Ceritasilat Novel Online

Singa Gurun Bromo 2

Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo Bagian 2


kelamaan kami jadi kebal karena terbiasa! Maaf saja kalau saat ini kalian
mengalami nasib sama. Itu bukan disengaja. Ha....ha....ha! Kalian berdua jangan marah pada
siapapun!"
Panji berdiri dari duduknya. Wiro mengikuti.
"Warok, kami minta diri....."
"Silahkan. Aku gembira mendapat kunjungan kalian. Satu hal agar kalian
ketahui. Jika suatu waktu kalian ingin bergabung dengan kami, pintu selalu
terbuka!" Kedua pemuda itu menyeringai. Karena mulut mereka pada bengkak, ketika
menyeringai tampang-tampang mereka menjadi lucu dan ini membuat sang Warok
jadi terpingkal-pingkal!
BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Keluar dari rimba belantara hujan deras turun memaksa Wiro dan Panji mencari
tempat untuk berlindung. Untungnya mereka menemukan sebuah gubuk reyot tak
jauh dari situ. Keduanya segera berteduh di dalam gubuk tanpa dinding dan
atapnya penuh lobang itu.
"Sobat, kurasa sekarang saat yang baik kau menuturkan riwayatmu. Kau
bilang terpaksa kabur dari Kuto Inggil enam tahun lalu. Lalu punya silang
sengketa dengan kerajaan dan Adipati Lumajang. Apa betul kau membunuh putera Pangeran
Sendoyo?" Panji meraba rambutnya yang coklat yang kejatuhan tirisan air hujan.
Digelengkannya kepalanya. "Tidak, tidak betul. Ada orang yang mengatur fitnah.
Menjebakku demikian rupa hingga tuduhan jatuhan padaku. Aku akan ceritakan
padamu awal malapetaka enam tahun yang lalu itu....."
Larasati bunga Kuto Inggil baru berusia lima belas tahun. Kecantikannya yang
memang luar biasa telah dibawa angin keharuman sampai di Kotaraja. Seorang
pangeran bernama Sendoyo yang mendengar kecantikan Larasati itu telah sengaja
menyempatkan diri untuk datang ke Kuto Inggil. Dia menemui Bibi Kanoman untuk
melamar Larasati agar dapat dipersunting oleh puteranya yang bernama Tayu
jenggolo. Bibi Kanoman yang maklum akan kekuasaan sang Pangeran tentu saja tak
berani menolak walau dia tidak suka akan lamaran itu. dia sudah sejak lama
mendengar bahwa putera Pangeran Sendoyo itu suka berjudi, penyabung ayam, suka
mengganggu anak istri orang dan pantat botol alias suka minuman keras. Secara
halus dia menyerahkan persoalannya pada Larasati. Si gadis, yang sebenarnya telah
menjalin cinta dengan Panji Argomanik dengan tegas menolak lamaran itu.
Sang Pangeran kembali ke Kotaraja dengan perasaan malu, tersinggung dan
marah. Diam-diam dia berusaha mencari jalan untuk mendapatkan Larasati,
bagaimanapun caranya. Untuk itu dia meminta bantuan Dirgo Sampean, adipati
Lumajang yang membawahi Kuto Inggil. Dirgo Sampean mau membantu karena
dijanjikan akan diberikan satu kedudukan tinggi di Istana kelak.
Hari itu merupakan hari pasar di Kuto Inggil. Pasar raya yang berlangsung di
alun-alun ramai dikunjungi orang. Rumah makan dan tempat-tempat minum penuh
oleh manusia. Para perjaka dan para gadis mempergunakan hari ini sebagai
kesempatan untuk bertemu dan berhandai-handai.
Siang itu Panji memerlukan datang ke pasar untuk mencari seorang teman
karibnya. Belum sampai ke pasar di tengah jalan dia berpapasan degnan Tayub
Jenggolo diiringi oleh tiga orang temannya. Keempat pemuda itu sedang mabuk
sehabis menenggak banyak minuman di satu rumah minum. Tapi yang terparah
adalah putera Pangeran Sendoyo itu.
Begitu melihat Panji, Tayu Jenggolo seperti kemasukan setan dan berteriak
marah. Dia mencaci maki Panji dengan kata-kata kotor. Walau telinga dan hatinya
jadi panas mendengar caci maki itu namun karena tahu Tayub Jenggolo sedang
mabuk maka Panji tidak melayani. Dia terus saja melangkah menuju ke pasar. Tapi
begitu berhadap-hadapan tiba-tiba Tayub Jenggolo mencabut sebuah pisau besar
dari pinggangnya. Panji Argomanik terkejut sekali ketika melihat pisau yang digenggam Tayub
Jenggolo adalah pisau miliknya yang diketahuinya telah hilang sejak tiga hari
lalu. BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Aneh, bagaimana pisau itu bisa berada di tangan putera Pangeran ini?" pikir
Panji. Tapi pemuda ini tidak bisa berrpikir lebih jauh karena saat itu Tayub
sudah menyerangnya. Dengan cepat Panji mengelak.
Tayub membalik, "Bangsat kau Panji! Kau yan hendak merampas Larasati
dari tanganku! Kau tak bakal dapat memperistrikannya! Kau akan kawin dengan
cacing-cacing tanah di liang kubur! Kau boleh bawa gelar besarmu Singa Gurun
Bromo itu ke liang kubur!"
Tayub Jenddolo kembali menyerbu. Karena saat itu dia sedang mabuk dan
Panji sendiri sudah menguasai ilmu silat dari seorang sakti yang diam di sebuah
goa di Gurun Bromo sehingga dia mendapat julukan Singa Gurun Bromo, dengan mudah
Panji menghadapi setiap serangan lawan. Sementara itu tiga orang kawan Tayub
Jenggolo yang juga dalam keadaan mabuk berteriak-teriak ketakutan. Ketiganya
lalu melarikan diri entah kemana.
Beberapa lama kemudian, seorang pedagang sayur yang tengah memikul
dagangannya ke pasar menemukan sosok Tayub Jenggolo tergeletak di tengah jalan
dalam keadaan mandi darah. Muka dan beberapa bagian tubuhnya penuh dengan
luka-luka. Sebuah pisau besar- pisau milik Panji Argomanik menancap di
pertengahan dadanya! Panji sendiri lenyap entah kemana!
Setelah kejadian itu serombongan pasukan dari kadipaten mendatangi rumah
kediaman Panji. Ketika mereka tidak menemukan si pemuda di sana maka mereka
menangkap ayah Panji Argomanik. Di sebuah rumah kayu mereka menyekap orang
tua itu, menyiksanya setiap hari. Di luar disebar kabar jika Panji tidak muncul
menyerahkan diri maka ayahnya akan dijadikan tumbal di tiang gantungan.
Suatu pagi Panji Argomanik akhirnya muncul di kadipaten untuk
menyerahkan diri. Ayahnya dilepas. Tapi dua hari kembali ke rumah, orang tua ini
menghembuskan nafas karena luka-luka dan cidera berat yang dideritanya. Kabar
kematian ayahnya itu disampaikan seorang kawan Panji di tempat dia disekap.
Panji seperti hendak gila. Apalagi ketika dia mendengar bahwa dirinya akan digantung
dalam dua hari mendatang. Kesalahannya telah terbukti pisau yang menancap di
tubuh Tayub Jenggolo adalah pisau miliknya. Lalu ada seorang pedagang di Kuto
Inggil bernama Janar Gandewo memberi kesaksian bahwa dia melihat memang Panji
Argomanik yang menusukkan pisau ke tubuh Tayub jenggolo....
Selama satu hari satu malam Panji bersemedi meminta petunjuk pada Yang
Kuasa. Suatu malam seperti mendapat kekuatan gaib, pemuda ini menghancurkan
dinding papan tebal dan kokoh ruang tahanannya. Dia menghantam roboh dua orang
pengawal di tempat itu. Lalu dengan seekor kuda curian dia melarikan diri menuju
ke Utara. Larinya Panji Argomanik segera dilaporkan kepada Adipati Lumajang.
Rombongan pengejar yang terdiri dari dua puluh perajurit dipimpin langsung oleh
Adipati Dirgo Sampean. Karena mereka memiliki seorang ahli pencari jejak maka
larinya Singa Gurun Bromo segera dapat diketahui. Di pedataran pasir sebelah
Utara, rombongan pengejar berhasil mengejar pemuda itu. Di satu tempat Panji Argomanik
dikurung lalu dikeroyok. Panji mengamuk hebat untuk mempertahankan diri dan
kehormatannya. Tapi musuh terlalu banyak dan Adipati Dirgo ternyata memiliki
kepandaian tinggi pula. Meskipun berhasil merobohkan enam orang perajurit yang
mengeroyoknya namun dalam keadaan mandi darah pemuda itu akhirnya jatuh
tersungkur di tanah.
Adipati Dirgo Sampean menyambar tombak yang tersisip di leher kudanya
lalu melompat turun. Tombak itu dihujamkannya ke arah tenggorokan Panji
Argomanik yang berada dalam keadaan tak berdaya antara sadar dan tiada.
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sesaat lagi mata tombak akan menembus leher Panji tiba-tiba sebauh benda
bulat menghantam pertengahan batang tombak hingga senjata itu patah dua dan
terlepas mental dari genggaman Adipati Dirgo Sampean. Sang Adipati merasakan
tangannya seperti disengat api. Penuh rasa kejut dia memandang sekeliling. Hal
sama juga dilakukan oleh para perajurit yang ada di tempat itu. Mereka semua melihat
ada seorang tua berjubah putih berambut panjang putih yang melambai-lambai ditiup
angin. Orang tua itu duduk di atas punggung seekor kuda hitam. Tapi mereka hanya
melihat sekejapan saja. Karena ketika orang tua itu memukulkan kedua tangannya
ke depan, terdengar deru keras seperti munculnya topan prahara. Pasir gurun
beterbangan menutupi pemandangan Adipati Dirgo dan semua perajurit yang ada di
sana berusaha bertahan dengan susah payah agar tubuh mereka tidak roboh.
Pemandangan mereka tertutup oleh pasir-pasir yang beterbangan.
Ketika gelombang angin mereda dan pasir yang beterbangan luruh ke tanah
kembali semua orang terkejut. Tubuh Panji Argomanik yang tadi tergeletak di atas
pasir tak ada lagi di situ. Memandang ke arah kiri mereka dapatkan kakek
penunggang kuda hitampun sudah lenyap entah kemana!
Para perajurit yang ada di tempat itu jadi merinding. Adipati Dirgo Sampean
diam-diam ikut merasa takut. Dia memang tidak penah mendengar adanya setan atau
hantu gurun pasir. Tetapi kalau bukan setan mana mungkin orang tua itu bisa
muncul dan lenyap bersama hilangnya tubuh Panji.
"Pasukan! Kita kembali ke Lumajang!" seru Adipati itu pada para perajuritnya.
Ketika siuman, mula-mula Panji merasa heran dan bertanya-tanya dimana dia
berada saat itu. Secara perlahan-lahan begitu ingatannya pulih kembali dia
segera mengenali tempat itu dan ingat kalau dulu dia pernah berada di situ selama
beberapa tahun. Dengan mengumpulkan tenaga walau sekujur tubuh dan persendiannya terasa
sakit Panji berusaha bangkit. Dia memandang berkeliling. Dia hanya sendirian
dalam goa itu. "Guru...."!" Suara Panji bergema dan memantul pada dinding-dinding goa.
Di ruang sebelah dalam goa batu yang terletak di gurun pasir Bromo itu
terdengar suara batuk-batuk. Lalu sesosok tubuh tua muncul.
"Kau sudah siuman Panji....?"
"Sudah guru. Saya tahu pasti. Guru yang telah menyelamatkan saya dari
orang-orang itu..... Saya berterima kasih padamu guru."
"Berterima kasih pada Tuhan. Dia yang masih memanjangkan umurmu," kata
orang tua sambil memegang bahu muridnya. Lalu dia bertanya. "Mengapa mereka
mengejar dan ingin membunuhmu?"
Panji lalu menceritakan apa yang terjadi.
Si orang tua menarik nafas panjang. "Ada orang atau orang-orang yang
sengaja menjebakmu muridku. Dan kau belum sanggup menghadapi mereka. Jika kau
berani muncul di Kuto Inggil, mereka akan membunuhmu!"
"Saya mohon petunjukmu guru."
Si orang tua tersenyum kecut. "Itu sebabnya dulu kukatakan padamu, kalau
berguru jangan kepalang tanggung. Belum selesai semua kepandaia kuwariskan
padamu kau sudah seperti anak kecil minta-minta diizinkan pulang. Tenaga dalammu
masih rendah. Ilmu meringankan tubuhmu masih cetek. Kau memang telah
menyandang julukan hebat. Singa Gurun Bromo. Tapi kau hanya keberatan gelar
muridku!" "Maafkan segala tindakan saya di masa lampau guru." Kata Panji. "Kalau
guru tidak keberatan saya ingin menyambung pelajaran lagi di sini...."
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Pengalaman pahit itu rupanya menjadi guru terbaik bagimu. Mungkin kau
memang berjodoh untuk meneruskan pelajaran silatmu di sini. Kau akan kugembleng
selama enam tahun. Jika kau berani minta pergi hanya ada satu syarat dariku. Aku
tak akan mengajarkan apa-apa lagi padamu. Dan aku tidak ingin melihat mukamu lagi!"
"Saya berani mematuhi semua peraturan guru...." Jawab Panji.
"Kalau begitu kau teruskan dulu beristirahat. Besok pagi-pagi pelajaran
pertama akan dimulai."
"Terima kasih guru," kata Panji Argomanik. Dipegangnya tangan orang tua itu
lalu diciumnya penuh hormat dan terima kasih.
Hujan deras telah berhenti. Kini udara dingin luar biasa datang menyungkup.
Pendekar 212 Wiro Sabelng rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
"Nah, itu kisahku enam tahun lalu," kata Panji menyudahi riwayatnya. "Kini
aku muncul untuk meluruskan segala tuduhan keji itu. Aku harus mencari tahu
siapa biang racun di balik semua kejadian ini. Aku curiga terhadap Pangeran Sendoyo.
Kematian ayahku perlu aku balaskan. Dan yang paling penting aku harus segera
menemukan Larasati kembali!"
"Kau tidak menceritakan tentang ibumu setelah ayahmu meninggal." Kata
Wiro. "Ah, itu satu sisi gelap lagi dari kehidupanku yang malang. Waktu aku masih
mengikuti guru, aku mendapat kabar dari seseorang. Beliau menyusul ayah sebulan
kemudian."
Wiro terdiam sesaat. "Boleh aku tahu siapa nama gurumu itu?"
"Dia tidak pernah memberitahu namanya. Dia memiliki gelar sama denganku.
Singa Gurun Bromo. Ketika dia melepas aku enam tahun lalu, dia menyuruh aku
memakai gelar itu."
Sunyi sesaat di dalam gubuk itu. "Kita harus berangkat sekarang Wiro."
"Ya. Tapi kemana tujuan kita?"
"Aku akan mencari Janar Gandewo pedagang keliling yang memberi
kesaksian palsu itu."
Pendekar 212 mengangguk. Kedua pemuda itu lalu naik ke atas kuda masingmasing. BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN Hari hampir malam ketika mereka emmasuki Kuto Inggil dari arah Selatan.
Setelah melewati sebuah lereng bukit yang ditumbuhi pohon-pohon karet keduanya
menemui sebuah kali kecil. Sebelumnya kali ini merupakan parit kering akibat
musim panas yang panjang. Kini setelah hujan turun kali itu tampak berair kembali
walaupun sangat dangkal dan kotor.
Panji Argomanik menunggangi kudanya di sebelah depan diikuti oleh
Pendekar 212 dari belakang. Di kejauhan kelihatan nyala sebuah lampu minyak.
"Itu rumah Janar Gandewo," kata Panji seraya menunjuk ke arah lampu. Lalu
dia mempercepat lari kudanya. Di satu tempat kira-kira lima puluh langkah dari
rumah kecil di daerah terpencil itu Panji turun dari kudanya. Dia memberi
isyarat pada Wiro agar terus mengikuti dengan jalan kaki. Tinggal beberapa belas langkah
lagi dari rumah yang dituju Wiro berbisik.
"Kau duluan saja Panji. Aku mau kencing dulu..... Dari tadi aku berusaha
menahan. Sekarang tak sanggup lagi!"
"Sialan! Ada-ada saja kelakuanmu!" maki Panji jengkel sekali. Dia tidak lagi
memperdulikan Wiro dan bergerak sendirian dalam rumah kecil yang lantainya


Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkolong rendah.
"Ada nyala lampu berrarti ada orangnya," kata Panji dalam hati. Dia
melangkah ke pintu depan lalu berseru. "Janar Gandewo! Aku mencarimu! Lekas
keluar!" Tak ada jawaban dari dlam rumah itu.
"Janar!"
"Si.....siapa di luar"!" Tiba-tiba ada yang bertaya dari dalam rumah.
"Aku Panji Argomanik!"
"Tung.....tunggu sebentar..."
"Suaranya seperti gemetar dan gagap. Ada sesuatu yang ditakutinya," kata
Panji dalam hati. Dia menunggu sesaat. Tiba-tiba nyala lampu dalam rumah padam.
Panji jadi curiga dan melompat ke balik sebatang pohon. Dia tak menunggu lama.
Pintu belakang rumah kecil kelihatan terbuka lalu seorang lelaki bertubuh tinggi
langsung melompat keluar, dengan cepat menyelinap hendak melarikan diri. Panji
segera mengejar dan menghadang. Sekali sergap saja dia berhasil membengbeng
leher pakaian orang itu.
"Mau kabur ke mana Janar"!"
"Si....siapa bilang aku mau kabur.....?" Janar Gandewo si pedagang keliling
menjawab tapi jelas dia berdusta dan sangat ketakutan.
Panji tarik leher pakaian orang itu lalu membantingkannya hingga
punggungnya terhempas ke dinding rumah. Janar Gandewo merintih kesakitan.
Tulang punggungnya seperti luluh. "Kenapa kau memperlakukan aku seperti ini.....?"
"Ini belum seberapa!" kertak Panji. "Aku tak segan-segan menghancurkan
batok kepalamu!"
"A.....apa salahku"!"
"Keparat! Kau pandai berpura-pura!" Tangna kiri Panji bergerak meninju
muka Janar Gandewo hingga bibirnya pecah dan dua giginya rontok! Janar meraung
kesakitan. "Kau mau minta mampus sekarang juga"!" bentak Panji lalu kedua
tangannya dicekikkan ke leher orang itu.
"Jang....jangan..... Jangan bunuh aku. Apa salahku....."
BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Siapa yang menyuruhmu memberi kesaksian palsu enam tahun lalu. Kau
bersaksi melihat aku membunuh Tayub Jenggolo putera Pangeran Sendoyo!"
"Aku....."
"Bangsat! Jawab cepat!" Panji angkat lagi tangan kanannya.
"Aku.... Aku terpaksa. Aku disuruh. Kalau tidak kemaluanku akan dipotong!
Aku akan dikebiri!"
"Siapa yang menyuruhmu" Siapa yang mau mengebirimu"!" teriak Panji.
"Walang Daksi....."
"Walang Daksi...." Dukun Iblis di Lembah Waru"!"
Janar Gandewo mengangguk.
"Aku tidak percaya! Kau membual! Biar kupatahkan batang lehermu saat ini
juga!" "Aku tidak dusta! Aku tidak berbohong Panji. Aku tahu Walang Daksi juga
disuruh orang lain...."
"Siapa"!"
"Su.....Sur......"
Belum sempat Janar Gandewo menyebutkan sabuah nama tiba-tiba terdengar
suara berdesing. Panji berpaling. Sebatang anak panah melesat dan menancap tepat
di mata kiri Janar Gandewo. Orang ini meraung setinggi langit. Lidahnya terjulur.
Mukanya kelihatan menjadi biru.
"Panah beracun!" desis Panji serta merta lepaskan cekikannya. Tubuh Janar
terkulai lalu roboh ke tanah tanpa nyawa lagi!
Dalam keadaan masih terkesiap Panji tidak menyadari bahwa saat itu sebuah
anak panah lagi melesat dan kali ini sasarannya adalah dirinya sendiri. Dia
mendengar suara berdesing namun perhatiannya masih tertuju pada kematian Janar hingga dia
bertindak lengah. Sesaat lagi anak panah itu akan menancap di punggungnya tibatiba sebuah benda hitam melesat dalam kegelapan malam, memotong luncuran anak panah
dan trak! Anak panah mental patah dua. Panji melompat. Saat itulah dia baru
sadar kalau dirinya baru saja terlepas dari bahaya maut!
Sesosok tubuh melompat ke hadapan panji. Pemuda bergelar Singa Gurun
Bromo ini berkelebat dan siap untuk menghantam. Tapi dia cepat tarik serangannya
ketika dilihatnya yang datang adalah Wiro.
"Ada untungnya aku kencing tadi," kata Pendekar 212. "Kalau tidak mungkin
kita berdua sudah jadi mayat. Yang dituju si pembokong adalah kau, bukan kunyuk
jangkung itu!" Lalu Wiro membungkuk mengambil sebuah benda yakni batu hitam
sakti yang merupakan pasangan kapak Maut Naga Geni 212.
Selain memungut batu hitamnya Wiro juga mengambil patahan anak panah
yang tadi dihantamnya dengan batu hitam itu.
"Aku mengenali mata panah ini. Bagaimana pendapatmu, Sobat?" tanya Wiro.
Panji memperhatikan anak panah itu. Dia juga segea mengenali "Sama dengan
anak panah milik orang-orangnya Warok Keling...." Katanya. "Berarti bangsat itu
memang terlibat dalam urusan ini! Keparat!" dalam amarahnya Panji kemudian
ingat. "Terima kasih. Kau telah menyelamatkan jiwaku." Dia memandang ke arah
mayat Janar Gandewo. "Manusia sialan itu tadi menyebutkan nama seseorang. Orang
yang katanya menyuruh dia melakukan kesaksian palsu. Sur...... entah Sur siapa. Dia
juga menyebutkan nama seorang dukun di Lembah Waru. Aku akan mencari dukun
itu sekarang juga!"
"Kau dengar suara derap kaki kuda di kejauhan itu?"
"Ya....."
"Apa maksudmu Wiro?"
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Itu derap kaki kuda si pembokong. Dia belum lari jauh. Kita masih punya
kesempatan untuk mengejarnya! Kau harus memilih satu di antara dua. Mengejar si
pembokong atau pergi ke Lembah Waru."
"Si pembokong itu lebih dulu!" jawab Panji.
"Tepat!" sahut Wiro seraya acungkan ibu jari tangan kanannya. Kedua
pendekar ini segera berkelebat ke tepat di mana mereka meninggalkan kuda
sebelumnya. Di malam yang gelap dan dingin itu memang tidak mudah untuk mengejar
seseorang yang melarikan diri dengan menunggang kuda. Satu-satunya petunjuk ke
arah mana larinya si pembokong adalah suara derap kaki kudanya. Tapi celakanya
di satu tempat suara derap kaki kuda orang yang dikejar itu lenyap!
"Keparat!" maki Panji. "Dia menghilang!"
Pendekar 212 tidak menjawab. Telinganya dipasang baik-baik. "Aku
mendengar suara kaki-kaki kuda di air...."
"Kau ingat kali kecil itu"!" ujar Panji.
"Dia pasti tengah menyebrangi kali dangkal itu! Pantas derap kaki kudanya
lenyap. Ayo kita kejar!"
Kedua pendekar ini memacu kuda masing-masing ke arah kiri. Tak lama
kemudian mereka sampai di satu tempat ketinggian. Di bawah sana keliahtan kali
kecil berair dangkal. Di seberang kali tampak seorang penunggang kuda baru saja
menyeberangi kali itu.
"Itu bangsatnya!" kertak Panji. "Aku akan memintas jalannya dari arah kiri.
Kau memotong dari arah kanan. Dia pasti tidak bisa lolos. Apalagi di seberang
sana merupakan kawasan terbuka!"
Panji membedal kudanya. Wiro menyentakkan tali kekang tunggangannya.
Kedua orang ini melesat dalam kegelapan malam. Selewatnya kali dangkal mereka
berpencar menggunting larinya orang yang mereka kejar dari dua arah. Tepat di
pertengahan pelataran terbuka, Panji telah berada di depan, Wiro menjepit dari
belakang. Orang yang dikejar mengenakan pakaian ringkas warna gelap. Kepalanya
ditutupi sebuah topi berbentuk aneh dan wajahnya tersembunyi di balik sehelai
cadar. Tahu kalau ada dua orang mengejarnya si penunggang kuda tadi segera membelok ke
kiri dan memacu kudanya sepanjang lereng pedataran. Namun dia tidak bisa lari
jauh karena dalam waktu singkat Wiro dan Panji berhasil mengejarnya. Dari jarak
sepuluh langkah di sebelah kiri, Singa Gurun Bromo yang sudah tidak tahan lagi lepaskan
satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Yang diarah adalah
pinggang orang itu.
Selarik angin keras menderu. Membabat ke arah pinggang laksana sambaran
sebilah mata pedang. Inilah pukulan sakti yang disebut Kilat Manyapu Gurun
Bromo. Jangankan tubuh manusia, batang pohon pun akan terbabat putus bila kena hantaman
pukulan sakti ini!
Rupanya orang di atas kuda sudah tahu kalau dirinya terancam maut. Dari
balik cadarnya dia keluarkan suara mendengus. Lalu tubuhnya tiba-tiba melesat ke
atas. Serangan Singa Gurun Bromo lewat di bawah kedua kakinya. Hebatnya, karena
kedua tangannya masih memegang tali kekang kuda, ketika melompat turun kembali
dia membuat gerakan jungkir balik, di lain kejap dia sudah duduk kembali di atas
pelana kuda dan menghambur menjauhi kedua pengejarnya.
Pendekar 212 leletkan lidah mengagumi kehebatan orang itu. Sebaliknya Panji
Argomanik walaupun terkesiap tapi kemarahannya memuncak. Sebenarnya dia harus
dapat menangkap orang ini hidup-hidup untuk mendapatkan keterangan mengapa dia
BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
memanah mati Janar Gandewo lalu hendak membunuh dirinya pula. Tetapi amarah
lebih mempengaruhi hingga Panji ingin membunuh orang ini saat itu juga!
Begitu serangan pertamanya gagal Singa Gurun Bromo menggebrak kudanya
dan mengejar kembali. Tapi sekali ini gerakannya tertahan karena sambil
melarikan diri orang yang dikejar lambaikan tangan kanannya. Puluhan benda sebessar-besar
pasir beterbangan di udara mengeluarkan kilauan aneh.
"Awas pasir beracun!" teriak Pendekar 212 yang mengenali apa adanya
benda-benda yang melesat ke arah sahabatnya itu.
Singa Gurun Bromo menggertak marah. Tangan kanannya diangkat.
"Wusss!" Satu gelombang sinar putih kebiruan menderu dahsyat. Pasir
beracun tersapu habis. Sinar serangan Panji Argomanik terus menerpa ke arah
orang bercadar. Orang ini cepat angkat tangan kanannya guna melepaskan pukulan tangan
kosong. Dua kekuatan dahsyat saling bentrokan di udara. Terdengar suara
berdentum disusul oleh suara ringkikan tiga ekor kuda!
Singa Gurun Bromo merasakan sekujur tubuhnya seperti tergontai-gontai
sedang kuda tunggangannya menjadi liar dan meringkik tiada henti. Pendekar 212
yang berada tak jauh dari Panji dan sempat tersapu angin serangan juga merasakan
getaran hebat menjalari tuuhnya. Kuda tunggangannya seperti sempoyongan dan
meringkik beberapa kali.
Yang bernasib buruk adalah orang yang dikejar tadi. Tubuhnya terhempas ke
samping lalu jatuh ke tanah. Kudanya meringkik keras dan lari meninggalkannya.
Puluhan langkah di depan sana baru binatang ini berhenti. Melihat orang
buruannya jatuh ke tanah, Singa Gurun Bromo segea melompat turun dari atas kuda dan
kirimkan tendangan ke arah dada orang itu. Yang diserang gerakkan tangan
kanannya ke pinggang. "Wuut!"
Lalu sebilah golok menyambar tak terduga. Ujungnya menderu di perut Singa
Gurun Bromo membuat pendekar ini terkejut dan cepat melompat. Tak urung
sebagian bajunya di sebelah perut masih kena tersambar ujung senjata lawan
hingga robek. Singa Gurun Bromo melompat mundur sambil pegangi perutnya. Parasnya
berubah mengelam tanda amarahnya sudah mencapai di puncaknya. Di depannya
orang bercadar tegak sambil putar-putar goloknya. Dalam gelapnya malam senjata
itu lenyap dari pemandangan hanya suaranya saja yang terdengar menderu-deru.
Selangkah demi selangkah, sambil terus memutar goloknya orang ini mendekati
Singa Gurun Bromo. Tiba-tiba dia menyergap ke depan. Goloknya berkiblat dalam satu
bacokan deras. Singa Gurun Bromo mundur satu langkah. Kedua lututnya menekuk.
Bersamaan dengan itu kedua tangannya menyusup ke atas. Begitu dia berhasil
mencekal lengan yang memegang golok itu secepat kilat dia jatuhkan dirinya ke
tanah. Kaki kanannya menendang ke arah perut lawan. Orang bercadar terangkat ke atas
lalu tertarik keras. Goloknya terlepas dan tubuhnya terbanting ke tanah. Dari balik
cadar terdengar suara pekikan. Suara pekik perempuan!
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH Pendekar 212 dan Singa Gurun Bromo tentu saja tersentak kaget begitu mendengar
suara jeritan orang itu adalah suara perempuan. Sekali lompat saja Singa Gurun
Bromo sudah berdiri di samping tubuh yang tergeletak di tanah becek. Kaki
kanannya menginjak leher lalu dia membungkuk dan membetot lepas cadar yang menutupi
wajah orang itu.
"Kau!" keluar teriakan kaget dari mulut Panji Argomanik alias Singa Gurun
Bromo. Pendekar 212 sendiri tertegun dengan mulut ternganga seperti tak percaya
pada penglihatannya. Akhirnya dia hanya bisa garuk-garuk kepala.
"Jadi kau rupanya! Bapaknya perampok besar. Ternyata anaknya juga
penjahat keji! Mengapa kau hendak membunuhku"! Mengapa kau membunuh Janar
Gandewo! Pasti bapakmu yang menyuruh!"
"Mulutmu lancang! Belum tahu urusan sudah mendamprat! Jika kau ada
persoalan denganku jangan hina orang tuaku!" bentak perempuan yang tergeletak di
tanah dan lehernya masih diinjak oleh Singa Gurun Bromo. Dia bukan lain adalah
Jayengsari, puteri Warok Keling, raja diraja para perampok!
"Baik! Sekarang jawab dulu pertanyaanku tadi. Kalau kau tidak menjawab
kuinjak hancur batang lehermu!" ancam Singa Gurun Bromo.
"Siapa yang hendak membunuhmu" Siapa itu Janar Gandewo?" balik
membentak Jayengsari. Lalu dengan mata membelalang gadis ini berkata. "Aku itdak
takut mati! Kau mau bunuh aku saat ini juga silahkan! Ayo injak leherku!"
"Akalmu selicik akal bapak moyangmu!"
"Kurang ajar! Kalau kau punya nyali lepaskan injakanmu. Mari kita berkelahi
sampai seratus jurus! Buktikan bahwa kau yang punya gelar Singa Gurun Bromo
bukan seorang pendekar banci yang hanya berani melawan perempuan!"
Amarah Singa Gurun Bromo jadi mendidih lagi mendengar kata-kata
Jayengsari itu. "Manusia sepertimu tidak perlu dihormati! Matipun kau aku tak
merugi! Nah, mampuslah!"
Singa Gurun Bromo injakkan kaki kanannya kuat-kuat ke leher si gadis.
Namun sebelum hal itu terjadi, murid Eyang Sinto Gendeng cepat mendorongnya
hingga injakkannya lepas dan tubuhnya terhuyung-huyung.
"Wiro! Kau hendak membelanya"! Kau bersekutu dengan gadis iblis ini"!"
teriak Singa Gurun Bromo marah.
"Tenang Panji, sabar dulu sedikit," kata Wiro. "Apa untungku membela gadis
cantik ini.....!"
"Gila! Kau masih bisa menyebut gadis yang hendak membunuh sahabatmu ini
dengan kata-kata gadis cantik!" semakin naik darah Singa Gurun Bromo mendengar


Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pujian Wiro itu.
"Aku tidak memujinya berlebihan sobat. Tapi memang kenyataannya dia
cantikkan?" Wiro berpaling pada si gadis sambil kedipkan matanya dia berkata.
"Jayeng, berdirilah...."
Puteri Warok Keling itu tampak merengut walau hatinya sempat berbungabunga mendengar pujian Wiro atas kecantikan wajahnya.
"Wiro, katakan apa maumu"!" tanya Panji Argomanik dengan suara bergetar
menahan amarah.
"Dengar Panji, aku punya dugaan bukan dia yang membunuh janar Gandewo
dan juga bukan dia yang tadi hendak membunuhmu dengan panah beracun itu!"
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Hebat! Bagaimana kau bisa berkata begitu sobatku"!"
"Kau lihat sendiri. Dia tidak membawa busur ataupun kantong panah!"
"Aku sudah katakan. Gadis seperti dia sudah terdidik untuk berbuat jahat dan
mengandalkan tipu daya! Bisa saja dia membuang busur dan kantong panahnya di
tengah jalan!"
Jayengsari terdengar mendengus. Saat itu dia sudah berdiri di hadapan Wiro
dan Panji. "Aku memang tidak membawa panah dan busur!" katanya.
"Baik! Sekarang katakan bagaimana kau tahu-tahu muncul di tempat ini! Apa
keperluanmu! Kalau kau memang tidak berniat jahat mengapa melarikan diri ketika
kami kejar dan mengapa kau menyerang kami" Dengar, anak panah yang membunuh
Janar Gandewo jelas anak panah buatan komplotan ayahmu!"
"Soal panah memanah aku tidak menahu. Perduli setan! Aku tak mau
membicarakannya! Aku tidak tahu kalau kalian tadi yang mengejarku! Aku
menyerangmu karena menyangka kalian orang-orang jahat!"
"Kau dengar Wiro. Seorang anak penjahat enak saja mengatakan kita orangorang jahat!"
"Jangan tolol!" bentak Jayengsari. "Malam begini gelap dan kalian tahu-tahu
muncul di belakangku!"
"Kalau kau tidak bermaksud culas mengapa kau menutupi wajahmu dengan
cadar"!" sentak Singa Gurun Bromo.
"Hem...... Kau ingin tahu sebabnya" Jika kau punya saudara perempuan apa
kau merasa tenang mengetahui dia berjalan seorang diri dalam pakaian dan
dandanan perempuan"!"
Panji Argomanik terdiam.
"Jayeng," Wiro menengahi. "Coba katakan saja mengapa kau ada di sini.
Kalau memang bukan kau yang membunuh Janar Gandewo, mungkin kau tau siapa
pelakunya?"
"Aku, aku ditugaskan ayah ke Kuto Inggil." Jawab gadis itu. "Sebetulnya
bukan ditugaskan. Tapi aku sendiri yang minta....."
"Apa keperluanmu ke Kuto Inggil?" tanya Wiro pula. Kelihatannya si gadis
mau dan lebih terbuka bicara dengannya. Hal ini membuat Panji Argomanik menjadi
tidak sabaran dan merasa sangat jengkel terhadap sahabatnya itu.
"Aku sebenarnya bermaksud menemui kalian guna menyampaikan pesan
ayah." Jawab Jayengsari. "Jejak kalian berhasil kuketahui dan kuikuti sampai di
tempat kediaman Janar Gandewo. Aku sampai di situ ketika seorang penunggang
kuda berusaha melarikan diri. Kurasa dialah yang membunuh pedagang keliling itu
dan juga hendak membunuhmu...."
"Kau mengarang cerita!" potong Singa Gurun Bromo.
"Kalau kau berpendapat begitu boleh saja! Penjelasanku cukup sampai di sini.
Kau pendekar gagah bergelar hebat. Silahkan kau selesaikan sendiri urusanmu!"
Jayengsari segera membalikkan diri. Tapi Wiro cepat menghampirinya dan
memegang lengannya.
"Jangan pergi dulu. Kau jangan marah padaku....." kata Wiro membujuk.
"Aku tidak marah padamu. Tapi jengkel pada manusia satu itu. Tidak tahu
ditolong orang malah memaki, menuduh dan mendamprat seenaknya!" jawab
Jayengsari. "Maafkan dia. Pikirannya sedang kalut....." Wiro enak saja menciumi jari-jari
tangan gadis itu. Jayengsari cepat menariknya sambil berseru. "Ihhhh!" Murid
Eyang Sinto Gendeng menyengir. Dia yakin kalau Panji tak ada di situ si gadis pasti
akan senang dipegang dan dicium.
BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kau sama saja kurang ajarnya dengan dia. Malah lebih kurang ajar!" bentak
Jayengsari. Wiro menyengir lagi. "Aku hanya bergurau," katanya. Lalu, "Sekarang coba
kau katakan apa pesan ayahmu itu. Pesan untuk sahabatku Panji atau untukku
sendiri" Ah, kalau pesan itu untukku aku berharap-harap ayahmu memanggilku mungkin
untuk membicarakan soal perjodohan kita!"
Jayengsari terpekik marah sedang Panji Argomanik segera membentak.
"Wiro! Tidak pantas dalam keadaan seperti ini kau masih bisa membanyol!"
Wiro senyum-senyum. "Banyolanku tadi memang tidak lucu," katanya. Dia
berpaling kembali pada Jayengsari. "Kau mau meneruskan keteranganmu tadi?"
Jayengsari tampak merengut. Namun kemudian dia melanjutkan
keterangannya. "Aku berusaha mengejar orang yang membunuh dengan panah itu.
Tapi dia keburu melarikan diri. Kudanya kencang sekali. Tungganganku yang sudah
keletihan tidak berhasil mengejarnya. Di seberang kali kecil dia menghilang.
Justru begitu dia lenyap kalian berdua muncul mengejarku!"
"Sayang bangsat itu lolos. Tapi mungkin kau dapat mengenali sosok atau
perawakannya meskipun gelap?" tanya Wiro.
"Wajahnya memang tidak sempat kulihat. Tapi potongan tubuhnya aku
hampir yakin dia adalah Daruka....."
"Siapa Daruka?" tanya Wiro.
"Salah seorang anak buah ayahku. Dialah yang dicurigai melakukan
penculikan atas diri Larasati. Tapi nyatanya nanti ceritanya jadi lain....."
"Hemmmm.... Kalau begini jelas ada seseorang di belakang Daruka." Kata
Wiro. "Menurut Janar Gandewo sebelum mati, dia disuruh oleh Walang Daksi.
Walang Daksi disuruh oleh Suryaning. Lalu mengapa Daruka membunuh Janar dan
ingin membunuhku juga" Berarti bukan Suryaning yang menyuruh Daruka! Tapi
seorang lain. Mungkin Pangeran Sendoyo?" Panji memandang pada Wiro.
Wiro menggeleng. "Sang Pangeran punya kelompok sendiri. Dua tokoh silat
Istana dan dua perwira kerajaan itu. berarti ada orang lain Panji. Aku mulai
mencium baunya. Nanti saja kukatakan. Mungkin kau akan tahu dengan sendirinya. Sekarang
kita harus mencari tahu di mana Suryaning menyekap Larasati." Wiro memandang
pada puteri Warok Keling itu. Kelihatannya si gadis masih jengkel. Maka Wiro
mengalihkan pembicaraan. "Kau masih meneruskan keteranganmu yang terputus
tadi?" "Tak lama setelah kalian pergi ayah segera mengadakan pertemuan dengan
kepala-kepala kelompok untuk menyelidiki siapa di antara para anggota yang
berada di luar perkampungan. Kemudian segera diketahui bahwa seorang anak buah ayah
sejak beberapa waktu lalu tidak ada di kampung. Namanya Daruka. Dia berada di
luar tanpa setahu ayah ataupun pimpinan kelompok dan tanpa suatau tugas apapun.
Mungkin sekali dialah yang telah membunuh Karjo Lugu pemilik bengkel kuda di
Kuto Inggil itu. Ayah mengirim dua orang anak buahnya untuk menyelidik lebih
jelas. Seorang lain ditugaskan ayah untuk menemui kalian. Tapi aku meminta agar aku
yang pergi. Kami berhasil menemui Daruka di satu tempat. Setelah dipaksa dia mengaku
memang dia yang telah membakar dan membunuh perempuan bernama Bibi kanoman
dna Karjo Lugu. Celakanya Daruka sempat melarikan diri. Namun satu pengakuan
penting sudah diucapkannya. Yaitu bahwa bukan dia yang menculik Larasati. Gadis
itu telah diculik lebih dulu oleh seseorang....."
"Siapa"!" tanya Panji cepat.
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tunggu dulu!" ujar Jayengsari. "Apa hubunganmu dengan seorang dukun
perempuan bernama Walang Daksi?"
"Eh, mengapa kau bertanya begitu"!" balik bertanya Panji Argomanik.
"Dukun itu ditemui mati di rumahnya. Ada yang menggantungnya!"
Panji berpaling pada Wiro.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. "Berarti kita tidak bisa mencari tahu siapa
orang yang disebutkan Janar Gandewo. Kita hanya tahu sepotong nama depannya.
Sur..... Bisa Surga, bisa Susur..... bisa....."
"Sudah! Kau jangan ngacok!" potong Panji dengan suara keras.
"Mungkin aku tahu kelengkapan sepotong nama yang barusan kau sebut itu.
tasa-rasanya orangnya sama dengan yang tadi hendak kuberitahukan...."
"Siapa?" tanya Wiro dan Panji hampir berbarengan.
"Suryaning....." jawab Jayengsari.
"Suryaning?" ujar Panji dengan nada terkejut dan wajah berubah. "Hanya ada
satu orang bernama Suryaning. Dia adalah puteri Adipati Lumajang!"
"Justru dia yang menculik Larasati kekasihmu!"
"Hah"! Apa katamu"! Suryaning puteri Adipati Dirgo Sampean yang
menculik Larasati"!" sepasang mata Singa Gurun Bromo membeliak.
Jayengsari mengangguk.
"Tidak masuk akal. Bagaimana mungkin!" kata Panji masih tidak berkedip.
"Perempuan menculik perempuan! Apa perlunya" Apa untungnya"!" ujar
Wiro pula. "Kalau aku menculikmu atau kau menculik aku, nah itu masih masuk
akal....."
"Kurang ajar! Siapa mau menculikmu!" damprat Jayengsari denan mata
melotot sedang Wiro menutup mulut menahan tawa.
Panji mendekati Wiro lalu berbisik. "Aku punya dugaan gadis ini sengaja
menipu kita. Dia punya maksud buruk terhadap kita...... Larasati tidak punya silang
sengketa dengan puteri Adipati itu. Mengapa dia menculiknya?"
"Yang juga tidak jelas. Siapa yang membunuh dukun perempuan bernama
Walang Daksi itu."
Panji memandang Jayengsari. Lalu dia bertanya. "Bagaimana kau tahu kalau
puteri Adipati itu yang menculik Larasati?"
Jayengsari menyeringai. "Aku bukan cuma tahu hal itu, aku malah juga tahu
di mana kekasihmu sekarang disekap!"
"Kalau begitu lekas kau beritahu padaku tempatnya!"
Kembali Jayengsari menyeringai. "Kau cari tahulah sendiri!" katanya.
Rupanya dia masih dendam atas perlakuan Panji sebelumnya. Habis berkata begitu
gadis ini segera hendak tinggalkan tempat itu. terpaksa Wiro kembali
membujuknya. "Sobatku cantik. Jika kau mau menolong orang jangan kepalang tanggung.
Ayo kita pergi sama-sama ke tempat Larasati disekap. Kau jalan duluan memberi
petunjuk biar kubawa kudamu kemari." Sebelum gadis itu bisa menolak Wiro sudah
lari ke tempat di mana kuda tunggangan Jayengsari berada. Lalu membawa binatang
ini pada pemiliknya dan mengulurkan tali kekang pada si gadis. Dia memandang
pada Jayengsari sambil tersenyum. Mau tak mau hati si gadis jadi luluh dan lembut
jgua. Sebenarnya dia memang tertarik pada murid Eyang Sinto Gendeng ini sejak pertama
kali melihatnya di perkampungan. Gadis ini tundukkan kepala. Baru saat itu
disadarinya kalau seluruh pakaiannya basah dan kotor oleh tanah becek akibat
jatuh tadi. Wiro maklum apa yang dipikirkan gadis itu. Maka dia cepat berkata.
"Gadis secantikmu tentu saja tidak pantas berpakaian kotor basah begini. Aku
ada salinan di kantong perbekalan. Kau bisa ganti pakaian saat ini juga....."
BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tak perlu," jawab Jayengsari cept. "Aku tidak percaya pada manusia
macammu...."
"Eh, maksudmu apa?" tanya Wiro.
"Waktu aku ganti pakaian kau pasti mengintip!"
Pendekar 212 tertawa bergelak. Panji Argomanik mau tak mau juga jadi
tertawa. Jayengsari memandang pada pemuda bergelar Singa Gurun Bromo ini lalu
berkata sambil cemberut. "Ih..... Ikut-ikutan tertawa.....!" ucapan Jayengsari
membuat gelak tawa Wiro semakin menjadi.
BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEBELAS Walaupun malam gelap namun dari bibir lembah podnok kayu itu masih dapat
terlihat cukup jelas. Jayengsari hentikan kudanya lalu menunjuk ke arah pondok.
"Itu tempatnya." Katanya dengan nada dingin.
"Aku masih belum percaya kalau tidak melihat sendiri!" berucap Singa Gurun
Bromo. Lalu disentakkannya tali kekang kuda. Dia mendahului Wiro dan Jayengsari
menuruni lembah. Dalam waktu singkat ketiga orang itu sudah berada di depan
pondok kayu. Singa Gurun Bromo di depan sekali dan lebih dulu melompat dari
kudanya. Di dalam pondok yang hanya merupakan satu ruangan terbuka dan diterangi
oleh sebuah lampu minyak berkelap kelip karena kehabisan minyaknya, soerang
gadis yang kecantikannya terbungkus rasa takut duduk terikat di atas sebuah kursi
kayu. Dia mengenakan baju dan celana panjang warna biru muda. Kedua kaki celananya tampak
penuh robek sampai sebatas lutut. Dari robekan itu kelihatan sepasang kakinya
yang penuh dengan guratan-guratan luka. Gadis ini terduduk dengan muka pucat dan ada
air mata jatuh di atas pipinya.
Di hadapannya melangkah mundar mandir seorang gadis lain berpakaian serba
merah yang saat itu memegang seutas cambuk. Gadis satu ini menutupi kepalanya
dengan sehelai kain tipis hingga parasnya hanya kelihatan samar-samar.
"Jadi namamu Larasati huh"!" Mulut di bali kain tipis berucap dengan nada
ketus. Tiba-tiba dia angkat tangannya. Cambuk yang dipegangnya berkelebat.
Terdengar suara keras menggidikkan ketika cambuk itu menghantam kedua kaki
gadis yang duduk terikat di kursi. Si gadis menjerit kesakitan. Luka baru
kelihatan mengoyak kakinya.
Gadis yang melakukan cambukan tertawa mengekeh. "Sakit"
Hik....hik...hik....! Kau menjerit"! Kau menangis"! Gadis cengeng! Sakit yang kau
rasakan tidak ada artinya dibandin dengan sakit hati yang kualami selama ini!"
"Persetan dengan sakit hatimu! Mengapa kau menculik dan memperlakukan
aku seperti ini"! Kau manusia biadab!" teriak gadis di kursi.
"Diam!" Lalu cambuk itu menghantam kembali. Gadis di kursi kembali
menjerit. Kedua kakinya luka lagi. Darah semakin banyak mengucur.
"Namamu Larasati! Kau bakal benar-benar mengalami lara seumur hidup!
Jangan harap kau bakal mendapatkan pemuda itu! Jika aku tidak bisa mendapatkan
Panji Argomanik, kau juga tidak bakal bisa memiliki pemuda bergelar Singa Gurun
Bromo itu!"
"Siapa kau sebenarnya" Mengapa kau menutupi wajahmu dengan cadar"! Kau
perempuan iblis....!"
Gadis yang memegang cambuk tertawa panjang. "Aku memang manusia iblis.
Bahkan biasa lebih buas dari iblis! Sebentar lagi pekerjaanku akan selesai.


Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah wajahmu kurusak aku mau lihat apakah kekasihmu itu masih mencintaimu!
Hik...hik...hik....!"
"Manusia celaka! Apa yang hendak kau lakukan"!"
"Sabar, jangan banyak tanya dulu. Nanti kau akan tahu sendiri!" lalu gadis
yang kepalanya ditutup kain tipis memutar-mutar cambuknya. Dari mulutnya
kemudian terdengar suara teriakan keras. Bersamaan dengan itu cambuk di tangan
kanannya menghantam ke arah wajah gadis di atas kursi.
Larasati menjerit.
BASTIAN TITO 42 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Saat itu pula pintu pondok hancur berantakan diterjang orang dari luar.
Seseorang bekelebat masuk dan melompat ke hadapan gadis bercadar. Sekali dia
mengulurkan tangan, dia berhasil menangkap ujung cambuk yang hendak
menghantam wajah Larasati!
Gadis yang memegang cambuk tampak terkejut. Dia segera menyentakkan
cambuk agar terlepas dari pegangan Singa Gurun Bromo. Tapi pegangan sang
pendekar begitu kuat hingga sekalipun dia mengerahkan tenaga sekuatnya, cambuk
itu tak bisa lepas. Sebaliknya dengan sekuat tenaga pula Singa Gurun Bromo
menarik cambuk hingga si gadis terbetot ke depan. Agar dirinya tidak tertarik lebih jauh
gadis ini mau tak mau harus lepaskan cambuk yang dipegangnya. Lalu dia melompat ke
dinding pondok, menajuhi Singa Gurun Bromo.
"Siapa kau"!" bentak Singa Gurun Bromo dengna mata membelalang.
"Mengapa kau menculik Larasati"!"
Gadis bercadar tertawa tinggi.
"Kau mana mau pernah mengenalku. Kau mana pernah mau mengingat-ingat
diriku. Dia kekasihmu, ya" Hik....hik.....hik!"
"Diam! Jawab pertanyaanku!" hardik Singa Gurun Bromo. Dia ingat pada
Larasati. Cambuk yang dipegangnya dibantingkannya ke lantai lalu dia segera
menghampiri Larasati, memeluk gadis itu sesaat.
Selagi Panji Argomanik membuka ikatan Larasati, kesempatan ini
dipergunakan oleh gadis bercadar untuk melarikan diri. Dia melompat ke pintu.
Tapi di pintu saat itu sudah menghadang Pendekar 212. Di belakangnya berdiri
Jayengsari. "Eh, kau mau pergi ke mana?" tegur Wiro. Tangan kanannya diulurkan untuk
menarik pinggang si gadis. Tapi tiba-tiba gadis bercadar ini keluarkan sebilah
keris dan menusukkannya ke dada Wiro. Dari caranya menikam serta gerakan serangan
yang tidak mengeluarkan angin Wiro tahu kalau orang itu sama sekali tidak
memiliki kepandaian silat, apalagi tenaga dalam. Karenanya dengan mudah Wiro dapat
meringkusnya. Gadis ini berteriak-teriak berusaha melepaskan diri.
"Wiro, lepaskan dia!" kata Panji Argomanik. "Aku akan menanyainya. Jika
dia tidak mau membuka mulut akan kupatahkan batang lehernya!" Lalu pemuda itu
melangkah ke hadapan si gadis bercadar yang saat itu bersurut dan baru berhenti
begitu punggungnya tertahan dinding pondok.
"Lekas katakan siapa dirimu! Mengapa kau menculik Larasati! Jawab! Buka
cadarmu!" Gadis bercadar hanya menjawab dengan suara mendengus.
Panji Argomanik mulai hilang sabarnya. Dia mengambil cambuk yang tadi
dicampakkannya.
"Tadi kau hendak merusak muka kekasihku! Sekarang biar wajahmu dulu
yang akan kurusak!"
Anehnya si gadis bercadar malah keluarkan suara tertawa nyaring dan panjang.
"Kua hendak merusak mukaku"!" katanya menantang dan sambil maju
selangkah. "Lakukanlah!" tiba-tiba gadis ini merenggutkan cadar yang menutupi
kepalanya. Larasati yang berada di sudut pondok terpekik ngeri. Jayengsari keluarkan
seruan tertahan. Panji Argomanik sendiri tampak mengernyit bergidik. Sedang Wiro
sipitkan kedua mata, memandang tak berkedip dengan kuduk terasa dingin.
Wajah yang tadi tersembunyi di balik cadar itu kini tersingkap jelas
mengerikan. Wajah itu bukan wajah seorang gadis tapi merupakan wajah yang sangat
seram. Hidungnya gerumpung. Mata kirinya menyembul membeliak. Kening dan
BASTIAN TITO 43 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
pipinya penuh guratan luka yang dalam. Bibirnya sebelah atas robek sedang yang
sebelah bawah menggelantung hampir copot!
"Mahluk bermuka setan! Siapa kau"!" teriak Panji Argomanik sambil mundur
satu langkah. Orang itu keluarkan suara tertawa panjang. "Tentu saja kau tidak mengenali
diriku Panji. Tidak ada satu orangpun yang mau mengenalku. Bahkan ayah dan
ibukupun benci padaku! Aku adalah Suryaning, puteri dan anak tunggal Adipati
Dirgo Sampean dari Lumajang!"
Semua orang di dalam pondok itu tersentak kaget dan sekaligus juga
diselimuti rasa ngeri melihat wajah seram yang tidak pernah mereka sangkakan
sedikitpun. "Kalian ngeri" Takut atau jijik melihatku"!" Suryaning membuka mulut dan
maju beberapa langkah hingga kini berada di tengah-tengah ruangan. Sebaliknya
Larasati dan Panji serta Wiro dan Jayengsari justru bergeser ke sudut-sudut
pondok. Puteri Adipati iu tertawa panjang. "Kalian, seperti juga semua orang tidak
pernah menyangka wajah seorang puteri Adipati seperti wajahku yang kalian lihat saat
ini! Nasibku memang malang! Ketika berusia delapan tahun ayah membawaku ke Hutan
Jatiroto, ikut berburu. Ketika berkemah, ayah dan para pengawal berlaku lengah.
Tiba-tiba ada seekor harimau menyerbu kemah pada saat aku terbaring tidur
keletihan. Binatang itu memang berhasil diusir tapi dia sempat mencakar wajahku hingga jadi
rusak begini. Semua orang mengira aku kaan mati. Bahkan ayah dan ibuku berharap
aku mati saja. Ternyata aku bertahan hidup. Tapi selama bertahun-tahun mereka
menyembunyikan diriku. Mereka mengurungku di sebuah kamar. Hanya karena
kabaikan para pengawal yang merasa iba terhadapku aku bisa menyelinap keluar
pada malam hari. Setiap kesempatan ada kupergunakan untuk mendekati rumah
kediamanmu Panji. Ketika kau menjadi buronan dan menghilang selama enam tahun,
aku seperti mau mati rasanya....."
Semua orang yang ada di tempat itu jadi terdiam mendengar penuturan
Suryaning itu. "Dengar....." kata Panji Argomanik dengan suara gemetar. "Siapapun kau
adanya, mengapa kau menculik Larasati. Mengapa kau menganiaya dan hendak
merusak wajahnya" Karena kau iri" Karena parasnya cantik dan wajahmu seburuk
setan"!"
Dari mulut Suryaning keluar suara menggembor. "Kau betul Panji! Aku
memang iri! Aku cemburu! Aku ingin kau adalah milikku sendiri! Aku tidak ingin
dia merampasmu dari tanganku!"
"Apa maksudmu.....?" tanya Panji heran.
"Aku sudah lama mencintaimu Panji..... Tapi kau tak pernah membalasnya.
Tidak secara nyata, juga tidak dalam mimpi!"
Panji berpaling pada Larasati, lalu menoleh pada Wiro dan Jayengsari. "Gadis
ini pasti tidak waras! Bertemupun sebelumnya aku tidak pernah....."
"Memang Panji, kita memang tidak pernah bertemu. Kau tak pernah
melihatku. Tapi aku sering melihatmu. Hampir setiap malam aku memimpikanmu.
Tapi aku tahu diri. Keadaanku yang begini tidak memungkinkan aku bisa
memperlihatkan rupa padamu. Apalagi mendapatkan cinta darimu! Karena itu aku
bersumpah. Kalau aku tidak bisa memilikimu, tidak seorang gadis lainpun boleh
memilikimu! Tidak juga gadis itu!" Suryaning menunjuk tepat-tepat ke arah
Larasti yang membuat Larasati seperti terbang nyawanya.
"Jadi karena itu kau menculiknya lalu hendak merusak tubuh dan wajahnya!"
kata Panji pula.
BASTIAN TITO 44 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Betul! Memang itu yang hendak kulakukan!" jawab Ssuryaning. "Tapi
ketahuilah, aku bukan hanya tak mau gadis itu jadi milikmu, tapi juga tidak
ingin melihat dia jadi istri muda ayahku!"
Terkejutlah semua orang yang ada di situ. Semua mata ditujukan pada Larasati.
Gadis ini sesaat menutupi wajahnya lalu terdengar suaranya di antara isakan.
"Adipati Lumajang memang pernah melamarku pada Bibi Kanoman. Waktu itu aku baru
berusia empat belas tahun. Kami menolak dengan halus. Kurasa hal itu telh
berakhir sampai di situ saja......."
"Bagimu dan bagi bibimu mungkin begitu. Tapi bagi ayahku tidak. Dia sudah
tergila-gila padamu! Dia sudah bertekad apapun yang terjadi, jalan apapun akan
ditempuhnya untuk mendapatkanmu. Ketika Pangeran Sendoyo setahun kemudian
meminta ayahku untuk melamarmu guna dijadikan istri puteranya yang bernama
Tayub Jenggolo, ayahku melihat ada satu kesempatan untuk memanfaatkan keadaan.
Bibimu menolak pinangan sang Pangeran. Pngeran Sendoyo tersinggung. Ayahku
memperuncing keadaan dengan mengatakan bahwa sebenarnya pinangan itu ditolak
karena Larasati sudah mempunyai seorang kekasih bernama Panji Argomanik yang di
Kuto Inggil dikenal dengna julukan Singa Gurun Bromo. Ayah lalu membujuk
Pangeran agar melenyapkan Panji. Sekaligus dia akan mendapatkan keuntungan. Jika
Panji mati, dia bisa mengulang maksudnya untuk mengawinimu....." Sampai di situ
Suryaning menatap ke arah Larasati. Yang ditatap hanya bisa tundukkan kepala.
"Apa yang kemudian dilakukan Adipati dan Pangeran Sendoyo?" tanya Panji.
"Ayah mengumpan putera sang Pangeran yaitu Tayub Jenggolo yang dalam
keadaan mabuk agar memancing keributan dengan Panji. Ayah sengaja membayar
tiga orang pemuda kawan-kawan tayub berpura-pura mabuk lalu mencegat Pnaji di
satu tempat. Begitu mereka berkelahi ketiga pemuda itu melarikan diri. Lalu
sewaktu tayub tergeletak di tengah jalan, seorang penjahat yang dibayar ayahku menusuk
putera Pangeran itu sampai mati. Mayatnya ditinggalkan di tengah jalan...."
Pelipis Panji Argomanik tampak bergeark-gerak. Rahangnya menggembung.
"Tayub ditemukan dengan pisau milikku menancap di tubuhnya. Kau tahu bagaimana
pisau itu berada di tangan Tayub yang kemudian dijadikan senjata pembunuhnya dan
dijadikan bukti bahwa akulah yang telah menghabisi putera Pangeran itu"!"
Suryaning berpaling pada Panji. Sambil menundukkan kepala gadis ini berkata.
"Itu juga sebagian dari siasat ayahku agar kau bisa ditangkap dan digantung.
Pisau itu disuruhnya curi ketika kau tidak ada di rumah!"
"Manusia keji!" rutuk Panji sambil kepalkan tinju. "Siapa yang melakukan
pencurian itu" Kau tahu juda siapa yang sebenarnya membunuh Tayub Jenggolo?"
"Orangnya sama....."
"Aku sudah dapat memastikan siapa orangnya!" memotong Jayengsari. "Pasti
Daruka!" Suryaning menoleh pada puteri Warok Kelin itu lalu menganggukkan
kepalanya. "Kau tahu siapa yang membakar rumah dan membunuh Bibi Kanoman?"
tanya Larasati.
"Daruka juga. Adipati yang menyuruh dengan bayaran tinggi. Daruka
kemudian membawa beberapa orang penjahat dari Barat. Maksud semula adalah
untuk menculikmu. Ketika Daruka dan para penjahat itu tidak menemukan dirimu,
mereka membakar ruamhmu dan membunuh Bibi Kanoman....... Kemudian Daruka
juga...." Belum sempat Suryaning melanjutkan ucapannya tiba-tiba di luar pondok
terdengar suara orang membentak.
BASTIAN TITO 45 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Anak tak tahu diri! Apa yang talah kau ceritakan pada manusia-manusia
keparat itu!"
Paras setan Suryaning tampak tercekat. "Ayahku....." desisnya.
Lalu di atas atap ada nyala terang.
"Mereka membakar pondok!" teriak Jayengsari.
Semua orang lari berserabutan ke arah pintu. Tapi Pendekar 212 cepat
menghalangi. "Jangan lari lewat pintu depan! Ikuti aku!" teiak Wiro.
Murid Eyang Sinto Gendeng melompat ke bagian belakang pondok. Dengan
pukulan sakti Kunyuk Melempar Buah dia menghantam dinding belakang pondok
hingga hancur berantakan. Lewat dinding yang porak poranda itu semua orang lalu
menghambur keluar pondok.
Apa yang dilakukan Pendekar 212 Wiro Sableng memang sangat tepat. Jika
seandainya mereka keluar lewat satu-satunya pintu maka tubuh mereka akan
disambut oleh panah-panah beracun yang sudah disiapkan oleh Daruka dan delapan orang
kawan-kawannya!
BASTIAN TITO 46 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA BELAS Kelima orang itu bersembunyi di balik semak belukar lebat. Dalam waktu singkat
sebagian dari pondok kayu sudah musnah dimakan api. Beberapa orang penunggang
kuda mengitari pondok yang terbakar. Mereka adalah penjahat-penjahat dari Barat
yang dibawa serta oleh Daruka untuk membantunya. Saat itu mereka tidak lagi
mengenakan kain penutup muka. Daruka sendiri kelihatan di sebereang sana bersama
Adipati Dirgo dan beberapa orang anak buahnya serta sekelompok perajurit
kadipaten. Dalam gelap mereka juga melihat dua orang di bawah sebatang pohon. Wiro
segera mengenali keduanya dan berbisik pada Panji. "Kunto Areng dan Jalak Toga
ada di antaa mereka."
Seorang anak buah Daruka memberitahu bahwa di dalam pondok tidak
kelihatan satu orangpun.
"Mereka pasti bersembunyi di sekitar sini. Mereka tidak bisa lari. Kuda-kuda
mereka sudah kita preteli....." Yang bicara adalah Adipati Dirgo Sampean. "Pimpin
anak buahmu melakukan pencarian! Ingat tak ada satu orangpun yang boleh lolos.
Bunuh mereka semua. Termasuk anakku!"
"Orang tua bangsat!" terdengar Suryaning memaki dalam gelap. Lalu dia
bergerak. Wiro cepat memegang tangannya.
"Kau mau kemana?" tanya Wiro.
"Aku ingin membunuh ayahku dengan tanganku sendiri!" jawab Suryaning.
"Betapapun kesalahan ayahmu, dia tetap orang tuamu. Jangan jadi anak
durhaka. Ayahmu serahkan pada kami...."
Suryaning jadi terdiam. Tapi dari kedua matanya yang cacad samar-samar
tampak melelehkan air mata.
Saat itu Daruka dan tiga orang anak buahnya lewat di depan mereka,
memandang kian kemari. Terangnya nyala api yang membakar pondok kayu
memaksa Wiro dan empat orang lainnya itu menajuh dan mencari tempat terlindung
yang lebih gelap.
"Itu pasti Daruka....." desis Singa Gurun Bromo. "Aku ingin mengorek
jantungnya saat ini juga!"
"Tidak bisa! Dia bagianku! Dia harus menerima hukuman dari ayah. Saat ini
aku yang mewakili ayahku Warok Keling!" kata Jayengsari. Kedua orang itu samasama berdiri lalu sama-sama saling pandang. Sesaat wajah si gadis tampak
merengut. Lalu sekali tubuhnya berkelebat dia sudah menghambur dari balik semak belukar.
Daruka terkejut ketika melihat ada seseorang tiba-tiba berkelebat dari tempat


Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gelap dan berusaha membetot tali kekang kuda. Dia lebih terkejut lagi ketika
mengenali bahwa orang itu ternyata seroang gadis dan bukan lain adalah
Jayengsari puteri pimpinannya.
"Kau terkejut melihatku Daruka"!" seringai Jayengsari.
Saat itu Singa Gurun Bromo sudah melompat pula ke depan Daruka. Melihat
munculnya sang pendekar mau tak mau Daruka jadi bergeming juga nyalinya. Dia
berteriak "Adipati! Mereka di sini!" Lalu pada tiga orang anak buahnya dia
memerintahkan "Cincang orang berikat kepala merah ini! Aku ingin menyelesaikan
urusan lebih dulu dengan gadis ini!"
Tiga orang lelaki berbadan tegap dengan bersenjatakan golok segear
menggerakkan kuda masing-masing menyerbu Singa Gurun Bromo. Tiga golok
menderu dalam gelapnya malam.
BASTIAN TITO 47 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Singa Gurun Bromo yang sudah sampai di puncak amarahnya tidak tinggal
diam. Jotosannya menghantam kepala kuda di sebelah kanan. Binatang ini meringkik
kesakitan dan melemparkan penunggangnya hingga jatuh terbanting ke tanah.
Serangan golok yang datang dari sebelah kiri dapat dielakkannya. Begitu golok
mendesing di atas kepalanya Singa Gurun Bromo melompat ke depan. Kedua
tangannya menyambar lengan anak buah Daruka yang ketiga. Orang ini terbetot ke
depan. Saat itu juga Singa Gurun Bromo lipat tangannya hingga golok yang
dipegangnya menghujam menembus perutnya sendiri!
"Jayengsari..... Bagaimana kau bisa berada di sini"!" tanya Daruka.
"Kau tak layak bertanya! Kau tahu kau sudah membuat banyak kesalahan.
Warok Keling menugaskanku untuk membawa kepalamu ke hadapannya!"
"Kau anak yang baik. Tapi aku yakin kau bisa jadi kekasih atau istri yang
baik!" "Bangsat! Apa maksud mulut kotormu"!" hardik Jayengsari.
"Dengar gadis cantik. Aku sudah lama diam-diam menyukaimu. Bagaimana
kalau saat ini kau bergabung bersamaku. Kalau urusan sudah selesai kau ikut aku.
Kita bisa hidup sebagai sepasang kekasih!"
Paras Jayengsari kelihatan merah gelap. "Bagus! Kuterima usulmu! Aku
bersedia bergabung! Tapi terima dulu ini!"
Sebagai anak Warok Keling, Jayengsari memang telah mendapat gemblengan
berbagai ilmu langsung oleh ayahnya sendiri. Dibanding dengan Daruka,
kepandaiannya lebih tinggi dua tingkat. Karenanya sewaktu gadis ini melancarkan
satu jotosan keras ke pinggangnya Daruka cepat mengelak selamatkan diri.
Walaupun saat itu dia memegang sebilah golok namun rasa sukanya terhadap Jayengsari
membuat Daruka tidak tega untuk mengirimkan bacokan. Dengan tumit kirinya dia
coba menendang bahu Jayengsari. Justru inilah kesalahan besar yang akan
merenggut nyawanya. Sambil membungkuk Jayengsari berhasil menangkap pergelangan kaki
Daruka lalu ditariknya kuat-kuat ke bawah hingga Daruka yang bertubuh tinggi
besar itu jatuh dari punggung kudanya. Belum lagi dia sampai di tanah jotosan tangan
kiri Jayengsari melabrak perutnya. Daruka mengeluarkan suara seperti mau muntah.
Selagi dia tegak terhuyung-huyung sambil pegangi perutnya, dari samping kiri
Singa Gurun Bromo yang baru saja menghajar tiga orang pengeroyoknya ayunkan tinju
menghantam batok kepalanya.
"Praaaak!"
Batok kepala Daruka rengkah. Tubuhnya terhempas ke tanah, menggeliat
beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi.
Beberapa orang berkuda menghambur datang ke tempat itu. di depan sekali
adalah Adipati Lumajang Dirgo Sampean. Di belakangnya enam penunggang kuda,
tiga di antaranya adalah anak buah Daruka, tiga lainnya perajurit kadipaten.
Keenam orang ini merentang busur menarik panah beracun yang ditujukan tepat-tepat pada
Jayengsari dan Singa Gurun Bromo.
"Jika kalian ingin segera mampus silahkan bergerak. Anak-anak panah itu
beracun!" "Adipati keparat! Kau kira aku takut mati!" teriak Singa Gurun Bromo.
Adipati Dirgo Sampean menyeringai. Dia berpaling pada Jayengsari lalu
tersenyum lebar. "Bukan main! Puteri Warok Keling ternyata berkomplot dengan
manusia buronan ini! rejekiku besar sekali malam ini! mendapatkan buronan
pembunuh putera Pangeran Sendoyo, sekaligus mendapatkan puteri raja diraja
kepala BASTIAN TITO 48 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
rampok!" Adipati berpaling ke belakang. "Bunuh pemuda ini sekarang juga! Gadis
ini tangkap hidup-hidup!"
Tiga orang anak buah Daruka yang merentang busur serta merta menarik
anak-anak panah lebih ke belakang dan siap melepaskan ke arah Singa Gurun Bromo.
Pada saat itu, di tempat gelap di mana Wiro dan Suryaning bersembunyi
kelihatan sinar terang. Dua gadis itu sama berpaling ke arah Wiro dan terheranheran ketika melihat tangan kanan sang pendekar berubah putih menyilaukan.
"Apa yang hendak kau lakukan....?" Bertanya Larasati.
Sebagai jawaban Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan tangna kanannya ke
arah tiga orang anak buah Daruka yang siap melepaskan panah-panah beracun. Saat
itu juga terdengar suara menderu disertai berkiblatnya sinar terang menyilaukan.
Hawa panas menghampar di tempat itu. kuda-kuda yang ada di tempat itu meringkik
keras. Adipati Dirgo Sampean berteriak keras lalu melompat turun dari aas
kudanya. Sinar panas menyilaukan tadi lewat di atasnya. Lalu terdengar jeritan tiga orang
di belakangnya. Ketiganya mencelat ke udara sampai dua tombak. Begitu jatuh ke
tanah mereka sudah tak bernafas lagi. Mati dengan tubuh gosong!
Tiga perajurit yang juda tengah mengancam Jayengsari dengan panah-panah
beracun dan tadinya bersiap-siap untuk meringkus gadis itu berlompatan dari kuda
masing-masing begitu pukulan Sinar Matahari menyambar di udara. Mereka
bergulingan di tanah. Panah dan busur lepas entah kemana. Ketiganya menyangka
sudah selamat tapi selagi mencoba bangkit tendangan demi tendangan menghantam
kepala, dada dan perut mereka. Ketiganya bergelimpangan malang melintang. Yang
kena tendang kepalanya menemui ajal saat itu juga. Yang kena hantaman di bagian
dada muntah darah dan siap untuk sekarat. Satunya lagi terkapar mengerang dengan
perut pecah! "Gadis Iblis! Tak dapat menggantung ayahmu, kau juga sudah cukup pantas!"
Dua penunggang kuda muncul di tempat itu. merka adalah Kunto Areng dan yang
berteriak adalah Jalak Toga. Keduanya bukan lain adalah perwira-perwira kerajaan
kaki tangan Adipati Dirgo Sampean. Mereka sama melompat turun dari kuda masingmasing, lalu menyerbu Jayengsari dengna bersenjatakan golok.
"Bagus! Aku kenal siapa kalian!" teriak Jayengsari. "Perwira-perwira culas
macam kalian harus disingkirkan dari kerajaan!" dengan mengandalkan tangan
kosong puteri Warok Keling ini tanpa rasa jerih sama sekali menyongsong serangan
kedua lawannya yang berkepandaian tinggi itu.
Begitu jatuh di tanah dan berdiri, Adipati Dirgo Sampean langsung disergap
Singa Gurun Bromo. Keduanya sama-sama mengandalkan tangan kosong. Berarti
sama-sama mengerahkan pukulan-pukulan sakti dan tenaga dalam. Dengan
kepandaiannya yang masih rendah enam tahun lalu Singa Gurun Bromo berhasil
melarikan diri dari tempat sang Adipati menyekapnya. Kini setelah digembleng
lagi selama enam tahun, tingkat kepandaian Singa Gurun Bromo tentu saja semakin
tinggi dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Dirgo Sampean. Karenanya dalam waktu
singkat Adipati itu segera terdesak hebat. Beberapa pukulan Singa Gurun Bromo
berhasil mendarat di tubuhnya. Satu mampir di pinggiran matanya sebelah kiri
hingga robek dan mengucurkan darah.
Dengna menggertakkan rahang menahan sakit Adipati Dirgo Sampean
kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Asap hitam aneh tiba-tiba menggebubu
dari telapaknya disertai hawa busuk bukan main.
"Awas asap beracun!" satu teriakan perempuan keluar dari tempat gelap. Panji
Argomanik cepat tutup jalan pernafasannya. Kalau saja bukan karena teriakan tadi
mungkin sang Adipati akan meneruskan serangan asap beracunnya yang bisa
BASTIAN TITO 49 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
mencelakakan Singa Gurun Bromo. Namun dia terkejut sekali ketika mengenali suara
yang berteriak tadi adalah suara puterinya sendiri. Disamping terkejut dia juga
jadi sangat marah. Serta merta dia melompat ke balik semak belukar dari mana
datangnya teriakan tadi. "Hemmmm, kalian berdua lengkap sudah berada di sini!" kata Adipati Dirgo
Sampean sambil memandang melotot pada puterinya dan Larasati.
"Bertiga dengan aku!" kata Wiro seraya melompat bangkit dan kirimkan satu
jotosan ke arah perut sang Adipati.
Karena masih mempelototi anaknya dan gadis yang digilainya itu ketika
serangan datang Adipati Dirg seperti tak acuh hanya menepis dengan tangan
kirinya. Tepi begitu lengan dengan lengan beradu, menjeritlah Adipati ini. Tulang
lengannya serasa patah. Selagi dia kesakitan setengah mati seperti ini puterinya berseru
"Ayah, sebaiknya kau menyerah saja! Itu lebih baik bagimu!"
"Anak setan! Kau berkomplot dengan keparat-keparat ini......"
Tadinya masih ada sedikit rasa kasihan dalam diri Suryaning terhadap
ayahnya. Tetapi setelah dimaki begitu rupa gadis bermuka cacat dan seram ini
jadi mendidih amarahnya.
"Kau keparat! Kau yang berkomplot dengan para panjahat untuk mendapatkan
gadis itu dan membunuh Janar Gandewo! Membunuh Bibi Kanoman....."
"Anak sundal! Seharusnya dulu kubiarkan kau mati di rimba belantara itu!"
Suryaning menjawab tak kalah sengitnya. "Kau menyesal punya anak
seburukku! Aku juga menyesal punya ayah sejahatmu!"
Adipati Dirgo tak dapat lagi menahan amarahnya. Dia melompat ke hadapan
puterinya itu sambil menghantamkan tangan kanannya ke muka Suryaning. Namun
jotosannya itu tidak sampai di sasaran karena saat itu Pendekar 212 telah lebih
dulu menggebuknya dengan pukulan tangan kiri ke arah dadanya. Selagi Adipati ini
melintir kesakitan Singa Gurun Bromo yang tadi hampir celaka oleh semburan asap
hitamnya melompat dari samping. Dengan kedua tangannya dia hendak mematahkan
leher Adipati Dirgo. Begitu bernafsunya pendekar ini untuk dapat menghabisi
musuh besarnya saat itu juga, dia tidak lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya. Saat
itu jalak Toga dan Kunto Areng berhasil mendesak Jayengsari ke dekat sebuah pohon
besar. Tanpa sengaja jalak Toga melihat Singa Gurun Bromo tengah berlari untuk
menerkam Adipati Dirgo Sampean tanpa memperhatikan lagi keadaan sekeliling
ataupun dirinya sendiri. Jalak toga tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. golok
di tangannya dilemparkannya ke arah Singa Gurun Bromo.
"Panji awas!" terdengar suara orang berteriak. Orangnya bukan lain adalah
Suryaning puteri sang Adipati.
Kesempatan bagi Singa Gurun Bromo untuk mengelak hampir tidak ada. Wiro
sendiri terhalang oleh tubuh Adipati Dirgo. Dalam saat yang sangat menentukan
itu, tanpa pikir panjang Suryaning melompat ke hadapan Singa Gurun Bromo, merangkul
tubuh pemuda ini. Kejap itu pula golok yang dilemparkan Jalak Toga sampai.
Senjata yang seharusnya menancap di pangkal leher Panji Argomanik itu kini menancap di
punggung kiri Suryaning, terus tembus sampai ke jantungnya! Dari mulut gadis
malang ini hanya keluar satu keluhan pendek. Nafasnya putus dalam keadaan masih
memeluk pendekar yang diam-diam sangat dicintainya itu!
Adipati Dirgo Sampean berteriak setinggi langit. Betapapun bencinya dia pada
Suryaning, namun kematian anak darah dagingnya sendiri di depan mata begitu rupa
sangat mengguncang dirinya. Dia meraung dan memegang tubuh anaknya yang
perlahan-lahan merosot jatuh dari tubuh Panji yang dirangkulnya.
BASTIAN TITO 50 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dengan tubuh bergetar Adipati Dirgo perlahan-lahan membaringkan jenazah
anak tunggalnya itu di tanah. Sesaat dia seperti hendak menangis. Tetapi yang
keluar dari mulutnya adalah satu raungan dahsyat. Kedua matanya tampak tiba-tiba
berubah merah. Dia memandang pada Panji Argomanik.
"Bangsat!" kertaknya. Seperti seekor harimau tubuhnya melompat ke hadapan
Panji. Singa Gurun Bromo menyongsong dengan menghantamkan kedua tangannya.
"Buk! Bukk!"
Tinju kiri kanan Singa Gurun Bromo mendarat di dada sang Adipati. Tak
ampun lagi tubuhnya terjengkang jatuh. Dari mulutnya keluar darah segar.
Seharusnya pukulan itu bisa membuatnya mati paling tidak pingsan. Namun dengan
segala tenaga yang ada Adipati Lumajang ini bangkit berdiri kembali dengan
terhuyung-huyung.
Singa Gurun Bromo siap menghantamkan tinjunya sekali lagi, namun saat itu
tiba-tiba muncul dua orang penuggang kuda disertai sesrombongan pasukan dari
Kotaraja. Orang di sebelah kiri berteriak keras.
"Atas nama kerajaan hentikan perkelahian!"
Singa Gurun Bromo batalkan serangannya. Adipati Dirgo tertegun lemas.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang hendak melabrak Jalak Toga juga hentikan
gerakannya. Hanya Kunto Areng yang sepertinya tidak mau perduli. Saat itu
perwira ini tengah mendesak Jayengsari habis-habisan dan siap untuk mengirimkan satu
bacokan maut. Dia sama sekali tidak mau menghentikan serangannya. Sebaliknya
Jayengsari hanya bisa tertegun diam seperti tidak menyadari kalau kematian
mengancam dirinya. Melihat hal ini Wiro dengan kecepatan luar biasa angkat tubuh
Jalak Toga lalu dilemparkannya ke arah Kunto Areng, tepat pada saat Kunto Areng
tengah membacokkan goloknya. Tak ampun lagi golok yang gseharusnya bersarang di
kepala Jayengsari itu kini menghantam rusuk kiri Jalak Toga. Perwira tinggi ini
menjerit setinggi langit. Tubuhnya terhempas ke tanah. Darah memebasahi
pakaiannya. Tapi nyawanya masih tertolong karena hanya bagian luar tubuhnya saja
yang terluka ditambah dua tulang iga terbabat putus!
Kunto Areng yang seperti tak percaya dengan apa yang terjadi untuk sesaat
lamanya tertegun terkesiap. Tubuhnya mendadak terasa lemas lalu akhirnya jatuh
terduduk di tanah.
"Hentikan perkelahian!" terdengar suara teriakan seperti tadi sekali lagi.
Semua mata dipalingkan. Dua penunggang kuda yag barusan muncul ternyata adalah
tokoh silat Istana yaitu Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng. Keduanya
memandang berkeliling dan pandangan mereka terhenti ketika melihat Penekar 212.
"Mangku, kunyuk gondrong itu ternyata ada di sini. Bagaimana pendapatmu?"
"Isi surat Sri Baginda tidak menyebut-nyebut namanya. Lagi pula kita sudah
mengetahui dia bukan Singa Gurun Bromo yang sebenarnya," jawab Mangku
Sanggreng. "Lekas kau bacakan saja surat Sri Baginda."
Ki Bumi Wirasulo lalu merentangkan gulungan surat yang dibawanya.
Dengan suara keras dia membaca. "Atas nama kerajaan dan keadilan Sri Baginda
memerintahkan untuk menangkap Adipati Lumajang Dirgo Sampean. Yang


Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersangkutan terbukti menjadi perencana keji sehingga terbuhnya Tayub Jenggolo,
putera Pangeran Sendoyo. Dua orang perwira kerajaan masing-masing Kunto Areng
dan Jalak Toga juga dinyatakan ditangkap karena terbukti berkomplot membantu
Adipati Lumajang. Kepada pemuda yang bernama Panji Argomanik dikenal dengan
gelaran Singa Gurun Bromo dinyatakan bebas dari segala tuduhan dan kesalahan.
Tertanda Sri Baginda.
BASTIAN TITO 51 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ki Bumi Wirasulo menggulung surat itu kembali. Jalak Toga yang ketika surat
Sri Baginda dibacakan menguatkan diri untuk dapat bangun. Tapi begitu mendengar
isi surat langsung rebah kembali dan pingsan. Adipati Dirgo Sampean tampaknya
pasrah saja karena dia tidak bergeak sedikitpun dan hanya bisa memandang kuyu
pada Panji argomanik yang berdiri di depannya.
Lain halnya dengan Kunto Aeng. Begitu mendengar dirinya dinyatakan
ditangkap tiba-tiba dia melompat bangkit melarikan diri. Namun satu tangan tibatiba menahan jidatnya. Bagaimanapun dia berusaha mengumpulkan tenaga untuk
melarikan diri, jidatnya tetap saja tertahan tangan itu.
"Bangsat keparat! Makan pisauku!" teriak Kunto Areng marah lalu mencabut
sebilah belati berkeluk dari pinggangnya. Senjata ini ditusakkannya sekuat
tenaga ke perut orang yang sejak tadi memegang jidatnya. Namun tangan yang menahan
jidatnya itu tiba-tiba melesat ke atas lalu turun lagi mengemplang ubun-ubunnya!
Kunto Areng mengeluh kesakitan. Kedua matanya mendelik jereng dan tubuhnya
berputar-putar. Pendekar 212 yang tadi memukul kepala perwira itu pergunakan
tumit kirinya untuk mendorong pinggul Kunto Areng. Orang ini roboh ke tanah, mukanya
jatuh tepat di atas pantat salah seorang perajurit kadipaten!
Panji Argomanik masih tertegak tak bergeak ketika Larasati berlari
mendatanginya lalu memeluk tubuhnya dan menangis tersedu-sedu.
"Hentikan tangismu Laras.... Semua sudah berakhir....." bisik Panji.
Wiro sendiri celingak celinguk mencari seseorang. Yang dicarinya adalah
jayengsari. Puteri Warok Keling itu tiba-tiba lenyap begitu saja.
"Kau mencari aku, Wiro?" Satu suara menegur di belakangnya. Dia berpaling.
Astaga, ternyata gadis itu bersembunyi di balik punggungnya!
"Lihat mereka itu," kata Wiro sambil menunjuk pada Panji dan Larasati.
"Tidakkah kau ingin merangkul aku seperti itu....?"
"Pemuda nakal bermulut usil! Tidak. Aku tidak akan mau memelukmu!" kata
Jayengsari. Wiro tertawa lebar. "Maksudmu tidak, artinya tidak di sini kan" Kalau di
tempat lain ya mau" Begitu?"
Jeyangsari menjewer telinga kiri Pendekar 212. Lalu telinga itu ditariknya
keras-keras hingga Wiro mau tak mau terpaksa melangkah mangikuti gerakan kaki si
gadis. Sampai di tempat gelap jayengsari lepaskan jewerannya dan tiba-tiba saja
dia memeluk pemud aitu dengan penuh nafsu sehingga murid Eyang Sinto Gendeng itu
jadi kelagapan.
"Aku membawa pesan khusus dari ayah," bisik Jayengsari. "Beliau ingin
bicara denganmu. Apa soal aku tidak tahu. Yang jelas kita berangkat sekarang
juga....."
"Meninggalkan orang-orang itu begitu saja"!" ujar Wiro.
"Tahanan kerajaan itu sudah ada yang mengurus. Panji dan Larasati bisa
mengurus diri mereka berdua. Mereka pasti akan memeprhatikan jenazah Suryaning.
Mengenai mayat-mayat lain yang bergelimpangan itu peduli setan! Kau ikut aku
atau harus kujewer lagi"!"
Wiro tertawa lebar. Digelungkannya tangannya ke pinggang Jayengsari.
Kedua insan itu kemudian lenyap ditelan kegelapan dan dinginnya malam.
TAMAT BASTIAN TITO 52 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 53 Hati Budha Tangan Berbisa 10 Jaka Sembung 15 Raja Sihir Dari Kolepom Kehidupan Para Pendekar 1

Cari Blog Ini