Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Akhirat 1

Wiro Sableng 018 Pendekar Pedang Akhirat Bagian 1


1 Mungkin ini adalah malam yang paling mengerikan bagi
Wiro Sableng selama dia menginjakkan kaki dalam rimba
persilatan Tiongkok. Segala sesuatunya gelap, hitam
memekat. Hujan turun dengan lebat, angin bertiup
dingin mengeluarkan suara aneh tiada hentinya. Sekalisekali guntur menggeledek dan di kejauhan terkadang
terdengar suara lolongan liar serigala hutan.
Dalam keadaan basah kuyup Wiro berusaha mencari
perlindungan. Saat itu dia berada di lereng sebuah bukit
gundul, sekitar 100 lie dari tembok besar.
"Hujan gila!" memaki Wiro. Dia lari terus. Dalam
kepekatan itu di kejauhan dilihatnya satu bayangan hitam
sebuah bangunan. Dia tak dapat memastikan bangunan
apa adanya itu, namun Wiro segera menuju ke sana.
Sesaat kemudian, bila dia sampai ke tempat tersebut
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
ternyata klenteng yang sudah tidak terpakai lagi, Wiro
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
mendekam di bawah atap klenteng yang miring. Hawa
dingin baginya bukan apa-apa tetapi perut yang kosong keroncongan betul-betul
merupakan siksaan.
Sekilas kilat menyambar. Bumi sekejapan terang lalu gelap lagi. Ketika sekali
lagi kilat berkiblat tiba-tiba sepasang mata Wiro yang tajam melihat sebuah batu
empat persegi yang tebalnya hampir tiga jengkal, lebar dua meter dan panjang
tiga meter. Batu ini menutupi hampir separuh dari bagian depan klenteng itu.
Meskipun dia tak mengerti mengapa batu itu sampai berada di tempat tersebut, dan
kelihatannya di sana, semula Wiro tak mau ambil perduli. Namun ketika sekali
lagi pula kilat menyambar menerangi tempat itu. Tepat di atas batu besar itu
menggeletak sebuah tengkorak kepala manusia. Sepasang matanya yang merupakan dua
buah lobang besar, memandang menyorot mengerikan pada Wiro sedang mulutnya
seolah-olah melontarkan seringai maut ke arah pendekar ini. Pada batu besar itu,
tepat di bawah tengkorak tadi, terdapat tulisan yang agaknya dibuat dengan darah
berbunyi: Liang Se-thian (Liang Akhirat).
"Gila betul! Apa-apaan ini?" membatin Wiro. Meskipun bulu kuduknya agak
merinding juga, namun dia melangkah maju mendekati batu besar itu.
Tangannya diulurkan menjamah tengkorak. Batok tulang kepala itu terasa dingin.
Jari-jari tangan Wiro Sableng bergetar. Wiro garuk-garuk kepala dengan tangan
kiri. Tangan kanannya kemudian mengangkat tengkorak tersebut. Maksudnya hendak
ditelitinya. Namun mendadak sontak kelihatan dua larik sinar hijau yang busuk
membersit dari sepasang rongga mata yang seram dari tengkorak, menyambar ke muka
Wiro. Dari warna dan baunya sinar tersebut Wiro serta merta dapat memastikan
bahwa sinar ini mengandung semacam racun yang amat jahat. Sebenarnya dengan
memiliki Kapak Naga Geni 212 yang dapat memusnahkan segala macam racun itu, Wiro
Sableng tak usah kawatir. Akan tetapi saking kagetnya, pemuda ini secepat kilat
meloncat sambil memaki membantingkan tengkorak itu hingga hancur berkepingkeping. Secara tak sengaja tengkorak yang dibantingkan Wiro membentur sebuah tombol
kecil yang terletak di saiah satu sudut batu besar. Dan belum lagi pemuda ini
habis kejutnya tiba-tiba pula batu besar di hadapannya bergeser ke samping.
Sebuah lobang gelap terbentang dan dari lobang ini tiba-tiba sekali melesat
sesosok bayangan disertai mengumbarnya suara tertawa bekakakan yang amat
dahsyat. Angin kelebatan bayangan tadi demikian hebatnya hingga membuat Pendekar 212 Wiro
Sableng terhuyung-huyung ke samping, Wiro cepat berpaling.
Sesosok tubuh yang berpakaian compang camping kurus kering tiada beda dengan
jerangkong hidup dan di bawah rambutnya yang panjang awut-awutan terdapat
wajahnya yang menyeramkan macam iblis ganas. Dia masih terus mengumbar
tertawanya yang seram menggetarkan itu. Sedang sepasang matanya yang cekung
memandang tidak berkedip pada Pendekar 212.
Wiro Sableng tetapkan hati mengusir rasa ngeri dan berseru, "Siapa kau"! Manusia
apa bangsa setan pelayangan!"
Orang yang ditanya tidak menjawab. Malah dia mendongak dan kembali menghamburkan
suara tertawanya yang lantang menyeramkan. Dia tertawa sepuas-puasnya. Dan bila
tawanya itu berhenti tiba-tiba dia membuka mulut.
'"Tiga tahun dipendam tidak membuat aku mati! Tiga tahun disekap tidak membuat
aku mampus! Tiga tahun dikubur tidak menjadikan aku modar! Betapa tingginya kekuasaan
Thian!" Wiro yang tak mengerti makna kata-kata orang aneh itu jadi garuk-garuk kepala.
Siapakah adanya manusia yang ada di depannya itu, kalau dia memang manusia"
Apakah dia telah terkurung atau dipendam dalam liang batu itu selama tiga tahun"
Tanpa makan dan minum tapi toh bisa hidup." Hanya satu hal yang dapat dipastikan
oleh Wiro yakni orang bermuka hampir seperti muka tengkorak itu memiliki ilmu
yang tinggi. Ini terbukti dengan angin kelebatannya waktu keluar dari liang
tadi, yang telah membuat Wiro Sableng terhuyung!
"Budak! Kau kemarilah!" Tiba-tiba orang itu berseru dan melambaikan tangannya ke
arah Wiro. Aneh! Seolah-olah ada satu kekuatan gaib yang menariknya, Wiro kemudian
melangkah ke hadapan orang itu. Dia memperhatikan pendekar kita dengan matanya
yang cekung seram.
"Heh, kau orang asing" Bukan orang sini! Tapi sudah, aku tak perduli! Katakan
siapa namamu!"
Wiro sebutkan namanya.
"Locianpwe sendiri siapakah kalau siauwte boleh tanya?"
"Saat ini kau belum layak mengetahui siapa diriku. Tapi budak, ketahuilah. Kau
telah menyelamatkanku. "Ujarnya mengatakan. "hutang emas dapat dibayar, hutang
budi dibawa mati.
Membawa mati budi itulah yang aku tidak sudi. Karena kau telah selamatkan jiwaku
dari liang neraka keparat ini maka aku akan memberikan tiga jurus ilmu pedang!"
Wiro Sableng jadi kaget.
"Locianpwe..." katanya. "Aku tak merasa menolongmu, apalagi menyelamatkan
jiwamu?" "Tidak merasa...?" Orang aneh bermuka dan bertubuh tengkorak itu kembali tertawa
gelak-gelak. "Kau telah menggeser batu besar itu hingga kini aku bebas. Tiga tahun lamanya
aku disekap di liang jadah ini! Kalau tidak ada kau mungkin sampai mati aku akan
mendekam terus di situ! Bukankah itu berarti kau telah menyelamatkan diriku"
Menolong jiwaku!?"
"Kurasa semua itu terjadi dengan tidak Sengaja. Hari hujan dan aku tersesat
kemari...."
"Sengaja atau tidak tapi tetap kau adalah tuan penolongku, budak! Nah sekarang
kau bersiap-siaplah untuk menerima tiga jurus ilmu pedang dariku!"
"Aku tanya dulu, Locianpwe!" memotong Wiro.
"Tanya apa?"
"Tiga tahun dipendam di dalam liang batu ini, bagaimana Locianpwe masih bisa
hidup?" "Bukan cuma masih bisa hidup, malah menambah ilmu kesaktianku."
"Ah, itu hebat sekali! Tapi cobalah Locianpwe terangkan bagaimana hal itu bisa
terjadi. Manusia biasa tak bakal bisa terus hidup. Kecuali kalau Locianpwe ini
sebangsa jin...!"
Sesaat orang tua bermuka tengkorak itu mendelik dan mimiknya seperti hendak
menelan Wiro bulat-bulat. Tapi sesaat kemudian kembali suara tertawanya yang
dahsyat terdengar.
"Terhadap orang yang telah menolong jiwaku tiada beda seolah-olah aku telah
meminjam nyawamu sendiri. Karenanya apa pun yang kau bilang aku tak akan marah!"
"Ah, kau terlalu berlebih-lebihan, Locianpwe..."
"Mungkin... mungkin. Sekarang bersiaplah untuk menerima pelajaran ilmu dariku.
Tapi..." Orang itu sejenak berpikir-pikir.
"Sebelum pelajaran ilmu pedang, sebaiknya lebih dulu kuberikan sepertiga
iwekangku padamu!"
"Locianpwe, sebenarnya untuk satu pertolongan yang tidak sengaja itu aku tidak
meminta balas jasa apa...."
"Perduli apa, toh aku memberikannya dengan sukarela."
"Walaupun begitu aku tetap tak layak menerimanya."
"Sudahlah, jangan banyak mulut. Lekas duduk bersila dan hadapkan punggungmu
padaku. Aku akan buka jalan darah tay hwi hiat di bagian tubuhmu itu!"
Wiro tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti dan duduk bersila. Si muka
tengkorak kemudian berlutut di belakang Wiro dan letakkan kedua telapak
tangannya pada punggung pemuda ini. Sesaat kemudian Wiro merasakan punggungnya
menjadi hangat. Hawa hangat itu terus mengalir menembus kulit dan daging di
punggungnya, mengalir ke seluruh pembuluh darahnya. Sekira seperempat jam
kemudian dengan butiran-butiran keringat di kening dan pakaiannya yang compangcamping basah kuyup, si orang tua itu buka kedua matanya dan berdiri. Dia
menghela nafas lega.
"Berdirilah!"
Ketika berdiri Wiro merasakan betapa tubuhnya kini terasa amat mantap dan
enteng. Sebagai seorang pendekar sakti mandraguna sebelumnya Wiro Sableng telah
memiliki iwekang (tenaga dalam) yang amat tinggi. Ini ditambah pula dengan
sepertiga bagian tenaga dalam baru dari seorang sakti misterius itu, dengan
sendirinya dapat dibayangkan bagaimana hebat dan luar biasanya tenaga dalam yang
sekarang dimiliki oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede itu.
"Sekarang kau perhatikan baik-baik. Aku akan mainkan tiga jurus ilmu pedang yang
dahsyat. Sesudah itu kau menirukannya."
Orang sakti aneh itu rentangkan kedua kakinya. "Ini jurus pertama. Bernama Cip
hian-jay-hong (Tibatiba muncul pelangi). Perhatikan baik-baik!" Kemudian, "Jurus
kedua Lo han Ciang-yau (Malaikat Menundukkan Siluman)" Setelah itu, "Dan ini
jurus terakhir kunamai: Kui-gok-sin-ki atau Setan Meratap Malaikat Menangis! Nah
sekarang kumainkan sekali lagi satu persatu dan kau menirukannya."
Wiro manggut-manggut sambil garuk-garuk kepala dan sepasang matanya
memperhatikan dengan teliti. Bila orang tua tak dikenal ini selesai memainkan
jurus pertama yang disebut "Tiba-tiba Muncul Pelangi" maka Wiro pun
menirukannya. Demikian seterusnya.
Si orang tua tertawa lebar dan usap-usap janggutnya yang panjang acak-acakan.
"Budak, ternyata kau memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan meskipun
tampangmu tolol tapi otakmu cerdas. Hanya dua kali melihat, kau sudah dapat
menirukan masing-masing jurus ilmu pedang tadi tanpa salah sedikitpun!
Dan dalam gelapnya cuaca begini, kau betul-betul hebatl Asal kau rajin melatih
diri, pasti kau tak akan dapat dirubuhkan oleh jago pedang dari negeri mana
punl" Wiro garuk-garuk kepala.
"Nah, untuk sementara segala hutang budi kurasa sudah terbayar. Cuma hutang
nyawa yang masih belum impas. Di lain hari kelak aku akan datang membayarnya
berikut bunganya. Selamat tinggal budak.... "
"Locianpwe, tunggu!" Wiro berseru cepat.
"Ada apa pula, budak"!"
"Sudilah Locianpwe mengatakan siapa adanya manusia jahat yang telah mencelakakan
dan memendam Locianpwe dalam liang batu itui"
"Memangnya kenapa, budak?"
"Aku akan mencarinya guna membalaskan sakit hati Locianpwe sebagai tanda terima
kasih atas budi baik yang Locianpwe berikan hari ini padakul"
Si orang tua tertawa gelak-gelak. "Budak, ternyata kau seorang yang punya hati
polos, budi luhur dan tahu peradatan. Tapi ketahuilah, soal dendam kesumat
dengan orang yang telah menjebloskan diriku dalam liang akhirat ini biarlah
tetap menjadi urusanku dan tanggung jawabku!"
"Satu pertanyaan lagi, Locianpwe," kata Wiro. Tapi astaga! Padahal kata-kata
terakhir orang itu masih ternigiang di telinga Wiro, tapi sosok tubuhnya sendiri
sudah berkelebat lenyap dari hadapannya.
Tadi dia hendak menanyakan bagaimana selama tiga tahun terpendam di liang batu
itu si orang tua masih bisa hidup. Tapi yang hendak ditanya sudah melesat pergi.
Wiro melangkah mendekati lobang batu itu. Gelap. Dia berlutut dan meluruskan
tangannya meraba-raba. Aneh, dinding liang itu dirasakannya basah dan berlapis
semacam benda lembut. Ketika dikorek dan diteliti ternyata adalah sejenis lumut
yang dapat dimakan.
"Hemm..." menggumam Wiro. Kini dia mengerti. Liang batu tersebut ditumbuhi oleh
lumut dan lumut inilah yang menjadi satu-satunya makanan yang menjadi pengisi
perut orang misterius tadi selama tiga tahun dipendam di situ!
Perlahan-lahan Wiro berdiri. Di luar hujan telah mulai reda. Tiba-tiba sepasang
telinga Wiro yang tajam mendengar suara berdesir, di belakangnya lima pisau
terbang menderu ke arah lima bagian tubuh pendekar ini. Tahu bahaya mengancam
secepat kilat Wiro jatuhkan diri dan berguling ke sudut ruang ini.
Lima pisau melabrak dinding, sebuah menancap, empat lainnya jatuh berkerontangan
di lantai. "Pembokong pengecut! Coba perlihatkan tampangmu!" teriak Wiro marah.
Dua sosok tubuh kemudian melesat masuk ke ruangan itu.
*** 2 DUA orang yang barusan melesat masuk itu bertampang garang dan seram. Rambut
merah panjang awut-awutan, kumis dan janggut berangasan. Mereka mengenakan jubah
hitam. Pada leher masingmasing tergantung sebuah kalung emas yang mata kalungnya
merupakan kepala seekor harimau tengah mengangakan mulutnya.
"Aku tidak kenal siapa kalian! Sama sekali tidak ada permusuhan di antara kita.
Kenapa kalian menyerangku?" Wiro menghardik.
Kedua orang itu tidak menjawab. Yang satu melangkah mendekati liang batu dan
memandang tajam ke dalam. Sesaat kemudian dia berpaling pada kawannya dan dengan
paras berubah kaget dia berseru, "Liang batu ini kosong!"
"Hah"!" sang kawan tampaknya juga kaget sekali dan dengan satu gerakan kilat
tahu-tahu sudah berada di tepi lobang batu. Memandang ke bawah dilihatnya liang
batu itu benar-benar kosong.
"Pasti bangsat inilah yang telah melepaskannya!"
Sesaat kedua orang itu memandang melotot pada Wiro. Salah seorang dari mereka
mendengus, dan buka mulut, "Mengaku! Bukankah kau yang telah menggeser batu
besar ini dan melepaskan orang yang dipendam di dalamnya"!"
Wiro Sableng paling benci pada manusia-manusia yang kasar dan galak serta
memandang rendah orang lain seenak perutnya. Apalagi barusan kedua orang tak
dikenal itu telah membokongnya dengan satu serangan maut. Maka pemuda ini pun
menjawab. "Datang dengan baik, berkata dengan baik, bertanya dengan baik itulah peradatan
dunia kangouw!"
"Kurang ajar! Budak hina dina macammu ini hendak memberi kuliah pada kami"
Apakah tidak melihat gunung Thay-san di depan mata"!"
Sebenarnya Wiro telah jengkel melihat dua manusia-manusia di hadapannya itu.
Namun ditindasnya rasa jengkel itu dan sebelum dia menghajar mereka, ingin
terlebih dahulu hendak dipermainkannya. Dia garuk-garuk kepala, mendelikkan mata
dan kerenyitkan kening lalu memandang berkeliling celingukan.
"Gunung Thay-san, katamu heh! Aku tak mellihatnyal Kau tentu sudah keblinger
sobat! Gunung Thay-san jauh dari sini. Ribuan lie, mana aku bisa melihat"
Apalagi malam gelap gulita begini!"
"Bangsat gila! Berani kau mempermainkan Siang-mo-kiam! Kepalamu menggelinding
detik ini juga!"
Habis membentak begitu, tak tahu kapan dia mencabut pedang, tiba-tiba saja sinar
putih bertabur di depan hidung Wiro Sableng. Untung saja pendekar ini waspada
dan buru-buru menyurut tiga langkah.
Kalau tidak niscaya lehernya tersambar putus dan kepalanya benar-benar dibikin
menggelinding oleh pedang lawan.
"Siang mo-kiam" Sepasang Pedang Iblis"! Hem, tampang kalian memang pantas
disebut iblis kesiangan!"
Di hadapan Wiro kini kedua orang berjubah hitam itu masing-masing telah mencekal
sepasang pedang perak. Keduanya berputar-putar mengelilingi Wiro. Tiba-tiba
salah seorang dari mereka berteriak nyaring dan detik itu juga empat bilah
pedang berkiblat bersuitan menggempur empat bagian tubuh Pendekar 212 Wiro
Sableng! Wiro jadi terkesima. Memandang berkeliling dia tak dapat lagi melihat kedua
musuhnya. Di sekitarnya kini hanya terlihat gulungan-gulungan sinar putih yang
membuntal-buntal menyelubungi dirinya. Tak satu jalan keluar pun tampak, sedang
buntalan gulungan-gulungan sinar pedang musuh detik demi detik semakin
menyempit. Pakaian dan rambut Wiro sampai berkibar-kibar oleh kerasnya deru


Wiro Sableng 018 Pendekar Pedang Akhirat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angin sambaran empat pedang lawanl
"Hebat!" mengagumi Wiro dalam hati. Seumur hidupnya baru hari itu dia melihat
ilmu pedang yang demikian luar biasanya.
Pendekar ini bersuit nyaring dan lepaskan satu pukulan sakti. Segulung angin
menerpa ke depan memapasi sinar pedang yang bergulung-gulung.
Terdengar dua seruan tertahan dan kedua penyerang merasakan tubuh mereka
terdorong, pedang masing-masing menyibak tak karuan. Mau tak mau keduanya cepat
mundur. Namun serentak kemudian mereka menyerang kembali. Dan kali ini permainan
pedang mereka berubah amat ganas hingga dalam waktu singkat terdengar "bret...
bret...!" Dua bagian pakaian putih Pendekar 212 kena dirobek!
Wiro menggerung marah. Dia bersult nyaring dan lepaskan pukulan sakti bernama
"Benteng Topan Melanda Samudera". Dia cuma kerahkan sepertiga bagian tenaga
dalamnya, tetapi karena tadi sebelumnya dia telah menerima tambahan iwekang dari
si orang tua misterius maka kini daya kekuatan tenaga dalam itu hebatnya bukan
main. Siang-mo-kiam terpental hampir setengah tombak.
Memikir sampai di situ maka Wiro kerahkan ginkangnya yang tinggi dan berkelebat
lenyap. Sebelum kedua musuh tahu di mana dia berada tahu-tahu salah seorang dari mereka
merasakan pedang di tangan kirinya terbetot lepas! Dan di lain kejap bila dia
memandang ke depan dilihatnya Wiro telah berdiri dengan dua kaki terpentang dan
pedang melintang di depan dada!
Saking kagetnya, kedua orang itu sesaat jadi kesima. Betapa tidak. Selama 20
tahun malang melintang dalam dunia kangouw belum ada satu lawan pun yang mampu
berbuat demikian terhadap sepasang Pedang Iblis. Jangankan untuk merampas
pedang, lolos dari kepungan empat bilah senjata maut itu pun tiada yang sanggup.
Hari ini Sepasang Pedang Iblis atau Siang-mokiam betul-betul dibuat mendelik
mata masingmasing.
"Orang asing, siapakah kau sebenarnya"!"
Wiro ganda tertawa.
"Kalian berlututlah minta ampun di depanku, baru aku kasih tahu nama tuan
besarmu ini!"
Wajah kedua orang itu tegang membesi. Mata mereka laksana dikobari api, saking
marahnya. Penghinaan begini rupa tak pernah mereka terima sebelumnya.
"Anjing liar! Lekas sebutkan namamul Siang-mokiam tak pernah membunuh musuh yang
tak bernama!"
Kembali Wiro perdengarkan suara tertawa. Kali ini bernada mengejek.
"Jika kau tidak mau kasih tahu nama tidak apa. Berarti kau bakal mati dengan
penasaran! Sekarang beri tahu cepat ke mana perginya orang yang dipendam di
dalam liang sini"!"
"Katakan dulu apa sangkut paut kalian dengan dia"!" balik bertanya Wiro.
"Budak keparat ini terlalu banyak bacot! Lebih bagus kita bereskan saja cepatcepat dan bawa kepalanya ke hadapan Dewi sebagai pertanggungan jawab!" Habis
berkata begitu salah seorang dari dua manusia berjubah itu mendahului menyerang,
tapi kawannya pun kemudian menyusul pula dalam satu gerakan kilat. Kini hanya
tiga pedang yang datang menggempur, tapi kehebatannya tetap tiada kepalang dan
sedikit saja Wiro lengah pastilah akan terkutung-kutung bagian tubuhnya!
Di lain pihak Wiro memang sudah tunggu dan mengharapkan serangan ini. Tiga
pedang bertaburan di depan matanya. Dengan tenang Wiro mainkan jurus pertama
ilmu pedang yang baru diterimanya yakni " Cip-hian jay hong" atau "Tibatiba
Muncul Pelangi". Pedang perak di tangannya bersuit ke udara menimbulkan sinar
berkilauan hampir selebar satu tombak dan melengkung!
"Jurus Tiba-tiba Muncul Pelangi!" salah seorang dari Siang-mo-kiam berseru kaget
dan melompat mundur.
Tapi "tring... tring!"
Pedang kedua orang mental patah ke udara. Yang satu terhuyung sambil pegangi
dadanya yang koyak besar. Lalu tergelimpang mandi darah. Kawannya mengerang
terduduk di pojok kiri ruangan sambil pegang lengan kirinya yang buntung dan
berkucuran darah!
Sesaat Wiro sendiri jadi melotot, tak percaya akan apa yang dilihatnya. Dia
barusan telah memainkan jurus pertama dari ilmu pedang aneh yang dipelajarinya,
bahkan jurus pertama itu pun belum rampung keseluruhannya dan tahu-tahu kedua
lawannya telah roboh demikian rupa!
Melihat kawannya mati si jubah hitam yang lengan kirinya buntung menggembor
marah. Mukanya ganas sekali.
"Keparat! Ada hubungan apa kau dengan Pendekar Pedang Akhirat Long-sam-kun"!"
"Aku mana tahu segala macam akhiratl Sebaiknya nanti saja kau lihat sendiri
bagaimana keadaan di akhirat itu!"
"Setan! Jika kau bukan muridnya tua bangka Long-sam-kun itu tak nanti kau
memiliki ilmu pedang itu! Tapi jangan kira aku takut padamu! Hari ini aku
mengadu jiwa denganmu! Nyawa kawanku harus kau bayar dengan nyawa anjingmu!"
Orang itu melompat. Meskipun lengannya luka parah, buntung dan masih mengucurkan
darah serta cuma memegang satu pedang di tangan kanan, namtjn masih saja
serangan yang dilancarkannya itu hebat berbahaya.
Wiro berkelebat ke samping dan siap membalas kembali dengan ilmu pedang yang
baru dikuasainya, namun tiba-tiba serangan itu ditariknya kembali. Dia tak ingin
musuh kedua ini menemui kematian pula. Lebih penting bila dia bisa mendapatkan
keterangan mengapa mereka begitu bernafsu menginginkan jiwanya dan siapakah
sebenarnya Pendekar Pedang Akhirat Long-sam-kun itu, apakah orang tua yang
dipendam dalam liang batu dan ditolongnya itu"
Pada saat tebasan pedang lawan lewat, Wiro kirimkan satu serangan susupan ke
arah iga musuh.
Namun ini cuma satu tipuan saja, karena begitu lawan berkelit dan hendak
membacok ganas, Wiro sudah selundupkan kaki kanannya. Tendangannya tepat
menghantam pinggul orang itu dan membuat musuh terpekik melintir dan pedangnya
lepas dari genggaman.
Selagi dia terhuyung-huyung, Wiro jambak rambutnya yang merah dengan tangan
kiri. "Katakan, siapa yang menyuruhmu inginkan jiwaku"!"
"Tidak ada yang menyuruhl"
"Keparat, jangan dusta! Jika kau tak mau bicara...." Wiro Sableng pelintir
kepala orang itu hingga dia merintih kesakitan. "Kau masih ingin hidup?"
"Percuma saja. Kau sudah bunuh kawanku.
Dan kalaupun aku hidup tiada gunanya."
"Kenapa tiada guna?"
"Pemimpinku akan menghukumku dengan kematian juga!"
"Hem... sekarang kau nyerocos sendiri. Ayo katakan siapa pemimpin kalian!"
sentak Wiro. "Baik, aku akan bicara. Tapi lepaskan dulu jambakanmul" jawab orang itu.
Wiro lalu lepaskan jambakannya pada rambut musuh. Namun baru saja jambakan
dilepaskan, tiba-tiba sekali, di luar dugaan Wiro, orang itu angkat tangan
kanannya dan "brak!" Dia berjibaku.
Kepalanya dipukul sendiri hingga rengkah! Nyawanya putus detik itu juga!
"Keparat, aku kena ditipu! Manusla tolol! Diberi hidup inginkan mampus!"
Wiro bantingkan pedang perak ke lantai. Setelah merenung sejenak dia mendekati
mayat Siang-mokiam dan menanggalkan kalung emas berkepala harimau itu dari leher
keduanya. *** 3 WIRO SABLENG Sableng lenggang kangkung memasuki kota Khay-hong tanpa
memperdulikan orang yang memperhatikannya. Di hadapan sebuah kedai kecil dia
berhenti. Masuk ke sana didapatinya sudah ada beberapa orang tamu asyik makan
bubur ayam dan meneguk teh hangat. Wiro mengambil tempat duduk dan sebagaimana
biasa pandangan mata orang kemudian tertuju penuh perhatian padanya. Selesai
mengisi perut Wiro bermaksud untuk melanjutkan perjalanan. Dia ingin buru-buru
mencari tahu siapa adanya kedua orang berkalung emas yang semalam berniat
membunuhnya di bekas reruntuhan klenteng.
Karenanya, setelah membayar harga makanan dan minuman, segera dikeluarkannya
kalung harimau emas dan diperlihatkannya pada pemilik kedai.
"Lopek, mungkin kau mengetahui sesuatu yang berhubungan dengan kalung ini...?"
Sesaat matanya melihat kalung harimau emas yang digoyang-goyangkan Wiro di
tangan kanannya, paras pemilik kedai serta merta berubah pucat pasi. Tetamu lain
yang juga ada di kedai itu kelihatan menjadi ketakutan, beberapa di antaranya
segera menyingkir.
"He...?" Wiro tentu saja menjadi heran.
Di hadapannya pemilik kedai jatuhkan diri berlutut dan menjura berulang kali.
"Mohon dimaafkan aku si orang tolol ini yang tidak mengetahui gunung Thay-san di
depan mata."
"Lagi-lagi gunung Thay-san!" menggerutu Wiro di dalam hati.
"Ampunilah selembar jiwaku yang tiada berharga ini karena aku sebelumnya tidak
mengetahui kalau tayhiap adalah anggota dari Hun-tiong Houw mo yang termasyur
itu." Habis berkata demikian pemilik kedai itu lantas keruk sakunya, mengeluarkan
beberapa tail perak yang barusan diterimanya dari Wiro dan mengembalikannya pada
pemuda itu seraya berkata, "Harap tayhiap sudi menerimanya kembali. Untuk segala
hidangan yang tak seberapa itu masakan aku berani meminta bayaran pada tayhiap.
Kehadiran tayhiap di sini sesungguhnya satu kehormatan besar bagiku...."
"Eh, lopek. Jadi aku ini tak usah membayar...?"
"Betul... betul...."
Wiro garuk-garuk kepala dan memasukkan kembali beberapa tail perak itu ke dalam
pakaiannya. Diam-diam dia semakin heran.
"Jika sekiranya tayhiap ingin anggur atau arak yang baik untuk di perjalanan,
aku segera akan menyediakannya...."
"Tak usah... tak usah," kata Wiro pula seraya geleng-geleng kepala. Sebenarnya
Wiro ingin menanyakan apa yang dinamakan Hun-tiong Houw-mo (Siluman Harimau Dari
Hun Tiong) itu. Siapa pemimpinnya dan di mana letak markasnya. Di samping itu
apakah kalung harimau tersebut merupakan tanda bagi setiap anggota Hun-tiong
Houw-mo. Namun tentu saja saat ini dia menjadi kebingungan karena si pemilik
kedai telah menganggapnya sebagai salah seorang anggota dari Hun-tiong Houw-mo.
Tampaknya nama Hun-tiong Houw-mo begitu ditakuti di Khay-hong. Dan ini berarti
Hun-tiong Houwmo bukanlah sesuatu yang baik. Setelah merenung sejenak akhirnya
sambil garuk-garuk kepala Wiro putar tubuh dan tinggalkan kedai itu. Kalung emas
dimasukkannya kembali ke dalam pakaiannya.
Pada saat dia keluar dari kedai, matahari telah mulai naik. Wiro memandang
berkeliling di mans kira-kira dia bisa mendapatkan keterangan tentang spa yang
dinamakan Hun-tiong Hauw-mo itu. Di ujung jalan sebelah kanan dilihatnya dua
orang pemuda berjalan kaki ke arahnya Wiro menunggu sampai kedua orang pemuda
itu sampai ke dekatnya. Namun tiba-tiba dari ujung lain sebelah kiri terdengar
gemeletak roda gerobak yang ditingkah oleh derap kaki-kaki kuda berisik sekali.
Wiro berpaling ke kiri! Sebuah gerobak yang ditarik oleh dua ekor kuda besar
lewat dengan cepatnya. Di sebelah depan duduk dua orang lelaki bermuka bengis.
Di bagian belakang yang terbuka duduk pula dua lelaki yang juga bermuka ganas.
Masing-masing memanggul golok besar pada punggungnya. Di atas gerobak terdapat
sebuah peti mati berwarna hitam.
Di belakang gerobak ini mengikuti seorang lelaki separuh bays berpakaian ungu.
Di balik pinggang pakaiannya tersembul gagang sebilah senjata. Orang ini
menunggang seekor kuda coklat. Sebenarnya tak ada yang menarik perhatian Wiro
atas lewatnya rombongan pembawa peti mati ini, jika saja sepasang matanya yang
tajam tidak melihat seuntai kalung emas berkepala harimau yang tergantung pada
leher penunggang kuda coklat itu.
Wiro memandang berkeliling. Di seberang jaIan sana dilihatnya tertambat seekor
kuda putih di depan sebuah toko kecil. Tanpa pikir panjang lagi Wiro segera lari
ke seberang jalan, membuka ikatan kuda pada tiang lalu melompat ke punggung
binatang ini. Baru saja dia menarik tali kekang kuda tiba-tiba dari toko
keluarlah seorang dara berbaju merah. Parasnya yang jelita serta merta berubah
marah. "Pencuri kuda kurang ajar! Berhentilah jika tidak kepingin mampus!"
Namun mana Wiro mau perduli. Menoleh pun tidak. Niatnya sudah bulat untuk
mengejar rombongan pembawa peti mati tadi dengan cepat.
Melihat teriakannya tidak diacuhkan, dara baju merah tadi keruk saku pakaiannya
dan sesaat kemudian dua puluh jarum beracun berwarna hijau melesat menyebar,
hampir tak kelihatan saking cepatnya, menderu ke arah 20 jalan darah di tubuh
Wiro Sableng. Di antara kerasnya derap kaki kuda putih yang sedang dipacunya itu, Wiro
mendengar suara bersiuran di belakang punggungnya yang disertal sambaran angin
halus. Sebelumnya dia sudah mendengar bentakan seorang perempuan. Semua itu
sudah jelas menunjukkan bahwa dia tengah diserang dengan piauw secara ganas.
Tingkat kepandaian murid Eyang Sinto Gendeng yang tengah merantau di negeri
orang itu seperti diketahui sudah mencapal tingkat tinggi. Karenanya meskipun
diserang dari belakang demikian rupa, cukup tanpa menoleh dia lambaikan tangan
melepas pukulan "Angin Puyuh".
20 piauw beracun yang dilemparkan dara berbaju merah serta merta mental dan
luruh ke tanah.
Sang dara kaget bukan kepalang. Dia menggembor marah dan melompat sampai tiga
tombak ke depan untuk mengejar Wiro. Namun tentu saja dia tak dapat mengejar
kuda besar yang larinya cepat luar biasa itu. Baru saja dia membuat lompatan,
Wiro dan kuda putihnya sudah lenyap di balik tikungan jalan. Dara ini mengomel
setengah mati. Namun apakah yang bisa dibuatnya..."
Setelah menempuh jarak lebih dari 80 lie, rombongan yang dibuntuti oleh Wiro
Sableng berhenti di sebuah telaga kecil. Sebenarnya Wiro sudah gatal untuk buruburu turun tangan terhadap rombongan tersebut. Pertama untuk menyelidiki apa
sebenarnya rahasia yang ada di balik kalung emas berkepala harimau itu. Apa dan
siapa sebenarnya Hun-tiong Hauw-mo itu dan di mana markasnya. Apa tujuan
komplotan Siluman Harimau tersebut jika memang dia merupakan satu komplotan.
Lalu apa sangkut pautnya dengan tua renta aneh yang secara tak sengaja telah
ditolongnya ke luar dari Hang akhirat malam tadi. Namun karena memikir mungkin
sekali rombongan pembawa peti mati itu tengah menuju ke markas Hun-tiong Hauw-mo
maka Wiro mempersabar diri dan terus melakukan penguntitan secara diam-diam.
Memperhatikan peti mati di atas gerobak dari tempat persembunyiannya di balik
semak-semak, Wiro jadi berpikir-pikir kembali. Apakah peti mati itu kosong atau
ada isinya" Jika kosong apa gunanya dibawa demikian jauh. Kalaupun untuk
penguburan jenazah, adalah terlalu mencapaikan diri harus memesan peti mati dari
tempat yang amat jauh. Sebaliknya jika dalam peti mati itu memang ada
jenazahnya, kenapa rombongan membawanya dengan amat tergesa-gesa" Tidak lazim
sama sekali mayat diangkut begitu sembrono, di atas gerobak yang dipacu kencang
terus menerus, apalagi jalan demikian buruknya.
Sementara orang-orang dalam rombongan itu beristirahat sambil meneguk arak, Wiro
Sableng cuma bisa leletkan lidah membasahi bibir.
Tak lama kemudian rombongan itu dilihatnya bersiap-siap hendak berangkat
kembali. Dan kembali pula Wiro bersama kuda curiannya mengikuti orang-orang itu.
Beberapa jam kemudian di ufuk barat sang surya telah mulai merosot ke titik
tenggelamnya. Warnanya yang tadi putih menyilaukan dan terik kini kelihatan menjadi redup
kemerah-merahan. Pada saat itulah rombongan pembawa peti mati memasuki kota Cibun. Mereka langsung menuju sebuah hotel. Dua orang jongos keluar menyambut
kedatangan mereka. Namun keduanya serta merta tersurut langkah ke belakang dan
pucat pasi wajah masing-masing. Mata mereka mendelik memandang kalung kepala
harimau yang tergantung pada leher penunggang kuda berpakaian ungu. Seolah-olah
kedua jongos hotel ini telah melihat setan kepala sepuluh yang mengerikan!
Orang yang dipandang dengan mimik ketakutan itu kelihatan menyeringai. Dia
membuka mulut dan bicara dengan nada keras. "Untuk malam ini semua kamar hotel
kami sewa. Ini hadiah dua tail perak untuk kalian. Tapi ingat! Awas jika kalian
berani memberikan satu kamar saja buat siapa pun!"
Habis berkata demikian lelaki baju ungu lantas lemparkan dua tail perak pada
kedua jongos. Meskipun tadi ketakutan setengah mati, namun diberi uang dua jongos hotel itu
ulurkan tangan menyambut.
"Loya, apakah peti mati ini perlu diturunkan juga?" salah seorang dari empat
lelaki bertampang bengis yang mengawal gerobak bermuatan peti mati bertanya
begitu lelaki berpakaian serba ungu loncat turun dari atas kuda.
Yang ditanya menjawab sambil memandang sekeliling halaman hotel. "Gotong ke
kamar tidurku. Kau dan tiga kawanmu harus berjaga-jaga di luar kamar. Perjalanan kita masih
cukup jauh dan aku tidak ingin terjadi kesulitan mendadak."
"Perintahmu akan kami jalankan, Loya. Dan kau tak usah kawatir soal keamanan
peti mati itu. Serahkan saja kepada kami Empat Golok Kematian...."
Orang itu kemudian putar tubuh dan bersama tiga kawannya dia menggotong peti


Wiro Sableng 018 Pendekar Pedang Akhirat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mati ke kamar yang disediakan jongos hotel untuk lelaki berbaju ungu. Empat
Golok Kematian adalah empat perampok berkepandaian tinggi yang sering malang
melintang di daerah barat. Rata-rata memiliki tenaga dalam yang besar. Namun
dari cara mereka mengangkat peti mati tersebut kentara sekali bahwa peti
tersebut amat berat. Apakah sebenarnya isinya" Bahkan Empat Golok Kematian
sendiri pun tidak mengetahui. Mereka cuma dibayar untuk mengawal gerobak
tersebut ke satu tempat yang mereka tidak tahu. Sepanjang perjalanan antara
mereka saling bisik-bisik menduga-duga apa isi peti misterius tersebut.
Hendak menanyakan pada lelaki baju ungu mereka tidak berani. Mereka tahu betul
salah-salah mulut dan tingkah bukan mustahil nyawa mereka imbalannya. Meskipun
mereka berjumlah lebih banyak dan rata-rata berkepandaian tinggi, namun terhadap
si baju ungu berkalung harimau itu mereka laksana kelinci dengan singa!
Setelah peti mati dimasukkan ke dalam kamarriya, lelaki berpakaian ungu lantas
kunci pintu dan jendela kamar, memeriksa keadaan tempat itu lalu duduk bersila
di lantai. Di luar kamar Empat Golok Kematian berjaga-jaga sedang di pintu
halaman dua jongos hotel tegak pula melakukan penjagaan.
Seekor kelelawar menggelepar di puncak sebuah pohon, ketika dua jongos yang
mengawal di pintu halaman hotel melihat seorang penunggang kuda putih
mendatangi. Acuh tak acuh orang ini hendak masuk melewati pintu halaman begitu
saja. Kedua jongos serta merta menahannya.
"Bukankah bangunan di dalam halaman ini sebuah rumah penginapan," penunggang
kuda putih bertanya. Dia bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Saat itu hari sudah gelap. Dua jongos hotel tidak begitu jelas melihat wajah
penunggang kuda putih.
Namun dari logat bicaranya kentara sekali kalau orang itu adalah orang asing.
"Betul dugaanmu cuwi. Tapi harap dimaafkan. Jika kau bermaksud bermalam di sini
ketahuilah semua kamar hotel telah penuh."
"Penuh" Tak satu pun yang ketinggalan?"
"Tak satu pun!"
"Tapi barusan kalau aku tak salah lihat serombongan yang terdiri dari lima orang
telah datang kemari. Masakan untuk mereka berlima ada, untuk aku yang sendiri
tidak ada!"
"Mereka... mereka memborong semua kamar dalam hotel ini. Harap cuwi mau cari
rumah penginapan yang lain."
"Tubuhku letih, perutku lapar. Aku perlu buru-buru istirahat. Harap kalian beri
jalan!" "Kami sudah bilang semua kamar penuh. Harap cuwi mengerti dan jangan kelewat
memaksa?" "Aku bisa tidur di dapur!"
"Itu tidak mungkin!"
"Kenapa tidak mungkin?" sentak Wiro lantas gebrak kudanya dan menerobos masuk ke
dalam halaman. Kedua jongos hotel cepat memburu. Satu menahan tali kekang kuda
putih, satu lagi menarik ekor binatang itu.
Wiro jadi jengkel. Jelas sudah ada apa-apa yang tak semestinya. "Kalian minta
digebuk!" desis pendekar ini lalu melompat turun dan hadiahkan masing-masing
satu tamparan pada kedua jongos tersebut.
Karena tamparan cukup keras, kedua jongos itu melolong kesakitan dan rubuh ke
tanah. Wiro putar tubuh untuk melangkah ke pintu depan hotel. Baru maju dua
tindak, sesosok bayangan hitam berkelebat. Satu bentakan terdengar, "Bangsat
rendah dari mana yang berani mengacau di sini"!"
*** 4 BERPALING ke kiri Wiro Sableng melihat seorang lelaki berpakaian hitam, bertubuh
tegap dan punya tampang garang, berdiri mencekal sebilah golok besar.
"Siapa kau?" sentak orang ini yang bukan lain adalah seorang dari Empat Golok
Kematian. Dia melirik pada dua jongos hotel yang melingkar merintih-rintih di
tanah. "Ah, kau lebih sopan sedikit dari dua kurcaci konyol in!," jawab Wiro pula.
"Aku datang ke mari untuk menyewa kamar dan menginap."
"Semua kamar sudah penuh. Kami memakalinya semua!" jawab orang itu.
Wiro garuk-garuk kepala.
"Jika sudah tahu lekas angkat kaki dari sini!"
"Yang aku belum tahu..." kata Wiro pula anteng-anteng, "Kalian cuma berlima sedang
hotel ini punya hampir sepuluh kamar. Masakan penuh semua!"
"Rupanya kau perlu diajar tahu dengan ini!" orang ketiga dari Empat Golok
Kematian itu jadi naik darah dan babatkan goloknya kepada Wiro Sableng. Senjata
ini besar berat dan menimbulkan suara bersiuran. Wiro segera maklum kalau
manusia di hadapannya ini tidak sama dengan jongos hotel tadi.
Cepat dia meluncur mengelit. Ujung golok lewat satu jengkal dari dadanya.
Melihat serangannya tidak membawa hasil, orang itu menggembor marah dan membacok
sebat. Tapi lagi-lagi serangannya hanya mengenai tempat kosong.
"Bangsat, jika kau punya kepandaian keluarkan senjata!" dia membentak.
Kemudian dia hanya mendengar suara orang tertawa perlahan dan memandang ke
depan, Wiro Sableng dilihatnya tak ada lagi di tempat. Belum habis kagetnya
tiba-tiba "duk!" Satu jotosan menghantam punggungnya. Empat Golok kematian
mengeluh dan tersungkur ke depan. Dia coba mengimbangi tubuh tapi satu totokan
membuat dia tak bisa bergerak ataupun buka suara! Dalam hatinya orang ketiga
dari Empat Golok Kematian ini memaki dan penasaran setengah mati. Seumur
hidupnya baru sekarang dia dipecundangi lawan semuda itul Siapakah adanya pemuda
asing yang lihay ini"
Wiro melangkah mendekati bangunan hotel. Pintu depan tidak dikunci. Dia langsung
melangkah masuk. Tapi baru masuk dua tindak, tiga senjata dilihatnya berkelebat
ke arahnya. Satu menyambar ke dada, satu membabat ke muka dan satu lagi menusuk
ke arah pintu. Ganas sekali serangan tiga senjata itu. Kalau saja Wiro tidak lekas melompat ke
belakang niscaya tubuhnya akan mandi darah dan nyawanya akan putus!
Baru saja Wiro menginjakkan kaki di serambi depan hotel, tiga sosok tubuh
masing-masing mencekal golok telah mengurungnya. Melihat kepada tampang dan
pakaian mereka Wiro segera maklum kalau tiga manusia ini pastilah kambratkambrat yang satu tadi.
Saat itu bagian serambi depan hotel tiada berpenerangan. Dalam suasana gelap
begitu tiga orang tersebut kembali menggempur Wiro. Serangan tiga golok mereka
bukan sembarangan dan Wiro harus berhati-hati.
"Aku heran, ke mana kawan kita yang seorang," berbisik salah seorang Empat Golok
Kematian pada teman di sebelahnya.
"Jangan-jangan sudah terjadi apa-apa atas dirinya."
Menduga sampai di situ ketiga orang tersebut kemudian putar golok masing-masing
dengan sebat. Sampai seat itu Wiro masih mengandalkan tangan kosong dan ginkangnya. Namun
serangan tiga golok makin lama makin gencar dan kurungan ketiga lawan itu
semakin rapat. "Ilmu golok kalian hebat sekalit Tahan dulu! Aku mau bicara." Wiro tiba-tiba
berseru. Tapi ketiga orang tersebut tidak mau hentikan serangan. Mereka menduga kawan
mereka yang seorang telah celaka di tangan pemuda tak dikenal itu, karenanya
mereka berkeputusan untuk membunuh Wiro.
"Bagusnya kau sebutkan siapa nama dan clarl mana kau datang agar kau tidak
mampus penasaran,"
salah seorang dari Empat Golok Kematian berseru dan goloknya bersiut-siut
mengirim serangan yang tidak berkeputusan.
"Kalau mengandalkan tangan kosong terus menerus aku bisa mati konyol!" kata Wiro
dalam hati. Sebaliknya untuk mengeluarkan kapak saktinya saat itu dirasanya masih belum pada
tempatnya. Karenanya ketika mengelakkan satu bacokan dan dua tusukan golok ketiga lawannya,
dengan menjambret, patah sebatang cabang pohon yang panjangnya lebih dari satu
meter dan besarnya selingkaran lengan.
Melihat lompatan yang barusan dibuat oleh Wiro, yang demikian gesit serta ringan
sekali, ketiga lawannya diam-diam merasa kaget juga. Semakin jelas bagi mereka
bahwa orang asing berambut gondrong itu bukan manusia sembarangan. Namun sebagai
jago-jago yang memiliki ilmu silat tinggi serta pengalaman luas di dunia
persilatan, tentu saja mereka tidak merasa jerih. Sebaliknya tiga manusia ini
kembali menyerbu disertai dengan bentakan-bentakan dahsyat.
Semula Wiro Sableng akan sambut tiga serangan itu dengan jurus "Kipas Saku
Menerpa Hujan", yakni salah satu jurus ilmu silat yang dipelajarinya dari
gurunya Eyang Sinto Gendeng. Namun saat itu selintas pikiran timbul dalam
benaknya. Waktu menghadapi Siang-mo kiam tempo hari dia telah mengeluarkan jurus
pertama dari ilmu pedang yang diterima dari manusia aneh berjuluk Pendekar
Pedang Akhirat. Hasilnya luar biasa, membuat Siang-mo kiam atau Sepasang Pedang
Iblis mandi darah.
Kini bukankah ada baiknya kalau dia mencoba pula jurus kedua dari ilmu silat
aneh tersebut" Yaitu jurus pedang yang disebut Lo han Ciang-yau atau Malaikat
Menundukkan Siluman.
Begitulah, sewaktu tiga golok besar berkiblat untuk membantainya, Wiro lantas
putar cabang di tangannya dalam jurus ilmu pedang tadi. Tiga lawannya tiba-tiba
melihat sesuatu menghitam di depan mereka yang disertai dengan suara bersiur
yang berat. Hanya sepasang cabang kayu masakan sanggup menghadapi tiga golok
besar, demikian ketiga orang dari Empat Golok Kematian itu berpendapat serta
memandang rendah lawan. Namun apa yang terjadi kemudian betul-betul mereka tidak
menduga. Pertama sekali anggota Empat Golok Kematian yang di ujung kanan terpelanting
hampir satu tombak, melingkar di tanah dengan kepala pecah kena hantaman cabang
kayu di tangan Wiro. Dia mati tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
Empat Golok Kematian yang berada di tengah masih sempat mengeluarkan suara
keluhan pendek sewaktu dadanya kena dihantam cabang kayu, lalu jatuh
tergelimpang di tanah, megap-megap seketika, mengeluh sekali lagi dan mati.
Yang ketiga masih untung karena hanya tulang lengannya saja yang remuk dan
goloknya mental ke atas. Orang ini tanpa tunggu lebih lama segera putar badan
dan ambil langkah seribu.
Sementara itu di dalam hotel sewaktu terjadi keributan...
Lelaki separuh baya yang berpakaian serba ungu dan berada dalam salah satu kamar
hotel di mana Juga terletak peti mati hitam, itu menjadi kaget ketika di luar
didengarnya suara ribut-ribut orang berkelahi. Setelah mengunci pintu dan
jendela kamar itu serta memadamkan lampu minyak, dengan satu gerakan yang lihay
dia melompat ke atas panglari. Dari sini dia membuka genteng kamar dan di lain
saat dia sudah berada di atas atap hotel.
Siapakah sebenarnya orang ini. Dia bernama Tio Ki-pi, seorang tokoh silat dari
propinsi Ciat kang yang dikenal dengan julukan Thian-liong-pan atau si Ruyung
Naga selama delapan tahun lebih dia dikenal sebagai seorang pendekar gagah
golongan putlh yang telah banyak jasanya dalam menolong manusia-manusia lemah
dan tertindas. Namun sejak beberapa bulan belakangan ini Tio Ki-pi telah
tersesat dan menempuh jalan salah, ikut bersekutu dengan satu komplotan manusia
jahat. Di dalam gelapnya malam, dari atas atap hotel, Tio Ki-pi dapat melihat tiga dari
Empat Golok Kematian tengah mengeroyok seorang tak dikenal tak berapa jauh dari
situ menggeletak sesosok tubuh yang tak dapat tidak pastilah anggota Empat Golok
Kematian yang telah kena dipreteli lawan. Di bagian lain dari halaman itu dua
orang jongos hotel tampak melingkar di tanah.
Segala sesuatunya kemudian begitu cepat terjadi. Sehingga belum sempat Tio Ki-pi
berbuat sesuatu, berturut-turut terdengarlah suara bergedebukan, suara keluhan
dan jeritan dua dari Empat Golok Kematian, dilihatnya menggeletak di tanah
sedang yang ketiga lari pontang-panting sambil menjerit kesakitan.
Sepasang alis mata Tio Ki-pi naik ke atas. Sesaat mukanya kelihatan tegang.
Siapakah adanya orang di bawah sana yang demikian lihay dan mengandalkan
kepandaiannya untuk melakukan pembunuhan begitu rupa" Sejenak jago silat dari
Ciat kang ini berpikir. Kemudian laksana seekor burung walet dia melayang turun
dari atas atap hotel dan menjejakkan kakinya ditanah tanpa menimbulkan suara
barang sedikit pun.
"Orang asing dari manakah yang telah menunjukkan keganasan di sini" Harap
beritahukan nama dan gelar!"
Wiro kaget dan cepat berpaling. Jika sampal sepasang telinga tidak jelas
menangkap kedatangan orang ini jelas dia memiliki ilmu yang lihay.
"Ah, kiranya kau...!" kata Wiro begitu dia melihat si baju ungu.
"Kau kenal aku"!" Tio Ki-pi menghardik. "Cuma kenal tampang. Siapa kau adanya
aku masih belum tahu..." jawab Wiro sambil nyengir. "Manusia-manusia itu tiada
permusuhan dengan kau. Kenapa kau turun tangan sekejam itu?" Pendekar 212 garukgaruk kepalanya lantas menjawab, "Mereka mencari urusan yang tak karuan. Masakan
aku mau menginap di hotel ini mereka bilang semua kamar penuh.
Brengsek! Lagi pula, kalau melihat tampang-tampangnya, yang dua ini serta yang
tadi lari itu tampaknya bukan manusia baik-baik."
"Mereka adalah Empat Golok Kematian pembantu-pembantuku!"
"Pembantu-pembantumu..." Ah!" Wiro gelenggeleng kepala.
"Orang asing. Dari gerak-gerik cecongormu, aku yakin juga kau bukan manusia
baik-baik. Ke-datanganmu kemari membawa satu maksud yang tersembunyi. Mengapa!"
Wiro tertawa. Kembali tangannya menggarukgaruk kepalanya. "Kau betul. Jika aku
boleh tanya, apakah isi peti mati yang ada di dalam hotel itu hingga
pembawaannya dikawal ketat demikian rupa bahkan sampai-sampai dua manusia tolol
itu mau pasrahkan jiwa mereka?"
Tio Ki-pi berusaha melenyapkan perubahan air muka kekagetan atas pertanyaan Wiro
yang tidak diduganya itu.
"Oh, kiranya peti mati itulah yang menjadi perhatianmu" Apakah itu menjadi
urusanmu"!"
"Tentu saja bukan. Tapi kalau semua itu ada sangkut pautnya dengan kalung emas
kepala harimau yang kau pakai maka itu lain pula ceritanya!"
"He, tahukah kau apa artinya kalung kepala harimau ini?" tanya Tio Ki-pi seraya
pegang kalung yang tergantung di lehernya.
Dari balik pakaiannya, Wiro Sableng keluarkan salah satu kalung kepala harimau
emas yang diam-bilnya dari Siang mo Kiam. Seraya menimbang-nimbang benda itu dia
berkata, "Kalungmu tiada beda dengan kalungku. Bukankah begitu?"
Tio Ki-pi melengak kaget. Sepasang matanya membeliak besar. "Apakah... apakah
kau juga anggota komplotan Hun-tiong Hauw-mo?"
"Kalau sudah tahu kenapa masih bertanya?" jawab Wiro keren sambil mendongak ke
langit. Tio Ki-pi memandangi si rambut gondrong ini dari kepala sampai ke kaki. Hatinya
meragu melihat potongan Wiro. Ditambah pula dengan keganasan yang dilakukannya
terhadap Empat Golok Kematian.
Jika dia anggota Hun-tiong Houw-mo kenapa melabrak kawan sendiri" Tapi jika dia
bukan anggota komplotan itu di mana Tio Ki-pi merupakan pula salah seorang
anggotanya, mengapa pemuda itu bisa memiliki kalung emas kepala harimau itu?"
"Sobat, jika kau orang sendiri, kenapa membuat keonaran melakukan pembunuhan
pada orang-orang yang kubayar untuk mengawal kereta?" Tio Ki-pi ajukan
pertanyaan. "Kau tidak tahu orang bagaimana sebenarnya Empat Golok iCematian," jawab Wiro,
pula. "Pimpinan telah menyuruhku secara diam-diam untuk mengikuti perjalananmu.
Ternyata Empat Golok Kematian mempunyai rencana busuk. Dia hendak membunuhmu
secara membokong kemudian melarikan apa yang terdapat dalam peti mati itu!"
Tio Ki-pi seorang yang sudah berpengalaman dan tak mau lekas percaya pada orang
lain. "Jika betul pimpinan kita telah menyuruhmu, coba kau beri tahu dari mana kami
berangkat dan ke mana tujuan kami?"
"Soal itu kau tak perlu memancingku. Sebaiknya kita masuk ke dalam dan
istirahat. Besok pagi-pagi buta harus sudah melanjutkan perjalanan."
Acuh tak acuh Wiro kemudian melangkah menuju pintu hotel. Tapi Tio Ki-pi cepat
memotong jalannya dan menahan pada Wiro dengan tangan kiri. Cara Tio Ki-pi
menahan gerakan Wiro kelihatannya lembut perlahan saja namun memiliki tenaga
yang sanggup menahan dorongan 200 kati!
Tahu kalau orang hendak menjajaki kepandaiannya, tak sungkan Wiro kerahkan
tenaga dalamnya dan mendorongkan dadanya ke depan. Akibatnya Tio Ki-pi terhuyung
sampai tiga langkah ke belakang.
Kagetnya jagoan dari Ciat kang ini bukan kepalang. "Ah, tingkat tenaga dalamnya
lebih tinggi dariku,"
katanya membathin. Kemudian dia terbatuk-batuk beberapa kali.
"Sobat, ketahuilah tugas yang diberikan oleh pimpinan padamu merupakan satu
tugas yang berat dan penuh tanggung jawab. Dunia persilatan penuh dengan orangorang jahat dan penipu licik.
Karenanya jika kau betul anggota Hun-tiong Houw-mo harap kau sudi mengucapkan
sumpah perkumpulan kita!"
Menyadari kalau dia tak bakal bisa mengucapkan segala macam sumpah komplotan
tersebut maka Wiro tiba-tiba berpura marah dan menghardik, "Rupanya kau tidak


Wiro Sableng 018 Pendekar Pedang Akhirat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandang sebelah mata kepadaku"
Berani kau menguji diriku?"
Diam-diam Tio Ki-pi yakin kini kalau orang asing berambut gondrong di depannya
itu bukanlah anggota Hun-tiong Houw-mo karena setiap anggota jika bertemu tapi
sebelumnya belum saling kenal, diharuskan untuk menguji kebenaran keanggotaannya
dengan mengucapkan sumpah perkumpulan.
Namun untuk bertindak gegabah pada orang yang disadarinya lebih tinggi
kepandaiannya, Tio Ki-pi tentu saja tidak mau.
"Harap sicu maafkan. Aku bukan memandang rendah terhadapmu. Semua ini adalah
demi keselamatan dan pengamanan tugas!"
Wiro kertakkan rahang.
"Menyingkirlah," perintahnya. "Kelak akan kumintakan pada pimpinan agar
keanggotaanmu dalam Hun-tiong Houw-mo dicabut dan atas kekurangajaranmu ini kau
harus menerima hukuman."
Tio Ki-pi tertawa bergelak.
"Manusia tolol, jangan kira aku akan termakan oleh tipu busukmu! Kau bukan
anggota Hun-tiong Houw-mo! Selembar nyawamu tak mungkin kubiarkan terus
petantang-petenteng!"
Habis berkata begitu Tio Ki-pi yang bergelar Thian liong pian atau Ruyung Naga
ini lantas menggembor. Kedua lututnya menekuk. Tiba-tiba tangan kanannya
dipukulkan ke depan. Satu larikan besar angin panas menggebu ke arah Wiro
Sableng. Wiro membentak marah dan balas hantamkan tangan kanannya ke muka, lepaskan
pukulan sakti bernama, "Benteng Topan Melanda Samudera" dengan mengandalkan
sepertiga bagian tenaga dalamnya.
Meskipun pukulan itu membuat Tio Ki-pi mencelat hampir sejauh satu setengah
tombak namun Wiro sendiri terhuyung-huyung. Tubuhnya laksana terpanggang hingga
dia buru-buru harus melompat selamatkan diri.
Tio Ki-pi bukan alang kepalang kagetnya. Barusan dia telah melepaskan pukulan
saktinya yang terhebat dan bernama Ngo-lu gui san atau Lima Petir Membelah
Gunung dengan mengerahkan tiga perempat tenaga dalamnya. Selama ini boleh
dikatakan tak seorang lawan pun sanggup bertahan terhadap pukulan sakti itu.
Namun nyatanya musuh di hadapannya itu masih sanggup selamatkan diri!
Di lain pihak Wiro sendiri tak urung tersentak kaget pula karena ketika
memperhatikan pakaiannya, baju serta celananya, kelihatan kehitam-hitaman.
Hangus! Kedua orang itu sesaat saling baku pandang untuk kemudian sama-sama bergerak
meneruskan baku hantam itu!
Dalam waktu singkat kedua orang itu telah bertempur enam jurus. Dalam gelapnya
malam hanya bayang-bayang pakaian mereka saja yang kelihatan. Salah seorang dari
Empat Golok Kematian yang masih hidup yakni yang tadi ditotok oleh Wiro dan
masih tertegun itu tidak hentinya menaruh kekaguman, melupakan sendiri nasib
dirinya yang tiada berdaya saat itu.
Tingkat pengalaman dan ilmu mengentengi tubuh dari Tio Ki-pi alias Thian liongpian tak dapat disangsikan lagi ketinggiannya. Gerakannya gesit enteng.
Serangannya mematikan sedangkan tipu-tipuannya betul-betul maut. Namun
menghadapi Wiro Sableng dia betul dibuat jadi gemas penasaran.
Semua serangan dan tipu-tipuan lihaynya tidak menemui sasaran, yang amat
menjengkelkan ialah karena dilihatnya lawan menghadapinya dengan sikap cengarcengir mengejek.
Tio Ki-pi membentak nyaring. Ilmu silatnya mendadak berubah dan tubuhnya kini
hanya laksana angin yang menyambar-nyambar kian kemari.
Diam-diam Wiro merasa kagum juga melihat kehebatan si baju ungu anggota Hun Pendekar Bayangan Malaikat 1 Pendekar Rajawali Sakti 152 Istana Goa Darah Kisah Pendekar Bongkok 15

Cari Blog Ini