Ceritasilat Novel Online

Pembalasan Nyoman Dwipa 1

Wiro Sableng 012 Pembalasan Nyoman Dwipa Bagian 1


SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
1 KETIKA dia memasuki Klung-kung, kota itu
masih diselimuti embun pagi. Kesunyian pagi
dipecah oleh derap kaki kuda yang
ditungganginya. Sesampainya di depan pura
besar yang terletak dipersimpangan jalan
seharusnya dia membelok ke kiri. Tapi karena
hari masih terlalu pagi diputuskannya untuk
menghangati perutnya dengan secangkir kopi
lebih dulu di kedai yang terletak tak berapa
jauh dari persimpangan itu.
Meskipun hari masih pagi di dalam
kedai sudah penuh oleh pengunjung. Laki-laki yang baru datang ini duduk di
tempat yang masih lowong sementara pemilik kedai melayaninya. Beberapa orang
tamu memandang kepadanya lalu meneruskan menyantap kue-kue atau menghirup
minumannya. Beberapa diantara mereka meneruskan percakapan yang tadi terhenti
karena kedatangan pengunjung baru ini.
"Semarak kota Klungkung kini semakin tambah dengan kedatangannya orang baru
itu," berkata seorang laki-laki sambil memandang pada cangkir kupinya. Umurnya
kira-kira lima puluhan.
"Sudah seminggu ini tentang penduduk baru itu saja yang dipercakapkan orang,
termasuk kau." menyahut kawannya.
"Kalau anak-anak muda yang mempercakapkannya itu bukan soal, tapi kau yang sudah
tua begini, ampun . . . " Dicabutnya rokok kaungnya dari sela bibir lalu
dihembuskannya jauh-jauh.
Laki-laki yang pertama tertawa. Waktu tertawa ini kelihatan gigi-giginya yang
cuma tinggal beberapa saja sedang kedua pipinya mencekung kempot. "Kau salah
sahabatku. Kecantikan seorang perempuan bukan hak orang muda-muda semata untuk
membicarakannya. Kita yang tua-tua inipun tak ada salahnya. Dan anak gadis I
Krambangan itu benar-benar cantik luar biasa.
Belum pernah aku sampai setua ini melihat yang secantik dia."
"Apakah dia secantik bidadari?"
"Ah sobat!" kata laki-laki tua itu sambil mengelus dadanya, "kau belum bertemu
dengan dia. Nantilah .... kalau kau lihat anak gadisnya I Krambangan itu hem ...
Kau akan menyesal karena terlalu cepat dilahirkan ke dunia ini hingga ketika dia
muncul di Klungkung ini kau sudah jadi seorang tua renta, kakek-kakek peot macam
terong rebus!"
Beberapa orang tersenyum-senyum mendengar ucapan itu. Dan orang tua tadi
meneruskan lagi kata-katanya sementara KARYA
1 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
tamu yang baru datang, sambil menikmati kopi hangatnya tidak menyia-nyiakan pula
untuk memasang telinga.
"Kau tanya apakah dia secantik bidadari. Sobat ... meski aku belum pernah lihat
bidadari, tapi aku yakin mungkin dia lebih cantik dari bidadari di kayangan! Kau
tahu, kulitnya kuning langsat, potongan tubuhnya besar diatas besar di bawah dan
langsing di tengah-tengah. Matanya . . . hem ... pernah kau lihat bintang timur"
Sepasang mata anak gadis I Krambangan itu lebih bagus dari bintang timur.
Lehernya jenjang, pipinya selalu merah, apalagi kalau kena sinar matahari persis
macam pauh di layang. Sepasang alisnya tebal hitam seperti semut beriring,
hidungnya mancung kecil macam dasun tunggal. Dagunya seperti lebah
bergantung ... pokoknya segala macam oerumpamaan yang diberikan orang cocok
melekat pada darinya. Dan kalau dia tersenyum sobatku, hem ... rasa di awan kita
melihatnya ..."
"Sudahlah," memotong kawannya. "Habiskan saja kopimu. Kalau kau terus bicara
tentang anak gadis I Krambangan itu mungkin lewat tengah hari baru kita sampai
ke tempat pekerjaan!"
Setelah kedua orang tua itu pergi, tamu tadi berpikir-pikir. Rupanya tentang
kecantikan anak gadis I Krambangan itu sudah tersebar luas sampai ke pelosok
kota Klungkung. Jangankan orang-orang muda, orang-orang tua seperti yang dua
tadipun masih punya minat untuk membicarakannya. Dia memandang ke luar kedai.
Matahari telah agak tinggi. Dihabiskannya kopinya dan setelah membayar harga
minuman serta kue yang dimakannya orang inipun keluar dari kedai itu,
menunggangi kudanya dengan tidak tergesa-gesa menuju ke selatan.
Di tepi jalan seorang laki-laki separuh baya tengah mengukir sebuah patung di
depan rumahnya. Penunggang kuda ini berhenti dan bertanya letak rumah yang
tengah ditujunya. Setelah mendapat keterangan maka dia pun melanjutkan
perjalanan. Rumah itu kecil mungil. Keseluruhan papannya baru dicat. Baru saja dia berhenti
dan turun dari kudanya, pintu muka terbuka, seorang laki-laki berpakaian bersih
keluar, ketika melihat orang yang turun dari kuda ini, orang itupun berseru
gembira, "Made Trisna!"
"I Krambangan!"
"Sahabat lama! Kedatanganmu laksana dibawa oleh Dewa-dewa di Swargaloka!
Bagaimana kau bisa tahu aku tirggal di sini?"
"Secara kebetulan saja. Aku bertemu dengan Ida Bagus Seloka di Denpasar. Dia
yang menerangkan bahwa kau pindah dan menetap di sini."
"Oh".." I Krambangan manngut-marggut beberapa kali. "Mari silahkan masuk
sahabat. Tadinya aku hendak ke ladang.
Tapi biar kubatalkan. Seharian ini kita akan bicara panjang lebar!"
Kedua sahabat lama itupun naik kegatas rumah Setelah bicara panjang lebar ke
barat-ke timur maka Made Trisna mengutarakan maksud kedatangannya yang
sebenamya. "Sahabatku I Krambangan, di samping hendak menyambangimu disini, sebenarnya
maksud kedatanganku ini membawa pula satu maksud yang sangat baik."
KARYA 2 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
"Gembira sekali aku mendengarnya, Made Trisna," ujar I Krambangan, "katakanlah
apa maksudmu yang sangat baik itu."
Setelah batuk-batuk beberapa kali baru Made Trisna membuka mulutnya, "Kau tentu
masih ingat dengan Tjokorda Gde Anyer."
"Oh, siapa yang akan lupa pada manusia pemberani itu!"
"Nah justru kedatanganku kemari ini ada sangkut paut dengan dirinya."
"Hem, begitu" Sangkut paut bagaimana, Made?"
"Dialah yang meminta aku ke sini untuk menyampaikan salam hormat."
"Ah, aku yang rendah ini mana berani menerima salamnya?" potong I Krambangan.
"Kau tahu sendiri sifat Tjokorda Gde Anyer. Baginya semua orang sama, tak ada
tinggi dan rendah tak ada bangsawan dan rakyat jelata. Nah sahabatku, dia
menyuruh aku kemari untuk tolong menyampaikan salam hormat di mana dia berhajat
untuk meminang anakmu . . ."
"Maksudmu Ni Ayu Tantri?"
"Tentu! Kau kan tak punya anak lain dari pada si tunggal Tantri itu."
I Krambangan meneguk ludahnya. "Sungguh satu kehormatan luar biasa. Tjokorda Gde
Anyer mempunyai hasrat baik untuk melamar anakku. Setahuku dia juga cuma punya
seorang anak ?"
"Betul namanya Tjokorda Gde Jantra. Parasnya gagah, usianya dua tahun lebih tua
dari anak gadismu. Ringkas kata, kalau anakmu dijodohkan dengan dia pasti cocok
sekali laksana pinang dibelah dua. Satu bulan satu mentari."
Sejak sepuluh tahun yang lalu I Krambangan tak pernah bertemu dengan Tjokorda
Gde Anyer. Sewaktu anak Tjokorda Gde Anyer masih kecil dia memang pernah
melihatnya dan menurut pendapatnya anak itu tidaklah gagah parasnya, mukanya
senantiasa pucat macam orang sakit, tubuh kurus dan kelakuannya nakal bengal
luar biasa. Tapi itu dulu selagi masih kanak-kanak. Sekarang sesudah jadi pemuda
mungkin sifatnya telah berubah dan parasnya menjadi gagah.
Karena I Krambangan lama tak bersuara maka berkatalah Made Trisna,
"Apa lagi yang kau pikirkan, sahabatku" Terima saja lamaran itu. Tjokorda Gde
Jantra pemuda gagah anak bangsawan dan kaya raya. Pasti hidup anakmu akan
terjamin dan bahagia!"
"Memang betul kata-katamu itu Made," jawab I Krambangan. "Tapi justru mengingat
perbedaan darah turunan antara kami dan dialah maka rasanya agak malu juga aku
menerima lamarannya itu. Aku rakyat jelata mana mungkin berbesan dengan orang
bangsawan, sekalipun sebelumnya sudah saling mengenal."
Made Trisna tertawa. "Sekarang bukan jamannya berpikir sekolot itu, I
Krambangan. Apalagi kau ingat sifatnya Tjokorda Gde Anyer yang tak mau membedabedakan di antara manusia."
Kembali I Krambangan berdiam diri beberapa lamanya.
Lalu: "Anakku Ni Ayu Tantri berparas buruk. Masakan anaknya Tjokorda Gde Anyer
bersedia mengambilnya jadi kawan KARYA
3 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
hidup ...?"
"Kau keliwat merendah, sahabat," kata Made Trisna pula seraya menggulung
sebatang rokok kaung. "Kecantikan paras anak gadismu laksana bunga harum
semerbak yang dihembuskan angin ke pelbagai penjuru. Pagi tadi sebeLum ke sini
aku mampir di sebuah kedai. Dan kau tahu" Pagi-pagi buta begitu tamu-tamu di
situ sudah bicara tentang kecantikan paras anakmu.
Bayangkan!"
I Krambangan mengusap-usap dagunya, memandang ke arah jalan di mana meluncur
sebuah pedati menarik tumpukan kayu-kayu bakar. Suara klenengan sapi-sapi
penarik pedati itu terdengar sepanjang jalan.
"Walau bagaimanapun gunjingan orang di luaran tentang diri anakku, tapi Tjokorda
Gde Jantra sendiri belum pernah bertemu muka dengan anakku. Jangan-jangan begitu
lamaran kuterima, setelah bertemu tahu-tahu pemuda itu kecewa dan menyesal ?"
"Kalau dia tak pernah melihat paras anakmu dengan mata kepala sendiri, masakan
dia dan ayahnya sampai memaksaku agar datang kemari!" kata Made Trisna pula.
Kembali I Krambangan menelan ludahnya. Akhirnya berkata laki-laki ini. "Beri aku
waktu barang seminggu dua minggu untuk merundingkan hal ini bersama istriku. Aku
sendiri pada dasarnya setuju, cuma bagaimanapun aku musti minta pula
pertimbangan istriku. Di samping itu yang terpenting Tantri pun harus diberi
tahu." Made Tisna manggut-manggut.
"Aku yakin istrimu serta Ni Ayu Tantri menyetujui pinangan yang kusampaikan ini.
Dua minggu terlalu lama sobat, biar aku datang minggu depan kemari untuk meminta
jawabanmu. Akur..."
"Baiklah Made. Karena istriku sudah menyiapkan hidangan pagi di dalam, marilah
kita masuk." Kedua orang itu berdiri lalu masuk ke ruang tengah.
KARYA 4 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
2 SEPERTI yang dikatakan Made Trisna, satu minggu kemudian dia kembali ke
Klungkung menemui I Krambangan untuk meminta kabar atau jawaban mengenai
pinangan yang disampaikannya tempo hari. Dia yakin betul I Krambangan akan
menerima pinangan Tjokorda Gde Anyer. Begitu sampai di rumah sahabatnya itu
langsung Made Krisna menanyakan persoalan.
"Minumlah dulu, Made." kata I Krambangan mempersilahkan sahabatnya. Bila Made
Trisna sudah meneguk minuman yang disuguhkan maka I Krambangan baru membuka
persoalan. "Seperti yang kukatakan tempo hari, pada dasarnya aku bisa menerima lamaran
Tjokorda GdeAnyer. Bukan saja menerimanya tapi malah menganggapnya itu satu
penghormatan yang luar biasa mengingat dia bangsawan kaya raya mau mengulurkan
tangan pada keluargaku bangsa rakyat jelata. Ketika kubicarakan pada istrikupun,
dia terkejut dan hampir tak percaya. Dan seperti aku, diapun menyetujui lamaran
itu. Namun setelah kuterangkan pada Tantri, kita terbentur pada satu persoalan,
Made. Hal ini memang sudah kuduga dari semula, yaitu sejak kau mengemukakan
lamaran satu minggu yang lalu itu."
"Persoalan apakah yang menjadi halangan itu, I Krambangan?" tanya Made Trisna
pula. "Dua tahun sebelum kami pindah kesini, sebenarnya Tantri telah mempunyai pilihan
hati sendiri. Kau tentu mengerti maksud ucapanku ...."
"Maksudmu Tantri telah mempunyai kekasih?"
I Krambangan mengangguk. "Mereka saling mencinta dan sudah punya rencana untuk
menikah sesudah Hari Raya Galungan beberapa bulan dimuka. Meski aku orang
tuanya, tapi kau tentu dapat memaklumi Made, bagaimana aku tak bisa memaksa
Tantri untuk memutuskan hubungannya dengan itu pemuda yang dicintainya. Terlalu
besar dosanya memutuskan tali kasih seseorang. Aku kawatir tak akan dirakhmati
Dewa-dewa lagi jika aku berani memutuskan hubungan kasih anakku."
Lama Made Trisna termenung. Kemudian berkatalah laki-laki ini, "Kau terlalu
banyak kawatir, sahabatku. Masakan Dewa-dewa di kayangan tidak akan
merakhmatimu. Bukankah dengan menikahkan Tantri dengan Tjokorda Gde Jantra
berarti kita membuat satu kebajikan dan pahala besar?"
"Itu betul Made. Tapi bagaimana dayaku untuk memutus hubungan Tantri dengan
pemuda yang dikasihinya" Aku sebagai orang tua benar-benar tidak tega . . . "
"Apakah kau sudah terangkan padanya bahwa yang melamar adalah Tjokorda Gde
Anyer" Apakah kau terangkan pula orang yang bagaimana adanya bangsawan kaya raya
itu?" "Sudah." jawab I Krambangan, "semuanya sudah. Bahkan kubujuk pula anak itu untuk
mau menerima lamaran tersebut.
KARYA 5 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
Tapi sia-sia belaka, Made."
Untuk kedua kalinya Made Trisna termenung.
Setelah saling berdiam diri beberapa lamanya kemudian bertanyalah Made Trisna,
"Apakah kau tak melihat cara atau jalan lain agar Tantri menyetujui
perjodohannya dengan Tjokorda Gde Jantra?"
"Sudah kutempuh berbagai cara Made. Agaknya memang sukar melembutkan hati yang
sudah diberikan pada seorang lain yang dikasihi. Kita harus maklum itu karena
kitapun pernah muda ..."'
"Sebagai orang tua, apakah kau tidak merasa itu merupakan satu keingkaran"
Menyatakan bagaimana anakmu tidak berbakti padamu ...?"
I Krambangan menggigit bibirnya. Pertanyaan itu merupakan satu pukulan baginya.
Tapi dia tersenyum sewaktu menjawab, "Meski aku orang tuanya. Made, tapi aku
juga bisa melihat sampai batas-batas mana seorang tua bisa mencampuri urusan
pribadi anaknya. Penolakan yang dikemukakan Tantri bukan kuanggap sebagai satu
keingkaran atau satu kenyataan bahwa dia tidak berbakti terhadapku. Kurasa siapa
saja mempunyai hak untuk mengemukakan pendapatnya mengenai. urusan pribadinya.
Apalagi urusan yang menyangkut masa depan. Kukatakan aku dan istriku menyetujui
lamaran Tjokorda Gde Anyer.
Tapi kita musti sadar pula bahwa bukan aku atau istriku atau kau atau juga
Tjokorda Gde Anyer yang akan dijodohkan dan akan menempuh hidup baru berumah
tangga itu, tapi Tantri."
"Betul, betul sekali." sahut Made Trisna cepat-cepat karena kata-kata I
Krambangan itu menggejolakkan hatinya. "Betul sekali apa yang kau katakan itu,
sahabat. Tapi kita musti pula menyadari, dunia ini masih belum terbalik. Kita
orang-orang tua mempunyai hak dan kewajiban untuk memelihara anak kita dan kalau
sudah besar membuat dia berbakti pada kita, mengikuti apa mau kita karena
niscaya orang tua itu tak ada yang berniat mencelakakan anaknya. Dunia masih
belum terbalik sahabatku.
Masakan kita orang-orang tua musti mengikuti maunya anak kita, justru anaklah
yang harus patuh dan mengikuti kemauan orang tuanya!"
"Menyesal sekali, rupanya jalan pikiran kita sedikit berbeda Made," kata I
Krambangan. "Bagaimana pun aku tak merasa dunia ini telah terbalik hanya karena
aku memberikan hak untuk menentukan kehidupan masa depan pada anakku. Dan aku
juga menyadari bahwa memang bukan adat atau pun kebiasaan kita untuk berlaku
seperti itu. Tapi harus disadari Made, dunia kita di masa lalu tidak sama dengan
dunia orang-orang sekarang. Dunia orang-orang sekarang tak sama pula dengan
dunia orang-orang di masa nanti. Segala sesuatunya harus tunduk pada keadaan dan
kehendaknya jaman . . . "
"Dimana orang tua-tua tidak mempunyai daya apa-apa lagi terhadap anaknya" Dimana
anak-anak sanggup mengatur orang tuanya dan bukan orang tuanya yang mengatur
diri mereka" Sungguh lucu jaIan pikiranmu. Jika memang itu pendirianmu, memang


Wiro Sableng 012 Pembalasan Nyoman Dwipa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungguh berbeda jalan pikiran kita sahabat. Dan adalah sangat disayangkan kalau
kau sampai mau menolak lamaran Tjokorda Gde Anyer. Kau tahu, I Krambangan. Jika
perjodohan ini jadi, kau sekeluarga akan dibuatkan sebuah rumah gedung dan
disuruh pindah ke Denpasar. Tentang kehidupan masa tuamu tak perlu memikirkan,
kau hanya KARYA
6 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
ongkang-ongkang kaki saja karena semua keperluan dijamin oleh Tjokorda Gde
Anyer. Tentang anakmu ... dia akan hidup bahagia bersama Tjokorda Gde Djantra!"
"Memang sudah kubayangkan betapa kebahagiaan akan menyelimuti bila Tantri nikah
dengan anak Tjokorda Gde Anyer.
Tapi aku tak punya daya untuk memaksa Tantri."
Made Trisna menjadi putus asa dan penasaran sekali pada sahabatnya itu. "Kalau
aku boleh bertanya," katanya, "siapa gerangan pemuda yang dikasihi oleh anakmu
itu" Apakah dia tampan gagah, anak orang bangsawan tinggi, punya sawah ladang
berhektar-hektar, punya ternak berkandang-kandang dan punya harta bergudanggudang, hingga mata dan hati anakmu tak dapat dialihkan kepada yang lain lagi?"
"Pemuda itu bernama Nyoman Dwipa. Dia tinggal di desa Jangersari dan agaknya
bagi Tantri, sawah ladang atau ternak atau harta kekayaan itu bukan apa-apa
kalau dibandingkan dengan nilai kasih sayang yang dipadunya dengan Nyoman
Dwipa." Rasa putus asa dan penasaran yang menggelorai hati Made Trisna lama-lama berubah
menjadi kejengkelan dan rasa muak yang akhirnya berubah pula menjadi rasa benci
terhadap sahabat lamanya itu. Dianggapnya I Krambangan keterlaluan tolol!
"Baiklah I Krambangan," kata Made Trisna seraya berdiri, "kalau begitu putusanmu
memang tak bisa aku memaksa. Tapi terus terang kukatakan bahwa sebagai manusia
hidup kau terlalu bodoh untuk tidak mau menerima lamaran Tjokorda Gde Anyer."
"Terserahlah kau mau bilang apa, sahabatku," jawab I Krambangan dengan pelahan.
"Mungkin aku memang orang tolol.
Tapi aku yakin dalam ketololan itu aku berpijak pada kebenaran dan hak pribadi
yang tak bisa diganggu gugat!"
Made Trisna memacu kudanya dengan kencang. Hatinya mencaci maki habis-habisan I
Krambangan! *** Denpasar sebuah kota besar dan bagus di pulau Bali. Beberapa buah pura besar
yang sangat indah bangunannya terdapat di sana. Di tengah-tengah kota terdapat
sebuah gedung besar yang atapnya berbentuk candi. Tak ada satu orangpun di
Denpasar yang tidak tahu siapa pemilik gedung bagus dan besar itu. Bahkan
penduduk yang tinggal di pinggiran kotapun tahu bahwa itu adalah gedung kediaman
bangsawan kaya raya Tjokorda Gde Anyer.
Waktu itu hari telah rembang petang ketika Made Trisna dan kudanya sampai di
pintu gerbang gedung, langsung masuk ke halaman dalam, dan menemui Tjokorda Gde
Anyer. Sebelum dia membuka pembicaraan, Tjokorda Gde Djantra sudah muncul pula
hingga dapatlah ia memberi keterangan sekaligus pada kedua beranak itu.
Betapa terkejutnya bangsawan dan anak tunggalnya itu tatkala mendengar penuturan
Made Trisna, tatkala mengetahui bahwa lamaran mereka ditolak oleh I Krambangan.
Tak perduli alasan apapun yang dikemukakan I Krambangan, yang nyata ini adalah
merupakan satu penghinaan besar!
KARYA 7 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
"I Krambangan manusia tak tahu diri! Tak tahu diuntung!" maki Tjokorda Gde
Anyer. Lalu dia berpaling pada anaknya dan berkata, "Sudah, kau cari saja gadis
lain! Di Denpasar ini, di pulau Bali ini ada ratusan gadis-gadis yang jauh lebih
cantik dari anaknya si Krambangan itu, yang turunan bangsawan terpandang, kaya
raya!" Tjokorda Gde Djantra termanggu beberapa lamanya. Mukanya yang senantiasa pucat
macam orang mau mati besok, saat itu kelihatan makin tambah pucat! Seperti
ayahnya, pemuda inipun merasa terhina. Tapi hatinya benar-benar sudah terpaku
pada gadis itu hingga tak mungkin baginya untuk mencari lain gadis seperti yang
dikatakan ayahnya.
"Kita sudah diberi malu Djantra!" berkata Tjokorda Gde Anyer. "Kuharap kau
jangan memberi malu yang kedua kalinya.
"Tapi ayah aku tak sanggup hidup bersama gadis lain."
"Kenapa tidak sanggup" Sepuluh gadis yang lebih cantik dari si Tantri itu bisa
kau ambil jadi istri sekaligus!"
Tjokorda Gde Djantra berdiri dari kursinya.
"Walau bagaimanapun aku musti dapatkan gadis itu, ayah. Tidak dengan cara baikbaik dengan jalan burukpun bisa. Rasa malu yang kita terima akan kubalas malam
ini juga!" Tjokorda Gde Djantra lantas berlalu dari situ.
Tjokorda Gde Anyer dan Made Trisna saling berpandangan. Kedua orang ini sudah
bisa menduga apa yang bakal dilakukan oleh Tjokorda Gde Djantra. Dan berkatalah
Made Trisna, "Kalau betul itu hendak dilakukan oleh Tjokorda Gde Djantra, kurasa
tak ada salahnya. Itu sudah menjadi adat kebiasaan kita di sini."
KARYA 8 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
3 HARI itu sejak petang lingkungan langit di ataskota Klungkung diselimuti
kemendungan. Gumpalan awan hitam datang bergulung-gulung tiada hentinya dari
arah barat. Menjelang senja angin keras mulai bertiup, menerbangkan debu di
segala pelosok, membuat kota tenggelam dalam udara pengap. Tepat sewaktu sang
surya lenyap di ufuk barat maka hujan deraspun turunlah. Suaranya menggemuruh
ditimpal oleh deru angin. Setiap telinga yang mendengarnya merasa ngeri. Sekalisekali menggelegar guntur, berkelebat kilat. Dalam tempo yang singkat parit dan
selokan di seluruh kota telah luber oleh air hujan, sungai-sungai kecil banjir
menerpa segala apa saja yang ada di sekitarnya. Kadang-kadang hujan itu mereda
sebentar lalu turun lagi dengan lebih lebat. Dinginnya udara seperti merembas
dan mencucuk sampal ke tulang-tulang sungsum!
Dalam lebatnya curahan hujan, dalam kerasnya deru angin dan dalam gelapnya
suasana malam yang sangat dingin itu, dari jurusan timur laksana bayangan setan,
kelihatanlah empat penunggang kuda memasuki Klungkung. Sesampainya di
persimpangan jalan di depan pura, keempatnya membelok ke kiri tanpa mengurangi
kecepatan kuda masing-masing. Air hujan dan lumpur bercipratan di belakang kakikaki ke empat binatang itu.
Hampir mencapai ujung jalan, salah seorang penunggang kuda menunjuk ke depan dan
berkata, "Yang itu rumahnya!
Pergilah, aku menunggu di sini."
Tiga penunggang kuda lainnya segera mengeluarkan sapu tangan-sapu tangan besar
yang berwarna hitam dan menutupi paras mereka dengan sapu tangan itu sebatas
mata ke bawah kemudian ketiganya segera bergerak ke rumah kecil yang ditunjuk
tadi. Seperti keadaan rumah-rumah di sekitarnya, rumah yang mereka tuju inipun sunyi
senyap, tak satu lampupun yang menyala tanda seluruh penghuninya telah tidur
nyenyak dalam kehangatan selimut masing-masing.
Ketiga orang itu turun dari kuda. Setelah meneliti keadaan sekeliling mereka
langsung ketiganya menuju ke pintu depan.
Dengan mempergunakan sebuah alat, pintu yang terkunci berhasil dibuka. Hampir
tanpa suara sedikitpun ketiga orang itu masuk ke dalam rumah. Mata mereka
terpentang lebar-lebar dalam kegelapan. Selangkah demi selangkah ketiganya
bergerak. "Kurasa yang ini kamarnya," berbisik salah seorang dari yang tiga lalu
mendahului kawan-kawannya maju ke pintu dan mengintai. Di dalam kamar gelapnya
bukan main, tapi matanya yang tajam sanggup juga melihat sesosok tubuh yang
terbaring bergelung diatas tempat tidur.
"Biar aku yang masuk," berkata laki-laki bertubuh kurus. Didorongnya daun pintu.
Pintu itu mengeluarkan suara berkereketan tapi suara ini tertelan oleh suara
hembusan angin deras dan hujan lebat. Dengan dua jari tangan terpentang lurus
siap untuk menotok, laki-laki berbadan kurus ini melangkah mendekati tempat
tidur. Tiba-tiba orang yang tidur di atas pembaringan menbalikkan badannya, selimut
yang menutupi sebagian wajahnya KARYA
9 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
terbuka dan ketika dia bangun dengan cepat orang ini segera membentak, "Siapa
kau"!"
"Keparat! Bukan dia!" rutuk laki-laki yang mukanya tertutup kain hitam sementara
dua orang kawannya yang berdiri di ambang pintu berjaga-jaga juga terkejut
sekali. Tadinya mereka menyangka orang yang tidur di atas pembaringan itu adalah
Ni Ayu Tantri, gadis yang hendak mereka culik. Tapi suara bentakan itu nyata
sekali suara laki-laki! Tak dapat tidak yang tidur di situ adalah ayah dari
gadis itu! "Maling rendah! Kau berani masuk ke dalam rumahku!" terdengar lagi bentakan. Itu
adalah suara bentakannya I Krambangan yang menyangka manusia yang masuk ke dalam
kamar itu adalah maling! Segera laki-laki itu melompat menyambar sebilah parang
yang tersisip di dinding. Namun sebelum tangannya mencapai senjata itu satu
pukulan menyambar dari samping!
I Krambangan dulunya adalah seorang bekas kepala prajurit kerajaan, dengan
sendirinya memiliki ilmu silat yang cukup bisa diandalkan, apalagi kalau cuma
menghadapi seorang maling! Mendapat serangan itu dengan cepat dia melompat ke
samping, berkelit dan menyusupkan satu tendangan ke dada lawan!
Tapi yang dihadapi I Krambangan bukan "maling biasa". "Maling" itupun ternyata
memiliki ilmu silat yang lihay. Dengan mudahnya dia mengelakkan serangan I
Krambangan lalu berkelebat cepat dan "buk". Tahu-tahu jotosannya melanda dada I
Krambangan. Orang tua itu mengeluh tinggi. Tubuhnya terhempas ke dinding. Nafasnya sesak dan
dadanya sakit bukan main. Tapi karena dia tersandar ke dinding dengan sendirinya
dia mempunyai kesempatan baik untuk menyambar parang. Cuma dia masih kurang
cepat. Sebelum tangannya berhasil menyentuh benda itu dari kiri kanan dua pasang
tangan yang kuat-kuat telah mencekal kedua lengannya. Dia coba berontak tapi tak
berhasil. Sesaat kemudian satu pukulan yang amat keras mendarat di keningnya. I
Krambangan coba mempertahankan diri berusaha agar tidak jatuh pingsan. Tapi
pukulan itu terlalu keras.
Lututnya tertekuk dan sewaktu dua orang yang mencekalnya melepaskannya, lakilaki ini terhempas ke lantai tanpa sadarkan diri!
Di kamar sebelah, mendengar suara ribut-ribut itu, dua orang terbangun dari
tidur masing-masing. Mereka adalah Ni Ayu Tantri dan ibunya. Biasanya Tantri
tidur sendirian di kamar depan tapi karena malam itu ibunya diserang demam
panas, si gadis sengaja tidur bersama sekalian untuk menjaga perempuan itu.
"Ada apa, nak ...?" bisik Ni Warda, ibunya Tantri.
"Seperti suara orang berkelahi, bu." jawab Tantri "Kudengar keluhan ayah ...
Biar aku lihat keluar."
Ni Warda menarik pakaian anaknya dan berkata gemetar: "Jangan, Tantri. Pasti itu
orang-orang jahat. Kalau kau keluar...."
"Tapi ayah bu," ujar Ni Ayu Tantri dengan hati cemas. Dan baru saja gadis ini
berkata demikian pintu kamar itu terpentang lebar oleh satu tendangan keras! Ni
Warda dan Ni Ayu Trisna menjerit sewaktu melihat tiga orang laki-laki
bertutupkan kain hitam paras masing-masing, menyerbu ke dalam kamar itu!
KARYA 10 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
*** Baru saja matahari pagi tersembul di ufuk timur, seluruh Klungkung sudah heboh
oleh berita yang disampaikan dari mulut ke mulut yaitu bahwa Ni Ayu Tantri,
gadis cantik yang belum lama ini pindah bersama ayah dan ibunya telah lenyap
diculik orang malam tadi! I Krambangan dan beberapa orang penduduk semalammalaman itu telah berusaha mencari jejak si penculik, namun sia-sia belaka.
Rata-rata penduduk menduga bahwa yang menculik Ni Ayu Tantri itu adalah
gerombolan rampok yang bersarang di Bukit Jaratan karena rampok-rampok itu
memang selalu mengenakan kain hitam penutup muka bila menjalankan kejahatannya.
Tapi I Krambangan sendiri mempunyai dugaan lain. Bersama dua orang tetangga,
dengan menunggangi kuda pagi itu dia berangkat menuju Denpasar. Tak sukar
baginya mencari gedung kediaman Tjokorda Gde Anyer.
Akan Tjokorda Gde Anyer ketika melihat kedatangan I Krambangan berubahlah
parasnya. Tapi seseat kemudian bangsawan ini tertawa lebar dan berkata: "Sungguh
tak disangka-sangka kedatanganmu ini, I Krambangan. Mari silahkan masuk."
"Cukup kita bicara disini saja, Tjokorda Gde Anyer. . ."
"Eh, kenapa begitu" Tak pantas sekali seorang yang bakal jadi besanku hanya
berdiri ..."
"Jangan bicara segala macam soal besan, Tjokorda Gde Anyer!" potong I Krambangan
pula dengan suara keras. "Panggil anakmu! Aku ingin bicara dengan dia!"
Tjokorda Gde Anyer memandang tajam-tajam pada tamunya. "Sobat lama, agaknya satu
kemarahan menyelimuti dirimu.
Bicaralah dengan tenang tak perlu kesusu. Katakan maksud kedatanganmu, dan
maksudmu hendak bertemu serta bicara dengan anakku. Dalam pada itu kuharap kau
suka masuk agar kita bisa bicara baik-baik."
Seseorang keluar dari dalam gedung. Parasnya kusut mungkin kurang tidur. Orang
ini bukan lain Made Trisna. Dia tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya
sewaktu melihat I Krambangan. Namun seperti Tjokorda Gde Anyer tadi, diapun
lantas tertawa dan menegur laki-laki itu. I Krambangan tidak perdulikan orang
ini melainkan memandang menyorot pada Tjokorda Gde Anyer.
"Agaknya ada sesuatu yang tidak beres, I Krambangan"!" tanya tuan rumah.
"Ya, memang ada sesuatu yang tidak beres! Dan berat dugaanku anakmulah yang
menjadi biang ketidak beresan ini!"
"I Krambangan, tuduhanmu agaknya sangat tidak beralasan! Katakan apa yang telah
terjadi sampai kau bicara begini rupa!"
"Kurasa kau dan juga Made Trisna sudah tahu apa yang terjadil Aku bisa
mengetahui pada pertama kali aku melihat air muka kalian! Tapi tak apa saat ini
kalian berkura-kura dalam perahu! Suatu ketika aku akan tahu kedustaan kalian!
Dengar, KARYA 11 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
sesudah pinanganmu kutolak secara baik-baik kemarin, malam tadi tiga orang telah
memasuki rumahku dan menculik Ni Ayu Trisna!"
"Oh! Lalu saat ini hendak kau tuduhkan bahwa anakkulah yang telah menculik anak
gadismu" Sungguh tuduhan yang sangat rendah dan tanpa bukti sama sekali!"
"Memang tuduhanku tidak ada bukti. Tapi aku yakin bahwa anakmulah yang
melakukannya! Sekarang katakan dimana anakmu itu?"
"Dia tak ada di sini, I Krambangan."
"Itu satu bukti bahwa memang anakmu ada sangkut paut dengan diculiknya Ni Ayu
Trisna!" "Jangan menuduh sembarangan!" tukas Tjokorda Gde Anyer dengan marah. "Sekalipun
lamaranku ditolak apa perlunya anakku menculik anakmu" Sepuluh gadis-gadis yang
lebih cantik dari anakmu bisa didapat oleh Tjokorda Gde Djantra!"
I Krambangan menyeringai. "Katakan saja di mana anakmu berada!"
"Sejak siang kemarin dia meninggalkan rumah! Kemana perginya aku tidak tahu.
Kalau kau tidak percaya silahkan tanya pada Made Trisna."
"Dengar Tjokorda Gde Anyer!" kata I Krambangan dengan memandang tajam-tajam.
"Jika aku mendapat bukti-bukti dan kenyataan bahwa anakmulah yang telah menculik
anakku dan terjadi apa-apa dengan diri Ni Ayu Tantri, aku akan bunuh dia!
Siapa saja yang berani menghalangi perbuatanku akan kusingkirkan dari muka bumi
ini! Termasuk kau dan Made Trisna!"
Habis berkata begitu I Krambangan dan dua orang kawannya memutar tubuh dan
segera meninggalkan gedung itu.
KARYA 12 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
4 DALAM hujan lebat di malam buta itu empat orang penunggang kuda meninggalkan
rumah I Krambangan dengan cepat.
Dalam waktu yang singkat keempatnya telah meninggalkan kota Klungkung. Di satu
persimpangan jalan keempatnya berhenti.
Laki-laki bertopeng kain hitam yang membawa sesosok tubuh perempuan di


Wiro Sableng 012 Pembalasan Nyoman Dwipa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pangkuannya berkata pada tiga orang lainnya,
"Kita berpisah di sini."
"Baik Tjokorda Gde Djantra. Hati-hatilah!" sahut salah seorang dari mereka.
Bersama dua orang kawannya laki-laki ini segera meninggalkan persimpangan itu
sedang yang seorang tadi menyentakkan tali kekang kudanya dan menempuh jalan
sebelah kanan. Dua jam lamanya laki-laki ini memacu kudanya tanpa henti. Sewaktu
fajar menyingsing dia sampai di sebuah lereng bukit dan memperlambat lari
kudanya. Sambil menunggangi kuda tak henti-hentinya dia menundukkan kepala
memandang paras jelita dari gadis yang berada dalam keadaan pingsan di
pangkuannya. Di puncak bukit laki-laki ini berhenti untuk melepaskan lelah
sementara kuda tunggangannya menjilati air empun dan memakan rumput-rumput liar
yang tumbuh di sekitar sana. Tak lama kemudian orang itu meneruskan
perjalanannya kembali.
Di tepi sebuah telaga berair bening yang terletak dua puluh kilo dari Klungkung
dan lima belas kilo dari Denpasar terdapatlah sebuah pondok. Pondok ini buruk
dan tak terurus. Tapi karena lantai, dinding dan atap dibuat dari kayu jati,
meski tak terurus, keadaannya masih cukup baik untuk ditempati.
Tjokorda Gde Djantra menghentikan kudanya di tepi telaga lalu membawa perempuan
yang diculiknya ke dalam pondok, membaringkannya di atas sebuah tumpukan jerami
kering yang dibuat demikian rupa hingga merupakan tempat tidur yang cukup
nyaman. Dibukanya kain hitam yang menutupi parasnya. Setelah memandangi wajah
gadis itu beberapa lamanya dengan seringai di bibir, Tjokorda Gde Djantra keluar
dari pondok dan membersihkan diri dalam telaga. Tubuhnya terasa segar bila dia
keluar dari telaga. Ketika dia masuk ke dalam pondok didapatinya gadis itu telah
siuman dan duduk di tepi tempat tidur jerami tengah memandang berkeliling dengan
perasaan takut bercampur heran.
"Kau sudah siuman Tantri ... ?"
Ni Ayu Tantri terkejut oleh suara teguran itu dan memandang ke arah pintu dengan
cepat. Dia tak kenal dengan pemuda berparas pucat yang berdiri di ambang pintu
itu. Tapi bila dia ingat pada peristiwa malam tadi yakinlah dia bahwa manusia
ini pastilah salah seorang dari orang-orang jahat yang menculiknya! Cepat-cepat
gadis ini berdiri.
"Kelihatannya kau takut sekali padaku, Tantri." berkata Tjokorda Gde Djantra.
Yang mengherankan Ni Ayu Tantri ialah karena pemuda ini mengenal namanya.
Melihat kepada pakaiannya yang bagus kemungkinan dia seorang pemuda bangsawan!
Tapi siapa dia dan mengapa telah melakukan penculikan benar-benar tak bisa
dimengerti oleh Ni Ayu Tantri sementara rasa takutnya semakin bertambah besar
detik demi detik. "
"Siapa kau" Mengapa menculik dan membawa aku kemari"!" tanya Ni Ayu Tantri.
KARYA 13 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
Tjokorda Gde Djantra tersenyum. Meski suara itu bernada keras namun sedap sekali
terdengar di liang telinganya.
"Kau tak usah takut Tantri," berkata si pemuda, "kau memang tak kenal aku tapi
aku kenal padamu. Kurasa namaku telah pernah kau dengar dalam beberapa hari
belakangan ini."
"Aku tak perduli siapa kau. Yang penting aku harus meninggalkan tempat ini dan
kembali ke Klungkung dengan cepat!"
"Kau tak akan kembali ke Klungkung Tantri," kata Tjokorda Gde Djantra.
Ni Ayu Tantri terkejut. Rasa takut semakin mencekam dirinya. "Apa ... Aku tak
akan kembali ke Klungkung"!" tanyanya.
Tjokorda Gde Djantra tersenyum lalu menganggukkan kepalanya perlahan-lahan. "Kau
akan kembali ke Denpasar.
Kerumahku. Dan kita akan tinggal bersama-sama di sana sebagai suami istri yang
berbahagia!"
Pucatlah paras Ni Ayu Tantri. Kini tahulah gadis ini dengan siapa dia
berhadapan. Tidak bisa tidak pastilah pemuda bermuka pucat ini Tjokorda Gde
Djantra, anak bangsawan yang telah ditolak lamarannya satu hari yang lewat! Dan
ketika Tantri menyadari apa maksud penculikan yang dilakukan Tjokorda Gde
Djantra sesudah lamarannya ditolak itu, merindinglah bulu kuduk Ni Ayu Tantri!
Gadis ini menjerit dan coba menerobos ke pintu. Tjokorda Gde Djantra memegang
lengan gadis itu dan menariknya ke tengah pondok.
"Tak ada yang harus kau takutkan Tantri," kata pemuda itu. "Seharusnya kau
bergembira karena kita akan hidup bahagia". "
"Lepaskan aku!" teriak Tantri seraya menyentakkan lengannya. Tapi cekalan
Tjokorda Gde Djantra terlalu keras dan erat untuk bisa dilepaskannya.
"Duduklah dulu ditumpukan jerami itu, Tantri. Biar kita bisa bicara baikbaik ..." "Aku tak ingin bicara dengan kau! Perbuatan ini keji sekali! Terkutuk!" teriak
Tantri. Tjokorda Gde Djantra tertawa pelahan. "Perbuatanku ini keji dan terkutuk?"
ujarnya. "Justru perbuatan pemuda-pemuda Bali yang gagah dan berhati jantan!
Justru hal ini dibenarkan oleh adat kebiasaan pulau Dewata ini!"
"Lepaskan aku manusia keji! Lepaskan!" Sambil menjerit Tantri meninju dada
pemuda itu berulang kali. Tjokorda Gde Djantra mendorong Tantri keras hingga
terbaring di atas tempat tidur jerami lalu cepat-cepat dia menutup pintu dan
memalangnya sekaligus! Perlahan-lahan dia melangkah mendekati Tantri yang
menjerit-jerit dan ketakutan setengah mati.
"Aku tak mengerti," kata Tjokorda Gde Djantra seraya rangkapkan tangan dimuka
dada, "tak mengerti mengapa kau sampai menolak lamaranku ..."
"Manusia keji keluarkan aku dari sini!"
"Kudengar kau sudah mempunyai seorang kekasih, Betul?"
"Itu bukan urusanmu! Keluarkan aku dari sini, Keluarkan!"
"Tak ada gunanya berteriak terus-terusan. Suaramu yang bagus nanti bisa serak,
Tantri." Ni Ayu Tantri melompat ke pintu. Namun usahanya untuk melarikan diri sia-sia
saja karena untuk kedua kalinya pemuda KARYA
14 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
bangsawan itu berhasil mencekal lengannya dan mendorongnya kembali hingga
terbanting di atas tempat tidur jerami kering.
"Nama pemuda kekasihmu itu Nyoman Dwipa bukan?"
Tantri tak menjawab melainkan menangis dan berteriak-teriak.
"Dengar Tantri," berkata lagi Tjokorda Gde Djantra. "Hidup berumah tangga
bersamaku pasti kau akan bahagia dan tidak tersia-sia. Segala keperluan hidupmu
kujamin penuh."
"Aku tak perlu semua itu! Tutup mulutmu manusia keji! Keluarkan aku dari sini!"
"Kadang-kadang cinta itu memang membuat seorang menjadi buta dan tolol tak bisa
lagi berpikiran sehat. Kau hendak sia-siakan hidup masa depanmu di tangan
seorang pemuda desa yang tak punya apa-apa" Kau hendak sia-siakan kehidupanmu
yang masih panjang ini hanya karena kasih sayang gilamu ..."!"
"Diam!" jerit Ni Ayu Tantri.
"Kekasihku memang tak punya apa-apal Tapi itu adalah seribu kali lebih baik dari
pada kekejian yang kau lakukan ini!
Menculik gadis yang tidak sudi kawin dengan kau! Cis! Kau adalah pemuda
bangsawan yang paling rendah di atas dunia ini!"
"Sesudah kau kubawa kemari, sesudah kulakukan apa-apa atas dirimu, apakah masih
akan menolak nanti untuk kawin denganku?" tanya Tjokorda Gde Djantra pula dengan
seringai mengejek.
"Aku lebih baik bunuh diri dari pada kawin dengan kau!" jawab Ni Ayu Tantri
blak-blakan! "Tolol sekali mau mati muda begitu rupa," ejek Tjokorda Gde Djantra lalu
melangkah maju.
"Pergi!" teriak Tantri!
"Tantri, kau sudah dewasa. Kenapa bertingkah macam anak kecil" Dengar ... aku
tak akan melakukan apa-apa atas dirimu jika kau bersedia menerima lamaranku."
"Lebih baik aku kawin dengan setan dari pada dengan manusia macammu!" jawab
Tantri pula seraya mundur menjauhi pemuda itu.
Ucapan yang dilontarkan Ni Ayu Tantri adalah hinaan luar biasa yang tak pernah
diterima pemuda bangsawan itu selama hidupnya. Mukanya yang senantiasa pucat
pasi mendadak sontak menjadi kelam merah. Mulutnya terkatup rapat-rapat,
rahangnya bergemeletukan. Tiba-tiba laksana seekor harimau yang kelaparan pemuda
ini melompat ke muka. Kedua tangannya bergerak cepat. Ni Ayu Tantri Menjerit.
"Breet! Breet ...!"
Suara robekan pakaian terdengar beberapa kali berturut-turut. Pekik Tantri
mengumandang melengking tinggi.
Kemanapun gadis ini berusaha lari dia tak dapat menyelamatkan diri dari
keganasan sepasang tangan Tjokorda Gde Djantra yang merobek-robek pakaiannya
itu! Dalam waktu yang singkat boleh dikatakan gadis itu sudah seperti tak
berpakaian lagi.
Auratnya yang kuning langsat penuh kemulusan tersingkap di mana-mana, membuat
darah di tubuh Tjokorda Gde Djantra laksana mendidih!
KARYA 15 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
"Ini kemauanmu sendiri Tantri!" desisnys. "Aku telah memberi jalan baik-baik
padamu!" "Bunuh aku! Bunuh saja!" teriak Tantri. Suaranya sudah serak akibat menangis dan
menjerit terus-terusan.
Tjokorda Gde Djantra menyeringai macam setan muka putih. Sekali tangan kanannya
mendorong ke muka, Ni Ayu Tantri terpelanting dan jatuh di atas tempat tidur
jerami! "Terlalu gila kalau aku mau membunuhmu,Tantri!" kata pemuda itu dengan mata yang
bersinar-sinar penuh nafsu. Ni Ayu Tantri tahu apa yang bakal terjadi atas
dirinya. Cepat-cepat dia melompat tapi kembali tangan pemuda itu membuatnya
jatuh tertelentang di atas tumpukan jerami!
"Jika kau sudah tidak perawan lagi, kau tak akan bisa menolak kawin denganku,
Tantri?" Suara Tjokorda Gde Djantra lebih merupakan hembusan nafas panas penuh
nafsu dari pada ucapan sebenarnya yang sampai ke telinga Tantri. Gadis ini co-ba
menghantamkan salah satu lututnya ke perut si pemuda tapi Tjokorda Gde Djantra
telah menghimpitnya membuat gadis itu tak punya daya apa-apa lagi selain dari
pada menjerit parau dan merapatkan kedua pahanya sedapat mungkin! Namun sampai
dimanakah kekuatan seorang perempuan menghadapi manusia yang laksana sudah
berubah menjadi binatang buas!
Di luar pondok hujan rintik-riptik turun. Hembusan angin dingin dan sayu.
Keadaan alam ciptaan Tuhan di sekitar pondok itu laksana meratap menangisi apa
yang telah terjadi di dalam pondok.
Ni Ayu Tantri menggeletak di atas tumpukan jerami kering. Tubuhnya yang tak
tertutup selembar benang itu tiada bergerak-gerak. Sejak kebuasan menimpa
dirinya, gadis ini telah jatuh pingsan.
Di lantai pondok, di samping tumpukan jerami itu, terbaring Tjokorda Gde Djantra
dengan tubuh mandi keringat, hidung kembang kempis diburu nafas panas. Perlahanlahan diputarnya kepalanya ke arah Ni Ayu Tantri. Betapa bagusnya tubuh itu.
Betapa luar biasanya kenikmatan yang bisa didapatnya dari kebagusan tubuh itu.
Dengan apa yang telah diperbuatnya terhadap Ni Ayu Tantri, bagi Tjokorda Gde
Djantra jelas sudah bahwa baik Tantri sendiri maupun kedua orang tuanya tak
bakal bisa lagi menolak lamarannya tempo hari.
Memandangi tubuh itu, lama-lama menggejolak kembali rangsangan nafsu bejat di
sekujur tubuh Tjokorda Gde Djantra.
Ketika dia bangkit dengan pelahan dilihatnya tubuh itu bergerak sedikit. Sewaktu
dia berdiri, kedua mata Tantri membuka.
Telah sadar dia rupanya dari pingsannya. Dia bangun dengan cepat, memandang pada
tubuhnya sebentar lalu ketika sepasang matanya membentur Tjokorda Gde Djantra,
dari mulut Ni Ayu Tantri keluarlah pekik yang mengerikan! Tjokorda Gde Djantra
sendiri sampai berdiri bulu kuduknya mendengar pekik itu. Sementara dia masih
termanggu-manggu antara dipagut kengerian dan dirasuk oleh rangsangan yang
mengobari sekujur tubuhnya, tiba-tiba Ni Ayu Tantri melompat ke arah dinding
kayu jati. "Tantri! Jangan!!" teriak Tjokorda Gde Djantra menggeledek. Dia melompat dengan
sebat. Tapi nasib! Terlambat sudah!
Kepala Ni Ayu Tantri telah membentur dinding kayu jati itu dengan amat kerasnya.
Terdengar suara pecahnya batok kepala perempuan itu. Tubuhnya terkapar ke lantai
tanpa berkutik lagi. Meski bunuh diri bukanlah satu perbuatan baik, namun Ni Ayu
Tantri telah memperlihatkan bahwa baginya kehormatan dan kesucian diri adalah
jauh lebih berharga daripada jiwanya!
KARYA 16 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
5 DI daerah sekitar Denpasar, Gianyar dan Klungkung tiga rombongan yang masingmasing terdiri dari sepuluh orang telah menjelajah melakukan pencarian terhadap
Ni Ayu Tantri yang telah diculik itu. Rombongan pertama dipimpin oleh I
Krambangan menyelidik daerah sekitar Denpasar. Rombongan kedua dipimpin oleh
Nyoman Dwipa, kekasih Ni Ayu Tantri, menjelajahi daerah Gianyar dan sekitarnya.
Rombongan yang terakhir dipimpin oleh Kepala Keamanan Kota Klungkung yang
bernama I Gusti Wardana. Telah hampir satu minggu ketiga rombongan itu melakukan
penyelidikan namun sia-sia belaka. Pada hari ke delapan I Krambangan dengan
putus asa meninggalkan daerah luar kota Denpasar, kembali menuju ke Klungkung.
Dalam perjalanan pulang ini sengaja I Krambangan menempuh daerah sebelah timur
laut, menyusur rimba belantara dan kaki-kaki bukit. Udara panasnya bukan main
karena matahari bersinar dengan terik. Sewaktu melewati sebuah kaki bukit, I
Krambangan melihat kuda tunggangannya menggerak-gerakkan sepasang telinganya.
Mulutnya yang berbusah senantiasa tak bisa diam sedang cuping hidungnya
bergerak-gerak. I Krambangan tahu betul jika binatang itu berada dalam keadaan
seperti itu, ini merupakan suatu tanda bahwa dia tengah membaui air segar.
Mulanya I Krambangan tak mau perduli dengan binatang itu. Lebih cepat kembali ke
Klungkung adalah lebih baik baginya. Siapa tahu rombongan yang dipimpin oleh
Nyoman Dwipa atau I Gusti Wardana telah berhasil menemukan anak gadisnya.
"I Krambangan," tiba-tiba seorang anggota rombongan yang berada di samping I
Krambangan menegur. "Bagaimana kalau kita berhenti dulu untuk istirahat barang
beberapa ketika" Kalau aku tidak salah, di sebelah sana terdapat sebuah telaga
berair jernih . . . "
Atas ajakan ini akhirnya I Krambangan membawa rombongan ke arah telaga yang
dikatakan anggota rombongan tadi.
Semakin dekat ke arah telaga, sesuatu bau yang tidak enak semakin santar
menyambar hidung setiap anggota rombongan.
"Adakah kalian membaui sesuatu?" tanya I Krambangan.
"Ya. Bau busuk apa ini!" jawab seorang di belakangnya sambil memandang
berkeliling. Akhirnya rombongan itu sampai di tepi telaga.
"Hai lihat!" seru seorang di antara mereka. "Ada pondok di tepi telaga sana!"
Memang benar di seberang telaga kelihatan sebuah pondok kayu. Dan dari pondok
inilah agaknya santar sekali menyambarnya bau busuk itu. I Krambangan
mengernyitkan keningnya. Tiba-tiba selintas pikiran timbul di benak orang tua
ini. Dadanya berdebar. Disentakkannya tali kekang kudanya. I Krambangan memacu
binatang itu memutari telaga hingga akhirnya sampai di depan pondok. Laki-laki
ini melompat turun dari kudanya dan lari ke pintu pondok. Pintu itu tidak
dikunci. Ketika didorong segera terpentang lebar dengan menimbulkan suara
berkeret yang membuat suasana tambah ngeri KARYA
17 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
terasanya oleh I Krambangan. Begitu pintu terbuka bau busuk menerpa hidung
menyesakkan pernafasan laki-laki itu. Sambil menutup hidung I Krambangan masuk
ke dalam dan langkahnya terpaku ke lantai pondok sewaktu matanya membentur
sesosok tubuh perempuan yang menggeletak di atas lantai.
Hanya seketika I Krambangan terpaku ke lantai laksana patung. Bila ditelitinya
paras yang rusak itu terpekiklah dia!
"Dewa Agung!"
I Krambangan melompat dan berlutut di samping sosok tubuh itu. Beberapa orang
anggota rombongan kemudian memasuki pula pondok kecil itu dan semua mereka
terkesiap ngeri melihat pemandangan di depan mata mereka!
Sosok tubuh yang terhampar di lantai pondok bukan lain adalah sosok tubuh Ni Ayu
Tantri yang telah jadi mayat. Selain tak selembar benangpun yang menutupi
auratnya, tubuh itupun sangat rusak, sudah membusuk bahkan di beberapa bagian


Wiro Sableng 012 Pembalasan Nyoman Dwipa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah ada yang dimakani ulat! Parasnya yang cantik jelita kini hanya merupakan
satu benda yang mengerikan untuk dipandang.
Keningnya pecah. Seluruh mukanya yang tertutup darah kental beku itu sebagiannya
telah busuk. Mata kiri kanan tempat bersarangnya belatung-belatung yang berjalan
kian kemari! "Dewa Agung?" rintih I Krambangan yang menundukkan kepala dan mencucurkan air
mata karena tak sanggup menyaksikan keadaan anak gadisnya, "dosa apakah yang aku
buat, kesalahan apakah yang dilakukan anakku hingga mengalami nasib begini
rupa . . ?"
Rintih atau jeritan hati itu tentu saja tidak mendapatkan jawaban. Sebaliknya di
lubuk hati I Krambangan seolah-olah muncul sebuah titik merah yang makin lama
makin besar, makin besar ... makin besar dan akhirnya berubah menjadi satu
kobaran api yang membakar hati dan mendidihkan darah di sekujur tubuhnya!
Kemarahan yang menyelimuti dirinya membuat tubuh laki-laki itu bergetar hebat!
Rahang-rahangnya terkatup. Geraham-gerahamnya mengeluarkan suara bergemeletukan.
Tiba-tiba berteriaklah I Krambangan laksana geledek dahsyatnya, membuat semua
orang yang ada di situ menjadi kaget sekali.
"Tjokorda Gde Anyer! Ini semua gara-garamu! Ini pasti anakmu yang punya
perbuatan! Demi Dewa Agung aku bersumpah untuk membunuh seluruh keluargamu! Akan
kuhirup darah anakmu yang jahanam itu!"
Bersarnaan dengan berakhirnya teriakan itu, di luar pondok udara tiba-tiba
menjadi gelap. Langit mendung. Angin menderu keras. Guntur menggelegar, kilat
menyambar dan hujan lebatpun_ turunlah! Keadaan seperti itu seolah-olah delapan
penjuru jagat dan Dewa-dewa di Kahyangan telah mendengar teriak sumpah I
Krambangan tadi!
*** Saat itu memang musim hujan. Dalam keadaan basah kuyup I Krambangan memasuki
Denpasar. Di belakangnya kelihatan empat orang laki-laki memacu kuda masingmasing. Sejak dari Klungkung keempat laki-laki itu telah coba menjernihkan hati
serta pikiran I Krambangan yaitu agar laki-laki itu mencari penyelesaian menurut
jalan wajar. Mereka telah KARYA
18 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
menasihatkan agar perkara tersebut diserahkan saja pada Kepala Keamanan Kota
Klungkung yaitu I Gusti Wardana yang sampai saat itu belum kembali dalam
memimpin rombongan mencari Ni Ayu Tantri. Tapi dalam keadaan kalap, dalam
keadaan darah mendidih amarah bergejolak mana mungkin untuk memberi nasihat pada
I Krambangan yang sudah seperti manusia kemasukan setan itu!
Sambil menyisipkan sebilah keris pusaka almarhum kakeknya I Krambangan berkata
pada tetangga-tetangga yang ada di hadapannya, "Nyawa dan kehormatan anak
gadisku harus dibayar oleh seluruh keluarga Tjokorda Gde Anyer keparat itu! Aku
belum puas kalau tidak dapat menghirup darah anaknya yang durjana! Kalian tak
usah ikut campur! Ini adalah urusan pribadiku!"
Semua orang segera maklum pasti akan terjadi peristiwa besar. Maka untuk
berusaha agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tak diinginkan itu, empat orang
tetangga telah berangkat pula sengaja mengikuti I Krambangan ke Denpasar.
Pintu gerbang besar rumah gedung Tjokorda Gde Anyer terkunci. Tanpa turun dari
kudanya I Krambangan menggedor pintu itu. Tak berapa lama kemudian pintu
besarpun terbuka. Seorang pelayan laki-laki memunculkan kepalanya.
"Bangsat yang bernama Tjokorda Gde Anyer dan anaknya yang bernama keparat
Tjokorda Gde Djantra itu ada di dalam"!" bentak I Krambangan.
Bentakan itu mungkin tak membuat si pelayan kaget. Tapi ucapan I Krambanganlah
yang menjadi terkejut. Pelayan ini ingat pada pesan majikannya, maka diapun
berkata, "Sayang sekali, majikanku dan keluarganya pagi tadi telah berangkat ke Tabanan.
Beliau berpesan kalau ada tamu agar kembali saja minggu depan."
"Hem . . . begitu pesannya?" ujar I Krambangan.
Pelayan itu menganggukkan kepalanya. Justru saat itu I Krambangan menggerakkan
kaki kanannya, menendang dengan sekuat tenaga ke arah kepala pelayan itu.
Didahului oleh satu jeritan kesakitan yang luar biasa, si pelayan terpelanting
dan roboh tak sadarkan diri lagi! Dengan kaki kirinya I Krambangan menendang
pintu hingga pintu itu terpentang lebar.
Di depan tangga langkan gedung kediaman Tjokorda Gde Anyer, laki-laki ini
melompat turun. Empat orang laki-laki lainnya melakukan hal yang sama dan
berdiri di belakang I Krambangan. Setelah memandang berkeliling dengan mata yang
merah laksana dikobari nyala api, maka berteriaklah I Krambangan.
"Anjing busuk yang bernama Tjokorda Gde Anyer keluarlah untuk menerima mampus!"
Tak ada jawaban I Krambangan berteriak lagi, lagi dan lagi sampai berulangulang! Sewaktu masih tetap tak ada jawaban maka menggelegaklah kemarahan lakilaki ini. Kakinya bergerak! Pot bunga buatan Cina yang besar dan terletak di
langkan itu pecah berantakan dengan mengeluarkan suara berisik. Apapun perabotan
yang ada di ruangan muka itu hancur musnah dirusak I Krambangan sementara empat
orang kawannya tak bisa berbuat apa-apa, apalagi melarang. Mereka hanya
memperhatikan saja dengan hati cemas.
KARYA 19 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
Satu-satunya benda yang masih utuh di ruang depan gedung mewah itu ialah lampu
minyak besar yang tergantung di langit-langit. I Krambangan mengambil sebuah
kursi yang telah patah-patah dan melemparkan ke arah lampu! Tak ampun lampu itu
pecah berantakan, minyaknya tumpah ke lantai! Dan pada saat itu pulalah pintu di
sudut kanan terbuka. Seseorang memunculkan diri.
Kemunculan orang ini disambut oleh dampratan I Krambangan, "Tikus kotor Made
Trisna! Mana majikanmu si anjing Tjokorda Gde Anyer itu"!"
Paras Made Trisna berubah. Matanya memandang tajam-tajam lalu katanya dengan
suara lunak, "Sahabatku, I Krambangan."
"Tikus kotor! Berlalu dari hadapanku, lekas panggil kau punya majikan kalau
tidak ingin mampus! "
"Apa-apaan ini sebenarnya I Krambangan" Tak ada pasal lantaran kenapa kau
mengamuk di rumah orang ... "!"
"Keparat laknat! Anakku diculik! Dirusak kehormatannya lalu dibunuh oleh anjing
kurap bernama Tjokorda Gde Djantra! Dan kau masih bisa bilang tak ada pasal tak
ada lantaran...!"
" Krambangan, kau jangan menuduh yang bukan-bukan!"
"Manusia bedebah! Kau cukup pantas untuk mampus lebih dulu!" teriak I
Krambangan. Sambil melompat ke muka keris pusaka di pinggangnya dicabut. Sesaat
kemudian secarik sinar putih menderul Itulah satu tusukan cepat yang dilancarkan
oleh I Krambangan dengan keris peraknya ke arah leher Made Trisna!
Melihat orang benar-benar meminta nyawanya, Made Trisna cepat-cepat melompat.
Serangannya yang mengenai tempat kosong membuat I Krambangan jadi tambah gelap.
Cepat laksana kilat dia membalik. Sewaktu I Krambangan hendak melancarkan
serangan maut untuk kedua kalinya, maka menggemalah satu teriakan lantang,
"Tahan!"
I Krambangan hentikan serangannya dan berpaling dengan cepat.
"Anjing busuk! Akhirnya kau keluar juga dari persembunyianmu!" seru I
Krambangan. Paras Tjokorda Gde Anjer mengelam. "I Krambangan!" katanya menegur, "Apa yang
kau perbuat di sini benar-benar membuat aku terkejut!"
I Krambangan mendengus keras.
"Apakah hati anjingmu juga terkejut sewaktu mengetahui anakmu telah menculik dan
merusak kehormatan Tantri dan membuhuhnya"!"
"A ... apa"!" seru Tjokorda Gde Anyer terkejut. Dan ini adalah satu kepurapuraan. Sesungguhnya dari Made Trisna dia telah tahu apa yang terjadi atas diri
Tantri. "Anjing! Kau tak perlu berpura-pura! Kalau kau tidak takut atas tanggung jawab
yang harus kau pikul perlu apa kau memberikan pesan dusta pada pelayanmu yang
terkapar di luar sana"!"
KARYA 20 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
"Aku sedang tak enak badan. Sebab itu kuberikan pesan begitu rupa pada pe ..."
"Sudahlah! Dihadapanku kau tak perlu bicara berpanjang lebar! Bicaralah nanti di
liang kubur!"
Habis berkata demikian I Krambangan melompat dan keris perak untuk kesekian
kalinya berkiblat mencari maut!
"I Krambangan! Lebih baik kita bicara dengan tenang dulu!" seru Tjokorda Gde
Anyer. "Aku sudah bilang bicaralah nanti di liang kubur!" jawab I Krambangan dan
serangannya makin ganas. Di serang bertubi-tubi begitu rupa Tjokorda Gde Anyer
tak bisa berdiam diri saja. Bangsawan kaya raya ini segera mencabut sebilah
keris bereluk dua belas dari pinggangnya. Maka sesaat kemudian terjadilah
pertempuran yang seru! Baik Made Trisna maupun keempat kawan I Krambangan tak
bisa mencegah atau menghentikan pertempuran itu. Akhirnya mereka cuma
memperhatikan jalannya pertempuran dengan hati penuh kekawatiran. Pertempuran
yang hebat itu sudah dapat dipastikan akan meminta salah satu korban jiwa!
Bagaimanapun hebatnya serangan-serangan Krambangan pada jurus-jurus permulaan
pertempuran itu namun sudah dapat dipastikan bahwa Tjokorda Gde Anyer bukanlah
tandingannya. Bangsawan ini sewaktu terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan Bali
sekitar dua puluh tahun yang lalu adalah seorang perwira Kerajaan yang memiliki
kepandaian tinggi. Berkat bantuannya dan beberapa perwira lainlah kaum
pemberontak berhasil ditumpas, takhta kerajaan berhasil diselamatkan. I
Krambangan sendiri sewaktu pertumpahan darah itu terjadi hanya memegang jabatan
sebagai Kepala Prajurit Kerajaan, hingga dengan sendirinya dari kedudukan atau
pangkat itu sudah dapat ditaksir ketinggian tingkat ilmu silat masing-masing.
Lima jurus berlalu. Serangan-serangan I Krambangan yang laksana hujan mencurah
itu mulai ditanan dan dibendung oleh keris bereluk dua belas di tangan Tjokorda
Gde Anver vang nyatanya bukanlah keris sembarangan pula! Dengan senjata itulah
dulu kabarnya Tjokorda Gde Anyer menyelamatkan Kerajaan Bali!
Pada jurus kesembilan, dalam satu serangan yang sangat kalap dan membahayakan
dirinya sendiri, I Krambangan berhasil melukai bahu kiri lawannya Tjokorda Gde
Anyer jadi naik pitam. Kalau tadi dia cuma bertahan dan menunggu kesempatan
untuk merampas senjata lawan maka kini diapun tak mau main-main lagi. Keris
ditangannya diputar demikian rupa, gerakan-gerakannya berubah dan dalam satu
jurus saja I Krambangan menjadi dibikin sibuk! Berada dalam keadaan terdesak
bukan membuat I Krambangan menjadi cemas sebaliknya makin naik darah. Dia sudah
bertekad bulat untuk membunuh lawannya itu meskipun apapun yang terjadi. Maka
diapun mengeluarkan segala kepandaian yang ada.
Memasuki jurus keduapuluh sembilan I Krambangan benar-benar kalang kabut.
Delapan kali saling benturan senjata dengan lawan telah membuat telapak
tangannya pedas dan sakit. Melihat pada keadaannya dalam satu dua jurus di muka
atau paling lama tiga jurus lagi, laki-laki ini akan menemui kekalahannya!
"I Krambangan, kalau kau menyerah dengan baik-baik, aku bersedia untuk tidak
memperpanjang urusan!" berseru Tjokorda Gde Anyer.
"Seluruh keluargamu mampus dulu di tanganku baru aku mau menyerah pada mayatmayat busuk kalianl" jawab I KARYA
21 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
Krambangan. Tjokorda Gde Anyer jadi penasaran sekali. Didahului oleh satu bentakan
menggeledek dia membuka jurus ketiga puluh dengan satu serangan yang hebat.
Serangan ini dinamakan lengan dewa merangkul awan." Mula-mula kerisnya kelihatan
menusuk tajam ke arah batok kepala lawan. Ketika lawan menangkis, mendadak
lengannya bergerak menghantem ke leher dalam kecepatan yang luar biasa dan sukar
diduga. Mana diduga kalau serangan senjata yang dilancarkan oleh tangan kanan,
bisa berubah dengan satu pukulan tangan kosong yang lihay!
I Krambangan tau bahwa dia tak punya daya untuk menangkis, tak punya kesempatan
untuk mengelak. Karenanya dengan untung-untungan laki-laki ini tusukkan kerisnya
ke dada lawan. Tapi posisi Tjokorda Gde Anyer terlalu jauh untuk dicapai oleh
tusukan itu! Bahkan baru saja tusukan meluncur setengah jalan, lengan kanan
Tjokorda Gde Anyer membabat deras dan "krak"! Patahlah batang leher I
Krambangan! Sebelum tubuhnya mencium lantai langkan, nyawanya sudah lepas!
Kalau tadi keempat orang kawan-kawan I Krambangan hanya berdiam diri menyaksikan
pertempuran itu dengan kawatir, kini bagaimanapun juga rasa setia kawan membuat
mereka menjadi marah sewaktu melihat I Krambangan menggeletak di lantai tanpa
nyawa, Tanpa menunggu lebih lama keempatnya menghunus keris dan menyerbu!
Made Trisna tidak tinggal diam pula. Maka kini pecahlah pertempuran empat lawan
dua yang teramat seru tapi yang juga berjalan duabelas jurus. Satu demi satu
keempat orang itu roboh mandi darah dan mati!
KARYA 22 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
6 DALAM melarikan kuda hitamnya laksana diburu setan itu, masih terbayang di
pelupuk matanya upacara pembakaran jenazah Ni Ayu Tantri. Masih terbayang
olehnya upacara pembakaran jenazah I Krambangan. Lalu terbayang olehnya upacara
pembakaran jenazah I Krambangan. Lalu terbayang pula bagaimana Ni Warda, istri I
Krambangan dengan segala ketabahan dan keberanian yang luar biasa mencebur masuk
ke dalam gejolak api di mana jenazah suaminya dibakar!
Berhenti di puncak bukit itu dikeluarkannya sebuah kotak kayu jati yang berukirukir dari balik pakaiannya. Sebelum abu pembakaran jenazah Tantri dibuang
kelaut, pemuda ini telah memisahkan sebagian abu suci itu dan menyimpannya di
dalam kotak yang indah itu. Diciumnya kotak itu dan dibisikkannya kata, "Tantri,
aku bersumpah untuk membalas sakit hatimu dan keluargamu! Bila manusia-manusia
keji itu berhasil kutumpas, akupun rela untuk menyusulmu!"
Perlahan-lahan dimasukkannya kotak itu ke balik pakaiannya kembali. Ketika tali
kekang kuda hitam hendak disentakkannya, matanya melihat seorang penunggang kuda
keluar dari hutan, memasuki jalan kecil di kaki bukit lalu memacu kudanya ke
arah timur. Entah karena apa timbul kesyakwasangkaan di hati pemuda di atas
puncak bukit terhadap penunggang kuda di bawah sana. Dia memandang ke timur.
Jika dia bergerak cepat, sekurang-kurangnya dia akan berhasil menyusul orang itu
dan menunggunya di tikungan dekat jurang di sebelah timur sana! Setelah
mempertimbangkan sebentar niatnya itu akhirnya diletakkannya tali kekang dan
larilah kudanya menuju ke timur.
Kira-kira setengah jam kemudian pemuda berkuda hitam itu sudah berada di
tikungan jalan. Tikungan itu selain patah tajam juga berbahaya karena di sebelah
kirinya terdapat jurang batu yang sangat dalam. Di balik sebuah tebing batu di
tepi kanan jalan pemuda ini menunggu dengan sabar sampai penunggang kuda yang
tadi dilihatnya lalu.
Kira-kira lewat sepeminum teh telinga pemuda ini mulai menangkap suara derap
kaki-kaki kuda di kejauhan. Makin lama suara itu makin jelas dan keras tanda
kuda dan penunggangnya sudah tambah dekat. Ketika orang yang dihadangnya itu
tinggal beberapa tombak saja, pemuda berkuda hitam keluar dari balik tebing
batu. Orang yang dihadang, seorang pemuda berpakaian bagus, mula-mula tidak menaruh
curiga akan kemunculan seorang penunggang kuda di hadapannya. Jalan yang
ditempuhnya satu-satu jalan yang menghubungkan Denpasar jengan daerah luar kota.
Jadi adalah biasa saja kalau berpapasan dengan orang lain. Namun sewaktu melihat
pemuda berkuda hitam itu sengaja berhenti di tengah jalan maka syak wasangkalah
hatinya. Pemuda berpakaian bagus itu menghentikan kudanya dalam jarak lima belas
langkah. Keduanya saling pandang sejurus. Pemuda yang berpakaian bagus akhirnya membuka
mulut, "Saudara, harap kau suka memberi jalan."
Orang yang diajak bicara masih memandang tajam-tajam.
KARYA 23 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
"Saudara! Apa kau tak dengar orang minta jalan!" ujar pemuda berpakaian bagus,
berbadan tinggi kurus dan berwajah pucat pasi. Suaranya mulai keras tanda gusar.
"Jalan ini bukan milikku! Silahkan lewat!" kata pemuda berkuda hitam tapi dia
sama sekali tidak menepikan kuda tunggangannya!
Melihat ini pemuda berpakaian bagus jadi penasaran dan membentak: "Siapa kau"
Apa maksudmu menghadang perjalanan orang!!"
Satu seringai tersungging di mulut pemuda berkuda hitam. "Akui terus terang
manusia muka pucat! Kau tentu bangsatnya yang bernama Tjokorda Gde Djantra dari


Wiro Sableng 012 Pembalasan Nyoman Dwipa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Denpasar!"
Ucapan ini membuat pemuda berpakaian bagus menjadi kaget. Nalurinya
memperingatkan agar mulai detik itu dia harus berhati-hati karena memang dia
adalah Tjokorda Gde Djantra!
"Katakan dulu kau siapa, baru aku menerangkan tentang diriku!"
Sebagai jawaban pemuda berkuda hitam mencabut sebilah keris bereluk tujuh
berwarna coklat tua. Sinar matahari yang terik membuat senjata ini berkilau
memancarkan sinar kehitaman!
"Silahkan cabut keris di pinggangmu! Aku yakin kau adalah manusia keji yang
bernama Tjokorda Gde Djantra. Aku Nyoman Dwipa kekasih Ni Ayu Tantri! Kau harus
serahkan jiwamu saat ini juga sebagai pertanggungan jawab atas apa yang telah
kau lakukan terhadap gadisku! Juga atas apa yang telah dialami oleh I Krambangan
serta empat orang kawan-kawannya!"
Kejut Tjokorda Gde Djantra bukan alang kepalang. Tapi dia tidak gentar. Dia
tertawa gelak-gelak kemudian berkata, "Jadi ini tampang manusia yang mengaku
kekasih Ni Ayu Tantri" Ha . . . ha ... ha! Tampangmu boleh juga sobat! Tapi
kalau kau punya rencana untuk membunuhku, kau harus berpikir tiga kali sebelum
melakukannyal Apakah kau punya kepandaian yang bisa diandalkan" Hidungku
membauimu masih bau pupuk! Sebaiknya pulang saja kembali ke desamu, cuci kaki
dan tidur! Kalau tidak pasti terlambat sobat!" Dan Tjokorda Gde Djantra tertawa lagi
terbahak-bahak!
Nyoman Dwipa kertakkan rahang-rahangnya dan majukan kudanya beberapa langkah.
"Tertawalah sepuasmu manusia keji. Kalau kau sudah mampus hanya setan iblislah
yang akan tertawa menyambutmu di liang kubur!"
Tjokorda Gde Djantra mendengus lalu berkata,
"Aku yakin tentu kau berpikir bahwa akulah yang telah menculik dan membunuh
kekasihmu itul Semua orang berpikir begitu! Alangkah tololnya! Sungguh kurang
ajar sekali menuduh orang lain berbuat jahat tanpa punya bukti-bukti kuat dan
nyata!" "Pemuda keji! Lamaranmu ditolak! Adalah cukup alasan bagimu untuk menculik Ni
Ayu Tantri!"
Tjokorda Gda Djantra kembali mendengus dan menjawab,
"Kau kira cuma gadis itu saja yang ada di pulau Bali ini" Sepuluh gadis-gadis
lebih cantik bisa kuambil sekaligus untuk KARYA
24 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
jadi istriku, perlu apa aku sampai menculik perempuan tak berguna dan hina dina
itu!" "Jadi kau tidak mau mengaku bahwa kau manusia biang racun yang telah melakukan
kejahatan kotor terkutuk itu!"
"Aku katakan padamu sobat! Jangan menuduh sembarangan!" bentak Tjokorda Gde
Djantra. Nyoman Dwipa menggerakkan tangan kirinya ke saku pakaian. Ketika tangan itu
keluar lagi kelihatan memegang sebuah benda bundar yang ternyata adalah sebuah
kancing baju yang terbuat dari perak.
"Manusia laknat pengecutl Kancing baju ini ditemukan di pondok di tepi telaga.
Kancing ini sama bentuknya dengan kancing pakaian yang kau kenakan saat ini!
Apakah mulut busukmu masih mau mungkir!'
Tjokorda Gde Djantra terdiam. Kancing perak itu memang kancing pakaiannya yang
telah direnggut putus oleh Ni Ayu Tantri sewaktu dia hendak merusak kehormatan
gadis itu! "Kau terdiam dan tampangmu tambah pucatl Sekarang bersiaplah untuk mampus!"
teriak Nyoman Dwipa. Tali kekang disentakkannya. Kuda melompat ke muka dan keris
berluk tujuh di tangan kanannya berkelebat dengan ganas, mengirimkan satu
tusukan ke arah dada kanan Tjokorda Gde Djantra!
"Trang!!!"
Terdengar suara beradunya senjata sewaktu Tjokorda Gde Djantra menangkis
serangan lawan dengan keris Bradjaloka bereluk tujuh belas. Bunga api memercik.
Di atas punggung kudanya Nyoman Dwipa terkejut bukan main! Daya tangkis lawan
kuat luar biasa hingga bukan saja tangan kanannya tergetar hebat tapi
tubuhnyapun terhuyung-huyung. Kalau saja tangan kirinya tidak berpegang pada
tali kekang kuda mungkin sekali dia terpelanting jatuh! Dan yang lebih
mengejutkan serta membuat pemuda ini mengeluh dalam hati ialah sewaktu melihat
bagaimana bagian yang tajam dari kerisnya yang cuma bereluk tujuh telah gompal
dihantam keris lawan dalam bentrokan senjata tadi!
Mengetahui sampai dimana tingkat kepandaian lawan maka tertawalah Tjokorda Gde
Djantra berkakakan seraya melontarkan ejekan,
"Manusia yang ilmunya cuma sedangkal comberan hendak jual lagak besar di
hadapanku!"
"Iblis bermuka manusia pucat!" jawab Nyoman Dwipa, "percuma aku menghadangmu
kalau tidak dapat mencincang seluruh tubuhmu!"
Tjokorda Gde Djantra ganda tertawa. Dia hendak menangkis lagi sewaktu Nyoman
untuk kedua kalinya melancarkan serangan dari depan. Tapi kali ini dia tertipu.
Serangan lawannya hanya pancingan belaka. Begitu Tjokorda Gde Djantra
menggerakkan tangan untuk menangkis, keris di tangan Nyoman Dwipa berkelebat
turun dan membabat ke arah perut!
"Keparat!" maki Tjokorda Gde Djantra. Disentakkannya tali kekang kudanya hingga
binatang itu melompat ke depan dan dengari memiringkan tubuhnya pemuda ini
berhasil mengelakkan sambaran keris lawannya. Namun Nyoman Dwipa rupanya tidak
kepalang tanggung. Dengan amat cepat pemuda ini susulkan satu tendangan kaki
kanan! Masih untung Tjokorda Gde Djantra sempat berkelit. Tapi kuda tunggangannya
bernasib sial. Tendangan Nyoman Dwipa KARYA
25 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
mendarat tepat di leher binatang itu. Kuda ini meringkik keras, mengangkat kedua
kaki depannya tinggi-tinggi ke atas dan membuat penunggangnya terpelanting jatuh
ke tanah! Tjokorda Gde Djantra seorang pemuda turunan bangsawan yang telah menuntut ilmu
silat dan kebatinan serta kesaktian pada seorang sakti di puncak Gunung Agung
bernama Sorablungbung. Di pulau Bali pada masa itu terdapat tiga orang tokoh
silat kawakan yang sangat tinggi ilmu silat dan kesaktiannya. Salah seorang di
antaranya ialah Sorablungbung, kemudian Walalang Tjarda yang diam di Danau
Batur. Karena dia sering mengembara maka jarang sekali dia berada di Danau
tersebut. Tokoh silat ketiga bernama Menak Putuwengi. Sejak sepuluh tahun belakangan ini
dua persilatan di Pulau Bali tidak mengetahui ke mana perginya Menak Putuwengi
karena tokoh silat yang berumur 70 tahun ini lenyap begitu saja dari dunia
persilatan, entah mengundurkan diri entah telah menemui ajalnya. Di antara
ketiga tokoh silat itu Menak Putuwengilah yang paling tinggi ilmu kepandaiannya.
Senjatanya segala benda apa saja yang berbentuk tongkat, baik beberapa helai
lidi atau daun bambu ataupun ranting kering atau besi, bila berada di tangannya
pasti akan menjadi senjata yang dahsyat. Karena itulah Menak Putuwengi mendapat
julukan Raja Tongkat Empat Penjuru Angin. Pernah sekitar lima belas tahun yang
lalu ketiga tokoh itu bertemu di puncak Gunung Tabanan untuk mengadakan
pertandingan persahabatan, menguji ilmu kepandaian masing-masing. Dalam
pertandingan yang sangat hebat dan dihadiri oleh tokoh-tokoh silat di Pulau Bali
maka Menak Putuwengi keluar sebagai jago nomer satu setelah berturut-turut
mengalahkan Sorablungbung dan Walalang Tjarda. Setelah lima belas tahun berlalu
tak dapat lagi dipastikan siapa sesungguhnya yang lebih hebat karena di samping
ketiga orang tokoh itu tak pernah lagi mengadakan pertandingan juga kabarnya
Sorablungbung serta Walalang Tjarda telah memperdalam ilmu masingmasing hingga
mencapai tingkat yang sangat tinggi. Sebaliknya Manak Putuwengi lenyap begitu
saja tak diketahui kemana perginya!
Sebagai salah seorang murid Sorablungbung yang pernah digembleng selama empat
tahun, dengan sendirinya Tjokorda Gde Djantra memiliki kepandaian yang tinggi.
Dan dibandingkan dengan Nyoman Dwipa yang cuma berguru pada seorang pertapa yang
tingkat kepandaiannya jauh berada di bawah Sorablungbung dengan sendirinya
Nyoman Dwipa bukan apa-apa bagi Tjokorda Gde Djantra. Tapi karena kurang hatihati meski tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi Tjokorda Gde Djantra kena
juga dihantam lawan meski kudanya yang menjadi korban!
Tjokorda Gde Djantra terpelanting ke tanah tapi berkat ilmu meringankan tubuhnya
yang tinggi dia jatuh dengan kaki lebih dulu dan tetap berdiri. Kemarahan
membuat darahnya seperti mendidih.
"Setan alas! Kematianmu tak dapat ditawar-tawar lagi!"
Tjokorda Gde Djantra melompat ke muka, tangan kiri kanam berkelebat cepat dalam
satu jurus yang hebat! Nyoman Dwipa terkejut ketika melihat bagaimana kecepatan
gerak lawannya membuat tubuh Tjokorda Gde Djantra laksana lenyap. Dia cuma
merasakan sambaran angin yang deras dari kiri kanan maka cepat-cepat pemuda ini
melompat turun dari kudanya.
"Breet!"
KARYA 26 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
"Buuk!"
Dua suara itu terdengar hampir bersamaan. Yang pertama suara robeknya pakaian
Nyoman Dwipa di sambar ujung keris Brajaloka sedang suara kedua ialah suara
pukulan dahsyat yang menghantam kepala kuda hitam milik Nyoman Dwipa.
Binatang ini rubuh dengan kepala pecah, melejang-lejang beberapa ketika lalu tak
bergerak lagi! "Kudamu sudah duluan, Nyoman Dwipa! Dia akan menunggumu untuk membawa tuannya ke
neraka!" ejek Tjokorda Gde Djantra!
Sebenarnya sejak bentrokan senjata pertama kali tadi Nyoman Dwipa telah
memaklumi bahwa tingkat kepandaian ilmu silat dan tenaga dalam Tjokorda Gde
Djantra bukanlah lawannya. Tapi untuk membatalkan niatnya menuntut balas tentu
saja pemuda itu tidak sudi! Lebih baik mati secara jantan dari pada lari atau menyerah secara pengecut!
Dengan mengeluarkan bentakan yang keras Tjokorda Gde Djantra berkelebat ganas.
Seperti tadi kedua tangannya bergerak cepat. Nyoman Dwipa bertahan mati-matian.
Dalam jurus itu dia berhasil mengelakkan seluruh serangan lawan namun pada jurus
berikutnya, satu sampokan yang bertenaga besar sekali membuat dia tak dapat lagi
mempertahankan kerisnya! Senjata itu terlepas mental dihantam senjata lawan!
Sambil tertawa gelak-gelak dan sambil melangkah mendekati Nyoman Dwipa yang
kepepet ke tepi jurang, Tjokorda Gde Djantra berkata, "Kau akan segera mampus
sobat! Dan kau tahu ..." Betapa mengerikannya kematian itu! Kau lihat keris
Brajaloka yang terbuat dari emas di tanganku ini" He ... he..! Sebentar lagi
sobat! Beberapa detik lagi kau akan segera pergi ke neraka! Ke neraka! Ha . . Ha
. . ha ...!"
Tjokorda Gde Djantra mengangkat tangan kanannya yang memegang keris tinggitinggi sementara dalam keadaan kepepet ke tepi jurang itu Nyoman Dwipa berusaha
mencari jalan agar dapat menyelamatkan diri! Kalau lawan menyerang dia sudah
nekat untuk menyerbu ke muka dengan tangan kosong, menarik tubuh Tjokorda Gde
Djantra dan sama-sama menghambur masuk jurang! Itu adalah cara yang paling baik
menurut Nyoman Dwipa asal saja dia benar-benar bisa melakukannya!
Jarak kedua orang itu semakin pendek dan kini cuma tinggal empat langkah saja
lagi. Antara Nyoman dengan tepi jurang di tikungan jalan itu hanya satu setengah
langkah saja. Nyoman Dwipa memutuskan untuk tidak mundur lebih jauh. Dia
menunggu dengan kedua tangan terpentang dan mata memandang tajam-tajam ke muka,
menunggu kesempatan yang ada!
Mendadak Tjokorda Gde Djantra hentikan langkahnya dan kembali dia tertawa gelakgelak. Bila suara tertawa itu dihentikannya maka berkatalah dia, "Tidak! Aku tak
akan membunuhmu dengan keris ini! Kau harus mati dalam kengerian yang luar biasa
sobat! He ... he ... he, pernahkah kau memikirkan bagaimana ngerinya bila jatuh
ke dalam jurang di belakangmu itu" Kematian menunggumu di batu-batu cadas di
bawah sana, tapi selagi tubuhmu melayang menuju detik-detik kemampusan itu kau
akan dikungkung kengerian yang luar biasa!"
Nyoman Dwipa menggeram mendengar ucapan dan maksud Tjokorda Gde Djantra yang
ganas itu. Dia tak bisa menunggu lebih lama! Saat itu juga dia harus bertindak!
Harus menyerbu merangkul tubuh lawannya walau apapun yang KARYA
27 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
terjadi! Maka tanpa menunggu lebih lama Nyoman Dwipa segera melompat ke hadapan
lawannya. Tjokorda Gde Djantra mendengus. Dengan seringai maut tersungging di mulutnya
pemuda ini memukulkan tangan kirinya ke depan!
Nyoman Dwipa merasakan satu sambaran angin yang laksana badai hebatnya!
Bagaimanapun dia berusaha untuk tidak tersapu angin dahsyat itu tapi sia-sia
belaka! Tubuhnya mencelat mental sampai enam tombak untuk kemudian jatuh ke
dalam jurang diiringi suara kumandang tertawa Tjokorda Gde Djantra.
KARYA 28 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
7 DALAM tubuhnya melayang jatuh ke jurang batu itu Nyoman Dwipa pada mulanya
memang merasa ngeri sekali! Siapa yang tak akan ngeri menemui ajal apalagi
mengetahui bahwa ajalnya akan sampai begitu tubuhnya menghantam batu-batu cadas
besar di dasar jurang! Namun bila dia ingat bahwa kematian yang bakal
dihadapinya itu adalah kematian secara jantan, ditabahkannya hatinya. Dia
percaya pula bahwa rohnya akan berjumpa di alam akhirat dengan roh Ni Ayu
Tantri. Kalau di dunia mereka tak punya kesempatan untuk hidup berdampingan,
moga-moga di alam akhirat hal itu akan kesampaian.
Makin jauh ke bawah makin cepat jatuhnya tubuh pemuda itu. Di atas jurang masih
mengumandang suara tertawa Tjokorda Gde Djantra. Betapapun tabahnya hati Nyoman
Dwipa namun ketika sekilas matanya memandang ke bawah jurang, pada batu-batu
besar yang cuma tinggal beberapa tombak lagi untuk menghancurkan kepala dan
tulang-tulang ditubuhnya, Nyoman Dwipa jatuh pingsan!
Tapi dalam kehidupan ini kerap kali kita dihadapkan pada kenyataan-kenyataan
bahwa sebelum ajal berpantang mati. Hal itu pulalah yang terjadi dengan diri
Nyoman Dwipa. Sewaktu tubuh pemuda itu hanya tinggal enam tombak saja lagi dari permukaan
sebuah batu cadas yang sangat besar berkelebatlah satu bayangan putih yang
dibarengi dengan suara seruan, "Dewa Agung "!!"
Yang berseru ini adalah seorang kakek-kakek tua renta berpakaian putih.
Rambutnya yang panjang terurai macam rambut perempuan, janggutnya yang menjela
dada serta kumis bahkan kedua alisnya berwarna putih bersih macam kapas. Meski
umurnya sudah lebih dari 70 tahun tapi kakek-kakek ini memiliki tubuh yang masih
kekar dan kegesitan yang luar biasa.
Sewaktu dia melinat sesosok tubuh melayang jatuh ke dalam jurang kejutnya bukan
alang kepalang. Dia tidak tahu apakah manusia yang jatuh itu masih hidup atau
sudah mati. Meski demikian kakek-kakek ini segera mengangkat kedua tangannya dan
mendorong ke atas!
Satu gelombang angin padat bertiup memapasi tubuh Nyoman Dwipa. Untuk beberapa
detik tubuh pemuda itu tertahan di awang-awang. Untuk mengurangi kekuatan jatuh
tubuh pemuda itu si orang tua menggerakkan kedua tangannya ke kanan.
Tubuh Nyoman Dwipa terpelanting ke kanan lalu didorong lagi ke atas dan ketika
jatuh kembali ke bawah orang tua itu menyambutnya dengan kedua tangan! Sungguh
luar biasa apa yang dilakukan orang tua ini.
Tubuh Nyoman Dwipa dipanggul di atas bahu kanan dan sekali berkelebat orang tua
itu sudah lenyap dari pemandangan.
Si orang tua membawa Nyoman Dwipa ke dalam sebuah goa batu dan setelah diperiksa
ternyata pemuda itu masih bernafas.
Kakek-kakek ini mengurut dada dan kening Nyoman Dwipa beberapa kali hingga
akhirnya pemuda itu sadar dari pingsannya.
Setelah membuka kedua matanya" Nyoman Dwipa kemudian memandang berkeliling.
Sekelilingnya ruangan batu yang bersih. Apakah aku sudah berada di alam baka,
pikir pemuda ini. Tapi bila matanya membentur tubuh dan paras seorang tua KARYA
29 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
berpakaian putih-putih, berkumis dan berjanggut putih heranlah pemuda ini. Orang
tua itu duduk di sebuah batu bundar di tengah ruangan. Kedua telapak tangannya
saling dirapatkan di muka dada sedang kedua matanya terpejam. Nyatalah orang tua
ini tengah bersemedi.
Tapi anehnya begitu Nyoman Dwipa menyalangkan mata dan memandang terheran-heran
berkeliling, tanpa membuka matanya si orang tua berkata: "Orang muda, kau tak


Wiro Sableng 012 Pembalasan Nyoman Dwipa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

usah heran. Kau berada di tempat aman."
"Di manakah saya, bapa" Apa yang telah terjadi dan siapakah bapa ini ...?" tanya
Nyoman Dwipa seraya bangun dari tempat tidur yang terbuat dari batu.
Tanpa membuka kedua matanya kembali si orang tua berkata: "Kau berada di tempat
yang aman orang muda. Ketika aku berada di dalam goa kudengar suara bentakanbentakan yang diseling suara tertawa serta suara beradunya senjata di atas. Aku
keluar dari goa tepat pada saat kulihat sosok tubuhmu melayang jatuh ke dasar
jurang. Selanjutnya Dewa Yang Agung telah menyelamatkan kau dari
kematian . . .".
Kini ingatlah Nyoman Dwipa akan apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dia
bertempur dengan Tjokorda Gde Djantra kemudian didorong dengan satu pukulan
dahsyat hingga mencelat mental dan jatuh masuk jurang! Dari ucapan si orang tua
berambut putih meski dia tadi mengatakan bahwa Dewa Yang Agunglah yang telah
menyelamatkan jiwanya tapi Nyoman Dwipa sadar bahwa orang tua inilah yang telah
menolongnya dari renggutan maut. Segera Nyoman Dwipa turun dari tempat tidur
batu, melangkah ke hadapan kakek-kakek itu dan berlutut seraya berkata, "Orang
tua, aku Nyoman Dwipa menghaturkan terima kasih yang tak terhingga atas budi
pertolonganmu. Semoga aku kelak bisa membalas hutang nyawa ini dan semoga Dewa
Agung merakhmatimu. Sudilah kau memberi tahu namamu agar sewaktu-waktu aku tidak
sukar mencarimu."
Si orang tua tertawa dan menjawab, "Apalah artinya nama" Kita dilahirkan tanpa
nama. Apa gunanya menyebut-nyebut segala hutang nyawa karena memang kita manusia
ditugaskan Yang Kuasa untuk menolong sesama manusia. Orang muda, cobalah kaus
terangkan apa yang telah terjadi atas dirimu hingga kau jatuh dari tepi jurang."
Nyoman Dwipa lalu menuturkan pertempurannya dengan Tjokorda Gde Djantra bahkan
diterangkannya juga pangkal sebab pertempuran itu termasuk kematian I Krambangan
dan empat orang penduduk Klungkung.
Si orang tua menghela nafas dalam dan untuk pertama kalinya dia membuka kedua
matanya. Mata itu sipit sekali macam mata orang Tiongkok tapi menyorotkan sinar
yang tajam penuh wibawa!
"Cinta itu pada dasarnya adalah sesuatu yang suci. Tapi nafsu selalu membuatnya
menjadi hal yang kotor. Seringkali menusia buta karena cinta, karena kecantikan
paras perempuan. Kalau sudah begitu segala sesuatunya yang keji dan kotor bisa
terjadi hingga tidaklah aneh lagi kalau manusia tega membunuh manusia lain
bahkan sahdara kandungnya sendiri hanya karena cinta."
Nyoman Dwipa termangu diam beberapa lamanya. Kemudian katanya: "Orang tua
beritahulah namamu. Sebelum meninggalkan tempat ini kuharap kau suka memberi
petunjuk-petunjuk padaku."
KARYA 30 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
"Kau hendak pergi dan kemudian melampiaskan lagi sakit hati dendam kesumatmu
itu, Nyoman?"
"Benar, orang tua." jawab Nyoman Dwipa terus terang.
"Kau tak akan kuat menghadapi Tjckorda Gde Djantra," kata kakek-kakek itu pula
secara terus terang. "Buktinya pukulan tangan kosongnya saja sanggup mengirimkan
kau ke liang maut jika saja Dewa Agung tidak menghendaki agar kau tetap hidup.
Kau mungkin tidak tahu siapa adanya Tjokorda Gde Djantra. Dia salah seorang
murid Sorablungbung, orang tua sakti yang diam di puncak Gunung Agung."
Terkejutlah Nyoman Dwipa mendengar keterangan itu. Pantas saja dia tak sanggup
melawan Tjokorda Gde Djantra. Maka kalau diteruskannya niat untuk membalas
dendam dengan tingkat kepandaian yany jauh lebih rendah pastilah akan sia-sia
belaka dan diam-diam pemuda ini mengeluh dalam hati. Diangkatnya kepalanya yang
ditundukkan dan berkata dengan sungguh-sungguh pada si orang tua.
"Aku yang bodoh ini mohon petunjukmu orang tua."
Kakek-kakek itu tertawa. Sampai saat itu Nyoman Dwipa tidak tahu dengan siapa
sesungguhnya dia berhadapan. Kakek-kakek berambut dan berjanggut putih itu bukan
lain Menak Putuwengi itu tokoh silat yang paling tinggi ilmu kesaktiannya di
antara tokoh-tokoh silat lainnya sekitar belasan tahun yang silam!
"Aku tak bisa memberi petunjuk apa-apa padamu Nyoman," kata Menak Putuwengi
pula. Pemuda itu merasa kecewa tapi juga heran ketika melihat dalam berkata itu si
orang tua tersenyum. Dan Menak Putuwengi lantas berkata, "Aku cuma bisa
mengajukan satu tawaran. Sudikah kau mempelajari permainan silat ilmu tongkat"
Bukan aku sombong, dalam tempo dua-tiga bulan saja pasti kau dapat mengalahkan
murid Sorablungbung itu."
Bukan alang kepalang gembiranya hati Nyoman Dwipa. Dia menjura dalam-dalam ,dan
menjawab: "Tentu saja mau.
Kalau kau tak keberatan mulai saat ini aku akan memanggilmu guru. Sekali lagi
aku mohon agar kau sudi memberitahu namamu, orang tua..."
"Ah, soal namaku ..." kata Menak Putuwengi, "Sudah sejak belasan tahun dilupakan
dunia persilatan di Pulau Bali ini.
Biarlah nanti saja kuberi tahu padamu. Nah sekarang mari kita berangkat ..."
"Berangkat kemana guru?" tanya Nyoman tak mengerti.
"Goa ini terlalu sempit dan kurang baik untuk belajar ilmu silat. Kau lihat
pedataran tinggi di sebelah, timur sana ....?"
ujar Menak Putuwengi seraya menunduk keluar goa. "Disitu lebih cocok tempatnya."
"Baiklah guru", jawab Nyoman Dwipa seraya bangkit dan mengikuti gurunya keluar
goa. Ternyata bagian lamping kiri dari jurang tersebut menuju ke sebuah daerah
pesawangan yang banyak ditumbuhi lalang lebat. Menak Putuwengi kelihatannya
berjalan lenggang kangkung seenaknya. Tapi bagaimanapun Nyoman Dwipa mengerahkan
ilmu larinya, tetap saja dia ketinggalan belasan tombak di belakang!
Sesampainya di pedataran tinggi itu, Nyoman Dwipa tercengang-cengang melihat
indahnya pemandangan di KARYA
31 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
sekelilingnya. "Kita mulai saja pelajaran permulaan", kata Menak Putuwengi. "Coba keluarkan dan
perlihatkan padaku jurus-jurus ilmu silat yang kau miliki."
Atas perintah gurunya itu maka Nyoman Dwipa mulai bersilat sampai dua puluh
jurus. "Sudah . . . sudah cukup!" seru Menak Putuwengi. "Ilmu silatmu jauh dari pada
lumayan. Tapi permulaan yang cukup baik!" Habis berkata begitu Menak Putuwengi
lantas mematahkan dua buah ranting pohon. Salah satu diberikannya kepada Nyoman
Dwipa seraya berkata, "Pertama kali ini kuberikan kau dasar-dasar ilmu tongkat.
Kemudian kau harus melatih diri dalam tenaga dalam dan meringankan tubuh."
Demikianlah, mulai saat itu Nyoman Dwipa digembleng oleh tokoh silat klas satu
Menak Putuwengi.
KARYA 32 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
8 BERDIRI di tepi danau yang dikeiilingi pohon-pohon besar pada siang hari yang
panas terik itu membuat pemuda pengelana itu ingin sekali mandi merasakan
kesejukan air danau. Sambil bersiul-siul pemuda ini lalu membuka pakaiannya.
Sesaat kemudian diapun sudah mencebur masuk ke dalam air danau. Sengaja dia
menyelam dalam-dalam lalu muncul lagi dipermukaan air danau untuk bernafas lalu
menyelam lagi. Gemikian sampai beberapa kali. Pada kali yang keenarn dia
memunculkan kepala di permukaan air danau mendadak sontak berubahlah parasnya
oleh rasa kaget yang bukan aiang kepalang!
Dari seluruh tepi danau dilihatnya meluncur ular hitam berbelang-belang kuning
sebesar betis dan rata-rata panjangnya satu sampai satu setengah meter!
Binatang-binatang itu dengan sangat cepat berenang ke tengah danau di mana
pemuda berada! "Gila!" seru pemuda itu lalu kedua kakinya dihentakkan ke bawah. Dengan
mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat dari dalam air pemuda ini
sanggup melesatkan tubuhnya sampai beberapa tombak. Ketika dia berhasil melompat
ke daratan cepat-cepat dia hendak mengambil pakaiannya! Tapi untuk kedua kalinya
pemuda ini menjadi melengak kaget karena dari balik semak belukar, puluhan ekor
ular jenis yang sama telah menyerbunya pula hingga dia tak punya kesempatan
untuk mencapai pakaiannya!
Dengan memaki dalam hati pemuda ini melompat ke sebuah pohon. Tapi au!
Kakinyamenginjaksesuatu yang bulat dan licin hingga kalau saja ilmu meringankan
tubuhnya tidak sempurna pastilah dia akan jatuh! Ketika dia memandang ke bawah,
pemuda ini kertakkan rahang karena benda bulat licin yang tadi dipijaknya
nyatanya adalah seekor ular hitam berbelang-belang kining. Dan ketika dia
memandang berkeliling, seluruh pohon serta pohon-pohon di sekitar tempat itu
penuh dengan ular-ular tersebut. Kemanapun dia mernandang, ke pohon-pohon, ke
tanah dan ke danau seluruhnya penuh dengan ular! Betul-betul dia tak bisa
mengerti dari mana datangnya puluhan bahkan ratusan binatang itu! Dari lidahnya
yang bercabang dan berwarna hijau nyatalah bahwa ular-ular itu mengindap racun
yang amat jahat. Meskipun dia kebal segala macam racun namun menyaksikan itu mau
tak mau merinding juga bulu tengkuknya! Dan menyadari dirinya tanpa pakaian
begitu rupa pemuda ini merutuk habis-habisan dalam hati.
Sementara itu dia tak dapat berdiri lebih lama di cabang pohon karena sebentar
saja belasan ekor ular telah menyerbunya pula! Tak ada tempat yang kosong lagi
untuk tempat berpindah! Sambil melompat turun pemuda ini pukulkan kedua
tangannya ke bawah! Angin deras menderu. Puluhan ular mental dan si pemuda
berhasil turun di tanah yang kini kosong dari ular-ular itu. Tapi anehnya
binatang-binatang yang kena dihantam dan dibuatnya mental tadi sama sekali tidak
cedera ataru mati dan dalam waktu yang singkat bersama kawan-kawannya segera
menyerbu pemuda itu kembali.
Kini pemuda tersebut segera maklum bahwa binatang-binatang yang dihadapinya itu
bukan ular-ular biasa. Mungkin KARYA
33 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
binatang jadi-jadian. Dan binatang apapun ular itu adanya dia musti bisa
menyelamatkan diri. Tiga ekor ular hitam berbelang kuning berhasil melilit
kakinya. Seekor diantaranya mematuk betis pemuda itu hingga menoeluarkan darah
kehitaman bercampur racun yang tertekan ke luar akibat hawa tenaga dalam yang
ada di tubuh si pemudar. Sekali dia menggerakkan tubuh rnaka ketiga ular itu
berpelantingan. Tapi puluhan lainnya menyerbu lagi dengan dahsyat laksana air
bah! Tidak main-main lagi kini pemuda itu pergunakan ilmu pukulan sakti yang sangat
diandalkannya. Sepasang tangannya kelihatan putih memerah, sepuluh kuku jarinya
mengeluarkan sinar yang menyilaukan!
"Wuus! Wuuss!"
Dua larik sinar putih yang panas menderu dahsyat! Itulah pukulan sinar matahari
yang hebat luar biasa! Puluhan ekor ular menemui ajalnya mati terkuntung-kuntung
dalam keadaan hangus! Yang masih hidup agaknya marah sekali melihat kematian
kawankawan mereka. Binatang-binatang ini dengan mengeluarkan suara mendesis
menyerbu si pemuda dan si pemuda menyambutinya dengan pukulan-pukulannya yang
dahsyat. Binatang-binatang yang masih hidup bukannya takut tapi malah terus
menyerbu dengan kalap sehingga pemuda yang berada dalam keadaan bertelanjang
bulat itu menjadi sibuk sekali! Meski suasana mengerikan sekali di tempat itu,
tapi melihat si pemuda mencak-mencak telanjang begitu rupa ada juga kelucuannya!
Menurut dugaan si pemuda sudah lebih dari seratus ular yang dibunuhnya tapi yang
datang menyerangnya seperti tak ads kurang-kurangnya malah makin lama makin
banyak! Dalam pada itu ular-ular yang berjalaran di pohon dengan melilitkan
ekor-ekor mereka di cabang atau di ranting-ranting pohon, bergelantungan
menyambar si pemuda hingga si pemuda bukan saja diserang dari bawah tapi juga
dari atas! "Benar-benar edan!" maki pemuda itu seraya percepat melancarkan pukulan-pukulan
sinar matahari ke atas dan ke bawah!
Dalam seru-serunya pertempuran antara ular lawan manusia itu tiba-tiba
terdengarlah seruan, "Sobat! Bertahanlah terus! Aku akan membantu!"
Baru saja seruan itu berakhir maka disitu muncullah seorang pemuda berpakaian
biru. Di tangan kanannya ads seikatan jerami tebal yang ujungnya dibakar.
Kobaran api jerami ini membuat puluhan ular hitam berbelang kuning menjadi
terbirit-birit ketakutan. Tapi tidak semua binatang itu lari. Puluhan lainnya
menyerbu pemuda baju biru ini. Si pemuda menghadapinya dengan tenang-tenang
saja. Di tangan kiri pemuda ini ada sebatang tongkat kecil terbuat dari bambu
kuning. Dengan memutar-mutar tongkat kecil itu maka setiap ular yang berani mendekatinya
pasti akan mati dalam keadaan tubuh terkuntungkuntung! Hebat sekali permainan
tongkat bambu kuning si pemuda hingga dalam tempo yang singkat puluhan ular
hitam berhasil dimusnahkannya!
"Hebat!" kata pemuda yang pertama dalam hati lalu menyambar pakaiannya, dengan
cepat mengenakannya kemudian bersama-sama pemuda baju biru terus memusnahkan
ular-ular yang mengamuk itul Lebih dari separoh ular hitam berbelang kuning yang
ads di tempat itu telah musnah menemui kematiannya. Sementara itu dalam
berlangsungnya pemusnahan binatang-binatang tersebut terjadilah perkenalan
antara kedua pemuda.
KARYA 34 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
"Namaku Nyoman Dwipa!" kata pemuda pakaian biru seraya sabatkan tongkat bambu
kuningnya. Dua ekor ular rubuh dengan kepala pecah. "Darimana ular sebanyak ini!
Bagaimana kau sampai diserang mereka"!"
"Aku sedang asyik-asyikan mand!" menerangkan pemuda berpakaian putih. "Ketika
menyelam dan muncul di atas'air danau kulihat puluhan ekor ular, entah dari mans
datangnya berenang menyerangku! Sewaktu aku naik kedaratan ternyata puluhan
binatang itu telah menungguku pula disana. Gila betul!"
"Hai kau belum menerangkan namamu sobat!" seru pemuda baiu biru.
"Namaku Wiro Sableng!"
"Kau bukan penduduk sini agaknya!"
"Betul" sahut pemuda baju putih yang bukan lain dari Pendekar 212 Wiro Sableng
adanya! "Terima kasih atas pertolonganmu, Nyoman!"
"Ular-ular ini benar-benar gila betul!" seru Nyoman Dwipa yang melihat bagaimana
binatang itu masih terus menyerbu mereka dengan beraninya! "Sebaiknya mari kita
tinggalkan tempat ini!" Bagaimana Nyoman Dwipa sampai berada di tempat itu
baiklah kita tuturkan sedikit.
Sebagaimana yang telah diceritakan, sewaktu jatuh ke dalam jurang Nyoman Dwipa
telah diselamatkan oleh seorang kakek-kakek sakti bernama Menak Putuwengi. Orang
tua ini kemudian mengambil pernuda itu menjadi muridnya. Setelah tiga bulan
lebih menggembleng Nyoman Dwipa maka boleh dikatakan pemuda itu sudah menguasai
pelajaran silat ilmu tongkat si kakek cuma tentu saja dia musti banyak berlatih
agar mencapai tingkat kesempurnaan. Memasuki pertengahan bulan yang keempat
Menak Putuwengi mengizinkan muridnya untuk pergi mencari orangorang yang
bertanggung jawab atas kematian kekasihnya dan I Krambangan serta beberapa
penduduk Klungkung lainnya. Menak Putuwengi juga memberi nasihet agar pemuda itu
jangan terlalu mengikuti nafsu dendam kesumat dan kalau bisa jangan menurunkan
tangan maut terhadap siapa pun selagi masih ada jalan penyelesaian yang baik!
Demikianlah maka Nyoman Dwipa dengan bekal ilmu kepandaian yang dipelajarinya
dari Menak Putuwengi meninggalkan tempat kediaman si orang sakti yang nyatanya
masih hidup, jadi tidak benar seperti yang diduga dunia luaran bahwa kakek-kakek
sakti itu telah meninggal dunia. Menak Putuwengi sebenarnya sudah jemu dengan
persoalan-persoalan duniawi karena itulah dia mengundurkan diri dari dunia
persilatan, membersihkan diri dari dosa dan kesalahan-kesalahan di masa mudanya
serta memperdalam ilmu silat, ilmu kesaktian dan kebathinan di dalam goa di
dasar jurang itu.
Dalam perjalanannya menuju Denpasar pemuda itu sengaja melewati hutan belantara
mengambil jalan singkat agar lebih lekas sampai ke tempat tujuan. Karena
melewati rimba belantara itulah maka dia sampai bertemu dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng! Mulanya dia merasa heran dan kaget sewaktu menyaksikan seorang pemuda berambut
gondrong basah kuyup dalam keadaan bertelanjang bulat bertempur melawan ratusan
ekor ular yang sebesar-besar betis. Dilihat pada gerakan-gerakan serta KARYA
35 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
pukulan-pukulan yang dilancarkannya dalam memusnahkan binatang-binatang itu
nyatalah dia memiliki kepandaian tinggi.
Tapi mengapa sampai bertempur telanjang bul!at begitu rupa"! Nyoman tidak tahu
bahwa sewaktu diserang, Wiro tengah mandi dalam danau.


Wiro Sableng 012 Pembalasan Nyoman Dwipa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnya Nyoman Dwipa maklum bahwa tanpa dibantupun pemuda yang bertelanjang
itu pasti akan sanggup memusnahkan semua ular yang menyerbunya. Tapi bukankah
lebih baik dia turun tangan menolong seraya mempraktekkan ilmu tongkat yang
dipelajarinya dari Menak Putuwengi" Maka setelah mengumpulkan lalang serta
jerami kering dan memba-karnya dengan tongkat bambu kuning di tangan kiri Nyoman
Dwipa menyerbu ke dalam pertempuran binatang lawan manusia itu!
"Wiro! Ayo kita tinggalkan tempat ini!" kata Nyoman Dwipa kembali.
"Tunggu dulu sobat!" sahut Wiro Sableng, "aku mempunyai firasat bahwa ular-ular
ini bukan binatang biasa! Mungkin binatang jadi-jadian, mungkin pula ada
pemiliknya. Bagaimana kalau kita selidiki sama-sama"!"
Baru saja Wiro berkata begitu maka dari dalam hutan mengumandanglah suara
bentakan menggeledek!
"Manusia-manusia kotor dari mana yang berani membunuh binatang peliharaanku"!"
Wiro mengeluarkan suara bersiul dan berpaling pada Nyoman Dwipa.
"Nah, apa kataku!" ujarnya.
KARYA 36 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
9 BEGITU bentakan lenyap maka dari dalam hutan belantara keluarlah seorang lakilaki yang memiliki tampang dahsyat.
Kepalanya panjang, kening menjorok ke depan sedang leher kecil singkat.
Rambutnya hitam legam tapi cuma sedikit tumbuh di atas batok kepalanya. Kulit
mukanya berwarna hitam dan berminyak hingga bila disorot sinar matahari mukanya
itu jadi berkilat-kilatl Jika dibandingkan dengan ular, tampang manusia ini
memang hampir tidak beda! Dia mengenakan pakaian berbentuk jubah yang terbuat
keseluruhannya dari kulit u!ar. Yang dahsyatnya di lehernya melilit dua ekor
ular besar yang sudah mati dan dikeringkan!
Begitu sampai di hadapan Wiro Sableng serta Nyoman Dwipa dan melihat puluhan
ekor ular musnah berkaparan di mana-mana marahlah manusia yang punya tampang
macam ular itu!
"Keparat-keparat laknat! Tentu kalian sudah bosan hidup berani membunuh binatang
peliharaanku!"
Sementara Wiro dan Nyoman masih sibuk menghadapi ular-ular hitam berbelang
kuning maka manusia aneh itu telah menyerbu dan membagi serangan pada kedua
pemuda itu! Wiro dan Nyoman kaget bukan main karena serangan si orang aneh
sebelum sampai sudah didahului oleh sambaran angin yang sekaligus mengarah dua
belas jalan darah kematian di tubuh pemuda-pemuda itu! Baik Wiro maupun Nyoman
Dwipa cepat-cepat melompat menyelamatkan diri!
Siapakah manusia aneh yang baru muncul dari rimba belantara dan mengaku sebagai
pemelihara ular-ular yang menyerang kedua pemuda itu" Di Bali namanya belum
dikenal karena dia seorang pendatang dari pulau Jawa yang diam-diam menyelusup
ke pulau untuk maksud tertentu. Ki Sawer Balangnipa, demikian nama orang ini
selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga telah memelihara tiga ratus ekor
ular hitam belang-belang kuning yang sangat berbisa! Tentu saja dia menjadi
marah setengah mati ketika menyaksikan bagaimana dua orang pemuda tak dikenal
berani membunuh binatang-binatang peliharaannya. Maka dengan serta merta dia
melancarkan satu jurus serangan yang dahsyat yaitu yang bernama "dua raja ular
menyerbu ke langit". Kehebatan jurus serangan ini sudah kita ketahui di muka
yaitu sebelum pukulan sampai, sambaran angin telah mendahului menggempur dua
bela: jalan darah kematian di tubuh kedua pemudal Dengan melancarkan serangan
hebat itu Ki Sawer Balangnipa bermaksud untuk membuat pemuda-pemuda itu konyol
sekaligus detik itu juga! Tapi betapa terkejutnya dia sewaktu menyaksikan
bagaimana Wiro dan Nyoman berhasil mengelakkan dua serangannya itu!
Ki Sawer Balangnipa mengeluarkan suara suitan keras yang menyakitkan telinga!
Anehnya ular-ular yang ada di situ, mendengar suara suitan itu segera
berserabutan lari ke dalam hutan. Ki Sawer Balangnipa berdiri dengan bertolak
pinggang! "Kunyuk-kunyuk bermuka manusia! Nyatanya kalian memiliki ilmu yang diandalkan
hingga aku tahu sampai dimana kelebatan kunyuk-kunyuk yang berasal dari Pulau
Bali ini!"
Nyoman Dwipa marah sekali mendengar hinaan itu. Tapi Wiro ganda tertawa dan
menjawab, "Kawanku ini memang KARYA
37 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
berasal dari Pulau Bali, tapi aku bukan! Soal asal tak perlu dipidatokan di
sinil Tapi kalau kau memaki kami kunyuk-kunyuk bermuka manusia, berarti kau sama
saja dengan monyet-monyet bermuka setan!". Habis berkata begitu Wiro tertawa
berkakan hingga menggetarkan seantero tempat! Sekaligus dia hendak
memperlihatkan bahwa suitan yang menyakitkan telinga dari Ki Sawer Balangnipa
itu cukup bisa ditandinginya dengan suara tertawanyal Diam-diam Ki Sewer
Balangnipa sendiri terkejut melihat kehebatan tenaga dalam si pemuda, tapi dia
sama sekali jauh dari gentar!
"Enam puluh tahun hidup baru hari ini ada tikus busuk yang berani menghina Ki
Sawer Balangnipa!"
"Ah, nyatanya kau juga bukan orang sini!" ujar Wiro dengan menyengir seenaknya.
"Sekarang kau katakan aku tikus busuk, betul-betul keterlaluan! Tapi supaya kau
tahu diri memang namamu sesuai dengan tampangmu macam raja ular penyakitan!"
(Sawer = ular, bhs. Jawa, pen.)
"Bangsat rendah! Kau benar-benar minta kubikin lumat!"
Tubuh Ki Sawer Balangnipa berkelebat dalam satu gerakan yang hampir tak
kelihatan dan tahu-tahu sepuluh jari tangannya sudah mencengkeram ke perut dan
ke muka Pendekar 212 Wiro Sableng! Ini adalah jurus serangan yang bernama
"sepasang cengkeram kehancuran". Sekali cengkeram itu bersarang di muka Wiro
pasti muka pemuda itu akan hancur mengerikan. Jika perutnya kena direnggut lima
jari tangan lainnya pasti akan robek dan ususnya berserabutan keluar! Begitulah
kehebatan jurus "sepasang cengkeram kehancuran"!
Pendekar 212 Wino Sableng memang masih muda dalam usia tapi sudah cukup punya
pengalaman dalam berbagai pertempuran menghadapi tokoh-tokoh silat kelas satu di
pelbagai penjuru rimba persilatan! Sewaktu menerima serangan pertama kali dari
Ki Sawer Balangnipa tadi dia sudah maklum bahwa orang tua ini bukan seorang yang
bisa dibuat main. Maka dengan cepat pendekar kita berkelit ke samping seraya
lancarkan satu tendangan kaki kanan ke arah rusuk lawan!
Melihat dua cengkeramannya yang hebat sanggup dikelit oleh lawan Ki Sawer
Balangnipa penasaran bukan main. Di lain pihak Wiro Sableng merasakan adanya
satu ancaman yang tersembunyi sewaktu menyaksikan bagaimana tendangannya yang
hampir menemui sasarannya itu sama sekali tidak diperdulikan oleh lawan!
Mustahil manusia itu tidak mengetahui bahaya yang mengancam dirinya!
Satu detik lagi kaki kanan Pendekar 212 akan mendarat dan menghancurkan tulangtulang rusuk lawan, Pendekar 212
Wiro Sableng yang punya firasat tidak enak mendadak sontak segera menarik pulang
kakinya dan melancarkan satu pukulan tangan kosong yang dinamakan pukulan
"kunyuk melempar buah"!
Satu hal yang hebatpun terjadilah!
Adalah satu keuntungan besar bagi Wiro Sableng menarik pulang tendangannya tadi
karena di saat yang hampir bersamaan Ki Sawer Balangnipa membab)atkan tepi
telapak tangan kanannya ke bawah dengan deras! Bukan saja ini satu pukulan
tangan yang amat dahsyat tapi juga diisi dengan kekuatan sakti yang sanggup
membuat batu karang paling ataspun bisa hancur lebur! Dapat dibayangkan
bagaimana kalau pukulan itu mengenai kaki kanan Wiro Sableng! Karena pukulannya
KARYA 38 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
mengenai tempat kosong dengan dendirinya angin pukulan itu terus melanda tanah!
Pasir dan batu-batu berhamburan sampai beberapa tombak ke samping dan ke atas.
Bumi bergetar dan etika Wiro memandang ke depan dilihatnya bagaimana tanah yang
kena angin pukulan lawan berlobtang besar dan berwarna kehitaman! Diam-diam
Pendekar 212 kaget juga karena sebelumnya tak pernah ia melihat ilmu pukulan
yang begitu hebatnya! Mulai saat itu dia kerahkan tiga perempat tenaga dalamya
untuk menghadapi lawan. Dari mulutnya terdegar suara suitan keras dan pada detik
itu juga tubuhya lenyap!
Kalau tadi Wiro yang dibikin terkejut oleh serangan hebat lawan maka kini Ki
Sawer Balangnipalah yang terkejut bukan main! Didengamya suitan pemuda itu, lalu
tubuh si pemuda lenyap dari hadapannya dan sesaat kemudian dirasakannya sambaran
angin serangan yang tajam dari kiri kanan!
Ki Sawer Balangnipa melompat mundur sampai lima langkah membentak keras dan maju
lagi dalam satu kelebatan cepat menyambuti serangan Pendekar 212 Wiro Sableng!
Nloman Dwipa yang menyaksikan pertempuran diam-diam memuji kehebatan kedua belah
pihak yang bertempur. Kalau saja dia tidak mendapat gemblengan dari Menak
Putuwengi pastilah matanya akan sakit dan kepalanya akan pusing melihat
kelebatan-kelebatan mereka yang bertempur yang hanya merupakan bayang-bayang
hitam dari jubah yang dikenakan Ki Sawer Balangnipa dan bayangan putih pakaian
Pendekar 212 Wiro Sableng. Kini semakin terbuka mata Nyoman Dwipa bahwa di atas
jagat ini banyak sekali terdapat tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi seperti
kedua orang itu! Dan diam-diam Nyoman Dwipa membathin apakah tingkat kepandaian
Tjokorda Gde Djantra setingkat dengan kedua orang itu. Kalau betul tentu masih
bukan suatu hal yang mudah baginya untuk bisa mengalahkan musuh besamya itu
dalam tempo sepuluh sampai duapuluh jurus!
Nyoman Dwipa kembali memperhatikan kedua orang yang bertempur. Sementara itu
telinganya mendengar lengking siulan yang nyaring luar biasa. Sesudah
mengerahkan tenaga dalam dan menutup pendengarannya barulah rasa sakit yang
menyamaki gendang-gendang telinganya akibat suara siutan aneh itu menjadi
lenyap! Dan di muka sana dilihatnya bagaimana Ki Sawer Balangnipa mulai terdesak
oleh serangan-serangan gencar Pendekar 212.
Dalam jurus keempat puluh Ki Sawer Balangnipa mulai menyadari bahwa jika dia
terus bertahan dalam posisi demikian rupa naga-naganya paling lama sepuluh jurus
lagi pasti dia akan kena dihantam lawannya! Keringat telah membasahi tubuh lakilaki ini, apalagi karena dia mengenakan jubah yang terbuat dari kulit ular yang
tak tembus air!
"Pemuda gelo! Jika kau sayang nyawa cepat cabut senjatamu!" tiba-tiba Ki Sawer
Balangnipa berseru dan habis berseru demikian dia lepaskan dua ekor ular yang
telah dikeringkan dari lehernya! Sepasang binatang yang sudah mati itu, di
tangan Ki Sawer Balangnipa tak ubahnya kembali menjadi hidup, menyambar dan
meliuk, mematuk dan menjabat ke arah Pendekar 212.
Dari tubuh ular-ular yang sudah dikeringkan itu menghampar bau anyir yang
menyesakkan rongga pernafasan sedang dan mulutnya yang membuka menyambar sinar
hijau menggidikkan. Itulah sinar racun yang jahat sekali. Menghadapi ini Wiro
segera tutup jalan pernafasannya dan berkelebat lebih cepat untuk menghindarkan
serangan- serangan sepasang ular kering di tangan lawannya! Sepuluh jurus lagi
berlalu. Agaknya Ki Sawer Balangnipa mulai mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat
KARYA 39 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
simpanannya kanena kelihatan sekali bagaimana permainan silatnya berubah.
Tubuhnya bergerak gesit laksana seekor ular besar, meliuk kesana meliuk kesini!
Pendekar 212 Wiro Sableng mulai berada di bawah angin! Jurus demi jurus dia
semakin terdesak ke tepi danau membuat pemuda ini memaki dalam hati.
Dia tengah berpikir-pikir untuk mulai mengeluarkan ilmu silat "orang gila" yang
dipelajarinya dari Tua Gila ketika salah satu dari senjata di tangan Ki Sawer
Balangnipa menghantam dadanya!
Pendekar 212 menjerit keras! Tubuhnya terjerongkang ke belakang dan kecebur
masuk danau! Dadanya sakit bukan main dan laksana hancur remuk! Pemandangannya berkunangkunang! Untuk beberapa lamanya dia apungkan diri di permukaan air danau sambil
mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian yang kena dihantam lawan!
Di lain pihak Ki Sawer Balangnipa adalah hampir tidak percaya akan apa yang
disaksikannya. Seorang yang kena digebuk ular kering yang menjadi senjatanya,
tak ampun lagi pasti akan menemui kematian dengan tubuh remuk! Tapi kenyataannya
pemuda itu masih hidup dan mengapungkan diri di atas air danau!
"Ki Sawer Balangnipa hadapi aku!" satu suara membentak dari samping dan Nyoman
Dwipa dengn tongkat bambu kuningnya sudah melompat kehadapan Ki Sawer
Balangnipa! Manusia yang punya tampang seperti ular itu menyeringai mengejek. "Bagus!"
katanya, "kaupun minta digebuk! Ayo majulah!"
Nyoman Dwipa bolang-balingkan tongkat bambu kuningnya. Meski tongkat itu kecil
saja tapi deru angin yang keluar akibat putarannya deras bukan main. Sinar
kuning menjulang panjang hingga diam-diam Ki Sawer Balangnipa segera maklum
bahwa lawannya yang kedua inipun bukan orang sembarangan pula!
"Silahkan mulai, Ki Sawer Balangnipa!" kata Nyoman Dwipa pula. Dia sudah siap
dengan kuda-kuda pertahanan sambil membolang-balingkan tongkat kecilnya!
"Sialan! Disuruh mulai menyerang lebih dulu malah menantang sombong!" damprat Ki
Sawer Balangnipa. Dia maju satu langkah untuk melancarkan sebuah serangan yang
dahsyat. Di saat pertempuran antara Nyoman Dwipa dan Ki Sawer Balangnipa hendak pecah
tiba-tiba dari arah danau terdengar seruan keras: "Nyoman! Biar aku teruskan
pertempuranku dengan manusia bermuka ular penyakitan itu!" Seruan itu disertai
dengan melayangnya kira-kira selusin ular-ular yang telah mati ke arah Ki Sawer
Balangnipa! Jika saja laki-laki itu tak lekas menyingkir pasti kepala dan
tubuhnya akan dihantam binatang-binatang peliharaannya itu sendiri! Ki Sawer
Balangnipa menjadi lupa terhadap Nyoman Dwipa dan membalikkan tubuh dengan cepat
melompat ketepi danau. Tenaga dalam dikerahkan seluruhnya ke tangan kanannya dan
sekali dia menyapukan ular di tangan kanannya itu, maka menderulah satu
gelombang angin yang deras ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang mengapung di
tengah danau! Air danau muncrat sampai setinggi delapan tombak dilanda derasnya
pukulan tangan kosong tersebut tapi Wiro sendiri saat itu sudah melesatkan KARYA
40 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
tubuhnya ke tepi danau sebelah kiri. Dadanya sebenamya masih sakit tapi karenayakin bahwa dirinya tak mengalami luka di dalam maka begitu sampai di daratan
pemuda itu berseru lantang, "Muka ular! Terima pukulanku ini!"
Terlalu cepat bagi Ki Balangnipa untuk bisa melihat pukulan apa yang dilepaskan
lawan tahu-tahu "wuus" satu larik sinar putih yang panas dan menyilaukan matanya
menerpa dahsyat ke arahnyal Manusia yang mukanya seperti ular itu berseru keras
lalu melompat cepat-cepat ke samping kanan. Tapi tak urung ular kering yang
ditangan kirinya masih tempat disambar pukulan sinar matahari yang dilepaskan
Wiro Sableng hingga senjata itu hancur lebur dan hanya bagian ekornya saja yang
masih tergenggam dalam tangan kiri Ki Sawer Balangnipa!
"Keparat rendah!" maki Ki Sawer Balangnipa marah luar biasa hingga sepasang
matanya laksana api berkobar! Selagi Pendekar 212 Wiro Sableng belum menjejakkan
kedua kakinya di tanah, dia segera melancarkan serangan balasan yang tak kalah
hebatnya! Tangan kiri dipukulkan ke depan. Satu gelombang angin menggebu laksana topan,
siap untuk menyapu dan menghancur leburkan tubuh Pendekar 212. Yang dilepaskan
Ki Sawer Balangnipa adalah pukulan sakti yang sangat diandalkannya dan yang
jarang sekali dikeluarkannya jika tidak menghadapi lawan yang teramat tangguh!
Itulah pukulan yang bernama "sejagat baju".
Jangan kata manusia, batu karangpun jika dihantam pasti akan hancur jadi debu!
Serangan yang dilancarkan Ki Sawer Balangnipa tak kepalang tanggung karena
sehabis memukul itu tubuhnya melesat ke depan dan menyusul serangan pertama tadi
dengan serangan ular kering di tangan kanannya yang menderu ke arah batok kepala
Pendekar 212 Wiro Sableng!
Pukulan "sejagat baju" membuat tubuh Wiro Sableng tak dapat melayang turun
menjejak tanah Betapapun dia mengerahkan tenaga dalamnya serta memukul ke muka
dengan ilmu pukulan "dinding angin berhembus tindih menindih"
tetap saja tubuhnya tersapu sampai delapan tombak! Jika dia tak cepat membuang
diri ke samping dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi,
pastilah dia akan menghantarn pohon besar di belakang sana! Pukulan sejagat baju
melanda pohon besar itu dan pohon-pohon serta semak belukar di sekitarnya,
membuat semuanya itu tumbang dan tersapu sampai sepuluh tombak lebih dengan
mengeluarkan suara berisik luar biasa. Air danau yang turut terserempet pukulan
tersebut muncrat setinggi dua tombak!
Setelah jungkir balik dua kali berturut-turut Wiro Sableng berhasil mencapai
tanah dengan kedua kaki lebih dahulu.
Nafasnya sesak, tulang-tulang di sekujur tubuhnya serasa tanggal sedang dari
sela bibirnya kelihatan darah kental! Pemuda ini ternyata telah terluka di


Wiro Sableng 012 Pembalasan Nyoman Dwipa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam! Cepat-cepat Wiro menelan butir pil merah lalu duduk tak bergerak,
meramkan mata mengatur jalan nafas dan tenaga dalam serta mengalirkan hawa sejuk
dari pusarnya ke dada!
Ki Sawer Balangnipa tertawa gelak-gelak sambil mendekati Wiro Sableng. "Ha " ha!
Sekarang kau baru tahu kehebatan Ki Sawer Balangnipa! Nah selamat jalan ke
neraka, budak hina dina!"
Ki Sawer Balangnipa mengangkat tongkat ularnya tinggi-tinggi lalu dihantamkan
secepat kilat ke arah batok kepala Pendekar 212 Wiro Sableng!
KARYA 41 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
"Pengecut! Beraninya menyerang lawan yang sudah tak berdaya!".
Satu bentakan menggeledek dan selarik sinar kuiing menderu menangkis ular kering
di tangan Ki Saver Balangnipa. Itulah tongkat bambu kuningnya Nyoman Dwipa.
Pemuda ini ketika menyaksikan bagaimana Ki Sawer Balangnipa hendak menamatkan
Tengkorak Kaki Satu 2 Wisma Pedang Seri 4 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Dedemit Rimba Dandaka 2

Cari Blog Ini