Wiro Sableng 014 Sepasang Iblis Betina Bagian 3
pemuda itu berkelebat. Di lain kejap tubuhnya lenyap menjadi bayangbayang dan
Pandemang kini bingung sendiri karena tak dapat melihat di mana lawannya berada.
"Buuk!"
Pandemang berteriak kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke depan hampir jatuh
menelungkup karena satu pukulan keras mendarat di punggungnya. Untung saja
pukulan itu hanya mengandalkan tenaga kasar, kalau disertai tenaga dalam niscaya
Pandemang akan konyol detik itu juga. Dengan beringas Pandemang membalikkan
tubuh. Dua bilah goloknya membacok susul menyusul namun lagi-lagi dia hanya
menyerang tempat kosong. Sebelum dia dapat memastikan di mana musuhnya berada,
satu pukulan lagi mendarat di ulu hatinya. Pandemang mengeluh pendek. Perutnya
mual seperti mau muntah. Ketika satu tamparan menghajar mukanya, tak ampun lagi
laki-laki bertubuh besar tinggi ini terhuyung nanar dan menggeletak pingsan di
tanah! Untuk beberapa lamanya Pangeran Ranablambang tertegun heran di atas punggung
kudanya. Dia tahu betul tingkat ilmu kepandaian Pandemang. Tidak sembarang orang bisa
mengalahkannya, apalagi secepat dan secara main-main seperti yang dilakukan si
pemuda. "Pemuda rambut gondrong! Siapakah kau sebetulnya?" bertanya Ranablambang.
"Aku adalah Ranablambang!", jawab pemuda itu seenaknya dengan cengar cengir,
lalu meneruskan. "Anak seorang gundik yang ingin menjadi raja! Yang telah
mencuri Tombak Trisula tumbal kerajaan!".
Merahlah paras Ranablambang. Dihunusnya kerisnya dari balik pinggang. Lalu
dengan gerakan enteng melompat turun dari punggung kuda. Selagi tubuhnya
melayang di udara dia sudah mengirimkan satu serangan yang hebat membuat pemuda
rambut gondrong terpaksa buru-buru menyingkir. Sesaat kemudian terjadilah
pertarungan yang seru di jalan kecil itu. Ternyata Ranablambang lebih tinggi
ilmu silatnya dari Pandemang. Gerakan-gerakannya gesit.
Serangannya cepat sebat. Tiap-tiap ilmu silat yang dimainkannya licik dan
berbahaya. Kalau saja lawannya tidak hati-hati dan berpengalaman mungkin sudah
sejak tadi tadi dia mendapat celaka.
Tiga puluh jurus berlalu. Meski berada di atas angin Ranablambang masih belum
berhasil untuk merobohkan lawannya. Untuk mempercepat maksudnya mempecundangi
lawan pada jurus ketigapuluh-dua Pangeran ini mengeluarkan Tombak Trisula.
Dengah keris di tangan kiri dan tombak Trisula di tangan kanan dia melanjutkan
menggempur si pemuda.
"Ha . . . ha ... ! Senjata curian yang hendak kau andalkan Pangeran! Sungguh
keterlaluan!"
ejek pemuda rambut gondrong. Sambil berkelit dijangkaunya golok besar milik
Pandemang. Dengan satu gerakan yang sebat, golok itu disapukannya terdepan. Ranablambang
mengelak cepat dan dari samping mengirimkan satu tusukan keras dengan Tombak
Trisula. Tapi dia kaget karena lawannya tak ada lagi di tempat semula. Dalam
kebingungan begitu rupa satu benda keras menghantam kepalanya sebelah belakang.
Sang Pangeran mengeluh pendek. Pemandangan mandangan berbinar-binar. Tanah yang
dipijaknya, laksana amblas dan sesaat kemudian dia tergelimpang pingsan menyusul
Pandemang. Pemuda berambut gondrong tertawa perlahan. Diambilnya Tombak Trisula dari
genggaman Ranablambang; lalu diselipkannya di pinggang di balik bajunya.
*** Para pengawal di pintu gerbang Kotaraja sebelah timur terkejut dan juga heran
sewaktu menyaksikan seorang pemuda asing dengan menunggangi kuda membawa dua
sosok tubuh yang diletakkan di atas punggung seekor kuda gandengan. Kejut serta
keheranan mereka bertambah lagi bilamana mengenali bahwa dua orang yang ada di
punggung kuda gandengan itu adalah Pangeran Ranablambang dan pembantunya yang
bernama Pandemang.
"Bukalah pintu gerbang!", kata si pemuda.
Di saat itu selusin pengawal sudah mengurung pemuda ini, bersiap-siap untuk
menangkapnya. "Turun dari kuda dan serahkan dirimu lekas!" kata pemimpin pengawal.
Si pemuda memaki dalam hati.
"Para pengawal! Kalian tidak tahu apa-apa! Karena itu jangan banyak bacot! Lekas
buka pintu gerbang! Aku harus menghadap Mapatih Jayengrono selekasnya!"
"Katakan dulu siapa kau! Kotaraja berada dalam keadaan darurat! Tidak sembarang
orang boleh masuk! Apa lagi kau datang membawa Pangeran Ranablambang beserta
pembantunya dalam keadaan begini rupa!"
"Bicaramu keren amat, sobat!" ujar si pemuda rambut gondrong. "Sekali kuadukan
pada Mapatih Jayengrono pasti kau bakal mendapat hukuman!"
"Tak perlu mengancam! Lekas serahkan dirimu!"
"Kalian mau buka pintu gerbang ini atau tidak!" bentak si pemuda kesal.
"Sompret! Berani membentak!" damprat kepaIa pengawal lalu melompat untuk
menyentakkan kaki pemuda itu. Namun sebelum maksudnya kesampaian si pemuda telah
lebih dulu menghantamkan tumitnya ke dada kepala prajurit itu hingga tubuhnya
mencelat mental dan jatuh duduk di tanah!
Melihat itu sepuluh prajurit pengawal segera menghunus pedang masing-masing dan
mengeroyok si pemuda sementara seorang prajurit pengawal lainnya menyelinap
masuk ke Kotaraja guna melaporkan kejadian itu pada atasannya.
Ketika lima orang hulubalang sampai ke tempat itu, mereka amat terkejut
menyaksikan bagaimana sepuluh prajurit pengawal berhamparan di depan pintu
gerbang. Ada yang merintih kesakitan, ada yang menggeletak pingsan sedang pemuda
rambut gondrong masih tetap berada di punggung kuda dengan senyum-senyum kecil
seolah-olah tak ada terjadi apa-apa di situ!
"Orang gendeng!" bentak salah seorang hulubalang. Diikuti oleh orang kawannya
dia segera mencabut pedangnya membabat ke depan! Lima senjata maut berkelebat
kencang! "Tahan!" terdengar satu bentakan memerintah keras.
Lima hulubalang kerajaan menghentikan gerakan mereka. Yang datang adalah seorang
lakilaki yang sudah berumur tapi masih kelihatan gagah. Melihat orang ini,
pemuda rambut gondrong segera melompat turun dari atas kudanya dan menjura
hormat seraya berkata:
"Mapatih Jayengrono... aku yang rendah datang untuk menepati janji yang kutulis
malam tadi."
Mula-mula Jayengrono keheran-heranan atas ucapan pemuda yang tak dikenal itu.
Namun bila dia ingat apa yang dialaminya semalam, segera dia sadar.
"Apakah kau Pendekar 212 ...?" sang patih bertanya.
"Betul, Mapatih," jawab si pemuda yang ternyata adalah Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 Wiro Sableng.
Jayengrono memandang berkeliling pada para hulubalang dan pengawal-pengawal
pintu gerbang yang mulai siuman. "Kalian ceroboh semua! Tidak mengenali siapa
adanya pemuda ini!
Dialah yang menyelamatkan Pajang! Yang datang untuk mengembalikan Tombak Trisula
yang telah dicuri itu!"
Tentu saja semua prajurit dan hulubalang yang ada di situ menjadi kaget bukan
main. Mana mereka menyangka kalau, si pemuda berambut gondrong bertampang tolol
itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang selama ini sangat terkenal dalam dunia
persilatan. Dengan cepat mereka membuka pintu gerbang Kotaraja lebar-lebar.
Jayengrono membawa Wiro Sableng ke gedung Kepatihan. Begitu duduk berhadaphadapan Jayengrono segera bertanya. "Pendekar, apakah kau berhasil mendapatkan
kembali Tombak Trisula?"
Wiro Sableng mengangguk. Dari balik baju putihnya dikeluarkannya Tombak Trisula.
Jayengrono menerima senjata itu. Setelah menelitinya sebentar, berserulah
Mapatih Pajang itu.
"Ini Tombak Trisula palsu!"
Wiro Sableng terkejut dan tersentak dari kursinya.
"Bagaimana Mapatih tahu ...?" tanya Pendekar 212.
"Sepintas lalu memang kelihatan seperti yang asli," kata Jayengrono. "Tapi jika
diperhatikan akan kentara sinarnya redup dan buatannya kasar! Kalau kau tak
percaya lihat aku buktikan!"
Jayengrono mengambil sebilah pedang pajangan yang tergantung di dinding ruangan
itu. Dengan pedang itu kemudian ditetaknya Tombak Trisula! Tombak tersebut langsung
terpotong dua! "Lihat!" kata Jayengrono pula. "Pedang mustika milikkupun tak mungkin bisa
memapas Tombak Trisula. Ini hanya sebilah pedang biasa sanggup memotongnya jadi
dua!" "Kalau begitu aku telah tertipu!" kata Wiro Sableng sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang berambut gondrong. Dan di dalam hati pemuda ini memaki setengah
mati. "Aku tak salahkan kau, Pendekar 212." berkata Mapatih Jayengrono, "sebelumnya
kau tak pernah melihat Tombak Trisula yang asli . . . . ". Setelah saling
berdiam diri beberapa lamanya bertanyalah Jayengrono. "Apa yang harus kita
lakukan sekarang?"
"Sebaiknya bawa masuk Ranablambang dan pembantunya. Kita bisa tanyai mereka,"
menganjurkan Wiro.
Jayengrono menyetujui anjuran itu. Lalu kedua orang tersebutpun di bawa masuk ke
ruangan itu tanpa dilepaskan totokan di tubuh masing-masing.
"Pangeran Ranablambang," kata Mapatih Jayeiigrono yang masih mau menyebut
"pangeran"
terhadap pengkhianat itu, "karena kedokmu sudah terbuka tak ada gunanya. kau
bersembunyi-sembunyi lagi. Jawablah setiap pertanyaanku dengan jujur. Di mana
Tombak Trisula yang asli kau sembunyikan"!"
"Apa"!"
"Di mana Tombak Trisula yang asli kau sembunyikan?" mengulang Jayengrono.
Ranablambang yang bermuka kecil tekung itu memandang tepat-tepat pada
Jayengrono, lalu pada potongan-potongan tombak yang menggeletak di lantai
ruangan dan akhirnya berkata, "Aku tidak mengerti maksudmu".
"Kau lihat potongan senjata itu" Bentuknya persis seperti Tombak Trisula tapi
adalah palsu!"
"Palsu atau tidak itu bukan urusanku, Mapatih!" kata Ranablambang pula.
"Kau telah menyuruh Dewa Maling Baju Hitam untuk mencuri senjata tumbal kerajaan
itu. Ketika kau kutangkap tombak tersebut ada padamu dan temyata palsu. Kau atau si
pencurikah yang telah menukarnya dengan yang palsu?" yang berkata ini adalah
Wiro Sableng. "Orang gendeng, aku tidak ada urusan denganmu! Aku tidak sudi menjawab
pertanyaan orang gila!"
Wiro Sableng tertawa perlahan dan menjawab. "Bagaimanapun gilanya diriku, tapi
aku tidak segilamu, Ranablambang. Seluruh Pajang tahu kalau kau cuma anak
seorang gundik. Tapi mengapa menyebut diri sebagai pangeran. Dan lebih dari itu
berhasrat hendak jadi raja pula!
Mana yang lebih gila, aku atau kau"!"
Merahlah muka Ranablambang mendengar ucapan itu.
"Lekas beritahu di mana Tombak Trisula yang asli!" sentak Jayengrono.
"Aku tidak tahu!"
"Jangan berdalih, Pangeran!"
"Kalau dia tak mau menjawab secara baik-baik, aku ada cara yang paling bagus
untuk membuatnya bicara, Mapatih," kata Wiro pula.
"Mapatih," membuka suara Pandemang. "Pangeran Ranablambang tidak berdusta. Dia
betul-betul tidak tahu apa yang kau maksudkan dengan Tombak Trisula asli dan
yang palsu".
"Lantas apa yang kau ketahui, orang gagah?" tanya Wiro Sableng.
"Bangsat rendah, kelak aku akan memenggal batang lehermu!", kata Pandemang
mendesis. "Sebelum kau memenggal lehernya, kau musti selamatkan dulu kau punya batang
leher sendiri! Ayo katakan apa yang kau ketahui!" bentak Jayengrono.
"Aku tak mau bicara!" jawab Pandemang.
"Baik, tak apa", kata sang patih pula. Dipanggilnya beberapa orang hulubalang
lalu di suruhnya jebloskan kedua orang itu ke dalam penjara.
"Aku mempunyai dugaan, Mapatih", kata Wiro Sableng begitu dia tinggal berdua
dengan Jayengrono.
"Dugaan apa?"
"Mungkin sekali Dewa Maling Baju Hitamlah yang punya pekerjaan. Dicurinya Tombak
Trisula yang asli lalu kepada Ranablambang diserahkannya yang palsu . . . .".
"Dugaanmu bukan mustahil," ujar Mapatih Jayengrono. "Bisakah kau membantuku
kembali untuk mendapatkan Tombak Trisula yang asli itu?".
Sebagai jawaban Wiro Sableng berdiri lalu berkata, "Akan aku usahakan, Mapatih."
"Usahakanlah sebelum Sri Baginda kembali dari daerah. Kalau tidak aku bisa
berabe!" "Jangan kawatir Mapatih, mudah-mudahan berhasil." kata Wiro Sableng. Meskipun
ruangan itu mempunyai pintu untuk keluar masuk tapi pemuda ini dengan seenaknya
memilih jendela untuk jalan lewat meninggalkan ruangan tersebut.
*** 12 SEHABIS meninggalkan kuil tua di lembah liar itu, Dewa Maling Baju Hitam tak
hentinya merasa geli dalam hati akan kebodohan pangeran Ranablambang yang telah
kena ditipunya.
Di samping ahli mencuri, Dewa Maling adalah seorang licik yang teramat jahat
hatinya. Begitu Tombak Trisula berada di tangannya segera dia pergi ke seorang
tukang tempa dan disuruhnya membuat sebuah tombak yang bentuknya persis seperti
Tombak Trisula yang asli. Kemudian Tombak Trisula yang palsu itulah yang
diserahkannya pada Ranablambang.
"Dasar tolol!", kata Dewa Maling dalam hati, "kini aku punya kesempatan untuk
jadi Raja Pajang! Jadi Raja Pajang! Jadi Raja, bukan main!".
Saking gembira dan geli akan ketololan Ranablambang di puncak sebuah bukit Dewa
Maling tertawa gelak-gelak seorang diri.
"Orang gila dari manakah yang tertawa disiang bolong begini rupa!" satu suara
tinggi membentak. Dua sosok bayangan bekelebat!
Dewa Maling Baju Hitam terkejut, menghentikan tawanya dan memandang berkeliling.
Berubahlah paras Dewa Maling Baju Hitam sewaktu melihat dua orang gadis berjubah
kuning berdiri dikiri kanannya. Siapa yang tak kenal dengan Sepasang Iblis
Betina yang berparas cantik tapi berhati lebih kejam dari iblis"!
Untuk menghilangkan rasa terkejut dan kegentaran hatinya Dewa Maling buru-buru
menjura hormat dan berkata.
"Ah, Sepasang Iblis Betina kiranya. Harap dimaafkan kalau suara tertawaku
mengganggu ketenteraman kalian. Tapi hari ini aku benar-benar gembira..."
"Apa yang menyebabkan kau gembira?" tanya Nilamaharani.
"Anu . . . . hem .... aku menemukan sebuah kantung berisi perhiasan", jawab Dewa
Maling dan sesudah itu laki-laki ini memaki ketololannya dalam hati. Mengapa dia
harus menjawab begitu rupa"
Bukankah seribu jawaban lainnya bisa diberikannya. Hatinya tercekat sewaktu
Nilamaharani bertanya lagi. "Mana coba kulihat kantung itu!"
Dengan masih memaki dalam hati Dewa Maling mengeluarkan kantung yang
dimaksudkannya lalu diserahkannya pada Nilamaharani. Si gadis memeriksa isi
kantung itu. Ternyata memang isinya perhiasan.
"Nasibmu memang beruntung, Dewa Maling. Namun sayang benda ini bukan rejekimu.
Iblis-iblis di neraka telah menentukan agar perhiasan ini diserahkan padaku!".
Berubahlah paras Dewa Maling.
"Ah, rupanya memang demikian" kata Dewa Maling, "tapi lebih cocok lagi kalau
perhiasan itu kita bagi dua saja ..."
"Tutup mulut licikmu!" Nilamahadewi menukas. "Sekarang ayo lekas serahkan Tombak
Trisula yang asli kepadaku!"
Dewa Maling Baju Hitam laksana disengat kalajengking. Dia undur beberapa langkah
lalu tertawa. "Kau bicara apakah, Iblis Betina?"
Nilamahadewi balas tertawa tapi penuh kesinisan. Dan gadis ini kemudian
membentak. "Kau jangan berpura-pura pilon! Jangan berlagak tidak tahu! Ayo lekas
serahkan Tombak Trisula itu!"
Nilamahadewi mengulurkan tangan kanannya.
"Tombak Trisula" Tombak Trisula apa ..." Aku betul-betul tidak mengerti!" kata
Dewa Maling masih berpura-pura sedang hatinya tambah tidak enak. Naga-naganya
bahaya perselisihan tak mungkin lagi dihindarkan. Walau bagaimanapun dia tak
bakal menyerahkan Tombak Trisula tersebut. Yang membuat dia heran ialah
bagaimana Iblis berbaju kuning ini mengetahui bahwa Tombak Trisula tumbal
Kerajaan yang asli ada padanya!
Nilamahadewi mendengus dan pandangan matanya berubah angker.
"Tombak Trisula yang kau curi dari Istana Pajang! Ayo, kau masih mau dusta"!"
"Oh ... sungguh telingamu tajam sekali, sungguh matamu terang sekali!" sahut
Dewa Maling pula sambil memainkan senyum. "Jika tombak tersebut yang kau
Wiro Sableng 014 Sepasang Iblis Betina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maksudkan, sayang telah kuserahkan pada Pangeran Ranablambang karena dialah yang
menyuruh aku untuk mencurinya."
"Dan sebagai upahnya kau dihadiahi perhiasa dalam kantong tadi bukan" Yang kau
katakan kau temui di tengah jalan"!" ujar Nilamaharani.
Nilamahadewi menimpali. "Terhadap lain orang kau boleh bicara dusta! Tapi
terhadap kami awas!"
"Sungguh mati Tombak Trisula sudah kuserahkan pada Pangeran Ranablambang.
Pembantunya yang bernama Pandemang menyaksikan sendiri hal itu", kata Dewa
Maling masih mempertahankan kedustaannya sedapat-dapatnya.
Nilamahadewi tertawa tinggi.
"Memang... memang telah kau serahkan pada si Ranablambang, tapi bukan tombak
Trisula yang asli, melainkan yang palsu!".
Berobahlah paras Dewa Maling Baju Hitam. Tanpa membuang tempo lagi dia berkata,
"Maafkan aku Sepasang Iblis Betina. Karena masih ada lain urusan aku mohon
diri!" Habis berkata begitu Dewa Maling Baju Hitam cepat-cepat hendak berlalu. Tapi...
"Eeee ... ee... ee! Mau ke mana Dewa Maling"! Apa kau tidak punya telinga" Mana
Tombak Trisula itu"!" tanya Nilamahadewi dan cepat menghadang jalan Dewa Maling.
"Maaf Iblis Betina, aku tak bisa bicara panjang lebar lagi. Jika kau inginkan
Tombak Trisula, mintalah langsung pada Pangeran Ranablambang."
"Kurang ajar! Masih berani mempermainkan aku!" teriak Nilamahadewi marah. Dia
menerjang ke depan seraya mendorongkan telapak tangan kirinya.
Serangkum angin keras menyambar ke dada Dewa Maling Baju Hitam. Yang diserang
cepat berkelit, menjatuhkan diri lalu berguling aneh di tanah dan sesaat
kemudian dia sudah berada lima belas tombak jauhnya dari kedua dara berbaju
kuning itu! "Caramu lari boleh juga! Tapi jangan harap bisa kabur mentah-mentah dari
hadapanku!"
kertak Nilamahadewi. Dengan mempergunakan ilmu lompatan yang disebut "katak
sakti melompati gunung", tubuhnya laksana terbang di udara dan sesaat kemudian
sudah menghadang di hadapan Dewa Maling Baju Hitam.
Kaget Dewa Maling Baju Hitam bukan alang kepalang. Tahu bahwa pertempuran tak
dapat dihindar dan untuk laripun tak mungkin, begitu berhadap-hadapan Dewa
Maling segera mengirimkan satu tendangan ke uluhati Nilamahadewi. Serangan ini
dengan mudah bisa dikelit oleh Nilamahadewi namun dia terperdaya. Tendangan yang
dilancarkan lawan hanyalah tipuan belaka karena di saat dia bergerak mengelak,
satu jotosan keras dari samping kiri hampir saja meremukkan batok kepalanya
kalau dari jurusan lain kakaknya tidak datang membantu!
"Dasar iblis! Beraninya main keroyok!" bentak Dewa Maling marah dan penasaran.
"Kau berani memaki, bagus! Kupuntir lehermu!" teriak Nilamaharani.
"Majulah kalian berdua! Aku tidak takut!" jawab Dewa Maling Baju Hitam. Baru
saja dia berkata begitu selarik sinar berkilauan menyambar membuat kedua
lawannya tersentak kaget dan mundur!
Temyata Dewa Maling Baju Hitam telah mengeluarkan Tombak Trisula dan dengan
senjata itu menyerang kedua lawannya. Karena Tombak Trijula adalah senjata sakti
yang tak bisa dibuat main maka Nilamaharani dan adiknya harus berlaku hati-hati.
Masih untung tombak mustika itu berada di tangah lawan seperti Dewa Maling,
kalau di tangan seorang lawan yang jauh lebih tinggi kelihayannya pasti mereka
akan mengalami kesulitan. Menghadapi Dewa Malingpun saat itu keduanya tak mau
bertindak gegabah.
Tombak Trisula di tangan Dewa Maling bersiut-siut laksana hujan mencurah.
Sepasang Iblis Betina bergerak gesit. Hanya bayangan warna baju mereka yang
kuning kini yang kelihatan berkelebat kian kemari. Dewa Maling mempercepat
putaran serahgannya. Dia tahu dirinya berada di atas angin dan kedua lawan tak
berani maju mendekatinya.
Enam jurus berlalu.
Tiba-tiba terdengar suara dua pekik yang keras dan menegakkan bulu roma. Di saat
itu pula bayangan-bayangan kuning lenyap dari hadapan Dewa Maling. Sepasang
Iblis Betina laksana gaib. Dewa Mating berlaku cerdik. Dia tak mau menghentikan
putaran tombak yang sekaligus melindungi tubuhnya. Sambil terus berbuat begitu
sepasang matanya berputar memandang berkeliling dengan tajam. Sebelum dia
berhasil mengetahui di mana kedua lawannya berada mendadak setiup angin dingin
berhembus keras dari samping kiri.
Dewa Maling terkejut. Tombak Trisula hampir saja terlepas dari tangan kanannya.
Namun dia selamat dari pukulan "es iblis" yang amat berbahaya yang telah
dilepaskan oleh Nilamaharani dari atas cabang pohon di sebelah kiri sana.
Sebenarnya tombak mustika itulah yang telah menyelamatkan Dewa Maling. Kalau
hanya mengandalkan kekuatannya sendiri mungkin dia sudah mendapat celaka saat
itu. Baru terlepas dari bahaya maut itu, Dewa Maling dibikin kaget lagi oleh kiblatan
sinar kuning yang datang dari samping kanan. Sekali lagi Tombak Trisula
dibabatkannya. Meskipun kali ini untuk kedua kalinya dia berhasil menyelamatkan
diri namun Dewa Maling menjadi gugup sewaktu dari depan dan dari belakang
kembali setiup angin dingin luar biasa menyambar dan dari depan selarik sinar
kuning menderu. Hanya ada dua jalan untukc menyelamatkan diri dari dua serangan
ganas meminta jiwa itu.
Pertama memutar Tombak Trisula. Namun ini masih memberi kesempatan salah satu
serangan akan melanda tubuhnya Dewa Maling yaitu bila gerakannya menangkis kalah
cepat dengan perbawa dua serangan tersebut. Cara kedua ialah dengan melompat ke
atas! Dan cara inilab memang yang paling baik. Tanpa membuang tempo lagi Dewa
Maling menjejakkan kedua kakinya. Sambil memutar Tombak Trisula di sekeliling
tubuhnya, Dewa Maling melesat ke udara setinggi tujuh tombak.
"Buk"!
Satu pukulan keras menghantam bahu kanan Dewa Maling. Tulang selangkanya patah
remuk. Jerit Dewa Maling setinggi langit. Ketika dia terguling di tanah dan
bangun dengan tertatih-tatih baru disadarinya bahwa Tombak Trisula tak ada lagi
dalam genggaman tangan kanannya!. Dia memandang ke depan. Senjata mustika itu
kini dilihatnya berada di tangan Nilamaharani yang berdiri dengan bertolak
pinggang dan menyunggingkan senyum mengejek!
Dewa Maling menggerutu setengah mati! Pada waktu dia melompat ke udara tadi.
Nilamaharani yang berada di belakangnya tanpa diperhitungkan lagi oleh Dewa
Maling, telah menyusupkan satu pukulan tapi tangan yang keras dan sekaligus
berhasil merampas Tombak Trisula dari tangan Dewa Maling.
"Manusia-manusia haram jadah," maki Dewa Maling secara menggerakkan tangan
mengeluarkan senjatanya yakni sebuah suling berwarna hijau, dan mendekatkannya
ke bibir. Sebelum Dewa Maling meniup senjata itu, Nilamaharani telah menyerbu dengan
Tombak Trisula!
"Keparat!", maki Dewa Maling. Dia terpaksa melompat jauh dan sejak detik itu tak
punya kesempatan lagi untuk mempergunakan suling hijaunya karena setiap saat dia
dibikin sibuk oleh serangan Tombak Trisula yang menderu ditambah pula dengan
pukulan-pukulan tangan kosong Nilamahadewi yang ikut bantu kakaknya!
"Kalau aku bertahan terus, lama-lama aku bisa mampus percuma di sini," membatin
Dewa Maling Baju Hitam.
Sambil mengelakkan satu tusukan tombak yang dilancarkan Nilamaharani, dengan
gerakan yang tidak kelihatan oleh kedua lawannya, Dewa Maling mengambil sebuah
benda sebesar tutup botol berwarna hitam.
"Betina-betina edan!" teriak Dewa Maling Baju Hitam kemudian. "Jika kalian
benar-benar lihay, tangkislah senjata rahasiaku ini!"
Lalu dengan tangan kirinya Dewa Maling Baju Hitam melemparkan benda tersebut.
Nilamaharani juga menyangka bahwa benda hitam itu betul-betul satu senjata
rahasia, tak ayal lagi segera menyapu dengan Tombak Trisula.
Begitu benda hitam dan Tombak risula beradu, terdengar suara letupan dan asap
hitam yang amat tebal bertebar dengan cepatnya di seluruh tempat, menghalangi
pemandangan mata yang bagaimanapun tajamnya.
"Kurang ajar! Kita tertipu!" seru Nilamaharani. Dan betul saja. Ketika asap
hitam lenyap, Dewa Maling Baju Hitampun tak tampak lagi mata hidungnya di situ!
*** 13 SETELAH berhasil menyelamatkan diri dari kematian di tangan Sepasang Iblis
Betina dan mengobati lukanya, dalam hati Dewa Maling Baju Hitam timbullah dendam
kesumat untuk menuntut balas. Di samping itu dia bertekat bulat untuk
mendapatkan Tombak Trisula kembali.
Namun disadarinya bahwa kedua hal itu tak mungkin terlaksana kalau hanya dengan
mengandalkan dirinya sendiri. Untuk itu Dewa Maling Baju Hitam segera menemui
beberapa orang kawan satu alirannya. Maka sewaktu hari menjelang malam, bersama
orang-orang itu dia berunding di satu pondok, mengatur rencana batas dendam dan
merampas Tombak Trisula.
Mereka berjumlah empat orang, termasuk Dewa Maling sendiri. Di samping kanan
Dewa Maling duduk seorang laki-laki bertubuh kecil pendek atau lebih tepat kalau
di katakan katai. Si katai ini berkepala botak licin berkilat berlawanan dengan
kepalanya yang licin plontos itu, mukanya penuh ditumbuhi berewok atau cambang
bawuk yang meranggas liar karena tak pernah dicukur. Siapakah adanya pemuda ini"
Dia adalah Warok Kate, seorang pemimpin rampok jahat yang bersarang di hutan
Jatiluwak. Ilmunya tinggi karena dulu dia adalah seorang murid pertapa sakti yang kemudian
menyeleweng jadi orang jahat. (Mengenai Warok Kare ini bacalah jilid ke 1 cersil
: Pedang Sakti Keris Ular Mas; karangan Bastian)
Orang kedua yang duduk di sebelah kiri Dewa Maling Baju Hitam ialah seorang
laki-laki yang cuma punya satu mata. Matanya yang sebelah kanan hanya merupakan
rongga hitam yang mengerikan. Seperti Warok Kare, diapun memelihara berewok yang
teramat lebat. Tampangnya bukan saja seram tapi juga bengis kejam. Dia bernama
Baraka Seta, yang mendapat julukan Buaya Mata Satu Dari Kali Progo karena
bersama beberapa anak buahnya dia sejak lama menjadi buaya sungai yang ditakuti.
Siapa atau perahu mana saja yang melewati Kali Progo, pastilah, akan dirampok
dan para penumpangnya dibunuh dengan semena-mena sekalipun mereka menyerahkan
barang-barang secara sukarela.
Orang ketiga duduk di depan Maling Baju Hitam. Tubuhnya kurus tinggi, wajahnya
senantiasa pucat macam orang mau, mati besok sedang sepasang matanya selalu saja
berair. Dia mengenakan jubah ,' ungu gelap. Namun tak satu orangpun yang tahu.
Dia dikenal dengan nama gelaran yaitu Setan Ungu Muka Pucat. Manusia ini bukan
bangsa maling atau perampok ataupun buaya air. Namun dia merupakan seorang tokoh
golongan hitam yang banyak hubungan rapat dengan orang-orang jahat.
"Nah, kalian sudah tahu jelas siapa musuh yang bakal kita hadapi. Kedua Iblis
Betina itu memang sakti dan berkepandaian tinggi. Tapi dengan tipu daya serta
jumlah kita yang berempat ini masakan keduanya bisa berkutik"!"
"Memang, aku sendiri punya dendam kesumat terhadap mereka sejak tiga bulan
lewat," kata Buaya Mata Satu Kali Progo.
"Nah, apalagi kalau begitu! Dendam kesumat apakah?" tanya Dewa Maling pula.
"Suatu hari anak buahku merampok habis-habisan sebuah perahu dagang di muara
Kali Progo. Tahu-tahu muncullah kedua iblis haram jadah itu mempreteli hasil
rampokan mereka.
Anak buahku melawan. Lima orang dibunuh mentah-mentah, seorang masih sanggup
melarikan diri dengan jalan menyelam di sungai secara diam-diam lalu melaporkan
kejadian itu kepadaku.
Sewaktu aku mendatangi muara sungai, bangsat-bangsat betina itu sudah kabur
bersama barang-barang rampokan!"
Sunyi sejenak, lalu terdengar Warok Kate bertanya. "Kapan kita akan mendatangi
tempat mereka?"
"Malam ini juga, Warok. Lebih cepat lebih baik!" jawab Dewa Maling Baju Hitam.
"Sret"!
Warok Kate mencabut golok besar dipinggangnya. Sambil meraba-raba bagian yang
amat tajam dari senjata itu dan sambil menyeringai dia berkata,
"Tenanglah, golok! Malam ini kau bakal minum darah segar! Lalu dengan tertawa
mengekeh disarungkannya senjata tersebut ke tempatnya kembali.
"Mari kita berangkat", kata Dewa Maling Baju Hitam seraya berdiri.
Sebelum tiga orang lainnya sempat ikut berdiri dari ambang pintu terdengar suara
menegur. "Seorang tamu datang, masakan tuan rumah hendak pergi begitu saja" Sungguh tak
ada peradatan!"
Dewa Maling Baju Hitam terkejut. Dia saling pandang seketika dengan ketiga
kambratnya lalu memandang ke pintu dan membentak.
"Siapa di luar"!"
"Seorang tamu".
"Siapa nama dan datang dari mana?" tanya Dewa Maling lagi. Sambil bertanya
begitu diberikannya isyarat pada Warok Kate untuk keluar lewat pintu belakang
dan menyelidik.
"Aku datang dari Kotaraja." terdengar sahutan si tamu malam yang masih berada di
luar pondok. "Aku diutus oleh Mapatih Jayengrono untuk bicara empat mata dengan
kau, Dewa Maling."
Dewa Maling memberi isyarat sekali lagi dan kini Buaya Mata Satu. Dari Kali
Progo serta Setan Ungu Muka Pucat keluar pula meninggalkan tempat itu hingga
Dewa Maling tinggal seorang diri.
"Sebelum kuizinkan kau masuk, sebutkan dulu kau punya nama!" kata Dewa Maling.
"Amat pentingkah namaku bagimu, Dewa Maling"!"
"Penting atau tidak aku harus tahu! Lekas katakan!"
"Namaku Wiro Sableng!"
Bagai dipakukan kedua kakinya ke lantai pondok demikianlah terkejutnya Dewa
Maling Baju Hitam. Dia memandang berkeliling dan diam-diam merasa menyesal
mengapa telah menvuruh ketiga kambratnya meninggalkan pondak hingga dia tinggal
sendirian di situ dalam kekhawatiran yaitu setelah mendengar orang di luar
pondok menyebutkan namanya.
"Pendekar 212 Wiro Sableng!" kata Dewa Maling pula. "Aku tidak menyangka kalau kau ada hubungan dengan Mapatih Jayengrono. Ada perlu
apakah kau mencariku?"
"Aku sudah bilang ingin bicara empat mata dengan kau."
"Kau tak usah kawatir pembicaraan kita akan didengar orang. Tiga kawanku sudah
kusuruh pergi. Masuklah!" kata Dewa Maling dan diam-diam dikeluarkannya seruling
hijau yang berisi racun jahat lalu menunggu Wiro Sableng di depan pintu. Begitu
si tamu masuk akan segera disemburnya dengan racun tersebut.
Di luar pondok, Warok Kate dan Buaya Mata Satu Dari Kali Progo serta Setan Ungu
Muka Pucat merasa amat heran. Meskipun dia jelas mendengar percakapan antara
Dewa Maling dengan tamu yang mengaku bernama Wiro Sableng itu, tapi ketiganya
sama sekali tidak melihat Pendekar 212 Wiro Sableng!
Sementara itu di dalam pondok Dewa Maling sudah siap-siap dengan suling hijaunya
yang beracun. Dia tersentak seperti disengat kala sewaktu tahu-tahu
dibelakangnya terdengar suara orang menegur.
"Ah! Aku tak tahu kalau kau menunggu di pintu depan. Harap maafkan karena aku
masuk lewat pintu belakang!"
Dewa Maling menoleh. Seorang pemuda berambut gondrong dilihatnya berdiri
menutupkan pintu sambil menyeringai kepadanya.
"Kau .... kau Pendekar 212 Wiro Sableng?" tanya Dewa Maling.
Pemuda itu menggaruk kepalanya lalu mengangguk.
Selama ini Dewa Maling hanya mendengar nama dan kehebatan Pendekar 212 Wiro
Sableng dan tak pernah melihat orangnya. Kini berhadapan dengan pemuda berambut
gondrong dan bertampang seperti orang dogol itu mana dia mau percaya kalau
pemuda itulah Pendekar 212
Wiro Sableng" Rasa ngeri yang sebelumnya menyungkup diri Dewa Maling dengan
serta merta lenyap. Dan suaranyapun kembali garang, beringas.
"Katakan urusanmu!"
Wiro Sableng melangkah beberapa tindak lalu baru menjawab.
"Urusanku sedikit sekali, Dewa Maling. Hanya dengan tiga patah kata."
"Bilang!"
"Kembalikan Tombak Trisula!"
Sepasang bola mata Dewa Maling memandang menyorot pada pemuda di hadapannya.
"Betul kau di utus oleh Jayengrono?" Wiro mengangguk.
Dewa Maling tertawa gelak-gelak hingga seluruh pondok bergetar.
"Aneh!" kata Dewa Maling pula. "Seorang pendekar yang selama ini ditakuti dan
menggetarkan dunia persilatan kiranya hanya kacung buruk seorang Patih belaka!"
Di ejek demikian rupa Pendekar 212 Wiro Sableng bukannya marah malah ikut
tertawa gelak-gelak hingga Dewa Maling merasa bagaimana lantai pondok yang
dipijaknya jadi bergetar keras!
"Kacung atau apapun kau bilang yang penting lekas serahkan padaku Tombak
Trisula!" kata Wiro kemudian setelah menghentikan tawanya.
"Aku kawatir senjata itu tidak kau sampaikan pada sang patih, tapi kau boyong
sendiri!" ujar Dewa Maling pula.
Wiro menyeringai.
"Lekas serahkan apa yang kuminta!"
"Tombak Trisula sudah kuberikan pada Ranablambang. Patih itu menipumu. Tentu dia
bermaksud mengadu domba kau dengan aku!"
Wiro tertawa lalu berkata, "Trisula yang kau berikan pada Pangeran khianat itu
Wiro Sableng 014 Sepasang Iblis Betina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adalah yang palsu! Mana yang asli?"
"Hem, rupanya kau tahu juga mana asli mana palsu. Dengar sobat, jika aku
terangkan yang sebenarnya padamu apakah kau mau segera angkat kaki dari sini!"
"Belum tentu."
"Jangan keras kepala! Sepuluh macammu bisa kuhantam sekaligus!" ancam Dewa
Maling. "Dua puluh macammu sanggup kulabrak dalam satu jurus!" balas Wiro seenaknya.
"Trisula yang asli telah dirampas oleh Sepasang Iblis Betina." kata Dewa Maling
dengan geram. "Sekarang angkat kaki dari hadapanku!"
"Jangan bicara bohong, Dewa Maling!" memperingatkan Wiro Sableng.
Saat itu pintu belakang dan pintu depan pondok terbuka. Warok Kate dan Buaya
Mata Satu berdiri di belakang Pendekar 212 sedang dari pintu depan masuk Setan
Ungu Muka Pucat.
Seraya menutupkan pintu Setan Ungu Muka Pucat berkata:
"Manusia keras kepata macam dia ini pantasnya diberi hajaran saja, Dewa Maling!"
Wiro Sableng mengeluarkan suara bersiul dan menggoyangkan kepalanya pada Setan
Ungu Muka Pucat lalu berkata.
"Manusia muka sepucat kain kafan! Untung kau membuka mulut bicara! Kalau tidak
pasti aku sudah menyangka kau adalah mayat hidup!" Habis berkata begitu Wiro
Sableng tertawa gelak-gelak.
"Bedebah!" bentak Setan Ungu Muka Pucat dengan amat marah. Darahnya naik ke
kepala tapi parasnya masih tetap saja pucat pasi. Dia maju ke muka. Dengan jarijari tangannya yang berkuku panjang hendak dicengkeramnya muka Pendekar 212.
Namun gerakannya itu terhenti oleh seruan Dewa Maling Baju Hitam.
"Jangan kesusu, sobatku! Kalau dia mau bergabung dengan kita, kita ampunkan
jiwanya." Dewa Maling berpaling pada Wiro dan bertanya. "Bagaimana" Kau bersedia ikut kami
ke tempat Sepasang Iblis Betina guna merampas Tombak Trisula"!"
"Siapa sudi"!" sahut Wiro tegas. "Kau bangsat manusia licik. Juga kawan-kawanmu
yang tiga ini. Dan aku tetap yakin bahwa senjata mustika itu ada padamu!"
"Kalau begitu mampuslah bersama keyakinanmu itu!" bentak satu suara di belakang
Pendekar 212. Satu benda kemudian terdengar bersiur ke arah pemuda ini.
Tanpa menoleh, dari suara sambaran angin Wiro Sableng dapat mengetahui bahwa
yang menyerangnya dari belakang adalah Warok Kate. Dengan cepat pemuda itu
bergerak ke kanan.
Bila dirasakannya senjata lawan lewat, secepat kilat dia berbalik dan
menendangkan kaki kanannya. Maka terdengarlah keluh kesakitan Warok Kate. Golok
besar yang dipakainya untuk menyerang terlepas mental sedang lengannya sakit
bukan main akibat tendangan lawan!
"Kalau mau menyerang, dari depan, sobat! Bukan secara licik seperti itu!"
Kini terbukalah mata semua orang yang ada di situ. Warok Kate seorang kepala
rampok berilmu tinggi dan luas pengalaman. Bagaimana dia bisa dihajar hanya
dalam satu gebrakan saja"! Rupanya nama Wiro Sableng yang digelari Pendekar 212
tidak kosong belaka!
"Kawan-kawan! Mari kita kermus bangsat kurang ajar ini!" teriak Dewa Maling Baju
Hitam. Dengan senjatanya yang berbentuk suling hijau dia mengirimkan satu tusukan ke
dada Pendekar 212.
Kalau tadi dia merencanakan untuk menyembur muka pemuda itu dengan racun senjata
tersebut, kini hal itu tak berani dilakukannya karena khawatir akan mencelakakan
kawan sendiri. Tusukan yang dilancarkan Dewa Maling adalah satu tusukan kilat yang berbahaya.
Namun tidak demikian mudah untuk merobohkan murid Eyang Sinto Gendeng dengan
satu kali serangan kilat itu. Sambil berkelit Wiro menerpa ke arah Setan Ungu
Muka Pucat yang hendak membokongnya dari samping.
"Buk!"
Dua kepalan sama-sama beradu.
Setan Ungu Muka Pucat terkejut dan menggigit bibir agar keluh kesakitan tidak
keluar dari mulutnya. Tubuhnya terhuyung dan ketika diperhatikan ternyata kulit
tangannya telah lecet merah! Melihat ini Setan Ungu Muka Pucat segera
mengeluarkan senjatanya yakni sebuah tasbih berwarna ungu. Sementara itu Buaya
Mata Satu Dari Kali Progo telah pula mencabut pedang besar sedang Warok Kate
setelah mengambil senjatanya yang tadi terlepas, terus pula menyerbu.
Dalam pondok yang sempit itu dengan tangan kosong Pendekar 212 dikeroyok oleh
empat tokoh silat golongan hitam yang berkepandaian tinggi. Wiro tahu adalah
gila kalau dia menghadapi keempat lawannya dengan terus mengandalkan tangan
kosong. Dalam dua atau tiga jurus pasti tubuhnya akan kena "disate" senjatasenjata lawan. Karena dia tak bisa menggerakkan tangan untuk melepaskan pukulan
pukulan sakti maka tanpa membuang waktu lagi pemuda ini segera mencabut Kapak
Maut Naga Geni 212 dan balik pinggangnya. Sinar putihpun berkiblat!
"Awas Kapak Naga Geni 212!" seru Setan Ungu Muka Pucat memberi ingat kawankawannya. Peringatan itu tak ada gunanya karena sesaat kemudian terdengar suara "cras"
yang dibarengi dengan pekik Baraka Seta atau Buaya Mata Satu Dari Kali Progo.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, dada mandi darah. Tersandar ke dinding
pondok dan akhirya roboh ke lantai tanpa. berkutik lagi.
Kekalapan Dewa Maling Baju Hitam melihat kematian kambratnya membuat dia
melupakan keselamatan kawan-kawannya yang masih hidup. Dehgan serta merta
ditiupnya sulingnya. Sinar hijau bertabur manik-manik merah menyembur ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro sudah maklum betapa jahatnya racun dalam sinar
itu, dengan serta merta menyapukan Kapak Naga Geni 212 ke kiri. Keseluruhan
sinar hijau dan manik-manik merah tersapu ke kiri di mana Setan Ungu Muka Pucat
berada. Tak ampun lagi begitu racun tersebut tercium olehnya, Setan Ungu Muka
Pucat terbatuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya terdengar suara seperti mau
muntah. Tubuhnya tergelimpang. Mukanya berubah biru sedang dari sela bibir membasahi
ludah. "Dewa Maling! Tindakanmu gegabah sekali!" teriak Warok Kate yang jadi penasaran
melihat Setan Ungu Muka Pucat yang tak mungkin diselamatkan lagi jiwanya.
"Terpaksa kubatalkan niat untuk ikut bersamamul Kau bertempurlah seorang diri
melawan pemuda itu!".
Habis berkata demikian Warok Kate memutar tubuh dan melabrak pintu pondok,
lenyap di kegelapan malam. Melihat ini lumerlah nyali Dewa Maling Baju Hitam.
Segera pula dia memutar tubuh. Tapi Wiro Sableng mana mau memberi kesempatan
lari pada yang satu ini. Sebelum Dewa Maling mencapai pintu, Kapak Naga Geni 212
telah membabat putus salah satu kakinya.
Dewa Maling terbanting di tanah dan menjerit-jerit kesakitan.
"Kalau kau terangkan di mana Tombak Trisula yang asli, aku akan selamatkan
jiwamu." kata Wiro.
"Setan alas! Aku sudah bilang senjata itu dirampas oleh Sepasang Iblis
Betina ....!"
"Di mana tempat kediaman mereka?"
"Tanyalah sama setan neraka!" jawab Dewa Maling. Racun Kapak Naga Geni 212 masuk
ke jantungnya dan detik itu juga manusia inipun meregang nyawa! Wiro menggeledah
pakaian Dewa Maling. Tombak Trisula tak ditemuinya.
*** 14 MENURUT keterangan yang didapat oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, tempat kediaman
Sepasang Iblis Setina terletak di daerah berbukit-bukit di seberang hutan
Bintaran. Lima hari mengadakan penyelidikan dia samasekali tak berhasil
menemukan sarang kedua gadis jahat tersebut. Selama ini Wiro telah mendengar
perbuatan-perbuatan kejam yang pernah dilakukan oleh Sepasang Iblis Betina. Ada
hal yang mengherankannya, kenapa justru laki-laki muda dan yang bertampang gagah
yang selalu menjadi korban kedua gadis tersebut"
Hari keenam berlalu. Wiro Sableng memutuskan bila sampai hari ketujuh dia masih
belum berhasil menemukan kedua orang yang dicarinya itu, dia akan meninggalkan
tempat tersebut dan mencari keterangan lain yang lebih jelas mengenai mereka.
Demikianlah pada pagi hari ketujuh itu Wiro Sableng baru saja selesai mandi di
dalam Telaga Puteri Intan Dewi yang terletak di hutan Bintaran sewaktu sepasang
kaki putih mulus dilihatnya melangkah lembut di antara semak-semak jauh di
hadapannya. Pemuda itu cepat naik ke darat dan mengenakan pakaiannya, lalu
menunggu dengan tenang.
Namun ketenangan hati pendekar muda ini hanya sejenak. Dadanya berdebar sewaktu
pemilik kaki yang bagus tadi muncul di balik sepatang pohon besar. Ternyata dia
adalah seorang dara berparas cantik sekali. Wiro mengingat-ingat beberapa orang
gadis cantik yang pemah ditemuinya. Namun harus diakuinya bahwa yang satu ini
adalah yang paling cantik yang pernah dilihatnya. Gadis ini mengenakan pakaian
berbentuk jubah pendek berwama biru tua berbunga-bunga kuning. Di tangan kirinya
ada sebuah kendi besar. Dara ini kelihatan terkejut dan menghentikan langkahnya
sewaktu sepasang matanya yang bersinar beradu pandang dengan Pendekar 212.
"Di pagi yang segar, bertemu dengan seorang dara jelita. sungguh indah sekali
rasanya hidup ini ...." kata Pendekar 212 laksana seorang penyair. Dia
tersenyum. "Nona, siapakah kau?" tanya Wiro Sableng seraya melangkah mendekati si gadis.
Sang gadis undur beberapa tindak. Wiro tertawa.
"Kau datang ke sini tentu untuk mengambil air. Ambillah. Dan kau tak usah
perduli aku kalau memang tak sudi bicara atau takut padaku. Aku tak akan
mengganggumu." Pemuda ini membalikkan badan dan merapikan pakaiannya. Di
dengarnya gadis itu melangkah ke tepi telaga.
Lalu didengamya suara kendi dimasukkan ke dalam air telaga. Sewaktu Wiro Sableng
berpaling, dilihatnya gadis itu memandang tepat-tepat padanya. Si gadis membuang
muka sewaktu pandangan mereka saling bentur.
"Kalau dilihat membuang muka. Orang melengah memperhatikan ..." kata Wiro dalam
hati. Kemudian tanpa acuhkan gadis itu dia melangkah pergi. Adalah satu hal yang
membuat dia terkejut sewaktu di dengamya gadis itu berseru. "Saudara,
tunggu .... !"
Wiro Sableng berpaling. "Ada apakah?"
"Kau jangan jalan ke arah sana...."
"Eh... Terima kasih atas nasihatmu. Kalau aku boleh tanya memangnya kenapa ....?"
tanya Wiro. "Daerah sebelah sana berbahaya." jawab si gadis seraya bangkit dari tepi telaga
karena kendi yang di isinya telah penuh dengan air.
"Hem, begitu" Banyak binatang liarnya?" tanya Wiro lagi.
"Bukan." jawab si gadis. "Di situ daerah kediaman dua gadis jahat."
Wiro Sableng melangkah ke hadapan si gadis. "Darimana kau tahu?"
"Aku tahu apa yang terjadi di sini dari guruku. Beliau yang menceritakan".
"Siapa nama gurumu?" tanya Wiro lagi.
"Maaf, tak bisa kuberi tahu."
"Kau tahu betul tempat kediamannya Sepasang Iblis Betina itu?"
Si gadis menggeleng. "Tapi percayalah..." katanya. "mereka sering muncul di
jurusan yang-tadi hendak kau tempuh."
"Kau dan gurumu tinggal di sekitar sini?"
"Ya. Setiap hari aku ke sini mengambil air." Wiro Sableng hendak menanyakan
sesuatu tapi tak jadi. Di belakangnya, kira-kira lima tombak jauhnya, di
dengamya suara gemerisik ranting-ranting. Dia berpaling dengan cepat lalu
melompat ke jurusan ranting dan semak belukar. Jelas dilihatnya bayangan kuning
berkelebat. Namun aneh ketika dia sampai di situ bayangan tersebut lenyap
laksana ditelan bumi. Wiro ingat pada keterangan yang diterimanya yaitu bahwa
Sepasang Iblis Betina senantiasa mengenakan jubah kuning. Bukan mustahil
bayangan kuning tadi adalah bayangan salah seorang dari mereka. Dengan perlahanlahan dia kembali menemui si gadis. Di lihatnya gadis ini berdiri menggigil
dengan muka pucat.
"Tak usah kawatir. Tak ada apa-apa...." kata Wiro menenangkan.
"Waktu aku bicara tadi, sekelebatan kulihat sesosok tubuh berbaju kuning. Aku
takut sekali, saudara. Pasti dia! Pasti gadis jahat itu ...."
"Kau ditipu pemandanganmu sendiri, nona." kata Wiro meski hatinya sendiri tidak
enak. "Aku sudah memeriksa tempat sekitar situ. Tak ada siapa-siapa."
"Aku harus kembali cepat-cepat. Tapi ... tapi, aku takut pulang sendirian."
"Mari kuantar." kata Wiro Sableng pula.
Tanpa banyak cerita lagi kedua orang itu mening galkan tempat tersebut. Tak
selang berapa lamanya, dihadapan serumpun semak belukar lebat gadis itu
berhenti. Dengan tangan kanannya disibakkannya semak-semak tersebut lalu
berpaling pada Wiro dan berkata,
"Masuklah!"
"Tempat tinggalmu di sini ....?"
Jawaban si gadis tak terdengar. Wiro menyetuak di antara semak-semak lalu masuk
ke dalam. Dia melangkah mengikuti gadis itu menyusuri sebuah lorong batu yang
bersih dan bagus hingga akhirnya sampai di sebuah ruangan besar yang diterangi
oleh sebuah pelita aneh. Pelita itu merupakan sebuah kayu hijau yang ditancapkan
di dinding ruangan. Bau harum aneh menyentuh penciuman Wiro Sableng. Dia
memandang berkeliling. Ruangan itu indah sekali. Si gadis menyuruhnya duduk.
Berada sendirian di dalam ruangan itu Wiro merasakan ada kelainan dengan aliran
darahnya: Untuk beberapa lamanya diperhatikannya pelita aneh di dinding yang
dilihatnya semakin redup cahayanya sedang bau harum semakin mempengaruhi
dirinya. Darahnya menyentak-nyentak dan nafasnya memburu panas. Semua ini
menimbulkan tanda bahaya dalam hati Wiro: Segera dikerahkannya tenaga dalam dan
ditutupnya penciumannya.
Selang beberapa ketika si gadis muncul kembali. Dia mengenakan pakaian yang sama
dengan sebelumnya namun kali ini kelihatan lebih tipis hingga sinar lampu yang
redup sekalipun sanggup merambas memperlihatkan sekujur tubuhnya. Sepasang mata
Pendekar 212 Wiro Sableng menyipit.
"Gurumu mana...?" tanya Wiro.
"Aku lupa mengatakan sesuatu tentang guruku," kata gadis itu seraya duduk di
hadapan Pendekar 212.
"Ada apa dengan dirinya?"
"Dia kejam sekali. Sejak aku dewasa tak pernah boleh berhubungan dengan lakilaki. Kau tentu tahu bagaimana perasaan seorang dara yang sudah menginjak alam
dewasa seperti aku ini...."
"Aku mengerti..." sahut Wiro, "tapi mengapa gurumu bertindak demikian?"
"Aku sendiri tidak tahu . . . . ", jawab gadis itu sambil menundukkan kepala.
"Gurumu melarang kau berhubungan dengan laki-laki. Lantas kenapa kau berani
membawa aku ke mari?"
"Beliau sedang bertapa. Lusa baru kembali."
"Hem . . . . ", gumam Wiro. Seorang gadis cantik, berpakaian tipis menggiurkan
dan menyatakan perasaannya tentang kerinduan terhadap seorang laki-laki kepada
seorang laki-laki.
Aliran darah Wiro Sableng semakin menggelora panas. Denyut nadinya tambah cepat.
Dan di antara ke semua itu perasaan adanya bahaya semakin besar. Dia ingat
bagaimana dulu dia tenggelam dalam pelukan tubuh telanjang seorang dara yang
kemudian dara itu ternyata hendak merenggut jiwanya. Apakah gadis yang satu
inipun hendak berbuat begitu pula.
"Eh, kau masih belum menerangkan namamu." Kata Wiro memecah kesunyian di antara
mereka. "Sebutkan namamu dulu," sahut si gadis merajuk.
"Aku Wiro."
Si gadis mengangkat kepalanya. "Wiro apa?" tanyanya.
"Wiro Sableng."
Meski bibir si gadis merekahkan senyum namun sepasang mata Wiro Sableng tak bisa
ditipu. Pada bola-bola mata gadis di hadapannya itu ada pantulan sinar aneh saat
itu dan genta tanda bahaya semakin keras mengumandang di telinganya, menyuruhnya
berhati-hati. "Namamu sendiri siapa, nona . . . . ?", tanya Wiro setelah dia mempertenang diri
sementara itu jalan pemafasan hidungnya masih terus ditutup.
"Nilamaharani . . . . ", kata gadis itu menyebutkan namanya.
"Nama bagus," puji Wiro. Lalu dilihatnya gadis itu berdiri dan sinar pelita
hijau kembali merambasi tubuhnya yang bagus.
"Aku sudah menyiapkan minuman di dalam. Mari masuk ke ruang sana, Wiro," kata
Nilamaharani. Nafasnya menghembus panas di wajah Pendekar 212.
Wiro berdiri dan mengikuti gadis itu. "Jika ini adalah satu tipuan nona ...." kata
murid Eyang Sinto Gendeng ini dalam hati, "kau bakal mampus percuma."
Ruangan yang mereka masuki juga diterangi oleh pelita aneh bersinar redup. Satusatunya perabotan yang ada di situ hanyalah sebuah tempat tidur. Bagian kepala
tempat tidur yang bagus berseperai kuning itu berbentuk meja panjang di mana
terletak dua buah cangkir. Wiro merasa tidak enak begitu melihat wama seperai di
hadapannya, namun seolah-olah tak ada apa-apa dengan tenang dia duduk di tepi
terlipat tidur sewaktu Nilamaharani mempersilahkannya. Meski saat itu perasaan
adanya bahaya semakin keras namun sebegitu jauh Wiro Sableng belum mengetahui
siapa sebenarnya dara jelita yang bernama Nilamaharani itu.
Wiro Sableng 014 Sepasang Iblis Betina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Silahkan minum, Wiro!" kata Nilamaharani sambil menyerahkan salah satu cangkir
ke tangan Pendekar 212. Kaki kirinya di pangkukan di atas kaki kanan hingga
betis dan pahanya yang putih tersingkap menantang.
Wiro Sableng mendekatkan bibir cangkir ke bibimya. Matanya melihat cairan teh
wangi yang ada dalam cangkir itu berwama aneh, agak berminyak-minyak di sebelah
atasnya. Dia yakin minuman itu telah dicampur dengan racun jahat namun selama
Kapak Naga Geni 212 masih tersisip di pinggangnya, selama senjata ampuh
penangkal segala macam racun itu masih ada padanya, dia tidak takut racun jahat
apapun di atas dunia ini.
Tanpa ragu-ragu diteguknya teh itu sampai habis. Perutnya terasa hangat.
Kemudian dari gagang Kapak Naga Geni 212 dirasakannya hawa dingin menyelusup ke
dalam perutnya. Untuk beberapa ketika dia merasa seperti digelitik kemudian
segala sesuatunya seperti biasa kembali.
Hawa dari Kapak Naga Geni 212 telah punahkan racun jahat dalam perutnya!
"Tehmu enak sekali dan terima kasih." kata Wiro waktu mengembalikan cangkir
kepada Nilamaharani. Untuk beberapa lamanya kedua orang itu berdiam diri.
"Wiro..."
"Hem...?"
"Dapatkah kau membayangkan bagaimana jadinya jika satu aliran arus sungai terus
menerus dibendung...?"
"Pertanyaanmu agak aneh," sahut Wiro. "Tapi memang aku bisa membayangkan".
"Dapat pula kau bayangkan bagaimana akibatnya?".
"Air akan naik dan lambat laun walau bagaimanapun kuatnya bendungan pasti akan
meledak pecah."
Nilamaharani menganggukkan kepalanya.
"Itulah yang terjadi selama ini dengan diriku, Wiro. Guruku melarang aku
berhubungan dengan laki-laki. Melarang ... melarang dan akhirnya sewaktu aku
berhadapan dengan seorang laki-laki, dengan seorang pemuda macammu ini, aku
tidak tahan Wiro. Mungkin ini adalah ucapan yang tidak pantas tapi aku benarbenar tidak tahan..."
Wiro Sableng menggeser duduknya sewaktu Nilamaharani menangis tersedu-sedu.
"Kau seorang yang suka berterus-terang," kata Pendekar 212 pula seraya memegang
bahu gadis itu. Betapa lembutnya daging tubuhnya. "Aku senang pada orang yang
bersifat seperti itu."
"Kau senang pada diriku, Wiro?"
"Ya."
"Oh..."
Nilamaharani menjatuhkan kepalanya kepada Pendekar 212 dan dirangkulnya pemuda
itu erat-erat. Wiro mengelus punggung gadis ini. Perlahan-lahan dibukanya jalan
pernafasannya. Terciumlah betapa harumnya rambut Nilamaharani. Diciumnya kepala gadis itu.
Tiba-tiba dengan kebinalan seorang gadis yang telah berubah laksana seekor singa
kelaparan, Nilamaharani merangkul tubuh Wiro dan menggulingkannya di
pembaringan. "Kau harus melakukannya untukku, Wiro. Kau harus melakukannya untukku..."
Sepasang kaki Nilamaharani melejang-lejang, menggapai di sela-sela kaki Wiro
Sableng. Nafasnya membara.
Untuk sekejap Wiro Sableng lupa diri. Nafsunya menggelora. Kedua tangannya
menggerayang di atas tubuh si gadis. Tapi tiba-tiba laksana disengat ratusan
kalajengking secara sekaligus. Wiro Sableng tersentek dari atas pembaringan.
Matanya memandang membelalak pada tubuh Nilamaharani yang terbaring di atas
tempat tidur yang saat itu hampir tiada tertutup lagi!
"Manusia dajal hina dina! Jadi .., jadi kau adalah seorang laki-laki ..."! Gila!
Terkutuk!"
teriak Wiro Sableng.
Nilamaharani memekik marah. Dia melompat hendak menangkap tubuh pemuda itu
dengan kedua tangannya yang terpentang lebar. Tapi Wiro membantingkannya ke
dinding. Untuk kedua kalinya Nilamaharani memekik dan yang sekali ini dari kedua
tangannya menyambar dua larik sinar kuning.
"Pukulan es iblis!" seru Wiro. "Jadi kau salah seorang dari Sepasang Iblis
Betina, hah?"
Nilamaharani memekik lagi macam kuda meringkik. Wiro mengangkat tangan kanannya
dan secepat kilat memukul ke muka. Sinar putih bertabur dan ruangan itu
menggelegar sewaktu pukulan sinar matahari yang dilepaskan Wiro berhantaman
dengan pukulan "es iblis" yang dilancarkan Nilamaharani.
"Pendekar 212, takdir sudah menentukan bahwa riwayatmu berakhir di tempat ini!"
"Manusia banci keparat. Dosamu tujuh kali lebih besar dari pelacur! Mampuslah!"
teriak Wiro seraya melepaskan pukulan sinar matahari sekali lagi.
"Wutt"!
Satu sinar yang menyilaukan memapas pukulan sinar matahari. Satu benda bermata
tiga hampir saja menyambar leher pemuda itu kalau dia tidak lekas-lekas melompat
ke belakang. Ketika dia memandang ke depan di samping Nilamaharani yang saat itu sudah
mengenakan pakaian, berdiri seorang gadis berjubah kuning yang parasnya secantik
Nilamaharani. Dan di tangannya tergenggam sebuah tombak bermata tiga. Tombak
Trisula! Senjata mustika inilah yang telah memapas musnah pukulan sinar matahari
Wiro tadi! "Bergundal baju kuning!" bentak Wiro. "Kau tentunya juga seorang laki-laki
seperti dajal satu ini..."
"Tutup mulut kotormu, bangsat!" teriak si jubah kuning yang memang adalah
Nilamahadewi. Dia menerjang ke muka seraya melancarkan satu tusukan dengan
Tombak Trisula. Di lain pihak Nilamaharani menyusul dengan satu serangan pukulan
sakti yang hebat.
Satu teriakan dahsyat keluar dari mulut Pendekar 212.
Terdengar suara menggaung. Sinar putih berkiblat dan "trang"!
Tombak Trisula di tangan Nilamahadewi terlepas mental.
"Kakak! Pemuda ini bukan tandingan kita! Lekas lari lewat jalan rahasia!" seru
Nilamahadewi pada kakaknya. Kedua "gadis" itu lari ke sudut ruangan dan samasama menekan dua buah tombol rahasia. Dua buah pintu terbuka dan keduanya segera
menghambur masuk ke pintu itu. Namun Pendekar 212 lebih cepat lagi. Tubuhnya
laksana terbang. Dari mulutnya keluar suara suitan nyaring dan Kapak Naga Geni
212 membabat ke muka. Kedua kakak adik itu menjerit dan tergelimpang di mulut
pintu rahasia. Pinggang masing-masing hampir putus dilanda Kapak Naga Geni 212.
Untuk seketika mereka masih kelihatan bergerak-gerak sesudah itu kaku tegang
untuk selama-lamanya.
Pendekar 212 Wiro Sableng membungkuk mengambil Tombak Trisula yang tercampak di
lantai sementara Kapak Naga Geni sudah disisipkannya ke balik pakaian putihnya.
Dia melangkah mendekati mayat Nilamahadewi. Dengan ujung Tombak Trisula
disingkapkannya jubah kuning sebelah bawah "gadis" itu.
"Edan!" maki Pendekar 212. "Dia juga lakilaki! Sialan!"
Tanpa menunggu lebih lama lagi Wiro Sableng keluar meninggalkan tempat itu.
Sepasang Iblis Betina telah menemui ajalnya. Dan Tombak Trisula harus segera
diserahkannya pada Mapatih Jayengrono di Istana Pajang.
TAMAT Tiga Maha Besar 6 Jaka Sembung 10 Mahligai Cinta Sepasang Pendekar Pendekar Wanita Penyebar Bunga 19
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama