Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Akhirat 2

Wiro Sableng 018 Pendekar Pedang Akhirat Bagian 2


tiong Houw-mo ini. Serta merta dia percepat pula gerakannya hingga kini mereka
hanya laksana bayang-bayang yang saling berkelebatan kian ke mari dan sebentarsebentar lenyap dari pemandangan karena saking cepatnya gerakan keduanya.
"Sobat jaga dadamu!" Wiro berseru. Secepat kilat tangan kanannya memukul ke
depan dalam gerakan yang dinamakan "Kilat Menyambar Puncak Gunung".
Tentu saja Tio Ki-pi tidak mau menerima pukulan tersebut mentah-mentah. Dengan
membentak dahsyat jago silat dari Ciatkang ini meningkatkan tubuh, pergunakan
salah satu kakinya untuk menjejak tanah sehingga dalam keadaan miring itu
tubuhnya tersurut tiga langkah ke belakang dan di lain kejap dia sudah maju pula
sambil selusupkan satu tendangan kilat ke perut lawan!
Jurus yang dilancarkan oleh Tio Ki-pi tadi bernama Hek-hou-wat-sim atau Macan
Hitam Menggerak Hati dan merupakan salah satu jurus yang hebat dalam ilmu
silatnya. Sekali tendangannya mampir di perut lawan pastilah akan bobol serta
merenggut nyawa. Namun yang dihadapi Tio Ki-pi saat itu bukanlah lawan dari
tingkatan kurcaci rendah tolol, sekalipun bertampang goblok macam anak-anak!
Serangan kedua yang dilancarkan Wiro disertai teriakan peringatan tadi tak lebih
hanyalah sebuah tipuan belaka. Begitu lawan bergerak mundur dan kembali
menyerang, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini serta merta susulkan
serangan berikutnya yang bernama "Di balik Gunung Memukul Halilintar".
Ketika tendangannya melesat ke depan, Tio Ki-pi mendadak kehilangan lawan,
serangannya mengenai tempat kosong. Kemudian sebelum dia berkesempatan
mengetahui di mana Wiro berada tahu-tahu satu hantaman keras sudah melabrak
punggungnya dari belakang. Demikian kerasnya hingga jago dari propinsi Ciatkang
itu mencelat tiga tombak, terguling-guling di tanah. Tapi hebatnya dia cepat
kembali berdiri. Buru-buru Tio Ki-pi mengambil sebutir pil. Setelah telan benda
itu dan pejamkan mata serta atur jalan darah dan pernapasan, Tio Ki-pi lantas
rasakan tubuhnya segar kembali meskipun dadanya agak sesak.
"Bangsat! Hari ini aku mengadu jiwa denganmu!" Tio Ki-pi menggembor marah lantas
keluarkan senjata dari balik jubah ungunya. Senjata ini adalah sebuah ruyung
berbentuk kepala naga terbuat dari baja putih. Di beberapa bagian dihiasi dengan
duri-duri beracun. Sekali seseorang kena dihantam senjata yang beratnya hampir
lima puluh kati ini tak ampun lagi pasti akan mati dalam keadaan tubuh atau
kepala hancur! Dengan memiliki senjata inilah selama bertahun-tahun berkelana di
dunia persilatan Tio Ki-pi sampai mendapat julukan si Ruyung Naga (Thian liong
pian). Meskipun malam gelap pekat namun ruyung baja putih kelihatan berkilat di
tangan Tio Ki-pi.
Sesaat Tio Ki-pi melontarkan pandangan bengis pada lawannya. Lalu tanpa banyak
bicara lagi orang ini kiblatkan senjatanya.
"Wutt!"
Satu gelombang angin yang amat deras menerpa Wiro Sableng ketika ruyung baja itu
membabat di depannya. Tubuhnya tergontai-gontai limbung.
Selagi dia berusaha mengimbangi diri, secepat kilat ruyung kembali membabat,
Wiro cepat menyingkir namun angin yang keluar dari senjata lawan masih sanggup
membuatnya terjajar dan tersandar ke gerobak yang berada di halaman itu.
"Sekarang mampuslah!" teriak Tio Ki-pi bernafsu dan susul dengan hantaman ruyung
untuk ketiga kalinya.
"Sialan, ganas dan hebat sekali permainan ruyung kunyuk ini!" maki Wiro dalam
hati. Dia jatuhkan diri seraya mendorong dengan kedua tangannya ke arah dada
serta perut lawan.
Hantaman ruyung baja mengenai gerobak di belakang Wiro. Kendaraan ini hancur
berkeping-keping. Sebaliknya Tio Ki-pi akibat dorongan Wiro tadi terpelariting
sampai tiga tombak. Dada dan perutnya seperti dipilin. Tanpa memperdulikan rasa
sakit dengan nekad dan kalap Tio Ki-pi kembali menyerbu. Ruyung naganya
bersiuran di udara berputar-putar laksana titiran dan mengurung Wiro Sableng
dari seluruh jurusan!
Diam-diam Wiro jadi mengeluh dan keluarkan keringat dingin ketika setelah tiga
jurus dia dikepung oleh serangan ruyung lawan ternyata dia tak bisa keluar dari
kepungan itu sekalipun dia telah kerahkan ilmu mengentengi tubuh dan segala
kegesitannya. Sebaliknya kurungan sambaransambaran ruyung semakin ganas dan
tambah rapat. Sekujur tubuhnya laksana ditindih oleh dinding yang keras
gerakannya makin lama makin lamban!
Tio Ki-pi yang melihat bagaimana lawan sudah tak berdaya tertawa panjang dan
mengejek. "Sekarang kau baru tahu siapa adanya Tio Ki-pi yang berjuluk Thian liong pian
ini!" Sekali dia gerakkan tangan kanannya maka ruyung baja digenggamannya
meluncur menghantam deras ke arah batok kepala Wiro Sableng!
Tiba-tiba sekali satu sinar putih kelihatan bertabur dibarengi dengan menderunya
suara macam seribu tawon mengamuk. Sekejap kemudian terdengar suara berdentang
yang keras dan memerciknya bunga api. Memperhatikan senjata mustikanya yang
somplak, nyalinya kini betul-betul menjadi lumer.
Memandang ke depan dilihatnya lawan memegang sebilah senjata berbentuk aneh dan
baru sekali itu disaksikannya. Senjata itu bukan lain adalah Kapak Naga Geni
212, yakni sebatang kapak bermata dua, gagangnya terbuat dari gading dan
memancarkan sinar kemilau menyilaukan!
Tio Ki-pi mengeluh, kenapa dalam menjalankan tugas penuh tanggung jawab itu dia
musti menemui lawan yang begini tangguh. Untuk melanjutkan perkelahian berarti
konyol sendiri. Tapi tak mungkin pula baginya untuk kabur dari situ dengan
meninggalkan peti mati yang ada di dalam kamar hotel. Lelaki ini jadi bingung
sendiri. Namun dalam bingungnya masih ada sekelumit pikiran cerdik dalam
otaknya. Tio Ki-pi tiba-tiba menjura dan sambil tersenyum dia berkata, "Hari ini benarbenar aku Tio Ki-pi manusia tak berguna ini mendapat pelajaran dari seorang yang
rupanya tokoh persilatan berkepandaian tinggi. Aku menghaturkan hormat dan
karena belum mengenal siapa adanya tayhiap harap sudilah memberi tahu nama dan
gelaran." "Nama dan gelarku tak perlu dipersoalkan. Yang jelas aku adalah anggota
kepercayaan dari pimpinan Hun-tiong Houw-mo...."
"Tadi pun tayhiap sudah menerangkan...."
"Nah, kalau sudah tahu kenapa masih banyak tanya?" sentak Wiro. Sepasang matanya
mengawasi waspada karena mungkin manusia di depannya itu akan melakukan serangan
licik secara tiba-tiba.
"Maksudku cuma akan meminta petunjuk lebih lanjut dari tayhiap. Jika tayhiap
betul-betul mendapat tugas mendampingiku dari pimpinan perkumpulan, baiklah kita
lupakan segala apa yang barusan terjadi. Mari kita masuk ke hotel, untuk bicara
lebih lanjut."
"Kunyuk ini mulutnya jadi begitu manis dan sikapnya jadi baik sekali. Aku harus
hati-hati,"
membatin Wiro. Dia tetap tegak di tempatnya.
Tio Ki-pi yang sudah maju dua tindak berpaling, "Tunggu apa lagi" Apakah tayhiap
tidak percaya padaku" Bukankah jika tayhiap mau kau dapat membunuhku dengan
mudah seperti membalikkan telapak tangan saja"!"
Wiro merenung sejenak.
"Tadi tayhiap bilang ingin mengetahui isi peti mati itu..." kata Tio Ki-pi pula.
Akhirnya setelah menyimpan Kapak Naga Geni 212 di balik pinggangnya, Wiro
melangkah juga mengikuti Tio Ki-pi. Mereka memasuki hotel dari pintu depan. Tio
Ki-pi membuka pintu lebar-lebar, begitu sampai di dalam dia mempersilahkan Wiro
masuk. Baru saja Wiro berada di bawah pintu tiba-tiba Tio Ki-pi dengan cepat
bantingkan daun pintu keras-keras dan terus menekannya dengan tangan kiri hingga
Wiro Sableng tergencet antara ujung daun pintu dan tonggak pintu!
Wiro tahu bahaya apa yang mengancamnya dalam keadaan begitu rupa. Lebih-lebih
ketika dilihatnya Tio Ki-pi menggerakkan tangan kanan mencabut ruyung bajanya.
Meskipun senjata itu sudah semplak, namun kalau sampai kena dihantam tetap saja
Wiro akan menemui kematian!
"Bangsat licik!"' teriak Wiro marah sementara ruyung baja dilihatnya sudah
tergenggam di tangan lawan, Wiro kerahkan tenaga dalam dan segala kekuatannya
untuk melepaskan diri dari gencetan pintu.
Tangan kirinya yang berada di sebelah dalam pintu tampak memutih. Dia membentak
garang dan hantamkan tangan kiri memapasi pukulan deras ruyung naga lawan.
Pendekar 212 Wiro Sableng ternyata telah lepaskan pukulan "Sinar Matahari" yang
terkenal ke-dahsyatannya itu.
Daun pintu dan tiangnya pecah berantakan. Tio Ki-pi sendiri meraung kesakitan.
Tubuhnya terpental dan tersandar ke dinding ruangan depan hotel. Tangannya
sebatas lengan hitam hangus sedang ruyung bajanya menggelinding di lantai.
Senjata ini kelihatan merah laksana digarang di atas api dan perlahan-lahan
meleleh menghitam.
"Sekarang pergilah kau ke akherat, anjing busuk!" sentak Wiro dan lepaskan lagi
pukulan Sinar Matahari. Namun dia kalah cepat. Sinar pukulannya hanya melabrak
musnah dinding ruangan sementara musuh dengan sebat telah lebih dulu melompat
melabrak jendela terus kabur dan lenyap di kegelapan malam, Wiro mengomel
setengah mati dan melompat hendak mengejar. Namun kemudian dia ingat akan peti
mati yang tentunya berada dalam satu kamar di hotel itu. Maka dia pun putar
langkah dan mulai memeriksa kamar demi kamar.
Di salah satu kamar di tingkat bawah hotel akhirnya ditemukannya jugs peti mati
itu, menghitam dan misterius dalam kegelapan. Karena di situ dilihatnya ada
lampu minyak maka Wiro segera menyalakannya. Kamar itu kini menjadi terang. Wiro
melangkah mendekati peti mati hitam. Setelah meneliti benda itu beberapa lamanya
maka dia mulai membuka pasak-pasak sekeliling peti itu.
Setelah pasak ditanggalkan masih ada enam buah sekerup yang harus dibuka. Untuk
ini Wiro pergunakan kapak saktinya mendongket sekerup tersebut.
Perlahan-lahan dan hati-hati karena tak mus:ahil benda itu dipasang alat
rahasia, di atas mula-mula kelihatan tumpukan jerami kering. Hati-hati pula Wiro
menyibakkan jerami ini. Di bawah jerami tampak tumpukan batu-batu bata merah.
Seluruh jerami disibakkan. Diperiksa sampai ke dasar ternyata peti mati itu cuma
batu bata melulu, lain tidak!
"Sial dangkalan! Apa-apaan ini," Wiro menggerutu sendirian. Dia betul-betul tak
mengerti. Dia melangkah memutari peti mati itu sambil tiada henti menggarukgaruk kepala. Kalau cuma sebuah peti mati yang berisi batu-batu bata melulu, apa
perlunya sampai dikawal oleh seorang tokoh silat seperti Tio Ki-pi dan Empat
Golok Kematian" Bahkan sampai dua dari mereka mau mengorbankan jiwa hanya karena
peti mati sialan itu" Wiro jadi tak habis pikir. Digeledahnya seluruh kamar itu
namun tak menemukan apa-apa yang bisa memberi petunjuk.
Tiba-tiba Wiro ingat pada salah seorang dari Empat Golok Kematian yang masih
tertotok kaku di luar sana. Segera ditinggalkannya kamar itu. Tapi sampai di
luar ternyata manusia yang satu ini sudah lenyap. Kembali Wiro menggerutu
seorang diri. "Kalau tidak si Tio Ki-pi itu, pasti kawannya yang satu yang telah melepaskan
totokannya lalu kabur sama-sama!" Wiro menduga dalam hati. Akhirnya dalam
bingungnya pendekar ini melompat ke atas kuda putih yang dicurinya dari depan
sebuah toko di kota Khay-hong lalu tinggalkan tempat tersebut.
Kira-kira sejauh 20 lie memacu kuda putih itu, sepasang telinga tajam Pendekar
212 lapat-lapat menangkap suara beradunya senjata. Dihentikannya kudanya dan
setelah memastikan dari arah mana datangnya suara itu, Wiro turun dari kuda dan
lari menuju sumber suara. Suara beradunya senjata kini diiringi pula dengan
suara gelak tertawa dua orang lelaki yang ditimpali pula oleh suara bentakanbentakan marah seorang perempuan.
"Manusia-manusia bangsat hina dina. Kalian harus bayar kekurangajaran kalian
dengan nyawa masing-masing! Mampuslah!"
Terdengar suara robekannya kain yang disusul oleh pekik perempuan. Wiro terjang
semak belukar di depannya. Begitu sampai di balik semak-semak diiihatnya dua
orang teiaki tengah mengeroyok seorang dara berpakaian merah. Salah seorang dari
lelaki itu, yang bersenjatakan golok besar dengan kelihayannya pergunakan ujung
senjatanya untuk merobek-robek pakaian sang gadis hingga tubuhnya yang berkulit
putih halus kelihatan tersingkap di mana-mana. Leiaki bergolok besar itu bukan
lain adalah orang kedua dari Empat Golok Kematian yang sebelumnya telah ditotok
oleh Wiro. Sedang lelaki yang satu lagi bukan lain adalah Tio Ki-pi alias Thian
liong pian! "Ha... ha! Tiada disangka malam-malam buta begini setelah ditimpa nasib sial
tahu-tahu dapat rejeki begini besar," kata Empat Golok Kematian penuh nafsu
sedang Tio Ki-pi terus mendesak dengan tangan kirinya tiada henti menjamahi dada
dan bagian bawah perut sang dara baju merah yang berada dalam keadaan tak
berdaya itu. Lelaki ini sama sekali tidak mempergunakan tangan kanannya karena
ternyata tangan kanan itu sampai sebatas siku telah buntung dan ini menimbulkan
tanda tanya dalam hati Wiro, apakah yang telah dilakukan manusia tersebut"
"Bangsatl Kalau tidak dapat mencincang tubuhmu lebih baik aku bunuh diri," sang
dara baju merah membentak marah ketika lagi-lagi tangan kiri Tio Ki-pi menjamah
bagian bawah perutnya secara kurang ajar, sedang Tio Ki-pi dan Empat Golok
Kematian sendiri cuma ganda tertawa.
"Malam-malam buta begini apa pula yang terjadi di tempat ini"!" pikir Wiro.
Gadis jelita berpakaian merah itu putar pedangnya dengan sebat. Namun sesaat
kemudian... "trang!" Golok besar orang kedua dari Empat Golok Kematian berhasil memukul
mental pedang si nona. Dan saat itu juga kedua lelaki itu bersirebut cepat
menubruk tubuh yang molek itu dengan penuh nafsu.
"Manusia-manusia haram jadah ini memang sudah saatnya diberi petunjuk jalan ke
neraka!" kertak Wiro Sableng dengan marah. Didahului oleh satu bentakan keras
dia berkelebat ke depan.
*** 6 SEBELUM menuturkan jalannya perkelahian antara Wiro dengan Tio Ki-pi serta
anggota Empat Golok Kematian yang hendak melampiaskan nafsu bejat terhadap gadis
berpakaian merah, marilah kita ikuti dulu bagaimana kedua manusia brengsek itu
sampai berada di tempat tersebut dan secara berbarengan mengeroyok sang dara.
Sehabis terkena pukulan "Sinar Matahari" yang dahsyat dari Wiro Sableng.
Tio Ki-pi lantas kabur dari hotel. Begitu sampai di halaman luar dilihatnya
orang kedua dari Empat Golok Kematian tegak seperti patung di bawah sebatang
pohon. Sebagai orang yang sudah berpengalaman Tio Ki-pi tahu apa yang terjadi
dengan orang bayarannya itu. Segera dilepaskan totokan yang mempengaruhi Empat
Golok Kematian lantas melanjutkan melarikan diri.
Bagi Empat Golok Kematian begitu bebas darI totokan tak ada hal lain yang
dilakukannya dari pada ikut kabur menyusul Tio Ki-pi.
Kira-kira lari sejauh sepuluh lie, Tio Ki-pi berhenti, nafasnya mengengah-engah.
Pemandangannya berkunang. Dia berpegangan pada pohon supaya tidak jatuh.
"Ada apa?" tanya Empat Golok Kematian seraya memegang pundak Tio Ki-pi. Begitu
telapak tangannya menyentuh pundak lelaki itu detik itu pula disentakkannya
kembali saking kagetnya.
Pundak Tio Ki-pi dirasakannya laksana bara!
"Loya, tubuhmu panas sekalil"
"Aku keracunan," desis Tio Ki-pi seraya mengangkat tangan kanannya yang hitam
hangus akibat keserempet pukulan "Sinar Matahari" sewaktu terjadi perkelahian
dengan Wiro di hotel tadi. Perlahan-lahan dia duduk bersila di tanah.
"Kelihatannya racun yang amat berbahaya," berkata Empat Golok Kematian.
Tio Ki-pi tidak menyahut. Setelah menelan beberapa butir pil penolak dan
pemusnah racun, jago silat dari Ciatkang ini meramkan mata, atur jalan darah
serta alirkan tenaga dalamnya ke tangan kanan.
Beberapa menit berlalu. Tubuh dan wajah Tio Ki-pi telah basah oleh keringat.
Namun hawa panas pada tubuhnya tidak berkurang. Pucat pasilah kini wajah anggota
Hun-tiong Houw-mo ini.
"Tak ada jalan lain," desisnya seraya membuka kedua mata dan menotok jalan darah
pada bahu kanannya di empat bagian. Kemudian dia berpaling pada Empat Golok
Kematian dan berkata, "Pinjam-kan aku golokmu."
Empat Golok Kematian maklum apa yang hendak dilakukan Tio Ki-pi. Memang cuma
itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa. Goloknya dicabut dari
sarung dan diserahkan pada Tio Ki-pi. Dengan menggigit bibir, Tio Ki-pi lantas
tebaskan senjata itu ke tangan kanannya. Sekali tebas saja putuslah lengan
kanannya yang keracunan pukulan sakti Wiro Sableng itu. Darah mengucur kemudian
berhenti. "Apa yang kita lakukan sekarang, Loya?" bertanya Empat Golok Kematian setelah
beberapa lama berdiam diri.
Tio Ki-pi sendiri sebenarnya juga tidak tahu apa yang akan diperbuatnya saat
itu. Untuk pergi ke markas Hun-tiong Houw-mo dan melapor apa yang telah terjadi
pada pimpinan perkumpulan itu sama saja dengan mengantarkan nyawa. Sebaliknya
untuk kembali ke hotel dan menyelamatkan isi peti dia tidak pula punya nyali
karena sudah barang tentu Wiro masih ada di sana.
Tiba-tiba Tio Ki-pi ingat pada seorang kenalan baiknya yang berdiam kira-kira 10
lie dari tempat itu. Sang kenalan adalah salah seorang anak murid Kun lun pay
yang kini hidup sebagai guru silat di Siu Kan. Dengan meminta bantuan tokoh
tersebut beserta lusinan anak muridnya masakan dia tidak dapat menghajar Wiro
dan sekaligus menyelamatkan peti mati tersebut. Memikir sampai di situ Tio Ki-pi
mendapat semangat dan harapan besar. Dia segera berdiri.


Wiro Sableng 018 Pendekar Pedang Akhirat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat itu orang kedua dari Empat Golok Kematian berkata, "Loya, jika memang
segala sesuatunya sudah dianggap selesai maka kuharap aku dapat menerima bayaran
sebagaimana yang sudah ditetapkan.
Aku tidak meminta semuanya, setengah pun jadilah."
Tio Ki-pi melotot dan membentak, "Saat ini bukan tempatnya untuk bicarakan soal
uang! Masih hidup sudah lebih dari untung! Ayo kau ikut aku ke Siu Kan!"
Sebenarnya orang kedua Empat Golok Kematian ini sudah tak punya minat lagi untuk
berurusan dengan Tio Ki-pi. Apalagi mengingat dua saudaranya sudah mati sedang
yang satu lagi kabur entah ke mana. Namun untuk bentrokan dengan Tio Ki-pi
sekalipun manusia ini telah cacat, Empat Golok Kematian musti pikir dua kali.
Dalam pada itu Tio Ki-pi kembali membentak dengan kata-kata,
"Apakah kau tidak ingin membalaskan sakit hati kematian dua saudaramu"!"
Tanpa menunggu jawaban orang di hadapannya itu karena dia tahu bahwa Empat Golok
Kematian akan mengikutinya Tio Ki-pi berkelebat meninggalkan tempat tersebut.
Udara malam terasa dingin.
Kegelapan semakin memekat. Kedua orang tersebut laksana hantu yang gentayangan
di malam buta. Belum sampai menempuh jarak 10 lie, Tio Ki-pi yang berpendengaran lebih tajam
dari Empat Golok Kematian tiba-tiba hentikan lari, lalu berlindung di balik
sebuah pohon besar sambil memberi isyarat pada Empat Golok Kematian.
"Ada apa?" bertanya Empat Golok Kematian.
"Seseorang mendatangi dari jurusan depan," sahut Tio Ki-pi seraya siapkan
pukulan sakti di tangan kanannya. Hati-hati. "Bukan tidak mungkin si rambut
gondrong yang di hotel itu!"
Beberapa detik menunggu muncullah orang yang datang dari arah depan itu.
Meskipun malam gelap namun karena jarak mereka cukup dekat, baik Tio Ki-pi
maupun Empat Golok Kematian segera dapat mengenali bahwa orang yang ada di
hadapan mereka adalah seorang nona jelita berpakaian merah.
Di balik punggungnya menyembul ujung gagang pedang.
Melihat kenyataan bahwa yang muncul adalah seorang gadis berparas cantik, Tio
Ki-pi dan Empat Golok Kematian jadi saling pandang dan saling maklum jalan
pikiran serta perasaan masing-masing.
"Di tempat sepi dan malam-malam begini Loya. Siapa yang bakal tahu. Asal saja
Loya tidak menyerakahinya sendirian..." bisik Empat Golok Kematian.
Tio Ki-pi alias Thian liong-pian menyeringai. Dia memberi isyrat lalu berseru,
"Nonaku manis, malam-malam begini tengah menuju ke manakah?"
"Bukankah akan lebih baik jika aku ikut menemanimu?" menimpali Empat Golok
Kematian. Keduanya kemudian tertawa gelak-gelak.
Sang nona, begitu mendengar teguran kurang ajar tersebut bukan kepalang
kagetnya. Tapi dia juga marah.
"Siapa kalian" Bangsa hantu apa dedemit yang minta dihajar?"
Tio Ki-pi dan pembantunya kembali tertawa gelak-gelak.
"Nonaku yang cantik, jangan terlalu galak dan lekas marah. Kami berdua sudah
barang tentu manusia biasa seperti kau. Jika kau kepingin kenal maka aku adalah
Hoa seng, orang kedua dari Empat Golok Kematian. Sedang ini Loyaku bernama Tio
Ki-pi bergelar Thian liong pian.... "
Sang dara tidak pernah mendengar nama Empat Golok Kematian dan juga Tio Ki-pi
atau Thian liong pian. Meskipun memiliki ilmu silat yang lumayan tingginya namun
karena jarang mengembara maka si nona kurang begitu kenal akan nama-nama tokoh
silat dalam dunia kangouw, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam.
Dan karena dia seorang yang bersifat berani bahkan kadang-kadang suka nekad,
kembali dia menghardik. "Tampaknya kalian bukan bangsa manusia baik-baik. Lekas
menyingkir jika tidak ingin merasakan gebukanku!"
"Ah... ah... ah! Kataku juga jangan kelewat galak, nona. Coba perkenalkan dulu
siapa kau adanya.
Ke mana tujuanmu. Nanti kami berdua pasti bersedia mengantarkan kau..." yang
bicara ini adalah Hoa seng orang kedua dari Empat Golok Kematian. Dan sehabis
berkata demikian enak saja tangan kanannya mencuil dagu sang dara. Tentu saja nona baju merah ini bukan kepalang
marahnya. Cepat laksana kilat tamparannya melayang menghantam muka Hoa seng dan
sesaat membuat laki-laki kurang ajar ini menjadi berkunang-kunang
pemandangannya.
"Seumur hidup baru kali ini aku ditampar perempuan. Tapi tak apa. Lumayan juga
oleh seorang nona cantik macammu," kata Hoa seng pula sambil cengar-cengir,
meringis dan tiba-tiba dilompatinya dara baju merah itu, berusaha merangkulnya
dengan bernafsu. Namun saat itu juga si nona sudah menghantamkan tinjunya kepada
Hoa seng, membuat lelaki ini terjajar beberapa langkah ke belakang.
"Hati-hati, sobat. Dia galak dan punya kepandaian silat yang bisa membuatmu
konyol," kata Tio Ki-pi menyeletuk dan tahu-tahu tangan kirinya sudah mampir
menjamah dada sang nona.
Kini gadis berbaju merah itu jadi meluap amarahnya. "Sret!" Dia cabut pedang dan
begitu senjata ini keluar dari sarangnya, satu babatan dikirirrikannya ke batang
leher tokoh silat propinsi Ciat kang itu.
Serangan sang nona yang demikian ganas pastilah akan membuat putus leher dan
menggelindingnya kepala Tio Ki-pi bilamana orang ini terlambat sedikit saja
mengelak. Namun di mata Tio Ki-pi, serangan ini hanya disambut dengan tawa
mengejek. Sekali dia bergerak, ujung pedang lewat dua jengkal di samping
kepalanya! Melihat serangannya gagal, nona berbaju merah jadi semakin meluap amarahnya.
Tio Ki-pi jadi kaget dan tersurut beberapa langkah. Tidak disangka kalau sang
nona memiliki kepandaian begitu rupa. Hendak disambutinya dengan pukulan sakti
dia merasa bimbang karena dia tak ingin mencelakai gadis kepada siapa dia ingin
melampiaskan nafsu bejatnya. Sesaat dia layani serangan lawan dengan bergerak
gesit kian kemari sambil sekali-sekali menyerang dengan tangan kosong. Namun
agaknya sang nona tak mau memberi kesempatan dan dengan cerdik dia sengaja
mengirimkan serangan-serangan dari jurusan kanan sehingga Tio Ki-pi yang tangan
kanannya buntung menjadi cukup kewalahan. Lelaki ini segera berikan isyarat pada
Hoa-seng dan bekas anggota Empat Golok Kematian ini segera memasuki kalangan
pertempuran setelah lebih dulu cabut golok kanannya.
Betapa pun lihaynya ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis berpakaian merah namun
dikeroyok dua begitu rupa jurus demi jurus dia jadi terdesak. Bahkan kedua
lawannya dengan seenaknya mem-permainkannya. Hoa seng pergunakan goloknya untuk
merobek pakaian gadis itu sedang Tio Ki-pi dengan kurang ajar tiada hentinya
menjamahi bagian-bagian tubuh tertentu dari si nona dan pada puncaknya Hoa seng
berhasil memukul mental pedang lawannya. Dalam keadaan tak bersenjata gadis itu
tentu saja betul-betul tak berdaya lagi. Kesempatan ini memang yang diharapkan
oleh Tio Ki-pi serta Hoa seng. Serta merta keduanya menubruk gadis itu, siap
untuk melampiaskan nafsu bejat masingmasing. Dan justru pada saat itu pula lah
Wiro Sableng yang sampai di tempat kejadian itu, Wiro kertakkan rahang.
"Bangsat rendah! Kalian bedua memang layak mampus detik ini juga!"
Setelah membentak begitu rupa secepat kilat dia menerjang ke depan.
Tio Ki-pi seorang lihay yang berpendengaran tajam dan berotak cerdik. Dia
laksana mendengar halilintar ketika mengenal suara Wiro Sableng. Saat itu dia
tengah berguling-guling di tanah sambil merangkuli tubuh nona berpakaian merah.
Meski nafsunya sudah meluap-luap namun lebih penting cari selamat. Secepat kilat
dia melompat satu jotosan menyambar hanya beberapa milimeter saja clad
kepalanya. Di lain ketika Tio Ki-pi sudah merapat ke balik pohon besar. Wiro
lepaskan satu pukulan sakti. "Krak!" Pohon itu patah dan tumbang tapi Tio Ki-pi
lenyap. Lain halnya dengan Hoa seng. Meskipun dia juga dikagetkan oleh suara bentakan
Wiro namun dia bertindak agak ayal. Baru saja dia putar kepala, mendadak sontak
satu kepalan sudah menderu ke arah mukanya. Hoa seng hanya sempat keluarkan
seruan pendek karena sedetik kemudian "prak!" Mukanya hancur, kepalanya rengkah.
Otak dan darah berhamburan! Tamatlah riwayat orang kedua dari Empat Golok
Kematian ini. Wiro garuk-garuk kepala. Dia amat penasaran karena untuk kedua kalinya Tio Ki-pi
anggota komplotan Hun-tiong Houw-mo yang misterius itu masih bisa melarikan
diri. Dengan sebal dia balikkan tubuh. Tapi baru saja memutar tubuh tahu-tahu
ujung sebilah pedang sudah menempel di tenggorokannya. Tentu saja pendekar kita
jadi melengak kaget. Memandang ke depan ternyata sang nona yang barusan
ditolongnya itulah yang telah menodongnya dengan ujung pedang tersebut!
"Heh, apa-apaan ini...!" ujar Wiro membeliak. Tapi sekali ini dia bukan
membeliak kaget melainkan membeliak bergetar menyaksikan sepasang payudara sang
nona yang putih membuntal padat, bersembul di robekan-robekan bajunya!
*** 7 DARA berpakaian merah melintangkan lengan kirinya di atas dada untuk menutupi
auratnya yang terbuka karena bajunya yang robek-robek besar.
"Pencuri! Jangan kira aku akan minta terima kasih padamu karena kau telah
menolong jiwa dan menyelamatkan kehormatanku. Lekas katakan di mana si Putih!"
"Si Putih..." Si Putih apamu"!"
"Setan! Jangan pura-pura tolot! Si Putih kudaku! Kau telah mencurinya sewaktu
kutambatkan di depart toko di Khay-hong! Katakan cepat di mana binatang itu!"
"Ah...!" Wiro ingat kini dan tertawa lebar.
"Jangan cengar-cengir tak karuanl Kalau kuda kesayanganku sampai cedera sedikit
saja, apalagi kau jual, jangan harap nyawamu akan selamat! Di mana binatang
itu"!"
"Sabar Nona, sabar. Jangan terlalu galak. Mari kita bicara baik-baik."
"Dengan seorang maling tengik macammu tak perlu bicara baik-baik?" jawab si nona
dan ujung pedangnya masih menempel pada kulit leher Wiro Sableng. Meskipun
mengatakan pemuda gondrong itu sebagai pencuri tengik namun sang dara
sesungguhnya sudah mengetahui kelihayan Wiro.
Pertama sewaktu dia menangkis musnah serangan senjata rahasianya di kota Khayhong tadi pagi.
Kedua ketika barusan dia menggebuk kepala Hoa seng hingga konyol hanya dalam
sekejapan mata saja!
Di samping marah pada dasarnya dia agak jeri juga pada pemuda itu. Karena itulah
dia tak mau ambil risiko dan tetap menodong Wiro dengan ujung pedangnya.
"Aku memang mungkin bangsa maling tengik, pencuri picisan," kata Wiro sambil
senyum dan garuk-garuk kepalanya. "Namun percayalah Nona, aku mencuri kudamu
karena terpaksa...."
"Jangan bicara panjang lebar!" sentak sang dara.
Wiro ganda tertawa.
"Jika kau bunuh aku, kudamu tak bakal ketemu lagi. Nah sekarang kau dengarlah
dulu. Pertama aku pun tidak butuh ucapan terima kasih darimu. Aku berada di sini
bukan untuk menolongmu, nona. Tapi karena memang mengejar dua bangsat itu, cuma
sayang satu masih bisa lolos...." Habis berkata begitu Wiro lantas keluarkan
kalung emas kepala harimau. "Coba kau perhatikan kalung ini. Tanda dari
komplotan yang menamakan diri Hun-tiong Houw-mo. Manusia yang barusan kabur
adalah anggota komplotan tersebut."
Nona di hadapan Wiro mendelik kaget. "Aku tak percaya! Mungkin kau sendiri yang
jadi anggota perserikatan dajal itu!"
Wiro geleng-geleng kepala. "Sudahlah, susah bicara denganmu. Jika kau cari
kudamu, itu di sana di belakang semak belukar...." tak perduli Wiro kemudian
putar tubuhnya hendak meninggalkan sang dara.
Justru si nona bergerak cepat dan ajukan pertanyaan. "Kau mau ke mana"!"
"Eh...?" Wiro garuk-garuk kepala. "Aneh, kenapa kau tanya begitu?"
"Dengar! Komplotan Hun-tiong Houw-mo telah membunuh kakak lelakiku...."
"Yang aku dengar," memotong Wiro. "... bukan hanya saudaramu saja yang jadi
korban, tapi banyak. Belasan gadis-gadis kabarnya diculik, entah untuk dijadikan
apa. Apakah kau kepingin diculik juga oleh komplotan itu!"
"Jangan bicara ngaco belokl" sentak sang dara jengkel. "Kalau kau mau bekerja
sama denganku, aku tahu sedikit tentang komplotan itu...."
"Siapa sudi bekerjasama dengan dara segalakmu" Lagi pula kau punya kepandaian
apa"!" Wiro sengaja mengejek hingga si Nona jadi penasaran banting-banting kaki.
Tangan kanannya bergerak dan putuslah dua kancing baju Wiro Sableng.
"Ah... boleh juga ilmu pedangmu, Nona. Tapi aku sudah saksikan sendiri tadi.
Menghadapi dua pengeroyok itu kau tak mampu berbuat apa-apa. Sekarang kau mau
pinjam tanganku untuk membantumu menuntut balas kematian kakakmu pada komplotan
Hun-tiong Houw-mo karena kau sadar tak bakalan mampu melakukannya sendiri.
Sungguh cerdik otakmu, nona. Tapi tak usah ya..."!"
Dara itu gigit bibirnya. Sepasang matanya berapi-api. Rahangnya menggembung.
Tanpa bilang apa-apa lagi dia putar tubuh dan melompat ke balik semak-semak.
Begitu dilihatnya kuda putihnya segera saja dia menaiki binatang ini dan
meninggalkan tempat itu dengan cepat. Sampai suara rintik kaki kuda putih lenyap
di kejauhan barulah Wiro berlalu pula dari situ.
*** Larinya Tio Ki-pi setelah lolos dari lubang jarum kematian untuk kedua kalinya
dari tangan Pendekar 212 Wiro Sableng tak bedanya seperti orang lari dikejar
setan kepala tujuh! Hampir 20 lie dia lari terus menerus tanpa memperdulikan ke
mana arah tujuannya. Pakaian ungunya robek-robek tersangkut semak-semak. Ketika
nafasnya megap-megap dan lidahnya terjulur keluar barulah lelaki ini hentikan
larinya. Ternyata dia berada di satu daerah berbukit-bukit yang penuh ditumbuhi
pohon-pohon kapas. Lapat-lapat didengarnya suara air yang jatuh memercik menimpa
batu. Dia melangkah tertatih-tatih ke jurusan itu. Ditemuinya sebuah sungai dan
air terjun kecil. Tio Ki-pi mencelupkan muka dan kepalanya dalam air yang dingin
itu, kemudian meneguk air sungai sepuas hatinya. Tubuhnya dibaringkan di tebing
sungai. Memandang ke langit dia melihat susunan bintang-bintang yang menunjukkan
bahwa tak lama lagi malam akan digantikan dengan pagi. Karena terlalu letih Tio
Ki-pi akhirnya tertidur pulas berselimutkan udara malam yang dingin.
Tio Ki-pi terbangun oleh silaunya sinar matahari pagi yang jatuh menimpa
wajahnya. Sambil mengucak-ucak mata dia duduk. Ketika hendak membasuh mukanya
dengan air sungai tiba-tiba kakinya menginjak sehelai kertas. Ternyata kertas
itu bukan kertas biasa, melainkan sepucuk surat yang ditujukan kepadanya.
Tio Ki-pi. Hari ini juga kau harus segera kembali ke markas.
Tertanda Hun-tiong Houw-mo
Surat itu ditulis dengan tinta merah dan tangan kiri Tio Ki-pi jelas kelihatan
gemetaran memegang-nya. Dia tahu apa artinya kembali ke markas itu. Hukuman
telah menunggunya yang bakal dijatuhkan oleh pemimpin komplotan. Jika dia
melarikan diri, akan sanggupkah dia untuk melenyapkan diri selama-lamanya" Tapi
dari pada mengantar diri mentah-mentah ke markas komplotan, lebih mending kabur.
Jika dia sampai di satu daerah yang ratusan lie jauhnya masakan ketua Hun-tiong
Houw-mo dan anggota-anggotanya akan tahu kalau dia berada di situ"!
Memikir demikian maka Tio Ki-pi lekas-lekas cuci muka dan mulutnya lalu
melanjutkan perjalanan menuju ke timur, menjauhi markas Hun-tiong Houw-mo yang
terletak di sebelah barat. Selama dalam perjalanan itu Tio Ki-pi senantiasa
merasa tak enak. Nalurinya mengatakan bahwa ada seseorang yang terus menerus
menguntitnya. Dia tak dapat memastikan siapa, namun yang jelas sang penguntit
bukanlah Wiro Sableng. Karena jika benar Wiro pastilah pemuda itu siang-siang
sudah melabraknya.
Kadang-kadang Tio Ki-pi hentikan perjalanannya dan mengambil jalan memutardengan
maksud hendak mengetahui siapa adanya penguntit tersebut. Namun tak seorang pun
dilihatnya. Sekali-kali jika dia sedang berlari kencang, dia menoleh ke
belakang. Tetap saja dia tak menampak siapasiapa. Diamdiam jagoan dari propinsi
Ciat kang ini menjadi mengkirik juga. Dia baru merasa lega sedikit ketika
memasuki sebuah kota kecil. Karena perutnya lapar langsung saja dia masuk ke
dalam sebuah warung makanan. Tatkala pelayan datang menghidangkan pesanannya,
sepasang mata Tio Ki-pi membeliak menyaksikan segulung kertas yang menancap di
atas tumpukan nasi panas dalam mangkok.
Diambilnya gulungan kertas itu. Begitu dibuka tampaklah serentetan tulisan yang
berbunyi: Tio Ki-pi.
Apa kau kira kau bisa melarikan diri mencari selamat"!
Segera kembali ke markas atau kau akan mati
dengan tubuh tercincang detik ini juga!
Atas nama Ketua,
Hun-tiong Houw-mo
Tengkuk Tio Ki-pi dingin laksana diguyur air es. Mukanya sepucat kertas.
"Siapa yang meletakkan kertas itu di sini?" bertanya Tio Ki-pi pada pelayan yang
membawa hidangan.
Pelayan itu geleng-geleng kepala. "Percayalah Loya, saya hampir tak melihat
siapa-siapa pun yang menancapkan kertas itu. Waktu dari dapur benda itu belum
ada...." Pastilah seorang lihay, amat lihay yang telah melakukannya. Kalau tidak masakan
si pelayan sampai tidak mengetahui, demikian Tio Ki-pi membatin. Semakin gelisah
dia. Dia memandang seputar ruangan.
Di sudut sana duduk seorang lelaki muda berpakaian petani. Di bagian lain
seorang kakek berkumis putih. Tak ada orang lain yang mencurigakannya. Tak


Wiro Sableng 018 Pendekar Pedang Akhirat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin pula kedua orang itu yang telah menancapkan gulungan surat dalam nasi.
Karena seleranya boleh dikatakan saat itu sudah tak ada lagi untuk makan, Tio
Ki-pi lantas berdiri.
Membayar harga makanan dan keluar dari warung. Di depan warung dia memandang
berkeliling. Segala sesuatunya kelihatan biasa dan tenang-tenang saja. Lelaki
ini mengeluh dalam hati.
"Tak ada jalan lain. Terpaksa kembali ke markas. Mudah-mudahan saja ketua mau
memberi ampun...."
Maka Tio Ki-pi kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini menuju ke sebelah barat,
ke jurusan di mana terletak markas komplotan Hun-tiong Houwmo.
*** 8 PADA malam gelap ketika Tio Ki-pi dan Empat Golok Kematian mengawal gerobak
misterius itu, hampir bersamaan waktunya, di sebuah jalan buruk kira-kira 50 lie
di selatan Khay-hong terlihat pula sebuah gerobak yang ditarik oleh dua ekor
kuda hitam, dipacu cepat ke jurusan utara. Satu-satunya orang di atas gerobak
ini adalah kusirnya sendiri. Adalah satu hal yang luar biasa begitu kita
mengetahui bahwa kusir gerobak itu nyatanya adalah seorang nenek berambut putih
berpakaian rombeng penuh tambalan. Di bagian belakang gerobak terdapat timbunan
jerami kering. Meskipun kuda-kuda penarik gerobak itu telah lari kencang sekali, namun si nenek
masih saja terus mendera punggung binatang-binatang ini dengan cambuknya
sehingga kedua kuda tersebut lari laksana dikejar setan.
Di sebelah depan kini kelihatan daerah pegunungan yang menghitam dalam kegelapan
malam. Inilah yang dikenal dengan nama Hun-tiongsan. Memasuki daerah pegunungan yang di
sanasini terdapat jurang batu dalam dan terjal, si nenek bukannya memperlambat
lari gerobak, malah seperti orang kesetanan kembali dia mencambuk kuda-kuda
penarik gerobak itu!
Siapakah adanya nenek-nenek yang demikian hebat dan berani luar biasa
mengemudikan gerobak di jalan buruk berbahaya dan dalam gelap gulitanya malam
begitu rupa" Untuk mengetahuinya mari kita ikuti saja ke mana tujuan tua bangka
misterius ini. Kira-kira dua kali peminuman teh si nenek sampai ke puncak Hun-tiong-san. Sebuah
tembok menjulang hampir sepuluh tombak tingginya. Bagian atasnya ditancapi
dengan tombak-tombak besi. Di salah satu bagian dari tembok ini terdapat sebuah
pintu gerbang bercat kuning yang pada kiri kanannya ada dua buah arca harimau
tengah mendekam terbuat dari emas murni! Meskipun belum diketahui bangunan atau
apa yang ada di belakang tembok tinggi tersebut namun sudah dapat diduga kiranya
puncak Hun-tiong-san inilah markas Huntiong Houw-mo atau Siluman Harimau Dari
Gunung Huntiong!
Si nenek berambut putih hentikan gerobaknya di depan pintu gerbang kuning.
Dengan gerakan cepat dan enteng dia melompat turun, lalu bergerak mendekati arca
harimau emas di sebelah kiri. Salah satu jari tangannya dipergunakan hendak
menekan mata arca harimau emas yang sebelah kanan. Namun sebelum itu
dilakukannya tiba-tiba didengarnya suara bersiur dan ketika memandang
berkeliling si nenek jadi melengak. Tiga orang kakek-kakek berpakaian paderi
dilihatnya tahu-tahu sudah mengurungnya.
"Paderi dari mana yang malam-malam buta begini masih gentayangan di luaran"!" si
nenek membentak bengis. Sepasang matanya menyorot galak.
Paderi yang di tengah yang berambut panjang sedang dua kawannya sama-sama
berkepala gundul menyeringai dan keluarkan suara tertawa. Suara tertawanya ini
perlahan saja, tetapi si nenek rambut putih merasakan seolah-olah ada satu
kekuatan gaib yang mendorong dadanya hingga jika saja tidak lekas-lekas teguhkan
kuda-kuda kedua kakinya pastilah dia akan terhuyung-huyung beberapa langkah.
"Heh, paderi sialan ini nyatanya memiliki tenaga dalam yang bisa disalurkan
lewat suara!"
membathin nenek rambut putih dan melirik pada dua paderi lainnya sambil
menimbang-nimbang sampai setinggi mana pula kehebatan yang dua ini.
Paderi berambut panjang mendongak ke langit, keluarkan sebuah buli-buli kecil
berisi anggur dan gluk... gluk... gluk. Setelah meneguk minuman itu tiga kali
berturut-turut dan menyimpan buli-buli kembali di balik jubahnya, dengan masih
mendongak dia membuka mulut, berkata, "Ada ujar-ujar yang mengatakan hutang budi
bayar budi hutang nyawa dibayar nyawa!"
"Heh! Kalian ini paderi-paderi gila dari mana sampai kesasar kemari"! Tahukah
kalian apa artinya jika ada orang-orang luar yang berani menginjakkan kaki di
puncak Hun-tiong-san ini"!"
Paderi rambut gondrong kembali tertawa sementara kedua kawannya tampak tidak
sabaran. "Kami datang kemari bukan untuk mencari segala tahu. Tapi guna menagih hutang
nyawa! Beberapa waktu yang lalu kau telah membunuh seorang paderi dari Siauw Lim-si
secara kejam tanpa sebab lantaran. Karenanya pantas hari ini kau
mempertanggungjawabkannya!"
Nenek rambut putih mendongak dan tertawa panjang. Sambil berkacak pinggang dia
berkata, "Di puncak Hun-tiong-san ini ada suatu ketentuan. Siapa-siapa orang
luar yang berani naik kemari berarti mampus! Bisa datang tak bisa pulang!"
"Segala macam aturan bisa saja dibuatl Tapi yang kami perlukan adalah nyawa
busukmu!" menyahuti paderi botak di sebelah kanan. Namanya Tek Bun.
Si nenek rambut putih kembali mengumbar suara tertawa. "Nyali kalian sungguh
besar. Apakah kalian akan maju berbarengan atau sendiri-sendiri?"
"Bagi manusia laknat macam kau mengapa harus memakai segala macam aturan"!"
sentak paderi rambut gondrong. Namanya Hoa keng.
"Hem... bagus! Dengan demikian aku tak membutuhkan waktu lama untuk
menyingkirkan kalianbertiga. Memang sudah lama juga puncak Hun-tiong-san ini
tidak dibasuh dengan darah paderi tengik macam kalian...!"
"Hun-tiong-san!" paderi botak yang di sebelah kiri dan bernama Tek Nyo. "Sudah
lama kami mendengar nama keji Hun-tiong Houw-mo. Hari ini agaknya sudah layak
nama itu dikubur untuk selama-lamanya. Dan kau warga komplotan terkutuk itu yang
bakal mampus duluan!"
"Paderi keparat! Jangan kelewat takabur! Makan jariku ini!" Berteriak si nenek
rambut putih dan jentikkan lima jari tangan kanannya. Lima larik sinar hijau
berkiblat. "Ilmu Jari Kelabang Hijau!" teriak paderi Tek Bun kaget. ".... Lekas
menyingkir!"
Tapi peringatannya itu terlambat.
Di sampingnya terdengar jeritan paderi Tek Nyo. Berpaling ke samping kelihatan
paderi Tek Nyo terbanting ke tanah. Sebagian tubuhnya menjadi hijau gelap sedang
kepalanya hancur. Otak dan darah berhamburan!
"Dan ini untuk kalian berdua!" seru si nenek rambut putih seraya jentikkan lagilagi jari tangan kanannya. Kembali lima larik sinar hijau menderu ke arah dua
paderi dari Siauw Lim-si. Tapi sekali ini serangan itu tidak menemui sasarannya
bahkan mendapat sambutan perlawanan yang hebat.
Begitu melihat lima larik sinar hijau datang menyerang, paderi Hoa Keng melompat
ke samping seraya kebutkan lengan jubahnya. Selarik angin deras mendorong tubuh
si nenek, membuat dia terhuyung beberapa langkah sedang bagian dari serangan
ilmu jari kelabang hijaunya terdorong ke samping.
Di lain bagian begitu melihat serangan, paderi gondrong Tek Bun keluarkan bulibuli anggurnya, teguk tiga kali berturut-turut kemudian menyemburkan minuman ini
ke depan. Meskipun cuma anggur namun disemburkan dengan kekuatan tenaga dalam
yang ampuh maka serangan benda cair itu amat berbahaya. Sebagian dari ilmu jari
kelabang hijau bukan saja musnah malah semburan anggur itu terus menerobos dan
menerpa tubuh si nenek rambut putih! Perempuan tua ini melengak kaget
menyaksikan bagaimana pakaian rombengnya menjadi bolong seperti disundut rokok,
kulit tubuhnya menggerayang ngilu, namun untung saja dia mempunyai semacam ilmu
kebal hingga dia tidak menderita luka.
Baik paderi Hoa Keng maupun Tek Bun diamdiam merasa kaget menyaksikan bagaimana
semburan anggur yang mengenai lawan hanya sanggup merobek pakaiannya saja. Maka
berbisiklah paderi Tek Bun pada kawannya yang ternyata lebih tua. "Hoa Kengtwako, kita harus hati-hati. Tampaknya lawan bukan dari tingkat sembarangan!"
Habis berbisik begitu Tek Bun berikan isyarat dan kedua paderi clad Siauw Lim-si
ini kemudian menyerbu pula serentak dengan hebatnya.
Nenek rambut putih rupanya sudah rnengukur pula tingkat kepandaian lawan yang
dua ini. Sejak dulu paderi-paderi dari Siauw Lim-si memang terkenal
kehebatannya. Karenanya dalam menghadapi dua lawan tangguh itu si nenek
keluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu silat. "Siluman Harimau" yang
dipelajarinya dari Ketua Hun-tiong Houw-mo.
Serangan dua paderi Siauw Lim-si menggebu-gebu tiada olah-olah hebatnya. Setelah
berkelebatan cepat selama dua jurus di mana masingmasing pihak banyak dapat
intai mengintai kelemahan dan kelengahan musuh, di jurus ketiga si nenek rambut
putih membuka serangan dengan keluarkan jurus yang bernama Liong hun houw-hong
atau "Awan Naga Angin Harimau".
Dua paderi melihat seolah-olah udara malam yang gelap semakin pekat menghitam
dan serentak dengan itu terdengar lawan keluarkan suara macam harimau
menggereng, dan menyusul satu serangan yang membawa angin laksana tiupan badai!
Untuk menghadapi serangan dahsyat ini yang membuat tubuh dua paderi jadi
tergontai-gontai paderi Tek Bun sambut dengan jurus cian-bun-ki long atau
"Menolak Serigala di Depan Pintu" sedang paderi Hoa Keng menggebrak dengan jurus
Po hun kian jit atau "Menyibak Awan Memandang Matahari".
Kecamuk pertempuran di jurus yang ketiga itu bukan kepalang. Tanah serasa
bergetar. Masingmasing lawan sama-sama merasa tertekan dan kemudian terlempar
sampai satu tombak!
"Tiada nyana dua paderi keparat ini memiliki ilmu yang tangguh!" kata hati nenek
rambut putih. Baru saja dia membatin begitu tiba-tiba si nenek mendengar suara mengiang di
kedua telinganya. "Putih!
Kau harus dapat melenyapkan dua paderi Siauw Lim-si itu dalam tiga jurus. Jika
tidak berhasil kau bakal terima hukuman potong salah satu anggota tubuhmu!"
Suara yang mengiang itu datangnya dari arah belakang tembok tinggi dan dilakukan
oleh Ketua Komplotan Hun-tiong Houw-mo. Pada masa itu di dunia kangouw hanya
terdapat beberapa orang tokoh yang memiliki ilmu mengirimkan suara dari jarak
jauh seperti itu. Dari sini saja sudah dapat dibayangkan bagaimana tingginya
tingkat kepandaian Ketua Hun-tiong Houw mo dan di samping itu juga kentara
sekali bagaimana pula kebengisannya terhadap anak buahnya sendiri!
Nenek rambut putih yang dipanggil dengan sebutan si Putih menjadi dingin
tengkuknya mendengar perintah pemimpinnya itu. Sambil berkelebatan kian kemari
dia berpikir, "Bagaimana aku dapat membunuh dua paderi ini hanya dalam tempo
tiga jurus saja" Sulit! Keduanya memiliki kepandaian yang tinggi...."
Dalam pada itu kembali paderi Tek Bun dan Hoa Keng melancarkan serangan-serangan
berbahaya, mendesak nenek rambut putih ke dekat pintu gerbang warna kuning.
"Baiknya aku hadapi mereka dengan jurus hun in toan-san, lalu jurus jit gwat-bu
kong kemudian baru kususul dengan serangan ilmu jari kelabang hijau. Jika ini
tidak membawa hasil, celakalah. Biar aku terima nasib," demikian nenek rambut
putih membatin. Rupanya jurus-jurus silat yang hendak dikeluarkannya itu adalah
ilmu simpanan yang paling hebat. Satu jurus berlalu tanpa si nenek mempunyai
kesempatan untuk mulai menyerang karena dua paderi menyerbunya dengan amat
hebat. Jurus berikutnya, didahului dengan bentakan menggeledek nenek itu keluarkan
jurus hun-in toan-san (Awan Melintang Memutus Bukit). Kehebatan jurus ini segera
terlihat karena bagaimana pun dua paderi Siauw Lim-si memburu lawannya namun di
antara mereka tetap saja terdapat jarak tertentu yang memisah hingga setiap
serangan yang dilancarkan tidak pernah sampai. Selagi dua paderi itu merasa
heran campur penasaran, si nenek keluarkan jurus berikutnya yaitu jit-gwat-bukong atau "Matahari dan Rembulan Tidak Bersinar".
Paderi Tek Bun dan kawannya tiba-tiba merasakan tempat sekelilingnya menjadi
amat gelap dan mereka tak dapat melihat di mana musuh mereka berada. Selagi
keduanya kebingungan begitu rupa tahu-tahuj lima larik sinar hijau berkiblat di
depan mata, demikian cepatnya hingga dua paderi ini tidak sempat menyelamatkan
nyawa masing-masing. Mereka cuma sanggup berteriak. "Ilmu Jari Kelabang Hijau!"
Dan sedetik kemudian keduanya roboh ke tanah, mati dengan kepala hancur dan
hangus hijau! Nenek rambut putih menghela nafas lega. Dia membalikkan tubuh, mendekati arca
harimau emas di pintu gerbang sebelah kiri. Ketika mata sebelah kanan dari
harimau ini ditekan maka pintu gerbang kuning pun terbuka. Si nenek lompat ke
atas gerobak dan membedal binatang penarik gerobak itu masuk melewati pintu
gerbang. Begitu gerobak masuk pintu gerbang kuning menutup dengan sendirinya.
Di belakang tembok tinggi di puncak Hun tiong-san itu ternyata terdapat sebuah
bangunan besar yang keseluruhannya dilapisi emas hingga meskipun malam hari
bangunan yang seperti istana itu kelihatan memancarkan sinar berkilau yang amat
menakjubkan. Di mana-mana terdapat arca berbentuk kepala harimau.
Dua orang berpakaian putih menyambut kedatangan si nenek dan langsung membawa
gerobak ke bagian belakang bangunan emas sedang nenek rambut putih sendiri masuk
ke dalam gedung besar lewat pintu depan.
Di sebuah ruangan yang amat bagus, di atas satu kursi emas duduklah seorang
gadis berparas amat jelita. Dia mengenakan pakaian sutera warna merah. Seuntai
kalung emas kepala harimau tergantung di lehernya. Di atas kepalanya yang
berambut hitam terdapat sebentuk mahkota emas yang ditaburi intan berlian.
Meskipun wajahnya cantik rupawan, namun sepasang matanya kentara sekali
membersitkan sinar kebengisan yang menggidikkan. Manusia inilah, yang menjadi
Kepala Komplotan Hun-tiong Houw-mo yang selama beberapa bulan terakhir ini telah
menebar anak-anak buahnya di seluruh pelosok untuk menimbulkan kekacauan,
melakukan perampokan dan pembunuhan serta penculikan hingga menggegerkan dunia
kangouw. Di sekeliling Ketua Hun-tiong Houw-mo berdiri beberapa orang gadis yang
kesemuanya berparas cantik pula, masing-masing mengenakan pakaian sutera warna
ungu, biru dan kuning.
Nenek rambut putih menjura di hadapan Ketua Hun-tiong Houw-mo. "Dewi tugas telah
kuselesai-kan. Harap petunjuk dari Dewi lebih tanjut."
Ketua Hun-tiong Houw-mo yang dipanggil dengan sebutan "Dewi" itu anggukkan
kepalanya sedikit.
"Betulkan dulu pakaian dan tampangmu, baru bicara!" sang Dewi membuka mulut.
Suaranya tinggi angkuh.
Nenek rambut putih tanggalkan pakaiannya yang kotor compang camping, tarik
rambut palsunya yang berwarna putih talu membuka topeng tipis yang menutupi
wajahnya. Ternyata dia adalah seorang gadis berparas cantik sekali, berambut panjang hitam
yang digulung dan mengenakan pakaian sutera warna putih! Di lehernya tergantung
kalung emas kepala harimau!
*** 9 DI ANTARA pembantu-pembantu utama Ketua Hun-tiong Houw-mo yang kesemuanya adalah
dara-dara berparas jelita maka dara berpakaian putih inilah yang paling cantik
dan mendatangkan sedikit rasa iri dalam diri yang lain-lainnya.
Setelah memandang wajah gadis itu seketika maka bertanyalah Dewi Hun-tiong Houwmo, "Koan-koan, apakah dalam perjalanan kau ada bertemu dengan Tio Ki-pi?"
"Tidak satu pun di antara mereka kutemui, Dewi," jawab si Putih Koan-koan.
Baru saja dia menjawab demikian tiba-tiba dari luar terdengar seseorang berseru,
"Dewi, aku Tio Ki-pi datang menghadap!"
Sesaat kemudian masuklah Tio Ki-pi alias Thian liong-plan. Dia menjura di
hadapan Ketua Huntiong Houw-mo yang duduk di kursinya dan memandang tajam pada
tangan kanan Tio Ki-pi yang kini kelihatan buntung.
"Dewi," kata Tio Ki-pi kemudian sambil berlutut jatuhkan diri, "Mohon maafmu
karena aku tidak berhasil menyelamatkan gerobak itu. Bahkan Empat Golok Kematian
yang kusewa untuk membantu mengawal, tiga di antaranya telah menemui aja!!"
"Sejak semula aku sudah tahu kalau kau tidak mampu mengamankan dan menjalankan
tugas. Masih untung aku berlaku cerdik, menyuruh Si Hitam ling-ling untuk
membawa gerobak asli yang berisi emas rampokan milik Kaisar Boan. Kalau
kuserahkan tanggung jawab padamu, pasti ludaslah semua emas itu!"
"Ja... jadi Dewi sudah mengetahui semua...?" tanya Tio Ki-pi dengan suara
gemetar dan muka seputih kain kafan.
Ketua Hun-tiong Houw-mo menyeringai. Matanya kelihatan berapi-api. "Aku sudah
menerima laporan lengkap tentang tindak tanduk kegagalanmu! Ling-ling, keluarlah
kemari!" Sebuah pintu terbuka. Seorang kakek berkumis putih melangkah masuk dan menjura
di hadapan Dew! Hun-tiong Houw-mo. Sepasang mata Tio Ki-pi terbelalak. Jika dia
tidak salah kakek ini adalah yang pernah dilihatnya tempo hari di rumah makan di
sebuah kota kecil di mana dia kemudian menerima sepucuk surat panggilan dari
Ketua Hun-tiong Houw-mo yang ditancapkan di mangkuk nasi!
"Jadi... kiranya dia.... Celakalah aku!" keluh Tio Ki-pi.


Wiro Sableng 018 Pendekar Pedang Akhirat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakek berkumis putih tanggalkan pakaian luarnya dan tarik topeng tipis yang
menutupi wajahnya.
Nyatanya kini dia adalah seorang dara rupawan yang mengenakan pakaian sutera
hitam, salah satu pembantu Dewi Siluman Harimau. Dari Hun-tiong!
"Tio Ki-pi, tahukah kau apa kesalahanmu"!"
Tio Ki-pi menyembah-nyembah dan seperti anak kecil dia merengek menangis: "Dewi
aku yang hina ini mohon pengampunanmu. Semua terjadi di luar kemampuanku...."
Ketua Hun-tiong Houw-mo cuma ganda tertawa. "Pertama kau telah gagal menjalankan
Si Gila Dari Muara Bangkai 2 Senopati Pamungkas I Karya Arswendo Atmowiloto Tenda Biru Candi Mendut 2

Cari Blog Ini