Ceritasilat Novel Online

Perjanjian Dengan Roh 1

Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH Sumber Kitab: Pendekar212
Penyedia Cover: kelapalima
E-Book: kiageng80
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
1 ALAM kegelapan dan dinginnya udara malam, Djaka Tua tambatkan kudanya di batang
pohon kelapa. DDebur ombak serta deru tiupan angin laut selatan terdengar sambung-menyambung
tak berkeputusan. Lelaki berusia lebih setengah abad ini memandang dulu ke arah
laut luas sebelum melangkah menuju gundukan batu membentuk bukit terjal setinggi
sepuluh tombak dan panjang hampir tigaratus kaki di samping kirinya. Walau
sebelumnya cuma satu kali datang ke tempat itu namun Djaka Tua masih ingat jalan
yang harus diambil. Di malam gelap tidak mudah menyusuri lamping bukit batu
terjal serta licin terkikis angin mengandung garam. Sesekali dia dikejutkan oleh
suara kepak sayap kelelawar yang terbang rendah.
Djaka Tua adalah pembantu di rumah seorang pejabat tinggi yang diam di pinggiran
Kotaraja. Nama sebenarnya Akik Sukro namun karena sampai usia limapuluh tahun
lebih dia belum beristri, teman-teman memanggilnya Djaka Tua. Tidak kawinnya
Akik Sukro mungkin karena cacat yang dideritanya sejak kecil yaitu dia memiliki
sebuah punuk di belakang leher sehingga tidak ada perempuan yang suka padanya
walau sehari-hari dia adalah seorang lelaki baik budi pekerti dan tutur
bicaranya. Langkah Djaka Tua terhenti ketika hidungnya mencium bau kemenyan. Ada rasa
merinding namun juga rasa lega karena bau kemenyan itu menandakan tanda orang
yang dicarinya berada di dalam goa di lamping bukit sebelah bawah. Untuk
mencapai goa yang dikenal dengan nama Goa Girijati itu bukan hal yang mudah.
Sekali kaki terpeleset tak ampun lagi Djaka Tua akan jatuh dari lamping bukit batu, ditunggu
hamparan batu-batu cadas lancip di bawah sana.
Bau kemenyan semakin santar. Sejarak duapuluh
langkah di depannya Djaka Tua melihat satu cegukan di bukit batu. Di dalam
cegukan samar-samar ada cahaya tak begitu terang, membersit keluar dari satu
lobang besar yang merupakan mulut sebuah goa. Walaupun jaraknya cuma duapuluh
langkah namun karena harus berhati-hati maka cukup lama Djaka Tua baru berhasil
mencapai cegukan batu dan berdiri di hadapan mulut goa.
Di dalam goa Djaka Tua melihat sebuah pedupaan, mengepulkan asap tipis menebar
bau kemenyan. Benda merah menyala dalam pedupaan adalah sejenis batu bara langka
yang dapat bertahan hidup sampai tujuhratus hari.
Dua langkah di belakang pedupaan, duduk bersila seorang lelaki berpakaian dan
ikat kepala hitam dengan wajah tertutup rambut panjang awut-awutan, kumis serta
jenggot dan cambang bawuk meranggas lebat. Dua kelopak mata yang tertutup tampak
merah seolah mata itu ada nyala api di sebelah dalam. Dua tangan bersilang di
atas dada. Dari ubun-ubun, telinga kanan dan dua lobang hidung mengepul keluar
asap tipis kehitaman.
Untuk beberapa lamanya Djaka Tua tertegun di mulut goa. Enam bulan lalu dia
mengantarkan orang itu ke goa.
Kini keadaannya jauh berobah, kotor dan angker menggidikkan. Sementara berdiri Djaka Tua menjadi bingung.
Bagaimana cara memberi tahu kehadirannya pada orang yang tengah bersemedi.
Tadinya dia hendak berdehem atau batuk-batuk. Namun Djaka Tua sadar, mengganggu
dan memutus semedi orang adalah merupakan satu pantangan besar. Agaknya tak ada
jalan lain. Dia harus menunggu sampai orang itu menyelesaikan semedinya.
Tapi berapa lama dia harus menunggu"
Ternyata tiga hari tiga malam berada di tempat itu, orang di dalam goa jangankan
menghentikan semedi, bergerak sedikitpun tidak. Djaka Tua mulai gelisah. Persediaan makanan yang dibawanya hampir habis. Pagi hari keempat bukan saja makanan
sudah habis, malah Djaka Tua diserang demam. Tubuhnya menggigil panas dingin.
Terhuyung-huyung Djaka Tua bangkit berdiri. Dia mengambil keputusan untuk segera saja meninggalkan tempat itu.
Di dalam goa orang yang bersemedi masih tetap tak bergerak, sepasang mata masih terpejam.
Tidak mau ambil perduli lagi, Djaka Tua segera melangkah pergi. Baru menindak dua langkah, sekonyong-konyong dari dalam goa terdengar suara
orang berucap. "Anak manusia bernama Djaka Tua, kembali! Cepat datang menghadap
di depanku!"
Langkah Djaka Tua tersurut. Dia tahu yang bicara itu adalah orang di dalam goa.
Tapi mengapa suaranya berubah besar dan serak. Djaka Tua melihat sepasang mata
orang yang bersemedi masih tetap terpicing.
"Matanya masih terpejam. Tapi dia mengenali diriku.
Agaknya dia telah mendapatkan satu ilmu kesaktian."
Begitu pikirnya. "Tumenggung Bandoro Wira Bumi, saya Djaka Tua sudah berada di
hadapanmu."
Ternyata orang yang bersemedi adalah seorang
tumenggung, seorang pejabat tinggi Kerajaan.
"Djaka Tua, kau berani mengganggu semediku. Lebih dari itu bukankah kau hanya
kuperkenankan datang pada hari tujuh bulan ketujuh" Kau muncul satu purnama
lebih cepat!"
Sangat ketakutan Djaka Tua rundukkan diri hingga keningnya menyentuh lantai goa.
"Maafkan saya, Tumenggung. Kalau tidak ada hal yang luar biasa penting saya
tidak akan berani datang menemui Tumenggung di tempat ini. Sebenarnya saya
disuruh da- tang jauh hari sebelumnya. Namun saya takut melanggar perintah..."
"Bicara mulutmu seperti anus yang keluarkan kentut!"
maki sang Tumenggung. "Apa saat ini kau tidak melanggar perintah?"
"Maafkan saya Tumenggung." Djaka Tua membungkuk berulang kali.
Tumenggung Bandoro Wira Bumi tangkap punuk Djaka Tua lalu ditarik ke atas dan
dilempar ke dinding goa. Rasa sakit akibat tubuh yang membentur dinding batu
bukan apa-apa bagi Djaka Tua dibanding dengan rasa takutnya.
"Katamu ada hal luar biasa penting. Kuharap pentingnya sama dengan harga nyawamu! Kau tahu apa hukuman bagi orang yang berani
mengganggu semediku?"
Wajah Djaka Tua jadi pucat. Dengan gagap dia menyahuti. "Tahu, saya tahu sekali Tumenggung..." jawab Djaka Tua. Suaranya kelu
seolah lidahnya mendadak menjadi pendek.
"Apa"!" sentak sang Tumenggung dengan dua mata masih terpejam.
"Mati..." jawab Djaka Tua dengan suara serak.
Kepala Tumenggung Bandoro Wira Bumi mengangguk perlahan beberapa kali. Mulut
sunggingkan seringai angker.
"Katakan berita luar biasa apa yang hendak kau sampaikan padaku!"
"Mohon maaf Tumenggung. Saya Ingin memberi tahu kabar gembira kalau Nyi Ayu
Retno Mantili telah melahirkan seorang bayi perempuan beberapa hari lalu. Tepatnya hari Kemis Pahing, malam
hari menjelang ba'dal Isya..."
Kalau ada petir menyambar di depan hidungnya saat itu, tidak demikian
terkejutnya Tumenggung Bandoro Wira Bumi ketika mendengar ucapan Djaka Tua.
Tubuh bergetar.
Asap biru mengepul keluar dari ubun-ubun, hidung dan telinga. Matanya yang
sekian lama terpejam mendadak sontak terbuka membeliak, kelihatan merah menyala
laksana ada kobaran api. Mulut yang terkancing terbuka dan satu makian dahsyat
keluar, membuat seantero goa batu bergetar.
"Jahanam! Tidaakkkk...!"
Djaka Tua yang dalam keadaan tubuh panas dingin karena demam tersurut kaget.
Bukan saja kaget karena teriakan yang begitu keras, tetapi juga kaget melihat
Tumenggung marah sekali. Padahal seharusnya dia bergembira kalau dirinya telah
dikaruniai seorang puteri oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
"Apa yang terjadi dengan diri Tumenggung" Ilmu apa sebenarnya yang sedang
dituntut orang ini" Aku melihat pikirannya seperti sudah berubah." Ucapan itu
muncul dalam hati Djaka Tua.
"Djaka Tua, kau sudah puluhan tahun ikut bersamaku, menjadi pembantu kepercayaan
di rumahku. Kau sadar apa yang barusan kau ucapkan" Kau tidak berdusta, tidak
sedang menyebar kebohongan?"
Dalam herannya mendengar kata-kata sang Tumenggung, Djaka Tua cepat menjawab.
"Saya sudah menjadi hamba sahaya sejak ayahanda Tumenggung masih hidup.
Bagaimana mungkin saya berani berkata dusta, bicara bohong?"
