Ceritasilat Novel Online

Panglima Buronan 1

Wiro Sableng 033 Panglima Buronan Bagian 1


WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 1 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Panglima Buronan
SATU Sri Baginda Raja seperti dihenyakkan setan di atas kursi kebesarannya.
Singgasana itu terasa seperti bara panas. Wajahnya yang penuh kerut ditelan usia
lanjut tampak kelam membesi. Dadanya turun naik sedang sepasang matanya menatap
tak berkesip pada Raden Mas Jayengrono yang duduk bersila di hadapannya.
Sang raja meraskan tenggorokannya seperti kering. Mulutnya terbuka tapi lidahnya
seperti kelu. Setelah hening beberapa lamanya, degnan suara bergetar Sri Baginda
akhirnya bersuara juga.
"Jika bukan Raden Mas yang bicara sungguh sulit aku mempercayai cerita itu.....!"
"Sebenarnya hal itu sudah lama saya ketahui Sri Baginda. Hanya saja saya takut
untuk menyampaikannya."
"Kalau untuk kebenaran mengapa takut" Hanya saja, apakah kau punya bukti-bukti
nyata" Saksi-saksi.......?"
"Saya tidak berani melapor pada Sri Baginda kalau tidak mempunyai bukti dan
saksi hidup," sahut Jayengron yang Panglima Balatentara Kerajaan itu. "Sekian
puluh pasang mata melihat dan mengetahui kejadian itu. Termasuk Patih Kerajaan
dan Kepala Pasukan Kotaraja. Cincin emas bergambar burung rajawali milik puteri
Sri Baginda terlihat di jari tangan manusia bernama Pangeran Matahari. Pembunuh
Tumenggung Gali Marto. Pembunuh dua orang putera Sri Baginda. Ketika diperiksa
secara aneh cincin itu tahu-tahu sudah berada kembali di tangan Raden Ayu Puji
Lestari. Kejadian yang mencurigakan berikutnya ialah munculnya seorang pemuda
berkulit hitam bertindak selaku pelindung Raden Ajeng Siti Hinggil dan
puterinya. Jika tidak terdapat hubungan rahasia antara Pangeran Matahari dengan istri Sri
Baginda, bagaimana mungkin cincin itu berpindah-pindah tangan?"
Lama Sri Baginda terdiam. Tutur apa yang diketahuinya, dibandingkan dengan
keterangan Raden Mas Jayengrono, segala sesuatunya memang cocok benar.
"Raden Mas, tahukah engkau apa artinya jika kemudian keterangan yang kau
sampaikan saat ini ternyata tidak benar.....?" Sang raja bertanya seolah-olah
ingin menolak hal yang sebenarnya dia sendiri sudah mempercayainya.
"Saya tahu dan mengerti sekali Sri Baginda," jawab Jayengrono. "Untuk itu saya
bersedia dipancung......"
Kembali Sri Baginda terdiam. Kali ini lebih lama dari tadi sehingga karena tidak
sabar Jayengrono membuka mulut berkata "Sri Baginda, saya mohon petunjuk lebih
lanjut." "Aku perintahkan kau menangkap ibu dan anak itu!" Tiba-tiba saja Sri Baginda
menjawab tegas.
"Itukah keputusan Sri Baginda?" bertanya Jayengrono.
"Itu keputusan raja! Sekalipun anak dan istri sendiri, jika membuat kesalahan
perlu dihukum. Pengadilan para sesepuh Kerajaan nanti yang akan menentukan
hukuman apa yang patut dijatuhkan terhadap kedua perempuan itu....."
"Jika begitu bunyi perintah, begitu pula yang akan saya lakukan. Saya kawatir
sekali akhir-akhir ini Sri Baginda....."
"Hemmmm..... Apa maksudmu Raden Mas?"
BASTIAN TITO 2 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Saya kawatir kalau-kalau Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya secara diamdiam bersekutu dengan Pangeran Matahari untuk merampas tahta kerajaan.
Bukankah tempo hari sewaktu menyerbu ke mari Pangeran jahat itu bermaksud
menghabisi Sri Baginda" Dan bukan mustahil pula orang-orang di utara mengipasngipas terjadinya pemberontakan. Yaitu sejak gembong-gembong pemberontak kita
tangkap dan hukum mati menjelang bulan Maulud dua tahun silam....."
"Semua akan tersingkap di sidang pengadilan para sesepuh kelak....."
"Saya harapkan begitu," kata Raden Mas Jayengrono pula. Lalu Panglima
Balatentara Kerajaan ini menghaturkan sikap hormat dan mohon diri.
Baru saja matahari menerangi jagat pagi itu, Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati
yang tegak di belakang jendela berpaling pada ibunya dan berkata "Ada rombongan
datang....."
Raden Ajeng Siti Hinggil bangkit dari kursinya, menyibakkan tirai jendela dan
memandang ke arah halaman. Benar apa yang dikatakan puterinya. Serombongan orang
terdiri dari delapan perajurit memasuki halaman gedung kediamannya. Di sebelah
belakang menyusul sebuah kereta. Lalu paling belakang sekali seorang lelaki
berpakaian mewah, menunggang seekor kuda coklat yang bukan lain Jayengrono,
Panglima Balatentara Kerajaan.
"Dugaan ibu tidak meleset Puji. Manusia itu benar-benar menjalankan niat
busuknya. Mereka datang untuk menangkap kita....."
"Menangkap kita"!" kejut Puji Lestari mendengar ucapan sang ibu.
"Benar. Menangkap kita anakku. Menangkap kau dan aku!"
"Tapi apa salah kita"!" tukas sang puteri dengan mata membelalak.
Raden Ajeng Siti Hinggil ingat pada pembicaraan dan ancaman Jayengrono kemarin,
lalu menjawab "Jika seseorang ingin mencelakai kita, dia bisa mendapatkan seribu
satu kesalahan pada diri kita....."
"Tapi ibu! Kita ini bukan rakyat jelata yang bisa dilakukan semena-mena. Kau
adalah istri Sri Baginda Raja! Dan aku puteri raja!"
"Jawabnya mudah anakku! Sri Baginda telah termakan dan percaya pada hasut dan
fitnah!" "Saya akan mengusir manusia gila itu!" kata Raden Ayu Puji Lestari setengah
berteriak. "Tak ada gunanya Puji. Takdir Tuhan mungkin memang kita harus mengalami nasib
begini...."
Ucapan Raden Ajeng Siti Hinggil terputus ketika pintu besar ruangan depan itu
terbuka. Sosok tubuh Jayengrono masuk diiringi lima orang perajurit.
"Raden Ajeng...." Jayengrono hanya sempat mengucapkan dua patah kata itu karena
Siti Hinggil lebih cepat memotong.
"Tak perlu banyak bicara dan segala macam peradatan palsu! Aku dan puteriku siap
untuk ditangkap. Hanya saja beri waktu aku meninggalkan pesan pada para inang
pengasuh Pangeran Sebrang agar mereka menjaga anak itu selama aku di penjara!"
Lalu tanpa menunggu apakah permintaannya itu diizinkan atau tidak Raden Ajeng
Siti Hinggil masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia keluar lagi dan melangkah ke
pintu sambil menggandeng tangan Puji Lestari.
Sebenarnya Jayengrono ingin menyampaikan sesuatu pada Raden Ajeng Siti Hinggil,
namun karena ibu dan anak itu selalu rapat bersama-sama maka terpaksa niatnya
itu dibatalkan.
BASTIAN TITO 3 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sebelum naik ke atas kereta Raden Ajeng Siti Hinggil sesaat berpaling pada
Jayengrono. Wajahnya sinis ketika berkata "Tentunya kau puas sekarang Raden Mas!
Tapi aku lebih puas karena tidak bersedia memenuhi permintaanmu!"
Begitu duduk dalam kereta, baru saja kendaraan itu bergerak, Puji Lestari
memandang pada ibunya dan bertanya "Ibu, apa maksudmu tadi" Ucapanmu bahwa ibu
merasa lebih puas karena tidak bersedia memenuhi permintaan Panglima Balatentara
itu. Memangnya..... apa yang pernah dimintanya padamu.....?"
Siti Hinggil menggelengkan kepala. "Permintaan gila yang tak ada gunanya kau
ketahui, Puji...."
Tapi sang puteri malah mendesak "Kau harus menceritakan padaku ibu!"
"Tak ada perlu diceritakan. Dan ibu tidak ingin kita membicarakan hal itu.
kalau saja adikmu Pangeran Anom masih ada, mungkin tidak seburuk ini nasib
kita...." "Belum tentu ibu. Mungkin malah lebih buruk," menyahuti Puji Letari.
Raden Ajeng Siti Hinggil manarik nafas dalam. "Dunia ini memang aneh. Kita,
istri dan puteri raja bisa diperlakukan seperti ini...."
"Bukankah tadi ibu sendiri yang bilang bahwa ini semua mungkin takdir Tuhan...."
Istri ketiga Sri Baginda Raja itu tersenyum pahit.
"Justru anehnya, sekarang aku malah meragukan. Apakah ini memang benar takdir
Tuhan atau maunya manusia-manusia jahat dan busuk yang memegang kekuasaan"!"
