Ceritasilat Novel Online

Liang Lahat Gajahmungkur 1

Wiro Sableng 097 Liang Lahat Gajahmungkur Bagian 1


Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ SATU enek angker yang kepalanya ditancapi lima tusuk konde perak itu lari laksana
angin. Sebentar saja dia sudah jauh meninggalkan gugusan bukit karang di Teluk N
Parangtritis. Memasuki sebuah lembah dia memperlambat larinya. Di satu tempat
yang sunyi dan teduh si nenek berhenti. Sosok anak kecil berpakaian serba hitam
yang sejak tadi dipanggulnya diletakkan di atas satu tonjolan tanah keras rata.
Dia pandangi tubuh pingsan tak bergerak itu sambil menarik nafas berulang kali.
Dalam hatinya sebenarnya nenek ini merasa sangat khawatir namun air mukanya yang
angker sebaliknya malah menyorotkan hawa kemarahan.
"Anak setan! Tubuhmu panas seperti dipanggang! Tangan kananmu patah! Untung kau
tidak mampus dihantam pukulan sakti nenek bermuka putih itu! Kepandaian cuma
sejengkal berani-beraninya kamu mempermainkan orang!"
Anak yang tergeletak di tanah dalam keadaan pingsan itu adalah Naga Kuning alias
Naga Cilik. Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya (Utusan Dari Akhirat)
anak itu berani melawan Sabai Nan Rancak malah mempermalukan nenek sakti itu
dengan menarik tanggal jubah hitamnya di sebelah bawah. Akibatnya Sabai Nan
Rancak menjadi kalap.
Setelah berhasil mematahkan tangan kanannya Sabai Nan Rancak menghantamnya
dengan pukulan Kipas Neraka. Walau tidak terkena telak namun pukulan Kipas
Neraka membuat si anak hangus sebagian pakaiannya. Wajahnya tampak sangat merah
tetapi anehnya bibirnya berwarna kebiruan.
"Mukamu merah seperti udang direbus. Bibirmu sebiru jelaga. Ada hawa jahat
mendekam dalam tubuhmu. Jantungmu pasti megap-megap.... Anak setan! Kalau tidak
kasihan padamu seharusnya kubiarkan saja kau mampus! Mengapa aku mau-maunya
menolongmu mencari urusan! Huh!"
Nenek itu menghela nafas panjang lalu kembali mengoceh. "Aku harus memeriksa
tubuhmu. Kalau tanda merah dan biru juga ada di dadamu jangan harap aku bisa
selamatkan jiwamu!"
Si nenek membungkuk. Lalu jari-jari tangannya yang kurus berkuku panjang dan
hitam bergerak ke dada si anak.
"Breett!"
Baju hitam yang dikenakan bocah pingsan itu robek besar di bagian dada. Begitu
dada si anak tersingkap, kagetlah si nenek. Dia tersentak bangkit lalu tersurut
sampai dua langkah. Sepasang matanya mendelik memancarkan sinar aneh, menatap
lekat ke arah dada si anak. Di situ, di dada itu ada gambar seekor naga besar
berwarna kuning"
"Naga Kuning..." desis si nenek dengan suara bergetar.
Untuk beberapa lamanya nenek itu tegak tak bergerak, memandang melotot tak
berkesip. "Kalau anak ini memang benar.... Ah! Bagaimana aku bisa mempercayai! Satusatunya yang tahu asal usul anak ini adalah Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tapi orang
sakti itu kuketahui sudah lama berpulang.... Kalaupun masih hidup di mana aku
harus mencari!" Si nenek menarik nafas dalam berulang kali. Dia sadar kalau saat
itu sekujur tubuhnya terasa bergetar. Setelah terdiam beberapa lama akhirnya dia
berkata. "Apapun yang terjadi, aku berkewajiban menolong anak ini! Kalau dia
sampai tewas di tanganku, aku bakal celaka Liang Lahat Gajahmungkur 1
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
seumur-umur! Masih untung tak ada warna merah dan biru di bagian dadanya.
Berarti aku bakalan bisa menolong walau sulit setengah mati! Mudah-mudahan Gusti
Allah mau menurunkan kuasa, kekuatan dan kasihNya menyelamatkan anak ini!"
Si nenek lalu cabut tiga tusuk konde yang menancap di kepalanya. Tusuk konde
pertama ditusukkannya ke ubun-ubun si anak. Tusuk konde ke dua ditusukkan ke
telapak kaki kanan lalu yang terakhir ditancapkan ke telapak kaki kiri.
Saat itu juga tubuh Naga Kuning berguncang keras. Si nenek cepat tempelkan
tangannya kiri dan kanan di kening si bocah. Lalu mulai mengerahkan tenaga
dalamnya. Tubuh si anak yang tadi berguncang kini mengendur dan guncangan perlahan-lahan
lenyap. Si nenek alirkan hawa sakti sejuk lewat tangan kanan sedang hawa sakti hangat
melalui tangan kiri. Dari wajah si anak yang berwarna merah keluar asap tipis.
Si nenek merasa agak lega. Dia lipat gandakan aliran hawa sakti. Namun jadi
terperangah ketika merasakan ada kekuatan aneh menolak keluar dari kening si
anak, membuat dua tangannya bergetar.
Selagi si nenek terkesiap tiba-tiba di belakangnya terdengar suara berisik
sekali. Liang telinganya seperti ditusuk. Itulah suara kaleng yang
dikerontangkan tiada hentinya.
"Setan alas! Tua bangka sialan! Beraninya kau mengacaukan pekerjaanku!" Si nenek
menyumpah. Suara kerontangan kaleng sirna. Kini terdengar suara tawa mengekeh.
"Sinto Gendeng! Walau sudah bau tanah sifatmu masih tidak berubah! Memaki
mengutuk serapah tak pernah berhenti! Sejak lama aku mencarimu! Apa kau tahu
rimba persilatan tanah Jawa dan Andalas tengah dilanda malapetaka besar"!"
"Kalau tidak tahu masakan aku mau mencapaikan diri meninggalkan puncak Gunung
Gede"! Bukankah kau dan aku barusan mengalami sendiri di Teluk Parangtritis"!"
jawab si nenek seraya berpaling. Dia ternyata adalah Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede. Guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
"Kau betul. Sebelumnya kita sama-sama berada di Teluk Parangtritis. Kini samasama tersesat di tempat ini.... Eh, aku merasa ada sosok lain yang bernafas
tersendat-sendat di dekatmu. Apa yang kau lakukan di sini Sinto?"
"Aku tengah berusaha menolong menyelamatkan seorang bocah yang siap meregang
nyawa. Mendekatlah kemari agar kau tahu siapa adanya anak ini!"
Orang yang diajak bicara melangkah mendekati si nenek. Begitu berada di dekatnya
Sinto Gendeng pegang lengan kanan orang itu lalu usapkan telapak tangannya ke
atas dada anak yang pingsan. Orang ini ternyata adalah seorang kakek bermata
putih alias buta melek dan bukan lain adalah manusia sakti salah seorang tokoh
aneh dunia persilatan yang dikenal dengan julukan Kakek Segala Tahu.
"Astaga!" berucap si kakek setengah berseru. Walau matanya buta tapi dia
memiliki beberapa kehebatan. Diantaranya mengetahui sesuatu dengan jalan meraba.
"Ada gambar ular besar di dadanya. Bukankah anak ini si Naga kuning alias Naga
Cilik, penjaga kawasan telaga besar Gajahmungkur"!"
"Kau memang hebat. Meski jelek dan buta tapi punya kesaktian melihat secara
aneh...!" Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh dan goyangkan tangannya yang memegang kaleng
rombeng. "Apa yang terjadi dengan anak ini Sinto" Aku merasakan ada hawa aneh dan panas
ketika meraba dadanya. Aliran darahnya tidak beres. Nafasnya sudah sampai ke
leher!" Liang Lahat Gajahmungkur 2
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Anak ini menderita cidera berat. Tangan kanannya patah. Tapi yang gawat luka
dalam yang dideritanya."
"Aku tahu. Anak ini terlibat dalam bentrokan hebat di Parangtritis...."
"Dia dihajar Sabai Nan Rancak dengan pukulan Kipas Neraka!" kata Sinto Gendeng
pula. "Kalau bukan Naga Kuning, pasti anak ini sudah menemui ajal tadi-tadi."
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. Tangan kanannya yang memegang tongkat
diayun-ayunkan kian kemari. Sesaat terdengar dia bergumam. Lalu didengarnya
Sinto Gendeng berucap.
"Sabai Nan Rancak. Jauh-jauh datang dari Andalas pasti punya maksud tertentu.
Aku sejak lama menyirap kabar nenek satu itu sepertinya punya satu urusan besar
di tanah Jawa ini. Agaknya telah terjadi sesuatu di luar pengetahuan kita. Aku
lihat nenek muka putih itu muncul mengenakan Mantel Hitam sakti milik Datuk
Tinggi Raja Di Langit. Aku yakin dia juga telah menguasai Mutiara Setan sang
Datuk. Belakangan ini dia muncul di beberapa tempat di tanah Jawa. Tindak
tanduknya aneh. Setiap dia muncul pasti terjadi sesuatu! Kau tahu atau kenal
dengan nenek keparat itu?"
Kakek Segala Tahu goyangkan kaleng rombengnya dua kali.
"Apa yang aku ketahui rasanya tidak sebanyak yang kau ketahui Sinto...."
"Maksudmu?"
"Seperti kau di masa muda dulu nenek itu pernah bercinta dengan Sukat Tandika
alias Tua Gila...."
"Bukan cuma bercinta. Tapi bunting dan punya anak!" ujar Sinto Gendeng.
"Ha... ha... ha...!" Kakek Segala Tahu tertawa. "Suaramu ketus. Pertanda masih
ada rasa sakit hati di dalam dirimu...."
"Aku tidak ingin membicarakan masa lalu sialan itu. Apa yang sebenarnya tengah
terjadi di rimba persilatan tanah Jawa ini" Harap kau Suka menerangkan. Jangan
menyembunyikan sesuatu walau barang sepotong pun!"
"Pertama kali aku bertemu dengan Sabai Nan Rancak adalah di Bukit Tegalrejo.
Waktu itu dia tengah menunggu kedatangan sobatnya bernama Datuk Angek Garang.
Seperti yang aku katakan padanya, sang Datuk tidak akan datang hidup-hidup.
Ternyata benar. Datuk Angek Garang muncul naik gerobak. Tapi sudah jadi mayat.
Pasti Tua Gila yang membunuhnya. Karena Malin Sati, murid tunggal kakek sedeng
itu mati di tangan Datuk Angek Garang. Celakanya belakangan aku mendengar kabar
bahwa Sabai Nan Rancak menuduh aku yang telah membunuh Datuk Angek Garang...!"
Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya lalu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dia
hentikan tawanya, menatap ke arah Sinto Gendeng dan berkata. "Sinto, kalau aku
terus bercerita, kapan kau akan menolong Naga Kuning?"
"Astaga!" Sinto Gendeng tersentak kaget. "Aku sampai terlupa!"
"Aku ikut membantu!" kata si kakek pula.
"Kau tahu siapa aku! Tak perlu dibantu!" ujar Sinto Gendeng pula.
"Jangan takabur Sinto! Pukulan Kipas Neraka bukan pukulan sembarangan. Cidera
yang dialami Naga Kuning parah sekali...."
Si nenek mencibir. "Dari dulu kau selalu meremehkan diriku."
Kakek di belakang Sinto Gendeng tertawa mengekeh lalu kerontangkan kaleng
rombengnya. "Kakek Setan! Kau mau membuat aku jadi budek! Hentikan perbuatanmu atau Liang
Lahat Gajahmungkur 3
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
kuhancurkan kaleng jahanam itu!"
Rupanya kerontangan kaleng yang memang disertai tenaga dalam itu telah membuat
sakit kedua liang telinga Sinto Gendeng maka kembali dia menyumpah dan
mengancam. "Sinto, aku Kakek Segala Tahu yang sudah jadi sahabatmu sampai karatan begini
merasa wajib membantu! Terserah kau suka atau tidak! Ayo kau teruskan
pekerjaanmu tadi!
Obati luka dalamnya lebih dulu. Lengannya yang patah biar nanti aku yang
mengurus!"
Si nenek pelototkan mata dan hendak memaki kembali. Tapi akhirnya cuma diam.
Tadi sewaktu mengalirkan tenaga dalam ke tubuh si anak dia merasakan seolah ada
satu kekuatan yang menolak. Sinto Gendeng berpaling pada bocah yang tergeletak
di hadapannya. Seperti tadi perlahan-lahan dia duduk berjongkok lalu mulai mengalirkan hawa
sakti lewat kedua tangannya yang ditempelkan di kening Naga Kuning.
Tiba-tiba si nenek merasa terganggu. Ada sebuah benda ditusukkan di pantatnya
sebelah kanan. "Jahanam! Apa yang kau lakukan"!" teriak Sinto Gendeng marah.
* * * Liang Lahat Gajahmungkur 4
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ DUA akek Segala Tahu tertawa mengekeh. "Aku menempelkan ujung tongkat bututku di
bokongmu," katanya. "Tenaga dalammu bagaimana pun hebatnya tidak cukup K untuk
menolong anak itu. Lewat tongkat ini aku akan mengalirkan tenaga dalamku ke
dalam tubuhmu. Lalu kau tolong meneruskan ke tubuh anak itu! Gampang saja
bukan"!"
"Gampang ndasmu!" maki Sinto Gendeng. "Kalau mau menolong kenapa pakai menusuk
pantatku segala"! Apa tidak ada cara lain yang tidak kurang ajar seperti ini"!"
"Soalnya hanya bokongmu itu satu-satunya yang masih ada daging tebalnya! Bagian
lain tubuhmu hanya tinggal tulang keropos!" Habis berkata begitu Kakek Segala
Tahu tertawa gelak-gelak. Si nenek memaki panjang pendek. "Kalau kau tak suka
aku pakai tongkat mungkin kau lebih suka aku mempergunakan tongkatku yang lain"
Tapi tongkat satu ini lebih pendek dibanding yang kini aku pegang! Ha... ha...
ha!" "Setan tua! Jangan kau berani bicara kurang ajar!" hardik Sinto Gendeng.
"Sudah jangan marah! Tongkat kayu tidak suka. Tongkat yang barusan kutawarkan
kau juga tidak mau. Malah tambah sewot. Baiknya aku pergunakan saja tangan.
Kutempelkan di pantatmu! Begitu"!"
"Kakek kurang asem! Sudah! Tutup mulutmu!"
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh lalu tangan kirinya kembali menggoyangkan
kaleng rombeng berisi batu-batu kerikil itu.
Sinto Gendeng walau masih jengkel tapi terpaksa diam saja. Dia salurkan tenaga
dalamnya ke dalam tubuh Naga kuning melalui ke dua tangannya. Sementara di
belakangnya si kakek yang menusukkan tongkat bututnya ke tubuh bawah si nenek
mulai pula mengalirkan hawa saktinya lewat tongkat. Jika ada orang lain
menyaksikan kejadian itu pastilah tak bisa menahan tawa karena lucu melihat
keadaan kedua orang itu.
Tiba-tiba pinggul dan pantat Sinto Gendeng tampak bergoyang-goyang.
"Hai! Jangan bergerak! Salah-salah tenaga dalamku bisa masuk ke tempat lain!"
Kakek Segala Tahu berseru.
"Kakek setan! Tusukan tongkatmu membuat bokongku gatal dan geli!" jawab Sinto
Gendeng. Kakek Segala Tahu tertawa cekikikan.
"Tahan saja! Pekerjaan ini tidak lama! Sebentar lagi juga selesai!" berkata si
kakek. "Jangan terlalu keras menekan bokongku!" kata Sinto Gendeng yang dijawab oleh
Kakek Segala Tahu dengan tawa bergelak. Lalu ke dua orang tua itu sama-sama
berdiam diri. Sama-sama mengerahkan tenaga dalam untuk menolong Naga Kuning yang
terluka parah di sebelah dalam akibat hantaman pukulan sakti Kipas Neraka yang
dilancarkan Sabai Nan Rancak.
Dari tiga bagian tubuh di mana tiga tusuk konde ditancapkan tiba-tiba keluar
cairan berwarna biru.
"Racun pukulan membuat darah anak ini berwarna biru..." kata Sinto Gendeng dalam
hati sementara di belakangnya Kakek Segala Tahu yang bermata putih tampak
tenang-tenang saja walau sekujur tubuhnya telah basah oleh keringat.
Darah bercampur racun mengalir terus. Bersamaan dengan itu warna biru di mulut
Naga Kuning perlahan-lahan berkurang. Wajahnya yang tadi merah berangsur-angsur
Liang Lahat Gajahmungkur 5
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
berubah putih. Hawa panas yang menjalari tubuhnya juga mulai berkurang. Begitu
warna biru di sekitar bibirnya lenyap, darah yang keluar dari tiga tempat
tusukan konde berubah pula menjadi merah.
Sinto Gendeng tarik nafas lega. Kakek Segala Tahu kerenyitkan kening. Walau
tidak melihat tapi kakek sakti ini bisa menduga apa yang terjadi. Maka dia
segera kerontangkan kaleng rombengnya keras-keras. Membuat Sinto Gendeng
tergagau kaget dan tak dapat mengunci mulut menahan makian. Sambil memaki
panjang pendek Sinto Gendeng cabut tusuk konde di kepala dan dua kaki Naga
Kuning. Benda ini kemudian ditancapkannya kembali ke kulit kepalanya.
Di tanah, Naga Kuning yang tadi pingsan gerakkan kaki kanannya lalu dari
tenggorokannya terdengar suara menggeru. Perlahan-lahan anak ini buka kedua
matanya yang sejak tadi terpejam. Begitu dia melihat wajah tua angker si nenek
dan si kakek yang saat itu masih saja menusukkan tongkatnya ke pantat Sinto
Gendeng, si anak usap-usap matanya sesaat lalu bertanya. "Kalian berdua sedang
melakukan apa" Satu menungging satu menusuk dari belakang! Hik... hik...!"
"Bocah keparat!" Sinto Gendeng mendamprat. "Jangan kau berpikiran kotor! Kau
kira kami ini sedang melakukan apa" I" Si nenek lalu berpaling pada Kakek Segala
Tahu dan dengan tangan kirinya dia kibaskan tongkat yang masih ditusukkan ke
pantatnya itu. Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. "Bocah ajaib! Syukur kau masih bisa bicara


Wiro Sableng 097 Liang Lahat Gajahmungkur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanda kau masih hidup!"
"Bocah geblek! Begitu siuman kau bicara ngacok! Apa kau tidak tahu tengah
berhadapan dengan siapa saat ini"!"
"Maafkan saya Nek. Tentu saja saya tahu siapa kau adanya. Bukankah kau nenek
sakti dari Gunung Gede bernama Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng?"
"Hemmm! Bagus kau masih mengenali diriku. Aku dan kakek ini barusan telah
menolongmu dari kematian akibat pukulan Kipas Neraka Sabai Nan Rancak yang
berani kau permainkan!"
"Ah!" Naga Kuning berseru tertahan. "Saya anak yang tidak tahu diri. Melupakan
pertolongan orang. Nek, saya mengucapkan terima kasih. Juga padamu Kek...."
Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak. ketika dilihatnya Naga Kuning hendak
bangkit duduk, si kakek tekankan ujung tongkatnya ke dada si anak hingga Naga
Kuning kembali terbaring ke tanah.
"Pertolongan kami belum rampung! Tangan kananmu patah. Tiduran saja! Aku akan
mengobati. Awas kalau kau berani berteriak kesakitan!"
Naga Kuning baru sadar kalau tangan kanannya patah. Dia pergunakan tangan kiri
hendak menyentuh tangan kanan yang patah. Kakek Segala Tahu pukul tangan kiri
bocah itu dengan ujung tongkatnya hingga Naga Kuning meringis kesakitan.
Dari dalam buntalan butut yang sejak tadi dipanggulnya Kakek Segala Tahu
keluarkan sebatang rotan sepanjang dua jengkal. Secara aneh rotan ini dibelahnya
dengan tongkatnya. Dua belahan rotan ditempelkannya di lengan yang patah. Satu
di sebelah kiri satu di sebelah kanan. Si kakek kemudian keluarkan segulung
sobekan kain dan diserahkannya pada Sinto Gendeng seraya berkata. "Tolong kau
ikat kain ini di lengannya.
Tepat di sekitar dua belahan rotan!"
Dengan merengut Sinto Gendeng lakukan apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu.
Selesai tangannya diikat Naga Kuning bertanya. "Apa saya boleh bangun sekarang
Kek?" Liang Lahat Gajahmungkur 6
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Kakek Segala Tahu tidak menjawab. Melainkan tiba-tiba ayunkan tongkatnya
menggebuki lengan kanan anak itu pada bagian yang dibalut kain. Kalau tidak
ingat ucapan si kakek pasti saat itu Naga Kuning sudah menjerit kesakitan
digebuki begitu rupa. Dia hanya bisa berdiam diri pejamkan mata sambil menggigit
bibir menahan sakit. Cukup lama baru Kakek Segala Tahu menghentikan gebukannya.
"Bocah, jangan kau berani melepaskan ikatan dan dua belahan tongkat sebelum
lewat dua hari..." berkata Kakek Segala Tahu.
"Ucapanmu saya ingat baik-baik Kek. Aku berterima kasih kau menolongku walau
barusan rasanya sama saja seperti kau mencincangi sekujur lengan ini!" Habis
berkata begitu Naga Kuning mencoba bangkit berdiri. Namun tubuhnya terhuyung dan
hampir terjerembab jatuh.
"Anak tolol! Walau kau selamat dari cidera berat, aliran darah dalam tubuhmu
masih belum lancar!" kata Sinto Gendeng. "Lekas lakukan sesuatu untuk mengatur
jalan darah dan pernafasanmu!"
Mendengar ucapan itu Naga Kuning lalu cepat-cepat duduk bersila di tanah. Tangan
kanan diletakkan di atas paha, tangan kiri dimelintangkan di atas dada. Sepasang
mata dipejamkan. Dia atur jalan nafasnya demikian rupa sehingga aliran darahnya
yang kacau perlahan-lahan teratur kembali. Begitu dirasakan keadaannya lebih
baik, anak ini baru berani berdiri. Walau masih menghuyung Naga Kuning
membungkuk dalam-dalam di hadapan Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu.
Kakek Segala Tahu tertawa panjang. "Sinto Gendeng, kalau anak itu adalah orang
yang kuduga, sebetulnya kau yang harus memberi penghormatan padanya. Bukankah
begitu. Tampang nenek sakti dari Gunung Gede itu menjadi merah gelap. Melihat si nenek
salah tingkah Naga Kuning segera berkata sambil goyang-goyangkan tangan kirinya.
"Melihat keadaan lahir saya ini pantas menjadi cicitmu. Jadi siapa pun diriku,
mengapa kita harus memakai segala peradatan yang aneh-aneh!"
Mendengar kata-kata Naga Kuning itu Sinto Gendeng tampak menjadi lega. Sikapnya
kini menjadi lunak dan nada ucapannya tidak kasar lagi. "Naga Kuning, aku butuh
beberapa keterangan darimu...."
"Anak kecil sepertiku keterangan apa yang bisa kau dapat, Nek" Bukankah lebih
baik bertanya pada Kakek Segala Tahu yang ada di sampingmu?" jawab Naga Kuning
lalu dia memperhatikan dada pakaiannya. Seolah baru sadar kalau baju hitamnya
robek besar dan dadanya tersingkap. Cepat-cepat anak ini rapikan pakaiannya
sebisanya. "Aku sangat perlu menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Apakah kau tahu di mana dia
berada...?"
"Makhluk setengah manusia setengah roh itu siapa yang tahu di mana dia berada.
Lebih baik kau menanyakan seratus hal yang susah, masih mungkin saya bisa
menjawab,"
jawab Naga Kuning.
Sinto Gendeng menggerendeng dalam hati. "Menurut riwayat, kau adalah satusatunya orang yang selalu dekat dengan Kiai itu...."
"Kau mendengar riwayat yang keliru, Nek...."
Sinto Gendeng berpaling pada Kakek Segala Tahu di sebelahnya. Walau tidak
melihat tapi kakek sakti ini tahu kalau dirinya diperhatikan. Maka dia pun
berkata setengah berbisik. "Aku bisa tahu seribu satu hal. Tapi tentang di mana
beradanya orang sakti itu Liang Lahat Gajahmungkur 7
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
merupakan satu dari beberapa hal yang tidak bisa kutembus dengan kesaktianku.
Aku yakin anak itu tahu di mana beradanya sang Kiai. Mungkin dia sudah
diperintahkan untuk tidak memberi keterangan apa-apa. Kau harus memutar otakmu
Sinto...."
Sinto Gendeng kembali berpaling pada Naga Kuning. "Kapan terakhir sekali kau
berada di Telaga Gajahmungkur?"
"Saya tidak ingat Nek. Tempat itu bukan satu tempat yang indah lagi sekarang
sejak orang yang menamakan dirinya Datuk Lembah Akhirat bermarkas tak jauh dari
telaga itu."
"Hemm.... Aku sudah mendengar banyak cerita tentang orang-orang Lembah Akhirat.
Katakan apa saja yang kau ketahui Naga Kuning...."
"Tak ada cerita yang lebih baik daripada datang sendiri menyelidik ke sana
Nek...." Mendengar ucapan anak kecil itu tadinya Sinto Gendeng hendak meradang marah.
Namun dengan suara perlahan dia berkata. "Aku memang akan ke sana. Tapi banyak
urusan yang harus kuselesaikan. Barusan saja waktu di Parangtritis aku sempat
melihat muridku Wiro Sableng. Tapi dia lenyap begitu saja.... Aku harus mencari
anak setan itu lebih dulu! Dia berada dalam bahaya besar...."
"Bahaya besar katamu Nek" Justru yang saya tahu muridmu itu banyak pacarnya di
mana-mana. Semua cantik-cantik. Berarti hidupnya senang, bukan dalam bahaya!
Hik... hik... hik!"
"Naga Kuning, kau memancing kemarahanku! Jika kau tidak punya keterangan
berharga yang bisa kau berikan lebih baik kau pergi saja!"
"Nenek Sinto, jangan kau marah. Aku memang mau pergi. Agar kau bisa berdua-dua
dengan kakek buta itu...."
"Anak setan!" Sinto Gendeng tidak dapat lagi menahan kemarahannya. "Kau kira
kami berdua punya hubungan apa yang tidak senonoh"!" si nenek maju mendekati
Naga Kuning. Ulurkan tangan hendak menjambak rambutnya yang jabrik.
Si bocah tertawa keras lalu berkelit. Sambil berlari tinggalkan tempat itu dia
berteriak. "Kakek Segala Tahu, jangan mau sama nenek itu! Dia bau pesing! Ha... ha... ha!"
Sinto Gendeng memaki panjang pendek sampai mulutnya yang peot termonyongmonyong. Hendak mengejar namun Naga Kuning sudah kabur. Kini kemarahannya
ditumpahkan pada Kakek Segala Tahu.
"Anak setan itu berani mengurang ajari kita! Kau diam saja seperti tuli! Manusia
macam apa kau!"
Kakek Segala Tahu goyangkan tangannya yang memegang kaleng rombeng. Lalu dia
tertawa gelak-gelak. Sinto Gendeng sendiri banting-banting kaki saking kesalnya.
"Sinto, ayo kita tinggalkan tempat ini. Sambil berjalan aku akan menuturkan apa
saja yang aku ketahui terjadi di rimba persilatan. Hanya ada satu hal penting
yang perlu buru-buru aku beritahukan. Pada bulan purnama yang akan datang aku
mendapat firasat ada satu peristiwa besar akan terjadi di Telaga
Gajahmungkur...."
"Hemmm...." Sinto Gendeng bergumam. "Kalau cuma itu tanpa memakai firasat pun
aku sudah tahu. Itu sebabnya aku saat ini akan menuju ke sana...."
"Lalu apa kau sudah mendengar riwayat seorang Datuk yang menguasai sebuah lembah
bernama Lembah Akhirat. Letaknya tak jauh dari Gajahmungkur...."
"Itu termasuk hal yang akan kuselidiki.... Bocah nakal tadi memang benar. Aku
harus datang sendiri menyelidik ke sana!"
"Kita harus berhati-hati Sinto. Banyak tokoh silat terkemuka datang ke tempat
itu. Liang Lahat Gajahmungkur 8
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Mereka tak pernah keluar lagi. Tidak diketahui masih hidup atau sudah menemui
ajal. Mayatnya pun tak pernah ditemukan. Mereka lenyap laksana ditelan bumi....
Terakhir yang kuketahui pergi ke sana adalah tokoh berjuluk Dewa Sedih. Lalu
menyusul Dewa Ketawa tidak diketahui pula di mana beradanya. Paling belakangan
Sika Sure Jelantik dikabarkan telah bergabung dengan orang-orang Lembah
Akhirat.... Banyak urusan yang tidak karuan.
Semua kabarnya berpangkal pada sebuah kitab sakti bernama Kitab Wasiat
Malaikat...."
"Kitab geblek! Itu hanya cerita isapan jempol saja!" tukas Sinto Gendeng.
"Aku justru berpendapat lain. Kitab itu kemungkinan besar memang ada. Hanya saja
perlu diselidiki apakah Datuk Lembah Akhirat benar-benar memilikinya. Atau kitab
itu ada pada orang lain dan sang Datuk cuma mengarang cerita untuk mengeruk
keuntungan tertentu. Guna menarik para tokoh untuk bergabung dengannya."
"Kalau Dewa Sedih dan saudaranya si Dewa Ketawa benar-benar bergabung dengan
Datuk Lembah Akhirat, aku akan menghajar dua tua bangka tidak tahu diuntung itu!
Mengenai Sika Sure Jelantik, sejak muda aku kenal dia sebagai perempuan culas!"
"Hemmm.....Kuharap ucapanmu itu tidak karena
Sika Sure Jelantik adalah juga salah satu sainganmu di masa muda dalam merebut
Tua Gila...."
Paras Sinto Gendeng tampak merah mendengar ucapan Kakek Segala Tahu itu.
Mulutnya termonyong-monyong. Mukanya yang keriputan kemudian kelihatan asam.
Dalam hati dia memaki habis-habisan.
"Sinto, aku tahu saat ini pasti tampangmu merengut cemberut. Tapi kuharap kau
mau mendengar kata-kataku. Mungkin Naga Kuning tidak mengetahui di mana
beradanya Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tapi aku yakin anak itu tahu beberapa hai
penting dalam rimba persilatan. Jadi aku usul agar kita segera mengikuti ke mana
larinya...."
"Bocah itu menjengkelkanku. Ke mana dia mau pergi aku tidak perduli. Aku merasa
lebih penting mencari muridku si sableng itu lebih dulu. Kau tahu apa yang
terjadi dengan dirinya. Keadaannya dalam bahaya besar...."
"Kalau begitu, hemmm.... Kita terpaksa meneruskan perjalanan berlainan arah.
Namun ada satu hal sangat penting. Pada saat bulan purnama empat belas hari di
muka, aku harap kau berada di Telaga Gajahmungkur...."
Sinto Gendeng perhatikan wajah kakek buta itu. Mendadak saja hatinya berdebar.
"Ini kali ke dua dia mengatakan hal itu. Jangan-jangan ada orang yang sudah tahu
mengenai pedang itu..." katanya dalam hati. Lalu dia bertanya dengan nada tak
acuh agar orang tidak curiga.
"Memangnya ada apa di sana?"
"Aku punya firasat akan terjadi satu hal besar di sana." Lalu orang tua ini
mendongak ke langit. Kaleng rombengnya digoyang beberapa kali. "Aku melihat
bulan purnama Sinto. Tapi diselimuti kegelapan...."
"Kau ngacok saja! Bulan purnama mana ada yang gelap!" potong Sinto Gendeng.
"Yang kulihat bukan kegelapan biasa Sinto. Bulan itu terselubung darah
menghitam!"
Sinto Gendeng hendak mengatakan sesuatu. Tapi si kakek lebih dulu menggoyang
kalengnya tiga kali berturut-turut. Membuat si nenek palingkan kepala ke jurusan
lain sambil menekap telinganya. Ketika dia membalik kembali si kakek tak ada
lagi di tempat itu.
Di kejauhan tampak orang tua itu sudah berada delapan tombak di depan sana.
Melangkah tersaruk-saruk dengan pertolongan tongkatnya. Di lain kejap tokoh
sakti yang Liang Lahat Gajahmungkur 9
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
pandai meramal dan mampu melihat banyak hal secara gaib itu lenyap dari
pemandangan. * * * Liang Lahat Gajahmungkur 10
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ TIGA atu Duyung tak mampu berlari kencang karena dia harus mengimbangi Pendekar 212
yang lari tertatih-tatih di belakangnya. Di satu tikungan jalan Wiro hentikan
larinya. RDengan suara tersendat karena nafas sesak dia berkata. "Aku tak sanggup lari
lebih jauh. Mau copot jantungku rasanya. Kita ini mau ke mana?"
Ratu Duyung yang saat itu mengenakan pakaian serba hitam memandang berkeliling.
"Kita sudah cukup jauh meninggalkan teluk. Kuharap di sini cukup aman. Ikuti aku
berlindung di balik semak belukar sana."
Sang Ratu lalu melangkah ke balik rimbunan semak belukar. Wiro mengikuti. Saat
itu Wiro ingat sesuatu. Dia meraba seputar pinggangnya. "Astaga! Senjataku!"
katanya dengan wajah berubah. Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya
(Utusan Dari Akhirat) sewaktu terjadi pertempuran di Teluk Parangtritis, Naga
Kuning telah pergunakan Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro untuk menghadapi
Sabai Nan Rancak. Namun si nenek sakti berhasil mematahkan tangan anak itu
hingga Kapak Naga Geni 212 terlepas mental.
Untungnya sebelum senjata mustika itu diambil oleh Sabai Nan Rancak, orang aneh
berpakaian dan bercadar kuning mendahului mengambilnya.
"Aku harus kembali ke teluk! Kalau sampai senjata itu jatuh ke tangan orang
lain, aku bisa celaka seumur-umur!"
"Wiro, tunggu!" kata Ratu Duyung seraya cepat memegang tangan sang pendekar,
mencegahnya meninggalkan tempat itu.
"Ratu, antara kita memang ada satu hal besar yang perlu dijernihkan. Namun saat
ini aku lebih penting mendapatkan Kapak Naga Geni 212 kembali. Harap kau suka
melepaskan peganganmu...." Waktu bicara Wiro memandang ke jurusan lain seolah
sengaja tidak mau menatap wajah cantik yang dihias sepasang mata berwarna biru
indah itu. "Wiro, dengar! Dalam keadaanmu seperti ini terlalu berbahaya untuk kembali ke
teluk. Aku yakin Sabai Nan Rancak masih berada di sana. Lalu bagaimana kalau
pemuda bernama Utusan Dari Akhirat itu mengetahui bahwa kau adalah orang yang
selama ini dicarinya?"
"Jadi kau sudah tahu kalau dia juga bermaksud membunuhku?"
"Memang aku tidak dapat memastikan. Tapi jika dia memiliki pukulan sakti Gerhana
Matahari pasti dia punya sangkut paut dengan Pangeran Matahari atau Si Muka
Bangkai...."
"Bagaimana kau bisa tahu dia memiliki pukulan Gerhana Matahari?" tanya Wiro.
"Sudahlah, hal itu tidak perlu kita perdebatkan..."
"Yang aku heran, bukankah Pangeran Matahari dan gurunya Si Muka Bangkai itu
sudah tewas di Pangandaran?"
"Mereka boleh mati tapi apakah keanehan dalam rimba persilatan ini akan terhenti
hanya pada kematian mereka berdua?"
"Kau benar.,." kata Wiro perlahan. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
"Kita perlu bicara Wiro. Seperti kau katakan tadi antara kita ada satu masalah
besar yang perlu dijernihkan."
"Hemmm...." Wiro bergumam sambil garuk-garuk kepala. "Aku tak tahu apa yang
terjadi dengan diriku. Aku merasa seolah aku ini bukan diriku lagi...."
"Aku mengerti. Semua berpangkal pada diriku. Gurumu menuduh aku mencelakai Liang
Lahat Gajahmungkur 11
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
dirimu. Aku tidak menyalahkan gurumu. Tidak bisa menyalahkan siapa pun. Aku


Wiro Sableng 097 Liang Lahat Gajahmungkur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya mementingkan diri sendiri. Gara-gara keinginanku lepas dari kutukan itu.
Tapi sebaliknya kau yang jadi celaka. Wiro, jika saja aku tahu hal itu akan
terjadi dengan dirimu, aku tidak akan mau melakukannya...."
Wiro terdiam. Dalam hati dia berkata. "Aneh, dulu sebelum bertemu aku begitu
marah padanya. Sekarang setelah berhadap-hadapan mengapa rasa marah itu menjadi
lenyap. Seolah aku sudah memaafkannya sebelum dia meminta...."
"Menurut perhitunganku, hanya tinggal sekitar sepuluh hari sebelum kau kembali
memiliki kesaktian dan tenaga dalam seperti dulu. Karena itu selama sisa waktu
itu izinkan aku selalu mendampingimu. Kalau bahaya mengancam aku rela mengadu
jiwa untuk keselamatanmu...."
Wiro menghela nafas panjang. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Dulu begitu
sadar aku kehilangan segala-galanya sehabis kita berada di Puri itu, aku benarbenar naik pitam.
Aku ingin mencarimu, ingin menghajarmu. Tapi sekarang...."
"Jika itu kehendakmu, aku siap menerima hukuman. Dulu, aku begitu ingin bebas
dari kutukan jahat itu. Setelah terlepas dari kutukan aku jadi takut sendiri
untuk hidup di dunia seperti duniamu. Karenanya aku sudah mengambil tekad jika
semua urusan selesai aku akan kembali berkumpul bersama anak buahku dalam alam
serba gaib itu...."
"Kalau begitu pengorbananmu sia-sia belaka...."
"Bukan pengorbananku Wiro. Tapi pengorbananmu. Ketahuilah tak ada pengorbanan
yang sia-sia. Setiap kejadian ada hikmahnya sendiri-sendiri walau mungkin baru
di kemudian hari kita rasakan. Aku minta maaf atas semua apa yang terjadi. Jika
kau ingin menghukumku, aku sudah siap. Lakukanlah saat ini juga...."
Wiro garuk-garuk kepala. Wajahnya diangkat sedikit untuk melirik wajah sang
Ratu. Saat itulah Wiro melihat bagaimana Ratu Duyung tegak dengan kepala tertunduk.
Butiran-butiran air mata menetes jatuh membasahi kedua pipinya yang halus*
Murid Sinto Gendeng jadi salah tingkah. Dia paling tidak bisa melihat orang
menangis. Apalagi gadis secantik sang Ratu.
"Ratu, kurasa waktu di Puri dulu kau dan aku belum sempat melakukan apa-apa.
Tapi mengapa...."
"Itu semua terjadi atas kuasaNya Yang Maha Kuasa. Aku meminta dengan hati bersih
padaNya. Kau menolong dengan segala ketulusan. Sehingga sebelum itu terjadi aku
telah terlepas dari kutukan. Hanya saja kau yang menanggung akibatnya...."
Wiro terdiam. Bukan saja karena mendengar ucapan Ratu Duyung tapi juga karena
dia kembali ingat pada Kapak Naga Geni 212 miliknya.
"Kita sudah bicara. Segala sesuatunya serba jelas kini...."
"Jelas sudah, tapi apakah kau bisa mengerti dan mau memaafkan diriku?" tanya
Ratu Duyung. "Aku sudah memaafkan Sebelum kau meminta," jawab murid Sinto Gendeng pula.
"Antara kita tidak ada lagi kesalahpahaman. Sekarang izinkan aku kembali ke
teluk untuk mencari senjata mustikaku..."
"Jangan pergi. Baiknya aku melihat ke dalam cermin lebih dulu," kata Ratu
Duyung. Lalu dia segera keluarkan cermin bulat dari balik baju hitamnya. Ketika dia
memandang ke dalam cermin sakti terkejutlah gadis cantik bermata biru itu.
"Ada apa Ratu?" tanya Wiro ketika melihat perubahan wajah sang Ratu.
Liang Lahat Gajahmungkur 12
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Aku melihat dua orang pemuda menuju ke tempat ini. Yang pertama pemuda bernama
Utusan Dari Akhirat itu. Di belakangnya seorang pemuda berpakaian hijau. Aku
rasa-rasa pernah melihatnya sebelumnya tapi lupa di mana.... Wiro, mereka segera
sampai di sini. Lekas berlindung di balik pohon besar sana."
Dada Pendekar 212 berdebar juga mendengar apa yang dikatakan Ratu Duyung itu.
Tapi dia tetap tidak bergerak dari tempatnya. "Apa pun yang terjadi kita hadapi
semua urusan bersama-sama...."
Ucapan Wiro menyentuh lubuk hati sang Ratu hingga gadis ini meremas jari-jari
tangan Wiro penuh perasaan haru. Niatnya untuk bersedia mati demi menyelamatkan
Wiro jadi bertambah besar. Ratu Duyung simpan kacanya di balik pakaian lalu
mendahului keluar dari rumpunan semak belukar. Wiro mengikuti. Belum lama mereka
keluar dari balik semak-semak, seperti yang dilihat Ratu Duyung dalam cermin
saktinya, dua pemuda tampak berlari cepat dari kejauhan.
Wiro segera mengenali. Di sebelah depan adalah Utusan Dari Akhirat. Di
belakangnya menyusui pemuda sahabatnya bernama Panji.
"Heran, bagaimana Panji bisa muncul bersama pemuda ini. Bukankah sebelumnya dia
bersama Anggini dan Iblis Pemalu?"
Baru saja Wiro berkata dalam hati, Utusan Dari Akhirat dan Panji telah sampai di
hadapannya. "Kau!" kata Utusan Dari Akhirat sambil menunjuk tepat-tepat ke arah Wiro yang
berdiri tiga langkah di hadapannya. "Tidak dinyana tidak diduga! Pemuda yang
tadinya kuanggap bersahabat ternyata adalah orang yang harus kubunuh! Wiro
Sableng, sungguh mengenaskan kau harus mati di tanganku!"
Panji yang berdiri di samping Utusan Dari Akhirat maju selangkah dan berkata.
"Saudara, aku tidak ingin kau salah menurunkan tangan. Aku memang tidak tahu
nama pemuda ini. Dia kukenal dengan julukan Pendekar 212. Kalau kau mencari Wiro
Sableng, orangnya adalah seorang tua renta. Bukan dia!"
Utusan Dari Akhirat tertawa lebar. "Pendekar 212 dan Wiro Sableng adalah orang
yang sama! Kita barusan saja bertemu di tengah jalan. Aku menganggapmu sebagai
seorang sahabat. Pemuda beranting emas, jangan kau berani menipuku!"
"Aku bersumpah tidak menipumu!" kata Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo.
"Aku pernah bertemu sendiri dengan Wiro Sableng. Orangnya tua. Berambut dan
berjanggut putih...." Seperti diceritakan dalam Episode pertama (Tua Gila Dari
Andalas) ketika berada di Kerajaan Pulau Sipatoka, Tua Gila secara main-main dan
seenaknya telah memberitahu pada Raja Tua Datuk Paduko Intan dan Datuk Pangeran
Rajo Mudo bahwa namanya adalah Wiro Sableng. Tentu saja dia tidak pernah menduga
kalau ucapannya itu di kemudian hari akan menimbulkan masalah seperti yang kini
terjadi. Sementara Utusan Dari Akhirat dan Panji bertengkar maka Wiro sendiri dan juga
Ratu Duyung merasa heran mengapa Panji mengatakan bahwa dia bukan Wiro Sableng
dan Wiro Sableng adalah seorang tua renta.
"Ada yang tidak beres..." bisik Wiro pada Ratu Duyung.
"Kukira begitu. Tapi aku sudah bisa menduga jalan ceritanya. Tua Gila pernah
menuturkan padaku bahwa satu ketika dia tersesat ke sebuah pulau. Mungkin sekali
saat itu...."
"Kalian berdua berbisik-bisik apa"!" Utusan Dari Akhirat membentak.
Liang Lahat Gajahmungkur 13
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Sahabat! Pemuda ini adalah temanku! Dan dia bukan Wiro Sableng!" Lagi-lagi
Panji berusaha meyakinkan.
Rahang Utusan Dari Akhirat menggembung. "Jika kau memang sahabatnya aku
persilahkan bergabung dengannya. Aku tidak segan-segan membunuh kalian berdua."
Dalam bingungnya Panji kembali hendak berkata. Namun saat itu Wiro mengangkat
tangannya. Padahal sebenarnya Ratu Duyung hendak bicara untuk membuat Utusan
Dari Akhirat menjadi tambah bingung agar Wiro bisa diselamatkan.
"Utusan Dari Akhirat," kata Pendekar 212. "Walau cuma sebentar tapi sebelumnya
kita pernah bersahabat. Namun apa artinya persahabatan itu jika kau memang
mempunyai maksud membunuh seorang bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212.
Karena akulah orang yang kau cari! Aku Wiro Sableng. Aku Pendekar 212!"
"Berani mati orang ini!" keluh Ratu Duyung dalam hati. Dia cepat melangkah maju
dan tegak membelakangi Wiro. Sambil bertolak pinggang dia berkata pada Utusan
Dari Akhirat. "Saudara, jika hatimu meragu jangan sekali-kali menurunkan tangan
jahat apalagi membunuh. Harap kau suka meninggalkan tempat ini dan jangan
mengganggu sahabatku!"
Utusan Dari Akhirat tersenyum. "Sia-sia saja kalau kau bermaksud melindunginya.
Orang yang punya diri telah memberitahu siapa dirinya! Jika kau punya maksud
menantang diriku, aku tidak keberatan menjadikan dirimu sebagai korban
berikutnya. Berarti hari ini aku harus mencabut tiga nyawa sekaligus!"
Habis berkata begitu Utusan Dari Akhirat melompat mundur dua langkah. Sepasang
lututnya ditekuk. Tubuhnya membungkuk. Tangan kanannya diangkat ke atas. Udara
mendadak menjadi redup.
"Ratu Duyung! Lekas menyingkir! Dia hendak lepaskan pukulan Gerhana Matahari!"
seru Wiro memperingatkan.
* * * Liang Lahat Gajahmungkur 14
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ EMPAT eski sudah diperingatkan dan juga mengetahui kedahsyatan pukulan Gerhana
Matahari namun Ratu Duyung sedikit pun tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
M Malah dengan sikap tenang dia letakkan tangan kirinya di pinggang. Bersamaan
dengan itu sepasang matanya yang bagus tampak menyorotkan sinar aneh. Sikap sang
Ratu pertanda bahwa dia bersedia menghadapi tantangan atau serangan pemuda
berpakaian hitam berambut gondrong di hadapannya.
"Ratu, aku melihat saputan tanda hitam di sekitar bibirmu. Pertanda sebelumnya
kau pernah terluka di dalam. Jadi jangan nekad...." Wiro berbisik.
Sang Ratu tersenyum kecil. Tanpa berpaling dia menjawab. "Ternyata kau masih
bermata tajam walau dalam keadaan sakit. Tak usah khawatir. Aku sudah sembuh.
Gurumu Eyang Sinto Gendeng yang mengobati!"
"Apa...?" kejut Wiro. "Kapan kau bertemu dia" Di mana"!"
"Nanti saja aku ceritakan. Biar aku hadapi pemuda kesasar ini dulu...."
Karena merasa khawatir Pendekar 212 maju selangkah mendekati Utusan Dari Akhirat
yang saat itu tegak semakin membungkuk dan tangan kanan diangkat ke atas.
Sementara udara bertambah redup.
"Tahan!" tiba-tiba murid Sinto Gendeng berseru. "Utusan Dari Akhirat! Mengapa
kau punya niat jahat hendak membunuhku! Apa hubunganmu dengan Pangeran
Matahari"!"
Sesaat Utusan Dari Akhirat terdiam. Namun kemudian pemuda ini menyeringai lalu
tertawa bergelak.
"Pertanyaan orang yang hendak mampus memang harus dijawab agar di akhirat rohnya
tidak jadi setan penasaran!"
"Jawab saja pertanyaanku! Jangan bicara tidak karuan! Kau sendiri sudah jadi
setan ngacok sebelum mampus!" tukas murid Sinto Gendeng saking marahnya.
Rahang Utusan Dari Akhirat menggembung. Alisnya mencuat ke atas. Walau
tampangnya tidak sama dengan Pendekar Matahari tapi Wiro melihat seolah-olah
pemuda di hadapannya itu telah berubah menjadi sosok sang Pangeran. Hal ini
membuat Wiro jadi bergidik karena menyadari bahwa dia tidak mampu berbuat
sesuatu kecuali mengandalkan jubah sakti Kencono Geni yang melekat di tubuhnya
serta ilmu silat orang tidur yang diberikan si Raja Penidur.
"Pendekar 212 Wiro Sableng!" Utusan Dari Akhirat membuka mulut. "Agar kau puas
ketahuilah bahwa aku adalah adik satu guru Pangeran Matahari, murid kakek sakti
Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat, kau menanggung dosa dan tanggung jawab atas
kematian kedua orang itu! Apa kau sekarang sudah puas dan siap menerima
kematian"!"
Sulit bagi murid Sinto Gendeng mempercayai ucapan Utusan Dari Akhirat "Dia
memang memiliki pukulan sakti Gerhana Matahari yang hanya dimiliki si Muka
Bangkai dan Pangeran Matahari. Tapi kedua orang Itu sudah tewas di Pangandaran.
Dari mana bangsat ini mendapatkan ilmu kesakitan itu Sulit kuduga. Selain itu
tak pernah aku mendengar Pangeran Matahari punya seorang adik seperguruan...."
Wiro membatin. "Kau belum memberitahu mengapa kau ingin membunuhku! Juga dua
orang lainnya yaitu sahabatku Bujang Gila Tapak Sakti serta Kakek Tua Gila!"
Kembali Utusan Dari Akhirat sunggingkan seringai. "Waktu di pantai bukankah aku
Liang Lahat Gajahmungkur 15
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
sudah mengatakan padamu" Membunuhmu dan dua orang itu adalah perjanjian keramat
yang menjadi tugasku! Kematian kalian adalah takdir dari Yang Diatas!"
"Jahanam!" maki murid Sinto Gendeng dalam hati. "Katakan siapa yang
menugaskanmu!"
"Roh gaib guruku Si Muka Bangkai!" jawab Utusan Dari Akhirat. Ketika dilihatnya
Wiro tercengang melongo mendengar ucapannya itu pemuda ini berkata. "Ada lagi
yang ingin kau katakan atau tanyakan sebelum mampus"!"
"Ya ada! Kau tolol dan gila! Punya guru dan kakak seperguruan yang sudah jadi
hantu!" jawab Wiro.
Tampang Utusan Dari Akhirat kelam membesi. Dari hidungnya keluar suara
mendengus. Bersamaan dengan itu dia menghantam ke depan. Di saat yang sama Panji
alias Datuk Pangeran Rajo Mudo yang tetap yakin bahwa manusia bernama Wiro
Sableng adalah orang tua yang pernah datang ke pulaunya tempo hari, berteriak
seraya mendorong Utusan Dari Akhirat ke samping.
"Saudara! Pemuda itu bukan Wiro Sableng!"
Tiga larik sinar kuning, merah dan hitam berkiblat. Namun karena tubuhnya
terdorong keras ke samping, serangan Gerhana Matahari yang dilepaskan Utusan
Dari Akhirat meleset setengah tombak dari sasaran yang dituju yakni Sosok
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ketika melihat orang melancarkan serangan Ratu Duyung cepat mendorong tubuh Wiro
ke samping hingga Serangan lawan semakin meleset jauh. Bersamaan dengan itu dari
sepasang mata Ratu Duyung melesat dua sinar biru, menderu ke arah Utusan Dari
Akhirat. Sang Ratu sengaja tidak menghantam langsung pemuda di hadapannya tapi hanya
mengarahkan serangan setengah tombak di depan kaki lawan,
"Byurrr! Byuuuur!"
Tanah di depan Utusan Dari Akhirat muncrat ke atas. Pemuda itu berseru kaget dan
melompat dua tombak ke atas seraya melotot menyaksikan bagaimana di bawah sana
kini kelihatan dua lobang besar mengepulkan asap biru.
"Itu sekedar peringatan dariku! Harap kau lekas angkat kaki dari tempat ini!"
Utusan Dari Akhirat memandang dengan mata berkilat-kilat. Tampaknya dia tidak
perduli dengan ucapan Ratu Duyung. Dia sama sekali tidak beranjak dari tempat
itu. Malah kini dia angkat ke dua tangannya ke atas dengan telapak terkembang.
"Jahanam! Bangsat ini hendak lepaskan pukulan Telapak Matahari!" kata Wiro
dengan suara bergetar dan sempat terdengar oleh Ratu Duyung yang ada di
sebelahnya. "Aku memberi peringatan! Kau tetap berkeras kepala! Kau memilih kematian di usia
muda!" kata Ratu Duyung. Lalu tangan kirinya menyelinap ke balik baju hitam.
Sesaat kemudian sang Ratu telah memegang cermin sakti. Cahaya menyilaukan yang
keluar dari cermin dan melintas di wajah Utusan Dari Akhirat membuat pemuda ini
tercekat. Dia cepat lindungi matanya dengan tangan kiri. Percaya bahwa dia
memiliki kesaktian yang mampu menghadapi gadis cantik di depannya itu, si pemuda
tetap tak bergeming dari tempatnya.
Dari belakang Panji yang tadi gagal mencegah serangan, untuk ke dua kalinya
berusaha menarik dan mendorong tubuh Utusan Dari Akhirat. Kali ini Utusan Dari
Akhirat tak tinggal diam. Begitu pinggangnya dicekal, sikutnya bergerak,
menghantam ke belakang.
"Bukkk!"
Panji terpental dua tombak dan jatuh duduk di tanah. Tulang dadanya serasa
melesak Liang Lahat Gajahmungkur 16
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
kena hantaman sikut Utusan Dari Akhirat. Menahan sakit dan juga terbakar oleh
hawa amarah Panji bangkit berdiri. Tangan kanannya bergerak mencabut pedang lalu
terdengar suara berdesing. Utusan Dari Akhirat merasa ada hawa dingin menyambar
ke arah dua tangannya yang diangkat ke atas. Tanpa berpaling pemuda ini
condongkan tubuh ke depan.
Kaki kirinya menekan ke tanah. Bersamaan dengan itu tubuhnya diputar ke belakang
dan kaki kanannya melesat.
Panji terkesiap kaget ketika melihat kaki kanan Utusan Dari Akhirat tahu-tahu
melesat ke arah kepalanya. Dia cepat membungkuk sambil tusukkan pedang ke
selangkangan lawan yang terbuka. Namun kaki kanan Utusan Dari Akhirat menghantam
lebih dulu. "Bukkk!"
"Breett!"
Panji mengeluh tinggi. Bahu kirinya serasa remuk. Tubuhnya terlempar dan
terbanting di tanah. Dia berusaha bangkit tapi roboh kembali megap-megap.
Utusan Dari Akhirat tekap paha kiri celananya yang robek besar tersambar ujung
pedang lawan. Seperti diketahui walau dia memiliki pukulan sakti yang
dipelajarinya dari kitab "Matahari, Sumber Segala Kesaktian", namun pada


Wiro Sableng 097 Liang Lahat Gajahmungkur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dasarnya pemuda yang dulu bernama Layang Kemitir ini belum memiliki dasar ilmu
silat yang luar biasa. Itu sebabnya walau Panji sendiri tidak memiliki ilmu
silat tingkat tinggi namun pemuda dari Pulau Kerajaan Sipatoka ini masih sempat
menusukkan pedangnya merobek paha kiri celana hitam lawan.
Utusan Dari Akhirat dalam keadaan marah besar melompat ke hadapan Panji. Kaki
kanannya diayunkan untuk menendang kepala orang. Baik Wiro maupun Ratu Duyung
sama mengetahui kalau tendangan itu bukan sembarang tendangan. Sekali kena
dihantam maka kepala pemuda berkulit sawo matang dan beranting emas itu akan
hancur. Nyawanya tidak tertolong lagi.
Seolah lupa akan keadaan dirinya Wiro melompat ke muka untuk berikan
pertolongan. Ratu Duyung berteriak memberi ingat tapi terlambat. Pendekar 212
hantamkan tangan kanannya ke pelipis kiri Utusan Dari Akhirat. Yang diserang
tidak perdulikan serangan Hu dia tetap teruskan tendangannya ke kepala Panji.
"Bukkkk!"
Jotosan Wiro mendarat di pelipis Utusan Dari Akhirat. Kepalanya hanya tersentak
sedikit dan kelihatan kemerahan. Sebaliknya Wiro mengeluh kesakitan dan pegangi
tangannya. Jotosan yang dilancarkan dengan seluruh kekuatan tenaga luar itu
membuat dia kesakitan sendiri. Sementara usahanya untuk menolong Panji tidak
berhasil. Karena tendangan kaki kanan Utusan Dari Akhirat terus menderu ke
kepala Panji. Sesaat lagi kepala Panji akan dibikin pecah oleh tendangan Utusan Dari Akhirat,
mendadak di udara terdengar suara orang meraung disusul dengan suara tangis yang
membuat semua orang tersirap. Lalu ada sesuatu menahan kaki kanan Utusan Dari
Akhirat yang membuat tendangannya bukan saja tertahan tapi tubuhnya terhuyung
keras ke belakang lalu jatuh terduduk di tanah.
"Aku melihat langit! Aku melihat bumi! Aku melihat anak-anak manusia di tempat
ini berlaku salah kaprah! Bukankah nyawa mereka berada di tanganku..." Hik...
hik... hik!"
Suara tangis aneh memenuhi tempat itu.
Semua orang tersentak kaget. Lebih-lebih Utusan Dari Akhirat yang kini terhantar
di Liang Lahat Gajahmungkur 17
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
tanah. Semua kepala dipalingkan ke kiri di mana saat itu tampak tegak seorang
kakek berwajah murung. Berkulit sangat hitam, mengenakan pakaian berupa
selempang kain putih. Rambutnya digulung dan diikat di atas kepala. Alisnya
panjang menjulai ke bawah.
Tangan kirinya tiada henti mengusap sepasang matanya. Kakek ini keluarkan suara
tangis berkepanjangan.
* * * Liang Lahat Gajahmungkur 18
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ LIMA epasang mata Ratu Duyung tak berkesip memandangi sosok kakek yang tegak menangis
itu. Demikian pula dengan Wiro Sableng.
S "Dewa Sedih. Tokoh aneh berkepandaian tinggi. Terakhir sekali aku melihatnya
di Pangandaran. Manusia satu ini memang aneh. Tapi kali ini aku merasakan ada
satu keanehan lain dalam dirinya...." Membatin Ratu Duyung.
Wiro sendiri yang semula gembira melihat kemunculan orang tua ini namun menindih
perasaannya ketika pandangannya membentur tangan kanan Dewa Sedih.
"Aneh..." desis Wiro dalam hati. "Tangan kanan Dewa Sedih berwarna hitam.
Padahal dulu-dulu tidak. Lalu apa maksud ucapannya tadi. Nyawa siapa yang
dimaksudkannya berada di tangannya?"
"Kakek, kau telah menolongku. Aku mengucapkan terima kasih...." Kesunyian di
tempat itu dipecahkan oleh suara Panji. Pemuda ini membuat gerakan menjura dalam
keadaan berlutut lalu bangkit berdiri.
Dewa Sedih menggerung keras. "Ucapan terima kasih adalah pengantar perkabungan.
Hik... hik... hik! Aku melihat langit. Aku melihat bumi. Aku melihat nyawa
beterbangan dari bumi ke langit. Dari tempat ini ke atas sana...."
Wiro garuk kepala melihat tindak tanduk Dewa Sedih yang tidak seperti biasanya
ini. Maka dia pun memancing. "Dewa Sedih, aku senang berjumpa lagi denganmu. Apa kau
ada baik-baik saja" Apa kau tahu di mana adikmu Si Dewa Ketawa sekarang berada?"
Dewa Sedih mendongak ke langit. Sepasang matanya dipejamkan. Tangisnya seolah
ditahan hingga dia terseguk-seguk. Lalu perlahan-lahan dia turunkan kepalanya
dan berpaling ke arah .Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu pandangannya membentur
tampang murid Sinto Gendeng itu maka meraunglah si kakek. Tangan kirinya
menunjuk-nunjuk ke arah Wiro.
"Anak manusia! Aku sedih. Tangis di mataku. Ratap di hatiku! Kau adalah orang
yang aku cari selama ini! Kau adalah orang pertama yang nyawanya harus kupindah
dari tubuh kasar ke alam barzah. Dari bumi ke langit! Hik... hik... hik.... Anak
muda aku terpaksa membunuhmu saat ini juga. Betapa menyedihkan.... Hik... hik...
hik! Kau mati lebih dulu.
Yang lain-lain bisa menyusul kemudian!".
Berubahlah paras Pendekar 212 mendengar ucapan Dewa Sedih. Ratu Duyung
terkesiap. Tenaga dalam segera dikerahkan ke tangan kanan. Sepasang matanya
memancarkan kilat. Tangan kiri menggenggam gagang cermin bulat erat-erat. "Kalau
kakek sinting ini berani melepaskan tangan jahat terhadap Wiro, aku tidak akan
menyesal membunuhnya saat ini juga!" kata sang Ratu dalam hati.
"Dewa Sedih! Apa yang terjadi denganmu. Sejak lama kau menjadi sahabatku dan
sahabat orang-orang rimba persilatan golongan putih. Mengapa saat ini kau muncul
hendak membunuhku" Jangan-jangan ada yang telah mempengaruhimu"!" Wiro bertanya
dan langsung menyatakan kecurigaannya.
Dewa Sedih menangis keras. Lalu berucap. "Persahabatan hanya sekental embun
pagi. Maksud hendak membunuh sekeras butiran logam. Siapa yang kuat itu yang
menang. Mana mungkin embun lebih kuat dari logam! Anak manusia aku mengemban tugas untuk
membunuhmu! Kalau aku gagal, aku akan celaka seumur-umur! Barangku tak akan
kembali Liang Lahat Gajahmungkur 19
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
ke tempat asalnya. Lebih baik aku mati daripada tak punya barang! Apa gunanya
hidup! Hik... hik... hik!" Habis berkata begitu Dewa Sedih lalu menangis kembali.
"Ah, dugaanku tidak meleset. Ada sesuatu yang telah mempengaruhi kakek ini!"
ujar Wiro dalam hati.
"Siapa yang memberi tugas padamu"!" Tiba-tiba Ratu Duyung membuka suara.
Tanpa berpaling pada sang Ratu, Dewa Sedih terus saja menangis. Begitu suara
tangisnya reda dia berkata. "Anak gadis, mungkin kau satu-satunya yang bisa
kuampuni nyawanya. Tapi dengan syarat harus ikut bersamaku setelah yang lainlain kukirim ke langit. Hik... hik.... Betapa untungnya dirimu. Betapa malangnya
nasib tiga kurcaci muda yang ada di tempat ini!"
"Dewa Sedih, ada sesuatu yang tidak beres dengan dirimu! Harap kau mengingatingat. Kuasai hati, kuasai jalan pikiran! Jangan sampai salah menurunkan
tangan!" kata Wiro.
Tangis Dewa Sedih tertahan. Suara segukan keluar dari tenggorokannya berulang
kali. "Aku tahu hatiku! Aku tahu pikiranku! Aku melihat langit! Aku melihat
gantungan tempat nyawamu sebentar lagi bercokol! Jangan membuat hatiku tambah
sedih anak muda!"
Dewa Sedih putar tubuhnya ke arah Wiro. Selangkah demi selangkah dia maju
mendekati murid Sinto Gendeng sambil tangan kanannya yang berwarna hitam
diangkat setinggi dada.
Tiba-tiba Utusan Dari Akhirat melompat dan tegak menghadang langkah Dewa Sedih.
"Orang tua aneh! Aku tidak tahu siapa kau adanya! Aku tidak akan perduli siapa
adanya dirimu! Ketahuilah nyawa pemuda bernama Wiro Sableng itu sudah
ditakdirkan menjadi milikku! Tugasmu tidak sepenting tugasku!"
"Hik... hik...! Apakah satu nyawa bisa dibagi dua" Bagaimana cara membaginya"!
Daripada membagi dua bukankah lebih baik ditambah satu nyawa lagi" Jadi ada dua
nyawa yang harus kucabut secara berbarengan! Sungguh sedih..... Sungguh sedih!
Hik... hik... hik!"
Tangan kanan Dewa Sedih bergerak ke arah Wiro.
"Tunggu!" Ratu Duyung berseru seraya letakkan cermin bulat di depan dada.
Dewa Sedih usap matanya yang basah. "Apa maumu anak gadis" Ingin minta mati
duluan"!"
"Kau tadi bilang membunuh Pendekar 212 karena mengemban tugas. Katakan siapa
yang memberi tugas padamu!"
Dewa Sedih mendongak ke atas lalu meraung keras. "Aku melihat langit. Aku
mendengar anak manusia bertanya tentang kematian. Biarlah malaikat maut saja
yang nanti akan menjawab!"
"Tua bangka pengecut! Kau cuma bisa mewek menangis seperti bayi! Tapi takut
memberitahu siapa tuan majikanmu! Dengar baik-baik, kau tidak akan bisa kembali
menghadap dan berlutut di hadapan majikanmu! Kau akan menemui ajal lebih dulu di
tempat ini!" Lalu Ratu Duyung berpaling pada Utusan Dari Akhirat. "Kau hendak
membunuh Wiro" Kau tentu tidak mau keduluan oleh kakek gila ini! Bagaimana kalau
kita bersama-sama menunjukkan jalan ke neraka padanya. Aku mau tahu apa dia
masih bisa menangis di akhirat!"
Utusan Dari Akhirat sesaat terkesiap mendengar ucapan Ratu Duyung itu. Tapi
Liang Lahat Gajahmungkur 20
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
dalam hati dia mengakui ucapan si gadis bermata biru ada benarnya juga.
Ratu Duyung berpaling ke arah Panji. "Ambil pedangmu! Kau juga harus ikut
membantu!"
Walau cidera tapi Panji jadi terbakar semangatnya. Dengan cepat dia mengambil
pedang yang tergeletak di tanah. Pemuda ini menyadari bahwa saat itu dia berada
di tengah orang-orang berkepandaian tinggi. Dibanding dengan dirinya maka dia
bukan apa-apa. Namun rasa setia kawan yang ada dalam dirinya terhadap Wiro membuat dia tidak
merasa gentar* Hanya saja sampai saat itu dia merasa bingung. Apa betul pemuda
berambut gondrong berpakaian hitam itu adalah benar-benar Wiro Sableng"
"Wiro," bisik sang Ratu kemudian pada murid Sinto Gendeng. "Jika terjadi
bentrokan pukulan sakti, harap kau lekas mencari tempat berlindung. Aku menduga
keras kakek ini telah jadi kaki tangan Datuk Lembah Akhirat...."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Wiro.
"Lihat tangan kanannya. Berwarna hitam. Dia telah memiliki ilmu pukulan maut
yang disebut Mencabut Jiwa Memusnah Raga. ilmu ini hanya dimiliki Datuk Lembah
Kecapi Perak Dari Selatan 3 Bende Mataram Karya Herman Pratikto Pusara Keramat 1

Cari Blog Ini