Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 14

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 14


"Berhati-hatilah." desi Pandan Wangi.
Sekar Mirah tersenyum. Sementara itu Agung Sedayu bertanya, "Apakah kau juga menceriterakannya kepada Pandan Wangi?"
Sekar Mirah mengangguk. Katanya, "tetapi aku minta agar ia tidak usah memikirkannya. Ia sekarang tamu disini."
Pandan Wangi tersenyum. Tetapi tidak menjawab.
Sementara itu Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun se"kali lagi minta diri. Mereka kemudian turun dari pendapa diiringi oleh Ki Gede dan Pandan Wangi. Sejenak kemudian Sekar Mirah dan Agung Sedayupun telah menuntun kuda mereka keluar dari regol. Baru diluar regol kudanya me loncat naik.
"Kau menjadi semakin tangkas." berkata Pandan Wangi.
"Ah, kau." desis Sekar Mirah.
Namun tiba-tiba saja nampak seleret kegelisahan diwajah Pandan Wangi. Meskipun ia berusaha untuk segera menghapus dari wajahnya, namun Sekar Mirah sempat melihatnya pula. Bahkan hampir berbisik ia bertanya ketika Pandan Wangi justru mendekat, "Ada apa?"
"Apakah kita masih akan selalu seperti ini?" desis Pandan Wangi.
"Kenapa?" bertanya Sekar Mirah.
"Bukankah kodrat kita untuk menjadi seorang ibu?" suara Pandan Wangi melemah.
Sekar Mirahpun ternyata tersentuh juga. Namun ia tidak menjawab. Ditepuknya bahu Pandan Wangi tanpa kata sepatahpun.
Ketika ia berpaling, Agung Sedayu telah siap pula meskipun ia masih berbicara dengan Ki Gede. Namun kemudian keduanya telah mengangguk dalam-dalam, sementara tangan mereka mulai menggerakkan kendali. Sejenak kemudian, maka merekapun mulai berlari. Sekar Mirah masih melambaikan tangannya kepada Pan"dan Wangi, sehingga akhirnya mereka menjadi semakin jauh.
Demikianlah, Sekar Mirah dan Agung Sedayu tidak se"gera kembali kerumah mereka. Tetapi mereka memang akan menyusuri jalan-jalan padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh. Mereka ingin melihat, apakah dengan hadirnya orang-orang Watu Gulung telah terjadi pengaruh atas orang-orang Tanah Perdikan dan cara kehidupannya.
Namun ternyata tidak terjadi perubahan apapun juga. Orang-orang yang bekerja dibawah masih juga bekerja. Anak-anak mudanya nampak dengan tekun mengerjakan sawah mereka masing-masing. Sementara itu air mengalir di parit-parit yang menusuk sampai kebagian dalam bulak-bulak yang luas. Bahkan ketika mereka melewati sebuah pasar, meski"pun sudah lengang, namun masih nampak bahwa pasar itu tidak mengalami perubahan pula. Orang-orang yang masih menunggui dagangannya yang tersisa duduk dengan tenang, bahkan sambil mengantuk.
"Kita belum melihat perubahan apapun juga." ber"kata Sekar Mirah, "agaknya orang-orang itu memang tidak ingin menimbulkan keributan."
"Mudah-mudahan merekapun membatasi diri, se"hingga persoalannya benar-benar persoalan antara mereka dengan kita." berkata Agung Sedayu.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga Agung Sedayu yang menjadi sasaran itu adalah suaminya. Sehingga dengan demikian, maka tusukan ujung duri dikulit Agung Sedayu akan terasa juga dikulitnya.
Ternyata bahwa Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah mengelilingi Tanah Perdikan itu dari ujung sampai ke ujung. Perjalanan keliling yang jarang mereka lakukan. Biasanya mereka melihat-lihat sebagian saja dari Tanah Perdikan itu. Pada kesempatan lain mereka melihat bagian yang lain pula.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah memang menjadi ragu-ragu. Apakah yang harus me"reka lakukan untuk memberikan pesan kepada Glagah Putih jika ia kembali. Apakah ia harus berpesan kepada semua pengawal atau kepada orang-orang tertentu saja.
Ternyata keduanya kemudian, memutuskan, bahwa me"reka akan memanggil para pemimpin pengawal dari padukuhan-padukuhan yang tersebar diseluruh Tanah Perdikan. Tetapi tidak bersama-sama. Mereka diharap menemui Agung Sedayu pada saat yang berbeda ditempat yang berbeda pula. Dengan demikian maka pertemuan Agung Sedayu de"ngan para pemimpin pengawal itu tidak menarik perhatian orang-orang dari perguruan Watu Gulung yang berkeliaran di Tanah Perdikan Menoreh. Dengan demikian maka orang-orang itu tidak tertarik untuk melakukan tindakan-tindakan yang aneh-aneh.
Ketika Sekar Mirah dan Agung Sedayu kemudian kem"bali kerumah maka mereka telah menceriterakan keadaan Tanah Perdikan kepada Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Mereka tidak melihat sesuatu yang pantas dicemaskan, karena agaknya orang-orang itu memang tidak akan membuat persoalan dengan Tanah Perdikan Menoreh.
"Baiklah." berkata Ki Jayaraga, "jika demikian maka persoalannya akan terbatas antara guru dan orang yang terbunuh itu dengan guru Glagah Putih."
"Tetapi seperti yang aku katakan, akulah yang dicari oleh orang itu." jawab Agung Sedayu.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Jika orang itu sudah menyebut sebuah nama, maka agaknya ia tidak akan dapat berbuat banyak. Namun agaknya Ki Jayaraga itu menduga bahwa orang yang datang ke Tanah Perdikan ini tentu bukan hanya dua orang.
"Jika mereka datang dengan beberapa orang, maka kau tentu tidak akan sendiri pula Agung Sedayu." berkata Ki Jayaraga.
Agung Sedayu mengangguk-angguak. Ia memang tidak boleh sendiri. Ia tidak tahu, apa orang-orang Watu Gulung itu benar-benar jujur. Demikianlah, sejak hari itu, Agung Sedayu telah menerima pemimpin kelompok pengaawal dari padukuhan-padukuhan. Namun mereka datang sendiri-sendiri dan menemui Agung Sedayu ditempat yang berbeda. Ada yang dirumahnya, ada yang dirumah Ki Gede dan bahkan ada yang ditemui oleh Agung Sedayu di banjar padukuhan masing-masing.
Dengan hati-hati Agung Sedayu menyampaikan pesan kepada para pemimpin pengawal, agar mereka mengamati keadaan dengan cermat. Jika mereka melihat Glagah Putih, kapan dan dimanapun supaya memberitahukan, agar anak itu segera menemui Agung Sedayu.
Agar para pemimpin kelompok itu tidak mereka-reka persoalan yang mereka hadapi, maka Agung Sedayu ber"kata, "Ada orang yang mengancamnya. Tetapi kalian tidak perlu memberitahukan kepada orang lain. Persoalannya tidak terlalu gawat, sehingga kalian jangan justru membuat Tanah Perdikan ini gelisah."
Para pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Me"reka mengerti maksud Agung Sedayu. Itulah sebabnya maka Agung Sedayu tidak memanggil mereka bersama-sama. Tetapi ditemuinya para pemimpin pengawal darr padukuhan-padukuhan itu secara terpisah.
Namun ternyata dihari-hari berikutnya, tidak seorang-pun yang melihat Glagah Putih memasuki Tanah Perdikan. Hari demi hari, sehingga mendekati waktu yang ditentukan oleh orang-orang Watu Gulung itu. Sepekan.
Bagaimanapun juga Sekar Mirah tidak dapat menghindarkan diri dari ketegangan. Ia mengerti, bahwa suaminya memiliki kemampuan yang tinggi. Namun bagaimana"pun juga kemampuan seseorang itu tentu terbatas.
Tetapi agaknya Agung Sedayu sendiri tidak begitu menghiraukannya. Ia justru telah memanfaatkan kehadiran gurunya di Tanah Perdikan Menoreh. Disetiap malam Agung Sedayu dan Kiai Gringsing, bahkan kadang-kadang juga Ki Jagaraga dan Sekar Mirah, berada di sanggar.
Kiai Gringsing yang sudah agak lama tidak bertemu dengan muridnya memang merasa kagum melihat perkembangan ilmu Agung Sedayu. Agung Sedayu sudah mulai menambah pada ilmu yang dipelajari dari kitab yang pernah dibacanya, dengan penguasaan ilmu untuk mempercepat getaran udara serta menghisap dan seakan-akan memampatkan endapan kekuatan diudara, sehingga terbentuklah ujud yang mirip dengan kabut tipis. Semakin kuat ilmu itu ditrapkan, maka kabut itupun menjadi semakin tebal. Sesuai dengan kepentingan mengetrapkan ilmu itu, maka kabut itu dapat melingkar atau menutupi suatu lingkungan sehingga menjadi gelap atau berhembus lewat dengan membawa kekuatan yang dipancarkan dengan ilmu yang sejalan sehingga kabut itu dapat mengundung ke"kuatan. Bahkan dapat membakar, namun daput pula membekukan sasaran.
Kiai Gringsing memang merasa heran. Tanpa tuntutan langsung, Agung Sedayu mampu menguasai ilmu itu. Bahkan dengan bekal kemampuan yang ada padanya, maka kabut itu akan dapat menggulung bukan saja hanya sebuah sasaran.
Bahkan Agung Sedayupun telah mempelajari beberapa jenis ilmu yang lain. Ia sengaja melampaui tuntunan ilmu yang mirip dengan ilmu yang telah dikuasainya. Ia tidak berminat untuk menguasai kemampuan ilmu Tameng Waja, meskipun ia akan dapat melakukannya, karena ilmu itu memiliki kekuatan mirip dengan ilmu kebal yang telah dikuasainya. Agung Sedayu juga tidak mempelajari ilmu Rogrog Asem yang memiliki lontaran pukulan susul-menyusul hentak-menghentak dengan kekuatan yang sangat besar, karena Agung Sedayu telah memiliki kemam"puan yang meskipun ujudnya agak berbeda, namun tidak kalah dari ilmu itu. Dengan telapak tangannya Agung Se"dayu mampu menghancurkan sasaran yang betapapun kokohnya.
Sementara itu dengan sorot matanya Agung Sedayu merupakan seorang yang disegani oleh lawan-lawannya yang pernah menghadapinya. Bahkan sebagian besar dari mereka yang tidak mau mengakui kenyataan itu, harus menebus dengan nyawanya. Disamping sebuah senjatanya yang jarang ada bandingnya. Dialiri getaran kekuatan ilmunya, maka cambuk ditangan Agung Sedayu benar-benar merupakan senjata yang mengerikan. Disamping senjatanya itu, Agung Sedayu adalah seorang yang kebal bisa. Bukan karena benda-benda yang memiliki kekuatan untuk menghisap iatau menawarkan bisa, tetapi kemampuannya melawan bisa itu ada didalam dirinya.
Pada saat-saat ia masih lebih muda, ia bergaul dengan Panembahan Senapati yang masih disehut Mas NgabehiLo"ring Pasar atau Raden Sutawijaya. Iapun banyak mendapat tuntunan dari Pangeran Benawa yang memiliki ilmu tak terhitung.
Sementara itu, Agung Sedayu pernah mempelajari dan mengingat isi Kitab yang dimiliki Ki Waskita dan gurunya sendiri, Kiai Gringsing, sehingga karena itu, maka Agung Sedayu bagi Kiai Gringsing telah memiliki ilmu lebih lengkap dari yang diduganya. Sementara itu, ilmunya ternyata masih berkembang terus sampai pada saat terakahir, Agung Sedayu telah mempelajari ilmu sebagaimana pernah ditrapkan oleh Kiai Gringsing sendiri, seakan-akan dapat menguasai kabut.
Selain ilmu yang berhubungan dengan kemampuan untuk membela diri, maka Agung Sedayu telah memiliki pula kemampuan pengamatan yang sangat tajam, pendengaran, penciuman dan penggraita dengan ilmu Sapta Pandulu, Sapta Pangrungu, Sapta Pangganda dan Sapta Pangrasa. Bahkan Aji Pameling.
Dalam waktu yang pendek Kiai Gringsing sempat mengenali serba sedikit ilmu-ilmu yang dimiliki Agung Sedayu. Ia memang ingin melihat kembali, seolah-olah ia ingin mengenang satu masa yang pernah ditinggalkannya. Selagi ia masih muda semuda Agung Sedayu itu.
Tetapi Kiai Gringsing telah menjadi semakin tua. Betapa tinggi ilmunya, namun ia tidak akan dapat mempertahankan wadagnya dalam keadaan yang tetap sebagai"mana masa mudanya. Karena itu, dengan melihat kemampuan Agung Se"dayu, Kiai Gringsing seakan-akan telah mengenang dirinya kembali. Banyak hal yang dapat menyentuh kenangannya yang ada pada Agung Sedayu, tetapi tidak dilihatnya pada Swandaru yang lebih mengkhususnya diri pada pilihannya tanpa melihat kemungkinan lain yang dapat dikembangkannya.
Namun bagaimanapun juga, Kiai Gringsing selalu mengingatkan kepada Agung Sedayu, bahwa tidak ada ilmu yang tidak ada tandingnya. Yang nampak lemah bagi sesuatu jenis ilmu, ternyata tidak terkalahkan oleh ilmu yang lain, sementara ilmu itu lebih kuat dari ilmu yang pertama. Putaran kekuatan seperti itulah yang memungkinkan, bahwa kadang-kadang yang tidak nalar telah ter"jadi. Yang seharusnya menang telah dikalahkan dan me"nurut perhitungan seseorang harus kalah, ternyata justru menang. Dengan pengertian itu, maka seseorang tidak akan menjadi tekebur karenanya. Bahkan akan selalu ingat kepa"da Kuasa dari Yang Maha Agung.
Dengan demikian, penilaian Kiai Gringsing atas kemampuan muridnya sekilas telah memberikan kebanggaan dihatinya. Ia memang berharap bahwa Agung Sedayu akan dapat melanjutkan bahkan justru mengembangkan ilmu yang dimilikinya, sehingga tidak lenyap bersama tubuhnya didalam kuburnya.
Namun ada satu hal yang kemudian dikatakannya ke"pada Agung Sedayu, "Agung Sedayu. Kau adalah muridku. Adalah tidak lengkap jika kau tidak mengenal ilmu obat-obatan dengan baik. Karena itu, besok aku akan mengajarimu membuat dan meramu obat-obatan. Kemudian menelusuri urat-urat nadi, simpul-simpul syaraf dan otot serta jalur-jalur jalan darah. Meskipun demikian terserah kepadamu, apakah kau bersedia untuk melakukannya atau tidak."
"Tentu guru." jawab Agung Sedayu, "menarik sekali. Sebab dengan demikian aku akan mampu menolong sesama. Sementara waktuku memang tinggal besok sehari."
"Kenapa?" bertanya Kiai Gringsing.
