Wiro Sableng 133 Lorong Kematian Bagian 3
Carano Ameh. Tapi karena kau sudah biasa gatal tangan membunuh sembarangan, kau
tidak perdulikan teriakan orang. Kau menghantamnya dengan Pukulan Sinar
Matahari! Sungguh keji! Pukulan sakti yang sanggup menghancur gunung itu kau pakai untuk
membunuh seorang bocah tidak berdaya!"
Sinto Gendeng keluarkan suara menggerung mendengar kata-kata Sepasang Naga Pulih
Kembar. "Kalian berdua boleh saja tidak percaya. Tapi aku berani bersumpah aku tidak
punya niat jahat membunuh anak itu!"
"Kematian sudah terjadi! Anak yang mati tak mungkin dibuat hidup kembali!
Dosamu tak mungkin dilebur. Jadi saat ini pantas sekali kami membenamkan dirimu
di tanah!' Berkata Naga Nini yang merupakan nenek tertua dari sepasang nenek
kembar itu. Adiknya, Naga Nina menyambung.
"Sebenarnya kami ingin memendam tubuhmu di puncak Gunung Gede, di samping makam
Boma Wanareja. Namun ketika kami datang ke sana kau tengah gentayangan kemanamana hingga akhirnya kami menemuimu di tempat ini..."
"Aku bukan gentayangan. Aku justru tengah mengejar Nyi Ragil, pembunuh
sebenarnya dari Datuk Muda Carano Ameh" jawab Sinto Gendeng setengah berteriak,
garang dan melotot dan juga, Setengah putus asa
"Sekalipun Nyi Ragil punya tujuh nyawa dan kau membunuhnya sampai tujuh kali,
Boma tidak akan dapat hidup kembali." Ujas Naga Nini.
Sinto Gendeng tak dapat menahan amarahnya,
"Kalian... kalian bukan manusia. Makhluk apa kalian aku tidak perduli. Apa
sangkut paut kailan dengan Boma Wanareja"!"
"Kami adalah Sepasang Naga pelindung anak itu. Ketika kejadian kau membunuh
Boma, kami baru saja menyelesaikan tapa di Gunung Wilis." Menerangkan Naga Nina.
Naga Nini menyambungi. "Sekarang kau sudah tahu dosamu. Berarti kau harus
menyadari bahwa cukup pantas dirrmu kami hukum dipendam dalam tanah begitu
rupa!" "Tidak bisa! Kalian bukan Tuhan yang bisa menghukumku seenaknya!" Teriak Sinto
Gendeng lantang.
Sepasang Naga Putih Kembar tertawa panjang.
"Ketika kau membunuhi musuh-musu mu apa terpifkir olehmu bahwa kau juga bukan
Tuhan yang bisa menghukum dan membunuh orang lain seenaknya"'
"Jahanam! Kalian berdua tidak lebih dari makhluk keji kesasar!" Keluarkan aku
dari dalam tanah. Mari kita bertempur secara satria ".
Kembali Sepasang Naga Putih tertawa.
"Selamat tingga! Sinto Gendeng." Naga Nini dan Naga Nina berucap lalu didahului
dengan menebarnya kabut pulih, sosok kedua makhluk aneh itu lenyap dari tepian
telaga. "Jahanam pengecut!" teriak Sinto Gendeng karena dua makhluk pergi begitu saja
tanpa mau melayani tantangannya. Dia mengira dengan perginya Sepasang Naga Putih
Kembar itu dia akan bisa keluar dari pendaman. Tapi tetap saja sia-sia. Tekanan
berat di sebelah atas tak kunjung lenyap. Sampai berapa lama dia bisa bertahan.
Tubuhnya bisa-bisa amblas sampai ke ubun-ubun. Kalau hal ini sampai kejadian
nyawanya lidak tertolong lagi.
SINTO Gendeng, nenek sakti dedengkot rimba persilatann tanah Jawa tidak tahu
entah sudah berapa lama dia terpendam di tanah. Dia tidak mampu menghitung hari.
Tubuhnya mulaidari dada ke atas kotor diselimuti debu tebal. Keadaannya hampir
menyerupai jerangkong hidup. Selama terpendam, pada siang hari dirinya
dipanggang sinar matahari. Pada malam hari diselimuti hawa dingin berlapis
embun. Di atas kepalanya, di tusuk konde perak. yang tinggal empat, mulai
bersarang dan berkeliaran berbagai macam serangga.
Selama dipendam begitu rupa tentu saja Sinto Gendeng tidak pernah makan, tidak
pernah minum. Padahal telaga berair jernih dan sejuk hanya beberapa langkah saja
di dekatnya. Bibirnya pecah-pecah. Rongga dua matanya semakin cekung mengerikan.
Kalau ada buah atau daun pohon yang melayang jatuh dan bisa dijangkau
dipungutnya, itulah yang jadi makanannya. Kalau ada lapisan embun menempel di
bibirnya, itulah yang dijilatnya dijadikan air minuin pelepas dahaga. Keadaan
nenek ini sungguh mengenaskan. Siap menunggu sekarat.
Saat itu sore hari. Entah sore yang keberapa. Sinto Gendeng tak bisa menghitung.
Sepasang matanya tertutup. Kepala terkulai ke samping, dua tangan terletak
lunglai di permukaan tanah. Dia tahu saat itu matahari hampir tenggelam karena
dapat merasakan sinarnya tidak lagi keras membakar, memanggang kepala dan
wajahnya. "Mati, mengapa aku tidak mati saja?" Sinto Gendeng berucap menyumpahi diri
sendiri dalam hati "Malaikat maut. dimana kau. Mengapa kau tidak datang,
mencabut nyawaku sekarang juga! Memang aku banyak dosa! Aku tidak takut matil
Cabut nyawaku sekarang juga".
Mulut si nenek terbuka sedikit. Lalu dia terbatuk-batuk. Menyemburkan ludah
bercampur darah!
Dalam keadaan seperti itu sayup-sayup di kejauhan ada suara orang berjalan
sambil bercakap-cakap. Sesekali terdengar suara tawa menyelingi percakapan.
"Kalau aku tidak salah, di sekitar sini ada sebuah telaga. Rasanya aku ingin
sekali mandi berbasah-basah.'' Yang bicara seorang perempuan.
Kalau begitu mari kita cari telaga itu. Aku juga kepingin mandi asal kau mau
menemani" Menyahuti suara orang lelaki. Sepertinya bukan suara lelaki dewasa.
"Pasti di otakmu saat ini sudah muncul pikiran kotor. Aku mau mandi tapi tidak
mau membuka pakaian.
"Mana ada orang mandi mengenakan pakaian. Yang namanya mandi itu ya pasti bugil.
Kerbau saja kalau mandi telanjang tidak pakai baju! Ha... ha..ha... ha!"
Suara tawa bergelak itu tiba-tiba terputus. Berganti dengan seruan kaget.
"Lihat".
"Astaga!"
Dua orang berkelebat ke hadapan Sinto Gendeng.
"Sulit dipercaya. Mukanya tertutup debu tebal. Tapi dari tusuk konde perak di
atas kepalanya aku yakin dia......"
"Aku mencium bau pesIng. Walau tidak santar karena tubuhnya sebelah bawah ada di
dalam tanah. Pasti dia Sinto Gendeng. Nenek sakti dari Gunung Gede guru Pendekar
212 Wiro Sableng."
"Hanya, bagaimana kita bisa percaya dia terpendam begini rupa" Siapa yang
melakukan" Dia sendiri" Bunuh diri" Ah, ini bukan cara bunuh diri yang
menyenangkan. Ha... ha..ha!"
"Jangan tertawa saja. Kita harus melakukan sesuatu. Menolong dia keluar dari
pendaman tanah."
Sejak tadi Sinto Gendeng mendengar semua pembicaraan dua orang yang muncul di
hadapannya itu, Dia ingin melihat siapa kedua orang itu adanya. Tapi dua matanya
terasa sangat berat tak mampu dibuka. Di atas kepalanya seperti ada benda luar
biasa berat menekan dirinya.
"Tunggu apa lagi. Ayo kita keluarkan nenek ini dari dalam tanah!"
Sinto Gendeng merasa ada dua pasang tangan memegang bahunya kiri kanan.
Lalu perlahan-lahan tubuhnya ditarik ke alas. Namun jangankan tubuh nenek itu
bisa keluar dari dalam tanah. Bergerak atau bergeming sedikitpun tidak. Kedua
orang itu kerahkan tenaga. Salah seorang dari mereka selinapkan lengan di bawah
ketiak si nenek.
Lalu keduanya mengangkat kuat-kuat ke atas. Dari mulut Sinto Gendang mengeledek
jerit kesakitan. Tulang pinggangnya seperti mau putus.
"Anak Setan! Kalian mau membuat copot tubuhku"!".
Dibentak begitu rupa dua orang yang berusaha menolong terperangah kaget.
"Nenek kami bukan mau mencelakai dirimu. Tapi mau menolong. Mau mengeluarkan
tubuhmu dari dalam tanahl"
"Mau menolong...?" Wajah tengkorak Sinto Gendeng menyeringai kaku. Dua matanya
masih terkatup. Jadi kalian bukannya malaikat maut" "
Dua orang itu saling pandang. Dalam keadaan sekarat seseorang memang bisa saja
bicara melantur,
"Aku mau mati. Kalau kalian bukan malaikat maut pergi sana!."
"Nek, kami bukan malaikat maut! Kami sahabat-sahabatmu," Suara perempuan
memberitahu. "Betul. Yang namanya malaikat maut kalau datang mana pernah memberitahu.
Nyawamu langsung disedot dari ubun-ubun atau dibetot dari jempol kaki! iiiihhh!"
"Manusia-manusia sialan! Siapa kalian"!"
"Buka matamu Nek, kau pasti mengenali kami!"
"Kepala dan bahuku terasa berat. Mataku tak bisa dibuka. Kalaupun kalian bukan
malaikat maut, tapi kalian tentu bisa membunuhku saat ini juga!"
Dua orang di hadapan Sinto Gendeng saling berbisik.
"Ada yang tidak beres di tempat ini. Ada satu kekuatan aneh membuat tubuh Sinto
Gendeng tidak bisa dikeluarkan dari dalam tanah."
"Kalau saja Wiro ada di sini dia pasti mampu menolong gurunya. Dengan kapak
saktinya atau dengan ilmu aneh yang didapatnya di Negeri Latanah silam. Ilmu
Membelah Bumi Menyedot Arwah."
Mendengar nama muridnya disebut seolah mendapat satu kekuatan ajaib sepasang
mata Sinto Gendeng perlahan-lahan terbuka.
BASTIAN TITO 11 113. LORONG KEMATIAN
SINTO Gendeng buka sepasang matanya lebih lebar.
"Kalian.." ucap si nenek. Dia hanya mampu melihat samar-samar. "Aku mendengar
suara, tapi aku tidak melihat jelas. Boleh jadi... boleh jadi aku telah buta,"
Dua orang di hadapan Sinto Gendeng saling pandang.
"Kita harus bantu penglihatannya. Mungkin aliran darah ke kepalanya tidak
lancar. Kita perlu menotok urat besar di leher kiri kanan dan dua pelipisnya.
"Kau yang melakukan. Aku akan membantu memberi kekuatan dengan totokan di ubunubunnya!. Dua tangan lalu bergerak cepat menotok jalan darah di leher dan kening Sinto
Gendeng. Totokan berikutnya di arahkan tepat di ubun-ubun batok kepala si nenek.
Begitu ditotok Sinto Gendeng keluarkan suara seperti ayam digorok. Sepasang
matanya terbuka semakin ebar, ada cahaya mencorong angker. Pertanda kemampuannya
melihat kini hampir kembali sempurna. Tubuhnya tidak terasa lemas namun beban
berat yang menindih di sebelah atas masih terasa.
"Kalian..." desis Sinto Gendeng, memandang pada bocah berpakaian serba hitam
berambut jabrik yang jongkok di hadapannya. "Kau... Bocah edan...."
"Aku Naga Kuning Nek. belum jadi bocah edan!" jawab anak berpakaian serba hitam
lalu menutup mulut menahan tawa.
"Dan aku, apa kau mengenali diriku?" Perempuan tua berwajah seram berpakaian
hitam dan berkuku panjang hitam di samping Naga Kuning keluarkan ucapan.
Sinto Gendeng menyeringai buruk. "Aku mengenali tampangmu yang seram tidak
karuan. Tapi aku lupa namamu.."
"Aku Gondoruwo Patah Hati Sahabatmu.."
"Aahhh... " Sinto Gendeng lepas nafas panjang.
"Nek kami barusan berusaha menotongmu, Tapi aneh, sosokmu tak bisa diangkat, tak
bisa ditarik dari dalam tanah. Apa yang terjadi dengan dirimu" Siapa memendammu
begini rupa?".
"Ada satu kekuatan aneh menindih kepala dan tubuhku. Sampai kiamat kalian tak
bakal bisa membebaskan diriku."
Kalau kau mau menceritakan apa yang terjadi, atau siapa yang melakukan perbuatan
gila ini atas dirimu, mungkin kami bisa mencari jalan untuk menolongmu".
"Aku manusia penuh dosa. Aku pantas menerima hukuman ini sampai mati."
Jawab Sinto Gendeng.
"Hukuman yang paling pantas jatuh atas diri manusia adalah yang datang dari
Gusti Allah. Hukum manusia atas manusia lainnya biasanya dipengaruhi rasa
dendam, iri dengki atau rasa takut tak beralasan. Aku belum bisa percaya kalau
apa yang terjadi atas dirimu ini adalah hukuman dari Gusti Allah. Harap kau mau
bercerita".
Sinto Gendeng tatap wajah seram nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati sesaat Dia
tahu riwayat nenek satu ini. Di balik wajah yang buruk seram itu ada satu wajah
cantik jelita. Di balik tubuh yang kelihaian rapuh buruk itu ada satu sosok yang
mulus bagus. Dan dia juga tahu kalau si nenek sebenarnya bernama Ning Intan
Lestar. Dan bocah berambut jabrik itu sesungguhnya adalah seorang kakek sakti
berjuluk Kiai Paus Samudera Biru.
Satu senyum menyeruak di wajah angker Sinto Gendeng.
"Nek, aku sahabat muridmu. Aku tahu senyummu lebih mahal dari emas sebesar
gunung. Tapi saat ini aku melihat kau tersenyum, ada apakah" ".
"Aku senang melihat kalian berdua. Kalian manusia-manusia berbahagia. Tidak
seperti diriku. Seumur hidup dirundung sengsara, korban tipu daya, korban fitnah
dan hari ini menjadi korban hukum. Hik... thik... hik."
"Jalan hidup kami berdua tidak lebih baikdarimu, sahabatku Sinto," kata
Gondoruwo Patah Hati pula. "Puluhan tahun kami dirundung duka sengsara sebelum
Gusti Allah mempertemukan kami kembali".
Sinto Gendeng menarik nafas dalam "Dunia penuh keanehan. Di dalam keanehan
itulah agaknya aku akan menemui ajal". Sinto Gendeng usap wajahnya "Naga Kuning,
tadi kau menyebut muridku. Kau tahu dlmana anak setan itu sekarang berada" Aku
ingin melihatnya sebelum diri buruk penuh dosa ini menemui kematian,"
"Sinto sahabatku. Siapa bilang kau akan mati. Kami akan menolongmu keluar dari
dalam pendaman tanah...."
"Kalian sudah berusaha tapi tidak mampu...".
"Cerita Nek, ceritakan apa yang terjadi!' kata Naga Kuning pula.
Atas desakan Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati, Sinto Gendeng menceritakan
pertemuannya dengan Sepasang Naga Putih Kembar, Naga Nini dan Naga Nina.
"Sulit dipercaya ada makhluk seperti itu." Kata Naga Kuning sambil mengusap
rambut jabriknya,
"Nek, kami berdua akan mencoba mengeluarkan kau dari dalam pendaman tanah..."
"Tidak ada gunanya. Kalian sudah mencoba dan tak berhasil. Tinggalkan saja
diriku. Tolong cari muridku si enak setan bernama Wiro Sableng itu. Mudahmudahan dia bisa menemuiku sebelum aku menemui kematian..."
Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati berbisik-bisik.
"Lakukan dengan sepuluh jarimu. Aku akan membantu dari belakang. Mudah mudahan
berhasil," bisik Naga Kuning.
"Aku tidak bisa memastikan kita berhasil. Ingat, waktu aku bertapa mendalami
ilmu itu di pinggir Kali Lanang, kau jatuh ke pangkuanku! Tapaku menjadi buyar!"
"Aku ingat," jawab Naga Kuning. Tapi tak ada salahnya kita coba. Aku akan
membantumu".
(Peristiwa jatuhnya Naga Kuning ke pangkuan Gondoruwo Patah Hati yang tengah
bertapa merampungkan ilmu Kuku Api di tepi Kali Lanang, dapat dibaca dalam
Episode 'Gondoruwo Patah Hati")
Gondoruwo Patah Hati beringsut mendekati Sinto Gendeng. Lima jari tangannya yang
berkuku panjang hitam dipentang lurus, diletakkan di tanah. Di sebelah belakang
Naga Kuning letakkan dua telapak tangannya di punggung Gondoruwo Patah Hati.
"Kalian mau melakukan apa?" tanya Sinto Gendeng sambil memperhatikan sepuluh
jari berkuku panjang hitam nenek bermuka seram di hadapannya.
"Aku akan menggali tanah di sekitar tubuhmu. Itu satu-satunya cara terbaik untuk
mengeluarkanmu dari pendaman tanah..."
Sinto Gendeng menyeringai. "Lebih baik sepuluh kuku jarimu itu kau cengkeramkan
ke leherku biar aku mati! Itu lebih mudah dari pada bersusah payah menggali.
Hik.hik.hik!"
Tanpa perdulikan ucapan Sinto Gendeng, Gondoruwo Patah Hati mulai kerahkan
tenaga dalamnya lalu dialirkan pada sepuluh jari tangan. Di sebelah belakang
Naga Kuning bantu mengalirkan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya ke tubuh
Gondoruwo Patah Hati.
Sekujur tubuh Gondoruwo Patah Hati bergetar. Sepuluh jari tangannya yang berkuku
hitam kini berubah merah, memancarkan cahaya seperti bara api. Tangan dan jari
serta tanah disekilarnya mengeluarkan kepulan asap merah. Sinto Gendeng merasa
ada hawa panas menjalar di tanah sekitarnya, masuk ke dalam tubuhnya.
"Lakukan sekarang", bisik Naga Kuning. Mendengar ucapan Naga Kuning, Gondoruwo
Patah Hati hunjamkan sepuluh jari tangannya ke dalam tanah.
"Cesss! Cessss!"
Terdengar suara seperti besi panas dicelup ke dalam air. Asap merah mengepul
semakin tebal. Dengan kedua tangannya yang berkuku panjang Gondoruwo Patah Hati
menggali tanah sekitar tubuh Sinto Gendeng. Memang luar biasa kehebatan dua
tangan si nenek Sepuluh jari berkuku hitam yang kini memancarkan sinar merah Itu
pada puncak kehebatannya sanggup meremas hancur batu kini dipergunakan untuk
menggali tanah yang jauh lebih lunak. Tentu saja dalam waktu cepat tanah di
sekitar dada Sinto Gendeng terbongkar terkuak lebar dan cukup dalam.
"Nek, coba gerakkan tubuhmu!. Mungkin tanah yang menjepitmu sudah longgar!"
Berkata Naga Kuning.
Sinto Gendeng pular-putar tubuhnya. Ternyata hanya dadanya yang berada di atas
permukaan tanah yang mampu digerakkan sementara bagian tubuh yang terpendam di
Wiro Sableng 133 Lorong Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelah bawah masih belum bisa bergeming.
"Aku merasa tekanan tanah agak berkurang. Tapi aneh, aku tidak bisa menggerakkan
tubuh bagian bawah," kata Sinto Gendeng. Ada tekanan berat luar biasa menindih
kepala dan pundak ku.
"Kerahkan tenaga dalammu!" Kata Gondoruwo Patati Hati.
Sinto Gendeng kerahkan tenaga dalamnya tapi tetap saja dia tak mampu bergerak.
"Gali lebih dalam dan lebih besar," ucap Naga Kuning pada Gondoruwo Patah Hati.
"Matahari hampir tenggelam. Sebentar lagi malam tiba! Kita harus bisa
mengeluarkannya sebelum hari menjadi gelap". Lalu kembali Naga Kuning salurkan
tenaga dalamnya ke punggung Gondoruwo Patah Hati. Nenek ini bekerja mati-matian
menggali tanah dengan dua tangannya. Sinto Gendeng kembali menggerakkan tubuh,
coba mengeluarkan diri dari jepitan tanah. Namun tetap saja tidak berhasil.
Nafas Gondoruwo Patah Hati sudah terengah. Di belakangnya Naga Kuning telah
mandi keringat karena mengerahkan tenaga dalam tak putus-putusnya. Sang surya
telah tenggelam.
Keadaan ditepi telaga mulai gelap. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba
berkelebat satu bayangan putih disertai bentakan keras.
"Manusia-manusia culas keji kurang ajar! Apa yang kalian lakukan! Dendam apa.
dosa apa sampai tega-teganya dan beraninya kalian memendam Eyang Sinto Gendeng
hidup-hidup?".
"Wuuut"
"Wuuut!"
Satu tendangan melabrak ke punggung Naga Kuning. Satu jotosan menghantam ke arah
batok kepala Gondoruwo Patah Hati. Si bocah jabrik dan si nenek bermuka setan
berseru kaget, lalu sama-sama cari selamat dengan jatuhkan diri ke tanah
BASTIAN TITO 12 113. LORONG KEMATIAN
NAGA Kuning merasa sekujur tubuhnya dingin ketika mengetahui tendangan orang
lewat hanya seujung kuku, menyerempet punggung baju hitamnya. Kalau dia tidak
cepat jatuhkan diri ke tanah, tubuhnya sebelah belakang pasti akan hancur
berantakan. Gondoruwo Patah Hati seperti Naga Kuning tertelentang pucat di tanah. Pukulan
orang akan memecahkan balok kepalanya kalau dia tidak cepat jatuhkan diri.
Rambutnya yang sebagian tergulung kini terbongkar awut-awutan. Masih untung
hanya gulungan rambutnya yang kena serempetan pukulan orang. Kalau sampai balok
kepalanya yang kena digebuk, saat itu pasti dia sudah jadi mayat.
"Anak Setan! Dedemit mana yang masuk ke dalam tubuhmu hingga mau membunuh dua
sahabat yang hendak menolong diriku?".
Sinto Gendeng keluarkan bentakan keras. Bayangan putih yang barusan berkelebat
sambil lancarkan dua serangan maut keluarkan seruan tertahan. Dengan dua mata
dibesarkan dia melangkah mendekati Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati yang
saat itu tengah berusaha bangun dari tanah.
"Ampun Eyangl Saya kesalahan mata" Hampir kesalahan tangan. Tempat Ini begitu
gelap. Saya hanya melihat sosok Eyang kerena menghadap ke arah saya. Dan dua
orang itu membelakangi arah saya datang !"
Orang yang bicara jatuhkan diri berlutut dihadapan Sinto Gendeng, lalu memutar
tubuh pada Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati.
"Salah mata salah nyawa ! Kau pantas menerim hukuman seperti yang aku alami saat
ini". "Mohon ampun Eyang. Tapi kedua orang ini tidak sampai mati ditanganku."
"Kalau kami berdua sempat mati ditanganmu,kami akan menjadi setan dan datang
mencekikmu!" Kata Naga Kuning.
"Naga Kuning, nenek Gondoruwo Patah Hati, maafkan aku, aku benar-benar tidak
mengira. Aku hanya melihat kalian dari belakang. Sepertinya hendak memendam
guruku ke dalam tanah."
"Wiro, kami justru ingin mengeluarkannya dari dalam tanah. Tetapi gagal terusterusan." Kata Naga Kuning sambil memegang tengkuknya yang masih terasa dingin
sementara Gondoruwo Patah Hati merapikan gulungan rambutnya.
"Apa yang terjadi di tempat ini ?" tanya orang yang barusan datang, dan bukan
lain lain Pendekar 212 Wiro Sableng adanya.
"Jangan banyak bertanya dulu! Bantu mereka mengeluarkan aku dari dalam tanah."
Sentak Sinto Gendeng.
Wiro menggaruk kepala.
"Baik Eyang akan saya lakukan. Saya akan lakukan." Kata Wiro pula. Lalu dia
keluarkan Kapak Maut Naga Gen i 212.
"Jangan pergunakan kapak"' ucap Naga Kuning. "Wiro, aku ingat bukankah kau punya
ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah. Pergunakan ilmu itu untuk mengeluarkan gurumu
dari pendaman tanah."
Wiro memperhatikan sejenak. Lalu gelengkan kepala.
"Tidak, terlalu berbahaya. Salah-salah guruku malah bisa terjepit amblas! Nek
kau terus menggali tanah dengan dua tanganmu. Naga Kuning. Kau teruskan
menyalurkan tenaga dalam. Aku akan menarik Eyang Sinto ke atas."
"Sudah dilakukan. Tapi tidak berhasil. Sosok gurumu seperti dijepit di sebelah
bawah dan di sebelah atas seolah ada kekuatan berat luar biasa menindih kepala
dan pundaknya."
"Lalu bagaimana caranya kita membebaskan Eyang" Sialan! Siapa yang punya
pekerjaan kurang ajar seperti ini!"
"Wiro. kau punya kepandaian Menembus Pandang. Selidiki apa yang ada di atas
kepalaku. Mata biasa bisa saja tidak mampu meiihat...."
Masih memegang kapak sakti di tangan kanannya, wiro kerahkan ilmu Menembus
Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung. Begitu ilmu diterapkan dan matanya
memandang ke depan. Wiro keluarkan seruan kaget. Dua kakinya sampai bergerak
surut dua langkah.
"Anak Setan! Apa yang kau lihat?" Tanya Sinto Gendeng sementara Gondoruwo Patah
Hati dan Naga Kuning dalam herannya juga ingin tahu apa yang barusan telah
dilihat Pendekar 212.
"Eyang...." Suara sang murid agak gemetar.
"Saya... saya melihat ada dua benda aneh, besar putih, bergulung di atas Kepala
Eyang..." Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati saling pandang.
Sinto Gendeng mengulangi kata-kata Wiro. "Dua benda aneh, besar putih, bergulung
di atas kepalaku. Jahanam! Pasti mereka!"
"Mereka siapa Eyang"!"
"Makhluk yang memendam diriku! Sepasang Naga Putih Kembar!"
"Siapa mereka?" tanya Wiro.
"Berhenti dulu bertanya. Pergunakan kapak saktimu. Eh, aku melihat ada cahaya
merah aneh membungkus senjata itu. Apa yang terjadi dengan kapakmu Anak Setan?".
"Ada makhluk pandai memberi kekuatan tambahan pada senjata ini. Seekor naga..,"
Sepasang mata Sinto Gendeng membesar dalam rongga cekung angker.
"Naga dengan naga. Anak setan! Tunggu apa lagi! Hantam dua makhluk yang kau
lihat itu dengan Kapak Naga Geni 212! Kerahkan seluruh tenaga dalammu! Tapi awas
jangan batok kepalaku yang kau hantam! Hik..hik..hik!" Dalam keadaan tegang
seperti itu si nenek masih bisa bergurau dan tetawa cekikikan.
Wiro melangkah mendekati sosok Sinto Gendeng yang terpendam setengah badan di
tanah. Kapak Naga Geni 212 dipegangnya dengan dua tangan sekaligus. Belum pernah
dia memegang senjata sakti ini seperti itu. Tenaga datam dialirkan penuh. Dua
mata kapak sakti memancarkan sinar putih terang, dibungkus sinar kemerahan.
Dua tangan yang memegang gagang senjata sakti bergerak. Kapak Naga Geni 212
berkelebat dahsyat di atas kepala Sinto Gendeng. Suara dahsyat seperti ratusan
tawon mengamuk menggelegar di tempat itu. Cahaya putih menyilaukan serta cahaya
merah angker merobek kegelapan malam. Hawa panas menghampar membuat Naga Kuning
dan Gondoruwo Patah Hati menyingkir jauhkan diri.
Kapak Maut Naga Geni 212 kelihatannya membabat udara kosong. Tapi saat itu juga
terjadi satu keanehan. Di kejauhan terdengar suara dua orang berbarengan meratap
kesakitan. Lalu ada dua makhluk besar terbang, melesat tak kelihatan dalam
kegelapan malam.
Sinto Gendeng tersentak. Tindihan berat di kepala dan pundaknya lenyap.
"Anak Setan! Cepat kau lihat! Apa dua makhluk putih itu masih ada di atas
kepalaku?"
Wiro terapkan kembali Ilmu Menembus Pandang.
"Lenyap, tak ada lagi Eyang. Tapi di kejauhan sana saya melihat ada dua titik
putih". "Persetan dengan dua titik putih itu!" ujar Sinto Gendeng.
"Gondoruwo, cepat kau gali tanah di sekitarku. Naga Kuning, alirkan terus tenaga
dalammu. Wiro, kau angkat tubuhku ke atas. Hati-hati, perlahan-lahan! Aku
khawatir tanah jahanam itu masih menjepit diriku di sebelah bawah,"
Gondoruwo Patah Hati kembali menggali tanah di sekitar tubuh Sinto Gendeng.
Naga Kuning kerahkan seluruh tenaga dalam ke tubuh si nenek lewat punggung. Wiro
sendiri saat Itu telah berada di belakang sosok gurunya. Dua tangan diselinapkan
kebawah ketiak Sinto Gendeng lalu dengan mengerahkan tenaga luar dalam dia mulai
mengangkat tubuh gurunya ke atas. Berhasil! Perlahan-lahan tubuh kurus kering
dan bau pesing Sinlo Gendeng terangkat ke atas. Mulai dari bagian dada, lalu
pinggang, menyusul bagian perut. Ternyata ada yang tidak beres. Walau tubuh si
nenek bisa diangkat ke atas, dikeluarkan sedikit-demi sedikit dari dalam
pendaman tanah, namun kain yang dikenakannya terjepit di bawah dan tertinggal di
dalam tanah sehingga auratnya di bagian bawah perut terbuka jelas!
Gondoruwo Patah Hati langsung melengos palingkan kepala begitu melihat aurat
Sinto Gendeng yang tersingkap. Naga Kuning berteriak.
"Wir! Tahan!"
"Ada apa?". Wiro yang tidak tahu apa yang terjadi bertanya. Dan terus saja
menarik tubuh gurunya ke atas, keluar dari pendaman tanah.
"Hentikan! Jangan ditarik terus! Lepas! Lepaskan dulu. Ada yang tidak beres"
"Naga Kuning, apa yang tidak beres"!" Sinto Gendeng bertanya heran. Cuma saat
itu dia memang merasakan saputan udara malam menyapu dingin di auratnya sebelah
bawah. "Itu! Anu.... Kain Eyang Sinto ketinggalan di dalam tanah Anu Nek... ada yang
nongol kelihatan".
"Ada yang nongo". Apa maksudmu?" Sinto Gendeng bertanya.
Di sebelah belakang Wiro masih berusaha menarik tubuh gurunya ke atas.
Naga Kuning menunjuk ke bawah perut si nenek, Sinto Gendeng tundukkan kepala,
memandang ke bawah. Wiro ikutan julurkan kepalanya memandang ke bawah perut sang
guru. "Oo... wualla! Setan alas!" teriak Sinto Gendeng dengan muka kelam begitu
melihat auratnya sendiri. Dua tangannya dipukul-pukulkan ke tangan Wiro.
Wiro poncongkan mulut. Meringis geli. Lalu loloskan dua tangannya dari bawah
ketiak sang guru. Sosok Sinto Gendeng meluncur ke dalam tanah.
"Brengsek kau!" kata Naga Kuning pada Wiro.
"Sudah aku bilang berhenti kau malah menarik terus ke atas. Bisa sakit rebebkan
mataku melihat benda terlarang itu".
"Kau yang brengsek. Mengapa kau bilang. Ada yang nongol. Aku mana mengerti"!"
tukas Pendekar 212.
"Lalu aku mau bilang apa" Masa aku mau bilang ijuk. Habis berucap begitu Naga
Kuning tertawa cekikikan. Gondoruwo Patah Hati jewer telinga bocah ini. Sinto
Gendeng memaki panjang pendek sedang Wiro berdiri senyum-senyum sambil garukgaruk kepala. "Kalian orang-orang gila semua!" Rutuk Sinto Gendeng.
Saat itu Gondoruwo Patah Hati telah tanggalkan jubah luarnya. Jubah hitam ini
dililitkannya ke tubuh Sinto Gendeng. Kalaupun nanti tubuh itu ditarik ke atas,
maka auratnya akan terlindung di balik jubah hitam, Naga Kuning memberi tanda
pada Wiro, masih tertawa-tawa. Pendekar 212 kembali mengangkat tubuh sang guru
yang kini telah diselubungi jubah itu. Ketika sosok Sinto Gendeng terangkat ke
atas sampai sebatas pinggul, tiba-tiba entah dari mana datangnya tahu-tahu
kawasan sekitar telaga ttu telah tertutup kabut putih. Semua orang tercekat.
Sinto Gendeng merasa ada yang tidak beres, cepat berteriak.
"Anak Setan! Lekas tarik tubuhku! Cepat!"
Wiro lakukan apa yang dikatakan sang guru.
Tiba-tiba dari balik kabut ada suara menggema.
"Jangan ada yang berani bergerak. Atau kalian semua akan menemui ajal di tempat
ini!" BASTIAN TITO 13 113. LORONG KEMATIAN
SIAPA yang barusan bicara" Setan telaga atau dedemit hutan?" Naga Kuning
keluarkan ucapan. Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba dari dalam kabut
menyambar sebuah benda putih seperti ujung sebuah cemeti.
"Wuuuuttt!"
"Desss!"
Naga Kuning berseru kaget. Cepat melompat mundur. Ketika dia memandang ke depan,
tanah di tempat tadi dia berdiri amblas sedalam dua jengkal dan berwarna
kehitaman seperti hangus. Melihat hal ini Gondoruwo Patah Hari berteriak marah.
Dia langsung angkat tangan kanan hendak hantamkan ilmu Kuku Api. Watau ilmu ini
belum rampung dikuasainya, tapi tingkat yang saat itu sudah dimilikinya sanggup
menghancurkan sebuah batu sebesar kerbau.
"Tahan." Tiba-tiba Wiro berkata sambil memegang lengan Gondoruwo Patah Hati,
Kita tidak melihat musuh. Sebaliknya musuh melihat kita. Tunggu sampai kabut
lenyap. Siapapun yang ada di balik kabut akan muncul kelihatan."
Apa yang dikatakan Wiro memang benar. Perlahan-lahan kabut pulih melenyap sirna.
Lalu dari balik kabut itu di atas telaga kelihatan dua sosok nenek berwajah
putih berambut perak. Tubuh mereka menyerupai tubuh naga berwarna putih. Didada
masing-masing kelihaian ada luka besar yang walaupun sudah bertaut tapi tampak
masih mengucurkan darah. Agaknya luka ini adalah bekas hantaman Kapak Maut Naga
Geni 212 yang dilancarkan Wiro tadi.
"Sepasang Naga Putih Kembar! Mereka makhluk jahanam yang memendam aku ke dalam
tanah!".Teriak Sinto Gendeng yang saat itu terpendam kembali di tanah.
"Jadi ini makhluknya yang berani berlaku kurang ajar terhadap guruku!" Wiro
melompat ke depan. Kapak Maut Naga Geni 212 sudah tergenggam di tangan. Sepasang
mata dua nenek kembar bertubuh naga melirik pada senjata di tangan Pendekar 212
itu. Jelas kelihaian mereka agak ngeri melihat senjata yang sebelumnya telah melukai
diri mereka itu.
"Bocah sableng! Mulutmu jangan terlalu enteng bicara! Kau tahu apa tentang dosa
kesalahan gurumu! Kau sendiri saat ini telah berbuat kesalahan besar. Berani
menyerang dan melukai kami! Serahkan Kapak Naga Geni 212 itu pada kami. Kau akan
selamat dari kematian!"
"Wiro," Naga Kuning berbisik. "Agaknya dua makhluk berkepala manusia bertubuh
naga ini jerih terhadap kapakmu. Hati-hati. Aku punya dugaan mereka akan
berusaha merampas senjata itu dari tanganmu!"
Dari dalam pendaman tanah tiba-tiba Sinto Gendeng keluarkan suara tawa
melengking. "Sepasang Naga Putih! Kalian inginkan senjata di tangan muridku! Tapi kalian
hanya berani meminta seperti pengemis! Pengecut! Jika kalian memang punya ilmu
kepandaian mengapa tidak mengambil sendiri"!" Sinto Gendeng rupanya juga sudah
membaca kalau dua nenek kembar itu merasa kecut melihat Kapak Maut Naga Geni
212. Dimaki pengemis dan pengecut dua naga putih keluarkan suara menggembor.
Yang di sebelah kanan yaitu Naga Nini membuka gelungan tubuhnya lalu melesat ke
arah Pendekar 212 Wira Sableng. Wiro menyambut dengan hantaman tangan kiri,
melepas pukulan Benteng Topan Melanda Samudera sementara kapak di tangan kanan
menderu membabat ke arah kepala nenek bertubuh naga. Sinar terang putih
menyilaukan terbungkus cahaya merah menderu panas dan mengeluarkan suara ratusan
tawon mengamuk.
Naga Nini buka mulutnya lalu menyembur. Satu gelombang angin dahsyat melabrak.
Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera buyar. Tubuh Pendekar 212
terpental dua tombak. Dia merasa seperti ditancapi ratusan jarum. Darah
mengambang di permukaan kulitnya. Kapak di tangan kanan terlepas. Dia berusaha
menjangkau tapi ekor Naga Nini tiba-tiba berkelebat menghantam ke arahnya. Murid
Sinto Gendeng ini terpaksa lebih dulu selamatkan nyawanya daripada selamatkan
kapak sakti. Selagi senjata itu melayang di udara. Gondoruwo Patah Hati cepat
melesat untuk mengambilnya.
Pada saat kapak berhasil disentuhnya, dari depan mendadak naga pulih ke dua
yaitu Naga Nina telah bergerak kirimkan serangan. Ekornya yang panjang laksana
cambuk membeset ke arah si nenek. Gondoruwo Patah Hati nekad pergunakan Kapak
Maut Naga Geni 212 untuk menangkis.
"Trangg!"
Luar biasa! Ekor naga itu laksana baja lentur, mengeluarkan suara berdentrangan
ketika beradu dengan mata kapak. Walaupun begitu tampak ada darah mengucur di
bagian ekor Naga Nina pertanda daya kebal keatosan tubuhnya mampu ditembus oleh
kapak sakti milik Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kapak boleh sakti tapi Gondoruwo Patah Hati ternyata belum sanggup menerima
Wiro Sableng 133 Lorong Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
labrakan buntut naga yang luar biasa kerasnya. Meski dia masih sanggup
menggenggam senjata itu namun tubuhnya terlempar jauh dan terbanting ke tanah.
Naga Kuning cepat memburu.
"Aku tak apa-apa. Mungkin hanya luka di dalam sedikit. Ambil kapak sakti.
Agaknya hanya senjata Ini yang mampu menghadapi makhluk aneh itu."
Semula Naga Kuning hendak mengambil senjata itu. Tapi akhirnya dia berkala.
"Kapak itu biar tetap di tanganmu untuk menjaga segala kemungkinan! Dua makhluk
bermuka nenek putih bertubuh naga itu siapa mereka sebenarnya. Dia berani
mencelakaimu. Aku akan menghajar mereka sampai kapok!"
"Hati-hati, mereka bukan makhluk sembarangan."
Saat itu Naga Kuning telah melompat kehadapan Naga Nina yang barusan telah
menghantam jatuh Gondoruwo Patah Hati.
Di dalam pendaman tanah Sinto Gendeng memaki panjang pendek. Dia sudah gatal
tangan untuk ikut menempur sepasang naga itu namun walau tindihan berat di
kepala dan pundaknya telah lenyap ternyata dia masih tidak mampu mengeluarkan
diri sendiri dari dalam tanah.
Ketika Naga Kuning mendatangi Naga Nina, Wiro melompat ke arah Naga Nini.
Sebelum menerjang naga berkepala nenek berwajah putih itu dia telah menyiapkan
pukulan Sinar Matahari di tangan kanan. Begitu menerjang dia segera lepaskan
pukulan sakti itu ke arah lawan. Sinar putih berkelibat dalam gelapnya malam
disertai hamparan hawa panas luar biasa.
Tapi Naga Nini keluarkan tawa dan ucapan mengejek menyambuti serangan sang
pendekar. "Pukulan Sinar Matahari! Apa perlu ditakuti" Hik... hik... hik".
Di tempatnya terpendam Sinto Gendeng merasa dirinya seperti terpanggang
mendengar ilmu kesaktian yang diwariskan pada muridnya itu diejek orang seperti
itu. Namun karena dalam keadaan tak berdaya dia tidak mampu berbuat suatu apa.
Habis keluarkan tawa dan ucapan mengejek Naga Nini menyembur. Seperti tadi satu
gelombang angin yang luar biasa dahsyatnya menghantam ganas.
Satu dentuman keras menggelegar, menggoyang pepohonan, memuncratkan air telaga
dan menggetarkan tanah. Naga Nini keluarkan suara menggerung hebat tapi sosoknya
tidak bergeming sedikitpun. Dari wajah dan kepalanya mengepul asap kelabu.
Sebaiknya Pendekar 212 terlempar jauh, bergulingan di tanah. Tangan kanannya
yang tadi melepas pukulan Sinar Matahari terasa kaku sulit digerakkan. Wiro
cepat atur pernafasan kerahkan tenaga dalam dan berusaha melancarkan peredaran
darah. Sementara itu Naga Kuning dengan tangan kosong nekad menyerbu Naga Nina yang
telah menciderai Gondoruwo Patah Hati. Selagi tubuhnya melayang di udara anak
ini lepaskan dua pukulan Naga Murka Merobek Langit. Dua larik sinar biru
enyambar ke arah Naga Nina. Nenek muka putih bertubuh naga Ini sesaat terkesiap.
Lalu mulutnya terbuka, menyembur. Dua larik sinar biru serangan Naga Kuning
berbalik menghantam ke arah pemiliknya.
Gondoruwo Patah Hati berteriak keras menyaksikan apa yang terjadi
"Gunung!" Si nenek berseru menyebut nama asli Naga Kuning. Walau dirinya dalam
keadaan cidera, dia berusaha menyambuti tubuh anak itu dengan satu tangan masih
memegang Kapak Naga Geni 212. Tapi dari samping ekor Naga Nini tiba-tiba
menyambar, menggelung senjata sakti itu dan membetotnya lepas. Walau si nenek
berhasil menyambuti tubuh Naga Kuning namun kapak sakti milik Pendekar 212 telah
kena dirampas Naga Nini. Melihat kejadian ini Wiro menjadi kalap. Sekali
melompat dia lelah melesat ke arah Naga Nini. Sambil melesat dia kembangkan
telapak tangan kanan, didekatkan ke mulut lalu ditiup. Serta merta pada telapak
tangan itu muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau. Itulah gambar Datuk
Rao Barmato Hijau, harimau sakti peliharaan seorang kakek bernama Datuk Rao
Basaluang Ameh. Tangan kanan Wiro kini sudah terisi ilmu pukulan sakti bernama
Pukulan Harimau Dewa. Jangankan kepala manusia atau binatang, batu sebesar
apapun sanggup dipukul hancur oleh Wiro dengan hanya menggerakkan tangannya
sedikit saja. Naga Nini memandang remeh ketika dilihatnya Wiro menyerbunya kembali dengan
tangan kosong. Sambil memegang Kapak Maut Naga Genl 212 di tangan kirinya, Naga
Nini hantamkan ekornya ke arah murid Sinto Gandeng. Saat itulah Wiro dorongkan
tangan kanannya perlahan saja. Selagi ekor Naga Nini berkelebat ke arah
tubuhnya, dari tangan Wiro menyambar keluar satu gelombang angin luar biasa
dahsyatnya. "Wusss!" '
Naga Nini menggerung keras. Tubuhnya terhuyung-huyung lalu terbanting di tanah
dekat telaga. Di kening kirinya kelihatan satu benjutan luka mengucurkan darah.
Pukulan Harimau Dewa yang dilepaskan Pendekar 212 ternyata hanya sanggup membuat
luka, tidak mampu menghancurkan kepala Naga Nini! Sebaliknya Wiro sendiri walau
tidak kena digebuk telak oleh Naga Nini namun sambaran angin yang keluar dari
ekor manusia bertubuh naga itu membuat dirinya terhenyak ke tanah. Untuk
beberapa Iamanya dia terkapar tak bisa bergerak. Dia masih tak mampu bergerak
ketika Naga Nini mendatangi dengan mementang Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan
kanan. "Anak Setan! Jangan diam saja! Lakukan sesuatu! Selamatkan dirimu!" Teriak Sinto
Gendeng ketika dilihatnya muridnya tidak berdaya sementara kapak sakti di tangan
Naga Nini membacok ke arah kepalanya.
Tiba-tiba ada suara aneh di tempat itu. Suara yang menyatakan ketakutan amat
sangat disusul dengan suara setengah meratap. Gerakan Naga Nini yang hendak
membacok kepala Wiro serta merta terhenti. Itu adalah suara saudara kembarnya.
Seumur hidup belum pernah dia mendengar saudaranya mengeluarkan suara seperti itu.
Apa yang terjadi". Naga Nini melintangkan kapak sakti di depan dada, berpaling
ke arah kiri. Terkejutlah dia ketika melihat ada sosok makhluk yang mengambang
di udara di hadapan Naga Nina. Di depan saudaranya saat itu ada seekor naga
besar bertubuh kuning, mala merah menyorot, lidah menjulur hijau,
" Naga Hantu Langit Ke Tujuh!" desis Naga Nini. Tubuhnya mendadak sontak menjadi
dingin. Nyalinya leleh dan wajahnya yang pulih jadi pucat bertambah putih.
Apa yang terjadi"
Selagi Naga Kuning masih berada dalam gendongan Gondoruwo Patah Hati, Naga Nina
tiba-tiba lancarkan serangan. Si bocah cepat melompat dari gendongan si nenek.
Sebelum kakinya menginjak tanah ekor Naga Nina menyambar ke arah kakinya. Naga
Kuning melesat ke udara sambil lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi. Namun serangannya tidak mengenai sasaran. Sebaliknya hantaman ekor
Naga Nina datang bertubi-tubi diseling pukulan tangan. Naga Kuning terdesak
hebat. Gondoruwo Patah Hati berusaha menolong. Dengan kuku-kuku jarinya yang runcing
hitam Si nenek berhasil merobek pinggul Naga Nina hingga terluka besar kucurkan
darah. Naga Nina menggerung marah dan menyerang Gondoruwo Patah Hati dengan
ganas. Salah satu sambaran ekornya berhasil menghantam bahu kiri Gondoruwo Patah
Hati hingga nenek ini terlempar jauh, terbanting di tanah.
Naga Kuning berteriak keras. Selagi dia berusaha memburu ke arah si nenek, Naga
Nina menghadang dan menyerangkan dengan hebat. Beberapa jotosan dan hantaman
ekor mendarat di tubuh bocah itu. Untungnya dia telah membentengi diri dengan
ilmu Ikan Paus Putih sehingga tubuhnya menjadi licin. Setiap jotosan ataupun
hantaman ekor lawan tidak bisa mengenai dirinya secara telak. Tapi bagaimanapun
hebatnya Naga Kuning bertahan, lambat laun dia kehabisan tenaga dan terdesak
hebat. Ketika ekor Naga Nina menggelung dan mencekik lehernya, siap memisahkan kepala
dan tubuh Naga Kuning, tiba-tiba wajah dan sosok sang bocah berubah menjadi
wajah dan tubuh seorang kakek berambut putih. Inilah sosok asli Naga Kuning yang
dikenal dengan nama Kiai Paus Samudera Biru. Dari dada kakek ini melesat keluar
satu sosok naga yang makin lama makin besar, mengapung tinggi di udara seolah
menindak langit.
Ekor Naga Nina yang masih menggelung leher si bocah yang tekah berubah menjadi
sosoK seorang kakek mengepulkan asap seolah menggelung besi panas. Naga Nina
tersurut mundur bukan hanya karena kesakitan akibat ekornya yang hangus, tapi
juga karena terkejut dan kecut ketika melibat sosok naga besar berwarga kuning
di hadapannya. "Naga Nina, kau tahu berhadapan dengan siapa". Kiai Paus Samudera Biru keluarkan
ucapan. Suaranya perlahan tapi menggetarkan seantero tempat, membuat Naga Nina
tambah kecut. "Saya tahu berhadapan dengan siapa. Naga Hantu Langit Ketujuh, raja dari segala
naga yang hidup maupun yang telah menjadi roh.'' Suara Naga Nina terdengar
gemetar pertanda dia takut setengah mati.
"Aku Kiai Paus Samudera Biru mewakili Naga Hantu Langit Ketujuh untuk
menanyaimu. Perbuatan apa yang kau lakukan di tempat ini" Menyiksa dan
menghantam orang" Apakah kau tidak punya pekerjaan lain selain membuat
kekacauan!"
"Kiai Naga Hantu Langit Ketujuh! Mohon maafmu. Kami tidak bermaksud berbuat
Kekacauan. Kami...."
"Panggil saudaramu ke sini! Aku perlu bicara dengan kalian berdua!"
Naga Nina tundukkan kepala. Dia berpaling pada saudaranya, memberi isyarat agar
Naga Nini mendatangi. Begitu dua nenek kembar bertubuh naga itu berada di
hadapannya. Naga Hantu Langit Ketujuh berkata.
"Sekarang jelaskan apa yang kalian lakukan disini. Mulai dengan perbuatan kalian
terhadap nenek itu" Kiai Paus Samudera Biru goyangkan kepalanya ke arah Sinto
Gendeng yang saat itu masih terpendam di tanah.
"Beberapa waktu lalu kami mendatanginya untuk menjatuhkan hukuman. Kami
memendamnya di dalam tanah." Naga Nina yang termuda dari dua naga kembar ilu
angkat bicara. Kenapa kalian menjatuhkan hukuman atas dirinya'?" Tanya Naga Hantu Langit
Ketujuh. "Dia telah berbuat dosa. Melakukan satu kesalahan besar".Jawab Naga Nini.
"Dosa apa, kesalahan apa?"
"Dia membunuh seorang anak kecil bernama Boma Wanareja." Kata Naga Nini pula.
Wiro terkejut mendengar ucapan Naga Nini itu.
"Tidak mungkin Guruku...!"
"Kiai Paus Samudera Biru berpaling pada Wiro.
"Anak muda biar aku lebih dulu menyelesaikan urusan dengan dua naga kembar ini.
Jangan mencampuri pembicaraan."
"Kalau Eyang Sinto Gendeng tidak besalah aku tidak mau mendengar fitnah kotor
dari mulut siapapun!"
"Fitnah atau bukan kita akan segera mengetahui," ujar Kiai Paus Samudera Biru.
"Kami tidak pernah memfitnah. Apa yang terjadi adalah kenyataan!" Ucap Naga
Nina. "Sinto Gendeng membunuh anak itu dalam keadaan sadar!"
"Siapa adanya anak bernama Boma Wanareja itu?"
"Seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun. Dia diharapkan akan menjadi seorang
pendekar sakti mandraguna, pembela keadilan penegak kebenaran, penolong orangorang terlindas. Tapi Sinto Gendeng telah menghabisinya!"
Kiai Paus Samudera Biru menoleh ke jurusan Sinto Gendeng lalu bertanya.
"Benar kau telah membunuh anak lelaki bernama Boma itu?".
"Benar!" jawab Sinto Gendeng mengakui tanpa tedeng aling-aling. "Tapi kejadian
itu berlanssung secara tidak sengaja. Aku mengira dia telah membunuh seorang
sahabatku. Aku telah mengaku bersalah dan bersumpah mencari pembunuh sebenarnya
Tapi dua nenek bertubuh naga itu berkata tak ada gunanya aku mencari si
pembunuh. Walau aku membunuh orang itu sampai tujuh kali, anak bernama Boma Wanareja tidak
akan bisa dihidupkan kembali! Apa yang dikatakan mereka benar. Tapi mengaitkan
kesalahanku dengan menghidupkan orang yang sudah mati kurasa adalah jalanan
pikiran gila! Tuhan sekalipun tidak pernah menghidupkan orang yang sudah mati!
Bukan begitu"
Kalau itu terjadi aku pikir dunia ini akan panjang dengan antrian ribuan manusia
yang sudah mati ingin minta dihidupkan kembali! Hik... hik...hik!"
"Sinto! Hentikan tawamu!" Tegu Kiai Paus Samudera Biru, lalu orang tua
penjelmaan bocah bernama Naga Kuning ini berpaling pada sepasang nenek berwajah
putih. "Apa hubungan kalian berdua dengan bocah bernama Boma itu?"
"Kami adalah pelindungnya.'' Jawab Naga Nini dan Naga Nina berbarengan.
"Pelindungnya?" Sepasang alis putih Kiai Paus Samudera Biru mencuat ke atas.
Keningnya mengerenyit. "Kalau kalian memang pelindungnya, di mana kalian ketika
anak itu terancam jiwanya, menjadi korban kekeliruan Sinto Gendeng?"
"Kami tengah bertapa di puncak Gunung Wilis," jawab Naga Nina.
"Aneh," ucap Kiai Paus Samudera Biru. "Kalian mengaku pelindung anak itu! Tapi
kalian tidak berada di dekatnya ketika nyawanya terancam.Kalian lebih
mementingkan tapa dari mendampinginya sebagai pelindung. Menurut hematku kalian
berdualah yang telah berbuat alpa. Jika kalian benar-benar melindungi anak itu,
kejadian yang tidak diinginkan itu tidak akan terjadi. Menurutku kalian berdua
yang pantas menerima hukuman!".
Wajah putih dua nenek bertubuh naga itu menjadi sepucat kain kafan. Keduanya
rundukkan kepala dan berkata berbarangan.
"Kiai Paus Samudera Biru kalau kami memang alpa dan melakukan kesalahan, kami
bersedia menerima hukuman. Namun bagaimanapun juga kami berharap pengampunan
dari dirimu. Dan kami juga meminta maaf pada Sinto Gendeng atas semua perbuatah
kami. Juga minta maaf pada semua orang yang ada di sini. Jika kami bisa diberi
pengampunan dan diben maaf. kami mohon minta diri dari tempat ini."
Kiai Paus Samudara Biru pandangi dua nenek bermuka pulih itu sejurus lalu
anggukkan kepala.
"Setiap orang, siapapun adanya bisa saja berbuat kesalahan, kekeliruan bahkan
dosa! Tapi manusia lain tidak layak menjatuhkan hukuman tanpa penyelidikan yang
benar serta pertimbangan rasa adil yang tidak memihak. Kalian berdua boleh
pergi. Lain kali berhati-hatilah dalam bertindak. Sebelum pergi letakkan Kapak
Maut Naga Geni 212 di tanah. Senjaia itu harus dikembalikan pada pemiliknya."
"Terima kasih Kiai. Kami minta diri."
Naga Nini meletakkan Kapak Maut Naga Geni 212 di atas sebuah batu. Lalu sepasang
nenek kembar itu rundukkan kepala, sama bersurut mundur. Tempat itu dipenuhi
kabut putih. Ketika kabut putih lenyap dua nenek bertubuh naga itupun tidak
kelihatan lagi.
Wiro mengambil kapak sakti dan atas batu. Naga Hantu Langit Ketujuh menggeliat
lalu secara aneh masuk ke dafam tubuh Kiai Paus Samudera Biru. Gondoruwo Patah
Hati merasa ragu hendak mendekati kakek itu. Sang Kiai sendiri melangkah
mendekati Sinto Gendeng.
"Sinto, kau tidak apa-apa?" Kiai Paus Samudera Biru bertanya. Dia perhatikan
wajah si nenek lalu membuka jubah hitam yang menyelimuti tubuh Sinto Gendeng,
maksudnya untuk memeriksa bahwa si nenek benar-benar tidak mengalami cidera.
Jubah hitam diletakkannya di tanah.
Terima kasih Kiai, aku tidak apa-apa," jawab Sinto Gendeng.
"Kalau begitu biar kubantu kau keluar dari dalam tanah." Lalu Kiai Paus Samudera
Biru cekal leher baju Sinto Gendeng, siap menarik si nenek ketuar dari dalam
pendaman tanah.
"Wah celakai" ucap Wiro. Dia tahu apa yang bakal terjadi kalau tubuh gurunya
sampai tertarik luar. Dia cepat berteriak.
"Kiai! Jangan! Tunggu dulu ".
Tapi terlambat. Sekali tangan Kiai Paus Samudera Biru bergerak, sosok si nenek
terangkat keluar dari dalam tanah.
Gondoruwo Patah Hati menjerit dan palingkan kepala ke jurusan lain. Wiro
terkesima kaget, tidak beran memandang ke jurusan gurunya. Sinto Gendeng sendiri
terpekik dan kalang kabut ,pergunakan dua tangan menutupi tubuhnya sebelah bawah
yang tersingkap bugil karena seperti kejadian tadi, kain hitamnya terjepit
tinggaI di dalam tanah. Begitu melihat jubah hitam di tanah si nenek segera
menyambarnya lalu lari terbirit-birit ke balik pohon.
Kiai Paus Samudera Biru sendiri kelihatan terperangah kaget. Sepasang matanya
mendelik, digosok-gosok. Lalu tapak tangannya ditutupkan ke mata tapi jarijarinya dalam keadaan renggang.
"Aduh, rejeki atau kesialan yang aku lihat ini" Amit-amit... Jangan sampai aku
ditimpa sial melihat barang terlarang ini!'
Entah karena pemandangan luarbiasa yang dilihatnya itu atau memang sudah saatnya
merubah diri, ujud Kiai Paus Samudera Biru yang berbentuk kakek tua renta itu
berubah kembali menjadi sosok bocah konyol berambut jabrik bernama Naga Kuning.
Gondoruwo Patah Hati cepat menyambar telinga anak ini dan memuntirnya kuat-kuat
hingga Naga Kuning teraduh-aduh kesakitan.
"Apa salahku! Apa salahku!" Teriak Naga Kuning.
"Kau tahu nenek itu tidak mengenakan apa-apa disebelah bawah. Mengapa masih kau
tarik keluar dari dalam tanah" Kau sengaja menanggalkan jubah hitam. Kau punya
niat kotor! Ingin melihat anunya!"
"Tunggu! Aduh! Tunggu" Sebagai Naga Kuning aku memang tahu. Tapi sebagai Kiai
Paus Samudera Biru mana aku tahu apa yang terjadi sebelumnya!"
"Kau pandai berdusta! Naga Kuning dan Kiai Paus Samudera Biru orangnya itu-itu
juga! Mustahil tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya!" Gondoruwo Patah Hati
kembali puntir telinga Naga Kuning hingga anak itu terpekik kesakitan.
"Anak konyol kurang ajar!" Wiro melompat mendekati Naga Kuning dan pelintir
kupingnya yang satu lagi. "Gondoruwo Patah Mali betul! Kau dan Kiai itu dua
Wiro Sableng 133 Lorong Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makhluk yang sama hanya berbeda bentuk! Apa yang kau ketahui pasti diketahui
juga oleh Kiai Paus Samudera Biru. Kau pandai mencari alasan! Sebenarnya kau
ingin melihat anu guruku"
"Menurut maumu itu bukan anu. Tapi Ijukl Ha...ha... ha".
Naga Kuning keluarkan ilmu tkan Paus Putih. Dua telinganya yang dijewer Wiro dan
Gondoruwo Patah Hati menjadi licin hingga dengan mudah dia lepaskan diri. Sambil
tertawa-tawa bocah ini lari menjauhi. Entah sengaja entah tidak dia justru lari
ke balik pohon besar dimana Sinto Gendeng belum sempat mengenakan jubah hitam
alias masih bugil di bagian bawah. Melihat kemunculan si bocah nenek itu
terpekik dan keluarkan carut marut panjang pendek! Sambil menutupi tubuhnya
sebelah bawah dengan jubah hitam dia lari terbirit-birit meninggalkan tempat
rtu! "Apa kataku!" teriak Wiro. "Kau memang ingin melihat anu guruku! Bocah kurang
ajar kuberi sambal dua matamu!" Wiro melompat mengejar. Naga Kuning tertawa
gelak-gelak, menyusup ke dalam semak belukar dan lenyap di kegelapan malam.
TAMAT EPISODE BERIKUTNYA
NYAWA KEDUA : Pendekar Pedang Sakti 9 Pendekar Bloon 3 Pemikat Iblis Giring Giring Perak 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama