Ceritasilat Novel Online

Sepasang Iblis Betina 2

Wiro Sableng 014 Sepasang Iblis Betina Bagian 2


Nilamaharani dan Nilamahadewi tertawa gelak-gelak.
"Begitulah jadinya kalau seorang nenek-nenek tua mau jual tampang memamerkan
ilmu pukulan kelabang ijo yang belum sempurna!", kata Nilamaharani menggejek.
Ni Mindi Jalurkbalen mengertakan rahangnya. Kalau saja geraham darn gigi-giginya
masih menumbuhi gusinya pastilah dari mulutnya saat itu keluar suara
berkeretakan saking geramnya.
"Murid-murid murtad! Sekalipun kau punya sepuluh kepala seratus kesaktian,
jangan kira aku tak sanggup memusnahkan kalian!", teriak Ni Mindi Jalurkbalen.
Lalu laksana seekor burung walet dia melompat ke muka. Dua tangan terkembang ke
samping. Perlu diketahui bahwa dalam dunia persiatan nenek-nenek ini dikenal
dengan julukan "Si Walet Sakti" karena jurus-jurus dan gerakan silatnya
kebanyakan hampir bersamaan dengan gerakan seekor burung walet.
"Jurus walet meminta jiwa yang hendak dipamerkan"!" ejek Nilamahadewi ketika
melihat gerakan yang dibuat gurunya itu.
"Ini bukan jurus apa-apa, murid murtad! Tapi jurus kematianmu! Nah, mampuslah!"
Tubuh Ni Mindi Jalurkbalen lenyap dari hadapan kedua gadis itu dan sesaat
kemudian dua buah kepalan laksana palu godam menderu ke arah batok kepala
Nilamaharani dan Nilamahadewi!
Dua kepala merunduk secepat kilat. Dua lengan berkelebat ke udara! Terdengarlah
suara beradunya lengan kiri kanan Ni Mindi Jalurkbalen dengan lengan muridmuridnya. Dan terdengar pula keluhan pendek nenek-nenek itu sewaktu merasakan
lengannya sakit bukan main.
Dia jungkir balik di udara. Sambil jungkir balik begitu Si Walet Sakti mengeruk
jubah kuningnya dan dikejap itu menderulah dua lusin benda kuning sebesar uang
ringgit berbentuk bulan sabit, menyerang kedua kakak beradik itu dari dua belas
jurusan! Selama malang melintang di dunia persilatan kalau bukan tokoh-tokoh lihay,
jarang sekali orang yang sanggup mengelit atau menangkis lemparan senjata
rahasia itu. Namun hari ini untuk kesekian kalinya Ni Mindi Jalurkbalen dibikin
kaget karena dengan mengebutkan lengan-lengan pakaiannya, kedua lawannya
berhasil membuat mental duapuluh empat senjata rahasia yang amat diandalkannya
itu! Tergetarlah kini hati si nenek. Namun sudah barang tentu ia tak akan
meninggalkan tempat itu walau bagaimanapun juga.
"Ni Mindi Jalurkbalen," kata Nilamaharani dengan menyunggingkan senyum sinis,
"Apakah kau masih belum sadar bahwa kau betul-betul seorang nenek-nenek yang tak
layak hidup lebih lama di dunia ini?"
"Iblis dajal! Makan ini!" teriak Si Walet Sakti dengan amarah menggelegak.
Terdengar suara mendesing dan sebuah besi hitam yang ujungnya diganduli lima
buah kaitan sepanjang tiga jengkal melesat ke mulut Nilamaharani.
Yang diserang terkejut karena sebelumnya tak pernah mengetahui kalau gurunya
memiliki senjata dahsyat itu. Dengan satu gerakan aneh gadis ini membantingkan
dirinya ke samping.
Tubuhnya menjungkir kepala ke bawah kaki ke atas dan salah satu kakinya dengan
cepat kemudian menendang batang besi tempat mencantelnya lima kaitan itu.
"Jurus iblis menendang rembulan!" seru Ni Mindi Jalurkbalen ketika dia melihat
dan mengenali gerakan yang dibuat Nilamaharani. Saking kagetnya dia sampai tak
sempat lagi menarik pulang senjatanya. Kalau saja senjata itu tidak dipegangnya
dengan erat niscaya terlepas sewaktu tendangan Nilamaharani menghantam batang
besi dengan kerasnya, membuat batang besi itu bengkok.
"Murid dajal! Jadi kalian telah menuntut pelajaran pada Iblis Penggoncang Bumi
hah"!"
Nilamaharani tertawa tinggi, begitu juga adiknya.
"Nah . . . nah ... nah! Bagus! Pantas kelakuan kalian seperti dia selagi muda!
Pantas kalian jadi manusia-manusia binal terkutuk macam begini. Pantas kalian
berubah menjadi..."
"Anjing tua! Tutup mulutmu!" bentak Nilamahadewi. Dia menjentikkan tangan
kanannya dan segulung angin padat sebesar kepalan, laksana sebuah batu melesat
ke mulut Ni Mindi Jalurkbalen, membuat nenek-nenek itu tak meneruskan ucapannya
dan lekas-lekas melompat ke samping.
"Kakakku!" kata Nilamahadewi. "Mari lekas kita lenyapkan tua renta sialan ini
sebelum dia bicara yang bukan-bukan."
Dua gadis itu berkelebat cepat dan menggempur Ni Mindi Jalurkbalen dengan
serangan-serangan beruntun yang amat cepatnya. Nenek-nenek yang telah berumur
puluhan tahun itu mulai merasakan tekanan kurungan yang berbahaya. Jurus demi
jurus dirinya semakin terdesak.
"Celaka! Celaka diriku! Celaka dunia persilatan kalau aku tak behasil membunuh
manusia-manusia nista ini! Lebih baik aku mati bersama-sama mereka!" kata Ni
Mindi Jalurkbalen. Saat itu dia sudah bertempur hampir dua ratus jurus. Jubah
kuningnya sudah banyak yang bobol robek kena sambaran jari-jari atau jotosan
lawan. Sekujur tubuhnya sakit, dua buah tulang iganya patah sedang di lain pihak
kedua lawannya kelihatan masih segar bugar!
"Sepasang Iblis Betina!" seru Ni Mindi Jalurkbalen menyebut nama julukan kedua
muridnya yang murtad itu. "Mari kita sama-sama ke neraka!"
Dari dalam saku jubahnya dikeluarkannya sebuah bola berwarrra kuning lalu
secepat kilat dibantingkannya ke tanah. Terdengar suara ledakan dan di saat itu
seluruh puncak bukit tertutup oleh asap kuning yang pekat!
"Dewi! Tutup jalan pemafasanmu dan lekas lari!" teriak Nilamaharani.
Kedua gadis itu menutup jalan pernafasannya lalu meninggalkan tempat itu dengan
cepat. Di belakang mereka terdengar suara tertawa Ni Mindi Jalurkbalen.
"Kalian mau lari ke mana" Tubuh kalian sudah kena asap wesi kuning! Jangan harap
umur kalian lebih panjang dari sepeminum tehl".
Ucapan itu ditutup dengan suara batuk-batuk si nenek. Benda yang dipecahkannya
tadi adalah sebuah bola kuning yang berisi racun wesi kuning yang amat jahat.
Jangankan tercium, sedikit saja kulit bersentuhan dengan racun yang meresap
dalam asap tersebut, niscaya sekujur kulit akan menjadi cacat dan orangnya akan
menemui kematian dalam tempo sepeminuman teh dengan keadaan tubuh yang
mengerikan karena kulitnya mengelupas. Dengan mengeluarkan senjata pembunuh yang
dahsyat itu Ni Mini Jalurkbalen telah memutuskan untuk bunuh diri dan sekaligus
yakin bahwa kedua muridnya yang murtad tupun ikut menemui ajal. Namun sampai
matinya nenek-nenek yang bergelar Si Walet Sakti ini tidak nengetahui bahwa
maksudnya itu menemui kegagalan. Pengorbanannya sia-sia belaka!
Dengan mempergunakan ilmu lompatan "katak sakti melompati gunung", Nilamaharani
dan adiknya berhasil keluar dari kepungan asap beracun. Begitu keluar dari
bahaya maut tersebut mereka menyaksikan bagaimana pakaian yang mereka pakai robe
krobek akibat asap beracun sedang kulit mereka melepuh, mengelupas merah laksana
binatang dikuliti dan sakitnya tidak terperikan.
"Percepat larimu, Dewi!" seru Nilamaharani. "Kalau kita terlambat sampai ke goa
celakalah kita!"
"Obat pemusnah racun itu masih kau simpan di tempat dulu?" tanya Nilamahadewi.
Suaranya bergetar oleh kekawatiran dan karena menahan sakit yang menyelimuti
sekujur tubuhnya.
