Wiro Sableng 047 Pembalasan Ratu Laut Utara Bagian 1
PENDEKAR 212 WIRO SABLENG
EPISODE PEMBALASAN RATU LAUT UTARA
BAB I DJAROT Pangestu mandi sepuas hatinya di bawah pancuran. Kedua tangannya sibuk
menggosok daki tebal yang menyelimuti sekujur muka dan wajahnya yang bertampang
menyeramkan oleh sebuah cacat guratan bekas luka yang dalam melintang, mulai
dari mata kiri turun ke bawah dekat hidung sampai bibir.
Seorang lelaki tua terbungkuk-bungkuk mendatangi membawa sebuah sarung lusuh. "
Selamat bagimu Djarot! " kata orang tua itu keras-keras agar dapat meningkahi
suara air pancuran yang deras.
Djarot Pangestu berpaling sedikit lalu berkata datar. " Selamat untuk apa!" "
" Bukankah siang ini kau akan keluar dari penjara" Menjadi manusia bebas
kembali"! "
Djarot Pangestu menyemburkan air dari mulutnya, mengusap wajahnya yang penuh
berewok dan kumis liar, lalu berkata. " Dua puluh tahun jadi bangkai hidup
mendekam di penjara celaka ini ketika akhirnya dibebaskan, apakah itu satu hal
yang menggembirakan"! "
Si orang tua bungkuk melemparkan kain sarung bututnya ke atas batu. Dia
memandang ke arah kedua kaki Djarot Pangestu di mana seuntai rantai besi yang
berat mengikat pergelangan kaki kiri dan kanan lelaki itu satu sama lain. Dua
puluh tahun menjadi budak penjara. Duapuluh tahun pula rantai besi itu telah
menggantuli sepasang kaki Djarot pangestu.
" Bagaimanapun di luar sana adalah jauh lebih baik daripada di dalam sini. Kau
bisa merasa jadi manusia kembali. Dibandingkan dengan diriku, pembunuh dan
pemerkosa! Seumur hidup sampai mati aku akan tetap mendekam di sini!" Orang tua
itu menarik nafas panjang.
Tidak seperti Djarot, kedua kakinya tidak dirantai. Namun itu bukan berarti dia
mempunyai kesempatan untuk lari. Sejak sepuluh tahun lalu, ketika badannya
semakin rapuh, rantai seperti itu ditanggalkan dari kedua kakinya. Dan dengan
tubuh serapuh itu mana sanggup dia melarikan diri. Hasrat untuk lari pun sudah
tenggelam bersama keuzuran usianya. Lagi pula apa yang diharapkannya di
luarsana" Lain dengan Djarot yang saat itu baru mencapai usia sekitar 45 tahun.
Setelah membuka bajunya, dengan celana kolor orang tua ini tegak disamping
Djarot di bawah pancuran. Tubuhnya langsung menggigil oleh air gunung yang
dingin itu. Di sela deru air pancuran orang tua itu berkata lagi. " Kau akan bertemu dengan
istrimu kembali.
Kau akan bahagia Djarot..."
Page 1 " Setelah duapuluh tahun berpisah, tak ada kabar tak ada berita, apa kau kira
perempuan itu masih menungguku" Aku tak akan pulang ke rumah istriku. Percuma
saja! Perempuan itu tak akan ada di situ. Kalaupun ada, dia pasti sudah kawin
lagi! Selama aku di sini, tidak satu kali pun dia menjengukku! Istri macam apa
itu! " " Lalu apa yang akan kau lakukan begitu keluar dari penjara kerajaan ini,
Djarot"! "
" Bapak tua, aku pernah menceritakan riwayat sampai aku dijebloskan ke tempat
ini! Nah kau bisa menerka apa yang akan kulakukan! "
" Mencari Menak Srenggi, Adipati Ambarawa itu"! "
" Apa lagi kalau bukan itu pak tua! "
" Ah, dia mungkin sudah meninggal. Kalaupun masih hidup usianya paling tidak
sudah mencapai tujuh puluh tahun. "
" Hidup atau mati aku tetap mencari bangsat itu. Aku memang manusia keparat di
masa muda. Jadi kepala rampok, raja penyamun dan pimpinan bajak! Tapi aku tidak pernah
membuat urusan dengan kerajaan! Aku tidak pernah memberontak! Dan si Menak
Srenggi jahanam itu telah memfitnahku sebagai gembong pemberontak! Membuat cacat
wajahku dan mengirim aku ke penjara ini untuk hidup bersama tikus tikus dan
kecoak selama duapuluh tahun! "
Djarot Pangestu keluarkan suara mendengus, lalu kembali terdengar suaranya
meradang. " Menak Srenggi, aku tahu kau bukan manusia baik-baik. Hanya pangkatmu
sebagai Adipati yang memberikan kekuasaan padamu untuk bertindak seenak utilmu!
Tapi tunggulah, utilmu itu, perutmu itu akan kubedol sampai ususmu berbusaian!
Kepalamu akan kugorok! "
" Tapi kalau dia memang sudah mati, apanya yang akan kau bedol" Usus mananya
yang akan kau busai, Djarot"! " tanya si bapak tua.
" Kalaupun dia sudah jadi tanah, tentu istri atau anak cucunya masih hidup!
Mereka cukup pantas untuk tempatku membalaskan dendam kesumat! "
" Ah, aku rasa itu pekerjaan salah Djarot! Kalau orang yang kau anggap sebagai
musuh besarmu sudah tidak ada, mengapa anak istri bahkan cucunya yang tidak
berdosa jadi ajang pembalasan dendammu" Lebih baik kau melupakan masa lalumu.
Kau masih muda dan bisa memulai hidup baru kembali! "
Djarot Pangestu tertawa gelak-gelak. " Bapak tua... bapak tua. Kau tahu apa
tentang hidup baru!
Hidupku sudah sejak lama terkubur. Sejak duapuluh tahun lalu! Kalaupun aku masih
hidup, maka hidup baru yang kau maksudkan itu adalah hidup penuh darah dan
nyawa! " Terdengar suara bergemerincing rantai berat ketika Djarot menggerakkan kedua
kakinya dan melangkah turun dari batu datar di bawah air pancuran.
BAB II DESA Kaliwungu merupakan desa berhawa sejuk. Kebanyakan penduduknya hidup dari
bercocok Page 2
tanam. Sebagian besar sawah ladang yang ada di desa itu adalah milik Menak
Srenggi, bekas Adipati Ambarawa yang kini berusia hampir tujuh puluh tahun.
Meskipun sudah lanjut usia begitu Menak Srenggi masih kelihatan gagah dan kukuh.
Tubuhnya yang tinggi tidak kelihatan bungkuk walaupun kalau berjalan dia selalu
dibantu oleh sebuah tongkat berhulu gading putih kekuningan. Rambut dan kumisnya
telah memutih seperti kapas.
Di samping rumah kayu besar kediaman Menak Srenggi, terdapat sebuah halaman luas
di mana anak-anak tetangga sering bermain-main di tempat itu. Pagi itu enam anak
perempuan rata-rata berusia sepuluh tahun tampak bermain galah asin . Suara
pekik tawa mereka terdengar sampai jauh.
Seorang penumpang kuda berpakaian seperti seragam pasukan kraton muncul dari
arah timur. Di pinggang kirinya dia membekal sebatang golok. Di hadapan rumah
besar dia berhenti sejenak. Lalu membawa kudanya mendekati anak-anak perempuan
yang sedang bermain.
" Anak-anak! " Orang itu berseru. Dia mengangkat tangan kirinya menunjuk ke arah
rumah besar. "
Apakah ini rumahnya Menak Srenggi bekas Adipati Ambarawa itu" "
Anak-anak yang tengah asyik bermain hentikan permainan mereka dan hendak
menjawab mengiyakan.
Namun ketika melihat wajah si penunggang kuda yang bertanya, semuanya jadi
tercekat ketakutan.Ada yang tertegun, ada yang melangkah mundur.
Orang di atas kuda itu memiliki wajah menyeramkan.Adaguratan bekas luka di pipi
kirinya, membelintang dari mata kiri sampai ke atas bibir. Mata kirinya agak
mencuat dan berwarna merah.
Kumis serta cambang bawuknya meranggas liar, ditambah dengan rambutnya yang
panjang awut-awutan maka anak-anak itu melihatnya seperti melihat setan.
" Hai! Kalian tak perlu takut! Aku hanya bertanya benar ini rumah Menak Srenggi
yang dulu pernah jadi Adipati Ambarawa..." " Lalu orang itu melemparkan sekeping
uang ke tanah. " Ambil uang itu untuk membeli penganan dan bagi-bagi! " katanya.
Salah seorang dari enam anak perempuan itu memungut uang yang ada di tanah lalu
memberanikan diri menjawab. " Memang betul. Itu rumahnya kakek Srenggi. "
Seorang anak perempuan berambut hitam panjang tiba-tiba memotong ucapan kawannya
itu. " Kita tidak tahu siapa orang itu, mengapa kau lancang menjawab
pertanyaannya"! "
" Gadis cilik berambut hitam. Siapa kau" Apa masih ada sangkut paut dengan Menak
Srenggi" "
orang di atas kuda bertanya.
" Dia cucu kakek Srenggi! " Lagi-lagi yang menjawab adalah anak perempuan tadi
yang kini tegak sambil memegang kepingan uang.
" Kembali kau bertindak lancang, Muti! "
Anak yang disebut sebagai cucu Menak Srenggi tampak gelisah dan takut. Lebih
lebih ketika dilihatnya orang berwajah seram di atas kuda memandang tak berkedip
ke arahnya. " Hemm... anak ini termasuk salah satu yang harus kusingkirkan. Tapi dia bisa
kuselesaikan kemudian. Yang penting mencari jahanam Menak Srenggi itu dulu..."
membatin orang di atas kuda.
" Apakah kakekmu ada di rumah, anak manis" " tanyanya pada gadis cilik yang
dikatakan sebagai Page 3
cucu Menak Srenggi itu.
Si anak berambut panjang tidak menjawab.
Lagi-lagi temannya yang tadi malah yang membuka mulut. " Kakek Srenggi orang tua
yang baik. Kami sering bermain-main dengannya. Kami suka diberi gulali. Pagi-pagi begini
biasanya kakek Srenggi duduk di kursi goyang di serambi belakang rumah. Minum
kopi ditemani nenek..."
" Ah! Kau anak pandai. Teruskan permainanmu dengan kawan-kawan..." kata orang di
atas kuda. Dia mengerling sekilas pada cucu Menak Srenggi, lalu menyentakkan tali kekang
kuda dan bergerak menuju bagian depan rumah kayu. Cucu Menak Srenggi
memperhatikan orang itu beberapa lamanya.
Ketika orang yang diperhatikan turun dari kudanya gadis kecil ini mendengar
teman-temannya memanggil. Maka dia pun membalikkan tubuh dan bergabung kembali
dengan kawan-kawannya meneruskan permainan galah asin .
Setelah main beberapa lamanya, gadis kecil ini tiba-tiba saja merasa tidak enak.
Setiap saat terbayang kembali olehnya muka seram orang itu dan mengapa pagi-pagi
begitu mencari kakeknya" Akhirnya gadis kecil itu keluar dari kalangan permainan
dan lari ke bagian belakang rumah besar.
" Ayu! Kau curang! Sudah kalah mengapa lari" " seorang temannya berteriak
memanggil. Yang lain berseru: " Mau ke mana Ayu"! "
" Aku pulang dulu! Aku haus! Sebentar aku kembali lagi! " jawab Ayu Lestari,
seraya terus lari lalu masuk ke pekarangan belakang rumah lewat sebuah pintu
pagar dari bambu.
Begitu sepasang kaki kecil itu bertindak masuk ke dalam pekarangan
sejauhlimalangkah, langsung kaki-kaki itu berhenti laksana dipaku dan dari mulut
Ayu Lestari terdengar pekik keras!
" Kakek...!Nenek...Ibu!! "
BAB III DI serambi belakang rumah itu menggeletak tiga sosok tubuh. Dua di antaranya
saling tumpang tindih berangkulan. Yang pertama adalah kakek Ayu Lestari yaitu
Menak Srenggi. Orang tua ini menggeletak telentang dengan leher hampir putus
sementara darah masih mengucur dari luka menganga di lehernya itu.
Luka kedua mengoyak perutnya hingga tampak ususnya menyembul bergerak-gerak. Ayu
Lestari masih sempat mendengar kakeknya mengerang, lalu nyawanya putus. Orang
tua ini mati dengan mata melotot!
Membelintang di atas dada Menak Srenggi adalah seorang perempuan tua yang bukan
lain ialah istrinya.
Perempuan ini tampak melejang-lejangkan kaki kirinya beberapa kali. Tangan
kirinya merangkul tubuh si kakek seolah-olah berusaha melindunginya. Sesaat
kemudian nenek inipun lepas pula nyawanya. Dua bacokan, satu di punggung, satu
lagi di pangkal lehernya tampak menggidikkan.
Sosok tubuh ke tiga yang membuat Ayu Lestari menjerit keras adalah sosok tubuh
ibunya sendiri.
Perempuan separuh baya ini tersandar di terali serambi. Mukanya tertutup
gelimangan darah. Di dadanya tampak satu luka menganga.
" Gusti Allah...! Gusti Allah...! " terdengar perempuan ini menyebut nama Tuhannya
beberapa kali. Lalu lehernya terkulai ke kiri. Nyawanya melayang.
Page 4 Ayu Lestari kembali menjerit dan melompat langsung menubruk ibunya. Dia tidak
memperhatikan lagi bagaimana muka, tubuh dan pakaiannya jadi berselomotan darah.
Sama sekali tak ada rasa takut dalam diri anak ini. Dia memeluk mayat ibunya,
menangis dan menjerit keras-keras.
" Ha... ha...! Ini dia! Cucu keparat Menak Srenggi ini pun harus kusingkirkan!
Biar tuntas semua dendamku! " Terdengar suara mendengus lalu langkah-langkah
kaki mendatangi. Ayu Lestari lepaskan rangkulan pada tubuh ibunya dan berpaling.
Beberapa langkah di sebelah kirinya tegak lelaki berwajah setan itu. Orang yang
tadi datang menunggang kuda dan menanyakan padanya serta kawan-kawan mengenai
kakeknya. Pakaiannya yang seragam pasukan keraton itu penuh percikan darah.
Darah juga tampak menempel pada mukanya hingga tampangnya jadi tambah
mengerikan. Di tangan kanannya ada sebilah golok yang masih basah dan merah oleh
darah! Si muka setan ini menyeringai. Rahangnya terdengar bergemeletukan.
" Pembunuh! Orang jahat pembunuh! " teriak Ayu Lestari. Gadis cilik sepuluh
tahun ini melompat dan melangkah mundur menuju tangga serambi.
" He...eee! Kowe mau lari ke mana monyet kecil! " kata si muka setan. Kaki
kanannya bergerak menendang. Duk! Tubuh Menak Srenggi mencelat ke arah Ayu
Lestari. Anak ini terpekik lalu menghambur ke arah tangga dan lari ke halaman,
tepat pada saat golok besar di tangan orang itu membabat dan lewat hanya seujung
jari di atas kepalanya!
" Setan alas! Kau kira bisa kabur ke mana huh"! " Orang itu mengejar. Untung
bagi Ayu, orang yang hendak mengejar tergelincir kakinya ketika menginjak
genangan darah di lantai. Tubuhnya tersungkur di tangga serambi. Tapi dia segera
bangkit, melompati pagar rendah halaman belakang lalu meneruskan mengejar Ayu!
" Pembunuh! Pembunuh! " teriak Ayu Lestari tiada henti sambil berlari ke arah
lapangan di mana kawan-kawannya masih bermain galah asin . Kelima gadis cilik
itu tentu saja terkejut mendengar pekik Ayu. Dan lebih terkejut lagi sewaktu
melihat kawan mereka itu berlari ketakutan. Baju, tangan dan wajahnya
bercelemongan darah. Di belakangnya ada seorang lelaki mengejar dengan golok di
tangan. " Pembunuh! Orang jahat itu membunuh kakek nenek! Membunuh ibuku! Kawan kawan...
Tolong! " teriak Ayu Lestari.
Tapi mana mungkinlimagadis cilik itu memberikan pertolongan. Mereka malah ikut
menjerit ketakutan lalu lari berserabutan. Dalam takut dan bingung, salah
seorang di antara mereka malah lari ke arah orang yang memegang golok. Keduanya
saling bertabrakan.
" Setan alas! " Si muka setan memaki marah. Anak yang jatuh akibat tabrakan itu
langsung ditendangnya di bagian dada hingga mencelat jauh. Tulang iganya patah
berantakan, jantungnya berhenti berdenyut.
Anak ini meregang nyawa dengan darah mengucur dari mulutnya!
Empat gadis kecil lainnya sudah lari jauh ke ujung lapangan sementara Ayu
Lestari merasakan kedua kakinya seperti kejang karena ketakutan yang amat
sangat. Orang berewokan yang mengejarnya tambah dekat. Akhirnya anak ini tak
sanggup lagi berlari. Ayu jatuh terjerembab di tanah. Dan saat itu si pengejar
sampai di tempat itu, langsung menjambak rambut Ayu Lestari. Tangan kanannya
yang memegang golok membabat ke arah pinggang.
Ayu Lestari menjerit. Anak ini sudah lebih dulu pingsan sebelum golok menghantam
tubuhnya! Page 5 Di saat itu tiba-tiba ada deru cahaya kekuningan berkelebat. Menyusul suara
trang! Golok besar di tangan si muka setan terpental ke atas, hampir lepas dari
tangannya. Salah satu bagiannya yang tajam gompal besar. Di saat yang bersamaan
pula orang ini merasakan tubuhnya didorong keras hingga dia hampir terjengkang
ke tanah. Tangan kirinya yang menjambak rambut Ayu Lestari terkembang dan gadis
kecil itu lepas dari cengkeramannya!
" Bangsat kurang ajar! Siapa yang minta mampus berani menghalangiku membunuh
bocah itu! "
teriak si muka setan marah sekali. Goloknya diputar sebat.
" Wut... wut... wut...! " Dia membabat tiga kali berturut-turut, tapi hanya menghantam
angin! BAB IV " HARAM jadah! " si muka setan kembali memaki. Ketika dia hendak menghantamkan
goloknya sekali lagi, gerakannya tertahan. Kedua matanya memandang melotot ke
depan. Enam langkah di hadapannya berdiri seorang nenek keriput tapi bersih dan
kelimis. Nenek ini mendukung gadis cilik yang hendak dibunuhnya itu di tangan
kiri sedang tangan kanan memegang sebatang pipa bulat terbuat dari besi
kuningan. Inilah rupanya senjata si nenek yang tadi sempat menggebuk golok
besarnya. Pada ujung sebelah atas, pipa kuningan itu berkeluk membentuk
Wiro Sableng 047 Pembalasan Ratu Laut Utara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lingkaran besar sedikit dari kepala manusia.
Nenek itu mengenakan kebaya panjang berwarna putih. Kainnya juga terbuat dari
kain putih. Rambutnya yang putih disanggul rapi ke belakang. Di lehernya ada seuntai kalung
yang terbuat dari untaian bunga melati. Bunga ini menebar bau harum semerbak ke
mana-mana. " Nenek edan! Siapa kowe"! " bentak si muka setan.
Yang dibentak malah tersenyum sambil terus mendukung Ayu Lestari di bahu kirinya
yang saat itu masih berada dalam keadaan pingsan. Ketika tersenyum, meskipun
sudah begitu tua, ternyata si nenek masih memiliki barisan gigi-gigi yang utuh
dan putih berkilat seperti mutiara! Dia benar-benar seorang nenek cantik!
"Yang edan aku atau sampean..."!" si nenek membuka mulut sementara senyum masih
mengulum di bibirnya.
"Tua bangka sinting! Kau minta mampus!" teriak si muka setan.
"Djarot Pangestu! Djarot... Djarot...! Mana ada manusia yang sengaja minta mampus di
muka bumi ini. Aku sekali pun sudah tua renta begini, masih belum mau mati! Masih ingin panjang
umur dan hidup lama.
Hik... hik... hik...!"
Si muka setan yang memang Djarot Pangestu adanya jadi terkejut ketika mendengar
orang menyebut namanya.
"Nenek sinting! Siapa kau! Bagaimana bisa tahu namaku"!" teriak Djarot Pangestu
dengan keras. "Anak manusia, aku bukan cuma tahu namamu! Tapi juga tahu asal-usulmu! Baru saja
keluar dari Page 6
penjara sudah berani dan tega-teganya menebar maut! Iblis pun tidak sebiadabmu!
Apa dosa anak ini hingga kau hendak membunuhnya"!" Si nenek bertanya. Suaranya
mendadak keras. Senyumnya lenyap dan sepasang matanya memandang tajam-tajam ke
arah Djarot Pangestu hingga lelaki ini diam-diam merasa tergetar hatinya.
"Kalau kau tidak mau memberi tahu siapa dirimu, maka kau minta mampus secara
percuma! Aku akan membunuhmu bersama anak itu!"
Tangan kanan Djarot Pangestu bergerak. Golok besar menderu ganas ke arah leher
si nenek dan sekaligus juga leher Ayu Lestari!
Perempuan tua berpakaian serba putih itu sedikit pun tidak bergeser dari tempat
tegaknya. Dia mengangkat tangan kanannya yang memegang pipa kuningan, menyambut
kedatangan golok maut Djarot Pangestu.
"Trang!!!"
Terdengar suara pipa kuningan beradu keras dengan golok di tangan Djarot
Pangestu. Suara berdentrang itu disertai pula oleh suara mengalun panjang,
keluar dari lobang pipa kuningan sebelah bawah. Si nenek mendengar suara alunan
itu seperti alunan genta yang merdu, sebaliknya Djarot Pangestu seperti
mendengar suara dentuman yang meledak-ledak hingga kedua telinganya terasa
sakit! Selain rasa sakit mendenyut pada kedua liang telinganya. Djarot Pangestu juga
merasakan saling bentrokan senjata tadi telah membuat tangan kanannya seperti
kaku kesemutan!
Jengkel bercampur marah karena merasa si nenek mempermainkannya Djarot Pangestu
maju dua langkah lalu kembali dia menghantamkan goloknya. Kali ini senjata itu
dibabatkan ke arah pinggang si nenek. Ini cuma satu gerakkan tipuan karena
setengah jalan tiba-tiba arah golok berubah dan kini membacok ke arah punggung
Ayu Lestari. "Jurus kilat membalik di belakang awan!" Seru si nenek sambil tersenyum lalu
angkat pipa kuningnya.
Djarot Pangestu sampai batalkan serangan dan tersurut dua langkah saking
kagetnya ketika mendengar si nenek menyebut jurus ilmu golok yang barusan
dimainkannya. "Tua bangka sinting ini! Bagaimana dia bisa tahu jurus ilmu golokku!" ujar
Djarot dalam hati. "Siapa dia sebenarnya..." Jangan-jangan masih ada pertalian
darah dengan guruku dulu. Tapi... Aku tidak percaya!
Kalau tidak lekas dibereskan naga-naganya tua bangka ini bisa membuat aku
susah!" Didahului suara membentak Djarot Pangestu kembali menyerbu dengan goloknya. Kali
ini dia mengerahkan tenaga dalamnya penuh-penuh ke tangan kanan hingga golok
berdarah yang dipegangnya tampak bergetar keras dan mengeluarkan suara
berkesiuran ketika dibabatkan.
Dengan tenang si nenek berwajah bersih cantik mengangkat pipa besi kuningannya.
Gerakan tangannya tampak lemah dan perlahan saja. Tapi pipa kuningan itu tibatiba terlihat melesat seperti sebuah titiran dan,
"Trang!!Trang!!"
Golok berdarah di tangan Djarot Pangestu patah dua, mental ke udara. Pipa
kuningan kembali terdengar mengeluarkan suara seperti genta mengalun sedang di
telinga Djarot Pangestu seperti ada yang Page 7
menusuk-nusuk! Tangan kanannya laksana berubah jadi kayu, kaku tak bisa
digerakkan lagi!
Kini kecutlah nyali manusia ini. Dia benar-benar menyadari kalau si nenek tak
dikenal itu, yang melayaninya sambil mendukung anak kecil, dan tanpa
menggeserkan kedua kakinya sedikit pun, jelas-jelas adalah seorang berkepandaian
tinggi. Tanpa pikir panjang lagi Djarot Pangestu putar tubuhnya dan melompat ke arah
kudanya, siap untuk kabur. Namun baru dua langkah bergerak tahu-tahu ujung pipa
kuningan yang berbentuk bulat telah mengalung lehernya hingga dia tak bisa
bergerak lagi, kecuali kalau lehernya mau terbetot patah!
"Manusia kejam! Hatimu sejahat iblis! Tapi baru begitu sudah putus nyali dan
hendak melarikan diri.
Hik... hik... hik!" si nenek mengejek lalu tertawa cekikikan.
"Nenek edan! Lebih baik kau bunuh diriku saat ini juga! Jangan memberi malu
diriku lebih lama!" teriak Djarot Pangestu.
"Hik... hik! Tahu malu juga bergundal iblis ini!" mengejek lagi si nenek.
"Bunuh saja aku!" teriak Djarot Pangestu
"He... he... he...! Aku tidak akan membunuhmu saat ini Djarot Pangestu. Bakal ada yang
melakukannya di kemudian hari. Anak perempuan dalam dukunganku inilah yang kelak
akan memisahkan kepala dan badanmu..." kata si nenek pula.
"Tua bangka pengecut! Kau tak berani membunuhku! Pengecut!"
Si nenek tertawa panjang mendengar kata-kata Djarot Pangestu itu. Dia
menggerakkan pipa kuningannya yang menjerat leher Djarot. Mendadak sontak Djarot
merasakan tubuhnya terangkat tapi tahu-tahu kepalanya menghadap ke bawah sedang
kaki ke atas! Dia dapatkan bumi ini seperti terbalik!
Dia merasa seperti digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Ketika dia hendak
berteriak dan memaki, tahu-tahu dia sudah diturunkan kembali dan pipa kuningan
itu tidak lagi menggelung di lehernya.
"Djarot Pangestu! Lekas berlalu dari hadapanku! Tinggalkan tempat ini!"
"Nenek sinting! Kau kelak akan menyesal mengambil keputusan membebaskan diriku
hari ini. Aku bersumpah akan menuntut ilmu lebih tinggi! Setelah itu kudapatkan
aku akan mencarimu! Dan hari itulah penyesalanmu berakhir di ujung kematian!"
"Aku sebal melihat tampangmu Djarot! Disuruh pergi malah bersyair! Pergi sana!"
Nenek cantik itu ketukkan ujung pipa kuningannya ke tanah. Terdengar suara genta
mengalun keras yang diserai sambaran angin dari ujung pipa sebelah bawah. Angin
aneh ini menyambar ke arah Djarot Pangestu. Begitu sambaran angin menghantamnya,
tak ampun lagi Djarot Pangestu terlempar sampai tiga tombak.
Sambil keluarkan suara cekikikan nenek itu balikkan tubuhnya. Dia menekankan
ujung pipanya ke tanah. Seperti anak panah lepas dari busurnya, seperti itu
pulalah tubuhnya tampak melesat dan lenyap di kejauhan bersama Ayu Lestari yang
masih pingsan di bahu kirinya.
Djarot Pangestu bangkit berdiri dengan muka pucat. Terpincang-pincang dia
setengah berlari mendapatkan kudanya. Sementara itu dari berbagai jurusan
penduduk desa mulai berdatangan ke arah Page 8
rumah Menak Srenggi.
BAB V NENEK berkebaya putih itu membaringkan Ayu Lestari di atas pasir pantai yang
bersih, di bawah kerindangan bayang-bayang deretan pohon kelapa. Walaupun sinar
matahari cukup terik namun angin laut yang sejuk membuat udara tidak terasa
panas. Untuk beberapa lama nenek itu memandangi gadis cilik yang masih berada dalam
keadaan pingsan itu lalu berlutut di sampingnya. Dia mengangkat tangan kanan Ayu
Lestari lalu memperhatikan telapak tangan anak perempuan itu.
"Ahhh...!" si nenek mendesah kagum. "Apa yang dikatakan ratu benar adanya. Anak
ini memiliki ruas tangan kanan bertanda silang. Menurut ratu hanya ada empat
orang di jagat ini memiliki tangan seperti itu.
Satu sudah meninggal seratus tahun silam. Tiga masih hidup ternyata salah
satunya adalah anak ini! Ah, ternyata mereka bukan orang-orang sembarangan!"
Setelah memandangi wajah Ayu sekali lagi si nenek menepuk-nepuk pipi gadis cilik
itu hingga akhirnya Ayu siuman dari pingsannya. Begitu sadar anak ini langsung
menjerit. Dalam benak dan pelupuk matanya masih terbayang tiga orang yang
dikasihinya itu, terutama ibunya. Juga masih terpampang wajah angker Djarot
Pangestu yang hendak membunuhnya. Ayu memejamkan matanya kembali dan menutup
wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Anak manis... Berhenti menjerit. Tak ada yang perlu ditakutkan..."
Ayu mendengar suara itu. Rupanya tadi dia belum melihat nenek berpakaian putih
yang ada di sampingnya. Perlahan-lahan dia menurunkan kedua tangannya dan
membuka sepasang matanya. Ketika dia memalingkan kepalanya ke kiri, pandangannya
bertemu dengan sosok tubuh dan wajah tua tapi kelimis serta cantik itu.
"Nenek...!" Ayu memanggil, yang terbayang olehnya adalah neneknya sendiri. Namun
kemudian disadarinya bahwa perempuan tua itu bukan neneknya. Lalu dilihatnya
deretan pohon kelapa di atas kepalanya, langit biru, merasakan hembusan angin
sejuk dan mendengar deburan ombak di pasir.
Perlahan-lahan anak ini bangkit duduk, memandang berkeliling.
"Laut..." katanya heran. Sebelumnya dia pernah satu kali diajak ayahnya melihat
laut. Ayu memandang pada si nenek. "Nek, kau siapa..." Mengapa Ayu berada di tepi
laut ini" Ayu takut...! Orang jahat itu...
Dia membunuh ibu... membunuh kakek dan nenek..." Lalu Ayu Lestari menangis keras.
"Anak, nasibmu memang malang. Ayahmu meninggal beberapa waktu lalu. Barusan saja
ibu dan nenek serta kakekmu dibunuh orang. Tapi kau tak boleh menangis dan
bersedih terus-terusan. Aku akan membawamu ke satu tempat yang indah. Di situ
semua akan mengasihimu, akan menghormatimu. Dan kau boleh menganggap aku sebagai
pengganti nenekmu yang hilang..."
Lalu si nenek menggendong Ayu Lestari di bahu kirinya. Sambil mengusut air
matanya, Ayu bertanya,
"Aku ingin pulang nek! Bawa aku pulang nek... Bawa Ayu pulang ke Kaliwungu..."
"Ayu, di Kaliwungu kau tak punya siapa-siapa lagi. Itulah sebabnya kau kubawa,
sesuai perintah Ratu..."
Page 9 "Ratu..." Hai, Ratu katamu nek?" tanya Ayu Lestari.
"Betul. Ratuku dan Ratumu juga kelak..."
"Aku tak mengerti ucapanmu nek..., ratu apa yang kau katakan itu?"
"saat ini kau memang tak perlu mengerti Ayu. Kau ikut saja bersamaku," kata si
nenek pula. "Ikutmu" Ikut ke mana?"
"Aku akan membawamu ke satu tempat yang indah. Yang tak pernah kau lihat
sebelumnya. Kerajaan Ratu Laut Utara!"
Semakin tidak mengerti Ayu Lestari akan apa yang diucapkan si nenek itu. Lalu
dirasakannya si nenek mulai melangkah. Berjalan ke arah laut. Ketika sepasang
kaki si nenek mulai tenggelam ke dalam air laut, lalu kainnya mulai basah, Ayu
Lestari tersentak dan berseru. "Nek! Kau salah jalan! Mengapa melangkah ke
dalam. Nanti kita berdua mati tenggelam...!"
Tubuh si nenek kini tenggelam sebatas pinggang. Kedua kaki Ayu Lestari mulai
masuk ke dalam air laut.
"Nek!" Pekik Ayu Lestari ketakutan dan ketika air mulai sampai ke pinggangnya,
anak ini meronta mencoba melepaskan diri, namun tak berhasil. Air laut kini naik
sampai sebahu si nenek, membasahi punggung si gadis cilik.
"Nek!" pekik Ayu kembali. Di saat itu si nenek menekan urat besar dipunggung
Ayu. Gadis ini langsung terkulai. Tubuh si nenek melangkah semakin dalam.
Selangkah demi selangkah air laut naik sampai ke lehernya, lalu naik lagi sampai
muka dan kepala. Rambutnya yang putih dan juga kepala Ayu Lestari lenyap di
bawah air laut. Kini hanya tinggal tongkat pipa kuningannya saja yang masih
kelihatan. Sesaat kemudian tongkat itu pun lenyap di bawah permukaan air laut!
BAB VI NENEK berwajah cantik itu memijat urat besar di punggung Ayu Lestari. Saat itu
juga anak ini sadarkan diri dan dapatkan sekujur tubuh dan pakaiannya yang basah
kuyup. Dilihatnya tubuh, rambut serta pakaian putih si nenekpun basah juga.
Ketika dirinya diturunkan dari dukungan, Ayu Lestari memandang berkeliling
dengan terheran-heran.
"Huah nek! Berada di mana kita ini"!" seru Ayu Lestari heran dan kagum. Saat itu
didapatinya dirinya berada dalam sebuah bangunan sangat besar beratap tinggi.
Pada kiri kanan bangunan yang berdinding batu pualam itu berjejer masing-masing
dua belas buah pilar putih berukiran indah sekali. Lalu di antara jejeran dua
belas tiang ini, pada pertengahan lantai terbentang sehelai permadani tebal
berwarna biru membujur dari tangga di sebelah depan bangunan dekat mana dia dan
si nenek berada. Permadani ini membujur terus ke arah bagian ujung lain dari
bangunan besar itu.
Di sebelah ujung sana tampak tangga terdiri dari lima undakan, dan diundakan
paling atas lantainya ditutupi sehelai permadani tebal berwarna merah. Di
tengah-tengah ruangan besar di atas tangga itu terdapat sebuah kursi besar
berukiran kepala naga pada kedua tangannya dan ukiran kepala burung garuda pada
sandarannya sebelah atas.
Page 10 Di kiri kanan kursi, sebuah payung tinggi dan besar serta berjumbai-jumbai
benang emas memayungi kursi besar. Di langit-langit ruangan menyala puluhan
lampu kecil yang tersusun pada sebuah jambangan indah terbuat dari perak dan
memancarkan sinar berkilau-kilau, tergantung tepat di atas kursi besar.
Pada dinding ruangan kiri kanan tampak tiga buah pintu berwarna putih. Di atas
pintu menyala lampu-lampu aneh berwarna biru, merah, kuning, hijau, abu-abu dan
cokelat. "Nek, kita ini berada di mana...?" tanya Ayu Lestari lagi, sambil memegang kebaya
si nenek, dan masih memandang berkeliling terkagum-kagum. Sementara cuping
hidungnya kembang kempis karena dia mencium bau yang harum semerbak di tempat
itu. "Inilah istana Ratu Laut Utara..."jawab si nenek setengah berbisik.
"Jangan-jangan aku bermimpi...," si gadis cilik lalu tarik kuat-kuat telinganya
sendiri. "Aduh!" dia terpekik kesakitan. "Ternyata Ayu tidak bermimpi. Jadi
semuanya ini benar nek...! Nek..."
"Ssst, diamlah! Sudah ada yang menjemput kita..." bisik si nenek.
Saat itu Ayu Lestari melihat pintu putih yang di atasnya ada lampu berwarna
merah terbuka, lalu menyusul pintu putih di sebelah kiri yang ada lampu hijau.
Dua orang gadis berparas cantik berkulit putih, satu memakai baju panjang warna
hijau, satunya warna merah melangkah ke arah si nenek dan Ayu.
Pakaian yang dikenakan kedua gadis ini terbuka lebar di bagian punggung dan
sangat rendah di bagian dada sehingga punggungnya yang putih tersingkap dan
sebagian payu daranya tersembul di ujung atas pakaian sebelah depan. Pada
pinggir kiri pakaian panjang itu terdapat belahan tinggi sampai ke pangkal paha.
Karenanya, setiap langkah yang dibuat menyebabkan aurat gadis-gadis cantik ini
tersingkap lebar memperlihatkan auratnya sebelah kiri, putih dan sangat mulus.
"Nek, bidadarikah yang datang ini......?" tanya Ayu Lestari. Si nenek tidak
menjawab, hanya tersenyum.
Di hadapan kedua orang itu, gadis baju merah dan hijau menganggukan kepala
dengan khidmat lalu yang baju merah berkata: "Ayu, mari ikut dengan saya," lalu
dipegangnya tangan Ayu Lestari.
"Nek..." Ayu memanggil.
"Ikuti saja Roro Merah itu, Ayu. Dia akan menggantikan pakaianmu yang basah
dengan pakaian yang bagus," berkata si nenek, ketika dilihatnya Ayu Lestari
seperti hendak menampik. "Kau tak usah takut.
Seperti yang aku bilang, semua orang di sini menghormatimu dan juga
mengasihimu..."
Mendengar kata-kata si nenek itu, baru Ayu mau melangkah mengikuti dara berbaju
merah. "Nenek Cempaka, giliranmu ikut saya... Kau juga harus berganti pakaian," terdengar
suara gadis berbaju hijau. Si nenek tersenyum lalu melangkah menuju pintu
berlampu hijau mengikuti gadis cantik di depannya.
Tak lama kemudian perempuan tua yang dipanggil dengan Nenek Cempaka itu tampak
keluar dari pintu berwarna hijau, diiringi oleh gadis berbaju hijau tadi. Si
nenek ternyata telah bersalin. Kini dia bukan saja mengenakan sehelai kebaya
Wiro Sableng 047 Pembalasan Ratu Laut Utara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panjang dan kain putih, namun wajahnya juga diberi pupur, pemerah pipi,
penghitam alis, serta pewarna bibir. Nenek yang dasarnya memang cantik ini jadi
tampak lebih segar. Dia melangkah sambil membawa pipa kuningan di tangan kiri.
Page 11 Bersama gadis berbaju hijau Nenek Cempaka duduk di atas permadani di bawah
tangga, tepat di hadapan kursi besar. Tak lama kemudian terdengar suara
bebunyian mengalun diiringi oleh suara seperti deburan ombak di atas pasir
pantai. Tirai ungu yang tergantung di belakang kursi membuka ke samping.
Di saat itulah tampak seorang gadis berpakaian biru keluar dari balik tirai. Dia
melangkah mendekati Nenek Cempaka lalu berkata: "Nenek, kau dipersilahkan
masuk." Nenek Cempaka serta merta berdiri, menaiki tangga lalu mengikuti gadis baju biru
melangkah melewati tirai yang terbuka. Begitu lewat, tirai itu pun menutup
kembali. Di balik tirai ternyata ada satu ruangan besar yang luar biasa bagusnya. Seluruh
dinding dilukis dengan pemandangan laut yang indah, termasuk tetumbuhan dan
binatang-binatangnya. Di salah satu sudut terletak sebuah pembaringan dan di
atas pembaringan ini bergolek seorang perempuan muda berwajah sungguh rupawan.
Kulitnya kuning langsat. Dia memiliki rambut hitam berkilat. Sepasang matanya
bening tapi menyorotkan pandangan tajam. Perempuan ini mengenakan pakaian ungu
gelap yang tipis dan di atas kepalanya ada sebuah mahkota emas bertaburan batubatu permata. Kedua lengannya dihiasi dengan kumpulan gelang yang berderet-deret
sampai ke dekat siku.
Yang menarik ialah sebuah permata sebesar ujung ibu jari yang melekat di
pertengahan keningnya, seolah-olah membenam dan jadi satu dengan kulit dan
daging keningnya. Ketika melihat Nenek Cempaka masuk diiringi gadis baju biru,
perempuan di atas pembaringan bangkit dan duduk bersandar pada sebuah bantal
besar. Nenek Cempaka cepat menjura penuh hormat, begitu juga gadis berpakaian biru.
Setelah menghormat gadis ini tinggalkan ruangan. Kini tinggal si nenek dan
perempuan di atas pembaringan di tempat itu.
"Cempaka...!" perempuan jelita bermahkota di atas pembaringan memanggil nama tanpa
sebutan nenek. "Aku sudah melihat kemunculanmu tadi bersama anak itu lewat ombak
sakti penyambung mata.
Benar gadis cilik itu orang yang kita cari?"
"Benar Sri Ratu. Memang dia orangnya. Dia bernama Ayu Lestari..." Lalu secara
singkat si nenek menuturkan peristiwa yang terjadi di tempat kediaman Ayu di
Kaliwungu. "Kasihan anak itu. Tapi yang lebih penting apakah kau sudah meneliti telapak
tangan kanannya...?"
tanya perempuan cantik di atas pembaringan yang dipanggil dengan sebutan Sri
Ratu. "Sudah Sri Ratu. Sesuai petunjuk Sri Ratu memang ruas telapak tangan kanan anak
itu ada tanda silangnya..."
"Aku lega sekarang. Berarti kita sudah menemukan penerus dan pewaris Kerajaan
Laut Utara ini.
Berarti aku bisa kembali ke asalku dan beristirahat dengan tenang..."
"Tapi bukankah menurut Sri ratu kita harus menunggu tujuh tahun. Yaitu sampai
anak itu berusia tujuh belas...?"
"Betul Cempaka. Tapi masa tujuh tahun tidak lama. Karena itu kita harus
mempersiapkannya dengan cermat dan tepat mulai dari sekarang. Itu semua menjadi
tugasmu dan enam gadis pembantuku..."
"Akan saya ingat dan perhatikan serta jalankan hal itu baik-baik Sri Ratu..."
Page 12 Tirai ungu terbuka. Gadis berbaju biru masuk, membungkuk hormat lalu berkata
memberi tahu, "Gadis kecil itu sudah berada di depan tahta kerajaan. Jika Sri
Ratu berkenan melihat dan menemuinya..."
Sri Ratu mengangguk lalu turun dari pembaringan.
DI ruang luas yang bertiang besar sebanyak dua puluh empat buah itu, Ayu Lestari
duduk di depan kursi besar, ditemani oleh Roro Merah. Gadis cilik itu kini
tampak mengenakan sehelai pakaian baru yang bagus, dan sampai saat itu masih
saja celingak-celinguk terkagum-kagum memperhatikan keindahan ruangan besar itu.
Sesaat kemudian dilihatnya tirai ungu terbuka dan seorang perempuan muda yang
luar biasa cantiknya, mengenakan pakaian ungu tipis melangkah keluar dari balik
tirai diiringi lima dara masing-masing berpakaian biru, kuning, hijau, abu-abu
dan coklat. Di samping kiri tampak perempuan tua berpakaian putih itu.
"Eh... Nek...!" seru Ayu Lestari. "Kemarilah! Aih... Kau habis berdandan, rupanya!
Wajahmu jadi seperti muda dan tambah cantik!" imbuh Ayu. Si nenek hanya
tersenyum sambil palangkan jari telunjuknya di depan bibir, memberi tanda agar
Ayu Lestari jangan bicara terus.
Saat itu Ayu melihat perempuan muda berbaju ungu telah duduk di atas kursi besar
sementara lima gadis tegak di samping kiri kanan kursi dan si nenek sendiri
melangkah menuruni tangga menjemputnya. Dia memberi isyarat pada Ayu agar
berdiri. Gadis kecil itu segera berdiri diikuti oleh Roro Merah.
"Nek, siapakah orang yang duduk di atas kursi besar itu...?" berbisik Ayu Lestari.
"Dialah Ratu Laut Utara... Pemimpin kita di Kerajaan bawah laut ini..."
Ayu Lestari lantas ingat ketika dia dibawa melangkah ke dalam laut. "Kerajaan
bawah laut katamu nek"
Apakah saat ini kita berada di bawah laut..." Ayu tidak melihat air laut sama
sekali. Dan kita semua tidak tenggelam..."
"Betul, kita memang berada di dasar laut," jawab si nenek. "Dengar, aku tidak
akan menceritakan apa-apa dulu. Lekas beri penghormatan pada Sri Ratu..."
Sebagai anak desa, cara penghormatan yang diketahui Ayu bukanlah menjura atau
berlutut, melainkan mencium tangan orang. Maka begitu mendengar kata-kata si
nenek tadi, gadis cilik ini segera lari menaiki tangga dan begitu sampai di
hadapan Sri Ratu dia menyalaminya lalu mencium tangan Sri Ratu.
Nenek Cempaka dan enam orang dara semula menjadi tercekat khawatir kalau-kalau
tindakan gadis cilik itu tidak berkenan di hati Sri ratu. Namun ketika mereka
melihat Sri Ratu mengulurkan tangan menyambut salam Ayu sambil tersenyum,
legalah semua orang yang ada di situ.
Untuk beberapa lamanya, setelah mencium tangan Sri Ratu, Ayu masih memegangi
tangan itu dan menatap wajah yang cantik jelita itu. Belum pernah dia melihat
perempuan secantik itu. Mulutnya yang polos langsung saja menyatakan kekaguman.
"Sri Ratu, wajahmu cantik sekali. Matamu bagus dan bersinar. Ayu kagum
melihatmu..."
Sri Ratu tersenyum lebar. "Anak baik, kepolosanmu menyatakan kejujuranmu. Apakah
kau ingin punya mata sebagusku...?"
Page 13 "Tentu saja mau Sri Ratu. Tapi mana mungkin Ayu bisa punya mata sebagus dan
sebening matamu..."
"Kau akan memilikinya ketika kau berusia tujuh belas tahun Ayu..."
"Ah, betulkah itu?"
Sri Ratu mengangguk. Lalu bertanya, "Apakah kau suka tinggal di sini?"
"Suka sekali Ratu. Tapi nenek itu hanya membawa Ayu sekedar melihat-lihat. Ayu
harus kembali ke Kaliwungu. Ibu Ayu..."
Sampai di situ, anak ini ingat apa yang terjadi atas diri ibu, nenek dan kakek,
serta salah seorang kawannya yang mati dibunuh Djarot Pangestu. Wajahnya menjadi
merah dan dia berusaha menahan isakan.
"Ayu, kami semua sudah memutuskan bahwa kau tidak akan kembali ke Kaliwungu.
Jangan khawatir akan jenazah orang-orang yang kau cintai itu. Mereka semua sudah
ada yang mengurusnya. Kau tinggal di sini, ikuti segala petunjuk Nenek Cempaka
dan enam pembantuku...."
Sri Ratu mengusap kepala Ayu Lestari dengan tangan kirinya. Tangan kanannya
ditarik genggaman Ayu.
Saat itulah Sri Ratu melihat sendiri ruas bersilang pada telapak tangan gadis
kecil itu. "Kalian boleh pergi sekarang..." kata Sri Ratu.
Nenek Cempaka memegang lengan Ayu Lestari. Sebelum meninggalkan tempat itu gadis
kecil ini bertanya, "Sri Ratu, kapan Ayu boleh melihatmu lagi?"
"Tujuh tahun di muka Ayu," jawab Sri Ratu.
Selagi Ayu terheran-heran mendengar jawaban itu, Sri Ratu sudah membalikkan diri
dan masuk kembali ke bilik tirai ungu bersama enam gadis jelita pembantunya.
Di ujung ruangan, Ayu Lestari berhenti melangkah dan berpaling pada Nenek
Cempaka. "Nek, Ayu heran..."
"Apa yang kau herankan Ayu?"
"Menurut cerita-cerita yang pernah Ayu dengar, yang namanya kerajaan itu pasti
ada pasukannya. Pasti ada prajurit pengawal dan sebagainya. Tapi Ayu tidak
melihat seorang lelaki pun di sini...."
"Ah, matamu kurang mengawasi," jawab si nenek. "Cobalah kau memandang
berkeliling. Lalu katakan apa yang kau lihat..." si nenek mengusap mukanya tiga
kali. Ayu Lestari memandang berkeliling. Dan heranlah anak ini. Di seputar ruangan dia
kini melihat puluhan prajurit gagah bersenjatakan pedang dan tombak tegak dengan
sikap mengawal.
"Apa yang kau lihat Ayu?" tanya si nenek.
"Ayu melihat prajurit-prajurit banyak sekali. Mereka sangat gagah, memegang
tombak putih berkilat, membekal pedang di pinggang masing-masing. Tapi eh... Kini
mereka semua lenyap Nek, menghilang ke mana mereka"!" seru Ayu Lestari.
Page 14 Si nenek menarik tangan anak itu seraya menjawab, "Itulah salah satu keanehan
dan keajaiban di Kerajaan Bawah Laut ini, Ayu. Akal manusia biasa tidak akan
bisa memecahkannya."
BAB VII ORANG tua bertubuh tinggi kurus itu memandang ke langit. Saat itu tengah hari di
mana sang surya memancarkan sinarnya dengan terik. Meski dia berada di bukit
yang cukup tinggi namun kesejukan udara di situ kalah oleh panasnya cahaya
matahari. Awan berarak di sebelah tenggara. Di arah selatan rombongan burung terbang
menuju ke barat. Di puncak bukit itu suasana sunyi dan panas. Lelaki tua itu
masih menunggu. Tepat ketika sang surya mencapai titik tertingginya maka dia pun
mematahkan sebatang cabang pohon kecil lalu laksana kilat berlari ke puncak
bukit. Di puncak bukit itu terdapat setumpuk timbunan batu-batu cadas. Dengan cabang
pohon di tangan kanannya orang tua ini memukul batu-batu itu. Satu demi satu
batu itu mencelat mental, ketika batu terakhir terlempar jauh, maka di tanah
tampak terbujur sesosok tubuh yang hanya mengenakan sehelai celana pendek warna
hitam. Sosok tubuh itu sama sekali tidak bergerak. Tak ada tampak tarikan nafas
pada dada atau pun perutnya. Sekujur tubuhnya mulai dari kaki sampai ke muka
tampak penuh dengan luka-luka.
"Anak manusia berhati keras! Masih hidup atau sudah matikah engkau?" Si orang
tua berseru. Tak ada jawaban. Dia lalu membungkuk mendekatkan telinga kirinya ke
dada di arah jantung. "Luar biasa! Empat puluh hari ditanam jantungnya masih
berdetak!"
Orang tua itu lalu bangkit dan pandangi sosok tubuh yang tergeletak sambil
geleng-gelngkan kepalanya.
"Huah!" tiba-tiba orang yang terbujur itu keluarkan suara keras. Detik itu pula
tubuhnya melompat dan tahu-tahu dia sudah berdiri di hadapan lelaki tua. Orang
ini berbadan tinggi tapi di hadapan si orang tua, tingginya hanya sampai ke
dadanya. "Raja Batu Di Batu!" seru orang yang barusan dikubur di bawah tumpukan puing
batu "Aku berhasil!"
"Kau memang hebat Djarot Pangestu. Selama seratus limapuluh tahun usiaku, kau
adalah orang kedua yang sanggup lulus dari ujian berat ini! Sekarang kau
menguasai ilmu kesaktian itu. Kau telah menjadi manusia batu!"
Ternyata orang yang barusan ditimbun batu-batu itu adalah Djarot Pangestu.
Manusia jahat yang begitu keluar dari penjara telah membunuh bekas Adipati
Ambarawa dan istrinya, serta membunuh ibu Ayu Lestari dan juga membunuh seorang
anak kecil tidak berdosa, kawan Ayu Lestari.
"Terimakasih kakek. Itu semua berkat keikhlasanmu mewariskan ilmu kesaktian itu
padaku...."
"Dan kekerasan hatimu untuk membalas dendam!"
Djarot Pangestu mengangguk.
"Dan demi tugas yang aku bebankan padamu. Membunuh nenek sakti Cempaka itu!"
Page 15 "Akan aku jalankan tugasmu dengan baik!" ujar Djarot Pangestu pula. "Sekarang
bolehkah aku mencoba kehebatan ilmu baruku?"
"Silahkan!" jawab lelaki tua yang disebut dengan gelar Raja Batu Di Batu.
Djarot Pangestu melangkah mendekati sebuah batu besar. Kaki kanannya tiba-tiba
ditendangkan. "Braakkk!!!" Batu besar itu hancur berantakan. Dia merasa belum puas.
Didekatinya sebuah batu besar lainnya. Lalu dengan tangan kirinya dihantamnya
batu itu, "Braaaakk!!!" Hal yang sama terjadi. Batu itu pecah berkeping-keping.
Raja Batu Di Batu tertawa mengekeh.
"Jika kau masih belum percaya, lihat ini!" kata si kakek berseru. Lalu dia
menyambar sebuah potongan batu sebesar tetampah seberat hampir lima puluh kati.
Batu ini dihancurkannya ke kepala Djarot Pangestu. Djarot agak kaget dan
berusaha menghindar. Tapi batu menghantam kepalanya lebih cepat.
Djarot tampak terhuyung-huyung dan dia menyaksikan bagaimana batu yang
dihantamkan ke kepalanya pecah berantakan. Dia sendiri merasakan seperti di
tepuk pada kepalanya yang dihantam batu tadi.
Tidak ada luka, benjut pun tidak!
"Raja Batu Di Batu! Aku benar-benar percaya pada kesaktian yang kini aku miliki.
Aku sangat berterimakasih padamu!" Habis berkata begitu Djarot Pangestu lalu
berlutut di hadapan orang tua berusia 150 tahun itu.
"Setelah memiliki ilmu kesaktian itu, kau tentu ingin cepat-cepat menyeberang ke
Tanah Jawa. Membalaskan sakit hatimu pada Cempaka, meneruskan dendam kesumatmu dengan
menghabiskan sisa turunan Menak Srenggi yang menurutmu lolos dari kematian
karena ditolong oleh si nenek yang kemudian mengalahkanmu! Kau boleh pergi
sekarang juga Djarot. Tanah Bugis ini sangat jauh dari Ambarawa. Kau harus
menghabiskan waktu paling tidak duapuluh hari pelayaran untuk kembali ke sana."
"Jika Raja Batu Di Batu berkenan, aku memang akan berangkat saat ini juga..."
"Pergilah, balaskan juga sakit hati dan dendam kesumatku pada tua bangka bernama
Cempaka itu..."
"Kalau aku boleh tahu Raja Batu Di Batu, dendam kesumat apakah yang ada antara
kau dengan dia...?" bertanya Djarot.
Lelaki tua itu tertawa lebar. "Urusan tolol di masa muda. Aku suka dia, dia
tidak suka aku. Itu hal biasa saja. Aku tidak memaksa. Kalau dia menolak wajarwajar saja, aku tidak akan sakit hati. Tapi dia mempermalukan aku di hadapan
orang banyak, di antaranya beberapa tokoh persilatan di Tanah Jawa.
Kemudian dia kawin dengan pemuda lain. Dalam keadaan mata gelap, suaminya itu
kubunuh di satu tempat di pantai utara Jawa. Dia membalas dendam dan membunuh
istriku, padahal istriku saat itu sedang hamil muda. Nah, apakah tidak pantas
kalau hubungan kita ini membuat aku memintamu mencari dan membunuhnya" Apalagi
kau pun ada silang sengketa dengan dia!"
"Jangan khawatir Raja Batu Di Batu. Nenek keparat itu akan mendapatkan
hukumannya... Aku pergi sekarang...!"
"Ada satu hal yang perlu aku beritahukan padamu sebelum kau pergi, Djarot,"
berkata Raja Batu Di Batu. "Turut pendengaranku, tingkat kepandaian Cempaka saat
ini jauh lebih tinggi dari ketika dulu dia masih muda. Namun jangan membuatmu
menjadi gentar. Hanya saja ingat baik-baik bahwa sejak Page 16
beberapa puluh tahun yang lalu dia telah bergabung dengan Ratu Laut Utara, yakni
perempuan cantik berkepandaian tinggi yang menjadi Ratu pada Kerajaan bawah
Laut. Jika kau mencarinya, berati kau harus masuk ke wilayah kekuasaan Ratu Laut
Utara. Dan ini sangat berbahaya. Kau harus berhati-hati.
Tingkat kepandaian sang Ratu jauh lebih tinggi dari si nenek itu!"
"Terima kasih atas pemberitahuanmu Raja Batu Di Batu.. Percayalah, kesaktian
yang kau berikan tak akan kusia-siakan. Aku akan menghancurkan siapa saja yang
berani menghalangi!"
"Memang ilmu kesaktian batu yang kini kau miliki membuatmu menjadi seorang
manusia tanpa tandingan. Namun untuk berjaga-jaga seandainya kau sampai
bentrokan dengan Ratu laut Utara, bawalah ini sebagai bekal. Kunyah dan hadapi
musuhmu, pasti dia akan kewalahan dan babak belur!"
Raja Batu Di Batu lalu memberikan sebuah benda berwarna putih, ternyata adalah
sebutir bawang putih.
Djarot Pangestu menyimpan bawang putih itu baik baik di balik pinggang celananya
lalu berlutut dan menyembah tiga kali di hadapan si kakek baru tinggalkan puncak
bukit itu. BAB VIII TUJUH tahun berlalu sejak kedatangan Ayu lestari yang dibawa nenek Cempaka ke
Wiro Sableng 047 Pembalasan Ratu Laut Utara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kerajaan Bawah Laut di Laut utara. Hari itu di ruangan besar terdengar suara
alunan gamelan yang tidak berhenti-henti sejak di atas laut sang surya terbit.
Ini satu pertanda akan ada satu kejadian besar di Kerajaan Bawah Laut walau
keadaan tampak biasa-biasa saja, yakni yang terlihat oleh mata biasa hanyalah
sang Sri ratu bersama enam pembantunya yang jelita, lalu nenek Cempaka dan Ayu
Lestari, yang kini telah berubah menjadi gadis tujuh belas tahun bertubuh tinggi
semampai dan berwajah cantik.
Seperti yang dipersiapkan sejak tujuh tahun lalu, hari ini adalah hari di mana
Sri Ratu penguasa Laut Utara akan menyerahkan atau mewariskan kekuasaannya pada
Ayu Lestari, gadis yang kini berusia 17
tahun dan merupakan satu-satunya yang dianggap paling tepat untuk mewariskan
kekuasaan itu karena pembawaannya yang dimilikinya sejak lahir dan tidak mungkin
dimiliki oleh orang lain.
Upacara penyerahan kekuasaan dan pengangkatan Ayu Lestari menjadi Sri ratu yang
baru berlangsung singkat, hanya dihadiri oleh Sri ratu sendiri, lalu Ayu
Lestari, kemudian enam pembantu Sri Ratu dan terakhir adalah orang kepercayaan
Sri ratu yaitu nenek Cempaka. Walaupun upacara berlangsung singkat namun sangat
sakral. Pada upacara itu pula terjadi hal-hal luar biasa yang sulit dipercaya
oleh akal sehat manusia biasa, termasuk Ayu Lestari.
"Ayu, hari ini aku bersyukur bahwa aku akhirnya dapat menyerahkan tahta kerajaan
bawah laut padamu. Pegang dan jalankan tahta kerajaan ini dengan sebaik-baiknya.
Enam Roro dan nenek Cempaka akan selalu menjadi pendampingmu yang setia
sebagaimana mereka telah mendampingiku selama hampir empat ratus tahun..."
"Empat ratus tahun!" ujar Ayu dalam hati. "Apakah aku juga akan punya umur
sepanjang itu. Empat ratus tahun tanpa wajah berubah menjadi keriput seperti
nenek-nenek!"
Lalu terdengar kembali suara Sri Ratu. "Sesuai kehendak Sang Pencipta melalui
sumpah kedua orang tuaku, maka aku akan kembali pada asal dan ujudku semula..."
Sri ratu memandang sesaat pada Ayu, lalu menoleh pada Roro Cokelat, yaitu dara
cantik berpakaian coklat.
Mendapat isyarat dari sang Ratu, dara ini tinggalkan tempat itu. Ketika muncul
kembali dia membawa Page 17
sebuah dulang emas di atas mana terdapat sebuah anglo berisi arang merah
membara. Anglo ini diletakkan di depan nenek Cempaka. Si nenek lalu mengeluarkan
sekeping kemenyan dari balik sabuknya dan menebarkan kemenyan ini di atas bara
api. Serta merta ruangan besar itu dipenuhi bau harumnya bau kemenyan.
"Cempaka, silakan melafatkan doa..." berkata Sri Ratu dengan suara bergetar,
sementara enam pembantunya secara bersamaan tundukkan kepala. Ayu juga ikutikutan menundukkan kepala.
Nenek Cempaka tampak mengangkat kedua tangannya ke atas. Kedua matanya
dipejamkan sedangkan mulutnya melafatkan ucapan-ucapan panjang yang tidak
dimengerti oleh Ayu. Lama sekali si nenek membacakan doanya itu. Begitu doa
selesai, nenek Cempaka membawa Ayu Lestari berdiri lebih dekat di hadapan Sri
Ratu. Dengan tangan kanannya Sri Ratu memegang batu permata besar yang selama ratusan
tahun melekat di kulit keningnya. Perlahan-lahan batu permata yang berkilaukilauan itu ditanggalkannya. Pada saat itu di kejauhan terdengar suara deburan
ombak yang luar biasa kerasnya diserai suara tiupan angin seperti seruling.
"Pejamkan kedua matamu Ayu...," kata Sri Ratu.
Ayu pejamkan kedua matanya. Sri Ratu meletakan batu permata itu di pertengahan
kening Ayu lalu menekannya. Batu itu masuk ke dalam kulit kening Ayu. Di saat
itu pula Ayu Lestari merasakan kelainan terjadi atas dirinya. Tubuhnya terasa
sangat ringan. Pendengarannya menjadi luar biasa tajam.
"Kau boleh membuka matamu sekarang Ayu," kembali terdengar suara Sri Ratu.
Ayu Lestari membuka kedua matanya. Astaga! Pemandangannya menjadi luar biasa
tajamnya. Dia kini melihat apa yang selama ini tak mungkin dilihatnya dengan
mata biasa. "Apa yang kau lihat Ayu?" tanya Sri Ratu.
"Saya..., saya melihat ratusan prajurit di luar sana. Melakukan pengawalan dengan
rapi. Saya bisa melihat lautan luas di atas sana. Ada perahu-perahu nelayan. Ada
pulau-pulau, ada burung-burung.
Bagaimana ini bisa terjadi...?"
Sri Ratu tersenyum. "Itu semua hanya bisa terjadi karena batu permata yang
melekat di keningmu dan juga karena adanya dasar kekuatan dalam dirimu." Sri
Ratu lalu memandang berkeliling. "Sejak saat ini, Ayu Lestari adalah Sri Ratu
kalian yang baru. Kalian harus berbakti dan setia padanya. Sudah saatnya aku
pergi dan mengucapkan selamat tinggal pada kalian..."
Nenek Cempaka dan enam gadis jelita menjura dalam pada Sri Ratu lalu juga pada
Ayu Lrestari, membuat gadis ini menjadi salah tingkah. Lalu Sri Ratu melangkah
mendekati nenek Cempaka, merangkul perempuan tua ini erat-erat. Di kedua mata
sang Sri Ratu tampak keluar merebak air mata.
Lalu dia juga memeluk dan mencium satu persatu enam gadis pembantunya. Enam
gadis ini juga tampak terharu dan berusaha menahan isak, sementara nenek Cempaka
tertegak tundukkan kepala.
Terakhir sekali Sri ratu memeluk dan mencium kedua pipi Ayu Lestari. "Jaga
kerajaan kita baik-baik Ayu..."
"Terima kasih atas kepercayaan besar ini Sri Ratu. Jika sewaktu-waktu Ayu ingin
bertemu, apakah itu bisa dilakukan?"
Page 18 "Aku akan selalu muncul pada saat-saat penting. Kau bisa memberi tahu Cempaka
jika kau ingin bertemu denganku. Tanpa diminta, jika kalian dalam bahaya
misalnya, aku akan muncul mendampingi kalian..."
Sri Ratu melepaskan rangkulannya. Dia melangkah mundur tiga langkah lalu
berkata. "Ayu, ingat dulu bagaimana kau mengatakan ingin memiliki mata sebening
dan sebagus mataku" Hari ini kebeningan dan kebagusan itu telah kau miliki..."
Sebelum Ayu sempat mengatakan sesuatu Sri Ratu lama menjurai memberi
penghormatan padanya, lalu Sri Ratu lama ini menjauh sampai sepuluh langkah.
Sambil melangkah dia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas. Sesaat
kemudian tampak ada asap keluar dari tubuhnya. Pakaian ungu tipis yang
membungkus auratnya perlahan-lahan sirna. Tubuh tanpa pakaian itu kini perlahanlahan berubah menjadi pucat, makin pucat dan akhirnya menjadi putih sama sekali.
Di lain kejap Ayu hampir keluarkan seruan tertahan kalau saja tidak cepat
menutup mulutnya sendiri.
Bagaimanakah tidak! Sosok tubuh Sri Ratu dilihatnya kini telah berubah menjadi
seekor buaya putih dan perlahan-lahan meluncur turun ke bawah lalu melata di
atas permadani ruangan.
Sesaat buaya putih itu memandang ke arah tujuh orang yang tegak tak bergerak
itu. Lalu binatang ini meluncur melewati bagian bawah kursi besar tahta kerajaan
bawah laut, menuruni lima undakan tangga, meluncur cepat di sepanjang permadani
tebal berwarna biru dan akhirnya lenyap di ujung ruangan besar.
Tak lama kemudian terdengar suara seperti ada benda berat masuk ke dalam air.
Ayu Lestari yang kini memiliki pandangan mata tajam luar biasa, bukan saja
memiliki daya pandang jauh tapi juga punya daya tembus yang hebat, arahkan
pandangannya ke depan. Gadis tujuh belas tahun yang kini menjadi Sri Ratu baru
itu melihat bagaimana buaya putih tadi meluncur masuk ke dalam laut, berenang
cepat ke arah utara dan akhirnya lenyap di kejauhan.
BAB IX SAMBIL bersiul-siul Pendekar 212 Wiro Sableng berjalan menimang-nimang bungkusan
daun berisi nasi. Sesekali nasi itu dilemparkannya ke udara lalu ditangkapnya
kembali. Dia merasa adanya perbedaan udara, tanda saat itu dia semakin dekat
dengan pantai utara. Udara pedalaman yang penuh kesegaran pohon-pohon menghijau
kini berganti dengan udara laut yang mengandung garam. Lapat-lapat pendekar ini
mulai mendengar suara deburan ombak di pasir.
"Ah, laut... laut! Sudah lama sekali aku tidak melihat laut. Aku akan makan
berenak-enak di tepi pantai sambil memandang ke laut, lalu berenang sepuaspuasnya. Orang yang kutunggu paling cepat baru muncul saat matahari menggelincir
ke barat..."
Akhirnya murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu sampai juga ke tepi
pantai Laut Utara. Satu tangan memegang bungkusan nasi, satunya lagi menggarukgaruk kepala, dia tegak di atas pasir, memandang ke laut yang menyajikan
pemandangan indah sementara air laut dan buih ombak membasahi kedua kakinya.
Setelah puas tegak-tegak di atas pasir bermain ombak, Wiro melangkah ke arah
tumbangan pohon kelapa yang tergeletak di bagian ketinggian lalu duduk di batang
kelapa itu. Sambil terus menatap ke arah laut perlahan-lahan dia membuka
bungkusan nasi yang sejak tadi dibawanya. Begitu daun terbuka Page 19
kelihatanlah nasi putih yang masih hangat, sepotong ikan bakar lalu sambal
terasi dan dua buah mentimun segar!
"Ah, di mana aku akan mencuci tangan...?" Wiro memandang berkeliling. "Dicuci
dengan air laut pasti membuat tangan dan nasi ini jadi asin. Ah sudahlah. Tidak
cuci tanganpun tidak apa-apa! Tidak ada yang marah! Ha...ha...ha!" Wiro lalu mulai
menyantap nasi bungkusnya. Belum lagi suap pertama sampai ke mulutnya, sepasang
telinganya mendengar langkah-langkah kaki di belakangnya.
Pendekar ini cepat berpaling dan pandangannya bertemu dengan sosok tubuh seorang
nenek berambut putih acak-acakan, berpakaian compang-camping. Langkahnya
terseok-seok. Kalau saja dia tidak bertopang pada tongkatnya niscaya sudah
beberapa kali dia jatuh tergelimpang. Dan tongkat yang berada di tangan si nenek
bermuka kotor celemongan ini sungguh aneh di mata murid Sinto Gendeng.
Seorang nenek rombeng seperti itu membawa sebatang tongkat yang ujungnya
berkeluk. Tongkat ini terbuat dari pipa kuningan yang memantulkan sinar
kekuning-kuningan akibat siraman sinar matahari.
Walaupun dirinya jelas tidak terawat namun tampaknya si nenek telah merawat
baik-baik tongkat antiknya itu.
Perempuan tua itu tegak terbungkuk-bungkuk di hadapan Wiro, bertopang pada
tongkat pipa kuningannya. Dadanya turun naik dan nafasnya terdengar menyegal.
Dia terbatuk-batuk beberapa kali.
Wiro jadi ingat pada gurunya yaitu Eyang Sinto Gendeng.
Perempuan itu menatap sayu ke arah Wiro beberapa lamanya. Lalu kedua matanya
berputar dan memandang lekat-lekat pada nasi di atas daun yang ada di tangan
kiri si pemuda. Tampak dia beberapa kali menjulurkan lidah, membasahi bibir
sementara tenggorokannya turun naik.
Wiro menunggu sampai si nenek mengatakan sesuatu. Tapi justru orang itu terus
saja tegak berdiam diri.
Dan kedua matanya masih menatap tak berkesip pada makanan di atas daun.
"Nek, apakah kau lapar...?" akhirnya Wiro yang menegur.
Sesaat perempuan tua itu masih memandangi nasi yang dipegang Wiro. Tak lama
kemudian terdengar suaranya seperti orang menggigil. "Sudah dua hari aku tidak
melihat nasi..."
Wiro menggaruk kepalanya. "Kalau kuberikan nasi ini padanya, alamat aku Cuma
akan makan angin laut..." kata Wiro dalam hati. Kembali terbayang wajah gurunya.
Akhirnya tanpa banyak pertimbangan lagi Pendekar 212 pindahkan nasi itu ke
tangan kanannya lalu mengangsurkannya pada si nenek.
"Kau ambillah nasiku ini, nek. Aku sebenarnya tidak lapar," kata Wiro.
"Kita bagi dua saja nasi itu, anak muda," menjawab si nenek seraya maju satu
langkah. "Tidak, kau boleh ambil semua. Ini rezekimu, jangan menolak..."
Pendekar Panji Sakti 20 Pendekar Mabuk 087 Pembantai Cantik Kuda Besi 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama