Ceritasilat Novel Online

Jejak Di Balik Kabut 28

Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 28


"He?" Lurah prajurit itu tidak menunggu prajurit yang memberikan laporan itu mengulanginya. Iapun segera berlari sambil berteriak, "Tunjukkan, dimana anak itu" Prajurit yang memberikan laporan itu segera mengikutinya sambil berteriak, "Lewat seketeng sebelah kiri, Ki Lurah" Pangeran Benawa yang duduk di tangga pendapa mendengar laporan itu pula. Iapun segera mengerti, tentu Paksilah yang dimaksud. Karena itu, maka iapun segera berlari mengikuti lurah prajurit itu. Sebenarnyalah, bahwa Paksilah yang bertempur melawan beberapa orang prajurit. Dua orang prajurit justru telah terluka oleh tongkat Paksi. Seorang lagi perutnya menjadi mual dan yang lain berada dalam kegelisahan. Ketika lurah prajurit itu datang, maka para prajuritpun menyibak. "Anak Tumenggung Sarpa Biwada, kenapa kau tiba-tiba menjadi gila dan melawan para prajurit" Kau tahu, bahwa dengan demikian kau telah ikut pula menjadi pemberontak dan harus ditangkap dan dihukum sebagai seorang pemberontak" Paksi termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan lantang iapun menjawab, "Persoalannya sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemberontakan. Tetapi apakah kau akan membiarkan prajurit-prajuritmu, prajurit-prajurit Pajang, tidak tahu diri dan bersikap tidak tahu adat?" "Kenapa dengan prajurit-prajuritku?" "Kau tentu pemimpin para prajurit yang ada disini" "Ya" jawab lurah prajurit itu. "Bertanyalah kepada prajurit-prajuritmu. Apa yang telah mereka lakukan" Lurah prajurit itu termangu-mangu sejenak. Dengan raguragu iapun bertanya kepada para prajurit, "Apa yang telah terjadi?" Orang yang tertua di antara para prajurit itupun menyahut, "Kami tidak tahu apa maksudnya. Tiba-tiba saja anak itu menyerang para prajurit"
Tetapi Paksi segera menyahut, "Bertanyalah kepada prajuritmu yang terluka itu" "Apa yang kau lakukan?" "Aku tidak apa-apa. Aku sedang mengawasi daerah ini" "Kau pengecut yang paling licik" "Aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja kau menyerangku dari belakang" "Inikah watak para prajurit Pajang?" suara Paksi terdengar mengguruh. Namun kemudian Pangeran Benawa yang melangkah mendekatinya sambil bertanya, "Apa yang sudah dilakukannya, Paksi?" "Dua orang prajurit itu sudah mengganggu adik perempuanku. Mereka menganggap bahwa karena adik perempuanku itu anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang dianggap memberontak, maka ia dapat diperlakukan sekehendak hati mereka" Wajah Pangeran Benawa terasa menjadi panas. Iapun kemudian berpaling kepada kedua orang prajurit yang telah terluka itu sambil berkata, "Kalian telah mencemarkan nama baik prajurit Pajang. Kalian tahu akibatnya" Kalian dapat digantung di halaman depan rumah ini jika aku memerintahkan" "Tetapi, Pangeran" potong lurah prajurit itu. "Tidak ada yang dapat menghalangi aku. Kau dengar Ki Lurah. Atau kau ingin membela dan melindungi kedua prajuritmu yang gila itu?" "Ampun, Pangeran. Hamba tidak bermaksud demikian" "Apa yang ingin kau katakan?" "Apakah yang dikatakan oleh anak Ki Tumenggung itu benar?" "Ia sahabatku. Aku percaya kepada kata-katanya. Kau dengar, Ki Lurah?" "Hamba dengar, Pangeran" "Sekarang, bawa orang-orangmu pergi" "Maksud Pangeran?"
"Bawa orang-orangmu pergi. He, Ki Lurah, apakah kau tidak mendengar?" "Hamba mendengar, Pangeran. Tetapi hamba ditugaskan untuk berjaga-jaga di rumah ini" "Siapa yang memerintahkan kalian berjaga-jaga di rumah ini, Ki Lurah?" "Ki Lurah Surapada" "Siapa yang memerintahkan kalian pergi?" "Pangeran Benawa" "Lakukan perintahku. Kau sudah melanggar unggahungguh. Kau yang bertanggung jawab atas tingkah laku prajuritmu. Apakah sudah wataknya prajurit Pajang mengganggu anak-anak perempuan" Apakah sudah wataknya prajurit Pajang mempergunakan rumah orang lain untuk kepentingannya tanpa minta ijin" Kau sudah mempergunakan gandok itu sebelum kau minta ijin Nyi Tumenggung" Lurah prajurit itu menundukkan kepalanya. "Bawa orang-orangmu pergi. Tetapi persoalanku dengan kedua prajurit itu belum selesai. Ia telah mengotori nama kesatuan prajurit Pajang, khususnya kesatuanmu. Kau harus segera menghadap Ki Lurah Surapada. Laporkan peristiwa ini. Yang dapat kau lakukan kemudian adalah mengawasi rumah ini dari luar dinding halaman" Ki Lurah itu termangu-mangu sejenak. Namun Pangeran Benawapun membentak, "Kau dengar?" "Hamba, Pangeran" "Jika perbuatan seperti itu terjadi lagi, maka aku biarkan Paksi membunuh kalian semuanya" Ki Lurah itupun segera menyembah. Dipanggilnya semua prajuritnya dan diperintahkannya mereka keluar dari halaman untuk mengawasi rumah itu dari luar lingkungan dinding rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Demikian para prajurit itu pergi, maka Nyi Tumenggung itupun kemudian menghadap Pangeran Benawa sambil berdesis, "Terima kasih, Pangeran"
"Mereka akan berjaga-jaga di luar, Bibi. Jika para prajurit itu kembali memasuki halaman rumah ini, maka merekalah yang telah memberontak dengan melawan perintahku" "Hamba, Pangeran" "Nah, sekarang perkenankan kami kembali menemui Paman Pemanahan. Kamipun harus memberikan laporan kepada Paman Pemanahan agar Paman tidak memberikan perintah yang bertentangan dengan perintahku" "Hamba, Pangeran" Paksipun kemudian berkata kepada ibunya, "Ibu, aku mohon diri untuk kembali menghadap Ki Gede Pemanahan" Ibunya mengangguk sambil menjawab, "Baiklah, Paksi. Tetapi berhati-hatilah" "Ya, Ibu" Namun adik perempuannya tiba-tiba bertanya, "Ibu, apakah Kakang Paksi akan pergi?" "Ya, Ngger. Kakang Paksi harus menghadap Ki Gede Pemanahan" "Jika para prajurit itu nanti kembali?" Pangeran Benawalah yang menyahut, "Mereka tidak akan kembali kemari. Mereka akan berada di luar dinding halaman rumah ini" Adik perempuan Paksi itu mengangguk-angguk. Tetapi masih nampak kecemasan membayang di kedua matanya. Paksipun kemudian mendekati adik laki-lakinya dan berkata, "Kembalikan tombak itu di tempatnya. Mudahmudahan kau tidak akan merasa perlu menggunakannya" Adik laki-laki Paksi itu mengangguk. Namun iapun berpesan, "Nanti, aku minta Kakang singgah kemari" "Ya" Paksi mengangguk-angguk, "aku akan singgah kemari nanti" Demikianlah, Paksi dan Pangeran Benawapun telah meninggalkan rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Mereka kembali menghadap Ki Gede Pemanahan. Pangeran Benawapun telah menceriterakan bahwa ia telah
memerintahkan para prajurit untuk berjaga-jaga di luar dinding halaman rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. "Aku minta maaf, bahwa aku telah mendahului Paman" berkata Pangeran Benawa. "Tidak apa-apa, Pangeran. Aku justru menganggap bahwa Pangeran telah mengambil sikap yang benar" "Aku telah mengatakan kepada kedua orang prajurit yang mencoba mengganggu adik perempuan Paksi, bahwa persoalannya masih belum selesai" "Ya. Aku akan memerintahkan Ki Lurah Surapada untuk memanggil prajurit itu" "Terserah kepada Paman, hukuman apa yang akan Paman berikan. Tetapi aku mohon bahwa keduanya setidak-tidaknya mendapat peringatan keras dan hukuman jabatan" "Baik, Pangeran. Atau barangkali Pangeran sendiri ingin berbicara dengan kedua orang prajurit itu?" "Dimana mereka sekarang?" "Ki Lurah Surapada akan dapat memanggil mereka" "Tidak usah, Paman. Aku tidak usah menunggu terlalu lama. Aku ingin menghadap ayahanda jika Paman tidak berkeberatan" "Tentu tidak, Pangeran. Jika yang Pangeran kehendaki, aku ikut menghadap, maka aku akan mengantar Pangeran" Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, "Bukan untuk mengantarkan aku menghadap, Paman. Tetapi kita menghadap bersama-sama" Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, "Baiklah. Kita menghadap bersama-sama" Sejenak kemudian, maka Ki Gede Pemanahan, Pangeran Benawa dan Paksipun telah pergi ke istana bersama empat orang pengawal Ki Gede Pemanahan. Dalam keadaan yang gawat seperti pada saat itu, Pangeran Benawa akan dapat diserang setiap saat dari tempat-tempat tersembunyi oleh Harya Wisaka atau para pengikutnya yang setia. Apalagi setelah Harya Wisaka berhasil membebaskan diri dari bilik tahanannya. Para pengikutnya yang setia itu akan merasakan
sebagai pohon-pohon yang mulai layu yang disiram dengan sekelenting air yang segar. Kedatangan mereka memang agak mengejutkan Kangjeng Sultan. Agaknya Kangjeng Sultan belum mendapat laporan, bahwa Harya Wisaka bersembunyi di rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada, tetapi luput dari penangkapan. Harya Wisaka dan Tumenggung Sarpa Biwada berhasil melarikan diri. Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Pangeran Benawa, sebelum Kangjeng Sultan mengatakan sesuatu. Pangeran Benawa telah mendahuluinya, "Hamba yang bersalah, Ayahanda. Seharusnya hamba dapat menangkap Harya Wisaka dan Tumenggung Sarpa Biwada. Tetapi hamba gagal" "Sudah. Jangan menyalahkan diri sendiri. Yang penting, kita berusaha menangkap kembali Harya Wisaka dan Tumenggung Sarpa Biwada" "Ya, Ayahanda" "Paksi" berkata Kangjeng Sultan, "hal ini terpaksa dilakukan karena ayahmu terbukti telah menyembunyikan seorang pemberontak di rumahnya" "Segala sesuatunya terserah kebijaksanaan Kangjeng Sultan" "Tetapi Pajang tidak akan menjatuhkan hukuman semenamena. Ayahmu akan diperiksa dengan teliti. Jika ternyata kesalahannya kecil, maka hukumannyapun akan menjadi sangat ringan. Bahkan mungkin dapat diampuni" Paksi hanya dapat menyembah. Tetapi suaranya rasarasanya terhenti di kerongkongan. "Sekarang, apakah yang Kakang Pemanahan lakukan?" "Hamba telah memerintahkan pengawasan para petugas sandi di samping meningkatkan perondaan oleh para prajurit yang bertugas di seluruh kota. Meningkatkan pengawasan sehingga memperkecil kemungkinan bagi Harya Wisaka untuk keluar kota"
"Baiklah. Aku harap Kakang cepat menemukan orang itu kembali. Tentu dengan para pengikutnya yang masih berada di dalam kota" "Hamba akan mencoba, Kangjeng Sultan" "Kita memang harus mengerahkan segenap tenaga dan akal untuk dapat menangkapnya kembali. Ia orang yang sangat berbahaya bagi Pajang" "Hamba, Kangjeng Sultan" "Benawa" berkata Kangjeng Sultan kemudian. "Hamba, Ayahanda" "Kau harus menjadi lebih berhati-hati. Kau adalah salah satu sasarannya. Aku minta aku mempertimbangkannya lagi, apakah cincin itu akan terus kau pakai atau disimpan saja di tempat yang tidak akan dapat diusik oleh orang lain" "Hamba akan memakainya, Ayahanda. Seperti gula, cincin ini akan menarik semut. Paman Harya Wisaka adalah salah satu dari semut itu. Mungkin ia akan datang lagi kepadaku" "Jika demikian, maka kau harus selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan. Juga di padepokanmu. Meskipun mungkin Harya Wisaka tidak lagi mampu mengumpulkan pengikutnya sebanyak sebelumnya, tetapi Harya Wisaka tetap berbahaya bagi padepokanmu di Hutan Jabung" "Hamba, Ayahanda" "Nah, Kakang Pemanahan. Bukankah kita menjadi sibuk karena tingkah Harya Wisaka itu?" "Hamba, Baginda" Untuk beberapa saat Kangjeng Sultan masih memberikan petunjuk-petunjuk kepada Ki Gede Pemanahan dan kepada Pangeran Benawa serta Paksi. "Kau akan kembali kemana, Benawa?" "Kami akan kembali ke padepokan, Ayahanda. Tetapi kami ingin singgah dan minta diri kepada Bibi Tumenggung Sarpa Biwada" "Kau harus sangat berhati-hati di perjalanan jika kau hanya berdua" "Hamba, Ayah"
Namun Ki Gede Pemanahanpun berkata, "Biarlah empat pengawalku yang terpilih menemani Pangeran dan Paksi sampai ke padepokan di Hutan Jabung. Bukan karena aku meragukan kemampuan Pangeran Benawa. Tetapi jika musuh terlalu banyak, maka akan dapat terjadi kesulitan bagi Pangeran dan Paksi" Pangeran Benawa mengangguk. Katanya, "Baik, Paman. Kami tentu tidak berkeberatan" Demikianlah, maka Pangeran Benawa dan Paksipun segera mohon diri. Demikian pula Ki Gede Pemanahan yang kemudian akan menyerahkan beberapa orang pengawal pilihan yang akan menemani Pangeran Benawa dan Paksi kembali ke Hutan Jabung. Pangeran Benawa dan Paksi tidak lama singgah di rumah Ki Gede Pemanahan. Setelah Ki Gede menunjuk empat orang pengawal yang meyakinkan, maka Pangeran Benawa dan Paksipun segera minta diri. Mereka masih akan singgah untuk minta diri kepada Nyi Tumenggung Sarpa Biwada. Ketika Paksi dan Pangeran Benawa minta diri, Nyi Tumenggung yang bukan seorang yang cengeng itu mengusap matanya. Hidupnya menjadi sangat rumit. Keluarganya terpecah-pecah dan bahkan saling bermusuhan. Nyi Tumenggung memang menjadi sangat kecewa dan menyesal, bahwa suaminya telah terlibat di dalam gerakan yang dilakukan oleh Harya Wisaka. Tetapi semuanya itu sudah terjadi. "Berhati-hatilah, Paksi" pesan ibunya. "Ya, Ibu" "Pangeran" berkata Nyi Tumenggung kepada Pangeran Benawa, "hamba titipkan Paksi kepada Pangeran dan seisi padepokan" "Kami akan saling menjaga, Bibi" "Terima kasih, Pangeran" "Tetapi Bibi juga harus berhati-hati. Mungkin keadaan akan dapat menjadi semakin rumit. Tetapi jangan takut, bahwa para prajurit tidak akan mengganggu keluarga Bibi lagi"
