Ceritasilat Novel Online

Jejak Di Balik Kabut 16

Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 16


terdesak karenanya. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kemampuan orang yang wajahnya ditumbuhi jambang, kumis dan janggut yang lebat itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Ketika terdengar orang itu bersiut nyaring, maka Ki Marta Brewokpun menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak mengerti arti isyarat itu. Namun Ki Marta Brewok memang menduga, bahwa akan segera terjadi perubahan di arena pertempuran. Sebenarnyalah seorang yang mengawasi Wicitra yang sudah kehilangan kejantanannya itu beringsut sambil mengancam Wicitra, "Jangan pergi kemanapun juga. Jika kau meninggalkan halaman ini, maka aku akan memotong kedua tangan dan kakimu serta lidahmu. Kemudian kau akan kami tinggalkan begitu saja." Wicitra benar-benar menjadi ketakutan. Ibunya hampir pingsan membayangkan kemungkinan yang sangat buruk itu, sementara ayahnya masih saja berdiri termangu-mangu. Namun ayah Wicitra itu sempat menyaksikan pertempuran yang berlangsung dengan sengitnya itu. Ternyata orang yang wajahnya nampak gelap oleh jambang, kumis dan janggutnya serta kedua orang anak muda itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Keempat orang yang sangat garang itu ternyata tidak dapat segera mengalahkan lawan-lawan mereka sebagaimana mereka lakukan terhadap Wicitra serta pengawalnya yang garang itu. Dalam waktu yang dekat, pengawal Wicitra itu telah kehilangan kesempatan untuk melindungi dirinya. Sehingga dalam waktu yang terhitung singkat, orang yang nampaknya garang dan tidak terkalahkan itu telah terbunuh. Namun dua orang yang kemudian bertempur melawan Ki Marta Brewok itu tidak dapat mengulangi keberhasilan mereka. Mereka tidak dapat segera menguasai dan apalagi membunuhnya. Orang yang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu, ternyata memiliki ilmu
yang jauh lebih tinggi dari orang yang garang yang menjadi pengawal anak muda yang mengaku Pangeran Benawa itu. Dalam pada itu, orang yang bertempur melawan Paksipun harus meningkatkan kemampuannya pula. Benturan-benturan yang terjadi telah membuat jantung orang itu berdebaran. Tongkat kayu itu ternyata benar-benar merupakan senjata yang sangat berbahaya bagi anak muda itu. "Gila," geram orang itu. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa orang-orang yang mereka temui di kedai kecil itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Dengan tongkatnya yang berputaran, Paksi mulai mendesak lawannya. Sementara itu Wijangpun telah membuat lawannya menjadi gelisah. Sepasang pisau belatinya yang digenggam di kedua tangannya berputaran dengan cepat. Bahkan bagi lawannya sepasang pisau itu seakan-akan telah berubah menjadi berpasang-pasang yang menyerangnya dari segala arah. "Iblis manakah yang telah mengajarinya bermain pisau seperti itu," geram lawan Wijang itu. Ayah Wicitra menyaksikan pertempuran itu dengan mulut yang ternganga. Ia bukan seorang yang berilmu tinggi. Tetapi ia dapat melihat, betapa ketiga orang yang datang kemudian itu dengan tangkasnya bertempur melawan keempat orang yang hampir saja membunuhnya, membunuh istrinya dan membunuh anaknya. Wicitra yang ketakutan itu mulai memperhatikan pertempuran yang terjadi. Ia mulai melihat betapa kedua orang anak muda itu bertempur dengan tangkasnya. Kesadaran Wicitra yang mulai tumbuh menguasai gejolak perasaannya itu membuatnya menyadari apa yang telah dilakukannya. Empat orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang berilmu tinggi. Kemampuannya sama sekali tidak berarti menghadapi dua orang di antara mereka, sedangkan pengawalnya yang dibanggakan itu dengan cepat telah terbunuh.
Tetapi orang yang wajahnya ditumbuhi jambang, kumis dan janggut yang lebat itu, sama sekali tidak nampak mengalami kesulitan melawan dua orang di antara empat orang yang mencari Pangeran Benawa itu. "Siapakah sebenarnya mereka bertiga?" pertanyaan itu mulai tumbuh di hati Wicitra. Wicitra sama sekali tidak menghiraukan mereka ketika ia melihat ketiga orang itu berada di kedai. Bahkan ia telah mengusir ketiga orang itu ketika ketiga orang itu berusaha meyakinkannya, bahwa keempat orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang yang berbahaya. Wicitra itu tidak mau mendengarkan ketika ketiga orang itu datang dan minta kepadanya untuk meninggalkan rumahnya satu atau dua hari. Dengan sombong Wicitra itu bahkan berniat mengaku dirinya Pangeran Benawa. Wicitra itupun menjadi sangat malu kepada dirinya sendiri. Apalagi ketika kemudian ia berjongkok sambil menangis untuk minta dikasihani. Sementara itu, Paksi masih bertempur dengan cepat bahkan keras. Lawannya semakin lama menjadi semakin kasar. Namun Paksi sama sekali tidak mengalami kesulitan. Bahkan tongkatnya telah membuat lawannya menjadi kebingungan. Meskipun lawan Paksi telah menghentakkan kemampuannya, tetapi ujung senjatanya sama sekali tidak mampu menggapainya. Setiap kali terjadi benturan, maka tangan lawan Paksi itu terasa pedih. Anak muda itu ternyata mempunyai tenaga dan kekuatan yang sangat besar. Bahkan semakin lama ujung tongkat Paksipun menjadi semakin membingungkannya. Sehingga akhirnya ujung tongkat Paksi itu mampu menembus pertahanannya. Lawan Paksi itu berteriak nyaring ketika ujung tongkat Paksi mendorong pundaknya sehingga hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Bagi lawan Paksi, sentuhan ujung tongkat anak muda itu telah membuatnya menjadi sangat marah. Anak itu masih
terlalu muda untuk mampu mengimbangi ilmunya. Namun anak muda itulah yang lebih dahulu mampu menembus pertahanannya, mengenai pundaknya sehingga pundaknya merasa sangat sakit. Tetapi apapun yang kemudian dilakukan, anak muda bersenjata tongkat itu memang berilmu sangat tinggi. Bahkan ketika lawan Paksi itu berusaha menyerang anak muda itu dengan pedang terjulur mengenai dada, ternyata ujung pedang itu sama sekali tidak menyentuh tubuhnya. Bahkan anak muda itu menghindar dengan memiringkan tubuhnya dan sempat mengayunkan tongkatnya, menghantam lambung. Demikian keras ayunan tongkat Paksi, sehingga orang itu terpelanting selangkah ke samping. Tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya, maka orang itu telah terbanting jatuh. Meskipun demikian, setelah berguling beberapa kali, maka iapun dengan cepat melenting berdiri. Paksi tidak memburunya. Seakan-akan ia memang sengaja memberi kesempatan kepada lawannya mempersiapkan diri untuk menghadapinya lagi. Sambil menyeringai orang itu berdiri sambil menggenggam senjatanya erat-erat. Dipandanginya Paksi dengan mata yang bagaikan menyala. "Anak demit," orang itu menggeram, "kau akan menyesal dengan kesombonganmu itu." Paksi berdiri tegak sambil menggenggam tongkatnya. Katanya, "Bersiaplah." "Aku akan membunuhmu." "Kita akan bertempur sampai tuntas." Orang itu menggertakkan giginya. Namun tiba-tiba saja ia meloncat menyerang dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Sementara itu, Wijangpun telah mendesak lawannya. Orang itupun telah mengerahkan kemampuannya pula. Tetapi lawannya yang terhitung masih muda itu sulit untuk diimbanginya.
"Lakukan apa yang dapat kau lakukan," berkata Wijang. "Persetan," geram lawannya. "Aku tidak dapat membayangkan, apa jadinya jika kau harus bertempur melawan Pangeran Benawa. Maksudku, jika Pangeran Benawa mulai bersungguh-sungguh. Jika ia merengek dan minta ampun, itu semata-mata ia ingin menjajagi, apakah di otakmu masih ada sisa-sisa akal sehatmu." "Diam," teriak lawan Wijang. Tetapi Wijang berkata terus, "Sebenarnyalah Pangeran Benawa itu ingin tahu, apakah kau masih tetap berjantung manusia atau jantungmu sudah berbulu serigala sehingga kau tidak mau mendengarkan permintaan ampun seseorang." "Cukup," orang itu berteriak pula. "Aku koyak mulutmu." "Kenapa tidak kau lakukan?" bertanya Wijang. Kemarahan orang itu sudah membakar ubun-ubunnya. Dengan garangnya ia meloncat sambil mengayunkan senjatanya menebas ke arah leher Wijang. Tetapi dengan tangkas Wijang mengelakkan serangan itu. Bahkan Wijangpun kemudian melenting dengan cepatnya. Ayunan pisau belatinya kemudian justru telah menyambar bahu lawannya. Lawannya meloncat mundur sambil mengumpat-umpat Dengan telapak tangannya ia meraba pundaknya. Cairan yang hangat mengalir dari luka di bahunya itu. Wijang bergerak maju selangkah demi selangkah. Sepasang pisau belatinya bergetar di kedua tangannya. Kemarahan lawannya bagaikan membakar jantungnya. Dengan geram orang itu berkata, "Kau akan menyesali tingkah lakumu." "Kita sudah memasuki satu sikap akhir, Ki Sanak. Tidak ada yang akan menyesal. Kau tidak, aku juga tidak, apapun yang akan terjadi. Pertempuran ini hanya akan berakhir setelah aku atau kau mati di arena ini." Lawan Wijang yang marah itu membentak dengan garangnya, "Aku akan membantaimu sampai lumat."
"Hukuman bagi mereka yang berniat membunuh Pangeran Benawa adalah hukuman mati, karena seandainya Pangeran Benawa sendiri yang melakukannya, akibatnya akan sama saja bagimu." "Tutup mulutmu, tikus kecil." Wijang justru tertawa. Katanya, "Aku merasakan getar kecemasan di dalam kata-katamu." "Persetan kau." Dengan garangnya orang itupun segera meloncat menyerang Wijang. Tetapi Wijang sudah siap menghadapinya. Karena itu ketika orang itu meloncat sambil menjulurkan senjatanya. Namun Wijang sempat mengelak. Sambil merendah pisaunya telah terayun menyambar lengan lawannya. Lengan itupun telah berdarah pula. Setiap titik darah membuat kemarahan orang itu semakin menyala di dalam dadanya. Tetapi setiap titik darah yang menetes dari lukanya telah menyusut tenaga dan kekuatannya. Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh orang itu. Tangan dan kaki Wijang terlalu cepat untuk diimbanginya. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin keras. Orang-orang yang berusaha menangkap Pangeran Benawa itu benar-benar telah memeras segenap kemampuannya. Ki Marta Brewok yang menghadapi dua orang lawan telah membuat kedua orang lawannya menjadi bingung. Orang yang berjambang lebat itu mampu bergerak demikian cepatnya. Kedua orang lawannya tidak tahu, senjata apa yang dipergunakannya, tetapi sentuhan tangannya mampu melukai kulit mereka. Seakan-akan hanya dengan telapak tangannya, orang itu dapat menangkis ayunan senjata lawan-lawannya. Namun keduanya yakin, ada semacam lapisan baja yang dikenakan oleh orang yang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu pada telapak tangannya serta ujung-ujung yang runcing pada jari-jarinya. Kedua orang lawan Ki Marta Brewok memang menjadi bingung. Setelah dengan demikian cepat dan mudahnya
mereka membunuh pengawal yang mengaku Pangeran Benawa itu, meskipun ujud pengawal itu demikian garangnya, mereka kemudian menghadapi lawan yang seakan-akan dilindungi oleh oleh dinding baja di seputarnya. Kedua orang itu sama sekali tidak pernah berhasil menyentuh kulit lawannya itu. Jika senjata mereka terjulur lurus atau terayun mendatar, maka senjata mereka itu seakan-akan telah membentur sekat yang tidak tertembus. Tetapi sebaliknya, jari-jari tangan orang itu beberapa kali berhasil menyentuh tubuhnya. Sedangkan setiap sentuhan, meninggalkan luka yang menganga. Keseimbangan pertempuran segera menjadi jelas. Lawan Paksi dan Wijang sudah terdesak semakin jauh. Sementara itu, lawan Ki Marta Brewokpun menjadi semakin tidak berarti. Betapapun mereka berusaha dengan mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuan, namun perlawanan mereka sudah tidak berarti apa-apa lagi. Keempat orang itu benar-benar telah kehilangan kesempatan. Wicitra dan kedua orang tuanya telah bergeser menepi. Ia dapat melihat apa yang bakal terjadi. Ia melihat keempat orang yang hampir saja membunuhnya itu sudah tidak berdaya. Kegirangan terasa melonjak di dadanya. Ia merasa terlepas dari bahaya maut yang hampir saja mencekiknya. Namun yang kemudian dipertanyakan, bagaimana sikap ketiga orang itu. Wicitra telah menghinakannya. Telah mengusirnya dan sama sekali tidak menghargai kata-katanya. Tetapi menilik sikap mereka, agaknya mereka tidak akan sebengis keempat orang yang hampir saja membantainya itu. Dengan kerut di dahi, Wicitra melihat bagaimana Ki Marta Brewok dengan tangkasnya bertempur. Wicitra menjadi semakin malu kepada diri sendiri. Ia merasa seakan-akan dirinya telah menguasai semua ilmu di muka bumi sehingga ia telah menjadi orang yang tidak terkalahkan. Namun sekarang ia melihat kenyataan, betapa kecilnya di hadapan orang-orang berilmu tinggi. Orang-orang berilmu tinggi yang rendah hati.
Meskipun Wicitra sudah dapat menduga, akhir dari pertempuran itu, namun iapun terkejut juga ketika seorang lawan Ki Marta Brewok itu berteriak nyaring. Tubuhnya terlempar dari arena dengan darah yang mengalir dari lukalukanya. Sejenak kemudian orang-orang itupun telah terbanting jatuh. Menggeliat, namun kemudian tidak bergerak sama sekali. Belum lagi ketegangan di jantungnya mengendor, maka Wicitra itupun melihat bagaimana lawan yang seorang lagi telah terlempar pula dengan kerasnya. Kepalanya membentur sebatang pohon yang cukup besar. Benturan yang keras sekali, sehingga seorang itupun kemudian terjatuh dengan tubuh yang lunglai. Nafasnya menjadi sendat, sehingga akhirnya berhenti sama sekali. Wicitra berdiri termangu-mangu. Dengan demikian, maka akhir dari kedua orang lawan anak-anak muda itupun menjadi semakin jelas pula. Lawan Wijang yang menjadi putus asa telah menyerangnya sejadi-jadinya. Namun ketika pisau belati Wijang bergerak menyilang, maka ujung pisau itupun telah menggores dadanya. Cukup dalam, sehingga orang itupun terhuyunghuyung beberapa langkah surut. Namun kemudian satu loncatan panjang telah mengakhiri pertempuran itu. Ujung pisau belati Wijang yang lain kemudian telah terhujam di dada orang itu. Sementara itu, hampir bersamaan waktunya, Paksipun telah menyelesaikan lawannya pula. Ketika lawannya berusaha menusuk lambungnya, Paksi sempat mengelak. Bahkan kemudian tongkatnyapun telah terayun tepat mengenai tengkuk lawannya yang kehilangan sasaran itu. Sejenak kemudian halaman itu menjadi sepi. Paksi berdiri dengan kaki renggang mengamati lawannya yang sudah tidak
bernyawa. Sementara Wijang berdiri termangu-mangu. Di sebelah yang lain, dua sosok tubuh pun terbaring diam. Di halaman rumah Wicitra itu terdapat lima sosok mayat dengan luka-luka di tubuh mereka. Ki Marta Brewoklah yang kemudian melangkah mendekati Wicitra sambil berkata, "Nah, sekarang kau baru percaya, bahwa orang-orang itu sangat berbahaya bagimu." Wicitra mengangguk dalam-dalam sambil berkata, "Ya, Ki Sanak. Aku percaya. Aku mohon ampun atas sikapku terhadap Ki Sanak." Sementara itu, ayah Wicitra itupun berkata, "Kami mengucapkan terima kasih, Ki Sanak. Ki Sanak telah menyelamatkan nyawa anakku." "Satu pelajaran yang sangat berharga bagi anakmu." "Kau harus bersukur kepada Yang Maha Agung, Wicitra. Kaupun harus mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Ki Sanak bertiga ini." Sekali lagi Wicitra mengangguk hormat sekali. Katanya, "Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Ki Sanak. Yang Maha Agung sajalah yang dapat membalas kebaikan budi Ki Sanak bertiga." "Wicitra," berkata Ki Marta Brewok, "setelah terjadi peristiwa ini, apa yang akan kau lakukan?" Wicitra termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Aku akan melakukan sebagaimana Ki Sanak katakan. Aku akan meninggalkan tempat ini." "Bagaimana dengan rencanamu menjual tanah dan rumah ini serta mengusir ayah dan ibumu?" Wicitra terkejut mendengar pertanyaan itu. Untuk beberapa saat ia justru terbungkam. Ternyata Ki Marta Brewok tidak memaksanya untuk menjawab. Tetapi ia justru bertanya kepada ayah Wicitra, "Bagaimana dengan lima sosok mayat itu" Apakah kita dapat minta tolong orang-orang padukuhan ini untuk menguburnya?"
"Mereka takut keluar rumah, Ki Sanak. Apalagi setelah terjadi peristiwa ini." "Kau panggil mereka dan katakan bahwa keadaan sudah aman. Tidak ada lagi orang-orang yang mencari Pangeran Benawa. Justru mereka akan diminta tolong untuk menguburkan mereka." Ayah Wicitra termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, "Aku akan mencobanya." Ternyata ayah Wicitra itu berhasil meyakinkan tetanggatetangganya, bahwa bahaya yang mereka takuti untuk sementara telah tidak ada lagi, sehingga beberapa orang telah keluar dari rumahnya dan pergi ke halaman rumah Wicitra. Mereka memang agak ketakutan ketika mereka melihat Ki Marta Brewok dan kedua orang anak muda yang berpakaian kusut. Tetapi ayah Wicitra memberitahukan kepada mereka, bahwa ketiga orang itulah yang telah membinasakan orangorang garang yang mencari Pangeran Benawa itu. "Kami adalah para pengikut Harya Wisaka," berkata Ki Marta Brewok kepada orang-orang yang berkerumun. "Kami sebenarnya juga mencari Pangeran Benawa sebagaimana keempat orang itu. Tetapi kami tahu, bahwa kami tidak dapat melibatkan kalian begitu saja dalam pencaharian ini. Karena itu, maka kami pun tidak akan pernah mengganggu kalian. Apapun yang aku lakukan terhadap kalian, kalian tentu tidak akan dapat membantu kami." "Terima kasih, Ki Sanak," sahut seorang yang rambut dan kumisnya sudah memutih. Di sisa hari itu, orang-orang padukuhan itu disibukkan oleh lima sosok mayat yang harus mereka kuburkan. Namun mereka merasa tenang, bahwa di padukuhan itu terdapat tiga orang berilmu tinggi yang dapat melindungi mereka dari kemungkinan buruk. Hari itu, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang bermalam di rumah Wicitra. Ketika orang-orang yang sibuk menguburkan lima sosok mayat itu sudah pulang ke rumah masing-masing, sementara malam mulai turun, Ki Marta Brewok, Paksi dan
Wijang telah mandi pula, maka merekapun duduk di pendapa rumah Wicitra bersama dengan Wicitra dan kedua orang tuanya. Setelah minum seteguk wedang jahe, maka Ki Marta Brewokpun mengulangi pertanyaannya, "Wicitra, aku masih ingin mendengar jawabmu, setelah peristiwa ini, apakah yang akan kau lakukan" Apakah sekedar meninggalkan tempat ini, atau kau mempunyai rencana yang lain?" "Aku belum memikirkannya, Ki Sanak, kecuali pergi meninggalkan tempat ini?" "Dalam keadaan yang gawat, apakah kau sadari, apa yang telah dilakukan oleh ayah dan ibumu, yang sedianya akan kau usir dari rumah ini?" Wajah Wicitra menjadi tegang. Dipandanginya Ki Marta Brewok dengan tajamnya. Pertanyaan itu benar-benar telah mengguncang jantungnya. Ia berusaha mengingat, apa yang akan dilakukan. Menjual tanah dan rumah itu. Mengusir ayah dan ibunya. Namun Wicitra itupun kemudian sempat membayangkan, apa yang telah dilakukan oleh ayah dan ibunya saat ia berada di dalam keadaan yang paling gawat. Meskipun ayah dan ibunya itu tahu, bahwa ia akan mengusirnya serta menjual tanah dan rumahnya, namun kedua orang tuanya itu masih berusaha melindunginya. Seperti seorang ibu yang memeluk anaknya erat-erat saat terjadi gempa, maka ibunya telah memeluknya saat nyawanya terancam. Bahkan ayah dan ibunya itu telah menyatakan kesediaannya untuk mati jika itu dapat menyelamatkan nyawanya. Sejenak Wicitra termangu-mangu. Di luar sadarnya dipandanginya ayah dan ibunya yang sudah tua itu. Rasarasanya di penglihatannya ayah dan ibunya menjadi lain. Ayah dan ibunya kelihatan begitu tua namun wajahnya yang cerah itu bagaikan bercahaya. Tiba-tiba Wicitra itu membayangkan apa yang terjadi dengan ayah dan ibunya itu jika keduanya terusir dari rumahnya. Apa yang terjadi pada keduanya jika keduanya
harus hidup menumpang di rumah pamannya, sementara itu, sebelumnya ia mempunyai tanah, rumah, sawah dan ladang. Terasa jantung Wicitra bergetar. Orang tua yang diusirnya itu ternyata masih juga bersedia mati untuknya. Tiba-tiba saja Wicitra itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Terdengar anak muda itupun menangis terisak-isak seperti kanak-kanak yang menahan tangisnya karena takut dicambuk ayahnya. "Wicitra, kenapa?" Ibunyapun beringsut mendekatinya. "Bukankah segala sesuatunya sudah lampau. Bahaya yang hampir saja merenggut nyawa itu sudah lewat." Wicitra mengangguk-angguk. Tetapi isaknya masih saja mengguncang tubuhnya. "Kenapa kau Wicitra. Kenapa kau, Ngger." Tiba-tiba saja Wicitra itu memeluk ibunya. Tangisnya tidak lagi tertahan. Ia tidak saja terisak. Tetapi Wicitra itu benarbenar menangis. "Ibu, maafkan aku. Ayah," tangisnya. "Kenapa, kau kenapa?" Ibunya yang cemas telah mengguncang-guncang tubuhnya. "Ayah, Ibu. Aku mohon maaf. Hampir saja aku telah menyia-nyiakan Ayah dan Ibu. Aku telah menjadi anak durhaka. Hampir saja aku mengusir Ayah dan Ibu dari rumah ini." "Sudahlah, Wicitra. Bukankah semua itu belum terjadi?" "Tetapi semuanya itu akan terjadi seandainya tidak terjadi peristiwa yang hampir saja merenggut nyawaku. Bahkan aku pun tidak memikirkannya, jika Ki Sanak itu tidak bertanya kepadaku. Ayah, Ibu, aku mohon maaf. Aku telah khilaf. Aku pun harus minta maaf kepada banyak orang karena kesombonganku selama ini, seolah-olah aku adalah orang yang terpenting di dunia ini. Seolah-olah putaran kehidupan ini berporos padaku." "Aku bersyukur, Wicitra," desis ayahnya. "Ternyata peristiwa ini ada juga nilainya bagimu. Nilai yang baik. Kau
juga harus minta maaf seribu kali kepada ketiga orang yang telah menyelamatkanmu. Kau telah berbuat kasar kepada mereka, namun justru merekalah yang telah membangunkanmu dari mimpi burukmu." Wicitra mengangguk-angguk. Tangisnya sudah mereda. Ketika ia sudah dapat mengucapkan permohonan maaf kepada ayah dan ibunya, maka rasa-rasanya bebannya sudah jauh berkurang. Kepada Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang, Wicitra itupun berkata, "Ki Sanak bertiga. Aku benar-benar menyesal atas sikapku. Bukan saja terhadap kalian bertiga, tetapi juga terhadap semua orang. Selama ini aku telah terbius oleh keberhasilanku. Ketika aku pulang ke padukuhan ini, aku merasa bahwa disini aku adalah orang yang paling penting. Orang yang paling berarti, sehingga aku tidak lagi mampu mengekang perasaanku." "Kau masih mempunyai banyak waktu untuk meluruskan jalanmu, anak muda." Wicitra mengangguk-angguk. "Tetapi kau harus setia kepada pengakuanmu ini, Wicitra. Maksudku, kau tidak akan pernah mengulanginya lagi. Juga sikapmu terhadap lingkunganmu, terutama kepada ayah dan ibumu. Mereka adalah sosok yang menjadi lantaran kelahiranmu. Karena itu, kau tidak dapat memisahkan diri dari kehadiran mereka." "Aku akan selalu mengingatnya, Ki Sanak. Aku akan selalu mengingat apa yang terjadi. Aku tidak akan lagi mengganggu ayah dan ibu tentang tanah, rumah, sawah dan pategalan." "Mudah-mudahan kau selalu mengingatnya," desis Ki Marta Brewok. Pembicaraan mereka terputus ketika satu dua orang tetangga datang untuk sekedar ikut berbincang di pendapa. Mereka membicarakan ketakutan yang melanda padukuhan itu sejak keempat orang itu mencari Pangeran Benawa di padukuhan mereka. Bahkan orang itu sudah mengancam
untuk membawa sepuluh orang penghuni padukuhan itu apabila mereka tidak menemukan Pangeran Benawa. Kepada orang-orang itu Ki Marta Brewok selalu mengatakan bahwa ia dan kedua orang anak muda yang datang bersamanya itu adalah para pengikut Harya Wisaka. Dengan demikian, maka ceritera yang berkembang di padukuhan itu kemudian adalah, bahwa dua kelompok pengikut Harya Wisaka telah saling berbenturan. Empat orang di antaranya telah terbunuh. Beberapa orang yang datang ke rumah orang tua Wicitra itu berbincang sampai lewat tengah malam. Ibu Wicitra menjadi sibuk menyediakan minuman dan bahkan makan menjelang tengah malam. Baru menjelang dini, tetanggatetangga dekat orang tua Wicitra itu minta diri. Pagi-pagi sekali, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijangpun telah bangun. Mereka segera pergi ke pakiwan dan berbenah diri. Sebelum fajar mereka telah minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka. "Kemana?" bertanya ayah Wicitra. "Kami tidak dapat mengatakannya, karena kami akan pergi ke tempat yang kami sendiri tidak tahu," jawab Ki Marta Brewok. "Mencari Pangeran Benawa?" bertanya Wicitra. "Ya. Kami memang harus mencari Pangeran Benawa. Bedanya dengan keempat orang itu, kami telah mengenal Pangeran Benawa sehingga tidak akan dapat dikelabuhi lagi." "Jadi kalian sudah mengenal Pangeran Benawa?" "Aku adalah abdi di istana Pajang," jawab Ki Marta Brewok. "Karena itu, aku dapat mengenal Pangeran Benawa dengan baik." Wicitra mengangguk-angguk. Ia merasa dirinya semakin kecil. Tetapi untunglah bahwa ketiga orang itu mempunyai sifat dan watak yang lain sekali dengan keempat orang yang telah terbunuh itu meskipun mereka mengemban tugas yang sama.
Namun sebelum Ki Marta Brewok meninggalkan rumah Wicitra ia masih juga bertanya, "Apakah kau akan segera meninggalkan rumah ini?" "Ya," Wicitra mengangguk-angguk, "hari ini juga aku akan meninggalkan rumah ini. Siapa tahu masih ada kelompokkelompok lain yang mencari Pangeran Benawa. Seandainya mereka tidak menyangka aku Pangeran Benawa, mereka mungkin saja memaksa aku untuk menemukannya, sementara Pangeran Benawa tidak ada disini." Demikianlah, maka Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijangpun telah minta diri kepada seisi rumah itu. Kepada ayah dan ibu Wicitra dan kepada Wicitra yang pada hari itu juga akan meninggalkan rumahnya. Namun Wicitra telah berubah karenanya. Wicitra tidak lagi akan memaksa ayah dan ibunya menjual tanah, rumah, sawah dan pategalannya. Demikianlah, maka sebelum matahari terbit, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang telah berada di sebuah bulak yang panjang. Embun masih nampak menggantung di ujung dedaunan yang basah. Namun langit nampak cerah. Tidak ada selembar awan pun yang nampak di wajah langit. Dalam pada itu, burung-burung liarpun telah terbangun pula di sarangnya. Kicaunya membuat pagi menjadi semakin semarak. Sementara langit menjadi merah oleh cahaya matahari yang mulai menguak cakrawala. Ketiga orang yang berjalan di dinginnya pagi itu tidak banyak berbicara. Paksi yang berjalan di paling depan, sekalisekali menghentakkan tongkatnya di tanah yang masih basah. Di ujung rerumputan, butir-butir embun masih nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari. Paksi memang tidak banyak berbicara. Ia bahkan mulai memikirkan dirinya sendiri. Paksi itu telah melihat, bagaimana seorang ayah yang berusaha melindungi anaknya sehingga siap untuk menyerahkan nyawanya. "Apakah ayahku juga dapat berbuat seperti itu?" pertanyaan itu tiba-tiba saja telah tersembul di hatinya.
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ayahnya agaknya memang agak lain dari ayah Wicitra. "Apakah ayah juga bersedia menyerahkan nyawanya bagiku?" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ayahnya justru telah memerintahkannya untuk melakukan satu pekerjaan yang tidak masuk akal. Pada umurnya yang ketujuh-belas, ayahnya telah memerintahkannya memasuki satu dunia yang sangat garang tanpa bekal yang memadai. "Jika saja aku tidak bertemu dengan beberapa orang yang baik hati," berkata Paksi di dalam hatinya. "Seandainya aku tidak bertemu dengan guru. Tidak bertemu dengan Pangeran Benawa sendiri. Tetapi langsung bertemu dengan keempat orang yang mencari Pangeran Benawa dan diperlakukan seperti Wicitra, maka ayahku tidak akan berusaha melindungi aku sebagaimana dilakukan oleh ayah Wicitra. Bahkan ayah tentu akan menganggap aku seorang yang sudah sepantasnya mati karena hidupku sama sekali tidak berarti bagi seorang ayah." Terngiang kata-kata yang menusuk hatinya, bahwa ayah Paksi itu tidak menghendaki Paksi pulang tanpa membawa cincin yang dicarinya itu. "Apakah ayah menganggap cincin itu lebih berharga dari anaknya?" pertanyaan itu timbul pula di hati Paksi. Namun Paksi sama sekali tidak tahu jawabnya. "Justru karena itu aku harus pulang," berkata Paksi di dalam hatinya. Ki Marta Brewok yang berjalan di belakang Paksi juga tidak banyak berbicara. Sementara itu Wijang berjalan di paling belakang. Diamatinya lingkungannya yang hijau. Sawah, padukuhan-padukuhan, namun juga hutan yang lebat di kaki gunung. Ketika Paksi berpaling, maka dilihatnya Ki Marta Brewok berjalan beberapa langkah di belakangnya. Baru beberapa langkah lagi Wijang berjalan sambil menebarkan pandangan matanya.
"Marilah. Mumpung masih pagi," ajak Paksi. Ki Marta Brewok mempercepat langkahnya. Tetapi Wijang menyahut, "Kenapa tergesa-gesa." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Paksi yang kemudian berjalan di sebelah Ki Marta Brewok itu ternyata tidak dapat menahan desakan perasaannya. Bagi Ki Marta Brewok bukan saja kawan seperjalanan. Tetapi ia adalah gurunya yang telah membentuknya menjadi seorang yang berilmu tinggi. "Guru," berkata Paksi kemudian, "aku menjadi sangat gelisah." "Kenapa?" "Seakan-akan aku tidak sedang berjalan pulang." "Apa yang kau pikirkan?" "Apakah ayahku juga bersedia berkorban seperti ayah Wicitra itu, Guru?" Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Katanya kemudian, "Tentu, Paksi. Seorang ayah tentu akan selalu melindungi anak-anaknya sebagaimana dilakukan oleh ayah Wicitra. Tentang berhasil atau tidak, itu tergantung pada keadaan dan kemampuan. Tetapi naluri seorang ayah tentu akan berbuat yang terbaik bagi anaknya." "Bagaimana pendapat Guru tentang ayahku yang telah memerintahkan kepadaku untuk mencari cincin itu?" -ooo00dw00oooJilid 15 KI MARTA BREWOK menarik nafas dalam-dalam. Untuk beberapa saat ia justru terdiam. Diedarkannya pandangan matanya kesekelilingnya. Hutan, sawah dan ujung gunung yang berselimut awan tipis. Namun Ki Marta Brewokpun kemudian berkata "Paksi. Jangan risau. Bukankah kau pulang sambil membawa cincin yang dikehendaki oleh ayahmu"
"Jika karena itu, aku diterima baik oleh ayahku, maka bukan akulah yang diharapkan pulang. Tetapi cincin itu. Seandainya ada orang lain yang datang membawa cincin itu, maka ayah tidak akan pernah bertanya dimana aku berada. Apakah aku akan pulang atau tidak" "Jangan berprasangka buruk seperti itu, Paksi" Paksi seakan-akan tidak mendengar kata-kata Ki Marta Brewok itu. Tetapi ia berkata selanjutnya "Wicitra yang sudah jelas berniat untuk mengusir ayah dan ibunya, pada saat yang gawat masih ditangisi oleh ibunya, sementara ayahnya bersedia mengorbankan nyawanya. Tetapi bagaimana dengan ayahku?" "Sudahlah. Pulanglah. Serahkan cincin itu kepada ayahmu" "Setelah aku renungkan, agaknya tidak ada gunanya bagiku menyerahkan cincin itu kepada ayah. Demikian cincin itu diambil kembali oleh Pangeran Benawa, maka aku tentu akan diusirnya lagi dari rumah. Bahkan mungkin ayahku memerintahkan kepadaku untuk mencuri cincin itu dari tangan Pangeran Benawa" "Jika cincin itu kemudian diambil Pangeran Benawa, bukankah itu bukan salahmu?" "Ayah tidak akan menghiraukan apakah aku bersalah atau tidak. Sebagaimana ayah memerintahkan aku mencari cincin itu, maka ayah tentu akan menimpakan beban itu dipundakku" Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Tetapi bagaimanapun juga, disaat kau datang, maka kau akan diterima sebagai seorang pahlawan" Paksi menarik nafas panjang. Katanya "Apakah artinya seorang pahlawan, jika itu hanya semu?" "Sudahlah, Paksi" berkata Ki Marta Brewok "kau jangan terlalu berprasangka. Kau wajib mencobanya" Paksi tidak menjawab. Demikianlah, maka merekapun berjalan terus. Wijang masih berjalan beberapa langkah dibelakangnya. Ia serba sedikit mendengar pembicaraan antara Ki Marta Brewok dan Paksi. Sebenarnyalah Wijang juga merasa heran terhadap
sikap ayah Paksi. Pada saat Paksi menginjak umur tujuh belas, ia harus meninggalkan rumahnya memasuki satu dunia yang sama sekali asing baginya, dunia yang keras dengan tugas yang sangat berbahaya, tanpa bekal sama sekali. "Ayah Paksi adalah seorang Tumenggung" desis Pangeran Benawa "agaknya ia seorang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas. Tetapi masih juga tumbuh di kepalanya untuk memperlakukan anaknya semena-mena" Tetapi desis itu hanya didengarnya sendiri. Bahkan kemudian iapun bergumam pula perlahan sekali "Pamrih dan ketamakan seseorang ternyata sangat berpengaruh terhadap sikap seseorang. Jika yang terjadi pada Paksi, anak yang diperlakukan semena-mena, sebaliknya yang terjadi pada Wicitra. Anaknyalah yang memperlakukan orang tuanya semena-mena" Namun Wijang itupun kemudian bertanya kepada diri sendiri "Bagaimana dengan ayahku?" Wijang menarik nafas panjang. Katanya kepada diri sendiri "Tetapi ayahku adalah seorang raja" Namun tiba-tiba timbul pertanyaan didalam hatinya "Apakah ada bedanya kewajiban seorang ayah terhadap anaknya dari seorang raja dan bukan seorang raja?" Wijang termangu-mangu. Tetapi kakinya melangkah terus. Namun telinganya seakan-akan mendengar jawaban "Tentu berbeda anak muda. Bukan saja terhadap anaknya. Tetapi juga terhadap istri-istrinya. Dengan bertumpu pada wewenang dengan kekuasaan, seorang raja dapat berbuat lain dari orang kebanyakan" Hampir diluar sadarnya, Wijang itu bergumam "Tetapi hakekat seorang ayah dan kepala keluarga?" Wijang terkejut sendiri. Tetapi untunglah bahwa agaknya Paksi dan Ki Marta Brewok tidak menghiraukannya. Demikianlah bertiga, mereka berjalan terus. Paksi masih berjalan disamping Ki Marta Brewok. Wijang masih berjalan di belakang.
Perjalanan ke Pajang memang sebuah perjalanan yang panjang. Karena itu, maka mereka harus bermalam di perjalanan. Tetapi ketiga orang itu sudah bersepakat untuk menghindari persoalan-persoalan yang timbul diperjalanan sehingga menghambat dan bahkan memperpanjang waktu perjalanan mereka. Mereka ingin segera sampai di Pajang. Meskipun Paksi menjadi sangat berdebar-debar, tetapi iapun ingin segera tahu, apa yang akan terjadi dirumahnya nanti. Tetapi kesediaan Wijang menyerahkan cincinnya justru membuatnya semakin gelisah. Paksi pernah melihat Wijang menyerahkan cincin itu kepada seseorang yang ingin merampasnya. Tetapi orang itu harus menyerahkan kembali cincin itu. Bahkan bersama nyawanya. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengerti, kenapa hal itu dilakukan oleh Wijang, karena menurut pendapatnya, Wijang bukan seorang pembunuh. "Jika orang itu dibiarkan hidup, maka Pangeran Benawa tidak akan mempunyai tempat untuk bergerak sama sekali" berkata Paksi didalam hatinya. Ketika kemudian malam datang, mereka tidak bermalam di sebuah banjar padukuhan agar mereka tidak tersentuh persoalan-persoalan yang dapat menghambat perjalanan mereka. Sebenarnyalah dengan menginap di tempat terbuka, maka mereka memang tidak disentuh oleh persoalan-persoalan apapun. Dihari berikutnya, ketiga orang itupun meneruskan perjalanan mereka dengan sangat berhati-hati. Ketika mereka merasa haus dan lapar, maka merekapun singgah di kedaikedai kecil yang tidak banyak disinggahi orang. Namun dalam pada itu, semakin dekat mereka dengan Pajang, jantung Paksi menjadi semakin berdebar-debar. Seperti yang dikatakannya, rasa-rasanya ia sedang tidak mendekati rumahnya yang dihuni oleh ayah, ibu dan saudara-saudaranya.
Namun Ki Marta Brewok selalu membesarkan hatinya. Dengan nada dalam ia berkata "Keluargamu sedang menunggumu, Paksi" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Wijangpun berkata "Kau akan pulang sambil membawa cincin yang dicari oleh ayahmu itu, Paksi. Karena itu, jangan cemas, bahwa kedatanganmu akan mendapat sambutan buruk dari ayahmu" Paksi mengangguk-angguk kecil. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia tidak dapat menyingkirkan debar dijantungnya. Bahkan semakin dekat dengan pintu gerbang kota, debar itu menjadi semakin keras. Namun Paksipun kemudian menetapkan niatnya. Ia harus pulang. Ibunya sudah menunggu terlalu lama. Lebih dari setahun ia mengembara. Tetapi seperti yang sudah direncanakan, Paksi akan mengetuk pintu rumahnya setelah malam menjadi larut. Jika ia menyerahkan cincin itu, ayahnya tidak mempunyai kesempatan untuk memindahkan cincin itu ketangan orang lain. Setidak-tidaknya untuk malam itu. Namun sebelum Paksi sampai di rumahnya, maka ia harus memberikan kesempatan kepada Wijang untuk sampai ke istana dan mempersiapkan dirinya sebagai Pangeran Benawa yang kemudian akan datang kerumah Paksi untuk mengambil cincin itu. "Jika ayah berkeberatan, maka nyawa ayah akan dipungutnya pula" berkata Paksi didalam hatinya. Tetapi Paksi masih berpengharapan bahwa Wijang tidak memperlakukan ayahnya dengan cara yang garang itu. Justru karena Wijang mengenalnya dengan baik. Karena itu, maka Paksipun tidak berpaling lagi. Ia harus segera pulang. Ketika malam turun, maka merekapun telah memasuki gerbang kota. Wijanglah yang kemudian mendahului Paksi, langsung menuju ke istana setelah menyerahkan cincinnya kepada Paksi. Bersama Ki Marta Brewok Paksipun kemudian duduk di pinggir alun-alun yang sepi. Mereka membayangkan, Wijang
itu memasuki regol butulan dan mengejutkan para abdi di istana. "Jangan cemaskan Pangeran itu" berkata Ki Marta Brewok. "Apakah Pangeran Benawa itu tidak akan dipanggil oleh ayahandanya untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya?" "Tentu tidak malam ini. Sultan Hadiwijaya kini menjadi sangat lamban. Segala-galanya kini menjadi lambat dan bahkan kadang-kadang beberapa masalah dilupakan begitu saja. "Tetapi apakah Kangjeng Sultan itu tidak akan langsung menanggapi kedatangan Pangeran Benawa yang sudah sekian lama pergi meninggalkan istana" Apalagi jika sudah diketahui bahwa Pangeran Benawa itu membawa cincin kerajaan?" "Kangjeng Sultan tidak akan beringsut dari pembaringannya" Paksi menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Untuk beberapa lama keduanya duduk di pinggir alun-alun. Sementara itu, malampun menjadi bertambah malam. Derik cengkerik terdengar menggores sepinya malam. "Nah, sekarang pulanglah. Tengah malam kau mengetuk pintu rumahmu. Mudah-mudahan kau diterima dengan baik oleh keluargamu. Terutama oleh ayahmu" Paksi mengangguk sambil berdesis "Untuk seterusnya dimana aku dapat bertemu Ki Marta Brewok?" Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya "Aku akan sering berada disini. Terutama di malam hari" "Terima-kasih guru" sahut Paksi dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Tetapi kau jangan lupa pula kepada gurumu. Datanglah kepadanya. Laporkan apa yang pernah terjadi di sepanjang perjalananmu. Suka dan dukanya" "Baik, guru" jawab Paksi dengan suara yang bergetar. Paksipun kemudian bangkit berdiri. Demikian pula Ki Marta Brewok. "Aku mohon diri guru" desis Paksi.
Ki Marta Brewok menepuk bahu Paksi "Baik-baiklah membawa dirimu" Paksi mengangguk kecil sambil menjawab "Baik, guru" Demikianlah, Paksipun melangkahkan kakinya menyusuri pinggir alun-alun itu. Kemudian berbelok dan keluar melintasi jalan kota yang sepi. Sambil melangkah, Paksi mengamati jalan yang sudah dikenalnya dengan baik, namun yang sudah lebih dari satu tahun ditinggalkannya. Tetapi masih belum banyak yang berubah. Bangunan disebelah-menyebelah jalan masih yang dahulu itu juga. Jantung Paksi terasa berdenyut semakin keras ketika ia menjadi semakin dekat dengan regol halaman rumahnya. Halaman rumah yang cukup luas. Rumahnyapun termasuk rumah yang baik sebagaimana rumah seorang Tumenggung. Ketika tangan Paksi menguak pintu regol rumahnya, hatinyapun menjadi semakin bergetar. Namun Paksipun kemudian melangkah dengan mantap menuju ketangga pendapa. Malam telah menjadi semakin larut. Dikejauhan terdengar suara kentongan dengan irama titir. "Tengah malam" desis Paksi "Pangeran Benawa tentu telah berbuat sesuatu. Menjelang pagi, Pangeran Benawa akan datang kerumah ini untuk mengambil cincin itu" Beberapa saat kemudian Paksi berdiri termangu-mangu di depan pintu pringgitan. Namun kemudian tangannya diangkatnya. Paksi mengetuk pintu rumahnya perlahan-lahan. Agaknya seisi rumah itu sudah tidur nyenyak. Demikian pula ayah, ibu dan adik-adiknya. Paksipun telah mengetuk pintu rumahnya lagi. Agak lebih keras dari semula. Ternyata ketukan itu telah membangunkan ayah dan ibunya. Keduanya memang menjadi bimbang. Ketukan pintu di tengah malam itu menimbulkan berbagai prasangka pada keduanya. "Siapa?" terdengar suara ayah Paksi.
"Aku ayah, Paksi" "Paksi?" nama itu sangat mengejutkannya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Ibunyalah yang berlari ke pintu sambil menyebut nama itu "Paksi. Kau benar Paksi?" Tetapi Ki Tumenggung dengan cepat menangkap lengannya sambil berkata "Tunggu. Apakah benar yang datang itu Paksi" "Aku tidak dapat melupakan suaranya" "Sudah lama ia meninggalkan rumah ini. Segala-galanya tentu sudah berubah" "Tetapi suara itu tidak berubah sama sekali" "Tetapi kau tidak boleh tergesa-gesa. Mungkin suaranya tidak berubah. Mungkin yang datang itu memang Paksi. Tetapi apakah Paksi masih sama seperti Paksi yang dahulu atau tidak" "Paksi tidak akan pernah berubah. Ia adalah anakku" "Baiklah. Sambutlah anakmu itu" desis Ki Tumenggung. Ibu Paksi itulah yang kemudian mengangkat selarak pintu. Yang berdiri dimuka pintu memang Paksi. Demikian pintu terbuka, maka Paksipun segera berjongkok didepan ibunya. Diraihnya tangan ibunya dan kemudian diciumnya. "Paksi. Paksi" desis ibunya. Ditariknya bahu Paksi agar anak muda itu berdiri. Kemudian, dipeluknya anak laki-lakinya yang sudah hampir satu setengah tahun mengembara. Paksi memeluk ibunya pula. Air mata yang mengalir dan membasahi bahu Paksi, terasa hangat. Mata Paksi terasa menjadi hangat pula. Ketika ibunya melepaskan pelukannya, maka Paksipun berjongkok di hadapan ayahnya pula sambil berkata "Ayah, aku pulang" Ayahnya memandang wajah Paksi. Tetapi Paksi menunduk sehingga ayahnya tidak dapat melihat wajahnya itu. "Kau datang darimana, Paksi?" bertanya ayahnya. Paksi menjadi heran mendengar pertanyaan itu. Bahkan ibunyapun menjadi heran pula, sehingga ibunyapun itu
menyahut "Bukankah Paksi pergi menjalankan perintah kakang Tumenggung" "O, benar begitu, Paksi?" Paksi tidak menjawab. Tetapi pengalamannya dalam pengembaraan, membuatnya menjadi bertambah lantip. Ia tahu kemana arah pertanyaan ayahnya itu. Karena itu, maka Paksi justru menunggu, apa yang akan ditanyakan ayahnya lebih lanjut. "Paksi" berkata ayahnya kemudian "kau belum menjawab pertanyaanku" "Maksud ayah?" Paksi justru bertanya. "Apakah selama ini kau telah pergi menjalankan perintahku?" "Ya, ayah" jawab Paksi. Tetapi Paksipun tahu, bahwa ayahnya akan segera bertanya apakah ia berhasil atau tidak. Bahkan ayahnya tentu akan mengingatkannya, bahwa ayahnya itu telah berpesan, agar ia tidak kembali sebelum ia berhasil menemukan cincin bermata tiga itu. Paksi harus menahan senyumnya ketika ia mendengar ayahnya itu bertanya "Kau ingat, bagaimana bunyi perintahku?" "Ingat ayah" jawab Paksi "meskipun perintah itu ayah ucapkan setahun yang lalu" "Sebut bunyi perintahku itu" berkata ayahnya kemudian. "Biarlah ia duduk dahulu. Biarlah ia minum atau makan atau beristirahat dahulu. Ia baru datang setelah setahun meninggalkan rumah" "Jangankan setahun" jawab ayahnya "seorang laki-laki akan melakukan tugasnya sampai tuntas. Sebelum selesai, maka seorang laki-laki pantang berhenti meskipun harus dilakukan seumur hidupnya" "Tetapi Paksi itu sekarang ada disini. Ia tidak akan lari. Kakang akan dapat bertanya kapan saja kepadanya" "Aku ingin mendengar jawabnya, apakah ia dapat menyelesaikan tugasnya sampai tuntas atau tidak sebelum ia
masuk kedalam. Jika tugasnya belum tuntas, tidak pantas jika ia masuk kedalam rumah kita" "Biarlah ia masuk" Tidak" Ki Tumenggung itu membentak. Tetapi adalah diluar dugaan bahwa Nyi Tumenggung itupun membentak pula "Tidak. Aku akan membawa Paksi masuk kedalam rumahnya sendiri" Wajah Ki Tumenggung menjadi merah. Diluar sadarnya, ia bertanya "Kau berani membantah kata-kataku, Nyi?" "Aku sudah tua. Aku sudah cukup lama menunjukkan kesetianku kepadamu, kakang. Jika sekarang aku bersikap lain, karena aku sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi. Baik bagi badanku, maupun bagi namaku. Apapun yang akan kau lakukan, lakukanlah. Jika kau ingin menghinakan aku, lakukanlah" Jantung Paksi menjadi bedebar-debar. Tetapi ia tidak sempat memikirkannya. Ibunya telah menariknya dan membawanya masuk keruang dalam. Ki Tumenggung menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak mencegah ketika kemudian Nyi Tumenggung membimbing Paksi masuk keruang dalam. Sejenak kemudian Paksipun telah duduk diruang dalam. Dengan lembut ibunya berkata "Duduklah Paksi. Aku akan membuat minuman bagimu" Paksi tidak menjawab. Tetapi dipandangnya ayahnya yang berdiri dengan wajah yang tegang. "Kau tidak akan pergi lagi, Paksi. Kau akan tetap berada dirumahmu" Paksi masih tidak menjawab. Sementara itu ibunyapun beranjak dari tempatnya untuk pergi kedapur. Namun ia sempat berkata "Biarkan ia beristirahat dahulu, kakang. Jangan kau usik anak itu dengan segala macam pertanyaan yang dapat mengganggu ketenangannya" Paksi mendengarkan perselisihan itu dengan jantung yang berdebaran. Setelah melakukan pengembaraan lebih dari setahun panggraitanya menjadi semakin tajam. Karena itu,
pembicaraan ayah dan ibunya yang keras itu telah menimbulkan berbagai tanggapan didalam hatinya. Namun ayahnya benar-benar tidak mengganggunya. Bahkan kemudian ayahnya itu masuk kedalam biliknya tanpa menutup pintu rumahnya. Karena itu, maka Paksipun kemudian bangkit berdiri untuk menutup pintu yang terbuka itu. Didapur, ibunya telah membangunkan seorang pembantunya untuk menyiapkan minum dan makan bagi Paksi. "Hangatkan sayurnya" berkata ibu Paksi itu "anak itu tentu kedinginan dalam perjalanannya yang panjang" Dalam pada itu, ibu Paksi itupun segera masuk keruang dalam. Dilihatnya Paksi yang sedang menutup dan menyelarak pintu rumahnya. "Duduk sajalah Paksi" berkata ibunya "kau tentu letih. Sebaiknya kau beristirahat. Mungkin kau ingin mandi atau berbenah diri" Paksi merasakan kesejukan kasih seorang ibu. Ia membayangkan betapa seorang ibu telah siap berkorban, meskipun anaknya sudah mengusirnya. Agaknya ibunya juga akan bersedia berkorban sebagaimana ibu Wicitra. Tetapi Paksi harus merenungi sikap ayahnya. Pembicaraan ayah dan ibunya yang pendek itu cukup keras. Tetapi Paksipun harus menepati waktu sebagaimana dibicarakannya dengan Pangeran Benawa. Karena itu, sebelum Pangeran Benawa datang, cincin itu harus sudah berada di tangan ayahnya. "Kemana saja kau selama ini, Paksi. Aku sangat rindu kepadamu" Paksi mencoba untuk tersenyum. Ia tidak ingin membuat perasaan ibunya semakin pedih. Karena itu, maka wajah Paksi itu justru nampak gembira. Katanya "Satu pengalaman yang menarik, ibu. Aku telah melihat daerah yang luas sekali" "Apakah kau tidak mengalami peristiwa-peristiwa buruk diperjalanan?"
"Tidak, Ibu. Jika sekali-sekali kakiku terantuk batu, bukankah itu wajar sekali?" Ibunya menarik nafas panjang. Ia mengerti bahwa Paksi ingin menenteramkan hatinya. Namun ibunya itu terkejut ketika Paksi itupun bertanya "Dimana ayah?" Ibunya mengerutkan dahinya. Ia tahu bahwa suaminya berada didalam biliknya. Bahkan Ki Tumenggung itu tentu mendengar pertanyaan Paksi itu. "Bukankah ayahmu berada didalam biliknya?" "Aku ingin berbicara dengan ayah" "Bukankah dapat kau lakukan besok pagi" Beristirahatlah. Makanlah atau jika sebelumnya kau akan mandi dahulu. Kemudian berganti pakaian. Pakaianmu nampak lusuh dan kotor. Berapa bulan kau tidak berganti pakaian?" Paksi tertawa. Katanya "Aku selalu mencucinya, ibu. Aku sengaja tidak menyediakan ganti pakaian. Setiap kali aku mencuci disungai, maka akupun ikut berjemur sampai pakaian itu kering" "Kau bawa pula tongkat kayu, sehingga ujudmu benarbenar seperti seorang pengembara" Paksi tertawa. Katanya "Tongkat ini tongkat wasiat, ibu. Seseorang memberikan kepadaku sebagai kenang-kenangan, itulah sebabnya, aku membawanya kemana-mana" "Bagaimana jika pakaianmu yang selembar itu koyak?" "Aku dapat membeli dipasar. Bukankah aku mempunyai uang?" "Jadi uang bekalmu itu masih ada" atau kau sudah menjual perhiasan yang ibu berikan kepadamu?" "Uang itu masih ada ibu. Aku tidak banyak membelanjakannya selama dalam pengembaraan" "Bagaimana kau makan sehari-hari?" Wajah Paksi nampak cerah. Ia teringat kepada kebunnya di lereng gunung Merapi. Sambil tertawa Paksi berkata "Aku sempal berkebun ditanah yang subur, ibu" "Tanah siapa?"
"Tanah tanpa pemilik. Aku membuka tanah dipinggir sebuah hutan" ketika Paksi melihat kerut didahi ibunya, ia segera berkata "menyenangkan sekali. Satu pengalaman yang sulit aku dapatkan tanpa pengembaraan ini" Ibunya mengangguk-angguk. Namun karena ia melihat wajah Paksi yang cerah, maka hatinyapun menjadi terang pula. Bayangan-bayangan tentang kehidupan Paksi yang penuh dengan penderitaan menjadi semakin kabur. Bahkan ibu Paksi itupun kemudian dapat tersenyum pula sebagaimana Paksi. Apalagi Paksi menganggap pengalaman hidupnya itu sangat berarti baginya, serta beberapa ceritera jenaka yang terjadi di perjalanannya. Namun kemudian Paksi itupun bertanya lagi- Dimana ayah, ibu" "Kau akan berbicara dengan ayahmu?" "Ya" "Penting sekali?" "Ya, ibu. Aku ingin menyampaikan hasil pengembaraanku" Ibunya termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi iapun bertanya "Jadi kau berhasil?" Sebelum Paksi menjawab, ayahnya sudah keluar dari dalam biliknya. Ia memang mendengar pembicaraan Paksi dan ibunya. Dengan tergesa-gesa iapun bertanya "Jadi kau berhasil, Paksi?" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat ayahnya melangkah mendekatinya. Paksipun telah bersiap-siap untuk mengamati wajah ayahnya disaat ia mendengar bahwa perjalan-annya berhasil. "Ayah. Aku telah melakukan perintah ayah sejauh dapat aku lakukan. Ternyata Yang Maha Peyayang telah menuntun perjalananku sehingga aku berhasil" "Cincin itu?" "Ya, ayah" "Kau dapatkan cincin itu?" "Ya"
"Lihat, apakah cincin itu benar-benar cincin yang dimaksud. Cincin bermata tiga butir batu akik yang berbeda warnanya dan jenisnya" Paksipun kemudian telah mengambil cincin yang disimpannya di kantong ikat pinggangnya. "Apakah benar cincin ini yang ayah maksudkan?" Mata Ki Tumenggung itu terbelalak. Ia melihat tiga butir mata cincin itu bagaikan bercahaya. Dengan tergesa-gesa diambilnya cincin itu dari tangan Paksi. Diamatinya cincin iu dengan seksama. Tiba-tiba Ki Tumenggung itu tertawa. Semakin lama menjadi semakin keras. "Kakang Kakang Tumenggung" panggil Nyi Tumenggung. Bahkan kemudian sambil mengguncang-guncang lengan suaminya "kenapa kakang tiba-tiba kehilangan kendali seperti ini?" Suara tertawa itu memang mereda. Ki Tumenggung itupun duduk sambil berkata "Ternyata kau adalah anak yang sangat baik, Paksi. Kau dapat melakukan tugas yang dibebankan di pundakmu sehingga berhasil. Memang cincin inilah yang dicari selama ini" Paksi tidak menjawab. Tetapi ia menyadari, bahwa kegembiraan itu tidak akan berumur panjang. Sebelum matahari terbit, Pangeran Benawa akan datang untuk mengambil cincin itu. "Dimana kau dapat cincin ini?" bertanya ayahnya kemudian. "Dikaki Gunung Merapi disisi Selatan, ayah" Ayahnya mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun bertanya "Bagaimana kau mendapatkan cincin itu?" Paksi sudah menduga bahwa ayahnya akan bertanya seperti itu kepadanya. Karena itu dengan lancar iapun menjawab "Dalam samadi aku seakan-akan melihat bintang kecil yang jatuh dibalik segerumbul pepohonan. Ketika aku memburunya, maka ternyata aku menemukan sebuah telaga kecil dibalik gerumbul itu, ayah. Ketika aku mendekat, maka aku melihat cahaya tiga warna didalam air. Entah apakah yang
meyakinkan aku waktu itu, tetapi akupun segera terjun kedalam air menuju ke sumber cahaya itu. Ternyata aku mendapatkan cincin ini" "Paksi" berkata ayahnya "aku tahu, bahwa banyak orang yang mencari cincin ini. Apakah kau tidak bertemu atau bahkan berebutan dengan mereka?" "Hanya akulah yang berada di telaga kecil pada waktu itu, ayah. Tidak ada orang lain. Baru kemudian, aku mengetahui bahwa di lereng sebelah Selatan Gunung Merapi banyak orang yang memburu cincin itu" "Dari mana kau tahu, bahwa mereka sedang memburu cincin itu sedangkan cincin itu sudah berada di tanganmu" "Dimana-mana terjadi keributan. Yang satu menuduh yang lain menyembunyikan. Bahkan ada seorang yang mencari seorang yang bernama Pangeran Benawa yang menurut kata mereka, telah melarikan cincin itu dari istana" "Jadi perebutan itu terjadi di tempat-tempat terbuka?" "Bahkan di pasar, di kedai, dimana saja" jawab Paksi "di pasar aku juga pernah melihat dua orang saling menuduh. Bukan menyembunyikan cincin, tetapi menyembunyikan Pangeran Benawa" Ayah Paksi itu tertawa berkepanjangan. Katanya "Apa yang kau lakukan" Kau tentu mentertawakan mereka karena kaulah yang telah membawa cincin itu" "Ya, ayah. Tetapi aku justru harus berhati-hati. Aku takut bahwa cahaya mata cincin itu akan menembus kantong ikat pinggangku. Karena itu, aku selalu menyingkir jika terjadi perselisihan diantara mereka" Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya "Bukankah kau tidak berbohong, Paksi?" Paksi mengerutkan dahinya. Katanya "Maksud ayah?" "Tidak. Aku percaya kepadamu. Terima-kasih, Paksi" Ayahnya tidak berkata apa-apa lagi. Tetapi dibawanya cincin itu kedalam biliknya. Ibu Paksi itupun menarik nafas dalam-dalam. Diusapnya kepala anaknya sambil berkata "Yang Maha Penyayang
memberi jalan kepadamu untuk menyelesaikan tugasmu dengan baik" Paksi mengangguk kecil. Katanya "Ya, ibu. Aku memang tidak berkeputusan memohon" "Permohonanmu ternyata didengarNya" "Ya, ibu" Namun pembicaraan mereka terhenti. Ia melihat Ki Tumenggung keluar dari biliknya dan dengan tergesa-gesa pergi ke belakang. "Ayah" panggil Paksi yang menjadi cemas. Tetapi Ki Tumenggung tidak mendengarnya. Bahkan ia berjalan terus kebelakang lewat pintu butulan. Paksi seakan-akan diluar sadamva telah bangkit pula mengikuti ayahnya sampai ke pintu. Dari pintu butulan ia melihat ayahnya memanggil seorang pembantunya. Dengan singkat Ki Tumenggung itu memberi perintah-perintah. Paksi yang memiliki Aji Sapta Pangrungu sempat mendengar ayahnya berkata "Pergilah. Katakan, bahwa lampu itu telah menyala di Katumenggungan" Paksi tahu bahwa ayahnya telah memberi isyarat sandi. Tetapi agaknya pembantu ayahnya itu sudah tahu kemana ia harus pergi, sehingga tanpa disebutpun ia tidak bertanya. Ketika orang itu pergi ke kandang kuda, maka Paksipun telah melangkah mundur dan kembali keruang dalam. Ayah Paksipun telah masuk pula. Tanpa berpaling kepada Paksi dan ibunya yang berdiri termangu-mangu, Ki Tumenggungpun masuk kembali kedalam biliknya. Namun ibu Paksi itupun kemudian berkata "Apakah kau akan mandi dahulu sebelum makan?" Paksi ragu-ragu sejenak. Ia harus mengawasi ayahnya. Jika saja ayahnya menyerahkan cincin itu kepada orang lain. "Pembantu yang membawa isyarat sandi itu perlu mendapat perhatian khusus" berkata Paksi didalam hatinya. Karena itu, maka Paksi itupun berkata "Aku tidak mandi sekarang" "Jadi?"
Sambil tersenyum Paksi berdesis "Besok saja ibu. Dalam pengembaraan aku terpaksa tidak terlalu rajin untuk mandi" Ibunyapun tersenyum. Tetapi ia tidak memaksa. Karena itu, sejenak kemudian, Paksi itu justru duduk di ruang dalam untuk makan. Namun dari tempatnya Paksi tahu jika ayahnya meninggalkan biliknya atau jika ada orang lain yang masuk kedalam bilik itu. Paksi sengaja makan dengan perlahan-lahan. Karena ibunya menungguinya, maka Paksipun berceritera panjang lebar tentang pengembaraannya. Paksi membuat dongeng tentang samadinya sehingga ia melihat bintang kecil yang seakan-akan jatuh dari langit, yang ternyata adalah cincin itu. Setiap kali ibunya mengangguk-angguk. Nampak kekaguman memancar di sorot mata ibunya. Ternyata anak laki-lakinya itu adalah anak laki-laki yang berani. Berbeda dengan bagian-bagian yang dirahasaikan, Paksi bercerita tentang keranda yang terbang di malam hari. Seluruh Kademangan menjadi ketakutan. Namun akhirnya Paksi dapat membongkar rahasia keranda terbang itu. "O. Kau tidak menjadi katakutan melihat keranda terbang itu, Paksi?" "Tentu tidak ibu. Sejak semula aku sudah tidak percaya bahwa ada keranda yang dapat terbang" "O, orang-orang Kademangan itu tentu berterima-kasih kepadamu" "Aku memang menjadi pahlawan ibu" Ibunya tertawa. Ceritera itu menjadi sangat menarik baginya. Sementara itu, kedua adik Paksipun telah terbangun pula. Merekapun kemudian telah ikut duduk diruang dalam menunggui Paksi yang sedang makan. Ternyata keduanya juga senang mendengarkan dongeng yang dibuat oleh Paksi. Bahkan keduanya tertawa tergelak-gelak kelika Paksi berceritera pula kepada mereka tentang keranda yang terbang itu.
Kedatangan Paksi membuat kedua adiknya itu bergembira., Selama Paksi pergi, berganti-ganti mereka bertanya, kenapa Paksi tidak segera pulang. Karena itu mereka merasa benarbenar gembira ketika Paksi berada di rumah lagi. "Bukankah kakang tidak akan pergi lagi?" bertanya adik perempuan Paksi. "Tidak" ibunya yang menjawab. "Ayah tidak memerintahkan kakang untuk mencari cincin itu lagi?" "Ah, jangan berbicara tentang cincin itu" desis ibunya yang mengetahui bahwa cincin itu adalah benda yang menjadi bahan rebutan banyak pihak. Adik laki-laki Paksipun berdesis "Kami bukan kanak-kanak lagi, ibu. Kami tahu, bahwa kami tidak boleh berbicara tentang cincin itu disembarang tempat. Tetapi bukankah disini tidak orang lain?" Paksi tertawa. Adiknya memang sudah nampak remaja. Tubuhnya yang tinggi dan dadanya yang bidang mengisyaratkan bahwa adiknya adalah seorang laki-laki yang kokoh. Bukan saja wadagnya, tetapi juga hatinya. Karena itu, maka Paksipun berkata "Tentu, kau tentu sudah bukan kanak-kanak lagi. Tetapi barangkali adikmu masih harus diberitahu tentang sesuatu yang rahasia" "Uh, kakang mengira bahwa aku masih kanak-kanak?" Paksi tertawa pula. Katanya "Setahun lebih aku mengembara. Kau sudah nampak benar-benar seperti seorang gadis" "Ah" Tetapi adik laki-laki Paksipun menyahut "Sekali-sekali sudah ada anak muda yang memandanginya tanpa berkedip" Adik perempuan Paksi itu bangkit. Namun kakaknya dengan cepat bergeser. Katanya "Jangan" Paksi tertawa berkepanjangan. Ia senang melihat adikadiknya yang nampak bergembira. Agak berbeda dengan Paksi sendiri. Sebelum ia meninggalkan rumahnya, jarang sekali ia sempat bergurau. Ada saja yang harus dilakukannya. Sebagai
anak seorang Tumenggung, Paksi termasuk seorang anak muda yang prihatin. Namun justru dalam pengembaraannya, Paksi menemukan sesuatu yang berharga bagi dirinya. Dalam pada itu, malampun bertambah dalam. Paksi yang sudah selesai makan, masih belum beranjak dari tempatnya. "Beristirahatlah, Paksi" berkata ibunya kemudian. "Sebentar ibu" jawab Paksi "baru saja aku selesai makan" "Tetapi kau tentu letih" "Sedikit" jawab Paksi "tetapi aku tidak apa-apa. Adik-adikku masih ingin mendengarkan aku berceritera tentang pengembaraanku" Ibunya memandang adik-adik Paksi berganti-ganti. Katanya "Apakah kalian tidak akan tidur lagi?" "Aku senang mendengarkan kakang Paksi berceritera" jawab adik perempuannya. Ibunya menarik nafas panjang. Sementara Paksipun menyahut "Aku juga masih belum ingin tidur ibu" Ibunya tidak dapat memaksa mereka. Bahkan ibunya juga masih saja duduk bersama mereka diruang dalam. Mangkukmangkuk nasi dan sayur serta lauknya seadanya, masih belum disingkirkan. Sebenarnyalah bahwa Paksi menunggu kedatangan Pangeran Benawa. Menurut pembicaraan mereka, Pangeran Benawa akan datang menjelang fajar. Sambil menunggu, Paksi mengisi waktunya dengan berceritera kepada adikadiknya. Ceritera yang dikarangnya sekenanya saja. Namun yang dapat menimbulkan gelak dan tawa. Dalam pada itu, malampun beringsut menjelang dini. Ayam jantan sudah terdengar berkokok lagi. Adik perempuan Paksi itu sudah mulai menguap. Ia mulai mengantuk lagi. "Tidurlah" berkata ibunya "masih ada waktu beberapa lama sebelum pagi" Adik perempuan Paksi itupun kemudian bangkit sambil berkata "Bukankah kau tidak akan pergi lagi, kakang?" "Tidak" jawab Paksi. "Besok kau harus berceritera lagi. Panjang sekali.
"Gantian" besok akulah yang akan berceritera. "Apa yang dapat kau ceriterakan?" "Banyak. Kancil yang suka mencuri timun" Adik perempuannya bergeser mendekatinya. Tetapi adik laki-laki Paksi itu bergerak lebih cepat menjauh. "Sudahlah" berkata ibunya "tidurlah. Kakakmu tentu merasa letih. Tetapi karena ia tidak mau mengecewakan kalian, maka ia masih bertahan" Adik perempuan Paksi itupun kemudian telah pergi ke biliknya lagi. Demikian pula adik laki-laki itupun berkala "Aku akan tidur lagi, kakang. Kakang tentu juga letih" Paksi tersenyum. Katanya "Tidurlah. Sebentar lagi aku juga akan tidur" Ketika kedua orang adiknya sudah tidur, maka ibunyapun berkata "Tidurlah. Bilikmu masih bilik yang dahulu. Setiap hari aku membersihkannya. Karena itu, jika kau mau tidur, di bilikmu tidak terdapat banyak debu" Paksi itu mengangguk. Katanya "Baik ibu. Aku akan pergi rke pakiwan lebih dahulu" Sejenak kemudian, setelah mencuci muka, tangan dan kakinya, Paksipun telah duduk lagi di ruang dalam. Ibunya telah menyediakan pakaian sepengadeg jika Paksi mau berganti. "Pakaianmu kusut dan kotor, Paksi" Tetapi Paksi tertawa. Katanya "Aku terbiasa memakai pakaian selembar ini untuk beberapa hari ibu. Kemudian mencucinya di kali sambil berjemur menunggu pakaian ini kering" "Kau sekarang ada dirumah, Paksi. Suasananya tentu berbeda. Terserahlah kepadamu - berkata ibunya kemudian "tetapi beristirahatlah" "Baik, ibu " jawab Paksi. Tetapi sebelum Paksi beringsut, ia mendengar derap kaki kuda memasuki halaman rumahnya. Paksi itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kuda itu hanya seekor dan langsung berlari kebelakang. Paksipun tahu, bahwa yang
datang itu adalah pemabantunya yang tadi yang menjalankan perintah ayahnya membawa isyarat sandi. Sebenarnyalah, ayah Paksi yang juga mendengar derap kaki kuda itu, langsung keluar dari biliknya. Membuka pintu butulan dan bertanya saja sambil berdiri di pintu butulanBagaimana?" "Sudah Ki Tumenggung" jawab orang itu. "Bagus" berkata Ki Tumenggung tanpa keluar dari pintu butulan. Setelah menutup pintu butulan, maka ayah Paksi itupun segera kembali kedalam biliknya. Sekilas ia memandang Paksi yang masih duduk diruang dalam bersama ibunya. Tetapi ia sama sekali tidak bertanya. Paksi menarik nafas panjang. Tetapi iapun tidak bertanya apa-apa pula. Ia hanya memandangi ayannya yang kembali masuk kedalam biliknya. "Ternyata ayah juga belum tidur" berkata Paksi didalam hatinya. Paksipun tahu, bahwa ada sesuatu yang dilakukan oleh ayahnya dengan cepat. Agaknya ayahnya juga tidak ingin terlambat. Namun Paksi tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh ayahnya itu. Tetapi tentu ada hubungannya dengan cincin yang baru saja dibawanya pulang. Karena itu, Paksi menjadi gelisah. Ia berharap bahwa Pangeran Benawa akan datang mendahului rencana ayahnya itu. Tetapi ibunyapun lelah bertanya lagi kepadanya "beristirahatlah, Paksi. Bukankah kau letih?" Paksi tersenyum. Katanya "Baik ibu. Aku akan beristirahat. Tapi beberapa saat lagi fajar akan menyingsing" "Masih ada waktu meskipun hanya sedikit" Paksi memang pergi ke biliknya. Tetapi ia tidak berbaring dan apalagi memejamkan matanya. Paksi mengangkat wajahnya ketika ia mendengar derap kaki beberapa ekor kuda. Tetapi kemudian ia justru menjadi bimbang. Siapakah yang datang itu. Pangeran Benawa atau orang-orang yang telah meneriman isyarat ayahnya. Diluar sadarnya, Paksi tiba-tiba
saja meraih tongkatnya yang disandarkannya di dekat pembaringannya. "Jika orang-orang itu bukan Pangeran Benawa dan akan mengambil, cincin itu, aku harus mencegahnya, apapun yang terjadi" berkata Paksi didalam hatinya. Sejenak menunggu. Bahkan Paksipun kemudian telah berdiri dipintu biliknya. Sejenak kemudian terdengar pintu pringgitan di ketuk orang. Agaknya beberapa orang telah naik ke pendapa dan langsung ke pringgitan. Karena tidak segera ada jawaban, maka pintu itu telah diketuk lagi. Lebih keras. Ibu Paksipun telah berada di biliknya pula. Dengan nada cemas, ibunya itupur. berkata "Kakang Tumenggung. Kakang dengar orang mengetuk pintu?" "Ya" jawab Ki Tumenggung. "Siapakah mereka itu?" bertanya istrinya. Ki Tumenggung itu bangkit dari pembaringannya. Disambarnya kerisnya dan dikenakannya di punggungnya. Sambil mengenakan bajunya ia bertanya "Siapa diluar?" "Aku Ki Tumenggung" terdengar jawaban. "Apakah kalian tidak dapat datang besok" Ini bukan waktunya untuk datang ke rumah seseorang" Paksi mendengar kata-kata ayahnya itu. Dengan demikian Paksi tahu, bahwa yang datang itu tentu bukan orang-orang yang memang ditunggu oleh ayahnya, kecuali jika mereka dengan sengaja membuat satu permainan. Tetapi ketukan pintu itu terdengar lagi. Terdengar suara diluar pintu "Ada sesuatu yang sangat penting, Ki Tumenggung. Bukalah pintumu" "Datanglah besok pagi" "Aku perlu sekarang. Bukalah pintumu atau aku akan membukanya sendiri" Ki Tumenggung menjadi bimbang. Meskipun sudah menyelipkan keris dipunggungnya, Ki Tumenggung itu masih menyambar tombak pendek di plonconnya.
Sementara itu Paksipun telah keluar dari biliknya pula. Bahkan adik laki-lakinya yang juga menggenggam tombak pendek. Ki Tumenggung memang nampak ragu-ragu. Namun terdengar suara diluar "Ki Tumenggung. Bukalah pintunya. Yang datang adalah Pangeran Benawa" Paksi menarik napas dalam-dalam. Tetapi tidak seorangpun yang memperhatikannya, karena orang-orang diruang dalam itu memusatkan perhatiannya kepada pintu pringgitan yang tertutup rapat dan diselarak dari dalam. Ki Tumenggung benar-benar menjadi tegang. Bahkan iapun telah berpaling. Dipandanginya Paksi dan adik Paksi itu berganti-ganti. Namun ayah Paksi itu tidak mengatakan sesuatu. "Ki Tumenggung" terdengar suara yang lain. Paksi langsung dapat mengenali suara itu. Suara Wijang. Tetapi ia tentu datang sebagai Pangeran Benawa. "Aku datang untuk satu keperluan yang penting. Tolong Ki Tumenggung, bukalah pintu rumahmu. Aku bukan perampok yang akan merampok kekayaanmu" Ki Tumenggung masih saja ragu-ragu. Nyi Tumenggung berdiri dibelakangnya dengan tubuh gemetar. Sementara itu Paksi dan adiknya berdiri tegak di depan bilik mereka masingmasing. Namun Ki Tumenggung tidak mempunyai pilihan lain. Iapun kemudian melangkah perlahan-lahan ke pintu pringgitan. "Kakang" desis Nyi Tumenggung. "Masuklah kedalam bilik Nyi" Nyi Tumenggung yang masih saja berdiri dengan gemetar. Paksilah yang kemudian mendekatinya. Dibimbingnya ibunya masuk kedalam biliknya- Sebaiknya ibu berada didalam bilik saja" Nyi Tumenggung itu masih saja ragu-ragu. Tetapi Paksi membimbingnya dan bahkan sedikit mendorongnya, sehingga ibunya itupun kemudian masuk kedalam biliknya.
Ki Tumenggungpun kemudian telah mengangkat selarak pintu rumahnya. Demikian pintu itu terbuka, maka Ki Tumenggung itupun melangkah mundur sambil mengangguk dalam-dalam. "Pengeran Benawa" desis Ki Tumenggung. "Bukankah namaku telah disebut" "Hamba Pangeran. Tetapi hamba masih ragu-ragu. Di jaman seperti ini, banyak orang-orang yang memanfaatkan nama-nama orang penting untuk mengelabui orang lain" Pangeran Benawa tersenyum. Katanya "Aku mengerti, Ki Tumenggung. Aku tidak menyalahkan Ki Tumenggung yang berhati-hati, sehingga Ki Tumenggung harus membawa tombak untuk menyambut kedatanganku" "Hamba mohon ampun, Pangeran" "Barangkali Ki Tumenggung dapat menyimpan tombak pendek itu" "Hamba Pangeran" Ketika Ki Tumenggung kemudian meletakkan tombaknya didalam plonconnya, maka Pangeran Benawapun bertanya "Apakah kedua anak muda itu anak Ki Tumenggung" "Hamba Pangeran" jawab Ki Tumenggung. "Aku melihat keduanya agak berbeda. Tapi mungkin yang aku lihat hanya ujud lahiriahnya saja. Yang satu berpakaian wajar dimalam hari, sedangkan yang lain berpakaian agak aneh. Kusut dan kumal" Ki Tumenggung memandang Paksi sekilas. Pakaiannya memang kusut dan kumal. Tetapi ia tidak menyangka bahwa Pangeran Benawa bakal datang malam itu dan sempal memperhatikan pakaian Paksi. Paksi sendiri memandang Pangeran Benawa yang tersenyum. Pangeran Benawa yang dikenalnya bernama Wijang itu berpakaian lengkap sebagaimana seorang Pangeran. Meskipun dimalam hari, tetapi Pangeran Benawa itu memang hadir sebagai Pangeran diiringi oleh beberapa orang pengawal.
Karena Ki Tumenggung sulit untuk menjawab pertanyaan itu, maka Pangeran Benawapun kemudian berkata "Sudanlah. Mungkin anak Ki Tumenggung yang satu itu memang lebih senang berpenampilan aneh seperti seorang pengembara" "Hamba Pangeran" sahut Ki Tumenggung sambil membungkuk hormat. "Nah, Ki Tumenggung. Aku minta maaf, bahwa malammalam begini aku datang kerumah Ki Tumenggung. Ada sesuatu yang penting sekali yang harus aku bicarakan, menyangkut masa depan dari Kerajaan Pajang" Jantung Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar. Dengan nada dalam Ki Tumenggung itu bertanya "Apakah titah Pangeran?" "Ki Tumenggung. Selagi aku samadi, maka aku telah menerima satu isyarat yang sangat mendebarkan jantungku. Seakan-akan ada suara yang berdengung di telingaku, bahwa sebuah bintang akan jatuh dari langit" Pangeran Benawa itu terdiam sejenak. Namun kemudian katanya "Rasa-rasanya ada pula yang mendorongku keluar sanggar. Sebenarnyalah aku telah melihat sebuah bintang kecil yang melayang dilangit dan jatuh dipermukaan bumi. Aku tidak tahu dengan pasti, arti dari isyarat itu. Tetapi pada waktu yang hampir bersamaan, Kiai Waskita, nujum istana telah datang menemuiku, justru saat aku masih berdiri di halaman sanggar. Kiai Waskita juga menerima isyarat yang menurut pendapatnya sangat penting. Cincin Kerajaan yang hilang telah kembali ke Pajang. Tetapi tidak langsung masuk ke bangsal pusaka. Aku masih harus mengambil cincin itu" Jantung Ki Tumenggung menjadi semakin berdebaran. Arus darahnya bagaikan arus banjir bandang didalam nadinya "Ki Tumenggung" berkata Pangeran Benawa "menurut petunjuk Kiai Waskita serta isyarat yang aku terima, maka aku harus mengikuti cahaya yang menyala seperti pelita menyusuri jalan-jalan kota. Meskipun mula-mula aku tidak melihat pelita itu, tetapi akupun telah bersiap bersama beberapa pengawal. Ternyata petunjuk Ki Waskita itu benar. Beberapa saat
kemudian aku memang melihat cahaya api seperti pelita yang keluar dari bangsal pusaka. Aku dan para pengawalku mengikuti nyala pelita itu. Aku sendiri tidak menyangka, bahwa pelita itu akhirnya memasuki halaman rumah ini dan bahkan masuk kedalam menyusup pintu meskipun pintunya tidak terbuka" Keringat dingin telah mengalir di punggung Ki Tumenggung. Namun dengan gagap Ki Tumenggung itu menjawab "Ampun Pangeran. Hamba tidak mengerti, apa yang Pangeran maksudkan?" "Ki Tumenggung. Cincin kerajaan itu sekarang ada disini. Nah, jika Ki Tumenggung menyimpan cincin itu, tolong, berikan cincin itu kepadaku. Aku, atas nama ayah anda akan sangat berterima-kasih. Besok aku akan melaporkannya kepada ayahanda agar ayahanda itu sendiri memanggil Ki Tumenggung menghadap" "Tetapi hamba mohon ampun. Hamba sama sekali tidak tahu menahu tentang cincin kerajaan itu, Pangeran" "Maaf Ki Tumenggung. Bukannya aku tidak percaya kepada Ki Tumenggung. Tetapi barangkali Ki Tumenggung khilaf, tolong, apakah cincin itu ada disini atau tidak" Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Sementara Pangeran Benawa itu telah memberi isyarat kepada seorang yang menyertainya sambil berkata "Kiai, kemarilah" Seorang tua yang jambang, kumis dan janggutnya sudah bercampur putih, melangkah maju. Matanya nampak sayu. sebuah tongkat bambu digenggamnya dengan tangan kirinya. "Ampun, Pangeran" desis orang itu. "Nah, katakan, dimana cincin itu berada" Orang itu mengangkat wajahnya. Kemudian dimiringkannya kepalanya, seakan-akan ia sedang mendengarkan sesuatu. "Cincin itu ada disini Pangeran" Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Tumenggung dengan tajamnya. Katanya "Nah, kau dengar Ki Tumenggung. Cincin itu ada disini"
"Tetapi..., Pangeran Hamba tidak tahu, apakah sebenarnya yang Pangeran kehendaki. Hamba sama sekali tidak tahu tentang cincin yang Pangeran maksudkan" "Kiai. Apakah Ki Tumenggung atau kau yang telah berbohong" "Ampun Pangeran Hamba sama sekali tidak berani berbohong" Tiba-tiba saja orang yang disebut Ki Waskita itu memandang Paksi dengan tanpa berkedip. Bahkan kemudian orang itu maju selangkah mendekatinya. Paksi memang terkejut melihat Kehadiran orang itu. Orang itu telah dikenalnya dengan baik, karena orang itu adalah Ki Marta Brewok. Tetapi penampilannya yang berbeda, serta kehadirannya dirumahnya itu memang membuat Paksi juga bertanya-tanya. Ki Marta BrewoK nampak jauh lebih tua dari yang dikenalinya. Ia membuat jambang, kumis dan janggutnya menjadi bercampur putih. Bahkan nampak punggungnya sedikit bongkok bertumpu pada sebatang tongkat bambu. Beberapa saat setelah Paksi berpisah dengan Wijang, ia masih sempat duduk di pinggir alun-alun beberapa lama. Baru kemudian ia meninggalkan Ki Marta Brewok itu untuk pulang sambil membawa cincin bermata tiga itu. "Agaknya Ki Marta Brewok seorang yang dekat dengan Pangeran Benawa" berkata Paksi didalam hatinya. Dalam pada itu, Ki Marta Brewok yang oleh Pangeran Benawa disebut Kiai Waskita itupun mendekati Paksi sambil berkata "Nah, anak muda. Aku melihat getar yang lain pada sorot matamu. Kenapa kau menjadi sangat gelisah d an ketakutan?" Paksi benar-benar menjadi bingung, sementara Kiai Waskita melangkah semakin dekat "Aku melihat hubungan anak ini dengan cincin itu, Pangeran. Kemudian aku melihat pula hubungan Ki Tumenggung dengan cincin itu pula"
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Namun suaranya masih tetap bernada rendah "Ki Tumenggung. Jangan mempersulit tugasku. Atau ayahanda sendiri yang harus datang kemari" Bukankah itu tidak sewajarnya bahwa seorang raja harus turun dari istana untuk mengambil sebuah cincin, meskipun cincin itu cincin kerajaan?" Ki Tumenggung benar-benar menjadi bingung. Meskipun Pangeran Benawa masih mengendalikan diri sepenuhnya, namun Pangeran yang masih muda itu akan dapat bertindak lebih keras lagi sesuai dengan kemudaannya. Sementara itu Kiai Waskitapun berkata "Maafkan aku Ki Tumenggung. Jika aku mengatakan yang sebenarnya itu sama sekali bukan karena aku mengada-ada. Tetapi isyarat itu kami lihat dengan jelas. Maksudku, Pangeran Benawa melihatnya dan aku juga melihatnya. Aku tidak tahu apakah ada orang lain yang juga melihatnya, sehingga merekapun akan datang kemari untuk berusaha merebutnya dari tangan Ki Tumenggung. Ki Tumenggung justru berdiri seperti patung. Jantungnya bergejolak didalam dadanya. Dalam pada itu, dengan ujung tongkat bambunya, Kiai Waskita itu menyentuh perut Paksi sambil bertanya "He, anak muda. Katakan sesuatu tentang cincin itu. Apakah cincin itu ada padamu sehingha Ki Tumenggung tidak tahu menahu?" Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Paksipun menjawab- Aku tidak tahu yang Kiai Waskita maksudkan. Jika disini dipersoalkan sebentuk cincin, maka aku sama sekali tidak tahu, cincin apakah yang sedang dipersoalkan itu" Tetapi Kiai Waskita tertawa. Katanya "Kau tidak dapat menyembunyikan kegelisahanmu. Nah, katakan. Dimana cincin itu" Wajah Paksi menjadi tegang. Dengan tegas Paksi menjawab pula "Aku tidak tahu" "Kau membuat Pangeran Benawa marah" berkata Kiai Waskita.
Paksi tidak menjawab. Ketika ia memandang Pangeran Benawa, maka dilihatnya Pangeran Benawa itu tersenyum. Katanya "Anak muda. Jika kau mengetahui dimana cincin itu disimpan, tolong katakan kepadaku. Kau akan mendapat ganjaran yang memadai dengan keterangan itu, karena cincin kerajaan itu akan segera kembali ke bangsal pusaka" Paksi menggelengkan kepalanya. Katanya "Hamba tidak mengetahui Pangeran" Pangeran Benawa tertawa. Iapun melangkah mendekati Paksi. Diamatinya pakaian Paksi yang kusut itu. Bahkan kemudian Pangeran Benawa itu melangkah mengitarinya. "Pakaianmu aneh, anak muda. He, apakah kau benar anak Ki Tumenggung seperti juga anak muda yang satu itu?" Paksi mengangguk. "Kenapa kau memakai pakaian seperti ini?" Paksi tidak segera dapat menjawab. Tetapi tanpa disengaja ia memandang sepengadeg pakaian yang sudah disediakan oleh ibunya. "Anak muda" berkata Pangeran Benawa "kau masih mempunyai waktu untuk mengatakan, dimanakah cincin itu" Tetapi Paksi sama sekali tidak menjawab. Dalam kediaman itu, ruangan dalam rumah Ki Tumenggung itu terasa dicengkam oleh ketegangan. Pangeran Benawa yang kemudian berdiri di hadapan Paksipun mulai bersikap lebih keras. Katanya "Jangan menghambat tugasku anak muda. Pada saat matahari terbit nanti, aku harus menghadap ayahanda dan menyerahkan cincin itu" "Pangeran" berkata Paksi kemudian "hamba tidak tahu menahu yang Pangeran maksudkan" "Sekali lagi aku bertanya" Pangeran Benawa itu mulai membentak "dimana cincin itu, he. Aku dapat mempergunakan kuasaku atas nama ayahanda untuk memaksamu berbicara" Sementara itu Kiai Waskilapun berkata "Katakan anak muda. Katakan agar kau terlepas dari kemarahan Pangeran Benawa"
Tetapi Paksi sama sekali tidak menjawab. Sebenarnyalah Paksi memang menjadi bingung. Apa yang harus dikatakannya. Sebelumnya Wijang dan Kiai Mana Brewok tidak mengatakan bahwa ia akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Paksi terkejut ketika ia mendengar Pangeran Benawa itu berkata "Bawa semuanya ke halaman" "Pangeran" sahut Ki Tumenggung "apa maksud Pangeran?" Pangeran Benawa mengulangi perintahnya "Bawa semuanya ke halaman" Beberapa orang pengawal Pangeran Benawa itupun segera bergerak. Merekapun segera membawa Ki Tumenggung, Paksi dan adik laki-laki Paksi. Namun dalam pada itu, la mendengar Ki Marta Brewok berbisik "Kau harus tetap ingkar, Paksi" Paksi mengerutkan dahinya. Namun dengan demikian ia tahu, apa yang harus dilakukannya. Sejenak kemudian, mereka lelah berada di halaman. Paksi didorong berdiri di tengah-tengah. Pangeran Benawa yang berdiri dihadapannya itupun bertanya sambil bertolak pinggang "Siapa namamu, anak muda" "Nama hamba Paksi, Pangeran" jawab Paksi. "Nah Paksi. Katakan, dimana cincin itu sekarang. Menurut Kiai Waskita, menilik sikapmu dan tentu saja dari penglihatan yang lebih dalam dari sekedar melihat sikap dan ujud lahiriah itu, kau tahu dimana cincin iiu sekurang" "Ampun Pangeran. Hamba benar-benar tidak tahu, apakah yang Pangeran maksudkan dengan cincin kerajaan itu" Wajah Pangeran Benawa menjadi tegang. Suaranya menjadi semakin keras "Katakan, Paksi. Selagi kau masih mempunyai kesempatan" "Ampun Pangeran. Apa yang mesti hamba katakan "Nampaknya kemarahan Pangeran Benawa tidak tertahankan lagi. Tiba-tiba ia berkata kepada salah seorang pengawalnya "Berikan cambuk itu" Paksi benar-benar menjadi tegang. Demikian pula Ki Tumenggung dan adik laki-laki Paksi itu.
"Kau mau mengatakan dimana cincin itu atau tidak, Paksi" "Ampun Pangeran. Hamba benar-benar tidak tahu" Tiba-tiba cambuk yang berjuntai panjang itu meledak. Paksi terkejut, sehingga ia bergeser selangkah surut. Ki Tumenggungpun benar-benar menjadi cemas. Bukan karena Paksi yang akan disakiti. Tetapi yang dicemaskan adalah bahwa Paksi akan terpaksa mengatakan, bahwa cincin itu telah diberikan kepadanya. "Paksi" bentak Pangeran Benawa "aku tidak terbiasa melakukan dengan cara ini. Tetapi kali ini aku terpaksa melakukannya jika kau tetap tidak mau menunjukkan cincin itu. Paksi sama sekali tidak menjawab. Pangeran Benawa itupun kemudian melangkah maju. Sementara Kiai Waskita telah mendekatinya sambil berkata "Anak muda. Bukankah lebih baik jika kau tidak disakiti. Katakan dimana cincin itu" Paksi termangu-mangu sejenak. Namun telinga Paksi itupun kemudian mendengar perlahan-lahan sekali Rapatkan kakimu" Paksi tidak tahu, apa maksud Ki Marta Brewok. Tetapi Paksi itupun kemudian berdiri tegak dengan kedua kakinya yang merapat. "Kiai Waskita" berkala Pangeran Benawa "menyingkirlah. Biarlah aku memaksa anak itu berbicara dengan caraku" Ki Marta Brewok yang disebut Kiai Waskita itupun kemudian bergeser menjahui Paksi sambil berkata "Jangan biarkan tubuhmu sakit, ngger" Tetapi Paksi tetap berdiam diri. Pangeran Benawalah yang kemudian mendekati Paksi. Tiba-tiba saja cambuknya terangkat dan terayun deras sekali menyambar kaki Paksi. Satu ledakan yang keras kemudian terdengar. Adik Paksi memejamkan matanya. Ia tidak mau melihat kaki kakaknyajtu dikoyak oleh juntai cambuk yang panjang itu.
Paksi sendiri mengatupkan giginya rapat-rapat serta meningkatkan daya tahan tubuhnya.Namun ternyata Paksi sendiri merasa heran, bahwa lecutan cambuk itu tidak terasa terlalu sakit di kakinya, ujung cambuk itu rasa-rasanya hanya melingkari kakinya saja tanpa melukainya. Dalam pada itu, Pangeran Benawapun membentak lagi "Nah, apakah kau masih tetap tidak mau mengatakannya?" Paksi benar-benar berdiri tegak seperti patung. Ia sama sekali tidak bergerak, tetapi juga tidak berbicara. Sekali lagi cambuk itu meledak. Juntainya melingkar diarah paha Paksi. Tetapi seperti yang pertama, lecutan cambuk itu tidak terasa terlalu sakit. Namun demikian, orang-orang yang menyaksikan lecutan-lecutan cambuk itu kulitnya terasa meremang. Adik laki-laki Paksi bukan saja memejamkan matanya, tetapi ia bergeser dan berpaling. Sementara Ki Tumenggung menjadi semakin tegang. Jika Paksi tidak tahan lagi, maka ia tentu akan berbicara tentang cincin yang sudah diserahkan kepadanya itu. Dalam pada itu, ketika Pangeran Benawa siap untuk mengayunkan cambuknya lagi, tiba-tiba ibunya berlari menghambur lewat pintu pringgitan menuruni tangga pcndapa,langsung memeluk anaknya. Sambil menangis ibu Paksi itupun berkata "Ampun Pangeran. Jangan sakiti anakku. Jika anakku salah dan harus dihukum, hukum saja hamba Pangeran" "Anakmu bersalah" berkata Pangeran Benawa. "Anakku tidak tahu apa-apa, Pangeran" "Minggirlah, Nyi Tumenggung" "Tidak. Aku tidak akan pergi. Biarlah aku yang mengalaminya. Biarlah aku dicambuk bahkan sampai mati sekalipun. Tetapi jangan anakku" Pangeran Benawa berdiri termangu-mangu. Dipandanginya Nyi Tumenggung yang menangis itu dengan tajamnya. Sementara itu, Paksi merasakan betapa hangatnya ia berada didalam pelukan ibunya. Setahun lebih ia mengembara, seakan-akan terlempar dari keluarganya.
Seakan-akan Paksi itu tidak lebih dari kleyang kabur kanginan. Seperti daun kering yang diterbangkan angin. Terbayang kembali peristiwa yang menimpa Wicitra. Ibunya juga memeluk Wicitra seperti ibunya. Ibu Wicitra itu juga bersedia menggantikan hukuman anaknya seperti ibunya. Tetapi ayahnya berbeda dengan ayah Wicitra. Jika ayah Wicitra bersedia mati bagi anaknya, ayahnya sama sekali tidak berbuat sesuatu ketika ia dicambuk. Untunglah bahwa yang mencambuk itu adalah Pangeran Benawa yang agaknya dapat mempermainkan cambuknya sehingga tidak sangat menyakitinya, meskipun juntai cambuk itu juga terasa menyengat kakinya. Ki Tumenggunglah yang kemudian menjadi tegang. Pangeran Benawa itu melangkah mendekatinya dengan cambuk ditangannya. "Ki Tumenggung segala sesuatunya terserah kepada Ki Tumenggung. Jika Ki Tumenggung tidak mau menunjukkan cincin itu kepadaku, maka aku akan memaksamu" "Pangeran" berkata Ki Tumenggung "hamba adalah seorang Tumenggung. Pangeran tidak dapat berbuat seperti itu terhadap hamba. Meskipun Pangeran adalah putera Kangjeng Sultan. Tetapi apakah Pangeran berhak menghukum hamba, seorang Tumenggung yang diangkat berdasarkan kekancingan Kangjeng Sultan Hadiwijaya" "Aku tidak akan menghukum Ki Tumenggung. Tetapi aku akan membawa Ki Tumenggung menghadap ayahanda. Kiai Waskita akan menjelaskan segala-galanya kepada ayahanda. Sementara itu, aku akan menggeledah rumah Ki Tumenggung. Kiai Waskita akan tahu, apakah cincin itu ada dirumah ini atau tidak" "Pangeran" wajah Ki Tumenggung menjadi tegang "hamba mohon Pangeran mengerti. Hamba tidak membawa cincin itu" Pangeran Benawa tidak menghiraukannya. Katanya "Aku sendiri akan mencari cincin itu didalam bersama Kiai Waskita" "Pengeran" potong Ki Tumenggung.
Tetapi Pangeran Benawa itu berkata selanjutnya "Bawa Ki Tumenggung dan anak ini kembali masuk kedalam" Kepada Nyi Tumenggung Pangeran Benawa berkata "Jika anak muda itu tidak Nyi Tumenggung lepaskan, maka ia akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi" Nyi Tumenggung menjadi ragu-ragu. Namun Kiai Waskitalah yang mendekatinya sambil berkata "Nyi. Untuk kepentingan anakmu sendiri. Lepaskanlah anak itu. Ia akan kami bawa masuk kedalam bersama Ki Tumenggung untuk mencari cincin itu" Nyi Tumenggung masih belum melepaskan Paksi, sehingga Kiai Waskita berkata "Aku akan menanggung keselamatan anakmu" Dengan sorot mata penuh kebimbangan Nyi Tumenggung itu memandang Kiai Waskita. Dengan nada yang meyakinkan Kiai Waskita berkata "Percayalah kepadaku" Akhirnya Nyi Tumenggung melepaskan Paksi yang kemudian digiring memasuki rumahnya kembali oleh Kiai Waskita sementara Ki Tumenggung telah dibawa oleh para pengawal Pangeran Benawa naik kependapa kemudian memasuki pringgitan. Namun sementara itu Ki Marta Brewok sempal berdesis ditelinga Paksi "Dimana cincin itu disimpan?" "Dibawa masuk kedalam bilik ayah" bisik Paksi. Sejenak kemudian Ki Tumenggung dan Paksi itu lelah berada diruang dalam. Beberapa orang pengawal berdiri didepan pintu. Pangeran Benawa yang berada diruang dalam itupun kemudian bertanya kepada Kiai Waskita "Kiai, barangkali kita tidak dapat memaksa Ki Tumenggung untuk berbicara. Bahkan mungkin Ki Tumenggung benar-benar tidak tahu bahwa cincin itu ada dirumah ini, karena cincin itu datang sendiri. Karena itu, kita akan mencari dengan cara kita sendiri" Kiai Waskita mengangguk-angguk sambil berkata "Aku akan mencoba, Pangeran"
Sejenak kemudian, Kiai Waskita itupun berdiri ditengahtengah ruang dalam. Iapun merenung sesaat. Kemudian seperti orang yang mendengarkan sesuatu yang tidak jelas, Kiai Waskita memiringkan kepalanya. Tiba-tiba saja Kiai Waskita itu melangkah perlahan-lahan. Tangan kirinya bertumpu pada tongkatnya. Punggungnya yang agak bongkok menjadi semakin bongkok. Kepala Ki Tumenggung menjadi pening ketika ia melihat orang yang disebut Kiai Waskita itu melangkah kepintu bilik Ki Tumenggung. Didepan pintu Kiai Waskita itu berhenti. Katanya "Menurut pengamatan hamba, cincin itu ada didalam bilik ini, Pangeran" "Ini bilik siapa Ki Tumenggung?" "Bilik hamba, Pangeran" "Nah, Ki Tumenggung. Kami akan mencari cincin itu di-bilik Ki Tumenggung. Tetapi agar Ki Tumenggung tidak menuduh kami mengambil sesuatu milik Ki Tumenggung, aku minta Ki Tumenggung menunggui kami disaat kami mencari cincin itu didalam bilik Ki Tumenggung" "Sebenarnya hamba memang berkeberatan, Pangeran. Didalam bilik itu tersimpan perhiasan-perhiasan Nyi Tumenggung. Benda-benda pusaka simpanan hamba dan benda-benda berharga lainnya" Pangeran Benawa mengangguk-anguk. Katanya "Aku mengerti, Ki Tumenggung. Jika demikian, aku persilahkan Ki Tumenggung sajalah yang mencari cincin itu. Kami akan menungguinya. Seperti yang aku katakan, mungkin cincin itu datang sendiri ke rumah ini. Atau kemungkinan-kemungkinan lain yang Ki Tumenggung sendiri tidak tahu" "Tetapi..." "Seharusnya Ki Tumenggung tanggap akan maksudku dengan kesempatan yang aku berikan ini. Karena aku mempunyai cara lain yang tentu tidak akan Ki Tumenggung senangi"
Ki Tumenggung berdiri termangu-mangu. Sementara Pangeran Benawa berdesis perlahan "Cara ini mungkin untuk menyatakan bahwa Ki Tumenggung tidak bersalah" Ki Tumenggung tidak dapat berbuat lain. Ia menyadari, bahwa Pangeran Benawa sudah memberikan kesempatan kepadanya, sehingga ia dapat dianggap tidak bersalah. Tetapi beratnya untuk menyerahkan cincin itu. Cincin yang diburu oleh Paksi untuk waktu yang panjang. Lebih dari setahun. Tetapi jika Pangeran Benawa kehilangan kesabaran dan menggeledah sendiri bilik itu dan menemukannya, maka ia tidak akan dapat ingkar, bahwa ia dapat dituduh menyembunyikan cincin Kerajaan atau bahkan lebih buruk dari itu. Ia dapat dituduh mencuri cincin Kerajaan yang hilang itu karena terbukti dapat diketemukan dirumahnya. Karena itu, maka Ki Tumenggung itu akhirnya berkata "Baiklah, Pangeran. Aku akan mencarinya. Memang mungkin cincin itu turun dari langit dan langsung masuk kedalam rumahku dan bahkan kedalam bilikku" Dengan lesu Ki Tumenggung itupun kemudian masuk kedalam biliknya. Sementara Pangeran Benawa berdiri dipintu. Memang tidak ada yang dapat dilakukan oleh Ki Tumenggung selain mengambil cincin itu dan kemudian menyerahkannya kepada Pangeran Benawa. Pangeran Benawa yang berdiri dimuka pintu menerima cincin itu sambil tersenyum. Namun iapun masih juga berdesis perlahan sekali "Ki Tumenggung, sebenarnyalah Kiai Waskita tahu bahwa cincin itu tidak turun dari langit. Tetapi cincin itu tentu dibawa oleh seseorang kemari. Getaran panggraitanya yang tajam tidak dapat ditipu dengan cara apapun juga. Tetapi jika aku berkata demikian dihadapan para pengawal, maka berarti harus ada orang yang ditangkap dan dituntut karena telah menyembunyikan cincin kerajaan" Ki Tumenggung tidak menyahut. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Namun demikian, terasa didadanya seakan-akan ombak dilautan yang didera prahara berdeburan menghantam tebing.
"Nah, sudahlah. Persoalan ini aku anggap selesai. Aku tidak akan mempermasalahkannya lagi. Besok aku akan menghadap ayahanda dan berusaha untuk meredam persoalan ini agar tidak berkepanjangan" "Terima-kasih, Pangeran" desis Ki Tumenggung. "Sekarang, aku minta diri" Ketika kemudian Pangeran Benawa keluar dari ruang dalam, maka para pengawalnya yang berdiri dimuka pintu pringgitanpun mengikutinya pula. Demikian pula Kiai Waskita dan Ki Tumenggung. Dibelakangnya Paksi melangkah dengan ragu-ragu. Namun demikian Pangeran Benawa berada di pendapa bersama beberapa orang pengawalnya serta Kiai Waskita, tiba-tiba saja diluar dugaan siapapun, Ki Tumenggung itu berkata "Ampun Pangeran... Jika hamba boleh berterus terang. Anak hamba itulah yang telah membawa cincin ini pulang" "He" Pangeran Benawa itu benar-benar terkejut mendengar pengakuan itu. Demikian pula Ki Marta Brewok dan apalagi Paksi sendiri. Pangeran Benawa yang kemudian berdiri tegak di pendapa itu bertanya dengan suara bergetar "Apakah kau berkata sebenarnya?" "Hamba Pangeran. Pangeran melihat sendiri, bahwa anak hamba itu masih mengenakan pakaian seorang pengembara. Dalam pengembaraannya itulah ia menemukan cincin itu dan dibawanya pulang. Diserahkannya cincin itu kepada hamba, sehingga dengan demikian hamba tidak tahu menahu, dari mana anak hamba itu mendapatkan cincin kerajaan itu" Beberapa orang pengawal Pangeran Benawa serentak bergeser. Meskipun mereka belum menerima perintah apapun, namun mereka tiba-tiba saja sudah bersiaga. Untuk beberapa saat Pangeran Benawa tercenung. Ia memang agak bimbang menanggapi laporan Ki Tumenggung itu. Namun Pangeran Benawa itupun tanggap pula, bahwa
dalam saat yang gawat itu, Ki Tumenggung masih sempat berusaha untuk menyingkirkan anak sulungnya itu. Paksi sendiripun segera mengetahui maksud ayahnya itu. Dengan demikian, maka Paksilah yang harus bertanggungjawab tentang cincin kerajaan yang berada dirumahnya itu. Pendapa rumah Ki Tumenggung itupun kemudian telah dicengkam oleh ketegangan. Pangeran Benawa yang tidak siap menghadapi keadaan itu, memang harus berpikir, apa yang sebaiknya dilakukan. Sementara itu, para pengawalnya telah siap untuk menjalankan perintah yang setiap saat diucapkan dari mulutnya. Pangeran Benawa memang dapat menguasai para pengawalnya itu dengan baik. Iapun dapat memerintahkan para pengawalnya untuk merahasiakan apa yang terjadi seandainya dikehendakinya. Tetapi Pengeran Benawa tidak yakin, bahwa sekian banyak mulut para pengawalnya itu tidak ada satupun yang terlanjur mengucapkan rahasia itu kepada orang lain sehingga rahasia itu akan dapat merambat sampai ke manamana, seandainya ia mengabaikan laporan Ki Tumenggung. Pengeran Benawapun kemudian telah melangkah mendekati Ki Tumenggung. Pangeran Benawa itu berdiri hanya selangkah saja dihadapannya. "Kenapa tidak kau katakan hal ini sejak aku datang" Kenapa kau ingkar, bahwa dirumah ini terdapat cincin Kerajaan?" "Ampun Pangeran. Hamba hanya ingin melindungi anak hamba" "Jika demikian, kenapa justru pada saat segala-galanya aku anggap selesai, kau justru mengatakan bahwa anakmulah yang telah membawa cincin itu?" "Pangeran. Hamba ternyata tidak dapat mempertahankan kebohongan itu. Perasaan bersalah telah menekan jiwa hamba, sehingga akhirnya hamba memang harus berterusterang. Kenyataan yang buruk tidak akan dapat disembunyikan selama-lamanya, sehingga akhirnya aku memilih untuk bertcrus-terang"
"Ternyata kau memberikan pengakuan yang berbelit-belit, Ki Tumenggung. Tetapi baiklah. Aku sadari, bahwa aku tidak dapat bertindak tergesa-gesa terhadap seorang Tumenggung yang mendapat surat kekancingan langsung dari ayahanda. Tetapi segala sesuatunya tergantung kepada ayah-anda. Tetapi tentang anakmu, akulah yang akan menentukan, apakah anakmu akan digantung atau dipancung" Tiba-tiba terdengar ibu Paksi menjerit. Iapun berlari dan sekali lagi memeluk anaknya. "Jangan bawa anakku" teriak Nyi Tumenggung. Pangeran Benawa yang tidak menduga menghadapi persoalan itu memang agak menjadi bingung. Apa yang sebaiknya dilakukan. Namun dalam pada itu, Kiai Waskitapun telah mendekati Nyi Tumenggung sambil berkata "Kau tidak dapat menahan anakmu, Nyi. Ia harus ikut bersama Pangeran Benawa" Namun kemudian hampir berbisik Kiai Waskita berkata "Jangan cemas, Nyi. Aku akan melindunginya" Tiba-tiba tangis Nyi Tumenggung itu mereda. Nada suara itu pernah didengarnya. Lembut dan menyentuh perasaannya. Kiai Waskita itupun berkata pula "Lebih baik kau menyerahkan anakmu daripada persoalannya berkepanjangan. Jangan membuat Pangeran Benawa merasa terganggu dengan tingkahmu, Nyi" Namun kemudian Kiai Waskita itu berbisik lagi "Percayalah kepadaku" Nyi Tumenggung tidak menyadari, pengaruh apa yang telah mencengkam jantungnya, sehingga Nyi Tumenggung itu melepaskan anaknya. Sementara Paksi sendiri berbisikMemang ibu jangan cemas. Aku sudah mengenal Kiai Waskita dengan baik" "Berkidunglah tembang Asmarandana, Nyi" desis Kiai Waskita kemudian "kau pandai melagukannya. Kemudian kaupun harus selalu berdoa kepada Sang Pencipta untuk keselamatan anakmu"
Kiai Waskita itupun kemudian telah menarik lengan Paksi sambil berkata "Ikut kami. Jika kau ingin membawa tongkatmu, bawalah" Paksi tidak menolak. Katanya kepada ibunya "Aku minta diri ibu" Ibunya melepaskan Paksi dengan air mata yang mengalir di pipinya. Tetapi ada sesuatu yang aneh pada orang berewok yang bernama Kiai Waskita itu. Suaranya yang lembut itu seakan-akan pernah didengarnya. Bahkan orang itu menyebut tembang yang memang sering dilagukannya dahulu. Terasa ada sesuatu yang aneh pada orang itu. Namun Nyi Tumenggung itupun tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia percaya kepada orang itu. Kiai Waskitapun kemudian telah membawa Paksi turun ke halaman. Sementara Pangeran Benawapun telah bersiap pula meninggalkan halaman rumah itu. Seorang pengawal telah memegangi kendali kudanya ketika tiba-tiba saja beberapa orang berkuda memasuki halaman rumah Ki Tumenggung. Namun orang itu terkejut ketika mereka melihat Pangeran Benawa ada di halaman rumah itu pula, sehingga dengan serta-merta orang-orang itupun berloncatan turun. "Paman Harya Wisaka" desis Pangeran Benawa. Harya Wisaka tertegun sejenak. Namun kemudian iapun bertanya "Angger Pangeran Benawa. Kenapa angger berada disini?" "Aku telah mengambil cincin kerajaan yang hilang itu paman. Cincin itu ada disini. Kiai Waskita dengan ketajaman panggraitanya dapat menangkap getarnya sehingga kami datang kemari untuk mengambilnya. Nah, kenapa paman pagi-pagi buta juga datang kemari?" Harya Wisaka menjadi berdebar-debar. Tetapi ternyata nalarnya memang trampil sehingga iapun segera menjawab "Aku terbiasa berkuda di pagi-pagi buta mengelilingi kota. Bukankah angger tahu itu" Dengan laku seperti itu, kesehatanku akan tetap terjaga. Pada umurku sekarang, aku berani berlomba melawan anak-anak muda, khususnya dalam
ketrampilan menguasai kuda. Tetapi akupun bersedia berlomba dalam hal apa saja" Pangeran Benawa mengerutkan dahinya Katanya "Paman memang luar biasa" "Pagi ini kebetulan aku berkuda lewat didepan rumah ini. Aku tertarik mendengar sedikit keributan, sehingga akupun kemudian singgah" "Apakah terjadi keributan disini?" bertanya Pangeran Benawa. "Apapun yang terjadi, tetapi yang terjadi itu sangat menarik perhatianku" "Jika demikian, baiklah. Kami akan meninggalkan tempat ini. Kami telah berhasil mendapatkan cincin itu. Kami akan membawa anak muda yang telah membawa cincin itu ke rumah ini. Anak laki-laki sulung Ki Tumenggung" Harya Wisaka tidak menyahut. Tetapi nampak wajahnya menjadi tegang. Pangeran Benawapun kemudian telah meloncat kepunggung kudanya. Iapun kemudian berkata kepada seorang pengawalnya "Berikan salah satu kuda kalian kepada anak muda itu. Kalian dapat berkuda berdua" Namun sebelum kuda Pangeran Benawa itu bergerak, Pangeran Benawa itu masih berkata "Paman, aku tertarik akan kesediaan paman untuk berlomba ketrampilan menguasai kuda tetapi juga dalam hal apa saja" "Kenapa?" bertanya Harya Wisaka. "Suatu kali aku ingin melakukannya" Wajah Harya Wisaka menjadi panas. Dengan lantang iapun menyahut "Bagus ngger. Aku terima tantangan itu. Kapan angger ingin melakukannya" "Terserah kepada paman. Aku siap setiap saat" jawab Pangeran Benawa sambil menggerakkan kendali kudanya. Darah Harya Wisaka tersirap. Ia merasa ditantang oleh anak-anak yang baru kemarin berani naik ke punggung kuda. Tetapi dihadapan para pengawal, Harya Wisaka tidak dapat berbuat apa-apa. Namun Harya Wisaka itupun masih juga
menjawab "Terima kasih atas kesempatan yang angger Pangeran berikan itu. Aku tidak akan pernah melupakannya" Pangeran Benawa tidak menghiraukannya lagi. Bahkan berpalingpun tidak. Bersama para pengawalnya Pangeran Benawa meninggalkan halaman rumah ayah Paksi yang mendapat gelar Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Sepeninggal Pangeran Benawa, maka ibu Paksipun segera berlari masuk kedalam biliknya. Iapun segera menjatuhkan dirinya menelungkup di pembaringan. "Ibu" terdengar suara anak laki-lakinya, adik Paksi. Nyi Tumenggung itupun mencoba menahan isaknya. "Jangan menangis, ibu. Kakang Paksi akan dapat menjaga dirinya sendiri" Dipeluknya anak laki-lakinya itu sambil berdesis "Kenapa hal ini harus terjadi atas kakakmu. Ia baru saja pulang dari pengembaraannya. Kini ia justru telah ditangkap dan dibawa oleh Pangeran Benawa. Aku tidak tahu, kenapa ayahmu justru menunjuk kakakmu ketika Pangeran Benawa itu sudah siap untuk beranjak pergi" "Aku juga tidak mengerti, ibu. Seharusnya ayah tidak melakukannya" Nyi Tumenggung itupun bangkit ketika ia melihat anak gadis remajanya berdiri di depan pintu biliknya. "Ibu, apa yang terjadi. Aku takut sekali ibu" "Kemarilah, ngger" desis Nyi Tumenggung. Gadis remaja itupun berlari langsung memeluk ibunya. Tubuhnya gemetar oleh ketakutan yang sangat. "Jangan takut" kakaknya mencoba untuk menenangkannya "besok aku akan mencari keterangan tentang kakang Paksi. Aku yakin, Pangeran Benawa tidak akan berbuat sewenangwenang" "Apa yang terjadi dengan kakang Paksi?" bertanya adik perempuannya yang tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya telah terjadi. "Sedikit kesalah-pahaman. Hanya itu" jawab kakaknya. "Kau harus tidur lagi, ngger" desis Nyi Tumenggung.
"Sudah pagi ibu. Sebentar lagi kita harus sudah bangun" "Kembalilah ke bilikmu. Masih ada waktu untuk beristirahat" berkata kakaknya. Tetapi gadis remaja itu menggeleng, katanya "Aku disini saja bersama ibu" Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata "Ibu akan pergi ke dapur dan membangunkan para pembantu. Di pendapa ada beberapa orang tamu. Ayahmu tentu minta dibuatkan minuman bagi mereka" "Aku ikut ibu pergi ke dapur" Nyi Tumenggung tidak dapat mencegahnya. Karena itu, maka diajaknya anak gadisnya pergi ke dapur, sementara kakaknya kembali ke biliknya. Meskipun anak muda itu kembali berbaring di pembaringannya, tetapi ia tidak dapat memejamkan matanya. Ia memang merasa heran atas tingkah laku ayahnya yang dengan sengaja menyurukkan kakaknya kedalam kesulitan. Seandainya ayahnya itu tidak menunjuk Paksi, maka menurut Pangeran Benawa, persoalannya tentu tidak akan mempermasalahkannya lagi. Sementara itu, tiba-tiba saja telah datang Harya Wisaka dengan beberapa orang pengikutnya, sehingga anak muda itu bertanya didalam hatinya "Apakah ada hubungan antara sikap ayah itu dengan kehadiran Harya Wisaka. Atau kehadiran Harya Wisaka itu ada hubungannya dengan kedatangan kakang Paksi yang membawa cincin kerajaan itu?" Tetapi anak muda itu sama sekali tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi dalam kaitannya dengan cincin kerajaan itu. Dalam pada itu, di halaman, Harya Wisaka menjadi sangat tegang. Kemarahannya serasa membakar jantungnya ketika ia mendengar dari Ki Tumenggung tentang sikap Pangeran Benawa. "Apakah benar kau mendapat isyarat dari langit tentang kehadiran cincin itu dirumah Ki Tumenggung?"
Rahasia Pedang Naga Langit 1 Pendekar Slebor 32 Malaikat Peti Mati Bendera Darah 1

Cari Blog Ini