Ceritasilat Novel Online

Dendam Manusia Paku 3

Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku Bagian 3


Datuk Bululawang tertawa mengekeh. "Apa kataku! Senjata rahasiamu tidak lebih
dari paku butut! Kalau kurang puas, apa kau mau coba lagi?" Meski marah tapi Anggini tutup
mulut. Dilihatnya sosok Datuk Bululawang melangkah mengelilingi sosok Sandaka di atas
makam sambil mulutnya meracau entah merapal apa. Dia hentikan langkah ketika kaki
kirinya menginjak sebuah benda keras. Mulut manusia berpunuk itu menyeringai. Dengan ibu
jari kaki kirinya dicongkelnya benda itu. Ternyata sebuah batu hitam sebesar dua kali
kepalan. "Paku sudah di tangan, palu sudah ditemukan! Tiga puluh titik kematian sudah aku
ketahui! Apa lagi yang aku tunggu"!"
Datuk Bululawang keluarkan kantong berisi paku baja putih murni dari balik jubah
merahnya. Lalu diambilnya batu hitam yang barusan dicongkel dari dalam tanah. Setelah itu
dia bergerak mendekati sosok Sandaka di arah kepala.
Anggini maklum apa yang akan terjadi. Datuk Bululawang hendak melumpuhkan
Sandaka lalu menguasai pemuda itu! "Aku harus cegah yang akan dilakukannya! Dunia
persilatan tidak akan lolos dari malapetaka kalau mahluk berpunuk itu menguasai pemuda
itu!" Tanpa
berpikir panjang lagi murid Dewa Tuak itu langsung berkelebat, menyerang Datuk
Bululawang dari arah samping kanan. Dia kerahkan jurus "Bumbung Sakti Membelah
Akhirat!" Karena tangan kanannya masih sakit, dia pergunakan tangan kiri untuk menyerang.
Tangan kiri itu diangkat tinggi ke atas untuk menyerang ke batok kepala Datuk
Bululawang. Serangan angin dasyat ini segera terasakan oleh Datuk Bululawang.
"Gadis kurang ajar!" gertak si kakek. Tangan kanannya yang memegang batu dan
kantong kain berisi paku digoyangkan. Ujung jubahnya mengebut. "Wusss!" Angin dasyat
menyambar. Anggini terpekik. Sesaat tubuhnya seperti mengapung di udara.
Ketika Datuk Bululawang putar tangan kanannya, tak ampun lagi gadis ini
menelungkup di tanah. Dia mengerang sebentar lalu tidak bergerak dan tidak bersuara lagi. Entah
pingsan atau mati. Datuk Bululawang menyeringai buruk. Kantong paku dibukanya. Sinar terang putih
memancar keluar. Ia tuang tiga puluh paku di tanah. Paku-paku itu seperti
menyala dalam kegelapan malam. Diam-diam tengkuknya terasa dingin dan agak bergeming juga
ketika paku pertama ditancapkannya di pertengahan kening Sandaka. Lalu dengan mempergunakan
batu, dipantekkannya paku sampai masuk setengah di kening pemuda itu.
Kepala dan tubuh Sandaka kelihatan bergerak sedikit. Bahkan matanya seperti
membuka. Dengkurannya terhenti. Namun kemudian tubuh itu diam lagi, suara mendengkur
terdengar kembali dan dua buah mata si pemuda berlahan-lahan terkatup lagi. Sementara
darah kelihatan mengucur dari kening yang dipaku itu!
Datuk Bululawang cepat mengambil paku kedua. "Aku pasti berhasil! Pasti!" Paku
kedua dipantekkan tepat di ubun-ubun Sandaka. Sepasang kaki Sandaka tersentak lalu
diam. Paku ketiga sampai ketujuh dipantekkan dengan cepat di seluruh kepala pemuda itu.
Darah mengucur. Kepala dan wajah Sandaka bergelimang darah kelihatan sangat
mengerikan. Terlebih ketika empat lagi paku dipantekkan di wajah Sandaka. Sisa paku baja
putih murni dipantekkan di dada, perut dan kaki sandaka.
Ketika paku terakhir dihujamkan di kaki kanan Sandaka, mendadak dari mulut
pemuda itu keluar suara mengerang panjang. Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan berdiri tepat di
depan Datuk Bululawang. Orang tua berpunuk ini sampai melompat mundur tiga langkah
saking kaget dan ngerinya melihat pekerjaannya sendiri. Kepala, wajah dan sekujur tubuh
Sandaka sampai ke kaki basah oleh darah. Sepasang matanya memancarkan cahaya hijau.
Memandang berkilat-kilat kepada Datuk Bululawang.
Betapapun hebatnya sang datuk diam-diam hatinya bergetar juga. "Tiga puluh paku
sudah kupantek! Apakah dia sekarang berada dalam kekuasaanku" Pandangan matanya yang
hijau sangat buas. Seperti mau menelanku. Aku harus waspada dan segera menguji. Kalau
tiga puluh paku itu tidak bisa melumpuhkannya dan tunduk kepadaku, celaka diriku!"
Datuk Bululawang angkat tangan kanannya. "Anak muda! Katakan siapa namamu!"
orang tua bertangan buntung itu ajukan pertanyaan untuk menguji. Yang ditanya diam
saja. Malah kilatan cahaya yang keluar dari matanya semakin tajam menyorot. "Kau punya
telinga tidak mendengar aku bertanya" Kau punya mulut mengapa kau tidak menjawab"! Kau berada
dalam kekuasaanku! Kau harus tunduk atas segala perintah dan ucapanku! Tidak ada
siapa pun kecuali diriku! Lupakan segala masa lalumu! Aku Yang Mula Datuk Bululawang
yang menentukan masa depanmu! Jadi kau harus tunduk dan patuh terhadap perintahku!
Kau dengar"!"
Mulut Sandaka masih tidak bergerak. Namun pelan-pelan kepalanya bergerak membuat
gerakan mengangguk. Datuk Bululawang menyeringai. Hatinya seribu lega. "Katakan
siapa namamu?" "Aku Sandaka..."
"Bagus!" ujar Datuk Bululawang penuh girang. "Katakan kepada siapa kau harus
tunduk dan patuh!"
"Hanya kepadamu..."
"Siapa diriku" Siapa namaku?"
"Kau... kau adalah Yang Mulia Datuk Bululawang...!"
Datuk Bululawang tertawa mengekeh. "Ternyata semua berjalan sesuai aku harapkan.
Tapi aku harus mengujinya sekali lagi..." kata Datuk Bululawang dalam hati. Lalu dia
menunjuk pada sosok Anggini yang menelungkup di atas tanah. "Kau kenal siapa gadis itu?"
"Aku tidak mengenal Datuk..."
"Berarti jalan pikirannya tidak bisa berjalan ke masa lampau," kata Datuk dalam
hati. "Kalau aku perintahkan kau membunuh gadis itu apa jawabmu"!"
"Aku akan melakukan perintahmu sekarang juga!" jawab Sandaka.
Dua matanya seperti menyala. Lalu kakinya hendak melangkah mendekati sosok
Anggini. Datuk Bululawang angkat tangan kananya, "Tak usah sekarang!" katanya. Sandaka
berhenti melangkah. Kini sang Datuk yang mendatangi. Kalau tadi sosok pemuda itu sangat
mengerikan baginya, kini tiba-tiba ada perubahan aneh. Tubuh berlumuran darah
itu justru membuatnya merangsang. Nafasnya memburu. Darahnya mengalir cepat dan panas.
Sesaat setelah memandangi sosok Sandaka, Datuk Bululawang mengulurkan tangannya meraba
dada dan perut Sandaka. Lidahnya berulang kali dijulurkan membasahi bibir. Mata
julingya bergerak liar dan tenggorokannya turun naik.
"Tanggalkan cawatmu!" perintah Datuk Bululawang. Kali ini suaranya tidak lagi
membentak tapi berubah lembut. Sandaka lakukan apa saja yang diperintahkan kakek berpunuk
itu. Datuk Bululawang seperti terbakar oleh rangsangan nafsu aneh yang menggelegak dalam
tubuhnya melihat sosok telanjang Sandaka. "Berbaringlah di tanah..." bisiknya.
Sandaka kembali lakukan apa yang diperintahkan. Dia berbaring menelentang di
tanah. Datuk Bululawang menyeringai. Tangan kanannya menyeringai membuka jubah merahnya. Lalu
dia berbaring di samping tubuh Sandaka. "Kita akan bersenang-senang Sandaka. Kau
harus melayaniku... kau suka...?" bisik Datuk Bululawang.
"Apa yang Datuk Bululawang suka, aku juga suka..." jawab si pemuda.
Tua bangka perpunuk itu tertawa perlahan. Tangan kanannya mulai meraba sekujur
tubuh Sandaka. Keringat seperti membakar Datuk Bululawang. Nafasnya memburu. "Kau
hebat Sandaka. Kau akan menjadi pendamping abadiku! Kita akan segera menguasai dunia
persilatan..." bisik Datuk Bululawang sambil membelai tubuh Sandaka.
Baru saja tua bangka yang mempunyai kelainan seksual itu selesai membisikkan
sesuatu tibatiba terdengar suara pekikan keras perempuan merobek kesunyian
malam. "Terlambat!
Celaka aku datang terlambat!" Bersamaan dengan itu satu larik sinar hijau panas
menghantam ke arah Datuk Bululawang.
Secepat kilat orang tua itu melompat. "Jahanam! Siapa yang berani menyerang
diriku!" teriak Datuk Bululawang marah sekali. "Sandaka! Bersiaplah membunuh korban
pertamamu!"
Ketika siuman, Wiro mendapatkan dirinya berbaring di atas sebuah tempat tidur
berkasur empuk dilapisi kain penutup indah berbunga-bunga. Dia mengenakan sehelai jubah
terbuat dari kain hijau. "Siapa yang memberi aku pakaian ini...?" pikir Pendekar 212
seraya memandang berkeliling. Dia berada dalam sebuah kamar bagus sekali. Udara
sekelilingnya menebar bau harum semerbak menyegarkan.
"Aneh..." Kata Wiro dalam hati. "Kamar sebagus ini tetapi mengapa sama sekali
tidak ada jendela dan pintunya?" Lalu dia berpikir lagi. "Berapa lama aku berada di tempat
ini" Mungkin belum lama. Buktinya perutku tidak terasa lapar dan aku tidak
kehausan..."
Wiro bangkit. Sesaat dia duduk di tepi tempat tidur. Otaknya mulai bekerja. Dia
ingat apa yang telah dialaminya. Dia dan Kakek Segala Tahu berkelahi melawan Dewi Ular. Si
kakek roboh akibat racun dua ekor ular iblis peliharaan Dewi Ular. Entah bagaimana
keadaan orang tua itu sekarang. Jangan-jangan sudah menemui ajalnya. Dia sendiri juga jatuh ke
tangan Dewi Ular setelah dipatuk oleh ular hitam kepala putih yang keluar dari pusar
perempuan itu. Ingat sampai di situ, Wiro singkap jubahnya di bagian dada, tempat ular
mematuknya. "Aneh, tak ada tanda apa-apa. Tubuhku malah sehat-sehat saja, malah segar bugar.
Siapa yang mengobati diriku... Siapa yang membawaku ke mari" Tak pelak lagi, pasti
perempuan iblis itu!" Wiro memandang seputar kamar. Pada empat sudut kamar terdapat
masing-masing sebuah tiang besar dari kayu jati berukir sangat indah. Kebanyakan dari ukiranukiran itu menampilkan sosok ular berbagai rupa, mulai dari yang kecil sampai besar.
"Dewi Ular membawaku ke tempat ini. Pasti dia mengandung maksud jahat seperti
yang dikatakannya padaku. Dia ingin mempergunakan diriku untuk membunuh beberapa
tokoh silat. Si Raja Penidur, bahkan guruku Eyang Sinto Gendeng! Gila! Aku harus
mencari jalan keluar dari sini! Tapi kamar celaka ini sama sekali tak berpintu tak
berjendela!" Pendekar
212 memperhatikan lagi seputar kamar sambil garuk-garuk kepala. "Agaknya aku
harus menjebol dinding ruangan dengan pukulan sakti!" Maka Wiro segera salurkan tenaga
dalam ke tangan kanan.
Pada saat itulah tiba-tiba ada suara halus merdu menegur. "Kekasihku Pendekar
212, rupanya kau sudah sadar" Aku gembira melihat kau segar bugar..."
Wiro melengak. Dia membuka mata lebar-lebar sambil memandang sekeliling ruangan.
Sama sekali dia tidak melihat sosok orang yang berbicara itu. "Eh, siapa yang barusan
bicara menyebutku sebagai kekasih"!" ujar Wiro dengan suara dikeraskan. "Kalau bangsa
manusia, terus terang aku tidak punya kekasih. Kalau bangsa makhluk halus jejadian
apalagi!" Terdengar suara tawa merdu. "Akan kita lihat apakah kau menolak jadi kekasihku
setelah aku unjukkan diri..." Sepasang telinga Wiro menangkap ada suara desiran halus,
seperti sesuatu
meluncur. Dia berpaling ke belakang. Astaga! Kejut murid Sinto Gendeng bukan
kepalang. Tadi dia tidak melihat binatang itu di sana. Kini mengapa tahu-tahu ada di situ"
Di salah satu tiang kayu besar meluncur turun seekor ular hijau besar dan
panjang luar biasa.
Bersamaan dengan itu bau harum semerbak semakin santar. Sampai di lantai ruangan
binatang ini menggelungkan tubuhnya. Lalu perlahan-lahan ular hijau ini naikkan
kepala hingga mencapai ketinggian kepala manusia. Wiro tegak di sudut kamar dengan dada
berdebar dan siap mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 seandainya ular raksasa itu
menyerangnya. Malah tiba-tiba secara anehnya wujudnya yang berbentuk ular perlahan-lahan sirna
membentuk bayang-bayang. Bayang-bayang ini kemudian menjelma menjadi sosok tubuh
seorang perempuan mengenakan pakaian hijau, tegak membelakangi Wiro. Pakaian
hijau yang melekat di tubuhnya demikian tipisnya, hingga auratnya sebelah belakang


Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelihatan seperti bugil. Perlahan-lahan tubuh yang membelakangi itu berputar.
Wiro merasakan jantungnya seperti mau copot. Perempuan di hadapannya ternyata
memiliki wajah cantik luar biasa. Di kepalanya yang rambutnya dikonde, ada sebuah mahkota
kecil berbentuk kepala ular. "Dewi Ular..." desis Wiro tercekat. Matanya hampir tak
berkesip melihat tubuh yang hanya tertutup kain sutera hijau yang sangat tipis.
"Kau mengenaliku, aku senang sekali. Akulah kekasihmu dan kau kekasihku. Apa kau
tidak merasa bahagia?"
Wiro terdiam sesaat. Lalu dia berkata. "Kau membunuh kakekku, orang tua bergelar
Kakek Segala Tahu itu..."
"Ah, rupanya pikiranmu masih pada jembel tua itu! Tak perlu kau merisaukannya.
Racunracun ularku tidak sampai membuatnya mati..."
"Kau merencanakan menguasai dunia persilatan secara keji! Kau memperbudak
manusia bernama Sandaka itu. Kau hendak memanfaatkan diriku untuk membunuh tokoh silat
Si Raja Penidur dan guruku sendiri Eyang Sinto Gendeng...!"
Dewi Ular tertawa perlahan Dia goyangkan kepalanya. Rambutnya yang bergulung
dalam bentuk konde terbuka jatuh menjulai, tergelai di punggungnya. "Aku tidak
membantah bahwa
aku memang ingin menguasai dunia persilatan dan merencanakan pembunuhan atas
diri beberapa tokoh silat, termasuk gurumu sendiri! Aku juga tidak menyangkal dan
memperbudak dan memperalat pemuda bernama Sandaka itu. Aku juga tidak menolak
tuduhanmu bahwa aku akan memanfaatkan dirimu. Sebagai sepasang kekasih, saling
bantu adalah lumrah saja. Bukankah begitu?"
"Siapa bilang aku kekasihmu" Aku justru punya tugas untuk melenyapkanmu dari
muka Bumi ini!" Dewi Ular tertawa panjang. Bahunya digoyangkan, menyusul pinggulnya. Murid Sinto
Gendeng merasa lututnya goyah dan jantungnya berdegup keras ketika melihat
bagaimana Dewi Ular kini tak mengenakan apa-apa lagi. Gerakan bahu dan pinggulnya tadi
telah membuat pakaian sutera tipisnya merosot dan jatuh ke lantai kamar.
Dua kaki melangkah perlahan mendekati Wiro. Dua buah paha mulus bergerak
menggoyang pinggul dan pinggang langsing. Di sebelah atas, dua buah payudara yang kencang
bergoyang menantang. Lalu tiba-tiba saja tubuh telanjang Dewi Ular sudah merangkul Wiro
Sableng. "Wiro, banyak orang lelaki membenci diriku karena tidak tahu apa yang aku bisa
berikan pada mereka. Kau salah satu di antaranya. Tapi itu tidak akan lama. Sebentar
lagi kita akan lihat bahwa kau kekasihku yang lebih hebat dari Sandaka..."
Perlahan-lahan Dewi Ular tanggalkan jubah yang melekat di tubuh Wiro. Pendekar
212 merasakan tubuhnya laksana terbakar. Darahnya menggelegak. Nafsunya berkobar.
Entah sadar entah tidak, akhirnya dia membalas rangkulan Dewi Ular. Sesaat kemudian
keduanya sudah bergulung-gulung di atas tempat tidur. Nafas Dewi Ular panas memburu. Wiro
merasa tubuhnya seperti meledak-ledak oleh guncangan nafsu. Namun ada sesuatu yang
tidak beres dengan dirinya, yang membuat Dewi Ular jadi sangat kecewa dan marah dalam
gejolak birahinya. "Manusia tidak berguna! Tubuhmu saja yang tampak kukuh! Tapi kejantananmu mati!"
Murid Sinto Gendeng menggeram. Dia memandang ke bagian bawah tubuhnya. Mukanya
tampak merah. "aneh... Nafsuku menggelegak tapi mengapa..."
"Manusia tidak berguna! Rupanya kau hanya pantas menjadi santapan ular-ularku di
Sumur Seratus Ular!"
Dewi Ular melompat turun dari atas ranjang. Tubuhnya yang harum basah oleh
keringat. Tiba-tiba di salah satu dinding ruangan kamar muncul cahaya kehijauan yang
secara perlahan
berubah menjadi kemerahan lalu membentuk lingkaran yang berkelip-kelip. Paras
Dewi Ular tampak berubah ketika melihat lingkaran merah itu. Dia menyambar pakaian
hijaunya, mengenakannya dengan cepat. Lalu mendekati salah satu tiang kayu jati dalam
kamar. Sepasang tangan dan kedua kakinya digelungkan pada tiang itu. Perlahan-lahan
tubuhnya menjadi samar lalu berubah menjadi ular besar hijau. Binatang ini menjalar cepat
ke atas langit-langit kamar lalu menghilang dari pemandangan.
Begitu sosok ular lenyap, terdengar suara. "Manusia tak berguna! Kau beruntung
umurmu masih kuperpanjang beberapa waktu. Kalau tidak ada urusan mendesak niscaya saat
ini sudah kucemplungkan kau ke Sumur Seratus Ular."
Wiro hantamkan tangan kanannya ke arah tiang di mana tadi sosok Dewi Ular
berubah jadi ular hijau dan lenyap. Suara angin laksana topan prahara melanda kamar itu.
Tempat tidur dan
semua benda yang ada dalam kamar hancur berantakan. Tapi tiang kayu dan dinding
kamar serta atap ruangan sama sekali tak lecet sedikitpun! Wiro sendiri jatuh jungk ir
balik di lantai akibat terpaan angin pukulan yang berbalik menghantamnya.
Kepalanya terasa pening dan
pemandangannya berkunang-kunang.
"Keparat! Bagaimana aku bisa keluar dari ruangan celaka ini"!" keluh Pendekar
212. "Apa yang terjadi hingga perempuan iblis itu tiba-tiba meninggalkan tempat ini"!"
Wiro duduk terkulai di lantai, tak tahu apa lagi yang akan dikerjakannya. Kalau dia
menghantam lagi
ruangan dengan pukulan sakti lainnya, bukan mustahil dia sendiri bisa celaka
bahkan mati konyol di tempat itu.
Selagi dia berpikir-pikir seperti itu, sekilas dia teringat apa yang barusan
dialaminya. "Aneh, aku begitu bernafsu pada perempuan itu. Tapi kenapa aku jadi
tiba-tiba tidak mampu"
Hilang kejantanan" Aneh... Benar-benar aneh!" Wiro garuk-garuk kepala sambil
memandang ke bawah. "Jangan-jangan... Eh, jangan-jangan ini perbuatan Kakek
Segala Tahu yang memberikan obat pahit itu padaku. Kejantananku lenyap hingga aku tak
sanggpu melakukan hubungan badan dengan Dewi Ular. Berarti aku diselamatkan dari cairan
tubuh perempuan terkutuk itu! Kalau tidak, nasibku akan sama dengan Sandaka! Tapi...
Ya Tuhan! Gila! Sampai berapa lama aku kehilangan kejantanan seperti ini" Seumur hidupku"!
Celaka! Benar-benar celaka! Aku harus mencari Kakek Segala Tahu. Kuharap saja dia benarbenar belum menemui ajal. Tapi bagaimana mungkin! Keluar dari tempat ini saja aku
tidak mampu! " Selagi dia terhenyak duduk tak berdaya seperti itu, tiba-tiba terdengar suara
halus entah datang dari mana. "Anak setan! Kalau kau ingin keluar dari dalam ruangan
terkutuk itu, lekas keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya. Hantam
salah satu tiang kamar dengan api sakti! Dinding dan atap ruangan serta kayu-kayu
penyanggahnya rapuh terhadap api! Aku akan membantumu dari luar sini!
" Wiro berdiri. "Eh, siapa yang barusan bicara"!" dia berseru.
"Setan! Turut saja apa yang aku bilang! Kalau kau buang waktu, semua urusan bisa
jadi kapiran! Dunia persilatan tak bakal bisa diselamatkan!" kembali terdengar suara
halus. Wiro garuk-garuk kepala. "Eh yang bicara ini apakah... Guru!
Eyang! Engkaukah itu"!
" "Budak tolol! Lekas kau lakukan apa yang aku perintah!
" Pendekar 212 tertawa lega. "Pasti itu Eyang Sinto Gendeng..." serunya. Lalu
segera saja dia
keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sakti. Sekali mata kapak dan
batu hitam diadu satu sama lain, satu lidah api menyembur ke arah tiang besar di
sebelah kiri. Sesaat kemudian kamar itu sudah dibuncah api. Terdengar suara berkereketan.
"Celaka! Aku
bisa terpanggang hidup-hidup di tempat ini!" teriak Wiro.
Tiba-tiba di atas kepalanya terdengar suara berdentum. Atap ruangan hancur
berantakan. Ada
angin merambas masuk. Di sebelah atas Wiro dapat melihat langit malam. Lalu
muncul sosok kurus kering bungkuk bermuka reot menyeramkan. Di kepalanya ada lima buah tusuk
konde berwarna perak. "Guru! Benar kau rupanya!" seru Wiro seraya hendak menjura
memberi hormat. "Anak tolol! Bukan saatnya memakai segala peradatan! Lekas melompat keluar dari
dalam kamar itu! Atau kau memang sudah kepingin mampus ditembus api"!
" "Eyang! Terima kasih kau telah menolongku!" seru Pendekar 212 lalu sekali dia
menggenjot tubuhnya melayang ke atas.
Begitu dia menginjakkan kaki di tanah. Eyang Sinto Gendeng sudah tegak di
hadapannya. "Kita harus segera mengejar ke arah lenyapnya Dewi Ular. Dan ini!" Eyang Sinto
unjukkan dua buah benda yang dipegangnya di ujung-ujung jari tangan kirinya. Benda itu
berwarna kuning seperti terbuat dari emas.
"Benda apa itu Eyang?" tanya Wiro.
"Dua buah paku emas!
" "Paku emas"!
" "Ya, ini satu-satunya benda yang mampu menolong pemuda bernama Sandaka itu untuk
lepas dari kekuatan jahat yang menguasai dirinya. Paku ini pula yang sanggup
membunuh Dewi Ular, makhluk setengah manusia setengah ular iblis itu. Paku ini hanya ada
dua di dunia. Kalau salah atau meleset memakainya, maka akan celaka umat Tanah Jawa
ini. Memakainya juga tidak bisa sembarangan. Untuk melumpuhkan Sandaka, paku harus
menancap di kepala anggota rahasianya...
" "Gila! Bagaimana aku bisa melakukannya"!
" "Aku tidak mau susah payah memikirkan. Itu tugasmu melakukannya!" bentak Eyang
Sinto Gendeng. "Lalu bagaimana cara menggunakan paku satunya terhadap Dewi Ular?" tanya Wiro
pula. "Perempuan itu jelas tidak punya kemaluan seperti Sandaka!
" "Anak setan sialan!" maki Eyang Sinto Gendeng. "Tentu saja mana ada perempuan
yang anggota rahasianya seperti laki-laki! Edan kau! Paku emas harus ditancapkan
tepat di pusar perempuan durjana itu! Jangan tanya bagaimana melakukannya! Itu juga tugasmu!
" Wiro terdiam. Sebetulnya dia mau bertanya lagi tapi tak berani. Eyang Sinto
Gendeng hendak susupkan dua paku emas itu ke tubuh Wiro, tapi seolah baru melihat kalau sang
murid saat itu tidak berpakaian sama sekali. "Murid jahanam kurang ajar! Lekas kau cari
pakaian. Aku tunggu di sini! Kita tak punya waktu banyak!
" Wiro segera bergerak. "Tunggu!" seru Eyang Sinto Gendeng. Dia mengeluarkan
sebuah benda bulat hitam seujung kelingking. "Lekas kau telan ini!
" "Apa itu Nek?" tanya Wiro.
"Sebelumnya aku telah berjumpa dengan Kakek Segala Tahu...
" "Ah, bagaimana keadaan orang tua itu. Dewi Ular telah...
" "Dia tak kurang suatu apa. Untung keburu kutemui, dan sebelumnya dia juga telah
menjaga diri dengan obat penolak racun. Dia kutinggal di sebuah pondok di tengah hutan.
Saat ini mungkin masih ngorok..." menerangkan Sinto Gendeng. "Aku mendapat penjelasan
darinya bahwa kau diberikan obat penangkal nafsu hingga burungmu itu hanya bisa
manggutmanggut... Kalau tidak, darah di tubuhmu masti sudah dirusak dan diracuni
cairan tubuh Dewi Ular... " "Astaga!" kejut Wiro dengan muka berubah. "Jadi itu rupanya kekuatan obat yang
disuruhnya telan. Pantas burungku tidak bisa mengepakkan sayap..." Wiro garukgaruk kepala. "Nah ini! Lekas telan obat ini!" Sinto Gendeng serahkan obat hitam bulat itu
pada Wiro. Tanpa ragu sang murid segera menelannya. Lalu dia bertanya. "Nek, obat yang
barusan aku telan ini untuk apa" Mau membuat burungku jadi lebih rapuh"


Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Si nenek gelengkan kepala. "Obatku ini justru untuk menyembuhkan burungmu agar
kau nanti bisa meyakinkan Dewi Ular bahwa kau benar-benar seorang lelaki jantan!
" "Jadi... jadi Eyang sengaja hendak menyuruhku tidur dengan perempuan itu lalu
dia mencelekai diriku"
" "Kau mau tidur dengan dia sampai tujuh hari tujuh malam siapa mau yang
melarang"! Tapi
ingat, kau harus punya kemampuan untuk menahan diri. Bukan mempergunakan
burungmu, tapi menusukkan paku emas itu ke pusar Dewi Ular...
" "Wah berat Nek! Kalau akau tak sanggup menahan diri bagaimana?" tanya Wiro.
"Kalau begitu lebih bagus kau bunuh diri saja sekarang-sekarang ini!" sahut
Eyang Sinto Gendeng. Lalu tanpa banyak bicara lagi dia berkelebat pergi.
Begitu orang yang memekik menampakkan diri, Sandaka segera melompat ke
hadapannya. Ternyata yang muncul adalah Dewi Ular. "Sandaka! Apa yang terjadi dengan dirimu!
Celaka!" Dewi Ular berteriak keras dan tersurut beberapa langkah ketika melihat
keadaan Sandaka yang ditancapi paku baja putih murni mulai dari kepala sampai ke kaki
serta penuh gelimangan darah.
"Kekasihku..." ujar Dewi Ular seraya mendekati Sandaka sambil membuat gerakan
hendak merangkul pemuda itu. "Kau dalam bahaya. Lekas ikuti aku. Tinggalkan tempat
ini... " "Sandaka!" Datuk Bululawang berteriak. "Lekas bunuh perempuan di hadapanmu!
Jangan biarkan dia memelukmu!
" "Sandaka!" balas berteriak Dewi Ular. "Jangan dengarkan ucapannya! Kau adalah
kekasihku! Kau harus tunduk dan patuh padaku! Ayo lekas pergi!
" Dewi Ular yang hendak memeluk si pemuda tertahan gerakannya ketika melihat
bagaimana sepasang mata Sandaka memancarkan sinar hijau berkilat. Wajah dan tubuhnya yang
berpaku-paku dan tertutup darah ikut memancarkan sinar kehijauan. Itulah hawa
dan tanda pembunuhan! "Celaka! Paku-paku keparat itu benar-benar telah melumpuhkan otaknya! Kini dia
hanya mengikut pada perintah dajal bertangan buntung ini! Sebaiknya kuhabisi dulu tua
bangka keparat ini!" Dewi Ular kebutkan lengan baju hijaunya. Dua gelombang angin
sedahsyat topan prahara menderu ke arah Datuk Bululawang. Sang datuk cepat menyingkir.
Namun lawan menyusul pukulan tangan kosong dengan satu hantaman jarak pendek. Baru
saja dia mampu menghindar, tiba-tiba Dewi Ular sudah berada di sampingnya melancarkan
jotosan ke pelipis kirinya.
Datuk Bululawang umbar tawa mengekeh . Berkelahi jarak dekat, justru ini maunya.
Dia seperti membiarkan kepalanya dihantam pukulan lawan. Namun diam-diam tangan
kanannya melesat ke perut Dewi Ular , siap menjebol dan membetot isi perut perempuan ini.
Dewi Ular yang sudah tahu keganasan ilmu Datuk Bululawang tidak berlaku ayal.
Dia tekankan kedua tumitnya ke tanah. Sesaat kemudian tubuhnya melayang ke atas.
Dari rongga bawah pakaian hijaunya melesat keluar dua ekor ular hijau. Dua binatang jejadian
ini langsung melesat ke arah Datuk Bululawang.
"Desss! Prakkk!"
Kepala ular hijau sebelah kanan hancur dihantam tangan sakti Datuk Bululawang.
Namun dia tidak mampu menghantam ular kedua ataupun menghindar. Binatang ini mematuk ke
arah matanya. Sesaat lagi mata kiri orang tua bertubuh pendek dan berpunuk ini akan
hancur menjadi satu lobang yang mengerikan, tiba-tiba dari samping ada dua larik sinar
hijau menyambar. Ular hijau yang hendak mematuk mata sang datuk hancur berkepingkeping. Dewi Ular terpekik dan cepat bertindak mundur. Dadanya mendenyut sekali. Dia
memandang ke kiri di mana Sandaka tegak dengan pandangan mata angker. Dewi Ular tahu
pemuda itulah yang barusan menyelamatkan Datuk Bululawang dengan semburan cahaya hijau sakti
dari kedua matanya. "Sialan! Aku tak mungkin bisa melawannya. Apalagi ada datuk keparat itu di sini.
Hari ini aku terpaksa mengalah. AKu terpaksa menyingkir! Jahanam betul!
" "Sandaka! Lekas kau habisi perempuan itu!" teriak Datuk Bululawang ketika
dilihatnya gelagat Dewi Ular hendak melarikan diri.
Manusia paku yang kini berada di bawah pengaruh dan kekuasaan Datuk Bululawang
menggereng keras. Dengan satu kali lompatan saja dia sudah berada di hadapan
Dewi Ular. Dia kedipkan kedua matanya. Dua larik sinar hijau menyambar. Dewi Ular melompat
ke balik sebatang pohon seraya menghantam dengan tangan kanan.
"Wusss!"
"Braaak!"
Batang pohon besar hancur berantakan. Pohon tumbang dengan suara bergemuruh.
Seluruh kulit sampai ke ranting serta daun-daunnya berubah hijau kehitaman. "Kejar dia
Sandaka! Jangan sampai lari! Dia harus mati di tanganmu!" teriak Datuk Bululawang.
Di balik pohon yang tumbang, Dewi Ular robek pakaiannya di bagian perut.
Pusarnya menyembul di antara keputihan perutnya. Ketika Sandaka muncul di depan sana
untuk mengejarnya, Dewi Ular gerakkan perutnya. Seekor ular hitam berkepala putih
melesat keluar dari pusar perempuan itu. Binatang jejadian ini kelihatannya memiliki panjang
yang tidak terbatas karena tubuhnya terus memanjang sampai akhirnya mencapai tempat Sandaka
berada, sementara ekornya masih berada dalam perut Dewi Ular!
"Wuuuuutttt!"
Kepala ular putih menyambar. Mulutnya mematuk ke muka Sandaka. Pemuda ini cepat
merunduk lalu membalik. Tangan kanannya berhasil menyambar tubuh hitam ular
jejadian itu dan langsung dicengkeram. Ular hitam kepala putih menggeliat dan membalikkan
kepala. Saat itulah Sandaka kedipkan kedua matanya.
"Wusss! Wussss!" Dua larik sinar hijau berkiblat.
Dewi Ular menjerit panjang ketika melihat ular hitam kepala putihnya hancur
lebur. Perutnya
terasa panas. Cepat dia pegang perutnya di bagian pusar. Sebelum Sandaka datang
mengejar, perempuan ini berkelebat lenyap tinggalkan tempat itu.
"Kejar dia Sandaka! Cepat! Jangan biarkan lolos!" teriak Datuk Bululawang.
Sandaka segera berkelebat. Namun saat itu ada dua bayangan menghadangnya. Satu seorang
nenek tua berbadan bongkok bermuka perot dan berkulit sangat hitam. Satunya lagi seorang
pemuda gendeng aneh mengenakan pakaian seperti pakaian perempuan. Kedua orang ini bukan
lain adalah guru dan murid Eyang Sinto Gendeng si nenek sakti dari Gunung Gede, dan
Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Datuk! Ada yang coba menghadangku!" kata Sandaka. Datuk Bululawang telah
melihat kehadiran kedua orang itu. Dia segera mengenali si nenek, tapi tak mampu
mengenali Wiro.
Tanpa pikir panjang dia berteriak beri perintah. "Singkirkan mereka Sandaka!
Bunuh! " Sandaka menggerang.
"Wiro! lekas kau hantam dia dengan salah satu dari dua paku emas itu!" eyang
Sinto Gendeng berbisik.
"Aku memang sudah siap melakukannya Eyang! Tapi kau lihat sendiri. Dia
mengenakan cawat. Mana aku bisa menduga yang mana kepala anggota rahasianya!" menyahuti
Wiro sementara paku emas sudah berada dlaam genggamannya.
"Sialan! Yang menonjol itu pasti kepalanya!" kata si nenek setengah berteriak.
"Mungkin benar. Tapi kalau bukan bagaimana" Kita bisa celaka semua! Nek, aku
minta kau menyerang kakek buntung yang menguasai pemuda itu. Sandaka pasti bertindak
menolongnya. Aku akan cari kesempatan untuk menanggalkan atau merorotkan
cawatnya..."
"Anak setan! Akalmu kuterima!" jawab Eyang Sinto Gendeng sambil tertawa
cekikikan lalu dengan tongkat butut di tangannya dia menyerbu Datuk Bululawang.
"Tua bangka tolol! Jauh-jauh dari Gunung Gede kau datang hanya mencari mampus!"
teriak Datuk Bululawang seraya kebutkan lengan jubah kanannya. Ujung tongkat butut di
tangan si nenek bergetar keras ketika dihantam angin tangkisan lawan. Sinto Gendeng ganda
tertawa. Dia sengaja lepaskan tongkatnya. Selagi tongkat ini melayang ke atas, dia cabut
dua buah tusuk kondenya yang terbuat dari perak dan merupakan senjata ampuh.
"Wutttt! Wuuuuut!"
Dua tusuk konde melesat ke arah Datuk Bululawang. Dari samping, Sandaka
berkelebat menghadang serangan Sinto Gendeng. Dengan tangan kirinya, tusuk konde yang
pertama dihantamnya sampai mental. Tusuk konde kedua dengan tenang diterimanya dengan
tubuhnya. Tusuk konde itu menancap dalam di dada kanan Sandaka. Sambil
menyeringai, Sandaka cabut tusuk konde itu lalu meremasnya hingga hancur.
Saat itu tongkat yang melayang ke atas telah turun dan cepat ditangkap oleh
Sinto Gendeng. Begitu tongkat berada dalam genggamannya, dia kembali menyerbu sang datuk.
Sekali ini si nenek menyerang bukan hanya dengan tongkat. Tangan kirinya ikut bergerak dan
menghantam dengan "Pukulan Sinar Matahari" yang dahsyat.
Lima jari tangannya didorongkan sambil membuat gerakan mencengkeraman. Biasanya
sekali jari-jari tangannya menyentuh bagian tubuh lawan, pasti langsung bisa dibuat
jebol lalu disentakkan kembali. Tapi sekali ini bagaimanapun dia kerahkan tenaga luar dan
dalam, jari tangannya tidak mampu menjebol. Padahal tubuh nenek kurus kering itu tinggal
kulit pembalut tulang. Keringat dingin mengucur dan kedua matanya yang juling
berputar-putar.
Sinto Gendeng tertawa berlagak. "Bagaimana Datuk..." Kau tak sanggup menjebol
tubuhku" Mustahil!! Kau manusia sakti luar biasa. Tangan saktimu ditakuti rimba
persilatan. Masak
menjebol perut tipis peot begini saja kau tidak sanggup"!"
"Jahanam!" maki Datuk Bululawang. Mulutnya komat-kamit seperti merapal sesuatu.
Sinto yang memiliki wajah seperti tengkorak tertawa.
"Ilmu siluman apa yang hendak kau keluarkan Datuk busuk?" ejek Sinto. Dia
menahan nafas. Tangan Datuk Bululawang lengket dan disedot. Bagaimanapun sang Datuk
Bululawang kerahkan tenaga berkutat untuk melepaskan tangan itu namun sia-sia saja. Malah
rasa panas tiba-tiba menjalar dari perut si nenek, terus mengalir ke tangan, lengan dan
sekujur tubuhnya.
"Datuk Bululawang! Saat kematianmu sudah dekat. Kau memang sial tidak kesampaian
menjadi raja diraja rimba persilatan. Namun di masa lalu kebejatanmu sudah
terkenal. Kau merusak anak-anak muda dengan nafsu bejatmu! Kau membunuh orang-orang persilatan
tanpa sebab! Lihatlah ke atas. Malaikat maut sudah turun mendatangimu!"
"Dajal tua! Aku memilih mati bersama!" teriak Datuk Bululawang. Mulutnya
didekatkan ke leher Sinto Gendeng. Maksudnya dia hendak menggigit putus urat leher si nenek.
Tapi lebih cepat dari gerakan kakek berpunuk ini, dua tangan Sinto Gendeng berkelebat ke
atas kepalanya mencabut dua buah tusuk konde perak. Lalu secepat kilat tusuk konde
itu ditancapkan ke mata kiri dan kanan Datuk Bululawang.
"Crass!"
"Crass!"
Dua bola mata Datuk Bululawang pecah. Darah muncrat. Datuk Bululawang menjerit
setinggi langit! "Sialan!" maki Sinto Gendeng ketika muncratan darah membasahi muka
tengkoraknya. Tangan kanannya dikemplangkan ke batok kepala Datuk Bululawang.
Saat itu Sandaka meloncat dan berseru. "Jangan bunuh! Beri aku kesempatan balas dendam
kesumat sakit hati!"
Sinto Gendeng hentikan gerakannya. Dia menatap wajah dan tubuh telanjang
berpaku-paku pemuda lalu menyeringai. "Manusia paku aku luluskan permintaanmu! Silahkan
lakukan apa yang kau mau!" kata nenek sambil tetap saja merekatkan tangan Datuk Bululawang
ke

Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perutnya. Sandaka mendekat. Semula Sinto mengira Sandaka akan memukul hancur
kepala atau mematahkan batang leher Datuk Bululawang. Ternyata tangan kanannya
menyelinap ke bawah jubah Datuk Bululawang. Terdengar sesuatu hancur dalam remasan Sandaka.
Datuk Bululawang kembali menjerit setinggi langit ketika anggota rahasianya diremas
hancur oleh Sandaka. Sinto Gendeng merinding mendengar suara berderak hancur anggota rahasia Datuk
Bululawang. Segera ia lepaskan tangan Datuk Bululawang dari sedotan perutnya.
Dalam keadaan limbung Datuk Bululawang akhirnya jatuh terkapar di tanah, menjerit dan
melejanglejang tiada henti.
"Kau tidak membunuhnya?" tanya nenek dengan mulut dimencongkan.
"Kematian terlalu enak bagi dia. Biarkan dia hidup seperti itu. Lebih hina
seperti binatang,"
jawab Sandaka. Tempat itu sunyi beberapa ketika. Sinto Gendeng bangkit dari peti yang
didudukinya. Dia
berpaling kepada muridnya. "Anak setan, kurasa tugasku sudah selesai.
Selanjutnya kuserahkan kepadamu. Dewi Ular masih hidup. Kau tahu apa yang harus dilakukan..."
Dengan ujung tongkat, nenek ketuk-ketuk peti besi di dekatnya. "Aku yakin ada
sesuatu yang sangat berharga dalam peti ini. Kalau kau tidak berkesempatan mengurusnya,
serahkan kepada murid Dewa Tuak untuk membantu!" Lalu Sinto berpaling kepada Anggini.
"Sampaikan salam hormatku kepada gurumu. Katakan aku tidak dapat menyambanginya.
Aku harus cepat-cepat kembali ke puncak Gunung Gede. Dunia luar ini menyesakkan
nafas dan dadaku karena sudah terlalu kotor!"
Anggini hanya menunduk tidak berani menatap wajah nenek dan menjawab dengan
anggukan kepala. "Aku pergi sekarang..."
"Eyang! Ada yang hendak saya tanyakan..." Wiro cepat berkata. Anggini ikut
menimpali. "Benar, saya pun ada sesuatu yang ingin dipertanyakan. Sekalian menyampaikan
pesan guru saya...." Sinto Gendeng seperti sudah maklum apa yang akan ditanyakan oleh kedua pemuda
pemudi ini, yakni menyangkut perjodohan mereka yang terkatung-katung sejak lama.
Setelah batuk beberapa kali Sinto berkata. "Kalian semua dengarlah. Aku sudah maklum dengan
apa yang hendak kalian sampaikan. Saat ini sebaiknya menyelesaikan urusan besar daripada
membicarakan masalah ini. Biar aku sendiri yang akan menemui Dewa Tuak untuk
menuntaskan persoalan!" Habis berkata begitu nenek berkelebat pergi.
Anggini berpaling pada Wiro dan berkata. "Kau dengar, dia akan menemui guruku
untuk membicarakan kita" Aku yakin sampai sepuluh tahun ke depan tidak akan
melakukannya. Kalaupun berjumpa guru pasti ada saja alasannya untuk tidak membicarakannya!"
Wiro tegak garuk-garuk kepala, tidak bisa memberi jawaban apa-apa. Kemudian baik
Anggini dan Wiro sama-sama menyadari Sandaka tidak ada lagi di tempat itu.
"Ke mana dia"
" "Kurasa mengejar Dewi Ular," jawab Anggini.
"Bagaimana kau bisa tahu"
" "Dendam kesumatnya kepada perempuan iblis itu setinggi langit sedalam lautan.
Dia membunuh kekasih calon istrinya sendiri akibat pengaruh jahat Dewi Ular. Yang di
sana itu makamnya.... " "Dia pantas membalas dendam, tapi aku rasa ilmu kesaktiannya tidak sehebat dulu
lagi. Dia akan dibunuh oleh Dewi Ular semudah membalik telapak tangan. Aku harus mengejar
dan menolongnya, tapi ke mana"
" "Ke tempat kamu pernah disekap dulu," ujar Anggini.
"Tempat itu sudah hancur porak poranda....
" Anggini berpikir sebentar. "Sandaka pernah bercerita bahwa Dewi Ular punya
tempat di sebuah pegunungan Batu Pualam di Laut Selatan. Tempatnya tidak jauh dari Candi
Lor Ampenan.... " "Candi Lor Ampenan, aku tahu tempatnya. Tempat itu sering digunakan manusiamanusia aneh yang berpesta sambil berhubungan badan di tempat terbuka...
" "Ah, pengalamanmu sungguh luas rupanya," ujar Anggini, membuat wajah Wiro
memerah. "Aku akan mengejar ke sana!" Wiro mengambil keputusan.
"Tunggu dulu! Bagaimana dengan peti itu?" tanya Anggini.
"Peti itu" Eh, itu menjadi urusanmu!" jawab Wiro.
"Enak saja! Dari pada berat-berat membawanya lebih baik ditinggal saja...
" Wiro memandang peti itu sambil garuk-garuk kepala. Dia lalu melangkah mendekati
peti itu. Dengan sebuah batu gerendel pengunci peti dibukanya. Ketika tutup peti terbuka,
terlihat tumpukan batangan emas memancarkan sinar kuning benderang. "Setelah tahu isinya,
kau masih mau meninggalkan peti besi ini di sini?" tanya Wiro sambil tertawa, lalu
tanpa menunggu jawaban si gadis dia berkelebat cepat ke arah barat.
Meski berhasil mencapai Candi Lor Ampenan yang terletak tak jauh dari bebukitan
mengandung batu pualam di pantai selatan, namun sampai pagi muncul dan matahari
naik, Pendekar 212 Wiro Sableng tak juga menemukan tempat kediaman Dewi Ular. Apalagi
tidak diketahui jelas apa tempat kediaman itu berupa sebuah bangunan atau goa.
Dengan perasaan jengkel murid Sinto Gendeng kembali ke Candi Lor Ampenan. "Apa
yang harus aku lakukan?" pikir sang pendekar sambil duduk di tangga batu, bersandar
pada tubuh sebuah stupa berbentuk naga. Melihat bentuk stupa ini murid Sinto Gendeng ingat
pada senjata saktinya yang juga berbentuk berbentuk kepala dan tubuh naga.
Disibakkannya pakaiannya. Baru dia sadar bahwa sampai saat itu dia masih mengenakan pakaian
perempuan. Pakaian ini ditemukannya direruntuhan kediaman Dewi Ular di mana dia disekap.
Daripada telanjang lebih baik dia kenakan pakaian itu walau kelihatan lucu.
Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Sesaat kapak itu
hanya diletakkan di pangkuan sambil diusap-usap. Kemudian dia ingat kalau senjata ini
juga merupakan suling keramat. Wiro angkat kapak sakti dan mendekatkan mulut kapak ke
bibirnya lalu mulai meniup.
Dia tidak tahu lagu apa yang dimainkan dan berapa lama dia bersuling ketika
tiba-tiba hidungnya mencium bau harum semerbak. "Dia datang..." suara hati Wiro bergetar.
"Dari jurusan kiriku...." Seolah tidak mengetahui murid Sinto Gendeng terus meniup
sulingnya. Dia tidak menunggu lama. Satu bayangan hijau berkelebat. Di lain kejab Dewi Ular
telah berdiri di hadapannya. Wajahnya yang cantik tampak seperti tidak berdarah dan
tatapannya penuh selidik. "Kau sengaja muncul di sini mencariku! Apa kau kira aku akan
menerima seperti dulu" Kau tidak sadar kalau dirimu hanya bangkai hidup tidak berguna?"
Wiro berhenti meniup sulingnya. Dewi Ular jadi mengkelap. Namun sebelum
amarahnya meledak dia ajukan pertanyaan. "Bagaimana kau bisa lolos dari tempat itu"
Bagaimana kau dapatkan pakaian itu" Kau tahu itu pakaian perempuan. Apa otakmu sudah miring"
" Wiro turunkan Kapak Naga Geni 212 dan meletakkan di atas pangkuannya. Seperti
baru menyadari, Dewi Ular perhatikan senjata itu dengan seksama. "Waktu di kamar aku
terlalu bodoh tidak mengamankan senjata itu....
" "Dewi, nenek sakti yang jadi guruku menolongku dari sekapanmu di kamarmu yang
indah. Lalu karena pakaianku lenyap akibat ledakan dan kobaran api dan hanya
mendapatkan pakaian ini, ya aku gunakan seadanya. Lalu mengenai otakku, kalau kau nanya
apakah otakku sudah miring, kurasa belum...
" "Kenapa kau datang ke tempat ini"! Sengaja mencariku dengan maksud jahat"!
" "Kau betul. Aku kemari memang sengaja mencarimu. Untuk membuktikan aku
sebenarnya bukan lelaki banci. Bukan pemuda yang sudah kehilangan kejantanannya...
" "Eh, apa maksudmu.."!
" "Kalau Dewi Ular masih bermaksud menjadikanku sebagai pendamping dan kekasih,
aku akan buktikan bahwa aku bisa memuaskan Dewi Ular lahir batin...
" Paras Dewi Ular berubah kemerahan. Kedua matanya memandang bagian bawah pemuda
itu seolah mau menembusnya. "Pendekar 212, waktu aku menarik diri dari perkelahian
dengan Sandaka dan Datuk Bululawang jangan kira aku kehilangan keberanian dan
kesaktian. Aku masih bisa pecahkan kepalamu dengan satu jentikan saja! Jadi jika kau bermaksud
menipuku, sekarang nyawamu sudah dalam genggamanku!"
"Dewi, aku berkata apa adanya. Aku meminta sesuai dengan permintaanmu. Jika kau
tidak berkenan lagi melihatku, izinkan aku pergi..." Wiro membuat suaranya seperti
orang sedih, lalu perlahan-lahan dia berdiri dan melangkah pergi. Dari belakang Dewi Ular
memperhatikan Wiro yang mengenakan pakaian perempuan itu sambil menahan tawa.
"Wiro! Tunggu!" Dewi Ular berseru. "Bagaimana kalau kau kembali mengecewakan
diriku! Ternyata kau bukan seorang jantan yang aku idamkan"!
" "Aku rela kau bunuh menurut sukamu. Dicincang, dibakar, diapakan saja!
" Dewi Ular tersenyum. Dia melangkah mendekati pemuda itu lalu merapatkan tubuhnya
lekatlekat dan merangkul Wiro kencang-kencang.
"Dia menguji kelakianku..." membatin murid Sinto Gendeng. Dia segera simpan Kapak
Naga Geni 212 lalu balas merangkul Dewi Ular, malah sambil tangannya disusupkan ke
balik pakaian hijau tipis perempuan cantik itu.
Dewi Ular merasa badannya menggeletar ketika diam-diam dia merasakan memang ada
kelainan pada diri Wiro. Digigitnya dada Wiro dengan beringas hingga Wiro
kesakitan. "Tempatku tidak jauh dari sini, ikuti aku..." kata Dewi Ular sambil melihat ke
arah bagian bawah tubuh Wiro.
Tempat yang dikatakan Dewi Ular itu adalah sebuah bangunan terbuat dari Batu
pualam beratap ijuk, terletak di lereng bebukitan batu. Tepat di depan bangunan ada
sebuah jurang sedalam hampir enam puluh kaki. Bagian depan bangunan terbuka sehingga dapat
melihat bebas ke pemandangan yang menawan. Dewi Ular bersandar ke dinding batu pualam,
menghadap ke bagian depan bangunan. Dia sengaja duduk dengan dua kaki di buka
untuk memancing. Murid Sinto Gendeng beringsut mendekat. Dalam hati membatin. "Kalau
aku tidak kuat menahan mungkin nasibku tidak berbeda dengan Sandaka. Dan mungkin aku
sendiri yang akan membunuh Raja Penidur dan Eyang Sinto Gendeng...
" "Tempat ini agak panas... aku mulai keringatan. Dewi, apakah aku boleh membuka
pakaian?" Dewi Ular tersenyum lalu tertawa merdu. "Seharusnya dari tadi kau buka
pakaian itu. Setelah itu tolong kau bukakan pakaianku..
" Tubuh Wiro menggelora menahan rangsangan yang membuat nafasnya memburu dan
panas. Selesai membuka pakaiannya, dia melakukan apa yang dikatakan Dewi Ular, yaitu
membuka kain sutera hijau itu.
Selagi Wiro menanggalkan pakaiannya, sepasang mata wanita itu tidak lepaslepasnya menatap ke bagian bawah tubuh Wiro. Sambil berbisik dia berkata. "Kau tidak
berdusta, sekarang aku melihat sendiri kau benar-benar seorang lelaki....
" Dewi Ular menggayutkan kedua tangannya ke leher Wiro. Lalu dengan penuh nafsu
wanita itu mendorong tubuh Wiro ke lantai dan menindihnya. "Aku tidak menyesal
kehilangan Sandaka. Kau pengganti yang lebih hebat...
" "Kita belum melakukannya Dewi. Aku belum membuktikan..." bisik Wiro yang membuat
Dewi Ular mengerang lirih lalu menindih pemuda itu kuat-kuat.
"Kalau begini terus aku tidak punya kesempatan melakukan hal itu..." Wiro
membatin. Lalu pura-pura seperti orang yang dirangsang nafsunya membolak-balik tubuhnya.


Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bersamaan dengan itu tangannya mengambil paku emas yang diikatkan di balik
rambutnya yang gondrong. "Dewi, aku akan melakukannya..
" "Lakukan cepat Wiro! Tubuhku seperti kau panggang..."
Tangan Wiro meluncur ke bawah. Dewi Ular menggelinjang kegelian ketika tangan
itu mengusap perutnya. Wiro memegang paku emas erat-erat. Usapannya sampai ke pusar
Dewi Ular. "Wiro, aku merasa ada sebuah benda di tanganmu. Kau..." Ucapan Dewi Ular
hanya sampai di situ. Paku emas di tangan Wiro menusuk deras dan amblas ke dalam
pusarnya. Dewi Ular menjerit keras. Dia memandang ke bawah ke arah pusarnya. "Paku emas!!"
teriak Dewi Ular dengan muka pucat. "Manusia keparat!" sepasang mata Dewi Ular
menyorong garang. Sinar hijau berkilauan, tapi serta merta lenyap. Dia kedipkan matanya,
tidak ada sinar
maut yang keluar. Dia coba mencengkeramkan kedua tangannya ke leher pemuda itu
untuk mencekik. Tapi dengan mudah Wiro menepis hingga Dewi Ular terpekik kesakitan.
Darah mengucur dari pusar Dewi Ular yang berlubang. Di antara kucuran darah
kelihatan kepulan asap hitam berbau busuk. Wiro cepat bangkit dan cepat jambak rambut
perempuan itu lalu menyandarkan tubuhnya ke dinding batu. Mahkota kepala ularnya
menggelinding jatuh ke lantai batu.
"Bangsat penipu...!" kutuk Dewi Ular. Dia mengumpulkan sisa kekuatannya.
Didahului satu jeritan dia lancarkan tendangan ke arah perut Pendekar 212 dan mendarat cukup
telak sehingga murid Sinto Gendeng itu terlempar dan terkapar di lantai. Dewi Ular
cepat bangkit. Dia menyambar Kapak Naga Geni 212 yang diletakkan Wiro di bagian depan bangunan.
Wiro tak mau berlaku ayal. Dia cepat melompati perempuan itu dan hantamkan
tangan kanan memukul lengannya. Dewi Ular menjerit kesakitan. Senjata mustika yang sempat
dipegangnya terpaksa dilepaskan dan jatuh berkerontang di lantai pualam. Sambil
menahan sakit Dewi Ular berusaha berdiri. Darah berbau busuk semakin banyak mengucur
dari pusarnya yang ditancapi paku emas.
"Pendekar 212..." desis Dewi Ular. Dia bersandar ke dinding sambil sedikit demi
sedikit bergeser menuju bagian depan bangunan. "Aku rela mati di tanganmu. Tapi sebelum
mati, penuhi dulu satu permintaanku..." Dia bergerak lagi menuju bagian depan
bangunan. "Katakan apa permintaanmu!" ujar Wiro.
"Tiduri diriku. Di sana, dekat jurang sana. Kalau sudah kau lakukan, kau boleh
membunuhku dan membuang mayatku ke dalam jurang!"
Pendekar 212 kernyitkan kening.
"Jangan takut... Aku tidak akan meracuni tubuhmu seperti kulakukan terhadap
Sandaka. Saat ini aku..." Ucapan Dewi Ular putus sampai di situ. Dengan satu gerakan kilat,
perempuan ini jatuhkan diri meluncur di atas lantai batu pualam yang licin menuju bagian depan
bangunan di mana Kapak Maut Naga Geni 212 tergeletak.
"Sial! Mengapa aku tidak cepat mengamankan senjata itu!" rutuk Wiro menyesali
kebodohannya sendiri. Dia berusaha mengejar. Namun gagang kapak telah keburu
dipegang oleh Dewi Ular. Begitu dia hendak mengangkat senjata sakti ini, tiba-tiba sebuah
kaki yang ditancapi paku dan bergelimang darah menginjak badan kapak.
Dewi Ular terpekik dan melompat menjauhi diri. Sosok tubuh yang menginjak kapak
membungkuk mengambil senjata itu. Sandaka! Wiro hendak berteriak agar Sandaka
segera menyerahkan senjata itu padanya. Namun sesaat dia jadi bimbang. Kemudian
dilihatnya Sandaka melangkah mendekati perempuan itu sambil melintangkan Kapak Maut Naga
Geni 212 didepan dada. Mukanya yang bergelimang darah dan dipantek lima buah paku itu
kelihatan luar biasa mengerikan.
"Kekasihku.... Jangan....! Apa yang hendak kau lakukan"!" seru Dewi Ular.
Sandaka tidak menjawab. Mukanya semakin angker.
"Sandaka kekasihku... Dengar... Kita bisa hidup seperti dulu lagi...
" "Perempuan iblis! Tutup mulutmu!" bentak Sandaka menggeledek. "Kau tipu diriku
dengan kecantikan dan tubuhmu. Kau racuni badan dan otakku lalu kau kuasai.! Di bawah
pengaruh jahatmu kau perintahkan aku membunuh orang-orang tak berdosa. Kekasihku Mantili.
Guruku Eyang Gusti Kelud Agung...
" "Kau salah sangka Sandaka. Semua itu aku lakukan demi masa depan kita. Bukankah
kita ingin sama-sama menguasai dunia persilatan"
" "Perempuan durjana! Kau tak akan pernah menguasai dunia persilatan. Aku akan
mengirimmu ke liang akhirat lebih dulu!
" Kapak sakti di tangan Sandaka menderu. Sinar terang memancar dan suara seperti
ratusan tawon mengamuk memenuhi tempat itu.
"Sandaka! Jangan...!" teriak Dewi Ular.
Mata kapak berkiblat menghantam bahu kiri Dewi Ular. Perempuan ini menjerit
keras. Darah berwarna kehitaman mancur dari luka besar di bahunya yang mengepulkan asap.
"Sandaka... jangan bunuh diriku..." Dewi Ular memohon sambil meratap.
Kapak di tangan Sandaka berkelebat lagi. "Crasss!
" Senjata itu menghujam telak di dada Dewi Ular. Kembali terdengar jeritan
mengerikan di tempat itu. Tubuh Dewi Ular bergulingan di lantai, menggelinding ke tanah lalu
berhenti dekat pinggiran jurang. Megap-megap dalam tubuh bergelimang darah, Dewi Ular
mencoba bangkit dan mengangkat tangan kanannya ke arah Sandaka.
"Ampun Sandaka! Jangan bunuh diriku...!"
Sandaka melompat turun dari bangunan batu. Dewi Ular berpaling pada Pendekar
212. "Tolong...!" jeritnya memelas.
Sandaka sampai di hadapannya. Kaki kanan manusia paku ini berkelebat. "Bukkk!
" Tendangan yang keras menghantam tepat bagian dada Dewi Ular yang robek besar.
Tak ampun lagi, tubuhnya mencelat mental dan masuk kedalam jurang. Suara jeritannya
menggema sampai ke dasar jurang batu itu.
Untuk beberapa lamanya Sandaka masih tegak di tepi jurang. Kemudian perlahanlahan tubuhnya membalik. Kapak Naga Geni 212 dipegangnya erat-erat. Dia melangkah ke
hadapan Wiro mengulurkan tangan menyerahkan senjata sakti itu. Wiro cepat mengambilnya.
Tanpa berkata apa-apa, Sandaka putar kembali tubuhnya. Dia melangkah lagi ke tepi
jurang. "Apa yang ada di benak manusia ini"!" pikir Wiro. Tiba-tiba dia berteriak keras.
"Sandaka! Jangan!" Wiro berusaha mengejar. Tapi sia-sia saja. Sandaka keburu menjatuhkan
dirinya ke dalam jurang batu.
Murid Sinto Gendeng baru memalingkan kepalanya dari memandangi jurang sedalam
enam puluh kaki itu ketika telinganya menangkap derap kaki kuda mendatangi. Si
penunggang kuda
ternyata gadis berpakaian ungu yang bukan lain adalah Anggini.
"Apa yang terjadi di sini...?" tanya Anggini begitu melihat darah berceceran di
mana-mana. Dia bertanya dengan muka dipalingkan ke jurusan lain.
Astaga! Wiro baru sadar kalau saat itu dia sama sekali tidak berpakaian. Dia
segera menghambur masuk ke dalam bangunan dan mengenakan kembali pakaian perempuan itu.
Keluar dari bangunan, dia baru menceritakan apa yang terjadi pada Anggini. Gadis
ini hanya bisa menarik nafas dalam.
"Satu malapetaka besar telah lewat. Apalagi yang akan terjadi di hari-hari
mendatang..."
" kata Anggini perlahan.
"Peti berisi batangan-batangan emas itu," ujar Wiro. "Kau tinggalkan di mana"
" "Jangan khawatir. Kutanam di makam Mantili, kekasih Sandaka..." jawab Anggini.
Gadis ini memandang ke langit yang tiba-tiba saja berubah mendung. "Sebentar lagi akan
turun hujan agaknya. Kita harus segera meninggalkan tempat ini Wiro...
" "Kau pergilah duluan. Di kaki bukit batu ini tak jauh dari ujung jalan ada
sebuah dangau. Tunggu aku di sana.
" "Kuda ini cukup kuat untuk kita tunggangi berdua...
" Wiro tersenyum. "Badan dan pakaianku kotor. Kau berangkat saja duluan...
" "Kau betul. Badan dan pakaianmu kotor. Apalagi pakaianmu pun kulihat aneh
sekali. Namun satu hal aku tahu. Hatimu bersih...
" Wiro gigit bibirnya. "Untuk pujian itu aku akan pergi bersamamu sampai di mana
pun juga!"
Lambang Penyebar Kematian 1 Pendekar Slebor 32 Malaikat Peti Mati Tangan Rembulan 1

Cari Blog Ini