Ceritasilat Novel Online

Malam Jahanam Di Mataram 1

Wiro Sableng 171 Malam Jahanam Di Mataram Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG MALAM JAHANAM DI MATARAM Sumber Kitab: Pendekar212
Cover (dari DJVU): syauqy_arr
PDF E-Book: kiageng80
"THANKS TO DOBLEHKSP"
WIRO SABLENG MALAM JAHANAM DI MATARAM
1 ESUNYIAN malam menjelang pagi di lereng Gunung Bismo tiba-tiba saja pecah
dihentak oleh suara Kdentrangan benda keras tak berkeputusan. Suara ini datang
dari bagian belakang sebuah gubuk tak berdinding terletak di bawah naungan pohon
besar. Di atas sehelai tikar butut yang diberi bantalan jerami kering duduk
seorang tua. Tubuh yang kurus hanya dibalut sehelai kain putih dari pinggang ke
bawah. Demikian kurusnya hingga muka seolah tinggal kulit pelapis tulang.
Tulang-tulang iga bertonjolan seperti jerangkong.
Di samping kanan si orang tua, di atas tanah terletak sebuah pedupaan menyala
yang asapnya menebar harum bau kemenyan. Di sebelah kiri ada satu keranjang
bambu kecil berisi kembang tujuh rupa.
Orang tua ini berambut panjang riap-riapan, kumis dan janggut berwarna biru.
Walau wajahnya seperti tengkorak namun tidak membayangkan keangkeran. Sepasang
mata bening memiliki sorot pandang penuh semangat. Saat itu dia duduk menghadapi
setumpuk bara menyala. Di depan bara menyala ada sebuah bantalan besi. Di atas
bantalan besi ini membelintang sebatang besi panjang.
Ada keanehan, walau batangan besi merah panas menyala namun cahaya yang
dipancarkan berwarna redup kebiruan. Ini satu pertanda besi itu bukan besi
biasa, mungkin mengandung satu kekuatan atau hawa sakti.
Si muka tengkorak duduk sambil tangan kiri memegang batangan besi membara dengan
sebuah japitan besi yang pegangannya dibalut kain untuk menolak panas. Di tangan
kanan dia menggenggam sebuah palu besi. Palu ini dipukulkan tiada henti pada
batangan besi menyala. Setiap kali palu besi beradu dengan batangan besi
menyala, bunga api memercik terang disertai suara dentrangan keras.
Sambil memukul besi orang tua itu tiada henti mengeluarkan ucapan perlahan yang lebih mirip nyanyian.
Tempa besi selagi panas
Tugas suci sebagai abdi
Jangan berhenti sebelum jadi
Tempa besi selagi panas
Puasa dua puluh tujuh hari
Pergunakan hati dan pikiran
Bekerja dengan ketulusan
Tempa besi selagi panas
Selalu ingat Manusia hanya pelaku
Yang punya kehendak adalah Dewa
Tempa besi selagi panas
Antara Bhumi dan Swargaloka
Kuasa Dewa sudahlah jelas
Karenanya memohon pada Yang Kuasa
Tiada yang lain tempat meminta
Trang... trang... trang!
Untuk kesekian kali terdengar suara dentrang berkepanjangan dari beradunya palu dan batangan besi disertai percikan bunga api,
mengiringi suara nyanyian orang tua bermuka tengkorak.
Mendadak suara nyanyian mengalun perlahan lalu lenyap sama sekali. Bersamaan
dengan itu tangan yang tengah menempa palu ke batangan besi merah menyala
berhenti memukul. Ada sesuatu yang jadi penyebab.
Perlahan-lahan orang tua ini angkat kepala.
Sepasang mata beningnya melihat dua kaki berkasut putih di bawah ujung sehelai
jubah sutera kelabu. Dua kaki berkasut kulit itu sama sekali tidak menjejak
tanah! Perlahan-lahan orang tua itu letakkan palu di atas tikar.
Tangan kiri melepas japitan dari batangan besi yang tadi ditempa. Lalu dia
angkat kepala lebih tinggi dan memandang ke atas. Kini dia dapat melihat keseluruhan sosok berjubah sutera kelabu
itu. Orang ini ternyata seorang kakek berwajah jernih. Di kepalanya ada gulungan kain
kelabu menyerupai sorban.
Alis, kumis, serta janggut yang putih memberi gambaran, kalau usianya tidak di
bawah si orang tua penempa besi. Di pinggang melingkar ikat pinggang berbentuk
tasbih besar terbuat dari kayu berwarna coklat dan mengeluarkan bau mewangi.
"Saya merasa mendapat kehormatan besar atas
kunjungan seorang sahabat yang agaknya datang dari jauh. Namun karena saya tidak
mengenal, bolehkah saya bertanya siapa gerangan adanya sahabat?"
Sehabis menyapa orang tua di depan tumpukan bara menyala segera hendak berdiri,
maksudnya akan membungkuk memberi salam hormat pada kakek yang berdiri di hadapannya.
Kakek yang disapa tersenyum lalu berkata.
"Empu Semirang Biru, tak usah berdiri. Tetap saja duduk di tempatmu. Kata-kata
dalam nyanyianmu tadi sungguh indah dan suaramu menyanyi sungguh bagus..."
"Terima kasih sahabat telah memuji. Tapi..." Orang tua yang dipanggil dengan
nama Empu Semirang Biru terheran-heran orang yang tak dikenal mengetahui
namanya. Sete- lah menatap wajah jernih orang di hadapannya sesaat baru dia meneruskan ucapan.
"Tapi saya mempunyai dugaan, sahabat datang ke sini bukan tertarik oleh nyanyian
saya. Atau mungin saya salah menduga..."
"Empu Semirang Biru, kau sungguh arif. Perasaan dan pandangan matamu tajam
karena kau mempergunakan hati sanubari yang tulus. Walau tadi saya katakan katakata dalam nyanyianmu sungguh indah dan suaramu sungguh bagus, tapi memang saya
datang ke sini bukan karena nyanyianmu tadi. Sudah tersurat di kahyangan sana
sejak satu purnama yang lalu, bahwa malam Jum'at Kliwon ini, setelah kau
melakukan puasa selikur, saya harus datang menemuimu. Saya merasa sangat
berbahagia bisa berjumpa dengan seorang empu, seorang ahli pembuat senjata
ternama untuk Kerajaan Mataram..."
"Sahabat keliwat memuji. Sahabat belum memberi tahu siapa sahabat adanya." Empu
Semirang Biru menjawab dan kembali menyatakan keingintahuannya siapa adanya
kakek bersorban dan berjubah kelabu itu yang membekal ikat pinggang berbentuk
tasbih besar menebar bahu harum.
Orang yang ditanya bukannya menjawab pertanyaan Empu Semirang, malah balik
mengajukan pertanyaan.
"Empu Semirang Biru, pekerjaan apa dan untuk siapa yang tengah kau lakukan saat
ini?" Semula Empu Semirang Biru merasa segan untuk menerangkan. Namun karena diam-diam
menyadari orang di hadapannya bukan orang sembarangan maka dia menjawab juga. "Sahabat, saya tengah menempa sebilah keris, atas kepercayaan dan permintaan Sri
Maharaja Rakai Kayuwangi dari Mataram."
"Terima kasih sahabat telah mau memberi tahu. Kalau saya boleh bertanya, dengan
cara menempa begitu rupa, belum lagi mengukir dan mengikir, berapa lama
perkiraan keris itu akan selesai dikerjakan?"
"Saya menjanjikan pada utusan Sri Maharaja, keris akan selesai dalam waktu dua
puluh tujuh hari ditambah dua puluh satu hari. Dua puluh tujuh hari masa untuk
saya berpuasa dan dua puluh satu hari waktu untuk mengerjakan pembuatan keris. Tapi sang utusan minta agar saya menyerahkan keris itu
dalam tempo tujuh hari. Berarti saya harus bekerja keras. Malam ini adalah malam
pertama saya memulai pekerjaan..."
"Apakah Sri Maharaja memberi tahu pada sahabat apa gerangan nama yang akan
diberikan pada keris itu jika kelak sudah selesai dan diserahkan?"
"Mohon maaf, saya tidak bisa memberitahukan hal itu,"
jawab Empu Semirang Biru. "Saya tidak boleh bicara terlalu jauh sampai ke situ.
Saya tidak berani melangkahi Sri Maharaja..."
Kakek di hadapannya anggukkan kepala sambil tersenyum. "Kanjeng Sepuh Pelangi, bukankah itu nama yang akan diberikan pada keris yang
sahabat buat?"
Empu Semirang Biru tercengang.
WIRO SABLENG MALAM JAHANAM DI MATARAM
2 AKEK bersorban dan berjubah sutera kelabu di hadapan Empu Semirang Biru
tersenyum. "Apakah Ksaya salah mengira dan menyebut nama?"
"Bagaimana sahabat mengetahui hal itu?" Bertanya Empu Semirang.
"Sesuai namanya bukankah keris itu akan menjadi sepuh dari semua keris yang
sudah dimiliki Sri Baginda dan Kerajaan Mataram walau usia pembuatannya seolah
bayi yang baru dilahirkan. Namun bahan logam keris tersebut diketahui berusia
hampir seribu tahun dan berasal dari perut kawah Gunung Merapi lapisan ke tujuh.
Itu sebabnya dia menjadi sepuh dari semua keris yang ada di Mataram ini." Empu
Semirang Biru angguk-anggukkan kepala mendengar apa yang diucapkan kakek yang berdiri di hadapannya tanpa menjejak tanah itu.
"Sahabat, kau tahu lebih banyak dari saya tentang keris yang akan saya buat.
Apakah sahabat seorang kepercayaan Sri Maharaja Mataram yang sengaja datang hendak menguji saya" Atau mungkin
saya berhadapan dengan..."
Kakek bersorban kelabu cepat memotong ucapan Empu Semirang Biru.
"Empu Semirang, kerajaan tidak bisa menunggu sampai tujuh hari untuk pembuatan keris bernama Kanjeng Sepuh Pelangi itu..."
"Saya tidak mengerti. Utusan Sri Maharaja sendiri yang memberi tahu kalau saya
harus menyelesaikan pembuatan keris dalam waktu tujuh hari. Sekarang sahabat
mengata- kan kerajaan tidak bisa menunggu sampai tujuh hari. Apakah saat ini saya berhadapan dengan utusan Sri Maharaja Mataram yang datang
membawa perintah baru. Tapi bagaimana saya tahu kalau..."
"Empu, ketahuilah. Keadaan telah berubah. Akan terjadi satu petaka besar menimpa
Bhumi Mataram. Malapetaka itu diperkirakan akan muncul dalam waktu tujuh hari dari sekarang.
Itu sebabnya Sri Maharaja meminta agar sahabat menyelesaikan pembuatan keris
dalam waktu lebih cepat. Tiga hari, tidak boleh lebih..."
"Kalau itu perintah Sri Maharaja Mataram akan saya lakukan. Tapi bagaimana saya
bisa memastikan kalau itu memang perintah beliau sementara saya masih belum tahu
siapa sahabat ini adanya. Sahabat, saya juga sangat ingin mengetahui, malapetaka
apakah yang akan terjadi di Bhumi Mataram" Kemudian bagaimana mungkin saya mampu
membuat sebilah keris hanya dalam waktu tiga hari..."
Tubuh kakek berjubah kelabu perlahan-lahan turun ke bawah hingga akhirnya kedua
kaki berkasut menginjak tanah. Begitu dua kaki menginjak tanah, Empu Semirang
Biru merasakan ada hawa aneh menjalar ke dalam tubuh dan berakhir di ujung
sepuluh jari tangannya.
"Empu Semirang, mengenai siapa diri saya kau boleh menganggap saya adalah utusan
Sri Maharaja Mataram.
Mengenai malapetaka yang akan terjadi, kelak akan kau ketahui tak lama setelah
keris Kanjeng Sepuh Pelangi selesai kau buat. Lalu mengenai bagaimana mungkin
dapat membuat keris tersebut dalam waktu tiga hari, saya harap sahabat mau
melakukan apa yang akan saya katakan." Empu Semirang Biru menatap wajah orang yang berdiri di hadapannya dengan hati
terus bertanya-tanya.
"Sahabat Empu Semirang, tebarkan bunga tujuh rupa di atas bara menyala..."
Empu Semirang Biru terdiam namun perlahan-lahan dia menggerakkan tangan,
mengambil bunga tujuh rupa di dalam keranjang bambu lalu menebarkan di atas tumpukan bara menyala. Aneh! Semua kembang yang ditebar mengambang sejarak setengah
jengkal dari atas bara menyala!
"Sekarang ulurkan dua tanganmu. Masukkan dan benamkan ke dalam bara yang
menyala." Tentu saja ucapan kakek bersorban kelabu membuat Empu Semirang terkejut. Namun
orang tua muka tengkorak ini masih bisa tersenyum dan berkata.
"Sahabat, apakah tidak keliru pendengaran saya...?"
"Kau telah mendengar. Sekarang lakukan apa yang saya katakan."
"Sahabat, saya bukannya takut memasukkan tangan ke dalam bara menyala. Namun
kalau saya menurutkan perintahmu, kedua tangan saya akan hancur leleh sampai ke
tulang. Maka saya tidak akan mungkin meneruskan pembuatan keris Kanjeng Sepuh
Pelangi." "Memang begitu jalan pikiran dalam dunia nyata.
Namun di balik kenyataan ada yang lebih nyata. Yaitu Kuasa Para Dewa. Sahabat
jangan membuat saya menunggu terlalu lama. Segera masukkan kedua tanganmu ke bawah tumpukan bara
menyala. Para Dewa akan memberkatimu."
Empu Semirang Biru tarik nafas dalam. Dalam hati dia mengucap.
"Sang Hyang Jagat Bathara, saya mohon perlindunganMu. Kalau memang begini harus kejadiannya maka itulah yang harus saya lakukan."
Orang tua bermuka tengkorak ini pejamkan kedua mata lalu tanpa ragu-ragu Empu
Semi- rang Biru masukkan kedua tangannya sampai pergelangan ke dalam tumpukan bara
menyala merah! Wusss! Asap putih mengepul dari tumpukan bara menyala.
Menerbangkan bunga tujuh rupa yang mengambang di udara. Asap dan kembang-kembang
kemudian lenyap tak berbekas.
Ketika dua tangannya masuk ke dalam tumpukan bara menyala, dua tangan itu tidak
cidera, apa lagi leleh. Empu Semirang tidak merasa sakit dan tidak merasa panas.
Malah dia merasa sejuk pada kedua tangannya. Apa yang terjadi. Mengapa bisa
begini" Perlahan-lahan sang Empu buka kedua matanya. Dia memandang dengan perasaan heran
luar biasa. Dia melihat sendiri bagaimana dua tangannya kiri kanan sampai ke pergelangan menyusup
masuk ke dalam tumpukan bara merah menyala. Tetapi dia sama sekali tidak merasa
sakit. Malah merasa sejuk. Dua tangannya sama sekali tidak hancur atau leleh!
"Kuasa Dewa telah berlaku. Empu Semirang, sekarang tarik keluar dua tanganmu
dari dalam bara menyala."
Mendengar perintah orang berjubah kelabu Empu Semirang Biru perlahan-lahan tarik
kedua tangan, dikeluarkan dari dalam bara menyala.
Astaga! Muka tengkorak sang Empu berubah. Sepasang mata menatap tak berkesip.
Walau tidak merasa sakit namun dia melihat bagaimana kedua tangannya mulai dari
pergelangan sampai ke ujung jari telah berubah menjadi merah menyala,
memancarkan hawa panas luar biasa.
"Sahabat, apa yang terjadi dengan dua tanganku...?"
Walau tetap tenang namun bagaimanapun juga nada suara Empu Semirang Biru
membayangkan rasa khawatir.
"Empu sahabatku, tidak usah takut Dengan Kuasa Dewa, dua tanganmu kini memiliki
kekuatan dan kemampuan luar biasa. Kini untuk membuat keris Kanjeng Sepuh Pelangi kau tidak lagi
memerlukan palu, japitan, bantalan besi maupun bara menyala untuk menggarang
besi bahan pembuat keris. Kau cukup mempergunakan dua tanganmu untuk melakukan
semua itu. Dan kau akan mampu menyelesaikan pekerjaan dalam waktu tiga hari. Kekuatan dahsyat yang ada di
tanganmu hanya bisa dipergunakan untuk membuat keris. Tidak bisa dipergunakan
untuk pekerjaan lain. Bahkan tangan-tangan yang panas itu tidak akan menciderai
dirimu atau makhluk lain. Kalau kau tak percaya, usapkanlah dua tangan ke
wajahmu." Karena memang sulit untuk percaya Empu Semirang Biru walau agak takut-takut
usapkan juga dua tangannya ke wajah. Sejuk! Itulah yang dirasakan!


Wiro Sableng 171 Malam Jahanam Di Mataram di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sahabat, saya sangat berterima kasih padamu..."
"Jangan berterima kasih pada saya. Tapi berterima kasih pada Yang Maha Kuasa,"
jawab kakek berjubah sutera kelabu.
Empu Semirang Biru rundukkan tubuh hingga kening menyentuh tanah. Mulutnya
berulang kali menyebut nama Yang Maha Kuasa, menyampaikan terima kasih. Ketika
tubuh diluruskan dan kepala diangkat kembali ternyata kakek bersorban dan
berjubah kelabu tidak ada lagi di hadapannya. "Ah sayang sekali. Aku tidak
mengetahui nama orang tua gagah berjubah kelabu tadi..." Empu Semirang merasa
agak kecewa. Namun cepat-cepat kembali menyebut nama Yang Maha Kuasa berulang kali. Mata menatap batangan besi
yang akan dijadikan bahan utama pembuat keris dan masih tergeletak di atas
bantalan besi. Tangan diulurkan memegang batangan besi. Ketika jari-jarinya mengusap dengan
sedikit menekan, lempengan besi seolah lilin lembut, begitu mudah dibentuk.
"Dewa Bathara Agung, saya insan yang lemah sungguh sangat bersyukur dan
berterima kasih. Engkau telah memberi rakhmat dan kemampuan tiada tara pada
saya... Terima kasih... terima kasih."
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara raungan binatang. Panjang dan menggidikkan. Empu Semirang tercekat sesaat.
"Setahuku tidak pernah ada anjing hutan atau srigala di Gunung Bismo ini.
Makhluk apakah yang tadi meraung...?"
Orang tua ahli pembuat senjata ini memandang ke arah kegelapan di kejauhan. Dia
lalu menatap ke langit dan kembali tercekat. Di langit biru gelap tak berbintang
tam- pak sama-samar awan kelabu berbentuk lingkaran besar.
Di kejauhan, sekali lagi terdengar suara raungan panjang.
Awan kelabu berbentuk lingkaran perlahan-lahan sirna.
"Mudah-mudahan dugaanku keliru. Tapi aku
mendengar suara dan melihat pertanda tidak baik. Aku harus segera mengerjakan
pembuatan keris ini..."
Tidak menunggu lebih lama, saat itu juga Empu Semirang Biru dengan sepuluh jari tangan merah menyala dan memancarkan hawa panas
luar biasa mulai bekerja.
Batangan besi berusia seribu tahun bahan dasar pembuatan keris ditarik hingga berubah panjang tiga jengkal.
Salah satu ujung diusap ditekan-tekan hingga menjadi runcing. Batangan besi yang
agak berbentuk bulat itu kemudian ditekan-tekan di antara dua telapak tangan dan
berubah menjadi pipih. Kini batangan besi telah menjadi bentuk dasar sebuah
senjata berupa keris atau pisau.
Setengah terkesiap Empu Semirang memperhatikan hasil pekerjaan yang sulit
dipercaya. Kalau begini kemampuan yang diberikan Dewa padanya, jangankan tiga
hari. Dua haripun rasanya dia sanggup merampungkan membuat keris Kanjeng Sepuh
Pelangi. "Dewa Bathara Agung, ilmu kesaktian yang Kau berikan pada saya sungguh luar
biasa. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih..." Sang Empu membungkuk berulang-ulang. Gerakannya terhenti
ketika tiba-tiba dia merasa ada suara terpaan angin. Memandang ke depan dia
melihat seorang perempuan muda berwajah cantik, berpakaian tipis merah tahu-tahu
telah berdiri di hadapannya.
WIRO SABLENG MALAM JAHANAM DI MATARAM
3 EUMUR hidup belum pernah Empu Semirang Biru
melihat perempuan secantik ini. Untuk beberapa Slama dia diam menatap setengah
terpesona. Apalagi perempuan di hadapannya itu mengenakan pakaian merah yang
demikian tipis hingga aurat di balik pakaian itu terlihat nyaris jelas. Benarkah manusia atau bidadari yang berdiri di depannya itu.
Sadar akan dirinya, si orang tua cepat-cepat tundukkan kepala, alihkan pandangan
pada batangan besi merah menyala yang ada dipegang di tangan kiri.
Perempuan cantik tertawa merdu. Suaranya terdengar selembut buku perindu ketika
menyapa, "Empu Semirang, salam sejahtera untukmu. Kau mengalihkan pandangan
mata. Apakah aku terlihat sebagai satu makhluk yang menyeramkan..."
"Tidak, kau tidak menyeramkan. Harus saya akui seumur hidup baru kali ini aku
melihat perempuan secantik dirimu." Jawab sang Empu polos. "Kau tahu namaku,
sebaliknya aku tidak tahu siapa dirimu. Kau berasal dari mana, apa maksud
keperluanmu datang ke sini. Kalau aku boleh mendapat penjelasan..."
"Orang tua, namaku Sri Padmi Kameswari. Aku berasal dari satu negeri yang jauh,
berada antara bumi dan langit di atas Mataram. Aku terpesat datang ke tempatmu
karena mencium wanginya bau kemenyan di dalam pedupaan, harumnya bunga tujuh
rupa serta kekuatan gaib yang ada pada dirimu dan berpusat pada lempengan besi
merah menyala yang ada di tangan kirimu."
Empu Semirang Biru untuk beberapa lama hanya menatap, tidak mengeluarkan ucapan.
Diam-diam dia mulai menduga-duga.
Perempuan cantik mengaku bernama Sri Padmi Kameswari kembali berkata, "Sampai di sini, melihat dirimu aku sungguh kagum luar
biasa. Kau memiliki sepasang tangan menyerupai bara menyala. Kau memegang batangan besi yang juga merah menyala pertanda panas luar biasa. Aku rasa tidak ada
satu orang lain pun di dunia ini yang memiliki kesaktian seperti dirimu..."
"Sri Padmi, apa yang kau saksikan ini semua adalah kehebatan dan anugerah dari
Dewa. Aku sendiri tetap saja seorang tua renta yang tidak punya ilmu kepandaian
apa-apa..."
"Empu Semirang, kau keliwat merendah diri. Walau kau memencilkan diri di Gunung
Bismo ini, siapa orangnya di delapan penjuru Bhumi Mataram yang tidak tahu nama
dan dirimu. Kalau boleh bertanya, batangan besi apa yang ada di tangan kirimu.
Agaknya kau tengah mengerjakan pembuatan satu senjata yang dapat aku duga
pastilah satu senjata sakti mandraguna..."
"Kau benar, aku memang tengah menempa besi ini untuk dijadikan senjata."
"Luar biasa! Tapi akan lebih luar biasa bila kita berdua bisa saling bantu
membantu..."
"Saling bantu membantu bagaimana maksud Ajeng?"
Tanya Empu Semirang Biru.
Sri Padmi Kameswari mengangkat ke atas pakaian merah tipis yang dikenakannya
hingga menyingsing sampai ke pangkal paha yang putih dan bagus berisi. Empu
Semi- rang cepat melengos membuang muka walau tadi dia sempat melihat ada sebuah benda
hijau berbentuk lempengan besi menempel terikat pada paha kiri perempuan muda itu.
Dengan gerakan yang sengaja dilakukan seperlahan mungkin, Sri Padmi tanggalkan
benang tipis pengikat lempengan besi hijau. Perlahan-lahan pula dia baru menurunkan kembali pakaian yang tadi disingsingkan tinggi-tinggi. Tujuannya adalah
untuk memancing agar si orang tua tergoda memandang, paling tidak melirik
keindahan auratnya.
"Empu Semirang, jangan membuang muka terusterusan. Aku akan menawarkan satu keberuntungan padamu. Itulah yang aku
maksudkan dengan saling bantu membantu."
Tahu kalau perempuan muda itu telah menurunkan pakaiannya menutupi aurat, baru
Empu Semirang memalingkan kepala.
Sambil mengacungkan lempengan besi hijau Sri Padmi berkata. "Empu, besi hijau
ini berasal dari kepundan sebuah gunung di laut utara. Usianya hampir dua ribu
tahun. Jadi jauh lebih tua dari lempengan besi yang Empu pergunakan sebagai
bahan pembuatan senjata. Ini berarti kesaktiannya juga jauh lebih tinggi. Aku
akan menyerahkan besi hijau ini pada Empu dan Empu menyerahkan lempengan besi yang Empu pegang itu kepada saya. Sebagai tambahan saya akan
memberikan sekantung batu permata yang harganya sama dengan kursi emas tahta
Raja Mata- ram." Kalau tadi Sri Padmi menyingsingkan bagian bawah pakaiannya untuk mengambil
lempengan besi hijau maka kini tanpa rasa jengah dia membuka lebar-lebar bagian
atas dada pakaiannya. Dari antara celah dua payudaranya si cantik ini kemudian
mengambil sebuah kantong kain berwarna kuning. Lalu dalam keadaan dada masih
tersing- kap dia membungkuk, meletakkan kantong kain di hadapan Empu Semirang. Ikatan kantong dibuka hingga terlihat isinya yaitu setumpuk
batu permata serta tiga batangan emas. Lempengan besi hijau diletakkan di
samping kanan kantong kain.
Sambil tersenyum dan menutup pakaiannya sebelah atas Sri Padmi berucap, "Empu
tidak mengatakan apa-apa.
Apakah itu satu pertanda bahwa Empu menyetujui maksudku saling bantu membantu" Kalau begitu saya harap Empu mau menyerahkan
lempengan besi biru di tangan kiri Empu."
"Sri Padmi, maafkan diriku. Aku tidak mungkin menerima tawaranmu. Betapapun luar biasanya besi hijau itu namun aku tidak mungkin
menukar dengan besi biru yang masih menyala ini. Besi ini amanat orang. Aku
tidak boleh menukarnya dengan benda apapun, sekalipun satu gunung emas..."
"Empu, apakah Empu tidak menyadari kalau aku memberikan satu keuntungan besar padamu" Kau tidak akan merugi karena menukar besi
biru dengan besi hijau. Selain itu kau kini memiliki pula sekantong benda
berharga. Kalau ada yang memberimu gunung emas, bagaimana mungkin kau akan
mengangkatnya" Hik... hik... hik." Sri Padmi tertawa cekikikan.
"Maafkan saya Ajeng. Saya tidak bisa menerima permintaan Ajeng. Silahkan ambil kembali besi hijau sakti dan kantong itu..."
Sri Padmi Kameswari masih belum mau mengalah. Dia duduk seenaknya, setengah
mencangkung di hadapan sang Empu.
"Empu..." Ucap Sri Padmi dengan suara lembut sambil tangan kanan diletakkan di
atas lengan kiri Empu Semirang yang memegang besi merah menyala. "Kalau harta sekantong itu masih belum
ada artinya, aku siap memberi imbalan yang lain. Apapun yang Empu minta..."
"Ajeng... maafkan aku. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Saat ini aku harus cepat memulai pekerjaan.
Pertemuan kita cukup sampai di sini..."
"Empu Semirang, aku tahu. Selain sakti Empu juga seorang berhati polos dan
jujur. Harap Empu mau mempercayai saya. Kita saling bertukar lempengan besi. Lalu..."
Empu Semirang gelengkan kepala.
"Empu..." Sri Padmi eluskan tangannya di lengan si orang tua. "Seperti kataku
tadi, apapun imbalan yang Empu minta akan aku berikan. Termasuk diri saya..."
"Ajeng, dengan segala hormat aku minta Ajeng segera meninggalkan tempat ini..."
Sri Padmi masih belum mau surut. Dengan gerakan sangat cepat dia tanggalkan
pakaian merahnya. Dalam keadaan tidak selembar benangpun menutupi aurat dia
kemudian duduk di pangkuan Empu Semirang dan memeluk orang tua ini.
Sekujur tubuh si orang tua bergetar hebat!
"Cukup! Lekas kau pergi dari sini!" bentak Empu Semirang. Sri Padmi tertawa merdu. "Empu, berikan lempengan besi itu padaku. Diriku akan
menjadi milikmu selama-lamanya..."
Tiba-tiba tangan kanannya bergerak menyambar ke arah lempengan besi menyala di
tangan kiri Empu Semirang. "Perempuan kurang ajar!" Rutuk Empu Semirang.
Sekali dia bergerak, tubuhnya yang dalam keadaan duduk di atas tikar melesat ke
udara. Kaki kanan menendang hingga Sri Padmi Kameswari terpental. Empu Semirang
terkejut sendiri. Dari mana dia memiliki ilmu kepandaian silat hingga mampu
melompat dan menendang!
"Empu, kita masih ada waktu untuk bicara. Jangan perturutkan kemarahanmu. Aku
tidak berniat jahat padamu. Aku justru pasrah menyerahkan diri..." Sri Padmi kembangkan dua kakinya.
"Makhluk jahanam! Perlihatkan dirimu sebenarnya!"
Bentak Empu Semirang.
Sri Padmi terpekik lalu tertawa panjang. Tawa yang terdengar menggidikkan.
Dengan sikap penuh menggoda dia geliatkan pinggul lalu melangkah mendekati sang
Empu. Tiba-tiba gadis ini melompat sambil tangan berusaha merampas lempengan besi yang dipegang si orang tua. Namun Empu Semirang
memukul sambaran tangan itu dengan tangan kanan.
Buukkk! Tangan kanan merah menyala Empu Semirang beradu keras dengan lengan kanan Sri
Padmi Kameswari.
WIRO SABLENG MALAM JAHANAM DI MATARAM
4 RI PADMI menjerit keras ketika, desss...! Kraak!
Lengan kanannya yang kena dipukul berderak dan Sberubah hangus mengepulkan asap.
Empu Semirang sendiri terkejut tidak menyangka. Dia merasa menyesal telah
melakukan pukulan. Seperti yang telah dibuktikannya sendiri, walau tangan itu
telah menjadi bara membara dan panas luar bisa namun ketika dipakai mengusap
wajah, dia sama sekali tidak mengalami cidera sedikitpun. Mengapa sekarang
ketika memukul perempuan muda cantik itu pukulannya mendatangkan petaka"
"Ini pasti kuasa Dewa..." Empu Semirang membatin.
Dalam menahan sakit yang amat sangat, Sri Padmi Kameswari berteriak, "Orang tua
celaka! Kau tidak akan pernah melihat fajar menyingsing besok pagi! Kau akan
mampus dan lempengan besi itu akan menjadi milikku!
Rohmu akan tergantung antara langit dan bumi! Ha... ha...
ha! Mataram akan dilanda bencana! Negeri itu akan menjadi neraka! Semua orang
akan menemui ajal secara mengerikan!"
Suara lembut perempuan muda cantik itu berubah menjadi keras dan kasar parau.
Wuss! Satu kilatan cahaya berwarna hitam keluar dari dalam tubuhnya. Di lain kejap
sosok Sri Padmi Kameswari berubah dahsyat mulai dari kepala sampai ke kaki. Pakaian yang tadinya jubah merah
tipis kini masih berbentuk jubah tapi terbuat dari kain tebal hitam. Rambut yang
sebelum- nya hitam legam berkilat kini tampak kasar awut-awutan seperti ijuk. Wajah yang
cantik jelita berganti menjadi wajah jelek seorang nenek keriput. Di keningnya
terlihat delapan benjolan sebesar ujung ibu jari berwarna merah dan selalu
mengepulkan asap. Tubuh yang tadi elok kini kelihatan kurus kering dan bungkuk.
Ketika menyeringai kelihatan deretan gigi hitam bercaling. Sepuluh jari tangan
berubah menjadi paku besar berwarna hitam, memancarkan sinar menggidikkan.
"Makhluk terkutuk! Katakan siapa kau sebenarnya.
Siapa yang mengutus dirimu datang untuk berbuat kejahatan di tempat ini!"
Sri Padmi Kameswari kembali tertawa panjang. Tawanya tidak lagi semerdu sebelumnya tapi angker menggidikkan. "Namaku Gendeng Pakumati. Aku datang memang
untuk berbuat kejahatan. Merampas lempengan besi yang hendak kaujadikan keris.
Kalau kau bertanya siapa yang mengutus diriku maka aku adalah utusan dari alam
arwah! Ha... ha... ha!"
Selesai berucap dan tertawa bekakakan Sri Padmi Kameswari alias Gendeng Pakumati
kembangkan sepuluh jari lalu dijentikkan ke arah Empu Semirang. Sepuluh paku
hitam melesat, menyerang sepuluh bagian tubuh sang Empu.
Empu Semirang Biru adalah seorang yang ahli dalam membuat senjata. Kalau dia
memiliki ilmu kesaktian maka ilmu itu adalah hanya sebatas untuk membuat
senjata. Dia sama sekali tidak memiliki ilmu silat ataupun ilmu sakti untuk
bertarung. Bahkan tenaga yang dimiliki hanya tenaga luar atau tenaga kasar.
Bukan tenaga dalam mengandung hawa sakti. Ketika sepuluh paku dengan ganas
menyam- bar ke arahnya tentu saja orang tua ini tidak kuasa untuk mengelak apalagi
menangkis. Dalam keadaan seperti itu si orang tua sama sekali tidak merasa takut
sekalipun dia akan menemui ajal. Yang dikhawatirkannya adalah bagaimana dia harus menyelamatkan lempengan besi cikal bakal keris Kanjeng Sepuh
Pelangi. Hanya beberapa saat lagi paku-paku maut itu akan menghajar Empu Semirang Biru
tiba-tiba lempengan besi merah menyala di tangan kiri orang tua ini melesat ke
udara, menderu dari kiri ke kanan. Sembilan cahaya aneh berkiblat membentuk sisi
lingkaran besar, tidak beda dengan taburan pelangi di langit luas. Lalu


Wiro Sableng 171 Malam Jahanam Di Mataram di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdengar suara bedentrangan sepuluh kali berturut-turut. Sepuluh paku hitam
hancur berkeping-keping, luruh ke tanah. Empu Semirang tertegun tercengangcengang. Setelah melindungi sang Empu dari serangan maut, lempengan besi merah menyala
melesat ke bawah dan menyusup ke dalam genggaman tangan kanan si orang tua.
Ketika Empu Semirang memandang ke depan, sosok Sri Padmi Kameswari alias Gendeng
Pakumati tak ada lagi.
"Makhluk jahat. Dia pergi begitu saja. Meninggalkan lempengan besi hijau sakti
dan sekantung perhiasan..."
Ketika Empu Semirang memperhatikan, orang tua ini terkejut dan ada rasa tak
percaya. Agar lebih jelas dia membungkuk memeriksa. Ternyata lempengan besi
hijau telah berubah menjadi potongan bambu. Puluhan batu permata di dalam
kantong kain kini hanya merupakan batu kerikil dan tiga batangan emas berubah
menjadi besi butut karatan!
Empu Semirang Biru hela nafas dalam berulang kali lalu letakkan lempengan besi
merah di atas kening sambil mulut berkata.
"Kanjeng Sepuh Pelangi. Dirimu belum lagi berbentuk sebilah keris namun kau
telah mampu menyelamatkan diri saya. Terima kasih Kanjeng. Terima kasih wahai
Para Dewa di Swargaloka...
Empu Semirang memandang berkeliling. Setelah memastikan bahwa nenek jahat tadi
benar-benar telah meninggalkan tempat itu maka dia kembali duduk di atas
bantalan jerami kering untuk melanjutkan lagi pembuatan keris sakti.
WIRO SABLENG MALAM JAHANAM DI MATARAM
5 ARI pasar di Demak sekali ini tidak seperti biasanya, lebih ramai dari yang
sudah-sudah. Penyebabnya Hhari itu ada pertunjukan Kuda Lumping Cahaya Utara
pimpinan Ki Sugeng Jambul dari Semarang. Ketika Pendekar 212 Wiro Sableng sampai
ke tempat itu seorang anak perempuan cantik belia berusia empat belas tahun,
berdandan menor mencorong tengah menunjukkan kebolehannya. Sambil mengunyah sirih gadis ini berjalan berkeliling, melompat-lompat, menunggang kuda lumping terbuat dari kajang. Tambur
dan terompet saling berebut riuh keras-kerasan, ditingkah suara kerincingan
perak di kedua kaki dan tangan si gadis. Ketika mata gadis ini mulai membeliak
terbalik-balik dan mulut meracau tak karuan pertanda dia mulai kesurupan,
seorang lelaki berpakaian hitam berjambul tinggi, sambil memegang cemeti mendekat dari belakang. Lelaki separuh baya ini adalah Ki Sugeng Jambul, pimpinan
rombongan kuda lumping.
Seorang pemuda gagah berambut panjang mendatangi dari arah depan membawa
sebatang semprong kaca lampu minyak di tangan kanan dan bendera merah berbentuk
segi tiga di tangan kiri.
Ki Sugeng Jambul putar cemeti di udara. Cemeti menderu keras. Tiba-tiba taar... taar! Cemeti dicambukkan ke punggung si gadis.
Brett! Breett! Pakaian si gadis robek di dua tempat. Asap mengepul.
Namun kulit punggungnya sama sekali tidak cidera. Malah sambil terus melompatlompat mengelilingi kalangan pertunjukan gadis ini mulai menyanyi-nyanyi kecil dan sesekali tertawa cekikikan.
Cairan merah daun sirih campur kapur, tembakau dan pinang meleleh membasahi
dagunya. Ki Sugeng Jambul mencambuk lagi sampai empat kali lalu menari-nari
mengelilingi si gadis yang menunggang kuda lumping.
Pemuda di hadapan si gadis tiba-tiba mengacungkan semprong kaca. Tangan kiri
mengibar-ngibarkan bendera merah segi tiga.
"Ni Gatri. Saatnya makan siang! Makan! Makan sampai habis!"
Semprong kaca disusupkan ke dalam tangan kanan si gadis yang saat itu
menggoleng-goleng kepala, melenggak-lenggok pinggul. Sesaat kemudian sambil
terus bernyanyi gadis pemain kuda lumping bernama Ni Gatri ini mulai menggigit
ujung semprong.
Kraakk! Ujung semprong rontok. Kaca masuk ke dalam mulut.
Terdengar suara kerauk-kerauk keras ketika pecahan kaca semprong dikunyah
seperti enaknya orang mengunyah kerupuk.
"Makan! Habiskan!" Kembali pemuda yang tadi memberikan semprong kaca berseru sambil mengebut-ngebut bendera.
Ni Gatri masukkan semprong kaca ke dalam mulut.
Digigit lalu, krauk! Semprong berderak patah dan Ni Gatri kembali komat-kamit
mengunyah pecahan kaca. Sepasang mata meram melek seolah-olah dia tengah
menyantap makanan sangat sedap. Suara terompet dan tambur semakin menjadi-jadi.
Semprong utuh akhirnya habis dimakan Ni Gatri.
Suara terompet dan tambur mereda sedikit. Saat itu seorang anggota pertunjukan
menyeret sebuah papan besar berbentuk empat persegi ke tengah kalangan.
Seluruh permukaan papan ini ditancapi puluhan paku sepanjang tiga perempat
jengkal. Di antara paku-paku runcing ditebar pecahan beling.
Bersamaan dengan melengking keras tiupan terompet serta menggelegar tabuhan
tambur, Ni Gatri melompat ke udara. Kuda lumping dari kajang dilempar. Setelah
berpu- tar di udara beberapa kali kuda lumping ini lalu ditangkap oleh Ki Sugeng
Jambul. Kuda lumping kemudian diserahkan pada salah seorang anak buahnya. Ni Gatri sendiri saat itu menari-nari
mengelilingi papan berpaku. Setiap satu kali putaran kepala didongakkan lalu
mulut mengum- bar tawa panjang. Orang-orang yang menonton kalau tadi bertepuk tangan kini
tampak berdiri hening, mata tak berkesip. Mereka ingin menyaksikan apa yang
kemudian akan dilakukan oleh si gadis kembang pertunjukan.
Ki Sugeng Jambul usap mukanya dua kali dengan tangan kiri. Mulut komat-kamit
membaca mantera. Cemeti dipecut ke udara hingga mengeluarkan suara menggelegar
seperti petir menyambar. Pecutan cemeti ini merupakan tanda bagi Ni Gatri untuk
segera melompat ke atas papan yang ditancapi puluhan paku serta tebaran beling.
Tiupan terompet dan tabuhan tambur berubah perlahan. Semua orang menahan nafas,
menatap dengan mata tidak berkedip. Ni Gatri berteriak keras. Bersamaan dengan
itu dia melompat. Tubuhnya yang padat elok sesaat mengapung di udara lalu dengan cepat melayang turun. Dua kaki mengarah papan
berpaku! Hanya beberapa jengkal lagi telapak kaki gadis berusia empat belas tahun itu
akan bersentuhan dengan paku tiba-tiba entah dari mana datangnya satu cahaya
putih berke- lebat di udara lalu masuk ke dalam tubuh Ni Gatri. Kejap itu juga tubuh Ni Gatri
naik lagi ke atas lalu jungkir balik.
Ketika melayang turun kepalanya lebih dulu mengarah puluhan paku yang menancap
di papan. Orang banyak berteriak tegang dan ngeri! Orang yang memiliki kepandaian tertentu akan segera mengetahui bahwa gerakan yang tadi dibuat Ni Gatri
bukan gerakan pertunjukan. Tapi ada satu kekuatan yang membuat tubuhnya jungkir
balik tak karuan di udara lalu jatuh ke bawah dengan kepala lebih dulu!
Melihat hal ini Ki Sugeng Jambul berteriak keras.
"Tahan! Hentikan pertunjukan! Ada orang luar hendak mencelakai Ni Gatri!"
Suara terompet dan tabuh serta merta berhenti. Orang banyak berseru tegang.
Semua anggota perkumpulan sama membaca mantera penolak bahala. Sementara Ki
Sugeng Jambul dengan cepat melesat ke depan untuk selamatkan Ni Gatri. Namun dia
kalah cepat. Satu bayangan putih mendahului gerakannya, menyambar tubuh Ni Gatri lalu gadis itu
dibaringkan di tanah di tepi kalangan pertunjukan.
Orang banyak mengerubung, ingin tahu bagaimana keadaan Ni Gatri. Saat itu Ni
Gatri terbaring di tanah dengan mata terpejam. Dada sesak turun naik, nafas
megap-megap. Kunyahan sirih bercampur cairan kental berwarna merah meleleh di
sudut bibir kiri kanan. Ki Sugeng Jambul menyeruak di sela-sela kerumunan orang
banyak. Dia segera memeriksa keadaan Ni Gatri.
"Gadis ini tidak apa-apa. Tidak ada orang jahat yang hendak mencelakainya.
Cahaya putih satu pertanda bahwa yang tadi masuk ke dalam tubuhnya adalah roh
baik-baik..." kata seorang pemuda.
Ki Sugeng Jambul angkat kepala, berpaling ke arah orang yang bicara. Seorang
pemuda berambut gondrong, berikat kepala dan berpakaian serba putih. Pemuda tak
dikenalnya ini tentu saja adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang sebelumnya ikut menonton pertunjukan kuda lumping.
"Anak muda, aku tahu kau yang barusan menolong gadis ini. Untuk itu aku sangat
berterima kasih. Kalau aku boleh bertanya siapakah adanya dirimu. Lalu bagaimana
kau tahu tidak ada orang berniat jahat. Bahwa ada roh baik-baik masuk ke dalam
tubuhnya. Padahal aku dan semua orang di sini jelas-jelas melihat kepala Ni
Gatri hampir saja amblas ditancap puluhan paku!"
Murid Sinto Gendeng diberondong pertanyaan seperti itu garuk-garuk kepala lebih
dulu baru menyahut, "Aku, aku hanya seorang pengelana yang kebetulan lewat di
pasar ini. Aku tertarik dengan pertunjukan kuda lumpingmu.
Mengenai roh baik-baik itu, dugaanku berdasarkan cahaya putih yang masuk ke
dalam tubuh gadis ini. Kalau roh jahat warnanya pasti tidak putih. Buktinya anak
buahmu ini tidak cidera, tidak menyemburkan darah. Keadaannya hanya pingsan
karena terkejut dan takut. Sebentar lagi dia pasti siuman."
Sebenarnya Wiro mengetahui apa yang terjadi dengan si gadis. Sebelum cahaya
putih berkiblat masuk ke dalam tubuh Ni Gatri, lebih dulu ada sekilas cahaya
hitam me- nyambar. Cahaya hitam itu memiliki kekuatan jahat yang bisa membuat sekujur
tubuh si gadis menjadi hangus. Lalu muncul cahaya putih memusnahkan kekuatan
jahat caha- ya hitam. Di saat yang bersamaan sosok si gadis sudah keburu melayang jatuh ke
bawah. Semua apa yang dilihatnya itu tidak diceritakan Wiro pada Ki Sugeng Jambul.
Khawatir akan tambah merusak suasana.
Wiro letakkan telapak tangan kirinya di atas kening Ni Gatri. Hawa sakti sejuk
dialirkan. Sesaat kemudian gadis itu tampak menggerakkan kepala lalu ada tarikan
nafas panjang. Menyusul mata yang terpejam dibuka. Begitu memandang, yang
pertama sekali dilihatnya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Si gadis tersenyum.
"Kau..." Ucap Ni Gatri. "Akhirnya kutemui juga dirimu..."
Wiro mengerenyit, kepala digaruk.
Ki Sugeng Jambul dan semua anak buahnya terheran-heran mendengar ucapan Ni
Gatri. Ni Gatri bangkit lalu duduk bersimpuh di tanah. Sepasang matanya tidak beralih dari memperhatikan Pendekar 212.
Ki Sugeng Jambul dan semua anggota pertunjukan kuda lumping saling pandang.
Suara yang keluar dari mulut Ni Gatri bukan suara si gadis. Tapi suara lakilaki. Suara seorang kakek-kakek. Wiro sendiri diam-diam juga merasa heran. Dia
ingat pada cahaya putih yang masuk belakangan ke tubuh Ni Gatri.
"Ni Gatri, apa yang terjadi. Mengapa suaramu berubah.
Apa kau kenal dengan pemuda ini?" Bertanya Ki Sugeng Jambul.
"Ki Sugeng, saya memang tidak mengenal pemuda ini.
Tapi saya yakin dialah orangnya." Ni Gatri menjawab dengan suara anehnya.
"Orangnya apa" Siapa dia Ni Gatri?" tanya Ki Sugeng Jambul heran dan tidak
mengerti. Seorang tua bermata belok, berdestar merah dan menyandang sarung, menyeruak di
antara kerumunan orang banyak lalu mendekati Ki Sugeng Jambul dan berkata, "Ki
Sugeng, saya curiga. Jangan-jangan pemuda berambut gondrong ini yang punya
pekerjaan. Dia mencelakai Ni Gatri lalu pura-pura menolong. Dia pasti punya maksud jahat yang
tersembunyi..."
Mendengar ucapan orang tanpa berpikir lagi Ki Sugeng Jambul langsung percaya.
Dia pandangi Wiro dengan mata melotot. Sementara Wiro sendiri delikkan mata pada
kakek bermata belok yang barusan bicara pada Ki Sugeng Jambul. "Anak muda, apa niat yang ada dalam dirimu. Hendak mencelakai Ni Gatri lalu
pura-pura menolongnya!"
Pendekar 212 jadi kesal mendengar ucapan Ki Sugeng Jambul. "Ki Sugeng, kalau aku
memang hendak mencelakai anak buahmu, apa perlunya aku kemudian menyelamatkannya" Apa kau kira aku orang goblok seperti dirimu"!"
Wajah Ki Sugeng Jambul kelihatan merah. Namun dia menjawab juga. "Karena kau
pasti punya niat jahat tersembunyi!"
Wiro geleng-geleng kepala lalu bangkit berdiri. Ni Gatri ikut berdiri. Ki Sugeng
juga buru-buru berdiri.
"Jangan kau berani pergi dari sini sebelum aku tahu siapa kau sebenarnya dan
mempertanggungjawabkan perbuatanmu!"
"Tidak ada yang harus aku pertanggungjawabkan. Kau sendiri tadi mengucapkan
terima kasih karena aku telah menolong gadis itu. Sekarang gara-gara ucapan
kakek bermata bongsang itu kau punya pikiran yang bukan-bukan terhadapku! Lebih
baik kau urus gadis itu. Usianya masih terlalu muda untuk kau pekerjakan sebagai
pemain kuda lumping! Dia bekerja keras bahkan menyabung nyawa.
Sementara kau yang dapat uang banyak!"
Wiro memutar tubuh siap untuk pergi. Namun Ki Sugeng Jambul yang saat itu
menjadi marah mendengar ucapan murid Sinto Gendeng putar lengannya yang memegang cambuk. Ujung cambuk menggelegar di udara mengeluarkan percikan api pertanda gerakan yang dilakukan mengandung aliran tenaga
dalam cukup tinggi. Ki Sugeng Jambul sekali lagi gerakkan lengan.
Seetttt! Cambuk dengan kecepatan luar biasa tahu-tahu sudah melibat Pendekar 212 mulai
dari bahu sampai ke pergelangan kaki hingga dia tidak mampu bergerak lagi.
Wiro tertawa cengengesan. Dalam hati dia berkata, "Ki Sugeng, kalau aku membalas
perbuatanmu ini, melepas libatan cambuk lalu memasukkannya ke lobang hidungmu
dan keluar dari lobang pantat baru kau tahu rasa!"
Ni Gatri maju satu langkah. Matanya menatap ke dada Wiro tajam-tajam. Dalam hati
gadis ini membatin, "Memang dia orangnya. Aku melihat pancaran cahaya senjata mustika itu ada di dalam
tubuhnya..."
Ni Gatri lalu ulurkan tangan kanan. Lima jari dijentikkan. Lima sambaran angin berdesir.
Dess! Cambuk yang melibat Wiro putus secara bersamaan di lima tempat. Ki Sugeng Jambul
berseru kaget. Tidak bisa percaya Ni Gatri mampu dan memiliki ilmu untuk melakukan hal itu. Wiro juga merasakan hal yang sama. Ada satu kekuatan dahsyat dalam
tubuh Ni Gatri yang bukan saja telah melindunginya tapi juga memberi kemampuan
untuk melakukan hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh tokoh silat berkepandaian
tinggi. "Paman, jangan ganggu pemuda itu. Biarkan dia pergi dari sini..." Kata-kata itu
meluncur keluar dari mulut Ni Gatri dan lagi-lagi merupakan suara kakek-kakek.
"Ni Gatri! Apa yang terjadi dengan dirimu Mengapa kau bicara begitu"!"
"Pemuda berambut gondrong ini telah memasukkan roh jahat ke dalam tubuh Ni
Gatri! Semua orang menjauh cepat! Sebentar lagi tubuh gadis ini akan meledak!"
Ber- kata kakek berdestar merah. Ucapannya membuat semua orang menjadi gempar dan
cepat menjauh. Sebaliknya Ni Gatri malah melangkah mendekati orang tua berdestar merah ini.
Tangan kirinya menuding, "Kaulah pembawa roh jahat itu! Kau yang hendak
memasukkan angkara murka ke dalam tubuhku. Tapi Dewa Penguasa Jagat melindungi
diriku, menghancurkan kejahatanmu!
Sekarang tinggalkan tempat ini atau kau akan kujadikan mahluk paling hina di
muka bumi ini!"
Kakek berdestar tertawa. Ketika tertawa mulutnya terbuka, dan astaga! Kelihatan
dia memiliki lidah panjang merah dan bercabang dua! "Tidak hari ini masih banyak
hari lain kau akan menerima celaka!"
Selesai keluarkan ucapan orang tua itu siap berkelebat pergi namun Ni Gatri
tusukkan telunjuk tangan kirinya yang sejak tadi menuding.
Wutt...! Selarik cahaya biru membentuk garis panjang menderu.
Ujungnya tepat mendarat di pertengahan kening si kakek.
Didahului jeritan keras yang kemudian berubah menjadi suara lolongan anjing,
sosok si kakek lenyap. Di tempat itu kini kelihatan seekor anjing hitam, kurus
kering dan kulitnya penuh koreng budukan Di keningnya ada delapan benjolan sebesar ujung jari
telunjuk berwarna merah.
Semua orang yang ada di tempat itu menjadi gempar!
"Makhluk celaka! Kau telah menerima kutukan Dewa!
Sekarang pergi dari sini!" Ni Gatri berteriak keras lalu menendang dengan kaki


Wiro Sableng 171 Malam Jahanam Di Mataram di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kanan. Dukkk! Anjing hitam buduk perubahan sosok kakek berdestar merah mencelat mental. Sambil
terkaing-kaing kesakitan binatang ini menghambur lari, menyelinap di antara kaki
orang banyak dan lenyap ke arah timur.
Di saat bersamaan selarik cahaya putih berkelebat keluar dari tubuh Ni Gatri. Ni
Gatri jatuh terduduk di tanah.
Mukanya pucat. Seluruh wajah dan tubuh basah oleh keringat. Gadis ini memandang
berkeliling. Ketika melihat Ki Sugeng Jambul dia berkata, "Paman, dada saya
sakit. Tolong... Mana kakak tadi?" Suara Ni Gatri sekarang kembali ke suara aslinya.
Suara anak perempuan usia empat belas tahun. Bukan lagi suara aneh kakek-kakek.
Beberapa teman Ni Gatri cepat menolong gadis ini berdiri. Ki Sugeng Jambul
memandang berkeliling. Pemuda gondrong berpakaian putih yang tadi menyelamatkan
Ni Gatri dilihatnya tak ada lagi di tempat itu.
WIRO SABLENG MALAM JAHANAM DI MATARAM
6 AK LAMA meninggalkan Demak, akhirnya Wiro sampai di sebuah lembah. Cahaya
matahari yang terik serasa Tmembakar jagat. Wiro ingin beristirahat dulu barang
sebentar. Dia pergi duduk di bawah kerindangan sebatang pohon randu. Di
hadapannya terbentang pesawahan luas.
Padi menguning, bergoyang-goyang seperti ombak ketika angin bertiup. Di ujung
pesawahan menjulang gunung biru kehijauan.
Angin bertiup sepoi basah. Hawa sejuk membuat murid Sinto Gendeng duduk melunjur
terkantuk-kantuk. Namun dia tidak bisa memejamkan mata walau untuk sesaat.
Peristiwa di Demak seolah terbayang di pelupuk matanya.
"Gadis pemain kuda lumping itu. Dia kemasukan roh putih. Ketika dia menatap ke
arahku pandangannya aneh.
Mulut berucap. Suaranya bukan suara perempuan. Tapi suara laki-laki. Suara
seorang tua. Kau... Akhirnya kutemui juga dirimu. Lalu ketika dia bicara dengan
lelaki bernama Ki Sugeng itu, dia mengatakan, Ki Sugeng saya memang tidak
mengenal pemuda ini. Tapi saya yakin dialah orangnya. Aneh, apa arti semua ucapan gadis yang kemasukan roh putih itu. Ada apa
dengan diriku. Roh putih di dalam tubuhnya agaknya menguasai jalan pikiran dan
mengatur setiap ucapan. Dari ucapan gadis itu agaknya ada orang tengah mencari
diriku. Aku harus menyelidik siapa dan dari mana berasalnya roh itu..."
Selagi mengingat-ingat kejadian di pasar di Demak itu tiba-tiba ada suara
berkerincingan dan jeritan perempuan minta tolong. Lalu ada suara anjing
menggonggong. "Siang bolong dikejar anjing! Ada-ada saja! Wiro tidak beranjak dari duduknya
tapi kepala dipalingkan ke arah datangnya suara jeritan dan gonggongan anjing.
Sesaat kemudian dari balik semak belukar lebat berlari keluar seorang anak
perempuan. Wajah menunjukkan rasa takut yang amat sangat. Hanya beberapa langkah
di bela- kangnya mengejar seekor anjing berbulu hitam berkulit penuh budukan. Mulut
menganga memperlihatkan gigi dan taring runcing. Air liur menjela-jela. Siap
menerkam kaki anak perempuan yang dikejarnya. Tepat di depan Wiro anak perempuan
itu seperti kehabisan tenaga lalu jatuh tersungkur. Tangan bergelang kerincingan
perak masih mampu menggapai ke depan ke arah Wiro. Kepala diangkat, mulut berucap. "Tolong... Den Mas tolong diriku."
Wiro serta merta mengenali, anak perempuan itu bukan lain adalah gadis pemain
kuda lumping di Demak. Ni Gatri.
Anak buah Ki Sugeng Jambul.
Baru saja si gadis belia empat belas tahun itu berucap minta tolong, anjing
buduk hitam yang di kepalanya ada delapan benjolan merah telah melompat menerkam
kaki kanan Ni Gatri. Wiro yang tahu kalau anjing hitam buduk itu bukan binatang
biasa, cepat melompat lalu menendang dengan kaki kanan. Tendangan yang dilepas
Wiro tidak disertai tenaga dalam, hanya mengandalkan tenaga luar atau tenaga
kasar. Walau begitu untuk ukuran seekor anjing, kalau sampai kena paling tidak
kepalanya akan remuk!
Apa yang terjadi membuat Pendekar 212 terkejut.
Tendangan kaki kanannya mendarat tepat di kepala sebelah kiri anjing hitam. Binatang ini meraung kesakitan.
Tubuh terpental sampai satu tombak. Tapi kepalanya tidak hacur! Malah setelah
berguling beberapa kail, didahului raungan keras anjing ini laksana terbang
melompat ke arah Wiro. Mulut menganga lebar keluarkan suara mendengus, dua kaki depan siap mencakar.
"Binatang jejadian kurang ajar!" Maki Pendekar 212.
Kini tangan kanannya yang bekerja. Melepas pukulan sakti Tangan Dewa Menghantam
Matahari. Karena tahu anjing jejadian ini memiliki ilmu dan kekuatan hebat, Wiro
kini tidak kepalang tanggung. Pukulan yang dipelajarinya dari Kitab Putih Wasiat
Dewa itu sanggup meluluh lantak batu besar. Apalagi hanya seekor anjing!
Sekalipun binatang ini mungkin dibentengi oleh kekuatan dahsyat yang berasal
dari roh jahat!
Wuttt! Angin pukulan yang tidak memancarkan warna menderu. Anjing hitam melolong keras. Tubuh terpental tiga tombak, terhempas di
tanah dalam keadaan tidak berbentuk lagi! Dari kepalanya yang hancur di mana terdapat delapan benjolan merah
mengepul delapan asap merah, bergelung di udara lalu melesat ke arah matahari
terbe- nam dan lenyap dari pemandangan.
Di tempat itu menghampar bau kemenyan! Lalu tampak satu bayangan samar seorang
lelaki tua berpakaian hitam.
Bersamaan dengan itu terdengar suara, "Anak muda, jangan pernah mengira kalau
aku sudah menemui ajal!
Delapan Sukma Merah tidak pernah mati! Ha... ha... ha!"
"Edan!" maki murid Sinto Gendeng. "Delapan Sukma Merah! Apa itu" Persetan!
Mengapa harus aku pikirkan!"
Wiro ingat pada gadis pemain kuda lumping yang saat itu sembunyi di balik pohon
randu. "Ni Gatri, kau tidak apa-apa?" tanya Wiro.
"Terima kasih Den Mas telah menolong Gatri. Saya tidak apa-apa..."
"Hemm..." Wiro bergumam. "Jangan panggil aku Den Mas. Panggil saja kakak."
Ni Gatri tertawa senang. Wajahnya yang tadi pucat kini tampak berdarah kembali.
"Bagaimana ceritanya sampai kau dikejar anjing hitam buduk itu. Bukankah kau
seharusnya bersama rombongan pemain kuda lumpingmu?"
"Gatri melarikan diri. Gatri tahu Paman Sugeng Jambul pasti marah. Tapi Gatri
tidak perduli..."
"Mengapa kau melarikan diri?" tanya Wiro lagi.
"Saya ingin mencari Kakak."
"Mencariku" Heh! Mengapa mencariku..."
"Gatri suka sama Kakak."
Wiro jadi melongo mendengar jawaban anak perawan belia itu.
"Selain itu Kakak sudah menyelamatkan Gatri. Mulai sekarang Gatri mau ikut
Kakak..." "Urusan berabe!" kata Wiro dalam hati sambil garuk-garuk kepala. "Ada baiknya
aku tanyai dulu anak ini..."
Sebelum bertanya Wiro memegang bahu kiri Ni Gatri untuk mengetahui apakah masih
ada makhluk luar yang mendekam dalam tubuh anak perempuan itu. Tak ada getaran, tak ada hawa aneh. Berarti
Ni Gatri utuh tidak ada pengaruh jahat dari luar.
Waktu bahunya dipegang Ni Gatri balas memegang lengan Wiro. Wiro tarik tangannya
lalu bertanya, "Ni Gatri, kau ingat kejadian di pasar Tuban?"
Yang ditanya anggukkan kepala. "Kalau Kakak tidak menolong pasti waktu itu Gatri
sudah mati. Kepala menancap di paku. Ihhh... ngerinya. Untung ada Kakak. Gatri sangat berterima
kasih..." "Itu tidak penting. Yang aku ingin tahu apa kau ingat kalau saat itu kau
memandang padaku dan berkata Akhirnya kutemui dirimu. Lalu pada Ki Sugeng Jambul kau mengatakan kalau kau tidak
mengenal diriku. Tapi kau yakin akulah orangnya. Suaramu bicara saat itu bukan
suara aslimu tapi menyerupai suara orang tua. Kau ingat Ni Gatri?"
Si gadis tampak berpikir-pikir. Kemudian dia menggelengkan kepala. "Kakak, Gatri hanya ingat melihat wajahmu. Tapi Gatri tidak
tahu apa yang Gatri ucapkan."
"Pada kakek berdestar merah kau berkata Kaulah pembawa roh jahat itu! Kau yang
hendak memasukkan angkara murka ke dalam tubuhku. Tapi Dewa Penguasa Jagat
melindungi diriku, menghancurkan kejahatanmu!
Sekarang tinggalkan tempat ini atau kau akan kujadikan makhluk paling hina di
muka bumi ini. Kau ingat Ni Gatri kalau kau pernah mengucapkan kata-kata itu?"
"Maafkan saya Kakak. Gatri ingat semua yang terjadi.
Yang Gatri saksikan dengan mata. Tapi apa yang Gatri ucapkan Gatri tidak bisa
mengingat kembali..."
"Baik, sekarang aku tanya lagi. Apa kau ingat sewaktu menusukkan jari telunjuk
tangan kiri ke arah seorang kakek berdestar merah?"
"Ingat," jawab anak perempuan pemain kuda lumping itu. "Ada sinar biru keluar
dari jari telunjuk Gatri. Lalu kakek itu berubah jadi anjing hitam budukan.
Kepalanya benjal-benjol."
Wiro menggaruk kepala.
"Kakak, apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku"
Kakek yang berubah menjadi anjing hitam itu, mengapa dia hendak mencelakai
Gatri." "Kakek itu juga hendak mencelakai diriku," jawab Wiro.
"Ada yang mengirimnya untuk membantu roh jahat yang sengaja dimasukkan ke dalam
dirimu. Agaknya tujuan utamanya adalah mencelakai diriku. Tapi ada roh putih
yang mendahului masuk ke dalam dirimu. Sekarang sudah aman. Kau tak perlu
takut." "Gatri tidak pernah takut kalau Kakak ada di dekat Gatri," jawab anak perempuan
itu lalu dengan sikap kekanak-kanakan sandarkan kepalanya di dada Wiro. Sang
pendekar menghindar dengan pura-pura duduk di bawah pohon besar. Gatri ikutan
duduk di sebelahnya.
"Setelah aku pergi apa yang terjadi?" Wiro bertanya.
"Paman Sugeng Jambul menyuruh kami berkemaskemas dan segera meninggalkan pasar. Katanya akan meneruskan perjalanan ke
Japara. Waktu itulah saya melihat ada kesempatan. Saya menyelinap di antara orang banyak yang masih berkerumun
di situ lalu melarikan diri.
Saya hanya mengingat-ingat ke arah mana sebelumnya Kakak pergi. Di tengah jalan,
di pinggiran kota tahu-tahu muncul anjing hitam itu mengejar saya. Saya heran
saya bisa berlari cepat sekali. Saya bersyukur akhirnya bisa menemui Kakak. Saya
mau ikut ke mana Kakak pergi. Saya tidak punya ayah, tidak punya ibu. Juga tidak
punya saudara..."
"Lalu Ki Sugeng Jambul yang kau panggil paman itu?"
"Dia hanya paman-pamanan. Dia memelihara saya sejak kecil, menganggap sebagal
anak sendiri. Tapi setelah saya meningkat dewasa seperti ini sikapnya jadi lain.
Dia sering meraba-raba tubuh saya. Kalau tak ada orang dia suka mencium saya.
Dia juga suka mengintip saya kalau lagi mandi..."
"Kuda lumping keparat!" Maki Wiro dalam hati. "Gadis ini agaknya dijadikan
perantara oleh roh putih untuk mencari diriku. Lalu ada roh hitam yang berusaha menghalangi.
Siapa mereka?"
Wiro perhatikan Ni Gatri seketika. Dia mendengar apa yang dikatakan Gatri tadi
tentang sang paman Ki Sugeng Jambul. Dalam hati murid Sinto Gendeng berkata.
"Tidak heran kalau pamanmu itu bisa blingsatan. Walau berdandan mencorong wajahmu sebenarnya cantik. Tubuhmu yang sedang mekar sintal
membuat jantung lelaki bisa berhenti berdetak kalau terlalu lama memandang!"
"Ni Gatri, walau pamanmu itu punya sikap tidak baik tapi dia telah memeliharamu
sejak kecil. Kurasa sebaiknya kau kembali menemuinya. Kalau perlu aku bersedia
mengantar. Kalau kau memang mau meninggalkannya kau harus menjelaskan secara
baik-baik..."
"Saya akan menuruti ucapan Kakak. Asal setelah lepas dari Ki Sugeng Jambul saya
boleh ikut bersama Kakak."
Jawab Ni Gatri pula.
Wiro jadi garuk-garuk kepala lagi. Dia sadar tidak mungkin membawa gadis belia
itu kembali ke rombongan kuda lumping yang dipimpin Ki Sugeng Jambul. Dalam hati
dia berkata, "Cepat atau lambat Gatri pasti akan dilalap si Jambul keparat itu.
Kasihan Ni Gatri."
"Ni Gatri, berapa usiamu..." Murid Sinto Gendeng bertanya. "Empat belas tahun, Kakak," jawab si gadis beila. Lalu menambahkan. "Di kampung,
gadis seusia saya sudah dianggap tua kalau belum kawin."
"Begitu?" ujar Pendekar 212 sambil tertawa lebar. Lalu dia berpikir-pikir.
"Kalau anak perawan secantik ini sampai terlunta-lunta sebatangkara, pasti
banyak lelaki jahat mempergunakan kesempatan."
"Ni Gatri, aku akan ke kotaraja. Perjalanan cukup jauh..."
"Jangankan ke kotaraja. Ke ujung duniapun kalau bersama Kakak Gatri pasti mau
ikut." Ni Gatri memotong ucapan Wiro, membuat murid Sinto Gendeng ketar-ketir.
"Di kotaraja aku banyak punya sahabat. Aku akan carikan seorang yang paling baik
untukmu. Kau bisa tinggal bersamanya. Syukur-syukur kau nanti bisa dipekerjakan
di Keraton Sri Sultan. Kau mau...?"
"Saya menurut saja apa kata Kakak. Asal saya tidak jauh dari Kakak..."
Wiro manggut-manggut. Dalam hati sang pendekar membatin. "Ni Gatri, kalau saja
kau tiga atau empat tahun lebih tua mungkin jalan ceritanya bisa jadi lain."
WIRO SABLENG MALAM JAHANAM DI MATARAM
7 EMBALI ke lereng Gunung Bismo yang merupakan salah satu dari beberapa gunung di
dataran tinggi KDieng. Malam itu adalah malam kedua Empu Semirang Biru mengerjakan pembuatan keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Sejak malam pertama
memulai pekerjaan, dia tidak beranjak dari bantalan jerami kering yang didudukinya, tak pernah berhenti bekerja kecuali untuk sekedar minum. Sepuluh jari sang
Empu yang berwarna merah menyala dan mengandung panas luar biasa, bergerak
leluasa di atas batangan besi keramat yang telah membentuk badan keris. Saat itu dia tengah memperhalus bagian-bagian tertentu.
Semakin diperhalus semakin terang cahaya biru yang memancar dari senjata yang
belum bergagang itu. Selain cahaya biru yang menyelubungi seluruh badan keris berluk sembilan ini, masih ada kumpulan cahaya yang
hanya terlihat di sisi sebelah kanan keris, berupa lengkungan sembilan warna
mulai dari ujung runcing sampai ke bagian bawah yang lebih menonjol dan juga
runcing tipis. Walau senjata ini diputar berlainan arah, tujuh gabungan warna
yang melengkung seperti pelangi kecil tetap berada di sebelah kanan keris.
Empu Semirang juga merasakan ada bau harum dan aliran hawa sejuk keluar dari
badan Kanjeng Sepuh Pelangi memasuki tangan, padahal saat itu tangannya masih
merah membara. "Sang Hyang Jagat Bathara, terima kasih Kau telah melindungi dan memberi
kemampuan pada saya untuk membuat keris ini. Seumur hidup belum pernah saya
membuat senjata luar biasa sakti seperti ini. Hanya dengan mempergunakan jarijari telanjang begini rupa. Sungguh besar kuasaMu. Dengan perkenanMu wahai
Bathara Agung mudah-mudahan paling lambat menjelang fajar menyingsing keris sakti mandraguna ini sudah sempurna kerampungannya. Saya tinggal menunggu kedatangan Raden Ageng Daksa, utusan Sri
Maharaja Mataram untuk mengambil keris ini yang menurut janjinya akan datang tengah malam besok..."
Empu Semirang Biru kemudian letakkan keris yang masih merah menyala itu di atas
kening bahkan beberapa kali dicium penuh khidmat tanpa wajahnya yang berkulit
tipis hangus atau terluka.
Ternyata sebelum fajar menyingsing Empu Semirang telah selesai dengan
pekerjaannya. Sambil mengusap-usap keris Kanjeng Sepuh Pelangi tidak putusputusnya orang tua bermuka tengkorak berambut biru riap-riapan ini memanjatkan
puji syukur dan berterima kasih pada Yang Maha Kuasa karena telah dipercaya
untuk membuat keris tersebut dan diberi kemampuan serta pertolongan untuk
melaksanakannya.
Ketika fajar menyingsing dan ufuk bumi sebelah timur mulai tampak terang, wajah
Empu Semirang tampak berseri-seri. Keris Kanjeng Sepuh Pelangi berluk sembilan diletakkan di atas
pangkuan. Dielus-elus seraya berkata.
"Kanjeng Sepuh Pelangi, besok tengah malam utusan Raja Mataram akan datang
membawa sarung dan gagang pelengkap dirimu. Tak lupa pula sebuah kotak kaca


Wiro Sableng 171 Malam Jahanam Di Mataram di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beralas beludru merah untuk menyimpanmu. Setelah itu kau akan dibawa ke
kotaraja. Entah kapan aku akan melihatmu lagi..."
Tidak terasa sepasang mata orang tua ini telah berkaca-kaca. Empu Semirang Biru geleng-gelengkan kepala, tertawa sendiri.
"Aneh, mengapa aku harus menangis..." katanya.
Tangan kanannya kembali mengusap keris berluk sembilan itu. Tiba-tiba dua tangan
yang merah menyala itu berubah kembali ke bentuk aslinya. Empu Semirang tidak
menjadi terkejut. Malah dia membungkuk dalam-dalam dan berkata perlahan.
"Pekerjaan sudah selesai. Adalah pantas kalau Yang Maha Kuasa mengambil kembali
ilmu kesaktian yang diberikanNya."
Angin pagi bertiup dari arah barat. Empu Semirang hendak mengusap wajah, tibatiba dia ingat sesuatu. Lalu memandang ke arah timur.
"Fajar telah menyingsing. Tapi aneh, aku sama sekali tidak mendengar suara ayam
hutan berkokok seperti biasanya. Apa binatang-binatang itu lupa menyambut
kedatangan bahagia pagi atau mereka masih pada tertidur lelap semua...?"
Untuk pertama kalinya Empu Semirang merasa letih.
Pedang 3 Dimensi 6 Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat Pedang Kiri Pedang Kanan 6

Cari Blog Ini