"Hamba, Pangeran" "Dimana saja, di lingkungan apa saja, tentu ada orangorang yang menyalahi paugeran. Juga di lingkungan keprajuritan. Aku mohon maaf, Bibi. Tetapi semuanya itu sudah diketahui oleh Paman Pemanahan. Paman Pemanahan akan mengambil langkah-langkah yang perlu" "Terima kasih, Pangeran" Demikianlah, setelah Paksi minta diri kepada ibunya, kepada adik-adiknya, maka Paksipun meninggalkan rumahnya, ia masih mendengar adik perempuannya menangis. Ibunya dan adik laki-lakinya berusaha membesarkan hatinya. Sejenak kemudian, Paksi dan Pangeran Benawa telah berpacu menuju ke Hutan Jabung. Empat orang prajurit pilihan menyertai mereka. Namun ternyata mereka tidak mengalami hambatan apapun di perjalanan. Mereka sampai di padepokan setelah hari gelap dengan selamat. Mereka memasuki padepokan setelah lampu-lampu minyak serta oncor jarak di regol, dinyalakan. Ki Panengah, Ki Waskita, Raden Sutawijaya serta para cantrik menerima keduanya dengan dada yang berdebardebar. Rasa-rasanya mereka ingin segera tahu, apa yang telah terjadi. Pangeran Benawalah yang kemudian berceritera tentang apa yang telah ditemuinya bersama Paksi di Pajang. Tentang Harya Wisaka yang ternyata memang bersembunyi di rumah Paksi. Tentang Harya Wisaka yang berhasil lolos dan tentang Ki Tumenggung yang melarikan diri dari rumahnya. Ki Panengah, Ki Waskita, Raden Sutawijaya dan mereka yang lain mendengarkan ceritera Pangeran Benawa itu dengan sungguh-sungguh. "Aku menyesal sekali bahwa aku tidak dapat menangkap Paman Harya Wisaka" berkata Pangeran Benawa kemudian. "Tetapi itu bukan salah Pangeran" berkata Ki Waskita. "Kita semuanya mengetahui bahwa Harya Wisaka adalah orang berilmu tinggi, sehingga kemungkinan untuk melepaskan diri
dari tangan Pangeran memang besar. Kecuali jika Harya Wisaka itu tanggon. Bertempur sampai akhir" Pangeran Benawalah yang mengangguk-angguk. Iapun kemudian juga berceritera tentang Ki Tumenggung yang juga sempat melarikan diri. "Itu juga bukan salah Paksi" berkata Ki Waskita, "Ikatan keluarga yang ada antara Paksi dan Ki Tumenggung tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Dan itu tentu dialami oleh setiap orang" Raden Sutawijaya menarik nafas panjang. Katanya, "Kalau saja waktu itu aku ikut" "Sudahlah. Yang penting adalah menghadapi keadaan itu sebagai satu kenyataan" berkata Ki Panengah. "Apakah keadaan itu akan berpengaruh terhadap kehidupan di padepokan ini?" "Mungkin sekali, Ki Panengah. Ayahanda dan Paman Pemanahan memperingatkan, agar kita semuanya berhatihati. Padepokan ini tentu masih tetap menjadi sasaran bidikannya" "Peringatan itu harus kita perhatikan. Aku pun ingin memperingatkan Pangeran Benawa, bahwa Harya Wisaka tentu masih menginginkan cincin itu" "Ya, Ki Panengah" sahut Pangeran Benawa. "Ayahanda juga memperingatkan aku" "Peringatan itu harus Pangeran perhatikan" berkata Ki Waskita. Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, "Aku mengerti, Ki Waskita. Tetapi aku masih berniat untuk menjadikan cincin ini umpan bagi mereka yang bernafsu untuk menguasai masa depan" "Bukan cincin itu yang akan menjadi umpan. Tetapi Pangeran Benawa sendirilah umpan itu" Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Waskita berkata selanjutnya, "Hanya satu peringatan, Pangeran. Seperti juga ayahanda Pangeran memberikan
peringatan. Bagaimanapun juga Pangeran ada di dalam lingkungan kami" Pangeran Benawa mengangguk-angguk. "Nah, Pangeran dan Paksi tentu letih. Silahkan beristirahat dahulu. Nanti kita akan berbincang lagi" berkata Ki Panengah kemudian. "Ya, Ki Panengah. Aku akan pergi ke pakiwan" Demikianlah, setelah Pangeran Benawa dan Paksi mandi dan berbenah diri, maka sambil makan malam, Pangeran Benawa dan Paksi masih saja mendapat pertanyaanpertanyaan. Giliran para cantriklah yang lebih banyak berbicara. Mereka ingin lebih banyak mengetahui, apa saja yang telah terjadi. Ki Kriyadama yang lebih banyak berada bersama para prajurit yang bertugas membantu membangun sebuah padepokan yang besar telah berada di bangunan induk pula. Ternyata Ki Kriyadama pun ingin mengetahui lebih banyak tentang Ki Tumenggung Sarpa Biwada dan tentang Harya Wisaka. Ternyata peringatan Kangjeng Sultan dan Ki Gede Pemanahan itu banyak mempengaruhi sikap seisi padepokan itu. Ki Panengah, Ki Waskita, Ki Kriyadama dan kemudian juga pemimpin prajurit Pajang yang bertugas di Alas Jabung, memperhatikan peringatan itu dengan sungguh-sungguh. Di hari-hari berikutnya, maka pengawasan di sekitar padepokan itupun semakin ditingkatkan. Hubungan dengan Pajangpun menjadi semakin sering untuk saling mendapatkan keterangan. Para penghubung seakan-akan hilir mudik antara Pajang dan Alas Jabung yang memang tidak terlalu jauh. Sementara itu, para petugas sandi di kota pun semakin meningkatkan pengamatan mereka. Namun mereka masih belum dapat menemukan persembunyian Harya Wisaka. Dengan demikian, maka Ki Gede Pemanahanpun berkesimpulan, bahwa masih banyak pengikut setia Harya Wisaka yang berada di dalam Kota. Mereka sama sekali tidak
merasa takut mendengar ancaman hukuman berat bagi yang menyembunyikan Harya Wisaka. Namun para petugas sandi itu memperhitungkan, bahwa Harya Wisaka masih berada di dalam kota. Para petugas sandi mengawasi dengan ketat setiap jalur jalan ke luar kota. Bahkan pedati-pedatipun tidak luput dari pengamatan para petugas. Tetapi Harya Wisaka masih belum dapat diketemukan. Dalam pada itu, rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada masih saja diawasi oleh para prajurit. Namun yang tugasnya kemudian telah dilimpahkan kepada para petugas sandi. Tetapi dari hari ke hari, tidak ada tanda-tanda bahwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada akan pulang. Suasana rumah itu semakin lama menjadi semakin muram. Sepekan setelah Ki Tumenggung Sarpa Biwada meninggalkan rumahnya, Paksi telah mengunjungi ibunya. Tidak bersama Pangeran Benawa, tetapi bersama Raden Sutawijaya yang juga ingin menghadap ayahnya setelah sudah agak lama ia tidak pulang. Jantung Paksi terasa berdenyut semakin cepat ketika ia melihat ibunya yang kusut. Adik-adiknya yang muram. "Maaf, Ibu, jika yang terjadi telah membuat rumah ini menjadi berduka" Ibunya tidak segera menjawab. Tetapi matanya menjadi berkaca-kaca. "Semuanya tentu akan berakhir, Bibi" berkata Raden Sutawijaya. "Mudah-mudahan keluarga ini akan segera menemukan keceriaannya kembali" "Mudah-mudahan, Raden. Tetapi seandainya sebuah mangkuk, keluarga ini sudah retak. Apakah ada perekat yang akan dapat memulihkannya kembali?" "Mungkin, Bibi. Tetapi bukan berarti bahwa matahari tidak akan bersinar lagi di rumah ini. Mungkin dalam keutuhan yang lain dari yang terdahulu, tetapi tidak kalah nilainya" "Aku dan anak-anakku memang harus menerima kenyataan ini. Sejak semula aku memang sudah menduga, bahwa pada
suatu saat hukuman itu akan datang juga menimpaku, bahkan menimpa seluruh keluarga kami" "Hukuman apa yang Ibu maksudkan?" bertanya Paksi. Mata ibunya yang berkaca-kaca itu mulai menitikkan air yang bening. "Tidak, Paksi. Maksudku, bahwa tidak selamanya hidup ini seperti biduk yang dikayuh di permukaan air yang tenang. Pada satu saat, angin akan bertiup dan mengguncang wajah air sehingga timbul gejolak-gejolak yang akan menggoncangkan biduk itu" Paksi mengerutkan dahinya. Ia merasakan keluhan ibunya itu jauh lebih dalam dari yang dikatakannya. Tetapi Paksi tidak ingin mengungkit luka di hati ibunya lebih dalam lagi. Untuk beberapa lama Paksi dan Raden Sutawijaya berada di rumah itu. Mereka berbincang dan berusaha membuat adikadik Paksi sedikit cerah dengan gurau-gurau segar. Namun mereka tidak dapat terlalu lama berada di rumah itu. Paksi dan Raden Sutawijayapun kemudian telah minta diri. "Aku pun akan menengok rumahku, Bibi. Sudah lama aku tidak pulang menemui ayah dan sudah lama pula tidak menghadap ayahanda Sultan" Nyi Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih atas kunjungan Raden" Ibu Paksi itupun kemudian mengusap dahi Paksi dengan jari-jari tangannya sambil berdesis, "Paksi, biarlah aku memikul beban ini. Aku selalu berdoa agar kau dan adikadikmu kelak menemukan satu kehidupan yang lebih baik dari orang tuamu" "Terima kasih, Ibu" desis Paksi. "Jika ada waktu, perlukan mengunjungi kami" "Ya, Ibu" "Kakang" desis adiknya laki-laki, "sebenarnya aku ingin ikut Kakang dan tinggal di padepokan. Tetapi aku tidak dapat meninggalkan ibu dan adik perempuan kita" Paksi menepuk bahu adiknya sambil berdesis, "Untuk sementara sebaiknya kau memang tinggal di rumah
mengawasi ibu dan adikmu. Aku tahu, betapa inginnya kau berguru untuk menuntut ilmu. Tetapi agaknya keadaan masih belum mengijinkanmu" "Ya, Kakang, aku mengerti" "Selamat tinggal. Aku akan berusaha untuk segera dapat menengok kalian lagi" Sejenak kemudian, maka Paksi dan Raden Sutawijayapun telah meninggalkan rumah itu. Mereka masih akan menghadap Ki Gede Pemanahan dan Sutawijaya ingin menunjukkan dirinya di hadapan Kangjeng Sultan, karena ia sudah lama tidak menghadap ayahanda angkatnya itu. Paksi dan Raden Sutawijaya sempat bermalam semalam di rumah Ki Gede Pemanahan. Mereka merencanakan keesokan harinya, mereka akan kembali ke padepokan di Hutan Jabung. Namun pada malam itu, yang tidak diduga sama sekali oleh Paksi telah terjadi. Ternyata dengan kemampuannya yang tinggi, Ki Tumenggung dapat menyusup melewati pengawasan para petugas sandi masuk ke rumahnya meloncati dinding kebun belakang. Nyi Tumenggung terkejut sekali ketika ia mendengar dinding biliknya diketuk orang justru dari luar. "Nyi, Nyi" terdengar suara tertahan-tahan. "Kakang Tumenggung?" desis Nyi Tumenggung. "Ya, Nyi. Aku. Buka pintu. Tetapi pintu dapur saja. Hatihatilah. Rumah ini diawasi" Nyi Tumenggungpun segera bangkit. Dengan hati-hati ia pergi ke belakang langsung ke dapur. Malam sudah larut. Tidak ada orang di dapur. Lampu pun sudah padam. Namun karena Nyi Tumenggung sudah terbiasa berada di dalam dapur itu, maka Nyi Tumenggungpun berhasil menemukan pintunya tanpa menyalakan lampunya. Demikian pintu terbuka, maka Nyi Tumenggung melihat dalam keremangan malam, dua orang berdiri di depan pintu. Seorang di antara mereka langsung dikenalinya sebagai suaminya. "Kakang" desis Nyi Tumenggung.
Ki Tumenggung tidak langsung menjawabnya. Tetapi iapun segera melangkah masuk sambil berdesis kepada kawannya, "Cepat. Masuklah" Kawannya itupun segera masuk ke dalam dapur yang gelap itu. "Kau tidak usah menyalakan lampu, Nyi. Kami dapat melihat jelas dalam kegelapan" Nyi Tumenggung memang tidak menyalakan lampu. Katanya kemudian, "Marilah, silahkan masuk ke ruang dalam" "Aku hanya sebentar, Nyi" "Kenapa hanya sebentar?" "Aku tidak ingin ditangkap dan disimpan di bilik tahanan seperti Harya Wisaka. Jika aku yang menjalaninya, agaknya aku tidak akan mampu melepaskan diri sebagaimana Harya Wisaka" "Lalu, apakah maksud Kakang Tumenggung pulang malam ini jika Ki Tumenggung terancam bahaya?" "Aku akan mengambil anak kita" "Maksud Kakang?" "Anak laki-laki kita harus menjadi orang yang pinunjul. Ia tidak boleh seperti ayahnya yang tidak berdaya dalam keadaan yang gawat seperti ini" "Lalu?" "Aku akan membawanya ke sebuah perguruan" "Maksud Kakang, anak itu akan dibawa menyusul Paksi?" "Tidak. Aku tidak sebodoh itu. Paksi telah dipengaruhi oleh lingkungannya, oleh guru-gurunya dan oleh orang-orang dengki, agar melawan ayahnya" "Tetapi Kakang berpihak pada Harya Wisaka" "Apapun yang aku lakukan, ia tidak boleh menentangku. Bahkan menjerumuskan aku ke dalam petaka" "Jadi, apa yang akan Kakang lakukan sekarang?" "Aku sudah berhubungan dengan sebuah perguruan yang dapat dipercaya. Perguruan yang memiliki keunggulan dalam segala hal dari perguruan Hutan Jabung itu" "Perguruan mana itu, Kakang?"
