Ceritasilat Novel Online

Makam Ke Tiga 2

Wiro Sableng 124 Makam Ke Tiga Bagian 2


masih hidup dimana
beradanya. Lalu aku berpikir, Gunung Gede adalah tempat kediamannya Sinto
Gendeng, guru Pendekar 212. Siapa berarti mati berbuat kurang ajar di tempat
itu?" Tak ada yang bicara. Setelah lama saling berdiam diri akhirnya Puti Andini
membuka mulut. "Anggini, jalan ini seperti tidak ada ujungnya.
Menurutmu berapa lama lagi kita akan sampai ke Gunung Gede?"
Anggini memandang ke arah barat,
memperhatikan kawasan di sebelah timur baru menjawab. "Masih cukup jauh. Paling
cepat dua hari lagi baru kita sampai di tujuan. Itupun kalau kita bisa mengganti
dua ekor kuda penarik gerobak dengan kuda-kuda baru yang masih segar."
"Menurutmu apakah Sinto Gendeng ada di tempat kediamannya saat ini?" bertanya
lagi Puti Andini.
"Nenek satu itu sulit dipastikan dimana beradanya. Kalaupun dia berada di Gunung
Gede, pertemuan dengan dirinya kurasa bukan satu hal menyenangkan. Bicaranya tak
karuan, terkadang kasar. Ketawa cekikikan tak ada ujung pangkalnya.
Dan bau pesing tubuhnya itu. Hemm.... Asal tahan saja...."
"Jangan kau berucap begitu. Siapa ta iu kelak dia bakal menjadi mertuamu!" kata
Puti Andini pula.
Sesaat wajah Anggini jadi kemerah-merahan lalu gadis ini tertawa lepas sekedar
untuk menenangkan debaran dadanya. Di sebelah belakang Bidadari Angin Timur yang
rupanya sudah terbangun dan sempat mendengar ucapan Puti Andini itu berpura
batuk-batuk sementara Ratu Duyung cuma senyum-senyum.
"Aku masih merasa kalau perjalanan kita ini sejak siang tadi ada yang
mengikuti," Anggini mengalihkan pembicaraan. "Kalau sampai sore memasuki malam
kita masih diikuti, kita harus melakukan sesuatu. Mungkin sekali si penguntit
punya maksud tidak baik dan baru akan
dilaksanakan pada malam hari."
"Setiap orang yang mengikuti orang lain secara sembunyi-sembunyi biasanya memang
punya niat buruk," kata Bidadari Angin Timur. Dia berpaling pada Ratu Duyung.
"Sahabatku Ratu Duyung, kurasa sudah saatnya kau mempergunakan ilmu
kesaktianmu, melihat dari kejauhan."
Ratu Duyung yang tengah enak-enakan berbaring di atas tumpukan jerami kering
menggeliat, lalu mengambil sikap duduk. Dia mulai mengerahkan ilmu kesaktian
yang bernama Menembus Pandang.
Dengan ilmu ini dia bisa melihat sesuatu benda di kejauhan, sekalipun benda itu
terhalang oleh benda lain. Dalam keadaan duduk, Ratu Duyung pasang telinganya
untuk mendengar dan menentukan
dimana beradanya orang yang mengikuti. Setelah dia dapat memperkirakan arah
sasaran, sang Ratu arahkan kepalanya ke tempat itu. Darah dan hawa sakti
dialirkan ke bagian mata, lalu mata dikedipkan dua kali berturut-turut. Anggini,
Bidadari Angin Timur dan Puti Andini memperhatikan, menunggu apa yang bakal
dikatakan Ratu Duyung.
Beberapa saat kemudian Ratu Duyung mulai
membuka mulut, memberitahu pada tiga gadis lainnya.
"Yang mengikuti kita seorang penunggang kuda.
Warna kudanya kurang kentara, tapi mungkin sekali coklat. Orangnya masih muda,
raut wajahnya...."
Ratu Duyung terdiam. Tiga gadis menunggu.
Puti Andini tidak sabaran. "Raut wajahnya bagaimana?" Gadis ini bertanya.
Bidadari Angin Timur memperhatikan mimik
wajah sang Ratu. Dalam hati dia membatin. "Ada sesuatu yang tidak mau
dikatakannya. Sengaja disembunyikan."
"Raut wajahnya tidak begitu jelas. Orang ini mengenakan baju kuning, bercelana
hitam. Dia berada kira-kira dua puluh tombak di balik pepohonan sebelah kiri
kita. Mengikuti perjalanan kita sejajar tapi agak sedikit ke belakang."
"Kita harus memancingnya keluar," kata Bidadari Angin Timur pula. "Aku mau lihat
tampang manusia itu! Yang lebih penting mengetahui apa maksudnya mengikuti kita.
Kita semua harus waspada bersiap-siap. Segala sesuatu tidak terduga bisa saja
terjadi." "Bagaimana kita akan memancing orang itu?"
tanya Anggini. Bidadari Angin Timur memandang ke jalan di depannya sambil mulutnya berucap.
"Anggini, mulailah berteriak memakiku! Aku akan balas memaki! Puti Andini dan
Ratu Duyung berada di pihakku, ikut memaki Anggini. Di pengkoian jalan sana Puti
Andini hentikan gerobak. Kita turun berlompatan. Pura-pura berkelahi. Kita
bertiga pura-pura kalah dan bergelatakan pingsan di jalanan. Aku rasa setelah
itu si penguntit pasti akan keluar unjukkan diri."
"Usulmu boleh juga," kata Puti Andini lalu dia memberi isyarat pada Anggini.
Murid Dewa Tuak ini mulai beraksi. Dia berdiri di atas gerobak. Menunjuk ke arah
Bidadari Angin Timur dan mulai berteriak memaki-maki tak karuan. Di bagian
belakang gerobak Bidadari Angin Timur kelihatan meradang, bangkit berdiri,
bertolak pinggang lalu balas memaki.
Di sebelahnya Ratu Duyung ikut berteriak sambil acung-acungkan tangan ke arah
Anggini. Di kelokan jalan Puti Andini hentikan gerobak lalu ikut pula memaki
Anggini. Seperti yang direncanakan ke empat orang itu kemudian melompat dari atas
gerobak. Lalu terjadilah perkelahian seru tiga lawan satu. Anggini bergerak cepat, tubuhnya
berkelebat kian kemari.
Terdengar suara bak-buk bak-buk. Lima jurus kemudian Bidadari Angin Timur
keluarkan pekik keras lalu roboh terguling di tanah. Menyusul Puti Andini,
terjengkang di tanah. Setelah itu Ratu Duyung yang seo!ah-olah kena hantaman
tendangan kaki kanan Anggini, menjerit terguling-guling di tanah lalu terkapar
tak berkutik lagi.
Anggini tegak berkacak pinggang. Wajahnya
tampak bengis memandangi ke tiga orang gadis yang bertebaran di tengah jalan
itu. Matanya melirik ke kanan, ke arah deretan pohon-pohon di pinggir jalan.
Bidadari Angin Timur buka pula matanya sedikit, mengintai ke arah yang sama.
"Celaka! Orang itu tidak muncul! Jangan-jangan dia tahu kalau mau dipancing! Apa
yang hams aku lakukan?" Hendak bertanya pada Bidadari Angin Timur tentu saja
tidak mungkin. Anggini memutar otaknya. Tiba-tiba dia jatuhkan diri di tanah, memeriksa satu
persatu tiga gadis yang bergeletakan. Setiap dia habis memeriksa Anggini
berteriak keras.
"Sahabat-sahabatku! Aku tidak bermaksud membunuh kalian semua! Aku tidak
bermaksud menurunkan tangan jahat! Aku tak sadar tadi telah mengeluarkan pukulan
dan tendangan beracun! Aku berdosa besar! Tuhan ampuni aku!" Anggini lalu tekap
wajahnya, keluarkan ratap tangis memilukan tapi sambil memasang telinga dan
melirik lewat sela-sela jari tangan. Kali ini pancingan berhasil. Dari balik
deretan pohon-pohon di kanan jalan muncul kepala seekor kuda coklat dengan warna
putih di bagian hidungnya. Tapi kuda itu sama sekali tidak ada penunggangnya!
