Ceritasilat Novel Online

Dewi Dua Musim 2

Wiro Sableng 184 Dewi Dua Musim Bagian 2


"Mungkin di tempat lain"!" Lagi-lagi pemuda berkuda di samping kanan yang bicara
menempelak Panji Ateleng tersenyum. Dia membungkuk memberi
penghormatan. "Ki Sanak berdua aku masih ada kepentingan lain. Aku senang telah bertemu dan
berkenalan dengan kalian..."
Pemuda berkuda di sebelah kiri berbisik pada temannya.
"Aku merasa curiga. Jangan jangan telah terjadi perkelahian antara dia dengan
Dewi Dua Musim Pemuda ini berhasil mencelakainya. Bukan mustahil membunuh gadis
itu!" "Mencelakai mungkin bisa jadi Tapi untuk membunuhnya apapun kepandaian yang
dimiliki pemuda ini dia tidak akan mampu melakukan hal itu terhadap Dewi Dua
Musim." Jawab sang teman.
"Mungkin kita perlu memeriksa dan menahannya agar tidak pergi dulu?"
"Itu yang akan aku lakukan Sekalian menjajal sampai dimana ilmu kanuragan dan
mungkin juga kesaktiannya1"
Dua pemuda di atas kuda dengan gerakan enteng
28 Bidadari Dua Musim
melompat turun dari punggung kuda masing-masing. Sesaat kemudian mereka sudah
berada di hadapan Panji Ateleng. Satu di sebelah kin satu di samping kanan
"Ki Sanak, kami terpaksa tidak mengizinkanmu meninggalkan tempat ini. Paling
tidak sampai ada kejelasan apa yang terjadi dengan Dewi Dua Musim.'
"Memangnya apa yang terjadi dengan gadis itu. Sebenarnya kalian ini siapa dan
apa yang ada dalam benak serta hati kalian"!"
Panji Ateleng mulai bersuara keras walau wajahnya tetap tidak menunjukkan
kemarahan. Pemuda berbelangkon hitam di samping kanan memberi isyarat dengan anggukan
kepala pada sang teman. Si teman langsung bergerak. Sekali berkelebat dia sudah
kirimkan serangan menotok ke dada kiri Panji Ateleng. Serangan ini sangat
berbahaya karena kalau yang diserang hanya memiliki kepandaian sedang-sedang
saja. totokan bisa sekaligus merusak jantung!
"Ki Sanak! Kau bertindak kelirul Tidak ada silang sengketa di antara kita.
Mengapa menyerangku"!" Panji Ateleng berseru sambil condongkan tubuh ke kanan
hingga serangan lewat hanya setengah jengkal di depan dada.
Dapatkan serangan kilatnya tidak mengenal sasaran, pemuda yang menyerang jadi
beringas. Sekali berkelebat jotosan tangan kanannya menderu ke arah wajah Panji
Ateleng. Panji Ateleng angkat tangan kanan ke atas dengan telapak terkembang.
Begitu bukkk! Kepalan lawan menempel di telapak tangan, lima jari dengan cepat
mencengkeram. Sambil menahan sakit pemuda berpakaian hitam coba
lepaskan cekalan Panji Ateleng. Tapi semakin dipaksa semakin seolah terasa remuk
tangan kanannya!
Panji Ateleng dorongkan tangan kanan. Walau mendorong perlahan namun si pemuda
berbelangkon hitam terjajar sampai tiga langkah. Bukannya sadar kalau tenaga
luarnya berada di bawah tenaga luar lawan, pemuda itu malah menjadi
nekad.Didahutui bentakan garang dia kembali menerjang. Kali ini dua tangannya
menderu bergantian. Menjotos laksana kilat dan kelihatan berubah menjadi banyak
sekali. Sambil memukul dua kaki bergerak ke depan mendekati Panji Ateleng. Namun
sampai tubuhnya keringatan semua pukulannya mengenai tempat kosong. Kemudian
disadarinya Panji Ateleng tidak ada lagi di hadapannya.
"Ki Sanak, aku ada di sini. Apa kau akan terus-terusan memukul angin"!"
Pemuda yang menyerang berhenti memukul, cepat berbalik.
Mukanya merah mengetam merasa dipermAihkan. Dia melihat Panji Ateleng telah
berdiri di bawah pohon besar di tepi jalan 29 Bidadari Dua Musim
sambil rangkapkan dua tangan di depan dada dan tersenyum.
Panas hati si pemuda bukan alang kepalang. Kalau tadi semua serangan yang
dilancarkan hanya mengandalkan tenaga luar maka kini dalam marahnya dia segera
keluarkan tenaga dalam dan hawa sakti. Sekali tangan kanan memukul, bukan saja
tangan itu berubah panjang, tapi juga mengeluarkan selarik sinar hitam,
menyambar ke arah Panji Ateleng!
"Ki Sanak, tahan serangan! Mengapa kau jadi nekad!"
Panji Ateleng berseru.
Tapi lawan tidak perdufi. Malah lipat gandakan tenaga dalamnya hingga sinar
pukulan yang keluar dari tangan kanannya memancar lebih hitam, ganas dan angker!
"Wuutttl"
30 Bidadari Dua Musim
WALAU orang menyerang dengan serangan ganas
pertanda berniat mencelakainya. Panji Ateleng tetap tenang.
Dalam ketenangan dia melesat dua tombak ke udara.
"Wusssl Braaakk!"
Sinar hitam pukulan lawan lewat di bawah kaki Panji Ateleng, menghantam
pertengahan batang pohon hingga berderak patah dan tumbang bergemuruhl Jelas
orang hendak menghabisi dirinya, sambil melayang turun Panji Ateleng berteriak.
"Ki Sanak! Ilmu kesaktian mu tinggi sekalil Aku mengaku kalah. Katakan apa yang
kau inginkan dariku"!"
Di bawah sana pemuda yang diteriaki tidak menjawab malah semakin garang. Selagi
lawan dilihatnya masih mengambang di udara, untuk kedua kalinya dia lancarkan
pukulan sakti. Kembali larikan sinar hitam pekat dan angker berkiblat menghantam
ke arah Panji Ateleng.
Kali ini Panji Ateleng tidak mau lagi mengambil sikap mengalah terus-terusan. Di
udara dia membuat gerakan jungkir balik setengah lingkaran. Selagi sinar pukulan
lawan menderu ke atas, Panji Ateleng tahu-tahu sudah turun ke tanah dan kirimkan
tendangan ke lekukan lutut sebelah belakang kaki kanan pemuda berbelangkon
hitam. Lutut tertekuk. Si pemuda terhuyung ke belakang. Sewaktu dia coba
mengimbangi tubuh Panji Ateleng tendang bagian belakang lutut kirinya. Tak ampun
lagi pemuda itu langsung jatuh tertelentang di tanah becek.
Merasa malu dan sekaligus marah, pemuda itu menyumpah habis dan cepat berusaha
berdiri. Namun dua kakinya terasa sangat berat seolah diganduli batu besar.tak
mampu digerakkan apa lagi untuk berdiri bangunl
"Manusia keparat! Apa yang kau lakukan!" Teriak pemuda berbetangkon hitam.
"Ki Sanak, tenanglah. Kau tak apa-apa. Mari kutolong bangun!" Kata Panji Ateleng
pula. Dia melangkah mendekati pemuda yang tertelentang di tanah sambil
mengulurkan tangan.
Maksudnya memang hendak menolong. Namun saat itu melihat kawannya diperlakukan
seperti itu, pemuda satunya tidak tunggu lebih lama segera menerjang. Gerakannya
luar biasa cepat. Tahu-tahu jotosan tangan kanannya sudah menderu ke arah pipi
kanan Panji Ateleng I
Dari suara deru pukulan orang Panji Ateleng maklum 31 Bidadari Dua Musim
kalau pemuda ini memiliki kepandaian lebih tinggi dari yang satunya. Panji
Ateleng menghindar dengan mundur satu langkah sambil tarik kepala ke belakang.
"Wutttl"
Pukulan orang lewat di depan hidung Panji Ateleng.
Tapi begitu lewat lima jari yang mengepal tiba-tiba membuka.
"Wusss!"
Kepulan asap kuning menyambar ke arah wajah Panji
Ateleng. Bau aneh menerpa. Walau mampu menjauh namun pemuda dari Kuto Gede ini
sempat menghirup asap kuning.
"Racun Wesi Kuningi" Ucap Panji Ateleng cepat menahan nafas dan meniup kuat-kuat
ke depan. Sebagian asap kuning bisa disembur namun sebagian lagi sudah masuk ke
jalan pernafasannya. Saat itu juga pemuda ini merasa dadanya sesak, nafas
menyengat dan pemandangan berkunang.
Melihat lawan daiam keadaan limbung pemuda
berbelangkon hitam yang tadi melancarkan serangan asap beracun cepat menyerbu.
Kali ini dia menggempur dengan pukulan berantai yang disebut Sepasang Ular
Sondok Keluar Dari Goa.Dari sela-sela jari yang mengepal menyembur asap hijau
menebar bau amis mendahului datangnya pukulan.
Rupanya pemuda satu ini punya keahlian dalam ilmu pukulan mengandung racun
jahat. Tahu bahaya besar yang dihadapinya, dalam keadaan tubuh menghuyung akibat
serangan racun asap pertama, Panji Ateleng rundukkan tubuh, dua tangan di
kembang ke depan lalu didorong ke arah lawan.
Asap hijau menerpa membalik ke arah pemuda
berbelangkon hitam, membuat orang ini tersentak kaget dan cepat melompat mundur.
Begitu selamat dari senjata makan tuan, si pemuda menerjang ke depan sambil
lancarkan satu tendangan ke arah kepala Panji Ateleng. Saat itu Panji Ateleng
sendiri terduduk di tanah. Wajah tampak kekuningan dan dua mata terpejam. Mulut
komat kamit merapal mantera
perlindungan Dia hendak menggerakkan tangan untuk menotok urat besar di pangkal
leher berusaha agar bisa menyemburkan sisa Racun Wesi Kuning yang masih mendekam
ketika tendangan kaki kanan pemuda berbelangkon hitam datang laksana geledek!
"Pecah kepalamu!" Teriak si penyerang.
Hanya sekejapan lagi tendangan maut itu akan
menghantam hancur kepala Panji Ateleng tiba-tiba tanah di tengah jalan yang
becek terbelah. Dari dalam tanah menyusul suara orang berteriak.
"Sora Warangan! Sewaktu aku muda sepertimu saat ini.
pasti aku juga ingin membunuh pemuda itu! Tahan
32 Bidadari Dua Musim
seranganmu!"
Pemuda berbelangkon hitam bernama Sora Warangan
dan tengah melancarkan tendangan maut ke kepala Panji Ateleng tersentak kaget
mengenali suara orang yang berteriak, dia cepat tahan tendangan.
Dari dalam belahan tanah kemudian mencuat keluar
satu tubuh manusia yang kemudian jatuh bergedebuk di di tanah becek. Orang ini
mengenakan pakaian bagus, seperti pakaian yang biasa dikenakan pejabat tinggi
Kerajaan Mataram.
Wajahnya yang berkumis tebal tampak benjat benjut, rambut riap-riapan. Di sela
bibir mengucur lelehan darah, turun sampai ke dagu yang ditumbuhi janggut tebal.
Baik pakaian maupun muka dan kedua tangannya penuh tertutup tanah merah. Dua
tangan orang ini menggapai-gapai lalu disusun di atas kepala sambil mulut
keluarkan suara mengerang dan meratap.
"Ampun, Ajengan Manggala Wanengpati ampuni
selembar nyawaku!" Habis meratap dia semburkan ludah bercampur darah dan tanah.
Panji Ateleng yang berdiri di tepi jalan terkejut ketika mengenali siapa adanya
orang berpakaian bagus yang tengah minta-minta ampun.
"Perwira Tinggi Kerajaan Cakra Baskara! Apa yang terjadi dengan dirinya" Siapa
yang melemparnya keluar dari dalam belahan tanah! Dia meratap minta ampun pada
seorang bernama Ajengan Manggala Wanengpati. Mana orangnya"! Manggala
Wanengpati. bukankah dia kakek hebat sahabat sekaligus murid Kiai Manding Saroka
dari Pulau Madura?"
Saat itu dari dalam belahan tanah melesat orang kedua mengenakan belangkon dan
jubah hitam legam. Seperti orang pertama yang meratap minta ampun, orang Ini
wajah dan pakaian serta tangan dan kakinya juga penuh dengan tanah merah becek.
Namun dengan sekali menggoyang aurat, semua tanah yang menempel rontok lenyap
seketika membuat ujud orang Ini jadi terlihat jelas!
33 Bidadari Dua Musim
ORANG kedua yang keluar dari dalam tanah adalah seorang kakek tinggi kurus,
mengenakan jubah hitam. Di kepala bertengger sebuah belangkon hitam digelung
dengan ikatan kain putih berbahan sutera halus. Dari bawah belangkon sebetah
belakang menjulai rambut putih sepunggung. Walau tidak memelihara kumis, janggut
atau berewok namun wajah kelimis si kakek menampilkan ujud monyeramkanl Dua daun
telinga yang seharusnya berada di samping kepala terletak di kening kiri kanan.
Lalu mulut yang semestinya terletak di bawah hidung berada di tenggorokan di
bawah dagu! Agaknya kakek berwajah aneh inilah yang telah melempar Perwira
Tinggi Kerajaan Cakra Baskara dari dalam tanah dan saat itu tengah meratap
meminta ampun. SIAPAKAH si kakek aneh berjubah dan berbelangkon
hitam berikat kepala kain sutera putih" Dulunya sebelum menjadi Ajengan atau
pemuka agama dia adalah seorang berkepandaian tinggi baik ilmu silat maupun
kesaktian. Diketahui bernama Manggala Wanengpati, dijuluki Iblis Hitam Kepala Putih.
Julukan itu diberikan orang karena dia selalu mengenakan jubah hitam sedang di
atas kepala yang
mengenakan belangkon hitam pada bagian di atas kening selalu melilit kain putih
terbuat dari sutera.
Dengan ilmu yang dimilikinya Manggala Wanengpati
mengembara ke berbagai penjuru tanah Jawa bahkan sampai ke tanah seberang
termasuk pulau Madura, Bali dan Andalas, Sesekali dia pernah pula muncul di
negeri Bugis serta tanah Dayak. Dalam pengembaraannya dia banyak memoetyari
berbagai ilmu kesaktian langka dari tempat-tempat yang d.datangi pada para tokoh
yang ditemui. Namun di masa mudanya Manggala Wanengpati telah berbuat banyak
kejahatan. Mulai dari menjadi kepala rampok sampai mempermainkan perempuan
termasuk menculik istri dan anak gadis orang. Dalam menjalankan kejahatan,
perkara membunuh adalah soal kecil baginya, seenak dan semudah dia membalikkan
telapak tangan saja.
Menurut riwayat yang kemudian diketahui banyak tokoh rimba persilatan dan tokoh
agama di tanah Jawa dan Madura, ketika memasuki usia hampir tujuh puluh tahun,
Manggala Wanengpati yang masih saja terus berbuat maksiat dan 34 Bidadari Dua
Musim kejahatan suatu ketika bertemu dengan seorang Kiai berasal dari Sumenep di Pulau
Madura, bernama Kiai Manding Saroka.
Seperti biasa, jika bertemu dengan orang berkepandaian tinggi Manggala
Wanengpati selalu ingin menjajal.
Saat itu sang Kiai berada di tempat kediamannya di tepi Kali Saroka yang indah
pemandangan dan sejuk hawanya.
Kedatangan sang tamu disambut Kiai Manding Saroka dengan segala hormat. Niat
Manggala Wanengpati menantangnya bertarung saling uji ilmu kepandaian hingga
salah satu dari mereka menemui kematian. tidak dilayani, ditolak secara halus
oleh sang Kiai. Malah dengan tenang Kiai Manding Saroka mengambil sebuah
bantalan dan Kitab Suci Al Qur*an, duduk bersila di lantai panggung rumah
kediamannya. Bantal diletakkan di atas pangkuan lalu Kitab Suci ditaruh diatas
bantal.Sesaat kemudian terdengar suara sang Kiai mulai membaca melantunkan ayatayat suci dengan suara lembut Siapa saja yang mendengar suara sang Kiai mengaji
pastilah akan merasa kesejukan di dalam kalbu. Namun tidak demikian dengan
Manggala Wanengpati yang jahat, sombong, keras kepala keras hati. Dia merasa
tersinggung. Sambil borkacak pinggang dia membentak.
Mulut aneh yang berada di tenggorokan di bawah bahu terbuka.
"Kiai Manding Sarokal Jika kau tidak segera menghentikan bacaan dan meletakkan
Kitab Suci itu, jangan salahkan kalau aku akan segera menyerangmu. Jika kau
sanggup menghadapi tiga jurus saja dari seranganku, aku menganggap kau pantas
menjadi guruku!"
Kiai Manding Saroka hentikan bacaannya, kepala diangkat sedikit, menatap
Manggala Wanengpati lalu mulut berucap.
'Bahwasanya jika seorang hamba telah melakukan
kejahatan selama umur dikandung badan. Seumpama dosa-dosanya tak terhitung
sebanyak busah di lautan. Lalu pada suatu ketika dia meminta ampun dan bertobat,
maka Allah Maha Pengasih Maha Penyayang akan menerima tobatnya."
"Kiai kurang ajar! Aku menantangmu menerima tiga jurus seranganku! Bukan mau
mendengar dakwah!" Teriak Manggala Wanengpati dongan suara lantang mata
mendelik. Kiai Manding Saroka menjawab bentakan orang dengan tersenyum. Mata dikedip
lembut Lalu kembali dia berkata.
"Ketika seseorang telah melakukan kejahatan dan berbuat begitu banyak dosa
sepanjang hidupnya, lalu dia menghadapi sakratal maut sengsara kematian. Lalu
dia memohon ampun dan tobat kepada Allah, maka baginya tobat tidak berlaku lagi.
Sesungguhnya dia sudah ditunggu siksaan yang teramat pedih.''
35 Bidadari Dua Musim
Amarah Manggala Wanengpati meledak. Sekali lompat
saja dia sudah lepaskan tendangan kaki kanan dahsyat ke arah kepala Kiai Manding
Saroka. Ini adalah jurus pertama dari ilmu silat luar yang dinamakan "Tiga Iblis
Hitam Membuncah Laut Selatan"! Karena tendangan disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi dan hawa sakti maka serangan itu memancarkan cahaya hitam pekat.
Diserang dengan tendangan maut begitu rupa Kiai Manding Saroka meneruskan
bacaannya namun di saat itu dua tangan digerakkan untuk mengangkat Kitab Suci Al
Qur'an dari atas bantal. Begitu Kitab Suci naik ke atas, tiba-tiba sekali bantal
yang ada di pangkuan sang Kiai melesat ke udara, melindungi kepala Kiai Manding
Saroka. "Desss!"
Tendangan maut Manggala Wanengpati menghantam


Wiro Sableng 184 Dewi Dua Musim di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bantal, menyelamatkan kepala Kiai Manding. Walau kakinya hanya merasa menendang
benda lembut seperti kapas namun tak urung kakek berjuluk Iblis Hitam Kepala
Putih terhuyung ke belakang, hampir saja jatuh duduk di lantai rumah kalau tidak
cepat mengimbangi diri.
Seharusnya apa yang terjadi menyadarkan Manggala
Wanengpati. Kiai Manding Saroka hanya mempergunakan sebuah bantal untuk
menghadapinya, tidak turun tangan langsung. Tapi karena mata hati dan pikiran
jernih sudah tertutup. Manggala Wanengpati malah menggelegak amarahnya. Dia
kembali menyerang sang Kiai. Serangannya ternyata bukan hanya tiga jurus tapi
sudah tujuh jurus. Seluruh tujuh jurus, semua serangan itu ditahan oleh bantal
milik sang Kiai! Hebatnya setiap serangan yang dilancarkan Manggala Wanengpati dan mampu menghancurkan tubuh besar seekor gajah atau batu.namun bantal yang
dihantam sedikitpun tidak rusak, robek apa lagi sampai berbusaian kapuk di
dalamnyal Dengan hidung kembang kempis, tangan dan kaki merah bengkak, pada
akhir jurus ke tujuh Manggala Wanengpati hentikan serangan. Dia berdiri tegak
dengan mata laksana dikobari api. Tangan kanan diangkat perlahan sejajar dada.
Rahang menggembung. Sesaat kemudian tangan kanan itu berubah menjadi hitam
legam. Kiai Manding Saroka maklum kalau orang hendak
menghantamnya dengan satu pukulan sakti sangat jahat Maka sambil menutup Kitab
Suci dan mendekapnya di dada, orang tua ini berkata.
"Saudaraku Manggala Wanengpati, sudah saatnya kau harus dimandikan. Tubuh, otak
dan hatimu perlu dibersihkan!
Mudah-mudahan kau mendapat pengampunan dari Yang Maha Kuasa juga mau
mengembalikan dua telinga serta mulutmu ke 36 Bidadari Dua Musim
tempat semestinya! Yang penting kau bisa insaf dan kembali ke jalan yang benar."
"Kiai keparat! Terima kematianmu!"
Manggala Wanengpati hantamkan tangan kanannya yang telah berubah hitam berkilat
ke arah Kiai Manding Saroka. Sang Kiai jentikkan dua jari tangan kanan. Saat itu
juga bantal yang mengapung di udara melesat menutupi wajah Manggala Wanengpati.
Selagi kakek ini kelagapan, bantal mendorong kepalanya hingga tubuhnya terjajar
ke belakang lalu melabrak terali bambu di ujung langkan rumah. Terali roboh,
tubuh Manggala Wanengpati tercebur masuk ke dalam kali.
Kiai Manding Saroka berdiri, lalu melangkah ke tepi langkan memperhatikan ke
dalam kali. Kepala atau tubuh Manggala Wanengpati tidak muncul padahal dia tahu
dorongan bantal tidak membuat kakek Itu pingsan dan Manggala juga pandai
berenang. Di salah satu bagian kali Kiai Manding melihat ada pusaran air yang
terus berputar. Arus air kali tidak mampu melenyapkan pusaran itu. Sang Kiai
tersenyum dan angguk-anggukkan kepala.
"Manggala Wanengpati, semoga Gusti Allah memberkatimu."
Tiga hari setelah terceburnya Manggala Wanengpati ke dalam Kali Saroka, suatu
malam sambil menunggu kedatangan saat shotat Isa Kiai Manding Saroka mengaji di
langkan rumah panggung, diterangi cahaya sebuah obor kecil. Tiba-tiba dia
mendengar suara keras kecipuk air di antara suara arus kali.
Sesaat kemudian sesosok tubuh melesat dan berdiri di hadapannya dalam keadaan
basah kuyup. Yang muncul bukan lain adalah Manggala Wanengpati.
Kakek ini berdiri dengan tubuh menggigil. Belangkon hitam dan ikatan kain putih
tak ada lagi di kepala. Jubah hitam masih utuh walau robek kecil di beberapa
bagian. Dua telinga masih terletak di kening kiri kanan dan mulut juga masih
tetap di tenggorokan di bawah dagu. Yang berubah pada diri kakek ini adalah
kulitnya telah menjadi putih bersih dan pandangan matanya walau agak sedikit
bengkak tampak jernih.
"Alhamdulillah. Mandi tiga hari tiga malam sahabat Manggala Wanengpati sudah
selesai. Gusti Allah benar-benar telah memberkatimu." Berkata Kiai Manding
Saroka. Tidak memberikan jawaban Manggala Wanengpati
langsung jatuhkan diri bersujud di lantai rumah panggung.
Hening beberapa lamanya. Kemudian terdengar suara kakek itu berucap.
"Kiai Manding Saroka, aku Manggala Wanengpati mengaku salah. Aku mohon ampun
atas semua dosa dan segala
kesalahanku. Aku juga ingin bertobat pada Gusti Allah atas 37 Bidadari Dua Musim
semua dosa kesalahanku di masa lampau. Di sisa hidupku ini aku ingin menjadi
orang baik-baik dan taat beragama. Aku membutuhkan bimbingan Kiai."
Kiai Manding Saroka gembira sekati mendengar ucapan Manggala Wanengpati. Setelah
meletakkan bantal dan Kitab Suci di atas sebuah meja kecil, orang tua ini
memegang bahu Manggala Wanengpati lalu menyuruhnya berdiri. Sambil memegang bahu
Kiai Manding salurkan hawa hangat ke tubuh Manggala hingga kakek ini tidak
menggigil lagi kedinginan.
Hawa hangat itu memberi kekuatan hingga Manggala mampu mengembalikan tenaga
dalam dan mengatur hawa sakti di tubuhnya.
"Saudaraku, tidak ada sesuatu yang teramat indah selain niat baik yang diucapkan
dengan segala ketulusan. Tidak ada borkah yang besar dan menyejukkan hati selain
berkah dari Yang Maha Kuasa." Kiai Manding Saroka lalu memeluk tubuh basah kuyup
itu dengan perasaan penuh haru.
Menurut cerita selanjutnya Manggala Wanengpati menetap di tempat kediaman sang
Kiai selama beberapa hari. Di sini dia menerima berbagai amalan. Konon kemudian
atas nasihat sang Kiai, Manggala Wanengpati berangkat ke tanah suci Mek-kah.
Ketika sepuluh bulan kemudian dia kembali ke tanah Jawa, walau penampilannya
tidak berubah yaitu tetap mengenakan jubah dan belangkon hitam serta ikat kepala
putih namun kakek ini telah menjadi seorang baik dan alim. Beberapa bulan dia
menetap di tempat kediaman Kiai Manding Saroka untuk me-nimba ilmu keagamaan.
Orang kemudian memanggilnya dengan sebutan Ajengan yang berarti seorang pemuka
agama. Sewaktu Kiai Manding Saroka menanyakan apakah dia ingin mempelajari
beberapa ilmu kesaktian, Manggala menggeleng dan memberi tahu dia lebih
membutuhkan ajaran agama dari sang Kiai.
Selama berada di tempat kediamannya di tepi Kali
Saroka, Kiai Manding tidak pernah menanyakan pada Manggala Wanengpati apa yang
terjadi dengan dirinya hingga dia memiliki sepasang telinga dan mulut yang tidak
pada tempatnya. Walau boleh dikatakan Manggala Wanengpati sudah sebagai muridnya
namun sang Kiai kawatir, kalau bertanya akan menyinggung perasaan Manggala.
Sebaliknya Manggala Wanengpati sendiri tidak pula mengungkapkan hal-hal yang
menyangkut dirinya di masa lalu. Dia menaruh kawatir kalau sang Kiai sebenarnya
sudah banyak tahu mengenai dirinya atau bisa pula Kiai Manding Saroka tidak suka
mendengar riwayat masa lalunya.
KEMBALI ke kaki Bukit Menoreh.
Melihat orang kedua yang muncul dari belahan tanah yang saat itu telah menutup
kembali, pemuda bernama Sora Warangan cepat membungkuk dalam dan berkata.
38 Bidadari Dua Musim
"Gurul Ajengan Kalau Ajengan tidak muncul niscaya saya telah membuat dosa besar
karena membunuh pemuda itu.
Maafkan saya karena telah berbuat khilafi"
Tidak mengacuhkan ucapan orang. Ajengan Manggala
Wanengpati melangkah mendekati pemuda satunya yang sampai saat itu masih
tergeletak di tanah jalan becek dan dari tadi setengah mati berusaha bangun tapi
tidak mampu karena Panji Ateleng telah menggelandutl kedua kakinya dengan Ilmu
sepemberat batu!
"Wayan Dekik!" Bentak Ajengan Manggala. "Apa yang kau lakukan di sini"! Mengapa
tidur di tengah jalan becek"!"
"Ajengan, Guru, say.."saya_."
Sambil gelengkan kepala tapi mata melirik ke arah Panji Ateleng, Ajengan
Manggala Wanengpati gebrakkan kaki kanan ke tanah. Tubuh pemuda bernama Wayan
Dekik yang tergeletak menggeliat-geliat di tanah terlempar ke udara. Anehnya
tubuh pemuda itu kemudian tertegak dan tersandar di sebatang pohon di tepi
jalan. Dia tidak jatuh, juga tidak lagi merasa kedua kakinya berat seperti tadi.
Malah dia bisa melangkah!
39 Bidadari Dua Musim
PANJI Ateleng yang memperhatikan apa yang terjadi
membatin dalam hati. "Kakek aneh berkuping di kening, bermulut di leher itul Dia
bukan saja membuat muridnya sanggup berdiri tapi sekaligus melenyapkan Ilmu
Seberat Gunung Mengunci Bumi yang aku terapkanl Pemuda itu tadi memanggilnya
dengan sebutan Ajengan. Siapa lagi orang sakti aneh berpakaian hitam, belangkon
hitam, ditambah ikat kepala sutera putih, kalau bukan Ajengan Manggala
Wanengpati yang dulu menurut guru pernah dijuluki orang-orang rimba persilatan
sebagai Hantu Hitam Kepala Pulih."
Di bawah pohon Wayan Dekik tampak ketakutan. Buru-buru pemuda ini susun dua
tangan di atas kepala. "Guru, Ajengan, saya mohon maafmu. Saya mengaku kalau
berbuat salah...."
"Bukan kalau tapi kau dan Sora Warangan memang telah berbuat kesalahan besar!"
Kembali Wayan Dekik susun dua tangan di atas kepala sementara pemuda bernama
Sora Warangan hanya tegak dengan tundukkan kepala.
"Kalian berdua masih ingin membunuh pemuda itu?"
Tanya Manggala Wanengpati sambil menunjuk dengan ibu jari tangan kanan ke arah
Panji Ateleng. Dua pemuda berpakaian hitam-hitam saling pandang,
gelengkan kepala lalu menunduk. Dalam hati mereka merasa heran kenapa sang guru
bertanya begitu. Apakah Ajengan mengenal orang yang tadi hendak mereka bunuh
itu" "Kalian sudah kuberi pelajaran bahwa membunuh sesama manusia tanpa alasan yang
benar-benar bisa dipertanggung jawabkan adalah dosa sangat besar di hadapan
Gusti Allah..."
"Saya mohon maaf Ajengan, Guru...." kata Wayan Dekik.
"Saya juga." berkata Sora Warangan.
"Kalian tahu siapa pemuda ini"!" Manggala Wanengpati masih membentak.
Dua anak murid yang ditanya menatap ke arah Panji Ateleng lalu sama-sama
menggeleng. "Dia adalah Panji Ateleng! Adik ipar Pangeran Banowo.
Orang paling penting di Istana Kerajaan Mataram! Masih sedarah dengan Sri
Baginda Raja Mataram!"
Wayan Dekik dan Sora Warangan terkejut. Muka mereka berubah pucat. Buru-buru
keduanya melangkah ke hadapan 40 Bidadari Dua Musim
Panji Ateleng, membungkuk dan meminta maaf berulang kali.
Panji Ateleng balas tundukkan kepala Saat itu Panji Ateleng sebenarnya merasa
terkejut karena tidak menyangka Ajengan Manggala Wanengpati mengetahui nama dan
siapa dirinya berkata.
"Saudara berdua, aku juga minta maaf. Sungguh tidak pantas apa yang telah aku
lakukan pada kalian."
Panji Ateleng kemudian menemui Manggala Wanengpati.
Tangan si kakek disalami dan dicium.
"Ajengan yang saya hormati, sesungguhnya dua murid Ajengan tidak bersalah. Kami
bertiga orang-orang muda selalu menuruti kata hati dan aliran darah panas yang
tidak pada tempatnya. Lagi pula dua murid Ajengan itu bertindak untuk satu
kepentingan yang baik. Dia hanya ingin tahu keselamatan seorang gadis bernama
Dewi Dua Musim. Saya minta maaf pada Ajengan..-"
Manggala Wanengpati tersenyum. Dalam hati dia berkata.
"Dia pandai menyejukkan hatiku. Seharusnya anak ini cocok jadi muridku." Lalu
sambil memegang bahu Panji Ateleng sang Ajengan berkata.
"Anak muda, dalam hidup ini kau harus selalu pertahankan ketulusan hati. Walau
aku tahu beban hidupmu sungguh sangat berat"
"Terima kasih Ajengan memperhatikan saya."
Manggala Wanengpati tepuk-tepuk perlahan bahu Panji Ateleng sambil diam-diam
kerahkan Ilmu Dua Gunung Menahan Langit. Ilmu ini hampir sama dengan Ilmu
Seberat Gunung Mengunci Bumi yang dimiliki Panji Ateleng. Lawan yang kena
serangan akan menjadi kaku berat kedua kakinya hingga tak mampu bergerak apa
lagi melangkah. Bedanya ilmu yang dimiliki sang Ajengan dikeluarkan melalui
tangan sedang ilmu Panji Ateleng keluar dari kaki.
"Dessl Dessl"
Ajengan Manggala Wanengpati merasa seperti memukul bantalan karet Tangannya yang
ditepukkan ke bahu Panji Ateleng terpental lembut ke atas. Kakek ini tersenyum.
"Anak baik....anak hebat!" Katanya dalam hati. Lalu dia perhatikan lima buah
benda. satu menancap empat lainnya tergeletak di tanah.
"Hemmm, rupanya ada sesuatu terjadi di tempat ini."
Kata sang Ajengan dalam hati lalu mengambil dan memperhatikan salah satu dari
empat benda yang ada di tanah.
"Paku Kayu Iblis Jati Roban. Tidak beracun tapi orang yang tertusuk jika tidak
memiliki tenaga dalam cukupan, darahnya akan tersedot dan bisa menemui ajal
dalam waktu satu hari jika paku tidak segera dicabuti"
41 Bidadari Dua Musim
Manggala Wanengpati kembali menemui Panji Ateleng.
"Anak muda, ada darah di paku kayu ini. Apakah ini darahmu?"
"Benar Ajengan..." Jawab Panji Ateleng tak berani berdusta.
"Sesuatu yang hebat telah terjadi atas dirimu?"
"Benar Ajengan..."
"Ada orang memantek tangan dan kakimu dengan paku kayu ini. Satu paku dipantek
dalam mulutmu...."
"Itu juga benar Ajengan...."
"Apa Suro Gledek yang melakukan?"
Pertanyaan sang Ajengan kali ini membuat Panji Ateleng terkejut.
"Betul sekali Ajengan. Bagaimana Ajengan bisa mengetahui?"
"Karena hanya ada satu orang yang memiliki Paku Iblis seperti ini. Warok hutan
Roban yang bernama Suro Gledek"
Jawab Ajengan Manggala Wanengpati. "Sudah saatnya aku arus membuat tobat manusia
satu itu."
"Ajengan kenal Warok itu?"
"Bukan cuma kcnat. Aku juga tahu dlmana sarangnya Karena dulu dia adalah bekas
anak buahku...."
"Ah...." Panji Ateleng tercengang tak menyangka.
"Ajengan, sebenarnya Warok Suro Gledek hanya suruhan orang...."
"Begitu?" Ajengan Manggala WanengpVi kurenyitkan kening. "Siapa orangnya?"
"Maaf Ajengan. Saat ini saya belum bisa mwnberi tahu."
Ajengan Manggala Wanengpati terdiam sebentar,
kemudian berkata. "Tidak jadi apa kau tidak mau memberi tahu.
Di dunia ini memang banyak rahasia. Kalau semua orang tahu namanya bukan rahasia
lagr." Lalu sang Ajengan menyambung ucapan. "Soal Warok Suro Giedek biar aku
yang mengurusi."
Lalu Ajengan Manggala Wanengpati pegang dan perhatikan tangan Panji Ateleng kiri
kanan. Mata juga melirik pada kedua kaki pemuda itu. "Hanya ada tanda bintik
kecil. Berarti kalau bukan dia sendiri yang melakukan, ada seseorang yang telah
menerapkan ilmu kesaktian mengobati luka pantekan tanpa bekas!"
"Anak muda," kata Manggala Wanengpati kemudian sambil memegang bahu Panji
Ateleng. Turut keteranganmu tadi. mungkin dugaanku keliru, apakah kau bertemu
seorang gadis mengenakan pakaian biru di tempat ini."
"Yang bernama Dewi Dua Musim?"
"Ah, rupanya dia telah memperkenalkan diri padamu."
"Benar Ajengan.saya memang bertemu dengan dia.
Justru dialah yang telah menyelamatkan saya. Dia yang 42 Bidadari Dua Musim
mencabut empat paku yang memantek dua tangan dan dua kaki saya serta satu lagi
di dalam mulut...."
Ajengan Manggala Wanengpati angguk-anggukkan
kepala. "Apakah dia juga yang menutup dan menyembuhkan luka bekas pantekan di
mulut serta dua tangan dan kakimu?"
"Tidak Ajengan. Kalau lima luka itu saya sendiri yang menyembuhkan walau Dewi
Dua Musim berniat membantu."
Ajengan Menggala Wanengpati berpaling pada kedua
muridnya. "Kalian dengar dan perhatikan baik-baik. Kalian menaruh curiga dan berniat
membunuh pemuda ini karena melihat ada noda darah di pakaian dan wajahnya.
Kalian menyangka dia telah mencelakai Dewi Dua Musim. Padahal darah yang ada di
tubuh, wajah dan pakaiannya adalah darahnya sendiri. Darah yang keluar dan luka
akibat siksaan orang!"
Sora Warangan dan Wayan Dekik sama rundukkan
kepala. Wayan Dekik berkata. "Kami mengerti Ajengan. Kami berdua minta maaf."
Lalu bersama Sora Warangan dia mendatangi Panji Ateleng. Sambil membungkuk
keduanya berkata. "Kami minta maaf."
"Kita bertiga sudah jadi sahabat. Malah bisa dikatakan sudah menjadi saudara.
Aku juga minta maaf." Jawab Panji Ateleng seraya memegang bahu dua pemuda di
hadapannya. Saat itu Ajengan Manggala Wanengpati kembali
perhatikan dua tangan dan kaki Panji Ateleng. "Hemmm...."
Ajengan Manggala Wanengpati usap dagunya. "Anak muda, untuk menyembuhkan luka
bekas pantekan kau


Wiro Sableng 184 Dewi Dua Musim di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempergunakan Ilmu Penyakit Datang Dari Manusia.
Penyembuhan Datang Dari Alam. Batu"'
Panji Ateleng terkejut mendengar ucap pertanyaan sang Ajengan. Tapi dia juga
merasa kagum. Ternyata kakek bertelinga dan bermulut aneh ini bukan cuma
memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi tapi juga punya pengetahuan luas
tentang segala macam ilmu yang dimiliki orang lain. Satu ilmu yang termasuk
langka dalam rimba persilatan pada masa itu Sebenarnya Panji Ateleng hendak
bertanya bagaimana atau dari mana si kakek bisa tahu ilmu yang dipergunakan
untuk menyembuhkan dirinya. Namun sang Ajengan dilihatnya tertawa dan lebih dulu
berkata. "Panji Ateleng, di masa muda aku pernah terluka parah akibat tusukan delapan
anak panah yang menancap di tubuhku.llmu itu juga yang menyembuhkan diriku."
Mendengar ucapan orang Panji Ateteng langsung
bertanya. "Rupanya Ajengan juga memiliki ilmu itu....?"
Panji Ateleng tidak lanjutkan ucapan karena saat itu dilihatnya Ajengan Manggala
Wanengpati tertawa lebar.
43 Bidadari Dua Musim
"Gurumu Toh Bagus Kamandipa adalah sahabatku paling baik tapi paling konyol.
Tapi justru kekonyolannnya aku paling suka.
Ha...hal Untung kau kulihat tidak konyol seperti dia." Ajengan Manggala
Wanengpati tertawa gelak-gelak.
"Gurumu satu-satunya tokoh rimba persilatan yang tidak pernah aku tantang untuk
bertarung lalu aku peras ilmu kesaktiannya. Ha...ha...hal Dia orang baik. Aku
sangat menghormatinya. Cukup lama kami tidak pernah bertemu.
Apakah dia baik dan sehat-sehat saja di tempat kediamannya di pantai selatan?"
"Beliau baik-baik dan sehat-sehat Terima kasih Ajengan memperhatikan guru. Hanya
saja sejak beberapa waktu lalu beliau tidak lagi menetap di pantai selatan, tapi
telah mendirikan sebuah gubuk di salah satu lereng Gunung Merapi"...."
"Si konyol itu rupanya sudah bosan dengan hawa panas, angin dan bau garam air
laut Kini mencari kesejukan di Gunung Merapi. Bagus begitu. Agaknya dia sengaja
bersejuk-sejuk agar bisa awet muda! Ha...ha...hal" *
Panji Ateleng Ikut tertawa mendengar seloroh si kakek lalu berkata.
"Kalau bertemu guru, nanti akan saya beii tahu pertemuan kita ini."
"Bagus, memang harus begitu. Sampaikan salam hormatku padanya. Sekarang aku
masih ada satu pertanyaan. Ketika kau bertemu dengan Dewi Dua Musim, apa saja
ceritanya padamu?" "Dia tidak bicara banyak. Saya ingat dia mengatakan kalau berada di tempat ini
karena ada janji bertemu dengan tiga orang. Tapi yang ditunggu tidak datang.
Kemudian dia malah bertemu dengan dua penunggang kuda yang menyeret saya di atas
papan dalam keadaan dipantek."
"Ketika berpisah, gadis itu tidak mengatakan mau pergi kemana?" Panji Ateleng
menggeleng. "Yang ditunggu Dewi Dua Musim adalah aku dan dua muridku. Tapi Perwira Tinggi
jahanam itu membuat masalah, menimbulkan halangan hingga kami terlambat datang
ke sinil" Panji Ateleng sebenarnya ingin bertanya apa yang telah dilakukan Perwira Tinggi
itu. Namun hal terr-ebut tidak dilakukan karena dia paling tidak suka mengetahui
atau mencampuri urusan orang lain.
Ajengan Manggala Wanengpati usap bibirnya yang
terletak di tenggorokan lalu palingkan tubuh, melangkah mendekati lelaki
berpakaian bagus tapi berselomotan tanah yang saat itu masih duduk menjelepok di
tanah. Melihat dinnya didatangi langsung orang ini susun sepuluh jari di atas
kepala dan seperti tadi kembali meratap.
44 Bidadari Dua Musim
"Ajengan, mohon ampuni selembar nyawaku. Aku
mengaku sangat bersalah. Sangat berdosa...."
"Diam" Bentak Manggala Wanengpati. Dia berpaling pada dua muridnya Sora Warangan
dan Wayan Dekik.
"Menurut kalian apakah Perwira Tinggi licik perlu dibunuh dihabisi"!"
Dua murid saling pandang karena tak berani menjawab.
"Aku bertanya! Mengapa kalian tiba-tiba jadi gagu!"
"Ajengan, Guru, bukankah tadi menurut Ajengan membunuh adalah satu dosa
besar...." Wayan Dekik beranikan membuka mulut.
"Betul! Kecuali ada alasan yang tepat!" Hardik Manggala Wanengpati.
"Kalau begitu biar saya membunuh Perwira Tinggi ini!"
Sora Warangan berkata seraya melangkah mendekati orang yang duduk di tanah.
Orang ini langsung saja menggerung keras lalu jatuhkan diri, kening sampai
menyentuh tanah jalanan yang becek.
"Ajengan, saya benar-benar minta ampun. Saya bertobat tidak akan berbuat jahat
lagi kepada siapapun. Ajengan....'
Ajengan Manggala Wanengpati memberi isyarat pada Sora Warangan agar tidak
melangkah lebih dekat lalu menepuk bahu si Perwira Tinggi.
"Cakra Baskaral Berdiri di hadapanku!"
Mendengar bentakan sang Ajengan Perwira Tinggi bernama Cakra Baskara yang masih
bersujud di tanah cepat-cepat berdiri.
"Cakra Baskaral Nasib dirimu masih baik! Muridku tidak akan membunuhmu. Aku juga
tidak walau kau hampir mencelakai nyawa kami bertiga dan menghalangi urusan
besar yang tengah kami jalankan. Tapi hukuman tetap berlaku atas dirimu. Kau
tidak kulepas begitu saja!"
Mendengar ucapan sang Ajengan, mengira dia tetap
akan mendapat hukuman borat, kembali si Perwira Tinggi menggerung ketakutan dan
menyembah-nyembah.
Ajengan Manggala Wanengpati tidak acuhkan Perwira itu. Dia malah tegak
membelakangi tapi sepasang mata melirik ke atas satu pohon besar di depannya.
Pada salah satu cabang pohon sejak tadi dia sudah melihat ada satu sarang tawon
besar. Tanpa membalikkan diri kakek ini cekal leher pakaian si Perwira lalu
sekati menyentak Perwira Tinggi Kerajaan Mataram itu melesat ke udara. Kepala
membentur sarang tawon hingga sarang tawon menjadi remuk, tubuh jatuh
membellntang di atas cabang tepat di bawah sarang tawon.
Dari dalam sarang tawon yang hancur menderu keluar ratusan tawon besar yang
langsung menyerang Cakra Baskara!
Perwira ini melolong menjerit-jerit. Sebentar saja muka dan 45 Bidadari Dua
Musim tubuhnya sebelah atas telah bengkak matang merah akibat antukan tawon. Karena
tidak tahan, dari cabang pohon dia terjun ke tanah. Tapi ratusan tawon tetap
mengikuti mengejarnya. Sambil terus menjerit-jerit kesakitan Cakra Baskara lari
lintang pukang menuruni kaki Bukit Menoreh. Walaupun jauh di bawah sana tapi
Kali Progo adalah satu-satunya tempat yang dirasakannya bisa dipergunakan untuk
menyelamatkan diri. Maka dengan segala sisa tenaga yang ada dia bertari ke arah
kali. Begitu sampai di tepi kali langsung menceburkan diri!
Memperhatikan apa yang terjadi dengan sang Perwira, Panji Ateleng kasihan ada,
merasa geli juga ada. Ketika dia berpaling dilihatnya Ajeng Manggala Wanengpati
dan dua muridnya telah duduk di atas punggung kuda.
"Anak muda, saatnya kita berpisah. Aku harus mencari Dewi Dua Musim. Musim panas
lalu aku dan dua murid mengalami kesulitan menemuinya. Sekarang di musim hujan
ini harus berhasil. Kalau tidak dapat menemuinya dan nanti datang lagi musim
panas, semua urusan bisa tambah tidak karuan."
Mendengar si kakek menyebut musim panas dan musim
hujan. Panji Ateleng hendak menanyakan sesuatu namun sang Ajengan mendahului.
"Jika kau bertemu gurumu si orang tua konyol itu. sampaikan salam hormatku
padanya." "Pasti akan saya sampaikan Ajengan," jawab Panji Ateleng. "Kalau saya boleh
bertanya...."
Sayang, Ajengan Manggala Wanengpati telah melompat ke atas kuda hitam yang
dibawa dua muridnya. Sekali tali kekang kuda disentak, ketiga orang itu berlalu
dari hadapan Panji Ateleng.
Di langit matahari telah naik. Sinar teriknya mulai terasa panas. Panji Ateleng
perhatikan dirinya sendiri. Baru menyadari betapa kotor tubuh dan pakaiannya.
"Aku harus membersihkan diri." Dia memandang ke arah Kali Progo di kejauhan.
"Aku bisa mandi di sungai itu.Siapa tahu ketemu Perwira Tinggi yang menceburkan
diri tadi. Lalu bisa bertanya perbuatan apa yang telah dilakukannya hingga
Ajengan marah besar dan nyaris membunuhnya."
Panji Ateleng segera berlari menuruni bukit Dalam waktu singkat dia telah sampai
di tepi Kali Progo. Ketika tengah mencari tempat yang baik untuk mandi
membersihkan tubuh dan pakaian tiba-tiba dia melihat banyak sekali penunggang
kuda di jalan tanah becek dimana sebelumnya dia berada. Diantara penunggang kuda
ada yang menunjuk-nunjuk ke arahnya. Lalu rombongan yang ternyata adalah satu
kelompok pasukan Kerajaan itu bergerak menuruni bukit menuju Kali Progo. Karena
46 Bidadari Dua Musim
merasa tidak ada sesuatu yang salah dengan dirinya. Panji Ateleng tetap saja
berdiri di tepi kali. Tak lama kemudian dua puluh perajurit Kerajaan dipimpin
seorang Perwira Muda berkumis tebal melintang yang membekal dua bilah pedang
sekaligus di pinggang telah mengurung Panji Atelengl Tanpa turun dari kudanya,
Perwira Muda cabut 'ilah satu pedang di pinggang dengan tangan kanan. Lalu
s".nbil tudingkan pedang ke arah Panji Ateleng dia berteriak memerintah pada
anak buahnya. "Aku Darka Gambilan. Perwira Muda Kerajaan. Aku memerintahkan tangkap orang
itul" Tentu saja Panji Ateleng jadi terkejut. Dia segera mengambil sikap waspada
berjaga diri. 47 Bidadari Dua Musim
BELASAN perajurit berkuda segera bergerak mempersempit pengurungan. Dua
perajurit yang mengenal siapa adanya Panji Ateleng segera mendekati Perwira Muda
dan memberi tahu.
"Perwira, pemuda itu adalah adik ipar Pangeran Banowo.
Jangan kita sampai kesalahan tangan."
Perwira Muda yang merasa ditegur oleh bawahannya
delikkan mata dan membentak marah.
"Ngurah! Aku tahui Lalu apa urusanmu siapa dia. Justru aku mendapat wewenang
dari Pangeran Banowo untuk
menindak siapa saja, termasuk pemuda itu. Bahkan
membunuhnya sekalipun! Kerjakan perintah atau kepalamu yang aku penggal lebih
dulu dengan pedang ini!"
Melihat atasan belintangkan pedang di depan
hidungnya, perajurit bernama Ngurah yang tadi bicara cepat letakkan dua tangan
di atas kepala Seraya berkata.
"Perwira, aku telah kesalahan bicara. Mohon maafmu."
Lalu bersama temannya dia segera undurkan kuda. Namun hatinya belum puas. Sambil
membawa kudanya ke tepian kali dimana Panji Ateleng berada dia bekata perlahan
pada temannya. "Panji Ateleng pemuda baik. Kenapa Perwira Muda hendak menangkap
bahkan mau membunuhnya"!"
Sang teman menjawab "Ini semua sudah diatur para pejabat tinggi di Kotaraja.
Kita sebagai bawahan hanya tunduk pada perintah atasan."
Saat itu delapan belas perajurit lainnya sudah mengurung Panji Ateleng di tepi
kali. Dalam keadaan seperti itu walau terkejut dirinya dikepung pasukan Kerajaan namun
Panji Ateleng bersikap tenang dan waspada. Dengan cepat dia mendatangi Perwira
Muda namun hanya bisa mendekat sampai beberapa langkah karena dihalangi oleh
belasan perajurit Dengan sopan Panji Ateleng bertanya.
"Perwira, ada apa kau memerintah pasukan menangkap diriku" Apa kesalahan yang
telah aku lakukan?"
"Seseorang telah menculik Perwira Tinggi Cakra Baskara!
Tanda-tanda menunjukkan bahwa dia dibawa ke sekitar tempat ini. Dan kami menemui
kau dalam keadaan tubuh serta pakaian penuh darah! Aku punya wewenang untuk
menangkap dan memeriksa dirimu!"
"Aku mengerti," jawab Panji Ateleng. "Tapi kalau Perwira 48 Bidadari Dua Musim
Tinggi bernama Cakra Baskara itu yang kau cari dia masih hidupi Tidak ada yang
membunuhnya! Tidak juga aku!"
"Kalau dia masih hidup mengapa tidak ada di sini"!"
Bentak Perwira Muda di atas punggung kuda.
"Perwira!" Tiba-tiba seorang perajurit berseru. "Kami menemukan lencana yang
biasa tersemat di dada pakaian Perwira Tinggi Cakra Baskara!"
Perajurit yang berseru lalu mendekati Perwira Muda dan menyerahkan sebuah benda.
Benda Ini adalah lencana atau lambang terbuat dari suasa, berupa bola dunia
diapit dua ekor naga.
"Sesuatu telah terjadi dengan Perwira Tinggi Kerajaan!"
Perwira muda palingkan kepala ke arah Panji Ateleng. Mata membeliak besar. "Kau
harus bertanggung jawab! Bisa juga kau adalah pembunuh Perwira Tinggi Cakra
Baskara!" "Aku orang desa. Mana mungkin membunuh seorang Perwira Kerajaan yang pasti
memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti Perwira Tinggi Cakra Baskara!"
"Diam! Aku tahu kau berdusta!"
"Perwira Muda Darka Gambllan, aku tahu kau mengada-ada..Jika kau mencari Perwira
Tinggi Cakra Baskaia, tadi dia mandi di kali sebelah sana! Perintahkan saja anak
buahmu mencari!"
"Kurang ajar! Kau berani berdusta mengelabuikut"
"Aku tidak dusta. Tadi akupun mau mandi di kali ini. Tapi setelah kau dan
pasukanmu berada di sini, aku lebih baik mencari tempat lain. Harap kau
perintahkan pasukanmu memberi jalan!"
"Benar-benar kurang ajar! Beraninya kau memerintah diriku Perwira Kerajaan!
Nyawamu melayang saat ini juga jika berani beranjak dari tempatmul"
Delapan perajurit segera mengarahkan tombak mereka dan empat lain sudah mencabut
pedang. Tiba-tiba dari dalam air kail melesat keluar seseorang seraya berteriak.
"Pemuda itu tidak berdusta! Tapi dia memang layak ditangkap! Kalau perlu
dihabisi saja! Dia adalah kaki tangan Ajengan Manggala Wanengpati yang telah
menculikku!"
Orang yang berteriak melesat ke tepi kali, berdiri di atas satu gundukan batu.
Orang ini ternyata adalah Cakra Baskara si Perwira Tinggi Kerajaan. Rambut,
pakaian dan tubuh basah kuyup. Muka bengkak-bengkak merah kebiruan, mata gembung
dan bibir jontor bekas diantuk tawon.
"Perwira Tinggi Cakra Baskaral" Perwira Muda berkumis melintang melompat turun
dari atas kuda dan berlari ke arah atasannya. Dia merasa lega melihat Perwira
Tinggi itu dalam 49 Bidadari Dua Musim
keadaan hidup walau wajah dan sebagian tubuh bengkak gembung tak karuan rupa!
Panji Ateleng yang menyaksikan siapa yang muncul dan mendengar ucapan orang
ingat apa yang dikatakan Ajengan Manggala Wanengpati yaitu bahwa Perwira Tinggi
itu adalah seorang licik.
"Perwira Tinggi Cakra Baskara! Aku tidak ada sangkut paut dalam urusanmu dengan
Ajengan Manggala Wanengpatil Mengapa menuduh aku sebagai kaki tangan orang tua
baik-baik itu"!"
"Enak saja kau bicara! Kalau orang menculikku, membenamkan dan menyeretku di
dalam tanah lalu melempar diriku ke atas pohonl Membuat ratusan tawon
menyerangku sementara aku tahu kau punya hubungan dekat dengan si penculik, apa
kau masih berani dusta kalau kau tidak ada kaitan dengan penculikan yang
dilakukan Ajengan jahat itu terhadapku"! Paling tidak kau adalah kaki tangan
pembantunya!"
"Perwira Tinggi, kalau kau tidak membuat satu kesalahan besar tak mungkin
Ajengan Manggala Wanengpati
memperlakukanmu seperti itu!"
Cakra Baskara meludah ke tanah.
"Ajengan Manggala Wanengpati kau bilang orang baik-baik"
Huhl Semua orang di Mataram ini tahu siapa dia dulunya!"
"Bagiku orang yang dulu tidak baik tapi sekarang menjadi baik adalah lebih
berguna dari pada orang yang dulu baik sekarang menjadi tidak baik alias jahat!"
Tampang Perwira Tinggi Cakra Baskara yang sudah
sembab merah jadi bertambah merah seperti kepiting rebus mendengar ucapan Panji
Ateleng. "Pemuda keparat! Ucapanmu seperti petinggi agama saja!"
"Perwira Tinggi, waktu Ajengan itu berada di sini, kau dengar sendiri apa yang
kami bicarakan. Dia pergi begitu saja.
Kalau aku memang pembantunya mengapa tidak ikut saja bersamanya?" Panji Ateleng
tidak perdulikan caci maki orang.
"Kau tidak ikut karena dua anak murid Ajengan itu tidak menyukaimu!"
"Perwira Tinggi, maaf aku tidak akan melayani orang sepertimu. Ajengan Manggala
Wanengpati telah mengampuni nyawamu! Seharusnya kau bertobat tidak berbuat jahat
lagi! Sekarang kau malah hendak berbuat sewenang-wenang dan culas terhadapku!" Panji
Ateleng berpaling pada Perwira Muda.


Wiro Sableng 184 Dewi Dua Musim di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Perwira, aku minta jalani Perintahkan pasukanmu menyingkir!"
Cakra Baskara menyeringai, lalu berteriak. "Aku Perwira Tinggi Cakra Baskara
mengambil alih pimpinan! Pasukan!
Tangkap pemuda itu! Kalau melawan bunuh!"
50 Bidadari Dua Musim
Setelah berteriak Cakra Baskara tetap saja berdiri di atas gundukan batu di tepi
kali. Agaknya dia tidak mau turun tangan sendiri karena sebelumnya sudah melihat
kemampuan silat serta ilmu kesaktian Panji Ateleng. Dia malah memberi isyarat
pada Perwira Muda Darka Gambilan agar segera turun tangan memimpin pasukan untuk
menangkap Panji Ateleng hidup atau mati!
Seorang Perwira Muda Kerajaan yang menghunus
sepasang pedang ditambah dua puluh perajurit bersenjatakan pedang, tombak dan
golok langsung menyerbu Panji Ateleng.
"Kalian gila semua!" Teriak Panji Ateleng tapi dengan senyum dikulum. Otaknya
yang cerdik bagaimanapun juga tidak akan mau melayani serbuan hebat itu.
"Hantam kopalanya, tangan dan kaki pasti tidak berdaya!" Sambil dalam hati
ucapkan ujar-ujar yang didapatnya dari sang guru Toh Bagus Kamandipa, Panji
Ateleng melompat setinggi dua tombak. Didahului dengan gerakan jungkir balik
satu kali dan melayang berputar di udara, tiba-tiba dia melesat ke arah Perwira
Tinggi Cakra Baskara yang berdiri di atas gundukan batu.
Sebagai seorang Perwira Tinggi Kerajaan, walau ilmunya jauh berada di bawah
Ajengan Manggala Wanengpati namun tingkat kepandaian Cakra Baskara cukup dikenal
dan disegani. Ketika melihat sosok Panji Ateleng secara cepat dan tidak terduga menyambar ke
arahnya, sang Perwira segera membungkuk sambil dua tangan didorong ke atas.
Dua gelombang angin deras menderu memapaki sosok
Panji Ateleng yang saat itu masih belum melepas serangan.
Mendengar deru angin dahsyat pemuda itu geiakkan tubuh demikian rupa hingga
melayang datar satu jengkal di permukaan Kali Progo. Gerakan Panji Ateleng
ternyata lebih cepat dari lawan.
Selagi gelombang angin lewat di atasnya, dua tangan Panji Ateleng tahu-tahu
mencekal sepasang kaki Cakra Baskara yang masih berdiri di atas gundukan batu.
Belum habis kaget Perwira Tinggi Kerajaan itu tiba-tiba tubuhnya terlempar ke
udara, melayang ke arah pasukan yang tengah bergerak menyerbu Panji Ateleng.
"Tahan serangan!" Teriak Pewira Muda Darka Gambilan melihat bahaya sekian banyak
tombak, pedang dan golok melesat ke depan ke arah tubuh atasannya.
Meski banyak perajurit yang sempal membatalkan
serangan namun banyak pula yang sudah terlanjur menggerakkan senjata. Melihat
bahaya yang mengancam, dari pada celaka dtbacok golok atau dibabat podang atau
ditusuk tombak, lebih baik menghantam mendahului. Maka Perwira Tinggi Cakra
Baskara pukulkan dua tangan sekaligus. Deru 51 Bidadari Dua Musim
angin dahsyat kembali menderu di tempat itu. Kali ini menghantam ke arah belasan
perajurit yang menyerbu.
Celakanya tidak semua perajurit sempat menghindar dengan cara menerjunkan diri
ke kali atau jatuhkan tubuh sama rata dengan tanah. Enam orang kelihatan
terlempar ke udara begitu kena hantaman dua golombang angin pukulan. Dua jatuh
ke dalam air, langsung tenggelam pertanda sebelum masuk ke dalam kali nyawanya
sudah putus lebih dulu. Empat perajurit lainnya berkapuran di tepi kali. Dua
langsung tewas, dua lainnya menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik
lagi! "Pukulan Gelombang Angin Selatan!" Ucap Darka Gambilan menyebut nama pukulan
sakti yang barusan dilepas atasannya. "Jangankan perajurit-perajurit itu. Aku
sendiri tidak mungkin menghadapinya!"
Perwira Muda Darka Gambilan bukan memperhatikan
anak buahnya yang tewas tapi malah berlari mendatangi Cakra Baskara yang saat
itu telah berdiri di tepi kali.
"Perwira Tinggi, kau tidak apa-apa?" tanya Darka Gambilan.
Tampang Cakra Baskara tampak mengetam. Sepasang
mata memandang berkeliling. Rahang menggembung geram.
Panji Ateleng tidak terlihat lagi di pinggir kali.
"Pemuda jahanam itu! Dia kaburi Pengecutl" Cakra Baskara merutuk.
"Manusia satu itu tidak usah dihiraukanl Cepat atau lambat kita pasti akan
menemukannya. Nasibnya sudah ditentukan! Mati di tiang gantungan." Berkata Darka
Gambflan. "Aku punya firasat. Tidak semudah itu menggantung pemuda bernama Panji Ateleng
itu. Terus terang, jika tadi dia bisa menelikung kedua kakiku lalu melemparku ke
udara, jika dia mau sebenarnya dia bisa membunuhku! Ilmu silat dan kesaktiannya
belum tentu di bawah Ajengan Manggala Wanengpati Selain itu dia selalu bersikap
tenang bahkan terkadang tersenyum. Gila"
Dalam hati Perwira Muda Darka Gambilan membenarkan ucapan atasannya itu. Namun
dia segera mengalihkan pembicaraan. "Perwira Tinggi Cakra Baskara. Sebaiknya
kita segera kembali ke Kotaraja. Saya membawa pesan dari Pangeran, jika bertemu
Perwira Tinggi agar segera menemui beliau di tempat biasa."
Untuk beberapa lama Perwira Tinggi itu masih terdiam dalam kegeramannya.
Kemudian dia anggukkan kepala dan berkata.
"Aku memang harus menemui Pangeran. Banyak yang harus aku laporkan padanya!"
Kata Cakra Baskara pula. Lalu dengan setengah berbisik dia bertanya. "Apakah
pasukan 52 Bidadari Dua Musim
tambahan sudah didapat?"
"Sudah, jumlahnya cukup banyak. Mereka berasal dari selatan Gunung Kidul." Jawab
Darka Gambilan.
"Bagus, orang-orang Kidul memang dapat dipercaya.
Selain itu mereka memiliki kekuatan raga yang dapat diandalkan."
Kata Cakra Baskara pula.
"Perwira Tinggi, kalau saya boleh bertanya bukankah pemuda bemama Panji Ateleng
itu sebenarnya sudah dibuat tak berdaya dan dibawa ke Magelang?"
"Aku tidak tahu bagaimana kejadiannya dia bisa lolos.
Tapi dari pembicaraannya dengan Ajengan Manggala
Wanengpati aku mencuri dengar ada seseorang menolongnya."
"Siapa?" Tanya sang Perwira Muda pula.
"Seorang mengaku bernama Dewi Dua Musim." Jawab Perwira Tinggi Cakra Baskara.
Mendengar disebutnya nama itu berubahlah tampang
Darka Gambilan. Melihat ha! Ini Cakra Baskara bertanya.
"Wajahmu mendadak pucat seperti melihat setan kepala tujuh. Ada apa"!" tanya
Cakra Baskara. "Tiga minggu lalu" Berkata sang Perwira Muda dengan suara bergetar. "Sebelum
datang musim penghujan, saya nyaris menemui ajal di tangan gadis itu.
Kejadiannya tak jauh dari Candi Ratu Boko."
"Mengapa kau tidak pernah memberi tahu padaku?"
"Mohon maafmu Perwira Tinggi. Nanti dalam perjalanan ke Kotaraja akan saya
ceritakan semua apa yang terjadi."
"Kalau begitu kita berangkat sekarang juga."
Empat mayat perajurit yang tergeletak di tanah
diceburkan ke kali, segera dihanyutkan arus ke hilir. Perwira Muda Darka
Gambilan memimpin pasukan menuju Kotaraja.
Perwira Tinggi Cakra Baskara memilih menunggang kuda di tengah rombongan. Jika
mendadak terjadi sesuatu di depan sana atau di seberlah belakang maka dia punya
waktu mempersiapkan diri. Saat itu sebenarnya dia merasa kawatir Takut kalau
Ajengan Manggala Wanengpati mendadak muncul kembali.
53 Bidadari Dua Musim
MATARAM Kuno, terpaut delapan ratus tahun silam dengan peristiwa kemunculan Dewi
Dua Musim di Mataram Baru Ketika malam itu di langit Mataram terlihat bulan
purnama bulat penuh berwarna biru, Kumara Gandamayana, satu-satunya pembantu
berkepandaian tinggi dan pengikut setia Raja Mataram yang masih ada segera
menemui Raja Rakai Kayuwsngi Dyah Lokapala. Saat itu mereka masih berada di
tempat rahasia di dasar Sumur Api. Kumara Gandamayana datang bersama sisa-sisa
Abdi Dalem Keraton Mataram Kuno.
Setelah menghatur sembah si kakek berkata. "Yang Mulia, kami datang memberi tahu
bahwa satu keajaiban telah terjadi.
Saya yakin ini adalah kuasa dan petunjuk Para Dewa. Bulan pumama muncul di
langit Mataram sejak sore tadi. Tidak seperti biasanya bulan tampak berwarna
biru, memancarkan cahaya sejuk. Ini satu pertanda bahwa penyakit jahat yang
selama Ini melanda Bhumi Mataram telah lenyap. Orang-orang kepercayaan kita yang
ada di luar Sumur Api memberi kesaksian bahwa cairan merah yang selama ini
terlihat menggenang dimana-mana telah sirna tidak berbekas. Petaka Malam Jahanam
telah berlalu..."
"Berkat Yang Maha Kuasa sungguh luar biasa. Kita harus berterima kasih dan
memanjatkan puji syukur." Kata Raja Rakai Kayuwangi. Lalu diikuti semua orang
yang ada di situ Raja bersujud di lantai.
"Dari pinggiran pedataran berpasir kuning, kita bisa melihat bulan.
Jika Yang Mulia ingin menyaksikan sendiri..." Berkata Kumara Gandamayana.
Diantar oleh si kakek dan diiringi oleh para Abdi Dalem serta Permaisuri
Kerajaan, Rakai Kayuwangi pergi ke pedataran pasir berwarna kuning yang berada
di dasar Sumur Api. Memang ajaib, walau elas berada di dalam tanah namun dari
tempatnya berdiri orang-orang itu bisa melihat langit di atas Bhumi Mataram.
Ketika melihat bulan Biru yang begitu bagus, untuk kedua kalinya Raja Mataram
melakukan sujud syukur. Yang lain-lain segera mengikuti apa yang dilakukan Raja.
Selesai bersujud Kumara Gandamayana berkata. "Yang Mulia, saya mendapat kabar
ratusan Jin Putih atas perintah Sangkala Darupadha Raja Jin Hutan Roban telah
memperbaiki Istana hanya dalam waktu sehari semalam. Pengawalan Istana juga
telah diatur oleh beberapa pimpinan perajurit d.bantu rakyat 54 Bidadari Dua
Musim Bilamana kita meninggalkan dasar Sumur Api secepatnya, maka sebelum tengah malam
kita sudah sampai di Kotaraja."
Si Tangan Sakti 10 Pendekar Hina Kelana 17 Dendam Manusia Kelelawar Kisah Membunuh Naga 1

Cari Blog Ini