"Hem..." jawab Nilamaharani berguman. Meski ilmunya lebih tinggi satu tingkat dari
adiknya namun dia tidak sanggup menahan rasa sakit akibat racun wesi kuning.
Tak lama kemudian keduanya sampai di goa rahasia tempat kediaman mereka.
Nilamaharani masuk ke dalam kamar. Dengan kuku jarinya yang panjang runcing
dicungkilnya batu mar-mar pada dinding sebelah kanan kamar. Terlihatlah sebuah
benda hitam berbentuk tombo! Gadis ini menekan tombol itu dan sesaat kemudian
dinding di samping, kiri terbuka secara aneh. Pada celah yang terbuka itu
kelihatanlah sebuah ruangan berkotak-kotak seperti sebuah lemari.
Semuanya ada tiga kotak. Pada kotak sebelah bawah terdapat setumpukan pakaian
dan perhiasan, kotak kedua berbagai macam senjata, sedang kotak teratas bersusun
berbagai macam botol.
Nilamaharani berjingkat dan setelah meneliti susunan botol-botol yang ada di
kotak teratas, lalu di ambilnya dua buah botol. Botol pertama berisi cairan
berwarna kuning muda, botol yang satu lagi berisi cairan kuning tua dan kental.
Sementara itu tanpa di suruh Nilamahadewi telah menyiapkan empat gelas air
putih. Kakaknya kemudian menuangkan masing-masing tiga tetes cairan kuning muda ke
dalam dua buah gelas, lalu diaduk rata-rata dan diteguk sampai habis oleh kedua
gadis itu. Rasa sakit yang menyelubungi mereka dengan serta merta berangsur
lenyap. Kini tinggal kulit tubuh yang masih mengelupas merah mengerikan. Tiga
tetes cairan kuning pekat kemudian dimasukkan ke dalam dua buah gelas dan diaduk
rata. Kedua gadis itu kemudian melangkah ke sudut kamar sebelah kiri.
Nilamaharani menginjak sebuah batu mar-mar di lantai dan di sampingnya
terbukalah sebuah lobang yang merupakan tangga menuju ke sebuah kolam yang bagus
sekali. Dua gelas air yang telah dicampur dengan obat kuning pekat dimasukkan ke
dalam kolam. Kelihatanlah dua gelungan asap membumbung ke langit-langit ruangan,
baunya anyir.Tanpa menunggu lebih lama dua kakak beradik itu menceburkan dirinya
ke dalam gulungan asap kuning tersebut.
Beberapa saat kemudian asap kuning itupun sirna. Kini kelihatanlah kedua orang
gadis itu dalam keadaan basah kuyup. Tapi ajaib, sekujur kulit tubuh mereka yang
tadi terkelupas merah kini telah kembali seperti sediakala!
Mereka melompat dari dalam kolam.
"Untung sekali guru kita Iblis Penggoncang Bumi memberikan obat-obat itu tempo
hari. Kalau tidak tamatlah riwayat kita ...." kata Nilamahadewi.
"Jangan keburu berbesar hati!" potong kakaknya. "Kita masih belum keluar dari
bahaya maut! Kita harus bersemedi selama tiga hari untuk mengeluarkan sisa-sisa
racun wesi kuning dari paru-paru kita!"
Kedua gadis itu naik ke tingkat atas kembali. Setelah memasukkan botol-botol
obat dan menutup celah yang merupakan lemari itu, maka keduanya mencari tempat
untuk mulai bersemedi selama tiga hari. Begitulah dahsyatnya racun wesi kuning.
Bagaimana dengan Ni Mindi Jalurkbalen" Orang tua yang malang ini terpaksa
meregang nyawa di puncak bukit tanpa mengetahui bahwa pengorbanan yang
dilakukannya adalah sia-sia belaka.
*** 7 DI MALAM yang gelap gulita tanpa bintang tanpa rembulan, hanya angin malam yang
bertiup menyilir dingin, kelihatan satu sosok bayangan hitam berkelebat gesit di
luar tembok kota-raja.
Dia sampai di tembok sebelah tenggara. Tanpa suara dan tanpa diketahui oleh lima
orang pengawal yang ada di situ, sosok tubuh itu melompat ke atas tembok yang
tingginya enam tombak, dari situ terus melompat turun memasuki kotaraja,
melompat dari satu pohon ke lain pohon, dari satu atap rumah ke lain atap rumah
sampai akhirnya tak lama kemudian dia sudah berada di wuwungan Istana!
Siapakah manusia yang demikian hebat ilmu mengentengi tubuhnya hingga sanggup
melompat di atas atap dan dari pohon ke pohon begitu rupa" Untuk menjawab
pertanyaan itu kita harus kembali pada tiga hari sebelumnya.. . .
Di sebuah kampung kecil bernama Sukablabak yang terletak setengah hari
perjalanan dari Muntilan, pada tengah malam yang kelam pekat, dalam sebuah
pondok berdinding kayang beratap rumbia duduklah seorang laki-laki bertubuh
kecil, bermuka cekung. Dia memelihara kumis yang tebal melintang berkeluk ke
atas. Demikian tebalnya dia punya kumis hingga amat tidak pantas dibandingkan
dengan mukanya yang kecil cekung. Sepasang matanya yang besar senantiasa tak
bisa diam, berputar-putar ke segenap , penjuru pondok. Jelas ini menandakan rasa
ketidaksabaran menyamaki dirinya.
"Ini sudah lewat tengah malam, Pandemang. Kenapa dia masih belum muncul?" lakilaki berkumis melintang itu bertanya pada seorang yang bertubuh tinggi besar di
sampingnya bertampang keras kasar. Di pinggangnya kiri kanan tersisip masingmasing sebilah golok empat persegi besar macam golok pejagal temak. Rambutnya
gondrong, memelihara kumis serta berewok.
"Mungkin dia mendapat halangan, Pangeran," jawab orang bertubuh tinggi besar
bernama Pandemang. "Tapi percayalah, dia pasti datang menepati janjinya.
Bukankah kita sudah memberikan uang serta perhiasan banyak padanya?"
"Bukan kita, tapi aku!" tukas si kumis melintang yang dipanggilkan Pangeran itu.
"Ya, aku," kata Pandemang pula.
"Aku, aku, bukan aku kau!" berkata lagi Pangeran itu.
"Ya, maksud hamba Pangeran," kata Pandemang. Hatinya kesal. Tapi dia sudah tahu
dan terbiasa dengan sifat sang Pangeran yang seperti itu, keras, kepala, lekas
marah dan tak boleh bicara salah terhadapnya hadapnya meski kebanyakan dia
sendiri yang tidak mengerti dimaksud orang.
"Aku tunggu sampai sepeminuman teh lagi," kata Pangeran itu, "kalau dia masih
belum datang, terpaksa kubatalkan rencana semula. Dan kau Pandemang, kau harus
minta kembali uang serta perhiasan itu padanya
"Ah .... ah .... ah .... ! Aku sejak dari tadi sudah berada di sini, Pangeran
Ranablambang!"
tiba-tiba terdengar satu suara.
Ranablambang dan Pandemang sama-sama berbalik dengan cepat dan astaga! Orang
yang mereka tunggu-tunggu temyata sudah duduk menjelepok enak-enakan di sudut
pondok di belakang mereka dan tertawa gelak-gelak hingga seluruh pondok itu
menjadi bergetar.
"Bagaimana kau bisa masuk ke sini tanpa tahu kami?" tanya Ranablambang heran.
Pangeran ini dan juga Pandemang bukanlah orang-orang yang tidak tahu ilmu silat
dan kesaktian. Telinga dan mata mereka sudah terlatih baik. Tapi nyatanya orang
yang mereka tunggu sudah nyelonong masuk ke pondok itu tanpa mereka ketahui!
Si baju hitam menghentikan gelak tawanya dan menunjuk ke atas. "Lewat atap itu,"
katanya menjawab pertanyaan Pangeran Ranablambang seraya menunjuk ke atap
pondok. Dan ketika sang Pangeran serta Pandemang memandang ke atas kelihatanlah
bagaimana atap pondok itu sudah berlobang besar!
Pangeran Ranablambang jadi melengak.
"Tak percuma kau digelari Dewa Maling Baju Hitam," katanya kemudian.
Si baju hitam kembali memperdengarkan suara tertawanya lalu berdiri dengan
perlahan-lahan.
"Sebaiknya kita mulai saja dengan urusan kita Pangeran. Nah, katakanlah apa
maumu yang sebenarnya menyuruh aku datang ke mari."
Pangeran Ranablambang melangkah lebih dekat ke hadapan laki-laki berpakaian
hitam itu lalu berkata dengan amat pelahan. "Aku ingin kau mengambil Tombak
Trisula dari kamar Sri Baginda d Istana . . . . "
"Tombak Trisula"!" ujar Dewa Maling.
"Sst...jangan bicara keliwat keras!" ujar Pangeran Ranablambang. "Kau harus berhasil
Dewa Maling. Tombak itu sangat kubutuhkan agar aku bisa menduduki singgasana.