"Besok adalah hari kelima. Orang Watu Gulung itu hanya memberi waktu kepadaku selama sepekan Ternyata dalam sepekan ini Glagah Putih belum pulang. Karena itu, maka aku harus menghadapi orang Watu Gulung itu." ber"kata Agung Sedayu.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Tetapi kau harus berhati-hati. Nampaknya orang Watu Gulung itu memang berilmu tinggi. Ia yakin akan dirinya dan karena itu kau tidak boleh lengah menghadapinya."
"Aku akan berhati-hati, guru." jawab Agung Sedayu.
"Kau sudah mempunyai berjenis ilmu yang dapat kau pergunakan. Bahkan kau mampu memberikan kesan kepa"da lawanmu jika kau terlibat dalam perkelahian, bahwa kau tidak hanya satu." berkata Kiai Gringsing kemudian, "meskipun demikian, tidak ada ilmu yang sempurna. Karena itu, aku mempunyai pertimbangan, kau jangan pergi sen"diri."
Agung Sedayu mengangguk. Katanya, "Agaknya Ki Jayaraga akan ikut bersamaku menemui orang-orang itu. Ia merasa guru Glagah Putih, sehingga karena itu, maka Ki Ajar dari Watu Gulung itu seharusnya mencarinya, guru Glagah Putih."
"Tetapi kaupun gurunya. Karena itu, kau dan Ki Jaya"raga akan dapat menemui orang-orang itu. Bahkan jika kau tidak berkeberatan, akupun akan ikut pula."
"Ah, guru adalah tamuku disini. Guru agaknya ingin beristirahat di Tanah Perdikan ini. Karena itu, maka sebaiknya guru tidak usah ikut bersama kami." jawab Agung Se"dayu.
"Tetapi ingat. Aku adalah gurumu." berkata Kiai Gringsing, "aku ingin melihat kau dalam benturan ilmu yang sebenarnya. Bukan maksudku menganggap persoalan yang kau hadapi itu sekedar sebagai tontonan. Tetapi apa salahnya aku menunggui muridku yang mungkin akan dijebak oleh seseorang."
Agung Sedayu tidak dapat mencegahnya. Namun kemudian katanya, "Sebaikanya segala sesuatunya akan kita lihat perkembangannya."
Kiai Gringsing tersenyum. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Kita akan mulai dengan ilmu obat-obatan. Wak"tunya tinggal sedikit. Kelak jika aku pulang, akupun akan mengajari Swandaru. Namun nampaknya ia tidak tertarik. Aku pernah menyinggungnya. Tetapi tanggapannya kurang serta merta."
Dengan demikian, maka Kiai Gringsingpun telah mulai dengan ilmunya yang khusus. Waktu yang tinggal bagi Agung Sedayu hanya sisa hari itu dan esok hari. Dihari berikutnya, mungkin orang Watu Galung itu akan datang lagi kepadanya, bahkan untuk mengambilnya.
Ternyata bahwa Agung Sedayu memang seorang yang trampil. Kecuali ia memang sudah sering memperhatikan cara-cara gurunya mengobati, didorong oleh minat yang sangat besar, maka ia dengan cepat dapat menangkap petunjuk gurunya. Dengan demikian maka Agung Sedayupun kemudian memiliki kemampuan untuk mengobati jika terjadi ketidak wajaran pada urat-urat nadi, syaraf dan jalur-jalur jalan darah.
Sedang dihari berikutnya, Agung Sedayu telah mempelajari berbagai jenis dedaunan. Baik yang dapat diragakan karena jenis daun itu didapatkan di Tanah Perdikan Meno"reh, maupun yang tidak, yang hanya dapat dikenali ciri-cirinya.
Hari terakhir yang diberikan oleh orang-orang Watu Gulung telah dipergunakan oleh Agung Sedayu sebaik-baiknya. Selain tentang reramuan, juga meningkatkan pengenalannya atas susunan syaraf seseorang beserta simpul-simpulnya.
Namun dalam pada itu, ketika malam dihari terakhir itu turun, Sekar Mirah tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya lagi. Pada saat makan malam, Sekar Mirah telah menyatakan kegelisahannya itu kepada suaminya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Besok aku akan menemuinya. Apakah sebenarnya yang dikehendakinya dari aku. Apakah benar seperti yang dikatakannya, nyawaku" Atau sebenarnya ia mempunyai tuntutan lain yang belum disebutnya. Tebusan misalnya. Jika persoalannya murwat dan wajar, maka aku tidak akan berkeberatan untuk memenuhinya."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Kegelisah"annya tidak bersumber dari perasaan gentar. Tetapi seke"dar kecemasan jika orang-orang itu ternyata sangat licik dan tidak berpegang pada harga diri. Karena itu, maka katanya, "Kakang, aku agaknya juga menduga, bahwa orang itu tentu tidak sendiri berada di Tanah Perdikan ini."
"Akupun menduga demikian. Selain dua orang yang datang itu, agaknya ia masih mempunyai beberapa orang kawan lagi. Tetapi kita masih harus menunggu sampai esok. Apakah yang sebenarnya dikehendaki." berkata Agung Sedayu.
"Kakang." berkata Sekar Mirah, "jika besok kakang pergi, maka akupun juga akan pergi menemuinya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "biarlah aku menyelesaikan persoalan ini bersama Ki Jaya"raga."
"Memang ada baiknya kakang mengajak Ki Jayaraga. Tetapi akupun harus ikut pula." minta Sekar Mirah.
Agung Sedayu termangu-mangua sejenak. Agaknya ia memang tidak dapat menolak permintaan Sekar Mirah, se"bagaimana ia tidak dapat menolak permintaan Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing.
Namun Agung Sedayupun menjawab, "Baiklah kita akan memperhatikan keadaan Sekar Mirah."
Dalam pada itu, Ki Jayaraga dan Kiai Gringsingpun telah berketetapan untuk ikut pula. Mereka akan melihat, apa yang akan terjadi seandainya Agung Sedayu dibawa oleh orang-orang dari perguruan Watu Gulung itu.
Malam itu, rasa-rasanya terlalu lama bagi seisi rumah Agung Sedayu. Mereka mereka-reka, apa saja yang akan dilakukan oleh orang-orang Watu Gulung itu. Apakah me"reka akan dengan paksa membawa Agung Sedayu dari rumah itu, atau sekedar mengancam serta memeras, atau cara-cara lain yang akan ditempuh.
Namun ketika malam menjadi semakin malam, maka merekapun akhirnya sempat tidur juga untuk beberapa lama.
Pagi-pagi benar, seperti biasa, isi rumah itu telah bangun. Pembantu rumah Agung Sedayu itu sudah membersihkan ikan hasil tangkapannya di plataran sumur. Sementara itu Sekar Mirah yang melihatnya ketika ia mengambil air untuk mencuci beras bertanya, "Apakah kau masih belum jemu makan ikan air seperti itu. Wader yang kecil-kecil, sejemput udang, seekor dua ekor lele dan kutuk dan sekali dua kali kau dapatkan beberapa ekor bader."
"Bukankah bukan hanya aku saja yang makan" Jika ada Glagah Putih, maka Glagah Putihlah yang gemar sekali ikan lele. Tetapi jika Glagah Putih tidak ada, ikan ini bermanfaat pula untuk memberi makan kucing." jawab anak itu.
"O, jadi kau samakan Glagah Putih dengan kucing?" bertanya Sekar Mirah.
"Tidak. Bukan maksudku. Tetapi karena ikan itu ter"lalu banyak bagi aku sendiri, maka aku sering memberikannya untuk makan kucing." berkata anak itu.
Sekar Mirah tidak bertanya lagi. Iapun kemudian sibuk menyiapkan makan pagi lebih awal dari biasanya.
"Siapa tahu, semuanya akan terjadi di pagi-pagi sekali." berkata Sekar Mirah.
Seperti yang diminta Sekar Mirah, maka merekapun kemudian telah bersiap-siap untuk makan pagi. Demikian matahari terbit, maka segalanya sudah tersedia diruang dalam.
Agaknya yang lainpun telah menyesuaikan diri pula. Mereka telah mandi pagi-pagi dan ketika Sekar Mirah siap dengan makan paginya, merekpun telah siap membenahi diri.
Namun dalam pada itu, mereka terkejut ketika mereka mendengar derap kaki kuda memasuki halaman. Ketika Sekar Mirah melihat dari celah-celah daun pintu yang dibukanya sedikit, maka iapun justru dengan tergesa-gesa menyongsongnya.
"Siapa." desis Agung Sedayu.
"Entahlah." sahut Ki Jayaraga.
Agung Sedayupun dengan tergesa-gesa keluar pula. Ternyata yang datang berkuda adalah seorang perempuan dengan pedang rangkap di lambungnya.
"Pandan Wangi." Agung Sedayu berdesis.
"Bukankah hari ini hari yang dijanjikan." desis Pan"dan Wangi.
"Hari yang dijanjikan apa?" bertanya Agung Sedayu.
"Orang-orang Watu Gulung itu." jawab Pandan Wangi.
"O." Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Biarkan aku berada di sini untuk melihat perkembangan dari peristiwa itu. Aku sudah minta diri kepada ayah. Ayah tidak berkeberatan." berkata Pandan Wangi.
"Tetapi kau tamu sekarang di Tanah Perdikan ini." berkata Sekar Mirah.
"Namun bagaimanapun juga aku adalah anak Ki Gede." jawab Pandan Wangi, "tekanannya tidak pada hakku sebagai anak Ki Gede, tetapi justru pada kewajibanku sebagai anak Ki Gede."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Jika demi"kian, maka tidak ada yang dapat mencegah. Namun Agung Sedayu masih juga bertanya, "Apa kata Swandaru jika kulitmu tergores senjata lawan."
"Ayah bertanggung jawab." sahut Pandan Wangi. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu Agung Sedayupun kemudian mempersilahkan masuk keruang dalam. Bahkan untuk ikut makan pagi pula bersama mereka.
"Aku sudah makan." berkata Pandan Wangi.
"Makan saja seadanya, atau barangkali sekedar mengotori mangkuk." sahut Sekar Mirah.
Pandan Wangi tidak menolak, iapun kemudian ikut pula makan bersama Ki Jayaraga dan Kia Gringsing serta Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
Bagaimanapun juga masih nampak kegelisahan Sekar Mirah. Ia makan dengan agak tergesa-gesa. Meskipun ia berusaha untuk nampak tetap tenang, tetapi orang-orang yang ada disekitarnya menangkap getar kegelisahan itu. Namun mereka dapat mengerti, kenapa justru Sekar Mirah lebih gelisah dari Agung Sedayu sendiri.
Demikian mereka selesai makan, maka mereka telah benar-benar berbenah diri, lahir dan batin, karena menurut Agung Sedayu, agaknya orang Watu Gulung itu tidak bermain-main.
"Tetapi kita tidak perlu terlalu gelisah." berkata Agung Sedayu setelah Sekar Mirah selesai membenahi mangkuk-mangkuk kotor dibantu oleh Pandan Wangi dan membawanya ke dapur.
"Aku ingin seperti itu." sahut Sekar Mirah, "tetapi ternyata tidak dapat."
"Sudahlah." berkata Pandan Wangi, "kita tidak sen"diri. Jika perlu, seisi Tanah Perdikan ini dapat digerakkan."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Memang kata-kata itu agak menyejukkan hatinya. Tetapi apakah orang-orang Watu Gulung itu tidak licik.
Ternyata perhitungan Agung Sedayu benar. Orang Watu Gulung itu datang pada hari yang disebutnya. Sete"lah sepekan. Dan orang itupun datang ketika matahari baru saja mulai memanjat langit.
Bagaimanapun juga Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar menerima dua orang tamunya. Dan orang sebagaimana pernah datang kerumah itu sebelumnya. Dengan sikap wajar Agung Sedayu menerima kedua tamunya itu dipendapa.
"Agung Sedayu." berkata Ki Ajar Laksana setelah duduk berhadapan dengan Agung Sedayu diatas sehelai tikar pandan, "bagaimana dengan saudara sepupumu itu he?"
"Maksudmu?" bertanya Agung Sedayu.
"Jangan berpura-pura." desis orang itu, "bukanlah persoalannya sudah pernah aku katakan sebelumnya?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang-orang Watu Gulung adalah orang yang lebih suka langsung berbicara pada persoalannya.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian menjawab, "Ki Sanak. Sampai hari ini Glagah Putih ternyata masib belum kembali."
Wajah orang itu menjadi tegang. Katanya, "Kau me"mang benar-benar tidak tahu diri. Seharusnya kau menghormati orang-orang Watu Gulung."
"Ki Sanak. Apa yang dapat aku lakukan jika anak itu memang benar-benar belum kembali, selain mengatakan bahwa anak itu belum datang?" sahut Agung Sedayu, "karena itu, terserah kepadamu, apa yang akan kau lakukan."
"Baik." jawab Ki Ajar Laksana, "kau memang ter-masuk orang yang berani. Tetapi apakah kau pernah bertanya-tanya tentang perguruan Watu Gulung kepada orang-orang yang lebih tua?"
"Sudah" jawab Agung Sedayu.
"Siapa?" bertanya Ki Ajar Laksana.
"Orang tua. Kau tidak perlu mengetahuinya." jawab Agung Sedayu pula.
"Apa katanya tentang Perguruan Watu Gulung?" bertanya Ki Ajar itu kemudian.
"Menurut orang tua itu. Watu Gulung termasuk perguruan yang masih muda. Yang lahir jauh setelah masa perguruannya sendiri surut." jawab Agung Sedayu, "karena itu, maka perguruan Watu Gulung belum memiliki ciri yang banyak dikenal orang."
"Gila." geram Ki Ajar Laksana, "siapakah yang mengatakannya" Orang it tentu orang dungu yang tidak mengenal dunia olah kanuragan."
"Entahlah." berkata Agung Sedayu, "tetapi demikianlah katanya. Dan karena aku memang belum mengenal sama sekali tentang perguruan Watu Gulung, maka aku tidak dapat mengatakan apa-apa."
Orang itu menggeram. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku tidak akan mempersoalkan kedunguan seseorang. Tetapi sekarang aku menuntut tanggung jawabmu atas saudara sepupunya yang bernama Glagah Putih itu. Jika ia tidak aku ketemukan, maka aku menuntut gantinya. Kau akan aku bawa serta. Kau mendapat kesempatan menunggu sepekan lagi. Jika kau bernasib buruk karena anak itu tidak datang menyerahkan diri, maka kau jangan menyesal."
"Kau akan membawa aku dari Tanah Perdikan ini?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Aku akan membawamu sekarang." geram orang itu, "aku tidak mau kehilangan waktu barang seharipun. Jika sepekan lewat, maka pada hari yang keenam kau sudah akan mati."
"Ki Sanak." berkata Agung Sedayu, "sebaiknya kita berbicara sebagaimana dua orang yang memiliki kedudukan yang sama. Kau tidak boleh bersikap seperti seorang budak yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat apapun juga."
"Kedudukan kita memang tidak sama." berkata Ki Ajar Laksana, "kau yang berhutang dan akulah tempat kau berhutang itu. Aku akan berhak menentukan sikap apapun juga atasmu, jika pada saatnya kau tidak dapat membayar hutang itu. Merampas tanggungan dari hutang itu, atau cara-cara yang lain."
"Baiklah aku katakan terus-terang kepadamu Ki Sanak, aku tidak mau kau perlakukan seperti itu."
"Setan." geram Ki Ajar, "jadi kau berniat untuk melawan."
"Sudah tentu aku akan membela diri." berkata Agung Sedayu.
"Sudah kau pertimbangkan, jika kau menggerakkan pengawal, korban akan tidak terhitung jumlahnya." ber"kata Ki Ajar.
"Aku tidak akan membawa siapa-siapa dalam per"soalan kita. Persoalan ini adalah persoalan antara kau dan aku. Kau merasa kehilangan muridmu dan Glagah Putih adalah sepupuku." jawab Agung Sedayu.
Wajah Ki Ajar menjadi tegang. Namun iapun telah menduga, bahwa Agung Sedayu tidak akan menyerahkan lehernya begitu saja. Bahkan Ki Ajarpun telah menduga, bahwa Agung Sedayu dengan sengaja telah menyembunyikan Glagah Putih.
Karena itu, maka Ki Ajar itupun berkata, "Baiklah Agung Sedayu. Aku hargai kejantananmu. Tetapi aku ma"sih harus membutikan, apakah kau sekedar berbicara seper"ti seorang laki-laki atau kau memang akan bersikap sebagai"mana seorang laki-laki."
"Jadi apa maksudmu?" bertanya Agung Sedayu.
"Dengan kuasa ilmuku, aku dapat membawamu sekarang. Kau tidak akan mempunyai kemampuan untuk melawan dan apalagi menghindar." berkata orang itu, "tetapi aku memang ingin tahu tingkat kejantananmu. Karena itu, aku tidak akan membawamu sekarang. Tetapi jika kau memang seorang laki-laki datanglah ketempat kami menunggu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun mudian iapun bertanya, "Dimana kau menunggu?"
"Diujung Selatan dari Tanah Perdikan ini. Di hutan pandan di tepi rawa-rawa pantai." jawab Ki Ajar, "untuk menjaga martabatku, maka aku memberitahukan kepadamu, bahwa aku tidak hanya berdua. Tetapi aku berlima. Jika kau benar-benar ingin bersikap sebagai laki-laki, kau tentu akan datang. Kita dapat membuat perhitungan tanpa orang lain, atau kau mempunyai empat orang kawan lainnya, atau sepasukan pengawal yang menurut perhitunganmu akan dapat menangkap kami. Tetapi jangan salahkan kami jika mayat para pengawal itu akan segera terapung dirawa-rawa di antara akar pohon pandan."
"Baik Ki Ajar." berkata Agung Sedayu, "aku juga akan datang. Jika kau berlima, maka akupun akan datang berlima."
"Kau tidak perlu berpegang pada jumlah yang sama. Kau dapat membawa orang jauh lebih banyak dari lima." jawab Ki Ajar.
"Baiklah. Aku akan mempertimbangkannya." berkata Agung Sedayu.
Ki Ajar itupun kemudian minta diri dan meninggalkan rumah Agung Sedayu dengan kepala tengadah. Di halaman ia masih berkata, "Datanglah hari ini. Ada dua kemungkinan dapat kau tempuh. Jika kau menyerah, kau masih mempunyai kesempatan hidup untuk sepekan. Bahkan mungkin kau akan tetap hidup jika Glagah Putih datang menyerahkan diri. Tetapi jika kau berusaha melawan, maka kau akan mati hari ini. Namun bagiku lebih cepat memang lebih baik."
Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Agung Sedayu memang tidak mempergunakan ilmunya lewat sorot matanya untuk mengganggu Ki Ajar. Tetapi melihat pandangan Agung Sedayu, sesuatu terasa tergetar dihatinya. Ia melihat mata itu tidak sebagaimana mata ke-banyakan orang. Tetapi Ki Ajar tidak dapat mengatakan, apakah sebahnya, maka mata itu telah menggetarkan hatinya.
Karena itu, ketika Ki Ajar telah keluar dari regol rumah Agung Sedayu, iapun telah berkata kepada muridnya yang menyertainya itu, "Agaknya orang yang bernama Agung Sedayu itu memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Menilik bahwa saudara sepupunya yang masih sangat muda itu telah mampu membunuh seorang diantara saudara seperguruanmu."
Murid Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Tetapi saudaraku yang terbunuh itu adalah orang yang dapat kita anggap baru diantara kita. Jika guru mengijinkan, maka biarlah aku membuat perhitungan dengan Agung Sedayu itu."
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya, "Orang itu berbahaya bagimu. Aku sendiri akan membunuhnya."
Muridnya tidak menyahut. Jika gurunya berkata demikian, maka gurunya itu tentu sudah memperhitungkan beberapa hal yang dapat ditangkapnya pada Agung Se"dayu.
Sementara itu, dirumahnya Agung Agung Sedayu telah berkata dengan Kiai Gringsing, Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Pandan Wangi.
Diluar sadarnya, Pandan Wangi telah berkata, "Kita juga berlima sekarang."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah berkata pula, "Kami akan ikut hersamamu apapun yang akan terjadi. Jika orang-orang yang ada di hutan pan"dan itu lebih dari lima orang, maka kita akan menilainya, apakah kita memerluan para pengawal atau tidak."
"Jika lebih dari lima orang, maka persoalannya akan menjadi lain." berkata Ki Jayaraga, "kita akan mempunyai banyak peluang. Apalagi jika mereka sebenarnya terdiri dari sekelompok orang dalam jumlah yang cukup banyak. Maka kita akan dapat memberi isyarat kepada para pengawal."
"Kita akan melihatnya." berkata Agung Sedayu, "tetapi menilik sikapnya yang sombong, maka mereka tentu benar-benar hanya lima orang. Kecuali jika aku terkelabuhi oleh sikapnya itu."
Dengan demikian, maka Agung Sedayu tidak dapat mencegah Kiai Gringsing dan Pandan Wangi yang ingin ikut bersama mereka. Bahkan dengan nada mendesak Pan"dan Wangi berkata, "Bukankah mereka minta kita datang berlima" Adalah kebetulan bahwa kita berlima disini, Jika masih ada tempat, maka aku akan mengajak ayah pula."
"Jangan." sahut Agung Sedayu dengan serta merta, "Jangan lihatkan Ki Gede secara langsung. Apalagi kehe"tulan kita memang sudah berlima."
Pandan Wangi mengangguk kecil. Namun kemudian katanya, "Kapan kita akan berangkat."
"Kita akan segera berangkat. Tetapi karena kita akan berkuda, maka kita akan menunggu orang-orang itu sampai di hutan pandan." jawab Agung Sedayu.
"Jika demikian, aku mempunyai kesempatan untuk minta diri kepada ayah." berkata Pandan Wangi.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak berkeberatan. Karena itu maka Pandan Wangipun telah pergi beberapa saat. Jarak antara rumah Agung Sedayu dan rumah Ki Gede memang tidak terlalu jauh.
Namun dalam pada itu, agaknya Ki Gede merasa cemas juga melepaskan anak perempuannya begitu saja. Karena itu, maka iapun telah memerintahkan seorang pemimpin pengawal untuk mengikuti Pandan Wangi bertemu dengan Agung Sedayu.
"Mungkin ada pesan atau perintah Agung Sedayu." berkata Ki Gede.
Pemimpin pengawal itupun kemudian mengikuti Pan"dan Wangi dan bertemu dengan Agung Sedayu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia tidak ingin melibatkan para pengawal. Tetapi karena Ki Gede sudah memerintahkannya, maka iapun kemudian te"lah memberikan beberapa pesan.
"Kau tidak usah membuat orang lain gelisah." ber"kata Agung Sedayu, "siapkan saja mereka yang bertugas. Jika aku memberikan isyarat dengan panah sendaren, maka sekelompok pengawal berkuda harus pergi ke Alas Pandan dipinggir rawa-rawa pantai."
"Panah itu tidak akan sampai ke padukuhan induk ini betapa kuatnya busur yang melontarkannya." berkata pemimpin pengawal itu.
"Siapkan satu dua orang pengawal di padukuhan Gumolong. Panah sendaran akan mencapai padukuhan itu. Kemudian dari padukuhan itu akan dilanjutkan isyarat ke padukuhan induk. Mungkin harus disambung lagi di padu"kuhan Patran." berkata Agung Sedayu. Namun berkali-kali Agung Sedayu berpesan, agar hal ini tidak membuat Tanah Perdikan menjadi gelisah.
"Aku ingin membatasi persoalannya." berkata Agung Sedayu.
"Baiklah." berkata pengawal itu, "aku akan dengan hati-hati memberitahukan hal ini kepada beberapa orang pengawal. Terutama yang bertugas saja."
"Terima kasih." berkata Agung Sedayu, "aku berharap bahwa orang yang mempunyai kepentingan dengan kami adalah seorang yang bertanggung jawab dan tidak licik, sehingga aku tidak perlu membuat orang lain terlibat kedalamnya."
"Tetapi seandainya demikian, bukankah itu sudah menjadi kewajiban seorang pengawal?" desis pengawal itu.
"Terima kasih. Mudah-mudahan kami dapat mengatasi sendiri." berkata Agung Sedayu kemudian.
Demikianlah, maka pengawal itupun telah minta diri. Namun sementara itu Agung Sedayupun berkata, "Kami juga sudah siap untuk berangkat."
Demikianlah, ketika pengawal itu meninggalkan rumah Agung Sedayu dan keempat orang yang lainpun telah bersiap. Sejenak kemudian merekapun telah berada dipunggung kuda.
"Mungkin aku agak lama." berkata Agung Sedayu kepada pembantunya.
Pembantunya tidak menjawab. Namun di wajahnya nampak kecemasan hatinya. Anak itu melihat orang-orang berkuda itu membawa senjata. Sekar Mirah membawa tongkat baja putihnya, sementara Pandan Wangi mem"bawa sepasang pedang dilambungnya sebelah menyebelah. Meskipun ia tidak melihat, tetapi anak itu yakin bahwa dibawah baju Agung Sedayu tersembunyi cambuknya. Bah"kan busur dan panah sendaren dibelakang pelana kuda.
Namun Agung Sedayu yang dapat membaca kecemasannya itu berkata, "Jangan cemas. Kami akan kembali."
Anak itu mengangguk kecil.
Sejenak kemudian, maka lima ekor kuda telah berderap menyusuri jalan padukuhan. Orang-orang yang berpapasan memang menjadi heran melihat kelima orang itu berkuda bersama-sama. Namun setiap kali Sekar Mirah menjawab setiap pertanyaan, "Pandan Wangi ingin melihat perubahan-perubahan yang terjadi di Tanah Perdikannya."
Orang-orang yang mendapat jawaban itu mengangguk-angguk, karena jawaban itu masuk diakalnya.
Demikianlah, maka kelima orang itu langsung menuju ke bagian Selatan Tanah Perdikan. Mereka meninggalkan padukuhan terakhir, melintasi pategalan dan kemudian memasuki hutan perdu. Sejenak kemudian mereka telah berada di hutan pandan yang terletak ditepi rawa-rawa pantai yang pepat oleh tumbuh-tumbuhan air, pandan yang berduri tajam, semak-semak dan batang ilalang.
"Kita akan menunggu disini." berkata Agung Sedayu, "kita tidak akan memasuki daerah yang berawa-rawa itu."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, "Jarang sekali aku sampai kedaerah ini meskipun sejak kecil aku hidup di Tanah Perdikan Menoreh."
Sekar Mirahpun memandang berkeliling. Ia sudah per"nah melihat daerah itu. Tetapi rasa-rasanya berdebar-debar juga menghadapi hamparan hutan Pandan yang luas.
Kelima orang itupun kemudian telah meloncat turun dari kuda mereka. Didaerah yang cukup lapang, mereka te"lah mengikat kuda-kuda mereka pada batang pohon perdu. Sejenak mereka menunggu.
Namun Agung Sedayupun menjadi ragu. Hutan Pandan itu memang luas, sehingga mungkin orang-orang itu tidak tahu, bahwa lima orang telah datang untuk menemui mereka. Karena itu, maka Agung Sedayupun telah membuat api dengan batu titikan. Dikumpulkannya rerumputan kering dan kemudian dinyalakannya sehingga gumpal-gumpal asap telah naik keudara.
"Mudah-mudahan mereka melihatnya." berkata Agung Sedayu kepada Ki Jayaraga.
"Atau barangkali mereka justru sudah meninggalkan hutan ini." sahut Ki Jayaraga.
"Aku kira belum. Nampaknya mereka bersungguh-sungguh. Orang yang menyebut dirinya Ki Ajar Laksana itu begitu yakin akan kemampuan dirinya, sehingga apa yang dikatakannya rasa-rasanya memang harus berlaku." desis Agung Sedayu.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa ia memang ingin bertemu dengan orang yang bernama Ki Ajar Laksana itu. Ia ingin membuat perhitungan sebagaimana dikehendaki oleh Ki Ajar. Namun agaknya Agung Sedayu merasa bahwa dirinyalah yang sedang dicari oleh orang-orang itu, karena orang-orang itu langsung telah menyebut namanya.
Untuk beberapa saat mereka memperhatikan api yang semakin redup. Namun Agung Sedayu justru telah menimbuninya dengan rerumputan kering dan basah, se"hingga dengan demikian, maka asappun menjadi semakin nampak membubung meskipun tidak terlalu tebal, karena api itu memang tidak begitu besar.
Agung Sedayupun sadar, bahwa meskipun disekitarnya hanyalah terdapat hutan pandan dan bahkan rawa-rawa, tetapi ia harus memadamkan apinya nanti agar tidak terja"di kebakaran hutan.
Namun ternyata yang diharapkan oleh Agung Sedayu itupun terjadi. Tidak begitu jauh dari api yang melontarkan asap itu, Ki Ajar memang sedang menunggu. Ia belum terlalu lama sampai ditempat persembunyiannya itu ketika ia mulai melihat asap.
"Asap apa itu?" bertanya Ki Ajar kepada murid-muridnya.
"Entahlah." jawab salah seorang muridnya, "apakah aku harus melihatnya?"
"Lihatlah. Tetapi berhati-hatilah." berkata Ki Ajar.
Dua diantara muridnyapun segera menyusup diantara pohon-pohon pandan menuju ketempat asap itu. Dengan sa"ngat berhati-hati mereka berusaha untuk mendekat. Dari balik daun pandan yang rimbun mereka melihat lima orang berjalan hilir mudik ditempat yang agak lapang. Sementara itu lima ekor kuda tertambat di batang pohon perdu.
"Gila." geram salah seorang diantara murid Ki Ajar, "mereka benar-benar datang dalam jumlah yang ditentukan."
"Alangkah sombongnya mereka." desis yang lain.
Namun kedua orang itu terkejut bukan kepalang ketika tiba-tiba saja mereka mendengar salah seorang diantara kelima orang itu berkata sambil menghadap kearah keduanya bersembunyi, "Selamat datang Ki Sanak. Jika kau termasuk dua orang murid Ki Ajar, maka sampaikan salamku kepadanya, bahwa aku adalah Agung Sedayu yang ditunggunya. Sayang aku tidak dapat menemukan tempat Ki Ajar itu dengan tepat. Tetapi aku ingin mempersilahkan Ki Ajar itu datang ditempat yang agak lapang ini."
"Setan." geram seorang diantara kedua orang murid Ki ajar itu, "bagaimana mungkin Agung Sedayu itu me"lihat kedatangan kita. Sungguh satu kemampuan yang tidak masuk akal."
"Apalagi ia tahu dimana kita bersembunyi." desis yang lain berbisik.
Kedua orang itu sama sekali tidak menjawab. Kedua-nyapun segera bergeser surut,
menghilang diantara pohon-pohon pandan yang tumbuh menjadi besar.
Dengan tergesa-gesa kedua orang itu melaporkan kepada guru mereka, bahwa yang membuat
asap itu ternyata adalah Agung Sedayu.
" Bagaimana kau tahu" " bertanya Ki Ajar.
" Seorang diantara mereka ternyata melihat kehadiran kami. Padahal menurut perhitungan
kami, hal itu tidak akan mungkin. Dengan lantang orang itu berpesan agar aku sampaikan kepada
Ki Ajar salamnya dan memberitahukan bahwa mereka berlima telah menunggu. Orang itu telah
menyebut namanya, Agung Sedayu. "
" Persetan " geram Ki Ajar. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu telah berhasil menusukkan
pengaruh kesombongannya kepada muridnya.
Karena itu, maka Ki Ajar itupun berkata " Dan kau mulai menjadi gentar melihat permainan itu?"
Namun dengan serta merta, muridnya itu menjawab " Tidak guru. Aku sama sekali tidak
menjadi gentar melihat kehadiran mereka berlima. "
" Bagaimana jika kau aku tunjuk untuk melawan orang yang bernama Agung Sedayu.
Orang yang melihat kelima orang ditempat yang agak lapang itu menjadi ragu-ragu. Bukan
karena kekecilan hatinya, tetapi ia membuat perhitungan berdasarkan pada nalarnya.
Namun yang tertua diantara keempat muridnya itu berkata " Guru. Aku adalah yang tertua
diantara saudara-saudara seperguruanku.Mungkin akumemilikimasa penempaan yang paling
lama. Karena itu, jika guru berkenan, beri kesempatan aku menyelesaikan Agung Sedayu.
Bukankah menurut guru, aku sudah mewarisi semua ilmu dari perguruan kita. Meskipun mungkin
aku belum dapat mengembangkannya, tetapi aku sudah mempunyai bekal yang cukup untuk
melakukannya. " Gurunya mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun berkata sambil tersenyum " Kita
belum mengetahui, siapakah orang terbaik diantara kelima orang itu. Tetapi agar aku yakin, bahwa
dendam kita dapat kita lepaskan, maka aku berharap bahwa aku akan dapat membunuh Agung
Sedayu. Tetapi jika ada orang lain yang lebih besar kemampuannya dari Agung Sedayu, maka
biarlah kau melawan Agung Sedayu itu. Aku yakin bahwa kaupun akan dapat membinasakannya.
Agaknya disini tidak ada orang lain yang perlu diperhitungkan lagi. Jika ada dua orang saja
diantara isi Tanah Perdikan ini, maka Tanah Perdikan ini benar-benar Tanah Perdikan yang
sangat besar. " Muridnya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Ajar-pun segera memerintahkan muridmuridnya
untuk bersiap. Namun kemudian katanya " Tetapi jangan terlalu yakin, bahwa yang
datang itu hanya lima orang. Siapa tahu, bahwa sekelompok pengawal telah bersiap. Pada
saatnya mereka akan datang menyergap kita. "
" Kita akan menaburkan kematian " berkata muridnya yang tertua " tetapi bukan salah kita. "
" Ya. Sudah tentu bukan salah kita " jawab Ki Ajar " aku sudah memperingatkan Agung Sedayu
akan kemungkinan itu. "
Para murid Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Mereka memang terlalu yakin akan kemampuan
mereka dan terutama guru mereka.
Namun demikian ternyata Ki Ajar itu masih memberikan peringatan kepada murid-muridnya
"Namun bagaimanapun juga, kalian harus menyadari, bahwa pada satu saat, kita akan sampai
pada satu batas yang tidak teratasi. Jika jumlah para pengawal itu terlalu banyak tanpa
menghiraukan kematian yang terjadi, maka mungkin kita harus mengalah, menyingkir dari arena.
Nah, hutan pandan ini memberikan banyak kesempatan. "
" Kita tidak akan menyingkir dari medan " berkata salah seorang murid Ki Ajar " seperti tadi guru
katakan, kematian mereka bukan salah kita. "
Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tidak menjawab lagi. Bahkan iapun
berkata " Kita pergi sekarang. "
Demikianlah maka kelima orang itupun segera pergi menuju kearah asap yang mengepul.


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimanapun juga, maka Ki Ajar harus menilai, betapa Agung Sedayu tanpa mengenal gentar
telah menyatakan kehadirannya. Justru dengan membuat api untuk melontarkan asap ke udara.
Jarak diantara mereka memang tidak jauh. Karena itu, maka pada waktu dekat, Ki Ajar Laksana
bersama murid-muridnya telah mendekati daerah yang cukup lapang diantara hutan pandan itu.
Kelima orang yang menunggu itupun segera melihat kehadiran mereka. Karena itu, maka
merekapun segera bergeser menghadap kearah kelima orang yang baru datang itu.
Namun demikian Ki Ajar Laksana muncul di tempat yang cukup lapang itu, ia mengerutkan
keningnya. Ia melihat Pandan Wangi dan orang tua yang berkuda bersamanya beberapa hari yang
lalu. Karena itu hampir diluar sadarnya Ki Ajar itu berdesis " Kita bertemu lagi Ki Sanak. "
Dalam keadaan yang gawat dihadapan khususnya Ki Ajar Laksana, maka Kiai Gringsing akan
dapat melindungi Pandan Wangi, sementara Agung Sedayu akan dapat melindungi Sekar Mirah.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya " Siapakah yang kau maksud" Tentu bukan
aku, karena kau baru saja datang kerumahku. "
" Memang bukan " jawab Ki Ajar " tetapi perempuan itu serta orang tua yang menyertainya. "
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Dengan ragu ia bertanya " Dimana kita pernah
bertemu" " " Kita bersama-sama menyeberangi Kali Praga beberapa hari yang lalu " berkata Ki Ajar
Laksana. Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Maaf Ki Sanak. Aku tidak melihat, atau
barangkali tidak memperhatikan bahwa kita menyeberang bersama-sama. "
" Ternyata kita bertemu disini dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Kenapa kita harus
berhadapan sebagai lawan" " bertanya Ki' Ajar.
" Aku tidak tahu maksudmu. Aku tidak tahu pula, kenapa kau merasa berkeberatan. Aku adalah
penghuni Tanah Perdikan ini. Karena itu wajar jika aku berusaha untuk ikut campur dalam
persoalan-persoalan yang tumbuh di Tanah Perdikan ini. "
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya " Beruntunglah Agung Sedayu karena kedatanganmu.
Jika kau tidak datang ke Tanah Perdikan ini, maka Agung Sedayu tidak akan mempunyai kawan
genap lima untuk menghadapi persoalannya dengan aku. "
" Tentu tidak " jawab Pandan Wangi " kau justru harus menyadari bahwa dalam hal ini belum
terlibat Ki Gede. Jika Ki Gede>Menbreh turun sendiri, maka akibatnya akan semakin pahit buat
kalian. " Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian bertanya " Seberapa kemampuan Ki
Gede dalam ilmu kanuragan. Ia memang seorang pemimpin disini. Tetapi aku tidak yakin bahwa ia
memiliki kemampuan yang dapat dise-jajarkan dengan murid-muridku. "
Namun Ki Ajar itu menjadi tegang sejenak, ketika Pandan Wangi mengatakan " Ki Gede adalah
guruku. Kau akan dapat menilai kemampuannya dengan menilai kemampuanku. "
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Ternyata Tanah Perdikan ini benar-benar satu
lingkungan yang besar diluar dugaanku. " Ia berhenti sejenak, namun kemudian tib^-tiba ia
bertanya " Kenapa Ki Gede itu sendiri tidak datang kemari" Ia berhak melindungi orang-orangnya
yang terancam bahaya. "
" Aku mewakilinya. Aku adalah anak Ki Gede, " jawab Pandan Wangi " jika aku tidak kebetulan
datang ke Tanah Perdikan ini, nasib kalian akan bertambah buruk, Karena Ki Gede sendiri akan
turun ke medan. " " Persetan " geram Ki Ajar " ternyata Tanah Perdikan ini penuh dengan orang-orang sombong
yang tidak tahu diri. Baiklah anak manis. Jika kulitmu tergores ujung senjata, apalagi di wajahmu,
maka bukannya salahku. " Ki Ajar itu berhenti pula. Ia pun beralih memandang Sekar Mirah.
Katanya " Tetapi aku melihat disini ada dua orang perempuan. Siapakah yang seorang" "
" Isteriku " jawab Agung Sedayu.
" Adik suamiku " desis Pandan Wangi pula.
Wajah Ki Ajar benar-benar menjadi tegang. Ia pernah mendengar ceritera dari seorang
pedagang yang bersama-sama menyeberang Kali Praga beberapa hari yang lalu, bersamaan pula
dengan Pandan Wangi dan Kiai Gringsing. Pedagang yang menjadi pucat mendengar tentang
perempuan yang bernama Pandan Wangi itu dan apalagi tentang suaminya, kakak dari
perempuan yang seorang lagi.
Namun yang lebih mengejutkan lagi ketika Ki Ajar tiba-tiba saja tanpa di sengaja melihat
tongkat baja putih yang berada di tangan Sekar Mirah itu.
" Siapakah namamu dan darimana kau mendapat tongkat itu" bertanya Ki Ajar Laksana kepada
Sekar Mirah. " Namaku Sekar Mirah " jawabnya " tongkat ini pemberian guruku. "
" Siapakah nama gurumu" " bertanya Ki Ajar.
Sekar Mirah mendapat kesan sesuatu pada wajah Ki Ajar Laksana tentang tongkatnya. Karena
itu, maka Sekar Mirahpun kemudian berkata " Guruku adalah Ki Sumangkar. "
" Tetapi ciri tongkatmu adalah ciri Macan Kepatihan Jipang " berkata Ki Ajar Laksana.
Sekar Mirah memandangnya dengan tajamnya. Lalu katanya " Jalur perguruanku sama dengan
jalur perguruan Macan Kepatihan. Tetapi jalur perjuanganku berbeda. Sikap gurukupun berbeda
dengan sikap Macan Kepatihan.
Ki Ajar Laksana mengerutkan keningnya. Dengan nada datar iapun berkata " Memang luar
biasa. Disini berkumpul orang-oang yang mempunyai jalur perguruan yang dapat dibanggakan.
Aku kagum pada murid-murid yang mempunyai jalur perguruan yang sama dengan Macan
Kepatihan. Tongkat itu adalah ciri kebesarannya. Tetapi tidak semua murid dari satu perguruan
memiliki perkembangan ilmu yang sama. "
Sekar Mirah menggeretakkan giginya. Hampir diluar sadarnya ia berkata " Baiklah. Kita akan
menguji, apakah tongkat ini mampu bergerak secepat tongkat seperti ini ditangan Macan
Kepatihan yang terbunuh di Sangkal Putung itu. "
Ki Ajar Laksana menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudin katanya " Baiklah. Aku sudah
menangkap maksud kedatangan Agung Sedayu. Pada pokoknya Agung Sedayu menolak
menyerahkan Glagah Putih sehingga ia datang bersama ampat orang sebagaimana yang aku
isyaratkan. Jika demikian, maka kita benar-benar akan menguji, siapakah yang memang berhak
untuk keluar dari tempat ini. Karena kau datang beritma Agung Sedayu dan kita juga berlima,
maka kita tidak akan memilih lawan. .Yang ada disini akan bertempur dalam kelompok masingmasing.
Masing-masing lima orang. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Apakah hal itu tidak dapat dirubah lagi"
Sebenarnya aku ingin menawarkan satu penyelesaian yang khusus. Kita menunggu sampai
Glagah Putih pulang. Baru kita akan tahu, siapakah yang sebenarnya bersalah diantara muridmu
dan Glagah Putih. Jika saudara sepupuku memang salah, aku rela ia mendapat hukuman yang
setimpal. Tetapi jika kesalahan terletak pada muridmu, maka persoalannya dapat dianggap
selesai. " " Kau tidak perlu menunggu " Potong murid Ki Ajar yang pernah tertawan " aku sendiri menjadi
saksi, bahwa Glagah Putih telah membunuh saudara seperguruanku. Dengan licik bersama
dengan anak muda yang disebut bernama Raden Rangga, mereka telah menjebak dan kemudian
membunuh saudaraku itu. "
" Jika kau menjadi saksi, kenapa kau tidak berbuat sesuatu pada Waktu itu" " bertanya Agung
Sedayu. " Persetan " geram murid Ki Ajar itu " yang penting sekarang serahkan Glagah Putih itu. "
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya " Sudah beberapa kali aku katakan,
Glagah Putih tidak ada di Tanah Perdikan ini. Glagah Putih memang belum kembali. Mungkin ia
masih diperjalanan atau justru meneruskan perantauannya untuk mendapatkan pengalaman hidup
menjelang masa-masa dewasanya. "
"Tetapi pengalaman yang dihayatinya adalah pengalaman yang buruk " sahut Ki Ajar.
" Aku tidak yakin " jawab Agung Sedyu.
" Sudahlah " berkata Ki Ajar " jika kau tetap pada. pendirianmu, maka kita akan mulai. Lima
orang akan melawan lima orang. Itu sudah adil. Namun apakah kalian akan mengikut sertakan
orang tua itu. Sebenarnya aku menjadi kasihan melihat wajahnya yang muram dan memelas. "
Kiai Gringsing tersenyum. Namun kemudian katanya
" Ada juga gunanya wajah yang memelas. Setidak-tidaknya kalian tidak akan melakukan
kekerasan terhadap aku, orang tua yang barangkali harus dibelas kasihani. "
Tetapi Ki Ajar Laksana menjawab " Sayang, bahwa jika kau sudah berada di arena, maka kau
akan tahu apakah yang mungkin terjadi. Wajahmu yang tua dan memelas tidak akan
menolongmu." " Apa boleh buat " gumam Kiai Gringsing seolah-olah kepada dirinya sendiri.
Dalam pada itu, maka Ki Ajar Laksanapun telah memberikan isyarat kepada murid-muridnya.
Dengan nada datar ia berkata " Kita sudah cukup lama berbincang. Kita sudah mSngambil
kesimpulan bahwa Agung Sedayu tidak mau mendengarkan perintahku. Ia memilih melawan
dengan jumlah orang yang sama. Maka segala akibat yang terjadi adalah tanggung jawabnya.
Kematian yang timbul, adalah akibat dari kesombongannya. Bahkan mungkin kelicikan Agung
Sedayu yang tidak berani mempertanggung jawabkan tingkah laku sepupunya. Namun ia telah
berpura-pura menjadi pahlawan dengan tidak mau menyerahkan anak itu kepada kami. Karena
itulah maka ia telah menyeret orang-orang yang seharusnya tidak bersangkut paut dengan
peristiwa ini kedalam maut. "
" Ceritamu sudah cukup panjang " desis Sekar Mirah " sekarang kalian mau apa" "
Ki Ajar mengerutkan keningnya. Katanya " Baiklah. Kita akan segera mulai. Tetapi masih
seorang diantara kalian yang belum menyatakan sikapnya. Apa katamu tentang Agung Sedayu" "
Ki Jayaraga mengerutan keningnya. Ia sadar, bahwa orang itu agaknya telah bertanya
kepadanya. Karena itu, maka katanya " Aku tidak ingin berbicara apapun. Aku ingin berkelahi. Itu
saja. " Wajah Ki Ajar menjadi tegang. Namun kalimat yang pendek yang diucapkan dengan kata-kata
yang utuh dan jelas itu, menunjukkan bahwa orang itupun memiliki sesuatu yang tidak mudah
dijajagi. Karena itu, maka Ki Ajar itupun segera bergeser sambil berkata " Marilah. Kita akan segera
mulai. " Agung Sedayu segera mempersiapkan diri. Demikian pula Sekar Mirah dan Pandan wangi.
Sementara itu Kiai Gringsing menggamit Ki Jayaraga sambil berdesis " Apakah kau akan
bersungguh-sungguh" "
" Kita lihat keadaan " berkata Ki Jayaraga " aku belum tahu, dengan siapa aku akan
berhadapan. " Kiai Gringsing tersenyum. Namun iapun berdesis " Aku termasuk orang yang dibelas kasihani. "
Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Katanya " Kau pandai berpura-pura, sehingga orangorang
itu merasa belas kasihan melihat wajahmu yang sudah berkeriput itu. "
Tetapi Kiai Gringsing tidak sempat tertawa. Tiba-tiba saja kelima orang lawannya sudah
mundur. Agaknya mereka benar-benar ingin bertempur dalam kelompok, sehingga mereka tidak
akan menentukan lawan mereka seorang-seorang.
Karena kelima orang lawan mereka seakan-akan telah mengepung mereka, maka Agung
Sedayu dan empat orang lainnya telah bersiap beradu punggung.
Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata " Tunggu. "
" Untuk apa " desis Ki Ajar Laksana.
Jantung Ki Ajar tiba-tiba saja bagaikan semakin cepat berdenyut. Ternyata Agung Sedayu telah
mendekati perapian dan memadamkannya. Dengan kakinya Agung Sedayu menginjak api yang
memang sudah hampir padam itu.
" Jika kita semuanya mati, maka ada kemungkinan api akan menjalar lagi membakar
rerumputan kering. Jika kemudian hutan pandan ini terbakar, maka tentu akan menimbulkan
keributan. Daun pandan kering itu akan mudah dijilat api " jawab Agung Sedayu.
" Setan kau " geram Ki Ajar " kau telah menghina kami. Semua orang akan menjadi gemetar
dalam kepungan kami. Kenapa kau masih sempat berkelakar seperti itu. "
" Aku tidak berkelakar " jawab Agung Sedayu " tetapi aku benar-benar mencemaskan api itu.
Nah, sekarang aku sudah selesai. Jika kau akan mulai, mulailah. Apapun yang akan kau lakukan,
kami akan melayaninya. "
Ki Ajar menggeram. Ia benar-benar sudah siap menghadapi Agurg Sedayu dan keempat yang
lain. Namun, bagaimanapun juga, Agung Sedayu masih juga mempergunakan perhitungan. Karena
itulah, maka ialah yang langsung berada dihadapan Ki Ajar Laksana. Kemudian disebelah kirinya
adalah Kiai Gringsing. Sedang disebelah kanannya adalah Sekar Mirah. Baru kemudian Ki
Jayaraga dan Pandan Wangi yang berada disisi sebelah kiri Kiai Gringsing.
Dalam keadaan yang gawat dihadapan khususnya Ki Ajar Laksana, maka Kiai Gringsing akan
dapat melindungi-Pandan Wangi, sementara Agung Sedayu akan dapat melindungi Sekar Mirah.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Ajar Laksana itu mulai bergerak. Lingkaran itu ternyata
berputar kekiri. Untuk beberapa saat putaran itu hanya perlahan-lahan saja. Namun agaknya
mereka sedang mencoba memusatkan segenap kemampuan mereka untuk menghancurkan
kelima orang yang berada didalam lingkaran.
" Satu cara yang menarik " desis Agung Sedayu.
" Ternyata inilah perguruan Watu Gulung itu geram Ki Jayaraga yang membelakangi Agung
Sedayu. " Ya " Kiai Gringsing yang menjawab " meskipun mungkin perkembangannya masih belum
pernah kita lihat." Ki Jayaraga tidak menjawab. Ternyata kelima orang yang mengepung mereka itu telah menarik
senjata mereka masing-masing. Semua dari kelima orang itu ternyata bersenjata sepasang
potongan baja sepanjang satu jengkal lebih sedikit yang satu sama lain dihubungkan dengan
rantai hampir sedepa panjangnya.
Dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah mengurai senjatanya pula, sebuah cambuk
yang membelit di lambungnya. Sekar Mirah dan Pandan Wangipun dengan cepat telah
menggenggam senjata mereka masing-masing. Sekar Mirah telah memegang tongkat baja
putihnya pada ujung dan hampir dipangkalnya. Sementara itu Pandan Wangi dikedua belah
tangannya teiah menggenggam pedang yang bersilang didadanya.
" Kami membawa apa" " bertanya Ki Jayaraga " apakah Kiai juga akan mempergunakan
cambuk" " " Aku ragu-ragu " berkata Kiai Gringsing.
" Jadi" " desis Ki Jayaraga.
" Entahlah nanti " sahut Kiai Gringsing. Lalu " He, bukankah kau mempunyai pedang lengkung
itu" " " Aku tidak membawanya " jawab Ki Jayaraga.
" Pegang apa saja untuk membatasi agar kau tidak menjadi buas disini " berkata Kiai Gringsing.
Ki Jayaraga termangu-mangu. Namun kemudian iapun telah membuka ikat kepalanya.
" Kau telah mempermainkan ikat kepalamu sebagaimana dilakukan oleh Ki Waskita. Tetapi
pasangannya adalah ikat pinggangnya. " berkata Kiai Gringsing sambil memperhatikan lawannya
yang masih saja berputar perlahan-lahan. Agaknya, mereka belum mulai menyerang. Namun
mereka mulai mempermainkan senjata mereka.
" Glagah Putih juga bersenjata ikat pinggang yang diterimanya di Mataram " berkata Ki
Jayaraga. Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun ia belum membawa senjata apapun.
Dalam pada itu, terdengar Ki Ajar Laksana berkata " Kami simpan pedang kami. Hanya untuk
melawan orang-orang berarti sajalah kami pergunakan pedang kami."
Agung Sedayu sempat menjawab "jangan sembunyikan kecemasan dihatimu melihat senjatasenjata
kami. " Orang-orang yang berputaran itu mengumpat. Bagi mereka, Agung Sedayu adalah orang yang
sangat sombong. Namun sejenak kemudian, mereka telah mempercepat putaran mereka. Senjata merekapun
telah berputar dita-ngan mereka.
" Kakek tua " berkata Ki Ajar " kenapa kau tidak bersenjata" Jika kau memang tidak siap ikut
dalam permainan ini, keluarlah dari lingkaran. Kau akan dimaafkan, justru karena kulitmu sudah
berkerut. " Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya " Terima kasih Ki Sanak.
Karena aku adalah bagian dari anak cucuku ini, maka biarlah aku berada disini. "
" Apakah kau memerlukan senjata" " bertanya Ki Ajar Laksana yang sudah berputar sampai
diarah lain. Namun suaranya bagaikan bergema dari segala arah.
Kiai Gringsing termangu-mangu. Memang kurang wajar jika ia tidak bersenjata. Karena itu,
maka iapun telah mengurai senjatanya pula, seperti senjata Agung Sedayu, sebuah cambuk yang
berjuntai panjang. Ki Ajar Laksana tergetar melihat senjata Kiai Gringsing. Hampir diluar sadarnya ia berdesis
"Apakah kau. yang disebut orang bercambuk itu" "
" Entahlah " jawab Kiai Gringsing " tetapi inilah senjataku "
" Kenapa senjatamu sama dengan senjata Agung Sedayu" " bertanya Ki Ajar Laksana.
" Apa salahnya. Jika aku bersenjata pedang, kenapa senjataku sama dengan senjatamu selain
tongkat baja berantai itu" " jawab Kiai Gringsing.
" Gila. Apakah kau guru Agung Sedayu" " suara Ki Ajar meninggi.
Agung Sedayulah yang menjawab " Ya. Orang tua yang kau anggap memelas dan kau minta
keluar dari lingkaran jamuran ini adalah guruku. "
" Anak setan " geram Ki Ajar Laksana.
" Nah, segalanya belum terlanjur. Apakah kita dapat mengurungkan permainan jamuran ini" "
bertanya Agung Sedayu " mungkin kita mempunyai cara lain yang bukan kekerasan untuk
menyelesaikan persoalan ini" "
" Persetan geram Ki Ajar Laksana " jangan memperkecil arti perguruan kami. Pada saatnya
nanti kalian akan menyesal meskipun terlambat. Kesombongan kalian harus kalian tebus dengan
cara kematian yang pahit. "
" Jadi, kita akan meneruskan permainan ini" Kami udah memberitahukan siapa kami.
Seharusnya kalian dapat menilai, seberapa tinggi kemampuan kalian dibandingkan dengan kami "
berkata Agung Sedayu. Ki Ajar Laksana menggeram. Putaran itupun menjadi semakin cepat. Tongkat-tongkat baja
pendek yang ada ditangan mereka itupun berputar semakin cepat.
Agung Sedayu tidak berbicara lagi. Menilik sikap lawannya, mereka sudah siap untuk
menyerang dengan cara mereka.
Sebenarnyalah, maka satu dua diantara kelima orang itu mulai mengayunkan tongkat-tongkat
baja mereka. Mereka memutar salah satu dari potongan baja itu diatas .kepala. Kemudian putaran
itu berkisar pada bidang yang berubah. Dengan cepat potongan baja itu mematuk lawan.
Tetapi kelima orang yang ditengah-tengah putaran itu sudah bersiap. Sasaran serangan
mereka yang pertama adalah Agung Sedayu.
Namun Agung Sedayu hanya menggeliat saja, sehingga potongan baja itu tidak mengenalinya..
Ternyata murid Ki Ajar yang lain telah mengayunkan senjatanya pula. Justru mematuk dengan
derasnya mengarah Sekar Mirah.
Berbeda dengan Agung Sedayu, maka Sekar Mirah yang memiliki kecepatan gerak itu, tiba-tiba
saja telah memukul tongkat baja pendek yang terikat pada ujung rantai itu. Pukulan Sekar Mirah
yang dilandasi dengan kekuatan cadangannya itu benar-benar mengejutkan lawannya. Tongkat
baja pendek yang terikat dengan rantai dikedua ujung itu telah terpental dengan keras. Benarbenar


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengejutkan. Bahkan terasa tangan murid Ki Ajar yang telah mencoba menyerang Sekar
Mirah itu menjadi sakit. " Anak iblis " geram orang itu. Ia telah mengalami satu hal yang tidak diduganya sebelumnya,
bahwa Sekar Mirah itu memiliki kekuatan yang demikian besar.
Apalagi ketika orang itu menyadari, bahwa agaknya Sekar Mirah masih belum mempergunakan
segenap kekuatannya, apalagi ilmu yang dimilikinya.
Dengan demikian maka orang itu memang harus berhati-hati. Agaknya kelima orang itu
memang memiliki landasan ilmu yang sangat tinggi.
Dalam pada itu, sambil berputar semakin cepat, maka seorang diantara murid Ki Ajar itu telah
menyerang pula. Dengan sengaja ia telah menyerang Ki Jayaraga yang hanya bersenjata ikat
kepala. Ia ingin melihat, bagaimana Ki Jayaraga itu mempergunakan ikat kepalanya untuk
menangkis serangannya. Dengan cepat dan kekuatan yang besar, tongkat baja pendek diujung rantai itu tidak berputar
dan terayun kearahnya. Tetapi seperti yang telah menyerang Sekar Mirah, maka orang itupun terkejut. Ki Jayaraga
telah merentangkan ikat kepalanya, sehingga ayunan tongkat pendek itu telah memukul rentangan
ikat kepala itu. Namun yang terjadi benar-benar diluar dugaan. Demikian tongkat itu mengenai ikat
kepala itu, maka Ki Jayaraga telah mengendorkannya. Namun sejenak kemudian kedua ujung ikat
kepala itu telah dihentakkannya dengan kekuatan yang tinggi.
Potongan baja yang tergantung pada ujung rantai itu bagaikan dilemparkannya. Demikian
kerasnya, sehingga orang yang memeganginya telah tergeser hampir selangkah, sehingga untuk
sesaat, lingkaran itu berguncang.
" Gila " geram orang itu. Namun sesaat kemudian lingkaran itupun telah segera pulih kembali.
Namun demikian orang-orang yang berputaran itu semakin yakin bahwa orang-orang yang ada
di dalam lingkaran itu adalah orang-orang yang memang memiliki ilmu yang tinggi.
Karena itu, maka Ki Ajar Laksana sendirilah yang kemudian ingin menyerang salah seorang
dari kelima orang itu. Persoalan yang utama adalah persoalannya dengan Agung Sedayu. Karena
itu, maka ia ingin menjajagi kemampuan Agung Sedayu.
Ketika ambil berputar Ki Ajar selalu memandangi Agung Sedayu, maka Agung Sedayupun
menyadari, bahwa Ki Ajar akan langsung menyerangnya, meskipun ia tidak menjadi lengah,
bahwa mungkin orang lain yang akan melakukannya.
Beberapa saat kemudian, maka putaran itupun menjadi semakin cepat. Serangan demi
seranganpun meluncur dari tangan orang-orang yang berlari berputaran itu. Semakin sering.
