Wiro Sableng 154 Insan Tanpa Wajah Bagian 1
BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG INSAN TANPA WAJAH
Sumber Kitab: Pendekar212
Penyedia Cover: kelapalima
E-Book: Pendekar212 & kiageng80
WIRO SABLENG INSAN TANPA WAJAH
1 URUN Tengger siang terik panas membara. Hari itu hari ke 305, merupakan hari
terakhir dari tapa Gsamadi yang dilakukan Cakra Mentari di atas pohon tanjung
besar yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa.
Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai ke kaki memutih tertutup lapisan debu
gurun pasir. Sekian ratus hari dia duduk tidak bergerak, bahkan seolah tanpa
bernafas di atas pohon tanjung yang menghadap ke utara.
Setiap hari, tepat pada pertengahan siang, sekuntum bunga tanjung melayang jatuh
ke arah kepalanya, secara gaib masuk ke dalam tubuh lewat ubun-ubun. Itulah
satu-satunya makanan sekaligus minuman yang memberi kehidupan pada Cakra
Mentari. Perlahan-lahan matahari bergerak menuju titik tertingginya. Menjelang bola penerang jagat itu mencapai titik kulminasinya,
sekujur tubuh Cakra Mentari tampak bergetar. Ada hawa dingin aneh menyelimuti, membuat tubuh pemuda itu mengeluarkan
asap tipis yang memancarkan cahaya kebiruan. Sekuntum bunga tanjung luruh,
melayang jatuh masuk ke dalam kepalanya. Itulah kuntum bunga yang ke 305,
merupakan makanan terakhir di penutup tapa samadinya.
Tiba-tiba di arah timur muncul satu titik putih, bergerak ke arah pohon tanjung
besar di tengah gurun pasir Tengger. Saat demi saat noktah putih ini berubah besar dan ketika hanya tinggal
puluhan langkan dari pohon di mana Cakra Mentari berada, benda yang tadi berupa
titik itu kini membentuk sosok seorang berpakaian selempang kain putih.
Hebat luar biasanya bahkan boleh dikata mengerikan orang ini tidak memiliki
wajah, tidak mempunyai muka, licin polos dan rata tanpa mata dan alis, tanpa
hidung maupun mulut. Kepala ditumbuhi rambut putih menjulai panjang. Dagu
digantungi janggut putih melambai. Hanya itu yang merupakan satu-satunya
pertanda bahwa makhluk aneh ini telah berusia lanjut.
Samar-samar di tangan kanannya si muka rata ini memegang sebuah tongkat emas
yang ujung atasnya berbentuk lingkaran dihias berbagai permata aneka warna.
Seperti tertulis pada halaman pertama Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib hanya Cakra
Mentari seorang yang bisa melihat pohon tanjung di gurun pasir Tengger itu.
Kalau kini ada makhluk lain yang mampu mengetahui keberadaan pohon tanjung
tersebut, maka berarti dia adalah seorang yang luar biasa ilmu kesaktiannya.
Makhluk ini melesat ke atas pohon. Seolah seringan kapas dia berdiri di pucuk
pohon paling atas, tatapkan wajah polos ke arah sosok Cakra Mentari yang duduk
di cabang pohon di bawahnya. Tongkat emas dimelintangkan di depan dada.
"Duabelas purnama telah berlalu. Satu tahun pertama telah berakhir. Aku masih
harus menunggu duabelas purnama lagi. Setelah itu semua akan berada di tanganku..."
Wajah licin itu pancarkan cahaya merah. Tangan yang memegang tongkat emas
diajukan ke bawah, ke arah Cakra Mentari. Saat itu juga melesat sinar kuning,
mem- bungkus tubuh pemuda itu beberapa ketika lalu lenyap. Di lain kejap makhluk
tanpa wajah tidak kelihatan lagi di atas pohon. Hawa dingin yang sejak tadi
menyelimuti tubuh Cakra Mentari kini lenyap, begitu pula cahaya kebiruan yang
membungkusnya ikut sirna.
Hanya beberapa saat setelah makhluk tanpa wajah lenyap dari tempat itu, sang
surya sampai pada titik tertingginya. Di langit muncul satu lengkungan aneh memancarkan cahaya tiga warna, merah, biru dan hijau. Lalu dari arah barat gurun
bertiup angin kencang. Pohon tanjung besar bergetar keras. Dahan dan rerantingan
serta daun-daun dan bunga tanjung bergoyang-goyang. Daun luruh, bunga tanjung
berguguran, jatuh ke atas pedataran pasir, lenyap dari pemandangan. Pohon
tanjung besar kini tampak gundul. Yang kelihatan hanya batang, cabang serta
rerantingan dan tentu saja sosok Cakra Mentari yang masih duduk bersila pejamkan
mata di atas dahan.
Tiupan angin yang begitu keras membuat seluruh debu gurun pasir yang menyelimuti
sekujur tubuh Cakra Mentari mulai dari rambut sampai ke ujung kaki terkikis
pupus. Dan sungguh aneh luar biasa! Keadaan diri pemuda ini tidak berubah
sedikitpun. Pakaian hitamnya bersih tidak lusuh.
Rambut hitam pekat tidak bertambah panjang. Begitu juga kumis kecil, janggut dan
berewok tipisnya sama sekali tidak berubah, rapi seperti dulu dan tidak pula
menjadi panjang. Wajah gagah bersih kelimis!
Di langit matahari mencapai titik tertinggi.
Desss! Kepulan asap memancarkan cahaya merah, biru dan hijau keluar dan ubun-ubun,
liang telinga, hidung serta mata Cakra Mentari yang masih terpejam. Bersamaan
dengan itu lengkungan tiga warna yang ada di langit seperti ular raksasa
menggeliat bergerak berputar lalu melesat ke arah pohon tanjung dan masuk ke
dalam tubuh si pemuda.
Saat itu pula putera Tajurpambayan dan Sulin dari Desa Tumpang di barat
Pegunungen Tengger ini perlahan-lahan membuka kedua matanya. Pertama sekali
dilihatnya adalah gurun pasir Tengger. Dia menatap ke langit putih bersih, lalu
memandang ke atas memperhatikan pohon besar yang kini tinggal dahan dan ranting.
Akhirnya pemuda ini perhatikan dirinya sendiri.
"Tubuhku terasa sangat enteng. Pandangan mataku lebih tajam dari yang sudahsudah. Tiga ratus lima hari telah berlalu. Aneh, diriku tidak mengalami
perubahan. Apakah saat ini aku sudah memperolah ilmu baru sesuai petunjuk dalam kitab?"
Ingat akan kitab, Cakra Mentari meraba balik pakaiannya sebelah kiri di mana dia menyimpan Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Kitab masih
berada di situ. "Sesuai petunjuk di dalam kitab, aku baru bisa membaca kitab
pada hari yang ke tigaratus enam. Berarti besok. Sementara menunggu apa yang harus aku lakukan?"
Tiba-tiba Cakra Mentari merasa ada serangkum angin bertiup dari bawah. Dia
tukikkan pandangan ke bawah pohon.
"Aneh, bagaimana tahu-tahu orang berjubah hitam itu ada di bawah sana tanpa aku
melihat kedatangannya?"
Cakra Mentari berucap dalam hati sewaktu melihat di bawah pohon ada seorang
tinggi besar mengenakan jubah dan sorban hitam. Orang ini hanya memiliki satu
mata. Mata sebelah kiri tinggal merupakan rongga besar dan dalam mengerikan, masih
digenangi darah. Dari bawah pohon dia berusaha melesat ke atas. Namun setiap dia
melakukan hal itu ada satu cahaya kuning membendung gerakannya, membuat dia
berbalik jatuh ke tanah. Orang di bawah pohon sama sekali tidak bisa melihat
pohon tanjung besar tapi mampu melihat sosok Cakra Mentari yang seolah duduk
bersila di awang-awang.
"Cakra Mentari, turunlah cepat! Ada satu hal penting yang harus aku sampaikan
padamu!" Orang berjubah hitam di bawah pohon yang bukan lain adalah Deewana Khan
berteriak. "Orang itu mengenal diriku. Apakah aku mengenalnya?"
Cakra Mentari menduga-duga.
"Aku Deewana Khan. Abdi penolongmu. Cepat turun!"
Orang bermata satu kembali berseru.
Sebelumnya Tajurpambayan, ayah Cakra Mentari
pernah bercerita pada pemuda itu tentang seorang asing bernama Deewana Khan.