Karena memasuki Istana tidak gampang, apalagi senjata itu di simpan di satu
tempat rahasia di dalam kamar Sri Baginda."
"Kau tunjukkan saja tempat rahasia itu, aku pasti berhasil mengambil senjata
yang kau inginkan," kata Dewa Maling pula.
"Jangan menganggap remeh orang-orang di Istana," kata Ranablambang mendesis.
"Kau dengarlah penjelasanku. Tiga langkah dari pintu kamar Sri Baginda terdapat
sebuah lampu kuna yang terbuat dari perak, tergantung di dinding pada sebuah
paku besar. Tekanlah paku itu tiga kali berturut-turut maka dinding kamar yang
terletak di depan lampu itu yaitu pada bagian atas kepala peraduan Baginda akan
terbuka dan di dalamnya ada sebuah lemari besi. Lemari ini tidak mempunyai kunci
tapi hanya akan terbuka bila kau menekan sebuah tombol merah di bagian samping
kanannya. Di bagian ini terdapat dua belas buah tombol merah. Ingat, yang harus
kau tekan ialah tombol merah yang kesembilan dari tepi muka lemari. Bila tombol
itu sudah kau tekan - cukup satu kali tekan saja - maka pintu lemari besi akan
terbuka dan di dalamnya kau dapat melihat Tombak Trisula itu. Tapi sekali-kali
jangan kau segera mengambilnya. Begitu lemari terbuka, akan terdengar, suara
mendesis halus. Tunggu sampai desis itu berhenti, dan terus tunggu sampai sebuah
tombol putih muncul dengan sendirinya di bagian atas lemari sebelah dalam.
Sesudah itu baru kau bisa mengambil Tombak Trisula. Dan sebelum pergi jangan
lupa "Tunggu dulu!" bisik Dewa Maling Baju Hitam. Dan detik itu pula tubuhnya melesat
menembus lobang atap dan lenyap di luar sana.
"Ada apa"!", seru Pangeran Ranablambang dan Pandemang terkejut. Keduanya cepat
membuka pintu dan melompat keluar. Mereka melihat Dewa Maling berlari laksana
terbang ke jurusan selatan.
"Kalian tunggu saja di pondok!" masih terdengar suara Dewa Maling di kejauhan
sebelum tubuhnya lenyap ditelan kepekatan gelap malam.
Pangeran Ranablambang dan pembantu kepercayaannya cuma bisa saling pandang penuh
tanda tanya di dalam hati masing-masing. Yang mereka lakukan tidak lain hanyalah
tetap menunggu di pondok tersebut sebagaimana yang dipesankan oleh Dewa Maling
Baju Hitam. Hampir tiga kali peminuman teh barulah Dewa Maling kembali dan segera dihujani
pertanyaan oleh Pangeran Ranablambang serta Pandemang begitu mereka masuk ke
pondok. "Waktu kau memberi keterangan tadi," kata Dewa Maling, "aku melihat bayangan
seseorang di atas atap sana. Aku melompat ke atas tapi aneh begitu sampai di
luar, orang itu lenyap! Aku tak percaya kalau pemandangan telah menipuku.
Karenanya seluruh daerah ini kuselidik, tapi tetap bangsat itu tak berhasil


Wiro Sableng 014 Sepasang Iblis Betina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kutemui!".
"Mungkin sekali dia mata-mata Mahapatih," kata Pandemang.
Ketiga orang itu berdiam diri beberapa lamanya... Kemudian kelihatan Pangeran
Ranablambang menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin", katanya, "tak seorang
mata-mata kerajaanpun yang sanggup naik ke atas atap itu tanpa kita ketahui.
Apalagi dengan hadirnya Dewa Maling di sini!"
"Kurasa mungkin aku salah lihat", kata Dewa, Maling. Maksudnya berkata demikian
ialah agar mereka jangan terlibat lebih lama dalam segala macam dugaan itu.
Meski hatinya sendiri kurang enak, Dewa Maling kemudian berkata. "Lanjutkanlah
keteranganmu, Pangeran."
"Sesudah tombol putih muncul di dalam lemari sebelah atas kau baru boleh
mengambil Tombak Trisula itu. Dan sebelum pergi jangan lupa untuk menekan lebih
dulu tombol putih itu."
"Pangeran," kata Dewa Maling Baju Hita pula, "jika kau tahu dengan jelas seluk
beluk penyimpanan senjata tumbal kerajaan itu, mengapa tidak kau sendiri yang
mencurinya?"
Pangeran Ranablambang memuntir-muntir kumisnya yang tebal melintang lalu tertawa
pelahan. "Masing-masing kita sudah ditakdirkan punya pekerjaan dan tugas
sendiri-sendiri."
katanya. Yang sebenarnya ialah dia tak mempunyai nyali untuk melakukan hal itu
karena Istana penuh dijaga oleh pengawal-pengawal klas satu dan hulubalanghulubalang istimewa yang berilmu tinggi. Di atas semua itu Mahapatih Jayengrono
adalah yang berbahaya. Sekali saja dia gugup dan membuat kesalahan dalam
melakukan pencurian itu pasti tamatlah riwayatnya.
"Perlu aku ingatkan padamu, Dewa Maling. Istana penuh dengan orang-orang
berkepandaian tinggi, terutama Mahapatih Jayengrono. Jangan kau salah tindak
karena Istana terutama kamar Sri Baginda penuh dengan alat-alat rahasia".
"Sri Baginda bagaimana?"
"Dia tak perlu kau kawatirkan. Dia tengah mengadakan perjalanan ke daerah."
"Baik, tapi apa yang kulakukan ini musti ada ubi ada talasnya Pangeran," kata
Dewa Maling pula.
"Kau tak perlu kawatir!" kata Pangeran Ranaolambang. Dari dalam sabuknya
dikeluarkannya sebuah kantong kulit dan diajukannya ke hadapan Dewa Maling.
"Terima ini. Limapuluh keping uang emas. Kelak jika kau sudah berhasil
menjalankan apa yang aku perintahkan, kau bakal mendapat jabatan tinggi dalam
Istana!". Dewa Maling tersenyum. Disambutnya kantong uang itu. Disimpannya di balik
pakaian hitamnya.
"Kalau Tombak Trisula sudah berada di tanganku, ke mana musti kuantar?"
Pangeran Ranablambang mengatakan nama tempat maka sesaat kemudian ketiga orang
itu meninggalkan pondok tersebut.
Pangeran Ranablambang adalah putera Sri Baginda yang memerintah Kesultanan
Surakerto pada masa itu. Sebenarnya dia tidak boleh memakai gelar atau sebutan
Pangeran karena dia cuma seorang putera dari salah satu selir Sri Baginda. Namun
dengan penuh congkak dan ketinggian hati Ranablambang telah mempredikatkan
dirinya dengan sebutan itu. Dasar orang tak tahu diuntung, meski dia tak punya
hak untuk menggantikan Sri Baginda, namun di hatinya sudah sejak lama bergejolak
niat untuk menduduki singgasana. Maka ketika diketahuinya bahwa setiap pewaris
takhta kerajaan harus menerima Tombak Trisula sebagai syahnya dia menjadi Raja,
segera diaturnya rencana untuk mencuri senjata tumbal kerajaan itu. Untuk
melakukannya sendiri Ranablambang tidak bernyali meski dia memiliki kepandaian
yang tinggi. Maka melalui seorang pembantu kepercayaannya yakni Pandemang,
disuruhnyalah laki-laki itu menemui seorang tokoh silat golongan hitam yang
dikenal dengan nama gelaran Dewa Maling Baju Hitam.
*** 8 DENGAN mengandalkan ilmu lari serta ilmu meringankan tubuhnya ditambah dengan
pakaian hitam dan kegelapan malam yang turut membantunya, dengan mudah pada
akhirnya Dewa Maling sudah berada di atas wuwungan Istana. Meski dia sudah
diberi tahu jelas setiap liku-liku Istana dan tempat penyimpanan Tombak Trisula,
namun dia tak mau memandang enteng orang-orang yang ada di dalam Istana.
Terutama Mahapatih Jayengrono yang berumur setengah abad lebih itu, ilmu
kepandaiannya tak bisa dibuat main!
Dari tempatnya berada saat itu Dewa Maling dapat melihat kira-kira lima puluh
orang pengawal tingkat rendah berada di sekeliling Istana. Kemudian ditambah
lagi dengan dua puluh hulubalang yang berkepandaian tinggi.
"Berabe juga," kata Dewa Maling dalam hati. Tapi dia sudah mempunyai akal.
Laksana seekor burung walet dia melompat ke satu bagian yang gelap di halaman
samping Istana. Dengan mengendap-endap didekatinya seorang pengawal. Sekali
totok saja pengawal itu sudah tak berdaya. Di tempat gelap di bukanya pakaian
pengawal itu lalu setelah membuka pakaiannya pula, dengan cepat dikenakannya
pakaian si pengawal.
Di tangga Istana di temuinya seorang hulubalang. Setelah menjura pada hulubalang
itu dia berkata, "Mapatih Jayengrono mengharapkan kedatangan hulubalang dengan
segera karena ada satu urusan penting."
Karena yang menyampaikan pesan itu seorang bawahannya tentu saja sang hulubalang
tidak menaruh curiga.
"Di mana Mapatih berada?"
"Ikutilah saya," jawab si pengawal alias Dewa Maling.
Maka hulubalang itupun mengikuti pengawal tersebut. Sampai di tempat gelap Dewa
Maling tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan secepat kilat menotok pangkal leher
sang hulubalang.
Dalam keadaan tak berdaya hulubalang itu dilucutinya pakaiannya. Dengan menyamar
sebagai seorang hulubalang, dengan mudah Dewa Maling memasuki Istana, langsung
menuju di mana terletaknya kamar Sri Baginda.
Di pintu kamar berdiri dua orang hulubalang berkepandaian tinggi. Dewa Maling
tidak takuti mereka. Tetapi membuat kekerasan sama saja dengan mengundang
datangnya bahaya. Dengan langkah gagah Dewa Maling sampai di hadapan kedua
hulubalang itu.
"Kalian bersiap-siaplah. Sebentar lagi Mapatih Jayengrono akan datang ke sini
menggeledah kamar Sri Baginda," kata Dewa Maling.
Kedua hulubalang itu heran. Salah seorang dari mereka bertanya, "Memangnya ada
apakah?" "Kau yang mengawal kamar ini apa masih belum tahu" Betul-betul keterlaluan
kalian! Apa saja yang kalian buat di sini?".
Semakin heran kedua hulpbalang itu dan mereka bertanya lagi: "Ada apakah"!".
. "Seorang jahat di ketahui telah menyelinap masuk ke dalam kamar ini!" kata Dewa
Maling pula. "Apa"!" ujar dua hulubalang terkejut hampir bersamaan.
"Manusia-manusia tolol! Kalian tidur saja di sini! Lihatlah pintu di belakang
kalian yang terbuka itu!"
Mendengar ucapan itu kedua hulubalang tersewt serentak membalikkan tubuh. Begitu
mereka ke dalam. Dengan cepat kemudian pintu kamar diutupkan kembali.
Sesuai dengan keterangan Pangeran Ranablambang, tiga langkah di sebelah kanan
pintu, pada dinding tergantunglah sebuah lampu dari perak bakar berukir-ukir
bagus sekali buatannya.
Dewa Maling Baju Hitam menekan paku besar di mana lampu itu tergantung, tiga
kali berturut-turut. Di belakangnya erdengar suara barang bergerak. Ketika dia
berpaling ilihatnya dinding kamar di atas kepala peraduan Sri Baginda terbuka
dan tampaklah sebuah lemari besi. Cepat Dewa Maling melangkah ke hadapan lemari.
Di telitinya sejenak lalu dilihatnya deretan tombol-tombol merah di samping
kanan lemari besi itu, emuanya ada 12 buah.
Dengan hati-hati Dewa Maling menekan tombol merah yang kesembilan dari sebelah
muka lemari. Ia menunggu dengan berdebar. Lalu dilihatnya pintu lemari terbuka
dan di dalamnya tampaklah sebuah tombak pendek yang ujungnyz bercabang tiga.
Sinar senjata mustika tumbal kerajaan itu bukan saja menerangi seluruh lemari,
tapi jugz menyeruak sampai"ke muka Dewa Maling, menyilaukan mata laki-laki ini.
Sewaktu pintu lemari besi itu terbuka, terde ngarlah suara mendesis. Begitu
suara mendesis pada bagian atas lemari sebelah dalam muncullah sebuah tombol
putih. Inilah saat di mana Dewa Maling harus mengambil Tombak Trisula
diulurkannya tangannya mengambil senjata mustika tumbal kerajaan itu.
Pada saat Dewa Maling mengambil Tombak Trisula, di luar kamar dua orang
hulubalang sampai di hadapan pintu. Setiap dua jam sekali, hulubalang-hulubalang
yang mengawal pintu kamar Sri Baginda selalu diganti. Tentu saja kedua
hulubalang ini terheran melihat kamar itu tiada berpengawal sama sekali.
"Ke mana hulubalang-hulubalang yang seharusnva ada di sini"!" tanya salah
seorang dari mereka.
"Aku kawatir ada sesuatu yang tidak beres. Kau menyelidiklah ke ujung gang
sebelah sana, aku akan memeriksa kamar Sri Baginda".
Dengan cepat hulubalang yang satu itu membuka pintu kamar. Di dalam kamar, Dewa
Maling yang bertelinga tajam telah mendengar percakapan kedua hulubalang itu.
Maka dengan cepat dia menyelinap di samping pintu sebelah kiri. Sewaktu pintu
terbuka tubuhnya tertutup oleh daun pintu. Dan selangkah lagi hulubalang itu
masuk ke dalam kamar DewaMaling mengayunkan tinjunya ke batok kepala hulubalang
itu. Dengan mengeluarkan keluhan pendek si hulubalang tersungkur di lantai.
Dewa Maling cepat keluar dari kamar itu.
Tapi...! Wutt...! Angin keras menyambar perutnya. Dia terkejut bukan main dan terpaksa. melompat
ke belakang mencari selamat. Yang menyerangnya ternyata adalah hulubalang yang
tadi di sangkanya telah jatuh pingsan.
"Kurang ajar! Makan ini!" kertak Dewa Maling lalu mengirimkan satu tendangan ke
dada lawan. "Sret"!
Si hulubalang mencabut pedangnya dan memapas kaki Dewa Maling dengan senjata
itu. Mau tak mau Dewa Maling terpaksa menarik pulang kakinya kembali. Dengan beringas
dia melompat dan dari atas mengirimkan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat.
Namun lagi-lagi lawannya sanggup berkelit. Angin pukulan menghantam lantai
kamar. Permadani yang menutupi lantai itu robek bertaburan sedang lantai batu
pualam hancur berkeping-keping dan seantero kamar bergetar laksana di goncang
lindu! Si hulubalang begitu mengelak dengan sigap melancarkan serangan. Pedangnya
berkiblat empat kali berturut-turut!
"Setan alas!" maki Dewa Maling penasaran. Tangan kanannya yang memegang Tombak
Trisula digerakkan.
"Trang!"
Pedang di tangan si hulubalang patah dua. Hulubalang itu berseru kaget dan lekas
melompat ke belakang. Namun lebih cepat dari gerakannya itu, Tombak Trisula
meluncur menusuk dadanya. Hulubalang tersebut mengeluh pendek. Sesudah itu
tubuhnya terguling di atas permadani dengan tiga lobang luka di dadanya!
Di luar terdengar suara langkah-langkah kaki mendatangi. Dewa Maling menuju ke
pintu dengan cepat. Justru pada saat itu hulubalang-hulubalang Istana yang
berkepandaian tinggi tengah memasuki Antu kamar. Tanpa pikir panjang Dewa Maling
memegang daun pintu dan membantingkannya. Tiga orang hulubalang tak keburu
mengelak. Dada dan tubuh mereka dihantam daun pintu dengan kerasnya. Ketiganya
kontan roboh tak sadarkan diri dengan hidung masing-masing bercucuran darah!
Sewaktu Mapatih Jayengrono dan lima orang hulubalang sampai di kamar tersebut,
Dewa Maling sudah melarikan diri lewat jendela.
"Jaga dengan ketat seluruh tembok kotaraja!" kata Mapatih Jayengrono. Sehabis
memberi perintah itu dia segera melompati jendela dan lenyap. Jayengrono berumur
setengah abad lebih.
Dalam ilmu dan kesaktian dia termasuk golongan tokoh-tokoh yang disegani.
Otaknya yang cerdik segera dapat menarik kesimpulan bahwa seorang maling tingkat
tinggi pastilah tidak akan melarikan diri lewat jalan biasa. Karenanya, begitu
tiba di halaman samping Istana, Jayengrono tak ayal lagi segera melompat ke atas
wuwungan. Apa yang diduganya ternyata tidak meleset.
Begitu dia menginjakkan kakinya di atas wuwungan, pada ujung atap Istana sebelah
utara dilihatnya dalam kegelapan berkelebat sesosok tubuh berpakaian hulubalang.
Sebelumnya Mapatih Jayengrono sudah diberi tahu bahwa pencuri yang menyusup ke
dalam Istana itu menyamar atau berpakaian sebagai seorang hulubalang!
Dengan mengertakkan geraham, Mapatih ini segera lari di sepanjang atap mengejar
maling tersebut.
Sementara itu sambil lari dilihatnya belasan hulubalang dan puluhan pengawalpengawal tingkat tinggi telah bertebar berjaga-jaga di setiap sudut. Dapat
dipastikan bahwa si pencuri tak akan bisa lolos begitu saja!
Sewaktu Mapatih Jayengrono sampai di ujung atap sebelah utara Istana, dia jadi
amat penasaran karena orang yang dikejarnya lenyap tiada bekas. Di bawah
dilihatnya dua orang hulubalang dan sembilan pengawal klas satu berjaga-jaya.
"Tak mungkin pencuri itu lolos dari sini tanpa diketahui orang-orang di bawah
sana", kata Jayengrono dalam hati. "Pasti dia bersembunyi di sekitar sini."
Baru saja sang patih kerajaan berpikir begitu, di ujung barat di dengamya suara
hiruk pikuk dan seruan, "Api! Api!"
Ketika Jayengrono berpaling ke barat, benar saja, dilihatnya atap Istana
tenggelam dalam kobaran api.
"Pengawal-pengawal klas II dan klas III lekas padamkan api! Yang lain-lain tetap
di tempat! Ini adalah pancingan musuh!" teriak Jayengrono dengan suara lantang mengandalkan
tenaga dalam hingga terdengar ke segala pejuru.
Dengan matanya yang tajam Jayengrono memandang teliti ke segenap penjuru,
terutama ke tempat-tempat yang gelap.
"Heran, ke mana perginya maling itu." kata sang patih pada dirinya sendiri. Lalu
berserulah dia, "Maling edan! Sebaiknya menyerahlah! Kau sudah terkurung, tak
mungkin bisa kabur!".
Baru saja Mapatih Jayengrono berseru demikian, mendadak di bawahnya terdengar
teriakan, "Itu dia malingnya! Lekas kejarl Itu dia malingnya .... lekas kejar!"
Tak ayal lagi para hulubalang dan pengawal-pengawal yang ada di situ segera ikut
mengejar. Mapatih Jayengrono segera pula hendak menggerakkan kakinya. Tapi sekilas pikiran
timbul dalam benaknya yang cerdik dan berpengalaman. Dia tetap ditempatnya dan
memandang ke bawah dengan seksama. Dari tempatnya berdiri itu jelas dilihatnya
hulubalang yang tadi berteriak dan menunding sambil berlari, memperlambat
larinya hingga akhirnya dia tinggal seorang diri di belakang!
"Pasti dia bangsatnya!" kertak Jayengrono. Tanpa membuang tempo lagi dia
melompat ke bawah. Selagi tubuhnya melayang di udara, mendadak tampak belasan
benda berkilauan menyambar kearahnya. Temyata hulubalang dibawah sana telah
melemparkan senjata-senjata rahasia kepada sang patih.
"Maling besar! Jangan harap kau bisa lolos hidup-hidup dari sini!", teriak
Javengrono. Tangan kirinya dipukulkan kelawan. Belasan senjata rahasia yang menyerangnya
berpelantingan.
Di bawahnya terdengar kekehan si hulubalang yang memang bukan lain adalah Dewa
Maling adanya. "Jayengrono, kau memang cerdik. Kejar dan tangkaplah aku!".
Dewa Maling Baju Hitam berkelebat ke tembok Istana yang saat itu sudah tak
dijaga lagi karena hulubalang-hulubalang dan para pengawal telah berlarian
mengejar "maling" yang tadi diteriakinya!
"Ayo kejar aku!" tantang Dewa Maling kembali begitu dia menginjakkan kakinya di
atas tembok. Sebagai jawaban, sambil melesat mengejar, Mapatih Djajengrono melepaskan satu
pukulan tangan kosong yang hebat. Tembok Istana hancur berantakan, tapi Dewa
Maling sudah lenyap dari situ. Hanya suara kekehannya terdengar di pohon besar
di luar tembok Istana.
"Kurang ajar! Kau mau lari ke mana bah"!" kertak Jayengrono dan segera menyusul.
Kedua orang itu untuk beberapa lamanya saling kejar mengejar di atas atap-atap
rumah penduduk dan kemudian, untuk kedua kalinya Jayengrono kehilangan orang
kejarannya itu di sebelah timur Kotaraja.
Ke mana pulakah lenyapnya Dewa Maling saat itu" Sesungguhnya dia tak berada iauh
dari sang patih kerajaan Dengan mengandalkan ilmunya yang dinamakan "cecak
merayap di atap", Dewa Maling laksana seekor cecak "menempelkan" dirinya di
bawah ujung atap rumah penduduk yang gelap!
Sewaktu dilihatnya patih itu pergi ke jurusan lain segera Dewa Maling bergerak
kejurusan yang berlawanan dan akhirnya sampai di temook Kotaraja yang dikawal
ketat. Para pengawal yang bertugas di sini disamping berjaga-jaga mereka juga
asyik membicarakan tentang menyusupnya seorang maling lihay yang berhasil
mencuri senjata mustika tumbal kerajaan.
Dewa Maling tidak takutkan pengawal-pengawal ini malah dengan sikap keren dia
melangkah ke hadapan mereka dan membentak,
"Kalian kunyuk-kunyuk dogol semua! Kawan-kawan kalian bertempur mati-matian di


Wiro Sableng 014 Sepasang Iblis Betina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depan mesjid mengeroyok maling penyusup! Kalian enak-enakan ngobrol di sini!
Lekas bantu mereka!
Biar aku yang berjaga-jaga di tempat ini!"
Mendengar bentakan yang menggeledek itu, tanpa curiga dan banyak tanya para
pengawal dan hulubalang-hulubalang yang ada di situ segera lari menuju ke tempat
di mana dikatakan terjadi pertempuran hebat.
"Dasar manusia-manusia tolol!" ujar Dewa Maling penuh geli. Kemudian segera
dilompatinya tembok tinggi batas kerajaan dan dalam tempo yang singkat dia sudah
lenyap di kegelapan malam.
Namun belum lagi sepeminuman teh berlalu Dewa Maling merasa ada seseorang yang
mengejarnya di belakang. Dan belum sempat dia memalingkan kepala, satu bentakan
nyaring terdengar sejarak sepuluh tombak di belakangnya.
"Jangan harap kau bisa kabur seenaknya, bangsat pencuri!"
9 PADA WAKTU prajurit-prajurit pengawal dan para hulubalang lari secepatnya menuju
ke mesjid, mereka berpapasan dengan Mapatih Jayengrono.
"Kalian mau ke mana"!" tanya sang patih heran.
"Di depan mesjid tengah terjadi pertempuran, Maling yang mencuri Tombak Trisula
sedang dikeroyok. Kami kesana untuk memberikan bantuan", menerangkan salah
seorang hulubalang.
Heranlah Mapatih Jayengrono. Dia barusan lewat menyelidik di depan mesjid dan di
sana tak terjadi keributan apa-apa, apalagi pertempuran.
"Kalian telah kena tipu!" kata Jayengrono pula. "Dari siapa kalian tahu ada
pertempuran di depan mesjid?"
"Seorang hulubalang klas satu mengatakannya pada kami!"
"Kalian tolol semual," bentak sang patih gusar bukan main.
Diikuti oleh pengawal-pengawal serta hulubalang-hulubelang itu dia segera menuju
ke tembok timur.
"Mana dia"!" tanya Jayengrono dengan mata membeliak.
"Tadi . . . , tadi . . . . dia bilang akan berjaga-jaga di si..."
"Plaak!"
Tamparan Patih Jayengrono mendarat di pipi hulubalang itu hingga ucapannya yang
tergagap-gagap ketakutan terputus sampai di situ.
Setelah memaki habis-habisan, tanpa membuang tempo sang patih segera melompati
tembok kerajaan dan lenyap dari pemandangan orang-orang tersebut.
Kurang dari sepeminuman teh dia berlari, didepannya dilihatnya seorang
berpakaian hulubalang berlari dengan sebat sekali. Nyatalah orang itu memiliki
ilmu lari yang lihay dan di samping itu, Jayengrono merasa gembira karena inilah
manusia yang dicari-carinya. Mahapatih yang berumur setengah abad lebih ini
segera mengerahkan pula ilmu larinya yang tak kalah hebat dan dalam tempo
singkat dia berhasil mendekati orang yang dikejarnya dalam jarak sepuluh tombak.
Maka mebentaklah dia,
"Jangan harap kau bisa kabur seenaknya, bangsat pencuri!"
Orang yang lari di depan terkejut dan memalingkan kepalanya. Ternyata dia
memanglah Dewa Maling Baju Hitam.
"Jayengrono! Kau keliwat setia mengikutiku terus-terusan. Aku akan beri hadiah
atas kesetiaanmu itu! Ini terimalah!" kata Dewa Maling. Lalu dalam jarak kurang
dari delapan tombak dia menghantamkan tangan kanannya ke belakang.
Mapatih Jayengrono yang tengah lari kencang tak punya kesempatan untuk
menangkis, dengan serta merta membuang diri ke samping kiri.
Wuss! Angin pukulan lawan lewat di sampingnya, keras dan panas bukan main.
"Braak! Angin pukulan yang lewat terus menghantam sebuah pohon besar. Bukan saja pohon
itu menjadi hangus hitam sampai ke ranting-rantingnya tetapi juga tumbang dengan
mengeluarkan suara bergemuruh.
"Kau berkelit dari seranganku, Jayengrono! Berarti kau masih mau hidup. Kalau
mau terus bernafas kunasihatkan padamu agar kembali ke Kotaraja!"
Mahapatih Jayengrono mendengus. Dalam jarak sedekat itu kini dia bisa melihat
jelas wajah si pencuri. Hatinya terkejut. Tak di sangkanya yang melarikan Tombak
Trisula itu adalah Dewa Maling Baju Hitam, seorang tokoh pencuri yang terkenal
lihay di dunia persilatan. Pantas saja dia sanggup melarikan senjata tumbal
kerajaan itu. "Sebelum kuterima nasihatmu, kau dengar dulu nasihatku!" menjawab Jayengrono.
"Lekas serahkan kembali Tombak Trisula. Dan kepalamu itu akan selamat dari
kehancuran!"
Dewa Maling tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Patih itu.
"Kau jauh dari sarangmu, Mapatih! Kalau bicara jangan kelewat sombong!"
"Lekas kembalikan Tombak Trisula itu!"
"Silahkan ambil sendiri!" sahut Dewa Maling Baju Hitam seenaknya dan sambil
menimang-nimang Tombak Trisula yang dipegangnya di tangan kiri.
Mapatih Jayengrono gusar bukan main. Namun dia tak segera turun tangan. Ada
beberapa hal yang harus diketahuinya. Pertama, meski Dewa Maling terkenal
sebagai pencuri klas wahid yang tak ada bandingannya di dunia persilatan namun
bagaimana dia bisa berhasil mencuri Tombak Trisula sedang senjata mustika itu di
simpan di tempat yang paling tersembunyi dan penuh dengan senjata-senjata
rahasia yang mengancam jiwa setiap orang yang berani mengambilnya secara
sembarangan"
Hal kedua yang ingin diketahui oleh Mapatih Jayengrono ialah apakah ada
seseorang yang bersembunyi di belakang pencuri itu dan sekaligus memberi tahu
seluk beluk penyimpanan Tombak Trisula, dengan kata lain seorang telah
memperalat Dewa Maling Baju Hitam!
"Dewa Maling, untuk apa olehmu Tombak Trisula tumbal kerajaan itu" Sekalipun kau
memilikinya jangan harap kau bakal bisa menjadi Raja!"
Kembali Dewa Maling tertawa gelak-gelak.
"Aku mau jadi raja atau mau jadi setan pelayangan, itu bukan urusanmu, Mapatih!"
sahutnya. "Jika kau mau mengembalikan senjata itu dan menerangkan siapa orang yang berdiri
di belakangmu, aku akan bikin habis persoalan. Dan di samping itu aku akan
berikan hadiah besar untukmu."
"Sudahlah Mapatih. Kau kembalilah ke Kotaraja. Kenapa memusingkan benda yang
bukan milik bapak moyangmu?"
Marahlah Mapatih Jayengrono.
"Aku bertanggung jawab atas segala apa yang terjadi di Kerajaan!" katanya.
"Kalau kau tetap keras kepala, jangan harap kau bakal melihat matahari pagi!"
"Kalau begitu kau yang sebetuinva buru-buru inginkan mati, Jayengrono! Marilah
kutolong kau mencari jalan ke neraka!". Habis berkata begitu Dewa Maling Baju
Hitam melompat dan menyerang dengan mempergunakan Tombak Trisula. Senjata
mustika bermata tiga itu menusuk sebat ke dada Mapatih Jayengrono.
"Trang!"
Bunga api berpercikan.
Dewa Maling Baju Hitam kaget bukan main. Dia hampir tak melihat kapan lawannya
itu mencabut pedang yang tergantung di pinggang kirinya dan tahu-tahu senjata
itu sudah berada di tangannya, dipakai untuk menangkis serangan Tombak Trisula!
Memang dalam ilmu pedang, Mapatih Jayengrono memiliki kepandaian yang tinggi
sekali. Pada umur tigapuluh lima tahun dia sudah dijuluki sebagai "Raja Pedang
Dari Pajang" dan kini dalam umur setengah abad lebih ternyata ilmu kepandaiannya
semakin tinggi!
Meski Dewa Maling terkejut bukan main, tapi sang patihpun tak kurang kagetnya.
Sewaktu bentrokan senjata tadi, lengannya tergetar keras dan kesemutan. Bahkan
ketika ditelitinya salah satu bagian mata pedangnya telah rompal akibat beradu
dengan Tombak Trisula!
Melihat betapa ampuhnya senjata mustika yang dipakai tumbal kerajaan itu, Patih
Jayengrono maklum bahwa saat itu dia tak boleh membuang-buang waktu. Maka begitu
mwyerang dia segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat dan selama ini
menggetarkan dunia persilatan di Jawa Tengah!
Di lain pihak Dewa Maling memaklumi pula bahwa dalam ilmu silat bersenjata dia
hanya akan sanggup melayani Raja PPdang Dari Pajang itu dalam tempo yang
singkat. Untuk itu dia harus mengandalkan kegesitan atau mengusahakan menghantam
pedang lawan dengan Tombak Trisula, atau cepat-cepat angkat kaki dari situ
dengan mempergunakan tipu muslihat! Namun meski bagaimanapun kegusaran yang ada
di hati Dewa Maling membuat laki-laki ini memutuskan untuk melayani terlebih
dulu sang patih sampai beberapa puluh jurus. Demikianlah maka kedua orang
berilmu tinggi itu saling bertempur dengan hebatnya dalam gelapnya malam.
Dua puluh jurus berlalu. Saat itu Dewa Maling sudah berada di bawah angin.
Serangan pedang lawan datang bertubi-tubi, kadang-kadang mencurah laksana air
hujan. "Bangsat tua ini lihay betul!", maki Dewa Maling Baju Hitam dalam hati. Dalam
keadaan begitu rupa dia melompat menjauhkan diri seperti orang yang hendak
mengambil langkah seribu.
"Mau lari ke mana, manusia jahat"!", bentak Mapatih Jayengrono. Lalu dengan satu
gerakan kilat memburu melompat dan mengirimkan dua bacokan ganas. Namun sekali
ini sang patih telah tertipu.
Gerakan yang dibuat oleh Dewa Maling tadi sama sekali bukan untuk melarikan
diri, tapi justru untuk memancing lawan. Sewaktu Jayengrono melompat ke arahnya
dengan membacokkan pedang, laksana seekor kelinci dengan gesit Dewa Maling
melompat ke samping lalu menyelinapkan satu tusukan tombak ke bagian tubuh
sebelah bawah lawan yang tidak terjaga.
Karena bacokannya mengenai tempat kosong dengan sendirinya serangan balasan Dewa
Maling membahayakan sekali bagi Jayengrono. Derigan sebat patih ini membabatkan
pedangnya ke bawah karena dalam posisi begitu rupa cara itulah satu-satunya bagi
dia untuk dapat menyelamatkan jiwanya! Justru memang inilah yang di kehendaki
oleh lawannya. Melihat lawan membabatkan senjata ke bawah, Dewa Maling dengan keras memukulkan
Tombak Trisula ke atas menyongsong senjata lawan! Raja Pedang Dari Pajang
terkejut namun kasip. Tak ada kesempatan lagi untuk menghindarkan bentrokan
senjata tersebut.
"Trang!"
Pedang di tangan Mapatih Jayengrono patah dua. Jayengrono cepat melompat mundur
sedang di hadapannya Dewa Maling tertawa mengekeh, tangan kanan memelintangkan
Tombak Trisula di depan dada sedang tangan kiri bertolak pinggang.
"Jayengrono! Sayang kau terlalu keras kepala! Sudah ditakdirkan bahwa kau tak
bakal melihat matahari esok pagi!".
Dewa Mating menerjang ke muka.
Tombak Trisula berkiblat menderu. Jayengrono berusaha menangkis sedapat-dapat
nya dengan sisa patahan pedang yang masih ada di tangannya sedang tangan kiri
melepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat.
. "Keparat!" maki Dewa Maling karena dia tak menyangka kalau lawan yang sudah tak
berdaya itu masih memiliki pukulan sakti yang hampir saja menghantam dirinya
kalau dia tidak lekas-lekas menyingkii dan memaksanya membatalkan serangan
mautnya tadi! "Walau bagaimanapun kau tak bakal bisa membawa lari Tombak Trisula itu, pencuri
jahat!" kata Jayengrono yang masih besar nyalinya meski kini sudah bertangan kosong.
Dewa Maling berkomat-kamit. Dalam marahnya dia merasa sudah cukup lama melayani
patih Pajang itu. Dari dalam baju hitamnya yang terlindung oleh pakaian
hulubalang dikeluarkannya sebuah benda hijau berbentuk suling. Dengan kedua
tangan terpentang Jayengrono menunggu waspada. Senjata di tangan kiri lawan
merupakan senjata aneh baginya.
Tiba-tiba Dewa Maling meletakkan salah satu ujung benda hijau berbentuk suling
itu di ujung bibirnya dan meniup. Satu suara melengking tajam menusuk anak
telinga menggema di keheningan malam. Asap hijau yang ditaburi manik-manik merah
menyala mencurah ke arah Jayengrono. Dalam kagetnya patih Pajang ini tak sempat
lagi menyingkir. Begitu asap hijau bertabur manik-manik merah menyambar
hidungnya, patih ini terbatuk-batuk, dari tenggo-rokannya terdengar suara
seperti mau muntah. Kedua lututnya goyah dan akhirnya tubuhnya tergelimpang
pingsan. Dewa Maling Baju Hitam tertawa perlahan. "Jayengrono, kalau aku tidak membunuhmu
sekarang bukan berarti aku memiliki belas kasihan tefiadapmu! Racun jahat yang
ada dalam tubuhmu akan membuat kau menderita batuk darah seumur hidup! Dirimu
akan tersiksa, dan itu jauh lebih jahat dari pada kematian!"
Kembali Dewa Maling tertawa perlahan. Kemudian dengan memboyong Tombak Trisula,
dia berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.Kira-kira Dewa Maling sudah berlalu
sejauh seratus tombak, satu bayangan putih entah dari mans datangnya tahu-tahu
sudah berada di tempat itu. Melihat sosok tubuh patih Jayengrono yang terhampar
di tanah, orang ini memaki.
"Sialan, aku terlambat!"
10 ORANG berpakaian putih itu membungkuk di samping tubuh Jayengrono. Wajah sang
patih kelihatan membiru sedang dari sela bibirnya keluar busa kental dan leher
bengkak menggembung.
"Racun jahat," kata orang berpakaian putih dalam hati. Telapak tangan kanannya
di tekankan ke perut Jayengrono sedang jari-jari tangan kiri mencengkeram leher
patih itu. Sesaat kemudian-kelihatan tubuh Jayengrono menggeliat, lalu melejanglejang. Dari mulutnya semakin banyak keluar busa dan kini busa itu berwarna
kehijauan. Kemudian terdengar perutnya menggereok dan sang patih muntah dua kali
berturut-turut.
Orang berpakaian putih merasa lega melihat manusia yang ditolongnya muntah. Dia
maklum, kalau Jayengrono tidak muntah begitu rupa, niscaya nyawa sang patih tak
mungkin di selamatkannya. Tapi dia tahu bahwa sampai di situ keselamatan
Jayengrono masih belum terjamin sepenuhnya. Setelah mengalirkan hawa panas dan
hawa dingin ke dalam aliran darah sang patih lalu diambilnya dua butir obat dan
dimasukkannya ke dalam mulut patih itu. Setelah yaktn bahwa kini tak ada lagi
racun jahat yang mengendap dalam tubuh atau jalan nafas Jayengrono, laki-laki
berpakaian putih itu sebelum meninggalkan tempat tersebut dengan jari-jari
tangan kanannya menggurat tanah membuat tulisan.
Sementara seisi Istana Pajang heboh oleh tercurinya Tombak Trisula serta lenyap
tak diketahui ke mana perginya Mapatih Jayengrono, malam yang dingin telah
berganti dengan siang, fajar telah menyingsing di timur.
Tubuh Mapatih Jayengrono yang selama beberapa jam terhantar di tanah kelihatan
bergerak. Sepasang matanya membuka perlahan. Akhirnya patih ini siuman dan duduk
menjelepok di tanah. Mula-mula dia heran menyaksikan di mana dia berada saat
itu. Namun bila dia ingat apa yang telah terjadi barulah dia sadar. Dia
memandang berkeliling dan pada waktu itulah pandangannya membentur pada barisanbarisan tulisan yang tertera di tanah di ujung kakinya.
Kembalilah ke Istana.
Tentang Tombak Trisula tak usah dikawatirkan.
Mudah-mudahan dapat kukembalikan dalam waktu yang singkat.
Pendekar 212. Pendekar 212," desis Jayengrono. Dia tak pernah kenal orang itu tapi di seluruh
Jawa Tengah namanya sudah tersohor sebagai seorang pendekar berusia muda yang
amat tinggi ilmu silat serta kesaktiannya, yang bertualang dari situ daerah ke
daerah lain menjalankan tugas membela kebenaran dan keadilan, menolong siapa
saja yang tertindas dan mendapat bahaya.
Kemudian Jayengrono ingat pula bagaimana Dewa Maling Baju Hitam telah meniupkan
racun jahat kepadanya hingga dia roboh pingsan. Tentu Pendekar 212 itulah yang
telah menolongnya. Perlahan-lahan Jayengrono berdiri. Dendam kesumatnya terhadap
Dewa Maling amat besar, tapi dia tak bisa berbuat suatu apa selain berharap
bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng benar-benar bisa mengambil dan mengembalikan
tombak tumbal Kerajaan itu. Dengan harapan itulah Jayengrono meninggalkan tempat
tersebut dan kembali ke Istana Pajang.
*** Kira-kira setengah hari perjalanan dari Pajang terdapatlah sebuah lembah liar.
Dulunya lembah ini adalah sebuah lembah subur. Tapi sewaktu banjir melanda
daerah itu, segala kesuburan lembah tersebut ikut tersapu. Bahkan sebuah kuil
yang terdapat di situ ikut menjadi korban, hampir keseluruhannya diterjang
banjir. Kini sisa-sisa kuil tersebut masih berdiri meskipun sudah tak beratap
lagi dan dinding-dinding sebagian besar hanya tinggal sepotong-sepotong.
Boleh dikatakan sejak lembah itu berubah menjadi lembah liar, tak seorang
manusiapun yang datang ke sana. Namun di hari itu adalah aneh karena di depan
bekas-bekas runtuhan kuil kelihatan dua ekor kuda besar tengah merumput.
Terlindung di balik reruntuhan tembok kuil berdiri dua orang laki-laki.
Yang satu bertubuh kecil bermuka cekung. Kumisnya tebal melintang. Yang seorang
lagi kebalikannya berbadan besar tegap. Mereka berdua adalah Pangeran
Ranablambang dan pembantu kepercayaannya yaitu Pandemang.
"Aku kawatir kalau-kalau si Dewa Maling gagal mencuri tombak itu," kata Pangeran
Ranablambang. "Mana mungkin, Pangeran. Dia seroang cerdik, punya seribu akal dan berilmu


Wiro Sableng 014 Sepasang Iblis Betina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggi pula,"
menyahut Pandemang seraya mengusap-usap dagunya yang lebat ditumbuhi berewok.
"Tapi dia bisa saja silap, lupa akan seluk beluk mengambil senjata itu."
"Percayalah Pangeran, Dewa Maling pasti berhasil mengambil Tombak Trisula. Kalau
tidak percuma dia mendapat julukan hebat begitu rupa."
Untuk beberapa lamanya Pangeran Ranablambang tak berkata apa-apa sampai pada
akhirnya di tepi lembah dilihatnya satu titik hitam muncui mendatang dengan
cepat. "Itu dia," kata Pangeran Ranablambang gembira.
Pandemang memandang ke arah yang ditunjuk. Titik hitam itu semakin dekat dan
ternyata memang dia adalah Dewa Maling Baju Hitam yang telah menanggalkan
pakaian hulubalangnya.
"Bagaimana" Berhasil"!" pertanyaan itu cepat-cepat diajukan oleh Pangeran
Ranablambang pada Dewa Maling begitu Dewa Maling sampai di hadapannya.
"Beres Pangeran! Beres!" jawab Dewa Maling dengan tertawa lebar.
Gembiralah Pangeran Ranablambang. Dia tertawa lebih lebar dari Dewa Maling lalu
menepuk-nepuk bahu Dewa Maling dan bertanya, "Mana keluarkanlah. Berikan padaku
cepat." Dari balik pakaian hitamnya Dewa Maling mengeluarkan senjata tumbal kerajaan itu
dan menyerahkannya pada Pangeran Ranablambang. Setelah meneliti benda itu
sebentar lalu sang pangeran cepat-cepat menyimpannya di balik pakaiannya.
"Mari Dewa Maling, kau bakal mendapat hadiah besar dariku," kata Pangeran
Ranablambang. Dia melangkah kekudanya. Dari dalam sebuah kantong kulit yang
tergantung di leher binatang itu dikeluarkannya dua buah kantong kain. "Yang ini
berisi barang-barang perhiasan, emas dan batu-batu permata. Kantong yang satu
ini berisi uang! Terimalah!"
Dewa Maling cepat mengulurkan tangan menyambut hadiah besar itu. Setelah
menyimpan baik-baik kedua kantong tersebut maka bertanyalah dia.
"Bagaimana dengan janjimu hendak mengangkat aku jadi orang berpangkat di
Istana?" Ranablambang tersenyum.
"Kau tak usah kawatir Dewa Maling. Segera takhta Kerajaan sudah berada di
tanganku pangkat apapun yang kau inginkan pasti kuberi. Sekarang rencana kita
itu masih cukup panjang untuk diwujudkan meski Tombak Trisula sudah berada di
tangan kita ...."
"Apalagi yang harus kita laksanakan, Pangeran?" bertanya Dewa Maling.
"Pertama-tama kita harus melenyapkan Mapatih Jayengrono .... ".
Dewa Maling tertawa gelak-gelak.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Pangeran Ranablambang heran.
"Soal diri Mapatih Jayengrono, kau tak usah khawatir, Pangeran! Tak usah
kawatir! Dia sudah kubikin beres!"
"Maksudmu"!"
Dewa Maling lalu menerangkan pertempurannya dengan Jayengrono dan bagaimana dia
pada akhirnya berhasil merobohkan tokoh tinggi Istana Pajang itu.
Bukan main gembiranya Ranablambang. Berkali-kali dipujinya Dewa Maling.
"Kalau begitu", kata sang pangeran pula, "malam ini juga aku sudah bisa
menggerakkan balatentara Surabaya untuk menggempur Istana!"
Ranablambang mengangguk-angguk kemudian katanya. "Dengar Dewa Maling. Pasukanpasukan akan memasuki Kotaraja dari pintu selatan. Sebelum itu beberapa orangku
yang ada di dalam Kotaraja akan menimbulkan kebakaran. Kau sendiri terserah
apakah mau ikut menggempur bersama-samaku atau datang seorang diri
"Karena ada sedikit urusan, biarlah aku datang seorang diri, Pangeran ...."
jawab Dewa Maling.
"Baiklah kalau begitu. Sampai bertemu di Kotaraja malam ini!"
"Sampai ketemu," balas Dewa Maling lalu meninggalkan tempat itu.
Sesudah Dewa Maling lenyap dikejauhan Pangeran Ranablambang dan Pandemang naik
ke kuda masing-masing.
"Apa kataku, Pangeran," berkata Pandemang. "Dewa Maling pasti berhasil
mendapatkan Tombak Trisula itu!"
Pangeran Ranablambang tak berkata apa-apa melainkan menepuk pinggul kudanya agar
lari lebih kencang.
"Agar lebih cepat sebaiknya kita ambil jalan memotong saja Pandemang," kata
Pangeran Ranablambang.
"Baik, Pangeran", menyetujui si pembantu. Maka kedua orang itupun membelok
memasuki sebuah jalan kecil. Pangeran Ranablambang di sebelah depan sedang
pembantunya mengikut dari belakang.
Ada kira-kira sepeminuman teh mereka menempuh jalan liar kecil itu sewaktu di
depan mereka terdengar suara siulan membawakan lagu tak teratur dan tak menentu
nadanya, tiada beda dengan anak-anak yang baru pandai bersiul. Yang anehnya
suara siulan itu masuk ke telinga kedua penunggang kuda dan menggetarkan
gendang-gendang telinga mereka.
"Siapa pula yang berada di daerah liar dan bersiul begitu rupa?", ujar Pangeran
Ranablambang pada Pandemang.
"Ada kelainan dalam suara siulan ini, Pangeran." memperingatkan Pandemang.
"Aku juga merasakan", kata Pangeran Ranablambang dan mulai memperlambat lari
kudanya. "Karena itu bersikap waspadalah, Pandemang."
Setelah dua kali peminuman teh jauhnya mereka menempuh jalan kecil itu rasa
heran semakin bertambah. Betapakah tidak, sudah sejauh itu tetap mereka masih
belum juga memapasi atau melihat orang yang bersiul sedang suara siulan tetap
santar datangnya dari sebelah muka!
"Seorang biasa tak mungkin dapat bersiul seaneh ini," membatin Ranablambang.
Dirabanya pinggangnya untuk memastikan bahwa Tombak Trisula masih berada di
situ. Setelah satu kali peminuman teh lagi berlalu bertanyalah Pangeran Ranablambang.
"Bagaimana Pandemang, apakah kita teruskan juga menempuh jalan kecil ini?"
"Terserah Pangeran. Menurut hamba sebaiknya kita kembali saja."
"Tapi sudah jauh begini kepalang tanggung," kata Ranablambang. Dia berpikir
sejenak lalu. "Biar kita teruskan saja. Aku kepingin tahu siapa manusianya yang bersiul itu."
Maka keduanyapun memacu kuda masing-masing kembali.
Tak selang berapa lama di hadapan mereka tampaklah seseorang duduk di tepi
jalan, bersandar ke sebatang pohon. Kedua kakinya diulurkan ke depan. Orang
inilah yang tengah asyik bersiul-siul seenaknya. Bahkan ketika Pangeran
Ranablambang dan Pandemang sampai di tempat itu, dia terus saja bersiul-siul,
seolah-olah tidak pernah tahu atau tidak perduli akan kehadiran kedua penunggang
kuda itu. "Hanya seorang pemuda tolol gila, kiranya Pandemang. Kukira siapa!" kata
Ranablambang pada pembantunya.
Pandemang juga jadi mendongkol ketika menyaksikan orang yang bersiul itu adalah
seorang pemuda berpakaian putih, bertampang tolol dan berambut gondrong.
"Orang edan, minggirlah! Beri kami jalan!" membentak Pandemang.
Di bentak demikian rupa si pemuda bukannya hentikan siulan, malah semakin
memperkencangnya hingga baik Pangeran Ranablambang maupun Pandemang terpaksa
menutup jalan pendengaran masing-masing agar telinga mereka tidak menjadi sakit
pengang! "Pemuda hina dina!" bentak Pandemang lagi penuh marah, "berani kau bersikap
kurang ajar terhadap kami! Kupecahkan kepalamu!"
Pandemang melompat dari kudanya. Tinjunya yang keras besar laksana palu godam
diayunkan ke kepala pemuda itu.
*** 11 "PANDEMANG! Tahan dulu," seru Pangeran Ranablambang.
Mau tak mau mendengar seruan itu Pandemang menghentikan gerakannya. Dia
berpaling dan bertanya heran.
"Mungkin dia tuli, Pandemang. Hingga tak mendengar ucapan kita!"
"Sekalipun tuli tapi dia tokh tidak buta, Pangeran!"
Ranablambang mengambil sekeping uang perak. Sambil melemparkan uang itu ke depan
kaki pemuda yang duduk di tanah dia berkata,
"Pemuda, kalau kau hanya seorang pengemis, ambillah uang itu dan menyingkirlah
lekas!" Si pemuda menghentikan siulannya. Sebagai ganti dari mulutnya kini keluar suara
tertawa membahak, membuat dua ekor kuda yang ada di situ menjadi gelisah dan
mengeluarkan suara ringkikan ketakutan.
"Apa kata hamba, Pangeran! Pemuda ini memang pantas diberi hajaran!" kata
Pandemang. Ranablambang kali ini juga sudah menjadi gusar sehingga sewaktu pembantunya itu
kembali mengayunkan tangan memukul kepala si pemuda, dia tak menghalangi lagi.
"Braak!"
Suara itu dibarengi dengan keluhan tinggi Pandemang. Entah kapan si pemuda
bergerak, tahu-tahu pukulan Pandemang meleset dan menghantam pohon di
belakangnya hingga patah dan tumbang dengan mengeluarkan suara berisik.
Pandemang sendiri mengeluh kesakitan. Tinju kanannya kelihatan merah lecet. Dan
ini membuat laki-laki itu naik ke kepala amarahnya. Masih dengan mengandalkan
tangan kosong Pandemang menerjang ke muka menyerbu si pemuda berpakaian putih.
Yang diserang ganda tertawa lalu berkelit ke samping. Setiap serangan yang
dilancarkan oleh Pandemang tak satupun mengenai sasarannya. Ini membuat
Pandemang semakin naik pitam sedang lawannya terus menerus tertawa mengejek.
Akhirnya Pandemang tak menunggu lebih lama lagi. Dua bilah golok besar yang
senantiasa tergantung di pinggangnya kiri kanan dicabutnya. Sesaat kemudian
sepasang senjata itu laksana hujan mencurah menderu-deru ke arah pemuda berbaju
putih. Dalam keadaan begitu rupa si pemuda tak bisa main-main seperti tadi lagi.
Dia musti bertindak cepat kalau tidak mau dapat celaka. Didahului oleh suara
siulan yang melengking tinggi laksana mau merobek gendang-gendang telinga,
Iblis Tangan Tujuh 1 Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang Empat Iblis Kali Progo 1

Cari Blog Ini