Namun sasarannya bukannya Agung Sedayu, tetapi terutama kedua orang perempuan yang ada
didalam lingkaran itu. Sekar Mirah dan Pandan Wangi justru menjadi marah. Mereka menyadari, bahwa orang-orang
dalam lingkaran itu menganggap bahwa mereka berdua adalah orang yang paling lemah diantara
ke lima orang itu. Namun keduanya memang menyadari, bahwa dibandingkan dengan Agung Sedayu, Kiai
Gringsing dan Ki Jayaraga, mereka memang orang-orang yang paling lemah. Tetapi itu bukan
berarti bahwa mereka berada dibawah tingkat kemampuan orang yang berlari-lari itu.
Tetapi untuk beberapa saat keduanya tidak berbuat sesuatu kecuali menangkis seranganserangan.
Sementara itu, kelima orang yang berlari-lari berkeliling itu masih saja berputaran.
Semakin lama justru semakin cepat.
Ternyata bahwa putaran itu memang mempengaruhi lawannya. Rasa-rasanya kepala mereka
memang menjadi pening. Apalagi mereka masih harus menangkis setiap serangan yang datang
kepada mereka. Ternyata Sekar Mirahlah yang tidak telaten. Ketika ia sempat memandang sekilas Ki Jayaraga
dan Agung Sedayu yang ada di sebelah menyebelahnya, nampaknya mereka tidak akan berbuat
sesuatu. Sebenarnyalah Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga telah memperhitungkan, jika
mereka mampu bertahan, maka tenaga orang-orang itulah yang lebih dahulu akan susut. Tetapi
mereka yang ada di tengah itu harus bertahan untuk tidak menjadi pening dan kehilangan
pengamatan, karena semakin cepat orang-orang itu berputar, maka gelombang serangan
merekapun akan menjadi semakin cepat pula.
Tetapi Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga yakin, bahwa mereka, termasuk Sekar
Mirah dan Pandan Wangi akan mampu menangkis setiap serangan sehingga akhirnya kelima
orang itu akan berhenti dengan sendirinya, atau mereka akan menjadi kelelahan sebelum
pertempuran yang sebenarnya terjadi.
Namun agaknya Sekar Mirah tidak senang diperlakukan demikian, sebagaimana Pandan
Wangi. Karena itu, maka mereka mempunyai rencana untuk berbuat sesuatu.
Ketika putaran menjadi semakin cepat, maka tiba-tiba saja sebuah serangan yang cepat terjulur
kearah Sekar Mirah. Sebuah diantara tongkat baja itu mematuk langsung kedadanya. Namun
Sekar Mirah yang melihat serangan itu tiba-tiba saja telah mengelak. Ia tidak menangkis dengan
tongkat baja putihnya. Tetapi karena orang yang mengayun tongkat pendek pada ujung rantai itu berputar, maka
tongkat pendek itupun menyambarnya dalam putaran itu.
Tetapi Sekar Mirah telah memperhitungkannya. Dengan cepat ia merendah, sehingga tongkat
itu terbang diatas kepalanya. Namun pada saat yang demikian ia telah meloncat sambil
berjongkok, demikian cepatnya. Tongkatnya telah terjulur lurus mengarah ke lambung orang yang
sedang berputar itu. Orang itu terkejut. Ia meloncat mundur, sehingga sekali lagi putaran itu berguncang. Namun
ujung tongkat Sekar Mirah tidak mengenainya.
Tetapi pada saat yang demikian, orang yang berputar di belakang sasaran Sekar Mirah itulah
yang menjadi berbahaya baginya. Orang itulah yang kemudian memutar tongkat pendeknya pada
rantainya dan terayun mengarah ke kepala Sekar Mirah.
Sekar Mirah menyadari serangan itu. Dengan cepat ia justru berguling surut, sehingga tongkat
itu tidak mengenainya. Tetapi orang berikutnyalah yang siap untuk menyerangnya.
Tetapi orang itu tidak sempat melakukannya. Pandan Wangi yang melihat Sekar Mirah mulai
bertindak, iapun telah meloncat menyerang orang yang siap untuk meluncurkan tongkat
pendeknya. Kedua pedangnya berputar cepat seperti baling-baling justru melibat orang yang siap
menyerang Sekar Mirah. Orang itu memang terkejut. Dengan cepat ia bergeser sambil memutar tongkat bajanya diatas
kepalanya untuk melindungi dirinya.
Ketika orang berikutnya siap menyerang Pandan Wangi, Sekar Mirah sudah berhasil
memperbaiki dirinya dan meloncat menempati kedudukan Pandan Wangi yang ditinggalkannya.
Orang-orang yang melingkar itu memang benar-benar terguncang. Lingkaran itu tiba-tiba telah
melebar, cukup jauh dari kelima orang yang ada di tengah-tengah lingkaran itu.
" Jangan tergesa-gesa " terdengar suara Agung Sedayu.
"Aku tidak telaten. Jika kalian ikut serta, maka lingkaran itu tentu sudah pecah, " geram Sekar
Mirah. Agung Sedayu. menarik nafas panjang. Ia mengenal watak Sekar Mirah. Memang ada sedikit
singgungan dengan watak kakaknya.Swandaru yang keras. Namun bukan saja Sekar Mirah.
Pandan Wangi yang biasanya lebih luruhpun ternyata tidak tahan lagi menahan ketegangan
diliatinya. Putaran itu memang membuat jantung merasa berdesir lebih cepat. Semakin cepat
mereka berputar, maka rasa-rasanya jantungpun menjadi semakin tegang.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka telah siap,
seandainya Sekar Mirah dan Pandan Wangi mengalami kesulitan.
Dalam pada itu, orang-orang yang berlari berputaran itu memang terkejut mengalami serangan
Sekar Mirah dari Pandan Wangi yang saling mengisi. Baru dua orang diantara kelima orang
lawannya yang bergerak. Justru dua orang perempuan. Namun lingkaran itu benar-benar telah
terguncang dan bahkan hampir pecah. Hanya karena mereka cepat bergeser sehingga lingkaran
itu menjadi mekar beberapa langkah sajalah, maka lingkaran itu masih tetap mengisi kelima orang
yang ada di dalam, meskipun jaraknya menjadi semakin jauh.
Namun putaran itu kembali menyempit. Semakin lama semakin sempit dan semakin cepat.
" Kakang " berkata Sekar Mirah "tingkah laku mereka sangat menjemukan. Aku menjadi pening
karena putaran itu. Jika terlalu lama kita membiarkan mereka berputaran, maka mungkin aku akan
muntah-muntah karenanya. "
" Itu adalah salah satu senjata yang mereka trapkan " berkata Agung Sedayu " mereka memang
menghendaki kita menjadi pening. Tetapi kita mempunyai daya tahan yang cukup untuk
mengatasinya. Apalagi hanya oleh sekelompok orang yang berlari-larian itu.
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Sementara Pandan Wangi yang telah kembali ke
tempatnya berkata " "Apa salahnya jika kita menghentikan permainan yang memuakkan itu. "
" Tidak ada kesulitan apa-apa jika kita memang menghendaki " jawab Agung Sedayu " tetapi
kita ingin membuktikan bahwa yang mereka lakukan itu tidak berarti apa-apa bagi kita. Yang
mereka kehendaki adalah agar kita menjadi pening dan kehilangan kemampuan untuk bertempur
selanjutnya. Sementara itu, kita tidak akan mampu keluar dari lingkaran karena seranganserangan
mereka yang datang beruntun bagi salah seorang diantara kita yang akan menerobos
keluar. " Ternyata Sekar Mirah dan Pandan Wangi dapat mengerti. Karena itu maka Sekar Mirahpun
berkata " Mudah-mudahan aku dapat mengatasi rasa muakku, sehingga aku tidak menjadi
pingsan. " Yang tertawa adalah Ki Jayaraga. Katanya " Begiti mudahnya kita menjadi pingsan. "
Sekar Mirah tidak menyahut. Sementara itu putaran kelima orang itupun telah menyempit
kembali. Sepanjang jangkauan senjata mereka.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu berdesis " Kita mencoba untuk bertahan. Kecuali jika
kalian pada satu saat benar-benar tidak tahan lagi. "
Sekar Mirah dan Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi mereka memang ingin mencoba
bertahan. Demikianlah, permainan jamuran itupun telah berulang kembali. Kelima orang itu telah berlari
berkeliling. Sekali-sekali mereka melontarkan serangan dengan senjata mereka. Namun serangan
itu sama sekali tidak berarti apa-apa.
Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang sengaja membiarkan putaran itu berlangsung, telah
meningkatkan daya tahan mereka. Sebenarnya ketika mereka sengaja mengatur ketahanan diri,
maka apa yang terjadi itu tidak terlalu banyak berpengaruh atas diri mereka. Mereka tidak lagi
merasa pening, meskipun masih ada ketegangan di jantung mereka. Tetapi bukan karena
kecemasan, tetapi sebaliknya karena mereka harus menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu.
Kelima orang itu berlari semakin cepat. Serangan merekapun menjadi semakin cepat pula.
Namun serangan-serangan mereka sama sekali tidak mengusik kelima orang yang ada di dalam
putaran itu. Bahkan setiap serangan itu mengarah kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi, keduanya telah
membentur serangan itu dengan kekuatan yang sangat besar, sehingga justru jari-jari mereka
yang melontarkan serangan itulah yang menjadi sakit.
Demikianlah permainan itu berlangsung beberapa lama. Tetapi kelima orang yang berputar itu
tidak berhasil mengenai lawannya sama sekali. Mereka selalu menangkis setiap serangan atau
menghindarinya. Sasaran serangan itu terutama memang ditujukan kepada Sekar Mirah dan
Pandan Wangi, karena mereka menganggap bahwa kedua orang perempuan itulah yang paling
lemah diantara mereka. Meskipun demikian serangan-serangan mereka itupun tidak menyentuh
sasaran sama sekali. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Serangan itu justru telah
memperlemah kedudukan mereka sendiri.
Ki Ajar yang memimpin serangan itu menjadi marah. Usahanya untuk membuat lawanlawannya
kehilangan keseimbangan sama sekali tidak berhasil. Karena itu, maka iapun telah
berniat untuk meningkatkan serangannya. Sasaran utamanya adalah Sekar Mirah dan Pandan
Wangi. Jika semula ia selalu memperhatikan Agung Sedayu, maka iapun merasa bahwa
serangannya atas Agung Sedayu akan memerlukan pemusatan nalar budi yang mapan, sehingga
karena itu, maka agaknya ia akan lebih dahulu menyerang orang-orang yang justru dianggapnya
paling lemah. Karena itu, maka Ki Ajar sendirilah yang, telah memutar tongkat baja pendeknya yang
terkait.pada ujung rantai itu. Demikian cepatnya, sehingga putaran itu menimbulkan suara
berdesing. Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang mendengar desing putaran senjata Ki Ajar itu menjadi
berdebar-debar. Justru karena mereka merasa ilmunya berada pada tataran yang paling rendah, maka mereka
telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Sebenarnyalah, beberapa putaran kemudian, tongkat baja pendek Ki Ajar itu telah meluncur
mematuk dada Sekar Mirah. Demikian derasnya.
Namun Sekar Mirah yang sudah bersiaga melihat serangan itu. Karena itu, maka iapun telah
bergeser kesamping, sementara itu dengan tongkat bajanya ia telah memukul tongkat pendek Ki
Ajar yang tidak mengenai sasaran.
Ternyata benturan yang terjadi merupakan benturan yang mengejutkan kedua belah pihak.
Hampir saja tongkat baja putih Sekar Mirah terlepas. Sementara itu, tangan Ki Ajarpun tergetar.
Tenaga Sekar Mirah jauh melampaui kekuatan yang diperhitungkannya.
Ki Ajar itu mengumpat. Ternyata Sekar Mirah mampu mempertahankan tongkat baja putihnya.
Bahkan kekuatan benturannya telah menggetarkan tangannya.
Agung Sedayupun merasakan kedahsyatan benturan itu. Iapun melihat kesulitan pada tangan
Sekar Mirah yang menjadi sakit dan pedih pada telapak tangannya, sehingga karena itu, maka
beberapa kali ia menggosok-gosokkan tangannya bergantian pada bajunya.
Agung Sedayulah yang kemudian berbisik ditelinganya " Kekuatan orang itu luar biasa. Jika ia
menghentakkan ilmunya, jangan terkejut bila aku mencampurinya."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Namun Agung Sedayu cepat berkata " Jangan merasa
tersinggung dalam keadaan seperti ini. Jika kau mempunyai kesempatan, maka murid-muridnya
itu tidak akan terlalu sulit bagimu untuk menundukkannya. Tetapi bukan Ki Ajar itu sendiri. "
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Agung Sedayu. Sementara itu
iapun merasa betapa besar kekuatan Ki Ajar itu.
Agung Sedayupun ternyata telah menggamit Kiai Gringsing pula. Agaknya Kiai Gringsingpun
segera tanggap ketika Agung Sedayu berkata " Guru, Pandan Wangi perlu perlindungan jika
serangan itu datang langsung dari Ki Ajar itu sendiri. "
Kiai Gringsing mengangguk kecil. Sementara itu, putaran itu masih berlangsung terus. Semakin
cepat pula. Sementara serangan-serangan datang beruntun. Tetapi bukan dari Ki Ajar sendiri.
Karena itu, maka baik Sekar Mirah maupun Pandan Wangi sama sekali tidak mengalami
kesulitan. Apalagi Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Kiai Gringsing.
Dalam pada itu, Kiai Jayaraga yang melihat benturan antara tongkat pendek Ki Ajar dengan
tongkat baja Sekar Mirah, maka iapun mengerti, betapa besar tenaga Ki Ajar. Itupun tentu belum
dengan kekuatan puncaknya.
Karena itu, maka iapun telah mempersiapkan dirinya. Dengan senjata yang kurang memadai
untuk melawan tongkat pendek Ki Ajar, maka ia tidak boleh melawan kekerasan dengan
kekerasan. Ia harus lebih banyak menghindar atau menyerap kekerasan serangan lawannya
dengan perlawanan yang lunak.
Dalam pada itu, Ki Ajar yang menjadi marah kepada Sekar Mirah tetap bersiap-siap untuk
mengulangi serangannya. Ia berniat untuk merampas senjata itu dari tangan perempuan itu. Jika
ia berhasil membelit tongkat baja putih itu dalam putarannya, maka ia yakin, bahwa tongkat itu
akan terlepas dari tangan perempuan itu dan jatuh ke-tangannya.
Karena itu, maka iapun telah memberikan isyarat untuk mempersempit lingkaran. Dengan
ancang-ancang yang cukup, maka Ki Ajarpun telah memutar tongkat baja pendeknya. Sementara
itu ia telah menjulurkan rantai tongkatnya itu, sehingga tangannya berpegangan pada tongkat
pendek diujung yang lain.
Ki Ajar berharap untuk dapat membelit tongkat baja putih Sekar Mirah. Ia harus bergeser dari
putaran selangkah untuk dapat menggapai tongkat Sekar Mirah dengan rantai yang berkait pada
tongkat-tongkat pendeknya.
Namun ketajaman penglihatan Agung Sedayu telah mengisyaratkannya kepadanya rencana Ki
Ajar itu. Karena itu, maka Agung Sedayupun telah bersiap siap pula. Bahkan bukan saja Agung
Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun telah menunggu pula, apa yang akan dilakukan oleh
Ki Ajar. Sebenarnyalah, dalam putaran berikutnya, tongkat Ki Ajar yang berputar diatas kepalanya itu
tiba-tiba berubah arah. Dengan cepat tongkat itu telah menggeser bidang putarannya sehingga
tiba-tiba saja tongkat itu telah menyambar Sekar Mirah.
Sekar Mirah memang berusaha menangkis serangan itu, karena ia tidak menyadari rencana
lawannya. Ia hanya meningkatkan kekuatan cadangannya agar dalam benturan yang terjadi,
tongkatnya tidak terlepas dari tangannya.
Namun ketika benturan itu terjadi, Sekar Mirah terkejut. Rantai yang terikat pada tongkat baja
pendek Ki Ajar itu tiba-tiba telah membelit tongkatnya. Demikian cepat dan kuatnya sehingga
tongkat itu tiba-tiba saja telah terlepas dari tangannya.
Sekar Mirah memekik kecil. Jantungnya bagaikan meledak karenanya. Tongkat itu adalah
tongkat pemberian gurunya.
Namun yang terjadi kemudian telah mengejutkan pula. Tiba-tiba terdengar ledakan yang
menggetarkan jantung. Belum lagi Ki Ajar menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja tongkat
dibelitan rantainya itu lolos bagaikan terhisap oleh kekuatan yang sangat besar. Tongkat itu
bagaikan terbang. Namun kemudian tongkat itu telah tertangkap oleh tangan Agung Sedayu.
Ki Ajar yang kemudian menyadari apa yang terjadi mengumpat habis-habisan. Sementara itu,
putaran itu justru telah terganggu karenanya;
Ki Ajar sendiri hampir terhenti sama sekali. Namun kemudian putaran itupun telah bergerak
kembali. Tetapi tidak terlalu cepat.
Sementara itu Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Agung Sedayu yang berdiri
disampingnya telah memberikan tongkat itu sambil berkata " Bukan salahmu. Kekuatan orang itu
memang luar biasa. Hati-hatilah. Mungkin ia akan melakukannya lagi. Usahakan untuk
mengelakkan saja serangannya. Tetapi agaknya aku sependapat untuk menghentikan saja
permainan ini. " " Memang menjemukan kakang. Sementara itu mereka akan dapat memilih sasaran yang
mereka anggap paling lemah. " berkata Sekar Mirah lirih.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya kepada Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga " Kita hentikan mereka. "
Ki Jayaraga tertawa pendek. Katanya " kau juga sudah jemu" Sebenarnya aku sudah jemu
sejak tadi. Tetapi aku tahu maksudmu. Kau berharap agar mereka menjadi letih dengan
sendirinya. Namun agaknya untuk itu diperlukan waktu yang lama, sementara mereka mendapat
kesempatan lebih banyak untuk menyerang. Sedangkan putaran itu memang dapat membuat kita
semakin lama semakin pening. Mereka sendiri tidak menjadi pening, karena mereka melakukan
latihan bertahun-tahun untuk itu. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Gringsing berkata " Kita akan
menyerang khusus orang terkuat diantara mereka. Guru dan sekaligus orang yang paling


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendendam karena kematian muridnya itu. "
Dengan demikian, maka ketiga orang yang berada ditengah-tengah lingkaran itupun segera
bersiap. Apalagi ketika mereka melihat Ki Ajar nampaknya telah mulai meningkatkan kekuatannya
pula. Agaknya ia akan berusaha lagi untuk merebut tongkat Sekar Mirah yang telah kembali
kepada perempuan itu. Agung Sedayulah yang kemudian memberikan isyarat kepada Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing.
Mereka bertigalah yang kemudian bergeser selangkah maju. Sementara itu Kiai Gringsing berbisik
kepada Pandan Wangi " beradalah didalam bersama Sekar Mirah. "
Pandan Wangi berpaling kearah Sekar Mirah. Agaknya Agung Sedayupun telah minta agar
Sekar Mirah berada didalam. Maksudnya didalam lingkaran yang dibuat oleh Agung Sedayu, Ki
Jayaraga dan Kiai Gringsing.
Ki Ajar mengerutkan keningnya melihat perubahan tatanan dari kelima orang yang menjadi
sasaran mereka itu. Dengan geram ia berkata " Ternyata perempuan yang hadir dimedan ini tidak
lebih dari perempuan kebanyakan. Ternyata mereka hanya berani menyombongkan diri di-bawah
perlindungan orang lain. Aku kira mereka benar-benar seorang yang berilmu tinggi. "
Hati Sekar Mirah dan Pandan Wangi memang terbakar. Namun Agung Sedayulah yang telah
menjawab " Satu pernyataan yang menarik sekali dari seorang guru sebuah perguruan yang
besar. " Ki Ajar menggeram. Namun tiba-tiba saja demikian ia meluncur dihadapan Agung Sedayu,
tongkat pendeknya yang terkait pada ujung rantai itu meluncur dengan cepat nya mengarah ke
dahi Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu sama sekali tidak terkejut karenanya. Dengan gerak yang tidak kalah
cepatnya ia merendah, sehingga tongkat itu meluncur diatas ubun-ubunnya.
Namun seperti yang sudah disepakati bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, maka mereka
benar-benar ingin memecah putaran yang ternyata memang menjemukan itu.
Karena itu, maka sejenak kemudian, cambuk Agung Sedayupun telah meledak menyambar
salah seorang diantara murid Ki Ajar yang berlari berputaran disekitarnya.
Tetapi Agung Sedayu belum bersungguh-sungguh. Itulah sebabnya, maka demikian orang itu
bergeser keluar dari lingkaran selangkah, maka serangan itu tidak mengenainya. Namun pada
saat itu, orang yang berlari dibelakangnya telah mengayunkan tongkat pendek diujung rantainya
menyerang lambung Agung Sedayu.
Agung Sedayu bergeser surut. Tetapi sekali lagi cambuknya bergetar. Orang itupun berusaha
menghindar pula seperti yang telah dilakukan oleh kawannya, Kemudian meloncat kembali
kedalam lingkaran dan .berputar dengan kecepatan yang semakin tinggi.
Namun ternyata orang dibelakangnya tidak dapat menyerang Agung Sedayu sebagaimana
dilakukan oleh saudaranya yang berada didepannya. Tiba-tiba saja Ki Jayaraga telah
menggerakkan ikat kepalanya pula. Ia memutar ikat kepalanya dan kemudian menghentakkannya
dengan satu sudut dari ikat kepalanya itu .
Memang luar biasa. Hentakan ikat kepala itu telah menimbulkan bunyi yang menggebu.
Meskipun tidak mengenai orang yang sedang bergerak didepannya, namun rasa-rasanya angin
yang kencang telah bertiup, menampar wajahnya, sehingga untuk sejenak orang itu harus
memejamkan matanya. Dalam pada itu, orang yang dibelakangnya tidak sempat menyerang pula, karena cambuk Kiai
Gringsingpun telah bergetar pula. Bahkan satu serangan mendatar tidak terlalu keras telah
dilakukan, sehingga dua orang yang berlari didepannya harus merunduk merendah.
Ternyata orang-orang yang berputaran melingkar itu tidak lagi mendapat banyak kesempatan
untuk menyerang. Sementara itu, Ki Ajar berusaha untuk menekan ketiga orang lawannya. Ia
sendiri ingin menjajagi kemampuan ikat kepala Ki Jayaraga. Sehingga karena itu, maka dengan
kekuatannya yang sangat besar, Ki. Ajar telah mengayunkan tongkatnya menghantam kearah
leher Ki Jayaraga. Namun Ki Jayaraga tidak membenturnya dengan kekerasan. Seperti yang telah dilakukan,
namun dengan lambaran kekuatan yang berlipat, ia merentangkan ikat kepalanya. Ketika
sentuhan terjadi, ia mengendorkan ikat kepalanya. Seperti yang telah dilakukan pula ia menghentakkannya,
namun dengan kemampuan yang jauh lebih tinggi.
Sekali lagi Ki Ajar terkejut. Ternyata orang yang bersenjata ikat kepala itupun orang yang
berilmu tinggi. Dengan demikian maka Ki Ajar itupun berkesimpulan bahwa kelima orang yang ada didalam
putaran itu memang orang-orang yang pantas disegani. Itulah sebabnya, maka Ki Ajar itu telah
merubah niatnya untuk bertempur dalam kelompok.
Sementara itu, Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing yang sudah jemu atas putaran
yang membuat mereka pening itupun tiba-tiba saja telah bergerak hampir bersamaan. Cambuk
Kiai Gringsing meledak keras sekali, disusul suara ledakan cambuk Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga berdesis " Kita bersungguh-sungguh atau tidak" "
" Kenapa" " bertanya Agung Sedayu.
" Jika suara cambuk kalian memekakkan telinga, maka bagiku kalian hanya sekedar main-main
seperti penunggang kuda kepang saja: " desis Ki Jayaraga,
Agung Sedayu tersenyum. Namun iapun berdesis " Bagi murid-murid orang yang menyebut
dirinya Ki Ajar itu, agaknya sudah cukup. Pada saatnya kita akan berbuat lebih baik jika perlu. "
Ki Jayaraga tidak menjawab. Sementara itu, ia melihat putaran itu mekar selangkah, namun
Agung Sedayu telah meloncat maju sambil memutar cambuknya.
Serentak orang-orang yang berputar itu bersiap menyambutnya. Tetapi bukan hanya Agung
Sedayu saja yang bergerak. Kiai Gringsingpun telah meledakkan cambuknya sekali lagi. Lebih
keras sehingga orang-orang yang berlari melingkar itu terkejut. Dengan demikian perhatian
mereka telah terpecah. Mereka tidak saja memperhatikan cambuk Agung Sedayu, tetapi juga
cambuk Kiai Gringsing. Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga bergumam " Telingaku tidak tahan mendengarnya. Selaput
telingaku dapat pecah karenanya. "
Kiai Gringsing hanya tertawa saja. Sementara itu, Ki Jayaraga telah memutar ikat kepalanya
dan menyerang pula orang-orang yang berlari-lari itu.
Orang-orang yang berlari-lari itupun telah bersiap pula untuk menyerang. Semua orang diantara
mereka telah memutar senjata mereka. Tiba-tiba sajk mereka telah berloncatan sambil
mengayunkan tongkat-tongkat pendek mereka yang terkait diujung rantai.
Tetapi mereka sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan tiba-tiba saja salah seorang
diantara mereka mengeluh tertahan. Ujung cambuk Kiai Gringsing ternyata telah menyentuh kaki
salah seorang diantara mereka.
Sentuhan itu tidak terlalu keras, tetapi orang itu seperti terkait kakinya justru pada saat ia berlari
kencang. Karena itu, maka orang itupun tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya,
sehingga ia jatuh terguling ditanah. Untunglah bahwa ia tidak terlempar kearah pohon-pohon
pandan yang berduri tajam.
Namun dengan sigap ia telah meloncat bangkit dan kembali memasuki putaran yang kencang
itu. Tetapi ternyata untuk kedua kalinya ia telah terlempar dari putaran. Bukan ujung cambuk Kiai
Gringsing yang telah mengait kakinya, tetapi ujung cambuk Agung Sedayu.
Beberapa orang yang berikut tidak mampu membangun serangan beruntun, karena justru
orang-orang yang ada didalam putaran itu telah menyerang mereka dengan cepat.
Ki Ajar sendiri menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja rasa-rasanya putaran itu bukan saja
putaran kelima orang yang nampak itu menjadi semakin kencang. Tetapi pada putaran itu terasa
angin mulai berhembus. Semakin lama semakin keras, sehingga akhirnya telah menjadi angin
pusaran yang kuat. Inilah yang sebenarnya ditunggu. Jika lingkaran itu tidak mau pecah tentu sesuatu akan
dilepaskan oleh Ki Ajar untuk melindungi putarannya. Agaknya semula Ki Ajar memang menjajagi
kemampuan olah kanuragan orang-orang yang ada didalam putaran itu. Namun kemudian Ki Ajar
ternyata merasa perlu untuk mulai dengan ilmunya. Ia ingin mempercepat usahanya untuk
menekan kelima orang yang ternyata memiliki kemampuan kanuragan yang tinggi.
Ternyata bahwa angin pusaran itu telah memutar dan mengamburkan pula rerumputan dan
daun-daun pandan kering yang berserakan di tanah., Begitu cepatnya angin pusaran itu, sehingga
terasa menampar wajah orang-orang yang ada didalam lingkaran itu. Bahkan ketika angin pusaran
berhembus semakin keras,, rasa-rasanya mereka berada didalam arus angin yang membuat
mereka sulit untuk bernafas. Apalagi debupun telah ikut berhamburan pula sehingga lingkungan
didalam putaran itu terasa menjadi, bagaikan berkabut oleh debu dan sampah lainnya.
Dalam saat-saat seperti itu maka serangan tongkat pendek dari orang-orang yang berlari-lari
itupun menjadi semakin cepat pula. Datang beruntun susul menyusul.
Tetapi serangan itu tidak pernah menyentuh sasaran. Apalagi menggapai Sekar Mirah dan
Pandan Wangi yang ada di bagian yang lebih dalam dari Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga. Untuk beberapa saat, Sekar Mirah dan Pandan Wangi memang mengalami kesulitan untuk
bernafas. Namun ternyata Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak membiarkan hal itu
terjadi lebih lama. Wajah-wajah mereka dan pakaian mereka tidak ingin dikotori dengan debu dan
sampah kering lebih banyak lagi.
Karena itu, maka sejenak kemudian, Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga hampir
bersamaan telah menghentakkan senjata mereka masing-masing. Tidak terdengar ledakan yang
memekakkan telinga. Cambuk Agung Sedayu dan Kiai Gringsing hanya melontarkan bunyi yang
tidak terlalu keras, bahkan terdengar agak lunak. Demikian pula ikat kepala Ki Jayaraga.
Hentakkan ilmu yang dilontarkan lewat getaran ujung cambuk dan ikat pinggang itu ternyata
akibatnya dahsyat sekali. Angin pusaran yang berputar semakin keras oleh kekuatan ilmu Ki Ajar
dibantu oleh murid-muridnya yang telah mengangkat debu dan sampah kering dan membuat nafas
menjadi sesak itu, diikuti oleh serangan beruntun tanpa henti-hentinya, tiba-tiba bagaikan
dihembus oleh angin prahara yang dahsyat sekali. Hentakkan angin prahara yang tiba-tiba itu,
telah menyapu angin pusaran yang berputaran disekitar kelima orang yang dikitari oleh Ki Ajar dan
murid-muridnya. Beberapa saat mereka masih menyaksikan putaran angin pusaran itu hanyut oleh angin
prahara sampai beberapa puluh tonggak. Namun kemudian angin pusaran itu telah pecah
berserakkan. Debu dan dedaunan kering yang diangkatnya, telah berhamburan dan hanyut pula
dibawa oleh prahara yang kencang.
Ki Ajar memang terkejut sekali. Bersama murid-muridnya ia menyadari, bahwa ketiga orang
yang ada didalam lingkaran putarannya memang orang-orang yang memiliki ilmu yang sangat
tinggi. Karena itu, maka kemudian Ki Ajar itu merasa bahwa putaran yang dilakukan itu tidak akan ada
gunanya sama sekali selain menguras tenaga mereka tanpa arti.
Dengan demikian maka Ki Ajar itupun telah memberikan isyarat agar putaran itu dihentikan
saja. Murid-muridnyapun sependapat. Kemampuan ilmu yang mereka lontarkan dalam putaran itu
tidak memberikan arti apapun juga.
Sejenak kemudian, maka kelima orang yang telah menghentikan putaran mereka itu, berdiri
tegak masih dalam lingkaran, seakan-akan mengepung kelima orang yang ada didalam lingkaran
itu " Bukan main " geram Ki Ajar.
Agung Sedayulah yang bergeser setapak menghadap kearah Ki Ajar itu. Jawabnya " Satu
permainan yang mengasikkan. Kalian telah mengotori pakaian kami. Baru pagi tadi aku berganti
baju. Sekarang kau kotori bajuku ini."
" Persetan " geram Ki Ajar " jangan mengigau seperti orang gila. Nyawamu sedang terancam.
Cobalah bersikap sungguh-sungguh. "
Agung Sedayu justru tertawa. Katanya " Jangan membuat diri sendiri menjadi begitu tegang.
Kita sudah menjajagi kemampuan kita masing-masing. Nah, apa katamu sekarang" "
"Kau sombong sekali. Dengan sedikit ilmu yang kau miliki, kau sudah berani menantang Ki Ajar
Laksana. " geram Ki Ajar " baiklah. Jangan menyesal jika kau mengalami kesulitan. "
" Aku sudah siap, apapun yang ingin kau lakukan. " sahut Agung Sedayu.
Ki Ajar menjadi semakin marah. Dengan suara lantang ia berkata " aku tantang kau berperang
tanding Agung Sedayu. Kemudian biarlah murid-muridku menyelesaikan kawan-kawanmu dan
kedua perempuan itu. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang menyadari, bahwa kemungkinan itu
akan terjadi, dan bahkan kemudian memang sudah terjadi. Ki Ajar menantangnya berperang
tanding. Namun bagaimanapun juga Sekar Mirah memang menjadi berdebar-debar. Dengan suara lirih
ia berpesan " Hati-hatilah kakang. "
Agung Sedayu tersenyum. Betapapun gelisahnya Sekar Mirah., namun ia tidak akan mungkin
dapat mencegahnya, jika ia tidak ingin mengorbankan harga diri suaminya sebagai,seorang lakilaki
yang berilmu tinggi. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Ki Ajar itu mendesaknya " Jika kau takut
Agung Sedayu, siapakah diantara kalian yang akan mewakilinya" Gurunya atau siapa" "
" Jangan salah sangka " sahut Agung Sedayu dengan serta merta ketika Ki Jayaraga bergeser
dari tempatnya, " Bukankah aku segan melayanimu dengan alasan apapun juga. Tetapi aku
memang sedang berpikir, apakah murid-muridmu akan kau korbankan begitu saja" Atau
barangkali ada sesuatu yang luar biasa mungkin akan dapat terjadi" "
" Persetan " geram Ki Ajar " muridku bukan kanak-kanak lagi di dunia olah kanuragan. Bahkan
ilmunya adalah seluruh ilmuku. "
" Jika demikian, celakalah kalian " desis Agung Sedayu " Glagah Putih adalah anak-anak disini.
Ternyata yang anak-anak itu telah mampu membunuh muridmu. "
" Gila " Ki Ajar hampir berteriak " anak itu membunuh muridku dengan curang dan licik bersama
anak-anak yang lain yang bernama Raden Rangga. Tetapi aku kira, ke-licikannya itu adalah
keturunan dari kakek nenekmu, dan itu tentu akan menurun kepadamu pula, karena kau adalah
sepupunya. " " Kakang Swandaru harus melihat kemampuan kakang
Agung Sedayu " berkata PandanWangi didalam hatinya "
ternyata ia bukan pemalas seperti yang dikatakan oleh kakang
Swandaru. Dengan tegang Pandan Wangi mengikuti setiap gerak
Agung Sedayu. Jauh lebih banyak yang dapat dilakukannya
daripada yang dilakukan oleh Swandaru.
Sementara itu pertempuran antara kedua orang itu menjadi
semakin sengit. Serangan-serangan yang dilontarkan lewat
sorot mata Agung Sedayu memang membuat lawannya
menjadi sulit. Meskipun setiap kali ia masih mampu
menghamburkan bulatan-bulatan api yang panasnya mampu
menembus perisai ilmu kebal Agung Sedayu meskipun tidak
sampai melukai kulitnya, namun serangan Agung Sedayu
meluncur lebih sering dan lebih dahsyat. Apalagi Ki Ajar sama
sekali tidak mampu melindungi dirinya dengan ilmu kebal, atau
Tameng Waja atau lembu sekilan atau ilmu yang serupa.
Karena itu, maka Ki Ajar harus mengatasinya dengan
ilmunya yang lain. Ia tidak dapat selalu berloncatan, berguling,
melenting dan gerak-gerak keras yang lain untuk menghindari
serangan yang dilontarkan lewat sorot mata Agung Sedayu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang-orang yang
menyaksikan pertempuran itupun menjadi terkejut karenanya.
Pada saat serangan Agung Sedyu memburunya, kemana Ki
Ajar menghindar, maka tiba-tiba saja Ki Ajar itu telah lenyap
dari pandangan mata mereka.
Sejenak Agung Sedayu tertegun. Sekejap ia memang
menjadi kebingungan. Namun kematangannya telah
mengekangnya dan membuatnya lebih tenang menghadapi
keadaan. " Apakah Ki Ajar memiliki Aji Penglimunan " desis Agung
Sedayu " jika demikian, maka aku harus lebih berhati-hati.
Namun sesaat kemudian, ternyata mereka melihat Ki Ajar
itu tiba-tiba telah berdiri tegak ditempat yang lain. Demikian ia
hadir, maka serangannya pun telah meluncur susul menyusul
menyergap Agung Sedayu. Bulatan-bulatan api yang
panasnya melampaui panasnya bara ditangan Ki Ajar itu sendiri.
Agung Sedayulah yang kemudian harus berloncatan surut.
Ia harus berusaha untuk menghindari bulatan-bulatan itu
sebanyak dapat ia lakukan, Ketika satu dua dari bulatanbulatan
api itu menyentuhnya, maka terasa panas itu
menggigit kulitnya. Namun dengan cepat Agung Sedyu menguasai dirinya.
Sejenak kemudian maka serangan-serangannya pun telah
meluncur membalas serangan-serangan Ki Ajar. Ternyata
bahwa Serangan-serangan Agung Sedayu lebih cepat dari
serangan serangan lawannya, sehingga beberapa saat
kemudian, sekali lagi Ki Ajar itu mulai terdesak.
Tetapi yang mengejutkan itu terjadi lagi. Sekali lagi Ki Ajar
itu telah hilang dari tatapan mata wadag, sehingga Agung
Sedayu kehilangan sasarannya.
Yang telah terjadi itupun teruang kembali. Demikian Ki Ajar
itu muncul, maka serangannyapun datang beruntun sehingga
Agung Sedayu harus berloncatan menghindarinya, sampai
saatnya ia mendapat kesempatan untuk membalas.
Demikianlah terjadi berulang kali, Setiap kali Ki Ajar itu
hilang. Namun kemudian muncul lagi dengan tiba-tiba sambil
menyerang tanpa henti-hentinya.
Ketika hal itu terjadi berulang kali, maka Agung Sedayu
akhirnya dapat mengambil kesimpulan, bahwa Ki Ajar bukan
mempergunakan ilmu panglimunan. Ia tidak mampu
melenyapkan diri untuk waktu yang lama. Tetapi ia hanya
dapat melenyapkan diri untuk waktu yang pendek, setelah Ki
Ajar itu meloncat berpindah tempat.
Meskipun demikian, Agung Sedayu itu telah mengalami
banyak kesulitan. Ki Ajar muncul ditempat yang justru tidak
diduganya. Semakin lama menjadi semakin dekat. Sementara
itu tongkatnya kadang-kadang terdengar berdesing keras,
sebelum bulatan-bulatan api itu menyerangnya susulmenyusul.
Agung Sedayu meningkatkan pula perlawanannya. Tapi


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setiap kali ia kehilangan lawannya dan muncul di tempat yang
lebih dekat. Dengan gerak naluriah, Agung Sedayu meloncat menjauhi
arah gerak lawannya. Tetapi ia tidak berhasil, karena
lawannya telah memotong arahnya tanpa dapat
diperhitungkannya. Karena itu, maka lawannya itupun menjadi semakin dekat.
Desing senjatanya semakin tajam menusuk telinga.
Agung Sedayu menjadi semakin kesulitan untuk
menghindari serangan-serangan lawannya. Setiap kali maka
bulatan-bulatan api itu telah menyentuh tubuhnya. Semakin
lama semakin sering. Betapa ia berusaha menghindari namun
bulatan-bulatan api itu terus saja memburunya.
Karena itu, maka perasaan sakit yang mampu menembus
ilmu kebal Agung Sedayu itu semakin sering menggigit
kulitnya. Karena itu maka Agung Sedayu telah meningkatkan
ilmu kebalnya sampai ke puncak.
Meskipun demikian ternyata kemampuan Ki Ajar itu masih
saja dapat menembusnya. Bulatan-bulatan api yang tidak
sempat dihindari itu masih saja menyengat kulitnya.
Tetapi ternyata bahwa Ki Ajar tidak dapat menggapainya
terlalu dekat. Bukan saja karena Agung Sedayu telah memutar
cambuknya di sekeliling tubuhnya, namun udara di sekitarnya
menjadi semakin panas karena peningkatan ilmu kebalnya,
justru telah mencapai puncak.
Meskipun demikian, kemampuan Ki Ajar itu setiap kali
sempat membuat Agung Sedayu bingung mencari arah. Ia
sama sekali tidak dapat memperhitungkan, kemana Ki Ajar itu
akan meloncat kemudian menyerangnya. Bahkan sekali-sekali
Agung Sedayu benar-benar tidak tahu, dimana lawannya
berada, namun tiba-tiba saja serangannya telah mengenainya.
Ketika beberapa kali serangan yang demikian terjadi, maka
Agung Sedayu telah mengambil keputusan untuk
mengimbanginya dengan ilmu yang lain. Ia tidak saja
menyerang lawannya dengan sorot matanya, justru karena
lawannya mampu menyembunyikan arah geraknya, tetapi
Agung Sedayu harus dapat mengimbangi tata gerak lawannya.
Karena itu, untuk beberapa saat Agung Sedayu itu justru
berdiri tegak sambil memeluk cambuknya. Ia tidak
menghiraukan perasaan sakit yang menyerangnya susu menyusul.
Namun tiba-tiba lawannyalah yang menjadi heran melihat
Agung Sedayu yang agak mengabur. Namun tiba-tiba dari
dalam dirinya telah muncul ujud yang sama sebagaimana
Agung Sedayu sendiri. Dan ujud itu telah bergeser satu ke
sebelah kiri dan satu ke sebelah kanan.
" Setan " geram Ki Ajar " entah ilmu apa yang dimiliki oleh
Agung Sedayu. Tetapi ilmu ini mirip dengan ilmu yang sudah
jarang ada. Kadang kawah adi ari-ari. "
Namun Ki Ajar itu berusaha untuk tetap mengenali Agung
Sedayu yang sebenarnya. Ke sasaran itulah seranganserangannya ditujukan.
Tetapi ketika ujud itu tidak tinggal diam. Ketiganya
kemudian telah bertempur bersama-sama. Ketiganya bergeser
dan bergerak saling membaur, sehingga akhirnya, Ki Ajar itu
tidak dapat lagi membedakan, yang manakah Agung Sedayu
yang mula-mula dihadapi, dan yang. manakah yang muncul
sebagai rangkapnya sebagaimana dihadirkan oleh ilmunya.
Ki Ajar yang berilmu tinggi itu berpendapat, bahwa jika ia
mampu mengenali Agung Sedayu yang sebenarnya, maka ia
akan dapat memusatkan serangannya kepada orang itu,
sehingga ia tidak akan dipengaruhi oleh ujud ujud
rangkapannya. Tetapi ketiga ujud itu tiba-tiba saja telah berlarian dan
berloncatan, sehingga akhirnya Ki Ajar menjadi bingung.
Itulah sebabnya, maka seolah-olah ia harus melawan tiga
orang bersama-sama, tanpa sempat mengenali lagi, yang
manakah ujud Agung Sedayu yang sebenarnya.
Ketiga Ujud itu telah menyerangnya bergantian. Ki Ajar
memang sempat menghilang. Tetapi demikian ia muncul,
maka didekatnya telah berdiri seorang diantara ketiga orang
ujud itu. Demikian ia muncul, maka seranganpun
menyerangnya dengan cambuknya. Namun yang lain telah
menyerangnya dengan sorot matanya.
" Benar-benar iblis " berkata Ki Ajar didalam hatinya " dari
mana orang ini menyadap ilmu yang gila ini. Tanda-tandanya
mirip sekali dengan ilmu kakang kawan adi ari-ari. Ketiga ujud
itu seakan-akan mampu berdiri sendiri-sendiri dan bergerak
menurut kehendak masing-masing. "
Tetapi Ki Ajar tidak dapat merenungi keadaan lawannya itu
lebih lama lagi. Ia harus bekerja lebih berat untuk
mengimbangi gerak ketiga ujud yang membingungkan itu.
Demikianlah, pertempuran itu menjadi semakin rumit bagi
mereka yang tidak memahami apa yang terjadi. Pandan
Wangi benar-benar terpukau oleh peristiwa itu. Bahkan Sekar
Mirahpun telah dicengkam pula oleh ketegangan yang
semakin menekan. Sementara itu Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga menggamati
pertempuran itu dengan saksama. Ilmu yang dikuasai Agung
Sedayu itu memang termasuk ilmu yang sudah jarang sekali
ditemukan. Namun Agung Sedayu ternyata masih mampu
menguasainya dengan baik.
Meskipun demikian, kecermatan Ki Ajar menyerang ketiga
ujud itu, masih juga mampu sekali-sekali mengenai tubuh
Agung Sedayu yang sebenarnya. Meskipun sangat jarang.
Tetapi hentakkan-hentakkan ilmu itu memang telah
menyakitinya. Pada saat-saat terakhir, Agung Sedayu tidak lagi
membiarkan dirinya semakin kesakitan. Karena itulah, maka
iapun kemudian benar-benar sampai kepuncak ilmunya.
Dengan cambuknya yang menghentak-hentak meskipun tidak
Dua Menara 4 Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta Persekutuan Iblis 1

Cari Blog Ini