Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 13

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 13


pergi ke sawah. Nampaknya kerja di sawah sudah tidak begitu
banyak lagi. Beberapa orang yang diupah oleh Agung Sedayu
telah dapat melakukan kerja mereka tanpa ditunggui oleh siapaun.
Sehingga dengan demikian, Ki Jayaraga dapat
menemani Ki Lurah sambil menunggu Agung Sedayu kembali.
Bahwa Ki Jayaraga tidak pergi, ternyata telah membuat
Teja Prabawa agak tenang. Ia tidak nampak terlalu gelisah
ketika ia duduk di pendapa.
Namun Ki Lurahpun kemudian berkata "Apakah kau tidak
ingin membantu angger Glagah Putih" "
Tetapi Ki Jayaragalah yang menjawab "Glagah Putih
berada di kandang. Nanti Raden dapat menjadi kotor. Tetapi
jika Raden mempunyai kesenangan berkuda, Glagah Putih
akan dapat mengawani Raden. Glagah Putih mempunyai
seekor kuda yang besar dan tegar, yang jarang ada duanya.
Apalagi di Tanah Perdikan ini. "
"Sebesar apa kuda itu" Sebesar-besarnya kuda di Tanah
Perdikan ini, tidak akan menyamai kuda-kuda para
bangsawan di kota, "jawab Teja Prabawa.
"Kuda itu memang didapatkannya dari kota. "berkata Ki
Jayaraga pula. "Dari kota" "bertanya Raden Teja Prabawa.
"Apakah Glagah Putih atau Agung Sedayu atau yang lain
belum pernah mengatakan bahwa Glagah Putih adalah
sahabat Raden Rangga dari Mataram" "Ki Jayaraga justru
bertanya. "Sudah beberapa kali ia dengar hal itu "Ki Lurahlah yang
menyahut. "Apakah belum pernah ada yang mengatakan bahwa kuda
itu berasal dari Raden Rangga" "bertanya Ki Jayaraga pula.
Raden Teja Prabawa tidak menjawab. Bahkan kemudian Ki
Jayaraga itu berkata "Marilah. Mumpung Glagah Putih sedang
membersihkan kuda dan kandangnya, kita akan melihat.
Ki Lurahpun kemudian telah mengajak Teja Prabawa untuk
menyertainya. Mereka bertiga telah turun ke halaman samping
dan menuju ke kandang kuda.
Ada beberapa ekor kuda di kandang. Tetapi seekor diantaranya
memang seekor kuda yang besar dan tegar
melampaui kuda-kuda yang lain.
"Bukan main "desis Raden Teja Prabawa.
"Apakah Raden ingin menunggang kuda mengelilingi
Tanah Perdikan ini" Glagah Putih tentu bersedia menemani
Raden "berkata Ki Jayaraga.
Teja Prabawa menjadi ragu-ragu. Namun iapun kemudian
menggeleng sambil menjawab "Aku ingin beristirahat disini
saja kakek. " Ki Lurah Branjangan tersenyum. Katanya "Baiklah. Kita
dapat beristirahat saja disini. "
Ketika Ki Lurah dan Ki Jayaraga kembali ke pendapa, maka
untuk beberapa lama Raden Teja Prabawa masih menunggui
Glagah Putih karena kekagumannya atas kuda pemberian
Raden Rangga itu. Namun ketika kemudian Glagah Putih
mengambil air ke sumur, maka Teja Prabawa itupun telah
pergi pula kependapa. Meskipun ada juga keinginannya pergi
berkuda dengan kuda yang tegar dan besar itu berkeliling
Tanah Perdikan, tetapi ia masih saja selalu dibayangi oleh
dendam kedua orang murid Ki Ajar Sigarwelat itu.
Karena itu, maka Teja Prabawa lebih suka berada di rumah
Agung Sedayu itu saja bersama Ki Jayaraga, Glagah Putih
dan Sekar Mirah. Namun setelah selesai membersihkan kuda dan
kandangnya, maka Glagah Putihpun telah mandi dan
berbenah diri. Sejenak kemudian iapun telah berada di
pendapa. Namun hanya untuk minta diri.
"Biarlah aku saja yang pergi ke sawah guru "berkata
Glagah Putih kepada Ki Jayaraga.
Ki Jayaraga tersenyum. Katanya "Baiklah. Kerja disawah
memang tidak begitu banyak lagi. "
"Sebentar lagi mbokayu tentu sudah selesai. Aku akan
membawa kiriman bagi orang-orang yang bekerja disawah itu.
"berkata Glagah Putih.
"Nah "sahut Ki Lurah Branjangan "kerja yang menarik.
Rasa-rasanya ingin juga ikut pergi ke sawah. "
"Ah, sawah berlumpur "berkata Ki Jayaraga "bahkan
kadang-kadang ada ular di pematang. "
Ki Lurah tertawa. Katanya "Ki Jayaraga pandai menakutnakuti
saja. Tetapi Ki Jayaraga lupa bahwa aku dimasa muda
adalah seorang yang hidup didalam lumpur. Bahkan ketika
Alas Mentaok itu dibuka untuk dijadikan Mataram sekarang ini,
ular merupakan kawan yang akrab dilebatnya Alas Mentaok. "
Ki Jayaraga mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Katanya "Aku hampir melupakannya. "
Tetapi Ki Lurah itupun berkata "Tetapi biarlah aku disini
saja. Bukan berarti bahwa aku menjadi kecewa dan merajuk
sehingga kemudian membatalkan niatku pergi. Tetapi rasarasanya
berbincang-bincang sehari penuh disini merupakan
kerja yang menarik. "
Ki Jayaraga tertawa. Sementara Ki Lurah berkata "Tetapi
jika ada yang ingin Ki Jayaraga kerjakan, silahkan. Aku akan
menunggu disini. " "Tidak. Hari ini memang tidak ada yang harus aku lakukan
secara khusus, sehingga akupun dapat duduk duduk disini
sepanjang hari. "jawab Ki Jayaraga.
Sementara itu, Glagah Putih berkata "Aku akan melihat,
apakah mbokayu Sekar Mirah sudah selesai atau belum. "
"Nampaknya masih terlalu pagi Glagah Putih. "berkata Ki
Jayaraga "nanti, sebelum matahari turun, orang-orang yang
bekerja itu sudah menjadi lapar lagi. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi katanya
kemudian "Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang" "
Jawab Ki Jayaraga "Menunggu. Itulah yang harus kau
lakukan sekarang. Satu kerja yang barangkali menjemukan
bagimu. " Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Di sebelahnya
duduk seorang anak muda pula. Tetapi agaknya mereka tidak
dapat berhubungan dengan baik. Meskipun Teja Prabawa
tidak lagi dapat menganggap Glagah Putih tidak lebih dari
anak pa-desan yang tubuhnya kotor oleh lumpur, namun ia
masih juga segan untuk berhubungan lebih erat lagi.
Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian berkata "Jika
demikian, biarlah aku pergi kerumah kawan sebentar. Aku
berjanji untuk datang kepadanya hari ini, karena ada sesuatu
yang perlu kami bicarakan. "
"Siapa" "bertanya Ki Jayaraga.
"Orang disebelah simpang empat "jawab Glagah Putih.
"Kerto Grobag" "bertanya Ki Jayaraga pula.
"Ya, anaknya. Lembunya mengalami sedikit kesulitan
"jawab Glagah Putih.
"Tetapi jangan terlalu lama. Nanti kau terlambat. Orangorang
yang bekerja di sawah itu sudah kelaparan "berkata Ki
Jayaraga. Glagah Putih tersenyum. Namun iapun kemudian telah
minta diri kepada Ki Lurah Branjangan dan Raden Teja
Prabawa. Sementara itu, di dapur, Sekar Mirah dan Rara Wulan
bekerja dengan cepat. Mereka juga ingin segera selesai,
sehingga Rara Wulan segera dapat masuk kedalam sanggar
dan mencoba untuk mengenali langsung olah kanuragan.
Karena itu, maka Rara Wulanpun telah bekerja keras.
Keringatnya telah membasahi kening dan punggungnya.
Beberapa saat kemudian, Sekar Mirah dan Rara Wulanpun
telah selesai. Kiriman untuk empat orang yang bekerja
disawah itu telah ditempatkan di sebuah tenong kecil. Sebuah
kendi air dingin yang segar.
Kepada pembantunya Sekar Mirah kemudian berkata "Nah,
beritahukan kepada Glagah Putih. Bukankah kau dan Glagah
Putih yang akan pergi kesawah. Nampaknya belum tengah
hari. Tetapi tidak apa-apa. Sekali-sekali mereka mendapat
kiriman lebih awal. "
Pembantu rumah itupun kemudian telah pergi ke pendapa
untuk mencari Glagah Putih. Tetapi ternyata Glagah Putih
tidak ada di pendapa. Karena itu, maka anak itupun telah
menyusul Glagah Putih kerumah Kerta Grobag.
Ketika kemudian Glagah Putih tergesa-gesa pergi ke dapur,
ternyata dapur sudah kosong. Yang tinggal diamben adalah
tenong berisi kiriman makan dan kendi air yang dingin segar.
"Kemana mbokayu" "bertanya Glagah Putih.
"Tidak tahu. Tadi ada disini. Tetapi kita tidak perlu
mencarinya. Yang harus kita bawa sudah disediakan "berkata
anak itu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sebenarnya
memang tidak ingin bertemu dengan Sekar Mirah.
Tetapi rasa-rasanya ada yang tertinggal ketika bersama
pembantu dirumahnya Glagah Putih pergi ke sawah.
Sementara itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan telah berada
didalam sanggar. Dengan sederhana Sekar Mirah
memberikan beberapa penjelasan dan contoh-contoh dari apa
yang harus dikerjakan oleh Rara Wulan selama ia berlatih olah
kanuragan. "Kau harus menjaga agar semuanya dapat berlangsung
dengan baik, tertib dan bersungguh-sungguh. Memang berat,
Aku tidak menakut-nakuti. Tetapi dalam mempelajari olah
kanuragan, kita tidak dapat berbuat seenaknya. Maksudnya
kapan saja kita mau. Jika kita sedang malas, maka latihan itu
ditunda. Apalagi tanpa ikatan niat yang benar-benar mapan.
Karena apabila demikian, maka usaha kita akan sia-sia,
"berkata Sekar Mirah dengan sungguh-sungguh.
Rara Wulan mengangguk-angguk. Ia mulai dapat
membayangkan apa yang harus dilakukan. Bagaimana setiap
pagi, ia harus bangun pagi-pagi. Melakukan gerakan-gerakan
yang sudah diajarkan oleh gurunya. Berlari-lari untuk jangka
waktu tertentu. Mengadakan latihan olah tubuh sesuai dengan
kepentingan latihan yang akan dilakukan dihari itu.
Mengulangi unsur-unsur yang pernah dipelajari sebelumnya.
. "Kau tidak boleh meninggalkan tugasmu sehari-hari
"berkata Sekar Mirah "jika kau harus membersihkan bilikmu
pada saat matahari terbit sebagaimana kau biasanya bangun,
maka kau harus bangun lebih pagi. Kau lakukan apa yang
harus kau lakukan. Dan pada saat matahari terbit, kau sudah
melakukan pekerjaanmu sehari-hari itu, membersihkan bilik
tanpa mempergunakan saat-saat latihan sebagai alasan. "
RaFa Wulan masih saja mengangguk-angguk.
Beberapa kali Sekar Mirah memberikan peragaan latihanlatihan
pada tingkat pertama. Kemudian Rara Wulan itu harus
menirukannya serba sedikit, agar dia mampu menilai dirinya
sendiri, apakah ia sanggup melakukannya atau tidak. "
Dengan demikian maka keringat ditubuh Rara Wulan
bagaikan terperas dari kulit dagingnya. Baju dan kainnya
menjadi basah. Ia belum mengenakan pakaian sebagaimana
sering dipergunakan oleh. Sekar Mirah dalam keadaan
khusus. Namun Sekar Mirah saat itupun tidak berpakaian
khusus pula, sehingga Rara Wulan tidak terlalu banyak
mengalami kesulitan untuk melakukan apa yang dilakukan
oleh Sekar Mirah. Meskipun demikian, gerakan-gerakan itu benar-benar
membuatnya letih. Tetapi Rara Wulan tidak mengeluh. Ia
melakukan apa yang harus dilakukannya.
Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan tidak terlalu lama
berada disanggar. Setelah Rara Wulan mengenali beberapa
macam gerak yang harus dilakukannya sebagai pendahuluan,
sebelum ia benar-benar mempelajari olah kanuragan, serta
pakaiannya sudah menjadi basah kuyup, maka pengenalan
itupun diakhiri. Ketika kemudian Rara Wulan menemui kakeknya di pendapa, maka Ki Lurah Branjangan itu mengerutkan keningnya. Diluar sadarnya ia berpaling kepada Sekar Mirah yang mengantarkannya. Namun kemudian Ki Lurah itu tersenyum sambil bertanya "Apakah angger sudah mulai memberikan tuntunan olah kanuragan" "
Sekar Mirah menggeleng. Jawabnya "Belum Ki Lurah. Aku baru memperkenalkannya. Terserah kepada Rara, apakah ia akan mempelajarinya atau tidak. Apakah ia tertarik atau bahkan jaraknya justru semakin jauh dengan olah kanuragan.
Jilid 238 AGUNG SEDAYU tersenyum sambil menjawab, "Seperti biasanya, Ki Gede setiap kali menilai perkembangan Tanah Perdikan ini. Manakah yang sudah dapat dianggap. memenuhi keinginan rakyat Tanah Perdikan ini dan yang manakah yang masih harus dibenahi."
"Jadi tidak ada hal-hal yang baru yang dibicarakan?" bertanya Ki Lurah.
"Tidak Ki Lurah. Memang Ki Gede menyinggung serba sedikit tentang peristiwa yang telah terjadi. Kematian Ki Ajar Sigarwelat, Ki Gede minta rakyat Tanah Perdikan untuk selalu berhati-hati menanggapi setiap peristiwa yang berkembang kemudian." jawab Agung Sedayu.
"Ya. Apalagi Ki Ajar Sigarwelat mempunyai hubungan dengan Madiun." berkata Ki Lurah.
"Tetapi Ki Gede hampir tidak pernah menyebut-nyebut secara langsung tentang persoalan antara Mataram dan Madiun. Hanya kepada orang-orang tertentu saja Ki Gede berbicara tentang hal itu."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya sikap Ki Gede cukup bijaksana. Ia tidak mendera orang-orang yang tidak langsung berhubungan dengan persoalan pemerintahan kedalam kegelisahan yang tidak berkeputusan."
"Namun disamping itu, ada pula yang dibicarakan oleh Ki Gede meskipun hanya sepintas. Tetapi agaknya pada saat-saat mendatang hal itu akan dibicarakan dengan sungguh-sungguh." berkata Agung Sedayu.
"Tentang apa?" bertanya Ki Lurah, "barangkali aku boleh mendengarnya?"
"Tentu boleh Ki Lurah. Jika Ki Lurah nanti kembali kerumah Ki Gede, maka Ki Lurah agaknya akan diajak berbicara pula." jawab Agung Sedayu.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun ia bertanya, "Apa yang dikatakan Ki Gede?"
"Tentang dirinya sendiri." jawab Agung Sedayu, "tidak seorangpun tahu, kenapa tiba-tiba Ki Gede merasa dirinya sudah menjadi tua. Bahkan terlalu tua untuk memimpin Tanah Perdikan ini."
