Ceritasilat Novel Online

Delapan Pocong Menari 2

Wiro Sableng 182 Delapan Pocong Menari Bagian 2


hijau adalah paduan tiga warna yang ada pada kuntum bunga matahari!
Murid Sinto Gendeng jadi terkesiap sendiri. Dia cepat menggerakkan tangan kanan.
Dalam keadaan tubuh lemah tiada daya dengan susah payah baru dia berhasil meraba
pinggang kanannya. Astaga! Walau masih belum yakin tapi dia merasa dugaannya
mungkin benar. Delapan bunga matahari kecil yang sebelumnya terselip di
pinggangnya tak ada lagi di tempat semula!
Wiro lantas saja ingat pada keterangan Ken Parantili sewaktu berada di Puri
Kesatu. Saat itu sang selir berkata,
"Kau harus menjaga delapan bunga itu baik-baik. Karena delapan bunga
sesungguhnya adalah delapan pocong gadis cantik. Jika kau melantunkan sepenggal
nyanyian, maka mereka akan keluar dari dalam bunga. Dengan kehendak Yang Maha
Kuasa mereka akan melakukan apa saja yang kau inginkan. Terutama menolong dan
menjaga keselamatan dirimu..." (Baca serial sebelumnya "Selir Pamungkas").
"Tapi aku tidak melantunkan nyanyian. Aku tidak
memanggil mereka. Mengapa mereka bisa keluar dari dalam bunga..." Membatin
Pendekar 212. Lalu dia ingat pada nyanyian yang terdengar sebelum delapan pocong
menari menampakkan diri. "Tidak dipanggil datang sendiri... Kehendak Yang Kuasa
adalah pasti... Sebelum ajal berpantang mati..."
"Delapan Pocong Menari... Mereka muncul sendiri.
Keluar dari dalam delapan bunga matahari untuk
menolongku. Terima kasih delapan pocong! Terima kasih Gusti Allah!" Wiro
mengucap dalam hati.
Setelah terkesiap cukup lama, Penguasa Atap Langit menggembor keras. Kreeek!
Seluruh tenaga dalam yang ada disalurkan ke kaki kanan untuk menjebol dada Wiro.
Tangan kiri kanan dipentang. Jari tengah dilipat.
Kreek! Delapan jari lainnya mencuat lurus, pancarkan cahaya merah!
"Sebelum ajal berpantang mati. Jangan menanam
dendam di dalam hati. Lupakan amarah agar bisa
menanam budi."
Kembali terdengar suara perempuan menyanyi. Lalu
disusul suara meniup. Tiupan itu perlahan saja namun Wiro melihat bagaimana
sosok Penguasa Atap Langit tiba-tiba terangkat ke atas, jungkir balik di udara
malam tiga kali sebelum ambruk ke tanah kepala ke bawah kaki ke atas!
Untuk beberapa lama kepala Penguasa Atap Langit
menancap di tanah sampai sebatas leher sementara dua kaki melejang-lejang.
Delapan pocong hitam tiba-tiba palingkan wajah ke arah Wiro lalu sama-sama
runcingkan mulut siap meniup.
Wiro jadi melengak kaget. Mengira dirinya akan
diperlakukan seperti Penguasa Atap langit, dilempar ke udara lalu dibanting ke
bawah, kepala menancap di tanah!
"Oala! Kalau kalian mau membunuhku gebuk saja
langsung batok kepalaku! Jangan dibuat sengsara seperti makhluk itu!" Wiro
keluarkan ucapan.
"Hik... hik... hik!"
Terdengar dua di antara pocong, tertawa mengikik.
Membuat Wiro jadi heran. Lalu ada suara berkata. "Hati-hati... Jangan meniup
terlalu keras. Bisa-bisa seluruh pakaiannya ikut tanggal! Hik... hik... hik!"
"Memangnya kita tidak boleh melihat pemuda
telanjang"! Hik hik!" Ada suara bertanya lalu ikutan cekikikan.
Delapan mulut meniup! Wiro merasa ada sambaran
angin halus meniup dirinya mulai dari kepala sampai ke kaki.
Wuttt! Kain kafan merah yang membungkus tubuh Wiro lenyap seketika. Bersamaan dengan
itu kekuatannya kembali pulih. Wiro cepat melompat berdiri hendak mendatangi
delapan pocong hitam. Maksudnya hendak mengucapkan terima kasih sambil
memperhatikan bagaimana
sesungguhnya wajah mereka. Tapi didahului suara tawa cekikikan delapan makhluk
itu lenyap tanpa bekas. Ketika memandang ke depan dia melihat Penguasa Atap
Langit pergunakan dua tangan menggebuk tanah hingga tanah terbongkar dan
kepalanya terlepas dari jepitan tanah.
Walau kini bebas namun kekuatannya seperti leleh. Tubuh terguling ke tanah, dada
turun naik, nafas megap-megap, lidah terjulur dan sepasang mata mencelat. Dua
tangan memegangi leher seperti berusaha melepaskan diri dari cekikan yang tidak
kelihatan. Wiro memandang berkeliling. Dia tidak melihat sosok sukmanya. Dia juga tidak
melihat Ken Parantili. Wiro tidak khawatir pada keselamatan sukmanya. Tapi dia
merasa takut kalau telah terjadi sesuatu dengan Ken Parantili.
"Selir itu. Jangan-jangan sudah dihabisi Penguasa Atap Langit!"
Memikir sampai ke situ Wiro melompat ke hadapan
Penguasa Atap Langit yang tergelimpang di tanah. Tanpa banyak cerita lagi kaki
kanannya bergerak menendang ke arah kepala.
Saat itu berturut-turut mendadak ada suara mengiang bersahut-sahutan di
telinganya. Suara perempuan.
"Mengobati luka sendiri lebih penting dari
melampiaskan hawa amarah. Racun jahat hanya memberi waktu dua puluh satu
hitungan."
"Membunuh lawan tidak berdaya bukanlah sifat ksatria sejati."
"Mendahulukan menyelamatkan seorang sahabat
adalah lebih baik dari menuruti kata hati."
Wiro terkesiap dan tertegun diam. Tendangan ke arah kepala Penguasa Atap Langit
serta merta dibatalkan.
"Siapa yang mengirimkan suara pengiang" Pasti pocong-pocong menari tadi." Pikir
Wiro. Sang pendekar raba dadanya yang luka dan ternyata masih mengucurkan darah akibat
injakan kasut berpaku Penguasa Atap Langit. Darah yang keluar dari luka bukan
berwarna merah tapi sudah menghitam pertanda
mengandung racun jahat. Wiro meraba pinggang pakaian sebelah kanan. Ternyata
delapan bunga matahari kecil sudah ada lagi terselip di pinggang itu. Dia merasa
lega. Wiro cepat totok urat besar di pangkal leher dan dada untuk membendung racun
jahat yang telah masuk ke
dalam aliran darah. Tapi saat itu dia malah terbatuk-batuk semburkan darah.
Pemandangannya mulai berkunang-kunang. Sekujur tubuh terasa panas!
"Kami hanya sejengkal dari ujung tanganmu. Mengapa tidak memanfaatkan Kuasa dan
Kasih Sayang Gusti Allahmu?" Tiba-tiba terdengar suara perempuan mengiang di
telinga. "Gusti Allah! Baru kali ini ada makhluk yang menyebut nama itu di negeri ini.
Kami... kami... kalian siapa...?"
Tak ada jawaban.
Wiro tekap dadanya yang luka. Darah semakin deras mengucur.
"Pocong menari! Delapan bunga matahari!" Ucap Wiro dalam hati. Dia segera
keluarkan delapan bunga matahari kecil dari balik pakaian. Dengan cepat delapan
bunga diusapkan ke luka di dada. Delapan cahaya aneh
bergemerlap. Ajaib! Saat itu juga darah hitam berhenti mengucur. Luka menutup
tanpa bekas. Pemandangan
yang berkunang-kunang kembali pulih. Hawa panas di tubuh serta merta lenyap.
Wiro menatap delapan bunga matahari kecil penuh kagum dan seperti tidak percaya.
"Makhluk yang barusan bicara. Siapapun kau adanya aku berterima kasih kau telah
mengingatkan dan
menolongku!" Wiro berucap perlahan.
Beberapa langkah di depan sana Penguasa Atap Langit memandang ke arahnya.
Tampangnya tegang. Mata tak berkesip, menatap takut ke arah delapan bunga
matahari yang dipegang Wiro. Dia tampak lega ketika melihat Wiro menyimpan
delapan bunga itu di balik pakaian.
"Makhluk jahanam! Apa yang telah kau lakukan pada Ken Parantili! Di mana
perempuan itu"!" Wiro membentak.
Penguasa Atap Langit membuka mulut. Namun dia tak mampu keluarkan suara. Lidah
yang merah terjulur keluar mengepulkan asap. Kepala digeleng berulang kali.
Tiba-tiba satu bayangan melesat. Wiro berpaling. Yang muncul ternyata sukmanya
yang rupanya mampu keluar dari selubung kain kafan, menggendong seseorang yang
terbungkus dalam kain kafan merah.
"Ken Parantili!" Wiro cepat mendekat dan berusaha membuka kain kafan merah namun
tak berhasil. Dicobanya merobek, juga tidak bisa. Dia kerahkan tenaga dalam lalu mencoba lagi.
Tetap tidak bisa!
Penguasa Atap Langit keluarkan suara aneh dari
tenggorokan. Mata menatap ke arah Wiro dan sosok yang terbungkus kain merah
dalam gendongan sukma Wiro.
Dengan gerakan kepala dia memberi isyarat agar Wiro tidak berdiri di hadapan Ken
Parantili. "Kau mau berbuat apa"! Mau membunuh perempuan
ini"!" Bentak Wiro.
Penguasa Atap Langit kembali menggeleng berulang
kali. Mulut bergerak tapi tak ada suara yang keluar. Tiba-tiba dia jatuhkan diri
ke tanah. Berguling ke samping kiri.
Wiro bertindak waspada. Dengan cepat dia memutar tubuh sambil siapkan satu
pukulan sakti di tangan kanan yaitu Pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah.
"Penguasa Atap Langit! Saat ini aku bisa membunuhmu semudah membuang ludah! Tapi
aku ingin kau bertobat!
Kalau umurmu panjang mungkin banyak hal baik yang bisa kau lakukan. Kalau kau
berlaku culas dan tetap berbuat kejahatan kau akan terkutuk selama-lamanya!"
Tiba-tiba di udara terdengar suara bergemuruh dan disertai suara teriakan riuh.
Wiro mendongak. Yang muncul ternyata adalah tiga kelelawar raksasa pengawal
Negeri Atap Langit dan puluhan makhluk arwah berwajah hitam putih. Sikap mereka
jelas siap hendak menyerang Wiro dan sukmanya.
Penguasa Atap Langit berusaha berdiri. Tapi dia hanya mampu duduk menjelepok di
tanah. Dalam keadaan
seperti itu dia menatap ke atas, gelengkan kepala sambil menggoyangkan tangan.
"Yang Mulia! Kami datang menjemputmu!" Kelelawar
raksasa di ujung kanan berkata.
"Yang Mulia, ijinkan kami membunuh dua makhluk
kembar dan sosok yang ada dalam gendongan!" Kelelawar raksasa di sebelah tengah
susul ucapan temannya.
Tampang Penguasa Atap Langit tampak berubah galak.
Kembali dia menggeleng dan goyangkan tangan. Melihat hal ini tiga kelelawar
raksasa dan puluhan makhluk berwajah hitam putih keluarkan suara mengorok halus
lalu melesat, tinggi ke udara malam yang gelap dan dingin.
Setelah berputar tiga kali di atas sana, semuanya melesat ke arah timur, lenyap
ditelan kegelapan.
Wiro dan sukmanya memandang ke arah Penguasa
Atap Langit. Apa makhluk yang tadinya jahat ini telah berubah sifat" Wiro merasa
ragu. Di hadapannya Penguasa Atap Langit manggut-manggut merunduk. Tiba-tiba
kepala diangkat lalu dia meniup ke arah sosok terbungkus yang berada dalam
gendongan sukma Wiro.
"Kurang ajar! Kau benar-benar culas! Kau mau berbuat apa"!" Wiro berteriak
marah. Sukmanya menggereng
seperti harimau terluka. Namun sebelum sempat
melakukan sesuatu, tiupan Penguasa Atap Langit telah menyambar sosok terbungkus
kain kafan merah yang ada dalam gendongan sukma Wiro.
Dess! Desss! Kain kafan mengepul asap merah disertai menebarnya bau wangi setanggi! Wiro
terkesiap. Sukma Wiro melengak karena sosok yang digendongnya mendadak menjadi
enteng! *** WIRO SABLENG DELAPAN POCONG MENARI
7 EKALI lagi kain kafan mengepul asap merah. Begitu asap pupus, kain kafan merah
ikut lenyap. Kini dalam Sgendongan sukma Wiro terlihat sosok Ken Parantili yang
mengenakan pakaian putih berenda. Mata terpejam.
Rambut hitam tergerai ke bawah. Kulit wajah, tangan dan kaki berwarna merah. Ini
akibat terlalu lama tersekap dalam kain kafan merah. Penguasa Atap Langit
kembali hendak meniup ke arah Ken Parantili. Namun saat itu Wiro telah memutar
tubuh membuat gerakan untuk melepas pukulan sakti.
"Jahanam! Kau membunuh Ken Parantili!" Teriak Wiro langsung menghantam ke arah
Penguasa Atap Langit
dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah yang sejak tadi disiapkan. Tapi sang
Penguasa ternyata tak ada lagi di tempat itu. Di tanah kelihatan satu lobang
aneh sepemasukan tubuh manusia menyerupai terowongan
panjang. Inilah yang disebut Terowongan Arwah.
Terowongan jejadian seperti ini pernah dibuat oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah
dan dipergunakan Eyang
Semirang Biru ketika meloloskan diri dari Ruang Segi Tiga Nyawa setelah berhasil
merampas Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang kemudian ternyata palsu (Baca serial
sebelumnya berjudul "Sesajen Atap Langit").
Wiro terkesiap sesaat. Begitu sadar dia segera
melanjutkan gerakan tangan melepas pukulan sakti. Tanah bergoncang, bangunan
Puri Kesatu yang sudah ambruk kini tambah luluh lantak. Dua pohon mahoni di
halaman Puri Kesatu terbongkar tumbang, lobang sepemasukan tubuh manusia kini
berubah menjadi lobang besar sedalam lutut. Namun Penguasa Atap Langit sudah
raib. Wiro memberi isyarat pada sukmanya. Keduanya
segera berkelebat pergi. Siap meninggalkan Negeri Atap langit. Namun celakanya
mereka tidak mampu mencari jalan keluar. Mereka tidak dapat menemukan Pintu
Akhirat maupun Pintu Gerbang Atap Langit.
Sementara itu tiga kelelawar raksasa dan puluhan
makhluk Arwah Hitam Putih berulang kali terbang di atas mereka namun tidak ada
yang berani mendekat apalagi mengganggu.
Di kegelapan menjelang pagi tiba-tiba ada delapan cahaya merah berkiblat di
langit. Delapan cahaya dengan cepat melesat ke bumi. Empat menghantam ke arah
Wiro, empat lainnya menderu ke jurusan sukma Wiro!
"Awas! Serangan Delapan Sukma Merah! " Teriak Wiro.
Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti pada dua tangan sekaligus.
Tangan kanan sudah dialiri aji kesaktian Pukulan Sinar Matahari hingga tampak
memutih perak. Tangan kiri siap melancarkan Pukulan Harimau Dewa. Sukma Wiro
melakukan hal yang sama setelah lebih dulu memindahkan Ken Parantili yang
digendongnya ke atas bahu kanan.
Belum sempat keduanya melepas pukulan-pukulan
sakti tiba-tiba di udara terdengar suara kepak sayap disertai suara teriakanteriakan. Blaarr! Blaarr! Tiga kelelawar raksasa melayang membesat udara. Dua di antaranya langsung
terpanggang dan meledak hancur begitu dihantam empat cahaya merah. Sembilan
makhluk Arwah Hitam Putih menjerit keras ketika tubuh mereka terkena percikan
delapan cahaya merah. Seperti dua kelelawar raksasa, tubuh mereka hancur menjadi
kepingan-kepingan yang dikobari api lalu berhamparan di tanah!
Kelelawar raksasa pengawal ketiga menggerung keras.
Puluhan makhluk Arwah Hitam Putih menjerit. Mereka semua tampak marah
menyaksikan kematian dua
kelelawar teman mereka serta sembilan makhluk Arwah Hitam Putih hingga berlaku
lengah. Ketika delapan sinar merah lagi mendadak muncul di langit menyerang
mereka, semuanya tidak berkesempatan menyelamatkan diri!
Pada saat itulah dua Pukulan Sinar Matahari dan dua Pukulan Harimau Dewa yang
dilepas Wiro bersama sukmanya menggelegar ke udara!
Dua bola api raksasa membuntai di udara lalu meledak dahsyat. Hawa panas
menghampar seolah matahari terik hanya sejengkal di atas kepala! Langit laksana
mau runtuh. Negeri Atap Langit bergoncang seperti dihantam gempa di delapan penjuru. Tanah
retak-retak. Beberapa bangunan berupa puri tempat kediaman para selir ambruk.
Jeritan terdengar di mana-mana. Di kejauhan terdengar suara raungan anjing
disertai kilasan cahaya kuning redup yang kemudian lenyap.
Blukkk! Sebuah benda melayang di udara lalu jatuh bergedebuk di tanah. Ketika
diperhatikan ternyata itu adalah sosok seorang berpakaian dan berikat kepala
hijau. Dari mulutnya mengucur lelehan darah. Bagian dada pakaian hijaunya tampak
gelap kehitaman seperti hangus. Orang ini cepat bergerak bangun. Berdiri
terhuyung-huyung sambil menunjuk-nunjuk ke arah Wiro asli dan sukmanya.


Wiro Sableng 182 Delapan Pocong Menari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalian akan menerima pembalasan..."
Habis keluarkan ucapan orang itu sempoyongan lalu roboh ke tanah.
"Keparat Sinuhun Muda Ghama Karadipa! Jadi kau
yang punya perbuatan! Pembalasan jatuh lebih dulu atas dirimu!" Teriak Pendekar
212. Seluruh tenaga dalam yang dimiliki disalurkan ke tangan kanan yang masih
memancarkan cahaya perak menyilaukan. Ketika Wiro siap menghantam tiba-tiba ada
suara perempuan mengiang di telinga.
"Jangan dibunuh! Nyawanya sudah ada yang
memesan!" Wiro terkesiap. "Delapan Pocong..." Ucap Wiro lalu tangan kanan meraba ke balik
pinggang. Saat itulah tiba-tiba, wusss! Sosok Sinuhun Muda
Ghama Karadipa lenyap dari pemandangan. Di tanah
tampak sebuah lobang sepemasukan tubuh manusia.
Terowongan Arwah!
"Delapan Pocong! Aku mohon kau jangan mencampuri
urusanku! Karena ucapanmu makhluk jahat itu berhasil kabur!" Wiro mengomel
karena jengkel.
"Kami bukan mencampuri. Kami hanya memberi ingat.
Jangan marah dan jangan merasa kami menghalangi."
Terdengar jawaban mengiang di telinga Wiro.
Wiro dan sukmanya walau tidak mengalami cidera
namun sama-sama tampak pucat tak berdarah, dada
mendenyut sakit. Rambut berjingkrak lucu ke atas! Sosok Ken Parantili terguling
di tanah masih dalam keadaan diam pingsan tak berkutik.
Sementara itu di udara sana, sadar kalau diri mereka telah ditolong oleh Wiro
dan sukmanya kelelawar raksasa yang tinggal satu bersama puluhan makhluk Arwah
Hitam Putih meluruk turun ke tanah, membuat sikap bersujud.
Sepasang mata merah kelelawar raksasa berkedip. Lalu terdengar dia berucap.
"Saya dan semua pengawal Negeri Atap Langit
menghatur terima kasih. Kau dan saudara kembarmu telah menyelamatkan kami dari
serangan maut Sinuhun Muda Ghama Karadipa."
Wiro tatap sebentar makhluk di hadapannya, melirik pada puluhan Arwah Hitam
Putih lalu menjawab. "Sinuhun Muda" Bukankah dia sebenarnya berada di pihak
kalian" Bukankah bersama Sinuhun Merah saudara kembaran
nyawanya dia adalah kaki tangan malah bisa dianggap sebagai murid-murid Penguasa
Atap Langit?"
"Keculasan setipis angin pagi. Itulah yang terjadi. Mulai hari ini kami semua
menjadi hamba sahaya Yang Mulia berdua!"
Wiro asli dan Wiro sukma sama-sama terkejut dan
saling pandang. Wiro asli menggeleng lalu garuk-garuk kepala. "Tidak, kami
berdua bukan pimpinan kalian. Kalian bukan hamba sahaya kami."
"Tapi itu adalah perintah Yang Mulia Penguasa Atap Langit kepada kami." Jawab
kelelawar raksasa yang membuat Wiro dan sukmanya kembali dibuat kaget.
"Di mana sekarang beradanya pimpinan kalian
Penguasa Atap Langit?" Wiro bertanya.
"Kami tidak tahu. Setelah memberi perintah untuk
melindungi Yang Mulia berdua bersama Selir Pertama, Yang Mulia Penguasa Atap
Langit menghilang. Kami tidak tahu apakah kami akan bertemu lagi dengannya."
"Dengar kalian semua. Saat ini lebih baik kalian
mengurus sisa-sisa jenazah sahabat kalian yang masih berhamparan di tempat ini."
Berkata Wiro. "Lalu Yang Mulia sendiri mau berbuat apa?" Tanya
kelelawar raksasa pengawal Negeri Atap Langit.
Wiro tertawa mendengar dirinya terus-terusan dipanggil Yang Mulia. "Kami akan
segera pergi dari tempat ini..."
Kelelawar raksasa dan puluhan Arwah Hitam Putih
unjukkan wajah kecewa. Dengan suara perlahan kelelawar raksasa berkata. "Mohon
dimaafkan kami tidak bisa mengantar atau menunjukkan jalan. Karena hal itu tidak
diperintahkan oleh Yang Mulia Penguasa Atap Langit yang lama."
"Tidak jadi apa. Kami bisa mencari jalan sendiri." Jawab Wiro.
"Kalau begitu semoga Yang Mulia berdua mendapat
tuntunan dari Para Dewa..."
"Ya... ya. Terima kasih." Jawab Wiro yang tidak bisa mengerti mengapa makhlukmakhluk itu jadi berubah baik dan sangat menghormat dirinya. Mengapa Penguasa
Atap Langit mengatakan pada makhluk-makhluk itu bahwa
dirinya adalah pimpinan yang baru di Negeri Atap Langit.
Jangan-jangan semua ini jebakan belaka. Suatu ketika Penguasa Atap Langit bisa
saja muncul secara tak terduga membawa bencana yang lebih dahsyat.
Wiro memberi isyarat pada sukmanya. Sang sukma
segera menggendong Ken Parantili kembali. Lalu keduanya cepat-cepat meninggalkan
tempat itu diikuti pandangan kelelawar raksasa dan puluhan makhluk Arwah Hitam
Putih. *** WIRO SABLENG DELAPAN POCONG MENARI
8 ETIKA langit di ufuk timur mulai terang tanda fajar akan segera menyingsing,
Wiro dan sukmanya
Ksampai di satu kawasan berbatu-batu berhawa
sangat dingin. Wiro melihat sukmanya tampak pucat dan gerakannya mulai lamban.
Wiro sendiri saat itu merasa letih.
"Sukmaku sudah terlalu lama berada di alam luar.
Belum pernah kejadian seperti ini. Saatnya dia harus masuk kembali ke dalam ragaku. Kalau tidak dia dan aku bisa sama-sama celaka." Membatin Wiro yang saat
itu merasa dadanya mulai sesak.
Wiro mengambil Ken Parantili dari gendongan
sukmanya lalu membaringkan perempuan ini di tanah di atas rerumputan liar. Dia
sendiri kemudian duduk bersila dan merapal ajian Meraga Sukma. Hanya sekejapan
mata sosok utuh sukma Wiro berubah menjadi bayang-bayang lalu masuk ke dalam
tubuh aslinya. Kini perhatian Wiro tertuju pada Ken Parantili. Dia tidak melihat tanda-tanda
totokan di bagian tubuh sebelah atas selir itu. Tidak ada cidera atau bekas
pukulan. Tubuhnya juga tidak panas pertanda tidak ada racun jahat yang mendekam.
Wiro letakkan telinga kiri di atas dada perempuan itu. Dia bisa mendengar detak
jantung walaupun agak perlahan.
"Tak ada totokan, tak ada racun. Detak jantung masih terdengar tanda dia masih
hidup. Tapi mengapa seluruh kulitnya berwarna merah" Akibat selubungan kain
merah?" "Kain aneh. Bagaimana aku bisa melenyapkan tanda
merah di wajah dan sekujur tubuh selir ini" Kasihan kalau dia sampai cacat
seumur hidup." Wiro menggaruk kepala.
"Aku harus bisa membuatnya sadar. Dia satu-satunya yang bisa menolong memberi
tahu bagaimana keluar dari negeri sialan ini. Aku masih harus menolong Ni Gatri,
mencari Eyang Sinto, menemukan kembali Kapak Naga Geni..."
Wiro letakkan telapak tangan kanan di kening Ken
Parantili lalu kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti.
Ditunggu beberapa lama perempuan itu lelap saja tidak bergerak. Tidak siuman.
Wiro ganti memegang dua
pergelangan kaki. Lalu kembali mengalirkan tenaga dalam dan hawa sakti ke tubuh
Ken Parantili. Sampai tubuhnya keringatan Ken Parantili masih terus tak
berkutik, diam dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tenaga dalam dan hawa saktinya
tidak mampu menembus masuk ke dalam tubuh sang selir.
Wiro duduk termenung, terus berpikir-pikir. Tiba-tiba saja dia ingat pada
delapan bunga matahari kecil. Dengan cepat bunga dikeluarkan dari balik pakaian.
Sesaat Wiro merasa bimbang. Bunga diusap-usap. Tangan diulur.
Delapan bunga kecil perlahan-lahan disapukan ke bagian atas kepala lalu ke
kening Ken Parantili. Selir itu masih belum juga siuman. Wiro lanjutkan mengusap
delapan bunga matahari ke bagian wajah, terus ke leher. Ketika delapan bunga
menyapu di atas dada sebelah kiri, desss!
Satu letupan halus tapi berkekuatan besar membuat Wiro terpelanting. Delapan
bunga matahari tergoyang kencang, pancarkan warna kuning, coklat dan hijau.
Sosok Ken Parantili sendiri mengapung ke udara mengepulkan asap merah lalu
seperti ada yang menahan, perlahan-lahan jatuh tertelentang di tanah. Ketika
Wiro mendatangi, warna merah pada wajah dan sekujur tubuh selir itu telah
lenyap. Kulitnya kembali seperti semula walau wajah terlihat agak pucat.
Wiro cepat rangkul perempuan itu lalu
mendudukkannya di tanah bersandar pada salah satu batang pohon mahoni yang
tumbang. Dari mulut Ken
Parantili keluar suara mendesah. Bersamaan dengan itu menyembur kepulan asap
merah. Perlahan-lahan sepasang mata terbuka. Astaga! Bagian mata yang seharusnya
putih kelihatan merah seperti saga!
Walau matanya merah namun pemandangannya tidak
terganggu. Begitu melihat Wiro di hadapannya, Ken Parantili membuka mulut hendak
bertanya. Tapi diberi isyarat oleh Wiro agar jangan bicara dulu.
"Sepasang matamu berwarna merah. Tadi waktu masih terpejam aku telah mengusap
dengan bunga ini. Bagian tubuhmu yang lain bisa pulih, warna merah hilang. Tapi
warna merah di matamu tidak lenyap."
Ken Parantili hanya bisa mengusap-usap karena tidak dapat melihat sendiri
keadaan matanya.
"Aku akan mengusapkan bunga ini sekali lagi. Matamu jangan dipejamkan."
Ken Parantili mengangguk. Wajah sengaja ditengadah dan dua mata dibuka lebarlebar. Wiro usapkan delapan bunga matahari kecil di atas kedua mata perempuan
muda itu. Ajaib memang kesaktian delapan bunga matahari kecil.
Begitu tersentuh usapan bunga, bagian mata yang merah berubah pulih menjadi
putih kembali. "Matamu sudah sembuh. Warna merahnya sudah
hilang." Wiro memberi tahu.
Saking girangnya Ken Parantili mencium delapan bunga matahari lalu memeluk Wiro
sambil mengucapkan terima kasih. "Kalau tidak ada bunga ini dan kau tidak
menolong, dalam waktu tiga hari mataku akan menjadi buta. Itulah jahatnya Ilmu
Selubung Kain Kafan Sukma Merah."
"Ilmu setan!" Rutuk Wiro. "Aku sudah membuktikan.
Jangankan keluar, merobeknya saja aku tidak mampu.
Sukmaku berhasil merobek sedikit namun kemudian dua tangannya dibuat tak
berdaya!" Wiro menggaruk kepala lalu bertanya. "Apakah kau memiliki ilmu itu?"
"Setengah jalan." Jawab Ken Parantili.
"Maksudmu?"
"Aku bisa mengeluarkan, namun tidak bisa
melenyapkan. Penguasa Atap Langit hanya memberi tahu bahwa ada semacam rapalan
disertai cara meniup untuk melepaskan seseorang yang telah dibungkus Ilmu Kain
Kafan Sukma Merah. Aku tidak sempat mendapatkan rapalan itu."
"Ah... itu rupanya yang dilakukan Penguasa Atap Langit.
Baru aku ingat. Dia melenyapkan selubung kain kafan merah di tubuhmu dengan cara
meniup. Berarti dia
bermaksud mau menolong setelah berbuat jahat."
"Perguasa Atap Langit yang melakukan" Bagaimana
aku bisa percaya?" Ucap Ken Parantili pula. "Sahabat, sekarang ceritakan padaku
apa yang terjadi" Bagaimana kita bisa berada di sini" Mana Penguasa Atap Langit"
Mana sukmamu?" Selir itu memandang berkeliling.
Wiro menceritakan apa yang terjadi.
"Jadi kau tidak membunuh Penguasa Atap Langit?"
Tanya sang selir heran.
Wiro gelengkan kepala. "Saat itu dia dalam keadaan tak berdaya. Lalu aku juga
melihat ada perubahan pada dirinya."
Wiro tidak menceritakan adanya suara mengiang yang melarang dia membunuh
Penguasa Atap Langit.
"Tapi ilmunya bisa saja pulih kembali. Jika hal itu sampai terjadi akan sangat
berbahaya."
"Mudah-mudahan saja dugaanmu keliru. Karena
sewaktu tiga kelelawar raksasa dan puluhan makhluk berwajah hitam putih muncul
hendak membunuhku,
Penguasa Atap Langit melarang dan mengusir mereka.
Kemudian ketika ada serangan Delapan Sukma Merah, dua kelelawar raksasa dan
sembilan makhluk Arwah Hitam Putih mengorbankan diri melindungiku dan
sukmaku..."
"Wiro, sulit aku percaya kalau bukan mendengar dari mulutmu sendiri. Tapi
mengapa sekarang dia melenyapkan diri" Bukan mustahil tengah menghimpun kekuatan
dan menyusun rencana balas dendam. Walau banyak ilmunya yang telah amblas dan
rontok, agaknya Penguasa Atap Langit masih menyimpan beberapa ilmu kesaktian
dahsyat." "Ken Parantili, yang lebih penting saat ini adalah mencari jalan keluar dari
negeri keparat ini." Berkata Wiro.
"Kita harus mencari pohon beringin yang dulu
membawamu ke sini. Hanya pohon itu yang bisa
membawamu keluar dari Negeri Atap Langit."
"Hanya aku yang akan dibawa" Apa maksudmu" Kau
akan tetap tinggal di negeri ini?" Bertanya Wiro.
"Aku tidak mungkin ikut bersamamu."
"Mengapa tidak mungkin" Kau memilih tetap di sini bersama Penguasa Atap Langit
yang pasti akan
membunuhmu?" Bertanya Wiro.
"Aku tidak mungkin pergi tanpa lebih dulu
mendapatkan kembali jantungku yang telah dicopot dan disimpan Penguasa Atap
Langit di suatu tempat. Tanpa jantung, di dunia luar aku hanya bisa bertahan
hidup selama tiga hari tiga malam. Kalau Penguasa Atap Langit bertindak gila dan
bengis, dia bisa meremas jantungku dan saat itu juga aku akan menemui kematian
secara lebih cepat."
"Dia tidak akan melakukan itu. Ingat, seperti katamu dia ingin membunuh ragamu
dengan tangannya sendiri.
Karena hanya dengan cara itu dia bisa mempertahankan ilmu kesaktiannya yang
masih tersisa."
"Kau benar," kata Ken Parantili sambil memegang
lengan Wiro. Seperti yang pernah diperlihatkan Ken Parantili kepada Wiro dengan cara membelah
dadanya, selir ini memang tidak memiliki jantung. Dada kirinya kosong!
"Kalau begitu kita cari dulu jantungmu itu." Kata Wiro pula.
Ken Parantili menggeleng. "Aku akan mengantarkanmu mencari pohon beringin yang
dulu membawamu ke sini.
Setelah bertemu kau pergi sendirian. Tidak perlu
memikirkan diriku. Banyak pekerjaan sangat penting yang harus kau lakukan.
Berlama-lama di sini aku khawatir akan terjadi sesuatu pada dirimu."
Wiro ganti menggeleng. "Aku tidak akan pergi kalau tidak membawamu serta.
Menyelamatkanmu juga
merupakan satu tugas penting."
"Di Negeri Atap Langit ada delapan belas orang selir lagi. Satu yang bernama
Windu Resmi sudah menemui ajal.
Masih ada tujuh belas orang yang kelak akan menemui nasib sama. Menemui kematian
di tangan Penguasa Atap Langit. Apakah kau juga akan menolong mereka?"
Murid Sinto Gendeng menyeringai lalu menggaruk
kepala, "Itu bisa diatur. Kita lihat saja nanti. Yang jelas bagaimana kita bisa
menyelamatkan orang lain kalau kita saja masih tersekap di sini" Sekarang lekas
tunjukkan di mana Penguasa Atap Langit menyekap jantungmu!"
"Tempatnya sebuah goa. Letaknya sebenarnya tak jauh dari sini. Tapi
keberadaannya seperti gaib. Untuk pergi ke sana perlu menunggang pohon beringin
dan memakan waktu cukup lama. Itulah keanehan Negeri Atap Langit."
Menerangkan Ken Parantili.
Wiro jadi tidak sabaran. Dirangkulnya pinggang Ken Parantili lalu perempuan itu
dipanggul di bahu kanan. "Kau tunjukkan jalan! Kita cari pohon itu sekarang
juga!" Sesaat Ken Parantili merasa terharu mendengar apa yang diucapkan dan hendak
dilakukan Pendekar 212.
Tangan kiri digelung di leher Wiro. Tangan kanan menunjuk ke depan, memberi
isyarat ke mana Wiro harus bergerak.
"Turunkan aku. Aku bisa berlari sendiri." Berkata sang selir.
Tapi murid Sinto Gendong telah melompat ke arah yang ditunjuk sang selir. Dia
berlari dengan mempergunakan ilmu lari Kaki Angin pemberian Eyang Sinto Gendeng.


Wiro Sableng 182 Delapan Pocong Menari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika Ken Parantili dan Wiro sampai ke tempat di mana seharusnya berada pohon
beringin sakti, mereka terkejut karena pohon itu tidak ada lagi di tempatnya
semula. Di tanah terlihat satu lobang besar.
"Celaka! Pohon beringin lenyap dibongkar orang!"
Teriak Ken Parantili. "Kita tidak mungkin keluar dari Negeri Atap Langit saat
ini juga. Berarti kita harus menunggu selama tujuh hari tujuh malam baru bisa
menemukan pohon beringin itu. Aku khawatir selama itu Penguasa Atap Langit, jika
dia masih hidup, akan berusaha memulihkan diri lalu melakukan balas dendam yang
dahsyat!" Mendadak di langit ada suara berkesiuran.
Wiro mendongak ke atas. "Ken Parantili. Agaknya kita tidak perlu menunggu sampai
tujuh hari tujuh malam..."
*** WIRO SABLENG DELAPAN POCONG MENARI
9 ETIKA Ken Parantili ikut mendongak menatap ke atas langit, darahnya tersirap.
Dia melihat satu pohon Kberingin besar di udara dan bergerak melayang turun ke
arah dirinya dan Wiro berada. Daun-daun dan akar di sebelah bawah bergetar
mengeluarkan suara berdesir.
Akar-akar gantung bergelayutan. Itulah pohon beringin yang tengah mereka cari!
Ken Parantili tidak merasa heran melihat pohon
beringin bisa melayang di udara bergerak turun ke bawah.
Keanehan seperti ini biasa-biasa saja di Negeri Atap Langit.
Sebelumnya dia pernah membawa pohon itu keluar dari Negeri Atap Langit menuju
kawasan Plaosan untuk mencari Wiro. Namun yang membuatnya terkesiap besar adalah
ketika melihat ada dua tangan menggotong pohon itu. Di bawah batang pohon
sebelah tengah ada satu sosok
merah menopang batang pohon. Si penopang ternyata bukan lain Penguasa Atap
Langit. "Awas! Dia hendak menimbun kita dengan pohon
beringin itu! Kurang ajar! Baru saja diberi ampun sudah berbuat culas!" Teriak
Wiro marah. Serta-merta dia siapkan Pukulan Sinar Matahari.
Di atas sana, pohon beringin besar tidak dilempar ke bawah seperti yang diduga
Wiro, tapi terus melayang ke bawah secara perlahan-lahan lalu tanpa suara, tanpa
getaran pohon diturunkan ke tanah, hanya beberapa langkah di hadapan Wiro dan
Ken Parantili. Sebelum pohon menyentuh tanah, Penguasa Atap
Langit menyelinap ke belakang pohon lalu, dess! Wiro melompat ke udara. Berusaha
mengejar. Ken Parantili mengikuti. Ketika mereka sampai di balik batang pohon,
Penguasa Atap Langit tidak kelihatan lagi. Yang tampak adalah satu lobang dalam
sepemasukan tubuh manusia.
"Sial! Lagi-lagi Terowongan Arwah!" RutukWiro. "Jika Penguasa Atap langit muncul
lagi kita harus bisa mencegah dia kabur dengan cara ini. Kau punya ilmu
penangkalnya?"
Bertanya Wiro. Ken Parantili menggeleng, "Mungkin kau bisa
mempergunakan ilmu membelah tanah seperti kau
lakukan ketika memendam mayat selir Windu Resmi. Tapi tadi jelas Penguasa Atap
Langit tidak punya niat jahat hendak mencelakai kita dengan menjatuhkan pohon
besar itu." "Lalu mengapa dia kabur?"
"Mungkin dia merasa khawatir kita masih punya
dugaan kalau dia makhluk jahat. Padahal mungkin sudah berubah. Buktinya tadi dia
sengaja membawa pohon
beringin yang kita cari ke sini."
"Kau seperti membela makhluk yang hendak
membunuhmu itu!"
"Sudah, tidak usah diperpanjang. Kalau kau memang mau mengajakku pergi dari
Negeri Atap Langit, sekarang kita harus mencari goa tempat di mana jantungku
disimpan."
"Kalau Penguasa Atap Langit punya niat baik
terhadapmu, seharusnya dia juga membawa jantungmu.
Bukan cuma pohon beringin." Jawab Wiro masih kesal.
"Mungkin dia punya kendala," jawab Ken Parantili.
"Kendala apa?" Tanya Wiro.
"Mulut goa tempat penyekapan jantung bisa saja
dianggap sebagai pintu pantangan yang bisa mencelakai dirinya. Berarti selama
ini ada seseorang yang mewakili makhluk bejat itu menjaga goa."
"Siapa orang atau makhluknya?" Tanya Wiro pula.
Ken Parantili tidak menjawab karena memang tidak
tahu. "Ken Parantili, mungkin saja Penguasa Atap Langit sudah tahu kalau kau akan
mengambil jantungmu di goa penyekapan. Dia lantas menunggumu di sana. Begitu kau
muncul dia akan membunuhmu dengan tangannya sendiri!
Jika kau mati bukankah ada dugaan bahwa semua ilmu kesaktiannya akan kembali
langgeng?"
Sejenak Ken Parantili terdiam mendengar ucapan Wiro.
Kemudian dia berkata. "Kalau kau tidak menolong,
sebenarnya aku sudah mati. Sekarang mengapa aku harus takut pada kematian yang
tertunda?"
Wiro diam saja. Namun dalam hati dia membatin.
"Kalau kau tidak takut menemui kematian, mengapa
bersusah payah pergi ke Plaosan mencariku?"
Ken Parantili melompat ke atas batang pohon beringin.
Sebelum menyusul naik, Wiro bertanya. "Goa tempat penyekapan jantung para selir
itu apakah letaknya di dalam Negeri Atap Langit?"
"Setahuku berada di sebelah timur, di luar Negeri Atap Langit" Jawab Ken
Parantili. Akar dan dedaunan pohon beringin tergetar keras.
Perlahan-lahan pohon itu bergerak naik ke atas.
Ken Parantili berteriak. "Wiro! Tunggu apalagi! Lekas naik ke sini!"
Wiro segera melompat naik. Baru saja menjajakkan
kaki di batang pohon, tiba-tiba pohon beringin perlahan-lahan mulai bergerak
naik ke udara. Wiro dan Ken Parantili berpegang erat ke cabang-cabang pohon.
"Ada sesuatu di pohon!" Tiba-tiba Ken Parantili berseru di dalam deru angin. Dia
membungkuk mengambil sebuah benda memancarkan cahaya kuning yang tersangkut di
antara dedaunan lebat pohon beringin. Ketika berhasil disentuh dan diambil,
darahnya tersirap. Ternyata benda itu adalah mahkota emas yang biasa dipakainya
sehari-hari. Seperti diceritakan sebelumnya sewaktu berada di Puri Kesatu dan
siap hendak meniduri sang selir, Penguasa Atap Langit melemparkan mahkota emas
berbentuk atap yang ada di kepala selir itu ke langit-langit kamar.
"Pasti Penguasa Atap Langit sengaja meletakkan
mahkota emas ini di sela-sela ranting dan daun pohon beringin. Apa maksudnya?"
Ken Parantili berkata sambil memegang dan memperhatikan mahkota emas.
"Mungkin bermaksud baik tapi bisa juga ada niat
jahat." Jawab Wiro. Lalu diam-diam dia terapkan Ilmu Menembus Pandang dan
menatap tak berkesip ke arah mahkota emas yang dipegang sang selir.
Tiba-tiba Wiro berteriak. "Ken Parantili! Cepat lempar mahkota emas itu! Aku
melihat sesuatu!"
Selagi Ken Parantili tertegun dan hanya berdiam diri terkejut mendengar ucapan
Wiro, murid Sinto Gendeng cepat merampas mahkota emas dari tangan perempuan itu
lalu dilempar ke udara. Tiga tombak di udara mahkota emas meledak berkepingkeping. Dari balik ledakan menyembul sosok merah Penguasa Atap Langit. Tanpa
mampu mengimbangi diri, setelah berjungkir balik sang penguasa jatuh terkapar di
tanah. Wiro siap melompat turun dari batang pohon. Namun saat itu pohon beringin terasa
bergetar. Daun-daun pohon keluarkan suara bergemerisik, akar gantung mencuat ke
atas. Akar di sebelah bawah bergerak-gerak. Cepat sekali pohon itu melesat
tinggi ke udara.
Di bawah sana Penguasa Atap Langit tampak duduk di tanah sambil dua tangan
menunjuk-nunjuk ke arah Wiro dan Ken Parantili. Lalu kepala dirundukkan,
disentuh ke tanah berulang kali. Mulut mengucapkan kata-kata yang tidak jelas.
"Apa yang terjadi dengan makhluk itu" Maksud apa
sampai dia menyelinap di mahkota emas kalau bukan maksud jahat!"
Ken Parantili sendiri saat itu tidak mampu keluarkan ucapan. Wajahnya yang tadi
mulai berdarah kini kembali pucat dan tengkuknya terasa dingin.
"Ken Parantili..."
Sang selir memberi tanda agar Wiro tidak meneruskan ucapan. Tubuh dibungkukkan
ke arah kelebatan daun-daun pohon beringin di sisi kanan sebelah depan. Di situ
terselip sebuah benda hijau. Getaran pohon, tiupan angin yang kencang, tidak
mudah untuk dapat mengambil benda itu. Wiro bertindak lebih dulu. Dua jari
tangan kanan dipentang lurus. Lalu dia kerahkan tenaga dalam.
Wuuttt! Lipatan benda hijau melesat dan masuk dalam jepitan dua tangan Wiro. Wiro
memperhatikan. "Daun keladi dilipat empat!" Wiro memberi tahu.
"Di Puri Agung kediaman Penguasa Atap Langit banyak tumbuh pohon keladi besar.
Pasti dia juga yang
meletakkan. Wiro, aku khawatir terjadi seperti tadi. Coba kau periksa dulu
lipatan daun. Jangan-jangan Penguasa Atap Langit menyelinap lagi di dalam
lipatan." "Daun ini tidak ada isi apa-apa. Tidak ketumpangan makhluk lain." Menerangkan
Wiro. "Kalau begitu... Wiro, kau bisa membuka lipatan daun?"
"Sudah kubilang lipatan daun ini tidak ada isi apa-apa.
Kau tak usah khawatir. Biar kubuang saja."
"Pasti ada sesuatu. Kalau tidak mengapa ada yang
meletakkan di pohon ini?" Ken Parantili bersikeras.
Sambil tangan kanan berpegang erat ke cabang pohon, dengan tangan kirinya Wiro
mengeprat lipatan daun keladi.
Begitu lipatan terbuka ternyata pada lembaran daun itu tertera sederet tulisan.
"Agaknya kau menerima surat cinta dari Penguasa Atap Langit. Aku tak mengerti
bahasa tulisan ini. Kau baca sendiri!"
Wiro ulurkan lembaran daun keladi. Ken Parantili cepat mengambil lalu
memperhatikan. Di atas daun keladi itu memang ada serangkaian tulisan yang
bahasanya hanya bisa dimengerti oleh penghuni Negeri Atap Langit.
Begitu membaca apa yang tertera di atas lembaran
daun, berubahlah paras Ken Parantili. Wajah mendadak sontak pucat, tubuh
gemetar. Sepasang mata menatap ke arah Wiro sementara dada tampak bergerak turun
naik. "Tidaakkk!" Satu teriakan keras menggelegar keluar dari mulut Ken Parantili.
Pohon beringin bergoncang tiga kali. "Apa bunyi tulisan di daun itu?" Bertanya
Wiro tidak sabaran.
Sepasang mata Ken Parantili membesar seolah hendak melompat keluar dari
rongganya. Kepala digeleng. Mulut berulang kali mengucapkan kata tidak.
"Wiro..." Suara Ken Parantili perlahan dan lirih.
Wiro berusaha mendekat. Memegang bahu selir itu lalu berkata. "Kau mengalami
guncangan hebat! Apa yang terjadi" Apa yang tertulis di atas daun keladi itu?"
"Aku, aku tidak bisa mengatakan. Aku lebih baik
memilih mati saat ini juga!" Sepasang mata menatap ke bawah. Saat itu pohon
beringin yang membawa dirinya dan Wiro berada dua ratus tombak di atas permukaan
tanah. Perlahan-lahan Ken Parantili lepaskan pegangannya pada daun keladi. Begitu
disambar angin, daun ini melayang ke udara.
Wiro tahu apa yang hendak dilakukan Ken Parantili.
"Jangan! Ken Parantili! Sadar!"
Ken Parantili pejamkan kedua matanya. Didahului
teriakan keras dan panjang, selir itu hamburkan diri dari atas batang pohon
beringin. Wiro berusaha menggapai pinggang perempuan itu tapi terlambat! Dia
hanya mampu menarik robek salah satu bagian pakaian putih. Sosok Ken Parantili
jatuh ke bawah, melayang berputar-putar, siap untuk menghunjam ke tanah!
Wiro kerahkan tenaga dalam pada kedua kaki sambil membuat gerakan memberatkan
diri agar pohon beringin melayang turun ke bawah. Namun pohon malah berputarputar di udara. "Celaka! Apa yang harus aku lakukan"
Perempuan itu! Apa yang membuatnya tiba-tiba menjadi nekad melakukan bunuh
diri!" Di saat luar biasa genting itu tiba-tiba terdengar suara mendengung halus. Lalu
ada delapan benda kecil
bercahaya. Walau sang surya telah naik dan udara berubah terang, namun delapan
cahaya kecil tampak berpijar benderang. Di kejauhan terdengar suara alunan
gamelan ditingkah tiupan seruling, tabuhan gendang dan gesekan rebab!
Delapan cahaya melesat ke arah sosok Ken Parantili yang tengah melayang jatuh.
Pada ketinggian dua ratus tombak di atas tanah, delapan benda terang tiba-tiba
berubah membentuk bayang-bayang menyerupai pocong.
Anehnya sosok mereka tidak dibuntal kain kafan putih, tapi terbungkus kain
coklat di sebelah atas, kain hijau dari pinggang ke bawah dan di pinggang
melingkar ikat pinggang kain lebar berwarna kuning. Rambut yang
panjang tergerai melambai-lambai ditiup angin. Di atas pohon beringin, delapan
pocong yang wajahnya tidak terlihat jelas membuat gerakan meliuk-liuk, tangan
dan kaki melambai kian kemari. Astaga! Mereka ternyata menari di bentangan
udara! Mengikuti alunan gamelan.
Sebenarnya ini adalah satu pemandangan yang indah.
Namun dalam terkesiapnya, Pendekar 212 justru merasa khawatir dan menatap dengan
mata tak berkesip.
Jantungnya berdegup keras. Lapat-lapat Wiro mendengar suara perempuan bernyanyi,
bersahut-sahutan bait demi bait.
"Tidak dipanggil kami datang sendiri
Sebelum ajal berpantang mati
Pikiran manusia memang pendek
Tapi mengapa nyawa mau dipantek
Menolong orang adalah perbuatan terpuji
Tapi menolong diri kami siapa perduli
Tidak dipanggil datang sendiri
Agar tidak ada yang tersia-sia di atas bumi"
"Delapan Pocong Menari. Apakah mereka ini yang
malam tadi menyelamatkan diriku." Ucap Wiro dalam hati.
Pohon beringin di atas mana dia berada perlahan-lahan melayang turun. Di bawah
sana Wiro melihat tujuh dari delapan pocong perempuan melesat ke arah tubuh Ken
Parantili yang tengah jatuh dan saat itu berada dalam keadaan pingsan. Sementara
satu pocong lagi terbang ke jurusan daun keladi yang tadi dilepas oleh selir itu
dan melayang di udara. Di kejauhan tampak sebuah gunung yang puncaknya
berselimut awan. Di balik awan kelihatan sebuah kawah besar mengepul asap putih.
Wiro meraba pinggang pakaian. Delapan bunga
matahari kecil ternyata tidak ada lagi di balik pakaiannya!
*** WIRO SABLENG DELAPAN POCONG MENARI
10 UARA alunan gamelan terdengar lebih keras. Tujuh
perempuan berpakaian coklat-hijau berselempang
Sikat pinggang lebar berwarna kuning dalam gerakan seperti menari tiba-tiba
berjungkir balik lalu laksana kilat melesat mendekati Ken Parantili. Hanya
terpisah sejarak lima tombak mereka lepas ikat pinggang lebar lalu, sett...
sett! Tujuh ikat pinggang lebar bergulung melibat tubuh Ken Parantili. Untuk beberapa
lamanya selir yang pingsan itu seperti berada dalam bedung ayunan. Tujuh ikat
pinggang lebar terulur panjang. Tubuh Ken Parantili meluncur ke bawah, ke arah
puncak gunung. Tinggal dua puluhan tombak dari tanah, tujuh gadis keluarkan
suara nyanyian.
Temannya yang seorang yang telah berhasil mendapatkan daun keladi ikut
bergabung. Daun keladi disusupkan ke balik pakaian di bagian punggung Ken
Parantili. "Tidak dipanggil datang sendiri
Berarti kami tidak boleh menginjak bumi
Tegarkan diri kuatkan hati
Seorang sahabat akan datang memberi budi"
Lalu, delll... delll!
Tujuh ikat pinggang kuning disentak lepas. Tubuh Ken Parantili melayang jatuh ke
arah pedataran kecil di dekat puncak gunung.


Wiro Sableng 182 Delapan Pocong Menari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat apa yang terjadi Wiro tersentak kaget dan berteriak. "Delapan pocong!
Tadi kalian menolongnya!
Sekarang mengapa dilepas jatuh! Apa itu bukan perbuatan sia-sia"!"
Delapan pocong tidak menyahuti. Sosok mereka
melesat ke arah pohon beringin di mana Wiro berada.
Setengah jalan delapan pocong berubah menjadi benda melayang yang memancar sinar
seperti kunang-kunang di siang hari. Lalu, bleep... bleepp! Delapan cahaya
lenyap. Wiro menggaruk kepala. Meraba pinggang. Ternyata
delapan bunga matahari kecil sudah ada lagi di balik pakaiannya! Wiro menepuk
pinggul sendiri.
"Delapan Pocong! Mengapa..." Suara bentakan Wiro
terputus oleh suara beberapa orang yang menjawab secara bersamaan.
"Kami tahu apa yang kami lakukan! Semua
perlindungan datang dari Gusti Allahmu! Sekarang turun ke sana! Susul temanmu!
Tolong dia!"
"Gusti Allah! Kalian tahu apa tentang Gusti Allahku!"
"Oalah sudah! Melompat sana!"
"Hai! Kalian mau membunuhku"!" Wiro berteriak kaget ketika tiba-tiba ada banyak
tangan terasa mendorong punggungnya, ada juga yang menekan pantatnya!
Seseorang melepas pegangan tangannya pada cabang
pohon. Lalu tubuh sang pendekar didorong ke depan. Tak ampun lagi Wiro
terjungkal dari atas batang pohon beringin pada ketinggian sekitar seratus
tombak dari tanah!
Kembali pada Ken Parantili. Selagi tubuhnya terus melayang jatuh dan hanya
tinggal belasan tombak saja lagi akan hancur remuk menghantam tanah, entah
bagaimana tiba-tiba perempuan muda ini sadar dari pingsannya. Kalau sebelumnya
dia sengaja menghambur untuk bunuh diri tidak takut mati, namun melihat
kenyataan saat itu apa yang terjadi atas dirinya tak urung dia menjerit keras.
Menggapai kian kemari namun hanya menyentuh udara kosong. Tak ada sesuatu yang
bisa dipakai bersigayut untuk menyelamatkan diri. Tidak ada seseorang yang
diharapkan bisa menolong! Sebelum jatuh pingsan lagi untuk kedua kali tiba-tiba
di bawah sana melesat satu benda berwarna merah muda. Di lain kejap Ken
Parantili merasa ada orang memeluk tubuhnya yang bergeletar dan kucurkan
keringat dingin.
"Sahabat dari Negeri Atap Langit! Kau rupanya!" Ada suara orang. "Tenang, tenang
saja. Aku akan membawamu turun ke puncak gunung dengan selamat."
Yang terdengar suara lelaki tapi halus dan lembut menyerupai suara perempuan!
Ken Parantili berusaha memutar kepala untuk melihat siapa adanya orang yang
menolong sementara dia merasa tubuhnya perlahan-lahan digendong turun ke satu
pedataran kecil. Namun dia tidak bisa melihat wajah orang. Dia hanya mencium bau
wangi tubuh dan pakaian orang yang merangkulnya. Ketika dua kakinya menginjak
tanah dengan cepat Ken Parantili lepaskan diri dari pelukan orang. Memandang ke
depan dia terkejut tapi juga gembira.
"Kau!"
Gadis cantik berpakaian merah muda di hadapannya
tersenyum. "Kau masih ingat diriku" Kita berpisah baru kemarin senja. Namaku
Jaka Pesolek..."
"Ya... ya, aku ingat namamu. Kau hebat! Terima kasih kau telah menolongku! Mana
para sahabat yang lain..."
"Mereka ada di sekitar sini. Sebentar lagi pasti
berdatangan. Aku malah mau tanya. Di mana beradanya Ksatria Panggilan alias
sahabat Pendekar 212 Wiro Sableng! Dia kemarin menyusulmu naik belahan pohon
beringin."
"Aku di sini! Segera mati kalau tidak ada yang
menolong!" Tiba-tiba satu teriakan terdengar di udara. Satu sosok berpakaian
merah melayang jatuh luar biasa cepat.
"Wiro! Kau! Apa yang terjadi"!" Jaka Pesolek berteriak terkejut. Tidak menunggu
lebih lama dia segera melompat ke udara guna menolong Pendekar 212. Jaka Pesolek
memang tidak memiliki ilmu kesaktian. Dia hanya punya ilmu bergerak cepat
terutama melesat ke udara dan menangkap petir.
Sesaat lagi Jaka Pesolek akan menggapai tubuh Wiro yang jatuh tiba-tiba di udara
melesat delapan larik kain panjang berwarna kuning. Dengan cepat delapan kain
kuning membuntal tubuh Wiro. Untuk beberapa lama tubuh sang pendekar terayunayun di udara sambil bergerak turun. Jaka Pesolek yang tadi berniat hendak
menolong kini ikut bergantungan pada salah satu kain kuning. Pada ketinggian dua
tombak tidak sabar Wiro segera meloncat turun. Begitu dua kaki menginjak tanah,
delapan kain panjang kuning yang tadi menyelamatkan dirinya lenyap dari
pemandangan. Jaka Pesolek yang bergantung pada sehelai kain kuning cepat pula
melompat "Delapan Pocong Menari." Ucap Wiro. "Aku berterima kasih kalian telah
menolongku."
"Hai! Kau bicara apa" Mana ada pocong di sini! Yang menolongmu adalah delapan
kain kuning aneh yang
barusan raib! Oala, balik dari negeri aneh dirimu juga berubah aneh! Hemm...
Bajumu baru pula!" Berkata Jaka Pesolek.
Wiro delikkan mata. "Kau tahu apa"!"
Jaka Pesolek mencibir. "Yang aku mau tahu, apa kau sudah tidur dengan selir itu.
Bagaimana rasanya" Enak"
Apa aku sekarang bisa dapat bagian" Hik... hik... hik!"
Wiro pelintir telinga kiri Jaka Pesolek hingga gadis yang jantan bisa betina
bisa ini mengaduh kesakitan. Wiro cepat mendatangi Ken Parantili.
"Kau baik-baik saja...?"
"Seharusnya aku tidak perlu ditolong. Biar mati saja.
Siapa yang tadi menolongku?"
"Delapan bunga matahari."
"Berarti delapan pocong itu." Ken Parantili terdiam seperti berpikir. Lalu dia
bertanya. "Kita berada di mana?"
"Di puncak Gunung Semeru." Yang menjawab Jaka
Pesolek. Ken Parantili terdiam lagi. Lalu berkata. "Tidak jadi apa aku tadi tidak menemui
ajal. Tiga hari lagi aku tetap akan mati."
"Karena kau tidak memiliki jantung?"
Ken Parantili mengangguk.
"Kalau begitu kita kembali ke Negeri Atap Langit.
Astaga, di mana beradanya pohon beringin itu?" Wiro memandang berkeliling tapi
di pedataran di puncak gunung itu dia tidak menemukan pohon yang dicari.
"Pohon itu telah raib. Kembali ke Negeri Atap Langit"
Berkata Ken Parantili, menjelaskan dengan suara lirih.
"Kau punya cara lain untuk bisa kembali ke sana?"
"Ada beberapa cara. Tapi aku tidak pernah tahu."
"Sinuhun Merah Penghisap Arwah menurutmu pada
waktu-waktu tertentu selalu pergi ke sana untuk
melakukan upacara Sesajen Atap Langit."
"Wiro, mana mungkin kita minta pertolongan pada
makhluk alam arwah itu."
"Kita harus mencari segala cara untuk bisa
menolongmu."
Ken Parantili tersenyum lalu letakkan kepala di dada Wiro, dua tangan memeluk
sang pendekar. Jaka Pesolek terheran-heran melihat hal itu. Apalagi ketika
menyaksikan Wiro mengusap kepala peerempuan itu. Dalam hati dia berkata. "Oala,
agaknya mereka sudah saling bercinta."
Ketika mengusap punggung Ken Parantili Wiro merasa ada sebuah benda di balik
punggung pakaian sang selir.
Dia hendak bertanya tapi perempuan itu mendahului bicara.
"Kau sahabatku paling baik. Aku sangat berterima
kasih." Berkata Ken Parantili. "Aku sudah cukup puas kalau selama tiga hari sisa
hidupku bisa bersamamu. Aku ingin kau tetap berada di dekatku pada saat aku
menghembuskan nafas terakhir."
"Jangan berkata begitu. Yang Maha Kuasa tidak akan membiarkanmu menemui kematian
sebelum saatnya. Dia pasti akan menolongmu."
"Gusti Allahmu Yang Maha Besar dan Maha Kuasa itu?"
Tanya Ken Parantili.
Wiro tersenyum walau hatinya terenyuh mendengar
kata-kata Ken Parantili. Selagi keduanya masih berpelukan tiba-tiba muncul Ratu
Randang, Kunti Ambiri alias Dewi Ular yang kini tidak mau lagi memakai gelaran
itu, dan Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal.
Ken Parantili tenang-tenang saja. Sebaliknya agak rikuh Wiro lepaskan pelukan.
Untuk beberapa ketika tempat itu menjadi sunyi. Tak ada yang bicara. Masingmasing hanya saling berpandangan.
"Kalian... aku..." Wiro menggaruk kepala.
Ratu Randang senyum-senyum. Sakuntaladewi
menatap ke tanah sementara Kunti Ambiri memandang Wiro dan Ken Parantili
berganti-ganti dengan mata tak berkesip. Ada rasa perih di lubuk hatinya. Namun
kemudian si cantik berpakaian hijau tipis ini mengulum senyum.
Suasana sunyi pecah oleh suara batuk-batuk yang
dibuat Ratu Randang. Entah memang batuk sungguhan atau dibuat-buat!
*** WIRO SABLENG DELAPAN POCONG MENARI
11 IRO, aku bicara mewakili semua sahabat di sini.
Kami gembira kau kembali dengan selamat. Hanya
Wsaja kami tidak mengira sahabat Ken Parantili ikut bersamamu."
Ucapan si nenek bagi Ken Parantili merupakan adanya bayangan rasa tidak senang
atau rasa cemburu terhadap dirinya. Dari apa yang pernah didengarnya, sedikit
banyak dia mengetahui hubungan Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri
dengan Wiro. Si nenek telah kepincut jatuh hati. Sakuntaladewi punya kaul akan
mengambil sang pendekar menjadi suami. Lalu Kunti Ambiri punya kisah lama dan
panjang dengan Wiro. Di Bhumi Mataram
perasaan cinta Kunti Ambiri itu berkembang jadi mendalam akibat berbagai keadaan
Bidadari Penakluk 2 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Naga Sasra Dan Sabuk Inten 29

Cari Blog Ini