"Maaf Nyi. Untuk sementara aku masih harus merahasiakannya. Jika aku menyebutnya, mungkin rahasia itu akan dapat didengar oleh orang lain" "Apakah keberatannya jika tempat berguru anak kita diketahui oleh orang lain?" "Pertanyaan yang sangat bodoh" sahut Ki Tumenggung. "Kau tahu bahwa aku sedang diburu sekarang. Jika tempat berguru anak kita diketahui, maka anak kita itu tentu akan diambil oleh Pemanahan" "Apakah anak kita juga dianggap bersalah?" "Bersalah atau tidak bersalah. Tetapi ia adalah anak seorang pemberontak" "Kakang" "Jangan disesali" "Bagaimana dengan Paksi" Ia juga anak pemberontak" "Tetapi ia sudah menunjukkan pengkhianatannya kepada ayahnya untuk keselamatannya sendiri" "Tentu bukan karena itu, Kakang" "Sudahlah. Karena apapun juga, tetapi sekarang yang penting aku akan menyelamatkan anak laki-laki kita yang masih mungkin diselamatkan secara jiwani. Tentu saja juga secara kewadagan" "Apakah itu berarti bahwa sikapnya kelak akan berbeda dengan sikap Paksi?" "Tentu. Aku tidak ingin anak kita yang seorang ini juga berkhianat terhadap ayahnya sebagaimana anak kita yang sulung" "Kakang, apakah mungkin kelak pada suatu saat mereka akan berhadapan sebagai lawan?" Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Apa salahnya" Mereka masingmasing memiliki kepribadian mereka sendiri. Mereka mempunyai sikap sendiri, cita-cita sendiri dan kebenaran atas dasar keyakinan mereka sendiri-sendiri. Jangankan mereka bersaudara, sedangkan Paksi sudah berani menentang ayahnya"
"Tidak, Kakang. Aku tidak ingin perpecahan di antara keluarga semakin menjadi-jadi" "Kita sudah terbelah. Jika anak itu tidak berpihak kepadaku, ia akan berpihak kepada Paksi. Nah, apa bedanya menurut penglihatanmu atas keutuhan keluarga kita" Bukankah yang pecah itu tidak akan terpaut kembali?" "Biarlah yang retak sekarang tetap retak. Tetapi aku tidak mau melihat anak-anak kita akan berdiri berseberangan" "Tetapi kau sudah melihatnya sekarang. Kau tidak usah menunggu kelak. Anakmu sudah berani melawan suamimu" "Jika itu sudah terjadi, biarlah itu saja yang terjadi" "Tidak. Jika aku tidak membawa anak laki-laki kita yang muda itu, maka kelak anak itu akan memusuhiku. Mungkin lebih parah dari Paksi dan bahkan mungkin anak itulah yang kelak akan membunuhku" "Tetapi aku tidak mau melihat anak kita bermusuhan dan saling mendendam" "Sudahlah. Biarlah aku yang menentukan" "Tidak, Kakang. Jangan bawa anak itu" "Diamlah. Aku akan membawanya" "Jangan, Kakang" Ketika Ki Tumenggung melangkah ke pintu yang menuju ke longkangan, kemudian lewat butulan masuk ke serambi samping dan langsung masuk ke ruang dalam, Nyi Tumenggung itupun telah menahannya dengan memegangi lengannya. "Jangan, Kakang. Jangan bawa anak kita. Biarlah ia di rumah menemani aku" Tetapi Ki Tumenggung tidak menghiraukannya. Dikibaskannya tangan Nyi Tumenggung sehingga terlepas. Namun Nyi Tumenggung itu tiba-tiba mengancam, "Kakang, aku tahu bahwa di luar ada beberapa orang prajurit atau prajurit sandi yang bertugas. Jika Kakang tetap berniat membawa anak kita, maka aku akan menjerit-jerit" "Jadi, kau pun ingin aku mati?" "Tidak. Aku hanya ingin kau tidak membawa anakmu"
"Aku tidak peduli" Ketika Ki Tumenggung melangkah, maka sekali lagi Nyi Tumenggung memegangi lengannya. Ki Tumenggungpun menjadi jengkel. Dikibaskan Nyi Tumenggung lebih keras lagi, sehingga Nyi Tumenggung itu terpelanting dan jatuh menimpa amben bambu. Bagian belakang telinganyalah yang membentur waton amben yang terbuat dari bambu itu. Nyi Tumenggung tidak sempat menjerit. Tubuhnyapun kemudian jatuh terbaring di lantai dapur. "Nyi, Nyi" Ki Tumenggungpun kemudian berjongkok di sebelah tubuh Nyi Tumenggung. Dengan cemas ia memanggilmanggil isterinya yang terbaring diam. "Ia menjadi pingsan" desis kawan Ki Tumenggung. "Aku tidak bermaksud menyakitinya" "Bukan salah Ki Tumenggung. Tetapi bagi kita ini adalah satu kebetulan. Ki Tumenggung dapat membawa anak Ki Tumenggung itu tanpa dihalangi oleh Nyi Tumenggung" Ki Tumenggung Sarpa Biwada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bangkit sambil berdesis, "Baiklah. Marilah kita ambil anak itu" Keduanyapun kemudian meninggalkan Nyi Tumenggung yang pingsan. Ki Tumenggung telah mengangkat tubuhnya dan membaringkannya di amben panjang. Ki Tumenggungpun kemudian telah membawa kawannya masuk ke ruang dalam langsung ke bilik anaknya. Anak itu terkejut ketika Ki Tumenggung membangunkannya. Dengan serta-merta Ki Tumenggungpun berkata, "Berpakaianlah. Kita akan pergi" "Ayah, kita akan pergi kemana?" "Nanti kau akan tahu" "Bersama ibu dan adikku?" "Tidak. Kau akan pergi sendiri bersama Ayah" "Kemana, Ayah?" "Sudah aku katakan, nanti kau akan tahu" "Bagaimana dengan ibu dan adik?"
"Mereka tidak akan diganggu. Kitalah yang selama ini terancam karena kau anak laki-laki yang sudah menjadi remaja" "Apakah ibu tidak berkeberatan?" "Tidak" "Kita tinggalkan ibu dan adik sendirian tanpa perlindungan sama sekali?" "Sudah aku katakan, ibumu tidak akan diganggu. Bukankah mereka berjaga-jaga di luar halaman?" "Ya, setelah para prajurit itu berkelahi melawan Kakang Paksi. Ada dua orang prajurit yang mengganggu adik. Kakang Paksi menjadi marah. Meskipun Kakang Paksi berkelahi melawan beberapa orang prajurit yang bertugas mengawasi rumah ini, tetapi Kakang Paksi menang" "Kakakmu kemudian tidak ditangkap?" "Tidak. Pangeran Benawa yang mendapat laporan dari Kakang Paksi menjadi sangat marah. Para prajurit itupun telah diusir dan harus mengawasi rumah ini dari luar dinding" Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Nah, jika demikian, ibumu dan adikmu itu tidak akan ada yang mengganggu lagi. Bersiaplah. Kita akan segera pergi. Waktu kita sangat terbatas" Adik Paksi itu masih saja ragu-ragu, sehingga ayahnya membentak, "Cepat, sebelum leherku dijerat oleh para prajurit sandi" "Apakah kita akan menemui Kakang Paksi?" "Cepatlah" Adik laki-laki Paksi itu tidak sempat bertanya lebih jauh. Ketika ia masuk ke dalam bilik ibunya untuk minta diri, ibunya tidak berada di biliknya. "Dimana ibu, Ayah?" "Akulah yang seharusnya bertanya kepadamu, karena kau yang tinggal di rumah" "Tetapi tadi ibu sudah berada di biliknya"
"Sudahlah. Mungkin ibu sedang mempunyai keperluan di belakang atau di pakiwan atau dimana saja. Sekarang kita akan meninggalkan rumah ini" "Aku harus minta ijin kepada ibu" "Tidak perlu. Keadaan sangat gawat sekarang. Marilah, sebelum para prajurit tahu aku ada disini" "Tetapi ibu akan mencari aku. Ibu akan menjadi cemas, bahwa aku disangkanya hilang" "Besok malam aku akan datang kembali memberitahukan kepada ibumu. Tanpa membawa kau, aku dapat leluasa masuk keluar rumah ini meskipun rumah ini diawasi oleh prajurit-prajurit sandi yang dungu itu" "Tidak, Ayah. Aku harus bertemu ibu lebih dahulu" Tetapi adik Paksi itu terkejut. Tiba-tiba saja ayahnya telah mengacungkan tombak pendeknya ke dadanya, "Jangan ribut. Aku ingin menyelamatkanmu dari kuasa kesewenangwenangan di Pajang. Kau harus menjadi orang yang memiliki kemampuan dan ilmu yang sangat tinggi. Jauh lebih tinggi dari kemampuan dan ilmu ayahmu. Karena itu, ikut aku sekarang" Adik laki-laki Paksi itu tidak dapat membantah lagi. Iapun kemudian telah membenahi pakaiannya dengan cepat. "Bawa tombak pendek yang satu lagi" Anak itu tidak membantah. Iapun segera memungut tombak pendek yang satu lagi dari plonconnya dan membawanya. Bertiga mereka meninggalkan rumah itu. Kawan Ki Tumenggung itu merayap di depan untuk mengawasi suasana. Baru kemudian Ki Tumenggung dan anak laki-lakinya. Mereka meloncati dinding kebun belakang. Bergeser dengan sangat berhati-hati menjauhi rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Ternyata ketiga orang itu dapat melepaskan diri dari penglihatan para prajurit sandi yang mengawasi rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada sehingga Ki Tumenggung itu menjadi semakin lama semakin jauh menuju ke tempat persembunyiannya yang tidak tercium oleh para petugas sandi.
Sementara itu, Nyi Tumenggung yang pingsan di dapur perlahan-lahan mulai sadar. Mula-mula ia membuka matanya. Yang nampak hanyalah kegelapan, karena ia berada di dapur yang gelap. Dicobanya mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Sekali-sekali Nyi Tumenggung itu berdesah karena bagian belakang kepalanya terasa sangat sakit. Nyi Tumenggung itupun kemudian mulai teringat bahwa ia terjatuh dan belakang telinganya membentur waton amben di dapur. Perlahan-lahan ingatannyapun menjadi utuh kembali. Ia dapat mengingat seluruhnya apa yang telah terjadi, sejak Ki Tumenggung mengetuk pintu sampai Ki Tumenggung mengibaskan tangannya demikian kerasnya sehingga ia terjatuh menimpa amben bambu. Iapun kemudian teringat pula, apa yang akan dilakukan oleh suaminya terhadap anak laki-lakinya yang kecil, yang akan dibawanya ke sebuah perguruan yang tidak diketahuinya. Dengan serta-merta Nyi Tumenggung itu bangkit dan dengan tergesa-gesa pula beranjak dari tempatnya. Tetapi karena gelap dan kepalanya yang masih terasa sakit, maka Nyi Tumenggung itu justru menyentuh gledeg. Ketika ia terdorong ke samping, kakinya terantuk ompak tiang dapur. Nyi Tumenggung terjatuh lagi. Tetapi ia tidak sempat merasakan betapa kelingking kakinya yang terantuk batu ompak itu sakit sekali. Demikian ia bangkit, maka Nyi Tumenggung itu telah berjalan lagi menuju ke pintu. Ketika Nyi Tumenggung memasuki bilik anak laki-lakinya, jantungpun berdesir. Anak itu sudah tidak ada di dalam biliknya. Jantung Nyi Tumenggung berdegup semakin cepat. Ketika ia berlari ke biliknya, ia tidak melihat Ki Tumenggung di dalamnya. Bahkan Ki Tumenggung sudah tidak ada dimanamana di dalam rumah itu. Bahkan tombak yang satu yang berada di plonconya sudah tidak ada lagi. Adalah di luar sadarnya ketika tangis Nyi Tumenggung itu meledak. Setiap kali matanya berkaca-kaca ia masih selalu sempat mengendalikan dirinya meskipun air matanya meleleh juga dari matanya. Bahkan kadang-kadang ia terisak juga.
Tetapi ketika ia mengetahui bahwa anak laki-lakinya yang muda dibawa ayahnya untuk ditempa menjadi seorang yang berilmu tinggi, yang kelak akan dihadapkan kepada kakaknya sendiri, maka Nyi Tumenggung itu tidak dapat lagi menahan gejolak perasaannya. Tiba-tiba saja ia tidak lagi dapat menahan diri ketika Nyi Tumenggung itu menjerit, "Anakku. Anakku" Anak perempuannya terkejut. Demikian ia terbangun, maka iapun segera berlari keluar dari biliknya. Dilihatnya ibunya menangis di ruang dalam. Anak itupun telah menangis menjerit-jerit pula. Tanpa terkendali anak itu berteriak, "Ibu, Ibu" Ternyata bahwa para pembantu di rumah Ki Tumenggung itupun telah terbangun. Merekapun segera pergi ke ruang dalam. Namun karena pintu diselarak dari dalam, maka merekapun mengetuk-ketuk pintu sambil memanggil-manggil, "Nyi Tumenggung, Nyi Tumenggung, apa yang terjadi?" Nyi Tumenggung seakan-akan tidak mendengarnya. Jantungnya serasa hancur di dalam dadanya. Yang terdengar adalah suara tangisnya sendiri serta suaranya yang memanggil-manggil anaknya. Anak perempuannya itulah yang kemudian berlari membuka pintu yang menghadap ke belakang. Dua orang pembantunya, suami isteri, segera meloncat masuk sambil bertanya, "Apa yang terjadi?" "Aku tidak tahu" jawab anak perempuan itu. Namun pembantunya yang laki-laki melihat pintu butulan yang menuju ke longkangan justru terbuka. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke longkangan. Namun tidak ada apa-apa dan tidak ada siapa-siapa. Dalam pada itu, dua orang prajurit sandi yang bertugas di luar halaman rumah Ki Tumenggung yang kebetulan berjalan di jalan di depan rumah, telah mendengar jerit Nyi Tumenggung pula. Untuk beberapa saat mereka menjadi ragu-ragu. Apakah mereka dibenarkan masuk ke halaman. Pangeran Benawa sudah berpesan, bahwa jika seorang
prajurit memasuki halaman rumah itu, maka ia dapat dianggap memberontak karena menentang perintah Pangeran Benawa. "Tetapi agaknya ada sesuatu yang terjadi" Akhirnya keduanya sepakat untuk memasuki halaman rumah itu. Dengan sigapnya keduanyapun segera naik ke pendapa dan langsung berlari ke pringgitan. Seorang di antaranya segera mengetuk pintu sambil memanggil pula, "Nyi Tumenggung, Nyi Tumenggung" Pelayan laki-laki Nyi Tumenggung yang sudah ada di ruang dalam itulah yang bertanya, "Siapa di luar?" "Kami berdua, prajurit yang bertugas mengawasi rumah ini. Tolong buka pintu. Apa yang telah terjadi disini?" Pembantu laki-laki itupun segera membuka pintu pringgitan. Dua orang prajurit berdiri tegak di depan pintu. Seorang di antara mereka bertanya, "Apakah kami diperbolehkan masuk?" "Silahkan, Ki Sanak" Kedua orang prajurit sandi itupun kemudian melangkah masuk. Seorang di antara mereka itupun mengangguk hormat sambil bertanya, "Apa yang telah terjadi, Nyi Tumenggung. Kami mendengar Nyi Tumenggung menjerit dan anak perempuan Nyi Tumenggung itu menangis berteriak-teriak. Mungkin kami dapat membantu jika Nyi Tumenggung memerlukannya" "Anakku, Ki Sanak" "Kenapa?" "Anakku laki-laki telah dibawa oleh ayahnya" "Maksud Nyi Tumenggung, dibawa oleh Ki Tumenggung?" "Ya" "Kapan, Nyi?" "Baru saja, Ki Sanak" "Ketika Nyi Tumenggung menjerit?" "Tidak. Aku baru saja sadar dari pingsan. Ketika aku melihat bilik anakku, anakku tidak ada"
"Nyi Tumenggung tahu, bahwa anak itu dibawa oleh ayahnya" "Ki Tumenggung baru saja ada disini. Ia memang akan mengambil anak itu. Ketika aku menahan dengan memegangi lengannya, maka aku dikibaskannya sehingga aku terlempar jatuh menimpa waton amben bambu. Aku menjadi pingsan. Ketika aku sadar dan memasuki bilik anakku, anakku sudah tidak ada. Ki Tumenggungpun sudah tidak ada pula" "Jadi Ki Tumenggung baru saja datang kemari?" bertanya prajurit sandi itu. "Ya" Kedua orang prajurit itu saling berpandangan sejenak. Yang seorang kemudian berkata, "Laporkan kepada Ki Lurah" Seorang dari kedua orang prajurit sandi itupun segera meninggalkan tempat itu untuk memberi laporan kepada lurah prajurit yang sedang bertugas malam itu. Sejenak kemudian, beberapa orang prajurit telah berada di rumah itu. Para pembantu Ki Tumenggung tidak ada yang dapat memberikan keterangan kecuali Nyi Tumenggung sendiri. Lurah prajurit yang memimpin tugas malam itu dengan membawa obor belarak telah memeriksa bagian belakang halaman rumah Ki Tumenggung. Mereka memang melihat jejak kaki serta jejak landean tombak yang agaknya menyentuh tanah. "Rerumputan dan ranting-ranting perdu itu menunjukkan arah mereka" berkata Ki Lurah. Jejak yang mereka lihat bukan saja saat Ki Tumenggung meninggalkan rumah itu, tetapi juga saat mereka datang. "Kita harus melaporkannya kepada Ki Surapada" berkata lurah prajurit yang bertugas. "Mudah-mudahan kita tidak digantung karena kelengahan kita" "Ki Tumenggung memang cerdik" desis seorang prajurit. "Tidak" sahut lurah prajurit, "kitalah yang lengah, sehingga kita tidak melihat orang itu datang. Buat apa sekelompok
prajurit sandi berada di sekitar rumah ini, jika Ki Tumenggung masih dapat pulang tanpa kita ketahui?" Para prajurit sandi itu terdiam. Mereka hanya dapat menundukkan kepalanya. "Lebih gila lagi jika jejak yang seorang lagi adalah Harya Wisaka" desis lurah prajurit itu. "Jika demikian Nyi Tumenggung tentu mengenalinya. Tetapi bukankah Nyi Tumenggung tidak mengatakan, bahwa yang seorang lagi adalah Harya Wisaka?" berkata salah seorang prajurit. "Mungkin saja Nyi Tumenggung sengaja menyesatkan kesan kita tentang orang yang datang itu" "Jika Nyi Tumenggung berniat seperti itu, ia tidak akan menangis dan berteriak memanggil anaknya" Prajurit itu terdiam. Sementara Ki Lurah berkata, "Lihat jejak ini dan telusuri sampai sejauh mana dapat diketahui dan ke arah mana perginya" Demikianlah, dua orang telah diperintahkannya menyelusuri jejak, dan dua orang yang melapor kepada Ki Surapada. Demikian mereka pergi, maka lurah prajurit itupun menemui Nyi Tumenggung sambil bertanya, "Nyi, apakah kami harus keluar lagi dari halaman rumah ini" Jika Nyi Tumenggung menghendaki kami keluar, maka kami akan keluar sesuai dengan perintah Pangeran Benawa. Tetapi jika Nyi Tumenggung menghendaki kami berada di dalam, maka kami akan berada di dalam. Bukan maksud kami menentang perintah Pangeran Benawa, tetapi karena kami memenuhi keinginan Nyi Tumenggung" "Silahkan berada di dalam di sisa malam ini, Ki Lurah" jawab Nyi Tumenggung. Dalam pada itu, dua orang prajurit telah berada di rumah Ki Surapada. Mereka segera memberikan laporan tentang kedatangan Ki Tumenggung Sarpa Biwada di rumahnya. Ki Lurah Surapada menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, "Bagaimana hal itu dapat terjadi. Bagaimana mungkin Ki Tumenggung datang tanpa kalian ketahui?"
Kedua orang prajurit sandi itu hanya menundukkan kepala mereka. "Aku sudah terlalu banyak membuat kesalahan. Jika saja aku tidak berhubungan dengan Ki Gede Pemanahan yang pengampun, mungkin aku sudah digantung di alun-alun" "Ampun, Ki Lurah" "Kau dapat dengan ringan minta ampun. Tetapi akulah yang harus bertanggung jawab. Waktu yang diberikan kepadaku sudah terlalu lama untuk memburu Harya Wisaka. Dan sekarang, mukaku seakan-akan telah dibedaki dengan lumpur" Kedua orang prajurit itu masih berdiam diri. Merekapun mengakui kesalahan mereka, bahwa mereka tidak tahu bahwa Ki Tumenggung itu masuk ke dalam rumahnya. "Baiklah. Aku akan menghadap Ki Gede Pemanahan. Ki Gede harus segera mengetahui bahwa kita telah melakukan satu kesalahan yang besar" Kedua orang prajurit itu sama sekali tidak menyahut. Mereka masih saja menundukkan kepala mereka sedangkan jantung mereka berdebar semakin cepat. Ki Surapada tidak menunggu sampai pagi. Ketika ia keluar dari halaman rumahnya, ia melihat langit sudah menjadi merah oleh cahaya fajar. Ternyata Ki Lurah telah memerintahkan kedua orang prajurit sandi yang datang melapor kepadanya itu untuk bersama-sama pergi ke rumah Ki Gede Pemanahan. Laporan Ki Surapada memang agak mengejutkan Ki Gede Pemanahan. Dengan kerut di dahi, Ki Gedepun bertanya, "Lalu apa kerja para prajurit yang berjaga-jaga di sekitar rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu?" "Kami mohon ampun, Ki Gede" desis salah seorang dari kedua orang prajurit yang datang melapor. Ki Gede termangu-mangu sejenak. Dengan nada rendah, Ki Gede bergumam, "Nampaknya wajah Pajang memang sudah menjadi semakin muram. Aku sudah tidak melihat lagi, citra prajurit Pajang yang gemerlap sebagaimana saat Pajang tegak
setelah mengalahkan Jipang. Setiap prajurit adalah bagian dari pilar-pilar penyangga kewibawaan Pajang. Tetapi sekarang semuanya sudah berubah. Mereka tidak lagi menganggap bahwa tugas yang mereka jalani adalah bagian dari kewajiban mereka yang harus mereka junjung tinggi di samping hak yang mereka genggam dengan eratnya" Prajurit yang melapor itu semakin menunduk. Bahkan Ki Lurah Surapada tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. "Ki Lurah" berkata Ki Gede kemudian. "Ampun, Ki Gede" sahut Ki Lurah. "Tidak ada gunanya kita sesali. Yang harus kita lakukan kemudian adalah bekerja dengan sungguh-sungguh. Sudah beberapa kali Kangjeng Sultan bertanya kepadaku, meskipun tidak langsung, tetapi aku merasakan tajamnya sindirannya, kapan dapat mengembalikan Harya Wisaka ke dalam bilik tahanan lagi" "Kami mengerti, Ki Gede. Kami berjanji untuk bekerja dengan sungguh-sungguh dan lebih keras lagi, agar kami dapat mengetahui tempat persembunyian Harya Wisaka dan Ki Tumenggung Sarpa Biwada serta orang-orang yang setia kepada mereka" Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku sama sekali tidak meragukan tugas-tugas kalian" "Kami mohon ampun" "Yang penting bagi kalian bukannya pengampunan atas kesalahan kalian. Tetapi bagaimana kalian dapat membetulkan kesalahan itu" Ki Lurah Surapada mengusap dadanya. Terdengar suaranya yang bergetar, "Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan, Ki Gede" Namun dalam pada itu, yang lebih terkejut lagi adalah Paksi. Ketika mereka mendengar laporan Ki Surapada, maka Paksipun segera mohon diri untuk menengok ibunya. Raden Sutawijaya yang menyadari kegelisahan yang sangat di hati Paksi itupun berkata, "Kita pergi bersama-sama, Paksi"
Ki Gede Pemanahan tidak mencegah mereka. Dibiarkannya Raden Sutawijaya dan Paksi demikian tergesa-gesa meninggalkan rumah Ki Gede itu. Demikian Paksi sampai di rumah, maka iapun segera menemui ibunya di ruang dalam. Ibunya hanya dapat menangis. Demikian pula adik perempuan Paksi. "Aku akan mencarinya, Ibu" berkata Paksi kemudian. Tetapi ibunya menggeleng sambil berkata, "Tidak, Paksi. Jika kau mencoba mencarinya, maka aku akan kehilangan keduaduanya. Adikmu bersama ayahnya yang berada di satu lingkungan yang sikapnya terhadap Pajang berbeda dengan sikapmu. Kau tahu bahwa ayahmu telah berusaha untuk benar-benar membunuhmu" "Apakah Ki Tumenggung benar-benar ingin membunuh Paksi, atau sekedar menakut-nakuti, Bibi?" bertanya Raden Sutawijaya. -ooo00dw00oooJilid 23 NYI TUMENGGUNG tidak menjawab. Tetapi air matanya menjadi semakin banyak mengalir. Raden Sutawijaya tidak mendesaknya. Tetapi Raden Sutawijaya itupun menduga, bahwa persoalannya agaknya tidak hanya sekedar perbedaan sikap antara Paksi dan ayahnya terhadap Pajang. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Bersama Raden Sutawijaya ia duduk pula di ruang dalam menunggui ibunya untuk beberapa lama. Setelah tangis ibunya agak mereda, maka Paksi itupun bertanya, "Apakah Ibu sudah mengambil sikap setelah adikku itu dibawa oleh ayah" Misalnya, apakah Ibu akan tetap tinggal di rumah ini atau Ibu ingin tinggal di tempat lain. Misalnya jika masih ada sanak saudara kita yang dapat Ibu percaya untuk
menjadi tempat tinggal Ibu untuk sementara. Bukan apa-apa. Tetapi sekedar agar Ibu tidak merasa terlalu sepi" Ibunya tidak segera menjawab. "Mungkin Paman Wanakerti" Atau Paman Sindumurti, atau siapa?" "Sejak semula aku tidak begitu akrab dengan mereka, Paksi. Lagipula pada masa yang kalut ini aku tidak mengetahui sikap mereka dengan pasti" Paksi mengangguk-angguk. Dengan nada rendah iapun berkata, "Segala sesuatunya terserah kepada Ibu" Ibunya tidak menjawab. Sementara itu Raden Sutawijayapun berkata, "Mungkin Bibi memang kesepian di rumah ini. Tetapi jika Bibi kehendaki, Bibi tidak usah menjadi cemas, karena para prajurit atau petugas sandi akan mengawasi dan menjaga rumah ini" "Terima kasih, Raden" jawab Nyi Tumenggung, "agaknya untuk sementara aku masih akan tetap tinggal di rumah ini. Di rumahku sendiri" "Ki Tumenggung tidak akan dapat masuk lagi ke dalam rumah ini untuk mengambil anaknya yang bungsu" berkata Raden Sutawijaya kemudian. Nyi Tumenggung itu mengangguk-angguk. "Aku akan sering pulang, Ibu" berkata Paksi kemudian. "Jangan, Paksi. Kau tidak usah terlalu sering pulang. Jalan dari Hutan Jabung sampai kemari tentu akan menjadi sangat berbahaya. Kita dapat membayangkan sekelompok orang yang dipimpin oleh Harya Wisaka atau oleh ayahmu akan mencegatmu di perjalanan. Aku sekarang tidak meragukan kemampuanmu yang tinggi. Tetapi aku memperhatikan keterbatasanmu. Betapapun tinggi ilmu seseorang, tetapi tentu ada batasnya. Kau tidak akan dapat melawan sekelompok orang yang juga mempunyai bekal ilmu yang tinggi. Karena itu, kau tidak usah terlalu sering pulang. Aku berterima kasih bahwa para prajurit dan petugas sandi akan mengawasi dan menjaga rumah ini"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah, Ibu. Aku akan selalu mengingat pesan Ibu" Ibunya memandang Paksi dengan mata yang basah. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Namun kata-kata yang sudah hampir diucapkannya itu ditelannya kembali. Yang kemudian terloncat dari bibirnya adalah, "Hati-hatilah, Paksi. Jiwamu benar-benar terancam" Paksi mengangguk. Katanya, "Ya, Ibu" Sementara itu Raden Sutawijayapun berkata, "Aku akan minta kepada ayah, agar pengawasan terhadap rumah ini mendapat perhatian lebih banyak" "Terima kasih, Raden" sahut Nyi Tumenggung. Demikianlah, beberapa saat kemudian, setelah Paksi sempat berbincang dan mencoba menenangkan hati adik perempuannya, maka iapun minta diri. "Aku dan Raden Sutawijaya masih akan menghadap Ki Gede Pemanahan lagi, Ibu, sebelum aku kembali ke Hutan Jabung. Tetapi aku dan Raden Sutawijaya nanti tidak singgah lagi kemari. Kami akan langsung kembali ke Hutan Jabung" Nyi Tumenggung mengangguk. Katanya, "Selamat jalan, Raden. Terima kasih atas perhatian Raden" Keduanya kemudian meninggalkan Nyi Tumenggung dan anak perempuannya dalam keadaan yang sangat muram. Tetapi Paksi mempercayakan keselamatan ibunya kepada para petugas yang mengamati rumah itu. Tetapi Paksipun tahu, bahwa para prajurit itu bukan hanya sekedar menjaga keselamatan ibu dan adik perempuannya. Tetapi lebih dari itu, mereka mengawasi apakah ayahnya pulang lagi atau tidak. "Kenapa ayah terlibat dalam pemberontakan ini?" bertanya Paksi di dalam hatinya. Tetapi pertanyaan yang lebih pribadinya muncul pula di dalam hatinya, "Kenapa ayah sampai hati untuk benar-benar membunuhku. Bahkan ayah telah berusaha menyingkirkan aku sejak persoalan Harya Wisaka belum muncul ke permukaan"
Di perjalanan kembali ke rumah Ki Gede Pemanahan, Paksi tidak banyak berbicara. Bahkan anak muda itu cenderung diam sambil menunduk, seakan-akan menghitung jumlah batu yang akan dilewatinya. Raden Sutawijaya tidak mengganggunya. Ia tahu, pikiran anak itu sedang kalut. Seperti yang dijanjikan, maka Raden Sutawijayapun minta kepada ayahnya agar memerintahkan pengawasan rumah Nyi Tumenggung itu lebih mendapat perhatian. "Jangan terjadi lagi, Ki Tumenggung dengan leluasa kembali pulang dan bahkan membawa anaknya" "Aku sudah memerintahkannya" berkata Ki Gede Pemanahan. "Paksi sudah menawarkan kepada ibunya, apakah ibunya itu berniat untuk tinggal pada sanak saudaranya agar tidak kesepian. Tetapi Nyi Tumenggung itu menolak, Ayah" Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Maaf, Paksi. Bukan maksudku untuk mengumpankan ibumu. Tetapi bahwa ibumu tetap ingin tinggal di rumah itu, ada pula baiknya" "Maksud Ayah untuk memancing Ki Tumenggung?" "Ya. Semacam itulah. Bagaimanapun juga Ki Tumenggung sudah terlibat dalam pemberontakan ini. Jika kita dapat menangkap Ki Tumenggung, maka jalan kita menuju ke Harya Wisaka menjadi lebih dekat" Paksi menarik nafas panjang. Iapun kemudian bergumam perlahan, "Aku mengerti, Ki Gede" "Sukurlah. Kaupun tentu mengerti, apa yang akan terjadi terhadap ayahmu jika ayahmu itu tertangkap" Paksi mengangguk sambil menjawab, "Mengerti, Ki Gede" "Semuanya itu terpaksa dilakukan karena sikap ayahmu itu sendiri, Paksi" "Ya, Gede" "Baiklah. Kau sendiri tidak perlu cemas, bahwa kau akan ikut dianggap bersalah. Kau sudah menunjukkan sikapmu. Karena itu, kau bukan lagi bagian dari ayahmu" "Terima kasih, Ki Gede"
Ketika kemudian Raden Sutawijaya minta diri untuk kembali ke Hutan Jabung, maka Ki Gedepun berpesan seperti pesan Nyi Tumenggung Sarpa Biwada kepada Paksi, "Berhati-hatilah. Harya Wisaka dan Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak berdiri sendiri. Maksudku, mereka mempunyai kekuatan yang cukup. Mungkin sekelompok di antara mereka berkeliaran di sepanjang jalan ke Hutan Jabung. Atau bahkan mereka sengaja mengawasi jalan yang sering dilalui oleh anak-anak muda yang berada di Hutan Jabung" "Baik, Ayah. Kami akan berhati-hati" "Aku akan selalu menghubungi kalian untuk memberitahukan perkembangan keadaan yang terakhir. Mudah-mudahan aku segera dapat menyelesaikan tugasku, menangkap kembali Harya Wisaka. Tetapi akupun menyadari bahwa Harya Wisaka itu sangat licik dan licin" "Terima kasih, Ayah. Berita tentang perkembangan terakhir memang sangat kami perlukan" Demikianlah, sejenak kemudian maka Raden Sutawijaya dan Paksipun telah berpacu menempuh jalan kembali ke Hutan Jabung. Sementara itu, para petugas sandipun bekerja semakin keras untuk mengetahui persembunyian Harya Wisaka. Sedangkan pengawasan atas rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwadapun menjadi semakin cermat. Tetapi Ki Tumenggung Sarpa Biwada juga tidak terlalu bodoh untuk pulang kembali ke rumahnya dalam waktu dekat, karena iapun tentu tahu, bahwa para prajurit atau petugas sandi tentu meningkatkan pengawasan atas rumahnya. Sementara itu, pembangunan di Hutan Jabungpun berjalan terus. Beberapa buah di antara bangunan yang direncanakan, kerangkanya sudah nampak berdiri. Sementara itu, pembangunan dinding yang mengelilingi padepokan itupun sedang dibangun. Setiap hari pedati hilir mudik membawa bermacam-macam bahan bangunan. Kecuali bahan bangunan, ada juga pedati
yang membawa persediaan bahan makan bagi para pekerja dan bakal penghuni padepokan yang sedang dibangun itu. Pembangunan padepokan itu sama sekali tidak terpengaruh oleh gejolak karena pemberontakan yang dilakukan oleh Harya Wisaka. Kesibukan para prajurit dan petugas sandi terutama terjadi di dalam kota, karena para pemimpin prajurit Pajang memperhitungkan bahwa Harya Wisaka masih berada di dalam kota. Namun ternyata kemudian, bahwa para petugas sandi Pajang telah menangkap desas-desus bahwa Harya Wisaka telah berhasil lolos meninggalkan kota Pajang dan bahkan mulai melakukan kegiatan di beberapa tempat yang agak jauh dari kota. Benturan-benturan kekerasan telah terjadi antara pasukan yang sempat dihimpun oleh Harya Wisaka dengan kelompokkelompok dan perguruan-perguruan yang masih saja bermimpi untuk menguasai cincin kerajaan yang dibawa oleh Pangeran Benawa. "Kekuatan yang dibangun oleh Harya Wisaka itu telah mampu mengguncang wilayah yang luas. Harya Wisaka sendiri memimpin pasukannya yang bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain" berkata seorang petugas sandi. "Apakah para petugas sandi mendapat bukti gerakan Harya Wisaka itu?" bertanya Ki Lurah Surapada. "Belum, Ki Lurah. Tetapi berita itu telah banyak didengar di luar kota" "Dimana Harya Wisaka itu bergerak?" "Harya Wisaka bergerak dengan cepat dari satu tempat ke tempat yang lain. Kadang-kadang tanpa meninggalkan bekas. Tetapi kebanyakan tempat-tempat yang menjadi medan geraknya mengalami kerusakan. Sementara itu, sebagaimana didengar oleh para petugas sandi, para pengikutnya semakin lama semakin banyak" "Bukan. Bukan semakin lama semakin banyak. Tetapi pengikutnya yang semula memencar itu sempat dihimpunnya kembali"
"Antara lain adalah prajurit-prajurit Pajang sendiri" "Ya. Karena itu kita harus berhati-hati. Di lingkungan kita sendiri agaknya ada orang-orang yang berpihak kepada Harya Wisaka. Mungkin karena janji-janji. Mungkin karena dendam, bahwa di dalam perang yang pernah terjadi, orang tuanya atau saudaranya atau siapapun orang yang dikasihinya terbunuh oleh prajurit Pajang karena mereka berdiri berseberangan. Misalnya, mereka yang berpihak kepada Jipang" "Ya, Ki Lurah" "Satu pukulan lagi bagiku. Rasa-rasanya leherku memang semakin dekat dengan tiang gantungan" "Ki Lurah" "Pada saat Ki Tumenggung Sarpa Biwada sempat pulang untuk mengambil anaknya, aku sudah mengira bahwa aku akan menerima hukuman yang berat. Tetapi waktu itu Ki Gede mengampuniku. Sekarang, Harya Wisaka yang menurut perintah Ki Gede harus tetap dikurung di dalam kota, berhasil menyusup keluar dan bahkan telah membangun kekuatan. Nah, aku tidak akan berani bermimpi untuk bebas dari hukuman" "Tetapi tugas Ki Lurah memang sangat berat. Bukankah memang sangat sulit untuk mengurung seseorang di dalam kota, sementara ada seribu jalan yang dapat dilaluinya untuk menembus keluar. Mungkin jalan-jalan sudah diawasi. Tetapi seseorang, apalagi Harya Wisaka, akan dengan mudah mencari jalan di sela-sela pengawasan itu, karena tidak mungkin para petugas sandi yang jumlahnya terbatas dapat mengawasi setiap jengkal tanah di seputar kita ini. Dinding kota bukan hambatan yang sulit untuk dilangkahi. Sungai dan parit-parit yang melintasi kota adalah jalan-jalan yang baik untuk disusupi" "Tugas kita adalah memagari kemungkinan itu" "Kecuali jika semua prajurit Pajang dikerahkan untuk mengepung kota dengan saling bergandengan tangan seperti anak bermain jamuran"
"Satu pembelaan yang baik. Tetapi apakah pembelaan seperti itu dapat kita ketengahkan" Apakah aku dapat mengampunimu seandainya kau membela diri dengan ceritera panjang seperti itu" Tidak. Aku tidak peduli semuanya itu. Dan Ki Gedepun dapat berkata bahwa semua igauan itu tidak berarti apa-apa. Yang dikehendaki oleh Ki Gede adalah, Harya Wisaka tidak menyusup keluar dan segera tertangkap" Petugas sandi itu menundukkan kepalanya. "Sudahlah. Aku tidak dapat menghukum seseorang karena kesalahan yang masih saja terulang-ulang. Jika besok aku harus menjalani hukuman, salamku buat saudara-saudara kita. Kalian harus melakukan tugas kalian semakin baik" "Ki Lurah. Bukan Ki Lurah yang dihukum. Tetapi kami" "Akulah yang harus bertanggung jawab kepada Ki Gede" "Tetapi kami yang tidak dapat menjalankan tugas kami sebagaimana yang Ki Lurah perintahkan" "Lupakan. Aku akan bertemu dengan Ki Gede Pemanahan" Petugas sandi itu terdiam. Tetapi terasa getar jantungnya menjadi semakin cepat. Bahkan petugas sandi itu merasa betapa mereka menjadi demikian dungunya berhadapan dengan Harya Wisaka. Bahkan Ki Tumenggung Sarpa Biwadapun dapat mempermalukan mereka. "Tetapi para petugas yang menjaga ruang tahanan Harya Wisakapun dapat menjadi lengah, sehingga Harya Wisaka sempat melarikan dirinya" berkata prajurit itu di dalam hatinya. "Kembalilah kepada tugasmu" berkata Ki Lurah Surapada, "aku akan menghadap Ki Gede" Ketika Ki Gede mendengar laporan Ki Lurah Surapada, maka wajahnya nampak menegang. Namun ternyata jantung Ki Gede tidak cepat membara. Sebagai seorang yang telah kenyang makan pahit manisnya kehidupan, maka laporan itu diterimanya dengan hati-hati. Meskipun seketika itu terasa darahnya tersirap, namun kemudian Ki Gede itupun menarik nafas dalam-dalam. Diendapkannya gejolak perasaannya di dasar jantungnya.
"Ki Lurah" berkata Ki Gede, "laporan itu baru berdasarkan kata orang. Para petugas sandi tidak selayaknya memberikan laporan sekedar kata orang. Mereka harus mendapatkan keterangan lebih terperinci dan disertai dengan bukti-bukti yang dapat meyakinkan" "Ya, Ki Gede. Jika hal ini aku sampaikan kepada Ki Gede, maksudku agar Ki Gede mendengar desas-desus ini sebelum para petugas sandi dapat memberikan laporan yang lebih meyakinkan" "Baiklah, Ki Lurah. Aku minta kau segera memerintahkan kepada petugas-petugasmu yang dapat kau percaya untuk menelusuri kebenaran berita ini" "Ya, Ki Gede. Besok aku akan memerintahkan beberapa orang petugas sandi untuk mencari kebenaran berita ini" "Tetapi petugasmu di dalam kota jangan lengah. Ki Lurah harus bekerja sama dengan kesatuan-kesatuan lain sehingga tugas ini tidak dilakukan oleh para petugas yang tidak saling berhubungan, sehingga memungkinkan terjadi salah paham" "Ya, Ki Gede" "Aku juga sudah memerintahkan kepada para senapati untuk menempatkan dirinya dalam gejolak yang terjadi. Setiap saat mereka dapat bergerak jika diperlukan" "Ya, Ki Gede. Tetapi di samping para petugas sandi yang harus berhubungan dengan kesatuan-kesatuan yang ada, aku juga memerintahkan beberapa orang yang khusus, yang tidak dikenal oleh siapapun juga, kecuali aku sendiri" Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti" "Terima kasih atas kesempatan yang Ki Gede berikan untuk memperjelas persoalan ini" "Aku ingin segera mendapatkan laporan. Nanti aku harus menghadap Kangjeng Sultan. Kangjeng Sultan harus mendengar dari mulutku lebih dahulu daripada mendengar dari mulut orang lain, meskipun seandainya hanya sekedar desas-desus" "Baik, Ki Gede. Aku akan melaksanakannya sejauh dapat aku lakukan"
"Jika berita itu benar, Ki Lurah, maka untuk kesekian kalinya aku gagal menjalankan perintah Kangjeng Sultan. Mungkin itu pertanda, bahwa aku sudah menjadi semakin tua. Penalaranku sudah menjadi semakin kabur, sehingga aku tidak lagi mampu mengemban tugas-tugas yang sekarang terasa sangat berat" "Ampun, Ki Gede. Bukan Ki Gede yang tidak lagi mampu menjalankan tugas-tugas Ki Gede. Tetapi kamilah yang sudah menjadi sangat rapuh. Seperti yang pernah Ki Gede katakan, bahwa kami tidak lagi mampu mempertahankan citra prajurit Pajang" "Sudahlah. Pergilah. Atur semua tugasmu" "Baik, Ki Gede" Sepeninggal Ki Lurah Surapada, maka Ki Gedepun telah menghadap Kangjeng Sultan Pajang, untuk memberikan laporan tentang desas-desus, bahwa Harya Wisaka sudah berada di luar kota. "Kakang" terasa ketegangan mencengkam jantung Kangjeng Sultan, "apa sebenarnya yang Kakang kehendaki" Apakah Kakang sengaja tidak menjalankan perintahku karena Kakang merasa hak Kakang belum Kakang terima" Kakang, jika aku belum menyerahkan Tanah Mentaok itu tentu ada sebabnya. Jika Kakang menerima Tanah Mentaok, maka akhirnya tanah itu juga akan jatuh ke tangan Sutawijaya. Sedangkan Sutawijaya sudah aku anggap sebagai anakku sendiri. Kenapa Kakang menjadi tergesa-gesa" Apakah Kakang tidak percaya kepadaku" Atau karena Kakang merasa iri. bahwa Tanah Pati sudah aku serahkan kepada Kakang Penjawi?" "Tidak, Kangjeng Sultan. Kegagalan-kegagalanku tidak ada hubungannya sama sekali dengan Tanah Mentaok. Hamba sama sekali tidak ingin segera menerima Tanah Mentaok yang berujud hutan yang lebat. Tetapi kegagalan-kegagalanku itu terjadi karena hamba memang sudah tua. Hamba sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa bagi Pajang. Karena itu, terserah
kepada Sinuhun. Hukuman apa yang akan Sinuhun jatuhkan kepada hamba" "Tidak" berkata Kangjeng Sultan Pajang, "dalam keadaan seperti ini aku tidak akan memecah-belah kekuatan Pajang. Aku tahu, bahwa pengaruh Kakang berakar jauh mencengkam sampai ke pusat bumi Pajang, sehingga jika aku mencoba mencabutnya, maka akar yang berpegang erat itu akan membongkar seluruh bangunan negeri ini. Bukan bangunan dalam ujud kewadagan. Tetapi Pajang akan menjadi rapuh dan hancur di bagian dalam tubuhnya" "Hamba sama sekali sudah tidak berarti lagi, Sinuhun" "Dengar, Kakang Pemanahan. Aku perintahkan Kakang memburu Harya Wisaka sampai kemanapun" Ki Gede menarik nafas panjang. Katanya, "Hamba akan menjalankan perintah Sinuhun. Hamba tidak akan ingkar akan beban tugas ini. Hamba mohon restu" "Kakang dapat mempergunakan kekuatan prajurit seberapa Kakang perlukan" "Terima kasih, Kangjeng Sultan. Tetapi di samping prajurit, hamba masih memohon Sinuhun untuk dapat bekerja sama sesuai dengan cara yang akan hamba kemukakan kemudian" "Kalau cara yang Kakang kemukakan itu masuk akal, maka aku tidak akan berkeberatan" "Terima kasih. Semoga usaha kita akan segera berhasil" Ki Gedepun kemudian segera mohon diri. Sebelum ia meninggalkan Kangjeng Sultan, Ki Gede masih berkata, "Dalam waktu dekat, hamba akan menghadap lagi untuk menyampaikan rencana itu" Dalam pada itu, di keesokan harinya, Ki Lurah Surapada telah memerintahkan petugas-petugas terbaiknya untuk mengetahui kebenaran desas-desus bahwa Harya Wisaka telah berhasil menyusup keluar dan memimpin sendiri pasukannya yang membuat kekacauan di mana-mana. Pasukan yang dipimpin langsung oleh Harya Wisaka itu datang dan pergi seperti pasukan hantu maut yang garang dan bengis.
