02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 28
Gempar pula keterangan itu. suasana dalam balairung mendengar "Api abadi" ulang baginda.
"Api dari Sampang, ketika hamba berkelana ke Madura "
"Untuk apa engkau mengambil api dan memasangnya
dalam lentera itu" "Hamba hendak kesempurnaan" mencari penyuluh, mencari jalan Makin terlibat dalam pembicaraan dengan orang itu, makin
tebal kesan baginda bahwa pertapa itu kurang wajar
pikirannya "Pertapa, mengapa engkau menghadap kehadapanku" "Hamba adalah kawula kerajaan Majapahit. Oleh karena itu
wajiblah hamba persembahkan bhakti hamba kepada
baginda" "Apa yang hendak engkau persembahkan kehadapanku"
ujar baginda. "Apa yang hamba ketahui, rasakan dan menghayati melalui
getaran halus yang memberi sasmita kepada indera hamba.
Kesemuanya itu hamba peroleh dari penerangan selama
belasan tahun hamba menjelajah keseluruh penjuru dengan
membawa lentera berisi api abadi itu"
"Adakah engkau berjalan dengan membawa lentera itu
pada siang hari juga"
"Benar, baginda" sahut Gede Pabanyu "dengan demikian
hamba terhindar dari perbedaan siang dan malam, gelap dan
terang. Melalui agni itu hamba menemukan rahasia unsur2
kehidupan" "Hm, tidak mudah untuk mengaku dihadapan raja, pertapa"
seru baginda "adakah engkau tahu akan makna dari peristiwa
yang terjadi di candi makam Antahpura dan Simping"
"Apakah yang terjadi disitu, baginda?" pertapa Gede
Pabanyu balas bertanya. Baginda segera menitahkan patih mangkubumi Arya Tadah
untuk memberi keterangan kepada pertapa itu.
"Nah, setelah mengetahui hal itu, dapatkah engkau
menjelaskan maknanya" titah baginda pula.
"Telah hamba katakan, dengan lentera api abadi ini hamba
dapat menyuluhi semua peristiwa yang terjadi di bumi
kerajaan Majapahit" "Pertapa Gede Pabanyu" seru baginda dengan nada keras
"tidak mudah untuk mengaku mengerti sesuatu dihadapan
raja. Apabila bicaramu salah, ngelantur dan tak sesuai dengan
keadaan, akan kujatuhkan pidana kepadamu"
"Baik, baginda" sahut Gede Pabanyu "hamba akan
mengatakan apa yang sesuai dengan kenyataan. Tetapi
apakah baginda takkan murka apabila persembahan hamba itu
tak berkenan pada hati baginda"
"Akan kuperdmbangkan bagaimana uraianmu. Tetapi
apabila hal itu memang tepat, mengapa aku harus murka"
"Baik, hamba akan mulai menyuluhi kegelapan peristiwa
itu" habis berkata pertapa itu terus mengacungkan lentera di
hadapannya dan memandang api itu sampai beberapa saat.
Sekalian hadirin ikut terpikat perhatiannya. Mereka diam
menanti apa yang akan dikatakan pertapa a-neh itu.
"Langit gelap gulita, badai melanda, hujan mencurah, bumi
bergetar. Kilat dan petir menyambar sahut menyahut seolah
hendak membelah angkasa. Tiba2 bumi terbelah dan
muncullah seorang raksasa yang murka . . . segala isi alam
dihancur leburkan . . . gunung dicabut, laut ditimbuni,
manusia hiruk pikuk lari pontang panting seperti beras
ditampi. Tiba2 muncul seorang ksatrya muda, berbusana
seperti seorang raja . . dengan berani raja ksatrya itu
menghadapi raksasa . . . dipanahnya raksasa itu dengan
panah api .... tetapi raksasa itu sakti sekali. Dia murka dan
menangani raja . . . basmi bhuta nangani ratu . . . ingat . ingat
... " Gede Pabanyu segera menyudahi
Lenterapun diturunkan kembali.
pembicaraannya. "Apakah artinya itu, Gede Pabanyu?" tegur baginda penuh
keheranan, kemudian cenderung untuk menduga bahwa
pertapa itu memang sedang mengoceh sekehendak hati
sendiri. "Demikian api abadi telah memberikan amanat gaib kepada
hamba, seperti yang hamba utarakan tadi" jawab Ge le
Pabanyu. "Tidak jelas artinya" seru baginda "tiada kaitannya dengan
peristiwa aneh yang terjadi pada arca Jina dan arca Hyang
Syiwa" "Jika baginda menitahkan hamba untuk menguraikan
amanat gaib itu, baiklah" kata Gede Pabanyu "hamba akan
menguraikannya" "Langit terbelah, bumi gonjang ganjing, petir menyambar
nyambar, menandakan bahwa alam sedang mengunjuk
keangkaraan, Hyang Syiwa menumpahkan kemurkaan
menjelma menjadi seorang raksasa yang gagah perkasa,
merusak segala apa di bumi alam ini ...."
"Kemurkaan Hyang Syiwa timbul karena melihat peraturan
di dunia sudah kacau. Manusia tidak menghiraukan peraturan
agama dan pelajaran keluhuran budi. Mereka hanya memburu
nafsu2 keduniawian, mengumbar keangkara-murkaan. Seorang ksatrya atau titah manusia yang utama, berusaha
untuk membasmi atau membakar raksasa itu dengan panah
api. Tetapi gagal. Ksatrya itu tidak menetapi keksatryaannya
lagi, Diapun tidak tegak pada keadilan dan kebenaran
melainkan terhanyut dalam nafsu2 kekuasaan duniawi. Maka
tak mempanlah panah api itu pada dada raksasa.
Kebalikannya, raksasa itupun makin murka dan memukul raja
itu . ..." "Katakan dengan kata2 yang jelas, pertapa" seru baginda
mulai hilang kesabarannya "apa sebab arca Batara Syiwa di
Simping, mengeluarkan kesaktiannya yang gaib itu"
"Dunia sudah rusak peraturannya, baginda" seru Gede
Pabanyu "manusia sudah tak memegang peraturan tatakehidupan manusia lagi maka tiada layak baginda
mengherankan bahwa arca dari emas akan ber-obah warna
kehitam-hitaman dan arca Batara Syiwa dapat menitikkan
airmata darah Karena dimana peraturan hidup sudah tak
ditaati oleh manusia lagi maka lepaslah ikatan benda itu dari
sifat kebendaannya. Ernas berobah hitam, arca menangis,
gunung berjalan, batu berpindah dan binatang2 akan
berbicara. Semua keajaiban itu akan teijadi .... "
"Gede Pabanyu, jangan mengoceh tak keruan" teriak
baginda "katakan, ya, sekali lagi kutitahkan kepadamu,
katakan yang jelas apa makna dari peristiwa kedua arca yang
aneh itu !" "Ah, mengapa baginda mengherankan hal itu" seru Gede
Pabanyu dengan lantang "di dunia ini manusia sudah tak
mematuhi ajaran2 agama dan keluhuran budi, sehingga tak
heran kalau terjadi saudara hendak menikah dengan saudara,
ayah dengan anaknya sendiri ..."
Seketika pucatlah wajah baginda mendengar kata pertapa
itu "Apa katamu, pertapa"
"Hamba katakan, kalau di dunia ini saudara hendak
menikahi saudaranya sendiri, bukan suatu peristiwa yang
mengherankan, mengapa apabila arca bisa berobah warna
dan menangis, harus diherankan..."
"Prajurit, bunuhlah pertapa gila itu!"serentak baginda
berteriak memberi titah. Empat orang prajurit bhayangkara yang mengawal baginda
serempak berhamburan maju dan menusukkan tombak serta
menahaskan pedang ke arah tubuh Gede Pabanyu.
"Ha, ha, ha" Gede Pabanyu tertawa. Tombak dan pedang
prajurit bhayangkara itu tak mempan "jangankan hanya empat
tombak, seratus tombak dan seratus pedang yang menimpa
tubuhku, takkan dapat melecetkan sekelumit kulitkupun juga "
Belasan prajurit bhayangkara segera maju menangkap
pertapa itu. Mereka masih tak percaya dan berulang kali
mencoba untuk menusuk tubuh pertapa itu dengan senjata
mereka masing2. Tetapi tetap tak mempan.
Melihat itu patih mangkubumi Arya Tadah segera tampil
menghampiri "Hai, ki Gede Pabanyu ! Jangan engkau
mengunjukkan kesaktianmu di hadapan baginda junjungan
kami. Engkau telah bersalah berani kepada baginda"
"Apa salahku, ki patih?" sahut Gede Pabanyu.
"Engkau telah memberi keterangan yang tak masuk dalam
akal budi manusia sehat. Engkau berani pula melawan titah
raja " "Aku mengatakan menurut apa yang kutanggapi dari
sasmita gaib lentera api abadi. Dalam hal apa aku melawan
titah raja" balas Gede Pabanyu.
"Jika sasmita gaib itu benar menurut anggapan-mu,
engkaupun telah melanggar anggar2 dewata karena telah
mendahului membuka rahasia Prakitri. Baginda telah meminta
nyawamu, engkau berani membangkang dengan mengunjukkan kesaktian. Apakah itu tidak dianggap melawan
titah raja" Gede Pabanyu tertegun. Diam dan merenung.
"Gede Pabanyu" kata patih mangkubumi "engkau seorang
pertapa. Engkau mengaku telah memperoleh penerangan dari
penyuluhan api abadi itu. Tetapi mengapa sikapmu masih
seperti kanak2 yang suka mengunjukkan sikap hadigang
hadigung " Adakah engkau mengira bahwa pusaka keraton
Majapahit itu tak ada yang mempan jatuh pada dirimu "
Adakah engkau mengira bahwa dalam kerajaan Majapahit
tiada seorang ksatrya yang mampu menghancurkan ragamu "
Kodrat Prakitri akan menjatuhkan pidana kepada mereka yang
suka mengagulkan diri !"
Tiba2 pertapa Gede Pabanyu menundukkan kepala memberi
hormat kepada patih sepuh itu "Duh, ki patih, engkau telah
menyadarkan pikiranku. Benar, ki patih, aku telah melanggar
Kodrat Prakitri maka akupun rela menyerahkan jiwa ragaku ke
bawah duli baginda" "Engkau menyerah"
"Ya" "Dengan setulus hati dan penuh kerelaan"
"Gede Pabanyu akan mencari jalan kesempurnaan yang
abadi" "Jika demikian, katakanlah bagaimana kehendakmu" kata
patih sepuh Arya Tadah. "Buatlah api unggun di tengah alun2. Hanya sang Agnilah.
yang akan mampu menyempurnakan ragaku ke alam
kesempurnaan" kata Gede Pabanyu.
Patih Mangkubumi Arya Tadah segera memohon titah
baginda dan bagindapun segera menitahkan supaya
melangsungkan permintaan Gede Pabanyu.
Titah raja itu segera dilaksanakan dan Gede Pabanyu
segera dibawa ke luar ke alun2.
Sementara itu bagindapun menitahkan agar pasewakan itu
dibubarkan. Baginda akan mempertimbangkan lebih lanjut apa
yang akan dilakukan sesuai dengan uraian beberapa ahli
nujum dan para resi, pandita yang dianggap berkenan dalam
hati baginda. Tak lama kemudian api unggunpun segera disiapkan dan
tak lama kemudian apipun menyala dengan besar sekali.
Dengan langkah dan sikap yang tenang, pertapa Gede
Pabanyu menghampiri api itu.
Sebelumnya ia tegak berdiri dihadapan api unggun
kemudian berputar tubuh dan menghadap kearah keraton
Tikta-Sripala. "Jaman berobah, peraturan dilanggar, manusia lupa
daratan. Lupa peraturan, lupa ikatan darah, lupa ketertiban.
Anak berani pada orangtua, orangtua tunduk pada anak.
Saudara menikahi saudara sendiri. Menteri tak mengindahkan
raja. Raja tak menetapi keluhurannya sebagai raja . . . "
"Hyang Batara Syiwa murka dan akan menjatuhkan pidana.
Hyang Syiwa akan menjelma sebagai seorang raksasa besar
yang penuh angkara murka. Akan sia2 segala usaha manusia
untuk menentangnya. Raja akan membasminya tetapi raksasa
itu akan memukul raja. . . Ingatlah para narapraja dan seluruh
kawula Majapahit.....bhasmi bhutta nangani raja ....
Kembalilah wahai, manusia kepada ajaran agama yang
luhur.....Kodrat prakitri tak dapat dihindari lagi"
Habis berkata pertapa itu terus terjun ke dalam api unggun
yang tengah berkobar besar. Para mentri, senopati, resi.
pindita dan rakyat yang menyaksikan upacara pati-obong itu
kesima. Sekonyong konyong timbul angin besar yang menyapu reru
stuk abu mayat Gede Pabanyu. Abu beterbangan membubung
ke angkasa. . . . 0odwo0 Peristiwa pertapa Gede Pabanyu telah menggemparkan
pura kerajaan. Menjadi buah bibir pada pembicaraan dalam
segala segi kehidupan para kawula.
Pada waktu baginda menitahkan para ahli nujum, resi,
pandita berkumpul di keraton, saat itu patih Dipa sedang
diutus Rani Daha untuk menghadap Rani Kahuripan. Berisi
laporan tentang peristiwa yang dialami Rani Daha ketika
berada di keraton Tikta-Sripala. Patih Dipa dapat memberi
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penjelasan lebih lanjut. Demikian isi surat itu.
Rani Daha menghendaki agar keberangkatan rakryan patih
Dipa itu tidak menarik perhatian paya kawula. Hendaknya
supaya dilakukan secara biasa bahkan kalau mungkin
dirahasiakan. Maka berangkatlah rakryan patih Dipa seorang'
diri dengan naik kuda dan hanya, diiring oleh seorang prajurit.
Rani Kahuripan menerima .surat itu dengan wajah berobah
cahayanya. Dadanya berombak. Namun sesaat kemudian
setelah menghela napas, iapun tenang kembali.
"Benarkah semua yang dihaturkan adinda Rani itu, patih
Dipa" ujar Rani Kahuripan.
"Hamba menyaksikan sendiri peristiwa itu. Untunglah tak
sampai terjadi hal2 yang tak hamba harap" kan "
"Adakah dimas prabu Jayanagara tidak murka kepadamu"
ujar Rani pula "Memang baginda telah menitahkan hamba menghadap.
Tetapi saat itu hamba berkeras menghaturkan kata bahwa
baginda telah mabuk kemudian hamba antarkan kedalam
peraduan baginda" "Adakah dimas prabu percaya"
"Gusti" kata rakryan patih "hamba sudah faham akan
perangai baginda. Dan tampaknya baginda sejak peristiwa di
Bedander dahulu, menaruh kepercayaan penuh kepada
hamba. Maka hambapun tak mengalami kesulitan dalam
merangkai persembahan kata kepada baginda"
Rani Kahuripan mengangguk.
"Memang suatu hal yang diluar dugaan sama sekali bahwa
dimas prabu akan bertindak begitu" Rani Kahuripan menghela
napas "dan bukan hanya adinda Rani yang mengalami hal itu
... ." tiba2 Rani hentikan kata-katanya. Wajahnya bertebar
warna merah. Rakryan patih Dipa tertegun. Ia memberanikan diri
mengangkat muka, menghadapkan pandang kearah Rani.
Ketika melihat wajah Rani bersemu merah, rakryan patih
terkejut. Ia menduga tentu terjadi sesuatu juga pada diri Rani
Kahuripan. Adakah Rani Kahuripan juga .... menduga sampai
pada hal itu, rakryan patih rentangkan mata termangu mangu.
Rani Kahuripan tahu akan kecerdasan rakryan patih Dipa
yang sudah dua tahun pernah menjadi patih di Kahuripan.
Perobahan kerut wajah rakryan paiih itu, cepat ditafsirkan Rani
Kahuripan bahwa patih itu tentu sudah dapat menyelami
keadaan dirinya. Rani Kahuripan menghela napas.
"Rakryan patih" ujarnya pelahan "engkau adalah satusatunya orang yang kupercayakan menerima rahasia ini.
Engkaupun tentu tahu mengapa hal itu kusebut sebagai
rahasia. Dan tentulah engkau tahu pula cara untuk
menyimpan rahasia dan tugas untuk menjaganya"
Serta merta rakryan patih Dipa menghaturkan sembah dan
berjanji akan menjaga kepercayaan sang Rani sebaik-baiknya.
"Adimas prabu memang telah melanggar kesusilaan.
Walaupun tidak seperti yang dialami yayi Rani Daha, namun
tindakan itu juga kurang sesuai" kata Rani Kahuripan.
Sebenarnya ingin sekali rakryan patih Dipa hendak meminta
penjelasan, tetapi ia tak berani. Maka iapun diam saja.
"Saat itu hari kedelapan dari pesta Srada, ketika malam itu
aku sedang berada di taman untuk mencari angin dan
melepaskan lelah. Sejak berada di keraton ini, hampir tiap hari
perhatian dan waktuku kucurah-kan pada upacara2 sesaji dari
pesta Srada itu. Maka pada hari itu setelah upacara selesai,
kuluangkan waktu untuk bercengkerama di taman sekedar
untuk melepaskan diri dari kesibukan2" kata Rani Kahuripan
"pada saat itu secara tak kuduga, munculah dimas prabu ke
taman pula. ..." Rani Kahuripan berhenti sejenak sedang rakryan patih Dipa
menahan napas. "Sebagai saudara yang lebih tua, sudah tentu aku girang
juga bertemu dengan dimas prabu dalam suasana yang santai.
Tidak sebagai seorang raja dengan seorang rani, tetapi
sebagai seorang ayunda dengan adindanya"
"Dari pembicaraan mengenai perkembangan di Kahuripan
dan lain2, akhirnya kita mengarah kepada kepentingan
masing2. Entah bagaimana demi memikirkan kepentingan
kelangsungan kerajaan Majapahit maka saat itu kutanyakan
mengapa dimas prabu belum juga memikirkan tentang
menentukan seorang puteri yang layak menjadi permaisurinya" Rani berhenti dan dalam hati Dipapuri menganggap bahwa
pembicaraan Rani. itu memang layak. Sebagai seorang ayunda
Rani tentu memikirkan juga akan kepentingan adindanya.
Lehih pula. karena hal itu menyangkut kelangsungan dari
tegaknya kerajaan Majapahit lebih lanjut. Dan hal itupun dapat
mengurangi kegemaran baginda terhadap wanita.
"Dimas prabu amat gembira sekali mendengar ucapanku.
Wajahnya tampak berseri-seri memandang aku. Akupun agak
terkejut ketika melihat pandang dimas prabu itu memancarkan
sinar merah yang memercik cahaya api. Baru pertama kali
sempat kuperhatikan bahwa dimas prabu memiliki pandang
mata yang penuh gairah" Rani Kahuripan melanjutkan pula
"terpaksa aku menunduk. Kudengar dimas prabu tertawa. Dia
mengatakan bahwa selama ini dia belum menemukan puteri
yang benar2 memenuhi cita-seleranya"
"Dimas prabu" kataku kepada baginda "masakan di telatah
kerajaan Majapahit yang begini luas tiada seorang puteri
cantik yang dapat memenuhi selera dimas prabu"
Dimas prabu Jayanagara geleng2 kepala dan mengatakan
bahwa memang benar tak ada seorang puteri dan wanita yang
berkenan dalam hatinya. "Puteri yang bagaimanakah yang dimas prabu inginkan itu"
tanyaku "betapa ingin aku dapat membantu dimas prabu
untuk mendapatkan puteri itu"
Baginda tertawa kemudian berujar dengan nada
bersungguh "Benarkah ayunda hendak membantu dinda"
"Benar, dimas prabu"
"Sungguh" "Eh, mengapa dimas prabu masih tak percaya kepadaku"
kata Rani Kahuripan "tentu akan ku-bantu dimas prabu
dengan sepenuh hati"
"Sepenuh hati?" baginda tertawa "pernyataan ayunda itu
mengandung arti bahwa ayunda bersedia untuk memberikan
pengorbanan apapun juga, bukan"
Dengan perasaan yang polos, Rani Kaharipan memberikan
janjinya. "Jika demikian" kata baginda Jayanagara "dindapun akan
mencurahkan kandungan hati dinda. Dan kiranya hanya
ayundalah satu-satunya tumpu harapan dinda untuk
melaksanakan cita2 yang terkandung dalam hati dinda"
Agak terkesiap Rani Kahuripan mendengar kata2 yang aneh
dari baginda, itu. Bukankah kesanggupan untuk membantu
sepenuh hati kepada kepentingan seorang adinda, terutama
seorang raja, suatu hal yang layak" Mengapa baginda masih
mempertajam arti daripada kata "sepenuh hati' itu"
"Aku" Rani Kahuripan terbeliak "adakah dimas prabu
menganggap bahwa aku tentu dapat melaksanakan apa yang
dimas prabu inginkan itu"
"Benar" sahut baginda "ayundalah satu-satunya yang dapat
dan tepat melaksanakan hal itu"
"Jika demikian" akhirnya Rani Kahuripan meminta "harap
dimas prabu mengatakan. Puteri manakah yang menjadi
idaman hati dimas prabu itu"
"Baik, ayunda" sahut baginda "puteri yang dinda idamidamkan itu harus yang menyerupai ayunda Rani, baik wajah,
tutur bahasa dan budi pekertinya. Karena hanya puteri sepera
yang dinda katakan itulah yang kelak akan kuat, teguh dan
sejahtera mengemban kerahayuan praja dan kelestarian
kewibawaan kerajaan Majapahit"
Wajah Rani Kahuripan seketika berobah. Merah kemudian
pucat lalu merah pula. Malu, terkejut kemudian marah. Namun
sebagai seorang puteri utama yang berbudi luhur, masih Rani
itu dapat mengendalikan diri "Dimas prabu, tidakkah mustahil
sekali untuk mencari searang wanita yang sama dengan diri
ayunda ini" Sambil mengangguk kepala dan setengah pejamkan mata
baginda berujar pelahan "Terserah bagaimana pertimbangan
ayunda. Karena dinda percaya bahwa ayunda tentu akan
menetapi janji untuk membantu dinda dengan sepenuh hati"
"Tetapi tentu tak mungkin mendapatkan wanita yang
seperti ayunda itu, dimas prabu"
"Bagi ayunda, tentulah tidak sukar ..."
"Apa maksudmu, dimas prabu?" seru Rani Kahuripan agak
keras karena terkejut. "Ayunda lebih tua dari dinda. Tentulah dapat mengerti apa
yang dinda maksudkan"
"Aku benar2 tak mengerti, dimas prabu"
"Dinda serahkan seluruh persoalan ini kepada ayunda Rani.
Permohonan dinda yalah akan mempersunting seorang puteri
yang seperti diri ayunda segala-galanya. Kurang sedikit saja,
dinda tak mau. Dan dinda percaya ayunda pasti dapat
melakukan hal itu ..."
"Dimas prabu!" teriak Rani Kahuripan "apakah dimas
maksudkan diriku ...."
"Ayunda Rani" tukas baginda cepat2 "dinda malu untuk
mengungkap isi hati dinda dengan kata2. Kiranya cukuplah
apabila ayunda sudah dapat menangkap isyarat hati dinda"
"Dimas ...." "Apabila dinda mempersunting seorang puteri lain, tentulah
keturunan dinda itu akan bercampur darah dengan puteri
keturunan lain orang. Demikian pula hal itu akan terjadi
dengan ayunda apabila ayunda dipersunting oleh raja atau
pangeran lain daerah. Betapa murni dan agung apabila yang
kelak akan mewarisi tahta kerajaan Majapahit itu berasal dari
keturunan murni ayahanda baginda Kertarajasa, rajakula
kerajaan Majapahit" "Tidak, dimas!" teriak Rani Kahuripan dengan gemetar "kita
adalah bersaudara, walaupun lain ibunda tetapi sama
ayahanda kita. Mengapa harus terjadi hal sedemikian"
Mengapa dimas prabu menginginkan sesuatu yang akan
menghancurkan kewibawaan dan keluhuran ayahanda baginda
Kertarajasa " Tidakkah akan berdosa kita kepada mendiang
ayahanda baginda, kepada para dewata dan kepada undang2
" Betapakah aib dan malu kita apabila hal itu diketahui para
kawula" Tidak wajar kiranya apabila saudara itu menikah
dengan saudara" A palagi kita ini adalah putera puteri raja"
Baginda Jayanagara tertawa datar.
"Persoalan kita, lain dengan persoalan mereka. Dalam
mengabdi kepada kerajaan, dalam memperjuangkan tegak
dan kelangsungan dari kerajaan yang diwariskan ayahanda
baginda kepada kita, maka sekali kepentingan peribadi, segala
pertimbangan mengenai undang2, adat naluri, wajar atau tak
wajar dan lain2, harus kita kesampingkan. Pokok, warisan
kerajaan kita ini, harus kita tegakkan dan memiliki dengan
keturunan kita sendiri"
"Ah, tidak, dimas prabu" seru Rani Kahuripan "Janganlah
dimas melanjutkan jua niat itu. Kita akan dikutuk dewa2, akan
dinista oleh para raja2 mancana-gara dan dicemoh oleh
kawula kita sendiri. Biarlah, keturunan dari dimas prabu yang
kelak akan melanjutkan duduk ditahta kerajaan Majapahit.
Ayunda tidak akan mengganggu gugat"
"Jika demikian carikanlah dinda puteri yang sama dengan
ayunda. Jika ayunda tidak dapat, terpaksa dinda akan
melangsungkan niat dinda ...."
"Gusti Rani, oh ... ." tiba2 terdengar suara lengking teriakan
dari seorang dayang yang muncul di taman itu. Bujang itu
gopoh menghampiri. Dibelakang-nya tampak seorang prajurit
bhayangkara yang bertugas menjaga keputren.
Demi melihat baginda hadir di taman itu, dayang itu segera
menghaturkan sembah. Kemudian ia menghadap kepada Rani
Kahuripan dan menghaturkan keterangan bahwa dalam ruang
keputren tempat peraduan Rani Kahuripan hampir saja terjadi
suatu malapetaka. "Malapetaka?" Rani Kahuripan terkejut.
"Benar gusti" sembah dayang itu "entah mengapa
sebabnya, pedupaan tempat gusti menghaturkan doa sesaji
tiap malam itu, tiba2 tumpah dan apinya menjilat kain alas
peraduan paduka, gusti. Untunglah hamba sempat tahu dan
segera memadamkannya. Mohon paduka berkenan meniti
peristiwa aneh itu, gusti"
Segera Rani Kahuripan minta diri dan mengikuti dayang itu
kembali ke ruang kediamannya.
"Demikian patih Dipa" akhirnya Rani Kahuripan menutup
penuturannya "adalah karena timbulnya api kedupaan yang
tiba2 secara aneh telah tumpah itu, maka akupun tertolong
dari kesulitan menghadapi dimas prabu saat itu"
Selama mendengarkan cerita Rani, wajah patih Dipa
tampak tenang tetapi sesungguhnya dalam hati rakryan patih
itu timbul pergolakan yang hebat. Ia benar2 tak mengerti,
geram dan sedih atas tindakan baginda yang sedemikian
kurang layak. Demikian setelah bermalam, keesokan harinya patih Dipa
segera kembali ke Daha dengan membawa surat balasan dari
Rani Kahuripan. Rani Daha amat terkejut sekali membaca
surat ayundanya Rani Kahuripan.
"Kemungkinan setelah gagal berhadapan dengan gusti Rani
Kahuripan, baginda kesal hati lalu minum tuak sepuaspuasnya. Dan tanpa disadari pula ia segera melangkah keluar
menurutkan gejolak hatinya menuju ke ruang peraduan
paduka, gusti" kata patih Dipa.
Rani Daha tersipu sipu malu.
Beberapa hari kemudian patih Dipa mendengar berita
tentang peristiwa seorang pertapa yang mati obong dibakar
dalam api unggun di alun-alun Majapahit. Bergegas rakryan
patih itu menuju ke Majapahit dan menghadap baginda.
"Ah, engkau rakryan patih Dipa" tegur baginda "mengapa
lama benar engkau tak menghadap"
Patih Dipa mempersembahkan laporan bahwa setelah
pulang dari pesta Srada di pura kerajaan yang lalu, ia agak
sakit. Kemudian ia mohon keterangan tentang peristiwa yang
didengarnya beberapa waktu yang belum lama di pura
Majapahit itu.
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, memang ada suatu peristiwa aneh dalam
melaksanakan titahku untuk memugar candi makam rahyang
ramuhun ramanda baginda Kertarajasa" ujar baginda lalu
menceritakan apa yang telah terjadi selama ini.
Rakryan patih Dipa terkejut mendengar peristiwa pertapa
Gede Pabanyu yang mati obong dalam api unggun.
"Aku tak percaya akan segala omongan pertapa yang tak
keruan itu, patih" ujar baginda masih geram.
"Lalu bagaimana kehendak paduka, gusti?"
"Sebenarnya aku belum merasa mendapat jawaban yang
memuaskan dari para begawan, resi dan ahli nujum itu"
Rakryan patih Dipa mengangguk.
"Patih Dipa" tiba2 baginda berseru dengan nada
bersungguh "beranikah engkau melakukan tugas yang hendak
kulimpahkan kepadamu"
"Sudah beberapa kali hamba haturkan pernyataan bahwa
jiwa dan raga Dipa ini hamba persembahkan kebawah duli
paduka. Apapun yang hendak paduka titahkan, tentu akan
hamba laksanakan dengan sepenuh tenaga, gusti"
"Baik, rakryan patih" ujar baginda "kepercayaanku
kepadamu masih sebulat buluh. Aku menghendaki agar
engkaulah yang menyepi di candi makam ramanda baginda itu
agar dapat menerima titah gaib dari arca Jina dan arca Hyang
Syiwa" Rakryan patih Dipa terkejut namun ia mengiakan juga titah
raja itu. Ia segera mengundurkan diri dari hadapan baginda
dan menuju ke candi makam rahyang ramuhun Kertarajasa di
Antahpura. 0odwo0 Jilid 49 I Tugas bermakna kepercayaan. Suatu pengakuan akan
kemampuan orang itu dapat menyelesaikannya. Suatu
penghargaan pula kepadanya. Hanya orang yang dapat
dipercaya, mau dipercaya dan tahu akan nilai kepercayaan itu,
akan dapat melaksanakan tugas dengan sebaik- baiknya.
Nilai kepercayaan, bukan terletak pada besar kecilnya
imbalan jasa, tinggi rendahnya pujian. Tetapi keperayaan itu
merupakan kehormatan dari seseorang. Dan kehormatan itu
tak lain adalah keperibadian orang itu sendiri. Keperibadian
sama dengan kemanusiawian manusia orang itu.
Menjaga kepercayaan bermakna menjaga kehormatan diri
peribadi. Karena kepercayaan itu meneangkum. segenap
Iingkup kehidupan. Tugas adalah suatu kepercayaan. Melakukan tugas sama
artinya dengan menjaga kepercayaan. Tugas2 kita manusia,
meayerap keseluruh lingkungan hidup. Dalam, rumah tangga
keluarga, masyarakat, negara. Kepada gusti Yang Maha
Kuasa, kepada diri kita sendiri dan sesama manusia.
Keberhasilan patih Dipa dalam menanjak ke tangga
kedudukan di pemerintahan Majapahit, adalah karena ia telah
menghayati akan arti dan nilai kepercayaan dari kerajaan
maupun atasannya yang di tuangkan dalam setiap tugas. Dan
penghayatan yang telah meresap dalam, sanubari Dipa itu.
Bukanlah timbul pada saat2 seketika ataupun karena melihat
sesuatu yang menguntungkan pada dirinya dalam tugas itu.
Tidak. Penghayatan itu teiah dibentuk belasan tahun, sejak kecil
serempak dengan perkembangan umurnya dalam menjelang
alam kedewasaan. Sebagai anak yang hidup miskin, ia hanya
mempunyai modal kepercayaan, menjaga kepercayaan untuk
melakukan tugas yang telah dipercayakan kepadanya.
Kemudian dalam alam kedewasaannya ia mulai mengembangkan kepercayaan itu menjadi suatu wajib dalam
hidupnya. Tugas demi tugas telah dapat di laksanakan dengan
baik. Kepercayaan orangpun makin berlimpah. Dan walaupun
ia tak mengharapkan namun kerajaan telah menghargai
jasa2nya sehingga kedudukannyapun makin naik.
Namun makin besar kepercayaan yang diberikan
kepadanya, makin beratlah tugas yang harus dilakukan.
Namun karena ia telah mendarah dagingkan kepercayaan itu
sebagai dharma-hidupnya, iapun tak menderita karena
peningkatan kepercayaan dan tugas yang makin berat itu.
Kini baginda Jayanagara melimpahkan pula kepercayaan
yang tertuang dalam tugas, supaya Dipa mengatasi peristiwa
aneh yang terjadi dalarn candimakam di Antahpura dan di
Simping. Dan Dipa telah menerimanya. Ia harus menunaikan
tugas itu se-baik2nya. Serentak ia teringat ketika dahulu ia bertemu empu
Panangkar, penunggu kuburan Wurare tempat empu Bharada
mengumpulkan tenaga-sakti. Tenaga-sakti empu Bharada
kelewat hebat sehingga menimbulkan bencana tak
berkeputusan bagi kedua kerajaan Singasari dan Daha.
Ditempat kuburan Wurare, empu Panangkar yang sakti itu
telah mengeluarkan aji Meraga-suksma untuk meminjam
jasadnya menghadapi raja Baureksa, jin penunggu kuburan
itu. Walaupun harus menderita karena ilmu kesaktiannya
punah, tetapi akhirnya empu Panangkar berhasil menundukkan raja jin penunggu kuburan itu. Dan diapun
berhasil menguasai jin penunggu kuburan. Raja Baureksa
telah menyerahkan pusaka Gada Intan kepadanya. Selama
memiliki Gada Intan, para jin dan peri akan tunduk pada Dipa.
Seketika teringatlah patih Dipa akan gada pusaka itu.
Sebagaimana dahulu ketika dikuburan Wurare, sebelum
bersemedhi menyepi di kuburan itu, empu Panangkar telah
menasehatkan supaya dia berpuasa sampai tiga hari. Pun kali
ini dia hendak berpuasa, mandi keramas. Makna daripada itu
tak lain adalah untuk membersihkan diri dan pikiran. Agar
lebih jernih, lebih betung dan lebih terpusat pada suatu arah
pengham-paan. Malam harinya ia segera menuju ke candimakam
Antahpura, duduk bersila dihadapan patung Jina yang menjadi
lambang rahyang ramuhun Kertarajasa pada masa mengejawantah di dunia.
Kepada penjaga makam ia pesan supaya melarang
siapapun yang akan masuk kedalam candimakam itu.
Malam pertama itu dilewatinya penuh dengan kekacauan
pikiran. Banyak hal yang harus dilawannya. Rasa haus, rasa
ngantuk, rasa lapar. Pun pikirannya masih terpecah belah
dalam kesimpang siuran yang tak menentu. Beberapa
kenangan akan peristiwa2 yang telah terjadi pada dirinya,
hilang tumbuh melintas di cakrawala pikirannya.
Malam, itu ia masih belum berhasil menemukan dirinya
pada tempat yang dituju. Demikian pula pada malam kedua.
Bahkan lebih berat. Untung ia
memiliki senjata yang ampuh yani kebulatan tekad, keteguhan hati dan pembajaan
semangat. Sesungguhnya ia tak mengerti, adakah tindakannya itu
akan membuahkan hasil seperti yang dikehendaki. Namun
karena dulu ketika di kuburan Wurare ia pernah mengalami
hal semacam itu, maka iapun mencobanya sekali. Sekalian ia
hendak membuktikan, benarkah pusaka Gada Intan itu
mempunyai daya kesaktian seperti yang diucapkan oleh raja
Baureksa itu. Dalam menempuh suatu perjalanan yang tak diketahui
ujung akhirnya itu, berulang kali ia bersua dengan bayang2
perwujutan yang hampir saja, disangkanya sebagai sesuatu
yang dicarinya. Ada perwujutan seorang pandita tua
berpakaian serba putih, rambut dan janggutnyapun putih
semua. Ada seorang pertapa yang berwajah agung,
memancarkan cahaya bersinar-sinar. Ada setan yang
mengerikan. Ada pula perwujutan dari seekor naga besar yang
menakutkan sekali. Dan masih banyak perwujutan2 lain yang
telah membayang dalam cita pikirannya.
Tetapi untunglah dalam detik2 pengakuan itu hampir
terluncur dari hatinya, mendadak kesadarannya timbul bahwa
kesemuanya itu hanya sesuatu yang dicipta menurut cipta
pikirannya. Dengan demikian jelas pikirannya itu masih 'berisi',
belum menunggal dalam kehampaan. Ia merasa sesuatu yang
benar dan sungguh itu, bukanlah harus dipaksakan datangnya.
Karena setiap keinginan untuk mengharapkan hal itu, akan
memaksa batin pikirannya untuk menciptakan sesuatu.
Ia harus mengosongkan batin dan pikirannya. Sekosong
cakrawala raya, sejernih air dari tujuh saringan, setinggi
awang2 dan seluas alam semesta. Apabila dia sudah mencapai
tingkat kehampaan yang padat, dimana tiada batas antara ada
dan tiada, isi dan hampa, tiada terisi oleh rasa perasaan, dia
akan dapat menunggalkan penunggalan diri dalam kesatuan
dengan jagad raya, alam kehampaan.
Akhirnya ia menyerah. Ia memaserahkan pada lingkungannya. Ia tak mau menggerakkan pikirannya untuk
berpikir. Ia meniadakan gerak alat inderanya. Ia mengubur diri
dalam penyerahan yang paserah. Ia tak ingin melakukan
sesuatu, mengharapkan sesuatu. Ia memadamkan keinginannya. Beberapa saat kemudian ia merasa dirinya telah
hilang..... Entah sampai berapa lama ia dalam keadaan hilang diri itu,
sayup2 ia mulai mendengar suara yang lembut. Selembut
sayap nyamuk terbang. Makin lama makin jelas akan desis
lenbut dari alunan suara itu mulai menyusup kedalam
telinganya. Makin lama pula, suara itu makin membesar, keras
dan tiba2 meletup dahsyat ....
Semesta alam kosong. Yang tampak hanya kegelapan.
Gelap gelita. Lalu bertebaran asap lembut dari udara. Makin
lama asap itu makin mengelompok. Kian tebal dan tebal.
Kemudian gumpal asap itu mulai membentuk suatu
perwujutan. Perwujutan dari suatu bentuk manusia namun tak
jelas. Seperti sesosok bayangan yang samar2 perwujutannya
.... ".... kulup, mengapa engkau mengusik ketenanganku ..."
Seolah terdengar suara seseorang bicara. Dan Dipa dapat
mendengarnya. "Pukulun, hamba tak bermaksud mengusik ketenangan
pukulun . . . " serasa Dipa menyahut. Entah dengan indera
apa. "Engkau tidak bermaksud, tetapi engkau bertindak ..."
"Apakah kesalahan hamba, pukulun ?"
"Engkau satukan dirimu dalam satu keinginan. Tubuhmu
yang panas makin panas sekali. Masih pula engkau membawa
pusaka Gada Inten. Adakah engkau hendak menghanguskan
aku?" "Tidak, pukulun. Sama sekali hamba tiada mengandung
maksud demikian" "Lalu apa maksudmu?"
"Pertama, hamba mohon petunjuk, siapakah pukulun ini?"
"Engkau kulup, mahluk yang tak luput dari kematian. Siapa
diriku hanya dapat diketahui oleh mahluk yang bebas dari
kematian" "Duh, pukulun, keinginan hamba untuk mengetahui diri
pukulun, tak lain hanya akan hamba agungkan diatas segala
sembah sujud hamba" "Kulup, engkau mengukur segala sesuatu menurut ukuran
kemanusiawianmu. Padahal alamku lain dengan alammu.
Alamku tiada memerlukan apa2 karena segalanya telah tak
perlu lagi. A am nu, jagad-kecil tubuhmu masih penuh dengan
keinginan dan gerak pikiran. Maka engkau ada-adakan segala
sesuatu menurut keinginan dan gerak pikiranmu. Alamku
bebas dari segala itu"
"Hamba merasa bahwa hamba ini hidup, tetapi hamba tak
tahu bagaimana Hidup yang menghidupkan diri hamba itu,
pukulun" "Jangan engkau memaksakan hal2 yang tak terjangkau
dalam kekuasaanmu, kulup. Telah kukatakan, manusia tak
kuasa mengelak dari kematian maka tak kuasa pula
menyingkap tabir rahasia alam itu. Dan dharma hidup manusia
itu bukanlah untuk menyingkap rahasia Sang Pencipta,
melainkan untuk melaksanakan titahNYA"
"Kini hamba sadar akan kekhilafan hamba, pukulun"
"Lalu apa tujuanmu engkau menyiksa diri?"
"Adalah karena berat mengemban tugas titah seri baginda
Majapahit, pukulun. Tak lain hamba hanya mohon petunjuk,
tentang kemujijadan arca Jina dan arca Hyang Syiwa di candi
makam Antahpura dan Sim-ping, pukulun"
Tiba2 terdengar helaan napas.
"Kodrat Prakitri sudah menggariskan ketentuan yang tak
mungkin dapat dirobah. Manusia dibebaskan untuk bertindak
menurut sekehendak hatinya karena manusia itu sendirilah
yang akan menerima akibatnya"
"Setiap keanehan tentu mempunyai makna. Demikianpun
keanehan itu dialami oleh setiap manusia jenismu. Besar
kecilnya keanehan yang dipancarkan melalui sasmita2 yang
berwujut atau tak berwujut, tergantung dari ketajaman rasa
tanggapan orang itu. Oleh karena menyangkut lingkungan
yang besar yani kerajaan, maka sasmita itupun tampak lebih
menonjol. Jangan engkau herankan apa yang tak
mengherankan karena hal itu sudah digariskan oleh kodrat
Prakitri, oleh ketentuan Hyang Purbeng gesang, Yang
Mencipta dan Yang Menghancurkan ..."
"Duh, pukulun, sungguh aiblah diri hamba karena
pengetahuan hamba yang dangkal ini tak dapat menyerap apa
yang paduka titahkan ini"
"Negara rusak, dunia kacau apabila tata peraturan
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
disingkirkan dari tahta kemurniannya. Setiap sesuatu yang
telah melampaui garis batasnya, akan menimbulkan sesuatu
akibat pula. Hujan yang deras akan menimbulkan banjir,
menggenangi dan menghancurkan segala benda yang
merintangi. Tetapi janganlah engkau ngeri akan kemurkaan
alam itu. Karena setiap kemurkaan alam itu bermakna untuk
menyapu dan membersihkan segala kekotoran. Bukankah
setelah badai hujan berlalu, alam akan subur dan bermandikan
pula keindahan sinar surya yang gilang gemilang?"
"O, adakah paduka hendak memberi petunjuk bahwa
hikmah daripada keanehan pada patung Jina dan patung
Hyang Syiwa itu, suatu pertanda dari kemurkaan Hyang
Jagadnata kepada manusia?"
"Tiada keanehan alam tanpa hikmah. Jangan engkau coba
untuk mengetahui apa rahasia dibalik keanehan itu dan
pengetahuan itu akan engkau gunakan sebagai bekal
peganganmu untuk menolaknya. Tetapi engkau manusia,
engkau telah dipercayakan suatu tugas untuk melanjutkan,
memelihara dan menumbuhkan akibat setelah keanehankeanehan itu berlalu, yani masa dimana segala bencana itu
sudah lewat dan alam akan menjelang keindahan sinar surya
yang gilang gemilang .."
"Tetapi pukulun, hamba telah sanggup menerima titah seri
baginda untuk mengatasi segala kemujijadan dalam keanehan
yang timbul di kedua candimakam ini"
"O, baiklah, kulup. Permohonan yang engkau persembahkan dengan segenap tekad hatimu itu, dapat
kuterima. Setiap permohonan yang dipersembahkan dengan
segala kesungguhan hati pasti takkan sia2. Akan kuhilangkan
segala mujijad dari kedua patung itu karena hal itu hanyalah
sekedar lambang peringatan saja. Tetapi ingatlah, kulup.
Hapusnya kemujijadan itu, bukan berarti hapusnya pula garis
yang sudah ditentukan dalam hikmah tanda2 keanehan itu"
"Terima kasih pukulun. Hambapun tak berani untuk
melanggar apa yang pukulun titahkan. Hanya apabila
berkenan hamba persembahkan permohonan kehadapan
pukulun, hamba hendak mohon sesuatu"
"Manusia tetap manusia yang penuh keinginan. Baiklah,
ajukan permohonanmu itu"
"Tak lain pukulun, hamba hanya mohon agar kerajaan
Majapahit akan tetap selamat sejahtera diatas permukaan
bumi. Menjadi pengayom yang menaungi seluruh kawula
nuswantara" "Permohonanmu kukabulkan, kulup. Tetapi ingat. Bahwa
segala apa dalam arcapada itu tak langgeng sifatnya.
Kelanggengan daripada permohonanmu itu hanya terbatas
pada umur pemohonnya yani engkau. Jangan engkau
menginginkan hendak menghapus sifat keduniawian yang tak
langgeng itu" Dipa tertegun. "Kulup, janganlah engkau terlalu lama memancarkan dayasakti dirimu dan pusaka Gada Inten itu. Berbahaya. Engkau
akan mengundang jin penunggu kuburan Wurare, bangun
dari kelelapan dan mulai berkeliaran menyebarkan bencana
pula . . . "Pukulun ..." Tiba2 terdengar teriak yang nyaring dan mengejutkan
"Aduh .." Seketika Dipa terbeliak dan terjaga dari kehampaan diri. Ia
masih mendengar suara orang mengerang di luar pintu. Cepat
sekali patih Dipa dapat menyadari keadaan di sekelilingnya. Ia
hendak melanjutkan semedhinya tetapi pikirannya sudah berisi
dengan suara erang yang meratap kesakitan itu. "Ah" serentak
ia berbangkit lalu melangkah ke luar.
Tampak jurukunci makam sedang berguling-guling di tanah.
Kedua tangannya mendekap leher dan berusaha untuk
menyiak. "Jurukunci" teriak patih Dipn seraya mengham" piri
"mengapa engkau ?"
Tiba2 jurukunci itu lepaskan kedua tangannya dan terus
bangun. Sesaat ia tercengang-cengang, tangannya masih
mengusap-usap lehernya. "Mengapa engkau kijurukunci?" tegur patih Dipa pula.
Jurukunci itu tampak gelagapan "Hamba..... hamba dicekik
setan, gusti patih" "Bagaimana engkau tahu kalau dicekik setan ?"
"Sejak sore hamba sudah menjaga di pintu makam.
Semalam tiada terjadi suatu apa. Hanya ketika menjelang
pagi, ketika hamba sedang terbuai dalam kantuk, tiba2 muncul
seorang mahluk yang menyeramkan sekali. Sepasang biji
matanya sebesar genggam tangan, giginya bertaring dan
lidahnya menjulur. Dia terus mencekik leher hamba. Hamba
meronta, berusaha melepaskan tangannya tetapi sampai
hamba berguling-guling di tanah, tetap hamba tak dapat
melepaskan diri" "Apakah sekarang engkau masih sakit?"
Jurukunci makam itu terbeliak.
"Tidak, gusti patih .." jurukunci mengelus-elus pula batang
lehernya "aneh .... hampir mati hamba dicekiknya tetapi
mengapa sekarang hamba tak merasakan bekas2 kesakitan ?"
"Hm" desuh patih Dipa "engkau sedang bermimpi buruk"
"Tidak, gusti patih" bantah jurukunci "hamba masih sadar
ketika setan itu muncul dan mencekik hamba"
Namun patih Dipa tak menghiraukan. Diam2 ia menduga,
kemungkinan perwujudan aneh yang ditemuinya dalam cipta
semedhinya itulah yang meminjam jurukunci untuk
menjagakan dia dari semedhi "Atau" patih Dipa melanjut
"adakah benar seperti yang dikatakannya bahwa tindakanku
bersemedhi itu dapat mengundang kedatangan kawanan setan
jin di kuburan Wurare ?"
Sejenak termenung, patih Dipa memandang ke cakrawala.
Di langit timur mulai memercik cahaya meriah. Sayup2
terdengar pula ayam berkokok "Pagi" serunya seorang diri
"sebentar lagi aku harus menghadap baginda"
Ia segera perintahkan jurukunci untuk membersihkan
makam dan halamannya. Iapun meminta air untuk minum
kepada jurukunci. Dalam menunggu kehadiran pagi, patih
Dipa duduk bersimpuh memanjatkan doa di hadapan makam
rahyang ramuhun Kertarajasa.
"Gusti patih !" beberapa waktu kemudian, tiba2 jurukunci
bergegas masuk ke dalam candi makam "hamba .. . hamba .."
"Engkau kenapa?" tegur patih Dipa yang sudah dua kali
terganggu oleh jurukunci itu.
Jurukunci itu masih membawa sapu. Wajahnya tampak
tegang dan napas memburu "Gusti, hamba . . . melihat
keanehan lagi.." "Keanehan apa?"
"Arca Jina itu, gusti patih"
"Arca Jina ?" ulang patih Dipa "mengapa ?"
"Arca Jina itu ... . sudah berwarna kuning emas lagi, gusti"
Patih Dipa terkesiap. Namun ia berusaha untuk menguasai
perasaannya. Ia minta jurukunci membawa ke tempat arca itu.
Patih Dipa terkejut ketika menyaksikan sendiri keadaan
patung Jina itu. Segera ia duduk bersimpuh dan
menghaturkan sembah "Semoga paduka melimpahkan berkah
agar kerajaan Majapahit tetap tegak sepanjang masa ..."
"Permohonan gusti patih telah dikabulkan dewata ?" seru
jurukunci itu. "Sudahlah, ki jurukunci" kata patih Dipa "aku hanyalah
seorang perantara. Hanya Dewata agung yang berkuasa untuk
melimpahkan keputusan"
Dari Antahpura patih Dipa segera menuju ke candimakam
Simping. Ia hendak melihat adakah arca Hyang Syiwa di
candimakam itu juga memperlihatkan keajaibannya.
"Ah, gusti patih" tersipu-sipu jurukunci menyambut
"tentulah gusti hendak memberi titah kepada hamba dalam
kunjungan gusti sepagi ini"
Patih Dipa mengangguk. "Ki jurukunci" serunya "adakah terjadi sesuatu di makam
ini?" "Tidak ada kejadian apa2, gusti"
Patih Dipa mengangguk "Ki jurukunci, cobalah engkau
periksa keadaan patung Syiwa dimuka itu"
Walaupun merasa aneh tetapi jurukunci itupun melakukan
juga titah patih Dipa. Patung Hyang Syiwa telah ditutup
dengan kain hitam sejak patung itu menitikkan percikan darah.
Dan tidak sembarang orang diperbolehkan masuk ke dalam
candimakam itu kecuali membawa idin. Hal itu dimaksudkan
agar peristiwa patung itu tak menjadi buah tontonan rakyat.
Jurukunci itu agak heran. Bukankah sudah beberapa waktu
arca Hyang Syiwa itu mengeluarkan keajaiban, menitikkan
percikan airmata berdarah. Dan jelas telah diamatinya, bahwa
percikan darah itu melekat mati. Berulang kali telah dicobanya
untuk menghapus tetapi tetap tak hilang.
"Gusti patih" kata jurukunci yang sudah berusia lanjut itu.
Rupanya dia memberanikan diri untuk menumpahkan isi
hatinya "apakah paduka berkenan menerima persembahan
pertanyaan hamba ?" "Ah, ki jurukunci" kata patih Dipa "bertanya merupakan
suatu sikap yang baik. A dakalanya orang malu bertanya untuk
hal yang tak diketahuinya, akibatnya dia menderita sendiri.
Bertanya bukan melainkan suatu hal yang salah, tetapi suatu
wajib yang baik. Apakah yang hendak engkau ajukan
kepadaku, ki juru ?"
Sikap ramah dari patih Dipa itu membangkitkan keberanian
jurukunci tua "Terima kasih, gusti patih. Yang hendak hamba
persembahkan tak lain adalah keheranan hamba atas titah
paduka itu" "Apa yang engkau herankan ?" balas patih Dipa "adakah
suatu tulah atau hal2 yang memberatkan engkau sehingga
engkau merasa heran untuk melaksanakan perintahku
membuka selubung penutup patung Hyang Syiwa itu ?"
"Gusti patih" sembah jurukunci itu pula "sudah beberapa
hari Hyang Syiwa telah menitikkan percik airmata darah. Dan
telah berulang kali hamba berusaha untuk menghapus percik
darah itu tetapi tak berhasil"
"Maka engkau heran karena berpendapat bahwa keadaan
patung Hyang Syiwa tentu tak ubah seperti beberapa hari
yang lalu ini, bukan ?"
"Demikianlah maksud hamba, gusti patih"
"Ki jurukunci" kata patih Dipa "jika Hyang Syiwa mampu
mengeluarkan keajaiban menitikkan airmata darah, dan
tidakkah patung Hyang Syiwa itu kuasa pula untuk
mengeluarkan kesaktian menghapus airmata itu ?"
"Ah" jurukunci menghela napas. Nadanya agak kecewa
karena tak sependapat dengan ucapan patih Dipa.
"Baik, ki juru" akhirnya patih Dipa bertindak "aku tak ingin
memaksamu. Biarlah aku sendiri yang akan membuka kain
selubung arca itu" Rupanya jurukunci itu menyadari bahwa sikapnya itu tidak
benar. Yang di hadapannya adalah patih kerajaan Majapahit
yang besar kekuasaannya. Sebenarnya patih itu dapat
memberinya hukuman karena menolak perintahnya. Tetapi
ternyata patih yang muda usia itu seorang patih yang berhati
lapang dan bijaksana. Patih itu akan membuka kain selubung
sendiri. Walaupun patih itu tak marah dan tak menjatuhkan
pidana, tetapi apabila hal itu sampai terdengar oleh lain mentri
kerajaan, pastilah ia akan dipanggil dan dijatuhi pidana.
"Maaf, gusti patih" serta merta ia menghaturkan sembah
"hamba akan melakukan titah paduka"
"Silahkan" patih Dipa tersenyum "tunggu dulu, kijuru" tiba2
patih Dipa berseru ketika jurukunci hendak beranjak dari
duduknya. Jurukunci itu terkesiap.
"Ki juru" kata patih Dipa "entah bagaimana hari ini aku
merasa longgar sekali hatiku. Bukankah engkau pernah
mendengar tentang ramalan beberapa ahlinujum dan pandita2
yang sakti telah dititahkan baginda menghadap ke keraton?"
Jurukunci mengiakan. "Banyak sekali tafsiran2 dalam ramalan mereka yang
hamba dengar, gusti patih " katanya.
"Lalu bagaimana pendapatmu sendiri sebagai jurukunci
makam ini ?" tanya patih Dipa.
"Gusti patih" kata jurukunci tua itu "biasanya setiap terjadi
sesuatu dalam makam Simping ini hamba tentu bermimpi
atau mendapat suatu wangsit gaib. Tetapi kali ini benar2 tiada
suatu mimpi maupun petunjuk gaib yang hamba terima. Oleh
karena itu hamba condong pada nujum yang mengatakan
bahwa patung Batara Buddha dan Batara Syiwa telah
menunjukkan suatu kemujijadan karena sebelumnya seri
baginda tidak lebih dulu memohon idin kepada arwah rahyang
ramuhun Kertarajasa, sehingga timbullah peristiwa aneh itu
sebagai pancaran kemurkaan arwah rahyang ramuhun
Kertarajasa" Patih Dipa mengangguk. "Tafsiran yang berbeda-beda pada nujum memberi
kemungkinan salah satu dari tafsiran itu tentu benar" kata
patih Dipa "termasuk tafsiranmu tadi, ki juru."
Rupanya jurukunci tua itu senang karena tafsirannya
mendapat perhatian patih Dipa,
"Oleh karena itu timbullah saat ini kegembiraan hatiku "kata
patih Dipa" untuk sekali lagi menyaksikan keadaan patung
Hyang Syiwa. Apabila memang masih menampakkan bekas
percikan airmata darah, sebagai penghargaan atas tafsiran mu
yang mendekati kebenaran itu, maka akan kuganjarmu
dengan sejumlah uang dan pakaian, serta kenaikan pangkat
juga" Jurukunci terbeliak. "Apa yang kuucapkan ini pasti akan kutepati, ki juru" kata
patih Dipa. Dengan beriba-iba jurukunci tua itu memberi sembah
terima kasih kepada patih Dipa. Diam2 patih Dipa geli.
"Adakah uang, pakaian dan pangkat itu merupakan
kebahagiaan pada setiap manusia" pikirnya "sudah setua itu
umurnya namun tampak wajahnya berseri dan pandang
matanya berkilat-kilat ketika mendengar akan kuberi ganjaran
uang dan pangkat" Sesaat kemudian ia merasa kasihan kepada jurukunci yang
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tua itu. Seharusnya dalam menjelang surya senja dalam
kehidupannya, jurukunci itu harus mulai mengarahkan
pikirannya pada ketenangan batin dan meninggalkan nafsu2
keinginan benda duniawi. A-dakah memang demikian sifat
manusia terutama manusia di pura kerajaan yang penuh
dengan keliidupan meriah dan ramai itu-"
Seketika teringat patih. Dipa akan kehidupannya Semasa ia
masih kanak2 di desa. Alam kehidupan di pedesaan, penuh
dengan kedamaian dan ketenangan. Mereka bekerja,
bersawah, berladang dan berkebun ataupun berlemak,
hanyalah sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tidak
seperti orang di kota besar terutama di pura kerajaan yang
selalu mengejar-ngejar kebendaan duniawi, agar dapat hidup
mewah dan nikmat, dihormati dan ditakuti orang karena
mempunyai pangkat dan kekuasaan.
Pada hal di pura kerajnan, baik di Majapahit, maupun di
Kishuripan dan Daha, tak sedikit ia bertemu dengan orang2
yang pandai, yang berilmu, yang putus dalam segala falsafah
dan ajaran2 agama. Sedang di desa, orang yang dapat
mengenal sastra menulis dan membaca sudah menjadi
sanjung pujian dan sesuatu yang diherankan oleh rakyat
disitu. Tetapi kenyataan, orang2 di kota dan di pura2 kerajaan
selalu hidup gelisah tak tenteram. Sedangkan rakyat di desa2
lebih tenang d.m tenteram. Mengapa "
"Ah" tiba2 patih Dipa mendesah dalam hati sesaat ia
teringat akan peristiwa Dharmaputera. Bukankah ketujuh
Dharmaputera itu cendekiawan yang putus dalam segala ilmu
tatapraja dan ajaran2 agama" Tetapi ternyata mereka
menggunakan segala kepandaian mereka untuk memburu
keuntungan peribadi. Mereka tahu segala ilmu falsafah dan
ajaran agama tetapi merekalah yang tidak melakukan ajaran2
itu sesuai dengan hikmah yang terkandung dalam ajaran itu.
Kebalikannya, rakyat desa yang bodoh dan buta huruf serta
tak tahu akan segala falsafah dan ajaran-ajaran agama, tetapi
bahkan melaksanakannya dalam kenyataan hidup mereka
sehari-hari. "Dipa, pentinglah segala pengetahuan ilmu dan ajaran2.
Karena kesemuanya itu merupakan pelita2 yang akan menjadi
penyuluh untuk menerangi perjalanan hidupmu. Lebih penting
pula, janganlah engkau menggunakan pelita itu untuk
menyilaukan orang lain sehingga orang itu akan menderita.
Dan yang paling penting, laksanakan segala pengetahuan dan
ilmu ajaran itu dalam kenyataan" demikian salah sebuah
wejangan yang diterima Dipa dari paman brahmana Anu raga
yang dihormatinya itu. "Gusti patih" tiba2 jurukunci tua menyeletuk ketika melihat
patih Dipa termenung diam sampai beberapa saat "hamba
mohon perkenan untuk segera melaksanakan titah paduka"
Patih Dipa terhenyak. Cepat ia mengangguk.
Jurukunci itupun segera berbangkit dan menghampiri arca
Hyang Syiwa yang terselubung oleh kain penutup warna
hitam. Setelah memberi sembah maka jurukunci itupun
pelahan-lahan membuka kain selubung ....
"Hai!" tiba2 jurukunci itu memekik dan melonjak ke
belakang. Pandang matanya terbelalak mencurah kearah
wajah patung itu "tak mungkin .... tak mungkin ..."
Patih Dipa pelahan-lahan menghampiri dan ikut
memandang patung itu. Diam2 iapun heran karena melihat
wajah patung Hyang Syiwa itu bersih dari segala noda
kotoran. "Ki juru" serunya sesaat kemudian "adakah percikan darah
masih terdapat pada bagian wajah atea Hyang Syiwa?"
Jurukunci tak menjawab melainkan masih tetlo-ngonglongong memandang arca itu.
"Ki Juru" patih Dipa menepuk bahunya "adakah engkau
masih kurang yakin akan penglihatanmu ?"
"Tetapi gusti" jurukunci tua berkata "bagaimana mungkin
hal itu dapat terjadi?"
"Kijuru" kata patih Dipa dengan tenang "mengapa engkau
mengherankan apa yang tak layak diherankan" Jika engkau
heran mengapa percikan darah pada arca Hyang Syiwa tiba2
lenyap, mengapa engkau tak heran apabila arca Hyang Syiwa
dapat menitikkan percikan airmata darah " Adakah wajar
apabila patung Hyang Syiwa menitikkan airmata darah dan
apakah tidak wajar kalau patung Hyang Syiwa dapat
menghapus airmata darah itu ?"
Jurukunci tua terperangah.
"Jika engkau memaklumi bahwa Hyang Syiwa itu mampu
mencipta, tentulah engkau harus memaklumi pula bahwa
Hyang Syiwa itu mampu menghapus atau membinasakannya
ciptaannya, bukan ?"
Namun jurukunci tua itu masih tetap termenung.
"Ki juru " seru patih Dipa "mengapa engkau masih
terhanyut dalam kemenungan " Tidakkah engkau bergembira
karena Hyang Syiwa sudah menghapus airmata darahnya"
Bukankah itu suatu pertanda bahwa Hyang Syiwa sudah tidak
murka lagi kepada kita ?"
Jurukunci tua seperti orang terjaga dari tidurnya. Serentak
ia menyembah patung Hyang Syiwa itu dan mengucapkan
doa. Setelah itu iapun menghadap patih Dipa pula.
"Gusti patih" serunya "jelas bahwa peristiwa ini adalah
berkat usaha paduka yang telah bersemedhi memohon kepada
Hyang Syiwa. Permohonan paduka telah diterima oleh Hyang
Syiwa. Padukalah yang menyelamatkan kerajaan dan kawula
Majapahit" Patih Dipa menghela napas.
"Ki juru" seru patih Dipa dengan nada rawan "aku hanya
seorang titah dewata. Jangan engkau terlalu menyanjung
diriku. Apabila Hyang Syiwa berkenan menerima doa
permohonanku, bukanlah karena diriku, melainkan karena
rejeki dari seluruh kawula Majapahit, termasak ki juru. Marilah
kita panjatkan doa suci agar berkah itu dapat mengayomi
kerajaan dan kawula Majapahit"
0o-dw-o0 Baginda Jayanagara terkejut menerima laporan dari patih
Dipa tentang peristiwa yang terjadi di candimakam Antahpura
dan Simping. Namun setelah menerima penjelasan dari patih Dipa
sebagaimana yang dikatakan kepada jurukunci tua di
candimakam Simping maka bagindapun dapat nic -nerima.
"Patih Dipa" ujar baginda "bagaimana pendapatmu tentang
peristiwa itu?" "Gusti junjungan hamba" kata patih Dipa "segala sesuatu
hanyalah Hyang Widdhi yang kuasa menentukan. Namun kita
manusia wajib berusaha dan berupaya. Apabila kita telah
berjalan pada dharma hidup yang telah digariskan Hyang
Widdhi, tidaklah ada suatu kekuatiran akan tersesat ke lembah
yang curam. Jalan yang terang sebagaimana yang telah
direstui Hyang Widdhi hanya dapat ditempuh dan dicapai
apabila kiia membekal pelita. Pelita yang berupa penerangan
dan kesadaran dalam batin kita. Apabila penerangan dan
kesadaran itu sudah menyerap kedalam batin kita maka
langkah kita ringan, hatipun lapang. Tiada kita mrrasa waswas akan segala gangguan, awan hitam, halilintai, badai
ataupun segala bencana dan musibah yang jauh lebih dahsyat
lagi" Berhenti sejenak, patih Dipa melanjutkan pula.
"Apapun yang akan terjadi karena peristiwa ajaib di
candimakam Antahpura dan Simping, dan apapun tafsirantafsiran dalam nujum para resi, pandita itu, hamba
seyogyakan agar tidak menimbulkan rasa was dan cemas
paduka. Karena paduka adalah junjungan seluruh kawula
kerajaan Majapahit yang memegang pusara pemerintahan
negara. Bahkan hamba mohon hendaknya paduka lebih
menyemarakkan kewibawaan paduka untuk menegakkan dan
membimbing kerajaan Majapahit kearah kejayaan"
"Adakah engkau tak percaya akan segala nujum yang
dikatakan oleh para ahli nujum, resi dan pandita itu, patih
Dipa?" "Gusti" kata Dipa yang entah bagaimana saat itu seperti
mempunyai keberanian untuk berbicara menurut suara hatinya
"hamba tak bermaksud membantah ataupun mengingkari
akan ilmu kesaktian mereka yang telah mencapai suatu
tataran tinggi. Tetapi dinilai dari ketidak kesatuan tafsiran
dalam nujum mereka, maka hambapun kurang yakin akan
kebenaran nujum mereka itu. Yang benar adalah Kenyataan
dari apa yang akan terjadi kelak. Dan kenyataan itu tak dapat
kita hindari melainkan harus kita hadapi dengan segala
kebesaran jiwa. Apapun yang terjadi kita serahkan saja
kepada kehendak Hyang Jagadnata"
Baginda Jayanagara mengangguk.
Demikian peristiwa patih Dipa bersemedhi di candi makam
Antahpura dan Simping cepat tersiar menjadi buah
pembicaraan di kalangan narapraja kerajaan. Untuk menjaga
hal2 yang tak diharapkan, Arya Kembar telah menitahkan
jurukunci supaya melarang orang2 yang berkunjung karena
hendak melihat peristiwa itu. Kemudian Arya Kembarpun
mohon kepada baginda agar menurunkan titah, melarang
mentri, senopati dan seluruh narapraja untuk membicarakan
dan menyiarkan peristiwa yang terjadi di kedua candi makam
itu. "Agar tidak menimbulkan kegoncangan di kalangan para
kawula, gusti" demikian alasan yang dikemukakan Arya
Kembar kehadapan baginda.
Baginda menyetujui. Malam itu secara tak terduga-duga patih Dipa telah
menerima kunjungan Arya Kembar bersama Arya Damar.
"Ah, angin apakah gerangan yang membawa raden berdua
berkunjung kemari?" patih Dipa menyambut kedua tetamunya
itu dengan ramah. "Ah, hanya kunjungan biasa, ki patih" sahut Arya Kembar
"kunjungan dari orang yang hendak menghaturkan selamat
dan hormat kepada tuan"
Patih Dipa mengerut dahi "O, berdebar hatiku raden.
Adakah sesuatu pada diriku yang layak mendapat kehormatan
itu ?" Patih Dipa diam2 sudah merangkai dugaan bahwa
kedatangan kedua arya itu tentu berkenaan dengan peristiwa
patung Jina dan patung Hyang Syiwa.
"Jika yang dipertuan dari kerajaan Majapahit melimpahkan
puji dan penghargaan kepada tuan, tidakkah layak bagi
Kembar dan Damar untuk menghaturkan persembahan hormat
dan puji kepada tuan?"
Patih Dipa tertawa menyambut tawa tetamunya.
"Apakah gerangan yang hendak raden bawa kepadaku ?"
setelah membawa dan mempersilahkan duduk kedua tamunya
patih Dipa memulai pembicaraannya.
"Kami berdua memanjatkan rasa syukur yang tiada
terhingga kehadapan Hyang Syiwa, bahwa Hyang Syiwa telah
berkenan mengabulkan permohonan tuan. Dan tiada
berkelebihan kiranya, sembah hormat dan puji penghargaan
kami berdua, hendak kami persembahkan kepada ki patih.
Berbahagialah kiranya kerajaan dan kawula Majapahit memiliki
seorang patih yang sesakti tuan"
"Ah, raden mengolok aku" kata patih Dipa. Kemudian
dengan nada dan wajah bersungguh ia berkata pula "Raden
Arya Kembar dan Arya Damar, dengan segala kesungguhan
hati aku hendak menyatakan. Bahwa segala hormat dan puji
sanjung raden berdua itu tidak pada tempatnya raden berikan
pada diriku" Arya Kembar dan Arya Damar terbeliak.
"Mengapa, ki patih mengatakan demikian?"
"Kita semua, raden berdua, aku dan lain2 mentri" adalah
hamba kerajaan yang mengabdikan diri demi. kepentingan
kerajaan Majapahit. Dalam kerajaan Majapahit hanya terdapat
tiga lapisan golongan. Raja sebagai junjungan. Narapraja
sebagai pelaksana yang menjalankan roda pemerintahan dan
kawula yang memerlukan peraturan dan pengayoman.
Sesuatu yang berhasil dilakukan oleh golongan narapraja,
bukanlah suatu ke-banggan atau kehormatan, melainkan
suatu kewajiban atau keharusan. Bukankah untuk mengatasi
suatu hal yang mengganggu ketenteraman dan keamanan
negara sudah merupakan suatu wajib dalam tanggung jawab
sebagai narapraja ?"
Arya Kembar dan Arya Damar diam.
"Andai menurut pandangan raden berdua, apa yang
kulakukan di candi makam itu suatu jasa yang menurut
anggapan raden pula layak mendapat puji dan penghormatan,
maka yang layak menerima puji penghargaan itu bukanlah
Dipa semata, melainkan golongan narapraja seluruhnya.
Karena Dipa adalah salah seorang a'nggauta dari kesatuan
narapraja Majapahit. Dan bukankah raden berdua juga
termasuk narapraja pula. Oleh karena itu puji dan
penghargaan raden itu wajib kuhaturkan kembali kepada
raden berdua" "Ha, ha" Arya Kembar dan Arya Damar tertawa
"berhadapan dengan ki patih, kami selalu tak dapat bicara"
"Memang ki patih Dipa seorang yang serba bisa. Dulu ketika
bersama di Bali, akupun telah merasakan betapa tepat dan
hebat pimpinannya atas pasukan kerajaan" sambut Arya
Damar pula. "Dan dikalangan narapraja kerajaan siapakah yang tak
mengakui akan kecakapan ki patih Dipa dalam soal ketataprajaan ?" seru A rya Kambar.
"Ah, janganlah raden membunuh aku" seru patih Dipa
tertawa. Arya Kembar mengerut dahi "Membunuh " Apa maksud ki
patih?" "Mati semut karena gula. Mati orang karena pujian manis.
Jelas bahwa sesuatu yang manis itu belum tentu manis. Dipa
masih banyak sekali kekurangan dan kesalahannya, kuharap
raden jangan sungkan untuk memberi petunjuk dan
menunjukkan kesalahanku. Aku lebih berterima kasih
menerima penunjukan kesalahan daripada pujian"
"Hm, setan, dia menyindir aku" geram Arya Kembar dalam
hati. Namun ia mengulas senyum pada wajah dan berkata "Ki
patih sungguh seorang yang bijaksana. Memang puji sanjung
lebih sedap daripada celahan. Dan pada umumnya orang
senang menerima puji sanjung daripada celah cemohan"
"Wajar, raden" sambut patih Dipa "karena manusia itu
selalu mendambakan kenikmatan dalam citarasanya.
Termasuk citarasa pendengarannya"
"Jika demikian,
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
longgarlah perasaanku untuk menyampaikan sesuatu kepada ki patih" kata Arya Kembar.
Patih Dipa segera menyambut pertanyaan Arya Kembar
dengan mempersalahkan tetamunya untuk mengatakan apa
yang hendak dikatakan kepadanya.
"Senafas dengan ucapan ki patih tadi" Arya Kembar
memulai kata-katanya "bahwa kita semua ini adalah abdi
kerajaan atau golongan narapraja seperti kata tuan tadi"
Patih Dipa mengiakan. "Berpijak pada landasan itu, maka wajiblah aku
menyampaikan sesuatu kepada ki patih" kata Arya Kembar
"sesuatu yang mengabutkan awan hitam bagi nama baik
keseluruhan kesatuan narapraja"
"O" patih Dipa terbeliak "rupanya ada sesuatu yang penting
sekali. Silahkan raden memberi penjelasan"
"Aku berbicara ini" kata Arya Kembar "bukan karena hendak
memburukkan nama ki patih tetapi hanya menjelaskan apa
yaeg menjadi kenyataan. Dan apabila hal itu sampai
menyinggung perasaan ki patih, sukalah ki patih memaafkan"
Patih Dipa makin terkejut. Ia merasa dan menduga tentu
ada sesuatu dibalik ucapan arya itu. Segera ia meminta Arya
Kembar untuk mengatakan saja berita itu. Kalau memang
suatu kenyataan, mengapa ia harus marah maka tak perlulah
arya itu harus minta maaf. Katanya.
Arya Kembar menyatakan terima kasih dan mulai bicara.
"Ki patih, kiranya sudah bukan suatu rahasia lagi bahwa
seluruh narapraja kerajaan telah mendengar peristiwa yang
telah terjadi dalam keraton. Oleh karena itu maka akupun
memberanikan diri menghadap ki patih guna merundingkan
cara dan tindakan yang tepat untuk menghapus berita itu"
"O, berita apakah yang raden maksudkan?"
"Adakah ki patih tak pernah mendengar hal itu?"
Patih Dipa gelengkan kepala.
"Berita itu mengenai peristiwa yang sangat rawan dan
penting bagi keluhuran nama baginda dan kewibawaan
kerajaan serta nama baik dari mereka yang tersangkut"
kembali Arya Kembar berhenti. Rupanya dia sengaja
memperlambat pembicaraannya agar mempunyai kesempatan
untuk meneliti sikap dan perobahan cahaya wajah patih Dipa.
Iapun mendapat kesan bahwa patih Dipa mulai meregang
kerut2 dahinya. Pertanda bahwa perhatian patih itu mulai
tertarik dan hatinya tegang.
"Tak lain ki patih" kata Arya Kembar melanjut "adalah
mengenai tindak baginda yang cukup menghebohkan itu.
Pertama, dimulai dari diri seorang gadis penari dari Bali yang
telah diperisteri tumenggung Kuda Pengasih, yang ternyata
telah menarik selera baginda. Dimulai dari langkah baginda
untuk melaksanakan hasratnya kepada gadis Bali itu maka
terjadilah suatu peristiwa yang melibatkan diri nyi Tanca"
"O" desuh patih Dipa "hal itu memang telah kudengar.
Bukankah raden berdua yang dititahkan baginda untuk
membawa tumenggung Kuda Pengasih ke Sadeng ?"
"Ya" sahut Arya Kembar.
"Dan pada waktu tumenggung Kuda Pengasih menjalankan
tugas itulah maka terjadi tindakan baginda terhadap gadis,
Bali itu dan kemudian menyangkut diri nyi Tanca, bukan ?"
Dengan mengemukakan hal itu, patih Dipa mendapat
kesempatan untuk menyelidiki diri Arya Kembar dan Arya
Damar, sampai berapa jauhkah kedua arya itu tersangkut
dalam peristiwa itu. Memang maksud telah terkandung dalam
hati patih Dipa untuk menemui Arya Kembar dan meminta
penjelasan tentang peristiwa itu. Sekarang Arya itu datang
sendiri dan menceritakan hal itu.
Tetapi diluar dugaan Arya Kembar tanpa ragu2 dan dengan
nada tandas menjawab "Benar, ki patih. Tetapi kiranya ki patih
tentu maklum, bahwa sebagai seorang narapraja, aku wajib
mematuhi titah seri baginda"
"Hm" desuh patih Dipa "lalu bagaimana pendapat raden
mengenai persoalan itu ?"
"Itulah yang justeru hendak kuhaturkan kepada ki patih
dengan harapan agar ki patih dapat mengatasinya. Menurut
berita yang kuterima, rupanya rakryan Tanca telah
mengetahui persoalan itu dan sangat marah sekali kepada
baginda. Tidakkah ki patih sependapat dengan aku, bahwa
kemarahan rakryan Tanca itu amat berbahaya sekali"
"Bagaimana raden berpendapat begitu ?"
"Karena dia adalah satu satunya Dharmaputera yang masih
hidup. Baginda dapat mengampuni rakryan itu karena pertama
dia tak langsung terlibat dalam pemberontakan Dharmaputera
yang lalu dan kedua sebagai seorang tabib yang pandai dia
masih dibutuhkan tenaganya oleh keraton"
Patih Dipa tak memberi penyahutan.
"Adakah ki patih menganggap sikap ra Tanca itu masih
dapat kita maafkan" Artinya, tidakkah ki patih menganggap
perlu melakukan suatu tindakan terhadap diri rakryan itu demi
menjaga segala kemungkinan yang tak diharapkan ?"
"Menangkapnya, maksud raden?"
"Ya" "Ah" patih Dipa mendesah "memang menjaga sebelum
terjadi, lebih berguna daripada membasmi setelah terjadi.
Tetapi hendaknya kita maklum akan sifat undang-undang
dalam kerajaan Majapahit. Bahwa sifat daripada undang2 itu
tak lain adalah suatu pengayoman bagi yang tak bersalah dan
pidana bagi yang salah. Dalam soal ra Tanca, dia baru
memperlihatkan sikap, belum menunjukkan suatu langkah
untuk bertindak sesuatu yang membahayakan keselamatan
seri baginda. Dapatkah kita semena-mena menangkap ra
Tanca hanya berdasarkan sikap yang belum mengunjukkan
bukti kesalahannya ?"
Arya Kembar terkesiap. Namun pada lain kilas cepat sekali
ia melihat suatu kesempatan yang baik.
"Jika demikian, tidakkah ki patih menganggap bahwa sikap
ra Tanca itu wajar dan dapat dibenarkan?"
Patih Dipa agak terkejut menerima pertanyaan itu "Apa
maksud raden ?" "Adakah harus demikian sikap ra Tanca sebagai seorang
suami ?" "Ya" jawab patih Dipa.
Diam2 bersoraklah hati Arya Kembar. Namun ia berusaha
untuk menyembunyikan perasaannya itu.
"Maaf ki patih" katanya "andai tuan sendiri yang menderita
musibah semacam itu, apakah tuan juga akan bersikap seperti
ra Tanca?" Cahaya wajah patih Dipa berobah seketika. Ia mulai
menyadari bahwa Arya Kembar akan menuju ke suatu
maksud. Ia merenung adakah peristiwa baginda dengan Rani
Daha dan Rani Kahuripan itu juga sudah terdengar oleh Arya
Kembar" Merenungkan bahwa Arya Kembar itu masih mempunyai
hubungan keluarga dengan gusti ratu Indreswari, berdebarlah
hati Dipa. Bukan suatu hal yang tak mungkin bahwa peristiwa
itupun telah diketahui juga oleh gusti ratu Indreswari.
Rupanya Arya Kembar tak dapat menindas gejolak
kegembiraannya saat itu. Ia tersenyum-senyum. Sesaat
kemudian tiba2 wajahnya tampak sarat.
"Ki patih" katanya dengan nada bersungguh "apabila
pengandaian tadi kuganti dengan suatu kenyataan, adakah ki
patih juga tetap akan bersikap seperti rakryan Tanca?"
Walaupun telah diduga bahwa Arya Kembar akan menjurus
kearah itu namun patih Dipa tetap tergetar juga hatinya "Apa
maksud raden?" "Walaupun tidak banyak yang tahu, tetapi sepandai-pandai
orang membungkus api, akhirnya akan keluar juga asapnya.
Kurasa ki patih tentu maklum sendiri apa yang terjadi dalam
keraton selama kedua Rani, Kahuripan dan Daha tinggal di
puri keputren pada waktu berlangsung pesta Srada"
"Hm" desuh patih Dipa "benar kata raden"
Menduga bahwa Arya Kembar tentu sudah mengetahui
peristiwa itu maka patih Dipa tak mau menyangkal. Bahkan
dengan pengakuan itu ia hendak mengetahui apa sebenarnya
yang terkandung dalam hati arya itu.
"Tidakkah ki patih sependapat dengan aku bahwa karena
perbuatan baginda yang kurang layak terhadap kedua Rani
bahkan terhadap nyi patih Dipa itu, telah menimbulkan
peristiwa yang menggemparkan dalam bentuk keanehan yang
terjadi pada kedua patung Jina dan Syiwa?" tanya Arya
Kembar. Dengan cerdik dia tak mau langsung mendesak patih
Dipa mengenai peristiwa yang menimpa isterinya. Tetapi
dengan cara lain, ia telah memperingatkan kepada patih itu
bahwa peristiwa atas diri nyi Dipa, telah diketahuinya juga.
"Setiap orang bebas mengadakan tafsiran, raden.
Sebagaimana halnya pertapa Pabanyu yang secara halus telah
mengatakan bahwa kemurkaan Hyang Syiwa itu adalah berkat
baginda telah melanggar kesusilaan"
"Dan bagaimana dengan pendapat ki patih sendiri?" desak
Arya Kembar. Patih Dipa mengerut dahi.
"Bagiku, jangan kita cepat2 dan mudah menyerahkan diri,
harap m dan segala apa kepada hari kelak. Karena apapun
yang akan terjadi kelak, tiadalah orang dapat mengetahui
dengan pasti. A pa yang pasti adalah hari ini. Maka pastikanlah
hari ini dengan kepastian yang memastikan. Karena kepastian
hari ini akan membentuk kepastian hari kelak .."
"Ki patih tak percaya akan segala nujum itu?" desak Arya
Kembar pula. "Nujum adalah sesuatu yang akan terjadi kelak. Jawabanku
telah kukatakan tadi. Hanya saja, tanpa mengecilkan arti dari
segala kesaktian para resi pandita yang telah memaparkan
nujumnya itu, hendaknya kita jadikan tafsiran nujum itu
sebagai suatu peringatan agar kita lebih dapat memawas diri
dan lebih berhati-hati dalam setiap langkah dan tindakan kita"
"Ah" Arya Kembar mendesah. Nadanya seperti orang sedih
"karena tindakan baginda yang melanggar susila, mengganggu
isteri beberapa mentri dan bahkan kepada ayundanya sendiri,
maka murkalah Hyang Syiwa, marahlah ra Tanca. Dan
andaikata hal itu terjadi pada isteriku, aku pun tentu marah.
Hanya seorang suami yang tidak jantan, akan menerima hal
itu ... " Dalam mengucapkan kata 'beberapa" tadi, sengaja Arya
Kembar menandaskan sepatah demi sepatah. Demikian pada
penutup pembicaraannya diapun memberi nada tekanan yang
tandas. Merahlah telinga patih Dipa mendengar itu. Hatinya serasa
mendidih. Tetapi cepat dia dapat menguasai perasaannya.
"Raden, akupun hendak mengajukan pertanyaan" katanya
sesaat kemudian "dalam hal ini apabila ada kata-kataku yang
menyinggung perasaan raden, sukalah raden memaafkan"
Berdebar hati Arya Kembar mendengar ucapan itu. Ia tahu
bahwa patih Dipa itu memiliki pandangan dan kata-kata yang
tajam. Tiap perkataannya tentu berisi.
"Ah, silahkan ki mencerahkan wajah. patih bertanya" katanya seraya "Jika aku tak salah dengar, raden masih mempunyai
hubungan keluarga dengan gusti ratu Indreswari"
"Ya, masih kernanakan misan"
"Dengan demikian raden masih dekat hubungan darah
dengan seri baginda" kata patih Dipa "dalam hal itu, wajarlah
kiranya kalau raden berusaha keras untuk mengabdi kepada
kerajaan Majapahit dan membela kepentingan seri baginda"
"Hm" "Yang agak mengherankan" kata patih Dipa "mengapa
dalam pembicaraan kita ini, raden bernada memburukkan
baginda ?" Pucat seketika wajah Arya Kembar menerima pertanyaan
itu. Ia tahu bahwa walaupun ia masih mempunyai hubungan
darah dengan baginda, tetapi hubungannya dengan baginda,
tidaklah seerat baginda dengan patih Dipa. Demikianpun
kepercayaan baginda lebih tercurah kepada patih itu.
Bukankah berbahaya apabila patih Dipa melaporkan hal itu ke
hadapan baginda " "Ah, ki patih" cepat sekali Arya Kembar yang cerdas dan
licin itu memperoleh jawaban "patih salah tafsir. Jika aku
menyiarkan tindakan baginda itu kepada segenap narapraja
dan kawula, dapatlah ki patih menganggap aku memburukkan
keluhuran nama baginda. Tetapi yang kuajak berunding ini
adalah ki patih Dipa, patih yang mendapat kepercayaan penuh
dari baginda. Dan sifat pembicaraanku ini adalah berunding
untuk mencari jalan mengatasi hal2 yang kuanggap akan
menjatuhkan martabat baginda. Adakah hal itu dapat ki patih
anggap sebagai tindakan memburukkan baginda ?"
"Sifat harus memancarkan nada yang seirama. Sukar untuk
mempercayai Sifat apabila nada yang membawakan Sifat itu,
sangat lain iramanya "kata patih Dipa "jika raden bersungguhsungguh mengandung sifat hendak menyelamatkan keluhuran
nama baginda, aku mohon maaf atas kata-kataku yang salah
menuduh tadi. Tetapi kuharap radenpun harus maklum,
bahwa telah menjadi sumpah patih Dipa, jiwa dan raga Dipa
itu telah kuserahkan demi kepentingan kerajaan Majapahit.
Barangsiapa yang hendak mengganggu, menggerogoti
kewibawaan kerajaan, tentulah akan berhadapan dengan
Dipa" "Hm, sombong benar engkau" dengus Arya Kembar dalam
hati. Namun ia tertawa "Ki patih memang mengabdi dengan
penuh kesetyaan. Justeru karena hal itu menyangkut
keluhuran nama baginda junjungan kita dan beberapa mentri
yang terkemuka, maka kita harus berusaha untuk
menyelamatkannya" "Jika menurut pendapat raden, bagaimana kiranya tindakan
yang tepat untuk mengatasi hal itu ?"
"Keluarkan perintah untuk melarang orang membicarakan
peristiwa dalam keraton yang menyangkut baginda dan isteri2
dari beberapa mentri kerajaan. Barangsiapa melanggar, akan
dijatuhi pidana berat"
"Hm, kembali engkau hendak menikam perasaanku" desuh
patih Dipa dalam hati. Namun ia tertawa datar.
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tindakan raden itu sungguh menggelikan" katanya.
"Mengapa menggelikan?" Arya Kembar heran.
"Ketika masih kanak2, aku pernah mendengar cerita yang
menggelikan" kata patih Dipa "ada seorang kikir yang memiliki
simpanan uang yang besar jumlahnya. Untuk menjaga agar
jangan orang datang meminta dana kepadanya karena
mengira dia kaya dan menjaga orang jahat yang akan mencuri
hartanya itu maka dipendamnya harta benda yang dimasukkan
kedalam sebuah guci itu, dalam tanah"
"O, dia cerdik dan hati2 sekali" seru A rya Kembar.
"Benar" sahut patih Dipa "bahkan terlalu cerdik sekali
sehingga dia membuat papan yang dipancang diatas tanah itu
dengan diberi tulisan di tanah ini kosong, "tidak berisi harta".
Keesokan harinya ketika ia menjenguk tanah ini ternyata
sudah dibongkar orang dan guci uang itupun hilang"
"O" "Demikianlah dengan rencana raden tadi" kata patih Dipa
"raden melarang orang tak boleh membicarakan peristiwa itu
berarti raden diam2 mengumumkan kepada mereka bahwa di
dalam keraton Tikta-Sripala benar telah terjadi peristiwa
semacam itu" Arya Kembar melongo. "Lalu bagaimana menurut tindakan ki patih ?" akhirnya ia
bertanya. "Akan kuselidiki darimana sumber yang menyiarkan berita
itu. Dan akan kutemui juga rakryan Tanca. Bagaimana
tindakan selanjutnya, tergantung dari hasil penyelidikanku itu"
kata patih Dipa. "Mudah-mudahan peristiwa itu segera dapat diatasi
sehingga tak membawa akibat yang tak diharapkan bagi
kewibawaan kerajian, baginda dan para mentri yang
tersangkut" Arya Kembar mengakhiri pembicaraannya
kemudian mohon diri. Berada seorang diri, patih Dipa masih merenung tujuan dari
kunjungan Arya Kembar dan Arya Damar dan maksud dibalik
pembicaraan mereka. Serentak iapun teringat akan kata2 yang selalu diucapkan
dengan tekanan nada yang tandas dan berulang kali oleh Arya
Kembar yani 'isteri beberapa mentri '.
"Hm, jelas dia hendak mengatakan bahwa namakupun ikut
tercemar karena isterikupun juga diganggu baginda" akhirnya
patih Dipa mulai mencapai pemikiran demikian "tetapi
siapakah yang menyiarkan peristiwa itu" Mengapa Arya
Kembar tahu hal itu ?"
Sejenak merenung tibalah dugaannya pada sesuatu
"Kemungkinan besar nyi Tanca atau nyi lurah Badra. Tetapi
mengapa Arya Kembar menaruh perhatian begitu besar
terhadap peristiwa itu dan sengaja membicarakan hal itu
dengan aku" Alasannya bahwa dia berusaha untuk
menyelamatkan nama baik seri baginda dan beberapa mentri
termasuk diriku, rasanya tidak tulus murni. Alasan itu memang
tepat tetapi dia tentu mempunyai tujuan tertentu lagi ..."
"Hm" desuhnya pula "kedua arya itu tak terlepas dari
peristiwa yang diderita tumenggung Kuda Pengasih. Apakah
tujuan mereka yang sesungguhnya " Ah, mungkin mereka
berusaha keras untuk merebut pengaruh dan kepercayaan
baginda. Jika demikian" ia pejamkan mata merenung jauh
"dalam keraton Tikta-Sripala mulai timbul benih bencana baru
dari golongan Arya yang hendak merebut pengaruh kekuasaan
dalam keraton. Dan benar2 berbahaya ..." tiba2 ia tersentak
dari renungan ketika membayangkan kenyataan bahwa
mereka adalah masih keluarga dengan gusti ratu Indreswari.
Betapapun, ratu Indreswari itu mempunyai pengaruh besar
atas baginda dan keraton.
Makin membayangkan hal itu makin timbullah kecemasan
hati patih Dipa "Rasanya mereka akan lebih berbahaya dari
Dharmaputera ..." Lama sekali patih Dipa berada dalam renungan,
membayangkan keadaan keraton Majapahit. Dan setelah
pemikiran itu mencapai pada puncaknya maka mulailah
berangsur-angsur mengendap. Terakhir ia mulai menyorot
dirinya sendiri. Dalam keheningan suasana tengah malam itu, pikiran orang
dapat mengendap kedasar alas sanubarinya.
Disitu akan. bertemu dengan sumber yang memancarkan
kemurnian sifat2 keperibadiannya. Sifat baik dan sifat buruk
dari seorang manusia, pria ataupun wanita. Demikian pula
yang tengah dialami patih Dipa saat itu.
"Memang baginda telah melampaui batas2 yang diharapkan
dari seorang raja" mulai memancarlah suatu perasaan dari
sumber sanubari patih Dipa "bukankah masih banyak wanita
lain, yang muda, yang cantik dan yang lebih memenuhi selera
baginda. Baginda dengan mudah tentu dapat memperolehnya.
Tetapi mengapa baginda sampai hati mengganggu saudara
baginda sendiri kedua Rani itu " Dan mengapa pula tak segan
mengganggu isteri ra Tanca dan .... nyi Dipa?"
"Memang tak dapat dibenarkan apabila ra Tanca melakukan
suatu tindakan yang membahayakan keselamatan jiwa
baginda" renungannya makin melanjut "tetapi lepas dari
kedudukannya sebagai seorang kawula terhadap raja, sebagai
seorang suami dapat dimaklumi apabila ra Tanca sampai
marah ataupun sampai berbuat nekad mengancam jiwa
baginda" "Dibalik daripada maksud tersembunyi dalam kata2 Arya
Kembar tadi, memang apabila peristiwa itu tersiar, orang tentu
akan mencemohkan diriku yang membiarkan saja nyi Dipa
diganggu raja. Mungkin orang akan menyangka aku memang
merelakan hal itu terjadi agar aku dapat menguasai baginda.
Ah, benar, benar .... tuduhan itu memang beralasan. Aku
dapat mengancam baginda untuk menyiarkan tindakan
baginda terhadap nyi Dipa itu apabila baginda tak mau
meluluskan apa yang kuminta. Dengan tekanan itu dapatlah
aku menggenggam baginda dalam kekuasaanku ... "
Patih Dipa seolah seperti terdampar pada karang tajam. Ia
merasa telah terjepit diantara karang yang mengerikan. Jika ia
berusaha lolos dari himpitan itu, dia pasti akan tercebur dalam
laut. Namun jika ia tak berusaha, ia pasti hancur dihimpit karang.
Maknanya, jika ia berusaha lolos dari himpitan karang atau
keadaan yang mengancam tercemarnya nama baiknya, ia
pasti akan berhadapan dengan laut. Laut yang dahsyat dan
berkuasa atau raja. Namun kalau dia membiarkan diri dijepit
ancaman itu, dirinyapun akan hancur dicemoh orang.
"Sesungguhnya peristiwa atas diri nyi Dipa itu tidaklah
mencapai hal2 seperti yang terjadi pada diri nyi Tanca. Namun
tuduhan orang, terutama golongan Arya yang jelas telah
melancarkan serangan2 itu, pastilah akan membuatnya
sebagai sasaran cetnoh hinaan orang. Tentulah dia tak
terlepas dari tuduhaa bahwa dia menguasai dan merebut
kepercayaan baginda melalui pengorbanan seorang isteri. Ah
..." Patih Dipa benar2 gelisah. Memang secara tak disadari umbullah pertumbuhan jiwa yang berbeda antara Dipa diwaktu masih kanak2 sehingga dewasa dan Dipa yang sekarang menjadi patih Daha. Antara Dipa yang masih jejaka dengan Dipa yang sudah beristeri. Timbul suatu rasa rahmah lain. Dan rasa2 itulah yang mengembangkan rasa kepiiaannya "Ra Tanca
benar. Itulah sikap seorang lelaki . . . "
Tanpa disadari ia mengepalkan tinju kencang2 dan derrr .... meja yang
dihadapinya, yang terbuat daripada kayu mahoni yang keras,
serentak berhamburan menaburkan keping2 kesegenap
penjuru. Tanpa disadari, gejolak perasaan yang serasa
tertindih batu bessr telah meletus Melalui gerakan tinjunya,
meja itupun dihantamnya sehingga hancur berkeping-keping
.... Ia kesima dan terlongong-Iongong. Rasa kejut dari
kesadaran pikirannya yang telah hanyut terbawa air bah
perasaannya yang meluap luap, rasa kejut melihat
kedahsyatan tenaga pukulannya itu, telah mencengkam
seluruh semangatnya .... "Ah ... . betapa dahsyat letusan gunung dan badai lautan,
masih kalah dahsyat jua dengan dendam manusia yang
menumpah keluar ..."
Dipa terkejut. Jelas bukan dia yang mengatakan kata2 itu.
Serentak ia memandang kearah suara itu dan diantara kabut
malam bercampur serbuk hancuran meja yang berkepingkeping itu, ia seperti melihat sesosok bayangan putih tegak
diambang pintu. "Siapa !" serentak ia loncat menerjang kepul hamburan
serbuk itu. Rupanya masih belum longgar kesesakan yang
menghimpit dadanya walaupun sudah menghancurkan meja.
Sisa2 letupan perasaan itu masih menginginkan tempat untuk
menyalurkannya. Dan karena kesadaran pikirannya masih
belum mengendap, maka iapun tak menghiraukan siapapun
juga pendatang itu. Serentak ia mengangkat tinju dan siap
hendak dilontarkan ..... "Cet, cet" terdengar suara berdecak dari mulut pendatang
itu yang masdi tegak setenang gunung Meru.
"Eh ... " tiba2 terbelalak mata patih Dipa ketika terterjang
pancaran sinar mata pendatang itu yang berkilat-kilat laksana
Gelap-sayuta atau sejuta kilat. Seketika lemah lunglailah
seluruh persendian tulang tulangnya dan rubuhlah ia terkulai
menubruk kaki orang itu "duh, paman brahmana, ampunilah
kesalahan hamba ..."
Pendatang itu mengenakan pakaian brahmana. Seorang
brahmana muda yang berwajah cakap. Sepasang bola
matanya yang bening, ditaungi sepasang alis yang rimbun,
makin memperagung kewibawaannya. Ketenangan cahaya
wajahnya menunjukkan suatu penempaan batin yang teguh
kokoh menghadapi segala derita hidup. Bibir yang selalu
mengulum senyum, memancarkan perasaan hatinya yang
tenang dalam menilai segala gejolak keduniawian. Brahmana
Anuraga ..... '"Ki patih" ujar brahmana Anuraga dengan nada lembut
"bangunlah. Tak layak engkau menelungkupi kakiku, seorang
brahmana. Tidakkah engkau merasa malu apabila dilihat oleh
bawahanmu ?" "Tidak paman" kata patih Dipa beriba-iba "apabila paman
tak melimpahkan maaf kepadaku, aku tetap akan
menelungkupi kaki paman"
Anuraga tertawa. "Engkau seorang patih tetapi tingkahmu masih berkemanjaan seperti Dipa yang dulu. Bangunlah ki patih
Dipa. Kutahu engkau tentu sedang mengalami kekacauan
batin sehingga engkau lupa segala apa yang terjadi
disekelilingmu" "Paman, hamba mohon ampun .."
"Baiklah, ki patih Dipa, kumaafkan engkau" kata Anuraga
seraya mengangkat bahu patih Dipa berdiri.
Diam2 patih Dipa terkejut. Ia merasa dirinya ringan sekali
ketika diangkat oleh paman brahmana itu. Diam2 iapun girang
karena menyadari bahwa kini kesaktian paman brahmana itu
makin meningkat tinggi. Ia segera mengiringkan paman
brahmana duduk. "Ah, tenagamu makin hebat, ki patih. Engkau mampu
menghancurkan meja yang begini kokoh" demi melihat meja
hancur berantakan, brahmana Anuraga memuji.
Dipa tersipu sipu malu. "Ah, tak kusangka paman, bahwa di luar kesadaran, aku
dapat menghantam pecah meja ini"
"Itulah ki patih" kata brahmana Anuraga "apabila hawa
nafsu sedang meletup. Kuasanya lebih dahsyat dari gunung
meletup. Terutama orang yang diberkahi tenaga sakti seperti
engkau, pasti akan menimbulkan bencana yang lebih besar"
"Hamba lupa diri, paman. Lupa dan terkalahkan oleh hawa
nafsu yang selama ini hamba tindas"
"Manusia tak luput dari lupa dan khilaf, ki patih. Asal saja,
dia cepat dapat menyadari"
"Terima kasih, paman"
"Tetapi kurasa tentu ada sesuatu yang luar biasa sehingga
orang yang seperti engkau sampai lupa diri. Dapatkah engkau
memberitahukan soal itu kepadaku?"
"Tentu paman" jawab patih Dipa "karena hanya pamanlah
tumpu harapan Dipa, tempat Dipa meneguk petunjuk,
menimba ilmu. Tetapi sebelum memulai menceritakan hal itu,
hamba hendak menghaturkan sebuah permohonan kepada
paman brahmana" "O" seru brahmana Anuraga yang tampak makin masak
sejalan dengan peningkatan usianya "katakanlah, ki patih"
"Hamba mohon, jangan paman menyebut-nyebut hamba
sebagai ki patih tetapi sebutlah seperti dahulu, cukup dengan
nama hamba saja"
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi bukankah sekarang engkau sudah menjabat sebagai
patih Daha " Tidakkah layak jika kusebut-mu dengan gelar
pangkatmu sebagai patih?"
"Paman brahmana" kata patih Dipa dengan nada
bersungguh "gelar dan pangkat, harta dan kekayaan, hanyalah
hiasan keduniawian. Tetapi diri hamba adalah Dipa, dahulu,
sekarang dan kelak. Dan paman brahmana adalah paman
hamba yang dahulu juga, sekarang dan sampai pada akhir
hayat Dipa" "Engkau tak tersinggung perasaanmu?"
"Duh, paman brahmana yang hamba hormati" seru patih
Dipa beriba "jika paman mempunyai anggapan demikian
berarti paman tidak lagi mengakui diri Dipa sebagai anak-didik
paman. Dan apabila demikian halnya, akan sengsaralah hati
Dipa sepanjang hidup. "
Brahmana Anuraga tersenyum.
"Baiklah, Dipa" katanya "hendaknya sifat yang luhur itu
tetap engkau miliki sepanjang perjalanan hidupmu"
Dengan gembira patih Dipa segera menghaturkan terima
kasih kepada brahmana Anuraga. Dia seorang bekas bekel
bhayangkara keraton Majapahit yang berjasa besar terhadap
baginda dan kerajaan Majapahit. Dia bekas patih Kahuripan
yang berhasil dalam tugasnya. Kini dia menjabat patih Daha.
Dia pernah dipercayakan tugas sebagai seorang senopati
manggala-yuda ke Bali oleh baginda. Dia mulai menanjak
ditangga pemerintahan kerajaan. Dia dihormati oleh segenap
mentri, senopati dan para kawula. Diapun telah dianugerahi
pusaka pedang Adi-petaka oleh baginda Jayanagara yang
memberinya wewenang untuk keluar masuk keraton pada
setiap saat. Tetapi dihadapan brahmana Anuraga, ia bukan lagi patih
Dipa yang termasyhur besar jasanya dan besar pula
kekuasaannya, melainkan seorang Dipa yang merasa sebagai
murid dari paman brahmana itu. Dia merasa tetap seorang
Dipa yang mempunyai paman seorang brahmana bergelar
Anuraga. Dan dihadapan paman brahmana itu, tidaklah lagi
dia seorang patih yang berwibawa dalam menjalankan tugas
kerajaan, melainkan seorang Dipa yang berkemanjaan
terhadap paman yang dicintainya. Maka waktu brahmana
Anuraga meluluskan untuk memanggilnya dengan naina Dipa
saja, girang patih itu bukan alang kepalang. Ia merasa seperti
anak hilang yang telah bertemu dengan ayahnya. Sebagai air
mengalir yang kembali pada sumbernya.
Setelah itu maka mulailah patih Dipa menuturkan masalah
yang dihadapinya sehubungan dengan peristiwa yang terjadi
di keraton. Dan dengan hati-yang jujur diakuinya pula tentang
percikan2 nafsu yang telah me-ngabut dalam hatinya sehingga
kesadarannya hilang dan terjadilah tindakannya menghantam
pecah meja tadi. "Sudilah kiranya paman brahmana memberi petunjuk agar
teranglah hatiku" akhirnya ia menutup penuturannya.
"Dipa" kata brahmana Anuraga "memang hidup itu selalu
menimbulkan masalah. Dan hidup itu sendiri sebenarnya
sudah merupakan suatu masalah. Berbagai cara dan upaya
manusia untuk memecahkan masalah hidup dengan
mengadakan bermacam-macam undang-undang yang mencangkum tata-hidup dalam kehidupan manusia secara
perorangan, dalam masyarakat dan negara"
"Tetapi masalah2 manusia lebih bertumbuh pesat daripada
tata peraturan yang telah mereka buat. Misalnya seperti yang
engkau hadapi saat ini. Kurasa belumlah tercangkum dalam
undang2 kerajaan. Oleh karena itu maka marilah kita
pecahkan dari lain segi. Segi yang disebut Wajib. Bahwa wajib
seorang kawula, harus cinta pada tanah air dan hormat
kepada raja. Wajib mentri narapraja, harus setya kepada raja,
membela negara. Demikian antara lain Wajib seseorang
terhadap lingkungan luar tetapi yang menyangkut kedudukan
dirinya baik sebagai seorang kawula maupun jabatan
pekerjaannya" "Pada lingkungan dalam, manusia juga mempunyai wajib
terhadap orangtua, isteri, putera dan dirinya sendiri. Masih
pula terdapat wajib yang pokok yani Wajib terhadap sumber
hidup kita atau Yang Men-cipta, Yang Memberi dan Yang
Menghapus hidup kita, Hyang Purbenggesang"
"Dalam menghadapi persoalanmu, Dipa, marilah kita
sesuaikan dengan Wajib yang bertalian dengan persoalanmu.
Kita ambilkan Wajib seorang mentri terhadap raja dan
kerajaan. Dalam hal itu kiranya engkau cukup tahu. Jangankan
hanya isteri harta benda, bahkan jiwa dan raga pun harus
engkau persembahkan apabila dikehendaki raja. Demikian
intisari Wajib seorang mentri terhadap raja"
"Yang kedua, adalah Wajibmu terhadap isteri. Engkau harus
melindunginya, sebagaimana engkau telah berjanji di hadapan
maha-upasaka yang telah memberkati pernikahanmu dahulu.
Paman rasa kebingunganmu terletak pada persimpangan jalan
antara Wajib seorang mentri terhadap raja dan seorang pria
terhadap isteri. Akan kuajukan pertanyaan kepadamu,
jawabanmu itu nantilah yang akan membuka jalan keluar dari
kesulitanmu" "Baik, paman" "Sebagai seorang mentri adakah engkau akan merelakan
apabila baginda berkenan menghendaki isterimu?"
"Maaf, paman brahmana, dalam kedudukan apakah isteri
hamba akan didudukkan oleh baginda ?"
"Sebagai permaisuri ?"
"Tentu hamba berikan. Tetapi tak mungkin hal itu akan
terjadi" "Sebagai selir?"
"Hamba berikan ?"
"Mengapa?" "Karena isteri hamba itu telah mempunyai garis kedudukan
yang tertentu. Tak terombang-ambing dalam keadaan yang
tak menentu" "Engkau benar, Dipa" puji brahmana Anuraga "dan apakah
tindakan baginda yang dilakukan terhadap nyi Dipa yang lalu?"
"Hanya .... hanya sebagai sesuatu kebutuhan untuk
menumpahkan hasrat baginda pada saat itu saja"
"Dan engkau tak merelakan?"
"Benar, paman brahmana. Karena hal itu hanya menghina
martabat wanita dan mempermainkan nasib seorang isteri
mentri" Brahmana Anuraga mengangguk.
"Sebagai seorang suami adakah engkau tersinggung karena
isterimu menderita musibah itu ?"
"Ya" "Jika yang melakukan itu pria biasa atau yang
berkedudukan sebagai mentri atau senopati, adakah engkau
bersedia hendak membunuhnya?"
"Ya" "Jika raja yang melakukan?"
"Itulah paman brahmana, yang hendak hamba mohon
paman memberi petunjuk"
"Hm, sebenarnya kutahu engkau dapat menjawab, tetapi
engkau kuatir salah maka engkau minta pendapatku"
Dipa diam. Ia memuji akan ketajaman rasa dari paman
brahmana yang dapat mengetahui apa yang terkandung
dalam hatinya. "Dipa" kata brahmana Anuraga "memang dalam undang2
kerajaan, tak terdapat keterangan yang jelas tentang
kemungkinan hal semacam itu. Karena menganggap bahwa
seorang raja itu adalah seorang junjungan yang mulia dan
luhur pekerti, bahkan diagungkan sebagai pengejawantahan
dari dewa agung untuk menenteramkan dunia. Bukankah
baginda Kertana-gara dari kerajaan Singasari diabadikan
dalam keagungan sifatnya sebagai Syiwa-Buddha. Demikian
pula dengan rahyang ramuhun Kertarajasa yang pada kedua
candimakam di Antahpura dan Simping telah didirikan arca
Jina dan Syiwa. Demikianlah martabat yang agung dan tinggi
dari seorang raja" "Apabila engkau merasakan kesulitan untuk menemukan
pemecahan dalam peristiwa itu, tak lain karena engkau tentu
terpancang akan isi dalam undang2 kerajaan dan
kesadaranmu akan martabat baginda itu. Dipa, jawaban yang
engkau berikan tadi memang benar. Tetapi engkau takut
untuk melanjutkan pendirianmu itu terhadap baginda.
Pendirian ra Tanca memang lebih tegas. Apa yang dilakukan
baginda terhadap nyi Tanca itu, dianggapnya sebagai suatu
pelanggaran dan hinaan. Karena jelas hal itu diluar kehendak
dari nyi Tanca dan diluar persetujuan ra Tanca"
"O, paman brahmana menghendaki supaya aku juga
bersikap seperti ra Tanca"
"Engkau tak bersalah apabila engkaupun terpaksa harus
bersikap demikian. Tetapi dalam persoalan yang menyangkut
diri isterimu itu. Dipa, adakah nyi Dipa juga sudah menderita
seperti yang dialami nyi Tanca ?"
"Belum paman" "Jika belum, mengapa engkau harus bersikap begitu rupa
seolah sedang mengalami kegentingan hati" Dipa, apa yang
dianggap mengganggu v/anita itu, pun harus dibedakan
sifatnya. Antara gangguan yang sudah meningkat pada
kecemaran diri si wanita dengan gangguan yang belum
mencapai tingkatan itu, hanya bersifat kata2 dan tingkah ulah"
"Tetapi paman" kata Dipa "aku sendiri sebenarnyapun
sudah menghilangkan perasaan atas peristiwa itu. Tetapi Arya
Kembar telah mengungkat pula peristiwa itu dan secara halus
memberi peringatan bahwa peristiwa itu sudah diketahui
orang. Jika aku tak bertindak ..."
"Maka .engkau dianggap bukan seorang pria jantan, bukan
?" tukas Anuraga. "Demikianlah, paman"
"Berbicara soal Wajib dari seorang mentri ataupun seorang
kawula terhadap raja, jangankan isteri, harta benda, pun jiwa
harus diserahkan juga kepada kepentingan negara dan raja.
Ada dua pendirian mengenai soal isteri itu. Pendirian bahwa
demi Wajib kepada raja, maka isterinya itu akan diserahkan
dengan rela. Sedang pendirian yang lain mengatakan,
mengganggu isteri berarti melakukan penghinaan kepadanya.
Mati taruhannya. Dalam kedua pendirian itu, tidaklah akan
kupersoalkan mana yang benar mana yang salah. Karena
masing2 mempunyai alasan yang dapat dibenarkan"
"Bagiku dan kaum brahmana, pandita, persoalan itu takkan
terjadi. Tetapi bagi lelaki biasa, hal itu memang merupakan
persoalan yang berat. Barangsiapa yang mementingkan pada
Wajibnya kepada raja, soal itu bukan soal. Siapa yang
menitikberatkan pada pendiriannya sebagai seorang pria
terhadap isteri, maka soal itupun dipandang sebagai soal
kehormatan dan jiwa. Tetapi bagimu, Dipa, persoalan itu tak
seharusnya ada. Karena jelas nyi Dipa tak menderita
kecemaran. Soal kecemasanmu akan tindakan Arya Kembar
menyiarkan peristiwa itu, dapat engkau atasi dengan tiga cara.
Pertama, diamkan saja dan anggaplah sebagai angin lalu.
Kedua, langsung engkau tegur dan berikan peringatan
kepadanya. Dan ketiga, engkau laporkan kepada baginda"
"Terima kasih paman brahmana" akhirnya patih Dipa
menyambut petunjuk yang diberikan brahmana Anuraga
kepadanya. "Patih Dipa" kata Anuraga pula "hendaknya jangan engkau
terkejut ataupun cemas menghadapi hal2, semacam itu. Makin
tinggi pohon itu tumbuh, tentulah makin banyak menderita
gangguan angin. Karena pohon yang paling tinggi tentu yang
lebih dulu tertiup angin. Dan seperti telah kukatakan tadi,
hidup itu suatu masalah yang menimbulkan masalah. Oleh
karenanya, hadapilah masalah itu sesuai dengan letak, bentuk
dan sifat masalah itu sendiri"
Demikian setelah perbincangan soal peristiwa yang
mengenai dirinya selesai, maka patih Dipapun segera bertanya
tentang keadaan paman brahmana selama berpisah
dengannya. "Selama itu aku menjalankan lelana-brata, menjelajah desa
ke desa, melintas gunung ke gunung, menyusup hutan ke
hutan" kata brahmana Anuraga.
"Maaf, paman brahmana, tetapi apakah kiranya tujuan dan
cita-cita paman melakukan lelana-brata itu?"
Brahmana Anuraga tertawa.
"Pertanyaan yang baik, Dipa" sahutnya "karena manusia
hidup itu tentu bercita-cita menurut yang diinginkannya.
Masing-masing mempunyai cita-cita yang baik menurut
anggapannya sendiri. Pada galibnya, cita-cita itu tentu menuju
kearah kebahagiaan. Kebahagiaan lahiriyah yang bersifat
keduniawian dan kebahagiaan
seperti halnya batiniah yang bersifat kelestarian hidup dan akhir hidup"
"Kedua-duanya, baik kebahagiaan duniawi dan rohani
mempunyai lapisan tujuan dan cita2 yang bertingkat. Misalnya
engkau, Dipa, setelah menjadi prajurit, engkau menginginkan
jadi lurah prajurit, setelah itu engkau mengangankan
kedudukan yang lebih tinggi sehingga tercapailah jabatan
patih. Patih Kihuripan lalu patih Daha dan mengangankan pula
patih Majapahit bahkan patih A mangkubumi dari kerajaan itu .
." "Tetapi hamba tidak .."
"Angan2 itu tidak jahat dan memang wajar. Engkau tak
perlu mengingkari. Karena dengan dapat menjabat kedudukan
sebagai patih Amangkuburni, kelak engkau tentu dapat
melaksanakan cita citamu membawa kerajaan Majapahit
kearah kejayaan" "Aku tidak mengatakan hal itu salah dan buruk" kata
Anuraga pula "tetapi aku hanya mengatakan tentang sifat
keinginan dan cita2 itu selalu ingin meninggi. Demikian pula
dengan cita2 mencari kebahagiaan batiniah itu. .Menginginkan
supaya kelak dalam akhir hayatnya dapat naik ke alam yang
tinggi, mencapai kernokshaan atau kebebasan. Ataupun kalau
harus menitis, supaya menitis sebagai insan yang luhur dan
tempat yang mulia. Sehingga dalam melakukan amal, dharma
dan doa, pikiran mereka tak lepas daripada suatu peuganganangan yang lebih tinggi dan makin tinggi"
"Tidakkah dalam lelana brata itu juga demikian yang paman
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cita-citakan?" "Hak orang untuk menilai begitu" jawab Anuraga "dan
mungkin benar juga seperti yang dilakukan oleh mereka yang
tersangkut. Tetapi bagiku, aku tak mempunyai perasaan
demikian. Aku tak menginginkan apa2 karena aku tak
mengerti api yang harus kuinginkan. Dan apabili kup iksakan
pikiranku untuk membentuk angan2 dari yang kuinginkan itu,
aku kuatir apabila hal itu tak sesuai seperti yang kuangankan,
aku akan kecewa. Maka lebih baik kukosongkan pikiranku dari
segala angan2 dan cita2. Aku melakukan lelana-brata karena
ingin mendekatkan diriku dengan kenyataan, tanpa
mengangan-angankan sesuatu"
"Maaf, paman brahmana, jika demikian apakah paman tak
percaya pada ajaran2 agama yang paman anut"
"Aku percaya akan adanya sesuatu yang menjadi sumber
Hidup dan keakhiran "Hidup, sumber Mula dan Akhir, pada
sang Maha Pencipta. Akupun percaya bahwa mula yang baik
tentu menumbuhkan akhir yang baik. Tetapi aku ingin
membebaskan diri dari mengangan-angankan sesuatu agar
segala apa yang kulakukan itu bebas dari suatu keinginan"
"Tetapi paman brahmana, menginginkan sesuatu yang baik,
jauh lebih baik daripada tiada keinginan. Misalnya, aku
menginginkan supaya dapat membawa kerajaan Majapahit
kearah kesejahteraan dan kejayaan"
"Aku tak mengatakan bahwa memiliki keinginan itu, tidak
baik. Memang memiliki keinginan baik itu, lebih mulia. Asal
kita sudah membekali diri kita dengan suatu pendirian, bahwa
janganlah kita kecewa atau putus asa apabila yang kita
inginkan itu tidak sesuai dengan yang kita cita-citakan. Dan
dalam hal seperti yang engkau katakan tadi, hendaknya kita
memisahkan antara keinginan yang bersifat duniawi dengari
yang bersifat rohani. Seperti telah kukatakan, Hidup itu sendiri
sudah merupakan satu masalah. Dan masalah itu akan
melahirkan bermacam-macam masalah. Termasuk apa yang
engkau katakan tadi adalah masalah dari masalah hidup di
dunia ini" Dipa mengangguk. Ia merasa berhadapan dengan paman
Anuraga, ia mendapatkan seorang brahmana yang mempunyai
pandangan tersendiri. "Dan selama dalam perkelanaan itu" kata Anuraga pula
"banyak hal2 yang kudengar tentang dirimu. Engkau menjabat
patih di Daha, engkau diutus baginda ke Bali, akupun
mendengar juga. Bahkan peristiwa tumenggung Kuda
Pengasih, akupun tahu pula"
"O" patih Dipa terkejut
peristiwa itu?" "paman mendengar tentang
Anuraga mengangguk "Bukan hanya mendengar pun tahu
dengan jelas" "O" patih Dipa makin terkejut.
"Karena secara kebetulan, akulah yang menolong
tumenggung Kuda Pengasih dari aniayaan gerombolan yang
mengaku sebagai orang Sadeng"
"Jadi gerombolan itu bukan orang Sadeng?" Anuraga
gelengkan kepala. "Bukan" sahutnya "yang hendak membunuh Kuda Pengasih
itu adalah prajurit2 Sriwijaya, anakbuah Arya Lembang "
"Oh" teriak patih Dipa.
"Setelah kutolong Kuda Pengasih, lalu kukejar jejak
gerombolan itu. Ternyata mereka adalah anakbuah Arya
Lembang" " Dan Arya Kembar?"
"Dialah yang mempersiapkan rencana pembunuhan itu"
"Oh, keparat benar arya itu !"
Anuraga tertawa. "Jangan lekas2 engkau menjatuhkan kutukan kepadanya.
Itulah yang kukatakan sebagai cara untuk mencapai cita2
hidup yang tinggi. Arya Kembar melakukan rencana itu adalah
karena hendak melaksanakan titah baginda yang hendak
melenyapkan tumenggung Kuda Pengasih agar dapat memiliki
gadis Bali itu" "Mengapa Arya Kembar dan Arya Damar mendendam
kepada tumenggung Kuda Pengasih?"
"Adalah karena gagal mengajak tumenggung Kuda
Pengasih untuk menghaturkan laporan ke hadapan baginda, maka Arya Damar lalu minta nasehat kepada Arya
Kembar. Akhirnya kedua arya itu bersepakat
mengorbankan gadis Bali itu kepada baginda"
untuk "Dengan tujuan mencari jasa pada baginda ?"
"Ya" "Jasa diatas imbalan jiwa tumenggung Kuda Pengasih ?"
"Telah kukatakan" sahut brahmana Anuraga "bahwa
keinginan apa saja, tak pernah mengenal batas. Apalagi
keinginan mengejar kenikmatan keduniawian"
Patih Dipa mengiakan kemudian bertanya tentang
tumenggung Kuda Pengasih yang telah ditolong paman
brahmana itu. "Tumenggung itu menderita luka parah dan cacat
tubuhnya. Kuserahkan dia pada seorang kawan kita agar
dirawat semestinya" brahmana Anuraga menerangkan.
"Jika begitu, gadis Bali itu akan kuantarkan kepadanya,
paman brahmana" patih Dipa lalu menceritakan pengalamannya menyelamatkan Savitri yang hendak dibunuh
pengatasan Arya Kembar. "Kurasa" kata brahmana Anuraga "bukan disinilah tempat
mereka, Dipa. Di Majapahit mereka telah dijatuhi pidana mati.
Tak mungkin mereka hidup tenang, Lebih baik, bila sudah ada
kesempatan, pulangkan gadis itu ke Bali"
Patih Dipa menurut. Kemudian ia bertanya pula ."Paman
brahmana, dapatkah paman brahmana memberitahu
kepadaku, dari mana dan bagaimana paman brahmana secara
tak terduga-duga dapat berkunjung kemari ?"
"Kedatanganku kemari, memang hendak mencarimu" kata
brahmana Anuraga "untuk menyampaikan sebuah berita"
"O" patih Dipa terkejut "berita apakah yang paman
brahmana hendak limpahkan kepadaku?"
"Berita yang penting bagi kelangsungan perjuangan kita.
Aku mendapat berita bahwa Eyang Wungkuk, pemimpin
perhimpunan Gajah Kencana telah meninggal dunia. Sempat
aku mendampingi beliau disaat-saat terakhir. Beliau telah
mempercayakan pimpinan Gajah Kencana kepadaku dengan
pesan agar aku membagi tugas kepadamu .."
"Aku ?" patih Dipa terbeliak.
Anuraga mengangguk "Benar. Perjuangan Gajah Kencana
harus berjalan seiring dengan tujuannya. Perjuangan untuk
menegakkan, menjaga dan membawa negara Majapahit
kearah kejayaan, harus dilakukan serempak dari luar dan
dalam, yang terang dan yang di belakang layar. Dari dalam
atau yang terang, adalah melalui perjuangan dalam
pemerintahan. Dan dari luar atau dibelakang layar, bergerak
secara tersembunyi. Perjuangan yang lalu, yang dilakukan
secara tersembunyi, kurang mendapat manfaat dan masih
terdapat kelemahannya. Tetapi keadaan itu terpaksa kita
lakukan karena pimpinan Gajah Kencana belum memiliki
pandangan pada orang yang dapat dipercayakan tugas itu"
"Kini pimpinan Gajah Kencana telah menentukan pilihannya.
Dan pilihan itu jatuh pada dirimu, Dipa" kata Anuraga pula.
"Tetapi paman, hamba .."
"Dalam perjuangan, Gajah Kencana tak mengenal kata
'tetapi'. Yang ada hanya dua jawaban, ya atau tidak, setuju
atau menolak" kata brahmana Anuraga dengan nada sarat.
Tergetar haii patih Dipa. Sejak beberapa tahun berkumpul
dengan paman brahmana itu, baru pertama kali itu ia melihat
sikap, wajah dan nada paman
bersungguh. Akhirnya ia menerima.
brahmana sedemikian "Baik, Dipa" kata brahmana Anuraga "kini perjuangan Gajah
Kencana makin meningkat dan lebih teratur. Mudah mudahan
kepercayaan seluruh warga Gajah Kencana yang tertumpah
pada dirimu takkan sia2. Engkau dapat membawa negara
Manusia Seribu Wajah 2 Pendekar Bayangan Sukma 11 Pertarungan Di Gunung Tengkorak Lembah Merpati 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama