Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 9

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 9


"Aku hampir membangunkanmu." berkata pembantu rumah itu.
"Kenapa?" bertanya Glagah Putih.
"Aku kira kau akan malas lagi. Beberapa hari ini aku mendapat ikan lebih banyak dari biasanya." berkata anak itu.
"Bukankah kemarin dulu aku juga turun." desis Gla"gah Putih. Anak itu mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, "Tunggu. Aku akan kerumah Ki Gede."
"Untuk apa?" bertanya anak itu.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Hampir diluar sadarnya ditengadahkannya wajahnya kelangit. Rasa-rasanya malam belum terlalu dalam.
"Kalau saja cucu-cucu Ki Lurah itu belum tidur, mereka dapat diajak turun ke sungai," berkata Glagah Putih didalam dirinya.
Namun ia memang ragu-ragu. Waktunya memang sudah sampai saat sirep uwong, sehingga kebanyakan orang tentu sudah tidur, kecuali orang-orang yang bertugas.
Meskipun demikian rasa-rasanya ada sesuatu yang mendorongnya untuk pergi ke rumah Ki Gede, sehingga karena itu, maka sekali lagi ia berkata kepada pembantunya itu, "Tunggu aku. Kita akan turun bersama-sama."
"Tetapi jangan terlalu lama. Kita sudah terlambat membuka dan menutup kembali pliridan yang pertama malam ini." gumam anak itu.
Tetapi Glagah Putih tidak menjawab lagi. Dengan tergesa-gesa iapun telah pergi ke rumah Ki Gede. Ia masih saja berharap bahwa Ki Lurah dan cucu-cucunya masih be"lum tidur.
Ketika ia sampai ke regol halaman rumah Ki Gede, anak-anak muda yang bertugas ronda sama sekali tidak heran melihat kedatangannya. Glagah Putih kadang-kadang memang begitu saja muncul di gardu-gardu perondan sebagaimana dilakukan oleh Agung Sedayu beberapa tahun yang lalu. Namun kini Agung Sedayu sudah jarang sekali melakukannya setelah ada Glagah Putih yang seakan-akan menggantikannya.
Glagah Putih yang langsung pergi ke gardu telah ber"tanya kepada seorang anak muda yang meronda, "Apakah Ki Lurah sudah tidur?"
"Tentu belum. Baru saja ia berada di pendapa." jawab anak muda yang meronda itu.
"O, sekarang?" bertanya Glagah Putih.
"Mungkin sudah ada di gandok." jawab anak muda itu.
Glagah Putihpun kemudian telah berjalan bergegas ke serambi gandok. Tetapi ternyata pintu bilik Ki Lurah telah tertutup. Karena itu, maka dengan kecewa Glagah Putih telah menjatuhkan diri duduk di amben bambu di serambi.
Namun ternyata derit amben itu terdengar oleh Ki Lurah yang memang belum tidur. Iapun kemudian telah melangkah kepintu dan membukanya. Ketika ia menjenguk, maka dilihatnya Glagah Putih ada di serambi gan"dok.
"Kau Glagah Putih." desis Ki Lurah.
"Ki Lurah belum tidur?" bertanya Glagah Putih sambil berdiri.
"Baru saja aku duduk-duduk di pendapa bersama Ki Gede dan cucu-cucuku." berkata Ki Lurah, "sebenarnya cucu-cucuku memang ingin melihat suasana malam di Tanah Perdikan ini."
Ki Lurah berhenti sejenak. Sambil memandang kearah bilik cucu-cucunya Ki Lurah berkata perlahan-lahan sambil tersenyum, "Tetapi ketika mereka berada di jalan didepan rumah ini dan melihat suasana yang sangat sepi, maka keduanya menjadi ketakutan. Meskipun alasannya berbeda, namun aku tahu hal itu."
"Apakah mereka sudah tidur?" bertanya Glagah Putih.
"Agaknya belum. Tetapi mereka lebih senang berada di tempat yang terang daripada berada di gelapnya jalan-jalan pedukuhan. Sedangkan diterangnya lampu minyak, Rara Wulan tidak berani tidur didalam bilik sendiri. Terpaksa ia berada didalam biliknya ditungguioleh kakaknya yang juga tidak berani sendiri. Tetapi bersama adiknyaTeja Prabawa masih juga menjaga harga dirinya." jawab Ki Lurah.
"O" Glagah Putih mengangguk-angguk, "sebenar"nya aku ingin mengajak mereka berdua atau setidak-tidaknya Raden Teja Prabawa untuk melihat-lihat daerah ini di malam hari."
Ki Lurah tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ka"tanya, "Baiklah. Aku akan mengatakan kepadanya."
"Tetapi nampaknya ia tidak begitu senang kepadaku Ki Lurah. Kalau ia keberatan, jangan dipaksa." berkata Glagah Putih.
Ki Lurah tidak menjawab. Namun sambil tertawa ia bangkit dan melangkah ke bilik kedua cucunya.
Perlahan-lahan Ki Lurah mengetuk pintu bilik itu. Ter"nyata cucu-cucunya memang belum tidur. Nampaknya sua"sana sepi sangat mencengkam mereka.
Suara ketukan pintu itu membuat Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar. Namun kemudian terdengar suara kakeknya lembut, "Teja Prabawa, apakah kau belum tidur?"
"Kakek diluar?" bertanya Teja Prabawa.
"Ya." jawab Ki Lurah.
Raden Teja Prabawapun kemudian telah membuka pin"tu biliknya.
"Ada apa kek?" bertanya cucu Ki Lurah itu.
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Apakah kau masih ingin melihat-lihat Tanah Perdikan ini di malam hari?"
"Ah." desah Teja Prabawa.
"Jika kau masih ingin berjalan-jalan, maka Glagah Putih siap mengantarkanmu. Ia sekarang ada disini." ber"kata Ki Lurah.
"Untuk apa ia datang kemari?" bertanya Teja Pra"bawa.
"Anak itu terbiasa datang ke gardu-gardu dimalam hari. Kadang-kadang ke gardu didepan, tetapi pada kesempatan lain kegardu di padukuhan sebelah. Kemudian di gar"du yang lain lagi. Malam ini ia datang kemari." berkata Ki Lurah. Lalu, "Marilah. Temui anak itu. Aku sudah terlanjur berkata bahwa kau ingin melihat-lihat Tanah Per"dikan ini di malam hari."
"Aku tidak senang pada anak itu." berkata Teja Pra"bawa, "terlalu sombong dan tinggi hati. Seharusnya ia menyadari bahwa ia tidak lebih dari anak padukuhan yang bodoh dan dungu. Bagaimana mungkin ia dapat menyamai se"orang perwira muda dari Pasukan Khusus."
"Tetapi justru karena itu, maka ia akan dapat menjadi seorang pengantar yang baik. Agak berbeda dengan per"wira dari Pasukan Khusus. Kau benar-benar harus tunduk kepada kehendaknya." berkata Ki Lurah.
"Sudah larut malam kakek." akhirnya Teja Prabawa memotong.
"Marilah. Temui anak itu. Kau dapat berbicara dengannya." ajak Ki Lurah.
Teja Prabawa masih saja termangu-mangu. Ki Lurah yang tidak sabar lagi telah menarik tangannya sambil ber"kata, "Marilah."
Anak muda itu tidak dapat membantah. Namun Rara Wulanlah yang memanggil, "Kakek. Jangan tinggal aku sendiri."
"Marilah ikut ke serambi." ajak Ki Lurah.
Rara Wulanpun telah berlari-lari pula mengikuti kakek dan kakaknya keserambi.
Glagah Putih bangkit berdiri ketika Ki Lurah kemudian datang bersama Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan. Bahkan kemudian ia telah mengangguk hormat.
"Duduklah." berkata Ki Lurah. Lalu katanya kepada Teja Prabawa, "Nah, pergilah melihat-lihat suasana malam disini. Jangan takut. Disini cukup aman. Kau tidak akan bertemu dengan perampok atau penyamun atau penjahat lainnya."
"Kakek, apakah aku pernah mengatakan bahwa aku takut?" bertanya Teja Prabawa.
Ki Lurah mengerutkan keningnya. Namun iapun menarik nafas sambil berkata, "Ya. Kau memang tidak pernah mengenal takut. Karena itu, pergilah."
Ki Lurah berhenti sejenak. Lalu iapun berkata kepada Glagah Putih, "sebenarnya kau akan pergi kemana."
"Aku akan pergi ke sungai Ki Lurah." jawab Glagah Putih.
"Untuk apa malam-malam begini pergi ke sungai?" bertanya Ki Lurah.
"Aku mempunyai pliridan di sungai. Sore tadi aku telah membuka pliridan itu. Pada saat-saat menjelang tengah malam, pliridan itu dapat ditutup untuk pertama kalinya. Memang ada yang hanya menutup satu kali menje"lang dini hari. Tetapi dapat dilakukan dua kali. Jika kebetulan banyak ikan yang berkeliaran maka menutup pliridan dua kali lebih menguntungkan. Namun biasanya kita malas melakukannya, sehingga hanya dilakukan sekali saja di dini hari." jawab Glagah Putih.
"Menarik sekali." Rara Wulanlah yang menyahut, "apakah aku boleh ikut?"
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia menjawab, "Tetapi kita akan menuruni tebing. Jalan memang agak rumpil. Bagaimana jika Rara besok siang saja melihat pliridan itu."
"Tetapi bukankah saat menangkap ikan malam-malam begini?" bertanya Rara Wulan.
"Ya." jawab Glagah Putih.
"Nah, lebih baik aku ikut sekarang." berkata Rara Wulan.
"Aku sudah mengantuk." berkata Teja Prabawa, "besok saja kita pergi bersama perwira itu."
"Besok kita juga pergi." jawab Rara Wulan, "tetapi tentu tidak memungut ikan seperti malam ini. Besok kita pergi ke belumbang itu."
"Aku tidak mau." berkata Teja Prabawa.
"Kakek, aku akan pergi sendiri." berkata Rara Wulan kemudian.
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata kepada cucunya, "Pergilah. Antarkan adikmu yang ingin melihat cara memunguti ikan dari pliridan. Dimasa remaja aku juga sering melakukannya."
Teja Prabawa tidak dapat membantah lagi, Ia tidak mau dikatakan ketakutan memasuki gelapnya malam dan turun tebing sungai yang rumpil. Apalagi takut bertemu dengan perampok atau penyamun. Karena itu, maka katanya kemudian, "Baiklah. Aku membenahi pakaianku dahulu."
Glagah Putih masih harus menunggu sejenak. Ternyata justru Rara Wulan yang tidak mau dicegah. Bukan saja oleh Glagah Putih, tetapi juga oleh kakeknya. Seperti kakaknya, maka Rara Wulanpun telah membenahi pakaiannya pula.
Sejenak kemudian maka merekapun telah bersiap. Betapapun segannya, Teja Prabawa terpaksa ikut bersama Glagah Putih keluar regol halaman rumah Ki Gede untuk menuju ke sungai. Tetapi Glagah Putih masih akan singgah dahulu kerumah untuk mengajak pembantu rumahnya ber-sama-sama membuka pliridan.
Ternyata pembantu rumahnya hampir tidak sabar lagi. Ketika Glagah Putih mengajaknya, maka iapun telah bergeremang panjang lebar.
"Aku membawa dua orang kawan." berkata Glagah Putih, "dua orang kawan dari Kotaraja yang tidak terbiasa berjalan digelapnya malam. Ketika mereka berjalan dari rumah Ki Gede sampai kemari, ternyata mereka telah mengalami kesulitan, padahal diregol-regol halaman rumah pada umumnya terdapat obor atau lampu minyak atau obor biji jarak."
"Buat apa kau bawa mereka?" bertanya pembantunya, "bukankah hanya merepotkan kita saja?"
"Mereka ingin tahu, cara membuka pliridan" jawab Glagah Putih.
Keduanyapun kemudian telah menuju ke halaman depan sambil membawa alat-alat yang diperlukan, terutama cangkul dan kepis.
"Kenapa kau terlalu lama." bentak Raden Teja Pra"bawa.
"Kami mengambil alat-alat dibelakang, Raden." jawab Glagah Putih.
"Kita akan berjalan kemana?" bertanya Raden Teja Prabawa.
"Ke Sungai." jawab Glagah Putih.
"Maksudku, ke Barat, ke Timur atau ke Utara." geram Raden Teja Prabawa.
"O" Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. "Kita akan berjalan ke Barat. Menyusuri jalan induk, kemu-dian keluar ke bulak persawahan. Kita akan berjalan terus, mengambil jalan pintas dan kemudian mengikuti pematang sawah sampai ketebing."
"Kita tidak menelusuri jalan induk Tanah Perdikanmu?" bertanya Raden Teja Prabawa, "Bukankah lewat jalan induk kita akan sampai juga ke sungai seperti kau katakan kemarin?"
"Tetapi pliridan kami terletak agak jauh dari jalan ini." jawab Glagah Putih.
Raden Teja Prabawa termangu-mangu. Namun kemu"dian Glagah Putih berkata, "Kita membawa obor meskipun tidak terlalu besar. Kita akan membawa obor biji jarak kepyar kering. Kami mempunyai beberapa."
"Kau kira aku takut gelap?" bertanya Teja Prabawa marah.
Namun Rara Wulanlah yang menyahut, "Biarlah me"reka membawa obor, kakang. Barangkali lebih baik berjalan dalam cahaya obor daripada gelap sama sekali."
Glagah Putihpun kemudian telah mengambil beberapa batang obor biji jarak kepyar yang dirangkai dengan rautan bambu. Setiap tiga rangkai telah diikat menjadi satu, sehingga obor biji jarak itu menjadi cukup terang untuk berjalan dimalam hari.
Beberapa saat kemudian, maka dengan batu thithikan dan empat batang aren Glagah Putih telah membuat api, yang kemudian dinyalakan pada dimik-dimik belerang untuk menyalakan obor itu.
"Siapa anak itu?" bertanya Raden Teja Prabawa ketika dilihatnya pembantu rumah Agung Sedayu itu bersama mereka.
"Pembantu rumah kakang Agung Sedayu. Aku memang terbiasa pergi bersamanya." jawab Glagah Putih.
Raden Teja Prabawa tidak bertanya lagi tentang anak itu. Tetapi iapun kemudian berkata kepada Glagah Putih. "Kau yang membawa obor berjalan didepan."
"Baik Raden." jawab Glagah Putih.
Namun ketika pembantu rumahnya akan mengikuti pula berjalan didepan. Raden Teja Prabawa menarik pundaknya sambil membentak, "Siapa yang memerintahkanmu berjalan didepan" Kau berjalan dibelakangku."
Anak itu terkejut. Ia tidak biasa diperlakukan begitu kasar. Tetapi anak itu diam saja, karena menurut Glagah Putih kedua orang itu adalah anak muda dari Kotaraja. Apalagi ketika kemudian Glagah Putihpun berkata, "Kau berjalan dibelakang."
Demikianlah, maka iring-iringan itu lewat jalan induk menuju ke gerbang untuk keluar melintasi bulak. Digardu, dimulut jalan beberapa orang anak muda yang meronda memang agak heran melihat Glagah Putih berjalan sambil membawa obor. Ia tidak terbiasa berbuat demikian. Namun ketika mereka melihat kedua cucu Ki Lurah yang berada dirumah Ki Gede, maka merekapun mengerti, bahwa keduanyalah yang memerlukan obor. Tetapi agaknya mereka tidak mau membawa sendiri, sehingga Glagah Putihlah yang harus membawanya.
Anak-anak muda digardu itu sempat juga menyapa Glagah Putih. Namun mereka tidak berminat untuk berbicara dengan kedua cucu Ki Lurah yang menurut pendengaran mereka, keduanya adalah anak-anak muda yang tinggi hati. Sejenak kemudian, mereka berempatpun telah berjalan dibulak yang luas. Cucu-cucu Ki Lurah tidak melihat lebih jauh dari cahaya obor jarak. Agak berbeda dengan Glagah Putih dan pembantu rumahnya yang sudah terbiasa berjalan dalam gelapnya malam.
Ternyata kedua cucu Ki Lurah itu merasa ngeri juga berjalan digelapnya malam. Mereka memang tidak melihat apa-apa selain bintang diatas mereka. Tanaman disebelah menyebelah jalan yang mereka lalui yang tersentuh oleh cahaya obor. Dan tanah yang berdebu dibawah kaki mereka. Rasa-rasanya dunia disekitar mereka hanya berwarna hitam semata-mata.
Rara Wulan berjalan dekat dibelakang Glagah Putih. Raden Teja Prabawa disebelahnya agak belakang. Sementara itu pembantu dirumah Glagah Putih itu berjalan beberapa langlah di belakang mereka. Ketika mereka berbelok memasuki jalan kecil, rasa-rasanya malam menjadi semakin gelap. Apalagi ketika mereka kemudian melangkah diatas pematang.
"Jangan terlalu cepat." minta Rara Wulan.
"Salahmu." bentak Teja Prabawa, "sudah aku katakan, kita tidak perlu keluar malam ini."
Rara Wulan tidak menyahut. Meskipun hatinya men"jadi bergetar, tetapi ia tidak mengeluh lagi. Ia memang menyesal bahwa ia telah keluar malam itu.
Beberapa saat kemudian mereka telah sampai ketanggul sungai. Mereka harus menuruni tebing yang agak curam. Karena itu, maka Glagah Putih telah mendahului mereka dan dari bawah tebing ia telah mengangkat obornya untuk menerangi jalan setapak yang memang agak sulit itu.
Rara Wulan dan Teja Prabawa memang harus merangkak turun. Namun akhirnya mereka telah berada di pasir tepian. Gemericik air sungai rasa-rasanya bagaikan berirama. Karena pancaran obor yang dibawa oleh Glagah Putih maka batu-batu sungai yang hitam nampak bagaikai bermunculan dari dalam air.
Rara Wulan memang menjadi ketakutan. Tetap Glagah Putih berkata, "Marilah. Kita berjalan diatas pasir tepian menyusur naik. Kita akan sampai sebuah bendungan. Pliridan itu berada di bawah bendungan."
Mereka berempat kemudian telah menyusuri pasir tepian. Ketika mereka melewati bayangan pohon benda yang besar, rasa-rasanya kaki kedua cucu Ki Lurah itu tidak mai bergerak.
Demikian takutnya Rara Wulan, sehingga ia benar-benar berjalan hampir melekat dibelakang Glagah Putil yang membawa obor. Namun kedua cucu Ki Lurah itu sedikit merasa tenang ketika mereka melihat pembantu Glagal Putih berjalan biasa saja dibelakang mereka.
Ketika mereka harus melangkahi akar-akar raksass pohon benda yang menjulur sampai ketepian itu, Ran Wulan tidak dapat menahan diri lagi. Sehingga hampi diluar sadarnya ia berdesis, "Aku takut."
Raden Teja Prabawa tidak membentak adiknya karem ia sendiri juga menjadi ketakutan, sehingga kedua orang cucu Ki Lurah itu telah saling berpegangan.
Pembantu dirumah Glagah Putih itu memandang keduanya dengan heran. Ia memang dapat menduga bahwj keduanya menjadi ketakutan. Yang tidak diketahuinya apakah yang mereka takutkan. Padahal pada hari-hari yang lain ia kadang-kadang pergi sendiri tanpa membawa obor sama sekali tanpa merasa takut.
Tetapi anak itu berkata didalam hatinya, "Mungkin karena aku sudah terbiasa berjalan sendiri di tepian ini. Agaknya jika aku dilepaskan di Kotaraja, dalam ramainya orang-orang berlalulalang, akupun akan menjadi ketakutan pula."
Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah mendekati bendungan yang terbuat dari brunjung bambu yang diisi dengan batu-batu dan disisipi dengan dedaunan yang diikat kuat-kuat serta ditimbuni dengan tanah ditompang dengan patok-patok bambu yang kuat pula.
"Nah" berkata Glagah Putih, "ini adalah pliridan itu."
Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan memperhatikan bagian dari sungai itu yang dibatasi semacam pematang yang membelah sungai itu membujur panjang. Dibagian atas pliridan itu terbuka, bahkan pematang yang lain mem"bujur menyilang sungai itu hampir keseberang yang lain. Dengan demikian maka air sungai itu hampir seluruhnya telah mengalir melalui pliridan itu. Sementara bagian bahan telah ditutup rapat. Namun diberi sedikit bagian yang lebih rendah untuk memberikan jalan bagi air yang meluap. Dengan demikian maka dibagian dalam pliridan itu seakan-akan telah menjadi sebuah kolam yang tidak begitu dalam.
"Tunggulah ditepian." berkata Glagah Putih, "kami akan membuka pliridan ini."
Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan tidak menjawab.
"Bawalah obor ini Raden." minta Glagah Putih.
"Kau yang membawanya. Kau tidak berhak memerintah aku." bentak Raden Teja Prabawa.
"Kami berdua akan membuka pliridan ini, sehingga kami tidak akan dapat sambil memegang obor ini." berkata Glagah Putih kemudian.
"Itu terserah kepadamu." jawab Teja Prabawa.
"Baiklah. Jika demikian obor ini akan aku buang saja." desis Glagah Putih.
"Jangan." kedua cucu Ki Lurah itu hampir berbareng mencegahnya.
"Lalu bagaimana?" bertanya Glagah Putih.
"Berikan kepadaku." minta Rara Wulan.
Glagah Putihpun kemudian telah memberikan obor biji jarak kepyar itu kepada Rara Wulan.
Namun agaknya Raden Teja Prabawa merasa tidak enak, bahwa adik perempuannyalah yang membawa obor itu. Karena itu, maka obor itupun telah dimintanya.
Tetapi Rara Wulan menjawab, "Biarlah kakang. Aku justru merasa lebih tenang membawa obor ini ditanganku. Aku dapat menerangi tempat-tempat yang aku inginkan."
Raden Teja Prabawa tidak memaksa. Tetapi ternyata bahwa Rara Wulan memang membawa obor itu sambil ber"jalan mendekati Glagah Putih dan pembantunya yang kemudian sibuk menutup pintu air pada pliridannya.
Sementara pembantunya sibuk menutup pintu air dan membuka bendungan yang menyilang sungai itu, sehingga air dapat mengalir, maka Glagah Putih telah memasang wuwu dibagian bawah pliridan itu. Beberapa saat kemudian, maka airpun telah tertutup, sementara di bagian bawah, air mengalir keluar melalui wuwu. Namun ikan yang semula ada didalam pliridan itu justru telah masuk kedalam wuwu.
Ketika air menjadi semakin sedikit, maka seakan-akan air itu telah berkumpul dibagian tengah pliridan yang men"jadi semakin dangkal. Dengan segulung kelopak-kelopak batang pisang kering yang diikat, maka Glagah Putih dan pembantunya telah mendorong ikan yang ada di dalam air yang semakin dangkal itu dari ujung pliridan menuju ke ba"gian bawah yang telah dipasang wuwu.
Rara Wulan ternyata menjadi senang melihatnya. Dengan obornya ia melihat ikan yang terperangkap ke-dalam pliridan yang airnya sudah menjadi hampir mengering itu. Beberapa ekor ikan wader dan sepat berloncatan diair yang tinggal sedikit. Beberapa ekor ikan yang berwarna kehitaman bergejolak menghempas-hempaskan diri.
Tiba-tiba saja Rara Wulan melihat seekor ikan yang berwarna kemerah-merahan terkapar di pasir yang tidak lagi berair. Dengan serta merta ia memungut ikan itu. Na"mun ternyata ikan itu terlalu licin sehingga terlepas lagi dan bahkan masuk kedalam air ditengah-tengah pliridan itu.
"O, ikan itu terlepas." berkata Rara Wulan.
"Tidak apa-apa." sahut Glagah Putih, "ikan itu tidak akan dapat keluar dari pliridan."
Namun ketika seekor ikan yang berwarna kehitaman meloncat kepasir, maka dengan cepat Glagah Putih mencegah ketika Rara Wulan akan menangkapnya, "Jangan. Itu ikan lele."
"Kenapa?" bertanya Rara Wulan.
"Senjatanya berbahaya sekali. Disebelah-menyebelah kepalanya terdapat sepasang patil yang sangat tajam dan beracun. Jika kita terkena patilnya, maka bagi yang kurang mempunyai daya tahan akan dapat menjadi demam."
"Omong kosong." geram Raden Teja Prabawa.
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia menjawab, pembantu rumahnya telah berkata, "Apakah Raden akan mencoba memegangnya?"
Wajah Raden Teja Prabawa menjadi merah. Namun Glagah Putih cepat-cepat berkata, "Aku minta maaf untuk anak dungu itu Raden."
Anak itu memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Tetapi ia tidak merasa bersalah. Meskipun demikian ia tidak mengatakan sesuatu.
Sesaat kemudian maka Glagah Putih dan pembantunya telah melanjutkan kerja mereka setelah melemparkan ikan-ikan yang berloncatan keluar dari air yang sedikit itu kembali kedalam air dan menggiringnya kedalam wuwu.
Ketika seikat kelopak-kelopak batang pisang kering itu sampai didepan wuwu, maka dalam genangan air yang ting"gal sedikit sekelompok ikan dari berbagai macam jenis telah berloncatan. Namun sedikit demi sedikit ikan-ikan itupun telah masuk kedalam wuwu yang agak besar. Demikianlah, maka sejenak kemudian wuwu itupun telah diangkat dari dalam air dan dibawa ketepian.
"Tentu banyak ikannya." Rara Wulan hampir berteriak.
Namun tiba-tiba saja obor ditangannya menjadi semakin redup. Agaknya biji-biji jarak itu sudak hampir habis.
"Obornya akan padam." berkata Rara Wulan.
Namun Glagah Putih menyahut, "Aku masih mem"bawa yang lain. Itu terletak di atas batu dekat baju anak itu."
Rara Wulan termangu-mangu. Namun Glagah Putihpun berkata, "Tolong Raden. Ambilkan obor diatas batu itu."
"Kau ambil sendiri." bentak Raden Teja Prabawa.
"Seperti Raden lihat, aku baru sibuk bersama pembantuku." jawab Glagah Putih, "aku mohon maaf. Tolong barangkali adik Raden memerlukannya."
Raden Teja Prabawa menjadi marah. Tetapi ternyata bahwa Rara Wulanlah yang memintanya, "Tolong kakang. Sebelum obor ini mati."
"Anak cengeng." bentak kakaknya, "kenapa kau ikut?"
Rara Wulan yang mengenal kakaknya dengan baik itu"pun akhirnya berkata, "Baiklah. Jika kau tidak mau mengambil obor itu. Aku akan membiasakan melihat dalam gelap."
"Kenapa kau tidak mendengar kata-kataku tadi?" kakaknya masih saja membentak.
Tetapi sebenarnyalah Raden Teja Prabawa sendiri tidak ingin mereka kegelapan. Mesipun kemudian Rara Wulan berdiam diri, namun Raden Teja Prabawa itu telah melangkah ke sebuah batu ditepian.
"Kau bawa obor itu kemari." Raden Teja Prabawa hampir berteriak.
Rara Wulan memang mendekat, sementara Teja Pra"bawa telah mengambil obor yang terletak diatas batu dite"pian didekat baju pembantu Glagah Putih itu.
"Berikan obor itu kakang. Aku akan menyalakannya." berkata Rara Wulan.
Raden Teja Prabawa tidak membantah. Iapun kemu"dian memberikan obor itu dan membiarkan Rara Wulan menyalakannya dengan sisa obor yang terdahulu.
"Hampir terlambat." katanya, "untung masih tetap menyala."
Dengan obor itu, maka Rara Wulan telah berjongkok di sebelah Glagah Putih dan pembantunya disaat mereka menuang ikan dari dalam wuwu kedalam sebuah irig bambu yang agak besar. Sumbat pada pangkal wuwu itupun dicabut dan wuwu itupun telah dihentak-hentakkan diatas irig itu sehingga ikan yang terakhir telah jatuh kedalam irig itu.
"He, kau mendapat banyak ikan hari ini." berkata Rara Wulan yang nampak gembira sekali melihat ikan-ikan dari berbagai jenis yang bergelepak di dalam irig yang besar itu. Satu hal yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya.
"Kau heran melihat ikan-ikan sekecil lalat itu?" ber"tanya Teja Prabawa, "bukankah kau dapat membeli dipasar ikan apapun jenisnya dan seberapapun kau butuhkan. Bahkan ikan-ikan yang jauh lebih besar dari ikan-ikan kerdil di sungai yang kotor itu."
"Tetapi lain kakang. Kita memang dapat membeli. Tetapi mendapatkan ikan sendiri rasa-rasanya tentu lebih puas. Meskipun ikannya kecil-kecil. Tetapi diantaranya ada juga yang besar." jawab Rara Wulan.
Raden Teja Prabawa tidak berbicara lagi. Ia menjadi marah kepada adiknya. Tetapi ia harus menahan kemarahannya itu. Ia menyadari jika ia benar-benar marah kepada Rara Wulan, maka gadis nakal itu tentu akan berani membantah setiap kata-katanya. Sementara itu, orang terpenting bahkan termasuk golongan orang-orang yang berderajat tidak pantas untuk bertengkar dihadapan orang lain. Dengan demikian akan dapat menurunkan penghargaan orang kepada mereka.
Sejenak kemudian, Glagah Putih telah mencuci ikan yang didapatkannya didalam irignya yang besar itu. Kemu"dian memasukkannya kedalam kepis yang telah disiapkan untuk membawa ikan itu kembali.
Demikianlah setelah berbenah diri, maka merekapun mulai melangkah meninggalkan tempat itu. Namun pem"bantu Glagah Putih itu sempat menggerutu, "Malam ini kita hanya membuka pliridan ini sekali pada waktu yang tanggung."
"Kenapa?" bertanya Glagah Putih.
"Jangan pura-pura. Apakah setelah lewat jauh tengah malam begini kita akan dapat membuka pliridan ini sekali lagi?" bertanya pembantunya.
"Tetapi bukankah kadang-kadang kita memang hanya membuka sekali saja dalam satu malam?" Glagah Putih ganti bertanya.
"Tetapi tidak pada waktu seperti ini. Tetapi besok menjelang dini sehingga ikan yang ada didalam pliridar menjadi lebih banyak dari yang kita dapatkan." jawat pembantu rumahnya itu.
"Ah" desis Glagah Putih, "bedanya tidak akan seberapa."
Pembantu rumahnya itu tidak menjawab. Tetapi iapui segera menempatkan diri di urutan paling belakang, sebagaimana mereka berangkat. Perjalanan kembali itupun sama mendebarkannya sebagaimana saat mereka berangkat. Pohon benda itu masih tetap membuat bulu tengkuk cucu Ki Lurah itu meremang.
Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah merangkak naik tebing yang agak curam. Setelah itu, mereka berjalan melalui jalan sempit menuju ke padukuhan induk. Baru beberapa saat kemudian mereka memasuki jalan induk yang langsung menuju kegerbang padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh itu.
Demikian mereka memasuki padukuhan induk, maka Raden Teja Prabawa itu telah menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya mereka terlepas dari kesulitan yang mencengkam didalam satu masa hidupnya.
Rara Wulanpun pun merasa terlepas dari ketakutan yang mencengkam. Namun berbeda dengan Raden Teja Prabawa yang marah, Rara Wulan merasa mendapat satu pengalaman yang menarik dalam hidupnya. Di Tanah Per"dikan itu ia telah berhasil dengan selamat melakukan satu kerja yang sangat berbahaya menurut pendapatnya, serta melihat bagaimana mendapatkan sekepis ikan di sebuah sungai dengan membuat pliridan.
Ketika mereka lewat dimuka rumah Agung Sedayu, maka Glagah Putih telah bertanya kepada kedua cucu Ki Lurah, "Apakah kalian ingin membawa ikan itu kepada kakek kalian, Ki Lurah Branjangan?"
"Untuk apa?" bentak Raden Teja Prabawa, "bukankah kau tahu, bahwa kakek menjadi tamu dirumah Ki Gede" Kau tentu tahu, bahwa kami tidak akan dapat berbuat apa-apa dengan ikan itu. Apalagi kami memang tidak terbiasa makan ikan-ikan wader cethul seperti itu. Kami ter"biasa membeli ikan sungai yang bersih dan besar-besar."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Aku memang tahu. Tetapi aku kira bahwa sebaiknya aku menanyakannya sebagai sekedar basa-basi. Tetapi jika itu tidak menyenangkanmu, aku minta maaf."
"Persetan." geram Raden Teja Prabawa.
Glagah Putih hanya tersenyum saja. Tetapi iapun ke"mudian bertanya, "Raden, apakah Raden berdua dengan adik Raden dapat kembali tanpa kami ke rumah Ki Gede?"
"Maksudmu?" bertanya Raden Teja Prabawa.
"Jika Raden berdua dapat kembali tanpa kami, maka kami akan langsung pulang. Hari sudah terlalu malam." jawab Glagah Putih.
Wajah Raden Teja Prabawa menjadi merah. Untunglah bahwa dimalam hari, kemarahannya tidak nampak terlalu jelas. Namun dengan geram ia berkata, "Kau harus mengikuti aku. Meskipun aku tidak takut pulang tanpa kau, te"tapi kau harus ikut aku sampai kerumah Ki Gede. Aku tidakpeduli apakah malam telah larut atau bahkan sudah pagi sekalipun. Bahkan seadainya siang hari. Kau memang tidak perlu mengantar kami. Tetapi kau memang harus mengikuti kami."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Lalu kata"nya kepada pembantunya, "Bawa ikan dan alat-alat ini masuk. Aku akan pergi ke rumah Ki Gede mengikuti Raden Teja Prabawa dan adiknya."
Pembantu dirumah Glagah Putih itu tidak menjawab. Tetapi ia sama sekali tidak senang melihat sikap kedua cucu Ki Lurah Branjangan itu.
Demikianlah Glagah Putih harus membawa keduanya kembali dan menyerahkannya kepada Ki Lurah. Sambil ter"senyum Ki Lurah yang terbangun karena ketukan pada pin"tu biliknya menerima kedua cucunya sambil tersenyum.
"Apa yang kalian lihat?" bertanya Ki Lurah.
"Tidak ada apa-apa kecuali gelap." jawab Raden Teja Prabawa.
Tetapi Rara Wulan menjawab, "Kami melihat bagaimana caranya seseorang mencari ikan dengan pliridan. Anak itu mendapat ikan sepenuh tempat ikannya."
"Ikan-ikan sebesar cebong katak yang baru menetas. Wader cethul dan jenis-jenis ikan yang tidak berharga, yang hanya pantas untuk memberi makan seekor kucing." sahut Raden Teja Prabawa.
"Tidak." sahut Rara Wulan, "beberapa ekor ikan lele yang besar, sepat, wader merah dan beberapa jenis ikan yang lain."
Ki Lurah tertawa. Katanya, "Nilainya tidak terletak pada jenis ikannya, atau barangkali pada harga ikan yang didapatnya, tetapi keberhasilan satu usaha memberikan kepuasan tersendiri."
"Apakah kakek dapat mengatakan usaha itu berhasil?" bertanya Raden Teja Prabawa.
"Ya. Itu adalah hasil usahanya." jawab Ki Lurah Branjangan, "dalam keadaan yang khusus, orang-orang yang demikian akan dapat memenuhi keperluan mereka sendiri. Mungkin seseorang yang merasa dirinya mempunyai uang cukup untuk membeli apa saja yang diinginkan, pada satu saat akan kehilangan kesempatan untuk mempergunakan uangnya. Mungkin ia akan terdampar di satu tem"pat dimana tidak ada seorangpun yang berjualan apapun atau barangkali uang yang pernah dimilikinya itu habis karena satu sebab. Orang yang demikian biasanya akan menjadi bingung dan tidak tahu apa yang dilakukannya."
"Kakek terlalu cemas menghadapi keadaan." berkata Raden Teja Prabawa, "jika kita memiliki kemampuan un"tuk mengumpulkan kekayaan, maka kita tidak akan kekeringan."
"Meskipun tidak selalu demikian, tetapi aku dapat mengerti, bahwa kemungkinan untuk tetap mempertahan"kan tingkat kehidupan akan dapat dilakukan. Tetapi oleh orang yang berkepentingan. Anak cucu mereka tidak akan dapat ikut menepuk dada. karena apa yang terjadi kemu"dian mungkin jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada orang-orang tuanya." jawab Ki Lurah Branjangan.
Telinga Raden Teja Prabawa menjadi panas. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Iapun menyadari bahwa kakeknya bukan saja seorang yang sabar, tetapi juga seorang yang kuat pada keyakinannya. Sebagai seorang Senapati, maka Ki Lurah Branjangan memang mempunyai sifat seorang prajurit.
Karena itu, maka Raden Teja Prabawa itupun melangkah menuju ke biliknya. Namun Ki Lurah telah berkata, "Kau harus membersihkan kaki dan tanganmu di pakiwan."
Raden Teja Prabawa tertegun. Sementara Ki Lurah ber"kata, "Ajak adikmu bersamamu."
Keduanya memang harus pergi ke pakiwan untuk mem"bersihkan kaki dan tangan mereka.
Sementara mereka berdua pergi ke pakiwan, maka Ki Lurah berkata, "di setiap kesempatan, bawa mereka ketempat yang memberikan kesan tersendiri kepada me"reka. Ternyata adiknya memiliki tanggapan yang lebih baik atas pengalamannya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan mereka akhirnya akan terbiasa dengan keadaan Tanah Perdikan ini."
Ki Lurah tersenyum. Sementara itu Glagah Putihpun telah mohon diri untuk pulang kerumahnya.
Didalam biliknya Raden Teja Prabawa tidak habis-habisnya menggeremang. Bahkan marah-marah, karena apa yang harus dilakukannya sama sekali tidak menarik minatnya.
"Anak itu memang gila." geramnya.
Rara Wulan tidak menjawab. Ia memang mempunyai kesan tersendiri meskipun ia mengakui didalam dirinya, bahwa ia menjadi sangat ketakutan ketika mereka berjalan dibawah pohon benda raksasa ditepian itu.
"Tetapi itu sudah lewat. Dan aku selamat." berkata Rara Wulan didalam hatinya.
Meskipun Raden Teja Prabawa itu masih saja marah didalam hatinya namun akhirnya iapun telah tertidur pula. Tetapi Rara Wulan ternyata dapat lebih cepat tidur dari kakaknya.
Dirumahnya, pembantu Glagah Putih itu ternyata juga menggeremang. Sambil membersihkan alat-alat yang dibawanya ia berkata, "Kenapa ikan itu kau tawarkan kepa"da anak-anak cengeng itu?"
"Aku tahu mereka tidak akan mau menerima." jawab Glagah Putih.
"Kalau saja mereka mau, kau harus mengganti. Aku tidak peduli darimana saja kau mendapatkannya." geram anak itu.
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Aku akan menukarmu dua kali lipat."
Anak itu tidak menjawab. Tetapi tangannya sajalah yang sibuk menghimpun alat-alatnya.
"Tidurlah." berkata Glagah Putih, "besok kau terlambat bangun."
Anak itu masih tetap berdiam diri. Namun iapun telah pergi ke biliknya. Sementara Glagah Putih telah berbaring pula di pembaringannya. Seperti biasanya, maka Glagah Putih tidak terlambat bangun. Demikian pula seisi rumah yang lain, termasuk pembantunya. Ketika matahari terbit mereka sudah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.
Dalam pada itu, ternyata perwira muda dari Pasukan Khusus itu pagi-pagi telah berada di padukuhan induk Tanah Perdikan. Demikian matahari terbit, Wirastama, per"wira muda itu, telah memasuki gerbang halaman rumah Ki Gede.
"Selamat pagi Ki Lurah." Wirastama mengangguk hormat ketika ia melihat Ki Lurah duduk di serambi gan-dok.
"Marilah anakmas." Ki Lurah itu mempersilahkan, "masih sangat pagi anakmas sudah sampai disini. Apakah anakmas tidak bertugas?"
"Hari ini aku telah dibebaskan dari tugas-tugasku Ki Lurah. Tetapi aku mendapat tugas khusus untuk membantu Ki Lurah dan cucu-cucu Ki Lurah disini." jawab per"wira muda itu.
Tetapi Ki Lurah tersenyum sambil menjawab, "Me"reka belum bangun."
"He?" perwira itu memang agak terkejut. Matahari sudah terbit, tetapi mereka belum bangun. Kemudian perwira muda itupun berkata, "Baiklah. Aku akan menunggu. Barangkali ketenangan di tempat ini membuat mereka tidur terlalu nyenyak."
"Mereka semalam pergi ke sungai." berkata Ki Lurah.
"Kesungai?" bertanya Wirastama, "untuk apa?"
"Menutup pliridan bersama Glagah Putih." jawab K Lurah.
Wajah Wirastama berkerut. Hampir diluar sadarnya is bertanya, "Apakah Rara Wulan juga terlambat bangun?"
"Ya" jawab Ki Lurah, "keduanya memang pergi ke sungai semalam."
"Rara Wulan juga turun ke sungai yang curam itu." desak Wirastama.
"Ya. Tetapi sungai itu tidak begitu curam. Memang agak rumpil. Tetapi seandainya seseorang terjatuh dari atas tanggul ke pasir tepian tidak akan merasa sakit." jawab Ki Lurah.
"Tetapi bagi seorang gadis perjalanan di malam hari turun ke sungai itu tentu berbahaya." sahut perwira muda itu, "apakah mereka pergi bersama Ki Lurah?"
"Tidak. Hanya bersama Glagah Putih." jawab Ki Lu"rah.
Perwira muda itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata perlahan. "Sebaiknya hal itu tidak dilakukan. Mungkin mereka tergelincir. Mungkin seokor ular mematuk kaki mereka atau mungkin mereka bertemu seorang penjahat di jalan."
Ki Lurah tertawa. Katanya, "Tidak ada yang perlu dicemaskan. Meskipun disungai itu kadang-kadang ada ular, tetapi Glagah Putih sudah sangat berpengalaman turun ke sungai itu. Setiap malam ia membuka pliridannya. Bahkan jika ia tidak malas, semalam dilakukannya dua kali."
"Orang-orang kekurangan harus bekerja keras. Ikan yang didapatkannya akan dapat memperingan beban mereka, karena mereka tidak perlu pergi ke pasar membelanjakan uangnya yang memang hanya sedikit. Tetapi pergi ke sungai tetap berbahaya bagi orang lain." berkata Wirastama.
Ki Lurah menggeleng. Katanya, "Aku tinggal cukup lama disini saat aku membentuk Pasukan Khusus itu. Aku tahu bahwa disini jarang sekali terdapat tempat-tempat berbahaya. Meskipun alam nampaknya keras, tetapi rasa-rasanya cukup akrab dengan para penghuninya."
"Tetapi cucu Ki Lurah bukan penghuni Tanah Perdikan ini." sahut Wirastama.
"Aku ingin mereka belajar menyesuaikan diri dengan kehidupan yang keras ini. agar mereka mendapatkan pengalaman yang berharga bagi hidup mereka. Agar mereka tidak menyangka bahwa hidup di Mataram ini sebagaimana dilihatnya di Kotaraja. Itupun hanya bebe"rapa bagian tertentu. Rumah-rumah yang besar. Halaman yang luas. Pelayan yang siap melakukan perintahnya apapun yang harus dilakukan. Tercukupi semua kebutuhannya dan selebihnya tidur mendengkur." berkata Ki Lurah, "disini mereka melihat kehidupan yang lain. Kerja keras. Keakraban dengan alam dan dengan sesama justru untuk saling membantu. Nafas kehidupan yang menyatu dengan Kuasa Sumber Hidup mereka."
Perwira dari Pasukan Khusus itu termangu-mangu se"jenak. Agahnya Ki Lurah sendirilah yang mendorong cucu-cucunya untuk melakukan pekerjaan yang berbahaya. Dan bukan saja berbahaya, tetapi kenapa harus bersama anak Tanah Perdikan itu, sementara ia sudah menyatakan kesanggupannya untuk mengantarkan mereka melihat-lihat Tanah Perdikan ini. Tetapi Wirastama itu merasa masih belum terlambat. Ia masih mempunyai banyak kesempatan.
Dalam pada itu, maka Ki Lurahpun berkata, "Tunggulah sebentar. Biarlah aku membangunkan mereka."
"Biar saja Ki Lurah. Agaknya mereka memang letih. Aku akan menunggu." jawab perwira muda itu.
Tetapi Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Biarlah, agar mereka tidak terbiasa bangun terlalu siang. Semua orang sudah ada pada tugas masing-masing, sementara mereka masih tidur nyenyak."
Perwira itu tidak mencegahnya lagi. Sebenarnya ia me"mang ingin cucu-cucu Ki Lurah itu segera bangun, mandi dan berjalan-jalan bersama.
Sejenak kemudian, maka Ki Lurahpun telah memba"ngunkan kedua cucunya. Meskipun beberapa kali mereka menggeliat dan memejamkan matanya lagi. Namun Ki Lurah tidak henti-hentinya membangunkan mereka.
"Aku masih mengantuk, kek." gumam Teja Prabawa.
"Bangun. Wirastama telah sampai disini, kalian masih saja tidur mengdengkur. Bangun, cepat benahi dirimu." berkata Ki Lurah.
Teja Prabawa memang segera bangkit. Sambil mengusap matanya ia bertanya, "Jadi perwira muda itu telah berada disini sepagi ini?"
"Lihatlah dila serambi, sudah menunggu beberapa lama." jawab Ki Lurah.
Teja Prabawapun segera bersiap-siap untuk mandi. Se"mentara itu Rara Wulan masih saja berbaring di pembaringan.
"Cepat, bangun." bentak kakaknya. Lalu, "Kau saja dahulu yang mandi. Kau memerlukan waktu lebih lama dari aku untuk berpakaian dan berbenah diri."
"Tidak." jawab Rara Wulan, "jika kita mulai bersama-sama, maka tentu lebih cepat. Kau berhias melampaui perempuan. Untuk mengatur rambutmu, kau memerlukan waktu dua kali lipat dari aku."
"Aku memakai ikat kepala. Waktu yang lebih lamaku pergunakan untuk mengenakan ikat kepala itu." jawab Teja Prabawa.


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, karena itu, kau sajalah yang mandi lebih dahuli." jawab Rara Wulan sambil menggeliat.
"Jangan terlalu malas Wulan." desis Ki Lurah Brar jangan, "seharusnya kau bangun sebelum matahari terbit, membantu di dapur dan menyediakan minuman bagi kakek."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi perlahan-lahan i bangkit dan duduk dibibir pembaringannya.
"Cepatlah." desak kakaknya.
"Kau saja dahulu." sahut Wulan.
Ki Lurahlah yang kemudian menengahi, "Kau sajalah yang pergi ke pakiwan Teja. Kau dapat segera menemui Wiratama yang sudah terlalu lama menunggu."
Teja Prabawa tidak membantah lagi. Iapun kemudian pergi ke pakiwan untuk mandi.
Perwira muda dari Pasukan Khusus itu memang men"jadi gelisah. Ia sudah cukup lama menunggu. Namun yang kemudian keluar menemuinya adalah Ki Lurah lagi.
"Mereka baru mandi." berkata Ki Lurah.
Perwira muda itu menyembunyikan kegelisahannya. Katanya, "Biar saja Ki Lurah. Aku tidak tergesa-gesa."
Beberapa saat kemudian Teja Prabawa telah selesai berbenah diri. Iapun telah keluar ke serambi gandok mene"mui Wirastama yang sudah menunggunya.
"Nah." berkata Ki Lurah, "cucuku sudah selesai. Silahkan duduk bersamanya, aku akan menemui Ki Gede yang barangkali sudah ada di ruang dalam itu."
"Silahkan, silahkan Ki Lurah." jawab Wirastama.
Ki Lurahpun kemudian meninggalkan kedua anak muda yang duduk diserambi itu. Tetapi ia singgah ke bilik Rara Wulan, yang nampaknya masih saja seenaknya ber"benah diri, meskipun ia sudah mandi.
"Cepat sedikit." berkata Ki Lurah, "jika kau ingin berjalan-jalan bersama kakakmu dan barangkali bersama Wirastama, jangan berangkat terlalu siang."
"Aku masih lelah, kek." berkata Wulan.
"Katakan kepada kakakmu. Tetapi sebaiknya kau selesaikan berbenah diri dan ikut menemui Wirastama dise"rambi." berkata Ki Lurah pula. Lalu katanya, "Aku akan ke ruang dalam."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian telah menyisir rambutnya.
Ketika Ki Lurah masuk keruang dalam, Ki Gede memang sudah duduk sambil menghadapi minuman hangat. Ketika ia melihat Ki Lurah, maka iapun kemudian mempersilahkannya duduk. Katanya, "Aku kira Ki Lurah masih sibuk dengan cucu-cucu Ki Lurah."
"Itulah." sahut Ki Lurah, "sebenarnya mereka sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya sendiri. Teta"pi mereka terlalu terbiasa dilayani, sehingga kadang-kadang mereka tidak tahu, apa yang sebaiknya dilakukan."
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Mereka memang memerlukan pengalaman. Tetapi Ki Lurah tidak akan dapat mengharapkan perubahan yang tiba-tiba terjadi atas me"reka."
Ki Lurahpun tersenyum pula. Katanya, "Memang me"reka tidak akan berubah dengan serta merta Ki Gede. Te"tapi pengalaman yang mereka peroleh disini akan memberikan pengetahuan kepada mereka sehingga untuk selanjutnya mereka akan memperhitungkannya disaat-saat me"reka harus mengambil sikap, khususnya yang menyangkut lingkungannya."
Ki Gedepun mengangguk-angguk. Katanya, "Aku kira pengaruh itu tentu akan ada pada saat-saat mendatang, Meskipuh demikian masih dipertanyakan sebesar manakar pengaruh itu mewarnai sikapnya."
Ki Lurah tertawa. Katanya, "Mudah-mudahan usaha ku tidak sia-sia."
Dalam pada itu, maka seorang pembantu dirumah K Gedepun telah menghidangkan minuman dan makanan pula. Sementara Ki Gede berkata kepada pembantu itu, "Jangan lupa. Digandok ada dua orang cucu Ki Lurah. Dan bahkan seorang tamu, seorang perwira dari Pasukai Khusus."
Di gandok, Teja Prabawa telah dengan penuh minat mendengarkan pembicaraan perwira muda ini. Meskipu perwira muda itu baru beberapa lama berada di Tanah Perdikan, tetapi rasa-rasanya ia sudah mengenal semua sudut Tanah Perdikan itu.
"Aku mengenal Tanah Perdikan ini melampaui orang-orang Tanah Perdikan ini sendiri." berkata Wirastama.
Teja Prabawa mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa Wirastama mengenal Tanah Perdikan itu dengan baik. Ka"rena itu maka katanya, "Apa yang pantas untuk dilihat di Tanah Perdikan ini" Glagah Putih pernah menyebutkan sebuah telaga kecil yang biasa dipergunakan sebagai tempat mandi. Atau daerah hutan lebat di lereng pebukitan di sebelah Barat. Atau barangkali ada tempat lain yang mena"rik."
Wirastama tersenyum. Katanya " Yang ada itu bukan sebuah telaga meskipun kecil. Hanya sebuah belumbang yang oleh orang-orang disekitarnya dipergunakan untuk mandi dan mencuci pakaian. Tetapi jika kalian ingin me"lihat dan barangkali mandi di belumbang itu, aku akan mengantar kalian kesana."
"Apakah belumbang itu dalam?" bertanya Teja Prabawa.
"Ada bagian yang dalam, tetapi ada bagian yang tidak terlalu dalam. Apakah kau pandai berenang?" bertanya Wirastama.
"Sedikit." jawab Teja Prabawa.
"Adikmu?" bertanya Wirastama hampir diluar sadarnya.
"Juga sedikit-sedikit." jawab Teja prabawa pula.
"Nah, jika demikian, marilah. Kita pergi ke belum"bang." ajak Wirastama.
"Baiklah. Aku akan berbicara dengan Wulan." sahut Teja Prabawa.
Teja Prabawapun kemudian menemui Rara Wulan yang masih berada didalam biliknya meskipun ia sudah selesai berbenah diri. Dengan agak mendesak ia berkata, "Cepatlah sedikit. Kita akan pergi ke belumbang. Kita dapat man"di di belumbang itu."
"Kita baru saja mandi." jawab Rara Wulan.
"Tetapi tentu lain dengan mandi di belumbang. Yang penting bukan mandi membersihkan diri. Tetapi kita dapat berenang-renang sambil berendam." gumam Teja Pra"bawa.
"Apakah kau dapat berenang tanpa berendam di air?" bertanya Rara Wulan.
"Ah, sudahlah. Cepatlah sedikit. Wirastama sudah menunggu terlalu lama." ajak Teja Prabawa.
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian bangkit dan melangkah keluar. Sebenarnyalah ia memang ingin melihat belumbang itu. Ketika mereka sampai diserambi, maka ternyata hidangan telah disuguhkan oleh pembantu dirumah Ki Gede itu. Karena itu, maka sebelum mereka berangkat, me"reka sempat meneguk minuman hangat dan makan bebe"rapa potong makanan, kecuali Rara Wulan yang agaknya segan makan-makanan dihadapan perwira muda itu.
"Marilah." ajak Wirastama, "selagi matahari belum tinggi."
"Aku minta diri pada kakek dan Ki Gede." berkata Teja Prabawa.
"Aku juga." desis Rara Wulan.
"Kau disini saja." minta kakaknya, "aku saja yang minta diri."
Tetapi Rara Wulan tidak mau. Iapun justru telah mendahului kakaknya menuju ke ruang dalam.
Kakeknya berpaling. Lalu katanya, "Kemarilah. K Gede duduk disini. Duduklah dan kau akan berbicar apa?"
Rara Wulanpun mendekat. Sambil menunduk iapui duduk disisi kakeknya, sementara Teja Prabawapun telah menyusulnya pula dan duduk pula disebelahnya.
"Kek." berkata Raden Teja Prabawa kemudian, "kami akan berjalan-jalan."
"Dengan siapa?" bertanya Ki Lurah.
"Dengan Wirastama." jawab Teja Prabawa.
"Glagah Putih sebentar lagi tentu datang kemari. Apakah kau tidak menunggunya" Barangkali kalian dapat pergi bersama-sama?" bertanya kakeknya.
"Buat apa menunggu anak sombong itu." desis Teja Prabawa.
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Gede berkata, "Glagah Putih tentu lebih mengenali Tanah Perdikan ini daripada Wirastama."
"Tidak." jawab Teja Prabawa, "Wirastama jauh lebih banyak mengenali Tanah Perdikan ini dari anak dungu itu."
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Glagah Putih mengenal isi Tanah Perdikan ini seperti mengenali isi rumahnya yang kecil itu. Glagah Putih mengenal semua orang yang tinggal di Tanah Perdikan ini seperti mengenal orang-orang seisi rumahnya pula."
Tetapi Teja Prabawa seakan-akan tidak percaya kepada keterahgan Ki Gede itu. Karena itu, maka ia masih menja"wab, "Tetapi apa yang diceriterakan oleh Wirastama itu le"bih beraneka tentang isi Tanah Perdikan ini daripada yang dikatakan oleh anak itu."
Ki Gede masih saja tersenyum. Jawabnya, "Kadang-kadang seseorang nampak lebih kaya dari seorang yang sebenarnya jauh lebih kaya hanya karena pakaiannya."
Teja Prabawa mengerutkan keningnya. Sementara itu Ki Lurah pun berkata, "Ki Gede adalah orang yang paling mengetahui di Tanah Perdikan ini, karena itu maka apa yang dikatakannya tentu bukan sekedar dibuat-buat."
Cucu Ki Lurah itu memang tidak menjawab. Tetapi ia tetap tidak percaya. Adalah wajar jika Ki Gede menganggap orangnya lebih baik dari seorang perwira Pasukan Khusus sekalipun. Sedangkan menurut Teja Prabawa, Gla"gah Putih belum sehitamnya kuku perwira muda yang bernama Wirastama itu.
Dalam pada itu, Ki Gedepun kemudian berkata, "Baiklah. Tetapi berhati-hatilah."
"Jangan terlalu lama." pesan Ki Lurah.
"Baik Ki Gede. Kami mohon diri kek." desis Teja Prabawa.
"Aku juga minta diri kek." desis Rara Wulan.
"Kau juga ikut?" bertanya kakeknya.
"Aku ingin melihat belumbang itu." jawab Rara Wu"lan, "katanya kita dapat mandi di belumbang itu."
"Tetapi kau harus memilih. Belumbang itu dibagi menjadi dua bagian. Yang sebagian memang dapat dipergunakan untuk mandi. Tetapi di bagian yang lain, belum"bang itu sangat dalam. Nampaknya memang menyenangkan untuk berenang. Namun kadang-kadang terdapat pusaran air yang berbahaya yang dapat menyeret seseorang ke dalam lubang batu padas yang tidak diketahui arahnya. Sedangkan tidak seorangpun dapat memperkirakan, kapan pusaran itu datang. Karena begitu tiba-tiba dan tidak disangka-sangka." pesan Ki Gede.
"Nah, kau dengar." Ki Lurah menyambung, "kau tentu menyadari apa yang akan terjadi jika seseorang terhisap oleh pusaran air masuk ke lubang batu padas."
"Hal itu memang pernah terjadi Ki Lurah." berkata Ki Gede. Lalu, "Agaknya dibawah belumbang itu terdapat sebuah ruang yang besar, Setiap kali ruang itu berkurang isinya karena melalui arus dibawah tanah mengalir. Setiap saat tertentu, maka kekurangan itu harus diisi jika keseimbangan udara didalamnya telah tercapai. Dengan demi"kian maka diatasnya akan timbul pusaran air disaat air itu masuk mengisi ruang dibawah tanah itu."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Sambil menepuk bahu cucu perempuannya ia berkata, "Berhati-hatilah. Kau dengar pesan Ki Gede. Karena itu, jika kau mandi juga, jangan terpisah dari orang-orang lain, terutama orang-orang disekitar tempat itu yang sudah mengenali tabiat belumbang itu dengan baik."
"Ya kakek." jawab Rara Wulan.
Namun dalam pada itu Teja Prabawa berkata, "Wiras"tama tentu mengetahui hal itu."
K i Lurah dan Ki Gede hanya dapat saling berpandangan. Agaknya Teja Prabawa memang terlalu mengagumi per"wira muda dari Pasukan Khusus itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka bertigapun telah berangkat. Matahari memang sudah mulai memanjat langit. Tetapi belum terlalu tinggi.
"Apakah kau pernah melihat pasar di Tanah Perdikan ini?" bertanya Wirastama.
"Belum." jawab Teja Prabawa.
"Marilah. Kita melihat pasar. Tentu menarik. Berbeda dengan pasar di Kotaraja. Ketika aku ditugaskan di tempat ini setelah untuk waktu yang agak lama di Kotaraja, maka akupun tertarik melihat pasar disini. Memang tidak seramai di Kotaraja. Tetapi kita akan melihat orang-orang yang menurut kalian tentu aneh. Pertama kali aku melihat, aku juga merasa aneh. Begitu sederhana dan pada umumnya nampak dungu." berkata Wirastama.
Teja Prabawa mengangguk. Lalu katanya kepada Rara Wulan, "Kita singgah dipasar sebentar."
Rara Wulan hanya mengangguk saja. Ia memang ingin melihat apa saja di Tanah Perdikan itu.
Karena itulah, maka mereka bertigapun telah singgah di pasar yang terletak di padukuhan induk Tanah Perdikan. Teja Prabawa dan Rara Wulan memang pernah lewat pasar itu pula. Tetapi mereka belum pernah masuk sampai keda"lamnya dan melihat apa saja yang diperjualbelikan dipasar itu.
"Seperti kuburan." berkata Teja Prabawa.
"Kenapa?" bertanya Wirastama.
"Gubug-gubugnya terlalu rendah. Yang terbuat dari kayu justru mirip cungkup di kuburana. Apalagi disaat pasar ini kosong lewat tengah hari. Lebih-lebih lagi menjelang senja."
"Tetapi orang-orang disekitar tempat ini tahu, bahwa disini terdapat sebuah pasar, bukan kuburan." sahut Rara Wulan.
"Ya." Wirastama mengangguk-angguk. Lalu, "disini juga tidak terdapat pohon semboja."
Teja Prabawa hanya mengangguk-angguk saja, semen"tara Rara Wulan tiba-tiba saja bertanya, "Apakah yang dijual itu?"
Karena Teja Prabawa juga tidak tahu, maka iapun berpaling kepada Wirastama yang menjawabnya, "Ampo. Makanan yang dibuat dari tanah liat."
"Tanah liat" Bagaimana mungkin?" bertanya Rara Wulan pula.
"Ya. Tanah liat." jawab Wirastama. "benar-benar tanah liat yang digores tipis-tipis. Mula-mula tanah liat itu dibuat bulatan seperti roda pedati yang besar tebal dan tanpa lubang di tengah selain porosnya."
Rara Wulan mengerutkan keningnya. Ia agak kurang dapat memahami keterangan Wirastama. Namun disebelahnya ternyata terdapat apa yang dikatakan Wirastama itu. Seperti roda yang terbuat dari tanah liat. Dikesrik dengan welat bambu, sehingga berjatuhan lapisan-lapisan tipis yang bergulung. Kemudian tanah liat itu dipanasi diatas kuali yang juga terbuat dari tanah liat tanpa minyak.
Rara Wulan menggeleng-gelengkan kepalanya. Hampir diluar sadarnya ia berkata, "Bagaimana jika kualinya itu saja yang dimakan?"
Wirastama tertawa. Katanya, "Sudahlah. Marilah kita lanjutkan perjalanan. Bukankah kita akan pergi ke belum"bang?"
Kedua cucu Ki Lurah itu tidak menjawab. Namun me"reka bertiga telah melangkah meninggalkan pasar itu tanpa menyadari, bahwa beberapa orang tengah memandangi me"reka dengan mulut ternganga. Namun beberapa orang telah mengetahui bahwa kedua orang yang dikawani oleh seorang prajurit dari Pasukan Khusus itu adalah tamu Ki Gede dari Kotaraja.
"Menilik pakaian dan tanda-tanda yang ada pada pakaiannya, prajurit itu tentu seorang perwira." berkata seorang anak muda yang kebetulan ada di pasar itu.
Namun diantara mereka yang memperhatikan ketiga orang itu adalah seorang perempuan yang menjinjing sebuah keranjang yang berisi beberapa jenis sayur-sayuran. Perempuan yang habis berbelanja untuk kepentingan sehari-hari. Perempuan itu adalah Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah tidak memperhatikan mereka lebih lama. Iapun kemudian meninggalkan pasar itu pula, karena ia sudah cukup berbelanja buat hari itu, sementara dirumah telah ada ikan hampir sekepis penuh. Namun dirumah, Sekar Mirah sempat berceritera bahwa ia telah bertemu dengan kedua cucu Ki Lurah.
"Aku belum pernah melihat dengan jelas keduanya. Tetapi aku yakin, bahwa keduanya itulah yang dikawani oleh seorang perwira dari Pasukan Khusus." berkata Sekar Mirah.
Glagah Putih mengangguk-angguk sambil menyahut, "mBokayu benar. Perwira itu bernama Wirastama. Dari Pasukan Khusus?"
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Lalu iapun bertanya, "Jadi kau tidak lagi menemaninya?"
"Cucu Ki Lurah itu tidak senang kepadaku. Aku takut bahwa pada suatu saat aku kehilangan kendali sehingga aku menyakiti hatinya." berkata Glagah Putih.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Kau bukan kanak-kanak lagi. Glagah Putih. Pengalamanmu cukup luas. Kau telah menjelajahi banyak daerah. Kau telah mengalami banyak sekali peristiwa. Kau harus yakin akan dirimu sendiri, sehingga kau tidak akan mudah merasa rendah diri."
"Aku tidak merasa rendah diri kakang. Tetapi sudah tentu aku justru harus mempertahankan harga diri." jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu menepuk bahu sepupunya itu sambil berkata, "Kau harus yakin akan kelebihanmu. Karena itu, maka jangan hiraukan tingkah lakunya."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara Agung Sedayu berkata pula, "Lihatlah, kemana mereka pergi."
"Wirastama sudah mengantar mereka." berkata Glagah Putih.
"Anak muda itu belum mengenal semua rahasia yang ada di Tanah Perdikan ini. Berbeda dengan kau atau aku." berkata Agung Sedayu pula.
"Tetapi aku tidak tahu kemana mereka pergi." jawab Glagah Putih.
"Bertanyalah kepada Ki Lurah." minta Agung Sedayu.
Glagah Putih tidak dapat menolak. Iapun kemudian berbenah diri dan dengan langkah segan pergi ke rumah Ki Gede setelah makan pagi.
"Marilah." Ki Lurah yang telah berada diserambi mempersilahkan.
Glagah Putihpun kemudian duduk bersama Ki Lurah diserambi.
"Ki Gede sedang bersiap-siap untuk pergi ke padu"kuhan yang sedang mempersiapkan pembongkaran banjarnya yang lama dan akan menggantikannya dengan yang baru." berkata Ki Lurah.
"O" Glagah Putih mengangguk-angguk, "kakang Agung Sedayu juga akan pergi kesana. Sebenarnya aku juga akan pergi ke banjar itu. Tetapi kakang menyuruhku datang kemari."
Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Aku tahu, kau tentu merasa segan menyertai Teja Prabawa melihat-lihat Tanah Perdikan ini."
"Bukan maksudku Ki Lurah. Tetapi keduanya nampaknya memang tidak menyenangi aku. Mereka lebih senang diantar oleh Wirastama." jawab Glagah Putih berterus terang.
Ki Lurah tertawa. Katanya, "Teja Prabawa memang mengagumi Wirastama. Agaknya Wirastama memang pandai menunjukkan sesuatu yang menarik. Kelebihannya dan pengakuannya bahwa ia telah mengenal Tanah Perdikan ini melampaui orang-orang Tanah Perdikan ini sendiri."
"Mungkin ia memang mengenali Tanah Perdikan ini dengan baik Ki Lurah." jawab Glagah Putih.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun katanya, "Tetapi aku yakin bahwa kau tentu lebih mengenali Tanah Perdikan ini sebagaimana dikatakan oleh Ki Gede. Semen"tara itu, aku memang agak cemas, karena mereka bertiga telah pergi ke belumbang yang menurut Ki Gede mempunyai rahasia yang menggetarkan. Bagian , yang dalam kadang-kadang telah digoncang oleh pusaran air yang besar, yang mengisap masuk kedalam lubang yang besar di batu padas didasar belumbang itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Tetapi orang-orang di sekitar belumbang itu sudah mengetahui. Ada beberapa tanda yang dibuat, agar mereka yang mandi dan berenang di tempat itu tidak memasuki daerah yang berbahaya. Pusaran air itu datang sewaktu-waktu. Kadang-kadang dua hari dua malam tidak timbul pusaran air itu. Namun kadang-kadang sehari semalam dapat terjadi dua kali."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Aku jadi tertarik pula untuk melihatnya. Mari kita pergi."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia merasa tidak mapan dihatinya. Karena itu maka katanya, "Aku akan pergi Ki Lurah. Bukan maksudku untuk berkeberatan menyusul mereka."
Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Aku tidak apa-apa. Aku memang ingin melihat belumbang itu. Aku sudah pernah tinggal di Tanah Perdikan ini untuk waktu yang lama. Akupun tahu bahwa ditempat itu ada belumbang. Tetapi aku belum pernah mendengar tentang pusaran air itu sebelumnya."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Agaknya perhatian Ki Lurah pada waktu itu sepenuhnya tertuju pada pembentukan Pasukan Khusus itu, sehingga Ki Lurah tidak sempat memperhatikan hal-hal kecil yang terjadi di Tanah Perdikan ini."
Ki Lurah justru tertawa. Katanya, "Aku akan minta diri kepada Ki Gede yang agaknya sudah siap untuk pergi ke banjar itu."
Demikianlah sejenak kemudian, Glagah Putih dan Ki Lurah telah menyusul kedua cucu Ki Lurah itu ke belum"bang yang oleh orang-orang disekitarnya memang sering disebut telaga kecil atas yang lain menyebutnya sendang. Tetapi mereka berdua telah menempuh jalan pintas. Mereka tidak melalui jalan yang banyak dilalui orang. Mereka telah melewati jalan-jalan sempit yang memang agak lebih sulit.
Sementara itu, kedua cucu Ki Lurah bersama Wirasta"ma memang telah pergi ke sendang yang terbelah dua itu. Ketika mereka mendekati belumbang itu, maka Rara Wulan justru telah mendahului kakaknya dan Wirastama. Meskipun ia merasa lelah, tetapi ia memang segera ingin ta"hu belumbang yang memang cukup luas yang sebagian dipergunakan untuk mandi dan mencuci pakaian. Sendang itu letaknya disebelah dataran yang sedikit lebih tinggi dari padukuhan-padukuhan di sekitarnya, sehingga seakan-akan sendang itu terletak dipuncak sebuah dataran tinggi.
Disekitar sendang itu terdapat pohon-pohon raksasa. Namun karena tempat itu setiap hari didatangi banyak orang, maka tempat itu menjadi bersih. Batu-batu besarpun menjadi mengkilap karena hampir setiap hari batu-batu itu disentuh tangan. Beberapa orang yang tidak tergesa-gesa mandi telah duduk-duduk di atas batu-batu itu.
Ternyata tempat itu memang menarik bagi Rara Wu"lan. ia melihat beberapa orang gadis sebayanya berada di-pinggir belumbang itu. Bahkan sebagian diantara mereka sedang berendam. Disisi yang lain nampak beberapa orang perempuan sedang mencuci pakaian. Sementara disebelah yang lain lagi agaknya diperuntukkan bagi laki-laki.
Rara Wulan nampaknya menjadi kecewa. Ketika kakaknya dan Wirastama mendekatinya maka iapun berta"nya, "Jadi laki-laki juga diperkenankan mandi di belum"bang ini."
"Belumbang ini kepunyaan orang-orang disekitar tem"pat ini." berkata Wirastama, "jadi semua orang berhak mempergunakannya."
Rara Wulan tidak bertanya lagi. Sementara itu Teja Prabawalah yang bertanya,
"Di bagian mana belumbang ini tidak boleh dipergunakan untuk mandi, yang menurut Ki Gede sering terjadi pusaran air" "
Wirastama tertawa. Katanya " Memang orang-orang
disekitar tempat ini tidak berani memasuki bagian yang
dibatasi oleh tiang-tiang bambu itu. Mereka berpendapat
bahwa dibagian yang dibatasi tiang-tiang itu sampai ketepi
seberang adalah daerah yang berbahaya. "
Teja Prabawa mengangguk-angguk. Namun Wirastama
berkata " Agaknya kepercayaan itu timbul setelah pernah
terjadi seorang yang hilang dibagian yang dianggap
berbahaya itu. Namun agaknya orang itu tidak terlalu pandai
berenang, sementara bagian itu adalah bagian yang sangat
dalam, sehingga diperlukan ketrampilan tersendiri. "
" Tetapi menurut Ki Gede, di bagian itu kadang-kadang
telah timbul pusaran yang seakan-akan menghisap air
kedalam tanah lewat lubang-lubang di batu padas di dasar
belumbang itu. " berkata Teja Prabawa.
Tetapi Wirastama tersenyum sambil menjawab "
Nampaknya Ki Gede malas untuk menyelidiki apa yang
sebenarnya terjadi. Ia percaya saja kepada ceritera banyak
orang. Dan barangkali orang-orang setua Ki Gede berpikir,
apa salahnya mengambil langkah-langkah pengamanan.
Teja Prabawa mengangguk-angguk. Kepada adiknya ia
bertanya " Apakah kau ingin mandi" "
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Katanya " Terlalu
banyak orang. " " Sudah menjadi kebiasaan disini " berkata Wirastama.
" Airnya jernih " desis Rara Wulan. Namun ketika ia
menengadahkan wajahnya dilihatnya rimbunnya dedaunan
dari pohon-pohon raksasa.
Tiba-tiba saja ia berdesis " Aku tidak mandi saja. Jika
kakang ingin mandi, mandilah. "
Raden Teja Prabawapun rasa-rasanya ngeri juga melihat
lingkungan disekitarnya meskipun ia melihat beberapa orang
telah berendam didalam air.
Wirastama yang melihat kedua cucu Ki Lurah itu raguragu
berkata " Marilah. Aku sudah akan mandi. " " Tetapi
Rara Wulan menjawab " Terlalu banyak orang. Lebih baik aku
tidak mandi. " " Wirastama termangu-mangu. Iapun kemudian
memandangi beberapa orang laki-laki yang sedang mandi
setelah kembali dari sawah.
" Apakah aku harus mengusir mereka" " bertanya
Wirastama. " Tidak. Jangan " cepat-cepat Rara Wulan menjawab "
bukankah hak mereka untuk mandi di sendang itu" "
Wirastama mengangguk-angguk. Sementara itu iapun
bertanya kepada Teja Prabawa " Bagaimana dengan kau" "
Teja Prabawa termangu-mangu. Sementara itu Rara Wulan
justru menjadi segan mendekati gadis-gadis dan perempuanperempuan
yang sedang mandi dan mencuci. Nampaknya
mereka justru sedang memperhatikannya dengan terheranheran.
" Apakah aku menjadi tontonan disini" " desis Rara Wulan.
" Bukan tontonan " sahut Wirastama " mereka adalah
orang-orang padukuhan yang jarang melihat orang luar. Bagi
mereka orang-orang Kotaraja adalah orang-orang yang luar
biasa. Mereka tidak terbiasa memakai pakaian sebagaimana
kalian pakai sekarang. Dan kebetulan pula aku juga memakai
pakaian seorang perwira dari Pasukan Khusus. Agaknya
mereka tertarik untuk memperhatikan kita. "
Rara Wulan tidak menjawab. Iapun tahu, bahwa orangorang
aitu memperhatikan mereka karena orang-orang itu
jarang sekali melihat orang-orang dari Kotaraja yang datang
ke tempat yang sepi itu. Namun dalam pada itu Wirastamapun berkata " Marilah.
Kita mandi. Airnya bening sekali. Mata air dari belumbang
ini terdapat dibawah akar pohon-pohon raksasa itu.
Sementara dibagian lain airnya mengalir keluar melimpah ke
sebuah parit yang memang sudah disiapkan yang dapat
mengairi sawah yang cukup luas. Bahkan disegala musim,
karena dimusim kemarau pun air belumpung ini sama sekali
tidak berkurang. " Teja Prabawa memang ragu-ragu. Tetapi nampaknya
memang segan sekali mandi dibelumbang yang airnya bening
sekali. Tidak terlalu dalam sementara iapun dapat berenang,
Akhirnya Raden Teja Prabawa itupun berkata " Baiklah.
Aku akan mandi. " " Bagus " berkata Wirastama. Tetapi ia masih berpaling
kepada Rara Wulan sambil berkata " Marilah. Kau tentu juga
ingin mandi. " Tetapi Rara Wulan menggeleng. Katanya " Aku disini saja. "
Wirastama tidak memaksa meskipun ia agak kecewa.
Sebenarnya ia ingin juga Rara Wulan itu mandi bersama
mereka dibelumbang itu. Demikian sejenak kemudian Wirastama dan Teja Prabawa
telah mencebur kedalam sendang yang airnya terasa sangat
sejuk. Matahari yang memanjat semakin tinggi dila-ngit,
memanasi air belumbang itu sehingga nampak berkilat-kilat.
Jika terasa kulit menjadi gatal oleh sinar matahari, maka
mereka dapat berenang menepi sehingga terlindung oleh
dedaunan dari pohon-pohon raksasa yang tumbuh dipinggir
sendang itu. Ternyata kedua anak muda itu memang pandai berenang.
Keduanya meluncur kesana kemari. Anak-anak muda
padukuhan yang lebih dahulu mandi di sendang itu, tanpa
mereka sadari telah menepi. Seakan-akan mereka
memberikan tempat di sendang itu hanya untuk berdua saja.
Seorang dari Kotaraja, seorang lagi perwira Pasukan Khusus.
Rara Wulan yang duduk dipinggir sambil menunggui
pakaian kedua anak muda itu melihat keduanya dengan tersenyumsenyum. Sebenarnya ada keinginannya untuk ikut
mandi. Tetapi selaina pohon-pohon raksasa yang akarakarnya
seakan-akan telah mencengkam belumbang itu,
iapun agak malu karena di belumbang itu terdapat beberapa
orang laki-laki. Namun iapun merasa segan pula untuk mandi
bersama Wirastama. Gadis-gadis dan perempuan-perempuan yang sedang
mandi dan mencuci itupun telah berusaha mempercepat
pekerjaan mereka. Rasa-rasanya mereka tidak pantas untuk
mandi bersama-sama dengan orang-orang yang terhormat itu.
Namun demikian ternyata mereka tidak segera keluar dari air.
Mereka memang menepi. Tetapi ternyata mereka tanpa sadar
menonton kedua anak muda yang berenang dengan
ketrampilan yang tinggi itu.
" Kau ternyata sangat pandai berenang " puji Wirastama.
" Ah, tidak terlalu baik " jawab Teja Prabawa " Kaupun
pandai pula. Bahkan kau mampu berenang sangat cepat dan
dengan berbagai macam gaya. "
Wirastama tertawa. Ia berenang semakin ketengah,
sehingga semakin dekat dengan tiang-tiang bambu yang


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipakai sebagai batas antara bagian yang tidak terlalu dalam
dan bagian yang lebih dalam. Bahkan lebih dari itu, dibelakang
patok-patok bambu itu, adalah bagian yang
dipengaruhi oleh pusaran yang kadang-kadang timbul di
sendang itu. Bahkan pusaran itu kadang-kadang nampak
begitu besar dan kuat, sehingga mampu menyeret seseorang
kedalam lubang yang terdapat didasar sendang itu.
Ketika tiba-tiba saja Wirastama menyentuh salah satu
diantara tiang-tiang itu, beberapa orang yang berada ditepi
sendang itu berdesah. Teja Prabawapun menjadi gelisah melihat sikap Wirastama
yang sambil tertawa-tawa mengitari salah satu dari
tiang bambu itu. Ketika ia kemudian berenang memasuki bagian yang dalam
itu semakin jauh, beberapa orang telah berteriak.
" Jangan " Teja Prabawapun berteriak pula.
Wirastama memang berpaling. Tetapi ia tidak kembali.
Bahkan iapun telah melambaikan tangannya sambil berenang.
" Kembalilah tuan " beberapa orang berteriak
mencegahnya. Sementara Teja Prabawa yang berenang
sampai kebataspun berteriak pula " Kembalilah. "
Tetapi Wirastama justru berteriak pula " Marilah. Disini
terasa belumbang ini menjadi lapang. Tidak ada apa-apa. "
Teja Prabawa menjadi sangat gelisah. Sambil berpegangan
tiang batas itu ia masih saja mencegah " Cepat, kembalilah. "
Wirastama yang berenang dibagian dalam itu, berputar
sekali. Kemudian menyelam dan ketika ia muncul lagi dipermukaan
iapun berteriak " Kemarilah. "
Tetapi Teja Prabawa tidak berani mendekat. Sementara
orang-orang yang berada ditepi sendang itu masih saja ada
yang berteriak " Jangan tuan. Jangan kesana. "
Wirastama berenang terus. Bahkan ia telah meluncur
sampai ketepi seberang yang agak jauh. Sambil berpegangan akar pepohonan ia melambaikan tangannya lagi. Dan sejenak kemudian ia telah meluncur kembali kearah Teja Prabawa.
Wirastama tidak menyadari bahwa dua pasang mata memperhatikannya selain orang-orang yang memang sudah diketahuinya ada di pinggir belumbang itu. Bahkan sekalisekali Wirastama berusaha untuk melambaikan tangannya, kepada Rara Wulan yang menjadi pucat.
Dua orang itu justru berdiri dibalik pohon-pohon raksasa disisi yang lain dari tempat Rara Wulan menunggu dengan gemetar karena tingkah laku Wirastama.
"Ki Lurah " desis Glagah Putih yang sudah ada ditempat itu bersama Ki Lurah Branjangan " Wirastama telah melakukan satu permainan yang sangat berbahaya. "
"Ia ingin mendapat pujian " berkata Ki Lurah.
"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu " desis Glagah Putih.
Orang-orang yang menyaksikan Wirastama itu berenang mendekati Teja Prabawa telah menahan nafas. Bahkan merekapun kemudian menarik nafas dalam-dalam ketika Wirastama hampir mencapai tiang-tiang bambu itu. Karena sesaat lagi, Wirastama akan berada ditempat yang aman.
Tetapi Wirastama tiba-tiba telah berputar lagi sambil berkata " Marilah. Disini menyenangkan. Bukankah kau lihat tidak ada apa-apa dibagian yang dalam itu" "
"Jangan" cegah Teja Prabawa.
Jilid 235 "TETAPI ternyata murid-muridmu sama sekali tidak tahu unggah-ungguh." Wirastama hampir berteriak, "tanpa bimbingan gurunya aku tidak yakin, bahwa yang diucapkan itu benar-benar satu janji yang akan dipatuhi."
"Percaya atau tidak percaya itu adalah hakmu. Sekarang aku akan membawa murid-muridku pergi. Mereka sudah lama menjadi tontonan disini, justru disaat mereka berlima dikalahkan dalam satu perkelahian. Meskipun kelima murid-muridku itu tidak perlu merasa rendah diri, karena yang mengalahkannya adalah seorang perwira dari Pasukan Khusus. Murid-muridku akan merasa terhina jika mereka dikalahkan oleh anak-anak padukuhan di Tanah Perdikan ini." jawab salah se"orang dari kedua orang guru dari kelima anak muda itu.
Kata-kata itu memang menyinggung perasaan Glagah Putih. Apalagi ketika pengawal Tanah Perdikan yang kemudian berdiri di sebelahnya berdesis, "Jika saja Agung Sedayu mendengar."
Glagah Putih menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu.
Namun dalam pada itu, Wirastamapun berkata, "Aku minta kau bertanggungjawab bahwa hal ini tidak akan terjadi lagi."
"Kau tidak perlu memaksa aku berbuat begitu. Aku tahu apa yang harus aku lakukan." jawab orang itu.
Wajah Wirastama menjadi merah. Dengan lantang ia berkata, "Kau jangan terlalu sombong. Meskipun kau adalah guru dari kelima anak muda itu, namun aku tidak melihat kelebihanmu sama sekali."
"Jangan berbuat kasar anak muda. Aku tahu kau adalah seorang prajurit. Aku tahu bahwa jika terjadi perselisihan diantara kita, kau dapat mempergunakan kekuatan pasukanmu untuk membalas dendam, karena kau tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap kami berdua, yang memang telah mengakui sebagai guru anak-anak ingusan yang baru mulai berguru beberapa hari yang lalu." berkata orang itu.
"Aku telah melepaskan baju keprajuritanku." bentak Wirastama.
Kedua orang guru dari anak-anak muda itupun saling ber-pandangan. Namun tiba-tiba saja keduanya tertawa berbareng. Suara tertawanya bergetar menggetarkan udara di tempat yang lapang itu. Ketika suara tertawa orang itu menjadi semakin tinggi, maka rasa-rasanya getaran udara yang semakin kuat telah mengalir dari dada orang itu kearah Wirastama, Teja Prabawa dan orang-orang yang berdiri disekitarnya.
Mula-mula mereka tidak merasakan sesuatu pada dada mereka. Yang terasa adalah bahwa suara tertawa itu sangat menyakitkan telinga. Namun kemudian, rasa-rasanya getaran yang semakin kuat telah menghantam dada mereka dan meremas isinya.
Orang-orang itu terkejut. Ki Lurah Branjangan yang memiliki perbendaharaan pengalaman yang luas dengan serta merta telah menarik Rara Wulan menjauhi sasaran, sehingga mereka tidak lagi berada di garis yang berbahaya dari getaran suara tertawa yang meninggi itu.
Dalam pada itu, Wirastama dan Teja Prabawa ternyata ha"rus menahan tusukan rasa sakit pada dada mereka. Rasa-rasanya isi dada mereka terguncang-guncang oleh getaran yang sangat kuat. Sesaat kemudian Raden Teja Prabawa benar-benar telah dicengkam rasa sakit yang hampir tidak tertahankan. Demikian pula Wirastama yang masih mencoba bertahan. Sementara itu Glagah Putih yang memiliki ilmu yang tinggi serta daya tahan yang kuat, berhasil melingkari dirinya dengan perisai ilmunya. Namun ia berbuat sebagaimana Wirastama dan Teja Prabawa serta pengawal Tanah Perdikan yang berdiri di dekatnya. Bahkan garis serangan itu seakan-akan telah memanjang dan menyerang orang-orang yang berdiri meskipun agak jauh, namun digaris serangan itu, sehingga beberapa orang telah men"jadi pingsan karenanya.
"Setan itu memiliki kekuatan ilmu mula dari ilmu Gelap Ngampar." berkata Glagah Putih didalam hatinya. Namun Glagah Putih itu kemudian justru telah menekan dadanya dengan kedua telapak tangannya sebagaimana dilakukan oleh Wirastama. Bahkan Teja Prabawa telah berjongkok sambil menyeringai kesakitan. Tetapi suara tertawa itu semakin reda. Bahkan kemudian berhenti sama sekali.
Wirastama yang kesakitan itu merasa dadanya menjadi lapang. Namun ia menyadari, bahwa ternyata kedua orang yang mengaku sebagai guru kelima orang itu adalah orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka Wirastama tidak berkata apapun juga ketika ia telah berhasil berdiri tegak.
Teja Prabawapun kemudian berusaha untuk bangkit ber"diri. Meskipun dadanya masih terasa sakit, tetapi rasa-rasanya nafasnya telah dapat berjalan wajar.
"Nah, anak-anak muda." berkata salah seorang diantara kedua guru anak-anak muda yang telah dikalahkan oleh Wirastama itu, "aku sama sekali tidak ingin menyakiti kalian. Tetapi aku ingin kalian tidak menghalangi aku. Apapun yang akan aku lakukan, akan aku pertanggung jawabkan. Sementara itu, aku tidak ingin bermusuhan dengan Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini."
Wirastama tidak menjawab. Tetapi Glagah Putihlah yang berbicara kemudian, "Ki Sanak. Tetapi perguruanmu menurut pendengaranku adalah perguruan aneh."
"Kenapa aneh?" bertanya orang itu.
"Bukankah yang kau terima sebagai murid-muridmu ada"lah orang-orang yang dapat memenuhi tuntutan upah yang kau tentukan?" bertanya Glagah Putih.
"Anak muda. Siapakah kau sebenarnya" Kau tentu bukan dari Pasukan Khusus." berkata orang itu, "jika kau membuat aku marah, maka aku akan dapat berbuat lebih banyak."
Glagah Putih justru bergeser maju. Namun tiba-tiba saja Teja Prabawa membentaknya, "Cukup. Kau tidak usah turut campur persoalan perguruan mereka."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara Teja Prabawa berkata kepada kedua orang itu, "Bawa murid-muridmu. Kami tidak mempunyai persoalan lagi dengan kalian."
Kedua orang itu tertawa pendek. Salah seorang diantara mereka berkata, "Ternyata ada diantara kalian yang cukup bijaksana."
Teja Prabawa tidak berkata apapun lagi. Demikian pula Wirastama dan Glagah Putih.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun telah melangkah meninggalkan arena. Kelima orang muridnya dengan susah payah telah mengikuti mereka betapapun perasaan sakit masih terasa mencengkam tubuh mereka.
Sepeninggal orang-orang itu, maka Ki Lurahpun segera mengajak Rara Wulan kembali ke rumah Ki Gede diikuti oleh Teja Prabawa dan Wirastama. Beberapa orang telah ikut pula dibelakang mereka, sementara masih ada orang yang harus merawat kawannya yang baru saja sadar dari pingsannya. Namun ternyata Glagah Putih tidak ikut bersama mereka.
Semula tidak ada orang yang memperhatikan, bahwa Glagah Putih tidak ikut pergi ke rumah Ki Gede. Baru ketika mereka memasuki regol, Ki Lurah mencarinya diantara orang-orang yang bersamanya. Termasuk pengawal yang ikut menyaksikan perkelahian itu.
"Kemana Glagah Putih?" bertanya Ki Lurah.
Pengawal itu mendekat sambil menjawab, "Ia hanya berpesan, bahwa ia ingin menyelesaikan satu pekerjaan."
"Pekerjaan apa?" bertanya Ki Lurah.
Pengawal itu menggeleng. Jawabnya, "Aku tidak tahu."
Sementara itu Teja Prabawapun menyahut, "Buat apa kakek mencari anak itu. Ia tidak berarti apa-apa bagi kami. Untung Wirastama segera datang ke pasar itu. Jika tidak, maka Rara Wulan akan dihinakan dihadapan banyak orang."
"Kau kira aku akan membiarkannya." berkata Ki Lurah.
"Kakek sudah tua." jawab Teja Prabawa, "sementara itu Wirastama dapat mencegah tingkah laku anak-anak muda itu menjadi semakin buruk. Ternyata satu pameran kekuatan yang luar biasa. Wirastama dapat mengalahkan lima orang sekaligus. Adalah wajar saja jika gurunya memiliki kelebihan. Guru mereka berlima itu pantasnya memang harus berhadapan dengan guru Wirastama. Apalagi mereka berdua."
"Ah." desis Wirastama, "sudah menjadi kewajibanku untuk mengatasi anak-anak bengal seperti mereka itu."
"Tetapi seorang diri kau mampu mengalahkan mereka berlima. Sulit dibayangkan jika aku tidak melihat sendiri apa yang kau lakukan." sahut Teja Prabawa.
"Sudahlah." berkata Wirastama, "kita berbicara tentang yang lain."
Teja Prabawapun terdiam. Mereka kemudian telah diper"silahkan duduk di serambi. Sementara Rara Wulan pergi ke dapur memberitahukan kepada para pelayan, bahwa mereka memerlukan minum. Para pelayan yang tahu, bahwa tamu Ki Gede adalah orang-orang terhormat, maka merekapun dengan serta merta telah menyiapkannya.
Ketika Rara Wulan tidak lagi muncul keserambi maka Teja Prabawa telah memanggilnya. Katanya, "Kau belum mengucapkan terima kasih kepada Wirastama."
"Kakek tentu sudah." jawab Rara Wulan.
"Kakek juga belum. Tetapi sepantasnya kau sendirilah yang mengatakannya kepada Wirastama. Kau bukan anak-anak yang masih menyusu. Yang belum dapat berbicara dengan jelas."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia terpaksa bangkit dan melangkah menuju ke serambi. Di serambi Teja Prabawa telah mendesaknya lagi. Katanya, "Nah, kau telah diselamatkan oleh Wirastama. Apa katamu?"
Ki Lurah mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa.
Mula-mula Rara Wulan memang merasa segan. Namun kemudian iapun berdesis hampir tidak terdengar, "Aku mengucapkan terima kasih."
Wirastama tersenyum. Katanya, "Bukan apa-apa. Sudah aku katakan, bahwa itu adalah kewajibanku."
Rara Wulan mengangguk kecil. Namun pipinya telah men-jadi merah. Dengan suara yang masih agak sendat hampir tidak terdengar ia berkata, "Silahkan duduk bersama kakang Teja Prabawa. Aku akan beristirahat."
"Apakah kau lelah" Bukankah kau tidak apa-apa?" bertanya Teja Prabawa.
Namun Wirastamalah yang menyahut, "Bukankah ia baru saja berjalan-jalan yang bagi seorang gadis terhitung jauh" Biar"kan ia beristirahat."
Rara Wulan tidak menyahut. Iapun segera berdiri dan me"langkah meninggalkan serambi gandok masuk kedalam biliknya.
Ki Lurah hanya tersenyum saja. Katanya, "Ia memang perlu beristirahat."
"Yang patut beristirahat adalah Wirastama. Ia baru saja mengatasi pusaran air yang dahsyat itu. Kemudian berkelahi melawan lima orang anak muda yang pada umumnya tubuhnya tinggi tegap. Agaknya ia tentu letih." berkata Teja Prabawa.
"Ya. Ia tentu letih." sahut Ki Lurah. Karena itu, maka katanya kepada Wirastama, "Sebaiknya angger memang beristirahat."
"Ah, aku tidak letih." jawab Wirastama.
"Maksudku bukan begitu." berkata Teja Prabawa, "ia dapat beristirahat disini."
Sebelum Wirastama menjawab, maka seorang pelayan telah menghidangkan makanan dan minuman. Bahkan pelayan itu berkata, "Ki Gede belum kembali. Ki Gede berpesan, agar Ki Lurah dan para tamu yang lain makan saja lebih dahulu dengan tidak usah menunggu Ki Gede kembali dari tugasnya."
"Terimakasih." berkata Ki Lurah, "sebentar lagi kami akan keruang dalam."
"Sekarang, makan sudah disediakan." berkata pelayan itu, "sebaiknya Ki Lurah dan para tamu pergi ke ruang dalam sekarang saja."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Biarlah para tamu membenahi diri dan mencuci tangan serta kaki mereka."
Beberapa saat kemudian mereka memang sudah ada diruang dalam. Ki Lurah memaksa Rara Wulan untuk makan bersamanya agar para pelayan tidak menjadi terlalu sibuk melayani mereka seorang demi seorang.
Dalam pada itu, ketika mereka sedang makan di ruang dalam rumah Ki Gede, dua orang guru dan kelima muridnya berjalan beriringan. Mereka telah menyusuri jalan dipinggir hutan. Namun tiba-tiba saja mereka terkejut, ketika seseorang telah meloncat dari dalam hutan mencegat perjalanan mereka.
Kedua orang guru yang disebut bernama Kiai Sangkan dan Kiai Paran, namun juga menyebut diri mereka Kyai Brajasaketi dan Kiai Brajasayuta itu segera memberi isyarat kepada murid-muridnya untuk berhenti.
"Kau?" desis Kiai Sangkan. Lalu, "Apa maksudmu menghentikan perjalanan kami kembali ke padepokan kami?"
"Namaku Glagah Putih. Kau belum menyatakan kesediaan kalian untuk mengatur murid-muridmu agar tidak ber"buat sebagaimana dilakukannya."
Kedua orang itu saling berpandangan. Dengan nada yang semakin keras Kiai Sangkan menjawab, "Kau jangan membuat persoalan baru. Para pemimpin dari anak-anak muda di Tanah Perdikan ini, bahkan seorang perwira dari pasukan Khusus telah menganggap persoalannya selesai."
"Belum. Mereka menganggap persoalannya selesai, kare"na mereka tidak mau bertengkar dengannya. Kau telah menggertak mereka dengan ilmu mula dari ilmu Gelap Ngampar." jawab Glagah Putih.
"Apapun yang kami lakukan, tetapi persoalan kami sudah selesai." jawab Kiai Paran.
"Tetapi aku, salah seorang pemimpin anak-anak muda Tanah Perdikan ini menganggap bahwa persoalannya belum se"lesai." berkata Glagah Putih, "aku ingin kalian berjanji, bahwa kalian akan mengendalikan murid-murid kalian agar me"reka tidak mengganggu kehidupan di Tanah Perdikan. Apalagi yang telah mereka lakukan benar-benar satu perbuatan yang tercela. Mereka telah mengganggu seorang gadis yang justru bukan gadis Tanah Perdikan. Mereka telah mengganggu seorang tamu dari Kotaraja. Cucu Ki Lurah Branjangan."
Kiai Sangkan dan Kiai Paran itu menjadi marah. Dengan nada keras Kiai Sangkan berkata, "Pergilah. Kau jangan meng"ganggu aku."
"Aku tidak akan membiarkan kalian meninggalkan Tanah Perdikan ini sebelum kalian berjanji bahwa kalian akan mengendalikan murid-murid kalian." berkata Glagah Putih.
"Jangan mencari perkara anak muda." geram Kiai Paran, "kami dapat menghancurkanmu tanpa menyentuhmu."
"Dengan ilmu Gelap Ngamparmu yang jelek itu?" sahut Glagah Putih, "kau kira ilmu Gelap Ngamparmu yang lampaknya baru mulai kau pelajari itu akan mampu mengguncangkan jantungku?"
"Kau memang anak yang dungu. Bukankah kau telah mengalami betapa ilmu kami itu mencengkam dadamu?" ber"tanya Kiai Paran.
Tetapi Glagah Putih tertawa. Katanya, "Sudahlah. Berjanjilah dengan sungguh-sungguh. Aku akan melepaskanmu. Jika kau berkeberatan, maka kau akan mengalami kesulitan. Sekarang baru aku seorang diri yang menghalangimu. Tetapi lambat laun para pengawal seisi Tanah Perdikan ini akan mengepungmu."
"Persetan." Kiai Sangkan dan Kiai Paran benar-benar menjadi marah. Dengan suara yang bergetar Kiai Sangkan ber"kata, "Anak muda. Ternyata bahwa kau telah membuat kami marah. Kau kira bahwa kami akan tunduk kepada ancamanmu" Biarlah anak-anak muda dan para pengawal Tanah Perdikan ini semuanya datang melawan kami. Apakah kau kira kami akan takut dan lari terbirit-birit."
Glagah Putih tertawa pula. Katanya, "Sekali lagi aku katakan, jangan harap kalian dapat keluar dari Tanah Perdikan ini tanpa mengucapkan janji sebagaimana aku kehendaki."
Kiai Sangkan nampaknya sudah tidak dapat mengendali"kan diri lagi. Iapun segera melangkah maju sambil berkata, "Aku hanya melepaskan ilmu puncakku untuk kepentingan ter"tentu. Sekarang aku akan memaksamu untuk berbuat tanpa ilmu itu."
Kia Paran melihat, bukan anak muda yang bernama Glagah Putihlah yang dikenai serangan-serangan Kiai Sangkan, tetapi malahan sebaliknya, Kiai Sangkanlah yang telah dikenai oleh serangan-serangan Glagah Putih.
Glagah Putihpun segera bersiap. Karena itu, ketika Kiai Sangkan menyerangnya, Glagah Putihpun dengan tangkasnya mengelak. Namun Kiai Sangkanpun tahu, bahwa tanpa bekal apapun, anak muda yang bernama Glagah Putih itu tentu tidak akan melakukan hal itu. Karena itu, maka Kiai Sangkanpun cukup berhati-hati menghadapinya.
Sejenak kemudian, maka Kiai Sangkan itupun telah bertempur melawan Glagah Putih. Dengan kemarahan yang menghentak-hentak didadanya, Kiai Sangkan ingin segera menundukkan anak muda itu dan memaksanya untuk berbuat dan mohon maaf kepadanya. Tetapi ternyata bahwa perhitungannya telah keliru. Jangankan menundukkan anak muda itu, menyentuhpun ternyata Kiai Sangkan itu masih belum mampu.
Ternyata Glagah Putih dapat bergerak dengan cepatnya. Berlompatan mengitari lawannya. Namun sekali-sekali kakinya telah melontarkannya menyerang Kiai Sangkan dengan garangnya. Kiai Sangkanlah yang kemudian justru mengeluh ketika serangan Glagah Putih mengenai pundaknya.
"Anak ini memiliki ilmu iblis sehingga mampu bergerak begitu cepatnya." berkata Kiai Sangkan di dalam hatinya.
Namun dalam pertempuran berikutnya, Glagah Putih ter"nyata masih mampu meningkatkan kecepatan geraknya.
Kiai Paran yang semula menyerahkan segala-galanya ke"pada Kiai Sangkan, karena ia menganggap bahwa anak muda itu akan dengan serta merta dapat ditundukkan, mulai menjadi tegang. Ternyata bahwa Kiai Sangkan tidak segera dapat menyelesaikan pekerjaannya yang dianggapnya tidak berarti.
Untuk beberapa saat lamanya, keduanya masih bertempu terus. Justru semakin meningkat dan bahkan Kiai Paranpun melihat, bukan anak muda yang bernama Glagah Putihlah yang telah dikenai serangan-serangan Kiai Sangkan, tetapi malahan sebaliknya. Kiai Sangkanlah yang telah dikenai tubuhnya oleh serangan-serangan Glagah Putih yang semakin membadai.
Sentuhan-sentuhan tangan Glagah Putih di tubuh Kiai Sangkan itu membuat darahnya menjadi semakin mendidih. Sebagai seorang yang telah membuka sebuah perguruan, apalagi dihadapan murid-muridnya. Maka Kiai Sangkan akan cacat namanya jika ia tidak berhasil mengatasi anak muda yang dianggap anak padesan itu. Karena itu, maka Kiai Sangkanpun kemudian benar-benar telah merambah ke ilmu kanuragan de"ngan mulai mengerahkan tenaga cadangan didalam dirinya.
Jika ia semula tidak menganggap perlu melakukannya, maka iapun kemudian tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa anak muda itu memang memiliki bekal yang cukup. Tetapi hampir diluar sadarnya ia berkata, "Anak muda. Ter"nyata kau memang terlalu sombong. Aku masih berusaha untuk menahan diri. Meskipun kau telah membuat aku sangat marah, namun aku masih berusaha untuk mengekang diri agar aku tidak membunuhmu tanpa sengaja. Tetapi kau ternyata salah paham. Kau kira kau benar-benar memiliki kemampuan untuk melawanku."
"Aku tidak mempunyai perhitungan lain kecuali ingin mendengar kau berjanji untuk tidak membiarkan murid-muridmu berkeliaran dan mengganggu ketenangan kehidupan Tanah Perdikan Menoreh. Itu saja." jawab Glagah Putih.
Kiai Sangkan menggeretakkan giginya. Iapun kemudian telah mempergunakan tenaga cadangannya dan mengetrapkannya pada ilmu kanuragannya. Dengan demikian maka tata gerak Kiai Sangkanpun mulai berubah. Iapun bergerak sangat cepat. Ayunan tangannya telah menimbulkan desir angin yang bersiut nyaring, namun yang dapat membuat jantung menjadi berdebar-debar.
Semula Glagah Putih sempat memperhatikan, bahwa tangan Kiai Sang"kan itu terbuka dengan jari-jari yang merapat. Pukulannya mempergunakan sisi telapak tangannya, namun kadang-kadang tangan itu mematuk dengan ujung-ujung jari yang merapat. Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak mengalami kesulitan meskipun ia harus mulai meniti ilmu keturunan dari perguruan pamannya, Ki Sadewa. Namun kecepatan gerak dad kekuatan ayunan tangan Kiai Sangkan tidak mendebarkan jantungnya lagi.
Beberapa saat kemudian, maka pertempuran itupun men"jadi semakin sengit. Ternyata Glagah Putih masih mampu memacu ilmunya selapis diatas ilmu lawannya, sehingga dengan demikian, maka Kiai Sangkanpun mulai mengalami kesulitan lagi menghadapi Glagah Putih. Bahkan Glagah Putih yang juga mulai melandasi tata gerak dan kekuatannya dengan tenaga cadangannya, masih juga mampu menyakiti tubuh lawannya de"ngan sentuhan-sentuhan serangannya.
Terdengar Kiai Sangkan mengumpat kasar. Bahkan iapun mulai meningkatkan ilmu. Justru semakin keras dan bahkan se"makin kasar. Sehingga ketika ia masih juga belum mampu mengimbangi lawannya yang masih muda itu, maka Kiai Sang"kan tidak lagi dapat menyembunyikan dasar-dasar ilmunya yang sebenarnya. Ketika ia kemudian mengerahkan kemampuannya dilandasi dengan ilmu kanuragan, maka tata geraknyapun mulai berubah lagi. Tangannya tidak lagi bergerak dengan jari-jari terbuka yang merapat lurus, yang kadang-kadang dipergunakan untuk memukul dengan sisi telapak tangannya atau mematuk dengan ujung-ujung jarinya. Tetapi jari-jari yang mengembang itupun kemudian telah berubah. Jari-jarinya benar-benar mengembang dan melengkung seperti hendak mencengkam.
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Selangkah ia bergeser surut untuk mengamati tata gerak lawannya lebih jelas lagi. Namun ia tidak mendapat banyak kesempatan. Lawannya telah memburunya. Jari-jarinya menjadi seperti cakar burung pemakan daging yang garang, yang siap menerkamnya. Bagai"mana seekor burung alap-alap. Kiai Sangkan menerkam Glagah Putih.
Tetapi Glagah Putih bukan sekedar seekor burung merpati yang lemah. Tetapi Glagah Putih justru telah bersiap sepenuhnya. Melihat sikap lawannya, maka tiba-tiba saja Glagah Putih berkata lantang, "Jadi kau adalah pengikut ilmu Bajra Wereng" Itukah sebabnya kalian menyebut nama kalian de"ngan Bajrasaketi dan Bajrasayuta?"
"Anak setan." geram orang itu, "jangan mengigau."
"Ki Sanak." berkata Glagah Putih, "aku pernah mendapat petunjuk dari guruku, bahwa sikap kalian adalah sikap ilmu Bajra Wereng."
"Ada seribu macam ilmu yang mempunyai sikap hampir sama." geram Kiai Sangkan.
"Disamping sikapmu, juga tata gerakmu. Tetapi yang lebih meyakinkanku adalah caramu membuka perguruanmu. Kepura-puraanmu dengan berperisai unsur dari ilmu yang lain, namun dalam keadaan yang tersudut, maka kau pergunakan unsur-unsur gerak dari ilmumu yang hitarn itu. Serta banyak hal yang telah meyakinkan aku, bahwa kau telah menyadap ilmu hitam itu." sahut Glagah Putih.
"Persetan." geram orang itu pula. Bahkan katanya kemudian, "Jika demikian maka nasibmu akan menjadi sangat malang. Kau akan terbunuh disini dan tubuhmu akan dilempar kedalam hutan menjadi makanan binatang liar."
"Jangan mencoba membunuh agar kau sendiri tidak ter"bunuh." sahut Glagah Putih, "tetapi aku hanya minta kau ber"janji untuk mengendalikan murid-muridmu. Hanya itu. Aku tidak peduli apakah kau berilmu apapun juga, asal kau dan murid-muridmu tidak mengganggu orang lain."
Kiai Sangkan tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia telah meloncat menerkam dengan garangnya dengan jari-jarinya yang mengembang. Tetapi Glagah Putihpun benar-benar telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, ketika Kiai Sangkan yang juga disebut Kiai Bajrasaketi itu menyerangnya, maka iapun sudah siap untuk melawan.
Glagah Putih dengan sengaja tidak ingin menghindari serangan itu. Ia tidak ingin terlalu lama terlibat dalam pertempuran itu. Karena itu, maka iapun telah menyiapkan dirinya, menghimpun kekuatannya justru membentur serangan lawan"nya yang memiliki ilmu Bajra Wereng itu.
Namun Glagah Putihpun menyadari, bahwa kekuatan ilmu Bajra Wereng adalah ilmu yang mampu melepaskan kekuatan yang besar. Jari-jari tangan yang mengembang itu akan mampu memecahkan tulang di kepalanya atau mengoyak kulit dagingnya. Karena itu, maka Glagah Putihpun telah menyiapkan pula kekuatan ilmunya.
Sejenak kemudian benturan yang dahsyatpun telah terjadi ilmu Bajra Wereng itu telah dapat menggetarkan keseimbangan Glagah Putih. Namun Glagah Putih hanya terdorong selangkah surut. Dengan serta merta, maka iapun sempat memperbaiki keseimbangannya, sehingga sejenak kemudian, maka iapun telah berdiri tegak dalam keseimbangan yang mapan.
Sementara itu, Kiai Sangkan benar-benar terkejut bukan buatan. Serangannya seakan-akan telah membentur dinding baja setebal dua jengkal. Bukan itu saja, tetapi kekuatan yang sangat besar seakan-akan telah memantul menghantam bagian dalam tubuhnya dan melemparkannya dengan kerasnya, se"hingga Kiai Sangkan itupun kemudian telah terbanting jatuh.
Punggung orang itu rasa-rasanya bagaikan patah. Sambil menyeringai menahan sakit ia mencoba untuk bangkit. Betapapun juga, Kiai Bajraseketi itu berusaha untuk tidak terhina dihadapan murid-muridnya. Namun ia tidak dapat menyembunyikan kenyataan bahwa ia memang terbanting jatuh dan menjadi kesakitan.
Sambil berdesah tertahan, Kiai Sangkan itu bertelekan pada lambungnya. Ketika ia kemudian berdiri tegak, maka iapun telah mengumpat, "Anak tidak tahu diri. Aku berusaha menahan diri agar kau tidak menjadi lumat karena kekuatan dan kemampuanku. Ternyata kau sama sekali tidak berterima kasih. Kau hentakkan ilmumu dengan tiba-tiba sehingga aku menjadi terkejut karenanya."
"Jangan banyak bicara." geram Glagah Putih, "jika kau tidak ingin lebih terhina lagi dihadapan murid-muridmu, lekas ucapkan janji itu, bahwa kau dan murid-muridmu tidak akan mengganggu siapapun lagi di Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi tamu yang kami hormati itu."
"Persetan." geram orang itu, "kau memang harus mati." Lalu katanya kepada Kiai Paran, "Marilah. Kita cepat-cepat menyelesaikannya. Kita tidak mempunyai waktu ba"nyak."
Kiai Paran yang juga disebut Kiai Bajrasayuta itu mengerutkan keningnya. Ia tidak mengira bahwa Kiai Sangkan akan mengalami kesulitan menghadapi anak muda itu. Namun setelah melihat bagaimana keduanya bertempur, maka Kiai Paranpun menyadari, bahwa anak muda itu memang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Karena itu, maka sejenak kemudian Kiai Paranpun telah melangkah mendekati arena pertempuran.
Kelima orang muridnya yang masih kurang mampu menilai ilmu yang tinggi yang terpancar dari setiap unsur gerak Glagah Putih telah mencoba untuk mendekat pula. Meskipun tubuh mereka masih terasa sakit setelah mereka berlima dikalahkan oleh Wirastama, namun mereka merasa wajib untuk ikut melibatkan diri jika hal itu dikehendaki oleh guru-gurunya.
Dalam pada itu Kiai Paranpun berkata, "Kepung anak itu. Jangan sampai ia melarikan diri."
Tetapi Glagah Putih menyahut, "Aku peringatkan, jangan libatkan murid-muridmu."
"Jangan takut." jawab Kiai Paran, "mereka hanya akan berjaga-jaga jika kau ingin melarikan diri dari tangan kami."
"Apapun yang harus mereka lakukan, maka tentu akan sangat berbahaya bagi mereka. Jika mereka terlibat, betapapun kecilnya, maka akibatnya akan sangat parah bagi mereka. Me"reka sama sekali belum memiliki kebal apapun juga untuk memasuki sebuah arena pertempuran." berkata Glagah Putih. Lalu, "Seharusnya kalian, guru-gurunya mengetahuinya. Atau kalian sekedar ingin menakut-nakuti aku, seolah-olah ada beberapa orang yang akan mengepungku?"
"Persetan." geram Kiai Paran, "kau memang harus dibunuh. Kami memang tidak perlu lagi mengekang diri sehingga kau akan menjadi contoh bagi anak-anak Perdikan Tanah Me"noreh yang akan berani menentang kami. Kami masih meng-hormati Pasukan Khusus yang memiliki kekuatan yang benar yang akan dapat menghancurkan padepokan kami jika mereka menghendaki. Tetapi kau tidak mempunyai kekuatan apa-apa anak muda. Jika kau mati, tidak ada yang akan dapat menuntut balas. Bahkan Ki Gede Menorehpun tidak akan berarti sama se"kali bagi kami."
"Jadi kau hanya dapat membual saja Ki Sanak. Ingat, aku tidak akan dapat mati karena mendengar bualanmu itu." berkata Glagah Putih.
Telinga Kiai Sangkan dan Kiai Paran rasa-rasanya bagaikan tersentuh api. Karena itu, maka keduanya segera meloncat menyerang dengan garangnya. Keduanya tidak lagi segan-segan mempergunakan puncak kemampuan mereka dengan ilmu yang dikenali oleh Glagah Putih yang disebutnya Bajra Wereng. Tetapi Glagah Putih memang sudah bersiap sepenuhnya. Dengan tangkas ia berloncatan diantara serangan-serangan kedua lawannya itu.
Demikianlah maka pertempuranpun menjadi semakin sengit. Ternyata bahwa ilmu Bajra Wereng adalah ilmu yang sangat garang dan kasar. Kedua orang yang menyebut dirinya Kiai Bajrasaketi dan Kiai Bajrasayuta itu telah bertempur dengan tanpa mengendalikan diri lagi. Mereka berdua benar-benar ingin membunuh Glagah Putih dengan ilmunya.
Tetapi Glagah Putih telah membekali dirinya dengan kekuatan ilmu dari jalur perguruan pamannya Ki Sadewa serta ilmu yang disadapnya dari Ki Jayaraga. Ilmu yang benar-benar telah mapan dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Sementara itu sejalan dengan pengalaman Glagah Putih yang luas, meski"pun ia masih muda maka ilmu itu telah berkembang pesat, didorong oleh getaran kekuatan yang ada didalam diri Raden Rangga yang pada saat-saat menjelang saat terakhirnya telah disalurkan kedalam tubuh Glagah Putih untuk menompang tingkat ilmunya.
Dengan demikian maka kekuatan ilmu Bajra Wereng yang garang dan keras itu, ternyata tidak mampu mengimbangi kemampuan ilmu yang dimiliki oleh Glagah Putih. Sementara itu Glagah Putih telah mulai jemu dengan pertempuran yang berlangsung dipinggir hutan itu. Karena itu, justru pada saat kedua orang yang merasa memiliki ilmu yang dahsyat itu berusaha menyelesaikan per"tempuran, maka justru merekalah yang telah mengalami tekanan yang tidak terelakkan. Ilmu yang dilontarkan lewat unsur-unsur gerak yang mapan dan matang dari Glagah Putih justru menjadi semakin sering menyentuh tubuh kedua orang lawannya.
"Gila." geram Kiai Sangkan, "kau memang sedang sekarat."
Tetapi Glagah Putih menjawab, "Aku masih mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang mengekang kekuatanku. Tetapi jika kalian masih tetap tidak mau berjanji maka aku akan bertindak lebih keras lagi."
Kedua orang itu justru semakin marah. Tetapi ketika keduanya justru sampai kepuncak kekuatan ilmu Bajra Wereng, maka keduanya justru menjadi semakin sulit menghadapi Glagah Putih. Tubuh Glagah Putih seakan-akan tidak lagi menyentuh tanah. Seperti bayangan, Glagah Putih berterbangan mengitari kedua orang lawannya. Bahkan serangan-serangannya menjadi semakin garang.
Ketika tangannya menjulur mengenai pundak Kiai Paran, maka orang,itu mengaduh tertahan. Dengan kemarahan yang memuncak, maka iapun segera menerkam Glagah Putih. Jari-jarinya mengembang mengerikan.
Tetapi Glagah Putih tidak mengelak. Ia justru membentur kekuatan ilmu Bajra Wereng itu dengan landasan ilmu yang tersimpan didalam dirinya. Ilmu yang berasal dari beberapa sumber tetapi sudah menjadi luluh menyatu.
Sejenak kemudian telah terjadi benturan yang sangat dahsyat. Ternyata ilmu Bajra Wereng benar-benar ilmu yang memiliki kekuatan yang sangat besar. Namun Glagah Putih yang membentur kekuatan Bajra Wereng itu tidak memberikan kesempatan ujung-ujung jari Kiai Paran menyentuh kulitnya dan apalagi mengoyakkannya.
Namun demikian besar kekuatan Kiai Paran dengan ilmu"nya, maka Glagah Putih telah terdorong selangkah surut. Bahkan Glagah Putih telah terhuyung-huyung sehingga ia harus berusaha dengan cepat memperbaiki keseimbangannya.
Dalam pada itu, ternyata benturan itu telah berakibat sangat buruk bagi Kiai Paran. Ia telah terlempar beberapa langkah dan bahkan terbanting jatuh ditanah. Yang terdengar adalah erang kesakitan, karena punggungnya bagaikan menjadi patah.
Kiai Sangkan melihat benturan itu dengan jantung yang berdebaran. Namun ternyata ia dapat mengambil sikap dengan cepat. Justru pada saat Glagah Putih sedang memperbaiki kese"imbangannya, maka dengan ilmu yang sama Kiai Sangkan telah meloncat menerkamnya.
Glagah Putih melihat serangan itu. Ia mengagumi kecepatan bersikap Kiai Sangkan yang mempergunakan keadaannya yang menurut perhitungan terlalu lemah untuk membentur se"kali lagi kekuatan ilmu Bajra Wereng yang sangat kuay itu. Tetapi Glagah Putihpun cukup tangkas. Ia tidak mem"bentur kekuatan yang dilontarkan oleh Kiai Sangkan.
Kesalahan Kiai Sangkan adalah pada keyakinannya, bahwa Glagah Putih akan membentur kekuatan ilmunya dan selanjutnya akan terkapar jatuh dengan luka-luka, jika tidak pada kulit dagingnya yang terkoyak oleh jari-jarinya yang mengem"bang, tentu pada bagian dalam dadanya karena benturan yang terjadi.
Tetapi Glagah Putih tidak berbuat demikian. Justru pada saat ia menemukan keseimbangannya, dengan cepat ia bergeser menghindari serangan itu. Sambil merendahkan diri, hampir berjongkok Glagah Putih bertumpu pada kedua tangannya. Tiba-tiba saja kedua kakinya terjulur lurus ke arah lambung Kiai Sangkan yang kehilangan sasaran.
Kiai Sangkan tidak menduga sama sekali, bahkan Glagah Putih telah mengambil sikap yang lain. Karena itu, maka Kiai Sangkanpun ternyata telah terdorong beberapa langkah dan se"perti Kiai Paran. Kiai Sangkanpun jatuh berguling. Namun keadaannya tidak separah keadaan Kiai Paran, sementara Glagah Putihpun telah membebaskan dirinya dari dorongan benturan kakinya dengan tubuh Kiai Sangkan dengan berguling pada punggungnya. Namun dalam sekejap, iapun telah melen"ting bangkit berdiri tegak.
Kiai Sangkanpun dengan cepat telah bangkit kembali, sementara Kiai Paranpun telah berdiri meskipun harus menahan sakit pada punggungnya. Sejenak keduanya, berdiri termangu-mangu. Namun kemudian Kiai Sangkanpun berdesis, "Kami tidak mempunyai pilihan. Kami akan menghancurkan isi dadamu dengan ilmu pamungkas kami."
Glagah Putih menyadari, apa yang akan dilakukan oleh ke"dua orang itu. Karena itu, maka iapun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dibangunkannya tenaga cadangannya untuk meningkatkan daya tahannya, karena ia tahu, bahwa kedua orang itu tentu akan melepaskan aji Gelap Ngampar yang masih pada tataran permulaan sekali. Tetapi Glagah Putihpun tidak lepas dari kewaspadaan bahwa mungkin kedua orang itu bukannya tidak mampu untuk menghentakkan kekuatan Aji Gelap Ngampar pada tataran yang lebih tinggi. Jika dihadapan Wiras"tama dan Teja Prabawa hal itu tidak dilakukan adalah karena dengan ujung ilmunya saja, mereka sudah mampu menundukkan orang-orang yang disangkanya telah mengganggu murid-muridnya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, kedua orang itupun telah berdiri berdampingan. Sementara itu, murid-murid mere"ka yang kebetulan berdiri pada garis hubung antara keduanya dengan Glagah Putih telah berlari-larian menyingkir, karena mereka mengerti, sentuhan getaran serangan kedua gurunya itu akan dapat menghancurkan isi dada mereka.
Glagah Putihpun telah berdiri tegak dalam kesiagaan penuh. Ia mengerti, justru karena sikap para murid kedua orang itu, bahwa kedua gurunya masih membatasi ilmunya pada sasaran tertentu. Ilmu Gelap Ngampar apalagi yang sudah matang, memang dapat dikendalikan sesuai dengan keinginan orang yang memiliki kemampuan itu. Mungkin terhadap sasar"an tertentu, tetapi mungkin getaran ilmu itu akan menyerang kesegenap penjuru.
Tetapi sejak semula Glagah Putih tidak merendahkan lawannya. Mungkin ilmu kedua orang itu justru telah mapan. Namun keduanya telah dengan cermat mengendalikan ilmu me"reka.
Sejenak kemudian, maka terdengar kedua orang itu mulai tertawa. Suaranya bergetar semakin lama semakin tajam. Udarapun bergetar pula bergelombang mengalir kesasaran. Semakin lama semakin tajam menukik ke dalam dada.
Tetapi dorongan kekuatan Glagah Putih ternyata telah melem-parkan mereka beberapa langkah surut, sehingga keduanya ter"banting jatuh. Tulang-tulang mereka serosa berpatahan, semen"tara debupun menyelubungi mereka.
Namun Glagah Putih benar-benar telah siap. Untuk bebe"rapa saat Glagah Putih masih tetap bertahan. Kekuatan ilmu ke"dua orang itu tidak mampu meremas isi dadanya yang dilin"dungi dengan daya tahannya yang kuat.
Pelarian Runway 1 Pendekar Rajawali Sakti 68 Geger Putri Istana Budi Kesatria 23

Cari Blog Ini