Sambil menanti berita dari para petugas sandi, maka Ki Gede telah menyiapkan pasukannya pula. Ki Gede tidak mempergunakan pasukan-pasukan yang telah ada. Tetapi Ki Gede telah membentuk pasukan yang baru, yang terdiri dari prajurit-prajurit pilihan. "Aku sendiri akan memimpin pasukan itu untuk memburu Harya Wisaka" berkata Ki Gede. Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahan telah mengadakan latihan-latihan khusus bagi pasukannya yang jumlahnya tidak lebih dari tiga kelompok yang masing-masing terdiri dari dua puluh lima orang. Tetapi kemampuan tiga kelompok prajurit itu benar-benar meyakinkan. Prajurit-prajurit itu disiapkan untuk menghadapi pasukan Harya Wisaka yang garang, yang bagaikan pasukan hantu yang haus darah. "Pasukan ini harus lebih baik dari pasukan yang terdiri dari hantu-hantu. Kalian harus dapat hadir dan menghilang dalam waktu yang cepat. Kalian harus dapat menyerang tanpa diketahui darimana datangnya. Tetapi jika lawan yang kalian hadapi terlalu kuat, maka kalian harus dapat menghilang tanpa diketahui kemana perginya" Pada dasarnya, para prajurit yang disusun dalam pasukan khusus itu memang prajurit pilihan, sehingga dalam waktu dekat, Ki Gede dapat menempanya menjadi prajurit-prajurit linuwih. Ki Gede sendiri turun untuk memberikan latihan-latihan kepada mereka. Memanjat tebing, meluncur dan berayun dengan tali, meloncati dinding-dinding yang tinggi, memanjat pepohonan, menyamarkan diri pada alam di sekitarnya, melekat pada dahan pepohonan, berdiri di celah-celah tebing berbatu padas, berendam dalam lumpur dan bahkan berdiri di tempat terbuka dengan dedaunan yang dilekatkan pada tubuh mereka. Para prajurit itu juga dilatih mempergunakan pelepah kelapa untuk melintasi jarak yang agak jauh. Bagaimana mereka naik dan membuat keseimbangan yang mapan, serta bagaimana mereka harus mengemudikan pelepah kelapa itu.
Dalam waktu dekat, pasukan kecil itu benar-benar menjadi pasukan yang pilih tanding. Mereka mampu mempergunakan segala macam benda sebagai senjata. Sepotong kayu, batu, pasir dan bahkan lidi yang sangat berbahaya jika menusuk mata. Para senapati dan panglima perang di Pajang yang sempat menyaksikan latihan-latihan mereka menjadi berdebar-debar. Ternyata dalam usianya yang semakin tua, Ki Gede masih saja prajurit yang jarang dicari duanya. Rambutnya yang sudah beruban itu kadang-kadang terjurai saja jika ikat kepalanya sengaja dilepasnya karena ikat kepalanya dapat menjadi senjata dan perisai yang sangat baik. "Ki Gede benar-benar seorang yang tidak ada duanya di Pajang" desis seorang senapati yang masih terhitung muda. "Kemarahannya kepada Harya Wisaka, serta perasaan kecewanya terhadap para prajurit dan petugas sandi sehingga Harya Wisaka berhasil menyusup keluar kota, membuat jantung Ki Gede bagaikan terbakar" "Tetapi sebenarnya ilmu Ki Gede jauh lebih dalam dari yang ditampakkannya dalam latihan-latihan yang berat itu. Jika kita sudah mengagumi latihan-latihan para prajurit yang dipimpinnya sendiri itu, maka apa yang dapat kita katakan tentang Ki Gede sendiri" Ki Gede memiliki ilmu kebal. Tameng waja seperti Kangjeng Sultan Trenggana di Demak. Ki Gede juga memiliki ilmu Bajra Geni, Gundala Sasra dan bahkan yang banyak disebut-sebut orang, tetapi aku belum pernah menyaksikannya sendiri, Ki Gede mempunyai Aji Panglimunan" "Ya. Hanya Kangjeng Sultan Hadiwijaya sajalah yang dapat mengimbangi ilmunya" "Masih ada orang yang disegani oleh Ki Gede Pemanahan?" "Ki Penjawi?" "Bukan" "Siapa?" "Ki Juru Martani" Kawannya itu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Ki Juru Martani. Tetapi Ki Juru lebih banyak berada di padepokannya.
Ia tidak mengabdikan diri langsung kepada Kanjeng Sultan di Pajang" "Yang akan memiliki kemampuan seperti Ki Gede adalah puteranya, Raden Sutawijaya. Pada usianya yang masih terhitung muda, ia sudah menunjukkan kelebihannya" "Seperti Pangeran Benawa yang memiliki kelebihan sebagaimana ayahandanya" Para senapati itupun mengangguk-angguk. Mereka sangat mengagumi apa yang dapat dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan. Merekapun ternyata juga mengagumi Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Kangjeng Sultan Hadiwijaya mengurungkan niatnya untuk memanggil dan bertanya kepada Ki Gede Pemanahan, kenapa ia masih belum mulai memasuki padang perburuan ketika ia mendapat laporan bahwa Ki Gede Pemanahan sendiri telah turun ke lapangan untuk memberikan latihan-latihan kepada para prajurit yang akan menjalankan tugas khusus. Namun akhirnya yang ditunggu oleh Ki Gede Pemanahan itupun datang. Dua orang petugas sandi melaporkan, bahwa pasukan yang membangkitkan keresahan di luar kota Pajang adalah pasukan yang dipimpin langsung oleh Harya Wisaka. "Apakah para petugas sandi itu berhasil melihat sendiri Harya Wisaka?" "Belum, Ki Gede" berkata Ki Lurah Surapada. "Tetapi setiap kali para petugas sandi itu mendengar namanya disebutsebut. Beberapa orang yang rumahnya pernah disinggahi pasukan itu mengatakan, bahwa ada di antara mereka yang bernama Harya Wisaka. Orang yang justru sangat dihormati" Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian, aku harus memburunya. Aku sendiri" "Ki Gede" berkata Ki Lurah Surapada, "sebaiknya Ki Gede memerintahkan para prajurit yang sudah ditempa itu untuk mencari Harya Wisaka. Mereka akan berhasil tanpa Ki Gede harus turun sendiri ke gelanggang" "Tidak. Aku harus pergi" "Perintahkan kepadaku untuk ikut bersama Ki Gede"
"Kau harus tetap berada di kota, Ki Lurah. Kau amati dengan sungguh-sungguh rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Rumah Ki Rangga Wirataruna dan rumah Ki Rangga Yudaprana. Jika Ki Lurah dapat menangkap salah seorang dari mereka, maka akan terbuka jalan menuju ke Harya Wisaka" Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. "Itu perintahku, Ki Lurah" Ki Lurah tidak dapat mengelak lagi. Karena itu sambil membungkuk hormat, Ki Lurah itupun berkata, "Aku akan menjalankannya dengan sebaik-baiknya, Ki Gede. Aku mohon ampun atas kegagalanku menjalankan tugasku, sehingga Ki Gede harus pergi sendiri ke medan perburuan untuk menangkap Harya Wisaka" Namun ternyata Ki Gede tidak hanya pergi bersama para prajurit. Tetapi Ki Gede berniat untuk membawa orang-orang Pajang yang terbaik. Karena itulah, maka Ki Gede telah menghadap Kangjeng Sultan. Diutarakannya rencananya kepada Kangjeng Sultan dan mohon agar Kangjeng Sultan dapat mengerti dan merestui rencananya. "Hamba akan membawa orang-orang terbaik di Pajang" "Siapa yang akan Kakang bawa?" "Jika Kangjeng Sultan berkenan, hamba akan membawa murid-murid Ki Panengah dan Ki Waskita yang terbaik" Kangjeng Sultan mengerutkan dahinya. Sementara itu Ki Gede berkata selanjutnya, "Hamba akan membawa Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi untuk memimpin tiga kelompok prajurit yang sudah mendapat latihan-latihan khusus" "Ya. Aku dengar Kakang sendiri turun untuk memberikan latihan-latihan kepada mereka dibantu oleh para senapati terbaik" "Hamba, Kangjeng Sultan. Tetapi senapati-senapati terbaik itu belum memuaskan hatiku. Karena itu, aku berpaling kepada ketiga orang murid Ki Panengah dan Ki Waskita,
meskipun senapati-senapati pilihan itu akan berada di dalam kelompok-kelompok itu pula" Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Bawa mereka bersama Kakang" "Terima kasih. Hamba sekaligus mohon diri. Hamba akan berangkat dengan pasukan hamba besok malam. Tetapi hamba akan singgah di Hutan Jabung. Mungkin hamba akan berada di Hutan Jabung lima atau enam hari" "Begitu lama" Sementara itu Harya Wisaka sudah berada di tempat yang sangat jauh. Mungkin di sebelah utara Gunung Kendeng atau di sebelah barat Gunung Merapi dan Merbabu" "Hamba akan memburunya kemana ia akan pergi. Tetapi Harya Wisaka tidak akan berada terlalu jauh dari Pajang, karena Harya Wisaka masih ingin memuaskan hatinya. Membunuh hamba" Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Gedepun berkata, "Para pemimpin kelompok prajurit itu harus saling mengenal dengan pasukannya. Karena itu, maka para prajurit itu masih perlu menunjukkan kemampuannya kepada mereka yang akan memimpin kelompok mereka. Selebihnya para prajurit itupun harus yakin akan kelebihan para pemimpinnya" "Aku mengerti, Kakang" Sejenak kemudian, maka Ki Gedepun segera mohon diri. "Besok malam hamba akan berangkat" "Aku akan berdoa bagi pasukan yang akan pergi itu, Kakang" "Terima kasih, Kangjeng Sultan" Demikianlah, maka Ki Gede Pemanahanpun meninggalkan Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang termangu-mangu. Kangjeng Sultan Hadiwijaya itu tidak dapat mencegah anak laki-lakinya untuk pergi melakukan kewajibannya sebagai seorang prajurit. Jika ia melarang anaknya pergi, maka Ki Gede akan menjadi kecewa. Pangeran Benawa sendiri tentu akan menyesalinya. Karena itu, maka ia harus merelakan anaknya ikut dalam tugas yang berat itu.
Tetapi Kangjeng Sultan percaya akan kelebihan Pangeran Benawa. Apalagi ia akan berada di antara sekelompok prajurit yang pilih tanding. Meskipun jumlahnya kecil, tetapi bobot kemampuannya sangat membanggakannya. Dalam pada itu, Ki Gedepun segera mengadakan persiapan-persiapan seperlunya. Prajurit yang akan dibawanyapun telah dipersiapkan pula. Hanya tiga kelompok yang masing-masing terdiri dari duapuluh lima orang. Ditambah dengan seorang pemimpin kelompok yang akan diambilnya di Hutan Jabung. Sementara pasukan itu bersiap, maka Ki Gede telah memerintahkan dua orang prajurit untuk pergi ke Hutan Jabung, memberitahukan bahwa Ki Gede dan pasukannya akan datang sebelum pasukan itu berangkat memburu Harya Wisaka. Ki Panengah, Ki Waskita dan para cantrik dari padepokan itupun telah mempersiapkan sebuah penyambutan. Mereka telah menyediakan tempat untuk bermalam seadanya. Berita tentang keberangkatan Ki Gede Pemanahanpun segera tersebar. Setiap prajurit Pajang mendengar berita itu. Bahkan semua orang yang menaruh perhatian terhadap hilangnya Harya Wisaka dari bilik tahanan di istana, menanggapi berita keberangkatan Ki Gede itu dengan dada yang berdebar-debar. Pada saat yang ditentukan, maka tiga kelompok prajurit Pajang telah meninggalkan pintu gerbang kota dipimpin langsung oleh Ki Gede Pemanahan. Beberapa orang memerlukan keluar dari rumah mereka dan berdiri di pinggir jalan untuk memberikan penghormatan kepada pasukan kecil yang akan melakukan perburuan di padang yang sangat luas. Meskipun disediakan seekor kuda yang tegar bagi Ki Gede Pemanahan, tetapi Ki Gede tidak mempergunakannya. Ki Gede lebih senang berjalan kaki sebagaimana para prajurit. Seorang prajuritnya diperintahkannya untuk menuntun kudanya itu. Perjalanan ke Hutan Jabung bukan perjalanan yang panjang. Setelah berjalan beberapa lama, maka iring-iringan
pasukan itupun telah mendekati padepokan yang berada di pinggir Hutan Jabung. Ki Panengah, Ki Waskita dan para cantrikpun telah siap menyambut kedatangan pasukan itu. Ki Kriyadamapun telah memerintahkan para prajurit yang ikut membangun padepokan itu untuk berhenti bekerja ikut menyambut kedatangan pasukan yang dipimpin langsung oleh Ki Gede Pemanahan itu. Sejenak kemudian, maka pasukan kecil itu telah memasuki regol halaman barak padepokan yang sedang dibangun itu, diterima langsung oleh Ki Panengah dan Ki Waskita. Setelah upacara penyambutan selesai, maka para prajurit itupun telah dipersilahkan untuk mengenali barak yang diperuntukkan bagi mereka. "Hanya inilah yang dapat kami sediakan" berkata Ki Panengah. "Ini sudah lebih dari cukup" sahut Ki Gede Pemanahan. Sementara para cantrik melayani para prajurit itu, maka Ki Gede Pemanahanpun telah mengadakan pembicaraan dengan Ki Panengah dan Ki Waskita. "Aku akan meminjam cantrik, Ki Panengah" berkata Ki Gede Pemanahan. "Untuk apa?" bertanya Ki Panengah. Ki Gedepun kemudian membeberkan rencananya untuk memburu Harya Wisaka yang berkeliaran di luar kota Pajang. Harya Wisaka itu seakan-akan sengaja mengejek para prajurit Pajang, bahwa mereka tidak dapat mencegahnya membuat rakyat Pajang menjadi resah dan ketakutan. "Atas persetujuan Kangjeng Sultan, aku meminjam Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi" Ki Panengah dan Ki Waskita hanya dapat menganggukangguk. Jika Kangjeng Sultan sudah mengijinkan, maka mereka tidak akan dapat mencegahnya. "Baiklah, aku panggil mereka" berkata Ki Panengah. Sejenak kemudian, maka Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksipun telah menghadap Ki Gede Pemanahan.
Dengan singkat Ki Gede menyampaikan maksudnya untuk membawa ketiga orang cantrik itu menyertai perjalanan perburuannya. "Tentu aku bersedia, Paman" Pangeran Benawalah yang menjawab pertama-tama. "Terima kasih, Pangeran. Aku harap Sutawijaya dan Paksi juga tidak berkeberatan" "Tentu, Ki Gede" sahut Paksi, "aku bersiap untuk menjalankan perintah ini" "Masihkah Ayah akan bertanya kepadaku?" berkata Raden Sutawijaya. Ki Gede tertawa. Katanya, "Jika menolak, maka aku minta Ki Panengah menghukummu, menyapu seluruh halaman padepokan ini setiap pagi dan sore, sampai Pangeran Benawa dan Paksi kembali ke padepokan" Yang mendengar kata-kata Ki Gede itupun tertawa. Demikianlah, maka Ki Gedepun telah menetapkan bahwa Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi untuk memimpin kelompok-kelompok prajurit itu. Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Ki Gede Pemanahan, para pemimpin kelompok itu harus mengetahui, seberapa tinggi kemampuan pasukannya. Bahkan kemampuan para prajurit itu seorang demi seorang. Karena itu, di hari berikutnya, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksipun mulai berusaha mengenali para prajurit di dalam pasukannya. Sebenarnyalah Paksi merasa agak canggung untuk memimpin sekelompok prajurit. Bahkan ada perasaan rendah diri yang mengusik perasaannya. Ia merasa masih terlalu muda dan bahkan bukan apa-apa di lingkungan keprajuritan. Tiba-tiba ia harus memimpin sebuah kelompok prajurit pilihan sebanyak duapuluh lima orang. Bahkan di antara mereka terdapat prajurit-prajurit yang sangat disegani. Tetapi Ki Panengah dan Ki Waskita telah membesarkan hatinya. Hampir semalam suntuk keduanya memberikan
pesan-pesan kepada Paksi untuk menjalankan tugasnya yang memang sangat berat itu. "Paksi, bukan maksudnya untuk menyombongkan diri. Tetapi memimpin sekelompok prajurit, kau tidak perlu terlalu rendah hati, mengalah atau ragu-ragu. Kau harus bertindak tegas. Jika perlu kau dapat menunjukkan kelebihanmu dari mereka, agar kau dihargai, yang penting bukan penghargaan itu sendiri. Tetapi dengan demikian, para prajurit itu merasa yakin, bahwa kau pantas menjadi pemimpin mereka" Paksi mengangguk-angguk. Ia mencoba memahami pesanpesan kedua orang gurunya itu. Iapun mengerti bahwa kepercayaan diri berbeda dengan sikap sombong. Ketiga orang yang diserahi untuk memimpin kelompok"kelompok prajurit itupun telah membawa kelompok masing-masing ke tempat yang berbeda. Di tempat yang cukup lapang itu, Paksi mulai mencoba mengenali para prajurit yang akan dipimpinnya. Semula Paksi mengajak kelompoknya untuk melakukan latihan di dalam kebersamaan. Paksi memerintahkan para prajuritnya untuk berdiri berurutan. Berlari-lari kecil memanaskan tubuh mereka di padang perdu di sebelah Hutan Jabung. Kemudian berloncatan dan bergulung di atas tanah. Namun kemudian Paksi memerintahkan mereka untuk meloncat melenting dan berputar di udara. Tetapi Paksi memang merasakan, bahwa para prajurit itu tidak melakukannya sepenuh hati. Di wajah mereka nampak beberapa orang di antara mereka menjadi kecewa melihat Paksi yang muda itu ditetapkan menjadi pemimpin mereka. Namun Paksi yang sudah mendapat pesan dari Ki Panengah dan Ki Waskita, tidak segera terguncang hatinya. Iapun kemudian memerintahkan para prajurit itu berlari dalam lingkaran, mengitarinya. "Aku akan menyerang dengan tiba-tiba salah seorang di antara kalian yang berlari-lari dalam lingkaran. Yang mendapat serangan harus mengelak atau menangkis atau memberikan perlindungan pada diri sendiri. Dua orang yang berada di
depannya dan di belakangnya boleh bahkan wajib membantu melindungi kawannya yang mendapat serangan itu" Latihan itu mulai menarik bagi para prajurit. Bukan karena latihan itu akan menunjukkan kecepatan dan ketetapan gerak naluriah mereka, tetapi justru para prajurit itu akan dapat menilai kemampuan anak muda yang akan menjadi pemimpin mereka. Beberapa saat kemudian, maka duapuluh lima orang prajurit itu berlari-lari dalam lingkaran, mengelilingi Paksi. Sejenak Paksi memandangi para prajurit yang berlari dalam lingkaran itu seorang demi seorang. Paksi mencoba untuk mengetahui tanggapan mereka masing-masing terhadap dirinya. Sejenak kemudian, maka Paksipun mulai meloncat menyerang. Mula-mula serangannya masih belum menggetarkan lingkaran yang mengitarinya. Dengan mudah para prajurit yang berlari-lari itu menangkis atau mengelak. Bahkan mereka mulai meragukan, apakah pemimpin mereka itu memang sudah sepantasnya diserahi sekelompok prajurit pilihan yang sudah mengalami tempaan langsung dari Ki Gede Pemanahan itu. Namun cara itu dilakukan oleh Paksi justru untuk menunjukkan pada para prajurit akan tataran kemampuannya. Jika pada langkah pertama, para prajurit itu meyakininya, maka untuk selanjutnya mereka tidak akan terlalu banyak membuat ulah. Mereka akan tunduk dan melakukan segala perintah yang akan diberikan kepada mereka. Serangan-serangan Paksipun menjadi semakin mendebarkan jantung para prajurit pilihan itu. Serangan Paksi semakin lama menjadi semakin cepat. Bahkan kemudian, para prajurit pilihan itu mulai bergetar hatinya. Mereka tidak mengira bahwa anak muda itu benar-benar memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Meskipun demikian, masih ada juga prajurit yang meragukannya. Mereka merasa bahwa menghadapi anak muda itu, mereka masih dicengkam oleh keseganan, sehingga
mereka masih belum bersungguh-sungguh. Apalagi sampai ke puncak kemampuan mereka. "Aku harus mematahkan serangan anak ini" berkata seorang prajurit di dalam hatinya. Karena itu, ia sengaja menarik perhatian Paksi agar Paksi menyerangnya selagi ia berada di lingkaran. Paksi melihat sikap prajurit itu. Paksi melihat, bahwa prajurit itu sengaja menarik perhatiannya. Karena itu, maka Paksipun berniat untuk membuat prajurit itu meyakini kemampuan Paksi. Ketika prajurit itu berlari di hadapan Paksi, maka Paksipun kemudian justru berlari ke arah yang sebaliknya. Tiba-tiba saja ketika ia berpapasan dengan prajurit yang memancing perhatiannya itu, telah terjadi benturan yang nampaknya tidak seberapa. Tetapi ternyata prajurit itu terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Prajurit itu berusaha segera bangkit. Tetapi ternyata punggungnya terasa sakit sekali. Tetapi Paksi telah berdiri selangkah di sebelahnya sambil membentak, "Bangkit dan kembali masuk ke dalam putaran" Betapa sakitnya, tetapi prajurit itu berusaha menjalankan perintah. Iapun segera bangkit. Sambil menyeringai ia berlari pula melingkari Paksi, karena Paksipun segera kembali ke dalam lingkaran. Para prajuritpun menjadi semakin yakin akan kelebihan Paksi. Mereka melihat anak muda itu bergerak sangat cepat. Sedangkan kekuatannya sangat besar. Sesaat kemudian, maka terdengar Paksipun memberikan perintah, "Aku akan keluar dari lingkaran yang berputar ini. Usahakan untuk mencegahku" Para prajurit itupun bersiap di dalam putaran itu. Serba sedikit mereka sudah mengetahui, betapa tinggi ilmu Paksi yang muda itu. Karena itu para prajurit itupun benar-benar siap untuk mengerahkan kemampuan mereka. Namun tiba-tiba saja Paksi sudah berada di luar lingkaran. Dua orang prajurit terpental beberapa langkah, dan jatuh berguling.
Paksi melakukannya tidak hanya sekali. Tetapi untuk meyakinkan para prajurit itu, ia melakukannya tiga kali. Ternyata Paksi berhasil. Apa yang telah dipertunjukkannya itu membuat para prajurit pilihan itu yakin, bahwa Paksi memang seorang yang pilih tanding. Dengan demikian, maka para prajurit itu tidak lagi merasa diri mereka terlampau direndahkan, karena mereka harus berada di bawah pimpinan seorang yang mereka anggap masih sangat muda. Demikianlah, maka pengenalan berikutnya berlangsung lebih mapan. Para prajurit itu benar-benar telah mengakui bahwa Paksi yang muda itu mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari ilmu mereka. Latihan-latihan untuk lebih saling mengenal antara para prajurit dan pemimpin mereka itupun berlangsung semakin mencengkam. Baik Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa maupun Paksi telah memerintahkan para prajurit mereka untuk bekerja lebih keras. Tetapi ketiga orang yang dipercaya untuk memimpin pasukan khusus itu semakin menunjukkan kelebihan-kelebihan mereka. Bahkan para prajurit itu harus mengagumi indera pemimpin-pemimpin mereka yang masih muda itu. Ketiga-tiganya mampu melihat sasaran yang tidak dapat dilihat oleh para prajurit. Mereka dapat mendengar apa yang tidak didengar oleh para prajurit. Bahkan Paksi telah menunjukkan kepada para prajuritnya kemampuan yang mendebarkan. Dengan mata tertutup. Paksi berlatih melawan seorang prajurit yang dianggap terbaik dari kelompok yang dipimpinnya. Paksi yang mengetrapkan ilmu Sapta Pangrungu dan terutama Sapta Panggraita itu ternyata mampu mengatasi prajurit yang paling baik di dalam kelompoknya itu. Kepercayaan para prajuritnya itupun menjadi semakin mantap. Mereka meyakini bahwa anak muda itu memang dilahirkan untuk menjadi seorang pemimpin. Namun mereka
terkejut juga ketika Ki Gede Pemanahan mengatakan kepada para prajurit yang dipimpin oleh Paksi itu, bahwa Paksi adalah anak laki-laki Tumenggung Sarpa Biwada. Wajah para prajurit itu menjadi tegang. Mereka tahu bahwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada adalah salah seorang di antara para pemimpin Pajang yang sedang diburu karena mereka bekerja sama dengan Harya Wisaka. Tetapi Ki Gede pemanahan berkata kepada mereka, "Tetapi jangan berprasangka buruk terhadapnya. Aku percaya kepadanya dan akulah yang memerintahkan kepadanya untuk memimpin kelompok ini. Kita akan memburu Harya Wisaka dan kawan-kawannya. Di antara mereka adalah Ki Tumenggung Sarpa Biwada" Begitu besar wibawa Ki Gede Pemanahan, sehingga pernyataan Ki Gede itu dapat menghapus keragu-raguan para prajuritnya. Apalagi setelah mereka mendengar bahwa Paksi pernah bertempur dengan ayahnya itu di rumahnya, sehingga Ki Tumenggung harus melarikan diri meninggalkan keluarganya. "Kalian tidak usah mengaitkan Paksi dengan ayahnya dalam pergolakan ini. Paksi sudah dewasa dan sudah menentukan pilihannya sendiri" berkata Ki Gede itu kemudian. Demikianlah, maka para prajurit pilihan itu telah berada sepekan di padepokan yang sedang dibangun itu. Selama sepekan mereka sudah menjadi akrab dengan orang yang mendapat tugas dari Ki Gede Pemanahan untuk memimpin mereka. Mereka sudah saling mengenal dan mengetahui bobot masing-masing di dalam olah kanuragan, sehingga mereka masing-masing tidak lagi merasa ragu. Ki Gede Pemanahanpun merasa bahwa waktu yang diberikannya kepada para prajurit dan pemimpin mereka untuk menempatkan diri mereka masing-masing sudah cukup. Dalam pada itu, Ki Gedepun telah menetapkan ketiga orang pemimpin kelompok itu menjadi Lurah Prajurit. Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksipun telah ditetapkan oleh Ki Gede menjadi Lurah prajurit dan bertugas untuk
memimpin kelompok-kelompok kecil prajurit pilihan yang akan mencari Harya Wisaka. Setelah menempa diri dan saling mengenal antara para prajurit dan pemimpin mereka itu, maka para prajurit itupun mendapat kesempatan untuk beristirahat dua hari di padepokan yang sedang dibangun itu. Selama itu, para prajurit pilihan itu sempat menyaksikan latihan-latihan yang diberikan kepada para cantrik di samping tugas para cantrik ikut membangun padepokan mereka. Beberapa orang prajurit menggeleng-gelengkan kepada. Mereka tidak mengira bahwa latihan-latihan yang diberikan kepada para cantrik itu demikian beratnya, sebagaimana latihan-latihan yang harus mereka lakukan beberapa hari terakhir menjelang tugas yang mereka emban itu. "Pantas, mereka akan dapat menjadi orang-orang yang secara pribadi mempunyai ilmu yang sangat tinggi" desis seorang prajurit. Lalu katanya pula, "Secara pribadi mereka lebih baik dari kita masing-masing" "Mereka masih muda" desis yang lain. Seorang yang beralis tebal menyahut, "Mereka adalah calon-calon pemimpin di masa depan" Ketika saat beristirahat telah habis, maka para prajurit itupun harus berbenah diri. Menjelang malam di hari terakhir saat beristirahat itu, Ki Gede Pemanahan telah memberikan perintah-perintah kepada mereka. Perintah Ki Gede memang mengejutkan. Rencana Ki Gede tidak mereka duga sebelumnya. Tetapi para prajurit itu mengerti sepenuhnya, sehingga merekapun siap menjalankan tugas mereka sebaik-baiknya sesuai dengan kewajiban mereka sebagai seorang prajurit. "Besok, pasukan ini akan berangkat meninggalkan padepokan ini" berkata Ki Gede Pemanahan. "Empat orang petugas sandi akan selalu menghubungi kalian. Petugaspetugas khusus yang terpilih sebagaimana kalian" Para prajurit dan tiga orang pemimpin kelompok yang ditunjuk langsung oleh Ki Gede itu mendengarkan dengan
sungguh-sungguh. Segala petunjuk dan perintah Ki Gedepun mereka pahami dengan sebaik-baiknya. "Tidak ada bekal yang akan dibawa" berkata Ki Gede Pemanahan kemudian. "Kita harus dapat menghidupi diri sendiri. Tetapi kita bukan perampok dan bukan pula pemungut pajak yang tidak berjantung" Dalam pada itu, malam itu juga, Ki Panengah dan Ki Waskita telah memberikan pesan-pesan pula kepada Paksi. Anak muda yang belum berpengalaman di lingkungan keprajuritan itu harus mendapat bekal yang cukup. Meskipun ilmunya tidak diragukan, tetapi gaya kepemimpinan seseorang akan sangat berpengaruh. "Kau tidak boleh malu bertanya kepada Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, apa yang sebaiknya kau lakukan jika kau mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan" pesan Ki Waskita. "Ya, Guru" "Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa memiliki pengalaman yang lebih banyak" "Ya, Guru" Malam itu Paksi menjadi sulit tidur. Namun sedikit lewat tengah malam, Paksi itu terlena di pembaringannya. Pagi-pagi benar, padepokan itu sudah terbangun. Para cantrik memang terbiasa bangun pagi-pagi untuk menunaikan kewajiban mereka. Sementara itu, para prajuritpun segera bersiap-siap untuk berangkat memenuhi tugas mereka. Sebelum matahari terbit, pasukan itu sudah meninggalkan padepokan tanpa upacara apapun. Para prajurit yang membantu membangun padepokan itupun tidak tahu, bahwa diam-diam pasukan yang selama lebih dari sepekan berada di padepokan itu telah berangkat. Baru kemudian, ketika mereka bertanya-tanya, kenapa padepokan itu terasa sepi, mereka mendapat keterangan, bahwa para prajurit itu telah pergi. Sejak hari itu, maka tersiarlah berita bahwa sepasukan prajurit Pajang telah dilepas untuk memburu Harya Wisaka
dan pasukannya yang banyak menimbulkan keresahan di desa-desa. Di hari-hari pertama, pasukan itu masih belum bertemu dengan pasukan Harya Wisaka. Tetapi pasukan itu telah mencium jejak pasukan yang dipimpin langsung oleh Harya Wisaka itu. Dalam pada itu, pasukan Pajang yang dipimpin sendiri oleh Ki Gede Pemanahan itupun mendapat sambutan yang sangat baik dimana-mana. Rakyat yang diresahkan oleh kegarangan pasukan Harya Wisaka itu memang sangat mengharapkan kehadiran pasukan Pajang untuk melindungi mereka. Karena itu, maka para prajurit Pajang itu tidak pernah mengalami kesulitan makan dan minum. Setiap padukuhan yang didatanginya menyambut mereka seperti menyambut rombongan pengiring pengantin. Hubungan pertama dengan para petugas sandi terjadi ketika para petugas sandi yang khusus ditunjuk dalam tugas bersama dengan pasukan khusus itu menemui pasukan Pajang itu di Kwarasan. Dengan istilah-istilah sandi, para pemimpin pasukan khusus Pajang itu kemudian telah mempercayai dan kemudian menerima mereka. Dari para petugas sandi pasukan Pajang itu mendapat keterangan, bahwa pasukan Harya Wisaka sedang berada di Jurangjero. "Mungkin mereka akan bergerak lagi. Tetapi agaknya malam nanti mereka masih berada di Jurangjero. Kehadiran mereka sangat menggelisahkan rakyat Jurangjero. Tetapi mereka tidak berani berbuat apa-apa" "Berapa orang kekuatan mereka?" bertanya Raden Sutawijaya. "Sekitar seratus orang" "Seratus orang" Apakah Harya Wisaka ada di antara mereka?" "Menurut orang Jurangjero yang dapat kami hubungi, pasukan itu memang dipimpin oleh orang yang bernama Harya Wisaka"
"Nanti malam kami akan pergi ke Jurangjero. Jika kami berangkat lewat senja, kami akan sampai ke tempat itu wayah sepi uwong" "Ya, kira-kira begitu Raden" "Jika Harya Wisaka ada di antara mereka, maka pasukan Pajang tentu akan dipimpin langsung oleh Ayah" "Ya, Raden" "Dimana kita bertemu nanti malam?" bertanya Raden Sutawijaya kemudian. Prajurit sandi itupun kemudian telah memberikan ancarancar dimana ia akan menunggu. "Dalam tugas ini, kami berempat, Raden" "Ya. Kami sudah mendapat keterangan tentang itu. Tetapi darimana kalian tahu bahwa kami ada disini malam ini?" "Kami harus mengetahui dimana pasukan ini berada setiap saat, Raden" "Kalau pasukan ini terbagi?" "Kami berempatpun harus membagi diri. Tetapi hubunganhubungan yang terus-menerus harus kami lakukan, sehingga kami tidak akan pernah ketinggalan" Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Baiklah. Kami akan menghubungimu di tempat yang sudah ditentukan" Sepeninggal petugas sandi itu, maka para prajurit Pajang itupun segera mempersiapkan diri. Jika di dalam pasukan yang akan mereka buru itu terdapat Harya Wisaka, maka pasukan Pajang itu akan dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan. Sutawijaya itupun kemudian bersama Pangeran Benawa dan Paksi telah membicarakan langkah-langkah yang akan mereka ambil. "Kita akan membagi diri. Kita akan menyerang Jurangjero dari tiga jurusan. Mudah-mudahan Harya Wisaka belum bergerak lagi malam nanti" berkata Raden Sutawijaya. Mereka bertigapun kemudian memutuskan untuk memecah pasukan mereka setelah mereka bertemu dengan para petugas sandi.
"Jika Harya Wisaka belum bergerak lagi, kita berharap akan dapat menangkapnya" "Seandainya Paman Harya Wisaka sudah meninggalkan Jurangjero, kita akan tetap memburunya malam nanti" berkata Pangeran Benawa. "Jika kita menundanya sampai esok, maka kita akan terlambat. Paman Harya Wisaka tentu sudah menjadi semakin jauh. Apalagi jika Paman Harya Wisaka mengetahui kita ada disini sekarang" "Paman Harya Wisaka tahu benar bahwa kita memburunya. Tetapi agaknya Harya Wisaka tidak tahu kedudukan kita" "Mudah-mudahan" desis Paksi. "Tetapi petugas sandi Harya Wisaka juga berkeliaran dimana-mana" Demikianlah, maka menjelang senja, pasukan kecil itu telah bersiap sepenuhnya. Segala persiapan telah dilakukan sebaikbaiknya. Senjata para prajurit itupun telah diteliti dengan cermat, sehingga tidak akan mengecewakan. "Jumlah lawan kita lebih banyak. Mungkin seratus, tetapi mungkin lebih dari itu. Tetapi kita yakin akan kemampuan kita, sehingga kita yakin akan dapat mengalahkan mereka dan menangkap Harya Wisaka" berkata Raden Sutawijaya kepada para prajurit yang sudah siap untuk bergerak. "Sebentar lagi kita akan bergerak. Demikian malam turun, maka kita akan meninggalkan padukuhan ini. Jika tidak ada persoalan yang mendesak, kita akan kembali lagi ke padukuhan ini. Tetapi jika kita harus memburu pasukan Harya Wisaka, kita tidak akan kembali lagi kemari" berkata Raden Sutawijaya pula. Ki Bekel dan para bebahu ternyata telah hadir pula untuk melepas keberangkatan pasukan Pajang itu. Mereka berharap bahwa Harya Wisaka segera dapat tertangkap. "Pasukannya telah membuat rakyat sangat gelisah. Pasukan liar itu muncul dengan tiba-tiba dan menghilang dengan tiba-tiba pula. Bahkan ada satu padukuhan yang mereka datangi dua kali dalam sepekan. Terutama padukuhan-padukuhan yang dianggap kaya dan memiliki
persediaan bahan makan cukup di lumbung-lumbung rakyatnya" berkata Ki Bekel. "Mudah-mudahan kita akan dapat segera menghentikannya" berkata Raden Sutawijaya. Ketika kemudian gelap turun, maka Raden Sutawijaya itupun berkata, "Aku akan memberikan laporan kepada ayah. Apakah kita akan berangkat sekarang" Raden Sutawijaya itupun kemudian telah meninggalkan para prajurit yang berdiri di halaman banjar. Pangeran Benawa dan Paksi masih tetap berdiri di tangga pendapa banjar padukuhan bersama Ki Bekel dan para bebahu. Baru beberapa saat kemudian, Raden Sutawijaya keluar dari ruang dalam bersama Ki Gede Pemanahan. Sejenak Ki Gede Pemanahan berdiri memandang pasukannya yang telah bersiap. Kemudian iapun mengangguk hormat kepada Ki Bekel dan para bebahu. Di bawah cahaya lampu minyak yang remang-remang, apalagi Ki Gede Pemanahan dan para bebahu itu berdiri membelakangi, maka wajah-wajah mereka menjadi tidak begitu jelas. "Kami mohon diri, Ki Bekel" berkata Ki Gede Pemanahan. "Kami masih merencanakan untuk kembali kemari. Tetapi jika tugas kami mendesak, mungkin pula kami akan meneruskan perjalanan kami dan tidak kembali lagi. Jika demikian, maka perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang Ki Bekel, para bebahu dan rakyat padukuhan ini berikan kepada kami" "Ki Gede dan pasukan ini sedang dalam tugas yang besar yang akibatnya juga akan terasa oleh kami semuanya. Karena itu, sudah menjadi kewajiban kami untuk membantu sejauh dapat kami lakukan. Mudah-mudahan pasukan ini kembali lagi kemari dengan membawa kemenangan serta berhasil menangkap Harya Wisaka" "Doa Ki Bekel, para bebahu dan seluruh rakyat padukuhan ini akan memperkuat ketahanan wadag dan jiwa kami"
Demikianlah, sejenak kemudian, maka beberapa orang penghuni padukuhan itu mengantar pasukan itu sampai ke gerbang padukuhan. Perlahan-lahan pasukan itu bergerak menusuk masuk ke dalam kegelapan sehingga kemudian seakan-akan hilang dalam kelam. Namun pasukan itu sendiri bergerak semakin lama semakin cepat. Mereka tidak ingin terlambat, karena pasukan Harya Wisaka itu setiap kali selalu berpindah-pindah tempat setelah membuat kekacauan di satu padukuhan sehingga menimbulkan keresahan. Pasukan yang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan itu bergerak menurut jalan yang diancar-ancarkan oleh petugas sandi yang telah menghubungi mereka. Mereka melintas di bulak-bulak panjang, padang perdu dan bahkan lewat di pinggir hutan. Mereka berusaha untuk tidak terlalu sering melintasi padukuhan. Karena kehadiran mereka akan dapat membuat rakyat padukuhan itu gelisah. Mereka dapat menjadi salah paham dan mengira bahwa yang datang itu pasukan yang dipimpin oleh Harya Wisaka. Dalam pada itu, akhirnya pasukan itu sampai di sudut sebuah hutan yang memanjang. Demikian pasukan itu mendekati tempat itu, tiga orang petugas sandi sudah menunggu. "Dimana orang yang keempat?" bertanya Raden Sutawijaya. "Kawan kami itu sedang mengawasi Padukuhan Jurangjero" "Apakah kita akan langsung menyerang?" "Ya. Sebaiknya demikian. Nampaknya mereka belum mengetahui bahwa pasukan Pajang telah bergerak menyusul mereka" "Darimana kau tahu?" "Mereka tidak melakukan persiapan khusus" "Baik. Kita akan segera bergerak" "Tetapi ternyata jumlah pasukan Harya Wisaka lebih dari seratus orang. Bahkan sekitar seratus lima puluh orang"
"Dua kali lipat" desis Raden Sutawijaya. "Tetapi kita sudah bertekad untuk menangkap Harya Wisaka" "Kita akan memasuki Padukuhan Jurangjero dengan diamdiam. Kita, satu-satu akan berusaha untuk mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya sebelum mereka menyadari bahwa pasukan lawan telah menyusup di antara mereka" sahut Pangeran Benawa. "Ya" Raden Sutawijaya mengangguk-angguk, "kita bertumpu pada kemampuan kita seorang-seorang" "Bawa kami ke Padukuhan Jurangjero" berkata Ki Gede Pemanahan. Ketiga orang petugas sandi itupun masing-masing mendapat tugas untuk mengantar sekelompok di antara pasukan yang dipimpin Ki Gede Pemanahan itu. Mereka akan memasuki Padukuhan Jurangjero dari arah yang berbeda. Mereka akan mengandalkan kemampuan mereka seorangseorang untuk mengatasi jumlah lawan yang jauh lebih banyak, bahkan lipat dua. Demikianlah, sejenak kemudian sedikit lewat wayah sepi uwong, pasukan khusus dari Pajang itu mulai bergerak. Mereka terpecah menjadi tiga kelompok yang masing-masing dipimpin oleh Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi. Sementara itu Ki Gede Pemanahan sendiri berada di dalam satu kelompok dengan Pangeran Benawa. Bagaimanapun juga Pangeran Benawa adalah putera Kangjeng Sultan Hadiwijaya, sehingga keselamatannya harus mendapat perhatian sepenuhnya. Meskipun jika hal itu disampaikan kepada Pangeran Benawa, maka Pangeran Benawa itu justru akan dapat tersinggung karenanya. Sejenak kemudian, maka ketiga kelompok prajurit itu sudah mendekati Padukuhan Jurangjero dari tiga arah. Para petugas sandi telah memberikan keterangan sejauh mereka ketahui tentang padukuhan itu. Tentang jalan induk dan jalan-jalan simpang yang lebih kecil. Letak rumah Ki Bekel dan letak banjar padukuhan yang kedua-duanya dipergunakan oleh
Pendekar Bunga Merah 5 Sang Penggeli Hati Karya Mb. Rahimsyah Radio Jojing 3

Cari Blog Ini