10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 6
"Ya Kiai." jawab cantrik itu.
"Aku akan melihat keadaan Agung Sedayu." berkata Kiai Gringsing pula.
Dikawani oleh seorang cantrik, Kiai Gringsingpun berjalan dengan tongkatnya menuju ke bangunan induk. Sementara itu, Agung Sedayu telah dibaringkan di biliknya pula ditunggui oleh Sekar Mirah dan Glagah Putih. Meskipun pernafasannya telah lancar dan urat-urat darahnya telah terbuka dan darahnya mengalir teratur, namun nampak wajah Agung Sedayu itu sangat pucat. Sehingga karena itu, maka Sekar Mirahpun men"jadi sangat cemas.
Ketika Kiai Gringsing berada didalam bilik itu pula, maka barulah ia mengetahui, bahwa Glagah Putihpun telah terluka. Bahkan sebutir biji besi masih berada didalam dagingnya.
"Aku harus mengambilnya." berkata Kiai Gringsing pula.
Glagah Putih termangu-mangu. Agaknya Agung Sedayu memerlukan pertolongan lebih dahulu daripada dirinya, meski"pun lengannya terasa betapa sakitnya.
Ketika Kiai Gringsing kemudian meraba dada Agung Sedayu, maka iapun bertanya, "Bagaimana pernafasanmu Agung Sedayu?"
Suara Agung Sedayu lambat dan bergetar, "Sudah baik, Guru."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ketika Kiai Gringsing menyibakkan baju Agung Sedayu, nampak didadanya bekas serangan lawannya yang membiru.
"Luar biasa." desis Kiai Gringsing, "dengan lambaran ilmu kebal, ia masih dapat memberikan bekas pada kulit Agung Sedayu. Jika dengan ilmunya ia memukul orang kebanyakan, maka orang itu tentu akan menjadi lumat seperti tertimpa batu hitam sebesar kerbau yang dilontarkan oleh gunung berapi yang meledak."
Sekar Mirahpun menjadi sangat berdebar-debar. Dari bekas di dada Agung Sedayu, mereka menyaksikannya dapat menduga betapa tinggi ilmu orang itu. Namun dengan demikian, orang-orang yang ada didalam bilik itupun telah bersukur, bahwa Agung Sedayu masih mendapat perlindungan Yang Maha Agung. Bahkan kemampuan il"mu perguruan Worsukma untuk merampas pribadi seseorang"pun tidak berhasil menguasai Agung Sedayu justru karena Agung Sedayu mempunyai sandaran yang tidak tergoyahkan, sementara dengan ketetapan hati Agung Sedayu benar-benar telah mengikatkan diri kepada-Nya.
Sesaat kemudian Agung Sedayu itupun telah mendapat obat yang berujud cairan berwarna kecoklat-coklatan bercampur warna hijau. Perlahan-lahan Sekar Mirah membantu Agung Sedayu mengangkat kepalanya, kemudian meneguk obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing itu.
"Mudah-mudahan daya tahan tubuhmu meningkat." berkata Kiai Gringsing. Lalu, "Sementara itu, beristirahatlah. Aku akan mengambil biji besi didalam daging Glagah Putih sebentar."
"Ya Guru." jawab Agung Sedayu perlahan.
Kiai Gringsingpun kemudian berkata kepada Sekar Mirah, "Tunggulah suamimu. Ia akan berangsur baik, meskipun tidak dengan serta merta."
"Ya Kiai." jawab Sekar Mirah sambil mengangguk hormat.
Dalam pada itu, Kiai Gringsingpun telah membawa Glagah Putih kedalam sebuah bilik yang khusus. Ada berbagai macam alat yang dipergunakan oleh Kiai Gringsing untuk mengobati orang-orang sakit, tetapi juga terdapat alat untuk mengambil benda-benda yang tidak dikehendaki yang terdapat didalam tubuh seseorang, sebagaimana biji besi yang mengeram didalam daging Glagah Putih.
Dengan pengetahuannya yang luas, maka Kiai Gring"singpun telah memanasi sebuah pisau kecil yang runcing. Kemu"dian mengikat lengan Glagah Putih keras-keras.
"Bersiaplah Glagah Putih." berkata Kiai Gringsing, "kau mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengatasi rasa sakit."
Glagah Putih tidak menjawab. Namun Kiai Gringsing telah memberikan sebatang kayu gabus kepadanya. "Gigitlah."
Glagah Putih semula merasa ragu-ragu. Tetapi Kiai Gring"sing memperingatkan, bahwa jika ia tidak menggigit kayu gabus itu, jika ia menggertakkan giginya, mungkin giginya dapat mengalami kerusakan.
Dengan dibantu oleh beberapa orang cantrik, maka Kiai Gringsingpun telah melakukan pekerjaannya. Bagi Kiai Gring"sing pekerjaan itu tidak terlalu sulit, karena biji itu jelas nampak didalam daging dibagian luar tubuhnya.
Namun ternyata Kiai Gringsing memang sudah tua. Apalagi sedang sakit. Ketika ia mulai mengacukan pisaunya, nam"pak ujung pisau itu agak bergetar. Bukan karena keragu raguannya karena pekerjaan seperti itu sudah sering dilakukan, tetapi ketuaannyalah yang membuat tangannya itu gemetar.
Glagah Putih telah mengerahkan segenap kemampuannya meningkatkan daya tubuhnya untuk mengatasi rasa sakitnya. Namun masih juga terasa betapa ujung pisau ditangan Kiai Gringsing itu mengoyak kulitnya, sehingga giginyapun kemu"dian bagaikan tertancap pada kayu gabus yang digigitnya untuk menahan sakitnya.
Pekerjaan Kiai Gringsing itu dapat diselesaikan tidak ter"lalu lama. Kemudian ditaburkannya obat pada bekas kulit yang dikoyaknya untuk mengeluarkan biji besi itu.
"Tidak beracun." berkata Kiai Gringsing.
Untuk mencegah agar obat yang ditaburkan tidak berhamburan, maka Glagah Putih itupun kemudian telah dibalut dengan kain yang bersih dilambari dengan selapis tipis selaput pada batang pisang yang memang diambil untuk kepentingan itu, dan yang sudah dibersihkan dengan diuapi air mendidih agar jika ada kuman-kuman penyakit, dapat terbunuh karenanya.
"Aku harus menggantinya sehari dua kali." berkata Kiai Gringsing, "sementara itu kaupun tidak boleh terlalu banyak bergerak, agar lukamu tidak berdarah."
"Ya Kiai." jawab Glagah Putih yang masih berkeringat.
Rasa sakit yang sangat masih terasa pada luka dan sekitarnya.
"Meskipun tidak beracun tetapi biji-biji besi atau bentuk yang lain yang terdapat didalam tubuh seseorang memang harus segera diambil. Jika tidak, maka sejenis besi atau beberapa macam logam yang lain akan sangat buruk akibatnya." berkata Kiai Gringsing pula.
"Ya Kiai." desis Glagah Putih, "aku mengucapkan terima kasih."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Itu sudah menjadi tugasku. Apalagi kau terluka akibat kau melindungi padepokan kecil ini."
"Sekedar membantu para cantrik." sahut Glagah Putih.
Dengan demikian, maka Glagah Putihpun kemudian telah dibawa kembali kedalam biliknya. Beberapa orang cantrik yang mengawasinya di dalam bilik itu ternyata masih sibuk mengurus orang-orang yang terluka dan terbunuh di peperangan. Juga orang-orang yang telah menyerah. Namun masih ada juga seorang cantrik yang kemudian menungguinya.
"Aku lebih senang disini daripada sibuk dihalaman." berkata cantrik itu sambil tertawa.
"Kau akan mendapat nilai kurang dari pemimpin kelompokmu." Glagah Putih mencoba tersenyum.
Cantrik itu tertawa. Katanya, "Tentu tidak. Aku men"dapat perintah dari Kiai Gringsing."
"Kiai Gringsing tidak memberikan perintah begitu." ber"kata Glagah Putih kemudian. Lalu, "Jika diusut, maka ter"nyata bahwa kau berbohong."
"Kiai Gringsing tidak akan ingat, apakah ia memberi perintah atau tidak. Asal aku berkeras mengatakan mendapat perintah dari guru, maka akhirnya Kiai Gringsing tentu akan mengiakan." jawab cantrik itu masih sambil tertawa, "Guru menjadi semakin pelupa."
Glagah Putihpun tertawa pula. Dimana-mana dalam kumpulan sekelompok anak-anak muda, tentu ada juga yang nakal. Ketika Glagah Putih kemudian berbaring dipembaringannya sambil sekali-sekali berdesah menahan sakit, cantrik itu telah menyelarak pintu dan ikut pula berbaring. Bahkan sejenak kemudian, telah terdengar dengkur perlahan-lahan yang agaknya memang letih itu. Tetapi Glagah Putih sendiri justru masih saja gelisah. Perasaan sakit masih saja terasa menggigit dilukanya. Agaknya perasaan sakit itu timbul karena obat yang justru mulai bekerja.
Dihari yang kemudian menjadi semakin cerah. Kiai Gring"sing telah memberikan beberapa perintah. Beberapa orang can"trik telah mendapat tugasnya masing-masing. Dua orang akan menghadap Ki Untara untuk melaporkan apa yang terjadi di padepokan itu, serta mohon beberapa orang prajurit untuk mengambil orang-orang yang tertawan. Dua orang agar menghubungi Ki Widura, dan atas persetujuan Agung Sedayu dan Sekar Mirah, dua orang akan pergi ke Sangkal Putung un"tuk memberitahukan bahwa Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak dapat datang pada hari itu.
"Kalian dapat melaporkan apa yang telah terjadi apa adanya." pesan Kiai Gringsing, "jangan mengarang ceritera sen"diri, atau menyembunyikan kenyataan dengan sengaja."
Demikianlah sejenak kemudian para cantrik itupun telah berangkat ketujuan masing-masing. Tetapi karena jarak yang mereka tempuh tidak sama, maka merekapun tidak bersamaan sampai ketujuan.
Yang paling cepat sampai adalah dua orang cantrik yang harus menghadap Ki Untara. Untunglah bahwa Ki Untara masih ada dirumahnya, sehingga keduanya langsung sempat menghadap. Laporan kedua orang cantrik itu memang mengejutkan.
Dengan serta merta Untara bertanya, "Kenapa kalian tidak memberikan isyarat kepada kami?"
Kedua orang cantrik itu saling berpandangan. Kemudian seorang diantaranya menjawab, "Kami tidak tahu pasti, apakah sebabnya Kiai Gringsing tidak memerintahkan untuk memberikan isyarat. Namun semula menurut perhitungan kami, kami dapat mengatasi sendiri atas orang-orang yang datang itu."
"Tetapi kalian harus memberikan korban terlalu banyak. Jika kalian memberikan isyarat, maka kami akan dapat datang dengan kekuatan yang lebih besar, sehingga kalian tidak perlu mengorbankan seorangpun." berkata Untara.
Kedua cantrik itu tidak menjawab. Mereka memang tidak mendapat pesan untuk menyampaikan alasan, kenapa pade"pokan itu tidak memberikan isyarat.
Karena para cantrik itu tidak segera menjawab, maka Untarapun kemudian berkata, "Baiklah. Aku akan segera ke padepokan itu."
Glagah Putihpun tertawa pula. Dimana-mana dalam kumpulan sekelompok anak-anak muda, tentu ada juga yang nakal.
Ketika Glagah Putih kemudian berbaring dipembaringannya sambil sekali-sekali berdesah menahan sakit, cantrik itu telah menyelarak pintu dan ikut pula berbaring.
Bahkan sejenak kemudian, telah terdengar dengkur perlahanlahan yang agaknya memang letih itu.
Tetapi Glagah Putih sendiri justru masih saja gelisah.
Perasaan sakit masih saja terasa menggigit dilukanya.
Agaknya perasaan sakit itu timbul karena obat yang justru mulai bekerja.
Dihari yang kemudian menjadi semakin cerah. Kiai Gringsing telah memberikan beberapa perintah. Beberapa orang cantrik telah mendapat tugasnya masing-masing. Dua orang akan menghadap Ki Untara untuk melaporkan apa yang terjadi di padepokan itu, serta mohon beberapa orang prajurit untuk mengambil orang-orang yang tertawan. Dua orang agar menghubungi Ki Widura, dan atas persetujuan Agung Sedayu dan Sekar Mirah, dua orang akan pergi ke Sangkal Putung untuk memberitahukan bahwa Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak dapat datang pada hari itu.
"Kalian dapat melaporkan apa yang telah terjadi apa adanya. " pesan Kiai Gringsing " jangan mengarang ceritera sendiri, atau menyembunyikan kenyataan dengan sengaja."
Demikianlah sejenak kemudian para cantrik itupun telah berangkat ketujuan masing-masing. Tetapi karena jarak yang mereka tempuh tidak sama, maka merekapun tidak bersamaan sampai ketujuan.
Yang paling cepat sampai adalah dua orang cantrik yang harus menghadap Ki Untara. Untunglah bahwa Ki Untara masih ada dirumahnya, sehingga keduanya langsung sempat menghadap.
Laporan kedua orang cantrik itu memang mengejutkan.
Dengan serta merta Untara bertanya " Kenapa kalian tidak memberikan isyarat kepada kami" "
Kedua orang cantrik itu saling berpandangan. Kemudian seorang diantaranya menjawab " Kami tidak tahu pasti,
apakah sebabnya Kiai Gringsing tidak memerintahkan untuk memberikan isyarat. Namun semula menurut perhitungan kami, kami dapat mengatasi sendiri atas orang-orang yang datang itu. "
" Tetapi kalian harus memberikan korban terlalu banyak.
Jika kalian memberikan isyarat, maka kami akan dapat datang dengan kekuatan yang lebih besar, sehingga kalian tidak perlu mengorbankan seorangpun " berkata Untara.
Kedua cantrik itu tidak menjawab. Mereka memang tidak mendapat pesan untuk menyampaikan alasan, kenapa padepokan itu tidak memberikan isyarat.
Karena para cantrik itu tidak segera menjawab, maka Untarapun kemudian berkata " Baiklah. Aku akan segera ke padepokan itu. "
Dalam waktu singkat, maka Untarapun telah menyiapkan sekelompok prajurit dari pasukan berkuda yang dapat bergerak cepat. Selain padepokan yang berada dalam lingkungan pengawasannya, Untara juga ingin melihat keadaan adiknya, Agung Sedayu yang menurut kedua cantrik itu justru telah terluka.
Karena itu, maka sejenak kemudian maka sekelompok pasukan berkuda telah meninggalkan baraknya menuju ke padepokan kecil yang tidak terlalu jauh letaknya.
Sementara itu, Ki Widura yang mendapat laporan tentang padepokan Kiai Gringsing serta keadaan Glagah Putihpun telah dengan tergesa-gesa pula pergi ke padepokan itu.
Apalagi ia telah pernah menyatakan kesediaannya untuk berada dalam . padepokan itu pula. Sehingga karena itu, selain anaknya telah terluka, maka iapun merasa berkepentingan pula.
Yang sampai ketujuannya yang terakhir adalah dua orang cantrik yang pergi ke Sangkal Putung. Kedua cantrik itu berganti-ganti telah menceritakan apa yang telah terjadi di padepokan, sehingga Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih belum dapat datang ke Sangkal Putung pada hari itu.
"Kakang Agung Sedayu menyampaikan pesan ini, agar tidak menimbulkan kegelisahan di Sangkal Putung " berkata salah seorang dari kedua orang cantrik itu.
"Jadi kakang Agung Sedayu telah terluka" " berkata Swandaru.
" Ya. Bahkan agak parah. Glagah Putih juga terluka, tetapi tidak begitu parah " jawab cantrik ita.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun menggeram " Sayang. Aku tidak ada di padepokan itu. Jika saja aku tahu, siapa yang telah melukai kakang Agung Sedayu. " "Yang melukai kakang Agung Sedayu telah mati terbunuh "
jawab cantrik itu " juga oleh kakang Agung Sedayu."
"Maksudku dari kelompok atau perguruan yang mana.
Adalah hakku, sehingga saudara seperguruan kakang Agung Sedayu untuk menuntut balas. Apalagi orang-orang itu telah berani memasuki padepokan guruku. Itu berarti bahwa perguruan itu telah menyatakan perang terhadap kami. Bukan salah kami jika kami datang dengan kekuatan untuk menghancurkan mereka. Bukan hanya yang datang di padepokan guru, tetapi kami berhak memasuki padepokan mereka dan menghancurkannya. "
Kedua cantrik itupun hanya dapat saling berpandangan.
Mereka tidak tahu, bagaimana harus menjawab. Namun mereka tidak pernah mendengar rencana itu, baik dari gurunya atau pernyataan sepatah kata saja dari Agung Sedayu, keinginan untuk membalas dendam.
Sementara itu, maka Swandarupun kemudian berkata kepada Pandan Wangi " Aku akan pergi ke Jati Anom. Aku ingin melihat keadaan kakang Agung Sedayu. "
" Apakah aku diperkenankan ikut" " bertanya Pandan Wangi.
" Sebaiknya kau tinggal dirumah. Jangan terlalu banyak bepergian, apalagi berkuda " jawab Swandaru.
Pandan Wangi mengangguk. Ia mengerti keberatan suaminya, sehingga karena itu, maka katanya " Baiklah kakang. Tetapi berhati-hatilah. Jangan pergi seorang diri, "
" Aku akan pergi bersama kedua orang cantrik ini " jawab Swandaru.
" Jika kakang kembali kelak" " bertanya Pandan Wangi.
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah. Aku akan membawa dua pengawal bersamaku."
" Berhati-hatilah " pesan Pandan Wangi " agaknya yang terjadi adalah pertentangan antara dua perguruan. Atau bahkan lebih luas lagi. Karena perguruan di Jati Anom itu adalah perguruan yang berdiri dipihak Mataram, kemudian perguruan lainnya telah memusuhi Mataram."
Swandaru tersenyum. Katanya " Aku akan berhati-hati.
Demikianlah setelah minta ijin kepada Ki Demang, maka Swandarupun telah berangkat bersama dua orang pengawal terpilih dari Sangkal Putung.
Ternyata bahwa Swandaru memang sampai ke padepokan gurunya yang terakhir. Justru pada saat Untara telah bersiap untuk membawa para tawanan kembali ke baraknya.
"Marilah, silahkan " para cantrikpun telah mempersilahkan.
Swandaru sempat bertemu dan berbicara dengan Untara beberapa saat. Sementara Widurapun telah ikut menemuinya pula.
" Agung Sedayu telah terluka didalam " berkata Untara.
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya " Aku telah memperingatkan, agar kakang Agung Sedayu bersedia mempergunakan waktunya cukup untuk meningkatkan ilmunya. Pada saat-saat seperti ini, barulah terasa bahwa meningkatkan ilmu
akan sangat berarti bagi seseorang yang dengan sengaja menempatkan dirinya pada jajaran olah kanuragan, dimanapun ia berpihak. "
Untara mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata " Padepokan ini juga tidak memberikan isyarat apaapa."
Untara dan Widura masih juga sempat bersama-sama Swandaru menemui Kiai Gringsing dan kemudian melihat keadaan Agung Sedayu bersama gurunya yang sedang sakit itu.
Demikian Swandaru berdiri disisi pembaringannya, Agung Sedayu tersenyum sambil berdesis " Kau, adi Sandaru. "
Ya kakang " jawab Swandaru " aku telah mendengar tentang peristiwa yang terjadi di padepokan ini dari dua orang cantrik yang datang ke Sangkal Putung."
" Itulah yang terjadi disini " desis Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-angguk. Kepada gurunya ia bertanya " Tetapi bukankah luka Kakang Agung Sedayu tidak sangat berbahaya" "
Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya " Luka Agung Sedayu tidak membahayakan jiwanya asal ia mendapat perawatan yang baik. "
Swandaru mengerutkan keningnya. Katanya " Jadi luka kakang Agung Sedayu benar-benar parah" "
Kiai Gringsing mengangguk kecil. Tetapi katanya " Tetapi aku yakin, bahwa ia akan dapat sembuh sebagaimana keadaannya sebelumnya. Sebaiknya kita selalu berdoa untuknya. "
Swandaru mengangguk-angguk. Ketika ia sempat memandang wajah adiknya, maka nampak bahwa matanya menjadi pengab. Agaknya Sekar Mirah telah menangis betapapun ia mencoba menahannya. "
Beberapa saat kemudian, Kiai Gringsingpun telah mempersilahkan tamu-tamunya meninggalkan bilik Agung Sedayu dan berkata "Biarlah ia beristirahat sebanyak-banyaknya. "
Merekapun kemudian telah duduk kembali di pendapa.
Sementara Untarapun telah minta diri untuk membawa para tawanan ke baraknya di Jati Anom, termasuk mereka yang terluka.
Kepada Kiai Gringsing Untarapun berkata " Nanti sore , aku akan kembali, Kiai. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia menyahut " Terima kasih ngger. Jika angger sering menengok, Agung Sedayu akan berbesar hati. "
Sepeninggal Untara, maka padepokan itu mengkhususkan kesibukan mereka dengan persiapan penguburan orang-orang yang terbunuh. Sebagian besar dari orang-orang yang menyerang padepokan itu telah memilih mati atau tidak mampu lagi melawan daripada menyerah. Namun dalam pada itu, tiga orang cantrikpun telah gugur, sementara beberapa orang yang lain telah terluka.
Di pendapa Widura duduk bersama Swandaru, sementara Kiai Gringsing telah berada didalam biliknya kembali. Kiai Gringsing telah mengatur dirinya sendiri, untuk selalu mencari kesempatan beristirahat dalam kesibukan yang bagaimanapun juga.
"Paman " berkata Swandaru kepada Widura " nampaknya kakang Agung Sedayu bertempur dalam keadaan Seimbang dengan lawannya. Untunglah bahwa kakang Agung Sedayu masih dapat membunuh lawannya meskipun keadaannya sendiri menjadi parah. "
"Ya " Ki Widura mengangguk-angguk. Lalu " Kita wajib bersukur. "
"Satu pelajaran bagi kakang Agung Sedayu. " desis Swandaru " ia memang harus berusaha keras untuk meningkatkan ilmunya. "
"Menurut pendapatku, ditakar dari umurnya, kemampuan Agung Sedayu terhitung mencuat tinggi. Ia memiliki macam-macam kemampuan untuk melindungi dirinya " berkata Ki Widura.
"Itulah justru kesalahan kakang Agung Sedayu " berkata Swandaru " ia terlalu ingin memiliki segala jenis ilmu. Namun sebagaimana biasa, jika perhatian kita terpecah-pecah, maka kita tidak mampu dapat mencapai kedalaman ilmu itu. Aku mempunyai sikap yang lain. Aku telah memperdalam ilmu yang aku terima dari guru. Tanpa menghiraukan yang lain.
Namun dengan demikian, aku dapat mencapai kedalamannya, meskipun belum sempurna. Sekarang aku sedang berusaha untuk mencapai tingkat tertinggi dari jenis ilmu yang aku pelajari meskipun aku harus merambat setapak demi setapak."
Ki Widura mengangguk-angguk. Ia memang sudah mendengar sikap Swandaru terhadap Agung Sedayu, yang menyangka bahwa kakak seperguruannya itu kurang bergairah untuk meningkatkan ilmunya, serta dianggapnya terlalu banyak mempelajari berjenis-jenis ilmu yang justru kurang penting bagi perkembangannya.
Karena itu, untuk selanjutnya Widura yang sudah semakin tua itupun lebih banyak mendengarkan apa yang dikatakan oleh Swandaru dari pada menyatakan pendapatnya. Sekali-sekali saja ia menjawab dan mencoba untuk mengurangi penilaian yang kurang sewajarnya dari Swandaru terhadap Agung Sedayu. Namun selebihnya ia hanya menganggukangguk saja.
Dalam pada itu, maka kesibukan di padepokan itupun kemudian memuncak ketika para cantrik membawa korban korban yang telah terbunuh di peperangan, khususnya mereka yang telah menyerang padepokan itu. Karena penguburan dari para cantrik yang gugur akan dilakukan tersendiri.
Untara yang telah sampai di baraknya ternyata telah mengirimkan pula sekelompok prajurit untuk membantu kesibukan di padepokan kecil itu, agar segala sesuatunya dapat berlangsung dengan cepat. Apalagi Untara mengerti,
bahwa orang-orang terpenting dari padepokan itu justru terluka dan Kiai Gringsing sendiri sedang terganggu kesehatannya.
Bantuan Untara itu sangat berarti bagi padepokan kecil itu.
Dengan demikian maka kerja merekapun menjadi lebih cepat selesai, sementara sebagian dari para cantrik itu dapat membenahi halaman dan kebun dari padepokan yang rusak oleh mereka yang bertempur di padepokan itu.
Di pendapa Widurapun kemudian bertanya kepada Swandaru " Bukankah angger tidak tergesa-gesa kembali ke Sangkal Putung" "
Swandaru merenung sejenak. Kemudian iapun berkata dengan datar. " Ya. Aku akan tinggal satu dua hari di padepokan ini. Mungkin orang-orang yang merasa gagal menghancurkan padepokan ini akan kembali dengan orang-orang yang lebih tua tataran ilmunya sekaligus untuk membalas dendam. Karena itu, barangkali paman juga akan berada di padepokan ini?"
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Akupun akan berada di padepokan ini sampai keadaan menjadi baik dan meyakinkan. Ternyata luka Glagah Putih memerlukan waktu untuk menyembuhkannya, meskipun agaknya luka diluar itu akan lebih mudah dirawat daripada luka angger Agung Sedayu.
Swandarupun mengangguk-angguk pula. Katanya " Aku percaya bahwa guru akan dapat mengatasinya meskipun guru sendiri sedang sakit. "
" Agaknya memang demikian " sahut Ki Widura yang yakin pula akan kemampuan Kiai Gringsing dalam ilmu obat-obatan.
Bahkan iapun kemudian bertanya kepada Swandaru " Apakah angger Swandaru tidak tertarik pada ilmu obat-obatan sebagaimana dimiliki oleh Kiai Gringsing" "
Swandaru tertawa kecil. Katanya " Aku tidak telaten paman.
Tetapi entahlah dengan kakang Agung Sedayu. Mungkin kakang Agung Sedayu akan mampu mewarisi ilmu obatobatan dari guru. "
Ki Widura mengangguk-angguk. Agaknya Swandaru memang tidak memiliki sifat seorang ahli dalam hal obatobatan, karena wataknya. Ia tidak akan telaten memilih berjenis-jenis
dedaunan dan akar-akar pepohonan yang akan dapat diramu menjadi obat obatan. Sedangkan reramuannyapun berbeda-beda dari antara berbagai macam obat untuk kepentingan yang berbeda-beda pula.
Beberapa saat kemudian maka upacara penguburan para cantrik yang gugurpun akan segera dilakukan setelah para cantrik dan sekelompok prajurit yang dikirim oleh Untara selesai menguburkan orang-orang yang menyerang padepokan itu, yang terbunuh dipertempuran.
Karena itulah, maka seisi padepokan kecil itu, serta para prajurit yang ada di padepokan itupun telah memberikan penghormatan yang terakhir. Para cantrik yang terbunuh itu adalah korban dari langkah-langkah yang tidak bertanggung jawab dari orang-orang yang masih belum dikenal dengan pasti, siapakah mereka itu, selain pemimpinnya yang mengaku pewaris ilmu perguruan Worsukma. Para penghuni padepokan itu hanya dapat menduga-duga, apakah alasan orang-orang yang tidak dikenal itu menyerang padepokan Kiai Gringsing. Hal itu agaknya dilakukan dalam rangkaian kemelut antara Mataram dan Madiun.
Kiai Gringsing yang sakit itu memerlukan turun pula ke halaman. Memberikan sesorah singkat untuk mengantar tubuh para cantrik yang gugur itu ke makam. Sekar Mirah dan Glagah Putih ikut pula memberikan penghormatan yang penghabisan. Hanya Agung Sedayu sajalah yang terpaksa masih tetap berbaring di biliknya karena keadaannya yang tidak memungkinkan untuk ikut turun ke halaman padepokan itu, serta para cantrik yang terluka parah.
Ketika para keluarga cantrik yang gugur itu apalagi perempuan menyaksikan tubuh-ubuh yang beku itu dibawa keluar dari padepokan, maka bagaimanapun juga tabah hati mereka, namun air matapun telah menitik dari sela-sela pelupuk mereka.
Dengan lembut Kiai Gringsing berusaha untuk menghibur hati mereka. Walaupun Kiai Gringsing mengerti sepenuhnya bahwa perpisahan yang demikian itu tentu menimbulkan kepedihan di hati.
" Yang Maha Kuasa telah memanggil mereka " berkata Kiai Gringsing.
Keluarga para cantrik itu mencoba untuk mengerti.
"Sebab yang dipergunakan itupun merupakan sebab kematian yang terhormat, " berkata Kiai Gringsing selanjutnya.
Para keluarga itupun masih saja mengangguk-angguk.
"Nah, silahkan naik ke pendapa. " Kiai Gringsingpun kemudian mempersilahkan.
Sebagian dari mereka memang naik ke pendapa, tetapi ada yang ingin langsung kembali ke padukuhan. Karena pada umumnya mereka adalah orang-orang dari padukuhan-padukuhan disekitar Jati Anom yang telah memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk tinggal di padepokan, mempelajari beberapa hal tentang kehidupan.
Mengenal huruf, mengenal kerja keras dan sedikit mengenal olah kanuragan.
Namun pada suatu saat mereka mendapat pemberitahuan bahwa anak-anaknya itu telah gugur karena padepokan kecil itu telah diserang oleh orang-orang yang tidak dikenal.
Selain keluarga mereka yang gugur, maka keluarga mereka yang terlukapun telah datang untuk menengok para cantrik itu.
Kepada mereka Kiai Gringsing berjanji akan berusaha sebaikbaiknya agar mereka yang terluka itu dapat sembuh secepatnya.
" Kita akan selalu berdoa " berkata Kiai Gringsing " mudahmudahan mereka akan segera dapat pulih kembali seper-si sediakala. "
Padepokan kecil itu memang diliputi oleh suasana yang muram, Namun para penghuninya ternyata telah mendapatkan satu pengalaman yang sangat berharga.
Pengalaman untuk mempertahankan hak mereka. Namun pengalaman itu harus dibeli dengan harga yang sangat mahal.
Beberapa orang cantrik telah gugur. Agung Sedayu terluka cukup paran. Sedangkan Glagah Putihpun harus mengalami pengobatan yang cukup berat, karena sebuah biji besi yang bersarang didalam dagingnya.
Akhirnya upacara itupun telah selesai. Ketika para keluarga dan para prajurit telah meninggalkan padepokan itu, maka padepokan itupun telah menjadi lengang kembali. Para cantriklah yang kemudian sibuk membantu Kiai Gringsing merawat orang-orang yang terluka.
Dalam pada itu, Untara di barak khusus telah mulai memeriksa orang-orang yang tertawan. Tetapi karena pada umumnya mereka adalah pengikut-pengikut orang yang menyebut dirinya Singapati itu, maka mereka memang tidak dapat memberikan keterangan.
" Apakah Singapati. benar-benar orang dari perguruan Worsukma" " bertanya Untara kepada salah seorang tawanan.
" Ya " jawab tawanan itu " sebagian dari kami adalah orangorang dari padepokan Worsukma. "
" Apa yang pernah dikatakan oleh Singapati tentang penyerbuan itu" " bertanya Untara pula.
" Mataram juga pernah menyerang salah satu padepokan dari sebuah perguruan sahabat kami " jawab orang itu. Lalu "
Nagaraga telah dihancurkan. "
" Siapakah pemimpin padepokan Worsukma sekarang" " desak Untara.
" Singapati yang disebut Elang Baja. " jawab tawanan itu.
" Gurunya, yang disebut sebagai orang yang telah mewaris
kan ilmu dari perguruan Worsukma itu" " desak Untara pula.
Tawanan itu termangu-mangu. Tidak ada niat baginya untuk berbohong. Ia tahu, bahwa pemimpinnya yang bernama Singapati itu telah terbunuh, sehingga memang tidak ada lagi yang harus dirahasiakan. Jika ada satu dua orang kawannya yang melarikan diri dan kembali ke padepokan, maka padepokan itu tidak akan mampu bangkit lagi. Dua orang yang berilmu tinggi telah terbunuh di padepokan kecil di Jati Anom itu.
Beberapa pertanyaan lain memang dijawab dengan lancar.
Namun Untara tidak dapat menemukan jalur keterangan yang dapat menghubungkan serangan orang-orang Worsukma itu dengan langkah-langkah yang diambil oleh Panembahan Madiun, meskipun hubungan itu dapat dilihatnya dalam pembicaraan pembicaraan yang panjang. Tetapi tawanan itu tidak dapat mengatakan lebih banyak dari yang dikatakannya, bahwa Singapati memang pernah bertemu dan berbicara dengan Panembahan Madiun. Hanya itu.
Untarapun tidak memaksa dengan cara yang keras untuk mendapat keterangan lebih banyak lagi. Memang tidak ada yang dapat mereka katakan lebih banyak dari yang telah mereka katakan meskipun darah mereka diperas sampai habis sekalipun. Hal ini hanya akan menghabiskan waktu saja dan tidak akan berarti apa-apa.
Menjelang senja Utara diikuti oleh sekelompok prajurit telah mengadakan pengamanan keliling di daerah Jati Anom. Selain menilai keadaan, Untarapun ingin singgah barang sebentar untuk menengok adiknya yang terluka cukup parah.
Menurut perhitungan Untara yang mengakui bahwa adiknya memang berilmu tinggi, maka orang yang dibunuhnya itupun tentu pemimpin dari sebuah perguruan dan telah memiliki ilmu tinggi pula. Ternyata ia mampu melukai adiknya sehingga demikian parahnya.
Ketika hari mulai gelap, maka Untara yang mengelilingi daerah Jati Anom itu telah sampai di padepokan Kiai Gringsing. Iapun kemudian singgah bersama-sama prajuritnya yang menyertainya.
Ternyata bahwa keadaan Agung Sedayu sudah berangsur baik. Bahkan Agung Sedayu telah mau makan meskipun baru beberapa suap nasi hangat. Namun dengan demikian, ia tidak -menjadi terlalu lemah.
" Kau akan segera baik " berkata Untara ketika ia duduk di bibir pembaringan adiknya, sementara Sekar Mirah, Swandaru dan Glagah Putih duduk di sebelah lincak kecil.
" Kiai Gringsing berharap bahwa dalam waktu kurang dari sepekan keadaannya sudah akan baik kembali kakang " berkata Sekar Mirah.
Untara mengangguk-angguk. Katanya " Kiai Gringsing yang sangat berpengalaman itu tentu dapat memperhitungkan kemungkinan itu. Seandainya belum sepenuhnya,maka keadaan nya tentu sudah menjadi jauh lebih baik. "
" Ya kakang " sahut Sekar Mirah. Lalu katanya " Menurut Kiai Gringsing, lawan kakang Agung Sedayu dari perguruan Worsukma itu memiliki kekuatan yang luar biasa besarnya.
Sehingga karena itu, maka bagian dalam kakang Agung Sedayulah yang menjadi parah. Namun kekeliruan utama dari kekuatan itu telah dapat diatasi siang tadi menjelang sore hari.
Demikian padepokan ini menjadi tenang kembali, maka kakang Agung Sedayu berada dalam goncangan-goncangan luka-lukanya. Tubuhnya menjadi panas dan detak jantungnya melemah.
Untara mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah meneruskan " Untunglah bahwa obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing dapat membantu kakang Agung Sedayu mengatasinya. "
" Kita wajib mengucapkan sokur " desis Untara.
" Ya. Kakang. Kita wajib mengucap sukur " desis Sekar Mirah sambil menundukkan kepalanya.
Untarapun kemudian berpaling kepada" Glagah Putih, Ia melihat wajah sepupunya itu masih juga pucat. Dengan nada rendah ia bertanya " Bagaimana keadaanmu" "
" Sudah baik, kakang " jawab Glagah Putih, " Sokurlah. Satu pengalaman buatmu. Kaupun harus mampu menilai apa yang telah terjadi " pesan Untara.
Glagah Putih mengangguk kecil. Sementara itu, Untarapun kemudian bersama Swandaru telah keluar dari bilik itu dan duduk di ruang dalam bersama Kiai Gringsing dan Ki Widura.
Beberapa lama ia masih berbincang tentang -keadaan Agung Sedayu yang lukanya memang parah. Namun masa yang paling sulit telah berhasil dilaluinya. Sebagaimana dikatakan oleh Sekar
Mirah, maka Kiai Gringsing pun mengatakan demikian pula.
Beberapa saat kemudian maka Untarapun telah minta diri.
Kepada Kiai Gringsing ia mengulangi pesan yang pernah diberikan sebelumnya. Jika terjadi sesuatu di padepokan itu Kiai Gringsing dapat memerintahkan untuk membunyikan kentong-an dengan nada khusus. Pasukannya yang ditempatkan di tempat-tempat tertentu tidak jauh dari padepokan itu akan dapat dengan cepat datang membantu.
" Ya ngger " jawab Kiai Gringsing " kami mengucapkan terima kasih. "
" Kiai dapat menghindari korban lebih banyak lagi dari pada penghuni di padepokan ini. Para cantrik yang baru mulai pada tataran pertama dari olah kanuragan, tidak harus bertempur melawan orang-orang yang sudah berpengalaman, apalagi mereka yang memang memiliki dorongan untuk sekedar membunuh " berkata Untara.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil menjawab "
Baiklah ngger. Kami akan melakukannya. "
Demikianlah maka Untarapun telah minta diri. Kepada Swandaru ia sempat minta agar menyempatkan diri barang sejenak untuk singgah.
" Terima kasih " berkata -Swandaru " aku akan menyisihkan waktu untuk singgah. Besok atau lusa. Aku akan berada disini sampai keadaan pulih kembali dan kemungkinankemungkinan balas dendam atas kematian para penyerbu itu menjadi semakin kecil. Apalagi sejak paman Widura berada di padepokan ini, agaknya kami di padepokan ini akan menjadi semakin mantap. "
Untarapun mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun telah minta sekali lagi dan bersama dengan prajurit-prajuritnya meninggalkan padepokan itu, sementara malampun menjadi bertambah pekat.
Padepokan kecil yang baru saja mendapat serangan sehingga beberapa orang korban telah jatuh itupun telah mengadakan
penjagaan yang sebaik-baiknya. Pengawasan yang sungguh-sungguh dilakukan disemua sudut padepokan. Para cantrik yang bertugas tidak lagi seorang-seorang, tetapi selalu berpasangan.
Dalam pada itu, Swandaru dan Ki Widura telah menengok Agung Sedayu yang telah dapat tidur lelap. Meskipun kadangkadang kegelisahan nampak juga di wajahnya, tetapi sejenak kemudian iapun telah menjadi tenang kembali.
Sementara itu Sekar Mirah menungguinya dengan penuh perhatian. Sekali-sekali diusirnya nyamuk yang berterbangan di sekitar wajah Agung Sedayu dengan tebah sapu lidi kecil.
" Glagah Putih tidak disini" " bertanya Widura.
" Ia berada di bilik para cantrik " jawab Sekar Mirah "
Glagah Putihpun masih harus banyak beristirahat pula. "
Widura mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berpesan " Selagi Agung Sedayu tidur nyenyak, kaupun dapat tidur pula. Jangan terlalu banyak berjaga-jaga. Kaupun tentu letih juga karena kaupun telah mengalami pertempuran yang keras dan memeras tenaga. "
"Ya Paman " jawab Sekar Mirah sambil menunduk. Namun keadaan Agung Sedayu memang tidak sangat menggelisahkan lagi.
Sepeninggal Ki Widura dan Swandaru maka Sekar Mirahpun telah menyelarak pintu dan mencoba berbaring di lincak yang terdapat didalam ruang itu pula. Ternyata bahwa Sekar Mirah memang letih sekali. Karena itu, maka beberapa saat kemudian iapun telah tertidur, meskipun setiap kali ia telah terbangun untuk melihat keadaan Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tidak banyak terbangun dimalam hari. Ia hanya minta minum sekali lewat tengah malam. Kemudian iapun telah tidur lagi dengan tenang.
Widura dan Swandaru tidak segera masuk kedalam bilik mereka. Keduanya telah melihat-lihat kesiagaan para cantrik yang bertugas.
" Nampaknya para cantrik itu juga mempunyai ketabahan yang tinggi " berkata Swandaru.
" Mereka nampak bersungguh-sungguh dalam tugas " desis Widura.
" Agaknya memang lebih mudah untuk menuntun para cantrik dari pada para pengawal dan anak-anak muda di Kade-mangan. Seorang cantrik dengan tegas dan pasti telah menempatkan diri di sebuah padepokan siang dan malam.
Jika mereka pergi kesawah atau pategalan, maka sawah dan pategalan yang mereka garap adalah sawah dan pategalan bagi padepokannya. Karena itu, maka mereka merupakan satu lingkungan yang sangat akrab. " berkata Swandaru.
" Ya. Namun mereka juga tidak akan dapat meninggalkan kodrat manusiawinya. Cantrik-cantrik muda itu pada satu saat akan meninggalkan padepokan ini meskipun tentu ada yang akan tetap tinggal. Mereka akan berumah tangga dan hidup dalam keluarga-keluarga mereka masing-masing. Disini mereka sekedar menuntut berbagai macam pengetahuan. "
berkata Ki Widura. Tetapi iapun melanjutkan " Namun ada juga padepokan yang memberikan tempat bagi keluarga para cantrik. Tetapi ada padepokan yang membiarkan para cantriknya yang sudah berkeluarga tinggal di rumah masingmasing.
Namun dalam keadaan tertentu para cantrik itu akan berada di padepokan. "
" Tetapi agaknya disini tidak ada seorang cantrikpun " berkata Swandaru.
Ki Widura menggeleng. Katanya " Biasanya hanya pada sebuah padepokan yang dipimpin oleh sepasang suami isteri terdapat dan mentrik sekaligus. Itupun dengan gawar yang memisahkan lingkungan mereka masing-masing. Bahkan para putut-pun kadang-kadang tinggal pula bersama keluarganya di padepokan itu. "
Swandaru mengangguk-angguk. Meskipun ia juga bergurau sebelumnya kepada seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi Swandaru tidak pernah tinggal di padepokan sebelumnya.
Namun sambil tersenyum iapun kemudian berkata "
Jika demikian seandainya kelak kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan menggantikan pimpinan di padepokan ini, maka padepokan ini tidak saja menerima anak-anak muda untuk menyadap berbagai macam pengetahuan, termasuk mengenal huruf, sedikit ilmu pengobatan dan olah kanuragan, tetapi akan diterima pula beberapa anak perempuan yang akan menjadi mentrik disini. Ki Widurapun tersenyum. Katanya " Bukannya tidak mungkin. Sekar Mirah akan dapat memimpin para mentrik sementara Agung Sedayu akan mengurusi para cantrik. "
Swandaru tertawa. Katanya " Bagus. Mungkin kakang Agung Sedayu sudah memikirkan pula. "
Ki Widurapun tertawa pula. "
" Paman " berkata Swandaru kemudian " agaknya di padukuhan akan dapat dilakukan hal yang serupa. Kelak, jika anak Pandan Wangi lahir, biarlah ia memilih beberapa orang anak perempuan yang akan dapat membantu anak-anak muda di Kademangan Sangkal Putung. Namun sebagaimana paman ketahui bahwa hidup di padukuhan itu masalahnya akan lebih rumif, karena orang-orang padukuhan menghadapi semua segi kehidupan. Mencari makan, mengurusi sawah dan ternak, kerukunan bertetangga dan saling membantu bagi setiap kebutuhan, apalagi kebutuhan bersama. Jika seseorang atau sebuah keluarga mempunyai niat untuk menyelenggarakan keramaian karena anaknya akan menjadi pengantin misalnya, maka hampir semua orang di padukuhan ikut terlibat. Hal yang tidak terjadi di padepokan. Karena jika seseorang akan kawin, justru ia akan meninggalkan padepokan ini dan kesibukan itu terjadi dirumah-nya, bersama tetangga-tetangganya. "
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya " Itulah agaknya sebab yang mendorong beberapa orang mengirimkan anaknya ke sebuah padepokan. Anak itu akan terbebas dari kesibukan-kesibukan lain dan dengan tekun dan bersungguhsungguh menimba ilmu dan pengetahuan yang diperlukan, sebagai bekal hidupnya kelak. Karena padepbkan yang baik bukannya sekedar sarang ilmu kekerasan. Tetapi juga kemampuan-kemampuan yang lain termasuk tata cara bertani dengan baik dan bagaimana harus berternak dengan benar. "
" Ya paman " Swandaru mengangguk-angguk.
" Juga bukan satu ikatan mati, bahwa orang-orang yang telah memasuki padepokan itu tidak akan pernah dapat keluar lagi. Bahkan sebuah padepokan dijadikan sebagai himpunan kekuatan sekelompok orang dengan kesetiaan yang mati pula, apapun yang diperintahkan oleh pemimpin padepokannya.
Tetapi juga bukan berarti bahwa di padepokan tidak ada paugeran dan ketaatan pada paugeran itu. " berkata Ki Widura.
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya " Paman telah mempelajari dengan saksama kehidupan sebuah padepokan.
Agaknya paman adalah orang yang tepat untuk memimpin padepokan kecil ini. Namun tidak semua padepokan dipimpin oleh orang yang mempunyai penalaran seperti paman tentang sebuah padepokan. Kita mengenal padepokan sebagai satu kumpulan orang yang terlibat oleh satu paugeran orang-orang yang telah kehilangan pribadi masing-masing. Apapun yang diperintahkan oleh pemimpin padepokan, adalah paugeran dan kebenaran. Siapa yang menolak, apalagi menentang, maka tidak ada pilihan lain kecuali masuk keliang kubur. "
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya " Agaknya orangorang yang demikian itu pulalah telah memasuki dan menyerang padepokan ini. "
Demikianlah, maka ketika mereka telah berbicara panjang,
keduanyapun telah berada di regol padepokan. Untuk beberapa saat keduanya duduk di gardu kecil di sebelah regol yang tertutup rapat itu bersama para cantrik yang bertugas.
Namun kemudian keduanyapun telah meninggalkan gardu itu pula sambil berpesan " Berhati-hatilah. "
Ki Widura dan Swandaru baru tertidur menjelang dini hari.
Namun waktu yang singkat itu telah membuat tubuh mereka menjadi segar kembali. Karena itulah maka ketika matahari terbit, keduanya telah mandi dan berbenah diri.
Tidak ada sesuatu yang terjadi malam itu. Ketika Ki Widura
dan Swandaru menengok keadaan Agung Sedayu, maka
keadaan Agung Sedayupun sudah menjadi lebih baik.
Sementara itu Glagah Putihpun telah berada dibilik itu pula.
Lukanya sendiri juga sudah bertambah baik sehingga tidak
lagi terasa sangat sakit.
" Kau akan segera sembuh kakang " berkata Swandaru.
Lalu katanya " Jika kelak kau kembali ke Tanah Perdikan, kau dapat membawa kitab guru. Tidak hanya untuk tiga bulan.
Tetapi kau dapat mempergunakannya lebih dari itu agar kitab itu dapat memberikan gairah kepadamu untuk meningkatkan ilmumu. "
Agung Sedayu tersenyum. Katanya " Terima kasih. Aku akan mencoba melakukannya. "
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekar Mirah hanya menarik nafas dalam-dalam. Menurut penilaiannya, ilmu Agung Sedayu sudah terlalu tinggi dibandingkan dengan ilmu kakangnya yang agak gemuk itu.
Tetapi ia memang tidak ingin membuat kakangnya kecewa, sebagaimana Agung Sedayu sendiri juga tidak mengatakan apa-apa, bahkan ia telah mengiakannya.
Tetapi memang ada juga pertimbangan dihati Sekar Mirah, bahwa apakah bijaksana jika ia tidak mengatakan yang sebenarnya dan membiarkan kakaknya mempunyai penilaian yang salah"
Namun ternyata bahwa Sekar Mirah hanya menundukkan kepalanya saja.
Dalam pada itu keadaan padepokan itupun seakan-akan telah menjadi tenang kembali. Tidak lagi nampak wajah-wajah para cantrik yang tegang dan langkah-langkah yang tergesagesa.
Tidak pula nampak persiapan yang berlebih-lebihan, meskipun para cantrik itu tetap waspada. Di siang hari penjagaan memang dapat dikurangi jumlahnya, namun tetap dalam kesiagaan tertinggi. Yang bertugas di malam hari, mendapat kesempatan untuk beristirahat.
Namun beberapa orang cantrik tidak boleh melupakan tugas-tugas mereka di sawah dan pategalan. Sedangkan beberapa orang yang lain bekerja di kebun dan belumbang.
Swandaru ternyata sempat memperhatikan belumbang yang-, dipelihara para cantrik. Satu hal yang belum dikembangkan di Kademangan Sangkal Putung. Meskipun ada juga orang membuat belumbang, tetapi belum memakai cara sebagaimana dipergunakan oleh para cantrik di padepokan itu, sehingga belumbang itu benar-benar mampu mencukupi kebutuhan ikan air bagi para cantrik di padepokan itu.
Karena itu, maka Swandaru nampaknya memang tertarik kepada belumbang yang berisi ikan, namun yang seakan-akan telah dibuat bersusun. Sedangkan air didalam belumbang itu nampaknya tetap bergerak.
Ternyata bahwa selama Swandaru berada di padepokan itu tidak terjadi sesuatu yang penting. Untara telah datang pula dihari berikutnya ke padepokan itu. Tetapi ia tidak mendapatkan banyak keterangan dari orang-orang yang tertawan, betapapun Untara berusaha.
" Pengetahuan mereka tentang perguruan Worsukma benar-benar terbatas " berkata Untara ketika ia menemui Kiai Gringsing.
" Ya. Kita mengerti " jawab Kiai Gringsing " Namun satu hal yang perlu kita perhatikan, bahwa Madiunpun telah mengambil langkah-langkah yang lebih maju lagi dibidang keprajuritan.
Sementara sampai saat ini masih belum terdapat berita, kapan dan dimana Panembahan Senapati dapat bertemu dengan Panembahan Madiun untuk menyelesaikan persoalan diantara mereka. "
" Menurut pendengaranku, Panembahan Madiunlah yang masih berkeberatan " jawab Untara " tetapi agaknya di sekeliling Panembahan Madiun memang terdapat orang-orang yang menginginkan kekacauan terjadi di Mataram dan lingkungannya. Mereka akan dapat meneguk keuntungan dari peristiwa-peristiwa yang dapat terjadi kemudian. Bahkan baru kemarin aku menerima perintah dari Panembahan Senapati untuk menyiapkan prajurit dalam kesiagaan tertinggi. "
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sementara itu dipandanginya Untara dengan tajamnya. Suaranya menjadi berat " Jadi ada perintah baru dalam hubungannya dengan Madiun" "
" Ya, Kiai. " jawab Ki Untara.
" Jika demikian, maka kita semuanya memang harus bersiap. Tetapi apakah angger telah melaporkan apa terjadi di padepokan ini" " bertanya Kiai Gringsing.
" Belum " jawab Untara " mungkin aku memang agak lamban. Tetapi aku ingin keterangan yang cukup, sehingga laporanku tidak justru seperti sebuah teka-teki. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya " Jika demikian maka angger memang harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Bahkan mungkin petugas sandi dari Mataram telah mencium rencana gerakan yang lebih luas dari Madiun yang kurang disadari atau bahkan diluar pengetahuan dan kendali Panembahan Madiun sendiri. Atau satu dua orang telah berhasil membujuk Panembahan untuk melakukan gerakan itu. "
" Banyak kemungkinan dapat terjadi " berkata Untara " dua orang penghubung dari Mataram tidak memberikan perincian perintah itu. "
Kiai Gringsingpun kemudian telah berpaling kepada Swandaru yang ikut dalam pertemuan itu. Katanya " Kau dengar keterangan angger Untara itu" Nah, jika demikian maka Sangkal Putungpun harus bersiap-siap. Kau telah menyusun kekuatan para pengawal sebagaimana susunan sepasukan prajurit. Karena itu, maka dalam keadaan tertentu, para pengawal dari Kademangan Sangkal Putungpun akan dapat membantu. Setidak-tidaknya untuk mempertahankan dan mengamankan wilayah Kademangan itu sendiri, karena Sangkal Putung adalah satu Kademangan yang besar. "
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya " Justru pada saat aku harus bekerja sendiri. Pandan Wangi tidak akan dapat
banyak membantu aku pada saat-saat terakhir ini. Namun aku merasa berbahagia oleh keadaannya itu. "
" Kau mempunyai beberapa orang pembantu pilihan" berkata Kiai Gringsing.
" Ya. Aku telah menempa sepuluh orang terbaik di padukuhan-padukuhan yang termasuk Kademangan Sangkal Putung.
" jawab Swandaru " mudah-mudahan keadaan itu akan cukup memadai. Dua orang yang menyertaiku kemari itu adalah dua orang diantara mereka yang mempunyai tataran terbaik di Sangkal Putung."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya " Agung Sedayupun harus segera sembuh dan kembali pula ke Tanah Perdikan Menoreh.
" Ya " sahut Untara " Jika ia sudah dapat berkuda pada jarak jauh, ia memang sebaiknya kembali. Tetapi harus diingat pula kemungkinan yang dapat terjadi di perjalanan "
" Ya " Kiai Gringsing mengangguk-angguk " kemungkinan yang tidak diinginkan memang dapat terjadi. " Agaknya, jalan ke Tanah Perdikan mengandung pula kemungkinan itu. "
Swandaru dan Ki Widura mengangguk-angguk pula.
Namun kemudian Swandarupun berkata " Sebaiknya biarlah kakang Agung Sedayu menunggu sampai keadaannya pulih kembali. Meskipun ia akan menempuh perjalanan bersama Glagah Putih dan Sekar Mirah, yang kedua-duanya memiliki kemampuan olah kanuragan, namun agaknya suasana di Mataram baru berkabut. "
Kiai Gringsing tidak menolak pendapat itu. Bahkan iapun membenarkan, bahwa suasana di Mataram memang sedang gawat. Karena itu, maka iapun kemudian berkata " Aku akan minta kepadanya untuk berbuat demikian. Perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh memang tidak terlalu panjang, tetapi di sepanjang jalan mereka harus benar-benar bersiaga dalam kesiapan tertinggi. "
Dengan demikian maka agaknya Agung Sedayu masih harus menunggu beberapa hari lagi. Karena itu maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak akan dapat tinggal di Sangkal Putung untuk waktu yang agak lama. Mereka justru berada di padepokan kecil di Jati Anom karena keadaan Agung Sedayu.
Swandaru yang bermalam satu malam lagi di padepokan itu, menganggap bahwa keadaan sudah menjadi semakin baik. Namun agaknya Swandarupun ingin melihat keadaan di sekitar padepokan itu untuk meyakinkan, apakah keadaan memang sudah menjadi tenang.
Karena itu, maka atas ijin Untara, maka Swandaru telah mengikuti sekelompok prajurit yang sedang meronda di lengkungan di sekitar Jati Anom, termasuk padepokan kecil itu. Ternyata ia tidak melihat kegelisahan yang timbul di padukuhan di sekitar padepokan itu, sehingga Swandaru memang berkesimpulan bahwa untuk sementara masih belum ada tanda-tanda bahwa sekelompok orang akan mendekati padepokan itu lagi.
Dengan demikian, maka setelah bermalam dua malam, maka Swandaru minta diri untuk kembali ke Sangkal Putung.
Dalam keadaan yang gawat dan bila masih ada kesempatan, Swandaru minta agar padepokan itu mengirimkan penghubung ke Kademangan Sangkal Putung.
" Jika ada tanda-tanda yang menggelisahkan, panggillah aku. Aku akan datang dengan sekelompok pengawal yang terbaik di Sangkal Putung. " berkata Swandaru kemudian.
Demikianlah maka Swandarupun telah minta diri pula kepada Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih.
Dengan nada rendah ia berkata kepada Agung Sedayu "
Bagaimanapun juga kami tetap mengharap kakang dapat singgah. Aku akan mempersilahkan kakang membawa kitab guru untuk kepentingan kakang, agar dalam keadaan yang memaksa, kakang dapat setidak-tidaknya melindungi diri sendiri. "
" Aku akan singgah adi " jawab Agung Sedayu"
Sekar Mirahpun sebenarnya telah merasa sangat rindu untuk berada di Sangkal Putung tidak hanya sesaat.
" Apakah Sekar Mirah akan pergi bersamaku sekarang?" bertanya Swandaru.
Tetapi Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. Jawabnya
" Aku menunggu sampai kakang Agung Sedayu sembuh.
Kami berdua dan Glagah Putih kelak akan singgah di Sangkal Putung. "
"Baiklah " berkata Swandaru " sebaiknya kau memang menunggu suamimu " desis Swandaru.
Demikianlah, maka Swandarupun kemudian minta diri. Kiai Gringsing, Ki Widura, Sekar Mirah dan Glagah Putih mengantarnya sampai keregol padepokan.
Sejenak kemudian, maka tiga ekor kudapun telah berpacu meninggalkan padepokan itu menuju ke Sangkal Putung.
Sepeninggal Swandaru, maka dalam satu kesempatan, Kiai Gringsing telah berbicara khusus dengan Ki Widura.
Sebagaimana sudah disanggupkan maka Widura akan beberapa lama di padepokan itu.
" Ki Widura " berkata Kiai Gringsing " bukan maksudku untuk tidak mengakui kemampuan dan bobot ilmu yang sudah Ki Widura miliki, Namun mengingat kedangkalan dasar yang dimiliki oleh para cantrik, maka aku mohon Ki Widura bersedia untuk menyesuaikan diri. Aku memang tidak dapat minta para cantriklah yang harus menyesuaikan diri, karena mereka memang tidak mempunyai kemampuan cukup untuk itu. "
" Aku mengerti Kiai " berkata Ki Widura " tetapi aku kurang
sekali memiliki pengetahuan tentang ilmu yang ditelusuri oleh para cantrik, karena sumber ilmuku memang berbeda.
Aku mengerti Ki Widura " karena itu, selagi masih ada tenaga padaku, aku ingin memberikan beberapa landasan dasar dari ilmu perguruan ini. Aku yakin, bahwa Ki Widura yang telah memiliki kemampuan tinggi, akan dapat menuntun para cantrik tanpa menggoyahkan sendi-sendi ilmu mereka. "
Ki Widura mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya maksud Kiai Gringsing. Karena itu, maka iapun telah mempersiapkan diri untuk melakukannya.
Namun ternyata Kiai Gringsing tidak mengajaknya pergi ke sanggar. Dengan tongkatnya Kiai Gringsing berjalan menuju ke biliknya. Ketika ia kemudian keluar dari biliknya, orang tua itu telah membawa seberkas rontal.
Ketika rontal itu diberikan kepada Ki Widura, maka Ki Widurapun kemudian bertanya " Apakah rontal ini bagian dari kitab Kiai Gringsing itu" "
Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya " Bukan Ki Widura.
Rontal ini aku buat sendiri, sementara kitab itu adalah warisan dari beberapa keturunan. Gambar didalam rontal itu sangat sederhana, tetapi mudah-mudahan akan dapat memadai bagi Ki Widura. "
Ki Widura yang memperhatikan rontal itu sekilas memang melihat garis-garis yang diketahuinya, merupakan bagian dari tata gerak ilmu kanuragan. "
Dengan nada rendah Kiai Gringsingpun kemudian berkata "
Ki Widura, aku mohon Ki Widura melihat-lihatnya lebih dahulu.
Besok kita akan berada di sanggar. Meskipun karena penyakitku, aku masih lemah, tetapi aku akan dapat memberikan beberapa keterangan tentang gambar yang aku buat dengan sederhana itu. "
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah Kiai.
Aku akan mempelajarinya. Mudah-mudahan otakku belum terlalu tumpul untuk mengurai jenis ilmu selain ilmuku sendiri.
" Ah " Kiai Gringsing tersenyum " apa sulitnya" Kecuali jika Ki Widura harus memasuki kemampuan puncak ilmu ini. Tentu Ki Widura memerlukan banyak waktu. Tetapi yang aku harapkan, ilmu yang masih mendasar sekali. "
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya " Malam nanti aku akan mengurainya dan sudah barang tentu mengingat unsur-unsurnya termasuk watak dan sifatnya. "
" Bukankah pada dasarnya ilmu kanuragan yang satu banyak mempunyai persamaan dengan yang lain" " desis Kiai Gringsing.
" Ya. Itulah sebabnya maka aku menyanggupinya " sahut Ki Widura.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya " Nah, silahkan Ki Widura. Besok kita dapat mulai berada di sanggar meskipun barangkali hanya sebentar. "
"Sebenarnyalah bahwa Kiai memang memerlukan waktu sebanyak-banyaknya untuk beristirahat, " sahut Widura kemudian.
Demikianlah, maka Kiai Gringsingpun kemudian telah minta diri untuk beristirahat, sementara Ki Widura akan mempelajari gambar-gambar yang diberikan oleh Kiai Gringsing kepadanya itu.
Untuk mengurai gambar-gambar yang memang sederhana itu, ternyata Ki Widura telah pergi ke sanggar seorang diri.
Ia telah mengamati gambar demi gambar. Bahkan iapun telah berada di tengah-tengah sanggar, mengurai dan melakukannya. Satu-satu unsur-unsur gerak itu dipahami.
Kemudian di dalami sifat dan wataknya. Kemampuannya menghadapi tata gerak ilmu yang lain serta kemungkinankemungkinan pengembangannya.
Ki Widura memang bukan seorang yang masih muda Iapun sudah menjadi semakin tua. Namun dengan demikian justru ia memiliki pengalaman yang luas. Sebagai seorang Senapati ia memiliki pengetahuan olah kaprajuritan. Dan sebagai pewaris jalur ilmu Ki Sadewa, ia memiliki landasan yang kuat dalam olah kanuragan.
Karena itu, Ki Widura yang mengendap itu tidak banyak mengalami kesulitan. Dengan hati-hati ia memilahkan unsurunsur gerak di gambar itu dengan unsur-unsur ilmunya sendiri.
Djtelitinya persamaan-persamaannya, tetapi juga perbedaan-perbedaannya.
Tidak terasa, ternyata Ki Widura berada di sanggar sampai sore hari, Glagah Putihlah yang mencarinya, karena ayahnya seakan-akan telah menghilang. Meskipun semula ia tidak mengira bahwa ayahnya berada didalam sanggar, namun akhirnya setelah dimana-mana ayahnya tidak diketemukannya, Glagah Putihpun telah menjenguk kedalam sanggar pula. Ternyata ia justru menemukan ayahnya disana.
Tetapi ketika Glagah Putih masuk kedalam sanggar, ayahnya sedang duduk merenungi beberapa lembar rontal dita-ngannya.
" Apa yang ayah perhatikan itu" " bertanya Glagah Putih ketika ayahnya berpaling kepadanya.
Widura menggeleng sambil tersenyum. Katanya " Bukan apa-apa. "
Glagah Putihpun kemudian mendekat ketika Ki Widura telah membenahi dan menutup rontalnya. Namun ketajaman panggraita Glagah Putih justru menangkap keringat yang membasahi tubuh ayahnya.
" Ayah sedang berlatih" " bertanya Glagah Putih.
Ki Widura masih tersenyum. Katanya. Sekedar melemaskan tubuh yang telah lama bagaikan membeku. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Bahkan iapun kemudian berkata "- Waktu makan siang telah lampau. Tetapi kami masih menunggu ayah. "
" Kami siapa maksudmu" " bertanya Ki Widura.
" Aku dan mbokayu Sekar Mirah " jawab Glagah Putih.
" Apakah mbokayumu tidak makan bersama Agung Sedayu" " bertanya Ki Widura pula.
" Mbokayu memang menunggui kakang Agung Sedayu makan. Tetapi mbokayu sendiri belum makan. " desis Glagah Putih.
Ki Widurapun kemudian keluar pula dari sanggar.
Keringatnya memang membasahi bajunya. Karena itu, maka katanya " Aku ke pakiwan dulu. Udara memang panas sekali didalam sanggar, sehingga dengan bergerak sedikit saja, keringatku bagaikan terperas dari tubuhku. "
Glagah Putihpun kemudian menemui Sekar Mirah dan memberitahukan bahwa ayahnya diketemukannya di dalam sanggar.
" Agaknya ayah merasa sudah terlalu lama tidak mempergunakan tubuhnya. Katanya, ayah berusaha melemaskan tubuhnya yang sudah hampir membeku itu. " berkata Glagah Putih.
Beberapa saat kemudian Ki Widurapun telah datang setelah berganti pakaian. Merekapun kemudian makan diruang dalam. Kiai Gringsing sendiri biasanya dilayani didalam biliknya oleh beberapa orang cantrik dengan jenis makanan yang khusus yang ramuannya ditentukan oleh Kiai Gringsing sendiri. Kiai Gringsing hanya sedikit sekali makan nasi. Yang terbanyak justru adalah sayur-sayuran dan buahbuahan.
Dalam pada itu, Glagah Putih sempat bertanya pula tentang rontal yang dibawa oleh Ki Widura didalam sanggar itu. Apakah yang termuat didalam rontal itu ada hubungannya dengan latihan-latihan khusus yang dilakukan oleh Ki Widura.
Ki Widura tersenyum. Katanya " Memang ada, Glagah Putih. "
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Sementara Sekar Mirahpun nampaknya menaruh perhatian pula atas pertanyaan Glagah Putih itu. Karena itu, agar mereka tidak justru dibayangi oleh keinginan tahu mereka, maka Ki Widurapun telah mengatakan apa yang sebenarnya tentang rontal itu serta rencana Kiai Gringsing untuk memberikan kesempatan kepadanya meningkatkan latihan-latihan bagi para cantrik.
Glagah Putih dan Sekar Mirah mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu Glagah Putihpun justru berkata " Agaknya ayah sendiri akan dapat memanfaatkan-kesempatan itu Pula" Aku sudah terlalu tua untuk meningkatkan ilmuku "
berkata Ki Widura " biarlah para cantrik itu saja yang tumbuh bagi masa depan. "
" Tetapi satu hal yang barangkali perlu mendapat perhatian ayah. Mereka yang ada di padepokan ini bukan prajurit. Ayah sudah terbiasa memimpin sepasukan prajurit sehingga mungkin ayah akan memperlakukan para cantrik seperti para prajurit " berkata Glagah Putih sambil tersenyum.
Sekar Mirahpun tersenyum. Namun Ki Widura menjawab Tetapi para cantrikpun terikat oleh satu paugeran yang berlaku di padepokan ini, meskipun berbeda dengan paugeran bagi seorang prajurit. Paugeran di padepokan inipun harus ditaati sebagaimana para prajurit harus mentaati paugeran bagi mereka. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya " Ya.
Sedangkan akupun harus menurut perintah dan petunjuk kakang Agung Sedayu dan Ki Jayaraga. "
" Tetapi ternyata hal itu berlaku dimana-mana " berkata Ki Widura kemudian " tatanan kehidupan itu ada di semua lingkungan. "
Glagah Putih dan Sekar Mirahpun mengangguk-angguk pula. Sementara itu tiba-tiba saja Ki Widurapun berkata "
Glagah Putih. Jika lukamu tidak terasa sakit lagi, ikutlah aku ke Sanggar. Kita akan mengurai gambar-gambar yang dibuat oleh Kiai Gringsing. "
" Tetapi Glagah Putih belum dibenarkan terlalu banyak bergerak paman " sela Sekar Mirah.
"Kami hanya akan mengenali tata gerak dan unsur-unsurnya.
Bukan untuk menilai dan memperagakannya " berkata Ki Widura kemudian.
Demikianlah setelah berbincang sejenak, maka Sekar Mirah telah berada kembali didalam bilik Agung Sedayu, sementara Glagah Putih telah membantu ayahnya menterjemahkan gambar-gambar sederhana yang dibuat oleh Kiai Gringsing yang akan menjadi pegangan Ki Widura meningkatkan ilmu kanuragan para cantrik di padepokan kecil itu.
Setelah beberapa lama mereka mengurai, maka Ki Widurapun kemudian berkata " Besok Kiai Gringsing akan memberikan beberapa keterangan. Jika sebelumnya aku sudah mencoba memahaminya, maka aku kira besok rencana Kiai Gringsing akan berjalan lebih cepat. Agaknya Kiai Gringsing masih terlalu lemah untuk terlalu banyak bergerak. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara sanggar itu telah menjadi gelap. Seorang cantrik telah menyalahkan lampu minyak didalam sanggar itu.
" Apakah obor-obor itu juga dinyalakan jika sanggar ini akan dipergunakan" " bertanya cantrik itu.
" Tidak " jawab Ki Widura " tidak perlu. Kami sudah selesai.
" Sebenarnyalah Ki Widura dan Glagah Putih telah mengakhiri pengenalan mereka atas gambar-gambar yang dibuat oleh Kiai Gringsing itu. Karena itu, maka keduanyapun kemudian telah keluar dari sanggar dan membenahi diri setelah mereka pergi ke pakiwan.
Namun Widura agaknya masih belum berhenti. Setelah makan malam, maka didalam biliknya Wirudapun telah melihat-lihat lagi gambar sederhana yang diberikan oleh Kiai Gringsing sehingga larut malam.
Seperti dijanjikan oleh Kiai Gringsing, maka di hari berikutnya, bersama Ki Widura, keduanya telah berada didalam sanggar. Kiai Gringsing yang masih lemah itu, memang tidak memberikan beberapa contoh gerak. Tetapi mempersilahkan Widura untuk melakukannya. Namun setiap kali Kiai Gringsing memberikan beberapa keterangan tentang maksud dari setiap unsur gerak yang dilakukan serta uruturutannya.
" Ternyata semuanya berjalan sangat lancar " berkata Kiai Gringsing " aku memang sudah yakin bahwa Ki Widura akan dengan cepat menguasainya. Karena yang dilakukan oleh Ki Widura adalah tinggal mengingat-ingat urutan geraknya,
sementara watak dan tujuan setiap gerak telah Ki Widura ketahui. "
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya " Aku sudah mempelajarinya dan mengenalinya bersama Glagah Putih kemarin Kiai. "
" O " Kiai Gringsing mengangguk-angguk.-" sokurlah.
Dengan demikian, pekerjaanku akan menjadi sangat ringan."
Namun demikian Kiai Gringsing telah memberikan batasan waktu kira-kira dua pekan bagi Ki Widura bersamanya untuk benar-benar mengenal dan mampu menuangkan kembali kepada para cantrik. Meskipun Kiai Gringsing juga berkata "
Aku mengerti, jika pada suatu saat unsur-unsur gerak dari ilmu Ki Widura sendiri akan mempengaruhinya. Tetapi itu tidak apa-apa. Apalagi jika hal itu sudah disadarinya sejak semula sehingga yang terjadi adalah justru dengan sengaja memperkaya unsur-unsur gerak yang telah dimiliki oleh para cantrik itu. "
Meskipun keadaan Kiai Gringsing masih lemah, tetapi ia memang dapat memberikan banyak keterangan dan petunjuk kepada Ki Widura selama waktu yang diperlukan.
Dalam pada. itu, dari hari kehari keadaan Agung Sedayupun menjadi semakin baik. Ketika pekan pertama lewat, Agung Sedayu telah berjalan-jalan di halaman padepokan.
Sementara. itu luka Glagah Putihpun telah sembuh pula meskipun masih membekas. Bahkan agaknya bekas itu akan tidak mudah dihilangkan dari wajah kulitnya.
Dalam keadaan yang demikian, maka Agung Sedayu sudah mulai memikirkan kemungkinan untuk pergi ke Sangkal Putung. Ia tidak ingin terlalu mengecewakan Sekar Mirah yang ingin berada di rumah tempat kelahirannya itu untuk beberapa hari. Jika mereka terlalu lama berada di Jati Anom, maka Sekar Mirah hanya akan mendapat ketempatan satu dua malam saja di Kademangan Sangkal Putung, karena jika mereka terlalu lama pergi, yang menunggu di Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi sangat gelisah pula.
Namun dalam pada itu Glagah Putih telah berkata kepada Agung Sedayu " Apakah sebaiknya aku mendahului pulang ke Tanah Perdikan, agar Ki Gede dan keluarga di Tanah Perdikan tidak menjadi cemas" "
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun menggeleng sambil berdesis " Kau tunggu aku. Mudahmudahan Ki Gede dan Ki Jayaraga menganggap bahwa kerinduan Sekar Mirah kepada kampung halamannya masih belum sembuh."
Sekar Mirah hanya tersenyum saja. Sementara Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa Agung Sedayu mencemaskan perjalanannya, karena suasana yang nampaknya memang menjadi kalut. Hubungan antara Mataram dan Madiun tidak segera dapat dijembatani.
Di hari berikutnya Agung Sedayu sudah berjalan-jalan dikebun padepokan melihat-lihat berbagai macam tanaman sayur-sayuran dan kolam ikan. Menghiriup segarnya udara diantara hijaunya pepohonan dan heningnya air belumbang.
Selain obat yang tepat, daya tahan yang sangat besar didalam tubuh Agung Sedayu seakan-akan telah mempercepat perkembangan kesehatannya. Selapis demi selapis kekuatan tubuh Agung Sedayu merambat mendekati pulih kembali.
Dalam pada itu, maka Ki Widurapun telah menyelesaikan pengenalannya atas dasar ilmu dari perguruan kecil di Jati Anom itu. Dengan demikian, maka ia tidak akan
membingungkan para cantrik dengan unsur-unsur gerak yang tidak mereka kenal. Sementara itu atas persetujuan Kiai Gringsing, Ki Widura dapat memperkaya pengenalan para cantrik atas unsur-unsur gerak yang akan dapat saling mendukung. Bukan yang dapat menghambat arti daripada setiap unsur gerak itu.
Demikianlah maka ternyata bahwa Agung Sedayu telah membutuhkan waktu lebih dari sepuluh hari untuk memulihkan keadaannya seperti semula. Bahkan ketika ia merasa cukup kuat untuk pergi ke Sangkal Putung, maka kekuatan dan kemampuannya
masih belum utuh seperti sebelum terjadi pertempuran itu.
Namun agaknya Agung Sedayu sudah merasa cukup lama berada di padepokan kecil itu. Iapun telah mulai memikirkan kegelisahan orang-orang Tanah Perdikan. Bahkan mungkin dapat terjadi sesuatu pula di Tanah Perdikan itu. Namun di Tanah Perdikan itu masih ada Ki Gede sendiri dan Ki Jayaraga disamping pasukan khusus Mataram yang ditempatkan di Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah menemui gurunya untuk mohon diri meninggalkan padepokan kecil itu.
" Apakah kau sudah merasa cukup baik" " bertanya Kiai Gringsing.
" Ya Guru. Aku sudah merasa hampir pulih kembali.
Agaknya selama perjalanan, aku akan justru mendapatkan kekuatanku sepenuhnya kembali. " berkata Agung Sedayu.
" Baiklah " berkata Kiai Gringsing " ternyata pamanmu Ki Widura telah berada di padepokan ini pula. Karena jarak antara padepokan ini dan Banyu Asri tidak terlalu jauh, maka Ki Widura akan dapat mondar-mandir setiap saat yang dikehendakinya.
Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Ki Widura tersenyum sambil berkata " Aku akan berada di dua tempat. "
" Ya paman " Agung Sedayupun tersenyum " satu kepentingan tersendiri. "
Ki Widura justru tertawa karenanya.
Demikianlah Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah mohon diri. Mereka sama sekali tidak merasa menyesal bahwa mereka menjumpai kesulitan justru ketika me-reeka menengok gurunya di padepokan kecilnya. Bahkan mereka merasa bersukur, bahwa mereka mendapat kesempatan untuk ikut menyelamatkan padepokan itu, maka padepokan itu akan dapat menempuh cara yang lain untuk menyelamatkan dirinya, karena Untara juga menaruh perhatian yang besar bagi padepokan itu.
Kiai Gringsing, Ki Widura dan hampir seisi padepokan itu telah melepas mereka di halaman. Bahkan Kiai Gringsing, Ki Widura dan beberapa orang lainnya mengantar mereka sampai keluar regol. Sehingga sejenak kemudian, maka kuda-kuda dari ketiga orang yang meninggalkan padepokan itu telah berlari meskipun tidak terlalu kencang, menuju Sangkal Putung. Tetapi mereka masih akan singgah sejenak untuk minta diri kepada Untara dan keluarganya.
Dalam kesempatan itu Untara telah memberikan beberapa keterangan tentang perkembangan terakhir. Yang datang justru perintah untuk bersiaga sepenuhnya dan semakin berhati-hati menghadapi orang-orang yang menyusup Ibu Kota Mataram dan sekitarnya.
Jilid 231 DENGAN demikian maka Agung Sedayupun menyadari, bahwa persoalan antara Mataram dan Madiun masih belum mereda, dan justru menjadi semakin panas.
"Agaknya beberapa orang mengambil sikap masing-masing." berkata Agung Sedayu.
"Ya" jawab Untara, "beberapa orang dari Mataram telah mengambil sikap sendiri tanpa menunggu perintah Panembahan Madiun. Sementara itu Panembahan Senapati telah memerintahkan Pangeran Singasari untuk berada di istana dan melepaskan kedudukannya diantara pasukannya."
"Kenapa dengan Pangeran Singasari" Bukankah ia telah melakukan tugasnya dengan berhasil?" bertanya Agung Sedayu.
"Pangeran Singasari memang berhasil di Padepokan Nagaraga. Tetapi ternyata Pangeran Singasari telah mengambil langkah-langkah sendiri, sehingga Panembahan Senapati terpaksa menempatkan Pangeran Singasari didekatnya." jawab Untara.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tentu bukan hanya Pangeran Singasari. Tentu masih ada orang-orang Mataram yang didorong oleh kepemimpinan pribadi telah melakukan langkah-langkah yang justru bertentangan dengan usaha yang ditempuh oleh Panembahan Senapati. Mungkin Pangeran Singasari telah bertindak dengan landasan kepentingan Mataram meskipun langkahnya tidak sesuai dengan kebijaksanaan Panembahan Senapati, sementara orang lain benar-benar tidak ada hubungannya dengan kepentingan Mataram.
"Karena itu Agung Sedayu." berkata Untara selanjutnya, "hati-hatilah di setiap langkahmu. Jika kau sembuh benar, maka kaupun harus melakukan setiap perintah dengan baik. Aku kira perintah Panembahan Senapati telah disampaikan pula ke Tanah Perdikan Menoreh. Tanah Perdikan Menoreh jangan mengambil kebijaksanaan sendiri menghadapi Madiun."
"Aku mengerti kakang." jawab Agung Sedayu. Namun iapun bertanya, "Bagaimana dengan Sangkal Putung?"
"Sangkal Putung juga diperhitungkan oleh Mataram. Kekuatan Kademangan Sangkal Putung diperkirakan sama dengan kekuatan prajurit segelar-sepapan. Yang pantas diperhitungkan bukan saja para pengawalnya, tetapi hampir setiap laki-laki di Sangkal Putung, terutama anak-anak mudanya mempunyai kemampuan seorang prajurit. Namun seandainya perintah itu belum dianggap perlu disampaikan kepada Sangkal Putung oleh Panembahan Senapati, maka kau dapat mengatakannya meski"pun bukan merupakan perintah resmi. Namun sikap itu perlu diketahui oleh Sangkal Putung. Bahkan pada saatnya panem"bahan Senapati tentu akan memberikan pertanda kepadaku untuk menghimpun kekuatan dari lingkungan ini atas limpahan kuasanya, tanpa mencampuri pemerintahan di daerah masing-masing."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Untarapun berkata selanjutnya, "Aku juga sedang memberikan pesan kepada setiap Kademangan di sekitar Jati Anom, termasuk Kademangan Jati Anom sendiri, agar mereka mempersiapkan diri menghadapi keadaan yang mungkin akan menjadi gawat. Setidak-tidaknya disetiap Kademangan agar mempersiapkan sepasukan pengawal terpilih yang dapat bergerak setiap saat. Bukan saja di Kademangannya sendiri, tetapi mampu bergerak keluar dari Kademangannya. Aku juga sudah menganjurkan di"setiap Kademangan untuk menghitung jumlah kuda yang dapat dipergunakan untuk kepentingan gerak cepat para pengawal itu."
Agung Sedayu masih mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa Mataram benar-benar telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi keadaan yang nampaknya justru semakin kalut. Sepeninggal Pangeran Benawa, maka rasa-rasanya jarak antara Mataram dan Madiun menjadi sangat jauh.
Demikianlah, maka setelah dihidangkan minuman dan makanan, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah mohon diri untuk pergi ke Sangkal Putung dan seterusnya kembali ke Tanah Perdikan.
"Kau juga harus berhati-hati Glagah Putih." desis Untara.
"Ya, kakang." jawab Glagah Putih sambil mengangguk kecil.
"Nah, semoga adi Sekar Mirah dapat memberikan peringatan kepada Glagah Putih jika anak itu masih saja nakal." berkata Untara.
Sekar Mirah tersenyum. Jawabnya, "Aku masih harus menarik telinganya setiap kali Glagah Putih berendam di kali mencari ikan di pliridan, kakang."
Untarapun tertawa. Sementara isterinya berkata, "Jika nakal jangan diberi makan sehari. Ia akan menjadi jera."
Sekar Mirahpun tertawa pula, sementara Agung Sedayu menjawab, "Jika ia tidak diberi makan dirumah ia akan pergi kerumah Ki Gede untuk mencari makanan. "
Glagah Putih hanya tersenyum-senyum saja. Namun sebenarnya ia berkeberatan jika ia masih saja diperlakukan seperti anak-anak. Agung Sedayu dan Sekar Mirah memang tidak memperlakukannya demikian. Tetapi Untara yang jarang-jarang bertemu agaknya masih saja mengenang Glagah Putih dimasa kanak-kanaknya. Sebagai kanak-kanak Glagah Putih memang termasuk anak yang banyak berbuat dan selalu ingin tahu.
Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah siap meninggalkan rumah Untara. Beberapa orang prajurit sempat mengamati kuda Glagah Putih yang besar dan tegar.
Glagah Putih yang mengetahui kudanya menjadi perhatian, telah berdesis, "Peninggalan Raden Rangga."
Para prajurit itu mengangguk-angguk. Memang Raden Rangga mempunyai kegemaran seperti ayahandanya, bermain-main dengan kuda. Ternyata bahwa Glagah Putih termasuk seorang anak muda yang beruntung mendapat hadiah seekor kuda yang tegar.
Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayu, Sekar Mi"rah dan Glagah Putih telah meninggalkan Jati Anom. Mereka berkuda dicerahnya matahari yang mulai menggalkan kulit.
Randu Alas yang dianggap menjadi sarang Gendruwo Bermata Satu masih tetap berada ditempatnya. Sementara jalanpun telah menjadi semakin baik dan lebih terpelihara. Tidak lagi terdapat semak-semak liar dipinggir-pinggir jalan. Bahkan tanggul paritpun menjadi teratur rapi. Sedangkan airnya yang jernih mengalir tanpa henti disepanjang musim.
Kedatangan ketiga orang itu di Sangkal Putung disambut dengan gembira. Bukan saja oleh keluarga Ki Demang. Tetapi sebelum mereka memasuki Kademangan, beberapa orang yang melihat mereka lewat sempat menyapa dengan ramah.
Seorang perempuan yang sudah separo baya dengan ramah telah menyapa Sekar Mirah, "Mirah. Kau sekarang bertambah cantik."
"Ah Bibi." sahut Sekar Mirah sambil tersenyum, "aku telah bertambah tua."
Tanpa maksud apa-apa perempuan itu tiba-tiba saja bertanya, "Kapan kau menyusul isteri kakakmu, he?"
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Sementara itu perempuan itu meneruskan, "Sebentar lagi kakakmu akan memomang anak. Apakah kau juga?"
Wajah Sekar Mirah tiba-tiba saja bagaikan lampu yang kehabisan minyak. Tetapi segera ia berusaha untuk menghapus kesan itu. Bahkan ia sempat tersenyum sambil berkata, "Doakan saja Bibi."
"Ya. Aku akan berdoa untukmu." sahut perempuan itu.
Sekar Mirahpun kemudian telah melanjutkan perjalanan. Ia berusaha menghapuskan kesan itu dari dalam hatinya, karena ia tidak mau mempengaruhi perasaan Agung Sedayu. Sebagai isterinya Sekar Mirahpun mengerti, bahwa Agung Sedayu akan dapat merasa bersalah jika hal itu selalu dibicarakannya.
Demikianlah, merekapun kemudian telah berada di Kade"mangan Sangkal Putung, Keluarga Kademangan dengan akrab telah menyambut mereka.
"Bagaimana keadaanmu?" bertanya Ki Demang kepada Agung Sedayu, demikian Agung Sedayu naik kependapa.
"Atas doa Ki Demang, keadaanku sudah menjadi baik." jawab Agung Sedayu.
"Jadi kekuatanmu telah pulih kembali?" bertanya Ki Demang pula.
"Ya Ki Demang." Agung Sedayu mengangguk kecil, "agaknya memang demikian."
Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara itu Swandaru sempat pula bertanya kepada Glagah Putih, "Bagaimana dengan lukamu?"
"Sudah sembuh kakang." jawab Glagah Putih, "meskipun bekasnya masih sedikit basah. Tetapi sudah tidak berarti apa-apa lagi."
"Bukankah kau masih mengobatinya terus?" bertanya Swandaru.
"Ya kakang. Aku masih mengolesnya dengan obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing. Sementara itu, aku masih juga harus menelan reramuan obat pula." jawab Glagah Putih.
"Syukurlah jika kalian benar-benar telah menjadi baik." desis Swandaru.
Sementara itu Sekar Mirah tidak ikut naik kependapa bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi sebagaimana ia berada dirumahnya sendiri, maka Sekar Mirahpun telah langsung masuk kedapur menemani Pandan Wangi dan pembantu-pembantu rumah itu menyediakan hidangan minuman dan makanan. Namun sambil bekerja Pandan Wangi dan Sekar Mi"rah ternyata ramai berbincang tentang bermacam-macam hal. Bahkan Pandan Wangipun ingin tahu apa yang telah terjadi disatu malam, sehingga Agung Sedayu dan Glagah Putih telah terluka.
"Kau tentu sibuk juga malam itu, Mirah?" bertanya Pandan Wangi.
"Aku berada di barak induk bersama Kiai Gringsing." jawab Sekar Mirah, "tetapi ternyata ada juga diantara mereka yang sempat menyusup sampai ke barak induk itu, sehingga akupun terpaksa mencegahnya masuk kedalam."
"Tongkatmulah tentu yang berbicara." gumam Pandan Wangi.
"Aku telah dipaksa untuk melakukannya." jawab Sekar Mirah.
Pandan Wangi tersenyum. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, maka peristiwa yang terjadi dipadepokan itu tidak dapat lepas begitu saja dari perhatiannya. Namun demikian, mereka tidak lupa akan tugas mereka. Sebentar kemudian maka hidanganpun telah siap. Sekar Mirah dan Pandan Wangi sendirilah yang kemudian membawanya kependapa. Bahkan keduanya tidak lagi segera kembali ke dapur, karena keduanyapun ikut pula berbincang dipendapa.
"Luka kakang Agung Sedayu parah." berkata Swandaru kepada isterinya, "tetapi ternyata Guru benar-benar seorang yang memiliki pengetahuan tentang obat-obatan hampir sempurna. Dalam waktu dekat, kakang Agung Sedayu sudah sem"buh sama sekali, meskipun barangkali segala sesuatunya masih belum sebagaimana semula."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku memerlukan waktu sepuluh hari lebih."
"Tetapi tanpa perawatan Guru, mungkin kakang memer"lukan waktu satu bahkan mungkin dua bulan. Semula aku me"mang mengira bahwa kakang akan berada di padepokan itu un"tuk lebih dari satu bulan." berkata Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengakui kebenaran pendapat adik seperguruannya itu. Tanpa perawatan dan obat-obat yang baik, maka Agung Sedayu tentu memerlukan waktu yang lebih lama lagi untuk menyembuhkan luka-luka dibagian dalam tubuhnya meski"pun hal itu juga tergantung pada ketahanan tubuh Agung Sedayu. Jika ketahanan tubuh Agung Sedayu tidak melampaui takaran, maka penyembuhannyapun akan menjadi sangat sulit dan lama.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terbersit didalam hati Agung Sedayu satu pertanyaan, karena Kiai Gringsing tidak mampu mengatasi kesulitan didalam dirinya sendiri. Tetapi sebagaimana ia sering mendengar dari gurunya itu pula, bahwa berapapun tinggi ilmu dan pengetahuan seseorang, namun ia tidak akan dapat keluar dari batasan-batasan yang telah ditetapkan bagi hidupnya.
Demikianlah, maka sebagaimana diinginkan oleh Sekar Mirah, maka Agung Sedayu suami isteri dan Glagah Putih akan tinggal untuk beberapa hari di Sangkal Putung. Namun demikian, ternyata Sekar Mirahpun dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan. Meskipun ia ingin tinggal dirumah tempat ia bermain-main di masa kecilnya asal lama, namun karena mereka sudah lama terpaksa berada di padepokan Kiai Gringsing lebih dari sepuluh hari, maka Sekar Mirah tidak akan memaksakan keinginannya itu. Sekar Mirahpun tahu, bahwa orang-orang di Tanah Per"dikan Menoreh tentu sudah gelisah menunggu mereka.
Karena itu, maka Sekar Mirahpun telah berkata kepada Agung Sedayu pula satu kesempatan, "Aku kira kau tidak perlu terlalu lama disini kakang."
"Bukankah kau ingin berada di rumah ini untuk waktu yang agak panjang?" bertanya Agung Sedayu.
"Hanya untuk mengenang masa kanak-kanak. Tetapi agaknya keadaan tidak mengijinkan kali ini. Mungkin pada kesempatan lain." berkata Sekar Mirah.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Agaknya kita memang harus segera kembali ke Tanah Perdikan."
"Ya. Suasana yang kurang menguntungkan. Kakang tentu sangat diperlukan di Tanah Perdikan." berkata Sekar Mirah pula.
Tetapi kedua orang suami isteri itu juga tidak akan dengan serta merta minta diri. Mereka telah memutuskan untuk berada di Sangkal Putung selama tiga hari tiga malam. Selama itu, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih sempat melihat kesiagaan para pengawal dan anak-anak muda Sangkal Putung. Swandaru memang telah membentuk kelompok khusus yang memiliki kemampuan bergerak dan berkemampuan lebih baik dari yang lain. Namun bukan berarti bahwa yang lain tidak mendapat perhatiannya. Di Sangkal Putung telah pula dipersiapkan beberapa ekor kuda yang dapat dipergunakan setiap saat untuk bergerak.
"Kau dapat mencoba mengetrapkannya di Tanah Per"dikan Menoreh. Kakang." berkata Swandaru kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil menjawab, "Ya. Aku akan mencobanya."
Glagahlah Putih yang mengerutkan keningnya.Menurut penglihatannya, apa yang berlaku di Sangkal Putung itu telah berlaku di Tanah Perdikan Menoreh. Di Tanah Per"dikan Menoreh telah pula terbentuk sekelompok khusus pengawal yang dianggap paling baik di setiap padukuhan.
Ketika Glagah Putih itu diluar sadarnya berpaling kepada Sekar Mirah, maka dilihatnya mbokayunya itu menarik nafas panjang.
Dalam pada itu, sambil melihat-lihat perkembangan Sangkal Putung, Swandaru berkata, "Kami telah mengirimkan beberapa orang ke Kademangan-kademangan tetangga untuk memenuhi permintaan mereka. Sebagaimana dianjurkan oleh kakang Untara, maka setiap Kademangan harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi perkembangan keadaan yang tidak menentu ini. Beberapa Kademangan yang lebih dekat dengan Jati Anom telah min"ta para prajurit untuk memberikan latihan-latihan keprajuritan. Tetapi Kademangan-kademangan terdekat dengan Sangkal Putung, telah minta kepada Sangkal Putung untuk memberikan latihan-latihan bagi para pengawal dan anak-anak mudanya, atas persetujuan kakang Untara, karena kakang Untara pun tidak akan dapat mengabaikan kenyataan, bahwa para pengawal kami disini memiliki ke"mampuan seorang prajurit."
Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk. Sekali-sekali ia memuji keberhasilan Swandaru yang ternyata bergerak lebih cepat dan lebih berarti daripada ayahnya yang masih memangku jabatan Demang di Sangkal Putung. Sebagaimana ternyata para Demang tetangganya dalam pertemuan pertemuan yang sering diadakan telah menyatakan, bahwa mereka merasa iri bahwa di Sangkal Putung terdapat seorang anak muda seperti Swandaru.
"Apa yang Ki Demang lakukan atas anak itu dimasa kecilnya?" bertanya para Demang itu kepada Ki Demang Sangkal Putung.
"Tidak apa-apa." jawab Ki Demang Sangkal Putung, "mungkin satu kebetulan bahwa dimasa remajanya, pasukan Pajang berada di Sangkal Putung untuk menghadapi sisa-sisa pasukan Jipang dibawah pimpinan Alap-alap Jalatunda dan Pande Besi, Sedang Gabus. Namun lebih dari itu, sisa-sisa pasukan Jipang itu berada dibawah kekuasaan langsung Macan Kepatihan yang memiliki kemampuan diatas kemampuan orang kebanyakan. He, kalian ingat itu?"
"Ya." jawab para Demang itu, "Agaknya Ki De"mang Sangkal Putung mampu mengambil keuntungan kehadiran Senapati Untara di Sangkal Putung untuk meng"hadapi Tohpati pada waktu itu."
Demikianlah untuk waktu-waktu yang sudah ditentukan, Agung Sedayu dan Sekar Mirah benar-benar telah melihat seluruh isi Kademangan Sangkal Putung. Sebagai anak Sangkal Putung, Sekar Mirah ingin melihat kembali dan mengenang apa yang pernah terjadi lebih-lebih yang menyangkut dirinya, di Sangkal Putung. Namun Sekar Mi"rahpun ingin melihat pula apakah yang pernah dibanggakan oleh kakaknya.
Namun pada hari yang terakhir, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih berada di Sangkal Putung, menjelang malam yang ketiga, mereka telah dikejutkan oleh kehadiran sekelompok prajurit Mataram yang dipimpin oleh perwiramuda. Seorang perwira yang bernama Jaka Rampan. Seorang perwira muda yang memiliki nama yang dengan cepat menanjak di kalangan prajurit Mataram. Na"mun karena untuk waktu yang agak lama ia bertugas di Ma"taram, sebagaimana para perwira yang berada dibawah pimpinan Untara, maka Jaka Rampan belum mengenal secara pribadi para pemimpin di Sangkal Putung.
Dengan hormat dan ramah Ki Demang telah menerima sekelompok pasukan Mataram itu di rumahnya. Dipersilahkannya beberapa orang perwira yang ada didalam pasukan itu untuk naik ke pendapa, sementara para prajurit yang bersamanya dipersilahkan duduk-duduk di sepanjang serambi gandok.
Setelah mempertanyakan nama dan kesatuan para prajurit Mataram itu, maka Ki Demangpun telah bertanya tentang keperluan perwira yang masih muda itu.
"Aku mengemban perintah Panembahan Senapati." berkata perwira muda itu.
"Barangkali tugas yang dibebankan kepada Ki Sanak itu menyangkut Kademangan Sangkal Putung?" bertanya Ki Demang.
"Ya." jawab Jaka Rampan.
"Apakah perintah itu?" bertanya Ki Demang pula.
"Ki Demang. Atas nama Panembahan Senapati di Mataram, aku mendapat perintah untuk membawa sepasukan pengawal dari Sangkal Putung bersamaku untuk memperkuat sekelompok prajuritku," berkata perwira muda itu.
Ki Demang mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Untuk apa Ki Sanak?"
"Aku mengemban perintah untuk menusuk langsung ke belakang garis pertahanan yang sudah disusun oleh Ma"diun." berkata perwira muda yang bernama Jaka Rampan itu.
Ki Demang termangu-mangu. Ia belum pernah mengenal perwira muda itu. Karena itu, ia menjadi ragu-ragu.
"Kenapa Ki Demang nampak bingung?" suara Jaka Rampan menjadi lebih keras, "perintah ini harus kita laksanakan. Maksudku, kami dan Ki Demang."
"Ki Sanak. Bukan maksud kami meragukan kebijak"sanaan Panembahan Senapati." berkata Ki Demang, "tetapi karena kami belum pernah mengenal Ki Sanak, apa kah Ki Sanak bersedia menunjukkan pertanda apapun yang diberikan oleh Panembahan Senapati?"
"Apakah perintah itu?" bertanya Ki Demang pula. "Ki De"mang. Atas nama Panembahan Senapati di Mataram, aku mendapat perintah untuk membawa sepasukan pengawal dari Sangkal Putung bersamaku untuk memperkuat sekelompok"
Wajah perwira muda itu menjadi merah. Namun iapun berusaha untuk menahan diri. Bahkan iapun kemudian ter"senyum sambil berkata, "Mungkin Ki Demang memang belum mengenal aku, sebagaimana aku belum mengenal Ki Demang. Aku memang cukup lama bertugas di sekitar Ganjur. Memang bukan pasukan yang besar, tetapi pasukanku mempunyai tugas untuk mengawal pintu gerbang Mataram di bagian Selatan. Bukan tidak mustahil, bahwa ada kekekuatan yang sengaja ingin menusuk Mataram justru dari Selatan, satu arah yang dianggap tidak perlu diperhitungkan. Tetapi ternyata Panembahan Senapati cukup hati-hati sehingga menempatkan pasukan di Ganjur."
Ki Demang mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apa sebenarnya perintah Panembahan Sena"pati itu" Mengambil sepasukan pengawal untuk bertempur bersama Ki Sanak dibelakang garis batas Madiun?"
"Ya." jawab Jaka Rampan. Namun katanya kemudian, "Tetapi garis batas itu sebenarnya tidak ada. Mataram berkuasa atas Madiun, sehingga yang ada adalah garis batas kekuasaan Madiun yang dilimpahkan oleh Panembah"an Senapati yang dapat dihapuskan setiap saat."
Ki Demang menjadi termangu-mangu sejenak. Dalam pada itu, Swandaru, Agung Sedayu dan Glagah Putih yang ikut menerima kedatangan pasukan prajurit dari Mataram itu, mendengarkan pembicaraan Ki Demang itu dengan sungguh-sungguh. Bahkan pada saat Ki Demang masih ragu-ragu, maka Swandarupun berkata dengan mantab, "Jika hal itu dikehendaki oleh Panem"bahan Senapati, kami sudah siap. Kami akan dapat memanggil pengawal Kademangan yang terbaik untuk melakukan tugas yang berat tetapi memberikan kebanggaan itu."
"Terima kasih." jawab Jaka Rampan. Namun iapun ternyata, "Siapakah kau?"
"Anakku." Ki Demanglah yang menjawab, "ialah yang sekarang ini lebih banyak berbuat bagi Kademangan ini daripada aku. Terutama dalam hubungannya dengan kekuatan di Sangkal Putung."
"Bagus." jawab Jaka Rampan, "kesediaanmu tentu sangat dihargai oleh Panembahan Senapati. Jika demikian, maka besok kita akan segera mempersiapkan diri. Kita tidak boleh kehilangan waktu. Pada waktu satu bulan sejak perintah jatuh dari Panembahan Senapati, aku harus sudah menghadap untuk memberikan laporan."
"Kapanpun dikehendaki, kami sudah siap." berkata Swandaru pula.
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telah menyela, "Tetapi Ki Sanak. Kau belum menunjukkan pertanda yang ditanyakan oleh Ki Demang."
Perwira yang bernama Jaka Rampan itu memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya. Sorot matanya bagaikan memancarkan penyesalan yang sangat atas pertanyaan Ki Demang yang telah disinggung lagi oleh Agung Sedayu itu.
Dengan nada rendah ia bertanya, "Siapa lagi orang ini Ki Demang?"
"Anak menantuku." jawab Ki Demang.
Jaka Rampan mengangguk-angguk. Katanya seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri, "Yang seorang anak Ki Demang dan yang seorang menantunya. Jadi merekalah yang telah membentuk Kademangan Sangkal Putung ini menjadi Kademangan yang besar dan kuat. Tetapi sayang, bahwa sikap mereka agak berbeda."
"Ki Sanak." berkata Ki Demang kemudian, "bukankah pertanyaanku itu wajar?"
"Jadi Ki Demang tidak yakin melihat pakaian kami dan sikap kami?" bertanya orang itu.
"Maaf Ki Sanak." jawab Ki Demang, "bukan tidak yakin apalagi tidak percaya. Tetapi bukankah kita harus menjunjung martabat Panembahan Senapati sebagai pemimpin tertinggi Mataram?"
"Aku tidak mau mendengar pertanyaan itu. Aku hanya tahu mengemban perintah Panembahan Senapati." jawab Jaka Rampan.
"Apakah kita tidak dapat mempercayainya begitu sa"ja, ayah?" bertanya Swandaru yang ternyata juga mulai berpikir.
"Bukan begitu. Segala sesuatunya agar kita dapat me"lakukan tugas kita sebaik-baiknya, sebagaimana aku katakan tadi, justru untuk menjunjung kuasa Panembahan Senapati itu sendiri." jawab Ki Demang.
"Aku tidak mau dipersulit dengan hal-hal yang tidak berarti seperti itu. Aku minta disiapkan tigapuluh orang terbaik yang senilai dengan prajurit. Aku telah membawa tigapuluh orang pula bersamaku. Kita akan menempuh perjalanan jauh. Kita tidak akan menuju ke Madiun lewat jalan raya yang menghubungkan Mataram, Pajang dan Madiun. Tetapi kita akan menempuh jalan simpang yang kecil dan barangkali jarang dilalui orang. Kita akan menembus kedalam wilayah Madiun dan mengejutkan mereka, agar mereka tidak menjadi terlalu sombong. Sikap mereka sudah keterlaluan sehingga Panembahan Senapati menjadi marah." berkata Jaka Rampan.
"Ki Sanak." berkata Agung Sedayu kemudian, "Pa"nembahan Senapati adalah orang yang sangat berhati-hati. Apalagi Panembahan Senapati telah berniat untuk mencari penyelesaian yang lebih baik daripada perang."
"Omong kosong." wajah Jaka Rampan mulai berkerut, "Kau tidak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan dan dirasakan oleh Panembahan Senapati menghadapi Madiun. Nah, jangan bertanya lagi. Aku minta disiapkan sejumlah pengawal."
Tetapi Ki Demanglah yang menjawab, "Ki Sanak. Kami minta maaf, bahwa kami masih harus bertanya lagi tentang pertanda itu. Baru kemudian kami akan dapat menentukan sikap. Sebab terus terang, kami ragu-ragu bahwa Panembahan Senapati memerintahkan sepasukan prajurit dari Mataram untuk menyusup kebelakang garis batas Madiun dan Mataram."
"Kenapa kau ragu-ragu" Pangeran Singasari juga mendapat tugas untuk menghancurkan padepokan Nagaraga. Bukankah kita semuanya tahu, bahwa padepokan Nagaraga adalah sebuah padepokan yang mengakui kuasa Ma"diun. Bukan Mataram."
Yang menjawab adalah Agung Sedayu, "Ki Sanak. Jika Panembahan Senapati memerintahkan untuk meng"hancurkan Nagaraga, sebab sudah terbukti, bahwa Nagaraga telah berani menyerang langsung pribadi Panem"bahan Senapati. Serangan secara pribadi itu telah membe"rikan alasan yang kuat bagi Panembahan Senapati untuk menghukum Padepokan Nagaraga."
"Darimana kau tahu hal itu?" bertanya Jaka Ram"pan.
"Glagah Putih ikut dalam tugas penumpasan padepokan Nagaraga." Swandarulah yang menyahut.
"Siapa Glagah Putih itu?" bertanya Jaka Rampan.
"Ia adalah kawan dekat Raden Rangga semasa hidupnya." jawab Swandaru.
"Yang memimpin pasukan ke Nagaraga adalah Pa"ngeran Singasari." geram Jaka Rampan.
"Glagah Putih memang berangkat lebih dahulu ber"sama Raden Rangga pada waktu itu." sahut Agung Sedayu.
"Siapakah yang mengatakan hal itu kepadamu?" bertanya Jaka Rampan.
"Glagah Putih sendiri." jawab Agung Sedayu, "ia ada disini sekarang."
Jaka Rampan langsung dapat menebak, yang manakah yang bernama Glagah Putih. Ketika ia kemudian memandanginya, maka iapun berdesis didalam hatinya, "Anak yang masih sangat muda ini."
Namun Jaka Rampanpun tahu pula, bahwa Raden Rangga juga masih sangat muda. Bahkan barangkali lebih muda dari Glagah Putih itu. Untuk beberapa saat Jaka Rampan termangu-mangu. Agaknya di Sangkal Putung terdapat juga orang-orang yang sempat berpikir. Mereka tidak sekedar dengan kepala tunduk dan mata tertutup menjalankan perintah.
"Nah Ki Sanak." berkata Agung Sedayu kemudian, "sebaiknya Ki Sanak tidak merasa bersalah, atau kurang berwibawa jika Ki Sanak menunjukkan pertanda perintah Panembahan Senapati itu. Karena kitapun tahu betapa besarnya kuasa Panembahan Senapati."
Jaka Rampan menjadi semakin gelisah. Tetapi ia merasa paling tidak senang terhadap Agung Sedayu yang telah berani bersikap tegas itu. Namun Jaka Rampanpun merasa bahwa ia harus berhati-hati menghadapi para pemimpin di Kademangan Sangkal Putung itu.
Meskipun demikian, ia masih juga berusaha untuk menekan Ki Demang. Katanya, "Ki Demang. Kaulah yang bertanggung jawab di sini. Keputusan itu harus kau pertanggung jawabkan kepada Panembahan Senapati. Jika aku gagal membawa orang-orangmu, maka kau akan dapat, dianggap dengan sengaja menghambat tugas keprajuritan Mataram. Apalagi dalam keadaan gawat seperti sekarang ini."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemu"dian katanya, "Ki Sanak. Sudah aku katakan, aku akan menjalankan segala perintahnya jika Ki Sanak sudi menun"jukkan pertanda kuasa dari Panembahan Senapati."
"Cukup." bentak Jaka Rampan, "aku adalah utusan yang membawa kuasa sepenuhnya dari Panembahan Sena"pati. Jika kau tidak mendengar perintahku, berarti kau tidak mendengarkan perintah Panembahan Senapati. Dan kau tahu, apa artinya itu."
"Jangan salah paham Ki Sanak." sahut Ki Demang.
Tetapi sebelum ia meneruskan kata-katanya, Jaka Rampan telah memotongnya, "Aku tidak mau mendengar alasan apapun lagi. Jawab pertanyaanku. Kau mau menjalankan perintah Panembahan Senapati atau tidak."
Ki Demang tidak segera menjawab. Ketika ia memandang Agung Sedayu, maka Agung Sedayupun berkata, "Tentu Ki Sanak. Ki Demang tentu akan menjalankan segala perintah Panembahan Senapati, karena Panembahan Sena"pati itu memang junjungan kita semuanya."
"Jika demikian, sediakan tigapuluh orang pengawal pilihan, yang akan pergi bersamaku besok pagi-pagi." ber"kata Jaka Rampan.
"Tetapi itu bukan perintah Panembahan Senapati. Atau katakan, belum meyakinkan bahwa perintah itu ada"lah perintah Panembahan Senapati. Sebagaimana yang akan kau lakukan itu sendiri." jawab Agung Sedayu. Lalu, " Ternyata bahwa orang-orang dari Madiun juga banyak yang telah melakukan tindakan diluar pengetahuan dan kendali Panembahan Madiun. Jika kau melakukannya juga, maka yang kau lakukan adalah sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang Nagaraga. Bahkan yang kau lakukan justru lebih keras lagi. Apa artinya enam puluh orang bagi kekuatan Madiun. Aku tahu, bahwa dengan enam puluh orang kalian akan memotong ranting-ranting yang ada pada batang Kadipaten Madiun. Tetapi kau salah hitung. Enam puluh orangmu itu akan menjadi daun-daun kering yang masuk kedalam apinya kekuatan Madiun."
"Omong kosong kau pengecut." bentak Jaka Rampan, "kau kira aku dengan ceroboh mengambil sikap seperti ini" Sudah cukup lama orang-orangku dalam tugas sandi menyelidiki kelemahan Madiun. Kelemahan-kelemahan itu kemudian aku sampaikan langsung kepada Panembahan Senapati yang kemudian memerintahkan aku membawa pa"sukan menuju ke Belakang garis pertahanan Madiun serta mengambil tiga puluh orang pengawal dari Kademangan ini."
"Ki Sanak." jawab Ki Demang, "sudahlah. Jika Ki Sanak bersedia menunjukkan pertanda perintah Panem"bahan Senapati, semuanya akan dapat kau lakukan seba"gaimana kau katakan."
"Persetan." geram Jaka Rampan, "jika kau menolak. jangan menyesal. Kau tahu bahwa aku membawa pasukan. Kau tahu bahwa tugas setiap prajurit Mataram adalah menghancurkan pemberontakan."
"Maksud Ki Sanak?" bertanya Ki Demang.
"Sangkal Putung telah memberontak terhadap Panembahan Senapati." geram Jaka Rampan.
"Kau jangan asal saja bersikap Ki Sanak." Agung Sedayulah yang menyahut, sementara Swandaru memang menjadi bimbang. Ia kurang mengerti hubungan kuasa Panembahan Senapati dengan orang-orang yang mendapat perintahnya atau tidak.
"Aku masih memberimu kesempatan" berkata Jaka Rampan, "jika kesempatan ini tidak kau pergunakan, maka Sangkal Putung akan menjadi karang abang."
Wajah Swandaru memang menjadi merah. Namun ter"nyata Agung Sedayu masih sempat berpikir dengan baik. Karena itu, maka iapun berkata, "Baiklah. Tunggulah sampai lewat tengah malam. Kami akan membicarakannya dengan para bebahu yang akan segera kami panggil. De"ngan demikian maka keputusan yang kami ambil akan dipertanggung jawabkan oleh seluruh pemimpin Kade"mangan ini."
Ki Demang memang menjadi agak bingung karena sikap Agung Sedayu yang tiba-tiba menjadi lunak itu. Teta"pi ia tidak membantah. Mungkin Agung Sedayu sekedar mencari kesempatan untuk bersiap-siap menghadapi me"reka atau perhitungan-perhitungan lain untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh Sangkal Putung itu.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayu telah minta kepa"da Ki Demang untuk memerintahkan beberapa orang memberikan tempat kepada Jaka Rampan untuk beristirahat sambil menunggu keputusan orang-orang Sangkal Putung.
Namun dalam pada itu, ketika Jaka Rampan itu telah berada di gandok, maka iapun telah memanggil beberapa orang pembantunya. Dengan singkat Jaka Rampan memberitahukan kemungkinan yang bakal terjadi.
"Aku masih harus menunggu. Mereka akan membicarakan dengan para bebahu." berkata Jaka Rampan. Lalu, "namun yang agaknya paling cerdik adalah menantu Ki Demang itu."
"Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?" ber"tanya seorang perwira bawahannya.
"Menunggu dan bersiap-siap." berkata Jaka Rampan, "Tetapi aku yaki, bahwa menantu Ki Demang yang cer"dik itu tidak cukup mempunyai keberanian untuk menolak."
Para perwira bawahannya mengangguk-angguk. Namun seorang diantara mereka bertanya, "Apakah kita dapat yakin, bahwa menantu Ki Demang itu tidak akan berani menolak?"
"Mula-mula nampaknya ia dengan keras menolak. Te"tapi ketika aku mulai mengancam, maka ia menjadi sedikit lunak, dan bersedia membicarakannya dengan para bebahu yang akan dipanggil sekarang juga." jawab Jaka Rampan.
Sementara itu yang lainpun bertanya, "Jika mereka menolak, apakah kita akan benar-benar menghancurkan Kademangan itu."
Jaka Rampan termangu-mangu. Katanya, "Kade"mangan ini adalah Kademangan yang kuat. Jika mereka menolak, maka kita akan meninggalkan Kademangan ini dan mengancam, bahwa kita akan kembali lagi. Kita akan membawa kekuatan yang lebih besar. Kita akan menangkap orang-orang yang bertanggungjawab atas penolakan itu."
"Darimana kita akan mendapat kekuatan yang lebih besar itu?" bertanya salah seorang perwira yang lain.
"Aku kira pasukan paman Gondang Bangah sudah ada di Semangkak. Sebelum mereka berangkat ke Madiun dan menyusup sebagaimana kita lakukan sesuai dengan rencana, melalui jalan kaki masing-masing, maka biarlah kita menghukum orang-orang Sangkal Putung. Mereka akan berpikir berulang kali untuk benar-benar melawan pra"jurit Mataram dalam kesatuan yang utuh." jawab Jaka Rampan.
"Jika demikian, apakah tidak sebaiknya satu dua orang diantara kita pergi ke Semangkak untuk meyakinkan apakah pasukan itu sudah ada disana?" berkata salah se"orang perwiranya.
"Paman Gondang Bangah tidak pernah meleset dari rencana yang telah tersusun." berkata Jaka Rampan, "Jika benar-benar orang-orang Kademangan ini menolak, maka kita minta agar mereka menyiapkan pengawal segelar sepapan. Kita benar-benar akan datang dengan pasukan paman Gondang Bangah."
Para perwiranya mengangguk-angguk. Seorang diantaranya berkata, "Aku kira orang-orang Kademangan ini tidak akan berani bertempur melawan prajurit Mataram dalam kelengkapannya sebagai prajurit. Bagaimanapun juga, mereka akan dibayangi oleh tuduhan telah memberontak terhadap Mataram karena telah melawan prajurit-prajuritnya."
Jaka Rampan mengangguk-angguk. Sementara itu se"orang prajuritnya telah memberitahukan bahwa pertemuan dengan para bebahu telah dimulai. Satu-satu para bebahu telah datang berkumpul dan berbincang di pringgitan, lang"sung dipimpin oleh Ki Demang sendiri.
"Bagaimana dengan anak dan menantunya?" ber"tanya Jaka Rampan.
"Mereka ada juga diantara para bebahu. Tetapi aku tidak dapat mendengar apa yang telah mereka bicarakan." berkata prajurit itu.
"Biarlah kita menunggu sampai tengah malam." ber"kata Jaka Rampan, "jika kita tidak telaten, maka kita akan menentukan sikap."
Beberapa saat, Jaka Rampan menunggu. Rasa-rasanya waktu berjalan sangat lamban. Ketika terdengar kentongan diregol dipukul dengan nada dara muluk, maka iapun ber"tanya kepada seorang perwiranya, "Apakah bunyi ken"tongan itu mengisyaratkan tengah malam?"
"Ya" jawab perwira itu, "agaknya saat itu memang telah menginjak pada pertengahan malam."
"Dan pembicaraan itu belum selesai?" bertanya Jaka Rampan.
"Agaknya belum." jawab prajurit itu.
Jaka Rampan masih menyabarkan diri dan menunggu beberapa saat. Namun kemudian ia menjadi tidak sabar, ka"rena pembicaraan dipringgitan nampaknya masih saja belum berkeputusan.
Karena itu, maka Jaka Rampanpun kemudian berkata, "Aku akan pergi ke pringgitan."
Dua orang perwira bawahannya mengikutinya. Dengan dada tengadah Jaka Rampan telah hadir di pringgitan.
"Nah, katakan, apakah keputusan kalian?" bertanya Jaka Rampan.
Ki Demang memang menjadi agak bingung. Iapun kemudian memandang Agung Sedayu dengan agak gelisah.
"Ki Sanak." berkata Agung Sedayu kemudian, "aku mohon Ki Sanak bersabar sebentar. Kita masih belum selesai. Ada beberapa persoalan yang masih harus kami pecahkan."
"Jangan mengada-ada." geram Jaka Rampan, "sebenarnya kalian tidak mempunyai pilihan."
Sementara Agung Sedayu termangu-mangu, maka Glagah Putih telah keluar dari ruang dalam. Iapun kemu"dian duduk dibelakang Agung Sedayu sambil menyeka peluhnya.
"Sudah?" bisik Agung Sedayu.
"Ya" jawab Glagah Putih pendek.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian berkata, "Baiklah Ki Sanak. Jika kau memaksa untuk menjawab, biarlah aku mewakili Ki Demang. Kami dengan terpaksa sekali tidak dapat memeriuhi permintaan Ki Sanak, menyediakan tigapuluh orang pengawal terpilih."
Wajah Jaka Rampan menjadi merah. Katanya dengan nada berat, "Apakah sudah kalian pertimbangkan masak-masak sikap kalian."
"Sudah Ki Sanak." jawab Agung Sedayu.
Tetapi Jaka Rampan berkata, "Aku ingin mendengar jawaban Ki Demang sendiri. Yang menjadi Demang disini bukan kau."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Iapun kemu"dian berkata kepada Ki Demang, "Silahkan menjawab Ki Demang."
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, "Jawabku sama dengan jawaban menantuku."
Telinga Jaka Rampan bagaikan tersentuh api. Jawaban itu sama sekali tidak dikehendakinya. Karena itu, maka iapun membentak, "Jawab sesuai dengan pertanyaanku."
Bocah Titisan Iblis 1 Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Perjodohan Busur Kumala 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama