09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 2
" Baiklah " berkata Agung Sedayu " jika kau masih belum
bersedia mengatakannya sekarang, maka biarlah kau
beristirahat. Mungkin nanti, mungkin besok, atau mungkin jika
kau sudah kehilangan segenap nalar dan perasaanmu. "
Orang itu menggeram. Sementara itu Agung Sedayu-pun
berkata " Bukankah kita tidak tergesa-gesa Ki Gede" "
Namun ia menggeleng sambil berkata : "Aku tidak akan
menghukumnya. Terserah kepada kakang" Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah ia mengharap
Glagah Putih bersikap demikian. Namun.................................
" Tidak " jawab Ki Gede " kita tidak tergesa-gesa. Kapan
saja orang itu memilih waktu. Kita sebagian tergantung
kepada kesediaannya. "
Jantung orang itu benar-benar bagaikan dihentakhentakkan
tanpa kekangan. IMembentur batu-batu padas
yang tajam runcing. Betapa sakitnya. Meskipun tubuhnya
belum disentuh, tetapi dadanya bagaikan telah retak.
Namun agaknya Agung Sedayu benar-benar mengusulkan
agar pemeriksaan terhadap orang itu ditunda. Dengan nada
dalam ia berkata " Ki Gede. Bagaimanakah pendapat Ki Gede,
jika kita menunda pemeriksaan ini sampai pada kesempatan
lain" Aku berharap bahwa orang itu sempat merenungi katakata
kita semuanya. Mungkin ia akan bersikap lain. Sementara
itu, kita sudah mendapat satu keyakinan apakah orang itu
akan bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan kita atau
tidak, sehingga dengan demikian kita akan dapat menentukan,
apakah yang akan kita lakukan atas mereka. "
Ki Gede mengangguk-angguk. Bagi Ki Gede pendapat
Agung Sedayu pada umumnya memberikan jalan yang paling
baik untuk memecahkan setiap persoalan. Karena itu, maka Ki
Gede itupun kemudian berkata " Yang mana saja yang baik
menurut pertimbanganmu, Agung Sedayu. "
Agung Sedayu memandang orang itu sekilas. Lalu katanya
" Baiklah Ki Sanak. Kami akan menyimpanmu untuk hari ini.
Besok pagi-pagi mungkin kami ingin berbicara lagi denganmu.
" " Persetan " geram orang itu " kalian hanya akan
membuang waktu saja. Kenapa kalian tidak membunuhku
sekarang saja" "
" Membunuh" " sahut Agung Sedayu " kami memerlukanmu.
Kami tidak akan membunuhmu. "
" Kau tidak akan dapat memeras keteranganku. Aku adalah
orang yang sudah dipersiapkan untuk mengalami perlakuan
apapun juga " berkata orang itu.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya " Kau bersedia
mengantar aku kepada kawan-kawanmu. "
Orang itu mengumpat meskipun hanya didengarnya sendiri.
Terasa tangan Agung Sedayu itu seakan-akan telah
merabanya lagi dan udara panas mengalir kedalam tubuhnya
melalui urat darahnya, sehingga jantungnya serasa menjadi
terbakar hangus. " Anak iblis " terlontar pula dari bibirnya.
Agung Sedayu memang mendengarnya. Tetapi ia tidak
menghiraukannya. Bahkan kemudian katanya kepada Ki Gede
" Ki Gede, biarlah orang ini aku bawa ketempat yang akan
dipergunakan untuk mengurungnya. Biarlah ia beristirahat
malam nanti dan tidur dengan nyenyak. "
Ki Gede tidak berkeberatan, sehingga dengan demikian,
maka Agung Sedayupun telah memerintahkan Glagah Putih
untuk membawa orang itu turun dari serambi. Sementara
ketika Agung Sedayu meninggalkan tempat itu ia sempat
berkata kepada Ki Gede " nampaknya ada sesuatu yang akan
menarik pada keterangannya kelak.
" Ya. Karena itu, kita akan memeriksanya dengan saksama
" jawab Ki Gede. Sementara itu Glagah Putih telah membawa orang itu
ketempat yang khusus sebagaimana petunjuk Agung Sedayu
kemudian. Ia dimasukkan kedalam ruang tersendiri untuk
menghindarkannya dari persoalan yang dapat timbul dengan
orang-orang yang telah lebih dahulu mendapat hukuman
karena kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan.
Namun seperti yang pernah dikatakan oleh Agung Sedayu,
orang itu memang harus mendapat pengamatan khusus.
Justru karena orang itu agaknya mempunyai sangkut paut
dengan satu lingkungan yang dirahasiakannya.
Disamping para pengawal khusus, maka Agung Sedayupun
telah mengatur diri bersama Glagah Putih untuk bergantian
setiap kali menengok tempat itu untuk menjaga kemungkinankemungkinan
yang dapat terjadi. Pada saat yang demikian, selagi Glagah Putih
menempatkan orang itu ditempat yang khusus bersama ampat
orang pengawal yang akan bertugas mengamatinya, jauh dari
Tanah Perdikan, dua orang berada dalam kebingungan.
" Apakah kita akan melaporkan apa yang telah terjadi" "
bertanya yang seorang. " Apakah hal itu ada gunanya bagi kita, atau justru
sebaliknya akan merupakan mala petaka" " sahut kawannya.
Yang lain terdiam. Sejenak mereka merenung.
" Upah itu sudah kau terima sebagian " desis salah seorang
diantara keduanya. " Salah kakang lurah " jpwab yang lain " jika ia tidak
menginginkan kuda yang besar dan tegar itu serta kemudian
uang tebusan, mungkin kita tidak terjerat kedalam persoalan
yang rumit ini. Apalagi setelah kakang lurah agaknya tidak
berhasil melarikan diri dan dibunuh oleh anak iblis itu. "
" Kita memang sulit untuk meninggalkan kebiasaan kita "
jawab orang pertama " demikian pula agaknya kakang lurah. "
" Tetapi bukankah kita sedang melakukan satu
kesanggupan yang berat yang juga menghasilkan uang yang
cukup banyak " sahut kawannya " bukankah dengan demikian
berarti kita akan mengalami malapetaka jika kita harus
mempertanggung jawabkan tugas kita, sementara uang itu
sebagian telah kita terima. "
" Sebaiknya kita tidak melaporkan diri " berkata orang yang
pertama " kita akan pergi saja menjauhi mereka. " Apakah hal itu mungkin kita lakukan" " Orang itu atau
para pengikutnya akan memburu kita sampai keujung bumi "
sahut kawannya. " Jangan terlalu ketakutan menghadapi orang-orang itu "
berkata orang pertama " jika kita harus mati, biarlah kita
menunda kematian. Tetapi) jika kita melaporkan diri, maka kita
akan lebih cepat mati, karena mereka tentu akan membunuh
kita. " Kawannya termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia berdesis "
Bagaimana dengan kawan kita yang pergi kerumah anak iblis
itu untuk mendapatkan tebusan" "
" Jika anak itu sudah mampu mengalahkan kita bertiga,
maka nasib kawan kita itupun tidak akan lebih baik dari kita "
jawab orang yang pertama. Tetapi iapun kemudian bergumam
" Apakah itu berarti bahwa ia akan membukakan rahasia
seandainya ia tidak terbunuh" "
Kawannya bergumam " Aku tidak tahu. Tetapi kita adalah
orang-orang yang pernah menyatakan janji, bahwa kita akan
mempertanggungjawabkan diri kita serta kelompok ini. Kita
akan saling memegang rahasia dan kita akan mengorbankan
apa saja bagi kita bersama-sama. Disam-ping itu, kita akan
ketakutan untuk membuka rahasia yang menyangkut orang
yang mengupah kita. Karena itu, menurut perhitunganku, ia
tidak akan mengatakan tentang kita berdasarkan atas janji
diantara kita serta keteguhan hati kita, dan tidak pula akan
berani membuka rahasia orang yang mengupah kita karena
jika demikian, maka ia tidak akan memiliki kehidupan lagi
seandainya ia tidak dibunuh. Ia akan selalu diburu oleh
ketakutan dan kegelisahan. Bahkan mungkin ia akan
membunuh diri. " " Apakah pada suatu saat kita juga. mungkin membunuh
diri jika kita sadari bahwa kita selalu diburu" " bertanya orang
yang pertama. " Seperti aku katakan, kita sudah meletakkan dasar bahwa
kita sekedar memperpanjang umur. Kenapa kita takut diburu
dan seandainya dibunuh sekalipun " bertanya kawannya.
" Apakah kawan kita tidak juga berpikir demikian sehingga
ia akan berani membuka rahasia kita dan rahasia orang yang
mengupah kita" Mungkin ia mengalami tekanan yang tidak
teratasi sehingga ia terpaksa melakukannya " jawab yang
pertama. " Memang mungkin. Tetapi kesediaan kita untuk saling
melindungi adalah janji jantan. Bukan karena saling ketakutan.
Berbeda dengan persoalan orang yang mengupah kita. "
berkata kawannya. Namun kemudian katanya pula " Tetapi
bukankah rahasia kita sudah tidak perlu lagi dilindungi" Kita
berdua akan pergi ketempat yang kita sendiri tidak tahu. Apa
artinya bahwa kawan kita harus merahasiakan kita lagi" "
Yang pertama mengangguk-angguk. Lalu katanya "
Baiklah. Kita akan pergi ketempat yang tidak ditentukan. Jika
kita mendapatkan tempat yang baik maka sanak keluarga kita
akan dapat kita jemput kemudian dengan diam-diam. Karena
itu, kita tidak lagi berkepentingan dengan kawan kita yang satu
itu. Apakah ia tertangkap atau terbunuh atau diperas
keterangannya atau apapun juga. " Ya. Kita tidak mempunyai
kesempatan yang lain. Kesalahannya terletak kepada kakang
lurah. Tetapi ia sudah menerima hukumannya. Untunglah
bahwa kitalah yang membawa uang itu, sehingga kita dapat
mempergunakannya " sahut kawannya.
" Sebagian dari upah itu dapat kita pergunakan untuk bekal.
Sementara tdisepanjang jalan kita akan dapat mencari lagi
sesuai dengan keadaan " desis orang yang pertama.
Kedua orang itupun kemudian telah mulai dengan satu
pengembaraan tanpa tujuan, mereka sama sekali tidak
melakukan pekerjaan yang sudah mereka sanggupi dan
bahkan sebagian dari upahnya telah mereka terima, karena
mereka justru terjerat pada satu keinginan untuk memiliki
seekor kuda yang besar dan tegar, dan bahkan untuk
mendapatkan uang tebusan.
Namun yang terjadi itu sama sekali tidak diketahui oleh
kawannya yang terkurung di Tanah Perdikan Menoreh.
Tidak sedikitpun yang diketahuinya apa yang telah terjadi
dengan kelompoknya, selain bahwa seorang yang tertua, yang
disebutnya Ki Lurah itu telah meninggal dan dikuburkannya.
Tetapi yang ingin diketahui oleh orang-orang Tanah
Perdikan Menoreh adalah latar belakang dari perbuatannya
serta lingkungan disekitarnya.
Demikianlah, dihari berikutnya, maka orang itupun telah
dibawa kembali menghadap Ki Gede Menoreh, Agung
Sedayu, Sekar Mirah, Kiai Jayaraga dan Glagah Putih. Tetapi
tidak diserambi, namun justru lebih mendebarkan lagi Orang
itu ternyata telah dibawa kedalam sanggar Ki Gede. Sanggar
yang tertutup rapat. Namun yang pada dindingnya tergantung
berbagai macam senjata. Disudut sanggar itu terletak tali
temali yang bergayutan dari atap ke dinding-dinding, seperti
anyaman sarang laba-laba. " Ki Sanak " berkata Ki Gede " aku hari ini tidak akan terlalu
banyak mencampuri persoalan kalian dengan anak muda
yang telah kalian culik bersama kawan-kawanmu serta
keluarganya. Aku hanya sekedar akan menjadi saksi.
Sedangkan jika kau terlanjur mati didalam sanggar ini, biarlah
aku memerintahkan orang-orangku untuk menyeret mayatmu
dan barangkah membuang ke kali jika rasa-rasanya aku
segan melihat mayatmu itu dikuburkan. Karena hanya mayat
orang baik-baik sajalah yang pantas diserahkan kembah
kepada bumi. Bagi seorang penjahat, maka biarlah tubuhnya
dikoyak-koyak oleh burung pemakan bangkai. "
Tengkuk orang itu meremang. Sementara itu, ia melihat
sorot mata Agung Sedayu yang menusuk tajam menghunjam
sampai kepusat jantung. " Nah Agung Sedayu " berkata Ki Gede " segala
sesuatunya terserah kepadamu. Apa yang ada didalam
sanggar ini dapat kau pergunakan untuk kepentinganmu,
mendapat keterangan dari orang yang keras kepala ini. "
" Terima kasih Ki Gede " jawab Agung Sedayu. Tiba-tiba
saja ia pun telah bangkit berdiri sambil mengurai cambuknya.
Orang yang telah dibawa ke sanggar untuk diperiksa itu tibatiba
pula telah terkejut bukan kepalang, sehingga ia terloncat
kesamping ketika cambuk Agung Sedayu melekat
disampingnya. Ledakan yang sangat dahsyat sehingga rasarasanya
telinganya telah terkoyak karenanya.
Orang itu hampir saja mengumpat. Untunglah cepat ia
menyadari keadaannya, sehingga suaranya bagaikan tertahan
dikerongkongan Sementara itu Agung Sedayupun tersenyum sambil
bertanya " Apakah kau terkejut?"
Orang itu tergagap. Hampir diluar sadarnya ia menjawab "
Ya. Aku terkejut sekali. "
" Maaf. Aku tidak ingin merontokkan jantungmu " jawab
Agung Sedayu " aku hanya ingin mencoba, apakah aku masih
mampu bermain cambuk sebagaimana anak-anak yang
bermain kuda-kudaan. "
Jantung orang itupun berdegup semakin keras. Suara
cambuk itu telah mengguncang isi dadanya. Sementara itu
sikap Agung Sedayu sangat menggelisahkan pula.
Dalam pada itu. Sekar Mirahpun telah berkata pula " Aku
sama sekali sudah tidak terkejut lagi Ki Sanak. Setiap kali aku
mendengar kakang Agung Sedayu bermain-main dengan
cambuknya. Tetapi mungkin timbul pertanyaan didaiam
hatimu, jika ujung cambuk itu menyentuh kulitmu, apa yang
terjadi" " Orang itu sama sekali tidak menyahut. Tetapi wajahnya
telah menjadi sangat pucat, dan keringatnya membasahi
seluruh tubuhnya. " Jangan takut " tiba-tiba Kiai Jayaragalah yang menyahut "
Agung Sedayu tidak akan benar-benar mencambuknya. Ia
hanya sekedar menakut-nakuti saja. Kecuali jika kau tidak
mau menjawab pertanyaan-pertanyaan Agung Sedayu. "
Jantung orang itu rasa-rasanya bagaikan akan meledak
oleh kecemasan yang semakin mencengkam.
Apalagi ketika ia mendengar Kiai Jayaraga tertawa sambil
berkata " Kenapa kau menjadi semakin ketakutan" "
Orang itu mulai menjadi gemetar. Sementara itu, Ki Gede
telah bangkit berdiri pula dan beranjak beberapa langkah
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menepi. Dengan nada dalam ia berkata " Sayang, bahwa
sesuatu harus terjadi. Seandainya orang itu tidak mempersulit
dirinya sendiri, maka tidak akan pernah terjadi malapetaka
bagi dirinya. " Kata-kata Ki Gede itu membuat jantung orang itu semakin
terguncang. Bayangan-bayangan yang menakutkan dan
mengerikan rasa-rasanya mulai berterbangan di-sekitarnya.
Sebentar lagi bayangan-bayangan itu akan menjadi
kenyataan. Sementara itu. Agung Sedayu masih berdiri dengan
cambuk ditangan. Ketika Agung Sedayu kemudian memutari cambuknya, maka orang itu telah memejamkan matanya.
Putaran cambuk Agung Sedayu yang semakin lama semakin cepat terdengar berdesing semakin keras, sehingga kemudian bagaikan auman yang menggetarkan udara didalam
sanggar itu. Jilid 202 UNTUK beberapa saat orang itu menunggu. Namun tidak terjadi sesuatu atasnya selain desing suara cambuk yang semakm lama semakin keras.
Untuk sesaat orang itu sempat berpikir, "Agaknya benar kata orang tua itu. Agung Sedayu tentu hanya menakut-nakuti saja. Apalagi karena ujung cambuk itu memang tidak menyentuhnya same sekali."
Tetapi yang terjadi kemudian justru berbeda dan yang diperhitungkannya. Ujung cambuk itu memang menyentuhpun tidak. Namun suara desing yang semakin keras itulah yang kemudian bagaikan menggigit jantungnya. Se"makin lama semakin sakit menghimpit didalam rongga dadanya. Bahkan rongga dada itulah yang seakan-akan menjadi semakin sempit pula.
Namun hal itu tidak terjadi terlalu lama. Sejenak ke"mudian maka suara berdesing itupun telali menurun sehingga akhirnya berhenti sama sekali.
"Nah." berkata Kiai Jayaraga, "bukankah seperti yang aku katakan, bahwa Agung Sedayu tidak akan mencambukmu."
Orang itu memandang Kiai Jayaraga dengan tatapan mata yang suram. Hampir tidak terdengar ia berkata, "Kekejian yang dilakukannya tidak ada bedanya dengan mencambukku serta mengoyakkan kulitku, karena suara cam"buk itu telah menyakiti jantungku."
Wajah Agung Sedayulah yang tiba-tiba menegang. Ternyata bahwa ia tidak berpikir sejauh itu. Namun sebenarnyalah bahwa meskipun ia tidak menyakiti tubuh orang itu pada bagian luarnya, tetapi ia justru telah mengenai langsung dibagian dalamnya.
Meskipun demikian ia telah mencoba menjawab, "Ada bedanya Ki Sanak. Jika aku menyobek kulitmu, maka kau akan terluka dan memerlukan waktu yang mungkin panjang untuk mengobatinya Tetapi jika kau menggelitik isi dadamu, maka demikian aku menghentikannya, maka perasaan sakit itu akan membekas lagi."
"Mungkin bagimu Ki Sanak." berkata orang itu, "tetapi tidak bagiku. Aku masih merasa jantungku bagaikan membengkak dan terhimpit rongga dadaku yang menyempit."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata diluar dugaan meskipun dengan demi"kian Agung Sedayu sendiri menjadi berdebar-debar, "Ki Sanak. Sebenarnya aku tidak ingin menyakitimu. Tubuhmu yang kasat mata, atau dibagian dalam. Tetapi aku memer"lukan keteranganmu Jika keteranganmu itu dapat kau ucapkan tanpa menyakitimu, maka aku akan sangat berterima kasih kepadamu."
Orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Namun ternyata kekerasan hatinya menjadi tergetar ketika ia mendengar Sekar Mirah berkata, "Ki Sanak. Marilah kita berbicara sebagai sahabat. Aku adalah seorang yang lebih kasar dari kakang Agung Sedayu. Aku sudah mulai jemu melihat permainan yang tidak menyenangkan ini. Kau ten"tu tidak akan merasa senang jika aku, seorang perempuan, harus memaksamu berbicara atau bahkan karena kejengkelan harus merenggut nyawamu. Karena itu, marilah kita saling berbaik hati. Kami tidak usah menyakitimu, dan kau membantu kami agar kami tidak harus melakukannya."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Jayaragapun menyambung, "Di sebelah padukuhan ini ada sebuah gerojogan kecil. Tempat itu merupakan tempat yang sangat baik bagi sahabat kita ini untuk rnandi dan menyegarkan ingatannya. Jika kita meletakkan kepaia sahabat kita ini tepat dibawah gerojogan kecil itu, maka dalam waktu kurang dari tiga hari, maka iapun tentu akan teringat, apa yang dilupakannya dan yang tidak dapat disebutnya lagi sekarang ini."
Jantung orang itu benar-benar telah terguncang-guncang. Nyerinya gaung ujung cambuk Agung Sedayu masih terasa. Apalagi kata-kata yang kemudian didengarnya bagaikan meremas seluruh isi dadanya.
Karena itu, maka iapun telah menjadi gemetar. Ketakutan jiwanya sebagai seorang laki-laki sejati ternyata telah runtuh tidak dengan sentuhan-sentuhan pada tubuhnya, tetapi justru pada perasaannya.
Ketika Agung Sedayu melihat, keadaan orang itu, maka iapun kemudian telah bertanya dengan suara lembut, "Ki Sanak. Sebaiknya kau menjawab pertanyaan-pertanyaan kami."
Orang itu mengangkat wajahnya. Sambil berdesah ia menarik nafas dalam-dalam.
"Katakan apa yang pantas kau katakan tentang dirinya dan gerombolanmu. Agaknya itu lebih baik daripada kau tidak sempat untuk berbicara apapun juga." berkata Agung Sedayu.
Orang itu memandang Agung Sedayu dengan sorot mata yang aneh. Namun kemudian katanya, "Kebiadaban kalian telah memaksa aku untuk berkhianat."
"Jangan menyebut istilah yang aneh-aneh." berkata Agung Sedayu, "kami juga mempunyai perasaan. Kami juga dapat kecewa, marah dan bahkan kami sekali-sekali pernah juga kehilangan kendali atas perbuatan kami, sehingga kami akan benar-benar menjadi biadab seperti yang kau katakan."
Orang itu tertunduk. "Katakan, sebelum terlambat." desak Agung Sedayu.
Orang itu termangu-mangu. Namun ia terkejut ketika ujung cambuk Agung Sedayu tiba-tiba saja menyentuh pundaknya. Hanya menyentuh saja. Namun rasa-rasanya pundaknya itu telah tersentuh api.
"Kau terkejut?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku terpaksa mengatakannya." desis orang itu, "aku adalah salah satu dari empat orang dalam gerom-bolanku, Kami adalah perampok sebagaimana pernah aku katakana."
"Ya. Hanya itu" Itu sudah kau katakana." sahut Agung Sedayu. "Kamipun sudah menanggapinya, bahwa kami mempunyai tuduhan, disamping itu, ada tugas lain yang sedang kalian lakukan. justru sikapmu sendirilah yang memberikan arah tuduhan itu."
Akhirnya orang itu tidak tahan lagi menghadapi tekanan perasaannya, karena kemungkinan-kemungkinan yang dihadapinya agaknya benar-benar akan dapat menghimpitnya dan memeras tubuhnya sehingga darahnya menjadi kering. Karena itu, akhirnya ia menyadari, bahwa yang membuang waktu adalah dirinya sendiri. Bukan orang-orang yang sedang memeriksanya. Jika ia berkata berterus terang, maka apapun yang akan terjadi biarlah segera terjadi.
"Baiklah." berkata orang itu dengan sada datar, "kalian telah berhasil memaksa aku menyerah."
Agung Sedayu tidak menjawab, tetapi dengan demi"kian maka orang-orang yang ada didalam sanggar itu telab memperbaiki duduknya di sekitar orang itu, termasuk Ki Gede sendiri.
"Katakan." desis Agung Sedayu.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang wajah Agung Sedayu. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Ternyata kalian tidak ada bedanya dengan orang yang telah mengupah kami berempat. Jika aku tidak mengatakan sesuatu tentang mereka adalah karena aku mengalami akibatnya kelak jika mereka tahu bahwa aku telah mengkhianati mereka. Tetapi ternyata tanpa jatuh ketangan mereka, maka kalianpun dapat memperlakukan aku sebagaimana mungkin mereka lakukan."
"Sudahlah." sahut Agung Sedayu, "pengantarmu sudah terlalu panjang. Sekarang kami ingin segera mendengar isi dari keterang yang akan kau katakan itu."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun tengkuknya serasa menjadi berkerut ketika Sekar Mirah beringsut mendekat setapak.
"Sebenarnyalah bahwa kami telah mendapat upah untuk melakukan satu kerja." berkata orang itu kemudian.
"Upah?" ulang Agung Sedayu, "siapa yang mengupahmu?"
"Aku belum mengenal sebelumnya. Tetapi Ki Lurah, yang terbunuh itu telah mengenalnya dengan baik." jawab orang itu.
"Kalian diupah untuk apa?" bertanya Agung Sedayu pula.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun agaknya Sekar Mirah benar-benar tidak sabar lagi. Karena itulah, maka dengan dua jarinya ia menyentuh lambung orang itu. Tidak terlalu keras, tetapi terasa seakan-akan kedua ujung jari itu telah menghunjam kedalam lambungnya. Karena itulah, maka orang itu telah menyeringai menahan sakit. Namun ketika ia maraba lambungnya, ternyata lambung"nya masih utuh. Tidak terkoyak sebagaimana diduganya.
Dengan jantung yang berdebaran orang itupun kemu"dian berkata, "Kami diupah untuk melihat-lihat keadaan istana Mataram. Kami diupah untuk mengetahui, jalan yang paling baik untuk memasuki istana tanpa diketahui oleh para penjaga."
"Memasuki istana Mataram?" bertanya Agung Sedayu dengan tegang.
"Ya. Kami harus mengenali segala sudut halaman istana dan semua pintu dan regol. Kami pada saatnya harus dapat menuntun seseorang memasuki istana tanpa dike"tahui oleh para pengawal."
"Kenapa kalian yang mendapat upah untuk melakukannya?" bertanya Ki Gede, "apakah orang yang mengupahmu tidak tahu, bahwa ternyata kalian tidak memiliki kemampuan apapun juga. Ilmumu tidak lebih dari kemampuan ilmu kanak-kanak yang sedang belajar olah kanuragan. Kalian bertiga telah dikalahkan oleh Glagah Putih, bahkan seandainya berempat dengan kau sekaligus."
"Yang penting bagi mereka, kami adalah perampok dan pencuri yang dianggap mampu melakukan pekerjaan kami dengan baik. Sebagai seorang pencuri yang berpengalaman, maka orang itu ingin mengupah kami. Mereka yakin bahwa berdasarkan pengalaman kami, maka kami akan dapat menuntun mereka atau salah seorang dari mere"ka memasuki istana sampai ke bilik tidur Panembahan Senopati." berkata orang yang sudah menjadi putus asa itu.
"Apakah kau sudah berhasil membawa salah seorang dari mereka memasuki istana?" bertanya Agung Sedayu.
"Kami sedang dalam usaha mengenali istana." jawab orang itu, "tetapi kami harus sangat berhati-hati dan tidak tergesa-gesa. Namun pada saat kami siap untuk dengan sungguh-sungguh melakukannya. Ki Lurah, orang tertua didalam gerombolan kami, tertarik kepada seekor kuda yang besar dan tegar. Bahkan kemudian dengan uang tebusan yang harus aku ambil itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia bertanya, "Siapakah sebenarnya yang memberi kalian upah untuk melakukan pekerjaan itu."
"Aku belum mengenalnya." jawab orang itu, "aku tidak berbohong. Aku sudah sampai pada satu keadaan seperti ini, dalam keputus asaan, meskipun aku sadari. Se"andainya aku mengerti, maka aku tidak akan merahasiakannya lagi."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah ia percaya bahwa orang itu tidak mengetahui siapakah orang yang telah mengupahnya.
Namun demikian Agung Sedayupun bertanya lagi, "Untuk apa sebenarnya orang itu ingin memasuki bilik Panembahan Senopati?"
Orang itu termangu-mangu. Namun sebelum ia menjawab, Agung Sedayu telah mendahuluinya, "Tentu untuk maksud buruk. Jika( ia bermaksud baik, ia akan menghadap dengan cara yang wajar."
Orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut sama sekali.
Agung Sedayulah yang kemudian berkata, "Baiklah. Sebagian dari keterianganmu dapat kami percaya. Sekarang, biarlah kau kembali kedalam bilikmu."
Agung Sedayupun kemudian memerintahkan Glagah Putih untuk membawa orang itu kembali kedalam kurungan. Sementara itu ia berpesan agar Glagah Putih segera kembali ke sanggar jika orang itu sudah diserahkan kepada para pengawal.
Dengan demikian maka didalam sanggar itu telah terjadi pembicaraan khusus menyangkut pengakuan orang itu. Setelah Glagah Putih datang lagi, maka Agung Sedayupun kemudian berkata, "Tentu ada maksud jahat dari sese"orang."
"Ya. Orang itu agaknya akan mengambil jalan pintas."
"Ia akan langsung menghadapi Panembahan Senapati sendiri. Bahkan mungkin orang itu akan membunuhnya." ber"kata Ki Gede.
"Apakah kita harus melaporkannya ke Mataram?" bertanya Glagah Putih.
"Tetapi bukankah niat orang itu telah gagal, karena mereka yang diupah tidak melakukan tugasnya dengan baik?" bertanya Sekar Mirah.
"Tetapi ia akan dapat mengupah orang lain." sahut Kiai Jayaraga.
"Tetapi orang yang akan mengupahnya tentu menjadi ragu-ragu. Mereka tentu mengira bahwa usaha itu telah didengar justru karena ada diantara orang upahannya yang tertangkap." desis Sekar Mirah.
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi Agung Sedayulah yang kemudian berkata, "Kita akan mencoba untuk memberikan kesan yang lain."
"Kesan apa?" bertanya Sekar Mirah.
"Kita harus berusaha untuk mengetahui, untuk apa orang itu berusaha dapat langsung bertemu dengan Panem"bahan Senapati atau berusaha untuk membunuhnya." ber"kata Agung Sedayu.
"Jika mungkin dapat dilakukan, tentu akan membe"rikan banyak arti." sahut Ki Gede, "tetapi yang mungkin sulit adalah caranya. Sebagaimana dikatakan oleh Sekar Mirah, mungkin orang yang ingin melakukannya menjadi ragu-ragu karena ia tidak tahu pasti apa yang terjadi dengan orang-orang yang diupahnya."
"Itu adalah kewajiban kita." berkata Agung Sedayu. "kitalah yang harus mengabarkan kepada mereka."
"Bagaimana mungkin?" bertanya Ki Gede dan Sekar Mirah hampir berbareng.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenung. Namun kemudian katanya, "Kita harus dapat menimbulkan kesan, bahwa rahasia mereka belum kita ketahui."
"Ya. Itulah yang aku tanyakan." sahut Ki Gede.
Agung Sedayu berkisar setapak. Lalu katanya, "Kita harus dapat memberikan kesan bahwa kita tidak berhasil memeras keterangan orang yang kita tangkap itu, sehingga orang itu telah terbunuh dalam pemeriksaan. Kemudian kita sebarkan kabar, bahwa seorang yang lain telah ter"bunuh pula sementara dua orang melarikan diri. Dengan de"mikian akan timbul kesan bahwa kita belum berhasil mendengar apa yang akan terjadi itu. Mudah-mudahan dengan demikian orang-orang itu tidak mengurungkan niatnya, sementara kita telah melaporkannya langsung kepada Panembahan Senapati."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang yang mendengar keterangan itu sudah dapat menduga apa yang akan dilakukan menurut Agung Sedayu.
Namun Sekar Mirah masih bertanya, "Lalu orang itu kita tempatkan dimana, dan bagaimana kesan yang dapat meyakinkan bahwa orang itu telah mati?"
"Kita akan menguburkannya di kuburan pada malam hari tanpa memberi tahukan kepada banyak orang, seolah-olah kita memang melakukannya dengan rahasia. Semen"tara itu orang itu akan kita bawa ke Mataram." jawab Agung Sedayu.
Orang-orang yang ada didalam ruangan itupun mengangguk-angguk. Tidak seorangun yang tidak sependapat. Karena itu, maka Ki Gedepun kemudian berkata, "Baiklah Agung Sedayu. Kita akan dapat mencobanya. Tetapi sebaiknya, kau harus menghadap Panembahan Senapati lebih dahulu, apakah Panembahan berkenan jika kita berbuat sebagaimana kau rencanakan itu."
"Baiklah." berkata Agung Sedayu, "malam ini aku akan pergi ke Mataram. Orang itu akan aku bawa serta."
"Apakah kau akan pergi sendiri?" bertanya Sekar Mirah.
Sebelum Agung Sedayu menjawab, maka Kiai Jaya"raga telah mendahuluinya, "Biarlah aku yang menyertainya. Mungkin ia memerlukan kawan berbincang disepanjang jalan, selain orang yang akan dibawanya itu."
Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah. Biarlah Sekar Mirah dan Glagah Putih tinggal. Jika terjadi sesuatu di Tanah Perdikan ini, ada orang yang dapat membantuku memecahkannya."
"Aku harus kembali sebelum fajar." berkata Agung Sedayu, "kemudian kita akan melakukan upacara penguburan orang yang mati itu jika Panembahan Senapati mnyetujuinya."
"Tetapi apakah kau pasti, bahwa kau dapat meng"hadap malam nanti" Jika kau gagal menghadap malam nanti maka kau tidak akan dapat kembali sebelum fajar." ber"kata Ki Gede kemudian.
"Ya Ki Gede." jawab Agung Sedayu, "jika aku gagal menemuinya malam nanti, maka sudah barang tentu aku akan bermalam barang semalam. Tetapi segala sesuatu harus dijaga kerahasiaannya, agar usaha ini berhasil."
"Baiklah." berkata Ki Gede, "kita semua akan berusaha. Mudah-mudahan kita berhasil. Maksudku, Panem-bahan Senapati berhasil menangkap orang yang berniat buruk itu hidup-hidup dan dapat mendengar dari mulutnya, apakah sebabnya hal itu dilakukannya."
Dengan demikian maka pembicaraan merekapun telah dapat menentukan satu rancangan yang akan dilaksanakan oleh Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga namun yang kera"hasiaannya harus dijaga oleh semua orang yang telah men"dengar rencana itu.
Menjelang malam, maka, Agung Sedayupun telah bersiap-siap. Dengan diam-diam iapun telah pergi ke rumah Ki Gede bersama Kiai Jayaraga. Sementara itu, iapun telah minta diri kepada Sekar Mirah untuk langsung menuju ke Mataram bersama Kiai Jayaraga.
"Hati-hatilah." pesan Agung Sedayu, "mungkin kawan-kawan mereka tidak akan tinggal diam. Mereka sudah mengetahui rumah kita, sehingga mereka akan dapat langsung menuju kemari jika mereka kehendaki."
Kemudian pesannya kepada Glagah Putih, "Kau tidak perlu pergi ke sungai malam nanti untuk menutup pliridan. Sebaiknya kau justru berada di gardu di ujung lorong. Kau ikut mengawasi keadaan Tanah Perdikan dalam keseluruhan, tetapi kaupun harus siap membantu mbokayumu seandainya bahaya itu benar-benar datang."
"Baik kakang." jawab Glagah Putih, "aku akan ber"ada digardu disebelah. Sementara itu, digardu-gardu lain, anak-anak akan aku pesankan agar berhati-hati karena peristiwa yang baru saja terjadi atas diriku itu mungkin akan berkepanjangan."
"Tetapi kau tidak boleh menyentuh sampai kerencana yang akan kita lakukan." pesan Agung Sedayu.
"Aku akan selalu mengingatnya kakang." jawab Gla"gah Putih.
Demikianlah, maka Agung Sedayupun telah mulai melakukan rencananya. Tidak seorangpun yang tahu. Se"mentara itu Agung Sedayupun harus memperhitungkan perjalanannya itu.
Untuk tidak menimbulkan perhatian dan memancing pertanyaan, maka Agung Sedayu telah berusaha untuk menghindari jalan-jalan yang melintasi padukuhan. Karena itu, maka kepada Kiai Jayaraga ia berkata, "Kita akan menyusuri jalan-jalan dipinggir hutan."
Kiai Jayaraga yang tanggap akan maksud Agung Se"dayupun mengangguk sambil berkata, "Baiklah. Mudah-mudahan kita tidak harus berhenti meyalami penghuni-penghuni hutan."
"Hanya satu dari seratus kemungkinan bahwa seseorang yang lewat bertemu dengan binatang buas." jawab Agung Sedayu, "tetapi yang satu dari seratus kemung"kinan itulah yang dibicarakan orang, sementara yang lain dianggap sebagai peristiwa wajar, sehingga dengan demikian maka seakan-akan yang satu itulah yang lebih sering terjadi dibandingkan dengan yang sembilanpuluh sembilan."
Kiai Jayaraga tersenyum. Katanya, "Jika kita akan menjadi yang satu dari yang lain, maka kita akan menjadi bahan pembicaraan orang."
Agung Sedayupun tertawa. Katanya, "Tentu tidak. Mereka tahu bahwa kita tidak mempunyai waktu banyak untuk bercanda dengan mereka."
Demikianlah, maka mereka bertiga telah menyusuri hutan-hutan bukan saja hutan perburuan. Tetapi juga hutan yang lebat dan jarang dilalui orang. Tetapi jalan setapak yang terbentang dihadapan mereka telah cukup lebar untuk dilalui kaki-kaki kuda ketiga orang itu.
Dengan demikian, maka perjalanan merekapun justru menjadi semakin singkat, meskipun tidak terpaut banyak. Tanpa dijumpai seorangpun mereka telah mendekati daerah penyeberangan Kali Progo.
"Jarang ada tukang satang dimalam hari." desis Kiai Jayaraga.
"Tetapi kadang-kadang ada juga, meskipun mereka sering minta upah tambahan." jawab Agung Sedayu.
Sebenarnyalah, ternyata ada juga tukang satang yang tidur ditepian, yang memang menunggu orang yang akan menyeberang di malam hari. Namun seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka mereka telah minta upah tambahan untuk menyeberang di malam-malam yang dingin.
Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga tidak dapat menolak Merekapun harus menyediakan upah tambahan seba"gaimana di minta oleh tukang satang itu.
Setelah mereka melewati Kali Praga, maka merekapun telah berpacu menuju ke Mataram. Mereka sadar, bahwa perjalanan mereka akan menemui hambatan. Para petugas tentu akan mempertanyakan keperluan mereka.
"Mudah-mudahan ada orang yang dapat mengenali aku." berkata Agung Sedayu kepada dirinya sendiri.
Ketika mereka memasuki regol kota, para penjaga tidak begitu ketat mempersoalkan siapakah mereka, karena hilir mudik keluar masuk kota memang telah menjadi lancar, sejalan dengan keadaan yang menjadi semakin tertib.
"Namun tentu akan berbeda jika kita memasuki istana " berkata Agung Sedayu.
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan kita tidak menemui kesulitan."
Sementara itu, orang yang mereka bawa itupun tidak menunjukkan sikap apapun juga. Orang itu tidak mengerti, apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga. Namun orang itupun menjadi semakin berdebar-debar semakin mereka bertiga mendekati istana Mataram.
"Mungkin orang-orang Mataram bersikap lain dari orang-orang Tanah Perdikan Menoreh." berkata orang itu didalam hati. "Mungkin di Mataram aku akan benar-benar dicincang."
Iapun kemudian menyesali tingkah laku orang yang disebutnya Ki Lurah yang telah tertarik untuk memiliki kuda Glagah Putih yang besar dan tegar, sehingga karena itu, maka mereka sekelompok telah terjerat oleh keadaan yang sangat sulit.
"Ki Lurah telah selesai dengan hukumannya." ber"kata orang itu di dalam hatinya, "tetapi aku belum. Aku justru baru akan mulai dan tidak tahu kapan selesai."
Tentu orang itu telah benar-benar menjadi putus asa. Ia tidak lagi berusaha untuk menghentakkan kejantanannya dan bertahan untuk tetap diam seandainya ia dipaksa untuk berbicara.
"Jika para pemimpin Tanah Perdikan mempunyai ke"mampuan yang demikian tinggi, maka para pemimpin Matarampun tentu akan lebih menggetarkan jantung. Karena itu, tidak akan ada gunanya untuk menolak keinginan mereka." berkata orang itu didalam hatinya.
Dalam pada itu perjalanan Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga yang membawa seorang diantara orang-orang yang telah diupah untuk mengenali keadaan di halaman istana, telah mendekati regol halaman istana. Untuk tidak menimbulkan salah paham, maka Agung Sedayupun ber"kata kepada Kiai Jayaraga. "Kita berhenti disini. Biarlah aku lebih dahulu mendekat. Mudah-mudahan aku mendapat cara untuk menghadap."
"Hati-hatilah." berkata Kiai Jayaraga.
Agung Sedayupun kemudian dengan hati-hati telah mendekati regol halaman. Iapun langsung mendekati petugas yang berdiri dan kadang-kadang berjalan hilir mudik didepan regol.
"Ki Sanak." berkata Agung Sedayu, "aku ingin mohon ijin untuk secara khusus menghadap Panembahan Senapati. Ada sesuatu yang sangat penting yang akan aku sampaikan."
Prajurit itu memandang Agung Sedayu dengan heran. Dengan nada tinggi ia berkata, "Apakah kau sedang bermimpi atau bahkan mengigau?"
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Kenapa kau tiba-tiba saja menyebut Panembahan Senapati" Siapakah kau dan kau datang dari mana" Apakah hakmu untuk menghadap Panembahan Senapati?" berta"nya penjaga itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan itu wajar sekali. Dan iapun dapat mengerti sepenuhnya. Namun ia harus berusaha meyakinkan petugas itu, bahwa ia mempunyai kepentingan yang mendesak.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata, "Baikiah Ki Sanak. Aku mohon Ki Sanak dapat mempertimbangkan permohonanku kali ini, karena persoalannya memang sangat penting. Karena agaknya memang sulit untuk dapat dimengerti, bahwa aku akan menghadap Panembahan Senapati pada waktu yang tidak sepantasnya, maka aku mohon Ki Sanak dapat menyampaikan permo"honanku ini kepada perwira yang bertugas malam ini. Mudah-mudahan aku dapat berbicara dan meyakinkannya, bahwa aku memang memerlukan untuk menyampaikan satu laporan yang sangat penting."
"Pergilah dan lakukanlah satu kerja yang wajar." berkata prajurit yang bertugas itu.
"Aku mengerti sikapmu Ki Sanak." jawab Agung Se"dayu, "tetapi aku mohon kau sampaikan aku kepada perwiramu yang memimpin tugas malam ini. Aku akan berbicara dengan orang itu."
Prajurit itu termangu-mangu. Namun sebelum ia ber"kata sesuatu fcerdengar suara dari kegelapan, "Siapa orang itu?"
Prajurit itu berpaling. Dilihatnya seorang perwira yang justru sedang bertugas memimpin para prajurit malam itu berdiri tegak dalam keremangan malam.
"Orang ini akan menghadap Panembahan Senapati." jawab prajurit itu.
Perwira itu melangkah maju. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Bahkan kemudian iapun berkata, "Kau jangan mencoba untuk mengganggu tugas-tugas kami."
Agung Sedayu yang melihat kehadiran perwira itupun kemudian berkata, "Ki Sanak. Aku memerlukan bantuanmu. Sesuatu mungkin terjadi. Karena itu, beri kesempatan aku menyampaikan permohonanku. Kecuali jika Pa"nembahan Senapati memberikan waktu lain."
"Kau ini siapa?" bertanya perwira itu.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian teringat olehnya nama seorang Tumenggung yang dikenalnya. Perkenalan itu menjadi semakin akrab ketika Agung Sedayu berada di medan perang pada saat Mataram berperang melawan Pajang.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata, "Ki Sanak. Baiklah, aku mohon dapat dimengerti bahwa ada sesuatu yang penting yang harus aku sampaikan ke"pada Panembahan Senapati. Tetapi jika kalian ragu-ragu, maka aku minta tolong untuk mempertemukan aku dengan Ki Tumenggung Surayuda. Mungkin Ki Tumenggung Surayuda akan dapat mempertemukan aku dengan Ki Juru Martani yang bergelar Ki Patih Mandaraka, yang dapat membawa aku menghadap Panembahan Senapati."
"Apakah kau kenal Ki Tumenggung Surayuda?" ber"tanya perwira itu.
"Aku mengenalnya." jawab Agung Sedayu.
"Tetapi kau belum menjawab, siapakah kau?" ber"tanya pewira itu pula.
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian iapun memutuskan untuk menyebut namanya, agar Ki Tu"menggung Surayuda dapat mengenalinya.
"Mudah-mudahan ia mau menolongku, sehingga dengan demikian malam ini aku akan dapat menghadap Panembahan Senapati. Mungkin sesuatu yang dikhawatirkan itu tidak akan terjadi malam ini, tetapi jika hal itu ter"jadi, maka aku akan merasa sangat bersalah. Selain itu, sebaiknya aku kembali ke Tanah Perdikan sebelum fajar, se"hingga tidak seorangpun yang tahu, bahwa aku telah meninggalkan Tanah Perdikan malam ini, apalagi mem bawa orang yang tertawan itu." berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Namun sebelum Agung Sedayu menjawab, tiba-tiba terdengar suara seseorang tertawa sambil berkata, "Orang itu namanya Agung Sedayu."
Semua orang berpaling. Mereka melihat seseorang berjalan kearah mereka.
"Raden Rangga." desis Agung Sedayu.
Perwira yang memimpin para prajurit yang sedang ber"tugas itu pun berguman pula, "Raden Rangga."
"Apakah kalian belum mengenal Agung Sedayu" Benteng dari Tanah Perdikan Menoreh. Tanpa Agung Sedayu dan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, ayahanda belum dapat menyelesaikan persoalannya dengan pamanda Adipati Pajang pada waktu itu." berkata Raden Rangga.
Prajurit yang bertugas itu memang belum pernah men"dengar nama Agung Sedayu. Tetapi perwira yang memim"pin prajurit yang bertugas itu pernah mendengarnya mes"kipun secara pribadi ia belum mengenalnya.
Dalam pada itu, maka Raden Ranggapun berkata kepada Agung Sedayu, "Mudah-mudahan ayahanda dapat mengerti jika persoalanmu memang penting. Kau tidak perlu bertemu dengan paman Surayuda, kemudian eyang Mandaraka dan baru permohonanmu di sampaikan kepada ayahanda. Jika demikian maka baru besok, saat matahari sepenggalah, permohonanmu akan didengar oleh ayah anda. Setengah hari ayahanda mempertimbangkan, pada saat keputusan jatuh, hari telah malam lagi dan waktumu meng-hadap ditunda di keesokan harinya. Sementara itu persoalan yang akan kau laporkan telah lampau dan yang ter"jadi hanyalah penyesalan saja."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku mengucapkan terima kasih."
"Marilah. Ikut aku." ajak Raden Rangga.
Namun Agung Sedayu menjawab "Aku tidak sendiri."
"Aku sudah tahu. Kau datang dengan Kiai Jayaraga dan seorang yang belum aku kenal. Nah panggil mereka. Kita akan memasuki halaman istana." berkata Raden Rangga.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian melangkah meninggalkan rogol itu untuk memanggil Kiai Jayaraga dan seorang yang menjadi tawanannya.
Para prajurit dan bahkan perwira yang bertugas itupun termangu-mangu. Namun perwira itupun kemudian ber"tanya kepada Raden Rangga selama Agung Sedayu meninggalkan mereka. "Raden. Apakah Raden bertanggung jawab jika aku dianggap bersalah karena aku membiarkan orang itu masuk pada waktu yang tidak sepantasnya seperti ini."
"Kenapa" Kau tidak percaya kepadaku?" bertanya Raden Rangga.
"Bukan tidak percaya Raden." jawab perwira itu, "tetapi adalah tugasku untuk menjaga agar tidak terjadi sesuatu yang tidak pada tempatnya."
"Agung Sedayu adalah sahabat ayahanda sejak ayah"anda belum menyebut dirinya Panembahan Senapati." ber"kata Raden Rangga, "semua orang tahu itu. Dan akupun mendengar ceritera tentang hubungan mereka. Karena itu ayahanda tentu akan menerimanya. Agung Sedayu tentu tidak akan berbuat demikian jika persoalannya tidak benar-benar penting dan menyangkut keselamatan ayahanda. Tetapi jika kau memaksa aku untuk melarangnya, aku akan melakukannya. Namun Jika terjadi sesuatu atas ayahanda karena kelambatan Agung Sedayu, maka kaulah yang bertanggung jawab."
Perwira itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian iapun menarik nafas sambil berkata, "Semuanya terserah kepada Raden. Tetapi sekali lagi. Tanggung jawab ada pada Ra"den."
Raden Rangga tersenyum. Tetapi ia tidak berkata se"suatu lagi kepada perwira itu, sementara Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan seorang tawanan yang dibawanya telah datang kembali.
Raden Ranggapun kemudian telah membawa mereka masuk kehalaman istana. Ketika mereka mendekati gerbang istana, maka para prajurit yang bertugaspun telah melihat mereka.
Dua orang prajurit yang berjaga-jaga diregol itupun telah menyilangkan tombaknya. Namun ketika mereka me"lihat Raden Rangga maka merekapun menjadi ragu-ragu. "Raden Rangga." desis salah seorang dari kedua prajurit itu.
"Ya. Raden Rangga." sahut yang lain, "tentu akan terjadi sesuatu yang aneh dan tidak wajar."
"Belum tentu. Ia sudah baik sekarang." jawab yang pertama.
Merekapun terdiam ketika Raden Rangga sudah men"jadi semakin dekat. Bahkan sebelum ia mencapai tiga langkah dihadapan prajurit itu telah terdengar suaranya, "Jaga kuda-kuda ini. Aku akan membawanya menghadap ayahanda."
Kedua prajurit itu saling berpandangan. Namun kemu"dian seorang diantara mereka bertanya, "Apakah yang Raden maksud?"
"Ketiga orang ini akan menghadap ayahanda. Jaga kuda mereka dan tambatkan pada patok-patok disudut itu." berkata Raden Rangga.
"Kami sedang bertugas Raden." jawab prajurit itu, "karena itu kami tidak dapat meninggalkan tempat kami bertugas ini."
"Kau memang tidak dapat pergi jauh." jawab Raden Rangga, "tetapi apa salahnya jika kau pergi, kesudut itu. Hanya beberapa langkah saja. Dan kau dapat mengawasi regol itu dari tempatmu berdiri."
Kedua prajurit itu menjadi bingung. Namun dalam pada itu, perwira yang memimpin para prajurit itupun telah mendekat pula sambil berkata, "Raden, biarlah mereka melakukan tugas mereka dengan baik sebagaimana seharusnya."
Raden Rangga termangu-mangu. Namun kata"nya kemudian, "Kalau begitu kau sajalah yang mengikat kuda-kuda itu disudut."
Wajah perwira itu menjadi merah. Namun sebelum ia menjawab Agung Sedayu telah berkata, "Biarlah kami mengikat kuda kami sendiri. Kenapa mesti harus orang lain."
Raden Rangga mengerukan keningnya Lalu katanya, "Untunglah tamu kita berbaik hati kali ini.Tetapi lain kali aku tidak mau mendengar penolakan seperti itu."
Perwira itu dadanya benar-benar bagaikan hendak meledak. Namun ia tahu pasti, siapakah Raden Rangga dan apa yang dapat diperbuatnya. Meskipun anak muda itu beberapa kali menerima hukuman dari ayahandanya, tetapi seakan-akan ia tidak pernah merasa jera, sehingga ia masih saja melakukan hal-hal yang kurang wajar. Meskipun pada saat-saat terakhir, ia sudah menjadi semakin mengendap, namun yang mengendap itu pada suatu saat akan dapat teraduk kembali.
Ketika Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan orang yang dibawanya sudah selesai menambatkan kuda mereka, maka merekapun telah kembali mendekati Raden Rangga yang bersedia membantunya menghadap Panembahan Senapati.
Namun dalam pada itu, ketika perwira yang memimpin para petugas itu melihat Agung Sedayu, maka iapun telah mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia berdesis, "Agung Sedayu."
Agung Sedayu memandang perwira itu sejenak. Namun iapun kemudian telah mengangguk hormat sambil berkata, "Selamat malam."
"Kalian telah saling mengenal?" bertanya Raden Rangga.
"Ya Raden." jawab perwira itu, "Agung Sedayu berada disegala medan. Sejak Mataram mulai tegak, Agung Sedayu sudah sering berada diantara para prajurit Ma"taram."
"Nah, jika demikian, persoalannya akan menjadi lebih mudah. Kau tentu tahu, bahwa Agung Sedayu adalah saha"bat ayahanda sejak ayahanda mulai membuka hutan yang kemudian menjadi Mataram ini." berkata Raden Rangga.
"Maksud Raden?" bertanya perwira itu.
"Agung Sedayu ingin menghadap ayahanda malam ini untuk satu kepentingan yang tidak dapat ditunda." jawab Raden Rangga.
Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun ternyata iapun berkata sebagaimana dikatakan oleh perwira diregol halaman, "Tetapi Radenlah yang akan bertanggung jawab."
"Aku akan bertanggung jawab." sahut Raden Rangga. De"ngan demikian maka Raden Ranggapun telah membawa ketiga orang itu memasuki gerbang istana.
Didalam istana, keempat orang itu benar-benar telah mengejutkan para petugas. Beberapa prajurit pengawal khusus yang bertugas diistana itu telah menyongsong me"reka. Namun seperti yang lain-lain mereka selalu menjadi ragu-ragu karena diantara mereka terdapat Raden Rangga.
Raden Ranggapun ternyata akhirnya mengerti juga, bahwa para prajurit itu selalu menjadi gelisah karena sikapnya itu. Karena itu maka iapun kemudian berkata kepada perwira dari pasukan khusus yang bertugas, "Jika kalian berkeberatan, maka biarlah mereka tinggal disini. Aku akan menghadap ayahanda Panembahan Senapati dan menyam"paikan permohonan mereka untuk menghadap."
Perwira yang memimpin pasukan pengawal khusus itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Marilah Raden menemui Pelayan Dalam yang bertugas, yang barangkali dapat membawa Raden menghadap ayah"anda. Tetapi bagaimana jika ayahanda Raden sudah tidur?"
"Dengan ketukan lembut ayahanda tentu akan bangun. Soalnya mungkin akan menyangkut keselamatan ayahanda sendiri." berkata Raden Rangga, "jika tidak, orang-orang Tanah Perdikan itu tidak akan dengan tergesa-gesa menemui ayahanda."
Perwira pengawal khusus itupun kemudian membawa Raden Rangga memasuki bagian dalam istana dan menyerahkannya kepada Pelayan Dalam.
Tetapi Pelayan Dalam itu berkata, "Panembahan sudah berada didalam bilik peraduan."
"Sampaikan permohonanku menghadap." desak Raden Rangga, "atau aku sendiri yang akan mengetuk pintu."
"Raden." berkata Pelayan Dalam, "beberapa kali ayahanda Raden marah karena sikap Raden. Bagaimana jika ayahanda kali ini justru marah kepada Raden?"
"Aku bermaksud baik. Justru untuk kepentingan ayahanda." jawab Raden Rangga.
"Beberapa kali Raden melakukannya. Meskipun dengan maksud baik, tetapi jika Raden melakukannya de-ngan cara yang kurang tepat, maka Raden justru akan mendapat marah ayahanda Raden." berkata Pelayan Dalam itu.
"Bagiku, lebih baik mendapat marah daripada melihat ayahanda mengalami kesulitan." jawab Raden Rangga. Lalu, "Nah, kau atau aku yang mengetuk pintu bilik per"aduan."
Pelayan Dalam itu berada didalam kesulitan sikap. Na"mun akhirnya ia berkata, "Baiklah. Aku tahu bahwa Raden dalam keadaan seperti ini tidak akan dapat dicegah lagi. Ka"rena itu, maka biarlah aku mengetuk pintu. Tetapi Raden mendekat bersamaku."
Pelayan Dalam itupun kemudian mendekati pintu bilik Panembahan Senapati bersama Raden Rangga. Betapapun hatinya ragu, namun sambil duduk tepekur dilantai. tangannya perlahan-lahan menyentuh pintu bilik itu.
Ternyata Panembahan Senapati yang meskipun sudah berada didalam biliknya, tetapi masih belum tidur. Karena itu, ketika pintu biliknya disentuh sesuai dengan pesan sandi, maka Panembahan Senapati agaknya telah mendengarkannya.
"Apa yang terjadi?" bertanyaPanembahanSenapati didalam hatinya. Karena jika tidak ada hal yang sangat penting, maka Pelayan Dalam itu tentu tidak akan mengetuk pintunya, apalagi pintu itu telah diselaraknya dari dalam.
Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun telah bangkit dan melangkah menuju ke pintu. Perlahan-lahan Panembahan Senapati telah membuka pintu. Bagaimanapun juga ia memang harus berhati-hati.
Panembahan Senapati itu tertegun ketika ia melihat Pelayan Dalam yang telah mendapat kepercayaannya itu duduk dengan kepala tertunduk dalam-dalam disamping Raden Rangga yang juga menundukkan kepalanya.
"Apa yang penting yang telah terjadi?" bertanya Panembahan Senapati.
"Ampun Panembahan. Putera Panembahan telah minta kepada hamba untuk mohon kepada Panembahan meng"hadap." jawab Pelayan Dalam itu.
Panembahan Senapatipun kemudian memandang Raden Rangga yang masih menundukkan kepalanya.
"Ada apa Rangga?" bertanya Panembahan Senapati dengan nada dalam.
Raden Rangga mengangkat wajahnya. Kemudian kata"nya, "Ampun ayahanda. Hamba telah mengantarkan Agung Sedayu yang agaknya mempunyai kepentingan yang mendesak, sehingga ia memohon untuk dapat meng"hadap ayahanda sekarang."
"Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh?" ber"tanya Panembahan Senapati.
"Hamba ayahanda." jawab Raden Rangga.
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Ia telah menyimpan kejengkelannya kepada Raden Rangga, karena jika tidak penting sekali, maka Agung Sedayu tentu tidak akan mendesak untuk menghadap bukan pada waktunya.
Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun kemu"dian bertanya, "Dimana Agung Sedayu sekarang?"
"Ia menunggu diantara para petugas dari pasukan pengawal khusus ayahanda." jawab Raden Rangga.
"Baiklah. Aku akan menemuinya." berkata Panem"bahan Senapati, "biarlah ia menunggu sejenak."
Raden Rangga dan Pelayan Dalam itupun kemudian bergeser surut dan kemudian meninggalkan pintu bilik itu. Ketika pintu itu kemudian tertutup lagi, maka Raden Ranggapun mencibirkan bibirnya sambil berdesis, "Nah, kau lihat. Ayahanda tidak marah."
Pelayan Dalam itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil menjawab, "Kali ini Raden benar."
"Hanya kali ini?" bertanya Raden Rangga.
Pelayan Dalam itu tertawa. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Sambil kembali ketempat tugasnya ia justru berkata, "Raden sajalah yang menyampaikan pesan ayahanda Raden kepada para tamu itu."
"Ya. Aku akan menemuinya. Kau akan mendapat kesempatan untuk tidur selama ayahanda menemui tamunya." jawab Raden Rangga.
Malam itu, Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan tawanan mereka telah mendapat kesempatan untuk menghadap Panembahan Senapati. Namun kecewa sekali, bahwa Raden Rangga tidak diperkenankan untuk ikut menemuinya.
"Rangga, kembalilah ke tempat eyangmu. Jangan keluar sampai jauh malam. Eyangmu sering mencarimu." berkata Panembahan Senapati.
Raden Rangga sama sekali tidak berani membantah. Ia"pun kemudian meninggalkan istana itu dan kembali ke Mandarakan. Namun disepanjang jalan ia bergeremang, "Jika aku tidak keluar malam, maka mungkin Agung Sedayu tidak akan dapat bertemu dengan ayahanda. Ia harus berterima kasih kepadaku. Dan sekarang aku telah diusir tanpa dapat mengetahui persoalannya."
Tetapi tiba-tiba saja Raden Rangga itu tersenyum. Namun ia tidak mengucapkan apa-apa lagi.
Dalam pada itu, maka Panembahan Senapatipun telah berbicara dengan Agung Sedayu. Pembicaraan mereka menjadi bersungguh-sungguh ketika Agung Sedayu mulai menceriterakan kepentingannya datang di malam hari.
"Meskipun keempat orang itu sudah tidak utuh lagi, tetapi segala sesuatunya masih mungkin terjadi. Selain hamba ingin mengelabui agar kedua orang yang sempat melarikan diri itu serta orang yang telah mengupahnya mendapat kesan yang salah tentang usaha hamba untuk mengetahui latar belakang dari langkah-langkah keempat orang itu, maka hamba pun mencemaskan Panembahan. Mungkin orang yang mengupahnya itupun telah mengambil langkah-langkah lain yang akan dapat menimbulkan kesulitan. Karena itulah, maka hamba tergesa-gesa untuk memohon waktu menghadap." berkata Agung Sedayu.
Panembahan Senapati itupun mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih atas perhatianmu yang sangat besar atas keselamatanku, Agung Sedayu. Dalam keadaan yang demikian memang diperlukan langkah-langkah yang cepat sebagaimana kau lakukan." Panembahan Senapati berhenti sejenak, lalu, "Bagaimana dengan orang itu?"
"Untuk mempertegas berita yang hamba bawa, maka hamba telah membawa seorang diantara mereka yang telah tertangkap. Orang inilah yang telah memberikan keterangan tentang usaha seseorang atau sekelompok orang untuk mengetahui keadaan didalam istana ini. Menurut pendapat hamba, maka usaha itu tentu usaha untuk satu tujuan yang kurang baik, meskipun orang ini tidak dapat menyebutnya."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Ternyata betapa besar wibawa yang terpancar dari sorot mata Panembahan Sena"pati, sehingga orang itu telah menjadi gemetar karenanya.
Karena itulah, ketika Panembahan Senapati bertanya kepadanya, maka orang itu sama sekali tidak dapat berahasia lagi. Apa yang pernah dikatakan di Tanah Perdikan Menoreh, telah dikatakannya pula. Sehingga dengan demi"kian maka Panembahan Senapatipun telah mendapatkan gambaran yang lebih jelas dari usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan satu niat yang tidak baik, mes"kipun sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu, bahwa orang itu tidak mengatakan, apakah maksud orang yang mengupahnya untuk mengetahui keadaan didalam lingkungan istana Mataram.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata, "Panembahan. Untuk kepentingan usaha hamba mengetahui orang yang mengupah orang-orang itu, agar mereka tetap menyangka bahwa hamba dan juga Panem"bahan belum mengetahui tentang rencana mereka, maka hamba akan meninggalkan orang ini disini dengan rahasia. Hamba akan membuat kesan, bahwa orang ini telah terbunuh dalam pemeriksaan karena ia tidak mau berbicara. Seorang yang lain mati, dan dua orang lainnya telah berhasil melarikan diri."
Panembahan Senapati segera mengetahui rencana itu. Karena itu, maka iapun menjawab, "Baiklah Agung Se"dayu. Aku setuju. Selanjutnya aku berharap bahwa kau akan selalu menghubungi aku jika ada perkembangan persoalan dari kelompok yang masih belum kita kenali itu."
"Hamba Panembahan. Hamba akan berbuat apa saja untuk kebaikan Mataram dan dengan demikian juga bagi Tanah Perdikan Menoreh." jawab Agung Sedayu.
Panembahan Senapatipun telah mengucapkan sekali lagi terima kasih ketika Agung Sedayupun kemudian mohon diri untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Kau begitu tergesa-gesa." desis Panembahan Sena"pati.
"Hamba ingin melakukan rencana hamba." jawab Agung Sedayu.
"Baiklah. Aku akan berhati-hati. Meskipun terbatas, maka akupun akan memerintahkan beberapa orang kepercayaanku untuk meningkatkan pengawasan mereka atas halaman istana ini." berkata Panembahan Senapati, "aku akan menyesuaikan diri dengan recncanamu, sehingga menimbulkan kesan, bahwa aku belum tahu apa yang dila"kukan oleh orang yang mengupah kelompok kecil ini. Bukankah dengan demikian, kau bermaksud menjebaknya atau mungkin orang lain yang diupahnya untuk melanjutkan upahnya yang gagal itu?"
"Hamba Panembahan." jawab Agung Sedayu.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Agaknya keduanya dapat menyesuaikan rencana-rencana yang akan mereka lakukan masing-masing.
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga telah meninggalkan istana Mataram. Dalam gelapnya malam mereka berpacu agar mereka segera mencapai Tanah Perdikan. Mereka harus sampai dirumah sebelum fajar, agar rencana mereka selanjutnya dapat dilakukan sebaik-baiknya.
Sependapat dengan Kiai Jayaraga, maka Agung Se"dayu telah mencari tempat penyeberangan yang lain. Tempat penyeberangan yang lebih kecil untuk tidak menarik perhatian tukang-tukang satang.
Seperti ketika berangkat, maka tukang satang yang dibangunkannya telah menuntut upah yang lebih banyak dari upah yang biasa, karena mereka harus menyeberang dimalam hari.
"Dingin sekali." desis tukang-tukang satang itu.
Agung Sedayu sama sekali tidak berkeberatan. Karena itu, maka sejenak kemudian merekapun telah mencapai seberang.
Seperti pada saat mereka berangkat, maka merekapun telah menempuh jalan yang tidak banyak dilalui orang. Me"reka menyusuri jalan dipinggir hutan dan jalan-jalan sempit yang lain. Karena itu, maka sampai di pedukuhan induk, mereka sama sekali tidak bertemu dengan seorangpun.
Kehadiran mereka di rumah Ki Gede memang mengejutkan para peronda. Tetapi Agung Sedayu sudah singgah lebih dahulu ke rumahnya untuk menyimpan kudanya, dan mengajak Sekar Mirah yang sedang berjaga-jaga dkumah untuk ikut serta. Sementara itu Glagah Putih masih saja. dibiarkannya berada di gardu.
Para peronda yang belum berada di gardu saat Agung Sedayu berangkat dengan diam-diam, mempersilahkan me"reka memasuki halaman rumah Ki Gede tanpa curiga, karena mereka mengetahui kedudukan Agung Sedayu.
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nampaknya ada periu yang sangat penting." ber"tanya salah seorang peronda itu.
Agung Sedayu nampak agak gugup menjawab "Ya. Penting sekali."
Para peronda itu membiarkan saja Agung Sedayu. Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah naik kependapa dan mengetuk pintu pringgitan untuk membangunkan Ki Gede.
Sebenarnyalah bahwa Ki Gede belum lama tertidur. Iapun merasa gelisah memikirkan kepergian Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga ke Mataram. Sehingga karena itu, maka ketika ia mendengar pintu diketuk dengan tergesa-gesa pula ia bangkit. Ki Gede sudah mengira bahwa yang datang itu tentu Agung Sedayu.
Ketika ia membuka pintu dan melihat Agung Sedayu mengangguk hormat sambil tersenyum, maka Ki Gedepun menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun bertanya, "Apa"kah kau bawa juga Sekar Mirah ke Mataram?"
"Tidak Ki Gede." jawab Agung Sedayu, "tetapi aku sudah singgah lebih dahulu kerumah."
"Marilah, masuk sajalah. Kita berbicara didalam." Ki Gede mempersilahkan.
Merekapun kemudian telah masuk keruang dalam. Agung Sedayupun kemudian telah menutup pintu pring"gitan dan kemudian duduk disebuah amben yang besar.
Dengan singkat Agung Sedayu telah menceriterakan perjalanannya. Sekar Mirah yang belum sempat mendengar ceritera itu dirumah karena Agung Sedayu tergesa-gesa, telah ikut mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
Ki Gedepun kemudian mengangguk-angguk sambil ber"kata, "Syukurlah. Dengan demikian, kau telah memberikan peringatan kepada Panembahan Senapati, sehingga Panembahan Senapati akan dapat lebih berhati-hati. Tetapi lalu apakah yang akan kita lakukan?"
"Kita harus membuat kesan bahwa kita telah membunuh tawanan itu." berkata Agung Sedayu.
"Itulah yang sulit." berkata Ki Gede.
"Kita harus membuatnya sebagai satu rahasia, tetapi rahasia itu telah bocor, sehingga tentu akan tersebar luas." berkata Agung Sedayu, "mudah-mudahan benar-benar tidak ada orang yang melihat tawanan itu kami bawa ke Mataram."
Ki Gede mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Aku belum mempunyai gambaran, bagaimana kita dapat menimbulkan kesan itu."
"Ki Gede." berkata Agung Sedayu, "sepeninggal kami, Ki Gede dapat memanggil para peronda. Ki Gede dapat menjelaskan kejadian yang nampaknya harus dirahasiakan itu. Namun aku yakin, bahwa satu dua diantara mereka ada yang tidak mampu menahan rahasia itu sepenuhnya. Sementara itu Ki Gede dapat memberitahukan bahwa mayatnya telah kami kuburkan tanpa pengetahuan orang lain."
Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Aku akan mengusahakan. Mudah-mudahan kita berhasil."
"Jika kita berhasil Ki Gede, kemungkinan untuk menjebak orang yang mengupah keempat orang itu akan ber"hasil. Orang itu akan meneruskan niatnya, melakukan satu tindakan tidak baik atas Panembahan Senapati. Sementara Panembahan Senapati telah mempersiapkan diri untuk menghadapinya." berkata Agung Sedayu.
"Baiklah, kita akan berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan yang luas." berkata Ki Gede.
Dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah mohon diri. Segala sesuatunya telah diserahkannya kepada Ki Gede, sementara itu, iapun harus menimbulkan kesan yang tersebar, bahwa dua orang diantara keempat orang itu melarikan diri dan sedang yang lain telah terbunuh ditempat kejadian.
Sepeninggal Agung Sedayu, maka Ki Gedepun justru telah keluar ke pandapa. Kemudian turun ke halaman dan bahkan pergi ke gardu peronda. Para perondapun telah berkisar. Mereka merasa heran, bahwa sepeninggal Agung Sedayu, Ki Gede telah da tang ke gardu.
Yang ditanyakan Ki Gede mula-mula adalah tugas-tugas para peronda itu. Namun kemudian Ki Gedepun telah bertanya, "Apa yang dikatakan Agung Sedayu kepada kalian?"
"Agung Sedayu tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya lewat saja. Kelakuannya memang agak aneh. Ketika kami bertanya apakah ada yang sangat penting, maka iapun menjawab dengan gugup." jawab peronda itu.
Ki Gede mengangguk-angguk Katanya, "Memang telah terjadi satu kecelakaan."
"Kecelakaan?" bertanya para peronda itu.
"Ya. Kecelakaan ketika Agung Sedayu memeriksa tawanan kita yang khusus itu." jawab Ki Gede.
"Kecelakaan bagaimana?" desak salah seorang di"antara para peronda itu.
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Memang satu kecelakaan. Tetapi hal ini tidak perlu disebar luaskan."
Para peronda itu menunggu dengan tegang. Sementara Ki Gede menarik nafas dalam-dalam.
Untuk beberapa saat para peronda itu menunggu. Baru ketika mereka hampir kehilangan kesabaran, Ki Gede ber"kata, "Agung Sedayu ternyata memiliki kekuatan diluar jangkauan nalar. Ketika tawanan itu tidak mau juga berbicara, betapapun sabarnya Agung Sedayu, pada satu batas iapun dapat menjadi jengkeL Hampir diluar sadarnya Agung Sedayu mencengkam leher orang itu. Namun ter"nyata orang itu terlalu lemah. Diluar kehendak Agung Sedayu, orang itu tercekik mati."
"Mati?" beberapa orang bertanya hampir berbareng.
"Bukan salah Agung Sedayu." berkata Ki Gede, "Agung Sedayu terlalu perkasa, sementara orang itu terlalu lemah."
"Lalu, dimana mayat itu sekarang?" bertanya salah seorang dari para peronda.
"Agar tidak menimbulkan persoalan, mayat itu sudah dikuburkan. Agung Sedayu tidak ingin persoalannya berkepanjangan. Jika hal itu didengar oleh kawan-kawan orang yang terbunuh itu, atau bahkan oleh perguruannya, mung"kin persoalannya tidak akan berhenti sampai sekian. Kare"na itu, mayat itupun dengan segera dikuburkannya." jawab Ki Gede.
Para peronda itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Gedepun berkata, "Tetapi sudahlah. Jangan dikatakan ke"pada orang lain. Meskipun Agung Sedayu sendiri tidak akan gentar menghadapi siapapun, tetapi baginya lebih baik tidak ada lawan daripada harus membunuh lagi."
Para peronda itu saling berpandangan sejenak. Sedang"kan Ki Gede berkata lebih lanjut, "Aku hanya ingin mengurangi beban kegelisahan karena berita yang tiba-tiba itu. Hanya kitalah yang mengetahuinya."
Tidak ada orang yang menjawab. Sementara itu Ki Gedepun telah minta diri sambil bergumam, "Ingat. Hanya kita yang tahu. Aku akan tidur di sisa malam ini."
Ki Gedepun kemudian telah meninggalkan gardu itu. Dengan langkah yang lambat Ki Gede melintasi halaman dan naik kependapa. Sejenak kemudian maka pintu pring-gitanpun terbuka, dan Ki Gedepun kemudian telah hilang dibalik pintu.
Demikian Ki Gede hilang, maka di gardu itupun telah terjadi satu pembicaraan yang ramai. Beberapa macam tanggapan telah terdengar. Namun sebagian besar diantara mereka justru semakin mengagumi Agung Sedayu.
"Keras tangannya melampaui palu besi." desis sese"orang.
"Orang yang mencoba keras kepala terhadapnya, maka ia akan mengalami kesulitan. Mungkin Agung Se-dayu tidak sengaja membunuhnya. Tetapi sentuhan ta"ngannya memang dapat memecahkan tulang kepala."
"Tetapi seperti pesan Ki Gede, hanya kitalah yang mengetahui akan hal ini." berkata yang lain.
"Ya. Hanya kitalah yang mengetahui." jawab yang lain.
Namun ternyata bahwa yang terjadi adalah sebagaimana diharapkan oleh Ki Gede dan Agung Sedayu. Orang-orang yang ada digardu itu telah mengembangkan berita yang didengarnya, betapapun mereka berusaha un"tuk menahan diri. Anak-anak muda yang meronda dan men"dengar kisah Ki Gede, menganggap bahwa rahasia itu bukannya rahasia yang sangat berat, sehingga harus benar-benar dipertahankan. Apalagi Ki Gede sendiri telah menceriterakannya.
Meskipun demikian setiap anak muda yang mence"riterakan kepada kawannya. ia selalu berpesan, "Jangan kau katakan kepada orang lain."
Dengan demikian maka berita tentang kecelakaan yang terjadi pada saat Agung Sedayu memeriksa seorang tawanan itupun telah tersebar. Disamping itu tersebar pula berita tentang dua orang yang melarikan diri dan seorang lagi yang terbunuh ditempat kejadian oleh Glagah Putih.
Agung Sedayu yang pada satu malam berada digardu bersama Glagah Putih dan beberapa anak-anak muda menanggapi beberapa pertanyaan berkata, "Sayang sekali bahwa berita itu telah tersebar. Tetapi hal itu sudah terlanjur sehingga tidak mungkin dicabut kembali. Semua orang sudah mendengar. Dan kalian harus memperhitungkan bahwa kawan-kawan merekapun tentu telah mendengar pula. Karena itu, maka kita harus bersiaga sepenuhnya. Kemungkinan itu bukan hanya sekedar bayangan. Tetapi mungkin dapat terjadi. Namun dapat juga tidak terjadi, karena kawan-kawannya memperhitungkan kesiagaan kita. Bagi kita, lebih baik tidak terjadi sesuatu daripada harus terjadi keributan yang akan dapat memberikan kesan ketidak tenangan di Tanah Perdikan ini. Karena itulah, maka lebih baik kita menunjukkan kesiapan kita untuk menyambut setiap usaha untuk membuat kegaduhan di Tanah Perdikan ini dengan harapan bahwa orang-orang yang berniat jahat itu akan mengurungkan niatnya."
Anak-anak muda di Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata, "Baiklah. Kita akan selalu bersiaga."
"Tetapi jangan cemas." berkata Agung Sedayu, "mereka bukan orang-orang pada tingkat yang terlalu tinggi. Jika kalian bersungguh-sungguh menghadapi mereka, maka kalian tentu akan berhasil."
Sebenarnyalah, bahwa ceritera itu benar-benar telah tersebar. Dan sebagaimana diharapkan, maka berita itu telah sampai ketelinga seorang yang sangat diharapkan.
"Ampat orang yang seharusnya pergi ke Mataram telah terjerat oleh seekor kuda yang tegap dan tegar. Namun malang bagi mereka. Seorang telah terbunuh ditempat, seorang mati dalam pemeriksaan dan dua orang yang lain telah melarikan diri." desis seorang yang berjambang lebat.
"Gila." geram kawannya, "tentu orang-orang tamak itu. Mereka ternyata tidak mampu menyelesaikan tugas mereka dengan baik."
Orang berjambang lebat itu mengangguk-angguk. Na"mun wajahnya menjadi geram dan dengan nada berat ia ber"kata, "Dua orang yang melarikan diri itu tidak kembali kepada kita."
"Gila mereka." sahut kawannya, "sebagian upah yang disepakati telah mereka terima. Sementara itu kerja bukannya tidak selesai, tetapi sama sekali belum mulai dijamah."
Orang berjambang itu menggeram. Katanya, "Bagaimana jika kita menuntut kedua orang itu untuk melakukan kewajiban yang sudah disepakatinya atau mengembalikan upah yang sudah mereka terima."
"Kita hanya akan membuang-buang waktu saja. Kita dapat bekerja lebih cepat. Untung bahwa rahasia kita belum terbongkar. Agaknya orang yang tertangkap itu ada"lah orang yang sangat tabah, sehingga sampai matipun ia tidak mengatakan sesuatu." jawab kawannya.
"Bukan karena ketabahannya." berkata orang ber"jambang lebat itu, "ternyata ia sangat lemah melampaui kelinci. Ditangan para pemimpin Tanah Perdikan, tulang-tulang orang itu terlalu lunak, sehingga sekali kepalanya disentuh, maka kepalanya telah pecah, sebelum ia sempat membuka rahasia."
"Apapun yang terjadi, tetapi kita masih mempunyai kesempatan. Kita harus bekerja cepat. Kita harus tahu ten"tang istana itu serta liku-likunya. Baru kita akan memasukinya." desis kawannya, "kita harus mendapatkan orang yang dapat melakukannya, karena kita harus mem"punyai gambaran tentang sudut-sudut istana itu sebelum kita sendiri memasukinya."
Orang berjambang lebat itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita akan mulai lagi dari permulaan. Tetapi aku sependapat, bahwa kita harus melakukannya dengan cepat. Kita harus segera mendapat petunjuk ten"tang garis-garis bangunan yang ada didalam istana. Selanjutnya kita akan menyelesaikannya sendiri. Guru tentu akan dapat mengakhiri kesombongan Panembahan Sena"pati itu."
"Semua harus kita lakukan secepatnya." jawab ka"wannya, "aku mempunyai hubungan dengan kelompok yang lain, yang mempunyai pengalaman yang memadai. Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki kemampuan sebagaimana keiompok yang telah gagal itu. Mereka terdiri dari beberapa orang pencuri kenamaan, yang bahkan ada diantara mereka yang dianggap, sekali lagi hanya dianggap, mampu melenyapkan diri karena mempunyai Aji Panglimunan."
"Tetapi bagaimana sebenarnya?" bertanya orang berjambang lebat itu.
"Aku tidak tahu. Namun seandainya itu hanya sekedar anggapan, tentu bukannya tidak beralasan. Karena itu, maka mereka tentu mempunyai kelebihan." jawab kawan"nya.
"Baiklah. Aku percaya kepadamu. Tetapi sekali lagi aku menekankan pendapatmu sendiri. Kita sebaiknya be"kerja lebih cepat. Bukankah begitu?" bertanya orang ber"jambang lebat itu.
"Ya. Selagi keadaan masih memungkinkan." jawab kawannya. Lalu katanya pula, "Jika kedua orang yang melarikan diri itu pada suatu saat dapat ditangkap oleh orang-orang Tanah Perdikan atau oleh orang-orang Mata"ram, sengaja atau tidak sengaja, karena mungkin ditang"kap justru karena persoalan lain, namun merambat sampai pada suatu pengakuan tentang tugas-tugas mereka, maka kita akan kehilangan kesempatan."
Dengan demikian maka kedua orang itu telah memutuskan untuk mengupah orang lain, agar melakukan peker"jaan sebagaimana harus dilakukan oleh keempat orang yang justru telah terperosok kedalam kesulitan sehingga telah jatuh korban diantara mereka, serta kegagalan mutlak dari pekerjaan mereka itu. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa baik para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh maupun para pemimpin Mataram itu sendiri telah mengetahui bahkan menunggu kelanjutan rencana mereka.
Dalam pada itu, selagi orang-orang itu berusaha untuk meneruskan usaha mereka, maka di Tanah Perdikan Meno"reh, anak-anak muda itu bersiaga bukan saja dimalam hari, tetapi juga disiang hari. Para pengawal Tanah Perdikan berpegangan kepada pesan Agung Sedayu bahwa mereka memang harus nampak bersiaga, sehingga dengan demi"kian maka tidak akan terjadi usaha untuk membalas dendam dan kesengajaan seseorang untuk menimbulkan keributan.
Namun sementara itu, Glagah Putih yang selalu berada di tengah-tengah anak muda di Tanah Perdikan Menoreh, pada malam hari masih menyisihkan waktunya untuk menempa diri. Ia masih sering berada dipinggir sungai dan ditempat-tempat yang sepi. Glagah Putih tidak ingin terhenti pada tingkatnya itu. Jika pada kesempatan-kesempatan tertentu Kiai Jayaraga masih selalu membimbingnya, namun dimalam hari Kiai Jayaraga lebih banyak melepaskan Glagah Putih untuk menentukan sendiri tempat dan waktu-waktu latihannya.
Saat-saat yang demikian itulah yang ditunggu oleh Raden Rangga. Ia yakin bahwa pada satu malam ia akan dapat bertemu dengan Glagah Putih.
Sebenarnyalah, ketika Glagah Putih sudah siap untuk berlatih ditepian sungai sebagaimana sering dilakukannya, maka tiba-tiba saja terdengar suara di kegelapan, "Kau ter"lalu rajin Glagah Putih. Sekali-sekali beristirahatlah, agar kau tidak menjadi terlalu cepat tua."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun segera menyadari bahwa Raden Rangga telah hadir pula ditempat itu.
Karena itu, maka iapun telah menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, "Marilah Raden. Mungkin sudah agak lama kita tidak berlatih bersama."
Tetapi Raden Rangga tertawa. Katanya, "Aku tidak ingin berlatih hari ini."
"O, jika demikian, marilah. Mungkin Raden ingin berceritera tentang kuda-kuda Raden?" bertanya Glagah Putih.
"Aku tidak akan berceritera. Aku akan minta kau berceritera." jawab Raden Rangga, "beberapa malam aku tidak dapat tidur karena satu keinginan untuk mengetahui ceriteramu."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ia tidak segera mengerti maksud Raden Rangga. Namun mereka berduapun kemudian telah duduk diatas batu ditepian.
"Cerita apa yang Raden maksudkan?" bertanya Glagah Putih.
"Ceritera tentang kedatangan Agung Sedayu ke Mataram bersama Kiai Jayaraga dan seorang yang tidak aku kenal." jawab Raden Rangga.
"O" Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, "Apakah kakang Agung Sedayu tidak berceritera kepada Raden?"
"Aku tidak sempat menemuinya setelah Agung Se"dayu menghadap ayahanda." jawab Raden Rangga.
Glagah Putih termangu-mangu. Ia memang agak ragu-ragu, apakah ia dapat berceritera kepada Raden Rangga. Namur Raden Rangga kemudian mendesaknya, "Glagah Putih, aku menyadari bahwa yang disampaikan kepada ayahanda tentu sesuatu yang rahasia yang menyangkut keselamatan ayahanda. Namun justru aku ingin tahu, batas-batas yang manakah yang tidak boleh diketahui oleh orang banyak. Atau langkah-langkah yang manakah yang boleh aku lakukan atau tidak boleh aku lakukan. Beberapa kali aku sudah dianggap melakukan kesalahan karena ketidak tahuanku, atau justru aku mempunyai niat yang baik."
Sejenak Glagah Putih merenung. Namun kemudian katanya, "Raden. Aku sendiri tidak terlalu banyak mengetahui. Tetapi menurut kakang Agung Sedayu, diharapkan apakah Mataram atau Tanah Perdikan ini akan mendapat sedikit keterangan tentang usaha seseorang atau sekelompok orang untuk berbuat tidak wajar terhadap ayahanda Raden. Seorang yang telah kami tangkap telah mengungkapkan hal itu."
"Orang itu telah dibawa Agung Sedayu ke Mataram. Begitu?" bertanya Raden Rangga pula.
"Ya Raden." jawab Glagah Putih.
"Apa yang dapat aku ketahui tentang hal itu." ber"tanya Raden Rangga.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menganggap bahwa Raden Rangga adalah putera Panembahan Senapati yang perlu mengetahui serba sedikit. Tetapi ia masih juga bertanya, "Apakah Raden sama sekali tidak mengetahui tentang orang yang dibawa oleh kakang Agung Sedayu ke Mataram?"
"Serba sedikit." jawab Raden Rangga, "sepeninggal Agung Sedayu aku mendapat pesan dari ayahanda, bahwa aku harus merahasiakan kehadiran orang itu. Dan kami, orang-orang Mataram harus berbuat seolah-olah tidak mengetahui apa-apa dan membiarkan segala sesuatunya terjadi."
"Membiarkan sesuatunya terjadi bagaimana maksud Raden?" justru Glagah Putih yang bertanya.
"Jangan terlalu bodoh." sahut Raden Rangga, "bukankah kita ingin menjebak orang itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun tidak ragu-ragu lagi untuk menceriterakan tentang orang yang ditangkap itu, serta usaha Agung Sedayu untuk mengelabui orang yang mengupah mereka.
Raden Rangga mendengarkannya, dengan sungguh-sungguh. Sambil mengangguk-angguk iapun berkata, "Kau telah melengkapi keterangan ayahanda tentang orang itu. Aku mendapat gambaran yang jelas sekarang, bahwa seseorang atau sekelompok orang berniat buruk. Sementara itu kita berniat untuk menjebak mereka dan mengetahui latar belakang dari rencana mereka. Apakah mereka mendendam, atau ada hubungannya dengan perkembangan wilayah Mataram atau kepentingan-kepentingan yang lain."
"Ya, begitulah kira-kira." jawab Glagah Putih.
"Baiklah." berkata Raden Rangga, "aku harus menyesuaikan diri. Seandainya orang yang berniat buruk itu meneruskan niatnya dan mengupah orang lain untuk mengetahui keadaan istana ayahanda, maka kita harus membiarkannya. Baru kemudian jika orang yang benar-benar berniat buruk itu datang, ayahanda akan menemuinya."
Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Raden Rangga berkata, "Agaknya Agung Sedayu sudah berhasil menciptakan suasana yang dikehendaki. Seolah-olah baik Tanah Perdikan Menoreh, maupun Mataram belum mengetahuinya."
"Begitulah." sahut Glagah Putih.
Raden Rangga tersenyum. Kemudian katanya, "Baik"lah. Aku kira ceritera yang ingin aku dengar sudah cukup. Aku akan dapat tidur nyenyak malam nanti."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Raden Rangga yang memandangi wajahnya tersenyum. Katanya, "Kau tidak mau lagi tidur di bilikku atau disanggarku?"
"Kenapa tidak?" bertanya Glagah Putih, "lain kali aku akan tidur di sanggar Raden. Aku bahkan ingin dapat melakukan latihan sebagaimana Raden lakukan."
Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemu"dian iapun menggeleng, "Sudah aku katakan beberapa kali. Jangan. Kau harus merebut ilmu dengan usaha dan kerja keras. Dengan demikian maka ilmu itu benar-benar akan menjadi milikmu. Bukan sekedar mendapat pinjaman yang sewaktu-waktu akan dapat ditarik kembali."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia ber"usaha untuk meyakini keterangan Raden Rangga itu. Ka"rena itu maka katanya kemudian, "Aku mengerti Raden. Dan aku memang melakukannya."
"Bagus." berkata Raden Rangga. Lalu, "Nah, seka"rang kau tentu akan melakukannya pula. Aku kira kepentinganku sudah cukup. Kau akan mulai berlatih lagi. Tetapi ingat, meskipun kau harus merebut ilmu dengan bekerja keras, bukan hanya sekedar bermimpi, namun jangan ter"lalu memaksa diri agar kau tidak terlalu cepat tua."
"Ah" desah Glagah Putih.
Raden Rangga tertawa. Iapun kemudian bangkit. Sambil menepuk bahu Glagah Putih iapun berkata "Kau harus dapat menyamai bahkan melampaui kemampuan kakak sepupumu, Agung Sedayu. Pada umurmu sebagaimana Agung Sedayu sekarang, kau harus sudah mampu melakukan sesuatu yang lebih berarti bagi kampung halamanmu, bagi Tanah Perdikanmu dan bagi negerimu, Mataram. "
Glagah Putih mengangguk kecil. Dengan nada datar ia berkata " Aku akan berusaha. Mudah-mudahan aku dapat berbuat sesuatu. "
"Tentu " jawab Raden Rangga " kau mempunyai banyak kesempatan. Tanah Perdikan Menoreh sudah nampak semakin maju sejak Agung Sedayu berada di sini. Tetapi agaknya Kademangan Besar Sangkal Putung masih lebih baik dilihat dari segi penghasilannya. Sawahnya dan pate-galannya yang subur menghasilkan kesejahteraan yang tinggi bagi penghuni Kademangan itu. Swandaru bekerja keras untuk menjadikan Kademangannya semakin baik. "
" Letak Sangkal Putung memang lebih baik dari Tanah Perdikan ini Raden. Disamping tanah datar, daerah ini mempunyai tanah miring di lereng-lereng pegunungan serta
dataran yang berbatu padas. " jawab Glagah Putih.
" Itu adalah tantangan " jawab Raden Rangga " bagaimana kalian dapat memanfaatkan tanah miring itu. Bukankah
dibeberapa bagian dari Tanah Perdikan ini telah berhasil
dibuat ladang bersusun" Bahkan Agung Sedayu sudah
berusaha untuk menguasai air dipebukitan untuk dialirkan ke
.sawah bersusun yang baru digarap" "
" Ya. Kami memang sedang mempersiapkannya " jawab
Glagah Putih. " Kau mendapat kesempatan lebih banyak. Lakukan, agar
kau benar-benar memberikan arti bagi hidupmu. " berkata
Raden Rangga " jangan menyia-nyiakan waktumu seperti
yang aku lakukan. Aku memiliki kelebihan, tetapi tidak
memberikan keuntungan apa-apa bagi Mataram. Setiap aku
melakukan sesuatu dengan niat yang baik, aku justru
melakukan kesalahan. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia
melihat Raden Rangga menunduk sambil berdesis " Kau
mempunyai kesempatan lebih baik dari aku Glagah Putih. Dan
kau mempunyai waktu lebih banyak dari aku. "
" Tidak Raden " sahut Glagah Putih bersungguh-sungguh "
Raden masih muda. Masih sangat muda. Lebih muda dari
aku, meskipun kadang-kadang Raden bersikap seperti
seorang dewasa penuh. Waktu masih panjang. Apalagi Raden
melihat diri Raden sendiri dengan tepat, sehingga untuk masa
mendatang, Raden dapat mengambil langkah-langkah
sebagaimana Raden kehendaki. Selama ini Raden memang
banyak kehilangan waktu jika Raden menuruti keinginan
Raden yang kekanak-kanakan. "
" Itulah wajahku " jawab Raden Rangga " dan kau sudah
melihatnya dari sisi-sisinya. Pada saat aku menyadari
sepenuhnya, maka aku telah terlambat. "
" Apa yang terlambat" " bertanya Glagah Putih. Namun
tiba-tiba saja Raden Rangga mengangkat
wajahnya. Iapun kemudian tertawa sambil berkata " Ah, aku
telah bermimpi lagi. Sudahlah, aku akan kembali. Aku akan
tidur nyenyak. Besok aku akan melatih seekor kudaku yang
baru, yang nampaknya terlalu dungu meskipun tubuhnya
tegap tegar dan warnanya yang putih sangat menarik. "
" Kuda yang Raden berikan kepadaku, agaknya menjadi
kerasan di kandangku yang sebenarnya terlalu rendah bagi
kuda itu. Tetapi kuda itu sama sekali tidak nampak gelisah. "
" Bukankah kuda itu kadang-kadang kau bawa keluar juga"
" bertanya Raden Rangga.
" Ya. Sekali-sekali aku bawa keliling Tanah Perdikan
sekaligus untuk membanggakannya kepada kawan-kawan "
sahut Glagah Putih " bahkan aku telah diambil oleh orangorang
itu selagi aku menunggang kuda itu pula. "
" Bagus " berkata Raden Rangga " jangan kau simpan saja
kuda itu dikandang. Ia akan menjadi murung dan gelisah. "
" Kuda itu telah membuat anak-anak muda Tanah Perdikan
ini menjadi iri " jawab Glagah Putih.
Raden Ranggapun tertawa. Kemudian katanya " Ah
sudahlah. Aku terlibat lagi dalam pembicaraan yang panjang.
Sudah berapa kali aku minta diri" "
Glagah Putihpun tertawa pula. Jawabnya " Belum tiga kali. "
" Jangan mulai lagi dengan pembicaraan. Aku benar-benar
akan kembali. " berkata Raden Rangga.
Raden Rangga tidak menunggu jawaban. Iapun segera
meloncat meninggalkan Glagah Putih yang termangu-ma-ngu.
Namun ketika Raden Rangga itu akan meloncat naik tebing, ia
sempat berhenti dan bertanya " Dimana ikat pinggangmu" "
"Bukan salah Agung Sedayu!" berkata Ki Gede, "Agung
Sedayu terlalu perkasa, sementara orang itu terlalu lemah".
"Lalu bagaimana mayat itu sekarang?" bertanya salah
seorang dari para peronda.
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia hanya
menyingkapkan baju dan menunjuk ikat pinggang yang
dipakainya. Raden Rangga mengacungkan ibu jarinya. Namun
kemudian iapun telah meloncat naik keatas tebing dan hilang
di balik tanggul di keremangan malam.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat
sesuatu yang bergejolak didalam dada anak muda yang
memiliki banyak kelebihan itu, serta yang memiliki sikap
rangkap dan sulit untuk dimengerti.
Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian
iapun berkata didalam hatinya " Mudah-mudahan ia
menemukan jalan yang paling baik yang dapat ditempuhnya. "
Glagah Putihpun kemudian menengadahkan wajahnya
melihat bintang-bintang yang bergayutan dilangit. Agaknya
masih ada waktu baginya untuk berlatih barang sebentar.
Namun yang sebentar itu akan dapat melemaskan urat-urat
nadinya. Karena itu, maka Glagah Putihpun telah membuka bajunya
menyingsingkan kain panjangnya dan sejenak kemudian
mulailah ia berlatih diatas pasir. Dari gerak-gerak yang lambat
semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga keringatpun
telah mengalir dipermukaan kulitnya.
Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putihpun telah
melepas ikat pinggang yang diterimanya dari Ki Manda-raka.
Dengan kemampuannya yang tinggi, ia telah memutar ikat
pinggang itu dan kemudian mengayunkan mendatar, tegak
dan sekali-sekali dengan kekuatan khusus mematuk lurus
kedepan. Pada puncaknya maka Glagah Putihpun telah
mengerahkan segenap kekuatan ilmunya yang disalurkannya
lewat ikat pinggangnya itu. Dengan loncatan panjang ia
mendekat sebongkah batu padas. Diayunkannya ikat pinggang
itu. Dan sejenak kemudian maka batu padas itupun
pecah berserakan. Glagah Putihpun kemudian meloncat surut. Sambil menarik
nafas dalam-dalam iapun mengangkat kedua tangannya
perlahan-lahan. Beberapa kali untuk mengendapkan
pernafasannya. Sesaat Glagah Putihpun kemudian berdiri termangumangu.
Diamatinya batu padas yang telah pecah berserakan.
Pada saat-saat ia merenungi pecahan-pecahan batu padas
itu, terngiang kembali kata-kata Raden Rangga " Kau
mendapat kesempatan lebih banyak. Lakukan, agar kau
benar-benar memberikan arti bagi hidupmu. "
Glagah Putih itu merenung sesaat. Merenungi dirinya
sendiri. Bahkan sebuah pertanyaan telah menggelitiknya " Apa
yang telah aku lakukan bagi Tanah Perdikan Menoreh dan
bagi Mataram" "
Sekilas dikenangnya tempat kelahirannya. Banyu Asri.
Bahkan sebuah pertanyaan telah timbul pula didalam dirinya "
Kenapa aku tidak melakukannya bagi Banyu Asri"
Tetapi pertanyaan itu dijawabnya sendiri " Aku telah
melakukannya bagi Mataram dimanapun aku tinggal. Banyu
Asri atau Tanah Perdikan Menoreh adalah keluarga besar dari
induk yang sama, Mataram. Bukankah tidak ada bedanya" "
Hampir diluar sadarnya Glagah Putih menengadahkan
wajahnya. Dilihatnya bintang-bintang yang sudah bergeser
agak jauh ke Barat. Ternyata Glagah Putih telah cukup lama
berada di tepian yang sepi itu. Selain berlatih, Glagah Putih
juga berbincang dengan Raden Rangga sehingga agak
melupakan waktu. Sejenak Glagah Putih berbenah diri. Setelah mencuci
mukanya serta kaki dan tangannya, maka Glagah Putihpun
kemudian meloncat ketebing, dan naik keatas tanggul.
Udara terasa segar dimalam hari setelah keringatnya
membasahi seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan Glagah Putih
menyusuri pematang menuju kepadukuhan induk. Namun
ketika ia melihat sebuah padukuhan yang berada beberapa
puluh tonggak dari jalan yang kemudian dilaluinya, ia tertegun.
Dilihatnya obor yang menyala di gardu disudut padukuhan itu,
sehingga iapun tertarik untuk singgah barang sejenak.
Beberapa orang anak muda berada digardu itu. Ketika
mereka melihat Glagah Putih, maka dua orang hampir
berbareng menyapanya " Glagah Putih. "
Glagah Putih tersenyum. " Marilah " berkata salah seorang diantara para peronda itu
" baru saja kami mengangkat ketela pohon yang kami rebus
dengan santan. Masih hangat. "
" Kebetulan sekali " sahut Glagah Putih " tetapi apakah
kalian mempunyai minuman hangat pula" "
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Tentu " jawab salah seorang diantara mereka " we-dang
jae gula kelapa. Atau kau ingin minum beras kencur" Pakai
telur" " Glagah Putih tertawa. Jawabnya " Tidak. Jika aku mau
besok kau datang sambil menghitung harganya. "
Anak-anak muda di gardu itu tertawa.
Namun Glagah Putih ternyata tidak terlalu lama berada di
gardu itu. Ia memang meneguk wedang jae hangat segar
serta mengambil sepotong ketela rebus. Tetapi sejenak
kemudian iapun minta diri.
"Kenapa tergesa-ge'sa" " bertanya anak-anak muda di
gardu itu. " Aku akan nganglang. Aku akan singgah digardu yang lain.
Di sini aku mendapat ketela rebus dan wedang jae. Mungkin
digardu lain aku akan mendapatkan jagung bakar dan wedang
sere. Jika aku singgah di ampat atau lima gardu, maka besok
aku tidak perlu makan pagi. "
Anak-anak muda itupun tertawa pula, sementara itu
Glagah Putihpun telah meninggalkan mereka dan kembali
memasuki kegelapan. Tetapi Glagah Putih tidak singgah lagi digardu-gardu
sebagaimana dikatakan, la langsung pulang kerumah dan
tidur nyenyak. Ketika pembantu rumah itu membangunkannya
dan mengajaknya membuka pliridan Glagah Putih berdesis "
Kepalaku pening. Pergilah sendiri. "
" Kau memang malas. Sejak sore kau sudah tidur " anak itu
bergeremang. Glagah Putih tidak menghiraukannya. Anak itu memang
tidak melihat bahwa Glagah Putih pergi setelah gelap dan
belum lama kembali kedalam biliknya, karena Agung
Sedayulah yang, membuka pintu untuknya.
Namun anak itu keluar juga lewat pintu butulan untuk
mengambil wuwu dan kepis di sudut rumah. Kemudian
memasuki kegelapan menuju ke sungai.
Dalam pada itu, di Mataram, Panembahan Senapati telah
memerintahkan kepada panglima pasukan pengawal khusus
serta para pelayan dalam perintah rahasia, bahwa mereka
harus menyesuaikan diri dengan rencananya yang sudah
disetujui bersama dengan Agung Sedayu. Para pengawal
khusus dan pelayan dalam, harus berbuat seolah-olah tidak
mengetahui apabila seseorang melihat-lihat keadaan istana
itu. Mereka harus mengamatinya dari jauh dan tidak berusaha
untuk menangkap mereka " Bagaimana jika mereka menuju ke bilik peraduan
Panembahan" " bertanya seorang Pelayan Dalam. " mungkin
mereka bermaksud buruk. "
" Agaknya memang demikian. Tetapi aku akan berusaha
untuk menjaga diriku sendiri. Agaknya seseorang akan sulit
untuk memasuki bilikku."jawab Panembahan " meskipun
demikian tetapi jika kau anggap keadaan sangat berbahaya,
maka kau akan dapat mengambil langkah-langkah yang perlu.
" " Kenapa kita tidak menangkapnya saja Panembahan "
bertanya Panglima pasukan khusus " bukankah mereka akan
dapat memberikan keterangan tentang orang yang mengupah
mereka" " " Jika mereka bersedia mau untuk itu, maka kita tidak akan
sampai kesasaran " jawab Panembahan Senapati.
Panglima Pasukan Khusus itu termangu-mangu.
Sementara itu, Panembahan Senapati menjelaskan " Mungkin
kita akan lebih mudah menangkap orang yang mendapat
perintah untuk melihat-lihat keadaan yang akan menjadi
semacam petunjuk jalan bagi orang-orang yang sebenarnya.
Tetapi mereka tidak mengetahui pasti, apakah maksud orangorang
yang mengupahnya. Apalagi jika orangtorang itu
bertekad untuk tidak memberikan keterangan sampai mati
karena orang-orang yang mengupah itu mungkin
mengancamnya. Mungkin keluarganya yang dipergunakan
sebagai tanggungan, mungkin anak isterinya yang
ditinggalkan sehingga orang-orang upahan itu benar-benar
akan diam. " Panglima Pasukan Khusus itu mengangguk-angguk Namun
demikian iapun masih berkata " Tetapi Panembahan. Jika
orang yang mengupah itulah yang kemudian datang, tentu
mereka adalah orang-orang yang benar-benar tangguh
tanggon. Orang itu tentu sudah mendengar serba sedikit
tentang Panembahan Senapati. Karena itu tanpa merasa
dirinya mempunyai bekal yang memadai, maka mereka tidak
akan berani memasuki istana ini. Apalagi orang itu tentu
mengetahui bahwa disekitar Panembahan itu terdapat para
pengawal. " " Itulah yang menarik " berkata Panembahan Senapati
sambil tersenyum " aku justru digelitik oleh perasaan ingin
tahu, siapakah orang itu, sehingga aku ingin menerimanya
langsung sebagimana dikehendaki oleh orang itu. "
Panglima Pasukan Khusus itu mengangguk-angguk. Tetapi
iapun berkata dengan ragu-ragu " Kami siap melakukan
segala perintah. Langkah yang Panembahan ambil itu adalah
langkah yang sangat berbahaya. Meskipun hamba tahu
bahwa Panembahan telah memperhitungkan segala
sesuatunya serta Panembahan sendiri mempunyai perisai
yang kokoh kuat. " Panembahan Senapati tersenyum. Katanya " Terima kasih
atas kesetiaan kalian. Memang mungkin dalam keadaan yang
sulit aku memerlukan kalian. Aku sadar, bahwa orang yang
ingin memasuki istana ini tentu orang yang memiliki ilmu
linuwih. Justru karena itu aku ingin tahu latar belakang dari
langkah-langkah yang diambilnya itu "
Panglima Pasukan Khusus itupun kemudian berkata "
Hamba dan seluruh prajurit dalam Pasukan Khusus akan
melakukan perintah Panembahan sebaik-baiknya. "
" Terima kasih. Mudah-mudahan kita berhasil " sahut
Panembahan Senapati. Dengan demikian, maka pasukan yang bertugas dilingkungan
dalam istana telah menerima perintah Panembahan
Senapati. Sebagai prajurit pilihan maka perintah itu tetap
merupakan rahasia. Tidak ada orang lain, bahkan prajurit
Mataram dari kesatuan lain yang tidak bertanggung jawab
pada bagian dalam istana itupun tidak mengetahui isi perintah
itu. Karena itulah, maka sama sekali tidak nampak perubahanperubahan
dalam tata kesiagaan para prajurit dari Pasukan
Khusus dan Pelayan Dalam. Mereka melakukan tugas mereka
sebagaimana biasa mereka lakukan. Tidak ada perubahanperubahan
yang menarik perhatian meskipun sebenarnya
pasukan khusus telah menyiapkan jaring-jaring pengawasan
yang ketat. Demikian pula para Pelayan Dalam dilingkungan
dalam istana. Dalam pada itu, baik di Tanah Perdikan Menoreh, maupun
di Mataram, rahasia tentang orang-orang yang berniat buruk
itu masih tetap tertutup rapat. Orang-orang yang memang
berniat buruk itu masih tetap belum mengetahui bahwa
Mataram telah menunggu kedatangan mereka.
Karena itulah, maka orang-orang yang ingin memasuki
istana Mataram itu telah berhubungan lagi dengan kelompok
baru yang dianggapnya memiliki kemampuan yang sama,
bahkan lebih baik dari kelompok yang gagal melakukan tugas
mereka. " Kami tidak ingin kalian berbuat sesuatu " berkata orang
yang ingin mengupah itu " Kalian hanya melihat-lihat keadaan
dihalaman istana. Kalian nantinya tidak lebih dari penunjuk
jalan. Di sebelah mana kami harus meloncat masuk, dan
kesebelan mana kami harus berjalan menuju ke bilik khusus
Panembahan Senapati. Apa yang akan terjadi kelak adalah
tanggung jawab kami. "
" Bukan satu pekerjaan yang sulit bagi kami " berkata
pemimpin dari lima orang yang berada dalam satu kelompok "
kami akan segera dapat memberikan keterangan itu. Kami
sudah terbiasa memasuki rumah yang berpagar rapat. "
" Tetapi tidak berpengawal lengkap seperti istana Mataram
" berkata orang yang mengupah.
" Kami tahu, kemana kami harus menyusup. Kami akan
dapat mengetahui tempat-tempat yang tidak ditunggui oleh
prajurit-prajurit Mataram yang kami sadari memiliki ilmu yang
tinggi. Itulah sebabnya kami tidak akan mempergunakan ilmu
sirep. " berkata pemimpin kelompok orang-orang yang diupah.
" Kenapa dengan ilmu sirep" " bertanya orang yang
mengupah. " Ilmu sirep sama sekali tidak menguntungkan bagi kami
dilingkungan para prajurit Mataram. Ilmu itu justru akan
menarik perhatian. Sebagian dari para prajurit Mataram yang
bertugas disetiap malam tentu mampu menghindarkan diri dari
kekuatan sirep, sehingga mereka justru akan mencari sumber
dari ilmu sirep itu dan selebihnya mereka akan bersiaga
sepenuhnya untuk menangkap kami. "
Orang yang mengupah itu tersenyum. Katanya " Otakmu
cukup cermat mengurai keadaan. Terserah kepadamu. Kami
hanya memerlukan pengenalan tempat itu sebaik-baiknya,
sehingga pada saatnya kami tidak akan tersesat atau harus
mencari-cari Lagi, dimanakah letak bilik Panembahan
Senapati. " Tetapi bilik itu tentu dijaga " desis orang yang diupah.
" Aku tahu " jawab yang mengupah " tetapi itu persoalan
kami. i Bukan persoalanmu. Yang menjadi tugasmu adalah
mengenali bentuk dan gambaran dari bilik itu serta letak para
penjaganya. Nah, bukankah tugasmu tidak terlalu berat. Upah
kalian sebenarnya terlalu banyak. Tetapi karena kami ingin
cepat selesai, maka kami tidak berkeberatan. "
Orang-orang yang diupah itupun mengangguk-angguk.
Merekapun kemudian tidak banyak mempedulikan niat apapun
dari orang-orang yang mengupah mereka, Mereka akan
melakukan tugas mereka sebaik-baiknya tanpa ada
hubungannya dengan maksud yang sebenarnya dari orangorang
yang mengupahnya. "Aku tidak peduli apa saja yang akan mereka lakukan "
berkata pemimpin kelompok itu kepada kawan-kawannya "
yang penting bagi kita, menerima uang upahnya yang cukup
banyak. " " Tetapi sudah tentu bukan tugas yang ringan " jawab
kawannya " bahkan mereka menganggap upahnya terlalu
banyak. Padahal kita akan mempertaruhkan nyawa kita "
Kenapa kau hiraukan kata-katanya " jawab pemimpinnya " aku
tidak peduli anggapannya. Pokoknya upah itu dipenuhi.
Kawannya mengangguk-angguk kecil. Gumamnya " Ya.
Upah itu dipenuhi. "
Seperti yang terdahulu maka sebagian dari upah itupun
telah diberikan kepada kelompok yang akan melakukan
pengintaian itu, sedangkan sisanya akan diberikan jika tugas
mereka telah selesai. Dengan loncatan panjang ia mendekati sebongkah padas.
Diayunkannya ikat pinggang itu. Dan sejenak i diaymaka batu
padas itupun pecah berserakan.
Demikianlah, hari-hari yang telah dipilih oleh sekelompok
orang itupun telah datang. Mereka tidak lagi menyia-nyiakan
waktu " Jika tugas mereka cepat selesai, maka merekapun
akan segera menerima sisa upah mereka.
Tidak seperti kelompok yang terdahulu, yang terjerat oleh
tegarnya kuda Glagah Putih, maka kelompok itu telah menuju
ke Mataram tanpa hambatan. Namun seperti yang terdahulu,
mereka memasuki lingkungan Mataram dari arah Barat,
menyeberangi Kali Praga. Kemudian melalui jalan-jalan yang
semakin ramai menuju ke pusat pemerintahan tanpa menarik
perhatian. Apalagi orang-orang dalam kelompok itu tidak
berjalan bersama-sama. Tetapi mereka telah membagi diri
menjadi dua kelompok yang lebih kecil. Sekelompok terdiri
dari dua orang, sementara kelompok yang lain terdiri dari tiga
orang. Namun mereka telah menentukan tempat-tempat
dimana mereka akan bertemu.
" Aku sudah memberitahukan kepada kakang Pasak,
bahwa selama kita berada di Mataram, kita akan bermalam
dirumahnya. " berkata pemimpin kelompok itu.
Karena itu, meskipun mereka tidak bersama-sama menuju
ke Mataram, namun mereka tahu dimana mereka dapat
bertemu dan berkumpul. Bahkan mereka telah mempunyai
landasan untuk menjalankan tugas mereka selama mereka
berada di Mataram. Orang yang disebut Pasak itupun memang seorang yang
bersedia bekerja untuk kepentingan apa saja,.asal upahnya
memadai. Demikian juga dengan kelompok orang-orang yang
akan melihat-lihat keadaan istana itupun, Pasak telah bersedia
bekerja sama. " Pekerjaan kalian adalah pekerjaan yang sangat mudah "
berkata Pasak. " Ternyata kau beranggapan sebagaimana anggapan
orang-orang yang mengupah kami. Memasuki halaman istana,
melihat-lihat, lalu selesai. Mereka dan juga kau tidak
memperhitungkan taruhannya jika seorang atau lebih penjaga
yang cukup banyak itu melihat kami. "
" Jangan dungu " berkata Pasak " suruh mereka tidur.
" Nah, bukankah jalan pikiranmu tepat seperti jalan
pikiran orang-orang yang mengupah kami " jawab
pemimpin kelompok itu " kaupun dungu seperti mereka. Sirep
akan cepat menarik perhatian, karena kemampuan ilmu sirep
yang betapapun tajamnya tidak akan mampu menguasai para
perwira di Mataram Yang tidur akan tidur. Tetapi yang tidak
tidur akan segera tahu. bahwa istana itu telah disentuh oleh
ilmu sirep. Dengan demikian mereka akan menjadi lebih
berhati-hati dan pengawasanpun akan diperketat. "
Pasak tertawa. Katanya " Ya. Aku mengerti. Kalian ternyata
cukup cerdas. Jadi dengan demikian maka kalian akan
memasuki lingkungan istana dengan wantah. "
" Ya. Justru itulah maka tugas kami bukan tugas yang
mudah seperti yang kau katakan. " jawab pemimpin kelompok
itu. " Kapan kau akan melakukannya" " bertanya Pasak. " Dua
hari lagi. Malam ini dan besok siang kami akan melihat-lihat
keadaan di sekeliling istana. Sudah beberapa kali kami
melihat istana itu. Tetapi kami belum pernah
memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Disore hari
kami akan mencoba untuk masuk kedalam istana itu. "
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Besok sore" " bertanya Pasak " maksudmu malam hari" Pemimpin kelompok itu tertawa. Katanya " Seorang
kawanku bekerja didalam istana itu. Ia adalah seorang undagi.
Aku akan menemuinya tanpa menyeretnya kedalam tugas ini.
" Ia bekerja didalam lingkungan istana" " bertanya Pasak.
" Ya. Ia memang undagi yang bekerja diistana. Ia memiliki
kepandaian dan ketrampilan yang tinggi untuk mengolah kayu.
Ia mendapat kepercayaan bersama dua orang kawannya
untuk memelihara bagian belakang istana. Aku hampir
melupakannya sebelumnya Tetapi tugas ini telah
mengingatkan aku kembali kepadanya. " berkata pemimpin
kelompok itu. Pasak mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah. Mudahmudahan
kau berhasil. Tetapi jika kau berada dirumahku lebih
dari lima malam, maka kau tentu mengerti, bahwa uang yang
kau janjikan harus ditambah. "
" Persetan kau " geram pemimpin kelompok itu. Pasak
tertawa. Katanya " Kau kira kehadiran kalian
bukan merupakan bencana bagi ketenangan hidup
keluargaku" " Aku mengerti " jawab pemimpin kelompok itu " karena itu,
kami sudah memberikan bagian dari upah yang kami terima
kepadamu. Tetapi tentu dengan pertimbangan bahwa bahaya
yang mungkin kau hadapi bukan, apa-apa dibandingkan
dengan bahaya yang mungkin akan kami tempuh. Kami harus
mempertaruhkan nyawa kami. Tetapi tidak dengan kau. "
Pasak masih tertawa. Katanya " Tetapi jika diketahui bahwa
aku membantu kalian, maka bahaya itu tidak akan berbeda. "
Tetapi pemimpin kelompok itu tertawa. Katanya " Jangan
mencoba mengelabuhi kami. Kau tentu akan dapat ingkar,
karena kau tidak ikut berbuat sesuatu. Tetapi tentu tidak
mungkin kami lakukan, seandainya kami diketahui langsung
pada saat kami sedang melakukan tugas kami dan berada
didalam halaman istana. "
Pasak menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Baiklah. Apa
saja yang kau katakan. Tetapi jangan lebih dari lima malam.
Semakin lama kau berada dirumahku, maka ketenangan
keluargaku semakin terancam. "" Baik Aku setuju. Jika aku berada dirumahmu lebih dari
lima malam, aku akan menambah uang sebagaimana kita
bicarakan. Tetapi jika kurang dari ampat malam, maka jumlah
itupun akan dikurangi. "
" Ah " desak Pasak " jangan begitu. Yang kita bicarakan
hanya jika lebih dari waktu yang sudah ditentukan. Jika
kurang, maka kau akan dapat menggenapinya. "
Pemimpin kelompok itulah yang kemudian tertawa sambil
berkata " Jangan memeras Pasak. Kita sudah sering bekerja
bersama. " Pasak termangu-mangu. Namun iapun kemudian tertawa
juga. Demikianlah maka rumah Pasak itupun telah menjadi alas
kelima orang yang mendapat upah untuk mengamati keadaan
di lingkungan istana Mataram. Dari rumah itulah kelima orang
itu akan melakukan tugas mereka.
Seperti yang direncanakan, maka kelompok itupun telah
melakukan pekerjaan mereka dalam tahap-tahap
sebagaimana mereka rencanakan.
Ketika malam turun, maka kelima orang itupun telah
bersiap-siap untuk melihat-lihat di bagian luar dinding istana.
Mereka akan memperhatikan setiap tempat dan gardu
penjagaan. Justru karena keadaan Mataram yang tenang itulah, maka
kelima orang itu dapat melakukan tugasnya dengan baik.
Ketika mereka seorang-seorang berjalan di sekitar dinding
istana, tidak seorangpun yang mencurigainya.
Demikian juga dihari berikutnya. Apalagi disiang hari.
Pedang Langit Dan Golok Naga 6 Amanat Marga Karya Khu Lung Raja Alam Sihir 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama