11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 26
Ia harus membenahi Kepatihan. Bukan saja pengawalannya, tetapi juga istana Kepatihan
yang menjadi porak poranda.
Hari itu, Ki Patih terpaksa memanggil beberapa orang un-dhagi untuk memperbaiki
istana Kepatihan. Dalam pada itu, Matarampun telah menjadi gempar. Setiap orang berbicara tentang
rencana yang gila beberapa orang bersama kelompoknya untuk merampok istana
Kepatihan. Orang-orang itu tidak begitu mengerti latar belakang yang sebenarnya dari
perampokan yang meskipun sudah diperhitungkan dengan baik, namun masih juga gagal.
Bagi orang kebanyakan, yang terjadi itu semata-mata adalah kegilaan sebuah kelompok
yang menganggap bahwa mereka akan dapat merampok kepatihan sebagaimana yang
mereka lakukan di-rumah orang-orang kaya.
" Tentu mereka pula yang sebelum ini melakukan
perampokan-perampokan yang berani di Kotaraja - berkata setiap orang yang satu
dengan yang satu dengan yang lain.
Dalam pada itu, ketika para petugas sandi yang dikirim keluar kota kembali dari tugas
mereka, maka mereka menemukan Ki Wirayuda sedang terluka parah, terbaring dibawah
perawatan seorang tabib yang khusus dirumahnya.
" Kenapa Ki Wirayuda mengirimkan kami keluar" Sebenarnya kami akan merasa
senang sekali bertempur bersama Ki Wirayuda " berkata salah seorang perwira dari
pasukan sandi. Ki Wirayuda yang terluka cukup parah itu masih dapat tersenyum. Katanya " Kau tentu
tahu maksudnya. Jika aku tidak mengirimmu keluar kota, maka kedua orang Rangga itu
tidak akan terjebak bersama-sama dengan orang-orang penting dalam kelompoknya. "
Perwira prajurit sandi itupun tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata ~ Ya.
Aku mengerti. Tetapi kenapa bukan orang lain yang harus pergi dan menempatkan aku
bersama Ki Wirayuda di Kepatihan" "
Ki Wirayuda tidak menjawab. Ia hanya tersenyum saja sambil mengusap bagian
tubuhnya yang terluka. Namun Ki Wirayuda menyeringai menahan pedih yang masih saja
mencengkam tubuhnya. Perwira itupun kemudian minta diri sambil berkata " Baiklah. Ki Wirayuda harus
banyak beristirahat. "
Ki Wirayuda masih juga mencoba tersenyum sambil berdesis - Aku akan beristirahat
sebaik-baiknya. Namun kalian masih harus selalu mengawasi keadaan. Mungkin ada sisa
persoalan yang belum diselesaikan dengan tuntas. -- Serahkan kepada kami. Ki Wirayuda jangan memikirkan apapun juga, agar luka-luka
itu lekas sembuh. " jawab perwira itu.
Namun dalam pada itu, sesuai dengan kesepakatan Ki Wirayuda, Ki Patih Mandaraka
dan bahkan kemudian telah diketahui oleh Panembahan Senapati sendiri, bahwa kelompok
Gajah Liwung masih tetap tersembunyi. Beberapa orang petugas sandi dan prajurit di
Kepatihanpun tidak mendapat penjelasan tentang orang-orang yang disebut sebagai abdi
Kepatihan itu. Apalagi abdi Kepatihan itu sendiri. Mereka merasa aneh jika tiba-tiba saja
ada abdi Kepatihan yang belum pernah mereka kenal. Namun sebagian dari mereka ada yang
mengenali Glagah Putih sebagai sahabat Raden Rangga yang pernah berada di Kepatihan
itu pula. Tetapi mereka tidak mengerti hubungannya dengan peristiwa yang baru saja terjadi di Kepatihan.
Hari-hari berikutnya, orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu masih tetap berada
di Kepatihan. Mereka masih ikut berjaga-jaga. Kemungkinan yang tidak mereka dugaduga
akan dapat terjadi. Namun dalam pada itu, kegiatan prajurit di Kotaraja telah meningkat pula. Jika
sebelumnya Ki Patih berusaha untuk tidak membuat para penghuni kotaraja menjadi
resah, maka setelah peristiwa itu terjadi, justru kegiatan para prajurit yang meningkat
dapat me nimbulkan ketenangan dihati orang banyak, karena mereka merasa terlindungi.
Dalam pada itu, selagi Ki Patih Mandaraka masih menahan para angguta Gajah Liwung
pada hari-hari berikutnya lagi, maka Panembahan Senapati telah memanggil Sabungsari
dan Glagah Putih untuk ikut menghadapi bersama Ki Patih Mandaraka.
" Jika kalian berdua tidak terlibat langsung dalam peristiwa di Kepatihan, maka aku
tidak akan memanggil kalian berdua bersama paman Patih Mandaraka. -- berkata
Panembahan Senapati. Sabungsari dan GLagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara Ki Patih
Mandaraka berkata -- Ki Ajar Gurawa dan Ki Jayaraga juga masih berada di Kepatihan Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian - Jika aku
berbicara dengan Sabungsari dan Glagah Putih, rasa-rasanya aku sudah berbicara dengan
Untara dan Agung Sedayu. Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Sudah tentu bahwa Panembahan
Senapati mempunyai penilaian yang khusus terhadap Sabungsari dan Glagah Putih
sebagaimana Panembahan Senapati menilai Untara dan Agung Sedayu. Kakak beradik
yang memiliki penilaian yang tinggi dari Panembahan Senapati.
Dalam pada itu, Panembahan Senapatipun kemudian berkata
" Aku sudah menerima permohonan dari dua orang utusan yang akan menghadap. "
~ Utusan siapa Panembahan" " bertanya Ki Patih Mandaraka.
~ Dua orang utusan dari Pati - jawab Panembahan Senapati.
" Dari Pati" " suara Ki Patih merendah. Dari orang-orang yang tertawan. Ki Patih
mendapat keterangan, bahwa mereka melakukan rencana mereka yang ternyata gagal itu
untuk kepentingan Pati. " Mungkin kedua utusan itu membawa berita penting dari Adimas Adipati Pati. ~ desis
Panembahan Senapati seakan-akan kepada diri sendiri.
Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya - Mungkin ada hubungannya dengan
peristiwa yang baru saja terjadi di Kepatihan. "
Panembahan Senapati mengangguk-angguk lemah. Katanya
" Ada persoalan yang sulit diterima dengan akal. Aku tetap tidak yakin bahwa Adimas
Adipati Pati melakukan langkah langkah seperti itu. - Menurut orang-orang yang dalang ke Kepatihan, mereka memang bukan utusan
Kangjeng Adipati di Pati. Mereka berbuat atas kehendak mereka sendiri, karena mereka
ingin memberikan pengabdian yang pantas bagi Pati dan bagi Kangjeng Adipati ~ sahut Ki
Patih Mandaraka. - Mungkin mereka benar. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai pamrih yang
besar. Namun jangan lupa, bahwa dian-tara mereka tentu terdapat orang-orang yang
benar benar ingin merampok istana Kepatihan. Mungkin baru kali ini istana Kepatihan
telah dirampok orang. Mereka mengira bahwa di istana Kepatihan tentu terdapat emas
dan permata. Bahkan mungkin mereka mengira bahwa tiang-tiang di ruang dalam dilapisi
dengan emas dan diberi permata di ukirannya, atau setidak-tidaknya logam-logam
berharga lainnya. Mereka mungkin mengira bahwa didalam istana terdapat lampu-lampu
minyak dan dlupak benda berharga lainnya. -desis Panembahan Senapati.
Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk mengiakan.
Namun dalam pada itu, Panembahan Senapatipun kemudian mengajak Ki Patih,
Sabungsari dan Glagah Putih untuk memasuki paseban dalam. Dipaseban telah berkumpul
beberapa orang pemimpin pemerintahan dan para Panglima prajurit yang secara khusus
dipanggil oleh Panembahan Senapati untuk mendengar pembicaraan dengan dua orang
utusan dari Pati. Sesaat sebelum Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka memasuki paseban,
maka kedua orang utusan itupun telah dibawa memasuki paseban dalam. Sabungsari dan
Glagah Putihpun mendapat kesempatan untuk ikut duduk dipaseban meskipun dibelakang
sekali, sesuai dengan tataran kedudukan dan kepangkatan dari mereka yang hadir.
Memang tidak begitu banyak orang yang hadir dipaseban dalam, karena pertemuan itu
memang agak khusus, sehingga tidak semuanya yang terbiasa hadir dipaseban luar ikut
dalam pertemuan itu. Dalam pertemuan itu, Panembahan Senapati dengan resmi akan menerima kedua
orang utusan dari Pati dan mendengarkan pesan-pesan yang mereka bawa dari Kangjeng
Adipati di Pati. Sejak sebelumnya, Panembahan Senapati memang telah mengatakan kepada Ki Patih
Mandaraka, bahwa pembicaraan itu bukan satu perundingan. Karena dalam perundingan
masing-masing pihak akan duduk dalam tataran yang sama. Tetapi semata-mata
mendengar pesan Kangjeng Adipati dari Pati.
Ketika segala macam tata cara telah dilakukan, maka Panembahan Senapatipun
kemudian berkata kepada kedua utusan itu " Nah, sekarang aku persilahkan kalian
menyampaikan pesan dari Adimas Adipati itu. "
" Ampun Panembahan " berkata salah seorang dari kedua orang utusan itu "
peristiwa yang terjadi di Kepatihan Mataram telah didengar oleh Kangjeng Adipati. Dengan
segera Kangjeng Adipati telah memanggil para pemimpin pemerintahan di Pati serta para
Senapati dan Tumenggung. Setelah dibicarakan dengan mendalam, maka akhirnya
Kangjeng Adipati mengambil kesimpulan, bahwa orang-orang yang melakukan tindakan
kotor itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Kangjeng Adipati. Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya ~ Aku memang yakin, bahwa
yang terjadi tentu bukan karena perintah Adimas Adipati. Aku percaya akan hal itu.
Orang-orang yang kemudian tertangkap hidup-hidup mengaku, bahwa mereka
melakukannya atas kehendak mereka sendiri. "
" Hamba Panembahan " berkata utusan itu - mereka adalah orang-orang yang
bermimpi untuk memegang jabatan terpenting jika usaha mereka berhasil. Mereka
berharap bahwa Kangjeng Adipati akan menganggap mereka telah berjasa. Apabila jika
Pati kemudian berhasil mengalahkan Mataram. Mereka berharap akan mendapatkan
imbalan sepantasnya. Mereka yang memang tinggal di Mataram tentu berharap untuk
mendapat kedudukan penting di Mataram kelak atas nama Adipati Pati. Sedangkan yang
lain masih bermimpi untuk berada di Pajang atau bahkan Madiun. "
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Aku berterima kasih
bahwa Adimas Adipati telah memerlukan mengirimkan utusan untuk menjelaskan
keadaan. Mudah-mudahan hubungan antara Mataram dan Pati akan menjadi pulih
kembali. " " Hamba tidak dapat mengatakan apapun tentang pulihnya hubungan Mataram dan
Pati. Kangjeng Adipati hanya memerintahkan bahwa untuk menyampaikan pesan tentang
peristiwa di istana Kepatihan Mataram itu. - berkata utusan itu.
" Apakah kedatangan kalian bukan pertanda, bahwa Adimas Adipati akan bersedia
untuk datang lagi ke Mataram" - bertanya Panembahan Senapati.
" Hamba tidak mendapat pesan tentang hal itu Panembahan ~ jawab utusan itu.
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya hati Adipati Pati yang
kecewa itu masih belum dapat dicairkan. Namun kedatangan utusan itu bagi Panembahan
Senapati dapat menjadi pertanda baik hubungan antara Pati dan Mataram.
Karena itu, maka Panembahan Senapatipun kemudian berkata kepada utusan itu "
Baiklah. Aku terima semua pesan Adimas Adipati Pati. Namun akulah yang kemudian
berpesan kepada kalian jika kalian menghadap Adimas Adipati. Katakan, bahwa aku, Panembahan Senapati
selalu menunggu kehadirannya di Mataram, karena sejak kami bersama-sama ke Madiun
sampai sekarang, Adimas Adipati tidak pernah datang ke Mataram. Baik sebagai saudara
maupun sebagai seorang Adipati di Pati yang mempunyai kewajiban untuk setiap kali
datang ke Mataram. - Kedua orang itu termangu-mangu. Namun mereka tidak segera menjawab.
Panembahan Senapati tanggap akan sikap itu. Karena itu, maka katanya " Kalian tidak
usah membuat pertimbangan sendiri. Sebagaimana kalian datang menyampaikan pesan
Adimas Adipati, maka demikian pula kalian menyampaikan pesanku kepada Adimas
Adipati. " Kedua utusan itu mengangguk hormat. Hampir berbareng mereka menjawab " Hamba
Panembahan. - " Bagaimanapun juga, bahwa Adimas Adipati Pati mengirim kalian sekarang ini sudah
merupakan satu pertanda baik bagiku. Dengan demikian Adimas Adipati tidak benar-benar
melupakan aku. -- " Hamba Panembahan - desis keduanya hampir berbarehg pula.
" Nah, pesan apalagi yang akan kalian sampaikan" " bertanya Panembahan Senapati.
Keduanya termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka berkata - Tidak
ada lagi Panembahan. Pesan Kangjeng Adipati sudah aku sampaikan semuanya sampai
tuntas. " Baiklah. Semua orang-orang terpenting di Mataram mengetahui bahwa yang terjadi
di Mataram, khususnya di Istana Kepatihan tidak ada hubungannya dengan Adimas
Adipati - berkata Panembahan Senapati kemudian.
" Hamba Panembahan. Hamba mengucapkan terima kasih atas nama Kangjeng
Adipati, bahwa Panembahan telah mengijin-kan hamba untuk menyampaikan pesan
Kangjeng Adipati diha-dapan para pemimpin di Mataram. " desis seorang diantara
keduanya. Panembahan Senapati tersenyum. Namun kemudian katanya
" Bukankah dengan demikian aku tidak perlu memberitahukan kepada mereka karena
telah mendengar langsung dari kalian. Bahkan tidak akan ada salah paham, kelebihan
atau kekurangannya. " Kedua utusan itupun mengangguk dalam-dalam penuh hormat.
Namun beberapa saat kemudian, maka kedua orang utusan itupun telah mohon diri.
" Kalian akan bermalam di Mataram malam ini. " berkata Panembahan Senapati "
Besok baru kalian akan kembali. "
Tetapi kedua utusan itu berniat untuk kembali hari itu juga, sehingga akhirnya
Panembahan Senapatipun telah melepasnya.
Sepeninggal kedua utusan itu, Panembahan Senapati tidak membuat ulasan apapun
juga. Panembahan hanya menegaskan pernyataan kedua utusan itu, bahwa yang terjadi
di istana Kepatihan sama sekali tidak ada hubungannya dengan langkah-langkah yang
diambil oleh Kangjeng Adipati di Pati terhadap Mataram.
" Aku tahu, bahwa Adimas Adipati adalah seorang ksatria yang tegar dalam sikap dan
pendiriannya. Ia tidak akan melakukan hal itu " berkata Panembahan Senapati.
Namun setelah para pemimpin yang menghadap meninggalkan Paseban, serta
Kangjeng Panembahan Senapati telah berada di ruang dalam bersama Ki Patih Mandaraka
dan yang kemudian memanggil Sabungsari dan Glagah Putih, Panembahan Senapati telah
mencoba untuk mengurai suasana.
" Paman " berkata Panembahan Senapati "bagaimana menu-rut kesan paman
terhadap kedua utusan itu" "
"Semula aku menganggap bahwa yang dilakukan oleh angger Adipati Pati adalah satu
pendekatan. " berkata Ki Patih Mandaraka.
"Aku juga menganggap demikian " berkata Panembahan Senapati - tetapi ternyata
Pendapatku kemudian menjadi ragu-ragu.
Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Tetapi iapun berkata pula " Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan ngger. "
" Ya paman. " jawab Panembahan Senapati " aku berterima kasih bahwa Adimas
Adipati telah mengirimkan utusan untuk menyampaikan keterangan tentang ketidak
terlibatannya dalam peristiwa
di Kepatihan. Tetapi yang justru menjadi perhatianku, demikian cepat Adimas
Adipati mengetahui bahwa hal itu telah terjadi.
" Apakah yang sebenarnya terjadi, kita memang tidak tahu Panembahan. Tetapi
seandainya benar Anakmas Adipati di Pati tidak mengetahui rencana itu, maka tentu ada
hal lain yang perlu dibicarakan. " berkata Ki Patih Mandaraka.
" Ya. Itulah yang ingin aku sampaikan kepada paman. Bukankah dengan demikian
jaringan petugas sandi Pati di Mataram sudah demikian luasnya sehingga apa yang terjadi
sekarang di Mataram, malam nanti Pati sudah mengetahuinya. Selambat-lambatnya esok
pagi. " sahut Panembahan Senapati.
~ Anger Panembahan benar. Hal itu memang memerlukan perhatian secara khusus "
berkata Ki Patih Mandaraka - selebihnya, aku meragukan, apakah Anakmas Adipati Pati
masih bersedia untuk datang ke Mataram. "
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata " Agaknya
kita masih harus menunggu untuk waktu yang panjang, Mungkin kita bagaikan menunggu
munculnya batu hitam dari dalam lautan. Namun segala sesuatunya akan dapat terjadi.
Bahwa ia mengirimkan utusan ke Mataram berarti bahwa ia masih setidak-tidaknya
mengakui kehadiranku disini, meskipun hal itu dianggap tidak ada hubungannya dengan
kedudu-kan Adimas Adipati. Sambil mengangguk-angguk Ki Patih berkata " Sikap kedua utusan itu, serta tertibnya
pengamatan sandi di Mataram, justru membuat kita harus bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan. " Baiklah paman " berkata Panembahan Senapati kemudian " aku percaya kepada
kemampuan berpikir dan ketajaman pang-graita Ki Wirayuda. Sesudah ia sembuh, maka
kita akan berbicara dengan orang itu. Apakah yang sebaiknya kita lakukan. Mungkin kita
akan berbicara juga dengan para Senapati yang berada di luar lingkungan. Mungkin
Untara di Jati Anom. Mungkin Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh atau Senapati
yang lain serta para Adipati. "
Ki Patih mengangguk-angguk. Namun Panembahan Senapati masih berkata lagi, khusus
tentang Kotaraja -- Namun, yang perlu juga diperhatikan adalah keadaan Kotaraja ini
sendiri, paman. Jika gerombolan yang besar itu telah dihancurkan, maka kelompokkelompok
kecil dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu akan tumbuh lagi.
Mungkin mereka tidak mempunyai niat tertentu, tetapi kehadiran mereka akan dapat
meresahkan rakyat Mataram, khususnya di Kotaraja ini.
Ki Patih mengangguk-angguk pula. Kutanya " Ya Panembahan. Dan karena itu, maka
kehadiran Sabungsari dan Glagah Putih masih kita perlukan. Mereka akan dapat berbuat
banyak, sebagaimana sebelum kehadiran gerombolan dari orang-orang yang ternyata
telah melakukan tugas yang jauh lebih besar dari sekedar merampok dan membuat
keresahan itu. " - Semuanya nanti akan kita serahkan kepada Ki Wirayuda, juga tentang pengamatan
para petugas sandi dari Pati. - berkata Panembahan Senapati " namun sebaiknya juga
tugas yang akan dapat kita berikan kepada beberapa orang untuk berada di Pati. Kita
sebaiknya juga mengetahui, apa yang dilakukan oleh orang-orang Pati. Juga kita harus
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu jika ada sekelompok orang yang mengaku petugas dari Mataram untuk mengacaukan
Pati, namun yang sebenarnya hanya untuk mencari keuntungan pribadi, sebagaimana
yang baru saja terjadi di Mataram.
Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Ia tahu benar apa yang dimaksud
Panembahan Senapati. Karena itu, maka Ki Patihpun kemudian berkata " Kami akan melakukan sebaikbaiknya
Panembahan. Agaknya Ki Wirayuda juga tidak akan terlalu lama berbaring di pembaringan. Kemampuannya untuk tetap melakukan tugasnya mendorongnya untuk lebih cepat sembuh. "
Demikianlah setelah terjadi pembicaraan beberapa saat lagi, serta memberikan pesan
kepada Sabungsari dan Glagah Putih, maka Panembahan Senapati telah memperkenankan
Ki Patih Mandaraka kembali ke Kepatihan bersama Sabungsari dan Glagah Putih, karena
masih banyak yang harus dikerjakan oleh Ki Patih Mandaraka di istana Kepatihan yang
masih dalam perbaikan itu.
Sementara itu, Ki Rangga Ranawandawa dan Ki Rangga Resapraja masih berada dalam
perawatan. Namun keduanya telah dijaga sebaik-baiknya oleh para prajurit pilihan,
sebagaimana Ki Dipacala. Mereka adalah orang-orang terpenting yang akan dapai banyak
memberikan keterangan tentang jaringannya di Mataram.
Namun dalam pada itu, bahwa keduanya diketahui masih hidup telah menjadi isyarat,
orang-orang yang berhubungan dengan mereka segera bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan. Ketika kemudian Ki Patih Mandaraka, Sabungsari dan Glagah Putih telah berada di
Kepatihan, maka mereka telah berbicara pula dengan para anggauta Gajah Liwung yang
lain, bahwa mereka masih diperlukan kehadiran mereka di Mataram. Karena menurut
perhitungan, setelah gerombolan yang besar itu dapat dihancurkan, maka anak-anak
muda yang tidak bertanggung jawab itu akan segera mengambil alih kekosongan itu
untuk tampil dengan kenakalan-kenakalan yang kadang-kadang memang menimbulkan
keresahan. - Apakah kalian masih juga mempergunakan nama Gajah Liwung" - bertanya Ki Patih
Mandaraka. - Ya Ki Patih - jawab Sabungsari.
- Tetapi sebagaimana kau ketahui, nama Gajah Liwung telah dinodai oleh gerombolan
yang telah berusaha merampok dan membunuh di Istana Kepatihan. " berkata Ki Patih
Mandaraka kemudian -Apakah kehadiran kalian dengan nama Gajah Liwung tidak justru
akan menyulitkan kalian" - Tetapi masih harus diumumkan, bahwa kelompok Gajah Liwung yang sebenarnya
bukanlah gerombolan yang ganas itu. Mereka dengan sengaja telah mengacaukan nama
Gajah Liwung yang sebelumnya mulai mendapat kepercayaan orang banyak. Jika hal itu
diketahui oleh orang-orang Mataram, maka yang hadir kemudian tentu diterima sebagai
kelompok Gajah Liwung yang asli -jawab Sabungsari.
- Tetapi apakah dengan demikian tidak memperkecil arti ke-lompok Gajah Liwung.
Bahkan kelompok itu tidak berdaya karena kehadiran gerombolan Gajah Liwung yang lain"
- bertanya Ki Patih pula.
" Setiap orang tentu akan dapat menilai, bahwa yang menamakan diri gerombolan
Gajah Liwung adalah satu kekuatan yang sangat besar, karena kekuatan itu telah berani
berusaha merampok istana Kepatihan. " jawab Sabungsari.
Ki Patih mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah, jika kalian masih mantap
mempergunakan nama kelompok Gajah Liwung. Kalian akan segera bangkit kembali jika
keadaan memerlukan. Tetapi kita memang masih harus menunggu. Sabungsari dan para anggauta kelompok Gajah Liwung yang diperbanyak dengan Ki
Ajar Gurawa dan kedua orang muridnya mohon agar mereka diperkenankan untuk
menunggu di sarang mereka.
Ternyata Ki Patih Mandaraka tidak berkeberatan sambil menunggu keadaan kesehatan
Ki Wirayuda. " Jika ada sesuatu yang penting, aku akan memberitahukan kepada kalian. - berkata
Ki Patih Mandaraka. Namun para anggauta kelompok Gajah Liwung itu masih bermalam semalam lagi di
Kepatihan. Waktu itu dipergunakan oleh Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih untuk
menemui Ki Wirayuda yang terluka. Selain sekedar menengoknya atas nama seluruh
anggauta Gajah Liwung, maka merekapun telah mohon diri pula, untuk kembali ke tempat
tinggal mereka diluar kota.
- Baiklah. Kami akan selalu melakukan hubungan. Dalam keadaan yang penting, aku
akan mengirimkan petugas untuk menghubungi kalian. ~ berkata Ki Wirayuda.
Demikianlah, setelah semalam lagi mereka bermalam di istana Kepatihan, maka di
keesokan harinya, anggauta Gajah Liwung itu sudah meninggalkan istana Kepatihan.
Tetapi mereka tidak berjalan bersama-sama sehingga akan dapat menarik perhatian orang
banyak- Tetapi mereka berjalan diantara dua atau tiga orang disetiap kelompok kecil.
Dengan demikian, maka mereka sama sekali tidak menarik perhatian orang. Apalagi orang
yang bernama Podang Abang, yang akan dapat mengenali Sabungsari dan Glagah Putih
telah tidak ada lagi. Kepada Ki Ajar Gurawa dan Ki Jayaraga, Ki Patih telah secara khusus mengucapkan terima kasihnya. Ki Ajar telah berhasil memecahkan rencana
sandi gerombolan Ki Wanayasa, sementara Ki Jayaraga telah berhasil mengakhiri
bayangan Podang Abang yang membuat Kotaraja menjadi suram.
Malam itu, para anggauta kelompok Gajah Liwung telah berkumpul disarang mereka.
Untuk beberapa saat mereka dapat beristirahat sambil menunggu perkembangan
keadaan. Namun seperti pesan Ki Mandaraka, sebaiknya kelompok itu masih dibiarkan hadir di
Mataram. Setelah orang-orang yang untuk beberapa waktu seakan-akan menguasai
kehidupan di luar kuasa paugeran, serta ketenangan kembali di Mataram, justru akan
memberi kesempatan kepada anak-anak muda yang tidak bertanggung jawab untuk
merasa dirinya mendapat kesempatan berbuat sesuai dengan keinginannya tanpa mau
tunduk kepada paugeran yang berlaku. Meskipun landasannya berbeda dengan
gerombolan yang telah dihancurkan, tetapi keduanya sama-sama menimbulkan
keresahan. Anak-anak muda itu akan kembali melakukan petualangan yang kerdil. Kebanggaan diri
dengan keberanian melanggar paugeran dengan landasan cakrawala penglihatan yang
sempit, sementara anak-anak muda yang lain sedang mempersiapkan diri untuk
melakukan kerja-kerja yang besar bagi Mataram.
" Mudah-mudahan kenakalan yang tidak berarti sama sekali itu tidak akan terjadi lagi.
" desis Sabungsari " karena masih banyak yang harus dilakukan oleh anak-anak muda
selain mengganggu ketenangan, mengotori Kotaraja dan menyakiti dirinya sendiri dengan
perkelahian-perkelahian yang tidak berarti. ~
- Ya - Glagah Putih mengangguk-angguk " bukankah lebih baik bagi mereka untuk
melakukan sesuatu yang berarti bagi hidupnya sendiri kelak, bagi sanak kadangnya dan
bagi Mataram. " - Setidak-tidaknya di Mataram ada seorang anak muda yang berpikir demikian ~
berkata Ki Ajar Gurawa. Beberapa orang serentak berpaling kepada Glagah Putih, sehingga Glagah Putih justru
menundukkan kepalanya. Namun sambil tersenyum Ki Jayaraga berkata - Ditambah
dengan dua orang murid Ki Ajar Gurawa. "
Ki Ajar Gurawa tertawa. Yang lainpun ikut tertawa pula.
" Namun setidak-tidaknya, dalam beberapa hari ini kita dapat melepaskan ketegangan.
Aku dapat tidur dari waktu ke waktu. " berkata Ki Jayaraga pula.
" Ya. Aku sekarang justru sudah mempunyai satu pasang-grahan " sahut Ki Ajar
Gurawa. " Pasanggrahan" " bertanya Ki Jayaraga.
" Bukankah aku sudah membeli rumah dan pekarangannya" desis Ki Ajar Gurawa.
Yang lain tertawa pula. Dengan nada tinggi Sabungsari berkata - Baiklah. Pada suatu
saat kami akan singgah di pasanggrahan itu. Namun dengan sungguh-sungguh Glagah Putihpun berkata " Kita dapat
memanfaatkan rumah itu jika Ki Ajar tidak berkeberatan. Dari sana, jarak dengan Kotaraja
menjadi lebih dekat. "
" Ya - hampir berbareng beberapa orang menyahut.
Namun Ki Jayaragapun kemudian berkata " kita akan memikirkan pada kesempatan
lain. Kita dalam beberapa hari ini dapat beristirahat. "
Sebenarnyalah kelompok Gajah Liwung yang memang merasa letih itu ingin beristirahat
barang dua tiga hari sambil menunggu perkembangan keadaan Kotaraja serta
perkembangan kesehatan di Wirayuda. Yang kemudian akan mereka hadapi agaknya
bukan saja kenakalan anak-anak muda yang tidak bertanggung ja-wab.Tetapi juga
jaringan tugas sandi dari Kadipaten Pati yang agaknya masih belum diketemukan cara
untuk memulihkan hubungannya kembali dengan Mataram.
Demikianlah selagi anggauta Gajah Liwung sempat,beristira-hat, di Tanah Perdikan
Menoreh, Rara Wulan masih tetap menempa dirinya dibawah bimbingan Sekar Mirah,
disamping usaha Sekar Mirah untuk meningkatkan dirinya sendiri. Sementara itu Agung
Sedayu pun berusaha juga membantu membimbing Rara Wulan, namun juga menuntun
Sekar Mirah meningkatkan ilmunya. Meskipun Agung Sedayu dan Sekar Mirah memiliki
landasan ilmu yang berbeda, tetapi tingkat kemampuan ilmu Agung Sedayu yang sangat
tinggi itu, seakan-akan telah meliputi segala macam
ilmu kanuragan. Dengan cepat Agung Sedayu menguasai landasan ilmu orang lain dan
bahkan mengembangkannya meskipun arahnya mungkin agak berbeda dengan mereka
yang meningkatkan ilmunya secara murni dari perguruan sendiri.
Demikian pula Sekar Mirah yang berguru kepada Ki Sumang-kar yang mempunyai aliran
ilmu sama dengan Macan Kepatihan yang gagal merebut Sangkal Putting, setelah perang
antara Pajang dan Jipang selesai.
Namun dengan tuntunan Agung Sedayu, maka perkembangan ilmu Sekar Mirah tentu
akan berbeda dengan orang lain yang mempunyai landasan ilmu yang sama.
Namun sebenarnyalah Sekar Mirah justru memiliki ilmu secara khusus yang semakin
meningkat, sementara unsur-unsur gerak dari landasan ilmunya masih juga nampak
mewarnai ilmunya yang sudah berkembang itu.
Ilmu yang sudah berkembang itulah yang kemudian diwariskannya kepada Rara Wulan.
Namun bagaimanapun juga, pada Rara Wulanpun masih nampak juga aliran ilmu yang
disadapnya dari Ki Sumangkar.
Karena kesungguhannya, maka dari hari ke hari, ilmu Rara Wulanpun maju dengan
pesatnya. Kemudaannya, niatnya yang menyala serta kesungguhannya telah membuat
Rara Wulan dengan cepat menjadi seorang gadis yang memiliki landasan ilmu yang kokoh.
Namun Rara Wulan ketika pada suatu saat berbicara tentang kelompok Gajah Liwung,
maka Sekar Mirahpun berkata - Nampaknya kelompok itu masih sibuk dengan tugas-tugas
mereka. - " Apakah sesekali aku diperkenankan untuk menemui mereka"- - bertanya Rara
Wulan. " Tentu Rara. Tetapi tidak dalam waktu dekat ini. Kita harus tahu benar apa yang
terjadi di Kotaraja. " jawab Sekar Mirah.
Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya ada keinginan untuk pergi ke
Kotaraja. Tetapi sejak semula Rara Wulan telah menyatakan untuk patuh terhadap Sekar Mirah,
meskipun Sekar Mirah masih enggan disebut guru. Namun dalam kenyataannya, Rara
Wulan telah menyadap ilmu Sekar Mirah yang bersumber dari ilmu Ki Sumangkar. Namun yang kemudian
telah berkembang dan diperkaya dengan unsur-unsur dari ilmu yang lain, terutama dari
Agung Sedayu yang berguru pada Kiai Gringsing dan menguasai ilmu dari jalur ilmu Ki
Sadewa. Dalam pada itu, ketika Agung Sedayu kemudian datang dari barak, maka iapun telah
membawa berita dari Kotaraja. Seorang penghubung telah memberitahukan apa yang
telah terjadi di istana Kepatihan. Namun laporan itu agaknya tidak cukup terperinci
sehingga tidak diketahui dengan jelas peranan anak-anak muda yang ada didalam
kelompok Gajah Liwung. Tetapi dengan tidak disangka-sangka, maka Ki Jayaragapun tiba-tiba saja telah muncul.
Dengan tergopoh-gopoh, seisi rumah telah menyambutnya. Antara cemas dan berharap,
merekapun kemudian ingin mendengar dari Ki Jayaraga, apa yang telah terjadi di istana
Kepatihan. - Tetapi aku haus - desis Ki Jayaraga.
Sekar Mirah tersenyum. Katanya " Baiklah. Sebelum minum, Ki Jayaraga tidak akan
mau berceritera. " - Baiklah aku mengambil minum - desis Rara Wulan sambil bangkit dari tempat
duduknya. Ki Jayaragapun tersenyum sambil bertanya " Bagaimana dengan gadis itu" "
" Anak itu cepat sekali maju. Ia bersungguh-sungguh dan tekun. Penurut dan
melakukan semua yang diwajibkan " jawab Sekar Mirah.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk, sementara Rara Wulan datang sambil membawa
minuman " Dingin Ki Jayaraga. Nanti aku akan membuat minuman hangat. Air baru
dijerang. " " Terima kasih"jawab Ki Jayaraga yang meneguk minurnan meskipun dingin. Namun
rasa-rasanya justru menjadi segar sekali.
Baru kemudian, Ki Jayaragapun telah berceritera tentang peristiwa yang terjadi di
istana Kepatihan, termasuk peranan anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung.
Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan
mendengarkannya dengan saksama. Bahkan tiba-tiba saja Rara Wulan berkata "
Senang sekali jika mendapat kesempatan untuk ikut serta. "
" Mereka tidak sedang bermain-main " desis Sekar Mirah. Rara Wulan mengangguk
kecil. Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya.
" Sekarang, kami mendapat kesempatan untuk beristirahat " berkata Ki Jayaraga "
Karena itu, aku sempatkan untuk melihat Tanah Perdikan ini. Apalagi aku tentu tidak
banyak dibutuhkan lagi setelah Podang Abang tidak ada lagi. Anak-anak muda itu tentu
akan dapat menyelesaikan tugas-tugas mereka berikutnya. "
" Asal mereka tidak terlibat langsung dengan tugas-tugas yang berhubungan dengan
laku sandi dari para prajurit Pati. " berkata Agung Sedayu " untuk itu mereka
memerlukan seseorang yang dapat mengendalikan mereka. "
" Ki Ajar Gurawa ada diantara mereka " jawab Ki Jayaraga yang kemudian serba
sedikit telah memperkenalkan orang yang disebutnya Ki Ajar Gurawa dengan kedua orang muridnya.
Namun Ki Jayaraga itu akhirnya berkata " Tetapi setiap kali aku juga akan melihat
mereka. Mungkin mereka memerlukan pengalaman orang-orang tua ini. Selebihnya aku
lebih senang berada disini. Disini aku dapat bekerja disawah. Tidak banyak menyianyiakan
waktu. Apalagi saat-saat beristirahat seperti ini. "
~ Kami akan merasa senang sekali jika Ki Jayaraga akan berada diantara kami kembali
" berkta Sekar Mirah " rumah ini tidak menjadi sangat sepi. "
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Ia memang merasa lebih berarti di Tanah Perdikan
disaat-saat tidak ada persoalan diantara anak-anak Gajah Liwung. Umurnya yang terpaut
panjang, memang membuat dunianya agak berbeda dengan dunia anak-anak muda.
Apalagi ketika Ki Ajar Gurawa tinggal dirumah yang disebut pesanggrahannya bersama
kedua muridnya, meskipun ia masih tetap menyatakan sebagai anggauta kelompok Gajah
Liwung. Aku menjadi sendiri.
Dengan demikian sejak hari itu, Ki Jayaraga telah menempatkan diri sebagaimana ia
sebelum pergi ke Tanah Perdikan. Pagi
pagi sekali, Ki Jayaraga telah bersiap pergi ke sawah. Setelah minum minuman hangat,
maka ia telah meninggalkan rumah dengan cangkul dipundaknya. Bahkan lebih dahulu
dari Agung Sedayu yang pergi ke barak dan Sekar Mirah yang pergi berbelanja.
Ternyata sawah memberikan kesegaran bukan saja pada tubuh Ki Jayaraga. Tetapi
juga bagi jiwanya. Hijaunya daun padi, beningnya air diparit, serta kicau burung
menyongsong terbitnya matahari.
Namun dalam pada itu, selagi Ki Jayaraga menikmati masa istirahatnya di Tanah
Perdikan Menoreh, maka telah datang utusan khusus dari Jati Anom. Dua orang cantrik
dari padepokan Orang Bercambuk datang untuk menemui Agung Sedayu.
Agung Sedayu yang saat itu masih berada di baraknya, telah disusul oleh Ki Jayaraga.
Kedua utusan dari Jati Anom itu mengatakan, bahwa ia datang membawa pesan yang
penting dari Ki Wi-dura. Agung Sedayupun setelah memberitahukan kepada Ki Lurah Branjangan tentang
utusan itu, segera minta diri untuk kembali menemui mereka.
Ternyata berita yang dibawanya memang penting. Agung Sedayu diminta untuk segera
datang ke Jati Anom. " Bagaimana keadaan guru" " bertanya Agung Sedayu.
" Itulah yang akan dibicarakan " jawab utusan itu.
" Ya, kenapa" Apakah sakitnya menjadi semakin parah atau ada sebab lain" " desak
Agung Sedayu. Kedua orang utusan itu menjadi ragu-ragu. Namun seorang diantara mereka kemudian
berkata " Kita sedang mencari, dimana Kiai Gringsing berada. "
Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Keduanya tidak dapat mengatakan dengan jelas,
apa yang sebenarnya terjadi di padepokan kecil itu. kecuali Kiai Gringsing tiba-tiba saja
tidak ada di padepokan. Karena itu, maka Agung Sedayupun tidak menunggu lebih lama lagi. Namun ketika ia
sedang bersiap-siap, maka Sekar Mi-rahpun menemuinya sambil bertanya " Bagaimana
jika aku ikut serta kakang" "
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun agaknya Sekar Mirahpun telah agak
lama tidak menengok keluarganya di Sangkal Putung. Karena itu, maka jawabnya "
Baiklah jika kau mau ikut. Tetapi bagaimana dengan Rara Wulan" -" Kita bawa anak itu serta " jawab Sekar Mirah.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya - Baiklah. Aku akan bersiap-siap. Aku
harus berbicara dengan Ki Lurah Branjangan dan minta diri kepada Ki Gede. Untunglah
bahwa Ki Jayaraga telah berada di sini. Ia akan dapat mengawani Ki Gede. Atau jika perlu
biarlah Ki Waskita diminta untuk datang pula. - Ki Waskita, sudah nampak terlalu tua
untuk mondar-mandir - desis Sekar Mirah.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya - Ya. Sebentar lagi Ki Gedepun akan
menjadi terlalu tua. Juga Ki Jayaraga dan Ki Demang Sangkal Putung. "
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam.
Demikianlah maka Agung Sedayupun segera kembali ke baraknya untuk memberikan
beberapa pesan kepada Ki Lurah serta memberitahukan bahwa ia akan berada di Jati
Anom untuk beberapa hari. Kemudian singgah dirumah Ki Gede untuk minta diri bersama
Sekar Mirah dan Rara Wulan.
" Nampaknya memang ada sesuatu yang penting sekali " berkata Agung Sedayu.
"Hati-hatilah di jalan ngger"pesan Ki Gede yang juga sudah mendengar peristiwa
yang terjadi di Mataram. " Mungkin masih ada sisa dari kekisruhan yang terjadi di
Mataram. - " Baik Ki Gede. Kami akan berhati-hati " jawab Agung Sedayu.
" Apakah angger Agung Sedayu akan singgah di Mataram untuk mengajak angger
Glagah Putih" " bertanya Ki Gede.
" Mungkin tidak Ki Gede. Hari ini kami harus sudah berada di Jati Anom meskipun
malam " berkata Agung Sedayu.
" Perjalanan yang berat ngger. Apalagi bersama angger Rara Wulan. " desis Ki Gede.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun menyadari bahwa
perjalanan ke Jati Anom adalah perjalanan yang cukup jauh. Karena itu, maka Agung
Sedayu memang harus berpikir lagi, apakah ia akan berangkat saat itu dari kemalaman
diperjalanan, atau berangkat esok pagi-pagi sekali.
Namun Ki Gede ternyata memberikan satu diantara banyak kemungkinan " Jika kau
berangkat hari ini, kau dapat singgah di Mataram menemui angger Glagah Putih. Besok
pagi-pagi kalian berangkat ke Jati Anom. "
" Tetapi Glagah Putih tidak berada di Kotaraja Ki Gede. Ia berada disebuah padukuhan
yang berada diluar Kotaraja. " jawab Agung Sedayu.
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun Agung Sedayu justru berkata " Aku dapat
bermalam dirumah Ki Lurah Branjangan. Meskipun Ki Lurah tidak ada dirumah, tetapi
pembantu-pembantunya yang menunggui rumah itu tentu sudah ada yang mengenal aku
" berkata Agung Sedayu. Lalu katanya pula ~ Apalagi aku datang bersama cucu Ki Lurah.
Baru besok pagi-pagi, kami meneruskan perjalanan ke Jati Anom. Demikianlah, seperti yang dikatakan kepada Ki Gede, mereka akan berangkat hari itu
juga dan bermalam di Mataram. Namun kedua utusan yang menemui Agung Sedayu itu
berniat untuk langsung kembali ke Jati Anom.
" Kami akan mengatakan, bahwa Ki Agung Sedayu sedang dalam perjalanan "
berkata salah seorang dari kedua orang utusan itu.
" Baiklah. Aku akan segera menyusul kalian. Besok menjelang fajar kami akan
berangkat dari rumah Ki Lurah. " berkata Agung Sedayu.
Meskipun kemudian mereka berangkat bersama-sama, namun kedua orang utusan itu
akan berjalan terus, sebagaimana dikatakannya.
Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan memang singgah di rumah Ki Lurah
Branjangan. Pembantu yang ada dirumah itu telah mempersilahkan mereka dan
memperlakukan mereka dengan baik. Apalagi diantara mereka terdapat Rara Wulan.
Bahkan para pembantu itu telah mempertanyakan, kapan Ki Lurah Branja-ngan akan pulang.
" Aku tidak tahu pasti " jawab Rara Wulan.
Seperti yang direncanakan, maka Agung Sedayu memang tidak menemui Glagah Putih
yang berada diluar Kotaraja. Namun Agung Sedayu yang telah mendengar peristiwa yang
terjadi di Mataram telah berusaha untuk dapat bertemu dengan Ki Wirayuda.
Ki Wirayuda merasa gembira dapat bertemu dengan Agung Sedayu. Namun Agung
Sedayu kemudian berkata " tetapi aku hanya sekedar singgah Ki Wirayuda. Aku akan
pergi ke Jati Anom. "
" Kau tidak menemui adikmu" " bertanya Ki Wirayuda.
Agung Sedayu menggeleng. Katanya " Besok saja, jika aku kembali dari Jati Anom.
Mudah-mudahan aku akan segera dapat kembali jika keadaan guru tidak mencemaskan.
Apalagi seisi padepokan tidak tahu, dimana guruku berada. "
Ki Wirayuda mengangguk-angguk kecil. Sementara Agung Sedayupun kemudian
berkata " Cepatlah sembuh. Tenagamu sangat diperlukan dalam keadaan seperti ini. "
" Aku sudah hampir sembuh " jawab Ki Wirayuda sambil tertawa. Namun
sebenarnyalah ia masih dalam perawatan karena luka-lukanya yang parah. Dengan nada
dalam ia berkata - Adikmu telah menyelamatkan nyawaku. "
"Ia melakukan tugasnya dalam sebuah pertempuran. " jawab Agung Sedayu.
Demikianlah, Agung Sedayu tidak terlalu lama berkunjung kepada Ki Wirayuda yang
masih belum benar-benar sembuh. Namun Ki Wirayuda itu kemudian sempat berkata "
Dalam keadaan seperti ini aku masih harus menahan diri. Seperti sudah diduga, justru
setelah gerombolan itu dihancurkan, anak-anak muda mulai lagi dengan kenakalankenakalannya.
- " Satu tugas buat anak-anak Gajah Liwung " desis Agung Sedayu.
Malam itu. Agung Sedyu, Sekar Mirah dan Rara Wulan bermalam di Mataram. Tidak ada
peristiwa apapun yang terjadi. Disana-sini masih nampak para prajurit meronda.
Sementara para petugas sandi hilir mudik memasuki lorong-lorong sempit untuk melihatlihat
keadaan. Menjelang fajar, seperti yang direncanakan, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara
Wulan telah minta diri kepada para pembantu dirumah Ki Lurah Branjangan. Mereka tidak
sempat makan lebih dahulu. Namun para pembantu telah menghidangkan minuman
hangat bagi mereka. Sejenak kemudian, maka merekapun telah berpacu meninggalkan Kotaraja menuju ke
Jati Anom. Mereka memang tidak ingin singgah di Sangkal Putung meskipun Sekar Mirah
ingin sekali mengunjungi keluarganya. Tetapi Sekar Mirah menyadari, bahwa Aguang
Sedayu ingin segera sampai ke padepokan Orang Bercambuk untuk mengetahui keadaan
sebenarnya dari gurunya, Kiai Gringsing. Sekar Mirahpun telah memperhitungkan, bahwa
kakaknya tentu juga berada di padepokan.
Rara Wulan yang belum terbiasa menempuh perjalanan jauh, meskipun di Tanah
Perdikan Menoreh ia sudah sering berlatih menyusuri jalan-jalan padukuhan diatas
punggung kuda, merasakan bahwa perjalanan itu cukup panjang. Tetapi oleh latihanlatihannya
yang teratur, maka Rara Wulan dapat mengatur dirinya sehingga ia tidak
merasa terlalu letih. Ketika ketiganya kemudian sampai ke Kali Opak, maka mereka telah beristirahat sesaat.
Kuda-kuda mereka mendapat kesempatan untuk minum air Kali Opak yang jernih serta
makan rumput segar. Agung Sedayu sempat berceritera kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan, bahwa Kali
Opak pernah menyaksikan pertumpahan darah yang menggetarkan jantung ketika terjadi
perang antara Mataram dan Pajang.
" Mudah-mudahan perang tidak terjadi lagi " desis Agung Sedayu.
" Tetapi bagaimana dengan Pati" -- bertanya Sekar Mirah.
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ketika awan yang gelap yang menyelubungi
Mataram dan Madiun mulai terkuak, maka mendung telah mengalir diatas Pati.
" Apakah memang sudah menjadi naluri kita untuk saling
membunuh diantara sesama" " pertanyaan itu telah bergejolak didalam hati Agung
Sedayu. Sebuah pertanyaan lain telah mengikuti pula menggelepar didalam hatinya "
Kenapa manusia tidak dapat saling mengasihi diantara sesamanya" Kenapa kehidupan
yang tenang dan damai hanya terjadi didalam mimpi" "
Namun Agung Sedayu tidak dapat merenung terlalu lama. Rara Wulan menjerit kecil
ketika ia melihat seekor ular yang menelusur beberapa langkah mengarah ke kakinya,
seekor ular belang. Hampair diluar sadarnya Agung Sedayu telah menggapai sebongkah kecil batu. Dengan
serta merta dilemparkannya batu itu tepat mengenai kepala ular itu. Kemampuan bidiknya
yang jarang ada duanya telah membuatnya sekali lempar, remuklah kepala ular itu
sebelum ular itu mematuk tumit Rara Wulan.
Namun Agung Sedayupun kemudian berkata - Marilah. Kita sudah cukup lama
beristirahat. Kita akan meneruskan perjalanan. Kita masih akan menempuh perjalanan
yang agak panjang. "
Ketiganyapun kemudian telah meninggalkan tepian Kali Opak. Namun mereka masih
menyempatkan diri untuk singgah sebentar di sebuah kedai untuk sekedar minum dan
makan. Sejenak kemudian merekapun telah berpacu kembali menuju langsung ke Jati Anom.
Ternyata mereka tidak menemui hambatan apapun di perjalanan. Lewat tengah hari,
maka merekapun telah memasuki tlatah Kademangan Jati Anom. Demikianlah, maka
sejenak kemudian merekapun telah sampai ke padepokan kecil yang disebut Padepokan
Orang Bercambuk. Ketika mereka memasuki gerbang padepokan, maka dua orang cantrik telah
menyongsong mereka. Wajahnya nampak muram, Sementara keduanya tidak banyak
berbicara sebagaimana kebiasaan mereka menyambut Agung Sedayu.
Suasana yang sendu nampak menyelubungi padepokan itu.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan telah
dipersilahkan masuk ke bangunan induk padepokan kecil itu. Seperti uang diduga oleh
Sekar Mirah, maka Swan-daru memang sudah ada di padepokan itu. Justru bersama
Pandan Wangi. Pertemuan yang diliputi oleh suasana yang buram karena keadaan Kiai Gringsing yang
tidak menentu. - Paman Widura sedang pergi " berkata Swandaru.
- Bagaimana dengan guru" - bertanya Agung Sedayu tidak sabar.
- Kita menunggu paman Widura sebentar. " jawab Swandaru.
- Paman pergi kemana" " bertanya Agung Sedayu.
- Tidak ada orang tahu " jawab Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Namun ia tidak bertanya lagi. Bahkan iapun
kemudian bangkit berdiri dan melangkah menuju ke bilik Kiai Gringsing.
Swandaru hanya memandangi saja. Tetapi ia tidak bertanya apa-apa. Demikian pula
Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan.
Ketika Agung Sedayu memasuki bilik gurunya, maka terasa jantungnya bergetar, Bilik
itu nampak bersih dan teratur rapi. Untuk ditinggalkan agar tidak nampak kotor dan
berserakan. Tidak ada tanda-tanda apapun yang dapat dipergunakan untuk memecahkan teka-teki
tentang kepergian gurunya. Justru pada saat gurunya sedang sakit. Bahkan semakin
keras. Sejenak kemudian Agung Sedayupun telah duduk kembali bersama Swandaru dan
beberapa orang yang lain. Seorang cantrik yang termasuk dituakan di padepokan itu
hanya dapat mengatakan, bahwa dalam keadaan yang sakit keras, Kiai Gringsing ingin
melihat-lihat halaman. - Sendiri" - bertanya Agung Sedayu.
- Tidak - jawab Cantrik itu - bersama Ki Widura. " Agung Sedayu menarik nafas dalamdalam.
Agaknya segala sesuatunya masih harus menunggu kedatangan Ki Widura.
Dalam kegelisahan menunggu, Swandaru sempat bertanya " Kapan kakang
berangkat" - - Kemarin - jawab Agung Sedayu - semalam aku bermalam di Mataram.
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya - Ketika matahari
terbit, aku sudah berada disini. "
" Kau bertemu paman Widura" " bertanya Agung Sedayu.
" Aku bertemu beberapa saat. Tetapi paman Widura nampaknya sangat gelisah,
sehingga tidak banyak yang dikatakannya. Ia pergi beberapa lama. Kemudian kembali
lagi. Tetapi ia masih belum mengatakan apa-apa. Bahkan kemudian ia telah pergi lagi. "
jawab Swandaru. Lalu katanya pula " Kedua orang yang pergi ke Tanah Perdikan
Menoreh semalam telah kembali. Mereka mengatakan bahwa kakang sedang dalam
perjalanan. " Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Aku tidak dapat datang lebih cepat. "
Swandaru hanya mengangguk-anguk saja. Sementara ruangan itu telah menjadi hening
kembali. Beberapa saat kemudian, mereka telah mendengar derap kaki kuda. Berbareng orangorang
yang ada diruang itu bangkit berdiri.
" Paman Widura " desis Agung Sedayu yang dengan tergesa-gesa melangkah keluar
diikuti oleh Swandaru. Sebenarnyalah yang datang memang Ki Widura. Ketika ia melihat Agung Sedayu, maka
iapun berkata - Nah, kau sudah datang. Bersiaplah. Kita pergi bersama-sama dengan
angger Swandaru. " ~ Kemana" - bertanya Agung Sedayu.
" Ikut sajalah " jawab Ki Widura.
" Tetapi paman baru saja datang " desis Agung Sedayu.
" Aku hanya melihat, apakah kau sudah datang " jawab Ki Widura.
Agung Sedayupun segera bersiap. Sekar Mirah, Rara Wulan dan Pandan Wangi diminta
untuk menunggu. Bahkan Ki Widura berkata " Aku tidak tahu kapan kami kembali. "
" Jadi" " desis Pandan Wangi.
" Kalian tunggu saja disini " jawab Ki Widura.
Mereka tidak sempat bertanya lagi. Agung Sedayu dan Swandaru pun segera mengikuti
Ki Widura. Sejenak kemudian, maka tiga ekor kuda telah berderap meninggalkan
padepokan itu tanpa menyebut tujuan kepergian mereka.
Ketika mereka menyusuri bulak panjang, maka Ki Widura berkata " Kita memanjat kaki
Gunung Merapi. " Tidak ada lagi yang berbicara. Kuda-kuda mereka berderap diatas jalan setapak yang
berbatu-batu kecil. Jalan yang semakin lama semakin sulit dilalui. Namun kuda-kuda itu
tidak berhenti. Di padepokan Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan menunggu dengan gelisah.
Tetapi tidak seorangpun di padepokan itu yang dapat diajak berbicara. Semua orang tidak
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Yang mereka tahu hanyalah, Kiai Gring-sing
tidak ada lagi di padepokan.
" Selain Ki Widura, siapa lagi yang tidak ada di padepokan" " bertanya Pandan
Wangi. " Seorang. Yang tertua diantara kami, para cantrik " jawab salah seorang cantrik.
" Siapa" " desak Sekar Mirah tidak sabar.
" Kakang Agahan " jawab cantrik itu.
" Dimana Agahan itu sekarang" " bertanya Sekar Mirah pula.
" Kami tidak tahu. Kakang Agahan juga tiba-tiba saja tidak ada di padepokan " jawab
cantrik itu. " Apakah ada hubungannya antara hilangnya Kiai Gringsing dan bepergian Agahan itu"
" bertanya Pandan Wangi.
" Kami tidak tahu " jawab cantrik itu.
Baik Pandan Wangi maupun Sekar Mirah tidak mendesak. Cantrik itu nampaknya benarbenar
tidak tahu kemana cantrik tertua itu pergi.
Malam itu, padepokan Orang Bercambuk itu menjadi semakin sepi. Pandan Wangi,
Sekar Mirah dan Rara Wulan masih saja duduk-duduk dipendapa dengan dua orang
cantrik yang termasuk dituakan di padepokan itu sambil menunggu mereka yang pergi
bersama Ki Widura. Mereka berbincang tentang sikap dan tingkah laku Kiai Gringsing disaat-saat terakhir.
" Setelah Kiai Gringsing merasa tubuhnya semakin-lemah, maka ia tidak lagi mampu
langsung memimpin latihan-latihan dan menunggui kami bekerja disawah dan ladang.
Hanya kadangkadang saja Kiai Gringsing melihat-lihat kami bekerja di kebun belakang." berkata
cantrik itu " namun disaat-saat wadagnya menjadi semakin lemah, maka Kiai Gringsing
telah mempergunakan kemampuannya dalam hal obat-obatan untuk menolong orang
banyak, sehingga setiap hari padepokan ini banyak dikunjungi orang untuk berobat.
Namun Kiai Gringsing menjadi sangat prihatin ketika orang-orang itu menjadi salah
menafsirkan kemampuan Kiai Gringsing. Bahkan ada yang menganggap bahwa Kiai
Gringsing adalah orang tua yang memiliki ilmu gaib yang dapat menghidupkan orang mati.
" Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan mendengarkan keterangan itu dengan
seksama. Sementara cantrik itu bercerita selanjutnya " Puncak dari keprihatinan Kiai
Gringsing adalah ketika beberapa orang datang dengan membawa seorang gadis yang
sudah meninggal. Mereka minta dengan sangat agar anak gadis yang beberapa pekan lagi
akan melangsungkan perkawinan itu dihidupkan lagi. - Cantrik itu berhenti sejenak. Lalu
" Jiwa Kiai Gringsing benar-benar terpukul. Bagaimanapun ia menjelaskan bahwa yang
dilakukan itu adalah sekedar karena pengenalannya atas beberapa jenis dedaunan yang
mengandung kasiat pengobatan, namun keluarga dari gadis itu tidak percaya. Mereka
mendesak terus. Sementara ibu gadis itu beberapa kali jatuh pingsan. Ternyata betapa
pun kuatnya jiwa Kiai Gringsing, namun ternyata runtuh juga menyaksikan keadaan itu.
Tiba-tiba saja Kiai Gringsing lupa akan dirinya. Ia telah berusaha dan mencoba untuk
menolong keluarga yang kehilangan itu. Kiai Gringsing telah berdoa dan memohon agar
gadis itu dapat hidup kembali. "
" Dan gadis itu hidup kembali" " Rara Wulan hampir berteriak.
Cantrik itu menggeleng. Katanya " Tidak. Gadis itu tidak dapat hidup kembali. Gadis
itu tetap saja terbaring tanpa bernapas. "
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Ketegangan telah mencengkam jantungnya.
" Ada dua akibat yang membuat Kiai Gringsing semakin menyesali dirinya " berkata
cantrik itu " ia menyesal sekali, kenapa hal itu dilakukannya. Kenapa ia merasa berhak
untuk mencoba dan memohon agar gadis yang telah meninggal itu dapat hidup kembali.
Penyesalan yang lain adalah, keluarga gadis itu justru menjadi semakin parah.
Bahkan ada di antara mereka yang menuduh, bahwa Kiai Gringsing hanya berbuat purapura.
Tetapi ia tidak benar-benar ingin menghidupkan gadis itu. "
Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan benar-benar menahan nafasnya.
Sementara cantrik itu berkata ~ Sejak saat itu, jiwa Kiai Gringsing benar-benar
terguncang. Ia merasa telah melakukan satu kesalahan yang sangat besar. Ia merasa
seakan-akan mempunyai wewenang untuk melakukan sesuatu lebih dari orang lain.
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Sesudah peristiwa itu" " bertanya Sekar Mirah.
" Kiai Gringsing masih memberikan pertolongan pengobatan. Namun setiap kali ia
menjelaskan, bahwa ia sekedar mengenali jenis-jenis dedaunan dan akar-akaran
pepohonan yang dapat dijadikan obat. Itu saja. Tentu saja dengan perkenan Yang Maha
Agung. Setiap orang dapat melakukannya asal ia tekun mempelajarinya. - Cantrik itu
menarik nafas panjang. Suaranya merendah " namun mereka tidak percaya. Mereka
tetap menganggap bahwa Kiai Gringsing memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Ia
mampu menyembuhkan setiap penyakit dan bahkan kepercayaan bahwa Kiai Gringsing
dapat menghidupkan orang mati masih saja ada diantara orang-orang banyak itu. "
Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan mendengarkan dengan penuh perhatian
setiap kata yang diucapkan oleh cantrik itu. Seakan-akan mereka dapat merasakan betapa
gaduhnya perasaan Kiai Gringsing yang menjadi semakin tua itu.
Dalam pada itu cantrik itu masih berceritera terus. - Dari hari ke hari, maka anggapan
orang terhadap Kiai Gringsing menjadi semakin tidak masuk akal. Obat-obatan Kiai
Gringsing memang baik dan seakan-akan mampu menyembuhkan segala macam penyakit,
karena Kiai Gringsing memang seorang ahli didalam hal ini. Tetapi orang-orang yang salah
tafsir itu semakin lama menjadi semakin banyak, sehingga ada diantara mereka yang
menganggap bahwa Kiai Gringsing itu lebih dari manusia biasa. Keadaan itu membuat
kesehatan Kiai Gringsing menjadi semakin buruk. Ia mengobati banyak orang dan
mendapatkan kesembuhan. Tetapi satu kenyataan
betapa keterbatasan manusia, Kiai Gringsing tidak dapat menolong dirinya sendiri. "
- Itukah sebabnya Kiai Gringsing meninggalkan padepokan ini" - bertanya Sekar Mirah.
- Kiai Gringsing tidak pernah mengatakan bahwa ia akan pergi. Tetapi Kiai Gringsing
memang tidak mengharapkan orang banyak menganggap lebih dari orang kebanyakan. "
jawab cantrik itu. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Memang tidak ada seo-rangpun yang akan dapat
mengatakan, kenapa dan kemana Kiai Gringsing itu pergi. Apakah mungkin ada orang
yang mengambilnya untuk satu kepentingan atau sebab apapun juga. Namun yang pasti
Kiai Gringsing tidak ada ditempat.
- Sepeninggal Kiai Gringsing, masih banyak orang yang datang untuk minta pertolongan
- berkata cantrik itu pula " namun apa yang dapat kami lakukan" " cantrik itu termangumangu
sejenak, lalu katanya " Tetapi banyak diantara mereka yang salah mengerti.
Mereka menganggap bahwa Kiai Gringsing menolak untuk mengobati mereka yang datang
setelah Kiai Gringsing itu pergi. Cantrik itu berhenti sejenak. Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan hanya dapat
mengangguk-angguk saja. Dalam pada itu, malampun menjadi semakin malam. Udara menjadi bertambah dingin,
sehingga cantrik itu berkata " Aku per-silahkan kalian beristirahat didalam. Kami sudah
membersihkan bilik dibangunan induk itu. Namun sebagaimana adanya. "
Pandan Wangi mengangguk kecil. Katanya " Terima kasih. Apa yang ada sudah cukup
baik bagi kami. Tetapi kami masih ingin menunggu beberapa saat. "
Sekar Mirahpun menyahut " Ya. Kami akan menunggu. - Nampaknya sudah lewat tengah malam - berkata cantrik itu.
- Ya ~ jawab Pandan Wangi " tetapi kami belum merasa mengantuk. "
Cantrik itu mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah justru berkata " Jika kau
merasa letih, beristirahatlah. Nanti kami
akan segera masuk pula. "
Cantrik itu tersenyum. Katanya " Aku bertugas malam ini. Aku harus berada disini
sampai dini. " " Baiklah. Jika demikian kita akan dapat bersama-sama duduk disini. " desis Pandan
Wangi pula. Dalam pada itu, seorang cantrik yang masih muda telah menghidangkan minuman
panas. Wedang jae dengan gula kelapa. Beberapa pofong makanan yang ternyata dapat
membantu mereka yang duduk di pendapa itu untuk menahan kantuk.
Namun ketika tengah malam lewat semakin jauh, orang-orang yang ada dipendapa itu
terkejut. Mereka mendengar pintu gerbang halaman padepokan itu berderak keras.
Kemudian ketika mereka berpaling, mereka melihat beberapa orang menyusup masuk
dengan tergesa-gesa. Kedua cantrik yang ada di pendapa itu bangkit berdiri dan menyongsong orang-orang
yang melintasi halaman menuju ke pendapa itu. Sementara dua orang cantrik yang lain
telah muncul pula dari samping bangunan induk itu.
Salah seorang cantrik yang turun dari pendapa itu bertanya " Ki Sanak, siapakah Ki
Sanak ini dan apakah keperluan Ki Sanak datang dimalam begini. " Kami ingin bertemu dengan Orang Bercambuk itu. " jawab salah seorang dari
mereka. " Untuk apa" " bertanya cantrik itu.
" Aku harus mengambilnya malam ini. Ki Lurah yang sakit menjadi semakin parah. Kiai
Gringsing ternyata menolak untuk mengobatinya kemarin " jawab orang itu.
"Kiai Gringsing tidak ada di padepokan Ki Sanak. Bukankah sudah aku katakan" "
jawab cantrik itu. " Omong kosong. Kiai Gringsing menolak karena menganggap bahwa Ki Lurah adalah
orang yang sering melakukan kejahatan. Aku tahu itu. Tetapi Kiai Gringsing tidak akan
dapat mengelak. Sekarang aku akan membawanya. Aku tidak percaya bahwa Kiai
Gringsing memiliki tuah yang dapat membuat kami menjadi terkutuk. Apalagi beralih ujud
menjadi binatang yang hina " berkata orang itu.
" Ki Sanak benar " jawab canrik itu " Kiai Gringsing tidak dapat berbuat seperti itu.
Tidak dapat mengutuk orang lain apalagi menjadikannya seekor binatang. " Jika demikian, serahkan Kiai Gringsing itu kepada kami. Kami akan membawanya. Ia
kami minta mengobati Ki Lurah. Kemudian kami akan segera mengembalikannya.- "
Tetapi cantrik itu menggeleng sambil berkata " Maaf Ki Sanak. Kiai Gringsing masih
belum kembali. Kami justru telah memanggil orang-orang terdekat yang sekarang
agaknya sedang mencarinya. Sampai saat ini mereka masih belum kembali. "
" Kau jangan mengada-ada " bentak orang itu " kami adalah orang-orang yang tidak
mau dibohongi. Apalagi kami terbiasa untuk melakukan apa saja yang kami ingini. "
" Jadi apa yang harus kalian bawa jika Kiai Gringsing tidak ada. Jika kalian tidak
percaya, kalian dapat melihat seluruh padepokan ini. " berkata cantrik itu.
" Itu tidak perlu. Aku tidak perlu melihat seluruh padepokan ini. Tetapi aku minta
kalian menjawab, dimana Kiai Gringsing, Sekarang kami akan membawanya. Dengar.
Sekarang. Ki Lurah sudah tidak tahan lagi. Sakitnya terlalu menyiksanya. " berkata orang
itu. Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia melihat orang-orang yang
datang itu. Mereka berpencar di halaman. Ada yang berdiri dibawah cahaya oncor di pintu
gerbang. Ada yang berdiri dibawah pepohonan dan ada yang berdiri dibela-kang orang
yang agaknya memimpin kawan-kawannya untuk mengambil Kiai Gringsing itu.
" Jumlah kami cukup banyak untuk menghancurkan padepokan kecil ini " geram
orang itu " karena itu, sebelum hal itu terjadi, biarlah kami membawa Kiai Gringsing. " Ki Sanak jangan membuat hati kami semakin pedih. Kami kehilangan Kiai Gringsing.
Sekarang Ki Sanak datang untuk memaksa kami melakukan sesuatu yang tidak dapat
kami lakukan -jawab cantrik itu.
" Cukup " bentak pemimpin orang-orang yang datang itu Kami tidak mempunyai waktu banyak.
Namun sebelum cantrik itu menjawab, seorang diantara orang-orang itu yang berkumis
tipis, bertubuh sedang memandangi ketiga orang perempuan dipendapa itu sambil
bertanya " Siapa mereka" "
Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab ~ Mereka
adalah isteri dari murid-murid Kiai Gringsing
" Dimana murid-murid Kiai Gringsing itu" ~ bertanya orang berkumis tipis itu.
- Mereka sedang mencari Kiai Gringsing"jawab cantrik itu.
Orang berkumis tipis itu tersenyum. Katanya " Jika kalian tidak menyerahkan Kiai
Gringsing, maka ketiga orang perempuan itu akan aku bawa. Ketiganya tentu akan dapat
mengobati Ki Lurah denga caranya. "
Pemimpin dari kelompok orang yang datang itu mengangguk-angguk. Katanya - Satu
pikiran yang baik. Kami akan membawa mereka sampai Kiai Gringsing datang kepada
kami. " Wajah cantrik itu menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata " Mereka adalah
tamu-tamu kami. " " Aku tidak peduli. Ketika aku datang untuk minta agar Kiai Gringsing mengobati
penyakit Ki Lurah dan ditolak dengan alasan yang tidak masuk akal bahwa Kiai Gringsing
tidak ada di padepokan, kami tidak membawa kawan cukup seperti sekarang. Sekarang
kami membawa kawan yang terlalu banyak untuk ditolak lagi. Karena itu, maka kau boleh
memilih. Menyerahkan Kiai Gringsing atau perempuan-perempuan itu. ~ berkata
pemimpin sekelompok orang yang mendatangi padepokan itu.
Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Tidak. Kedua-duanya tidak
mungkin. Kau tidak akan dapat membawa Kiai Gringsing karena Kiai Gringsing tidak ada di
padepokan. Tetapi kau juga tidak dapat membawa perempuan-perempuan itu. Mereka
tamu-tamu kami, tamu padepokan ini. "
- Aku tidak peduli apakah mereka tamu atau isteri-isteri para cantrik dan siapapun
mereka. Kami akan membawa mereka sampai kami menemukan Kiai Gringsing. Jika Kiai
Gringsing tidak dapat kami temukan, maka perempuan-perempuan itu tidak akan pernah kami lepaskan.
Mereka akan menjadi penghuni sarang kami " berkata pemimpin dari kelompok orangorang
yang datang itu. Sementara orang yang berkumis tipis itu berkata " Sarang kami
tidak akan terasa kering jika mereka menjadi penghuni sarang kami. Hidup kamipun rasarasanya
akan mempunyai arti yang lebih tinggi daripada sekedar makan tidur dan
menimbun harta benda. "
Cantrik itu menjawab " Ki Sanak. Kami mempunyai beberapa orang kawan pula untuk
mempertahankan padepokan ini. Kamipun wajib untuk melindungi tamu-tamu kami
karena keselamatannya adalah tanggung jawab kami seisi padepokan ini. Pemimpin dari sekelompok orang yang datang itupun memandang berkeliling pula. Jika
semula hanya ada ampat orang cantrik, ternyata kemudian disudut-sudut bangunan di
padepokan itu berdiri para cantrik yang nampaknya juga sudah siap menghadapi segala
kemungkinan. Namun orang itu berkata - Jangan bodoh. Jika kau melawan, artinya kalian akan
hancur. Padepokan ini akan lenyap dari muka bumi untuk selama-lamanya. "
- Jika akibat itu yang harus kami alami demi pertanggungjawaban kami, apaboleh buat
" sahut cantrik itu.
Pemimpin kelompok orang yang datang ke padepokan itu menggeram. Sementara
orang berkumis tipis itu berkata - Sudahlah, kita tidak usah terlalu banyak membuang
waktu. Kita ambil saja perempuan itu. Siapa yang menghadapi, akan kita selesaikan sama
sekali. " - Baik. Ambil perempuan itu - sahut pemimpinnya.
Orang berkumis itupun segera melangkah maju tanpa menghiraukan para cantrik itu.
Namun sudah tentu para cantrik tidak membiarkannya.
Karena itu, maka sejenak kemudian, di halaman padepokan itu telah terjadi
pertempuran. Orang-orang yang datang ke padepokan itu serentak menyerang. Namun
para cantrikpun telah siap mempertahankan padepokan itu.
Ternyata yang datang itu adalah sekelompok perampok yang ingin membawa Kiai
Gringsing untuk mengobati pimpinannya.
Karena itu, maka mereka adalah orang-orang yang telah berpengalaman
mempermainkan senjata mereka yang terdiri dari berbagai macam jenis. Ada yang
membawa pedang sebagai kebanyakan pedang. Tetapi ada pula yang membawa jenisjenis
senjata yang tidak terbiasa dipergunakan. Ada yang membawa kapak. Membawa
tongkat baja berujung runcing. Parang, golok yang besar dan bahkan tombak pendek
berujung rangkap, yang sering disebut cang-gah.
Namun yang mereka hadapi adalah para cantrik yang mendapat tuntunan olah
kanuragan dari Kiai Gringsing dan Ki Widura. Meskipun mereka bukan murid-murid utama,
namun mereka telah ditempa pula lahir dan batinnya.
Karena itu, maka para cantrik itupun sama sekali tidak gentar menghadapi para
perampok yang garang itu.
Tetapi ternyata bahwa jumlah mereka agak berselisih banyak. Sehingga karena itu,
maka para cantrik, terutama yang dianggap tertua diantara mereka, harus bekerja keras
untuk menghalangi para perampok itu memasuki bangunan induk padepokan.
Sebenarnyalah ketika pertempuran itu terjadi, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara
Wulan telah bangkit berdiri Ketika kemudian Pandan Wangi berlari masuk kedalam, maka
Sekar Mirahpun berlari pula sambil menarik lengan Rara Wulan.
Dalam pada itu, orang berkumis tipis itu ketika melihat ketiga perempuan itu berlari
masuk dan kemudian menutup pintu segera berteriak " Kepung bangunan induk itu.
Jangan sampai mereka melarikan diri. "
Sementara itu, seorang diantara para perampok itupun segera berusaha menyelinap
diantara pertempuran yang sengit, sehingga Orang itupun sempat naik kependapa. Tidak
seorang cantrikpun dapat mengejarnya, karena mereka semuanya sedang menghadapi
lawan masing-masing. Bahkan ada diantara para cantrik yang harus bertempur
menghadapi lebih dari seorang.
Dengan kasarnya orang itupun telah berusaha membuka pintu bangunan induk. Orang
itu berniat menangkap ketiga orang perempuan yang berlari masuk ke dalam. Jika ia
berhasil, maka ia tentu dianggap telah melakukan sesuatu yang pantas mendapat pujian
dan hadiah. Ternyata pintu itu memang tidak diselarak. Karena itu, maka sejenak kemudian pintu
itupun telah terbuka. Kedua cantrik yang dianggap tertua diantara para cantrik itu menjadi gelisah. Tetapi
mereka memang tidak sempat berbuat sesuatu. Ketika seorang diantara mereka berniat
menyusul orang yang naik kependapa itu, seorang yang lain diantara mereka telah
menghalanginya. Sebelum ia sempat mengelakkan serangan orang itu, maka lawannya
yang semula telah meloncat memburunya, se-hingga dengan demikian cantrik itu harus
meloncat berguling mengambil jarak. Tetapi ia ternyata tidak mampu meninggalkan dua
orang lawannya. Demikian cantrik yang seorang lagi. Ia bahkan telah dikurung sama sekali sehingga
tidak dapat berbuat lain kecuali melindungi dirinya.
Dalam pada itu, seorang yang telah masuk kebangunan induk itu telah menyusup
keruang dalam, mencari ketiga orang perempuan yang berlari kedalam bangunan itu.
Orang yang berkumis tipis yang bertempur melawan salah seorang tetua para cantrik
itu berkata sambil tersenyum - Nah, sebentar lagi perempuan itu akan kami kuasai. Jika
kalian tidak menyerah, maka akibatnya akan menjadi semakin buruk bagi kalian dan bagi
perempuan-perempuan induk itu.
" Pengecut yang licik " geram cantrik itu. Orang berkumis tipis itu tertawa.
Namun mereka yang ada di halaman depan itu terkejut. Meskipun mereka masih juga
bertempur, namun mereka sempat melihat orang yang berhasil menyelinap masuk itu
telah terlempar keluar pintu bangunan induk itu dan jatuh terguling di pendapa.
Demikian ia berusaha bangkit, maka seorang gadis telah melangkah keluar. Gadis itu
adalah salah seorang dari antara ketiga orang perempuan yang duduk di pendapa. Namun
ia sudah mengenakan pakaian yang lain.
" Bangkitlah " desis gadis itu.
Orang itupun kemudian telah tegak berdiri. Sambil menggeram ia melangkah maju.
Senjatanya, sebuah kapak telah
diayunkannya sambil berkata " Iblis betina kau. Siapa kau he" " Namaku Rara Wulan " jawab gadis itu.
" Jadi kau berniat untuk melawan kami" ~ bertanya orang yang berdiri termangumangu
di pendapa itu. " Kenapa tidak" Apakah kami harus menyerahkan kedua per-gelangan tangan kami
untuk diikat, kemudian dilarik seperti seekor lembu" - sahut Rara Wulan.
Orang itu menggeram. Namun sementara itu, dua orang perempuan yang lainpun telah
keluar pula. Mereka telah mengenakan pakaian yang lain pula. Seperti pakaian seorang
laki-laki. Kehadiran mereka memang mengejutkan. Apalagi kemudian Pandan Wangi dan Sekar
Mirah telah melangkah dengan cepat mendekati orang-orang yang justru ingin
menangkapnya yang kemudian bertempur melawan para cantrik yang dianggap tertua di
padepokan itu. Dengan lantang Pandan Wangipun berkata kepada cantrik yang bertempur dengan
pemimpin orang-orang yang datang menyerang padepokan itu - Lepaskan orang itu.
Biarlah ia berusaha menangkap aku kalau dapat. "
Pemimpin orang-orang yang datang itu menggeram. Katanya " Kau telah menghinaku.
Kau akan mengalami perlakuan yang akan membuatmu menyesal sepanjang hidupmu. "
" Aku sudah siap " berkata Pandan Wangi.
Cantrik itu memang ragu-ragu. Namun iapun sadar, bahwa is-teri murid-murid utama
Kiai Gringsing itu memang bukan orang kebanyakan. Karena itu, maka iapun telah
meloncat mengambil jarak.
Seorang lawannya memang memburunya. Tetapi pemimpin dari sekelompok orang
yang datang itu telah meloncat naik kepen-dapa.
Sementara itu, Sekar Mirah justru meloncat turun. Didekatinya arena pertempuran yang
lain. Ketika ia meloncat orang berkumis yang diterangi oleh sinar lampu minyak
dipendapa, maka iapun berkata - Bukankah kau yang ingin membawa kami" Orang berkumis itupun segera meloncat menyerang Sekar
Mirah. Demikian tiba-tiba sehinga Sekar Mirah harus berloncatan mundur. Namun
sejenak kemudian, maka tongkat bajanyapun telah berputar seperti baling-baling.
Orang berkumis tipis itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa perempuan itu begitu
tangkasnya. Tongkat baja itu berkilauan memantulkan cahaya lampu minyak yang
kekuning-kuningan. Suaranya yang mendesing memberikan isyarat, bahwa tenaga
perempuan itu cukup besar.
Dengan pedang yang besar orang berkumis tipis itu menyerang Sekar Mirah. Namun
ketika pedangnya menyentuh putaran tongkat baja Sekar Mirah, orang itu terkejut.
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tenaga perempuan itu memang sangat besar.
" Siapa kau sebenarnya" " bertanya orang berkumis tipis itu.
" Aku isteri murid utama Orang Bercambuk " jawab Sekar Mirah. Lalu katanya " Nah,
seharusnya kau memperhitungkan sikapmu. "
" Persetan kau - geram orang berkumis itu. Namun katanya kemudian " Tetapi aku
senang kepada perempuan-perempuan garang seperti kau. "
Tetapi begitu mulutnya terkatub, maka tongkat Sekar Mirah hampir saja menyambar
keningnya, sehingga orang itu harus meloncat surut beberapa langkah.
Sekar Mirah tidak segera memburunya. Ia sengaja memberi waktu agar orang berkumis
tipis itu sempat bersiap-siap menghadapinya. Baru kemudian ketika orang berkumis tipis
itu sudah berdiri tegak, maka Sekar Mirahpun berkata - Marilah. Kita akan menilai,
siapakah yang lebih baik diantara kita. "
Orang berkumis tipis itu termangu-mangu sejenak. Debar jantungnya masih terasa
menghentak justru karena tongkat Sekar Mirah hampir mengenai keningnya. Namun
kemudian iapun tersenyum sambil berkata " Aku belum pernah menjumpai seorang
perempuan segarang kau. Tetapi baiklah. Kita akan menguji kemampuan kita lebih
dahulu, sebelum aku membawamu kembali ke lingkungan yang tentu belum pernah kau
kenal sebelumnya. " Sekar Mirah tidak berbicara lagi. Tetapi tongkat baja putihnya telah berputar kembali.
Ketika orang berkumis tipis itu bergeser selangkah, maka tiba-tiba saja, diluar
perhitungannya, Sekar Mirah telah meloncat dengan kecepatan yang tinggi
menyerangnya. Tongkatnya terayun mendatar, kearah lambung.
Dengan tergesa-gesa orang berkumis tipis itu mencoba menghindar sambil menangkis
ayunan tongkat baja putih itu. Namun ter-nyata ayunan senjata Sekar Mirah terlalu kuat,
sehingga diluar per hitungannya pula, pedang yang besar itu bergetar sehingga telapak
tangannya terasa menjadi pedih. Bahkan ketika ia mencoba memperbaiki pegangannya,
maka tongkat baja Sekar Mirah telah terayun sekali lagi. Mengarah keleher.
Meskipun telapak tangannya masih terasa sakit, tetapi orang berkumis tipis itu telah
berusaha untuk menangkis serangan Sekar Mirah itu. Namun tiba-tiba saja tongkat Sekar
Mirah bagaikan berputar dan membelit pedangnya. Ketika Sekar Mirah menghentakkan
tongkatnya, maka pedang orang berkumis itu telah terlepas dari genggamannya.
Orang berkumis itu terkejut dan meloncat mundur. Tetapi Sekar Mirah tidak
memburunya Bahkan katanya " Ambillah. Aku tidak akan menyerangmu selama kau
tanpa senjata. Orang itu masih saja ragu-ragu. Tetapi Sekar Mirah tertawa sambil berkata " Aku
adalah isteri salah seorang murid utama Kiai Gringsing. Aku tidak akan menyerangmu
dengan licik. Ambil senjatamu dan kita lanjutkan permainan kita! " Bukankah kita ingin
tahu siapakah yang terbaik diantara kita" "
Orang itu masih ragu-ragu. Sekar Mirah bahkan melangkah surut menjauhi pedang
orang itu sambil berkata " Ambil. Ambillah. Kau tidak usah bingung. Bukankah kau belum
pernah menjumpai seorang perempuan seperti aku" "
Selangkah orang itu maju. Kemudian dengan cepat ia menggapai pedangnya sambil
memandangi ujung tongkat Sekar Mirah. Namun Sekar Mirah benar-benar membiarkannya
menggenggam pedangnya dan bergeser surut.
Sekar Mirah tertawa. Katanya " Rasa-rasanya akupun belum pernah bertemu seorang
laki-laki pengecut seperti kau. Kalau kau
senang pada perempuan-perempuan yang garang, maka akupun senang dengan lakilaki
pengecut. Nampaknya kau akan dapat menjadi barang mainan yang sangat
menyenangkan. Mungkin kakak perempuanku itu juga senang bermain-main dengan lakilaki
pengecut seperti kau. Bahkan mungkin kemanakanku itu. "
Laki-laki berkumis tipis itu menggeram. Dengan geram ia berkata " Kau jangan terlalu
sombong iblis betina. Adalah kebetulan saja kau dapat menjatuhkan pedangku karena aku
tidak mengira bahwa kau begitu kasar dan liar. Tetapi setelah aku menyadari, dengan
siapa aku berhadapan, maka kau tidak akan dapat tersenyum lagi. "
Sekar Mirah masih tertawa. Katanya " Marilah. Bangkitlah dengan puncak ilmumu.
Orang itupun segera menggerakkan pedangnya. Namun telapak tangannya masih saja
terasa pedih. Meskipun demikian, ia menjadi semakin marah menghadapi perempuan
yang benar-benar garang itu.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat lagi dalam satu pertarungan yang
keras. Namun Sekar Mirah segera mendesaknya dengan serangan-serangannya yang
membingungkan. Di pendapa, pemimpin dari orang orang yang menyerang padepokan itu
berhadapan dengan Pandan Wangi. Perempuan itu telah menggenggam sepasan pedang
dikedua tangannya. Sepasang pedang yang berputar bagaikan gumpalan asap yang
menyelubungi tubuhnya. Pemimpin sekelompok perampok yang datang untuk mengambil Kiai Gringsing itu
memang terkejut. Ia tidak mengira bahwa ia akan bertemu dengan perempuan yang
memiliki kemampuan bermain pedang demikian tinggi.
" Iblis darimana yang telah mengajarimu bermain pedang -geram perampok itu.
" Suamiku adalah satu diantara kedua orang murid utama Kiai Gringsing " jawab
Pandanwangi. " Jika kau tetap melawan, maka kau benar-benar akan mengalami nasib lebih buruk
lagi - ancam perampok itu.
Tetapi Pandanwangi tidak menjawab. Pedangnya berputar semakin cepat. Bahkan
kemudian, satu diantaranya mulai mematuk kearah lawannya.
Lawannya yang terkejut meloncat mundur. Ditangannya tergenggam sebuah tombak
pendek. Namun yang ujungnya berkait seperti duri pandan, sehingga mata tombak itu
menjadi sangat berbahaya.
Tetapi Panndanwangi cukup berpengalaman menghadapi bermacam-macam senjata,
sehingga karena itu, ia sama sekali tidak menjadi gentar.
Di Pendapa itu pula, Rara Wulan benar-benar telah menguasai lawannya yang akan
menangkap ketiga orang perempuan itu. Serangan-serangannya yang datang berturutturut
telah mendesak lawannya itu sampai ke bibir pendapa Ketika kemudian kakinya
terjulur lurus mengenai dada orang itu, maka orang itu telah terlempar dari pendapa dan
jatuh dihalaman. Namun demikian ia berusaha bangkit, Rara Wulan telah meloncat turun
pula dari pendapa langsung menyerang orang itu dengan kakinya pula.
Orang itu mengaduh kesakitan ketika kaki Rara Wulan menyambar keningnya.
Demikian kepalanya menengadah maka kakinya yang masih bergerak memutar itu
terayun sekali lagi mengenai dagunya.
Orang itu berguling beberapa kali untuk mengambil jarak. Namun Rara Wulan masih
saja memburunya. Sehingga demikian orang itu berusaha bangkit, maka tangan Rara
Wulan terjulur lurus menghantam leher dibawah telinga lawannya.
Sekali lagi orang itu mengaduh sambil menyeringai menahan sakit. Namun sekali lagi
pula ia telah terbanting jatuh.
Namun orang itu kemudian tidak segera bangkit. Kepalanya lenar-benar menjadi
pening. Nafasnya terengah-engah. Dadanya eakan-akan terhimpit kekuatan yang tidak terlawan.
Tetapi Rara Wulan tidak sempat untuk memperhatikan lebih lama lagi. Seorang yang
lain berlari menyerangnya dengan garang.
Tetapi Rara Wulan telah bersiap menyongsongnya. Ketika Rara Wulan melihat orang itu
mengayunkan kapaknya yang besar,
maka keningnyapun berkerut.
" Kau bunuh kawanku he" Kaupun harus mati " teriak orang bersenjata kapak itu.
- Kawanmu belum mati ~ jawab Rara Wulan yang bertempur tanpa mempergunakan
senjata karena senjata orang yang dikalah-kannya itu terjatuh ketika ia terlempar keluar
dari dalam bangunan induk. Tetapi karena orang yang datang menyerangnya itu
mempergunakan sebuah kapak yang besar, maka Rara Wulanpun telah mencabut pedangnya.
Orang itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Iapun segera menyerang dengan kapaknya
yang besar itu. Ayunannya telah menimbulkan desing yang keras serta sambaran angin yang tajam.
Rara Wulan menyadari bahwa lawannya adalah seorang yang kuat. Tetapi ia telah
menempa dirinya beberapa lama di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun masih baru dalam
tataran permulaan, namun Rara Wulan telah memiliki bekal ilmu pedang yang cukup.
Karena itu, maka dengan tabah Rara Wulan menghadapi orang yang bersenjata kapak,
yang hanya sekedar membanggakan kekuatannya saja. Sementara Rara Wulan selain
kemampuannya menguasai senjata, ia juga mampu bergerak cepat dan tangkas.
Petunjuk-petunjuk Agung Sedayu banyak sekali memberikan warna dalam tata geraknya.
Karena itu, ketika orang berkapak itu mulai bertempur melawan Rara Wulan, iapun
segera terkejut. Perempuan itu ternyata mampu membuatnya kebingungan. Apalagi ketika
ujung pedang Rara Wulan telah-meraba kulitnya.
Kehadiran ketiga orang perempuan itu di pertempuran telah memperingan beban para
cantrik. Meskipun masih ada beberapa orang cantrik yang harus bertempur melawan lebih
dari seorang lawan, namun dengan gerakan-gerakan yang khusus, mereka mampu
membingungkan lawan-lawan mereka. Dua tiga orang cantrik dengan berlandaskan pada
kemampuan geraknya telah berloncatan berputaran, sehingga lawan-lawannya kadangkadang
kehilangan, namun tiba-tiba seorang diantara mereka telah menyerang dengan garanya.
Didepan pendapa, Sekar Mirah benar-benar telah menguasai lawannya. Orang berkumis
tipis itu tidak mampu berbuat sesuatu menghadapi tongkat baja Sekar Mirah yang
berputaran. Ketika tongkat baja itu mengenai punggungnya, meskipun tidak diayun-kan
dengan tenaga yang besar, orang itu terdorong beberapa langkah dan jatuh terjerembab.
Pedangnya telah terloncat lagi dari tangannya yang memang sudah terasa pedih.
Sekali lagi Sekar Mirah sambil tertawa berkata " Kenapa kau lepaskan lagi pedangmu"
Ambillah. Aku tidak berkeberatan. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan melawan
seorang yang tidak bersenjata sementara aku memegang tongkat bajaku. Tanpa senjata
kau tidak akan dapat menangkapku dan membawaku kesa-rangmu yang menjanjikan satu
lingkungan yang belum pernah aku kenal sebelumnya. "
Orang berkumis tipis itu mengumpat kasar. Sambil merangkak ia telah menggapai
pedangnya lagi. Pedang yang sudah cukup lama menemaninya bertualang didunia yang gelap.
Ketika ia sudah memegang pedangnya lagi, maka sambil bangkit berdiri iapun berteriak
" Tangkap perempuan ini. Ia memiliki ilmu iblis "
Beberapa orang diantara para perampok yang datang ke padepokan untuk mengambil
Kiai Gringsing itu termangu-mangu. Namun dua orang telah berlari mendekatinya dan
bersiap untuk bertempur melawan Sekar Mirah.
Dengan demikian, maka tugas para cantrik menjadi lebih ringan lagi. Apalagi ketika
pemimpin mereka yang bertempur di pendapa itu bersuit nyaring. Satu isyarat untuk
memanggil satu atau dua orang agar membantunya.
Sejenak kemudian maka Sekar Mirah dan Pandan Wangi itu harus bertempur melawan
masing-masing tiga orang, disamping pemimpin dari sekelompok gerombolan yang datang
ke padepokan itu dan bersenjatakan canggah, maka Pandan Wangi harus melawan dua
orang laki-laki garang. Seorang membawa bindi dan seo, rang lagi membawa parang yang panjang.
Namun pedang rangkap Pandan Wangi masih saja berputaran.
Ketiga orang lawannya memang terasa sulit untuk menembus kabut yang melindungi
tubuh Pandan Wangi. Kabut yang terjadi oleh putaran sepasang pedangnya yang sangat cepat.
Apalagi Pandan Wangi itu mampu berloncatan dengan tangkas dan cepat sekali.
Setelah ia melahirkan anaknya yang pertama serta mendapat obat yang mampu dengan
cepat memulihkan kekuatannya Hari Kiai Gringsing serta latihan-latihan yang teratur,
maka kemampuan Pandan Wangi sama sekali tidak menjadi surut, justru terasa menjadi
semakin matang. Karena itu, maka ketiga orang lawannya seakan-akan tidak memiliki kesempatan sama
sekali. Gumpalan kabut itu seakan-akan tergulung melihat ketiga orang lawannya
meskipun ketiga orang lawannya itu berdiri berpencaran.
Bahkan seorang diantara merekapun tiba-tiba saja berteriak mengumpat kasar sambil
meloncat mundur. Bahkan hampir saja ia terjatuh dari pendapa yang meskipun tidak
begitu tinggi, tetapi tentu akan mengejutkannya.
Ternyata ketika ia mengusap pundaknya, darah telah mengalir dari luka yang tergores
menyilang. Meskipun luka itu tidak begitu dalam, tetapi perasaan pedih telah menggigit
ketika keringatnya menyentuh lukanya itu.
Namun sejenak kemudian, orang itupun telah meloncat maju dengan senjata teracu.
Didepan pendapa, Sekar Mirah telah mendesak ketiga orang lawannya pula. Dengan
kekuatan tenaga didalam dirinya maka Sekar Mirah mengayunkan tongkatnya dengan
cepat. Anginpun telah berdesing pula. Lebih keras dari desing yang ditimbulkan oleh
ayunan pedang lawannya yang besar yang telah pernah terlepas dari tangannya itu.
Dua orang kawannya yang membantu tidak mampu mengurung perempuan yang
bersenjatakan tongkat baja itu. Bahkan semakin lama maka sentuhan-sentuhan tongkat
baja itu menjadi semakin sering mengenai lawan-lawannya.
Seorang lawannya yang bersenjata pedang pula mencoba untuk menembus pertahanan
tongkat baja Sekar Mirah. Namun ketika
benturan terjadi, maka pedangnyapun telah terlempar dari tangannya. Adalah
diluar kehendaknya, jika ujung pedang itu telah melukai kawannya sendiri.
Kawannya itu mengumpat-umpat panjang. Namun ia masih mampu membantu orang
berkumis tipis itu menahan Sekar Mirah dan memberi kesempatan kawannya mengambil
pedangnya. Sekar Mirah tertawa. Katanya ~ Hati-hatilah. Jangan melukai kawan sendiri.
Untunglah bahwa ujung pedangmu tidak menggores lehernya.
" Setan kau ~ orang yang telah mengambil pedangnya itu menjadi sangat marah.
Dengan cepat ia menyesuaikan dirinya dengan kedua orang kawannya. Namun usaha
mereka mengepung Sekar Mirah telah berada di luar garis yang menghubungkan mereka
bertiga, sementara tongkat baja putihnya masih berputaran.
" Kemarilah sedikit " berkata Sekar Mirah sambil tertawa pendek " aku ingin
bertempur sambil melihat, bagaimana kawan-kawanmu dipendapa itu kehilangan akal. "
Lawan-lawannya tidak menjawab. Mereka mencoba menghentakkan kemampuan
mereka menyerang Sekar Mirah bersama-sama. Namun dengan satu ayunan dua orang
diantara ketiga lawannya itu mengaduh kesakitan. Ujung tongkat Sekar Mirah yang
terayun deras itu telah menyentuh lambung kedua orang lawannya yang membantu orang
berkumis tipis itu. Orang berkumis tipis itu menggeram. Dengan garangnya ia mengayunkan pedangnya
menebas kearah leher Sekar Mirah. Namun Sekar Mirah yang kemudian berjongkok telah
menyodok perut lawannya dengan kepala tongkat bajanya. Tengkorak yang berwarna
kekuning-kuningan Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Perutnya menjadi sangat mual. Bahkan
rasa-rasanya nafasnyapun telah tersumbat oleh isi perutnya yang seakan-akan terdorong
naik kedadanya. Sekar Mirah memang tidak memburunya. Bukan karena kedua orang lawannya yang
lain menyerang, karena serangan itu dengan mudah dapat dielakkannya, tetapi ia ingin
memberi kesempatan kepada lawannya untuk memperbaiki keadaannya.
Sebenarnyalah Sekar Mirah tidak dengan cepat ingin mengalahkan lawannya. Ia ingin
mengatakan kepada lawan-lawannya itu dengan kemampuannya, bahwa mereka sama
sekali tidak berarti apa-apa baginya. Perampok-perampok itu hanya dapat menakutnakutinya,
tetapi tidak mampu mengimbangi kemampuannya meskipun mereka bertiga.
Demikian pula lawan Pandan Wangi. Mereka segera terdesak, sehingga mereka tidak
mempunyai kesempatan. Yang juga mengalami kesulitan adalah lawan Rara Wulan. Ternyata Rara Wulan terlalu
garang bagi orang berkapak itu. Pedangnya berputaran, mematuk, terayun menyambar
dan kadang-kadang seakan-akan langsung menggapai dadanya.
Sementara itu, orang yang pingsan itupun telah berusaha untuk mengingat-ingat apa
yang telah terjadi, ketika ia mulai menjadi sadar. Bahkan kemudian iapun telah membuka
matanya dan melihat apa yang telah terjadi.
Dalam keremangan malam ia sempat melihat orang berkapak itu bertempur melawan
perempuan yang telah membuatnya pingsan. Iapun melihat bagaimana kawannya itu
mengalami kesulitan, sementara kawan-kawannya yang lain juga tidak berhasil menguasai
kedua orang perempuan yang lain.
Dengan demikian, maka usaha mereka untuk dapat mengambil Kiai Gringsingpun tentu
akan mengalami kesulitan.
Justru karena itu, maka telah timbul niat liciknya. Ia merasa lebih aman untuk
berbaring terus. Meskipun ia telah menjadi sadar, tetapi ia masih saja berpura-pura
pingsan dan berbaring ditempat-nya. Berbaring dan pura-pura pingsan ternyata lebih
aman baginya daripada harus bertempur melawan perempuan-perempuan garang serta
para cantrik di padepokan itu.
Sementara itu, keadaan orang-orang yang menyerang padepokan itu menjadi semakin
sulit. Mereka terdesak semakin jauh mendekati pintu gerbang. Sementara itu, mereka
yang melawan Pandan Wangi dan Sekar Mirah sama sekali tidak akan mampu
mengalahkannya, apalagi menangkap ketiga orang perempuan itu. Karena itu, sebelum
keadaan menjadi semakin parah, maka pemimpin para perampok yang datang untuk
mengambil Kiai Gringsing itu telah mengambil satu keputusan. Mereka lebih baik meninggalkan
padepokan itu daripada mereka tidak akan dapat pergi untuk selamanya. Atau bahkan
terkubur dipadepokan itu.
Dengan demikian, maka orang itupun telah mengambil kesempatan. Ketika ia sempat
mengambil jarak, maka iapun telah bersuit nyaring. Satu isyarat untuk meninggalkan
padepokan itu. Dengan demikian, maka para perampok itupun telah berloncatan. Yang terlukapun
telah berusaha untuk berlari menuju ke-pintu gerbang. Sementara orang yang berpurapura
pingsan itupun telah bangkit pula dan berlari dengan cepat.
Pandan Wangi yang ada di pendapa melihat para perampok itu berlari tunggang
langgang. Karena itu, maka iapun sempat mengambil keputusan " Cukup. Kalian tidak
usah mengejarnya keluar pintu gerbang. "
Rara Wulan yang telah berlari memburu orang yang bersenjata kapak itu berhenti.
Namun ia bertanya " Kenapa mereka dibiarkan lepas" "
" Mereka hanya sekedar mencari Kiai Gringsing - jawab Pandan Wangi.
" Tetapi kelakuan mereka mirip dengan perampokan. Bahkan mereka benar-benar
akan membunuh jika mereka mampu -- jawab Rara Wulan.
Sekar Mirahlah yang kemudian mendekatinya sambil berkata " Sudahlah Rara. Mereka
telah pergi. Mereka tidak akan mengganggu kita lagi. "
" Belum tentu"jawab Rara Wulan " mungkin mereka akan datang lagi justru dengan
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kawan yang lebih banyak atau dengan orang yang berilmu lebih tinggi. "
Sekar Mirah tersenyum. Katanya " Biarlah mereka datang lagi. Jika pada saat mereka
datang kakang Agung Sedayu dan ka-kang Swandaru, apalagi paman Widura dan Kiai
Gringsing sudah ada di padepokan, maka mereka tentu akan menyesal bahwa mereka
telah kembali. " Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun telah melangkah ke
pendapa. Sementara itu, para cantrikpun telah mengurungkan niat mereka
untuk mengejar orang-orang yang telah menyerang padepokan itu. Dengan
lantang seorang cantrik yang dituakan di Padepokan itu berkata " Rawatlah kawankawanmu
yang terluka. Apakah ada yang gawat atau bahkan gugur dalam pertempuran ini" " Tidak kakang"jawab seorang cantrik yang lain " tidak ada yang gugur diantara
para cantrik. Tetapi ampat orang telah terluka. Seorang dianlaranya memang agak gawat.
" Rawatlah dengan baik " perintah cantrik yang dituakan itu " terutama yang terluka
parah. Hati-hatilah. Jika kalian mengalami kesulitan, panggillah aku. "
Sejenak kemudian, maka Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulanpun telah duduk
lagi dipendapa. Para cantrik kemudian menjadi sibuk dengan kawan-kawan mereka dan
penjagaan diselu-ruh padepokanpun diperkuat. Beberapa orang cantrik justru telah berada
dibelakang dan samping padepokan, sementara dua orang cantrik mengawasi regol
halaman didepan dengan senjata telanjang.
Sejenak kemudian maka langitpun menjadi merah. Fajar mulai membayang.
" Paman Widura masih belum kembali " desis Pandan Wangi.
" Ya. Cukup menggelisahkan " jawab Sekar Mirah.
" Tetapi kita hanya dapat menunggu " berkata Pandan Wangi pula.
Sekar Mirahpun mengangguk kecil. Katanya " Ya. Kita memang tidak dapat berbuat
lain kecuali menunggu. Ketika kemudian langit menjadi semakin terang, maka bergantian ketiganya telah pergi
ke pakiwan. Mandi dan berbenah diri lahir dan batin.
Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan telah duduk kembali di pendapa ketika
kemudian matahari terbit menembus cakrawala. Cahayanya yang kekuning-kuningan
mulai menyiram dedaunan. Bintik-bintik embun memantulkan cahayanya berkerdipan oleh
goncangan lembut angin pagi.
Seorang cantrik kemudian telah menghidangkan minuman hangat serta beberapa
potong ketela rebus. Ternyata ketika kawan-kawannya merawat para cantrik yang terluka,
ada diantara para cantrik yang mempersiapkan minuman dan mencabut beberapa pohon
ketela di kebun belakang.
Minuman hangat itu ternyata dapat membuat badan Pandan Wangi, Sekar Mirah dan
Rara Wulan menjadi segar. Juga ketela yang masih hangat pula, terasa hangatnya
mengalir menyelusuri tubuh mereka.
Namun yang mereka tunggu masih juga belum datang.
Ketika matahari memanjat langit sepenggalah, maka ketiganya telah bangkit dan turun
dari pendapa. Berjalan melintasi halaman dan keluar lewat gerbang didepan.
" Kami akan berjalan-jalan " berkata Pandan Wangi kepada para cantrik yang
bertugas berjaga-jaga di regol.
" Seorang diantara kami akan mengawani kalian " berkata cantrik yang bertugas itu.
" Tidak perlu ~ jawab Pandan Wangi yang mengenakan pakaian khususnya. Demikian
pula Sekar Mirah dan Rara Wulan. Bahkan dilambung Pandan Wangi kiri dan kanan
tergantung sepasang pedangnya, sedangkan Sekar Mirah menjinjing tongkat baja
putihnya. Demikian pula Rara Wulan, telah membawa pedangnya pula.
Para cantrik yang bertugas tidak memaksa. Mereka sadar, bahwa ketiga orang
perempuan itu tidak memerlukan pengawalan, karena tidak seorangpun diantara para
cantrik yang memiliki kemampuan melampaui isteri murid-murid utama Orang Bercambuk itu.
Beberapa lama ketiga orang perempuan itu menyusuri jalan-jalan bulak persawahan.
Sawah yang dibuka dan dikembangkan oleh para cantrik dengan ijin Ki Demang Jati Anom
itu. Tetapi pagi itu tidak seorang cantrikpun yang turun ke sawah. Mereka masih sibuk
dengan padepokan mereka, sementara yang lain merawat kawan-kawan mereka yang terluka.
Menjelang tengah hari, ketiga orang perempuan itu telah berada
di pendapa padepokan itu lagi. Tetapi Ki Widura, Agung Sedayu dan Swandaru
masih juga belum datang. Bahkan menjelang matahari turun, ketiganya masih juga belum datang.
Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi semakin gelisah. Demikian pula
para cantrik di padepokan itu. Seorang diantara para cantrik yang dituakan telah menemui
Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan yang duduk dipendapa.
" Apa yang harus kita lakukan" " bertanya cantrik itu.
" Kita tidak dapat berbuat apa-apa selain masih harus menunggu " jawab Pandan
Wangi. Cantrik itu mengangguk-angguk. Katanya " Ya, kita masih harus menunggu, Tetapi
sampai kapan" "
" Sampai mereka kembali " jawab Pandan Wangi.
Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya " Tetapi selama ini
kalian bertiga masih belum beristirahat sama sekali. Biarlah kami berjaga-jaga diluar
bangunan induk ini. Nanti jika perlu, kami akan membangunkan kalian. "
Tetapi Pandan Wangi menggeleng. Katanya " Kami sudah terbiasa untuk berjaga-jaga.
" Tetapi sekarang ada waktu untuk beristirahat. Para cantrik juga beristirahat
bergantian. Jika pada suatu saat ada tugas yang penting harus kami lakukan, tenaga kami
menjadi utuh kembali. " berkata cantrik itu. Lalu katanya " Agaknya demikian pula bagi
kalian. Kalian harus tidur dan memulihkan tenaga kalian. "Tetapi kami tidak terbiasa tidur disiang hari - jawab Pandan Wangi.
" Bukankah sekarang kita semuanya berada dalam keadaan yang khusus" " bertanya
cantrik itu. Namun Sekar Mirahlah yang menjawab " Beristirahatlah bagi kami tidak selalu tidur.
Duduk-duduk dipendapa, minum minuman hangat dan makan ketela pohon, juga sudah
merupakan saat-saat beristirahat yang baik. Cantrik itu tidak memaksa mereka. Sementara seorang cantrik telah menghidangkan
makan sidng yang agak terlambat. Nasi putih masih mengepulkan asap dan gurameh yang
digoreng kering disertai sambal terasi dan lalapan. "
" Kami justru akan makan " berkata Sekar Mirah kemudian sambil tersenyum.
Cantrik yang menghidangkan makan itu berkata " Maaf, hampir senja kami baru
sempat menyiapkan makan siang. Kami masih harus menangkap gurameh lebih dahulu,
sementara ada kesibukan yang lain. "
Pandan Wangi tertawa. Katanya " Kami tahu. Seperti kebiasaan kami terlambat tidur,
maka kamipun terbiasa terlambat makan. "
Cantrik itu hanya termangu-mangu. Sementara Pandan Wa-ngipun berkata " Tetapi
makan yang dihidangkan ini membuat kami menjadi sangat lapar. "
Demikianlah, maka ketiga orang perempuan itupun dipersi-lahkan untuk makan
sementara cantrik yang menghidangkan serta salah seorang diantara cantrik tertua di
padepokan itu, telah meninggalkan pendapa.
Namun bagaimanapun juga ketiganya masih saja dibayangi oleh kegelisahan. Yang
mereka tunggu masih belum datang.
Bahkan sampai matahari terbenam dan malam merayap semakin dalam, Ki Widura,
Agung Sedayu dan Swandaru masih juga belum datang.
Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulanpun kemudian benar-benar merasa letih
setelah mengalami peristiwa yang mengejutkan malam sebelumnya, bahkan kemudian
tidak tertidur bukan saja malam itu, tetapi juga sehari berikutnya. Karena itu, ketika para
cantrik mendesak mereka untuk beristirahat, maka merekapun pergi ke pembaringan
setelah menyelarak pintu bangunan induk.
- Kami berjaga-jaga diluar " berkata para cantrik. Oleh perasaan letih, maka ketiga
orang perempuan itupun sempat tidur nyenyak sampai menjelang dini. Ketika kemudian mereka terbangun,
maka Ki Widura, Agung Sedayu dan Swandaru masih juga belum kembali.
Kegelisahan memang menjadi semakin memuncak. Tetapi mereka tetap tidak dapat
berbuat apapun juga. Menjelang matahari
terbit, ketiganya telah berdiri di pintu gerbang padepokan. Tetapi mereka masih harus
kecewa. Yang mereka tunggu belum juga datang.
Ketika mereka dipersilahkan makan pagi, maka rasa-rasanya nasi tidak lagi dapat lancar
melintasi tenggorokan. Namun ketika matahari hampir sampai kepuncak langit, maka mereka telah dikejutkan
oleh derap kaki beberapa ekor kuda. Ketika mereka turun dari pendapa, maka mereka
melihat ampat ekor kuda memasuki pintu gerbang padepokan. Mereka adalah orangorang
yang selama itu mereka tunggu-tunggu dengan jantung yang berdebaran.
Yang paling depan adalah Ki Widura, kemudian Agung Sedayu diikuti oleh Swandaru.
Yang paling belakang adalah Agahan. Cantrik yang dianggap tertua di padepokan itu.
Rasa-rasanya ketiga orang perempuan itu tidak sabar lagi. Dengan tergesa-gesa
mereka menyongsong orang-orang yang ban datang itu, sehingga merekapun telah
menarik kekang kuda mereka.
Tetapi Pandan Wangi dan Sekar Mirah saling berpandangan ketika mereka melihat Ki
Widura menjinjing segulung cambuk. Meskipun Ki Widura telah menyadap ilmu dari Kiai
Gringsing di hari tuanya, namun ia tidak terbiasa membawa cambuk seperti itu. Agung
Sedayu dan Swandarupun selalu melingkarkan cambuk mereka dibawah baju mereka.
Ki Widura, Agung Sedayu, Swandaru dan Agahanpun segera meloncat turun dari kuda
mereka. Sementara hampir berbareng Pandan Wangi dan Sekar mirah bertanya " Dimana
Kiai Gringsing sekarang" "
Ki Widura tidak segera menjawab. Wajahnya memang nampak muram. Namun ia justru
menyerahkan kudanya lebih dahulu kepada seorang cantrik yang mendekat.
Cantrik itupun telah membawa kuda Agung Sedayu pula ke sebelah pendapa,
sementara Agahan telah membawa kuda Swandaru untuk diikat pada patok-patok bambu
yang telah disediakan. Pandan Wangi dan Sekar Mirah nampaknya memang segara ingin tahu. karena itu,
merekapun telah mendesak " dimana Kiai
Gringsing, paman" "
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya " Marilah. Kita
duduk dahulu di pendapa. "
Merekapun kemudian naik kependapa. Rara Wulan ikut naik pula dan duduk bersama
mereka. Tetapi ia justru menjadi bingung, sehingga karena itu, maka iapun hanya dapat
memperhatikan orang-orang disekitarnya dengan sekali-sekali mengerutkan dahinya.
Sejenak kemudian, Ki Widura, Agung Sedayu dan Swandaru-pun telah duduk bersama
Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan. Disebelah lain Agahanpun telah ikut duduk
bersama mereka pula. Demikian pula beberapa orang cantrik yang juga dianggap tertua di
padepokan itu, telah ikut menemui mereka, karena sebenarnyalah mereka mewakili para
cantrik yang lain, yang ingin segera tahu dimana Kiai Gringsing mereka tinggalkan.
Namun Widurapun kemudian berpaling kepada Agung Sedayu sambil berkata ~ Kau
sajalah yang mengatakan. " Jika tidak ada paman Widura, aku akan mengatakannya. Tetapi justru karena disini
ada paman Widura, maka tentu lebih baik paman yang menyampaikannya. - jawab Agung
Sedayu. Widura menarik nafas dalam-dalam, namun kemudian katanya dengan nada dalam "
Kiai Gringsing tidak ada lagi. "
" Maksud paman" " Pandan Wangi dan Sekar Mirah hampir berbareng bertanya.
" Ternyata Kiai Gringsing tidak berhasil mengobati dirinya sendiri " berkata Ki Widura
" tetapi Kiai Gringsing menyadari bahwa akhirnya ia akan sampai pada satu batas dimana
kemampuan ilmu pengobatannya tidak dapat mengatasinya. Kiai gringsing telah
meninggal. " " Meninggal" " hampir semua orang yang mendengar mengulanginya. Salah seorang
cantrik yang ikut duduk dipendapa dengan serta merta bertanya " Dimana tubuh Kiai
Gringsing sekarang" "
" Tubuhnya telah diserahkan ke pangkuan bumi sebagaimana seharusnya " jawab Ki
Widura, " Tetapi dimana" - bertanya cantrik itu.
Ki Widura termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya " Atas pesan Kiai
Gringsing sendiri, kuburnya akan dirahasiakan. "
" Kenapa" - desak cantrik itu.
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah " Kiai Gringsing
tidak ingin terjadi salah paham sebagaimana saat-saat terakhir dalam hidupnya, Kiai
Gringsing tidak ingin seseorang atau sekelompok orang menganggap bahwa setelah kematiannya,
ia masih dapat memberikan pengaruhnya, selain akibat dari apa yang pernah
dilakukan semasa hidupnya. Kiai Gringsing
tidak ingin dianggap sebagai manusia linuwih. Sebenarnya Kiai Gringsing tidak
berkeberatan seseorang mengenangnya. Mengenang perjalanan hidupnya, mengenang
perbuatan-pcrbuatannya. Mengenang petunjuk-petunjuk dan nasehatnya. Juga
mengenang ajaran-ajarannya. Itupun yang dianggap baik dan memberikan arti bagi orang
lain. Sedangkan yang dianggap tidak baik, maka sebaiknya dilupakannya. "
*** JILID 272 PANDAN WANGI dan Sekar Mirah menundukkan kepalanya, matanya menjadi basah.
Sementara Rara Wulan termangu-mangu. Sekali-sekali dipandanginya Ki Widura,
kemudian Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Bahkan kemudian ia melihat dua
orang cantrik yang menangis. Benar-benar menangis sehingga terasa dada Rara Wulan
ikut menjadi sesak oleh isaknya. Betapapun keduanya berusaha untuk bertahan, tetapi
ternyata bahwa keduanya telah menangis.
" Jangan menangis " berkata Agahan yang dianggap sebagai cantrik tertua " disaat
terakhir Kiai Gringsing masih sempat berkata, bahwa ia justru telah mendapatkan
kesukaan besar. Ia telah diperkenankan menghadap Sumbernya dan dibebaskan dari
derita yang berkepanjangan. " Agahan berhenti sejenak, lalu ~ Bukankah kau percaya
bahwa Yang Maha Adil itu juga Yang Maha Kasih" " Ya " jawab kedua cantrik itu hampir berbareng disela-sela isaknya.
" Jika demikian kalian jangan menangis ~ berkata Agahan yang agaknya telah menjadi
lebih mengendap. Kedua cantrik itu mengangguk. Mereka memang menjadi lebih tenang. Sementara itu
Ki Widura berkata " Cambuk ini adalah cambuk Kiai Gringsing. Karena Agung Sedayu dan
angger Swandaru telah memiliki cambuk, maka cambuk ini telah diberikannya kepadaku.
Aku telah diserahi untuk selanjutnya memimpin padepokan ini. "
Para cantrik itu mengangguk-angguk. Agahan memang menjadi saksi, apa yang telah
dikatakan oleh Kiai Gringsing disaat terakhirnya.
- Sekarang " berkata Widura kepada Agahan " biarlah para cantrik kembali kepada
tugasnya. Padepokan ini tidak akan terhenti sebagaimana perjalanan waktu. Kita
menerima warisan dari Kiai Gringsing dan memeliharanya dengan baik. Melanjutkan kerja
yang pernah dirintisnya dan melakukan ajaran-ajarannya dengan baik. "
Agahan mengangguk hormat. Sementara Ki Widura berkata selanjutnya " Kau tahu
apa yang harus kau lakukan sepeninggal Kiai Gringsing. "
- Ya, Ki Widura " berkata Agahan. Yang kemudian minta diri untuk menemui para
cantrik. Demikian pula para cantrik yang berada di pendapa itupun telah mengundurkan
dirinya dan kembali kepada kawan-kawan mereka yang menunggu.
Ketika para cantrik kemudian telah tidak ada di pendapa, Pandan Wangi telah bertanya
-- Apakah benar bahwa Kiai Gringsing telah tidak ada" "
Ki Widura mengangguk. Katanya"Ya. Aku berkata sebenarnya. Kita memang bersedih.
Rasa-rasanya begitu saja ia pergi setelah sekian lama kita mengenal dan menjadi
keluarganya. Tetapi itulah yang terjadi. Kita tidak dapat mengelak dari kenyataan. - Kita memang menghadapi satu kenyataan " berkata Sekar Mirah " tetapi apa yang
terjadi itu tidak pernah kita duga sebelum nya. "
- Ya - sahut Ki Widura - tetapi bagaimanapun juga itulah yang terjadi. "
Kedua orang perempuan itu hanya dapat menunduk. Sementara Ki Widura berkata "
Nah, kau dapat berbicara dengan angger Swandaru, Agung Sedayu. Bagaimana sebaiknya
kita melakukan pesan-pesan terakhir Kiai Gringsing. "
- Ya paman"jawab Agung Sedayu dengan nada rendah. Namun kemudian katanya Kiai Gringsing berharap agar kitab yang berisi petunjuk tentang ilmu perguruan Orang
Bercambuk itu, tataran-tataran serta petunjuk cara dan laku yang harus dijalani, latihan-latihan serta
beberapa tentang ilmu pengobatan, hendaknya berada di padepokan, disaat-saat tidak
dipergunakan. Kita masing-masing berhak untuk membaca dan mempelajari isinya untuk
meningkatkan ilmu kita masing-masing, kapan kita menghendaki bergantian sesuai
dengan kebutuhan kita. Sedangkan yang aku maksud dengan kita adalah murid-murid
utama Kiai Gringsing yang sekarang ada yaitu aku, adi Swandaru dan paman Widura.
Kemudian Kiai Gringsing mengijinkan Glagah Putih untuk melakukannya sebagaimana
dilakukan oleh murid-murid utamanya, namun berada didalam tanggung jawabku.
Kemudian, siapa lagi yang akan diperkenankan untuk mempelajarinya langsung dari kitab
itu harus mendapat persetujuan kita bertiga " Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu
Misteri Labah Labah Perak 2 Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman Alap Alap Laut Kidul 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama