Ceritasilat Novel Online

Batu Pembalik Waktu 3

Wiro Sableng 118 Batu Pembalik Waktu Bagian 3


Ter jungkir. Satu gelombang api menyambar ke arah si kakek.
Selagi Hantu Langit Terjungkir berusaha menghindar, Lamanyala kirim tendangan
ganas ke tempat ber-bahaya di bawah perut lawan!
Dua kaki Hantu Langit Terjungkir membuat gerakan bersilang. Kabut kebiruan
menebar. Lalu bukkk!
Kekuatan hawa dingin saling bentrokan dengan hawa panas lewat beradunya dua
kaki. "Cessss!"
Hantu Langit Terjungkir terbalik tunggang langgang.
Lamanyala sendiri terpental jauh. Ketika dia bangkit berdiri tubuhnya tampak
miring. Kaki kanannya yang tadi beradu dengan kaki lawan kini tidak di kobari
api lagi dan kelihatan bengkok hitam kebiruan. Lamanyala tidak bisa mempercayai
bagaimana musuh yang 118 BATU PEMBALIK WAKTU 54
telah kehilangan seluruh ilmu kesaktiannya dan sengsara berpuluh tahun dalam
kutukannya ternyata masih memiliki ilmu kesaktian yang bisa membuat dirinya
cidera begitu rupa! Sudah dua kali sebelum ini dia dipecundangi! Sekali ini dia
harus bisa melumat menghabisi musuh besarnya ini!
Lamanyala membentak keras. Dua tangannya digerakkan. Dua larik kobaran api
bergulung di seputar tubuh Hantu Langit Terjungkir. Sekali lagi Lamanyala
menggerakkan dua tangan. Seperti tadi waktu dia berhadapan dengan Peri Angsa
Putih, kali ini kembali Lamanyala menutup gerak lawan dengan membuat kobaran api
di atas kaki Hantu Langit Terjungkir.
"Ha... ha...! Permainan apa yang hendak kau perlihatkan padaku Lamanyala!"
berseru Hantu Langit Terjungkir.
Lamanyala kertakkan rahang. Dia membatin. "Aku harus memasukkan hawa sakti
penyedot kekuatan dalam kobaran apiku. Kalau tidak pasti dia masih akan bisa
menembus ilmu kesaktianku!" Diam-diam lalu Lamanyala merapal satu aji kesaktian
yang selama ini jarang dipergunakannya karena belum sempurna di-kuasainya.
Setelah merapal sambil menyeringai dia kembali menggerakkan dua tangannya. Kali
ini gerakan tangan itu bukan cuma menghantam lurus ke depan, tapi diputar
demikian rupa sehingga dua gelombang api yang menyerbu Hantu Langit Terjungkir
seperti dua buah mata bor raksasa, menderu ganas ke arah lawan. Yang dituju
adalah dua tangan Hantu Langit Terjungkir yang berada di sebelah bawah
dipergunakan sebagai kaki.
Hantu Langit Terjungkir berseru kaget ketika melihat bagaimana tanah dekat dua
tangannya berubah menjadi lobang-lobang besar, terbongkar oleh serangan dua
larik kobaran api. Kakek ini cepat mengapung naik. Namun gerakannya tertahan
karena di sebelah atas telah menunggu pula dinding kobaran api dan secara
perlahan-lahan kobaran api ini turun ke bawah.
Sementara kobaran api yang bergulung mengelilinginya bergerak menciut!
"Kurang ajar! Makhluk jahanam itu hendak me-manggang tubuhku!" kertak Hantu
Langit Terjungkir.
Dia kerahkan tenaga dalamnya yang kini berpusat di kening. Dengan cepat dia
alirkan tenaga dalam me-ngandung hawa sakti dingin ke sekujur tubuhnya. Lalu dua
kakinya digerakkan seperti sepasang mata gunting.
Dua larik cahaya kebiruan menggebubu menutupi tubuhnya. Dengan bertameng kabut
sakti dingin ini Hantu Langit Terjungkir kemudian melesat ke udara.
Tapi dia jadi kaget ketika tubuhnya mendadak terpental ke bawah, dua kakinya
cidera kemerahan dijilat api!
118 BATU PEMBALIK WAKTU 55
"Celaka! Bagaimana mungkin aku tidak sanggup menembus kobaran api itu!" Si kakek
menggeser tubuhnya ke kanan. Kembali dia kerahkan tenaga dalam dan kerahkan
kabut biru melindungi tubuhnya lalu dia coba menerobos ke sisi kanan.
"Cesss!"
Bahu Hantu Langit Terjungkir berubah merah disambar kobaran api. Lamanyala
tertawa bergelak.
Merasa sudah bisa menguasai lawan, maka makhluk api ini memutuskan untuk segera
menghabisi. Tangan kanannya perlahan-lahan diangkat ke atas. Di dalam kobaran
api Hantu Langit Terjungkir menyumpah-nyumpah habis-habisan.
"Jahanam! Biar aku mengadu jiwa dengan bangsat itu!" Hantu Langit Terjungkir
kerahkan seluruh tenaga dalamnya sampai sekujur tubuhnya mengeluarkan cahaya
kebiruan. Bahkan hawa yang membersit dari hidung dan mulutnyapun tampak berwarna
biru. Tubuhnya bergerak naik, mengapung demikian rupa hingga tampak melayang
sama rata, satu jengkal di atas tanah. Di dahului bentakan keras kakek ini
kemudian pukulkan dua tangan dan hentakkan dua kakinya.
Di saat bersamaan Lamanyala sabetkan tangan kanannya ke bawah.
Dua kilatan cahaya biru bersabung dengan dua kiblatan nyala api merah. Untuk
kesekian kalinya tempat itu digoncang dentuman keras. Hantu Langit Terjungkir
terguling-guling beberapa kali lalu terhantar dekat pohon hangus. Tubuhnya
kelihatan merah dan kulitnya mengelupas di beberapa bagian. Peri Angsa Putih
tercekat kaget, cepat berlari menghampiri kakek ini. Tapi Lamanyala datang
menghadang. Padahal keadaan makhluk api ini saat itu mengerikan luar biasa.
Keningnya sebelah kiri kelihatan berlubang. Darah mengucur tiada henti. Ususnya
merorot keluar lewat lobang di sisi kanannya. Kalau tidak terkait pada patahan
salah satu tulang iganya, usus ini pasti akan jebol menjela sampai ke tanah.
"Batu Pembalik Waktu.... Lekas serahkan padaku...!"
Suara Lamanyala berubah serak dan sember. Kobaran api yang biasanya menyembur
keluar setiap dia bicara kini hanya bergulung-gulung di dalam mulutnya.
Untuk sesaat Peri Angsa Putih tertegun tak bergerak saking ngerinya melihat
keadaan makhluk api bernama Lamanyala itu. Kelengahan sang Peri tidak disiasiakan oleh Lamanyala. Tadi dia sempat melihat dimana Peri Angsa Putih
menyembunyikan Batu Pembalik Waktu. Maka dengan satu gerakan kilat tangan
kanannya menyambar ke pinggang.
"Brettt!"
Pakaian Peri Angsa Putih robek di bagian ping 118 BATU PEMBALIK WAKTU 56
gang. Batu berwarna tujuh menyembul di atas perutnya yang putih. Peri Angsa
Putih terpekik. Baru sadar apa yang terjadi dan dilakukan orang terhadapnya.
Dia cepat menghantam ke depan tapi terlambat. Batu Pembalik Waktu telah berada
dalam genggaman Lamanyala. Begitu dapatkan batu sakti tersebut tanpa menunggu
lebih lama Lamanyala segera putar tubuh, siap berkelebat kabur. Pada saat itulah
tiba-tiba ada suara perempuan menggerung keras.
"Lasedayu suamiku! Siapa yang berani mencelakai dirimu!"
Satu bayangan kuning berkelebat. Satu tendangan keras melabrak dada Lamanyala
hingga tubuhnya mencelat mental sampai tiga tombak dan Batu Pembalik Waktu yang
ada dalam genggaman tangan kanannya terlempar ke udara lalu jatuh ke tanah. Peri
Angsa Putih cepat memburu, gulingkan dirinya di tanah dan menyambar batu sakti
itu dengan cepat.
Dengan cepat pula benda itu disisipkannya ke balik pinggang pakaian. Ketika dia
bangkit berdiri, terkejutlah sang Peri. Beberapa langkah di hadapannya tegak
Pendekar 212 Wiro Sableng. Menatap ke arahnya.
"Wahai.... Apakah dia tahu... apakah tadi dia sempat melihat Batu Pembalik Waktu
itu...?" pikir Peri Angsa Putih. Sang Peri tidak tahu mau berkata atau berbuat
apa. Dia berpaling ke kiri. Di situ terkapar sosok Lamanyala, megap-megap
seperti mau sakarat.
Menoleh ke sebelah kanan dia melihat seorang nenek berjubah kuning duduk
bersimpuh di tanah, terisak-isak menahan tangis sambil memangku sosok Hantu
Langit Terjungkir.
Pandangan Peri Angsa Putih kembali pada Wiro.
Untuk sesaat lamanya dua orang ini saling menatap tanpa ada kata yang terucap.
Kemudian Wiro bergerak.
Peri Angsa Putih mengira sang pendekar hendak mendatanginya. Ternyata Wiro
mendekati sosok nenek berjubah kuning. Dalam kecewa Peri Angsa Putih merasa
lega. "Dia tidak mendatangiku. Dia tidak mengatakan apa-apa. Berarti dia tidak
melihat. Dia tidak tahu kalau Batu Pembalik Waktu ada padaku...."
118 BATU PEMBALIK WAKTU 57
BASTIAN TITO Batu Pembalik Waktu
10 LUHPINGITAN alias Hantu Selaksa Kentut terduduk memeluk dan menangisi sosok
Hantu Langit Terjungkir yang diletakkannya di atas pangkuannya. Beberapa bagian
kulit tubuh kakek ini tampak terkelupas merah.
Saat itu Naga Kuning, Setan Ngompol dan Betina Bercula yang mengikuti perjalanan
Wiro telah sampai pula di tempat itu. Mereka tidak tahu mau berbuat apa. Lebihlebih ketika melihat Peri Angsa Putih. Sejak peristiwa Peri Angsa Putih
menganiaya Lakasipo tempo hari, ke tiga orang itu tidak lagi menaruh hormat pada
sang Peri. (Baca Episode berjudul "Rahasia Perkawinan Wiro") Akhirnya mereka bergerak
mendekati nenek muka kuning yang tengah meratap.
"Puluhan tahun aku hidup tersiksa dan kau menderita. Puluhan tahun kita
berpisah. Kini setelah bertemu dirimu hanya tinggal jazad tak bernafas lagi.
Lasedayu, buka matamu, bicaralah.... Berucaplah walau hanya barang sepatah.
Lasedayu kalau kau tak bisa bersuara senyumpun jadilah. Lasedayu suamiku,
mengapa buruk nian nasib peruntungan kita. Empat orang anak kita lenyap tak
diketahui di mana rimbanya.
Kalau masih hidup berada di mana. Kalau memang sudah meninggal dimana kuburnya.
Kini aku juga kehilangan dirimu selama-lamanya...."
Wiro tegak terdiam sambil sesekali menggaruk kepala. Setan Ngompol tertunduk
menahan kencing.
Betina Bercula usap matanya yang berkaca-kaca. Sedang Naga Kuning sesekali
melirik memperhatikan Peri Angsa Putih yang kini jadi dibencinya itu.
"Nenek, biar aku memeriksa kakek itu. Mungkin masih bisa ditolong..." Wiro
berkata seraya berjongkok di samping Hantu Selaksa Angin.
"Mau ditolong bagaimana lagi" Jangankan kau.
Para Dewapun tidak mungkin mengembalikan nyawanya!" menjawab si nenek lalu
meratap tambah keras.
Wiro pegang bahu Hantu Selaksa Angin dan berkata. "Kalau dia memang sudah mati,
memang tidak siapapun tidak bisa menolongnya. Tapi aku melihat masih ada denyut
halus pada urat nadi di lehernya.
Lagi pula apa kau lupa pada Gusti Allah Nek...?"
Si nenek sesaat hentikan tangisnya. Dengan mata basah dia berpaling pada
Pendekar 212. "Gusti Allah temanmu itu, apakah dia bisa menolong suamiku ini?"
Wiro tersenyum. "Gusti Allah bukan temanku Nek.
118 BATU PEMBALIK WAKTU 58
Dia adalah Junjungan kita. Satu-satunya tempat kita meminta tolong. Karena dia
Maha Pengasih Maha Penyayang dan Maha Kuasa...."
Hantu Selaksa Angin usap matanya yang basah.
"Kalau begitu kau minta tolonglah padaNya. Hidupkan suamiku ini. Biar kami bisa
menghabiskan sisa hidup di hari tua ini bersama-sama.... Mudah-mudahan dia
memang belum mati...."
Nenek muka kuning itu hendak beringsut dan membaringkan Lasedayu alias Hantu
Langit Terjungkir di tanah agar Wiro bisa memeriksanya. Namun sebelum hal itu
sempat dilakukannya tiba-tiba ada suara berucap.
"Kalian tolol semua! Siapa bilang aku sudah mati!"
Hantu Selaksa Angin tersentak kaget. Dia sampai tersurut ke belakang hingga
tubuh Hantu Langit Terjungkir terguling ke tanah. Memandangi wajah kakek itu si
nenek melihat mata kiri Hantu Langit Terjungkir terbuka sedikit
"Wahai! Dia memang masih hidup. Tapi mengapa hanya satu matanya saja yang
terbuka"!" Si nenek kembali terisak.
Mata kiri Hantu Langit Terjungkir yang terbuka itu mengedip tiga kali. Si nenek
kembali terkejut
"Wahai! Kalau kau sudah mati jangan rohmu mempermainkan diriku Lasedayu!"
"Siapa yang sudah mati"!"
Tiba-tiba sosok Lasedayu bergerak bangkit lalu duduk di tanah! Betina Bercula
terpekik dan melangkah mundur. Hantu Selaksa Angin sendiri beringsut menjauh
dengan mata pucat. Naga Kuning menyelinap ke belakang karena dia juga mengira si
kakek tadinya sudah menemui ajal. Setan Ngompol mendelik memperhatikan sambil
pegangi bagian bawah perutnya.
Dari jauh Peri Angsa Putih diam-diam juga memperhatikan semua yang terjadi
dengan perasaan heran.
"Lasedayu, suamiku. Kau ini benar-benar masih hidup atau bagaimana" Jangan
berani mempermainkan diriku! Sudah cukup aku puluhan tahun menderita sengsara.
Jangan berani berlaku kurang ajar...."
Hantu Langit Terjungkir berpaling dan menatap si nenek sejurus. "Nenek muka
kuning," katanya. "Kita pernah berjumpa beberapa kali. Terakhir sekali kau
menolong tanganku yang patah. Walau kita mungkin bersahabat tapi jarang bicara
yang bukan-bukan. Jangan berani mengada-ada. Apalagi memanggil diriku suami!"
"Kek, biar aku menerangkan..." kata Wiro.
Hantu Langit Terjungkir kini berpaling pada Pendekar 212. "Hemm.... Kau pasti
orangnya. Aku sudah tahu perangaimu yang suka bergurau dan bercanda.
Tapi jangan keterlaluan anak muda! Kau pasti yang menjadi biang keladi semua
ini...." 118 BATU PEMBALIK WAKTU 59
Wiro menggaruk kepala. "Kek, ingat saat sehabis nenek ini menolong tanganmu dan
kau bercakap-cakap dengan Si Penolong Budiman di tepi telaga?"
"Aku setengah-setengah ingat," jawab Hantu Langit Terjungkir. "Memangnya ada apa
kau bertanya begitu?"
"Menurut apa yang didengar nenek ini, waktu itu kau berkata pada Si Penolong
Budiman. Kau bersedia kawin dengannya. Ayo, kau pasti ingat. Jangan berani
berdusta."
Hantu Langit Terjungkir memandang pada Hantu Selaksa Angin. "Aku tidak ingat,
tapi mungkin saja saat itu aku memang bicara begitu. Karena... karena dia
berbuat baik menolong tanganku yang patah. Lagi pula sudah puluhan tahun aku
hidup menyendiri. Tapi aku tidak mengerti. Kalian semua tahu, aku masih belum
kawin dengannya. Mengapa dia berani-beranian menyebut diriku suaminya"!"
Wiro tertawa. "Coba kau lihat wajahnya baik-baik, Kek. Apa kau tidak ingat siapa
dirinya?" Hantu Langit Terjungkir ikuti apa yang dikatakan Wiro. Setelah menatap beberapa
jurus lamanya kakek ini berkata. "Aku memang mengenalinya. Dia nenek muka kuning
yang menolong diriku...."
"Maksudku bukan itu Kek. Maksudku apakah wajahnya mengingatkanmu pada wajah
seseorang di masa puluhan tahun silam" Maksudku ketika kau masih muda?"
"Sulit aku mengingat...."
Hantu Selaksa Angin hampir terpancar kentutnya.
Sambil menahan diri nenek ini bertanya. "Waktu di telaga kau berkata pada Si
Penolong Budiman bahwa kau kawin dengan aku. Apakah saat ini perasaan itu masih
ada dalam hatimu...."
"Aku.... Aku tahu kau nenek baik. Aku menanam budi padamu. Tapi...."
Wajah nenek muka kuning itu mendadak jadi muram. Dia berpaling pada Wiro. Wiro
lantas berkata.
"Terlalu banyak orang di sini. Mungkin kakek ini malu mengatakan bahwa dia
memang suka padamu...."
"Kalau suka saja tak ada artinya. Yang aku inginkan adalah kawin. Juga dia
sendiri dulu yang jelas-jelas kudengar berkata mau kawin denganku!" si nenek
merajuk. Mendengar ucapan si nenek itu Naga Kuning dan Betina Bercula jadi tersenyum
geli. Wiro tertawa lebar. Dia memandang pada si kakek lalu berkata. "Kek, apa ikan
asap atau ikan pindang mengingatkan kau pada seseorang?"
Wajah tua Hantu Langit Terjungkir langsung berubah. Kakek ini usap janggutnya
berulang kali dan 118 BATU PEMBALIK WAKTU 60
basahi bibirnya dengan ujung lidah. "Kau membuat air liurku keluar. Itu makanan
kesayanganku sejak muda. Tapi sudah puluhan tahun aku tak pernah
mencicipinya...."
Nenek muka kuning memegang lengan Wiro dan berbisik. "Kau dengar sendiri. Dia
hanya ingat pada ikannya. Bukan padaku...."
"Kek, kalau kau memang suka ikan pindang atau ikan asap, apa kau masih ingat
siapa yang paling pandai memasakkannya untukmu?"
"Tentu saja istriku! Tapi dia entah dimana sekarang. Puluhan tahun kami
berpisah. Juga empat orang anakku..."
Mendengar ucapan si kakek Hantu Selaksa Angin jadi sesenggukan menahan tangis.
Wiro pegang bahu nenek ini dan goyangkan kepalanya memberi isyarat.
Si nenek ambil kantong perbekalannya. Dari kantong ini dia keluarkan satu
bungkusan daun pisang dan diletakkannya di atas pangkuannya. Dengan tangan
gemetaran Hantu Selaksa Angin buka bungkusan daun pisang itu. Hantu Langit
Terjungkir memperhatikan dengan mata tak berkesip dan hidungnya mem-baui sesuatu
hingga tampak kembang kempis meng-endus-endus.
Ketika bungkusan daun pisang akhirnya terbuka, Hantu Langit Terjungkir keluarkan
suara tertahan.


Wiro Sableng 118 Batu Pembalik Waktu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuhnya seperti didorong ke belakang. Saat itu dia masih terduduk di tanah.
Matanya berkilat-kilat. Lidahnya terjulur tak berkeputusan. Tangannya serta
merta diulurkan hendak mengambil salah satu dari dua potong ikan asap berbumbu
cabai hijau yang ada di atas daun itu. Tapi tiba-tiba dia tarik pulang tangannya
kembali. Dia memandang pada Hantu Selaksa Angin.
"Apakah kau yang membuat ikan asap ini Nek?"
tanya Hantu Langit Terjungkir.
Si nenek menjawab dengan anggukkan kepala.
Dua matanya kembali basah oleh air mata.
"Kau membawa dua potong ikan itu, untuk siapa...?" kembali Hantu Langit
Terjungkir bertanya.
"Untuk kau, suamiku...."
"Lagi-lagi kau menyebut diriku suamimu. Siapa-kah kau sebenarnya nenek muka
kuning?" "Aku Luhpingitan. Apa kau tidak ingat lagi padaku?"
jawab Hantu Selaksa Angin dengan suara bergetar dan tak kuat menahan tangis.
Sosok Hantu Langit Terjungkir meleset satu tombak ke udara lalu turun kaki ke
atas kepala ke bawah.
"Jangan kau berani menyebut nama itu. Jangan kau berani mengada-ada. Kau tahu!
Luhpingitan adalah nama orang yang pernah menjadi istriku!"
"Aku memang Luhpingitan, istrimu yang terpisah 118 BATU PEMBALIK WAKTU 61
selama puluhan tahun!"
"Kau!" Hantu Selaksa Angin menatap lekat-lekat pada si nenek. Lalu dia memandang
pada Wiro. Sesaat kemudian meledaklah tawanya. "Wiro, kau benar benar hebat!
Pandai sekali mengatur semua ini...."
"Kek, tidak ada yang mengatur. Nenek ini memang Luhpingitan. Orang yang pernah
menjadi istrimu. Dan sampai sekarang tetap menjadi istrimu...."
"Tidak mungkin, wajah dan kulit istriku tidak kuning seperti dia...."
"Lasedayu suamiku. Sejak kita terpisah puluhan tahun silam, banyak hal telah
terjadi dengan diriku.
Suaraku berubah. Ingatanku hilang. Aku senang pada warna kuning hingga setiap
saat aku selalu melumuri wajah dan tubuhku dengan sejenis cairan. Jika kau
bersedia menunggu, di dekat sini ada satu danau kecil.
Aku akan membersihkan diri di sana untuk melun-turkan lapisan kuning di muka dan
tubuhku ini. Nanti akan kau lihat sendiri wajahku. Akan kau saksikan apakah aku
ini benar Luhpingitan atau bukan...."
Hantu Langit Terjungkir jadi ternganga mendengar kata-kata si nenek. Dia masih
terpana ketika Hantu Selaksa Angin bangkit berdiri lalu meninggalkan tempat itu.
Ketika dia sadar, kakek ini segera hendak mengikuti.
Tapi pinggang celananya cepat dipegang Naga Kuning. "Dilarang mengintai
perempuan mandi Kek, termasuk mengintai nenek-nenek!"
"Anak lancang! Mengapa aku tidak boleh mengintai istriku sendiri"!" menyahuti
Hantu Langit Terjungkir.
"Hik... hik!" Betina Bercula tertawa geli. "Kau sendiri tadi belum yakin apa
nenek itu benar-benar istrimu. Jadi kau harus menunggu dulu di sini...."
"Harap bersabar sobat," kata Setan Ngompol pula.
"Nenek itu mandi tidak akan lama. Paling-paling satu hari satu malam!"
"Kalian gila semua!" maki Hantu Langit Terjungkir.
Lalu kakek ini melesat ke atas melewati orang-orang yang mengelilinginya.
"Hai! Dia hendak menuju ke danau!" teriak Betina Bercula.
"Sudah tidak sabaran dia rupanya!" kata Naga Kuning pula.
Semua orang yang ada di tempat itu segera mengejar karena ingin tahu apa yang
hendak dilakukan Hantu Langit Terjungkir.
Ketika si kakek sampai di tepi danau, Hantu Selaksa Angin baru saja hendak
keluar dari danau. Saat itu air masih setinggi dadanya. Mukanya yang sebelumnya
kuning kini kelihatan bersih memperlihatkan wajah aslinya.
Hantu Langit Terjungkir terkesiap begitu dia melihat wajah si nenek. "Demi Para
Dewa!" katanya dengan 118 BATU PEMBALIK WAKTU 62
suara gemetar. "Kek, apa nenek dalam danau itu memang Luhpingitan, perempuan yang pernah
menjadi istrimu?"
Betina Bercula bertanya.
Lama Hantu Langit Terjungkir tak bisa menjawab saking terkesimanya. Sesaat
kemudian meluncur ucapannya dengan suara bergetar.
"Walau wajahnya kini sudah begitu tua. Tapi aku masih bisa mengenali. Dia benar
Luhpingitan. Istriku!
Ibu dari anak-anakku!" Hantu Langit Terjungkir lantas lari memasuki danau,
mencebur ke dalam air sambil tiada berhentinya berteriak. "Luhpingitan!
Luhpingitan!"
Di dalam air Luhpingitan hentikan langkahnya menuju tepian danau. Wajahnya
tersenyum walau air mata kembali membasahi pipinya. Perempuan tua ini
mengembangkan dua tangannya ketika Lasedayu mendatanginya. Keduanya lalu saling
berangkulan dalam air, sama-sama bertangisan.
Betina Bercula jadi ikut-ikutan menangis dan cepat-cepat mengusut air matanya
sebelum ketahuan yang lain-lain. Wiro menarik nafas lega. Dia berkata pada Naga
Kuning, Setan Ngompol dan Betina Bercula.
"Ayo kita tinggalkan tempat ini. Biarkan sepasang kakek nenek itu melepas
kerinduan hati mereka setelah puluhan tahun berpisah...."
"Betapa bahagianya mereka..." kata Betina Bercula lalu menarik nafas lega.
"Apakah kau inginkan kebahagiaan seperti itu?" Naga Kuning bertanya.
"Anak setan! Kau pasti mau menggoda diriku!" kata Betina Bercula sambil delikkan
mata. "Aku cuma bertanya," jawab Naga Kuning. "Kalau kau memang ingin merasakan
bahagia seperti dia, turun saja ke danau. Kakek Setan Ngompol pasti mau
menemanimu! Apalagi dia sudah seminggu tidak pernah mandi! Hik... hik... hik!"
"Anak sambal! Ucapanmu selalu tidak karuan!"
mengomel Setan Ngompol. "Kau mau aku peperi lagi mukamu dengan air kencing"!"
Mendengar ancaman si kakek Naga Kuning cepat menjauhkan diri, melangkah cepatcepat. Tiba-tiba anak ini hentikan langkahnya. Dia memandang berkeliling.
"Aku tidak melihat Peri Angsa Putih! Kemana perginya Peri itu?" berucap Naga
Kuning. "Pasti dia pergi ketika kita menuju danau tadi!"
berkata Betina Bercula.
"Makhluk api Lamanyala juga tak ada lagi di tempat ini!" kata Setan Ngompol.
"Walah! Jangan-jangan dua makhluk itu sudah mencari danau lain untuk
bermesraan!" menimpali Betina Bercula lalu tertawa cekikikan.
118 BATU PEMBALIK WAKTU 63
Tiba-tiba satu benda putih melesat rendah di atas rombongan orang-orang itu.
Satu cahaya biru berkelebat. Naga Kuning dan Betina Bercula berseru kaget. Si
Setan Ngompol langsung terkencing. Benda biru itu ternyata menyambar ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Sebelum murid Sinto Gendeng ini sempat merunduk, ujung benda biru
telah menerpa urat besar di leher kirinya. Langsung Wiro menjadi kaku, tak bisa
bergerak tak bisa bersuara. Ternyata bukan itu saja yang terjadi. Di udara benda
putih tadi bergerak berbalik. Bersamaan dengan itu benda biru ikut bergulung ke
bawah, membuntal tubuh Wiro. Di udara terdengar suara menguik panjang. Di lain
saat sosok Wiro terangkat ke atas dan lenyap dilangit tinggi.
"Angsa putih! Yang melesat itu angsa putih!"
berteriak Si Setan Ngompol.
"Peri Angsa Putih melarikan Wiro!" Betina Bercula ikut berseru.
"Astaga! Mengapa Peri itu berbuat begitu"!" ujar Naga Kuning sambil kepalkan
tinjunya. Ketiga orang itu hendak mengejar. Tapi tidak tahu mau mengejar kemana.
118 BATU PEMBALIK WAKTU 64
BASTIAN TITO Batu Pembalik Waktu
11 KETIKA sang surya muncul di ufuk timur menerangi jagat, segala sesuatunya
terlihat indah mulai dari lembah sampai ke puncak bukit di kejauhan. Namun semua
keindahan itu seolah tidak tertangkap oleh sepasang mata biru bagus Peri Angsa
Putih. Dia duduk di depan mulut goa kecil, merenung gundah. Hati dan pikirannya
bergalau kacau. Sejak malam tadi boleh dikatakan dia tidak memicingkan mata
sekejappun. Dia juga tidak berani masuk ke dalam goa dimana terbaring sosok
Pendekar 212 Wiro Sableng, masih dalam keadaan kaku. Tak bisa bersuara tak dapat
bergerak. Berkali-kali Peri Angsa Putih menarik nafas dalam.
Rasa bingung membuat dia tidak dapat mengambil keputusan. Matanya memandang ke
arah puncak bukit di kejauhan. Di balik kerapatan pepohonan, samar-samar tampak
satu bangunan putih kecil yang atapnya berbentuk rembulan setangan lingkaran.
Itulah Puri Kebahagiaan, tempat dimana Peri Bunda mengasingkan diri dan
dikabarkan berada dalam keadaan hamil akibat hubungan gelapnya dengan Pendekar
212 Wiro Sableng.
Sampai sore kemarin tekadnya begitu kiat untuk membawa Wiro ke Puri Kebahagiaan
guna meminta pertanggungan jawab pemuda itu atas apa yang telah dilakukannya
terhadap Peri Bunda. Namun menjelang akan sampai ke Puri Kebahagiaan mendadak
hatinya mulai kacau. Bagaimana mungkin dia akan menyerahkan Wiro padahal dia
menyadari betapa dia sangat mencintai pemuda itu"! Di dalam hati sanubari sang
Peri terjadi semacam peperangan. Kalau dia tidak membawa Wiro ke Puri
Kebahagiaan, maka dia akan dituduh melakukan kesalahan besar. Melanggar
perintah. Apalagi sebelumnya dia sempat bertemu dengan Peri Sesepuh. Sebaliknya jika dia
meneruskan membawa Wiro, maka mungkin dia akan kehilangan pemuda itu untuk
selama-lamanya.
Dalam kekacauan pikiran begitu rupa, ada sekelumit bisikan agar dia menyerahkan
saja Batu Pembalik Waktu pada Wiro. Hingga memungkinkan pemuda itu selamat dari
tuntutan dan kembali ke Tanah Jawa bersama teman-temannya. Tetapi itu sama juga.
Berarti dia tetap akan kehilangan orang yang dikasihinya itu.
Ketika sinar matahari mulai terasa menyengat kulitnya yang halus, Peri Angsa
Putih baru menyadari bahwa dia tidak mungkin duduk merenung terus di 118 BATU
PEMBALIK WAKTU 65
depan goa itu. Apapun yang akan terjadi dia harus melakukan sesuatu. Setelah
memejamkan mata dan berdoa agar para Dewa meneguhkan hatinya, Peri Angsa Putih
akhirnya masuk ke dalam goa.
Di dalam goa ternyata dia tidak bisa bertindak cepat. Beberapa lamanya dia hanya
berdiri tegak mem-belakangi Wiro yang terbaring di lantai. Hatinya kombali
bimbang. "Betapapun terkadang kebencian menyelinap di hati ini terhadapnya, tapi aku
harus mengakui aku sangat mencintainya. Aku sangat takut kehilangan dirinya.
Kalau saja aku ini tidak dilahirkan sebagai Peri, mungkin labih mudah bagiku
untuk mengambil keputusan sesuai dengan suara hatiku. Sesuai dengan rasa cinta
kasihku terhadapnya...."
Perlahan-lahan Peri Angsa Putih balikkan tubuhnya. Dua matanya yang biru saling
bertatapan dengan sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia tak dapat
bertahan lama. Dengan menundukkan kepala dan memandang ke jurusan lain Peri
Angsa Putih menekan bagian leher Wiro yang kemarin di lumpuh-kannya dengan ujung
selendang biru miliknya. Saat itu juga Wiro mampu bergerak dan bersuara kembali.
"Kau bebas. Kau boleh pergi...."
Murid Eyang Sinto Gendeng cepat bergerak duduk.
Ketika Peri Angsa Putih hendak bangkit berdiri pula dia segera memegang bahu
Peri itu seraya berkata.
"Duduklah, kita perlu bicara."
Peri Angsa Putih jadi bertambah bingung. Tapi dia tidak bisa berbuat lain.
Setelah duduk berhadap-hadapan, terpisah tiga langkah, Wiro bertanya. "Peri
Angsa Putih, mengapa kau lakukan hal ini?"
"Aku melakukan apa Wiro?" balik bertanya Peri Angsa Putih. Tidak seperti
biasanya sekali suara sang Peri terdengar bergetar.
Pendekar 212 tersenyum. "Mungkin kau sedang bingung, kacau pikiran disebabkan
banyak hal yang kau hadapi. Biar aku ulangi pertanyaanku tadi lebih jelas.
Kemarin kau melumpuhkan aku di tepi danau.
Aku tak tahu apa tujuanmu melakukannya. Kau membawaku ke goa ini. Aku juga tidak
tahu apa maksudmu.
Kini kau bebaskan aku dan menyuruh pergi. Mengapa kau melakukan semua ini dan
apa sebenarnya maksud tujuanmu?"
"Aku tidak bermaksud apa-apa. Mungkin ini karena kesalah pahamanku atau
ketololanku sendiri."
"Tidak, jangan mendustai diri sendiri Peri Angsa Putih. Kau bukan saja Peri
tercantik di Negeri Atas Langit, tapi juga seorang Peri cerdik dan tidak tolol
seperti katamu."
Peri Angsa Putih menatap wajah Pendekar 212
118 BATU PEMBALIK WAKTU 66
sesaat. Ketika sepasang mata mereka saling beradu pandang sang Peri tak kuasa
bertahan. Dia palingkan wajah lalu bangkit berdiri. "Ikuti aku, aku akan menunjukkan sesuatu padamu."
Wiro berdiri, melangkah mengikuti Peri Angsa Putih keluar dari goa. Di mulut goa
Peri itu hentikan langkahnya lalu menunjuk ke arah bangunan putih di puncak
bukit di kejauhan.
"Kau lihat bangunan itu?" tanya Peri Angsa Putih.
Wiro memandang ke bukit lalu anggukkan kepala.
"Itu Puri Kebahagiaan...."
"Puri atau Istana Kebahagiaan?" Wiro bertanya ingin ketegasan.
"Istana Kebahagiaan adalah kediamannya Hantu Muka Dua. Yang di bukit sana adalah
Puri Kebahagiaan.
Tempat saat ini Peri Bunda berada...."
Wiro garuk kepalanya. "Kini aku bisa menduga apa sebenarnya yang hendak kau
lakukan. Kau melumpuhkan aku karena ingin membawaku ke Puri itu.
Bukankah dikabarkan Peri Bunda mengalami kehamilan karena melakukan hubungan
denganku?"
Peri Angsa Putih tidak menyahut.
"Aku tidak melakukan hal itu Peri Angsa Putih.
Aku tidak pernah berhubungan dengan Peri Bunda...."
"Ini menjadi satu tanda tanya besar bagiku. Mana mungkin seorang perempuan hamil
tanpa melakukan hubungan dengan lawan jenisnya. Kau tidak mengaku melakukan
hubungan dengan Peri Bunda. Sebaliknya Peri Bunda sendiri selalu menyebut
namamu!" "Aneh, aku berkata sejujurnya. Tapi terkadang kejujuran tidak ada artinya apaapa dalam kancah fitnah. Hanya ada satu cara. Kau harus mengantarkan aku ke Puri
itu. Mempertemukan aku dengan Peri Bunda."
"Tadinya itu maksudku melumpuhkanmu. Agar kau bisa kubawa ke Puri Kebahagiaan.
Tapi malam tadi diriku dilanda kebimbangan. Aku memutuskan tidak akan membawamu
ke Puri itu."
"Mengapa?" tanya Pendekar 212.
"Aku tak ingin terjadi sesuatu dengan dirimu,"
kata Peri Angsa Putih pula. Lalu dalam hati dia menambahkan. "Aku tak ingin
kehilanganmu Wiro. Saat ini aku ingin sekali menyerahkan Batu Pembalik Waktu
padamu. Tapi aku takut. Itu hanya akan mempercepat kepergian dirimu dari
sisiku." "Peri Angsa Putih, kulihat bibirmu bergerak. Tapi tak satu patahpun meluncur
dari mulutmu," kata Wiro.
Tangannya diulurkan memegang lengan Peri Angsa Putih. Sang Peri pandangkan jarijari yang memegang lengannya itu. Wajahnya yang cantik kelihatan me-merah namun
sepasang matanya bercahaya indah 118 BATU PEMBALIK WAKTU 67
dan hatinya berbunga-bunga.
"Peri Angsa Putih, jika kau tidak mau mengantarkan aku ke Puri sana tak jadi
apa. Tapi apakah itu tidak mendatangkan kecurigaan bahwa kau berserikat atau
membantu diriku?"
Karena ditunggu Peri Angsa Putih tidak memberikan jawaban Wiro akhirnya berkata.
"Kalau kau tidak mau mengantar, apakah kau bersedia me-nungguku di sini" Aku
akan segera ke Puri selagi hari masih pagi. Makin cepat urusan ini diselesaikan
makin baik."
"Pergilah. Aku menunggumu di sini," kata Peri Angsa Putih lirih. Sesaat
dipegangnya tangan Wiro yang masih menempel di lengannya.
Tak lama setelah Wiro meningggalkan dirinya ada rasa menyesal di hati Peri Angsa
Putih. Mengapa tadi dia tidak pergi saja bersama pemuda itu" Bagaimana kalau
terjadi apa-apa dengan Wiro. Siapa yang akan menolongnya" Dia memandang ke arah
kejauhan Saat itu dilihatnya sosok Wiro telah sampai di kaki bukit, siap mendaki
ke atas. Tiba-tiba bau aneh menusuk hidung Peri Angsa Putih. Belum sempat dia
memperkirakan bau apa iiu adanya atau dari mana dalang sumbernya tiba-tiba satu
sosok gemuk luar biasa mengenakan jubah rumput kering gombrong tegak di
hadapannya. Orang ini mengenakan sorban dan di atas sorban dia menjunjung sebuah


Wiro Sableng 118 Batu Pembalik Waktu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belanga mengepulkan asap tebal menebar bau aneh.
"Hantu Raja Obat..." berucap Peri Angsa Putih begitu dia mengenali siapa adanya
orang gemuk di hadapannya itu.
Hantu Raja Obat yang mukanya ada tompel besar tertawa lebar. "Nasibku sedang
mujur. Bertemu kerabat tempat bertanya. Peri Angsa Putih, aku tidak menyangka
kau berada di sini. Aku mohon petunjuk.
Di mana arah jalan menuju Puri Kebahagiaan?"
"Wahai, apa maksud tujuanmu mencari Puri itu?"
balik bertanya Peri Angsa Putih.
"Menolong seorang sahabat yang akan mendapat celaka," jawab Hantu Raja Obat.
"Siapa orang itu?" kembali Peri Angsa Putih bertanya. "Pemuda katai yang dulu
pernah aku tolong menjadi besar. Kau pasti kenal dirinya. Namanya Wiro Sableng.
Dia berasal dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang...."
Peri Angsa Putih menunjuk ke arah bukit. "Kau lihat bangunan putih di atas bukit
sana. Itulah Puri Kebahagiaan."
Hantu Raja Obat letakkan tangannya di atas mata agar tidak silau. "Hemmm....
Bangunan itu di sana 118 BATU PEMBALIK WAKTU 68
rupanya. Eh, aku melihat ada seseorang berlari cepat menuju puncak bukit...."
"Itu pemuda kerabat yang hendak kau tolong. Dia barusan dari sini," menerangkan
Peri Angsa Putih.
"Ah! Kuharap aku tidak terlambat...."
"Aku juga akan ke sana. Kita pergi sama-sama!"
kutu Peri Angsa Putih pula.
" Terima kasih. Kau kuanggap sebagai tuan rumah.
Jadi berjalanlah di sebelah depan...."
Dua orang itu lalu segera tinggalkan tempat tersebut. Sambil lari Peri Angsa
Putih memperhatikan Hantu Raja Obat di sampingnya. Walau gemuk luar biasa orang
ini cepat dan ringan gerakan larinya.
bagalmanapun Peri Angsa Putih mempercepat larinya Raja Obat tetap saja berada di
sebelahnya. Padahal si gemuk ini berlari seperti melangkah biasa. Hanya
pakaiannya saja yang mengeluarkan suara berdesir pertanda dia sebenarnya memang
berlari cepat luar Mana Di atas kepalanya belanga berisi cairan obat tidak
bergerak sedikitpun!
* 118 BATU PEMBALIK WAKTU 69
BASTIAN TITO Batu Pembalik Waktu
12 PENDEKAR 212 Wiro Sableng sampai di depan bangunan putih di puncak bukit. Pintu
kayu kokoh yang tertutup terbuka sendirinya begitu dia sampai di depannya.
Hawa aneh menebar bau wangi keluar dari dalam bangunan.
"Tamu yang sudah lamaditunggu silakan masuk!"
Satu suara menggema di sebelah dalam.
Karena merasa dirinya memang tidak bersalah, tanpa ragu murid Eyang Sinto
Gendeng ini melangkah masuk. Namun baru saja dia melewati pintu kayu tiba-tiba
dua orang Peri berpakaian merah muda menyambutnya. Bukan dengan keramahan tapi
dengan todongan dua batang tombak. Tombak kedua siap menghunjam di dadanya,
tepat di arah jantung.
Dua orang Peri lagi muncul di hadapan Wiro. Yang sebelah depan berkata. "Sebelum
masuk kami harus menggeledehmu lebih dulu. Jika kau membawa senjata, harus diserahkan pada kami. Selain itu dua tanganmu harus kami
amankan!" Begitu selesai berucap Peri ini angkat tangan kanannya. Ternyata dia sudah
menyiapkan segulung tali berwarna kuning. Tali ini kelihatannya buruk dan lapuk.
Tapi begitu sang Peri mengangkat tangannya, tali kuning itu meluncur laksana
kilat. Tahu-tahu dua tangan Pendekar 212 telah terikat kencang. Wiro kerahkan
tenaga dalam, coba memutus. Ternyata dia tidak mampu melakukan. Ketika Peri
berikutnya mendekatinya, menggeledah dan mengambil kapaknya, Wiro jadi
penasaran. "Kalian semua dengar! Aku datang kesini membawa itikad baik. Meluruskan semua
fitnah jahat. Jangan perlakukan diriku sebagai tawanan!"
"Kami menghargai jiwa besarmu datang ke sini.
Kami tuan rumah di sini. Jadi kau layak harus mengikuti apa aturan kami!"
"Jaga kapak itu baik-baik. Jika sampai terjadi apa-apa aku tidak segan-segan
memecahkan kepala kalian sekalipun kalian semua cantik-cantik!"
Peri yang mengikat tangan Wiro memberi isyarat agar Wiro mengikutinya. Ketika
pintu ditutupkan, di luar sana ada orang menggedor disertai suara berteriak.
"Aku Peri Angsa Putih! Buka pintu kembali!"
Pintu kayu dibuka kembali. Semua Peri berpakaian merah muda menjura begitu
mereka melihat kehadiran 118 BATU PEMBALIK WAKTU 70
Peri Angsa Putih.
"Peri Angsa Putih, kami memang menunggu kedatanganmu!"
Peri Angsa Putih kerenyitkan kening ketika melihat dua tangan Pendekar 212
berada dalam keadaan terikat tali kuning. Lalu Kapak Naga Geni 212 dipegang oleh
salah seorang Peri berpakaian merah muda.
"Mengapa kalian memperlakukan dia seperti ini"!"
bertanya Peri Angsa Putih.
"Wahai, bukankah hal ini sudah pernah dibicarakan sebelumnya" Kami hanya
menjalankan perintah!" jawab Peri yang mengikat tangan Wiro.
"Buka ikatannya dan kembalikan senjatanya!" Perintah Peri Angsa Putih. "Aku yang
akan bertanggung jawab jika terjadi apa-apa!"
Peri tadi hendak menyahuti tapi segera tunduk begitu melihat Peri Angsa Putih
pelototkan mata. Tali kuning yang mengikat dua tangan Wiro segera dibuka. Kapak
sakti dikembalikan. Peri Angsa Putih lalu masuk ke dalam.
Wiro mengikuti di belakang, diapit oleh dua Peri berpakaian merah muda. Ketika
Hantu Raja Obat hendak menyusul masuk dua Peri yang tadi membawa tombak segera
menahannya. "Makhluk gemuk menjunjung belanga di atas kepala.
Kau tamu tak dikenal. Kami tidak mengizinkan kau masuk!" berucap salah seorang
dari Peri yang memegang tombak.
Hantu Raja Obat ganda tertawa. "Setahuku ada Peri hamil di dalam bangunan ini.
Kalau aku tidak diper-bolehkan masuk bagaimana aku bisa menolongnya"!"
"Memangnya kau siapa"!" tanya Peri satunya.
"Aku dukun beranak! Aku yang akan menolong Peri itu melahirkan!" jawab Hantu
Raja Obat lalu tersenyum lebar sambil kedip-kedipkan matanya.
"Jangan berani bergurau! Kau laki-laki. Mana ada laki-laki jadi dukun beranak!"
Membentak Peri di sebelah kanan. Lalu tombaknya langsung diarahkan ke leher
gembrot Hantu Raja Obat.
Hantu Raja Obat kembali tertawa. "Mukaku muka laki-laki, suaraku juga suara
laki-laki. Tapi apa kau yakin auratku yang lain juga adalah aurat laki-laki?"
"Jangan berani bicara kurang ajar!"
"Aku tidak kurang ajar! Apa perlu aku perlihatkan jenis diriku sebenarnya"!"
tanya Hantu Raja Obat seraya berbuat seolah hendak menyingkapkan bagian bawah
pakaiannya tinggi-tinggi. Peri yang ada di hadapannya langsung bersurut mundur
dengan muka merah. Wiro tersenyum-senyum mendengar ucapan dan melihat perbuatan
si Raja Obat. Di sebelah depan Peri Angsa Putih berkata. "Biarkan orang gemuk itu ikut masuk.
Aku yang membawanya 118 BATU PEMBALIK WAKTU 71
kemari!" Dengan muka ditekuk akhirnya dua Peri yang berusaha menahan Hantu Raja Obat
terpaksa mem-biarkan si gemuk itu memasuki bangunan.
Peri Angsa Putih melangkah melewati dua lorong panjang dan sunyi. Saking
sunyinya suara langkah-langkah kaki itu terdengar menggidikkan. Memasuki lorong
ke tiga yang kiri kanannya diterangi nyala api obor yang menebar harum sebau
kayu cendana, mereka sampai di hadapan sebuah pintu merah. Dari balik pintu
terdengar suara seperti orang meratap.
Peri pengawal mendorong pintu merah, lalu memberi jalan pada Peri Angsa Putih.
Tak satupun dari Peri pengawal itu ikut masuk ke dalam. Namun begitu sampai di
dalam ternyata ada delapan Peri lainnya yang tampak berjaga-jaga di empat sudut
ruangan. Di tengah ruangan ada satu tempat tidur terbuat dari susunan empat kasur tebal.
Di atas kasur ini, berselimutkan sehelai kain berwarna hijau muda terbaring
sosok Peri Bunda. Walau wajahnya agak pucat namun kelihatan lebih putih dan
lebih cantik sebagai-mana biasanya keadaan perempuan yang sedang hamil. Bagian
perutnya yang tertutup selimut hijau kelihatan membuncit tinggi. Peri Bunda
terbaring dengan mata terpejam. Namun dari mulutnya tiada henti keluar suara
seperti meratap yang membuat Pendekar 212
jadi mengkirik dingin tengkuknya.
"Wiro... Wiro.... Kenapa kau tinggalkan diriku. Jika kau tidak mengasihi diriku
aku rela. Tapi jangan sia-siakan anak kita. Kasihan bayi yang akan lahir nanti
kalau sampai tidak mempunyai ayah. Wiro... Wiro dimana kau berada. Sampai hati
kau meninggalkan diriku. Anak kita Wiro. Hasil hubungan kasih sayang kita...."
Semua orang yang ada di ruangan itu memandang pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wiro sendiri tegak tertegun, memandangi Peri Bunda dengan mata besar dan garukgaruk kepala. Dalam hati dia memaki. "Peri satu ini mungkin kesurupan atau telah
berubah tidak waras pikirannya!" kata Wiro dalam hati. Lalu dia berpaling pada
Peri Angsa Putih.
"Peri Angsa Putih, aku tidak mengerti...."
"Jangan bicara padaku. Bicaralah padanya. Dia sudah berada dalam keadaan begini
rupa sejak seratus empat puluh hari lalu."
Wiro kembali garuk-garuk kepala. Dia memandang pada Hantu Raja Obat yang
kemudian mendekatinya dan berbisik. "Kerjamu boleh juga anak muda! Menurut
penglihatanku Peri ini sudah hamil empat bulan...."
"Raja Obat, kau boleh tidak percaya. Tapi aku bersumpah tidak pernah berbuat
yang tidak-tidak padanya...."
118 BATU PEMBALIK WAKTU 72
"Aku tahu kau memang tidak berbuat yang tidak-tidak. Berarti kau berbuat yang
iya-iya!" Hantu Raja Obat tekap mulutnya agar tawanya tidak meledak.
"Peri Bunda, pemuda bernama Wiro Sableng itu ada di sini. Dia akan bicara
padamu," Peri Angsa Putih memberi tahu.
Mendengar ucapan Peri Angsa Putih itu Peri Bunda keluarkan suara terisak. Lalu
seperti tadi dia kembali memanggil-manggil Wiro. Dua matanya tetap saja
terpejam. Peri Angsa Putih memberi isyarat pada Wiro agar dia segera bicara
dengan Peri Bunda.
Dengan kuduk masih dingin Wiro bergerak mendekati kasur ketiduran. "Peri Bunda,
aku Wiro Sableng. Aku datang untuk meluruskan yang tidak benar. Antara kita
sebelumnya tidak pernah melakukan hubungan apapun.
Mengapa kau berucap berkepanjangan bahwa kita pernah melakukan hubungan badan.
Bahwa akulah yang menghamili dirimu...."
"Wiro, aku sedih mendengar kau berucap seperti itu. Dulu berhari-hari kita
berkasih sayang membagi cinta di dalam Puri ini. Ketika hubungan kita berakibat
hamilnya diriku, mengapa kau tega menghindari tanggung jawab. Sudah kukatakan
Wiro. Kau boleh menyia-nyiakan diriku. Tapi kasihani anak kita yang akan lahir
kelak...."
Tampang Pendekar 212 jadi pucat. Dia memegang lengan Hantu Raja Obat dan
berbisik. "Harap kau segera memeriksanya. Aku yakin kalau tidak mendadak gila,
pasti ada roh jahat yang kesasar masuk ke dalam tubuhnya hingga dia meracau
begitu rupa!"
"Apa yang kau katakan bisa saja terjadi. Tapi bagaimana dengan perutnya yang
gendut. Apa roh jahat bisa membuat perempuan hamil"!"
Mendengar ucapan Hantu Raja Obat itu Pendekar 212 jadi garuk-garuk kepala.
"Kau harus melakukan sesuatu Hantu Raja Obat.
Lekas kau periksa keadaannya. Aku tak pernah berbuat sekeji itu. Jadi aku tidak
percaya...."
"Sudah, tenangkan saja hatimu. Tak usah takut Aku sudah melihat ada sesuatu yang
tidak beres. Aku akan menolong. Tenangkan hatimu!" Habis berkata begitu Hantu
Raja Obat berpaling pada Peri Angsa Putih. "Aku akan memeriksanya. Harap kau
memberi izin...."
"Silakan asal kau jangan menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang terlarang!" jawab
Peri Angsa Putih.
Hantu Raja Obat menyeringai. Dia berlutut di samping pembaringan. Mulutnya komat
kamit entah membaca apa. Setelah pejamkan dua matanya sesaat, dia dekatkan
telinga kanannya ke perut Peri Bunda.
Hantu Raja Obat tersentak kaget ketika dia menangkap suara aneh di dalam perut
sang Peri. Seperti ada 118 BATU PEMBALIK WAKTU 73
banyak makhluk aneh di dalam perut itu, bergerak-gerak mengeluarkan suara serupa
binatang digorok!
Dengan muka keringatan Hantu Raja Obat bangkit berdiri.
"Kau menemukan sesuatu?" tanya Wiro berbisik.
"Kau benar anak muda. Ada yang tidak beres. Di dalam perut Peri ini ada sesuatu.
Aku tidak tahu apa adanya. Kita lihat saja nanti!"
Dengan tangan kirinya Hantu Raja Obat menurunkan belanga tanah di atas
kepalanya. Ketika dia hendak menuangkan cairan panas di dalam belanga itu ke
dalam mulut Peri Bunda, Peri Angsa Putih cepat mencegah.
"Peri Angsa Putih, jika kau tidak mengizinkan aku mengobati Peri Bunda,
sebaiknya sejak sebelumnya kau tidak mengizinkan aku datang dan masuk ke tempat
ini!" "Cairan apa yang ada dalam belanga itu?"
"Ah! Kau keliwat curiga! Puluhan tahun aku menge-lana kian kemari membawa cairan
dalam belanga ini untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit Isi belanga ini
tentu saja obat! Bukannya racun! Jika kau tidak percaya kau boleh mencicipi
lebih dulu. Kalau terjadi sesuatu denganmu, semua Peri anak buahmu di tempat ini
boleh menggorok batang leherku!"
"Peri Angsa Putih, harap kau mau memberi izin padanya. Jika dia mencelakai Peri
Bunda, aku yang pertama sekali akan membabat putus lehernya!" Habis berkata
begitu Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212.
"Ha... ha... ha! Anak muda! Kau boleh putuskan leherku jika aku memang berniat
jahat terhadap Peri ini!"
"Bagaimana Peri Angsa Putih?" tanya Wiro.
Setelah diam sejurus Peri Angsa Putih akhirnya mengangguk. "Lakukan apa yang
tadi hendak kau lakukan! Tapi ingat Jika terjadi sesuatu dengan Peri Bunda, kau
akan menemui kematian pertama sekali di tempat ini Hantu Raja Obat!"
"Aku bersedia menerima hukuman jika ternyata aku berniat jahat hendak mencelakai
Peri Bunda. Aku hanya ingin menolong sahabat mudaku ini hingga dia lepas dari
segala fitnah yang bukan-bukan!" Lalu Hantu Raja Obat kembali angkat belanga
tanahnya. Dengan hati-hati cairan panas dalam belanga itu dituangkannya ke dalam
mulut Peri Bunda yang menganga.
"Glukk.... Hek! Glukkk.... Hek... hek!"
Walau agak susah dan tersendat-sendat namun sedikit demi sedikit cairan panas di
dalam belanga masuk juga ke dalam mulut Peri Bunda. Dari mulut itu mengepul asap
kekuning-kuningan. Tiba-tiba dari dalam perut Peri Bunda keluar suara aneh,
keras dan 118 BATU PEMBALIK WAKTU 74
berulang-ulang. Hantu Raja Obat letakkan belanganya ke atas sorban kembali. Lalu
dia buka pakaiannya sebelah atas hingga dadanya yang gembrot dan penuh bulu
tersingkap sampai ke perut.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang tegak tepat di belakang Hantu Raja Obat tak
sengaja memandang ke arah lengan kanan sebelah belakang si gemuk ini.
Murid Sinto Gendeng terkesiap kaget ketika melihat di bagian belakang lengan
sebelah atas, dekat ketiak kanan Hantu Raja Obat ada tanda menyerupai rajah
menggambarkan sekuntum bunga dalam lingkaran.
"Bunga dalam lingkaran! Aku ingat cerita Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu!
Jangan-jangan Hantu Raja Obat ini adalah salah seorang dari empat anaknya yang
hilang! Aku harus memberi tahu Hantu Langit Terjungkir. Tapi aku harus lebih
dulu bicara dengan Hantu Raja Obat ini!"
Sementara itu Hantu Raja Obat yang barusan membuka pakaiannya sebelah atas
sampai ke perut tegak sambil letakkan tangan kirinya di atas perutnya sendiri.
Lalu tangan kanan dengan telapak terbuka diarahkan ke perut Peri Bunda. Mulutnya
kembali berkomat-kamit Suara aneh di perut Peri Bunda terdengar semakin keras
menggidikkan. Sesaat kemudian dari telapak tangan kanan Hantu Raja Obat memancar
satu sinar lembut berwarna ungu. Ketika sinar itu menyentuh dan menyapu perut
buncit Peri Bunda tiba-tiba sepasang mata sang Peri terbuka membeliak besar.
Dari mulutnya keluar jeritan keras. Bersamaan dengan itu tubuhnya mencelat ke
atas seperti dilempar ke langit-langit ruangan. Begitu melayang ke bawah, dari
mulut Peri Bunda menyembur darah hitam berbuku-buku. Lalu lebih menggidikkan
dari dalam perut itu ikut berserabutan tiga belas ekor lintah hitam! Binatangbinatang yang berlumuran darah ini bergeletakan di lantai.
Peri Angsa Putih melompat jauhkan diri. Beberapa Peri pengawal terpekik. Sebelum
lintah-lintah itu lari berkeliaran Hantu Raja Obat arahkan sinar yang keluar
dari telapak tangannya.
"Cesss! Cesss! Cesss!"
Satu persatu ke tiga belas lintah hitam itu menggeliat hangus lalu berubah


Wiro Sableng 118 Batu Pembalik Waktu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi bubuk-bubuk hitam!
Peri Bunda sendiri saat itu tegak tertegun dengan muka pucat Matanya mendelik.
Mulutnya masih ter nganga walau tak ada lagi darah atau lintah yang menyembur
keluar. Dalam keadaan seperti itu kembali Peri Bunda keluarkan jeritan
mengerikan. Lalu tubuhnya huyung. Sebelum roboh ke lantai ruangan Wiro cepat
merangkul pinggang Peri ini lalu membaringkannya di atas kasur. Saat itu
kelihatan jelas bagaimana perut 118 BATU PEMBALIK WAKTU 75
sang Peri telah kempis hampir sama rata dengan pinggul dan dadanya!
"Peri Angsa Putih, kau dan semua yang ada disini!"
Hantu Raja Obat membuka mulut. "Kalian semua menyaksikan sendiri! Yang keluar
dari perut Peri Buda bukan jabang bayi. Tapi tiga belas ekor lintah jahat!
Berarti kini terbukti tidak benar Peri Bunda hamil.
Kalaupun sahabatku si Wiro ini berselingkuh dengan Peri Bunda, mana mungkin yang
dikandungnya tiga belas ekor lintah! Berarti Peri Bunda telah menjadi korban
kejahatan keji. Ada orang jahat yang telah menyantet mengguna-gunainya!"
Semua orang yang ada di tempat itu terdiam. Seantero ruangan dilanda kesunyian.
"Tugasku sudah selesai. Peri Angsa Putih, aku mohon diri sekarang...."
"Hantu Raja Obat, kami berterima kasih padamu.
Jika aku boleh bertanya, apakah kau tahu siapa gerangan yang telah berbuat
begitu keji terhadap Peri Bunda?"
Hantu Raja Obat tersenyum. "Aku tahu paling tidak dapat menduga. Tapi aku tidak
mau mengatakan."
"Apakah Hantu Santet Laknat?" tanya Peri Angsa Putih, membuat Wiro menjadi sesak
dadanya karena ingat akan Luhrembulan. Dia menjadi lega ketika me lihat Hantu
Raja Obat gelengkan kepala.
"Bukan nenek satu itu. Tapi orang lain!"
Ketika Hantu Raja Obat melangkah ke pintu ruangan, Wiro segera mengikuti. Peri
Angsa Putih ikut pula beranjak. Sambil berjalan Wiro berkata. "Raja Obat, aku
berterima kasih padamu. Kau telah membebaskan diriku dari segala tuduh dan
fitnah! Aku tidak melupakan budi baikmu ini!"
Makhluk gemuk itu tertawa lebar. "Anak muda, kau berhati-hatilah. Di negeri ini
masih ada orang yang tidak menyenangi dirimu. Bukan mustahil satu ketika kelak
bagian tubuh di bawah perutmu itu disantetnya hingga berubah menjadi lintah
hitam seperti yang ada dalam perut Peri Bunda tadi! Ha...ha...ha!"
Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepala. Sambil terus melangkah dia berkata.
"Sekeluarnya dari tempat ini, ada satu hal yang ingin aku sampaikan padamu...."
"Hemmm, pasti soal gadis-gadis cantik. Sudah, bicara saja di sini sambil kita
berjalan. Mengapa harus menunggu sampai di luar!"
"Bukan. Ini bukan menyangkut gadis-gadis cantik, Ini menyangkut tanda bunga
dalam lingkaran yang ada di balik lengan kananmu sebelah atas. Dekat ketiak...."
"Eh, aku tidak tahu kalau aku punya tanda seperti itu!"
kata Hantu Raja Obat pula.
"Aku tak sengaja melihat. Ketika tadi kau membuka pakaian sampai ke perut,
kebetulan aku berdiri di 118 BATU PEMBALIK WAKTU 76
belakangmu!" jawab Wiro.
Tak acuh Hantu Raja Obat berkata. "Manusia dilahirkan membawa berbagai macam
tanda. Aku ke betulan bertanda seperti yang kau katakan tadi. Juga lihat saja
tompel yang ada di wajahku. Itu juga satu tanda yang tak bisa dilenyapkan. Apa
anehnya" Mengapa hal itu sengaja kau ceritakan padaku?"
"Karena ada kaitannya dengan cerita yang kudengar dari Hantu Langit
Terjungkir...."
"Hemmm,... Kakek satu itu. Ada apa dengan dirinya"
Cerita apa yang dikatakannya padamu?"
"Menurut kakek itu, tanda bunga dalam lingkaran adalah tanda yang dimiliki empat
orang anaknya sejak dilahirkan ke dunia...."
Hantu Raja Obat hentikan langkahnya dan menatap tajam pada Wiro. Sesaat kemudian
dia tertawa gelak-gelak. "Jadi kau hendak mengatakan bahwa aku ini adalah anak
Hantu Langit Terjungkir! Sungguh gila!"
"Tidak, ini tidak gila. Dan bukan kau saja yang mempunyai tanda seperti itu di
Negeri Latanahsilam ini. Menurut Hantu Langit Terjungkir, Lakasipo alias Hantu
Kaki Batu dan Hantu Bara Kaliatus juga memiliki tanda yang sama. Tanda bunga
dalam lingkaran!"
Hantu Raja Obat hentikan langkahnya. Dia menatap tajam seolah hendak menembus
sampai ke dalam batok kepala Pendekar 212.
"Aku jadi haus mendengar kata-katamu sahabatku!"
kata si gemuk besar itu. Lalu dia turunkan belanga tanah dari atas sorbannya.
Dan gluk... glukl.. gluk.
Enak saja dia meneguk cairan yang ada dalam belanga.
Setelah menyeka mulutnya dengan ujung lengan jubah Hantu Raja Obat berkata.
"Kau sahabatku baik! Tapi sekali ini sulit aku mempercayai apa yang kau katakan!
Selamat tinggal Wiro!"
"Hantu Raja Obat, tunggu dulu!" memanggil Pendekar 212. Tapi manusia gemuk besar
itu telah melesat keluar pintu yang sudah dibuka untuknya oleh Peri pengawal.
Murid Eyang Sinto Gendeng tak bisa berbuat apa selain garuk-garuk kepalanya yang
tidak gatal. TAMAT (EPISODE TERAKHIR WIRO DI NEGERI
LATANAHSILAM) ISTANA KEBAHAGIAAN
118 BATU PEMBALIK WAKTU 77
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 22 Kuda Kudaan Kumala Seri Oey Eng Burung Kenari Karya Siau Ping Pahlawan Harapan 6

Cari Blog Ini