Ceritasilat Novel Online

Pendekar Kipas Akar Wangi 1

Walet Emas 07 Pendekar Kipas Akar Wangi Bagian 1


PENDEKAR KIPAS AKAR WANGI http://cerita-silat.mywapblog.com Daftar Judul Cersil Bag 17 :961 Pendekar
Slebor - Neraka Keraton Barat962 Pendekar Slebor - Manusia Pemuja Bulan963
Pendekar Slebor - Cincin Berlumur Darah964 Pendekar Slebor - Dagelan Setan965
Pendekar Slebor - Sengketa Di Gunung Merbabu966 Pendekar Slebor - Geisha967
Pendekar Slebor - Rahasia Sang Geisha968 Pendekar Slebor - Istana Sembilan
Iblis969 Pendekar Slebor - Siluman Hutan Waringin970 Pendekar Slebor - Peta
Rahasia LembahKutukan971 Pendekar Slebor - Iblis Penghela Kereta972 Pendekar
Slebor - Geger Di Lembah Tengkorak973 Pendekar Slebor - Pedang Buntung974
Pendekar Slebor - Pulau Seribu Setan975 Pendekar Slebor - Malaikat Peti Mati976
Pendekar Slebor - Bunga Neraka977 Pendekar Slebor - Susuk Ratu Setan978 Pendekar
Slebor - Lima Jalan darah979 Pendekar Slebor - Manusia Laba Laba980 Pendekar
Slebor - Macan Kepala Ular981 Pendekar Naga Putih - Tiga Iblis Gunung Tandur982
Pendekar Naga Putih - Dedemit Bukit Iblis983 Pendekar Naga Putih - Algojo Gunung
Sutra984 Pendekar Naga Putih - Partai Rimba Hitam985 Pendekar Naga Putih - Jari
Maut PencabutNyawa986 Pendekar Naga Putih - Penghuni RimbaGerantang987 Pendekar
Naga Putih - Raja Iblis dari Utara988 Pendekar Naga Putih - Penjagal Alam
Akhirat989 Pendekar Naga Putih - Mencari Jejak Pembunuh990 Pendekar Naga Putih Memburu Harta Karun991 Pendekar Naga Putih - Kelabang Hitam992 Pendekar Naga
Putih - Penggembala Mayat993 Pendekar Naga Putih - Pusaka Bernoda Darah994
Pendekar Naga Putih - Pendekar Murtad995 Pendekar Naga Putih - Kecapi Perak
dariSelatan996 Pendekar Naga Putih - Serigala Siluman997 Pendekar Naga Putih Dewi Baju Merah998 Pendekar Naga Putih - Asmara di Ujung Pedang999 Pendekar Naga
Putih - Bencana Dari AlamKubur1000 Pendekar Naga Putih - Hilangnya
PusakaKerajaan1001 Wiro Sableng - Bendera Darah1002 Wiro Sableng - Aksara Batu
Bernyawa1003 Wiro Sableng - Pernikahan Dengan Mayat1004 Wiro Sableng - Api Cinta
Sang Pendekar1005 Wiro Sableng - Misteri Pedang Naga Suci 2121006 Wiro Sableng Kematian Kedua1007 Wiro Sableng - Kitab Seribu Pengobatan1008 Wiro Sableng Perjanjian Dengan Roh1009 Wiro Sableng - Nyi Bodong1010 Wiro Sableng - Lentera
Iblis1011 Pendekar Rajawali Sakti - MemperebutkanBunga Wijayakusuma1012 Pendekar
Rajawali Sakti - Tuntutan GagakIreng1013 Pendekar Rajawali Sakti - Prahara Darah
Biru1014 Pendekar Rajawali Sakti - Dendam Naga Merah1015 Pendekar Rajawali Sakti
- Kuda Api Gordapala1016 Pendekar Rajawali Sakti - Rahasia Gordapala1017
Pendekar Rajawali Sakti - Perangkap Berdarah1018 Pendekar Rajawali Sakti - Geger
Putri Istana1019 Pendekar Rajawali Sakti - Titisan Ratu PantaiSelatan1020
Pendekar Rajawali Sakti - Kembang BungaLontar
Oleh Teguh Santosa
Cetakan Pertama 1991
Penerbit Bintang Usaha Jaya, Surabaya
Gambar sampul oleh Teguh Santosa
Hak cipta pada Penerbit
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Oleh Teguh Santosa
Serial Pendekar Walet Emas
dalam episode Ke 6
Pendekar Kipas Akar Wangi
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU Suara bende yang dipukul bertalu-talu membuat
orang-orang mendatangi tempat itu. Di sana, tepat hari pasaran yang berlangsung
lima hari sekali, diadakan arena jual beli di oro-oro ombo. Kesempatan itu
dipergunakan oleh petugas kadipaten untuk menyebarkan
pengumuman yang harus diketahui oleh segenap penduduk. Bagaikan kerumunan semut, orang-orang di sana
mengitari seorang punggawa kadipaten yang bertengger di atas punggung kuda. Sedangkan temannya yang
lain mengawasi orang-orang yang datang untuk mengetahui maklumat yang akan diumumkan...
"Harap diketahui, wahai segenap penduduk Kadipaten Argapura! Bahwa saat ini Sang Adipati berkenan
mencari para jagoan untuk dihimpun dalam laskar
khusus. Ini berkenaan dengan tugas yang harus dilaksanakan untuk menghadapi
serangan musuh dari
luar!" Begitu maklumat itu selesai, maka berkembanglah
pembicaraan dari mulut ke mulut.
"Apakah kadipaten kita akan diserang musuh"!"
tanya seseorang.
"Tampaknya begitu. Tapi aku tak tahu musuh mana
yang akan menyerang kadipaten kita," jawab yang lain.
"Aneh! Selama ini tidak terdengar bahwa kita bermusuhan dengan kadipaten lain. Apakah ada masalah
yang terpendam sehingga kita sebagai rakyat biasa ba-ru tahu saat ini."
tanggapan yang lain.
Orang yang diajak bicara hanya mengangkat bahu,
sementara matanya tertuju kepada seseorang yang
naik kuda muncul dari tikungan.
"Lihat, siapa yang berkemben kuning itu. Berkuda
lagi. Melihat pakaiannya, dia pasti seorang pendekar,"
kata orang itu dengan memancing perhatian temannya. Orang-orang yang bergerombol di sana semua mengawasi si penunggang kuda itu.
"Apakah dia datang karena pengumuman tadi?"
tanya seseorang.
"Kan dia baru muncul" Mana dengar pengumuman"
Tapi... jangan-jangan dia mata-mata musuh yang akan menyerang kadipaten ini!"
komentar yang lain.
Dan itu adalah omongan yang menyulut. Berawal
dari prasangka iseng, lalu menyebar dari mulut ke mulut. "Apa" Dia mata-mata
musuh?" tanggapan yang kian berkembang semakin menyudutkan si penunggang
kuda itu. Semua mata mengawasi sosok tubuh berkemben
kuning di atas punggung kudanya. Sikap ini tiba-tiba menarik perhatiannya. Dia
jadi merasa kikuk diawasi banyak mata sepanjang geraknya. Lalu dia menghentikan
kudanya, serta turun mencari tempat tambatan
kuda. Dilihatnya ada batang bambu yang rupanya
memang disediakan untuk tambatan kuda. Tapi sebelum dia bertindak lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara teguran...
"Jangan kau tambatkan kudamu di sini. Tempat ini
terlarang bagi orang yang hendak memusuhi kami!"
ucapan ini keluar dari mulut seseorang bertubuh kekar. Tampangnya serem, dengan cambang dan kumis
yang cukup membuat dirinya disegani orang-orang di sana. Di tempat itu orang ini
biasa dipanggil Warak.
"Maaf, Ki! Apa yang Aki ucapkan tadi?" tanya wanita berkemben kuning.
"Ja-ngan tam-bat-kan ku-da-mu di-si-ni!" terdengar
suara si Warak dengan nada terpisah-pisah seakan
memperjelas kata-katanya tadi.
"Memangnya kenapa" Kalau tak salah... Aki tadi bilang bahwa aku adalah musuh. Musuh siapa" Saya
pendatang baru di tempat ini. Saya tak punya musuh
di sini!" kata wanita berkemben kuning yang membendung tuduhan. Dilihatnya banyak orang yang datang melihatnya.
Firasatnya membisikkan, bahwa dia akan menghadapi
kesulitan di tempat itu. "Saya ingin keterangan yang jelas!" katanya lagi.
"Kau mencoba mengelabui kami?" kata si Warak
menantang. Tampak wajah jengkel dari wanita berkemben kuning itu. Alisnya bertaut. Kalau sudah begini satusatunya pikiran yang ada dalam benaknya adalah baku hantam! Dia merasa ditantang dengan keadaan.
"Baik! Aku akan membuktikan bahwa aku bukan
musuh seperti yang kalian tuduhkan. Bagaimana kalau aku kau ringkus saja" Tentunya aku akan membela diri. Kalau kau bisa meringkusku, bawalah aku ke hadapan penguasa kadipaten
ini!" tantang wanita berkemben kuning.
Si Warak ketawa nyekakak. Belum selesai suara ketawanya, maka kakinya telah menendang ke arah wanita berkemben kuning itu. Untung hal ini cepat diwaspadai. Si wanita berkemben kuning berhasil menangkis serangan tersebut. Sambil mengadakan tangkisan, maka kaki kanannya berkelebat ke tengah anta-ra dua paha si Warak. Kontan
laki-laki itu mengaduh dan terjengkang ke belakang. ' Si bapakne thole' kena
gampar. Dan yang menyakitkan bahwa tendangan itu
tepat menghajar ke 'butirannya' yang sulit didapat di
pasar mana pun!
Sebenarnya wanita berkemben kuning ini bisa melancarkan terus serangannya. Karena melihat si Warak menggeliat roboh sambil
terus menebah bagian tubuhnya yang jadi pelengkap penderita, dia tidak tega
melakukannya. Bahkan dia mencoba menolongnya untuk
bangkit. Tapi begitu wanita berkemben kuning ini menyentuh pundaknya, tiba-tiba
si Warak bangkit dengan mengirimkan tinjunya.
Serangan yang tak diduga ini benar-benar merupakan hal yang menyakitkan, karena tepat mengenai
buah dadanya. Si wanita berkemben kuning tergeser
ke belakang. Si Warak dengan mata beringas akan terus berniat mengadakan hajaran secara beruntun. Tapi si wanita cukup waspada. Tendangan kaki lawan
berhasil ditangkis. Bukan itu saja. Kali ini si wanita benar-benar beringas
dalam bertindak. Itu hanya gara-gara dia kena gampar ketika mencoba menolong lawannya yang diduga menderita kesakitan.
Si Warak yang melihat lawannya bergerak bagai
banteng ketaton, agak miris juga untuk menghadapi.
Telah tiga kali tubuhnya kena gampar. Dia benarbenar tak bisa membalas. Sampai akhirnya semua serangan lawan dirasanya begitu menyiksa. Si Warak
mencelat ketika sebuah hantaman beruntun menghajar dagu dan rahangnya. Kontan dua biji giginya rompal. Tubuh si Warak ndlosor
ke tengah kubangan air yang menggenang di tengah jalan akibat hujan sema-lam.
Melihat hal itu orang-orang yang menyaksikan baku
hantam menjauhkan diri. Sialnya, desas-desus tentang mata-mata atau telik sandi
lawan telah menyusup ke
Kadipaten Argapura kian menyebar
"Hai, kau, wanita berkemben kuning! Diam di tempatmu apabila menyayangi nyawamu!" suara lantang
tiba-tiba terdengar mengejutkan dirinya.
Belum usai dia melepaskan napas menghadapi si
Warak, kini dilihatnya selusin orang telah mengepungnya dengan acungan anak
panah yang siap dilepaskan
dari busurnya. Dia bukan sok jagoan. Sebenarnya dengan ancaman
panah seperti itu dia masih bisa melesat dengan memberikan serangan kilas balik.
Tapi dipertimbangkan
bahwa masalah dirinya yang dianggap sebagai musuh
perlu dijernihkan, maka ancaman itu dipatuhi. Dia
menyerahkan diri.
Beberapa orang maju ke muka hendak meringkus
dengan ikatan tali. Tapi dia menolak.
"Aku menyerahkan diri dengan baik-baik. Kalian
tak usah khawatir kalau aku akan mengadakan perlawanan. Aku memang ingin menghadap penguasa tempat ini!" katanya tegas.
*** "Siapa namamu?" tanya seorang punggawa kadipaten yang berpangkat Pimpinan Bhayangkara Kadipaten. Orangnya berperawakan gendut dengan rompi
yang menganga memperlihatkan simbar dadanya yang
lebat. Demikian pula kumisnya yang njlaprang melintang sampai di tengah kedua pipinya, menandakan
bahwa orang ini sugih rambut. Orang biasa memang-gilnya dengan sebutan Ki
Jlaprang. "Pusparini!" terdengar jawaban singkat atas pertanyaan tadi. "Pusparini?" kata punggawa itu mengulang. "Siapa
yang mengirimmu?"
"Mengirim saya" Oh, benar-benar pertanyaan aneh.
Saya seorang pengembara. Saya pergi ke mana saya
suka. Saya berteduh di mana saya ingin membaringkan diri. Saya bebas. Tak ada yang memerintah saya!"
kata Pusparini dengan tandas.
"Hm! Omonganmu lugas dan tegas. Tidak meragukan. Tapi di mataku tak ada yang bisa berkata begitu.
Aku ingin pembuktian!" kata Ki Jlaprang.
"Apakah itu dengan tindak kekerasan?"
"Jangan menantang. Dengan isyarat yang kuberikan, maka orang-orangku akan merejam tubuhmu
dengan anak-anak panah yang saat ini sedang mengincar lewat lubang-lubang pengintai itu," kata Ki Jlaprang dengan
mempersilahkan Pusparini meneliti lubang-lubang yang banyak terdapat di sekeliling tembok ruangan itu.
"Baik! Sebelum kau mengadakan pembuktian bahwa diriku tak bersalah, kini jelaskan alasan mengapa kalian menangkapku!" kata
Pusparini dengan pandangan mata menyapu mencari peluang untuk bisa lolos
dari tempat itu. Tapi kenyataannya tak ada peluang
yang bisa ditempuh.
"Maaf! Sebenarnya aku tidak punya niat buruk terhadapmu," kata Ki Jlaprang. "Saat ini memang kami
sedang mencari orang-orang tangguh yang mungkin
mampu kami bentuk dalam laskar khusus. Kami sedang bermusuhan dengan penguasa Kadipaten Karanggayam di seberang Bengawan Tambak Baya!" kata
Ki Jlaprang dengan mencoba mengurangi ketegangan
yang bersemi dalam hati Pusparini. Laki-laki ini cukup mengerti apa yang sedang
bergejolak dalam perasaan
Pusparini. "Bermusuhan antar kadipaten" Bagaimana itu
mungkin" Apakah ini menyangkut masalah perbatasan
atau... hal-hal yang lain?" kata Pusparini yang agaknya mulai tertarik dengan
ucapan Ki Jlaprang.
Dari ucapan sekilas ini Ki Jlaprang dapat menyimpulkan bahwa Pusparini memiliki kecerdasan dalam
menilai sebuah masalah.
"Bukan masalah perbatasan. Tapi masalah yang pelik. Kadipaten Argapura akan membangun sebuah
candi. Setelah dilakukan perhitungan penujuman, maka letaknya harus berada di kawasan Pegunungan
Embun Nirwana. Pegunungan itu saat ini dianggap wilayah bebas, tapi dikuasai oleh seorang pendekar sakti yang menamakan diri
Pendekar Kipas Akar Wangi," ka-ta Ki Jlaprang.
"Pendekar Kipas Akar Wangi?" sahut Pusparini.
"Ampuh benar julukannya."
"Sebenarnya pihak kami pernah mengadakan pen

Walet Emas 07 Pendekar Kipas Akar Wangi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dekatan dengan dia. Tapi tampaknya ada pihak lain
yang menghasut sehingga pembicaraan yang pernah
kami rintis menemui kegagalan. Dan pihak penghasut
itu adalah orang-orang Kadipaten Karanggayam."
"Jadi begitu persoalannya?" kata Pusparini mencoba memancing pembicaraan lagi ketika diketahui Ki
Jlaprang berdiam diri cukup lama. "Pantas saja kalau ada orang menuduhku sebagai
mata-mata. Kalian kira
aku ini dari Kadipaten Karanggayam?"
"Aku pribadi tak tahu mengapa kau bisa dituduh
begitu. Kami hanya menerima laporan bahwa ada mata-mata musuh berada di oro-oro ombo," kata Ki Jlaprang.
"Kalau begitu keadaan di sini cukup rawan," sela
Pusparini. "Apakah Ki Jlaprang sendiri tetap menuduhku sebagai mata-mata musuh?"
"Saat ini aku mencoba untuk tidak mempunyai
anggapan begitu. Ketahuilah, bahwa pasukan keamanan di kadipaten ini sangat lemah. Justru itu yang
membuat Sang Adipati memerintahkan kami untuk
membentuk laskar khusus untuk menghadapi masalah ini. Kami tidak memerlukan banyak tenaga. Kami
menghendaki beberapa orang saja, tapi kekuatannya
mampu menghadapi pasukan lawan."
"Boleh kutahu sudah berapa orang yang berhasil
dihimpun?" tanya Pusparini.
"Kalau kau orang yang berminat, maka kau menjadi
orang yang pertama," jawab Ki Jlaprang.
"Oh ya?"
*** DUA Hari berikutnya berbondong-bondong orang untuk
mendaftarkan diri sebagai anggota laskar khusus Kadipaten Argapura. Tentu saja tidak semua orang bisa diterima. Mereka harus
melalui ujian dan penelitian tentang kesehatan serta ketrampilan olah bela diri.
Yang mendaftar sekitar seratus orang, datang dari pel-bagai pelosok. Baik dari
Kadipaten Argapura sendiri maupun dari wilayah lain. Hal ini menjadi kendala pula, sebab dikhawatirkan ada telik sandi atau matamata dari Kadipaten Karanggayam yang menyusup ke
dalam laskar khusus ini.
Tapi dari sejumlah pendaftar, ternyata yang berhasil disaring hanya sepuluh
orang saja. Itu pun sudah melalui gemblengan, yang kadang-kadang mengundang
maut. Dan korban pun tidak terelakan. Ada enam
orang yang tewas, dua puluh satu luka berat, dan
lainnya luka ringan.
Dari sepuluh orang yang terpilih, termasuk Pusparini sendiri. Sepuluh orang terdiri dari tiga wanita dan tujuh laki-laki.
"Di antara sepuluh orang itu akan kita pilih lagi!"
kata Ki Jlaprang kepada bawahannya.
"Berarti... mereka harus saling mengalahkan?"
tanya punggawa bawahan itu.
"Apa boleh buat. Tapi sebenarnya sayang sekali kalau harus ada korban lagi. Aku lebih cenderung untuk tetap memakai sepuluh orang
itu. Tapi Sang Adipati
hanya menghendaki tujuh orang saja!"
"Tujuh orang?"
"Ya. Tujuh, dipandang sebagai angka keramat kadipaten ini."
Kemudian Ki Jlaprang mengumumkan ketentuan
tersebut. Sepuluh orang pendekar yang kini bertempat dalam
barak penampungan saling memandang satu sama
lain. Dari penyaringan yang membuat sepuluh orang
terpilih, memang belum pernah berhadapan satu sama
lain. Tiga wanitanya adalah Pusparini sendiri, Roro Wilis, dan Arumdalu.
Sedangkan ketujuh laki-lakinya
adalah, Mahesa Alit, Dhandhang Gendis, Gumbrek,
Watangan, Prangbakat, Udel Bodong dan Jelantik.
Dari ketujuh laki-laki itu Mahesa Alit yang termuda.
Umurnya sekitar dua puluh lima tahun. Sedangkan
yang lain sudah mendekati usia tiga puluhan. Bahkan yang bernama Udel Bodong
usianya hampir berkepala
empat, alias empat puluh tahun.
Kalau dinilai tentang keunggulan, boleh dikata mereka semua sejajar. Entah kalau di antara mereka masih menyimpan ilmu andalan.
Tapi ketika Pusparini
mendengar keputusan bahwa yang akan diambil hanya
tujuh orang, dia bermaksud mengundurkan diri.
"Mengapa?" tanya Ki Jlaprang.
"Saya tidak tega lagi kalau harus ada korban di antara yang terbaik ini," jawab Pusparini sambil mengawasi sembilan orang lainnya.
"Kalau begitu aku juga akan mengundurkan diri,"
jawab Mahesa Alit.
"Aku juga," Roro Wilis nimbrung mengemukakan
pendapatnya. Sedangkan ketujuh orang lainnya cuma diam.
"Ah, keputusan yang macam itu tidak mungkin,"
kata Ki Jlaprang.
"Apanya yang tidak mungkin, Ki" Bukankah kini telah ada tujuh orang seperti yang dikehendaki Sang
Adipati?" sela Mahesa Alit. "Disepakati atau tidak, rupanya kami bertiga telah
memilih mengundurkan diri
daripada harus menyisihkan yang lain agar bisa tampil dalam Laskar Khusus."
"Baik, kalau hal itu menjadi keputusan kalian berti-ga," Ki Jlaprang cepat
memberi tanggapan. Dia khawatir dari ketujuh orang itu ada yang berniat
mengikuti jejak mengundurkan diri. Kalau hal itu terjadi, maka runyamlah semua
rencana. Ki Jlaprang tidak ingin
Sang Adipati Argapura akan menilainya sebagai Pimpinan Bhayangkara Kadipaten
yang tidak becus.
"Tapi... aku ingin bertemu dengan kalian bertiga
nanti," pesan Ki Jlaprang sebelum meninggalkan tempat itu untuk melaporkan kepada junjungannya.
Sepeninggal Ki Jlaprang, ketujuh orang yang telah
dianggap sebagai Laskar Khusus segera mendekati
Pusparini, Mahesa Alit, dan Roro Wilis.
"Kukira kau tadi berkata cuma main-main," kata
Dhandhang Gendis menghadapi Pusparini.
"Main-main" Kau lihat sendiri, semuanya telah terjadi bukan" Aku sendiri sebenarnya tak berniat untuk masuk ke dalam jajaran
Laskar Khusus Kadipaten Argapura ini. Aku datang kemari secara kebetulan saja.
Bahkan sempat dituduh sebagai mata-mata," jawab
Pusparini. Dan ucapan tentang mata-mata, tiba-tiba menjadi
pemikiran sebagian besar mereka yang berada di barak. "Mata-mata?" sahut Watangan. "Sampai sebegitukah masalah dalam pembentukan Laskar Khusus ini?"
"Penduduk yang sempat menuduhku sebagai matamata. Tapi kini semua telah terselesaikan dengan
baik," jawab Pusparini. "Nah, kukira kami yang bertiga akan meninggalkan barak
ini, bagaimana kalau kita
bersantai-santai sambil menunggu kedatangan Ki Jlaprang lagi?"
"Gagasan yang baik!" sahut Arumdalu.
Mereka semua tahu, bahwa wanita ini adalah seorang janda. Mereka tahu sewaktu setiap orang dipertanyakan tentang riwayat hidup
masing-masing. Menurut pengakuannya, suaminya yang juga seorang pendekar, telah terbunuh dalam suatu bentrokan di suatu tempat. Dan Arumdalu
ternyata kelihatan akrab dengan Pusparini.
"Rupanya... kau memendam dendam," kata Pusparini sementara yang lain-lain ngobrol dengan berkelompok. Masing-masing menceritakan pengalaman selama digembleng dalam perguruan.
"Kau sok tahu saja," sahut Arumdalu.
"Aku melihat lewat sinar matamu. Apakah dengan
masuk menjadi anggota Laskar Khusus dendam itu
akan tersalurkan?"
Arumdalu tak cepat menjawab, karena memang
enggan menjawab.
"Berbicaralah tentang yang lain," terdengar ucapannya lirih. "Kalau itu tadi menyinggung perasaanmu, aku minta maaf," jawab Pusparini.
"Sayang kau keluar dari laskar ini," sambung
Arumdalu lagi. "Aku senang berteman dengan kau."
"Kita bisa ketemu lagi," Pusparini memberi kepastian. Lalu pandangannya ditujukan kepada Mahesa Alit
dan Roro Wilis yang asyik mengobrol. Dari sikap mere-ka, Pusparini bisa
mengambil kesimpulan bahwa Roro
Wilis sepertinya selalu mencari kesempatan untuk
berdekat-dekat dengan Mahesa Alit. Dia tak tahu, apa yang akan mereka lakukan
setelah tidak lagi masuk
dalam kesatuan Laskar Khusus.
"Baik! Semua telah kulaporkan kepada Sang Adipati!" tiba-tiba ucapan ini menggema lantang, menarik perhatian mereka. Ki
Jlaprang tampil di sana lagi dengan diiringi seorang punggawa.
"Ketujuh orang akan dilantik besok pagi. Sedangkan... tiga lainnya oleh Sang Adipati dipersilahkan untuk menghadap sekarang,"
kata Ki Jlaprang.
Kemudian, sementara yang tujuh orang tetap tinggal dalam barak, maka Pusparini, Mahesa Alit dan Ro-ro Wilis, mengikuti langkah
Ki Jlaprang untuk menghadap Sang Adipati.
Mereka melewati lorong panjang yang kanan kirinya
terhampar taman yang indah. Terlihat nyata bahwa
warga Kadipaten Argapura ini selalu bergelut dengan kesenian. Apakah itu seni
tari dan gamelannya, atau seni ukir yang diwujudkan dalam bentuk patung, semua
bisa dilihat di dalam arena kawasan kadipaten.
Ketika mereka melewati lorong panjang ini, terdengar sayup-sayup suara gamelan
mengisi keheningan suasana.
"Pantas saja kalau di sini mengabaikan kekuatan
laskar. Orang-orang di sini lebih mengutamakan kese-niannya," kata Mahesa Alit
mencoba memberi wawasan. Ki Jlaprang yang mendengar ucapan itu segera menimpali, "Pandanganmu benar! Semula kami berpikir
tentang tiadanya bahaya dari pihak luar selama kita tidak bertindak jahat.
Akhirnya kami sadari bahwa
anggapan itu keliru. Untung saja kelemahan kekuatan laskar kadipaten ini belum
diketahui pihak luar. Mudah-mudahan kami belum terlambat untuk membenahi diri." Tak berapa lama kemudian mereka tiba di sebuah
ruangan yang disebut ruang paseban. Di sana Sang
Adipati telah menunggu kedatangan mereka.
Setelah yang menghadap mengambil tempat masing-masing, maka Sang Adipati mulai berbicara, "Jadi kalian yang mengundurkan
diri sehingga terwujud
jumlah tujuh orang yang tergabung dalam Laskar
Khusus?" "Benar, Gusti Adipati. Inilah mereka," sambut Ki
Jlaprang yang kemudian memperkenalkan nama mereka satu persatu.
Sang Adipati yang telah berusia hampir enam puluh
tahun itu manggut-manggut sambil menatap tiga
orang pendekar yang dengan rela mengundurkan diri.
"Justru di situlah terlihat jiwa besar kalian," kata Sang Adipati. "Namun tak
berarti kalian bertiga harus tersingkir begitu saja. Aku telah mengambil
keputusan, bahwa kalian akan kuangkat sebagai Laskar Kehormatan."
"Laskar Kehormatan?" sela Pusparini. "Laskar macam apa itu?"
"Kalian bisa bertindak demi keamanan dan keutuhan kadipaten ini tanpa harus menunggu perintah,"
kata Sang Adipati.
"Itu... itu sangat berlebihan saya rasa," sela Pusparini dengan berani.
"Tidak berlebihan! Kuharap kalian bertiga sadar,
bahwa kami sangat membutuhkan pengabdian kalian,"
tandas Sang Adipati.
Mendengar ketegasan keputusan Sang Adipati, mereka bertiga hanya saling pandang. Dalam benak masing-masing terukir pendapat bahwa jabatan itu bisa
lebih tinggi daripada mereka menjadi anggota Laskar Khusus.
Karena hal itu telah dianggap selesai, maka Ki Jlaprang menggiring mereka ke ruangan lain.
"Saya benar-benar tidak menduga kalau hal ini berkembang seperti itu," kata Roro Wilis yang semula banyak berdiam diri.
"Nah! Di sini ada ruangan kamar tempat tinggal kalian. Masing-masing sebuah kamar. Beristirahatlah.
Setelah kami melantik Laskar Khusus besok pagi, kalian akan mendapat 'santiaji' tentang tugas yang harus kalian lakukan," kata Ki
Jlaprang dengan mengumbar
senyum sebelum meninggalkan mereka.
"Hm! Sekarang kita masing-masing harus memilih
kamar," kata Pusparini setelah ditinggalkan oleh Ki Jlaprang. "Kupikir... ini
ada ketentuan yang disebut Sendang Ngapit Pancuran."
"Sendang Ngapit Pancuran" Apa itu?" tanya Roro
Wilis "Sebutan itu lazim digunakan untuk menandai suami istri yang mempunyai anak perempuan, laki-laki, perempuan. Anak tiga orang,
yang sulung perempuan,
yang kedua laki-laki, yang ketiga perempuan. Yang perempuan ibarat sendang,
sedangkan laki-laki ibarat
pancuran!" jawab Pusparini dengan melempar senyum.
"Aha, aku jadi mengerti sekarang. Jadi Mahesa Alit
harus menempati kamar yang di tengah?" sahut Roro
Wilis. "Itu memang yang terbaik!" sambung Mahesa Alit
sambil terus nyelonong memasuki kamar tengah.
Kemudian Pusparini dan Roro Wilis menempati kamar di kanan kirinya....
*** TIGA Malam hari. Pusparini terbaring di atas tempat tidurnya. Orang-orang di kawasan kadipaten sudah dipastikan telah lelap tertidur, kecuali para petugas jaga.
Atau mungkin beberapa orang lagi yang juga belum tidur. Yang pasti Pusparini
sendiri sangat sulit memejamkan matanya untuk tidur. Orang bilang hal seperti


Walet Emas 07 Pendekar Kipas Akar Wangi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu disebut kancilen.
Tapi kalau Pusparini sampai tidak bisa tidur, biasanya ada masalah yang dipikirkan. Sejak Ki Jlaprang menyebut nama Pendekar Kipas Akar Wangi, dirinya telah didesak untuk ingin tahu lebih banyak tentang tokoh itu. Perasaan
yang mendesak ini lahir dari keinginannya sendiri. Dia jadi teringat cerita
gurunya, Ki Susrawa, sebelum turun dari padepokan. Gurunya
pernah bercerita tentang seorang pendekar yang menyebut dirinya Pendekar Kipas Akar Wangi yang bermukim di pegunungan Embun Nirwana. Disebut Embun Nirwana, karena tempat itu selalu berkabut. Boleh dikata cahaya matahari
sangat sulit menembus pegunungan itu.
Tapi masalah yang menggigit otaknya bukan tentang kabut abadi itu. Menurut cerita gurunya, bahwa Pendekar Kipas Akar Wangi
masih berdarah siluman!
Artinya keturunan siluman. Kalau sudah menyangkut
soal siluman, orang lantas berpikir tentang perangainya yang berkubang dalam soal kejahatan. Tapi ini lain! Pendekar Kipas Akar
Wangi adalah seseorang
berhati mulia, tak pernah bertindak kejam terhadap sesamanya, kecuali kalau dia
disakiti terlebih dahulu.
Pandangan hidupnya adalah "jangan mencubit kalau
tidak ingin dicubit". Sebenarnya hal yang seperti itu tidak terlalu istimewa.
Tapi pendekar ini sabarnya tidak ketulungan. Sabar sekali. Bahkan nyamuk pun
hanya dia usir seandainya menggigit tubuhnya.
Itulah yang diketahui oleh Pusparini tentang Pendekar Kipas Akar Wangi. Hanya saja Pusparini tidak
mengatakan wawasan sedikit pun kepada Ki Jlaprang
ketika nama pendekar itu disebut di hadapannya.
Pikiran-pikiran tentang pendekar yang bermukim di
pegunungan Embun Nirwana itu akhirnya menyeret
rasa ngantuknya. Tapi begitu gejala alami ini merang-sang otaknya, tiba-tiba
dirinya dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang begitu saja diketahui telah
berada dalam kamarnya. Dengan munculnya sosok tubuh itu,
menyebar pula bau harum yang melenakan perasaan.
"Mengapa kau memikirkan diriku?" tiba-tiba sosok
tubuh itu membuka percakapan.
Pusparini mencoba mengawasi orang itu. Sesosok
tubuh tegap dengan bertelanjang dada terlihat berdiri di pojok ruangan.
Rambutnya terurai sebatas bahu.
Wajahnya menampilkan bentuk rahang yang kuat.
Otot-otot tubuhnya mengimbangi penampilannya sehingga membuat mata setiap wanita krasan menikma-tinya.
Pusparini benar-benar terpesona.
"Siapa... namamu?" terdengar ucapan Pusparini
tanpa sadar walaupun pikirannya bisa menyimpulkan
siapa yang telah datang di sana. Barusan dia memikirkan tentang Pendekar Kipas Akar Wangi, dan kini seseorang telah muncul menanyakan mengapa dia telah
berpikir selangit tentang pendekar itu.
"Kau... Pendekar Kipas Akar Wangi?" tanya Pusparini ketika pertanyaannya semula tidak terjawab.
"Bangga sekali rasanya namaku disebut oleh seorang wanita secantik kau," jawab laki-laki itu.
"Jadi kau benar-benar Pendekar Kipas Akar Wangi?" Pusparini mencoba mencari kepastian.
Laki-laki itu tak menjawab. Dia cuma melempar senyum. Lalu tangannya dijulurkan. Dan anehnya, Pusparini segera menyambutnya. Dia bangkit.
"Aku bangga bahwa ada wanita secantik kau telah
memikirkan aku. Maka aku bisa hadir di sini. Tanpa
kau berpikir tentang aku, tak mungkin kehadiran ini bisa terjadi," kata lakilaki dengan panggilan Pendekar Kipas Akar Wangi itu.
"Telah lama aku merindukan pendamping. Merindukan kehadiran seseorang yang kelak melahirkan
anak-anakku. Kiranya... aku telah menemukanmu.
Siapa namamu?"
"Pusparini...!" jawab Pusparini hampir-hampir tak
terdengar karena pelannya ucapan itu meluncur dari
bibirnya yang kemudian dipagut dengan lembut oleh
Pendekar Kipas Akar Wangi.
Sesaat Pusparini tergagap kaget. Tidak menduga
berlangsung peristiwa seperti itu. Dia tak sempat berpikir lagi, kecuali hanya
merasakan... bagaimana lem-butnya bibir Pendekar Kipas Akar Wangi melumat dengan mesra. Dia merasa dibimbing untuk mengimbangi.
Pusparini sering mendengar tentang kata 'kemesraan'.
Beginikah kemesraan itu" Pusparini benar-benar terhanyut. Apalagi ketika kecupan itu merambat ke lehernya. Rasanya aneh sekali. Sulit untuk dilukiskan. Pusparini hanya bisa merasakan bagaimana kecupan seputar leher itu semakin membuat matanya terpejam.
Apalagi ketika dirasakan gigitan-gigitan lembut... Pusparini mendesahkan
keluhan-keluhan lirih. Dia benar-benar terlena dan lupa keadaan sekelilingnya.
Dia tak akan peduli seandainya saat itu ada ledakan petir
menghunjam di sampingnya. Bahkan dia sudah tak
peduli lagi ketika tangan Pendekar Kipas Akar Wangi mulai merambat melepaskan
kembennya. Dan rasanya
dingin menusuk kulit tubuhnya ketika kemben itu lepas total. Lalu yang dirasakan berubah jadi kehangatan. Hal itu terjadi ketika
kawasan dadanya jadi medan penyapuan kecupan secara menyeluruh. Boleh dikata
tak ada seinci pun bidang dadanya yang luput dari ge-lutan lembut yang dilakukan
oleh Pendekar Kipas Akar Wangi...!
Hal-hal yang lembut akhirnya berubah jadi sikap
yang membadai. Tempat itu bagaikan diterjang gempa
karena pergumulan dalam arus kemesraan yang tiada
kendali lagi. Sampai pada sikap ketika tangan Pendekar Kipas Akar Wangi
merenggut seluruh pakaiannya... tiba-tiba Pusparini tersentak kaget!
Satu-satunya perasaan yang menyengat otaknya
adalah kesadaran. Napas Pusparini masih berpacu
dengan denyut jantungnya. Matanya terbuka lebar. Di sana tak ada siapa-siapa
kecuali dirinya.
Dia telah bermimpi!
"Oh...!" hanya keluhan ini yang meluncur dari bibirnya. Mimpi" Benarkah itu semua adalah mimpi"
Pusparini memeriksa dirinya. Dia benar-benar kaget
ketika segenap pakaiannya tercampak semua. Dadanya tidak tertutup kemben lagi. Kain yang dipakainya lepas. Dia nyaris telanjang!
Mimpi" Apakah yang telah terjadi itu mimpi"
Pusparini menggigit bibirnya. Seperti ada rasa kelu di bibir itu. Rasa njarem.
Seperti baru dilumat oleh seseorang. Bagaimana mungkin kalau peristiwa yang telah dialami itu hanya mimpi tapi meninggalkan bekas yang nyata"
Lalu dirabanya dadanya yang terbuka. Dia membayangkan bagaimana kecupan-kecupan yang dilakukan oleh seseorang yang menyebut dirinya sebagai
Pendekar Kipas Akar Wangi. Kawasan dadanya yang
sintal nyengkir gading itu baru saja membuat dirinya melambung ke dunia yang
sulit terlukiskan. Semuanya telah dilakukan oleh laki-laki itu.
Dan bau harum itu... masih menyengat indera penciumannya. Bau harum kayu cendana. Jelas terasa
ada benda yang mengeluarkan bau seperti itu di dekatnya. Pusparini segera memeriksa tempat di sekitarnya.
Ketika dia membuka bantal, di situ terdapat sebuah
kipas yang terbuat dari akar wangi!
"Mustahil!" keluhnya pelan. "Aku tak yakin kalau
kipas ini sudah ada sebelum aku masuk kemari."
Pusparini hanya mengeluh panjang. Apakah hal ini
akan diceritakan kepada Mahesa Alit dan Roro Wilis"
Rasanya malu sekali.
Kipas akar wangi itu diamati dengan teliti, yang kemudian disimpan dalam
bungkusan perbekalannya.
Dia berniat akan menyelidiki peristiwa ini. Tapi caranya dilakukan dengan tidak
gegabah. Dia khawatir
perihal mimpinya bisa diketahui orang lain walaupun itu bisa dianggap sebagai
'bunga tidur'. Kemudian dibenahi pakaiannya yang semrawut. Dia
tak tahu sudah berapa panjang malam itu merambat
untuk menyongsong fajar pagi.
Pusparini memutuskan untuk melanjutkan tidurnya. Dia ingin tahu apakah mimpinya akan berlanjut
lagi. Ternyata dalam kelelapan tidur itu, dia tak bermimpi apa-apa. Hal ini
diyakini betul ketika esok harinya dia terbangun.
*** EMPAT Laskar Khusus yang terdiri dari tujuh orang pendekar itu dilantik pada esok harinya. Ketujuh orang itu akan di bawah pimpinan
langsung Ki Jlaprang.
"Jadi kalian bertiga kini diangkat menjadi Laskar
Kehormatan?" tanya Dhandhang Gendis seusai pelantikan dan menemui ketiga orang yang semula mengundurkan diri. "Wah, hebat kalau begitu."
"Tak ada yang hebat. Sebenarnya kita semua sama
dalam mengabdi pada kadipaten ini," jawab Pusparini.
"Kalian besok jadi berangkat ke pegunungan Embun
Nirwana?" "Ya!" jawab Arumdalu. "Lalu kalian bertiga sendiri
bagaimana?"
"Belum mendapat pengarahan" sahut Mahesa Alit
yang tiba-tiba nimbrung.
Mereka tampak akrab sekali. Benar saja keputusan
Pusparini yang semula mengundurkan diri dari Laskar Khusus. Kalau tidak, pasti
terjadi korban dalam pemilihan siapa yang harus masuk dalam kelompok tujuh
orang itu. Dalam keadaan keakraban itu, Arumdalu mengajak
Pusparini untuk berbicara empat mata. Tentu saja hal ini tidak dilakukan dengan
ajakan yang mencolok. Mereka bertemu lagi ketika masa istirahat siang berlangsung di sana. Pembicaraan
dilakukan dalam taman sari. "Mengapa kau mengajakku berbicara di sini,
Arum?" tanya Pusparini setelah mereka duduk dalam
naungan pohon yang rindang.
"Aku tak ingin masalah ini diketahui oleh orang
lain. Mungkin bisa saja kau memandang masalah ini
menyangkut tentang pribadiku sendiri. Yang jelas, aku membutuhkan
pertolonganmu."
"Pertolongan?"
"Ya. Kau tahu bukan tentang masa lampauku" Aku
seorang janda. Suamiku telah tewas dalam suatu bentrokan. Dari jenazah suamiku kudapati pula sebuah
senjata rahasia yang menancap pada dadanya di
samping luka lain yang berupa sabetan pedang. Dan
kemarin, aku menemukan sebuah senjata rahasia
yang tercecer di dalam barak. Senjata rahasia itu mirip dengan senjata rahasia
yang menancap di dada suamiku," kata Arumdalu sambil mengeluarkan sebuah
benda dari ikat pinggangnya. "Ini!"
Pusparini mengambil alih benda itu dari tangan
Arumdalu. Sebuah senjata rahasia berbentuk mirip
cakra. "Jadi kau pikir lawan suamimu berada di dalam barak itu, yang berarti salah seorang di antara mereka yang tergabung dalam Laskar
Khusus?" kata Pusparini. "Ucapanmu seperti anggapanku. Kau duga hal itu
benar, bukan?" kata Arumdalu.
Pusparini membisu. Dia belum bisa memastikan
anggapan yang berdasar tuduhan semacam itu benar
adanya. Pertimbangannya, sebab barak itu bisa saja
dimasuki oleh sembarang orang. Bukan mereka yang
tergabung dalam Laskar Khusus saja. Dan pandangan
yang seperti ini dikatakan kepada Arumdalu.
"Jadi kau tidak sependapat denganku?" tanya
Arumdalu setelah Pusparini memberikan pandangan
lebih lanjut. "Kau lihat saja di antara enam orang itu. Adakah
yang sikapnya agak 'sengit' terhadapmu" Atau... ada yang memancing-mancing
permusuhan?" kata Pusparini.
Arumdalu menggeleng.
"Kalau begitu, jangan gegabah!" kata Pusparini lagi.
"Tapi jangan khawatir, aku akan membantumu untuk
menemukan pembunuh suamimu."
"Hei! Ngobrol apa kalian di situ"!"
Tiba-tiba terdengar suara teguran beserta munculnya Dhandhang Gendis didampingi Jelantik.
"Kami sibuk mencarimu, Arum. Tidak tahunya kau
ngobrol di sini."
"Kita semua di suruh berkumpul oleh Ki Jlaprang,"
Jelantik menimpali.
"Sekarang?" tanya Arumdalu.
"Ya, sekarang. Ayoh!" kata Dhandhang Gendis
"Pergilah, Arum!" saran Pusparini yang masih krasan berangin-angin di tempat itu.
Arumdalu beranjak dari sana diiringkan Dhandhang
dan Jelantik. *** Sore harinya barulah Pusparini tahu bahwa Laskar
Khusus telah diberangkatkan menuju pegunungan
Embun Nirwana. Dan malam hari itu, Pusparini, Mahesa Alit dan Roro Wilis ditatar dengan 'santiaji' oleh Sang Adipati. Ki
Jlaprang tidak terlihat lagi di sana.
Dia telah mendampingi Laskar Khusus menjalankan
tugas. "Terus terang, saat ini Ki Jlaprang dan Laskar Khusus kuperintahkan untuk menyusup ke Kadipaten Karanggayam," kata Sang Adipati.
"Jadi mereka tidak ke pegunungan Embun Nirwana?" tanya Mahesa Alit.
"Tidak! Kalianlah yang akan menemui Pendekar Kipas Akar Wangi itu di pegunungan Embun Nirwana,"
jawab Sang Adipati.
"Jadi kesimpulannya Pendekar Kipas Akar Wangi
telah berpihak pada Kadipaten Karanggayam?" tanya
Pusparini. "Tampaknya begitu. Tapi mendengar tentang perangai si Pendekar yang katanya tak akan bermusuhan
dengan siapa pun, kuharap kalian bisa membujuk hatinya, agar aku bisa membangun sebuah candi pemujaan di sana," jawab Sang Adipati.


Walet Emas 07 Pendekar Kipas Akar Wangi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sang Adipati," sela Pusparini, "bukankah Kadipaten Argapura dan Karanggayam ini bagian dari Kerajaan Medang" Mengapa hal pembangunan candi tidak
dilaporkan saja kepada Sang Raja di Medang agar tidak menimbulkan masalah seperti ini?"
"Sang Baginda Raja telah memberi wewenang kepada segenap adipati untuk melaksanakan tugas pemerintahan sesuai dengan kebijaksanaan yang telah diga-riskan dari pusat. Termasuk
pembangunan tempat peribadatan. Harap kalian ketahui bahwa kawasan pegunungan Embun Nirwana adalah daerah perdikan.
Artinya daerah bebas. Konon daerah itu sudah disepakati oleh Kerajaan Medang dan
Kerajaan Wengker yang saling berbatasan untuk dimiliki oleh Pendekar Kipas Akar
Wangi. Tapi di sisi lain daerah itu menjadi batas antara kadipaten ini dengan
Kadipaten Karanggayam,"
kata Sang Adipati.
"Rupanya ada persaingan antara Argapura dengan
Karanggayam," Pusparini memberi tanggapan.
"Ya! Paling akhir kami memperoleh kesan bahwa
Kadipaten Karanggayam dengan diam-diam akan melepaskan diri dari Kerajaan Medang untuk bergabung
dengan Wengker. Saat ini kami hanya membutuhkan
bukti-bukti nyata. Kalau hal itu bisa kami peroleh, maka segera akan kami
laporan ke pemerintah pusat
kepada Baginda Raja."
"Jadi kesimpulannya pembangunan candi itu hanya
untuk membuka tabir apakah Karanggayam benarbenar patuh pada pemerintah Medang?" pancing Pusparini yang semakin penasaran ingin tahu inti persoalannya.
"Rentetannya memang mengarah pada persoalan
itu. Ketika kalian bertiga dengan rela mengundurkan diri dari kelompok Laskar
Khusus, tiba-tiba terbetik niat untuk membentuk Laskar Kehormatan yang akan
kuberi wewenang sesuai dengan garis kebijaksanaan
yang kutetapkan," jawab Sang Adipati. "Oleh sebab itu, kalau kalian bertiga
telah bersedia menerima pengang-katan ini, lakukanlah tugas kalian dengan baik."
*** 'Santiaji' secara kilat telah mereka terima. Hari berikutnya mereka bertiga berangkat menuju pegunungan Embun Nirwana.
Kepergian mereka dilepas dengan diam-diam. Dengan tiga ekor kuda, mereka berangkat ketika fajar me-nyingsing. Tak ada hambatan
apa-apa sampai perjalanan itu mencapai lembah di bawah pegunungan Embun Nirwana. "Kita beristirahat saja di sini," saran Pusparini.
Atas kebijaksanaan Sang Adipati, Pusparini diserahi
sebagai pimpinan kelompok itu meskipun dalam usia
masih kalah dengan Mahesa Alit. Pertimbangan Sang
Adipati, karena Pusparini yang mempunyai gagasan
pertama untuk mengundurkan diri sehingga terwujud
gagasan tersebut.
"Rupanya kita akan mendapat hambatan kalau
memakai kuda untuk terus mendaki ke sana," kata
Roro Wilis dengan mengawasi daerah yang menanjak
tinggi berbatu-batu itu.
"Kukira bisa. Tampaknya di sebelah sana bisa kita
tempuh dengan berkuda," sela Mahesa Alit sambil menunjuk ke arah selatan. "Dengan memutar, kita bisa
sampai ke puncak."
Pembicaraan kedua orang itu tak sempat berlanjut,
karena tiba-tiba Pusparini memberi isyarat dengan telunjuk yang ditempelkan pada
bibirnya. Mahesa Alit dan Roro Wilis segera tanggap dengan
isyarat tersebut. Pusparini memberi isyarat lagi agar mereka menyebar. Kedua
temannya bergerak untuk
memecah sasaran, sebab telah diyakini bahwa keberadaan mereka dalam kepungan sekelompok orang yang
datang dengan mengendap-endap. Siapa pun mereka
adanya, yang jelas keadaan itu membuat ketiganya
mempersiapkan diri untuk menjaga kemungkinan
yang tidak mengenakkan.
Dan itu benar...!
Sekelompok orang dengan bersenjata golok melesat
dari tempatnya masing-masing langsung mengepung
sasarannya. Pusparini, Mahesa Alit dan Roro Wilis
yang telah menjaga kemungkinan itu mencoba berbasa-basi menanyakan sikap mereka yang bermusuhan.
Ternyata tanggapannya adalah serangan tanpa ampun
lagi. Tentu saja hal yang demikian tak bisa disambut dengan remeh.
Pusparini membuat point pertama dengan menggebrak lawan ketika dua orang maju serentak menyerangnya dengan sambaran golok. Sekali tendang dua
orang itu mencelat ke belakang karena sapuan kaki
yang berhasil melanda dada mereka secara beruntun.
Sedangkan Mahesa Alit mengawali sambutan serangan
lawan dengan melesat ke atas, yang ketika terjun ke bawah berhasil menggojlok
dengan tendangan pula. Di sisi lain Roro Wilis tetap berada di tempatnya, tapi
ketika lawan mendekat, maka pedangnya yang berbicara.
Seorang langsung mati konyol, sedang yang lain sekarat. Jurus pertama, ketiga
pendekar ini unggul. Melihat hal ini lawan berikutnya maju lebih gencar lagi.
Tampaknya kelompok orang-orang itu mampu membaca
jurus yang akan dilancarkan oleh Pusparini dan kedua kawannya. Terbukti pada
serangan berikutnya mereka
menggunakan siasat lain. Walaupun begitu orangorang itu belum berhasil menyudutkan sasarannya.
Baku hantam kian menggila. Walaupun begitu Pusparini belum mengeluarkan Pedang Merapi Dahananya, sementara Mahesa Alit dan Roro Wilis telah
menghunus senjatanya untuk menghadapi lawan yang
kian membanjir. Sekitar tiga lusin lawan telah membludak di sana. Ketika jurus serangan menginjak ke
sekian puluh kali, maka korban di pihak lawan telah jatuh hampir separonya. Dan
pada saat itulah muncul dedengkot yang memimpin kelompok orang-orang itu.
Dia seorang wanita...!
"Minggir semua!" terdengar suara lantang dari wanita itu. Seakan-akan ada tenaga gaibnya, maka semua
orang yang mengroyok Pusparini dan kedua temannya
mematuhi perintah itu.
"Hebat!" kata wanita itu lagi. Penampilannya anggun, tinggi semampai. Tapi wajahnya keras. Ada torehan luka yang memanjang dari
dahi memotong sampai
pipi kirinya. Umur-umurannya sekitar tiga-puluhan.
"Apakah kau yang memimpin orang-orang itu?"
tanya Pusparini.
"Benar! Karena kalian telah memasuki daerah terlarang," jawab wanita itu dengan cantas.
"Daerah terlarang" Rasa-rasanya kau terlalu mengada-ada dengan ucapanmu. Belum pernah kudengar
bahwa daerah ini terlarang bagi siapa pun," sanggah Pusparini dengan suara
tegar. Dia ingin menunjukkan bahwa kehadirannya di tempat itu tak bisa digertak
dengan omongan gombal.
"Memang tidak pernah diumumkan. Dan kalian harus tahu sekarang," kata wanita itu lagi
"Baik, kalau itu larangan yang kau bentangkan di
sini, maka kami akan mendobraknya. Dan demi kesopanan, bagaimana kalau kau sebutkan namamu dulu
sebelum jantungmu terbelah oleh pedangku?" tantang
Pusparini. "Kau sebut namamu dulu, baru kusebut namaku!"
sanggah wanita itu dengan nada bicara angkuh.
"Dari nada bicaramu, aku bisa mengambil kesimpulan bahwa kau wanita yang keras kepala. Baik, kalau kau ingin tahu namaku. Buka
telingamu lebar-lebar!
Aku... Walet Emas!" kata Pusparini dengan cantas.
"Walet Emas" Aha, tak kuduga aku bisa menemukan dirimu di sini. Jadi kau yang memegang Pedang
Merapi Dahana?" kata wanita itu. "Dengar, namaku
Dyah Keningar. Nama besarmu pernah kudengar, bocah! Tapi jangan gegabah mengandalkan senjatamu.
Senjataku bisa menandingi pedangmu!"
Shriingg! Wanita bernama Dyah Keningar mencabut pedangnya. Begitu senjata tersebut keluar dari sarungnya, muncul asap putih dari
bilahnya yang berkilau ditimpa cahaya matahari.
Pusparini masih belum bertindak. Sementara di sisi
lain, Mahesa Alit dan Roro Wilis terpaku di tempatnya.
Dua orang ini sangat terkejut ketika mengetahui bah-wa Pusparini adalah orang
yang punya gelar kependekaran Walet Emas yang memiliki Pedang Merapi Dahana. Pedang yang sering menjadi pergunjingan para
pendekar karena berasal dari zaman raja Samaratungga yang mendirikan Candi Borobudur. Dan kalau dihitung sampai saat ini sudah berselang sekitar lebih dari duaratus tahun.
"Hayo, cabut pedangmu!" seru Dyah Keningar.
"Apakah kau takut melihat pedangku" Kini banyak pedang yang bisa menandingi pedangmu, Walet Emas.
Jadi kau jangan pongah. Di antaranya pedangku ini
yang bisa menandingi milikmu!"
Karena melihat gelagat bahwa lawan akan menerjang ke arahnya, maka Pusparini segera mencabut pedangnya pula! Shhrriingg! Cahaya merah memancar dari Pedang Merapi Dahana! Ini karena sinar matahari telah menimpa bilah pedangnya.
Pusparini alias Pendekar Walet Emas mengambil sikap bertahan ketika Dyah Keningar betul-betul melesat ke arahnya. Dua senjata
beradu. Bunga-bunga api
berpijar. Dan ini adalah perang tanding, yang tak seorang pun pihak lain boleh
membantu. Jurus-jurus awal diisi dengan siasat penjajakan kemampuan lawan.
Kemudian dicoba memancing siasat untuk mengecoh
serangan lawan. Ternyata kekuatan mereka seimbang.
Dan ini membuat masing-masing kian beringas untuk
menundukkan lawan. Kalau sikap ingin menundukkan
terlihat dari serangan Pusparini, maka sikap bernafsu membunuh terkesan dari
terjangan-terjangan serangan yang dilakukan oleh Dyah Keningar.
"Kau lihat itu" Seharusnya Pusparini punya kesempatan untuk menusuk lambung lawannya. Tapi mengapa dia tidak melakukannya?" bisik Roro Wilis kepada Mahesa Alit yang tekun
menyaksikan perang tanding
itu. "Mungkin Pusparini berniat hanya ingin mengalahkan. Tidak membunuhnya,"
kata Mahesa Alit. "Sayang
sekali memang. Tapi mungkin Pusparini punya rencana sendiri dengan caranya itu."
Dan Pusparini memang meneter dengan sabetan-sabetan pedangnya tanpa ampun lagi.
Kalau senjata lain, pasti sudah rontok dengan tebasan Pedang Mera-pi Dahana. Agaknya senjata
milik Dyah Keningar ini
punya penangkal untuk bisa bertahan. Entah ramuan
logam apa yang dibuat untuk membentuk pedangnya
yang sekali-kali mengeluarkan asap putih itu. Yang jelas dengan senjata itu Dyah
Keningar merasa bangga menghadapi Pusparini alias Walet Emas yang memiliki
Pedang Merapi Dahana.
Serangan gencar yang dilakukan oleh Pusparini akhirnya benar-benar disadari oleh Dyah Keningar. Tenaganya betul-betul terkuras untuk menghindar serta menangkis serangan si Walet
Emas. Rasanya peluang
menyiasati lawan tak ada lagi. Setiap celah selalu ter-kunci oleh gerakan
Pusparini. Dyah Keningar mulai mempergunakan anggota badan lainnya. Kakinya ikut berperan. Nyaris saja sabe-tannya bisa merubah suasana
karena kakinya yang lebih panjang jangkauannya daripada Pusparini. Untungnya Pusparini pandai mengimbangi dengan elakan
jurus walet sehingga setiap pendobrak serangan dari Dyah Keningar bisa diatasi.
Dan sampai akhirnya hal yang tak terduga terjadi,
walaupun hal ini telah menjadi tujuan serangan Pusparini. Pada suatu celah
kosong, Pusparini berhasil mencongkel pedang Dyah Keningar sehingga senjata
itu lepas dari tangannya. Senjata tersebut mencelat yang dengan kecepatan
seimbang Pusparini melesat
untuk menangkapnya.
Kena! Dyah Keningar blingsatan melihat ketrengginasan lawannya yang lincah. Pantas
saja kalau Pusparini
memiliki gelar kependekaran Walet Emas. Lincah dan
gesit, itulah kesan yang bisa terlukiskan.
"Nah, bagaimana" Apakah kau ingin melanjutkan
perang tanding ini?" seru Pusparini yang kini berhasil merampas senjata
lawannya. Semua menduga bahwa Dyah Keningar akan pasrah
bongkokan. Artinya, menyerah tanpa syarat. Ternyata dugaan itu keliru. Dengan
cepat pula Dyah Keningar
melesat sambil menebarkan senjata rahasia. Untung
Pusparini waspada dengan gerakan tangan yang sejak
tadi tak lepas dari pengawasannya. Logam-logam yang bertebaran dari tangan Dyah
Keningar berhasil ditangkis. Satu dua yang nyaris nyasar ke tubuhnya, tapi
yang ini dihindari dengan merobohkan tubuhnya ke
samping. Melihat pimpinannya lolos, maka sisa anak buahnya segera melarikan diri pula. Pusparini tak ada niat untuk mengejar.
"Hebat kau!" puji Mahesa Alit sambil mendekat ke
arah Pusparini. "Tak kusangka kaulah pendekar yang
memiliki gelar Walet Emas. Aku bangga sekali bisa
berteman denganmu, Pusparini."
"Jangan berlebihan. Tak ada keistimewaannya,"
tangkis Pusparini sambil menyarungkan pedangnya.
Sedangkan senjata Dyah Keningar yang berhasil dirampas diamati dengan teliti. "Setiap senjata pasti memiliki nama. Aku tak tahu
apa nama pedang ini.
Yang jelas ramuan logamnya pasti tidak sembarangan." "Kukira persoalan ini akan berkembang lebih membahayakan kalau Dyah Keningar muncul lagi," kata
Roro Wilis. "Mungkin dia akan muncul lagi dengan bantuan
orang lain," kata Pusparini. "Hal seperti itu agaknya tidak aneh lagi. Begitu
kita terjun ke dalam sebuah persoalan, harus siap untuk berbasah-basah. Tapi
jangan sampai tenggelam untuk mati konyol. Ayoh, kita melanjutkan perjalanan.
Aku sudah bisa menduga bahwa


Walet Emas 07 Pendekar Kipas Akar Wangi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dyah Keningar ada sangkut pautnya dengan campur
tangan dari pihak Karanggayam."
Tak ada komentar dari Mahesa Alit dan Roro Wilis
yang siap menaiki punggung kudanya.
Tapi Pusparini yang semula telah berada di atas
kudanya, malahan turun lagi ketika matanya menangkap sesuatu yang berkilat di tanah. Dia menghampiri benda itu, yang ternyata
senjata rahasia. Serupa dengan senjata rahasia yang pernah diketemukan oleh
Arumdalu di dalam barak. Berbentuk seperti cakra!
Untuk sesaat Pusparini mencoba mengambil kesimpulan tentang senjata rahasia milik Dyah Keningar
dengan yang diketemukan oleh Arumdalu yang telah
menewaskan suaminya. Dia jadi terseret anggapan
bahwa Kadipaten Argapura telah kesusupan matamata. Apakah di antara ketujuh Laskar Khusus telah
bercokol mata-mata seperti yang dikatakan Arumdalu"
"Ayoh, Rini! Mengapa kau termenung di situ" Kau
menemukan sesuatu?" terdengar teguran Mahesa Alit.
"Ini, cuma senjata rahasia yang tadi dilempar oleh
Dyah Keningar. Aku tertarik bentuknya saja," dalih
Pusparini sambil menaiki kudanya kembali.
Kemudian mereka bertiga menempuh jalan yang
memungkinkan bisa mencapai puncak pegunungan
Embun Nirwana. Setelah menapak ketinggian beberapa saat, akhirnya terlihat dataran tinggi pegunungan itu. Di sana memang
berkabut. Semakin ke atas jalan yang ditempuh, membuat perasaan Pusparini
semakin berdebar. Dia teringat akan mimpinya yang telah bertemu dengan Pendekar Kipas
Akar Wangi...! *** LIMA Sementara itu di suatu tempat di tepi sebuah sungai yang menjadi batas Kadipaten Argapura dan Karanggayam...! "Kita bermalam di sini dulu sambil menyelidiki keadaan di seberang sana," kata Ki Jlaprang yang memimpin Laskar Khususnya.
"Kalau kita berniat menyusup ke sana, mengapa tidak kita lakukan pada malam hari saja?" kata Dhandhang Gendis. "Redam dulu semangat kalian. Kita tak bisa gegabah masuk ke sana. Tempat kita berada sekarang, tepat di belakang bangunan kadipaten tempat tinggal
Adipati Karanggayam. Bangunan belakang kadipaten
dibentengi rerimbunan pohon bambu duri yang tak bisa ditembus. Satu-satunya cara hanya meniti puncak
pohon bambu untuk bisa menerobos dari belakang. Itu
sebabnya ketika diadakan pemilihan laskar ini lebih di-tekankan untuk
mendapatkan orang-orang yang menguasai ilmu enteng tubuh tingkat tinggi, di samping bela diri lainnya," kata Ki
Jlaprang mulai membeber-kan rahasia tugas mereka.
"Lalu apa yang akan kita lakukan setelah berhasil
masuk ke dalam kadipaten?" tanya Arumdalu.
"Itu tugasku!" sahut Ki Jlaprang singkat.
Ketujuh orang itu terdiam. Pandangan mereka mengawasi dengan seksama kepada sosok Ki Jlaprang.
Dengan keterangannya tadi, mereka bisa menyimpulkan bahwa Ki Jlaprang paling tidak punya ilmu andalan yang sejajar dengan mereka. Atau bahkan lebih
tinggi. Tapi mengapa dalam mengelola Kadipaten Argapura tidak digalakkan benar
tentang keunggulan prajurit bhayangkaranya" Mengapa baru sekarang ketika
menghadapi masalah pelik"
"Kalau hal itu yang kalian tanyakan, karena sebenarnya kami tidak suka dengan kekerasan," jawab Ki
Jlaprang ketika hal itu dengan berani ditanyakan oleh Jelantik, salah seorang di
antara ketujuh Laskar Khusus.
"Tegasnya, jadi Kadipaten Argapura baru sadar
bahwa pertahanan diri harus dimiliki meskipun tidak akan bertindak dengan
kekerasan terhadap pihak
lain," sahut anggota yang lain bernama Prangbakat.
"Karena kalian telah memperoleh jawabannya, sebaiknya kalian beristirahat dulu sambil menyelidiki perkembangan keadaan di
sini. Siapa tahu kedatangan kita telah tercium oleh mereka. Jadi harap waspada
saja," kata Ki Jlaprang dengan mencari tempat untuk beristirahat. Dipilihnya
tempat agak tinggi agar bisa mengawasi keadaan di sekitarnya.
Anggota Laskar Khusus yang lain segera mencari
tempat istirahat masing-masing. Delapan ekor kuda
kendaraan mereka ditambatkan di tempat tersembunyi. Senja kian temaram. Bianglala semakin menghitam. Suara serangga mulai
mengusik telinga.
Lalu, inti masalah bertumpu pada keberadaan
Arumdalu. Pendekar wanita ini beristirahat memencilkan diri
dari anggota lainnya. Kini dia satu-satunya wanita di sana. Mulanya dia enggan
untuk meneruskan menjadi
anggota Laskar Khusus. Tapi ketika menemukan sebuah senjata rahasia mirip dengan yang menancap di
tubuh jenazah suaminya, dia jadi penasaran ingin menyelidiki. Dugaannya masih
berprasangka bahwa keenam anggota Laskar Khusus itu ada yang terlibat dalam tewasnya suaminya. Satu persatu diteliti perangai sikap mereka selama
bergaul dalam kesatuan Laskar
Khusus. Dhandhang Gendis, Gumbrek, Watangan,
Prangbakat, Udel Bodong dan Jelantik. Nama-nama itu yang oleh Arumdalu menjadi
sasarannya. Tapi rasanya sulit sekali untuk menjatuhkan kecurigaan. Tak ada
sikap-sikap yang mencolok yang bisa didakwakan sebagai musuh suaminya. Semua bersikap baik terhadapnya. Ataukah lantaran tidak ada yang tahu bahwa
dia adalah janda pendekar Aragani"
"Belum tidur juga kau, Arum"!"
Arumdalu njenggirat kaget. Dilihatnya Prangbakat telah berdiri tak jauh dari
sampingnya. Kalau sampai hal itu terjadi, pasti Prangbakat mempergunakan ilmu
enteng tubuh sewaktu mendatangi tempat itu sehingga tak menimbulkan bunyi
sedikit pun. Tapi apa mak-sudnya bertindak seperti itu" Perasaan Arumdalu jadi
tidak enak dengan kehadiran laki-laki itu.
"Aku tak bisa tidur. Aku ingin ngobrol denganmu.
Boleh?" kata Prangbakat yang dengan lancang telah
duduk tak jauh dari Arumdalu.
Arumdalu tak sempat untuk berdalih bahwa dirinya
ingin sendiri malam itu. Cahaya bulan meluangkan kesempatan menerangi kegelapan
malam. "Aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu," kata
Prangbakat sambil menatap tajam.
"Tentang apa?" tanya Arumdalu tanpa mengubah
sikap dan tetap menatap bulan yang berkabut sutra.
"Kematian suamimu!"
Ucapan ini benar-benar menyengat perhatiannya.
Dia berpaling ke arah Prangbakat yang tiba-tiba mengungkap kematian suaminya.
"Mengapa kau merasa tertarik dengan hal itu?"
tanya Arumdalu.
"Aku pernah punya sahabat bernama Aragani. Apakah... itu nama suamimu?"
"Nama almarhum suamiku memang Aragani. Benarkah kau kenal dengan dia" Atau Aragani yang
lain?" "Kukenal Aragani sewaktu sama-sama berguru di
Padepokan Tegal Arum," jawab Prangbakat ingin
meyakinkan. "Astaga. Benar juga. Dia memang murid Padepokan
Tegal Arum. Jadi... kau saudara seperguruannya?" ka-ta Arumdalu yang
perhatiannya kian terseret pengakuan Prangbakat.
"Aku mendengar dia telah tewas. Tapi aku tak menduga bahwa kau adalah istri Aragani," sahut Prangbakat.
"Dia tewas dalam suatu bentrokan. Lalu kutemukan
jenazahnya. Kelihatannya telah terjadi perkelahian
yang tidak jujur," kata Arumdalu.
"Tidak jujur" Bagaimana kau bisa tahu" Ada yang
mengungkapkan kejadian itu?"
"Kuteliti keadaannya. Yang mencurigakan adanya
sebuah senjata rahasia yang menancap di dadanya di
samping luka-luka sabetan pedang. Kau tentu mengerti bahwa senjata rahasia hanya dikeluarkan oleh mere-ka yang merasa terpojok,
atau tak mampu menindak
lawan dalam jarak dekat."
"Hm. Jadi begitu penilaianmu?"
"Dan beberapa waktu yang lalu kutemukan senjata
rahasia di barak yang mirip dengan terdapat di dada suamiku. Senjata rahasia
berbentuk cakra!" kata
Arumdalu cantas. Dia ingin meyakinkan kepada
Prangbakat bahwa dirinya begitu mendendam karena
kematian suaminya.
"Jadi kau mencurigai bahwa di antara keenam anggota Laskar Khusus terdapat salah seorang lawan suamimu?" "Aku belum bisa memastikan," jawab Arumdalu
singkat. "Hm. Aku jadi mencium ketegangan di sini. Setiap
orang jadi kau curigai," kata Prangbakat.
"Kalau kau berniat membantu aku, jangan katakan
hal ini kepada siapa pun!"
Prangbakat termenung di tempatnya. Lalu memandang Arumdalu. Sejak pertama kali dia melihat Arumdalu, hatinya telah terpikat. Akhirnya diketahui bahwa wanita ini adalah janda
saudara seperguruannya.
"Kau jangan bertindak gegabah dalam menyelidiki
siapa orang yang telah membunuh Aragani. Aku akan
membantumu," kata Prangbakat sebelum dirinya meninggalkan tempat itu. Tapi belum dua langkah dia
berjalan, tiba-tiba inderanya terusik oleh kehadiran yang mencurigakan.
Arumdalu yang juga merasakan hal itu menyapukan pandang ke tempat sekitarnya.
Lalu, entah bagaimana mulanya, terdengar suara
teriakan dari sebelah sana. Teriakan menandakan kesakitan. Dan sekejap kemudian tempat itu berubah terisi baku hantam!
"Kita diserang!" kata Arumdalu dengan melesatkan
diri untuk memberi pertolongan kepada temantemannya yang telah terlibat baku hantam. Langkahnya diikuti Prangbakat.
Segerombolan penyerang muncul di sana. Baku
hantam itu berlangsung dengan kejam. Para penyerang mempergunakan senjata tajam,
yang tanpa ampun ingin menghabisi nyawa Laskar Khusus. Sepertinya kehadiran Laskar Khusus telah diketahui keberadaannya dan diamati sejak mulai
beristirahat di sana.
Tapi keadaan ini menimbulkan anggapan lain bagi
Arumdalu. Kecurigaan tentang seseorang yang menjadi musuh suaminya berkembang
menjadi dugaan adanya
mata-mata lawan dalam kelompok itu.
Berpikir tentang hal ini nyaris saja leher Arumdalu dibabat oleh golok lawan.
Untung saja Prangbakat
dengan jeli menghabisi orang tersebut.
"Terima kasih. Kau menyelamatkan nyawaku," terdengar ucapan Arumdalu sambil menghunuskan senjatanya ke arah lawan yang lain. Dalam tawuran ini
Arumdalu mencoba mengetahui siapa lawan yang sedang dihadapi sekarang.
Apakah orang-orang Kadipaten Karanggayam"
Tampaknya bukan! Orang-orang itu tidak mengenakan
seragam laskar Kadipaten Karanggayam, tapi berpakaian serba hitam dengan gambar tengkorak sebesar
kepalan tangan pada dada kiri mereka.
Salah seorang anggota Laskar Khusus bernama
Gumbrek ambil bagian dengan menggojlok lawannya
dengan tangan kosong. Hebat dia. Sikunya bagai dilapisi logam berhasil membuat rahang lawan rompal semua. Begitu juga Watangan. Dia unjuk kebolehan dengan senjata trisulanya. Sudah empat orang lawan yang nyawanya terbang karena
kegesitan serangan senjatanya. Udel Bodong dengan senjata toya berhasil menyodok leher lawan sehingga melesatkan lidah. Sedangkan Jelantik mempergunakan senjata berupa rantai berbandul bola besi sebesar kepalan tangan, telah beberapa kali membuat
gegar otak kepala lawan.
Dhandhang Gendis bersenjata pedang dengan punggung bergerigi, telah beberapa kali pula membuat lambung lawan robek tak
ketulungan lagi.
Bagaimana dengan Ki Jlaprang" Pimpinan Laskar
Khusus itu hanya bertindak seperlunya dengan menggunakan semua anggota badannya kapan saja ada lawan yang menyerang dirinya. Tenaga dalam yang dikerahkan cukup membuat remuk tulang dada lawan.
Melihat sepak terjang delapan orang itu, pihak penyerang mengundurkan diri dalam kegelapan. Ada sekitar dua lusin lawan telah jadi korban dalam tawuran itu. "Jangan kejar. Tetap
di tempat masing-masing," se-ru Ki Jlaprang.
Tapi tak urung Arumdalu dan Prangbakat telah terlanjur mengejar. Kedua orang ini tidak mendengar seruan Ki Jlaprang. Sedangkan
lainnya masih tinggal di tempat.
"Siapa yang menerobos mengejar?" seru Ki Jlaprang. Tak seorang pun memberi jawaban. Setelah saling
berkumpul, tahulah mereka siapa yang tak ada di sana. "Arumdalu dan Prangbakat rupanya mengejar mereka," kata Dhandhang Gendis.
Terlihat wajah tegang dari roman muka Ki Jlaprang.
Dia merasa perintahnya tidak digubris oleh Arumdalu dan Prangbakat. Ataukah
mereka tidak mendengar perintahnya"
"Kita tunggu saja kemunculan mereka kembali," saran Ki Jlaprang.
Ketegangan masih mencekam walaupun lawan telah
tersingkir. Mereka berjaga-jaga kalau ada serangan
yang berikutnya dengan kekuatan yang lebih unggul.
"Mungkinkah para penyerang ini dari Kadipaten Karanggayam" Mereka memakai seragam dengan tanda
tengkorak di dada kiri," kata Gumbrek.
"Pasti ini pasukan khusus yang dibentuk oleh pihak
Kadipaten Karanggayam," kata Udel Bodong.
"Rasanya bukan. Tapi hal itu perlu kita buktikan,"
kata Ki Jlaprang.
Baru saja mereka menyudahi percakapan, tiba-tiba


Walet Emas 07 Pendekar Kipas Akar Wangi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tercium bau harum. Mula-mula bau menyengat hidung
secara lunak, tapi lama-kelamaan kian keras.
"Kalian mencium bau ini?" tanya Ki Jlaprang.
"Ya! Seperti harumnya kayu cendana," sambut
Dhandhang Gendis.
"Bukan kayu cendana saja. Rasanya bercampur
dengan bau bunga kenanga," sahut Gumbrek.
"Tercampur juga bau kemenyan!" sela Watangan.
"Ah, yang begini bisa membuat kepalaku pusing!"
kata Udel Bodong dengan menebah kepalanya.
Dan perbuatan seperti itu tidak saja Udel Bodong
yang melakukan, tapi juga yang lain-lain. Akhirnya
disadari bahwa bau harum yang sulit diketahui jenisnya ini telah membuat kepala
mereka pusing. Rasanya pelipis mereka didera oleh rasa sakit yang menekan
kepala, berdenyut-denyut tak karuan...!
"Ini bukan bau sembarangan. Tapi serangan tenaga
dalam lewat penciuman!" seru Watangan sambil menyeringai. Mereka baru sadar apa yang menyerang mereka,
bau harum untuk melumpuhkan syaraf.
Seseorang telah melakukan serangan dari jarak
jauh dan mengandalkan tenaga angin malam. Keenam
orang itu blingsatan memegangi kepala mereka masing-masing. Kalau serangan tenaga dalam lewat getaran suara bisa diatasi dengan menutup telinga, bagaimana menangkis bau harum
yang berisi tenaga dalam" Apakah mereka akan menutup hidung mereka"
Itu berarti mati konyol!
Beberapa orang di antaranya akhirnya roboh dengan darah meleleh dari hidung dan telinga. Ki Jlaprang yang berusaha bertahan
dengan mengerahkan tenaga
dalam membendung indera penciumannya, juga tak
berhasil mengatasi.
Hanya Dhandhang Gendis dan Jelantik yang terlihat bertahan. Kedua orang ini dengan merangkak
mencoba menjauhi tempat itu. Benar-benar perjuangan yang berat. Seperti ada kesepakatan, keduanya
bergerak menuju arah sungai, dan menceburkan diri
mengikuti arus yang deras.
*** ENAM Kabut di pegunungan Embun Nirwana semakin terlihat jelas. Tiga ekor kuda dengan langkah hati-hati menembus kawasan di sana.
Hawa dingin melumat seluruh tubuh. Pusparini, Mahesa Alit dan Roro Wilis
mulai menggigil. Untuk mengatasi hawa dingin ini ketiganya mengambil selimut
dari buntalan perbekalan
mereka. Selimut itu terbuat dari tenunan benangbenang yang kasar sehingga bisa menyerap kehangatan. Karena tebalnya kabut, mereka hanya bisa melihat ke depan sejauh dua tombak.
"Hati-hati. Mungkin ada lubang di depan kita," kata Pusparini memperingatkan
Mahesa Alit yang berada
paling depan. Sedangkan Roro Wilis yang berada di
tengah sejak mereka menembus kabut itu tak banyak
berbicara. Dia menyelimuti tubuhnya sehingga mata
saja yang disisakan untuk memantau pandangan.
Belum ada tanda-tanda yang menunjukkan mereka
sampai di tempat sebagai pemukiman Pendekar Kipas
Akar Wangi. Suasana hening, dan jalanan semakin
menanjak ke atas.
"Aku tak habis pikir mengapa Sang Adipati Argapura ingin membangun candi tempat peribadatan di sini,"
kata Roro Wilis. "Bagaimana bisa mengucapkan doa
dalam kedinginan seperti ini?"
"Kukira bukan di bagian ini yang akan dibangun
candi itu. Mungkin di sebelah atas dataran di mana sinar matahari bisa leluasa
mengembangkan cahayanya," jawab Mahesa Alit.
Dugaan ucapan itu akhirnya terbukti. Beberapa
waktu kemudian setelah mereka mendaki dataran
yang menanjak, akhirnya sampai di tempat di mana
kabut tidak sepekat lagi.
"Lihat, di sana," telunjuk Mahesa Alit menjulur
membarengi ucapannya.
Ketiga pasang mata mengawasi punggung bukit
yang terlihat subur di mana sinar matahari memancarkan sinarnya dengan leluasa.
"Jadi pegunungan Embun Nirwana ini dikelilingi
kabut seperti sabuk, sedang puncaknya terhampar
nyata," terdengar ucapan Pusparini. "Sekarang mencari tanda-tanda pemukiman Pendekar Kipas Akar Wangi. Menurut penjelasan Ki Jlaprang, kita harus mencari pohon beringin kembar
yang disebut Waringin Kembar."
Mereka segera memacu kuda masing-masing dengan langkah cepat. Hal itu memungkinkan sekali sebab kawasan yang dirambah
berupa padang rumput se-tinggi lutut. Sedangkan di seberang sana terlihat deretan pohon-pohon yang diperhitungkan terdapat pohon
beringin kembar.
Semakin dekat dengan tempat yang dituju, perasaan Pusparini semakin berdebar. Ingatannya tentang mimpinya bertemu dengan
Pendekar Kipas Akar Wangi
semakin menggigit. Apakah benar pendekar itu seperti yang dilihatnya dalam
mimpi" Padang rumput berhasil mereka lewati. Kini di hadapan mereka terdapat segugusan pohon yang membentuk hutan kecil.
"Kita harus menerobos masuk," kata Pusparini yang
tanpa ragu terus menuju ke depan. Sedangkan Mahesa
Alit dan Roro Wilis masih tercekam dengan pohonpohon yang tegak di hadapan mereka. Pohon bagaikan
kaki-kaki raksasa itu memiliki sulur akar gantung
yang malang melintang. Ada yang sampai menghunjam
ke tanah sehingga membentuk batang baru. Dan
anehnya, Pusparini seperti sudah pernah mengenal
tempat itu, dengan enak saja menerobos ke dalam hutan. "Rini! Tunggu!" seru Mahesa Alit.
Tapi Pusparini telah nggeblas tak terlihat lagi. Mahesa Alit dan Roro Wilis
mengekor jejak.
"Di mana dia?" tanya Roro Wilis setelah beberapa
saat kemudian memburu jejak Pusparini, tapi yang diikuti tak terlihat sosok
tubuhnya lagi. "Jangan-jangan kita yang kesasar."
"Tak mungkin," jawab Mahesa Alit. "Tadi kulihat
nyata mengarah pada jalur ini."
"Iya. Tapi coba kau lihat di depan. Dia tak terlihat lagi bukan?" sanggah Roro
Wilis. Mahesa Alit mulai ragu-ragu. Mereka berhenti. Roro
Wilis menengadah ke atas melihat batang pohon yang
menaunginya. Batang pohon itu dengan sulur-sulur
akar gantungnya telah membentuk seperti sebuah gua.
Enak untuk berteduh kalau hujan.
"Kita ngaso di sini saja," kata Roro Wilis yang tanpa persetujuan Mahesa Alit
telah turun dari kudanya.
Mahesa Alit masih meneliti keadaan sekelilingnya.
Kemudian dia berteriak memanggil nama Pusparini.
Suara gema memantul ke pelosok hutan.
"Sudah. Nanti kan ketemu. Lihat, kudamu berkeringat. Dia perlu ngaso," kata Roro Wilis.
Terdengar sekali gaya bicara Roro Wilis yang manja.
Dan ini dianggap Mahesa Alit tidak seperti biasanya.
Tapi saran itu benar adanya. Kudanya perlu istirahat.
"Ya. Toh nanti bisa ketemu. Kukira tak ada persoalan yang gawat untuk bertemu dengan pendekar itu,"
kata Mahesa Alit sembari turun dari punggung kudanya. Di sekitar tempat itu ada rumput, dan kudanya dibiarkan merumput. Ketika menoleh ke arah Roro Wilis, gadis itu terlihat telah
memejamkan matanya. Entah
tertidur atau tidak, yang jelas enak sekali sosok gadis itu dipandangi lamalama. Dari ujung rambut sampai
ujung kaki, sosok tubuh Roro Wilis jadi sapuan pandangan mata Mahesa Alit. Roro Wilis terbaring terlentang dengan kedua tangannya
dinaikkan sebagai penyangga kepala. Sedang kaki kanannya tegak menekuk
sementara kaki yang satu terbujur lurus.
Dengan sikap kedua tangan menyangga kepalanya,
maka dada Roro Wilis jadi membusung menantang.
Lembah buah dadanya terlihat sebagian dan memamerkan kulitnya yang mulus. Mahesa Alit menarik napas dalam. Kemudian dia duduk tak jauh dari Roro Wilis. Mungkin sejauh sedepa.
Dan apabila dia meluruskan kaki, maka kakinya akan menyentuh ujung
kaki gadis itu. Tapi Mahesa Alit punya pertimbangan untuk tidak mengganggu gadis
itu dengan sentuhan
ujung kakinya. Tapi matanya tetap nakal mengawasi
segenap sosok tubuh Roro Wilis yang hari-hari terakhir ini sangat dekat dengan
dirinya. Roro Wilis bisa berbicara akrab dengan dirinya apabila Pusparini tak ada di dekat mereka. Karena segan"
Entahlah. Mahesa Alit mencoba meraba sikap tersebut.
Apakah Roro Wilis menaruh hati kepadanya" Ah, mana
mungkin ada wanita jatuh hati kepada dirinya" Terus terang, Mahesa Alit punya
sikap rendah kalau berhadapan dengan wanita. Tapi sikap-sikap Roro Wilis pada
hari-hari terakhir ini sempat membuat perasaannya
terguncang. Pada setiap kesempatan keduanya bekerja bersama
membenahi sesuatu, maka sentuhan tubuh mereka
menimbulkan gerak yang agresif dari Roro Wilis. Apakah itu sikap pancingan"
Tiba-tiba lamunan Mahesa Alit terhenti karena kaki
Roro Wilis ganti posisi, dan gerakan ini membuat kaki mereka beradu. Roro Wilis
seperti kaget karena ada sesuatu yang menyentuh kakinya. Kaget" Atau purapura kaget"
"Oh, kukira kau memburu Pusparini," kata Roro Wilis dengan melonjorkan kaki sehingga menghimpit kaki Mahesa Alit. Seperti hal
itu tidak disadari, dan kakinya dibiarkan dengan keadaan tetap begitu.
"Seperti saranmu, kuda kita perlu istirahat, bukan?" sahut Mahesa Alit.
Roro Wilis cuma melempar senyum. Sejenak matanya dipejamkan lagi. Lama dia bersikap seperti itu.
Ah, kalau saja Mahesa Alit tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Roro Wilis ini,
di mana denyut jantungnya kian berpacu cepat...!
Dan seperti tak percaya apa yang dia rasakan, tibatiba Roro Wilis membuka matanya. Itu karena tersirap oleh sentuhan tubuh Mahesa
Alit yang kini menghimpit di sampingnya.
Roro Wilis beradu pandang dengan mata Mahesa
Alit. Tak ada sepatah kata pun mampu meluncur untuk mengawali berbicara. Perlukah hal itu diantar dengan pembicaraan lagi"
Rasanya tidak. Dan peradaban
yang universal untuk melepaskan gelora yang mengguruh di dada, kiranya terjadi pada mereka. Entah siapa yang memberi pelajaran,
yang jelas sentuhan bibir mereka telah melambungkan perasaan ke awang-awang.
Diawali dengan sentuhan lembut, lalu kian ketat, sehingga napas mereka saling
berbenturan. Dan itu berlangsung lama sekali. Masing-masing tak ada tandatanda untuk saling merenggangkan diri. Sampai akhirnya... sikap akhir itu dilakukan oleh Mahesa Alit.
Perasaan Roro Wilis tersendat. Nyata terlihat lewat pandangan matanya yang redup
dengan bibir lemas
terbuka. "Lakukan apa yang ingin kau lakukan," terdengar
suara Roro Wilis lirih.
Mahesa Alit tegak. Dia duduk di samping gadis itu
yang sisa kesadarannya belum pulih benar.
"Maafkan aku," kata Mahesa Alit dengan suara bergetar. "Untuk apa?"
"Aku telah berbuat tidak senonoh. Melanggar kesopanan. Mendobrak susila."
"Omong apa kau ini?"
"Omong tentang itu tadi. Aku telah menciummu."
"Aku juga ingin kau cium."
"Edan!" pikir Mahesa Alit. Tapi bukankah semua telah terjadi"
"Ada apa sebenarnya kita ini?" tanya Mahesa Alit.
"Aku tak tahu. Pokoknya senang kalau selalu berdekat-dekat dengan kau," jawab Roro Wilis. "Kau bagaimana?" Mahesa Alit membisu. Pikirannya kacau.
"Kau... belum punya gadis idaman" Atau... sudah
ada yang mengikatmu?" tanya Roro Wilis.
"Seharusnya aku yang bertanya tentang hal itu,"
tukas Mahesa Alit.
"Aku tidak ingin pamer membaik-baikkan diri. Yang
jelas hatiku sedang kosong," jawab Roro Wilis seraya bangkit dan duduk di
samping Mahesa Alit. Kemudian
dengan berani dirinya menyandarkan kepalanya ke
bahu pemuda itu. "Mengapa kita harus membohongi
diri sendiri?" lanjut Roro Wilis.
"Aku selalu takut kalau ingin pacaran," kata Mahesa Alit. "Takut" Sepertinya kau tadi pandai melakukannya."
"Oh, ya" Apakah kau telah memperbandingkan
dengan cara pemuda lain yang melakukan kepadamu?"
"Percayalah! Itu yang pertama kulakukan."
"Bohong!" sanggah Mahesa Alit dengan menatap tajam mata Roro Wilis yang cuma berjarak sejengkal dari wajahnya.
"Sungguh!"
"Sumpah?"
"Sumpah!"
Dan napas Roro Wilis tersengal sesaat ketika dengan cepat Mahesa Alit memagut bibirnya yang mangar-mangar...! Dan kemesraan itu
berlanjut, diarungi bersama dalam dekap kehangatan.
Mereka terlena, sampai tidak sadar bahwa berpasang-pasang mata telah hadir di sana. Kalau tidak terdengar ringkik kuda, pasti
Pedang Angin Berbisik 27 Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu Memanah Burung Rajawali 34

Cari Blog Ini