Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin Bagian 1
BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG HANTU SELAKSA ANGIN
Sumber Kitab: Pendekar212
Cover: kelapalima
EBook: kiageng80
"CREDIT TO SAMKASKUS AND KANG RONNEY"
WIRO SABLENG HANTU SELAKSA ANGIN
1 ENGATAN sinar matahari di wajah dan sekujur
badannya menyadarkan Pendekar 212 Wiro Sableng.
SPerlahan-lahan dia buka kedua matanya tapi serta
merta dipicingkan kembali, tak tahan oleh silaunya cahaya matahari. Sambil
melindungi matanya dengan tangan kiri Wiro mencoba bangkit dan duduk di tanah.
"Ampun, sekujur tubuhku sakit bukan main. Tulangtulang serasa copot. Kepalaku mendenyut tak karuan. Apa yang terjadi dengan
diriku...?" Wiro buka kembali sepasang matanya. Lalu memandang berkeliling. Dia
dapatkan dirinya berada di satu kawasan berbatu-batu di kaki sebuah bukit kecil.
Pakaiannya kotor bahkan ada robekan-robekan di beberapa tempat. Lengan serta
kakinya lecet. Ketika dia meraba kening sebelah kiri ternyata kening itu benjut cukup besar. Di
depan sana dia melihat beberapa pohon besar bertumbangan. Semak belukar
berserabutan dan bertebaran di mana-mana.
"Kaki bukit batu... Pohon-pohon tumbang... Sunyi. Di mana ini... Bagaimana aku
bisa berada di tempat ini?" Wiro kembali memandang berkeliling. Dia coba
mengingat-ingat sambil menggaruk kepala. Seperti diceritakan dalam episode
terdahulu, "Rahasia Perkawinan Wiro", sebelum dinikahkan oleh Lamahila, si nenek
juru nikah itu telah memberi minuman yang disebut Embun Murni kepada
Wiro. Akibat meneguk minuman aneh itu Wiro menjadi seperti hilang kesadarannya
dan mau melakukan apa yang dikatakan si nenek. Bahkan dia tidak sadar kalau
telah melakukan upacara pernikahan dengan Hantu Santet
Laknat yang berubah ke ujud aslinya, berupa seorang dara cantik jelita bernama
Luhrembulan. "Edan!" Wiro tepuk keningnya sendiri. "Otakku tak bisa bekerja! Jangan-jangan
otakku sudah tak ada lagi dalam batok kepala!" Wiro jitak-jitak keningnya
sendiri hingga mengeluarkan suara tuk... tuk... tuk. Pendekar ini lalu
menyeringai sendiri. "Ah...! Dari bunyinya jelas otakku masih ada dalam kepala.
Tapi mengapa aku tak bisa
berpikir, tak bisa mengingat-ingat! Agaknya aku harus menenangkan diri, atur
jalan nafas dan peredaran darah!
Jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan diriku!" Wiro ingat pada senjatanya.
Dia susupkan tangan ke balik pakaian. Dia merasa lega. Ternyata Kapak Maut Naga
Geni 212 masih terselip di pinggangnya. Lalu batu sakti hitam pasangan kapak
juga ada di dekat senjata itu.
Untuk sesaat Wiro genggam hulu kapak sakti bermata dua itu. Hawa sejuk memasuki
tangannya, perlahan-lahan mengalir ke dalam tubuh. Di dalam aliran darah hawa
sejuk itu berubah menjadi hangat. Bilamana perasaan dan pikirannya menjadi
tenang, Wiro rubah duduknya jadi bersila. Dua tangan diletakkan di atas paha,
mata dipejamkan. Begitu dirasakannya ada ketenangan dalam dirinya, sang pendekar
mulai mengerahkan hawa sakti serta mengatur pernafasan dan aliran darah dalam
tubuhnya. Tak selang berapa lama didahului dengan menghirup
udara segar lewat hidung, kemudian perlahan-lahan
menghembuskannya lewat mulut, Wiro buka sepasang
matanya. "Hemmm... Syukur otakku tidak sableng benaran. Kini aku ingat apa yang terjadi.
Aku berada di puncak bukit ketika tiba-tiba badai datang mengamuk. Mungkin aku
dihantam badai celaka itu, terlempar ke bawah bukit ini.
Sebelum terlempar aku ingat betul. Ada satu suara
memanggil namaku. Siapa dia..." Luh... Luhrembulan!
Astaga...! Bukankah gadis cantik penjelmaan Hantu Santet Laknat itu yang
memanggil aku sebagai suaminya"
Katanya aku dan dia telah dinikahkan oleh Lamahila. Ya Tuhan! Bagaimana semua
itu bisa terjadi"!"
Pendekar 212 Wiro Sableng serta merta bangkit berdiri.
Dia memandang ke puncak bukit. "Luhrembulan... Apakah dia masih ada di atas
bukit itu" Jangan-jangan badai telah mencelakainya. Apakah aku harus menyelidik
naik ke atas bukit" Tapi kalau aku memang sudah jadi suaminya, bisa-bisa aku...
Gila! Aku tak mau cari penyakit. Lebih baik segera aku angkat kaki saja dari
tempat ini!" Wiro layangkan lagi pandangan ke arah puncak bukit lalu tanpa
menunggu lebih lama dia segera balikkan badan untuk melangkah pergi. Tapi belum
sempat langkah dibuat tiba-tiba dari balik serumpunan semak belukar melesat dua
sosok tubuh. Lalu dari atas sebatang pohon miring, laksana seekor burung besar
melayang turun seorang berpakaian serba hitam. Dari sepasang matanya
menyambar dua larik kobaran api.
Murid Eyang Sinto Gendeng tersurut satu langkah. Dia cepat memasang kuda-kuda.
Dua kaki tegak merenggang seperti dipantek ke tanah. Dua tangan disilang di
depan dada. Saat itu dia dapatkan dirinya telah dikurung oleh tiga orang.
Ternyata tidak cuma tiga! Orang ke empat muncul dari balik tumbangan pohon
besar. Dia melangkah sambil menggoyang sebuah rebana yang ada kerincingannya di
tangan kiri. Mukanya yang kempot keriputan cengar-cengir.
Barisan giginya tonggos berserabutan ke depan. Setiap langkah yang dibuatnya
seperti orang menari mengikuti suara kerincingan yang sesekali diseling tabuhan
rebana. Di punggungnya tersisip sebuah payung terbuat dari rangkaian daun-daun kering.
Lalu di sebelah bawah
kelihatan celananya yang di bagian belakang selalu didodorkan ke bawah hingga
pantatnya yang hitam kasap tersingkap ke mana-mana!
"Pelawak Sinting palsu! Jahanam ini dulu yang hampir mencelakaiku di sarangnya
Hantu Muka Dua..." membatin Wiro. "Kabarnya sejak didamprat saudara kembarnya Si
Pelawak Sinting asli, dia telah berubah baik. Sekarang dia muncul di sini! Apa
membawa niat baik atau niat jahat! Apa dia muncul bersama yang lain-lain ini?"
Wiro melirik ke samping kiri. Di situ tegak sosok berjubah hitam berwajah dan bertubuh jerangkong. Makhluk ini bukan lain adalah Sang
Junjungan, guru Hantu Santet Laknat. Sebelumnya Wiro memang tidak pernah melihat
makhluk ini hingga tidak mengetahui siapa dia adanya.
Orang ke tiga berdiri berdampingan dengan orang ke empat. Yang di sebelah kanan
ternyata adalah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Otaknya yang terletak di atas
kepala tampak mendenyut keras, mukanya mengelam
pertanda orang tua berkepandaian tinggi ini tengah berusaha menindih hawa amarah
yang saat itu menggelegak di dadanya. Dua matanya memandang
garang tak berkesip ke arah Pendekar 212. Sebaliknya Wiro balas memandang dengan
hidung dan mulut
dipencongkan. Dalam hati dia berkata. "Bangsat tua yang otaknya di luar kepala
ini yang telah mencelakai diriku.
Kalau tidak ditolong Hantu Santet Laknat, tendangan beracunnya pasti membuat aku
saat ini sudah berada di alam roh! Sialan betul!"
Di sebelah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tegak
seorang kakek berpakaian serba ungu. Dialah Lawungu, kakek yang pernah disantet
oleh Hantu Santet Laknat.
Berkat sebuah sendok sakti terbuat dari emas bernama Sendok Pemasung Nasib kakek
yang hampir meregang
nyawa ini berhasil ditolong dan disembuhkan.
Tidak beda dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, kakek satu ini juga memandang
penuh geram pada Wiro.
Seperti dituturkan dalam episode "Badai Fitnah
Latanahsilam", demi menolong Pendekar 212 Wiro
Sableng, Hantu Santet Laknat mengikat Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dengan
ular jejadian yang sebenarnya adalah tali yang terbuat dari akar gantung pohon
besar. Ilmu hitam si nenek ternyata berhasil membuat Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
tidak berdaya. Hantu Santet Laknat kemudian melarikan Wiro, membawanya ke sebuah
gubuk di satu bukit di mana dia memberikan pengobatan pada sang pendekar hingga
sembuh. Begitu juga Lawungu. Ketika dia muncul dan hendak
menolong Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, Naga Kuning dan Setan Ngompol bersama
Betina Bercula yang juga muncul tak terduga di tempat itu segera bertindak.
Kakek satu ini berhasil mereka lumpuhkan dengan jalan menotok.
Setelah itu baik Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab maupun Lawungu dipermainkan
habis-habisan oleh ketiga orang itu.
Lawungu dikencingi mulutnya oleh Setan Ngompol sedang Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab pakaiannya sebelah bawah perut disusupi berbagai binatang seperti
kalajengking, kodok, semut rangrang, kadal, cacing dan sebagainya.
Bagaimana kini dua kakek sakti itu bisa membebaskan diri lain tidak adalah
berkat pertolongan Si Pelawak Sinting palsu yang kebetulan lewat di tempat itu.
Semula Si Pelawak Sinting yang otaknya agak miring angin-anginan ini tidak mau
menolong kedua orang itu. Namun setelah
dibujuk-bujuk akhirnya dia mau juga melepaskan ikatan di tubuh Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab lalu memusnahkan totokan yang membuat kaku tegak Lawungu.
Malah kemudian karena ingin tahu apa yang hendak dilakukan dua kakek itu, Si Pelawak
Sinting palsu mengikuti
perjalanan keduanya.
"Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan Lawungu jelas tidak bersahabat denganku!
Sebelumnya mereka hendak menggantungku. Nyawaku pasti amblas kalau tidak
ditolong Hantu Santet Laknat. Si muka jerangkong ini melihat gerak-geriknya dia
juga tidak berada di pihakku.
Entah si Pelawak Sinting brengsek itu..." Begitu Wiro membatin. Dia memutuskan
berdiam diri. Menunggu apa yang hendak diperbuat orang-orang yang telah
mengurungnya itu. Ternyata Wiro tidak menunggu lama.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab membuka mulut pertama kali. Suaranya keras
lantang dan bergetar.
*** WIRO SABLENG HANTU SELAKSA ANGIN
2 EMUDA asing seribu laknat seribu keparat! Akhirnya kutemui juga kau! Kali ini
jangan harap bisa lolos dari Ptanganku!"
"Orang tua! Percuma otakmu berada di luar kepala. Kau pasti masih saja menuduhku
sebagai perusak dan
penganiaya dua cucumu!"
"Hal itu sudah jelas!" ikut bicara Lawungu. "Sebelum sahabatku ini membunuhmu
lekas kau memberitahu di
mana beradanya nenek jahat bernama Hantu Santet
Laknat itu!"
Seperti diketahui, Lawungu membekal dendam
kesumat sangat besar terhadap si nenek karena Hantu Santet Laknatlah yang telah
menyantet tubuhnya hingga hampir menemui ajal dalam keadaan membusuk.
Sebenarnya diam-diam Lawungu dan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab juga tengah
mencari Setan Ngompol dan Naga Kuning yang beberapa waktu lalu telah
mengerjainya. Tapi karena ada rasa takut terhadap Naga Kuning, maka Lawungu tidak menanyakan
tentang kedua orang itu pada Wiro.
Wiro melirik ke arah orang bermuka tengkorak
berbadan jerangkong yang dipanggil dengan sebutan Sang Junjungan. Orang ini
tegak tak bergerak. Rambut putih di batok kepalanya kelihatan aneh. Di dalam
sepasang matanya yang bolong kelihatan cahaya merah seperti ada kobaran api di dalam
kepalanya. "Agaknya si makhluk jerangkong ini tidak datang bersama Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab dan kakek jubah ungu itu," Wiro menduga dalam hati.
Tiba-tiba ada suara kerincingan disusul suara rebana ditabuh. "Na... na... na...
Ni... ni... ni!" Di sebelah sana si Pelawak Sinting mulai menyanyi sambil
menari. Pantatnya tersingkap ogel-ogelan kian kemari!
"Jahanam sinting! Berhenti menabuh rebana! Tutup
mulut dan berhenti menari! Aku tidak membawamu kemari!
Kau yang mengikuti perjalanan kami berdua. Jadi harap kau tahu diri! Jangan
mengacau urusan orang lain! Kalau tidak bisa berdiam diri lindang hapus dari
sini!" Yang membentak penuh marah adalah Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab. Dibentak seperti itu Si Pelawak Sinting tampak kaget.
Mukanya yang keriput sampai pucat sesaat. Lalu dia geleng-geleng kepala.
"Nasibku buruk amat! Karena hati gembira aku menari dan menyanyi. Tapi orang
menganggap aku mengacau! Aku diusir pergi! Mungkin suaraku tidak bagus! Tarianku
buruk!" "Pelawak Sinting! Jangan kau mengomel tak karuan di sini!" Lawungu ikut
membentak. Si Pelawak Sinting letakkan rebananya di atas kepala.
Lalu di atas rebana ini diletakkannya gagang daun payung.
Walau melangkah sambil goleng-golengkan kepala tapi rebana dan payung itu tidak
jatuh. Sembari berjalan ke arah satu pohon besar kakek ini menjawabi bentakan
Lawungu dengan gerutuan.
"Terima kasih! Aku tidak mengomel. Hanya saja apa
kau tidak bisa mengingat budi orang" Kalau aku tidak menemukan kalian berdua,
kalau bukan aku yang
menolong kalian akan mati membusuk di tengah rimba belantara! Tidak kalian
usirpun aku memang ingin pergi!
Orang sinting macamku mana cocok di satu tempat dengan orang-orang hebat seperti
kalian!" Si Pelawak Sinting songgengkan pantatnya lalu teruskan langkahnya.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab marah bukan main.
Lawungu hendak mengejar kakek itu tapi Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab cepat
memberi isyarat dan berkata.
"Biarkan saja orang gila itu pergi! Kita tidak
membutuhkannya lagi! Urusan kita adalah dengan pemuda jahanam ini!"
"Na... na... na! Ni... ni... ni! Terima kasih! Begitulah sifat manusia. Ketika
membutuhkan, mengemis bahkan
menjilat pantat orangpun mau! Hik... hik! Tapi kalau sudah terlepas dari
kesulitan, uhhh... Sombongnya minta ampun.
Hik... hik... hik!" Sambil melangkah ke arah pohon besar di depannya Si Pelawak
Sinting palsu terus nyerocos. "Orang bijak berkata bahwa orang tua-tua itu
menjadi pegangan hati dan perasaannya, menjadi cermin otak dan jalan pikirannya,
menjadi panutan sikap dan tindakannya. Tapi kalian berdua semakin tua semakin
lupa diri. Tidak heran kalau berkat dan perlindungan para Dewa tidak sampai atas
diri kalian! Musibah berkepanjangan. Tidak heran makhluk yang namanya Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab kini tidak punya kemampuan lagi untuk jadi tempat
bertanya dan tempat mencari jawab! Na... na... na! Ni... ni...
ni! Hik... hik!"
Wajah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab menjadi merah padam mendengar kata-kata Si
Pelawak Sinting palsu itu.
Wiro sendiri sempat tercengang tapi sekaligus membatin.
"Jangan-jangan apa yang dikatakan kakek sinting itu benar adanya. Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab telah kehilangan kepandaiannya dalam mengetahui banyak hal.
Karena sikap dan perbuatannya telah banyak menyimpang. Tidak lagi mendapat restu Yang
Kuasa!" Otak di atas kepala Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mendenyut keras seperti
hendak meledak keluar. "Tua bangka jahanam ini harus kupatahkan batang lehernya
sekarang juga!" katanya penuh geram.
"Sabar wahai kerabatku! Jangan sampai terpancing!
Manusia tak berguna itu bisa kita urus kemudian. Yang penting pemuda ini dulu!"
Kembali Lawungu memberi ingat sahabatnya itu.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab terpaksa tekan
amarahnya yang meluap. Dia dan Lawungu berpaling
kembali menghadapi Pendekar 212 Wiro Sableng. Akan halnya Si Pelawak Sinting
ternyata kakek ini tidak benar-benar pergi. Begitu dia kelindungan di balik
Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pohon, dengan satu lompatan enteng dia melesat ke atas pohon lalu duduk di salah
satu cabang. Luar biasanya walau dia membuat lompatan cukup tinggi, rebana dan
payung di atas kepalanya tidak bergerak seolah menempel erat.
Kerincingan yang ada di sekeliling rebana juga tidak mengeluarkan suara
sedikitpun! "Pemuda asing! Apa kau mendadak jadi bisu! Tidak
mau menjawab pertanyaanku! Di mana beradanya Hantu Santet Laknat! Kami tahu dia
yang membawamu setelah mencelakai sahabatku ini!" Lawungu kembali membuka mulut.
"Dia memang membawaku. Dia mengobati luka dalam
akibat tendangan beracun kakek yang otaknya di luar kepala ini! Setelah menolong
diriku dia pergi begitu saja. Di mana dia kini berada aku tidak tahu!"
"Hemmm..." Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
keluarkan suara bergumam. "Setelah menerima budi orang kau unjukkan sikap baik,
sengaja melindungi dirinya. Tidak mau memberitahu di mana dia berada! Makin
jelas bagiku kalau kau memang terlibat cinta dengan nenek jahat buruk itu!" Wiro
jadi kesal. Dalam hati dia membatin. "Tua bangka berotak geblek! Kalau kau
melihat ujud asli Hantu Santet Laknat, rasanya aku berani bertaruh mencungkil
mataku sendiri. Kau pasti terpikat habis-habisan padanya!" Wiro pandangi otak si
kakek yang bertengger berdenyut di atas kepalanya. Murid Sinto Gendeng lalu
meneruskan ucapannya. "Aku memang tidak tahu di mana nenek itu berada!
Bukan karena ingin melindunginya. Tapi karena aku orang tolol tidak tahu apaapa! Sebaliknya kau orang pintar!
Percuma kau bernama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab kalau tidak mampu mengetahui
di mana Hantu Santet
Laknat berada. Mungkin benar ucapan Si Pelawak Sinting tadi. Kau telah
kehilangan kepandaianmu karena kelewat sombong! Mulai hari ini biar kuganti
namamu menjadi Hantu Sejuta Tolol Sejuta Dungu!"
Mendidihlah amarah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mendengar ejekan Pendekar
212. Apalagi Lawungu ikut membakar.
"Sahabatku! Orang tak mau memberi keterangan.
Apalagi yang ditunggu. Kita habisi dia sekarang juga!"
"Kau benar Lawungu! Tanganku memang sudah gatal
ingin menghajarnya! Dia tidak layak berada lebih lama di bumi Latanahsilam ini!
Tempatnya adalah alam kematian!
Rohnya akan tergantung sengsara antara langit dan bumi!
Aku lebih puas jika aku sendiri yang menghabisinya!"
Begitu selesai berucap Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab langsung menerjang.
Sebenarnya melihat Wiro dalam keadaan hidup
merupakan satu tanda tanya besar bagi kakek sakti yang otaknya ada di luar batok
kepala ini. Sebelumnya dalam satu perkelahian dia berhasil menghantam dada
Pendekar 212 dengan Tendangan Hantu Racun Tujuh. Selama ini tidak ada satu
orangpun yang selamat dari tendangan itu.
Kalaupun mampu bertahan maka dalam waktu dua hari
akhirnya akan menemui ajal. Kalau Wiro masih hidup berarti memang ada seorang
berkepandaian tinggi yang telah menolongnya. Tetapi sulit dipercaya kalau Hantu
Santet Laknat yang menolong pemuda ini. Walau tadi dia menuduh Wiro mempunyai
hubungan asmara dengan
Hantu Santet Laknat namun setahu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab si nenek sejak
lama berseteru hebat dengan Wiro dan kawan-kawannya.
Sosok Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab melesat di
udara. Kakek sakti ini siap melancarkan pukulan yang disebut Menara Mayat
Meminta Nyawa. Ini merupakan salah satu serangan sangat berbahaya. Jelas si
kakek memang ingin membunuh Wiro. Sang pendekar tentu saja tidak tinggal diam.
Sebelumnya dia mempunyai rasa
hormat dan kagum terhadap orang tua ini. Ternyata sifat dan sikap serta bicara
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab jauh berbeda dengan apa yang diduganya.
Karenanya Wiropun tidak sungkan-sungkan lagi. Begitu dirinya diserang dia segera siapkan
pukulan Sinar Matahari di tangan kanan sedang tangan kiri digerakkan untuk
melancarkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera.
Tiba-tiba dari arah kiri menggelegar satu bentakan.
Suara bentakan ini seolah datang dari liang jurang batu yang dalam hingga untuk
beberapa lamanya menggema di seantero tempat.
"Tahan serangan!"
Menyusul berkelebat satu bayangan hitam, membuat
gerakan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tertahan.
Sosoknya sesaat seperti mengapung di udara lalu
terdorong ke samping.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab terkejut besar.
Terlebih ketika dia melihat yang barusan memapaki
serangan mautnya terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng adalah si jubah hitam muka
tengkorak tubuh jerangkong.
"Makhluk salah ujud! Tempatmu seharusnya di neraka!
Jadi kalau kau sesat datang kemari jangan berani
mencampuri urusan orang!" Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab membentak marah.
"Setahuku bukankah kau
adalah guru Hantu Santet Laknat. Kita memang tidak berada di satu pihak. Tapi
adalah aneh kau membela pemuda asing yang menjadi musuh muridmu itu! Malah
bukankah kau yang selama ini memberi perintah pada Hantu Santet Laknat untuk
menghabisi pemuda asing ini bersama teman-temannya"! Jangan memaksa diriku untuk
ikut menghabisi dirimu saat ini juga!"
Makhluk muka tengkorak yang dipanggil dengan
sebutan Sang Junjungan tertawa bergelak.
"Otak anehmu rupanya tahu banyak. Kau tentunya
makhluk paling pintar di bumi Negeri Latanahsilam ini. Tapi mengapa tadi pemuda
itu menyebutmu sebagai Hantu
Sejuta Tolol Sejuta Dungu! Ha... ha... ha...! Orang tua berotak aneh! Kau dengar
baik-baik. Langit di atas bumi Latanahsilam ini boleh tetap sama. Samudera yang
mengelilingi negeri ini juga tetap sama. Tapi ujud hubungan manusia bisa
berubah!" "Apa maksudmu?" tanya Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab. "Sahabatku! Kau tidak perlu bicara berpanjang lebar pada makhluk yang kesasar
datang dari liang kubur ini!
Kau bunuh pemuda asing itu! Aku biar menghabisi
jahanam sesat bermuka tengkorak bertubuh jerangkong ini!" Yang bicara adalah
Lawungu. Ketika Sang Junjungan memapasi serangan Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab, Pendekar 212 sebenarnya juga merasa heran. Semula dia
menduga makhluk muka
tengkorak itu menghalangi serangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab karena dia
tidak ingin kedahuluan. Karena pasti dia juga membekal maksud untuk membunuh
dirinya. Namun mendengar ucapan si muka tengkorak tadi, hati sang pendekar jadi bertanyatanya. Setuju akan ucapan Lawungu maka Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab segera menyerbu.
Dari tangan kanannya yang dihantamkan ke arah Wiro menderu keluar satu gulungan
sinar putih sebesar batang kelapa. Dalam jarak beberapa langkah dari Wiro tibatiba sinar ini memecah menjadi tujuh! Inilah kedahsyatan ilmu pukulan yang
disebut Menara Mayat Meminta Nyawa!
Di bagian lain Lawungu sudah menghantam pula ke
arah si muka tengkorak. Dua tangannya dipukulkan ke depan. Dua larik sinar ungu
berkiblat dari ujung-ujung lengan jubahnya! Si muka tengkorak berseru keras
ketika merasakan tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki laksana dihimpit dua
dinding batu! "Pukulan Bumi Langit Menghimpit Roh!" teriak si muka tengkorak mengenali pukulan
yang dilepaskan Lawungu.
