Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 6

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 6


Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun iapun telah menceriterakan apa yang telah terjadi di kebun kosong itu.
Panembahan Senapati, Ki Patih Mandaraka dan Panglima prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus serta beberapa orang perwira tertinggi telah mendengarkanya dengan saksama. Sehingga dengan demikian, maka keterangan Raden Rangga itupun harus dihubungkan dengan semua laporan yang telah disampaikan kepada Panembahan Senapati.
Dengan demikian, maka Panembahan Senapati dan orang-orang yang mendengarkan keterangan Raden Rangga dan laporan-laporan yang lain telah mengambil kesimpulan, bahwa dua orang yang terbunuh itu adalah kawan dari orang yang telah memasuki bilik Panembahan Senapati. Sehingga kematian kedua orang itu berarti, bahwa tidak seorangpun diantara orang-orang yang memasuki istana itu yang tertangkap hidup-hidup.
Karena itulah maka Panembahan Senapatipun kemudian berkata dengan nada dalam, "Tidak ada gunanya apa yang telah kita lakukan beberapa lama sebelumnya. Bagaimana kita memancing agar mereka tidak mengurungkan niatnya Bagaimana orang-orang Tanah Perdikan Menoreh harus berbuat untuk menghilangkan prasangka bahwa rencana orang-orang itu dapat diketahui. Semuanya itu tidak berarti sama sekali, karena semua orang yang datang telah terbunuh."
Raden Rangga dan Glagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja. Namun bagi Raden Rangga, agaknya sudah pasti, bahwa ia akan mendapat hukuman, meskipun di dalam hatinya ia berkata, "Ayahanda juga telah membunuh lawannya." Tetapi ia tidak berani mengatakannya.
Sebenarnyalah bahwa Panembahan Senapati kemudian telah berkata, "Kita telah kehilangan langkah untuk menelusuri jejak orang-orang itu."
Untuk beberapa saat ruangan itu menjadi sepi tegang. Namun kemudian terdengar Panembahan Senapati itu berkata selanjutnya, "Kita harus mencari jalan, bagaimana kita menelusuri jejak yang hilang itu."
Dalam pada itu, tiba-tiba saja seorang perwira berkata, "Ampun Panembahan. Ternyata pada ketiga orang itu telah diketemukan ciri-ciri yang mungkin dapat dipergunakan sebagai alas untuk menemukan jejak mereka."
"Apakah ciri-ciri itu?" bertanya Panembahan Senapati.
"Pada ikat pinggang mereka terdapat timang yang serupa. Timang yang dipahatkan bentuk seekor ular yang melingkar." sahut perwira itu.
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak segera mengatakan sesuatu. Agaknya Panembahan Senapati itu sedang mengingat sesuatu.
Dalam keheningan itu, terdengar suara Ki Mandaraka, "Panembahan. Jika hamba tidak salah ingat, maka ujud itu adalah satu ciri sebuah padepokan yang dahulu pernah hamba kenal. Namun telah cukup lama nama padepokan itu tenggelam dan tidak pernah disebut sebut lagi."
Panembahan Senapatipun mengangguk-angguk. Katanya, "Ya paman. Akupun sedang mengingat ingat."
"Sebuah padepokan yang dikenal dengan nama Nagaraga. Sebuah padepokan dari perguruan yang juga disebut perguruan Nagaraga." desis Ki Mandaraka.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku ingat. Nagaraga. Tetapi sudah lama perguruan itu tidak didengar lagi. Menurut ingatanku, perguruan itu juga memihki ciri seekor ular naga. Tetapi aku tidak tahu, apakah ciri yang terdapat pada orang-orang yang terbunuh itu ciri dari perguruan Nagaraga."
Ki Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Marilah kita melihatnya Panembahan."
Panembahan Senapati mengangguk kecil. Iapun kemudian mendekati orang yang terbaring membeku karena goresan Kangjeng Kiai Pleret itu. Diamatinya pertanda yang terdapat pada timang di ikat pinggangnya yang terbuat dari tembaga yang keras. Pada timang itu memang terdapat ukiran seekor ular yang nampak garang.
"Apakah yang lain juga memakai pertanda seperti ini?" bertanya Panembahan Senapati kepada prajurit yang melaporkannya.
"Ya. Seperti itu." jawab perwira itu.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk Sementara itu Ki Mandaraka berkata, "Menurut penglihatanku, agaknya perguruan Nagaraga itupun mempunyai ciri seperti ini. Setidak-tidaknya mempunyai kemiripan seandainya ingatanku tidak tepat lagi. Karena itu maka aku juga mempunyai dugaan, bahwa orang-orang ini datang dari perguruan Nagaraga."
"Tetapi aku tidak pernah mempunyai persoalan dengan orang-orang Nagaraga. Bahkan aku merasa belum pernah berhubungan dengan orang-orang Nagaraga." berkata Panembahan Senapati.
"Memang masih ada rahasia yang harus disingkap dari peristiwa ini." berkata Ki Mandaraka.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Setelah ia duduk kembali di tempatnya, tiba-tiba saja ia berpaling kepada Raden Rangga. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Kau tentu belum pernah mendengar nama perguruan itu Rangga?"
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun ternyata tangkapan penalarannya tajam sekali. Karena itu maka iapun menjawab, "Belum ayahanda. Tetapi jika ayahanda memerintahkan kepada hamba untuk mencarinya, maka hamba akan mencarinya."
Dahi Panembahan Senapati berkerut. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Kau telah memutuskan jalur yang hendak kita telusuri dengan membunuh kedua orang itu."
"Hamba ayahanda." jawab Raden Rangga. Namun ia telah menangkap niat ayahandanya. Ia akan dihukum untuk mencari jalur yang terputus itu.
Ki Patih Mandaraka menjadi gelisah. Tetapi dalam keadaan yang demikian ia tidak dapat mencegah perintah Panembahan Senapati. Apalagi dihadapan para perwira dan terlebih-lebih lagi dihadapan anak itu sendiri. Panembahan Senapati yang kecewa itu tentu tidak akan mendengarkannya pula, sementara Raden Rangga akan merasa bahwa perintah itu kurang wajar sehingga orang lain terpaksa memberikan peringatan kepada ayahandanya. Karena itu, maka Ki Patih Mandaraka mendengarkan perintah Panembahan Senapati dengan hati yang berdebaran.
"Rangga." berkata Panembahan Sonapati, "agaknya kau telah tanggap. Aku memang akan memerintahkanmu untuk menelusuri jalur yang terputus karena dua orang yang mungkin memberikan keterangan itu telah kau bunuh."
Raden Rangga tidak menjawab. Namun diluar kehendaknya sendiri ia telah memandang tubuh yang terbaring diam. Tubuh seseorang yang telah terbunuh oleh ujung tombak pusaka yang tidak ada duanya. Kangjeng Kiai Pleret.
Sesuatu berdesir dihati Panembahan Senapati. Meskipun tidak dikatakannya, agaknya Raden Ranggapun telah menunjukkan, bahwa ia telah melakukan hal yang sama. Membunuh lawannya. Tetapi Panembahan Senapati tidak dapat berbuat lain karena orang itu datang kedalam biliknya, sementara Raden Rangga tentu tidak mengalami hal yang sama. Tetapi Panembahan Senapati sama sekali tidak ingin mengatakannya agar persoalannya tidak justru menjadi berkepanjangan.
Sementara itu Raden Ranggapun tidak menyebutnya. Yang dikatakannya kemudian adalah, "Hamba ayahanda. Hamba akan menjalankan perintah ayahanda."
"Bagus." berkata panembahan Senapati, "kau boleh pergi sendiri atau kau ajak kawanmu dari Tanah Perdikan itu yang juga telah terlibat dalam pembunuhan itu."
"Hamba ayahanda. Jika ayahanda memperkenankan hamba membawa seorang kawan, maka biarlah Glagah Putih ikut bersama hamba. Ada kawan berbincang diperjalanan, sehingga rasa-rasanya jalan di bulak-bulak panjang tidak terlalu lengang." berkata Raden Rangga.
"Aku tidak berkeberatan. Tetapi kau harus membawa anak itu kepada orang tua atau keluarganya. Temuilah Agung Sedayu dan katakan apa yang telah terjadi dan bahwa Glagah Putih akan kau bawa bersamamu mencari dan menelusur jejak yang hilang itu." sahut Panembahan Senapati.
Raden Rangga mengangguk dalam-dalam. Namun Ki Mandaraka justru melihat sepercik kegembiraan pada wajah anak itu.
"Ayahanda." sembah Raden Rangga kemudian, "kapan hamba diperkenankan untuk berangkat melakukan tugas hamba?"
"Kau dapat memilih waktu. Tetapi tidak terlalu lama." jawab Panembahan Senapati, "kau harus menemukannya dan kau tidak boleh bertindak sendiri. Kau harus memberikan laporan saja. Kamilah yang nanti akan ber"tindak lebih jauh."
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ayahandanya berbicara dengan jelas dan lengkap, namun terasa getaran kemarahan yang tertahan. Agaknya ayahandanya memang tidak ingin menunjukkan kemarahan dihadapan para prajurit, apalagi membentaknya dan memperlakukannya kurang wajar sebagai putera Panembahan Senapati.
Namun dalam pada itu Ki Patih Mandarakalah yang berkata, "Cucunda Rangga. Sebaiknya cucunda pergi ke Tanah Perdikan Menoreh lebih dahulu. Cucunda harus menemui Agung Sedayu dan memberitahukan persoalannya. Mungkin Glagah Putihpun masih harus minta ijin dan bekal dari kakak sepupunya atau bahkan dari Ki Gede Menoreh."
"Aku akan memberikan bekal secukupnya." potong Panembahan Senapati.
"Hamba Panembahan. Tetapi yang hamba maksud adalah bekal pesan dan mungkin petunjuk-petunjuk." jawab Ki Mandaraka.
Lalu katanya selanjutnya kepada Raden Rangga, "selanjutnya jika cucunda dan Glagah Putih akan berangkat mencari padepokan Nagaraga, maka sebaiknya kalian berdua singgah lagi dan mohon diri kepada ayahanda Panembahan Senapati. Juga kepadaku, karena aku mempunyai beberapa petunjuk tentang padepokan Nagaraga itu."
Raden Rangga tidak segera menjawab. Sekilas dipandanginya wajah ayahandanya. Namun kemudian kepalanya telah tertunduk lagi.
"Kau dengar pesan eyangmu?" bertanya Panembahan Senapati.
"Hamba ayahanda." jawab Raden Rangga.
"Nah, akupun sependapat." berkata Panembahan Senapati kemudian, "pergilah ke Tanah Perdikan. Jika kalian akan berangkat, singgahlah kembali. Kalian harus minta diri kepadaku dan kepada Eyang Mandaraka."
"Hamba ayahanda." desis Raden Rangga yang kemudian telah minta diri bersama Glagah Putih untuk segera pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika mereka sudah berada di luar istana, maka Glagah Putihpun berkata, "Ayahanda Raden tentu marah sekali."
"Aku tidak menduga. Tetapi kapan ayahanda tidak marah kepadaku, meskipun aku telah berusaha berbuat sebaik-baiknya?" jawab Raden Rangga, "Tetapi biarlah. Aku harus mempertanggung jawabkan kesalahan yang telah aku lakukan bersamamu. Mencari jalur yang terputus itu."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku menjadi takut sekali pada saat kita menghadap Panembahan Senapati. Tubuhku terasa bergetar dan jantungku tidak berdetak wajar lagi."
Raden Rangga tiba-tiba saja tertawa. Katanya, "Tetapi hukuman itu menyenangkan sekali. Dengan demikian aku mendapat hak untuk berbuat sesuatu."
"Tetapi dengan batasan-batasan tertentu." berkata Glagah Putih.
"Ya. Aku mengerti. Kita hanya mendapat hak untuk menemukan jalur itu. Selebihnya ayahanda sendiri yang akan menyelesaikannya. Tetapi aku sedang berpikir, apakah yang akan kita lakukan jika kita kemudian diketahui oleh perguruan itu dan diseret kepadepokan mereka. Apakah kita akan tetap berdiam diri atau melawan dengan kemungkinan yang paling buruk. Membunuh mereka."
"Raden sudah berpikir untuk membunuh lagi." berkata Glagah Putih.
"Tidak. Tetapi kemungkinan itu ada. Jangan berpura-pura. Membunuh atau dibunuh." berkata Raden Rangga.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Raden Ranggapun berkata, "Sudahlah. Kita akan memikirkannya kelak. Jika pada saatnya kita berangkat, ayahanda dan eyang Mandaraka tentu akan memberikan beberapa petunjuk."
Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu keduanya berjalan menuju ke istana Ki Patih Mandaraka. Mereka akan mengambil kuda dan langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.
Sejenak kemudian dua orang anak muda itu telah berkuda menyusuri jalan kota. Keduanya ternyata telah mempergunakan kuda yang tegar besar dan kokoh. Jarang terdapat kuda sebaik kuda yang mereka pergunakan, sehingga karena itu, kedua ekor kuda itu memang sangat menarik perhatian.
Ketika keduanya telah berada di luar gapura kota, maka mereka lebih mempercepat derap kuda mereka meskipun mereka tidak berpacu sepenuhnya. Matahari yang masih belum mencapai puncak langit terasa mulai menggigit kulit. Namun Raden Rangga sempat menguap sambil berkata, "He, tiba-tiba silirnya angin membuat aku mengantuk."
Perjalanan yang pendek itupun agaknya telah menarik perhatian, justru karena kuda-kuda mereka. Apalagi ketika mereka sampai kepadukuhan sebelah, tempat anak-anak muda berkerumun untuk bekerja.
Ketika Agung Sedayu melihat keduanya, iapun telah menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia mendekati Glagah Putih dan Raden Rangga, maka anak-anak muda yang lainpun telah tertarik pula untuk mendekat.
Raden Rangga dan Glagah Putih telah meloncat turun dari kuda mereka, sehingga karena itu, maka anak-anak muda itu sempat mengagumi dua ekor kuda yang sama-sama tegar, tinggi dan besar.
"Kiai Jayaraga juga berada disini" berkata Agung Sedayu.
"Dimana?" bertanya Glagah Putih sambil memandang berkeliling.
"Kiai berada di gardu diujung padukuhan itu bersama Ki Bekel." jawab Agung Sedayu, "nampaknya Kiai Jayaraga dan Ki Bekel masih belum puas menikmati wedang sere dan ketela yang direbus pakai legen kelapa."
"O" Raden Rangga mengangguk-angguk, "nikmat sekali. Aku akan pergi ke gardu." Lalu katanya kepada Glagah Putih, "nah, kau sendiri sajalah yang mengatakan kepada Agung Sedayu."
Agung Sedayu termangu-mangu. Agaknya memang ada yang penting yang akan disampaikan kepadanya. Karena itu, maka katanya, "Aku juga akan pergi ke gardu."
Ketika Raden Rangga mendahului pergi ke gardu tanpa menghiraukan lagi Glagah Putih dan Agung Sedayu, maka Agung Sedayupun telah mengajak Glagah Putih bersama ke gardu pula, sementara Glagah Putih telah mengikat kuda mereka pada sebatang pohon dipinggir jalan. Kepada anak-anak muda Agung Sedayu mempersilahkan meneruskan kerja mereka, mempersiapkan patok-patok untuk menentukan jalur parit yang akan mereka buat kemudian.
"Bukankah kita sudah menentukan arahnya." berkata Agung Sedayu, "kalian tinggal menancapkan patok-patok itu saja."
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah menyusul Raden Rangga yang pergi ke gardu. Demikian Raden Rangga muncul, Kiai Jayaraga terkejut. Dengan serta merta ia meloncat turun dari gardu sambil mengangguk hormat.
Ki Bekel dari padukuhan itu ternyata belum mengenal Raden Rangga, sehingga ketika Kiai Jayaraga menyebutnya sebagai Putera Panembahan Senapati, Ki Bekelpun telah turun pula sambil berjongkok.
"Ah." Raden Rangga menarik tangan Ki Bekel, "aku tidak terbiasa diperlakukan seperti itu. Nanti aku justru menjadi pingsan."
"Tetapi." Ki Bekel masih saja agak ketakutan.
"Silahkan berdiri Ki Bekel." berkata Kiai Jayaraga, "putera Panembahan Senapati yang seorang ini memang aneh."
Kiai Jayaraga tersenyum. Lalu katanya, "Silahkan duduk Raden."
"Aku mendengar ada ketela rebus legen kelapa disini he?" bertanya Raden Rangga sambil naik ke gardu itu dan duduk disudut.
Kiai Jayaraga tertawa. Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah mendekat pula.
Tetapi ternyata Ki Bekel justru telah mohon diri. Katanya, "Aku harus menunggui anak-anak itu."
"Silahkan." berkata Raden Rangga, "tetapi bukankah wedang serenya masih ada."
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun Kiai Jayaragalah yang kemudian menyahut, "Tentu masih ada Raden. Wedang Sere gula kelapa dan rebus ketela legen kelapa pula."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata, "Silahkan Raden. Aku akan bekerja bersama anak-anak muda itu."
"Silahkan. Anak-anak muda ini nampaknya terbiasa bekerja keras." sahut Raden Rangga pula.
Kepada Agung Sedayu Ki Bekel itupun berkata, "Aku ada di tempat kerja itu."
Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, "Mereka masih harus memasang patok."
Sejenak kemudian maka Ki Bekelpun telah meninggalkan gardu itu, sementara Kiai Jayaraga, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah ikut naik dan duduk di gardu itu pula.
Setelah minum beberapa teguk, maka Glagah Putihpun berkata, "Raden, sebaiknya Raden sajalah yang menyam-paikannya kepada kakang Agung Sedayu, karena bukankah memang Raden yang mendapat perintah untuk itu."
"Tetapi untuk menceriterakan apa yang telah terjadi, kaupun dapat melakukannya." sahut Raden Rangga.
"Sebaiknya Raden."
Sementara Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga menjadi tegang. Mereka memang menangkap bahwa ada yang penting untuk disampaikan kepada mereka. Sehingga karena itu maka rasa-rasanya mereka menjadi tidak sadar menunggu terlalu lama.
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah iapun kemudian berkata kepada Agung Sedayu, "Agung Sedayu. Aku memang mendapat perintah dari ayahanda untuk menyampaikan satu pesan kepadamu dan kepada Kiai Jayaraga. Karena itu, apakah aku harus menyampaikannya dirumahmu atau cukup aku sampaikan disini saja."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemu"dian iapun menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Raden Rangga memegang pula unggah-ungguh dan nampaknya persoalannya memang persoalan yang penting sekali.
Karena itu, maka Agung Sedayu tidak ingin mengecewakannya. Meskipun ia ingin segera mengetahui per-soalan yang penting itu, tetapi katanya, "Baiklah Raden. Aku kira lebih baik aku mempersilahkan Raden singgah dirumah."
"Terima kasih." sahut Raden Rangga, "aku tadi sudah singgah pula kerumahmu. Tetapi karena kau tidak ada dirumah, maka kami telah menyusulmu. Jika sebaiknya aku singgah lagi kerumahmu, aku tidak berkeberatan."
"Marilah." ajak Agung Sedayu, "memang lebih baik Raden singgah lagi kerumah."
"Tetapi bagaimana tugasmu disini?" bertanya Raden Rangga.
"Ki Bekel akan memimpin anak-anaknya." jawab Agung Sedayu.
Raden Ranggapun mengangguk-angguk. Namun ia masih sempat memungut sepotong ketela yang direbus pakai legen kelapa dan menghirup wedang serenya. Kemu"dian iapun telah turun pula dari gardu diikuti oleh Agung Sedayu. Kiai Jayaraga dan Glagah Putih.
Setelah mereka minta diri kepada Ki Bekel, maka merekapun segera meninggalkan padukuhan itu pergi kepadukuhan induk serta langsung kerumah Agung Sedayu.
Sekar Mirah setelah menghidangkan minuman dan beberapa potong makanan, telah ikut pula duduk diantara mereka, sehingga iapun ikut mendengar ketika Raden Rangga kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi di Mataram.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Raden Rangga dan Glagah Putih telah terlibat dalam satu langkah yang tidak dikehendaki oleh Panembahan Senapati. Untunglah bahwa Panembahan Senapati masih menahan diri dan bertindak dengan pertimbangan nalar, sehingga Glagah Putih tidak mendapat hukuman yang langsung. Bahkan kepergiannya untuk mencari jalur yang hilang itupun tidak diperintahkan langsung pula oleh Panembahan Senapati, tetapi karena permintaan Raden Rangga.
"Panembahan Senapati masih bertindak bijaksana dan bermurah hati kepada Glagah Putih." berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Namun iapun sadar, bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada Raden Rangga untuk menelusur jalur yang hilang itu adalah hukuman yang sangat berat. Sementara itu, Raden Rangga telah membawa Glagah Putih untuk menyertainya. Dengan demikian maka kedua orang itu akan menjalani satu tugas yang sangat gawat dan berat.
Sementara itu Kiai Jayaraga yang mempunyai tangkapan yang sama dengan Agung Sedayu itupun bertanya, "Apakah Raden telah mendapat petunjuk serta sedikit tentang perguruan yang disebut Nagaraga itu?"
"Belum." jawab Raden Rangga, "Eyang Mandaraka berpesan, jika aku sudah menyampaikan hal ini ke Tanah Perdikan, maka aku harus singgah lagi ke Mataram. Eyang Mandaraka akan memberikan pesan meskipun tidak banyak yang diketahuinya tentang perguruan Nagaraga."
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Perguruan itu adalah perguruan yang sudah lama tidak didengar namanya. Mungkin ada beberapa sebab. Mungkin perguruan itu memang sudah kehilangan pamor sandaran keteguhannya. Tetapi mungkin orang-orang terpenting dari perguruan itu dengan senjata menutup diri untuk satu kepentingan tertentu. Mungkin pada satu saat perguruan itu akan bangkit dengan tataran yang lebih tinggi dari masa-masa sebelumnya."
"Apakah Kiai mengetahui serba sedikit tentang perguruan itu?" bertanya Raden Rangga.
"Hampir tidak ada yang aku ketahui." jawab Kiai Jayaraga, "Namun aku pernah mendengar bahwa pergu-ruan itu menganggap ular sebagai binatang yang sangat dihormatinya."
"Tepat." sahut Raden Rangga, "orang-orang yang datang itu juga mempergunakan ciri ular naga pada timang ikat pinggang mereka."
Kiai Jayaraga mengangguk. Namun wajahnya memang nampak bersungguh-sungguh ketika ia berbicara tentang perguruan itu. Karena sebenarnya menurut pendengarannya, perguruan itu adalah perguruan yang gawat. Apalagi justru pada saat-saat terakhir nama perguruan itu tidak didengar lagi, sehingga tataran dari perguruan itu tidak dapat dinilai dengan jelas.
Raden Ranggapun agaknya menangkap kecemasan dihati Kiai Jayaraga itu. Karena itu maka katanya, "Kiai. Justru aku mendengar bahwa perguruan itu adalah perguruan yang bertataran tinggi dan mungkin selama ini tingkat yang tersimpan didalam perguruan itu akan lebih berkembang dalam kediamannya, maka aku akan dapat lebih berhati-hati."
"Ya Raden." jawab Kia Jayaraga, "Raden memang harus berhati-hati sekali. Apalagi Raden hanya berdua dengan Glagah Putih."
"Aku percaya bahwa Glagah Putih akan mampu melaku"kan tugasnya." berkata Raden Rangga.
Namun dalam pada itu Agung Sedayupun berkata, "Raden. Kita harus melihat kenyataan. Kekuatan yang ada di sekitar Mataram ternyata cukup besar. Raden Rangga mengetahui sendiri, bahwa untuk mengacaukan Tanah Perdi"kan ini dengan harapan bahwa semua perhatian akan berpaling, telah dilakukan oleh sepuluh orang. Dengan demikian aku dapat membayangkan, bahwa disatu tempat yang tersembunyi, telah disediakan kekuatan yang cukup besar untuk tujuan tertentu. Nah, apalagi di padepokannya."
"Justru belum tentu," jawab Raden Rangga, "kekuatan yang besar itu mungkin diambilnya dari sekelompok kekuatan yang lain, sementara orang-orang dari perguruan Nagaraga hanya orang-orang yang menentukan dan mengatur saja, termasuk orang-orang yang merasa mampu langsung berhadapan dengan ayahanda Panembahan Senapati."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Memang mungkin Raden. Tetapi jika hal ini aku kemukakan, maka aku berharap Raden dan Glagah Putih menjadi lebih berhati-hati. Sebab aku berkeyakinan bahwa orang-orang Nagaraga dan diseputar kelompok itu dalam kedudukan apapun. Kitapun belum tahu, apakah yang terbunuh itu orang tertinggi dalam perguruan itu."
Raden Rangga mengangguk-angguk pula. "Ya." katanya, "aku mengerti."
"Nah, jika demikian maka perjalanan Raden kali ini benar-benar perjalanan yang berbahaya. Bukan sekedar menangkap seekor harimau dan dilepaskan dikebun orang, atau mengangkat dan memindahkan tugu batas antara dua Kademangan." berkata Agung Sedayu.
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, "Dari siapa kau mendengar bahwa aku pernah memindahkan tugu batas itu?"
"Bukan hanya itu." jawab Agung Sedayu, "Raden per"nah juga memutar pedati yang menuju kepasar di dini hari, ketika penunggangnya sedang tidur. Ketika penunggangnya terbangun, pedati itu justru sudah ada dihalaman rumahnya lagi."
Raden Rangga tertawa. Sementara Agung Sedayu berkata, "Lebih dari itu, bukankah ayahanda Raden Sudah beberapa kali marah kepada Raden tentang tingkah laku Raden?"
"Ya." jawab Raden Rangga, "dan kini aku harus menjalani hukuman bersama Glagah Putih."
"Hukuman yang sangat berat." jawab Agung Sedayu.
Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun katanya, "Tidak ada tugas yang sangat berat, jika kita jalani dengan ikhlas. Tentang berhasil atau tidak, itu persoalan kemudian, asal kita sudah berusaha sampai pada puncak kemampuan."
"Baiklah Raden." berkata Agung Sedayu, "kapan Raden akan berangkat."
"Sekarang." jawab Raden Rangga tanpa berpikir.
"Sekarang?" ulang Agung Sedayu, "apakah Raden berkata sebenarnya?"
"Ya. Kenapa?" justru Raden Ranggalah yang bertanya, "kami akan berkuda lagi sampai Mataram dan meninggalkan kuda kami di Mataram Selanjutnya kami akan berjalan kemana sa"ja agar kami dapat melakukan tugas kami dengan lebih mudah tanpa diganggu oleh kuda-kuda kami."
"Raden," berkata Agung Sedayu, "memang semakin cepat Raden berangkat, akan semakin baik. Tetapi kami akan memohon waktu barang dua tiga hari untuk mempersiapkan Glagah Putih lebih mantap. Menghadapi tugas yang sangat berat ini, ia harus benar-benar sudah bersiap lahir dan batinnya."
"Dan aku harus menunggu dua tiga hari disini?" bertanya Raden Rangga.
"Apa salahnya?" bertanya Agung Sedayu, "Raden menunda barang tiga hari keberangkatan Raden, namun hasilnya akan lebih baik daripada jika Raden tergesa-gesa."
Raden Rangga termangu-mangu. Namun ayahandanya memang tidak memerintahkannya berangkat dihari tertentu, sehingga karena itu, maka mungkin saja keberangkatannya ditunda dua tiga hari lagi.
Karena itu, maka katanya, "Baiklah. Silahkan memberikan bekal yang lebih mantap kepada Glagah Putih, sementara aku dapat beristirahat disini. Tidur dan barangkali nonton Glagah Putih menempa diri."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Bagi Raden Rangga usaha untuk menempa diri untuk tidak lebih dari sebuah tontonan. Namun Glagah Putih tidak menyahut sama sekali.
Namun dengan demikian, maka dalam tiga hari itu, Agang Sedayu dan Kiai Jayaraga harus benar-benar mampu mempersiapkan Glagah Putih untuk melakukan satu tugas yang sangat berat. Bersama Raden Rangga ia harus menerjuni medan yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Namun yang pasti, di dalam medan itu terdapat kekuatan yang sangat besar yang akan menunggunya. Karena itulah, maka Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga masih merasa perlu untuk membawa Glagah Putih kedalam sanggar.
Sebagaimana diharapkan oleh Agung Sedayu, maka Raden Rangga dan Glagah Putih telah menunda keberangkatan mereka. Sementara itu Agung Sedayu dan Kiai Jayaragapun telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk mempertajam ilmu Glagah Putih. Waktu mereka terlalu pendek untuk mulai dengan bekal yang baru, sehingga ka"rena itu, maka yang dapat mereka lakukan adalah memantapkan yang memang sudah ada.
Pada malam yang pertama, Raden Rangga tidak ikut menunggui Glagah Putih di sanggarnya. Ternyata ia telah pergi bersama pembantu rumah Agung Sedayu ke sungai untuk membuka pliridan. Satu permainan yang jarang ditemui oleh Raden Rangga.
"Besok menjelang dini hari, pliridan ini kita tutup." berkata pembantu rumah Agung Sedayu itu. "Kita akan mendapatkan ikan yang ada didalam pliridan ini."
"Menyenangkan sekali." berkata Raden Rangga, "besok dini hari, ajak aku menutup pliridan ini."
Tetapi ternyata Raden Rangga tidak mau kembali kerumah Agung Sedayu. Ia lebih senang berjalan menelusuri sungai itu hilir mudik. Dibeberapa tempat ia melihat juga phridan yang serupa. Bahkan didekat bendungan ia melihat seorang yang duduk dengan sabarnya sambil menjatuhkan kailnya ke permukaan.
Malam itu, Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga telah berusaha untuk menilai kemampuan Glagah Putih. Keduanya terkejut ketika Glagah Putih menceriterakan kepada mereka, bahwa Raden Rangga telah menuntunnya untuk melontarkan ilmunya meluncur lepas dari telapak tangannya yang mengembang.
"Hanya dalam waktu yang sangat singkat itu?" bertanya Kiai Jayaraga.
"Ya Kiai." jawab Glagah Putih.
"Baiklah." berkata Agung Sedayu, "kami ingin melihat, apa yang dapat kau lakukan dengan cara yang telah kau pelajari dari Raden Rangga itu."
Sejenak kemudian, maka Glagah Putihpun telah mempersiapkan diri untuk melakukan sebagaimana pernah dilakukan bersama Raden Rangga dibawah pengamatan yang bersungguh-sungguh dari Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga.
Beberapa saat lamanya, Glagah Putih memusatkan segenap nalar budinya, kemudian dengan satu hentakan diarahkannya tangannya pada sasaran. Sebatang tonggak kayu glugu yang ditancapkan ditengah-tengah sanggar, yang tingginya hampir dua kali tinggi badannya.
Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga menjadi tegang. Ia melihat tonggak kayu glugu yang utuh itu berguncang. Bahkan kemudian meskipun perlahan-lahan tonggak itu telah roboh.
Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat pada permukaan tonggak yang langsung terkena hentakan kekuatan Glagah Putih itu seakan-akan menjadi hangus.
"Luar biasa." desis Kiai Jayaraga.
"Namun kau telah menangkap kemampuan itu dengan kasar." berkata Agung Sedayu, "aku memang sudah menduga meskipun tidak seluruh dugaanku itu benar."
"Ya." Kiai Jayaraga mengangguk, "agaknya kau memerlukan isi dari loncatan panjangmu, agar tidak terlalu menghentak-hentak."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam Sementara itu, maka Kiai Jayaragapun berkata, "Marilah kita mengulanginya. Tetapi karena kau sudah meloncat jauh, kita akan mengisi kekosongan disela-sela langkahmu, sehingga ilmu itu akan menjadi semakin mantap dan tajam. Kau akan mampu melakukan lebih baik dan lebih mendasar."
Glagah Putih mengangguk. Sementara itu, Kiai Jayaragapun telah membawa Glagah Putih untuk duduk bersila menghadapi sasaran yang lain. Seonggok batu padas yang diletakkannya diatas sebuah batu hitam.
Kiai Jayaraga mulai memberikan tuntunan untuk mengambil langkah-langkah yang berurutan. Dari bilangan pertama, meningkat ke bilangan kedua, ketiga dan selan"jutnya, untuk mengisi langkah-langkah yang langsung pada loncatan langkah kesepuluh.
Kiai Jayaraga mulai dengan tuntunan pernafasan. Penguasaan tenaga cadangan, pemusatan nalar budi, pemusatan sasaran, kemudian mengatur getaran di dalam dirinya dan menyalurkannya pada telapak tangannya.
"Kau sudah melakukannya dengan kasar." berkata Kiai Jayaraga, "sekarang kau lakukan dengan cara yang lebih lembut."
Glagah Putihpun melakukan sebagaimana dikatakan oleh Kiai Jayaraga. Rasanya memang bagaikan melangkah setapak demi setapak. Sehingga akhirnya, dengan mapan ia telah melontarkan kekuatannya.
Akibatnya bukan buatan. Glagah Putih sendiri terkejut. Jauh lebih baik dari yang dilakukan terdahulu. Demikianlah, maka Glagah Putih harus mengulanginya beberapa kali. Jika seonggok batu padas pecah, maka diletakkan batu padas yang lain diatas batu hitam itu.
"Pada satu saat sebelum kau berangkat, kau harus sudah dapat melakukannya dengan mapan, cepat dan tidak usah memikirkan apakah yang harus kau lakukan sebagaimana kau berjalan. Kau tidak usah memperhitungkan lagi, bahwa kaki kirimu kau angkat selanjutnya kaki kanan dan seterusnya. Juga sebagaimana seorang berenang didalam air, sehingga demikian sajalah telah terjadi." berkata Kiai Jayaraga.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun telah bertekad untuk melakukannya sebaik-baiknya sebagaimana diminta oleh gurunya. Segalanya memang terasa berjalan lebih lunak dan tidak menghentak-hentak di dalam tubuhnya. Aliran darahnyapun rasa-rasanya tidak bergejolak dan menggelegak di dalam dada.
Malam itu, Glagah Putih telah memiliki sesuatu yang meyakinkan. Ia telah mendapat ijin dari kedua orang gurunya untuk melakukannya jika ia menghadapi lawan yang luar biasa, disamping ikat pinggangnya jika ia tidak sempat melepaskan ilmunya dengan cara yang baru didalaminya itu.
Menjelang dini hari, maka latihan-latihan yang berat itupun telah dihentikan. Glagah Putih mendapat kesempatan untuk beristirahat. Namun ketika ia keluar dari sanggar dengan tubuh yang letih ia melihat pembantu rumahnya berada dihalaman siap untuk pergi ke sungai.
"Kawanmu itu ada disungai." berkata pembantu itu.
Glagah Putih segera mengetahui yang dimaksud adalah Raden Rangga. Karena itu, maka iapun telah memberitahukan kepada Agung Sedayu bahwa ia akan pergi ke sungai.
"Raden Rangga ada disungai." berkata Glagah Putih kemudian.
Agung Sedayu dan Kiai Jayaragapun tidak mencegahnya. Sehingga dengan demikian maka Glagah Putih itupun telah ikut pula pergi ke sungai.
Sebenarnyalah ditemuinya Raden Rangga berada dipinggir sungai itu duduk diatas batu hitam yang mencuat dipermukaan.
Ketika Raden Rangga melihat Glagah Putih datang bersama pembantu dirumahnya, maka iapun segera meloncat menyongsongnya sambil bertanya dengan sikap anak-anak, "Kita akan menutupnya ?"
"Ya." jawab pembantu rumah Agung Sedayu yang masih sangat muda pula.
"Bagus." desis Raden Rangga, "aku akan menutupnya."
"Tetapi ada caranya agar ikan yang sudah ada didalamnya tidak lepas." berkata Glagah Putih.
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Sementara itu Glagah Putih telah membawa sebuah wuwu untuk dipasang dibagian bawah pliridannya.
Raden Rangga telah membantunya memasang wuwu. Kemudian meraka beramai-ramai menutup pliridan itu. Ketika airnya menjadi semakin dangkal, mengalir keluar lewat wuwu yang telah dipasang, maka ikan yang ada didalam pliridan itupun telah memasuki wuwu pula, sehingga tidak akan mungkin dapat keluar lagi. Ketika wuwu itu kemudian dibuka, maka agaknya mereka telah mendapat ikan cukup banyak.
"Ternyata mudah sekali untuk mendapatkan ikan." berkata Raden Rangga. Ia ikut bergembira melihat hasil yang didapat oleh pembantu rumah Agung Sedayu.
"Setiap malam kalian mendapat ikan sekian banyak?" bertanya Raden Rangga pula.
"Tidak tentu." jawab Glagah Putih, "kadang-kadang lebih banyak. Tetapi kadang-kadang sedikit saja."
Namun pembicaraan itu terhenti. Beberapa orang telah lewat menyusuri sungai itu. Mereka terhenti melihat anak-anak muda memasukkan ikan kedalam kepis.
"He, darimana kau dapat ikan itu?" bertanya salah seorang anak muda yang membawa sebuah jala.
"Pliridan itu." jawab Glagah Putih.
"Sial sekali." geramnya, "aku tidak mendapat apa-apa meskipun aku sudah menelusuri sungai itu hampir sampai keujung dari ujung. Dengan jala lagi. Kalian dengan sebuah pliridan mendapat begitu banyak."
"Nasib kita memang berbeda." jawab Glagah Putih.
Seorang diantara mereka tiba-tiba berkata, "Sebaiknya kita bagi saja. Kau tidak memerlukan ikan sebanyak itu. Berapa kau dapat ikan lele yang besar-besar itu?"
"Ah." jawab Glagah Putih, "pendapatan kamipun tidak sebanyak malam kemarin. Apalagi kemarin kami mendapatkan seekor pelus sebesar lengan tanganku ini disamping beberapa ekor ikan lele dan kutuk."
"Nah." berkata orang yang mau membagi ikan itu, "Kalau begitu kau sudah cukup banyak makan ikan. Dua buah jala kami tidak sedang mendapatkan ikan. Karena itu, berikan sebagian ikan itu."
"Setan." geram pembantu rumah Agung Sedayu, "kau kira kau dapat memaksa kami?"
"Kenapa tidak?" jawab anak itu sambil melangkah maju. Namun pembantu rumah Agung Sedayu itu bergeser beberapa langkah surut, sehingga Glagah Putih dan Raden Rangga justru tertawa.
Namun diluar dugaan, Glagah Putih berkata, "baiklah Ki Sanak. Ambillah. Tetapi agaknya kau bukan orang tanah Perdikan ini."
Orang itu termangu-mangu. Namun sekali lagi Glagah Putih berkata, "Ambillah seberapa kau perlu. Ikan itu memang tidak terlalu banyak untuk dibagi. Karena itu, jika kau menghendaki, ambil saja semuanya."
Orang itu justru menjadi termangu-mangu. Sementara anak yang bergeser mundur dengan agak cemas itu masih mengancam, "Ambillah. Aku akan memukul kentongan. Semua orang Tanah Perdikan akan terbangun dan kalian akan ditangkap."
"Ah, jangan begitu." potong Glagah Putih.
"Aku akan memukul kentongan sekarang." ancamnya lagi.
Orang-orang yang membawa jala itu termangu-mangu. Namun merekapun segera meninggalkan ketiga orang itu.
Raden Rangga tertawa. Katanya, "He, kau anak berani. Kau pantas menjadi pembantu rumah Agung Sedayu dan Glagah Putih."
"Kenapa?" bertanya anak itu.
"Kau akan dapat menjadi seorang yang peng-pengan." jawab Raden Rangga.
"Glagah Putih tidak mau mengajari aku berkelahi." jawab anak itu, "ia takut pada suatu saat akan aku kalahkan."
"Aku sudah mengajarimu." sahut Glagah Putih.
"Kau hanya mengajari aku bantingan. Aku ingin da"pat berkelahi dengan cara yang lebih baik." berkata anak itu.
Glagah Putih dan Raden Rangga tertawa. Tetapi anak itu justru bersungut-sungut sambil berguman. "Kau hanya sanggup-sanggup saja. Tetapi ada saja alasanmu untuk mengingkari. Apalagi kau selalu saja pergi entah kemana dengan seribu alasan."
Glagah Putih dan Raden Rangga tertawa. Tetapi mereka tidak menyahut lagi.
Demikianlah maka ketiga orang itupun telah bersiap-siap untuk pulang kembali. Sementara itu anak yang menj
Balas " On 18 September 2009 at 18:35 kuncung Said:
Diterusin ?". Demikianlah maka ketiga orang itupun telah bersiap-siap untuk pulang kembali. Sementara itu anak yang menjadi pembantu rumah Agung Sedayu itu berkata kepada Glagah Putih " Kau tidak pernah berusaha mempertahankan milik kita. Dahulu aku pula yang harus berkelahi. Sekarang, aku pula yang mempertahankan. Aku jadi ragu apakah benar kau mampu berkelahi. Jika aku benar-benar kau ajari, maka akupun akan menjadi seperti kau. Tidak beranimempertahankan hak sendiri. "
Glagah Putih dan Raden Rangga masih saja tertawa tertahan. Sementara itu Glagah Putihpun berkata " Sudah lah. Marilah kita bawa ikan yang kita peroleh itu pulang. Aku akan membawa wuwunya. Sampai dirumah kita masih mempunyai waktu sedikit untuk tidur menjelang matahari terbit. "
Anak itu tidak menjawab. Iapun kemudian membawa kepis yang berisi ikan di tangan kanan dan membawa wuwu ditangan kiri. Ketika Glagah Putih minta wuwu itu untuk dibawanya, maka anak itupun menjawab " Aku masih kuat membawanya. "
" Cangkul itu" " bertanya Glagah Putih.
" Kaulah yang membawa " jawab anak itu.
Dahi Glagah Putih berkerut. Tetapi iapun akhirnya tersenyum. Anak itu telah mendahuluinya tanpa berpaling.
Glagah Putihlah yang kemudian membawa cangkul dipundaknya sambil berjalan pulang bersama Raden Rangga.
" Anak itu menyenangkan " berkata Raden Rangga.
" Tetapi masih terlalu kanak-kanak. Jika ia memiliki sesuatu kelebihan, maka ia akan menjadi semakin senang berkelahi " jawab Glagah Putih.
" Siapa yang kau sebut itu" " bertanya Raden Rangga.
" Anak itu " jawab Glagah Putih.
" Bukan aku" " bertanya Raden Rangga.
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum pula. Katanya " Raden sudah bukan anak-anak lagi. "
Glagah Putih tertawa. Sementara itu anak yang membawa kepis dan wuwu itu sudah semakin jauh didepan.
Sebenarnyalah bahwa ketika mereka sampai dirumah, mereka masih sempat berbaring barang sejenak. Namun, demikian mereka terlena, maka Sekar Mirahlah yang kemudian terbangun dan pergi ke dapur untuk merebus air, sementara Agung Sedayu mulai membersihkan halaman.
Suara sapu lidi itupun telah membangunkan Glagah Putih dan Raden Rangga. Keduanyapun kemudian bangkit dan keluar pula dari biliknya. Glagah Putih langsung pergi ke pakiwan untuk menimba air mengisi jambangan. Sementara Raden Rangga bertanya " Lalu apa yang harus aku kerjakan" "
" Raden akan berbuat sesuatu" " bertanya Glagah Putih.
" Tentu " jawab Raden Rangga.
" Kuda-kuda itu " jawab Glagah Putih.
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Lalu iapun bertanya " Apakah aku harus menyabit rumput" "
" Tidak Raden " jawab Glagah Putih " bukankah sudah ada orang yang menyabit rumput" Tetangga sebelah telah diupah oleh kakang Agung Sedayu untuk setiap hari menyediakan rumput bagi kuda-kuda kami. "
Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya " Tetapi masih terlalu pagi untuk memandikan kuda. Barangkali maksudmu membersihkan kandangnya" "
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum " Itu tugasku di setiap hari. Mumpung Raden ada disini barangkali sekali-sekali tugasku menjadi ringan. "
" Jika kau tidak ada dirumah" " bertanya Raden Rangga.
" Kakang Agung Sedayu yang melakukannya. " jawab Glagah Putih.
Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun ketika ia siap untuk beranjak dari tempatnya. Glagah Putih berkata " Raden sajalah yang mengisi jambangan. Akulah yang membersihkan kandang. "
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Terima kasih. Aku agaknya memang akan mendapatkan kesulitan untuk membersihkan kandang kudamu. Apalagi jika termasuk kandang lembumu. "
Glagah Putih tertawa. Setelah menyerahkan timbanya kepada Raden Rangga, maka Glagah Putihpun telah pergi ke kandang untuk membersihkannya.
Demikianlah Raden Rangga telah berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tugas-tugas Glagah Putih. Menjelang matahari naik, Glagah Putih telah mengajak Raden Rangga untuk pergi ke padukuhan sebelah, ketempat Agung Sedayu bersama anak-anak muda menyiapkan perluasan parit bagi lahan yang baru yang dihari sebelumnya ditunggui oleh Agung Sedayu sendiri, sementara Agung Sedayu telah pergi menemui Ki Gede untuk memberikan laporan tentang tugas Raden Rangga dan Glagah Putih setelah peristiwa di Mataram itu terjadi.
Ki Gede yang menerima laporan itu mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia berkata " Satu tugas yang sangat berat bagi Raden Rangga dan Glagah Putih. "
" Ya Ki Gede " jawab Agung Sedayu " namun agaknya Panembahan Senapati benar-benar ingin menghukum puteranya yang sering ikut mencampuri persoalan Panembahan Senapati. Meskipun maksud anak itu baik, namun akibatnya kadang-kadang telah menyulitkan. "
Ki Gede mengangguk-angguk pula sambil bertanya " Kapan mereka akan berangkat" "
" Dalam dua tiga hari lagi " jawab Agung Sedayu. Ki Gede merenung sejenak. Kemudian katanya "
Dengan demikian, bukankah berarti bahwa prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan ini sudah tidak berarti lagi. "
" Ya. Aku akan berpesan kepada Raden Rangga dan Glagah Putih jika mereka singgah kembali ke Mataram untuk menerima pesan-pesan terakhir sebelum mereka berang kat ke sebuah padepokan yang belum mereka kenal. "
Ki Gede mengangguk-angguk. Ternyata beberapa hal yang diatur dalam hubungan rahasia dengan Mataram itu justru berakhir dengan tugas yang berat bagi Raden Rangga dan Glagah Putih. Namun demikian Ki Gedepun bertaka " Tetapi agaknya kematian tiga orang itu bukannya berarti bahwa tidak ada orang lagi disekitar Mataram. Tiga orang itu agaknya orang-orang terpenting memang. Namun dibelakang ketiga orang itu masih terdapat banyak orang lagi. "
" Ya Ki Gede " jawab Agung Sedayu " agaknya mereka masih ada disekitar Mataram. Tetapi tanpa prajurit Mataram itupun kita akan dapat menjaga diri seandainya orang-orang itu benar-benar memalingkan wajah mereka ke
Tanah Perdikan ini. "
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya " Aku sependapat. Karena itu, kita harus meningkatkan kewaspadaan jika nanti pasukan Mataram itu benar-benar akan ditarik. "
Agung Sedayupun kemudian mohon diri setelah Ki Gede memberikan beberapa pesan tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, hari-hari yang pendek itupun telah dipergunakan oleh Glagah Putih sebaik-baiknya. Dimalam berikutnya ia tidak lagi berada disanggar. Tetapi ia telah mengadakan latihan-latihan ditempat terbuka meskipun tersembunyi ditempat yang jarang dikunjungi orang.
Raden Rangga malam itu ikut pula menyaksikan, apa yang telah dilakukan- oleh Glagah Putih dalam usaha meningkatkan ilmunya.
Seperti malam sebelumnya Glagah Putih masih harus mengulang kemampuannya melepaskan ilmu dengan melontarkannya lewat telapak tangannya yang terbuka. Getaran-getaran yang memuat kekuatan didalam dirinya berloncatan menyambar sasaran.
Namun ketika Raden Rangga melihat Glagah Putih melepaskan kemampuannya dan mengenai sasaran, tiba-tiba saja Raden Rangga telah bertepuk tangan.
" Luar biasa " katanya " kau mampu menyempurnakan ilmu itu sehingga benar-benar menjadi ilmu yang mapan. Tentu karena tuntutan kakakmu dan gurumu. "


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambutan yang tiba-tiba itu membuat Glagah Putih, Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga berdebar-debar, sehingga. Agung Sedayupun kemudian berdesis " Raden dapat memanggil seorang petani yang sedang menunggui air di-sawah. "
" Maaf " berkata Raden Rangga " aku senang sekali melihat perkembangan ilmunya. Tetapi jika aku tidak
memacunya dengan ujud yang barangkali terlalu kasar, maka padanya tentu masih belum diberikan tuntutan tentang ilmu itu. "
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi agaknya memang demikian, sehingga yang dilakukan oleh Raden Rangga itu sekedar mempercepat perkembangan dan peningkatan ilmu Glagah Putih.
Dalam pada itu, setelah Glagah Putih mampu menguasai lalu untuk melepaskan ilmunya sebagaimana ia mengu asai anggauta tubuhnya dengan kehendak, maka Agung Se-dayupun mulai menuntun Glagah Putih untuk mengatur lontaran ilmunya. Karena itu, maka Agung Sedayu seakan-akan telah membawa kembali Glagah Putih menelusuri ilmu yang diwarisinya berdasarkan jalur perguruan Ki Sadewa. Glagah Putih yang sudah mapan dengan melepaskan puncak ilmu itu dengan mengerahkannya pada sisi telapak tangannya, maka kini Glagah Putih memiliki kemampuan yang dapat menjadi kepanjangan lontaran ilmunya itu. Ia tidak perlu menyentuh lawannya dengan tangannya jika lawannya itu berada diluar jarak jangkau tangannya. Namun jika lawannya itu dengan sengaja bertempur pada jarak yang terlalu pendek untuk menghindarkan diri dari ser. ngan lawan, maka ia mampu mempergunakan sisi telapak tangannya sebagaimana yang pernah dilakukannya.
Meskipun Agung Sedayu tidak mempergunakan cara itu untuk melakukan serangan berjarak, namun karena ilmunya yang mapan, maka ia mampu memberikan petunjuk-petunjuk bagi adik sepupunya, sehingga dalam waktu yang pendek itu, Glagah Putih telah mampu menguasainya dengan sebaik-baiknya.
Raden Rangga menjadi ikut bergembira sekali melihat perkembangan Glagah Putih yang akan menjadi kawannya menempuh perjalanan yang rumit dan berat.
Namun laku Glagah Putih masih belum selesai. Pada malam terakhir ia berada di Tanah Perdikan sebelum
berangkat ia masih harus berusaha mengetrapkan kemampuan ilmunya yang dipelajarinya dari Kiai Jayaraga. Dengan demikian maka Glagah Putih akan dapat melontarkan kekuatan yang sebagaimana diwarisinya dari Kiai Jayaraga, yang dapat disadapnya dari kekuatan api, air, udara dan bumi.
Meskipun mula-mula Glagah Putih mengalami kesulitan, namun akhirnya ia mampu memilahkan warna dari ke kuatan itu dan bahkan kemudian kekuatan-kekuatan yang berbaur dalam satu lontaran. Sehingga dengan demikian ia telah memiliki bekal yang mirip dengan kekuatan yang dimiliki oleh Agung Sedayu meskipun masih harus selalu dikembangkannya. Namun kekuatan Agung Sedayu terlontar lewat sorot matanya dan sudah dalam tataran yang sangat tinggi. "
Dengan demikian, setelah tiga hari lewat, Glagah Putih telah mendapatkan bekal yang cukup mapan bagi tugasnya yang berat. Meskipun untuk menyempurnakan ilmunya Glagah Putih harus bekerja keras, namun yang dicapainya adalah kemungkinan yang tertinggi dalam usahanya pada waktu yang sangat pendek itu.
Karena itulah, maka Glagah Putihpun segera mempersiapkan diri untuk berangkat melakukan tugas yang berat itu bersama Raden Rangga.
Dihari terakhir, Glagah Putih telah mohon diri kepada Ki Gede disertai Raden Rangga, Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga. Dengan berat hati Ki Gede telah melepaskannya dengan beberapa pesan. Sementara itu pesan khususnya adalah, agar Mataram menarik prajurit-prajuritnya yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Dari rumah Ki Gede, Glagah Putih masih harus membenahi bekal yang akan dibawanya. Hanya beberapa helai pakaian dalam sebuah bungkusan kecil. Namun bekalnya yang menjadi peneguh hatinya adalah ilmunya dan ikat pinggang yang dipergunakannya.
Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirahpun merasa berat melepaskan Glagah Putih yang masih terlalu muda itu pergi hanya berdua dengan seorang anak yang masih lebih muda daripadanya. Meskipun keduanya memiliki ilmu yang dapat dibanggakan, namun kemudaan mereka tentu akan sangat menentukan pada saat-saat mereka harus mengambil satu keputusan. Sebanyak-banyaknya pengalaman di umur mereka, agaknya mereka masih jauh dari perbendaharaan pengalaman yang cukup.
Tetapi Sekar Mirah tidak dapat menahan mereka, karena perintah telah diberikan oleh Panembahan Senapati sendiri.
Demikianlah, maka Raden Rangga dan Glagah Putihpun telah mohon diri untuk kembali ke Mataram. Kemudian mereka akan melanjutkan perjalanan mereka untuk menemukan jalur yang hilang karena tiga orang bersama-sama telah terbunuh pada saat mereka memasuki istana di Mataram.
Ketika mereka telah berada di halaman, maka Agung Sedayu masih sempat berpesan " Glagah Putih, apabila Raden Rangga tidak berkeberatan, maka kau masih dapat singgah barang satu dua hari di Jati Anom. Meskipun mungkin perjalananmu tidak kearah Timur, namun untuk tugas yang penting ini kau dapat singgah dan minta diri kepada ayahmu. Tetapi barangkali ada baiknya kau singgah dan menghadap Kiai Gringsing. Mungkin Kiai Gringsing dapat memberikan sedikit petunjuk tentang Padepokan yang sedang kau telusuri itu. "
" Kiai Gringsing " tiba-tiba saja Raden Ranggalah yang menyahut " bagus. Kita akan singgah di Jati Anom. Justru kita sekarang akan pergi ke Jati Anom. Mumpung kita membawa kuda, sehingga perjalanan ini akan cepat kita selesaikan. Baru kemudian kita kembali ke Mataram dan melakukan perjalanan tanpa kuda. Mungkin kita harus pergi ke Timur, tetapi mungkin justru ke Barat atau ke Utara. Agaknya dari Kiai Gringsing kita dapat mengharap sesuatu. "
Glagah Putihpun mengangguk-angguk. Kesempatan untuk minta diri kepada ayahnya memang diharapkannya. Bukan saja karena sudah lama ia tidak bertemu, tetapi ada juga kebanggaan bahwa ia mendapat tugas dari Panembahan Senapati meskipun merupakan cambuk atas kesalahan yang telah dibuat oleh Raden Rangga dan menyangkut dirinya pula.
Sementara itu, Agung Sedayupun menjawab " Baiklah Raden. Jika Raden masih mempunyai waktu , maka Raden dapat langsung pergi ke Jati Anom. Mudah-mudahan Kiai Gringsing ada dipadepokan kecilnya, atau setidak-tidaknya berada di Sangkal Putung. "
Demikianlah, dengan tiba-tiba kedua orang anak muda itu telah mengalihkan arah perjalanannya. Mereka tidak langsung ke Mataram, tetapi mereka akan singgah ke Jati Anom, sehingga dengan demikian maka kedatangan mereka di Mataram akan tertunda sehari.
Sejenak kemudian, maka kedua orang anak muda itupun telah meninggalkan Agung Sedayu. Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah yang telah memberikan beberapa pesan dan pe tunjuk. Kuda mereka yang tegar telah berderap menyusuri jalan Padukuhan Induk Tanah Perdikan Menoreh. Belum lagi mereka meninggalkan gerbang pedukuhan induk itu, Raden Rangga telah mulai menganggu " Kau memang terlalu manja. "
" Kenapa " " bertanya Glagah Putih.
" Kau lihat, seakan-akan tidak ada orang yang mem-pedulikan aku sama sekali jika aku pergi kemanapun. " jawab Raden Rangga " tetapi pada saat kau meninggalkan rumah, maka seisi rumah berdiri diregol, memberikan pesan agar kau berhati-hati dan kemudian melambaikan tangan mereka jika kau berangkat. "
" Sama sekali bukan kemanjaan " jawab Glagah Putih " hanya kebiasaan."
" Kakak sepupumu, mbokayumu dan gurumu nampak cemas. Seakan-akan mereka tidak sampai hati melepaskanmu pergi bersama aku. Bukankah biasanya kau selalu pergi bersama kakak sepupumu, atau gurumu atau barangkali juga ayahmu. " berkata Raden Rangga.
" Ah, Raden salah menilai. Itu sama sekali bukan kemanjaan. " jawab Glagah Putih " tetapi karena mereka tahu, bahwa aku kurang memiliki bekal yang cukup untuk tugas ini. Agaknya mereka memang merasa cemas. Raden Rangga tertawa Katanya " Kau mulai merajuk. " Glagah Putih menjadi tegang. Namun kemudian iapun tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Keduanyapun kemudian mempercepat derap kuda mereka, ketika mereka memasuki jalan bulak. Beberapa orang sempat bertanya ketika mereka bertemu di jalan-jalan pedukuhan yang dilalui oleh kedua anak muda itu.
Sambil tersenyum Glagah Putih selalu menjawab " Kami sedang melihat-lihat. "
Namun keduanya ternyata telah menuju kepenye-berangan Kali Praga.
Tetapi seperti yang mereka rencanakan, maka mereka akan langsung berpacu ke Jati Anom. Karena itu, maka mereka telah memilih jalan yang tidak melewati lingkungan kota yang ramai. Tetapi mereka telah memilih jalan yang sepi, namun yang langsung menuju ke Jati Anom.
Ternyata perjalanan itu memberikan kegembiraan kepada kedua orang anak muda itu. Mereka seakan-akan telah menempuh satu tamasya yang segar. Terlebih-lebih bagi Raden Rangga.
Namun ternyata Raden Rangga menarik kekang kudanya ketika ia melihat beberapa anak muda sedang bermain binten, dikerumuni oleh anak-anak muda yang lain.
" Kita berhenti sebentar " berkata Raden Rangga.
" Untuk apa "- " bertanya Glagah Putih.
" Kita melihat binten. Agaknya memang sedang ada semacam pertandingan. " jawab Raden Rangga.
Glagah Putih mengangguk kecil. Dipandanginya anak-anak muda yang sedang berkerumun di sawah yang baru saja dipetik hasilnya. Agaknya semacam kegembiraan setelah panen mereka berhasil, menjelang Merti Desa yang meriah,anak-anak muda mengadakan permainan tersendiri.
" Aku akan melihat " berkata Raden Rangga.
" Bukankah permainan yang demikian sudah sering kita lihat " berkata Glagah Putih.
" Jarang sekali aku melihatnya " jawab Raden Rangga.
Tiba-tiba saja Raden Rangga telah meloncat turun dari kudanya. Dengan demikian maka Glagah Putihpun terpaksa melakukannya juga. Namun dengan demikian justru keduanyalah yang telah menarik perhatian anak-anak muda yang sedang berkerumun dalam permainan binten itu, sehingga permainan itu telah terhenti untuk beberapa saat. Apalagi ketika anak-anak muda itu melihat dua ekor kuda yang tegar-tegar itu.
" Kenapa berhenti" " berkata Raden Rangga.
" Apa yang berhenti" " seorang anak muda yang nampaknya paling berpengaruh diantara mereka telah menyongsong Raden Rangga dan Glagah Putih.
" Bukankah kalian sedang bermain binten" " bertanya Raden Rangga.
" Ya " jawab anak muda itu.
" Nah, kami berhenti karena kami ingin melihat binten.
" berkata Raden Rangga kemudian.
Anak muda itu mengangguk-angguk. Lalu katanya
" Siapa kalian" "
" Kami anak-anak dari seberang Kali Praga " jawab Raden Rangga.
" Tanah Perdikan Menoreh" " bertanya anak muda itu. " Ya. Nampaknya kalian mengenal daerah itu " jawab Raden Rangga.
" Kami pernah mendengar nama Tanah Perdikan
Menoreh. Menurut pendengaran kami, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh memiliki banyak kelebihan. Bahkan menurut pendengaran kami para pengawalnya telah bersama-sama dengan prajurit Mataram dalam satu medan " berkata anak muda itu.
" Ya " jawab Raden Rangga " kami kadang-kadang berada dalam satu pasukan dengan para prajurit Mataram. "
Namun dalam pada itu Glagah Putih menyahut " Namun agaknya ceritera tentang Tanah Perdikan itu sudah dibesar-besarkan. Tidak banyak yang pernah kami lakukan. Mungkin kami pernah membantu serba sedikit. "
Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya " Mungkin kau berkata dengan jujur. "
" Ya. Aku berkata sebenarnya " jawab Glagah Putih. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
menyahut lagi. Bahkan yang dikatakannya adalah " Marilah. Kami ingin melihat permainan kalian. Agaknya sangat menarik. "
Anak muda itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya " Apakah kalian akan menunjukkan bahwa anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh mampu melebihi kami" "
" Tidak " jawab Glagah Putih dengan serta merta " kami hanya tertarik untuk melihatnya. "
Anak muda itu mengangguk-angguk. Sekali ia berpaling kearah kuda-kuda yang tegar itu. Namun kemudian katanya " Baiklah. Tetapi jangan mengganggu. Kami memang sedang memilih orang terbaik diantara kami. Dalam perayaan Merti Desa nanti akan dipertandingkan binten antara orang-orang terbaik dari padukuhan-padu-kuhan. "
Raden Rangga dan Glagah Putihpun telah mengikat kudanya pada sebatang pohon di pinggir jalan. Keduanyapun ikut pula turun ke sawah yang telah diambil hasilnya untuk
melihat anak-anak muda yang bermain binten.
" Kita akan melanjutkan permainan kita " berkata anak muda yang paling berpengaruh itu.
Dengan demikian, maka seorang anak muda telah maju ke tengah-tengah arena. Ia berdiri tegak dengan kaki yang renggang. Seorang anak muda yang lain akan menghantam betisnya dengan kakinya.
Seorang anak muda yang lain yang mengamati permainan itu agar tidak terjadi permainan yang menyimpang dari ketentuan.
Sejenak kemudian kembali terdengar anak-anak muda itu bersorak. Mereka memilih seorang diantara mereka yang paling tahan mengalami serangan pada betisnya. Lima kali berturut-turut.
Ternyata Raden Rangga telah tenggelam dalam permainan itu. Ia telah ikut bersorak-sorak sebagaimana anak-anak muda yang lain. Bahkan ikut melonjak-lonjak pula jika seorang anak muda yang kurang kuat telah terjatuh pada saat betisnya dihantam oleh seorang kawannya.
Beberapa saat permainan itu telah berlalu. Glagah Putih yang gelisah telah menggamit Raden Rangga sambil berkata " Marilah. Kita akan melanjutkan perjalanan. "
" Tunggu sampai terpilih orang terbaik " jawab Raden Rangga.
" Untuk apa" " bertanya Glagah Putih.
" Tidak apa-apa " jawab Raden Rangga. Beberapa saat permainan berlangsung. Akhirnya
anak-anak muda itu telah menemukan orang yang mereka cari. Seorang yang tidak dapat dijatuhkan oleh serangan-serangan pada betisnya. Ia tetap berdiri tegak meskipun harus menahan rasa sakitnya.
Akhirnya sorakpun meledak. Anak-anak muda itu seakan-akan telah menyatakan kesepakatannya untuk memilih anak muda yang tidak dapat dijatuhkan oleh kawan-kawannya dengan serangan setiap kali lima kali berturutturut itu. Anak muda yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya itu telah menjadi sangat bangga. Diangkatnya kedua tangannya untuk menyatakan tanggapannya atas sorak yang bagaikan mengguncang sawah tempat mereka bermain.
Namun ketegangan mulai mencengkam ketika anak yang menang itu tiba-tiba berkata " Kita akan melihat, apakah benar anak-anak Tanah Perdikan Menoreh mempunyai kelebihan. "
Sorak yang gemuruh itupun mulai mereda. Semua orang kemudian berpaling kepada Raden Rangga dan Glagah Putih.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih berkata " Sudahlah. Kami akan meneruskan perjalanan. Kau pantas menjadi pemenang, karena ketahanan kakimu yang luar biasa. Anak-anak Tanah Perdikan Menoreh agaknya tidak ada yang sekuat kau. "
" Tetapi ceritera- tentang Tanah Perdikan Menoreh membuat kami disini menjadi iri hati. Seakan-akan Tanah Perdikan Menoreh adalah daerah terbaik di Mataram. "
" Sudah aku katakan. Itu berlebih-lebihan " jawab Glagah Putih pula.
" Jangan pergi " berkata anak muda yang menang itu " kita bermain binten. "
Adalah diluar dugaan ketika Raden Rangga bertepuk tangan sambil berkata " Bagus. Jika kalian tetap menantang, marilah "
" Aku memilih anak yang lebih besar " berkata anak muda yang menang itu sambil menunjuk Glagah Putih.
" Siapapun diantara kami " jawab Raden Rangga Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun
Raden Rangga berkata " Nah, kaulah yang dipilih untuk ikut bermain binten. "
" Aku tidak pernah bermain binten " jawab Glagah Putih.
" Sekarang kau akan mengalaminya " jawab Raden Rangga.
Glagah Putih termangu-mangu. Namun beberapa orang anak muda telah menarik tangannya dan membawanya ketengah-tengah arena.
Glagah Putih memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus melayani anak muda yang menang itu untuk bermain binten.
" Kau akan bertahan lebih dahulu " berkata anak muda pemenang itu " aku akan menghantam betismu dengan kaki sebanyak lima kali. Kawan-kawanku akan menjadi saksi, berapa kali kau terjatuh. Kemudian akulah yang akan bertahan. Siapakah yang terjatuh lebih banyak, ialah yang kalah. "
Glagah Putih memang tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Namun setelah ia berada di arena rasa-rasanya tidak ada niatnya untuk membiarkan dirinya menjadi bahan tertawaan anak-anak muda itu. Kemudaannya telah memanasi dadanya, sehingga karena itu, maka Glagah Putihpun berniat untuk tidak jatuh oleh anak muda yang dianggap sebagai pemenang dalam permainan itu.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putihpun tidak diper-silahkan untuk berdiri dengan kaki renggang. Anak-anak muda yang mengerumuni arena itu mulai bersorak-sorak. Sementara itu, anak muda yang menang atas kawan-kawan-nya itu mulai mengambil ancang-ancang.
" Satu " seorang anak muda yang lain mulai meng hitung " dua, tiga. "
Pada hitungan ketiga, anak muda yang menang itu telah meloncat sambil mengayunkan kakinya menyerang betis Glagah Putih yang berdiri tegak. Satu ayunan kaki yang keras sekali didorong oleh kebanggaannya sebagai pemenang, serta keinginannya untuk menunjukkan kelebihannya kepada kawan-kawannya atas anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh yang terkenal itu.
Sesaat kemudian telah terjadi benturan yang sangat keras. Namun benturan kekuatan yang wajar, sehingga betapapun kuatnya, hantaman kaki anak muda yang memenangkan permainan diantara kawan-kawannya itu sama sekali tidak mampu menggoyahkan pertahanan Glagah Putih, meskipun Glagah Putih masih juga sekedar mempergunakan tenaga wajarnya.
Bahkan kaki anak muda yang telah membentur betis Glagah Putih itu bagaikan telah membentur sebatang tong gak kayu.
Terdengar anak muda itu mengaduh tertahan. Kakinya tiba-tiba saja telah ditariknya sehingga iapun telah terputar setengah lingkaran. Kemudian tanpa dapat menahan diri ia telah terduduk ditanah. Kedua belah tangannya telah memegangi tulang kakinya yang bagaikan menjadi retak.
Beberapa orang kawannya memandanginya dengan tegang. Ketika ia terjatuh duduk ditanah, maka seorang kawannya berjongkok disebelahnya sambil bertanya " Kenapa" "
Anak itu masih menyeringai sambil mengusap tulang kakinya yang terasa sakit sekali. Dengan suara bergetar ia berkata " Apakah kaki anak-anak Tanah Perdikan Menoreh terbuat dari batu" "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah ia tidak ingin menyakiti anak muda itu. Tetapi ia memang tidak berbuat sesuatu dengan berlebihan. Ia masih bertahan dengan kekuatan wajarnya.
Namun karena wadagnya telah mengalami latihan-latihan yang mapan, maka wadagnya iapun memiliki kelebihan dari wadag anak-anak muda kebanyakan. Karena tanpa wadhag yang lebih baik dari orang kebanyakan, maka itu tidak akan mampu mendukung kemampuan ilmu yang sangat tinggi, yang tersimpan didalam diri Glagah Putih.
Anak-anak muda yang berkerumun itupun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak mengira bahwa pada benturan
yang pertama, kawannya yang dianggapnya anak muda terbaik dalam permainan itu telah dapat dijatuhkan, justru pada saat anak muda itu sedang menyerang.
Sejenak anak muda itu masih mengurut kakinya. Namun kemudian iapun telah berusaha untuk berdiri tegak dan melupakan perasaan sakitnya. Sambil menggeram ia berkata " Jangan berbangga karena kejadian ini. Aku memang mengambil langkah, sehingga kakiku hampir saja terkilir. Bersiaplah. Aku akan mengulangi seranganku. Seperti yang aku katakan, aku akan melakukannya lima kali. Masih ada ampat kesempatan untuk menjatuhkan-mu. "
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun telah bersiap pula. Berdiri tegak dengan kaki renggang.
Sejenak kemudian anak muda yang kakinya baru saja kesakitan itupun telah bersiap pula. Meskipun hatinya telah menjadi ragu-ragu, namun ia tidak mau harga dirinya direndahkan oleh anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu.
Karena itu, maka iapun telah bertekad untuk menjatuhkan anak muda itu.
Beberapa saat anak muda yang menang itu telah mengambil ancang-ancang. Kemudian, seorang anak muda yang lain telah mulai menghitung " Satu, dua, tiga. "
Anak muda itu telah meloncat sambil mengayunkan kakinya sekuat tenaganya. Sebuah benturan yang keras telah terjadi. Namun ternyata telah terulang kembali kegagalan yang dialami anak muda itu. Sekali lagi kakinya bagaikan membentur tonggak kayu. Sekali lagi ia terputar dan bahkan terguling jatuh.
Anak-anak muda yang lainpun bagaikan membeku ditempatnya. Tetapi dua orang yang menyadari keadaan segera berlari dan berjongkok disamping anak muda yang terbaring kesakitan sambil mengurut kakinya yang bagaikan retak itu.
" Bagaimana" " bertanya seorang diantaranya. Anak muda itu mengaduh tertahan. Namun ia memang
tidak dapat lagi menyembunyikan tulang kakinya itu, maka dilihatnya kulitnya menjadi merah biru.
Glagah Putih dan Raden Ranggapun berdiri termangu-mangu pula. Diperhatikannya anak-anak muda yang masih membeku. Namun yang sejenak kemudian, merekapun telah bergeser mengerumuni kawannya yang kesakitan.
"Raden telah membuat persoalan disini " desis Glagah Putih.
" Kenapa" Bukankah tidak apa-apa" " bertanya Raden Rangga.
" Anak-anak itu dapat menjadi marah " berkata Glagah Putih pula " mereka akan dapat melakukan sesuatu diluar keinginan kita. "
Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya " Mungkin. Tetapi asal kita tidak mananggapinya, aku kira tidak akan terjadi sesuatu. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab.
Beberapa saat lamanya Raden Rangga dan Glagah Putih menunggu. Anak-anak muda itu masih mengerumuni kawannya yang sakit. Beberapa patah kata terdengar diantara mereka.
Namun tiba-tiba yang dicemaskan oleh Glagah Putih terjadi. Anak muda yang paling berpengaruh diantara mereka itupun telah menyibak kawan-kawannya. Dengan wajah tegang ia berdiri menghadap kearah Glagah Putih dan Raden Rangga. Dengan lantang ia berkata " Jangan ber-bangga anak-anak muda dari daerah yang terbaik di Mataram. Mungkin kau dapat menyombongkan diri ditempat lain, tetapi tidak disini. Kau akan menyesal dan kau akan menyadari bahwa Tanah Perdikan Menoreh bukan pusat kemenangan dan tidak tergoyahkan.
Glagah Putih berdesis " Nah, Raden lihat. "
" Salahmu " sahut Raden Rangga " kenapa kau tidak mau menjatuhkan dirimu ketika kau di binte oleh anak itu" "
" Memang ada keinginan untuk melakukannya " jawab Glagah Putih " tetapi aku tidak dapat. Nah, apa yang harus kita lakukan" "
Sementara itu anak muda yang paling berpengaruh itu telah melangkah maju diikuti oleh kawan-kawannya " Kalian harus mengakui kelebihan kami. Kalian tidak boleh pergi dengan kesan kemenangan dengan permainan kalian yang kasar itu. "
Glagah Putih termangu-mangu. Ia sama sekali tidak berniat untuk melawan. Jika terjadi perkelahian maka tentu akan menimbulkan kesan bahwa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang merasa dirinya lebih baik dari yang lain, telah bertindak sewenang-wenang.
Namun tiba-tiba Raden Rangga berkata " Kita lari saja. Kita tentu akan dapat mencapai kuda kita jauh lebih cepat dari anak-anak itu. "
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk.
Sementara itu Glagah Putih telah melihat anak-anak muda itu saling berpencar.
" Apakah kita akan lari sekarang" " bertanya Glagah Putih.
" Sebentar lagi. Kita harus menunjukkan bahwa kita memang berbeda dengan mereka " berkata Raden Rangga sambil tersenyum.
Glagah Putih mengangguk. Memang kemudaannyapun ingin berbuat demikian. Lari tanpa melawan, tetapi meninggalkan kesan kelebihan pada anak-anak muda itu. "
Selangkah demi selangkah anak-anak muda yang berkumpul di sawah itu melangkah maju sambil memencar. Namun beberapa saat kemudian Raden Rangga dan Glagah Putihpun telah bergeser mundur.
" Kalian tidak akan dapat lari " berkata anak muda yang paling berpengaruh itu " kalian harus berkelahi.
Kalah atau menang. Jika kalian menang, maka kami baru percaya bahwa Tanah Perdikan Menoreh memang merupakan lumbung dari orang-orang perkasa, termasuk anak-anak mudanya.
Glagah Putih dan Raden Rangga tidak menjawab. Sementara itu anak-anak muda yang menebar itu menjadi semakin dekat.
Namun pada saat lingkaran anak-anak muda itu hampir mengepung Raden Rangga dan Glagah Putih, maka Raden Ranggapun berdesis " Marilah. "
Raden Rangga dan Glagah Putih telah meloncat meninggalkan tempatnya. Mereka melarikan diri menuju ke kuda mereka. Namun anak-anak muda itu tidak membiarkannya. Merekapun telah mengejar kedua anak Tanah Perdikan. Bahkan beberapa orang berteriak " Jangan lari. Tidak ada gunanya. "
Sebenarnyalah anak-anak muda itu hampir menangkap Glagah Putih yang lari dibelakang Raden Rangga. Namun tiba-tiba Raden Rangga berkata " Sekarang. "
Glagah Putih tahu maksud Raden Rangga. Karena itu, maka iapun telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendorong kakinya berlari secepat tatit yang meloncat diudara.
Anak-anak muda yang mengejar keduanyapun terkejut bukan buatan. Bahkan mereka justru tertegun diam. Seakan-akan mereka telah melihat sesuatu diluar jangkauan nalarnya.
Kedua orang anak muda yang mengaku dari Tanah Perdikan Menoreh itu bagaikan anak panah yang dilontarkan oleh busurnya. Tiba-tiba saja keduanya telah berada di punggung kuda mereka yang tinggi tegar. Anak-anak itu tidak sempat melihat, bagaimana mereka melepas tali ikatan kuda itu pada batang-batang pohon dan apalagi bagaimana keduanya naik kepunggung kuda mereka.
Raden Rangga dan Glagah Putih yang sudah berada di-punggung kudanya memandang anak-anak muda yang termangu-mangu itu. Mereka ternyata telah membuat anak-anak muda itu kebingungan. Yang terjadi adalah demikian cepatnya.
" Nah, Ki Sanak " berkata Raden Rangga " kami minta maaf, bahwa kami tidak dapat melayani permainan yang lebih kasar lagi. Lebih baik kami meneruskan perjalanan kami agar kami tidak dianggap berbuat salah. Mudah-mudahan kami sempat melihat pertandingan binten yang akan dilakukan antara padukuhan dihari Merti Desa.
" He, kapan Merti Desa itu berlangsung " " tiba-tiba Glagah Putihpun bertanya.
Anak-anak muda itu bagaikan membeku. Namun ketika Glagah Putih mengulangi, maka anak muda yang berdiri di paling depanpun menjawab " Sepekan lagi. "
" Mudah-mudahan kami sempat lewat padukuhan ini " berkata Glagah Putih.
" Tidak disini " jawab anak muda itu " tetapi dipa-dukuhan sebelah Utara bulak panjang itu. "
" Baik. Mudah-mudahan kami mempunyai kesempatan " berkata Raden Rangga. Lalu katanya sambil melambaikan tangannya " Sudahlah. Kami akan melanjutkan perjalanan kami. Kalian tidak usah mengejar kami, sebab lari kuda kami seribu kali lebih cepat dari langkah kaki kalian. Raden Ranggapun mulai menggerakkan kekang kudanya. Sementara Glagah Putihpun melakukan hal yang sama. Perlahan-lahan kuda mereka mulai bergerak. Semakin lama semakin cepat, sementara anak-anak muda yang berada disawah yang baru saja dipetik hasilnya itu menyaksikan dengan jantung yang berdebaran.
Anak-anak muda itu menjadi semakin berdebar-debar -ketika mereka melihat kedua anak muda yang berkuda itu berhenti. Raden Rangga sempat meloncat turun.
" Apa yang akan Raden lakukan" " bertanya Glagah Putih.
Raden Rangga tidak menjawab. Tetapi iapun telah melangkah kesebuah tugu batu setinggi tubuh Raden Rangga sendiri, yang agaknya merupakan batas lingkungan padukuhan. Diangkatnya tugu batu itu dan diletakkannya ditengah jalan.
" Untuk apa itu Raden lakukan" " bertanya Glagah Putih.
Raden Rangga hanya tertawa saja. Namun sejenak kemudian iapun telah meloncat naik kepunggung kudanya dan melanjutkan perjalanan.
" Raden masih saja nakal " desis Glagah Putih.
" Aku ingin memberi pekerjaan anak-anak itu. Biarlah mereka mengangkat kembali batu itu ketempatnya semula. " jawab Raden Rangga sambil tertawa.
Glagah Putih hanya menarik nafas dalam-dalam. Sementara kuda merekapun berjalan semakin lama semakin jauh dari padukuhan itu.
Sebenarnyalah sebagaimana dikatakan oleh Raden Rangga. Anak-anak muda padukuhan itu tidak sempat meneruskan permainan mereka. Mereka harus mengangkat kembali batu itu dan menempatkannya di tempatnya semula. Namun mereka tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Bagaimana mungkin anak muda dari Tanah Perdikan itu dapat mengangkat batu itu dan memindahkannya ketengah jalan.
Namun setelah kerja mereka selesai, merekapun sempat merenunginya. Anak-anak yang paling berpengaruh diantara mereka itupun berkata " Kita memang terlalu sombong. "
" Kenapa" ~ bertanya kawannya.
" Ternyata berita tentang Tanah Perdikan Menoreh bukan sekedar ceritera ngaya wara. Kita sudah menyaksikan sendiri, dua orang diantara mereka. Mereka sempat menunjukkan kepada kita kelebihan yang sulit dijangkau oleh nalar kita, tanpa melayani sikap sombong kita Coba bayangkan. Seandainya keduanya bersedia menerima tantangan kita, dan kita harus berkelahi melawan mereka, apakah yang akan terjadi atas kita" " bertanya anak muda itu.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Anak muda yang menang dalam permainan binten itupun berkata " Aku belum pernah mengalaminya. Betisnya benar-benar seperti tonggak kayu yang sangat keras. Kakiku menjadi seakan-akan remuk. " Dan kau lihat bagaimana mereka berlari ke kuda mereka" " bertanya anak muda yang paling berpengaruh " kemudian bagaimana mungkin seorang diantara mereka, justru yang kecil, mengangkat batu tugu itu ketengah jalan. "
Seorang diantara anak-anak muda itupun berkata " Satu pengalaman buat kita. Jika ada saat lain kita bertemu dengan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, kita harus mengekang diri untuk tidak berlaku sombong. "
Anak-anak muda itu masih menganguk-angguk.Ternyata mereka telah mendapatkan satu ceritera yang menarik untuk mereka sampaikan kepada kawan-kawan mereka yang tidak sempat menyaksikan tingkah laku anak-anak muda tanah Perdikan Menoreh itu.
Memang timbul beberapa tanggapan. Ada yang tidak percaya, tetapi ada yang langsung mempercayainya. Anak-anak muda yang menyaksikan langsung itu dapat membuktikan, bahwa tugu batu itu telah berpindah dan anak-anak muda itulah yang beramai-ramai mengembalikan ketempatnya semula.
" Anak-anak sering berceritera berlebihan " berkata seorang laki-laki yang terhitung masihmuda juga -mereka senang berkhayal tentang orang-orang sakti dan ilmu yang diluar jangkauan nalar mereka. "
" Tetapi banyak yang telah menyaksikannya " jawab kawannya.
Laki-laki muda itu tersenyum. Katanya " Tetapi biarlah mereka besar bersama angan-angan mereka. Mudah-mudahan akan berakibat baik bagi mereka, karena hal itu akan memacu untuk menempa dirinya. "
Kawannya tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah kawannya itu percaya tentang ceritera yang telah didengarnya dari anak-anak muda padukuhan itu.
Sementara itu, anak-anak muda itupun diluar sadar benar-benar mengharap agar kedua anak muda Tanah Perdikan itu kelak hadir didalam pertandingan yang akan diadakan antara beberapa pedukuhan. Mereka akan merasa bangga bahwa mereka mengenal dua orang anak muda yang memiliki kelebihan dari anak-anak muda yang lain. Apalagi keduanya datang dari tempat yang memang sudah dikenal, Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putih telah berkuda semakin jauh dari pedukuhan itu. Mereka menyusuri jalan-jalan bulak yang panjang dan sekali-sekali memasuki padukuhan. Di sepanjang jalan kuda-kuda mereka memang sangat menarik perhatian, karena jarang sekali orang-orang disepanjang perjalanan itu menjumpai jenis kuda yang demikian.
Ketika keduanya kemudian sampai dipenyeberangan Kali Opak, maka merekapun telah terhenti sejenak untuk memberi kesempatan kuda mereka minum, makan rerumputan segara dan beristirahat. Sementara itu, air di lereng Gunung Merapi. Karena itu, maka orang-orang yang menyeberang Kali Opak masih belum memerlukan rakit.
Beberapa saat keduanya duduk dibawah sebatang pohon yan rindang sambil mengamati air sungai yang tidak begitu deras. Disebuah tikungan air mereka melihat seorang yang sedang duduk sambil memegang kail. Panas matahari sama sekali tidak terasa ditubuhnya.
" Aneh juga orang mangail itu " desis Raden Rangga.
" Kenapa " " bertanya Glagah Putih.
" Di Tanah Perdikan Menoreh, ketika aku ikut pembantu dirumahku ke sungai, seorang tengah mengail di-gelapnya malam tanpa menghiraukan dinginnya udara. Sementara itu, orang itu tidak merasakan betapa panas matahari menyentuhnya. Sebenarnya berapa banyak ikan yang didapatnya dengan mengail itu " " bertanya Raden Rangga.
" Memang ada orang yang mengail karena benar-benar
ingin mendapatkan ikan. Tetapi ada juga orang yang mengail tanpa memikirkan apakah ia akan mendapatkan ikan atau tidak. " jawab Glagah Putih.
Raden Rangga mengangguk kecil. Ia mengerti maksud Glagah Putih. Iapun tahu bahwa kadang-kadang mengail hanya merupakan laku untuk melatih diri dengan berbagai macam tujuan.
Karena itu Raden Rangga tidak bertanya lagi. Namun tiba-tiba saja ia melihat walesan kail itu tiba-tiba melengkung. Dengan sigapnya orang yang mengail itu mengatur benang kailnya untuk menguasai ikan yang telah tersangkut dikailnya.
Beberapa saat terjadi kesibukan. Namun akhirnya perlahan-lahan orang itu menguasainya juga.
" Menilik tarikan pada walesan kailnya, ikan yang didapatnya tentu ikan yang besar " berkata Glagah Putih.
" Ya " sahut Raden Rangga " beruntunglah orang itu jika ia termasuk orang yang mengail karena memang men-, cari ikan. "
Namun kedua anak muda itu terkejut ketika mereka tiba-tiba saja melihat seorang yang berdiri didekat kuda mereka tertambat sambil bertolak pinggang. Sementara itu tiga orang lainnya berdiri beberapa langkah daripadanya.
Menilik sikap dan pakaiannya, Glagah Putih mempunyai penilaian tersendiri. Dengan lirih ia berkata " Seperti orang-orang yang kita temui di hutan itu. Sikapnya, pakaiannya dan kesan yang timbul pada mereka. "
" Yang akan membakar hutan itu " " bertanya Raden Rangga.
" Ya. Apakah Raden tidak mempunyai kesan demikian " " Glagah Putihpun bertanya pula.
Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya " Ki Sanak. Apakah kalian tertarik kepada kuda kami itu" "
" Ya " sahut orang itu " kuda kalian bagus sekali. Jarang ada orang yang memiliki kuda seperti itu. "
" Ya. Kuda itu memang kuda yang baik sekali " jawab Raden Rangga.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berbisik " jangan timbul persoalan. Waktu kita tidak terlalu banyak. "
Raden Rangga tersenyum. Namun kemudian ia berdesis " Baiklah. Aku akan mengatakan kepadanya sehingga tidak akan ada persoalan lagi. "
Dalam pada itu orang yang berdiri didekat kedua ekor kuda tertambat itu berkata " Kuda ini tentu mahal sekali harganya. "
" Kami tidak membelinya " jawab Raden Rangga " kami menerimanya sebagai hadiah dari Panembahan Senapati. "
" Raden " desis Glagah Putih.
" Mereka akan diam jika mereka mendengar nama itu " sahut Raden Rangga.
Tetapi dugaan Raden Rangga itu salah. Ternyata orang itu menjadi tegang. Dipandanginya Raden Rangga dan Glagah Putih dengan pandangan yang menusuk tajam.
" Kenapa kalian mendapat hadiah dari Panembahan Senapati" " tiba-tiba saja orang itu bertanya.
Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Namun kemudian iapun menjawab asal saja menjawab " Kami adalah gamel yang memelihara semua kuda Panembahan Senapati. Agaknya kerja kami dianggap baik, sehingga kamipun mendapat kuda yang terdapat di istana Panembahan Senapati itu. "
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian " Baiklah. Apapun alasannya. Jika kau termasuk orang-orang Panembahan Senapati, maka adalah
kebetulan sekali. Sebenarnya aku hanya sekedar mengagumi kuda-kuda itu. Tetapi justru karena kalian adalah gamel yang memelihara kuda Panembahan Senapati, maka aku memang akan membuat perkara. Kuda-kuda itu aku minta. "
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Sementara Glagah Putihpun menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sadar, bahwa persoalan yang sedang dihadapi itu memang bukan sekedar persoalan kuda sebagaimana pernah dihadapinya.
Namun untuk sesaat keduanya justru bagaikan membeku. Mereka hanya memandangi saja orang yang berdiri di dekat kedua ekor kuda mereka yang tertambat.
" Nah, anak-anak manis "berkata orang itu " tinggalkan kuda kalian. Laporkan kepada Panembahan Senapati, bahwa beberapa orang yang kebetulan kalian jumpai di Kali Opak telah merampas kuda kalian. "
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun setapak ia maju sambil berkata " Ki Sanak. Jangan begitu kasar. Kau tentu mengerti, bahwa jika kami kehilangan kuda-kuda itu, maka Panembahan Senapati tentu akan sangat marah kepada kami berdua. "
" Apakah kau menganggap bahwa yang aku lakukan ini terlalu kasar " " bertanya orang itu " jika demikian bertanyalah kepada Panembahan Senapati. Apakah selama ini ia tidak bertindak terlalu kasar terhadap orang-orang dari Bang Wetan dan Pesisiran " " Apa maksudmu " " bertanya Raden Rangga.
" Anak dungu. Kau memang tidak akan mengerti. Tetapi pergilah. Tinggalkan kuda-kuda ini, atau kalian akan mengalami nasib yang buruk" Aku dapat berbuat kasar melampaui kekasaranku sekarang ini. " berkata orang itu.
" Jangan begitu " minta Raden Rangga " aku akan pergi. Tetapi kembalikan kuda kami. "
" Aku memerlukan kudamu sebagai satu alasan untuk
membuat perkara dengan Panembahan Senapati " jawab orang itu.
" Kau aneh " berkata Raden Rangga " jika kau memang ingin membuat persoalan dengan Panembahan Senapati, kenapa kau tidak pergi saja ke Mataram. Tantang Panembahan Senapati untuk berperang tanding. Aku kira ia tidak akan menolak. "
" Jangan ajari aku " bentak orang itu " pergi, atau aku akan membunuhmu. "
" Aku tidak akan pergi dan aku tidak mau dibunuh " jawab Raden Rangga.
" Anak setan " geram orang itu " baiklah. Agaknya perkara yang akan terjadi akan lebih panas jika aku mengambil kudamu dan membunuhmu berdua. "
Raden Rangga menjadi marah. Dengan nada keras ia berkata " Kaulah yang pergi. Jangan membuat aku marah. Aku dan saudaraku tergesa-gesa. Kami tidak punya waktu untuk bergurau dengan cara seperti ini. "
Orang itupun telah membentak pula " Tutup mulutmu setan kecil. kau berani bersikap menantang begitu he" Kau kira aku siapa " "
Raden Rangga ternyata semakin tidak senang melihat tingkah laku orang itu. Kemarahannya agaknya tidak tertahankan lagi. Tiba-tiba saja ia sudah meraih sebutir batu sebesar telur itik. Dengan serta merta ia telah melempar orang itu dengan batu itu.
Ternyata akibatnya sangat mengejutkan. Batu itu tepat mengenai dada orang yang ingin merampas kudanya. Yang terdengar adalah keluhan kesakitan. Kemudian ternyata tubuh itu telah roboh bagaikan batang pisang yang ditebang.
" Raden " desis Glagah Putih.
Wajah Raden Rangga menegang. Dipandanginya tiga orang yang lain yang berdiri termangu-mangu menyaksikan
kawannya yang roboh itu. Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putihpun menjadi semakin gelisah. Nampaknya orang yang dikenai batu oleh Raden Rangga itu menjadi parah.
" Apakah orang itu mati" " desis Raden Rangga.
Glagah Putih tidak menyahut. Namun sementara itu Raden Ranggapun berkata " Marilah. Kita lanjutkan perjalanan. "
Keduanyapun kemudian bergegas pergike kuda mereka, sementara ketiga orang kawan dari orang yang dikenai batu oleh Raden Rangga itupun tiba-tiba menyadari keadaan. Dengan serta merta mereka telah meloncat ke arah Raden Rangga dan Glagah Putih.
Tetapi langkah mereka terhenti, ketika tiba-tiba saja Raden Rangga telah menjulurkan tangannya. Seleret sinar menyambar pasir tepian dihadapan ketiga orang yang mendekatinya itu. Tepian itupun seakan-akan telah meledak, sehingga ketiga orang itupun justru telah berloncatan mundur.
Kesempatan itu telah dipergunakan oleh Raden Rangga dan Glagah Putih untuk mengambil kudanya dan sekaligus meloncat naik. Ketika kuda mereka mulai berpacu, Raden Rangga sempat berkata " Lihat kawanmu. Apakah ia hidup atau mati. "
Keduanyapun segera memacu kudanya. Namun Raden Rangga masih sempat melihat orang yang sedang mengail. Orang itu berdiri dengan tubuh gemetar. Kailnya telah terlepas dari tangannya.
Sejenak kemudian kedua orang anak muda itu telah menjadi semakin jauh. Sementara ketiga orang yang termangu-mangu di tepian hanya dapat memandangi mereka sambil mengumpat. Tidak mungkin lagi untuk mengejar keduanya yang berada diatas punggung kuda yang tinggi tegar.
Dengan demikian maka yang dilakukan oleh ketiga orang itu kemudian adalah berjongkok disamping kawan
mereka yang terbaring diam. Namun ternyata bahwa mereka bertiga tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Orang itu sudah terbunuh. Dari mulutnya mengalir darah merah yang kehitam-hitaman.
Kemarahan bagaikan meledak didada ketiga orang itu. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa kecuali membawa kawannya itu meninggalkan tepian Kali Opak.
Dalam pada itu, yang sedang berpacu meninggalkan Kali Opakpun menjadi semakin jauh. Namun tiba-tiba saja Raden Rangga memperlambat kudanya sambil berdesis " Apakah orang itu mati " "
" Entahlah " jawab Glagah Putih " tetapi Raden tidak mengekang serba sedikit kekuatan tenaga Raden. "
" Aku hanya melemparkannya begitu saja. Jika aku mendorongnya dengan kekuatanku, apalagi sepenuhnya dadanya tentu akan pecah dan batu itu akan tembus " sahut Raden Rangga.
*** Jilid 206 GLAGAH Putin menarik nafas dalam-dalam ia percaya kepada kata-kata Raden Rangga itu. Namun iapun mengerti, bahwa Raden Rangga sebenarnya dapat mengurangi tenaga yang dipergunakan untuk melontarkan batu itu. Tetapi seperti biasanya, anak itu tidak sempat memperhitungkannya.
Sementara itu, kuda Raden Rangga menjadi semakin lambat. Dengan dahi yang berkerut Raden Rangga berkata, "Ternyata dugaanmu benar. Orang itu tentu termasuk kelompok orang-orang yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu."
"Agaknya memang demikian." desis Glagah Putin.
"Mereka tentu termasuk orang-orang yang terlibat didalam usaha menyingkirkan ayahanda Panembahan Senapati." berkata Raden Rangga, "jika kita dapat berbicara dengan mereka, maka mungkin mereka akan dapat menunjukkan tempat yang sedang kita cari."
"Mungkin Raden." jawab Glagah Putih, "tetapi mungkin juga tidak jalur diantara orang-orang terpenting dan orang-orang yang hanya melakukan perintah itu biasanya terputus ditengah oleh orang-orang khusus, sehingga orang-orang yang tinggal melakukan perintah itu sama sekali tidak mengenal siapakah pemimpin mereka yang sebenarnya."
"Tetapi kita dapat mencoba. Jika mereka juga berasal dan perguruan Nagaraga, maka setidak-tidaknya kita akan mendapatkan sedikit keterangan tentang perguruan itu," berkata Raden Rangga.
Glagah Putih menjadi ragu-ragu.
Sementara itu, Raden Ranggapun telah menarik kekang kudanya sehingga kudanyapun telah berputar.


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Marilah." ajak Raden Rangga.
Glagah Putihpun telah memutar kudanya pula dan keduanyapun berpacu kembali ke Kali Opak.
Namun mereka sudah tidak menjumpai orang-orang itu berada di tempatnya. Yang ada tinggallah bekas-bekas jejak kaki mereka. Orang yang telah dikenai batu itupun telah dibawa pula oleh kawan-kawannya Sementara itu, orang yang mengail itupun telah tidak ada ditempatnya pula. Tetapi kail dan ikan yang pernah didapatkannya ternyata tertinggal ditempat ia mengail.
"Kita terlambat menyadarinya." Raden Rangga mengangkat bahu.
Glagah Putih mengangguk-angguk sambil menjawab, "Ya. Agaknya kita memang harus mencarinya."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Keduanyapun kemudian memutar kuda mereka sekali lagi dan meneruskan perjalanan mereka ke Jati Anom.
Ternyata kuda-kuda itu memang kuda-kuda yang sangat baik. Namun keduanya tidak berpacu sepenuhnya agar perjalanan mereka tidak menarik perhatian orang-orang yang berpapasan. Meskipun ada juga orang-orang berkuda yang berjalan searah dan didahului merasa tersinggung juga karena kuda kedua anak muda itu sangat baik dan tegar.
"Kita akan langsung menuju ke padepokan Kiai Gringsing saja." berkata Glagah Putih, "baru kemudian kita dapat singgah dirumah ayah dan kakang Untara. Jika perlu kita dapat singgah pula di Sangkal Putung menengok kakang Swandaru."
Raden Rangga mengangguk-angguk, Katanya, "Kita sing"gah di Sangkal Putung jika ada waktu. Aku tidak begitu akrab mengenal Swandaru. Agaknya ia lain dari Agung Sedayu, meskipun gurunya seorang."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun tidak begitu dekat dengan saudara seperguruan kakak sepupunya itu.
Ketika mereka memasuki Jati Anom, maka Glagah Putih telah memilih jalan yang langsung menuju kesebuah padepokan kecil. Padepokan yang dihuni oleh Kiai Gringsing.
"Mudah-mudahan Kiai Gringsing ada di padepokan." berkata Glagah Putih.
"Jika ia berada di Sangkal Putung, kita terpaksa pergi ke sana." desis Raden Rangga.
Kedua anak muda itupun kemudian menyusuri jalan dimuka sebuah padepokan kecil. Ketika mereka berhenti didepan regol yang terbuka, maka merekapun telah melihat seorang penghuni padepokan itu. Seorang cantrik yang sedang menyiangi tanaman di halaman samping.
Keduanyapun kemudian meloncat turun dari kudanya dan menuntun memasuki halaman.
Kedatangan mereka telah mengejutkan cantrik yang sedang sibuk di halaman samping. Iapun segera berlari-lari menyongsong keduanya sambil berdesis, "Selamat datang di padepokan kecil ini."
Glagah Putih tersenyum. Ketika cantrik itu minta kendali kuda mereka, maka keduanyapun telah menyerahkannya. Cantrik itu menuntun kudanya kebawah sebatang pohon yang rindang dan menambatkannya. Namun untuk sesaat ia sempat menepuk leher kuda itu sambil berkata, "Kuda-kuda yang luar biasa."
"Kenapa?" bertanya Glagah Putih.
"Jarang kita menemui kuda setegar kuda-kuda ini." jawab cantrik itu.
Glagah Putih tersenyum. Namun kemudian iapun bertanya, "Apakah Kiai Gringsing ada di padepokan?"
"Ada." jawab cantrik itu, "silahkan duduk. Kiai ada di pategalan dibelakang padepokan ini. Aku akan menyampaikan kehadiran kalian kepada Kiai Gringsing."
Kedua anak muda itupun ketnudian naik kependapa padepokan dan duduk diatas tikar pandan yang putih. Ketika mereka sempat mengedarkan pandangan mereka, maka nampak piataran depan dan halaman samping yang bersih dan terawat rapi.
"Agaknya Kiai Gringsing benar-benar berusaha untuk membatasi dirinya didalam padepokan ini." berkata Raden Rangga.
"Mungkin. Tetapi cantrik cantriknya cukup trampil untuk memelihara padepokan ini jika Kiai Gringsing keluar." jawab Glagah Putih.
Raden Rangga mengangguk angguk Agaknya Kiai Gring"sing berhasil menuntun para cantriknya untuk menjaga agar padepokan kecil itu tetap nampak besih dan segar.
Namun tiba-tiba Raden Rangga itu bertanya, "Tetapi apakah para cantrik juga mendapat tuntunan olah kanuragan dan ilmu kawijayan?"
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kemudian perlahan-lahan ia menggeleng. Jawabnya, "Aku tidak tahu Raden."
Raden Rangga mengangguk angguk Karena Giagah Putih tidak dapat menjawab pertanyaannya, maka iapun kemudian telah menjawabnya sendiri, "Barangkali sedikit sedikit saja. Tentu tidak akan seperti Agung Sedayu dan Swandaru."
Glagah Putih mengerutkan keningnya, Namun iapun hanya mengangguk kecil saja.
Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsingpun telah muncul dari samping pendapa. Dengan wajah yang lembut cerah ia menyambut kedatangan Raden Rangga dan Glagah Putih.
"Itulah sebabnya maka sehari-harian burung prenjak selalu berkicau di halaman sebelah kanan," berkata Kiai Gringsing sambil tersenyum.
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk hormat. Dengan nada rendah Raden Rangga berkata, "Maaf Kiai. Kami datang tanpa memberitahukan lebih dahulu."
"Ah, seperti apa saja." sahut Kiai Gringsing, "seolah-olah aku adalah orang yang sangat penting yang harus membagi waktu sebaik-baiknya. Aku merasa gembira sekai Raden dan Glagah Putih tiba-tiba saja muncul di padepokan yang sepi ini. Tetapi untunglah bahwa kalian datang hari ini. Jika kalian datang kemarin aku tidak berada di padepokan."
"Kemarin Kiai pergi ke mana?" bertanya Raden Rangga.
"Tiga hari aku berada dl Sangkal Putung. Baru semalam aku kembali." jawab Kiai Gringsing yang kemudian duduk bersama mereka. Orang tua itupun kemudian menanyakan keselamatan perjalanan kedua anak muda itu, serta orang-orang yang ditinggalkannya di Tanah Perdikan Menoreh.
"Kami memang baru saja datang dari Menoreh langsung kemari." Glagah Putih kemudian menjelaskan, "kami tidak singgah di Mataram. Baru dari Jati Anom kami akan ke Mataram."
"Apakah Raden Rangga juga dari Tanah Perdikan Meno"reh?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya Kiai." jawab Raden Rangga, "Aku berada dl Tanah Perdikan selama tiga hari."
"O." Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, "sudah agak lama kalian tidak datang ke padepokan ini. Glagah Putihpun juga sudah beberapa lama tidak mengunjungi ayahnya dan kakaknya Untara."
"Ya Kiai." sahut Glagah Putih, "itulah sebabnya sekarang aku memerlukan datang kemari."
"Jadi kalian hanya sekedar berkunjung saja?" bertanya Kiai Gringsing.
Glagah Putih dan Raden Rangga saling berpandangan sejenak. Namun yang sejenak itu telah memberikan kesan bagi Kiai Gringsing. Meskipun kedua anak muda itu belum mengatakan sesuatu, namun Kiai Gringsing telah mendahuluinya, "Baiklah. Aku tahu, ada sesuatu yang akan kalian katakan. Tetapi sebaiknya kalian tidak tergesa-gesa. Kita mempunyai waktu yang panjang. Bukankah kalian tidak tergesa-gesa?"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Kiai, kami memang mempunyai keperluan. Namun kami memang tidak tergesa-gesa, karena aku masih akan mengunjungi ayah dan kakang Untara."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Jika demikian kita tidak perlu membicarakan sekarang. Kalian tentu masih lelah dan ingin beristirahat."
Glagah Putih dan Raden Rangga tersenyum. Sementara itu Raden Rangga berkata, "Nampaknya memang segar sekali beristirahat di padepokan kecil ini Kiai. Rasa-rasanya kami ingin melihat-lihat barang sejenak."
"Sebentar Raden." jawab Kiai Gringsing, "para cantrik baru mempersiapkan sekedar penawar haus bagi Raden."
Sebenarnyalah, sejenak kemudian para cantrikpun telah menghidangkan minuman panas serta beberapa potong makanan. Ketela yang direbus dengan santan dan garam, serta jagung muda yang direbus pula.
Setelah mereka menikmati hidangan itu, maka kedua anak muda itu sempat melihat-lihat halaman dan kebun padepokan kecil itu serta berbicara dengan beberapa orang cantrik yang pada umumnya sudah mengenal Glagah Putih. Baru kemudian kedua anak muda itu minta diri untuk pergi ke Banyu Asri dan berkunjung ke rumah Untara.
Kiai Gringsing mengantar keduanya sampai keregol sempat juga mengagumi kedua ekor kuda itu. Katanya, "Rasa-rasanya ingin aku kembali menjadi anak muda jika aku berkesempatan memiliki kuda yang tegar seperti itu."
Glagah Putih dan Raden Rangga hanya tertawa saja. Sementara itu merekapun telah meninggalkan padepokan itu menuju ke Banyu Asri, kerumah keluarga Widura yang sudah tidak lagi menjadi seorang prajurit, karena iapun menjadi semakin tua dan agaknya ia telah memutuskan untuk mendekatkan hidupnya kekedamaian.
Kedatangan Glagah Putih dan Raden Rangga diterima dengan penuh kegembiraan. Bagaimanapun juga Glagah Putih pernah menjadi anak yang sedikit manja dilingkungan keluarganya. Karena itu kedatangannya benar-benar membuat suasana rumahnya menjadi cerah. Ayahnya sempat mempertanyakan keadaan Tanah Perdikan Menoreh yang sudah lama tidak dikunjunginya.
Glagah Putihpun kemudian telah menceriterakan bukan hanya serba sedikit, tetapi cukup panjang dan luas tentang Tanah Perdikan Menoreh. Terutama tentang Agung Sedayu dan isterinya Sekar Mirah serta orang yang juga menjadi gurunya. Kiai Jayaraga serta tentang Ki Gede Menoreh sendiri. Bahkan Glagah Putih telah menceriterakan pula keadaan terakhir yang berkembang di Tanah Perdikan sehingga akhirnya ia dan Raden Rangga telah terseret kedalam peristiwa yang terjadi di Mataram.
"Untuk itu maka kami telah mendapat semacam hukuman. Kami berdua harus menelusur jalur yang terputus dari orang yang cirinya dikenal sebagai orang-orang perguruan Nagaraga. Namun sama sekali belum ada petunjuk tentang perguruan itu. Baru pada saat kami siap akan berangkat, maka kami harus singgah pula di Mataram, Ki Patih Mandaraka akan memberikan sedikit petunjuk, karena yang diketahuinyapun hanya sedikit pula." berkata Glagah Putih.
Widura menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia mencela tingkah laku anaknya sehingga menimbulkan kemarahan Panembahan Senapati. Tetapi ketika ia menyadari kehadiran Raden Rangga, maka niatnya itupun telah diurungkannya.
Meskipun demikian Widura itupun berkata, "Satu pengalaman bagimu Glagah Putih. Ambillah arti dari peristiwa itu bagi perkembangan kepribadianmu kemudian."
Glagah Putih menundukkan kepalanya. Sementara itu Raden Ranggapun mengangguk-angguk tanpa menjawab sama sekali. Namun sekali-sekali ia sempat memandang Glagah Putih dengan sudut matanya.
Sebenarnyalah Ki Widura merasa cemas akan tugas yang dibebankan oleh Panembahan Senapati kepada kedua anak-anak yang masih terlalu muda itu. Agaknya kemarahan Panem"bahan Senapati kepada puteranya sudah mencapai puncaknya. Berkali-kali Raden Rangga dianggap telah mencampuri persoalan ayahandanya. Berkali-kali pula ia telah mendapat peringatan dan bahkan hukuman. Namun agaknya anak itu tidak pernah merasa jera.
Dalam beberapa kesempatan Ki Widura mengunjungi Kiai Gringsing dipadepokannya, Kiai Gringsing pernah berbicara tentang anak muda itu serta hubungannya yang akrab dengan Glagah Putih. Dan kini ternyata bahwa keduanya telah men"dapat hukuman bersama-sama. Tidak tanggung-tanggung, namun benar-benar satu hukuman yang berat.
Ki Widura memang tidak dapat memberikan petunjuk apapun tentang perguruan Nagaraga. Meskipun ia memang pernah juga mendengar, tetapi sama sekali tidak memberikan arah apapun juga karena Ki Widura hanya terbatas pada sekedar mendengar namanya.
"Kiai Gringsing mungkin mengetahui serba sedikit tentang perguruan itu." berkata Ki Widura, "apakah kau telah membicarakannya dengan orang tua itu?"
Glagah Putih menggeleng. Katanya, "Kami belum menyampaikannya kepada Ki Gringsing. Kiai Gringsing menghendaki agar nanti malam saja kita berbicara."
Ki Widura mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Malam nanti kau akan berada dimana?"
"Kami akan tidur dipadepokan ayah." jawab Glagah Putih.
"Kau tidak tidur disini?" bertanya ayahnya pula.
"Kami akan berbicara tentang perguruan Nagaraga malam nanti." jawab Glagah Putih.
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah ia ingin anaknya berada dirumah agak lama. Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih akan bermalam dipadepokan.
Namun justru karena itu, maka Ki Widura berkata, "Baiklah. Biarlah aku yang pergi ke padepokan. Mungkin aku akan dapat ikut mendengarkan pembicaraan kalian dengan Kiai Gringsing tentang perguruan Nagaraga itu."
Namun kedua anak muda itu tidak diijinkannya meninggalkan Banyu Asri sebelum mereka lebih dahulu makan bersama dirumah itu. Baru setelah keduanya mendapat hidangan makan, maka keduanya telah minta diri untuk pergi ke Jati Anom, mengunjungi kakak sepupu Glagah Putih yang menjadi Senapati prajurit Mataram yang berkedudukan di Jati Anom.
Kedatangan keduanya di Jati Anom memang mengejutkan Untara. Apalagi ketika Glagah Putih telah menceriterakan apa yang akan mereka lakukan.
"Jadi kalian harus melacak satu perguruan yang sudah tidak jelas lagi sekarang?" bertanya Untara.
"Ya" jawab Glagah Putih. "mudah-mudahan Kiai Gringsing dan Ki Patih Mandaraka dapat memberikan petunjuk serba sedikit."
Untara mengangguk-angguk. Namun kesan yang timbul di dalam hatinya sebagaimana terjadi pada Ki Widura. Panembahan Senapati agaknya memang benar-benar marah kepada Raden Rangga sehingga hukuman yang berat itu telah dijatuhkannya. Glagah Putih yang terlibat dalam kesalahan itupun harus memikul hukuman pula bersamanya.
Tetapi Untara tidak mengatakannya. Ia hanya memberikan pesan-pesan atas dasar pengalamannya sebagai prajurit. Menelusuri perguruan yang sudah tidak banyak terdengar lagi akan dapat menjadi sangat berbahaya. Apalagi telah terbukti ada usaha dari perguruan itu untuk langsung menyingkirkan Panembahan Senapati.
"Jika kalian menemukan padepokan itu, maka masih menjadi pertanyaan, apa yang dapat kalian lakukan terhadap isi dari perguruan itu." berkata Untara.
"Kami tidak harus berbuat apa-apa." jawab Glagah Putih, "semuanya harus kita laporkan. Panembahan Senapati sendiri akan mengambil langkah-langkah yang perlu."
"Tetapi mungkin kita akan terbentur pada satu keadaan tanpa pilihan." sahut Raden Rangga, "jika orang-orang perguruan itu berani memasuki istana dan langsung bertemu dengan Panembahan Senapati, kenapa kita tidak melakukannya di perguruan itu?"
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ditatapnya Raden Rangga untuk beberapa saat. Namun sebelum Glagah Putih mengatakan sesuatu Raden Rangga telah mendahuluinya, "Sudahlah. Segala sesuatunya akan kita sesuaikan dengan keadaan. Mungkin kita memang tidak akan berbuat sesuatu, karena pesan ayahanda."
"Agaknya Raden mempunyai pikiran lain." desis Glagah Putih, "apakah Raden berniat melakukannya sebagaimana dilakukan oleh ketiga orang di Mataram itu" Ternyata merekapun kurang memahami keadaan. Orang yang dengan berani berusaha bertemu langsung dengan Panembahan Senapati itupun akhirnya tidak mampu berbuat sesuatu."
"Jadi kau juga mempunyai perhitungan serupa atas kita seandainya kita memasuki perguruan itu?" bertanya Raden Rangga.
"Bukan akhir dari peristiwanya, tetapi kita memang belum mempunyai gambaran sama sekali tentang isi padepokan itu, sebagaimana ketiga orang Nagaraga yang memasuki istana Mataram." jawab Glagah Putih.
Raden Rangga tersenyum. Katanya, "Baiklah. Kita tidak usah membicarakannya."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Untarapun berkata, "Kalian memang harus berhati-hati. Sangat berhati-hati. Seandainya yang harus kalian lakukan bukan satu hukuman, maka kalian berdua dapat mengajak orang lain yang akan dapat membantu kalian. Misalnya Agung Sedayu dan Swandaru. Tetaps aku tidak tahu, apakah hal itu akan dibenarkan oleh Panembahan Senapati."
Raden Ranggalah yang menjawab, "Aku tidak berani melakukannya. Mungkin ayahanda tidak membenarkan. Bahkan mungkin akan dapat menambah kemarahan ayahanda sehingga Agung Sedayu dan Swandaru akan terpercik oleh kesalahanku. Karena itu, biarlah aku dan Glagah Putih sajalah yang berangkat menelusuri jejak orang-orang Nagaraga itu."
Untara menarik nafas dalam-daiam. Ia menyadari, bahwa yang dikatakan oleh Raden Rangga itu benar. Karena itu, maka Untara tidak membicarakannya lagi. Namun yang kemudian dipesankan adalah, bahwa keduanya harus mampu menilai keadaan sebaik-baiknya sehingga mereka tidak akan terjerumus sekedar karena dorongan perasaan.
"Kalian harus tetap mempergunakan nalar sebaik-baiknya menghadapi keadaan yang paling gawat." berkata Untara, "jika kalian kehilangan penalaran dan sekedar terdorong oleh perasaan, maka kalian akan dengan mudah terjerumus kedalam kesulitan dan bahkan mungkin kalian tidak akan mampu mengurai kesulitan itu."
Kedua anak itu mengangguk-angguk. Mereka menyadari, bahwa Untara adalah seorang Senapati yang memiliki pengalaman yang sangat luas sehingga yang dikatakan itu tentu bukan sekedar omong kosong. Karena itu, maka kedua anak muda itu telah memperhatikannya dengan bersungguh-sungguh, sehingga semua pesan itu akan menjadi bekal perjalanan mereka yang berbahaya itu.
Perfume 1 Pendekar Slebor 18 Warisan Ratu Mesir Wasiat Agung Dari Tibet 3

Cari Blog Ini