Kereta bergerak makin cepat ke arah timur, memasuki Kotaraja melalui pintu
gerbang tua yang masih ditancapi umbul-umbul warna hitam serta kuning, pertanda
berkabung atas tewasnya dua putera Sri Baginda di tangan manusia jahat Pangeran
Matahari beberapa waktu lalu.
BASTIAN TITO 4 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA Malam yang indah dihiasi bulan purnama empat belas hari itu berubah menjadi
kelam pekat ketika awan gelap menutupi rembulan. Angin kencang bertiup tiada
henti, mengeluarkan suara menggidikkan dan menebar hawa dingin mencucuk tulang.
Ruangan di mana Raden Ajeng Siti Hinggil ditahan berukuran delapan kali enam
tombak. Merupakan sebuah kamar yang bersih, lengkap dengan tempat tidur dan
lemari. Namun bagaimanapun bagusnya kamar itu, tetap saja merupakan ruangan yang
menyekap dan memenjarakan istri Sri Baginda yang ketiga itu.
Siti Hinggil duduk termenung di atas satu-satunya kursi dalam kamar.
Matanya balut bekas menangis. Dia sama sekali tidak merasa takut disekap seperti
ini. Namun yang dikawatirkannya adalah keadaan puterinya. Ternyata dia dan Puji
Lestari ditahan di kamar yang terpisah.
Sebelum Panglima Jayengrono memerintahkan pengawal menutup dan mengunci pintu
kayu yang tebal dan berat itu pagi tadi, Siti Hinggil masih sempat melontarkan
ancaman "Kalau terjadi apa-apa dengan puteriku, aku bersumpah akan membunuhmu
Jayengrono!" Saking marahnya Siti Hinggil menyebut langsung nama sang panglima
di hadapan para pengawal.
Sambil tersenyum Jayengrono menjawab "Di antara kita, kalau ada yang harus mati
mungkin kau yang lebih dulu, Raden Ajeng! Kecuali jika kau merubah pikiranmu dan
memenuhi permintaanku tempo hari...."
"Manusia biadab!" hardi Siti Hinggil.
"Perempuan tolol!" dengus Jayengrono. Lalu pintu yang masih belum ditutupkan itu
ditendangnya dengan keras.
Di luar angin bertiup semakin kecang. Udara tambah dingin. Hujan mulai turun.
Mula-mula rintikan yang lenyap terhembus angin, namun kemudian berubah manjadi
sangat lebat. Siti Hinggil masih duduk di atas kursi dengan mata sembab. Tubuhnya sangat
letih, seharian itu tak sepotong makananpun masuk ke dalam perutnya meskipun
beberapa kali pengawal datang membawakan hidangan lezat-lezat. Hanya air putih
yang disentuhnya. Itupun hanya beberapa teguk saja. Kedua matanya tak bisa
dipicingkan. Ingatannya selalu tertuju pada puterinya.
Dalam keadaan seperti itu mendadak sepasang mata Siti Hinggil terbuka lebar.
Membelalak. Menatap ke arah dinding batu ruangan di mana dia disekap. Seperti
tidak percaya pada penglihatannya, atau menyangka mungkin dia bermimpi,
perempuan ini mengucak-ucak kedua matanya. Tenyata dia tidak bermimpi. Dinding
batu tebal itu memang berputar ke belakang, membentuk ruangan kosong seukuran
setengah pintu dan sesosok tubuh muncul dengan tersenyum.
Panglima Kerajaan, Raden Mas Jayengrono!
"Aku datang menepati janji, Siti....." kata lelaki itu lalu dengan tangan kirinya
mendorong batu yang berputar hingga tertutup rapat kembali.
"Apa maksudmu"!" sentak Siti Hinggil seraya bangkit dari kursinya.
"Apa kau tidak ingat pembicaraan kita dua minggu lalu" Waktu aku datang ke
tempat kediamanmu" Kau akan kutahan di tempat khusus. Inilah tempatnya. Dan aku
bisa masuk ke mari melalui pintu tahasia itu. Tak ada yang melihat. Tak
seorangpun tahu. Dan kita.....bisa melakukan seperti masa delapan belas tahun
silam Siti. BASTIAN TITO 5 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Delapan belas tahun seperti delapan belas abad lamanya. Aku merindukan dirimu.
Aku memendam rasa selama ini. Kini saatnya datang...."
"Lelaki keparat! Keluar kau dari sini....!"
"Jangan bicara seperti itu Siti. Bagaimanapun aku adalah kekasihmu atau paling
tidak kita pernah berkasih-kasihan. Bahkan lebih dari itu hubungan kita di masa
lalu menghasilkan dua orang turunan. Anom dan Puji....."
"Sudah! Jangan ucapkan itu! Keluar dari sini kataku! Atau aku akan menjerit!"
Siti Hinggil mengancam.
Ruangan ini adalah ruangan kedap suara. Bagaimanapun kerasnya jeritanmu tak ada
yang bakal dapat mendengar......" sahut Jayengrono. Lalu dia memandang ke arah meja
kecil di mana terletak makanan. "Hemmm..... Kau tak mau makan rupanya.
Jangan menyiksa diri. Nanti kau bisa sakit....."
"Beri aku racun! Aku tidak takut mati!"
Jayengrono tersenyum, lalu duduk di tepi ranjang bertilam bagus. Saat itu dia
mengenakan pakaian berbentuk jubah putih. Sepasang matanya berkilat-kilat
memandang Siti Hinggil.
"Kau mau bukan, Siti.....?" terdengar suara Jayengrono setengah berbisik.
Siti Hinggil tegak bersandar di sudut ruangan. Menutupi mukanya dan mulai
menangis. Jayengrono bangkit berdiri dan mendekati perempuan itu. Mencoba merangkulnya
tapi dadanya didorong kuat-kuat hingga dia terjajar ke belakang.
"Kalau kau mau mengabulkan permintaanku, percayalah hukumanmu tak akan berat.
Bahkan aku akan membatalkan sidang pengadilan para sesepuh. Minggu di muka kau
boleh meninggalkan tempat ini...."
"Busuk.....! Manusia busuk! Apakah kau masih belum mau bertobat" Apakah kau tuli
dan hatimu seperti batu hingga tidak mau mendeengar ucapan orang" Aku tidak sudi
memenuhi permintaanmu! Keluar dari sini atau bunuh aku saat ini juga!"
Jayengrono geleng-gelengkan
kepala. Tapi mulutnya tetap menyunggingkan
senyum. Tiba-tiba kembali dia merangkul tubuh perempuan itu. Dan kali ini
berhasil. Ciumannya bertubi-tubi mendarat di wajah Siti Hinggil. Perempuan ini meronta
berusaha membebaskan diri. Namun tubuhnya yang lemah memiliki keterbatasan untuk
bertahan dan melepaskan diri. Kemben, angkin dan kainnya terlepas. Tubuhnya
didorong ke atas ranjang hingga jatuh terlentang, hampir tak kuasa untuk berdiri
lagi. Saat itu dilihatnya lelaki itu melangkah mendekati. Tiba-tiba Jayengrono membuka
jubah putihnya. Ternyata di balik pakaian itu lelaki ini tidak mengenakan apaapa lagi! Siti Hinggil menjerit dan nekad.
Tangan kanannya menyambar ke bawah ketika Jayengrono berusaha menindihnya.
Tangan berkuku pnajang itu meremas kencang. Kini Panglima Kerajaan itu yang
ganti menjerit! Tubuhnya sampai terpental oleh rasa sakit. Sesaat dia
bergulingan di lantai. Kemudian dengan terbungkuk-bungkuk dia mengenakan jubah
putihnya kembali. Sebelum meninggalkan kamar itu lewat pitnu rahasia di dinding
dia masih sempat melayangkan pandangan penuh dendam ke arah Siti Hinggil seraya
berkata "Kali ini aku gagal. Tapi jangan kira aku tak bisa mendapatkan apa yang
aku ingin! Dan sekali hal itu kesampaian kau akan kusingkirkan! Perempuan tolol!
Perempuan gila!"
"Manusia dajal! Terkutuk kau selama-lamanya!" teriak Siti Hinggil. Lalu peremuan
ini melompat. Berusaha menerobos melaui pintu rahasia dinding yang masih
terbuka. Namun dia kalah cepat. Pintu aneh itu lebih dahulu menutup. Dan kini di
hadapannya adalah dinding polos belaka. Sama sekali tidak ada tanda-tanda adanya
pintu di tempat itu.
BASTIAN TITO 6 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Siti Hinggil memukul-mukulkan kedua tinjunya ke dinding. Menangis lalu melosoh
ke lantai. BASTIAN TITO 7 WIRO SABLENG

Wiro Sableng 033 Panglima Buronan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA Ketika Raden Kertopati muncul di hadapannya sambil menghatur sembah, Sri Baginda
tersenyum lebar. Tapi Kertopati tahu bahwa di balik senyum itu tersembunyi
kekalutan pikiran, kegundahan hati dan ketidak tenangan.
"Lebih dari seminggu aku tidak melihatmu, Kertopati. Bagaiman kesehatanmu.
Apakah sudah pulih benar.....?" menegur Sri Baginda.
Raden Kertopati. Kepala Pasukan Kotaraja menunduk seraya berujar "Terima kasih
atas perhatian Sri Baginda. Kesehatan saya masih belum pulih benar. Namun
dibandingkan dengan satu minggu lalu memang jauh lebih baik. Sekali lagi terima
kasih Sri Baginda......"
Setelah Raden Kertopati mengambil tempat duduk di hadapannya maka bertanyalah
Sri Baginda akan maksud kedatangannya menghadap.
"Pertama sekali saya ingin melapor bahwa keadaan di Kotaraja yang menjadi
tanggung jawab saya, semua dalam aman. Dari utara tak ada lagi kabar-kabar
adanya menyusupan kaki tangan pemberotak. Rasanya sejak para gembong pemberontak
kita hukum mati, gerakan mereka boleh dikatakan tumbang musnah....."
"Aku gembira mendengar laporanmu Kertopati. Tapi kita sekali-kali tidak boleh
berlaku lengah. Meskipun pemberontakan orang-orang di utara telah kita padamkan,
aku tiada hentinya meminta Panglima Jayengrono untuk selalu berjaga-jaga dan
mengawasi setiap orang yang keluar masuk ke pintu gerbang arah utara. Nah,
mungkin masih ada urusan atau keperluan lain yang hendak kau sampaikan......?"
"Benar Sri Baginda. Dan untuk yang satu ini saya harapkan maaf terlebih dahulu
karena ini menyangkut langsung pribadi Sri Baginda....."
"Aku sudah dapat meraba apa yang hendak kau sampaikan," berkata Sri Baginda.
"Soal penahanan istriku Siti Hinggil dan puterinya Puji Lestari. Betul?"
"Betul sekali Sri Baginda. Memang itu yang ingin saya tanyakan......"
"Kalau persoalan itu silakan kau menghubungi Panglima Kerajaan Raden Mas
Jayengrono....."
"Saya maklum hal itu Sri Baginda. Hanya saja. Moof maaf, saya merasa labih baik
bertemu dan bicara langsung dengan Sri Baginda saja......"
Sri Baginda berdiri dari kursinya. "Tubuhku letih sekali Kertopati dan aku tak
ingin membicarakan soal penahanan anak istriku. Kau boleh menghadapku lain kali.
Tapi ingat, bukan untuk urusan yang satu itu....."
Raden Kertopati ikut berdiri. Sebelum raja membalikkan tubuh, Kepala Pasukan
Kotaraja ini berkata "Jika begitu kehendak Sri Baginda mana saya berani
membantah. Saya hanya akan sangat bersedih kalau sidang pengadilan nanti akan
menjatuhkan putusan keliru. Menjatuhkan hukuman pada orang-orang yang tidak
bersalah."
Habis berkata begitu Kertopati membungkuk hormat lalu melangkah surut
mengundurkan diri.
Sesaat Sri Baginda tegak termangu, menatap wajah Kertopati lalu melambaikan
tangannya. "Katakan apa sebenarnya yang hendak kau sampaikan. Rupanya kau mengetahui
sesuatu Kertopati?"
Raden Kertopati mengangguk. "Bolehkah kita bicara berdua saja Sri Baginda?"
BASTIAN TITO 8 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Eh, sikapmu aneh sekali kali ini Kertopati. Tapi tak apa. Kukabulkan
permintaanmu....." Sri Baginda memandang kepada dua orang pengawal yang sejak tadi
tegak di sebelah belakang, pada kiri kanan kursinya. Kedua pengawal ini menjura
lalu meninggalkan ruangan. Tapi salah seorang dari mereka menyelinap ke balik
pintu dan mendekam di belakang hordeng beludru hitam kebiruan.
"Nah, sekarang hanya kita berdua Kertopati. "Katakan urusanmu!" berkata Sri
Baginda. "Saya mendapat kabar bahwa Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari
ditahan karena dicurigai mempunyai hubungan dengan Pangeran Matahari, pemuda
berkepandaian tinggi yang menyerbu istana tempo hari. Apakah itu betul Sri
Baginda?" "Betul dan disertai saksi-saksi. Nanti kau bisa membuktikan sendiri di sidang
pengadilan para sesepuh....."
"Selanjutnya disangkakan pula bahwa ada kemungkinan Raden Ajeng dan Raden Ayu
mempunyai hubungan dengan para pemberontak di utara melalui Pangeran Matahari
itu....." "Itu juga betul!"
"Sri Baginda, sampai saat ini kita belum mampu mengetahui siapa sebenarnya
Pangeran Matahari. Apa tujuannya menyerbu ke istana. Mengapa dia membunuh
Tumenggung Gali Marto. Mengapa dia membunuh pula dia orang putera Sri Baginda
tercinta....."
"Manusia itu ingin merampas tahta Kerajaan ini Kertopati! Sebagai seorang
perajurit apakah kau tidak bisa mengerti hal itu"!" Sri Baginda tampak gusar.
Nada suaranya keras.
"Mohon maafmu Sri Baginda. Seperti tadi saya katakan, sebenarnya tidak satupun
di antara kita yang mampu menyingkap apa latar belakang kejahatan yang dilakukan
pemuda itu. Mungkin dia hanya seorang gila berkepandaian tinggi yang menobatkan
diri sebagai seorang pangeran bernama Pangeran Matahari. Mungkin juga dia
memiliki dendam kesumat terhadap istana dan orang-orang tertentu di Kerajaan
ini......."
"Dia bersekutu dengan anak istriku dalam melakukan kejahatan. Apapun latar
belakang perbuatannya!"
"Hanya karena cincin emas burung rajawali milik Raden Ayu pernah terlihat
dipakai oleh pemuda itu Sri Baginda......?"
"Itu baru satu bukti. Masih ada yang lain lagi!"
"Mengenai cincin itu saya punya cerita sendiri Sri Baginda. Jika Sri Baginda bersedia mendengar
penuturan saya....."
"Kau boleh menuturkan apa yang kau ketahui Kertopati. Asalkan benar!"
sahut Sri Baginda pula.
"Sekitar dua bulan lalu, ketika Raden Ajeng dan Raden Ayu kembali dari luar
kota, rombongan mereka dicegat oleh gerombolan rampok pimpinan Warok Sumo
Gantra......"
"Aku tahu peristiwa itu. Tak akan pernah kulupakan! Teruskan penuturanmu
Kertopati."
"Warok Sumo Gantra pasti bukan hanya hendak merampok barang-barang yang dibawa
dan lekat di tubuh Raden Ajeng dan Raden Ayu. Tapi saya yakin sekali, perampokperampok itu hendak menculik istri dan putri Sri Baginda. Mungkin sekali Warok
Sumo Gantra dibayar melakukan itu oleh kaum pemberontak di utara. Kita tidak
tahu pasti. Yang jelas pada saat sangat berbahaya itu Raden Ajeng dan Raden
BASTIAN TITO 9 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ayu ditolong oleh seorang pemuda berkepandaian tinggi. Yaitu Pangeran Matahari
itu. Warok Sumo Gantra dibunuhnya......"
"Pangeran Matahari juga membunuh pimpinan pengawal. Nenek sakti Ni Luh Tua
Klungkung!" menyambung Sri Baginda.
Kertopati hendak menganggukkan kepala tapi kemudian berkata "Hal yang satu ini
masih kabur Sri Baginda. Jika Ni Luh Tua Klungkung jago silat istana itu mati
dibunuh Pangeran Matahari, mengapa mayatnya sampai saat ini tidak pernah
ditemukan?"
Sri Baginda terdiam. "Bukan tidak mungkin Ni Luh Tua Klungkung berserikat dengan
Pangeran Matahari. Dia memberi kisikan bahwa rombongan istana akan lewat jalan
itu....." "Mungkin benar, Sri Baginda. Tapi sulit untuk membuktikannya. Dalam rangkaian
semua kejadian ini ada satu hal yang sangat pasti. Raden Ayu dan Raden Ajeng
tidak berkomplot dengan Pangeran Matahari. Cincin burung rajawali itu diberikan
Raden Ayu pada Pangeran Matahari sebagai tanda terima kasih karena telah
menyelamatkan nyawa dan kehormatannya bersama ibunya....."
"Kau mengarang cerita atau bagaimana"!"
"Saya mengatakan apa yang sebenarnya Sri Baginda."
"Kau tidak berada di tempat kejadian itu. Bagaimana kau bisa tahu pasti hal
itu?" "Karena beberapa pengawal yang masih hidup dan kusir kereta yang menceritakannya
pada saya, Sri Baginda...."
"Ini benar-benar satu hal baru bagiku. Sulit dipercaya!" kata sang raja seraya
bangkit dari kursi lalu melangkah mundar-mandir.
"Jika Sri Baginda tidak sulit mempercayai keterangan yang menuduh Raden Ajeng
dan Raden Ayu berbuat khianat, mengapa begitu sulit mempercayai keterangan
saya.....?"
"Semua harus dibuktikan Kertopati!"
"Saya setuju......"
"Dan itu akan dilakukan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh para sesepuh
Kerajaan!"
"Mengapa harus menunggu sidang pengadilan" Kita bisa memanggil kusir kereta dan
pengawal-pengawal itu untuk memberi kesaksian saat ini juga. Jika Raden Ajeng
dan Raden Ayu terlalu lama dalam tahanan untuk berbuat yang tidak dilakukannya,
saya kawatir kesehatan dan pikiran mereka akan terganggu...."
Sang raja jadi terdiam dan termangu.
"Tidakkah Sri Baginda bersedia melakukan sesuatu" Melepaskan dulu istri dan
puteri Sri Baginda sampai ada kejelasan bahwa mereka benar-benar bersalah?"
"Aku butuh waktu untuk melakukan penyelidikan tersendiri sebelum menempuh jalan
itu...." "Terserah Sri Baginda, asalkan jangan terlalu lama. Kasihan Raden Ajeng dan
Raden Ayu...."
"Ada lagi yang hendak kau sampaikan Kertopati?" bertanya Sri Baginda.
Kepala Pasukan Kotaraja itu terdiam sejenak. Apakah akan diceritakannya hubungan
gelap Raden Mas Jayengrono dengan istri Sri Baginda yang ketiga itu"
Yang tanpa setahu Sri Baginda telah membuahi dua orang anak tidak syah yaitu
Pangeran Anom dan Puji Lestari" Kertopati tiba-tiba saja ingat petuah dan pesan
gurunya di Banten ketika hendak melepas kepergiannya. Saat itu sang guru berkata
"Muridku Kertopati, sudah banyak ilmu dan wejangan yang kau terima. Masih ada
satu hal lagi yang patut kau ingat. Perempuan itu kotoran di kemaluan. Tapi
lelaki BASTIAN TITO
10 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
kotoran di mulut. Karena itu selalulah kau sengaja menjaga mulutmu sebaikbaiknya. Mulut kamu harimau kamu. Jangan sekali-kali menceritakan aib seseorang pada
orang lain. Karena itu tidak akan memberi keuntungan apa-apa bagimu. Malah
mungkin dapat menimbulkan pertumpahan darah sekerajaan....."
Mengingat sampai di situ maka Raden Kertopati lalu menjawab pertanyaan Sri
Baginda. "Tak ada lagi yang akan saya sampaikan. Saya mohon diri dan siap sedia dipanggil
setiap saat...."
"Kau boleh pergi."
Raden Kertopati membungkuk lalu melangkah mundur sampai di pintu. Dia sama
sekali seperti tidak melihat ada seseorang yang mendekam di balik hordeng besar
hitam kebiruan. Tapi Kepala Pasukan Kotaraja yang berkepandaian tinggi ini tentu
saja tidak mudah ditipu. Dia tahu ada orang bersembunyi di bali hordeng dekat
pintu. Tapi dia sengaja berpura-pura tidak tahu!
BASTIAN TITO 11 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT Ketika Sri Baginda telah masuk ke ruangan dalam untuk beristirahat, Raden
Kertopati yan melangkah perlahan menuruni tangga istana tiba-tiba membalikkan
diri dan masuk kembali ke dalam istana. Ketika sampai di ruangan dalam, dua
orang pengawal raja baru saja menutupkan pintu. Raden Kertopati mendekati salah
seorang dari mereka dan langsung mencekal lehernya. Tentu saja pengawal ini
menjadi kaget dan pucat wajahnya.
"Ra....raden....." suaranya tersengal saking kerasnya cekikan Kertopati.
"Katakan apa maksudmu tadi bersembunyi di balik tirai dan mencuri dengan
pembicaraanku dengan Sri Baginda"!" bertanya Kertopati sementara pengawal kedua
tegak tertegun keheranan menykasikan kejadian itu.
"Saya.....saya tidak bersembunyi Raden....... Saya......"
"Tidak bersembunyi" Lalu apa perlunya mendekam di balakang tirai! Jangan berani
dusta! Salah-salah bisa kupotong lidahmu!"
"Saya bersumpah tidak bersembunyi!"
"Keparat! Jangan kira aku buta!"
"Saya bersumpah Raden. Saya benar-benar tidak sembunyi, apalagi berani
mendengarkan pembicaraan Raden dengan raja....."
Plaaak! Tamparan keras mendarat di muka pengawal itu membuat tubuhnya melintir hampir
jatuh. Pipinya sebelah kiri langsung lebam dan dari bagian bibirnya yang pecah
mengucur darah. Pengawal ini merintih kesakitan dan duduk bersimpuh di lantai.
"Saya bersumpah raden.....saya bersumpah.....!" terdengar suaranya di antara
rintihan. "Berdiri!" hardik Raden Kertopati.
Pengawal itu berdiri sambil mengusap-usap pipinya yang masih disengat rasa
sakit. "Kau masih belum mau memberi keterangan"!" Raden Kertopati mengangkat tangan
kanannya tinggi-tinggi. Siap untuk menampar kedua kalinya.
Dengan ketakutan pengawal itu membuka mulut "Saya bersumpah tidak bersembunyi
dan mencuri dengar pembicaraan Raden dengan Sri Baginda. Saya berada dekat tirai
itu demi tugas. Bagaimanapun saya harus menjaga keselamatan raja, lalu saya
tegak di situ...."
"Menjaga keselamatan raja! Itu bagus! Tapi Sri Baginda sendiri yang menyuruhmu
pergi! Kau melanggar perintah raja! Perbuatanmu nyata-nyata mencurigai diriku!
Dan aku yakin kau menyembunyikan sesuatu! Siapa yang menyuruhmu semata-mata Sri
Baginda" Atau mungkin sekali memata-mataiku hah"!"
"Ampun Raden. Jangan berpikir dan menuduh sejauh itu. Saya perajurit biasa.
Saya kalau bersalah siap dihukum. Tapi demi Gusti Allah saya tida mencuri
dengar, tidak bermaksud jahat apalagi berani melanggar perintah Raja dan mematamatai Raden......"
Pelipis Kepala Pasukan Kotaraja untuk tampak bergerak-gerak. Rahangnya
menggembung. "Kali ini kuampuni kesalahanmu. Tapi ingat sejak detik ini kau berada di bawah
pengawasanku langsung. Mulai besok kau tidak ditempatkan di dalam istana.
Tugasmu dipindah sebagai pengawal pintu gerbang utara! Kau dengar"!"
BASTIAN TITO 12 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Saya.....saya dengar Raden...." Jawab si pengawal. Meskipun bertugas di pintu
Kotaraja merupakan tugas yang berat, apalagi dibandingkan dengan tugas di dalam
istana, namun dalam keadaan seperti itu si pengawal tak ada jalan lain dari pada
tunduk dan menerima putusan serta perintah atasannya.
Raden Mas Jayengrono, Panglima Pasukan Kerajaan menatap wajah pengawal yang
datang menghadapnya itu lalu bertanya.
"Kenapa tampangmu bengkak begitu. Bibirmu juga kulihat ada lukanya"
Sang pengawal menunduk sesaat sambil mengusap pipinya yang bengkak.
"Saya......saya ditempiling Raden Mas....." katanya kemudian.
"Yang menimpiling?"
"Kepala Pasukan Kotaraja. Raden Kertopati....." Lalu pengawal bernama Kuntondo itu
menerangkan apa yang terjadi siang tadi di istana.
"Kertopati tentu punya alasan menempilingmu. Lekas ceritakan!"
"Sesuai dengan perintahmu Raden Mas. Saya memata-matai pembicarannya dengan Sri
Baginda. Ternyata dia mengetahui....." menerangkan si pengawal.
"Kepala pasukan itu ringan tangan sekali rupanya!" ujar Jayengrono dengan geram.
"Tetapi yang aku pentingkan saat ini bukan mukamu yang bengkak atau si Kertopati
itu. Yang aku ingin tahu ialah apa yang dibicarakannya dengan Sri Baginda....!"
"Dia menerangkan pada Sri Baginda, tidak mungkin Raden Ajeng Siti Hinggil dan


Wiro Sableng 033 Panglima Buronan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puterinya mempunyai hubungan tertentu dengan Pangeran Matahari. Dia siap
mendatangkan saksi-saksi...." Lalu Kontondo menuturkan selengkapnya.
"Begitu....." ujar Jayengrono selesai pengawal itu menceritakan. "Dia sudah
terlalu jauh melangkah. Dia bertanggung jawab atas keamanan Kotaraja, bukan
keseluruhan Kerajaan. Tapi tidak apa. Kau terus saja memata-matainya....."
"Saat ini tidak mungkin lagi Raden Mas."
"Hah, kenapa tidak mungkin?"
"Raden Kertopati telah memindahkan tugas saya. Mulai besok saya bertugas di
pintu gerbang utara...."
"Hemm..... Dia memang punya wewenang untuk itu. Sekarang ya sudah, kau boleh
pergi...." Jayengrono mengeruk jas beskapnya lalu menyerahkan sebungkah kecil
perak pada Kuntondo. Pengawal ini membungkuk dalam, mengucapkan terima kasih
berulang kali lalu meninggalkan gedung kediaman Panglima Balatentara Kerajaan
itu. Ketika sampai di pintu pekarangan, seorang lelaki tua memikul rumput
menganggukkan kepala dan menegur dengan hormat. Kuntondo sama sekali tidak
membalas teguran dan penghormatan itu. kudanya dibedal sekencang-kencangnya
menuju arah timur Kotaraja sementara sore siap berganti dengan malam.
Gedung kediaman Raden Kertopati teletak di barat Kotaraja, cukup besar dan
mentereng, tapi tentu saja alah mewah dengan gedung kediaman Raden Mas
Jayengrono selaku Panglima Balatentara Kerajaan.
Lelaki tua pemikul rumput itu mengambil jalan berputar dan sampai di hadapan
sebuah pintu kecil yang terdapat di tembok halaman belakang gedung. Dia
menurunkan rumput yang dipikulnya lalu mengetuk pintu kecil dua kali, satu kali,
lalu dua kali lagi. Ketukannya itu dilakukan berurutan dua kali. Sesaat kemudian
BASTIAN TITO 13 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
pintu terbuka. Seorang pengawal memberi tanda agar dia cepat masuk, sekaligus
membawa rumput yang tadi dipikulnya. Selanjutnya lelaki tua tadi diantar
menghadap Raden Kertopati, yang saat itu baru saja selesai sembahyang maghrib.
Setelah membalas penghormatan lelaki tua dengan anggukkan kepala maka
bertanyalah Kertopati. "Bagaimana hasil penyelidikanmu.....?"
"Pengawal yang saya mata-matai ternyata memang menghubungi Raden Mas Jayengrono
menjelang maghrib tadi....." menjawab lelalki tua itu.
"Kertopati tersenyum. "Memang sudah kuduga!" katanya sambil menepuk bahu lelaki
tua itu. "Kau telah menjalankan tugas dengan baik. Kau tidak akan diberi hadiah
apa-apa. Tapi puteramu yang kedua mulai minggu depan dapat bekerja di sini
sebagai perajurit pengawal!"
"Saya sangat berterima kasih Raden. Sangat berterima kasih....." kata lelaki tua
itu sambil membungkuk-bungkuk.
BASTIAN TITO 14 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA Ketika Raden Kertopati masuk ke ruangan itu, didapatinya Sri Baginda duduk
berhadap-hadapan dengan Raden Mas Jayengrono. Kertopati menjura memberi hormat.
Meskipun di situ masih ada dua buah kursi kosong, namun karena tidak
dipersilahkan maka Kepala Pasukan Kotaraja ini tidak berani mengambil tempat
duduk. "Sri Baginda, ada apakah memerintahkan saya menghadap?" bertanya Kertopati. Di
dalam hati dia sudah menduga ada sesuatu yang penting -mungkin tidak beres-.
Apalagi dilihatnya Jayengrono ada di sana dengan memasang wajah kelam, tegang
tapi sinis. "Salah seorang bawahan Raden Mas Jayengrono baru saja melaporkan bahwa seorang
kusir kereta dan tiga orang perajurit ditemui mayatnya di tepi hutan Kalimukus.
Meskipun hutan itu terletak sedikit jauh dari Kotaraja tapi keamanan di sana
masih dalam wilayah tanggung jawabmu. Bagaimana hal ini bisa terjadi. Apakah kau
sudah menerima laporan dari anak buahmu?"
Apa yang dikatakan Sri Baginda ini tentu saja membuat Kertopati terkejut.
Sekilas dia melirik ke arah Jayengrono yang kini tampak duduk lebih santai.
"Maaf Sri Baginda, saya sama sekali belum mendapat laporan. Apakah diketahui
sebab musabab kematian keempat orang itu?"
Yang menjawab justru adalah Jayengrono. "Justru kau dipanggil kemari untuk
segera melakukan penyelidikan dimas Kertopati!"
"Kalau begitu, saya minta diri untuk melakukan pemeriksaan."
"Tunggu dulu," Sri Baginda cepat berkata. "Turut penjelasanmu beberapa hari lalu
bukan mustahil keempat orang itu adalah katamu bisa memberikan kesaksian bahwa
istriku yang ketiga dan puterinya tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan
Pangeran Matahari....."
"Saya tidak berani memastikan, Sri Baginda. Saya perlu menyelidik lebih dulu,"
jawab Kertopati meskipun hati kecilnya berdetak membenarkan bahwa keempat orang
itu adalah saksi-saksi hidup yang sebenarnya akan diajukannya pada sidang
pengadilan para sesepuh kelak. Kini ternyata mereka sudah mati. "Kalau mereka
mati sekaligus di tempat yang sama, ini satu hal yang aneh. Bukan mustahil
mereka dibunuh!"
"Berkata begitu apakah kau punya bukti-bukti dimas Kertopati"
Menyelidikpun belum, bagaimana kau bisa berkata demikian" Apakah kau pernah
mendengar tentang seekor harimau yang kelihatan muncul di sekitar Kalimukus
beberapa hari belakangan ini?"
"Saya mendengar memang, Raden Mas..... Tapi.... Entahlah, saya harus menyelidik
lebih dulu. Kelak akan memberikan laporan hasil penyelidikan pada Sri Baginda
dan padamu..... Saya minta diri sekaang!"
Di hutan Kalimukus, empat mayat digeletakkan di atas empat usungan bambu.
Sewaktu Kertopati sampai di situ dan memeriksa keadaan mayat satu persatu, di
tubuh mayat memang terlihat luka-luka menganga, cabik memanjang.
"Mereka seperti dikoyak harimau....." kata Kertopati dalam hati. "Tapi bukan
harimau benaran. Koyakan harimau tidak serapi ini. Tubuh-tubuh ini dikoyak
dengan pisau besar, mungkin celurit atau kelewang..... Ada orang yang telah
membunuh mereka! Edan! Mereka saksi-saksi yang kuharapkan bis menyelamatkan
Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya. Ah..... bagaimana sekarang?"
BASTIAN TITO 15 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Bersama anak buahnya Kertopati kembali ke istana. Saat dia menghadap raja
Jayengrono tak ada lagi di situ.
"Bagaimana hasil penyelidikanmu Kertopati?" Sri Baginda langsung bertanya.
"Keempat orang yang malang itu memang mati dicabik-cabik harimau Sri Baginda,"
jawab Kertopati.
Dapur istana malam itu tempak sepi. Hanya ada seorang juru masak dan seorang
pelayan di situ. Keduanya adalah perempuan-perempuan tua yang bekerja setengah
terkantuk-kantuk, menyiapkan makan malam untuk tahanan istimewa yaitu Raden
Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari.
"Aku memasak begini banyak, begini lezat tapi Gusti Ajeng Siti Hinggil hanya
makan sedikit sekali. Hampir tak pernah menyantapnya malah....."
"Dimakan atau tidak, sudah tugas kita memasak dan menghidangkan," jawab si
pelayan. Saat itu pintu dapur terbuka. Kedua pelayan tua ini terkejut dan gemetar ketika
melihat siapa yang masuk. Satu hal yang tidak pernah terjadi bahwa Panglima
Balatentara Kerajaan masuk ke dalam dapur istana.
"Raden.....apakah kami berbuat kesalahan.....?" juru masak tua keluarkan suara
gemetar. Dua perempuan tua itu langsung lega ketika mereka melihat Jayengrono
justru tersenyum lebar.
"Semua orang sudah pulang. Kalian berdua masih bekerja di sini. Apakah itu
hidangan untuk Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya.....?"
"Betul sekali Raden Mas......"
"Kalau begitu cepat dibawa ke kamar mereka masing-masing. Bawa yang untuk Raden
Ayu Puji Lestari lebih dulu.....!"
Pelayan tua cepat mengambil napan besar, meletakkan dua piring di atas nampan
itu, segelas besar air putih lalu membawa semua itu ke ruangan di mana Puji
Lestari ditahan.
"Juru masak, kau boleh pergi. Tugasmu selesai. Sebentar lagi pelayan akan
mengambil dan mengantar hidangan untuk Raden Ajeng Siti Hinggil......"
"Saya pergi Raden....." jawab juru masak tua. Terbungkuk bungkuk perempuan ini
mundur menuju pintu.
Begitu dia hanya tingaal seorang diri di tempat itu, dari balik sakunya
Jayengrono mengeluarkan sebuah lipatan kertas. Begitu lipatan dibuka di dalamnya
terlihat sejenis bubuk berwarna putih. Dengan cepat bubukini disiramkannya di
atas dua piring makanan yang ada di meja.
Baru saja dia hampir selesai menuangkan seluruh bubuk, tiba-tiba pintu dapur
terbuka. Juru masak tua muncul dan melangkah masuk. Membuat Jayengrono kaget dan
membentak. "Ada apa kau kembali"!"
"Selendang saya Raden..... Selendang saya tertinggal....."
"Juru masak! Kau tak akan mati tanpa selendang itu! Keluar sana!"
Ketakutan setengah mati juru masak tua itu keluar dari dapur dengan langkah
sempoyongan. Tak lama kemudian pelayan tua muncul kembali untuk mengambil
hidangan yang akan diantarkan pada Raden Ajeng Siti Hinggil. Jayengrono
mengikuti dari belakang. Di ujung gang dia membelok ke kanan. Sebelum berlalu,
dia masih sempat melihat pelayan itu bicara dengan dua orang pengawal pintu
ruangan tahanan Raden Ajeng Siti Hinggil. Lalu pintu dibuka dan si pelayan masuk
ke dalam. BASTIAN TITO 16 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Selama beberapa hari disekap dalam kamar tahanan itu Raden Ajeng Siti Hinggil
boleh dikatakan tidak makan apa-apa. Tubuhnya jauh susut dan pipi serta rongga
matanya mulai mencekung. Kulitnya yang putih mulus kini pucat seperti tiada
berdarah. Namun di mata Jayengrono perempuan ini tampak seolah tambah cantik dan
mulus. Setelah menatap sesaat makanan yang diletakkan pelayan di atas meja, entah
mengapa sekali ini timbul saja hasratnya untuk mencicipi makanan itu. Dua potong
besar ayam panggang kesukaannya, semangkok sayur dengan kuah santan, lalu nasi
putih dan sepotong semangka merah tanpa biji.
Mula-mula digigitnya potongan paha ayam. Enak. Dijumputnya segenggam nasi dan
disendokkannya kuah santan. Tambah enak. Lalu perempuan ini duduk di kursi.
Selama beberapa hari tidak makan, maka hidangan yang ada di meja disantapnya
dengan lahap meskipun tidak keseluruhannya sanggup dihabiskan.
Selesai makan dan meneguk air putih segelas penuh, Siti Hinggil merasakan
tubuhnya segar. Pori-pori di sekujur tubuhnya melebar dan keringat membasahi
kulitnya. Kamar itu dipandangnya berkeliling. Seperti baru disadarinya betapa
indah dan mewah keadaan kamar itu. Kemudian napasnya terasa panas memburu.
Cuping hidungnya seperti mengembang dan detak jantungnya lebih cepat.
Istri Baginda ketiga ini menggeliatkan tubuhnya. Terasa ada kenikmatan aneh
dalam geliatan itu. Dia menggeliat lagi. Semakin nikmat. Perempuan ini bangkit
dari kursi, membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan kembali menggeliat-geliat.
Dari sela bibirnya terdengar suara seperti erangan halus. Kedua tangannya
menggapai-gapai udara lalu diturunkan ke dada. Di situ kedua tangan itu meremasremas kencang. Siti Hinggil merasakan tubuhnya panas. Bukan oleh udara dalam kamar namun oleh
hawa aneh yang kini menguasai sekujur tubuhnya, larut dalam aliran darah,
melumpuhkan indera ingatannya. Entah sadar entah tidak Siti Hinggil membuka
pakaiannya satu demi satu. Hampir sekujur tubuhnya tak tertutup lagi, tiba-tiba
terdengar suara berdesir. Dinding batu di sebelah kiri bergerak dan kelihatanlah
celah setengah pintu.
Siti Hinggil melompat dari atas ranjang, menatap beringas ke arah orang yang
masuk. Tapi dia tidak menjerit atau mendamprat. Malah mengulurkan kedua
tangannya. Memeluk orang yang berusan masuk itu seraya tiada hentinya menyebut
namanya. "Jayeng......
Jayengrono......."
BASTIAN TITO 17 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Sewaktu hawa aneh yang merangsang aliran darah dan membangkitkan nafsunya itu
mulai berkurang dan akhrinya lenyap sama sekali, ingatan Siti Hinggil kembali
pulih. Didapatinya dirinya tergeletak di atas tempat tidur tanpa sehelai
benangpun menutupi auratnya.
"Ya Gusti Allah, apa yang telah terjadi" Apa yang telah kulakukan......"!"
Perempuan ini memandang ke dinding. Tak ada pintu di situ. Dia memandang seputar
kamar. Tak ada Jayengrono di situ. Kemudian ketika dia sadar betul apa yang
telah terjadi, perempuan ini menjerit tinggi. Dua perajurit yang mengawal di
pintu sama sekali tidak dapat mendenga karena kamar itu dibuat sedemikian rupa
hingga kedap suara.
"Manusia keparat! Jayengrono manusia kotor! Aku akan membunuhnya! Aku bersumpah
membunuhnya!" teriak Siti Hinggil. Lalu seperti gila dia menjerit lagi berulang
kali sambil memukul-mukul pintu kayu yang snagat tebal dan berat.lapat-lapat
suara pukulan ini sempat terdengar oleh dua perajurit yang mengawal pintu di
sebelah luar. Keduanya saling pandang sesaat. Setelah berunding, salah seorang
segera mengambil kunci dan membuka pintu.
Begitu pintu terbuka dan melihat keadaan Siti Hinggil seperti itu tentu saja dua
perajurit ini terperangah kaget.
"Mana Jayengrono! Aku harus membunuhnya! Mana manusia keparat itu!
mana.... Berikan tombak itu padaku! Berikan!" teriak Siti hinggil dan menghambur
ke luar kamar seraya mencoba merampas tombak yang ada di tangan pengawal sebelah
kanan. "Raden Ajeng! Apa yang terjadi....."!" Pengawal kedua bertanya lalu cepat
menangkap lengan Siti Hinggil dan menarik perempuan itu kembali ke dalam kamar.
Tapi seperti mendapat kekuatan dari setan, Siti Hinggil meronta. Sekali sentak
saja pegangan si pengawal terlepas. Kalau temannya tidak lekas membantu, niscaya
Siti Hinggil berhasil lolos dan lari sepanjang gang sambil berteriak-teriak
seperti orang gila dalam keadaan bertelanjang bulat! Dua pengawal bergulat
dengan susah payah, akhirnya berhasil membawa Siti Hinggil masuk kembali ke
dalam kamar lalu cepat-cepat pintu besar dan berat itu ditutup.
"Bagaimana sekarang" Apa yang harus kita lakukan"!" tanya pengawal pertama.
"Kita harus melaporkan kejadian ini pada Sri Baginda!"
"Jangan pada Sri Baginda. Sebaiknya pada Patih Kerajaan saja. Atau Panglima.
Atau mungkin Kepala Pasukan Kotaraja......."
"Eh, apa yang akan kau laporkan?" tanya pengawal kedua.
"Akan kukatakan Siti Hinggil kemasukan setan!" jawab pengawal kedua. Lalu
setengah berlari dia meninggalkan tempat itu. Yang ditujunya adalah gedung
kediaman Raden Kertopati, Kepala Pasukan Kotaraja. Tapi karena kediaman
Kertopati cukup jauh sedang gedung kediaman Patih Kerajaan lebih dekat, maka
pengawal ini langsung menuju kediaman Patih Haryo Unggul. Semula pengawal gedung
kepatiah menolak untuk membangunkan Patih Haryo Unggul di larut malam begitu.
Namuan setelah diberitahu apa yang terjadi maka pengawal gedung segea masuk ke
dalam. BASTIAN TITO 18 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Semua orang tahu bahwa selain memiliki kepandaian silat dan kesaktian, Patih
Haryo Unggul juga mempunyai keahlian mengobati berbagai macam penyakit, termasuk
mereka yang kesurupan atau kemasukan roh dari luar.
Ketika pintu kamar tahanan dibuka, Siti Hinggil kelihatan duduk di lantai, di
salah satu sudut sambil menangis. Keadaan auratnya masih tetap tidak tertutup.
Melihat ada orang yang masuk, perempuan ini melompat bangkit. Bukan untuk
menutupi tubuhnya, tapi menyongsong sambil memukul dan menjerit-berteriak.
"Mana keparat itu! Mana manusia iblis Jayengrono itu! Aku harus membunuhnya! Aku
bersumpah membunuhnya!"
Patih haryo Unggul segera menutupi tubuh Siti Hinggil dengan kain panjang yang
sengaja dibawanya. Tangan kanannya dengan cepat meluncur memegang bahu kiri Siti
Hinggil. Dia memijit bahu itu dengan keras. Siti Hinggil tampak meringis
kesakitan, tapi sama sekali tidak menjerit. Sang patih mencoba sekali lagi. Kali


Wiro Sableng 033 Panglima Buronan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini yang dipencetnya adalah daging tangan pada celah antara jari telunjuk dan
ibu jari tangan kanan Siti Hinggil. Tetap saja perempuan ini hanya
memperlihatkan wajah meringis kesakitan tetapi tidak berteriak.
"Aneh, ini bukan kesurupan atau kemasukan roh! Apakah Raden Ajeng ini tiba-tiba
saja menjadi gila?" begitu Patih Haryo Unggul membatin.
"Mana Jayengrono! Mana manusia keparat itu! Aku harus membunuhnya!"
kembali Siti Hinggil berteriak sementara dua orang pengawal memegangi tangannya
kiri kanan. "Jayengrono tak ada di sini. Mengapa....."
"Tidak! Tadi dia ada di sini! Tadi dia....." Siti Hinggil tidak sanggup meneruskan
ucapannya. Dia menjerit panjang, lalu melosoh ke bawah. Kalau tidak dipegangi
pasti terbating ke lantai.
Ketika perempuan itu menjerit panjang Patih Haryo Unggul membaui hawa aneh
keluar dari mulut Siti Hinggil. Tapi dia tidak tahu pasti hawa apa itu gerangan.
Atas perintah Patih haryo Unggul, Siti Hinggil dibaringkan di atas tempat tidur.
Pelayan dipanggil untuk memebenahi sisa makanan. Lalu pada beberapa perajurit
dan pengawal yang ada di situ dipesankan agar berjaga-jaga.
"Raden Ajeng tidak pingsan. Dia hanya kehabisan tenaga. Salah satu dari kalian
cepat menghubungi kepala pengasuh istana. Minta paling tidak dua orang inang
pengasuh datang kemari untuk menjaga dan merawatnya. Aku akan melapor pada
raja...." Melangkah sepanjang gang Patih Haryo Unggul geleng-gelengkan kepala dan
menarik nafas dalam. "Aneh sekali tindakan Sri Baginda. Apapun kesalahan
istrinya itu, tidak semustinya Raden Ajeng dipenjarakan seperti itu. Dan Sri
Baginda sama sekali tidak pernah menghubungiku ataupun memberitahu kejadian
penahanan ini! Apa sebenarnya yang tengah terjadi di istana ini. Apakah aku bukan orang penting
lagi di sini hingga tak ada yang mau memberitahu"! Raja memenjarakan istrinya
sendiri! Juga puterinya! Sudah gila dunia ini!"
Sidang pengadilan para sesepuh dan tokoh kerajaan untuk memeriksa Raden Ajeng
Siti Hinggil dan puterinya seharusnya dilakukan hari itu. Namun karena sejak dua
hari lalu Siti Hinggil dinyatakan sakit, tidak mampu meninggalkan tempat tidur,
maka sidang ditunda. Selama tiga hari itu Siti Hinggil terbaring di atas tempat
tidur dengan kedua maa selalu terpejam. Dari mulutnya selalu terdengar suara
meracau BASTIAN TITO
19 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
yang tidak jelas apa yang dikatakannya. Di kepala tempat tidur selalu duduk
menjaga Raden Ayu Puji Lestari.
Atas permintaan Patih Haryo Unggul dan atas persetujuan raja, Siti Hinggil
diperkenankan dipindahkan dan dipulangkan ke rumah kediamannya. Tetapi dengan
sikap keras Puji Lestari menolak.
"Kalau ibundaku harus mati, biar dia mati di kamar tahanan ini! Agar semua orang
yang bertanggung jawab atas ketidak adilan ini bisa merasakan kepuasan!"
begitu kata-kata yang dikeluarkan Puji Lestari di hadapan Patih Haryo Unggul dan
Sri Baginda yang datang menjenguk meskipun hanya sebentar.
Dalam sebuah ruangan di istana, Patih haryo Unggul duduk berhadap-hadapan dengan
Sri Baginda. "Menurut paman patih, penyakit Raden Ajeng Siti Hinggil masih belum diketahui.
Apakah tidak dapat diusahakan cara lain agar dia disembuhkan. Paling tidak aga
kedua tangan dan kakinya bisa digerakkan kembali. Matanya yang terpejam bisa
dibuka lagi....."
"Saya telah melakukan berbagai usaha Sri Baginda. Mohon maafmu kalau segala
kemampuan dan keahlian pengobatan saya kali ini hampir tidak ada manfaatnya......
Saya tidak tahu apa sebenarnya penyebab sakit yang diderita Raden Ajeng. Turut
penglihatan dari luar dia seperti kehabisan tenaga hingga tidak mampu
menggerakkan anggota badan, bahkan membuka kelopak matanya. Juga sulit untuk
memberinya minum, apalagi makan....."
"Bagaimana dengan dugaan bahwa dia kemasukan roh halus atau kesurupan.....?"
"Seperti saya pernah katakan pada Sri Baginda sebelumnya, Raden Ajeng sama
sekali bukan kemasukan roh atau kemasukan setan atau kesurupan. Dalam kehabisan
tenaga ada sau ganjalan besar yang membenam dalam otaknya....."
"Penyakit aneh apa namanya itu"!" ujar Sri Baginda pula.
Seorang ponggawa masuk, memberitahu Raden Kertopati akan datang menghadap.
"Paman Patih suruh Kertopati masuk. Biar kita bicara bertiga di sini......"
Pembicaraan kemudian dilanjutkan bertiga. Raden Kertopati lebih banyak menjadi
pendengar dan baru membuka mulut menyatakan pendapatnya ketika Patih Haryo
Unggul mengusulkan untuk mencari tabib atau orang sakti yang sanggup
menyembuhkan penyakit aneh yang dialami Raden Ajeng Siti Hinggil.
"Sri Baginda, apakah ingat dengan pemuda aneh berambut gondrong benama Wiro
Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212....?" Raden Kertopati bertanya.
"Tentu saja aku ingat manusia satu itu. Aneh dan terkadang lancang.
Bicaranya ceplas-ceplos tapi jasanya pada Kerajaan tak dapat kita balaskan
sampai saat ini.....!"
"Manusia seperti dia memang tak pernah mengharapkan balas jasa, Sri Baginda....."
Baginda menganggukkan kepalanya, "Terakhir kali dia raib dari penjara ketika dia
ditahan atas kehendak Jayengrono......"
"Dia hanya korban kesalah pahaman, korban itikad buruk dari orang-orang yang tak
mau melihat kenyataan....." kata Raden Kertopati.
"Aku tahu dimas Kertopati menyesalkan perbuatan dimas Jayengrono tempo hari
karena dialah yang menjebloskan pendekar berambut gondrong itu ke dalam penjara.
Tapi itu telah berlalu, yang penting saat ini apakah dimas mempunyai saran
BASTIAN TITO 20 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
tertentu bagaimana kita bisa menyembuhkan Raden Ajeng....?" Yang berkata dan
bertanya adalah Patih Haryo Unggul.
"Justru saya menyebut nama pendekar itu karena ingat akan kemampuannya.
Dia yang mengobati saya ketika terluka dan hampir mati keracunan akibat pukulan
Pangeran Matahari ketika terjadi pertempuran kacau balau di depan istana
beberapa waktu lalu. Dia memiliki sebuah senjata sakti. Sebilah kapak bermata
dua. Dengan senjata itulah dia menyedot racun yang hampir membunuh saya..... Saya
menunggu pendapat dan keputusan Sri Baginda."
"Semua urusan aku serahkan pada kalian berdua. Lakukan apa yang kalian anggap
paling baik....." Sri Baginda bangkit dari kursinya lalu meninggalkan ruangan itu.
Ketika mereka hanya tinggal berdua saja, maka Raden Kertopati bicara perlahan
pada Patih Haryo Unggul.
"Paman Patih, sebenarnya saya ada rencana lain. Namun tidak saya utarakan pada
Sri Baginda karena saya yakin Sri Baginda lebih percaya pada orang itu dari pada
saya......"
"Siapa yang kau maksudkan dengan orang itu dimas Kertopati?"
"Raden Mas Jayengrono....."
"Hemmmm.....Aku dengar hubungan kalian akhir-akhir ini tidak begitu sreg......"
"Saya akui Paman Patih. Semua berpangkal pada tuduhan tak beralasan bahwa Raden
Ajeng dan puterinya mempunyai hubungan tertentu dengan Pangeran Matahari yang
hendak merampas tahta kerajaan....."
"Aku lebih tertarik jika kau menerangkan apa rencana yang kau sebutkan itu,"
kata Patih Haryo Unggul membelokkan pembicaraan.
"Saya dengar bahwa setiap kali berteriak kalap yakni sebelum jatuh sakit seperti
ini, Raden Ajeng selalu meneriakkan ingin membunuh Jayengrono. Mengapa"
Apa alasannya" Saya tidak tahu. Paman Patih juga tidak tahu. Sri Baginda tidak
tahu dan juga tidak acuh. Hanya ada dua orang yang tahu. Yakni Raden Ajeng
sendiri dan Jayengrono. Raden Ajeng tak mungkin ditanyai. Tapi Raden Mas
Jayengrono bisa ditanyai setiap saat. Saya mengatakan hal ini bukan karena
hubungan saya dengan dia sedang tidak baik. Tetapi....."
"Ya.....ya. Apa yang kau katakan itu memang benar. Tapi soalnya siapa yang bakal
menanyai Panglima Kerajaan itu" Kurasa hanya Sri Baginda. Tapi seperti katamu,
Sri Baginda tidak acuh!"
"Tidak acuh karena ada yang menggosok!"
"Lagi-lagi tentu yang dimas maksudkan adalah Jayengrono....." kata sang patih
pula. Kertopati tersenyum. "Saya tidak mengatakan itu. Paman Patih yang menyebut
namanya!" Kedua orang itu sama-sama tersenyum.
"Dimas Kerto, jika kau memang yakin sahabatmu Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
yang sableng itu bisa menolong, sebaiknya kau segera mencarinya dan membawanya
ke mari." "Hal itu segera saya lakukan jika paman patih memang memberi dukungan dan restu.
Saya akan menyebar orang-orang untuk menyelidik di mana dia berada.
Hanya ada satu permintaan saya. Maukah paman patih membantu?"
"Katakan apa keinginan dimas....."
"Usahakan agar Raden Ajeng dan puterinya dipindahkan dari tahanan itu ke satu
tempat yang dirahasiakan....."
BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Permintaanmu itu mudah kukabulkan karena Sri Baginda sendiri memang sudah
menyetujui. Tapi karena kau yang meminta maka aku melihat adanya keanehan....."
"Tidak aneh Paman Patih. Paman patih ingat ketika deretan kamar-kamar itu
dibangun" Semua ditangani oleh Jayengrono. Serba rahasia. Siang malam dia
menongkrongi pembangunan tempat itu. Satu tindakan yang tidak pantas bagi
seorang Panglima Balatentara. Dan satu lagi jangan lupa. Jayengrono ahli dalam
bidang bangunan dan benda-benda rahasia....."
Patih Haryo Unggul menatap wajah Raden Kertopati lekat-lekat lalu memegang bahu
Kepala Pasukan Kotaraja itu dan berkata "Dimas Kerto, kurasa kali ini kau,
tepatnya kita semua, tengah menghadapi harimau buas bekepala dua....."
"Mungkin kepalanya lebih dari dua, paman patih!" sahut Kertopati.
"Kalau begitu laksanakan tugasmu secepat-cepatnya!"
"Saya mohon diri sekarang....."
Baru saja Kertopati hendak berdiri tiba-tiba masuk seorang ponggawa membawa
segulung kertas. Ponggawa ini memberitahu bahwa dia membawa surat dari Raden Mas
Jayengrono, ditujukan pada Patih Haryo Unggul.
Patih mengambil surat itu dan membacanya.
Patih Haryo Unggul
Laporan dari mata-mata kita di utara menunjukkan adanya beberapa kelompok sisasisa pemberontak bergabung di satu tempat. Hal ini mengundang satu tindakan
cepat. Siang ini dengan sejumlah besar pasukan berangkat ke utara. Saya tidak
melaporkan pada Sri Baginda karena maklum Sri Baginda cukup banyak beban pikiran
saat ini. Tentang keamanan kota mohon batuan YM untuk menghubungi Raden
Kertopati dan meminta agar dia tetap waspada.
Saya tidak dapat memastikan kapan akan kembali ke Kotaraja.
Teriring salam dan hormat, R.M. Jayengrono Patih Haryo Unggul menyerahkan surat itu pada Raden Kertopati. Selesai Kepala
Pasukan Kotaraja ini membaca, sang patih bertanya "Apa pendapatmu dimas?"
"Pertama Raden Mas Jayengrono tentunya sudah jauh saat ini. Kalaupun dipanggil
dia bisa menolak dengan alasan lebih memetingkan keselamatan Kerajaan.
Yang aneh, bagaimana dia bisa membawa sejumlah besar pasukan tanpa terlihat
gerakan-gerakan pemberangkatan....."
"Mungkin dia mengerahkan pasukan di tapal batas, bukan dari dalam......"
kata Patih Haryo Unggul pula.
"Saya berangkat sekarang Paman Patih. Yang paling penting adalah mengobati Raden
Ajeng lebih dulu. Jika dia bisa disadarkan saya rasa segala sesuatunya akan
menjadi jelas. Jangan lupa mengamankan ibu dan anak itu....."
"Ya, kau pergilah dimas. Lekas kembali. Aku tak ingin kau kembali terlambat dan
hanya menemui tanah merah makam Raden Ajeng!"
BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Diiringi enam orang pengiring, dua di antaranya perwira muda berkepandaian
tinggi, Raden Kertopati memacu kuda menuju ke utara. Sebentar lagi malam akan
tiba. Sebelum malam datang dengan segala kepekatannya dia harus mencapai Delanggu di
kaki pegunungan Kendeng.
Celakanya hujan turun rintik-rintik dan tiupan angin mulai terasa kencang dan
dingin. Jalan tanah yang mereka lalui menjadi licin. Ternyata kegelapan malam
datang lebih cepat dari yang diperkirakan.
"Pacu kuda kalian lebih cepat!" teriak Kertopati.
Semua pengiring menggebrak pinggul kuda masing-masing. Tujuh ekor kuda melesat
kencang seperti anak panah mengejar setan! Lima puluh langkah di depan tiba-tiba
terjadilah malapetaka yang tidak mereka duga.
Jalan tanah yang mereka tempuh mendadak sontak ambrol begitu kaki-kaki kuda
menginjaknya. Sebuah lubang besar menganga. Tujuh orang berteriak kaget.
Tujuh ekor kuda meringkik keras. Kuda-kuda dan tujuh orang itu langsung amblas
masuk ke dalam lubang, saling tumpang tindih. Di dasar lubang menunggu seratus
bambu runcing! Jerit pekik bersatu padu dengan ringkik-ringkik kuda!
Empat orang perajurit langsung menemui ajal ditambus bambu runcing pada bagian
dada atau perut. Malah salah satu tepat disate di bagian lehernya. Satu dari dua
perajurit muda terhempas ke dalam lubang, langsung ditambus enam potongan bambu
runcing. Empat ekor kuda melejang-lejang sambil meringkik sementara darah
mengucur deras dari bagian tubuh yang tertusuk bambu. Perwira muda kedua masih
untung hanya pahanya yang terserempet ujung bambu runcing. Sebagian tubuhnya
tergelompang di tepi lubang. Tapi luka pahanya mendadak sontak menyebabkan rasa
panas di sekujur tubuh. Dia mengerang pendek, berusaha bangkit tapi jatuh lagi
karena kaki dan tangannya laksana lumpuh!
Raden Kertopati yang paling untung dari semua rombongan. Tubuhnya selamat karena
jatuh di atas kuda yang masuk ke lubang lebih dulu. Binatang itu sendiri setelah
menggelepar beberapa kali meregang nyawa mandi darah akibat ditembus enam belas
potong bambu runcing.
Raden Kertopati berusaha melepaskan kaki kirinya yang terjepit di antara dua
tubuh kuda yang sudah mati. Begitu kakinya terlepas maksudnya segera melompat
dari lubang neraka itu. Namun niatnya serta merta dibatalkan katika dia melihat
beberapa sosok tubuh berkelebatan di dalam kegelapan. Disusul oleh suara tertawa
bergelak. Raden Kertopati langsung jatuhkan diri kembali, menyelinapkan diri di
antara dua tubuh kuda yang berlumuran darah, berpura-pura mati! Tapi diam-diam
kedua matanya dibuka sedikit demi sedikit untuk melihat siapa orang-orang itu.
ternyata mereka ada empat orang. Dan keempatnya menutupi wajah masing-masing
dengan topeng kain hitam. Hanya bagian mata saja yang tampak!
"Kalau Kala Srenggi yang punya kerja, tak ada yang meleset!
Ha...ha....ha....!" orang yang tadi mengumbar suara tawa berkata. "Semua mereka mati
sesuai dengan yang dikehendaki! Pekerjaan selesai aku minta imbalannya.....!"
Orang itu lalu ulurkan tangan kanannya ke arah lelaki berbadan tegap, mengenakan
pakaian hitam yang berdiri di tepi lubang maut sebelah kanan. Orang di tepi
lubang mengambil sebuah kantong kain di balik pakaiannya dengan tangan kiri.
Kantong ini diserahkannya pada orang yang menyebut dirinya Kala Srenggi.
BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Lima puluh keping emas?" desis Kala Srenggi seraya memegang kantong kain.
"Tidak lebih tidak kurang. Sesuai perjanjian!" jawab orang yang mengulurkan
kantong kain. Kantong itu seperti hendak dilepaskannya ke dalam genggaman Kala
Srenggi. Tetapi tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak. Dalam gelapnya malam
tiba-tiba memancar dan berkelebat sinar putih menyilaukan disertai hawa sedingin
salju! Detik itu juga terdengar pekik Kala Srenggi. Darah muncrat dari dadanya
yang ditembus senjata sakti sampai ke jantung! Tubuhnya terasa dingin. Lututnya
goyah. Kedua matanya mencelet.


Wiro Sableng 033 Panglima Buronan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bangsat penipu..... Terkutuk!" hanya sumpah serapah itu yang sempat dilontarkan
Kala Srenggi. Tubuhnya jatuh, terguling dan masuk ke dalam lubang maut, tepat
menimpa tubuh Raden Kertopati hingga dia tak dapat lagi melihat apa yang terjadi
kemudian. Ketika Kala Srenggi ditikam, dua orang anak buahnya yang berada di sana dengan
berteriak marah langsung menghunus golok dan menyerbu si pembunuh.
Perkelahian pendek terjadi di antara tiga orang bertopeng kain itu. Tapi agaknya
yang memegang senjata yang memancarkan sinar putih memiliki kepandaian silat
sangat tinggi. Dua kali menggebrak, dua penyerang roboh mandi darah dan tewas
menyusul pimpinan mereka!
Raden Kertopati memanggul tubuh yan terasa sangat panas itu dan berlari
sekencang yang bisa dilakukannya. Orang yang dipanggul tiada hentinya mengerang
Pedang Naga Kemala 11 Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung Bentrok Para Pendekar 1

Cari Blog Ini