*** WIRO SABLENG HANTU SELAKSA ANGIN
3 ETELAH berteriak makhluk muka tengkorak tubuh
jerangkong yang dikenal dengan panggilan Sang
SJunjungan itu angkat dua tangannya di depan dada, lalu ditepiskan ke kiri dan
ke kanan. Bersamaan dengan itu dia goyangkan kepalanya. Dari sepasang matanya
yang hanya merupakan bolongan melesat keluar dua larik lidah api. Lalu dari dua
tangannya yang tadi dipukulkan
menyilang menderu satu gelombang angin yang
dahsyatnya bukan alang kepalang!
Wusss! Wusss! Bummm! Sang Junjungan terpental dua tombak.
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede terbeliak kaget ketika melihat apa
yang terjadi dengan sosok Sang Junjungan. Akibat pukulan Bumi Langit Menghimpit
Roh yang dilancarkan Lawungu, tubuh makhluk muka
tengkorak badan jerangkong itu ciut gepeng laksana habis digencet dua batu
besar! Walau masih berdiri tapi tingginya hanya tinggal selutut. Dari tubuh
gepeng itu mengepul asap kelabu. Dari mata, telinga, liang hidung dan mulutnya
mengucur cairan putih.
"Aneh, apakah makhluk ini memiliki darah berwarna
putih..." pikir Wiro. Dia terus memperhatikan.
Tubuh gepeng Sang Junjungan berdiri dengan lutut
goyah, terhuyung limbung. Jubah hitamnya menjela-jela di tanah dan kelihatan
hangus robek di beberapa bagian, menyembulkan sosok tubuhnya yang hanya
merupakan tulang belulang putih. Sang Junjungan gerak-gerakkan kepalanya berulang kali.
Dua tangannya digeliatkan ke samping. Lalu sepasang kakinya yang tinggal pendek
dihentak-hentakkan ke tanah. Rambut putihnya berjingkrak tegak seperti kawat.
Tiba-tiba, rrrttttt!
Seperti sebuah benda kenyal terbuat dari karet, tubuh Sang Junjungan membal ke
atas, berubah panjang,
kembali ke bentuknya semula!
Di bagian lain kakek berjubah ungu Lawungu terduduk di tanah. Mukanya yang penuh
keriput kelihatan merah kelam dan mengepulkan asap seperti udang baru direbus.
Bahu dan dadanya tersentak-sentak. Dari mulutnya
mengucur darah merah. Jubah ungunya tak karuan rupa, hangus dan cabik-cabik di
sana-sini. Matanya terbelalak memandang ke arah Sang Junjungan.
"Seumur hidup baru kali ini pukulan Bumi Langit Menghimpit Roh yang kulepaskan
tidak sanggup memusnahkan lawan! Seharusnya dia sudah hancur ludes berkepingkeping." Lawungu batuk-batuk beberapa kali.
Dari mulutnya menyembur darah kental. "Aku terluka di dalam..." si kakek
menyadari apa yang terjadi dengan dirinya. Dua tangannya cepat ditekapkan ke
dada untuk mengalirkan tenaga dalam.
Dengan susah payah Lawungu coba bangkit berdiri.
Mukanya semakin mengelam merah ketika di depan sana makhluk muka tengkorak
keluarkan suara tertawa
mengekeh. Tiba-tiba dari atas pohon terdengar suara rebana ditabuh, disusul gema
suara kerincingan. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab melirik ke atas pohon besar.
Ternyata Si Pelawak Sinting palsu berada di atas pohon itu, duduk berjuntai di
salah satu cabang sambil memukul rebana dan menggoyang kerincingannya. Ketika
tahu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab melirik ke arahnya, kakek geblek ini julurkan
lidahnya! Sang Junjungan kembali tertawa mengekeh. Lalu dia hentikan tawanya dan
memandang dengan dua bolongan merah yang merupakan mata di kepala tengkoraknya.
"Sudah lama aku mendengar kehebatan pukulan sakti
Bumi Langit Menghimpit Roh! Ternyata hanya ilmu kosong tak ada apa-apanya!
Lawungu, apa kau masih punya daya menghadapiku barang dua tiga jurus lagi"!"
Rahang Lawungu sampai menggembung dan keluarkan
suara bergemeretak saking marahnya mendengar ejekan orang. Kakek ini jadi kalap.
"Makhluk sesat keparat! Aku mengadu nyawa
denganmu! Tempatmu di pusaran neraka! Aku akan
kembalikan kau ke sana!"
Wuuuttt! Tubuh Lawungu berkelebat. Sosoknya berubah menjadi bayang-bayang ungu. Dibarengi
suara menggemuruh
bayang-bayang ungu itu kemudian menebar menjadi lima, melabrak ke arah Sang
Junjungan. Inilah serangan yang disebut Badai Lima Penjuru. Sosok Sang Junjungan
seolah dihantam badai yang datang dari lima penjuru, semuanya melabrak dari arah
depan! Makhluk muka tengkorak keluarkan teriakan keras.
Lalu melompat setinggi dua tombak. Sambil menghindari serangan Badai Lima
Penjuru orang ini pukulkan dua tangannya ke depan. Belasan larikan sinar biru
menggelegar di udara, bergulung membuntal membentuk dua jaring besar yang
kemudian menukik menerpa ke arah Lawungu.
"Api Iblis Penjaring Roh! " seru Lawungu kaget. Dia yang sudah tahu kehebatan
jaring api biru ini segera jatuhkan diri ke tanah lalu berguling menjauh. Jaring
pertama jatuh di atas sebuak semak belukar. Semak belukar ini langsung tenggelam
dan musnah dalam kobaran api. Jaring kedua mendarat di atas sebuah batu besar.
Batu ini bergemeretak keras, hancur lebur dalam kepingan
berwarna merah menyala!
Lawungu usap mukanya yang pucat. Tengkuknya
keluarkan keringat dingin. Nyalinya bukan saja ciut akibat serangan ganas dua
buah jaring api biru tadi, tapi dia juga jadi terperangah karena serangan Badai
Lima Penjuru yang dilancarkannya hanya menghantam udara kosong lalu
menyambar beberapa pohon besar hingga bertumbangan.
Dalam hati Lawungu membatin. "Kalau aku terus
melayani makhluk ini dalam pertempuran jarak jauh, cepat atau lambat aku pasti
akan kena dicelakainya. Tak ada jalan lain. Aku harus mengeluarkan ilmu Menyatu
Jazad Dengan Alam. Tubuhnya harus aku pantek ke pohon atau ke batu. Tapi
bagaimana caranya aku bisa merangsak mendekatinya!"
Sementara itu di bagian yang lain Pendekar 212 Wiro Sableng tengah menghadapi
serbuan serangan Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tubuh si kakek telah berubah menjadi bayang-bayang
putih. Tendangan dan pukulannya mendera ganas. Wiro yang sebelumnya pernah
berkelahi melawan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan hampir menemui ajal akibat
tendangan Hantu Racun Tujuh berlaku sangat hati-hati.
Dalam lima jurus pertama Wiro keluarkan jurus-jurus Ilmu Silat Orang Gila yang
didapatnya dari Tua Gila. Walau dia bisa mengimbangi namun ada rasa khawatir
lawan akan berhasil menjebol pertahanannya. Maka murid Sirito Gendeng menghantam
dengan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera, disusul dengan terjangan Segulung
Ombak Menerpa Karang. Selagi lawan dibikin sibuk Wiro lanjutkan gerakannya
dengan jurus-jurus hebat dari ilmu silat yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat
Dewa. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tersentak kaget
ketika merasakan gelombang serangan lawan
mengeluarkan hawa aneh yang membuat tubuhnya
tertekan ke belakang sementara kuda-kuda sepasang
kakinya menjadi berat, membuat dia sulit bergerak cepat walau memiliki ilmu
meringankan tubuh yang tinggi.
Karenanya tidak menunggu lebih lama kakek ini segera keluarkan ilmu andalannya
yaitu Memeluk Bumi
Menghantam Matahari.
Tangan kiri Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mendadak berubah menjadi panjang.
Meluncur seperti ular besar, melibat ke bagian belakang Wiro. Bersamaan dengan
itu tangan kanannya datang menggebuk dari depan.
Pendekar 212 keluarkan seruan tertahan ketika tiba-tiba merasa lehernya kena
dicekal lalu ditarik ke depan. Di saat yang sama dari depan datang melabrak
jotosan tangan kanan lawan yang mempunyai daya berat atau
bobot sebesar lima puluh kati!
Wiro cepat bentengi dirinya dengan jurus Membuka Jendela Memanah Matahari. Dua
tangannya menghantam ke kiri dan ke kanan.
Bukk! Bukkk! Dua lengan saling beradu. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab hampir tidak percaya
ketika merasa dua kakinya terangkat dari tanah sampai satu jengkal. Tangan
kanannya yang dipakai menjotos seperti dihantam
pentungan besi. Sambil menahan sakit kakek ini terpaksa melompat mundur. Wiro
Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menyangka berhasil
mendesak lawan dengan cepat kirimkan serangan susulan dalam jurus Kepala Naga
Menyusup Awan. Tangan kanannya laksana kilat menyusup ke atas, mencari
sasaran di dagu si kakek. Tetapi justru saat itu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
telah menunggu dengan ilmu yang bisa membuat lawan menjadi kaku dan gagu tanpa
menyentuh. Tangan kanannya diletakkan di otak di atas kepalanya. Lalu tangan
kiri dipukulkan di depan.
"Pukulan Membuhul Urat Mengikat Otot! Wiro! Cepat menghindar!" Tiba-tiba ada
orang berteriak.
Pendekar 212 serta merta ingat. Dengan ilmu itulah dulu dia pernah dilumpuhkan
oleh Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Ketika dia dibawa lari diselamatkan Hantu
Santet Laknat dia hanya mampu memusnahkan
kelumpuhan pada jalan suaranya tapi dia sama sekali tidak sanggup membebaskan
tubuhnya dari kekakuan.
"Benar-benar goblok kalau aku sampai dua kali kena dikerjai kakek sialan ini!"
pikir Wiro. Tapi entah mengapa dua kakinya mendadak seperti hilang rasa. Otaknya
masih bekerja menyuruhnya segera melompat tapi saat itu Wiro merasa seolah dia
tidak punya kaki lagi!
"Celaka!" keluh murid Sinto Gendeng. "Kakek sialan ini pasti punya ilmu aneh!
Aku tak bisa menggerakkan kaki!
Aku tak bisa melompat selamatkan diri!"
Sesaat lagi angin pukulan yang melumpuhkan itu akan menyentuh muka dan tubuh
Pendekar 212 mendadak ada suara siutan keras. Sebuah benda ungu melayang di
udara, memapas antara Wiro dan Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab. Lalu terdengar suara orang berteriak.
"Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab! Tahan serangan!"
Kakek berjubah putih yang otaknya di atas kepala itu tersentak kaget Dia cepat
menarik pulang tangannya ketika menyadari apa dan siapa yang melayang di
hadapannya itu. Namun terlambat! Angin pukulan
Membuhul Urat Mengikat Otot telah lebih dulu menerpa sosok yang melayang di
depan Wiro. Begitu terkena sosok ini langsung kaku dan, buukkk! Jatuh bergedebuk
keras di tanah!
"Lawungu!" teriak Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab lalu dengan cepat dia jatuhkan
diri menubruk sosok Lawungu yang tergelimpang di tanah dalam keadaan kaku.
Mulutnya terbuka tapi suaranya yang keluar hanya suara megap-megap.
Sang Junjungan tertawa mengekeh sambil rangkapkan
tangan di depan dada. Dialah tadi yang telah melemparkan sosok Lawungu untuk
dipakai sebagai tameng melindungi Pendekar 212 Wiro Sableng. Sebelumnya antara
Lawungu dan Sang Junjungan kembali terjadi pertempuran hebat.
Ternyata Lawungu tidak mampu menghadapi lawannya.
Delapan jurus di muka dalam keadaan terdesak hebat, Sang Junjungan berhasil
menggebuknya dengan beberapa pukulan. Ketika dia terhuyung hampir roboh, Sang
Junjungan yang melihat bahaya besar mengancam Wiro segera sambar tubuh Lawungu
lalu dilemparkannya ke arah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang tengah
melepas pukulan Membuhul Urat Mengikat Otot, Akibatnya tak ampun lagi serangan
yang melumpuhkan itu
menghantam kawan sendiri!
Suara tawa Sang Junjungan membuat Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab seperti dipanggang. Darahnya
mendidih. Otak di dalam selubung bening di atas
kepalanya mendenyut keras dan mengepulkan asap!
Perlahan-lahan dilepaskannya sosok Lawungu yang tadi dirangkulnya. Kepalanya
diangkat. Sepasang matanya membeliak memandangi makhluk muka tengkorak. Tibatiba tokoh utama rimba persilatan Latanahsilam ini kebutkan lengan jubahnya kiri
kanan. Didahului suara menderu dan sambaran sinar putih,
sepuluh benda berbentuk paku hitam melesat ke arah makhluk muka tengkorak.
Karena masih asyik tertawa ketika menyadari kalau dirinya dibokong orang,
sepuluh paku hitam itu telah berada dekat sekali di depan kepala dan tubuhnya!
"Kurang ajar! Pembokong curang!" teriak Sang
Junjungan. Dia cepat bergerak namun masih kalah cepat dengan datangnya sambaran
sepuluh paku. Tiba-tiba dari samping berkiblat satu sinar putih
menyilaukan. Lalu di antara suara seperti tawon
mengamuk terdengar suara berdentringan. Delapan paku hitam patah bermentalan.
Dua lainnya terlempar entah ke mana. Sekilas Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
masih sempat melihat sosok senjata kapak bermata dua sebelum lenyap ke balik
pakaian Pendekar 212 Wiro Sableng.
Dari atas pohon kembali terdengar tabuhan rebana dan suara nyaring kerincingan
si Pelawak Sinting.
Kekeh panjang Sang Junjungan yang tadi sempat
terhenti sewaktu diserang senjata rahasia yang dilepaskan Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab, kini kembali meledak. Di atas pohon Si Pelawak Sinting menimpali
dengan tabuhan rebana dan goyangan kerincingan.
Walau darahnya mendidih, amarahnya menggelegak,
namun Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab masih bisa
menggunakan jalan pikiran sehat. Dalam keadaan seperti itu tidak ada gunanya dia
melanjutkan pertempuran
melawan dua musuh yang ternyata memiliki kepandaian tinggi itu. Dengan cepat dia
angkat tubuh Lawungu lalu dipanggul di bahu kanan. Setelah lemparkan pandangan
menyorot pada Sang Junjungan dan Wiro, kakek ini segera berkelebat pergi dari
tempat itu. Sang Junjungan hentikan tawanya, mengusap muka
tengkoraknya dengan telapak tangan yang hanya
merupakan tulang belulang putih lalu berpaling ke arah Wiro.
"Anak muda! Lekas datang ke hadapanku!" Tiba-tiba
Sang Junjungan berkata dengan suara lantang keras.
"Ah, makhluk salah kaprah ini pasti marah padaku! Aku lupa menghaturkan terima
kasih. Padahal dia tadi sudah menyelamatkan diriku dari serangan Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab!" Sambil garuk-garuk kepala Wiro melangkah ke hadapan Sang
Junjungan. Hatinya agak bimbang dan juga kecut. Seumur hidup baru sekali ini dia
melihat makhluk bermuka tengkorak dan bertubuh jerangkong
yang bukan saja memiliki kepandaian tinggi tapi juga bisa bicara! Sekaligus
angker menyeramkan!
"Orang tua..." Wiro menegur.
"Tunggu dulu!" Sang Junjungan memotong. "Bagaimana kau bisa tahu aku ini orang
tua! Padahal mukaku tidak berkulit tidak berdaging! Mukaku berbentuk tengkorak
terdiri dari tulang! Dan gigi-gigiku masih utuh semua!"
Wiro garuk-garuk kepalanya tak bisa menjawab.
Sang Junjungan tertawa mengekeh. Wiro merasa
kuduknya dingin. Suara makhluk itu ketika bicara apalagi sewaktu tertawa
terdengar aneh, seperti keluar dari jurang batu yang dalam. "Celaka betul
makhluk satu ini. Aku tak tahu apa dia lawan atau teman."
"Makhluk muka tengkorak..."
"Wahai! Itu lebih tepat! Teruskan ucapanmu! Apa yang hendak kau ucapkan!" Sang
Junjungan berkata.
"Tadi kau telah menyelamatkan diriku dari serangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab. Aku mengucapkan
terima kasih padamu."
Sang Junjungan mendongak ke langit lalu kembali
tertawa mengekeh.
"Tapi ada satu hal yang jadi pertanyaan bagiku!" Wiro berkata. "Antara kita
tidak saling kenal sebelumnya.
Mengapa kau menolongku?"
"Anak muda! Kau bernasib untung! Ketahuilah,
sebelumnya justru aku telah memerintahkan seseorang untuk membunuhmu!"
Wiro terkejut "Lalu... lalu mengapa sekarang kau malah menyelamatkan diriku?"
tanya murid Sinto Gendeng.
"Hal itu harus dan wajib kulakukan. Karena kau adalah menantuku!"
Kaget Wiro bukan olah-olah. Dia sampai tersurut dua langkah. Matanya memandang
membelalak, mulut
ternganga. "Apa... apa maksudmu?" tanya Wiro dengan suara
bergetar. "Dengar baik-baik anak muda. Belum lama ini aku
menyirap kabar bahwa kau telah melangsungkan
pernikahan di Bukit Batu Kawin dengan Hantu Santet Laknat yang konon telah
berubah ujud menjadi seorang gadis cantik jelita bernama Luhrembulan..."
"Aku tidak pernah..."
"Bicaraku belum habis!" menukas Sang Junjungan.
"Hantu Santet Laknat adalah muridku. Lebih dari itu dia telah kuanggap sebagai
anak! Kalau kau kawin dengan dia bukankah berarti kau adalah menantuku" Yang
juga bisa kuanggap sebagai anak pula"!"
"Celaka... celaka!" keluh Wiro berulang-ulang. Air mukanya tampak pucat. Ketika
makhluk muka tengkorak melangkah mendekatinya, mau tak mau Wiro bertindak
mundur. "Anak muda, lekas kau berlutut di hadapanku. Aku
mertuamu! Kau harus menaruh hormat dan patuh pada
diriku! Ha... ha... ha!"
Wiro garuk kepalanya habis-habisan. Rasa takut
membuat saat itu dia jadi kepingin kencing. Makhluk di hadapannya itu memiliki
kesaktian luar biasa. Jika dia menolak berlutut makhluk itu pasti akan marah
besar. Tapi jika dia mematuhi berlutut buntutnya bisa jadi panjang.
"Sialan betul! Aku tidak tahu makhluk ini apa lelaki apa perempuan. Atau banci!
Aku harus mencari akal..." pikir murid Sinto Gendeng. Dia lalu melangkah
mendekati makhluk muka tengkorak dengan tubuh membungkukbungkuk, seolah siap untuk berlutut di hadapan 'sang mertua'.
Melihat sikap Wiro, Sang Junjungan dongakkan kepala tengkoraknya lalu tertawa
panjang mengekeh. Saat itulah Wiro tiba-tiba membalikkan badannya lalu melompat
ke balik pohon besar. Dari sini dia melesat ke belakang semak belukar lalu ambil
langkah seribu, lari sekencang yang bisa dilakukannya.
"Menantu kurang ajar! Menantu tidak tahu diri!
Mengapa kau berani lari"!" teriak Sang Junjungan marah sekali.
Di atas pohon besar tiba-tiba terdengar suara rebana ditabuh diseling suara
kerincingan. "Sang Junjungan! Jangankan dia anak manusia! Aku
saja yang buruk ini kalau jadi menantumu pasti tidak bisa nyaman melihat
tampangmu! Mana ada di negeri ini orang yang mau jadi menantu makhluk salah ujud
sepertimu! Ha... ha... ha!"
"Monyet sinting di atas pohon! Siapa sudi
mengambilmu jadi menantu! Berpakaian saja tidak keruan!
Pantat hitam gosongmu kau tebar ke mana-mana! Coba kau makan dulu bekas tanganku
ini!" Sang Junjungan gerakkan tangan kanannya.
Di atas pohon Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak.
Goyang dan tabuh rebananya lalu melompat lenyap, tepat ketika pukulan tangan
kosong yang dilepaskan Sang
Junjungan sampai dan menghantam cobang pohon
tempatnya tadi duduk berjuntai. Cabang pohon itu hancur berkeping-keping!
*** WIRO SABLENG HANTU SELAKSA ANGIN
4 MBAK besar bergulung dahsyat dan memecah di
teluk Labuntusamudera di kawasan selatan Negeri
OLatanahsilam. Seorang berpakaian serba kuning
berlari kencang, berkelebat ke arah timur teluk tak lama setelah sang surya
memunculkan diri siap menerangi jagat raya. Ketika segulung ombak luar biasa
besarnya menderu di arah teluk, sosok berpakaian kuning itu yang ternyata adalah
seorang nenek bermuka kuning hentikan larinya.
Tiga buah sunting di atas kepalanya bergoyang-goyang.
Nenek ini yang bukan lain adalah Hantu Selaksa Angin alias Hantu Selaksa Kentut
alias Luhkentut diam sejenak.
Dua matanya berkilat-kilat besar menatap ke arah laut.
Didahului suara teriakan nyaring dia melompat setinggi dua tombak. Begitu dua
kakinya menginjak pasir dia kembali lari. Kali ini bukan menyusuri teluk tapi
malah ke arah laut, menyongsong datangnya gelombang ombak besar.
Byuuurrrrr! Ombak setinggi rumah itu bergulung lalu menimbun sosok berpakaian
kuning dan akhirnya
memecah di pasir hitam Teluk Labuntusamudera.
Butt... prett! Nenek berpakaian kuning pancarkan angin keras dari bagian bawah
tubuhnya lalu tertawa gelak-gelak.
Sekujur tubuhnya mulai dari atas kepala sampai ke kaki dan juga seluruh pakaian
kuningnya basah kuyup. Dia baringkan tubuhnya di atas pasir. Dua kakinya
dinaikkan ke atas dan ditendang-tendangkan. Kembali dari bagian bawah tubuhnya
keluar suara butt prett-butt prett.
Beberapa kali ombak kecil datang mengguyur tubuhnya.
Puas berbasah-basah Hantu Selaksa Angin bangkit berdiri lalu setengah berlari
menuju pertengahan teluk. Di satu tempat yang kelindungan di balik kerapatan
pohon-pohon kelapa dan semak belukar nenek ini menemukan sebuah goa batu. Tanpa
ragu-ragu dia segera masuk ke dalam goa tersebut.
Bagian dalam goa berbentuk segi empat dengan atap
batu menyerupai kerucut. Udara di tempat ini terasa sejuk.
Hantu Selaksa Angin melangkah ke sudut kanan goa di mana terdapat hamparan tikar
jerami kering. Perlahan-lahan si nenek mendudukkan dirinya di atas tikar jerami
itu. Dia menatap sejurus ke langit-langit goa yang berbentuk kerucut lalu dari
mulutnya meluncur ucapan.
"Wahai guruku, Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud, aku
muridmu datang menghadap..."
Suara si nenek menggema perlahan di dalam goa batu itu. Dia menunggu tak
bergerak sambil sepasang matanya yang kuning menatap terus ke langit-langit goa.
"Tak ada jawaban, jangan-jangan dia tak ada di sini... Atau mungkin dia marah
karena sejak pergi dulu aku tak pernah
mengunjunginya di tempat ini." Hantu Selaksa Angin membatin. Setelah menunggu
sesaat lagi dia kembali mengulang. "Guru, apakah kau ada di dalam goa" Aku
muridmu datang menghadap."
Tiba-tiba di ujung kerucut langit-langit goa kelihatan satu bintik kecil
memancarkan cahaya putih terang. Lalu terdengar suara halus menggema di dalam
goa. "Hantu Selaksa Angin muridku. Aku gembira kau
akhirnya muncul. Tadinya aku merasa kecewa karena
setelah belasan tahun baru sekali ini kau kembali ke goa.
Sejak kau meninggalkan goa belasan tahun silam aku menyirap kabar di luar sana
telah terjadi banyak hal. Aku berharap rakhmat akan menjadi bagian penghuni
Negeri Latanahsilam. Tetapi justru malapetaka dan bencana terjadi di mana-mana,
maksiat dan dosa berkubang di hampir setiap penjuru negeri. Muridku, harap kau
ceritakan padaku apa yang telah kau alami dan lakukan selama ini.
Bagaimana dengan penyakit dirimu, apakah kau berhasil mendapat kesembuhan" Yang
paling penting apakah
selama ini kau telah mampu mengetahui siapa dirimu adanya?"
"Wahai Guru, aku gembira kau telah menyirap apa yang terjadi di luaran sana.
Hingga aku tidak perlu menutur berpanjang lebar. Mengenai perihal penyakitku,
aku berhasil menemukan seorang pemuda asing dan dua
kawannya. Konon mereka datang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang.
Pemuda inilah yang telah
memberitahu obat yang harus kumakan agar penyakit
kentutku lenyap. Belasan tahun aku kentut terus-terusan tanpa bisa ditahan.
Gara-gara ubi yang menjadi makanan satu-satunya selama aku berada di goa ini..."
Di langit-langit goa kembali ada kelihatan bintik yang memancarkan sinar terang
tadi. Lalu menyusul suara menggema dari makhluk yang dipanggil guru oleh si
nenek. "Jadi penyakit kentutmu benar-benar telah lenyap
wahai muridku?"
"Lenyap habis seluruhnya memang tidak. Masih ada
tertinggal sedikit. Tapi justru aku sengaja tak mau menghilangkannya. Karena
terdengarnya indah bagus.
Begitu kata pemuda yang menolongku itu..."
Gema tawa sang guru yang dipanggil dengan nama
Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud mememuhi goa. Bintik terang kembali bercahaya.
Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Muridku, dulu kentutmu panjang dan berulang-ulang.
Aku ingin mendengar bagaimana bunyinya sekarang
setelah diobati oleh pemuda asing itu..."
"Kalau guru memang mau mendengar, akan kulakukan.
Mohon maafmu Guru. Terus terang sejak tadi sebenarnya aku memang sudah tidak
tahan mau kentut!" kata Hantu Selaksa Angin pula sambil menekap mulutnya menahan
ketawa. Lalu butt prett! Dia pancarkan kentutnya. Karena berada di dalam ruangan
batu maka kentut itu menggema beralun-alun!
Kembali sang guru yang tidak kelihatan rupa ataupun ujudnya itu tertawa gelakgelak. "Muridku, obat apa yang telah diberikan pemuda itu hingga kau mendapatkan
kesembuhan seperti sekarang ini?"
"Dia meyuruh saya makan kibul ayam sebanyak tujuh
puluh tujuh buah..."
"Kibul ayam. Benda apa itu, bagaimana ujudnya?"
bertanya Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud.
"Itu Guru... Bagian lancip yang menempel di pantat ayam..." menerangkan Hantu
Selaksa Angin. "Aha...!" Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud berseru lalu tertawa gelak-gelak
(Mengenai riwayat kibul ayam ini harap baca episode sebelumnya berjudul "Hantu
Langit Terjungkir").
"Muridku, jika kau sudah puas dengan kentutmu yang indah itu, berarti kau telah
mencapai kesembuhan. Apakah kau telah menghaturkan terima kasihmu pada pemuda
dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu?"
"Aku memang merencanakan untuk mencarinya dan
menyampaikan rasa terima kasihku. Namun sebelum hal itu kesampaian kuketahui dia
ternyata seorang jahanam besar..."
"Jahanam besar bagaimana maksudmu, muridku?"
"Dia menimbulkan bencana busuk dan keji di manamana!" "Bencana busuk keji yang bagaimana?"
"Dia ternyata seorang pemuda hidung belang. Dia telah merusak kehormatan seorang
gadis baik-baik bernama Luhjelita. Kemudian merusak kehormatan dua orang cucu
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Kabarnya dia juga berselingkuh dengan Peri
Angsa Putih. Lalu diketahui pula dia juga yang telah menghamili Peri Bunda!"
Sang Datuk yang tidak kelihatan ujudnya terdengar
mendesah dan tarik nafas dalam. "Muridku, kalau benar pemuda itu telah menebar
kekejian di mana-mana
sungguh sangat disayangkan. Namun antara kau dengan dirinya ada hutang piutang
yang harus dilunasi. Dalam membalas budi seseorang kau tidak boleh melihat siapa
dia adanya. Dia pernah menolong dirimu, berarti kau harus berusaha membalas
budinya..."
"Aku telah melakukan banyak hal untuknya. Juga
menolong dua temannya..."
"Kalau itu kau rasakan pantas dan sudah cukup
memang tak perlu kau berbuat terlalu banyak. Tapi
mengenai kekejian yang dikabarkan telah dilakukannya, kurasa harus kau selidiki
kebenarannya. Tidak baik menuduh seseorang busuk, jahat dan keji kalau tidak ada
saksi jujur dan bukti nyata..."
"Mengenai kemesuman yang dilakukan pemuda itu
terhadap dua cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, tokoh itu sendiri yang bicara
memberi kesaksian..."
"Muridku, Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab memang
adalah satu tokoh besar dan sangat dihormati di Negeri Latanahsilam. Bukan saja
karena ilmu silat dan
kesaktiannya yang tinggi, tapi juga karena dengan
kemampuannya melihat ke masa depan dan masa silam, membaca segala sesuatu yang
bersifat gaib. Namun
belakangan ini rasa-rasanya dia telah banyak melakukan penyimpanganpenyimpangan. Dia terlalu banyak
mendekatkan diri dalam urusan dunia dan kepentingan diri sendiri. Akibatnya lama
kelamaan dia kehilangan
kemampuan untuk melihat ke dalam alam gaib. Aku
meragukan kemampuannya. Apakah dia memang masih
bisa diandalkan sebagai tokoh tempat bertanya dan
mencari jawab. Sebagai contoh, dia hanya menurutkan kata hati, kemarahan dan
dendam kesumat atas musibah yang menimpa dua cucunya. Tapi apakah dia pernah
menyelidik" Aku menyirap kabar dua cucunya itu
mempunyai kelainan yang menjijikan... Jadi muridku, dalam segala suatu perkara,
penyelidikan adalah sangat penting. Jangan hanya percaya pada apa yang kita
dengar saja. Jangan hanya percaya pada berita yang disampaikan orang dari mulut
ke mulut..."
"Nasihatmu akan aku perhatikan Datuk..."
"Sekarang ada hal lain yang lebih penting dari penyakit kentutmu itu. Yaitu
mengenai penyakit yang menyangkut ingatanmu pada masa silam. Apakah kau sudah
mendapatkan kesembuhan" Apakah kau sudah
mengetahui siapa dirimu sebenarnya serta riwayat atau asal usul dirimu?"
Karena Hantu Selaksa Angin alias Hantu selaksa Kentut tidak segera menjawab,
sang Datuk yang tidak kelihatan orangnya dan hanya terdengar suaranya berkata.
"Sekedar mengingatkanmu wahai muridku. Seperti yang aku pernah ceritakan padamu,
kau kutemukan tergeletak pingsan di atas lumpur hitam di antara batu-batu besar
yang bertebaran di muara sungai Lahulupanjang. Mungkin kau salah satu korban yang
dihanyutkan banjir besar yang sebelumnya terjadi di kawasan utara. Perutmu
gembung sampai ke dada. Aku memerlukan tujuh hari tujuh malam untuk mengeluarkan
air kotor yang ada dalam perut dan rongga dadamu. Ketika hari ke dua belas kau
siuman ternyata kau tidak ingat siapa dirimu, tak ingat apa yang telah terjadi
dengan dirimu. Juga tidak ingat asal usulmu.
Kemudian kuketahui ada satu luka besar di belakang kepalamu. Mungkin ini akibat
benturan dengan benda keras. Aku rasa, benturan inilah yang telah mempengaruhi
daya ingatanmu..."
Mendengar penjelasan sang Guru, Hantu Selaksa Angin pegang dan usap-usap bagian
belakang kepalanya. Dia merasakan ada bagian kepala yang agak menonjol. Cidera
luka yang telah sembuh dan meninggalkan bekas. Sang Datuk teruskan ucapannya.
"Namun... muridku, aku juga menaruh dugaan.
Hilangnya daya ingatmu mungkin juga disebabkan oleh satu penderitaan sangat
berat yang bersarang mulai dari hati sampai ke pikiranmu. Kemudian, ketika kau
siuman kau mempunyai satu sifat aneh. Yakni suka akan warna dan benda apa saja
yang berwarna kuning. Itu sebabnya kau membuat sendiri jubah berwarna kuning.
Mengecat wajahmu dengan jelaga kuning. Memakai sunting dan
subang serta kalung dan gelang warna kuning. Selama bertahun-tahun aku memberi
pelajaran ilmu silat dan kesaktian padamu di dalam goa ini, aku berusaha
menyembuhkan kesadaranmu. Tetapi tidak berhasil.
Mungkin selama kau berada di luar sana ada sesuatu yang mampu membuat kau
mengingat-ingat siapa dirimu
sebenarnya?"
Si nenek terdiam sejurus. Lalu gelengkan kepala.
"Aku yakin selama belasan tahun di luaran kau bertemu banyak orang. Apakah tidak
satupun di antara mereka yang menimbulkan rasa ingat dalam dirimu...?"
"Aku tidak bisa memastikan wahai Guru. Hanya saja..."
Hantu Selaksa Kentut mendongak ke langit-langit ruangan, memperhatikan bintik
terang yang ada di ujung kerucut pertanda gurunya masih berada di tempat itu.
"Hanya saja satu kali aku memang pernah bertemu beberapa kali
dengan seorang kakek aneh. Dia berjalan dan
mempergunakan dua tangannya sebagai kaki. Kakek ini dijuluki Hantu Langit
Terjungkir. Satu kali dia pernah menyebutkan 'asap'. Samar-samar aku ingat dulu
ada seseorang yang sangat suka pada ikan asap atau ikan pindang itu. Tapi aku
lupa siapa orangnya. Aku berusaha menyelidik, meneliti wajah kakek itu. Walau
aku berhasil melihat jelas-jelas wajahnya tapi kesadaranku tetap saja tidak
muncul. Daya ingatku tidak datang. Aku tidak bisa mengetahui siapa dia
sebenarnya."
"Aku bisa membantu. Menurut kabar yang aku sirap
nama sebenarnya dari kakek berjuluk Hantu Langit
Terjungkir itu adalah Lasedayu. Dia pernah mendekam selama puluhan tahun di
Lembah Seribu Kabut. Apakah nama dan penjelasanku ini bisa menimbulkan satu daya
ingat dalam benakmu wahai muridku?"
Nenek wajah kuning berusaha keras mengerahkan
daya ingatnya. Matanya dipejamkan. Namun sampai
keringat memercik di keningnya dia tak mampu mengingat.
"Maafkan diriku Guru. Aku tidak tahu siapa adanya orang bernama Lasedayu itu."
"Kalau begitu aku sarankan padamu agar kau mencari kakek berjuluk Hantu Langit
Terjungkir itu. Ikuti ke mana dia pergi sampai kau mendapatkan satu petunjuk
mengenai dirinya."
"Hal itu akan aku lakukan Guru..."
"Selain itu kau juga harus berusaha mencari Hantu Raja Obat. Siapa tahu dia bisa
menyembuhkan penyakitmu."
"Baik Guru. Petunjukmu akan aku laksanakan. Maaf
Guru, aku mau kentut dulu..."
Butt... prett! Sang Guru yang dipanggil dengan sebutan Datuk Tanpa Bentuk Tanda Ujud tertawa
panjang. "Muridku, belum lama berselang beberapa kali aku mendapat petunjuk dari
alam gaib. Suatu senja ketika aku berada di tempat ini, tiba-tiba ada satu
cahaya terang menggantung di depan goa.
Hidungku membaui sesuatu yang sangat harum. Aku
berusaha mendekati cahaya itu agar bisa melihat lebih jelas. Namun seperti ada
satu kekuatan yang membuat aku tidak bisa mendekati cahaya itu. Kemudian
kudengar satu suara gaib berkata padaku. 'Wahai anak manusia, ketahuilah, akan
terjadi satu peristiwa besar di bumi Negeri Latanahsilam ini. Karena itulah,
sebelum hari kejadian, lakukan sesuatu. Carilah Allah. Dialah Tuhanmu Seru
Sekalian Alam, Maha Besar dan Maha Pengasih Maha
Penyayang, Penguasa Tunggal Jagat Raya, Pencipta Langit dan Bumi serta Makhluk
yang ada di antaranya termasuk dirimu.' Muridku, apakah kau mendengar katakataku?" "Aku mendengar wahai Datuk," jawab nenek muka
kuning. "Aku tidak mengerti ucapan gaib itu. Aku berusaha
membuka mulut hendak bertanya tapi mulutku terkatup, lidahku seperti terkancing.
Kemudian cahaya terang benderang yang ada di depan goa lenyap. Begitu juga bau
harum semerbak. Saat itu mendadak aku bisa membuka mulut dan bertanya. 'Suara
dari alam gaib! Siapakah kau adanya"!' Di kejauhan terdengar jawaban. Tapi
ucapannya hanya pengulangan dari kata-kata yang kudengar
sebelumnya. Aneh, apa kiranya yang akan terjadi di Negeri Latanahsilam ini. Lalu
siapa yang dimaksudkan dengan Allah oleh suara gaib itu. Siapa pula Tuhan.
Bagaimana aku harus mencari" Setahuku bukankah para Dewa yang
menjadi junjungan dan pelindung kita semua di negeri ini?"
"Tunggu dulu!" Hantu Selaksa Angin berkata. "Aku
ingat, aku pernah mendengar. Orang-orang dari negeri seribu dua ratus mendatang
itu. Kalau aku tidak salah mereka pernah menyebut nama itu. Tuhan... Gusti
Allah..." "Kalau benar begitu wahai muridku, ada satu tugas
baru lagi bagimu. Selidikilah melalui orang-orang itu siapa adanya Tuhan dan
Gusti Allah itu. Tapi yang lebih penting saat ini bagimu ialah mendahului
mencari kesadaran atau dirimu sendiri..."
"Aku mengerti Datuk..."
"Aku telah memberi banyak ilmu kepandaian padamu.
Pergunakan semua itu di jalan yang baik. Jika kau tidak ada pertanyaan atau
ingin mengatakan sesuatu, aku akan segera meninggalkan tempat ini."
"Datuk Guruku, sebelum kita berpisah, aku mohon,
sudilah Datuk memperlihatkan bentuk diri dan ujud Datuk padaku... Selama belasan
tahun kita bersama, banyak pelajaran dan budi baik yang aku terima darimu. Tapi
tidak barang sekalipun aku pernah melihat jazad darimu."
Bintik terang di langit-langit goa yang berbentuk kerucut kelihatan bersinar
menyilaukan. Lalu terdengar suara sang Datuk. "Muridku, saat ini aku belum bisa
memperlihatkan diri. Dan aku tidak bisa berjanji kapan aku bisa terlihat oleh
mata insani sepertimu. Harap kau tidak kecewa. Suatu kali kita pasti akan
bertatap ujud. Selamat tinggal muridku.
Datanglah ke goa ini jika kau menemukan sesuatu..."
"Terima kasih Datuk," kata Hantu Selaksa Angin lalu membungkuk sampai keningnya
hampir menyentuh lantai goa. Karena duduk dalam sikap menungging si nenek tidak
bisa menahan kentutnya. Akibatnya butt prett! Kentutnya memancar. Di langitlangit goa bintik terang lenyap, pertanda Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud tak ada
lagi di tempat itu.
*** WIRO SABLENG HANTU SELAKSA ANGIN
5 EBELUM mengikuti apa yang akan dilakukan Hantu
Selaksa Angin alias Hantu Selaksa Kentut setelah dia Smeninggalkan goa di teluk
Labuntusamudera itu, kita kembali pada Luhcinta dan Luhsantini. Seperti
dikisahkan dalam episode sebelumnya, "Rahasia Perkawinan Wiro", kedua orang itu
meninggalkan Bukit Batu Kawin setelah menyaksikan upacara pernikahan Pendekar
212 Wiro Sableng dengan Hantu Santet Laknat yang berubah
menjelma menjadi seorang gadis cantik bernama
Luhrembulan. Karena datang terlambat Luhsantini dan Luhrembulan tidak mengetahui
siapa sebenarnya
Luhrembulan itu.
Luhcinta yang masih berada dalam keadaan pingsan
akibat tidak tahan melihat upacara pernikahan Wiro dengan Luhrembulan, oleh
Luhsantini dilarikan ke goa di mana mereka sebelumnya berada. Luhsantini
membaringkan Luhcinta di lantai goa lalu setelah
memeriksa keadaan gadis itu, istri Hantu Bara Kaliatus ini cepat-cepat
mengerahkan tenaga dalamnya ke tubuh
Majikan Gagak Hitam 1 Pendekar Rajawali Sakti 89 Pedang Halilintar Jejak Di Balik Kabut 38
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama