10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 26
Namun demikian kadang-kadang Swandaru juga mengambil tempat yang lain, yang tidak dibatasi dinding-dinding yang terasa sempit. Dalam saat-saat tertentu. Swandaru juga berada di tempat terbuka, sehingga ia dapat bergerak leluasa. Latihan-latihan yang keras dan menguji kemampuan pada tataran tertentu.
Di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu memang lebih banyak berada di lereng bukit di belakang sebuah puncak kecil yang dibatasi oleh hutan yang lebat. Ia tidak saja berlatih untuk mencapai tataran ilmu yang lebih tinggi. Tetapi sekaligus Agung Sedayu telah membentuk tubuhnya dan meningkatkan daya tahannya. Ia tidak saja berlatih dengan wadagnya yang bebas, tetapi ia telah memberikan beban pada tangan dan kakinya, di saat-saat ia sedang melepaskan cambuknya. Sekaligus Agung Sedayu sempat meningkatkan kemampuannya meringankan tubuh serta kelengkapan-kelengkapan ilmunya yang lain.
Dengan dukungan berbagai macam ilmu yang sempat dilebur di dalam dirinya, maka usahanya untuk meningkatkan tataran ilmu cambuknya rasa-rasanya menjadi semakin cepat dapat dilakukan.
Agung Sedayu tidak saja berpegang pada tuntunan kitab Kiai Gringsing, namun sekaligus ia telah memadukan beberapa unsur yang sejalan. Ia yakin bahwa Kiai Gringsing tidak akan berkeberatan sama sekali, asal ia mampu mengurai ilmunya itu di saat yang diperlukan.
Namun akibatnyapun ternyata sangat mengagumkan. Pada tahap pertama dari usahanya meningkatkan tataran ilmunya, Agung Sedayu telah mencapai satu kemajuan yang sangat pesat. Meskipun ia belum mencapai tataran sebagaimana telah ditunjukkan oleh gurunya, namun waktu yang diperlukan untuk mencapai tahap demi tahap terhitung lebih cepat dari yang direncanakan. Bahkan bukan saja ilmu cambuknya yang menjadi semakin meningkat, tetapi juga beberapa jenis ilmu dan kemampuannya yang lainpun telah meningkat pula, seakan-akan dengan sendirinya.
Demikianlah, kedua murid Kiai Gringsing telah menempa diri dengan mengerahkan segenap kekuatan, kemampuan dan bahkan waktu mereka. Sementara itu, di padepokan, para cantrikpun telah berlatih pula untuk meningkatkan kemampuan mereka.
Dalam pada itu, hubungan antara Mataram dan Madiun memang menjadi semakin keruh. Para petugas sandi dari kedua belah pihak telah melihat kesiagaan yang tertinggi di kedua- belah pihak. Tetapi Panembahan Senapati dan Panembahan Madiun masih saja berusaha menahan diri. Mereka masih mengharap untuk dapat menemukan satu keajaiban sehingga mereka tidak perlu berperang.
Namun di kedua belah pihak ternyata memang terdapat orang-orang yang agaknya terlalu bernafsu membasuh tangan dan kakinya dengan darah. Orang-orang itu telah membakar kebencian diantara para pemimpin, para perwira dan para prajurit di kedua belah pihak.
Karena itulah maka di Madiun telah berkumpul beberapa orang Adipati dan pemimpin dari berbagai daerah dan padepokan yang berada di bawah pengaruh Adipati Madiun di Madiun. Mereka telah menyiapkan prajurit dalam jumlah yang besar, yang tidak akan mungkin diimbangi dengan jumlah yang sama oleh Mataram.
Tetapi beberapa orang Adipati yang telah mengakui Mataram sebagai pusat pemerintahan telah bersiap pula. Mereka tinggal menunggu perintah, kapan mereka harus bergerak dan menyerang ke Timur. Menyerang daerah yang mereka anggap ingin memisahkan diri dari kesatuan pemerintahan Mataram.
Sementara itu Ki Patih Mandarakapun telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencegah agar Panembahan Senapati tidak dengan serta merta menyerang Madiun. Jika hal itu dilakukannya, maka kedua belah pihak tentu akan hancur. Korban akan jatuh tanpa hitungan dari kedua belah pihak.
Ki Patih Mandaraka masih berpendapat, bahwa Madiunpun tidak akan menyerang dalam waktu dekat. Para petugas sandi memang melihat kesiagaan tertinggi di Madiun. Pasukan dari beberapa daerah telah terkumpul. Namun nampaknya mereka mempersiapkan diri untuk bertahan. Mereka belum nampak bersiap-siap untuk menyerang ke Barat. Sementara itu, Pajangpun akan dapat menjadi penghalang jika Madiun bergerak ke Mataram, meskipun Pajang tidak akan dapat menahan banjir bandang itu. Tetapi setidak-tidaknya menghambat derasnya arus sementara Mataram akan datang membantu.
Tetapi ketika Mataram mengirimkan seorang Tumenggung ke Madiun untuk mencari kemungkinan agar Panembahan Madiun dapat bertemu dengan Panembahan Senapati, maka Panembahan Senapati justru semakin yakin, bahwa perang antara Mataram dan Madiun tidak akan dapat dihindarkan lagi.
Karena itu, maka Mataram tidak mau kehilangan kesempatan. Seperti yang dilakukan oleh Madiun, maka Matarampun telah bersiap sepenuhnya. Bukan saja sekedar untuk bertahan, tetapi Mataram siap untuk menyerang.
Atas pendapat Ki Patih Mandaraka, maka Mataram tidak sebaiknya langsung menyerang tanpa hadirnya kekuatan yang dapat mendukungnya. Bukan saja dari Pajang dan daerah disekitar Mataram, tetapi Ki Patih Mandaraka akan berhubungan dengan kekuatan dibelakang Gunung Kendeng. Kekuatan dari pesisir Utara yang tentu akan bersedia membantu Mataram, disamping sudah barang tentu Pajang dan Grobogan.
"Kita tidak akan dapat menghadapi Panembahan Madiun yang didukung oleh beberapa orang Adipati di daerah Timur." berkata Ki Mandaraka, "sebagaimana diberitahukan oleh para petugas sandi, bahwa pasukan masih saja mengalir ke Madiun. Mereka adalah orang-orang yang merasa perlu untuk mencegah kehadiran Mataram di daerah Timur yang ingin melepaskan diri dari ikatan persatuan dengan Mataram. Perang memang akan menjadi besar, dan kekejamanpun akan menjadi semakin memuncak. Kematian dan penderitaan. Tetapi sudah barang tentu bahwa kita tidak akan membiarkan orang-orang Mataram yang jumlah terlalu sedikit akan ditumpas habis di Madiun."
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Perang antara Pajang dan Mataram telah membuatnya bersedih. Tetapi ia tidak mampu menghindari perang antara Mataram dan Madiun, yang sudah barang tentu tidak dikehendakipula oleh Panembahan Madiun. Namun meskipun kedua belah pihak tidak menghendaki perang, namun perang itu bakal terjadi.
Namun Panembahan Senapati tidak menolak. Ki Patih Mandaraka akan mempersiapkan beberapa orang utusn untuk menyeberang pabukitan menuju ke pesisir Utara, untuk melibatkan mereka sekali lagi dalam peperanga bersama Mataram.
Kesiagaan Mataram memang telah didengar oleh para pemimpin disekitar Mataram sendiri. Untara telah menyampaikannya pula kepada Kiai Gringsing persiapan-persiapan terakhir dari para prajurit Mataram.
"Nampaknya waktunya sudah tidak lama lagi. Kita tinggal menunggu para utusan yang dikirim ke pesisir utara itu kembali." Berkata Untara ketika ia mengunjungi Kiai Gringsing yang menjadi semakin lemah di padepokannya.
"Menyedihkan sekali." desis Kiai Gringsing.
"Apaboleh buat." berkata Untara, "sudah cukup banyak usaha dilakukan untuk meredakan kemelut yang terjadi. Tetapi nampaknya perang memang harus terjadi. Dengan demikian maka akan terdapat satu kepastian, siapakah yang akan memerintah tanah ini."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia sudah tidak dapat berbuat terlalu banyak. Kecuali ia sudah menjadi semakin tua, agaknya persoalannya memang sudah menjadi semakin matang seperti bisul yang siap untuk pecah.
Namun dalam pada itu, telah terbersit niatnya untuk memanggil kedua muridnya. Ia ingin bertemu dengan mereka sebelum ia tidak mempunyai kesempatan lagi. Sementara itu, bulan demi bulan telah berlalu sehingga ia berharap bahwa ia sudah dapat melihat hasil dari usaha kedua orang muridnya itu, sebelum pecah perang antara Mataram dan Madiun. Karena Kiai Gringsingpun yakin bahwa Mataram dan Madiun yang tidak akan dapat dilerai itu akan menyeret kedua muridnya pula. Baik Agung Sedayu maupun Swandaru meskipun keduanya akan hadir dengan pasukan yang berbeda. Tetapi Kiai Gringsing masih memikirkan satu cara yang paling baik untuk melihat kemampuan murid-muridnya itu.
Kepada Untara Kiai Gringsing minta, agar ia selalu diberi tahu setiap perkembangan yang terjadi.
"Aku berkepentingan sekali." berkata Kiai Gringsing.
"Aku mengerti Kiai." jawab Untara.
"Juga pamanmu, Ki Widura." Kiai Gringsing menambahkan.
"Ya. Glagah Putihpun tentu akan terlibat disamping Agung Sedayu dan Swandaru." sahut Untara.
"Disaat para utusan itu datang, maka segalanya tentu akan segera dimulai." berkata Kiai Gringsing.
"Nampaknya memang begitu Kiai." jawab Untara.
"Baiklah ngger. Aku selalu menunggu. Aku yang sudah menjadi semakin tua, tidak akan berarti apa-apa lagi. Mudah-mudahan murid-muridku akan dapat mewakili aku." berkata Kiai Gringsing.
"Apa yang Kiai lakukan telah cukup. Akupun yakin bahwa Agung Sedayu dan Swandaru akan dapat mewakili Kiai dalam persoalan yang besar ini." berkata Untara kemudian.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "mudah-mudahan mereka dapat memenuhi keinginan sebagai seorang guru. Mereka dapat melanjutkan gagasan dan cita-citaku untuk mengabdikan ilmu ini kepada sesama."
"Apakah Kiai ragu-ragu terhadap kedua orang murid Kiai itu?" berkata Untara.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kepada orang diluar perguruannya ia berkata, "Tidak. Aku tidak ragu-ragu."
Untara mengangguk-angguk. Katanya dengan mantap, "Ya. Akupun tidak ragu-ragu. Agung Sedayu akan sangat patuh kepada Kiai. Ia adalah orang yang berusaha membatasi dirinya dengan ketat, sehingga justru karena itu, ia seakan-akan tidak dapat bertindak sendiri. Ia perlu pertimbangan orang lain untuk mengambil keputusan."
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Dibalik jawaban Untara itu memang terasa bahwa Senapati besar Mataram itu masih saja merasa kecewa terhadap adiknya.
Dengan hati-hati Kiai Gringsing menjawab, "Telah terjadi perkembangan dalam jiwanya ngger. Kita tentu ingat, bahwa Agung Sedayu sejak remajanya adalah seorang yang tidak mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri. Ia memiliki kemampuan dasar pada dirinya. Ia adalah seorang yang memiliki kemampuan bidik tidak ada duanya diantara orang-orang yang pernah aku kenal. Namun ia merasa dirinya sangat kecil. Ia cepat merasa ketakutan menghadapi sesuatu. Ia bukan seorang pengecut. Karena seorang pengecut kadang-kadang memiliki keberanian yang sangat tinggi dalam kelicikannya. Tetapi ia adalah seorang penakut. Ia tidak berani menempuh jarak dari Jati Anom ke Sangkal Putung hanya karena orang-orang mengatakan bahwa ada gendruwo bermata satu di pohon randu alas. Betapa pula takutnya Agung Sedayu terhadap Sidanti."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sementara Kiai Gringsing berkata selanjutnya, "Tetapi sekarang ia sudah tidak lagi dalam keadaan yang demikian. Ia seorang yang berilmu tihggi, mempunyai kepercayaan yang tebal terhadap diri sendiri. Namun dengan penuh kesadaran akan kekecilannya dihadapan Yang Maha Agung."
Untara mengangguk-angguk sambil menjawab, "Aku mengerti Kiai. Sebagai saudara tuanya aku mengucapkan terima kasih kepada Kiai yang berhasil membangkitkan harga dirinya serta kepercayaan kepada diri sendiri. Tetapi sisa-sisa kekerdilan jiwanya masih saja mencekam jiwanya. Apa artinya ilmu yang tinggi itu bagi dirinya. Ia telah terbelenggu oleh perasaannya seakan-akan pengabdian yang diberikannya kepada Tanah Perdikan itu sudah cukup. Sudah beberapa kali aku minta ia memperluas cakrawala pandangan hidupnya. Jika ia berbicara tentang pengabdian, bukankah ia dapat memberikan pengabdiannya dikalangan yang lebih luas dari Tanah Perdikan itu?"
"Maksud angger?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ia dapat menjadi seorang prajurit yang baik. Jika ia tidak ingin menjadi seorang prajurit, karena kesannya yang sudah terlanjur terpahat dihatinya bahwa prajurit harus hanya patuh saja tanpa mempunyai wewenang untuk menentukan sikap atas dasar keyakinannya sendiri, maka ia dapat mengabdikan dirinya di Mataram tanpa menjadi seorang prajurit. Biarlah aku saja yang tetap dalam kedudukanku sekarang sebagai seorang prajurit karena aku tidak beranggapan sebagaimana Agung Sedayu." berkata Untara dengan nada yang berat.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, "Aku mengerti jalan pikiran angger."
"Bukankah tumbuh-tumbuhan saja selalu ingin tumbuh semakin tinggi, Kiai" Jika terubusnya terhalang, maka batang itu akan berbelok menyamping untuk kemudian tumbuh tegak lagi seakan-akan berusaha menggapai langit," berkata Untara. Lalu katanya kemudian, "Nah, apa yang ingin dicapainya dengan mengabdikan diri bagi Tanah Perdikan Menoreh" Apakah ia memang tidak mempunyai cita-cita sama sekali, sehingga ia tidak ingin mengisi hidupnya dengan arti yang lebih besar?"
"Angger benar. Tetapi pengabdiannya di Tanah Perdikan bukannya tidak berarti. Tanah Perdikan memang menjadi lebih baik, bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya, sebagaimana Kademangan Sangkal Putung." jawab Kiai Gringsing.
"Dan Kiai sudah cukup berbangga dengan itu" Mungkin Kiai sendiri pernah mengalami kekecewaan yang sangat besar atas perkembangan Demak, sehingga Kiai seakan-akan telah mengasingkan diri. Tetapi tentu Kiai tidak akan menganjurkan murid-murid Kiai juga memagari diri sehingga seakan-akan hidup dalam keterasingan. Maksudku, mengorbankan dirinya untuk tidak tumbuh dalam kalangan yang lebih luas dari satu lingkaran kecil yang dibuatnya sendiri." berkata,Untara.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia tidak dapat menyalahkan Untara. Sebagai seorang kakak maka ia ingin melihat adiknya tumbuh dan mekar ditaman yang lebih luas dari sebuah sudut kecil dari seluruh Tanah Mataram ini.
Karena itu, dengan hati berat ia berkata, "Angger Untara. Sebenarnya aku sependapat dengan angger. Tetapi Tanah Perdikan Menoreh nampaknya telah mengikat Agung Sedayu sehingga seakan-akan ia telah menyatu."
"Agung Sedayu harus menyadari, bahwa ia tidak akan mendapat apapun di Tanah Perdikan itu. Seperti yang pernah aku katakan kepada Kiai dan juga kepada Agung Sedayu sendiri, bahwa anak Ki Gede Menoreh adalah Pandan Wangi. Karena Pandan Wangi seorang perempuan, maka yang akan memangku jabatan ayahnya kelak adalah menantunya, Swandaru. Tetapi Swandaru terikat pada kedudukannya sebagai anak Demang di Sangkal Putung, sehingga ia mewakilkan kepada adiknya, Sekar Mirah. Dan Agung Sedayu adalah suami Sekar Mirah itu. Disamping itu, di Tanah Perdikan ada Ki Argajaya, adik Ki Gede yang mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Prastawa. Katakan, bahwa Ki Argajaya telah pernah bersalah karena memberontak terhadap kakaknya. Namun Argajaya dapat menyebut anaknya laki-laki itu." berkata Untara.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, sementara Untara berkata, "Kiai. Sebenarnyalah aku ingin minta tolong kepada Kiai. Mungkin Kiai dapat merubah jalan pikiran Agung Sedayu."
Kiai Gringsing menarik napas panjang. Ia mengerti sepenuhnya landasan berpikir Untara dan menurut penalaran, seharusnya memang demikian, bahwa seseorang akan menggapai pegangan yang lebih tinggi dalam memanjat cita-cita. Namun hubungan antara Agung Sedayu dan Tanah Perdikan rasa-rasanya agak berbeda. Namun Kiai Gringsingpun mengakui, bahwa Agung Sedayu tidak memiliki kesempatan pertama untuk meniti ke jabatan tertinggi di Tanah Perdikan itu, meskipun ia telah memberi paling banyak.
"Angger Untara." berkata Kiai Gringsing kemudian, "Aku tidak dapat menjanjikan apa-apa. Tetapi aku akan mencobanya."
"Terima kasih, Kiai. Mudah-mudahan Agung Sedayu berubah. Sebenarnya ada unsur kemalasan didalam sikapnya itu. Ia segan menempuh satu perjuangan tersendiri bagi masa depannya. Atau barangkali satu sikap untuk menyatakan bahwa dirinya bukan orang yang sekedar mementingkan diri sendiri. Namun dalam hal ini Agung Sedayu dapat menempuh kedua-duanya bersama-sama. Berjuang dalam pengabdian sekaligus berusaha menempatkan diri untuk melakukan pengabdian yang lebih luas." berkata Untara dengan agak ragu.
Namun kemudian iapunberkata selanjutnya. "Terus terang Kiai. Aku tidak dapat melihat masa depan Agung Sedayu jika ia tetap berada di Tanah Perdikan. Mungkin Agung Sedayu puas dengan sekedar makan tiga kali, pakaian beberapa lembar dan kebanggaan atas hasil pengabdiannya. Tetapi jika kemudian ia mempunyai anak, apakah ia membiarkan anaknya tidak lebih dari anak-anak tetangga-tetangganya yang hanya mengenal lereng-lereng pegunungan dan barangkali tepian Kali Praga. Anak yang juga tidak mempunyai masa depan seperti ayahnya itu?"
"Aku akan berbicara dengan Agung Sedayu, ngger." berkata Kiai Gringsing, "namun saat ini, Agung Sedayu sedang menjalani laku. Beberapa bulan masih harus dilalui. Namun bukan berarti bahwa aku tidak dapat berbicara dengan anak itu."
"Kiai tidak boleh menunda-nunda lagi." berkata Untara, "nampaknya persoalan Mataram dan Madiun akan mencapai puncaknya dalam beberapa bulan ini. Pasukan dari seberang Gunung Kendeng akan segera datang dan Matarampun akan berangkat menuju ke Madiun."
"Atau Madiun justru sudah berada dipintu gerbang Mataram." sahut Kiai Gringsing.
"Tidak Kiai. Menurut para petugas sandi. Madiun baru mengumpulkan prajurit dari beberapa Kadipaten di daerah timur. Tentu juga memerlukan waktu. Apalagi menurut para petugas sandi tidak ada tanda-tanda persiapan untuk menyerang." berkata Untara.
"Mataram tentu juga merahasiakan persiapan penyerangan seandainya itu akan dilakukan oleh Panembahan Senapati." berkata Kiai Gringsing.
"Tetapi petugas sandi kita di Madiun nampaknya cukup baik. Disini kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memasang perisai bagi para petugas sandi dari Madiun. Kita sudah dapat menangkap empat atau lima orang. Kemudian menemukan beberapa sarangnya dan perlengkapannya. Hal itu tidak pernah terjadi atas petugas-petugas sandi kita di Madiun." berkata Untara.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia memang memperhitungkan waktu sebagaimana dikatakan oleh Untara, karena mengumpulkan pasukan dan kemudian mempersiapkannya memang diperlukan waktu.
Namun Untara ternyata telah mengakhiri pembicaraannya. Dengan nada datar ia berkata, "Baiklah Kiai. Aku mohon diri. Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan Kiai berbicara dengan Agung Sedayu tentang hari depannya. Aku sendiri rasa-rasanya sudah kehabisan akal. Aku tidak dapat mengerti jalan pikirannya. Mungkin langkah kita memang berbeda. Tetapi aku kira aku berpikir sebagaimana kebanyakan orang berpikir. Aku berpijak pada pendirian yang sangat umum."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Ya ngger. Aku akan berusaha."
"Jika perlu, Kiai dapat memanggil aku setiap saat. Bukan saja nampaknya Kiai Gringsing sudah menjadi semakin lemah, tetapi juga jika terjadi sesuatu atas padepokan ini, Kecuali kepentingan padepokan ini, jika Kiai memerlukan tenaga kami, maka kami akan membantu. Misalnya Kiai memerlukan dua tiga orang prajurit untuk memanggil Agung Sedayu atau Swandaru. Atau kepentingan-kepentingan yang lain yang sulit dilakukan oleh para cantrik yang ada di padepokan ini." berkata Untara.
"Terima kasih ngger. Aku akan selalu berhubungan dengan angger dalam setiap keadaan." jawab Kiai Gringsing.
"Di padukuhan sebelah aku telah memasang gardu bagi para prajurit." berkata Untara.
"Ya. Beberapa orang diantara mereka sering berkunjung ke padepokan ini sekedar untuk berbincang-bincang." berkata Kiai Gringsing.
"Syukurlah." jawab Untara, "dalam keadaan seperti sekarang, Kiai tidak perlu segan-segan jika Kiai memerlukan kami, para prajurit."
Demikianlah, maka Untarapun telah minta diri. Sementara Kiai Gringsing masih harus merenungi keadaannya. Ternyata bahwa Agung Sedayu memerlukan perhatian khusus atas permintaan kakaknya yang mencemaskan masa depannya. Bahkan Kiai Gringsingpun kemudian bertanya kepada diri sendiri, "Apakah Agung Sedayu akan dapat mengabdikan ilmunya bagi kepentingan yang lebih luas?"
Sementara itu persiapanpun telah berjalan terus di kedua belah pihak. Sebelum pasukan dari seberang Gunung Kendeng datang, maka Panembahan Senapati telah memerintahkan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari untuk bersiap-siap. Mereka adalah adik Panembahan Senapati yang terpercaya di medan perang. Namun nampaknya Pangeran Mangkubumi memiliki sifat yang lebih tenang dari Pangeran Singasari yang garang.
Disamping keduanya, Panembahan Senapati sangat menunggu kedatangan Adipati Pati. Putera dari Ki Panjawi, seorang yang bijaksana sebagaimana ayahanda Panembahan Senapati itu sendiri. Ki Panjawi adalah saudara seperguruan Ki Gede Pemanahan. Berdua mereka dibawah petunjuk-petunjuk Ki Juru Mertani mengatur siasat perang untuk mengalahkan Arya Penangsang sehingga keduanya telah mendapat hadiah dari Sultan Pajang. Tanah yang kemudian telah berkembang. Bumi Pati dan Bumi Mentaok, yang telah dibuka menjadi Tanah Mataram yang semakin besar.
Bagi Panembahan Senapati, Adipati Pati adalah seorang yang akan dapat membantunya bukan saja dengan pasukan, tetapi juga dengan ilmu dan kemampuannya yang tinggi, serta ketajamannya memandang medan. Ia adalah seorang Senapati yang tangguh.
Demikianlah, maka berangsur-angsur pasukanpun telah berdatangan di Mataram. Mereka adalah prajurit-prajurit pilihan dilingkungan mereka masing-masing. Namun kedatangan para prajurit pilihan di Mataram itu memang telah menimbulkan persoalan tersendiri. Mereka memang merasa sebagai prajurit yang memiliki kemampuan diatas prajurit kebanyakan. Sehingga mereka menganggap diri mereka memiliki kelebihan dari para prajurit di Mataram. Tetapi para prajurit Matarampun beranggapan demikian pula. Mereka menganggap para prajurit dari Kadipaten itu sebagai prajurit-prajurit kecil yang berada dibawah tataran prajurit Mataram.
Dengan demikian maka tidak jarang terjadi perselisihan antara para prajurit itu. Mereka kadang-kadang menganggap diri mereka masing-masing lebih baik dari yang lain. Bukan saja para prajurit dari Kadipaten-kadipaten dengan prajurit Mataram, tetapi prajurit-prajurit dari kadipaten yang satu dengan yang lain.
Para pemimpin dari Mataram dan dari Kadipaten-kadipaten itu telah berusaha untuk mencegahnya. Namun mereka bersepakat, jika mereka terlalu lama berada di Mataram, maka persoalan-persoalan kecil diantara mereka akan dapat menimbulkan persoalan yang lebih besar. Karena itu, maka rencana keberangkatan para prajurit itupun telah dibicarakannya dengan sungguh-sungguh sambil mempertimbangkan setiap keterangan yang mereka dengar dari para petugas sandi agar mereka tidak salah langkah.
Sementara itu, Agung Sedayu dan Swandaru telah memasuki bulan kelima dari latihan-latihan yang dilakukannya. Betapapun mereka tenggelam didalam laku yang mereka jalani, namun mereka pun mengetahui bahwa Mataram sudah bersiap. Ampat bulan lamanya Mataram menyusun pasukan sambil menghubungi dan kemudian menunggu hadirnya pasukan dari seberang Gunung Kendeng. Hanya pasukan Pajang sajalah yang tidak dianggap perlu berkumpul di Mataram. Mereka bersama prajurit dari Grobogan justru harus bersiaga di Pajang. Jika pasukan Madiun bergerak kebarat, maka mereka harus berusaha untuk menghalanginya, sementara prajurit dari Mataram akan segera datang. Tetapi pasukan yang lain memang diperintahkan untuk berkumpul di Mataram. Mereka akan mendapat penjelasan langsung dari para pemimpin di Mataram, sementara para Adipati akan mendapat keterangan dan kemudian membicarakan bersama-sama dengan Panembahan Senapati.
Dalam pada itu, ketika para prajurit dari Kadipaten-kadipaten sudah berkumpul, maka Panembahan Senapatipun telah memerintahkan dalam waktu sepuluh hari, harus sudah dapat menyusun pasukannya pula disamping pasukan yang terdiri dari prajurit Mataram sendiri. Perintah itu telah disampaikan kepada beberapa Kademangan yang dianggap mempunyai kekuatan dan kepada Tanah Perdikan Menoreh, serta orang-orang di Pegunungan Sewu. Orang-orang yang terkenal mempunyai keuletan yang sangat tinggi, karena mereka sudah terbiasa berjuang menghadapi alam yang keras.
Sepuluh hari adalah waktu yang cukup bagi daerah-daerah itu untuk mengumpulkan pasukannya. Namun ternyata Agung Sedayu dan Swandaru merasa perlu untuk menghubungi guru mereka. Sebelum Kiai Gringsing memanggil mereka, maka kedua orang muridnya itu sudah berniat untuk datang menghadap.
Tetapi mereka ternyata tidak datang bersama-sama. Swandaru yang tidak terlalu jauh tempat tinggalnya dari Padepokan kecil Kiai Gringsing telah datang lebih dahulu untuk memberitahukan perintah yang telah diterimanya.
Kiai Gringsing sambil mengangguk-angguk berkata, "Angger Untara juga sudah memberitahukan bahwa perintah itu telah disebar luaskan."
"Kami, aku dan seluruh perigawal Kademangan Sangkal Putung mohon diri Kiai. Semoga kami dapat melakukan tugas kami sebaik-baiknya. Namun sayang, bahwa laku yang aku jalani masih belum selesai. Masih ada selangkah lagi untuk mencapai tahap akhir dari tataran ini." berkata Swandaru.
"Apaboleh buat." berkata Kiai Gringsing. Namun katanya kemudian, "tetapi bukankah kau telah mengerti semua laku yang harus kau jalani, sehingga kau merasa tidak perlu untuk membawa kitab itu?"
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun iapun bertanya, "Apakah maksud Guru?"
"Maksudku, bahwa karena kau belum selesai menjalani laku, maka laku itu dapat kau jalani sambil menempuh perjalanan serta tugasmu. Kau setiap kali dapat mencari tempat yang terasing, untuk sekedar melakukan latihan-latihan pada tahap terakhir. Menurut perhitunganku, kau tentu sudah berhasil meredam bunyi cambukmu justru pada saat-saat yang paling gawat, sehingga suara cambukmu tidak akan banyak didengar orang lain jika kau menyingkir dari mereka. Untuk menyelesaikan laku itu, bukankah urutan yang harus kau jalani telah kau pahami, sehingga kau telah mampu melakukannya tanpa harus setiap kali membaca kitab itu" Karena menurut pertimbanganku, tidak sebaiknya kitab itu kau bawa dalam perjalanan menuju ke peperangan." Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, "Namun jika kau memang tidak sempat menjalani sisa laku yang belum terselesaikan, lebih baik kau tunda sama sekali sampai persoalan antara Mataram dan Madiun yang sangat menyakitkan itu dapat diselesaikan."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti maksud Guru. Yang penting aku tidak perlu membawa kitab itu meskipun aku berniat sambil melakukan tugas, melanjutkan laku yang masih belum aku tempuh."
"Ya. Aku memang bermaksud demikian." berkata Kiai Gringsing.
"Aku mengerti, Guru. Aku memang tidak akan membawa kitab itu. Akupun tidak terlalu bernafsu menyelesaikan ilmu cambukku pada tataran ini dengan cepat, sehingga aku harus memaksa diri berlatih selama aku berada didalam pasukan Mataram yang bersiap-siap untuk menempuh pertahanan Madiun. Aku kira sulit bagiku untuk mendapatkan waktu luang sehingga aku dapat memusatkan nalar budi dalam menjalani laku itu. Jika aku tidak dapat memusatkan nalar budiku, maka aku kira laku yang aku jalani itu akan sia-sia, sehingga aku harus menjalaninya kembali."
"Ya. Kau benar." berkata Kiai Gringsing, "namun maksudku, jika kalian telah berada di medan, namun perang itu belum juga terjadi, maka kalian, serta barangkali para pengawal dan para prajurit akan cepat menjadi jemu. Dalam keadaan yang demikian kau akan dapat mengisi waktumu. Tetapi jika kesempatan itu tidak ada, jangan memaksa diri, karena hal itu akan dapat mengganggu keseimbangan tugasmu di medan."
"Aku mengerti Guru." jawab Swandaru.
"Nah, Swandaru. Sebenarnya aku memang menunggumu. Aku juga menunggu Agung Sedayu. Aku kira iapun akan datang sebelum berangkat ke Madiun bersama Glagah Putih karena Glagah Putih tentu akan minta diri kepada ayahnya pula. Sebenarnya aku ingin melihat, sampai dimana kemampuan kalian menguasai tataran yang sedang kalian masuki sekarang ini. Apalagi kalian akan segera berada dimedan perang. Kalian akan berhadapan dengan kekuatan yang belum dapat kalian ketahui tingkatnya."
"Ya Guru." jawab Swandaru, "alangkah baiknya jika pada saat ini hadir juga kakang Agung Sedayu, sehingga dengan demikian kita akan dapat melakukan perbandingan ilmu."
"Sudah aku katakan, bahwa hal itu tidak terlalu penting untuk dilakukan bersama-sama. Aku dapat melakukannya meskipun kalian melakukan bergantian." jawab Kiai Gringsing.
Swandaru tidak menjawab lagi, meskipun ia merasa kecewa bahwa ia tidak dapat menunjukkan kelebihannya atas saudara seperguruannya. Justru saudara tuanya. Namun ia berharap dengan demikian Gurunya akan mengetahuinya dan melakukan langkah-langkah yang perlu bagi mereka berdua. Sementara Agung Sedayupun akan melihat satu kenyataan yang mungkin memang sudah diketahui atau dirasakannya sebelumnya, apabila gurunya bersedia berterus terang kepada Agung Sedayu.
Demikian, maka sejenak kemudian Swandaru telah berada didalam sanggar bersama gurunya. Dengan kesungguhan hati, Swandaru telah mempersiapkan dirinya untuk menunjukkan kepada gurunya apa yang telah dicapainya selama itu.
Dengan saksama Kiai Gringsing memperhatikan Swandaru, mempersiapkan dirinya. Kemudian melakukan langkah-langkah awal untuk menghangatkan darahnya. Baru sejenak kemudian Swandaru telah memutar cambuknya diatas kepalanya.
Sejenak kemudian cambuk itu sudah terayun dengan derasnya. Ketika cambuk itu kemudian menyentuh sasaran, maka akibatnya memang dahsyat sekali. Swandaru telah menambahkan beberapa buah karah pada juntai cambuknya, sehingga dengan demikian maka sentuhannya pada batu-batu padas yang memang dipersiapkan sebagai sasaran memang menggetarkan sehingga batu padas itu bukan saja pecah berserakan, tetapi bagaikan menjadi debu yang berhamburan. Sementara itu, ledakan cambuk itu tidak lagi menggetarkan daun telinga orang-orang yang ada di sekitarnya.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia melihat ilmu Swandaru memang sudah meningkat. Meskipun bagi Kiai Gringsing karah besi yang ditambahkan pada juntai cambuknya tidak perlu sama sekali. Bahkan dapat mengurangi keseimbangan ilmunya meskipun belum sampai pada tahap mengganggunya. Namun tanpa karah-karah besi tambahan itu, hetakkan cambuk itu pada sasaran akan terasa lebih tajam dan menghentakkan tenaga serta inti kekuatannya lebih besar.
Namun pada sasaran lunak, karah-karah besi itu memang mempunyai akibat yang lebih gawat. Jika juntai cambuk Swandaru mengenai seseorang tanpa perisai ilmu yang kuat, maka juntai cambuk itu dapat mengoyak kulit daging jauh lebih tajam dari juntai cambuk Agung Sedayu yang tidak mengalami perubahan sama sekali sejak ia menerimanya dari gurunya.
Dengan nada rendah Kiai Gringsing berkata, "Kau sudah menguasai pokok-pokok ilmu pada tataran ini Swandaru. Ternyata kau mampu mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Ada beberapa kemungkinan yang dapat kau kembangkan sehingga kau benar-benar menguasai tataran ini. Namun kau sudah mampu mengembangkan ilmumu dari tataran sebelumnya dalam tataran berikutnya. Dengan melengkapi laku, maka kau benar-benar akan menguasainya sepenuhnya."
Balas " On 9 Juli 2009 at 10:25 Mahesa Said:
"Aku mohon petunjuk guru." berkata Swandaru.
"Yang terang bekalmu sudah meningkat. Kau sudah merambah ke inti kekuatan ilmu cambukmu. Bukan saja mengandalkan kekuatan wadagmu. Bukankah kau merasakan, bahwa dengan mampu mengungkapkan inti kekuatan, kau tidak terlalu banyak menghambur-hamburkan tenaga seperti jika kau sekedar mempercayakan pada kekuatan wadagmu." berkata Kiai Gringsing.
"Ya Guru." jawab Swandaru.
"Nah, dengan landasan kekuatan yang sangat besar dari kekuatan wadagmu, maka ungkapan ilmumupun menjadi lebih dahsyat lagi." berkata gurunya. Lalu Kiai Gringsing itupun berkata pula, "Dengan demikian kau akan dapat memperhitungkan kemungkinan jika kau sudah berangkat. Apakah kau sempat mengisi kekosongan waktumu selama kau menunggu diluar sasaran atau tidak. Jika kau mempunyai kesempatan, ada juga baiknya kau pergunakan tanpa mengganggu orang lain dan mengganggu tugasmu. Tetapi jika tidak, maka bekalmu sudah cukup dengan tataran kemampuanmu sekarang ini asal kau pergunakan dengan hati-hati."
"Terimakasih guru. Waktu yang diberikan oleh Panglima Pasukan Mataram adalah sepuluh hari sejak dikeluarkan perintah kemarin." berkata Swandaru.
"Bukankah kau mempunyai cukup waktu?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya guru. Masih cukup waktu untuk mempersiapkan para pengawal. Kami akan bergabung dengan para prajurit yang berada di Jati Anom. Kami akan berada dibawah pimpinan kakang Untara." berkata Swandaru.
Kiai. Gringsing mengangguk-angguk. Ia tidak tahu, apakah pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh akan bergabung dengan pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan. Namun biasanya pasukan khusus itu tidak berada bersama dengan para prajurit dari pasukan yang lain, karena pasukan khusus akan mendapat tugas yang khusus pula, serta biasanya berada di garis terdepan, mendahului gerak seluruh pasukan.
Demikianlah, maka Kiai Gringsing masih memberikan beberapa petunjuk secara khusus bagi Swandaru. Sebagai seorang tua maka Kiai Gringsing memperingatkan bahwa isteri Swandaru, Pandan Wangi sedang mengandung hampir tua. Karena itu, maka Swandaru harus berhati-hati. Swandaru harus selalu ingat bahwa hidupnya, hidup isteri dan bakal anaknya itu ada ditangan Yang Maha Agung. Namun Swandaru tidak dibenarkan mensia-siakan hidupnya.
Swandaru tidak merasa perlu untuk bermalam di padepokan itu. Ketika keperluannya telah selesai, serta gurunya telah memberikan banyak petunjuk, maka Swandarupun telah mohon diri.
"Mungkin aku tidak sempat menghadap Guru lagi menjelang keberangkatanku bersama pasukan Mataram di Jati Anom." berkata Swandaru.
"Semoga kau selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung." berkata Gurunya dengan nada rendah.
"Semoga Guru." sahut Swandaru. Lalu katanya pula, "Kitab Guru akan disimpan dengan baik oleh Pandan Wangi. Aku telah berpesan kepadanya, jika ia sangat ingin melihat isinya, ia harus membatasi diri sekedar ingin tahu, karena dasar ilmu yang ada didalam kitab itu berbeda dengan dasar ilmu yang dimiliki olah Pandan Wangi. Apalagi ia sedang mengandung sehingga ia tidak boleh tergelitik untuk melakukan sesuatu."
"Kau benar Swandaru." berkata Kiai Gringsing, "sebaiknya Pandan Wangi menahan diri untuk tidak usah membuka kitab itu, justru karena ia memiliki kemampuan olah kanuragan dari aliran perguruan yang berbeda. Jika ia tidak sedang mengandung, serta jika ia berada dibawah pengawasan, maka hal itu tidak sangat berbahaya baginya. Tetapi justru ia sedang mengandung dan tidak seorangpun yang sempat mengawasinya."
"Ya Guru. Aku akan berpesan dengan sungguh-sungguh. Jika keadaan Guru masih seperti setahun yang lalu, aku berani mohon Guru untuk sekali-sekali datang ke Sangkal Putung. Namun sekarang nampaknya Guru harus banyak beristirahat." berkata Swandaru.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Aku memang sudah menjadi semakin lemah. Namun jika satu saat keadaan mengijinkan, aku akan mengajak Ki Widura untuk pergi ke Sangkal Putung. Tetapi sudah tentu tidak dapat diharap benar bahwa aku akan dapat melakukannya."
"Ya Guru." sahut Swandaru yang mengerti sepenuhnya keadaan gurunya.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, maka Swandarupun telah meninggalkan padepokan kecil itu.
Sepeninggal Swandaru maka ternyata bahwa Kiai Gringsing telah mengharap pula kehadiran Agung Sedayu. Ia yakin bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih tentu akan datang sebelum sampai saatnya yang sepuluh hari itu. Seperti Swandaru, maka Kiai Gringsingpun ingin melihat perkembangan ilmu muridnya yang tua itu meskipun pada dasarnya ia lebih yakin akan keberhasilannya.
"Besok atau lusa, mereka tentu akan dating." berkata Ki Widura yang sebenarnya juga mengharapkan kedatangan anaknya, karena menurut pendapatnya, anaknya tentu akan ikut pula bersama para pengawal Tanah Perdikan.
"Waktunya telah menjadi semakin sempit." berkata Kiai Gringsing.
"Agaknya Agung Sedayu menempuh cara yang berbeda dari Swandaru. Swandaru datang lebih dahulu menemui Kiai Gringsing, sedangkan Agung Sedayu agaknya lebih dahulu telah menyusun barisannya, baru akan datang menemui Kiai Gringsing." berkata Ki Widura.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan ia tidak melupakan padepokan ini sebelum berangkat."
"Sudah barang tentu tidak, Kiai." jawab Widura. Sebenarnyalah, menjelang senja di hari berikutnya, dua orang berkuda telah memasuki regol halaman padepokan kecil itu. Mereka adalah Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Seorang cantrik yang menyambut berkata, "Kiai sudah sangat mengharap kedatanganmu. Kakang Swandaru sudah datang beberapa hari yang lalu."
"O" Agung Sedayu mengangguk-angguk, "Jadi adi Swandaru telah menemui Guru."
"Ya" jawab cantrik itu.
"Apakah ayah ada disini sekarang?" bertanya Glagah Putih.
"Ya. Ki Widura sedang berada disini. Bahkan Ki Widura lebih banyak berada disini daripada pulang ke Banyu Asri." jawab cantrik itu.
Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara cantrik itu mempersilahkannya naik ke pendapa.
"Aku akan menyampaikan kedatangan kalian kepada Kiai." berkata cantrik itu.
Kiai Gringsing dan Ki Widura menyambut keduanya dengan gembira. Setelah kedua orang tua itu mempertanyakan keselamatan mereka dan yang mereka tinggalkan di Tanah Perdikan maka Kiai Gringsing berkata, "Kami menunggu kedatangan kalian. Swandaru telah datang di hari-hari pertama ia menerima perintah untuk mengumpulkan pasukannya dan bergabung dengan pasukan angger Untara."
Agung Sedayu rnengangguk kecil. Dengan nada rendah ia berkata, "Maaf Guru. Aku harus menyusun pasukan pengawal Tanah Perdikan lebih dahulu. Aku harus membaginya, yang mana yang dapat dikirim ke Mataram dan yang mana yang harus tetap tinggal di Tanah Perdikan Menoreh untuk menjaga ketenteraman Tanah Perdikan itu."
"Aku sudah mengira." sahut Ki Widura, "nampaknya Swandaru telah datang menghadap gurunya lebih dahulu, baru menyusun pasukannya."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Nampaknya kau berbuat sebaliknya."
"Ya Guru." jawab Agung Sedayu, "baru setelah selesai, aku datang untuk mohon restu sekaligus mohon diri. Juga kepada paman Widura. Agaknya demikian pula Glagah Putih."
"Ya Kiai." sambung Glagah Putih, "aku mohon doa restu kepada Kiai dan kepada ayah. Ternyata aku juga akan ikut dalam pasukan yang akan berkumpul di Mataram."
"Jadi pasukan pengawal Tanah Perdikan tidak disatukan dengan pasukan khusus yang ada di Tanah Perdikan itu?" bertanya Kiai Gringsing.
"Tidak Guru." jawab Agung Sedayu, "agaknya tataran kemampuan kedua pasukan itu dianggap berbeda. Pasukan khusus itu akan berada di paling depan, mendahului barisan."
"Lalu bagaimana dengan pasukan pengawal Tanah Perdikan?" bertanya Ki Widura.
"Kami harus berkumpul di Mataram dan akan berada dibawah pimpinan Ki Tumenggung Danajaya dan akan berada dibawah Panglima Besar Pangeran Singasari." jawab Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "kau sudah mengenal sikap dan watak Pangeran Singasari?"
"Ya." jawab Agung Sedayu, "Seorang Panglima yang tegas."
"Tegas dan garang." desis Kiai Gringsing sambil tersenyum. Namun kemudian tanyanya, "Tetapi agaknya memang diperlukan Panglima seperti Pangeran Singasari."
"Seorang Panglima yang lain akan bersama dengan Pangeran Singasari." berkata Agung Sedyu.
"Siapa?" bertanya Ki Widura.
"Pangeran Mangkuabumi." jawab Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Seorang yang mumpuni dalam berbagai ilmu. Namun agaknya Pangeran Mangkubumi lebih tenang daripada Pangeran Singasari. Namun kedua-duanya adalah Panglima pilihan."
"Kemudian panglima yang lain yang akan bersama Panembahan Senapati adalah Adipati Pati dan Pajang. Nampaknya keduanya akan menjadi Panglima pasukan pengapit. Sementara Pangeran Singasari dan Pangeran Mangkubumi akan berada di sayap."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Wajahnya yang keriput oleh garis-garis umurnya itu nampak semakin berkerut. Dengan nada rendah ia berkata, "Satu pasukan segelar sepapan yang sangat kuat. Tetapi Madiunpun akan memasang Senapati-senapati yang berilmu dan berkemampuan sangat tinggi. Para Adipati dari daerah Timur adalah orang-orang yang pilih tanding."
"Ya Guru." jawab Agung Sedayu, "nampaknya Mataram juga menyadari akan hal itu. Karena itu Mataram telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada."
"Tetapi Mataram tidak akan dapat mengumpulkan pasukan sebesar para Adipati di daerah Timur. Nampaknya hal itu sudah disadari. Angger Untara juga sudah memperhitungkannya sebagaimana para pemimpin yang lain berdasarkan laporan para petugas sandi. Namun kedua kekuatan itu benar-benar sangat mendebarkan jantung. Benturan kekuatan antara Mataram dan Madiun akan berakibat sangat buruk bagi kedua belah pihak." desis Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia hanya dapat meunundukkan kepalanya saja. Demikian pula Glagah Putih. Namun pernyataan gurunya itu telah memberikan gambaran kepada keduanya, bahwa pertempuran akan merupakan pertempuran yang sangat garang dan sangat keras.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Sudahlah. Aku tidak bermaksud membuat kalian menjadi cemas menghadapi tugas-tugas kalian di medan pertempuran nanti. Tetapi setidak-tidaknya dengan demikian kalian akan menjadi semakin berhati-hati."
Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Gringsingpun berkata, "Baiklah. Kalian tentu masih letih. Malam ini kalian dapat beristirahat."
"Kami tidak terlalu letih guru. Kami tidak tergesa-gesa beristirahat." jawab Agung Sedayu.
"Nah, jika kalian akan pergi ke pakiwan, pergilah. Agaknya para cantrik sedang menyiapkan minuman buat kalian, kalian dapat beristirahat nanti di bilik yang biasa kalian pergunakan." berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian telah membenahi diri setelah keduanya mandi. Perjalanan mereka memang tidak terlalu melelahkan. Tetapi tubuh mereka memang basah oleh keringat. Baru setelah mandi, keduanya telah berada kembali di pendapa menikmati minuman hangat dan beberapa potong makanan. Sementara para cantrik telah menyiapkan makan malam bagi mereka.
Kiai Gringsing memang tidak tergesa-gesa ingin melihat tataran ilmu Agung Sedayu meskipun ingin. Dihari berikutnya ia masih mempunyai kesempatan. Malam itu Kiai Gringsing membiarkan kedua orang yang baru datang dari Tanah Perdikan itu untuk beristirahat.
Setelah makan malam, maka yang mereka bicarakan bukannya tentang padepokan kecil serta kemungkinan-kemungkinan di hari depan, tetapi mereka telah berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam perselisihan antara Mataram dan Madiun. Dua ujung dari antara mereka yang merasa mempunyai hak untuk memegang kendali kekuasaan sepeninggal Sultan Pajang, apalagi sepeninggal Pangeran Benawa.
"Sebenarnya aku tidak sampai hati menyaksikan permusuhan antara Madiun dan Mataram." berkata Kiai Gringsing, "tetapi aku tidak berdaya untuk mencegahnya. Aku sudah terlalu lama kehilangan pengaruhku karena salahku sendiri. Baik Madiun maupun Mataram sekarang telah menganggapku tidak lebih dari seorang pengembara yang mencoba menetap dengan membangun sebuah padepokan kecil seperti ini."
"Jika Guru ingin melakukan sesuatu, maka perintah Guru tentu akan aku lakukan. Apapun yang terjadi." berkata Agung Sedayu.
Kiai Gringsing menggeleng. Katanya. "Tidak perlu. Jika aku melangkah sekarang ini, maka akibatnya akan sangat buruk. Karena itu, maka biarlah terjadi apa yang akan terjadi."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sudah terlanjur berpihak. Demikian pula murid Kiai Gringsing yang seorang lagi, sehingga dengan demikian maka bagaimanapun juga perguruan Orang Bercambuk itu telah berpihak.
Jilid 249 AGAKNYA Kiai Gringsing dapat membaca gejolak perasaan Agung Sedayu itu. Karena itu, maka katanya, "Sudahlah. Kita tidak perlu memikirkan persoalan yang lebih mendalam tentang retaknya hubungan Mataram dan Madiun. Jika kita sudah memilih tempat, maka biarlah kita berpegangan pada satu keyakinan yang mendasari pilihan kita itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud gurunya. Karena itu, maka ia memang menjadi lebih mantap menghadapi pergolakan yang terjadi, meskipun pada dasar jiwa gurunya yang paling dalam, pertentangan itu menyakiti perasaannya.
Malam itu, Kiai Gringsing dan Ki Widura tidak berbincang sampai terlalu malam. Dipersilahkannya Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk beristirahat.
"Besok, aku mempunyai kepentingan pribadi dengan kau Agung Sedayu." berkata gurunya, "aku ingin melihat seberapa jauh kau telah mencapai tingkat ilmumu sekarang, sebelum kau berangkat ke medan."
"Ya Guru." jawab Agung Sedayu, "mudah-mudahan Guru tidak menjadi kecewa, karena yang aku capai baru sebagian kecil dari yang Guru harapkan."
Kiai Gringsing tersenyum. Ia sudah terbiasa mendengar jawaban yang demikian dari Agung Sedayu, sehingga iapun tidak menjadi berkecil hati.
"Seberapapun yang telah kau capai, kau tentu sudah mendapatkan kemajuan." berkata gurunya.
Namun dalam kesempatan pendek itu, Agung Sedayu berkata, "Mumpung sekarang ada paman Widura dan Guru. Sebenarnya ada yang ingin aku katakan tentang Glagah Putih."
Ki Widura mengerutkan keningnya. Namun kemudian Kiai Gringsinglah yang bertanya, "Ada apa dengan Glagah Putih?"
"Guru." Agung Sedayu menjadi bersungguh-sungguh, "aku telah memikirkan kemungkinan masa depan perguruan ini sebagaimana yang pernah Guru katakan. Sesudah aku dan adi Swandaru, lalu bagaimana" Karena itu, sebagaimana pernah disinggung oleh Guru, Glagah Putih telah menyatakan kesediaannya untuk menjadi pewaris dari ilmu perguruan Orang Bercambuk. Jika Guru berkenan maka ia telah menyatakan untuk secara khusus disamping ilmu-ilmunya yang lain, untuk menekuni ilmu cambuk yang merupakan ciri utama dari perguruan ini. Jika kelak ada kemungkinan, maka Glagah Putihpun akan mempelajari ciri-ciri yang lain dari perguruan Orang Bercambuk ini."
"O." Kiai Gringsing mengangguk-angguk, "jika kau memang berminat, maka aku akan merasa senang sekali Glagah Putih. Kau akan mennjadi pewaris yang tangguh dari perguruan Orang Bercambuk. Untuk kau ketahui, Ki Widura juga sudah mempelajari secara khusus dasar-dasar dari perguruan ini. Tidak untuk menjadi pewaris yang akan dapat ikut mempertahankan kehadiran ilmu dari aliran ini. Tetapi sekedar sebagai pengetahuan karena Ki Widura berhadapan dengan para cantrik dari perguruan Orang Bercambuk ini."
Sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Ki Widura berkata, "Syukurlah jika kau berniat untuk itu, Glagah Putih. Aku akan sangat berterima kasih jika Kiai Gringsingpun merestuinya. Maksudku, bahwa Glagah Putih diperkenankan untuk mempergunakan ciri dari senjata perguruan ini."
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Agaknya Ki Widura tahu, bahwa dihari-hari luangku aku telah menganyam satu lagi cambuk dari janget khusus dengan karah-karah baja pilihan. Tentu Ki Widura ingin mempertanyakan, cambuk itu akan diberikan kepada siapa?"
Ki Widura pun tertawa pendek. Katanya, "Satu tebakan yang tepat Kiai."
"Aku telah membuat dua lagi cambuk janget yang kuat seperti cambuk yang aku berikan kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Bukan hanya satu. Tetapi cambuk yang aku berikan kepada Agung Sedayu dan Swandaru itu bukan buatanku sendiri, karena itu, mungkin mutu cambuk itupun sedikit berbeda." berkata Kiai Gringsing kemudian.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan demikian ia sadar, bahwa disamping seorang yang akan diwarisi ilmu dari aliran perguruan Orang Bercambuk, maka Swandarupun akan mendapat tugas yang sama.
Namun Kiai Gringsingpun berkata, "Tetapi orang-orang yang akan mendapat cambuk itu sudah tentu bukan orang terakhir. Jika aku tidak ada diantara kalian lagi, maka seakan-akan tidak akan ada cambuk-cambuk yang baru lagi adalah penafsiran yang keliru. Sehingga seakan-akan orang baru yang memasuki lingkungan kita adalah sekedar pengganti orang lama yang telah pergi. Jika demikian jumlah isi perguruan ini tidak akan lebih dari tiga orang dan sekarang lima orang. Tetapi jika perguruan ini kelak dapat berkembang, tetapi sudah barang tentu dengan tanggung jawab yang tinggi atas perkembangan itu, maka kau dapat membuat cambuk-cambuk baru. Bukankah di dalam kitab itu juga tercantum syarat dan cara membuat cambuk sebagai senjata ciri perguruan kita disamping ilmu cambuk itu sendiri?"
"Ya Guru." jawab Agung Sedayu, "namun agaknya untuk membuat jenis senjata ini bukannya pekerjaan yang mudah."
"Ya. Rumit dan memerlukan waktu yang lama. Seperti menunggu buah menjadi masak di pohonnya. Tidak dapat dipercepat dengan cara apapun juga." jawab Kiai Gringsing. Namun yang kemudian berkata, "Tetapi baiklah. Kalian dapat beristirahat sekarang. Kita masih mempunyai waktu besok. Akupun tidak lagi dapat terlalu lama duduk."
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih dan Kiai Gringsingpun telah pergi beristirahat pula. Tetapi di biliknya Glagah Putih dan Agung Sedayu tidak segera dapat tidur nyenyak. Glagah Putih telah menanyakan beberapa hal kepada Agung Sedayu tentang kehadirannya menjadi salah seorang anggauta dari perguruan Orang Bercambuk.
"Guru berpandangan cukup luas." berkata Agung Sedayu, "seperti aku sendiri, maka Guru sama sekali tidak berkeberatan memperkaya unsur-unsur gerak warisan ilmunya dengan unsur-unsur gerak dari aliran perguruan lain, asal serasi dan tidak menimbulkan masalah bagi kita. Namun sudah barang tentu bahwa kita harus mengenal dengan baik inti dari ilmu perguruan Orang Bercambuk itu sendiri, sehingga jika diperlukan kita akan dapat mengurainya dan menunjukkan inti ilmu itu beserta ciri-ciri utamanya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia merasa bahwa ia telah memiliki berbagai macam ilmu yang dipelajari dari aliran perguruan yang lain. Namun yang telah menyatu didalam dirinya.
Namun demikian Agung Sedayu berkata, "Sudahlah. Tidurlah. Besok kita akan berbicara lagi dengan guru."
"Tetapi bukankah besok kita harus kembali ke Tanah Perdikan" Waktu kita tinggal sempit sekali." berkata Glagah Putih.
"Tetapi bukankah kita harus menunggu pagi" Kita tidak dapat memperpendek malam ini, seperti Guru berkata tadi bahwa kita tidak dapat mempercepat buah menjadi masak di pohonnya." berkata Agung Sedayu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Apapun yang dilakukannya malam itu, namun pagi baru akan datang setelah ayam berkokok yang ketiga kalinya meskipun datangnya pagi bukan karena ayam jantan yang berkokok itu.
Malam selanjutnya, terasa menjadi sangat sepi. Glagah Putih tidak lagi mempertanyakan apapun. Tetapi ia memerlukan waktu untuk dapat tidur nyenyak di padepokan itu. Bahkan menjelang dini ia dapat mendengar derap kaki beberapa ekor kuda. Namun ia tahu, bahwa yang lewat itu adalah para prajurit Pajang yang sedang meronda.
Sebenarnyalah beberapa orang berkuda telah lewat di jalan didepan padepokan. Cantrik yang bertugas di regol telah keluar dari regol pula menyapa prajurit-prajurit yang sedang meronda itu.
"He, bukankah Agung Sedayu dan Glagah Putih ada disini?" bertanya salah seorang diantara para prajurit.
"Darimana kau tahu?" bertanya cantrik itu.
"Kawanku melihatnya ketika mereka berkuda memasuki Jati Anom. Kuda Glagah Putih adalah seekor kuda yang mudah dikenal, karena jarang ada duanya." jawab prajurit itu.
"Ya. Mereka ada disini." jawab cantrik itu.
"Salamku buat keduanya." tiba-tiba terdengar suara berat dari antara prajurit yang meronda itu.
"O" cantrik itu mengangguk. Ternyata Sabungsari ada diantara para peronda itu, "aku akan menyampaikannya."
"Terima kasih." sahut Sabungsari.
Namun kelompok kecil itu tidak berhenti. Mereka hanya memperlambat kuda mereka. Kemudian merekapun telah melanjutkan perjalanan mereka pula, meronda lingkungan Jati Anom dan sekitarnya.
Ketika fajar membayang dilangit, maka padepokan kecil itupun telah terbangun. Para cantrik telah sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Dua orang diantara mereka telah pergi kesawah untuk membuka pematang, mengairi sawah yang cukup luas bagi seisi padepokan kecil itu. Sementara yang lain sibuk membersihkan halaman, mengisi pakiwan dan merawat binatang peliharaan di padepokan itu, termasuk beberapa ekor kuda.
Glagah Putihpun ternyata telah berada di halaman pula. Tetapi ia tidak mendapat bagian tugas apapun juga. Karena itu, maka iapun telah pergi ke pakiwan untuk mandi. Ketika matahari terbit, maka Agung Sedayupun telah siap pula di pendapa bersama Glagah Putih. Kiai Gringsing dan Ki Widura telah duduk pula bersama mereka untuk menghirup minuman hangat. Wedang jahe dengan gula kelapa.
"Nanti kita akan berada di sanggar." berkata Kiai Gringsing kepada Agung Sedayu, "sebelum kau berangkat bersama pasukan Mataram, maka aku ingin melihat apa yang telah kau capai itu."
Agung Sedayu mengangguk sambil menyahut, "Seperti yang sudah aku katakan kemarin Guru, aku baru maju setapak kecil."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Kita akan melihatnya nanti. Mungkin tapak kelinci, tetapi mungkin tapak raksasa."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia menunduk sambil mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu, apakah kemajuannya itu akan dianggap cukup atau belum oleh gurunya itu.
"Tetapi kita tidak tergesa-gesa." berkata Kiai Gringsing.
"Bukankah kalian tidak tergesa-gesa kembali hari ini?" bertanya Ki Widura.
"Kami akan kembali hari ini paman." jawab Agung Sedayu, "waktu kami sudah menjadi sangat sempit. Sementara itu, tatanan pasukan Tanah Perdikan masih perlu disempurnakan."
Ki Widura mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Gringsing bertanya, "Bukankah masih ada waktu beberapa hari" Selama itu orang-orang yang ada di Tanah Perdikan tentu akan dapat membenahi tatanan yang mungkin belum cukup mapan."
"Tetapi kami berjanji untuk kembali hari ini Guru." jawab Agung Sedayu.
"Baiklah. Nanti kita tidak akan terlalu lama berada di sanggar." berkata Kiai Gringsing, "tetapi sementara ini, justru aku ingin memperlihatkan kepadamu kemampuan para cantrik di padepokan ini. Aku ingin bagaimana pendapatmu sebagai salah seorang isi dari perguruan Orang Bercambuk ini."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Senang sekali Guru. Selama ini, aku belum pernah melihat dengan jelas tataran kemampuan mereka."
"Tetapi kau sadari, kedudukan mereka berbeda dengan kedudukanmu dan Swandaru." berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya pesan gurunya itu. Demikianlah, maka merekapun kemudian telah turun kehalaman dan menuju kesanggar terbuka di halaman belakang. Ternyata para cantrik yang dianggap tertua di lingkungan padepokan itu telah berkumpul.
Ki Widura telah memerintahkan tujuh orang cantrik yang dianggap terbaik itu bersiap. Mereka akan menunjukkan tataran kemampuan mereka yang tertinggi kepada Agung Sedayu. Salah seorang murid dari perguruan Orang Bercambuk. Bahkan murid yang terbaik.
Sejenak kemudian ketujuh orang itu sudah bersiap. Widurapun segera memberikan aba-aba, agar ketujuh orang itu mulai melakukan unsur-unsur gerak dasar yang telah mereka pelajari. Dengan sungguh-sungguh, ketujuh orang cantrik itu telah melakukannya dari unsur yang pertama, kedua, ketiga sampai pada urutan ke dua belas. Kemudian mereka telah melakukan urutan berikutnya sebanyak tujuh unsur dalam tatanan rangkap dan unsur-unsur gerak selanjutnya.
Berikutnya para cantrik telah mempertunjukkan pula kemampuan mereka bermain dengan senjata. Agung Sedayu dan Glagah Putihpun sempat melihat para cantrik itu memperagakan kemampuan bertempur secara pribadi berpasangan. Bahkan kemudian dengan mempergunakan senjata.
Terakhir para cantrik itu sempat menunjukkan kekuatan kewadagan mereka. Dengan sisi telapak tangan mereka yang telah mereka latih setiap hari, mereka mampu memecahkan batu-batu kapur dan batu-batu padas yang masih muda. Merekapun mampu memecahkan kelapa yang sudah tua bukan saja dengan tangan, tetapi mereka mampu melakukannya dengan dahi mereka.
Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Ternyata bahwa para cantrik telah mendapat kesempatan yang lebih luas untuk menimba ilmu kanuragan di padepokan itu selain beberapa jenis ilmu yang lain.
"Bagus sekali." desis Agung Sedayu setelah mereka selesai, "ternyata kalian telah mendapat kemajuan yang pesat sekali."
"Baru tujuh orang." berkata Ki Widura.
"Tahun depan tentu akan bertambah banyak." berkata Agung Sedayu, "sehingga dengan demikian padepokan ini bukan sekedar tempat para cantrik berkumpul, belajar menjadi pande besi untuk membuat alat-alat bertani. Belajar bercocok tanam dengan cara yang terbaik, memahami serba sedikit perjalanan bintang di langit. Namun para cantrik akan dapat memberikan pengabdian yang lebih besar dengan membantu orang-orang yang lemah."
"Mudah-mudahan tahun depan menjadi bertambah baik." berkata Kiai Gringsing dengan suara yang dalam. Namun kemudian katanya, "Semuanya itu berkat kehadiran Ki Widura. Aku sendiri tidak lagi dapat berbuat banyak."
"Tetapi semuanya atas petunjuk Kiai. Bahkan aku sendiri masih belajar pada Kiai." sahut Ki Widura.
Kiai Gringsing tersenyum. Senyum orang yang sudah terlalu tua untuk melakukan kerja yang besar. Tetapi Kiai Gringsing tidak merasa cemas, bahwa tugas yang dipikul oleh perguruan Orang Bercambuk akan terputus, karena Kiai Gringsing percaya bahwa murid-muridnya akan melanjutkan tugasnya untuk selanjutnya.
Demikian para cantrik selesai dengan mempertunjukkan tingkat kemampuan mereka, maka Kiai Gringsingpun mengajak mereka untuk beristirahat. Mereka pergi kesebuah gubug yang memang dibangun didekat kolam ikan di kebun belakang. Seorang cantrik telah menyediakan minuman dan makanan di gubug itu.
"Kita akan segera pergi ke sanggar." berkata Kiai Gringsing, "aku ingin melihat tataran kemampuanmu Agung Sedayu."
Agung Sedayu menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab.
"Tetapi kita akan minum dan makan suguhan yang telah disediakan oleh para cantrik ini lebih dahulu." berkata Kiai Gringsing.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Girngsing, Ki Widura, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada didalam sanggar. Kiai Gringsing telah minta Agung Sedayu untuk menunjukkan tingkat terakhir dari kemampuannya setelah ia memasuki tataran tertinggi dari ilmu cambuk dari perguruan Orang Bercambuk itu berdasarkan atas kitab yang turun-temurun.
Sejenak kemudian Kiai Gringsing, Ki Widura dan Glagah Putihpun telah menepi, sementara Agung Sedayu berada di tengah-tengah sanggar padepokan yang memang cukup besar. Lebih besar dari sanggar Agung Sedayu di rumahnya. Sejenak kemudian, Agung Sedayu telah memutar cambuknya. Kemudian iapun telah menghentak-hentakkan cambuk itu tanpa meledakkan bunyi sama sekali. Beberapa saat Agung Sedayu berloncatan sambil mempermainkan cambuknya. Kemudian di bagian terakhir dari permainan cambuknya, maka ujung cambuk itu telah menghantam sebongkah batu hitam yang memang sudah disediakan oleh Kiai Gringsing.
Akibatnya memang dahsyat sekali. Batu hitam itu ternyata telah hancur menjadi debu oleh juntai cambuk Agung Sedayu yang terbuat dari janget rangkap tiga. Janget Kinatelon dengan karah-karah baja pilihan.
Sejenak kemudian maka Agung Sedayu lelah berdiri tegak menghadap kepada gurunya, menelakupkan kedua telapak tangan didepan dadanya sambil memhungkuk hormat.
Kiai Gringsing menarik nafas dulam-dalain. Dengan nada rendah ia berkata, "Kita akan melihat kemampuanmu di alam terbuka."
"Apakah Guru tidak akan terlalu lelih?" bertanya Agung Sedayu.
"Tentu tidak." jawab Kiai Gringsing sambil tersenyum. Lalu katanya, "Di sini banyak tempat yang dapat kita pergunakan. Tidak terlalu jauh. Kita dapat pergi menuruni tanggul sungai atau pergi ke balik hutan dilereng Gunung itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Terserah kepada Guru."
"Marilah. Kita pergunakan waktu sebaik-baiknya. Apalagi jika kau harus kembali hari ini juga." berkata Kiai Gringsing.
Berkuda mereka meninggalkan padepokan itu. Mereka menembus sebuah hutan yang tidak begitu lebat dan mengambil tempat yang cukup luas diantara batu-batu padas yang jarang didatangi orang.
Kiai Gringsing telah memberi kesempatan kepada Agung Sedayu untuk menunjukkan kemampuannya pada tataran terakhir ilmu cambuk dari aliran perguruan Orang Bercambuk.
Sejenak Agung Sedayu memusatkan nalar budinya. Kemudian memutar cambuknya dan melakukan sedikit gerakan untuk menghangatkan darahnya. Kemudian dengan loncatan-loncatan kecil ia memutar cambuknya diatas kepalanya. Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayu Lelah menghentakkan cambuknya dengan sasaran sebongkah batu padas beberapa langkah di hadapan mereka yang menyaksikan peragaan itu sambil berdiri termangu-mangu.
Secercah cahaya memang meloncat dari hentakan cambuk Agung Sedayu yang dengan kecepatan lidah api dilangit, menyambar sasaran yang telah ditentukan. Satu ledakan telah terjadi. Batu itupun hancur menjadi debu pula tanpa disentuh oleh ujung cambuk Agung Sedayu. Sambaran ilmu yang memancar lewat sorot mata Agung Sedayu, meskipun sorot mata Agung Sedayu juga mampu meremas batu padas menjadi debu.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Kau tentu akan dapat melumatkan batu hitam dengan lontaran ilmu seperti itu."
"Aku mohon petunjuk Guru, apakah aku sudah mampu memenuhi batasan pencapaian kemampuan sesuai dengan waktu yang aku pergunakan." desis Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sudah mengira bahwa kau akan dapat melakukannya dalam waktu yang lebih singkat dari yang diperhitungkan. Ternyata sebelum waktu yang diperkirakan berakhir, kau sudah mampu memiliki inti kekuatan ilmu cambuk dari aliran perguruan Orang Bercambuk. Waktu-waktu berikutnya tinggallah saat-saat mematangkannya sehingga ilmu itu nampak menjadi mendekati sempurna. Karena memang tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini."
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Guru, aku mohon Guru memberikan arah lebih lanjut." berkata Agung Sedayu kemudian.
"Kau telah berhasil menelusuri isi kitab itu sampai ke puncak pada ciri utama perguruan ini." berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun menyadari bahwa Gurunya agaknya berusaha untuk membesarkan hatinya. Namun Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Sebelum kau memasuki tataran ini, beberapa jenis laku sebenamya telah kau jalani sadar atau tidak sadar, karena kau sudah mengerti dan menguasai isi kitab itu. Karena itu, maka ketika kau benar-benar memasuki tataran terakhir, kau tidak banyak mengalami kesulitan. Kau telah mempergunakan waktu sangat cepat. Namun seperti yang aku katakan, bukan berarti bahwa laku yang harus kau jalani sudah selesai. Kau masih harus mematangkannya, sehingga kau benar-benar akan berada dipuncak kemampuan. Namun itu bukannya yang telah sempurna. Aku ulangi lagi, kita tidak akan sampai pada satu tataran yang sempurna itu."
Agung Sedayu hanya menundukkan kepalanya saja. Tetapi ia tahu pasti maksud gurunya.
Dalam pada itu Kiai Gringsing berkata selanjutnya, "Agung Sedayu. Dalam keadaan wajar, maksudku orang dalam batas kemampuan wajar, serta tidak terganggu oleh persoalan-persoalan yang mendesak, maka ia memerlukan waktu satu tahun untuk benar-benar menguasai puncak ilmu itu. Tetapi kau tidak dalam keadaan yang wajar, karena kau harus pergi ke medan. Namun disamping itu kau memiliki kelebihan kecerdasan nalar. Karena itu, sejak saat ini, kau akan memerlukan waktu selama-lamanya setahun itu. Jika kau tidak harus ikut dalam pasukan Mataram, kau tentu akan dapat mencapainya dalam waktu yang lebih singkat, karena kau memiliki kelebihan dari kemampuan wajar seseorang."
"Aku mohon doa restu Guru. Mudah-mudahan aku akan dapat mencapainya dalam waktu yang diharapkan oleh Guru." berkata Agung Sedayu.
"Aku mempunyai keyakinan bahwa kau akan dapat melakukannya." berkata Kiai Gringsing. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, "Tetapi aku tidak dapat meyakinkan diriku sendiri bahwa Swandarupun akan dapat melakukannya pula dalam waktu yang sama. Ia tentu memerlukan waktu lebih. Untunglah bahwa sekarang ia merasa perlu untuk mempelajarinya sehingga ia telah melakukannya dengan bersungguh-sungguh. Meskipun demikian, apalagi dalam masa parang, ia tidak akan dapat menyelesaikannya sebagaimana kau lakukan."
Agung Sedayu masih tetap berdiam diri, sementara Glagah Putih dan Ki Widura yang menyaksikan peragaan yang dilakukan oleh Agung Sedayu itu menjadi berdebar-debar. Ternyata Agung Sedayu telah berhasil meniti sampai ketataran tertinggi dari ilmu cambuk, ciri dari perguruan Orang Bercmabuk. Dengan demikian, maka Agung Sedayu yang masih terhitung muda itu telah berada pada tataran orang-orang berilmu tertinggi. Namun Glagah Putihpun tahu bahwa Kiai Gringsing mengharap agar ilmu tertinggi ciri perguruan orang bercambuk itu tidak akan pernah dipergunakan.
"Nah." berkata Kiai Gringsing kemudian, "pekerjaan kita sudah selesai. Kita akan kembali ke padepokan. Agung Sedayu dan Glagah Putih akan dapat beristirahat barang sejenak sebelum mereka kembali ke Tanah Perdikan."
Demikianlah sejenak kemudian, mereka berempatpun telah kembali ke padepokan kecil di Jati Anom. Kiai Gringsing yang tua itu sudah merasa puas setelah ia melihat tataran kemampuan kedua muridnya. Meskipun agak lambat, namun Kiai Gringsing yakin bahwa Swandarupun akan sampai ke batas tatarannya, karena kemauannya yang besar. Agaknya Swandaru termasuk salah seorang diantara mereka yang mempunyi keinginan yang sangat tinggi dan luas mengenai banyak hal yang menyangkut hidupnya.
Ternyata Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak beristirahat terlalu lama di padepokan. Merekapun kemudian telah minta diri kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura. Bukan saja untuk kembali ke Tanah Perdikan, tetapi justru yang penting keduanya minta diri untuk ikut dalam pasukan Mataram yang akan berangkat ke Madiun.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak tidak dapat berbuat lain, seperti kepada Swandaru, maka iapun telah berkata, "Aku akan berdoa bagi keselamatan kalian."
Ki Widurapun telah memberikan beberapa pesan kepada anaknya, karena Mataram dan Madiun adalah dua kekuatan yang sangat besar yang akan bertemu di arena.
"Berhati-hatilah. Aku tahu bahwa perang disegula tempat sangat berbahaya. Besar atau kecil akan dapat mencabut nyawa. Bahkan dua orang berkelahipun akan dapat saling membunuh dengan garang. Namun dalam perang yang besar, banyak peristiwa yang tidak pernah diduga sebelumnya akan terjadi. Perang antara Jipang dan Pajang tentu tidak akan sebesar perang antara Mataram dan Madiun. Namun dalam perang antara Jipang dan Pajang, rasa-rasanya bagaikan membakar kehidupan ini sepanas api neraka. Perang Mataram melawan Pajangpun merupakan perang yang garang pula meskipun terpecah-pecah. Kemudian kini Mataram akan berhadapan dengan Madiun. Sementara Madiun telah mengumpulkan kekuatan dari para Adipati di daerah Timur. Sedangkan Mataram telah memanggil kekuatan dari sebelah Utara Pegunungan Kendeng pula, disamping Pajang."
Glagah Putih menundukkan kepalanya. Ia memang selalu mendengar, bahwa perang sama artinya dengan pembunuhan, kekejaman dan kelakuan yang tidak sewajarnya. Tingkah laku seseorang yang ada di peperangan akan dapat berubah sama sekali dari tingkah lakunya sehari-hari.
Namun perang itu terjadi dimana-mana dari waktu ke waktu, Bahkan dapat terjadi pula perang untuk menentang peperangan. Dan Glagah Putih berada didalam libatan peristiwa perang dan perang itu.
"Kami mohon doa restu Guru serta paman." berkata Agung Sedayu yang kemudian bersama Glagah Putih telah bersiap untuk meninggalkan padepokan itu.
"Aku akan mohon untuk pada saatnya masih dapat bertemu dengan murid-muridku lagi." berkata Kiai Gringsing.
Dahi Agung Sedayu berkerut. Desisnya, "Semoga Yang Maha Agung melindungi kami dan saudara-saudara kami di medan."
"Bukan persoalan kalian di medan." berkata Kiai Gringsing, "tetapi justru aku di pembaringan."
Jantung Agung Sedayu terasa berdentang mendengar desah gurunya itu. Tetapi ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Namun Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Sudahlah. Selamat jalan. Semoga tidak mengalami hambatan diperjalanan."
"Terima kasih Guru." sahut Agung Sedayu, "kami masih akan singgah sebentar di rumah kakang Untara."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Bagus. Sebaiknya kau memang menemuinya meskipun pada saatnya kalian akan bersama-sama berangkat. Tetapi sudah tentu kalian tidak akan menjadi satu pasukan, meskipun mungkin kalian berada di satu kesatuan. Mungkin kalian berada di sayap yang sama, atau justru di induk pasukan."
"Ya Guru." jawab Agung Sedayu.
"Nah, hati-hatilah di perjalanan." berkata Kiai Gringsing kemudian.
Sejenak kemudian kedua orang itupun telah meninggalkan padepokan kecil di Jati Anom. Mereka sempat singgah sebentar di rumah Untara. Untunglah bahwa Untara sedang berada di rumahnya sehingga mereka sempat bertemu. Bahkan Sabungsaripun sedang berada dirumah Untara pula.
"Marilah kita saling berdoa." berkata Untara kepada adik dan adik sepupunya, "Mudah-mudahan kita masing-masing mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung."
Agung Sedayu memang tidak lama singgah dirumah kakaknya. Iapun kemudian minta diri kepada kakaknya dan kakak iparnya. Namun mereka memang berharap bahwa mereka akan dapat berada ditempat yang tidak terlalu jauh jika mereka nanti berada di medan.
"Swandaru akan bersamaku." berkata Untara, "tetapi nampaknya agak sulit untuk mengendalikannya."
Demikianlah, maka sejenak, kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih telah meninggalkan Jati Anom langsung menuju ke Tanah Perdikan. Mereka menyadari, bahwa mereka akan sampai di Tanah Perdikan setelah malam hari. Itupun jika tidak ada hambatan apapun diperjalanan.
Kedua orang itupun setelah lepas dari Jati Anom telah berpacu dengan cepat meskipun tidak mencapai kecepatan tertinggi. Apalagi kuda yang dipergunakan oleh Glagah Putih. Seekor kuda yang tegar melampaui kuda yang lain.
Agar mereka tidak tertahan oleh banyak pertanyaan dan persoalan, maka mereka memang menghindar untuk tidak melewati Kota jika mereka melewati Mataram. Karena itu, maka mereka telah mengambil jalan Utara. Demikian pula merekapun telah memilih untuk menyeberangi Kali Praga di penyeberangan sebelah Utara pula.
Ketika mereka menyeberangi Kali Opak, maka matahari telah menjadi rendah. Tetapi sinarnya masih menyilaukan mata, justru karena Agung Sedayu dan Glagah Putih menempuh perjalanan ke arah Barat.
Beberapa saat lamanya mereka menyusuri tepian. Kemudian mereka telah mengambil jalan yang tidak begitu lebar, tetapi jalan yang termasuk banyak dilalui orang.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka cahaya langitpun menjadi merah. Ujung daun nyiur yang bergerak-gerak di sentuh anginpun kemerah-merahan pula.
"Candikala." desis Glagah Putih.
"Ya." jawab Agung Sedayu, "cahaya senja yang ditakuti anak-anak."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Ketika aku kanak-kanak, akupun takut memandang candikala. Bahkan selama sinar merah kekuning-kuningan yang tajam itu belum pudar, aku selalu bersembunyi di dalam rumah."
Agung Sedayupun tersenyum. Katanya, "Dimasa kanak-kanak aku tidak hanya takut kepada candikala. Tetapi aku selalu merasa ketakutan sepeninggal ayah. Keberanianku rasa-rasanya sangat tergantung kepada sikap kakang Untara."
"Kakang terlalu manja dimasa kanak-kanak." desis Glagah Putih.
"Darimana kau tahu?" bertanya Agung Sedayu.
"Ayah." jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, "Ya. Aku memang terlalu manja, sehingga akibatnya terasa sampai sekarang. Aku sulit untuk mengambil sikap sendiri. Aku selalu memerlukan orang lain untuk memberikan pertimbangan, seakan-akan aku tidak pernah yakin akan sikapku sendiri."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi hampir diluar sadarnya ia melihat sekelompok burung yang terbang seperti dihalau dari tempatnya hinggap. Burung-burung belekok itupun kemudian terbang bergerombol menuju ke sarangnya bagaikan gumpalan awan putih yang bergerak di wajah langit yang kemerah-merahan.
Namun dalam pada itu, Glagah Putihpun tiba-tiba melihat tiga ekor kuda yang berlari cepat dari arah samping. Agaknya dihadapan Agung Sedayu dan Glagah Putih terdapat sebuah simpangan, sehingga tiga ekor kuda itu seakan-akan berpacu untuk mendahului keduanya sampai disimpang jalan itu.
"Mungkin mereka tergesa-gesa." berkata Agung Sedayu, "tidak ada hubungannya dengan perjalanan kita."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun terasa sesuatu yang lain di hatinya.
Sebenarnya Agung Sedayupun menaruh curiga melihat sikap ketiga orang penunggang kuda itu. Mereka selalu saja memandang ke arah Agung Sedayu dan Glagah Putih. Bahkan mereka bertiga rasa-rasanya telah berusaha untuk mempercepat lari kuda mereka.
Ternyata ketiga orang itu telah lebih dahulu sampai di persimpangan jalan. Tetapi mereka tidak sedang menempuh perjalanan dengan tergesa-gesa seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Mereka justru berhenti di persimpangan itu dan menunggu Agung Sedayu dan Glagah Putih yang memang sudah menjadi semakin dekat.
Kecurigaan Agung Sedayu dan Glagah Putih ternyata beralasan. Ketiga orang itu telah menghentikan perjalanan kedua orang yang menuju ke Tanah Perdikan itu.
"Hati-hatilah Glagah Putih." desis Agung Sedayu, "nampaknya mereka mempunyai niat tertentu."
"Ki Sanak." salah seorang dari ketiga orang itu berkata setelah Agung Sedayu dan Glagah Putih berhenti beberapa langkah dihadapan mereka, "Kami ingin memperkenalkan diri kepada Ki Sanak."
Agung Sedayu mengangguk hormat. Katanya, "Terima kasih atas kesediaan Ki Sanak."
Orang itu mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu sempat memperhatikan orang itu. Orang yang umurnya sudah separo baya, berjanggut pendek keputih-putihan. Tidak berkumis. Namun jambangnya tergantung rendah. Juga sudah keputih-putihan.
"Aku ingin mengetahui, siapakah kalian berdua yang berkuda menyusuri jalan kecil ini." berkata orang itu.
Agung Sedayu menjawab berterus terang, "Aku adalah Agung Sedayu dan ini adalah adik sepupuku Glagah Putih."
"Kalian tinggal di mana dan akan pergi ke mana?" bertanya orang itu pula.
"Kami adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Kami dalam perjalanan pulang setelah kami mengunjungi saudara kami di Jati Anom." jawab Agung Sedayu.
Orang itu mengangguk-angguk. Namun orang itu berdesis, "Kuda adik sepupumu itu bagus sekali."
Jantung Glagah Putih tergetar. Ia sadar, bahwa orang itu tentu tertarik kepada kudanya. Karena itu, maka ia memang harus berhati-hati menghadapinya.
Tetapi Agung Sedayu ternyata menjawab, "Terima kasih atas pujian Ki Sanak. Kuda itu memang kuda yang termasuk baik."
"Ya. Sulit dicari kuda seperti itu selain di istana Mataram sekarang ini." berkata orang itu.
"Adalah kebetulan saja adik sepupuku memiliki kuda seperti itu." jawab Agung Sedayu.
"Ki Sanak." berkata orang itu dengan nada lembut, "kalian tahu, bahwa masa ini adalah masa yang gawat. Mataram sedang mengerahkan segenap kekuatannya untuk menghadapi Madiun. Nah, sudah barang tentu segala perlengkapan yang berhubungan dengan kemungkinan perang itupun harus dipersiapkan dengan baik."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia sudah tahu arah pembicaraan orang itu. Meskipun demikian Agung Sedayu berusaha untuk mendengarkan dengan sabar.
"Ki Sanak." bertanya orang itu, "darimana kalian dapat kuda itu" Adalah mustahil bagi orang kebanyakan untuk dapat memilikinya."
"Kami memang mendapatkannya dari kalangan istana." jawab Agung Sedayu, "adik sepupuku adalah kebetulan sahabat putera Panembahan Senapati. Raden Rangga yang telah meninggal. Tetapi Raden Rangga sempat memberi seekor kuda kepada adik sepupuku."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum. Katanya, "Ceritera khayal yang menarik. Siapakah kalian berani mengaku sahabat putera Panembahan Senapati?"
"Aku berkata sebenarnya Ki Sanak." berkata Agung Sedayu.
"Siapa yang dapat mempercayai ceriteramu itu" Jika kau mengarang ceritera yang lebih baik, mungkin aku dapat mempercayainya. Katakan, bahwa adik sepupumu itu adalah bekas gamel yang merawat kuda Raden Rangga yang telah meninggal itu atau barangkali pesuruhnya atau apa. Tetapi sudah tentu bukan sahabatnya." berkata orang itu.
"Mungkin begitu." jawab Agung Sedayu, "apalah namanya, tetapi kuda itu adalah pemberian Raden Rangga."
"Mungkin pemberian, tetapi mungkin ia memiliki dengan cara yang tidak wajar." berkata orang itu.
"Ki Sanak." berkata Agung Sedayu kemudian, "siapakah sebenarnya Ki Sanak itu" Dan apakah sebenarnya maksud Ki Sanak?"
"Aku adalah pemimpin dari padepokan Gajah Salaka, di kaki Gunung Kendeng." jawab orang itu.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian bertanya, "Apakah itu satu padepokan baru?"
"Ya. Satu padepokan baru. Padepokan yang aku dirikan sejak beberapa tahun yang lalu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dengan tergesa-gesa orang itu berkata, "Tetapi jangan mengira bahwa kami adalah orang-orang yang baru sejak beberapa tahun yang lalu mempelajari ilmu kanuragan. Kami adalah orang-orang yang sudah matang dalam olah kanuragan. Kami memiliki pengetahuan yang luas dan pengalaman yang cukup banyak. Dengan bekal ilmu yang kami miliki, maka kami telah mendirikan sebuah perguruan di sebuah padepokan yang kami sebut Gajah Salaka."
"Siapakah namamu Ki Sanak?" bertanya Agung Sedayu kemudian.
Orang itu tertawa. Katanya, "Jadi kau juga menanyakan siapakah namaku" Baiklah. Namaku adalah Kiai Gajah Lengit. Kedua orang ini adalah Putut yang terpercaya di padepokanku. Putut Lengkara dan Putut Sadak Ijo."
Agung Sedayu mengangguk hormat sambil berkata, "Terima kasih atas kesempatan untuk mengenal nama Kiai dan kedudukan Kiai."
"Nah, sekarang dengarlah baik-baik. Salah seorang muridku adalah seorang prajurit Pajang. Ia mendapat kesempatan untuk memimpin sebuah kelompok prajurit yang akan bersama-sama menuju ke Madiun." berkata Kiai Gajah Lengit, "sekarang muridku itu sudah siap untuk melakukan tugasnya. Ia berada diantara pasukan pengawal khusus Panembahan Senapati."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ada beberapa hal yang tidak masuk akal. Karena itu maka iapun bertanya, "Bukankah pasukan Pajang tidak perlu datang ke Mataram karena pasukan Mataram akan singgah di Pajang dalam perjalanannya ke Madiun?"
"Benar. Tetapi Pajang telah mengirimkan sekelompok prajurit terpilihnya untuk menjadi paruh perjalanan Panembahan Senapati." berkata Kiai Gajah Lengit, "nah, sekelompok pasukan itu telah dipimpin oleh Ki Lurah Samparangin. Nah, Ki Lurah Samparangin itu adalah muridku. Atas ijin Panembahan Senapati, maka akupun diperkenankan memperkuat kelompok prajurit Pajang yang akan berjalan di paling depan."
"Maaf Ki Sanak." berkata Agung Sedayu yang mulai melihat bahwa banyak hal yang tidak benar yang dikatakan oleh orang itu, "muridmu itu menjadi bagian dari pasukan pengawal atau penunjuk jalan yang akan menuntun pasukan Mataram sampai ke Pajang."
Kiai Gajah Lengit menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sudahlah. Itu tidak penting. Yang penting kalian harus membantu perjuangan Mataram untuk menegakkan kewibawaannya."
"Apa yang dapat kami lakukan?" bertanya Agung Sedayu.
"Ujung pasukan Mataram akan menjadi lebih berkesan jika ia mempergunakan seekor kuda yang paling baik." berkata Kiai Gajah Lengit.
Agung Sedayu berpaling kearah Glagah Putih. Namun keduanya memang sudah menduga, bahwa yang dikatakan orang itulah persoalan yang sebenarnya akan timbul.
Namun sejenak kemudian Agung Sedayu menjawab, "Ya. Sudah tentu Ki Sanak. Ujung pasukan itu tentu akan nampak lebih besar dan lebih pantas, bahkan lebih berwibawa."
"Syukurlah jika kau mengerti. Agaknya kau adalah seorang diantara kawula Mataram yang baik." berkata orang itu.
"Terima kasih atas pujian ini." jawab Agung Sedayu.
"Nah, sekarang, kita bertukar kuda. Sepupumu pakai kudaku dan aku akan memakai kudanya. Aku akan berada diujung pasukan dengan dada tengadah. Justru dimuka pepucuk prajurit Pajang yang telah dikirim ke Mataram yang dipimpin oleh muridku itu." berkata Gajah Lengit.
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Jangan Ki Sanak. Sepupuku memerlukan kudanya. Ia tentu berkeberatan untuk menukarkan kudanya."
Orang itu terkejut. Ia mengira bahwa rencananya itu akan dapat berjalan dengan sangat lancar tanpa persoalan.
"Tetapi bukankah kau sependapat, bahwa kuda yang terbaik akan berada dipaling depan?" bertanya orang itu.
"Ya. Aku sependapat." jawab Agung Sedayu.
"Tetapi kenapa kau keberatan untuk menukarkan kuda kita" Bukankah dengan demikian berarti kau sudah ikut membantu perjuangan Mataram untuk menegakkan kesatuan wilayahnya?" bertanya orang itu.
"Aku sependapat, bahwa kuda yang terbaik akan berada di paling depan. Tetapi kuda itu sudah tentu bukan kuda sepupuku." jawab Agung Sedayu.
"Jadi kuda siapa?" bertanya Gajah Lengit.
"Bukankah di istana Mataram banyak terdapat kuda sebaik kuda sepupuku" Karena itu, aku harap Ki Sanak minta kepada Panembahan Senapati kuda yang tegar dan besar bahkan melampaui kuda sepupuku ini." jawab Agung Sedayu.
Wajah orang itu menjadi merah. Ia sadar, bahwa kedua orang itu sama sekali tidak merasa takut menghadapinya. Keduanya bukannya dengan serta merta memberikan kuda yang diminta, tetapi justru telah mempermaikannya. Karena itu, maka Kiai Gajah Lengit itu telah berkata dengan geram, "Jadi kalian sengaja mencari persoalan?"
"Maksud Ki Sanak?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku tidak peduli. Tetapi aku minta kuda itu. Tidak sekedar tukar menukar. Tetapi kuda itu aku rampas, boleh atau tidak boleh." geram Gajah Lengit.
"Apakah dengan demikian Ki Sanak telah menganggap bahwa kami telah mencari persoalan?" bertanya Agung Sedayu.
"Persetan." geram orang itu, "Ingat. Aku adalah Gajah Lengit. Muridku adalah seorang pemimpin kelompok prajurit Pajang yang kini berada di Mataram untuk menjemput Panembahan Senapati. Jika kau berani menentang kehendakku, maka berarti kau berani menentang Panembahan Senapati."
Agung sedayu justru tertawa. Katanya, "Jalan pikiranmu aneh Ki Sanak. Jika kau ingin merampas kuda itu, apakah berarti Panembahan Senapati juga ingin merampas kuda itu."
"Cukup." bentak orang itu, "sekarang berikan kuda itu."
Tetapi Agung Sedayu menjawab, "Sudahlah Ki Sanak, jangan berusaha melanggar hak orang lain. Kita berpisah disini. Kami akan meneruskan perjalanan kami."
"Jangan terlalu sombong. Kau tidak akan dapat melepaskan diri dari tanganku. Jika kau menentang keinginanku, maka kau akan menyesal sepanjang umurmu. Atau bahkan kau akan mati disini." Kiai Gajah Lengit mengancam.
Tetapi Agung Sedayu masih saja tersenyum sambil berkata, "Jangan menakuti aku seperti menakuti anak-anak."
"Persetan." geram orang itu. Lalu memberi isyarat kepada kedua orang yang disebutnya kedua Pututnya itu. "Berikan sedikit ajaran kepada kedua orang itu agar jera. Pada suatu saat mereka mungkin akan bertemu lagi dengan kita, sehingga mereka tidak akan berani lagi menyombongkan dirinya seperti itu."
"Baik Guru." jawab keduanya hampir berbareng.
Sejenak kemudian kedua orang itu telah meloncat turun dari kuda mereka. Mengikat kuda mereka pada sebatang pohon dipinggir jalan. Kemudian melangkah mendekati Agung Sedayu dan Glagah Putih.
"Turun dari kuda atau kalian akan mati dan mayatmu akan diseret oleh kudamu." bentak salah seorang Putut.
Agung Sedayu dan Glagah Putih termangu-mangu. Namun keduanya pun kemudian bersepakat untuk turun, kemudian mengikat kuda mereka ditempat yang agak jauh, agar Kiai Gajah Lengit tidak dapat berbuat curang dengan mengambil kuda itu ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih berkelahi.
"Kau memerlukan waktu yang lama untuk melepaskan tali ikatannya jika kau ingin mengambilnya dengan curang." berkata Agung Sedayu.
"Kau akan digigitnya." tambah Glagah Putih, "kudaku sudah aku ajari menggigit orang lain yang akan mengambilnya."
Kiai Gajah Lengit tidak menjawab. Tetapi ia justru berteriak kepada kedua orang Pututnya, "Buat mereka jera. Jika perlu bunuh saja keduanya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia sempat berbisik kepada Glagah Putih, "Berhati-hatilah. Kita belum tahu tataran kemampuan mereka. Sementara itu, jangan lengah. Orang tua itu dapat berbuat curang dengan mengambil kudamu."
Glagah Putih mengangguk sambil berdesis, "Ya kakang."
Sejenak kemudian, kedua orang Putut itu telah berhadapan dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Putut Sadak Ijolah yang telah menghadapi Agung Sedayu, sedang Putut Lengkara telah mendekati Glagah Putih.
Balas " On 9 Juli 2009 at 14:33 Mahesa Said:
Dengan garang Putut Lengkara berkata, "Guru tidak pernah dikecewakan oleh siapapun. Karenanya, jangan mencoba mengecewakan Guru. Siapa yang menolak perintahnya, ia akan kecewa seumur hidupnya."
"Paugeran itu tentu saja berlaku bagi padepokan kalian. Tetapi tentu tidak berlaku bagi orang lain." jawab Glagah Putih.
"Paugeran ini berlaku bagi semua orang." geram Putut Lengkara.
"Juga bagi Panembahan Senapati" Seandainya Panembahan Senapati membuat gurumu kecewa, apakah gurumu juga akan menghukumnya?" bertanya Glagah Putih.
"Panembahan Senapati tidak pernah membuat Guru kecewa. Bahkan Panembahan Senapati telah membuat Guru merasa sangat berkenan dihati. Panembahan Senapati tahu benar, bahwa Guru sangat diperlukan, sehingga sebelum minta Guru telah mendapat apa yang diingininya." sahut Putut Lengkara.
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Kenapa gurumu tidak minta seekor kuda" Aku tahu diistana Panembahan Senapati ada lebih sepuluh ekor kuda sebagus bahkan lebih bagus dari kudaku."
"Persetan." geram Putut Lengkara, "kau kira sepuluh ekor kuda cukup untuk dibawa ke Madiun" Sepuluh ekor kuda itu tentu seluruhnya akan diberikan kepada Guru jika Guru mengatakannya kepada Panembahan Senapati. Tetapi sudah tentu Guru tahu, bahwa Pasukan Pengawal Khusus juga memerlukan kuda, sehingga Guru sama sekali tidak ingin mengambil kuda itu meskipun pasti akan diberikannya."
"Tetapi kenapa gurumu akan mengambil kudaku." bertanya Glagah Putih, "bukankah gurumu tahu bahwa akupun memerlukan kudaku itu?"
"Kau harus membantu perjuangan Mataram melawan Madiun." bentak Putut Lengkara.
"Itu bukan urusanku. Itu urusan orang-orang Mataram." jawab Glagah Putih.
"Jika demikian kau sudah berkhianat. Seharusnya setiap orang Mataram membantu perjuangan suci untuk menegakkan wibawa Mataram. Jika kau acuh tak acuh atas perjuangan yang suci dan luhur itu, maka kau adalah pengkhianat. Kau tahu, hukuman bagi pengkhianat seperti kau?" bertanya orang itu.
"Tidak." jawab Glagah Putih.
"Orang itu harus dihukum mati." jawab Putut Lengkara.
"Siapakah yang berhak menghukum mati seseorang?" bertanya Glagah Putih.
Orang itu membelalakkan matanya. Namun kemudian ia menjawab, "Guru berhak menghukum mati orang yang tidak patuh dan melakukan perintahnya karena muridnya, saudara seperguruannya adalah seorang Lurah prajurit di Pajang."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Jika demikian aku juga berhak menghukum mati."
"Kenapa?" bertanya orang itu.
"Karena kakak ipar saudara sepupu ayahku adalah seorang prajurit Mataram." jawab Glagah Putih.
Putut Lengkara itu menjadi sangat marah. Sementara Kiai Gajah Lengit itupun berteriak, "Bunuh anak itu. Jangan terlalu banyak berbicara."
Putut Lengkarapun segera melangkah mendekat. Wajahnya nampak semakin garang.
Sementara itu matahari telah terbenam. Langit yang merahpun menjadi kehitaman. Bintang-bintang mulai nampak bergayutan di langit yang jernih.
Ternyata Putut Sadak Ijo tidak terlalu banyak berbicara sebagaimana Putut Lengkara. Tetapi ia masih juga sempat memberi peringatan, "Selagi masih ada kesempatan."
Agung Sedayu menjawab dengan nada rendah, "Jangan mimpi. Hari sudah terlalu sore."
Putut Sadak Ijo mengumpat kasar. Namun iapun telah bersiap untuk bertempur. Sejenak kemudian, maka Putut Sadak Jopun telah meloncat menyerang Agung Sedayu.
Agung Sedayu memang sudah bersiap sepenuhnya. Ia sama sekali tidak pernah merendahkan lawannya. Apalagi lawan yang belum diketahui tingkat kemampuannya. Dengan bergeser selangkah, Agung Sedayu menghindari serangan itu. Bahkan iapun telah memutar tubuhnya sambil mengayunkan tangannya. Namun tangannya sama sekali tidak menyentuh Putut Sadak Ijo yang meloncat menghindar.
Keduanyapun kemudian telah terlibat dalam pertempuran yang semakin cepat. Namun agaknya keduanya masih ingin saling menjajagi. Putut Sadak Ijo yang melihat sikap Agung Sedayu yang begitu yakin itupun mengerti, bahwa Agung Sedayu tentu memiliki ilmu yang cukup tinggi. Karena itu, maka Putut Sadak Ijopun cukup berhati-hati menghadapi lawannya yang belum pernah dikenalnya itu.
Sementara itu, Putut Lengkarapun telah bertempur melawan Glagah Putih. Sebagaimana Putut Sadak Ijo, maka Putut Lengkarapun mempunyai perhitungan yang sama. Meskipun orang yang memiliki kuda itu masih terlalu muda, tetapi agaknya ia memiliki bekal kemampuan yang tinggi.
Beberapa saat mereka masih menjajagi kemampuan lawan masing-masing. Agung Sedayu yang mengikuti saja tingkat kemampuan lawannya segera mengetahui, bahwa lawannya tidak lagi dapat meningkatkan ilmunya karena ia sudah sampai dipuncak. Bahkan ketika Agung Sedayu meningkatkan selapis lagi ilmunya, orang itu sudah mengalami kesulitan.
Agung Sedayu memang menjadi heran. Apakah yang diandalkan oleh kedua Putut itu, sehingga mereka telah berani melakukan satu langkah yang sangat berbahaya di Mataram. Seharusnya orang-orang itu mengetahui bahwa ia tidak dapat berbuat sekehendak hatinya di Mataram dan sekitarnya, karena di Mataram dan sekitarnya tentu terdapat orang-orang yang akan mampu mengimbangi kemampuan mereka.
Demikian pula Putut Lengkara yang bertempur melawan Glagah Putih. Beberapa saat kemudian, maka ia telah kehilangan kesempatan untuk dapat mengatasi ilmu anak muda itu. Karena itu, maka kedua orang itu tidak banyak berarti bagi Agung Sedayu dan Glagah Putih. Seandainya Agung Sedayu dan Glagah Putih berniat, maka dalam waktu yang singkat keduanya akan dapat dengan cepat mengalahkan mereka tanpa harus menitikkan keringat. Namun justru karena itu. Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi curiga. Mungkin yang dihadapi bukannya kemampuan yang sebenarnya atau sekedar jebakan untuk menyesatkan mereka.
Orang yang menyebut dirinya Gajah Lengit itu masih duduk diatas kudanya. Ia melihat kedua orang Putut kepercayaannya itu dengan cepat mulai terdesak. Tetapi orang itu masih saja duduk dengan tenangnya. Beberapa saat kemudian, kedua orang Putut itu benar-benar sudah tidak berdaya. Agung Sedayu dan Glagah Putih yang termangu-mangu menghadapi mereka, telah beberapa kali menyentuh semakin jauh.
Namun tiba-tiba saja terdengar orang dipunggung kuda itu tertawa. Katanya, "Ternyata kedua orang itu bukan lawanmu. Keduanya memiliki tataran ilmu diatas kalian berdua. Tetapi kalian tidak boleh putus asa. Kalian bukan orang-orang yang tidak berdaya. Nah, jika demikian, pergunakanlah senjata kalian."
Kedua orang Putut itu telah meloncat surut untuk mengambil jarak. Sejenak kemudian, maka keduanya telah menarik senjata masing-masing. Tidak lebih besar dari sebilah keris. Namun ujudnya agak berbeda. Hulu senjata itu berbeda dengan hulu sebilah keris kebanyakan.
"Nah." berkata orang yang duduk di atas punggung kudanya. "Ternyata kedua orang itu benar-benar tidak mau memenuhi keinginanku. Karena itu, maka keduanya pantas mendapat hukuman yang paling berat. Hukuman mati."
Agung Sedayu dan Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun merekapun menyadari, bahwa dengan demikian mereka akan bertempur dalam babak yang baru. Agaknya kedua orang Putut itu mempercayakan kekuatan dan kemampuan mereka pada kedua senjata itu.
"Cepat." terdengar orang yang duduk diatas punggung kuda itu berteriak.
Malam sudah menjadi semakin larut. Agung Sedayu dan Glagah Putih masih harus menempuh perjalanan yang agak panjang. Mereka masih harus menyeberangi kali Praga dan menempuh jalan dari tepian sampai ke padukuhan induk Tanah Perdikan. Karena itu, maka keduanyapun telah berniat untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran.
Tetapi ketika kedua orang Putut dengan senjata ditangan masing-masing itu mulai bergerak, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih segera menyadari, bahwa kedua orang itu bukannya kedua orang yang tidak berdaya sebelumnya. Dengan keris ditangannya maka kedua orang itu telah berloncatan dengan garangnya. Serangan-serangan mereka datang membadai. Ujung keris itu di gelapnya malam justru seakan-akan telah menyala kemerah-merahan.
"Tentu bukan keris kebanyakan." desis Glagah Putih.
Dengan tingkat kemampuan lawannya yang mejonjak setelah ia menggenggam keris ditangannya, maka Glagah Putihpun harus meningkatkan kemampuannya pula. Dengan tangkas ia berloncatan menghindari serangan yang garang dan bahkan menjadi ganas. Namun sekali-kali Glagah Putihpun telah berloncatan menyerang pula.
Orang yang berada di punggung kuda itu memang menjadi heran. Kedua orang itu ternyata mampu bertahan cukup lama menghadapi kedua Pututnya meskipun keduanya telah menarik senjata mereka yang dapat mempengaruhi kemampuan mereka.
Sebenarnyalah Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Keris ditangan kedua orang itu bukan saja bercahaya kemerah-merahan. Tetapi kedua ujung senjata itu seolah-olah mempunyai mata yang mampu menembus kegelapan.
Tetapi karena Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak segera dapat diselesaikan, maka orang yang duduk dipunggung kudanya itupun telah berkata lantang, "Apaboleh buat. Kematian kalian adalah kematian yang paling pahit, karena tubuh kalian akan hangus menjadi debu. Tidak seorangpun akan dapat mengenali kalian lagi. Apalagi karena kuda-kuda kalian akan kami bawa ke Mataram."
"Siapakah kalian sebenarnya." geram Agung Sedayu.
"Sudah aku katakan, bahwa aku adalah guru dari pemimpin Mataram dalam perjalanan ke Timur." jawab orang yang masih duduk dipunggung kudanya itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah iapun berkata, "Jika demikian kenapa tidak kau simpan saja kemampuanmu sehingga kelak akan dapat kalian pergunakan bila kau dan kedua Pututmu itu berada di medan?"
"Tentu." jawab orang itu. Namun ia melanjutkan, "Tetapi serahkan kudamu."
"Tidak Ki Sanak." jawab Glagah Putih, "aku sudah menjawab beberapa kali. Dan jawabku tidak akan berubah."
"Bagus." berkata orang itu, "kau akan segera menjadi abu."
Orang yang diatas punggung kuda itupun tiba-tiba telah menarik senjatanya pula. Mirip seperti senjata kedua Pututnya itu. Sementara itu dari mulutnya terdengar perintah, "Kita tidak mempunyai pilihan lain. Pergunakan senjata kalian sebaik-baiknya. Aku akan memberinya tenaga."
"Baik Guru." jawab kedua orang Putut itu hampir berbareng.
"Jangan menahan diri lagi. Kedua orang itu benar-benar tidak pantas untuk dimaafkan. Bakar mereka menjadi abu, agar besok pagi jejaknya akan terhapus oleh hembusan angin." berkata orang yang berada di atas punggung kuda.
Kedua Putut itupun segera mempersiapkan diri untuk meningkatkan lagi ilmunya, setelah senjatanya nanti diberi tenaga oleh senjata orang yang ada di punggung kuda itu.
Untuk menghadapi keduanya, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah bersiap pula. Mereka berdiri pada jarak tiga langkah serta meletakkan kemampuan mereka pada tataran ilmu yang lebih tinggi.
Sekejap kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih terkejut ketika mereka melihat ketiga orang itu mengangkat senjatanya. Cahaya kilat telah meloncat dari ujung senjata orang yang duduk di atas punggung kuda itu keujung keris kedua orang Pututnya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih menyadari, bahwa kedua -lawannya itu tidak lagi berada pada kemampuan wajar mereka.
Sejenak kemudian terdengar orang di atas punggung kuda itu tertawa. Katanya, "Aku jarang sekali mempergunakan ilmuku yang tidak ada duanya ini. Tetapi karena kalian berdua ternyata benar-benar orang yang memuakkan, maka aku berniat untuk menghapus saja kehadiran kalian dari muka bumi."
"Apakah kau tidak berpikir, bahwa tenagaku dapat aku sumbangkan kepada Mataram sebagaimana kalian bertiga?" bertanya Agung Sedayu.
Tetapi orang itu tertawa semakin keras. Katanya, "Jangankan tenaga, pikiran dan apalagi nyawamu. Sedang kudamupun kau tidak mau memberikannya kepadaku. Aku akui, bahwa kalian berdua ternyata memang memiliki bekal ilmu. Ternyata kalian berdua dapat melawan kedua Pututku bahkan setelah ia menggenggam senjatanya. Tetapi dengan kekuatan yang aku berikan kepada mereka, maka kalian tidak akan berarti apa-apa."
"Ilmu yang aneh." desis Glagah Putih, "dengan demikian maka kedua orang Pututmu itu sangat tergantung kepadamu. Bagaimana jika kedua Pututmu itu kelak setelah masanya berdiri sendiri" Apakah dengan demikian bukan berarti bahwa untuk selamanya mereka akan tetap menjadi bayi yang harus kau susui?"
"Persetan." geram orang berkuda itu. Ia ternyata sudah tidak tertawa lagi. "Akan datang saatnya mereka menjadi dewasa sehingga tidak memerlukan lagi kekuatan dari aku. Mereka sedang merintis jalan menuju ke puncak kemampuannya, sehingga keduanya masih harus dituntun. Tetapi sudah tentu bahwa itu lebih baik daripada harus mengalami nasib buruk jika keduanya bertemu orang-orang macam kalian."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, "Bagaimana jika kedua Pututmu mati" Apakah senjata-senjata mereka itu tidak ada artinya lagi, atau kau akan memungutnya dan memberikan kepada orang lain yang akan kau angkat menjadi Pututmu menggantikan kedua orang itu?"
"Cukup." bentak orang itu, "kau terlalu banyak bicara."
Lalu katanya kepada kedua Pututnya, "Jangan biarkan orang itu mengigau. Bunuh mereka dengan nafas apimu, agar keduanya menjadi abu."
Kedua orang Putut itu tidak bertanya lebih lanjut. Keduanyapun segera bersiap sambil mengangkat kerisnya tinggi-tinggi. Sementara itu, orang yang berada di punggung kuda itu masih saja memegang senjatanya serta dengan tegang mengawasi kedua orang Pututnya.
Sejenak kemudian maka kedua orang Putut itu telah meloncat menyerang Agung Sedayu dan Glagah Putih. Keduanya berloncat semakin cepat, serta tenaganyapun menjadi semakin kuat.
Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah menduganya. Karena itu, maka keduanyapun telah bersiap menghadapi kemungkinan itu.
Ternyata bahwa kedua orang itu menjadi sangat berbahaya bagi Agung Sedayu dan Glagah Putih. Ujung-ujung senjata mereka beberapa kali hampir saja menyentuh tubuh Agung Sedayu maupun Glagah Putih. Karena itu, maka merekapun harus menjadi semakin berhati-hati.
Tetapi Agung Sedayu tidak berniat untuk dengan serta merta mempergunakan kemampuannya yang tertinggi. Agung Sedayu masih ingin menjajagi, ilmu apa lagi yang akan dipertunjukkan oleh kedua orang Putut itu. Karena itu, maka Agung Sedayupun telah mengurai cambuk di lambungnya. Sementara Glagah Putihpun telah menirukannya pula. Anak muda itupun telah pula menarik pedangnya.
Orang yang duduk dipunggung kuda itu terkejut. Hampir diluar sadarnya berdesis, "Orang bercambuk."
Agung sedayu memang mendengarnya. Tetapi ia sama sekali tidak menghiraukannya. Ia masih saja bertempur melawan Putut Sadak Ijo yang menjadi semakin garang.
"He, Agung Sedayu." panggil Gajah Lengit, "darimana kau dapatkan cambuk itu?"
Agung Sedayu yang sedang diserang oleh Putut Sadak Ijo itu tidak segera menjawab. Namun iapun meloncat mengambil jarak, sementara Putut Sadak Ijo tidak segera memburunya. Agaknya ia memang memberi kesempatan kepada Agung Sedayu untuk menjawab pertanyaan gurunya.
Agung Sedayu yang terbebas untuk sementara dari liabatan lawannya itu sempat menjawab, "Cambuk ini aku dapatkan dari seseorang."
"Bagus." jawab Gajah Lengit, "aku ingin tahu apakah kau keturunan dari perguruan Orang Bercambuk atau kau sekedar seorang gembala yang terbiasa bermain-main dengan cambuk."
"Atau kedua-duanya." sahut Agung Sedayu.
"Persetan." geram orang itu. Lalu katanya kepada muridnya, "Paksa orang itu melepaskan ilmu puncaknya sebelum mati, agar aku dapat melihat, apakah orang itu memiliki warisan ilmu dari perguruan Orang Bercambuk. Jangan tergesa-gesa membunuhnya sebelum aku mengenali ilmunya."
Agung Sedayu tiba-tiba saja tertawa. Katanya, "Apakah kau mampu mengenali ilmu Orang Bercambuk?"
"Ada beberapa unsur yang aku kenali." jawab Gajah Lengit.
"Kau kenal dengan orang bercambuk?" bertanya Agung Sedayu.
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia terpaksa menggeleng, "Tidak. Aku tidak mengenalnya."
"Jika demikian darimana kau kenal ilmu orang bercambuk itu?" bertanya Agung Sedayu.
"Pertanyaan yang bodoh." berkata Gajah Lengit, "orang yang berilmu akan dengan cepat mampu menilai apakah ilmu orang lain cukup bernilai atau tidak. Jika kau bermain dengan cambukmu, maka akupun akan segera mengetahui, apakah sebenarnya kau memiliki ilmu yang mapan. Aku akan dapat menilai, bahwa ilmu yang kau tunjukkan itu bersumber dari sebuah perguruan yang besar atau sekedar permainan yang memuakkan dari orang-orang berilmu kerdil. Sementara itu, sudah kawentar sampai ke segala sudut tanah ini, bahwa permainan cambuk yang terbaik adalah dari perguruan Orang Bercambuk."
"Jadi yang kau pakai dasar dari penilaianmu adalah kata orang." desis Agung Sedayu.
"Cukup." geram orang itu. Lalu katanya kepada muridnya, "Bunuh orang itu dengan senjatamu yang telah mendapat kekuatan dari aku."
Putut Sadak Ijo tidak menunggu lagi. Iapun dengan serta merta telah meloncat menyerang Agung Sedayu.
Sementara itu, Putut Lengkara masih bertempur dengan sengitnya melawan Glagah Putih. Ternyata bahwa kekuatan yang meloncat dari ujung senjata Gajah Lengit ke ujung senjata Putut itu, terasa sekali pengaruhnya. Putut Lengkara seakan-akan menjadi semakin kuat, semakin tangkas dan kemampuannya menjadi semakin tinggi. Tetapi Glagah Putih ternyata masih mampu mengimbanginya. Dengan pedang ditangan, maka Glagah Putihpun menjadi semakin berbahaya.
Namun dalam benturan-benturan senjata, terasa bahwa getaran yang tajam seakan-akan telah mengalir dan menusuk langsung ke dalam urat-urat darahnya. Glagah Putih dengan cepat menilai getaran yang setiap kali terasa mempengaruhinya. Semakin sering terjadi benturan, maka terasa tusukan getaran itu semakin tajam menyusup ke dalam dirinya.
Yang pertama-tama dilakukan oleh Glagah Putih adalah menghindari setiap benturan. Ia justru berusaha mengelak, namun kemudian dengan ujung pedangnya ia menggapai tubuh lawannya. Dengan meningkatkan kecepatan geraknya, maka Glagah Putih berusaha untuk sedikit mungkin menyentuh senjata lawannya yang berwarna kemerah-merahan itu.
Sebenarnyalah di setiap benturan senjata, kekuatan ilmu dari senjata Putut itu bergetar dan menyusup ke dalam tubuh Glagah Putih. Kekuatan yang sedikit demi sedikit telah menghambat kerja urat-urat di dalam tubuh Glagah Putih, sehingga dengan demikian, maka rasa-rasanya kekuatan Glagah Putih itu terlalu cepat menyusut.
Untunglah, bahwa Glagah Putih dengan cepat dapat mengenali kesulitan itu. Karena itu, maka iapun telah menggeram sambil berkata, "Ternyata kau memiliki ilmu yang luar biasa. Ilmu yang dengan diam-diam dapat melumpuhkan kekuatan lawan."
"Setan mana yang memberimu peringatan tentang kemampuanku itu?" geram Putut Lengkara.
"Aku tidak pernah mengalami kesulitan seperti ini di dalam diriku. Namun tiba-tiba saja aku kini merasakannya. Sebagai seorang yang mengenal banyak orang-orang berilmu, maka aku pernah mendengar tentang ilmu seperti itu. Bahkan ilmu yang mampu menghisap kekuatan lawannya. Yang lebih dahsyat lagi adalah, bahwa ada diantara orang berilmu yang mampu menghisap kemampuan lawan dan sekaligus meningkatkan ilmunya sendiri sesuai dengan tingkat kekuatan ilmu yang dihisapnya." berkata Glagah Putih.
Sepasang Pedang Iblis 27 Panggung Penghukum Dewa Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Bende Mataram 40
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama