Ceritasilat Novel Online

Hidung Belang Berkipas Sakti 3

Wiro Sableng 020 Hidung Belang Berkipas Sakti Bagian 3


hari sampai malam kota ini senantiasa ramai.
Kedai pak Tanu terkenal sampai ke mana-mana dan selalu ramai pengunjungnya.
Sebenarnya makanan yang dimasak bu Tanu tidak terlalu luar biasa. Namun orang
selalu datang ke sana untuk makan atau minum karena harganya murah. Dan ada hal
lain lagi yang membuat orang mengalir sepanjang hari masuk ke kedai tersebut.
Pak Tanu mempunyai dua orang anak. Satu lelaki seusia sepuluh tahun sedang satu
lagi perempuan yang sudah remaja puteri, berkulit hitam manis dan berparas
cantik. Hidung mancung, bibir kecil, dagu laksana lebih bergantung. Leher
jenjang, alis laksana bulan sabit dan bulu mata panjang melentik. Ditambah pula
dengan lenggang lenggoknya ketika berjalan serta sikapnya yang genit manja,
semua itulah yang sebenarnya menjadi penyebab mengapa kedai pak Tanu terkenal
dan banyak dikunjungi orang.
Selaku pemilik kedai pak Tanu agaknya memang sengaja menyuruh anak gadisnya itu
duduk di kedai untuk melayani para tetamu.
Colak colek dan cubitan tangan lelaki-lelaki bagi Sri Wening -begitu nama puteri
pak Tanu - sudah merupakan hal-hal yang biasa, malah tak jarang banyaklah yang tergila-gila
padanya. Makin banyak yang tergila berarti tambah banyak tamu yang datang dan tambah
penuh kocek pak Tanu.
Sedemikian banyak para pemuda dan para pedagang yang terpikat namun sebegitu
jauh tak seorang pun yang bisa mendekatinya. Banyak yang melamar malah. Semua
ditolak. Jinak-jinak merpati. Begitulah julukan yang diberikan orang pada Sri
Wening. Suatu malam hujan lebat sekali. Di kedai pak Tanu terdapat sekitar selusin tamu.
Kebanyakan di antara mereka minum teh atau kopi hangat sambil merokok dan
tentunya tak lupa melirik puteri pemilik kedai yang hitam manis itu. Kadangkadang seseorang sengaja menghabiskan minumannya cepat-cepat agar bisa minta
minuman baru dan dengan demikian berkesempatan untuk mengganggu, meraba atau
mencolek Sri Wening yang datang melayani.
Pada saat hujan lebat berganti rintik-rintik, masuklah seorang tamu muda
berpakaian sederhana. Dia memandang dulu seputar kedai, lalu memilih tempat
duduk di sudut yang agak terpencil. Diusapnya wajahnya yang basah oleh air
hujan. Sri Wening mendatangi dengan lenggang-lenggok dan genit.
"Hai, kau datang lagi sahabat muda," sapa Sri Wening dan tak lupa melontarkan
senyum memikat.
"Ya ... ya ..." sahut si pemuda sambil garuk-garuk belakang kepalanya.
"Nah, kau pasti lupa apa yang kupesankan malam kemarin ketika kau datang ke mari
...." "Apa ... " Pesan apa ya?" balik bertanya sang tamu sambil coba mengingat-ingat
dengan tampang yang tolol.
Sri Wening tertawa berderai hingga semua orang memandang ke jurusannya. Diamdiam banyak yang merasa iri pada tamu muda bertampang bodoh itu.
"Ah, kau seorang pelupa rupanya! Malam kemarin kupesankan padamu agar kau
memotong rambutmu yang gondrong tak karuan itu! Kau ingat"!"
"Ya ... ya, aku ingat sekarang. Tapi ... ngg .... Aku lebih suka gondrong
begini!" "Perempuan akan jijik melihatmu!" ujar Sri Wening.
"Biar, biar semua perempuan. Asal kau sendiri tidak," sahut si pemuda.
Bastian Tito 43 Hidung Belang Berkipas Sakti
Kembali Sri Wening tertawa panjang.
"Kau ceriwis!" Sri Wening mencubit belakang tangan sang tamu. Si pemuda
tersenyum dan kedipkan matanya. "Kau genit. Ih!" Gadis itu menjauh.
"Katakan sekarang, kau mau pesan makanan apa?"
"Seperti yang semalam."
"Yang semalam?"
Sang tamu mengangguk. Sri Wening masuk ke bagian belakang kedai. Tak lama
kemudian dia ke luar kembali membawa makanan dan minuman yang dipesan.
Saat itu dua orang tamu lagi datang.
"Nah, habiskan makananmu ya!" kata gadis itu lalu siap melayani dua tamu yang
barusan masuk. Selesai makan pemuda berambut gondrong itu duduk mengulurkan
kedua kaki seenaknya. Tangannya mengusap-usap perutnya yang kenyak gembul sedang
kedua matanya setengah terpejam. Dia kelihatan agak terganggu ketika seorang
yang sejak tadi duduk di dekatnya mendekati dan bertanya:
"Mengantuk?" Suara bertanya ini sember dan tak sedap didengar.
Si pemuda palingkan kepala. Yang menegurnya ternyata seorang kakek-kakek
berhidung besar tapi pesek sekali. Demikian peseknya hingga hampir sama dengan
pipinya yang cekung keriput. Rambut serta sepasang alis matanya berwarna putih
oleh kelanjutan usia.
"Hemm ..." pemuda yang ditanya menjawab dengan gumam segan-segan.
"Kau datang dari mana, rambut gondrong?" tanya si kakek.
"Desa ...."
"Desa mana?"
Yang ditanya membetulkan duduknya memperhatikan si kakek dengan pandangan
meneliti. Si kakek justru tertawa lebar. Waktu tertawa jelas kelihatan tak ada sepotong
gigi pun yang masih tumbuh di gusi atas mau pun bawah.
"Heh, aku bukan menyelidik ..." kata si kakek.
"Hanya orang-orang dengan maksud tertentu yang suka menyelidiki orang lain ...."
"Betul, kau betul sekali anak muda." Kakek hidung pesek angguk-anggukkan
kepalanya. Lalu dikeluarkannya sebuah dompet tikar pandan. "Kau merokok?"
Si pemuda menggeleng.
Orang tua itu mencabut sebatang rokok kawung, menyalakannya lalu duduk
menyandarkan punggung ke dinding kedai, memandang ke arah pintu.
"Kau sendiri siapa, kek?" kini pemuda rambut gondrong ganti bertanya.
"Sama sepertimu. Tamu di kedai ini. Hanya aku sudah kakek keriput dan kau masih
muda ...." "Tua bangka konyol ..." maki si gondrong dalam hati. Sementara si kakek
menghembuskan asap rokoknya tinggi-tinggi ke udara. Sesaat kemudian dia membuka
mulut kembali. "Kuperhatikan sudah empat malam ini kau datang ke mari. Apa kecantikan dan
kegenitan anak gadis pemilik kedai ini telah membuatmu tergila-gila" Kulihat kau
tadi bercanda dengannya.
Bahkan kedipkan mata segala!"
Bastian Tito 44 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Ah, matamu yang tua itu ternyata belum lamur. Malah tajam sekali kek. Sudah
kodrat alam jika pemuda tertarik dengan gadis cantik. Tak dapat disalahkan. Tapi
kau yang sudah begini, apakah ikut tertarik dengan gadis itu kek" Kalau tak
salah kaupun sudah empat malam datang kemari!"
Si kakek tertawa mengekeh hingga hidungnya yang lebar itu jadi tambah lebar dan
tambah pesek. "Sekalipun aku tergila padanya, mana mungkin dia suka padaku. Bisa aku keblinger
sendiri!" Habis berkata begitu si kakek kembali tertawa lalu menyambung: "Anak
muda, aku tak akan mengganggumu lagi. Aku juga mengantuk dan ingin tidur
sebentar." Lalu dia kembali ke tempat duduknya semula. Hanya sebentar sudah
terdengar dengkurnya yang tidak sedap.
Wiro Sableng, si pemuda berambut gondrong tadi kembali melunjurkan kakinya dan
kedua matanya ditutupkan setengah terpejam. Hampir satu kaili peminuman teh
berlalu ketika kedua mata murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu tampak
membesar dan memandang ke arah pintu kedai.
Seorang pemuda bertampang keren masuk dengan langkah tegap. Dia langsung duduk
di belakang meja. Sepasang matanya yang sipit tidak berkesip dan selalu tertuju
pada Sri Wening. Si gadis yang merasa diperhatikan balas memandang dan tersenyum
genit lalu mendekati pemuda itu.
"Orang gagah, kau datang dari mana?" sapa Sri Wening.
Cuping hidung tamu yang ditegur tampak bergerak-gerak, kedua matanya membesar
sedikit. "Datang dari jauh adik. Bukankah namamu Sri Wening?"
"Ah, kau sudah tahu namaku. Rupanya namaku diterbangkan angin sampai jauh ...."
Anak gadis pak Tanu itu kembali melayangkan senyum memikat.
"Tentu parasmu yang cantik jelita laksana harumnya bunga yang diterbangkan angin
ke mana-mana!"
"Kau pandai merayu. Siapa namamu sahabat muda?" tanya Sri Wening.
"Prana."
"Hanya Prana" Tak ada sambungannya?"
Si pemuda menggeleng.
"Pendek amat namamu. Tapi bagus, sebagus orangnya. Nah sekarang katakan kau mau
makan apa, mau minum apa."
Tamu itu menyebutkan makanan yang diinginkannya dan juga memesan tuak haruna
satu buli-buli penuh. Sambil menunggu pesanannya dia memandang berkeliling. Tak
banyak yang menarik perhatiannya dalam kedai itu. Juga terhadap Pendekar 212
yang tidur-tidur ayam serta orang tua berhidung pesek yang mendengkur tak berapa
jauh dari Wiro.
"Boleh aku menemanimu makan?" tanya Sri Wening manja begitu selesai meletakkan
hidangan di atas meja.
"Tentu, tentu saja," jawab Prana gembira.
Bastian Tito 45 Hidung Belang Berkipas Sakti
Diambilnya sebuah kursi dan diletakkannya dekat-dekat ke kursinya lalu
dipersilahkannya Sri Wening duduk di situ. Tangan kanan menyuap makanan sedang
tangan kiri memegangi pinggul gadis pemilik kedai itu. Bagi Sri Wening yang
genit hal ini belum pernah dilakukan lelaki lain sebelumnya. Memang banyak yang
suka mencubit tangannya, tapi memeluk begitu benar-benar satu keberanian luar
biasa. Bagi pak Tanu dan istrinya yang memang sengaja memancing para tamu dengan
kecantikan anaknya, hal sejauh itu tidak diharapkannya. Tamu-tamu lain di kedai
itu juga memperhatikan dengan mata melotot. Ada yang dongkol, ada yang
menganggap tindakan Prana kurang ajar tapi ada juga yang iri. Hanya dua orang
tamu yang sepertinya tidak perduli. Yakni Wiro Sableng dan si kakek hidung
pesek. Selesai makan Prana meneguk tuak dalam buli-buli sampai setengahnya. Wajahnya
yang putih kelihatan menjadi merah.
"Masakannya enak apa tidak?" tanya Sri Wening.
Dia juga merasa risih dan hendak berdiri. Tapi pelukan tangan Prana di
pinggulnya kencang sekali, membuat dia hampir tak bisa bergerak.
"Enak sekali. Pasti kau yang memasaknya bukan?"
Sri Wening mengangguk meski semua makanan yang dijual di kedai itu ibunyalah
yang memasak. Dia hanya tahu bersolek dan menunggu tamu. Prana menuang lagi
tuaknya. Mukanya makin merah. Tiba-tiba ditariknya kepala Sri Wening lalu diciumnya wajah
gadis itu bertubi-tubi. Si gadis menggeliat dan meronta serta berseru tegang
setengah marah setengah takut. Semua orang dalam kedai tampak terkejut. Pak Tanu
dan istrinya terkesima saling pandang.
Tiba-tiba pak Tanu berdiri dan melangkah cepat ke meja Prana dan membentak
keras: "Manusia kurang ajar! Lekas bayar makanan dan tuak itu. Lalu angkat kakimu dari
kedaiku!" Dibentak begitu si pemuda tenang-tenang saja seperti tak mendengar. Malah
tangannya merayap lebih berani. Yang satu masih melingkar di pinggang Sri
Wening, satunya lagi bergerak ke dada. Pak Tanu cepat menarik anaknya dari
pelukan Prana, tapi tak berhasil.
"Lepaskan anakku!" teriak pak Tanu.
Prana mengekeh.
"Bukankah kau sendiri yang sengaja menyuruh anakmu melayani tetamu, mengandalkan
kecantikan dan kegenitannya supaya dapat banyak uang. Sekarang dia tengah
melayaniku, kenapa kau justru jadi marah" Jangan takut aku tak akan lupa
membayar harga makanan dan tuak itu. Malah akan kutambah dengan harga kehangatan
tubuh anakmu!"
Marah pak Tanu tak terbendung lagi. Diambilnya buli-buli arak dari atas meja
lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Jika tak kau lepaskan anakku dan segera membayar, kupecahkan kepalamu!" ancam
pak Tanu. Prana ganda tertawa. Dia sama sekali tidak perdulikan ancaman pemilik kedai
malah kini dengan kurang ajar tangan kanannya menyelinap di balik dada pakaian
Sri Wening. "Manusia bejat haram jadah!" maki pak Tanu.
Bastian Tito 46 Hidung Belang Berkipas Sakti
Tangan kanannya bergerak menghantam buli-buli tuak ke kepala Prana. Tetapi
pemilik kedai ini jadi kaget ketika mendapatkan dirinya tahu-tahu sama sekali
tidak dapat bergerak.
Tangan dan sekujur badannya kaku.
"Hai, kenapa diam saja?" tanya Prana. "Bukankah kau hendak menghancurkan
kepalaku?"
"Setan alas! Aku tak bisa menggerakkan tanganku. Aku tak bisa bergerak!" seru
pak Tanu dengan mata melotot. Rasa takut lebih banyak dari pada rasa heran.
Semua orang yang menyaksikan dan mendengar ucapan pemilik kedai itu jadi
melengak kaget. Pada saat itu pula Sri Wening merasakan sesuatu tusukan pada
punggungnya. Setelah itu dia juga tak dapat bergerak. Dia hendak berteriak tapi
mulutnya pun tak mau membuka.
Lidahnya seperti kelu! Dia sama sekali tak dapat mengeluarkan suara! Dari balik
pakaiannya Prana mengeluarkan beberapa keping uang dan dilemparkannya di atas
meja. "Uang ini cukup banyak untuk membayar makanan, tuak serta anak gadismu ini.
Karenanya aku berhak untuk membawanya sekarang ...."
Selesai berkata begitu Prana langsung berdiri dan memanggul Sri Wening di bahu
kirinya. "Kau mau bawa ke mana anakku"!" teriak bu Tanu seraya berlari mendatangi.
"Oh, kau ibunya?" ujar Prana. "Tak usah khawatir, aku akan membawa anakmu
sebentar saja dan tenang sajalah!" Prana lambaikan tangannya pada ibu Sri Wening
yang tengah berlari mendatangi langsung tertegun mematung tanpa bisa bergerak
lagi di samping suaminya.
Kedua suami istri ini berteriak-teriak minta tolong. Kedai itu jadi hingar
bingar. Beberapa orang tamu muda segera menghadang di pintu depan.
"Eh, kalian mau menghalangiku?" tegur Prana dengan pandangan angker.
"Penculik! Lepaskan gadis itu kalau mau selamat!" teriak seorang pemuda bertubuh
tinggi besar. Prana menyeringai.
"Aku muak melihat tampangmu. Pergilah!" hardik Prana seraya mendorongkan telapak
tangan kanannya ke depan. Pemuda itu kontan menjerit dan tubuhnya terlempar ke
luar kedai, jatuh di jalanan yang becek. Beberapa orang segera menghunus senjata
dan mengurung Prana.
"Aku peringatkan pada kalian. Lebih baik menyingkir!" bentak Prana.
"Bangsat penculik! Makan pisauku ini!" Dari samping seorang menghujamkan pisau
panjang ke arah lambung Prana. Yang diserang menggeser tubuhnya dengan cepat. Di
lain kejap tempelengannya sudah menghantam kening penyerang. Pemegang pisau
melintir dan jatuh di lantai tanpa bisa bangun lagi. Beberapa tamu lain yang
juga berusaha menyerbu mengalami nasib sama, dihantam pingsan satu demi satu.
Gerakan Prana cepat sekali tanda dia memiliki kepandaian silat yang tidak
sembarangan. Sampai saat itu baik Pendekar 212 Wiro Sableng maupun si kakek hidung pesek
tetap saja duduk tenang-tenang di tempat masing-masing. Yang satu tidur-tidur
ayam, yang lain mengorok terus. Namun ketika Prana melangkah ke arah pintu,
dengkur si kakek tiba-tiba berhenti dan terdengar satu bentakan:
"Manusia bernama Prana, tunggu dulu! Jangan cepat-cepat pergi!"
Bastian Tito 47 Hidung Belang Berkipas Sakti
Langkah si pemuda tertahan. Dia rasa-rasa sudah pernah mendengar suara miripmirip seperti orang yang membentak itu. Dia berpaling. Dilihatnya orang tua
pesek yang tadi mendengkur berdiri dari kursi dan melangkah kehadapannya. Prana


Wiro Sableng 020 Hidung Belang Berkipas Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertindak waspada. Jika si kakek mengetahui apa yang terjadi berarti tadi dia
tidak sesungguhnya tertidur pulas dan mendengkur!
"Prana, kau kenal aku ... ?" tanya si kakek.
"Ada untung apa aku kenal dengan kakek-kakek perot macammu! Aku tak punya banyak
waktu untuk bicara!"
Prana memutar tubuh hendak berlalu. Tapi si kakek pesek memegang bahu kanannya.
Pegangan ini laksana tindihan batu besar. Terkejutlah si pemuda penculik.
"Orang tua, siapa kau sebenarnya ... ?" desis Prana. Sepasang matanya menyipit
kejam. "Pandanglah parasku yang buruk ini Prana. Pandang baik-baik ..." berkata si
kakek. Prana menatap wajah tua itu dalam-dalam.
"Aku tidak kenal kau dan jangan ikut campur urusanku!" kata Prana akhirnya dan
siap hendak berlalu.
Tiba-tiba orang tua itu menggerakkan tangan kanannya ke wajahnya. Sehelai kulit
tipis yang selama ini menutupi mukanya dan merupakan topeng tipis terbuka, kini
kelihatan wajahnya yang asli. Ternyata wajahnya putih bersih meskipun penuh
dengan keriput ketuaan.
"Guru!" seru Prana tersentak kaget begitu dia melihat wajah asli orang
dihadapannya. Demikian kagetnya pemuda itu hingga sampai mundur beberapa langkah.
-- << 12 >> -Bastian Tito 48 Hidung Belang Berkipas Sakti
13 emmm ..." si orang tua bergumam. "Betul. Aku memang gurumu yang bernama Jagat
Kawung. Rupanya kau masih bisa mengenali guru yang telah kau nodai dengan segala
H perbuatan-perbuatan terkutukmu selama ini. Warangas! Aku menyesal seumur-umur
telah mengambilmu jadi murid. Lepaskan gadis itu dan bersiaplah untuk menerima
hukuman!" "Guru, aku tak mengerti maksud ucapanmu!" tukas Prana yang oleh si kakek tadi
disebut dengan nama aslinya yaitu Warangas.
"Turunkan gadis itu!" bentak Jagat Kawung.
"Aku telah memutuskan untuk membawanya!" jawab Prana alias Warangas.
Sepasang mata si kakek berkilat-kilat karena kemarahan luar biasa. "Di situ
jelas terlihat kebejatanmu! Dan kau masih hendak berpura-pura di hadapanku.
Kepandaian yang kuberikan padamu kau pergunakan untuk berbuat kejahatan. Merusak
rumah tangga orang.
Mempermainkan isteri orang, menodai gadis-gadis. Kau muncul dengan berbagai
nama. Sebagai Dipasingara. Sebagai Handaka. Sebagai Prana. Namun kau tetap Warangas,
manusia busuk terkutuk, pemuda hidung belang bejat di atas jagat ini! Turunkan
gadis itu Warangas!"
"Tidak!"
"Kau membangkang perintah gurumu?"
"Jika kau berani menghukumku, mulai detik ini aku tidak menganggapmu sebagai
guru lagi!" jawab Prana alias Handaka alias Dipasingara alias Warangas.
"Kalau begitu bersiaplah untuk mampus!"
Jagat Kawung mencengkeramkan tangan kirinya ke muka muridnya yang aslinya
bernama Warangas itu. Tangannya yang satu lagi mencengkeram ke perut. lnilah
yang disebut gerakan maut "Sepasang Cengkeraman Garuda Sakti."
Warangas cepat menyingkir. Dia tahu kehebatan gurunya. Karena begitu berhasil
mengelakkan serangan tadi cepat-cepat dia menurunkan Sri Wening. Terlalu besar
resikonya menghadapi sang guru dengan masih memanggul gadis itu.
"Guru, kuharap kau mau membendung kemarahan dan tidak menurunkan tangan kasar!"
"Manusia laknat. Jangan panggil aku guru! Dan tak perlu mulut busukmu banyak
bicara!" Kembali Jagat Kawung berkelebat. Tapi kembali pula Warangas berhasil mengelakkan
diri. Di samping luapan amarah, Jagat Kawung juga jadi heran melihat ilmu yang
dimiliki Warangas jauh lebih maju dari kepandaiannya yang pernah diturunkannya
dulu. Maka tanpa membuang waktu Jagat Kawung segera keluarkan jurus-jurus
serangan ampuhnya.
Serangannya datang bertubi-tubi laksana hujan mencurah. Kedai itu bergetar oleh
sambaran-sambaran angin kedua orang yang baku hantam.
Dalam kelebatan tubuh hanya merupakan bayang-bayang saja, tiba-tiba terdengar
teriakan Jagat Kawung. Teriakan ini disertai dengan berkiblatnya sinar merah
menyala laksana lidah api, menyambar ke arah tubuh Warangas. lnilah pukulan
paling hebat yang dimiliki Jagat Kawung.
Selama lima belas tahun meyakini ilmu kesaktian tersebut tak satu kekuatan
lawanpun yang sanggup menghadapinya. Sudah dapat dibayangkan oleh orang tua itu
bagaimana tubuh muridnya yang terkutuk itu akan meleleh matang dihantam pukulan
sakti bernama "Pukulan Baja Merah" itu.
Bastian Tito 49 Hidung Belang Berkipas Sakti
Namun sesaat kemudian jadi melengak sewaktu menyaksikan bagaimana dari dua
telapak tangan muridnya menderu ke luar larikan-larikan sinar putih yang sanggup
menahan dan menangkis pukulan Baja Merah!
Tidak dapat tidak pastilah Warangas telah berguru pada seorang sakti lainnya,
pikir Jagat Kawung.
Di lain pihak meskipun Warangas kelihatan sanggup menghadapi pukulan sakti
gurunya namun saat itu kedua telapak tangannya terasa panas laksana terpanggang
dan berwarna merah sedang dari mulutnya ke luar darah membuih.
Warangas cepat keluarkan beberapa butir obat dan menelannya lalu kerahkan tenaga
dalamnya ke bagian dada yang dirasakannya berdenyut sekali. Kedua matanya yang
sipit tampak merah. Pandangan buas beringas!
"Tua renta keparat! Kau rasakan pembalasanku!" kertak Warangas. Tangannya
bergerak ke balik pakaian.
"Sret!"
Sebuah benda hitam bertebar membentuk setengah lingkaran.
Paras Jagat Kawung kontan berubah melihat benda di tangan murid murtad itu. Jadi
benarlah kabar yang didengarnya selama ini bahwa Warangas memiliki senjata luar
biasa, sebuah kipas sakti berwarna hitam.
"Kipas Pemusnah Raga!" desis Jagat Kawung. "Murid keparat darimana kau dapatkan
benda itu"!"
"Ha ... ha ... nada pertanyaanmu jelas bahwa nyalimu menjadi ciut! Dari mana aku
dapatkan benda ini bukan urusanmu. Kalau kau tidak puas dengan jawabanku,
silahkan tanya nanti pada iblis-iblis di neraka!" Warangas lalu gerakan tangan
kanannya yang memegang kipas.
"Wut!"
Selarik sinar hitam pekat menggidikkan ke luar menyambar dari Kipas Pemusnah
Raga. Jagat Kawung berseru keras dan angkat kedua tangannya ke atas. Dua larik pukulan
Baja Merah menyembur. Orang tua ini tidak yakin bahwa ilmu kesaktiannya itu
bakal dapat melindungi dirinya dari serangan kipas sakti lawan. Tapi daripada
tidak berbuat apa-apa sama sekali lebih baik melepaskan pukulan itu.
Ketidak yakinan Jagat Kawung memang beralasan. Terlihat dengan nyata bagaimana
sinar hitam pekat memukul dua larik sinar merah. Selanjutnya sinar hitam Kipas
Pemusnah Raga terus menggempur ke arah si orang tua.
"Celaka! Matilah aku sekarang!" keluh Jagat Kawung dalam hati. Dia berusaha
membuang diri ke samping namun kasip.
Di saat yang sangat kritis dari samping tiba-tiba terdengar suara menderu
laksana bumi dilanda air bah. Sinar hitam tampak bergoyang-goyang lalu terdorong
keras ke samping dan musnah tak berbekas.
Jagat Kawung yang merasa dirinya diselamatkan oleh gelambang angin yang datang
dari samping tadi menjadi amat terkejut. Lebih-lebih Warangas yang berdiri di
seberang sana. Guru dan murid serentak sama-sama berpaling. Di sudut sana
Pendekar 212 Wiro Sableng perlahan-lahan bangkit berdiri dari kursinya seraya
garuk-garuk kepala.
"Guru dan murid hendak saling berbunuhan! Sayang ... sayang sekali. Apalagi
kalau sang guru sampai celaka di tangan muridnya yang murtad. Orang tua,
serahkan Warangas padaku.
Aku memang sudah lama mencarinya. Dosanya sudah lewat dari takaran!"
Bastian Tito 50 Hidung Belang Berkipas Sakti
Sebelum Jagat Kawung sempat bicara, Warangas sudah membuka mulut: "Pemuda rambut
gondrong! Apa perlumu ikut campur urusan orang lain"!"
"Untuk membasmi manusia bejat macammu orang tak perlu mencari segala macam
alasan," sahut Wiro.
"Kalau begitu kau mencari mati!"
Lalu Warangas alias Handaka alias Dipasingara alias Prana mengebutkan Kipas
Pemusnah Raga. Sinar hitam pekat kembali berkiblat. Murid Eyang Sinto Gendeng
tak tinggal diam. Untuk kedua kalinya dia lepaskan pukulan sakti "Dewa Topan
Menggusur Gunung."
Ketika kedua kekuatan sakti itu saling bentrokan, kedai pak Tanu tak sanggup
lagi menahan hebatnya getaran. Meja dan kursi berpelantingan. Dua buah tiang
kedai patah, salah satu dinding bobol. Orang-orang yang pingsan dan bergeletak
di lantai mencelat. Beberapa diantaranya putus nyawanya. Sri Wening dan kedua
orangtuanya dalam keadaan tertotok juga ikut mental ke luar kedai.
Warangas merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Kipas saktinya hampir terlepas.
Ketika dia memandang ke bawah, ternyata kedua kakinya telah amblas sedalam
sepertiga jengkal ke lantai tanah kedai. Jagat Kawung sendiri terhuyung-huyung
hampir jatuh. "Kurang ajar! Siapa bangsat gondrong ini sebenarnya"!" maki Warangas dalam hati.
Diam-diam hatinya jadi tergetar. Belum yakin kalau serangannya benar-benar bisa
ditahan lawan maka dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya kembali dia
kebutkan kipas sakti. Sinar hitam menggidikkan kembali menderu dan melabrak ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wiro melepaskan lagi pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung. Keadaan kedai pak Tanu
semakin porak poranda. Warangas yang menyadari bahwa sinar hitamnya tak mampu
menandingi pukulan lawan yang menggemuruh cepat melompat jauh-jauh Wiro
merasakan dadanya berdenyut. Dia cepat memburu ketika di depan sana dilihatnya
Warangas menangkap tubuh Sri Wening. Jagat Kawung ikut mengejar. Tubuh Warangas
lenyap di luar kedai, menyelinap dalam kegelapan malam. Tapi baik mata Wiro
maupun Jagat Kawung tak bisa ditipu oleh kegelapan. Dalam waktu singkat keduanya
berhasil mengejar dan berada di belakang pemuda penculik itu.
"Keparat hidung belang! Tempat larimu satu-satunya adalah kematian!" tariak
Wiro. "Anjing kurap! Nyawa anjingmulah yang bakal minggat ke neraka malam ini!" Satu
bentakan garang menimpali.
Wiro terkejut. Yang membentak bukanlah Warangas tapi orang lain. Tiga sosok tubuh berkelebat di
kegelapan. Pendekar 212 terpaksa hentikan pengejarannya. Demikian pula Jagat
Kawung. Gerakannya tertahan oleh hadangan tiga orang tak dikenal. Ini membuat Warangas
lolos dan lenyap bersama gadis boyongannya.
"Sialan! Kalian siapa"!" bentak Wiro pada tiga orang yang menghadang di
hadapannya. Kegelapan malam membuatnya tak dapat mengenali wajah mereka. Sewaktu ketiga
orang ini melangkah mendekati guru murid Eyang Sinto Gendeng ini mengenal
mereka. "Kerak-kerak neraka! Malam yang kalian janjikan masih dua hari dimuka! Apakah
kalian datang sebelurn waktunya karena sudah tak sabar lagi untuk mampus"!"
Dua orang di depan Wiro mendengus. Yang satu lagi rangkapkan tangan di muka
dada. Bastian Tito 51 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Malam terang bulan terlalu indah bagi kematian Pendekar 212! Kami memutuskan
untuk mengambil nyawamu pada malam mendung gelap ini. Apa kau sudah siap untuk
mampus?" "Warok Grimbil! Rupanya nyalimu telah dipompa hingga menggembung besar! Apakah
kedua sikutmu sudah sembuh" Dan kau nenek kontet Muning Kwengi yang dulu
melarikan diri, apakah datang kemari karena mengandalkan kambratmu yang
berkepala botak itu" Apa si botak ini sobat atau gendakmu"!" Wiro menuding pada
laki-laki berkepala botak yang tegak di samping Muning Kwengi hingga manusia ini
kertakkan rahang menahan marah. Dia mengerling pada orang tua di samping Wiro.
Si botak ini telah mendengar kehebatan Wiro dari Muning Kwengi. Tapi justru saat
itu dia memandang rendah terhadap Wiro sebaliknya menganggap kakek itulah yang
harus diperhatikan. Kemelesetan dugaannya inilah yang justru bakal membuat
dirinya celaka.
"Jadi kalian bertiga datang kemari untuk melanjutkan perhitungan tempo hari"
Bagus! Kalian maju bertiga atau sendiri-sendiri"!"
"Bedebah!" maki Warok Grimbil bekas kepala rampok hutan Walu. Dicabutnya dua
golok besar dari pinggang lalu memberi isyarat pada Muning Kwengi alias lblis
Pisau Terbang. Nenek katai ini ganti memberi tanda pada si botak di sampingnya.
Ketiga orang ini kemudian dengan serentak menerjang ke arah Wiro.
Jagat Kawung yang merasa berhutang nyawa lantas ikut terjun dalam pertempuran
seraya berkata:
"Orang muda, aku bantu kau!"
"Grimbil! Kau berdua kakakmu hadapi kakek-kakek busuk ini. Aku biar melayani
pemuda sampah ini yang katamu tinggi ilmunya!"
Sebenarnya si botak merasa gentar menghadapi Jagat Kawung. Karena itu sengaja
disuruhnya kedua kakak beradik itu mengeroyok si kakek. Wiro yang diduganya tidak
memiliki kepandaian apa-apa akan dilayaninya seorang diri. Warok Grimbil dan
Muning Kwengi yang telah pernah dihajar Pendekar 212 tentu saja merasa gembira
karena dengan demikian mereka akan terhindar dari malapetaka!
"Monyet botak!" ejek Wiro. "Sebutkan dulu namamu supaya aku tidak sungkansungkan menghadapimu!"
"Bocah ingusan! Mulutnya sombong. Tapi biarlah nanti akan kurobek!" Sambil
menuding dadanya si botak ini meneruskan: "Jika ingin tahu aku inilah manusianya
yang bernama Lembu Surah bergelar Maut Tangan Delapan!"
Wiro tertawa gelak-telak.
"Bangsat kenapa kau tertawa?" bentak si botak.
"Namamu seperti nama binatang. Gelarmu tangan delapan. Tapi mengapa kulihat
tanganmu Cuma dua" Kalau namamu Lembu sepantasnya gelarmu Maut Kaki Ernpat!"
Marahlah Lembu Surah diejek demikian. Seumur hidup baru sekali ini dia menerima
penghinaan seperti itu. Dia menerjang ke muka. Kedua tangannya bergerak cepat
dan tampaknya betul-betul seperti berubah jadi sebanyak delapan buah dan
kesemuanya menyerbu ke arah Wiro Sableng. Karena tidak tahu lengan mana yang
asli dan mana yang hanya bayangan belaka, Wiro tak mau bertindak gegabah.
Serangan lawan disambutnya dengan jurus "Kipas Sakti Terbuka". Kedua lengannya
dipentang ke atas. Sesaat kemudian terdengar pekik si Maut Tangan Delapan. Kedua
tangannya beradu keras dengan tangan Wiro. Salah satu tulang lengannya patah
sedang Bastian Tito
52 Hidung Belang Berkipas Sakti
lengan yang lain menggembung merah kulitnya. Wiro sendiri merasakan kedua
lengannya panas dan perih.
Sekalipun memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah tetapi pada dasarnya si
botak berjuluk Maut Tangan Delapan ini adalah jenis manusia berhati pengecut.
Mendapat celaka pada jurus pertama telah membuat nyalinya lumer.
"Grimbil! Kwengi! Maaf saja! Aku masih ada urusan lain yang lebih penting untuk
diselesaikan. Aku betul-betul menyesal ikut kalian kemari!"
Selesai berkata begitu Lembu Surah cepat-cepat putar tubuh dan larikan diri dari
tempat itu. Wiro tak berniat mengejar karena antara dia dengan si botak itu
sebenarnya tak ada silang sengketa apa-apa. Kini dia hanya berdiri memperhatikan
Jagat Kawung yang dikeroyok oleh Warok Grimbil dan Muning Kwengi.
Pada saat Lembu Surah melarikan diri Warok Grimbil masih sempat melemparkan caci
maki pada si botak itu. Tiga jurus pertama meskipun mengandalkan tangan kosong
Jagat Kawung masih sanggup mengimbangi kedua lawan. Namun ketika Muning Kwengi
mulai melancarkan serangan-serangan pisau terbang sedang Warok Grimbil
menggempur dengan sepasang golok besarnya, mau tak mau orang tua itu jadi
tertekan juga. Ini mernbuat Jagat Kawung jadi jengkel.
"Manusia-manusia sialan! Kalau tidak karena kalian tentu murid keparat itu tidak
akan lolos!"


Wiro Sableng 020 Hidung Belang Berkipas Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Warok Grimbil dan Muning Kwengi balas menjawab dengan tawa mengejek.
"Memakilah sepuasmu sebelum roh busukmu meninggalkan tubuh peotmu!" teriak Warok
Grimbil. "Sombong! Kau yang lebih dulu pergi ke neraka!" sahut Jagat Kawung lalu dari
salah satu tangannya menyambar selarik sinar menyala merah.
"Grimbil awas!" teriak Muning Kwengi memperingatkan. Tapi sang adik berada dalam
keadaan yang sulit untuk mengelak. Kemudian terdengar pekik Warok Grimbil.
Tubuhnya yang katai terguling hangus laksana dipanggang. Tentu saja nyawanya
tidak tertolong lagi!
"Bangsat! Rasakan pembalasanku!" bentak Muning Kwengi marah meluap melihat
kematian adiknya mengenaskan begitu rupa. Selusin pisau terbang dilemparkan ke
arah Jagat Kawung, tetapi sekali lagi sinar merah berkiblat. Selusin pisau
terbang runtuh ke tanah. Ketika orang tua itu hendak susul dengan pukulan kedua
Wiro Sableng cepat berseru: "Kakek, yang satu ini adalah bagianku!"
"Tahan! Jurus kematiannya harus di tanganku!" tiba-tiba terdengar suara lantang.
Sesosok tubuh melompat dari kegelapan. Terdengar deru sesiuran angin. Si katai
Muning Kwengi yang bingung karena berturut-turut ada tiga manusia yang inginkan
jiwanya menjadi gugup waktu mengelak. Sebilah pedang tajam berkelebat menyambar
lehernya. Terdengar suara seperti kambing disembelih dari tenggorokan perempuan
bergelar lblis Pisau Terbang itu.
Darah menyembur dari lehernya yang hampir putus. Nenek katai ini bersungkur ke
tanah, mati di situ juga tanpa mengetahui siapa manusia yang telah membunuhnya.
Seorang lelaki muda berwajah liar tetapi lusuh berdiri termangu memandangi mayat
Muning Kwengi. "Siapa dia ... ?" tanya Jagat Kawung pada Wiro Sableng.
Bastian Tito 53 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Sanjaya, perwira muda Kerajaan. Antara mereka memang ada dendam kesumat lama.
Memang pantas nenek rongsokan itu mati di tangannya. tengah menjalankan tugas
Kerajaan."
Sanjaya melangkah ke arah Wiro seraya menyarungkan pedangnya.
"Kita jumpa lagi sobatku," kata perwira muda itu.
"Aku senang bertemu denganmu lagi Sanjaya." Wiro lalu memperkenalkan Sanjaya
pada Jagat Kawung.
"Wajahmu kulihat mendung. Tubuhmu lebih kurus. Agaknya ada sesuatu ganjalan
dalam dirimu Sanjaya?" tanya Wiro pula.
Sanjaya menghela napas panjang. Lalu mengangguk. "Kesulitan besar Wiro. Rasanya
tak sanggup kupikui lebih lama ...."
"Kami adalah sahabatmu," kata Jagat Kawung. "Jika kau mau mengatakan kesulitanmu
itu, mungkin kami bisa membantu."
Lama Sanjaya berdiam diri, baru menjawab: "Dua minggu lalu aku kembali ke gunung
Slamet. Apa yang kutemui disana benar-benar mengejutkan. Mayat guruku yang
tinggal tengkorak utuh hanya digumpali daging rusak di sana-sini kutemui
menggeletak di semak belukar. Tulang-tulangnya hangus hitam. Apa yang terjadi
tidak kuketahui. Wulandari adik seperguruanku juga merupakan tunanganku tak ada
disitu. Seluruh puncak gunung Slamet kuselidiki. Wulandari tetap tak kujumpai.
Akhirnya aku turun gunung. Di satu tempat kudengar suara tangis perempuan
memilukan hati. Ketika kudatangi ternyata Wulandari. Aku terkejut sekali melihat
keadaannya. Pakaiannya kotor dan robek-robek. Matanya merah bengkak karena
terlalu banyak menangis. Dia menjerit pada detik melihatku. Dia seperti orang
yang ketakutan lalu melarikan diri. Di satu tempat aku berhasil mengejarnya dan
pada saat itulah baru kulihat dengan jelas perutnya. Menggembung besar,
mengandung! Tapi yang paling menyedihkan ialah ketika kuketahui bahwa Wulandari
tidak lagi sehat otaknya. Kadang-kadang dia menangis.
Kadang-kadang tertawa. Sulit sekali. Dia menyebut-nyebut pembunuhan atas diri
Eyang Wulur Parmenang. Menyebut seseorang tak kukenal bernama Handaka. Lalu soal
pengusiran dan anak haram yang dikandungnya. Aku coba mempelajari semua
keterangan dari keadaan dirinya itu namun tetap sulit mengetahui apa sebenarnya
yang telah terjadi. Kemudian Wulan berteriak-teriak dan lari. Kali ini aku tak
dapat mengejarnya. Menurutku satu-satunya orang yang bisa memberi keterangan
adalah yang bernama Handaka yang disebut-sebut Wulan itu. Aku berusaha melakukan
penyelidikan tapi sia-sia belaka. Mau pecah rasanya kepalaku dan mau gila
rasanya otak ini!"
Lama kesunyian mencekam di tempat itu setelah Sanjaya mengakhiri kisahnya.
Ketika Jagat Kawung mengangkat kepala dilihatnya sepasang mata Pendekar 212 Wiro
Sableng memandang lekat-lekat kepadanya. Orang tua ini segera maklum apa arti
pandangan ini. "Wiro, kau jelaskan semuanya pada Sanjaya ..." kata Jagat Kawung perlahan.
Wiro berpaling pada Sanjaya. "Ketahuilah, orang bernama Handaka itu adalah orang
yang juga tengah kami kejar. Barusan saja dia berada di sini, tetapi berhasil
meloloskan diri ...."
"Lolos"! Ke mana dia melarikan diri. Aku harus mengejarnya dan minta
keterangan!" kata Sanjaya.
"Sabar perwira, sabar ...."
"Aku sudah meletakkan jabatan. Aku bukan perwira Kerajaan lagi. Jangan panggil
aku dengan sebutan itu, Wiro."
Wiro manggut-manggut dan meneruskan keterangannya.
Bastian Tito 54 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Handaka adalah salah satu saja dari sekian banyak nama palsu yang dipakai orang
itu. Nama aslinya ialah Warangas. Dia pernah memakai nama Dipasingara. Muncul dengan
nama Handaka atau Prana dan sebagainya. Dia bukan manusia baik-baik. Kejahatan
yang dilakukannya adalah kejahatan paling terkutuk. Merusak kehormatan setiap
perempuan cantik yang ditemuinya, dengan berbagai cara dan akal. Tak perduli
apakah perempuan itu istri orang, apalagi masih gadis ...."
"Kalau begitu tunanganku Wulandari telah dirusak kehormatannya oleh pemuda itu.
Hamil dan rusak jiwa serta pikirannya."
"Mungkin sabatku, mungkin sekali. Mungkin pula dia jugalah yang telah membunuh
gurumu. Itu masih harus kita selidiki." Wiro lalu menerangkan peristiwa di kedai
pak Tanu. "Dia memiliki sebuah senjata dahsyat yaitu sebuah kipas sakti berwarna
hitam. Karena itu dia dijuluki Hidung Belang Berkipas Sakti." Sesaat Wiro
terdiam. Lalu meneruskan: "Adalah satu kenyataan pahit dan pasti
mengejutkanmu...." Wiro tak meneruskan, melirik dulu pada Jagat Kawung. Orang
tua ini mengerti dan berkata: "Teruskan kalimatmu Wiro. Tak ada yang perlu
dirahasiakan."
"Satu kenyataan pahit bahwa Handaka itu bukan lain adalah murid orang tua ini
sendiri." "Apa"!" Suara Sanjaya seperti geledek. Tanpa pikir panjang lagi dia segera cabut
pedangnya. "Jadi dia muridmu"! Kalau begitu kau pantas kucincang lebih dulu!"
Tangan Sanjaya yang memegang pedang bergerak. Jagat Kawung hanya tundukkan
kepala seolah-olah menyerah pasrah untuk dibunuh saat itu juga. Tetapi Wiro
Sableng cepat memegang lengan bekas perwira Kerajaan itu dan berkata:
"Sabar sobatku. Sabar. Jangan kalap membabi buta. Jika kau punya dendam terhadap
muridnya adalah tolol membalaskan sakit hati pada gurunya yang juga pernah
mencari-carinya untuk menjatuhkan hukuman!"
Kata-kata Wiro itu mengendurkan kemarahan Sanjaya. Dengan tangan bergetar dan
muka keringatan disarungkannya pedangnya kembali. Kemudian didengarnya Jagat
Kawung berkata:
"Biarkan dulu aku terus hidup untuk dapat menjatuhkan hukuman terhadap murid
murtad itu. Kelak jika dia sudah kusingkirkan dari dunia ini aku pasrah menerima kematian di
tanganmu! Memang terlalu memalukan untuk hidup lebih lama ...."
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Sanjaya kemudian.
Sunyi sejenak. "Apa lagi selain mencari keparat bernama Warangas itu!" sahut Jagat Kawung. Di
malam yang gelap ketiga orang itu segera meninggalkan tempat itu.
-- << 13 >> -Bastian Tito 55 Hidung Belang Berkipas Sakti
14 uda coklat itu dipacunya secepat-cepatnya menuju pantai selatan. Tiba-tiba si
penunggang mendadak sontak tarik tali kekang dan berhenti memasang teiinga.
Lapat-K lapat dikejauhan terdengar suara orang menangis. Suara tangis perempuan.
Demikian memilukan suara tangis itu hingga penunggang kuda ini turun dari
kudanya dan melangkah ke jurusan datangnya suara tangis tersebut.
Tak berapa lama kemudian, dari balik semak belukar dilihatnya seorang perempuan
duduk menyelepok di tanah. Pakaiannya rombeng dan kotor. Rambutnya yang panjang
tergerai awut-awutan. Dia tak dapat melihat jelas wajah perempuan ini karena
ditutupi dengan kedua telapak tangannya. Yang lebih menarik perhatian lelaki ini
ialah kenyataan bahwa perempuan yang menangis itu berperut besar alias sedang
hamil. Paling tidak hamil enam bulan.
Tiba-tiba suara tangisan itu berhenti. Perempuan itu berdiri dan mencabut
sebilah pedang.
Kini lelaki itu dapat melihat wajah perempuan itu. Cantik. Debu kotor tidak
dapat menyembunyikan kecantikannya. Sepasang matanya tampak merah dan beringas
berputar-putar. Mendadak dia menjerit keras. Pedang di tangannya disabatkan kian
kemari merambas pohon-pohon dan semak belukar disekelilingnya.
"Mampus! Mampuslah kau Handaka! Mampus! Kau musti mampus!"
"Perempuan gila ..." desis lelaki itu mengintip. "Bunting dan gila. Kasihan,
kenapa dia jadi Begitu ... ?" Sesaat kemudian dilihatnya perempuan itu lari ke
arah pantai sambil terus berteriak-teriak dan menyabatkan pedangnya kian kemari.
Mula-mula dikiranya perempuan itu hendak menceburkan diri ke dalam laut Tapi
ternyata terus lari sepanjang tepi pasir ke arah timur. Karena jurusan larinya
perempuan itu kebetulan sama dengan arah yang hendak ditujunya cepat-cepat dia
kembali ke kudanya dan membuntuti dari kejauhan.
Siapakah adanya penunggang kuda yang bertubuh kekar dan berkumis melintang ini"
Dia bukan lain adalah Suramanik, bekas kepala pengawal Kadipaten Gombong yang
terpaksa melepaskan jabatannya secara menyakitkan hati gara-gara Dipasingara
yaitu sebagaimana yang telah dituturkan pada permulaan kisah.
Sejak meninggalkan Gombong sejak itu pula tertanam dendam kesumat terhadap
Dipasingara. Melakukan pembalasan berarti harus memiliki ilmu yang lebih
tangguh. Ini disadari sepenuhnya oleh bekas kepala pengawal itu. Maka setelah
hampir satu setengah bulan berkelana kian kemari akhirnya dia dapat juga berguru
pada seorang tokoh silat tak terkenal di timur. Meski tak terkenal dalam dunia
persilatan namun ilmu yang dipelajari Suramanik dari orang tersebut cukup
tinggi. Setahun lebih menuntut kepandaian maka Suramanik merasa sudah cukup dan minta
diri pada gurunya guna mencari Dipasingara. Ternyata pemuda itu tidak ada lagi
di Kadipaten Gombong. Peristiwa yang menimpa Adipati Kebo Panaran, yang
diceritakan orang padanya benar-benar mengejutkan Suramanik. Ternyata
Dipasingara adalah pendekar bejat terkutuk yang bergelar Hidung Belang Berkipas
Sakti. Dari keterangan-keterangan yang dapat dikumpulkan oleh Suramanik akhirnya dia
mengetahui bahwa musuhnya itu tidak mempunyai tempat kediaman tertentu tetapi
sering berada di sebuah goa di teluk yang tenang di pantai selatan. Maka
Suramanik segera menuju ke tempat itu. Dalam perjalanan ke selatan inilah dia
bertemu dengan perempuan gila yang sedang hamil dan bukan lain adalah Wulandari.
Selagi membuntuti Wulandari dari belakang, Suramanik melihat tiga buah titik
hitam bergerak cepat di samping bukit tandus sebelah kirinya. Makin lama tiga
titik itu makin besar tanda makin dekat dan menuju ke jurusannya. Ternyata tiga
titik tadi adalah tiga orang yang tengah berlari cepat. Kira-kira dua puluh
tombak dari Suramanik ketiga orang itu berpencar.
Jelas bahwa ketiga orang tak dikenal itu sengaja mengurungnya.
Bastian Tito 56 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Berhenti!" satu bentakan mengumandang.
Suramanik tarik tali kekang kuda. Dia tahu kalau tiga orang itu memiliki ilmu
lari cepat berarti mereka bukan orang sembarangan. Dari atas punggung kudanya
diperhatikan ketiganya. Yang pertama seorang pemuda berpakaian putih berambut
gondrong. Yang kedua seorang kakek-kakek dan yang terakhir seorang lelaki muda
berwajah gagah tapi pucat. Di atas punggung kudanya Suramanik menunggu dengan
sikap waspada. "Bukan dia ..." kata pemuda berambut gondrong.
"Ya, memang bukan dia," menyahuti si kakek.
"Kalian bertiga siapa dan ada keperluan apa menyuruhku berhenti?" bertanya
Suramanik. "Harap maafkan," menjawab pemuda bermuka agak pucat. Dia adalah Sanjaya. "Kami
kira kau adalah orang yang tengah kami cari. Dapatkah kau menerangkan apakah
Teluk Segara Anakan masih jauh dari sini?"
Suramanik memandang ke tiga orang itu ganti berganti baru menjawab. "Kira-kira
sepenanakan nasi lagi. Akupun tengah menuju ke sana ...."
Sanjaya berpaling pada dua kawannya yaitu Wiro Sableng dan Jagat Kawung. Lalu
bertanya pada Suramanik: "Apakah kau tinggal di sana?"
Suramanik menggeleng.
"Seperti kalian akupun tengah mencari seseorang."
"Mencari seseorang" Boleh aku tanya siapa nama orang yang kau cari itu?" Yang
bertanya adalah Jagat Kawung.
Sesaat Suramanik merasa bimbang. Namun akhirnya menjawab juga. "Orang itu
memiliki beberapa nama. Tak tahu mana yang asli. Diantaranya yang kuketahui
ialah Dipasingara dan Handaka...."
"Kalau begitu kita mencari orang yang sama!" kata Sanjaya.
"Urusan apa sampai kau mencari orang itu?" kembali Jagat Kawung ajukan
pertanyaan. "Bangsat itulah yang menyebabkan aku kehilangan jabatan sebagai kepala pengawal
di kadipaten Gombong sekitar satu tahun silam. Kudapat keterangan dia melarikan
istri Adipati Kebo Panaran dan membunuh Adipati itu."
Jagat Kawung menghela nafas panjang. Dia memandang ke laut dan berkata: "Mari
kita cepat-cepat meneruskan perjalanan."
"Tunggu dulu," kini Suramanik yang menahan.
"Ada satu kejadian yang perlu kuterangkan pada kalian. Mungkin ada gunanya.
Ketika kalian hadang aku, sebenarnya aku tengah membuntuti seorang perempuan
muda berotak miring yang lari ke jurusan sana ...."
Dada Sanjaya sesak. Parasnya berubah.
"Apakah... apakah perempuan itu sedang hamil...?" tanya Sanjaya.
"Ya. Bagaimana kau bisa tahu?" Suramanik agak heran.
"Pasti Wulandari, pasti!" desis Sanjaya. Tanpa tunggu lebih lama dia segera
berkelebat meninggalkan tempat itu disusul oleh Jagat Kawung dan Wiro Sableng
serta Suramanik yang menunggangi kuda.
Berlari selama kira-kira sepenanakan nasi sampailah ke empat orang itu ke tempat
yang dituju yaitu Teluk Segara Anakan. Suasana tampak tenang. Ombak bergulunggulung dari Bastian Tito
57 Hidung Belang Berkipas Sakti
tengah lautan menuju pantai dan memecah teratur di pasir, di antara batu-batu
karang yang banyak bertebaran di sana-sini.
"Inilah Teluk Segara Anakan. Dipasingara sering datang ke sebuah goa yang
terdapat di sekitar sini ...." Suramanik berkata.
"Kita cari goa itu sekarang juga," kala Sanjaya tidak sabaran.
"Tunggu dulu sobat-sobatku..." ujar Wiro sambil mengangkat tangan kanannya. "Aku
mendengar suara lelaki tertawa mengekeh diseling suara jeritan-jeritan perempuan
..." Semua orang memandang pada Wiro. Tak satu pun di antara mereka mendengar suarasuara yang dikatakan Pendekar 212 itu. Ini merupakan satu pertanda bagaimana
jauh lebih tajamnya pendengaran murid Eyang Sinto Gendeng itu.
Semua orang memasang telinga. Sesaat kemudian Jagat Kawung berkata. "Betul ...
suara itu. Aku kenal benar. Yang tertawa adalah si keparat murtad. Datangnya
dari balik gundukan batu karang besar di sebelah sana! Mari!"
Keempat orang itu dengan cepat segera menuju ke jurusan batu karang yang
menjulang di sebelah barat Teluk. Semakin dekat ke sana semakin jelas terdengar
suara tawa mengekeh serta jeritan perempuan. "Mampus! Mampuslah kau Handaka!"
Begitu sampai di balik batu karang, keempat manusia itu disambut oleh satu
pemandangan luar biasa. Seorang perempuan berambut panjang tergerai acak-acakan
dan berperut besar hamil dengan pedang di tangan menempur membabi buta seorang
lelaki muda. Yang perempuan ternyata adalah Wulandari, tunangan Sanjaya, sedang


Wiro Sableng 020 Hidung Belang Berkipas Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lelaki bukan lain Warangas alias Dipasingara alias Handaka alias Prana dan
banyak alias-alias lainnya.
Perkelahian terjadi di depan sebuah goa. Di mulut goa tegak seorang gadis
berkulit hitam manis dalam keadaan tubuh setengah telanjang, ikut menyaksikan
jalannya pertempuran dengan tegang. Perempuan hitam manis ini adalah Sri Wening,
anak gadis pak Tanu yang telah diculik dan disekap Warangas di goa itu sejak
seminggu lalu. Ketika Wulandari sampai ke goa itu Warangas tengah menggeluti
tubuh Sri Wening.
Meskipun otaknya miring namun serangan pedang Wulandari bukan serangan
sembarangan dan amat berbahaya. Akan tetapi Warangas menyambuti dengan ganda
tertawa dan andalkan tangan kosong. Sebentar-sebentar tangannya merobek pakaian
lusuh dan kotor yang melekat di tubuh Wulandari hingga lambat laun perempuan
muda yang malang ini hampir berada dalam keadaan telanjang. Perutnya yang buncit
dan urat-urat membiru jelas kelihatan.
Sanjaya tidak dapat menahan luapan amarahnya lagi. Dihunusnya pedangnya lalu
menghambur memasuki kalangan pertempuran.
"Manusia dajal terkutuk! Hari ini jangan harap kau bakal bisa lolos dari
kematian!"
Warangas terkesiap kaget melihat kemunculan Sanjaya yang tidak dikenalnya itu.
Lebih kaget lagi ketika di seberang sana dilihatnya pula Suramanik, Jagat Kawung
dan Wiro Sableng.
Wulandari yang tengah mengamuk dengan pedang di tangan ketika melihat Sanjaya
menjerit keras dan lari ke balik gundukan batu karang rendah. Di situ dia
menangis dan berteriak-teriak tak karuan.
Karena tidak merasa punya silang sengketa dengan Sanjaya heranlah Warangas
ketika Sanjaya menyerbunya dengan serangan-serangan gencar.
Dia tak punya kesempatan untuk tanya ini itu dan terpaksa harus kerahkan
kepandaian untuk menghindari sambaran-sambaran pedang lawan. Dalam pada itu
dilihatnya Suramanik telah turun dari kudanya dan langsung masuk ke kalangan
pertempuran dengan sebilah golok besar di tangan.
"Suramanik! Biar aku sendiri yang akan mencincang rnanusia terkutuk ini!" teriak
Sanjaya. Dia ingin melampiaskan dendam kesumatnya seorang diri.
Bastian Tito 58 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Aku juga punya hak untuk membelah batok kepalanya, Sanjaya!" tukas Suramanik.
"Akulah yang paling berhak untuk mematahkan batang lehernya!" yang berteriak
kali ini adalah si kakek Jagat Kawung dan serentak dengan itu dia menyerbu
dengan tangan kosong, menghantamkan pukulan Baja Merah!
Mendapat tiga serangan yang hebat luar biasa ini Warangas menyingkir satu tombak
ke samping lalu melompat tinggi ke udara. Ketika masih mengapung di atas, pemuda
hidung belang ini cepat keluarkan senjatanya yang amat diandalkan yakni Kipas
Pemusnah Raga. "Lekas menyingkir!" seru Wiro Sableng ketika dilihatnya kipas hitam di tangan
Warangas terkembang. Wiro yang berada sekitar enam belas langkah dari kalangan
pertempuran segera lepaskan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung untuk menangkis
sinar hitam kipas sakti dan guna memberi kesempatan pada Jagat Kawung, Suramanik
serta Sanjaya menyingkir.
"Jika kalian bertiga bertengkar untuk saling dapat membantai manusia bejat ini,
biar aku saja yang mewakili kalian semua! Bagaimanapun mengeroyok adalah
tindakan yang tidak terpuji!" kata Wiro sarnbil bersiap dengan pukulan
berikutnya. "Bagi manusia puntung neraka macam dia tak perlu memakai segala tata cara
persilatan. Yang penting dia musti mampus!" teriak Sanjaya. Lalu pemuda ini melornpat ke
udara seraya kiblatkan pedangnya.
Sinar hitarn menggebu-gebu mernaksa Sanjaya menyingkir jauh-jauh. Dari samping
kiri kembali Jagat Kawung mengirimkan pukulan Baja Merah sedang Suramanik begitu
dilihatnya lawan menjejakkan kaki di tanah cepat-cepat menyerbu dengan golok
besarnya. "Bangsat pengeroyok! Mampuslah semua!" teriak Warangas marah dan kalap melihat
serangan yang datang tiada henti. Kipasnya dikembangkan lebih lebar lalu diputar
dalam bentuk lingkaran. Sinar hitam menderu ke seluruh penjuru, menyapu dahsyat
laksana topan prahara.
Di mulut goa terdengar jeritan Sri Wening ketika sinar hitam itu menyambarnya,
membantingkan tubuhnya yang hangus tak bernyawa lagi ke dinding goa!
Wiro leletkan lidah. Ketika sinar hitarn itu berkelebat ke arahnya murid Sinto
Gendeng ini menangkis dengan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung sedang tangan
kanannya melancarkan pukulan Sinar Matahari.
Warangas merasakan tubuhnya laksana disambar angin puting beliung. Sinar hitam
yang menggebu dari kipas saktinya musnah. Sebelum dia sempat mengimbangi diri
dan membetulkan kuda-kuda kedua kakinya, pukulan Sinar Matahari telah menyambar
kipas saktinya hingga senjata itu hancur berantakan!
Paras Warangas sepucat kain kafan. Tengkuknya sedingin salju. Tanpa senjata di
tangan menghadapi empat lawan berkepandaian tinggi seperti itu membuat nyalinya
meleleh. Maut telah di ambang pintu!
Tanpa tunggu lebih lama Warangas melompat tidak menduga kalau di balik
batukarang itu justru ada Wulandari. Sebelum dia sempat bergerak untuk terus
melarikan diri mendadak dirasakannya sambaran angin. Seolah-olah bumi yang
dipijaknya roboh begitulah tubuh Warangas terbanting ke pasir ketika kedua
kakinya sebatas betis buntung disambar pedang Wulandari.
Pemuda hidung belang itu menjerit setinggi langit. Tubuhnya terguling ke bawah.
Dia rnenjerit lagi ketika dari kiri kanan Suramanik dan Sanjaya bersirebut cepat
menghantarnkan golok dan pedang masing-masing ke tubuhnya! Pedang di tangan
Sanjaya membabat robek dada Warangas sedang golok di tangan Suramanik membabat
putus lengan kirinya sampai ke bahu!
Bastian Tito 59 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Cukup! Sekarang giliranku orang-orang muda!" Terdengar suara Jagat Kawung.
Tubuhnya berkelebat cepat. Tangannya menjambak rambut Warangas. Namun sebelum
dia sempat memuntir kepala muridnya yang murtad itu, satu sinar putih menderu
dari samping dan cras!
Kepala Warangas terpisah dari badannya. Lehernya putus dibabat pedang Wulandari.
Darah rnenyernbur. Wulandari menjerit histeris dan lari ke arah laut.
"Aku terlambat ... aku terlambat ..." desis Jagat Kawung menyesali diri. Sekali
dia meremas maka hancurlah kepala Warangas!
Ketika melihat Wulandari lari ke arah laut, Sanjaya cepat mengejar. Dia tahu apa
yang bakal dilakukan, bekas tunangannya itu dan segera menyergapnya.
"Lepaskan aku! Lepaskan! Biar aku terjun ke dalam laut!" teriak Wulandari.
"Tenang Wulan. Sadarlah! Kenapa kau mau mati dengan cara sesat bunuh diri?"
"Aku memang sudah sesat! Lepaskan!" teriak Wulandari. Dia coba meronta
melepaskan diri tapi tak bisa. Tiba-tiba dia ingat pada pedang berdarah yang
masih tergenggam di tangannya.
Secepat kilat senjata itu ditusukkan ke dadanya.
"Wulan! Jangan!" jerit Sanjaya. Tapi terlambat. Pedang masuk jauh ke dada
Wulandari. Tubuh perempuan itu terkulai dalam pelukan Sanjaya.
"Wulan, kenapa kau lakukan ini. Aku ... aku masih mencintaimu. Kenapa kau
tinggalkan aku Wulan...?" Suara Sanjaya serak menahan tangis. Air matanya
membersit dan dadanya sesak.
Di saat kematian mendatang itu jalan pikiran Wulandari tampaknya kembali normal.
"Semuanya telah kasip kakak. Diriku terlalu kotor untuk terus hidup di dunia
ini. Ampuni dosaku kakak. Aku telah mengkhianati janji walau sebenarnya akupun
tetap mencintaimu ...."
"Wulan adikku ... !"
Kepala Wulandari terkulai. Wulandari hanya tinggal jasad kasar belaka kini.
Jasad kasar yang ditancapi pedang dan dilumuri darah. Angin dari luar bertiup
lembut dan sejuk. Ombak putih bergulung teratur dan memecah di depan kaki
Sanjaya. Butir-butir air mata berlelehan di pipi pemuda ini. Dia berlutut
membaringkan tubuh Wulandari di pasir pantai, memeluk dan menangisinya. Dia tak
tahu entah berapa lama dia berada dalam keadaan seperti itu sampai akhirnya satu
tangan memegang bahunya.
"Sobatku Sanjaya, Tuhan menghendaki segala sesuatunya berakhir sampai di sini,
dalam cara begini rupa. Tabahkan hatimu, kuatkan iman. Akan lebih baik jika kita
mulai menggali tempat peristirahatan terakhir baik Wulandari ...."
Sanjaya hanya menjawab dengan anggukan. Diangkatnya jenazah tunangannya itu.
Diikuti oleh Wiro, Suramanik dan Jagat Kawung dia mendukung tubuh Wulandari ke
bagian yang landai di bawah naungan batu karang. Di situ mereka mulai menggali
kubur. Bila sang surya menggelincir ke barat maka di pantai Teluk Segara Anakan
kelihatan sebuah kubur. Empat orang lelaki berdiri di sekeliling kuburan itu.
Tapi tanpa diketahui oleh tiga orang lainnya, salah seorang dari mereka yaitu
Pendekar 212 Wiro Sableng tahu-tahu sudah berkelebat lenyap dari tempat itu.
-- << TAMAT >> -Bastian Tito 60 Document Outline
Cover Bab 1 Bab 2 Bab 3 Bab 4 Bab 5 Bab 6 Bab 7 Bab 8 Bab 9 Bab 10 Bab 11 Bab 12 Bab 13 Bab 14 Medali Wasiat 4 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Medali Wasiat 7

Cari Blog Ini