Namun saat itu si pemuda tidak ingat apa-apa lagi.
Di pedataran pasir Tengger sebelah timur tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih.
"Insan Tanpa Wajah...," ucap Deewana Khan dengan suara bergetar. Wajah seramnya
berubah. Rasa cemas mencekam diri. "Cakra Mentari! Cepat turun!" Deewana Khan
berteriak. Seperti diceritakan sebelumnya, Deewana Khan adalah manusia misterius
yang telah menolong kelahiran bayi Cakra Mentari dan sekaligus melindungi anak
itu ketika terjadi penitisan oleh Suma Mahendra (Baca serial Wiro Sableng
berjudul 'Misteri Bunga Noda').
Merasa orang sangat memerlukan dirinya Cakra
Mentari segera hendak melompat turun dari dahan di mana saat itu dia duduk
bersila. Namun tubuhnya sebelah bawah tak bisa digerakkan. Seolah menempel
dengan da- han pohon! Bagaimanapun pemuda itu berusaha dengan berbagai cara tetap saja
tubuhnya tak bisa lepas dari dahan yang didudukinya.
Cakra ingat akan petunjuk dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib halaman kedua,
Kelak kau akan mendapatkan ilmu yang lebih hebat. Maka pemuda ini segera
kerahkan tenaga dalam. Namun sebelum sesuatu terjadi, tiba-tiba di bawah sana
terdengar satu letusan keras disertai berkiblatnya selarik cahaya kuning terang menyilaukan, disusul jeritan. Pohon tanjung
besar bergoyang kencang. Tubuh Deewana Khan terpental tiga tombak, terkapar di
peda- taran pasir mengepulkan asap kuning. Dia berusaha bangkit sambil menunjuk ke
arah orang berselempang kain putih memegang tongkat emas. Mulutnya lelehkan
darah kental. "Insan Tanpa Wajah... Aku tahu siapa kau. Aku tahu siapa dirimu. Manusia culas
pengkhianat busuk!"
Orang berselempang kain putih goyangkan tongkat emas di tangan kanan. Selarik
sinar kuning kembali melesat ke arah Deewana Khan. Untuk kedua kalinya lelaki bertubuh besar mengenakan
jubah hitam itu terpental.
Sorban hitam tanggal dari kepalanya. Kali ini dia tak mampu bangkit lagi.
Sekujur tubuhnya berubah kuning, lalu menciut dan berubah hitam. Angin gurun
bertiup kencang.
Pasir gurun beterbangan menutupi sosok mayat Deewana Khan hingga akhirnya
tertimbun dan lenyap dari pemandangan. Di atas pohon Cakra Mentari memperhatikan semua yang terjadi. Entah mengapa dia
merasa sedih melihat kematian orang berjubah dan bersorban hitam walau dia tidak
tahu siapa adanya orang itu, seperti ada kontak kejiwaan yang tidak dipahaminya.
Di bawah pohon orang berselempang kain putih tanpa wajah arahkan mukanya pada
Cakra Mentari. Saat itu pula si pemuda mendengar suara mengiang di kedua
telinganya. "Jangan lakukan apa saja yang tidak diberi petunjuk di dalam Kitab Jagat Pusaka
Alam Gaib. Jika kau melanggar pantangan dan merusak apa yang sudah direncanakan,
maka dirimu akan mengalani kerusakan lebih dulu."
Cakra Mentari terdiam, namun hatinya berkata. "Siapa yang menyampaikan ucapan
padaku" Orang aneh tak berwajah di bawah sana" Apakah aku mengenalnya"
Mengapa dia mengancam diriku" Apakah aku berada di bawah kekuasaan makhluk itu"
Apakah aku harus tunduk kepadanya" Apa yang terjadi dengan diriku."
Seperti tertulis dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib halaman kedua, Pada saat kau
mendudukkan diri di cabang pohon, saat itu pula terputus hubunganmu dengan masa
lalu. Kau tidak ingat apa-apa lagi. Bahkan kau tidak ingat lagi ayah ibumu.
Sebenarnya Cakra Mentari sebelumnya telah melihat makhluk aneh tak berwajah itu.
Yakni tatkala makhluk tersebut mencelakai Suma Mahendra sehingga Suma terpental jatuh ke bawah Gunung Mahameru. Namun karena jalan pikirannya dengan masa
lalu terputus maka dia tidak mengingat lagi kejadian itu.
Hanya ada satu hal saja dari masa lalu yang masih melekat di benaknya. Yaitu
namanya. Dia tidak pernah lupa kalau dia bernama Cakra Mentari.
Tiba-tiba untuk kedua kalinya terdengar suara mengiang di telinga Cakra Mentari.
"Anak manusia bernama Cakra Mentari. Jangan
menyelidik dengan hatimu. Jangan mencari tahu dengan pikiranmu. Jangan berusaha
turun dari pohon karena itu bisa menghancurkan dirimu sendiri. Besok pagi begitu
matahari terbit di timur kau berkewajiban melanjutkan membaca Kitab Jagat Pusaka
Alam Gaib pada halaman ke tiga."
Cakra Mentari memandang ke bawah pohon. Makhluk tanpa wajah itu ternyata tak ada
lagi di tempatnya semula.
WIRO SABLENG INSAN TANPA WAJAH
2 ANGIT di ufuk timur mulai terang pertanda di kejauhan sana fajar telah
menyingsing dan tak berapa lama lagi Lsang surya akan kelihatan memunculkan
diri. Di atas dahan pohon tanjung yang menghadap ke utara Cakra Mentari segera
ingat. Saat itu adalah saat di mana dia harus segera membuka Kitab Jagat Pusaka
Alam Gaib. Cakra keluarkan kitab dari balik baju hitamnya. Dia menunggu sesaat sampai keadaan lebih terang baru membuka kitab pada halaman ke tiga dan mulai membacanya.
Yang disebut halaman ke tiga ini ternyata terdiri dari empat halaman.
KITAB JAGAT PUSAKA ALAM GAIB
- Halaman Ke Tiga Bunga Tanjung Bunga Bertuah
Wahai anak manusia!
305 hari telah berlalu, tapa samadimu telah selesai Sekarang kau akan menghadapi
masa depan dengan bekal ilmu silat serta kesaktian
dari alam gaib yang tidak ada tandingannya Kau kini memiliki ilmu pukulan sakti
bernama 'Tiga Cahaya Alam Gaib'
Tidak manusia tidak jin
yang akan sanggup menghadapimu
Tuntunan ilmu silat akan kau dapatkan
melalui mimpi di alam tidurmu
Usapkan tangan kananmu ke kaki kanan
usapkan tangan kirimu ke kaki kiri
maka kau akan mendapatkan
sepasang kasut pembungkus kaki
Kasut ini yang akan menuntun
setiap langkah perjalananmu
Hal pertama yang harus kau lakukan
begitu menginjakkan kaki di tanah
memandanglah ke arah barat laut
Kau akan melihat satu gurun pasir
yang puluhan kali lebih luas
dari Pedataran Pasir Tengger
Itulah Gurun Pasir Thar di negeri India
Pejamkan matamu
maka kekuatan gaib akan membawamu
memasuki sebuah goa bernama Goa Binaker
Di sana kau akan menemui seorang Resi
terkapar di lantai goa
Jazadnya hidup dalam kematian
mati dalam kehidupan
Masuklah ke dalam tubuh Resi ini
Kau akan mampu melakukan
karena kau memiliki kesaktian
Di dalam tubuh sang Resi kau akan menemukan sebuah patung batu
lambang dari lelaki dan perempuan
yang tengah melakukan sanggama
Itulah patung Kamasutra
Ambillah patung itu
Selanjutnya kekuatan gaib
akan membawamu kembali ke tanah Jawa
Dunia serba fana, demikian juga dengan diri serta ilmu baru yang kau miliki
Namun dalam kefanaan ada kebakaan
Ilmu kesaktian yang ada dalam dirimu
akan tetap berada di sana
untuk selama-lamanya
Namun ada petuah yang harus kau ikuti
dan tak boleh kau tolak
Kau harus bisa meniduri paling sedikit
41 orang gadis yang masih perawan
Rayulah mereka, perlihatkan Patung Kamasutra Jika mereka sudah berada di bawah
Wiro Sableng 154 Insan Tanpa Wajah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengaruhmu tempelkan sekuntum bunga tanjung di keningnya Niscaya dia akan
menyerahkan diri padamu
Namun rahasia harus dijaga
Karena itu setiap gadis yang berhasil kau tiduri harus kau bunuh
Pada saat kau bercumbu,
bunga tanjung akan datang sendiri
dan berada dalam genggamanmu
Bunga tanjung juga dapat kau jadikan
senjata rahasia yang mematikan
Namun ada pantangan yang harus kau ingat
jangan sekali-kali bunga tanjung
sampai melekat atau menempel di keningmu
Untuk menambah kekuatan ilmu dalam dirimu Ada tugas lain yang harus kau
laksanakan Kau harus membunuh
sebanyak mungkin para pendekar
golongan putih rimba persilatan tanah Jawa Tetapi akan lebih baik jika kau mampu
membuat dirinya sengsara seumur-umur
dengan melumpuhkan kejantanannya
Letakkan bunga tanjung di bawah pusarnya
maka kekuatan alam gaib
akan menyelesaikan perkara
Tugasmu terakhir setelah semua tugas di atas selesai kau laksanakan
adalah menyerahkan Patung Kamasutra
pada seseorang yang akan menunggumu
di puncak Gunung Mahameru
tepat di tempat di mana kau pernah bersamadi pada malam hari Jum'at Legi minggu
pertama duabelas purnama dari sekarang
Wahai anak manusia!
Jika kau melaksanakan petunjuk dalam kitab maka kau kelak akan menjadi seorang
tokoh besar Kau akan menjadi seorang sakti mandraguna Kau akan menjadi
rajadiraja rimba persilatan Namun bila kau menolak melakukan
atau sengaja menyesatkan diri
maka kutuk akan jatuh atas dirimu
Azab kesengsaraan akan membuat
kau menderita seumur-umur
Jalan nasibmu telah ditentukan
oleh apa yang dinamakan takdir
Wahai anak manusia
Pohon tanjung akan masuk ke dalam tanah
itulah saatnya kau meninggalkan tempat ini Ingat baik-baik semua yang tertulis
di halaman ini Karena Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib
akan lenyap dari alam fana untuk selama-lamanya Bunga Tanjung Bunga Bertuah
Setelah bersamadi di atas pohon tanjung di pedataran gurun Tengger, Cakra
Mentari memiliki daya ingat luar biasa. Sekali membaca saja dia sanggup
mengingat semua yang tertulis dalam halaman ke tiga yang terdiri dari empat
lembar. Selain itu perubanan besar terjadi dalam jiwa dan dirinya. Sebelumnya
pemuda ini adalah seorang yang memiliki hati mulia, pembela rakyat, penegak
keadilan dan menjadi musuh besar kaum penjahat termasuk para tokoh silat
penjilat yang berada di istana. Ketika membaca halaman ke tiga Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib di mana dia harus merusak kehormatan 41
orang gadis dan membunuh para pendekar silat golongan putih, pemuda ini merasa itu memang satu tugas yang harus dilaksanakannya.
Menggauli 41 orang gadis! Bukankah itu satu kenikmatan luar biasa"
Samadi setahun serta ilmu yang kini dimiliki Cakra Mentari serta isi Kitab Jagat
Pusaka Alam Gaib seolah-olah telah mencuci otak pemuda itu. Membuatnya berubah
menjadi seorang pemuda berhati dingin dan menghalalkan segala cara demi
mempertahankan ilmu kesaktian yang dimilikinya.
Cakra Mentari tutup kitab yang barusan dibaca. Dia bermaksud hendak menyimpan
kitab itu kembali ke balik baju hitamnya. Namun seperti yang tertulis di akhir
halaman ke tiga kitab, tiba-tiba Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib keluarkan suara
meletup. Kejap itu juga kitab dikobari api yang entah dari mana datangnya. Cakra
melepas pegangannya pada kitab, kitab jatuh dan musnah sebelum menyentuh tanah
berpasir. Cakra Mentari ingat salah satu kalimat di dalam kitab yang tadi dibacanya,
Usapkan tangan kananmu ke kaki kanan, usapkan tangan kirimu ke kaki kiri, maka
kau akan mendapatkan, sepasang kasut pembungkus kaki. Kasut ini yang akan
menuntun setiap langkah perjalananmu.
Tidak menunggu lebih lama Cakra Mentari usapkan ke dua tangannya secara
berbarengan ke kaki kiri dan kaki kanan. Saat itu juga dua kakinya yang tadi
telanjang kini telah terbungkus dua kasut kulit berwarna hitam.
"Luar biasa" ucap Cakra Mentari. Belum habis rasa kagumnya atas apa yang
terjadi, tiba-tiba pohon tanjung besar di mana dia berada bergerak ke bawah,
perlahan-lahan masuk ke dalam tanah. Sebelum dirinya ikut tersedot dan pohon besar itu amblas lenyap dari pemandangan, Cakra Mentari cepat
melompat turun. Begitu dua kakinya menginjak tanah berpasir seperti yang
tertulis dalam kitab, Cakra Mentari arahkan pandangan ke barat laut. Memandanglah ke arah barat laut, kau akan melihat satu gurun pasir, yang puluhan kali
lebih luas, dari Pedataran Pasir Tengger. Itulah Gurun Pasir Thar di negeri
India. Pejamkan matamu, maka kekuatan gaib akan membawamu, memasuki sebuah goa bernama Goa Binaker
Jauh di arah barat laut ke jurusan mana matanya memandang, Cakra Mentari melihat
satu gurun pasir.
Belum pernah dia menyaksikan gurun pasir seluas itu.
"Bagaimana hal ini bisa terjadi...?" pikir si pemuda. Lalu sesuai petunjuk
selanjutnya dalam kitab dia pejamkan kedua matanya. Saat itu juga sosoknya
lenyap, melesat ke langit. Di lain kejap Cakra Mentari dapatkan dirinya berada
di dalam sebuah lorong yang terletak di bawah Gurun Pasir Thar di India. Inilah
lorong di dalam Goa Binaker yang membawanya ke satu ruangan rahasia di mana
sebelum- nya disimpan Patung Kamasutra yang konon telah berusia lebih dari limaribu
tahun. Di kiri kanan lorong berdiri beberapa orang berpakaian dan berpenampilan seperti
resi tampaknya sedang berjaga-jaga. Namun mereka seperti tidak melihat Cakra
Mentari yang berjalan melewati mereka.
Ada enam pintu rahasia yang dilewati dan ditembus Cakra Mentari secara gaib.
Pemuda ini sampai ke hadapan pintu ke tujuh. Begitu masuk dia dapatkan sesosok
tubuh orang tua berselempang kain putih, berambut dan berjanggut putih tergeletak di lantai ruangan. Kepala rengkah darah menggenangi
lantai batu. Cakra Mentari ingat apa yang dibacanya di dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Di
sana kau akan menemui seorang Resi terkapar di lantai Goa. Jazadnya hidup dalam
kematian. Mati dalam kehidupan. Masuklah ke dalam tubuh Resi ini. Kau akan mampu
melakukan karena kau memiliki kesaktian. Di dalam tubuh sang Resi kau akan
menemukan sebuah patung batu lambang dari lelaki dan perempuan yang tengah
melakukan sanggama. Itulah Patung Kamasutra. Ambillah patung itu. Selanjutnya
keku- atan gaib akan membawamu kembali ke tanah Jawa.
Resi tua yang tergeletak di atas lantai batu seperti yang dituturkan dalam kisah
terdahulu, Petaka Patung Kamasutra, bukan lain adalah Resi Kepala Mirpur Patel. Resi ini berlaku nekad
melakukan bunuh diri dengan membenturkan kepalanya ke dinding batu. Ini merupakan ungkapan penyesalan serta rasa
berdosanya atas kelalaian hingga Patung Kamasutra yang ada di dalam sebuah
keranda kaca lenyap dicuri orang.
"Bagaimana caranya aku masuk ke dalam tubuh orang tua malang ini..." pikir Cakra
Mentari. Dia sama sekali tidak merasa jerih bagaimana nanti dia masuk dan berada
dalam tubuh mayat itu. Cakra melangkah lebih dekat. Tiba-tiba seolah berubah
menjadi bayang-bayang sosok si pemuda masuk ke dalam tubuh sang Resi. Begitu
tubuh mereka menyatu, di bagian dada orang tua itu Cakra Mentari melihat ada
cahaya merah redup. Ternyata cahaya itu keluar dari sebuah patung batu abu-abu
kehitaman. Berbentuk sepasang lelaki dan perempuan tengah melakukan hubungan badan.
"Patung Kamasutra," membatin Cakra Mentari. Semua yang tertulis dalam kitab
benar-benar merupakan kenyataan. Pemuda ini ulurkan tangan. Begitu dia menyentuh patung batu, tiba-tiba
wuttt...! Sosok Cakra Mentari melesat keluar dari mayat Resi Mirpur Patel,
berkelebat ke arah sebuah lobang di atap ruangan batu dan lenyap dari
pemandangan. Angin gurun bertiup kencang. Pasir gurun masuk ke dalam ruangan. Lima hari
kemudian seluruh ruangan rahasia di Goa Binaker itu telah tertimbun tumpukan
pasir gurun. Tujuh hari setelah lenyapnya Patung Kamasutra dan matinya Resi Kepala Mirpur
Patel, Resi Ketua Khandawa Abitar memerintahkan orang-orangnya untuk menggali
jenazah Mirpur Patel. Namun sampai seluruh pasir yang ada di dalam ruangan batu
itu digali dan dibersihkan, jenazah Resi Kepala Mirpur Patel tidak ditemukan.
Seperti yang tertulis dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib, Cakra Mentari secara
gaib kembali ke tanah Jawa untuk mengamalkan ajaran sesat yang bersumber dari
kitab sesat serta Patung Kamasutra dan bunga tanjung bunga noda. Satu persatu
korban berjatuhan. Belasan gadis dirusak kehormatannya lalu dibunuh. Dari
kalangan rimba persilatan justru Pendekar 212 Wiro Sableng yang menjadi korban
pertamanya. WIRO SABLENG INSAN TANPA WAJAH
3 UBUK di tikungan Kali Progo tampak sepi. Suara arus air kali yang cukup deras
mengalun berkepanjangan Gserta kicau burung di pagi itu seperti tidak dapat
mengusik kesunyian. Pintu gubuk yang menghadap ke kali terbuka berkereketan.
Seorang kakek berkepala setengah sulah, berdaun telinga lebar yang salah satunya
terbalik, keluar melangkah sambil pegangi bagian bawah perutnya.
Siapa lagi kalau bukan Setan Ngompol. Dia pergi duduk di pinggir kali, di atas
sebuah batu besar. Wajahnya tampak murung. Sesekali lengan kirinya yang basah
diusapkan ke kepala, padahal basahan itu adalah air kencingnya sendiri.
Tiga hari lalu dengan susah payah bersama Ki Tambakpati dia berhasil membawa Pendekar 212 Wiro Sableng dari sebuah bukit ke gubuk
itu. Ki Tambakpati yang dikenal dengan julukan Si Tangan Penyembuh berusaha
mengobati murid Sinto Gendeng, namun sampai hari itu dia masih belum berhasil.
Wiro masih tergeletak tak sadarkan diri di atas ranjang bambu.
Tanpa diketahui Setan Ngompol, di atas cabang sebuah pohon besar berdaun rindang
di seberang kali, berdiri sosok samar seorang gadis cantik berwajah pucat,
menge- nakan kebaya putih panjang, rambut hitam tergerai di punggung. Sepasang matanya
yang bening tapi dingin memperhatikan kakek yang duduk di tepi sungai. Dia kenal
kakek itu dan cukup bersahabat. Namun dia tak ingin menemuinya saat itu.
Pandangannya kemudian dialihkan ke arah gubuk.
Tak lama kemudian dari dalam gubuk keluar pula seorang kakek berjubah hijau.
Terbungkuk-bungkuk dia melangkah ke tepi kali, lalu duduk di atas batu besar di
samping Setan Ngompol.
Setan Ngompol tekap dulu bagian bawah perutnya baru membuka mulut bertanya,
"Sahabatku Ki Tambakpati, bagaimana menurut penglihatanmu sakitnya murid Sinto
Gendeng itu?"
Setelah terdiam sejurus dan lebih dulu menarik nafas dalam, Ki Tambakpati
menjawab. "Sampai saat ini aku masih menyesali perbuatan orang-orang kerajaan yang
menghancurkan rumah dan peralatan pengobatanku. Aku tidak dapat menyelidiki
apalagi memberikan kesembuhan tuntas pada pendekar itu.
Sakitnya luar biasa aneh. Mungkin aku hanya mampu membuatnya siuman. Itu pun
menunggu sampai dua hari lagi. Kau telah meraba sendiri. Tubuhnya diselimuti
hawa dingin aneh yang berpusat pada syaraf di bagian bawah pusar. Kita berdua
telah sama-sama mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan hawa panas. Namun hawa
dingin yang bersarang di tubuh pemuda itu tak bisa dilenyapkan.
Sudah dua kali aku memeriksa darahnya dengan menusuk jari tangannya. Ternyata
darahnya masih berwarna hitam.
Ada racun jahat mendekam dalam tubuh dan aliran darah pemuda itu. Sulit
dimusnahkan."
"Apakah pemuda itu benar-benar tidak dapat
disembuhkan" Dengan cara apapun?" tanya Setan Ngompol.
"Aku tidak dapat memastikan. Kalaupun dia bisa disembuhkan, ada satu hal yang
akan tetap membawa kesengsaraan bagi dirinya seumur-umur..."
"Aku tahu. Kau sudah mengatakan. Dia akan menjadi lelaki tidak sempurna. Dia
kehilangan kejantanannya.
Sama saja dia mati dalam hidupnya."
"Kita hanya tinggal satu harapan. Kalau dia siuman mungkin bisa memberitahu apa
yang terjadi dengan dirinya. Mungkin dari situ kita bisa mencari jalan untuk
menyembuhkan."
"Aku punya dugaan..." kata Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perut yang
siap mengucur "Siapun orang yang berlaku jahat terhadap pendekar itu, dia memang
sengaja tidak membunuhnya. Tapi membuatnya menderita seumur hidup."
Seerrr! Habis keluarkan ucapan akhirnya Setan Ngompol pancarkan juga air
kencingnya. "Aku tidak mau bicara jelek tentang sahabat muda kita itu." kata Ki Tambakpati
pula. "Selama ini aku dengar banyak gadis cantik rimba persilatan yang menaruh
hati padanya. Dari sekian banyak gadis itu mungkin ada yang dicintai oleh pemuda
lain. Namun bertepuk sebelah tangan karena sang gadis sudah terpikat pada Wiro.
Nah, mungkin orang ini yang berbuat jahat terhadap pendekar itu."
"Jika memang begitu kejadiannya, suatu saat pasti akan ketahuan siapa orangnya,"
kata Setan Ngompol pula.
Ki Tambakpati keluarkan suling perak yang ditemuinya di puncak bukit dekat
bangunan candi dekat sosok tubuh Pendekar 212 yang tergeletak pingsan.
"Suling ini kutemui di halaman candi. Mungkin milik orang jahat yang mencelakai
Wiro. Melalui benda ini kita bisa menyelidik. Lalu jika kita bisa mendapatkan
Kitab Seribu Pengobatan mungkin di sana ada petunjuk untuk penyembuhan penyakit
yang diderita pemuda itu..."
berkata Ki Tambakpati.
Setan Ngompol perhatikan suling perak di tangan Ki Tambakpati. Dia tidak pernah
melihat benda ini sebelumnya, tak bisa menduga siapa pemiliknya. "Setahuku kitab itu ada pada Wiro.
Tapi waktu kita memeriksa dirinya kita tidak menemukan kitab itu. Mungkin telah
diserahkan pada gurunya atau disimpan di satu tempat."
"Aku tak habis kasihan pada murid Sinto Gendeng itu..."
kata Ki Tambakpati pula. "Dia belum pernah menikah.
Belum pernah kawin. Sekarang malah kejatuhan penyakit yang menjadikan dia
seorang lelaki tidak sempurna. Walau banyak yang menyukai dan mencintainya tapi
sekarang gadis mana yang akan bersedia mengambilnya jadi suami?"
Tiba-tiba sebuah perahu meluncur terombang-ambing di permukaan air Kali Progo.
Setan Ngompol memperhatikan lalu berkata.
"Ada perahu tanpa penumpang. Datang dari hulu kali.
Tidakkah kau merasa aneh?"
"Mungkin saja perahu itu tadinya tertambat di satu tempat. Tambatannya putus
lalu dihanyutkan air sampai ke sini..." menduga Ki Tambakpati.
"Sobatku, aku tidak sependapat denganmu. Kau tunggu di sini. Aku mau
menyelidik." Habis berkata begitu sambil satu tangan masih memegangi bagian
bawah celananya yang lepek Setan Ngompol melompat ke atas perahu yang mengapung
di kali. Karena ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sudah mencapai tingkat
tinggi maka ketika dua kakinya menjejak lantai perahu, perahu itu tidak
bergoyang sedikitpun. Si kakek perhatikan keadaan perahu dengan matanya yang
belok. Lalu dia membungkuk, mengendus dalam-dalam. Mula-mula dia mencium bau air
pesingnya sendiri. Kemudian dia mencium bau harum. Setan Ngompol luruskan tubuh, memandang sepanjang kali, memperhatikan kiri kanan tepian Kali Progo, namun dia tidak melihat siapapun, termasuk
sosok samar gadis bermuka pucat yang berdiri di cabang pohon. Kakek ini segera
melesat ke tepi kali, membiarkan perahu meluncur dibawa arus ke hilir.
"Kau menemukan sesuatu?" tanya Ki Tambakpati.
Setan Ngompol mengangguk sambil buru-buru tekap bagian bawah perutnya yang
kembali hendak berulah.
"Ada seseorang di atas perahu itu sebelumnya. Seorang perempuan." Menjelaskan
Setan Ngompol. "Bagaimana kau bisa tahu ada orang dan perempuan pula!" berkata Ki Tambakpati.
"Aku mencium bau harum bekas tubuh dan pakaiannya di dalam perahu." Jawab Setan
Wiro Sableng 154 Insan Tanpa Wajah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ngompol. "Aku kenal betul bau harum yang satu itu. Kira-kira bisa menduga siapa
orangnya. Tapi aku tidak mau memberi tahu dulu..."
"Aneh, jika ada orang di atas perahu mengapa dia kemudian meninggalkan perahu
begitu saja" Pergi ke mana" Apa keperluannya melewati daerah ini" Seorang
perempuan pula!"
"Ki Tambak," ucap Setan Ngompol setengah berbisik.
"Sebenarnya sejak tadi aku merasa kehadiran seseorang di sekitar tempat ini.
Namun aku tidak bisa melihat tubuh kasarnya..."
"Di tikungan kali ini banyak demitnya" kata Ki Tambakpati.
Setan Ngompol terlompat dari duduknya. Dua tangan buru-buru menekap bagian bawah
perut. "Kau jangan menakuti. Aku bisa ngocor terus-terusan!"
Karena terlalu asyik bicara, dua kakek ini tidak memperhatikan bagaimana satu
bayangan biru melesat di belakang mereka, masuk ke dalam gubuk melalui jendela
yang terbuka. "Aku mencium bau harum santar sekali!" kata Setan Ngompol tiba-tiba.
Ki Tambakpati mendongak dan menghirup udara
dalam-dalam, "Eh, aku juga mencium bau wangi itu. Tapi aneh, mengapa wanginya
bau kembang kenanga" Kembang mayat" Jangan-jangan asin mulutku. Tadi aku cuma bergurau. Tapi mungkin
benaran ada demit di tempat ini!"
Serrr! Setan Ngompol memaki panjang pendek dan lagi-lagi pancarkan air kencing.
Dua sahabat ini kemudian terus saja bercakap-cakap membicarakan keadaan Pendekar
212 Wiro Sableng.
"Aku ingat pada Liris Biru. Gadis itu begitu nekad mencari ke Kuto Gede pemuda
berpakaian hitam yang katanya membunuh Liris Merah. Aku khawatir dia akan
mengalami celaka seperti kakaknya. Digagahi lalu dibunuh seorang pemuda tak
dikenal." "Pangeran Matahari sudah mati. Sekarang muncul lagi penjahat terkutuk tukang
perkosa. Apakah kejahatan tidak pernah berhenti di muka bumi ini?" ucap Ki
Tambakpati sambil menghela nafas panjang.
Sementara itu di bagian lain tepi Kali Progo, tiga orang penunggang kuda
berhenti di balik sederetan pohon besar yang tumbuh rapat. Ketiganya adalah
gadis-gadis cantik dan mereka menunggangi kuda sama-sama berwarna putih. Gadis
paling depan mengenakan pakaian ringkas warna kelabu dihias manik-manik putih
dan merah. Rambut hitam digulung di atas kepala. Sepasang bola mata berwarna biru. Gadis
berwajah jelita ini memutar kudanya sedikit, berpaling pada dua gadis di
belakangnya yang juga berparas cantik lalu berkata, "Kurasa kita sudah sampai di
tempat tujuan. Orang yang aku cari berada di sekitar sini.
Kalian berdua cukup mengantarku sampai di sini. Kembalilah ke laut selatan."
"Ratu Duyung," salah seorang dari dua gadis menjawab sambil sedikit bungkukkan
dada. "Sebenarnya kami masih ingin berlama-lama mendampingimu. Bertahun-tahun
hi- dup di dasar samudera, sekali-sekali berada di alam terbuka seperti ini kami sungguh merasa bahagia. Karena itu kami memohon izin agar
terus bisa bersamamu."
Si jelita berbola mata biru yang rupanya adalah Ratu Duyung tersenyum, "Masih
banyak kesempatan di lain waktu. Sekarang ini aku tengah menghadapi beberapa
urusan besar. Tapi jika kalian memang ingin mencari kesenangan, kalian boleh
menunda kepulangan sampai dua hari. Aku tidak memerlukan tunggangan lagi. Bawa
kuda ini bersama kalian." Ratu Duyung usap tengkuk kuda tunggangannya lalu
melompat turun.
"Terima kasih Ratu... Terima kasih," kata dua gadis penuh gembira. "Kami mohon
pamit sekarang juga."
Ratu Duyung mengangguk. Dua gadis yang bertindak sebagai pengiring Ratu Duyung
tundukkan kepala lalu tinggalkan tempat itu. Anehnya walau kuda mereka dipacu
kencang namun kaki-kaki binatang itu tidak mengeluarkan suara berderap. Tiga
ekor kuda berlari laksana melayang di atas tanah! Itu sebabnya ketika ketiganya
datang tadi, baik Ki Tambakpati maupun Setan Ngompol tidak mendengar suara derap
kaki binatang-binatang itu.
Setelah dua pengiring pergi, Ratu Duyung gerakkan tangan kanan ke balik baju
kelabu. Biasanya gadis cantik bermata biru ini selalu mengenakan pakaian hitam
men- colok ketat dengan potongan dada rendah serta belahan tinggi pada pinggul kiri
kanan. Namun sejak ditegur oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas beberapa waktu lalu
maka dia merubah penampilan dan cara berpakaiannya (Baca serial Wiro Sableng
berjudul 'Misteri Pedang Naga Merah'). Kalau tidak mengenakan jubah dalam maka
dia berpakaian ringkas seperti yang dikenakannya saat itu. Seperangkat perhiasan
terbuat dari kerang hijau menghias telinga, leher dan lengan.
"Kurasa sebelum mendatangi gubuk di tikungan kali itu sebaiknya sekali lagi aku
memantau keadaan lebih dulu..."
Entah mengapa tergerak saja hati Ratu Duyung untuk bersikap hati-hati. Dari
balik baju kelabu dia keluarkan sebuah benda yang ternyata adalah cermin bulat
berga- gang biru. Selain merupakan senjata sakti cermin ini juga mampu dipakai untuk
melihat atau memantau keadaan sampai jarak cukup jauh.
Memperhatikan ke dalam cermin, Ratu Duyung melihat dua orang kakek tengah duduk
di sebuah batu besar di tepi kali, asyik bercakap-cakap. Dia segera mengenali
salah seorang dari dua kakek itu adalah Setan Ngompol. Cermin digerakkan,
diarahkan ke atas kali. Di kejauhan masih sempat terlihat sebuah perahu kosong
meluncur ke arah hilir. Mendadak kening sang ratu mengerenyit Pinggiran cermin
bulat sebelah kanan atas memunculkan sepasang kaki samara tegak di atas cabang
pohon di tepi kali. Ratu Duyung geser cermin saktinya hingga kini dia dapat
melihat keseluruhan sosok samar seorang perempuan yang tengah berdiri di atas
cabang pohon itu. Cermin sakti digoyang, diusap, namun tetap saja sosok di atas
pohon tidak bisa terlihat jelas, tetap berujud bayangan samar.
"Makhluk dari alam lain. Siapa...?" ucap Ratu Duyung dalam hati. Dia coba
menerka, "Makhluk itu mungkin Bunga gadis dari alam roh yang telah bersahabat
sejak lama dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun mungkin juga gadis dari
negeri 1200 tahun silam yang dikenalnya dengan nama Purnama. Gadis ini terakhir
sekali ditemuinya sewaktu dia bersama Wiro menyerbu Gedung Kadipaten Losari (Baca serial Wiro Sableng berjudul 'Sang Pembunuh'). Hati sang ratu
mendadak merasa tidak enak kalau tidak mau dikatakan cemburu. Ini karena dia
tahu kalau Purnama telah jatuh hati dan diam-diam mencintai Pendekar 212. Cinta
gadis alam roh 1200 tahun silam ini terhadap Wiro jauh lebih dahsyat dari cinta
Bunga yang juga makhluk dari alam roh.
"Aku harus mampu mengetahui siapa yang hadir di sini.
Bunga atau Purnama. Jika Purnama lebih baik aku pergi saja dari sini. Tapi
bagaimana dengan Wiro yang sedang sakit...?" ucap Ratu Duyung dalam hati. Gadis
cantik ber- mata biru ini selain khawatir juga tampak bingung.
Ratu Duyung geser lagi cermin saktinya. Dia dapat melihat gubuk di tikungan kali
itu. Cermin digoyang. Kini Ratu Duyung dapat melihat bagian dalam gubuk.
Sepasang bola mata biru gadis cantik ini membesar.
"Aku keduluan. Bagaimana dia bisa berada di sini lebih dulu dariku?" Suara Ratu
Duyung perlahan agak lirih. "Apa yang harus aku lakukan" Menerobos masuk ke
dalam gubuk" Atau menunggu sampai dia pergi. Tapi mungkin dia akan menunggui
Wiro sampai berhari-hari."
WIRO SABLENG INSAN TANPA WAJAH
4 EMENTARA Ratu Duyung memperhatikan keadaan
dalam gubuk melalui cermin saktinya, di dalam gubuk S Bidadari Angin Timur tegak
di tepi ranjang, tubuh sedikit tertunduk, dua tangan mendekap dada dan sepasang
mata memperhatikan Wiro tak berkesip.
Perlahan-lahan sepasang mata gadis cantik berambut pirang ini mulai berkacakaca. Sesaat kemudian air mata mengucur membasahi pipinya. Jauh di lubuk hatinya
dia berucap, "Gusti Allah mengapa dia selalu mengalami nasib sengsara seperti
ini. Apakah benar ucapan yang kudengar tadi. Bahwa dia..."
Satu tangan memegang bahu Bidadari Angin Timur membuat si gadis tersentak kaget.
Dia berpaling. "Kakek Setan Ngompol," ucap Bidadari Angin Timur begitu tahu siapa yang memegang
bahunya. Di belakang si kakek berdiri Ki Tambakpati.
"Aku sudah mengira kau akan muncul di tempat ini. Aku mencium harum bau tubuh
dan pakaianmu di perahu. Kau datang langsung masuk ke dalam. Padahal kami berdua
ada di luar." Berkata Setan Ngompol.
"Harap maafkan aku, Kek. Pikiranku sangat kacau. Aku menyirap kabar ditangkapnya
Wiro. Lalu ada yang membebaskannya keluar dari penjara kerajaan. Aku mengikuti apa yang terjadi dan
berusaha secepat mungkin menuju Kotaraja. Kemudian aku ketahui kakek berdua
membawa Wiro ke tempat ini" Bidadari Angin Timur mulai terisak.
"Kek, apakah aku tidak keliru mendengar apa yang tadi kalian bicarakan di luar?"
"Memangnya kami bicara apa?" tanya Ki Tambakpati.
"Ketika berada di tepi kali, aku sempat mendengar pembicaraan kakek berdua. Apa
betul Wiro telah menjadi seorang lelaki yang tidak sempurna" Apa benar dia telah
kehilangan kejantanannya" Apakah dia memang tidak bisa disembuhkan untuk selamalamanya?" Setan Ngompol pegangi bagian bawah perutnya. Ki Tambakpati tak bisa menjawab.
Tangis Bidadari Angin Timur pecah.
"Sahabatku, mari kita keluar. Kita bicara di luar..."
Setan Ngompol membujuk.
Bidadari Angin Timur gigit bibirnya sendiri. Gelengkan kepala dan berkata.
"Rasanya tidak ada yang perlu dibicarakan, Kek. Aku sudah sempat mendengar semuanya..."
Gadis berambut pirang itu membungkuk, mengusap kening Pendekar 212 yang terasa
sangat dingin. "Kami berdua akan terus berusaha memusnahkan
penyakitnya." Berucap Ki Tambakpati.
Bidadari Angin Timur tidak menjawab. Dia letakkan kepalanya di dada Pendekar 212
lalu menangis keras.
"Hentikan tangismu, sebaiknya kau membantu dengan memanjatkan doa pada Gusti
Allah agar Wiro bisa disembuhkan..."
"Akan aku lakukan, Kek. Akan aku lakukan..." jawab Bidadari Angin Timur. Lalu
tanpa berkata apa-apa lagi dia melangkah ke pintu.
"Bidadari Angin Timur, tunggu dulu!" Setan Ngompol memanggil.
Namun gadis cantik itu telah lenyap dari pemandangan.
Dikejar keluar sosoknya tak kelihatan lagi. Ki Tambakpati menghela nafas dalam.
Setan Ngompol yang berada di luar gubuk sandarkan punggung ke dinding. Selagi
dia berusa- ha menahan kencing yang hendak mengucur tiba-tiba dari atas pohon besar di
seberang kali melayang turun satu sosok putih disertai menebarnya bau harum
bunga kena- nga, membuat si kakek tersirap kaget dan semburkan air kencing.
"Bau kembang kenanga. Kembang mayat! Janganjangan tempat ini memang benar-benar ada demitnya."
Membatin Setan Ngompol dan tekap kuat-kuat bagian bawah perutnya.
Di saat yang hampir bersamaan dari balik semak belukar di tebing kali melesat pula satu sosok kelabu. Kedua sosok ini saling
bertemu di halaman gubuk, beberapa langkah di hadapan Setan Ngompol.
"Ratu Duyung!" seru Setan Ngompol ke arah orang yang datang dari balik semak
belukar. Aku hampir tak mengenalimu. Caramu berpakaian jauh berbeda dari yang sudah-sudah." Memandang ke kiri
kakek ini agak ragu sebentar.
Lalu berkata. "Gadis berkebaya putih, bukankah kau Bunga sahabat Pendekar 212
Wiro Sableng?"
Baik Ratu Duyung dari laut selatan maupun Bunga gadis dari alam roh tidak
menyahuti sapaan si kakek. Dua gadis ini saling pandang. Bunga tersenyum. Ratu
Duyung membalas dengan membungkukkan badan memberi
penghormatan. "Ah, aku gembira kalian berdua datang ke tempat ini.
Apakah kalian telah mengetahui apa yang terjadi dengan Wiro?" Berkata Setan
Ngompol. Bunga mengangguk. Wajahnya yang pucat tampak
sedih. Ratu Duyung bertanya. "Apakah kami berdua boleh menjenguknya ke dalam?"
"Masuklah... Silahkan masuk." kata Setan Ngompol pula. Lalu dia berseru pada Ki
Tambakpati memberitahu kedatangan dua gadis cantik itu.
Kalau tak ada orang lain di dalam gubuk itu baik Bunga maupun Ratu Duyung pasti
telah menjatuhkan diri di samping ranjang dan memeluk Pendekar 212.
Bunga perhatikan sosok Pendekar 212 mulai dari rambut sampai ke kaki. Gadis ini
memperhatikan bukan dengan mata nyalang tetapi justru dengan mata terpejam.
Dalam keadaan mata yang terpejam Bunga melihat Pendekar 212 seperti onggokan
tulang belulang, nyaris menyerupai jerangkong. Darah hitam mengalir melewati
tulang belulang putih dari ujung kaki sampai ke kepala lalu lenyap. Sesaat
kemudian kelihatan lagi darah hitam mengalir, juga mulai dari kaki naik ke atas
dan lenyap. Begitu terus menerus. Perlahan-lahan gadis dari alam roh ini angkat dua
tangannya, telapak dikembangkan dan diarahkan ke kepala serta tubuh Wiro.
Wuttt! Ada satu gelombang kekuatan memukul ke atas,
membuat dua tangan Bunga bergetar. Dia coba bertahan namun akhirnya dua tangan
itu terpental. Bunga picingkan mata kencang-kencang. Dua kaki bersurut setengah
langkah. Sepuluh jari tangan digenggam. Ketika genggaman dilepas tahu-tahu di tangan itu terlihat masing-masing empat dan tiga kuntum
kembang kenanga.
Masih dengan mata terpicing Bunga pergunakan tujuh kembang kenanga untuk menotok
tubuh Wiro, dua di kepala, tiga di tubuh dan dua lagi di bagian kaki. Saat itu
juga terdengar tujuh kali letupan kecil. Bagian tubuh dan kepala yang tadi
ditotok kepulkan asap berwarna merah, biru dan hijau. Satu dorongan yang kuat
menerpa ke arah Bunga membuat tubuh gadis ini bergetar hebat.
Ratu Duyung yang sejak tadi diam memperhatikan kini tidak mau tinggal diam. Dia
kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti pada dua tangannya lalu dengan cepat ditempelkan ke punggung Bunga. Dorongan kuat yang menyerang Bunga terpental, membuat jebol dinding gubuk di sisi kiri ranjang di mana
Wiro terbaring. Asap merah, biru dan hijau sirna. Dalam mata yang masih
terpicing Bunga melihat sebuah benda kecil putih kekuningan berputar-putar di dalam gubuk lalu
melesat menembus atap.
"Bunga tanjung. Aneh..." Bunga berkata perlahan lalu buka kedua matanya. Dia
mengucapkan terima kasih pada Ratu Duyung yang telah memberi tambahan kekuatan
untuk bertahan bahkan memusnahkan kekuatan gaib yang menyerangnya.
"Apa yang terjadi?" tanya Ratu Duyung setengah berbisik.
"Ada kekuatan aneh menguasai diri Wiro. Kekuatan itu berusaha menggagalkan
niatku menolongnya. Untung berkat pertolonganmu untuk sementara kita berhasil mengusir kekuatan gaib itu. Wiro
juga mengalami kelainan di dalam tubuhnya. Darahnya mengalir terbalik. Itu yang
menyebab- kan sekujur tubuhnya dingin. Aku coba menghentikan keanehan ini dengan
menotokkan tujuh bunga kenanga.
Tapi aliran darahnya tetap terbalik. Totokan hanya menolong membuat dia sadar satu hari lebih cepat." Bunga berhenti bicara. Lalu dia
bertanya pada Ratu Duyung.
"Sahabatku, apakah kau tidak merasakan sesuatu pada tubuhmu?"
"Apa..." Astaga!" Ratu Duyung baru sadar kalau cermin sakti yang ada di balik
pakaiannya bergetar dan mengeluarkan hawa panas.
"Cermin saktimu! Lihat cermin saktimu!"
Ratu Duyung segera keluarkan cermin bulat dari balik bajunya. Ketika
memperhatikan ke dalam cermin, dia melihat sosok seorang lelaki berselempang
kain putih, berjanggut dan berambut putih. Orang ini sama sekali tidak memiliki
wajah. Licin polos!
"Manusia tanpa wajah!" ucap Ratu Duyung.
Bunga menarik tangan Ratu Duyung, coba melihat ke dalam cermin lalu gadis alam
roh ini berteriak, "Dia ada di atas atap!"
Sambil melesat ke atas Bunga lepaskan pukulan Roh Membelah Langit. Selarik angin
dahsyat disertai sambaran sinar putih berkiblat. Atap gubuk hancur berantakan.
Wiro Sableng 154 Insan Tanpa Wajah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di luar sana terdengar suara dentuman keras. Lalu ada kilatan tiga cahaya terang sekali. Merah, biru dan hijau. Bunga melesat keluar gubuk
lewat atap yang hancur. Ratu Duyung menyusul. Di atas atap kedua gadis ini
memandang berkeliling, lalu melayang turun ke tanah. Sosok makhluk tanpa wajah yang tadi jelas
terlihat di cermin tidak mereka temui.
Ratu Duyung melihat sebuah benda kecil putih kekuningan di tanah. Dia mendekati dan membungkuk hendak mengambil. Namun tarik
tangannya ketika terdengar Bunga berteriak.
"Jangan sentuh!"
Ratu Duyung merasa tangannya yang tadi dijulurkan seperti disengat hawa panas.
"Itu bunga tanjung yang aku lihat waktu memejamkan mata" Berkata Bunga. Lalu
gadis alam roh ini jentikkan jari telunjuknya ke arah bunga tanjung di tanah.
Kejap itu juga bunga tanjung hancur dengan memancarkan cahaya merah, biru dan
hijau. "Sahabatku Ratu Duyung," berkata Bunga. "Tidakkah kau melihat keanehan?"
Ratu Duyung mengangguk.
"Bunga tanjung biasa tidak akan memancarkan tiga cahaya berwarna seperti itu.
Benar katamu. Ada satu kekuatan yang berusaha menghalangi maksud kita menolong Pendekar 212."
"Sahabat, aku ingin berada lebih lama di tempat ini.
Ingin sekali melanjutkan menolong Wiro. Tapi waktuku di dunia luar sangat
terbatas. Aku harus segera pergi. Aku titip Wiro padamu. Jaga dia baik-baik.
Selidiki asal muasal sakit aneh yang dideritanya. Aku tahu kau akan mampu
menolongnya. Beritahu kakek pemilik gubuk kalau aku minta maaf telah merusak
tempat kediamannya..."
"Tak usah khawatir. Tidak jauh dari sini ada satu bangunan kosong. Dekat aliran
Kali Progo juga. Aku akan meminta mereka pindah dan membawa Wiro ke sana."
Bunga memberikan sekuntum kembang kenanga
kuning pada Ratu Duyung. "Simpanlah. Jika sewaktu-waktu kau membutuhkan diriku
cium kembang ini dan sebut namaku. Aku akan muncul"
Habis menyerahkan kembang kenanga dan keluarkan ucapan Bunga berkelebat. Gadis
alam roh ini lenyap dari hadapan Ratu Duyung.
Saat itu Ki Tambakpati dan Setan Ngompol sudah berada di luar gubuk.
"Apa yang terjadi" Mana Bunga?" tanya Setan Ngompol.
"Dia sudah pergi. Kek, ada sebuah bangunan kosong tak jauh dari sini. Kurasa
lebih baik kita memindahkan Wiro ke sana. Namun sebelumnya aku ingin bertanya
bagaimana kejadiannya sampai Wiro mengidap penyakit aneh itu..."
"Aku yang pertama kali menemukannya tergeletak di halaman candi di atas sebuah
bukit. Aku mendapat petunjuk dalam mimpi. Aku bicara dengan Sinto Gendeng, guru
Wiro..." Lalu Ki Tambakpati menuturkan bagaimana dan di mana dia menemui
Pendekar 212 di bawah hujan lebat beberapa hari lalu.
Setelah mendengar penuturan Ki Tambakpati, Ratu Duyung bertanya. "Kek, menurut
ceritamu kau menemukan sebuah suling perak tak jauh dari tempat Wiro tergeletak
di halaman candi. Boleh aku melihat suling itu?"
Ki Tambakpati masuk ke dalam gubuk. Waktu keluar dia membawa sebuah suling perak
yang berkilat-kilat terkena sinar matahari. Suling diberikan pada Ratu Duyung.
Gadis bermata biru ini memperhatikan dengan seksama sambil berpikir-pikir.
Kemudian dia berkata.
"Kalau aku tidak salah menduga, suling ini pernah menjadi milik paderi perempuan
dari negeri Cina. Paderi itu bernama Loan Nio. Sebelum kembali ke negerinya dia
menyerahkan suling pada seorang nenek rambut kelabu, makhluk jejadian kembaran
ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu..."
"Bagaimana kau bisa tahu hal itu, Ratu Duyung?" tanya Setan Ngompol.
"Aku menyaksikan sendiri kejadian itu" jawab Ratu Duyung seraya mengembalikan
suling perak pada Ki Tambakpati. "Kalau suling itu ditemukan dekat Wiro tergeletak pingsan mungkin
sekali makhluk jejadian itu juga ada di sana. Lalu ke mana perginya nenek itu?"
"Kau mencurigai dia yang mencelakai Wiro?" tanya Setan Ngompol.
Ratu Duyung menggeleng. "Dia berhutang budi pada Wiro. Makhluk jejadian tidak
seperti manusia. Dia tak mungkin akan membalas budi orang dengan kejahatan.
Tapi siapa tahu, keadaan bisa saja membuat makhluk itu berubah. Kita harus
mencari nenek itu untuk ditanyai. Tapi menolong Wiro adalah hal paling pertama
harus kita lakukan. Sahabat kita Bunga menerangkan apa yang dialami Wiro. Tadi
waktu berada di sini, aku sempat mendengar pembicaraan kakek berdua..."
"Syukur kalau kau sudah tahu nasib buruk yang diderita pemuda itu. Kita hanya
memohon pada Gusti Allah dan berusaha menyelamatkannya dari penyakit yang
menyeng- sarakan seumur hidup itu. Tadi kami membicarakan Kitab Seribu Pengobatan.
Mungkin ada petunjuk penyembuhan dalam kitab itu."
"Setahuku kitab itu pernah hilang kemudian ditemukan kembali. Terakhir dicuri
oleh paderi dari Cina itu. Namun dia sudah mengembalikan pada Wiro." Menjelaskan
Ratu Duyung. "Justru kami tidak menemukan kitab itu padanya" Kata Ki Tambakpati pula. "Aku
berharap kitab itu tidak lenyap lagi untuk ke sekian kalinya."
"Sementara hari masih pagi, matahari belum bersinar terik, sebaiknya kita
membawa Wiro ke bangunan kosong itu." Berkata Ratu Duyung.
Ketika orang-orang itu sampai di bangunan yang dikatakan Ratu Duyung ternyata bangunan itu sebuah rumah panggung berkolong rendah.
Seharusnya keadaan bangunan serba kotor, paling tidak penuh debu dan sarang laba-laba karena sekian lama
tidak pernah ditinggali. Namun anehnya ketika mereka sampai di depan tangga
mereka dapatkan keadaan bangunan sangat bersih. Lantai kayu licin berkilat,
begitu juga dinding dan langit-langit. Di dalam sebuah kamar terdapat satu
ranjang bambu rendah beralaskan tikar yang walaupun sudah robek-robek tapi bersih. Di salah satu sudut
kamar terdapat sebuah gentong lumayan besar. Ketika diperiksa ternyata berisi
air jernih dan sejuk. Di dinding dekat gentong air ini tergantung sebuah gayung
terbuat dari batok kelapa. Ki Tambakpati dan Setan Ngompol dengan bantuan Ratu
Duyung mem- baringkan Pendekar 212 di atas ranjang bambu.
Sambil memandang berkeliling, lalu berdiri membelakangi jendela yang terbuka Ratu Duyung berkata, "Aneh, siapa yang membersihkan
bangunan ini" Siapa yang mengisi tempayan dengan air bersih?"
Tiba-tiba ada suara perempuan menyahuti ucapan Ratu Duyung.
"Para sahabat bertiga, saat ini hanya itu bantuan yang bisa aku berikan."
Tiga orang yang ada di dalam rumah sama-sama
terkejut karena tidak menyangka ada orang lain di rumah panggung itu. Namun
ketika melihat siapa yang muncul Setan Ngompol unjukkan air muka gembira.
Ki Tambakpati karena tidak mengenal hanya tegak memperhatikan sambil dalam hati
bertanya-tanya. Sementara Ratu Duyung yang memang mengenal siapa adanya orang dan tidak menyangka
kehadirannya di tempat itu berusaha menyembunyikan perasaan terkejutnya.
WIRO SABLENG INSAN TANPA WAJAH
5 ETAN Ngompol datang menghampiri seraya berkata.
"Sahabatku gadis dari negeri seribu duaratus tahun S silam, aku gembira
melihatmu. Bagaimana kau bisa berada di sini. Kaukah yang membersihkan bangunan
ini?" Gadis yang disapa si kakek ternyata adalah Luhmintari, gadis dari Latanahsilam
yang kini dipanggil Purnama, nama pemberian Pendekar 212 Wiro Sableng.
Purnama yang mengenakan pakaian biru, rambut hitam digulung di atas kepala,
menjura memberi penghormatan pada tiga orang itu, lalu menjawab pertanyaan Setan
Ngompol, "Kek, sebelum ke sini aku datang ke rumah di pinggir Kali Progo. Ketika
mendengar kakek bertiga akan mempergunakan bangunan ini, aku buru-buru ke sini
menyiapkannya. Maaf kalau aku bertindak lancang mendahului."
"Siapa yang bilang kau lancang! Perbuatanmu sangat terpuji dan sangat menolong.
Daripada aku yang menyapu membersihkan rumah ini, bisa terkencing-kencing.
Lantainya bukan jadi bersih malah tambah kotor bau pesing! Ha... ha... ha!"
Semua orang tertawa geli mendengar ucapan Setan Ngompol itu.
Purnama berpaling pada Ratu Duyung membungkuk memberi penghormatan lalu berkata,
"Sahabat, waktu kau menyelamatkan diriku di atas atap Gedung Kadipaten dari
tangan jahat Raja Racun Bumi Langit aku belum sempat mengucapkan terima kasih.
Saat ini aku..."
Ratu Duyung tersenyum. "Tak usah memakai peradatan segala. Antara sesama sahabat
bukankah wajar-wajar saja saling menolong?"
"Walau begitu aku tetap ingin menyampaikan rasa terima kasihku. Aku bukan cuma
berhutang budi, tapi juga berhutang nyawa padamu." Kata Purnama pula.
Sementara dua gadis itu bicara diam-diam Ki Tambakpati memperhatikan dan menimbang-nimbang. Mana yang lebih cantik di antara
mereka. Purnama tinggi semampai memiliki wajah anggun sedap dipandang. Sementara
Ratu Duyung memiliki sepasang mata biru penuh pesona ditambah bentuk tubuh yang indah. Dia juga ingat pada gadis cantik berambut pirang
Bidadari Angin Timur yang sebelumnya muncul di gubuk di Kali Progo. Dalam hati kakek ini berkata. "Aku
menyirap kabar tiga gadis itu ditambah gadis berwajah pucat bertubuh samar,
mereka semua mencintai Wiro. Yang mana kelak yang bakal mendapatkan pendekar
itu" Apakah tidak akan terjadi saling bentrok di antara mereka?"
"Ada hal yang lebih penting," kata Ratu Duyung
"Sahabat kita Pendekar 212 tengah menderita sakit parah.
Kita harus menolongnya..."
Tiba-tiba Setan Ngompol ingat sesuatu. "Purnama, setahuku kau telah meredam
seluruh isi Kitab Seribu Pengobatan. Mungkin kau bisa melakukan sesuatu" Mencari petunjuk untuk menyembuhkan Wiro."
"Aku akan mencoba, Kek. Mudah-mudahan Gusti Allah menolong kita semua. Namun
kalau Kakek bisa menceritakan, aku ingin lebih dulu mengetahui bagaimana asal mula kejadiannya, apa yang
diderita Wiro. Lalu tindakan apa saja yang telah dilakukan dalam usaha
menyembuh- kannya." Setan Ngompol meminta Ki Tampakpati memberi
penjelasan. Kakek ahli pengobatan ini lalu menceritakan bagaimana pertama kali
dia menemui Wiro termasuk kemunculan Damar Sarka dan Surah Sentono. Kakek ini
juga memberi tahu apa yang dialami Wiro lalu apa yang telah dilakukannya walau
tidak banyak menolong. Setan Ngompol kemudian menambahkan apa yang terjadi
sewaktu Bunga berusaha mengobati sang pendekar.
Diantar ke tiga orang itu Purnama kemudian masuk ke dalam kamar di mana Wiro
terbaring di atas ranjang bambu.
Purnama memperhatikan sosok Wiro sejenak. Lalu mulutnya berucap perlahan, "Ada
duabelas bekas totokan di tubuh Wiro. Ada orang yang telah berusaha menolongnya
sebelum gadis bernama Bunga menotok tujuh kali dengan kembang kenanga."
Si Kangkung Pendekar Lugu 2 Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Mustika Serat Iblis 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama