09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 25
Orang-orang yang menyaksikan bagaikan telah membeku. Glagah Putih benar-benar telah menjadi seorang anak muda yang berilmu tinggi. Bahkan rasa-rasanya sepeninggal Raden Rangga, maka Glagah Putih seakan-akan telah menjadi perwujudannya dalam tataran ilmunya. Seakan-akan apa yang pernah dilakukan oleh Raden Rangga akan dapat pula dilakukan oleh Glagah Putih.
Namun Agung Sedayu terutama masih tetap melihat, bahwa Glagah Putih masih tetap pada kepribadiannya sen"diri. Ia masih tetap Glagah Putih sebagaimana ia berangkat dahulu, namun Glagah Putih yang berilmu sangat tinggi.
Tetapi Agung Sedayu memang berdoa di dalam hati, agar anak itu kemudian tidak berubah justru setelah ia merasa memiliki ilmu yang jarang ada bandingannya.
Glagah Putih masih memperlihatkan kemampuan ilmu"nya untuk beberapa lama Namun kemudian iapun mulai menyusutnya, sehingga akhirnya Glagah Putih telah menghentikannya. Ia berdiri tegak sambil mengatupkan tangan"nya di dada. Kemudian tangannya itupun turun perlahan-lahan sehingga kemudian kedua tangannya itu tergantung disisi tubuhnya.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan ia melangkah menghadap Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu. Sementara Sabungsari dan Sekar Mirah pun telah mendekat pula.
"Luar biasa." desis Kiai Gringsing, "kau telah men"dapat satu kesempatan yang jarang, atau barangkali tidak pernah didapatkan oleh siapapun juga kecuali Raden Rang"ga. Meskipun mungkin cara yang kau tempuh berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Raden Rangga itu sendiri. Barangkali ilmu yang kau miliki sekarang memang masih terpaut beberapa lapis dengan Raden Rangga, na"mun apa yang kau miliki itu tentu sangat mengejutkan bagi kami semuanya."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Kiai. Dahulu pada saat aku menjalani laku atas petunjuk Raden Rangga berendam di sebuah belumbang, kemudian justru setelah aku berusaha untuk membantu Ra"den Rangga yang mengalami kesulitan di dalam dirinya, dan yang ternyata telah meyakinkan Raden Rangga bahwa aku dapat melakukan lebih jauh daripada sekedar mengalir"kan udara panas kedalam tubuhnya, kemudian beberapa cara dan tata laku serta yang terakhir menjelang saat terakhirnya, agaknya Raden Rangga memang tidak memberikan unsur-unsur baru pada ilmuku, selain dukungan yang dapat mempertajam dan meningkatkan apa yang telah ada di dalam diriku. Memang mungkin dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang aku warisi dari kakang Agung Sedayu dan Ki Jayaraga terdapat unsur-unsur yang baru, namun itu adalah hasil perkembangan kedua ilmu itu sendiri yang atas petunjuk dan pertolongan kakang dan Ki Jayaraga telah luluh di dalam diriku, mes"kipun aku masih dapat mengurai dan mengungkapkannya secara terpisah."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Glagah Putih, yang kami khawatirkan adalah, apabila terdapat perkembangan yang tidak menguntungkan di dalam dirimu jika yang kau terima dari Raden Rangga di saat terakhir itu adalah satu ujud ilmu yang akan dapat bertentangan atau berbenturan watak dan sifatnya dengan ilmu yang sudah ada didalam dirimu. Namun ternyata melihat perkembangan ilmu itu di dalam dirimu, baik di dalam sanggar, maupun di tempat terbuka ini, kau tidak mengalami gangguan dari benturan kekuatan yang ada di dalam dirimu. Yang ada justru landasan yang mendukung ilmu yang telah ada di dalam dirimu dan mendorongnya ke peningkatan yang jauh. Meskipun kau mampu melontarkan kekuatan ilmu dengan sasaran berjarak, namun yang terlontar itu adalah ujud dari ilmu yang pernah kau terima baik dari Agung Sedayu maupun dari Ki Jayaraga, sehingga kau dapat menghancurkan sasaran sampai lumat, namun kau juga mampu membakarnya dan memutarnya dengan dahsyat sebagaimana angin pusaran, aku yakin, bahwa setelah kau sendiri mengenali ilmu di dalam dirimu, maka perkem"bangan dan peningkatan masih dapat berlangsung terus. Beberapa unsur baru di dalam ilmumu akan melengkapinya sehingga apa yang kau miliki itu akan menjadi semakin lengkap. Bahkan mungkin kau akan melakukan pembaharuan atas unsur-unsur yang kau anggap kurang mendukung perkembangan selanjutnya. Tidak ada yang berkeberatan jika kemudian ilmu yang kau warisi itu diungkapkan dalam ujud yang agak berbeda karena kau telah melakukan pembaharuan. Namun yang penting adalah watak ilmu itu sen"diri jangan berubah."
Glaga Putih mengangguk-angguk. Dengan kepala tunduk ia menjawab, "Aku akan selalu mengingatnya Kiai."
"Bukan hanya sekedar mengingat." berkata Ki Jaya"raga, "tetapi tercermin pada tingkah lakumu serta pengetrapan ilmumu jika kau terpaksa mempergunakan kekerasan untuk mengatasi satu persoalan. Glagah Putih, barangkali aku dapat berterus terang kepadamu. Selama ini aku memang telah pernah mempunyai beberapa orang murid. Tetapi aku adalah orang yang paling malang di antara mereka yang memilih muridnya. Aku selalu gagal, sehingga akhirnya aku melihat kemungkinan yang lain pada diriku. Aku telah menyatakan ingin ikut serta mengasuhmu dalam pewarisan ilmu. Seandainya aku memang seorang yang tidak mampu menuntun jalan ke arah kebaikan, maka biarlah hal itu dilakukan oleh kakak sepupumu, sementara aku menompang agar ilmuku tidak punah bersama hancurnya jasadku kelak. Karena itu maka aku telah menitipkan harapan itu. Semoga kali ini aku tidak mengalami kegagalan sebagaimana pernah terjadi sebelumnya."
Glagah Putih mengangguk kecil. Dengan demikian ia merasa bahwa bebannya menjadi semakin berat. Ia tidak boleh mengecewakan orang tua itu lagi, sebagaimana ia per"nah mengalami kekecewaan tidak hanya satu kali, karena olah murid-muridnya.
Sementara itu Agung Sedayupun berkata, "Glagah Putih. Ilmu yang kau capai adalah beban tanggung jawab yang sangat berat bagimu. Kau harus mempertanyakan ke"pada dirimu sendiri, setelah kau memiliki ilmu yang tinggi, apa yang akan kau lakukan" Apakah ilmu itu hanya akan berarti bagi dirimu sendiri, atau akan memberikan arti pula bagi orang lain. Sedangkan bagimu sendiri, banyak kemungkinan dapat terjadi. Seseorang yang menerima kurnia dari Yang Maha Agung, kadang-kadang justru berakibat tidak sebagaimana seharusnya. Karunia yang tidak disukuri dengan hati yang tulus akan merubah pribadi seseorang dan bahkan akan dapat menjadi sumber malapetaka bagi dirinya. Bukan malapetaka lahiriah, tetapi bagi batin dan jiwanya, karena seseorang akan dapat lupa pada sangkan paraning dumadi."
Glagah Putih semakin menunduk. Ia mendengar petunjuk-petunjuk itu dengan hati yang terbuka. Bahkan ia telah berjanji didalam hatinya, bahwa ia akan melakukannya dengan sungguh-sungguh, sejauh dapat diperbuatnya.
Meskipun demikian Glagah Putih menyadari bahwa ia tidak lebih dari seseorang yang lain. Seseorang yang dapat menjadi khilaf, lupa dan dibayangi oleh nafsu. Karena itu maka katanya, "Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, kakang Agung Sedayu, bahkan mbok ayu Sekar Mirah dan Sabung"sari. Aku adalah manusia kebanyakan yang mempunyai sifat-sifat sebagaimana manusia yang lain. Sifat yang baik dan yang buruk. Karena itu, aku mohon, jika aku mulai memasuki jalan sesat, tolonglah aku. Beri aku peringatan, jika perlu peringatan yang keras. Karena aku yakin, betapa pencapaian yang cepat pada tataran yang tinggi ini, namun masih belum dapat disejajarkan dengan ketinggian ilmu Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan kakang Agung Sedayu."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Seumurmu Glagah Putih, ilmu yang kau capai itu sudah terlalu tinggi. Jauh melampaui batas kemungkinan yang dapat dicapai oleh siapapun juga kecuali Raden Rangga. Yang kau miliki mungkin masih belum dapat kau sejajarkan dengan ilmu kami yang tua-tua dan kakangmu Agung Sedayu. Tetapi perkembangan didalam dirimu terlalu cepat. Jika orang lain memerlukan waktu setahun untuk mempelajari satu jenis perkembangan ilmunya maka kau akan dapat menyelesaikannya dalam waktu kurang dari separonya. Ka"rena itu, maka perkembanganmu untuk selanjutnyapun akan berlangsung terlalu cepat pula." Kiai Gringsing ber"henti sejenak, lalu, "Syukurilah kurnia ini dengan sepenuh kepercayaan dan keyakinanmu. Dengan demikian kau akan tetap berada di jalan yang menuju kepada-Nya."
Glagah Putih mengangguk dalam-dalam. Katanya, "Aku berjanji. Mudah-mudahan benda yang diberikan oleh Raden Rangga akan dapat menjadi alat untuk selalu memperingatkan aku jika aku terjerumus kedalam bayangan perasaan semata-mata sebagaimana sering dilakukan oleh Raden Rangga pada salah satu wajah dunianya."
"Benda apa?" bertanya Kiai Gringsing.
Glagah Putih kemudian telah mengeluarkan sesobek kain berwarna putih.
"Kain apakah itu?" bertanya Ki Jayaraga.
"Kain ini diberikan oleh Raden Rangga kepadaku." jawab Glagah Putih.
"Kau sangka kain itu akan berarti bagimu?" ber"tanya Agung Sedayu.
"Sudah aku katakan kakang, kain ini mudah-mudahan akan dapat selalu mengingatkan aku kepada Raden Rangga serta tingkah lakunya. Hanya itu. Tidak ada arti apa-apa yang lain yang berhubungan dengan ilmuku." jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya dengan nada datar, "Syukurlah jika kau tidak terjerat kepada anggapan yang lain atas kain yang telah diberikan oleh Raden Rangga itu. Memang ada baiknya jika kau sempat selalu mengingat akan tingkah laku Raden Rangga. Kau dapat mengurainya dan menilai, yang mana yang baik kau lakukan dan yang mana yang tidak perlu kau tirukan. Kau harus selalu menyadari langkah-langkahmu agar kau tidak mudah menjadi sesat. Memang kami akan dapat memberi peringatan kepadamu. Namun jika seseorang sudah terlanjur terperosok kedalam genggaman nafsu iblis, maka akan sulitlah bagi kami untuk merebutkan kembali. Karena itu, pertahanan yang paling kuat adalah pada kesadaran dirimu sendiri, bahwa kau adalah seseorang yang telah dipilih oleh Sumber Hidupmu untuk mendapatkan kurnianya yang lebih dari orang lain. Dan itu akan mengandung pe-ngertian bahwa didepan, jalanmu bersimpang. Baik dan buruk. Jalan yang menuju kepada-Nya dan yang lain menuju kekegelapan abadi, yang penuh dengan tangis dan gemeretak gigi."
Glagah Putih menjadi semakin menunduk. Agaknya orang-orang tua dan kakak sepupunya telah mempergunakan kesempatan itu pula untuk mengimbangi perkem"bangan ilmunya dengan mekarnya jiwa. Dan agaknya Glagah Putih yang memasuki dewasa itu dapat menangkapnya.
"Baiklah." berkata Kiai Gringsing kemudian, "tugas kami sebagian besar telah selesai. Marilah, kita kembali. Kita akan mendapat lebih banyak kesempatan untuk merenungi keadaanmu. Namun yang dapat kita simpulkan, bahwa kau tidak mengalami kesulitan dan gangguan di dalam dirimu, setelah kau menerima arus getar tubuh Raden Rangga disaat terakhir tanpa keterangan dan penje"lasan apapun."
Dengan demikian maka merekapun kemudian telah bersiap-siap untuk kembali. Ternyata waktu berjalan tanpa mereka sadari, sebagaimana saat mereka berada di dalam sanggar. Ketika mereka teringat akan waktu, maka ter"nyata matahari telah turun ke balik pebukitan.
Sejenak kemudian, maka beberapa ekor kuda telah berpacu menuju kepadukuhan induk. Ketika mereka memasuki regol halaman, maka hari memang sudah menjadi gelap.
Sementara pembantu dirumah Agung Sedayu mema-nasi masakan dan merebus air, sedangkan yang lain membenahi diri dan mandi di pakiwan. Agung Sedayu sempat mengembalikan seekor kuda yang dipinjamnya dari Ki Gede sambil memberikan laporan singkat tentang usahanya untuk menilik keadaan Glagah Putih.
"Syukurlah." berkata Ki Gede, "mudah-mudahan ia tetap sebagaimana kau nasehatkan."
Namun Agung Sedayu tidak dapat berbicara panjang dengan Ki Gede, karena iapun harus segera kembali kerumahnya untuk menemani tamu-tamunya makan. Malam itu semuanya dapat beristirahat dengan tenang. Glagah Putih memang menjadi sangat letih. Karena itu, maka ketika ia membaringkan dirinya di biliknya, iapun menjadi cepat tertidur.
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu tidak lagi mencemaskan perkembangan ilmu didalam diri Glagah Putih. Namun yang mereka perhatikan justru perkem"bangan jiwa anak yang masih sangat muda namun telah memiliki ilmu yang tinggi itu.
"Pegangan utama bagi Glagah Putih adalah bahwa ia bersandar sepenuhnya kepada kuasa Yang Maha Agung." berkata Agung Sedayu, "semoga kita yang membimbingnya akan dapat selalu mempertahankannya."
Yang lain mengangguk-angguk. Untuk sementara me"reka memang tidak perlu mencemaskan pribadi anak muda itu. Tetapi bukan berarti bahwa Glagah Putih tidak perlu lagi diamati. Meskipun ia memang sudah menginjak usia dewasa, dimana segala tanggung jawab tentang dirinya sendiri dalam hubungan antara baik dan buruk sepenuhnya sudah dibebankan kepadanya.
Malam ini, pembantu rumah Agung Sedayu tidak berhasil mengajak Glagah Putih turun kesungai. Karena itu, maka anak itu menjadi semakin jengkel. Namun ia tidak berani mengetuk pintu atau dinding bilik Glagah Putih ka"rena Glagah Putih berada disatu bilik di gandok bersama Sabungsari.
"Licik." geram anak itu, "ia berlindung pada tamunya, agar aku tidak membangunkannya, karena dengan demikian aku akan mengganggu tamunya itu."
Pagi-pagi benar, disaat matahari masih belum nampak melontarkan cahayanya dilangit, Glagah Putih telah bangun. Sambil tersenyum ia mendekati anak yang berjongkok di plataran sumur sambil membersihkan ikan yang didapatinya semalam.
"Kau hanya mendapat sedikit malam ini?" bertanya Glagah Putih.
"Sedikit atau banyak, apa pedulimu?" anak itu ganti bertanya.
Glagah Putih tertawa. Sambil menepuk bahunya ia ber"kata, "Jangan lekas marah. Kau akan menjadi cepat tua. Meskipun kau lebih muda dari aku, tahu-tahu rambutmu menjadi ubanan diatas bibirmu tumbuh kumismu yang putih."
"Apa pula pedulimu?" bentak anak itu.
Glagah Putih tertawa semakin keras. Tetapi iapun kemudian telah memegang senggot timba dan menimba air untuk mengisi jambangan di pakiwan.
Hari itu Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Se"dayu telah menghentikan pengamatannya atas Glagah Putih. Namun Glagah Putih sendirilah yang masih belum puas pada dirinya sendiri. Ia masih ingin meyakinkan diri, pada tahap-tahap ilmu yang dikuasainya, sehingga ia akan dapat mengendalikan diri dengan baik, agar ia tidak terdorong berbuat sesuatu dan bahkan menumbuhkan akibat yang gawat pada orang lain. Dengan mengerti sepenuhnya serta menguasai tenaga dan kemampuan yang ada didalam dirinya, maka ia tidak akan menjadi orang yang berbahaya bagi orang lain, justru tidak atas kehendaknya sendiri.
Untuk itu maka Glagah Putih telah mendapat persetujuan oleh Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu untuk pergi sendiri, tanpa mereka. Namun agaknya Sa"bungsari yang juga ingin melihat-lihat keadaan Tanah Per"dikan Menoreh, telah mengikutinya pula.
"Marilah." berkata Glagah Putih, "kita melihat-lihat hutan dan lereng-lereng perbukitan di Tanah Perdikan ini."
Demikianlah, maka kedua orang itu telah terpacu menyusuri jalan-jalan bulak dan padukuhan. Beberapa orang yang sudah lama tidak melihat Glagah Putih telah menyapanya dengan ramah. Bahkan kadang-kadang Glagah Putih terpaksa berhenti diantara sekelompok anak muda yang menghentikannya.
"Kemarin aku melihat kau berkuda bersama dengan Agung Sedayu dan beberapa orang tua, bahkan Nyi Sekar Mirahpun ikut pula bersama kalian" Aku kira kau akan pergi jauh lagi." bertanya seseorang.
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Aku hanya akan melihat-lihat saja. Rasa-rasanya sudah rindu untuk memandangi batu-batu putih di lereng pebukitan dan hutan-hutan lebat yang membujur panjang itu."
Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih dan Sa"bungsari telah melingkari hutan melewati jalan setapak, se"hingga kuda mereka maju dengan berhati-hati sekali, se"hingga akhirnya mereka sampai di kaki pebukitan.
"Lakukanlah." berkata Sabungsari, "aku senang melihatmu bermain-main dengan ilmumu. Mungkin akan berarti bagiku. Jika aku sekali-sekali mendapat kesempatan menyempurnakan ilmuku, maka apa yang aku lihat padamu, akan dapat menjadi ramuan yang baik bagi ilmuku. Namun agaknya kau lebih beruntung bahwa kau masih mempunyai tempat untuk bertanya, berbincarig dan yang dengan penuh minat memperhatikan perkembangan ilmu"mu. Sementara itu sudah sejak lama aku harus bekerja sen-diri."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Lalu kata"nya, "Kita dapat selalu bekerja bersama."
Tetapi Sabungsari tersenyum sambil menggeleng, "Tugasku di Jati Anom, Glagah Putih. Jaraknya terlalu jauh. Kecuali jika kau setiap kali mengunjungi ayahmu di Jati Anom."
Glagah Putihpun mencoba untuk tersenyum. Namun ia melihat keprihatinan dihati Sabungsari yang harus bekerja sendiri bagi peningkatan ilmunya. Meskipun demikian, ter"nyata bahwa Sabungsari tidak pernah berhenti berusaha. Sehingga karena ketekunannya, maka ilmunyapun selalu meningkat, meskipun tidak dapat maju dengan pesat seba"gaimana Glagah Putih.
Sejenak kemudian maka Glagah Putihpun telah bersiap. Yang akan dilakukan kemudian adalah meneliti bagi kepentingannya sendiri. Glagah Putih ingin melihat tataran-tataran kemampuannya dan menguasainya dengan baik, sehingga Glagah Putih akan dapat mengatur tingkat kemampuannya pada kepentingan tertentu.
Karena itu, maka berbeda dari yang dilakukan sebelumnya. Glagah Putih setiap kali mengulang unsur gerak ter"tentu dengan takaran pelepasan tenaga dan kemampuan tertentu pula. Beberapa kali dilakukan sehingga ia yakin akan setiap tataran dari ilmu yang ada di dalam dirinya.
Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih sendiri tidak menduga, bahwa ia tiba-tiba saja berdiri pada satu tataran yang tinggi dari ilmu yang sudah dimilikinya. Semuanya seakan-akan telah mendapat landasan yang lebih tinggi dan ke"mampuan yang jauh lebih besar dari apa yang pernah dimiliki sebelumnya.
Glagah Putih memang berterima kasih kepada Raden Rangga, bahwa sampai hari-hari dan bahkan saat-saat terakhirnya, ia masih sempat memberikan petunjuk bahkan secara langsung mengalirkan getaran yang berpengaruh pada kemampuan diri.
Dengan sungguh-sungguh Sabungsari memperhatikan setiap gerak Glagah Putih. Memang yang dilakukan oleh Glagah Putih itu pada beberapa bagiannya dapat memberikan kemungkinan untuk meningkatkan ilmu yang ada di dalam dirinya. Karena itu, maka Sabungsaripun menjadi telaten untuk menyaksikan bagaimana Glagah Putih membuat ukuran-ukuran atas kemampuannya sendiri.
Bahkan dalam cengkaman perhatian yang sangat besar, kadang-kadang Sabungsari telah bergerak pula. Sekali-kali ia menirukan apa yang dilakukan oleh Glagah Putih. Namun ia sadar sepenuhnya, bahwa ia tidak boleh sekedar menirukan saja, karena didalam dirinya telah tersimpan il"mu dari cabang perguruannya. Karena itu, maka segala sesuatunya tentu harus disesuaikan dan harus berada di dalam bingkai sifat dan watak ilmunya sendiri.
Hampir diluar sadarnya, maka Sabungsari ternyata juga telah melakukan gerak-gerak tertentu. Sekali-kali ia berhenti mematung mengamati Glagah Putih. Kemudian tangannya mulai bergerak-gerak. Bahkan kakinya. Namun kemudian iapun telah berdiri lagi bagaikan membeku.
Ketika matahari terasa semakin terik setelah melampaui puncak langit, maka keduanya telah duduk dibawah sebatang pohon preh yang besar. Sebuah mata air yang jernih meskpun hanya kecil saja, memberikan kesempatan keduanya untuk minum beberapa teguk.
Tetapi keduanya tidak meneruskan pengamatan me"reka terhadap ilmu Glagah Putih. Glagah Putih sendiri sudah mendapat takaran yang lebih mantap tentang tingkat-tingkat ilmu yang ada di dalam dirinya. Karena itu, merekapun telah bersiap-siap untuk me-ninggalkan tempat itu.
Namun tiba-tiba saja keduanya terkejut ketika mereka melihat dua orang yang tiba-tiba saja muncul dilereng pebukitan. Mereka datang dari arah hutan yang lebat di kaki pebukitan itu. Sabungsari dan Glagah Putih termangu-mangu se"jenak, Namun karena mereka berada di tlatah Tanah Perdikan Menoreh, maka Glagah Putih merasa mempunyai kewajiban untuk bertanya kepada mereka.
Tetapi sebelum Glagah Putih bertanya, justru salah seorang diantara merekalah yang bertanya, "Siapakah kau berdua?"
Sabungsari memandang Glagah Putih sekilas. Karena Glagah Putih yang lebih akrab hubungan dengan Tanah Perdikan, maka memang sepantasnya Glagah Putih yang menjawab, meskipun ia lebih tua daripadanya.
"Ki Sanak." berkata Glagah Putih kemudian, "seharusnya, kamilah yang bertanya kepada Ki Sanak, karena kami adalah orang-orang Tanah Perdikan ini."
"O." Orang itu mengangguk-angguk, "jadi kalian adalah orang-orang Tanah Perdikan ini" Lalu apa kerjamu di sini?"
"Kami mendapat tugas untuk melihat-lihat hutan di lereng pebukitan ini. Mungkin hutan disini perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh karena tiba-tiba saja menjadi jarang. Kami mendapat tugas untuk melihat sebab-sebabnya."
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Sejenak mereka memperhatikan dua ekor kuda yang terikat pada sebatang pohon perdu. Namun kemudian seorang di antaranya ber"kata, "Tanah Perdikan ini memang Tanah Perdikan yang besar. Namun agaknya pemimpin Tanah Perdikan ini adalah seorang yang lemah."
"Kenapa?" bertanya Glagah Putih.
"Kenapa pemimpin Tanah Perdikan ini membiarkan Mataram membuat kubu-kubu kekuatan di Tanah Perdikan ini?" berkata salah saorang dari keduanya.
"Maksud Ki Sanak?" bertanya Glagah Putih.
"Bukankah ada sepasukan prajurit yang justru adalah pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan ini?" ber"tanya orang itu.
"Ya." jawab Glagah Putih, "hal itu sama sekali bukan rahasia. Disini ada barak pasukan khusus dari Mataram."
"Nah, kau tahu apa artinya itu?" bertanya orang itu.
Glagab Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi itukah yang kau maksud dengan kubu-kubu pertahanan Mataram?"
"Ya. Bukankah pasukan itu selalu dapat mengawasi pemerintahan para pemimpin Tanah Perdikan ini" Kapan saja dianggap menentang Mataram, maka pasukan khusus itu tentu akan bertindak." berkata salah seorang dari ke"duanya.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "kenapa kau mengambil kesimpulan seperti itu Ki Sanak. Kesimpulan yang agaknya tidak mapan sama sekali."
Kedua orang itu memandang Glagah Putih dengan kerut di dahi. Mereka memang bertanya kepada diri sendiri, kenapa yang menjawab pertanyaan mereka justru anak yang lebih muda. Karena itu, maka seorang diantara mereka berkata, "He, anak muda. Apakah kau anak pemimpin disini sehingga nampaknya kau lebih berpengaruh dari kawanmu yang lebih tua itu?"
"Tidak." jawab Glagah Putih, "kawanku itu me"mang seorang pendiam. Ia tidak terlalu banyak berbicara. Tetapi seandainya ia yang menjawab, maka jawabannya akan sama saja."
"Anak muda." berkata orang itu, "kenapa kau katakan bahwa kesimpulanku tidak mapan?"
"Ki Sanak. Mataram dapat membuat barak bagi pasukannya dimana saja ditlatah Mataram. Meskipun Tanah ini Tanah Perdikan, tetapi tidak berarti bahwa Tanah ini berhak tidak mengakui kuasa Mataram. Memang sejak jaman Pajang, Tanah ini mendapat kebebasan untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. Bahkan sampai kepada persoalan Pajak. Tetapi bukan berarti bahwa se"buah Tanah Perdikan itu terlepas dari induknya." jawab Glagah Putih.
"Nampaknya kau memang anak bebahu Tanah Perdi"kan ini." berkata orang yang datang itu, "kau agaknya mengetahui beberapa segi pemerintahan di Tanah Perdikan ini dalam hubungannya dengan Mataram."
"Aku bukan anak bebahu." jawab Glagah Putih, "aku anak kebanyakan di Tanah Perdikan ini."
"Kau tidak usah ingkar. Kau datang ketempat ini berkuda dengan tugas mengamati kejarangan hutan di lereng pebukitan." berkata orang itu, "tentu kau mempunyai kedudukan penting di kalangan anak-anak muda Tanah Per"dikan."
"Anak-anak muda Tanah Perdikan sudah terbiasa bekerja keras bagi Tanah Perdikannya." jawab Glagah Putih. Namun iapun kemudian bertanya, "Ki Sanak. Siapakah kau sebenarnya dan apa kepentinganmu datang kemari?"
"Kami adalah pengembara yang menjelajahi lembah dan ngarai. Melihat-lihat suasana dan perkembangan Mataram dan sekitarnya. Menilai apakah lingkungan yang tumbuh di sekitar Mataram mencerminkan kekuatan yang mandiri atau sekedar ilalang yang merunduk kearah angin bertiup seperti Tanah Perdikan ini." jawab orang itu.
"Kata-katamu menyinggung perasaan orang-orang Tanah Perdikan ini." berkata Glagah Putih, "apakah maksudmu sebenarnya?"
"Kenapa kau tersinggung?" berkata orang itu, "kau lihat daerah-daerah lain yang justru bukan Tanah Perdikan. Mereka berusaha untuk dapat berdiri sendiri tanpa kekuasaan Mataram atas mereka."
"Coba katakan. Daerah mana yang kau maksud?" bertanya Glagah Putih.
"Terutama daerah Bang Wetan." jawab orang itu.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun orang itu kemudian berkata, "Mungkin kau tidak tahu, bahwa dunia ini sangat luas. Tidak hanya dibatasi oleh pebukitan Menoreh dan Kali Praga. Mungkin kau bingung jika disebut nama-nama tempat jauh di sebelah Timur yang mempunya keyakinan yang kuat bahwa mereka akan dapat mandiri tanpa kuasa Mataram."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar. Lingkungan hidupku memang tidak lebih dari pegunungan ini dan Kali Praga. Namun demikian, aku pernah mendengar nama beberapa Kadipaten di sebelah Timur."
"Anak muda." berkata kedua orang itu, "aku sebenarnya mendapat tugas untuk menghubungi orang-orang Tanah Perdikan ini. Tetapi aku tidak ingin langsung ber"bicara dengan Ki Gede. Cobalah. Jika kau anak seorang bebahu, tolong, ketemukan aku dengan orang tuamu."
"Ki Sanak." bertanya Glagah Putih, "jika kau men"dapat tugas, siapakah yang memberikan tugas ini kepadamu?"
"Nanti akan aku katakan kepada orang tuamu." jawab orang itu, "mungkin pendapatku tidak sesuai dengan pendapat orang tuamu. Aku sama sekali tidak berkeberatan, karena sudah jamaknya pendirian seseorang akan berbeda dengan orang lain. Tetapi alangkah baiknya jika pendapat kita dapat bertemu."
Glagah Putih memandang Sabungsari sekilas. Ketika ia melihat Sabungsari itu mengangguk kecil maka Glagah Putihpun berkata, "Baiklah Ki Sanak. Aku memang bukan anak bebahu. Tetapi kakakkulah yang menjadi bebahu Ta"nah Perdikan ini."
"Bagiku tidak ada bedanya." berkata orang itu.
"Jika demikian, marilah." ajak Glagah Putih, "kita bersama-sama menemui kakakku itu."
"Sebaiknya bukan aku yang datang kerumahmu. Te"tapi ajaklah kakakmu itu datang kemari. Tetapi ingat, sen"diri. Kita akan berbicara sesuatu yang bersifat rahasia. Karena itu, maka tidak sebaiknya didengar orang lain. Tetapi jika kau berdua ingin ikut berbicara, aku tidak berkeberatan." jawab orang itu.
"Persoalan itu agaknya memang menarik. Karena itu, maka sebaiknya kalian datang kerumah. Kakang akan mengatur, bahwa tidak akan ada orang lain yang akan ikut mendengarkannya." berkata Glagah Putih.
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, "Panggil ka"kakmu itu kemari."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemu"dian katanya kepada Sabungsari, "Marilah. Kita panggil kakang."
Tetapi sebelum Sabungsari menjawab, orang itu ber"kata, "Biarlah kawanmu saja yang memanggil kakangmu. Kau tetap berada disini bersama kami. Jika kakangmu datang dengan pengawal, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Katanya, "Kenapa aku tidak boleh pergi" Aku bukan tawananmu."
Kedua orang itu tertawa. Seorang diantaranya melangkah mendekat sambil berkata, "Anak yang malang. Tiba-tiba-tiba saja kami ingin tinggal bersamamu disini. Biarlah kawanmu itu menjemput kakakmu yang kau katakan. Seka"li lagi aku pesan. Sendiri. Tanpa orang lain kecuali kawan"mu itu jika ia memang ingin ikut datang sambil melihat apa yang dapat terjadi disini."
Sejenak Glagah Putih dan Sabungsari termangu-mangu. Namun agaknya keduanya mempunyai pikiran yang sama. Mereka ingin tahu, siapakah mereka dan untuk apa mereka datang. Karena itu, sebelum Glagah Putih berkata sesuatu, Sa"bungsari telah lebih dahulu berkata, "Baiklah. Aku akan memanggil kakakmu itu. Tinggallah disini. Aku tidak akan terlalu lama."
"Cepatlah." berkata Glagah Putih, "jika kakang tidak ada di rumah, cari ia sampai ketemu agar aku tidak terlalu lama disini. Ingat, kakang supaya datang sendiri."
Kedua orang itu tertawa semakin keras. Seorang diantaranya menepuk pundak Glagah Putih sambil berdesis, "Jangan terlalu cemas. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Jika kakakmu datang dan memenuhi permintaanku, maka kau akan segera dilepaskan."
Glagah Putih tidak menjawab. Sementara itu Sabung"sari telah meloncat ke punggung kuda. Sejenak kemudian iapun telah melarikan kudanya menuju ke padukuhan induk. Setelah jalan sempit yang rumpil dilalui, maka Sabung"sari berpacu seperti dikejar hantu. Kedatangan Sabungsari seorang diri memang mengejutkan. Namun iapun telah mengatakan sebabnya, kenapa ia datang sendiri kepada Kiai Gringsing.
"Agung Sedayu berada di rumah Ki Gede. Pergilah kesana. Mudah-mudahan ia masih berada disana." minta Kiai Gringsing.
Sabungsaripun bergegas menyusul Agung Sedayu ke rumah Ki Gede. Untunglah bahwa Agung Sedayu masih ada. Tetapi ia sudah siap untuk pergi bersama orang bebahu yang lain untuk pergi ke pasar, melihat-lihat kemungkinan untuk memperluas pasar itu, karena rasa-rasanya sudah ter"lalu sempit.
Karena kedatangan Sabungsari, maka Agung Sedayu terpaksa mengurungkan niatnya, dan minta diri kepada Ki Gede untuk menemui orang itu.
"Hati-hatilah Agung Sedayu." pesan Ki Gede, "kita belum tahu dengan siapa kita berhadapan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berdesis, "Baiklah Ki Gede. Mudah-mudahan kehadiranku akan dapat menjelaskan, untuk apa orang itu datang kemari."
Sejenak kemudian Agung Sedayu dan Sabungsari telah pergi menuju ketempat Glagah Putih menunggu. Mereka singgah sejenak di rumah untuk memberitahukan bahwa mereka telah berangkat menyusul Glagah Putih.
Glagah Putih yang menunggu memang merasa terlalu lama. Meskipun ia tidak mencemaskan tentang dirinya sen"diri, namun rasa-rasanya untuk duduk sambil menunggu adalah sangat menjemukan. Sekali-sekali kedua orang yang menungguinya itupun telah mengajak juga berbicara ten"tang beberapa hal. Tetapi sebagian tidak di jawab oleh Glagah Putih dengan baik. Jika yang dipertanyakan mengenai soal pemerintahan di Tanah Perdikan, maka iapun berkata, "Nanti saja, bertanyalah kepada kakakku itu."
"Baiklah." berkata salah seorang diantara mereka, "ternyata kau cukup berhati-hati untuk memberikan keterangan kepada orang lain."
Glagah Putih memang hampir tidak sabar menunggu. Namun kemudian yang datang bukannya Sabungsari dan Agung Sedayu, tetapi justru dua orang kawan dari kedua orang yang telah datang lebih dahulu.
"Siapa anak itu?" bertanya salah seorang diantara mereka yang datang kemudian.
"Adik seorang bebahu. Aku minta kawannya memanggil kakaknya itu, sementara ia harus tinggal disini sambil menunggu. Aku minta kakaknya itu datang seorang diri." jawab yang datang lebih dahulu.
Dengan singkat, mereka saling menceriterakan apa yang telah mereka lakukan. Dua orang yang datang kemu"dian itu ternyata telah melihat-lihat barak pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan menoreh.
"Bagus." berkata salah seorang yang datang kemu"dian, yang agaknya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari ketiga orang yang lain, "kita akan berbicara dengan kakak anak itu. Beritahukan kepadanya, bahwa ia tidak perlu menangis."
Jantung Glagah Putih hampir meledak. Tetapi ia harus menahan diri sampai Agung Sedayu datang. Karena itu, maka iapun telah duduk saja sambil menunduk, sekali-sekali memandangi lereng-lereng pebukitan yang sebagian diantaranya telah diruntuhkannya dengan ilmunya yang meningkat dengan lonjakan yang mengagumkan.
"Mudah-mudahan orang-orang itu tidak bertanya, ke"napa tebing itu telah runtuh." berkata Glagah Putih di dalam hatinya.
Ternyata keempat orang itu memang tidak memperhatikan
batu-batu padas yang baru saja berguguran itu.
Ketika Glagah Putih benar-benar menjadi jemu, maka
mereka yang menunggu itu telah mendengar derap dua ekor
kuda. Orang yang telah menyuruh Sabungsari memanggil
Agung Sedayu itu tersenyum sambil berkata " Kau memang
bernasib baik. Agaknya kakakmu itu datang. Benar-benar
tidak membawa pengawal. Tetapi kita masih akan menunggu
perkembangan selanjutnya. "
" Jadi aku sudah boleh pergi" " bertanya Glagah Putih.
" Jangan tergesa-gesa. Siapa tahu, kakakmu licik dan
memerintahkan para pengawal datang kemudian untuk
mengepung tempat ini " berkata orang itu.
Glagah Putih tidak menjawab. Ia sebenarnya memang tidak
ingin pergi. Ia akan berada ditempat itu untuk mendengarkan
pembicaraan Agung Sedayu dan orang-orang yang datang itu.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Sabungsaripun
telah menjadi semakin dekat. Mereka telah melampaui
jalan-jalan yang rumpil dan mencapai tempat Glagah Putih
menunggu. " Bagus " desis seorang diantaranya keempat orang itu. "
kakakmupun masih cukup muda. Agaknya karena para
bebahu Tanah Perdikan ini masih muda, maka Tanah
Perdikan ini tumbuh dengan pesat. "
Agung Sedayu dan Sabungsaripun telah meloncat turun
dari kudanya. Setelah mengikat kuda itu di sebatang pohon
didekat kuda Glagah Putih, maka merekapun telah mendekat.
" Siapa yang memanggil aku" " bertanya Agung Sedayu.
Keempat orang itu memandang Agung Sedayu dengan
dada yang berdebar. Sikap Agung Sedayu agak berbeda
dengan gambaran mereka. Mereka membayangkan sikap
seorang bebahu dari sebuah tempat yang jauh dari kota.
Sederhana dan matanya sama sekali tidak bercahaya. Agak
bodoh dan tidak mampu mempertimbangkan persoalanpersoalan
yang rumit. Namun nampaknya bebahu yang satu ini agak berbeda.
Tatapan matanya yang tajam, sikapnya yang meyakinkan dan
kerut dahinya yang memberikan kesan bahwa bebahu ini
mampu berfikir. Ketika Agung Sedayu kemudian berhenti dihadapan keempat
orang itu, maka seorang diantara mereka menunjuk
Glagah Putih yang masih duduk sambil bertanya " Apakah itu
memang adikmu" "
" Ya. Ia adalah adikku " jawab Agung Sedayu.
" Bagus " jawab orang itu " aku memang minta ia tinggal,
agar kau bersedia datang memenuhi undangan kami. "
" Untuk apa kau memanggil aku kemari" " bertanya -Agung
Sedayu " dan siapakah kalian semuanya ini. "
" Kita akan berbicara. Bukankah kau tidak tergesa-gesa" "
bertanya orang yang agaknya pemimpin dari keempat orang
itu. " Ki Sanak " jawab Agung Sedayu " waktuku tidak banyak.
Aku mempunyai banyak pekerjaan disini. "
" Jangan berlagak seperti seorang pemimpin yang sibuk.
Kita sempatkan hari ini untuk berbincang-bincang disini. "
jawab orang itu. " Ki Sanak " berkata Agung Sedayu " jika Ki Sanak ingin
berbicara, atau bahkan berbincang-bincang, marilah, aku
persilahkan Ki Sanak singgah dirumahku. Meskipun rumahku
bukan rumah yang pantas di pamerkan, tetapi cukup tenang
untuk berbicara tentang apa saja. "
" Tidak " jawab orang itu " aku lebih senang berbicara disini.
Tidak akan ada orang yang mengganggu. "
Agung Sedayu tidak dapat memaksa mereka untuk pergi
kerumahnya. Karena itu, maka katanya " Baiklah. Aku minta
kau segera mengatakan maksud kedatanganmu. "
" Sudah aku katakan, jangan berlagak seperti seorang
pemimpin " berkata orang itu.
" Justru aku bukan seorang pemimpin " berkata Agung
Sedayu " jika aku seorang pemimpin, aku tidak
akan menjadi cemas bahwa aku akan dimarahi. Tetapi
justru karena aku bebahu kecil di Tanah Perdikan ini, maka
aku tergesa-gesa. Jika pekerjaanku tidak selesai, maka aku
akan dimarani tiga hari tiga malam " Orang itu tertawa. Bahkan
yang lainpun tertawa. " Duduklah. Kita akan berbicara. Mungkin kau akan dapat
menemukan sesuatu yang berharga pada pembicaraan ini "
berkata orang itu. Agung Sedayu yang sebenarnya juga ingin mengetahui
lebih banyak tentang orang-orang itupun telah beringsut pula
mendekat. Iapun kemudian duduk pula diatas sebuah batu.
Tetapi justru agak jauh dari Glagah Putih. Sabung-sarilah
yang kemudian melangkah mendekati Glagah Putih dan
duduk disebelahnya. Keempat orang itupun telah duduk pula. Orang yang
agaknya memimpin keempat orang itu kemudian bertanya " Ki
Sanak. Siapakah namamu, dan apa tugasmu" "
" Namaku Agung Sedayu. Tugasku dari mengatur ronda di
padukuhanku sampai pada mengawasi bendungan dan jalanjalan.
Jika ada tanda-tanda kerusakan aku harus segera
melaporkan kepada Ki Gede. "
" Kau seorang Kebayan" " bertanya orang itu.
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya " Ya. Aku memang
salah satu diantara enam Kebayan di Tanah Perdikan ini. "
" Hanya ada enam. Kebayan diseluruh Tanah Perdikan
yang luas ini" " bertanya orang itu.
" Ya. Tetapi disetiap padukuhan terdapat dua orang
pembantu Kebayan " jawab Agung Sedayu.
Orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu seorang
diantara keempat orang itu bertanya " Agung Sedayu,
siapakah yang menjadi pemimpin pengawal di Tanah Perdikan
ini" " Pertanyaan itu tidak diduga sebelumnya. Karena itu, dahi
Agung Sedayupun mulai berkerut. Namun iapun kemudian
menjawab " Prastawa. Namanya Prastawa, kemanakan Ki
Gede. " Orang itu mengangguk-angguk. Pemimpin merekapun
kemudian bertanya " Ki Sanak. Apakah Ki Gede tidak pernah
mempersoalkan pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah
Perdikan ini" "
Agung Sedayu memandang orang itu sejenak. Namun
iapun justru bertanya " Kenapa dengan pasukan khusus itu" "
" Ki sanak " berkata pemimpin dari keempat orang itu "
apakah orang-orang Tanah Perdikan ini tidak pernah merasa
bahwa pasukan itu dapat mengurangi hak dan wewenang
Tanah Perdikan ini" Ingat, sebuah Tanah Perdikan yang
mempunyai wewenang yang luas. Meskipun dalam tatanan
lahiriah, nampaknya Kadipaten memiliki kewibawaan yang
lebih tinggi, tetapi hak Tanah Perdikan justru lebih luas dari
sebuah Kadipaten. " " Tetapi Tanah Perdikan tidak dapat disamakan dengan
sebuah Kadipaten yang memiliki wewenang dan tatanan yang
lengkap sebagaimana Mataram sendiri-- Berkata Agung
Sedayu " daerahnyapun jauh lebih luas dan sudah barang
tentu memiliki kekayaan yang jauh lebih besar dari sebuah
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanah Perdikan. " Pemimpin dari keempat orang itu tersenyum. Katanya "
Memang nampaknya demikian. Tetapi Kadipaten tidak
mempunyai wewenang untuk menentukan dirinya sendiri. "
" Ki Sanak " berkata Agung Sedayu " kami, orang-orang
Tanah Perdikan Menoreh memang orang-orang bodoh, yang
kurang mengerti tentang pemerintahan diluar Tanah Perdikan
kami sendiri. Tetapi aku kira yang kau katakan itu tidak benar.
Para Adipati sudah barang tentu
memiliki kuasa yang besar yang dilimpahkan oleh Raja
kepada mereka. Tetapi seorang Kepala Tanah Perdikan
sebagaimana Menoreh, adalah orang-orang kecil yang tidak
diperhitungkan. Meskipun setiap Kepala Tanah Perdikan
berhak menentukan kebijaksanaan sendiri, bahkan sampai
soal pajak sekalipun, namun betapa kecilnya sebuah Tanah
Perdikan dibandingkan dengan sebuah Kadipaten. "
Orang yang memimpin kelompok kecil itu tertawa. Katanya
" Aku sudah mengira bahwa pikiranmu memang sederhana
sebagaimana orang-orang yang berada diling-kungan yang
kecil seperti Tanah Perdikan ini. Tetapi baiklah.
Bagaimanapun anggapanmu tentang hak dan kewajiban
sebuah Tanah Perdikan, namun ada satu pertanyaan yang
belum kau jawab. " orang itu berhenti sejenak, lalu " kenapa Ki
Gede tidak merasa pasukan khusus Mataram yang ada di
Tanah Perdikan ini justru mengganggu, dan bahkan
mengurangi kewibawaan Tanah Perdikan ini sendiri. "
" Ki Sanak " berkata Agung Sedayu " Tanah Perdikan
Menoreh adalah Tanah Perdikan yang berada di-dalam satu
kesatuan dengan wilayah Mataram yang lain. Wewenang yang
ada bagi Tanah Perdikan ini adalah wewenang kedalam.
Namun sebagai keluarga maka kami tidak dapat menolak
wewenang pimpinan keluarga besar kami. Karena hal itu
merupakan salah satu dari kewajiban kami disamping hak
yang ada pada kami. Apalagi kehadiran pasukan khusus itu
sama sekali tidak mengganggu hak yang ada pada kami.
Bahkan para perwira dadi pasukan khusus itu dengan senang
hati telah ikut membantu membina pasukan pengawal Tanah
Perdikan ini. " " Ki Kebayan yang masih terlalu muda " berkata orang itu "
ternyata pandanganmu picik seperti orang-orang lain. "
" Aku tidak tahu maksudmu" Tetapi jika kau menganggap
aku bodoh dan tidak berpengetahuan tentang pemerintahan,
aku tidak menolak. Kenyataanku memang
demikian " berkata Agung Sedayu.
" Tidak. Aku tidak akan menganggapmu bodoh apalagi
dungu " berkata orang itu " tetapi hatimu dan barangkali
sebagian besar orang-orang Tanah Perdikan ini memang
belum terbuka. " Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
memandang Glagah Putih dan Sabungsari, ternyata keduanya
hanya menundukkan kepala saja.
" Ki Kebayan " berkata orang itu kemudian " apakah
keuntungan kalian berada dibawah kuasa Mataram sekarang
ini" Apakah Mataram mampu memberikan segala kebutuhan
Menoreh yang tidak dapat dipenuhinya sendiri" Atau justru
sebaliknya, Mataram telah menghisap Tanah Perdikan ini" "
" Kami telah dibebaskan dari Pajak dan segala macam
upeti wajib Ki Sanak. Kami hanya diwajibkan menyerahkan
upeti menurut pertimbangan dan perhitungan kami sendiri.
Karena itu, tidak ada tersirat dihati kami, bahwa Mataram telah
menghisap kekayaan yang ada di Tanah Perdikan ini.
Kekayaan yang memang pada dasarnya tidak seberapa "
berkata Agung Sedayu. Namun kemudian katanya " Tetapi
kedatangan Ki Sanak tentu mempunyai maksud tertentu.
Supaya pembicaraan kita tidak merupakan penilaian atas
hubungan antara Tanah Perdikan ini dengan Mataram, karena
selama ini memang tidak pernah ada masalah. Kami sudah
merasa mapan hidup dalam kera-jaan yang bulat dengan
Mataram dalam keseluruhan. "
Tetapi orang itu menarik nafas sambil berkata " Justru
hubungan antara Mataram dan Tanah Perdikan inilah yang
ingin aku bicarakan. "
" Siapakah Ki Sanak sebenarnya" " bertanya Agung
Sedayu. " Sudahlah " berkata orang itu " kau tidak perlu bertanya
tentang kami. Tetapi dengarlah pendapat kami.
Sebaiknya Tanah Perdikan Menoreh meningkatkan
kewibawaannya. Kau dapat menghubungi para pemimpin
pengawal Tanah Perdikan. Dengan mengerahkan para
pengawal Tanah Perdikan, maka Tanah Perdikan akan dapat
mendesak agar barak pasukan khusus itu disingkirkan dari
Tanah Perdikan ini. "
" Ki Sanak " berkata Agung Sedayu " kau memberikan
pikiran baru kepada Tanah Perdikan ini. Satu pikiran yang
tidak pernah terbersit didalam benak kami. Tetapi juga satu
pikiran yang kami anggap kurang sewajarnya bagi Tanah
Perdikan ini. " " Pikirkanlah baik-baik Kebayan muda " berkata orang itu "
kau masih mempunyai banyak harapan dihari-hari tuamu. Jika
kau berhasil mengembangkan pikiran itu, maka tidak mustahil
bahwa kau akan dapat menjadi pemimpin disini. "
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Tetapi tiba-tiba
saja ia berkata " Satu upaya yang sia-sia. Betapapun juga
tingginya kami menghadapi diri kami dan Tanah Perdikan ini,
tetapi kami tidak akan dapat melawan kuasa Mataram, bahkan
pasukan yang ada dibarak itupun tidak. "
Orang itu tiba-tiba saja tertawa. Katanya " Jangan merasa
rendah diri. Jika kau berniat, tentu ada jalan. Nah, pikirkan.
Beberapa hari lagi, aku akan datang. Tepat pada hari yang
sama sepekan lagi. Pada waktu yang sama pula. "
" Aku akan berbicara dengan Ki Gede " berkata Agung
Sedayu. " Jangan bodoh. Jangan bicarakan dengan orang yang
lemah hati itu. Tanah Perdikan ini harus bangkit dengan
pimpinan yang baru yang memiliki keberanian bertindak "
berkata orang itu. Agung Sedayu termangu-mangu. Ia sadar, bahwa orang
yang dihadapinya adalah orang yang mempunyai tujuan
tertentu. Ia ingin terjadi pergeseran di Tanah Perdikan. Hanya
latar belakang dari niatnya itu yang belum dapat diduga.
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka orang
itupun kemudian berkata pula " Ki Kebayan yang masih muda
dan yang masih mempunyai harapan panjang. Bicarakan hal
ini dengan para pemimpin pengawal. Beri mereka kesadaran
tentang wibawa Tanah Perdikan ini agar mereka siap untuk
bertindak, yang terpenting adalah mengusir pasukan khusus
Mataram itu. Dengan demikian maka Tanah Perdikan ini akan
memiliki kewibawaannya yang penuh dan tidak terbagi.
Mataram tidak akan menghisap kekayaan sekecil apapun
yang ada di Tanah Perdikan ini, misalnya, beras bagi prajuritprajurit
khusus itu. " " Kami tidak memberi beras kepada pasukan khusus itu "
jawab Agung Sedayu " mereka membeli beras disini. Justru
dengan harga yang sangat pantas. "
" Orang itu tertawa. Katanya " Sekarang memang begitu.
Tetapi pada saatnya, keadaan akan berubah. Beras itu tidak
akan dibelinya lagi, tetapi akan diambilnya dari para petani.
Kemudian kebutuhan-kebutuhan lain akan dibebankan pula
kepada Tanah Perdikan ini. " orang itu berhenti sejenak, lalu "
karena itu, kau harus bangkit. "
Agung Sedayu menjadi bimbang. Bukan karena pikiran
yang memang baru yang dibawa orang itu. Bagi Agung
Sedayu orang itu tentu dengan sengaja telah menyebarkan
racun di Tanah Perdikan. Dengan sengaja orang itu ingin
membenturkan keduanya yang ada di Tanah Perdikan dengan
kekuatan dan pasukan Mataram yang ada di Tanah Perdikan
itu. " Agung Sedayu " berkata pemimpin dari keempat
kelompok itu " sebaiknya Tanah Perdikan ini jangan sampai
ketinggalan dari daerah lain. Sebaiknya kau selalu melihat
keadaan. Di Timur langit telah menjadi mendung.
Sebentar lagi hujan, angin dan badai akan mengguncangkan
kuasa Mataram. Nah, pada saat itulah maka TanahPer-dikan
itu harus bangkit untuk menegakkan wibawanya sehingga
benar-benar menjadi Tanah Perdikan yang mandiri
sebagaimana hak yang pernah diberikan oleh Pajang, bahkan
mungkin Demak. " Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara
orang itu berkata " Pikirkan. Aku akan datang sepekan lagi
disini. Satu hal yang perlu kita ketahui, jika kau memerlukan
bantuan, kami akan datang dengan kekuatan secukupnya
untuk mengusir pasukan khusus itu. "
Glagah Putih dan Sabungsari terkejut ketika kemudian
Agung Sedayu menjawab " Baiklah Ki Sanak. Sepekan lagi
aku akan datang ke tempat ini. Aku akan menyampaikan
jawabku. Selama aku akan merenungkannya dan serba sedikit
menjajagi sikap anak-anak muda Tanah Perdikan. "
Orang itu menjawab dengan serta merta " Bagus.
Lakukanlah " Agung Sedayu mengangguk hormat. Katanya pula "
Sepekan lagi aku akan dapat memberikan jawaban yang lebih
luas. Bahkan mungkin aku sudah dapat memberikan
gambaran tentang sikap anak-anak muda Tanah Perdikan ini.
" " Jjka demikian, maka sebaiknya aku minta diri " berkata
orang itu. " Aku akan menunggu Ki Sanak disini " jawab Agung
Sedayu. " Sendiri " berkata orang itu " sebanyak-banyaknya kau
bawa kawan adikmu itu. "
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Yang ditunjuk
ternyata hanya Sabungsari.
" Kami akan datang bertiga " berkata Agung Sedayu
kemudian. Tetapi orang itu tertawa. Katanya " jangan menganggap
kami terlalu bodoh. Aku sekarang akan membawa
adikmu itu. Dengan demikian aku akan mendapat jaminan
bahwa kau tidak-akan berbohong. Kau benar-benar akan
datang sendiri atau berdua. Tanpa tanggapan apapun maka
sepekan lagi ada kemungkinan lain terjadi disini. Kau jebak
aku dengan pasukan pengawalmu, meskipun seandainya
semua pengawal Tanah Perdikan ini dikerahkan, maka
mereka tentu tidak akan dapat menangkap aku. Bahkan
korbanpun akan jatuh seperti aku menebas batang ilalang.
Bahkan seandainya Ki Gede Menoreh sekalipun datang, maka
ia akan dapat menjadi korban. Tetapi aku tidak ingin hal
seperti itu terjadi. Karena itu, maka aku akan membawa
adikmu itu. " Agung Sedayu memandang orang itu dengan tajamnya.
Katanya " jangan begitu Ki Sanak. Adikku merupakan satusatunya
saudaraku. Jika ia kau bawa, maka aku akan
mencemaskan nasibnya. "
Orang itu tertawa. Katanya " Aku akan menjaminnya. Jika
ia tidak terlalu cengeng, maka ia tidak akan mengalami
kesulitan apa-apa. "
" Tetapi adikku memang seorang yang sangat cengeng
" jawab Agung Sedayu " ia tidak pernah terpisah dari aku.
Ia tidak dapat tidur jika ia tidak berbaring di pembaringan yang
bertikar rangkap diatas galar pring wulung, berselimut kain
panjang dan didalam bilik yang disinari oleh lampu yang
terang benderang. " " Tetapi ia sudah cukup besar untuk diajar berprihatin
" jawab orang itu " karena itu, maka biarlah anak itu aku
bawa. Hanya untuk sepekan. "
" Jangan Ki Sanak " berkata Agung Sedayu " anak itu
jangan dibawa. Biarlah ia bersamaku kembali. "
Orang itu mengerutkan dahinya. Dengan wajah yang mulai
tegang ia berkata " Jangan menolak tawaranku. "
" Tetapi itu menyangkut keluargaku " jawab Agung Sedayu.
" Kau jangan keras kepala. Kau sadari kedudukanmu anak
padesan yang bodoh. Kau tidak akan pernah dapat
menentang kebebasanku. Siapapun tidak. " Orang itu menjadi
marah. Wajahnya menjadi merah dan sorot matanya bagaikan
menyala. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Sementara itu
dua orang diantara mereka telah bergerak mendekati Glagah
Putih dan Sabungsari. Sementara itu pemimpin mereka berkata " Dengar.
Sebentar lagi kekuatan Mataram akan diguncang oleh
kekuatan dari Timur. Seharusnya kau berterima kasih
kepadaku. Kau akan memanfaatkan kesempatan itu. Aku
sudah menyatakan kesediaanku untuk membantu. Tetapi
ternyata kau memang dungu. "
" Tidak mungkin. Pajang akan melawan Mataram.
Sekarang Adipati Pajang. Pangeran Benawa sedang sakit.
Bahkan pada saat meninggalnya Raden Rangga, Pangeran
Benawa tidak dapat hadir. Apalagi Pangeran Benawa sendiri
tidak pernah bermimpi untuk mewarisi kekuasaan
ayahandanya " sahut Agung Sedayu.
" Sadari kebodohanmu. Jangan mengajari aku. Pajang
justru lebih lemah dari Tanah Perdikan ini. " jawab orang itu. " Jadi kekuasaan mana yang kau maksud" Madiun yang
berhasil menghimpun beberapa Kadipaten di Bang Wetan" "
bertanya Agung Sedayu pula.
Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan nada geram ia
berkata " Kau dapat menebak apapun juga. Tetapi aku akan
membawa adikmu dan dalam waktu lima hari kau harus
memberikan jawaban. Kau tahu maksudku dan kau akan
menuruti penunjukku. Jika tidak adikmu akan menjadi korban
kebodohanmu dan barangkali kekerasan hatimu. "
Agung Sedayu menjadi bimbang. Ia memang menduga,
bahwa Glagah Putih tidak akan bersedia dibawa oleh
orang-orang itu untuk waktu lima hari. Apalagi ia baru saja
meninggalkan rumah dan keluarga untuk waktu yang lama,
serta mengalami ketegangan yang sangat. Agaknya Glagah
Putih masih ingin beristirahat sambil menilai dirinya sendiri
agar ia dapat menyakini tataran ilmunya sebaik-baiknya.
Ketika Agung Sedayu memandang kearah Glagah Putih,
maka tiba-tiba saja anak muda itu berdiri sambil berkata " Ki
Sanak. Apakah kau termasuk salah seorang kawan Ki Lurah
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Singa Luwih yang sekarang berada di Mataram" "
Wajah orang itu tiba-tiba menjadi merah. Matanya yang
bagaikan menyala memandang Glagah Putih dengan
tajamnya. Dengan suara yang menggeram seperti suara
seekor harimau yang lapar ia bertanya " Darimana kau
mengenal nama itu" "
Glagah Putih yang telah berdiri itupun menjawab "
Nampaknya kau sedang menjalankan tugas bagi Madiun yang
ingin melawan kuasa Mataram. Namun sebagian dari para
Tumenggung telah melakukannya tanpa sepengetahuan
Panembahan Madiun. Pada satu saat mereka justru akan
menyudutkan Panembahan Madiun untuk melawan Mataram
tanpa pilihan. Sementara itu, baik Panembahan Senapati
maupun Panembahan Madiun sedang berusaha untuk
menemukan persesuaian pendapat. "
" Gila " orang itu hampir berteriak " darimana kau dapat
mengigau seperti itu" "
" Ki Sanak " berkata Glagah Putih dengan sikap yang telah
berubah sama sekali dari sikapnya sebelumnya " sebaiknya
kau ikut kami. Kami akan membawamu ke Mataram,
melengkapi keterangan Ki Singa Luwih yang telah lebih
dahulu berada di Mataram. Jangan bermimpi bahwa usahamu
untuk memecah belah Mataram akan berhasil. Jika Tanah
Perdikan ini berusaha mendesak Pasukan
Khusus Mataram yang ada disini, tentu timbul pertempuran.
Mungkin daerah lain juga kau bakar seperti itu. Mangir,
Sangkal Putung disisi Timur, Bagelen, Pegunungan Sewu dan
daerah-daerah lain, terutama disekeliling Mataram itu sendiri. "
" Anak iblis " geram pemimpin dari keempat orang itu "
ternyata kau tidak sedungu yang aku duga he" Jika demikian,
maka kau tentu anak yang sangat berbahaya. Kau tidak hanya
sekedar akan aku bawa, tetapi kau akan kami binasakan
sama sekali. Kesombonganmu dengan menyebut
pengertianmu tentang hubungan antara Mataram dan Madiun
telah membuatmu memasuki jalan keliang kuburmu. "
" Ki Sanak " berkata Agung Sedayu " kita sudah terlanjur
membuat persoalan diantara kita. Kita tidak akan dapat
membiarkan persoalan ini berlalu begitu saja. Karena itu,
maka kita harus menemukan satu penyelesaian. "
" Ya "- jawab orang itu " kalian bertiga harus mati. "
Sabungsaripun kemudian bangkit berdiri. Jika semula
seakan-akan ia tidak mengacuhkan apa yang terjadi, maka
tiba-tiba iapun berkata " Apaboleh buat. "
Seorang diantara keempat orang itu memandanginya
dengan kerut didahi. Dengan kasar ia bertanya " Apa yang kau
maksudkan, he" "
" Seperti yang dikatakan kawanmu itu. Kalian berempat
harus mati. " " Setan " bentak yang lain diantara keempat itu " kalian
bertiga yang harus mati. "
" O " Sabungsari tersenyum " bukankah kau hanya
kelebihan satu. " " Persetan " orang itu hampir berteriak " kukoyak mulutmu. "
Sabungsari membenahi pakaiannya sambil berdesis "
Jangan cepat marah. Apakah kau tidak pernah mendapat
petunjuk, bahwa disaat-saat kau akan berkelahi kau tidak
boleh tenggelam dalam kemarahan saja, sehingga kehilangan
penalaran. " " Tutup mulutmu " orang itu berteriak-teriak keras. Glagah
Putihpun tersenyum melihat sikap orang itu.
Sementara itu Agung Sedayu berkata " Ki Sanak. Aku
memang salah seorang bebahu Tanah Perdikan ini meskipun
aku bukan seorang Kebayan sebagaimana Kebayan yang lain,
karena tugas-tugasku yang khusus. Karena itu, atas
penilaianku terhadap kalian, maka aku, bebahu Tanah
Perdikan ini berkewajiban menangkap kalian berempat. "
Keempat orang itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja
mereka telah tertawa berkepanjangan.
Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsari membiarkan
mereka tertawa. Bahkan mereka telah menunggu keempat
orang itu tertawa sepuas-puasnya. Namun demikian suara
tertawa mereka mereda, maka Agung Sedayupun berkata
pula " Atas nama Ki Gede Menoreh, kami akan membawa
kalian menghadap. " " Kau sudah menjadi gila agaknya " berkata salah seorang
diantara mereka " tetapi apapun yang akan kau lakukan,
lakukanlah. Sebentar lagi kalian semuanya sudah tidak akan
dapat berbuat apa-apa. Mungkin kami akan membawa
kudamu. Satu diantara ketiga ekor kuda itu adalah kuda yang
sangat bagus. Tegar dan kuat, jarang ada duanya. He, kau
curi dimana kuda itu" "
Jawab Glagah Putihpun mengejutkan. Katanya " Kuda itu
pemberian putera Panembahan Senapati. "
- Setan. Kau kenal putera Panembahan Senapati, anak
lereng Bukit batu" " bentak pemimpin dari keempat orang itu.
" Apa persoalannya akan bergeser tentang perkenalanku
dengan putera Panembahan Senapati" bertanya Glagah
Putih. " Anak iblis " geram pemimpin dari keempat orang itu "
ternyata aku bertemu dengan orang-orang yang sedikit
banyak mempunyai wawasan yang lebih luas dari seorang
anak muda di bukit batu. Bahkan mengaku kenal dengan
putera Panembahan Senapati. "
" Sudahlah " berkata Agung Sedayu " menyerahlah.
" Akupun sudah jemu dengan pembicaraan yang tidak
berujung pangkal ini. " berkata pemimpin dari keempat orang
itu. Lalu tiba-tiba ia berkata " Selesaikan mereka. "
Ketiga orang yang lain mengangguk hormat. Seorang
diantara mereka menjawab " apakah kita tidak akan membawa
salah seorang dari mereka hidup-hidup" "
" Untuk apa" " bertanya pemimpinnya.
" Mungkin satu saat kita memerlukannya " jawab orang itu.
Tetapi pemimpinnya itu menggeleng. Katanya " Tidak ada
gunanya. Selesaikan saja semuanya. "
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya kepada ketiga
orang Tanah Perdikan itu " Sebenarnya kalian masih terlalu
muda untuk mati. Tetapi apaboleh buat. Nasibmu
membawamu keliang kubur di usia mudamu. Apalagi yang
satu itu. " Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Aku
masih ingin untuk tidak mati sekarang. Karena itu, aku akan
mempertahankan hidupku. "
" Persetan " geram orang itu. Lalu katanya kepada kawankawannya
" Marilah. Kita tidak perlu membuang-buang waktu.
" Kedua orang kawannyapun sudah bersiap pula, sementara
pemimpin dari keempat orang itupun kemudian justru duduk
diatas sebongkah batu padas sambil berkata "
Cepatlah sedikit. " Ketiga orang itupun kemudian menempatkan dirinya
masing-masing. Ternyata orang yang kebetulan berhadapan
dengan Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam sambil
berkata kepada kawannya. " Kita bertukar lawan. Aku merasa
enggan untuk membunuh anak-anak seperti ini.
Tetapi pemimpinnya tiba-tiba membentak " Sudahlah.
Lakukan. Siapa yang paling cepat, akan mendapat penilaian
tertinggi. " " Tetapi jika aku yang tercepat, tentu dianggap satu kerja
yang wajar saja. Bukan satu kelebihan, karena aku hanya
membunuh anak-anak. "
" Cukup. Lakukan, atau minggir, biar aku melakukannya
sendiri. " pemimpinnya membentak semakin keras.
Orang itu tidak menjawab. Ia memang terpaksa
melakukannya betapapun ia merasa enggan.
Keseganan itu agaknya memang tertangkap oleh Glagah
Putih. Sehingga iapun harus menyesuaikan dirinya. Mungkin
orang itu tidak akan melakukannya dengan serta merta atau
apapun yang dilakukan, meskipun akhirnya orang itu memang
harus melakukannya, karena mereka merasa bahwa rahasia
mereka telah diketahui serba sedikit.
Seorang yang paling garang diantara ketiga orang itu justru
berdiri dihadapan Agung Sedayu. Kumisnya yang lebat,
wajahnya yang keras dan tubuhnya yang kekar, memang
memberikan kesan, bahwa orang itu adalah seorang yang
memiliki kekuatan dan kemampuan yang besar.
Ternyata sebagaimana kebiasaan Agung Sedayu, ia sama
sekali tidak pernah merendahkan orang lain. Karena itu,
siapapun yang di hadapinya, apalagi orang-orang yang sama
sekali belum dikenalnya, maka ia selalu berhati-hati.
Agaknya demikian pula dengan Sabungsari. Meskipun
lawannya tidak segarang lawan Agung Sedayu, tetapi ketajaman
matanya menunjukkan betapa orang itu mempunyai
keyakinan kepada dirinya sendiri,
Sementara itu, orang yang berhadapan dengan Glagah
Putihpun berkata dengan nada rendah " Nasibmu anak muda.
Tetapi berusahalah melawan agar aku mendapat lan-dasan
untuk membunuhmu. " Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya "
Bagaimana jika aku justru menangis. "
" Tidak baik laki-laki harus menangis. Aku ajari anakku
untuk tidak menangis apapun yang akan terjadi. Karena itu
kau jangan menangis. Jika kau menangis, tugasku akan
menjadi terlalu berat. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah Ki
Sanak. Aku bantu kau. Karena itu, kita akan berkelahi. "
Orang itu menjadi heran. Namun iapun segera melihat
Glagah Putih telah bersiap.
" O " orang itu mengangguk-angguk " ternyata kau
mempunyai kemampuan olah kanuragan pula. "
" Aku pernah mempelajarinya Ki Sanak. Serba sedikit. Dan
sekarang yang sedikit itu akan aku pergunakan untuk
mempertahankan hidupku " berkata Glagah Putih.
" Bagus " orang itu menjadi semakin mantap " kita akan
berkelahi. " Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap
menghadapi segala kemungkinan.
Namun Glagah Putih yang masih berusaha meyakinkan
pengenalannya atas tataran-tataran ilmunya sendiri itu,
merasa harus bertindak dengan sangat berhati-hati. Ia tidak
boleh salah menilai tataran kemampuannya. Jika lawannya
benar-benar orang berilmu tinggi, maka ia akan
mengalami kesulitan pada benturan yang terjadi. Tetapi
kemungkinan sebaliknya akan dapat terjadi pula.
Dalam pada itu, kedua orang yang lainpun telah bergerak
pula. Hampir bersamaan mereka mulai menyerang. Orang
yang bertubuh tinggi kekar dan berkumis tebal melawan
Agung Sedayu, sementara yang matanya bersinar setajam
mata burung hantu melawan Sabungsari.
Yang melawan Glagah Putih orangnya tidak terlalu tinggi.
Namun menurut ukuran tingginya, ia terhitung agak gemuk.
Meskipun demikian, ternyata ia mampu bergerak cepat sekali.
Ketika ia melenting, maka tangannya terayun mengarah ke
kening Glagah Putih. Namun Glagah Putih sempat
mengelakkan serangan itu. Meskipun sebenarnya ia dapat
melakukannya hanya dengan memiringkan kepalanya, namun
Glagah Putih telah meloncat dua langkah surut.
Orang yang bertubuh agak gemuk itu tertawa. Katanya "
Kenapa kau tidak mengelak sampai ke Kali Praga" Kau
buang-buang tenagamu untuk gerak yang sama sekali tidak
perlu. Jika demikian, maka kau akan menjadi cepat letih. "
" Aku kira kau akan memburuku " jawab Glagah Putih.
Orang itu tertawa semakin keras. Katanya " Kau terlalu
takut menghadapi lawan. Ayo, kita berkelahi lebih seru lagi. "
Glagah Putih tidak menjawab. Ternyata orang itu benarbenar
menyerangnya lebih garang lagi. Namun terasa sesuatu
yang agak lain bagi Glagah Putih. Ketika orang itu meloncat
dengan cepat, ia tidak menyerang kearah dada atau tempattempat
yang berbahaya pada tubuhnya. Tetapi kakinya
memang mengarah ke pundaknya.
Sekali lagi Glagah Putih, mengelak. Dan sekali lagi orang
itu tertawa. Pertempuran antara Glagah Putih dan lawannya memang
menjadi semakin cepat. Tetapi serangan-serangan
lawannya memang tidak membahayakannya. Namun
demikian Glagah Putih tidak membiarkan orang itu menyentuh
tubuhnya. Sementara itu, kedua orang yang lain telah bertempur
semakin sengit pula. Namun baik Agung Sedayu maupun
Sabungsari masih berusaha menjajagi kemampuan dan
tingkat ilmu lawannya sebagaimana dilakukan oleh lawanlawan
mereka. Ternyata bahwa kedua orang pendatang itu ingin
mempercepat tugas mereka. Karena itu, maka mereka dengan
cepat meningkatkan ilmu mereka.
Agung Sedayu dan Sabungsari telah menyesuaikan diri
mereka. Semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin
cepat dan keras. Mereka berloncatan sambil menyerang.
Tangan mereka terayun dengan derasnya, kemudian
mematuk dengan cepat kesasaran yang lemah ditubuh
lawannya. Agung Sedayu dan Sabungsari ternyata harus mulai
merambah ke tenaga cadangan di dalam diri mereka. Lawan
Agung Sedayu yang bertubuh kekar kuat itu memang memiliki
tenaga yang sangat besar. Serangan-serangannya datang
beruntun susul menyusul. Namun Agung Sedayu tidak mengalami kesulitan untuk
mengelak. Betapapun cepatnya serangan lawannya datang,
Agung Sedayu selalu saja sempat bergeser menghindar.
Sementara itu, lawan Sabungsari telah benar-benar dibakar
oleh kemarahan yang memuncak. Meskipun kecepatannya
bergerak telah mencapai puncak kemampuannya, namun
Sabungsari masih juga tidak dapat dikenainya. Dengan
tangkasnya Sabungsari selalu berhasil mengelakkan setiap
serangan. Tetapi ketika serangan lawannya menjadi semakin cepat
dan semakin deras, maka Sabungsari tidak lagi memKang
Zusi - http://kangzusi.com/
biarkan dirinya menjadi sasaran. Iapun kemudian telah
berniat untuk menyerang kembali.
Sebenarnyalah ketika hal itu dilakukan, lawannya benarbenar
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah terkejut. Jika sebelumnya Sabungsari hanya
berloncatan menghindar, maka tiba-tiba ia telah meloncat
dengan kaki terjulur mengarah kelambung.
Meskipun orang bermata tajam itu dengan cepat berusaha
untuk mengelak, namun kaki Sabungsari benar-benar telah
menyentuhnya. Tidak terlalu keras, namun terdengar
lawannya itu mengumpat kasar.
" Kau sentuh lambungku, setan " geram orang itu.
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar telah
berbuat untuk menahan orang yang sekan-akan menjadi gila
itu. Sejenak kemudian keduanya telah bersiap pula. Dengan
tangkasnya orang itu menyerang dengan kakinya. Ketika
Sabungsari bergeser, maka serangan itupun diurungkannya.
Ia justru berputar sambil mengayunkan kakinya mendatar.
Tumitnya menyambar lambung Sabungsari. Namun
Sabungsari dapat menebak serangan itu. Karena itu, dengan
beringsut sedikit, serangan itu sama sekali tidak mengenainya.
Sabungsari tidak membiarkan hanya bertumpu pada satu
kakinya, sehingga karena itu, maka dengan cepat Sabungsari
telah menyapu kaki lawannya.
Serangan yang cepat itu tidak sempat dihindari. Sapuan
kaki Sabungsari yang cepat dan keras itu telah melontarkan
kaki yang sebelah tempat lawannya itu meletakkan beban
tubuhnya disaat yang lain berputar.
Karena itu, maka kakinya itupun telah terlempar
kesamping. Sehingga dengan demikian, maka orang itupun
telah kehilangan keseimbangan.
Namun demikian orang itu terjatuh, maka dengan serta
merta iapun telah berguling sambil melenting, sehingga
sejenak kemudian maka orang itupun telah berdiri tegak dan
siap menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi Sabungsari memang tidak memburunya, iapun
berdiri tegak pula diatas kakinya yang renggang.
Wajah orang itu bagaikan membara. Orang Tanah Perdikan
itu telah berhasil menjatuhkannya meskipun tidak
menyakitinya. Namun dengan demikian kemungkinankemungkinan
yang lebih buruk akan dapat terjadi atas dirinya.
Karena itu, maka orang itupun telah meningkatkan
kemampuannya sampai pada batas tenaga cadangannya. Ia
harus menunjukkan kepada orang Tanah Perdikan itu, bahwa
ia akan dapat dengan mudah membunuhnya.
" Ia harus tnehyadari hal itu sebelum ia mati " berkata orang
bermata tajam itu kepada dirinya sendiri.
Karena itu, maka iapun segera mempersiapkan diri.
Selangkah demi selangkah ia maju. Sementara Sabungsari
telah bersiap pula untuk menghadapinya. Ia sadar, bahwa
orang yang bermata tajam itu tentu akan semakin
meningkatkan kemampuannya.
Yang masih bertempur disebelah lain adalah Agung
Sedayu. Agung Sedayu ternyata sama sekali tidak merasa
tergesa-gesa. Ia berada di lingkungan sendiri, sehingga ia
dapat berbuat dengan lebih tenang daripada lawannya.
Dengan demikian maka yang dilakukan oleh Agung Sedayu
adalah justru mengimbangi tingkat-tingkat ilmu lawannya yang
memang menjadi semakin tinggi.
Lawannya yang bertubuh kekar dan berkumis tebal itu
memang menjadi semakin tidak sadar. Semakin ia
meningkatkan ilmunya, terasa perlawanan orang Tanah
Perdikan Menoreh yang mengaku Kebayan itu menjadi
semakin keras. Tingkat ilmunyapun menjadi semakin tinggi
pula, selalu melampaui tataran ilmunya.
Sementara itu, yang agak gemuk masih bertempur pula
melawan Glagah Putih. Tetapi orang itu ternyata tidak juga
dapat diam. Sambil bertempur ia berbicara apa saja tanpa
henti-hentinya. Bahkan sekali-sekali terdengar suara
tertawanya yang menggelegak.
Pemimpinnya yang menyaksikannya, beberapa kali telah
membentaknya. Bahkan dengan kasar ia berkata " Kalau kau
tidak membunuh lawanmu, kaulah yang aku bunuh. "
Orang yang agak gemuk itu memang berusaha
meningkatkan ilmunya dan mendesak Glagah Putih semakin
jauh dari tempat mereka mulai dengan pertempuran itu.
Sementara itu, orang itu tertawa sambil berkata " Nah, kau
dengar. Kau memang harus mati. "
Glagah Putih tidak menyahut. Namun tiba-tiba saja ia telah
terdesak beberapa langkah surut. Tiba-tiba saja kakinya
terantuk batu, sehingga Glagah Putih itu jatuh terlen-tang
dibalik bebatuan yang teronggok diantara batang-batang
perdu. Orang bertubuh agak gemuk itu segera meloncat dan
berdiri disampingnya. Tangannya sudah melekat dihulu
pedangnya, siap untuk mencabut dan mengayunkannya.
Namun pedang itu tidak dicabutnya juga. Bahkan orang itu
membentak " Kau anak dungu. Kenapa kau tidak mau ikut
kami hanya untuk sepekan. "
" Tidak " jawab Glagah Putih " apakah kau benar-benar
akan membunuhku jika aku menolak. "
" Kau gila anak muda " geram orang itu " seharusnya aku
penggal lehermu, aku potong lidahmu dan aku koyak
mulutmu. " " Kenapa kau tidak melakukannya" " bertanya Glagah
Putih. " Setan " geram orang itu " biarlah orang bertangan
beku itu membunuhmu. Ia dapat membunuh dengan
tenang bagi orang baru lahir sekalipun. Ia akan dapat
menghujamkan jari-jarinya kedadamu dan mengambil
jantungmu. " Namun orang itu akhirnya menarik pedangnya pula. Sambil
menyentuh dada Glagah Putih dengan ujung pedangnya
orang itu berkata " Bangun. Ikut aku menghadap pemimpinku.
Ialah yang akan membunuhmu. Meskipun ia akan memaki aku
tetapi ia tidak akan benar-benar membunuhku. Tetapi kau. "
Glagah Putihpun kemudian bangkit. Orang itupun kemudian
membentaknya " Maju. "
" Tunggulah " berkata Glagah Putih " kau nampaknya
orang, yang aneh diantara keempat orang itu. Meskipun kau
nampak kasar, tetapi ada sesuatu yang lembut didalam
hatimu. " " Anak demit " geramnya " kau merajuk he" "
" Tidak. Aku berkata sebenarnya " jawab Glagah Putih.
" Aku tidak memerlukan pujian dari kanak-kanak " berkata
orang itu " ayo, mendekatlah ke pelukan maut. Kau akan mati
muda. Nyawamu akan menyesali kebodoh-anmu. "
" Kenapa tidak kau lakukan saja" " bertanya Glagah Putih.
" Aku tidak mau membunuh anak-anak " bentak orang itu.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba
orang itu berteriak " Ki Lurah. Aku tidak dapat membunuhnya.
Ia ada disini. Bunuhlah. "
" Iblis kau " hunjamkan pedangmu ke jantungnya " teriak
pemimpin dari keempat orang itu.
" Ambil saja jantungnya dengan jari-jarinya " teriak orang
yang agak gemuk itu lagi.
" Bawa kemari. Aku memang senang melakukannya "
jawab pemimpinnya. " Nah, kau dengar " geram orang yang agak gemuk itu "
ayo berjalanlah. Atau kau mau ikut kami selama sepekan, atau
bahkan selama-lamanya. Aku akan menanggung
keselamatanmu selama kau tidak berusaha melarikan diri. "
" Bagaimana jika aku melarikan diri sekarang" " bertanya
Glagah Putih. " Jangan. Tidak ada gunanya. Satu usaha yang sia-sia "
berkata orang itu " marilah, kita menghadap Ki Lurah. "
Glagah Putih tidak membantah. Iapun kemudian berjalan
kearah pemimpin dari keempat orang yang masih saja duduk
diatas batu. Sementara itu, Sabungsari dan Agung Sedayu masih
bertempur terus. Namun sikap Glagah Putih memang sempat
menarik perhatian mereka berdua.
Tetapi Agung Sedayu dan Sabungsari yang mengetahui
bahwa Glagah Putih telah memiliki ilmu yang tinggi, tidak
segera mengambil langkah-langkah. Mereka tidak mengerti
maksud yang sebenarnya dari Glagah Putih. Namun
keduanya yakin bahwa sebenarnya Glagah Putih tidak akan
semudah itu ditundukkan oleh lawannya yang agak gemuk itu.
Dalam pada itu, Glagah Putih telah berdiri beberapa
langkah dihadapan pemimpin dari keempat orang yang masih
saja duduk diatas batu padas itu. Orang yang agak gemuk
itupun kemudian menyarungkan pedangnya sambil berkata "
Nah, terserah kepadamu Ki Lurah. Apakah orang itu akan kau
jantur dengan kepala dibawah, atau kau ambil jantungnya
dengan tanganmu atau apa saja. Aku minta ijin sebentar untuk
pergi ke parit kecil disebelah. "
" Kau memang cengeng. Kau bunuh Merta Celeng
dengan tanganmu. Kenapa kau tidak dapat membunuh
anak ini" " geram pemimpinnya.
" Merta Celeng adalah seorang yang sudah pantas untuk
mati. Bahkan ialah yang justru hampir membunuhku. Anak itu
masih terlalu muda dan agaknya ia tidak bersalah
sebagaimana Merta Celeng itu " jawab orang yang agak
gemuk itu. Pemimpinnya itu mengumpat dan sekaligus tertawa
berkepanjangan. Sejenak kemudian iapun berdiri, sementara
orang yang agak gemuk itu telah bergeser selangkah.
Agaknya ia benar-benar akan meninggalkan Glagah Putih
dihadapan pemimpinnya itu.
Namun ternyata Glagah Putih yang kemudian berdesis " Ki
Sanak. Jangan pergi. Sebaiknya kau lihat, bagaimana
pemimpinmu ini membunuhku, atau aku membunuhnya.
Orang yang agak gemuk itu menjadi heran. Dengan nada
datar ia bertanya " Apakah benar yang aku dengar, bahwa kau
akan membunuhnya" "
" Ya. Aku akan membunuh pemimpinmu. " jawab Glagah
Putih. Orang yang bertubuh agak gemuk itu masih termangumangu.
Namun ternyata pemimpinnyalah yang menjadi sangat
marah mendengar kata-kata Glagah Putih dan melihat
sikapnya. Karena itu, maka dengan suara bergetar ia berkata " Anak
ini benar. Jangan pergi. Lihat, bagaimana aku mengambil
jantung dari dalam dadanya. "
Orang bertubuh gemuk itu termangu-mangu. Namun
Glagah Putih berkata pula " Jangan pergi. "
Tetapi Glagah Putih tidak dapat meneruskan kata-katanya.
Orang yang marah itu tiba-tiba saja telah meloncat menerkam.
Jari-jari tangan kanannya yang merapat pada ujung-ujungnya
telah mematuk kedada Glagah Putih.
Dengan kekuatan yang sangat besar, ujung-ujung jari yang
kuncup itu akan dapat menembus tulang-tulang rusuknya dan
menerkam jantung. Dengan sigapnya Glagah Putih melenting kesamping
sambil menggeliat. Serangan pemimpin dari orang-orang yang
datang itu benar-benar mengejutkan.
" Bukan main " desis Glagah Putih yang tersentuh
sambaran angin serangan orang yang garang itu.
Sementara itu orang yang menyerangnya itupun
mengumpat pula " Kau dapat menghindari seranganku, he"
Kau ternyata dapat memperpanjang umurmu.
Glagah Putih telah berdiri tegak menghadap ke orang yang
ternyata memiliki tenaga yang sangat besar itu. Namun tibatiba
saja Glagah Putih berkata " Ki Sanak. Aku minta
sebaiknya kau menyerah saja. Kita akan dapat berbicara
dengan baik. Kau akan dapat bertemu dengan Ki Lurah
Singaluwih di Mataram, karena agaknya kau dan Ki Lurah
berasal dari sumber kekuatan dan kuasa yang sama. Aku
menduga, bahwa kau telah mendapat perintah untuk
melakukan tugas. Tetapi seperti Ki Lurah Singaluwih, maka
meskipun ia mengatas namakan dirinya sebagai bagian dari
kakuatan dan kuasa di Madiun, tetapi apa yang dilakukannya
adalah diluar tanggung jawab Panembahan Madiun. Kaupun
agaknya telah berbuat demikian. Yang kau lakukan sama
sekali tidak diketahui apalagi ditugaskan oleh Panembahan
Madiun. " " Anak iblis " geram orang itu " kau memang harus dibunuh.
Kau sudah menghina aku bukan saja dengan perbuatan,
tetapi juga dengan kata-kata itu. "
Glagah Putih telah benar-benar bersiap menghadapi segala
kemungkian. Karena itu, maka ketika kemudian pemimpin dari
orang-orang yang datang itu meloncat sekali lagi dengan jarijari
yang diujungnya kuncup merapat mengarah ke dadanya,
iapun dengan cepat telah bergeser.
Namun Glagah Putih masih juga merasa sambaran angin
yang menerpa tubuhnya. Ternyata orang itu telah benar-benar menjadi marah. Ia
tidak lagi memberi kesempatan kepada Glagah Putih untuk
mempersiapkan dirinya. Dengan serta merta orang itu
memburu. Beberapa kali tangannya terayun mengarah
kedada, sedangkan kakinya berloncatan dengan cepatnya.
Dengan demikian maka Glagah Putih harus menyesuaikan
diri. Ia menyadari, bahwa lawannya telah melepaskan tenaga
cadangannya bahwa agaknya sudah hampir sampai
kepuncak. Karena itu, maka iapun tidak boleh lengah.
Ketika serangan orang itu datang memburunya bagaikan
angin putaran, maka Glagah Putih tidak membiarkan dirinya
sekedar menjadi sasaran. Karena itu, maka iapun telah
meningkatkan kemampuannya. Ketika serangan lawannya
datang membadai, maka iapun bergeser menghindar. Angin
yang menyambar tubuhnya terasa bagaikan menghanyutkan
pakaiannya. Namun demikian lawannya itu bersiap untuk
menyerangnya pula, maka kaki Glagah Putih telah lebih
dahulu terjulur kelambungnya.
Demikian cepatnya, sehingga orang itu tidak menyangka
sama sekali. Karena itulah, maka tiba-tiba orang itu sudah
terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh. Kaki Glagah
Putih ternyata telah melontarkannya dengan keras.
Terasa betapa sakitnya punggung orang itu. Tetapi ia
masih juga sempat melenting berdiri dengan sigapnya.
Dengan menggeretakkan giginya ia berusaha untuk mengatasi
rasa sakitnya. Glagah Putih memang tidak memburunya. Ia masih berdiri
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tegak sambil memandangi lawannya yang kesakitan.
Sementara itu, orang yang bertubuh agak gemuk itu
merasa heran. Begitu mudah ia menguasai anak itu.
Namun ternyata kemudian ia berhasil mengenai dan bahkan
melemparkan pemimpinnya sehingga jatuh terbanting di batubatuan
padas. Selagi orang itu keheranan, tiba-tiba terdengar suara
Glagah Putih " He, kenapa kau menjadi bingung. "
Orang yang agak gemuk itu tergagap. Sementara itu
Glagah Putih berkata pula " Jangan pergi. Lihatlah apa yang
akan terjadi. " Orang itu sama sekali tidak menjawab. Sementara itu
pemimpinnya benar-benar telah dibakar oleh kemarahan.
Dengan suara yang bergetar ia berkata " Ilmu dari iblis
manakah yang telah kau sadap itu, he" "
Glagah Putih tersenyum. Katanya " Aku tidak pernah
berhubungan dengan iblis yang manapun juga. Baru sekarang
aku mendapat kesempatan untuk bertemu dengan iblis itu. "
Kata-kata Glagah Putih terputus. Orang itu tiba-tiba saja
telah meloncat menyerang dengan garangnya. Tangannya
terayun deras sekali. Tetapi Glagah Putih telah memperhitungkannya. Dengan
sigap iapun telah bergeser menghindar. Tidak meloncat terlalu
jauh dari sambaran tangan lawan sebagaimana dilakukan
ketika ia melawan orang yang agak gemuk itu. Namun dengan
serangan itu terayun, maka Glagah Putih telah menyusul
dengan serangannya pula. Namun lawannya melihat gerak Glagah Putih. Dengan
menggeliat ia berhasil mengelakkannya, meskipun ketika
kakinya berjejak di tanah, keseimbangan agak terganggu.
Tetapi ketika Glagah Putih akan memanfaatkan kesempatan
itu, orang itu telah melenting surut. Demikian ia berdiri tegak,
maka ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Sejenak kemudian pertempuran diantara merekapun
telah menyala pula. Semakin seru.
Namun justru setelah Glagah Putih bertempur, Agung
Sedayu dan Glagah Putih sama sekali tidak mencemaskannya
lagi. Mereka mengerti bahwa Glagah Putih telah memiliki
bekal ilmu yang tinggi, meskipun ia masih memerlukan waktu
yang cukup untuk lebih mengenali tataran-tataran-nya.
Sebenarnyalah, bahwa Glagah Putih masih selalu
berusaha mengendalikan dirinya. Namun demikian, ternyata
bahwa lawannya telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi.
Bahkan kemudian Glagah Putih mulai merasakan bahwa
lawannya telah merambah kepada ilmunya yang
diandalkannya. Dengan demikian, maka terasa kecepatan gerak lawannya
justru menurun. Tetapi tata geraknya menjadi lebih mantap
dan berat. Sekali-sekali kakinya bagaikan terhunjam jauh
kedalam bumi. Glagah Putihpun segera menyesuaikan dirinya. Ia tidak
boleh dihancurkan oleh kekuatan lawannya. Benturanbenturan
yang kemudian terjadi memang memberikan kesan
kepada Glagah Putih, bahwa kekuatan lawannya sudah jauh
meningkat. Ternyata bahwa pertempuran itu adalah satu kesempatan
bagi Glagah Putih untuk menilai tataran-tataran ilmunya. Ia
dapat menambah dan mengurangi ilmunya menurut takarantakaran
yang dikehendakinya. Dengan demikian, maka Glagah Putih tidak pernah berada
dibawah kekuatan dan kemampuan lawannya. Betapa
lawannya meningkatkan ilmunya, maka Glagah Putihpun telah
melakukannya pula. Dalam benturan kekuatan disaat Glagah Putih menangkis
serangan lawannya yang masih saja mengarah kejantung,
terasa oleh lawannya tangan anak muda itu bagaikan
sepotong besi baja. Yang menjadi semakin heran adalah orang yang agak
gemuk yang berdiri dengan mulut ternganga diluar arena. Ia
tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Orang yang disebut Ki Lurah itu akhirnya tidak dapat
menahan diri lagi. Namun justru karena itu ia meloncat surut.
Kedua tangannya tiba-tiba saja telah dikembangkan dengan
jari-jari yang terkembang pula.
Glagah Putih tertegun melihat lawannya yang seakan-akan
telah berubah menjadi bara. Meskipun hanya sekejap. Namun
ketika kemudian orang yang dihadapinya itu telah berujud
sebagaimana ujudnya semula, Glagah Putih menyadari,
bahwa lawannya telah mengetrapkan ilmu puncaknya.
Menurut penilaian Glagah Putih, maka orang itu akan mampu
memanfaatkan inti kekuatan api, sehingga sentuhansentuhannya
akan dapat membakar. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia memiliki
kemampuan yang akan dapat melampaui kemampuan
lawannya. Ia tidak saja dapat membuat dirinya bagaikan
menjadi bara, tetapi ia dapat melontarkan kekuatan api itu
kesasaran pada jarak tertentu.
Tetapi Glagah Putih tidak melakukannya. Ia tidak ingin
dengan serta merta menyelesaikan pertempuran itu. Namun ia
akan mencoba menilai ilmunya sendiri setapak demi setapak.
Karena itu, maka Glagah Putih tidak menghempas
lawannya dengan api atau dengan prahara atau dengan
kekuatan ilmu Sadewa yang dahsyat yang mampu
dilontarkannya dari jarak tertentu tanpa sentuhan wadag, yang
semuanya menjadi semakin tinggi tingkatnya karena dilandasi
oleh kekuatan yang mengalir dari Raden Rangga ke dalam
dirinya. Tetapi Glagah Putih mempergunakan kekuatan air
yang dapat disadapnya, sekedar untuk mengatasi panasnya
api di tubuh lawannya yang membara.
Demikian kuatnya Glagah Putih menyerap kekuatan air
sampai kepada jenisnya, maka permukaan tubuhnyapun
menjadi bagaikan membeku seperti minyak dimusim bediding.
Bahkan jauh lebih dingin dari itu.
Dengan keadaannya itulah Glagah Putih kemudian
menunggu serangan lawannya.
Lawannya sama sekali tidak mengetahui, apa yang telah
terjadi pada diri Glagah Putih. Ia merasa bahwa dengan
kemampuan puncaknya itu, ia akan dengan cepat
menyelesaikan anak muda yang dianggapnya terlalu sombong
itu. Selangkah demi selangkah ia mendekati Glagah Putih.
Kemudian dengan garang orang itu meloncat sambil
mengayunkan tangannya. Tetapi jari-jari tangannya tidak lagi
lurus dan kuncup pada ujungnya untuk mematuk dada dan
mematahkan tulang-tulang rusuknya kemudian menarik
jantungnya, tetapi tangannya terbuka dengan jari-jari merapat.
Dengan derasnya orang itu memukul dahi Glagah Putih
dengan sisi telapak tangannya itu.
Tetapi sasaran itu tidak penting bagi lawan Glagah Putih. Ia
telah memperhitungkan, bahwa lawannya akan mengelak,
sehingga ia harus membuat serangan beruntun sehingga
pada satu saat terjadi beruntun jika Glagah Putih terpaksa
menangkis serangannya karena ia tidak mampu mengelak
lagi. Atau bahkan seandainya Glagah Putih harus
menyerangnya kembali dan mengenainya.
*** Jilid 223 DEMIKIANLAH, maka serangan yang satu telah disusul dengan serangan berikutnya. Bahkan kadang-kadang datang beruntun dengan cepatnya.
Glagah Putih berloncatan menghindari setiap serangan. Namun pada satu saat ia memang tidak dapat menghindar lagi. Serangan itu menyusul demikian cepatnya, sekejap setelah ia menghindari serangan sebelumnya. Karena itu, maka Glagah Putih harus menangkis serangan lawannya yang tubuhnya menjadi panas bagaikan bara. Terutama di telapak tangannya.
Demikianlah, sejenak kemudian telah terjadi benturan yang keras. Lawan Glagah Putih itu bersorak di dalam hati, bahwa pada satu saat ternyata anak yang masih terlalu muda itu tanpa mengetahui bahayanya, telah menangkis serangan telapak tangannya.
Serangan itu sendiri memang cukup kuat. Tetapi itu tidak penting bagi lawan Glagah Putih. Ia hanya memerlukan sentuhan. Apakah serangannya mengenai lawannya, atau lawannya itu menangkis serangannya atau bahkan justru lawannya itu yang menyerang dan mengenainya. Yang penting bagi lawan Glagah Putih itu, terjadi sen"tuhan wadag yang akan berarti membakar kulit daging lawan pada sentuhan itu.
Tetapi ketika benturan dengan Glagah Putih itu ter"jadi, maka orang yang disebut Ki Lurah itu ternyata telah terkejut bukan kepalang. Ia sama sekali tidak melihat Glagah Putih itu terlempar sambil berteriak kepanasan. Tubuhnyapun sama sekali tidak terluka sebagaimana tersentuh bara. Bahkan ketika tangan Ki Lurah itu mengenai tubuh Glagah Putih, terasa udara dingin mengalir menusuk kedalam urat darahnya lewat sentuhan itu.
Orang yang menjadi pemimpin dari keempat orang itu meloncat mundur. Dengan dahi yang berkerut ia memperhatikan Glagah Putih yang masih tegak dan justru telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Anak iblis." geram orang itu, "kau tidak terbakar panas apiku?"
Glagah Putih berdiri tegak. Sambil tersenyum ia berkata, "Sebagaimana kau lihat Ki Sanak. Aku tidak merasa apa-apa."
Orang itu mengumpat kasar. Yang terasa justru arus dingin merambat didalam dirinya, seakan-akan justru menghisap kekuatan panasnya. Orang itu menggeram sambil menghentakkan ilmunya. Baru kemudian perlahan-lahan ia mampu melawan udara dingin yang menyusup kedalam tubuhnya itu, sehingga sejenak kemudian, urat-uratnya telah menggetarkan ilmunya kembali keseluruh tubuhnya. Namun dengan demikian orang itu sempat mengurai peristiwa yang baru saja terjadi.
Ketajaman pengamatannya telah memperingatkannya, bahwa lawannya yang masih sangat muda itu mampu mengungkapkan kekuatan inti air yang dapat membuat udara bagaikan membeku kedinginan.
Orang itu memang menjadi heran. Lawannya itu masih sangat muda. Tetapi ternyata ia telah memiliki ilmu yang sangat dahsyat, yang jarang dimiliki oleh orang lain, bahkan mereka yang telah berpuluh-puluh tahun berguru. Tetapi orang itu tidak boleh mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Anak yang masih sangat muda itu benar-benar telah memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Bagaimanapun juga ia adalah seorang yang telah mengemban tugas yang dipikulnya diatas pundaknya. Ia ada"lah pemimpin dari sekelompok kecil orang-orang yang bertugas di Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka apapun yang dihadapinya, maka ia harus sanggup mengatasinya.
Demikianlah, maka ketika ia merasa telah berhasil mengatasi udara dingin di dalam tubuhnya yang hampir membekukan darahnya yang semula bagaikan mendidih itu, iapun bersiap pula. Ia sadar, bahwa panas didalam diri"nya telah bertemu dengan lawan yang mempunyai tingkat setidak-tidaknya sama tinggi, bahkan mungkin selapis diatasnya. Karena itu, maka ia harus berhati-hati.
Sejenak kemudian, keduanya telah berhadap-hadapan lagi. Ketika sekilas pemimpin dari sekelompok kecil petugas yang datang dari Bang Wetan itu sempat melihat kedua orang kawannya yang bertempur melawan Agung Sedayu dan Sabungsari, hatinya memang menjadi semakin kecut.
Tiba-tiba saja ia berteriak kepada kawannya yang agak gemuk itu, "He, apa yang kau lakukan disitu he" Kenapa kau tidak ikut melibatkan diri" Atau aku harus mencekikmu sampai mati?"
Orang bertubuh agak gemuk itu terkejut. Dengan serta merta iapun telah bersiap. Tetapi ia tidak segera tahu apa yang akan dilakukannya.
Sebenarnyalah, bahwa kedua orang yang harus ber"tempur melawan Agung Sedayu dan Sabungsari itupun tidak banyak mendapat kesempatan. Bahkan semakin lama mereka menjadi semakin terdesak betapapun mereka me"ngerahkan kekuatan dan kemampuan mereka. Baik Agung Sedayu maupun Sabungsari tidak terlalu banyak mengalami kesulitan untuk mendesak kedua orang lawan mereka itu. Ketika Sabungsari melihat Agung Sedayu agaknya tidak tergesa-gesa menyelesaikan lawannya, maka Sabungsaripun telah memperpanjang pertempuran. Ia mengerti, bahwa Agung Sedayu membiarkan lawannya dengan sendirinya karena kehabisan tenaga.
Berbeda dengan Glagah Putih yang harus bertempur dengan orang terbaik dari keempat orang itu.
Demikianlah, maka pemimpin dari orang-orang yang datang dari Timur itu dengan jantung berdebaran telah menghadapi lawannya yang memiliki ilmu yang tinggi itu. Kebekuan dan mungkin kemampuan lain yang belum terungkapkan.
Sebenarnyalah Glagah Putih memang memiliki kemam"puan yang sangat dahsyat. Ia tidak saja mampu mengungkapkan inti kekuatan air dalam kebekuan. Tetapi bergabung dengan kekuatan api, maka Glagah akan dapat menyemburkan udara yang mengandung uap yang panasnya melampaui air yang mendidih. Anak muda itu dapat menggabungkan kemampuannya menyadap kekuatan air dan api sekaligus bahkan dengan kekuatan-kekuatan yang dapat disadapnya dari alam disekelilingnya.
Tetapi Glagah Putih tidak ingin dengan sombong membinasakan lawannya. Ia masih berusaha untuk mengatasi lawannya dengan bagian-bagian dari kemampuannya. Bahkan ketika ia berhasil mendesak lawannya kedinding batu padas ia berkata, "Menyerahlah. Kita akan dapat berbicara."
Tetapi lawannya benar-benar sudah kehilangan nalar. Ia tidak lagi mau mendengar kata-kata Glagah Putih. Kecuali harga dirinya yang telah terinjak-injak oleh anak yang masih sangat. muda itu, maka orang itupun tidak mau diri"nya akan menjadi tawanan yang dibawa ke Mataram untuk diperas keterangannya. Apalagi jika benar di Mataram memang terdapat Ki Lurah Singaluwih.
Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari orang itu selain bertempur sampai batas kemungkinan yang terakhir. Bahkan ia tidak lagi menghiraukan kawan-kawannya yang terdesak, dan tidak pula melihat seorang diantara kawan"nya yang agak gemuk itu masih saja berdiri termangu-mangu.
Sebenarnyalah orang yang agak gemuk itu tidak me"ngerti apa yang sedang disaksikannya. Ia merasa dengan mudah mampu menguasai anak muda itu dan membawanya kepada pemimpinnya karena ia segan membunuh anak yang masih sangat muda itu. Namun tiba-tiba anak muda itu menjadi demikian perkasa, sehingga pemimpinnya sama se"kali tidak berhasil mengalahkannya. Bahkan semakin lama orang yang dikaguminya itu menjadi semakin terdesak.
Dalam saat-saat terakhir itu, maka orang yang disebut Ki Lurah itupun telah mengerahkan segenap kemampuan"nya. Tanpa menghiraukan keadaan dirinya dan kemung"kinan yang ada pada lawannya, maka ia telah menyerang Glagah Putih sejadi-jadinya.
Ketika kemudian benturan terjadi, orang itu masih merasakan arus udara yang beku bagaikan merambat di"dalam dirinya. Namun ia masih juga berhasil menghentakkannya dengan panas api didalam dirinya.
Demikianlah, maka pertempuran diantara keduanya menjadi semakin seru. Glagah Putih ternyata tidak mendapat kesempatan untuk bersikap agak lunak. Orang itu bagaikan telah kehilangan penalarannya, sehingga yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang keras.
Pada saat-saat yang demikian, memang sulit bagi Glagah Putih untuk menguasai tataran ilmunya. Karena itu, maka adalah diluar kemampuannya untuk mempergunakannya pada tataran yang tepat, sementara ia sendiri sedang berusaha untuk menilai kemampuannya.
Karena itulah, maka pada benturan-benturan yang semakin sering terjadi, maka tiba-tiba saja keadaan lawannya menjadi semakin parah. Ketika lawannya itu berusaha untuk mengerahkan sisa-sisa kemampuannya untuk menyerang, maka tiba-tiba orang itupun telah kehilangan kekuatannya. Rasa-rasanya darahnya telah membeku sampai kejantung.
Sejenak orang itu terhuyung-huyung. Ia masih ber"usaha untuk mengatasinya dengan kekuatan panas didalam dirinya. Namun ternyata ilmu anak muda itu lebih kuat daripada ilmunya, sehingga sejenak kemudian, orang itu tidak lagi mampu bertahan untuk tegak.
Glagah Putih tertegun ketika melihat orang itu kemu"dian terjatuh. Bahkan untuk seterusnya tidak bergerak lagi.
Orang yang agak gemuk yang semula melawan Glagah Putih itupun kemudian berlari-larian mendekati pemimpinnya yang terkapar di tanah. Ketika ia meraba tubuh itu, maka tubuh itu telah benar-benar membeku. Tidak ada lagi tarikan nafasnya dan sebenarnyalah orang itu telah meninggal.
Orang bertubuh gemuk itu berpaling kearah Glagah Putih yang berdiri tegak. Dengan nada rendah Glagah Putih berkata, "Aku sudah berusaha memperingatkannya."
Orang yang bertubuh agak gemuk itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau telah mengetahui aku. Kenapa kau tidak membunuhku saja?"
"Aku masih melihat kemungkinan yang lain padamu. Karena itu aku memang tidak berniat membunuhmu, seba"gaimana kau merasa segan membunuhku, meskipun kau memang seorang yang mempunyai pengalaman yang luas dalam permusuhan seperti ini."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Glagah Putih sendiri kemudian termangu-mangu. Ia telah bertempur melawan seorang yang berilmu tinggi. Ter"nyata bahwa ia berhasil mengalahkannya. Baru kemudian Glagah Putih sempat menilai dirinya sendiri. Ternyata Glagah Putihpun telah mengerahkan kekuatannya pula untuk mengatasi panasnya api pada setiap sentuhan. Bukan saja lawannya yang harus menghentakkan ilmunya untuk mendesak udara beku yang seakan-akan merambat didalam urat darahnya. Namun Glagah Putihpun harus mengerahkan kemampuan ilmunya untuk menguasai perasaan panas pada setiap sentuhan.
Karena itu, ketika lawannya sudah tidak berdaya lagi, maka baru terasa, bahwa tubuhnya memang merasa letih. Namun Glagah Putih sendiri masih juga merasa heran, bahwa keletihan itu sama sekali belum terasa mengganggu. Meskipun ia mengakui bahwa lawannyapun memiliki ilmu yang tinggi, namun ia telah berhasil mengalahkannya dengan tidak terlalu banyak mengalami kesulitan.
Namun Glagah Putih selalu ingat pesan yang pernah diterimanya dari beberapa orang yang pernah membimbingnya. Ia tidak boleh menjadi sombong dan kehilangan keseimbangan. Karena itu, maka ia memang tidak menganggap bahwa lawannya yang berilmu tinggi itu sudah sampai pada satu tataran yang mantap. Mungkin lawannya yang sudah mendapat kepercayaan untuk datang ke Tanah Perdikan Menoreh dan mengamati keadaan pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan itu baru berada pada tataran pertama dari ilmunya yang tinggi itu.
"Jika aku bertemu dengan orang yang memiliki tataran yang lebih tinggi, mungkin aku harus bekerja jauh lebih keras dari apa yang telah terjadi." berkata Glagah Putih didalam dirinya sendiri.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sabungsari me"mang tidak tergesa-gesa. Mereka tidak segera berusaha untuk mengalahkan lawan-lawan mereka, meskipun mereka mampu. Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa Glagah Putih telah membunuh lawannya. Kedua orang itu menganggap perlu untuk menangkap lawannya hidup-hidup, meskipun seorang yang tubuhnya agak gemuk itu nampaknya sama sekali tidak ingin berusaha untuk melarikan diri. Tetapi semakin banyak orang yang dapat mereka tangkap hidup-hidup, maka mereka akan semakin banyak pula mendapat keterangan.
Glagah Putih yang kemudian memperhatikan pertem"puran itu melihat betapa lawan-lawan Agung Sedayu dan Sabungsari telah menjadi keletihan. Namun Sabungsari dan Agung Sedayu masih juga membiarkan mereka me"lawan.
Sekali-sekali Sabungsari memang menyentuh tubuh lawannya untuk memancing perlawanan jika lawannya tidak lagi bertempur dengan segenap kekuatan dan kemampuannya. Dengan demikian maka lawannya harus mengerahkan tenaganya lagi untuk melindungi dirinya.
Dengan demikian maka baik Sabungsari maupun Agung Sedayu telah berhasil menguras tenaga lawan-lawan mereka. Semakin lama kedua orang pendatang itu semakin tidak berdaya. Bahkan pada saat-saat mereka menyerang namun tanpa mengenai sasaran, mereka justru telah terseret oleh tenaga mereka sendiri, sehingga mereka terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan.
Dalam keadaan yang demikian, maka baik Agung Se"dayu maupun Sabungsari tinggal menyentuh saja tubuh lawan mereka masing-masing sehingga mereka terdorong dan jatuh terjerambab.
Sabungsari yang melihat lawannya tersuruk-suruk mencoba bangun, telah berdiri di sebelahnya. Dengan nada rendah ia berkata, "Bangunlah. Kita belum selesai."
Orang itupun kemudian berhasil berdiri tegak. Tetapi ketika tangannya siap menarik senjatanya, Sabungsaripun berkata, "Sudah aku peringatkan. Jangan menarik senjatamu, karena senjatamu akan membahayakan jiwamu."
Orang itu tidak menghiraukannya. Ia sudah bertekad untuk bertempur dengan senjata. Tetapi sekali lagi tangannya bagaikan disengat api. Sehingga dengan demikian, maka dengan serta merta ia telah melepaskan hulu pedangnya.
"Kau dengar perintahku." berkata Sabungsari.
Lawannya menggeram. Ia tidak tahu sama sekali apa yang telah dilakukan oleh Sabungsari. Orang itu tidak mengerti bahwa dengan kekuatan ilmunya yang diperlemah, Sabungsari telah menusuk tangan orang itu dengan sorot matanya. Berbeda dengan Agung Sedayu. Disaat lawannya menarik pedangnya, maka dengan serta merta Agung Se"dayu telah menyerang pergelangan tangan lawannya dengan kakinya, sehingga senjatanya itu terlempar. Dengan demikian maka lawan Agung Sedayu itupun harus bertempur dengan tangannya dan kemampuan ilmu yang dimilikinya. Namun ternyata ilmu itu sama sekali tidak berarti dihadapkan kepada ilmu Agung Sedayu.
Demikianlah, akhirnya kedua orang yang bertempur melawan Sabungsari dan Agung Sedayu itu telah benar-benar kehilangan tenaga. Nafas mereka terengah-engah dan bahkan mereka tidak lagi mampu menguasai keseimbangan mereka.
Ketika lawan Agung Sedayu dalam keadaan yang rapuh berusaha memperbaiki keadaannya, justru Agung Sedayu telah menyentuh pundaknya sehingga orang itupun telah jatuh terduduk. Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit, tetapi karena kemudian Agung Sedayu berdiri dihadapannya, maka iapun telah mengurungkan niatnya.
"Sekarang kau boleh memilih." berkata Agung Sedayu, "menyerah atau membiarkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh menyeretmu ke banjar dan beramaji-ramai memukulimu. Aku akan berceritera kepada mereka apa yang sudah kalian lakukan disini. Usaha kalian menculik adikku. Namun sayang bahwa seorang diantara kalian justru telah terbunuh."
Kedua orang yang memang sudah tidak berdaya itu tidak mempunyai pilihan lain. Merekapun sadar, bahwa tawaran itu sebenarnya sudah tidak berarti apa-apa lagi, karena orang-orang Tanah Perdikan itu dapat menentukan apapun yang ingin mereka lakukan atas diri kedua orang itu.
"Jawablah." desak Agung Sedayu.
"Ki Sanak." jawab lawan Agung Sedayu itu, "aku sudah tidak berdaya. Seorang kawanku, yang justru pemimpinku telah terbunuh. Karena itu, apapun yang akan kau lakukan atasku, lakukanlah."
"Katakan bahwa kau menyerah atau tidak." bertanya Agung Sedayu pula.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Aku menyerah."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Nah, kalian telah menyerah pula. Jika demikian, persoalan kita disini sudah selesai. Tetapi kita akan segera mulai dengan persoalan baru. Kalian adalah tawanan kami."
Orang itu tidak menjawab. Apapun yang akan terjadi, harus diterimanya sebagai akibat dari tugas yang dibebankan kepadanya. Namun yang membuat orang-orang itu heran, bahwa mereka ternyata telah bertemu dengan orang-orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi di Tanah Perdikan Menoreh. Seorang anak yang masih sangat muda itupun mampu mengalahkan dan bahkan membunuh pemimpin mereka. Orang yang dianggap memiliki ilmu yang sangat tinggi. Yang mampu menjadikan dirinya sepanas bara api.
Lawan Sabungsaripun kemudian telah duduk pula di sebelah lawan Agung Sedayu. Bahkan orang yang bertubuh agak gemuk, yang semula merasa dirinya mampu menangkap Glagah Putih itupun telah duduk pula bersama mereka.
Glagah Putih bersama Agung Sedayupun kemudian mengamati orang yang terbunuh, sementara Sabungsari menunggui ketiga orang yang telah menjadi tawanan itu.
Dengan melihat pemimpin dari orang-orang yang datang ke Tanah Perdikan itu, maka Agung Sedayu dapat menilai betapa tingginya ilmu Glagah Putih. Sejak sebelumnya, ia memang telah mendapat warisan ilmu dari Ki Jayaraga, untuk menyadap inti kekuatan air, api, udara dan bumi. Namun ternyata dengan lambaran ilmu yang diteri"manya langsung dari Raden Rangga, maka segala-galanya telah meningkat dengan cepat. Demikian pula kekuatan puncak ilmu yang diwarisinya dari Ki Sadewa. Kekuatan yang didalam diri Glagah Putih mampu dilontarkannya dari jarak tertentu dengan kekuatan yang justru lebih besar.
Namun Agung Sedayu masih belum dapat mengukur tataran tertinggi dari ilmu Glagah Putih itu. Apakah ilmu Glagah Putih sudah mendekati kemampuan ilmunya sen"diri. Meskipun demikian namun pengalaman seseorang akan ikut menemukan sikap yang akan diambilnya menghadapi keadaan tertentu yang terjadi, apalagi dengan tiba-tiba.
Demikianlah, maka setelah dianggap cukup, maka Agung Sedayu telah memerintahkan ketiga orang itu untuk mengikutinya ke padukuhan induk. Sementara itu, pemim"pin mereka yang terbunuh itu, telah dinaikkan ke punggung kuda untuk dibawa pula bersama dengan mereka.
Ternyata bahwa disepanjang jalan, orang-orang itu, apalagi yang terbunuh diantara mereka, telah sangat me"narik perhatian. Namun Agung Sedayu masih belum bersedia memberikan keterangan.
"Kami akan menghadap Ki Gede." berkata Agun Sedayu, "pada saatnya kalian akan mengetahui apa yang telah terjadi."
Orang-orang itu tidak dapat memaksanya. Namun bagaimanapun juga hal itu menjadi bahan pembicaraan di"antara orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.
Agung Sedayu memang membawa ketiga orang itu ber"sama pemimpinnya yang sudah terbunuh ke rumah Ki Gede. Dengan singkat Agung Sedayu telah melaporkan, apa yang telah terjadi dengan mereka.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada ketiga orang itu, "Kalian telah membuat goncangan di Tanah Perdikan yang mulai terasa damai ini."
Ketiga orang itu menundukkan kepalanya. Tidak seorangpun yang berani menatap wajah Ki Gede yang men"jadi semakin berkeriput oleh umurnya, sebagaimana juga Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.
"Baiklah." berkata Ki Gede, "besok kita akan berbicara panjang. Mungkin sekarang kalian merasa letih. Beristirahatlah."
Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun beberapa orang pengawalpun kemudian telah membawa mereka ke sebuah bilik yang kokoh. Bilik yang memang dipergunakan untuk menempatkan orang-orang yang perlu dipisahkan dari orang lain.
Ketika ketiganya sudah berada didalam, maka pintu yang tebalpun kemudian telah diselarak dari luar. Ketiga orang itu termangu-mangu. Seakan-akan diluar sadar, mereka telah memeriksa dinding bilik itu. Namun ternyata bahwa setiap jengkal dari dinding bilik itu terbuat dari bahan yang kuat dan tebal. Ketika mereka memandang ke bagian atas dari dinding itu, terdapat sebuah lubang memanjang tepat dibawah belandar. Namun lubang itu terlalu sempit untuk sebuah kepala bayi sekalipun. Tetapi dari lubang itu udara yang segar telah masuk kedalam bilik. Sedangkan rusuk-rusuk atappun dibuat demikian rupa-nya, sehingga mereka tidak akan dapat meloloskan diri dengan membuka atap.
Akhirnya ketiga orang itu terduduk disebuah amben bambu yang cukup besar bagi mereka bertiga. Namun untuk beberapa saat mereka hanya saling berdiam diri saja merenungi keadaan mereka. Sementara itu, orang yang agak gemuk itu tidak habis-habisnya merasa heran atas kemampuan anak muda yang telah membunuh pemimpin"nya yang dianggapnya berilmu tinggi itu.
Di pendapa rumah Ki Gede, Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putihpun kemudian telah minta diri. Besok me"reka akan datang untuk ikut mendengarkan, keterangan dari orang-orang yang telah mereka tangkap itu.
"Jika terjadi sesuatu, kami akan memanggil kalian." berkata Ki Gede.
"Kami selalu siap Ki Gede." jawab Agung Sedayu.
Sepeninggal Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih, maka Ki Gedepun telah mengatur penjagaan sebaik-baiknya. Bukan saja karena mereka adalah orang-orang ber"ilmu, tetapi kemungkinan lain memang dapat terjadi. Sementara itu, telah diperintahkan pula untuk mengubur korban yang telah jatuh.
Beberapa orang tidak saja bertugas diserambi bilik itu. Tetapi penjagaan di sekitar rumah Ki Gede itupun telah ditingkatkan pula.
Ketika kemudian Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih sampai kerumah, maka orang-orang yang ada dirumah itupun segera telah berkumpul. Agung Sedayu, Sa"bungsari, Glagah Putih, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sekar Mirah. Mereka telah membicarakan peristiwa yang telah terjadi di lereng pebukitan sehingga telah minta korban seorang diantara pendatang itu meninggal.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah 15 The Spiderwick Chronicles 5 Amarah Mulgarath Misteri Kain Kafan Jesus 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama