Ceritasilat Novel Online

Kematian Kedua 3

Wiro Sableng 141 Kematian Kedua Bagian 3


"Kek, kalau kau memang Kakek Segala Tahu, kau pasti tahu benda apa ini. Ini
kaleng rombeng milikmu!" Wiro lalu lemparkan kaleng ke arah manusia pocong yang
secara acuh tak acuh menangkapnya dengan tangan kiri. Kaleng didekatkan ke hidung lalu terdengar suaranya mendengus berulang kali.
"Bau tai kotok! Benda jelek! Tapi lucu juga untuk mainan! Ha... ha... ha!"
Manusia pocong ini lalu tinggalkan Wiro begitu saja sambil tangannya tiada henti
menggoyang kaleng yang dipegang.
Suara gelegar kaleng rombeng menggetarkan semua kuping yang ada di tempat itu.
Membahana jauh sampai ke dalam lembah.
Sambil bersihkan darah yang mengotori pipi dan dagunya Wiro pandangi manusia
pocong yang berjalan ke arah lembah. "Walau suaranya berubah lain, aku yakin dia Kakek Segala Tahu.
Hanya dia yang mampu menggoyang kaleng hingga menimbulkan suara seperti itu. Tapi bagaimana mungkin dia tidak mengenali
kaleng kesayangannya sendiri" Bau tahi kotoklah! Malah dia menghajarku begini rupa! Sesuatu terjadi dengan dirinya. Apakah dia sudah dicekoki minuman pencuci otak seperti yang terjadi pada
Rana Suwarte dan Hantu Muka Dua sebelum tenaga dalam dan
kesaktiannya disedot?"
Wiro ingat pada kipas kayu cendana titipan Nyi Roro Manggut yang dipesan harus
diserahkan pada Kakek Segala Tahu. Dia segera hendak mengejar manusia pocong
berwarna putih itu, namun terpaksa batalkan niat karena pada saat itu dilihatnya
Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati berada dalam bahaya, terdesak hebat oleh
keroyokan tiga manusia pocong. Yang paling berbahaya adalah manusia pocong yang lehernya digigit Jatilandak. Agaknya dia
mendapat keku- atan perlindungan lebih besar dari dua pocong lainnya.
Untuk menghadapi serangan ganas tiga lawan yang mendapat kekuatan serta
perlindungan tenaga gaib dari alam roh yang bersumber dari Yang Mulia Sri Paduka
Ratu, Gondoruwo Patah Hati sengaja keluarkan ilmu barunya yang disebut Ilmu Kuku
Api. Dalam rimba persilatan tanah Jawa, ilmu langka ini sangat ditakuti,
terutama oleh para tokoh silat golongan hitam. Sepuluh kuku jarinya yang
berwarna hitam berubah
menjadi merah. Setiap sepuluh jari dijentikkan, sepuluh larik sinar merah
menderu angker dan ganas. Jangankan manusia, batu besarpun bisa dibuat bolong
sebelum hancur hangus berkeping-keping.
Namun tak satu larikpun sinar merah mampu mengenai sosok tiga manusia pocong.
Kekuatan gaib yang melindungi mereka membuat sepuluh serangan sinar melenceng ke
mana-mana! Penuh geram si nenek berambut kelabu
bermuka seram ini pusatkan serangan pada dua manusia pocong yang dianggap lebih
rendah ilmu kepandaiannya dan pocong yang pernah mencelakai Jatilandak. Dengan Lima Jari Langit si nenek berhasil menotok salah satu
dari mereka. Namun selagi dia hendak menghantam manusia pocong kedua dengan
Pukulan Batu Naroko, manusia pocong yang tadi ditotok telah bergerak kembali.
Rupanya dia punya kemampuan untuk memusnahkan totokan si nenek yang selama ini tidak mungkin dilakukan oleh pendekar
manapun. Sesuai namanya totokan, Lima Jari Langit bukan cuma memutus jalan darah pada
satu titik atau dua titik tertentu. Tapi pada lima titik sekaligus!
Terkejut karena tidak menyangka lawan masih bisa lepas dari totokannya,
Gondoruwo Patah Hati berlaku lengah. Nyaris dada si nenek hampir kena hantam
jotosan manusia pocong kedua kalau tubuhnya tidak cepat ditarik oleh Naga
Kuning. "Gunung," ucap Gondoruwo Patah Hati
menyeru nama asli Naga Kuning. "Rasanya kita tidak bisa bertahan lama. Saatnya
kau mengeluar- kan Naga Hantu Langit Ke Tujuh. "
"Aku sudah mencoba tadi. Sia-sia..." jawab Naga Kuning. "Kekuatan gaib yang
menguasai tempat ini sungguh luar biasa! Padahal kau saksikan sendiri bangunan
putih itu sudah hancur!"
"Bangunan itu hanya merupakan tempat
kediaman. Sumber segala kekuatan dan kesaktian ada di tangan penghuninya, Yang
Mulia Sri Paduka Ratu. Barusan dia kabur mengikuti
seorang gadis yang lari menjerit-jent sambil tutupi wajahnya. Aku rasa-rasanya
pernah melihat gadis itu." Si nenek hentikan ucapannya. Menatap-sayu ke wajah
Naga Kuning. Naga Kuning balas
memandang. Wajah si nenek sesaat terlihat dalam ujud aslinya. Perempuan muda
berkulit putih cantik. Si nenek pegang tangan Naga Kuning.
"Gunung, apakah kita akan mati bersama di tempat ini?"
"Jangan bicara seperti itu!" jawab Naga Kuning.
"Pasti ada cara untuk menghadapi dan mengalahkan mereka! Segala mahluk jahat boleh punya sejuta kuasa dan kesaktian. Tapi
Gusti Allah adalah yang paling kuasa dan paling sakti."
"Gunung, agaknya kita memang bakalan
menemui ajal di tempat ini..."
"Eh, mengapa kau bicara ngacok seperti itu?"
"Biasanya orang baru ingat Tuhan ketika
kematian menampakkan diri..." jawab Gondoruwo Patah Hati.
"Intan, kau membuat aku merinding! Kita
harus berusaha. Harus mencari akal. Mencari jalan."
"Sebelum menemukan jalan, kita sudah konyol duluan!" ucap Gondoruwo Patah Hati.
Naga Kuning tercekat bingung.
WIRO SABLENG 13 KEMATIAN KEDUA ERANGAN tiga manusia pocong semakin
menggila. Agaknya sepasang kekasih Naga
SKuning dan Gondoruwo Patah Hati hanya
mampu bertahan dua tiga jurus saja.
"Gunung, sementara mencari akal, bagaimana kita mencari selamat lebih dulu?"
Gondoruwo Patah Hati berkata sambil jentikkan sepuluh jarinya ke arah manusia
pocong yang menyerbu dari samping kiri.
"Apa yang ada dalam benakmu?" Tanya Naga
Kuning. "Aku akan menabur asap penutup pandang.
Kita ambil kesempatan untuk bersembunyi dulu di satu tempat..."
Sebelum Naga Kuning sempat menjawab, Wiro telah berkelebat mendatangi. Dia tahu
sekali Naga Kuning si bocah konyol bukan anak sembarangan.
Bocah ini sesungguhnya adalah seorang kakek sakti. Lalu si nenek Gondoruwo Patah
Hati merupakan momok perempuan yang ditakuti
orang-orang rimba persilatan golongan hitam karena ilmunya yang tinggi.
"Aku tidak yakin tiga manusia pocong itu
memiliki kemampuan ilmu silat tinggi. Mereka mendapat perlindungan dan bantuan
kekuatan gaib alam roh..." Wiro meraba pinggang celana di mana masih tersimpan
kantong kain berisi setanggi pemberian Bunga. "Tadi kulihat Sang Ratu melarikan diri ke arah utara
sana. Jelas-jelas sumber kekuatan itu datang dari dirinya. Aku harus memotong
jalur..." "Kawan-kawan, bertahan terus. Aku akan
membantu!" teriak Wiro. Lalu murid Sinto Gendeng ini melesat ke udara. Sambil melayang turun dia sebarkan bubuk setanggi di
udara. Pada ketinggian tertentu dari tanah, tiba-tiba bubuk setanggi pancarkan
bunga api disertai suara letupan-letupan hebat. Tubuh Wiro bergoncang keras, lalu ada rasa sakit seolah
dicengkeram tangan raksasa. Wiro kerahkan tenaga dalam jungkir balik satu kali.
Walau berhasil turun di tanah namun dia hampir terbanting jatuh duduk.
Dadanya berdenyut sakit. Mata terasa perih! Cepat dia atur alirkan darah dan
kerahkan hawa sakti lalu bangkit berdiri.
Di kejauhan terdengar suara orang berteriak marah. Gerakan tiga manusia pocong
yang tengah mendesak hebat Naga Kuning dan Gondoruwo
Patah Hati mendadak terlihat aneh dan berubah lamban.
"Ini saatnya!" pikir Wiro. Dia melompat ke arah manusia pocong yang mencelakai
Jatilandak. Serangan pertama berupa pukulan ke arah kepala dapat dielakkan lawan. Wiro
membuat gerakan berputar setengah lingkaran. Kaki menendang ke arah punggung
lawan. Tahu bahayanya serangan, manusia pocong melompat ke atas. Punggungnya
memang selamat namun kini tendangan Wiro
mendarat di bagian tubuh yang lain.
Kraakk! Tendangan menghantam telak di pinggang
manusia pocong. Tulang pinggang patah berderak.
Tubuh manusia pocong terpental hampir satu tombak. Jatuh tertelungkup di tanah.
Tak mampu bergerak.
"Naga Kuning, Gondoruwo Patah Hati, tunggu apa lagi! Habisi mereka!" teriak Wiro
sambil berlari ke tempat manusia pocong yang tergeletak mengerang di tanah.
Mendengar teriakan Wiro, Naga Kuning dan
Gondoruwo Patah Hati tersentak sadar. Si nenek segera jentikkan sepuluh jari.
Manusia pocong di seberang sana coba balikkan badan siap untuk melarikan diri.
Namun kasip. Begitu sepuluh sinar merah melabrak, tubuhnya berubah jadi
saringan. Darah memancur dari sepuluh lobang menganga akibat hantaman Ilmu Kuku Api!
Sesaat kemudian tubuh manusia pocong itu meledak. Potongan daging dan serpihan
tulang berpelantingan ke udara. Luar biasa mengerikan.
Manusia pocong ketiga tidak berusaha kabur.
Rupanya dia tidak menyadari kalau saat itu hubungannya dengan sumber pemberi
perlin- dungan dan kekuatan telah terputus karena terhalang oleh bubuk setanggi yang
tadi ditebar Wiro. Mahluk satu ini justru menerjang ke arah Naga Kuning dengan
satu serangan maut berupa pukulan sakti jarak jauh. Tapi setengah jalan
gerakannya berubah gontai.
"Apa yang terjadi dengan diriku?" Manusia pocong bertanya cemas pada diri
sendiri. Saat itulah Naga Kuning menyerbu dengan
pukulan Naga Murka Merobek Langit. Selarik sinar biru melesat keluar dari tangan
kanan Naga Kuning. Membeset tubuh manusia pocong hingga mengepulkan asap.
Manusia pocong ini masih bisa menjerit satu kali, lalu roboh ke tanah tanpa
nyawa lagi! Naga Kuning hampiri mayat manusia pocong lalu tarik kain penutup
kepala. Kelihatan satu wajah angker berwarna biru. Rambut, kumis, dan berewok
jadi satu, awut-awutan, juga berwarna biru. Dua mata mencelet. Yang sangat menyeramkan ialah mukanya nyaris
terbelah seperti dibacok golok besar.
"Siapa bangsat ini" Kau mengenalinya?" Tanya Naga Kuning.
Wiro menggeleng.
Gondoruwo Patah Hati buka suara. "Setahuku dia dijuluki Iblis Siluman Biru.
Berasal dari tanah Jawa sebelah barat.
Yang Mulia Ketua Barisan Pocong 113 Lorong Kematian yang tengah bertempur
melawan Bunga tersentak kaget. "Apa yang terjadi" Tiga Satria Pocong dihajar
begitu mudah" Apa Ratu tidak memberikan perlindungan?"
Saat itu Wiro telah sampai di dekat manusia pocong yang dihantamnya dengan
tendangan hingga patah pinggang dan tergeletak mengerang di tanah. Dengan tangan kiri dia
menarik lepas kain putih penutup kepala manusia pocong.
"Gila! Apa aku tidak salah lihat?" ucap Wiro setengah berseru, sementara Naga
Kuning dan Gondoruwo Patah Hati mendatangi.
"Astaga! Wiro! Bukankah manusia ini Sidik Mangkurat, Adipati Magetan?" ucap Naga
Kuning setengah berseru.
"Geblek betul dia mau-mauan jadi kaki tangan komplotan manusia pocong!" rutuk
Gondoruwo Patah Hati.
"Pasti dia salah satu dari sekian banyak tokoh korban penculikan." Kata Wiro.
Dia mencangkung di samping sosok manusia pocong yang tengah sekarat dan dikenal
sebagai Adipati Magetan itu.
Wiro raba urat besar di leher sang Adipati. Masih ada denyutan halus pertanda
masih hidup. Wiro lalu telentangkan tubuh Adipati itu.
"Adipati, apa yang terjadi dengan dirimu"
Mengapa mau-mauan kau menjadi anggota
barisan manusia pocong?"
Sidik Mangkurat menatap kuyu ke arah Pendekar 212. Mulutnya terbuka. Dia berucap, tapi bukan menjawab pertanyaan Wiro.
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan.
Hanya Yang Mulia Ketua seorang..."
"Setan alas! Sudah mau mampus masih sempat-sempatnya mengucapkan kata-kata edan itu!"
Plaak! Setelah memaki, Wiro tampar keras-keras
muka Sidik Mangkurat. Bibir pecah, mulut
terbatuk-batuk beberapa kali.
"Aku diculik. Aku dicekoki minuman setan.
Yang Mulia Ketua inginkan aku mendapatkan kembali cambuk sakti Pecut Sewu Geni
yang dirampas Kiai Teguh Pambudi dari Banten. Itu sebabnya aku dibiarkan hidup.
Diberi kekuatan ilmu kesaktian. Aku..."
Tiba-tiba ada cahaya kuning memancar dari kaki Adipati Sidik Mangkurat. Cahaya
itu perlahan-lahan naik ke atas.
"Wiro awas! Dia dapatkan kembali kekuatan pelindungnya!" Teriak Gondoruwo Patah
Hati. Apa yang dikatakan si nenek betul adanya.
Ketika Wiro menebar setanggi, hubungan antara Sidik Mangkurat dengan
pelindungnya yaitu Yang Mulia Sri Paduka Ratu terputus. Namun begitu setanggi
sirna dan baunya lenyap, hubungan kembali tersambung.
"Hantam sekarang sebelum kekuatannya pulih penuh!" teriak Naga Kuning.
Wiro langsung menggebuk kepala Sidik Mangkurat dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah. Ini adalah pukulan keenam
dari enam pukulan sakti pemberian Datuk Basaluang Ameh yang termaktub dalam
Kitab Putih Wasiat Dewa.
Bukkk! Praaakkk! Kepala Adipati Sidik Mangkurat pecah. Darah, daging, otak, dan tulang batok
kepala muncrat mengerikan. Wiro sendiri sampai merinding mau muntah, mundur
beberapa langkah. Keadaan Adipati Magetan itu tidak beda seperti mayat tanpa kepala. Karena walau kepalanya
hancur, tubuh- nya yang sudah sempat dialiri cahaya kuning masih mampu bergerak, malah berdiri
kembali. Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati ikutan menghantam Sidik Mangkurat, namun
terlambat. Pukulannya mendarat setelah tubuh Sidik Mangkurat mendapat perlindungan cahaya kuning.
Begitu dipukul, kekuatan gaib yang ada pada tubuh tanpa kepala itu berikan
perlawanan. Naga Kuning dan si nenek terpental satu tombak. Dada mendenyut
sakit, aliran darah kacau balau. Masih untung keduanya tidak cidera.
"Edan! Sulit dipercaya!" kata Naga Kuning sambil usap-usap dada.
Sosok Sidik Mangkurat tegak agak terbungkuk.
Berputar beberapa kali lalu melangkah ke arah barat.
Menyaksikan apa yang terjadi atas diri Sidik Mangkurat, Ketua Barisan Manusia
Pocong yang tengah menempur Bunga jadi bergetar nyalinya.
Lebih-lebih sewaktu Wiro, Naga Kuning, dan Gondoruwo Patah Hati melangkah
mendatanginya. "Kalian mengaku pendekar rimba persilatan.
Apakah begitu pengecut hendak mengeroyokku beramai-ramai" Sungguh memalukan!"
Naga Kuning berkacak pinggang. "Jangan coba menipu kami dengan bicara seperti
orang gagah! Silahkan pilih salah satu di antara kami!"
WIRO SABLENG

Wiro Sableng 141 Kematian Kedua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

14 KEMATIAN KEDUA UNGA berbisik pada Wiro. "Kita harus
mengejar sang Ratu sebelum dia
Bmenghilang atau dihilang-kan. Aku rasa
Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati sanggup menghabisi pocong satu ini. Ayo
ikuti aku."
Wiro menggeleng. "Bangsat satu ini bagianku!
Dia harus mati di tanganku..."
"Kalau dia adalah Ketua Barisan Manusia
Pocong, sebelum kau bunuh harus lebih dulu bisa mengorek keterangan di mana
beradanya Anggini, Kakek Segala Tahu, dan perempuan-perempuan hamil yang
diculik..."
"Aku mengerti." jawab Wiro. "Bunga, aku tidak melihat ada cahaya kuning
membungkus tubuh manusia pocong satu ini. Coba kau periksa. Aku khawatir salah
melihat keliru menduga."
Bunga segera menatap tajam-tajam sosok
Ketua Barisan Manusia Pocong. Mulai dari kepala sampai ke kaki. Lalu berbisik.
