Ceritasilat Novel Online

Sayap Sayap Terkembang 33

01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 33


"Jangan takut bibi," desis Jangkung yang telah mengenal perempuan itu. "Aku tidak akan membawa bawa bibi ke dalam persoalan apapun."
Akhirnya perempuan itu berkata, "Mereka berbelok ke kebun bambu di belakang rumah di pinggir jalan menuju ke pasar itu. Nampaknya memang ada sesuatu yang tidak wajar. Tetapi jangan bawa-bawa aku dalam perkaramu anak muda."
"Tidak, bibi. Pergilah. Aku mengucapkan terima kasih atas petunjuk bibi," berkata Jangkung sambil melangkah tergesa-gesa.
Dengan petunjuk perempuan itu, maka Jangkung telah mengikuti jalan setapak menuju ke kebun bambu yang rimbun yang memang tidak nampak langsung dari jalan yang menuju ke pasar.
Namun sementara itu, ternyata Bharata yang menjadi kehilangan kesabarannya itu telah bertempur semakin garang. Kakak dari anak muda yang sering mengganggu Riris itu ternyata tidak mampu mengimbanginya. Justru karena Bharata memang ingin segera menyelesaikan perkelahian itu. Ia pun telah menduga bahwa jika Jangkung pulang, sementara Riris belum ada di rumah, maka ia tentu akan menjadi gelisah.
Karena itu, maka Bharatapun telah mempercepat serangan-serangannya. Tangannya bergerak dalam ayunan yang kuat. Mendatar terjulur lurus mengarahkan dada. Kemudian sisi telapak tangannya menebas dengan cepat.
Lawannya memang menjadi bingung. Tangan Bharata itu seakan-akan telah berkembang. Tidak hanya sepasang. Tetapi berpasang-pasang.
Sulit bagi lawannya untuk menghindari serangan-serangan yang datang beruntun. Ketika lawan Bharata itu meloncat ke samping menghindari patukan tangannya yang terjulur, maka tanpa diduganya, kaki Bharatalah yang tiba-tiba menghantam perutnya.
Lawannya itu menunduk sambil menahan mual di perutnya. Tetapi tidak ada kesempatan baginya untuk menghindari ayunan tangan Bharata yang menyambar tengkuknya.
Orang itu terhuyung-huyung hampir terjerembab. Bharata telah bersiap untuk menghantam wajah orang itu dengan keras. Tetapi ketika tangan Bharata menggapai tengkuknya, ia justru tidak membenturkan kepala itu pada lututnya. Tetapi ia justru telah menahan, orang itu sehingga tidak jatuh terjerembab.
Tetapi ketika Bharata melepaskannya, Bharata memang tidak menyangka sama sekali bahwa orang itu telah membenturkan kepalanya ke perutnya dan dengan kedua tangannya memegangi lambungnya dengan kuat.
Terasa perut Bharatapun menjadi mual. Dorongan kepala itu telah menghilangkan keseimbangannya sehingga keduanya telah jatuh berguling di tanah.
Tetapi tangan Bharata yang kuat kemudian telah mendorong dagu lawannya yang melepaskan lambungnya dan berusaha mencekiknya. Ketika wajah itu terangkat, maka kaki Bharata justru telah menggapainya. Dengan hentakan yang keras, maka orang itu telah terlempar beberapa langkah. Hampir saja kepalanya membentur tonggak-tonggak bambu yang bertebaran di bawah rumpun yang lebat.
Bharata dengan sigapnya telah meloncat bangkit. Kemarahannya benar-benar telah membakar ubun-ubunnya. Namun Bharata terhenyak sejenak, ketika ia melihat kawan dari lawannya telah meloncat menolong lawannya itu. Demikian lawannya itu bangkit, maka mereka berdua telah bersiap untuk bertempur bersama-sama.
Tetapi Bharata sama sekali tidak menjadi cemas menghadapi mereka berdua. Bahkan ia berharap dengan demikian, persoalannya akan cepat selesai.
Sejenak kemudian, maka sebenarnyalah Bharata harus bertempur melawan kedua orang lawan. Tetapi keadaan Bharata memang lebih baik dari kedua lawannya. Karena keinginannya untuk dengan cepat menyelesaikan perkelahian itu, maka iapun dengan tidak sengaja telah meningkatkan ilmunya sehingga serangan-serangannya sulit dihindari. Bahkan ketika kakak anak muda yang sering mengganggu Riris itu merasa mendapat kesempatan dan menyerangnya dengan sepenuh tenaga, maka Bharata telah membenturnya. Ia sama sekali tidak berusaha untuk menghindar.
Namun demikian benturan terjadi, maka lawannya itu telah terlempar beberapa langkah surut. Bahkan kemudian telah kehilangan keseimbangannya dan terjatuh pada lututnya. Sementara itu kawannya telah berusaha untuk menyerangnya pula. Tetapi seperti lawannya yang lain, serangannya telah membentur pertahanan Bharata yang kuat, sehingga iapun telah terpental beberapa langkah pula. Bahkan Bharata ternyata telah memburunya dan menyerang dadanya dengan kakinya.
Orang itu terbanting jatuh di tanah. Ia menggeliat sambil mengerang. Punggungnya terasa betapa sakitnya. Tetapi ia masih juga berusaha untuk bangkit.
Bharata memang sudah tidak harus bekerja keras. Kedua lawannya sudah menjadi semakin lemah.
Meskipun demikian sejenak kemudian Bharata masih harus bertempur lagi melawan kedua orang itu.
Pada saat yang demikian, ia sempat melihat anak muda yang sering menggoda Riris, yang dadanya telah menjadi kesakitan karena pukulan Bharata dengan tangkai pisau belati ternyata masih juga berusaha untuk berbuat sesuatu. Sambil menyeringai ia mencoba mendekati Riris. Ia ingin menangkap Riris dan menjadikannya taruhan, agar Bharata menghentikan perlawanannya.
Bharata yang sedang melayani kedua lawannya sempat memberi peringatan kepada Riris, "Riris, mundur. Orang itu akan menangkapmu. Atau kau lawan saja jika terpaksa. Ia sudah, tidak berdaya."
Namun bagaimanapun jika Riris memang menjadi ketakutan. Tertatih-tatih orang itu berusaha mendekati Riris. Sementara itu Riris mulai bergerak mundur. Ketika orang itu menjadi semakin dekat, maka Riris sudah bersiap untuk lari.
Namun tiba-tiba saja Riris merasa seseorang menangkapnya dari belakang sehingga Riris telah menjerit ketakutan. Bharata dan orang-orang yang ada di tempat itu segera melihat bahwa orang yang menangkap Riris dari belakang, dari balik rumpun-rumpun bambu yang lebat itu adalah Jangkung. Ketika Riris kemudian menyadari, bahwa yang memeganginya dari belakang itu adalah kakaknya, maka Riris pun telah memeluknya sambil menangis.
"Jangan menangis," desis Jangkung. Lalu dipandanginya laki-laki yang mendekati Riris itu dengan mata yang memancarkan kemarahan. "Sayang. Kau sudah tidak berdaya. Aku ingin pada suatu saat bertemu dengan kau dalam keadaan yang baik. Aku ingin sekali-sekali mendapat kesempatan untuk merontokkan igamu."
Anak muda yang sering mengganggu Rids itu mengeram. Tetapi ia memang sudah tidak berdaya setelah Jangkung ada di dekat adiknya. Sementara itu Bharata menjadi semakin tenang. Ia tidak lagi mencemaskan Riris yang sudah berada di tangan kakaknya. Yang dihadapinya kemudian adalah kedua orang yang sudah menjadi semakin lemah ini.
Dengan nada rendah Bharata bertanya, "Nah, apakah kalian bersedia melihat kenyataan ini" Kalian sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Riris sudah berada di tangan yang akan dapat melindunginya."
"Persetan," geram kakak anak muda yang kecewa itu. "Sudah aku katakan. Persoalan kita bukan lagi persoalan Riris. Aku tidak peduli lagi kepada gadis itu. Tetapi persoalannya adalah bahwa kau sudah menghina keluarga kami."
Bharata mengerutkan keningnya. Ia melihat kedua orang lawannya itu sudah tidak lagi dalam puncak kemampuan mereka. Tetapi ternyata mereka masih merasa mampu untuk melawannya. Karena itu, maka Bharatapun menjawab, "Terserah kepada kalian. Jika kalian masih belum mau melihat kenyataan tentang diri kalian, maka akupun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan."
"Persetan," geram kakak anak muda yang telah dikalahkannya itu. "Jika kau ingin berkelahi berdua, marilah. Kita akan bertempur dengan jumlah yang sama."
"Tidak Ki Sanak," jawab Bharata. "Dengan demikian maka adikmu akan mendapat kesempatan untuk menakut-nakuti Riris. Biarlah Jangkung melindungi adiknya, sementara itu aku akan menyelesaikan persoalan kita."
Kakak anak muda yang sering mengganggu Riris itu menggeram. Tetapi ternyata ia tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan serta merta ia telah menyerang Bharata. Ia merasa telah mendapat kesempatan untuk beristirahat, sehingga karena itu, ia berharap bahwa tenaganya akan menjadi semakin segar. Namun orang itu telah salah hitung. Ternyata bahwa tenaga Bharata masih utuh, sehingga ketika orang itu menyerang, maka Bharata telah dengan sengaja tidak menghindarinya. Ia ingin segera menyelesaikan pertempuran itu.
Karena itu, maka ketika serangan itu datang, maka Bharata justru meloncat menyongsongnya. Satu benturan yang keras telah terjadi. Bharata sendiri bergeser selangkah surut. Namun lawannya telah benar-benar terpental. Tidak hanya satu dua langkah. Tetapi lawannya itu terdorong beberapa langkah surut dan bahkan kemudian telah jatuh berguling di tanah. Demikian kerasnya ia terbanting, sehingga karena itu, maka ia tidak langsung dapat melenting berdiri.
Ketika ia mencobanya juga untuk bangkit, maka ia harus menyeringai menahan punggungnya yang kesakitan. Rasa-rasanya tulang-tulangnya telah menjadi retak. Sementara itu, lawannya yang lain berusaha untuk memanfaatkan keadaan. Ketika Bharata tergeser selangkah surut, maka ia pun telah meloncat menyerang pula. Satu loncatan panjang dengan tangan terjulur lurus ke arah kening. Tetapi Bharata yang tergeser surut itu tidak menjadi kehilangan penguasaan diri.
Karena itu, demikian serangan itu datang, maka ia telah bergeser selangkah ke samping, merendah dan dengan cepat menempatkan tangan lawannya yang terjulur itu di atas pundaknya. Satu tarikan yang kuat telah melontarkan lawannya berputar di atas pundaknya. Satu hentakkan yang keras telah membanting lawannya itu jatuh pada punggungnya. Terdengar satu teriakan kesakitan. Ketika Bharata melepaskan tangannya, maka orang itu telah berguling-guling beberapa kali, karena kesakitan yang amat sangat. Sambil mengaduh menahan sakit ia menyeringai sambil memegangi pinggangnya yang bagaikan patah.
Bharata tiba-tiba telah kehilangan kesabaran. Sekali ia meloncat dengan loncatan panjang. Lawannya tidak menyangka bahwa dengan satu loncatan, Bharata dapat menggapainya. Namun tiba-tiba saja terasa telapak tangan Bharata itu telah melekat di wajahnya. Satu pukulan telapak tangan yang sangat keras, sehingga orang itu terdorong surut dan wajahnya telah terputar setengah lingkaran.
Bukan saja wajahnya yang terkena pukulan itu yang sakit, tetapi juga lehernya yang tiba-tiba saja terputar ke samping. Bahkan kemudian diketahuinya bahwa dua buah giginya telah patah, sehingga darahpun mulai mengalir dari sela-sela bibirnya.
"Sekali lagi aku peringatkan. Pergi dari sini atau aku akan benar-benar kehilangan kesabaran. Aku dapat menyakitimu, membunuhmu atau membuat kau cacat sebagaimana ingin kau lakukan atasku." Bharata benar-benar menjadi sangat marah. Getaran suaranya menjadi lebih keras daripada saat-saat ia masih bertempur melawan orang-orang itu.
Ternyata kemarahannya itu berpengaruh juga atas lawan-lawannya. Mereka tidak berani menjawab lagi. Bahkan kemudian mereka telah bergeser surut. Anak muda yang sering mengganggu Riris itu telah membantu kawannya yang kesakitan untuk bangkit dan melangkah menjauhi Bharata yang sorot matanya menjadi kemerah-merahan karena marah.
Sejenak kemudian, maka ketiga orang itupun telah tertatih-tatih meninggalkan rumpun bambu itu. Mereka bertiga telah menjadi kesakitan. Anak muda yang sering mengganggu Riris itupun setiap kali menyeringai menahan sakit. Badannya bagaikan terluka di dalam. Tulang-tulang iganya bagaikan berpatahan.
Namun mereka bertiga memang harus menyingkir. Jika tidak, agaknya Bharata benar-benar tidak akan dapat mengekang dirinya lagi.
Ketika ketiga orang itu telah hilang di balik rumpun-rumpun bambu, maka Bharatapun telah mendekati Riris yang masih berpegangan kakaknya dengan erat. Bahkan ia masih saja menangis terisak-isak.
"Semuanya sudah lewat," desis Bharata. "Marilah kita pulang."
"Terima kasih Bharata," desis Jangkung.
"Kakang seharusnya tidak meninggalkan aku sendiri," tangis Riris di sela-sela isaknya.
"Bukankah kau juga tidak sendiri, Riris" Bukankah kau bersama dengan Bharata yang telah menyelamatkanmu?" sahut Jangkung Jaladri.
Tetapi Riris menjawab, "Seharusnya kakang menemani aku sampai ke rumah."
"Aku minta maaf Riris. Aku tidak mengira bahwa hal seperti ini akan terjadi. Aku tidak mengira bahwa mereka menjadi gila justru di siang hari, di hari pasaran lagi, saat-saat jalan menjadi lebih ramai," jawab kakaknya.
"Mereka mendorong aku memasuki kebun bambu yang luas ini kakang," jawab Riris.
"Sudahlah. Ternyata kau selamat. Kita semua harus mengucapkan terima kasih kepada Bharata. Aku, kau, ayah dan ibu," berkata Jangkung kemudian.
Riris tidak berbicara lagi. Ia pun menyadari, jika ia masih saja menyalahkan Jangkung, Bharata akan dapat tersinggung. Seakan-akan ia tidak bertanggung jawab sama sekali di saat-saat keadaan menjadi gawat.
Dalam pada itu, maka sekali lagi Bharata telah mengajak mereka untuk meninggalkan tempat itu.
"Marilah," ajak Jangkung pula. "Kita pulang. Usap air matamu agar tidak menjadi tontonan orang di sepanjang jalan."
Demikianlah, sejenak kemudian, maka mereka bertiga telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu. Bharatapun telah membenahi pakaiannya yang menjadi kotor. Bahkan basah keringatnya telah mengikat debu pada pakaiannya itu.
Riris telah mengusap air matanya dan membenahi pakaiannya pula, sehingga dengan demikian maka mereka tidak lagi terlalu menarik perhatian.
Di perjalanan pulang ketiganya hampir tidak berbicara apapun juga. Jika kawan-kawan Jangkung bertemu dan menyapanya, Jangkung memang berusaha untuk dapat tertawa. Tetapi adiknya selalu menundukkan kepalanya.
Demikian mereka sampai di rumah, maka Riris langsung memeluk ibunya. Sekali lagi ia menangis. Sementara Jangkung berkata, "Sudah Riris. Berulang kali kau menangis. Semuanya sudah lewat."
"Apa yang terjadi?" bertanya Ki Lurah Dipayuda.
Ketika Riris kemudian diajak ibunya masuk ke dalam biliknya, maka Jangkung dan Bharata sempat berbicara dengan Ki Lurah Dipayuda. Jangkung yang tidak melihat semua peristiwa minta agar Bharata sajalah yang menceriterakannya.
Bharata memang telah berceritera dari awal sampai Jangkung datang. Memang ada beberapa tuduhan yang tidak dikatakannya karena terhalang oleh perasaannya. Bharata tidak mengatakan bahwa orang-orang yang menghentikannya itu menuduhnya bakal suami Riris.
Di ruang dalam Riris pun berceritera kepada ibunya. Tetapi ia lebih banyak menyalahkan kakaknya yang meninggalkannya sendiri.
"Bukankah kau tidak sendiri?" bertanya ibunya.
"Sendiri," jawab Riris.
"Bukankah kau bersama Angger Bharata?" bertanya ibunya pula.
"Tetapi aku belum begitu mengenalnya," jawab Riris.
"Meskipun demikian ia sudah membebaskanmu dari tangan orang-orang itu," berkata ibunya. "Kau harus berterima kasih kepadanya. Ia telah mempertaruhkan keselamatannya sendiri untuk melindungimu."
Riris hanya menundukkan wajahnya saja. Ia pun mengakui di dalam hatinya, bahwa Bharata memang telah menyelamatkannya.
Ki Lurah Dipayuda memang menjadi marah mendengar tingkah laku orang-orang itu. Mereka memang telah menghinanya. Tetapi Ki Lurah Dipayuda harus selalu menahan diri, justru karena ia bekas seorang prajurit. Bahkan sejak ia menjadi seorang prajurit. Ia tidak ingin disebut sewenang-wenang karena ia seorang prajurit meskipun sebenarnya ia hanya sekadar menegakkan harga diri keluarganya, karena anak gadisnya sering diganggu. Tetapi kadang-kadang orang tidak melihat persoalannya secara keseluruhan. Apa yang wajar dilakukan oleh orang lain, malah menuntut dan mungkin tindakan-tindakan lain, yang dilakukan oleh orang tua seorang gadis yang selalu diganggu, dapat dimengerti oleh orang banyak. Tetapi jika hal itu dilakukannya justru karena ia seorang prajurit, maka persoalannya akan berbeda. Ia akan dapat disebut sewenang-wenang dan mempergunakan kesempatan kedudukannya, tanpa menilai persoalannya secara utuh.
"Bukankah seorang prajurit juga memiliki nalar dan budi sebagaimana orang lain?" berkata Ki Lurah Dipayuda di dalam hatinya. Kemudian, "Jaga perasaan, dan harga diri."
Namun sejauh mungkin Ki Lurah Dipayuda masih berusaha untuk menahan diri. Jika persoalannya memang sudah dianggap selesai, maka Ki Dipayudapun akan menganggapnya selesai.
"Tetapi jika mereka, bertindak lebih jauh lagi, maka apaboleh buat," berkata Ki Lurah itu kepada diri sendiri.
Demikianlah, maka Jangkung Jaladripun telah mengajak Bharata, untuk beristirahat di serambi gandok.
Dengan nada rendah ia berkata, "Aku memang menyesal, telah menyulitkanmu. Untunglah bahwa kau memiliki bekal untuk mengatasi kesulitan itu. Seandainya bukan kau, maka aku tentu akan lebih merasa bersalah."
"Sudahlah," berkata Bharata. "Semuanya sudah teratasi."
"Aku tertarik dengan pembicaraan kawanku. Barangkali itu sudah sifatku. Jika ada orang berbicara tentang kuda, maka aku selalu tertarik untuk ikut serta. Apalagi jika seseorang mengatakan bahwa ia mendapat pesanan seekor kuda," berkata Jangkung.
"Tetapi itu bukan satu kesalahan karena hal itu berhubungan dengan pekerjaanmu," jawab Bharata.
"Pengalaman ini telah mengajariku, bagaimanapun juga, aku tidak boleh mengabaikan persoalan-persoalan yang lain yang tidak kalah pentingnya. Aku menjadi ngeri membayangkan, seandainya adikku sempat mereka bawa," desis Jangkung.
"Sudahlah. Apakah kau tidak mempunyai bahan pembicaraan yang lain" Sekarang, ceriterakan tentang kuda-kudamu atau barangkali kau telah mendapat pesanan baru atau kuda yang akan kau bawa kepada Ki Tumenggung itu akan kau jual lebih dahulu?" potong Bharata.
Jangkung termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Kita pergi ke sawah. Kita lihat orang-orang yang bekerja di sawah. Waktunya untuk menyiangi tanaman."
Tetapi Bharata kemudian berdesis, "Jadi kapan aku dapat melanjutkan perjalanan?"
"Ah. Itu soal mudah. Besok, besok lusa atau sepekan lagi, bukan soal," jawab Jangkung yang kemudian menarik tangan Bharata.
Bharata tidak dapat menolak. Iapun kemudian telah bangkit pula dan turun ke halaman. Namun Jangkung kemudian berdesis, "Aku akan minta diri kepada ayah, agar ayah tidak mencari kita."
Sejenak kemudian Jangkung berlari masuk rumah. Namun sebentar kemudian, ia pun telah kembali lagi ke halaman dan bersama-sama dengan Bharata ke luar dari halaman menuju ke sawah.
Sementara itu, Riris telah berada di dapur. Tetapi ia nampak selalu gelisah sehingga ibunyapun kemudian berkata, "Jika badanmu terasa kurang enak, beristirahatlah Riris. Biarlah ibu dan para pembantu menyelesaikan pekerjaan di dapur. Sebentar lagi, kita memang harus mengirimkan makanan untuk orang-orang yang bekerja di sawah. Tetapi ibu akan menyelesaikannya."
Riris termangu-mangu sejenak. Namun ibunya memang sudah dibantu oleh beberapa orang perempuan untuk menyiapkan makan dan minuman bagi orang-orang yang bekerja di sawah, serta bagi keluarga mereka.
Karena itu, maka Ririspun kemudian telah meninggalkan dapur dan turun ke halaman belakang. Di halaman belakang Riris melihat seorang gadis pembantu di rumahnya yang umurnya sebaya dengan umur Riris. Hubungan merekapun ternyata sangat akrab, karena gadis itu seakan-akan telah menjadi keluarga sendiri di rumah itu. Ketika Riris melihat gadis itu sedang sibuk membersihkan beras yang akan ditanak, maka Ririspun telah mendekat.
"Marilah. Aku bantu," berkata Riris.
"Tidak terlalu tergesa-gesa," jawab Winih, gadis itu. Lalu katanya, "Beras ini akan ditanak nanti sore. Untuk siang ini, bukankah nasi sudah hampir masak" Sebentar lagi, Setra akan membawa makanan dan minuman ke sawah."
Riris tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian duduk di dekat Winih. "Sesuatu baru saja terjadi," tiba-tiba saja Riris berdesis.
"Apa?" bertanya Winih.
"Tetapi kau berjanji?" bertanya Riris.
"Berjanji apa" Tiba-tiba saja kau minta aku untuk berjanji," desis Winih.
Riris tersenyum. Katanya, "Jangan marah Winih."
"Ah, tentu aku tidak marah. Tetapi aku menjadi bingung," jawab Winih.
"Duduklah. Bukankah beras itu baru akan ditanak sore nanti setelah matahari turun?" bertanya Riris.
"Ya," jawab Winih.
"Nanti aku bantu membersihkannya," berkata Riris.
"Ya. Ya. Dan sekarang apa?" Winih menjadi tidak sabar.
Riris justru tertawa. Katanya, "Tunggu. Aku baru bersiap-siap untuk menceriterakan sesuatu. Tetapi kau berjanji untuk tidak mengatakan kepada siapapun?"
"Rahasia?" bertanya Winih.
"Ya. Rahasia sekali," jawab Riris.
"Apakah akan ada perang lagi?" bertanya Winih dengan cemas.
"Perang itu adalah rahasia ayah," jawab Riris.
"Jadi Rahasia apa?" bertanya Winih semakin ingin tahu.
"Rahasia pribadi. Jika kau mengatakan rahasia ini kepada orang lain, maka aku akan menjadi malu sekali. Mungkin aku akan pergi dari rumah ini untuk selama-lamanya," berkata Riris.
"Ah, jangan mengada-ada Riris. Baiklah. Aku berjanji untuk tidak mengatakan rahasia pribadi itu kepada siapapun. Tidak kepada bapak dan ibuku. Tidak kepada saudara-saudaraku," janji Winih.
"Dan tidak kepada Dira," sambung Riris.
"Kenapa Dira?" bertanya Winih.
"Bukankah Dira bakal suamimu?" bertanya Riris.
"Ah, siapakah yang mengatakannya?" wajah Winih menjadi merah.
"Semua orang mengatakan bahwa besok dua pekan lagi, orang tua Dira akan datang ke rumahmu untuk melamarmu bagi Dira," jawab Riris.
Tiba-tiba saja Winih telah mencubit lengan Riris. "Kau nakal sekali. Itu hanya dongeng anak-anak yang tidak mempunyai pekerjaan. Sore hari disudut padukuhan mereka saling berkelakar. Saling mengganggu. Dan dongeng itu tersebar dari mulut ke mulut," berkata Winih sambil bersungut.
Tetapi Riris berkata, "Bagaimana jika hal itu aku dengar dari orang lain" Bukan dari anak-anak nakal yang sering duduk-duduk di sudut padukuhan" Bahkan kakang Jangkung tidak pernah mengatakannya."
"Siapa?" bertanya Winih.
"Ibumu," jawab Riris.
"Ibu?" bertanya Winih.
"Ibumu berceritera kepada ibuku. Adalah kebetulan jika aku mendengarnya. Dua pekan lagi, kau akan dilamar orang," berkata Riris sambil cepat-cepat bangkit ketika tangan Winih sudah terlanjur ke lengannya. Tetapi Winih tidak dapat mengejarnya karena di pangkuannya terletak sebuah tampah berisi beras yang sedang dibersihkannya dari satu dua butir pasir yang tercampur ke dalamnya serta sisa-sisa gabah yang belum terkelupas.
"Kau memang nakal Riris. Awas, aku akan mengatakan rahasia itu kepada semua orang," berkata Winih.
"Rahasia apa" Aku belum mengatakan kepadamu," jawab Riris.
Winih menarik napas dalam-dalam. Lalu katanya, "Baiklah. Duduklah. Ceriterakan rahasia itu kepadaku."
"Dan kau akan menceriterakannya kepada semua orang," jawab Riris yang masih berdiri.
"Tidak. Winih berjanji aku tidak akan mengatakan kepada siapapun juga."
"Kau bohong," desis Riris.
"Kita bertaruh. Jika aku bohong, potong tiga helai rambutku," berkata Riris.
"Tidak mau. Buat apa tiga helai rambut," jawab Riris.
"Baiklah Riris. Aku mengaku. Beberapa saat lagi orang tua kakang Dira akan datang ke rumahku. Aku akan dilamarnya dan sekitar dua tiga bulan lagi kami akan kawin. Tetapi semua persoalan bukan persoalanku. Aku tinggal mendengar ayah dan ibu memberi tahu kepadaku, bahwa aku akan dilamar orang. Yang akan melamar adalah Dira," berkata Winih.
"Nah, kenapa kau berbohong?" bertanya Riris.
"Ketika aku bertemu Dira di tanggul sungai sehabis mencuci pakaian, sikapnya sudah lain. Ia tidak lagi seramah biasanya. Agaknya ia pun telah diberi tahu oleh orang tuanya, sehingga kami justru berusaha mencari simpangan. Tetapi karena kami masing-masing tidak menemukannya, maka kami terpaksa berpapasan dengan kepala menunduk. Wajah ini rasa-rasanya menjadi panas," justru Winih telah berceritera.
"Aku tahu," berkata Riris.
"Apa yang kau ketahui?" bertanya Winih.
"Kau berceritera untuk memancing ceritaku," berkata Riris sambil tertawa.
Tiba-tiba saja Winih telah meletakkan tampah di pangkuannya. Begitu tiba-tiba. Kemudian bangkit dan mengejar Riris yang terlambat berlari, sehingga Winih berhasil menangkapnya. Kemudian Winih yang tubuhnya lebih besar dari Riris itu telah menggelitiknya sehingga Riris menjerit, "Sudah, sudah. Aku minta ampun.".
"Janji, bahwa kau tidak nakal lagi," berkata Winih.
"Janji," jawab Riris.
Winih tidak menggelitik lagi. Tetapi kemudian iapun telah menarik Riris dan mendudukkannya di sebelahnya.
"Nah, sekarang kau harus berceritera. Jika kau tidak mau, aku akan berkata kepada ibumu, bahwa kau mempunyai rahasia. Dan ibumu tentu akan memaksamu berbicara. Jika kau tetap tidak mau mengatakannya, maka ibumu akan bersedih." ancam Winih.
"Jangan," minta Riris.
"Jika kau mengatakan kepadaku, aku tidak akan mengatakannya kepada siapapun," janji Winih.
Riris menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Jika kau katakan rahasia ini kepada orang lain, maka aku tidak akan kau temui di rumah ini lagi."
"Ah, kau tidak usah berkata seperti itu," sahut Winih.
"Asal saja kau tahu," sahut Riris.
Winih tidak menjawab. Ia memang ingin sekali tahu, rahasia yang disebut oleh Riris. ,
Karena Winih tidak menjawab, maka Ririspun kemudian telah berceritera, bahwa ia telah dicegat oleh seseorang dan dibawa ke bawah rumpun bambu di belakang jalan menuju ke pasar. Kemudian diceriterakannya bagaimana ia telah dibebaskan oleh Bharata, tamu Ayahnya itu, sebelum kakaknya Jangkung Jaladri datang.
"Bukankah itu bukan rahasia?" bertanya Winih, "bukankah kakakmu tahu dan bukankah mereka kan menyampaikannya kepada ayah dan ibumu?"
"Ya. Tetapi rahasia itu bukan itu," jawab Riris.
"Lalu apa?" bertanya Winih.
Riris termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Anak muda yang mencegatku itu menuduh Bharata itu bakal suamiku."
"He?" Winih bertanya.
Tetapi Riris tidak mau mengulang lagi. Tiba-tiba saja ia menunjuk. Wajahnya menjadi merah dan jantungnya berdebar-debar.
Namun Winihpun berkata, "Itu juga bukan rahasia. Bukankah kakakmu mendengarnya juga dan telah menyampaikannya kepada ayah dan ibumu?"
"Kakang Jangkung Jaladri tidak mendengar tuduhan itu, karena kakang belum datang. Kakang juga tidak melihat, bagaimana orang-orang itu akan membuat cacat wajah Bharata yang dikatakannya tampan sehingga ia dapat merebut hatiku," berkata Riris. Namun kemudian, "Ah, sudahlah."
Tetapi Winih nampaknya masih belum puas. Dengan nada tinggi ia berkata, "Tetapi tunggu Riris. Seandainya kakakmu tidak mengatakan sesuatu, mungkin anak muda itu sendiri yang berceritera kepada ayah dan ibumu. Atau kepada kakakmu atau kepada orang lain. Karena itu, seandainya orang lain bertanya tentang hal itu, maka belum tentu akulah yang telah memecahkan rahasiamu. Mungkin orang lain."
"Tidak. Ia tidak akan mengatakannya kepada siapapun," sahut Riris.
"Belum tentu," jawab Winih.
"Pasti," jawab Riris pula.
"Tidak," bantah Winih. Namun ketika ia melihat mata Riris redup, maka Winih itu pun kemudian berkata lembut, "Riris. Maksudku, aku berjanji untuk tidak mengatakan kepada siapapun juga. Tidak kepada orang tuaku. Tidak pula kepada Dira atau kepada kawan-kawan kita bermain. Sehingga jika rahasia itu sampai kepada orang lain, bukan akulah yang mengatakannya."
Riris mengangguk kecil. Sementara Winih itupun berkata, "Tetapi aku sependapat dengan orang-orang yang membawamu ke rumpun, bambu itu. Maksudmu kau juga senang jika wajahnya menjadi cacat, sementara ia tidak tahu menahu persoalannya?" bertanya Riris.
"Tidak. Sudah tentu bukan itu," jawab Winih, "Tetapi aku sependapat, bahwa anak muda itu memang tampan sekali."
"Ah kau. Bukankah kau sudah mempunyai Dira?" bertanya Riris.
"Tentu. Aku sudah dijodohkan dengan Dira. Tetapi apakah aku tidak boleh mengatakan yang sebenarnya tentang seseorang?" bertanya Winih.
"Kau akan menukarkan Dira dengan orang lain?" desak Riris.
"Tentu tidak. Aku hanya mengatakan bahwa anak muda itu tampan. Tidak lebih. Aku mengatakan hal itu sebagaimana aku mengatakan bahwa kau cantik" Itu saja," jawab Winih.
"Ah kau," wajah Riris menunduk. Tetapi ia tidak segera mengatakan sesuatu.
Winih pun tidak bertanya lebih lanjut. Ia mencoba memusatkan perhatiannya pada beras di tampah yang kemudian telah dipangkunya lagi. Sekali ia berdiri untuk menampi beras itu. Kemudian sekali lagi ia memungut butir-butir pasir dan gabah yang tertinggal.
"Ah, aku akan ke dapur," berkata Riris.
"Di dapur sudah banyak orang. Itu sebabnya aku lebih senang disini," sahut Winih.
"Tetapi saatnya pergi ke sawah untuk mengirim makanan," jawab Riris. Lalu katanya, "Aku biasanya membantu menatanya. Nampaknya sekarang sudah agak terlambat."
Ririspun kemudian bangkit berdiri sambil berkata, "Nanti aku kembali."
Ketika Riris masuk ke dapur, ibunya memang sedang sibuk mengatur makanan dan minuman sehingga keringatnya membasahi keningnya. Sementara yang lain masih menyelesaikan pekerjaan yang lain. Menyiapkan lauk-pauk dan sayur.
Riris pun kemudian telah membantu ibunya, karena ia tahu bahwa ibunya sudah menjadi gelisah, karena Setra yang sering membawa makanan ke sawah sudah berjalan hilir mudik di muka pintu dapur.
"Duduklah Setra," minta ibunya. "Jika kau hilir mudik saja di muka pintu kami justru menjadi bingung."
Tetapi Setrapun sudah gelisah pula. Jika terlambat, maka orang-orang di sawah itu menyalahkannya. Mereka tidak berani menyalahkan Nyi Lurah Dipayuda.
Namun akhirnya semuanya telah siap. Nasi yang masih panas. Sayur yang juga masih panas dan minuman yang panas juga.
"Hati-hati," berkata ibu Riris. "Kau tidak perlu tergesa-gesa. Nanti tumpah. Jangkung dan Bharata juga ada di sawah. Mungkin mereka akan ikut makan juga bersama orang-orang yang sedang menyiangi sawah dan memperbaiki pematang."
Namun tiba-tiba saja Riris bertanya, "Apakah aku ikut membantu membawa makanan ke sawah?"
Ibunya mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab, "Jangan Riris. Sebaiknya kau tetap berada di rumah. Jika kau pergi hanya dengan Setra, maka kemungkinan yang lebih buruk akan dapat terjadi atasmu di jalan. Mungkin di ujung padukuhan atau mungkin di bulak sebelah." Riris mengangguk.
Katanya, "Ya ibu. Aku mengerti."
Karena itu, maka seperti biasanya Setra pergi sendiri dengan membawa tenong susun di atas kepalanya. Ia melangkah berhati-hati, sementara sebelah tangannya menjinjing gendi yang besar, yang lehernya masih sedikit panas, karena wedang jahe di dalamnya masih juga hangat. Demikian Setra ke luar dari dapur, maka ibu Ririspun menarik napas dalam-dalam sambil duduk di amben di muka pintu. Udara yang bertiup dari halaman samping terasa sejuk mengipasi tubuhnya yang basah oleh keringat.
"Kita memang sudah terlambat mulai," berkata ibu Riris itu.
"Ya," jawab Riris yang kemudian duduk di sampingnya.
"Kau tidak beristirahat Riris. Kau memerlukan ketenangan," berkata ibunya,
"Aku bersama Winih di luar ibu. Winih sedang membersihkan beras," jawab Riris. Ibunya mengangguk-angguk. Jika Riris sempat melakukan sesuatu, maka ia akan dapat menyingkir dari kegelisahannya karena sikap anak muda yang tidak tahu adat itu.
Namun ibunya masih juga bertanya, "Sekarang kau akan berbuat apa" Beristirahat atau kembali kepada Winih atau apa?"
Riris termangu-mangu sejenak. Karena ia tidak segera menjawab maka ibunya telah berkata, "Atau sediakan saja makan siang ayahmu. Kita akan makan bersama-sama. Kakakmu dan tamu ayahmu itu agaknya akan ikut makan di sawah. Bagi Bharata, tentu merupakan hal yang sangat menarik. Karena itu, kita akan makan bertiga saja bersama ayahmu."
Riris mengerutkan keningnya. Ia tidak menjawab. Namun Riris itupun segera mempersiapkan mangkuk dan kelengkapan makan bagi mereka bertiga dan mengaturnya di ruang dalam. Ibunya telah membawa nasi di dalam ceting bambu serta sayur dan lauk-pauknya. Ki Lurah tidak pernah melupakan sambal terasi tetapi tidak begitu pedas. Beberapa saat kemudian, mereka bertiga telah duduk di ruang tengah, di sebuah amben yang besar untuk makan bersama. Tidak seperti hari sebelumnya, Riris yang merasa segan untuk makan bersama tamu ayahnya. Hari itu ia justru merasakan satu perasaan yang aneh, bahwa Bharata tidak makan bersama mereka siang itu.
Sementara itu, Bharata dan Jangkung yang berada di sawah telah ikut membantu para pekerja yang sedang menyiangi tanaman serta memperbaiki pematang dan tanggul parit yang semakin aus. Sebelum tanggul itu putus, maka Ki Lurah Dipayuda telah mengupah beberapa orang untuk memperbaikinya sekaligus menyiangi rumput yang tumbuh semakin besar. Ketika matahari sudah terlalu tinggi, terasa orang-orang yang bekerja itu menjadi gelisah. Bharata dan Jangkung yang datang ke sawah, demikian mereka mendekat, orang-orang itu tiba-tiba saja telah bersorak. Tetapi kemudian seseorang berkata, "O, ternyata Jangkung tidak membawa apa-apa."
"He, kenapa?" bertanya Jangkung.
"Tidak apa-apa," jawab orang itu. Tetapi yang lain menjawab, "Matahari itu terlalu cepat berjalan."
Jangkung akhirnya mengerti maksud orang-orang itu. Karena itu sambil tertawa ia berkata, "Hari ini, semuanya tertunda. Salahnya ayam jantan yang tadi pagi terlambat berkokok. Sehingga kami semuanya terlambat bangun. Ibu dan pembantu-pembantunya yang menyiapkan makan dan minum kalian juga terlambat bangun sehingga terlambat pergi ke pasar." Karena Jangkung berteriak sambil tertawa, maka orang-orang itupun tertawa juga.
Seorang di antara mereka berkata, "Jangkung. Sejak kapan pematang sawahmu meliuk-liuk?" Sebelum Jangkung menjawab, yang lain berteriak, "Aku sudah tidak dapat lagi membedakan antara tanaman sawahmu dengan rerumputan. Aku takut kalau yang aku cabuti justru batang-batang padi sehingga yang tertinggal justru rumput-rumput liarnya."
"Jika kau keliru mencabut, aku cabuti rambut di kepalamu," jawab Jangkung yang bersama Bharata telah ikut bekerja di sawah pula.
Tetapi tiba-tiba saja yang lain berteriak, "He, lihat. Siapa yang datang?"
Ternyata Setra telah meniti pematang mendekati tempat mereka bekerja sambil membawa tenong susun di kepalanya dan menjinjing gendi di tangan kanannya.
Sebelum seseorang menyahut, Setralah yang berteriak, "He, bantu aku menurunkan tenong dan meletakkan gendi ini."
"Lakukan sendiri," teriak seseorang. "Kau sudah datang terlambat. Bahkan terlambat sekali. Sekarang kau akan memerintahkan kami."
"Cepat. Kalau tidak, aku lepaskan begitu saja gendi ini. Jika pecah, bukan urusanku. Aku tidak merasa haus sama sekali. Kalianlah yang memerlukannya," geram Setra.
"He, kenapa tiba-tiba kau, jadi pemarah?" bertanya seorang di antara para pekerja itu. Namun ia melangkah mendekati Setra sambil berkata, "Jika kau pecahkan gendi itu, maka kau akan kami suapi dengan lumpur."
"Kenapa kau salahkah aku. Yang terlambat bukan aku. Aku sudah siap tadi ketika matahari sepenggalah. Kenapa kau tidak mencoba marah kepada Jangkung yang ada di sini sekarang?" bertanya Setra.
"Tidak. Jika kami menyalahkan Jangkung, Jangkung dapat mengambil langkah-langkah lain. Jika Jangkung minta agar aku besok tidak usah datang kemari, maka habislah harapanku untuk dapat kawin nanti bersamaan dengan musim panen tiba," jawab orang itu. Tiba-tiba saja yang lain tertawa meledak.
Tetapi Setra masih saja berteriak, "Cepat. Aku sudah capai sekali."
Orang yang mendekatinya itu akhirnya menerima gendi itu sambil berdesis, "Ah, jangan menangis. Biar Jangkung saja yang menangis."
"Awas kau. Aku bawa kembali saja tenong susun ini," geram Setra.
Sekali lagi terdengar suara tertawa meledak. Namun Jangkung telah mendekatinya dan membantu menurunkan tenong susun yang ada di kepala Setra. Ternyata Jangkung dan Bharata yang ikut makan bersama-sama dengan orang-orang yang bekerja di sawah itu mempunyai keasyikan tersendiri. Setelah mereka bekerja dengan punggung yang disengat panasnya matahari pagi sampai mencapai puncaknya, serta kaki yang terbenam dalam lumpur, mereka duduk di pematang tanpa mencuci muka dan kaki, makan sambil berkelakar serta minum dari gendi yang besar berganti-ganti.
Bharata yang sudah lama tidak berada di sawah, rasa-rasanya telah mengenang kembali satu kehidupan yang dialaminya baik di Tanah Perdikan Sembojan maupun di padepokan kecilnya. Namun dengan demikian, tiba-tiba kegelisahannya tentang Tanah Perdikannya telah mengusik perasaannya.
Namun dalam kelakar yang riuh, untuk sementara Bharata berhasil melupakannya. Ia larut dalam kegembiraan anak-anak muda sebayanya yang sedang beristirahat setelah bekerja keras. Bahkan kedatangan makanan dan minuman yang agak terlambat itu telah membuat mereka semakin bernafsu untuk makan sekenyang-kenyangnya dan minum sepuas-puasnya.
"He, kenapa kau tidak makan bersama kami, Setra?" bertanya salah seorang di antara mereka.
"Makan sajalah lebih dahulu," jawab Setra. "Jika kurang, aku dapat makan di rumah nanti."
Namun yang lain berkata, "Masih cukup banyak untuk kau makan bersama kami sekarang. Mari, jangan malu-malu. Lodeh rebung dan rempeyek udang dan wader pari."
Jangkung yang tertawa juga berkata, "Marilah Setra. Masih cukup. Daripada kau bawa pulang lebih baik makan saja bersama kami."
Setra memang ragu-ragu. Ia melangkah mendekat. Tetapi ketika ia melihat bahwa nasi memang masih cukup, demikian pula sayur dan lauknya, maka iapun telah ikut makan bersama dengan orang-orang yang bekerja di sawah itu.
"Jika sampai di rumah Nyi Lurah minta kau makan lagi, itu adalah keuntunganmu," berkata seorang kawannya yang bertubuh gemuk dan makan paling banyak di antara mereka.
"Kau kira perutku rangkap," jawab Setra. "Jika disini aku sudah kenyang, apakah sampai di rumah, aku begitu tiba-tiba menjadi lapar?"
"Kau marah lagi?" bertanya anak yang gemuk itu.
"Tidak. Buat apa aku marah?" Setra bersungut-sungut.
Namun Jangkung kemudian menggamitnya sambil menuding segulung gembrot sembukan, "He, kau tidak suka gembrot sembukan?"
Setra tidak menjawab. Dipandanginya gulungan-gulungan lauk yang dibungkus dengan daun pisang itu. Namun tangannyapun kemudian telah menyambarnya.
Sementara Jangkung dan Bharata makan sambil berkelakar sehingga tidak terasa teriknya matahari membakar kulit, di rumah Riris makan bersama dengan ayah dan ibunya dalam suasana yang berbeda.
Ayahnya yang mengerti bahwa Riris tidak senang jika ayahnya menyinggung tentang peristiwa yang dialaminya pagi tadi, sama sekali tidak mengucapkannya. Ayahnya berbicara tentang hal-hal yang lain, yang menyangkut kehidupan mereka sehari-hari.
Namun berbeda dengan biasanya, Riris telah menjadi pendiam. Ia lebih banyak merenung. Tidak banyak yang dikatakannya, meskipun ibunya telah membicarakan rencana untuk memperluas dapur yang terasa sempit.
Tetapi ayah dan ibunya menghubungkan sikap Riris itu dengan sikap anak muda yang telah menakut-nakutinya itu. Bahkan nampaknya anak muda itu dengan sungguh-sungguh ingin melukai wajah Bharata. Karena itu, maka ayah dan ibunya berusaha untuk tidak mengungkit perasaan anak gadisnya.
Riris memang masih dibayangi oleh peristiwa itu. Bulu-bulunya masih terasa bergetar jika ia sempat membayangkan apa yang telah terjadi di bawah rumpun bambu itu. Jika saja anak muda yang bernama Bharata itu tidak mampu mengalahkan lawan-lawannya, lalu apa yang terjadi dengan dirinya"
Dengan demikian maka suasana di rumah Ki Lurah itu terasa lengang. Setelah membenahi perangkat yang dipergunakan untuk makan siang, maka Riris telah menjenguk ke belakang dapur. Tetapi ia tidak lagi menjumpai Winih di tempatnya. Ketika ia bertanya kepada seseorang, maka orang itu menjawab, "Baru saja Winih ke pakiwan untuk membersihkan dan membenahi pakaiannya yang terkena serbuk ketika ia menampi beras."
"Apakah Winih belum makan?" bertanya Riris.
"Belum. Agaknya ia baru akan makan di dapur," jawab orang itu.
Sebenarnyalah sejenak kemudian Riris melihat Winih menuju ke pintu dapur. Ketika ia kemudian melangkah masuk, maka iapun bertanya, "Kau sudah makan Riris?"
"Baru saja. Mengantarkan ayah dan ibu makan," jawab Riris. "Makanlah. Bukankah kau belum makan?"
Karena Winih kemudian makan bersama beberapa orang perempuan di dapur, maka Ririspun telah meninggalkan dapur dan pergi ke serambi samping.
Sejenak ia duduk, sambil memandangi dedaunan di halaman yang bergerak-gerak disentuh angin.
Ki Lurah Dipayuda dan Nyi Lurah sama sekali tidak mengganggunya. Dibiarkannya anak gadisnya berangan-angan. Apalagi menurut pendapat Ki Lurah dan Nyi Lurah, anak gadisnya memang sudah menjadi semakin dewasa.
Peristiwa yang terjadi di bawah rumpun bambu itu akan mendorongnya untuk mengambil sikap sejalan dengan usia dewasanya.
Meskipun kakaknya, Jangkung masih juga belum menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mempunyai hubungan dengan seorang gadis, tetapi persoalannya memang berbeda. Jangkung tidak akan mengalami kesulitan sebagaimana dialami oleh Riris.
"Jika pada suatu saat Riris menjadi isteri seseorang, maka tidak akan ada orang yang akan mengganggunya lagi," berkata Nyi Lurah di dalam hatinya.
Adalah di luar sadarnya, ketika kemudian sambil membenahi alat-alat yang telah dicuci Nyi Lurah membayangkan kehadiran Bharata di dalam keluarganya.
"Ah," desahnya di dalam hati, "Kami belum tahu siapa anak muda itu. Siapa orang tuanya dari dimana tempat tinggalnya."
Namun bagaimanapun juga nama Bharata telah terlintas di setiap hati seisi rumah itu. Ki Lurah Dipayuda telah mengenalnya dengan baik dan bahkan mengaguminya. Sementara itu Riris sendiri telah dihinggapi perasaan aneh terhadap anak muda yang belum begitu dikenalnya itu.
Ibunya melihat beberapa kelebihan pada anak muda itu, sedang Jangkung nampaknya sesuai benar dengan sikap Bharata.
Dalam pada itu Bharata sendiri memang mulai memperhatikan gadis itu. Namun demikian Bharata tidak dapat mengesampingkan kecemasannya tentang Tanah Perdikan Sembojan. Jika orang-orang Demak yang berada di Pajang menentukan lain dari surat kekancingan yang terdahulu, maka Tanah Perdikan itu akan menemui kesulitan untuk dapat bertahan. Ketidakhadiran seorang Kepala Tanah Perdikan yang sebenarnya akan dapat menjadi alasan langkah-langkah para pemimpin di Pajang. Apalagi jika diajukan laporan-laporan yang sengaja mengaburkan kemungkinan kelanjutan dari Tanah Perdikan itu. Mungkin fitnah atau semacam sikap iri hati dari seseorang.
Karena itu, meskipun ia merasa terikat dengan tempat tinggal Ki Lurah Dipayuda yang dikenalnya sebagai seorang yang baik dengan sikap kebapaan selama ia memimpin sepasukan prajurit, apalagi ternyata di rumah itu terdapat seorang gadis yang sangat menarik bagi Bharata, namun rasa-rasanya Tanah Perdikan Sembojan telah memanggil-manggil.
Demikianlah, menjelang matahari turun di sisi Barat, maka Bharata dan Jangkung telah pulang dari sawah bersama-sama dengan para pekerja yang lain sambil membawa alat-alat mereka dan meletakkannya di sebelah dapur. Para pekerja itu masih mendapat suguhan minum dan makanan sebelum mereka meninggalkan rumah itu untuk melanjutkan pekerjaan mereka besok pagi.
"Besok aku akan ke sawah lagi," berkata Jangkung kepada kawan-kawannya yang bekerja di sawahnya.
"Tidak usah," sahut salah seorang dari mereka.
"Kenapa?" bertanya Jangkung.
"Kau sangat mengganggu kami," jawab kawannya itu.
"Kenapa mengganggu" Bukankah aku justru membantu," sahut Jangkung keheranan.
Kawannya itu tertawa. Katanya, "Justru kau bantu itu pekerjaan akan cepat selesai. Selain itu, jika kau ada di sawah, kami tidak sempat beristirahat."
"Ah," Jangkung tertawa pula. Katanya, "Awas besok aku awasi kalian bekerja. Jika kalian malas, maka gaji kalian akan dipotong sepertiga. Setra akan datang semakin lambat ke sawah dan yang akan di bawah bukan lagi tenong susun, tetapi tenong selembar."
Kawan-kawannya tertawa. Namun sejenak kemudian, mereka telah pulang ke rumah masing-masing.
Jangkung dan Bharatapun kemudian bergantian mandi pula. Merekapun setelah membenahi diri duduk-duduk di serambi gandok sambil menunggu senja turun. Sementara di pendapa dan di bilik dan ruangan rumah itu lampu sudah mulai dinyalakan.
Ketika Riris menghidangkan minuman hangat, tiba-tiba saja Jangkung ingin menggodanya.


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"He, untuk siapa minuman ini?" bertanya Jangkung.
"Untuk kakang," jawab Riris.
"Kenapa dua," bertanya Jangkung pula.
Ternyata Riris mulai dapat menjawab, "Kakang satu, untuk tamu ayah satu."
"Biasanya kau tidak membawa minumanku kemari. Biasanya kau suruh aku mengambil sendiri di dapur." berkata Jangkung.
Tetapi jawaban Riris justru tenang, "Kau tidak perlu menggodaku lagi kakang."
Riris tidak menunggu jawaban kakaknya. Iapun segera meninggalkan serambi gandok yang mulai menjadi suram oleh senja yang turun semakin gelap.
"Riris," Jangkung tiba-tiba saja menyusulnya.
Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Sikapmu nampak bersungguh-sungguh."
"Jadi, menurut kakang, aku harus selalu bersikap seperti kanak-kanak?" justru Riris bertanya.
Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Sambil menepuk bahu adiknya ia berkata perlahan sekali, "Maafkan aku Riris. Selama ini aku memang masih menganggapmu kanak-kanak. Kaupun bersikap seperti kanak-kanak. Tetapi ternyata pada suatu saat, dengan cepat hatimu berkembang. Dan tiba-tiba aku merasa berhadapan dengan gadis dewasa."
Riris tidak menjawab. Dipandanginya kakaknya dengan mata yang tiba-tiba nampak mengembun.
"Kau marah Riris?" bertanya kakaknya.
Riris menggeleng. Suaranya sendat, "Tidak kakang."
Jangkung tahu, bahwa adiknya memang tidak marah. Tetapi sesuatu telah bergejolak di hati gadis itu. Mungkin peristiwa yang terjadi di bawah rumpun bambu itu telah menempa jantungnya. Atau kehadiran seorang anak muda di rumahnya telah membuatnya lebih bersikap dewasa.
Tetapi Jangkung tidak bertanya lagi. Dibiarkannya Riris kemudian berjalan menuju ke dapur sambil mengusap matanya yang basah.
Riris tidak menunjukkan gejolak di hatinya itu kepada ibunya. Gadis itu langsung menuju ke belakang dapur dan mencari Winih yang sudah berkemas untuk pulang.
Winih, gadis yang umurnya hampir sebaya melihat mata Riris yang semburat merah. Dengan kening yang berkerut ia bertanya, "Kenapa Riris?"
"Kakang Jangkung selalu menggangguku. Ia menganggap aku masih saja seperti kanak-kanak. Ia tidak mengerti, bahwa aku telah tumbuh sebagaimana dirinya sendiri," desis Riris.
Winih tersenyum. Meskipun umurnya sebaya, tetapi Winih nampak lebih dewasa karena pengalaman hidupnya yang berbeda. Winih yang hidup dalam suasana yang lebih sempit dari Riris itu justru telah lebih banyak mengalami pahit manisnya kehidupan.
"Sudahlah Riris," berkata Winih, "itu adalah pertanda bahwa kakakmu itu sangat mengasihimu. Aku iri mempunyai seorang kakak yang sangat memperhatikan adiknya. Aku juga mempunyai kakak. Bahkan tidak hanya seorang, tetapi dua. Namun tidak seorangpun di antara mereka yang memperhatikan aku sebagaimana Jangkung memperhatikanmu."
Riris mengangguk kecil. Dengan nada lembut Winih berkata, "Nah, sekarang kau dapat mencuci muka di pakiwan. Aku akan minta diri. Besok aku akan datang lebih awal untuk menumbuk padi."
Riris mengangguk pula. Katanya, "Bagaimana jika kau datang bukan besok pagi?"
Winih termangu-mangu. Tetapi ia bertanya, "Lalu kapan?"
"Nanti malam," jawab Riris.
Winih tersenyum pula. Katanya, "Malam nanti aku harus menemani ibuku. Ayahku pergi untuk dua hari."
"Kemana?" bertanya Riris di luar sadarnya.
"Adik ayahku minta ayah mewakilinya melamar seorang gadis bagi anak paman itu," jawab Winih.
"O," Riris mengangguk-angguk kecil. Iapun kemudian bertanya, "Kenapa ibumu tidak pergi?"
"Ayah pergi bersama kakakku yang sulung. Hanya untuk melamar. Ibu akan pergi nanti jika hari perkawinan itu tiba. Malam nanti ayah akan pergi ke rumah gadis yang akan dilamar itu bersama keluarga terdekat paman. Dan karena itu, maka ayah malam nanti bermalam di rumah paman," jawab Winih.
Riris masih saja mengangguk-angguk. Desisnya, "Baiklah."
Winih memang menjadi termangu-mangu melihat sikap Riris. Tetapi ia memang harus pulang. Ia tidak terbiasa bermalam di rumah itu. Apalagi ia berharap masih dapat bertemu dengan Dira yang sering berjalan lewat depan rumahnya. Meskipun sejak orang tua Dira datang melamarnya hubungannya justru seakan-akan menjadi tersekat oleh perasaan malu dan segan, namun Winih selalu berharap dapat bertemu dengan anak muda itu.
Sepeninggal Winih, Riris telah masuk kembali ke dapur. Ia melihat ibunya sudah sibuk menyiapkan makan malam.
"Apakah Winih sudah pulang?" bertanya ibunya.
"Sudah ibu. Baru saja," jawab Riris.
"Sendiri?" bertanya ibunya pula.
"Ya sendiri," jawab Riris. Lalu katanya, "Malam masih belum terlalu gelap."
Ibunya tidak menjawab. Tetapi katanya, "Siapkan makan ayahmu dan tamunya Riris. Bersama dengan kakakmu sekali."
Riris menjadi ragu-ragu. Ibunya tidak mengatakan bahwa ibunya dan Riris sendiri akan makan bersama.
Karena itu, dengan jantung yang berdebaran Riris bertanya, "Hanya bertiga ibu?"
Ibunya termangu-mangu sejenak. Dengan wajah yang cerah ia telah membantu ibunya menyiapkan makan malam di ruang dalam, di bawah lampu minyak yang terang.
Namun ketika kemudian ayah, tamunya dan kakaknya duduk untuk makan bersamanya dan ibunya, maka Bharata telah menyatakan bahwa besok pagi-pagi ia akan minta diri.
"Begitu tergesa-gesa?" bertanya Ki Lurah Dipayuda.
"Aku sudah sangat rindu kepada keluargaku Ki Lurah," jawab Bharata, "sejak aku menjadi seorang prajurit, aku belum pernah membuat keluargaku gelisah."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa orang tua Bharata tentu selalu menunggu beritanya. Apalagi Pajang telah kalah. Berbagai gambaran tentu telah membayang. Diikuti oleh ketidakpastian pimpinan pemerintahan yang kemudian berkuasa di Pajang justru bukan Mataram.
Karena itu, sebagai seorang tua yang mempunyai anak sebaya dengan Bharata, maka Ki Lurah Dipayuda menjawab, "Baiklah Bharata. Aku memang tidak akan dapat menahanmu terlalu lama disini. Namun kami sekeluarga tidak akan pernah melupakan, bahwa kau telah berbuat sesuatu bagi keluargaku. Kau telah menyelamatkan Riris dengan mempertaruhkan keselamatanmu sendiri."
"Ah," desis Bharata, "bukankah itu sudah menjadi kewajiban seseorang. Siapapun wajib melakukannya jika terjadi pelanggaran atas hak seseorang."
Ki Lurah Dipayuda mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia kemudian berkata, "Bagaimanapun juga, aku berharap bahwa kau akan bersedia datang lagi ke rumahku ini setelah kau bertemu dengan keluargamu."
Bharata mengangguk-angguk. Dengan nada ragu ia menjawab, "Ya Ki Lurah. Pada suatu kali, aku tentu akan datang lagi."
"Aku tidak akan sekedar menunggu kau datang ke rumah ini. Aku akan pergi ke rumahmu," berkata Jangkung tiba-tiba, "He, dimana rumahmu?"
Pertanyaan itulah yang paling ditakuti oleh Bharata. Karena itu, maka keringatnyapun tiba-tiba telah membasahi punggungnya.
Untunglah bahwa ia masih sempat berpikir, sehingga iapun menjawab, "Rumahku sulit untuk dijelaskan. Lain kali saja aku akan datang kemari. Nah, besok kita akan bersama-sama pergi ke rumahku yang terletak di sebuah padukuhan kecil terpencil yang terletak di salah satu jalan simpang ke Madiun."
Jangkung mengerutkan keningnya. Dengan heran ia bertanya, "Tetapi kenapa kau mengambil jalan melewati padukuhan ini?"
"Aku bertemu dengan Ki Lurah di perjalanan sehingga aku harus mengambil jalan ini karena aku akan singgah di rumah ini. Tetapi aku akan dapat menempuh jalan pintas untuk mencapai tempat tinggalku." Jawab Bharata.
"Nampaknya kau rahasiakan tempat tinggalmu," berkata Jangkung tanpa niat apapun juga.
Bharatapun mengerti bahwa Jangkung tidak berniat apapun juga. Karena itu, maka iapun menjawab, "Sebenarnya selain tempatnya rumit, akupun malu mendapat kunjunganmu. Aku adalah anak seorang yang sangat miskin."
Jangkung justru tertawa. Katanya, "Kau kira aku anak orang kaya."
Bharata tidak menjawab. Namun Ki Lurahlah yang memotong, "Sudahlah. Kita berharap bahwa Bharata akan segera datang lagi kemari. Kemudian kau ikut bersamanya. Aku yakni bahwa Bharata tidak akan memutuskan hubungannya dengan keluarga kita begitu saja."
Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun terdiam.
Riris sendiri tidak ikut dalam pembicaraan itu. Ia hanya mendengarkan saja sambil sekali-sekali menghirup minuman hangatnya. Namun ada sesuatu yang tergetar di hatinya. Riris tidak tahu kenapa ia tiba-tiba saja berharap bahwa Bharata akan berada di rumahnya lebih lama lagi.
Tetapi nampaknya sudah menjadi keputusan, bahwa Bharata akan meneruskan perjalanan di keesokan harinya. Sejenak kemudian maka suasana menjadi hening. Mereka berlima telah mulai menyuapi mulut mereka masing-masing.
Jangkung yang terbiasa makan sambil sekali-sekali berbicara, ternyata juga tidak mengatakan sesuatu. Namun tiba-tiba saja, dengan tergesa-gesa ia menelan makanan yang sedang dikunyahnya. Ada sesuatu yang teringat di kepalanya. Dengan serta merta ia berkata, "Besok kau dapat membawa kudaku seekor. Pilih yang mana saja asal bukan yang terbaru, karena kuda itu sudah ditawar orang."
"Ah kau," potong ayahnya. "Jika kau memang ingin memberi kesempatan Bharata memilih, biar ia memilih yang manapun."
Jangkung mengerutkan keningnya. Namun iapun mengangguk-angguk sambil berkata, "Ya. Ya. Kau dapat memilih yang manapun yang kau ingini. Penawaran itupun masih belum mendekati harga yang aku minta, sementara aku berbicara tentang harga kuda itu, Riris hampir saja mengalami kesulitan."
Tetapi Bharata tersenyum sambil menjawab, "terima kasih Jangkung. Barangkali bagiku lebih baik jika aku berjalan kaki saja. Sudah lama aku tidak melihat-lihat daerah yang terbentang luas di luar kota Pajang. Aku akan sempat mengenang masa-masa kecilku jika aku menempuh perjalananku dengan berjalan kaki."
"Jangan menolak Bharata," berkata Jangkung, "aku bersunguh-sungguh."
"Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Mungkin pada kesempatan lain aku akan datang mengambilnya. Tetapi jangan sekarang."
"Apakah keberatanmu?" bertanya Ki Lurah.
Bharata memang menjadi bingung. Tetapi ia merasa bahwa ia tidak sepantasnya menerima pemberian itu. Karena itu, maka akhirnya ia berkata, "Ki Lurah. Aku masih harus menjalani laku. Bukan saja untuk kepentingan ilmuku. Tetapi karena aku berjalan kaki saat aku memasuki kota Pajang sebelum aku menjadi prajurit, maka aku akan pulang dengan berjalan kaki pula. Ini bagiku memang akan merupakan laku untuk membantu mematangkan ilmuku. Siapa tahu, bahwa pada suatu saat, aku akan menjadi prajurit lagi. Mungkin setelah ketidakpastian dalam pemerintahan Pajang ini lewat."
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia dapat mengerti perasaan Bharata. Ia tidak mau menerima pemberian Jangkung justru saat ia dianggap telah berbuat sesuatu bagi keluarga itu, sehingga seakan-akan ia telah menerima upah dari keluarga itu. Apalagi kuda-kuda itu adalah kuda yang diperdagangkan.
Karena itu, maka Ki Lurahpun berkata, "Baiklah Bharata. Jika kau berkeberatan untuk memakai seekor di antara kuda-kuda itu. Tetapi jangan lupa, bahwa pada kesempatan lain kau akan datang kemari. Kemudian Jangkung, bahkan sebenarnya juga aku, ingin mengikutimu bertemu dengan keluargamu."
Bharata tersenyum untuk menyembunyikan gejolak perasaannya. Sementara itu Jangkung masih juga berusaha untuk memberi kesempatan Bharata membawa seekor di antara kuda-kudanya. Namun setiap Bharata selalu saja menyatakan keberatannya.
Ki Lurahlah yang kemudian berusaha memindahkan pembicaraan mereka. Dari halaman rumah itu, meloncat ke pekerjaan anak-anak muda di sawah dan kemudian juga tentang ketidakpastian yang terjadi di Pajang.
Tetapi sekali-sekali Jangkung juga sempat berceritera tentang daerah jelajahnya dalam hubungannya dengan pekerjaannya.
"Aku telah pergi ke banyak kota untuk membeli dan menjual kuda," berkata Jangkung kemudian.
Bharata sekali-sekali juga menyambung pembicaraan mereka. Namun kemudian ia lebih banyak mendengarkan. Hanya jika Ki Lurah berbicara tentang pemerintahan di Pajang yang berubah, Bharata sekali-sekali telah menanggapinya.
Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah selesai. Bharata telah berada di biliknya kembali. Suasananya menjadi semakin lengang ketika malam menjadi semakin dalam.
Sementara itu, Bharata yang akan menempuh perjalanan di hari berikutnya, berusaha untuk secepatnya tidur. Namun ternyata berbagai angan-angan melintas di kepalanya. Sekali-sekali terbayang pertempuran-pertempuran yang sengit, bahkan setiap orang sudah bergulat di antara hidup dan mati di Kademangan Randukerep. Kemudian pertempuran di Prambanan yang justru tidak terlalu banyak membekas di hatinya. Kemudian sikap beberapa orang pemimpin di Pajang dan para pemimpin yang datang dari Demak. Beberapa lama Bharata sempat membayangkan Kasadha dengan kedudukannya yang baru. Di luar sadarnya Bharata tersenyum sendiri. Namun kemudian yang menutup segala angan-angannya itu adalah bayangan wajah Riris.
Tetapi Bharata berusaha keras untuk menyingkirkan semua angan-angannya. Ia mencoba untuk membenamkan diri pada kesepian malam agar ia dapat segera tidur untuk tidak merasa letih di keesokan harinya jika ia berjalan menempuh jarak yang panjang. Ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat menyelesaikan perjalanannya dari matahari terbit sampai matahari terbenam. Kecuali beberapa bagian jalan masih rumpil dan tidak dapat dilalui dengan cepat, maka ia tentu akan terpaksa berhenti di perjalanan untuk makan dan minum.
Bharata menggeretakkan giginya ketika ia teringat kemungkinan buruk dengan bertemu orang-orang yang dapat menyangkanya Puguh.
"Persetan dengan Puguh," geramnya.
Namun akhirnya Bharata itu sempat pula tertidur nyenyak. Malam yang sepi dan udara yang sejuk telah menenggelamkannya ke dalam suasana yang hening.
Seperti biasanya, pagi-pagi sekali, Bharata sudah terbangun. Iapun segera pergi ke pakiwan. Setelah mengisi jambangan maka iapun telah mandi. Sebelum matahari terbit Bharata telah selesai berbenah diri. Ia menunggu Ki Lurah Dipayuda dan keluarganya bangun untuk minta diri.
Tetapi Bharata terkejut, ketika dalam keremangan fajar, Riris datang membawa minuman panas ke serambi gandok. Memang gadis itu membawa dua mangkuk minuman. Tetapi Jangkung agaknya masih belum berada di serambi.
Bharata yang berada di serambi gandok itupun telah bangkit untuk menerima mangkuk-mangkuk itu dan meletakkannya di amben kecil yang berada di serambi itu.
"Terima kasih," desis Bharata sendat.
Namun Riris itupun kemudian berkata, "Silahkan minum kakang. Nanti kakang Jangkung akan segera menyusul. Nampaknya kakang baru mandi."
"Terima kasih, terima kasih," Bharata memang sedikit gagap.
Apalagi karena Riris yang berdiri di tangga serambi itu tidak segera pergi. Bahkan kemudian gadis itu berkata, "Kakang. Sebelum kakang berangkat, aku ingin menyempatkan diri mengucapkan terima kasih atas segala pertolongan kakang."
"Ah," Bharata berdesah, "lupakan saja Riris. Sudah aku katakan, itu adalah kewajiban setiap orang."
"Tetapi apakah aku akan dapat melupakannya?" bertanya Riris.
Bharata memang menjadi bingung. Namun Riris melanjutkan, "Satu peristiwa yang sangat penting di dalam hidupku. Jika kakang saat itu tidak menolongku, mungkin jalan hidupku akan jauh berbeda."
Bharata kebingungan untuk menjawab. Akhirnya ia berkata, "Kita wajib bersyukur kepada Yang Maha Agung."
Riris mengangguk kecil. Katanya, "Ya, Kakang. Kita bersyukur atas perlindungan Yang Maha Agung."
Ririspun kemudian melangkah surut. Tetapi ia masih berkata, "Hatiku rasa-rasanya tidak lagi diberati oleh beban perasaan setelah aku sempat mengucapkan terima kasih kepadamu kakang."
Riris tidak menunggu jawaban. Iapun kemudian berbalik dan melangkah meninggalkan Bharata.
Sementara itu langit menjadi semakin terang. Jangkung telah selesai mandi dan berbenah diri. Ketika ia pergi ke serambi ia melihat dua mangkuk minuman telah tersedia.
"Siapa yang membawa mangkuk ini kemari?" bertanya Jangkung.
Meskipun dengan agak segan, namun Bharata menjawab pula, "Riris."
Jangkungpun menanggapi jawaban itu dengan sikap yang berbeda. Ia juga tidak lagi bersikap kekanak-kanakan. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Marilah. Nanti dingin."
Bharata telah menghirup minuman hangat itu. Namun kemudian iapun berkata, "Aku akan mohon diri, mumpung hari masih pagi. Aku akan menempuh perjalanan panjang."
"Kenapa kau menolak tawaranku untuk membawa seekor kuda?" Jangkung masih bertanya.
Tetapi Bharata hanya tersenyum saja. Jika ia harus menjawab, maka jawabannya akan sama saja seperti yang pernah diucapkan. Jangkunglah yang kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah. Aku akan melihat apakah ayah dan ibu sudah bangun."
Ketika Jangkung masuk ke ruang dalam, dilihatnya ayahnya juga sudah bangun dan duduk di ruang dalam..
Dengan nada rendah ia bertanya, "Dimana ibu, ayah?"
"Di dapur," jawab ayahnya.
Sebenarnyalah ibunya sedang sibuk menyiapkan makan bagi Bharata yang akan meninggalkan rumah itu.
"Kawani anak muda itu makan. Kau yang sudah mandi dan berbenah diri. Ayahmu belum mandi." berkata Nyi Lurah. Lalu katanya, "Ajak ia masuk, sementara Riris menyiapkannya di ruang tengah. Bharata akan menempuh perjalanan yang cukup jauh. Karena itu maka biarlah ia makan pagi lebih dahulu."
Jangkung mengangguk-angguk. Iapun kemudian keluar lagi ke serambi gandok, sementara Riris menyiapkan makan pagi bagi Bharata dan Jangkung.
Bharata tidak menolak ketika Jangkung mempersilahkannya. Bersama Jangkung, Bharata makan hidangan hangat ditunggui oleh seluruh keluarga Ki Lurah Dipayuda.
Tidak banyak lagi yang mereka katakan. Seakan-akan semuanya sudah tuntas diucapkan hari-hari sebelumnya.
Yang kemudian dikatakan oleh Bharata setelah selesai makan dan minum adalah pernyataan minta diri untuk meninggalkan rumah itu.
"Baiklah Bharata," berkata Ki Lurah Dipayuda, "hati-hati di jalan. Kadang-kadang kita menjumpai hal-hal yang tidak kita inginkan. Semoga Yang Maha Agung melindungi perjalananmu."
"Terima kasih Ki Lurah," desis Bharata, "aku berjanji, bahwa pada satu saat aku akan datang lagi kemari."
"Kami menunggu kedatanganmu," sahut Nyi Lurah.
"Aku berjanji Nyi Lurah. Aku akan berusaha untuk tidak terlalu lama." jawab Bharata.
Kepada Ririspun Bharata telah minta diri. Sekali lagi Riris mengulangi ucapan terima kasihnya. Bahkan dengan suara lembut ia berkata, "Kembalilah secepatnya."
Bharata mengangguk kecil. Jawabnya, "Aku akan berusaha."
Demikianlah, maka Bharatapun telah meninggalkan rumah itu. Keluarga Ki Lurah Dipayuda telah melepaskannya di regol halaman rumahnya.
"Ia benar-benar menolak membawa seekor kuda," desis Jangkung.
"Cobalah mengerti perasaannya," berkata Ki Lurah.
Jangkung mengangguk-angguk. Mereka mengawasi sampai Bharata hilang dibalik tikungan. Baru kemudian mereka masuk kembali ke halaman.
"Anak muda yang perkasa," berkata Ki Lurah Dipayuda, "kemampuannya hanya dapat diimbangi oleh anak muda yang lain, yang sebayanya atau sedikit lebih tua. Kasadha. Anehnya keduanya mempunyai wajah yang mirip. Memang berbeda, tetapi ada kesamaannya."
"Kasadha lebih beruntung dari Bharata," berkata Jangkung.
"Karena Bharata mengundurkan diri dari keprajuritan. Seandainya Bharata tidak mengundurkan diri, maka sulit bagi para pemimpin untuk menentukan, apakah Bharata atau Kasadha yang pantas diangkat untuk menjadi Lurah Penatus. Jika kedua anak muda itu diminta pendapatnya, mereka tentu akan saling menunjuk yang lain. Namun Kasadha tentu berkeberatan untuk memegang jabatan itu jika Bharata ada, karena Kasadha merasa nyawanya pernah diselamatkan oleh Bharata." berkata Ki Lurah Dipayuda.
Jangkung mengangguk-angguk. Ayahnya memang pernah berceritera tentang kedua orang anak muda itu.
Dalam pada itu, maka Bharatapun telah berjalan menyusuri jalan padukuhan. Di luar sadarnya, dua pasang mata telah mengikutinya. Seorang di antara mereka adalah anak muda yang sering mengganggu Riris. Namun anak muda itu tidak mempunyai keberanian lagi untuk mengganggu Bharata.
"Anak muda itu nampaknya telah pergi," bisik anak muda yang sering mengganggu Riris itu.
"Tetapi Jangkung masih ada. Ayahnya juga masih ada," sahut kawannya.
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun merekapun kemudian telah beranjak pergi.
Bharata yang akan menempuh perjalanan panjang segera mempercepat langkahnya. Hambatan satu-satunya yang mungkin akan dijumpainya adalah kemungkinan orang-orang yang tidak dikenalnya menyangkanya Puguh. Kemudian berusaha untuk menangkapnya tanpa mau mendengarkan penjelasannya.
Tetapi Bharata mencoba untuk menghilangkan hambatan itu dari angan-angannya. Setelah mengalami banyak perubahan keadaan, serta geseran-geseran yang terjadi dalam susunan masyarakat Pajang dan sekitarnya, maka Bharata berharap, usaha untuk menangkap Puguh itu telah dilupakan.
Demikianlah maka Bharata telah menyusuri jalan-jalan bulak yang panjang dan pendek. Melewati padukuhan-padukuhan besar dan kecil. Menyeberangi sungai, menyusuri jalan-jalan di pinggir hutan dan bahkan lereng-lereng yang miring dan licin.
Ketika matahari sedikit melewati puncak langit, maka Bharata telah singgah di sebuah kedai yang tidak begitu besar yang terletak di pinggir jalan yang agak besar. Ketika ia masuk beberapa orang telah berada di dalamnya.
Kedatangan Bharata yang seorang diri itu memang tidak menarik perhatian, apalagi Bharata memang tidak menunjukkan satu ciri atau sikap yang khusus. Ia dengan diam-diam menyelinap masuk dan duduk disudut kedai itu. Kemudian memesan minuman dan makan. Lehernya memang terasa sangat haus.
Dari tempat duduknya Bharata mendengar keluhan-keluhan yang terlontar dari orang-orang yang telah duduk lebih dahulu di dalam kedai itu. Mereka menghadapi sikap prajurit Pajang yang jauh berbeda dengan sebelumnya.
Namun seorang di antara orang-orang itu berkata, "Ketidakpastian di Pajang membuat ,sikap para petugas juga tidak dapat diduga-duga. Setelah perang, maka Pajang seakan-akan menjadi terkatung-katung. Pajang telah dikalahkan oleh Mataram. Namun yang kemudian memimpin pemerintahan di Pajang adalah Adipati Demak yang membawa seluruh tata cara dan paugeran Demak begitu saja untuk ditrapkan di Pajang."
"Tetapi yang lebih buruk lagi adalah orang-orangnya," berkata yang lain, "baik orang-orang yang datang dari Demak, maupun orang-orang Pajang sendiri. Mereka seakan-akan berebut kesempatan untuk kepentingan diri sendiri. Mereka merasa seperti prajurit-prajurit yang menang perang dan menduduki daerah yang telah dikalahkan. Padahal Pajang kalah dari Mataram. Tetapi orang-orang Pajang dan orang Demaklah yang kini merasa berkuasa tanpa batas."
Kawannya menyahut, "Mataram juga bersalah. Ditinggalkannya Pajang dalam keadaan kalut. Buat apa Mataram mengalahkan Pajang dan kemudian dibiarkannya tidak berketentuan."
"Bukan tidak berketentuan," jawab yang lain, "pimpinan pemerintahan Pajang sudah dibentuk, disahkan dan mempunyai wewenang. Yang salah adalah penggunaan wewenang itu melimpah pada orang-orang yang tidak bertanggung jawab."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka untuk beberapa saat terdiam. Nampaknya mereka baru mengunyah makanan mereka kemudian menghirup minuman panas.
Tetapi untuk beberapa saat tidak ada seorangpun yang berbicara. Namun nampak kegelisahan selalu membayangi mereka. Di kedai itupun mereka nampak tergesa-gesa.
Namun beberapa saat kemudian, seorang yang lain telah memasuki kedai itu pula. Seorang yang bertubuh tinggi. Kumisnya tidak begitu tebal, sedangkan matanya memandang tajam kepada orang-orang yang telah lebih dahulu ada di kedai itu.
"Nampaknya aku terlambat, sehingga aku tidak akan mendapat bagian lagi," berkata orang bertubuh tinggi itu.
"Marilah, silahkan," beberapa orang bersama-sama mempersilahkannya.
Laki-laki itu masuk dan kemudian duduk di antara kawan-kawannya.
Tiba-tiba saja seorang di antara mereka bertanya, "Bagaimana dengan pemungut Pajang itu?"
Orang bertubuh tinggi itu menggeleng. Katanya, "Sulit untuk mendapatkan persesuaian. Tetapi orang itu bukan orang Pajang. Ia petugas yang datang dari Demak. Nampaknya ia sengaja membuat kesan kurang baik terhadap pemerintahan Pajang sekarang ini."
"Ah, tentu tidak. Pimpinan pemerintahan di Pajang sekarang adalah Adipati Demak yang datang dengan segenap kebesarannya," jawab kawannya.
Orang bertubuh tinggi itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Keadaan memang belum dapat diatur dengan baik. Masih banyak prajurit yang bertindak lepas dari paugeran yang justru bertentangan dengan tugas mereka. Baik yang datang dari Demak, maupun prajurit yang sejak semula memang prajurit Pajang."
Bharata mendengar pembicaraan itu dengan jantung yang berdebar-debar. Begitu burukkah kesan yang timbul di antara rakyat Pajang setelah perang"
Untuk beberapa saat Bharata sempat mendengar pembicaraan yang bernada keluhan itu. Tetapi ia sama sekali tidak mencampurinya. Bahkan keluhan itu telah menyinggung, para bebahu di Kademangan yang nampaknya telah dijalari pula penyakit para pemimpin di kota untuk memanfaatkan keadaan.
Beberapa saat kemudian, maka Bharata yang telah selesai dengan makan dan minum itu telah bangkit dari tempat duduknya setelah membayar harganya. Seperti ketika ia masuk maka iapun kemudian telah keluar dari kedai itu.
Namun ia telah mendapatkan sesuatu. Ia telah mendapat kesan tentang kehidupan di Kademangan-kademangan yang semula tidak pernah mengalami persoalan-persoalan sebagaimana setelah perang selesai.
Beberapa saat kemudian, Bharata telah meneruskan perjalanannya. Ia berjalan terus meskipun terik matahari bagaikan membakar tengkuknya, karena matahari telah semakin condong ke Barat, sementara Bharata berjalan ke arah Timur.
Untunglah bahwa ketika ia berjalan di bulak panjang, di sebelah-menyebelah jalan ditanam pohon turi yang meskipun tidak terlalu lebat, namun daunnya cukup membayangi panasnya sinar matahari. Pohon turi itu berjajar sepanjang bulak itu sendiri. Bunganya yang keputih-putihan telah memberikan hasil tersendiri bagi para petani yang menanamnya, karena bunganya itu akan dapat dimasak meskipun rasanya agak kepahit-pahitan, tetapi terasa segar sekali.
Lewat bulak panjang, Bharata memasuki pategalan yang ditumbuhi berbagai pepohonan. Pohon yang besar dan diselingi dengan beberapa jenis tanaman.
Namun langkah. Bharata tiba-tiba terhenti. Ia mendengar sesuatu yang mencurigakan. Karena itu, maka oleh nalurinya, iapun telah meloncat memasuki pagar pategalan itu dan menyusup di antara tanaman-tanaman yang tumbuh lebat.
Bharata tertegun ketika ia melihat pertempuran yang sengit di antara pepohonan di pategalan itu. Seorang yang bertempur melawan empat orang. Namun Bharata memang terlambat. Ia tidak sempat berusaha memisahkan pertempuran itu. Seorang yang harus bertempur melawan keempat orang itu telah kehilangan kesempatan untuk melawan ketika ujung parang salah seorang yang mengeroyoknya membenam di dadanya.
Bharata semakin terkejut ketika ia sempat melihat lebih jelas. Orang yang terbunuh itu adalah seorang prajurit. Menurut ciri dan tanda-tanda yang lekat pada pakaiannya, ia adalah prajurit Pajang.
"Apa yang terjadi," tiba-tiba Bharata melangkah mendekat.
Keempat orang itu terkejut. Serentak mereka mengacukan senjata mereka kepada Bharata.
"Apa yang telah terjadi?" bertanya Bharata.
Keempat orang itu bergerak maju selangkah. Seorang di antara mereka bertanya, "Siapa kau" Kenapa kau ikut campur dalam persoalan kami?"
"Aku tidak ikut campur," jawab Bharata. "Adalah kebetulan bahwa aku baru lewat di jalan sebelah ketika aku mendengar pertempuran ini terjadi. Tiba-tiba saja aku ingin melihatnya. Ternyata disini seorang prajurit telah terbunuh."
"Kenapa kau mempedulikan apa yang terjadi" Kenapa kau tidak berjalan saja terus," bertanya yang lain.
"Tiba-tiba saja aku meloncati pagar," jawab Bharata. "Perkelahian dimanapun tentu menarik perhatian."
"Tetapi kau telah melihat akhir dari perkelahian ini. Salahmu. Atau nasibmu yang sangat buruk. Jika kau kami biarkan pergi maka kau akan dapat menjadi sumber bencana disini." geram orang tertua di antara mereka.
"Kenapa prajurit itu kau bunuh?" bertanya Bharata.
"Kami memang sudah merencanakannya. Prajurit rakus itu telah merampas lembu kami. Kemudian ia datang lagi membawa tiga ekor kambing kami. Terakhir, ia berniat untuk membawa kuda kami. Tidak ada jalan yang terbaik daripada membunuhnya," jawab orang tertua.
"Sebenarnya kau tidak perlu berbuat demikian. Kau dapat melaporkannya kepada atasannya." jawab Bharata.
"Kau kira orang itu tidak justru mengancam jiwa kami" Jika ia mati maka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Aku tidak ingin menginjak ular di ekornya. Ia akan mematuk kakiku. Aku harus menginjak langsung kepalanya." jawab orang itu.
Bharata tertegun ketika ia melihat pertempuran yang sengit di antara pepohonan di pategalan itu. Seorang yang bertempur melawan empat orang. Namun Bharata memang terlambat.
"Apakah kawan-kawannya tidak akan mencarinya?" bertanya Bharata.
"Jika orang itu mati dan aku kuburkan dalam-dalam di pategalan ini, tidak akan ada orang yang tahu siapa yang membunuhnya. Tetapi bahwa kau telah melihatnya, maka kaupun harus dikubur pula di pategalan ini." geram orang tertua itu.
"Jangan berbuat semakin liar. Bukankah aku tidak mengenalmu" Apa yang dapat aku katakan tentang kalian jika aku kau anggap aku akan melaporkan peristiwa ini kepada siapapun juga." jawab Bharata.
"Persetan. Ternyata kau sudah berpendapat lain dengan kami. Kau anggap bahwa persoalan ini dapat diselesaikan tanpa pembunuhan. Tetapi tidak mungkin. Karena itu, maka nasibmulah yang buruk. Kau harus kami kuburkan bersama prajurit itu. Siapa tahu kau petugas sandi. Apalagi kau memang membawa pedang."
Bharata memang menjadi agak bingung. Ia tidak mengira bahwa tiba-tiba saja ia telah terlempar ke dalam satu keadaan yang sulit. Ia telah kehilangan kesempatan untuk memilih sikap ketika orang-orang itu kemudian berpencar dan mengepungnya. Senjata mereka teracu-acu, sementara sorot yang memancar dari wajah mereka membayangkan kebencian yang sangat.
"Tunggu Ki Sanak," Bharata masih mencoba mencegah keempat orang itu, "aku tidak tahu apa-apa. Jangan kalian libatkan aku ke dalam persoalan yang tidak aku mengerti."
"Ini adalah upah orang yang ingin tahu persoalan orang lain. Sesali sikapmu. Tetapi tidak ada gunanya lagi, karena kau harus mati. Jika bukan kau yang mati, maka kami berempat akan mati." geram salah seorang di antara mereka.
"Sebenarnya kita dapat berbicara," berkata Bharata, "sebenarnya aku harus berpihak kepadamu, karena aku juga tidak senang melihat kesewenang-wenangan."
"Aku tidak peduli. Aku belum mengenalmu. Kau dapat saja memutar balikkan kata-katamu. Tetapi sebenarnya kau petugas sandi yang akan menangkap kami karena kami telah membunuh seorang prajurit." Jawab yang lain.
Bharata benar-benar kebingungan. Tetapi ia tidak sempat berpikir lebih jauh. Ketika keempat pedang di tangan keempat orang itu mulai menyambarnya dan bahkan hampir saja menggores kulitnya, maka Bharata memang harus menarik pedangnya.
Ternyata keempat orang itu sama sekali tidak mau mengerti apa yang dikatakannya. Mereka bertempur bagaikan orang-orang yang sedang mabuk kecubung. Semula Bharata masih berusaha untuk setiap kali menghindar dan menangkis serangan-serangan keempat orang itu semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin berbahaya. Mereka bukan saja petani-petani yang tidak mengenal ilmu pedang. Tetapi mereka memiliki bekal kemampuan yang cukup, sehingga karena itu, maka mereka berempat mampu mengalahkan seorang prajurit.
Orang yang tertua di antara keempat orang itu, yang bersenjata sebuah parang, ternyata memiliki kemampuan tertinggi di antara kawan-kawannya. Dengan cepat ia berusaha menembus pertahanan Bharata. Rupa-rupanya orang itu bukan saja memang berniat benar-benar membunuh, tetapi juga ingin melakukan secepat-cepatnya.
Ternyata Bharata kemudian mulai terdesak. Ia tidak dapat sekedar menghindar dan menangkis. Jika ia hanya menghindar dan menangkis, maka pada satu saat iapun akan terbaring di pategalan itu. Mati, sebagaimana prajurit yang telah terbunuh itu untuk kemudian dikubur di pategalan itu pula.
Karena itu, maka akhirnya Bharata memutuskan untuk menghadapi keempat orang itu sebagaimana seharusnya. Ia tidak ingin mati sia-sia di tempat yang tidak diketahui itu dan dalam persoalan yang tidak dimengertinya.
Namun Bharata masih mencoba memperingatkan keempat orang itu. Katanya, "Ki Sanak. Sekali lagi aku memperingatkan kalian. Jangan menjadi liar seperti itu. Aku tidak tahu menahu persoalan yang terjadi disini. Kita belum berkenalan, bahkan aku tidak tahu di Kademangan mana aku sekarang berada. Karena itu bukan sewajarnya jika kita harus bermusuhan."
"Persetan," geram yang tertua, "tutup saja mulutmu, atau aku koyakkan dengan parangku."
"Jika kalian tidak mau mendengarkan peringatanku yang terakhir ini, maka kalianlah yang akan dikubur bersama-sama dengan prajurit itu." geram Bharata yang mulai marah.
"Anak iblis," seorang di antara keempat orang itu hampir berteriak, "kau kira kau siapa dapat mengalahkan kami berempat."
"Kita sudah terlanjur tidak saling mengenal," sahut Bharata, "siapapun kita, tetapi kita sudah benar-benar akan saling membunuh."
Keempat orang itu menjadi semakin marah. Mereka dengan geram telah berloncatan menyerang. Tetapi Bharata tidak saja sekedar menangkis dan mengelak. Tetapi ketika ia benar-benar terdesak, maka iapun telah mulai menyerang. Pedangnya mulai berputaran dengan cepatnya, melindungi dirinya. Namun sekali-sekali pedangnya telah menebas dengan cepat.
Keempat orang itu terkejut. Mereka merasakan perubahan sikap lawan mereka yang masih muda itu. Ayunan pedangnya menjadi berat dan sambaran anginnya terasa menampar wajah-wajah mereka yang geram.
"Anak iblis," geram orang tertua, "kau mencoba untuk menyelamatkan dirimu ya?"
"Setiap yang hidup akan berusaha mempertahankan hidupnya," jawab Bharata. Lalu katanya pula, "Jika perlu, maka untuk mempertahankan hidup itu pula aku akan menebas hidup orang lain. Lebih baik aku membunuh daripada aku dibunuh disini. Aku tidak mau mati tanpa arti."
Bharata yang telah pernah melepaskan dirinya dari maut yang hampir saja mencengkamnya di Kademangan Randukerep di saat ia menghadapi orang-orang Mataram, juga beberapa kali sebelumnya, ketika orang-orang yang tidak diketahuinya berusaha untuk membunuh atau menangkapnya karena ia disangka Puguh, kini tiba-tiba ia harus berhadapan dengan maut yang tidak diketahui ujung pangkalnya.
Karena itu, maka Bharata yang menjadi semakin marah itu benar-benar telah mempergunakan ilmu pedangnya yang menggetarkan jantung lawan-lawannya. Keempat orang itu semula merasa tidak akan mengalami banyak kesulitan. Mereka merasa lebih kuat dan berhasil membunuh seorang prajurit, apalagi hanya seorang anak muda yang lewat.
Tetapi keempat orang itu benar-benar membentur satu kenyataan yang lain. Anak muda itu ternyata tidak semudah prajurit yang terlebih dahulu telah mereka selesaikan. Karena itu, maka orang yang tertua di antara keempat orang itupun kemudian berteriak, "Cepat. Kenapa kita tidak segera menyelesaikannya" Sedangkan prajurit itupun dengan mudah dapat kita bunuh. Apalagi anak muda yang tidak tahu diri ini."
Tetapi kemarahan Bharata telah menyentuh jantungnya. Karena itu, maka dengan ilmu pedangnya yang tinggi, ia tidak membiarkan orang itu berteriak-teriak membakar darah kawan-kawannya. Begitu ia selesai berteriak, maka tiba-tiba saja pedang Bharata telah terjulur lurus mengarah ke pundaknya. Begitu cepatnya sehingga orang itu tidak sempat mengelak. Dengan parangnya ia berusaha menangkis serangan itu. Tetapi Bharata memang lebih cepat. Orang itu hanya mampu menggeser sedikit ujung pedang Bharata. Namun demikian ujung pedang itu masih juga menyentuh pundaknya.
Luka telah mulai menganga dipundak salah seorang dari mereka. Bharata memang tidak berhasil menusuk urat dipundak orang itu untuk menghentikan perlawanannya. Ia hanya dapat melukainya, namun tangan kanan orang itu masih mampu menggerakkan pedangnya meskipun darah mulai mengalir.
"Kau sudah terluka," geram Bharata.
Tetapi orang itu justru berteriak, "Aku bunuh kau dengan cara yang lebih buruk dari prajurit itu."
"Aku masih ingin memperingatkan kalian sekali lagi," geram Bharata yang juga menjadi semakin marah pula.
Namun dengan demikian, karena kedua belah pihak mengerahkan kemampuannya, maka pertempuran itupun menjadi semakin lama semakin sengit. Bharata memang dapat menilai bahwa keempat orang itu adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dasar ilmu kanuragan, namun Bharata yang kemudian melihat mereka semakin cepat, telah mendesak mereka. Kepungan keempat orang itu menjadi semakin longgar. Mereka yang sejak semula berusaha untuk saling mengisi, ternyata mengalami kesulitan, kemudian mencoba menyerang bersama-sama.
Namun Bharata memang terlalu kuat buat mereka berempat.
Ketika salah seorang dari mereka berusaha meloncat menyerang dari arah belakang, maka dengan tangkasnya, Bharata melenting. Seakan-akan anak muda itu juga mempunyai mata di punggungnya, sehingga ia berhasil menghindari serangan itu. Namun justru sekejap kemudian, seorang yang lain telah bergeser selangkah maju. Pedangnyalah yang kemudian terjulur lurus, mengarah ke lambung Bharata yang sedang menghindar. Tetapi dengan tangkas pula Bharata menangkis serangan itu. Ia memukul serangan lawannya keluar garis serangan, sehingga serangan itu tidak mengenainya. Hampir bersamaan, lawannya yang lain telah menyerang pula. Satu tebasan yang kuat sekali mengarah ke leher Bharata. Demikian kuatnya sehingga terdengar desir angin yang menyambar bersama sambaran daun pedang itu.
Namun Bharata cepat berjongkok pada satu lututnya. Ketika pedang itu terbang di atas kepalanya, maka ia telah menjulurkan pedangnya pula. Bharata sempat menjadi ragu-ragu sejenak. Namun karena itu, maka ia urung menusuk limbung orang itu dan mengoyak perutnya. Tetapi ia telah menggerakkan pedangnya dalam ayunan mendatar.
Pedang itu memang menyambar dada lawannya. Tetapi hanya pada kulitnya. Luka itu tergores memanjang, tetapi tidak dalam.
Meskipun demikian, lawannya itu telah meloncat mundur. Bajunya yang koyak telah membekas darah yang kemudian mengalir dari lukanya yang panjang. Betapapun kemarahan membakar jantung Bharata, tetapi ia masih juga sempat mengekang dirinya. Karena itu, maka setelah dua orang lawannya terluka, maka sekali lagi ia berkata, "Aku masih membuka kemungkinan untuk membuat penyelesaian yang lebih baik dari pembunuhan."
"Persetan," geram orang yang telah terluka pundaknya. Dengan garang ia menyerang. Parangnya terayun cepat mengarah ke kening.
Namun Bharata sempat mengelak sambil berkata, "Dua orang di antara kalian telah terluka. Semakin banyak kalian bergerak, maka semakin banyak darah mengalir. Kalian akan segera menjadi lemah dan kehilangan tenaga. Kalian akan jatuh tanpa dapat mengelak sama sekali di saat aku menekan ujung pedang di leher kalian berganti-ganti."
"Persetan," yang terluka di pundaknya itu benar-benar seperti orang yang kehilangan akal.
Namun sementara itu, seorang di antara mereka yang masih lebih muda dari yang lain, telah meloncat sambil mengayunkan pedangnya yang besar dan panjang. Dengan sepenuh kekuatan ia berusaha membelah dahi Bharata. Karena itu, maka ayunan pedangnya memang mengarah ke dahi anak muda itu.
Dengan tangkasnya Bharata mengelak. Ia masih sempat mengelakkan serangan lawannya yang lain ketika dengan tiba-tiba telah menyerangnya pula. Namun kemudian Bharatalah yang telah memutar pedangnya, menyerang orang yang masih lebih muda dari yang lain itu.
Orang itu meloncat mundur. Tidak hanya satu dua langkah. Tetapi bahkan seakan-akan ia telah berlari menjauhi putaran pedang Bharata. Namun Bharata terus memburunya. Ketika kawan-kawannya yang lain berusaha untuk menyusul dan membantunya, maka Bharata telah sempat membentur senjata orang itu. Kemudian memutarnya dengan hentakkan yang sangat keras.
Orang itu terkejut. Ia tidak mampu lagi mempertahankan pedangnya yang seakan-akan telah terhisap oleh pedang anak muda itu. Bahkan kemudian ketika Bharata mengungkitnya, maka pedang itu telah terlempar tinggi.
Sebelum kawan-kawannya sempat menolongnya, pedang Bharata telah terangkat. Satu ayunan yang deras benar-benar akan dapat memenggal lehernya. Tanpa senjata orang itu benar-benar tidak berdaya, sementara itu, ia sudah tidak sempat lagi menghindar. Namun tiba-tiba ayunan pedang Bharata tertahan. Jantungnya berdegup keras ketika ia melihat orang itu bagaikan pasrah. Matanya yang menjadi merah memandang ayunan pedangnya dengan putus asa.
Karena itu, Bharata tidak menyentuh orang itu dengan pedangnya. Pedangnya bagaikan menggeliat dan terayun sejengkal dari lehernya. Namun kemudian Bharata telah menyerangnya dengan kakinya, tepat mengenai dadanya. Tetapi Bharata juga tidak mempergunakan segenap tenaganya, agar tulang-tulang iga orang itu tidak akan berpatahan.
Ketika ketiga orang kawannya sempat berloncatan menyerang Bharata, maka orang itu telah terlempar dan jatuh terbanting di tanah pategalan. Untunglah bahwa tanah pategalan yang ditanami berbagai tanaman itu tidak terlalu keras, sehingga kepala orang itu tidak menjadi retak karenanya.
Bharata memang harus bergeser menjauh menghindari serangan ketiga orang yang lain. Sementara itu, orang yang terbanting itu dengan susah payah berusaha untuk bangkit, meskipun kepalanya terasa sangat pening serta dadanya terasa nyeri. Tetapi orang itu mengibaskan kepalanya dan dengan tegang memandang seorang lagi kawannya telah terluka. Lengannya telah disambar pedang Bharata. Bahkan agak dalam, hampir sampai ke tulang. Darahnya segera mengalir dengan derasnya.
Tiga di antara empat orang lawannya telah terluka. Seorang lagi menjadi pening, sehingga sulit baginya untuk memusatkan nalar budinya. Bahkan sekali-sekali rasa-rasanya tanah tempat ia berpijak itu telah berputar.
Dalam keadaan yang demikian Bharata mulai mengendorkan kemampuannya. Bahkan ia masih sempat berkata, "Berhentilah. Aku akan meninggalkan pategalan ini. Jika kalian mencoba mengikuti aku sampai ke bulak, maka kalian benar-benar akan mati."
Keempat orang itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Namun sebelum mereka menentukan sikap yang pasti, tiba-tiba saja mereka yang ada di pategalan itu terkejut. Ternyata pertempuran itu telah menarik perhatian orang lain lagi sebagaimana Bharata tertarik mendengar suara pertempuran sebelumnya, sehingga seorang prajurit terbunuh.
Mereka menjadi semakin terkejut ketika yang datang kemudian menghampiri pertempuran itu adalah dua orang prajurit.
"Apa yang terjadi?" bertanya salah seorang dari kedua orang prajurit itu.
Keempat orang itu menjadi gagap. Apalagi ketika seorang di antara para prajurit itu melihat kawannya yang terbujur mati.
"Lihat, bukankah itu seorang prajurit?" teriak seorang di antara keduanya.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 31 KEDUANYA kemudian telah berjongkok di samping tubuh prajurit yang terbunuh itu. Bahkan kemudian mereka mengenali siapa yang mati itu.
"Pinta. Bukankah ini Pinta?" berteriak yang seorang.
"Ya. Pinta. Baru setengah bulan ia datang dari Demak dan bertugas pada jajaran keprajuritan Pajang," sahut yang lain.
"Tadi pagi kami masih bergurau bersama," desis yang lain.
Kawannya tidak menjawab. Wajahnya menjadi merah seperti darah. Kemarahannya tidak lagi tertahankan melihat seorang kawannya mati terbunuh dengan luka di dadanya menembus jantung.
Keduanya kemudian berdiri tegak memandang kelima orang yang ada di pategalan itu. Dengan geram ia bertanya, "Siapa yang telah membunuhnya?"
Bharata termangu-mangu. Jika ia mengatakan bahwa keempat orang itulah yang membunuh, maka keempat orang itu tentu akan mengalami nasib buruk. Apalagi jika kedua prajurit itu memiliki kelebihan dari kawannya yang terbunuh, yang hanya seorang diri. Apalagi keempat orang itu sudah menjadi semakin lemah karena darah yang mengalir di tubuh mereka.
Namun, Bharata terkejut seperti disengat lebah di tengkuknya. Salah seorang dari keempat orang itulah yang kemudian menjawab hampir berteriak, "Orang muda itulah yang telah membunuhnya. Justru karena prajurit itu berusaha melindungi kami. Sekarang, kami tidak berdaya menghadapinya. Setelah prajurit itu, maka kamilah yang akan mati seorang demi seorang. Kami telah terluka semuanya sehingga kami benar-benar tidak berdaya."
Kedua prajurit yang marah itu begitu cepat percaya. Kemarahannya agaknya telah mengaburkan penalarannya yang bening. Apalagi prajurit yang mati itu adalah kawan mereka bukan saja dari kelompok yang sama, tetapi mereka sering melakukan langkah-langkah bersama, meskipun langkah-langkah yang sering mereka lakukan itu sebenarnya melanggar paugeran. Sehingga dengan demikian maka kedua orang prajurit itu benar-benar menganggap kawannya yang terbunuh itu senasib.
Karena itu, maka keduanya telah maju selangkah demi selangkah mendekati Bharata. Dengan nada geram seorang di antaranya bertanya, "Anak muda, kenapa kau telah membunuh kawanku?"


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bharata memang menjadi bingung sejenak. Ia memang hampir berteriak marah dan mengatakan bahwa keempat orang itulah yang telah membunuh prajurit itu. Tetapi niat itu diurungkannya.
"Apakah kau bisu, tuli atau kau juga dengan sengaja menghina kami?" bertanya prajurit itu.
Bharata menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya ia telah menjawab, "Ki Sanak. Apakah kalian juga berasal dari Demak seperti kawanmu yang terbunuh itu?"
"Aku berasal dari Demak. Aku mendapat tugas untuk berada dalam jajaran keprajuritan Pajang." jawab kawannya. Namun prajurit yang pertama justru menjawab, "Aku sejak semula adalah prajurit Pajang."
"Jadi tugas prajurit Pajang sekarang telah berubah?" bertanya Bharata.
"Kenapa?" bertanya prajurit yang memang berasal dari Pajang itu, "tugas kami adalah melindungi rakyat dari tindakan sewenang-wenang. Kenapa kau akan membunuh keempat orang itu, dan bahkan kau telah berani membunuh seorang prajurit yang akan melindunginya?"
"Ketahuilah," jawab Bharata, "kawanmu itu telah keluar dari harkat dan martabat seorang prajurit. Ia telah mengganggu rakyat Pajang terutama di pedesaan. Ia telah mengambil lembu, kambing dan bahkan kuda. Bukankah prajurit Pajang tidak mendapat tugas untuk mengambil pajak karena sudah ada petugasnya sendiri" Tetapi kawanmu itu telah melakukannya."
"Cukup," teriak prajurit itu, "kau telah memfitnah pula, apakah kau sadar, hukuman apa yang dapat kau terima?"
"Apakah kau akan membawa aku kepada pimpinanmu atau kepada seorang petugas yang berhak mengadili?" bertanya Bharata.
"Persetan kau. Aku bunuh kau disini. Kau telah membunuh seorang prajurit," geram prajurit itu.
Bharata termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun kemudian bertanya, "Apakah sudah seharusnya kau menghukum langsung seorang yang bersalah?"
"Apakah kau sudah mendapat wewenang untuk membunuh seorang prajurit" Prajurit yang terbunuh itu adalah sahabatku, bukan saja sesama prajurit. Karena itu, maka aku akan membalaskan kematiannya langsung," jawab prajurit itu.
"Kau kira seseorang yang menghadapi kematian akan begitu saja menyerah" Selama masih ada kemungkinan untuk menyelamatkan diri, maka aku akan melindungi diriku sendiri," berkata Bharata.
"Kau akan digantung di alun-alun. Dengan sikapmu itu, aku memang tidak akan membunuhmu. Aku akan menyeretmu dan menyerahkanmu kepada pemimpinku dan akan meneruskan perkaramu. Kau telah berusaha membunuh empat orang yang tidak bersalah ini. Kemudian membunuh seorang prajurit yang akan melindunginya Sekarang kau melawan kami berdua yang akan menangkapmu. Jika kami membunuhmu disini, maka kau akan merasa sangat beruntung. Karena sebaiknya kau digantung di alun-alun atau bahkan dihukum picis," geram salah seorang dari prajurit itu.
"Bersiaplah untuk mengalami nasib buruk itu," berkata prajurit yang lain, "tetapi jika dalam perlawananmu terhadap kami berdua kau terbunuh, bukan salah kami. Orang-orang ini akan menjadi saksi."
Bharata memandang keempat orang itu dengan tatapan mata buram. Anak muda itu memang menjadi sangat kecewa terhadap mereka. Tetapi Bharata tidak sampai hati untuk membebankan kesalahan atas kematian prajurit itu kepada mereka.
Sementara itu, keempat orang itu memang menjadi termangu-mangu. Mereka menjadi heran, bahwa anak muda itu sama sekali tidak membela diri atas tuduhan yang mereka berikan. Bahkan terasa usaha anak muda itu untuk melindungi keselamatan mereka.
Dalam pada itu, kedua orang prajurit yang marah itu sudah bersiap untuk menangkap Bharata. Menangkap hidup atau mati. Agaknya mereka justru mengurungkan keinginannya untuk membunuh karena kematian bagi pembunuh kawannya itu akan menjadi hukuman yang terlalu ringan. Kedua orang itu ingin memberikan hukuman yang lebih berat dari mati. Sakit dan penghinaan menjelang kematiannya.
Namun Bharatapun telah bersiap pula. Ia sadar, bahwa melawan kedua orang prajurit itu tentu lebih berat daripada melawan empat orang yang justru telah menuduhnya membunuh prajurit yang terbaring itu.
Sejenak kemudian, maka kedua orang prajurit itupun telah mulai menyerang dari arah yang berbeda. Senjata mereka terayun-ayun mengerikan.
Namun Bharata bukannya orang kebanyakan dalam olah kanuragan. Ia adalah bekas seorang prajurit Pajang yang dikagumi karena kemampuannya. Bahkan seorang anak muda yang lain, yang memiliki kemampuan yang seimbang telah diangkat menjadi seorang Lurah Penatus meskipun baru ditetapkan sebagai pemangku jabatan itu.
Dengan demikian, maka Bharata tidak segera terdesak oleh prajurit itu. Bahkan pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit.
Para prajurit itu memang memiliki kemampuan lebih tinggi dari keempat orang padukuhan yang telah membunuh seorang prajurit di pategalan. Karena itu, maka Bharata harus bekerja lebih keras untuk mempertahankan dirinya.
Namun dalam pada itu, Bharata masih saja dicengkam oleh kebimbangan. Ia sama sekali tidak ingin membunuh prajurit-prajurit itu. Tetapi iapun tidak ingin membiarkan keempat orang padukuhan itu diketahui dan kemudian mendapat hukuman. Namun demikian Bharata juga tidak sependapat dan tidak membenarkan sikap keempat orang yang menghakimi sendiri prajurit yang melanggar paugeran itu, sementara itu prajurit itupun memang pantas mendapat hukuman karena telah merampok milik orang-orang padukuhan.
Kebimbangan itu telah membuat Bharata kadang-kadang, kehilangan pengamatannya atas lawan-lawannya, sehingga beberapa kali ia menjadi terkejut karena serangan-serangan yang hampir menyentuhnya.
Dengan meningkatkan kemampuannya, Bharata memang berhasil mengatasi desakan kedua lawannya. Bahkan pedangnya yang bergerak cepat mampu sekali-sekali mendesak kedua lawannya untuk berloncatan mundur mengambil jarak.
Namun kedua prajurit itupun telah meningkatkan kemampuannya pula. Bahkan seorang di antara kedua orang itu sempat menggeram, "Dimana kau belajar ilmu kanuragan anak muda, sehingga kau mampu bertahan beberapa lama menghadapi kami berdua?"
Bharata tidak menjawab. Tetapi ia memang menjadi semakin tangkas. Berloncatan dengan cepatnya. Sedangkan pedangnya terayun-ayun mendebarkan.
Menurut pengamatan Bharata kemudian, prajurit yang datang dari Demak itu memiliki kemampuan yang lebih baik dari prajurit Pajang. Bahkan sebagai bekas prajurit Pajang pula Bharata mengenal beberapa watak dan sifat ilmu prajurit itu, yang nampaknya ia tidak berbekal atau sedikit membawa bekal sebelum ia memasuki dunia keprajuritan. Agaknya ia memasuki dunia keprajuritan sebelum penyaringan menjadi semakin ketat, sehingga dengan bekal yang sedikit, namun dengan kemungkinan jasmaniah yang baik, seseorang dapat diterima menjadi seorang prajurit.
Namun prajurit yang mengaku datang dari Demak itu memiliki jenis ilmu kanuragan yang lebih rumit. Bukan sekedar patokan-patokan tata gerak yang cukup memadai bagi seorang prajurit yang bertempur dalam gelar. Tetapi prajurit dari Demak itu mampu menyerang dengan cepat dan bahkan serangan-serangan ganda.
Beruntunglah Bharata telah dipersiapkan dengan masak untuk mewarisi ilmu yang jarang ada duanya, sehingga dengan demikian maka Bharata masih mampu mengimbangi, bahkan mengatasi kedua orang prajurit itu.
Serangan-serangan yang cepat dari prajurit Demak itu masih mampu dielakkannya. Bahkan sekaligus menyerang kembali dengan putaran-putaran langkah yang mengejutkan. Sambaran pedang prajurit dari Demak itu sekali-sekali sengaja tidak dibiarkan lewat dengan mengelakkannya, namun Bharata telah mencoba membenturnya.
Dengan benturan-benturan itu Bharata dapat menjajagi bahwa kemampuan lawannya masih akan mampu diatasinya.
Pertempuran itu semakin lama memang menjadi semakin cepat. Kedua orang prajurit yang gagal mengalahkan dan apalagi menangkap lawannya itu menjadi gelisah. Keduanya merasa bahwa anak muda itu memang memiliki kemampuan yang tinggi.
Yang kemudian terjadi adalah justru Bharata mulai mendesak lawannya. Serangan prajurit yang datang dari Demak itu, seolah-olah sudah dapat dibaca arah dan sasarannya sehingga dengan demikian maka Bharata selalu dapat menghindarinya atau menangkisnya. Sementara itu, prajurit Pajang itu justru mulai mengalami kesulitan. Ujung pedang Bharata rasa-rasanya menjadi semakin dekat dengan kulitnya, bahkan rasa-rasanya seperti seekor nyamuk yang mulai terdengar desingnya di telinganya.
Ketika prajurit yang datang dari Demak itu meloncat dengan pedang terjulur ke arah dada Bharata, maka Bharata sempat memiringkan tubuhnya. Tetapi prajurit itu tiba-tiba telah bergeser. Pedangnya justru menggeliat dan menebas mendatar. Bharata masih sempat meloncat surut sambil merendah. Pedang yang terayun menebas mendatar itu meluncur di atas kepalanya yang menunduk. Sementara itu, prajurit yang lain telah meloncat pula sambil menjulurkan pedangnya.
Bharata dengan tangkasnya telah menghindar. Ia justru menjatuhkan dirinya dan berguling sekali. Dengan tangkasnya ia meloncat bangkit.
Namun lawannya yang datang dari Demak itu cukup tangkas pula. Demikian Bharata tegak, maka ujung pedangnya telah memburunya, langsung mengarah ke jantung.
Bharata tidak menghindarinya. Tetapi dengan cepat ia telah menangkis serangan itu. Dengan pedangnya Bharata menepis pedang yang terjulur itu menepi. Demikian padang itu berkisar, maka dengan serta-merta, Bharata meloncat menyamping. Satu kakinya terjulur lurus ke lambung lawannya.
Prajurit yang sedang berusaha menguasai pedangnya itu tidak sempat mengelak dan tidak sempat menangkis. Serangan kaki Bharata yang keras itu telah mendorongnya sehingga sulit baginya untuk mempertahankan keseimbangannya.
Prajurit itulah yang kemudian jatuh terguling. Namun berbeda dengan Bharata yang sengaja menjatuhkan dirinya. Tetapi prajurit itu ternyata tangkas pula. Iapun dengan sigapnya segera bangkit berdiri dengan, pedang yang menyilang di dada siap menghadapi segala kemungkinan.
Namun Bharata tidak sempat memburunya. Lawannya yang lain. telah meloncat menyerangnya pula. Demikian cepatnya, sehingga serangan itu telah mendorong Bharata untuk bergerak cepat pula.
Tetapi dengan demikian, maka Bharata kurang dapat mengendalikan dirinya. Ketika ia menangkis serangan lawannya itu dan memutar pedangnya, maka hampir saja lawannya kehilangan senjatanya. Namun demikian perhatiannya pada senjatanya yang hampir terlepas itu, pedang Bharata telah bergetar mendatar.
Terdengar prajurit itu mengaduh tertahan. Sebuah goresan ternyata telah mengoyak kulitnya pada lengannya. Tidak terlalu dalam. Tetapi selain bajunya yang juga terkoyak, maka darahpun mulai mengalir.
Prajurit itu kemudian menggeram marah. Wajahnya menjadi merah seperti bara. Dengan geram ia berkata, "Kau akan menyesal nanti anak iblis."
Bharata mundur selangkah. Ia melihat luka di tangan prajurit itu. Sementara prajurit yang lainpun menjadi semakin garang.
"Kau pantas dihukum picis sampai mati," geram prajurit itu.
Bharata tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, keempat orang padukuhan itu menyaksikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar. Mereka tidak tahu, siapakah yang diharapkan untuk menang.
Iblis Pulau Hantu 2 Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Dewi Sungai Kuning 1

Cari Blog Ini