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia berkata, "Itu bukan soal kecil. Pada suatu saat hal itu akan menjadi persoalan yang besar. Bukankah Ki Gede masih mempunyai seorang adik laki-laki yang kini nampaknya lebih senang mengasingkan diri?"
"Ya" jawab Agung Sedayu, "tetapi Ki Argajaya itu sudah benar-benar mengasingkan diri. Aku percaya kalau Ki Argajaya tidak akan menimbulkan persoalan."
"Tetapi bukankah Ki Argajaya mempunyai anak se"orang laki-laki?" bertanya Ki Lurah pula.
"Iapun nampaknya sudah dapat menempatkan diri"nya. Aku kira dari keduanya tidak akan timbul persoalan." jawab Agung Sedayu.
"Lalu, masalah apa yang dianggap penting untuk dibi"carakan oleh Ki Gede?" justru Ki Jayaragalah yang ber-tanya.
"Anak Ki Gede hanya satu. Itupun seorang perempuan." jawab Agung Sedayu, "apalagi perempuan itu sudah bersuamikan seorang yang juga memerintah satu daerah seperti Tanah Perdikan Menoreh ini."
"Pandan Wangi maksudmu?" bertanya Ki Lurah.
"Ya. Pandan Wangi." jawab Agung Sedayu, "seharusnya suami Pandan Wangilah yang akan memimpin Tanah Perdikan ini. Tetapi pertanyaan yang timbul kemudian, apakah Swandaru akan bersedia meninggalkan Kademangan Sangkal Putung dan menjadi pemimpin Tanah Per"dikan ini?"
Ki Lurah menarik nafas panjang. Katanya, "Memang satu teka-teki. Tetapi apakah Ki Gede sudah membicarakan sampai sekian jauh?"
Agung Sedayupun tersenyum. Jawabnya, "Belum Ki Lurah. Pembicaraan kitalah yang berkepanjangan."
Ki Lurah dan Ki Jayaragapun tertawa. Bahkan Ki Jayaraga berdesis, "Jika saatnya hal itu dibicarakan, kita sudah mempunyai bahan yang cukup banyak."
Agung Sedayupun tertawa pula.
Demikianlah maka Sekar Mirah dan Rara Wulanpun kemudian telah menyiapkan makan siang bagi mereka yang ada di pendapa. Sehingga sejenak kemudian, maka merekapun telah makan bersama-sama di ruang dalam.
Ketika kemudian matahari turun ke Barat, maka Ki Lurah Branjanganpun telah minta diri. Bersama kedua cucunya mereka akan kembali ke rumah Ki Gede, karena mereka akan bermalam dirumah itu.
"Besok aku kembali mbokayu." berkata Rara Wulan setelah ia mengenakan pakaiannya sendiri, "aku akan datang lebih pagi. Dengan demikian maka wakfu kita akan lebih banyak."
"Tetapi kapan kita pulang ke kota kek?" bertanya Teja Prabawa, "bukankah kakek akan memberitahukan niat Wulan kepada ayah dan ibu?"
"Ya" jawab Ki Lurah, "tetapi biarlah Rara Wulan mengalami satu dua hari lagi. Jika dalam waktu dua tiga hari ia merasa bahwa dirinya tidak sanggup lagi menjalani laku yang berat, maka sudah tentu rencana itu batal."
Teja Prabawa tidak menjawab. Namun sebenarnyalah ia menjadi berdebar-debar ketika bertiga bersama kakek dan adiknya mereka akan menempuh perjalanan ke rumah Ki Gede. Meskipun jaraknya tidak jauh, namun segala sesuatunya mungkin terjadi.
Teja Prabawa itu menarik nafas dalam-dalam ketika Agung Sedayu berkata kepada Glagah Putih, "Antar me"reka sampai keregol rumah Ki Gede."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia berjalan saja dipaling belakang. Mereka tidak terlalu lama berjalan. Demikian mereka sampai keregol, maka Glagah Putihpun minta diri untuk kembali.
"Kau tidak singgah?" bertanya Ki Lurah.
"Terima kasih Ki Lurah, masih ada kerja yang harus aku lakukan."
"Besok kau jemput aku?" bertanya Rara Wulan.
Pertanyaan itu memang agak mengejutkan. Bukan saja bagi Glagah Putih, tetapi juga bagi Teja Prabawa. Sehingga Teja Prabawa itupun bertanya, "Kenapa kau harus dijemput" Kakek akan mengantarkanmu."
"Jika dijalan nanti tiba-tia muncul murid Ki ajar Sigarwelat bagaimana?" bertanya Rara Wulan.
Wajah Teja Prabawa menjadi merah. Ia sadar bahwa adiknya dengan sengaja mengejeknya. Namun sebelum Te"ja Prabawa menjawab, Ki Lurah Branjangan mendahuluinya, "Wulan. Kau jangan terlalu nakal. Besok aku dan kakakmu akan mengantarmu. Kau kira Glagah Putih tidak mempunyai kesibukan sendiri di rumah" Memang berbeda dengan anak-anak kota yang merasa dirinya anak orang berada, berpangkat dan barangkali berilmu tinggi. Mereka dapat berbuat apa saja sesuka hati. Tetapi tidak dengan anak-anak muda Tanah Perdikan ini. Mereka harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya. Bukan saja kebutuhan secara pribadi, tetapi kebutuhan seluruh Tanah Per"dikan. Karena jika orang-orang Tanah Perdikan ini tidak mau bekerja keras, maka kesejahteraan Tanah Perdikan ini tidak akan maju."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi teguran itu ternyata tidak saja menyentuh Rara Wulan, tetapi juga Teja Prabawa.
Karena kedua orang anak muda itu diam saja, maka Ki Lurahpun kemudian berkata kepada Glagah Putih, "Sudahlah Glagah Putih. Biarlah besok aku mengantarkannya jika Wulan masih ingin bermain-main dengan mbokayumu Sekar Mirah."
Glagah Putih termangu-mangu. Sebenarnya ia sama sekali tidak berkeberatan untuk menjemput Rara Wulan. Te"tapi iapun menyadari bahwa agaknya Ki Lurah sendiri tidak menghendakinya. Karena itu, maka Glagah Putih itupun telah minta diri untuk kembali.
Ketika Ki Lurah kemudian membawa kedua cucunya memasuki halaman rumah Ki Gede, maka bagi Teja Pra"bawa maupun Rara Wulan saling berdiam diri sambil menunduk. Keduanya nampak hanyut dalam arus angan-angan masing-masing yang sudah tentu tidak mempunyai persamaan sama sekali.
Kedua cucu Ki Lurah itu ternyata langsung menuju ke gandok, sementara Ki Lurah masuk ke ruang dalam untuk menemui Ki Gede, karena menurut seorang pembantu Ki Gede, Ki Gede itu masih duduk seorang diri diruang dalam setelah makan siang.
"Sendiri?" bertanya Ki Lurah.


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, Ki Lurah." jawab orang itu, "memang sudah menjadi kebiasaan Ki Gede, duduk sendiri untuk beberapa lama. Nampaknya memang ada yang sedang direnungkan."
"Kebiasaan sejak kapan?" bertanya Ki Lurah.
"Sebenarnya belum terlalu lama." jawab pembantu itu.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan menemani Ki Gede."
Sejenak kemudian Ki Lurah telah duduk bersama Ki Gede di ruang dalam. Sambil bergeser menepi Ki Gede ber"Tanya, "Dimana kedua cucu Ki Lurah?"
"Mereka langsung pergi ke gandok Ki Gede. Mereka baru saja bertengkar. Agaknya jika setiap hari mereka tidak bertengkar rasa-rasanya mereka menjadi pening." jawab Ki Lurah.
Ki Gede tertawa. Katanya, "Itu biasa. Betapapun rukunnya dua orang bersaudara, namun pada suatu saat mereka pasti akan bertengkar, meskipun pada saatnya me"reka akan baik kembali."
Ki Lurahpun tertawa. Katanya, "Agak berbeda dengan Ki Gede. Agaknya Ki Gede tidak perlu setiap kali melerai putera-putera Ki Gede yang bertengkar, karena putera Ki Gede ternyata hanya seorang. Itupun seorang perempuan."
"Tidak." jawab Ki Gede, "aku juga mempunyai se"orang anak laki-laki."
Ki Lurah mengerutkan keningnya. Namun hal itu sudah terlanjur diucapkan oleh Ki Gede.Sebenarnyalah Ki Lurah pernah mendengar tentang anak laki-laki yang lahir dari isteri Ki Gede. Namun yang ternyata telah menumbuhkan persoalan jiwani itu. Dan yang kemudian ternyata harus mati diujung senjata karena justru perlawanannya terhadap Ki Gede sendiri bersama dengan adik Ki Gede, Ki Argajaya.
Tetapi Ki Lurah berusaha untuk mengendapkan gejolak itu dalam-dalam. Ia akan hanyut saja apa yang dibica"rakan oleh Ki Gede tentang anaknya laki-laki itu.
Ternyata kemudian suara Ki Gede merendah, "Tetapi anak itu telah kehilangan keseimbangannya, sehingga akhirnya harus menebusnya dengan nyawanya."
"Sayang sekali." desis Ki Lurah.
"Tetapi aku sudah mengikhlaskannya. Aku sekarang sudah mendapatkan gantinya. Anak laki-laki." berkata Ki Gede.
Ki Lurah hampir saja menebak. Tetapi Ki Gede telah menyebutnya, "Swandaru. Bukankah dengan demikian anakku telah menjadi dua lagi" Bahkan sekarang menjadi lebih banyak lagi. Ada Agung Sedayu, Glagah Putih, se"orang anak perempuan lagi yang namanya Sekar Mirah dan anak adikku Prastawa. Mereka adalah anak-anakku yang justru lebih patuh dari anak laki-laki itu."
"Ya Ki Gede. Bahkan lebih banyak lagi. Semua anak-anak muda Tanah Perdikan ini telah menganggap Ki Gede sebagai ayah mereka." berkata Ki Lurah.
Tetapi Ki Gede tersenyum. Katanya, "Sebagai ayah mereka, juga sebagai kakek mereka."
Ki Lurah juga mencoba untuk ikut tertawa meskipun masih terasa debar didadanya.
Namun tiba-tiba saja Ki Gede itu memang berkata sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu, "Ki Lurah. Tiba-tiba saja aku merasa diriku sekarang sudah sangat tua."
"Ah, tentu belum." sahut Ki Lurah dengan serta merta.
"Bahkan mungkin aku sudah lebih tua dari Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa yang telah kembali menghadap Tuhan itu." suaranya merendah.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Ketika diluar sadarnya ia memandang wajah Ki Gede, maka nampaklah garis-garis umurnya yang semakin dalam. Namun didalam hati Ki Lurah itupun berkata, "Aku juga sudah tua."
Tetapi Ki Lurah tidak perlu memikirkan satu wilayah sebagaimana Ki Gede memikirkan masa depan Tanah Per"dikan Menoreh.
Adalah seolah-olah diluar sadarnya ketika Ki Gede kemudian berkata, "Aku memang mempunyai anak laki-la"ki perempuan yang banyak sekali. Seluruh penghuni Tanah Perdikan ini adalah anak-anakku. Tetapi siapakah diantara mereka yang kelak pantas menggantikan kedudukanku" Tanah Perdikan ini tentu memerlukan seorang pemimpin. Bukan asal saja seorang pemimpin. Tetapi seorang pemim"pin yang bertanggung jawab. Seandainya saja Swandaru bukan anak seorang Demang, maka aku dapat memastikan, ia akan dapat memimpin Tanah Perdikan ini. Tetapi apakah ia bersedia meninggalkan Kademangannya, itulah yang menjadi persoalan."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, "Jika Swandaru bersedia memimpin Tanah Perdikan ini, maka Sekar Mirah akan menggantikan kedudukannya di Sangkal Putung, sehingga dengan demikian maka Agung Sedayulah yang akan melaksanakannya."
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun ia berdesis, "Tetapi agaknya Swandaru berkeberatan untuk meninggal"kan Kademangannya. Padahal menurut penilaianku, ia ada"lah seorang yang memiliki pandangan jauh untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Sangkal Putung kini telah menjadi sebuah Kademangan yang besar dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi."
Tetapi suara Ki Gede meren"dah, "Meskipun Swandaru bukan seorang yang rendah hati seperti Agung Sedayu. Namun sejalan dengan peningkatan umurnya, maka pada suatu saat, hatinya tentu akan,
mengendap." Ki Lurah Branj angan hanya mengangguk-angguk saia. Ia tidak dapat ikut banyak berbicara, karena persoalannya lebih banyak berkisar tentang keluarga.
Namun tiba-tiba saja, seperti orang yang terbangun dari tidurnya Ki Gede berkata. "Ah, maaf Ki Lurah. Aku terlalu banyak berbicara tentang diriku sendiri, sehingga mungkin Ki Lurah merasa jemu mendengarnya."
"Tidak. Tentu tidak. Bukankah orang-orang tua seumur kita ini memang harus memikirkan masa depan bagi keturunannya" Kita memang tidak boleh mementingkan diri kita sendiri, sehingga kita tidak mau tahu, apa yang akan terjadi kelak. Atau bahkan dengan sengaja menutup kemungkinan bagi angkatan sesudah kita untuk menunjukkan kebesaran melampaui kebesaran kita, agar kita tetap dianggap orang-orang terbaik disegala jaman." berkata Ki Lurah.
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Lurah benar, justru kesempatan itu harus kita berikan."
"Masa depan adalah demikian luas dan panjangnya." berkata Ki Lurah, "satu ruang dengan sejuta kesempatan. Tergantung kepada mereka yang akan menjalani masa depan itu."
"Ya." sahut Ki Gede, "mudah-mudahan kesempatan itu tertangkap oleh ketajaman nalar budi mereka. Apalagi jika mereka tidak menangkapnya, maka mereka asal saja melontarkan kesalahan kepada kita yang mendahuluinya. Namun sebaliknya, seperti yang sudah sering aku katakan, kita yang hidup masa sekarang, adalah landasan bagi masa mendatang."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Nampaknya Ki Gede benar-benar telah berpikir tentang masa depan yang pan"jang itu. Terutama tentang siapakah yang akan mendapat kewajiban memimpin Tanah Perdikan itu. Tetapi Ki Lurah tidak berani memberikan pendapatnya tentang nama-nama yang meskipun sudah melintas di kepalanya. Ia merasa berkewajiban untuk menjaga keseimbangan perasaan dan penalaran yang bening dari Ki Gede sendiri, kecuali jika pada suatu saat Ki Gede minta pertimbangannya.
Namun dalam pada itu, Ki Lurahpun telah mohon diri untuk beristirahat digandok sambil melihat apakah cucu-cucunya masih saja bertengkar.
"Keduanya adalah anak-anak bengal dan manja." ber"kata Ki Lurah.
Ki Gede tersenyum sambil berkata, "Silahkan Ki Lu"rah. Tetapi Ki Lurah tidak perlu meminjam cambuk Agung Sedayu untuk melerai mereka dan menghukum yang bersalah."
Ki Lurahpun tertawa. Namun ia masih bertanya, "Apakah Ki Gede tidak beristirahat?"
"Aku sedang beristirahat disini." jawab Ki Gede.
Ki Lurah tertawa semakin keras. Katanya, "Ya, ya. Agaknya Ki Gede memang sedang beristirahat."
Sejenak kemudian, Ki Lurahpun telah berada di gandok. Rara Wulan telah berbaring menelungkup. Ketika Ki Lurah datang, maka iapun bersungut-sungut, "Kek, kenapa kakak selalu mencela sikapku" Apa salahnya jika aku berlatih olah kanuragan?"
"Sudahlah." berkata Ki Lurah, "kalian tidak perlu mempersoalkannya lagi."
"Tetapi kakak masih saja meributkannya." jawab Rara Wulan.
"Wulan selalu mengigau tentang olah kanuragan. Aku menjadi jemu mendengarnya." sahut Teja Prabawa.
"Sudahlah. Kita tamu disini. Inikah yang ingin kita tunjukkan kepada orang-orang padukuhan tentang anak-anak muda yang datang dari kota" Bertengkar" Marah-marah dan tidak dapat mengendalikan diri?" desis Ki Lurah.
Kedua cucu Ki Lurah itupun terdiam. Meskipun keduanya masih berwajah murung.
Sementara itu Ki Lurah"pun telah pergi ke serambi. Sambil memandangi halaman yang luas, Ki Lurah duduk seorang diri. Tiba-tiba saja iapun telah dijangkiti pula angan-angan sebagaimana Ki Gede. Meskipun Ki Lurah tidak terlalu berkepentingan ten"tang masa depan Tanah Perdikan ini. Namun bagi Ki Lurah, sebenarnya ada jalan yang pal"ing baik yang dapat ditempuh Ki Gede. Tetapi Ki Lurah merasa tidak pada tempatnya apabila ia mengusulkannya, apalagi pada saat semuanya baru pada tataran permulaan.
Bagi Ki Lurah, jika Swandaru berkeberatan untuk berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka haknya akan dapat dilimpahkan kepada Sekar Mirah yang memerintah atas namanya. Dengan demikian, maka yang akan mela"kukan tugas itu adalah Agung Sedayu.
Tetapi tentu masih ada seribu macam pertimbangan. Dibanding dengan Sekar Mirah, maka Prastawa nam-paknya mempunyai hak lebih besar jika Swandaru menolak. Kecuali jika hak itu diterima oleh Swandaru dan Agung Sedayu hanya melakukan tugas sehari-hari dalam kedudukan yang khusus. Tetapi Kepala Tanah Perdikan Meno"reh tetap dijabat oleh Swandaru yang mempunyai jabatan rangkap dengan Demang di Sangkal Putung, sehingga setiap saat ia harus mondar-mandir antara Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.
Namun menilik kedudukan Tanah Perdikan lebih tinggi dari Kademangan, maka bermacam-macam kemungkinan memang masih akan dapat terjadi.
Demikianlah, sisa hari itu dihabiskan oleh Ki Lurah un"tuk berada di gardu perondan sampai saatnya mandi dan makan malam bersama Ki Gede dan kedua cucunya. Kemu"dian ketika malam menjadi semakin dalam, merekapun segera beristirahat di bilik masing-masing.
Namun dalam pada itu, meskipun Teja Prabawa menyadari bahwa halaman rumah Ki Gede itu dijaga dengan baik, namun ada juga rasa cemas dihati anak muda itu.
Pagi-pagi Rara Wulan telah bangun dan berbenah diri setelah mandi. Kemudian dengan tergesa-gesa minta agar kakek dan kakaknya segera mandi pula.
"Aku ingin lebih cepat berada di sanggar mbokayu Sekar Mirah. Hari ini mbokayu akan memberikan beberapa peragaan lagi yang harus aku lakukan juga sebagai salah satu cara melakukan pendadaran, apakah aku pantas untuk belajar olah kanuragan atau tidak."
"Bukan urusanku. Aku masih mengantuk." geram Teja Prabawa.
"Tetapi mbokayu tidak mau aku datang lambat, karena setelah itu mbokayu Sekar Mirah masih harus masak untuk dibawa kesawah." sahut Rara Wulan.
"Juga bukan urusanku." Teja Prabawa justru menggeliat.
Ki Lurah Branjangan tersenyum. Katanya, "Baiklah. Kita pergi dahulu. Biarlah Teja Prabawa melanjutkan istirahatnya. Nanti, jika ia berminat, biarlah ia menyusul kita dirumah Agung Sedayu. Bukankah jaraknya tidak terlalu jauh, sehingga ia tidak akan tersesat."
Teja Prabawa mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba saja ia berkata, "Suruh anak itu menjemputku."
"Siapa?" bertanya Ki Lurah.
"Glagah Putih." jawab Teja Prabawa, "bukankah kemarin ia bersedia untuk menjemput kemari."
"Kau masih juga merendahkannya?" bertanya Ki Lurah.
"Tidak. Bukan maksudku kek. Tetapi ia sendiri bersedia melakukannya." jawab Teja Prabawa.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau masih saja belum menyadari, bahwa kau tidak dapat berbangga karena kau anak muda yang datang dari kota" Apakah sekali-sekali kau harus mengalami perlakuan yang dapat mengajarimu menghormati kedudukan anak-anak Tanah Perdikan?"
"Bukan begitu kek." Teja Prabawa menjadi gagap, "aku tidak bermaksud demikian."
"Teja Prabawa." geram Ki Lurah, "kau harus segera menyadari, bahwa kau bukan apa-apa disini. Kau adalah seekor kelinci dipadang yang buas dan dihuni oleh kelompok-kelompok serigala yang garang. Nah, apakah kau masih akan menyombongkan dirimu?"
Teja Prabawa tidak menjawab. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Ia sadar, bahwa kakeknya memang marah.
"Nah, sekarang terserah kepadamu. Kami akan segera berangkat. Apakah kau akan pergi bersama kami, atau kau akan pergi sendiri atau kau akan berada di rumah ini saja." berkata Ki Lurah sambil melangkah keluar untuk pergi ke pakiwan.
Ternyata Ki Lurahpun segera bersiap. Sementara Teja Prabawa menjadi tergesa-gesa mandi pula dan bersiap un"tuk pergi bersama kakek dan adiknya.
Ki Gede tidak dapat menahan mereka ketika Ki Lurah minta diri untuk pergi kerumah Agung Sedayu. Ki Lurah berterus terang bahwa ada niat Rara Wulan untuk belajar olah kanuragan pada Sekar Mirah, sehingga Rara Wulan perlu datang lebih pagi untuk memenuhi permintaan Sekar Mirah.
"Bagus." berkata Ki Gede, "angger Rara Wulan harus patuh. Apalagi nanti, jika Rara benar-benar menjadi murid angger Sekar Mirah. Segala perintah harus dilakukan tanpa membantah."
"Aku akan berusaha Ki Gede. Apapun yang harus aku lakukan." jawab Rara Wulan.
Demikianlah, maka tanpa menunggu makan pagi, ketiga orang itu telah berangkat kerumah Agung Sedayu. Rara Wulan memang ingin segera menemui Sekar Mirah.
Ketika mereka bertiga sampai kerumah Agung Sedayu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih masih sibuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Tetapi Sekar Mirah sudah menunggu kedatangan Rara Wulan yang memang dipesan untuk datang lebih pagi. Mereka akan berada di sanggar le"bih dahulu, justru sebelum Sekar Mirah menyiapkan makan dan minuman yang akan dibawa ke sawah.
"Marilah, silahkan Ki Lurah." Agung Sedayu mempersilahkan, "biarlah Ki Jayaraga menemani Ki Lurah duduk di pendapa. Maaf, aku masih harus mempersiapkan sanggar. Agaknya Rara Wulan dan Sekar Mirah akan mempergunakan pagi ini."
"Silahkan. Kedatanganku jangan sampai mengganggu." berkata Ki Lurah Branjangan.
Ketika Agung Sedayu sibuk membenahi sanggar untuk mempersiapkan beberapa macam alat yang mungkin akan dipergunakan oleh Sekar Mirah, sementara Sekar Mirah masih sibuk memanasi air di dapur, Glagah Putih masih pu"la sibuk dengan kuda-kudanya di kandang.
Namun sejenak kemudian, maka Sekar Mirah telah mengajak Rara Wulan pergi ke sanggar setelah menuang wedang sere ke dalam mangkuk serta menyiapkan gula kelapa. Rara Wulanlah yang membawanya ke pendapa untuk dihidangkan kepada kakeknya, kepada kakaknya dan Ki Ja"yaraga yang menemuinya.
Demikianlah, maka kedua orang itupun sejenak kemu"dian telah berada di dalam sanggar. Ternyata Sekar Mirah tidak sekedar memperagakan beberapa jenis unsur gerak yang paling mendasar sebagaimana dilakukan dihari sebelumnya, tetapi Sekar Mirah telah minta agar Rara Wulan mulai mempelajari beberapa gerak dasar untuk menjajagi kemampuan jasmaniahnya.
Tidak pula seperti dihari sebelumnya, maka Rara Wu"lan harus sudah mengenakan pakaian khusus, meskipun baru dipinjamnya dari Sekar Mirah.
Ternyata bahwa niat Rara Wulan yang bulat telah mendorongnya untuk dapat berbuat sebaik-baiknya sebagai"mana dikehendaki oleh Sekar Mirah. Mula-mula berjalan sa"ja beberapa kali mondar-mandir di dalam sanggar itu. Kemudian berjalan diatas papan yang diletakkan begitu sa"ja di atas tanah. Tetapi kemudian papan itu diletakkan pada alas yang tidak lebih dari sejengkal. Namun Rara Wulan ti"dak hanya sekedar harus berjalan diatas papan itu. Rara Wulan harus mulai menirukan gerakan-gerakan yang sederhana. Beberapa kali, bahkan berulang -ulang sehingga keringat mulai membasahi tubuhnya.
Setelah berulang kali ia melakukan sehingga nampak"nya mulai terbiasa, maka Sekar Mirah telah memberikan contoh yang lain. Bukan saja tangannya yang bergerak, tetapi juga kakinya, sehingga papan itupun menjadi tergetar pada setiap gerakan.
Mula-mula keseimbangan Rara Wulan memang terganggu. Tetapi semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin biasa. Keseimbangan tubuhnya yang terguncang-guncang saat papan itu bergetar, mulai dapat diatasinya. Mes"kipun jika getar papan itu terasa lebih keras, maka Rara Wulanpun harus berusaha semakin cermat agar ia tidak terjatuh.
Demikianlah Sekar Mirah memberikan beberapa contoh gerak yang harus ditirukannya. Meskipun masih pada ge"rak dasar, tetapi bagi, Rara Wulan terasa semakin lama semakin sulit. Bahkan papan itu rasa-rasanya bergetar semakin keras, sehingga akhirnya, Rara Wulan tidak berha"sil mempertahankan keseimbangannya lagi.
Dalam keadaan yang sangat sulit bagi Rara Wulan, maka iapun telah meloncat turun dari papan yang hanya setinggi sejengkal itu.
Rara Wulan dengan wajah murung berdesis, "Aku gagal mbokayu."
Tetapi Sekar Mirah tertawa. Katanya, "Kau belum gagal. Menurut penilaianku, kau akan mampu melakukan latihan-latihan olah kanuragan. Kau mempunyai kemauan yang sangat besar dan nampaknya kau juga mempunyai wadag yang pada dasarnya cukup kuat. Tetapi ingat, bahwa yang kau lakukan itu hanyalah tidak lebih dari hitamnya kuku dari seluruh kegiatan latihan-latihan olah kanuragan. Kau akan menjadi sepuluh kali lebih banyak bergerak. Kau akan menjadi sepuluh kali lebih letih dari se"karang. Dan kau akan menjadi sepuluh kali lebih bersungguh-sungguh dari peragaan yang sederhana ini. Apakah kau sanggup melakukannya?"
Rara Wulan mengangguk. Katanya, "Aku akan mela"kukannya."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, "Tetapi Rara. Sebelumnya Rara harus tahu, bah"wa ilmuku masih jauh dari sempurna. Ilmuku belum mencapai satu tataran yang pantas. Tetapi jika kelak Rara mampu mengembangkan dasar-dasaf ilmu yang akan aku berikan nanti, maka satu kemungkinan yang luas akan dapat Rara capai. Mungkin kemampuan Rara akan justru melampaui kemampuanku."
"Ah, untuk mencapai tataran yang sederhana, mung"kin aku memerlukan waktu sepanjang umurku." berkata Rara Wulan.
"Tentu tidak. Kau memiliki sesuatu yang berharga bagi latihan-latihan yang akan kau lakukan. Nampaknya tubuhmu telah mapan. Sengaja atau tidak sengaja." berkata Sekar Mirah.
"Jauh dari pada itu." jawab Rara Wulan, "namun aku berjanji untuk menjadi patuh."
"Tetapi Rara. Masih ada satu langkah yang harus kau tempuh. Kakek Rara harus bertemu dengan ayah Rara untuk mendapatkan keputusan terakhir, apakah Rara diijinkan atau tidak. Baru kemudian Rara akan dapat menilai dengan latihan-latihan yang sesungguhnya di rumah ini. Satu sarat lagi harus dijalani, Rara akan tinggal di sini. Hidup sederhana dan bekerja keras setiap saat." berkata Sekar Mirah.
Rara Wulan mengangguk lemah. Bukan karena ia segan untuk menjalani laku sebagaimana dikatakan oleh Sekar Mirah. Namun hampir diluar sadarnya ia berdesis, "Apa"kah ayah akan mengijinkan?"
"Bagaimana dengan kakek, Rara?" bertanya Sekar Mirah.
"Kakek justru mendorong aku untuk melakukannya." berkata Rara Wulan.
"Jika demikian, kau harus minta bantuan kakekmu. Ki Lurah tentu akan membantumu." berkata Sekar Mirah.
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirahpun berkata, "Baiklah. Rara dapat beristirahat sebentar. Nanti kita akan bermain-main lagi untuk meyakinkan apakah kewadagan Rara akan mampu mendukung keinginan Rara itu."
"mBokayu akan kemana?" bertanya Rara Wulan.
"Aku akan kedapur sejenak." jawab Sekar Mirah, "kau tidak usah ikut. Kau disini saja melihat-lihat peralatan di sanggar ini. Kau dapat membayangkan, apakah kira-kira gunanya. Juga jenis-jenis senjata yang barangkali belum pernah kau lihat. Meskipin senjata yang dikumpulkan kakang Agung Sedayu tidak selengkap yang dikumpulkan oleh Ki Gede, tetapi beberapa contoh senjata yang ada dapat dianggap cukup memadai untuk memperkaya pengenalan olah senjata dari berbagai jenis."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan menunggu disini."
Demikianlah, maka Sekar Mirahpun telah meninggalkan sanggar dan pergi ke dapur. Ia harus menyiapkan makanan yang akan dihidangkan di pendapa.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu menemuinya dan berkata, "Kami akan pergi dahulu sebentar."
"Maksud kakang" Kakang bersama Glagah Putih atau siapa?" bertanya Sekar Mirah.
"Tidak. Aku hari ini sudah berjanji dengan anak-anak untuk memperbaiki bendungan kecil di sebelah padukuhan induk ini. Ki Lurah Branjangan dan Teja Prabawa akan per"gi pula bersama aku untuk melihat-lihat." jawab Agung Sedayu.
"Ki Jayaraga dan Glagah Putih?" bertanya Sekar Mirah.
"Ki Jayaraga akan pergi ke sawah. Kemarin ia sudah tidak pergi. Glagah Putih akan tinggal di rumah. Ia akan membawa kiriman makanan dan minuman ke sawah bersa"ma anak bengal itu." jawab Agung Sedayu.
Sekar Mirah tersenyum. Ia mengerti yang dimaksud anak bengal itu. Tentu pembantu rumahnya yang kadang-kadang nampak nakal, tetapi kadang-kadang lembut dan murung.
"Ia mulai suka berkelahi sekarang." desis Agung Sedayu, "aku sudah memperingatkan."
"Serahkan kepada Glagah Putih. Ia memang sering menirukan unsur-unsur gerak Glagah Putih. Mungkin anak itu melihat sekali-sekali jika Glagah Putih kadang-kadang melemaskan tubuhnya pagi-pagi di kebun belakang. Agak"nya Glagah Putih harus lebih banyak memperhatikannya." jawab Sekar Mirah. Lalu katanya, "Jika ia serba sedikit belajar kepada Glagah Putih, maka sifat ingin tahunya itu akan tersalur sehingga akan mengurangi keinginannya untuk berkelahi dan mencoba-coba. Karena sambil belajar, Glagah Putih akan dapat memberinya nasehat-nasehat."
"Aku akan mengatakannya kepada Glagah Putih nanti." sahut Agung Sedayu yang kemudian minta diri untuk pergi ke bendurigan bersama Ki Lurah dan Raden Teja Pra"bawa.
Sekar Mirah yang ikut ke pendapa kemudian mendapat pesan dari Ki Lurah untuk disampaikannya kepada Rara Wulan, bahwa Ki Lurah dan Raden Teja Prabawa melihat-lihat Tanah Perdikan itu bersama Agung Sedayu.
"Aku akan menyampaikannya, Ki Lurah." sahut Sekar Mirah.
Ketika kemudian Ki Lurah dan Raden Teja Prabawa telah meninggalkan halaman, maka Ki Jayaragapun telah bersiap-siap pula pergi kesawah. Pada saat-saat terakhir, Ki Ki Jayaraga merasakan ketenangan hidup dan arti yang wajar dari sisa-sisa hidupnya dengan bekerja di sawah ber"sama beberapa orang yang memang bekerja bagi Agung Se"dayu. Dengan bekerja di sawah, maka Ki Jayaraga tidak merasa dirinya terasing dari kewajaran hidup orang kebanyakan. Ia merasa dirinya seperti orang lain. Hidup, bekerja, makan dan lebih dari itu, mengabdikan hidupnya kepada Yang Maha Agung dengan berbagai cara yang mampu dilakukannya, disamping saat-saat yang memang telah dikhususkan untuk menghadap.
Namun sebelum berangkat Ki Jayaraga sempat ber"kata, "Jika kau tenggelam di sanggar, maka aku harus bersedia ikat pinggang rangkap hari ini."
Sekar Mirah tertawa. Katanya, "Tentu tidak. Pada saatnya Glagah Putih dan anak itu akan sampai di sawah. Seandainya terlambat, tentu tidak akan terlalu lama."
"Tidak terlalu lama sampai kapan?" bertanya Ki Ja"yaraga.
"Sampai matahari turun." jawab Sekar Mirah.
Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Namun katanya, "Suruh Glagah Putih membawa usungan. Aku tentu su"dah pingsan."
Sekar Mirah masih tertawa. Sementara Ki Jayaraga yang juga tertawa telah melangkah membawa cangkul di pundaknya, menuju ke regol dan kemudian turun ke jalan.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Orang tua itu sama sekali tidak mengesankan orang yang berilmu tinggi. Sikapnya kata-katanya dan ujudnya, tidak lebih dari petani kebanyakan. Perasaan kecewa yang mencengkam jantungnya, karena tidak seorangpun dari murid-muridnya yang memenuhi keinginannya, membuatnya lebih dekat dengan alam. Satu-satunya harapanya terletak di pundak Glagah Putih. Muridnya yang bungsu.
Sepeninggal Ki Jayaraga, Sekar Mirah telah mencari pembantu rumahnya. Ketika anak itu diketemukan sedang menyiapkan kayu bakar, maka Sekar Mirahpun berkata, "Tolong, kau kuliti keluwih di dapur itu. Nanti aku akan memasaknya untuk mengirim makan ke sawah."
Anak itu tidak menjawab. Tetapi dikumpulkannya kayu bakar itu dan dibawanya ke dapur sekaligus. Di dalam dapur itu didapatinya beberapa buah keluwih yang akan dimasak bagi orarig-orang yang bekerja di sawah. Sementara itu, nampaknya Sekar Mirah akan membuat bothok mlandhingan, karena seonggok mlandhingan ada di dapur itu pula, serta beberapa buah kelapa yang nam"paknya dipetik kemarin oleh Glagah Putih.
Sementara itu, Sekar Mirah telah masuk kembali ke dalam sanggar. Namun ia masih sempat melihat Glagah Putih yang masih sibuk membersihkan kandang dan kuda-kudanya.
Dalam pada itu Rara Wulan masih berada di dalam sanggar. Sekar Mirah yang kemudian mendekatinya, me"mang menunggunya berbicara. Apakah Rara Wulan tertarik dengan isi sanggar itu atau tidak. Jika ia tertarik, maka dimanakah letak perhatiannya yang terbesar.
Meskipun demikian, Sekar Mirah menjadi berdebar-debar juga. Ia tidak ingin Rara Wulan bertanya tentang hal lain kecuali isi sanggar itu. Jika demikian, maka perhatian"nya tidak sepenuhnya tertuju kepada kemungkinan-kemungkinan yang dapat dicapainya dalam olah kanuragan.
Namun yang diucapkan Rara Wulan pertama-tama, "Mbokayu lama sekali."
Sekar Mirah tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Namun ternyata sebagaimana diharapkan oleh Sekar Mirah, Rara Wulan bertanya, "Darimana kita akan mulai berlatih mbokayu. Ketika mbokayu menunjukkan kemam"puan mbokayu dalam olah kanuragan, aku sama sekali tidak mengerti, darimanakah mbokayu memulainya. Namun yang aku ingat, hampir disaat terakhir, mbokayu justru bergerak diatas amben bambu tua itu."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Barulah ia menjawab, "Dalam olah kanuragan, beberapa orang tidak selalu mulai dari langkah yang sama. Namun pada umumnya, mereka mulai dengan mempelajari unsur-unsur gerak dasar yang paling sering dipergunakan. Setelah kita memahami beberapa unsur, maka kita mulai mempelajari unsur-unsur ganda yang sering kita pergunakan. Beberapa unsur ganda yang kemudian harus dikembangkan sendiri dengan ketajaman panggraita. Bahkan kadang-kadang menuntut kecepatan berpikir dan mengambil sikap. Apalagi di dalam pertempuran, Namun untuk dapat mengambil sikap yang benar, diperlukan alas yang mapan. Untuk itu diperlukan waktu."
"Beberapa lama aku dapat menguasai pengetahuan dasar itu mbokayu?" bertanya Rara Wulan.
"Jika kau benar-benar ingin maju, maka pengetahuan dasarmu harus kokoh. Kau memerlukan waktu sekitar dua tahun untuk menguasai pengetahuan dasar olah kanuragan. Dalam waktu dua tahun kau akan dapat menguasai semua unsur gerak dari satu perguruan. Unsur-unsur tunggal dan unsur-unsur ganda. Dalam dua tahun kau sudah mendapat petunjuk-petunjuk yang akan mencuat dari dalam dirimu sendiri, bagaimana unsur itu harus dipergunakan menghadapi unsur-unsur yang belum kau kenal. Rangkaian dan hubungan unsur yang satu dengan yang lain, serta watak setiap unsur itu. Di tahun-tahun berikutnya, kau sudah dapat mulai mengembangkannya berdasarkan atas pengalamanmu serta ilmu perbandingan yang mungkin kita peroleh dari orang-orang yang dapat kita ajak berlatih bersama, namun bersumber dari jalur ilmu perguruan yang lain. Latihan-latihan semacam itu akan dapat memperkaya pengenalan kita atas ilmu kanuragan serta kemungkinan-kemungkinannya." jawab Sekar Mirah.
Rara Wulan mengangguk-angguk. Ia memang men"dapat gambaran, bahwa yang harus dilakukannya jika ia memang ingin benar-benar mempelajari olah kanuragan adalah laku yang berat dan lama. Ia harus tekun dan sabar. Bersungguh-sungguh dan bekerja keras tanpa mengenal lelah.
Dalam pada itu, maka Sekar Mirahpun kemudian ber"kata, "Marilah. Kita coba, apakah wadagmu akan dapat mendukung niatmu yang mantap itu."
Rara Wulan kemudian telah mempersiapkan diri. Dengan dada tengadah ia menyahut, "Aku sudah siap."
Sekar Mirahpun kemudian telah membawa Rara Wulan kebawah sebuah palang kayu yang dibubut bulat dengan tiang dikedua ujungnya hampir setinggi tubuh bersusun. Dengan satu loncatan Sekar Mirah menggapai palang kayu itu dan kemudian mengangkat tubuhnya yang terayun beberapa kali bertumpu pada tangannya yang berpegang palang itu.
Setelah beberapa kali melakukannya, maka Sekar Mirah telah mempersilahkan Rara Wulan melakukannya.
Rara Wulan tidak membantah. Mula-mula ia memang ragu-ragu, apakah ia mampu menggapai palang kayu itu. Namun dengan satu keyakinan yang mantap, maka iapun telah meloncat dengan kekuatan yang justru telah membuat Rara Wulan sendiri heran. Ternyata tangannya mam"pu menggapai palang itu sehingga tubuhnya terayun sebagaimana Sekar Mirah.
"Nah, angkat tubuhmu, sehingga dagumu sampai ke palang itu." berkata Sekar Mirah.
Rara Wulan memang mencobanya. Betapa beratnya. Namun ia telah melakukannya dengan niat yang menghen"tak-hentak di dadanya, sehingga akhirnya iapun telah berhasil.
Sekar Mirah tersenyum. Kemudian katanya, "Sudahlah, turunlah. Kau sudah cukup mencoba kemampuan wadagmu. Tanpa ada orang lain, maksudku, aku atau orang yang telah mempelajari olah kanuragan sedikit jauh, jangan mencoba-coba dengan memaksa diri, agar wadagmu tidak mengalami gangguan. Dengan pengawasan orang lain yang mengetahui serba sedikit tentang olah kanuragan, maka ia akan dapat membantu mengamati pengerahan kekuatan yang ada di dalam dirimu namun yang sama sekali belum diolah itu. Jika tanpa orang lain, maka kau akan dapat melakukannya melampaui batas, sehingga akibatnya justru jurang menguntungkan."
Rara Wulan yang telah turun kembali itu menganggukkan kepalanya. Namun iapun berkata, "Ternyata menarik sekali untuk mengalami latihan-latihan yang akan dapat membentuk diri. Maaf mbokayu, mungkin angan-anganku terlalu tergesa-gesa maju. Namun aku akan tunduk kepada semua paugeran."
"Baiklah. Sekarang, lakukan apa saja yang ingin kau lakukan dengan alat-alat yang ada. Terserah kepadamu." berkata Sekar Mirah.
Rara Wulan termangu-mangu. Ia tidak tahu maksud Sekar Mirah. Namun Sekar Mirah mengulanginya " Di sini ada bermacam-macam alat. Lakukan apa saja. Kau pernah melihat aku serba sedikit memperagakan olah kanuragan.
Rara Wulan masih saja termangu-mangu. Namun kemudian iapun mulai bergerak. Ia mencoba mengingat apa yang pernah dilakukan oleh Sekar Mirah. Namun yang diingatnya adalah, bahwa Sekar Mirah itu bagaikan berterbangan saja di dalam sanggar itu.
Karena itu, maka yang dilakukan oleh Rara Wulan kemudian adalah berlari-lari saja berkeliling. Sekali-sekali menyusup diantara tonggak-tonggak batang kelapa yang ti"dak sama tingginya. Namun kemudian menyusup tonggak-tonggak serupa, namun yang lebih kecil terbuat dari bambu petung. Adalah di luar sadarnya bahwa Rara Wulan kemu"dian memanjat tangga dan mencoba untuk meniti palang yang hanya setinggi dada. Dengan sedikit kesulitan Rara Wulan ternyata mampu menjaga keseimbangan melampaui palang itu dengan kedua tangannya mengembang. Ia meloncat turun ketika ia sampai di ujung palang.
Namun kemudian ketika ia tidak lagi tahu harus berbuat apa, maka diakhirinya langkah-langkahnya itu sebagaimana pernah dilakukan oleh Sekar Mirah. Meloncat keatas amben tua itu. Tetapi ternyata bahwa amben tua itu justru telah patah dan roboh.
"O" Rara Wulan terkejut. Ia segera meloncat ke samping.
Wajahnya tiba-tiba menjadi pucat. Dipandanginya am"ben bambu yang roboh dan patah kakinya itu.
Tetapi Sekar Mirah justru tertawa. Katanya, "Pada saatnya kau akan dapat menari di atas amben itu. He, apakah kau dapat menari?"
Rara Wulan justru terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia tidak mengira bahwa tiba-tiba saja Sekar Mirah bertanya tentang kemampuannya menari. Karena itu, hampir di luar sadarnya pula Rara Wulan mengangguk sambil menjawab, "Ya. Aku memang pernah belajar menari."
"Aku sudah mengira." berkata Sekar Mirah, "gadis-gadis kota pada umumnya memang dapat menari."
"Tidak semuanya." jawab Rara Wulan.
"Tetapi Rara dapat menari." berkata Sekar Mirah, "ajari aku menari."
Rara Wulan termangu-mangu. Namun iapun kemudian telah tersenyum pula ketika Sekar Mirah menepuk bahunya sambil tertawa dan berkata, "Aku sudah terlalu tua."
Rara Wulan tidak menyahut. Sementara itu Sekar Mi"rahpun berkata, "Aku kira sudah cukup hari ini. Kita akan latihan di dapur. Jika kita terlambat, Ki Jayaraga akan bergeremang sehari penuh."
Rara Wulan hanya mengangguk saja, sementara Sekar Mirah telah berbenah diri. Ketika Rara Wulan akan membenahi amben yang rusak, Sekar Mirah berkata, "Biar saja. Nanti kakang Agung Sedayu akan memperbaikinya. Sekarang kita pergunakan waktu beberapa saat untuk menenangkan diri."
Rara Wulanpun kemudian menirukan saja apa yang di"lakukan oleh Sekar Mirah yang seakan-akan telah mengendapkan segenap gejolak di aliran darahnya. Beberapa saat kemudian, keduanya telah keluar dari sanggar. Berganti pakaian dan langsung sibuk didapur. Mereka memang agak terlambat. Tetapi Sekar Mirah tidak bekerja sendiri. Tetapi ia bekerja bersama Rara Wulan sehingga segala sesuatunya menjadi lebih cepat dapat diselesaikan.
Namun dalam pada itu, selagi keduanya sibuk di dapur, Glagah Putih telah melangkah masuk. Ia memang ragu-ragu sesaat ketika ia melihat Rara Wulan ada pula di dapur. Namun kemudian katanya, "mBokayu, ada tamu di pen"dapa."
"Tamu" Bukankah kau dapat menemuinya" Aku sedang masak. Nanti terlambat." berkata Sekar Mirah.
"Agaknya hanya sebentar. Tamu dari Jati Anom. Ia ingin berbicara dengan kakang Agung Sedayu." berkata Glagah Putih.
"Dari Jati Anom" Siapa?" bertanya Sekar Mirah.
"Seorang cantrik. Utusan Kiai Gringsing." jawab Glagah Putih.
Kening Sekar Mirah telah berkerut. Katanya kepada Rara Wulan, "Tungguilah perapian itu Rara. Aku akan menemui tamu itu"
Rara Wulan mengangguk-angguk sambil menyahut, "Silahkah mbokayu."
Bersama Glagah Putih, Sekar Mirahpun kemudian te"lah pergi ke pendapa untuk menemui tamu yang datang dari Jati Anom itu. Bagaimanapun juga Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Menurut pengertiannya kesehatan Kiai Gringsing agak kurang baik.
Ketika Sekar Mirah keluar dari ruang dalam, maka dilihatnya seorang anak muda duduk di pendapa. Begitu anak muda itu melihat Sekar Mirah, maka iapun segera mengangguk hormat. Sekar Mirahpun tersenyum. Ia mengenal anak muda itu sebagai seorang cantrik di padepokan kecil Kiai Gringsing.
Sambil duduk di hadapan anak muda itu bersama Glagah Putih, maka Sekar Mirah yang segera ingin tahu tentang Kiai Gringsing itupun telah bertanya, "Apa kabar dengan Kiai Gringsing?"
Cantrik itu mengangguk sekali lagi sambil menjawab, "Baik-baik saja Nyi. Bahkan beberapa hari ini Kiai Gring"sing nampak lebih sehat."
"O" Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Syukurlah jika keadaan Kiai Gringsing sudah berangsur baik. Dengan demikian agaknya kedatanganmu tidak membawa kabar yang dapat menggelisahkan kakang Agung Sedayu. Justru karena keadaan kesehatan Kiai Gringsing, aku sudah merasa cemas."
"Ya Nyi. Tetapi aku memang harus segera menemui kakang Agung Sedayu. Hari ini aku akan segera kembali ke Jati Anom." berkata orang itu.
"Kenapa begitu tergesa-gesa" Apakah ada kabar yang penting sekali." bertanya Sekar Mirah.
"Memang penting sekali." sahut orang itu.
"Tetapi kau dapat menunggu. Kakang Agung Sedayu baru menunggui anak-anak muda yang sedang memperbaiki bendungan di kali kecil di sebelah pedukuhan induk ini Tentu tidak akan terlalu lama." berkata Sekar Mirah.
"Atau barangkali lebih baik jika aku menyusulnya." berkata cantrik itu.
Sekar Mirah termangu-mangu. Nampaknya anak muda itu memang membawa berita yang cukup penting, sehingga ia tidak sabar menunggu. Karena itu, maka iapun berkata kepada Glagah Putih, "jika demikian, antarkan cantrik ini ke bendungan."
Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, "Baik mbokayu."
"Tetapi kau harus segera pulang. Masih ada kerja bagimu. Kecuali jika ada persoalan yang mendesak." ber-kata Sekar Mirah.
"Baiklah." jawab Glagah Putih.
Demikianlah, maka kedua orang anak muda itupun segera meninggalkan halaman rumah Agung Sedayu itu.
Meskipun tidak terlalu jauh, tetapi karena tamunya berkuda dan nampak tergesa-gesa, maka Glagah Putihpun telah berkuda pula. Beberapa saat kemudian, maka kedua orang itu sudah berada di dekat bendungan yang sedang sibuk dikerjakan.
Beberapa orang anak muda yang melihat Glagah Putih telah menyapanya. Bahkan seorang diantara mereka ber"Tanya, "He, kenapa kau hari ini malas sekali Glagah Putih. Kenapa kau tidak turun ke bendungan?"
Glagah Putih tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Ia tidak mengatakan bahwa hari itu ia akan pergi ke sawah menyampaikan kiriman buat Ki Jayaraga dan orang-orang yang bekerja di sawah, karena Sekar Mirah tidak dapat melakukannya selagi ia menemui Rara Wulan.
Namun demikian, tiba-tiba saja sebuah pertanyaan muncul di hatinya, "Jika Rara Wulan itu belajar ilmu kanu"ragan pada mbokayu Sekar Mirah, apakah untuk seterusnya akulah yang pergi ke sawah membawa kiriman" Dengan demikian berarti aku kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu bersama anak-anak muda Tanah Perdik"an."
Tetapi pertanyaan itu telah dijawabnya sendiri, "Ten"tu tidak. Malahan Rara Wulan itu akan dapat membantu mbokayu Sekar Mirah membawa makanan ke sawah."
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu yang melihat se"orang cantrik dari Jati Anom datang ke bendungan itu, dengan serta merta telah mendekatinya. Iapun menjadi gelisah justru karena keadaan gurunya yang lemah. Tetapi cantrik itu segera menjelaskan, bahwa keadaan Kiai Gringsing justru berangsur baik.
"Jadi, untuk apa kau kemari?" bertanya Agung Sedayu.
Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kata"nya kemudian, "Kiai Gringsing ingin bertemu dengan Kakang Agung Sedayu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Jadi guru memanggil aku?"
"Ya. Kiai Gringsing memanggil kakang Agung Se"dayu." jawab cantrik itu.
"Kapan?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Kiai Gringsing tidak memberi batas waktu. Menurut Kiai Gringsing, jika kakang Agung Sedayu sudah longgar waktunya, maka segera dimohon untuk datang." jawab cantrik itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Marilah. Aku akan pulang. Kita berbicara di rumah. Pergilah dahulu bersama Glagah Putih. Aku akan segera menyusul."
"Keperluanku sudah selesai. Aku harus segera kem"bali ke Jati Anom." berkata cantrik itu.
"Tunggu aku di rumah." berkata Agung Sedayu.
Ketika cantrik itu akan menjawab lagi, Agung Sedayu telah mendahuluinya pula, "Sudahlah. Tunggu aku di rumah."
Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat membantah. Karena itu, maka iapun kemudian ber"sama Glagah Putih telah diajak kembali ke rumah mendahului Agung Sedayu yang akan pulang bersama Ki Lurah Branjangan dan cucunya, Raden Teja Prabawa.
Agung Sedayupun kemudian terpaksa minta diri. Se"orang bebahu akan meneruskan kerjanya, menunggu me"reka yang sedang memperbaiki bendungan itu.
Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu telah menerima tamunya di pendapa bersama Glagah Putih, semen"tara Ki Lurah Branjangan dan Raden Teja Prabawa, dipersilahkan untuk duduk di ruang dalam. Ki Lurah mengerti, bahwa yang dikatakan oleh cantrik itu tentang pesan Kiai Gringsing, mungkin tidak seluruhnya boleh didengar oleh orang lain.
"Apakah kau tahu, kenapa guru memanggilku?" ber"tanya Agung Sedayu.
"Aku kurang tahu. Tetapi Kiai Gringsing baru saja mengadakan perjalanan selama lima hari." jawab cantrik.
"Jadi dengan kesehatannya yang kurang baik itu guru mengadakan perjalanan?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Kami sudah berusaha mencegahnya. Tetapi menurut Kiai Gringsing, perjalanan itu hanya perjalanan pendek dan tidak akan membuatnya semakin buruk." ber"kata cantrik itu.
"Apa yang memaksa guru untuk menempuh perjalan"an itu?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Kami tidak tahu " jawab cantrik itu, "tetapi sebelumnya Kiai Gringsing telah bertemu dengan Ki Untara. Kiai Gringsing tidak mengatakan sesuatu atas pembicaraannya dengan Ki Untara. Namun kemudian Kiai Gring"sing memutuskan untuk pergi."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tentu ada sesua"tu yang sangat mendesak, sehingga Kiai Gringsing yang kesehatannya tidak begitu baik itu harus pergi. Karena itu, maka Agung Sedayupun menganggap bahwa panggilan gurunya itupun tidak akan dapat ditunda-tunda lagi.
"Baiklah." berkata Agung Sedayu kemudian, "aku akan berusaha secepatnya datang. Hari ini aku akan berbicara dengan beberapa orang di Tanah Perdikan ini untuk membagi pekerjaan. Akupun harus minta diri kepada Ki Gede, sementara di rumah ini sedang ada tamu dari kota."
"Kiai Gringsing memang tidak memberikan batas waktu. Kiai Gringsing juga sudah mengatakan, bahwa untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, kakang Agung Sedayu tidak dapat begitu saja pergi. Karena itu, maka aku akan mengatakan bahwa kakang akan datang di Jati Anom sekitar dua tiga hari lagi."
"Ya. Aku akan pergi ke Jati Anom besok lusa." jawab Agung Sedayu.
"Jika demikian, maka aku sudah dapat mohon diri sekarang." berkata cantrik itu.
"Tentu saja kau dapat minta diri. Tetapi aku minta kau menunggu sampai kami sempat menghidangkan makan lebih dahulu." berkata Agung Sedayu.
"Terima kasih." jawab cantrik itu.
"Kau tidak dapat menolaknya. Tidak baik menolak rejeki. Apalagi kau dalam perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan." berkata Agung Sedayu.
Cantrik itu tidak dapat menolak. Baru sesudah makan dan beristirahat sejenak bersama-sama dengan Ki Lurah Branjangan dan Raden Teja Prabawa, maka iapun minta diri.
Agung Sedayu tidak mencegahnya. Sementara cantrik itu berangkat kembali ke Jati Anom, Glagah Putih dan pembantu rumah Agung Sedayu itu pergi ke sawah.
"Cepat sedikit." pesanSekar Mirah, "memang agak terlambat. Tetapi katakan kepada Ki Jayaraga, bahwa kelambatan ini bukan karena kelambatanku. Tetapi ada tamu dari Jati Anom yang harus aku layani makan dan minum lebih dahulu."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Tetapi belum lambat sekali."
"Tetapi cepatlah." minta Sekar Mirah.
"Apakah aku harus pergi berkuda?" bertanya Gla"gah Putih sambil tertawa.
"Ah kau." Sekar Mirahpun tertawa pula.
Rara Wulan tidak menyambung. Tetapi hampir saja ia menyatakan dirinya untuk ikut pergi ke sawah. Tetapi ia tahu, bahwa ayah dan kakaknya telah kembali, sehingga kakaknya tentu akan marah lagi kepadanya.
Demikianlah maka Glagah Putih dan pembantu di rumah itu dengan tergesa-gesa pergi kesawah. Mereka meniti pematang untuk mengambil jalan pintas.
Dalam pada itu, selagi Ki Lurah Branjangan dan kedua cucunya beristirahat di pendapa sambil menghirup angin yang dapat sedikit menyejukkan udara yang agak panas, maka Agung Sedayu tengah berbicara dengan Sekar Mirah didapur.
"Jadi kakang harus pergi ke Jati Anom?" bertanya Sekar Mirah.
"Ya. Aku memang terpaksa pergi. Jika tidak penting sekali, guru tidak akan memerintahkan seorang cantrik un"tuk menyusul aku. Aku agaknya lupa menanyakan, apakah Swandaru juga dipanggil oleh guru. Jika demikian, sebaiknya kami datang pada hari yang sama." berkata Agung Se"dayu.
"Tetapi sebaiknya kakang datang saja dahulu. Jika perlu kakang dapat memanggil kakang Swandaru." ber-kata Sekar Mirah.
"Ya. Aku akan datang besok lusa. Hari ini dan besok aku masih harus memberikan beberapa pesan kepada anak-anak muda sesuai dengan rencana yang telah kami susun. Aku juga harus minta diri kepada Ki Gede." Agung Seda"yu berhenti sejenak, lalu, "Tetapi bagaimana dengan Ki Lurah?"
"Tidak apa-apa." jawab Sekar Mirah, "yang berkepentingan adalah Rara Wulan. Menurut penilaianku, Rara Wulan memiliki bekal kekuatan jasmaniah yang besar, sehingga aku berharap bahwa ia tidak akan terlalu banyak mengalami kesulitan. Yang penting untuk dituntut daripadanya adalah kesungguhan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata, "Tetapi agaknya Rara Wulan masih harus mendapat ijin dari orang tuanya."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Tetapi jangan karena persoalan itu kakang Agung Sedayu terhambat. Kiai Gringsing tentu benar-benar memerlukan kehadiran kakang."
"Ya." Agung Sedayu mengangguk-angguk, "Perjalanan yang dilakukan oleh guru juga sangat menarik perhatian. Guru yang sudah sangat tua dan kesehatannya yang sedang terganggu itu telah memaksa diri untuk pergi. Ten"tu sesuatu yang sangat penting telah terjadi."
"Dengan siapa kakang pergi" Glagah Putih atau Ki Jayaraga" Dalam keadaan seperti ini sebaiknya kakang tidak pergi sendiri. Aku tidak mencemaskan keselamatan kakang, tetapi barangkali kakang memerlukan seseorang untuk memberikan kabar kepada siapapun juga jika ada persoalan di perjalanan. Sementara orang itupun harus se"orang yang sanggup melindungi dirinya sendiri." berkata Sekar Mirah.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kata"nya kemudian, "Aku akan pergi bersama Glagah Putih. Biarlah Ki Jayaraga membantumu disini. Apalagi jika mungkin Ki Gede memerlukannya."
"Tetapi bukankah kakang akan mengatakannya juga kepada Ki Lurah Branjangan?" bertanya Sekar Mirah.
"Sudah tentu." jawab Agung Sedayu.
"Maksudku seawal mungkin." desis Sekar Mirah.
"Mungkin Ki Lurah sudah mengerti meskipun ia tidak mendengar keterangan cantrik itu langsung." berkata Agung Sedayu.
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun katanya kemudia, "Marilah. Kita ke pendapa."
Keduanyapun kemudian telah pergi ke pendapa. Dengan pendek Agung Sedayupun kemudian mengatakan bahwa cantrik itu telah menyampaikan pesan Kiai Grings"ing, agar ia pergi ke Jati Anom.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Tentu ada hal yang sangat penting. Angger memang harus datang."
"Aku sudah berjanji, besok lusa aku akan datang di Jati Anom." jawab Agung Sedayu.
"Kenapa tidak hari ini" Mungkin persoalannya sangat mendesak." berkata Ki Lurah.
"Tidak Ki Lurah, Cantrik itu mengatakan, jika segala sesuatunya longgar disini." desis Agung Sedayu.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demi"kian, maka agaknya Kiai Gringsing memang menghadapi persoalan yang sangat penting, tetapi tidak mendesak sekali untuk mendapatkan penyelesaian."
"Agaknya memang begitu." Agung Sedayu meng"angguk-angguk.
"Jika demikian, kita akan pergi bersama-sama." Ber"kata Ki Lurah.
"Ki Lurah akan kemana?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku sudah terlalu lama disini ngger. Agaknya kedua cucuku sudah cukup beristirahat." jawab Ki Lurah, "me-reka akan kembali memasuki kehidupan mereka sehari-hari dalam lingkungan mereka."
"Tetapi bagaimana dengan aku, kakek?" bertanya Rara Wulan.


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mengerti. Tetapi kau harus berbicara dengan ayah dan ibumu." berkata Ki Lurah.
"Kakek yang mengatakan kepada ayah dan ibu." berkata Rara Wulan, "bukankah kakek berjanji?"
Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Aku akan mengatakannya kepada ayah dan ibumu. Tetapi kaupun harus menyesuaikan dirimu sebagaimana sikap ayah dan ibumu. Apalagi dalam keadaan yang nampaknya menjadi semakin hangat ini."
"Pokoknya terserah kepada kakek." desis Rara Wulan.
Tetapi Raden Teja Prabawalah yang menyahut, "Kau harus mendengar keputusan terakhir dari ayah dan ibu."
"Aku tahu." jawab Rara Wulan, "tetapi kakek akan dapat mempengaruhi keputusan terakhir itu."
Teja Prabawa masih akan menjawab. Tetapi Ki Lurahlah yang menengahinya, "Sudahlah. Semuanya akan menjadi urusanku. Sekarang kalian tidak usah memamerkan kebiasaanmu bertengkar kepada kakangmu Agung Se"dayu dan mbokayumu Sekar Mirah."
Kedua cucu Ki Lurah itu memang terdiam. Sementara itu Ki Lurah berkata, "Kita akan kembali bersama kakang"mu Agung Sedayu."
"Apakah Ki Lurah tidak ingin berada di Tanah Per"dikan ini lebih lama lagi. Mungkin aku hanya satu dua hari saja berada di Jati Anom." berkata Agung Sedayu.
Tetapi Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Jika ayah dan ibu Wulan mengijinkan, maka aku akan segera kembali mengantarkan anak ini."
Tetapi Sekar Mirahlah yang kemudian berdesis, "Nam"paknya akan sangat berbahaya jika Ki Lurah hanya berdua saja dengan Rara menempuh perjalanan. Meskipun murid Ki Sigarwelat itu tidak berniat lagi untuk berbuat buruk, tetapi jika mereka bertemu dengan Rara Wulan dan Ki Lurah dalam perjalanan, mungkin niat jahat itu akan dapat timbul dengan serta merta."
Ki Lurah mengerutkan keningnya. Sambil mengang"guk angguk ia berkata, "Memang mungkin sekali hal itu terjadi."
"Jika demikian Ki Lurah." berkata Agung Sedayu, "jika kelak aku kembali dari Jati Anom, biarlah aku singgah dirumah Ki Lurah. Jika Ki Lurah memang ingin pergi ke Tanah Perdikan ini, kita akan dapat pergi bersama-sama."
"Baiklah." berkata Ki Lurah, "aku akan menunggu sampai angger Agung Sedayu kembali dari Jati Anom. Pergi atau tidak pergi aku tentu memerlukan kehadiran angger kelak."
Demikianlah maka ternyata Ki Lurah telah menentukan untuk bersama-sama dengan Agung Sedayu dan Gla"gah Putih kembali ke Mataram. Dengan demikian maka perjalanan merekapun akan menjadi lebih aman. Terutama bagi Rara Wulan.
Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka sebelum berangkat ia memang harus mengatur tugas-tugasnya di Tanah Perdikan serta minta diri kepada Ki Gede. Sedangkan Ki Lurah Branjanganpun sekaligus telah minta diri pu"la bersama-sama dengan kedua cucunya untuk kembali ke Mataram pada saat yang bersamaan dengan kepergian Agung Sedayu.
Namun Ki Lurah itu berkata, "Tetapi kami hanya berjalankaki ngger. Jika angger Agung Sedayu tidak tergesa-gesa, maka kami berharap untuk bersedia berjalan bersama kami dengan menuntun kuda sampai ke Mataram."
"Apakah kedua cucu Ki Gede tidak lelah?" bertanya Agung Sedayu.
"Kami datang sudah dengan niat untuk menempuh sebuah perjalanan. Kami ingin mencoba kemampuan kami berjalan meskipun ternyata kami harus berhenti lima puluh kali sepanjang perjalanan kemari dari Mataram." jawab Ki Lurah.
Ki Gede tertawa. Agung Sedayupun tertawa pula. Namun dalam pada itu, sebelum Agung Sedayu berangkat, pagi-pagi benar sebelum dini hari dihari berikut"nya, maka menjelang sore hari sebelumnya telah datang dua orang penghubung berkuda. Keduanya telah membawa berita yang memang mendebarkan. Dalam beberapa hari lagi, Ki Panji Wiralaga akan datang untuk melaksanakan rencana yang pernah disusun.
"Beberapa hari lagi itu maksudnya kapan?" berta"nya Ki Gede, "satu dua hari, sepekan atau sepuluh hari?"
"Belum dapat dipastikan. Tetapi diminta Ki Gede bersiap-siap." jawab penghubung itu.
Ketika kemudian Agung Sedayu juga dipanggil ke ru"mah Ki Gede, maka Agung Sedayu berjanji esok hari, jika ia pergi ke Jati Anom akan singgah ke rumah Ki Panji Wiralaga bersama Ki Lurah Branjangan. Segala sesuatunya akan menjadi lebih jelas.
Sepeninggal orang itu, maka Ki Gede, Ki Lurah Branjangan dan Agung Sedayu sempat berbicara sejenak. Menurut pengamatan mereka, maka keadaan memang menjadi semakin gawat.
Kedua orang penghubung itu tidak memberikan gambaran keadaan sama sekali. Tetapi bahwa ia datang un"tuk memberi tahukan agar Ki Gede mengambil ancang-ancang untuk membentuk satu pusat pengendalian kekuatan di Tanah Perdikan ini dan sekitarnya tentu karena keadaan yang semakin mendesak.
"Mudah-mudahan besok kita mendapat gambaran yang lebih jelas di Mataram." berkata Agung Sedayu.
Demikianlah, maka dikeesokan harinya, Agung Sedayu benar-benar telah berangkat ke Mataram bersama Glagah Putih, Ki Lurah Branjangan dan kedua orang cucunya. Me"reka tidak berangkat dari rumah Ki Gede. Tetapi mereka berangkat dari rumah Agung Sedayu.
Lewat tengah malam mereka telah bangun. Sekar Mi"rah telah sibuk didapur memanasi air untuk membuat mi"numan dan sekaligus menanak nasi untuk makan pagi sebelum mereka berangkat. Sementara yang lain telah bergantian mandi di pakiwan tanpa melepaskan sikap berhati-hati.
Sebelum dini hari, ternyata semuanya sudah selesai, se"hingga mereka dapat berangkat sangat awal. Jika nanti matahari terbit, mereka telah mencapai jarak yang panjang.
Betapapun lambatnya perjalanan, namun akhirnya mereka sampai juga di Mataram dengan selamat. Perjalan"an yang melelahkan, sehingga Teja Prabawa rasa-rasanya telah menjadi jera. Tetapi tidak demikian halnya dengan Rara Wulan. Meskipun ia juga merasa letih, tetapi ia tetap berharap untuk pada suatu saat kembali ke Tanah Perdikan
Menjelang sore hari, maka Agung Sedayu, Glagah Pu"tih dan Ki Lurah Branjangan telah pergi ke rumah Ki Panji Wiralaga. Malam itu Agung Sedayu dan Glagah Putih akan bermalam semalam di rumah Ki Lurah Branjangan.
Kedatangan Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Lu"rah Branjangan telah disambut dengan baik oleh Ki Panji Wiralaga. Dengan singkat Agung Sedayu telah menyampaikan persoalan yang timbul di Tanah Perdikan karena kehadiran kedua orang penghubung dari Ki Panji.
"Jadi kau akan pergi ke Jati Anom?" bertanya Ki Panji kepada Agung Sedayu.
"Ya Ki Panji. Besok jika aku kembali ke Tanah Per"dikan, aku sudah berjanji untuk singgah pula di rumah Ki Lurah." jawab Agung Sedayu.
"Kapan kau kembali?" bertanya Ki Panji.
"Aku tidak dapat mengatakan. Tetapi aku kira aku ti"dak akan terlalu lama." jawab Agung Sedayu.
Ki Panji mengangguk-angguk. Setelah merenung seje"nak, maka katanya, "Jika demikian akupun akan menung"gu kau kembali."
Agung Sedayu termangu-mangu. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, nampaknya Ki Panji dapat mengerti perasaannya. Katanya, "Kecuali jika kau terlalu lama, maka aku terpaksa mendahuluimu."
"Agaknya itu lebih baik Ki Panji." jawab Agung Sedayu.
Namun dalam kesempatan itu Agung Sedayu telah mendapat beberapa keterangan yang meskipun sangat terbatas, namun memberikan gambaran yang agak menyeluruh. Bahkan dengan nada rendah Ki Panji itu berkata, "Panembahan Senapati terpaksa mengambil kebijaksanan yang agak tergesa-gesa."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia bertanya, "Keputusan tentang apa?"
Ki Panji Wiralaga memang menjadi ragu-ragu. Bahkan kemudian katanya, "Bukankah kau mempunyai kesempat"an khusus untuk merighadap Panembahan Senapati" Kau dapat menghadap hampir setiap saat. Kesempatan yang tidak dimiliki oleh orang lain kecuali para pemimpin terdekat seperti Ki Mandaraka. Kau dapat berbicara dengan Panembahan tentang keadaan terakhir dari Mataram sehing"ga kau akan mendapat gambaran yang jelas."
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Aku ti"dak akan singgah sekarang Ki Panji. Besok aku harus sam"pai ke Jati Anom. Jika aku singgah untuk menghadap Pa"nembahan, mungkin aku harus menunda waktu lagi."
Ki Panji Wiralaga mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Ki Mandaraka sudah sepakat untuk mengangkat Pangeran Gagak Baning untuk menggantikan kedudukan Pangeran Benawa di Pajang."
"Pangeran Gagak Baning adik Panembahan Senapati." bertanya Agung Sedayu dengan serta merta, "lalu bagaimana sikap Panembahan Madiun?"
Ki Panji menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kata"nya, "Itulah sebabnya, maka rencana Panembahan Sena"pati atas Tanah Perdikan Menoreh serta atas dasar perhitungan Pemimpin Pasukan Khusus maka kepemimpinan dan kendali kekuatan di Tanah Perdikan akan dipersatukan. Pengawasan terhadap Sanggabaya akan ditingkatkan."
Namun dalam pada itu Ki Lurah Branjangan telah ber"kata hampir kepada diri sendiri, "Panembahan Sanggaba"ya di Menoreh agak terlalu berani."
"Ya" jawab Ki Panji, "ternyata diperlukan banyak tenaga dan perhatian. Namun lewat orang itu, maka akan dapat di amati siapa saja para pemimpin Mataram yang goyah pendiriannya."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Sanggabaya dapat diberi kesempatan yang lain. Tetapi tidak memegang kekuatan yang cukup besar di atas Tanah Perdikan itu."
Ki Panji mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Memang agak terlalu ke tepi, ibarat kita berdiri di pinggir jurang. Karena itu, pagar yang direncanakan di buat itu ha"rus segera di wujudkan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan dapat berjalan lancar. Aku akan segera kem"bali dari Jati Anom."
Demikianlah, maka Agung Sedayu, Ki Lurah dan Gla"gah Putihpun segera mohon diri. Ki Panji masih mengharap bahwa Agung Sedayu tidak akan terlalu lama berada di Jati Anom sehingga mereka akan dapat bersama-sama pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Diperjalanan kembali ke rumah Ki Lurah Branjangan, Agung Sedayu masih juga bertanya tentang Pangeran Ga"gak Baning.
"Aku kurang mengenalnya." berkata Ki Lurah Bra"njangan, "tetapi agaknya memang agak berbeda dengan Pangeran Singasari yang keras."
"Tetapi bagi Madiun, kehadiran keluarga Panembahan Senapati akan dapat menjadi persoalan." berkata Agung Sedayu.
"Persoalan itu memang ada lebih dahulu." jawab Ki Lurah, "justru Panembahan Senapati ingin menunjukkan sikap kepemimpinannya. Setelah beberapa kali usahanya untuk mencari penyelesaian dengan cara yang lebih baik tidak berhasil."
"Apakaha sikap Panembahan Madiun sangat kaku?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku sekarang sudah jarang sekali berhubungan de"ngan orang-orang dalam. Tetapi menurut pendengaranku, di sekitar Panembahan Madiun memang terdapat orang-orang yang keras kepala, mementingkan diri sendiri dan pamrih yang sangat besar. Merekalah yang kadang-kadang memberikan keterangan yang sengaja di putar balikkan atau dengan didorong oleh pamrih pribadi telah memanasi suasana." berkata Ki Lurah Branjangan, "tetapi aku tahu benar hubungan yang sangat akrab antara Panembahan Se"napati dan Panembahan Madiun yang dianggap sebagai pamandanya sendiri."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga bertanya, "Ki Lurah. Apakah menurut pendapat Ki Lurah, masih ada bekas-bekas luka dihati Panembahan Ma"diun karena perpindahan pusat pemerintahan dari Pajang ke Mataram" Bukankah yang mengangkat Panembahan Madiun pada kedudukannya sekarang adalah Sultan Hadiwijaya di Pajang" Bukankah pada mulanya, Panembahan Madiun termasuk salah seorang yang mengusulkan agar Mataram di padamkan sebelum menjadi nyala api yang akan membakar Tanah ini."
"Nampaknya semuanya sudah dilupakan." berkata Ki Lurah Branjangan, "tetapi kita memang tidak tahu, apa yang menyala di dalam dada seseorang."
Agung Sedayu mengangguk--angguk. Namun ia pun kemudian berpaling kepada Glagah Putih sambil berkata "Beruntunglah kau dapat ikut mendengar, Glagah Putih. Tetapi kau tahu, bahwa berita ini bukan berita yang pantas di sebarkan untuk orang lain."
Glagah Putih mengangguk sambil berdesis "Aku mengerti kakang. "
"Baiklah. Mungkin guru besok akan dapat memberikan pendapatnya tentang perkembangan terakhir hubungan antara Mataram dan Madiun. "berkata Agung Sedayu pula.
Namun ketika Ki Lurah Branjangan itu sampai kerumahnya, maka persoalannya menjadi lain. Yang menjadi ribut adalah kedua cucunya. Raden Teja Prabawa ingin segera mengajak kakeknya pulang kerumah orang tuanya. Rara Wulan mendesak kakeknya untuk segera mengatakan bahwa ia ingin mempelajari ilmu kanuragan di Tanah Per-dikan Menoreh.
"Malam ini tamu-tamu kita akan bermalam dirumah kakek "jawab Ki Lurah "karena itu besok kita akan menemui ayah dan ibumu. "
Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan memang tidak dapat memaksa. Hari itu dirumah kakeknya bermalam dua orang tamu dari Tanah Perdikan Menoreh. Namun dalam satu
kesempatan Ki Lurah berkata kepada keduanya "Meskipun mereka datang dari Tanah Perdikan Menoreh, tetapi keduanya adalah orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan Panembahan Senapati. Keduanya dapat menghadap Panembahan Senapati kapan saja tanpa melalui jalur yang diterapkan bagi orang lain. "
Raden Teja Prabawa mengangguk-angguk. Ia sudah pernah mendengar keterangan seperti itu. Tetapi ketika kakeknya mengingatkannya, maka ia memang harus
menahan diri. Demikianlah Agung Sedayu dan Glagah Putih bermalam semalam dirumah Ki Lurah. Pagi-pagi mereka telah siap untuk berangkat ke Jati Anom.
Ketika keduanya menuntun kudanya dihalaman, maka dari seketheng longkangan rumah Ki Lurah, Rara Wulan memandang keduanya yang berjalan diantar oleh kakeknya
sampai ke regol. Adalah diluar sadarnya, jika Glagah Putih
berpaling. Ketika ia melihat Rara Wulan yang sedang
memandanginya, maka. terasa jantungnya berdegup keras.
Iapun segera menundukkan kepalanya sementara kakinya
melangkah terus keluar regol halaman.
Demikianlah, maka sejenak kemudian terdengar derap kaki
dua ekor kuda yang semakin lama menjadi semakin jauh.
Untuk beberapa saat Rara Wulan masih berdiri di seketheng.
Namun iapun kemudian melangkah masuk kembali kerumah
kakeknya lewat pintu butulan.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun
telah berpacu meninggalkan rumah Ki Lurah Branjangan.
Meskipun tidak terlalu cepat, namun mereka telah
menyibakkan orang-orang yang mulai ramai berjalan kaki di
sepanjang jalan yang ternyata melewati sebuah pasar yang
cukup besar. Satu dua mereka juga bertemu dengan orangorang
berkuda yang akan pergi ke pasar.
Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak berhenti
ketika mereka melewati pasar. Mereka melintas dengan cepat.
Beberapa orang yang melihat keduanya lewat dijalan sebelah
pasar itu sempat mengagumi kuda mereka. Terutama kuda
Glagah Putih yang besar, tinggi dan tegar.
Perjalanan mereka berdua terasa menjadi cepat. Jauh lebih
cepat dari perjalanan mereka dari Tanah Perdikan Menoreh.
Apalagi perjalanan mereka memang tidak menemui hambatan
apapun juga, sehingga dengan demikian
maka dalam waktu yang terasa singkat saja mereka telah
berada ditepi Kali Opak. Agung Sedayu dan Glagah Putih memberi kesempatan
kuda mereka untuk beristirahat beberapa saat di pinggir Kali
Opak. Sementara kuda mereka minum dan makan rerumputan
segar, Agung Sedayu dan Glagah Putih duduk diatas
sebongkah batu besar dipinggir Kali Opak.
Ternyata bahwa kuda Glagah Putih memang banyak
menarik perhatian. Beberapa orang yang lewat tidak jauh dari
tempat kedua orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu
beristirahat, ternyata telah memperhatikan kuda Glagah Putih
yang sedang makan rerumputan.
Bahkan dua orang yang berpakaian sebagai saudagarsaudagar
kaya telah berhenti. Tetapi mereka hanya sekedar mengagumi dan bertanya
beberapa hal tentang kuda itu.
"Seandainya aku mendapatkan seekor kuda setegar itu
"desis yang seorang.
Glagah Putih hanya tersenyum saja. Ketika yang lain
bertanya dari mana ia mendapat kuda itu, maka Glagah Putih
menjawab "Pamanku. Pamanku adalah penggemar kuda. "
"Aku juga penggemar kuda "berkata orang itu "kau adalah
seorang yang sangat beruntung mendapatkan seekor kuda
seperti itu. " Glagah Putih masih saja tersenyum sambil menyahut "Ya.
Aku memang beruntung mendapatkan kuda itu. "
Ketika kedua saudagar itu kemudian melanjutkan
perjalanan, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun segera
berbenah diri. Sejenak kemudian keduanya telah berpacu
menuju ke Jati Anom. Bagaimanapun juga. Agung Sedayu dan Glagah Putih
merasa berdebar-debar ketika mereka mendekati padepokan
kecil Kiai Gringsing. Mereka berdua menyadari, bahwa tentu
ada sesuatu yang penting. Sementara itu persoalan antara
Mataram dan Madiun menjadi semakin hangat pula.
"Apakah persoalan yang akan dikatakan oleh guru juga
menyangkut persoalan antara Mataram, Pajang dan Madiun"
"bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Tetapi Agung Sedayu harus menunggu jawabnya sampai ia
nanti bertemu dengan gurunya. Gurunya yang semakin tua
dan kesehatannya sudah tidak utuh lagi sebagaimana
kekuatan wadagnya meskipun ilmunya tidak
susut. Namun ilmunya itupun memerlukan dukungan unsur
kewadagannya. Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu dan Glagah
Putih telah berada didepan regol padepokan, Ketika seorang
cantrik melihat mereka memasuki padepokan, maka dengan
tergesa-gesa cantrik itu telah menyongsong mereka.
"Selamat datang di padepokan kami "berkata Cantrik itu
sambil membungkuk hormat.
"Bagaimana dengan padepokan ini" "bertanya Agung
Sedayu. "Semuanya dalam keadaan baik "jawab cantrik itu.
"Bagaimana dengan guru" "bertanya Agung Sedayu pula.
"Kiai dalam keadaan yang baik. Nampaknya lebih baik dari
beberapa pekan yang lalu "jawab cantrik itu yang kemudian
menerima kuda-kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk
diikat disisi bangunan induk padepokan kecil itu. Sementara
cantrik yang lain telah memper-silahkannya naik ke pendapa.
"Apakah guru ada didalam" "bertanya Agung Sedayu"Tidak "jawab cantrik itu "Kiai berada ditepi kolam. Sejak
pagi Kiai berjalan-jalan di kebun, kemudian beristirahat
digubug ditepi kolam itu. "
"Sudahlah. Kau tidak usah memanggilnya. Kami akan pergi
kesana. "berkata Agung Sedayu.
Cantrik itupun kemudian mempersialahkannya pergi ke
kebun dibagian belakang padepokan itu.
Kiai Gringsing memang sedang duduk disebuah gubug
yang tidak terlalu kecil sambil menghadapi minuman hangat
dan beberapa potong makanan. Sekali-sekali Kiai Gringsing
sempat memperhatikan ikan-ikan yang berenang hilir mudik di
belumbang. Ikan-ikan yang semakin lama semakin banyak
dan menjadi besar di belumbang itu. Meskipun setiap kali para
cantrik memungut beberapa ekor, namun jumlahnya tidak
pernah susut. Kedatangan Agung Sedayu dan Glagah. Putih memang
mengejutkan. Namun sudah diduga bahwa hari itu mereka
akan datang. "Marilah "Kiai Gringsing mempersilahkan sambil beringsut
"aku sudah menduga, jika tidak kemarin, kau tentu akan
datang hari ini. " Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian telah duduk
pula digubug itu. Dengan singkat Agung Sedayu sempat
menceriterakan bahwa semalam ia bermalam di Mataram,
dirumah Ki Lurah Branjangan. Bahkan Agung Se-dayupun
telah menceriterakan pula pertemuannya dengan Ki Panji
Wiralaga serta rencana Panembahan Senapati bagi Tanah
Perdikan. Kemudian Agung Sedayupun sempat berkata
"Panembahan Senapati telah menempatkan Pangeran Gagak
Baning di Pajang. " "Kau mengatakan hal itu tentu dalam hubungannya dengan
Panembahan Madiun "desis Kiai Gringsing.
"Ya guru "jawab Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi kemudian
katanya kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih ketika
seorang cantrik menghidangkan minuman dan makanan
"Minum sajalah dahulu. Nanti jika kau sudah beristirahat, kita
berbicara tentang Mataram dan Madiun. "
Agung Sedayu dan Glagah Putih memang tidak
membicarakan lagi persoalan Mataram dan Madiun. Tetapi
Kiai Gringsing mulai berbicara tentang kolam ikan yang telah
diperluas. "Kami telah membuat satu lagi. Tetapi dengan cara yang
berbeda. Kolam yang satu yang berada disebelah pagar itu,
kami aliri air dari parit dan kami biarkan airnya tetap bergerak.
Kami membuat kolam itu seperti rumpon. Kami beri bebatuan
dan selangkrah bambu dan daun salak.
"berkata Kiai Gringsing.
"Isi kolam itu tentu berbeda dengan isi kolam ini Kiai.
"sahut Glagah Putih yang mempunyai kesenangan
membuat pliridan dan rumpon.
"Ya. Setelah tiga bulan kami membukanya. Kami mendapat
beberapa kepis ikan lele dan kutuk. "berkata Kiai Gringsing.
"Menarik. Kapan lagi rumpon itu akan dibuka" "bertanya
Glagah Putih. "Baru beberapa hari yang lalu kami membukanya "jawab
Kiai Gringsing. "Sayang sekali "desis Glagah Putih.
Kiai Gringsing tersenyum. Iapun tahu bahwa Glagah Putih
mempunyai kesenangan turun kesungai. Sungai disebelah
padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh adalah sungai
yang tidak besar. Tetapi hampir setiap malam Glagah Putih
turun dua kali. Setelah minum minuman hangat serta berbicara tentang
Jati Anom, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh,
maka Kiai Gringsingpun berkata "Aku memang ingin berbicara
tentang Mataram dan Madiun.
"Aku sudah menduga guru "sahut Agung Sedayu.
"Tetapi aku tidak tergesa-gesa "desis Kiai Gringsing
kemudian. "Apapun guru juga bermaksud memanggil Swandaru"
"bertanya Agung Sedayu.
"Tidak hari ini "berkata Kiai Gringsing "tetapi besok aku
minta kau memanggilnya. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk, Ia mengerti, bahwa
gurunya ingin berbicara dengan dirinya lebih dahulu, baru
kemudian dengan adik seperguruannya, Swandaru
Dalam pada itu gurunya berkata "Nanti malam kita
mempunyai waktu cukup untuk berbicara agak panjang. Ada
beberapa hal yang perlu dipersoalkan. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Agaknya gurunya
memang ingin berbicara dengan tenang, sehingga tidak akan
terganggu oleh apapun. Sebenarnyalah, ketika senja turun, maka Kiai Gringsing
telah berada di pendapa bangunan induk padepokan kecil itu.
Glagah Putih masih sempat menengok kudanya yang sudah
dimasukkan kedalam kandang bersama kuda Agung Sedayu.
Ternyata bahwa Kiai Gringsing berkenan memanggil
Glagah Putih untuk mendapat kesempatan mendengarkan
pembicaraannya dengan Agung Sedayu tentang
perkembangan keadaan yang terakhir.
Sejenak kemudian, ketiganya telah duduk melingkar di
pendapa menghadapi minuman hangat dan beberapa potong


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makanan. "Seorang cantrik mempunyai kecakapan membuat jenang
nangka. Nah, cobalah "Kiai Gringsing memper-silahkan.
Ketika Glagah Putih mencicipinya, maka iapun berdesis
"Enak sekali. Darimana cantrik itu belajar membuat jenang
nangka seperti ini" "Kiai Gringsing tersenyum. Katanya "Sejak
ia datang, ia sudah memiliki kepandaian itu. Menurut
keterangannya, ibunyalah yang mengajarinya. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun setelah ia
makan jenang nangka beberapa potong, iapun mulai
menggenggam beberapa buah beton nangka yang direbus.
Ternyata beton nangka merupakan salah satu kegemarannya.
Apalagi di rebus dengan sedikit garam.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, Kiai Gringsing mulai
bersungguh-sungguh. Katanya "Kau aku minta datang kemari,
karena ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu Agung
Sedayu. "Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada
berat ia bertanya "Apakah Guru baru saja melakukan
perjalanan" " "Ya "Kiai Gringsing mengangguk-angguk "tetapi bukan
perjalanan yang berat. Aku hanya sekedar melihat-lihat
keadaan. Sudah lama aku berada di padepokan ini tanpa
melihat dunia luar yang sebelumnya sering aku jelajahi. Rasarasanya
ada kerinduan untuk melihatnya. Karena itu, maka
aku memerlukan untuk berjalan-jalan selama kira-kira
sepekan. " "Apakah guru berjalan-jalan ke Timur" "bertanya Agung
Sedayu. ~ Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya dengan wajah tengadah "Berjanjilah,
bahwa tidak semua yang aku katakan kepadamu dan didengar
oleh Glagah Putih, akan kalian katakan kepada orang lain.
Kalian berdua harus pandai memilih, mana yang perlu
dikatakan kepada orang lain yang berkepentingan, dan mana
yang tidak. "Aku berjanji guru "desis Agung Sedayu, sementara Glagah
Putihpun mengangguk. sambil berdesis "Aku mengerti Kiai. "
"Nah, kalian berdua adalah orang-orang yang paling aku
percaya di samping Swandaru. Aku tidak mencurigai
Swandaru bahwa ia akan melanggar pesanku. Tetapi kadang-kadang
dengan tidak sengaja Swandaru telah mengatakan
sesuatu yang seharusnya tidak dikatakan kepada orang yang
tidak berkepentingan. "
Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk.
Mereka memang dapat mengenal sifat dan tabiat Swandaru
dengan baik. Kadang-kadang tanpa disengaja apa saja
terlontar dari mulutnya. Apalagi jika ia sedang marah.
Dalam pada itu, dengan nada rendah dan bersungguhsungguh
Kiai Gringsing berkata "Aku pergi ke Madiun. "
Agung Sedayu dan Glagah Putih memang agak terkejut.
Meskipun mereka sudah menduga, bahwa kepergian Kiai
Gringsing itu ada hubungannya dengan kemelut yang semakin
tebal dilangit yang meliputi Mataram dan Madiun. Tetapi
mereka tidak mengira bahwa Kiai Gringsing langsung pergi ke
Madiun. Apalagi ketika Kiai Gringsing berkata "Aku telah bertemu
langsung dengan Panembahan Madiun. "
"Guru "wajah Agung Sedayu menjadi tegang.
"Adalah satu kebetulan bahwa Panembahan Madiun
pernah mengenali aku meskipun bukan sebagai Kiai
Gringsing. Tetapi Panembahan Madiun mengenali cambukku.
"berkata Kiai Gringsing.
"Dan lukisan dipergelangan tangan itu "desis Agung
Sedayu pula. Kiai Gringsing tersenyum. Katanya kemudian "Siapapun
aku, namun aku telah berbicara dengan Panembahan Madiun.
" "Guru membicarakan hubungan Madiun dengan Mataram"
"bertanya Agung Sedayu.
"Ya. "jawab Kiai Gringsing "namun menurut pendapatku,
keduanya sulit untuk dipertemukan. Meskipun
pada Panembahan Madiun dan pada Panembahan
Senapati terdapat keinginan untuk menyingkirkan kekerasan,
namun jalan pikiran keduanya sulit untuk dapat bertemu.
Lebih-lebih lagi di sekitar Panembahan Madiun terdapat
orang-orang yang sengaja membakar jantungnya. "
"Nampaknya memang demikian guru. Langkah-langkah
yang pernah diambil oleh orang-orang yang tidak langsung
mempunyai jalur hubungan dengan Panembahan Madiun
menunjukkan kemungkinan itu. "berkata Agung Sedayu.
"Tetapi Mataram harus berhati-hati. Madiun mampu
menghimpun kekuatan yang sangat besar. Dari segi jumlah
prajurit, Mataram tidak akan dapat mengimbanginya. Namun
mungkin dari sisi yang lain Mataram dapat mengisi
kekurangan itu. "berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayu dan Glagah Putih mengerutkan keningnya.
Dengan ragu-ragu Agung Sedayu bertanya "Jadi bagaimana
menurut pendapat Guru. Apakah ada pendapat yang harus
didengar oleh Panembahan Senapati" "
"Ya "jawab Kiai Gringsing.
"Jadi Guru akan menghadap Panembahan" "bertanya
Agung Sedayu. Tetapi Kiai Gringsing nampaknya justru ragu-ragu. Bahkan
ia kemudian bertanya "Bagaimana jika kau saja"
Agung Sedayulah yang kemudian termangu-mangu.
Sejenak ia berpaling kepada Glagah Putih. Namun Glagah
Putihpun agaknya tidak mempunyai sikap tertentu.
Karena itu, maka Agung Sedayupun berkata "Guru.
Menurut pendapatku, sebaiknya Guru langsung bertemu
dengan Panembahan Senapati sebagaimana Guru bertemu
dengan Panembahan di Madiun. "
"Bukankah sama saja bagi Panembahan Senapati" "Kau
adalah muridku, sehingga kehadiranmu di Mataram adalah
atas namaku. "berkata Kiai Gringsing.
"Tetapi pengaruh jiwani atas Panembahan Senapati tentu
akan berbeda jika Guru sendiri yang datang menghadap
Panembahan Senapati. "berkata Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya "Mungkin ada
baiknya aku menghadap. Tetapi aku sekarang tidak lebih dari
seorang laki-laki tua yang lemah. "
"Jarak antara Jati Anom ke Mataram kurang dari sepertiga
jarak perjalanan antara Jati Anom ke Madiun. "berkata Agung
Sedayu kemudian. Kiai Gringsing tersenyum. Katanya "Aku mengerti
maksudmu Agung Sedayu. Jika aku dapat berkeliaran sampai
Madiun, kenapa aku tidak dapat pergi ke Mataram. "
"Bukan maksudku Guru "sahut Agung Sedayu dengan serta
merta. "Aku hanya bermaksud agar persoalannya menjadi
lebih jelas. Tetapi terserah kepada Guru, jika Guru
memerintahkan aku menghadap, maka aku akan
menghadap. "Kiai Gringsing masih tersenyum. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata "Baiklah. Aku akan
mempertimbangkannya. Namun Panembahan Senapati
memang harus bersiap-siap. Desakan yang datang dari
beberapa orang Adipati di daerah Timur kepada Panembahan
Madiun nampaknya tidak akan dapat terbendung lagi
betapapun Panembahan Madiun sendiri menganggap
Panembahan Senapati itu sebagai anaknya sendiri. Beberapa
Adipati menganggap bahwa Mataram adalah peletik api
sebesar kunang-kunang yang ada di dalam sekam. Api itu
harus segera disiram sebelum menjadi besar dan membakar
kekuasaan para Adipati yang nampaknya segan mengakui
ikatan kesatuan yang dikehendaki oleh Panembahan Senapati
Mereka menganggap bahwa dengan berdiri sendiri-sendiri
mereka akan dapat berbuat lebih leluasa tanpa menghiraukan
citra betapa besarnya kekuatan jika semuanya terikat dalam
satu kesatuan. Apalagi menghadapi kekuatan perdagangan
orang-orang asing di pasisir Utara yang semakin
ramai. Mereka bukan saja orang-orang yang ingin berdagang.
Tetapi mereka ternyata adalah orang-orang yang mulai
mencampuri persoalan-persoalan yang timbul di atas Tanah
ini. Mereka merambat dari lingkungan pasir pantai dan mulai
menginjak daratan. Mereka akan memasuki Tanah ini semakin
dalam. Menjelajahi hutan-hutan tanaman dan sawah-sawah.
Satu ketika mereka akan memasuki kota-kota dan bahkan
istana-istana. " Agung Sedayu mengangguk-angguk. Memang terbayang
diangan-angannya satu kekuatan asing yang muncul dari
lautan dengan kekuatan yang besar dan senjata yang
agaknya lebih baik dari senjata yang dimiliki oleh orang-orang
Tanah ini. Ternyata bahwa Kiai Gringsingpun kemudian berkata,
"Besok kita pergi ke sanggar. Aku ingin menunjukkan
kepadamu, jenis senjata yang dapat melontarkan bara besi ke
sasaran yang jauh. Mungkin kau masih dapat
memperbandingkannya dengan kemampuanmu menyerang
dengan kekuatan sorot matamu. Tetapi hanya satu dua orang
yang memiliki ilmu seperti itu di Tanah ini. Sementara orang
asing itu akan dapat membawa beberapa peti senjata pelontar
bara api itu. " Agung Sedayu mengangguk-angguk. Hampir berdesis ia
berkata "Jika demikian, Tanah ini memang harus menjadi
satu. "Namun kemudian Agung Sedayupun bertanya
"Darimana Guru mendapatkan jenis senjata itu" "
"Ada beberapa buah di Madiun. Panembahan Madiun
ternyata berbaik hati memberikan kepadaku sebuah. "jawab
Kiai Gringsing. Namun katanya kemudian "Di Pajang terdapat
pula senjata-senjata semacam itu meskipun hanya satu dua.
Tetapi yang penting harus kita ketahui adalah, bahwa senjata
itu merupakan ancaman bagi keutuhan Tanah ini. "
Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk.
Sementara Kiai Gringsing berkata "Bagaimana juga, aku
sebentar lagi akan menjalani langkah-langkah terakhir dari
hidupku. Tidak seorangpun yang akan mampu menghindar
kan diri dari kematian. Karena itu aku tidak akan melihat apa
yang akan terjadi dalam waktu dekat sekalipun. Namun kau,
anak-anak yang lebih muda lagi seumur Glagah Putih, harus
lebih jauh memandang ke depan. Mungkin anak Untara itu
atau anak Swandaru yang bakal lahir akan mengalami
pergumulan yang lebih seru. Campur tangan orang-orang
asing adalah racun yang paling tajam bagi persatuan
penghuni Tanah ini. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun
kemudian bertanya "Apakah Guru mengambil kesimpulan
bahwa Panembahan Senapati harus bergerak lebih cepat
untuk mempersatukan Tanah ini" "
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun
kemudian berdesis "Tidak semudah itu. Dibelakang kita banjir
bandang memburu, sementara dihadapan kita, hutan telah
terbakar dari ujung sampai keujung. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Satu masalah yang
sangat rumit akan dihadapi oleh Panembahan Senapati.
Selagi Agung Sedayu merenung, maka Kiai Gringsing puri
berkata pula "Nah, sebaiknya kau pergi ke Sangkal Putung
besok. Aku tidak akan memberitahukan banyak persoalan
kepadanya. Tetapi aku ingin memperingatkan agar ia bersiapsiap
menghadapi kemungkinan yang barangkali memang
menuntut kesiagaan tertinggi dari setiap unsur yang ada di
Mataram. " "Baik. Guru "jawab Agung Sedayu.
"Mudah-mudahan Swandaru tidak mempunyai rencana
tersendiri sebelum aku sempat menghadap Panembahan
Senapati "berkata Kiai Gringsing.
Demikianlah untuk beberapa lamanya mereka masih
berbincang di pendapa. Namun angin malam yang dingin
nampaknya mulai mengganggu Kiai Gringsing yang
memang menjadi semakin tua. Sebagai seorang yang
mengerti tentang obat-obatan, maka iapun kemudian berkata
"Angin malam ini kurang baik bagi kesehatanku. Sebaiknya
kita berbincang didalam. Persoalan yang terpenting yang akan
kau sampaikan telah aku katakan kepadamu. "
"Marilah Guru "jawab Agung Sedayu "agaknya Guru juga
harus banyak beristirahat. Karena itu, sebaiknya Guru tidak
terlalu malam pergi tidur. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Iapun kemudian
bangkit dan berjalan masuk keruang dalam diikuti oleh Agung
Sedayu dan Glagah Putih. Seorang cantrik telah membawa
minuman dan makanan yang ada di pendapa, ke ruang dalam
pula. Tetapi mereka sudah tidak terlalu lama lagi duduk
bercakap-cakap. Namun Kiai Gringsing masih sempat berkata
"Agung Sedayu. Aku tahu bahwa masih banyak yang ingin
kau pelajari. Apakah itu dari isi kitab yang kau pinjam dari Ki
Waskita, atau kitab yang aku pinjamkan kepadamu dan
Swandaru. Atau berdasarkan atas pengalamanmu yang luas
sehingga kau menemukan kemungkinan-kemungkinan baru
pada ilmumu yang beraneka itu. Namun aku masih minta
kepadamu agar kau bersedia meluangkan waktumu sedikit
untuk mempelajari serba sedikit tentang pengobatan. Tentang
jenis-jenis tanaman yang dapat dijadikan obat-obatan untuk
berbagai macam penyakit. Caranya dan kemungkinankemungkinannya.
Juga tentang susunan syarat, nadi dan urat.
Simpul-simpul dan tata tubuh yang lain. "
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tidak menolak
keinginan gurunya yang dinilainya sebagai perintah itu.
Namun dengan demikian berarti bahwa ia harus berada di
padepokan itu untuk waktu yang cukup lama.
Namun nampaknya Kiai Gringsing mengerti perasaan
Agung Sedayu. Karena itu, maka katanya "Agung Sedayu.
Untuk mempelajarinya, kau tidak tinggal di
padepokan ini. Aku mempunyai beberapa lembar penulisan
ten-tang hal itu yang dapat kau bawa dan kau pelajari di
Tanah Perdikan Menoreh. Nampaknya Ki Jayaraga serba
sedikit juga mempunyai pengetahuan tentang obat-obatan.
Kau dapat berbicara dengan orang itu dan memperluas
pengenalanku yang aku tuangkan dalam tulisan itu. Kau akan
dapat saling memberi dan menerima. "Kiai Gringsing berhenti
sejenak, lalu "Namun diantaranya ada hal yang tidak
sebaiknya dipelajari secara terbuka. Pengetahuan tentang
berhagai macam racun dan bisa. Jika penulisan tentang hal itu


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jatuh ketangan orang yang tidak bertanggung jawab, maka hal
itu akan dapat disalahgunakan. Sementara itu kau adalah
salah seorang diantara mereka yang kebal racun sehingga
kau akan dapat lebih banyak berbuat dan mempelajarinya. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa
pengetahuan tentang obat-obatan itu memang sayang jika
begitu saja dilupakan bersamaan dengan hilangnya seorang
yang memilikinya. Karena itu maka Agung Sedayupun
menjawab "Guru. Sejauh dapat aku lakukan, aku akan
mempelajarinya. " "Bagus "berkata Kiai Gringsing "aku juga mempunyai
sekeranjang kecil contoh dedaunan, akar-akaran dan jenisjenis
tumbuh-tumbuhan yang dapat kau pergunakan. Klika
kayu, biji-bijian dan beberapa jenis bunga. Mudah-mudahan
kau akan mendapat kesempatan lebih luas untuk menolong
sesama. " Agung Sedayu mengangguk hormat sambil menjawab "Aku
akan berusaha. " Dengan demikian; maka Kiai Gringsingpun merasa sudah
cukup lama duduk bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Karena itu maka iapun kemudian telah minta diri untuk
beristirahat. "Silahkan Guru. Kamipun akan segera beristirahat pula
"jawab Agung sedayu.
Ketika kemudian Kiai Gringsing masuk kedalam biliknya,
maka untuk beberapa saat lamanya, Agung Sedayu masih
berbincang dengan Glagah Putih. Namun kemudian
merekapun telah pergi ke bilik mereka. Bilik yang memang
sering dipergunakan oleh Agung Sedayu jika ia berada di
padepokan itu. Pagi-pagi benar Agung Sedayu sudah siap. Bersama
Glagah Putih mereka berdua akan pergi ke Jati Anom.
"Sebenarnya kau tidak perlu berangkat terlalu pagi "berkata
Kiai Gringsing. "Selagi Swandaru belum pergi seandainya ia mempunyai
rencana tertentu "jawab Agung Sedayu.
Kiai Gringsing tersenyum. Sementara Agung Sedayu
berkata pula "Perjalanan pagi-pagi tentu terasa segar. "
"Ya. Disaat-saat matahari terbit, merupakan saat yang
menyenangkan bagi sebuah perjalanan "berkata Kiai
Gringsing "bagiku kesenangan seperti itu hanya merupakan
kenangan saja. " Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya "Tentu tidak Guru. Pada suatu saat Guru
masih akan pergi ke Mataram. Guru dapat berangkat
menjelang matahari terbit. Dan kenangan itu akan Guru alami
lagi. " Kiai Gringsing tersenyum. Katanya "Ya. Aku masih
mempunyai kesempatan. "
Agung Sedayu dan Glagah Putih tersenyum.
Sejenak kemudian, kedua orang itupun telah berpacu
meninggalkan padepokan kecil itu menuju ke Sangkal Putung.
Mereka akan minta Swandaru untuk datang menemui
gurunya. Kedatangan Agung Sedayu dan Glagah Putih disaat
matahari baru saja terbit memang mengejutkan. Karena itu,
maka dengan tergesa-gesa Swandaru mempersilahkan
mereka naik kependapa, sementara Ki Demangpun telah
diberitahu pula. "Marilah ngger "Ki Demang mempersilahkan "angger
sepagi ini telah datang di Sangkal Putung. Apakah angger
datang dari Tanah Perdikan atau dari Jati Anom" "
"Kami datang dari Jati Anom Ki Demang "jawab Agung
Sedayu. "O "Ki Demang mengangguk-angguk "kapan angger
sampai ke Jati Anom" "
"Kemarin. Kemarin kami datang di padepokan. Guru
memerintahkan kami untuk pergi ke Sangkal Putung pagi ini.
"jawab Agung Sedayu sambil duduk dipendapa diikuti Glagah
Putih. Ki Demangpun kemudian sempat menanyakan
keselamatan tamu-tamunya di perjalanan serta Kiai Gringsing
di padepokan Jati Anom. Baru kemudian Swandaru bertanya
"Kedatangan kakang Agung Sedayu telah mengejutkan . kami.
Apakah kedatangan kakang sekedar melihat keselamatan
kami disini atau ada satu kepentingan yang akan kakang
sampaikan kepada kami. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha
untuk menyampaikan pesan gurunya dengan hati-hati agar
tidak terjadi salah paham, justru Agung Sedayu yang tinggal di
tempat yang jauhlah yang datang memanggil Swandaru yang
tempat tinggalnya jauh lebih dekat.
"Adi Swandaru "berkata Agung Sedayu "aku mendapat
perintah Guru untuk memanggil Adi Swandaru. Guru ingin
berbicara dengan kita berdua. "
Swandaru mengerutkan keningnya. Sebagaimana diduga
oleh Agung Sedayu. Swandaru bertanya "Kenapa justru
kakang Agung Sedayu yang memanggil aku" Siapakah yang
telah memanggil kakang Agung Sedayu" "
"Seorang cantrik telah datang ke Tanah Perdikan.
Sebenarnya guru ingin memanggil kita bersama-sama. Tetapi
ketika Guru bertanya kapan aku dapat menghadap, maka aku
tidak dapat memberikan waktu yang pasti, sehingga dengan
demikian Guru menetapkan bahwa Guru baru akan
memberitahukan kepada Adi Swandaru setelah aku datang.
"Jika demikian sebenarnya tidak perlu kakang Agung
Sedayu sendiri yang datang kemari. "berkata Swandaru "Guru
cukup memerintahkan seorang cantrik untuk memanggil aku
menghadap. " Tetapi Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab "Akulah
yang menyatakan diri untuk pergi ke Sangkal Putung. Rasarasanya
aku sudah terlalu lama tidak melihat Kademangan ini,
sehingga rasa-rasanya ada semacam dorongan untuk pergi. "
"Terima kasih "Ki Demanglah yang menyahut "kunjungan
angger Agung Sedayu sangat kami hargai. "
Agung Sedayu tersenyum. Sementara Swandaru berkata
pula "Jika demikian, akupun berterima kasih pula atas
kesediaan kakang mengunjungi Kademangan ini. "
"Rasa-rasanya aku sudah rindu akan bentangan bulakbulak
panjang yang hijau dimusim tanam dan menguning
dimusim memetik hasilnya "sahut Agung Sedayu.
Sementara itu, Glagah Putih hanya menundukkan
kepalanya saja. Tetapi ia sama sekali tidak tersenyum
seramah Agung Sedayu. Meskipun demikian Glagah Putih
Pendekar Elang Salju 1 Trio Detektif 06 Misteri Pulau Tengkorak Pembunuh Misterius 1

Cari Blog Ini