"Memang tidak ada cahaya kuning melindunginya. Tapi aku melihat dia memiliki
dasar ilmu silat dan kesaktian tinggi.
Cukup sulit bagimu untuk menghadapinya
seorang diri. Apa lagi jika sampai ada kiriman kekuatan gaib ke dalam tubuhnya.
Terus terang aku khawatir. Aku akan meminta Gondoruwo
Patah Hati menemanimu. Aku dan Naga Kuning segera mengejar sang Ratu. Kau masih
memiliki persediaan bubuk setanggi?"
Wiro mengangguk.
"Jika tubuh lawanmu memancarkan cahaya
kuning, taburkan bubuk setanggi ke tubuhnya."
Wiro mengangguk lagi. "Pergilah cepat. Hati-hati. Ada satu permintaanku..."
"Apa?" Tanya Bunga.
"Apapun yang terjadi, jika kalian bertemu gadis bernama Wulan Srindi itu, jangan
kalian bunuh dia."
Bunga tersenyum. "Kau mencintainya?"
Wiro tertawa lebar. "Ini urusan budi dibalas budi. Kau tahu hatiku. Kau banyak
menolong..."
"Jangan khawatir Wiro. Gadis itu akan aku jaga baik-baik. Tapi satu hal aku
ingatkan. Dia bukan pasangan yang baik untukmu." Habis berkata begitu, Bunga
tarik tangan Naga Kuning.
Begitu kedua orang itu pergi, Ketua Barisan Manusia Pocong batuk-batuk. "Kalian
rupanya masih punya harga diri, walaupun cuma sedikit.
Jadi sekarang yang namanya Pendekar 212 Wiro Sableng dan nenek jelek ini yang
harus aku layani?"
"Mahluk setan! Kalau kau merasa tampangmu segagah dewa di kayangan, lebih bagus
dari wajahku, mengapa tidak berani unjukkan muka"
Jangan-jangan mukamu bopengan, bibir sumbing, gigi tonggos!"
Didahului tawa cekikikan Gondoruwo Patah
hati langsung menyerang dengan jurus Lima Cakar Langit. Tangan kiri berkelebat
ke arah kepala sang ketua. Lima kuku hitam siap
merobek. Yang Mulia Ketua mendengus dari balik kain penutup kepala. Dia sengaja tidak
membuat gera- kan mengelak. Tapi tiba-tiba tangan kiri menyusup ke dada si nenek dalam gerakan luar biasa cepatnya. Kalau si nenek meneruskan
serangan, walau dia mampu merobek kain kepala atau wajah sang ketua, namun dia
sendiri tidak akan sanggup mengelakkan jotosan yang mengarah dadanya itu!
"Nek, awas. Mundur cepat!" teriak Wiro yang menyaksikan kejadian berbahaya itu.
Gondoruwo Patah Hati memang dengan cepat
berusaha selamatkan diri. Tapi dia tidak mengikuti ucapan Wiro. Nenek ini bukan melompat
mundur melainkan berkelebat ke samping sambil sapukan lima jari tangan kirinya
yang berkuku hitam ke arah perut Sang Ketua.
"Perempuan setan!" maki Yang Mulia Ketua.
Dengan terpaksa kini dia harus melompat mundur menghindari serangan lima kuku
jari yang sanggup merobek perut membusai usus.
"Nek, cukup kau bermain-main dengan setan pocong ini. Biar kini aku yang
menghadapi!" Wiro berseru lalu melompat ke hadapan Sang Ketua.
Manusia pocong ini memperhatikan Pendekar 212 dari kepala sampai ke kaki. Lalu
berkacak pinggang dan tertawa gelak-gelak.
"Pendekar sinting! Kalau mau berkelahi
melawanku ganti dulu celanamu yang robek! Apa kau sengaja mau mempertontonkan
barangmu" Ha... ha... ha!"
Wiro terkejut. Memandang ke bawah dia
melihat celananya memang robek besar di bagian selangkangan. Yaitu akibat
sambaran batu menyala serangan Sri Paduka Ratu sewaktu di rumah putih tadi.
"Gila! Dari tadi rupanya perabotanku nongol.
Kenapa tidak ada teman yang memberitahu"
Sialan!" Maki Wiro. Dia segera tanggalkan baju putihnya. Bagian depan ditutupkan
ke bawah perut, bagian belakang diikat erat-erat.
Tawa bergelak Yang Mulia Ketua serta merta berhenti begitu Wiro menerjang dan
langsung menghantam dengan jurus-jurus serangan mematikan. Baku hantam selama lima jurus Sang Ketua mulai merasa tekanan lawan.
"Kurang ajar. Manusia ini masih saja perkasa.
Aku harus mengeluarkan pukulan andalan.
Atau..." Dalam keadaan seperti itu ada suara mengiang di telinga kiri sang Ketua. "Lekas
datang ke rumah panggung atap ijuk!"
Untuk dapat lolos dari kurungan serangan
Pendekar 212, Yang Mulia Ketua membuat dua gerakan kilat. Pertama menghantam
dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi lalu menebar asap beracun.
Ketika Wiro dan Gondoruwo Patah Hati terpaksa mundur menjauh, Sang Ketua pergunakan
kesempatan untuk tinggalkan kalangan pertempuran. Wiro berteriak marah dan memburu nekad.
Sepuluh langkah di depan sana Yang Mulia Ketua berhenti dan balikkan badan.
Tangan kiri diangkat. Dari balik lengan jubah kiri terdengar suara halus. Sreett! Ketika tangan
kiri dipukulkan maka cahaya tujuh warna menyambar dahsyat ke arah Wiro.
Jangankan Wiro yang diserang, Gondoruwo Patah Hati yang menyaksikan kejadian itu
ikut tercekat kaget.
Sambil jatuhkan diri berlutut di tanah,
Pendekar 212 sambut serangan ganas Yang Mulia Ketua dengan Pukulan Sinar
Matahari. Cahaya putih menyilaukan disertai hamparan hawa panas berkiblat di
udara. Cahaya tujuh warna amblas berhamburan sedang cahaya putih Pukulan Sinar
Matahari terpental ke udara, menimbulkan ledakan beberapa kali.
Wiro terpental. Si nenek coba menahan agar pemuda itu tidak jatuh. Namun daya
pentalan demikian deras sehingga kedua orang itu terguling-guling di tanah. Ketika gulingan berhenti, si nenek berada di bawah, Wiro
di atas. Dan entah bagaimana bibir keduanya saling bertempelan satu sama lain.
Si nenek pejamkan mata seolah menikmati hal itu. Wiro cepat berdiri sambil
hendak menyeka bibirnya yang basah, tetapi Gondoruwo Patah Hati cepat memegang
tangannya dan berkata.
"Awas kalau kau berani mengusap bibirmu.
Apa bibirku begitu menjijikkan" Mulutku bau?"
Wiro menggeleng. "Nek..."
"Dengar. Ada satu rahasia dalam diriku yang bisa menyesakkan dada jika tidak aku
katakan padamu. Kalau saja aku tidak keburu jatuh cinta pada bocah berambut
jabrik itu, kaulah yang jadi penggantinya." Si nenek bicara sambil memagut leher
Wiro hingga murid Sinto Gendeng ini tak bisa berdiri. Wiro terkejut bukan
kepalang. "Nek, kau ini bicara apa. Lepaskan
pelukanmu."
Si nenek tersenyum. Pelukannya malah makin diperkencang. Wajahnya didekatkan ke
muka Wiro. Saat itu Wiro bukan melihat wajah tua berkeriput angker, tapi wajah
seorang perempuan cantik berkulit putih. Sang pendekar tidak mampu mengelak
ketika Gondoruwo Patah Hati mengecup bibirnya kembali lekat-lekat dan lama.
"Nek!" Wiro kelagapan.
Wiro tahan bahu Gondoruwo Patah Hati lalu cepat-cepat berdiri. Dia memandang
berkeliling. "Siapa yang kau cari?" Tanya si nenek.
"Kalau sampai ada orang melihat apa yang kau lakukan tadi, kita berdua bisa
celaka!" Pandang Wiro membentur Dewa Tuak yang saat itu masih duduk menjelepok
di tanah sambil terus mengusap-usap bumbung bambu di pangkuannya.
"Bagaimana kalau kakek itu melihat apa yang kau lakukan?" ucap Wiro.
"Apa yang kita lakukan, bukan apa yang aku lakukan," kata si nenek pula sambil
tersenyum membuat wajah Pendekar 212 bersemu merah.
"Kau tak usah khawatir. Kakek itu terlalu sibuk dengan bumbung bambunya. Mana
sempat dia memperhatikan kita. Wiro, apa yang lalu ya sudah. Aku tak akan mengkhianati Naga
Kuning lebih dari itu."
Memandang berkeliling, Yang Mulia Ketua
Barisan Pocong ternyata tidak ada lagi di tempat itu.
Si nenek lalu balikkan tubuh dan lari ke arah utara. Wiro mengikuti beberapa
langkah di belakang. Tangan kanan bergerak hendak menyeka bibirnya yang tadi dikecup lumatlumat oleh si nenek. Tapi di saat yang sama Gondoruwo Patah Hati menoleh ke
belakang. Wiro turunkan tangan, tak jadi mengusap bibirnya.
"Sial!" rutuk Pendekar 212 sambil garuk kepala.
Ketika melewati Dewa Tuak yang duduk di
tanah dan masih terus mengusapi bumbung bambu di pangkuannya, Wiro mendengar kakek itu tertawa perlahan. Murid Sinto
Gendeng acuh saja.
Tapi dia jadi kaget ketika mendengar si kakek berucap.
"Enak mana minum tuak sama minum bibir.
Hik... hik... hik."
Wiro garuk kepala habis-habisan. "Nenek
sialan! Nenek sialan!" maki Wiro sambil meludah berulang kali.
WIRO SABLENG 15 KEMATIAN KEDUA EBELUM mendorong masuk Yang Mulia Sri
Paduka Ratu ke dalam rumah panggung
Sberatap ijuk hitam melalui pintu paling
ujung kiri, Wakil Ketua berpaling pada Wulan Srindi. "Sementara kami di dalam,
tugasmu menjaga di luar. Jangan perbolehkan siapapun masuk ke dalam. Beri tanda
jika ada bahaya mengancam. Sebentar lagi akan ada beberapa Satria Pocong datang
mem-bantumu."
Wulan Srindi yang masih mengenakan jubah
putih tanpa kain penutup kepala membungkuk dalam-dalam.
"Perintah Wakil Ketua akan saya perhatikan."
Ucap gadis yang sewaktu berada di dinding batu dekat jurang bersama Hantu Muka
Dua secara tiba-tiba ditarik masuk ke dalam lorong oleh seorang manusia pocong
melalui pintu rahasia.
Tidak lama Sri Paduka Ratu dan Wakil Ketua masuk ke dalam rumah panggung beratap
ijuk hitam, dari arah pedataran batu di seberang rumah panggung muncul dua
orang. Yang pertama gadis cantik bermata biru yang bukan lain adalah Ratu Duyung. Di sampingnya
melangkah seorang manusia pocong yang tubuhnya menebar bau pesing. Jubahnya
tampak basah. "Siapa kalian?" bentak Wulan Srindi.
"Gadis comel! Jangan berlaku galak kepada kami! Aku anggota Barisan Manusia
Pocong 113 Lorong Kematian, mengenakan jubah dan penutup kepala utuh! Kau masih berani
mempertanyakan diriku" Aku yang layak bertanya siapa dirimu"
Mana kain penutup kepalamu?"
Wulan Srindi terdiam sesaat. Namun kembali balas membentak. "Anggota Barisan
Manusia Pocong tidak ada yang bau pesing sepertimu! Kau manusia pocong palsu!"
"Kurang ajar berani menghina! Siapa yang ada di dalam rumah panggung!"
"Itu bukan urusanmu!" jawab Wulan Srindi.
Dia menatap tajam pada Ratu Duyung. "Aku
banyak mendengar cerita tentang dirimu.
Bukankah kau yang dipanggil dengan sebutan Ratu Duyung?"
"Terima kasih kau mengenali diriku. Sekarang mari kita bersahabat. Katakan siapa
di dalam rumah."
"Aku bilang itu bukan urusanmu! Lekas berlalu dari tempat ini!"
Ratu Duyung tersenyum. Dia kerahkan ilmu
menembus pandang dan jadi terkejut ketika melihat di dalam rumah kayu ada dua
manusia pocong. Satu lelaki satu perempuan. Ratu Duyung berbisik pada manusia
pocong di sampingnya.
"Layani gadis itu, aku akan menerobos masuk ke dalam rumah panggung!"
Baru saja Ratu Duyung hendak bergerak,
sekonyong-konyong muncul seorang manusia
pocong, melangkah terseok-seok tapi tahu-tahu sudah sampai di depan rumah
panggung. Tangan kanan memegang kaleng rombeng. Ketika kaleng itu digoyang,
menggema suara berkerontang luar biasa kerasnya. Si kakek tertawa ha-ha hi-hi.
"Kakek Segala Tahu! Manusia pocong satu ini pasti dia. Lihat matanya yang
putih!" Berseru Ratu Duyung.
Manusia pocong itu masih terus tertawa. Tiba-tiba dia berkelebat ke arah manusia
pocong yang datang bersama Ratu Duyung langsung menyerang. "Pocong sialan! Kau berani menyerang kawan sendiri!"
"Kalau kau memang kawanku, buka kain
penutup kepala! Mungkin ada baiknya mulutmu kusumpal dengan kaleng rombeng ini!"
Ratu Duyung berkata pada manusia pocong
bau pesing. "Aku harus segera masuk ke dalam rumah. Kau terpaksa melayani
manusia pocong yang membawa mainan kaleng rombeng dan gadis itu..."
"Tunggu, ada yang datang!" ucap manusia
pocong bau pesing.
Sesaat kemudian muncul Naga Kuning bersama Bunga.
Ratu Duyung segera menghampiri. "Di dalam rumah ada pocong lelaki hendak
mencabuli pocong perempuan..." Ratu Duyung memberi tahu.
"Bunga, ikut aku menyerbu ke dalam."
Bunga terkejut mendengar kata-kata Ratu
Duyung. "Pasti Wakil Ketua dan Sri Paduka Ratu.
Tapi bagaimana mungkin?"
"Sri Paduka Ratu" Siapa dia" Mana Wiro?"
Tanya Ratu Duyung pula.
"Nanti kujelaskan. Ada yang janggal. Tapi yang jelas Wakil Ketua tengah berusaha
hendak me- nyedot tenaga dalam dan seluruh kesaktian sang Ratu dengan cara mesum! Kita
harus mencegah sebelum hal itu terjadi! Malapetaka besar bagi rimba persilatan!"
"Kalau begitu apa yang kita tunggu?" Ratu Duyung, Bunga, dan Naga Kuning siap
untuk menerobos masuk ke dalam rumah panggung
berpintu dua belas. Namun pada saat itu muncul Yang Mulia Ketua Barisan Manusia
Pocong. "Seharusnya dia yang melakukan hal itu.
Mengapa Wakil Ketua...?" membatin Bunga.
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!" Wulan Srindi dan
manusia pocong yang memegang kaleng rombeng pentang suara keras.
Yang Mulia Ketua menatap ke arah manusia
pocong di samping Ratu Duyung.
"Kau bukan anak buahku! Unjukkan tampangmu manusia pocong penipu!" Habis berkata begitu Yang Mulia Ketua kebutkan lengan
jubah kiri.

Wiro Sableng 141 Kematian Kedua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sreett. Ada suara halus seperti benda bergesek.
Lalu, wuuttt! Tujuh cahaya angker menderu ke arah manusia pocong bau pesing.
Yang diserang berseru kaget. Pancarkan air kencing, jatuhkan diri tunggang
langgang. Ratu Duyung cepat keluarkan cermin saktinya. Selarik sinar menyilaukan membabat ke arah sinar tujuh
warna. Walau selamat tapi kain penutup kepala manusia pocong bau pesing itu kena
disambar hingga terlepas mental dan hangus jadi bubuk di udara.
Yang Mulia Ketua tertawa tergelak begitu
melihat tampang kakek berkepala botak yang salah satu daun telinganya terbalik.
"Setan Ngompol! Bukankah itu nama panggilanmu?" Terkencing-kencing si kakek yang memang
Setan Ngompol adanya bangkit berdiri. "Mahluk terkutuk! Giliranmu unjukkan
tampang!" Setan Ngompol menghantam dengan pukulan
Setan Ngompol Mengencingi Langit. Sambil menyerang sambil pancarkan air kencing.
Yang Mulia Ketua ganda tertawa. Dia melompat ke udara setinggi dua tombak lalu
kembali kebut- kan lengan jubahnya. Pada saat tujuh cahaya menderu ke arah Setan Ngompol,
manusia pocong yang memegang kaleng rombeng serta Wulan
Srindi ikut menyerbu. Naga Kuning dan Ratu Duyung tidak tinggal diam, cepat
membantu me- mapaki serangan lawan dengan melepas pukulan sakti. Di saat yang sama dari arah
samping belakang berkiblat cahaya putih perak dan lima larik sinar merah.
Blaar! Bummm! Halaman rumah panggung laksana diguncang
gempa ketika beberapa pukulan sakti beradu di udara. Setan Ngompol terbanting ke
tanah. Ken- cingnya muncrat ke mana-mana. Wulan Srindi menjerit, jatuh terduduk dengan muka
pucat. Tubuhnya gemetar. Yang Mulia Ketua sesaat tampak tergontai-gontai. Hanya manusia
pocong yang memegang kaleng rombeng masih tegak
terbungkuk dan tertawa ha-ha hi-hi.
Dalam keadaan seperti itu Wiro dan Gondoruwo Patah Hati sampai pula di tempat
itu. "Syukur kalian cepat datang. Kita bisa membagi tugas." Kata Bunga. "Aku dan Ratu
Duyung serta Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati akan menyerbu masuk ke dalam
rumah. Wiro, kau
bersama Setan Ngompol menghadapi tiga orang itu!"
Ketika Bunga melirik ke arah manusia pocong yang memegang kaleng rombeng, dia
melihat ada cahaya kuning membungkus sosok orang itu.
"Celaka! Apakah kekuatan kiriman itu masih bersumber dari sang Ratu, atau hasil
sedotan Wakil Ketua yang ada di dalam rumah. Berarti dia sudah sempat..."
Tidak tunggu lebih lama Bunga segera melesat, melabrak salah satu pintu rumah
panggung. Ratu Duyung, Naga Kuning, dan Gondoruwo Patah Hati segera menyusul
melakukan hal yang sama.
*** Bagian dalam rumah kayu panggung yang
memiliki dua belas pintu itu menebar bau busuk yang menyengat. Lantai dan
dinding penuh dengan noda darah yang telah mengering. Hanya ada dua perabotan di dalam rumah
kayu itu. Sebuah meja kecil di atas mana terletak sebuah bokor perak serta dua bilah pisau
besar berlapis darah kering. Lalu sebuah tempat tidur beralas kain merah yang
juga penuh dengan noda darah yang telah mengering.
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Kita tidak punya waktu banyak. Aku membawamu ke
tempat ini untuk menyelamatkan dirimu dari tangan jahat mahluk alam roh yang
menyusup. Cepat tanggalkan seluruh pakaianmu. Naik ke atas tempat tidur!"
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Dan kau bukan Yang
Mulia Ketua. Kau hanya Wakilnya!"
"Jangan banyak bicara! Yang Mulia Ketua
memerintahkan aku melakukan tugas ini!"
Yang Mulia Sri Paduka Ratu tertawa perlahan.
"Apa yang ingin kau lakukan" Wakil Ketua, rasanya ada kelainan dengan..."
"Jangan membuat aku tidak sabar. Tanggalkan seluruh pakaianmu. Naik ke atas
tempat tidur!"
"Wakil Ketua, sekali lagi aku bertanya. Apa yang hendak kau lakukan?"
"Aku ingin menyetubuhimu!"
"Apa" Kau lupa! Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai! Kau hendak menyedot tenaga dalam dan ilmu
kesaktianku dengan jalan menyetubuhiku! Kau mahluk keji pengkhianat!
Kau ingin merebut kekuasaan! Kau hendak
menguasai 113 Lorong Kematian!"
Wakil Ketua habis sabarnya. Dari balik jubah putih dia keluarkan sebuah benda.
Benda ini ter- nyata adalah sebuah batu pipih hitam berukuran satu jengkal persegi. Inilah
Aksara Batu Bernyawa. Yang Mulia Sri Paduka Ratu tersurut mundur.
Di balik kain penutup kepala wajahnya berubah pucat.
"Setahuku batu sakti itu berada di tangan Yang Mulia Ketua. Katakan siapa kau
sebenarnya!"
"Kalau kau masih banyak mulut, roh tumpangan nyawa keduamu akan aku kembalikan ke alam asal! Kau akan menderita sengsara
selama jagad terbentang. Jika kau menurut, kau akan jadi pendamping abadiku di
alam ini!"
Di luar terdengar suara berkerontangan kaleng keras sekali. Lalu suara bentakanbentakan disu- sul suara perkelahian.
"Aku akan melaporkan perbuatanmu ini pada Yang Mulia Ketua!"
Ada dentuman dahsyat di luar sana yang
membuat rumah panggung bergetar hebat.
"Bagus! Sekarang terima kematianmu!" Wakil Ketua angkat tinggi-tinggi Aksara
Batu Bernyawa lalu didekatkan ke muka Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Hawa sangat
panas memancar dari batu sakti. Sri Paduka Ratu cepat melangkah mundur.
Kakinya tertahan pada ujung tempat tidur. Sekali Wakil Ketua mendorong, sang
Ratu jatuh tertelentang di atas tempat tidur kayu. Wakil Ketua cepat letakkan Aksara Batu Bernyawa
di atas kening Sri Paduka Ratu. Batu tipis kecil seolah sebuah batu besar
menghimpit kepalanya sehingga Sri Paduka tidak mampu bergerak. Tiba-tiba ada
cahaya kuning memancar di tubuh Sri Paduka Ratu.
"Kalau kau nekad mengeluarkan kesaktianmu, kau akan hancur bersama Aksara Batu
Bemyawa." Cahaya kuning di tubuh Sri Paduka Ratu
meredup. Melihat Sri Paduka Ratu mulai tidak berdaya dan berada di bawah
kuasanya, Wakil Ketua segera mengambil Aksara Batu Bernyawa, menyimpan benda ini
di saku jubahnya, lalu dengan gerakan sangat cepat dia membuka kancing-kancing serta ikat pinggang di bagian depan jubah Sang Ratu.
"Wakil Ketua, aku ingin kau menanggalkan
jubahmu juga. Juga kain penutup kepalamu..."
"Ahhh. Akhirnya kau meminta juga..."
"Apakah aku boleh membuka kain penutup
kepalamu?"
"Jangan lakukan itu!"
Wakil Ketua tanggalkan jubah yang dikenakannya. Jubah diletakkan di tepi tempat tidur. Namun dia tidak mau menanggalkan
kain putih penutup kepalanya. Ketika dia hendak naik ke atas tempat tidur, di
luar rumah kembali terdengar dentuman-dentuman keras. Rumah panggung bergoyanggoyang. Wakil Ketua merutuk dalam hati. Tak ada
waktu untuk berpikir. Dia harus melanjutkan dan menyelesaikan pekerjaan saat itu
juga. Pada saat perbuatan keji itu hampir terlaksana tiba-tiba empat dari dua
belas pintu rumah panggung terpentang hancur berantakan.
WIRO SABLENG 16 KEMATIAN KEDUA MPAT orang berkelebat masuk. Tiga
langsung menerjang ke arah Wakil Ketua
Eyang berada dalam keadaan bugil. Hanya
kain putih yang masih menutup kepalanya. Yang seorang lagi selamatkan Sri Paduka
Ratu dengan cara menariknya dari atas tempat tidur lalu dilarikan ke luar rumah.
Wakil Ketua coba menghalangi, tapi tiga serangan yang datang menghantam tidak
mungkin dibiar-kan begitu saja. Bahkan Wakil Ketua tidak sempat mengambil jubah
di mana di dalam salah satu kantongnya tersimpan Aksara Batu Bernyawa. Ketika
dia masih nekad berusaha hendak mengambil jubah itu, satu tendangan menghajar
tangannya yang terjulur.
Wakil Ketua mengeluh tinggi lalu berteriak marah. "Manusia-manusia jahanam! Aku
meng- adu jiwa dengan kalian!"
Wakil Ketua putar tubuhnya satu lingkaran penuh. Sambil berputar tangan kiri
kanan mele- pas dua pukulan sakti yang luar biasa hebatnya.
Tiga larik sinar berwarna kuning, hitam, dan merah menderu dari tangan kanan.
Bersamaan dengan itu tangan kiri mengebut gelombang angin panas.
"Lekas menyingkir!" teriak Bunga. Sri Paduka Ratu ada dalam panggulannya. Dia
melesat ke kiri melabrak dinding kayu hingga jebol. Di bagian lain Naga Kuning,
Ratu Duyung, serta Gondoruwo Patah Hati mencari jalan selamat sendiri-sendiri.
Hanya sesaat setelah orang-orang itu berada di luar rumah panggung, bangunan itu
meledak hebat. Atap runtuh, dinding ambruk. Dua belas tiang kayu penyangga rumah
hancur. Lidah api mencuat sampai lima tombak. Samar-samar, tak ada satu orangpun
yang sempat melihat, satu sosok melesat ke udara dan lenyap.
Bunga membawa Sri Paduka Ratu sejauh
mungkin dari reruntuhan rumah panggung. Di satu tempat ketika baru saja
dibaringkan di tanah, tiba-tiba Sang Ratu keluarkan suara tawa bergelak, dan, buukkk! Bunga terpental. Pertengahan dadanya terasa hancur. Cairan
biru meleleh di sela bibirnya.
"Gadis sesat dari alam roh! Selamat jalan ke alam kematian kedua!" Yang Mulia
Sri Paduka Ratu angkat kaki kanannya yang memancarkan cahaya kuning. Kaki itu
dihujamkan ke perut Bunga. Bunga tahan kaki yang hendak menginjak dengan tangan
kanan sementara tangan kiri dengan cepat mengeluarkan setanggi, lalu diusapkan keras-keras ke kaki kanan sang ratu.
Desss! Wusss! Sri Paduka Ratu menjerit keras. Kaki kanannya melepuh sampai sebatas mata kaki.
Namun luar biasa hebatnya, sebentar saja kaki itu pulih kembali begitu ada
cahaya kuning membungkus.
Bunga bergulingan di tanah. Di tempat yang dirasakannya cukup aman dia cepat
berdiri lalu berteriak ke arah Pendekar 212 yang saat itu tengah bertempur
melawan Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong sementara Naga Kuning dan Setan
Ngompol menghadapi manusia pocong yang pergunakan kaleng rombeng sebagai
senjata. Dari telinga Naga Kuning dan Setan Ngompol tampak mengalir cairan merah. Darah!
Kedua orang ini lama-lama tidak sanggup menahan kerasnya suara kerontangan
kaleng. Jika nekad terus menghadapi manusia pocong itu, gendang-gendang telinga
mereka pasti pecah! Gondoruwo Patah Hati yang melihat kejadian itu segera terjun
ke kalangan pertempuran membantu Naga Kuning dan Setan Ngompol.
"Wiro! Cepat kemari!" Bunga berteriak.
Pendekar 212 menjadi bingung. Saat itu dia tengah bertempur habis-habisan
menghadapi Yang Mulia Ketua. Untung Ratu Duyung cepat melompat seraya berkata.
"Lekas temui Bunga.
Biar aku yang menghadapi manusia puntung
neraka ini!"
Yang Mulia Ketua tertawa. "Gadis cantik
bermata biru. Apa untungnya kau bertempur melawanku. Lebih baik kita tinggalkan
tempat ini. Mencari tempat lain yang baik untuk menjalin kasih!"
"Ajakan mesummu aku terima! Tapi harap kau mau menerima bingkisan tanda kasih
ini terlebih dahulu," sahut Ratu Duyung pula. Sepasang mata birunya membesar
berkilat. Kepala disentakkan.
Wuuuss! Wuuss! Dua larik sinar biru melesat keluar dari
sepasang mata Ratu Duyung. Yang Mulia Ketua tersentak kaget. Cepat kebutkan
lengan jubah kirinya. Cahaya tujuh warna menderu menangkis serangan Ratu Duyung.
Wusss! Bumm! Dua kekuatan sakti bentrokan di udara menimbulkan gelegar dentuman keras. Baik Ratu Duyung maupun Yang Mulia Ketua samasama tergontai. Ratu Duyung pulih lebih dulu. Gadis dari samudera selatan ini
berkata, "Tujuh Sinar Pelangi! Aku tahu siapa dirimu!"
Yang Mulia Ketua terkesima. "Aku harus
membunuh gadis ini atau kabur dari sini."
Katanya dalam hati.
*** Ketika Wiro sampai di hadapannya, Bunga
segera keluarkan kain putih yang disimpannya di balik dada pakaian. Lalu dia
dekati Yang Mulia Sri Paduka Ratu sambil pentang kain putih di depan kain
penutup kepala. Sri Paduka Ratu mundur dua langkah. Sepasang mata mendelik.
Ketika dia membuat gerakan seperti hendak menyerang, Bunga keluarkan bubuk
setanggi lalu dengan cepat membaca keras-keras tulisan yang tertera di atas kain
putih. Yang Mulia Sri Paduka Ratu meratap halus
ketika bacaan Bunga sampai pada kalimatkalimat: Hanya pernikahan dengan mayat
yang sanggup menjadi tumbal penyelamat Jika pemilik pertama nyawa kedua
seorang perempuan,
nikahkan dia dengan seorang perjaka
Jika pemilik pertama nyawa kedua
seorang laki-laki,
nikahkan dia dengan seorang perawan
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral Dalam kesakralan ada kesucian
Dalam kesucian ada jalan untuk selamat Maka, kematian abadi,
akan menjadi jalan keselamatan
Yang Mulia Sri Paduka Ratu tercekat, letakkan dua tangan di bawah leher lalu
mundur sampai punggungnya tertahan batang pohon. Dari balik kain penutup kepala
terdengar suara tarikan nafas panjang yang berubah menjadi suara sesenggukan. Bunga berpaling pada Wiro.
"Pendekar 212 Wiro Sableng. Apakah kau
bersedia aku nikahkan dengan Yang Mulia Sri Paduka Ratu?"
Wiro garuk kepala dan berbisik. "Bunga, ini pernikahan bohong-bohongan bukan?"
"Jangan konyol! Ini soal keselamatan umat rimba persilatan termasuk dirimu
sendiri!" Bunga membentak halus. "Aku akan bertanya sekali lagi.
Jawab saja kau bersedia."
Wiro garuk kepala lalu mengangguk.
"Pendekar 212 Wiro Sableng. Apakah kau
bersedia aku nikahkan dengan Yang Mulia Sri Paduka Ratu?"
"Siap, aku bersedia." Jawab Wiro menatap tak berkesip pada Sang Ratu dan sambil
garuk-garuk kepala.
Bunga berpaling pada Sri Paduka Ratu.
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Apakah kau
bersedia aku nikahkan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng?"
Sang Ratu keluarkan suara mendesah. Menarik nafas panjang. Melirik ke kain putih
dan setanggi di tangan Bunga. Menatap Wiro.
"Aku menerima nasib. Aku bersedia." Sang
Ratu akhirnya keluarkan ucapan. Lalu sesenggukan seperti menahan tangis.


Wiro Sableng 141 Kematian Kedua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bersamaan dengan selesainya ucapan sang
Ratu tiba-tiba di langit kilat menyambar. Suaranya menggelegar sampai ke dalam
tanah. "Petir di siang bolong..." ucap Pendekar 212
Wiro Sableng. Dia berpaling ke arah Sri Paduka Ratu. Tepat pada saat itu, sosok
Sang Ratu yang tersandar ke pohon kelihatan bergoncang keras.
Mulut keluarkan jeritan keras menggidikan. Dari ubun-ubun, liang telinga, lobang
hidung, dan mulut, melesat keluar asap kelabu, lalu hitam, biru, dan terakhir
asap merah, menembus kain putih penutup kepala yang berubah menjadi hitam legam!
Seluruh tenaga dalam dan semua
kesaktiannya musnah sudah!
Sekali lagi, insan malang yang sebenarnya sudah lama meninggal itu menjerit
keras. Setelah itu perlahan-lahan tubuhnya terkulai lemas.
Sebelum jatuh, Wiro cepat memeluk sosok Sang Ratu, duduk di tanah dan
membaringkannya di atas pangkuannya.
"Wiro. Sekarang apakah kau tidak ingin melihat wajah istrimu?" Tanya Bunga.
Habis berkata begitu gadis alam roh ini lalu tinggalkan kedua orang itu.
Perlahan-lahan Wiro menarik lepas kain putih bermahkota yang telah menjadi hitam
yang selama ini menutupi kepala Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Tersembul satu wajah cantik tapi pucat. Ada guratan luka di pipi kiri. Sepasang
alis hitam menekuk menaungi dua mata yang terpejam.
Pendekar 212 berteriak keras ketika mengenali wajah itu.
"Puti Andini! Ahhh... jadi kau rupanya. Ya Tuhan. Mengapa semua ini bisa
terjadi. Kasihan sekali... Kasihan sekali..."
Sepasang mata Pendekar 212 berkaca-kaca.
Kepalanya ditundukkan hingga hidungnya menyentuh kening gadis yang selama hidupnya dikenal dengan julukan Dewi Payung
Tujuh. Gadis ini pula yang pernah menyelamatkan Wiro dari racun jahat yang
hampir menamatkan riwayatnya.6 Ketika Wiro mengangkat kepalanya, dua mata Puti Andini yang terpejam perlahanlahan terbuka. Bening, bagus sekali. Bibir mengukir senyum.
Mulut ucapkan suara halus dan mesra.
"Wiro, aku bahagia karena kau mau mengantar diriku ke alam kematian kedua.
Selamat tinggal suamiku..." Bibir merapat, mata kembali terpejam.
Wiro dekap tubuh Puti Andini kuat-kuat ke dadanya. Butiran-butiran air mata
jatuh memba- sahi pipinya. Suaranya bergetar ketika mengucapkan kata-kata. "Puti, aku bersumpah akan
membunuh orang yang membuatmu sengsara
begini rupa."
Ketika Wiro membaringkan jenazah Puti Andini kembali ke atas pangkuannya, mata
sang pende- kar menjadi silau oleh satu cahaya. Cahaya ini bersumber dari sebuah benda yang
tersembul tepat di bagian jubah putih Puti Andini yang robek, yaitu di bagian
perut. Wiro terkesiap. Benda yang memancarkan sinar terang menyilaukan itu
seperti sebuah ikat pinggang dalam keadaan tergulung.
"Astaga!" Wiro ingat keterangan Hantu Muka Dua. Ingat pula ucapan Bunga. Dan
lebih dari itu dia memang pernah melihat benda tersebut
sebelumnya. "Pedang Naga Suci 212."7 ucap Wiro memegang benda keramat itu. Namun belum
sempat tersen- tuh tiba-tiba pedang sakti melesat ke udara. Di ketinggian lima tombak, srett!
Gulungannya 6 Baca: Wiro Sableng Wasiat Dewa"7 Baca: Wiro Sableng Pedang Naga Suci 212
"terbuka. Pedang Naga Suci 212 mengapung utuh di
udara. Memancarkan cahaya menyilaukan serta menebar hawa dingin. Wiro letakkan
sosok Puti Andini di tanah. Lalu berdiri dan berusaha menyambar gagang senjata sakti itu. Namun Pedang Naga Suci 212 melesat seolah
hendak menembus langit. Di tengah jalan satu bayangan putih tiba-tiba
berkelebat. Satu tangan menangkap gagang senjata sakti yang terbuat dari gading
berbentuk kepala naga betina itu.
Wiro mendongak kaget, memandang dengan
mata tak berkesip.
Yang menangkap gagang senjata mustika itu ternyata adalah seorang kakek
berselempang kain putih. Rambut putih panjang, kumis dan janggut menjela
menutupi sebagian wajahnya. Orang tua ini seolah berdiri di atas awan.
"Kakek," Wiro menyapa. "Saya pernah
mendengar cerita tentang dirimu dari Eyang Sinto Gendeng. Maaf kalau saya
menduga. Kakek ini bukankah Kiai Gede Tapa Pamungkas dari
Gunung Gede?"
Orang tua di atas sana tersenyum. Usap
janggut putih panjang lalu berkata, "Anak muda, terima kasih kau mengenali
diriku. Berarti kau tahu riwayat asal muasalnya pedang sakti yang ada dalam
genggamanku ini. Pedang sakti dan suci ini tidak boleh berada di tangan
seseorang yang tidak suci. Sekali jatuh ke tangan orang jahat, dunia persilatan
akan geger banjir darah.
Sampai aku menemukan orang yang cocok untuk memegangnya, untuk sementara senjata
ini akan aku bawa kembali ke Gunung Gede..."
"Kiai, kalau saya boleh berbuat bakti, saya ingin menyerahkan senjata itu pada
guru saya Eyang Sinto Gendeng..."
Kiai Tapa Pamungkas tersenyum lalu gelengkan kepala. "Sinto Gendeng, dia adalah
muridku. Puluhan tahun silam dia belum mempunyai kelayakan untuk memiliki senjata ini. Setelah puluhan tahun berlalu, sampai saat ini
dia semakin tidak mungkin mendapatkannya. Walau sableng kau murid baik. Selamat
tinggal anak muda!"
Kiai Tapa Gede Pamungkas acungkan Pedang
Naga Suci 212 ke udara.
Wussss! Cahaya putih berkiblat.
Pedang dan sosok si kakek melesat tinggi ke udara dan lenyap seolah ditelan
langit. Wiro cuma bisa melongo dan menggaruk kepala.
WIRO SABLENG 17 KEMATIAN KEDUA ELAGI Wiro menangisi kematian kedua Puti
Andini8, Bunga tinggalkan tempat itu untuk Smem-bantu Ratu Duyung dan yang lainlainnya. Sesuai pesan Wiro, gadis alam roh ini selamatkan Wulan Srindi dengan
jalan menotoknya. Tidak sulit bagi Bunga untuk
melumpuhkan gadis ini. Selain tingkat kepandaian Wulan Srindi berada jauh di
bawahnya, Wulan Srindi tidak lagi mendapat kekuatan dan
perlindungan dari kesaktian Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Beberapa peristiwa aneh terjadi bersamaan dengan kematian kedua yang dialami
Puti Andini. Di dalam 113 Lorong Kematian, semua perempuan hamil yang telah dicekoki minuman
pencuci otak mendadak menjadi sadar akan keadaan diri
masing-masing. Mereka saling berpekikan, bertangisan lalu berusaha mencari jalan ke luar.
Di pinggir jurang di belakang lorong, Hantu Muka Dua mendadak merasakan tubuhnya
panas. Darah mengalir cepat. Tubuhnya yang semula enteng perlahan-lahan kembali menjadi
berat seperti semula. Awaknya yang terasa lemas kini menjadi kuat lagi.
"Sesuatu telah terjadi di dalam lorong. Mungkin penguasa lorong sudah menemui
ajal," pikir 8 Baca: Wiro Sableng Makam Ke Tiga"mahluk dari alam 1200 tahun silam ini. Dia bangkit berdiri.
Luhkentut cepat berdiri. "Kau mau ke mana?"
Tanya nenek yang doyan kentut ini. Seperti diceritakan sebelumnya, nenek yang
juga berasal dari negeri Latanahsilam ini ditugaskan oleh Nyi Roro Manggut untuk
menjaga dan mengawasi
Hantu Muka Dua. Si nenek memperhatikan
dengan penuh heran perubahan diri Hantu Muka Dua.
"Aku akan mencari orang-orang yang telah
menolongku. Mereka ada di dalam lorong. Mereka mungkin dalam bahaya. Mereka
telah menolongku. Sekarang giliranku membalas budi ganti menolong."
Luhkentut terdiam heran. "Apa ucapan mahluk satu ini bisa dipercaya?" tanyanya
dalam hati. Saat itu dilihatnya Hantu Muka Dua melompat ke tangga batu. Lalu dengan tangan
kanan dia menghantam dinding batu di arah mana
sebelumnya ada pintu rahasia. Braakk! Blaaarr!
Dinding batu hancur berantakan. Sebuah
lobang besar menganga.
"Hantu Muka Dua benar-benar telah pulih
keadaannya. Apakah ini berarti suatu berkah atau sebuah malapetaka?" Luhkentut
berkata dalam hati.
"Luhkentut! Kau ikut aku atau tetap tinggal di luar sana" Nanti kau masuk angin
dan kentut terus-terusan!" Hantu Muka Dua berseru lalu menerobos masuk ke dalam
lobang besar di
dinding. "Eh, dia pandai bergurau sekarang. Mungkin dia benar-benar telah berubah?"
Luhkentut tidak berpikir lebih panjang. Prettt! Nenek ini pancarkan kentut lebih
dulu baru melesat masuk ke dalam lobang batu.
Kembali ke halaman rumah kayu beratap ijuk yang telah hancur lebur. Di arah
timur Bunga melepaskan totokan di tubuh Wulan Srindi. Gadis ini langsung memeluk
Bunga dan menangis
tersedu-sedu. Sementara manusia pocong yang memegang
kaleng rombeng dan tengah bertempur melawan Gondoruwo Patah Hati, Setan Ngompol,
dan Naga Kuning, mendadak sontak hentikan gerakan, memandang berkeliling,
mendongak ke langit, goyangkan kaleng rombeng, lalu jatuh terduduk di tanah.
Gondoruwo Patah Hati cepat hampiri manusia pocong ini tanggalkan kain penutup
kepala. Tersembul kepala seorang kakek bermata putih buta, berambut dan berkumis serta
berjanggut putih. Tenyata seperti yang diduga banyak orang, dia memang adalah
Kakek Segala Tahu.
"Di mana aku ini, siapa kalian ini semua. Aku mencium bau tai kotok, bau pesing,
bau... Ha... ha... ha!" Si kakek memegang kepalanya. "Hai, mana capingku?"
Kakek ini yang sebelumnya telah jadi korban sedotan Sri Paduka Ratu, selain
kembali seluruh kekuatan dan kesaktiannya, juga ingatannya ikut pulih. Dia
layangkan pandangan mata putih butanya berkeliling. Memasang telinga. Mendengar
suara orang berkelahi lalu goleng-golengkan kepala dan akhirnya tertawa
mengekeh. Hal yang sama terjadi pula dengan Yang Mulia Ketua yang saat itu tengah digempur
habis-habisan oleh Ratu Duyung. Pendekar 212 Wiro Sableng perhatikan jalannya
pertempuran. Saat itu Yang Mulia Ketua berada dalam keadaan terdesak hebat.
Kehebatan ilmu kepandaian yang seharusnya dimiliki sebagai penguasa 113 Lorong
Kematian seolah luntur, tidak ada apa-apanya. Ini merupakan akibat kematian
kedua Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Wiro bergerak mendekati kalangan pertempuran. Di saat yang tepat dia berkelebat masuk.
Seperti orang kemasukan setan, Wiro menyerang Yang Mulia Ketua bertubi-tubi.
Ratu Duyung terpaksa menjauh, memberi kesempatan sang pendekar untuk
melampiaskan segala dendam kesumatnya. Satu saat ketika Yang Mulia Ketua
lancarkan serangan dengan kebutan lengan jubah yang melesatkan gelombang angin
tujuh warna, dengan ilmu Kopo (mematahkan tulang) yang didapatnya dari seorang
nenek sakti di pegunungan Shikoku, Wiro tangkapkan lengan kiri lawan.
Lalu kraak! Lengan itu dibuat patah. Yang Mulia Ketua menjerit keras. Dari balik
lengan jubah kirinya jatuh ke tanah sebuah benda, ternyata sebuah kipas.
Yang Mulia Ketua tidak mampu mengelak
sewaktu dengan gerakan kilat jurus Kepala Naga Menyusup Awan Wiro berhasil
merenggut lepas kain putih penutup wajahnya.
Begitu wajahnya terpentang, beberapa orang yang mengenali sama-sama keluarkan
seruan kaget. "Adimesa!"
"Pendekar Kipas Pelangi!"
"Oala! Siapa yang menyangka dia bangsatnya yang jadi Yang Mulia Ketua pimpinan
Barisan Manusia Pocong! Betul-betul manusia bejat!" si bocah berambut jabrik
Naga Kuning hantamkan tinjunya ke perut Sang Ketua hingga orang ini terjajar dua
langkah dan batuk-batuk menahan sakit. Wajahnya tampak pucat.
"Aku... aku bukan Ketua Barisan Manusia
Pocong sebenarnya." Katanya coba menerangkan.
"Saat-saat terakhir kami mengubah panggilan. Ini siasat Yang Mulia Ketua..."
"Lalu siapa sebenarnya pocong setan biadab yang jadi ketua itu?" Tanya Wiro
dengan rahang menggembung dada bergejolak panas menahan amarah.
"Pangeran Matahari..." jawab Adimesa polos.
Beberapa orang keluarkan seruan tertahan.
Wiro delikkan mata.
"Mengapa kau mau melakukan semua ini?"
Tanya Ratu Duyung pada Adimesa alias Pendekar Kipas Pelangi.
"Aku menaruh dendam pada Wiro. Dia membunuh kakak kandungku, Adisaka. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Pangeran Matahari
yang juga punya sejuta dendam terhadap Wiro. Kami
berserikat untuk membunuhnya sambil menyusun rencana mendirikan Partai Bendera
Darah untuk menguasai rimba persilatan tanah Jawa. Saat ini Pangeran Matahari
pasti sudah kabur. Dia selalu berlaku licik."
"Tapi kau masih di sini untuk mempertanggung-jawabkan segala dosa besarmu..." sahut Wiro.
"Apakah kau akan membunuhku?" Tanya
Adimesa. "Bukankah aku pernah menyelamatkan nyawamu sewaktu hendak dibunuh Momok
Dem- pet Tunggul Gono?"9
Wiro tersenyum lalu angguk-anggukkan kepala.
"Kau menanam budi dalam diriku. Aku tidak melupakan hal itu." Kata Wiro pula.
Murid Sinto Gendeng melangkah ke dekat pohon. Sambil
9 Baca: Wiro Sableng Kembali Ke Tanah Jawa menggendong jenazah Puti Andini "lalu dia
mendekati Gondoruwo Patah Hati.
"Nek, seorang pemuda bernama Adisaka10
adalah kakak kandung pemuda bernama Adimesa itu. Aku tahu Adisaka adalah
muridmu. Tapi kau berlaku bijaksana dan tidak pernah mendendam walau akulah yang
membunuh muridmu. Kurasa saat ini kaulah satu-satunya orang yang paling tepat
untuk memberi hukuman padanya."
Gondoruwo Patah Hati pencongkan mulut,
mata menatap ke langit lalu pandangan diarahkan pada Adimesa. Perlahan-lahan
nenek ini dekati pemuda itu.
"Nek, apa yang hendak kau lakukan?" Tanya Adimesa dengan suara bergetar dan
wajah tambah pucat.
"Aku kasihan padamu, anak muda. Sayang kau tersesat terlalu jauh."
"Tapi Nek..."
Kata-kata Adimesa hanya sampai di situ. Tinju kanan Gondoruwo Patah Hati melesat
ke depan. Adimesa hanya keluarkan suara teriakan setinggi langit lalu terjengkang terkapar
tak bergerak di tanah. Dadanya bolong hangus. Si nenek menghantam dengan pukulan Batu Naroko. Setelah menarik nafas dalam, Gondoruwo Patah Hati mengambil kipas sakti milik Adimesa dan menyimpan di balik baju hitamnya.
*** Ketika Wiro dan Setan Ngompol bersiap-siap
menggali kubur untuk Puti Andini, Bunga berkata pada Pendekar 212. "Aku harap
jenazah itu jangan 10 Baca: Wiro Sableng Senandung Kematian kau kuburkan
"sebelum kami kembali."
Wiro tidak berkata apa-apa, hanya menjawab dengan anggukan. Sementara Pendekar
212 Wiro Sableng dibantu Setan Ngompol menggali kubur untuk jenazah Puti Andini,
Ratu Duyung dan yang lain-lainnya dengan bantuan cermin sakti masuk ke dalam 113
Lorong Kematian. Mereka menemukan dan membebaskan Anggini serta menolong semua perempuan hamil yang tersesat
di dalam lorong. Anehnya, mereka tidak menemukan Jati

Wiro Sableng 141 Kematian Kedua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

landak yang menurut Wiro dibaringkan dan
ditinggalkannya di tepi telaga.
Cukup lama ditunggu akhirnya Bunga muncul.
Di sampingnya melangkah Anggini, diiringi enam perempuan-perempuan hamil.
Ketika melihat tebaran jenazah manusia
pocong, Anggini segera mencari mayat Wakil Ketua. Dari balik jubah orang ini dia
menemukan kembali selendang ungu miliknya. Pendekar 212
yang diam-diam memperhatikan gerak-gerik Anggini merasa heran dan bertanya-tanya dalam hati mengapa selendang itu berada
pada Adimesa alias Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong.
Pemakaman jenazah Puti Andini diiringi
keharuan dan isak tangis. Naga Kuning sembunyikan muka sambil mengusut air mata. Bocah ini memandang berkeliling. Dia ingat
seseorang. "Hai, aku tidak melihat Dewa Tuak. Ke mana kakek itu" Tadi waktu kita ke sini
dia masih duduk di tanah mengusapi bumbung bambunya."
Tiba-tiba, gluk... gluk... gluk. Ada suara lahap orang meneguk minuman dari
balik pohon besar.
Semuanya lari ke balik pohon dan menyaksikan bagaimana Dewa Tuak yang juga sudah
terlepas dari minuman pencuci otak asyik menenggak cairan yang ada di dalam
bumbung bambu. "Guru, kau baik-baik saja?" tegur Wulan Srindi lalu bersimpuh di depan si kakek.
Membuat Anggini yang semua hendak dekati gurunya jadi batalkan niat. Beberapa
orang ada di tempat itu merasa kurang senang dengan sikap Wulan Srindi. Namun mereka diam saja. Sementara Dewa Tuak acuh tak acuh terus saja melahap
minuman- nya. Naga Kuning merasa tengkuknya merinding.
Melirik ke samping dia melihat Gondoruwo Patah Hati tengah memandangnya dengan
mata melotot. "Ah, sudah tahu dia rupanya..." pikir Naga Kuning. Anak ini merasa kecut lalu
jatuhkan diri di depan si kakek.
"Kek, aku mohon ampunmu kek. Aku mohon
ampun!" Si bocah berkata sambil menempelkan keningnya berulang kali ke tanah,
pantat me- nungging-nungging ke atas.
"Eh, apa-apaan kau ini" Memang dosa apa
yang telah kau perbuat pada Dewa Tuak?"
bertanya Setan Ngompol sambil pegangi perut menahan kencing. Sampai saat itu dia
masih mengenakan jubah pocong11 yang ditemuinya di rumah janda gemuk di Bantul.
Naga Kuning melintangkan jari telunjuknya di atas bibir. Lalu pelan sekali dia
berkata. "Cairan dalam bambu itu bukan tuak. Tapi air kencingku!"
Serrr! Air kencing Setan Ngompol terpancar. "Untung bukan air kencingku..." ucap si
kakek kemudian sambil menahan tawa cekikikan, tapi tidak sanggup menahan
pancaran air kencingnya,
Beberapa orang yang sempat mendengar
terkesiap kaget.
"Benar-benar bocah kurang ajar!" kata Gondo11 Baca: Wiro Sableng Rumah Tanpa Dosa"ruwo Patah Hati, sedang yang lain-lain setelah kagetnya hilang mulai senyumsenyum. Ada yang menutup mulut menahan ketawa.
"Kek, aku mohon ampunanmu. Kau mau
mengampuniku kan kek?" Kembali Naga Kuning keluarkan ucapan sambil pulang balik
tempelkan jidat ke tanah di depan Dewa Tuak.
Si kakek hentikan minumnya. Menatap si
bocah seketika.
"Sedap sekali tuak ini. Baunya harum luar biasa," katanya. "Minum sedikit saja
sudah kenyang. Rasa hauspun hilang. Belum pernah aku meneguk tuak seperti ini.
Luar biasa!" Bumbung bambu dikocok-kocok. "Wah, masih banyak
isinya." Si kakek ulurkan tangan mengusap rambut jabrik Naga Kuning. Dia tidak
menjambak. Tapi ketika tangannya diangkat ke atas, kepala si bocah ikut terangkat. "Cah
bagus, kau pasti haus juga. Aku tidak rakus minum sendirian. Aku suka berbagi
rejeki dengan sobat kecilku ini. Cah bagus, ayo habiskan tuaknya." Lalu Dewa
Tuak sorong- kan bumbung bambu ke mulut Naga Kuning.
Anak ini tak mampu menolak.
Gluk... gluk... gluk! Air kencingnya sendiri yang ada di dalam bumbung mengucur
masuk ke dalam mulutnya. Semua orang yang menyaksikan itu tak dapat menahan
tawa. Dewa Tuak ikut tertawa terkekeh-kekeh. Sebaliknya Naga Kuning gelagapan merasa mual lalu semburkan muntah campur air kencing!
TAMAT Episode Selanjutnya:
KITAB 1000 PENGOBATAN
Document Outline
KKCover.pdf KKCover.pdf BASTIAN TITO
WIRO SABLENG e-book oleh: kiageng80 sumber cover: kelapalima
sumber kitab: pendekar212
Pedang Medali Naga 3 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Peristiwa Burung Kenari 3

Cari Blog Ini