"Ketika aku memilih meninggalkan Retno Mantili enam bulan lalu, dia sama sekali
tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Dia tidak pernah mengatakan padaku
kalau dia tengah mengandung. Bagaimana mungkin kini kau datang membawa berita
bahwa perempuan itu telah melahirkan seorang bayi perempuan" Setan mana yang
menghamili- nya?" "Maaf Tumenggung kalau saya berani mengatakan
bahwa Nyi Retno Mantili adalah seorang gadis desa yang sangat sederhana pikiran
serta ilmu pengetahuannya.
Mungkin saja dia tidak tahu kalau dirinya sedang hamil ketika Tumenggung
meninggalkannya."
"Djaka Tua! Kau membawa kabar malapetaka bagi
diriku! Sekarang kau ikut aku!"
"I... ikut ke mana, Tumenggung?"
"Menemui Nyai Tumbal Jiwo!"
"Nyai Tumbal Jiwo"! Siapa itu, Tumenggung?"
"Jangan banyak mulut! Jangan banyak tanya! Kau akan lihat sendiri nanti!" teriak
Tumenggung Bandoro Wira Bumi.
Sekali tangannya bergerak dia sudah mencekal leher Djaka Tua. Lalu seperti
membembeng anak kucing begitulah dia membawa Djaka Tua keluar goa. Manusia
biasa, seperti kejadiannya dengan Djaka Tua sewaktu datang tadi, akan mengalami
kesulitan dan harus berhati-hati berjalan di lamping bukit batu itu. Tapi sang
Tumenggung melangkah cepat bahkan berlari.
Djaka Tua kemudian merasakan tubuhnya berada di atas kuda, dipacu seperti
dikejar setan. Dia tidak tahu mau dibawa ke mana. Dia tidak tahu siapa itu Nyai
Tumbal Jiwo. Di dalam dirinya yang didera demam panas dingin itu kini semakin menggunung rasa
takut. WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
2 UMENGGUNG Wira Bumi hentikan kudanya bersamaan dengan mulai turunnya hujan rintik-rintik. Djaka TTua tidak tahu saat itu
berada di mana. Siksa yang mendera tubuhnya yang panas dingin karena serangan
demam kini bertambah. Sekujur badan terasa sakit, sambungan tulang-belulang seperti bertanggalan. Ketika dia berusaha mengangkat
kepala, tiba-tiba Wira Bumi cekal lehernya. Tubuh Djaka Tua terangkat lalu bluk!
Lelaki ber- usia setengah abad itu dilempar dari atas kuda, jatuh bergedebuk di atas tanah.
Djaka Tua mengerang. Tulang punggungnya serasa hancur, sakit bukan main.
"Dosa kesalahan apa yang telah aku perbuat hingga menerima azab seperti ini?"
keluh perjaka tua itu dalam hati. Dia angkat kepala, memandang berkeliling. Dia
meli- hat gundukan-gundukan tanah, banyak sekali. Walau malam begitu gelap dan
rintikan hujan semakin membesar namun Djaka Tua menyadari di mana dia berada
saat itu. Pekuburan! Tengkuknya langsung dingin. Jangan-jangan dia hendak dikubur hiduphidup di tempat itu.
Tumenggung Wira Bumi melompat turun dari kuda.
Sepasang matanya yang merah memandang garang ke arah pembantunya. Asap kehitaman
mengepul dari ubun-ubun, dua liang telinga serta lobang hidung dan mulutnya.
"Berdiri cepat! Ikuti aku!"
Terhuyung-huyung menahan sakit, dingin dan juga lapar, Djaka Tua berdiri lalu
melangkah mengikuti Wira Bumi yang berjalan cepat di depannya. Pada arah yang
dituju sang Tumenggung, Djaka Tua melihat sebuah kuburan. Keadaannya berbeda dibanding dengar puluhan kuburan yang bertebaran di
tempat itu. Kuburan yang satu ini onggokan tanahnya lebih padat dan tinggi. Di atas tanah
makam merah ada tebaran kembang melati. Sebuah pohon kemboja bercabang tujuh
tumbuh di kepala kuburan. Antara pohon kemboja dan bagian atas kuburan
menggantung sesaput halimun.
Seperti kebanyakan kuburan-kuburan lain, kuburan ini tidak memiliki batu atau
papan nisan. Justru pada bagian tanah yang seharusnya ditancap nisan terletak
sebuah pedupaan mengepulkan asap bau kemenyan. Asap pedupaan mengepul bergelung ke atas, menembus lapisan halimun, menebar di sela-sela
cabang, ranting serta dedaunan pohon kemboja membentuk satu pemandangan yang membuat orang jadi mengkirik.
Hanya tinggal beberapa langkah lagi Tumenggung Wira Bumi dan Djaka Tua akan
sampai di hadapan kuburan mendadak satu bayangan putih berkelebat disertai suara
membentak. "Siapa berani mendatangi makam Nyai Tumbal Jiwo malam buta begini tanpa ijinku"!"
Kalau Djaka Tua langsung hentikan langkah, maka Tumenggung Wira Bumi terus saja
berjalan sambil balas membentak.
"Kuncen Ki Balang Kerso, apa matamu bertambah buta tidak mengenali diriku?"
Bayangan putih yang kemudian berdiri di hadapan Tumenggung Wira Bumi ternyata
adalah seorang kakek berambut putih riap-riapan, memelihara kumis tebal serta
janggut putih menjulai dada, pakaiannya pun serba putih.
Yang tidak sedap dilihat dari orang tua ini adalah kedua matanya yang gembung
besar sehingga kelihatan tetutup buta walau nyatanya dia bisa melihat jelas
keadaan di sekitarnya. Ini terbukti dari gerakannya yang berkelebat gesit ketika
munculkan diri tadi.
"Ah, sampeyan Tumenggung Wira Bumi rupanya."
Berucap sang kuncen. Suaranya bergetar seperti orang menahan dingin. "Adalah
aneh, sampeyan datang sebelum hari perjanjian."
Tumenggung Wira Bumi menyeringai. "Dunia ini
memang penuh keanehan. Terkadang keanehan itu
berakhir pada kematian!"
Kakek serba putih yang jadi penjaga makam tertawa mengekeh. "Aku selalu gembira
jika ada orang bicara soal kematian. Siapa tahu aku bakal dapat rejeki besar
malam ini. Tambah satu lagi makam yang bakal aku urus! Hik...
hik... hik!"
"Kuncen Balang Kerso, sejak lama aku tidak suka dirimu. Jangan membuat aku jadi
muak dan muntahkan darah kematian di atas batok kepalamu! Masuklah ke alam roh
dan beritahu kalau aku ingin bertemu Nyai."
"Begitu?" Ki Balang Kerso berkata sambil rangkapkan dua tangan di depan dada.
"Kuharap kau tidak lupa aturan di tempat ini."
"Kuncen keparat..."
"Huss! Jangan bicara kotor di sini kalau tak mau mulutmu pencong dan jadi bisu
sampai kiamat!" Ki Balang Kerso membentak dan mengancam.
"Kuncen sombong! Aku siap mengikuti aturanmu! Dulu aku mengalahkanmu. Rupanya
kau belum kapok! Kali ini aku bukan saja akan mempecundangimu sekali lagi, tapi
sekaligus memberi pelajaran padamu! Kuburan di tempat ini akan bertambah satu
lagi!" Kuncen Balang Kerso tertawa gelak-gelak. Dua kakinya digeser. Luar biasa sekali.
Saat itu juga tubuhnya mengapung dua jengkal ke atas. Dua kaki tidak menginjak tanah lagi! Kalau Djaka Tua
terkesiap melihat sosok Kuncen yang bisa mengapung itu, tidak demikian halnya
dengan sang Tumenggung.
"Ilmu kuno Roh Berjalan di Atas Makam! Tololnya kau mau memamerkan di depanku!"
ucap Wira Bumi mengejek. Sekali dia mendengus asap hitam mengepul ke wajah sang Kuncen. Karena
tidak menduga diserang dengan asap, si penjaga makam sempat gelagapan terbatuk-batuk. Di lain kejap didahului bentakan keras kakek ini berkelebat lenyap.
Lalu, bukk... bukkk!
Tubuh besar Tumenggung Wira Bumi terpental hampir satu tombak ke depan,
tersungkur di atas sebuah kuburan tua. Balang Kerso tertawa mengekeh.


Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tumenggung, percuma Nyai mengirimmu juga ke Goa Girijati! Ilmu apa yang kau dapat" Ternyata kau
masih goblok-goblok juga!"
Walau sempat tertawa dan mengejek namun diam-diam kuncen penjaga makam Nyai
Tumbal Jiwo itu merasa kaget. Dua jotosan yang tadi dihantamkannya ke punggung
Wira Bumi ternyata tidak mendatangkan cidera sama sekali! Padahal, jangankan
tubuh manusia, pohon atau tembok batu saja bisa patah dan jebol!
"Dia sudah memiliki ilmu kesaktian baru. Aku harus berhati-hati..."
"Tua bangka pengecut! Beraninya menyerang dari belakang!" rutuk Tumenggung Wira
Bumi. Kuncen Balang Kerso ganda tertawa. Tubuhnya masih mengapung di udara. "Apa kau
lupa kalau roh itu gentayangan di mana-mana. Serangannya pun datang dari mana-mana!"
"Kalau begitu biar kau kujadikan roh gentayangan benaran saat ini juga!"
Habis keluarkan ucapan Wira Bumi meniup ke depan.
Asap hitam menggebu ke sekujur kepala dan tubuh kuncen penjaga makam. Sosok sang
Tumenggung lenyap. Balang Kerso cepat berkelebat karena dia tahu di balik asap
itu akan datang serangan ganas. Betul saja, saat itu juga sang kuncen melihat
dua tangan menderu sebat. Dia palangkan satu lengan di depan kepala sementara
kaki kanan mencuat deras ke depan, kirimkan satu tendangan.
Balang Kerso terkesiap ketika dua tangan yang menyerangnya tiba-tiba lenyap dan tendangannya hanya mengenai udara kosong. Belum habis rasa terkesiapnya tiba-tiba, bukkk!, kraaakk!
Orang tua berambut putih penjaga makam menjerit.
Tubuhnya terpental lima langkah, terbanting jatuh di atas sebuah kuburan. Dua
tangan terkulai ke samping tak berdaya. Muka seputih kain kafan, darah mengucur dari sela bibir, nafas megap-megap
karena dada yang sesak serta tulang iga yang patah!
"Pukulan Di Balik Asap Roh Mencari Pahala..." ucap kuncen Balang Kerso,
mengenali jurus pukulan yang tadi dilancarkan Tumenggung Wira Bumi. "Dia sudah
menda- patkan ilmu itu. Untung Nyai masih melindungiku. Kalau tidak aku..." Belum
sempat Balang Kerso selesaikan ucapannya tiba-tiba Tumenggung Wira Bumi sudah
berada di depannya.
"Saatnya kau berubah jadi roh benaran!" ucap Wira Bumi geram. Lalu tinju
kanannya menderu ke arah batok kepala sang kuncen.
"Pukulan Tangan Roh Memberi Rahmat..." Balang Kerso hanya bisa keluarkan ucapan.
Dia tak mampu menangkis ataupun mengelak selamatkan kepala. Sesaat lagi kepala
kuncen akan hancur dihantam pukulan Wira Bumi, tiba-tiba tanah kuburan bergerakgerak, lalu desss...
desss... desss! Terdengar suara mendesis keras tiga kali berturut-turut. Saat
itu juga tanah kuburan terbelah menganga. Didahului dengan kepulan asap merah
satu bayangan merah melesat keluar dari dalam liang kubur.
Satu suara menggema angker menggidikkan.
"Wira Bumi, jangan bunuh dia! Dia telah menerima pelajarannya!"
Di tempatnya tegak berdiri, Djaka Tua tertegun ngeri dan terduduk di tanah.
Mengenali suara orang, Tumenggung Wira Bumi cepat jatuhkan diri lalu berputar ke
arah kuburan. Di situ berdiri satu sosok nenek keriput yang keadaannya serba
merah. Mulai dari muka yang angker keriput sampai rambut yang panjang riap-riapan serta
pakaian berupa kain yang diselempangkan di tubuh merah, tinggi tapi agak bungkuk.
"Nyai Tumbal Jiwo, maafkan diriku kalau telah berbuat kesalahan." Wira Bumi
keluarkan ucapan lalu bersujud dan tak berani bangkit.
Si nenek Nyai Tumbal Jiwo berpaling ke arah kuncen Balang Kerso yang saat itu
masih tergeletak tak berdaya megap-megap di atas sebuah kuburan. Makhluk yang
keluar dari liang lahat ini angkat tangan kirinya. Selarik sinar merah mencuat
keluar dari telapak tangan dan menyapu ke seluruh permukaan kepala serta tubuh
kuncen. "Balang Kerso! Cideramu sudah sembuh! Bangun dan pergilah!" si nenek berucap.
Ketika mulutnya terbuka kelihatan lidah dan deretan gigi berbentuk caling
berwarna merah.
Luar biasa! Saat itu juga tubuh Balang Kerso bergerak.
Dia bisa bangkit berdiri seolah tidak ada bagian tubuhnya yang cidera. Sebelum
tinggalkan tempat itu, kuncen susun sepuluh jari di depan kening, membungkuk
sambil berucap. "Terima kasih Nyai... Terima kasih kau telah menyembuhkan
diriku." Sang kuncen lalu bergerak pergi namun dia tidak sungguhan tinggalkan
tempat itu melainkan bersembunyi di balik sebatang pohon besar dalam kegelapan malam.
Setelah Balang Kerso berlalu Nyai Tumbal Jiwo alihkan perhatian pada Wira Bumi
yang sampai saat itu masih bersujud di tanah.
"Bangun Wira Bumi! Katakan apa urusanmu sampai kau berani muncul sebelum hari
perjanjian. Apa kau tidak sadar asap hitam masih mengepul dari batok kepalamu,
masih keluar dari dua liang telinga, mulut dan lobang hidungmu" Tanda kau belum
menyerap seluruh ilmu kesaktian yang kau semedikan di Goa Girijati karena kau
belum merampungkan jumlah hari pertapaanmu!"
"Maaf Nyai, saya mengerti sekali. Namun di luar pengetahuanku satu perkara besar
telah terjadi."
"Hemmm, begitu" Siapa lelaki berpunuk yang menjelepok di tanah itu?" Sang Nyai goyangkan kepala ke arah Djaka Tua.
"Dia pembantuku Nyai. Dia yang memberi tahu tentang terjadinya perkara besar
itu." "Perkara besar! Katakan padaku apa gerangan adanya perkara besar itu!"
"Mohon maaf dan ampunmu Nyai. Istriku yang ketiga Nyi Retno Mantili telah
melahirkan seorang bayi perempuan beberapa hari lalu..."
"Apa"!" Nyai Tumbal Jiwo berteriak keras. Sepasang matanya bersitkan dua larik
cahaya merah seperti semburan lidah api. "Kutuk sesuai sumpah akan jatuh atas dirimu Wira Bumi! Kau
berlaku fatal! Kau harus membayar mahal untuk kelalaian itu..."
"Aku mengerti Nyai, aku mohon maaf dan ampunmu."
"Untuk kutuk dan sumpah tidak ada maaf dan pengampunan. Kalau istrimu melahirkan beberapa hari lalu, ketika kau meninggalkannya
enam bulan lalu apakah kau tidak tahu kalau dia tengah hamil?"
"Aku benar-benar tidak tahu, Nyai. Kau tahu Nyai, Retno Mantili tubuhnya kecil
halus. Aku tidak bisa melihat perubahan pada tubuhnya. Dia tidak menceritakan padaku kalau sedang mengandung. Dia
perempuan desa yang bodoh. Usianya belum mencapai enambelas ketika aku
menikahinya..."
"Tutup mulutmu Wira Bumi! Dulu kau datang padaku untuk meminta berkah
keselamatan, ilmu kesaktian, harta serta kedudukan. Semua permintaanmu aku
kabulkan asal kau mau mengangkat sumpah! Sekarang ucapkan kembali sumpahmu itu!
Agar liang lahat, langit dan bumi mendengar! Hujan, turunlah lebih besar!"
Mendadak hujan yang tadi rintik-rintik berubah menjadi lebat. Wira Bumi
menggigil. Entah karena kedinginan entah karena ketakutan.
Tiba-tiba makhluk serba merah itu hentakkan kakinya ke tanah kuburan. Puluhan
bunga melati yang menebar di atas makam melesat ke arah Wira Bumi. Tumenggung
menjerit kesakitan ketika bunga-bunga melati itu menancap dan melukai tubuhnya. Empatbelas di kepala, selebihnya menancap di sekujur dada, perut dan paha.
Darah memercik di wajahnya yang kotor serta membasahi pakaian hitam.
"Masih untung aku hanya menancapkan kembang
melati itu di permukaan kulitmu! Seharusnya aku masukkan tembus ke dalam benak, dada dan isi perutmu..."
"Maafkan aku Nyai!."
"Wira Bumi! Sekarang lekas kau ulangi sumpah yang pernah kau ucapkan dulu di
tempat ini!"
Tenggorokan Tumenggung Wira Bumi bergerak naik turun. Dia menatap ke arah Nyai
Tumbal Jiwo seolah minta dikasihani. Namun si nenek balas menatap dengan delikkan mata, membuat Wira Bumi jadi ciut nyalinya dan segera membuka mulut.
"Aku anak manusia bernama Wira Bumi. Disaksikan roh penghuni kuburan Kebonagung,
aku bersumpah. Bilamana salah seorang istriku atau salah seorang saudara kandungku melahirkan seorang bayi, maka musnahlah semua usahaku untuk mendapatkan
keselamatan, ilmu kesaktian, harta serta kedudukan. Kecuali jika aku menebus
dengan kedua mataku atau aku membunuh bayi itu dengan tanganku sendiri atau
melalui seorang suruhan..."
Habis mengucapkan sumpah itu kembali sekujur Wira Bumi menggigil. Dia merasa
sangat lemas hingga jatuh berlutut.
"Berdiri!" hardik Nyai Tumbal Jiwo.
Wira Bumi kerahkan tenaga, perlahan-lahan bangkit berdiri.
"Bagus! Otakmu masih belum kering untuk mengingat semua sumpah itu!" Nyai Tumbal
Jiwo keluarkan ucapan lalu tertawa panjang. "Sekarang aku tanya padamu anak
manusia! Tebusan mana yang akan kau berikan" Dua matamu atau nyawa anakmu?"
"Aku..."
"Kau tak bisa menjawab. Kau bimbang! Aku benci pada manusia munafik sepertimu.
Minggat dari hadapanku! Kau akan kehilangan semua yang kau minta!" Nyai Tumbal
Jiwo tampak marah dan pelototkan mata merahnya ke arah sang Tumenggung.
"Nyai..., aku... aku tidak mungkin menebus kesalahan dengan menyerahkan kedua
mataku..."
"Jadi"!" bentak si nenek. "Bagaimana caramu memenuhi sumpah?"
Hujan tambah lebat. Sesekali kilat menyambar hingga kawasan pekuburan untuk
sekejapan mata terang benderang. Di kejauhan terdengar suara raungan anjing.
"Aku, aku memilih membunuh bayi itu, Nyai..."
"Kau akan melakukan dengan tanganmu sendiri atau menyuruh orang lain"!" tanya
Nyai Tumbal Jiwo ingin kepastian.
"Aku akan menyuruh orang lain..."
"Orang lain. Hmmm... siapa orangnya"!"
Tumenggung Wira Bumi terdiam. Perlahan-lahan dia putar kepala. Memandang
berkeliling mata membentur Djaka Tua. Pembantu yang sejak tadi berada di tempat
itu dan mendengar semua pembicaraan jadi tersirap pucat ketika melihat
majikannya memandang ke arahnya.
"Dia, dia orangnya yang akan membunuh bayi itu!" kata Wira Bumi sambil tudingkan
telunjuk tangan kiri tepat-tepat ke arah Djaka Tua.
Djaka Tua terduduk pucat di tanah. Kagetnya seperti disambar petir.
"Demi Tuhan, demi Gusti Allah, jangan saya Tumenggung. Jangan saya..." kata Djaka Tua sambil jatuhkan diri menyembah berulang
kali. Nyai Tumbal Jiwo tertawa mengekeh.
"Wira Bumi, kau terpaksa mencari orang lain untuk membunuh bayi itu. Pembantu
tak berguna ini lebih baik kau habisi saat ini juga."
"Nyai, apa perintahmu akan aku laksanakan. Djaka Tua, kau tak mengenal budi. Kau
layak menerima kematian!" Wira Bumi melangkah cepat mendekati pembantunya yang masih menyembah-nyembah
ketakutan. Bagaimanapun tentu saja Djaka Tua sangat takut menghadapi kematian. Apalagi dibunuh begitu rupa. Ketika Tumenggung Wira Bumi angkat tangan
kanan siap untuk menggebuk batok kepalanya, pembantu ini berteriak.
"Ampun Tumenggung, jangan bunuh diriku. Saya akan laksanakan perintahmu. Saya
akan bunuh bayi itu..." Habis berucap begitu Djaka Tua menangis keras.
Sreettt! Nyai Tumbal Jiwo keluarkan sebuah benda dari balik pakaiannya yang berupa
selempang kain merah. Benda itu dilemparkan ke hadapan Djaka Tua, menancap di
tanah. Ketika Wira Bumi memperhatikan kagetnya bukan alang kepalang. Benda yang
menancap di tanah adalah sebilah golok besar bersarung. Golok itu adalah
miliknya sendiri yang digantung dan dipajang di dinding kamar tidurnya.
Sungguh aneh. Mengapa tahu-tahu senjata itu bisa berada di tangan Nyai Tumbal
Jiwo" Si nenek tertawa panjang.
"Wira Bumi, bagiku tidak ada yang sulit. Kalau mengambil sesuatu yang berada di tempat jauh bisa aku lakukan, mengambil jiwa
seseorang sama mudahnya bagiku! Hik... hik... hik!"
Si nenek tiba-tiba hentikan tawa. Dia memandang melotot pada Djaka Tua.
"Dengan golok itu kau harus memancung leher bayi yang dilahirkan Retno Mantili!
Selesai kau lakukan letakkan kembali golok di tempat semula, di dinding dalam kamar Tumenggung Wira Bumi.
Kelak aku akan datang untuk memeriksa apakah kau telah melakukan tugasmu atau
tidak. Kau mengerti manusia berpunuk"!"
"Sa... saya mengerti..." Djaka Tua ketakutan setengah mati.
"Lain dari itu!" kata Nyai Tumbal Jiwo pula. "Sebagai bukti kau harus membawa
kutungan kepala bayi itu ke tempat ini, letakkan di atas makam! Kau dengar
manusia berpunuk"!"
"Saya dengar...," jawab Djaka Tua dengan suara menggigil. "Sekarang ambil golok itu. Tinggalkan tempat ini! Kau harus melakukan tugasmu
dalam tiga hari. Paling lambat hari kelima kepala bayi itu sudah ada di sini!
Bungkus dengan kain hitam!"
Dengan tangan gemetar Djaka Tua cabut golok dari tanah. Ketika dia memutar diri
untuk berlalu si nenek membentak.
"Tunggu!"
Djaka Tua menahan langkah dan berpaling.
"Apakah bayi perempuan yang dilahirkan itu sudah diberi nama oleh ibunya?"
Djaka Tua gelengkan kepala lalu cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Saking
takutnya dia lari begitu saja, padahal kudanya yang tadi ditunggangi Tumenggung
Wira Bumi ada di dekat sana.
Hanya sesaat setelah Djaka Tua tinggalkan pekuburan Nyai Tumbal Jiwo berkata.
"Wira Bumi, kalau pembantumu sudah melaksanakan tugasnya, untuk menjaga rahasia
kau harus menghabisi manusia berpunuk itu. Kau mengerti?"
Wira Bumi mengangguk.
"Menurutku kau juga harus menghabisi Retno Mantili!"
Kembali sang Tumenggung anggukkan kepala.
Nyai Tumbal Jiwo tertawa lalu berteriak.
"Hujan! Aku tidak memerlukanmu lagi!"
Luar biasa! Keanehan kembali terjadi. Hujan yang turun lebat perlahan-lahan
mereda dan akhirnya berhenti sama sekali.
"Wira Bumi, kembalilah ke Goa Girijati. Teruskan tapamu yang masih bersisa satu purnama. Kalau asap hitam tidak lagi mengepul dari
ubun-ubun, liang telinga, hidung dan mulutmu itu pertanda kau boleh
menyelesaikan tapamu karena ilmu kesaktian yang kau inginkan telah menyatu dalam dirimu. Kau bakal
mendapatkan apa yang kau minta. Keselamatan, kesaktian, harta dan jabatan. Mungkin juga seorang istri ditambah beberapa gundik. Hik...
hik... hik!"
"Terima kasih Nyai. Aku pergi sekarang..."
"Tidak, aku yang akan pergi lebih dulu." jawab si nenek lalu tertawa panjang.
Dess... dess... dess!
Terdengar suara mendesis tiga kali. Sosok merah Nyai Tumbal Jiwo berubah jadi
asap lalu melesat masuk ke dalam liang lahat. Begitu ujudnya lenyap, tanah kubur
yang tadi bertebaran berantakan kini kembali bertaut membentuk gundukan merah! Jauh di dalam perut bumi suara tawa si nenek masih terdengar
gaungnya. Asap putih yang tadi menyelimuti pohon kemboja perlahan-lahan sirna.
Udara terasa mencucuk dingin.
Tumenggung Wira Bumi usapkan tengkuknya yang
basah oleh air hujan. Melangkah cepat ke arah kuda milik Djaka Tua dan
menggebrak binatang itu tinggalkan pekuburan Kebonagung.
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
3 JAKA Tua sampai di gedung tempat kediaman Nyi
Retno Mantili, istri Tumenggung Wira Bumi, keesoDkan harinya tak lama setelah matahari tenggelam.
Begitu sampai dan bertemu dengan Nyi Retno dia langsung jatuhkan diri, menangis
keras. Nyi Retno dan beberapa pelayan tentu saja terheran-heran.


Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aki..." begitu Nyi Retno memanggil Djaka Tua, "Apa yang terjadi dengan dirimu"
Aku menyuruhmu menemui Tumenggung di Goa Girijati. Apakah sudah kau lakukan"
Apa kabar yang kaubawa dari suamiku?"
"Sudah Nyi Retno, sudah..." jawab Djaka Tua. Pembantu ini lalu meratap keras. "Saya tak bisa melakukannya.
Tidak mungkin... Maafkan saya Nyi Retno. Maafkan saya...
Ampun Nyi Retno, ampun Tuhan!" Pembantu itu lalu menangis menggerung-gerung.
"Aki, kau ini kenapa?" tanya Nyi Retno semakin heran sementara bayi yang
digendongnya tiba-tiba menjerit keras dan menangis. Nyi Retno terpaksa membawa
masuk bayi- nya ke dalam kamar. Sebelum masuk ke kamar, perempuan bertubuh halus ini berkata kepada salah seorang pelayan perempuan. "Aku
akan menyusui bayiku di kamar.
Tanyakan pada Aki apa yang terjadi dengan dirinya. Kulihat sekujur tubuhnya
bergetar. Jangan-jangan dia kemasukan makhluk halus dari kawasan pantai selatan.
Kalau betul cari orang pandai mengobatinya. Selain itu, aku melihat dia seperti
menyembunyikan sesuatu di balik kain sarungnya."
Ketika masuk ke dalam kamar tidur, entah mengapa Nyi Retno Mantili memandang ke
salah satu dinding.
Perempuan itu berpikir-pikir lalu unjukkan wajah terkejut.
Dia ingat betul. Di dinding tergantung sebilah golok besar milik Tumenggung.
Kini dinding berada dalam keadaan polos. Golok besar lenyap!
"Golok itu... Bagaimana bisa lenyap kalau tidak ada yang mencuri. Siapa
pelakunya?" Nyi Retno bertanya-tanya pada diri sendiri.
Karena harus menyusui bayinya dan menunggu sampai bayi perempuan itu tertidur
lelap, cukup lama berada dalam kamar baru Nyi Retno keluar. Ketika dia keluar,
di bagian gedung sebelah belakang tengah terjadi kehebohan. Pelayan yang datang ke kamar Djaka Tua untuk mengantar minuman jahe panas
menemui kamar dalam keadaan kosong.
"Kabur! Pasti dia sudah kabur. Pasti dia yang mencuri golok besar milik
Tumenggung yang dipajang di dinding kamar." Nyi Retno memberi tahu para pelayan.
"Ingat ketika tadi aku mengatakan dia seperti menyembunyikan sesuatu di balik
kain sarungnya?"
"Aneh, Djaka Tua barusan saja datang. Bagaimana sempat-sempatnya dia masuk ke
kamar mencuri golok"
Padahal Nyi Retno hampir selalu berada di kamar," kata seorang pelayan.
Seorang pelayan lain menyatakan rasa tidak percayanya. "Sulit dipercaya Djaka Tua begitu berani dan lancang mencuri barang milik
Tumenggung. Dia sudah puluhan tahun bekerja di sini. Malah sejak ayahanda
Kanjeng Tumenggung masih hidup."
"Kalau kalian tidak percaya, ikut aku. Beberapa di antara kalian pernah masuk
kamar tidurku. Tahu di mana golok itu digantung. Lihat sendiri nanti!"
Nyi Retno Mantili mendahului berjalan menuju kamar tidurnya. Begitu pintu dibuka
menjeritlah istri ketiga Tumenggung Wira Bumi ini. Bayi perempuan yang ditinggalkannya di atas ranjang dalam keadaan tidur pulas kini sudah tak ada lagi di
situ! "Bayiku!" jerit Nyi Retno. "Anakku diculik orang!"
"Lihat!" Seorang pelayan lelaki berseru menunjuk ke dinding kiri. Di situ ada
sebuah jendela dalam keadaan terpentang lebar. Nyi Retno langsung melosoh jatuh,
ter- guling pingsan di lantai. Para pelayan berpekikan.
Malam itu juga kejadian di gedung kediaman Tumenggung Wira Bumi segera tersiar ke berbagai penjuru pinggiran Kotaraja. Keesokan harinya berita itu telah sampai di Gedung Kepatihan.
Patih Kerajaan segera membentuk kelompok pasukan untuk menyelidik dan melakukan
pencarian di dalam Kotaraja, bahkan sampai jauh keluar Kotaraja. Namun jejak si
penculik bayi tidak ditemukan.
Djaka Tua yang dicurigai sebagai penculik raib seperti ditelan bumi!
Ketika sang patih berusaha menemui Nyi Retno,
perempuan ini berada dalam keadaan terbaring di tempat tidur. Wajahnya pucat.
Mata nyalang, hanya sesekali berkedip. Diajak bicara mulutnya tetap terkancing.
Tak ada suara yang keluar.
Hari demi hari keadaan Nyi Retno semakin menyedihkan. Dia tidak pernah meninggalkan kamar, tidak pernah turun dari atas ranjang.
Rambut, wajah dan tubuhnya kotor karena tidak pernah mandi. Sesekali dia
menjerit, kadang-kadang meratap panjang dan menangis tersedu-sedu.
Selama itu tidak ada satupun makanan mengisi perutnya.
Untuk minum saja dengan susah payah pelayan hanya bisa membasahi bibirnya dengan
air. Para pelayan di gedung itu semakin khawatir ketika hari ketujuh Nyi Retno
Mantili menunjukkan gejala aneh yaitu suka menyanyi. Kata atau syair apa yang
diucapkan dalam nyanyian tidak jelas.
Seseorang mengatakan sudah saatnya kedua orang tua Nyi Retno yang diam di
Wonosari diberi tahu keadaan puterinya. Dua orang anggota pasukan Kepatihan yang diperbantukan di gedung kediaman Tumenggung dengan suka rela melakukan tugas itu.
Namun sebelum mereka kembali telah terjadi lagi satu hal yang mengggegerkan.
Suatu tengah malam, ketika dua orang pelayan yang menunggui Nyi Retno tertidur
karena keletihan, seperti mayat hidup Nyi Retno Mantili turun dari ranjang.
Dalam keadaan mata terpejam dia melangkah tanpa suara, membuka pintu kamar.
Keesokan paginya seisi gedung geger. Nyi Retno Mantili lenyap! Usaha untuk
mencari sia-sia belaka. Usaha untuk menghubungi Tumenggung Wira Bumi tidak dapat
dilaku- kan karena hanya Djaka Tua yang tahu ke mana perginya sang Tumenggung. Padahal
pembantu itu sendiri telah terlebih dulu raib tak tentu rimbanya.
*** Kembali pada malam hari lenyapnya bayi perempuan
Nyi Retno Mantili dari gedung kediaman Tumenggung Wira Bumi.
Djaka Tua berlari sambil mendukung bayi yang dibuntalnya dalam kain sarung. Pembantu ini tak tahu mau menuju ke mana. Dia berlari
sepembawa kakinya saja.
Dalam dirinya hanya ada satu keinginan yaitu menyelamatkan sang bayi. Demi Tuhan, apapun yang terjadi dia tidak akan membunuh bayi
tak berdosa itu.
"Tobat Gusti Allah. Mengapa Tumenggung sampai
menuntut ilmu sesat itu. Ke mana aku harus membawa dan menyelamatkan bayi ini"
Aku punya saudara tua di Donorojo. Aku harus membawa bayi ini ke sana. Tapi
bagaimana kalau makhluk roh bernama Nyai Tumbal Jiwo itu mengetahui. Ya Tuhan,
mohon petunjukMu bagaimana aku bisa menyelamatkan bayi ini." Pembantu ini jadi
bingung dan bertambah bingung ketika udara malam berubah buruk. Angin bertiup
kencang dan hujan mulai turun. Mula-mula kecil saja namun makin lama bertambah
lebat. Bayi dalam gendongan mulai menangis. Dalam bingungnya Djaka Tua berteduh
di bawah sebatang pohon.
Namun kerimbunan daun pohon tidak dapat menahan curahan air hujan yang begitu
lebat. "Aku harus mencari tempat berlindung. Kalau sampai kebasahan bayi ini bisa
sakit. Tuhan tolong kami..." Kilat menyambar. Untuk sesaat keadaan di tempat itu
jadi terang benderang. Walau sekilas, mata Djaka Tua masih sempat melihat satu
gundukan tanah berbatu-batu sejarak duabelas langkah di hadapannya. Di samping
kiri gundu- kan tanah ada sebuah lobang besar membentuk goa. Tidak pikir panjang lagi Djaka
Tua segera lari masuk ke dalam goa. Selain tinggi ternyata goa itu cukup lapang
dan dalam. Djaka Tua duduk bersandar rapat-rapat ke dinding goa sebelah dalam agar tidak
terkena tampiasan air hujan.
Walau kini terlepas dari kebasahan air hujan, namun Djaka Tua masih tetap
bingung karena bayi yang ada dalam buntalan kain sarung masih terus menangis.
"Mungkin dia haus. Ya Tuhan, akan aku beri minum apa bayi ini?" keluh Djaka Tua
sambil menepuk-nepuk bahu si bayi. Tiba-tiba bayi dalam dukungannya memekik
keras. "Cah Ayu, berhentilah menangis. Aku tak tahu harus berbuat bagaimana. Jangan
menangis nak. Cep... ceeppp."
Saat itu entah dari mana datangnya, kabut tipis muncul menutupi setengah
ketinggian mulut goa. Memperhatikan keanehan ini mendadak tenggorokan lelaki
berpunuk ini seolah tercekik. Mata mendelik dan tubuhnya semakin dirapatkan ke
dinding. Walau dalam goa gelap namun Djaka Tua masih bisa melihat cukup jelas
bagaimana saat itu muncul satu sosok orang tua berpakaian selempang kain putih.
Demikian tingginya orang ini kepalanya tertutup rambut putih hampir menyondak
bagian atas goa. Di tangan kiri dia memegang sebatang tongkat kayu putih.
Sepasang matanya walau memandang lembut pada Djaka Tua tapi lelaki ini tetap
merasa ketakutan, membuat sekujur tubuhnya jadi menggigil. Semula dia menyangka
yang muncul ini nenek angker Nyai Tumbal Jiwo, roh penghuni makam Kebonagung.
"Siapa...?" Tanya Djaka Tua beranikan diri dengan suara bergetar sambil matanya
berusaha memperhatikan ke arah belakang orang tua berselempang kain putih. Dia
mendengar suara hembusan nafas berat di belakang sana namun dia tidak melihat
apa atau siapa yang ada di belakang kakek itu karena pandangannya tetutup kabut.
Sesekali ada kilapan dua titik besar berwarna hijau. Djaka Tua tambah merinding.
"Sahabat dalam goa..." Orang di mulut goa menyapa.
Suaranya halus dan panggilan sahabat membuat Djaka Tua jadi tenteram sedikit.
Namun ucapan berikutnya membuat pembantu di gedung Tumenggung Wira Bumi ini
menjadi tersirap darahnya. "Serahkan bayi itu padaku."
"Tidak! Apapun yang terjadi bayi ini tidak akan kuserahkan padamu! Tidak pada siapapun!" Jawab Djaka Tua setengah berteriak.
Orang tua di depan goa tersenyum.
"Kalau kau terus mempertahankan bayi itu, dalam waktu satu hari satu malam dia
akan menemui ajal karena kelaparan dan kehausan. Bukankah kau menginginkan dia
tetap hidup?"
"Tentu, tentu aku menginginkannya tetap hidup. Itu sebabnya aku melarikan bayi
ini. Tapi untuk menyerahkannya padamu, tidak!"
"Maksudmu baik sekali. Tapi mau kau apakan bayi itu"
Kau tak mampu merawatnya."
"Lalu, apa kau mampu" Aku tidak mau menyerahkannya padamu. Aku tidak kenal dirimu. Jangan-jangan kau kawannya Nyai Tumbal
Jiwo!" Kakek berambut putih tertawa.
"Sahabat, dengar baik-baik. Maksud kita berdua sama-sama luhur. Ingin bayi itu
selamat dari kematian akibat ilmu sesat yang sedang dituntut ayahnya..."
"Eh, bagaimana kau tahu?" Djaka Tua heran.
"Sudahlah, Allah akan memberi berkah dan rahmat atas perbuatan baik yang kau
lakukan. Aku akan membawa bayi itu, akan merawatnya baik-baik..."
"Akan kaubawa ke mana bayi ini?"
"Ke satu tempat yang baik dan aman. Dia berjodoh denganku. Tidakkah kau
perhatikan bahwa saat ini dia tidak menangis lagi?"
Djaka Tua perhatikan bayi dalam bedungan kain
sarung. Anak perempuan itu memang tidak menangis lagi bahkan tampak tertidur
pulas. "Bagaimana...?"
Djaka Tua menatap orang tua di hadapannya beberapa lama. Dia kini seperti
menyadari orang ini bukan manusia sembarangan. Perlahan-lahan dia berdiri.
"Kalau kau sia-siakan anak ini, biarlah Tuhan akan mengutukmu sampai hari
kiamat!" Si orang tua tersenyum lalu menyahuti.
"Tuhan tidak pernah mengutuk hambaNya yang berbuat baik. Yang jahat saja masih
diberi petunjuk dan dikasihani." Ketika orang tua berselempang kain putih mengulurkan tangan, walau masih ada keraguan namun Djaka Tua ulurkan pula tangannya
menyerahkan si bayi.
"Apakah anak ini sudah bernama?"
Djaka Tua gelengkan kepala.
"Kalau begitu biar kita berdua memberikan nama padanya. Ken Permata. Kau setuju,
sahabat?" "Aku menurut saja. Kurasa nama itu bagus sekali," kata Djaka Tua pula.
Orang tua berpakaian selempang kain putih tersenyum lalu berkata.
"Sahabat, aku melihat sebilah golok bersarung di balik pakaianmu. Senjata itu
tak ada gunanya bagimu. Serahkan padaku..." Djaka Tua terperangah sambil meraba
pinggang pakaiannya. "Orang tua ini luar biasa aneh. Apa matanya bisa menembus
melihat golok yang tersembunyi di balik bajuku?" Dia coba memperhatikan sepasang
mata orang di hadapannya namun karena gelap dia tidak dapat melihat jelas.
"Golok ini milik Tumenggung Wira Bumi. Aku tidak mungkin menyerahkannya
padamu..."
"Aku tahu. Dengan senjata itu pula dia diperintahkan untuk menggorok batang
leher bayi tak berdosa itu. Betul?"
Djaka Tua terdiam.
"Sahabat, senjata itu sudah menjadi senjata terkutuk.
Karena merupakan bagian dari perjanjian sesat di hadapan roh. Senjata itu tidak
boleh berkeliaran bebas di luaran."
"Orang tua, kau rupanya tahu banyak kejadian di pemakaman Kebonagung. Siapa kau
sebenarnya?"
Bertanya Djaka Tua.
"Sudahlah, aku hanya minta kau menyerahkan golok itu padaku. Selama senjata itu
ada di tanganmu kau tak bakal merasa tenteram. Selain itu aku khawatir ada yang
akan berusaha merampasnya dari tanganmu." Djaka Tua kembali terdiam. Akhirnya
dia mengalah. Tangannya menyelinap ke balik pakaian mengeluarkan golok besar
bersarung lalu menyerahkannya pada si orang tua.
"Sebelum aku pergi, harap kamu mau menghadap ke dinding." Sebenarnya Djaka Tua
hendak menanyakan apa maksud kakek itu menyuruhnya menghadap ke dinding.
Namun entah mengapa dia ikut saja permintaan orang.
Begitu Djaka Tua menghadap dinding goa sebelah dalam, si orang tua angkat tangan
kirinya yang memegang tongkat kayu putih. Tongkat diusapkan ke punggung Djaka
Tua yang ada tonjolannya sambil berucap. "Semoga Tuhan memberikan rahmat dan
perlindungan padamu." Satu cahaya putih keluar dari tongkat yang diusapkan.
Untuk beberapa lamanya Djaka Tua masih tegak berdiri menghadap ke dinding. Lamalama karena orang tua di belakangnya tidak mengeluarkan ucapan lagi, Djaka Tua
palingkan kepala dan berbalik.
Ternyata orang tua berselempang kain putih tadi tak ada lagi di tempat itu.
Sementara terheran-heran Djaka Tua merasa tubuhnya menjadi enteng dan dia mampu
berdiri tegak. Tak sengaja tangannya mengusap ke punggung.
Astaga! Punuk yang selama limapuluh tahun menempel di punggungnya kini lenyap
entah ke mana. Tidak percaya Djaka Tua mengusap berulang kali. Masih tidak
percaya dia buka bajunya lalu mengusap punggung. Bagian tubuhnya itu kini memang
rata, tak ada lagi tulang dan daging yang menonjol. Akhirnya lelaki itu jatuh
berlutut di lantai goa, Mulutnya berulang kali mengucap. "Allah Maha Besar.
Terima kasih Tuhan... Terima kasih." Djaka Tua lalu bersujud syukur di lantai goa.
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
4 ARI pasar di Imogiri selalu ramai oleh orang yang berbelanja. Seorang lelaki
penjual mainan sejak tadi Hmemperhatikan seorang anak perempuan usia
belasan tahun yang tegak di depan deretan barang dagangannya. Anak perempuan itu bertubuh kecil. Wajahnya sebenarnya cantik dan
pakaian yang dikenakan bukan jenis pakaian orang kebanyakan. Namun sekujur tubuh
mulai dari rambut sampai ke ujung kaki yang tidak memakai kasut kelihatan penuh daki sedang pakaian lusuh kotor menebar bau tidak
sedap. "Anak," pedagang mainan menyapa. "Dari tadi saya lihat anak berdiri
memperhatikan ke arah sini. Apakah anak ingin membeli sesuatu" Kalau tidak harap
jangan berdiri di depan sini. Kalau anak berdiri di depan dagangan saya, akan
menghalangi orang lain yang akan membeli."
Anak perempuan itu tidak menjawab. Melainkan
menatap sayu pada si pedagang mainan lalu tampak air mata menetes membasahi
kedua pipinya yang kotor.
Pedagang mainan dan istri yang ada di sebelahnya karuan saja jadi tertegun
heran. "Bu-ne, aku menegur baik-baik. Kenapa dia menangis" Apa salah ucapanku
atau kasar suaraku?" bisik si pedagang pada istrinya.
"Kasihan anak perempuan ini. Usianya masih sangat muda tapi keadaannya begini
rupa. Aku kira otaknya kurang waras," jawab sang istri.
Perempuan muda yang menangis usap air matanya.
Tiba-tiba dia berkata, "Bapak, Ibu, aku suka boneka-boneka itu..."


Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di antara barang mainan yang dijual si pedagang memang terdapat sederetan boneka
kayu yang halus dan bagus sekali buatannya. Semua boneka perempuan.
"Kalau anak suka, silahkan pilih yang mana." Kata pedagang mainan pula.
"Saya tidak punya uang," jawab anak perempuan itu dengan suara parau menahan
tangis. Setelah berbisik-bisik dengan istrinya lelaki pedagang mainan berkata, "Nak, kau
boleh ambil satu boneka. Tak usah membayar."
Anak perempuan itu menatap tercengang pada suami istri pedagang mainan.
"Sungguh?" tanyanya tak percaya.
Suami istri pedagang mainan itu mengangguk.
Anak perempuan itu tercenung lalu tawa lebar menyeruak di bibirnya. Sambil menyanyi-nyanyi kecil dia perhatikan enam buah boneka satu per satu.
"Yang mana ya wajahnya sama dengan anakku?"
Ucapan anak perempuan itu membuat sepasang suami istri jadi saling pandang.
"Nah, aku ambil yang ini saja. Dia mirip anakku. Rambut hitam lebat, mata bagus, bibir mungil, pipi merah, alis kereng. Bapak, Ibu,
aku ambil yang ini, boleh?"
"Boleh, ambil saja," jawab istri pedagang mainan.
"Terima kasih... terima kasih," kata anak perempuan itu berulang kali sambil
membungkuk-bungkuk lalu berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil kegirangan. "Gusti Allah akan membalas kebaikan
Ibu dan Bapak berdua."
"Anak, kalau boleh bertanya, apakah situ sudah punya anak?"
"Ssstttt... Jangan keras-keras bertanyanya. Aku memang sudah punya anak. Tapi
anakku hilang dicolong orang..."
"Ooo..."
Setelah membungkuk sekali lagi dan layangkan senyum lebar, anak perempuan itu
lalu membawa boneka perempuan yang dipilihnya. Dia berjalan sambil bernyanyi-nyanyi.
Boneka didekapkan ke dada. Sesekali diayun-ayun seperti menggendong bayi
benaran. Sepanjang jalan yang dilaluinya semua orang memperhatikan. Ada yang merasa heran, lebih banyak yang merasa
iba. Semuda itu sudah menderita penyakit jiwa.
"Kasihan..." kata istri pedagang mainan itu pada suaminya. "Kelihatannya dia
seperti anak perempuan baik-baik. Masih sangat muda. Mungkin lebih muda dari
anak perempuan kita. Heran, apa yang membuat dia jadi begitu.
Apa benar dia punya anak dicuri orang?" Tiba-tiba istri pedagang mainan itu
melihat sesuatu, "Pak-ne!"
"Ada apa?" sang suami bertanya kaget. "Ada barang kita yang hilang"!"
Istri pedagang mainan melangkah ke depan jejeran barang dagangan. Dia mengambil
sesuatu di dekat deretan boneka kayu. Sebuah benda berkilat diperlihatkannya
pada suaminya. Melihat benda yang dipegang istrinya karuan saja sang suami jadi
terkejut. "Uang perak! Bagaimana bisa ada di situ" Uang siapa?"
Si pedagang mengambil uang perak dan memperhatikan dengan mata tak berkesip.
"Mana aku ngerti. Wong tahu-tahu sudah ada di sini.
Pak, uang ini cukup untuk memborong seluruh dagangan kita."
"Betul, Bu. Coba periksa. Siapa tahu masih ada lagi."
"Jangan rakus begitu Pak. Aku punya dugaan. Jangan-jangan perempuan muda tadi
yang meletakkan uang perak ini." "Tapi tadi dia bilang tidak punya uang."
"Dia itu orang aneh. Bisa saja bilang tidak punya uang.
Buktinya..."
"Jangan-jangan dia itu malaikat yang menyaru jadi gembel tidak waras." Kata sang
suami lalu cepat-cepat masukkan uang perak itu ke dalam koceknya, takut hilang
dan takut berubah jadi daun seperti kejadian aneh yang pernah didengarnya.
*** Perempuan pedagang cita dan kain panjang itu bertubuh gemuk gembrot. Muka bulat berminyak. Hidung besar tapi pesek nyaris sama
rata dengan pipi. Matanya yang sudah belok memandang melotot pada anak perempuan bertubuh kecil yang tegak di depannya sambil mengayun-ayun boneka kayu seperti mengayun seorang bayi.
Mulut digembungkan lalu dia membentak.
"Jembel bau! Kowe mau apa berdiri di situ! Lekas pergi atau aku guyur dengan air
selokan!" Anak perempuan yang dipanggil jembel bau tersenyum lalu berkata. "Aku ingin kain
panjang itu. Untuk gendongan bayiku ini." Sambil berkata dia terus ayun-ayunkan
boneka kayunya seperti mengayun-ayun bayi benaran.
"Kalau mau beli perlihatkan dulu uangmu!" bentak pedagang kain.
"Siapa bilang aku mau beli. Wong aku tidak punya uang. Mau minta...!"
"Perempuan setan! Dasar sinting. Aku jualan, bukan tukang pemberi derma!
Menyingkir dari hadapanku!"
Pedagang kain jadi marah. Dia gulung sehelai kain sarung butut lalu kepretkan ke
muka orang. Cepat-cepat anak perempuan bertubuh dan berpakaian kotor rundukkan kepala.
Boneka yang dipegangnya didekapkan ke dada. Sambil melangkah mundur dia berkata.
"Biyungku gembrot kau galak sekali. Kalau tidak mau bersedekah ya sudah...
Anakku sayang," anak perempuan itu ciumi wajah boneka. "Orang tidak mau memberi
kain bedongan kita harus sabar. Kau jangan cengeng." Lalu anak perempuan itu
melangkah pergi sambil menyanyi-nyanyi kecil dan peluk bonekanya. "Anakku,
jangan menangis. Di dunia ini memang ada orang baik, ada orang jahat. Ada orang
pemurah ada orang pelit. Hiii..."
Tak selang berapa lama anak perempuan yang
dianggap gembel sinting itu lenyap dari keramaian, pedagang cita bertubuh gemuk
berteriak heboh.
"Kainku! Kain panjangku hilang satu! Tadi masih ada di sini!" Perempuan gemuk
ini lari sana lari sini lalu mengejar ke arah lenyapnya jembel yang membawa
boneka tadi. Namun yang dikejar sudah lenyap entah ke mana.
*** Tengah hari panas begitu, berada di sungai kecil berair dangkal dan jernih
terasa nyaman sekali. Yang tidak diduga, pada tikungan sungai berpohon rindang
yang selama ini selalu diselimuti kesunyian saat itu terdengar suara nyanyian
perempuan. Tidurlah tidur wahai anakku
Jangan cengeng jangan menangis
Ayahmu sedang pergi jauh
Ibu ingin kau menjadi anak manis.
Tidurlah tidur wahai anakku
Tidur dalam pelukan ibu
Jangan bertanya tentang ayahmu
Karena tak seorangpun tahu
Orang yang menyanyi itu duduk berjuntai di atas sebuah batu di pinggir sungai.
Dua kaki dimasukkan ke dalam air yang jernih dan sejuk. Di pangkuannya terlipat
sehelai kain panjang yang masih baru. Di atas kain panjang terbaring sebuah
boneka anak perempuan mungil.
Sambil bernyanyi orang itu usap-usap kepala boneka sementara air mata mengucur
jatuh ke pipi. Dialah perempuan muda yang dianggap masih anak-anak dan dihadiahkan boneka oleh penjual mainan di Pasar Imogiri. Dia pula anak perempuan yang
mengambil sehelai kain panjang jualan perempuan gemuk di pasar yang sama. Dan
dia bukan lain adalah Nyi Retno Mantili, istri Tumenggung Wira Bumi yang telah
berubah ingatan akibat lenyapnya bayi yang baru beberapa hari dilahirkannya.
Satu kali Nyi Retno Mantili hentikan nyanyian.
"Anakku jangan menangis. Ah kau pasti haus. Mari ibu susukan dulu. Ceeppp... Ayo
jangan nangis lagi." Nyi Retno buka dada pakaiannya. Boneka kecil lalu
dirapatkan ke dada kiri. Sepertinya dia benar-benar tengah menyusui boneka yang
dianggapnya sebagai bayi itu.
Tak lama kemudian kembali nyanyian perempuan
malang itu menggema di tikungan sungai. Sesekali terhenti oleh suara isak tangis
menyayat hati. Entah telah berapa puluh kali nyanyian itu dilantunkan diulang-ulang. Seperti
tidak menyadari kalau hari telah rembang petang. Cahaya sang surya yang panas
garang kini berubah lembut.
Tidurlah tidur wahai anakku
Jangan cengeng jangan menangis
Ayahmu sedang pergi jauh
Ibu ingin kau menjadi anak manis
Ketika Nyi Retno hendak melantunkan bait berikut nyanyiannya, sekonyong-konyong
ada suara lain mendahului. Irama nyanyiannya sama namun dua bait terakhir berikut dua bait tambahan
berbeda syairnya.
Tidurlah tidur wahai anakku
Tidur dalam pelukan ibu
Jika kau mau ikut bersamaku
Mudah-mudahan panjang umurmu
Selamat perjalanan hidupmu
Karena Yang Maha Pengasih melindungi dirimu Nyi Retno Mantili keluarkan suara
tercekat. Takut akan dirampas orang, boneka kayu diangkat dan didekapkan ke
dada. Memandang ke depan Nyi Retno Mantili melihat seorang tua yang wajahnya
tertutup janggut putih menjulai panjang, memelihara kumis serta janggut panjang
yang juga berwarna putih.
Mula-mula memang Nyi Retno tampak ketakutan.
Namun sesaat kemudian mulutnya menyeruakkan senyum disusul suara tawa.
"Hik... hik... Malaikat dari mana begitu muncul pandai pula bernyanyi."
Orang tua yang dipanggil malaikat tersenyum sambil usap janggutnya.
"Anak, kau begitu asyik menyanyi. Apakah tidak menyadari kalau sebentar lagi
sang surya akan tenggelam, senja akan datang disusul munculnya malam?"
Suara orang tua itu perlahan saja sikap dan air mukanya tenang.
"Kalau sang surya tenggelam memangnya kenapa"
Kalau senja datang memangnya kenapa" Tapi kalau malam datang, nah itulah saatnya
aku dan bayiku akan mandi di sungai yang jernih sejuk ini. Karena itu aku harap
kau segera berlalu dari tempat ini. Tidak pantas seorang lelaki berada di dekat
tempat perempuan mandi."
"Ada tempat mandi yang lebih baik dan lebih terlindung.
Kalau kau memang mau mandi, ikutlah bersamaku."
"Iiihhh! Enak saja kau mau mengajakku mandi! Anakku, ada seorang kakek cabul di
tempat ini. Mari kita pergi mencari tempat mandi yang lain di sebelah hilir."
Habis berkata begitu Nyi Retno Mantili lilitkan kain panjang ke tubuhnya sebelah
atas lalu boneka diselipkan di belakang punggung.
"Anak, kalau kau pergi ke hilir sungai, ada bahaya menunggumu di sana..." Si
orang tua memberitahu.
"Jangan menakuti diriku dan anakku!" Ujar Nyi Retno.
"Aku tidak menakuti. Justru memberi ingat..."
"Kalau begitu aku akan pergi ke arah hulu sungai." kata Nyi Retno pula.
"Di arah itu ada bahaya lebih besar menantimu."
"Ihhh... Biar aku masuk hutan saja kalau begitu," kata Nyi Retno Mantili lalu
melangkah cepat ke arah pepohonan lebat di tepi sungai di sebelah depannya.
Si orang tua kembali tersenyum dan usap janggutnya lalu melangkah ke hadapan Nyi
Retno Mantili. "Anak, kalau kau tak percaya ucapanku, tunggulah barang beberapa lama di tempat
ini. Kau akan mengetahui bahwa aku tidak berdusta..."
"Kek, siapa percaya pada dirimu. Pergilah, aku ingin menyanyi menidurkan
bayiku." Lalu Nyi Retno melangkah mondar mandir di tepi sungai sambil
melantunkan nyanyian.
Tidurlah tidur wahai anakku
Jangan cengeng jangan menangis
Ayahmu sedang pergi jauh
Ibu ingin kau menjadi anak manis
Tidurlah tidur wahai anakku
Tidur dalam pelukan ibu
Jangan bertanya...
Belum selesai Nyi Retno menyanyikan lagunya tiba-tiba dari arah rimba belantara
yang lebat redup terdengar suara berdesir. Daun-daun pepohonan bergesek
mengeluarkan suara aneh di telinga. Semak belukar bergoyang-goyang. Di lain saat
satu bayangan merah berkelebat. Di lain kejap berdirilah satu sosok angker
mengerikan di depan Nyi Retno Mantili. Membuat perempuan muda yang telah
kehilangan otak warasnya ini berteriak keras, menunjuk-nunjuk ke depan.
"Setan merah kesasar dari neraka! Kau mau merampas bayiku! Kau mau menculik
bayiku! Pergi... pergiiii!"
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
5 OSOK serba merah di depan Nyi Retno Mantili yang bukan lain adalah Nyai Tumbal
Jiwo tertawa cekikiSkan. "Perempuan sinting! Ucapanmu benar sekali.
Aku datang dari neraka untuk membawamu pergi ke sana!"
"Iiihhh! Siapa sudi ikut bersamamu!" ucap Nyi Retno.
"Anakku, ayo kita lekas pergi dari tempat ini! Ada setan hantu merah. Iihhh
ngerinya!"
"Setan perempuan! Jangan berani beranjak dari
tempatmu!" bentak Nyai Tumbal Jiwo. Jari telunjuk tangan kanannya dijentikkan ke
arah Nyi Retno. Selarik angin menderu sebat. Inilah totokan jarak jauh yang
ganas bernama Jari Pembungkam Roh.
Sebelum angin totokan sampai di tubuh Nyi Retno Mantili, orang tua berambut
putih panjang cepat berkelebat menghalangi. Dia angkat tangan kiri, kembangkan telapak tangan. Tangan itu
bergetar keras ketika totokan jarak jauh menerpa. Seperti menangkap sesuatu
orang tua itu rapatkan jari-jari tangan. Lalu sambil dibuka dia meniup-kan
tangannya seraya berkata. "Ilmu jahat, kembali ke majikanmu!"
Nyai Tumbal Jiwo berteriak kaget dan marah ketika ilmu totokannya dikembalikan
orang. "Keparat setan alas! Beraninya kau mencampuri
urusanku!" Sekali nenek dari alam roh ini kibaskan tangan kanannya, totokan yang
membalik menyerang dirinya buyar mengeluarkan suara dess! Membuat dirinya
terjajar ke belakang satu langkah. Hal ini terjadi karena sewaktu mengembalikan
angin totokan, kakek berambut putih panjang menjulai menyertakan sedikit tenaga
dalam. "Tua bangka jahanam! Wajahmu boleh kau tutup
dengan rambut putihmu. Jangan mengira aku tidak mengenal siapa dirimu!"
"Nyai Tumbal Jiwo," kata kakek berambut putih dan berpakaian selempang kain
putih. Suaranya tenang dan perlahan saja. "Kau sudah lama meninggalkan dunia
fana. Mengapa masih mau gentayangan seperti ini?"
Rambut merah si nenek yang awut-awutan langsung berjingkrak. Mata merah mendelik
seperti bara api.
Marahnya bukan main.
"Kiai Gede Tapa Pamungkas! Aku mau gentayangan ke mana aku suka, apa urusanmu?"
Orang tua yang dipanggil Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. "Aku hanya
mengingatkan. Kalau terlalu lama dalam dunia nyata aku khawatir kau tersesat dan
tak bisa kembali ke dalam alam rohmu."
"Kakek setan! Aku tidak perlu nasihatmu! Kau sendiri yang bermukim di dasar
telaga jauh di puncak Gunung Gede mengapa bisa berkeliaran sampai ke sini"!"
"Aku hadir di sini karena memang sengaja menunggu kedatanganmu. Kau telah
membuat sengsara perempuan bernama Nyi Retno Mantili ini. Sekarang kau malah
punya niat lebih jahat hendak membunuhnya! Setelah mati dan jadi roh gentayangan
bukannya kau bertobat malah masih tega-teganya menebar malapetaka."
Nenek serba merah pencongkan mulut. Lalu dia mendongak sambil umbar tawa cekikikan. "Ah, jadi kau punya maksud hendak
menghalangiku! Nyalimu besar sekali!"
Nyai Tumbal Jiwo berdecak beberapa kali, golang-goleng kepala lalu sambung
ucapannya. "Aku tanya dulu. Apakah saat ini kau membawa nyawa cadangan" Hik...
hik... hik! Apa kau lupa bahwa kekuatan roh dari alam gaib berada jauh di atas kekuatan alam
manusia penghuni dunia serba fana ini?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. "Di dunia ini tidak ada yang lebih kuat.
Kecuali kekuatan yang dimiliki Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Siapa saja berani
meng-

Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hadapiNya akan hancur lebur. Termasuk kau!"
Nyai Tumbal Jiwo luruskan tubuhnya yang bungkuk lalu tertawa mengekeh. Sepasang
mata menyala. Ketika tertawa kelihatan lidah serta giginya yang berwarna merah.
Lalu sambil usap-usap dadanya yang kurus ceper, makhluk dari liang kubur ini
berkata. "Aku pikir-pikir ada baiknya juga perbuatanmu menghadangku di tempat ini. Kau sudah terlalu lama hidup di dunia. Tubuhmu sudah bau
tanah. Kalau kau mendesak mencegah apa yang akan aku lakukan, dengan senang hati
aku akan menunjukkan jalan ke pintu neraka untukmu!"
Kiai Gede Tapa Pamungkas tertawa perlahan. Kembali dia mengusap janggut putihnya
lalu membungkuk. "Terima kasih kau mau berbaik hati. Aku memang belum tahu jalan
menuju pintu neraka. Ada baiknya kau menuntun agar aku tidak tersesat. Ha...
ha... ha..." Sambil tertawa Kiai Gede Tapa Pamungkas melirik ke arah Nyi Retno
Mantili yang tengah mengayun-ayun boneka kayu sambil menyanyi-nyanyi kecil.
Orang tua ini kibaskan jenggot panjangnya.
"Nyi Retno, jangan ke mana-mana. Tetap di tempatmu!"
ucap sang Kiai. Saat itu juga dari ujung jenggotnya melesat satu cahaya putih.
Gerakan Nyi Retno mengayun-ayun boneka mendadak sontak terhenti. Sekujur
tubuhnya terselubung kabut putih.
"Aduh anakku, mengapa ibumu jadi tidak bisa bergerak?" seru Nyi Retno. "Hai, jangan kau menangis..."
Sekujur tubuh Nyi Retno yang masih terbungkus kabut putih menjadi kaku tak bisa
bergerak namun dia masih bisa keluarkan suara.
Melihat apa yang dilakukan Kiai Gede Tapa Pamungkas Nyai Tumbal Jiwo sunggingkan
seringai mengejek.
"Kabut Dewa Pelindung Raga! Kau kira aku tak bisa menembus ilmu picisan itu"!
Lihat!" Sambil membentak Nyai Tumbal Jiwo jentikkan lima jari tangannya ke arah Nyi
Retno. "Mampus kau perempuan sinting!"
Wutt... wutt... wutt... wutt... wutt!
Lima larik sinar merah berkiblat. Melesat deras menghantam tubuh Nyi Retno yang terbungkus kabut putih.
Tarr... tarr... tarr... tarr... tarr!
Lima letusan dahsyat menggelegar di tikungan sungai.
Percikan api bertebaran ke udara. Nyi Retno terpekik.
Walau pukulan sakti Lima Jari Akhirat membuat tubuh Nyi Retno Mantili terpental
dan masuk ke dalam sungai dangkal, tersandar ke sebuah batu, namun pukulan itu tidak mampu menembus kabut
putih yang membungkus hingga perempuan muda malang itu tetap dalam keadaan selamat. Bahkan tubuhnya serta tubuh boneka kayu tidak sedikitpun basah terkena air!
Dua orang sakti itu sama-sama terkejut.
Nyai Tumbal Jiwo telah meyakini ilmu pukulan Lima Jari Akhirat lebih dari
duapuluh tahun. Selama ini tidak ada seorang lawanpun bisa selamat dari
serangannya. Kalau pun mampu bertahan hidup sekujur tubuhnya akan cacat melepuh
seperti terpanggang dan tak akan sembuh seumur hidup. Nenek makhluk dari alam
roh ini sudah lama mendengar nama besar Kiai Gede Tapa Pamungkas dan juga tahu
kalau kakek sakti dari puncak Gunung Gede ini memiliki ilmu yang disebut Kabut
Dewa Pelindung Raga.
Tidak dinyana hari itu dia bertemu dan menyaksikan kehebatan ilmu membentengi
diri yang tak sanggup ditembus pukulan Lima Jari Akhirat. Diam-diam si nenek
jadi bergeming juga.
Di lain pihak Kiai Gede Tapa Pamungkas juga merasa kaget. Walau serangan lima
larik sinar merah si nenek tidak sanggup menembus ilmu Kabut Dewa Pelindung
Raga, namun dengan membuat Nyi Retno Mantili terpental sudah cukup bukti bahwa
nenek jahat itu tidak bisa dipandang enteng. Nenek jahat ini benar-benar ingin
menghabisi perempuan muda malang dan tak berdosa itu.
"Kalau makhluk satu ini dibiarkan terus berkeliaran, bakal celaka rimba
persilatan tanah Jawa," begitu sang Kiai membatin. Maka dia membuat satu kali
Harpa Iblis Jari Sakti 23 Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi Sumpit Nyai Loreng 2

Cari Blog Ini