Ceritasilat Novel Online

Kepala Iblis Nyi Gandasuri 1

Wiro Sableng 077 Kepala Iblis Nyi Gandasuri Bagian 1


WIRO SABLENG Kepala Iblis Nyi Gandasuri
http://cerita-silat.mywapblog.com tempat baca cersil mandarin & indo via HP
Kepala Iblis Nyi Gandasuri
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 1 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Kepala Iblis Nyi Gandasuri
SATU Penunggang kuda berpakaian putih memacu tunggangannya secepat setan
berkelebat. Menembus kegelapan malam dalam cuaca buruk di penghujung bulan ke
sebelas. Terpaan angin kencang dari depan membuat rambutnya yang gondrong
melambai deras ke belakang. Di puncak sebuah bukit kecil kuda coklat mandi
keringat itu berhenti berlari lalu meringkik keras tak mau maju lagi walau
selangkahpun! "Mmmmmm...." Penunggangnya bergumam lalu mengusap leher bintang itu
berulang-ulang. "Perasaan binatang ini tajam sekali...." Katanya dalam hati. Dia
terus mengusap leher kuda lalu berkata. "Tenang kudaku.... Tenang.... Tak ada yang perlu
ditakutkan. Kau dan aku membawa tugas agung! Menyelamatkan nyawa seorang
pangeran. Gusti Allah pasti menolong kita!"
Orang di atas kuda memandang ke bawah bukit. Di sebuah pedataran di bawah
sana, samar-samar dalam kegelapan malam kelihatan sebuah bangunan yang atapnya
bertingkat dua. Nyala lampu minyak di langkan depan dari kejauhan terlihat
seperti titik merah. Angin bertiup kencang di puncak bukit. Hujan rintik-rintik mulai turun.
"Kita harus melanjutkan perjalanan kudaku. Kau sudah siap....?" Si
penunggang kuda bicara lagi. Tangan kanannya terus mengusap leher kuda. Binatang
ini angkat kaki kirinya. Ekornya dikibaskan berulang kali. Dari mulut dan
hidungnya terdengar dengusan halus. "Kita berangkat sekarang!" kata si penunggang kuda
lalu menepuk pinggul binatang itu dengan keras.
Kuda coklat meringkik satu kali lalu seperti anak panah lepas dari busurnya
binatang ini melesat menuruni bukit. Kurang dari sepeminuman teh kuda dan
penunggangnya akhirnya sampai di depan rumah besar yang sebelumnya terlihat dari
atas bukit. Selain besar rumah itu ternyata dikelilingi oleh tembok tinggi
berbentuk benteng, dikawal oleh belasan penjaga bersenjata pedang dan tombak serta membawa
tameng. Begitu kuda dan penunggangnya muncul di pintu gerbang rumah besar enam
pengawal segera menyongsong. Empat menutup jalan masuk dan dua orang
mendatangi tamu tak dikenal itu dengan tombak terhunus. Enam pasang mata
memandang tak berkesip penuh curiga.
"Anak muda! Siapa kau! Ini kawasan terlarang! Tidak satu orangpun boleh
berada di tempat ini!" satu dari dua pengawal yang memegang tombak bertanya.
Suaranya garang.
"Namaku Wiro Sableng. Seseorang mengutusku untuk menemui Pangeran
Sampurno!" jawab orang di atas kuda.
"Sableng....." pengawal satunya berucap. "Kau tahu kalau sableng itu artinya
gendeng"! sama dengan gelo alias gila!"
Pemuda di atas kuda menyeringai, garuk-garuk kepala lalu mengangguk.
"Kalau sudah tahu lekas kau angkat kaki dari tempat ini! Di sini bukan
tematnya orang-orang gila keluyuran!"
"Namaku memang begitu. Tapi aku belum gila...."
"Mungkin baru setengah gila!" teriak pengawal dekat pintu masuk. Tiga
kawan di sebelahnya tertawa gelak-gelak.
BASTIAN TITO 2 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Dengar aku tidak main-main. Aku harus menemui Pangeran Sampurno...."
Kata Wiro. "Kurang ajar! Dasar gila disuruh pergi malah bandel!"
"Aku mau tahu apa keperluanmu menemui Pangeran malam-malam buta
begini. Kulihat kau orang asing. Bagaimana bisa tahu kalau ini tempat kediaman
Pangeran Sampurno"!" pengawal satunya bertanya.
"Dari mana aku tahu ini rumahnya Pangeran Sampurno buat apa dipersoalkan.
Yang penting lekas kalian bangunkan Pangeran. Aku harus menemuinya untuk
memberi tahu kalau nyawanya terancam!"
"Terancam....?"
"Nyawa Pangeran Sampurno terancam"! Kawan-kawan kalian dengar ucapan
pemuda sinting ini"!"
Enam pengawal di pintu gerbang itu lalu tertawa mengejek. Salah seorang dari
mereka berkata "Di sini ada puluhan pengawal. Jangankan manusia, angin sekalipun
tak bisa tembus!"
"Aku tidak main-main...."
"Aku juga tidak!" bentak si pengawal. Kawan di sebelahnya rupanya sudah
tidak sabar. Dia maju mendekat.
"Hanya ada satu cara mengusir orang gila ini!" lalu tombak di tangannya
diayunkan untuk menggebuk kepala penunggang kuda.
Tapi dia jadi terperangah ketika dengan kecepatan luar biasa si penunggang
kuda menarik dan merampas tombaknya. Lima kawannya tak kalah kaget. Salah
seorang dari mereka melompat dan langsung saja tusukkan tombaknya ke perut kuda.
Melihat hal ini tentu saja Wiro tidak tinggal diam. Tombak rampasannya diayunkan
ke bawah memukul tombak si pengawal.
Tranggg! Tombak di tangan pengawal itu terlepas mental dalam keadaan patah dua!
Selagi dia kaget dan marah ujung tumpul tombak di tanagn Wiro sudha menempel di
keningnya. Sekali Wiro mendorong, pengawal itu terjajar keras dan jatuh
terjengkang di tanah. Lima kawannya berteriak marah. Serta merta mereka menyerbu. Tiga
dengan tombak, dua dengan pedang. Tapi serentak kelimanya berseru kaget. Orang
yang hendak mereka serang tidak kelihatan lagi di atas punggung kuda.
"Hai! Pemuda itu lenyap!"
"Jangan-jangan dia mahluk jejadian! Setan!"
"Astaga! Lihat!" teriak salah seorang pengawal tiba-tiba. "Pemuda edan itu
ada di sana!"
Empat pengawal cepat menoleh ke arah yang ditunjuk. Ternyata saat itu
pemuda berpakaian putih berambut gondrong tengah melangkah cepat menaiki tangga
bangunan. Lima pengawal serta merta mengejar. Mereka berhasil menghadang Wiro
di anak tangga teratas. Tanpa banyak bicara lagi kelimanya terus saja menyerang.
Maka di malam buta itu terdengar suara riuh dentrangan senjata saling beradu.
Dua jurus berlalu dengan cepat. Lima pengawal berkaparan di sekitar tangga. Dua
mengerang karena kepalanya benjut di hantam tombak lawan. Satu terbungkukbungkuk kesakitan akibat sodokan ujung tombak di perutnya. Pengawal keempat
terjengkang di tangga sambil urut-urut dadanya yang kena tendangan. Lalu
pengawal kelima pegangi hidungnya yang mengucurkan darah. Untung saja hidungnya tidak
remuk dihantam tombak.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada suara menegur disertai berkelebat satu
bayangan. "Anak-anak, ada apa di sini....."!"
BASTIAN TITO 3 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro berpaling. Tak jauh di ujung tangga tegak seorang kakek berbaju dan
bercelana hitam. Dia menyandang sehelai kain sarung. Pandangan matanya tajam ke
arah Wiro. Tak satupun dari pengawal sanggup bersuara berikan jawaban. Orang tua
itu kembali menatap Wiro yang saat itu tengah berkata sendiri dalam hati. "Orang
tua jelek ini pasti bukan Pangeran Sampurno. Jika dia memanggil para pengawal dengan
sebutan anak-anak berarti dia punya kedudukan tinggi di tempat ini." Maka Murid
Eyang Sinto Gendeng cepat berkata.
"Aku datang untuk menemui Pangeran Sampurno. Enam pengawal itu malah
menganggap aku pemuda gila. Mereka bukan saja mengusir tapi juga
menyerangku....."
"Lalu kau menghajar mereka!"
"Terpaksa karena aku tentu saja tak mau digebuk...."
"Katakan siapa dirimu dan ada keperluan apa hendak menemui Pangeran
Sampurno. Melihat pada keadaan dirimu kau bukan utusan dari Kotaraja, bukan pula
seorang perajurit....."
"Namaku Wiro Sableng. Aku ke sini memang bukan di utus penguasa di
Kotaraja. Aku juga bukan seorang perajurit. Aku diutus oleh seseorang...."
"Siapa"!" memotong orang tua berselempang kain sarung.
"Maaf, aku tak dapat mengatakan pada siapapun kecuali Pangeran......"
"Pemuda edan kurang ajar! Pada pimpinan kamipun kau berani menghina!
Teriak pengawal yang terkapar di tangga.
"Ah, rupanya aku berhadapan dengan pimpinan pengawal di empat ini!" kata
Wiro. Dia menjura pada orang tua di hadapannya lalu berkata. "Kuharap kau bisa
berlaku lebih bijaksana..... Aku datang untuk memberi tahu bahwa keselamatan
Pangeran Sampurno terancam. Ada yang ingin membunuhnya!"
Orang tua di hadapan Wiro tersenyum. Dia berkata "Namaku Ki Ageng
Bantoro. Aku sudah menjadi pengawal Pangeran Sampurno sejak beliau masih bayi!
Selama itu aku tahu betul tak ada satu mahlukpun yang akan tega menyakitinya,
apa lagi membunuhnya! Beliau tidak pernah punya musuh! Jadi ceritamu bahwa ada
seseorang yang mengutus untuk memberi tahu bahwa keselamatan Pangeran terancam,
ada yang ingin membunuh beliau, itu adalah omong kosong belaka! Bukan mustahil
kau sendiri punya maksud jahat! Buktinya enam anak buahku kau buat babak
belur....."
"Aku menyesalkan kejadian itu. tapi bukan aku punya mau, mereka minta
sendiri!" jawab Wiro. "Sekarang apakah kau tetap tidak mengizinkan aku menemui
Pangeran" Aku harap kau mau membantu menjagakan Pangeran dari tidurnya. Waktu
untuk mencari selamat sempit sekali. Malaikat maut bisa datang lebih dulu dari
pada pertolongan....."
Orang tua bernama Ki Ageng Bantoro tersenyum sinis.
"Soal keselamatan Pangeran serahkan saja pada kami...."
"Salah seorang anak buahmupun tadi juga bicara takabur seperti itu. katanaya
jangankan manusia, anginpun tidak bisa tembus, kau saksikan sendiri kenyataan
kini. Mereka berkaparan di sana-sini...."
"Anak muda," kata Ki Ageng Bantoro pula. "Aku maklum kau punya ilmu.
Tapi kalau dengan sedikit ilmu saja kau sudah bicara dan bertindak pongah,
berarti kau tidak labih baik dari anak-anak buahku. Dan saat ini coba kau memandang
berkeliling. Lihat apa yang ada di sekitarmu!"
Wiro agak heran mendengar ucapan terakhir orang tua itu. perlahan-lahan dia
memandang berkeliling. Kagetlah murid Sinto Gendeng ini. ternata tempat itu
telah BASTIAN TITO 4 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dikurung oleh lebih dari dua puluh perajurit bersenjata lengkap. Sepuluh di
antaranya memegang busur dan anak panah di arahkan tepat-tepat pada dirinya!
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Dia berpaling pada Ki Ageng Bantoro.
"Jika kau dan orang-orangmu mau membunuhku, kelihatannya memang
mudah saja. Tapi apakah itu akan menolong menyelamatkan Pangeran Sampurno?"
Ki Ageng Bantoro kembali sunggingkan senyum sinis. "Saat ini yang ingin
kukatakan padamu apakah kau mau menyerah secara baik-baik atau ingin mati
terkutung-kutung!"
"Dunia ini memang aneh!" menyahuti Pendekar 212. "Maksud baik mau
menolong malah diterima salah! Kalau memang sulit berbuat kebajikan, biar aku
pergi saja! Kuharap kau tidak menyesal, orang tua...."
Wiro putar tubuhnya untuk menurni tangga.
"Tetap di tempatmu!" bentak Ki Ageng Bantoro. Sepuluh perajurit pemegang
busur merentangkan anak panah, siap untuk di lepas. "Kau telah menciderai enam
pengawal Pangeran. Apa kau kira bisa pergi seenaknya"!"
Wiro cuma menyeringai. "Aku datang dengan tujuan baik dan pergi juga
dengan maksud baik. Kalau kalian keliwat memaksa, jangan salahkan diriku!"
Baru saja Wiro berkata begitu Ki Ageng Bantoro jentikkan telunjuk dan ibu
jari tangan kanannya. Clekkk!
Sepuluh busur bergerak, sepuluh anak panah melesat! Sasaran tertuju ke satu
arah. Kepala dan badan Pandekar 212 Wiro Sableng!
BASTIAN TITO 5 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA Secepat kilat Pendekar 212 jatuhkan diri ke tangga lalu erguling ke bawah. Ki
Ageng Bantoro berseru kaget karena baru menyadari paa yang bakal terjadi. Dia
cepat menyambar sebatang tombak dari seorang pengawal yang ada di dekatnya lalu
melompat ke depan sambil babatkan tombak dalam gerakan setengah lingkaran.
Terdengar suara berdentrangan berulang kali ketika tombak menghantam anak-anak
panah yang melesat di udara. Namun tak semua anak panah bisa diruntuhkan oleh si
orang tua, empat di antaranya terus melesat menyambar. Inilah sebenarnya yang
dikawatirkan Ki Ageng Bantoro. Empat anak panah yang lolos itu menancap di tubuh
empat orang anak buahnya yang tidak keburu mengelak karena tidak menduga dan
masih berada dalam keadaan terkesiap. Keempatnya langsung rubuh.
Ki Ageng Bantoro berteriak marah. Dengan tombak masih di tangan dia
menyerbu Pendekar 212 Wiro Sableng tepat pada saat pemuda ini baru saja berusaha
bangkit. Wuttt! Ujung runcing tongkat menyambar seujung jari di depan mata murid Sinto
Gendeng. Jantungnya serasa tanggal. Cepat dia jatuhkan diri lagi begitu
dilihatnya Ki Ageng Bantoro memburu. Kali ini si orang tua kirimkan tusukan deras ke arah
kepala Wiro. Wuuuutt! Claaap! Terlambat saja Wiro menjatuhkan diri pasti tembus batok kepalanya. Tombak
di tangan Ki Ageng Bantoro menancap di tanah sampai sepertiga panjang.
"Gila!" maki Wiro. Kakinya dikibaskan coba menendang tulang kering lawan.
Dengan sigap Ki Ageng Bantoro melompat sampai setengah tombak lalu dari atas
kembali dia tusukkan senjatanya. Kali ini Wairo bergerak lebih cepat. Tangan
kiri berkelebat menepis bagian bawah mata tombak. Bersamaan dengan itu dia bangkit
dan membuat lompatan pendek sambil hantamkan tangan kanannya ke atas. Inilah
jurus yang disebut "membuka jendela memanah matahari."
Ki Ageng Bantoro merasakan kepalanya seperti copot ketika tekukan telapak
tangan Wiro Sableng menghantam dagunya dengan keras. Pukulan ini bukan saja
membuat tulan gdagunya retak dan rahangnya tergeser tetapi juga secara tidak
sengaja membuat dia menggigit lidahnya senidir hingga ujungnya hampir putus dan darah
mengucur. Orang tua ini meraung kesakitan. Tapi karena lidahnya luka parah
suaranya terdengar aneh menggidikkan di malam buta!
Sesaat seluruh anak buah Ki Ageng Bantoro yang ada di tempat itu terkesiap
tak percaya. Belum pernah mereka melihat pimpinan mereka dirobohkan lawan
seperti itu. Apa lagi lawan seorang pemuda tak dikenal pula! Begitu sadar apa


Wiro Sableng 077 Kepala Iblis Nyi Gandasuri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terjadi lebih selusin senjata diantara mereka tiba-tiba menyerbu sambil
berteriak beringas. Mendadak pintu depan bangunan besar terbuka. Sinar terang merambas ke
luar halaman. Sesaat kemudian seorang lelaki paruh baya mengenakan baju putih
lengan panjang dan sehelai kain sarung serta bersandal kulit keluar diiringi
seorang pelayan membawa lampu minyak besar.
"Ada kejadian apa di sini....?" Orang ini menegur seraya memandang
berkeliling. Dia hendak berucap kembali akan tetapi mulutnya serta merta
terkancing ketika melihat sekian banyak perajurit pengawal bergeletakan di sekitar tangga
dan BASTIAN TITO 6 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
halaman rumah besar. Salah ssatu diantara mereka adalah Ki Ageng Bantoro yang
mengerang sambil menutupkan kedua tangannya ke mulut yang mengucurkan darah.
Karena tak ada yang berani menjawab, Wiro pergunakan kesempatan untuk
maju ke hadapan oran gitu.
"Apakah saya berhadapak dengan Pangeran Sampurno?" Wiro ajukan
pertanyaan. "Aku memang orang yang kau sebutkan itu Anak muda, aku tak kenal kau dan
tak pernah melihat sebelumnya. Apakah kau yang telah menimbulkan malapetaka di
tempat ini"!"
"Saya mohon dimaafkan. Saya tidak bermaksud mencelakai siapapun. Tapi
mereka menyerang, mengeroyok bahkan bermaksud membunuh saya," Wiro coba
menerangkan. "Para pengawal di sini terlatih dengan baik dan punya kepatuhan tinggi. Jika
mereka tidak punya alasan mana mungkin hendak mencelakai dirimu"! Kau pemuda
asing, datang dan muncul malam buta begini! Orang mana yang tak akan curiga?"
"Saya sudah memberitahu maksud kedatangan. Namun para pengawal di sini
menganggap saya orang gila. Lalu ada yang menyerang. Dalam keadaan terpaksa
bagaimana mungkin saya hanya beridam diri.....?"
"Kalau begitu coba kau katakan apa maksud kedatanganmu!" ujar Pangeran
Sampurno pula sambil terus memperhatikan Wiro.
Wiro agak ragu untuk bicara di depan orang banyak. "Pengeran, kalau boleh
saya ingin bicara di tempat lain saja. Hanya kita berdua...."
Pangeran Sampurno gelengkan kepala. "Jika kau memang punya maksud baik,
bicara terang-terangan! Hanya manusia culas yang suka sembunyi-sembunyi....."
"Kalau begitua mau Pangeran, saya mengikuti saja. Saya datang diutus oleh
guru saya. Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede."
"Hemmmm cukup jauh perjalananmu. Dari barat ke timur sini." Kata
Pangeran Sampurno pula. Aku hampir lupa pada nenek sakti itu. gerangan apa yang
membuatnya mengutusmu. Pamrih apa yang gurumu inginkan....?"
"Guru saya tidak punya pamrih apa-apa. Niat menolong dilakuannya dengan
ikhlas mengingat beberapa tahun silam Kerajaan pernah membantunya." Suara
Pendekar 212 agak meradang karena dia mulai jengkel dengan ucapan-ucapan sang
Pangeran yang menghina gurunya. "Beliau meminta saya untuk menyampaikan pesan
bahwa keselamatan Pangeran sangat terancam....."
"Keselamatanku terancam?" ujar Pangeran Sampurno sesaat menatap Wiro
lalu memandang berkeliling pada orang-orangnya dengan senyum dikulum. "Ah!
Gurumu baik sekali mau memperhatikanku dan mengirimmu jauh-jauh sampai ke sini.
Ketahuilah, selama ini aku tak punya musuh. Tak ada orang beritikad jahat yang
mengancam keselamatan diri ataupun keleuargaku. Tempat kediamanku terjaga siang
dan malam. Semua aman tentram sampai saat kemunculanmu menimbulkan keobaran,
melakukan tindak kekerasan malah membunuh!"
"Maaf Pangeran, tidak satu orangpun saya bunuh di tempat ini. Yang
menemui ajal itu adalah akibat kena panah para pengawal Pangeran sendiri!"
Tiba-tiba seseorang melompat. Ternyata Ki Ageng Bantoro. Dengan darah
masih mengucur dari mulutnya dia berkata. Ucapannya agak sulit dimengerti.
"Pangeran! Manusia jahat ini pandai berdalih! Dia telah membunuh empat
orang anak buahku! Izinkan aku meringkusnya hidup atau mati!" habis berkata
begitu kepala pengawal Pangeran Sampurno ini loloskan kain sarungnya. Benda itu
diputarnya dua kali di atas kepala. Kali ketiga tiba-tiba kain sarung itu
melesat ke arah
kepala Pendekar 212. Sebelum Wiro sempat berbuat sesuatu kain sarung telah
BASTIAN TITO 7 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
menjirat lehernya. Dia berusaha meloloskan diri sambil menghantam dengan tangan
kanan. Tapi Ki Ageng Bantoro berlaku cerdik. Dengan cepat dia bergeak ke
belakang punggung Wiro. Dari sini dipuntirnya kain sarung kencang-kencang hingga jiratan
kain itu siap mematahkan tulang lehernya!
"Kain sarung jahanam! Senjata macam apa ini?" rutuk Wiro dalam hati.
Ketika mulutnya mulai terjulur dan dia sulit bernafas Wiro yang tak mau mati
konyol langsung salurkan tenaga dalam ke tangan kanan sambil merapal aji kesaktian
untuk melepas pukulan "sinar matahari" dia tak mau kepalang tanggung. Kalau bukan dia
yang putus nyawa maka Ki Ageng Bantoro terpaksa harus dibunuhnya!
Ketika tangan kanan Wiro berubah putih seperti perak dan mengeluarkan sinar
menyilaukan Pengeran Sampurno terkejut besar. Cepat dia mengangkat tangan dan
berseru pada kepala pengawalnya. "Ki Ageng! Lekas lepaskan pemuda itu!"
Sepasang mata Ki Ageng Bantoro mendelik. Dengan kesal kain sarung diputar
balik mengendur lalu dibetotnya ke atas hingga lepas dari leher Wiro. Masih
dengan sikap meradang orang tua ini mundur beberapa langkah. Sementara Wiro berdiri
sambil pegangi lehernya dengan tangan kiri kanan.
Pangeran Sampurno mendatangi Wiro, mencekal ke arah pakaian pemuda ini
lalu berkata. "Sekarang jelaskan bahaya apa yang mengancam diriku! Siapa yang
ingin membunuhku!"
"Seorang perempuan, Pangeran. Dia dekat sekali dengan dirimu. Karena
berada di dalam rumahmu....."
"Apa?" suara Pangeran Sampurno menggeledek.
"Seorang perempuan bernama Nyi Gandasuri. Dia yang ingin membunuhmu!
Malam ini!" kata Wiro.
"Kurang ajar! Nyi Gandasuri adalah istriku sendiri!" teriak Pangeran
Sampurno dengan sepasang mata membeliak seperti hendak keluar dari sarangnya.
"Memang dialah yang akan membunuhmu Pangeran. Membunuh dan
menghisap darahmu....."
"Jahanam! Istriku sedang tidur...."
"Memang dia kelihatan tidur. Tapi itu hanya sosok kasarnya. Sosok halus atau
jiwa raga, rohnya berada di tempat lain. Di bawah kekuasaan jahat!"
"Pemuda keparat! Otakmu jelas sinting dan mulutmu lancang kurang ajar!"
Pangeran Sampurno berteriak keras lalu plaaakkkk!
Tangan kirinya melayang menampar pipi kanan Wiro hingga bibir pemuda ini
luka dan berdarah.Wiro merasakan tubuhnya bergetar karena berusaha menindih
gelagak amarah. Tangan kanannya melesat ke atas mencekal pergelangan tanagn
Pangeran Sampurno.
Pangeran Sampurno adalah salah soerang pewaris tahta Kerajaan yang
memiliki kepandaian silat serta tenaga dalam dan kesaktian bukan sembarangan.
Dia mengibaskan tangannya. Disangkanya sekali sentak saja cekalan Wiro bisa
dilepaskan. Tapi alangkah terkejutnya dia ketika justru cekalan pemuda itu semakin kuat.
"Kerahkan seluruh tenagamu. Luar dalam! Kesaktianmu sekalian! Dan akan
kupatahkan tulang lenganmu dalam sekejap!" kertak Wiro dalam hati. Pandangan
matanya menembus ke dalam sepasang mata sang Pangeran, membuat tergetar hati
Pangeran Sampurno. Butir-butir keringat memercik di kening sedang punggung
pakaiannya juga basah oleh peluh.
"Pangeran, memang sulit mempercayai apa yang tadi saya katakan. Tapi saya
tidak bicara dusta. Istrimu akan membunuhmu malam ini. Karena begitu
perjanjiannya dengan dua mahluk iblis Maharaja dan Maharatu Langit Darah yang
menguasainya!"
BASTIAN TITO 8 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Keparat! Biar kupecahkan kepalamu!" senak Pangeran Sampurno yang tentu
saja tidak mau mempercayai ucapan pemuda yang tidak dikenalnya itu. Malah dalam
marahnya dengan cepat tangan kirinya dihantamkan ke batok kepala Pendekar 212.
Namun serangan maut itu tidak dapat mencapai sasaran karena saat itu juga Wiro
mendahului memuntir pergelangan tangan kanan Pangeran Sampurno hingga
terdengar suara berkeretak tanda sambungan sikunya terlepas. Pangeran Sampurno
menjerit setinggi langit. Wiro dorong tubuh orang itu hingga terjelapak di depan
pintu. "Bunuh pemuda itu! Cincang sampai lumat!" teriak sang Pangeran.
Ki Ageng Bantoro yang pertama sekali melompat ke hadapan Wiro. Tangan
kiri mencekal sarung sedang tangan kanan memegang sebilah golok panjang. Sambil
melompat kepala pengawal itu berteriak pada puluhan anak buahnya agar ikut
menyerbu. Maka lebih dari dua puluh pengawal menyernag dengan berbagai macam
senjata. "Tewas diriku!" keluh murid Sinto Gendeng. Otaknya cepat bekerja, tubuhnya
cepat membuat gerakan menyelamatkan diri. Yang pertama sekali dilakukan Wiro
adalah menghantam ke kiri dan ke kanan dengan pukulan "tameng sakti menerpa
hujan" Dia sengaja tidak mengerahkan tenaga dalam keras, cukup membuat hampir
selusin pengawal berjungkalan morat marit. Gerakan kedua menyusul. Wiro jatuhkan
diri di lantai. Bukan saja untuk mengelakkan sambaran golok di tangan Ki Ageng
Bantoro tapi sekaligus untuk dapat menggulingkan diri ke arah Pangeran Sampurno
yang masih terkapar di lantai sambil pegangi tangan kanannya yang keple
tergontai- gontai karerna tanggal sambungan sikunya.
Ki Ageng bantoro dan sekitar sepuluh pengawal jadi tertegun begitu melihat
Wiro mencekal leher pakaian Pangeran mereka seperti membembeng seekor kucing.
"Yang berani boleh maju! Kalian akan lihat bagaimana kepala Pangeran
kalian akan kubantingkan ke lantai hingga pecah!"
Ki Ageng Bantoro meradang tapi tidak bergerak. Begitu juga semua anak
buahnya. Keadaan di tempat itu sunyi sesaat kecuali suara erangan pangeran
Sampurno yang terdengar tidak berkeputusan.
Sambil menyeret sang Pangeran Wiro melangkah mundur ke ujung langkan
depan rumah besar. Ki Ageng Bantoro bergerak hendak mengejar.
"Eit!" seru Wiro seraya angkat tubuh Pangeran Sampurno tinggi-tinggi, siap
untuk membanting.
"Keparat!" maki Ki Ageng Bantoro. "Aku bersumpah akan mencincangmu!"
Murid Sinto Gendeng menyeringai. Jaraknya sudah cukup jauh. Tiba-tiba
tangan kanannya digerakkan. Tubuh Pangeran Sampurno melayang di udara, melesat
ke arah Ki Ageng Sampurno.
"Pangeran!" seru Ki Ageng bantoro seraya memburu coba menangkap tubuh
Pangeran Sampurno. Sebaliknya sang Pangeran sendiri terdengar mendamprat.
"Pemuda keparat! Makan jariku!" teriak Pangeran Sampurno marah. Sambil
menahan sakit pada tangan kanan dalam keadaan tubuh terlempar seperti itu dia
tusukkan dua jari tangan kirinya ke arah Wiro.
Wiro melengak kaget melihat dua jari tangan sang Pangeran tiba-tiba berubah
panjang dan menusuk ke arah kedua matanya! Inilah ilmu kesaktian yang disebut
"dua jari akhirat". Jangankan mata manusia, batupun sanggup dibuat bolong!
Murid Sinto Gendeng cepat menghindar dengan melompat ke samping. Justru
dari arah ini tiba-tiba seorang pengawal datang menyongsong dengan sebilah
kelewang. "Kebetulan sekali!" seru Wiro. Dengan gerakan kilat ditangkapnya lengan si
penyerang lalu ditariknya demikian rupa hingga kepala dan tubuhnya terlindung
dari BASTIAN TITO 9 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
serangan "dua jari akhirat" Akibatnya terjadilah hal yang tidak disangka oleh
Pangeran maupun semua orang yang ada di situ.
Pengawal yang menyerang Wiro menjerit keras. Dua tuskan jari Pangeran
Sampurno bersarang di keningnya.
Crosss! Dua lobang terlihat di kening pengawal. Darah mengucur mengerikan. Di saat
itu pula tubuh Pangeran Sampurno jatuh ke bawah. Kalau tidak lekas ditangkap
oleh Ki Ageng Bantoro, Pangeran ini pasti jatuh berdebam ke lantai batu! Celakanya
karena tubuh Pangeran Sampurno lebih tinggi dan besar sedang Ki Ageng Bantoro
kecil, di samping itu kaki kepala pengawal ini terpeleset pula di lantai yang
licn oleh darah maka tak ampun lagi dia terrsungkur. Tumpang tindih dengan Pangeran
Sampurno. "Pangeran maafkan saya...." Kata Ki Ageng Bantoro. Bersama beberapa
orang pengawal dia menolong Pangeran itu bangkit berdiri. Saat itu Pendekar 212
Wiro Sableng tak kelihatan lagi di tempat itu. Pangean Sampurno merasa sekujur
tubuhnya dingin oleh keringa. Di antara rintih kesakitan dia berkata.
"Papah aku ke dalam kamar....."
BASTIAN TITO 10 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA Suatu malam, empat puluh hari sebelum kedatangan Pendekar 212 Wiro Sableng
ke tempat kediaman Pangeran Sampurno.
Langit malam yang redup sejak senja menjadi tambah suram dan kelam ketika
bulan purnama ditutup awan hitam yang dihembuskan angin dari arah Selatan. Di
sekitar pohon beringin besar yang memayungi bekas reruntuhan candi serta merta
berubah gelap gulita. Desau angin tak kuasa memecah kesunyian yang mencekam.
Tak sanggup mengibas daun-daun apalagi akar gantung pepohonan yang menjulai
panjang. Tiba-tiba di kejauhan ada suara derap kaki kuda ramai sekali. Semakin lama
semakin keras mendekati reruntuhan candi. Tapi anehnya baik kuda maupun para
penunggangnya tak satupun kelihatan. Suara derap kaki binatang-binatang itu
menggemuruh seolah menerjang batu-batu berlumut bangunan candi, lalu bergerak
kencang melewati arah kanan pohon beringin. Ketika suara derap kaki kuda itu
melewati reruntuhan candi, sebuah stupa tanpa kepala kelihatan bergoyang-goyang
dalam gelapnya malam. Lalu ketika suara tanpa ujud itu melewati pohon beringin,
akar-akar gantung pohon tampak bergoyang-goyang! Mahluk apakah yang
sebenarnya barusan lewat ditempat itu" Serombongan hantu berkuda" Begitu
gemuruh suara lenyap suasana kembali sunyi dan gelap. Namun tidak lama. Sesaat
kemudian seolah-olah datang dari langit yang kelam, di arah Timur terdengar
suitan nyaring sekali, tiga kali berturut-turut. Senyap seketika. Lalu seperti
menyahuti suitan
yang datang dari Timur tadi, dari jurusan Barat berkumandang pula suitan keras
tiga kali berturur-turut.
Begitu suara suitan lenyap, tepat di puncak pohon beringin besar terdengar
suara orang bertanya tapi sosoknya sama sekali tidak kelihatan.
"Siapa yang datang"!"
"Kami dua orang anggot dari kawasan Selatan!" Ada suara jawaban.
Terdengar juga di sekitar puncak pohon beringin.
"Sebutkan angka kalian!"
"Aku 114!"
"Dan aku 129!"
"Sebutkan keperluan kalian!"
"Kami ingin menghadap Maharaja dan Maharatu Langit Darah!"
"Membawa urusan apa"!"


Wiro Sableng 077 Kepala Iblis Nyi Gandasuri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami mengantar seorang tamu. Calon anggota baru!"
"Lelaki atau perempuan" Sebutkan usianya!"
"Perempuan. Sekitar dua puluh lima tahun!"
"Masih gadis atau janda atau punya suami"!"
"Punya suami!"
"Cantikkan dia"!"
"Hanya bidadari yang dapat menandingi kecantikannya!" Sunyi sesaat.
"Kalian berdua tunggu di pintu gerbang Timur! Kami akan menanyakan
apakah Maharaja dan Maharatu Langit Darah bersedia menerima kalian!"
Tak selang berapa lama terdengar suara suitan tiga kali berturu-turut.
"Kalian diperkenankan menghadap Maharaja dan Maharatu langit Darah!"
"Kalau begitu harap bukakan pintu!"
BASTIAN TITO 11 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Pintu segera kami buka. Ingat peraturan! Kalian tidak diperkenankan
memandang ke atas! Atas adalah langit dan langit adalah bagian jagat yang berada
dalam kekuasaan Maharaja dan Maharatu Langit Darah! Apa jawab kalian"!"
"Kami akan mentaati peraturan!"
"Kalau kalian mendengar ketentuan, kalian sudah tahu hukuman yang bakal
dijatuhkan?"
"Sudah!"
"Sebutkan!"
"Kepala kami akan dijadikan batu ganjalan tiang Istana Langit Darah selama
seratus hari! Sekarang harap buka pintu gerbang! Tamu yang kami bawa sangat
keletihan!"
Terdengar suara berdesir halus. Lalu suara benda berat bergeser menggetarkan
pohon beringin sampai ke akar-akarnya yang berada jauh dalam tanah.
"Pintu sudah dibuka! Lekas masuk!"
Terdengar lagkah-langkah kaki kuda yang kemudian disusul suara benda berat
bergeser seperti tadi. Lalu malam kembali dibungkus kesunyian.
Menjelang dini hari, ketika udara semakin dingin dan kegelapan malam masih
pekat menghitam tiga ekor kuda dalam keadaan tubuh berlapis debu dan keringat
berhenti di depan serumpunan bambu kuning. Penunggang di kiri kanan turun dengan
cepat. Mereka adalah dua orang lelaki berpakaian hitam, mengenakan topi kain
hitam berkerucut yang sebelah depannya ada gambar kepala kelelawar bermata besar. Pada
dada dan punggung baju mereka tertera angka 114 dan 129. Keudanya membantu
turun penunggang kuda ketiga yang ternyata adalah seorang perempuan muda
berwajah sangat cantik, berambut hitam dikonde dan ditancapi sebuah tusuk konde
terbuat dari emas berhias tiga buah berlian. Walau keliahtan mengenakan pakaian
putih ringkas namun sebenarnya di bawah pakaian itu dia memakai kebaya beludru
hijau serta kain panjang yang disingsingkan ke atas demikian rupa hingga
memudahkannya menunggang kuda.
"Nyi Gandasuri, kita segera akan memasuki tempat bersemayam Maharaja
dan Maharatu Langit Darah. Ingat pantangan utama. Jangan sekali-sekali berani
memandang ke atas. Jangan salah bertindak, jangan keliru berucap. Sekali mereka
tidak suka padamu bukan saja maksudmu akan menjadi batal tetapi mungkin kau juga
akan menjadi tumbal untuk nenek moyang mereka. Jka kau untung mungkin
kepalamu dijadikan ganjalan tempat tidur atau almari pakaian Maharatu Langit
Darah...."
Perempuan muda yang dipanggil dengan nama Nyi Gandasuri itu diam saja.
Wajahnya agak pucat karena kecapaian melakukan perjalanan jauh. Dia melangkah
mengikuti dua orang berpakaian hitam yang meegang lengannya kiri kanan. Ketika
dilihatnya dirinya dibawa seperti hendak menabrak rerumpunan pohon bambu kuning,
dia hentikan langkah. Tapi dua orang lelaki di kiri kanannya terus bergerak dan
settt.....settt....sett. Dua orang lelaki itu dan juga dirinya menembus rumpunan
bambu. Tak ada halangan, tak ada yang menahan. Mereka masuk seperti melewati sebuah
pintu terbuka. Lalu tiba-tiba saja di hadapannya Nyi Gandasuri melihat sebuah
istana yang keseluruhan bangunannya berwarna merah basah. Perempuan berusia 25 tahun
ini perhatikan warna merah basah itu. hatinya berdebar. Dia kurang percaya.
Diulurkannya tangan memegang. Diperhatikannya jari-jari tangannya yang basah dan
merah sambil digosok-gosokkan satu sama lain.
"Darah....!" Desis Nyi Gandasuri dengan tangan bergetar. Dia memandang
berkeliling lalu membatin.
BASTIAN TITO 12 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Aneh.... Di luar sana tadi keadaanya malam dan gelap. Mengapa tiba-tiba di
sini keadaanya siang terang benderang."
"Nyi Gandasuri," bisik lelaki yang di bajunya ada angka 114. "Jaga segala
tindakanmu. Semoga saja Maharaja dan Maharatu tida melihat waktu tadi kau meraba
dinding darah itu."
Ketiganya mulai melangkah menaiki tangga depan istana yang terdiri dari dua
puluh satu anak tangga.
Walau agak tercekat oleh ucapan 114 tadi Nyi Gandasuri terus melangkah
menaiki tangga. Di undakan ke 16 dia berkata.
"Saya lihat keadaan di sini sunyi-sunyi saja. Tak ada satu orangpun. Siapa
yang melihat perbuatan saya tadi" Kecuali kalian melaporkannya nanti....."
"Jangan tolol Nyi Gandasuri!" bisik 129. "Kita bukan berada di dunia biasa
seperti di luar sana. Ini adalah dunia magis wilayah kekuasaan Maharaja dan
Maharatu Langit Darah! Seribu mata bisa saja memperhatikan tindak tanduk kita
saat ini....!" "Seribu mata.....?" ujar Nyi Gandasuri sambil melirik berkeliling.
Tiba-tiba terdengar suara menggema keras sekali. Tiga orang itu merasakan
jantung mereka berdenyut keras, kaki bergetar dan gendang-gendang telinga
mendenging sakit.
"Suara apa itu.....?" tanya Nyi Gandasuri pucat.
"Gong Keramat pertanda ruangan ke tempat di maan Maharaja dan Maharatu
Langit Darah berada akan segera dibuka. Ingat, jangan sekali-sekali melihat ke
atas!" Nyi Gandasuri, 114 dan 129 melangkah terus. Mereka telah melewati langkan
istana yang merupakan pintu besar. Tujuh langkan di depan pintu terbuka ini
membentang sebuah tirai hijau muda tak tembus pandang. Sayup-sayup dari belakang
tirai terdengar suara seperti air memancur deras sekali.
"Suara apa itu?" tanya Nyi Gandasuri. Hatinya mendadak saja menjadi sangat
tidak enak. Baik 114 maupun 129 tidak menjawab. Nyi Gandasuri palingkan kepalanya
pada114. Lelaki ini akhirnya membuka mulut. "Aku tak berani menerangkan. Kau
lihat saja sendiri nanti...."
Terdengar suara mendesir. Tirai hijau terbuka ke kiri dan ke kanan. Nyi
Gandasuri hampir tersurut sedang 114 dan 129 cepat-cepat tundukkan kepala.
Setelah darahnya yang tersirap tenang kembali Nyi Gandasuri coba memandang ke depan
walau mukanya menjadi sangat merah.
Sekitar dua puluh langakh di hadapannya terpampang tembok batu lebar dan
tinggi berbentuk tebing-tebing kecil diselang seling oleh pohon-pohon bunga. Di
bagian tengah ada patung batu sangat hidup dari seorang lelaki dan seorang
perempuan dalam keadaan tanpa pakaian tengah melakukan hubungan badan dengan
muka menghadap ke depan. Dari mulut mereka yang terbuka lebar, dari sepasang
liang telinga, lobang hidung, mata, dubur, serta kemaluan mereka mengucur keluar
cairan merah pekat disertai menyambarnya bau amisnya darah! Seluruh cairan
mengucur ke bawah, masuk ke dalam sebuah kolam besar. Dalam cairan darah di
kolam Nyi Gandasuri melihat ada ikan-ikan aneh berkeliaran, tetapi yang
menyeramkan adalah bahwa juga di dalam kolam itu penuh dengan tengkorak kepala
serta tulang belulang manusia! Secara aneh cairan darah dalam kolam terus naik
ke atas lalu turun kembali ke dalam kolam lewat lobang-lobang di kepala dan aurat
dua patung batu manusia tadi hingga cairan darah dalam kolam tidak pernah penuh atau
luber. BASTIAN TITO 13 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Berdiri bulu tengkuk Nyi Gandasuri menyakdikan pemandangan itu.
kemudian didengarnya 129 berkata. "Arah sini Nyi Gandasuri...." Lelaki itu
melangkah mendahului ke samping kanan dinding batu. Kawannya mengikuti, Nyi
Gandasuri cepat-cepat membuntuti keduanya.
Di samping kanan dinding batu itu terdapat sebuah tangga menurun. Ketika
sampai di anak tangga terakhir Nyi Gandasuri terkesiap oleh satu pemandangan
taman yang indah luar biasa. Di mana-mana bunga-bunga kelihatan warna-warni menebar
bau wangi. Beberapa ekor burung bertengger di cabang rendah pohon-pohon sambil
berkicau-kicau. Lalu ada sebuah pedataran rumput.
Di pertengahan pedataran ada sebuah bangunan tanpa dinding berbentuk joglo
tiga tingkat. Tiang-tiang bangunan dan keseluruhan atau berwarna merah darah. Di
bawah atap ada dua buah kursi panjang beralas kain beludru merah dilengkapi
bantalan-bantalan empuk.
Pada kursi panjang sebelah kanan berbaring bermalas-malas satu sosok
memiliki wajah nenek keriput beralis merah mencuat ke atas, bermata merah
menggidikkan. Rambutnya yang panjang awut-awutan juga berwarna merah.
Perempuan tua ini memelihara kuku panjang melengkung juga berwarna merah.
Tubuhnya ditutupi sehelai kain berbentuk selendang dan panjang, berwarna merah.
Begitu tipisnya selendang lebar ini sehingga si nenek nyaris terlihat telanjang
bulat. Pada kening si nenek menempel sebuah permata merah sebesar kuku ibu jari tangan
yang memancarkan sinar gemerlapan.
Di kursi panjang sebelah kanan berbaring seorang kakek berambut merah
menjulai bahu. Seperti si nenek dia juga memiliki alis mencuat ke atas, sepasang
mata dan kuku panjang berwarna merah. Di keningnya menempel sebuah permata yang
memancarkan sinar merah. Ketika menyeringai kelihatan deretan gigi-giginya
berbentuk runcing-runcing dan merah. Auratnya juga hanya dilindungi sehelai
selendang tipis merah hingga dirinya tak beda seperti telanjang saja. Bulu-bulu
dadanya kelihatan lebat berwarna merah. Sambil berbaring-baring si nenek melahap
buah-buahan sedang si kakek asyik menggeragot paha kambing panggang.
Sepasang kakek nenek aneh angker inilah yang dikenal sebagai Maharaja dan
Maharatu Langit Darah. Keduanya sama memalingkan kepala ketika melihat
kedatangan anak buah mereka 114 dan 129 membawa seorang perempuan muda
berwajah sangat cantik.
Si nenek langsung campakkan buah yang tengah di makannya sedang si kakek
buang begitu saja paha kambing panggang. Keduanya bergerak bangkit dan duduk di
pinggiran kursi panjang. Sepasang mata masing-masing berkilat-kilat memancarkan
sinar merah memperhatikan wajah dan tubuh Nyi Gandasuri.
"Maharatu, hari ini kita mendapat rejeki besar rupanya!" kata Maharaja langit
Darah. Si nenek menyeringai. Dari mulutnya keluar air liur. Berwarna merah. Air liur
darah! "Kau diam saja, aku yang bakal menanyai!" kata si nenek.
Maharaja Langit Darah basahi bibirnya dengan lidah merah berdarah. "Kau
menanyai boleh saja. Tapi ingat, aku yang mendapat bagian lebih dulu!"
"Enak saja! Apa kau lupa perjanjian"! Jika yang datang perempuan maka dia
jadi bagianku! Kau boleh dapat sisa! Hikkkk.....hik..... hik.....!"
BASTIAN TITO 14 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT Ketika bangkit dari berbaring dan duduk di tepi tempat tidur, selendang yang
menutupi tubuh kakek nenek itu merosot jatuh ke pangkuan hingga aurat mereka
sebelah atas terbuka lepas. Nyi Gandasuri yang memang berotak cerdik langsung
saja melihat keanehab pada dua sosok tubuh ini. Sebagai orang-orang yang lanjut usia
seharusnya si nenek akan memiliki dada rata, payudara leper bergelayutan samapi
ke pinggang. Tapi yang terlihat saat itu justru satu tubuh perempuan yang putih
bagus dan masih kencang. Begitu juga dengan keadaan tubuh si kakek. Di usia seperti
itu dadanya akan kelihatan tipis dan tulang-tulang iganya akan bersembulan keluar.
Tapi yang terlihat justru satu sosok tubuh kokoh tertutup bulu-bulu lebat berwarna
merah di bagian dada.
Dua lelaki yang membawa Nyi Gandasuri berlutut di hadapan kakek nenek itu.
salah seorang dari mereka kemudian berseru sambil mengangkat kedua tangan ke
atas diikuti oleh teman di sebelahnya.
"Salam darah untuk Yang Mulia Maharaja dan Maharau Langit Darah!"
Maharaja Langit Darah angkat tangan kirinya sedikit. Telapak tangannya
ternyata berwarna merah. Kedua matanya tak berkesip memandang wajah dan tubuh
Nyi Gandasuri. Sementara sang Ratu menyeringai sambil cibirkan bibir.
"Lekas sampaikan laporan kalian! Tenggorokanku mendadak kering.
Hik....hik....hik!" kata Maharatu Langit Darah pula. Dia menggeliatkan hingga
payudaranya membusung kencang ke depan dan mencuat tegang ke atas. 114 dan 129
cepat menunduk tak berani menikmati pemandangan yang merangsang itu.
114 membuka mulut. "Kami datang membawa seorang calon anggota.
Namanya Nyi Gandasuri, usia 25 tahun....."
Maharaja Langit Darah angkat tangannya. "Sudah..... sudah! Kalian berdua
boleh pergi. Hasil pekerjaan kalian akan kucatat dalam Buku Daftar Kabajikan
Darah. Kalau sudah banyak kelak kalian akan dapatkan hadiah besar!"
"Terima kasih Maharaja Langit Darah," kata114 dan 129 berbarengan. Kedua
orang ini menjura lalu memutar tubuh dan tinggalkan tempat itu.
Maharaja Langit Darah gulungkan selendang merahnya untuk menutupi aurat
sebelah bawah. Lalu dia berdiri.
"Perempuan muda, namamu Nyi Gandasuri. Betul.....?"
Nyi Gandasuri mengangguk.
Sepasang mata yang merah dari Maharaja Langit Darah merayapi wajah dan
sekujur tubuh Nyi Gandasuri. Ujung lidahnya berkali-kali diulurkan untuk
membasahi bibir. "Banyak orang datang ke istana ini, membawa seribu satu macam maksud dan
rencana. Harap katakan apa maksud kedatanganmu ke tempat ini. dan juga apakah
kau sudah diberi tahu oleh dua orang anak buahku tadi segala tata aturan di
tempat ini, segala tata aturan untuk menjadi anggota keluarga Istana Langit Darah?"
"Mereka memang sudah memberi tahu," jawab Nyi Gandasuri. "Hanya saja
saya pikir tentunya saya akan mendapat keterangan lebih jelas dan lebih banyak
dari Maharaja dan Maharatu...."
"Bagus, kau bukan saja cantik jelita, memiliki tubuh bagus tapi juga punya
otak pandai dan cerdik. Sekarang....."
Sampai di situ Maharatu langit Darah tiba-tiba berdiri. "Cukup! Kau boleh
duduk Maharaja. Pertanyaan selanjutnya aku yang akan mengajukan!"
BASTIAN TITO 15 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Waktu berdiri tadi, tidak seperti Maharaja, sang ratu terus saja berdiri tanpa
memperhatikan keadaan dirinya. Atau mungkin saja dia memang sengaja berbuat
begitu. Selendang merah yang menutupi tubuhnya merosot jatuh ke tanah hingga dia
berdiri dala keadaan bugil. Mau tak mau Nyi Gandasuri jadi jengah juga melihat
keadaan sang Ratu itu.


Wiro Sableng 077 Kepala Iblis Nyi Gandasuri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nyi Gandasuri, sebelum kau katakan apa maksud tujuan kedatanganmu ke
sini, ada satu hal yang harus kau ketahui. Siapa saja yang datang ke Istana
Langit Darah, lelaki atau perempuan, tua atau muda, cantik atau buruk, kaya atau miskin
akan punya beberapa pilihan. Pertama kecil sekali kemungkinan bahkan hampir tak
pernah dia akan keluar dari sini hidup-hidup sempurna seperti layak
kedatangannya pertama kali. Kedua dia harus meninggalkan badan kasarnya sampai kiamat di
tempat ini dan hanya tubuh halusnya yang kaan keluar dari sini. Ketiga bisa juga hanya
tubuh kasarnya yang meninggalkan tampat ini tetapi roh halusnya mendekam sampai kiamat
di tempat ini."
"Saya sudah mendengar hal itu dari dua orang anak buahmu Maharatu,"
menjelaskan Nyi Gandasuri.
"Bagus, berarti kita bisa mempersingkat waktu. Pilihan mana yang akan nanti
menjadi hanya aku dan Maharaja yang memutuskan, bukan dirimu. Sekarang harap
kau katakan apa maksud datang ke sini yang berarti siap menjadi anggota keluarga
Istana Langit Darah..... Turut penglihatanku, karena kau sudah bersuami maka tentu
maksudmu ada sangkut pautnya dengan diri suamimu...."
"Benar sekali Maharatu."
"Siapa nama suamimu Nyi Gandasuri?" tnaya Maharatu Langit Darah pula.
"Suami saya Pangeran Sampurno Tjokro Adiningrat....."
Maharatu Langit Darah keluarkan seruan tertahan sedang Maharaja Langit
Darah saking kagetnya sampai-sampai selendang tipis merah yang menutupi aurat
sebelah bawah jatuh ke tanah. Dan dia tidak berusaha mengambilnya kembali! Dia
tegak dengan mata melotot, menatap perempuan di hadapannya sambil
membayangkan bagaimana kira-kira kalau perempuan muda cantik jelita di
hadapannya itu berada dalam keadaan telanjang bulat. Kini dua orang bugil
berdiri di hadapan Nyi Gandasuri, membuat perempua muda ini jadi merah mukanya dan cepatcepat tundukkan kepala.
"Pangeran Sampurno, salah seorang pewaris syah tahta Kerajaan!" ujar
Maharatu Langit Darah.
"Betul Maharatu, memang dia orangnya. Namun......."
"Namun apa Nyi Gandasuri?" tanya Maharaja Langit Darah.
"Suami saya tak akan pernah jadi Raja."
"Eh! Mengapa kau berkata begitu?" tanya Maharatu Langit Darah.
"Dia hanya pewaris ketiga. Sebelum dia masih ada dua orang kakak satu darah.
Satu lelaki satu perempuan. Selain itu suami saya tidak disukai oleh orang-orang
dalan Keraton...."
"Hemmmm ...... aku tahu sekarang," kata Maharatu Langit Darah.
"Kedatanganmu ke mari musti ada sangkut pautnya dengan diri suamimu dan tahta
Kerajaan...."
"Betul Maharatu."
"Kalau begitu sebutkan saja apa maumu!" ujar sang Ratu pula.
"Sejak lama saya menginginkan untuk menjadi istri seorang Raja. Menjadi
istri pertama tentu saja tidak mungkin. Menjadi selir saya tidak mau. Sri
Baginda saat ini telah punya dua istri. Saya ingin menduduki tempat sebagai istri ketiga.
Tapi itu tahap pertama saja......"
BASTIAN TITO 16 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Maksudmu?" bertanya Maharaja Langit Darah.
"Setelah saya jadi istri ketiga, satu persatu dua istri Sri Baginda harus
disingkirkan. Hingga saya akhirnya menjadi istri pertama....."
Maharaja dan Maharatu Langit Darah saling berpandangan. Lalu kedua
manusia aneh ini tertawa gelak-gelak.
Sambil usap-usap dadanya sendiri Maharatu Langit Darah berkata.
"Kecantikan dan kebagusan potongan tubuhmu memang bisa kau jadikan bekal
pertama untuk mendampingi Sri Baginda sebagai Permaisuri. Lalu kepandaian dan
kecerdikan otakmu adalah modal kedua yang tak kalah pentingnya. Namun semua
modal itu tidak ada artinya jika kau tidak punya kemampuan untuk mewujudkan
cita- citamu...."
"Itu sebabnya saya datang kemari, siap menjadi anggota dan minta
pertolongan serta petunjuk bagaimana supaya saya bisa mencapai maksud itu."
Maharatu Langit Darah tiba-tiba tertawa panjang.
"Kau datang ke tempat yang tepat Nyi Gandasuri! Jika segala syarat bisa kau
penuhi, urusan selanjutnya hanya soal mudah."
"Saya mohon Maharatu mau mengatakan syarat itu," kata Nyi Gandasuri pula.
Maharatu langit Darah tidak menajwab melainkan melangkah mendekati Nyi
Gandasuri. Di hadapan istri Pangeran Sampurno itu dia berhenti sesaat guna
menatap kecantikan wajahnya lalu mengulurkan tangan mengusap pipi dan dagu Nyi
Gandasuri. Mendadak saja Nyi Gandasuri merasa bulu kuduknya merinding. Tapi saat
itu dia hanya bisa tegak berdiam diri sambil tundukkan kepala. Kemudian Maharatu
Langit Darah melangkah berputar mengelilingi dirinya sampai tiga kali.
"Sempurna......sempurna sekali," kat asang Ratu dalam hati dengan
pandangan mata merah berkilat-kilat. "Belum pernah aku melihat perempuan dengan
kecantikan dan kemulusan kulit sesempurna dirinya. Tapi aku harus memeriksa dulu
sampai ke dalam-dalam...."
Tiba-tiba Maharatu Langit Darah hentikan langkah tepat di hadapan Nyi
Gandasuri. "Nyi Gandasuri, di tempat ini terdapat banyak pantangan. Satu di antaranya
para calon anggota tidak diperkenankan memakai perhiasan dalam bentuk apapun.
Kulihat kau memakai kalung emas bermata berlian, gelang, dan tiga cincin. Harap
semua perhiasan itu dibuka dan serahkan padaku!"
Nyi Gandasuri tak segera melakukan apa yang diperintahkan Maharatu Langit
Darah. Kepalanya diangkat. Pandangannya bertemu dengan pandangan sang Ratu.
Tiba-tiba saja ada rasa takut dan patuh dalam diri istri Pangeran Sampurno itu.
semua perhiasan yang melekat di badannya segera ditanggalkan lalu diserahkan pada
Maharatu Langit Darah. Sang Ratu langsung saja mengenakan semua perhiasan itu ke
leher, pergelangan tangan, telinga dan jari-jarinya. Lalu sambil melangkah
mundar mandir dia berkata.
"Nyi Gandasuri harap kau mendengar baik-baik. Aku hanya bicara satu kali
saja. Kau tidak diperkenankan menolak atau membantah. Jika itu kau lakukan bukan
saja apa yang kau inginkan tidak akan kesampaian, tetapi kau juga akan terpaksa
meninggalkan tempat ini secara tidak sempurna. Entah tubuh kasarmu yang pergi
entah hanya roh halusmu. Sekali lagi dengarkan baik-baik. Kau siap?"
"Saya siap Maharatu," kata Nyi Gandasuri.
"Untuk mencapai maksud besarmu menjadi permaisuri Sri baginda, pertama
sekali kau harus menyingkirkan penghalang paling dekat dalam kehidupanmu. Si
penghalang adalah suamimu sendiri. Kau harus menyingkirkan Pangeran Sampurno.
Dengan kata lain kau harus membunuhnya!" Sampai di situ Maharatu Langit Darah
BASTIAN TITO 17 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
hentikan ucapannya dan juga langkah kakinya. Dia melirik pada Nyi Gandasuri dan
melihat wajah perempuan muda itu menjadi pucat.
"Kau hendak mengatakan sesuatu Nyi Gandasuri?"
"Bisakah pembunuhan itu diserahkan dan dilakukan oleh orang lain?"
Maharatu menyeringai. "Tang punya keinginan untuk jadi istri Raja adalah
kau, bukan orang lain! Jadi pertanyaanmu adalah pertanyaan tolol!" si nenek
cemberut sesaat. Lalu dia meneruskan. "Kematian suamimu akan menjadi berita
besar di seantero Kerajaan. Akan sampai ke telinga Sri Baginda. Kau akan mendapatkan
perhatian dari padanya. Bukan saja karena kau janda dari adiknya tetapi juga
karena kau memiliki kecantikan dan kebagusan tubuh yang tidak ada tandingnya di
Kerajaan. Ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?"
Nyi Gandasuri menggeleng.
"Selanjutnya kau harus menyingkirkan penghalang kedua dan ketiga. Yaitu
kakak lelaki dan kakak perempuan Pangeran Sampurno. Setelah itu kau lakukan,
giliranmu untuk menyingkirkan penghalang berikutnya yakni Permaisuri dan istri
kedua Sri baginda. Kau bersedia melakukan hal itu?"
"Saya bersedia Maharatu. Hanya saja saya ingin petunjuk bagaimana saya
dapat melakukannya. Mereka semua calon korban itu adalah orang-orang penting
yang dikelilingi oleh banyak pengawal....."
"Dengan ilmu yang akan kami berikan padamu, kau sangat mudah bisa
membunuh semua orang itu. kau tidak memerlukan senjata apapun. Tidak pisau,
golok atau pedang, bahkan racunpun tidak! Kau akan membunuh mereka dengan
jelan menyedot darah mereka dari ubun-ubun masing-masing!"
Terkejutlah Nyi Gandasuri mendengar hal itu.
Sang Ratu dan Maharaja Langit Darah justru tertawa mengekeh.
"Bagaimana mungkin saya melakukan hal itu Maharatu?"
"Mengapa kau harus bertanya begitu" Bukankah aku sudah bilang tadi.
Dengan ilmu yang akan kami berikan padamu, kau bisa melakukan pembunuhan itu
dengan mudah....."
"Kalau begitu saya siap menunggu petunjuk selanjutnya," kata Nyi Gandasuri
pula dengan suara bergetar.
"Syarat berikutnya marupakan pelengkap yang tidak boleh kau lalaikan,"
Maharatu meneruskan ucapannya. "Selama kau menjadi anggota keluarga Istana
Langit Darah, setiap tiga bulan sekali kau harus mencari darah segar yang harus
kau dapatkan dari korbanmu yaitu anak kecil berusia tujuh bulan ke bawah. Ketentuan
itu berlaku seumur hidupmu ke anak cucu dan cicit, sampai kiamat! Jika kau atau anak
keturunanmu lalai melakukannya maka kau atau mereka akan dipergunakan sebagai
pengganjal tiang Istana atau penupang pohon-pohon besar di kawasan ini selama
empat puluh malam! Ada yang hendak kau tanyakan Nyi Gandasuri?"
Yang ditanya saat itu berada dalam keadaan terkesiap. Dia tak mampu berpikir
panjang dan langsung saja gelengkan kepala.
"Syarat selanjutnya Nyi Gandasuri..... Setiap calon anggota keluarga Istana
Langit Darah harus diteliti keadaan tubuhnyaoleh kami berdua. Untuk itu pertama
sekali kau harus ikut ke kamarku. Aku sudah tua. Mataku kurang awas. Jadi perlu
waktu lama untuk melakukan pemeriksaan. Kau harus melayaniku selama satu hari
satu malam....." habis berkata begitu si nenek tertawa cekikikan.
BASTIAN TITO 18 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA Maharaja Langit Darah tak mau ketinggalan. Cepat-cepat dia menimpali. "Selesai
dia melakukan pemeriksaan, kau akan kubawa ke tempat ku. Mungkin aku butuh
waktu lebih lama dari dia. Paling tidak sekitar tiga hari tiga malam...."
Nyi Gandasuri tidak berkata apa-apa. Dia memang sudah mendengar hal atau
aturan itu dari dua lelaki yaitu 114 dan 129 yang membawanya ke tempat itu.
Istri Pangeran Sampurno ini kemudain digandeng tangannya oleh sang Ratu meninggalkan
tempat itu. ternyata dia dibawa melewati sebuah jalan kecil yang di kiri
kanannya membentuk jurang-jurang batu tak seberapa dalam. Lapat-lapat Nyi Gandasuri
mendengar suara orang melolong, menjerit-jerit. Laalu ada juga suara erangan.
"Buka matamu lebar-lebar. Perhatikan kiri kaan jalan!" kata Maharatu Langit
Darah. Ketika Nyi Gandasuri melakukan apa yang dikatakan si nenek, parasnya
menjadi pucat. Kuduknya merinding dan langkahnya jadi terhuyung-huyung.
Di sepanjang jurang sebelah kanan dilihatnya enam orang lelaki menggeletak
dengan kepala ditindih batu besar. Walau kepala mereka sudah gepeng, otak dan
darah berbusai keluar namun mereka tidak mati. Dari muut keenam orang ini keluar
jeritan kesakitan tiada henti. Lalu di bagian lain jurang empat lelaki tampak
terbaring menelentang. Kaki masing-masing terkangkang lebar. Sebuah batu besar berwarna
merah seolah-olah menyala menindih kemaluan mereka. Jerit keempat lelaki ini
paling keras di antara jeritan-jeritan manusia yang tersiksa lainnya.
Karena tak kuasa menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu Nyi
Gandasuri berpaling ke kiri. Tetapi apa lacur. Justru di sepanjang jurang
sebelah kiri dia melihat pemandangan yang tak kalah seramnya.
Tiga orang perempuan dalam keadaan bugil diikat ke sebuah tiang. Puluhan
ular menjilati sekujur tubuh mereka. Mematuk muka dan kepala serta sekujur
aurat. Bahkan ada di antara binatang-binatang itu menembus masuk ke dalam mulut, lubang
dubur dan lubang kemaluan mereka. Nyi Gandasuri pejamkan kedua matanya. Kalau
tidak dipegang oleh Maharatu Langit Darah, perempuan ini pasti sudah roboh
pingsan karena ketakutan. Kemudian didengarnya si nenek tertawa panjang.
"Mahluk apa dia sebenarnya......" kata Nyi Gandasuri dalam hati. "Di tempat
seperti ini masih bisa tertawa....."
"Buka matamu Nyi Gandasuri. Kalau kau pejamkan hanya akan menambah
rasa takut...."
Perlahan-lahan sambil melangkah mengikuti si nenek yang terus memegang
tangannya Nyi Gandasuri membuka kedua matanya. Dia tak dapat menahan jeritan
ketika dua matanya terbuka di depannya terpampang satu sosok tubuh perempuna,
dipancung pada sebuah tombak besi, mulai dari ubun-ubun sampai ke dubur, kepala
ke bawah kaki ke atas! Darah mengucur dari batok kepalanya membasahi tambut lalu
mengucur jatuh ke dasar jurang batu. Darah juga mengucur dari dubur dan
kemaluannya. Dari mulutnya yang juga mengeluarkan darah perempuan ini
mengerang perlahan, mungkin sedang sekarat.
"Semua orang yang kau lihat tengah menjalani hukuman karena kesalahan.
Mereka semua adalah anggota keluarga Istana Langit Darah. Mereka disiksa
demikian rupa tidak sampai menemui ajal. Berjalan terus, kau akan melihat cara kami
menyiksa orang-orang bersalah lainnya....."
BASTIAN TITO 19 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Nyi Gandasuri tak bisa berbuat lain. Dia melangkah terus tetapi kedua
matanya tak mau lagi dibukanya. Si nenek tertawa cekikikan. Nyi Gandasuri tidak
tahu entah berapa lama dia melangkahkan kakinya, seolah berhari-hari rasanya
hingga akhirnya terdengar kembali suara Maharatu Langit Darah yang memegang lengannya
itu. "Kita sudah sampai di ujung jalan. Kalau tadi kau tak mau melihat manusiamanusia disiksa itu, tak jadi apa. Sekarang buka matamu....."
Perlahan-lahan Nyi Gandasuri membuka kedua matanya. Dia memandang
berkeliling dengan terheran-heran.
"Aneh, bagaimana tahu-tahu aku berada di tempat ini?" Istri Pangeran
Sampurno itu bertanya dalam hati. Saat itu didapatinya dirinya bersama maharatu
Langit Darah berada dalam sebuah kamar sangat bagus. Sebuah ranjang tinggi
terbuat dari besi berlapis kuningan berkilat terletak di tengah ruangan yang lantainya
diberi alas permadani. Nyi Gandasuri tidak melihat jendela ataupun lampu namun anehnya
ruangan besar itu berada dalam keadaan terang benderang.
Maharatu Langit Darah duduk di tepi ranjang. Sesaat dia menatap wajah Nyi
Gandasuri lekat-lekat lalu setengah berbisik dia berkata. "Buka pakaianmu Nyi
Gandasuri....."
"Saya....."
"Jangan sampai aku yang melakukannya!" Maharatu langit Darah berkata


Wiro Sableng 077 Kepala Iblis Nyi Gandasuri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan senyum dikulum tetapi sepasang matanya membersit sinar merah mengancam.
Mau tak mau perlahan-lahan Nyi Gandasuri membuka baju luarnya.
"Terus....terus.... mengapa berhenti"! Buka semua pakaian yang menempel di
tubuhmu! Jangan ada yang tersisa...."
Ny Gandasuri merasakan dadanya sesak dan tenggorokannya kering.
Tangannya bergetar. Si nenek jadi tidak sabaran. Dia melompat ke hadapan Nyi
Gandasuri. Dua tangannya bergerak. Sepuluh jari yang berkuku-kuku panjang merah
berkelebat. Brettt.....bretttt!
Pakain Nyi Gandasuri robek hampir di setiap bagian hingga akhirnya jatuh ke
atas permadani. Perempuan muda ini menutupkan kedua tangannya ke mulut aga
tidak berteriak ketika dia menyadari bahwa saat itu seluruh pakaiannya telah
tanggal dari auratnya! Maharatu Langit Darah mundur dua langkah. Kedua matanya jelalatan ke
wajah dan sekujur tubuh Nyi Gandasuri. Dua orang perempuan yang sama-sama bugil
itu untuk beberapa lama saling pandang.
"Wajahmu cantik..... tubuhmu benar-benar sempurna. Kau memang layak jadi
Permaisuri Sri Baginda. Tapi melayani diriku lebih dulu adalah kewajiban ang tak
bisa kau tolak...." Si nenek bergerak mendekati Nyi Gandasuri. Kedua tangannya
dikembangkan. Lalu dia merangkul tubuh istri Pangeran Sampurno itu dengan penuh
nafsu. Nyi Gandasuri jadi bergidik ketika manusia itu menempelkan wajahnya ke
dadanya dengan penuh nafsu. Bibirnya bergerak liar, lidahnya menjilat-menjilat.
Sebentar saja dada Nyi Gandasuri telah basah oleh darah yang keluar dari mulut
Maharatu Langit Darah itu!
Nyi Gandasuri terbaring letih dan pucat di atas tempat tidur. Matanya terpejam,
kepalanya terasa berat.
"Nyi Gandasuri..... hari ini kau bebas. Kau boelh pergi untuk mengatur segala
apa yang menjadi niatmu...."
BASTIAN TITO 20 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Perlahan-lahan dua mata perempuan muda itu terbuka. Ditatapnya langitlangit kamar beberapa lama. Tiba-tiba dia seperti melihat dua buah wajah di atas
kamar itu. mula-mula samar. Perlahan-lahan mulai jelas. Lalu mendadak terdengar
suara membentak marah.
"Kau berani melanggar pantangan! Berani memandang ke atas!"
Bayangan dua wajah di langit-langit kamar serta merta lenyap.
Nyi Gandasuri cepat bangkit lalu duduk nanar di tepi ranjang.
"Maafkan saya Maharatu. Sekujur badan saya terasa sakit. Kepala saya berat
dan pusing. Pemandangan seperti berkunang....."
"Hemmmmm..... biarlah sekali ini aku berbaik hati padamu! Seharusnya
sebagai hukuman kepalamu dijadikan ganjalan salah satu tiang Istana! Lekas
kenakan pakaianmu dan pergi dari sini!"
Nyi Gandasuri terkejut. Baru dia sadar kalau saat itu tubuhnya tidak tertutup
selembar benangpun! Dipandanginya tubuhnya. Dia jadi merinding sendiri. Hampir
seluruh badannya berwarna merah oleh darah dan luka-luka seperti bekas gigitan.
Dia memandang berkeliling. Pakaiannya bergeletakan di mana-mana dalam keadaan
robek. Dari pada tidak berpakaian sama sekali lebih baik mengenakan baju dan
kain robek. Sebelum dia mengenakan pakaian yang robek-robek iu Maharatu Langit
Darah mengulurkan sebuah tabung kecil dari bambu. "Kau tak usah kawatir dengan
Petualang Asmara 16 Pendekar Slebor 37 Putri Samudera Dendam Empu Bharada 6

Cari Blog Ini