Ceritasilat Novel Online

Panglima Buronan 2

Wiro Sableng 033 Panglima Buronan Bagian 2


dan meminta "Raden, lebih baik kau bunuh aku saat ini juga! Rasa panas yang
memanggang ini tak bisa kutahan lagi....."
"Perwira muda, sebagai perajurit Kerajaan kau harus sanggup bertahan!
Sebentar lagi kita akan sampai di tujuan!"
"Jika Raden membunuhku saat ini, Raden akan terlepas dari beban dan bisa sampai
di tujuan. Jangan perdulikan diriku. Pentingkan tugas yang ada di pundak Raden!"
Raden Kertopati terharu mendengar ucpan bawahannya itu. "Jika kau sembuh, aku
bersumpah untuk menaikkan pangkatmu!" meluncur kata-kata itu dari mulut Raden
Kertopati. Meskipun tenaganya sudah terkuras, tapi semangatnya seperti memberi
kekuatan baru untuk terus berlari sambil memanggul tubuh perwira muda itu.
Di kejauhan tampak nyala lampu kecil sekali di tengah sawah. Ke situlah Raden
Kertopati berlari memanggul tubuh bawahannya itu. Untung saja daerah itu tidak
kejatuhan hujan. Kalau tidak, berlari di pematang sawah yang licin tentu akan
menyusahkannya.
Di atas dangau di tengah sawah saat itu tampak dua orang pemuda duduk bercakapcakap. Yang pertama seorang pemuda bertubuh ramping berkulit halus mengenakan
pakaian kelabu. Yang kedua berbadan tegap kekar, berambut gondrong sebahu,
berpakaian serba putih dan memakai ikat kepala putih.
"Ada orang datang....." kata pemuda berbaju kelabu.
"Aku sudah tahu," jawab si gondrong seperti tak acuh. Lalu dia memandang ke
jurusan barat, dari arah mana orang yang berlari itu datang. "Hem.... Dia
memanggul seseorang. Berlari kencang di pematang sawah yang kecil dan licin.
Berarti memiliki ilmu meringankan tubuh dan ilmu lari yang andal!"
Hanya beberapa kejapan kemudian, orang yang beralari itu sampai di depan podok
seraya berseru gembira "Pendekar 212 Wiro Sableng! Syukur pada Tuhan akhirnya
kutemui juga kau!"
BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Hai! Siapa dirimu"!" bertanya si gondrong seraya berdiri. Ternyata dia adalah
murid Sinto Gendeng dari gunung Gede yaitu Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Dia sama sekali tidak mengenali siapa orang yang datang ini karena baik muka
maupun tubuhnya penuh lumuran darah. Tapi begitu memperhatikan lebih jelas Wiro
segera saja mengenali dan berseru kaget.
"Sahabat Raden Kertopati! Luar biasa sekali! Kepala Pasukan Kotaraja tiba-tiba
muncul di malam buta dalam keadaan bercelemongan darah dan memanggul sesosok
mayat!" "Perwira ini masih belum mati! Luka pada pahanya mengandung racun!
Selamatkan nyawanya lebih dulu. Nanti aku ceritakan maksud kedatanganku!" lalu
Raden Kertopati menurunkan tubuh perwira muda dari panggulannya. Pemuda
berpakaian kelabu membantunya "Bagus, kaupun ternyata ada di sini sahabat....."
"Bagaimana Raden tahu kami ada di sini?" tanya Wiro seraya garuk kepala.
"Aku punya ratusan mata-mata disebar di delapan penjuru angin. Tidak sulit
mengetahui di mana kalian berada.... Tapi yang penting tolong dulu perwira muda
itu.....!" kata Raden Kertopati. Lalu dia sendiri menjatuhkan diri di atas dangau.
Tubuhnya terasa luluh lantak dan napasnya menyengal karena lari sejauh itu.....
Wiro merobek celana di bagian paha perwira muda itu hingga dia melihat lebih
jelas luka yang dalam. Darah tidak mengucur lagi dari luka itu. Bagian daging
tepi daging paha yang terluka tampak berwarna hijau gelap.
"Racun ular jahat...." Desis pemuda berpakaian kelabu.
Wiro mengangguk. Dia membuat beberapa totokan hingga perwira muda yang masih
setengah sadar itu langsung jatuh pingsan. Lalu dikeluarkannya Kapak Naga Geni
212. Sinar kapak memutih perak menerangi gubuk di tengah sawah itu. Mata kapak
ditempelkannya ke luka yang terdapat di paha. Lalu pendekar ini mulai kerahkan
tenaga dalam. Seperti disedot oleh satu kekuatan hebat, dari luka itu mengucur
ke luar darah kental berwarna hitam. Perlahan-lahan darah yang keluar berubah
menjadi merah. Setelah dirasakan tubuh perwira itu terbebas dari segala racun
jahat yang ada, Wiro mengangkat senjata saktinya.
"Dia selamat Raden....."
"Aku tahu kau sanggup menolongnya," jawab Kertopati. Dia masih menelentang di
lantai dangau dengan dada sesak turun naik.
"Sekarang katakan mengapa kau datang mencari kami" Pasti ada yang tak beres lagi
di Kotaraja."
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Gedung Kepatihan di mana Haryo Unggul tinggal bersama keluarganya merupakan
gedung kedua yang memiliki penjagaan ketat setelah keraton tempat kediaman raja
dan permaisuri serta putera puterinya. Di sebuah kamar besar yang terdapat di
bagian belakang gedung malah kini terlihat dua orang pengawal. Itulah kamar di
mana Raden Siti Hinggil bersama Puji Lestari ditempatkan.
Malam itu Patih Haryo Unggul masih belum kembali dari istana. Sore tadi seorang
perajurit datang dari utara, membawa sepucuk surat yang dikirimkan oleh Raden
Mas Jayengrono. Begitu membaca surat Patih Haryo Unggul langsung menuju istana
dan memperlihatkan surat itu pada Sri Baginda.
Teruntuk YM Patih Haryo Unggul
Di Kotaraja Gerakan kaum pemberontak telah kami gunting hingga tak mungkin mereka bisa
menerobos dan melewati perbatasan.
Melalui surat ini saya ingin melaporkan satu hal yang tidak terduga. Saya
melihat Raden Kertopati bersama Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
di antara pasukan pemberontak. Masih terdapat seorang kawannya yakni pemuda baju
abu-abu yang tidak saya ketahui namanya.
Saya harap paman patih memberitahu hal ini pada Sri Baginda dan mengambil
tindakan terhadap Raden Kertopati.
Sudah sejak lama sebenarnya saya mencurigai Kapala Pasukan itu. Saya yakin dia
juga yang telah meloloskan Wio Sableng sewaktu ditahan di penjara dulu.
Jika orang ini tidak segera diamankan istana dan kerajaan akan terancam
malapetaka besar.
Teriring salam dan hormat, R.M. Jayengrono Sri Baginda menyerahkan surat itu kembali pada Patih Haryo Unggul. Lalu
bertanya "Di mana Kertopati sekarang?"
"Dia memang berada di luar kota. Namun kepergiannya katanya adalah mencari
Pendekar 212 Wiro Sableng untuk dapat menyembuhkan Raden Ajeng....."
"Itu alasan yang dikatakannya pada kita. Sebenarnya dia ingin menemui kaum
pemberontak. Musuh dalam selimut!"
"Saya mohon petunjuk Sri Baginda lebih lanjut...."
"Apa lagi! Jika dia berani muncul di Kotaraja tangkap ular kepala dua itu.
Awasi gedung kediamannya!"
"Bukan lebih baik kalau kita menyelidik kebenaran isi surat ini terlebih dulu?"
"Eh, mengapa begitu Raden Mas?"
"Saya kawatir tindakan yang terburu-buru malah bisa mengundang kericuhan lebih
besar, ingat ketika kita salah tangan menangkap Pendekar 212 dulu.....Kita ikut
salah walau Raden Mas Jayengrono yang sebenarnya punya ikhtiar."
Sri Baginda terdiam sejenak. "Aku serahkan semua kebijaksanaan padamu.
Tapi aku tak ingin kita menempuh jalan salah dan terkecoh. Kalau sampai apa yang
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dilaporkan Raden Mas Jayengrono betul dan kita kebobolan, ingat baik-baik,
tanggung jawab ada di pundakmu!"
"Saya ingat hal itu Sri Baginda. Ada satu hal lagi yang ingin saya laporkan....."
"Soal apa?" "Terlebih dahulu mohon maaf Sri Baginda. Karena saya telah bertindak tanpa
memberitahu atau minta izin lebih dahulu. Ini menyangkut kamar tahanan yang
sejak beberapa hari lalu ditempati Raden Ajeng Siti Hinggil. Turut keterangan
yang saya dapat kamar itu dulu dibangun secara sangat rahasia. Berarti ada
sesuatu yang tidak boleh diketahui oleh orang lain...."
"Seingatku, Jayengrono yang mengepalai pembangunan kamar itu dan kamar-kamar
lainnya....."
"Betul sekali Sri Baginda. Mohon lagi maafmu Sri Baginda. Diam-diam saya
melakukan penyelidikan. Saya merasakan adanya keanehan pada kamar satu itu, tapi
tak dapat menemukan. Karena itu saya mendatangi Gundil Ablang, kakek tua yang
dulu jadi juru batu dan juru kayu pembangunan kamar. Gundil Ablang sudah pikun.
Namun dari rangkaian keterangannya yang coba saya sambung satu dengan yang
lainnya dapat diduga terdapat sebuah pintu rahasia di dinding kamar itu. Gundil
Ablang saya datangkan sendiri ke situ. Dia berhasil mengingat di mana pintu itu
berada, malah menemukan cara membuka dan menutupnya....."
"Kalau begitu....." uajr Sri Baginda dengan muka berubah, "Selama istriku ditahan
di kamar itu ada seseorang yang mengunjunginya!"
Patih Haryo Unggul tak berani mengiyakan.
"Mungkin sekali Pangeran Matahari!" Sri Baginda tiba-tiba berkata.
"Saya meragukan sekali hal itu Sri Baginda. Penjagaan di istana ini sangat
ketat. Meskipun dia memiliki kepandaian tinggi luar biasa, tak mungkin
menyelinap tanpa diketahui. Dugaan saya ialah bahwa orang itu - siapapun dia
adanya - adalah seorang yang mampu keluar masuk istana tanpa dicurigai. Orang
dalam sendiri."
"Orang dalam sendiri" Siapa"!"
"Saat ini tak dapat saya menebaknya Sri Baginda....."
"Aku harus tahu siapa orang itu. Kau harus menyelidik. Aku beri waktu dua hari!"
Patih Haryo Unggul bangkit berdiri, menjura kemudian berlalu dari hadapan raja.
Angin malam bertiup dingin. Sesosok tubuh turun dari kuda dan mengikat binatang
itu pada batang pohon yang tersembunyi dalam kegelapan. Setelah memperhatikan
keadaan sekitarnya, dengan cepat dia melangkah menuju tembok timur gedung
kepatihan. Gerakannya gesit, enteng, tanpa suara ketika dia dengan mudah
melompati tembok tinggi itu lalu melompat lagi ke atas atap bangunan.
Malam begitu gelap. Orang itu mengenakan pakaian serba hitam dan wajahnya
ditutup cadar hitam. Hanya sepasang matanya yang tampak liar bergerak-gerak.
Hampir tidak mengeluarkan suara sama sekali si penyelinap mulai membongkar
genteng di atas atap satu demi satu. Di lain saat tubuhnya lenyap masuk ke dalam
wuwungan. Kamar yang hendak disusupinya itu berada tepat di bawah. Dari atas orang itu
dapat melihat empat perajurit pengawal di pintu masuk. Di dalam kamar menyala
lampu minyak kecil sekali. Tapi cukup menerangi keadaan di dalamnya. Cukup untuk
melihat bahwa di atas ranjang besar yang tertutup kelambu terbaring tidur dua
orang BASTIAN TITO
27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
perempuan. Lalu dua orang perempuan lain tidur di lantai. Yang di atas ranjang
besar pastilah sang ibu dan anak. Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji
Lestari. Dua perempuan yang tidur di lantai tentu dua orang inang pengasuh.
Orang di atas loteng menggerakkan tangan kanannya. Satu cahaya putih memancar.
Di tangan kanannya tampak sebilah senjata yang memancarkan sinar putih.
Dengan senjata di tangan orang ini lalu melompat turun ke dalam kamar. Kedua
kakinya menyentuh lantai tanpa mengeluarkan suara. Dengan cepat dia melangkah
mendekati ranjang. Menyingkap kelambu lalu senjata berkiblat di tangan kanannya
dihujamkan berulang kali ke tubuh dua orang perempuan yang terbaring di atas
tempat tidur itu.
"Aman sekarang!" desis si pembunuh. Sekali melesat dia sudah sampai di atas
atap. Ketika dia hendak melompat ke tembok, di bawah sana didengarnya pekik
jerit berulang kali. Sesaat orang di atas atap terkesiap. Dia mengenali suara
itu. Dadanya berdebar. Sesaat dia ingin kembali melompat turun dan masuk ke
dalam kamar. Tapi saat itu pula dilihatnya belasan perajurit berlarian menuju
kamar. Lain dari itu, dari arah pintu gerbang gedung, tampak masuk seorang
penunggang kuda diiringi tiga pengawal. Yang di depan adalah Patih Haryo Unggul,
yang baru saja kembali dari istana.
Mendengar ada pekik keributan di dalam gedung, Patih haryo Unggul serta merta
melompat dari kudanya. Ketika dia hendak lari masuk ke dalam didengarnya salah
seorang pengiring berteriak.
"Patih! Ada orang melompat dari atap ke arah tembok!"
Haryo Unggul berpaling ke arah yang ditunjuk pengiringnya. Dan benar. Dia masih
sempat melihat sosok bayangan hitam laksana terbang, melompat dari atap menuju
tembok. "Jangan lari!" teriak sang patih seraya memburu. Namun langkahnya tertahan
ketika tiba-tiba sambil melayang orang yang diburu memukulkan tangan kanannya.
Serangkum angin dahsyat melabrak sang patih. Untung saja patih tua ini masih
sempat merasakan datangnya bahaya. Secepat kilat dia jatuhkan diri ke tanah lalu
berguling. Sambil berlutut dia balas menghantam dengan pukulan tangan kosong
kiri kanan sekaligus.
Braak! Tembok gedung hacur berantakan. Tapi orang berpakain serba hitam itu telah
lenyap di balik tembok. Sewaktu Patih Haryo Unggul melompat ke atas tembok, dia
hanya mendengar suara rentak kaki kuda yang dipacu dan akhirnya lenyap di
kegelapan malam.
Di dalam gedung masih terdengar suara pekik jerit.
Haryo Unggul cepat melompat turun dari tembok dan masuk ke dalam. Saat itu
lampu-lampu besar telah dinyalakan. Raden Ayu Puji Lestari langsung menubruk dan
merangkul tubuh Patih Haryo Unggul begitu masuk ke dalam kamar yang penuh sesak
oleh perajurit pengawal.
"Tenang Den Ayu. Katakan apa yang terjadi. Tenang, jangan menjerit......"
Puji Lestari menunjuk ke arah ranjang besar di mana terbaring dua sosok tubuh
perempuan. Tubuh itu penuh lumuran darah. Darah juga membasahi hampir seluruh
tempat tidur. "Ya Tuhan....." mengucap sang patih. Dia memandang ke lantai di sudut kiri.
Hatinya lega ketika di situ dilihatnya Raden Ajeng Siti Hinggil terbaring tak
kurang suatu apa meskipun seperti beberapa hari lalu masih saja tidak sadarkan
diri karena tubuh kurus itu kini hampir tanpa tenaga lagi. Kedua matanya
terpejam. BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Raden Ayu.... Berterima kasih pada Gusti Allah. Raden Ayu dan ibunda Siti Hinggil
telah diselamatkan-Nya dari malapetaka maut! Itulah sebabnya saya meminta Raden
Ayu dan ibunda untuk tidur dilantai seperti inang pengasuh. Kalau terjadi apaapa siapa yang menyangka kalau yang tidur di ranjang bukannya Raden Ayu dan
ibunda......"
"Kasihan dua inang itu...." bisik Puji Lestari masih menangis walau kini sudah
tenang dan berhenti berteriak.
"Apakah Raden Ayu melihat atau mengenali siapa orang yang masuk dan melakukan
kejahatan ini?" bertanya Patih Haryo Unggul.
Puji Lestari menggeleng. "Lampu dalam kamar ini tidak begitu terang. Saya sudah
tertidur. Semuanya berlangsung dengan cepat. Saya baru terbangun ketika
mendengar suara erangan halus dari atas tempat tidur....."
Patih Haryo Unggul memandang berkeliling ke arah para perajurit dan pengawal.
Rahangnya menggembung. "Musuh masuk ke dalam gedung. Tak satupun dari kalian
yang mengetahui! Apalagi mencegah terjadinya pembunuhan! Kalian dipecat semua!"
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


Wiro Sableng 033 Panglima Buronan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SEMBILAN Raden Kertopati langsung membawa Wiro Sableng dan si pemuda berpakaian kelabu ke
gedung kediaman Patih Kerajaan. Seperti dituturkan dalam seri Bajingan Dari
Susukan dan Pangeran Matahari dari Puncak Merapi, pemuda berpakaian kelabu ini
bukan lain adalah seorang gadis cantik yang pernah menyamar sebagai nenek sakti
bernama Ni Luh Tua Klungkung dan pernah mengabdikan diri pada Kerajaan selama
empat tahun. Saat itu menjelang pagi. Matahari masih belum tersembul dari ufuk timur.
Meskipun ingin bicara panjang lebar dengan Wiro dan Kepala Pasukan Kotaraja itu
namun menolong Raden Ajeng Siti Hinggil harus diutamakan. Tanpa banyak bicara
sang patih membawa ketiga orang itu ke kamar di mana istri Sri Baginda itu
ditempatkan bersama puterinya, dikawal oleh dua lusin perajurit ditambah dua
orang perwira. Raden Ajeng Siti Hinggil terbaring tak bergerak di atas tempat tidur. Wiro
Sableng hampir tidak mengenali lagi perempuan itu saking kurus dan pucatnya.
Puji Lestari memandang penuh tanda tanya begitu melihat pendekar itu muncul.
"Kami sangat mengharap bantuanmu Wiro. Lakukan apa yang bisa kau lakukan...."
Berkata Patih haryo Unggul.
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Sesaat dipandanginya sosok tubuh
kurus dan wajah pucat itu. Lalu dia membungkuk dan dengan jari-jari tangannya
dia membuka kelopak mata kiri Raden Ajeng Siti Hinggil. Bola mata itu berputar
sedikit, tapi pinggir kelopak mata tampak membiru, hampir tidak kelihatan kalau
tidak diperhatikan dengan teliti.
"Raden Ajeng ini keracunan....." kata Wiro seraya berpaling pada Patih dan
Kertopati. Tentu saja pernyataan ini membuat kedua orang itu, dan juga Puji
Lestari menjadi kaget.
Pendekar 212 Wiro Sableng lalu keluarkan kapak saktinya. Sinar putih membersit
di kamar itu. Wiro berpaling pada Puji Lestari dan berkata "Izinkan saya
menggores ibu jari ibundamu. Hanya melalui luka racun itu dikeluarkan."
Puji Letari mengangguk.
Wiro memandang pada Patih Haryo Unggul.
Sang patih juga mengangguk.
Lalu Wiro menggoreskan ujung mata kapak ke ibu jari kaki kanan Raden Ajeng Siti
Hinggil. Ketika ibu jari itu dipencetnya, darah yang keluar tampak berwarna
hitam. Wiro mengambilnya sedikit lalu menciumnya. Tercium bau anyir yang aneh.
Dia termangu sesaat sambil garuk-garuk kepala, membuat baik Kertopati maupun
Haryo Unggul jadi tidak sabaran.
"Bagaimana......?" bisik sang patih bertanya.
Wiro lambaikan tangannya memberi isyarat agar sang patih jangan bertanya dulu.
Lalu Kapak Maut Naga Geni 212 ditempelkannya pada goresan luka di ibu jari kaki
Raden Ajeng Siti Hinggil. Perlahan-lahan Wiro mulai kerahkan tenaga dalam.
Ternyata tanpa mengerahkan tenaga dalam terlalu banyak, dia berhasil menyedot
racun yang ada dalam aliran darah perempuan itu. Mata kapak tampak dilumuri
cairan putih. Setelah memperhatikan cairan putih di mata kapak, Wiro mendekati Kertopati dan
Haryo Unggul. Dengan suara perlahan agar tidak terdengar oleh Puji Lestari dia
berkata "Racun yang mengidap di tubuh Raden Ajeng tak akan membunuh karena
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
memang bukan racun mematikan. Tapi mungkin karena sebelumnya keadaan tubuhnya
sangat lemas maka sekujur tubuhnya jadi seperti lumpuh, bahkan membuka matapun
dia tak sanggup......"
"Lalu racun apa yang ada dalam rubuh Raden Ajeng?" bertanya Patih haryo Unggul.
"Racun mesum....." bisik Wiro.
"Maksudmu?" tanya Kertopati.
"Racun yang dapat membuat seseorang naik nafsu dan bergairah untuk melakukan
hubungan badan....."
Haryo Unggul terbelalak. Sebaliknya Kertopati kini menjadi maklum apa
sesungguhnya yang telah terjadi. Tapi siapa yang melakukan" Ketika sang patih
saat itu tiba-tiba saja ingat akan pintu rahasia di dinding kamar tahanan,
Kertopati segera saja luncurkan ucapan "Siapa lagi! Pasti Jayengrono dalam semua
ini!" "Jangan bicara seperti itu, dimas. Kita harus mencari bukti. Sebaliknya
Jayengrono seperti memegang kartu atas dirimu. Ada sepucuk surat yang akan
kuperlihatkan padamu....."
"Apakah Panglima itu telah kembali dari luar kota?"
Patih Haryo Unggul menggeleng.
Terdengar suara erangan halus dari arah tempat tidur. Semua orang berpaling.
Sesosok tubuh Raden Ajeng tampak bergerak. Kedua matanya terbuka sedikit.
"Nah....nah. Raden Ajeng mulai sadar....." kata Wiro gembira. Puji Lestari langsung
memeluk ibunya.
Patih Haryo Unggul membari isyarat pada Wiro. Diikuti Kertopati dan Ni Luh Tua
Klungkung, orang-orang itu tinggalkan kamar tersebut.
"Ini fitnah paling busuk! Paling terkutuk!" teriak Kertopati selesai membaca
surat yang diserahkan Patih Haryo Unggul. Surat itu adalah yang dikirimkan Raden
Mas Jayengrono yang isinya mengungkapkan keterlibatan Kertopati dan Wiro Sableng
dengan gerakan kaum pemberontak.
"Paman Patih tahu sendiri apa tujuan saya keluar Kotaraja. Mencari Wiro untuk
dimintakan pertolongannya. Dan saya kembali kemari untuk membuktikan hal itu....."
"Terus terang sebelumnya ada keraguan di hatiku dimas Kerto. Tapi setelah kau
benar-benar kembali dan kini Raden Ajeng tertolong jiwanya maka keraguan itupun
buyar. Aku mempercayaimu sepenuhnya....."
"Kurasa.....," kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. "Kalau ada orang yang tak
kembali ke Kotaraja, orang itu adalah Raden Mas Jayengrono. Dia akan jadi
Panglima Buronan........."
"Aku yakin memang dia yang mengatur semua kebusukan ini. Dia sengaja menghindar
ke luar kota untuk melihat perkembangan apakah kedoknya akan terbuka atau tidak!
Kini sebagian sandiwaranya telah tersingkap. Pasti dia yang keluar masuk kamar
tahanan Raden Ajeng lewat pintu rahasia di dinding kamar! Pasti dia pula yang
memberikan racun mesum itu agar dapat melampiaskan nafsunya. Bukankah Raden
Ajeng selalu menolak permintaannya......?"
"Eh, tunggu dulu dimas Kerto. Permintaan apa maksudmu?" bertanya Haryo Unggul.
Raden Kertopati sadar kalau telah ketelepasan bicara. Dia berpaling pada Wiro
dan berkata "Sahabatku, sudah kepalang tanggung. Mengapa apa yang kita ketahui
tentang hubungan Jayengrono dan Raden Ajeng di masa lalu masih kita rahasiakan"
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Mengapa tidak kau tuturkan saja apa yang kau ketahui. Apa yang kau dengar ketika
mereka bicara di gedung kediaman Raden Ajeng tempo hari?"
Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepala. "Kau saja yang menceritakannya pada paman
patih, Raden....." sahut si pendekar.
Tapi Kertopati menggeleng. "Meskipun aku tahu kebusukan Jayengrono, namun
sebagai atasan aku tetap menghormatinya!"
"Pendekar! Kau harus ceritakan padaku apa yang kau ketahui! Sekaligus ini untuk
menghilangkan dugaan dan kecurigaan bahwa kalian memang bukan memfitnah....."
Wiro jadi serba salah. Tiba-tiba seorang perajurit masuk menghadap. Dia melapor
bahwa dua orang perempuan tua yang berkerja di dapur istana pada malam di mana
Raden Ajeng diduga diracun orang telah dipanggil dan kini berada di luar.
"Suruh kedua perempuan ittu masuk!" perintah Patih Haryo Unggul.
Dua perempuan tua itu kemudian masuk dengan wajah keriput penuh ketakutan.
"Kalian berdua tak perlu takut. Katakan terus terang. Pada malam empat hari lalu
kalian berdua diketahui melayani dan menyediakan makanan untuk Raden Ajeng dan
puterinya. Adakah kalian melihat suatu keanehan....."'
"Kami sama sekali tidak melihat keanehan apa-apa Patih," jawab dua perempuan tua
berbarengan. "Jangan hanya menjawab saja! Pikir dulu baik-baik.....!" membentak Haryo Unggul.
Salah seorang perempuan tua itu, yakni sang juru masak tampak ketakutan sekali.
Suaranya gemetar ketika berkata "Saya.....saya hanya mencuri sepotong daging ayam
sisa makanan Raden Ajeng. Tapi itu cuma sepotong kecil Patih. Dan saya pulang.
Saya makan bersama suami saya. Justru itulah pangkal bahala....."
"Apa maksudmu pangkal bahala?" tanya Kertopati.
"Saya malu menceritakannya Raden....."
"Jika kau menyembunyikan sesuatu dengan sengaja, kau akan masuk penjara nek!"
Juru masak tua itu jadi tambah kecut. Dengan mulut terkempot-kempot dia berkata
"Sehabis makan sepotong daging ayam kecil itu, kami merasakan tubuh masingmasing jadi panas. Hawa aneh menggerayangi kami. Darah kami seperti bergejolak.
Kami diselimuti nafsu dan....dan....dan kami lalu melakukan hubungan badan sampai
pagi. Padahal itu tak pernah dan tak sanggup kami lakukan sejak sepuluh tahun
terakhir....."
Sehabis berkata begitu nenek juru masak ini menutup mukanya dengan dua telapak
tangan. Wiro menahan cekikikan. Kertopati dan Haryo Unggul tesenyum-senyum
sedang Ni Luh Tua Klungkung tampak merah wajahnya.
Tiba-tiba terdengar suara si nenek menangis.
"Eh, apa-apa ini. Kenapa kau menangis nek?" tanya Wiro.
"Kalau pencurian secuil ayam itu merupakan kesalahan dan dosa terhadap Kerajaan,
saya bersedia dihukum. Tapi bagaimana suamiku..... bagaimana anak cucuku.....?"
Patih Haryo Unggul memegang bahu si nenek dan berkata "Tak ada yang akan
menghukummu. Kami hanya ingin tahu, apa cuma itu keanehan yang kalian temui
malam itu"'
"Ada keanehan lain....." yang menjawab nenek pelayan. Dia yang mengantarkan makam
malam itu ke kamar Raden Ajeng dan puterinya lalu pulang lebih dulu.
BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Bagus! Ceritakan apa itu!" ujar Kertopati pula.
"Malam itu.....setelah makanan siap, tiba-tiba Raden Mas Jayengrono masuk ke
dapur....."
"Saya ingat sekarang!" menyambung nenek juru masak. "Raden Mas Jayengrono bicara
sebentar lalu menyuruh saya pulang karena katanya tugas saya selesai. Saya
meninggalkan dapur tapi balik kembali karena selendang saya ketinggalan. Ketika
saya masuk ke dalam dapur lagi, saya lihat Raden Mas Jayengrono masih di situ.
Dia tengah menuangkan sesuatu ke dalam makanan untuk Raden Ajeng....."
"Bagaimana tahu kalau itu hidangan untuk Raden Ajeng?" tanya Kertopati.
"Karena makana untuk Raden Ayu Puji sudah dibawa pelayan lebih dulu. Dan Raden
Jayeng memang mengatur begitu....."
Kamar itu jadi sunyi senyap. Beberapa pasang mata saling pandang. Kertopati
mendekati Haryo Unggul dan berkata "Paman Patih, saya ingat keteranganpun
tentang penyelinap malam tadi yang telah membunuh dua inang pengasuh. Saya yakin
kau kini tahu siapa pelakunya!"
Patih Haryo Unggul mengangguk. Dari mulutnya meluncur kata-kata
"Memang keparat betul si Jayengrono itu. Sudah saatnya aku harus melaporkan
semua perbuatannya pada Sri Baginda. Tapi.... kalian berdua masih belum
menerangkan hubungan apa yang terjadi antara Raden Ajeng dan Panglima itu....."
"Biarlah saya yang menceritakan," akhirnya Raden Kertopati membuka mulut.
"Sekitar dua puluhan tahun lalu, tanpa setahu Sri Baginda, Raden Ajeng menjalin
hubungan dengan Jayengrono. Hubungan itu sampai menghasilkan dua orang anak.
Pertama Puji Lestari dan kedau Pangeran Anom, yang sampai saat ini masih lenyap
dan tak diketahui di mana beradanya....."
Patih Haryo Unggul seperti mendengar suara geledek.
"Ini bukan karangan atau fitnah Raden?"
"Terkutuk diriku jika memfitnah!" sahut Raden Kertopati pula.
Sang patih menjadi tegang luar biasa. Kedua tangannya terkepal tanda dia juga
sangat geram "Kini aku dapat menduga jelas. Bukan.....bukan menduga. Tapi memastikan!"
berkata Haryo Unggul dengan mata berkilat-kilat. "Manusia yang menyelinap malam
tadi ke gedung kediamanku ini dan membunuh dua inang di atas ranjang adalah
Panglima keparat itu!"
Wiro menyeringai. Sambil menggaruk kepala dia berkata "Aku yang tolol inipun
akan menduga begitu paman patih. Jayengrono ingin menghabiskan riwayat Raden
Ajeng karena takut rahasianya bocor. Sekaligus dia membunuh puterinya sendiri
karena mengira pasti sang ibu telah memberi tahu siapa adanya ayahnya
sebenarnya. Manusia gila! Tega membunuh darah dagingnya sendiri!"
Haryo Unggul bangkit dari kursinya.
"Aku akan menghadap raja saat ini juga......." Katanya.
Kata-kata Haryo Unggul terputus karena seorang perajurit berlari masuk dengan
wajah pucat. Merasa terganggu Patih itu langsung membentak marah.
"Ada apa kau seperti dikejar setan! Tidak dipanggil kenapa berani masuk"!"
"Maafkan saya Patih," jawab si perajurit sambil membungkuk dalam.
"Sesuatu telah terjadi. Raden Ajeng yang tadi baru saja siuman dan sempat makan
serta minum kedapatan bunuh diri. Dia membenturkan kepala ke dinding batu. Tak
seorangpun dapat mencegah. Begitu tiba-tiba dan tak terduga!"
"Gusti Allah!" seru Patih Haryo Unggul. Dan semua orang yang ada di ruangan itu
sama menghambur keluar.
BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Paman patih....." Raden Kertopati cepat berkata. "Saya harap paman tidak usah
menceritakan rahasia kehidupan Raden Ajeng yang gelap itu. Itu hanya akan
menambah kalut pikiran Sri Baginda dan sekaligus menimbulkan rasa bencinya
terhadap Raden Ayu Puji Lestari. Jika Sri Baginda sampai ketelepasan bicara dan
Raden Ayu mengetahui sebenarnya dirinya, bukan mustahil gadis itupun akan
mengikuti jejak ibunya. Bunuh diri!"
Patih Kerajaan itu termangu sesaat. Akhirnya dia berkata "Kalian tak usah
kawatir. Aku akan bertindak sebijaksana mungkin. Soal aib Raden Ajeng menjadi
rahasia kita bersama....."
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH Di dalam goa yang terletak di timur kaki gunung Merbabu itu Raden Jayengrono
menerima kedatangan orang kepercayaannya yang baru saja kembali dari Kotaraja.
"Kabar buruk untukmu Panglima. Kabar buruk bagi kita semua!" berkata orang
kepercayaan itu.
"Aku sudah menduga....." jawab sang Panglima seraya memandang ke luar goa di mana
sekitar tiga ratus perajurit yang dibawanya dari perbatasan, duduk bertebaran di
bawah kemah-kemah. "Katakan berita buruk apa yang kau bawa!"
Jayengrono mengusap wajahnya yang sudah hampir seminggu tidak dicukur. Tangan
kanannya bersitekan pada hulu Keris Kiyai Gajah Putih yang sengaja diselipkannya
di pinggang sebelah depan. Dengan memegang hulu senjata sekati itu dia merasakan
adanya sedikit ketenangan.
"Sri Baginda memerintahkan penangkapan Panglima. Siapa yang dapat menangkap
Panglima hidup atau mati akan mendapat hadiah seratus tail emas....."
Raden Mas Jayengrono sesaat terkesiap. Kemudian dia tertawa gelak-gelak.
"Kepala Jayengrono tidak semurah itu harganya!" katanya. "Hai, apa lagi yang kau
ketahui di Kotaraja?"
"Perintah penangkapan itu telah disebar keseluruh pelosok Kerajaan...."
"Lupakan dulu segala perintah gila itu. Apakah kau melihat Kertopati di
Kotaraja?" bertanya Jayengrono.
Orang kepercayaan itu mengangguk. "Bukan dia seorang Panglima.
Kawannya pemuda gondrong yang seperti berotak miring itu juga ada di Kotaraja
bersama pemuda berpakaian serba abu-abu!"
"Pendekar 212 Wiro Sableng...." Desis Jaengrono. Suaranya jelas terdengar agak
bergetar. "Berita paling hebat, Panglima. Raden Ajeng Siti Hinggil ditemukan mati bunuh
diri!" Tentu saja Jayengrono terkejut mendengar keterangan ini. namun dia tak mau
memperlihatkan perubahan air mukanya. Sambil mengusap janggutnya yang meranggas
kasar dia berkata perlahan "Kematian memang lebih baik bagi perempuan itu.... Ada
hal lain yang perlu kau sampaikan?"
"Yang satu ini saya tidak pasti Panglima. Saya merasa seperti ada yang menguntit
gerak gerik saya waktu kembali ke mari....."
Sepasang mata Jayengrono membeliak "Berarti kau berbuat tolol! Suruh menghadap
Perwira Kesatu sekarang juga!" bentak Jayengrono.


Wiro Sableng 033 Panglima Buronan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak lama kemudian orang yang disebut sebagai Perwira Kesatu ini muncul
menghadap. Dalam jajaran balatentara Kerajaan sebelumnya dia adalah perwira muda
yang dekat hubungannya dengan Jayengrono. Ketika dia ikut membelot bersama
atasannya itu, Jayengrono langsung mengangkatnya menjadi Perwira Kesatu.
Bersama dia masih ada dua wakil lagi yang masing-masing disebut Perwira Kedua
dan Perwira Ketiga.
"Siapkan pasukan! Kita harus segera berangkat ke lereng Sigumpil saat ini
juga...." "Ada perkembangan baru agaknya Panglima?"
"Ya. Kemungkinan besar orang-orang Kerajaan sudah mencium kedudukan kita di
sini." BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Saya akan siapkan pasukan. Saya usul kita bergerak menembus hutan Ronggowereng.
Lebih cepat dan sulit dijejak lawan....."
"Tak percuma kau kuangkat jadi wakil utamaku!" memuji Jayengrono. "Satu hal
lagi. Kapan tokoh silat bergelar Titisan Rahwono itu berjanji akan bergabung
bersama kita......?"
Sebelum Perwira Kesatu menjawab, terdengar angin bersiur dan orang bicara
"Aku sudah hadir di sini Panglima!"
Orang-orang yang ada di situ - termasuk Jayengrono - jadi terkesiap.
Berpaling ke kiri mereka sama melihat seorang lelaki bertubuh tinggi besar gemuk
dengan perut buncit. Dia hanya mengenakan sehelai celana hitam, bertelanjang
dada dengan kalung akar bahar yang besar pada lehernya. Dia memakai topi
berbentuk aneh. Wajahnya angker luar biasa. Sepasang mata besar merah, hidung
lebar ditambah cambang bawuk. Mulutnya selalu terbuka, memperlihatkan gigigiginya yang besar serta taring yang mencuat keluar.
Di pinggangnya dia membawa sebuah penggada hitam terbuat dari batu keras.
Inilah senjatanya. Penggada ini diikat dengan rotan kecil. Potongan tubuh serta
tampang orang ini memang mirip tokoh Rahwana dalam cerita pewayangan. Tanda dia
memiliki kepandaian tinggi dibuktikan dengan kehadirannya yang tiba-tiba tidak
diketahui oleh sekian ratus pasukan, bahkan tidak disadari oleh Jayengrono dan
pembantu-pembantunya.
"Ah, syukur kau sudah ada di sini, sahabat!" Jayengrono menunjuk kegembiraanya
sambil menepuk-nepuk bahu Rahwono yang gemuk gempal.
Yang ditepuk menyeringai. Ketika bicara nafasnya menebar hawa busuk yang tidak
sedap. "Sebelum kemari aku sudah menghubungi kawan-kawan kita di utara.
Mereka siap menyambut dan bergabung dengan kita di sebelah timur lereng
Sigumpil!"
"Bagus! Kita berangkat sekarang juga!" ujar Jayengrono.
Dengan cepat seluruh pasukan yang berjumlah sekitar tiga ratus orang itu
disiapkan, ketika mereka hampir hendak berangkat, dari arah barat tiba-tiba
terlihat pantulan-pantulan sinar yang menyilaukan menyambar. Sambaran ini
menerpa wajah Jayengrono beberapa kali, membuat Panglima buronan ini terkesiap,
berubah parasnya dan memandang ke arah kejauhan.
Di puncak sebuah bukti kecil yang tandus tanpa pepohonan sejarak tiga ratus
tombak dari tempat dia berada, Jayengrono melihat satu sosok berpakaian serba
putih tegak bertopang pada sepotong tongkat bambu kecil. Pada tangan kanannya
orang ini memegang sebuah benda yakni sebuah kaca bulat. Kaca ini digerakgerakannya berulang kali ke arah sinar matahari yang kemudian mengeluarkan
pantulan menyilaukan. Pantulan yang menyilaukan inilah yang menyambar wajah
Jayengrono. Dan agaknya memang sengaja ditujukan kepadanya.
"Rahwono," kata Jayengrono, "Kau dan yang lain-lainnya tunggu di sini. Aku akan
menemui orang di puncak bukit itu. Aku tidak akan lama...."
"Siapakah orang itu Panglima?" tanya Perwira Kesatu sementara Titisan Rahwono
hanya menyeringai dan seperti tidak acuh.
Jayengrono tidak menjawab. Setengah berlari dia menuju puncak bukit kecil.
Hatinya sangat tidak enak.
Sesaat kemudian Jayengrono sampai di hadapan orang di puncak bukit.
Ternyata dia adalah seorang kakek tua berwajah klimis. Bibirnya dihias kumis
putih melintir tetapi halus. Dia mengenakan celana dan selempang kain putih.
Kepalanya terbungkus kain putih. Walaupun wajah orang ini sama sekali tidak
seram, namun diam-diam Jayengrono merasakan ketakutan di hatinya.
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Di hadapan si orang tua Panglima buronan menjura hampir berlutut seraya menyebut
"Guru....."
Orang tua itu sesaat menatap Jayengrono mulai dari topi tingginya yang penuh
debu, pakaiannya yang bagus tapi kotor, sampai ke kakinya yang mengenakan kasut
kulit. "Jayeng, seharusnya tempatmu di Kotaraja. Mengapa kau berada di daerah terpencil
ini....." Orang tua itu tiba-tiba menegur dengan suara datar.
Jayengrono tak bisa menjawab.
"Agaknya Kotaraja tidak bersahabat lagi denganmu, Jayeng?"
Karena Jayengrono hanya menunduk dan tak bisa menjawab maka orang tua itu
kembali berkata "Baiklah Jayeng. Kau punya seribu alasan untuk tidak menjawab
pertanyaanku. Aku ingin menyelesaikan urusan ini secara cepat. Kembalikan Kiyai
Gajah Putih padaku!"
Kagetlah Panglima buronan itu hingga kepalanya tersentak mendongak.
"Guru.....apa maksudmu?" tanya Jayengrono.
"Kau tak perlu bertanya. Kau tahu apa maksudku. Jelas. Bahkan sangat jelas.
Aku meminta kau mengembalikan keris sakti itu!"
"Tapi, bukankah sudah guru berikan dan wariskan padaku?"
"Betul," sahut si orang tua. "Tapi dengan perjanjian. Bahwa kau tidak boleh
melanggar pantangan yang dulu kusebutkan! Jangan kau mengatakan tidak ingat,
atau lupa atau khilaf! Aku sangat benci dengan manusia-manusia yang mencari
seribu satu alasan untuk menyatakan dirinya benar!"
Jaengrono terdiam. Tenggorakannya turun naik.
"Aku, aku telah melanggar pantangan guru," berkata Jayengrono dengan suara
bergetar. "Aku telah berzina......"
"Kau bukan hanya berzina Jayeng! Tapi bahkan kau memperkosa! Dan orang yang kau
perkosa itu kemudian mati bunuh diri akibat penderitaan dan kehancuran harga
diri yang tidak dapat ditanggungnya lagi! Mana senjata itu"!" Si orang tua
ulurkan tangan kirinya.
"Guru, saya mohon ampunanmu. Saya berjanji, tidak. Saya bersumpah untuk tidak
melakukan hal itu lagi....."
Orang tua itu tersenyum tawar. "Janji dan sumpah itu cukup hanya satu kali.
Kalau dilanggar namanya bukan janji atau sumpah lagi! Waktuku tidak banyak. Aku
mendapat firasat bahwa daerah sekitar sini akan jadi medan pertumpahan darah.
Serahkan Kiyai Gajah Putih padaku! Atau haruskan aku mengambilnya sendiri......?"
"Guru, permintaanmu akan kupenuhi. Tapi bolehkah aku mengembalikannya nanti,
setelah urusanku selesai. Paling lambat dalam waktu tiga puluh hari ......"
Orang tua itu gelengkan kepala. "Aku minta sekarang dan harus dapat sekarang.
Aku tak ingin segala dosa dan kekejian melumuri senjata itu lebih banyak!"
Karena merasa terdesak, tak mungkin lagi membantah akhirnya Jayengrono berkata
"Baiklah guru. Kalau begitu keputusanmu, Kiyai Gajah Putih kukembalikan
padamu....." Lalu degnan sikap setengah berlutut Jayengrono menarik Keris Kyai
Gajah Putih dari pinggangnya dan mengulurkan kedua tangan untuk menyerahkan
senjata itu dengan sikap penuh khidmat. Tetapi baru setengah gerakan mengulurkan
tangan dibuat Jayengrono, tiba-tiba tangan kanan dan kiri membuat gerakan lain
dan secepat gerakan kilat!
Keris Kiyai Gajah Putih meluncur keluar dari sarungnya. Sinar putih menyilaukan
berkiblat. Ujung senjata itu menghujam ke arah dada orang tua berselempang kain
putih. BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Tenang sekali orang tua itu gerakkan tangan kanannya. Tongkat bambu kecil yang
dipegangnya mencuat ke atas untuk memukul pergelangan tangan Jayengrono.
Tapi lebih cepat dari itu, dari jurusan lain tiba-tiba menderu sebuah batu
berbentuk empat persegi panjang berwarna hitam. Batu ini menghantam tangan kanan
Jayengrono dengan keras hingga Panglima buronan ini terpekik kesakitan, lepaskan
keris sakti di tangannya. Senjata itu mental ke udara. Orang tua bepakaian putih
melompat. Tongkat bambunya dilemparkan ke arah keris. Begitu keris dan bambu
beradu, kedua benda itu saling bertempelan. Ketika bambu jatuh ke bawah dan
keris sakti yang menempel di situ segera diambilnya. Kini tinggal sarungnya yang
masih berada di tangan Jayengrono.
Bersamaan dengan melesatnya batu hitam tadi, menderu pula satu gelombang amgin
dahsyat sehingga baik Jayengrono maupun si orang tua berpakaian serba putih
sama-sama roboh ke tanah!
BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEBELAS Sambil memegang Keris Kiyai Gajah Putih tanpa sarung di tangan kanan orang itu
cepat berdiri tegak sementara Jayengrono bangkit agak sempoyongan.
Memandang berkeliling dua orang yang tegak di puncak bukit tandus itu dapatkan
tiga penunggang kuda mengelilingi mereka. Ketiga orang ini adalah Raden
Kertopati - Kepala Pasukan Kotaraja, Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ni Luh Tua
Klungkung yang masih tetap dengan samarannya sebagai pemuda berpakaian serba
kelabu. Wiro Sableng melompat dari kudanya, memungut batu hitam yang merupakan pasangan
Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi dilemparkannya untuk menghantam tangan
Jayengrono. Ketika Wiro menyelipkan batu hitam itu ke balik pinggangnya orang tua bepakaian
putih di samping kirinya terdengar berdehem beberapa kali
"Hemm.... Jadi itulah tadi pukulan Benteng Topan Melanda Semudera! Sudah lama
mendengar baru sekali ini melihat dan merasakan.....!"
Tentu saja Murid Eyang Sinto Gendeng kaget sekali ketika melihat kenyataan orang
tua tak dikenal itu mengetahui nama pukulan yang tadi dilepaskannya. Pemuda ini
hanya bisa menyeringai dan garuk-garuk kepala. Untuk pertanyakan siapa orang tua
itu sebenarnya dia merasa sungkan. Apalagi keadaan saat itu sama sekali tidak
tepat. "Raden Mas Jayengrono, kami datang menjalankan perintah Sri Baginda.
Menangkapmu dan membawamu ke Kotaraja!" Dari atas punggung kudanya Raden
Kertopati mengeluarkan suara lantang.
Jayengrono tertawa dingin.
"Rupanya kau mengharapkan seratus keping emas itu Kertopati. Hingga jauh-jauh
datang turun tangan sendiri, bukan membawa pasukan tapi mengajak gembel-gembel
ini!" Yang dimaksud Jayengrono dengan gembel-gembel itu tentu saja Wiro Sableng dan Ni
Luh Tua Klungkung. Gadis yang menyamar jadi pemuda ini menjadi marah sekali dan
siap melompati Jayengrono, tapi Wiro memberi isyarat agar tidak bertindak.
"Raden Mas, kau memiliki sederet dosa dan kesalahan yang harus kau pertanggung
jawabkan di hadapan Sri Baginda!" berkata Raden Kertopati tanpa mengacuhkan
ejekan orang. "Coba katakan apa dosa dan kesalahanku itu!" ujar Jayengrono seraya berkacak
pinggang. "Pertama, kau diketahui selama ini terlibat membantu kaum pemberontak.
Dan saat ini diketahui tengah hendak bergabung dengan mereka di bukit Sigumpil
dengan maksud merongrong dan menjatuhkan Kerajaan..... Kedua kau penyebab kematian
Raden Ajeng Siti Hinggil. Ketiga kau pula yang diketahui membunuh dua orang
inang pengasuh karena menduga mereka adalah Raden Ajeng dan puterinya.
Masih banyak lagi sederet dosa dan kesalahanmu yang kurasa tak perlu disebutkan.
Tapi ada satu kesalahan yang perlu kuungkapkan saat ini. Kau bersama Kala
Srenggi melakukan penghadangan dengan membuat perangkap lubang maut terhadapku!
Yang menyebabkan beberapa pengawalku menemui ajal termasuk seorang perwira
muda......!"
Jayengrono merasa geram mendengar kata-kata yang dilontarkan Kertopati itu.
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tuduhan tanpa bukti! Fitnah busuk! Raden Ajeng bunuh diri, apa sangkut pautnya
dengan diriku! Aku berada di sini dalam menjalankan tugas untuk menghancurkan
kaum pemberontak! Malah dituduh berhubungan dengan pemberontak! Fitnah! Kau
pandai memutar balikkan kenyataan Kertopati! Jika Raden Ajeng memang mau mampus,
ya mampus saja! Apa sangkut pautnya dengan diriku"!
Dan soal jebakan lubang maut yang kau katakan itu, lagi-lagi fitnah!"
Orang tua berpakaian putih maju dua langkah. Dengan gerakan kilat dia merampas
sarung keris Kiyai gaah Putih dari pegangan Jayengrono. Lalu orang tua ini
berkata "Jayengrono, ada pepatah tangan mencencang bahu memikul. Ada juga ujarujar siapa menggali lobang, dia bakal masuk ke dalamnya. Lalu masih ada lagi
siapa yang berbuat dosa dan kesalahan, dia yang akan menanggung. Nah, di hadapan
orang-orang utusan Kerajaan ini, pertanggung jawabkanlah semua perbuatanmu!"
Habis berkata begitu si orang tua putar tubuhnya dan tinggalkan tempat itu.
"Guru! Jangan pergi dulu.....!" seru Jayengrono. Dalam keadaan terjepit seperti
itu tentu saja dia sangat mengharapkan pertolongan gurunya. Tapi sang guru
melangkah terus dengan tegar, menolehpun tidak!
Terdengar suara tertawa mengekeh. Jayengrono berpaling dengan hati panas.
Yang tertawa adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Gurumu sendiri tidak perduli! Nah kepada siapa kau minta tolong sekarang
Panglima buronan"!"
"Gembel keparat! Kau juga seorang buronan dari penjara Kerajaan!" hardik
Jayengrono. Empat sosok tubuh berkelebat. Lalu tegak di kiri kanan Jayengrono. Yang sebelah
kanan adalah Titisan Rahwono, lalu yang lain-lain adalah Perwira Kesat, Perwira
Kedua dan Perwira Ketiga, para pembantu Jayengrono.
"Ada apa ribut-ribut di sini" Siapa mereka"!" Titisan Rahwono membentak sambil
memandangi orang-orang di hadapannya.
"Hemm.... Rupanya cakil satu ini ikut bergabung denganmu Raden Mas.....
kata Kertopati yang tetap menyebut bekas atasannya itu dengan panggilan gelar
kehormata. "Dia memang sejak lama dicari Kerajaan. Bagus! Sekali turun tangan
dua pentolan sesat bisa ditangkap....!"
"Kalian cecunguk-cecunguk hendak menangkap kami" Ladalah!" Titisan Rahwono
tertawa bergelak sambil usap-usap dadanya dengan tangan kiri sedang tangan kanan
mengusap kepala gada batu di pinggang. "Kalau bermimpi, bemimpilah yang enakenak! Jangan mimpi mita mampus! Kotaraja jauh dari sini! Siapa yang menggotong
bangkai kalian ke sana....?" Kembali Titisan Rahwono bergelak. Suara gelaknya
ditimpali oleh suara gelak yang lebih keras. Demikian kerasnya hingga Titisan
Rahwono dan yang lain-lainnya meraskan jalan darah mereka seperti tersentaksentak dan dada berdebar-debar. Yang tertawa ini siapa lagi kalau bukan Pendekar
212 Wiro Sableng. Dan untuk itu dia mengerahkan tenaga dalamnya lebih dari
separuhnya! "Cakil berperut kembung ini memang lucu tampang dan lucu bicara! Raden
Kertopati, jika dia nanti kita tangkap sebaiknya dijadikan badut saja untuk
menghibur keluarga istana!"
"Bangsat rendah bermulut haram jadah!" teriak Titisan Rahwono lalu cabut gada
batunya dari lilitan rotan di pinggang.
Jayengrono yang melihat kesempatan segera berkata "Kalian hadapi antek-antek
Kerajaan ini! Aku mau tahu sampai di mana besar mulut mereka!"
Ketika Titisan Rahwono dan tiga Perwira bergerak mengurung, Jayengrono
pergunakan kesempatan untuk berbalik dan lari menuruni lereng bukit ke arah
BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
pasukan yang menunggu. Melihat ini Raden Kertopati segera mengejar. Karena dia
menunggang kuda maka sesaat saja Kertopati berhasil mengejar. Dari atas punggung
kuda Kertopati melompati bekas atasannya itu hingga keduanya jatuh bergulingan


Wiro Sableng 033 Panglima Buronan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di sepanjang lereng bukit. Perkelahian antara mereka tak dapat dihindari lagi.
Dari arah bukit, ratusan perajurit yang melihat kejadian itu segera menyerbu ke
atas. Di atas bukit kini tinggal Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ni Luh Tua Klungkung
berdua menghadapi Titisan Rahwono beserta tiga Perwira.
Tiga Perwira yang membelot itu sebelumnya sudah mengetahui kehebatan Pendekar
212 Wiro Sableng. Karenanya mereka biarkan saja Titisan Rahwono menghadapi
pendekar berambut gondrong itu sementara mereka memilih lebih baik mengeroyok
pemuda baju kelabu yang mereka anggap lebih empuk dijadikan lawan!
Tapi ketiganya segera kena batu. Begitu mereka bergerak menyerbu, pemuda
berpakaian kelabu itu segera mengahantam dengan pukulan membelah. Kedua telapak
tangan dirapatkan, jari disusun dan dinaikkan menyentuh kening. Ketika kedua
tangan itu dipecah dan dihantamkan ke bawah, tiga Perwira yang menyerang
merasakan seperti ditarik ke kiri dan ke kanan. Ketiganya terbanting ke tanah.
Satu tak bangun lagi, dua tegak dengan sempoyongan. Satu di antaranya merasakan
dadanya mendenyut sakit tapi bersama kawannya berlaku nekad menyerbu kembali.
Perkelahian dua lawan satu berlangsung hanya dua jurus. Memasuki jurus ketiga
salah satu dari mereka mencelat dimakan tendangan kaki kanan Ni Luh Tua
Klungkung. Kawannya segera cabut sebilah golok pendek. Dengan senjata ini dia
menyerbu pemuda berbaju kelabu itu. Setelah menggempur habis-habisan selama tiga
jurus akhirnya goloknya terlepas mental dari tangan dan di saat yang sama
jotosan tangan kiri menerobos ulu hatinya. Perwira terakhir ini terlempar
semburkan darah segar dan tak bangkit lagi!
BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA BELAS Meskipun bertubuh gemuk besar dan buncit namun Titisan Rahwono memiliki
kegesitan luar biasa. Tubuhnya berkelebat cepat kian kemari. Gada batunya
menderu-deru pulang balik mengeluarkan suara angker. Hanya sayang dia tidak tahu
tengah berhadapan dengan siapa sebenarnya.
Setelah menggempur lima jurus terus menerus tanpa mampu menyentuh apalagi
merobohkan lawannya, Titisan Rahwono keluarkan pekik aneh. Gerakan ilmu silatnya
tiba-tiba berubah. Dan satu hal yang luar biasa terjadi. Wiro melihat lawannya
itu berubah bentuk. Kepalanya jadi dua dan tangannya jadi empat!
"Gila! Ilmu iblis apa ini!" memaki Wiro dalam hati. Baru saja dia memaki begitu
empat tangan melabrak ke arah tubuhnya. Dua merupakan pukulan gada hitam, dua
lagi cengkeraman ganas!
"Edan!" teriak murid Sinto Gendeng dan ceapt melompat mundur seraya hantamkan
tangna kanan lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah! Tapi sungguh luar biasa!
Pukulan sakti yang disertai aliran tenaga dalam tinggi itu seperti menembus
dinding angin, sama sekali tidak berbekas dan lewat begitu saja di tubuh lawan!
"Cakil ini memiliki ilmu siluman rupanya!" desis Wiro geram. "Aku mau lihat
apakah dia mampu menghadapi ini!" Lalu Wiro keluarkan Kapak Naga Geni 212 dan
batu hitam empat persegi yang tersisip di pinggangnya. Selagi lawan merangsak
coba menghampirinya, Wiro gosokkan batu hitam ke mata kapak sambil mulutnya
merapal mantera.
Buuuuusssss! Lidah api mencuat antara mata kapak dan batu hitam.
Titisan Rahwono menjerit setinggi langit. Kepalanya yang tadi tampak dua kini
kembali satu. Tangannya yang tadi terlihat empat kini kembali dua. Sekujur wajah
dan tubuhnya tampak hangus melepuh. Dia menjerit keras. Jatuhkan diri dan
bergulingan di tanah. Tubuh tak bernyawa itu baru berhenti ketika terganjal oleh
semak belukar pendek di lereng bukit.
Pendekar 212 Wiro Sableng balikkan tubuh ketika mendengar suara riuh ratusan
perajurit menaiki bukit dan mengurung Kertopati yang berkelahi mati-matian
menghadapi Jayengrono.
Sebagai Panglima Balatentara Kerajaan tentu saja Jayengrono memiliki kepandaian
silat, kesaktian dan tenaga dalam yang jauh lebih tinggi dari Kertopati.
Karenanya setelah bertahan lebih dari dua puluh jurus, pukulan-pukulan tangna
kosong lawan mulai membuat Kertopati terdesak hebat. Salah satu matanya tampak
matang biru dilanda jotosan, membuat penglihatannya terganggu. Dadanya seperti
melesak disambar ujung kaki lawan. Ketika sekali lagi satu jotosan mendarat di
lambungnya tak ampun lagi Kertopati tersungkur ke tanah, megap-megap berusaha
bangun tapi tak sanggup. Ratusan perajurit yang tunduk pada Jayengrono berteriak
riuh rendah. "Cincang Kepala Pasukan itu!" teriak Jayengrono. Maka laksana air bah ratusan
perajurit melompat ke depan dengan berbagai senjata. Mulai dari tombak sampai
pedang. Mulai dari golok sampai kelewang. Ajal Raden Kertopati agaknya tidak
tertolong lagi!
Dari atas bukit dua sosok tubuh lari laksana terbang.
BASTIAN TITO 42 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Yag di sebelah depan membentak menggelegar tanda dia kerahkan seluruh tenaga
dalamnya. "Tahan! Siapa berani mendekati Kepala Pasukan itu berarti minta mampus!"
Meski mendengar jelas peringatan itu, namun ratusan perajurit yang berpikiran
dangkal itu mana mau mengerti. Mereka tetap menyerbu untuk mencincang lumat
tubuh Raden Kertopati.
Wiro garuk kepalanya.
"Tak ada jalan lain sahabat!" bisik Ni Luh Tua Klungkung. Dia melihat saat itu
tangan kanan Wiro sudah berubah menjadi putih keperak-perakan dan membersitkan
sinar berkilauan penuh angker. "Hantam!"
Maka Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke arah kelompok
perajurit yang paling dekat mengancam keselamatan Raden Kertopati.
"Pukulan Sinar Matahari!" teriak Jayengrono. "Lekas menghindar!"
Tapi terlambat. Sinar putih menyilaukan disertai hawa panas luar biasa berkiblat
seperti hendak membelah bumi. Puluhan perajurit yang tadi nekad akan mencincang
Kertopati mencelat mental. Enam belas meregang nyawa seketika. Dua belas lainnya
tergelimpang pngsang degnan tubuh penuh luka bakar! Jerit dan erangan bercampur
jadi satu dengan debu tanah bukit yang beterbangan ke udara.
Ketika debu turun perlahan-lahan suasana di lereng bukit itu sehening di
pekuburan. Tak seorangpun berani bergerak.
"Panglima keparat! Kau mau lari ke mana"!" terdengar teriakan Ni Luh Tua
Klungkung. "Kejar dia! Jangan sampai lolos!" terdengar suara Kertopati. Suaranya lemah
sekali dan saat iu dia duduk menjelepok di tanah.
Wiro bertindak cepat ketika dilihatnya Jayengrono melarikan diri ke arah rimba
belantara di lereng bukit sebelah kanan. Meskipun Jayengrono tidak memiliki ilmu
lari sehebat yang dipunyai Wiro Sableng, tapi karena jarak mereka saat itu
terpisah jauh bekas Panglima itu berhasil mencapai hutan dan menyelinap lenyap
ketika Wiro baru sampai di tepi hutan.
"Sialan! Kemanapun kau lari akan kukejar!" kertak Wiro.
Di dalam hutan yang cukup lebar itu Wiro mengejar sambil memasang telinga.
Memang ketajaman pendengaran satu-satunya yang sangat membantu di daerah seperti
ini di mana mata sulit tembus memandang. Setelah lari dan memasuki rimba
belantara cukup lama dan masih belum mengetahui ke jurusan mana Jayengrono
melarikan diri, Wiro jadi penasaran. Dia memanjat ke atas pohon dan
memperhatikan keadaan di bawahnya. Tak ada gerakan, tak terdengar apa-apa. Tak
tampak Jayengrono, Wiro bergayut ke pohon lain, pindah lagi ke beberapa pohon
lainnya sampai akhirnya telinganya mendengar suara tarikan napas di bawahnya.
Memandang ke bawah ternyata dilihatnya orang yang dikejarnya duduk di atas
cabang pohon yang sama, dua cabang di sebelah bawah. Jayengrono memandang
berkeliling. Dia merasa lega karena tak terlihat tanda-tanda pengejarnya berada
di sekitar situ. Lalu memutuskan untuk mendekam terus di cabang pohon. Dia sama
sekali tidak tahu kalau Wiro sudah ada di atasnya.
"Manusia satu ini pantas dimandikan dulu sebelum kutangkap!" kata Wiro dalam
hati. Dari tadi memang dia sudah tidak tahan oleh rasa yang terus menerus
menekan bagian bawah tubuhnya. Celana putihnya diperosotkan ke bawah. Sesaat
kemudian mengucurlah cairan putih kekuningan, jatuh ke bawah dan mendarat di
atas kepala Jayengrono.
Tentu saja kagetnya Jayengrono bukan kepalang ketika merasa ada air hangat dan
agak bau mengucur membasahi kepalanya. Dirabanya rambutnya sesaat, lalu dia
BASTIAN TITO 43 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
mendongak. Justru ini membuat air mancur itu menghantam mukanya! Sebagian
menyiram matanya, sebagian lagi ada yang masuk ke dalam mulutnya!
"Setan!" runtuk Jayengrono ketika melihat sosok tubuh yang ada dua cabang di
atasnya. Dia menghantam dengan pukulan tangan kosong. Dua cabang di sebelah atas
patah berantakan. Angin pukulannya terus menyambar ke arah Wiro.
Murid Sinto Gendeng keluarkan suara bersiul. Tanpa sempat menarik kembali
celananya dia balas menghantam ke bawah. Kali ini dengan pukulan Angin Puyuh.
Hutan itu seperti dilanda punting beliung. Pohon besar di mana Wiro dan
Jayengrono berada bergoyang-goyang seolah-olah hendak tercabut dari akarnya.
Ranting dan daun-daun gugur meranggas.
Jayengrono merasakan tekanan hebat. Bukan saja karena pukulan yang dilepaskan
Wiro tapi karena angin pukulannya tadi ikut terseret dan balik menghantam
dirinya sendiri. Dia coba menggapai berpegangan pada batang pohon.
Tapi meleset kaena batang pohon itu licin tertutup lumut. Tak ampun tubuhnya
mental ke bawah bersama patahan cabang yang tadi didudukinya. Dia coba andalkan
ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya dan jungkir balik di udara agar dapat
turun ke tanah dengan kedua kaki lebih dahulu. Tapi terpaan angin pukulan yang
datang dari atas membuat tubuhnya limbung. Gerakannya tidak karuan. Dia sampai
di tanah dengan kepala lebih dahulu.
Bekas Panglima Kerajaan ini mati dengan kepala pecah dan leher patah. Wir garuk
kepala, melompat dan turun ke bawah lewat patahan cabang-cabang pohon.
Kembali dia garuk-garuk kepala ketika melihat mayat Jayengrono.
Seseorang menyeruak pohon berdaun lebar di belakangnya. Wiro cepat berbalik.
Yang datang ternyata Ni Luh Tua Klungkung.
"Mampus juga akhirnya!" kata Wiro sambil menunjuk ke arah mayat Jayengrono.
Gadis yang menyamar jadi pemuda itu sesaat memandang ke mayat Jayengrono, ketika
dia berpaling ke arah Wiro, tiba-tiba saja dia membalikkan tubuh.
"Eh, kenapa kau......sahabat"!" tanya Wiro heran.
"Orang gila!"
"Gila! Siapa yang gila?" Wiro terheran-heran.
"Rapikan dulu celanamu!" teriak sang dara.
Wiro memandang ke bawah. Astaga! Ternyata sehabis mengencingi Jayengrono dari
atas pohon tadi, dia masih belum membereskan celananya. Cepat-cepat pemuda ini
tarik celana putihnya ke atas sambil menyengir!
Ruangan besar tempat pertemuan dalam istana itu penuh sesak oleh orang banyak
yang ingin mendengarkan beberapa keputusan yang telah diambil oleh Sri Baginda.
Di antara tokoh Kerajaan tampak pula duduk Pendekar 212 Wiro Sableng bersama
sahabatnya Ni Luh Tua Klungkung. Mereka sengaja mengambil tempat duduk agak
sebelah belakang.
Patih Haryo Unggul baru saja selesai membacakan keputusan raja atas pengangkatan
Raden Kertopati menjadi Panglima Pasukan Kerajaan yang baru. Untuk itu
gelarnyapun dirubah dari hanya Raden menjadi Raden Mas.
Selesai pembacaan pengumuman pengangkatan Kertopati menjadi Kepala Pasukan
Kerajaan yang baru itu maka Kertopati naik ke mimbar untuk membacakan pula
keputusan raja mengenai pengangkatan Kepala Pasukan Kotaraja yang baru.
Dalam surat keputusan itu disebutkan bahwa sesuai degnan jasa-jasanya yang
sangat besar dan cukup banyak maka Pendekar 212 Wiro Sableng diangkat menjadi
BASTIAN TITO 44 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kepala Pasukan Kotaraja sedang pemuda sahabatnya yang sampai hari ini tida
diketahui pasti siapa namanya dijadikan Wakil Kepala Pasukan Kotaraja merangkap
pembantu khusus Kepala Pasukan Kerajaan.
"Untuk itu kami harapkan kedua tokoh Kerajaan yang baru itu naik ke mimbar!"
begitu Raden Mas Kertopati menutup pembacaan keputusan raja.
Semua orang berpaling ke deretan kursi sebelah belakang di mana Wiro Sableng dan
sahabatnya itu tadi tampak duduk. Dan terjadilah kehebohan. Kedua orang itu tak
lagi di sana. Beberapa orang mengejar ke luar ruangan, sampai ke langkan dan
halaman istana. Tapi dua pemuda itu raib tanpa seorangpun tahu ke mana perginya!
TAMAT BASTIAN TITO 45 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 13 Pendekar Slebor 67 Rahasia Sebelas Jari Tiga Maha Besar 8

Cari Blog Ini