tanca tertegun. "Terlalu lelah bekerja dengan tenaga, dapat menyebabkan
penyakit semacam itu. Terlalu banyak menggunakan pikiran,
dicengkam ketakutan, kegelisahan, pun dapat terserang
penyakit semacam itu. Perobahan hawa dalam musim
pancaroba, mudah membawa gejala2 penyakit itu pula. Dan
bagi orang lelaki, terlalu mengumbar nafsu kejantanannya
juga dapat menimbulkan penyakit semacam itu. Dengan
demikian kita harus tahu sumber penyakitnya, barulah dapat
memberi pengobatan yang tepat
"Tetapi .... . bagaimana kutahu sumber penyakit baginda?"
keluh nyi Tanca "baginda tak menerangkan apa2"
"Bagaimana tampaknya sikap dan seri wajah baginda
ketika engkau menghadap" tanya resi Kadipara.
"Biasa, sehat2 saja" jawab nyi Tanca.
Resi Kadipara kerutkan dahi "Hm" ia mendesuh lalu
berdiam diri. Sementara nyi Tanca memandangnya dengan
penuh harap. "Nini" sesaat kemudian resi tua itu berkata "tidakkah
engkau memberi tahu hal itu pada Tanca?"
Dengan terus terang nyi Tanca mengatakan bahwa karena
merasa takut pada pesan baginda maka ia belum
memberitahukan itu kepada suaminya. Tetapi setelah tadi ra
Kuti berkunjung dan mengetahui peristiwa itu, "kepala
Dharmaputera itu menyarankan agar ra Tanca diberitahu."
"O, ra Kuti telah mengetahui hal itu?" seru resi Kadipara
"jika demikian tiadalah perlu engkau cemas menghadap
baginda" "Paman bersedia membantu meramukan obat itu?" nyi
Tanca berseru girang. Resi Kadipara mengangguk. Kemudian ia masuk ke dalam
bilik dan tak berapa lama telah memberi sebungkus ramuan
jamu yang digulung kecil menyerupai biji kapas. Ia pun
memberi petunjuk aturan minumnya.
"Apakah petang ini juga engkau akan ke istana?" tanya
resi Kadipara. "Aku terpaksa harus menepati janji kepada baginda" kata
nyi Tanca. "Nyi Tanca" kata resi tua itu dengan nada bersungguh
"jika malam ini engkau menemui kesulitan lekaslah engkau ke
luar ke halaman dan gentakkanlah kakimu tiga kali pada bumi
seraya menyebut namaku. Aku pasti datang ..."
"Paman!" nyi Tanca terkejut. Tetapi sesaat kemudian ia
menghela napas manakala matanya memandang resi tua yang
masih menjadi paman dari ra Tanca "ah, janganlah paman
berolok-olok. Aku tentu akan berusaha untuk menjaga diri.
Baik-baiklah paman tinggal dalam rumah ini untuk menjaga
keamanan rumah kita selama suami hamba tiada di rumah"
"Nyi Tanca, kutahu maksudmu. Tetapi tiada jeleknya
apabila engkau benar2 berada dalam kesulitan untuk mencoba
melakukan pesanku tadi. Apabila Kadipara tua ini tak sampai
menetapi ucapanku tadi, ludahilah mukaku"
"Paman ..." nyi Tanca terbeliak.
"Sudahlah, surya sudah terbenam di balik gunung.
Sebaiknya engkau segera berkemas ke istana" cepat resi
Kadipara menukas. Nyi Tancapun menghaturkan terima kasih dan terus minta
diri kembali ke dalam gedung.
Betapa gembira baginda Jayanagara ketika malam itu nyi
Tanca menghadap ke keraton untuk mempersembahkan
ramuan obat yang dimintanya.
"Ah, sedap benar bau ramuan obat ini" puji baginda "daun
apakah yang engkau ramukan?"
"Hamba teringat akan ramuan jamu yang mendiang nenek
hamba dahulu meminumkan kepada hamba apabila hamba
sakit, gusti" nyi Tanca terpaksa merangkai suatu cerita.
"Tetapi mengapa seharum ini ?" baginda tertawa cerah.
Nyi Tanca terkesiap "Entah, gusti, pada hal ramuan itu
sebagian besar dari tumbukan buah pala"
"O, kutahu" kata baginda pula "apa sebab ramuan obat ini
sedemikian harumnya. Bukankah engkau taruh dalam
dadamu" "Ti ".. dak, gusti" nyi Tanca berdebar "hamba genggam
dalam tangan" "Ah, benar" seru baginda pula "cobalah engkau angsurkan
tanganmu" Nyi Tanca tak mengerti apa maksud baginda menitahkan
begitu. Namun karena takut, terpaksa ia mengulurkan juga.
Tiba2 baginda mendekap tangannya dan mengelus-elus
telapak tangan itu "Wahai, benar, inilah yang menyebabkan
ramuan obat itu berbau harum" seru baginda tertawa.
Nyi Tanca tersipu-sipu merunduk kepala, seraya pelahanlahan menarik tangannya.
"Adakah engkau tak pernah merasakan hal itu, nyi Tanca?"
tegur baginda pula. Nyi Tanca mengangkat muka, memberi sembah "Ampun,
gusti. Hamba tak mengerti titah paduka"
Baginda tertawa "Yang membuat ramuan obat itu berbau
sedap yalah keringatmu, nyi Tarca ....?"
Serasa terhentilah detak jantung wanita itu demi


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar ucapan baginda. Wajahnya pucat lesi , tubuh
gemetar. Nada ucapan dan sikap baginda mengharuskan ia
teringat akan kata2 ra Kuti.
"Ah, adalah pengutusan
kakang Tanca ke Daha itu juga mempunyai kaitan dengan peristiwa yang akan
kualami malam ini?" nyi
Tanca mengeluh, dan mengesah. Ia kehilangan faham walaupun sebelumnya
telah dibekali pengertian
oleh ra Kuti. "Alangkah beruntung ki
Tanca mendapatkan seorang
isteri seperti engkau, nyai"
ujar baginda pula, "bukankah engkau juga berbahagia mempunyai suami ki Tanca?" Entah bagaimana tiba2 pula nyi Tanca tergugah
semangatnya. Bahwa untuk menghadapi baginda, bukanlah
berkeluh dan berkesah dalam kebingungan, melainkan harus
menggunakan alal daya agar dapat meloloskan diri. "Gusti
junjungan hamba" ia merangkai kata2 yang halus disertai
dengan sembah, "sebaiknya paduka minum dahulu obat itu,
agar penyakit paduka cepat sembuh, gusti."
"Ah, baiklah, tetapi agar peningku cepat hilang, baiklah
engkau yang mempersiapkan perakitan obat itu" titah
baginda. Makin meningkat keprasangkaan nyi Tanca terhadap
maksud baginda dan makin mengendaplah kegelisahannya ke
arah pemikiran yang mantap. Ia melakukan titah baginda.
Setelah mencairkan dan melumat jamu ke dalam sebuah
mangkuk, maka dipersembahkannya
Bagindapun menghabiskannya.
kepada baginda. "Kata orang, menderita penyakit itu merupakan kesedihan.
Tetapi kurasa sakit itu menyenangkan sekali apabila yang
merawat seorang perawat seperti dikau, nyai" kata baginda.
"Ah, gusti....." nyi Tanca menunduk kesipuan.
"Maka kukatakan, walaupun aku seorang raja tetapi masih
kalah bahagia dengan ki Tanca," kata baginda pula.
"Duh, gusti junjungan hamba" sahut nyi Tanca, "persada
bumi Majapahit penuh bertabur bunga2 yang cantik. Paduka
dapat mempersuntlng yang manapun jua. Kakang Tanca
hanya mampu memperoleh seorang wanita jelek seperti diri
hamba. Tidakkah sejauh bumi dengan langit jaraknya
kebahagiaan paduka dengan ki Tanca ?"
Baginda tertawa "Kebahagiaan itu suatu Rasa. Tak dapat
Rasa diukur dengan benda keduniawian. Aku sungguh kasihan
akan nasibmu, nyai" Nyi Tanca terkejut "Mohon paduka berkenan melimpahkan
penerangan kepada hamba yang bodoh"
"Lama sudah kudengar bahwa ki Tanca itu seorang yang
mencintai ilmu di atas segala. Kegemarannya menuntut ilmu
pengobatan, sudah mendarah daging dalam jiwanya. Dia lebih
menyintai ilmu dari isterinya. Lebih senang membelai belai
lembaran kitab daun lontar dari pada membelai rambut
isterinya. Lebih senang meneliti jenis daun obat daripada
memandang wajah isterinya. Tidaklah harus kulimpahkan rasa
kasihan terhadap dirimu yang tak mendapat perhatian dari
suamimu itu ?" Sesaat pucat sesaat merahlah warna yang bertebaran
pada wajah nyi Tanca. Memang apa yang diucapkan baginda
itu suatu kenyataan yang dialaminya dalam kehidupan seharihari bersama ra Tanca. Namun bukanlah kenangan itu yang
harus mendapat perhatian dalam benaknya. Yang penting ia
harus mencari upaya menghadapi letikan bara yang hendak
dikobarkan melalui rayuan baginda itu. Betapapun jelek dan
lengah perhatian ra Tanca terhadap dirinya, namun ia adalah
isteri dari pria itu. "Buruk atau baik dia adalah suamiku, guru
lakiku yang wajib kudambakan rasa kesetyaan sampai pada
akhir hayatku" demikian hamburan kata dalam hatinya.
"Gusti" akhirnya ia memberanikan hati "hamba diasuh oleh
rama ibu dan diwejang oleh para guru brahmana. Masih ingat
sekali hamba akan kata2 wejangan itu 'Yatra mehlyate bharta
svayam, maya ca tatra gantavyam, esa dharmah sanata-nah!
Ke mana suami saya dibawa pergi, ke sanalah juga saya harus
pergi. Itulah dharma yang abadi ..."
Baginda terkesiap. "Ajaran itu, gusti, telah tertanam dan berakar dalam taman
hati hamba. Walaupun ki Tanca kurang memperhatikan diri
hamba, tiadalah alasan untuk hamba mengurangi kesetyaan
hamba kepadanya. Dan hamba maklum, bahwa lengahnya
kewajiban suami hamba kepada isterinya itu bukan tertumpah
pada lain wanita melainkan kepada pendirian hidupnya, citacitanya untuk mengungkap dan menggali kekayaan bumi kita
dan peninggalan kakek moyang kita akan ilmu obat-obatan.
Kata ki Tanca, mengabdi dan mengamalkan ilmu demi
menolong penderitaan rakyat, adalah suatu dharma-bhakti
yang mulia. Dengan memperdalam ilmu pengobatan itu, suami
hamba hendak memajukan kesehatan rakyat. Bila rakyat
sehat, negara pasti kuat dan jaya"
Baginda bersandar pada tempat duduknya dan diam saja.
"Hamba setya bakti ki Tanca bukan karena dia seorang
priagung yang termashyur. Bukan pula karena dia sanggup
memanjakan diri hamba dalam genangan intan permata.
Tetapi karena hamba menjunjung dan mengagumi pendirian
hidup dan peribadinya. Hamba rela berkorban menunggu
dalam penantian malam2 yang hampa demi membantu
ketenangan ki Tanca dalam memperdalam ilmu ketabibannya"
Masih baginda berdiam diri.
"Maaf, gusti, apabila hamba lancang mulut, khilaf kata" nyi
Tanca menutup persembahan kata dengan mengunjuk
sembah. Tetapi ditunggu sampai beberapa jenak belum juga
tampak baginda Jayanagara mewedar titah
"Gusti ......" seru nyi Tanca penuh keheranan. Diulangnya
sampai dua tiga kali, belum juga baginda mengucap titah. Dan
manakala nyi Tanca memberanikan hati untuk memandang ke
arah baginda, serentak terbelalaklah matanya.
Baginda duduk bersandar dengan pejamkan netra dan
pelahan-lahan terdengar nafas baginda mendengkur kecil ....
"Gusti" serentak nyi Tanca berbangkit dan melangkah ke
hadapan baginda. Ditatapnya wajah raja yang menguasai
kerajaan Majapahit itu. Dinyalangkan mata dan perhatian
untuk menyeksamakannya. "Ah, baginda sudah beradu ...." ia
menghela napas kejut. Memang baginda Jayanagara telah tertidur di atas kursi
kebesaran yang terbuat daripada gading beralas permadani
pelangi yang indah. Sesaat tertegunlah nyi Tanca "Ah, kiranya paman resi
Kadipara telah memberi jamu penidur yang amat manjur.
Hanya dalam beberapa kejab setelah minum adonan jamu,
bagindapun telah terlena ...."
Diam2 isteri ra Tanca itu bersyukur atas bantuan resi
Kadipara untuk menolong dirinya dalam kesulitan. Tetapi
beberapa saat kemudian, timbullah rasa bingung dalam
hatinya. Apakah yang harus ia lakukan. Meninggalkan baginda
terlena di atas tempat duduk lalu ia pulang" "Ah ....
bagaimana apabila terjadi sesuatu pada baginda karena
minum ramuan obat itu?" kesangsian mulai menyelinap dalam
hatinya. Ia makin resah "Tetapi kalau aku harus menunggu di
tempat peraduan baginda, bukankah hal itu akan
menimbulkan berita yang menggemparkan?"
Nyi Tanci mulai gugup Untunglah sepercik sinar terang
merekah dalam pikirannya. Segera ia bergegas ke luar untuk
mencari para dayang perwara yang mengurus peraduan
baginda. Tetapi baru melangkah beberapa tindak, terdengarlah derap langkah kaki orang dan pada lain saat
muncul dua orang prajurit bhayang-kara.
Segera teguran dilancarkan kedua bhayangkara itu kepada
nyi Tanca "Baginda beradu di mahligai, terlena di atas kursi
kencana. Aku hendak mengabarkan dayang perwara untuk
membawa baginda ke tempat peraduhan"
Pengawal itu kerutkan dahi "harap tunggu di sini, akan
kupanggilkan nyi Lurah Dalam, kepala para dayang" kata
seorang pengawal lalu membisiki kawannya dan ia sendiri lalu
melangkah pergi. Nyi Tanca ditinggal bersama pengawal yang
seorang. Tak berapa lama muncullah seorang dayang setengah tua
diiring pengawal tadi "Bagaimana rakryan puteri ?" tegur nyi
Lurah Dalam kepada nyi Tanca.
Nyi Tanca pun memberi keterangan tentang keadaan
baginda setelah minum ramuan obat. Tetapi tidak diuraikan
tentang percakapan yang dialami dari baginda.
Nyi Lurah Dalam segera masuk. Kemudian ia memanggil
beberapa dayang untuk mengangkat baginda ke peraduan.
"Sebaiknya rakryan puteri bermalam di keraton" kata nyi
Lurah Dalam selesai membawa baginda ke tempat peraduan.
"Mengapa ?" nyi Tarca terkejut.
"Kami tak tahu bagaimana keadaan baginda setelah
terjaga esok hari" kata kepala dayang keraton itu.
Nyi Tanca merenung sejenak dan segera dapat menyelami
apa yang terkandung dalam hati nyi Lurah dayang itu.
Tentulah dayang itu kuatir apabila terjadi sesuatu pada
baginda. Maka secara halus nyi Tanca hendak ditatun.
"Tetapi nyi Lurah" kata nyi Tanca "apabila memerlukan
aku, setiap saat dapatlah mengirim utusan ke rumah ra Tanca"
"Benar, nyi rakryan Tanca" sahut nyi Lurah Dalam yang
walaupun sudah berusia setengah abad namun bekas2
kecantikannya pada masa muda masih membekas pada
wajahnya yang tetap berseri "tetapi mohon memberi maaf
kepada hamba. Sebagai Lurah-dalam keraton, hamba
bertanggungjawab atas keselamatan para gusti puteri,
terutama sang nata. Hendaknya nyi rakryan dapat memaklumi
kewajiban hamba" "Tetapi nyi Lurah" bantah nyi Tanca "kiranya nyi Lurah
dapat memaklumi keadaanku sebagai seorang isteri dari
rakryan Tanca yang menjadi salah seorang Dharmaputra
kerajaan Majapahit. Betapa marah raktyan Tanca, betapa aib
malu yang kuderita apabila berita tentang beradanya diriku
malam ini dalam keraton, tersiar"
"Tetapi nyi rakryan ...."
"Keluhuran nama rakryan Tanca sebagai seorang
Dharmaputera kiranya layaklah mendapat kepercayaan dari
nyi Lirah. Sebagaimana sang prabu sendiri telah melimpahkan
kepercayaan itu melalui pengangkatan rakryan Tanca sebagai
Dharmaputera. Aku segera akan menghadap, setiap waktu
menerima titah baginda"
Alasan yang dikemukakan isteri ra Tanca itu memang
cukup kuat tetapi nyi Lurah Dalam rupanya mempunyai
pemikiran tersendiri. Diapun seorang lurah dayang yang hidup
dalam lingkungan suasana keraton yang keras dan kukuh
peraturannya. Dan sebagai seorang wanita setengah lanjut
usia iapun pernah mengenyam kehidupan masa muda yang
penuh dengan badai musim remaja. Badai yang bersumber
dari kecantikan wajahnya. Samar2 ia telah merangkai dugaan
tentang hadirnya nyi Tanca ke hadapan baginda, bahkan di
mahligai peraduan baginda. Dan lurah dayang itupun cukup
kenal akan kegemaran peribadi sang prabu.
Rangkaian dugaan itu menimbulkan prasangka yang
mengabut awan kecurigaan bahwa ramuan obat yang diteguk
baginda itu mengandung sesuatu yang membahayakan diri
baginda. Apabila ia hendak melepas nyi Tanca pulang, bila
kecurigaannya itu benar, tentulah nyi Tanca akan berusaha
menyelamat-diri. Dan kesalahan pasti akan terjatuh pada
dirinya karena telah melepas nyi Tanca pulang.
Naluri sebagai seorang lurah dayang setengah tua yang
patuh akan peraturan keraton, menimbulkan bayang2
ketakutan dalam hati nyi Lurah Dalam. Akhirnya dengan
sangat, ia minta kepada nyi Tanca supaya meluluskan
permintaannya. Nyi Tanca juga ingin tegak di atas landasan pendiriannya
sebagai seorang isteri Dharmaputera. Iapun memberi jaminan
untuk menghadap ke istana mempertanggungjawabkan segala
sesuatu mengenai diri baginda.
Demikian kedua wanita itu saling meregang urat, masing2
mempertahankan pendirian dan alasannya.
"Baiklah, nyi rakryan Tanca" tiba2 nyi Lurah Dalam
berganti nada "kulepaskan kewajibanku. Mereka juga
mempunyai beban tanggungjawab" habis berkata kepala
dayang itu memberi hormat lalu melangkah pergi.
Setelah nyi Lurah Dalam masuk ke dalam mahligai lain
maka beralihlah pandang mata nyi Tanca kepada kedua
prajurit pengawal. Ia tak bicara apa2 melainkan bertanya
dengan pandang mata. Salah seorang prajurit yang berkumis, menghela napas,
"Maaf, gusti, hamba terpaksa harus taat pada perintah
kewajiban hamba sebagai bhayangkara keraton"
Nyi Tanca kerutkan alis, "Artinya ki prajurit hendak
bertindak seperti nyi Lurah Dalam tadi?"
"Mohon gusti puteri memberi
pengawal itu "hamba terpaksa"
maaf" sahut prajurit Dahi nyi Tanca makin meliuk tegang "Tidakkah terlintas
dalam hatimu, apakah yang akan engkau derita apabila kepala


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dharmaputera itu mendapat berita bahwa engkau telah
menahan isterinya?" Prajurit berkumis itu terkesiap dan tergugu diam.
"Maaf, gusti puteri" tiba2 prajurit yang seorang, lebih
muda dari yang berkumis, berkata, "hamba dan kawan hamba
ini bertanggungjawab kepada ki bekel pasukan pengawal
keraton. Dan hamba pun hanya menjalankan perintah atasan
hamba. Apabila hamba bersalah terhadap gusti, hamba pun
akan menerima hukuman dari atasan hamba?"
Dengan kata2 itu prajurit yang lebih muda hendak
menyatakan bahwa mereka berdua hanya mendengar perintah
atasannya saja. Tidak kepada narapraja ataupun senopati lain,
Dada nyi Tanca berombak keras karena menahan luapan
amarah. Namun ia menyadari bahwa lurah dayang maupun
pengawal2 keraton itu memang hamba sahaya yang patuh
kukuh akan tata peraturan keraton. Sukar kiranya untuk
memberi alasan lain kepada mereka.
Nyi Tanca mulai gelisah dan makin gelisah. Membayangkan betapa ia akan menyembunyikan muka
terhadap ra Tanca apabila berita itu sampai terdengarnya,
serasa ingin kiranya ia hendak memekik dan menangis. Tiba2
terlintaslah pesan resi Kadipara sore tadi "Ah, dapatkah paman
resi itu menolong kesukaranku " Tetapi bagaimana mungkin?"
ia membantah pernyataannya sendiri "penjagaan dalam puri
Tikta-Sripstla begini ketat, jangankan manusia, nyamuk pun
kiranya sukar untuk masuk ...."
Nyi Tanca pejamkan mata untuk menenangkan
ketegangan pikirannya. Sesaat kemudian serasa terngiang
pula pesan resi Kadipara, ".... apabila Kadipara situa ini tak
menetapi janji, ludahilah mukanya ....."
Serentak terhentaklah semangat nyi Tanca dari kehilangan
asa. "Mengapa tiada kucoba" Andaikata tak terlaksana,
akupun takkan menyesali paman lesi. Lebih2 takkan
meludahinya" Dalam keputusan daya itulah nyi Tarca terpaksa ingin
mencoba melakukan pesan resi Kadipara. Ia turun ke
halaman. Tanpa menghiraukan bahwa kedua pengawal
keraton tetap membayangi di belakangnya, ia tegak
menengadahkan kedua tangan lalu berbisik pelahan, "Paman
resi Kadipara, aku berada dalam kesulitan ...." sesaat
menahan napas maka iapun segera menghentakkan sebelah
kakinya ke tanah tiga kali ....
Beberapa saat kemudian terdengarlah derap langkah
orang menghampiri. Dan pada tempo kejab muncullah
seorang bertubuh agak pendek gempal. Keremangan daun
rindang yang merubuh ke halaman, menimbulkan gambaran
bahwa bayang2 pendatang itu mirip dengan perawakan resi
Kadipara. "Oh" nyi Tanca berseru tertahan karena hampir tak
percaya akan pandang matanya "paman re ?""
Kata2 nyi Tanca sesentak terkerat putus ketika bayang2
pendatang itu tiba beberapa langkah dari tempatnya dan
wajah yang menyembul ditingkah curahan sinar bulan segera
membayang jelas pada pandang matanya ....
Pendatang itu mengenakan seragam keprajuritan
bhayangkara keraton. Bertubuh tegap walau agak pendek,
berwajah besar dengan dahi lebar dan mata yang bersinar
tajam. Umurnya masih muda namun memiliki perbawa yang
mengundang rasa keseganan orang.
"Siapakah wanita ini!" tegur prajurit muda itu kepada
kedua prajurit pengawal. "Gusti puteri Tanca, ki bekel Dipa" sahut salah seorang
pengawal dengan nada patuh.
"Hah ?" prajurit yang disebut bekel dan ternyata memang
Dipa itu memekik kecil, "isteri gusti rakryan Kuti kepala
Dharmaputera?" "Benar" sahut prajurit berkumis. Lalu menuturkan apa
yang telah terjadi beberapa saat tadi "persoalan ini kami
mohon keputusan ki bekel"
"Gusti puteri" kata Dipa kepada nyi Tanca, "apakah
kehendak rakryan puteri?"
Nyi Tanca masih terhimpit dalam kekecewaan. Karena apa
yang disangka, ternyata bukan. Dan rasa kecewa itu segera
meluncur dalam kata2 jawabannya
"Sia2 aku membuang ludah, karena bagaimanapun engkau
tentu akan berpijak pada pendirian untuk menahan aku di
sini." Dipa terkesiap. Ia masih belum mengetahui jelas
bagaimana duduk perkaranya. Namun nada jawaban nyi
Tanca itu agak mengecoh hati.
"Rakryan puteri" katanya menahan kesabaran hati "apabila
gusti percaya kepada hamba, ingin benar hamba
mendengarkan keterangan yang sejelas-jelasnya mengenai
persoalan ini" Ada suatu perasaan aneh ketika nyi Tanca memberanikan
hati untuk memandang bekel prajurit bertubuh pendek tegap.
Raut wajah lurah prajurit yang masih muda itu cepat
menimbulkan suatu kesan yang meminta perhatiannya.
Mulutnya yang lebar dengan sepasang daun bibir yang
mengatup erat. melambangkan keyakinan diri, mengundang
kepercayaan orang kepadanya. Entah bagaimana, bergetar
suatu perasaan dalam hati nyi Tanca untuk mempercayai lurah
prajurit itu. "Ki lurah" kata nyi Tanca "apakah tugasmu malam ini ?"
"Malam ini hamba bertugas untuk mengepalai pasukan
pengawal keraton bagian puri-dalam"
"Engkau berhak penuh atas tugas itu ?" masih nyi Tanca
memancing-mancing keterangan.
"Tetapi bukan hak yang sewenang-wenang, melainkan
harus berdasar pertimbangan keadilan dan kebenaran, gusti
puteri," jawab Dipa.
Diam2 nyi Tanca tersentuh hatinya. Harapan mulai
merekah dan iapun segera menuturkan peristiwa menghadap
baginda untuk menghaturkan ramuan jamu seperti yang
dititahkan baginda. Setelah minum, baginda pun terlena dalam
kursi kencana. Kemudian ia mengundang nyi Lurah Dalam
untuk membawa baginda ke peraduan. Tetapi ketika ia hendak
pulang, nyi Lurah Dalam melarang. Demikian pula dengan
kedua prajurit penjaga puri. "Telah kupertaruhkan nama
rakryan Tanca sebagai jaminan bahwa takkanlah isterinya
meloloskan diri dari tanggungjawab atas keselamatan baginda
tetapi mereka tetap menolak" demikian nyi Tanca mengakhiri
penuturannya. Bekel Dipa mendengarkan dengan penuh perhatian.
Seiring disaat nyi Tanca masih bercerita, iapun sudah
menimang! suatu pertimbangan.
"Lanjutkan tugas di sini" tiba2 bekel Dipa berkata! "aku
hendak mengantar rakryan Tanca puteri pulang."
Kedua prajurit itu terkesiap. Demikianpun nyi Tanca
bahkan menyalangkan mata "Ki lurah, engkau hendak
mengantarkan aku ?" "Bukankah gusti berjanji hendak menghadap ke istana
setiap saat menerima titah baginda ?"
"Ya" sahut nyi Tanca.
"Aku menghormati setiap janji orang seperti janjiku
sendiri. Kupertaruhkan jiwa untuk melaksanakan janji itu" seru
Dipa pula. "Aku akan lebih menetapi janjiku demi menghormati
ucapanmu, ki lurah" nyi Tanca tak mau kalah.
"Jika demikian mari kita pergi, gusti"
"Tetapi bagaimana apabila orang atasanmu menyalahkan
tindakanmu ini, ki bekel?" masih nyi Tanca bersangsi "jika
demikian biarlah aku tetap tinggal di sini saja"
"Semua yang kulakukan, menjadi tanggung jawabku
sendiri" Dipa memberi kepastian.
Dengan pengawalan bekel Dipa, nyi Tanca pun dapat ke
luar dari keraton. Malam sudah senyap di kala mereka
menyusur lorong yang menuju ke tempat kediaman ra Tanca.
"Eh ......" tiba2 nyi Tanca berpaling dan-berseru kejut
ketika tak mendapatkan lurah prajurit Dipa berada di
belakang. Dilihatnya bekel itu sedang tegak terpaku di tengah
jalan. "Mengapa, ki bekel ...." nyi Tanca pun hendak melangkah
menghampiri. Tetapi sekonyong-konyong dilihatnya dengan
sebuah gerak yang amat cepat, bekel Dipa membungkuk ke
bawah, menyambar sekeping batu lalu berputar tubuh dan
menyambitkannya ke arah puncak pohon yang tumbuh
beberapa tombak di tepi jalan.
Pohon itu sebuah pohon brahmastana atau beringin yang
tinggi dan besar. Letaknya tepat dekat dengan tembok
halaman keraton. Apabila berada di puncak pohon, dapatlah
melihat jelas halaman di sebelah dalam.
Sambitan Dipa telah menimbulkan suatu kejadian yang
mengejutkan. Sesosok benda hitam yang menyerupai tubuh
manusia, meluncur turun dari gerumbul daun pohon yang
rimbun. Gerakannya tak ubah seekor kelelawar yang melayang
dari cerobong daun pisang.
"Hai, berhenti !" teriak Dipa seraya menghampiri dan terus
memburu ketika benda hitam itu bergelundungan ke tanah,
melonjak ayunkan tubuh ke udara, turun ke bumi loncat lagi.
Dan dalam dua tiga kali gerak loncat menurun, benda itupun
sudah lenyap di antara kegelapan.
Dipa makin terkejut dan makin pesatlah ia larikan kakinya
untuk mengejar. Tiba di sebuah tempat yang agak sepi ia
telah kehilangan jejak yang dikejarnya.
Ia tertegun memandang ke sekeliling. Beberapa langkah
dari tompatnya, tumbuh segerumbul pohon yang tak berapa
tinggi. "Hm" dengusnya seraya berkemas-kemas.
Setelah memperhitungkan jarak yang akan dijangkaunya
dengan sebuah gerak loncatan untuk menyergap secara tiba2,
Dipa pun segera membuat sebuah ayunan kaki untuk
mengantar tubuhnya melayang ke balik gerumbul. Dan
secepat kilat iapun segera menerkam tempat yang
diperkirakan menjadi tempat persembunyian orang buruannya.
"Uh ...." Dipa mengeluh tertahan ketika terkamannya itu
hanya memperoleh batang pohon. Tiada seorang manusia
ataupun benda suatu apa pada gerumbul pohon itu. Ia
termangu-mangu dalam keheranan. Segera timbul kesangsian
dalam benaknya. Ataupun benda itu lebih cepat bergerak dari
dirinya ataukah ia talah melihat dan salah sangka kalau
diantara gerumbul pohon itu terdapat benda hitam yang
diburunya. Dipa tertegun. Tiba2 angin lembut berkesiur singgah di hidungnya.
Hidungnya yang tajam pun cepat dapat mencium suatu bau
dari keringat orang. Cepat2 ia berputar tubuh dan ah .....
"Siapa engkau!" suara teguran cepat dilantangkan untuk
menindas kejut yang menggetar jantungnya. Jika tidak karena
kesiur angin, rasanya ia tak menyadari kalau di belakangnya
telah berdiri seseorang. "Hm, mengapa engkau mengejar aku?" balas orang itu.
Kini Dipa tak ragu lagi bahwa benda hitam yang bergerak
cepat tadi ternyata rasmang seorang manusia. Dan rupanya
bukan seorang manusia biasa melainkan manusia yang
berilmu. Jika tidak tak mungkin mampu melayang turun dari
puncak pohon brahmastana yang sedemikian tinggi dan
menyelimpat pergi sedemikian cepat.
Dari jarak empat lima langkah, Dipa memberi jawaban
"Sudah jelas, hendak menangkapmu"
"Menangkap aku " A pa salahku?" seru orang itu.
"Engkau seorang penjahat!"
"Aku penjahat?" ulang orang itu "kejahatan apakah yang
kulakukan" "Memanjat dan bersembunyi
di puncak pohon brahmastana tentu hendak mengintai ke dalam halaman
keraton" "Cukupkah alasan itu menjadi alasan?"
"Tiada orang yang memanjat di puncak pohon pada waktu
begini malam kecuali penjahat yang hendak menyelidiki
keadaan tempat yang hendak digarongnya"
"Masih ada lagi ?" tanya orang itu.
"Serahkan dirimu jika tak ingin kugunakan kekerasan!"
seru Dipa pula. "O, engkau membanggakan kekerasan ?" tegur orang itu.
"Bukan, melainkan hendak menjalankan kewajiban
menjaga keselamatan keraton Majapahit" sahut Dipa.
"Tetapi aku tak mengganggu
baginda" bantah orang itu.
keselamatan keraton "Lazimlah kalau penjahat itu menyangkal perbuatannya
yang jahat. Apabila tiada kuketahui, niscaya engkau
langsungkan rencana jahat itu" jawab Dipa.
Orang itu terdiam "Apakah seorang diri engkau mampu
menangkap aku?" "Bukan soal penting aku dapat menangkap dirimu atau
tidak. Yang penting, aku hurus melakukan kewajibanku
sebagai prajurit bhayangkara keraton"
Dipa melangkah dua tindak ke muka. Kini ia dapat
mengetahui jelas bahwa orang itu mengenakan kain hitam
untuk menyelubungi mukanya. Pakaiannya serba hitam.
"Hm, jelas engkau tentu seorang penjahat!" serunya pula.
"Ada tanda-tandanya?"
"Rakyat biasa tentu takkan menyelubungi mukanya
dengan kain kerudung. Atau mungkin wajahmu seburuk hantu
yang menyeramkan" "Engkau akan dapat mengetahui wajahku, setelah engkau
sanggup mengalahkan aku" seru orang itu.
"Tidak cukup mengetahui tetapi bahkan akan merobeknya
apabila ternyata engkau seorang penjahat yang hendak
mengganggu keselamatan puri keraton!" sahut Dipa.
"Tekebur" seru orang itu "cobakah kalau engkau mampu
...." orang itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat
itu Dipa sudah loncat menerjang. Rupanya terhadap seorang
penjahat, Dipa tak mau adu bicara yang tiada berguna.


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dipa bergerak amat cepat tetapi ternyata orang itu lebih
cepat pula. Karena walaupun sedang tukar tanya jawab, tetapi
sekejabpun orang itu tak terlena perhatiannya. Seiring pada
saat Dipa bergerak, iapun sudah mendahului bergerak loncat
ke samping. Terjangan pertama menerpa angin kosong, tidaklah
mengejutkan Dipa. Karena ia sudah memperhitungkan bahwa
orang itu tentu sakti mandraguna. Maka ia susuli lagi dengan
sebuah gerak terjangan seraya menghantam dengan lebih
cermat dan hati2. Orang itupun dapat mendahului gerak Dipa. Dia sudah
loncat ke samping ketika Dipa tiba. Tetapi sekalipun dapat
menghindar namun pakaian orang itu bergoncang keras ketika
tersambar angin pukulan Dipa yang dahsyat.
Dipa makin terpikat perhatiannya. Bukan turun nyali
karena menghadapi orang itu tetapi kebalikannya semangatnya malah lebih bergairah. Baginya setiap
menghadapi lawan yang lebih tinggi ilmunya, akan dapat
memberi pengalaman yang berguna.
"Awas ...." Dipa menyerempaki terjangan yang ketiga kali
dengan berseru memberi peringatan. Kali ini ia membuat
gerak tipuan yang mengejutkan lawan. Terjangannya tiba2
dihentikan .... "Mengapa berhenti?" tegar orang itu. Tetapi Dipa diam
saja. "Hai, mengapa engkau diam saja" Bukankah engkau
hendak menangkap aku?"
Dipa tetap diam. Setelah berulang kali berseru tanpa mendapat perhatian
Dipa, akhirnya orang itupun mendesuh "Hm, apa guna aku
berhadapan dengan patung ..."
"Berhenti!" sekonyong-konyong Dipa menghardik keras
ketika orang aneh itu berputar tubuh hendak pergi.
Orang itu hentikan gerak langkahnya dan menegur
"Mengapa" Bukankah engkau berdiam diri seperti patung?"
"Ya" sahut Dipa" karena aku tengah meneliti nada
suaramu. Agaknya kukenal suaramu itu tetapi agak lupa"
"Oh" orang itu mendesuh "engkau ..."
Belum orang aneh itu melanjutkan kata-katanya,
sekonyong-konyong dari belakang sebatang pohon muncul
seorang wanita dan berseru, "Paman resi, apakah engkau
bukan paman Kadipara "..."
Orang itu cepat berputar tubuh dan memandang dengan
terlongong-longong kepada wanita pendatang itu "Siapa ....
hup ..." Pada saat orang aneh itu tengah mencurahkan seluruh
perhatiannya kepada pendatang itu, sekonyong-konyong Dipa
loncat dan mendekap tubuhnya.
"Lepas .... . !" teriak orang itu dengan meronta sekuat
tenaga. Tetapi alangkah kejutnya ketika ia tak mampu
menyiak dekapan tangan Dipa.
"Alangkah hebat tenaga anak ini" diam2 ia terkejut dan
memuji dalam hati. Untuk yang kedua kalinya, orang itu segera mengerahkan
seluruh tenaga dan memberontak. Kedua kakinya ikut
mendorong tubuhnya merebah ke belakang. Pikirnya, Dipa
tentu akan terpelanting jatuh telentang ke tanah. Dengan
demikian punggungnya dapat menindih dada Dipa sehingga
tentu akan melepaskan dekapannya.
Tetapi suatu peristiwa yang aneh segera berlangsung.
Memang ia berhasil memaksa kaki Dipa tergempur dan
tubuhnya condong ke belakang. Bahkan iapun merasa saat itu,
ia ikut terhuyung bersama Dipa. Ia mengira tentulah Dipa
tejerembab jatuh ke belakang. Tetapi alangkah kejutnya ketika
ia merasa dibawa melayang ke udara dan mengikuti gerak
Dipa berjungkir balik. "Uh" sesaat ia mendesuh kejut ketika kakinya terasa
menginjak bumi pula. Sedang dekapan tangan Dipa tak
pernah terasa kendor. Andai orang itu tak mengenakan kain kerudung pada
mukanya, tentulah akan tampak betapa merah padam
mukanya saat itu. Sekalipun begitu, dapatlah juga Dipa tahu
betapi panas tubuh orang itu akibat gejolak darahnya yang
dilanda kemarahan. "Rakryan puteri, silahkan membuka kain kerudung
mukanya" sesaat Dipa beralih perhatiannya. Ia meneriaki
pendatang wanita itu yang bukan lain adalah nyi rakryan
Tanca. "Ha, ha, ha". ." tiba2 terdengar mulut orang itu bergelak
tawa ketika kain kerudung mukanya di singkap oleh nyi Tanca.
"Engkau paman resi..." seru nyi Tanca terkejut walaupun
ia sudah mempunyai dugaan siapa orang itu.
Serentak Dipapun melepaskan dekapan tangannya
"Maafkan, paman resi ..." ia memberi hormat. Resi Kadipara
tersenyum memandang Dipa.
"Resi, mengapa resi harus menyembunyikan diri terhadap
aku?" Dipa setengah menegur.
Belum resi bertubuh bungkuk itu menjawab, nyi Tanca
mendahului "Eh, kiranya kalian sudah kenal?" Dipa mengiakan.
"Dipa" seru resi Kadipara pula "adakah sesuatu yang layak
engkau sesalkan?" "Andai resi memberitahukan kepadaku, tentulah takkan
terjadi salah faham tadi"
"Hanya itu?" resi Kadipara menegas "adakah engkau tak
merasakan sesuatu dari salah faham tadi?"
"O, apakah resi memang sengaja bertindak begitu?"
Resi Kadipara tersenyum "Kini baru kutahu bahwa engkau
memang dikarunia dewata tenaga alam yang hebat sekali. Tak
ubah seperti seekor gajah"
Kini barulah Dipa tahu bahwa resi bungkuk itu memang
hendak menguji dirinya "Ah, apabila tahu siapa resi, tentu aku
tak berani berkurang tata itu"
"Salah !" teriak resi Kadipara "mengapa engkau
mengatakan begitu" Adakah engkau berpeluk tangan saja
apabila tahu aku hendak mengacau keraton" Jika demikian,
jelas engkau kewajiban!" seorang prajurit yang tidak memenuhi Dipa tersipu merah mukanya. Memang Kadipara itu
seorang resi yang aneh. Suka bicara secara blak-blakan.
"Paman resi" untuk menyelamatkan muka Dipa, nyi Tanca
segera membuka saara "jika demikian tentulah paman tahu
apa yang telah terjadi dalam keraton tadi?"
"Engkau berbantah dengan nyi dayang lalu dengan prajurit
penjaga dan kemudian engkau turun ke halaman untuk
menghentakkan kakimu pada bumi ....."
"O, maafkan, paman" serta merta nyi Tanca berseru
"kukira tadi aku hanya berseru di tengah samudera. Kiranya
paman telah mengetahui semua"
"Bukankah berat bagi seorang tua semacam diriku kalau
sampai berbasuh muka dengan air ludahmu?" resi Kadipara
tertawa. "Ah, masakan aku berani melakukan hal itu"
"Walaupun tidak engkau lakukan, tetapi aku tentu malu
sendiri" kata resi Kadipara.
"Paman resi" tiba2 Dipa berkata "ternyata paman resi
hendak melindungi rakryan puteri. Tetapi mengapa paman resi
hendak meloloskan diri?"
"Dipa, telah engkau ketahui bagaimana pendirian hidupku.
Bahwa aku tak gemar mengunjukkan diri sehingga akan
terjerat pada liku2 pamrih. Rasanya engkau tentu tak heran
karena engkau sudah mengetahui bagaimana ketika tempo
hari kita berhadapan dengan orang2 Daha"
Kini baru Dipa menyadari akan satunya perbuatan dengan
jiwa resi bungkuk itu. "Kini makin jelaslah aku akan sifat-s!fatmu yang baik,
Dipa" kata resi Kadipara pula "engkau berjiwa ksatrya dan
penuh tanggungjawab akan segala tindakanmu"
"Benar, paman resi" nyi Tanca ikut memberi ulasan "Kalau
tidak ki lurah prajurit ini yang bertindak tegas, tentulah aku
masih tertahan dalam keraton"
"Ho, Dipa, engkau sudah menjadi lurah prajurit?" seru resi
Kadipara "cepat benar engkau mendaki tangga kedudukan"
Dipa mengucap kata2 yang merendah
"Dipa, serahkan nyi Tanca kepadaku. Akulah yang akan
mengantar pulang. Engkau boleh kembali ke keraton"
"Baik, ki resi" tanpa ragu2 Dipa memberi persetujuan.
"Dipa, aku tinggal di belakang kebun ra Tanca" kata resi
Kadipara lalu ayunkan langkah. Nyi Tanca-pun segera
menyertainya. =o-dwkz-mch-o= II Apabila pada malam itu nyi Tanca mengalami kesulitan di
dalam keraton Tikta Sripala, adalah para Dharmaputera pun
sedang menghadapi kesulitan dalam rapat rahasia yang
diselenggarakan di gedung kediaman rakryan Kuti.
Dharmaputera terdiri dari tujuh orang menteri yang
bergelar rakryan, gelar kebangsawanan yang tinggi. Tetapi
yang hadir dalam pertemuan rahasia saat itu hanya lima
orang. Ra Tanca sedang dititahkan baginda ke Daha untuk
mengobati penyakit patih Daha. Ra Banyak-pun sedang ke
luar daerah. "Mengenai kepergian ra Tarca ke Daha, aku telah
mendapat keterangan yang dapat dipercaya dari nyi Tanca"
kata ra Kuti "dan menurut kesanku, kepergian itu memang
mengandung maksud tertentu."
"Bagaimana kakang Kuti dapat membayangkan kesan
tersebut?" tanya ra Pangsa.
Ra Kuti lalu menuturkan apa yang didengarnya dari nyi
Tanca mangenai titah baginda supaya isteri ra Tanca
menghaturkan ramuan obat untuk baginda yang sedang
mengidap penyakit aneh. "Dan itulah sebabnya maka ra Tanca diutus baginda ke
Daha ?" sela ra Wedeng.
"Itulah kesimpulan yang kuduga" sahut Kuti, "bagaimana
kenyataannya, besok aku akan menemui nyi Tanca lagi untuk
meminta keterangan tentang hasilnya menghadap baginda
malam ini" "Ada sebuah siasat yang sering digunakan oleh kaum
pemburu. Bila hendak menangkap anak harimau, haruslah
lebih dahulu induk harimau dipikat dengan umpan agar dia
meninggalkan sarangnya. Adakah siasat semacam ini yang
digunakan baginda terhadap ra Tanca?" seru ra Yuyu seolah
bertanya kepada dirinya sendiri.
"Tepat" ra Pangsa serentak memberi ulasan, "masih ingat
akan peristiwa wanita cantik bernama Rara Sindura yang
bersuamikan, tumenggung Kuda Lampeyan dahulu" Bukankah
untuk mendapatkan Rara Sindura, baginda tak segan2
mengangkat Kuda Lampeyan menjadi senopati dengan
pangkat tumenggung lain menugaskannya untuk keliling
melakukan kunjungan ke berbagai daerah dalam telatah
Majapahit ?" "Jahanam !" tiba2 terdengar suara orang memaki.
Beberapa anggauta Dharmaputera itupun terkejut dan cepat
menelusurkan pandang ke arah orang itu.
"Ra Semi" seru Pangsa heran2 curiga. Habis ia
menguraikan peristiwa Sindura, mengapa tiba2 ra Semi
menghambur makian "mengapa tuan memaki" Siapakah yang
tuan damprat itu?" "Hm, siapa lagi kalau bukan si bedebah Aluyuda itu" sahut
ra Semi "dialah yang menjadi otak dalam peristiwa wanita
Rara Sindura itu. Dan baginda sangat memanjakan jahanam
Aluyuda itu dengan kepercayaan"
"Tetapi akhirnya baginda tak pernah menikmati hasil dari
siasat keji si Aluyuda. Bahkan kebalikannya malah
menimbulkan kemarahan rakyat Mandana dan memakan
korban jiwa rakyat Mandana dan prajurit Majapahit yang tak
sedikit jumlahnya" "Tetapi jahanam Aluyuda pantang mundur. Untuk yang
kedua kalinya, dia masih berusaha untuk memikat baginda
dengan umpan seorang dara cantik bernama Damayanti" seru
ra Yuyu. "Pun dara itu telah dilarikan oleh Kuda Taruna, putera
senopati Mahesa Anabrang yang dijadikan anak emas oleh
Aluyuda untuk menjatuhkan rakryan demung Lembu Sora"
tanggap ra Kuti. "Tetapi jangan dikira Aluyuda akan mundur teratur" seru
ra Semi "dia seorang belut yang licin, pelanduk yang cerdik. Ia
tahu bagaimana kelemahan baginda terhadap wanita. Maka
yang mendalangi dalam soal nyi Tanca ini, tentulah si jahanam
Aluyuda pula" "Ah, janganlah kakang Semi terlalu mendendam dan
berprasangka buruk kepada orang" seru ra Wedeng "sebodoh
bodoh keledai, takkan dia terpelosok lagi kedalam liang yang
sama. Baginda Jayanagara bukan seorang junjungan yang
bodoh dan lemah. Baginda masih muda, berani dan tegas
tindakannya. Tak mungkin baginda bersikap sebagai 'kerbau
tercocok hidungnya' atau menurut saja ke mana hendak
dibawa Aluyuda" "Ra Wedeng" jawab ra Semi "salah apabila engkau
meneliti seekor harimau dari kulitnya belaka. Karena walaupun
harimau itu berganti dengan
kulit kambing atau binatang
apapun juga, suaranya tetap
suara harimau, hatinya pun
tetap ganas. Demikian jika
engkau tak mau terkecoh dengan ulah tingkah si Aluyuda yang pandai membawa seribu macam sikap. Tetapi sebagai mana


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harimau tetap akan bersuara
harimau, demikian pula dengan Aluyuda" "Ah, memang demikian
kesan dan prasangka -orang.
Seorang pencuri, walaupun
kali itu bukan dia yang melakukan, tetapi tentu tetap
pencurinya" bantah ra Wedeng.
akan dituduh sebagai "Ho, ra Wedeng" dengus ra Semi "tahukah engkau ke
mana pergi ra Banyak saat ini ?"
"Entahlah" "Ra Wedeng mengatakan kepadaku bahwa ra Tanca telah
memberitahukan kepadanya tentang rahasia Aluyuda"
"O" ra Wedeng mendesuh kejut "rahasia apakah itu ?"
"Pada suatu hari di kala ra Tanca mencari daun obat ke
luar daerah, tak disengaja dia telah berjumpa dengan Kebo
Taruna. Dengan siasat yang bagus, ra Tanca berhasil
memperoleh beberapa keterangan dari Kebo Taruna tentang
umpan baru untuk memikat baginda yang tengah dilakukan
Aluyuda. Umpan itu berupa seorang dara cantik yang
wajahnya menyerupai dengan Rara Sindura"
"O, lalu?" tanya ra Wedeng mulai tertarik.
"Dengan mengetahui itu, bermula ra Banyak amat bersuka
cita karena merasa telah memiliki rahasia kelemahan Aluyuda.
Tetapi ternyata, Kebo Taruna telah mengacau halaukan
keadaan. Dia sendiri jatuh hati kepada dara Damayanti lalu
melarikannya" "Ah, masakan semudah itu" ra Wedeng setengah meragu
"bukankah Aluyuda memiliki pasukan penjaga yang kuat ?"
"Yang dipercayakan menjaga Damayanti adalah Kebo
Taruna sendiri. Dan saat itu suasana kerajaan sedang genting
karena baginda termakan hasutan Aluyuda bahwa mahapatih
Nambi dan beberapa mentri yang berada di Lumajang,
memberontak kepada kerajaan. Dengan mudah dapatlah Kebo
Taruna melaksanakan keingiaan hatinya"
"O" desuh ra Wedeng pula "lalu apa hubungan peristiwa
itu dengan kepergian ra Banyak ke lain daerah?"
"Mencari Kebo Taruna untuk dijadikan saksi keburukan
Aluyuda apabila saat untuk mengadili kedosaan patih jahanam
itu tiba. Ra Banyak berpendapat bahwa saat ini kedudukan
kita Dharmaputera sedang terancam bahaya. Aluyuda memiliki
senjata yang dapat menghancurkan Dharmaputera ...."
"Karena mengetahui aku berada di Lumajang menyertai
rombongan rakryan Nambi" seru ra Semi serentak "bukankah
demikian ?" "Ya" "Oleh karena itu ra Banyak amat geram sekali Dia
memutuskan untuk mencari Kebo Taruna. Putera Mahesa
Anabrang inilah yang akan menjadi pegangan kita untuk
menghancurkan kejahatan Aluyuda di hadapan baginda!" seru
ra Semi. Termasuk ra Kuti sendiri, pun ikut terkejut bersama
dengan ketiga Dharmaputera yang lain.
"Kebo Taruna akan dapat membuka rahasia kejatuhan
demung Lembu Sora. Siapakah sesungguhnya yang mendesak
dan menekan Lembu Sora dengan segala bayang2 ancaman
bahwa baginda amat murka kepada Lembu Sora. Bahwa
baginda sebagai seorang raja yang bijaksana terpaksa harus
menjatuhkan hukuman mati kepada Lembu Sora Karena
undang2 kerajaan Majapahit menentukan, barangsiapa hutang
jiwa harus membayar jiwa. Karena bingung maka Lembu Sora
memberontak dan akhirnya gugur"
Berhenti sejenak ra Semi melanjutkan pula "Dan siapa pula
yang memojokkan mahapatih Nambi dan beberapa mentri
setya menjadi pemberontak di Lumajang kalau bukan si
bedebah Aluyuda itu !"
Ia berhenti pula, menghela napas panjang "Sayang saksi2
yang dapat membuktikan siasat keji dari Aluyuda itu telah
dilenyapkan....." "Masih ada seorang !" tiba2 ra Pangsa menyelutuk.
"Siapa ?" seru ra Semi hampir seperti orang memekik.
"Tumenggung Jabung Tarewes !"
"Oh, tumenggung tua yang sudah mengundurkan diri dari
pemerintahan itu ?" ulang ra Semiya, benar dia memang
berfihak pada kerajaan pada waktu menghadapi peristiwa di
Lumajang itu. Tetapi masih belum dapat diketahui apakah
tumenggung tua itu mengetahui tentang peranan Aluyuda
dalam peristiwa di Lumajang"
"Kurasa baik juga kita menemuinya. Dengan mahapatih
Nambi, tumenggung Jabung Tarewes itu boleh dikata
seangkatan. Mereka termasuk kadehan dari ramuhun rahyang
Kertarajasa. Apabila tahu tentang kejahatan Aluyuda terhadap
mahapatih Nambi, dia tentu mau menjadi saksi yang akan kita
hadapkan kepada baginda" seru ra Pangsa.
"Jika begitu, aku sajalah yang menemui tumenggung
Jabung Tarewes," ra Wedeng mengajukan diri.
"Tidak!" tukas ra Kuti "bagaimana kalau tumenggung
Jabung Tarewes tak tahu soal itu " Dan bagaimana pula
andaipun tahu tetapi dia tak bersedia menjadi saksi" Bukankah
akan sia2 belaka jerih payah dan waktu kita" Sesia-sia dengan
tindakan ra Banyak yang mencari Kebo Taruna itu"
Keempat Dharmaputera terkesiap diam.
"Lalu bagaimana langkah kita sekarang ?" akhirnya
bertanyalah ra Pangsa. "Keadaan sudah makin mendesak dan menjerat kita" kata
ra Kuti "jelas Aluyuda sudah mulai giat pula untuk
menggulingkan kedudukan Dharmaputera. Tahukah adi
sekalian bagaimana cara yang dilakukan Aluyuda sekarang?"
Beberapa Dharmaputera itu mengerut dahi, merenungkan
pikiran. Tetapi sampai beberapa saat, belum juga mereka
dapat mengemukakan pendapatnya.
"Peristiwa rumah kediaman kakang Kuti didatangi oleh
sekelompok prajurit utusan demang Samaya itu, tentulah awal
dari gerakan Aluyuda untuk menjerat kita. Aku masih
meragukan bahwa kelompok prajurit itu benar2 utusan dari
kademangan" akhirnya ra Semi yang mendahului menyatakan
pendapat. "Tetapi prajurit yang kutugaskan untuk mengikuti jejak
kelompok prajurit itu memang melihat mereka masuk ke
kademungan," ra Kuti menyanggah.
Ra Semi mendesuh geram "Aluyuda seorang manusia julig
yang putus segala macam tipu muslihat, akal siasat. Ciri2 itu
harus menjadi peringatan kepada kita agar jangan mudah
mempercayai ucapan dan tindakannya."
Ra Kuti tertawa menyeringai "Tetapi kali ini, telah
kutaburkan warna dalam peristiwa itu. Warna yang nanti
dapat menjadi pegangan untuk mengukuhkan dugaan kita"
"Maksud keheranan. kakang ?" ra Semi menyongsong nada "Adakah kelompok prajurit yang mendatangi rumahku itu
benar utusan ki demung Samaya atau lain orang, pasti akan
dapat kita ketahui" "Dengan cara?" ra Semi makin diburu keinginan tahu.
"Telah kuambil selembar daun telinga dari tiap prajurit
yang hendak menggeledah rumahku itu. Agar kelak kita dapat
mengenal ciri mereka, di manapun kita berjumpa. Ataukah di
kademungan ataukah di kepatihan ataukah di lain tempat"
"Hebat" ra Semi memuji "tetapi ...." tiba2 ia meragu
"Aluyuda itu memang belut yang licin. Adakah dia begitu
mudah termakan oleh tindakan kakang?"
"Kita lihat sajalah nanti" sambut ra Kuti "apabila kelompok
prajurit itu memang berasal dari A luyuda, setidak-tidaknya dia
tentu akan mengamankan mereka agar jangan mengunjuk diri
di muka umum dulu. Dan itu berarti mengurangi tiga belas
prajurit pilihan dari gedung kepatihan, bukan" Dan andaikata
dia lengah tak memperhatikan hal itu, mudahlah kita
menyergap ciri2 mereka"
Beberapa Dharmaputera yang hadir, memberi angguk
pujian atas kecerdikan kepala mereka. Rupanya ra Kuti
memang gemar sanjungan. Diam2 ia berbangga dalam hati.
Demikian adat perangai kepala Dharmaputera itu. Pada setiap
tindakan dan perundingan, tentu dialah yang akan
menonjolkan pendapat dan kehendaknya. Seorang yang besar
ke-aku-annya, menonjol dalam sikap kepemimpinannya.
Namun dia memang seorang yaag cerdik, licin dan cermat. Di
bawah kepemimpinan ra Kuti, terbentuklah ketujuh anggauta
Dharmaputera yang dilimpahi kepercayaan penuh dari baginda
sebagai mentri utama. Demikian setelah menjelaskan tentang tindakannya yang
mengesankan dalam peristiwa mengiris daun telinga kelompok
prajurit utusan demung Sarnaya, maka ra Kuti menampilkan
pula sebuah pertanyaan untuk menguji kacerdasan kawan2
Dharmaputera. "Adi sekalian" katanya "kini Aluyuda pun tampaknya mulai
melancarkan siasat baru terhadap Dharmaputera."
"Apakah itu?" seru ra Pangsa terkejut.
"Siasat yang kunamakan siasat Patah lidi. Seikat lidi,
memang sukar patahkan. Tetapi apabila lidi itu diorak dan
dipatahkan satu demi satu, tentu mudah" kata ra Kuti.
"O, memecah belah, maksud kakang?" tanggap ra Pangsa.
"Ya, memecah belah lalu dihancurkan" sahut ra Kuli.
"Berdasarkan alasan atau peristiwa apakah kakang ra Kuti
mendapat kesan itu?" tiba2 ra Yuyu ikut membuka suara.
Ra Kuti mengantar senyum pada jawabnya "Tak lain dalam
peristiwa nyi Tanca itu, adi sekalian. Sebagai kita kenal
harimau dari suaranya, demikian kita kenal Aluyuda dari
hasutan lidahnya. Menurut dugaanku, Aluyudalah yang lagi2
mengadu biru di belakang baginda untuk mematahkan ra
Tanca." "Tidakkah baginda menyadari bahwa apabila benar
baginda menaruh minat terhadap nyi Tanca, akan
menimbulkan pengaruh tak baik bagi keluhuran nama
baginda?" tanya ra Pangsa.
"Dan itupun kalau benar. Apabila ternyata baginda tidak
bertindak sedemikian, bagaimana kakang rakryan Kuti
mempunyai kesan bahwa Aluyuda tengah melakukan siasat
menghancurkan ra Tanca" Bagaimana pula kakang rakryan
berkelanjutan mengatakan siasat itu hendak memecah
kesatuan Dharmaputera ?" ra Wedcng ikut menumpang
pertanyaan. "Pertanyaan yang baik, adi Pangsa dan Wedeng" seru ra
Kuti dengan nada kepemimpinannya. "Aluyuda tentu sudah
memperhitungkan hal itu. Baginya tidaklah menjadi soal
adakah baginda benar2 berminat terhadap nyi Tanca atau
tidak. Tetapi yang penting, peristiwa nyi Tanca menghadap
baginda di pura keraton, telah terjadi. Apabila mendengar
berita itu, ra Tanca pasti akan marah. Kemarahan ra Tanca
inilah yang hendak dibangkitkan oleh Aluyuda mempersembahkan permohonan kepada baginda bahwa ra
Tanca marah dan karenanya itu harus dilenyapkan."
Berhenti sejenak kepala Dharmaputera itu melajutkan
pula, "Kegemaran akan paras cantik, sudah menghayati diri
baginda. Bukan suatu hal yang mustahil, baginda akan
berkenan mengidinkan Aluyuda melenyapkan ra Tanca karena
akan mendapat imbalan diri nyi Tanca. Tergelincirnya ra Tanca
akan memberi pengaruh tak baik bagi kewibawaan
Dharmaputera secara keseluruhannya. Dan pada saat itulah
Aluyuda pasti akan membongkar rahasia hadirnya ra Semi
dalam rombongan rakryan Nambi di Lumajang. Apabila ra
Semi jatuh, maka makin lemahlah kedudukan kita"
"Bukan makin lemah tetapi kemungkinan besar akan
berantakan" seru ra Semi.
Ra Pangsa, Wedeng, Yuyu bahkan ra Kuti menyalangkan
pandang mata ke arah ra Semi. Pandang yang menuntut
penjelasan. "Bukan maksudku hendak mengesankan bayang2 yang
seram untuk menakuti adi sekalian. Apabila perlu, demi
menyelamatkan kehormatan dan keutuhan Dharmaputera, ra
Semi bersedia menghadap baginda untuk mempertanggungjawabkan peristiwa di Lumajang. Ra Semi
pun rela menerima hukuman mati, asal Dharmaputera jangan
ikut dikaitkan dalam peristiwa itu."
Beberapa Dharmaputera terkesiap.
"Ah, janganlah engkau bertindak sedemikian adi Semi"
seru ra Kuti "tujuh Dharmaputera, satu Dharmaputera. Tujuh
untuk satu dan satu untuk tujuh. Ra Tanca jatuh,
Dharmaputera runtuh. Ra Semi tergelincir, Dharmaputera pun
kocar kacir. Ingat adi sekalian bagaimana ikrar kita dahulu.
Jaya satu jaya semua. Hancur satu hancur semua!"
"Terima kasih kakarg ra Kuti" sambut ra Semi "apa yang
kuutarakan tadi hanya curahan pengabdianku terhadap
Dharmaputera. Tetapi Aluyuda tentu takkan menerima begitu
saja. Ra Tanca dan Semi hancur, Dharmaputera tentu akan
dihancurkan juga." Dengan begitu tepatlah apa yang kukatakan tadi bahwa
Aluyuda mulai melancarkan siasat Patah-lidi. Satu demi satu
Dharmaputera akan dipatahkan" sambut ra Kuti.
"Jika demikian, lebih baik kita mendahului menindaknya"
seru Ra Pangsa.

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya" sahut ra Kuti "perundingan kita malam ini memang
kulangkahkan ke arah keputusan itu. Saat ini juga kita harus
bertindak untuk mengganyang Aluyuda."
"Jika demikian" sambut ra Semi "baiklah kakang Kuti
segera mengatur langkah. Kami siap melaksanakannya."
Pernyataan ra Semi Dharmaputera yang lain. itupun didukung oleh ketiga Selepas mengatur diri dalam tempat duduk, berkatalah
kepala Dharmaputera ra Kuti "Tindakan kita terbagi dua
langkah. Langkah pertama menangkis serangan. Langkah
kedua, menyerang ..."
Para Dharmaputera sudah faham akan lagak bicara ra Kuti.
Setiap kali tentu senang melepas kata2 yang diliputi keanehan,
melahirkan persoalan yang mengundang keheranan orang.
Maka beberapa Dharmaputera itu bersikap diam, menunggu
apa yang akan dikatakan ra Kuti lebih lanjut.
Dan apa yang diduga mereka memang segera meluncur
dari mulut ra Kuti, "Menangkis serangan yalah merapatkan
kelemahan2 kita yang akan dihancurkan Aluyuda. Yang jelas,
rahasia kehadiran adi Semi di Lumajang. Dan usaha untuk
menghancurkan rumahtangga ra Tanca ..."
Berhenti sejenak kepala Dharmaputera itu berkata pula,
"Soal adi Semi, besok aku akan menghadap baginda untuk
menyelidiki, benarkah baginda akan menitahkan laporan
tentang diri adi Senoi. Selepas menghadap baginda, akupun
hendak mengunjungi rumah ra Tanca untak menanyakan
keterangan kepada nyi Tanca bagaimana hasil keterangannya
ia menghadap baginda."
Para Dharmaputera mengangguk.
"Adakah adi sekalian rnasih mempunyai pendapat
mengenai hal2 yang harus kita lakukan untuk menutup
kelemahan kita?" ra Kuti lontarkan pertanyaan.
"Bagaimana dengan sekelompok prajurit yang mengaku
utusan dah kademungan itu?" tanya ra Semi "apakah tak perlu
kita selidiki?" "Perlu" sahut ra Kuti "tetapi harus dengan cara yang
sedemikian rupa sehingga tak menimbulkan kecurigaan
mereka" "Adakah kakang Kuti sudah memperoleh cara yang
sempurna?" seru ra Pangsa.
Ra Kuti tertegun lalu mendesuh, "Hm, belum terjangkau
dalam pikiranku. Mudah-mudahan besok dapat kupecahkan
soal itu" Ra Semi, Pangsa dan Wedeng mengajukan diri untuk
melakukan penyelidikan ke kademungan tetapi ra Kuti tak
menyetujui "Terutama adi Semi" katanya "hendaknya lebih
baik jangan menunjukkan diri dahulu. Apabila adi Pangsa adi
Wedeng atau Yuyu bersedia, dapatlah menyusul ra Tanca ke
Daha. Beritahu kepadanya apa yang telah terjadi dengan
isterinya dan nasehatilah supaya dia bersikap tenang2 saja
apabila ia pulang." "Biarlah aku saja yang menyusul ra Tanca ke Daha" segera
ra Yuyu mengajukan diri. Dengan pertimbangan bahwa ra Pangsa dan ra Wedeng
serta ra Semi diperlukan tetap berada di pura agar setiap
waktu dapat diajak berunding, maka ra Kuti menyetujui
permintaan ra Yuyu. "Sebaiknya segeralah adi bersama ra
Tanca kembali ke pura. Mungkin dalam beberapa hari ini akan
terjadi peristiwa yang genting" pesan ra Kuti.
Demikian ra Kuti segera mengakhiri pertemuan dengan
sebuah pesan, "Besok malam kita berkumpul lagi di sini. Akan
kulaporkan tentang hasil penyelidikanku pada hari itu."
Keesokan harinya, ra Kuti segera menghadap baginda ke
keraton. Tetapi baginda tak bersedia menerimanya karena
ingin beristirahat. Dari keraton ra Kuti terus menuju ke rumah ra Tanca
untuk mendapatkan nyi Tanca.
"Tuan benar, ra Kuti" nyi Tanca membuka pembicaraan
setelah mempersilahkan kepala Dharmaputera duduk di ruang
tetamu "sikap dan ucapan baginda menunjukkan maksud yang
menjurus ke arah lain"
Ra Kuti terkejut. Walaupun ia sudah berisi dengan
kecurigaan, namun masih juga ia tergetar ketika mendengar
keterangan nyi Tanca "Lalu bagaimana adi menghadapi
baginda?" "Untung paman resi Kadipara telah menolong diriku" kata
nyi Tanca. "Resi Kadipara?" ra Kuti terkejut "siapakah gerangan resi
Kadipara itu?" "Paman dari kakang Tanca. Seorang resi tua yang cacad
tubuhnya dan ditempatkan di kebun belakang oleh kakang
Tanca. Dia pandai dalam ilmu pengobatan, ada kalanya
kakang Tanca mendapat petunjuk dari paman resi itu"
"O" desuh ra Kuti "lalu bagaimana paman resi itu
menolongmu?" "Ramuan obat yang dibuatnya telah membuat baginda
terlena pulas dalam peraduan"
Ra Kuti mengangguk-angguk memberi pujian. Pada lain
saat keningnya meliuk "Tetapi kukira baginda takkan berhenti
sampai di situ. Bagaimana usaha adi apabila baginda
menitahkan engkau menghadap lagi?"
Nyi Tanca tertegun. Ia memang mencemaskan hal itu
"Memang hal itu mungkin terjadi. Dan .... . dan entahlah
bagaimana nanti langkah yang akan kuambil"
"Bagaimana apabila adi pura2 sakit?" kata ra Kuti.
Nyi Tanca menimang "Begitupun baik juga" katanya sesaat
kemudian "tetapi apabila tak dapat kuelakkan titah baginda,
aku akan minta pertolongan kepada paman resi lagi"
Ra Kuti hendak memberitahukan tentang tindakannya
menyuruh rakryan Yuyu menyusul rakryan Tanca ke Daha.
Tetapi ia pikir, baiklah nyi Tanca tak perlu mengetahui hal itu.
Maka ia hanya memberi pesan kepada nyi Tanca agar berhatihati dalam menghadapi baginda, "Apabila memerlukan
bantuan, setiap saat silahkan adi berkunjung ke rumahku."
Nyi Tanca menghaturkan terima kasih atas perhatian dan
bantuan kepala Dharmaputera itu. Setelah tetamunya pergi, ia
duduk termenung-menung. Apa yang dikuatirkan ternyata tiba juga. Siang hari,
seorang tamtama datang dengan membawa titah baginda
agar malam itu nyi Tanca menghadap ke keraton lagi.
"Tetapi .... tetapi hari ini aku tak enak badan. Dapatkah
baginda berkenan mengidinkan aku beristirahat di rumah ?"
kata nyi Tanca. "Soal itu hamba tak tahu" jawab prajurit utusan raja,
"hamba hanya dititahkan untuk menyampaikan perintah
baginda" Setelah prajurit pergi, nyi Tanca mulai gelisah. Ia takut
baginda akan murka apabila ia tak mau menghadap ke
keraton. Namun untuk menghadap, ia-pun takut. Menggigillah
sendi2 tulangnya apabila membayangkan peristiwa semalam di
dalam keraton. Akhirnya ia menuju ke kebun belakang
mendapatkan resi Kadipara.
"Mudah, nini" kata resi bungkuk itu dengan tenang
"engkau harus tabah dan waspada. Berikanlah ramuan obat
baru yang kuramu ini. Obat ini akan melenyapkan segala
nafsu kejantanan seorang pria ...."
"Oh" seru nyi Tanca bcrsukacita "tetapi bagaimana kalau
baginda tak mau minum ramuan itu" Bukankah aku akan
mendapat kesulitan, paman resi?"
"Jangan takut, nini. Sekarang akan kuberimu sebuah ilmu
ajaran mantra aji Panglulus. Mantrakan aji itu dikala baginda
hendak berbuat sesuatu. Baginda tentu akan lunglai"
Nyi Tanca gembira sekali.
Dalam pada itu ra Kuti pun ayunkan langkah menuju ke
gedung kepatihan. la disambut dan dipersilahkan masuk oleh
penjaga. "Gusti patih, belum pulang" kata penjaga itu "tetapi
gusti patih telah memberi pesan kepada hamba. Apabila ada
tetamu supaya di-persilahkan masuk dan menunggu. Tengah
hari gusti patih tentu pulang"
Mendengar keterangan itu, diam2 ra Kuti kecewa karena
sehabis mengundurkan diri dari keraton ia tak terlebih dahulu
mencari Aluyuda di balai Manguntur atau Witana. Tentulah
patih A luyuda yang sekarang telah menjabat mahapatih, sibuk
dengan tugas2 pekerjaan sehari-hari di situ. Namun karena
sudah terlanjur iapun tak dapat kembali masuk keraton.
Apalagi saat itu matahari sudah hampir akan menjulang di
tengah. Kiranya takkan lama apabila ia menunggu di situ.
Ruang tetamu itu terletak di sebuah ruang per-angin
dalam pendapa gedung kepatihan. Sebuah ruang yang bersih,
penuh dengan perabot yang halus buatannya. Meja dan kursi,
berukir bunga-bungaan yang indah. Sandaran kursi berselimut
kain sutera dan tempat duduknya beralasan permadani. Di
atas meja terdapat sebuah piala berbentuk sekuntum bunga
teratai mekar. Dari piala bunga teratai itu berhembus asap
putih yang menebarkan bebauan harum.
Duduk di ruang itu menimbulkan suatu perasaan yang
nyaman. Selepas mata memandang ke arah jendela yang
daunnya merentang ke altar, tampak sebuah taman bunga
dengan sebuah kolam yang di tengahnya berhias sebuah air
mancur. "Hm, pandai juga Aluyuda menciptakan bangunan yang
seindah ini" diam2 ra Kuti menimang dalam hati.
Tiba2 terdengar derap langkah kaki orang berjalan ringan.
Tak berapa lama muncullah seorang dayang membawa
sebuah talam daripada keping perak bersalut ukiran bunga
dan daun emas. Talam yang berisi hidangan minuman dan sebuah tempat
sirih segera dipersembahkan dengan penuh hormat oleh
dayang itu. Tiba2 terlintas sesuatu dalam benak ra Kuti "Siapa yang
menyuruh engkau menghaturkan minuman ini?" cepat ia
menegur. "Penjaga telah memberitahukan kepada nyi lurah bahwa
gusti rakryan Dharmaputera berkunjung. Supaya dihaturkan
minuman" kata dayang itu.
"Kepala dayang" Kemanakah gustimu puteri?" ra Kuti
memandang dayang itu. Agak terkejut ketika ia melihat jelas
wajah dayang itu. Seorang dayang yang masih muda dan
cantik. "Gusti puteri sedang berkunjung ke rumah seorang
keluarganya ..." dayang itu cepat menundukkan kepala karena
merasa telah dipandang tajam oleh ra Kuti.
"O" desuh ra Kuti "jadi gedung ini kosong kecuali para
dayang yang menjaganya?"
Dayang cantik itu mengiakan.
"Benarkah engkau dayang gedung kepatihan ini?" tiba2 ra
Titik Muslihat 1 Pengelana Rimba Persilatan Karya Huang Yi Sang Penerus 5

Cari Blog Ini