Anggini kerenyitkan kening.
Alisnya yang hitam lengkung mencuat ke atas.
"Ada kuda tak ada orangnya. Jangan-jangan Ratu Duyung salah melihat. Atau orang
yang hendak dipancing sudah mengetahui...."
Selagi Anggini membatin seperti itu tiba-tiba di belakangnya ada suara orang
berucap. "Tendangan beracun! Sungguh luar biasa! Baru hari ini aku menyaksikan! Tiga
gadis cantik menjadi korban. Sungguh disayangkan."
Kaget Anggini bukan kepalang. Bagaimana
mungkin dia tidak mampu mendengar atau
mengetahui kalau ada orang mendatanginya dari belakang. "Ilmu kepandaianku yang
sudah tidak berguna atau ilmu orang yang jauh lebih tinggi!" pikir sang dara
lalu dia cepat menoleh. Kejut si gadis mendadak sontak berobah menjadi
ketercengangan bercampur kagum.
Di hadapan Anggini berdiri seorang pemuda
berpakaian kuning celana hitam. Warna pakaian ini sesuai dengan yang dilihat
Ratu Duyung lewat ilmu
"Menembus Pandang" dan diceritakan pada kawan-kawannya. Pemuda ini bertubuh
tinggi tegap. Ketika memandang wajahnya, inilah yang membuat Anggini menjadi
kagum. Ternyata pemuda ini berparas cakap.
Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini yang sejak tadi berpura-pura
menggeletak mati, diam-diam membuka mata masing-masing.
Seperti Anggini, tiga gadis cantik ini sama-sama terkesima melihat kegagahan dan
ketampanan si pemuda serta potongan tubuhnya yang tinggi tegap.
Anggini dan tiga temannya sama sekati tidak menduga kalau orang yang selama ini
mengikuti mereka ternyata adalah seorang pemuda begitu gagah. Bidadari Angin
Timur kini mengerti mengapa sewaktu mengerahkan ilmu "Menembus Pandang"
Ratu Duyung tidak berterus terang mengatakan raut wajah orang yang mengikuti
rombongan para gadis cantik itu. Pertanda sang Ratu yang melihat pertama kali
dan pertama kali pula terguncang hatinya.
Melihat wajah setampan itu mustahil pemuda seperti ini punya niat jahat terhadap
mereka. Rasa marah yang sebelumnya ada dalam diri
empat gadis itu menjadi sirna. Rasanya tidak ada guna mereka meneruskan berpurapura. Bidadari Angin Timur bergerak bangkit. Ratu Duyung melompat. Puti Andini
berguling lalu meloncat tegak. Anggini berdiri tertegun.
Pemuda berpakaian kuning terkejut. Matanya membesar memandangi ke empat gadis
itu. "Tidak kusangka," katanya. "Jadi kalian memperdayaiku! Aneh! Mengapa?"
Puti Andini maju selangkah. "Tadinya kami mengira kau mengikuti kami secara
diam-diam dengan maksud jahat...."
"Hemmm.... Itu tadinya, sekarang bagaimana"
Apakah kalian semua jadi berubah pikiran?" tanya si pemuda sambil senyum gagah
tersimpul di bibirnya.
Empat gadis terdiam.
Si pemuda tertawa lebar. "Sebenarnya aku memang mengikuti perjalanan kalian
sejak tengah hari tadi...."
"Kalau begitu..." ujar Bidadari Angin Timur.
"Tapi aku tidak membekal niat jahat. Malah berjaga-jaga sepanjang jalan. Jika
saatnya sudah tiba aku akan muncul, menemui kalian untuk memberitahu agar
berhati-hati."
"Memberitahu agar berhati-hati" Memangnya ada apa?" tanya Puti Andini.
"Ada serombongan penjahat menguntit kalian berempat. Mereka adalah sempalan
rampok hutan Roban yang malang melintang mulai dari perbatasan sampai ke
pendalaman sini. Saat ini mereka masih mengikuti kalian. Sebentar lagi mereka
pasti akan muncul...."
"Cuma perampok siapa takut!" kata Bidadari Angin Timur.
"Aku memang melihat...." si pemuda tampan berkata.
"Melihat apa?" bertanya Ratu Duyung.
"Dibalik kecantikan kalian, pasti tersembunyi satu kekuatan hebat, kesaktian
tinggi. Aku mengagumi keberanian kalian. Hanya saja jika kalian meneruskan
perjalanan berlakulah hati-hati. Rombongan perampok itu jumlahnya cukup banyak.
Mereka kejam-kejam dan.... Tentu saja memiliki kepandaian tinggi. Aku tidak akan
mengganggu kalian lebih lama.
Sebenarnya tujuanku adalah ke selatan...." Pemuda gagah itu memutar tubuh,
segera hendak melangkah ke arah kuda coklat.
"Tunggu!" Puti Andini berseru. "Kau belum menerangkan siapa dirimu. Siapa
namamu." Si pemuda tersenyum. "Apakah perlu aku menerangkan diri dan namaku?"
"Tentu saja perlu. Karena bukan mustahil kau tahu-tahu malah pimpinan perampok
yang kau katakan itu." Yang berkata adalah Bidadari Angin Timur.
Kembali si pemuda tersenyum. Namun sepasang matanya menatap tajam ke arah
Bidadari Angin Timur. Gadis berambut pirang dengan panjang sepinggang ini balas
memotong namun kemudian alihkan pandangannya ke jurusan lain seolah tidak kuasa
hatinya bertahan memandang terus.
"Di tempat sunyi dan terpencil seperti ini, sudah pada tempatnya kalian curiga
pada siapa saja. Aku senang karena kalian ternyata bukan saja
menunjukkan sikap berhati-hati, tetapi juga cerdik,"
si pemuda memuji sambil layangkan senyum lalu meneruskan. "Namaku Damar Wulung.
Aku berasal dari timur. Aku dalam perjalanan menuju pantai selatan. Di satu
tempat aku memergoki
serombongan perampok. Rupanya salah seorang mata-mata mereka telah melihat
rombongan kalian.
Mata-mata ini memberitahu pada pimpinan rampok.
Lalu bersama anak buahnya pimpinan rampok itu mengejar kalian...."
"Kalau memang ada serombongan oi-ang jahat hendak menjarah kami...." Ucapan Ratu
Duyung terputus karena dipotong oleh pemuda bernama Damar Wulung.
"Tunggu, harap kalian menyadari hal ini. Mereka bukan cuma ingin menjarah harta
benda berharga milik kalian, tapi mereka juga punya maksud keji dan mesum.
Kurasa aku tidak perlu menceritakan sejelas-jelasnya...."
"Kami tidak takut!" jawab Ratu Duyung.
"Ucapanku tadi belum selesai. Kalau para perampok itu sudah mengetahui
perjalanan rombongan kami dan mengikuti, lalu mengapa sampai saat ini mereka
tidak muncul" Padahal kawasan ini sepi sekali."
"Pertanyaanmu itu merupakan juga
pertanyaanku. Itu sebabnya sejak siang tadi aku sengaja mengikuti kalian dalam
jarak lebih dekat.
Sebelum pergi, bolehkan aku mengetahui nama kalian satu persatu" Siapa tahu
kelak dikemudian hari kita bertemu lagi dan aku tidak keliru menyebut nama."
"Aku Puti Andini," cucu Tua Gila ini yang pertama memberitahu.
Bidadari Angin Timur delikkan mata. Dia tidak suka melihat dan mendengar Puti
Andini memberitahu nama. Namun disebelahnya terdengar suara. "Aku Anggini."
"Aku Ratu Duyung."
"Nama kalian bertiga sungguh bagus. Jangan menyangka aku keliwat memuji atau
bersikap ceriwis kalau tadi aku katakan nama kalian sangat cocok dengan wajah
kalian yang cantik jelita." Damar Wulung memandang pada Bidadari Angin Timur.
"Lalu sahabat yang berambut pirang, siapakah namanya?"
Bidadari Angin Timur diam, tidak menjawab.
Tiba-tiba ada suara berucap lantang.
"Dia calon kekasihku! Biar aku yang akan menanyakan nama si jelita berambut
pirang itu."
SESAAT kemudian melesat seorang tinggi
besar, kulit hitam, dada telanjang penuh
bulu, tampang garang. Kepala ditutup
dengan kain hitam belang putih. Di lehernya tergantung kalung akar bahar.
Sepanjang lengan kiri kanan penuh dengan gelang akar bahar, mulai dari
pergelangan sampai bagian bawah siku.
Hampir bersamaan dengan munculnya si garang dada berbulu ini, dari berbagai
jurusan berlompatan delapan orang berseragam hitam. Seperti orang pertama,
delapan orang ini memiliki tampang-tampang seram sembrawutan serta kotor
menjijikan. Di pinggang masing-masing terselip sebilah golok besar.
Pemuda bernama Damar Wulung bertindak cepat.
Dia melompat ke depan, langsung membuat kuda-kuda siap untuk melindungi empat
gadis cantik yang kins berada di sebelah belakangnya.
Orang bertelanjang dada menyeringai.
Rahangnya digembungkan lalu dia berucap.
"Kawan-kawan, jauh-jauh kita mengikuti tahu-tahu ada yang mau jadi malaikat mau
melindungi empat gadis incaran kita!"
"Habisi saja!" Salah seorang dari yang delapan berteriak.
Orang tadi menyeringai. Dua lengannya
disilangkan. Gelang-gelang bahar pada dua tangan itu merosot ke dekat siku. Lalu
dia gosokkan dua lengannya satu sama lain. Terdengar suara keras seperti dua
potong besi saling digesek. Hebat juga pertunjukan orang ini. Rupanya dia punya
ilmu andalan pada dua tangannya itu.
"Anak muda, menyingkirlah. Minggat dari sini!
Atau terpaksa aku yang menyingkirkan. Lalu membuat nyawamu minggat ke dalam
rimba belantara sebelah sana, menjadi setan penasaran!"
"Jangan berani macam-macam terhadap
komplotan pimpinan Burangrang alias Sepasang Gada Besil" kembali salah seorang
dari delapan lelaki garang berpakaian serba hitam berteriak.
Damar Wulung berdiri tenang, malah tersenyum.
"Sepasang Gada Besi! Aku sudah lama


Wiro Sableng 124 Makam Ke Tiga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengarjulukan itu! Kepala rampok pelarian dari hutan Roban!"
"Kurang ajar! Kau berani menghina pemimpin kami!" Teriakan itu disertai dengan
satu lompatan serta berkelebatnya sebilah golok, memapas ke arah batang leher
Damar Wulung. Tenang saja pemuda yang diserang rundukkan kepala sambil melompat ke samping
tiga langkah. Golok berkilat lewat di samping kepalanya.
"Aku tidak begitu suka menurunkan tangan kasar sekalipun terhadap orang-orang
jahat seperti kalian.
Tapi kalau kalian sampai memaksa, ini contohnya!"
Sosok Damar Wulung berkelebat lalu buukkk!
Penjahat yang tadi hendak membacok si pemuda menjerit keras. Tubuhnya mencelat
hampir dua tombak, jatuh bergedebuk di tanah dengan mata mendelik, mulut
menganga dan mengucurkan darah!
"Kau!" teriak Burangrang, kepala penjahat berjuluk Sepasang Gada Besi. "Yang
kita...." "Diam! Jangan banyak mulut! Lekas pergi dari sini! Bawa semua anak buahmu!"
bentak Damar Wulung.
Sepasang mata Burangrang alias Sepasang Gada Besi membeliak besar. Empat gadis
memperhatikan. Mata yang membeliak itu bukan menyatakan
kemarahan tapi lebih banyak menyatakan perasaan heran. Begitu juga tujuh orang
anak buah Sepasang Gada Besi. Mereka memandang terbelalak ke arah Damar Wulung.
"Anak muda, kalau anak buahku sampai jadi korban ini satu hal yang aku tidak
suka! Empat gadis itu bagian kami. Sebelumnya bukankah...."
Ucapan Sepasang Gada Besi terputus dan
tertindih teriakan dahsyat yang keluar dari mulut Damar Wulung. Pemuda ini
melompat ke hadapan kepala penjahat itu langsung menghantam dengan pukulan
berantai. "Kurang ajar! Kecantikan empat gadis itu rupanya membuatmu berubah pikiran..."
kata kepala rampok penuh berang.
"Duukkk... duukkkk... duukkkk!"
Tiga pukulan yang dilancarkan Damar Wulung berhasil ditangkis Burangrang dengan
dua lengannya yang sekeras batangan besi. Walau dia tidak sampai cidera namun
tubuhnya terpental jauh dan bergulingan di tanah. Sambil melompat bangkit kepala
penjahat ini berteriak.
"Anak-anak! Bunuh pemuda penipu itu!"
"Srettt!"
Tujuh golok besar dihunus berbarengan. Lalu berkelebat ganas dalam gelapnya
malam, membabat dan membacok ke arah pemuda bernama Damar
Wulung, mulai dari kepala sampai ke pinggang!
Damar Wulung keluarkan suara mendengus.
Sosoknya melesat ke atas, berputar laksana gasing.
Tujuh golok maut hanya menyapu angin. Para pemiliknya kemudian berseru kaget
ketika si pemuda pergunakan badan golok sebagai injakan kaki, melompat ke udara,
jungkir balik ke bawah lalu bukk... bukk... bukkk!
Tiga anak buah Burangrang Sepasang Gada Besi mencelat, bergeletak di tanah
dengan kepala hancur dimakan tendangan.
Burangrang si kepala penjahat menggerung
keras. Dua bilah golok milik anak buahnya yang berjatuhan di tanah disambarnya.
Sambil berlari ke arah Damar Wulung dia lemparkan dua golok itu.
Damar Wulung berkelit, baru saja si pemuda berhasil mengelak selamatkan diri
dari sambaran dua golok terbang, Sepasang Gada Besi sudah berada di hadapannya,
langsung menggebuk ke arah kepala dan dada. Kali ini dia kerahkan seluruh
kekuatan aji kesaktiannya.
Damar Wulung gerakkan dua tangan, menangkis.
"Bukk! Bukkk!"
Empat lengan saling bentrokan.
"Kraakk! Kraakkk!"
Sepasang Gada Besi menjerit keras. Tubuhnya terlempar jauh. Dua lengannya yang
selama ini dibanggakan sebagai seatos besi patah dua. Susah payah dia berusaha
bangkit, tapi terduduk sesaat di tanah. Tubuhnya menggigil menahan sakit.
Matanya mendelik seperti mau melompat dari rongganya.
Karena lawan tadi mempergunakan kekuatan
tenaga dalam sangat besar, walau hanya merasa sakit pada dua tangannya namun
Damar Wulung sempat terpental, jatuh berlutut di tanah. Selagi dia mencoba
bangun, empat anak buah Sepasang
Gading Besi sudah menyerbunya dengan golok masing-masing.
Dari kiri berkelebat selarik benda berwarna ungu.
Ini adalah selendang milik Anggini.
"Plaakk! Plaakk!"
Ujung selendang menghantam wajah dua
anggota penjahat. Yang satu terguling dengan hidung remuk, satunya lagi
terjengkang dengan bibir pecah.
Pada saat Anggini menghantam dua anggota
penjahat dengan selendangnya, dari jurusan lain Puti Andini tidak tinggal diam.
Gadis ini menyambar salah satu dari tujuh payung yang ada di dalam gerobak.
Sesaat kemudian satu sinar hijau bergulung di udara.
Debu beterbangan, daun-daun dan semak belukar bergoyangan. Belum tahu benda apa
yang menyerang mereka, dua anak buah Sepasang Gada Besi mendadak dapatkan tubuh
mereka laksana digulung lalu diangkat ke atas dan sesaat kemudian dibantingkan
ke tanah. Lalu terdengar suara breett...
breettt! Dua orang penjahat itu terduduk pucat ketika melihat pakaian mereka
robek besar di bagian dada, perut dan lengan. Dan ada darah mengucur dari balik
robekan-robekan itu!
Puti Andini angkat tangan kanannya, lengan diputar, lima jari digerakkan seperti
menarik ke belakang. Payung hijau yang masih berputar di udara melesat gesit,
berbalik ke arah si gadis. Dengan tangan kirinya cucu Tua Gila ini menyambar
payung hijau yang tadi dilemparkannya untuk menyerang dua orang penjahat.
Damar Wulung cepat berdiri. Di hadapan empat gadis dia membungkuk seraya
berkata. "Terima kasih, kalian telah menyelamatkan jiwaku. Ini satu hutang besar
yang tidak tahu entah kapan dapat kubayar!" Si pemuda melirik ke arah empat
penjahat yang terluka lalu berkata. "Manusia-manusia seperti mereka, sulit
diperbaiki. Kalau tidak dihabisi bisa-bisa menimbulkan malapetaka lebih besar
dikemudian hari." Habis berkata begitu Damar Wulung melompat ke arah empat
penjahat. Tangan dan kakinya bekerja cepat sekali. Hanya satu kejapan saja ke
empat penjahat itu sudah bergeletakan di tanah dengan kepala hancur.
Empat gadis bergidik menyaksikan kejadian itu.
Mereka terpaksa berpaling ke jurusan lain.
Di tempat lain, terbungkuk-bungkuk menahan sakit Burangrang berusaha berdiri.
"Pemuda jahanam.... Penipu kurang ajar! Aku bersumpah mencari dan membunuhmu!"
Dalam keadaan dua lengan patah tergontai-gontai kepala penjahat itu lari tinggalkan tempat tersebut.
Tapi Damar Wulung tidak memberi kesempatan. Dia membungkuk mengambil sebilah
golok yang tergeletak di tanah. Sekali senjata itu dilemparkan, melayang di udara lalu
menancap di punggung kiri Sepasang Gada Besi, terus menembus jantung.
Kepala penjahat ini langsung roboh dan menemui ajalnya di tempat itu juga.
"Dia sudah tidak berdaya, seharusnya tak usah dibunuh..." berkata Ratu Ouyung.
Oamar Wulung berpaling, menatap wajah sang Ratu lalu berkata. "Sahabatku bermata
biru, seperti aku bilang tadi. Manusia jahat seperti mereka sulit diperbaiki.
Apalagi yang satu itu adalah biang menu pimpinannya. Dari pada tambah
menyusahkan di kemudian hari, tidak ada salahnya diselesaikan sekarang saja...."
Damar Wulung tersenyum. Lalu kembali dia membungkuk dan berkata. "Sekali lagi
aku mengucapkan terima kasih. Kalian telah menyelamatkan diriku dari serangan
maut empat golok tadi...."
"Kau sendiri telah berusaha menyelamatkan kami dari komplotan orang-orang jahat
itu. Sebenarnya kami yang lebih pantas mengucapkan terima kasih," kata Puti Andini
sambil tersenyum sementara sepasang matanya memandangi wajah si pemuda dengan
bersinar-sinar.
Diam-diam Bidadari Angin Timur memperhatikan sikap dan air muka Puti Andini.
Dalam hati dia berkata. "Aku mempunyai kesan, agaknya gadis satu ini punya
perasaan tertentu terhadap pemuda itu.
Aku tidak menyalahkan. Sejak dia mengetahui Panji pemuda yang dicintainya adalah
saudara seayah, hatinya pasti hancur. Siapa tahu kepatahan hatinya bisa terobat
dengan kehadiran pemuda ini. Tapi aku melihat beberapa keanehan. Aku perlu
membicarakannya nanti dengan teman-teman...."
"Kami akan melanjutkan perjalanan. Budi baik pertolonganmu tidak akan kami
lupakan." Yang berkata adalah Anggini. Gadis ini melingkarkan selendang ungunya
ke leher lalu naik ke atas gerobak. Ratu Duyung menyusul, diikuti oleh Bidadari
Angin Timur. Tinggal Puti Andini sendirian.
Untuk sesaat gadis ini masih berdiri di hadapan si pemuda. Bidadari Angin Timur
mendehem keras-keras. Sesaat wajah Puti Andini menjadi kemerahan.
Damar Wulung tersenyum. "Teman-temanmu sudah menunggu," katanya. Ketika Puti
Andini naik ke atas gerobak, si pemuda menolongnya dengan sikap penuh hormat,
membuat sang dara jadi berbunga-bunga.
"Para sahabatku," Damar Wulung berkata sambil berdiri di samping gerobak, di
sisi kanan Puti Andini.
"Kalian sudah menyaksikan sendiri apa yang terjadi.
Kejahatan ada dimana-mana dan datangnya tidak terduga. Perjalanan jauh bukan
satu hal mudah.
Apalagi bagi kalian dara-dara berparas rupawan. Aku punya keinginan baik. Kaiau
tidak keberatan aku bersedia mengawal kalian sampai ke tujuan...."
Puti Andini hendak menjawab. Tapi dia melihat pandangan mata Bidadari Angin
Timur yang seperti memberi isyarat. Puti Andini terpaksa batal membuka mulut.
"Perjalanan kami tidak seberapa jauh lagi. Kami tidak ingin merepotkanmu. Sekali
lagi terima kasih...." kata Bidadari Angin Timur. Dia memberi isyarat pada Puti
Andini yang bertindak sebagai sais.
"Sahabat, kalau aku boleh tahu sebenarnya kalian ini tengah dalam perjalanan
kemana?" "Kami tengah menuju ke Gunung Cede," Puti Andini yang menjawab.
Bidadari Angin Timur memegang bahu Puti
Andini. "Hari sudah rembang petang. Jangan sampai kita nanti bermalam di tempat
yang kurang aman...."
Puti Andini sentakkan tali kekang. Dua kuda gerakkan kaki. Gerobak mulai
berjalan. Damar Wulung lambaikan tangan. Dia bam melangkah mendekati kuda
coklatnya setelah rombongan empat gadis itu lenyap di kejauhan.
Di atas gerobak untuk beberapa lamanya tak ada yang bicara. Akhirnya Bidadari
Angin Timur memecah kesunyian. "Sebenarnya ada baiknya kalau sahabat kita Puti
Andini tadi tidak memberitahu kemana tujuan kita pada pemuda bernama Damar
Wulung itu."
"Apa salahnya" Memangnya kenapa?" tanya Puti Andini merasa kurang senang
mendengar ucapan Bidadari Angin Timur.
"Kurasa teman kita ini tertarik pada si pemuda.
Melihat sikap si pemuda aku menaruh dugaan kalau dia juga terpikat pada Puti
Andini." Yang berucap adalah Ratu Duyung.
Wajah Puti Andini bersemu merah. Kali ini dia diam saja tak menjawab ucapan
orang. "Kita tidak kenal dan tidak tahu siapa sebenarnya pemuda itu..." berkata
Bidadari Angin Timur.
"Orang telah berbuat baik. Dia menolong kita dari tangan sembilan penjahat.
Apakah hal itu tidak bisa dijadikan alasan kita bersikap baik terhadap pemuda
tadi?" Anggini keluarkan suara. Dia ingat, sewaktu terjadi perkelahian hanya dia
dan Puti Andini yang turun tangan sementara Bidadari Angjn Timur dan Ratu Duyung
diam saja. Puti Andini melirik ke arah Bidadari Angin Timur.
Ingin tahu apa yang hendak dikatakan gadis itu setelah mendengar ucapan Anggini.
"Anggini," kata Bidadari Angin Timur. "Apa yang kau ucapkan betul adanya. Tetapi
kita harus ingat.
Kebaikan tidak beda dengan dua sisi dari satu uang logam...."
"Aku kurang mengerti. Apa maksudmu...."
"Maksudku begini. Sisi pertama, kebaikan adalah kebaikan sejati. Sisi kedua,
kebaikan yang terselubung untuk menyembunyikan satu niat yang tidak baik."
"Lalu menurutmu pemuda tadi berada pada sisi yang mana?" tanya Puti Adini tak
tahan lagi untuk tidak bicara.
"Aku tidak tahu, tidak satupun diantara kita yang tahu. Hidup ini penuh dengan
hal tidak terduga. Itu sebabnya kita perlu berhati-hati. Segala sesuatunya tidak
boleh diungkapkan pada orang yang baru kita kenal. Perjalanan yang kita lakukan
bukan perjalanan sembarangan. Kita tengah mencari Pendekar 212.
Sebelumnya kita telah menemukan keanehankeanehan yang menimbulkan malapetaka. Bukan mustahil pemuda tadi adalah si
pembuat surat yang kita temukan di makam pertama dan kedua...."
"Sahabatku, aku rasa kau terlalu membesar-besarkan urusan. Tidak baik
berprasangka buruk terhadap orang lain," kata Puti Andini agak sengit.
"Berprasangka buruk demi kebaikan apa salahnya?" tukas Bidadari Angin Timur.
"Aku tidak menyalahkan kalau mungkin kau punya perasaan tertentu terhadap pemuda
gagah tadi. Tapi ada beberapa kejanggalan yang aku lihat sejak pemuda itu muncul
pertama kali."
Tiga gadis saling pandang. Bidadari Angin Timur maklum arti pandangan itu.
Mereka sulit mempercayai ucapannya. Bidadari Angin Timur tidak perduli.
"Ketika pertama kali dia muncul, ketika kita tanyai dia mengaku memang telah
mengikuti kita secara diam-diam sejak tengah hari. Dia sengaja tidak menampakkan
diri karena katanya ada serombongan penjahat mengincar kita. Kalau memang itu
benar, mengapa dia tidak langsung turun tangan" Sengaja menunggu para penjahat
muncul di depan kita baru melakukan sesuatu?"
"Mungkin dia sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya di depan kita. Itu
sebabnya dia menunggu sampai sembilan penjahat tadi muncul melaksanakan niat
kejinya," berkata Anggini.
"Bisa saja begitu," sahut Bidadari Angin Timur.
"Namun masih ada hal lain yang menurutku bisa lebih meyakinkan dugaanku bahwa
pemuda itu sebenarnya berkomplot dengan Sepasang Gada Besi...."
"Sulit aku mempercayai," Puti Andini kembali memberikan tanggapan. "Entah
mengapa sejak pertama melihat pemuda itu sahabat kita Bidadari Angin Timur
bersikap ketus terhadapnya. Kalau Damar Wulung adalah juga komplotan para
penjahat itu, mengapa dia membunuhi mereka termasuk pimpinan mereka?"
Bidadari Angin Timur tersenyum lalu menjawab,
"Bisa saja. Mungkin karena ada yang hendak ditutupi. Mungkin ada sesuatu yang
bertolak belakang dengan rencana semula. Tidakkah kalian memperhatikan bagaimana
kagetnya pimpinan
penjahat dan teman-temannya ketika Damar Wulung membunuh anggota penjahat yang
pertama" Kepala penjahat itu bahkan sempat berteriak. Kaul Lalu dia berteriak
lagi Yang kita.... Kita berarti dia dan para anak buahnya dan termasuk Damar
Wulung. Tapi ucapan kepala penjahat itu terputus oleh bentakan Damar Wulung. Aku
juga mendengar Sepasang Gada Besi berkata Empat gadis itu adalah bagian kami.
Sebelumnya bukankah.... Apa arti ucapan itu.
Sebelumnya bukankah.... Mungkin saja aku keliru dan membesar-besarkan urusan
seperti kata Puti Andini. Tapi bagiku ucapan kepala penjahat itu berarti
sebelumnya terjadi sesuatu antara dia dan Damar Wulung. Sesuatunya apa memang
tidak bisa diduga. Tapi kesanku, antara Damar Wulung dengan para penjahat itu
sebelumnya pernah saling bertemu.
Yang lebih jelas lagi ketika Sepasang Gada Besi berteriak memaki Kurang ajar!
Kecantikan empat gadis itu rupanya membuatmu berubah pikiran.
Tidak sampai disitu saja teman-teman. Apa kalian tidak mendengar kemudian kepala
penjahat itu berteriak marah. Anak-anak! Bunuh pemuda penipu itu! Siapa yang
menipu, siapa yang ditipu"
Sebelumnya ada pertemuan, sebelumnya ada
perjanjian. Tapi Damar Wulung menyalahi perjanjian.
Perjanjian apa?" Bidadari Angin Timur angkat bahunya sendiri.
Ratu Duyung dan Anggini tidak berkata apa-apa.
Mungkin apa yang dikatakan Bidadari Angin Timur tadi mulai termakan di dalam
hati dan benak mereka.
Lain halnya dengan Puti Andini yang entah mengapa menjadi kesal terhadap
Bidadari Angin Timur. Dalam hati Puti Andini berkata. "Mungkin Bidadari Angin
Timur merasa kurang senang terhadap si pemuda, karena merasa dirinya tidak
diperhatikan. Padahal dia merasa dirinya paling cantik diantara para gadis,
memiliki kelebihan yaitu rambut pirang panjang, ditambah iekuk tubuh yang bagus.
Itu sebabnya dia bicara ketus dan selalu berprasangka buruk terhadap Damar


Wiro Sableng 124 Makam Ke Tiga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wulung. Hemmm.... Katanya
mencinta setengah mati pada Pendekar 212. Tapi buktinya kini hatinya
tergoda...."
Diam-diam Bidadari Angin Timur memperhatikan raut wajah Puti Andini sambil
menduga-duga apa yang ada dalam pikiran gadis dari Pulau Andalas yartg berjuluk
Dewi Payung Tujuh itu.
Akhirnya Puti Andini membuka mulut.
"Kalau ada kesempatan bertemu lagi dengan Damar Wulung, akan aku cecar dia
dengan pertanyaan. Apa benar memang dia telah berkomplot dengan Sepasang Gada Besi. Apa
benar dia punya niat keji terhadap kita!" Habis berkata begitu Puti Andini
mencambuk punggung dua ekor kuda.
Binatang-binatang ini berlari lebih kencang. Di antara gemeletak roda-roda
gerobak Bidadari Angin Timur menyahuti ucapan Puti Andini.
"Mudah-mudahan saja kau bisa bertemu lagi dengan pemuda itu."
BANGUNAN tua bekas kuil di jalan yang mendaki itu masih utuh keadaannya sehingga
empat gadis cantik memutuskan untuk
bermalam di tempat itu. Ketika Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini
telah tertidur lelap karena keletihan, Puti Andini masih tergolek menelentang di
dalam kegelapan memandangi atap kuil. Entah mengapa sampai saat itu dia sulit
memicingkan mata. Bayangan wajah Damar Wulung tak putus-putusnya hadir di
pelupuk matanya. Jika dicobanya memejamkan mata raut wajah pemuda itu malah
semakin jelas terlihat.
Di kejauhan terdengar suara jangkrik dan
binatang malam yang mendadak putus ketika lapat-lapat terdengar suara raungan
anjing. Dalam keadaan seperti itu Puti Andini tiba-tiba mencium bau sesuatu.
"Aneh, bau apa ini?" pikir sang dara. Semakin santar bau yang dihirup semakin
berat terasa kepalanya sedang tubuhnya menjadi lemah.
Sepasang matanya mendadak dilanda kantuk berat.
Puti Andini kerahkan tenaga. Dua siku ditekankan ke lantai kuil. Perlahan-lahan
dia mengangkat dada dan kepalanya sedikit. Dia melihat asap aneh seperti tebaran
kabut bergerak dari halaman terus
memasuki kuil. Otak Puti Andini masih bisa bekerja.
"Yang aku lihat bukan kabut. Kalaupun asap adanya bukanlah asap biasa. Kepalaku
tambah berat, tubuhku semakin letih, rasa kantuk tak tertahankan.
Aku harus melakukan sesuatu, kalau tidak... kurasa aku bisa jatuh pingsan...."
Cucu Tua Gila ini cepat kerahkan tenaga dalam dari pusar ke arah dada,
tenggorokan, jalan pernafasan, bagian hidung dan dua matanya. Lalu dia menotok
dirinya sendiri pada beberapa bagian tubuh, menjaga agar apa yang telah tercium
oleh hidungnya tidak merambat masuk ke tempat
berbahaya di dalam peredaran darah. Ketika dia tengah berusaha melepas nafas
panjang, tiba-tiba di halaman kuil dia melihat satu sosok bergerak mefangkah.
Dia tidak dapat melihat jelas raut wajah orang karena selain gelap, asap aneh
menghalangi pemandangan. Puti Andini rebahkan kembali
tubuhnya, berpura-pura tidur. Dadanya bergemuruh menanti apa yang akan terjadi.
Tangan digerakkan ke pinggang dimana dia menyimpan Pedang Naga Suci 212, satu
senjata sakti mandraguna yang didapatnya di Telaga Gajahmungkur, pemberian orang
sakti setengah roh setengah manusia bernama Kiai GedeTapa Pamungkas. (Mengenai
Pedang Naga Suci 212 baca rangkaian serial Wiro Sableng berjudul
"Tua Gila Dari Andalas" terdiri dari 11 Episode) Tetapi alangkah kagetnya gadis
ini ketika dia merasakan tangan kanannya berat, sulit digerakkan. Dicobanya
menggerakkan tangan kiri. Sama!
"Celaka! Asap berbau aneh itu sudah
melumpuhkan dua tanganku!" Puti Andini menggerakkan kakinya. Tidak bisa! "Ya
Tuhan, malapetaka apa yang menimpa diriku! Siapa orang itu. Agaknya dia yang
menebar asap penyirap. Pasti dia punya niat jahat! Sebelum kejadian aku harus
berbuat sesuatu!"
Puti Andini membuka mulut hendak berteriak membangunkan kawan-kawannya. Tapi
mulutnya seperti terkancing, sama sekali tidak bisa digerakkan apalagi dibuka.
Tahu-tahu orang itu di haiaman telah berada di daiam kuil. Sesaat dia tegak di
pintu. Lalu masuk ke dalam. Berdiri di depan Puti Andini, memandangi gadis ini
sambil tersenyum lalu masuk lebih jauh ke dalam kuil.
Bidadari Angin Timur tergolek di sudut sebelah kanan. Orang ini melangkah
mendekati si gadis.
Lama dia berdiri memperhatikan Bidadari Angin Timur mulai dari wajah sampai ke
kaki. Tiba-tiba orang ini berlutut. Tangan kirinya membelai rambut pirang
Bidadari Angin Timur. Tangan kanan
mengusap pipi. Perlahan sekali dia berucap.
"Kali pertama melihatmu aku sangat tergoda untuk memilikimu. Aku suka pada gadis
bersifat ketus tapi berotak cerdik sepertimu. Di atas ranjang pasti kau akan
sebuas harimau betina. Cuma sayang, hatiku telah lebih dulu terpikat pada
sahabatmu bermata biru itu. Lain hari, jika memang kesampaian, pasti giliranmu
menyenangi diriku akan tiba. Mata biru, dimana kau berada?"
Walau kata-kata itu diucapkan sangat perlahan, namun di dalam kuil sepi dan
tidak seberapa luas itu Puti Andini masih bisa mendengar cukup jelas meskipun
tidak bisa mengenali orang itu dari suaranya.
"Mata biru... dia mengincar Ratu Duyung. Ya Tuhan...." Puti Andini hanya bisa
bersuara dalam hati. Gadis ini buka matanya sedikit.
Orang yang berlutut di samping Bidadari Angin Timur memandang berkeliling. Dia
melihat dua sosok tergoiek di sudut kuil sebelah kiri, terlindung dalam bayangan
kegelapan. Sebelum bangkit berdiri orang ini mengecup bibir Bidadari Angin Timur
lumat-lumat hingga mengeluarkan suara berdecak, membuat Puti Andini kembali
merinding. Meski sejak beberapa waktu ini Puti Andini merasa tidak senang
terhadap Bidadari Angin Timur, tapi menyaksikan apa yang barusan dilakukan
lelaki tak dikenal itu membuat Puti Andini meradang dalam hati. "Bangsat
terkutuk! Atas perlakuan kejimu itu, aku bersumpah akan
membunuhmu!"
Orang tadi bangkit berdiri, melangkah ke sudut kiri kuil. Yang dilihatnya
pertama kali ternyata adalah sosok Anggini. Dia menyeringai lalu berlutut di
samping si gadis.
"Aku kagum pada kemulusan tubuhmu. Walau pakaianmu longgar tapi aku tahu dibalik
pakaian itu kau memiliki tubuh dengan seribu lekuk
mengagumkan. Kalau kau bisa menunggu, kelak satu hari aku akan mencarimu...."
Habis berkata begitu orang ini memegang ke dua paha Anggini lalu berpindah pada
sosok satunya lagi.
"Ah, mata biru.... Di sini rupanya kau menungguku. Kekasihku, nyenyak sekali
tidurmu." Orang itu berucap, tenggorokannya turun naik.
Lidahnya dijulurkan membasahi bibir. Sambil membelai rambut hitam Ratu Duyung
orang ini meneruskan ucapannya. "Kuil ini sebenarnya cocok untuktempat kita
bersenang-senang memadu kasih.
Tapi bagaimanapun juga aku masih bisa
menghormati tempat. Lagi pula tiga kawanmu ada di sini. Aku khawatir belum
selesai kita berpuas-puas salah satu dari temanmu itu ingin ikut-ikutan...."
Orang ini tutup mulutnya dengan tangan kiri menahan tawa. Tiba-tiba dengan satu
gerakan cepat dia mengangkat tubuh Ratu Duyung, diletakkan di bahu kiri. Dengan
langkah cepat, beberapa kali menindak orang itu sudah berada di halaman kuil.
"Celaka! Kurang ajar! Dia menculik Ratu Duyung!
Ya Tuhan!" Puti Andini ingin melompat, tapi menggerakkan tangan saja tidak bisa.
Ingin berteriak tapi membuka mulut saja tidak mampu. "Tuhan....
Tuhan, tolong saya. Berikan kekuatan pada saya untuk memusnahkan sirapan celaka
ini! Saya... saya harus menyelamatkan Ratu Duyung. Tuhan....
Adakah kau mendengar doa permintaanku?"
Air mata meleleh di sudut-sudut mata Puti Andini.
Dia picingkan mata kencang-kencang. Lalu mulai berusaha mengerahkan tenaga
dalam. Kali pertama gagal. Kali kedua masih belum mampu. Sama saja pada kali ke
tiga dan keempat. Keringat dingin memercik di permukaan wajah dan sekujur tubuh
si gadis. "Tenagaku sudah terkuras habis. Aku coba sekali lagi. Kalau masih gagal habislah
sudah! Ratu Duyung tak mungkin bisa ditolong!"
Puti Andini tenangkan diri. Pikiran dikosongkan.
Seluruh kekuatan yang masih tersisa disatukan di bagian pusar lalu dia mulai
menahan nafas sambil kerahkan segala daya untuk mengalirkan tenaga dalam yang
ada ke pembuluh darah dan syaraf.
Satu pekikan tiba-tiba menggeledek keluar dari mulut Puti Andini. Bersamaan
dengan itu tubuhnya melompat sebat. Dia berteriak.
"Anggini! Bidadari! Bangun! Ratu diculik orang!"
Tak ada jawaban. Sosok Anggini dan Bidadari Angin Timur tidak bergerak. Puti
Andini segera memeriksa dua temannya itu, berteriak memanggil sambil menggoyanggoyang tubuh Bidadari Angin Timur dan Anggini. Ternyata kedua gadis ini berada
dalam keadaan kaku, tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Terkena asap sirapan
aneh selagi mereka dalam keadaan tidur.
"Celaka!" Puti Andini kerahkan tenaga dalam, lalu berganti-ganti disalurkan ke
tubuh Bidadari Angin Timur dan Anggini lewat dada dan perut. Menotok urat-urat
besar, menyedot racun sirapan melalui mulut. Pokoknya apa saja yang bisa
dilakukannya agar dua temannya itu siuman kembali. Setelah bekerja keras cukup
lama sampai tubuhnya basah kuyup oleh keringat, tenaga terkuras, Puti Andini
akhirnya terduduk letih di lantai kuil. Bidadari Angin Timur dan Anggini masih
dalam keadaan seperti tadi.
Kaku dan tak bersuara!
Dalam bingungnya Puti Andini ingat pada senjata sakti yang disimpannya di balik
pinggang. Pedang Naga Suci 212. Cepat dikeluarkannya. Senjata sakti mandraguna
ini tidak bersarung, bentuknya sangat tipis dan berada dalam keadaan tergulung
seperti ikat pinggang.
"Ya Tuhan, tolong saya. Tolong kami! Dengan kekuasaanMu semoga senjata sakti ini
mampu memusnahkan racun sirapan dalam tubuh Anggini dan Bidadari Angin Timur."
Puti Andini gerakkan tangan kanannya. Gulungan pedang terbuka dengan
mengeluarkan suara bersiur halus. Cahaya putih berkiblat menerangi kuil yang
gelap. * * * DALAM gelapnya malam Damar Wulung dan
sosok kuda tunggangannya berkelebat
laksana bayangan setan. Di atas
pangkuannya Ratu Duyung tergeletak
membelintang masih berada dalam keadaan tidak sadarkan diri akibat asap sirapan
yang terhirup sewaktu dia tidur pulas di dalam kuil.
Sambil memacu kudanya Damar Wulung
berpikir hendak dibawa kemana gadis culikan itu.
Dia tidak begitu mengenal kawasan dimana dia berada. Di satu tempat ketinggian
Damar Wulung hentikan kudanya. Dia memandang seputar
kegelapan malam sampai matanya membentur
satu lamping bukit tertutup batu-batu besar membentuk dinding tinggi.
"Dibukit batu seperti ini biasanya terdapat goa,"
pikir Damar Wulung. Dia turun dari kuda,
menyelidik. Di langit awan yang sejak tadi menutupi bulan setengah lingkaran
bergerak menjauh hingga malam yang tadi gelap pekat kini menjadi terang temaram.
Dugaan Damar Wulung tidak meleset. Pada
lamping bukit batu ternyata memang terdapat dua buah goa. Satu kecil di sebelah
kanan, satu lagi lebih besar di ujung kiri. Sinar rembulan yang jatuh di lamping
bukit batu menerangi sebagian goa.
Damar Wulung memilih goa yang besar. Ternyata bagian dalam goa selain sejuk juga
bersih. Tubuh Ratu Duyung dibaringkannya di lantai joa lalu dia pandangi wajah
jelita dan tubuh bagus sang Ratu.
"Cantik luar biasa. Tidak pernah aku melihat gadis seperti ini. Aku ingin
melihat sepasang matanya yang biru." Damar Wulung meraba urat besar di leher
Ratu Duyung. "Racun sirapan masih menguasai dirinya. Harus aku keluarkan
dulu...." Si pemuda lalu menotok beberapa jalan darah di tubuh Ratu Duyung. Dengan jarijari tangannya pemuda ini membuka bibir yang terkatup. Lalu bibirnya ditempelkan
ke bibir sang Ratu. Perlahan-lahan Damar Wulung mulai menyedot. Sekali, dua
kali, tiga kali. Pada kali yang kelima dia muntahkan ludah yang memenuhi
mulutnya. Ludah itu
berwarna kebiruan. Damar Wulung merasa iega.
Kembali dia menyedot sampai lima kali dan seperti tadi memuntahkan ludah. Di
bawah terangnya sinar rembulan kelihatan sepasang mata Ratu Duyung bergerak
membuka. Damar Wulung segera menotok beberapa urat penggerak otot tangan dan
kaki si gadis. Begitu matanya terbuka Ratu Duyung
memandang seputar ruangan. Dia maklum kalau saat itu berada di dalam sebuah goa,
di satu tempat sunyi. Belum habis herannya mengapa dia bisa berada di tempat
itu, ketika dia memutar mata ke kanan, Ratu Duyung tersentak kaget dan
bertambah heran begitu melihat Damar Wulung.
"Kau!" ujar Ratu Duyung. "Bukankah kau pemuda bernama Damar Wulung yang siang
tadi menolong aku dan teman-teman?" Ada perasaan heran juga takut di hati Ratu
Duyung. "Bagaimana aku bisa berada di tempat ini. Mana kawan-kawanku. Apa yang
terjadi?" Damar Wulung tersenyum. Dibelainya rambut
Ratu Duyung lalu berkata. "Aku gembira kau masih mengenali diriku. Berarti kau
menaruh perhatian padaku. Mungkin juga telah jatuh cinta
sehagaimana aku jatuh cinta padamu pada
pandangan pertama siang tadi."
Merinding bulu kuduk Ratu Duyung mendengar ucapan Damar Wulung. Mata membeliak,
rahang menggembung. Tadi ketika pemuda itu membelai rambutnya, dia berusaha
menjauhkan kepala tap!
tak bisa. Untuk pertama kalinya Ratu Duyung menyadari kalau dirinya berada dalam
bahaya. "Mulutmu bukan saja lancang tapi juga kurang ajar! Jangan kau berani menyentuh
tubuhku!" Habis membentak Ratu Duyung segera hendak
melompat bangkit. Tapi bukan kepafang kagetnya gadis bermata biru ini ketika
dapatkan dirinya tak mampu bergerak. Tangan dan kaki lumpuh!
"Jahanam! Kau pasti menotokku! Lepaskan diriku! Kau pasti punya niat keji!"
teriak Ratu Duyung.
"Kekasihku Ratu Duyung. Bukankah itu nama yang kau sebutkan waktu memperkenalkan
diri...?" "Pemuda kurang ajar! Beraninya kau menyebut aku kekasihmu!" Membentak Ratu
Duyung marah sekali.
"Ratu, kau tak perlu marah, tak usah takut. Aku baru saja menyelamatkan dirimu
dari racun sirapan...."
"Racun sirapan?"
Damar Wulung mengangguk. "Tiga temanmu tak bisa ditolong. Aku sengaja
melarikanmu ke sini agar bisa diselamatkan...."
"Aku tak percaya pada ucapanmu...."
"Kau tak perlu percaya pada segala ucapanku,"
kata Damar Wulung dengan seringai bermain di mulut.
"Kau mungkin telah berbuat keji terhadap tiga temanku! Lepaskan totokan di
tubuhku!" teriak Ratu Duyung.
"Sudahlah, bukankah lebih baik kita habiskan sisa malam ini berdua-dua di tempat
ini, bersenang-senang meneguk cinta kasih
kebahagiaan?"
"Benar-benar kurang ajar! Jika kau berani berbuat keji terhadapku aku bersumpah
membunuhmu Damar Wulung!"
"Aku kurang percaya pada sumpah seperti itu!"
sahut Damar Wulung. "Karena begitu selesai kau meneguk kebahagiaan, kau akan
ketagihan, ketagihan dan ketagihan. Kau akan mencariku.
Meminta dan meminta...."
Lepaskan totok di tubuh atau aku...."
Damar Wulung bukannya melepaskan totokan
yang melumpuhkan kaki tangan si gadis, malah dia menambah satu totokan lagi
hingga saat itu juga Ratu Duyung tak bisa lagi keluarkan suara.
Hanya dua matanya yang biru saja yang masih mampu membeliak, bergerak liar kian
kemari. "Kekasihku, aku siap membawamu ke alam penuh nikmat..." kata Damar Wulung dengan
seringai mesum bermain di mulut. Sekujur tubuh Ratu Duyung bergetar, bulu
tengkuknya merinding ketika pemuda itu susupkan tangan ke pinggang pakaiannya.
"Jahanam kurang ajar! Aku bersumpah


Wiro Sableng 124 Makam Ke Tiga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membunuhmu!" rutuk Ratu Duyung. Tapi suaranya tidak keluar. Dua matanya yang
biru seperti hendak melompat keluar dari rongganya.
Di balik pinggang pakaian Damar Wulung
merasakan kulit yang halus dan daging tubuh yang lembut hangat. Namun selain itu
jari-jari tangannya juga menyentuh sebuah benda. Dicobanya
memegang. Satu hawa aneh menjalar memasuki tangan terus ke lengan. Pemuda ini
segera maklum ada satu benda sakti tersembunyi di balik
pinggang pakaian si gadis. Segera dipegangnya lebih kuat lalu ditarik
dikeluarkannya.
"Sebuah cermin bulat..." ujar Damar Wulung heran sambil pegangi gagang cermin
dan meneliti membolak balik. "Ada hawa aneh mengalir dari dalam benda ini. Jelas
benda ini bukan cermin biasa untuk dipakai berhias diri...." Si pemuda memandang
pada Ratu Duyung. Tersenyum dan
berkata dalam hati. "Beberapa waktu lalu aku mendapat penjelasan. Gadis bermata
biru dan tiga temannya itu adalah tokoh-tokoh muda rimba persilatan yang
memiliki kepandaian tinggi."
Damar Wulung memandang ke dalam cermin.
Samar-samar dia melihat wajahnya sendiri. Cermin diputar, diarahkan ke pintu goa
sebelah atas. Lalu dia kerahkan tenaga dalam. Selarik sinar putih menyilaukan
berkiblat lalu braakkk! Batu keras bagian atas mulut goa hancur berkepingkeping. Bagian yang masih utuh kelihatan hitam hangus mengepulkan asap.
Damar Wulung terkesiap lalu tertawa lebar.
Sambil memandang pada Ratu Duyung dia berkata.
"Kekasihku, senjata aneh ini lebih pantas berada di tanganku. Akan kujadikan
kenang-kenangan seumur hidup tanda percintaan kita di malam hari ini. Ha... ha.,
ha...!" "Keparat terkutuk!" Ratu Duyung kerahkan tenaga dalamnya untuk bebaskan diri
dari pengaruh totokan yang melumpuhkan. Tapi gagal.
Dia alirkan hawa sakti ke arah mata untuk
mengeluarkan ilmu kesaktian berupa sinar maut berwarna biru. Lagi-lagi dia tak
mampu melakukan.
Totokan yang dilancarkan Damar Wulung atas dirinya benar-benar luar biasa hingga
dia tidak berdaya sama sekali.
kanannya bergerak ke dada.
"Breettt!"
Pakaian yang melekat di tubuh Ratu Duyung
robek besar. Auratnya tersingkap lebar. Ratu Duyung merutuk habis-habisan
sebaliknya Damar Wulung semakin beringas dilanda nafsu bejat.
Nyaris dia hampir menelanjangi tubuh gadis itu tiba-tiba di kejauhan terdengar
suara orang bersiul.
Sesaat Damar Wulung hentikan kebejatannya.
Telinganya dipasang mendengar suara siulan.
Bukan siulan itu yang membuat darahnya tersirap dan berubah air muka. Tapi
nyanyian dalam siulan itulah yang menyebabkannya tercekat hebat.
Tanpa tunggu lebih lama dia melompat ke mulut goa lalu lari ke luar. Di satu
tebing batu tinggi Damar Wulung tegak berdiri. Telinga dipasang tajam, pandangan
mata dilayangkan ke arah timur.
"Dari arah situ tadi suara siulan muncul. Kini lenyap tiada bekas...." Penasaran
Damar Wulung lari menuruni tebing batu di te^pat ketinggian. Dia lari ke arah
lenyapnya suara siulan. Di kejauhan di dalam gelap dia seperti melihat ada
bayangan berkelebat lalu lenyap.
"Hai!" Damar Wulung berteriak. Yang menjawab hanya gaung tipis suaranya sendiri.
Si pemuda hentikan larinya. Sesaat dia tegak termangu memandangi kegelapan.
"Telingaku tidak tuli.
Jelas sekali aku mendengar suara siulan itu. Jelas sekali itu adalah kidung Kami
Anak Desa yang sering aku nyanyikan dengan adikku dimasa kecil di desa. Mataku
tidak buta, tadi aku melihat satu bayangan di kejauhan. Adikku, engkaukah yang
tadi bersiul itu" Adimesa, bayanganmukah tadi yang aku lihat dalam gelap?" Damar
Wulung pejamkan mata menarik nafas panjang berulang-ulang. Terbayang olehnya
kehidupan di masa kecil di desa Kaliurang. Terbayang wajah adiknya yang terpisah
dengan dirinya belasan tahun silam yaitu ketika terjadi bencana gunung meletus.
Terbayang saat-saat dia dan adiknya membantu orang tua mereka di sawah,
memandikan kerbau, mengagon itik. Semua pekerjaan itu mereka lakukan dengan rasa
suka cita sambil menyanyikan iagu Kami Anak Desa. Semula dia mengira adiknya
telah menemui ajal dalam bencana itu. Tapi suara siulan tadi seolah
membangkitkan satu kepercayaan dalam dirinya bahwa Adimesa, adiknya masih hidup.
Saat itu ingin dia terus mengejar ke arah lenyapnya bayangan tadi, namun ketika
teringat pada Ratu Duyung yang ditinggalkannya di dalam goa, Damar Wulung
batalkan niatnya. Dia memutar tubuh, dengan cepat kembali ke goa di lamping
bukit batu bersusun. (Mengenai kehidupan masa kecil Damar Wulung alias Adisaka
dan adiknya Adimesa harap baca Episode pertama berjudul "Kembali Ke Tanah
Jawa.") Sebelum masuk ke dalam goa masih penasaran Damar Wulung alias Adisaka palingkan
kepala ke arah kejauhan. Dia berharap suara siulan tadi akan terdengar kembali.
Dia berharap bayangan orang di dalam gelap yang dilihatnya tadi akan muncul
kembali. "Adimesa adikku. Tak ada lain orang yang tahu nyanyian itu kecuali kau..." ucap
Damar Wulung perlahan dengan suara bergetar. Pemuda ini menarik nafas dalam lalu
berbalik dan langkahkan kaki masuk ke dalam goa.
Bergerak tiga langkah ke dalam goa, mendadak sontak gerakan kaki Damar Wulung
terhenti. Sepasang kakinya laksana dipakukan ke lantai goa. Dua matanya mendelik. Mulutnya
ternganga. Sulit dipercaya gadis itu berubah menjadi makhluk lain! Yang kini tergolek
miring di lantai goa, membelakanginya.
"Aku tidak lamur, aku tidak salah melihat!
Bagaimana ini bisa terjadi" Jangan-jangan gadis tadi bangsa setan jejadian!"
Damar Wulung maju lagi satu langkah.
Membungkuk ulurkan kepala. Membuka mata
besar-besar. Pemuda ini benar-benar melengak.
Sosok yang terbaring menelentang di lantai goa bukan sosok Ratu Duyung si gadis
cantik bermata biru. Tapi sosok lain seorang berambut panjang kelabu riapriapan, mengenakan jubah hitam. Dada Damar Wulung berdebar, hatinya berdetak.
Tiba-tiba sosok yang tergolek di lantai itu bergerak membalik. Cahaya rembulan
setengah lingkaran jatuh tepat di mukanya. Kelihatanlah satu wajah menyeramkan
Tiga Naga Sakti 18 Pendekar Rajawali Sakti 186 Pesanggrahan Telaga Warna Dewi Penyebar Maut I X 1

Cari Blog Ini